Pendekar Remaja Jilid 04

Pendekar Remaja Jilid 04
Sonny Ogawa

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 04

LILI memiliki ketenangan ayahnya dan kegesitan ibunya. Melihat sinar golok menyambar ke arah kepalanya, dia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah lantas bergulingan menjauhkan diri. Akan tetapi, Bouw Hun Ti yang merasa penasaran terus mengejarnya setelah menangkis serangan Lo Sian yang menyerangnya dari samping dalam usahanya menolong muridnya.

Lili bergulingan terus sampai tiba-tiba dia merasakan bahwa tubuhnya berguling ke atas pangkuan seorang yang duduk di bawah pohon dekat situ. Dia memandang dan ternyata bahwa ia telah berada di atas pangkuan seorang pengemis yang tinggi kurus dan berbaju penuh tambalan dan buruk sekali.

Melihat betapa anak itu kini berada di atas pangkuan seorang pengemis, Bouw Hun Ti melanjutkan serangannya. Akan tetapi tiba-tiba dia berseru keras dan goloknya terpental hampir terlepas dari pegangan pada waktu golok itu telah mendekati tubuh Lili. Ternyata bahwa pengemis jembel itu telah mengangkat tongkatnya dan menangkis golok itu!

“Hemm, manusia kejam! Apakah kau masih mau menjual lagak di hadapan Mo-kai Nyo Tiang Le?”

Bouw Hun Ti makin terkejut karena ia sudah mendengar nama Pengemis Setan ini yang amat lihai! Tadi ketika menghadapi Lo Sian, walau pun dia yakin akan bisa mendapatkan kemenangan, akan tetapi kepandaian Lo Sian sudah cukup kuat sehingga ia tak mungkin menjatuhkannya dalam waktu pendek. Apa lagi sekarang ditambah pula dengan seorang pengemis aneh yang dari tangkisan tongkatnya tadi saja sudah menunjukkan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi!

Bagaimana sebatang tongkat bambu dapat menangkis goloknya yang terkenal tajam dan yang digerakkan dengan tenaga luar biasa? Bouw Hun Ti menjadi gentar juga kemudian dengan marah sekali ia lalu melarikan diri! Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan gurunya untuk minta pertolongan dan bantuan.

Lo Sian yang baru dapat mengenali pengemis itu, cepat-cepat menghampiri dan berseru girang. “Suheng! Kau di sini?”

“Sute, dari mana kau mendapatkan anak ini?” Mo-kai Nyo Tiang Le balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan adik seperguruannya.

Mendengar pertanyaan ini, barulah Lo Sian teringat kepada Bouw Hun Ti yang sudah melarikan diri. Ia menghela napas dan berkata,

“Sayang sekali Suheng. Orang yang dapat menjawab pertanyaanmu itu sudah melarikan diri. Aku sendiri tidak tahu siapa sebetulnya anak ini.” Ia lalu menuturkan pengalamannya pada waktu merampas Lili dari tangan Bouw Hun Ti, kemudian menuturkan pula tentang pengalamannya menolong Thio Kam Seng.

Si Pengemis Setan itu tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Lo Sian. Ia segera memandang kepada Lili yang kini sudah berdiri, lalu berkata kepadanya, “Hemm, anak nakal! Kau tidak mau menceritakan siapa ayah ibumu? Ha-ha-ha, tak perlu kau bercerita lagi! Aku sudah tahu, siapa ayahmu! Dia adalah seorang maling, seorang tukang colong ayam! Karena itulah maka kau malu untuk mengaku! Ha-ha-ha!”

Bukan main marahnya hati Lili mendengar ucapan ini. Gadis cilik ini berdiri tegak dengan kepala dikedikkan, dadanya diangkat dan pandang matanya bersinar-sinar seakan-akan mengeluarkan cahaya api. Kalau ada orang yang telah mengenal ibunya, dan melihat Lili bersikap seperti itu, tentulah akan mengatakan bahwa anak perempuan ini persis sekali seperti ibunya kalau sedang marah.

“Kau... kau berani menghina ayahku? Jika Ayah mendengar hal ini, biar pun kau berada di ujung dunia, Ayah pasti akan mematahkan batang lehermu! Ayahku adalah seorang gagah perkasa tanpa tandingan! Orang macam kau, biar ada seratus pun akan dapat dia patahkan batang lehernya dengan mudah!” Lili betul-betul marah bukan main mendengar ayahnya disebut tukang colong ayam!

Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. Agaknya dia geli sekali sehingga sambil tertawa dia meraba-raba perutnya. “Ha-ha-ha-ha! Pandai sekali kau menutupi keadaan ayahmu! Ha-ha-ha, ayahmu hanya seorang maling kecil. Memang dia bisa mematahkan batang leher, akan tetapi hanyalah batang leher ayam. Tentu saja dia kuat mematahkan batang leher seratus ekor ayam yang dicurinya! Ha-ha-ha!”

“Orang tua kurang ajar!” Lili semakin marah hingga ia membanting-banting kakinya yang kecil.

Dia lupa bahwa suhu-nya tadi menyebut suheng kepada jembel ini. Namun, jangankan baru supek-nya yang baru dikenal sekarang, walau pun siapa juga tidak boleh menghina ayahnya!

“Hati-hatilah kau! Beritahukan siapa namamu supaya dapat kuberitahukan kepada Ayah. Kau pasti akan dipukul mati! Siapakah orangnya yang tidak tahu bahwa Ayah...” tiba-tiba Lili terhenti karena ia teringat bahwa ia tidak ingin memberitahukan nama orang tuanya, bahkan ia belum pernah mengaku kepada suhu-nya.

“...bahwa ayahmu hanyalah seorang tukang colong ayam...!” Pengemis tua itu langsung melanjutkan kata-katanya yang terhenti sambil tertawa bergelak.

“Bukan!” Lili menggigit bibirnya dengan hati gemas. “Nah, biarlah aku mengaku! Ayahku adalah Sie Cin Hai yang berjuluk Pendekar Bodoh! Ibuku adalah Kwee Lin yang terkenal gagah perkasa! Siapa yang tidak kenal kepada ayah ibuku yang menjadi murid terkasih dari Sukong Bu Pun Su?”

Sambil berkata demikian, Lili memandang dengan tajam kepada pengemis itu dan juga kepada gurunya. Ia merasa bangga dan girang sekali ketika melihat betapa pengemis itu yang tadinya tengah tertawa, kini membuka mulutnya dengan melongo, ada pun suhu-nya sendiri pun memandangnya dengan mata terbelalak heran!

Lo Sian lalu mengelus-elus kepala Lili dan berkata, “Ah, anak baik, kenapa tidak dulu-dulu kau katakan kepadaku? Jika aku tahu, tentu kau sudah kuantarkan kepada orang tuamu! Aku tahu siapa adanya ayah ibumu itu dan ketahuilah bahwa Suhu-mu dan Supek-mu ini masih orang-orang segolongan dengan ayahmu!”

“Akan tetapi, mengapa Supek tadi menghina ayahku? Mengapa ayahku disebut tukang colong ayam?”

Nyo Tiang Le tertawa bergelak dan Lo Sian juga tersenyum. “Lili, Supek-mu tadi hanya bergurau. Pada waktu ia mengatakan bahwa ayahmu seorang maling ayam, ia tidak tahu bahwa ayahmu adalah Sie Taihiap! Kalau ia tidak mempergunakan akal ini, apakah kau akan suka menyebutkan nama ayahmu?”

Lili memang cerdik. Kini ia tahu bahwa ia telah kena diakali, maka sambil tersenyum ia berkata kepada Nyo Tiang Le, “Supek sudah menipuku! Akan tetapi, kalau Supek tidak menarik kembali ucapannya tadi, aku selamanya akan benci kepada Supek!”

Suara tawa Mo-kai Nyo Tiang Le makin keras. “Ha-ha-ha! Siapa bilang bahwa Pendekar Bodoh pencuri ayam? Apa bila ada orang yang mengatakan demikian di depanku, mulut orang itu tentu akan kuhajar dengan seratus kali pukulan tongkatku! Tidak, anak manis, ayahmu bukan pencuri ayam akan tetapi dia adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa!”

Berserilah wajah Lili mendengar pujian terhadap ayahnya ini.

“Suheng, kalau begitu, aku hendak mengantarkan anak ini pulang kepada Sie Taihiap di Shaning.”

Nyo Tiang Le menggelengkan kepalanya. “Berbahaya sekali, Sute! Kau tentu telah dapat menduga siapa adanya orang brewok tadi?”

Lo Sian menggelengkan kepalanya. “Sungguh pun ilmu silatnya sangat lihai dan gerakan goloknya mengingatkan aku akan ilmu kepandaian golok milik Ban Sai Cinjin, akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu siapa adanya orang itu.”

“Dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin, seorang peranakan Turki. Apakah kau masih ingat pada Balutin yang dulu memimpin barisan Turki ke pedalaman dan menimbulkan banyak kerusakan!”

Lo Sian mengangguk karena dahulu ia memang membantu tentara kerajaan menghadapi perwira yang amat tangguh itu.

“Nah, orang tadi adalah putera dari Balutin itulah! Namanya Bouw Hun Ti dan dia amat lihai, apa lagi setelah mendapat latihan dari Ban Sai Cinjin. Entah mengapa dia menculik anak Pendekar Bodoh ini, akan tetapi sudah jelas bahwa kalau ia melihat kau mengantar anak ini pulang, tentu ia akan turun tangan dan hal ini berbahaya sekali.”

Lo Sian menundukkan kepalanya karena dia juga maklum bahwa kepandaian Bouw Hun Ti masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri sehingga ia tidak dapat melindungi keselamatan Lili dengan baik.

“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?”

“Aku sedang dalam perjalanan menuju ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin di puncak Beng-san. Biarlah kubawa kedua anak ini bersamaku ke sana. Kau pergilah seorang diri mencari Pendekar Bodoh dan memberi tahu bahwa puterinya sudah selamat dan sedang bersama dengan aku. Kam Seng ini nasibnya buruk dan patut ditolong. Sedangkan dulu aku pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su, maka sekarang sudah selayaknyalah apa bila aku membalas dan menolong cucu muridnya ini! Nona kecil, kau tentu mau ikut dengan aku, bukan?”

Lili memandang kepada suhu-nya dan berkata, “Suhu, teecu memang tidak mau pulang. Teecu baru mau pulang kalau Ayah dan Ibu menyusul teecu! Akan tetapi, bila selamanya teecu harus ikut Supek, teecu tidak suka.”

“Mengapa begitu, Lili?” tanya Lo Sian sambil tersenyum.

“Supek seorang pengemis!”

“Hussh!” kata Lo Sian mencela. “Aku pun seorang pengemis!”

“Benar, akan tetapi Suhu berbeda dengan Supek. Suhu adalah pengemis bersih, akan tetapi Supek...”

“Hussh, Lili!” Menegur suhu-nya.

Akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le bahkan tertawa geli dan berkata, “Biarlah, Sute. Sudah sewajarnya apa bila seorang anak perempuan suka akan kebersihan dan keindahan. He, Lili anak nakal, kau lihatlah baik-baik, apakah aku masih nampak kotor dan menjijikkan?”

Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya kedua tangan Pengemis Setan itu bergerak dan tahu-tahu jubah luarnya yang butut itu telah terlepas sehingga Lili dan juga Thio Kam Seng, anak piatu itu memandang dengan mata terbelalak heran.

Setelah jubah butut kotor dan penuh tambalan itu terlepas, kini pengemis tua itu nampak bersih dan gagah sekali. Tubuhnya tertutup oleh pakaian warna putih bersih dari sutera halus, sebatang pedang tergantung di pinggang kirinya! Dan sikap pengemis tua itu pun berubah sama sekali, wajahnya yang tadi tertawa-tawa bagaikan orang gila itu menjadi sungguh-sungguh dan nampak kereng sekali!

“Bagaimana, apakah kau masih merasa jijik untuk ikut Supek-mu?” tanya Nyo Tiang Le dengan suara kereng.

Lili merasa heran dan tertegun sehingga dia memandang dengan mata tak berkedip, lalu menggelengkan kepalanya. Pengemis tua yang aneh itu kemudian mengenakan kembali pakaian bututnya dan wajahnya kembali berseri-seri. Kini Lili baru merasa lega, karena sebenarnya hatinya lebih enak dan senang menghadapi pengemis tua yang berpakaian butut dan yang tertawa-tawa ramah ini dari pada menghadapinya dalam pakaian gagah dan sikap kereng tadi!

“Kenapa pakaian bersih dan indah ditutupi oleh pakaian yang demikian kotor dan buruk?” kini ia berani membuka mulut bertanya.

Nyo Tiang Le tertawa bergelak, seperti tadi sebelum memperlihatkan pakaiannya yang dipakai di sebelah dalam.

“Ha-ha-ha, anak baik! Banyak sekali orang yang di luarnya mengenakan pakaian-pakaian indah dan mahal, memakai baju kebesaran dan tanda pangkat, akan tetapi coba bukalah pakaian yang indah-indah itu, kau akan melihat sesuatu yang kotor, seperti sebutir buah yang kulitnya merah kekuningan dan nampak segar akan tetapi apa bila dikupas kulitnya akan terlihat isinya busuk! Bagiku, aku lebih suka yang sebaliknya, dari luar tampak kotor akan tetapi di sebelah dalam bersih! Ha-ha-ha!”

Lili tidak percuma menjadi puteri Pendekar Bodoh, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan yang terkenal ahli dalam hal filsafat hidup dan hafal akan semua ujar-ujar kuno. Telah sering kali ayahnya memberi pelajaran budi pekertie padanya dan sering kali pula dia mendengar ayahnya mengucapkan ujar-ujar kuno mengenai filsafat hidup. Dan kini, mendengar ucapan Nyo Tiang Le itu, anak yang berotak tajam ini dapat menangkap maksudnya, maka dia lalu membantah,

“Supek, betapa pun juga aku lebih suka lagi kalau yang bersih itu tidak hanya dalamnya saja, akan tetapi luar dalam! Biar pun isinya sama bersih dan sama enak, kalau disuruh memilih, aku lebih suka buah yang kulitnya menarik dan bersih dari pada yang kulitnya kotor!”

Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. “Benar benar! Kau memang seorang perempuan, sudah seharusnya tahu merghargai keindahan, luar mau pun dalam!”

Demikianlah, sesudah memesan kepada Lili dan Kam Seng supaya patuh kepada supek mereka, dan memberi janji kepada Lili bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali, Lo Sian lalu meninggalkan mereka menuju ke timur untuk mencari Pendekar Bodoh di Shaning dan mengabarkan tentang keadaan Lili kepada pendekar besar itu.

Nyo Tiang Le juga segera membawa kedua anak itu melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Beng-san. Pengemis Setan ini sungguh pun menjadi suheng dari Lo Sian, akan tetapi apa bila dibandingkan dengan Pengemis Sakti itu, kepandaiannya jauh lebih tinggi, juga usianya berbeda jauh sekali. Lo Sian baru berusia tiga puluh lima tahun, akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le usianya sudah lima puluh tahun lebih.

Bahkan kepandaian Lo Sian sebagian besar terlatih oleh Nyo Tiang Le dan suhu mereka hanya memberi pelajaran-pelajaran dasar saja kepada Sin-kai Lo Sian. Kepandaian Nyo Tiang Le ini hanya sedikit lebih rendah dibandingkan tingkat kepandaian empat besar di timur, barat, selatan, dan utara, yakni Hok Peng Taisu guru Ma Hoa, Pok Pok Sianjin di Beng-san yang kini menjadi guru dari Sie Hong Beng putera Pendekar Bodoh, mendiang Bu Pun Su, guru dari Cin Hai si Pendekar Bodoh dan isterinya, dan Swi Kiat Siansu, tokoh di utara yang terkenal dengan senjatanya kipas maut itu! Kepada empat orang tokoh besar ini, Nyo Tiang Le telah kenal baik, bahkan dia pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su yang terkenal paling lihai di antara para tokoh besar itu.

Mo-kai Nyo Tiang Le suka sekali melihat Lili dan karena ia tidak mempunyai murid, maka melihat murid sute-nya ini tergeraklah hatinya. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu pedangnya kepada Lili yang ia tahu memiliki bakat yang baik sekali. Dia memang sedang menuju ke Beng-san untuk bertemu dengan Pok Pok Sianjin, seorang di antara tokoh-tokoh besar dunia persilatan masih hidup.

Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang bernasib malang itu, benar-benar telah mendapat karunia besar dan agaknya nasibnya telah mulai bersinar terang saat ia bertemu dengan Lo Sian, karena tak disangka-sangkanya bahwa ia akan terjatuh ke dalam tangan orang luar biasa sehingga ia dapat menjadi murid seorang gagah seperti Lo Sian, bahkan kini ia ikut melakukan perjalanan dengan Nyo Tiang Le dan ikut pula mendapat latihan ilmu silat tinggi.

*****

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Mari sekarang kita mengikuti perjalanan Cin Hai dan Lin Lin yang meninggalkan rumah mereka di Shaning untuk pergi mencari puteri mereka yang lenyap terculik orang.

Semenjak Kong Hwat Lojin atau Nelayan Cengeng yang menjadi guru dan ayah angkat Ma Hoa meninggal dunia pada dua tahun yang lalu, belum pernah Pendekar Bodoh dan isterinya mengunjungi Tiang-an.

Maka setelah mereka tiba di perbatasan kota Tiang-an, mereka berhenti sebentar dan memandang tembok kota itu dengan pikiran yang penuh kenangan masa lampau. Bagi Lin Lin, kota ini adalah kota kelahirannya dan bagi Cin Hai, kota ini pun merupakan kota di mana dia pernah mengalami banyak sekali penderitaan hidup pada waktu dia masih kecil.

Mereka memasuki kota dan mengunjungi rumah Kwee An. Rumah ini adalah rumah tua, gedung besar dan kuno yang dulu menjadi tempat tinggal mendiang Kwee In Liang, yaitu ayah Kwee An dan Kwee Lin. Kedatangan mereka mendapat sambutan yang hangat sekali dari Kwee An dan Ma Hoa. Ma Hoa merangkul Lin Lin dan sampai lama mereka saling peluk dan mencium dengan hati girang sekali.

“Enci Ma Hoa, sekarang kau makin gemuk dan makin cantik saja!” Lin Lin berkata sambil memandang kepada soso (kakak iparnya) itu. Oleh karena sudah terbiasa sejak belum menikah dulu, Lin Lin tidak menyebut soso pada iparnya ini, akan tetapi masih menyebut enci.

“Lin Lin, kaulah yang semakin cantik, akan tetapi mengapakah kau kelihatan agak pucat? Terlalu lelahkah kau dalam perjalananmu ke sini?”

Cin Hai dan Kwee An yang saling berpegang tangan dengan perasaan gembira itu juga mengucapkan kata-kata ramah tamah.

“Ahhh, kami mendapat kesusahan,” kata Lin Lin sambil menghela napas lalu menggigit bibirnya untuk menahan jangan sampai meruntuhkan air mata. “Lili telah terculik orang!”

Pucatlah wajah Ma Hoa dan Kwee An mendengar berita hebat ini.

“Apa...?!” Ma Hoa melompat bangun dan memegang lengan tangan Lin Lin. “Siapa orang yang demikian berani mampus melakukan hal itu? Lin Lin, beritahukan siapa orangnya, akan kuhancurkan kepalanya!” Ma Hoa benar-benar marah sekali mendengar berita ini dan sepasang matanya berkilat.

Kwee An juga marah sekali dan kedua tangannya dikepal, akan tetapi ia lebih tenang dan sabar dari pada isterinya. Ia memegang tangan adiknya dan berkata,

“Ahh, bagaimana bisa terjadi hal itu? Lin Lin, marilah kita semua masuk ke dalam dan ceritakanlah hal itu sejelasnya.”

Suara yang lemah lembut dan sikap mencinta dari kakaknya ini lebih tajam menyentuh perasaan Lin Lin dari pada sikap Ma Hoa yang menunjukkan pembelaannya dengan hati marah. Tak terasa lagi Lin Lin meramkan mata menahan keluarnya air mata yang tetap saja menembus celah-celah bulu matanya lantas mengalir turun ke atas pipinya. Sambil menyandarkan kepalanya di pundak Kwee An, Lin Lin menangis dan menurut saja ditarik oleh Kwee An menuju ke ruang dalam, diikuti oleh Cin Hai dan Ma Hoa.

Setelah mereka duduk di atas kursi dan Lin Lin sudah dapat menekan perasaan gelisah dan sedihnya, maka berceritalah Lin Lin dan Cin Hai mengenai penculikan terhadap Lili, dan juga tentang terbunuhnya Yousuf. Mendengar bahwa Yousuf terbunuh pula dalam keadaan yang sangat mengerikan dan menyedihkan, yaitu dipenggal kepalanya, Ma Hoa menjerit dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia berdiri dan dengan tangan terkepal ia berkata keras,

“Lin Lin, kita harus mencari jahanam itu sampai dapat! Hatiku belum puas kalau belum menusuk mata jahanam itu dengan senjataku!”

Juga Kwee An merasa marah dan sedih sekali mendengar berita ini. Ketika mendengar dari Cin Hai bahwa menurut orang-orang yang melihatnya, pembunuh Yousuf itu adalah seorang Turki, Kwee An berkata,

“Tidak mungkin salah lagi, tentu pembunuhnya adalah utusan Pangeran Muda dari Turki yang semenjak dahulu memusuhi Yo-pekhu!”

“Kami pun menduga demikian,” kata Cin Hai. “Oleh karena itu, kami hendak menyusul ke barat, hendak mencari keterangan dan menyelidiki ke Kansu di mana banyak terdapat orang-orang Turki baik pengikut Pangeran Muda mau pun pengikut Pangeran Tua.”

“Betul sekali,” kata Kwee An mengangguk-anggukkan kepala. “Di sana banyak terdapat kawan-kawan baik dari Yo-pekhu, dan kurasa dari mereka ini kau akan bisa mendapatkan keterangan.”

“Aku ingin sekali ikut pergi,” tiba-tiba saja Ma Hoa berkata, “aku ingin mendapat bagianku menghajar penculik Lili!”

Kwee An memandang kepada isterinya, kemudian sambil tersenyum dia berkata, “Dalam keadaanmu sekarang ini lebih baik jangan melakukan perjalanan sejauh itu.”

Ma Hoa membalas pandangan suaminya dan tiba-tiba mukanya berubah merah. Lin Lin mengerti akan maksud ucapan itu, maka dia merangkul Ma Hoa sambil berkata, “Enci yang baik! Sudah berapa bulankah?”

Makin merahlah muka Ma Hoa dan dengan suara perlahan ia berkata, “Dua...”

Cin Hai sama sekali tidak mengerti apakah maksud pembicaraan antara isterinya dan Ma Hoa, maka ia memandang kepada mereka dengan sinar mata bodoh. Melihat wajah dan pandangan mata bodoh dari Cin Hai ini, tak tertahan pula Ma Hoa dan Lin Lin tertawa geli, bahkan Kwee An juga tersenyum, teringat akan peristiwa dulu-dulu tentang Cin Hai yang dalam beberapa hal memang agak bodoh. Pandangan mata seperti itulah yang lalu membuat ia mendapat julukan Pendekar Bodoh!

“Eh, eh, kalian mengapakah?” Cin Hai tidak merasa aneh melihat isterinya tertawa-tawa, oleh karena memang demikianlah sifat Lin Lin. Dalam keadaan bersedih dia bisa tertawa gembira, sebaliknya dalam kegembiraan tiba-tiba murung!

“Jangan tanya-tanya, ini urusan wanita. Laki-laki tahu apa!” kata Lin Lin.

Akhirnya bisa juga Cin Hai menduga bahwa yang dimaksudkan tentu Ma Hoa kini dalam keadaan mengandung dua bulan. Akan tetapi karena merasa jengah dan malu, dia diam saja.

Dua pasang suami isteri itu lalu bercakap-cakap melepaskan rindu.

“Eh, sampai lupa aku! Mana si cantik Goat Lan? Kenapa semenjak tadi aku tidak melihat dia?” kata Lin Lin.

“Ah, dia telah dibawa oleh dua orang kakek yang kalian tentu sudah kenal namanya.”

“Dibawa? Apa maksudmu? Siapakah mereka?” tanya Cin Hai.

“Goat Lan telah diambil murid oleh Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo dan dibawa ke Liong-ki-san untuk dilatih ilmu silat.”

Cin Hai dan Lin Lin merasa girang mendengar ini dan keduanya lalu memberi selamat. Ma Hoa menceritakan peristiwa tentang kedatangan kedua orang kakek gagah itu di Kuil Ban-hok-tong.

“Enci Hoa,” kata Lin Lin yang mendadak teringat akan sesuatu, “aku sudah mengadakan pembicaraan dengan suamiku mengenai anakmu itu. Kau tentu dapat menduga maksud kami, yaitu tentang anakmu dan anak kami Hong Beng.”

Wajah Ma Hoa berseri. “Ahh, bagaimana dengan puteramu yang elok itu?”

Lin Lin lalu menceritakan bahwa Hong Beng sudah diantarkan ke Pok Pok Sianjin untuk menerima latihan ilmu silat.

“Kiranya tidak ada jodoh yang lebih tepat bagi Hong Beng selain anakmu yang cantik itu. Bagaimana kalau kita resmikan pertunangan itu sekarang?”

Kwee An tertawa. “Kedua anak itu baru berusia sepuluh tahun, bagaimana pertunangan mereka harus diresmikan?”

“Maksudku, pertunangan ini disahkan di antara kita, orang-orang tua mereka. Kau tentu menerima pinanganku, bukan?” menegaskan Lin Lin.

“Lin Lin, kau masih saja tidak sabar seperti dulu!” kata Ma Hoa tertawa. “Dulu pernah kita bicarakan hal ini dan sudah saling setuju. Tentu saja, kami setuju sekali dan menerima pinanganmu dengan kedua tangan terbuka. Memang selain putera kalian siapa lagi yang patut menjadi mantu kami?”

Demikianlah, di antara tawa dan sendau gurau, mereka meresmikan pertunangan Hong Beng dan Goat Lan. Dengan amat mudahnya Lin Lin telah lupa kesedihannya kehilangan Lili. Cin Hai yang pendiam tidak dapat melupakan nasib puterinya, akan tetapi tidak tega untuk mengingatkan isterinya mengenai hal yang tidak menyenangkan ini, maka dia diam saja.

Sesudah mengunjungi Kwee Tiong atau Thian Tiong Hosiang, ketua Kuil Ban-hok-tong, kakak tertua dari Lin Lin yang kini menjadi hwesio alim itu, Lin Lin dan Cin Hai segera melanjutkan perjalanannya ke barat. Mereka hanya bermalam satu malam saja di rumah Kwee An. Ma Hoa dan suaminya mengantarkan mereka sampai di luar batas kota dan mereka lalu berpisah.

Cin Hai dan Lin Lin melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat dan sesudah berpisah dari Ma Hoa, seluruh perhatian Lin Lin kembali tercurah kepada puterinya dan timbul lagi kegelisahannya. Perjalanan mereka amat jauh, dan beberapa pekan kemudian setelah melaksanakan perjalanan cepat sekali, barulah mereka tiba di Kansu dan menuju ke kota Lancouw. Pada sepanjang perjalanan mereka teringat akan segala pengalaman mereka yang penuh bahaya pada sepuluh tahun lebih yang lampau pada waktu mereka dengan kawan-kawan lain mengunjungi propinsi ini.

Cin Hai dan Lin Lin lalu masuk ke perkampungan orang Turki di mana dahulu Yousuf tinggal. Orang-orang Turki yang tinggal di sana ternyata masih ingat kepada mereka, karena pada saat mereka masuk ke kampung itu, mereka disambut dengan girang sekali oleh para kawan dari Yousuf itu. Cin Hai segera dihujani pertanyaan mengenai keadaan Yousuf.

Ketika mendengar bahwa bekas pemimpin mereka itu telah tewas dengan keadaan amat menyedihkan, dipenggal kepalanya oleh seorang Turki lain yang brewok, maka sedihlah hati mereka.

“Bouw Hun Ti!” seru seorang di antara mereka yang sudah lanjut usianya. “Tentu Bouw Hun Ti si anjing pengkhianat yang melakukan hal itu.”

Cin Hai dan Lin Lin segera mendesak orang tua itu.

“Sahabat,” kata Cin Hai, “sesungguhnya kami datang dari tempat yang amat jauh, tak lain maksud kami hanyalah hendak menemui saudara-saudara dan minta pertolongan untuk menduga siapa adanya bangsat yang telah membunuh Yo Se Fu dan yang telah berani menculik puteri kami itu. Tadi kami mendengar disebutnya nama Bouw Hun Ti, siapakah gerangan dia itu dan mengapa kalian mengira bahwa dialah yang melakukan perbuatan itu?”

Orang Turki tua itu baru saja datang dari Turki dan ia tahu akan keadaan Bouw Hun Ti, maka dia lalu menceritakan sejelasnya kepada Cin Hai dan Lin Lin. Ketika mendengar bahwa Bouw Hun Ti diutus oleh Pangeran Muda untuk membawa Yousuf dengan paksa ke Turki dan bahwa Bouw Hun Ti adalah putera dari Balutin dan terkenal jahat kejam dan berkepandaian tinggi.

Cin Hai dan Lin Lin tidak ragu-ragu lagi bahwa memang dialah orang yang dicari-carinya. Mereka lalu mengambil keputusan untuk menunggu di Lancouw, menghadang perjalanan Bouw Hun Ti yang tentunya akan pulang ke Turki dengan membawa Lili yang diculiknya, karena menurut keterangan orang-orang Turki itu, Bouw Hun Ti sampai saat itu belum kembali dari timur.

Akan tetapi, setelah menanti dua pekan belum juga kelihatan penculik dan pembunuh itu datang, Cin Hai dan Lin Lin menjadi kecewa dan gelisah bukan main. Betapa pun lambat musuh itu melakukan perjalanan, tidak mungkin akan makan waktu selama itu. Akhirnya Cin Hai dan Lin Lin mengambil keputusan untuk kembali ke timur, mencari musuh yang membawa lari puteri mereka itu.

Kepada orang-orang Turki yang ada di situ mereka minta tolong agar supaya mengamat-amati, jika melihat Bouw Hun Ti dan seorang anak perempuan, agar berusaha merampas anak perempuan itu. Orang-orang Turki itu maklum bahwa Lin Lin adalah anak angkat Yousuf, sehingga dengan demikian anak perempuan yang diculik oleh Bouw Hun Ti itu adalah cucu dari Yousuf, maka tentu saja mereka bersedia untuk membantu suami isteri itu dan menolong Lili.

Mereka maklum bahwa di antara mereka tidak seorang pun dapat melawan Bouw Hun Ti yang lihai, akan tetapi dengan akal dan tipu, mereka merasa yakin akan dapat menculik kembali anak itu dari tangan Bouw Hun Ti dan mengantarkannya kepada suami isteri itu.

Maka berangkatlah Cin Hai dan Lin Lin kembali ke timur. Sungguh pun mereka merasa kecewa dan gelisah, akan tetapi ada juga sedikit kegembiraan karena sudah mengetahui nama dan keadaan musuh besar mereka.

Kini mereka kembali ke timur tidak melalui jalan yang mereka lalui ketika mereka menuju ke Lancouw, yakni jalan sebelah selatan, akan tetapi mereka melalui jalan sebelah timur, di sepanjang perbatasan Mongolia Dalam. Mereka mengambil keputusan hendak mampir di tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menengok Hong Beng yang belajar ilmu silat di situ.

*****

Mo-kai Nyo Tiang Le bersama dua orang anak-anak murid sute-nya, yakni Lili dan Kam Seng, sampai di Gunung Beng-san. Dengan perlahan Nyo Tiang Le mengajak dua orang anak-anak itu mendaki bukit yang indah sambil menikmati pemandangan alam yang luar biasa mengagumkan.

Setelah jatuh ke tangan orang-orang yang bisa ia percaya, Kam Seng kini timbul kembali sifat-sifat aslinya, yaitu pemberani, bersemangat, dan jenaka. Lili merasa suka kepada kawan ini dan ketika mendaki bukit yang indah itu, Lili dan Kam Seng mendahului supek mereka sebab Pengemis Setan ini sebentar-sebentar berhenti untuk menikmati keindahan pemandangan alam.

Lili dan Kam Seng sudah diberi tahu oleh supek ini bahwa tujuan mereka adalah puncak bukit di sebelah utara itu. Maka mereka tidak sabar menunggu supek mereka yang dapat berdiri diam bagaikan patung sampai lama sekali untuk menikmati tamasya alam.

“Supek benar-benar aneh,” kata Kam Seng sambil tertawa dan napas tersengal karena ia harus mengikuti Lili yang gerakannya lebih gesit dan sangat cepat itu, “apakah indahnya pohon-pohon dan rumput di bawah gunung?”

Lili hanya tersenyum sambil berkata, “Hayo cepat kita naik. Itu di atas banyak kembang merah yang indah!”

Dia lalu melompat ke depan dengan cepat bagaikan seekor anak kijang. Tentu saja Kam Seng tak bisa menyusulnya, dan anak yang sudah terengah-engah akibat telah mendaki bukit itu mencoba untuk mempercepat langkahnya sambil bersungut-sungut,

“Supek aneh, Lili juga aneh. Kembang macam itu saja, apa sih indahnya?”

Memang, Kam Seng yang sejak kecil selalu menderita lahir batin, perasaannya menjadi acuh tak acuh, hingga tak dapat merasai atau menikmati sesuatu yang sedap dipandang. Matanya telah terlampau banyak melihat hal-hal yang menimbulkan rasa sedih dan putus harapan, bahkan dulu ketika ia menderita kelaparan dan kesengsaraan, segala sesuatu yang betapa indah pun nampak buruk dan menjemukan.

Karena Lili berhenti dan mengagumi bunga-bunga yang tumbuh di pinggir jalan kecil itu, maka Kam Seng dapat menyusulnya juga. Lili meraba bunga itu, dan nampaknya girang bukan main. Kedua pipinya bersinar kemerahan, matanya berseri gembira. Ia memetik beberapa tangkai bunga yang terindah, diikat menjadi satu kemudian dibawanya dengan hati-hati dan penuh rasa sayang.

Pada saat itu dari sebuah lereng bukit berlari turun seorang anak laki-laki yang sangat gesit gerakannya. Anak ini berwajah tampan dan gagah sekali. Sepasang alisnya hitam tebal, kelihatan jelas kulit mukanya yang putih kemerahan. Rambutnya juga tebal dan hitam, diikat di atas kepala dengan sehelai pita kuning. Tubuhnya tegap hingga nampak telah hampir dewasa, biar pun usianya sebenarnya baru sebelas tahun kurang. Matanya lebar dan bersinar terang, membayangkan bahwa dia mempunyai watak yang jujur.

Anak laki-laki ini berlari turun dengan muka mengandung kemarahan. Ia melihat ada dua orang anak yang berada di taman bunga itu dan melihat pula seorang anak perempuan memetiki kembang yang menjadi kesayangan gurunya, maka dia menjadi marah sekali.

“Hai! Jangan sembarangan memetik dan merusak kembang!” tegurnya dari jauh sambil berlari cepat menghampiri Lili dan Kam Seng.

Lili dan Kam Seng terkejut, lalu memandang. Kam Seng diam saja karena merasa bahwa jika taman bunga ini kepunyaan seseorang, memang mereka berdua telah berlaku salah. Akan tetapi Lili yang berwatak keras tentu saja tidak mau mengaku salah begitu saja. Ia memutar tubuh menanti kedatangan anak laki-laki itu dan berteriak,

“Turunlah! Apa kau kira aku takut padamu? Kembang indah memang sudah seharusnya dipetik, mengapa kau bilang merusak?”

Anak laki-laki yang berlari turun itu ketika mendengar suara Lili dan setelah berada lebih dekat, berubah menjadi girang sekali dan seketika itu juga lenyaplah kemarahannya.

“Lili...!” serunya girang dan dia mempercepat larinya.

Lili tertegun mendengar suara ini. Tadi ia memang tak dapat melihat jelas, karena senja kala telah mulai tiba dan udara menjadi kurang terang. Kini mendengar suara panggilan itu, dia jadi tertegun dan akhirnya berlari menyambut anak laki-laki itu sambil berseru, “Hong Beng...!”

Memang semenjak kecil Lili menyebut kakaknya dengan memanggil namanya begitu saja tanpa diberi tambahan kakak atau engko. Biar pun berkali-kali ayah-bundanya menyuruh dia menyebut Hong Beng kakak, akan tetapi anak yang bandel ini tetap saja tak pernah mentaatinya dan tetap menyebut kakaknya Hong Beng saja!

Segera kedua orang anak itu berhadapan dan dengan girang. Hong Beng memegang kedua tangan adiknya.

“Lili... dengan siapa kau datang? Mana Ayah dan Ibu? Dan siapakah Siauwko (Engko Kecil) itu?”

“Aku datang bersama Supek. Ayah dan Ibu tentunya berada di rumah, dan dia ini adalah Kam Seng, anak yatim piatu yang diambil murid oleh Suhu.”

Hong Beng tercengang mendengar keterangan singkat ini. “Ehh, siapakah Supek-mu dan siapa pula Suhu-mu? Mengapa kau meninggalkan rumah?”

Memang seperti telah dituturkan di bagian depan, Hong Beng dibawa oleh ayahnya ke puncak Beng-san untuk berguru kepada Pok Pok Sianjin, seorang tua berilmu tinggi yang menjadi tokoh besar di barat. Pada waktu dia pergi, adiknya berada di rumah dan tidak mempunyai guru karena seperti juga dia sendiri, adiknya pun belajar silat dari ayah dan ibu mereka. Mengapa tiba-tiba saja adiknya itu mempunyai seorang suhu dan supek dan meninggalkan rumah?

Lili hendak menuturkan pengalamannya, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara suling yang amat nyaring dari atas puncak.

“Ah, Suhu sedang berlatih. Mari kau kubawa menghadap Suhu. Kau juga ikutlah Saudara Kam Seng. Oya, mana itu Supek-mu yang kau katakan datang bersamamu?”

“Supek sedang tergila-gila kepada pohon dan kembang, maka tertinggal di belakang.” Lili menerangkan sambil tertawa. Dia telah memungut kembangnya kembali dan memegang kembang itu dengan rasa sayang.

Akan tetapi Hong Beng meminta kembang itu dan berkata, “Lili, Suhu akan marah kalau melihat kembangnya dipetik orang.”

“Mengapa?” tanya Lili dengan heran.

“Menurut penuturan Suhu, kembang juga memiliki semangat seperti orang, maka memetik kembang yang sedang mekar berarti sama dengan membunuh orang muda seperti kita!”

Lili memandang kakaknya dengan mata terbelalak penuh rasa sesal. Akan tetapi sambil tertawa Hong Beng lalu menggandeng tangannya, kemudian mengajaknya berlari naik ke puncak dari mana terdengar suara tiupan suling yang aneh itu.

“Hayo, Kam Seng. Larilah yang cepat!” ajak Lili sambil menoleh ke belakang.

Dan merahlah muka Kam Seng karena mana bisa ia berlari cepat di jalan menanjak yang sukar itu? Terpaksa ia menguatkan kaki dan tubuhnya yang sudah lelah untuk mengikuti mereka, akan tetapi dia tetap tertinggal jauh.

Setelah suara suling itu makin terdengar jelas karena sudah dekat, tiba-tiba Hong Beng menahan langkah kakinya dan berkata, “Ahh, orang yang tidak tahu diri itu datang lagi rupanya!”

Lili tidak sempat bertanya karena kakaknya menggandeng tangannya dan diajak berlari cepat menuju ke puncak dari mana terdengar suara suling yang makin nyaring menusuk telinga itu.

Ketika mereka tiba di tempat itu, Lili memandang ke depan dengan penuh keheranan. Di atas tanah yang rata nampak dua orang sedang bergerak cepat dan aneh.

Yang satu adalah seorang kakek berambut serta berjenggot putih yang bergerak-gerak sambil meniup suling, sedangkan yang seorang lagi adalah seorang setengah tua yang bergerak menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menyambar kelinci.

Dengan kedua tangan Lili menutup telinganya karena suara suling yang amat nyaring itu benar-benar membuat telinganya terasa sakit. Ada pun Kam Seng yang datang sambil terengah-engah kelelahan, memandang pula dengan terheran-heran dan melongo, akan tetapi Hong Beng berdiri diam dan matanya memandang tajam ke arah dua orang yang sedang bertempur itu.

Kakek tua itu bukan lain adalah Pok Pok Sianjin sendiri. Memang kelihatannya sangat aneh. Sungguh pun kakek itu meniup suling dengan enaknya dan lagu yang tertiup dari sulingnya terdengar merdu, akan tetapi suara suling itu sangat nyaring dan seakan-akan mengandung tenaga gaib yang mengeluarkan hawa pukulan.

Buktinya, sungguh pun orang yang meloncat-loncat menyerang itu menggunakan seluruh kepandaiannya untuk memukul atau menendang, akan tetapi dia selalu terpental kembali sebelum dapat menyentuh tubuh Pok Pok Sianjin. Hawa yang keluar dari tiupan suling itu mengandung tenaga lweekang dan khikang yang membuatnya tertangkis dan terdorong oleh tenaga yang tidak kelihatan!

“Orang itu adalah seorang jago silat yang mahir ilmu silat Pek-eng Kun-hoat (Ilmu Silat Garuda Putih). Telah beberapa kali ia datang minta berpibu (mengadu ilmu silat) dengan Suhu, akan tetapi Suhu tidak mau meladeninya. Ternyata sekarang dia datang kembali, benar-benar orang tak tahu diri!”

Baru saja Hong Beng berkata demikian, tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dan tahu-tahu tubuh orang yang menyerang Pok Pok Sianjin itu terlempar ke belakang, jatuh bergulingan. Akan tetapi dia cepat melompat bangun kembali dan memandang ke arah orang yang tertawa tadi. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Mo-kai Nyo Tiang Le yang entah kapan sudah berada di tempat itu pula! Tentu saja Lili merasa heran karena tadi supek-nya tertinggal di belakang, mengapa sekarang telah mendahuluinya berada di tempat itu?

Orang yang terguling tadi setelah memandang kepada Mo-kai Nyo Tiang Le, lalu menjura dan berkata, “Mo-kai (Pengemis Setan), aku telah menerima pengajaran darimu, lain kali pasti bertemu pula!” Setelah berkata demikian, dia lalu melompat jauh dan menghilang di bawah gunung!

Nyo Tiang Le bergelak-gelak dan Pok Pok Sianjin lalu menyimpan kembali sulingnya.

“Mo-kai, kau masih saja bertangan jail, pukulanmu Soan-hong-jiu (Pukulan Kitiran Angin) telah membuat dia menjadi gentar dan pergi dengan hati mendendam kepadamu!”

Tadi Nyo Tiang Le memang sudah melancarkan dorongan dari jauh, dan hanya dengan angin pukulannya saja telah berhasil mendorong orang tadi hingga roboh, sungguh dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian Pengemis Setan ini! Ia tersenyum dan berkata sambil menghela napas,

“Pok Pok Sianjin, kenapa kau suka melayani segala macam orang seperti dia? Bukankah dia adalah sute dari Ban Sai Cinjin? Aku pernah melihat orang tadi, karena itu aku berani mendorongnya agar dia jangan mengganggu kau orang tua lebih lanjut.”

Pok Pok Sianjin mengangguk-angguk, “Memang, dia adalah adik seperguruan Ban Sai Cinjin dan namanya Lu Tong Kui. Ia menjagoi di Lok-yang dan telah beberapa hari ini ia merengek-rengek dan mendesak untuk mengadakan pibu. Tentu saja aku menolaknya, akan tetapi ia mendesak terus dan menyatakan bahwa jauh-jauh dari Lok-yang ia datang untuk menguji kepandaianku. Aku tidak tega maka terpaksa melayaninya bermain-main sebentar.”

Nyo Tiang Le kembali tertawa, kini makin keras. “Ha-ha-ha, kau orang tua benar-benar keterlaluan! Kau bilang tidak tega akan tetapi kau telah mainkan Seng-im-khikang. Kalau aku tidak buru-buru mendorongnya roboh dengan Soan-hong-jiu, apakah dia tidak akan menderita luka-luka hebat di dalam tubuhnya akibat kena serangan hawa dari sulingmu? Ha-ha-ha!”

Pok Pok Sianjin juga tertawa. “Apa kau kira aku sekejam itu? Aku baru mempergunakan Seng-im Khikang setelah yakin bahwa dia cukup kuat untuk menghadapi itu! Ehh, Setan Tua, kau baik sekali. Telah lama aku merasa rindu padamu, apakah kau datang hendak menantangku main catur?”

Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. “Asal bertaruh minum arak baik, siapa takut akan kepandaian caturmu?”

Pada saat itu, Hong Beng menarik lengan tangan adiknya dan diajak berlutut di hadapan Pok Pok Sianjin. “Suhu, ini adalah adik teecu yang bernama Lili!”

Pok Pok Sianjin memandang kepada Lili, mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berkata, “Seperti ibunya... seperti ibunya...!”

Sementara itu, Nyo Tiang Le memandang kepada Hong Beng dan berkata, “Inikah putera Pendekar Bodoh? Pantas sekali! Jadi kau orang tua sudah menerima kehormatan untuk mendidik putera Pendekar Bodoh? Satu kehormatan besar dan kau beruntung sekali Pok Pok Sianjin!”

Mendengar ini, Hong Beng cepat membantah, “Bukan Suhu yang mendapat kehormatan besar dan keberuntungan, Locianpwe, akan tetapi adalah teecu yang mendapat karunia besar!”

Nyo Tiang Le mengangkat alisnya dengan heran dan kemudian tertawa dengan senang. “Anak ini pandai membawa diri seperti ayahnya!”

Pengemis Setan itu menuturkan kepada Pok Pok Sianjin tentang pertemuannya dengan sute-nya Lo Sian dan menceritakan pula pengalaman Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti. “Kini sute-ku sedang menuju ke timur untuk memberi kabar kepada Pendekar Bodoh. Sementara itu, aku akan menanti di sini dan melatih anak ini, sambil menanti datangnya orang tuanya yang tentu akan menjemputnya.”

Bukan main girangnya hati Hong Beng mendengar bahwa adiknya akan tinggal di sana untuk beberapa lama dan ayah ibunya akan datang pula ke sana. Ketika Nyo Tiang Le menceritakan pula mengenai riwayat Kam Seng, Pok Pok Sianjin merasa kasihan juga. “Biar pun bakatnya kurang, namun ia cocok menjadi murid Sute-ku,” kata Nyo Tiang Le.

Kemudian dua orang tua itu lalu masuk ke dalam pondok dan bermain catur, sedangkan Hong Beng bersama Lili dan Kam Seng lalu bermain-main di sekitar puncak Beng-san itu. Kam Seng merasa kagum dan tunduk kepada Hong Beng yang selain berkepandaian tinggi juga amat ramah kepadanya.

Sejak hari itu juga, Lili tinggal di puncak Beng-san dan mendapat latihan ilmu silat dari Nyo Tiang Le. Dasar otaknya terang dan dia memang sudah memiliki dasar kepandaian yang diajarkan oleh ayah ibunya semenjak dia masih kecil, maka sebentar saja dia telah mendapat kemajuan yang amat cepat.

Juga Kam Seng mulai menerima latihan-latihan atas petunjuk Lili dan Hong Beng, karena Nyo Tiang Le hanya memberi petunjuk-petunjuk teorinya saja sehingga anak yatim piatu itu berlatih di bawah pengawasan Hong Beng dan Lili!

Hong Beng sendiri dengan amat tekun dan rajinnya mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, terutama sekali ilmu silat tongkat yang sudah menjadi keahlian Pok Pok Sianjin dan sudah menjunjung tinggi namanya sebagai ahli silat kelas satu dan tokoh terbesar dari dunia persilatan sebelah barat!

Oleh karena mendapat didikan ilmu silat dari seorang ahli, dan pula karena kini tinggal bersama kakaknya, Lili sampai lupa bahwa ayah ibunya yang ditunggu-tunggu ternyata belum juga datang, biar pun dia telah berada di atas puncak Beng-san sampai berbulan lamanya!

Kenapa sampai demikian lama Cin Hai dan Lin Lin tidak menyusul anaknya di Beng-san, padahal sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, pasangan suami isteri pendekar ini dalam perjalanannya kembali dari Kansu, hendak mampir dulu dan menengok putera mereka di puncak bukit itu?

Sesungguhnya, Pendekar Bodoh dan isterinya sudah menemui peristiwa yang hebat dan yang membuat mereka belum juga tiba di Beng-san.

*****

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin telah mendapat keterangan dari orang-orang Turki kawan-kawan mendiang Yousuf, bahwa menurut dugaan mereka, tidak salah lagi pembunuh Yousuf dan penculik Lili adalah seorang peranakan Tionghoa Turki yang bernama Bouw Hun Ti. Maka mereka lalu kembali ke timur, mengambil jalan sebelah utara di sepanjang tapal batas Propinsi Kansu dengan Mongolia Dalam. Mereka mengambil keputusan untuk sekalian mampir di Beng-san dan menengok putera mereka yang berlatih silat di bawah pimpinan Pok Pok Sianjin.

Puncak Beng-san terletak di Pegunungan Lu-liang-san yang panjang, maka bila mereka mengambil jalan di utara, mereka akan melewati Lu-liang-san.

Pada suatu hari mereka tiba di sebuah kota yang bernama Po-kwan, dan kota ini berada di tapal batas Mongolia Dalam, di lembah Sungai Huang-ho yang saat itu belum begitu besar airnya. Kota Po-kwan cukup ramai dan suami isteri ini di samping melihat-lihat kota yang belum pernah dikunjunginya ini, juga mereka bertanya-tanya kalau-kalau ada Bouw Hun Ti di daerah itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun melihat orang she Bouw yang dicari-carinya itu.

Karena itu dua hari kemudian, Cin Hai dan Lin Lin keluar dari kota Po-kwan dan hendak melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san melalui Sungai Huang-ho. Tetapi, baru saja mereka keluar dari kota Po-kwan, mereka bertemu dengan orang-orang yang tak pernah mereka sangka-sangka akan bertemu di situ.

Mereka sedang berjalan keluar dari kota untuk menuju ke sungai yang berada di sebelah timur kota, dan mendadak dari sebuah tikungan mereka melihat seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun berjalan cepat sekali di depan mereka. Lin Lin memandang tajam, karena dari belakang dia serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi baru saja dia hendak bertanya kepada suaminya, Cin Hai telah mendahuluinya dan berseru girang, “Lie-suheng…!”

Laki-laki itu terkejut mendengar seruan ini, lantas segera menghentikan tindakan kakinya dan cepat membalikkan tubuh. Wajahnya nampak tua dan muram sekali, sungguh pun ia masih kelihatan tampan dan gagah. Kumisnya sudah mulai putih tak terurus sedangkan jenggotnya juga panjang tak terpelihara. Pakaiannya tidak karuan, bahkan ada beberapa bagian yang sudah robek-robek didiamkannya saja.

Akan tetapi ketika melihat Cin Hai dan Lin Lin, untuk sekejap matanya bersinar-sinar, dan Cin Hai beserta isterinya yang cepat berlari menghampiri orang itu hanya melihat betapa kegembiraan itu berlangsung sebentar saja. Orang itu segera menundukkan muka dan menjadi muram kembali, seakan-akan merasakan kesedihan yang luar biasa besarnya.

“Sie-sute, kaukah ini? Dari manakah kau dan Sumoi, kau juga baik-baik saja, bukan?” Suaranya rata dan tidak berirama, tanda bahwa dia sedang menderita kesedihan besar sekali.

Cin Hai segera memegang tangan orang itu setelah memberi hormat. “Lie-suheng, kau kenapakah?”

“Lie-suheng, agaknya kau amat bersedih. Dimanakah Enci Im Giok?” tanya pula Lin Lin.

Orang itu memandang kepada mereka ganti berganti, kemudian tiba-tiba dari sepasang matanya keluarlah air mata yang lalu membanjir turun membasahi kedua pipinya. Bukan main kagetnya Cin Hai dan Lin Lin melihat keadaan orang itu. Cin Hai segera menariknya dan mengajaknya duduk di bawah pohon di pinggir jalan dan segera mendesak kepada orang itu untuk menceritakan apakah sebenarnya yang menyusahkan hatinya.

Siapakah orang ini? Para pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa orang ini bukan lain adalah Lie Kong Sian, murid mendiang Bu Pun Su, guru Cin Hai dan Lin Lin. Karena ada hubungan perguruan ini, maka Lie Kong Sian masih terhitung suheng (kakak seperguruan) dari Cin Hai dan Lin Lin.

Dalam cerita Pendekar Bodoh dikisahkan bahwa Lie Kong Sian ini telah berjodoh dengan seorang pendekar wanita baju merah yang amat lihai dan yang bernama Kiang Im Giok atau lebih terkenal lagi dengan nama julukannya, Ang I Niocu (Nona Baju Merah). Lie Kong Sian tinggal bersama isterinya di sebuah pulau, yaitu Pulau Pek-lek-to yang terletak di dekat pantai laut Tiongkok sebelah timur.

Sejak Lie Kong Sian bersama isterinya mengunjungi Cin Hai dan Lin Lin untuk datang menyaksikan upacara pernikahan kedua adik seperguruannya itu, hingga kini baru sekali mereka saling bertemu. Hal itu terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu baru saja setahun mereka saling berpisah. Akan tetapi semenjak itu, mereka tak pernah saling bertemu kembali. Bahkan ketika Cin Hai dan Lin Lin mengunjungi Pulau Pek-le-to pada lima tahun yang lalu sambil mengajak kedua anak mereka, pulau itu ternyata kosong dan tidak diketahui ke mana perginya Lie Kong Sian dan isterinya.

Supaya lebih jelas bagi para pembaca yang belum membaca buku Pendekar Bodoh, baiknya diterangkan kembali bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita yang luar biasa cantiknya, dan boleh disamakan dengan kecantikan seorang bidadari dari kahyangan. Dalam usia tiga puluh tahun lebih, yaitu pada saat ia menikah dengan Lie Kong Sian, ia masih nampak cantik jelita dan muda bagaii seorang dara berusia tujuh belas tahun saja.

Hal ini bukan saja memang pada dasarnya dia cantik jelita, akan tetapi sebagian besar adalah karena pengaruh semacam telur mukjijat, yakni telur Pek-tiauw (Rajawali Putih). Nona Baju Merah ini sangat sayang akan kecantikannya dan untuk menjaga ini dia tidak segan-segan untuk mencari telur burung rajawali putih yang amat sukar didapatkannya. Karena khasiat telur inilah, maka ia selalu nampak cantik dan muda selalu.

Kecantikannya ini ditambah lagi dengan keahliannya bermain silat yang luar biasa, yaitu ilmu sliat yang disebut juga Ilmu Silat Tarian Bidadari, sehingga kalau ia sudah mainkan ilmu pedangnya dengan ilmu silat ini, maka ia benar-benar merupakan seorang bidadari yang sedang menari dengan indahnya!

Tidak heran bahwa banyak sekali hati pemuda-pemuda runtuh karena kecantikannya ini, bahkan Cin Hai sendiri pernah tergila-gila kepada Ang I Niocu. Akan tetapi Ang I Niocu mempunyai watak yang amat keras dan angkuh. Semua pinangan pemuda-pemuda yang gagah dan tampan itu ditolaknya belaka, bahkan pemuda-pemuda itu diejeknya sehingga banyak yang patah hati.

Pada akhirnya ia bertemu dengan Lie Kong Sian yang menjatuhkan hatinya karena budi kebaikan pemuda ini dan pula karena pemuda ini memiliki ilmu silat tinggi yang sanggup mengalahkannya. Akhirnya mereka menikah dan hidup penuh kebahagiaan di atas Pulau Pek-lek-to yang merupakan sorga bagi mereka. Pulau ini sangat subur dan juga indah sekali pemandangannya.

Dua tahun setelah mereka menikah, Ang I Niocu mengandung. Semenjak mengandung, pendekar wanita ini merasa tubuhnya tidak enak sekali dan sifatnya yang keras itu kini timbul kembali, bahkan semakin menghebat. Sering kali dia marah-marah besar kepada suaminya hanya karena urusan kecil saja.

Akan tetapi Lie Kong Sian yang amat mencinta isterinya dan sangat sabar itu, mampu menghiburnya dan selalu mengalah dalam segala hal. Akhirnya terlahirlah seorang bayi laki-laki dan keduanya merasa amat berbahagia kembali. Bersama dengan kelahiran itu lenyaplah semua sifat pemarah, akan tetapi tubuh pendekar wanita itu masih saja sering kali merasa tidak enak sekali dan kepalanya pening.

Perubahan besar nampak terjadi pada dirinya, biar pun terjadinya secara sangat lambat dan perlahan. Akan tetapi tiga tahun kemudian, perubahan ini sudah menjadi sedemikian hebatnya. Rambut Ang I Niocu yang tadinya hitam dan panjang berombak itu lambat laun menjadi putih dan penuh uban! Kulit mukanya yang tadinya halus dan kemerah-merahan itu lambat laun menjadi keriputan dan menghitam!

Kini melihat kecantikannya melenyap dengan perlahan akan tetapi tentu, seperti penyakit yang memakan habis kecantikannya itu sekerat demi sekerat, bukan main penderitaan batin yang dirasakannya sehingga hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali ia melihat wajahnya pada bayangannya di dalam air, ia menangis tersedu-sedu dengan hati hancur.

Lie Kong Sian berdaya upaya menghiburnya, juga mengobatinya, akan tetapi semuanya percuma belaka.

“Isteriku…,” katanya menghibur pada saat isterinya menangis tersedu-sedu sambil terus menarik-narik rambutnya yang telah menjadi putih hingga banyak yang terlepas dari kulit kepalanya, “betapa pun juga, dan apa pun yang akan terjadi dengan kau, aku akan tetap mencintamu dengan tulus ikhlas dan suci. Jangan kau bersedih, isteriku...”

Akan tetapi kata-kata ini bahkan makin menghancurkan hati Ang I Niocu. Dengan suara terputus-putus dia berkata, “Ahh... bagaimanakah ini...? Mengapa Thian mengutuk diriku begini hebat...? Aku baru berusia hampir empat puluh, mengapa rambutku sudah putih semua, kulitku menjadi rusak seperti ini? Mana kecantikanku yang dulu...? Ah, aku malu, aku malu...!” Ia lalu menangis dengan amat sedihnya.

“Im Giok, jangan kau berkata demikian. Kecantikan hanyalah keindahan lahir belaka dan kau tahu bahwa cintaku kepadamu bukan hanya berdasarkan kecantikanmu.” Akan tetapi segala macam hiburan tak dapat memuaskan hati Ang I Niocu.

Ia dan suaminya maklum bahwa kecantikannya yang dipengaruhi oleh obat telur rajawali putih itu memang mempunyai batas dan syarat yang amat berat. Syarat itu ialah apa bila seorang yang menjadi cantik karena telur itu melahirkan seorang anak, maka kecantikan itu tidak saja akan lenyap, bahkan usianya akan bertambah dengan cepat dan berlipat ganda, sehingga dalam usia empat puluh tahun, ia menjadi seorang yang usianya hampir delapan puluh tahun!

Akhirnya, setelah tersiksa oleh kesedihan sendiri sampai hampir gila, pada suatu pagi Lie Kong Sian mendapatkan isterinya sudah minggat dari pulau itu mempergunakan sebuah sampan dan membawa serta anaknya!

Suamiku yang baik,’ demikian bunyi surat yang ditinggalkan oleh Ang I Niocu untuk Lie Kong Siang ‘ampunilah dosaku yang amat besar kepadamu. Aku tidak kuat lagi menahan derita sehebat ini, maka lebih baik aku keluar dari kehidupanmu, agar aku tidak menyeret kau yang berbudi ke dalam jurang kehinaan. Biarlah aku pergi mengasingkan diri. Anak kita kubawa dan sisa hidupku akan kugunakan untuk mendidik dan menurunkan ilmu silat kepadanya agar dia menjadi seorang yang berbudi dan gagah. Selamat tinggal suamiku! Kalau aku sudah mati, anak kita tentu akan mencari ayahnya untuk berbakti!

Bukan main terkejutnya hati Lie Kong Sian membaca surat peninggalan isterinya yang tercinta itu. Dia cepat menyusul dan mengejar, akan tetapi karena air tak meninggalkan jejak isterinya, dia lalu mengejar ke lain jurusan, akan tetapi tetap tak dapat menemukan isteri dan anaknya. Ketika itu anaknya baru berusia tiga tahun lebih.

Hancurlah kehidupan Lie Kong Sian. Dunia terasa kosong dan hidup terasa merupakan penderitaan dalam neraka. Ia kemudian merantau dan mencari-cari jejak isterinya hingga bertahun-tahun.

Kalau dulu ia merupakan seorang yang amat tampan dan biar pun sederhana akan tetapi selalu berpakaian pantas, sekarang dia telah berubah sama sekali. Dia menjadi seorang pendiam, bahkan kadang kala bagaikan orang gila. Demikianlah keadaan Lie Kong Sian yang secara kebetulan berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin.

Tadinya Lie Kong Sian merasa segan untuk menceritakan penderitaannya ini, tapi karena di dunia ini tidak ada orang lain yang lebih pantas mendengar tentang penderitaannya itu kecuali Cin Hai, ia lalu menceritakan semua itu sambil bercucuran air mata.

Cin Hai dan Lin Lin merasa terharu sekali mendengar hal ini. Dengan air mata berlinang Cin Hai menegur suheng-nya, “Suheng, ada terjadi hal seperti itu, mengapa Suheng tidak cepat-cepat datang ke Shaning dan memberi tahu kepada kami supaya kami dapat ikut mencari ke mana perginya Ang I Niocu?”

Di dalam lubuk hatinya, Cin Hai merasa amat sayang dan mencinta Ang I Niocu, walau pun cintanya itu sudah berubah menjadi cinta seorang adik kepada kakaknya, atau lebih dari itu hampir seperti cinta seorang anak kepada ibunya.

Lin Lin merasa lebih terharu lagi. Dia sangat mencinta Ang I Niocu yang dahulu pernah membelanya tanpa mempedulikan keselamatan jiwa sendiri. Maka kini mendengar mala petaka yang menimpa diri Ang I Niocu, dia kemudian menangis terisak-isak tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun!

Setelah puas menangis dan menumpahkan rasa sedih di dalam dada di tempat mereka bertemu itu, Lie Kong Sian lalu bertanya mengapa kedua suami isteri itu bisa berada di tempat itu.

Cin Hai lalu menuturkan tentang penculikan atas diri Lili puteri mereka dan pembunuhan yang dilakukan oleh Bouw Hun Ti kepada Yousuf.

Mendengar ini, bukan main marahnya Lie Kong Sian dan sambil menghela napas berat ia berkata, “Ah, mengapa selalu orang-orang yang tak berdosa menerima siksaan hidup? Kenapa bahkan orang-orang yang selalu menjunjung kebaikan dan keadilan yang harus menderita banyak susah?”

“Suheng, biarlah aku dan isteriku membantu usahamu mencari tempat persembunyian Niocu dan anakmu, dan aku akan membujuknya agar suka kembali kepadamu.”

Lie Kong Sian menghela napas. “Agaknya sulit sekali. Selain ia pandai menyembunyikan diri, juga hatinya amat keras dan sekali dia sudah mengambil keputusan, sukarlah untuk mengubahnya. Akan tetapi, biarlah kita mengambil jalan masing-masing, Sute. Kau boleh membantuku mencari isteriku, dan kau percayalah, apa bila sampai aku bertemu dengan orang she Bouw itu, pasti akan kubalaskan sakit hati Yo-pekhu dan kurampas kembali puterimu.”

Cin Hai yang maklum akan adat dan sifat Ang I Niocu yang keras, diam-diam merasa bahwa apa bila dia yang membujuk, agaknya masih ada harapan, akan tetapi terhadap Lie Kong Sian dia diam saja.

Mereka lalu berpisah dan suami isteri itu memandang Lie Kong Sian yang berjalan pergi dengan muka tertunduk itu. Bukan main terharu hati mereka dan Lin Lin menggunakan sapu tangan untuk menahan isaknya ketika dia melihat suheng-nya itu berjalan bagaikan mayat hidup, lemah tak bertenaga dan limbung.

“Kasihan sekali Suheng...,” kata Cin Hai sambil menghapus air mata yang berlinang pada pelupuk matanya.

Karena Cin Hai pernah mengadakan perjalanan di daerah utara bersama Ang I Niocu, yaitu pada waktu terjadi perebutan Pulau Emas antara kerajaan pihak Turki dan pihak Mongol, maka Cin Hai mendapat dugaan bahwa Ang I Niocu tentu menyembunyikan diri di Pegunungan Im-san atau Gobi-san di utara.

Oleh karena itu, ia menunda maksudnya menuju ke Beng-san menengok puterinya dan sebaliknya dia bersama isterinya segera membelok ke utara dan mencari Ang I Niocu di daerah Mongol! Inilah sebabnya maka sampai berbulan-bulan ia dan isterinya belum juga tiba di Beng-san di mana Lili dengan aman sudah belajar silat di bawah asuhan Mo-kai Nyo Tiang Le si Pengemis Setan yang lihai.

*****

Lo Sian Sin-kai atau Si Pengemis Sakti dengan cepat melakukan perjalanan seorang diri menuju ke Shaning di Propinsi An-hui untuk mencari Cin Hai dan mengabarkan tentang Lili yang kini berada di puncak Gunung Beng-san. Seperti biasanya tiap kali mengadakan perantauan, Pengemis Sakti ini tiada hentinya mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada orang-orang yang melarat dan tertindas hingga namanya makin terkenal sebagai seorang pendekar budiman.

Setelah tiba di Shaning, dengan amat mudahnya ia mendapatkan rumah Cin Hai. Siapa orangnya di Shaning yang tidak mengenal nama Pendekar Bodoh? Akan tetapi, alangkah kecewa dan kagetnya pada saat melihat bahwa rumah dari Pendekar Bodoh itu tertutup, bahkan masih ada kain putih tergantung di depan pintu, tanda bahwa rumah itu belum lama ini menderita kematian seorang keluarga dekat.

Lo Sian segera mencari keterangan kepada orang-orang di situ dan bukan main marah serta kecewanya ketika mendengar bahwa ayah angkat Nyonya Sie sudah terbunuh oleh seorang peranakan Turki, dan bahwa di samping melakukan pembunuhan yang kejam, penjahat itu pun menculik puteri dari Pendekar Bodoh.

Sampai lama Lo Sian tertegun mendengar ini. Tak disangkanya bahwa orang brewok yang menculik Lili bahkan telah membunuh pula ayah angkat dari ibu anak itu!

“Bangsat besar Bouw Hun Ti,” bisiknya gemas sambil mengertakkan gigi, “benar-benar kau mencari mampus berani memusuhi keluarga Pendekar Bodoh!”

Lo Sian lalu bertanya kepada orang yang memberi keterangan kepadanya ke mana perginya Pendekar Bodoh dan isterinya. Ketika mendapat jawaban bahwa kedua suami isteri pendekar itu pergi mengejar dan mencari si penculik dan pembunuh, Lo Sian lalu cepat-cepat meninggalkan kota Shaning setelah memberi sesampul surat pada tetangga dekat rumah Cin Hal itu dengan pesanan bahwa apa bila pendekar besar itu pulang, agar supaya suratnya itu diberikan kepadanya.

Dalam surat itu ia menulis bahwa Lili telah tertolong dan kini berada di puncak Beng-san bersama Mo-kai Nyo Tiang Le yang hendak mengunjungi Pok Pok Sianjin. Kemudian dia lalu pergi keluar dari kota dan menuju ke Bukit Beng-san untuk memberi laporan kepada suheng-nya, dan juga untuk melanjutkan melatih dua orang muridnya, yaitu Lili dan Kam Seng.

Tentu saja ia tidak berani lagi menganggap Lili sebagai muridnya, karena setelah kedua orang tua anak itu menjemput dan membawanya pulang, sudah tentu jauh lebih baik bila Lili mendapat pelajaran dari ayah ibunya sendiri yang mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya.

Pada suatu hari, dalam perjalanannya menuju ke Beng-san, dia tiba di kota Li-coan dan ketika dia lewat di depan sebuah rumah makan, bau arak yang sangat sedap menarik hatinya dan menimbulkan seleranya yang amat kuat akan arak wangi. Dia lalu masuk ke dalam rumah makan itu dan memesan seguci arak yang paling baik. Pada pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, ia lalu memperlihatkan sepotong uang emas yang kiranya cukup untuk membayar harga lima guci arak!

Pelayan itu memandang dengan mata terbelalak dan sambil pergi untuk mengambilkan arak pesanan Lo Sian, ia menggerutu, “Sungguh aneh sekali dunia ini! Aku yang bekerja keras siang malam tanpa kenal lelah, belum pernah mempunyai sekeping emas murni! Akan tetapi, hari ini aku melihat seorang setengah gila mempunyai banyak uang emas dan seorang pengemis berbaju tambalan memperlihatkan sepotong emas besar! Aneh, aneh... dunia memang tidak adil!”

Lo Sian tersenyum seorang diri. Biar pun pelayan itu bicara dengan perlahan akan tetapi telinga Lo Sian yang tajam dapat mendengar ucapan ini dan diam-diam ia membenarkan keluh kesah pelayan itu.

Memang kalau dipikir-pikir sungguh mengherankan. Orang-orang yang bekerja, semakin berat pekerjaannya, makin kecillah penghasilannya. Lihat saja para pembesar tinggi yang kerjanya hanyalah naik turun kereta, naik turun kursi kebesaran, di mana-mana menjual lagak, membentak-bentak rakyat dan cukup memberi cap kebesarannya saja, hidupnya mewah dan penghasilannya berlebihan sungguh pun penghasilannya itu didapat dengan jalan yang tidak halal!

Pada waktu pelayan itu datang mengantar arak yang dipesannya, tiba-tiba saja terdengar suara dari sudut ruang rumah makan itu yang membentak si pelayan.

“Hai, kau boleh menggerutu seorang diri, akan tetapi, jangan kau bawa-bawa aku pula! Aku mempunyai banyak emas bukan dengan jalan mencuri atau pun merampok, karena itu tutuplah mulutmu!”

Lo Sian terkejut. Orang itu duduknya cukup jauh dari tempat pelayan tadi menggerutu, maka kalau orang dapat mendengar gerutuan si pelayan, dapat diduga bahwa orang itu memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya! Ia menengok dan memperhatikan orang itu.

Ternyata bahwa orang itu bertubuh tegap, berwajah gagah sekali dan sepasang matanya berpengaruh, membuat orang tak berani bertemu pandang terlalu lama dengan dia. Akan tetapi, keadaannya memang patut disebut kurang beres ingatan sebab selain pakaiannya tidak karuan macamnya, juga orang itu membiarkan rambut kepalanya bergantungan di depan matanya. Kumis dan jenggotnya juga menjungat ke sana kemari tanpa terpelihara sedikit pun juga dan wajahnya muram dan gelap.

Orang ini juga telah memesan arak wangi serta meminumnya tidak melalui cawan seperti orang biasa, melainkan menenggaknya langsung dari mulut guci yang besar! Bahkan di atas mejanya telah ada sebuah guci yang kosong sedangkan guci ke dua telah diminum setengahnya.

Sekali pandang saja, tahulah Lo Sian bahwa orang itu tentu seorang yang pandai, akan tetapi ia belum pernah melihat orang ini sungguh pun pengalaman Lo Sian cukup banyak di dunia kang-ouw. Ia tidak tahu apakah orang ini termasuk golongan pendekar perantau seperti dia sendiri ataukah dia termasuk tokoh dari golongan hek-to (golongan hitam dan penjahat), maka ia tidak berani sembarangan menegur dan berkenalan.

Melihat pula sikap yang keras dan pemarah dari orang itu dan wajahnya yang muram, Lo Sian mengira bahwa orang itu tentulah seorang tokoh liok-lim (jagoan rimba hijau) yang ganas dan kejam. Maka sesudah menghabiskan araknya, dia lalu membayar dan hendak keluar dari rumah makan itu.

Akan tetapi, baru saja ia berdiri dan hendak keluar, tiba-tiba ia menjadi pucat karena dari luar masuk dua orang yang bukan lain adalah Bouw Hun Ti serta seorang setengah tua yang memakai ikat kepala lebar! Sebaliknya, pada saat Bouw Hun Ti melihat Lo Sian, ia tertawa bergelak dan berkata kepada kawannya itu,

“Ha-ha-ha-ha, Susiok. Lihatlah, dicari ke ujung langit tak bersua, jika tidak dicari si anjing she Lo menyerahkan diri!”

Sementara itu, Lo Sian maklum bahwa orang she Bouw tentu takkan melepaskannya dan terpaksa dia harus melawan mati-matian, maka ia lalu mencabut pedangnya dan berkata,

“Bouw Hun Ti, kau manusia kejam dan hina-dina! Baru sekarang aku tahu bahwa selain menculik puteri Pendekar Bodoh secara amat pengecut, kau pun telah membunuh Yousuf dengan kejam dan tak kenal malu!”

“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel! Bagaimana orang macam kau dapat mengatakan bahwa aku pengecut dan tidak kenal malu? Coba terangkan, apa sebabnya kau berani berkata demikian.”

“Hemm, kau melakukan kekejaman itu pada waktu Pendekar Bodoh dan isterinya tidak berada di rumah! Apakah itu boleh disebut kelakuan seorang yang gagah? Kau memang pengecut!”

Merahlah wajah Bouw Hun Ti dan dengan amat marah ia membentak, “Manusia jembel yang akan mampus! Kau telah merampas anak perempuan itu dengan cara yang lebih pengecut lagi. Tempo hari kalau kau tidak mengandalkan bantuan Mo-kai Nyo Tiang Le suheng-mu yang gila itu, kau telah mampus di tanganku! Nah, bersedialah untuk mampus!”

Sambil berkata demikian, Bouw Hun Ti mencabut goloknya dan bagaikan seekor harimau kelaparan dia menyerang dengan hebat sambil menendang meja yang menghadang di depannya sehingga meja itu terbang dan menimpa meja-meja lain.

Lo Sian berlaku waspada dan cepat menangkis, sehingga sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat sambil menendang meja bangku untuk mencari ruang luas. Kali ini Lo Sian berlaku hati-hati sekali. Ia tahu bahwa kepandaian orang she Bouw ini lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri dan bahwa akhirnya dia takkan dapat menang apa bila pertempuran itu dilanjutkan.

Apa lagi menurut pendengarannya tadi, Bouw Hun Ti menyebut susiok (paman guru) kepada orang yang berikat kepala lebar itu, maka dapat dibayangkan pula betapa tinggi kepandaian orang itu. Jalan keluar sudah tidak ada, maka tiada lain jalan bagi Lo Sian melainkan melawan mati-matian dan tak akan menyerah kalah begitu saja.

“He, pengemis jembel!” tiba-tiba orang yang disebut susiok oleh Bouw Hun Ti itu berkata. “Katakan saja di mana adanya anak yang kau culik itu. Bouw Hun Ti, biar dia memberi pengakuan, baru kita ampunkan jiwa anjingnya!”

Akan tetapi, sebagai seorang gagah, tentu saja Lo Sian tidak sudi bersikap lemah. Lebih baik mati dari pada menyerah dan membuat pengakuan yang berarti merendahkan nama kehormatan sendiri, demikianlah pendirian tiap orang gagah.

“Keparat!” serunya sambil menangkis serangan golok Bouw Hun Ti yang menyambar cepat. “Apa bila hendak mengeroyok, majulah saja. Aku Sin-kai Lo Sian bukanlah orang yang takut mati!”

“Bedebah!” kawan Bouw Hun Ti itu berseru marah, “Hun Ti, jangan memberi hati kepada manusia rendah ini!” Sambil berkata demikian, ia pun melangkah maju hendak mengirim serangan dengan tangan kosong.

Akan tetapi, pada saat itu, dari ujung ruangan itu menyambar sebatang tali sutera hitam yang meluncur bagaikan seekor ular hidup dan tahu-tahu golok Bouw Hun Ti kena dilibat oleh tali itu. Pada saat tali itu dibetot keras, Bouw Hun Ti berteriak kaget karena tenaga betotan tali itu luar biasa sekali kuatnya sehingga terpaksa ia melepaskan goloknya!

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.