Pendekar Remaja Jilid 05

Pendekar Remaja Jilid 05
Sonny Ogawa

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 05

PADA saat itu, susiok dari Bouw Hun Ti yang bukan lain adalah Lu Tong Kui atau sute Ban Sai Cinjin yang pernah menyerbu ke Beng-san untuk mencoba kepandaian Pok Pok Sianjin kemudian dikalahkan oleh Nyo Tiang Le, sudah melepaskan pukulan ke arah Lo Sian. Sungguh pun pukulan itu dilakukan dari tempat yang jauhnya lebih dari setombak, akan tetapi Lo Sian sampai terhuyung ke belakang, terdorong oleh sambaran angin yang luar biasa kuatnya! Lo Sian terkejut sekali dan cepat mengerahkan tenaga pada kedua kakinya untuk menahan keseimbangan tubuhnya.

Melihat betapa golok Bouw Hun Ti dapat terlepas dengan amat mudah oleh tali sutera yang kecil, Lu Tong Kui menjadi terkejut dan juga marah. Ia cepat-cepat menengok dan ternyata yang melepas tali sutera itu adalah seorang yang pakaiannya tidak karuan dan yang kini telah berdiri dengan mata memancarkan cahaya berapi. Ada pun Lo Sian yang melihat penolongnya, juga menjadi terkejut dan girang pula karena yang menolongnya itu adalah orang yang disangka gila tadi!

“Bouw Hun Ti!” terdengar orang itu berkata, suaranya tenang akan tetapi seperti juga pandang matanya, suara itu sangat berpengaruh, “kebetulan sekali kita bertemu di sini. Memang aku sedang mencari-cari kau dan hendak membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan tangan kanannya dan sutera hitam yang panjang itu meluncur bagaikan cambuk dan mengirim serangan totokan hebat ke arah jalan darah di leher Bouw Hun Ti. Orang she Bouw ini cepat mengelak, akan tetapi bagaikan bermata dan hidup, ujung sutera hitam itu meluncur dan mengejar dan masih saja mengancam jalan darahnya.

Bouw Hun Ti menjadi pucat, terpaksa menangkis dengan tangannya dan ia pun berteriak kaget ketika merasa betapa tangannya seakan-akan beradu dengan mata pedang yang tajam. Ia cepat menarik kembali tangannya dan sutera hitam itu meluncur terus ke arah lehernya!

Pada saat yang amat berbahaya bagi Bouw Hun Ti itu, Lu Tong Kui tidak tinggal diam. Ia berseru keras dan sambil mencabut pedangnya ia lalu melompat dan membabat ke arah sutera hitam itu.

Sutera hitam itu bergerak mengelak dan tidak sampai terbabat oleh pedangnya, namun Bouw Hun Ti terbebas dari bahaya maut. Sesungguhnya kalau sampai sutera hitam itu menotok jalan darah pada lehernya, maka lehernya akan pecah dan ia akan binasa pada saat itu juga!

“Eh, sahabat, siapakah kau? Mengapa kau memusuhi Bouw Hun Ti?” tanya Lo Tong Kui sambil melintangkan pedangnya pada dada.

Orang itu tersenyum mengejek. “Lu Tong Kui, kau tentu tidak mengenalku, akan tetapi aku tahu bahwa kau dan murid keponakanmu ini adalah orang-orang jahat yang patut sekali dikirim ke neraka!”

“Bangsat!” Lu Tong Kui memaki marah. “Apa kau kira aku takut kepadamu?”

“Majulah,” orang itu berkata dengan suara yang masih tenang, “sesudah kau berhadapan dengan Lie Kong Sian, tak perlu menjual banyak lagak lagi!”

Mendengar nama ini, tidak saja Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti yang merasa kaget, akan tetapi Lo Sian juga tertegun dan memandang dengan penuh perhatian dan kagum. Akan tetapi ia merasa ragu-ragu karena sepanjang pendengarannya, pendekar yang bernama Lie Kong Sian dan yang menjadi suami dari pendekar wanita Ang I Niocu yang sangat terkenal, kabarnya berwajah tampan dan gagah. Mengapa orang ini seperti orang gila dan berwajah muram?

Nama Ang I Niocu sudah amat terkenal dan tak seorang pun di kalangan kang-ouw yang belum mendengar namanya sungguh pun jarang yang pernah bertemu dengan pendekar wanita itu. Kalau Ang I Niocu yang tersohor gagah perkasa itu kabarnya masih kalah oleh suaminya yang bernama Lie Kong Sian, maka tentu saja nama ini menggetarkan hati Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti!

Apa lagi Bouw Hun Ti, oleh karena sebagai suheng dari Pendekar Bodoh yang sudah diganggunya, dibunuh mertuanya dan diculik puterinya, tentu saja Lie Kong Sian takkan memberi ampun kepadanya! Lo Sian menjadi girang sekali.

“Hemm, kaukah yang bernama Lie Kong Sian, pendekar dari Pulau Pek-le-to itu? Tidak kusangka bahwa orangnya ternyata hanya sebegini saja!” Lu Tong Kui mengejek untuk memperbesar semangat sendiri, kemudian tanpa menanti jawaban ia menyerang dengan pedangnya.

Lie Kong Sian cepat-cepat mengelak sambil mencabut keluar pedangnya pula. Pedang ini bersinar gemilang dan sangat tajam, karena ini adalah pedang Cian-hong-kiam yang dahulu dia terima dari isterinya sebagai tanda perjodohan ketika belum menikah. Dengan gerakan yang luar biasa cepat dan kuatnya, Lie Kong Sian membalas dengan serangan hebat sehingga Lu Tong Kui harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian supaya jangan sampai dirobohkan dengan mudah.

Bouw Hun Ti yang melihat susiok-nya terdesak, lalu mengambil kembali goloknya yang tadi terlepas dari pegangan, lalu membantu susiok-nya itu mengeroyok Lie Kong Sian.

Lo Sian tentu saja tidak mau mendiamkan hal ini, maka dia pun bergerak maju sambil berseru, “Bangsat pengecut, jangan main keroyokan!”

Akan tetapi Lie Kong Sian lalu berkata kepadanya, “Sahabat, jangan kau turut campur! Biarkan aku sendiri memberi hajaran kepada penculik rendah ini. Yang diculik adalah keponakanku, maka aku yang berhak menghajar!”

Mendengar suara ini, Lo Sian melangkah mundur lagi karena ia tidak mau menyinggung perasaan pendekar gagah itu. Pula, dia melihat betapa Lie Kong Sian biar pun dikeroyok dua, tapi masih dapat mendesak dua lawannya, dan maklum pula bahwa kepandaiannya sendiri masih kurang kuat sehingga bantuannya malah hanya merupakan gangguan saja bagi pergerakan Lie Kong Sian.

Memang ilmu pedang dari Lie Kong Sian bukan main hebatnya. Pendekar ini adalah murid dari mendiang Han Le Sianjin yang menjadi sute dari Bu Pun Su, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

Biar pun Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti juga bukan sembarang orang dan kepandaian mereka sudah termasuk tinggi dan lihai, namun menghadapi Lie Kong Sian, mereka tidak banyak berdaya dan setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, maklumlah mereka bahwa kalau dilanjutkan mereka tentu akan roboh di tangan pendekar besar dari Pulau Pek-le-to ini.

Lu Tong Kui adalah seorang yang licik dan juga pandai melihat gelagat. Dari pada roboh di tangan Lie Kong Sian, lebih baik melarikan diri saja, pikirnya. Ia tak usah merasa malu melakukan hal ini, karena kalah dalam pertandingan melawan seorang gagah perkasa seperti Lie Kong Sian, bukanlah merupakan hal yang amat memalukan.

“Mari kita pergi!” katanya dengan cepat sambil menyerang hebat ke arah kedua kaki Lie Kong Sian.

Bouw Hun Ti memang sudah mengeluarkan keringat dingin karena takut dan gelisahnya. Kini mendengar ucapan susiok-nya yang dibarengi dengan serangan hebat sehingga Lie Kong Sian tidak dapat menekannya, ia lalu melompat dari rumah makan.

“Bouw Hun Ti, jangan lari sebelum lehermu kupatahkan!” Lie Kong Sian berseru sambil menyampok pedang Lu Tong Kui dan tubuhnya lantas berkelebat keluar mengejar Bouw Hun Ti.

Karena gerak Lie Kong Sian gesit sekali dan ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi, maka dengan dua kali lompatan saja dia sudah dapat menyusul dan mengirim bacokan dengan pedangnya dari belakang. Bouw Hun Ti bukanlah orang lemah dan mendengar suara angin pedang dari belakang, dia cepat membalikkan tubuh dan menangkis pedang itu dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya.

“Trangg…!”

Goloknya beradu dengan pedang sedemikian kerasnya hingga telapak tangannya serasa akan pecah kulitnya. Pada saat ia melihat, ternyata bahwa goloknya telah terbabat putus menjadi dua oleh pedang lawannya! Dan pada saat itu pula pedang Lie Kong Sian telah menyambar dengan cepatnya menusuk dadanya.

Dengan sangat terkejut Bouw Hun Ti melempar tubuhnya ke belakang, akan tetapi ujung pedang itu masih menyerempet pundaknya lantas melukai kulit pundak sehingga pecah dan darah membasahi pakaiannya! Ia terhuyung-huyung ke belakang dan tanpa tertahan lagi tubuhnya jatuh terjengkang!

Untung baginya, pada saat Lie Kong Sian hendak menambahkan dengan tusukan maut, datang Lu Tong Kui yang menyerang Lie Kong Sian dari belakang sehingga pendekar Pulau Pek-le-to itu terpaksa membalikkan tubuh untuk menghadapi Lu Tong Kui.

Bouw Hun Ti merangkak bangun dan ketika melihat musuh tangguh itu telah ditahan oleh susiok-nya, ia lalu melarikan diri secepatnya pergi dari tempat itu!

“Bouw Huii Ti, bangsat rendah, jangan lari!” seru Lie Kong Sian yang hendak mengejar kembali, akan tetapi Lu Tong Kui menyerangnya sedemikian rupa sehingga dia tak dapat melanjutkan niatnya mengejar musuh itu.

“Orang she Lu, jangan kau terlalu mendesak!” kata Lie Kong Sian. “Aku tidak mempunyai permusuhan denganmu dan tidak berniat membunuhmu. Yang hendak kubikin mampus hanya bangsat rendah Bouw Hun Ti itu. Minggirlah!”

Akan tetapi Lu Tong Kui tidak menurut, bahkan mendesak makin hebat.

“Kalau begitu, agaknya kau pun telah bosan hidup!” teriak Lie Kong Sian marah.

Pedangnya segera diputar cepat sekali. Gerakannya berubah dan sekarang pedangnya merupakan seekor naga yang ganas sekali, menyambar-nyambar tak mengenal ampun. Beberapa belas jurus Lu Tong Kui masih sanggup mempertahankan diri, namun akhirnya dia berteriak ngeri dan roboh tak bernyawa pula karena dadanya sudah tertembus oleh pedang di tangan Lie Kong Sian!

Pendekar dari Pulau Pek-le-to ini untuk sesaat lamanya berdiri kesima dan merasa agak menyesal sudah membunuh orang ini yang sesungguhnya di luar kehendaknya semula. Kemudian ia teringat kepada Bouw Hun Ti, lalu mengejar secepatnya ke arah orang she Bouw itu tadi melarikan diri.

Lo Sian yang mengejar sampai di situ merasa kagum sekali dan berseru, “Lie Kong Sian Taihiap...! Tunggu dulu! Lili sudah berada di tangan yang aman sentosa!”

Akan tetapi Lie Kong Sian telah pergi jauh dan Lo Sian tidak dapat menyusul kecepatan lari pendekar itu sehingga Si Pengemis Sakti ini hanya menggeleng-geleng kepala dan kemudian pergi dari situ, tidak mengalami kesibukan karena terjadinya pembunuhan ini.

“Bouw Hun Ti telah berada di tempat ini dengan susiok-nya, maka tentu ia melarikan diri menuju ke tempat tinggal gurunya yang tak jauh dari sini,” pikir Lo Sian dan ia lalu berlari cepat menuju ke dusun Tong-si-bun, tempat tinggal Ban Sai Cinjin.

Hari telah sore ketika ia tiba di dusun itu dan melihat betapa rumah Ban Sai Cinjin sunyi saja. Dia lalu menuju ke hutan di mana dia bersama Lili menolong Thio Kam Seng anak yatim piatu itu dari siksaan seorang hwesio kecil yang mendiami kuil megah dari Ban Sai Cinjin.

Dugaannya memang tepat sekali. Pada waktu dia tiba di dekat kuil itu, dia menyaksikan pertempuran yang hebat sekali sedang berlangsung antara Lie Kong Sian dan Ban Sai Cinjin sendiri! Seperti juga dulu, kembali ia mengintai dari balik tetumbuhan yang rindang, menonton pertempuran luar biasa dahsyatnya itu.

Hwesio kecil yang kejam dulu itu berdiri tidak jauh dari tempat pertempuran, sedangkan di dekatnya berdiri pula Bouw Hun Ti yang bertolak pinggang. Tidak jauh dari tempat itu berdiri pula seorang yang melihat dari keadaan pakaiannya, adalah seorang dusun yang kebetulan lewat di situ dan telah menonton pertempuran dengan mata terbelalak penuh kegelisahan dan ketakutan. Orang dusun ini rupanya masih muda.

Lie Kong Sian memang sudah mendapatkan jejak musuhnya dan mengejar terus sampai ke tempat itu. Dia masih melihat berkelebatnya bayangan Bouw Hun Ti memasuki kuil yang amat mentereng di dalam hutan itu. Lie Kong Sian ragu-ragu untuk masuk ke dalam kuil, karena ia adalah seorang yang menghargai peraturan dan kesopanan. Tak berani ia secara sembarangan memasuki kuil tanpa ijin kepala hwesio yang menguasai kelenteng. Maka ia lalu berseru keras,

“Bouw Hun Ti manusia jahat! Janganlah kau mengotori kelenteng suci dengan telapak kakimu yang hitam! Keluarlah untuk menerima kematian secara laki-laki!”

Beberapa kali Lie Kong Sian berteriak-teriak dari luar kuil dan tidak lama kemudian, dari dalam kuil itu keluar seorang gemuk pendek yang sudah tua akan tetapi wajahnya masih kemerah-merahan tanda bahwa ia sehat sekali. Pakaiannya amat mengherankan karena mewahnya dan rambutnya yang sudah putih itu disisir rapi dan dikuncir ke belakang.

Di luar pakaiannya yang terbuat dari pada sutera halus dan mahal itu, dia mengenakan sebuah baju luar terbuat dari pada bulu yang sangat halus dan mahal. Sepatunya juga baru serta mengkilat dan pada tangan kanannya dia memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjang. Kepala huncwe itu masih mengepulkan asap tembakau yang berbau harum, tanda bahwa tembakau yang diisapnya adalah tembakau yang mahal.

Lie Kong Sian berdiri tertegun. Dia belum pernah bertemu dengan orang ini, dan melihat potongan tubuhnya dan huncwe yang luar biasa itu, ia menduga bahwa orang ini tentulah Si Huncwe Maut yang terkenal pula dengan sebutan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi kenapa Ban Sai Cinjin yang disohorkan sebagai seorang pemeluk kebatinan malah terlihat begini pesolek? Maka Lie Kong Sian merasa ragu-ragu dan hanya memandang dengan mata menyinarkan cahaya tajam.

Sebaliknya, kakek yang sebenarnya memang Ban Sai Cinjin dengan tenang keluar dari kuil diikuti oleh seorang hwesio kecil berkepala gundul dan bermata liar, lalu dia menjura kepada Lie Kong Sian dan berkata,

“Selamat datang di kuilku ini, Pek-le-to Taihiap (Pendekar Besar dari Pulau Pek-le-to)! Sungguh satu kehormatan besar sekali mendapat kunjungan seorang gagah seperti kau. Hanya anehnya, sepanjang pendengaranku, Lie Kong Sian adalah pendekar besar yang penyabar dan tenang, akan tetapi kenapa sekarang ia mengunjungi sebuah kuil dengan pedang di tangan dan iblis maut membayang pada mukanya?”

Ucapan ini sungguh pun cukup pantas dan merendah, akan tetapi mengandung ejekan, terutama sekali tekanan kata-katanya.

Lie Kong Sian juga menjura sebagai balasan penghormatan, lalu bertanya, “Kalau tidak salah dugaanku, Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) tentulah yang disebut Ban Sai Cinjin si Huncwe Maut. Betulkah dugaanku ini?”

Ban Sai Cinjin tertawa dengan suara ketawanya yang aneh. “He-he, he-he, he-he, he-he-he, ha-ha-ha!”

Akan tetapi dia tidak berkata sesuatu apa pun, hanya dengan amat tenangnya kemudian mengetuk-ngetuk keluar abu tembakau dari kepala pipanya, lantas dengan masih tenang seakan-akan sedang menikmati waktu senggang seorang diri, dia lalu membuka kantong tembakau yang tergantung pada pipa itu, mengeluarkan tembakau berwarna hitam yang dijemputnya dengan ibu jari, menutup kantong itu kembali dan menggantungkannya lagi pada pipanya. Dengan mata meram-melek ia menggelintir-gelintir tembakau itu di ibu jari dan telunjuk tangan kiri, lalu dimasukkannya ke dalam mulut huncwe tempat tembakau.

Setelah itu, baru ia memandang kepada Lie Kong Sian yang menjadi gemas juga melihat sikap yang angkuh dan memandang rendah ini.

“Kau menduga dengan tepat. Aku telah kenal dengan mendiang gurumu, Han Le Sianjin! Lie Kong Sian, apakah keperluanmu maka datang mengunjungi kuilku dengan pedang di tangan?”

Lie Kong Sian adalah seorang pendekar yang jujur, tabah dan tak suka menyembunyikan perbuatannya sendiri. Ia tahu bahwa Lu Tong Kui yang terbunuh olehnya tadi adalah sute dari Ban Sai Cinjin, maka tak perlu kiranya ia menyembunyikan permusuhannya dengan Bouw Hun Ti dan pembunuhannya terhadap Lu Tong Kui tadi

Maka ia berkata, “Ban Sai Cinjin, ketahuilah bahwa aku sedang mengejar muridmu Bouw Hun Ti dan tadi kulihat ia bersembunyi di tempat ini.”

“Hemm, memang ada muridku Bouw Hun Ti di ruangan dalam, akan tetapi mengapakah kau mengejar-ngeiarnya dengan pedang di tangan?”

“Muridmu telah melakukan perbuatan yang jahat! Dia tidak saja membunuh Yousuf yang menjadi ayah angkat Nyonya Sie Cin Hai, akan tetapi juga ia telah menculik puteri dari Pendekar Bodoh itu. Kau tahu bahwa aku adalah Suheng dari Pendekar Bodoh, maka mendengar kekejaman ini tentu saja aku tidak bisa tinggal diam dan berusaha membalas dendam. Oleh karena itu, perlu pula kau ketahui untuk kau pertimbangkan, bahwa ketika aku mengejar muridmu tadi, sute-mu Lu Tong Kui ikut menghalangiku. Sudah kukatakan bahwa aku tidak memusuhinya, akan tetapi ia terus mendesak dan menyerang sehingga akhirnya ia tewas di ujung pedangku!”

Hampir meledak rasa dada Ban Sai Cinjin mendengar hal ini, akan tetapi perasaannya ini sama sekali tak nampak pada wajahnya yang masih saja tersenyum-senyum mengejek. Akan tetapi, jari-jari tangannya yang masih memasuk-masukkan tembakau pada kepala pipa itu gemetar sedikit tanda bahwa dadanya bergelora karena marah.

“Hemm, hemm, jadi kau juga sudah membunuh Sute-ku? Lie Kong Sian! Agaknya kau mengandalkan kepandaianmu untuk berbuat sesukamu terhadap murid dan Sute-ku. Kau berlaku sebagai hakim sendiri untuk menghukum mereka. Apakah engkau sama sekali sudah tak memandang mukaku lagi?”

“Ban Sai Cinjin, harap kau orang tua suka mempertimbangkan secara baik-baik dan juga menggunakan cengli (aturan). Muridmu itu sudah melakukan pembunuhan terhadap diri Yousuf dan menculik pula puteri Sute-ku, berarti bahwa dia sengaja memusuhi Pendekar Bodoh. Ada pun sute-mu Lu Tong Kui itu, dia mencari kematiannya sendiri karena dialah yang mendesakku dan menghalang-halangiku mengejar muridmu yang jahat.”

“Enak saja kau bicara!” tiba-tiba Ban Sai Cinjin tidak dapat menahan sabarnya lagi dan matanya bersinar-sinar, dadanya berombak, akan tetapi ia masih sempat menyalakan api untuk membakar tembakau di kepala pipanya. “Bouw Hun Ti membunuh Yousuf adalah urusannya sendiri. Mereka sama-sama dari Turki dan urusan antara mereka tidak ada hubungannya dengan kita! Ada pun mengenai penculikan puteri Pendekar Bodoh, belum tentu kalau muridku bermaksud buruk. Buktinya, manakah anak yang diculiknya itu? Kau hanya menuduh secara membuta saja. Sekarang tak perlu kau banyak cakap lagi, paling perlu kau harus membayar hutangmu dan membalas kematian Sute-ku!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menyedot pipanya dan terciumlah bau asap yang sangat keras memusingkan kepala.

“Bagus!” Lie Kong Sian berseru marah. “Kau pun hendak membela yang jahat? Majulah, jangan kira aku takut kepadamu!”

Lie Kong Sian yang sedang menderita kesedihan hati karena perginya isteri dan anaknya itu memang adatnya berubah menjadi keras dan mudah marah. Keberaniannya semakin bertambah-tambah karena ia tidak takut mati lagi setelah hidupnya mengalami kegagalan dan kepahitan.

“Manusia sombong! Gurumu sendiri belum tentu berani untuk bersikap sesombong ini di hadapanku. Nah, kau mampuslah!”

Setelah berkata demikian, Ban Sai Cinjin lalu menyemburkan asap hitam dari mulutnya. Semburan ini bukanlah semburan biasa saja, akan tetapi yang dilakukan dengan tenaga khikang sepenuhnya sehingga asap hitam itu menyambar cepat ke arah muka Lie Kong Sian! Pendekar ini mengelak cepat karena tahu akan lihainya asap ini.

“Iblis tua, kau tidak malu menggunakan kecurangan?!” Lie Kong Sian membentak marah dan menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi ketika Ban Sai Cinjin menangkis dengan huncwe-nya, diam-diam dia merasa terkejut sekali karena ternyata bahwa tenaga lweekang dari orang tua pendek itu bukan main hebatnya dan masih lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri!

Maka bertempurlah dua orang berilmu itu dengan hebatnya. Pedang di tangan Lie Kong Sian bergerak cepat dan sebentar saja tubuhnya telah lenyap di dalam gulungan cahaya pedangnya sendiri, sedangkan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin benar-benar luar biasa. Saking cepatnya gerakan huncwe itu, maka yang terlihat hanyalah sinar kehitaman yang tebal dan kuat, merupakan benteng baja yang diliputi asap hitam bagaikan kabut, yaitu asap yang keluar dari tembakaunya yang beracun!

Sesudah pertempuran berjalan seru, barulah kelihatan Bouw Hun Ti keluar dari tempat sembunyinya dan dengan bertolak pinggang dia lalu menonton pertempuran itu bersama pendeta cilik gundul yang dahulu hendak membedah perut Thio Kam Seng.

Kebetulan sekali pada saat itu di tempat itu terdapat seorang penduduk kampung muda yang datang mencari kayu kering. Ketika ia mendengar suara senjata beradu, ia tertarik dan datang pula ke depan kelenteng. Sekarang dia berdiri dengan mulut melongo, ketika menyaksikan pertempuran yang luar biasa dan yang selama hidupnya belum pernah dia saksikan itu. Ia tidak bisa melihat orang yang sedang bertempur, hanya melihat gulungan sinar putih keemasan dari pedang Lie Kong Sian serta gulungan sinar hitam dari huncwe Ban Sai Cinjin!

Dan pada saat pertempuran telah berjalan lima puluh jurus lebih, datanglah Lo Sian yang mengintai dari balik gerombolan pohon. Biar pun Lo Sian bukan seorang biasa dan telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi menyaksikan pertempuran ini, ia menjadi tertegun dan kagum sekali. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian seru dan hebatnya.

Lo Sian selama ini mengagumi kepandaian suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le yang telah mewarisi semua kepandaian mendiang suhu-nya. Akan tetapi ketika melihat gerakan dua orang yang sedang bertempur ini, dia merasa ragu-ragu apakah kepandaian suheng-nya itu dapat menandingi kepandaian Ban Sai Cinjin.

Sebetulnya, dalam hal gerakan ilmu silat, Lie Kong Sian tak usah merasa kalah terhadap Ban Sai Cinjin. Kalau saja kakek pesolek itu mempergunakan ilmu silat biasa, agaknya tak mungkin ia akan dapat melawan Lie Kong Sian sampai sekian lamanya.

Akan tetapi, Ban Sai Cinjin bukan seorang ahli silat biasa. Di samping ilmu silat dia telah mempelajari ilmu hoat-sut (sihir) dari bangsa Mongol dan di dalam gerakan huncwe-nya banyak terdapat gerakan-gerakan aneh yang mempengaruhi pandangan mata lawan.

Sering kali huncwe itu membuat gerakan rahasia sehingga tiba-tiba saja Lie Kong Sian merasa matanya kabur dan pikirannya bingung. Hanya berkat lweekang-nya yang sudah tinggi dan permainan pedangnya yang memang sudah mendekati kesempurnaan sajalah yang masih menyelamatkan nyawanya karena lawannya tak dapat mudah membobolkan pertahanan pedangnya.

Selain ini, juga dalam tenaga dalam Lie Kong Sian harus mengaku kalah. Tenaga dalam yang dimiliki oleh Ban Sai Cinjin bukanlah tenaga biasa, akan tetapi tenaga yang sudah diperkuat pula dengan ilmu hitam dan mantera.

Sebaliknya, Ban Sai Cinjin merasa kagum dan diam-diam juga merasa sangat penasaran sekali. Ia adalah seorang yang belum pernah merasa dikalahkan orang, dan huncwe-nya sudah dikenal oleh seluruh orang gagah di kalangan kang-ouw sebagai senjata yang tak terlawan sehingga ia dijuluki Huncwe Maut. Akan tetapi, menghadapi seorang jago muda saja sampai puluhan jurus belum juga ia dapat merobohkannya! Jangankan merobohkan, bahkan mendesak saja dia pun tidak mampu. Maka, dengan penuh kemarahan Ban Sai Cinjin membentak,

“Siauw-koai, Lo-koai, semua tunduk padaku! Lie Kong Sian, ayahmu, kakekmu, gurumu, semua tunduk kepadaku. Kau juga takut kepadaku!”

Ini adalah ucapan yang mengandung mantera dan merupakan sihir yang luar biasa, oleh karena mendadak Lie Kong Sian merasa berdebar-debar dan dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin nampak sangat menakutkan dan mengerikan hati!

Kalau orang lain yang menghadapi pengaruh ilmu hitam ini, tentu akan lemaslah seluruh tubuhnya sehingga akan mudah sekali dirobohkan. Akan tetapi Lie Kong Sian bukanlah orang sembarangan, tetapi telah bertahun-tahun dia tinggal menyepi seorang diri di pulau kosong di tengah laut. Telah bertahun-tahun pula dia melakukan tapa dan semedhi untuk memperkuat batin dan membersihkan pikiran. Banyak sekali godaan-godaan setan yang dialaminya pada waktu ia menyepi di atas pulau itu, dan semua rintangan dan godaan itu telah dapat dihadapinya dengan baik.

Sekarang, mendapat serangan luar biasa dari Ban Sai Cinjin dengan ilmu hitamnya, biar pun hatinya berdebar serta rasa takut dan ngeri meliputi hatinya, akan tetapi dia dapat memperteguh imannya dan permainan pedangnya tidak menjadi kacau.

“Lie Kong Sian, lihat! Api neraka membakarmu!” teriak lagi Ban Sai Cinjin sambil tiba-tiba menepuk pipa tembakaunya dengan tangan kiri sehingga api tembakau lantas memancar keluar dari kepala pipanya itu, menyambar ke arah Lie Kong Sian.

Pengaruh ilmu sihir membuat api itu nampak besar bukan main dan menyambar ke arah kepalanya. Akan tetapi Lie Kong Sian masih dapat berlaku gesit dan tidak terpengaruh oleh teriakan yang mengandung hawa hitam itu. Dia cepat mengelak ke kiri dan sungguh pun dia merasa terkejut sekali, namun dia masih sanggup menyelamatkan diri dari pada serangan api tembakau beracun itu.

Tak terduga sama sekali olehnya, bahwa diam-diam Bouw Hun Ti yang berwatak curang dan palsu itu, melakukan kecurangan yang sangat memalukan. Pada waktu Bouw Hun Ti melihat suhu-nya sangat sukar mengalahkan Lie Kong Sian, orang ini lalu mengeluarkan gendewanya yang kecil akan tetapi kuat sekali. Melihat bentuknya, gendewa ini berbeda dengan gendewa yang biasa digunakan orang Tiongkok, karena sesungguhnya gendewa ini adalah gendewa model Turki.

Sambil memegang gendewa dengan tangan kiri dan tiga batang anak panah pendek di tangan kanan, Bouw Hun Ti segera bersiap-siap mencari kesempatan untuk membokong musuhnya yang sedang bertanding melawan gurunya itu. Kesempatan itu tiba ketika Lie Kong Sian diserang oleh api dari kepala huncwe Ban Sai Cinjin.

Bouw Hun Ti melihat betapa Lie Kong Sian mengelak ke kiri dengan muka menunjukkan kekagetan, maka ia cepat menggerakkan kedua tangannya dan…

“Serrr…! Serrr…! Serrr…!”

Tiga batang anak panahnya yang pendek kecil dan warnanya hitam itu meluncur cepat sekali ke arah Lie Kong Sian. Tiga batang senjata itu menyerang ke arah leher, ulu hati, dan bawah pusar!

Bukan main kagetnya hati Lie Kong Sian melihat serangan yang tiba-tiba datangnya dan tak tersangka-sangka ini!

“Bangsat curang!” serunya marah dan berusaha menyelamatkan diri dengan mengelak cepat ke kanan dengan miringan tubuhnya.

Memang kecepatan gerakannya dapat menolong dirinya dari ancaman tiga batang anak panah beracun itu, akan tetapi gerakannya ini disambut dengan serangan maut oleh Ban Sai Cinjin yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi tubuh Lie Kong Sian miring dan dalam posisi yang amat lemah, huncwe-nya menyambar dan...

“Takkk!” huncwe itu dengan tepat sekali sudah mengetuk kepala Lie Kong Sian di bagian ubun-ubunnya.

Lie Kong Sian menjerit ngeri, tubuhnya terhuyung-huyung, terputar-putar dan pedangnya terlepas dari tangan. Kemudian sesudah berputar beberapa kali, tubuh Lie Kong Sian terjungkal dan roboh tertelungkup tak bergerrak lagi. Ubun-ubunnya sudah pecah terkena pukulan huncwe yang hebat itu dan nyawanya melayang pada waktu itu juga! Lie Kong Sian, suami Ang I Niocu, pendekar besar dari Pulau Pek-le-to, kini sudah tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan!

Lo Sian yang mengintai dari balik pohon, mengerutkan kening dan meramkan matanya dengan hati perih dan ngeri. Tanpa terasa pula dua titik air mata melompat keluar dari sepasang matanya, turun di atas pipinya. Apakah dayanya? Kepandaiannya masih tidak cukup kuat untuk menghadapi Bouw Hun Ti, apa lagi jika menghadapi gurunya, Ban Sai Cinjin yang amat tangguh dan kejam itu.

Sementara itu, Ban Sai Cinjin juga tercengang melihat kecurangan muridnya. Ia menegur perlahan, “Hun Ti, kenapa kau lancang membantuku? Kau sudah merendahkan derajatku dengan bantuan tadi dan hatiku tidak merasa puas sungguh pun aku telah menang dan berhasil merobohkan Lie Kong Sian. Biar pun kau tidak membantu, akhirnya Lie Kong Sian pasti akan roboh juga di tanganku. Mengapa kau membantu dengan jalan curang?”

“Teecu tidak tahan lebih lama lagi melihat orang yang telah membunuh Susiok ini!” jawab Bouw Hun Ti, dan Ban Sai Cinjin terhibur juga mendengar ini.

Tiba-tiba dia melihat pemuda kampung itu dan membentak, “Siapa dia itu?”

“Entah, teecu juga tidak mengenalnya,” jawab Bouw Hun Ti.

“Dia adalah seorang kampung yang mencari kayu, Suhu,” kata hwesio cilik yang ternyata murid merangkap pelayan dari Ban Sai Cinjin.

“Celaka, dia sudah melihat perbuatanku terhadap Lie Kong Sian tadi, dan apa bila hal ini sampai diketahui orang luar, aku akan mendapat malu!” kata Ban Sai Cinjin.

Tiba-tiba tubuhnya melompat dan tahu-tahu dia telah berada di hadapan orang kampung muda yang masih berdiri terbelalak ngeri melihat pembunuhan tadi. Kini ia menjadi makin ketakutan ketika melihat Ban Sai Cinjin telah berada di depannya dan sebelum ia dapat melarikan diri, Ban Sai Cinjin menyemburkan asap hitam ke arah mukanya.

Orang itu mendekap muka dengan tangannya, terbatuk-batuk beberapa kali seakan-akan tak dapat bernapas, kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh telentang tak bernapas lagi. Mukanya menjadi hitam karena racun yang disemburkan melalui asap tembakau itu! Dengan amat kejamnya, untuk menolong kehormatan dan namanya agar jangan sampai ada lain orang tahu akan kecurangannya terhadapi Lie Kong Sian tadi, Ban Sai Cinjin telah membunuh pemuda kampung itu begitu saja!

“Ha-ha-ha!” Bouw Hun Ti tertawa girang. “Suhu telah membuat penyelesaian yang amat cepat dan tepat!”

“Sudahlah, kau kubur dua mayat itu agar jangan sampai ada orang melihatnya,” kata Ban Sai Cinjin.

“Suhu, mengapa menyia-nyiakan kesempatan baik ini?” tiba-tiba hwesio cilik itu berkata kepada gurunya. “Jantung kedua orang ini masih segar dan mudah sekali diambil!”

Ban Sai Cinjin tertawa dan berkata kepada Bouw Hun Ti, “Lihatlah, Sute-mu benar-benar ingin mempelajari ilmu kebal itu dengan sempurna!”

Bouw Hun Ti hanya tersenyum menyeringai. Dia maklum bahwa suhu-nya mempunyai ilmu kekebalan yang dapat diturunkan kepada muridnya dengan jalan makan obat yang dicampur dengan tiga buah jantung manusia!

“Jantung orang kampung ini tidak bersih, tadi sudah terkena racun, karena itu tidak dapat digunakan,” kata Ban Sai Cinjin. “Kalau jantung dia itu,” dia menunjuk ke arah tubuh Lie Kong Sian yang masih menelungkup di atas tanah, “masih baik, akan tetapi, dia seorang pendekar besar, aku tak sampai hati untuk membelek dada mengambil jantungnya.”

“Biarlah murid sendiri yang melakukan hal itu, Suhu,” kata hwesio cilik itu dengan suara memohon, “setelah itu barulah teecu akan menguburkannya baik-baik.”

“Sesukamulah!” akhirnya Ban Sai Cinjin berkata sambil tersenyum, dan masuklah dia ke dalam kuilnya.

“Sute, biar aku yang mengubur orang kampung ini. Setelah kau selesai dengan yang itu, kau harus menguburkannya sendiri baik-baik.”

Hwesio cilik itu mengangguk kepada suheng-nya, lalu dia menghampiri mayat Lie Kong Sian dan diangkatnya menuju ke belakang kuil. Sedangkan Bouw Hun Ti lalu mengubur mayat pemuda kampung itu secara sembarangan saja di tempat yang agak jauh dari kuil, seperti orang mengubur bangkai anjing saja.

Hari sudah mulai gelap dan suasana malam itu bertambah seram dengan terjadinya dua pembunuhan itu. Di dalam kamar dekat dapur, hwesio kecil telah menelanjangi mayat Lie Kong Sian dan juga sudah menyediakan sebilah pisau tajam dan sebuah mangkok putih tempat jantung yang hendak diambilnya dari dalam dada Lie Kong Sian.

Kemudian, hwesio cilik ini mempergunakan pisaunya untuk memotong sedikit rambut dari kepala Lie Kong Sian dan mengikatkan rambut itu pada sebatang sumpit gading yang telah disediakan. Ia meletakkan sumpit itu di atas mangkok putih tadi, lalu ia menyalakan tiga batang hio. Kemudian ia bersembahyang di depan mayat itu dan berkata,

“Arwah orang she Lie! Aku, Hok Ti Hwesio, dengan sungguh hati mengundangmu untuk mengajukan beberapa pertanyaan!”

Dia lalu membawa hio bernyala itu dan berjalan mengitari mayat Lie Kong Sian tiga kali, kemudian dia menancapkan ketiga batang hio itu ke dalam mulut mayat Lie Kong Sian. Sesudah itu, dia mengambil sumpit yang telah diikat ujungnya oleh rambut Lie Kong Sian tadi, diputar-putarkan di atas hio agar terkena asap hio sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Lalu dia menaruh sumpit itu di atas mangkok lagi dan berkata,

“Arwah orang she Lie! Kalau kau sudah masuk ke dalam sumpit ini, berputarlah!”

Sungguh aneh sekali dan sukarlah untuk diselidiki mengapa dapat terjadi demikian, akan tetapi benar saja sumpit di atas mangkok itu lalu terputar-putar bagaikan digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!

Hwesio cilik yang bernama Hok Ti Hwesio itu tersenyum girang.

“Arwah orang she Lie! Perkenankanlah aku meminjam jantung dari tubuhmu yang sudah tidak ada gunanya lagi untuk campuran obat membuat kebal tubuhku. Kalau kau setuju, berputarlah satu kali, kalau tidak setuju, berputarlah tiga kali!”

Hwesio itu dengan penuh gairah memandang ke arah mangkok dan sumpit. Dan sumpit itu mulai bergerak memutar satu kali, lalu diam, akan tetapi lalu memutar sekali lagi dan sekali lagi baru diam tak bergerak! Ternyata bahwa kalau memang benar yang menjawab itu adalah arwah Lie Kong Sian, maka arwah pendekar itu tidak menyetujui jantung dari tubuhnya diambil oleh hwesio cilik ini!

Hok Ti Hwesio mengerutkan kening dan wajahnya menjadi muram. Ia segera mencabut tiga batang hio itu dengan kasar dari mulut mayat Lie Kong Sian, lalu mengangkat hio itu tinggi di atas kepalanya sambil berkata,

“Arwah orang she Lie! Ketahuilah bahwa aku, Hok Ti Hwesio, akan merawat kemudian mengubur jenazahmu baik-baik! Dengan demikian, aku sudah melepas budi kepadamu, maka apakah kau tidak mau membalas budi itu untuk bekal naik ke sorga? Nah, sekali lagi kuminta, arwah orang she Lie, berikanlah jantungmu dengan rela!” Sesudah berkata demikian, ia lalu menancapkan kembali hio itu ke dalam mulut mayat itu. Ia menghampiri sumpit di atas mangkok dan berkata lagi,

“Nah, sekarang jawablah! Berikan jantung tubuhmu padaku, setuju atau tidak?” Kembali sumpit itu berputar-putar dan masih tetap... tiga kali!

Hok Ti Hwesio membanting-banting kakinya dengan gemas sekali. Dia mengambil pisau tajam dari atas meja dan menghampiri mayat Lie Kong Sian yang bertelanjang bulat dan telentang di atas meja panjang.

“Baik, kau tidak setuju? Aku tetap akan mengarnbil jantung tubuhmu, hendak kulihat kau bisa berbuat apa! Sudah mampus kau masih saja jahat dan memusuhi kami, orang she Lie!”

Dengan muka kejam hwesio cilik ini lalu mengangkat tangannya hendak menusuk dada mayat Lie Kong Sian, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba meniup angin besar dari jendela dan api lilin menjadi padam! Hok Ti Hwesio terkejut bukan main dan menoleh ke jendela. Wajahnya menjadi pucat sekali karena ia melihat sebuah kepala tersembul di jendela dan karena sekarang penerangan lilin telah padam, maka kepala itu nampak hitam dan besar mengerikan!

Hok Ti Hwesio biar pun masih kecil, akan tetapi karena telah menerima latihan ilmu-ilmu hitam, tidak merasa takut terhadap segala setan dan iblis. Akan tetapi oleh karena tadi ia hendak memaksa membedah dada mayat itu biar pun arwah si mayat tak menyetujuinya, tentu saja kini menyangka bahwa itu adalah setan penasaran dari Lie Kong Sian yang datang mengganggu! Ia melemparkan pisaunya ke bawah dan berlari berteriak-teriak.

“Tolong... setan... tolong, Suhu... ada setan…!”

Kepala yang tersembul di jendela itu ternyata memiliki tubuh dan kini tubuhnya bergerak melompat ke dalam kamar, lalu memondong mayat Lie Kong Sian dan cepat dibawa lagi keluar! Bayangan yang disangka setan ini ternyata adalah Lo Sian!

Sebagaimana diketahui, Pengemis Sakti ini mengintai dan menyaksikan betapa Lie Kong Sian terbunuh dan betapa orang muda kampung yang tanpa disengaja menyaksikan pula pembunuhan itu, tadi telah dibunuh secara kejam oleh Ban Sai Cinjin. Lalu ia mendengar tentang permintaan Hok Ti Hwesio yang hendak mengambil jantung dari mayat Lie Kong Sian.

Lo Sian tidak berani bergerak di hadapan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Akan ketika melihat hwesio cilik itu membawa mayat Lie Kong Sian ke belakang, ia lalu mengikuti dan mengintai dari jendela. Sesungguhnya, perbuatan Lo Sian juga yang memutarkan sumpit gading tadi, dengan mengerahkan khikang dan meniup dari jendela, dan dia pula yang meniup padam api lilin!

Ketika mendengar teriakan Hok Ti Hwesio, Ban Sai Cinjin dan Bouw Hun Ti cepat-cepat memburu dan mereka masih melihat bayangan Lo Sian membawa lari mayat Lie Kong Sian. Mereka cepat mengejar, akan tetapi Lo Sian telah menghilang di dalam kegelapan, sebentar saja Lo Sian telah dapat meninggalkan kedua orang pengejarnya.

“Celaka, bangsat Lo Sian telah mengetahui peristiwa itu, bahkan dia telah membawa lari mayat Lie Kong Sian. Hal ini pasti akan berekor panjang sekali,” Ban Sai Cinjin berkata sambil menghela napas.

“Biarlah, apakah Suhu takut menghadapi kawan-kawannya?” kata Bouw Hun Ti. “Kalau Pendekar Bodoh dan yang lain-lain datang, kita gempur mereka!”

“Takut sih tidak, akan tetapi aku merasa segan untuk bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw. Hidupku biasanya senang dan aman, kini pasti akan menemui gangguan dan semua ini gara-gara kau, Hun Ti! Karena itu, kau harus memperdalam kepandaianmu. Aku sendiri sudah malas untuk mengajar dan jalan satu-satunya bagimu adalah pergi ke tempat pertapaan Supek-mu.”

“Wi Kong Siansu di Hek-kwi-san?” Bouw Hun Ti bertanya sambil membelalakkan kedua matanya.

Ban Sai Cinjin mengangguk. “Ya, selain supek-mu itu siapa lagi yang dapat memperkuat kedudukan kita dan dapat memberi pendidikan ilmu silat lebih jauh kepadamu?”

“Akan tetapi, bukankah Suhu pernah menceritakan bahwa Supek telah mencuci tangan dan mengasingkan diri di puncak Hek-kwi-san, tidak mau turut mencampuri urusan dunia lagi?”

“Benar, akan, tetapi aku sudah tahu akan tabiat Supek-mu itu. Dia amat sayang kepada mendiang Lu Tong Kui yang meski pun menjadi Sute, akan tetapi masih iparnya sendiri. Ketahuilah rahasianya dulu, bahwa Enci dari Lu Tong Kui pernah mengadakan hubungan dengan Supek-mu itu! Nah, apa bila kau membawa suratku, lantas menceritakan tentang tewasnya Lu Tong Kui, tentu dia akan turun gunung dan memperkuat kedudukan kita.”

“Akan tetapi, Suhu. Pembunuh Lu Tong Kui adalah Lie Kong Sian sedangkan Lie Kong Sian telah terbalas oleh Suhu.”

“Bodoh! Jangan kau beritahukan bahwa pembunuh susiok-mu itu adalah Lie Kong Sian. Beritahukan saja bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Bodoh serta kawan-kawannya, dan bahwa matinya akibat dikeroyok hingga tidak saja Suheng akan mendendam kepada Pendekar Bodoh, akan tetapi juga kepada yang lainnya. Pendeknya, kalau Suheng dapat dibujuk turun gunung dan tinggal di sini bersama kita, jangankan baru Pendekar Bodoh, andai kata Bu Pun Su bangkit lagi dari kuburan, kita tak usah takut menghadapinya!”

Bouw Hun Ti merasa girang sekali. “Dan bagaimana dengan Lo Sian yang membawa lari mayat Lie Kong Sian itu, Suhu?”

“Serahkan dia kepadaku. Aku yang akan mencari dan menghajarnya. Kau berangkatlah besok pagi-pagi ke Hek-kwi-san jangan ditunda-tunda lagi dan aku akan membuat surat untuk Suheng.”

Demikianlah pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bouw Hun Ti berangkat ke tempat pertapaan Wi Kong Siansu, suheng dari Ban Sai Cinjin dengan membawa sepucuk surat dari suhu-nya itu. Pendeta tua yang disebut Wi Kong Siansu dan yang menjadi suheng dari Ban Sai Cinjin ini adalah seorang pertapa yang sakti.

Dulu pada waktu mudanya dia terkenal sebagai seorang yang malang melintang di dunia kang-ouw dan belum pernah menderita kekalahan di dalam setiap pertempuran. Bahkan orang-orang ternama dan yang termasuk tokoh-tokoh terbesar di dunia persilatan seperti Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang terkenal sebagai empat tokoh terbesar dari empat penjuru, merasa segan untuk bentrok dengan Wi Kong Siansu.

Bukan karena empat tokoh besar ini merasa jeri dari takut, akan tetapi oleh karena Wi Kong Siansu terkenal memiliki kepandaian silat yang amat ganas dan dahsyat sehingga setiap kali dia bertanding ilmu kepandaian dengan seorang lawan, lawan itu tentu akan tewas di dalam tangannya! Bagi Wi Kong Siansu, hanya ada dua keputusan dalam tiap pertandingan, yaitu menang atau kalah dan mati! Oleh karena inilah, maka ia mendapat julukan Toat-beng Lo-mo atau Iblis Tua Pencabut Nyawa!

Ada pun Ban Sai Cinjin lalu mengadakan perjalanan pula untuk mencari dan menyusul Lo Sian yang telah mengetahui rahasianya. Sebetulnya Ban Sai Cinjin tidak takut orang mengetahui bahwa ia telah membunuh Lie Kong Sian, kalau saja pembunuhan ltu terjadi dalam sebuah pertempuran yang adil. Yang membuatnya merasa kuatir apa bila sampai diketahui orang adalah bahwa kekalahan Lie Kong Sian sebenarnya karena kecurangan yang dilakukan oleh Bouw Hun Ti!

Ban Sai Cinjin adalah seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal dan memiliki banyak sahabat hampir di seluruh daerah. Karena itu dengan mudah dia dapat menyusul dan mengetahui di mana adanya Lo Sian yang juga banyak dikenal orang.

*****

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Kita mengikuti perjalanan Lo Sian yang membawa lari jenazah Lie Kong Sian. Sesudah dapat melepaskan diri dari pengejaran Ban Sai Cinjin dan Bouw Hun Ti, Lo Sian segera masuk ke dalam hutan pohon pek yang bersambung dengan hutan di mana terdapat kelenteng tempat tinggal Ban Sai Cinjin.

Dia memilih tempat yang baik, yaitu sebuah bukit kecil di tengah hutan yang amat baik hongsui-nya (kedudukan tanahnya). Kemudian dengan penuh khidmat dia lalu mengubur jenazah pendekar besar Lie Kong Sian.

Sampai lama Lo Sian bersila, di depan gundukan tanah itu untuk mengheningkan cipta. Di dalam hatinya dia menyatakan terima kasihnya kepada mendiang Lie Kong Sian, dan juga menyatakan penyesalannya bahwa karena membela dia, pendekar besar itu sampai menemui maut di tangan Ban Sai Cinjin. Kemudian Lo Sian lalu menanam satu pohon kembang mawar hutan di depan gundukan tanah itu untuk menjadi tanda.

Sesudah itu, Pengemis Sakti ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Beng-san untuk menyusul suheng-nya yang membawa Lili beserta Kam Seng ke puncak bukit itu. Sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa bahaya besar sedang mengancam dan mengejar dirinya.

Siapakah yang menyangka bahwa Ban Sai Cinjin hendak menyusul dan mencarinya? Ia hanya mencuri mayat Lie Kong Sian dan hal ini bukanlah hal yang terlalu penting bagi Ban Sai Cinjin. Lo Sian tidak tahu bahwa Ban Sai Cinjin mengejarnya karena ia dianggap satu-satunya orang yang sudah mengetahui akan rahasia pembunuhan curang atas diri Lie Kong Sian.

Beberapa hari kemudian, baru saja Lo Sian keluar dari dusun, tiba-tiba saja di depannya berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Ban Sai Cinjin telah berdiri di depannya sambil tersenyum-senyum dengan huncwe mautnya mengebulkan asap hitam! Ternyata bahwa kakek pesolek yang amat lihai ini telah dapat menyusulnya.

“Ha-ha-ha, pengemis jembel!” kata Ban Sai Cinjin. “Apa kau kira kau dapat melarikan diri begitu saja dariku setelah kau mencuri tubuh yang dibutuhkan oleh muridku?”

“Ban Sai Cinjin,” Lo Sian berkata dengan gelisah, “aku tidak mengganggu muridmu dan tentang jenazah Lie Kong Sian itu, memang aku yang telah mengambilnya untuk dikubur sepatutnya. Dia adalah seorang pendekar besar dan sudah sepatutnya kalau jenazahnya dikebumikan dengan baik. Apakah perbuatanku itu kau anggap salah?”

“Hemm, Lo Sian, kau pandai memutar lidah! Kau sudah berkali-kali mengganggu Bouw Hun Ti mencampuri urusannya. Sekarang kau pun membawa pergi mayat Lie Kong Sian. Dimanakah mayat itu sekarang?”

“Sudah dikubur dengan baik,” jawab Lo Sian.

“Bagus, dan jantungnya tentu sudah rusak. Kalau begitu, kau gantilah dengan jantungmu sendiri. Hayo pengemis jembel, lekas kau serahkan jantungmu kepadaku, baru aku mau memberi ampun!”

Lo Sian tahu bahwa kakek ini sengaja mencari perkara. Bagaimana orang dapat hidup kalau jantungnya diambil? Ia lalu mencabut pedangnya dan berkata keras, “Kau inginkan jantung? Inilah dia!” Sambil berkata demikian, Lo Sian lalu menyerang dengan sebuah tusukan pedangnya yang dilakukan dengan nekad dan cepat, karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin jauh berada di atas tingkatnya.

Si Huncwe Maut tertawa geli. Huncwe di tangannya kemudian bergerak didahului oleh semburan asap hitam dari mulutnya ke arah muka Lo Sian. Pengemis Sakti tahu akan berbahayanya asap ini, maka ia cepat melompat ke kiri dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan lawan. Akan tetapi tiba-tiba saja pedangnya berhenti berputar karena telah tertempel oleh huncwe pada tangan Ban Sai Cinjin dan tidak dapat digerakkan lagi.

“Lepas!” Ban Sai Cinjin membentak sambil ia memutarkan huncwe-nya sedemikian rupa sehingga pedang di tangan Lo Sian ikut terputar, kemudian dengan tenaga tiba-tiba dia membetot hingga terlepaslah pedang itu dari tangan Lo Sian tanpa dapat dicegah lagi. Huncwe-nya segera meluncur dengan sebuah totokan hebat sehingga robohlah Lo Sian tanpa dapat berdaya lagi karena jalan darahnya sudah kena tertotok oleh huncwe yang lihai itu.

Ban Sai Cinjin mengempit tubuh Lo Sian yang menjadi lemas itu dan membawanya lari secepat terbang kembali ke kelentengnya! Setelah tiba di kelenteng yang mewah itu, dia melemparkan tubuh Lo Sian ke atas lantai, lalu mengambil semangkok obat yang biru kehitaman warnanya.

“Minum ini!” katanya dan hwesio kecil muridnya itu memandang sambil menyeringai.

Biar pun Lo Sian telah lemas dan tidak bertenaga lagi, namun hatinya masih cukup tabah dan keras, maka dia diam saja. Meski pun mangkok itu telah ditempelkan pada bibirnya, namun ia tidak mau meneguk obat itu.

“Ehh, pengemis jembel!” Hok Ti Hwesio si hwesio kecil itu mengeiek. “Kau kelaparan dan kehausan, minuman seenak ini mengapa tidak mau minum?” Sambil berkata demikian, hwesio kecil ini menampar mulut Lo Sian yang tidak dapat mengelak atau mengerahkan tenaga.

“Plakk!” maka bibir Lo Sian pecah dan mengeluarkan darah.

“Buka mulut anjing ini!” kata Ban Sai Cinjin kepada muridnya.

Hok Ti Hwesio yang memang semenjak kecil mendapat pendidikan kekejaman itu sambil tertawa-tawa kemudian menggunakan kedua tangannya membuka mulut Lo Sian dengan paksa, lalu mengganjal mulut itu dengan kakinya yang bersepatu kotor sehingga mulut Lo Sian kini ternganga diganjal sepatu dari hwesio cilik itu.

Ban Sai Cinjin lalu menuangkan obat mangkok itu ke dalam mulut Lo Sian. Si Pengemis Sakti mencoba untuk menutup kerongkongannya, akan tetapi Hok Ti Hwesio, si hwesio kecil yang kejam dan penuh akal itu lalu memencet hidung Lo Sian dengan kedua jari tangannya.

Lo Sian terengah-engah dan terpaksa harus bernapas dari mulut dan masuklah obat itu ke dalam perutnya! Obat itu terasa amat getir dan masam dan setelah masuk ke dalam perut terasa amat dingin sehingga dia menggigil. Lo Sian berpikir bahwa obat itu tentulah racun dan ia tentu akan mati, maka sambil meramkan mata ia menanti datangnya maut. Tak lama kemudian pikirannya menjadi lemah dan sudah tak dapat digunakan lagi, lalu ia menjadi pingsan tak sadarkan dirinya!

Sesudah dia membuka mata kembali, ternyata dia telah berada di dalam sebuah hutan seorang diri. Tidak nampak lain orang di sana dan pikiran Lo Sian masih tidak karuan. Segala benda di depannya nampak berputar-putar dan sebentar kemudian dia berteriak-teriak,

“Pemakan jantung...! Tolong... pemakan jantung...!”

Kemudian, dengan beringas dia pun melompat bangun dan berlari terhuyung-huyung tak karuan seperti orang mabok. Terdengar dia berteriak-teriak, sebentar menangis bagaikan orang ketakutan setengah mati, kemudian dia tertawa dengan geli seakan-akan melihat sesuatu yang amat lucu. Ternyata Lo Sian telah menjadi gila!

Obat yang dipaksakan memasuki perutnya itu adalah semacam obat mukjijat yang dapat merampas ingatannya dan membuat dia menjadi gila! Alangkah kejamnya Ban Sai Cinjin dan muridnya Hok Ti Hwesio.

Ban Sai Cinjin merasa tidak ada gunanya membunuh Lo Sian, maka timbul pikiran yang amat keji dan juga cerdik. Ia membiarkan Lo Sian hidup, akan tetapi memberinya minum racun yang membuatnya menjadi gila sehingga tak mungkin lagi Lo Sian bisa membuka rahasia pembunuhan atas diri Lie Kong Sian!

Jangankan mengingat akan hal itu semua, bahkan terhadap diri sendiri pun Lo Sian tak ingat lagi. Dia tidak tahu lagi siapa adanya dirinya sendiri, dan tidak ingat pula segala kejadian yang sudah lalu, yang terbayang di depan matanya hanyalah jantung manusia yang dimakan orang!

Memang, kasihan sekali nasib Lo Sian yang jatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis! Ia merantau tak tentu arah tujuan sebagai seorang gila.

******

Pegunungan Ho-lan-san memanjang dan menjadi tapal batas antara Mongolia dengan daratan Tiongkok Propinsi Kansu. Walau pun pegunungan ini di kanan kirinya, terutama sekali di bagian utara, merupakan padang pasir yang sangat luas, namun pegunungan ini cukup kaya akan hutan-hutan dan pepohonan. Hal ini adalah berkat mengalirnya Sungai Kuning, yang membuat lembah di sepanjang alirannya menjadi subur.

Oleh karena itu, tak heran apa bila di tempat yang jauh dari dunia ramai ini telah banyak orang datang dan desa-desa yang cukup ramai terdapat di sepanjang sungai besar itu. Dengan adanya Sungai Huang-ho yang tidak pernah mengering ini, lapangan pencarian nafkah hidup bagi mereka tidak kurang.

Selain bercocok tanam di lembah yang subur, para penduduk dapat pula bekerja sebagai nelayan, sebab air sungai mengandung cukup banyak ikan. Selain ini, mereka dapat pula mengambil hasil hutan terutama kayu-kayu yang keras dan baik untuk pembangunan.

Pekerjaan ini makin lama semakin ramai dan bahkan ada beberapa orang yang cukup memiliki modal lalu mendirikan perusahaan kayu bangunan. Banyak tukang kayu disebar ke hutan-hutan untuk menebang pohon yang baik kayunya, kemudian kayu yang sudah menjadi balok-balok besar itu lalu ditumpuk di pinggir sungai, siap dikirim ke mana saja datangnya pesanan. Untuk mengangkut kayu-kayu balok itu, air Sungai Huang-ho selalu siap melakukannya tanpa menuntut bayaran sepotong uang pun!

Pada suatu hari, tiga orang lelaki yang berusia tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampak kuat, berjalan mendaki sebuah puncak di Pegunungan Ho-lan-san. Mereka ini membawa alat-alat penebang kayu, yaitu tambang besar yang digulung dan digantung pada pinggang, sebuah golok dan sebuah kapak besar yang berat dan tajam.

Ketika mereka sampai di luar sebuah hutan yang kecil akan tetapi liar dan gelap, mereka berhenti mengaso dan duduk di atas rumput. Sambil bercakap-cakap mereka memandang ke arah hutan yang angker itu. Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang dari hutan itu, membuat bagian tanah di gunung ini nampak paling tinggi menonjol.

“Sute, aku masih saja merasa sangsi untuk memasuki hutan ini,” terdengar orang yang tertua berkata. “Bukankah Suhu sudah berpesan agar kita lebih baik jangan mengganggu hutan ini? Suhu sendiri katanya mengambil jalan memutar kalau melakukan perjalanan lewat di sini. Menurut Suhu, bukan karena dia takut, akan tetapi sungkan menghadapi permusuhan dengan sepasang setan itu.”

“Ah, Twa-suheng,” kata yang termuda, “mengapa kita harus percaya akan segala tahyul bodoh dari orang-orang dusun? Mereka itu hanya menyiarkan kabar bohong yang belum pernah mereka buktikan sendiri. Siapakah orangnya yang pernah melihat sepasang iblis itu? Aku tidak percaya. Kalau Suhu lain lagi, karena Suhu adalah seorang pendeta yang menghormati kepercayaan orang lain. Kita adalah orang-orang muda yang datang dari kota dan memiliki kepandaian, kenapa kita harus takut terhadap segala tahyul bohong?”

Orang ke dua menyambung. “Ucapan Sute memang ada benarnya, akan tetapi melihat keadaan hutan yang demikian liar dan angker, timbul juga perasaan tidak enak di dalam hatiku. Dunia ini memang aneh dan banyak hal-hal yang belum kita mengerti. Bagaimana kalau kabar itu ternyata tidak bohong? Bagaimana kalau benar-benar muncul setan di tengah hari dan menyerang kita?”

“Mengapa takut?” berkata pula yang termuda. “Percuma saja kita mempelajari ilmu silat sampai beberapa tahun lamanya, dan percuma pula kita menjadi murid Pek I Hosiang yang namanya telah terkenal di dunia kang-ouw! Lagi pula, kita bukan bermaksud buruk. Kita memasuki hutan hanya untuk menebang pohon dan mencari kayu besi yang amat dibutuhkan. Kui-loya (Tuan Kui) berani membayar kita tiga kali lebih banyak dari pada kayu-kayu biasa.”

Tiga orang yang nampak kuat dan gagah ini adalah tiga orang di antara begitu banyak penebang pohon yang banyak bekerja di daerah ini. Mereka adalah murid-murid dari Pek I Hosiang, seorang hwesio yang menjadi ketua dari sebuah kelenteng di dalam dusun tempat tinggal mereka.

Hwesio ini memang berkepandaian tinggi dan ia mempunyai banyak sekali murid. Boleh dibilang, lebih tiga puluh orang penebang kayu yang muda-muda dan kuat-kuat menjadi muridnya! Para penebang pohon ini kemudian menjual kayu yang mereka tebang kepada perusahaan-perusahaan kayu yang banyak didirikan orang di tempat itu dan di antaranya yang terbesar adalah perusahaan kayu milik orang she Kui yang berasal dari kota besar di daerah timur.

Telah menjadi semacam dongeng yang selama bertahun-tahun amat dipercaya oleh para penduduk di daerah Pegunungan Ho-lan-san, bahwa daerah puncak yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, jurang-jurang dalam dan goa-goa yang angker itu menjadi tempat tinggal sepasang siluman atau iblis yang amat jahat. Sebenarnya, belum pernah terjadi pembunuhan atau penganiayaan terhadap manusia yang dilakukan oleh sepasang iblis itu, akan tetapi karena perasaan takut mereka, maka orang-orang lalu bercerita bahwa iblis-iblis yang menjadi penghuni hutan itu amat jahat dan mengerikan!

Hanya satu kali terjadi peristiwa yang membuktikan bahwa di hutan itu memang terdapat makhluk yang sakti, sungguh pun orang tak dapat membuktikan dengan nyata bahwa makhluk itu adalah iblis atau siluman. Terjadinya peristiwa itu telah dua tahun lebih, yaitu ketika serombongan piauwsu mengantar seorang hartawan bersama keluarganya yang melakukan perjalanan. Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan, tiba-tiba, entah dari mana datangnya, terdengar suara bergema di empat penjuru dan suara ini berkata tegas, “Lekas keluar dari hutan ini!”

Para piauwsu yang mengawal rombongan ini merupakan orang-orang gagah yang sudah banyak pengalaman. Mereka tidak gentar menghadapi perampok-perampok dan bahkan jarang ada perampok berani mengganggu mereka. Akan tetapi, peristiwa ini baru sekali mereka alami, yaitu adanya suara yang melarang mereka melalui sebuah hutan. Kepala rombongan itu lalu menjura ke empat penjuru dan menjawab,

“Mohon maaf sebesarnya dari Tai-ong kalau kami berani berlaku kurang ajar dan melalui wilayah Tai-ong (Raja Besar, sebutan untuk kepala rampok) tanpa mendapat ijin terlebih dulu. Kami bersedia membayar uang sewa jalan apa bila Tai-ong kehendaki, akan tetapi harap Tai-ong perkenankan kami melalui jalan ini”

Untuk beberapa lama tak terdengar suara sesuatu, akan tetapi mendadak terdengar lagi suara yang berlainan dengan suara pertama. Jika suara pertama yang mengusir mereka keluar dari hutan tadi terdengar halus dan nyaring seperti suara wanita, kini terdengar suara yang juga halus dan nyaring akan tetapi lebih besar seperti suara seorang pemuda.

“Jangan banyak cakap! Kami tak butuh segala uang sewa jalan! Pergilah lekas dari hutan ini!”

Para piauwsu yang jumlahnya tujuh orang itu menjadi amat penasaran. Mereka mencabut senjata masing-masing dan memandang ke sekeliling dengan sikap menantang.

“Kalau kami tidak mau pergi dan tetap hendak melanjutkan perjalanan kami melalui hutan ini, kau mau apakah?” tanya kepala piauwsu itu dengan marah.

Kini yang menjawab adalah suara pertama yang masih terdengar halus akan tetapi amat berpengaruh.

“Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan! Kami memberi waktu sampai ada ayam hutan berkokok, itulah tanda bahwa kami akan bergerak apa bila kalian belum keluar dari sini!”

Seorang di antara para piauwsu itu yang terkenal sebagai ahli senjata rahasia secara diam-diam mengeluarkan beberapa batang senjata piauw, dan tiba-tiba ia menyambitkan tiga batang piauw ke arah daun-daun pohon besar dari mana suara tadi datang.

Akan tetapi hanya terdengar berkereseknya daun terbabat senjata-senjata piauw itu, dan selain itu tidak nampak tanda-tanda bahwa di pohon itu terdapat manusianya! Yang lebih mengherankan, ketiga batang piauw tadi tidak turun lagi ke bawah, seakan-akan lenyap ditelan oleh daun-daun yang lebat itu.

Para piauwsu itu saling pandang dengan heran, sedangkan keluarga hartawan itu duduk berkumpul di dekat kereta dengan muka pucat.

“Tidakkah lebih baik bila kita mengambil jalan memutar saja?” tanya hartawan itu kepada kepala piauwsu. Akan tetapi yang ditanya menggeleng kepala.

“Wan-gwe (sebutan hartawan) tidak tahu. Hal ini adalah soal kehormatan bagi piauwsu-piauwsu seperti kami. Apa bila kami mengalah begitu saja terhadap segala penggertak, bagaimana kami dapat menjadi piauwsu?”

Mereka menanti dengan hati penuh ketegangan dan tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mendengar suara yang mereka nanti-nanti, yakni kokok seekor ayam hutan dari jauh.

“Waktunya sudah habis, kalian harus pergi!” tiba-tiba seru suara tadi.

Dan entah dari mana datangnya, bagaikan meluncur dari atas awang nampak dua sosok bayangan berkelebat cepat menubruk tujuh orang piauwsu tadi. Para piauwsu itu terkejut sekali dan cepat memutar senjata untuk menyerang dua sosok bayangan itu, akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika bayangan itu lalu bergerak dengan amat cepatnya, merupakan sinar putih dan merah dan tahu-tahu semua senjata di tangan para piauwsu itu terlempar jauh!

Sebelum ketujuh orang piauwsu itu sempat memandang, tahu-tahu mereka merasa sakit sekali pada pundak mereka. Terdengar jerit mereka susul-menyusul lantas tubuh mereka roboh tak dapat bangun kembali karena mereka telah terkena tiam-hoat (ilmu totok) yang lihai. Setelah itu, hanya nampak bayangan dua sosok tubuh berpakaian merah dan putih berkelebat lenyap di balik serumpun alang-alang!

“Itulah hukuman bagi tujuh orang piauwsu sombong!” tiba-tiba saja terdengar suara yang halus itu dari atas pohon. “Naikkan tujuh tikus itu ke atas kereta dan kembalilah kalian keluar dari hutan ini!”

Dengan perasaan ketakutan setengah mati, rombongan itu lalu menolong para piauwsu, menaikkan dan menumpuk tubuh mereka yang lemas itu ke atas kereta lalu rombongan itu membalap keluar dari hutan!

Maka tersiarlah berita ini sehingga nama kedua iblis penghuni hutan sangat terkenal dan sejak saat itu, tidak ada seorang pun berani melangkahkan kaki memasuki hutan. Siapa orangnya yang tak akan merasa takut dan ngeri mendengar betapa tujuh orang piauwsu ternama dibikin tak berdaya oleh sepasang siluman yang lihai itu?

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.