Pendekar Remaja Jilid 06

Pendekar Remaja Jilid 06
Sonny Ogawa

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 06

BERITA tentang sepasang iblis itu tentu saja tidak begitu dipercaya oleh para pendatang baru dari kota-kota besar, terutama sekali oleh orang-orang yang memiliki kepandaian ilmu silat. Betapa pun juga, karena tahu pula bahwa di dunia ini banyak terjadi hal yang aneh dan banyak sekali terdapat orang-orang pandai, mereka tak berani mencoba untuk melanggar pantangan penduduk dan tidak mau memasuki hutan itu.

Bahkan Pek I Hosiang, seorang tokoh kang-ouw yang sudah ulung dan berkepandaian tinggi, juga menasehatkan murid-muridnya yang banyak jumlahnya agar supaya jangan mengganggu hutan itu.

“Siapa tahu,” kata hwesio itu kepada muridnya yang membantah, “kalau-kalau di tempat itu ternyata terdapat seorang pertapa yang sedang mengasingkan diri dan pertapaannya tidak mau diganggu.”

Akan tetapi, seperti telah dituturkan di depan, tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat itu duduk di luar hutan, merundingkan mengenai kehendak mereka menebang kayu besi yang terdapat di hutan itu. Ketiga orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang terhitung pandai, dan sungguh pun tadinya yang tertua di antara rnereka masih merasa ragu-ragu untuk memasuki hutan itu, namun berkat desakan kedua orang sute-nya (adik seperguruannya), akhirnya mereka masuk juga ke dalam hutan itu!

“Bagaimana pun juga, Sute, kita harus selalu berhati-hati dan lebih baik bekerja secara diam-diam, jangan banyak berisik,” berkata orang tertua di antara ketiga orang penebang pohon itu. Kedua sute-nya menurut, karena memang keadaan hutan yang masih liar dan tak pernah dimasuki orang itu sangat menyeramkan.

Ketika mereka bertiga berjalan lambat sambil melihat ke kanan kiri untuk mencari pohon besi yang hendak mereka tebang, tiba-tiba orang tertua itu melihat sesuatu dan ia cepat memegang tangan kedua sute-nya kemudian ditariknya mereka untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon yang besar.

“Lihat, apakah itu?” katanya kepada kedua orang sute-nya yang memandang heran.

Dua orang kawannya memandang ke arah yang ditunjuknya dan mereka masih sempat melihat bayangan putih berkelebat cepat sekali.

“Orangkah dia?” seorang berbisik.

“Entahlah, akan tetapi gerakannya sungguh cepat!” memuji orang termuda yang hatinya paling tabah. “Mari kita mendekat, dia masuk ke dalam goa itu!”

Kedua orang kawannya merasa ragu-ragu, akan tetapi karena tak melihat bayangan tadi muncul kembali, sedangkan sute mereka dengan beraninya telah keluar dari balik pohon dan menuju ke tempat bayangan tadi menghilang, mereka juga mengikuti sute mereka.

Benar saja, di tempat yang meninggi terdapat sebuah goa yang lebar. Goa ini amat gelap sehingga tidak kelihatan apakah goa itu merupakan terowongan atau bukan.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari dalam goa, “He! Kalian mau apa datang ke sini? Hayo cepat pergi!” Berbareng dengan ucapan itu, terlihat berkelebat bayangan putih keluar dari goa yang gelap itu dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda yang luar biasa eloknya!

Muka pemuda ini berkulit halus dan putih, dan matanya sangat tajam berpengaruh. Garis mulutnya yang kuat membayangkan kehendak yang teguh dan kemauan yang membaja. Tubuhnya sedang dengan pinggang langsing, pakaiannya sederhana tapi rapi, berwarna putih seperti pakaian seorang pelajar. Dia mengenakan mantel panjang yang putih pula, dan di antara semua pakaian yang menutup tubuhnya, hanya leher baju yang menurun terus ke pinggang dan kopyahnya saja yang berwarna biru. Juga sepatunya warna hitam. Memang janggal sekali melihat seorang penghuni goa yang berpakaian sedemikian putih bersih.

Melihat pemuda ini hanyalah seorang manusia biasa, bukan seorang iblis, ketiga orang penebang pohon itu pun segera bernapas lega.

“Kami adalah penebang-penebang kayu dan sekarang hendak mencari pohon besi yang banyak tumbuh di hutan ini,” jawab penebang tertua.

Pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, digoyang beberapa kali kemudian berkata, “jangan kalian melakukan hal itu. Lebih baik lekas kalian pergi dari sini!”

Penebang kayu yang termuda melangkah maju dan berkata marah, “Orang muda, dengan alasan apakah kau melarang kami melakukan penebangan pohon besi di hutan ini? Dan hak apakah yang kau andalkan untuk mengusir kami?”

“Alasannya, kalau kau melakukan penebangan pohon, berarti kau melanggar laranganku dan ini berbahaya sekali bagi keselamatanmu. Ada pun tentang hak, aku menggunakan hak sebagai seorang yang lebih dulu datang di tempat ini dari pada kalian bertiga!”

Marahlah penebang muda itu. “Kau anak kecil sombong amat! Kalau kami bertiga tetap melanjutkan kehendak kami, kau mau apakah? Apakah kau ini siluman yang menguasai hutan ini seperti yang dikabarkan orang?”

“Tutup mulut dan pergilah!” seru pemuda itu dan biar pun sikapnya masih setenang tadi, namun sepasang alisnya yang indah bentuknya itu mulai bergerak-gerak.

Akan tetapi, biar pun sinar mata pemuda ini tajam dan berpengaruh, akan tetapi ia hanya merupakan seorang pemuda yang halus dan tidak nampak berbahaya. Tentu saja ketiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat dan mempunyai kepandaian silat itu tidak takut menghadapinya. Mereka bertiga lalu mengeluarkan senjata mereka yang menyeramkan, yaitu tangan kanan memegang golok lebar yang tajam sedangkan tangan kiri memegang sebatang kapak yang tidak kalah hebatnya.

“Ha-ha-ha-ha, anak muda! Betapa pun galaknya mulutmu, kami tidak takut. Kami hendak menebang pohon dengan kapak dan golok ini, kau mau apa? Ha-ha-ha!”

Akan tetapi baru saja penebang pohon itu menutup mulutnya, pemuda itu sudah lenyap. Tubuhnya berkelebat merupakan bayangan putih dan penebang pohon yang termuda ini memekik keras ketika merasa betapa kapak dan goloknya bagaikan bisa terbang sendiri meninggalkan kedua tangannya tanpa bisa dicegah pula! Ternyata bahwa dengan sekali gerakan saja, pemuda baju putih itu sudah berhasil merampas kapak dan goloknya yang kini dilempar di atas tanah!

Dua orang penebang yang lain menjadi marah dan terkejut sekali. Sambil berseru marah, mereka lalu maju menyerang dan pada saat itu, dua batang golok dan dua batang kapak telah menyambar ganas menuju ke tubuh pemuda baju putih itu!

Namun kembali mereka dibikin bengong oleh pemuda aneh itu. Agaknya tubuh pemuda itu tak bergerak sama sekali, buktinya kedua kakinya tidak berpindah tempat. Hanya dua lengan tangannya saja bergerak cepat serta tubuhnya bergoyang-goyang menghindari sambaran keempat senjata itu dan...

“Aduh...! Aduh...!”

Dua orang itu merasa kedua lengan mereka mendadak menjadi lemas dan sakit sekali, oleh karena entah dengan gerakan bagaimana, jari-jari tangan pemuda itu sudah berhasil menotok pergelangan tangan kedua orang penebang pohon itu! Kembali senjata-senjata mereka terpaksa harus mereka lepaskan sehingga jatuh bertumpuk di atas tanah!

Sudah tentu saja mereka bertiga hampir tak dapat percaya akan kejadian yang baru saja mereka alami itu. Bagaimana mereka yang memegang senjata dan memiliki kepandaian tinggi, sekarang dipaksa melepaskan senjata dengan cara yang demikian mudahnya oleh pemuda ini? Ilmu silat apakah yang tadi dipergunakan oleh pemuda baju putih itu untuk menghadapi mereka? Mereka hanya memandang dan berdiri bagai patung. Silumankah pemuda ini, demikian mereka berpikir dan memandang dengan hati merasa seram.

“Pergilah...! Pergilah...!” pemuda itu dengan acuh tak acuh berkata sambil menggerakkan tangan kanan seperti mengusir lalat yang mengganggunya!

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam goa. “Siong-ji..., lempar saja tikus-tikus itu ke dalam jurang! Untuk apa melayani mereka?”

Pemuda baju putih itu menengok ke arah goa dan menjawab, “Mereka hanya tiga orang penebang pohon yang tak berarti, Ibu!”

“Mereka telah lancang, berani mendekati tempat kita!” suara dari dalam goa itu semakin nyaring.

Tiba-tiba ketiga orang penebang pohon itu melihat berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali cepatnya. Belum sempat mata mereka melihat dengan jelas, tiba-tiba mereka telah roboh pingsan!

Ketika tiga orang penebang pohon itu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di luar hutan yang menyeramkan itu! Sambil mengeluh mereka meraba-raba pundak mereka yang masih terasa sakit dan linu, bekas tertotok secara luar biasa sekali oleh bayangan merah tadi.

“Ah, Sute. Jika kau tadi mendengar omonganku, tak akan kita mengalami kesengsaraan ini!” kata yang tertua sambil bangun dengan tubuh masih lemas.

Penebang termuda tak dapat menjawab karena pengalaman tadi masih membuat hatinya berdebar-debar.

“Mereka itukah siluman-siluman yang ditakuti orang?” tanyanya perlahan.

“Mungkin! Mana ada orang semuda itu sudah sedemikian lihainya? Hanya siluman saja yang dapat merampas senjata kita secara demikian aneh,” kata orang ke dua.

“Dan bayangan merah tadi... apakah dia itu? Dia pandai bicara, akan tetapi gerakannya demikian hebat! Hebat dan mengerikan!” kata yang tertua sambil bergidik karena teringat akan serangan bayangan merah tadi. “Sungguh berbahaya sekali!”

“Betapa pun juga, aku masih penasaran, Suheng!” kata yang termuda. “Tidak mungkin pemuda tadi seorang siluman. Memang kepandaiannya hebat luar biasa, akan tetapi dia seorang manusia biasa saja, bukan setan. Apakah pekerjaan mereka berdua di tempat itu? Jangan-jangan mereka adalah orang-orang jahat yang menyembunyikan diri.”

“Habis kau mau apa, Sute? Terhadap orang-orang lihai seperti mereka itu, lebih baik kita menjauhkan diri,” kata yang tertua.

“Celaka, kapak dan golok kita tertinggal di depan goa!” mengeluh orang ke dua.

“Kita harus melaporkan hal ini kepada Suhu!”

Demikianlah, sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa aneh itu, ketiga penebang pohon ini lalu kembali ke dusun tempat tinggal mereka. Karena mereka menceritakan pengalaman mereka kepada kawan-kawan di dusun, maka sebentar saja gegerlah dusun itu dan semua orang membicarakan sepasang ‘siluman’ di hutan itu yang disebutnya ‘Pek-ang Siang-mo’ (Sepasang Iblis Putih Merah).

Pek I Hosiang mendengarkan penuturan ketiga orang muridnya dengan penuh perhatian dan hatinya merasa amat tertarik. Akan tetapi ia tidak menyatakan perhatiannya, bahkan ia lalu menegur ketiga orang muridnya itu.

“Kalian bertiga memang telah berlaku lancang. Mana ada siluman di dunia ini? Seperti yang kuduga, mereka adalah orang-orang pandai yang tengah bertapa. Mungkin pemuda itu murid si pertapa yang kalian lihat sebagai bayang-bayang merah. Lain kali janganlah kalian berlaku lancang. Hutan di sekitar pegunungan ini sangat banyak, mengapa justru mencari di tempat yang terlarang itu?”

Sungguh pun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya Pek I Hosiang merasa tertarik dan ingin sekali menyaksikan sepasang siluman itu dengan mata kepala sendiri. Sebagai seorang hwesio, ia tidak menghendaki permusuhan, akan tetapi sebagai seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi, tentu saja dia sangat tertarik mendengar tentang kelihaian ilmu silat orang lain. Ia ingin sekali melihat siapakah gerangan orang pandai yang menyembunyikan diri di tempat itu. Diam-diam ia lalu mengambil keputusan untuk pergi sendiri menemui dua orang aneh itu.

Di dalam hutan yang dianggap oleh penduduk sebagai tempat tinggal Pek-ang Siang-mo itu, terdapat sebuah lapangan terbuka dekat sebatang anak sungai yang bening airnya. Pemandangan di situ sungguh indah.

Pada suatu pagi, di kala burung-burung hutan berkicau dan bersuka cita menyambut datangnya sang matahari, di atas lapangan itu nampak sinar pedang bergulung-gulung menyelimuti bayangan putih yang gerakannya cepat sekali. Ada kalanya gerakan sinar pedang itu mengendur dan tampaklah bayangan putih itu sebagai tubuh seorang pemuda berbaju putih yang sedang mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat indahnya. Di waktu permainan ilmu pedangnya mengendur, ia seakan-akan sedang menari saja.

Tidak saja ilmu pedangnya yang aneh, bahkan pedang di tangan pemuda baju putih itu lebih aneh lagi. Disebut pedang seperti bukan pedang, akan tetapi cara memegang dan memainkannya sama dengan pedang! Senjata ini selain aneh juga indah akan tetapi juga mengerikan.

Ukurannya besar dan panjangnya tak berbeda dengan pedang biasa, akan tetapi senjata ini tidak tajam juga tidak runcing sehingga lebih tepat apa bila disebut bentuknya seperti tongkat pendek. Akan tetapi, senjata ini berbentuk ukiran sin-liong (naga sakti) membelit tiang. Ukirannya indah sekali dan agaknya terbuat dari pada logam yang sangat keras berkilauan dan berwarna putih sedangkan tubuh naga yang melibatnya berwarna kuning. Pemuda itu memegang naga itu pada ekornya sehingga kepala naga merupakan ujung senjata itu. Dari mulut naga kecil itu keluar lidah merah yang panjang dan mengerikan.

Setelah bermain silat dengan gerakan lambat dan indah, tiba-tiba ia memutar senjatanya makin lama semakin cepat dan kembali tubuhnya lenyap terbungkus oleh gulungan sinar senjatanya yang dahsyat.

“Cukup, Siong-ji (Anak Siong), kau mengasolah!” terdengar suara nyaring dari seorang wanita yang berdiri tak jauh dari situ sambil memandang permainan pemuda itu dengan penuh perhatian.

Wanita itu mengenakan pakaian serba merah. Walau pun potongan pakaiannya itu amat sederhana, namun terbuat dari kain sutera dan amat bersih. Kalau orang melihatnya dari belakang atau dari samping, orang akan mengira bahwa ia adalah seorang wanita muda, karena bentuk tubuhnya yang langsing itu masih tampak kuat dan penuh, kulit tangannya halus dan putih.

Akan tetapi kalau orang berhadapan muka dengannya, dia akan terkejut melihat bahwa wanita ini nampak sudah tua sekali. Rambutnya hampir putih semua, kulit mukanya juga berkeriput, sungguh pun matanya masih bening dan bersinar amat tajam, bahkan giginya masih bagus dan rata seperti gigi wanita muda yang cantik!

Masih jelas nampak bahwa dia dulu adalah seorang wanita yang amat cantiknya dengan bentuk muka yang bagus. Kerut-merut pada jidatnya membayangkan penderitaan batin yang hebat, dan mulutnya yang masih berbentuk manis sekali itu ditarik mengeras dan tak pernah nampak tersenyum.

Pembaca tentu telah dapat menduga siapa adanya wanita ini. Dia bukan lain adalah Ang I Niocu Kiang Im Giok, pendekar wanita yang di waktu mudanya telah menggemparkan dunia persilatan karena kegagahannya. Tak ada seorang pun ahli silat di dunia kang-ouw yang tidak mengenal atau tidak mendengar namanya yang besar. Ia amat terkenal, baik karena kepandaiannya mau pun karena kecantikannya yang luar biasa.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu adalah seorang wanita yang amat memperhatikan serta menyayangi kecantikannya sehingga untuk menjaga kecantikannya dari usia tua, ia tidak segan-segan untuk mencari obat kecantikan berupa telur Pek-tiauw (rajawali putih) dan sudah banyak makan telur yang dapat memelihara kecantikannya ini. Di waktu ia berusia tiga puluh tahun lebih ia masih nampak cantik jelita bagaikan seorang gadis berusia tujuh belas tahun.

Akan tetapi segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Bahkan keadaan yang ditimbulkan karena kekuasaan alam yang sewajarnya pun masih tidak kekal adanya, apa lagi keadaan yang ditimbulkan oleh kekuasaan yang tidak wajar.

Khasiat telur Pek-tiauw itu walau pun luar biasa sekali, namun ada pantangannya, yaitu wanita yang sudah makan obat ini, apa bila mempunyai putera, akan musnalah khasiat obat itu, bahkan akibatnya mengejutkan sekali. Ang I Niocu setelah melahirkan seorang putera, tidak saja kecantikan dan kemudaannya lenyap, bahkan ia nampak amat tua dua kali lipat seperti seorang wanita berusia delapan puluh tahun!

Pada bagian depan telah diceritakan bahwa karena batinnya menderita disebabkan oleh keriput di wajahnya dan uban di kepalanya yang membuatnya nampak tua sekali, secara diam-diam Ang I Niocu lalu meninggalkan suaminya, Lie Kong Sian, dan pergi merantau membawa putera tunggalnya. Pendekar wanita ini merantau sampai jauh, dan semenjak meninggalkan pulau tempat tinggalnya, dia selalu memilih jalan yang sunyi supaya tidak bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya.

Akhirnya dia memilih Pegunungan Ho-lan-san sebagai tempat tinggalnya di mana dia lalu mendidik puteranya, Lie Siong, dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan. Tempat tinggalnya hanya di dalam sebuah goa yang besar dan amat dalam. Akan tetapi di dalam hidup penuh kesederhanaan ini, ia selalu memperhatikan keperluan putranya yang amat dicintainya.

Segala keperluan Lie Siong, makanan lezat serta pakaian indah sampai barang-barang permainan apa saja, dia adakan dan tanpa segan-segan pada malam hari Ang I Niocu mendatangi kota-kota besar untuk mencari barang-barang itu.

Dengan amat rajin, Ang I Niocu menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lie Siong. Ia mengajarkan ilmu silat pedangnya yang luar biasa, yakni Sianli Utauw (Tari Bidadari), Ngo-lian-hoan Kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Teratai), ilmu pukulan yang disebut Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), dan juga Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak)! Lie Siong ternyata mempunyai otak yang cerdik dan bakat yang baik sekali sehingga dia dapat mempelajari semua ilmu itu dengan cepat dan baik sekali.

Akan tetapi, oleh karena ia hanya hidup bersama dengan ibunya yang menderita dan tak pernah bergembira, maka dia pun menjadi seorang pemuda yang sangat pendiam, keras hati, dan angkuh. Ang I Niocu merasa demikian bangga kepada puteranya ini sehingga ketika puteranya baru berusia empat belas tahun, ia sengaja mencarikan sebuah senjata istimewa untuk Lie Song.

Ang I Niocu mendengar tentang seorang kepala rampok di Kun-lun-san yang mempunyai sebatang senjata yang disebut Sin-liong-kiam (Pedang Naga Sakti). Tanpa peduli akan jauhnya tempat itu dan kesukaran yang dihadapinya, Ang I Niocu mendatangi tiga kepala rampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya ia pun berhasil mengalahkan si kepala rampok dan merampas senjatanya!

Demikianlah, dengan Sin-liong-kiam di tangannya Lie Siong semakin gagah seakan-akan seekor harimau muda yang tumbuh sayap. Beberapa kali anak muda ini bertanya kepada ibunya tentang ayahnya, dan Ang I Niocu juga tidak menyembunyikan sesuatu.

Ia menceritakan kepada Lie Siong tentang ayahnya, yaitu Lie Kong Sian, dan mengapa dahulu mereka meninggalkan Pulau Pek-le-to. Juga Ang I Niocu menceritakan mengenai pendekar-pendekar silat yang menjadi kawan-kawannya seperti Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya Kwee Lin, sepasang suami isteri murid Bu Pun Su yang amat pandai. Ia menceritakan pula tentang Kwee An dan Ma Hoa, sepasang suami isteri pendekar yang juga memiliki ilmu silat tinggi yang menjadi sahabat baiknya.

“Kelak kalau kau bertemu dengan mereka, kau akan dapat menarik banyak pelajaran dari empat orang pendekar ini, Siong-ji,” Ang I Niocu sering kali berkata.

Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa hati puteranya itu lebih tinggi dan lebih angkuh dari pada hatinya sendiri ketika masih muda. Mendengar ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh dan yang lain-lain, hati Lie Siong tidak menjadi tunduk, bahkan dia merasa penasaran dan ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian mereka itu!

Telah beberapa kali Lie Siong minta pada ibunya untuk turun gunung, akan tetapi ibunya selalu mencegahnya. “Kepandaianmu masih belum cukup sempurna, Siongji. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang jahat, dan kalau kau tidak memiliki kepandaian yang tinggi, kau akan mudah terganggu oleh orang-orang yang jahat dan pandai.”

Demikianlah, pada pagi hari itu, seperti biasanya Lie Siong berlatih ilmu silat pedang di bawah pengawasan ibunya. Kali ini Ang I Niocu merasa sangat puas karena ternyata bahwa gerakan ilmu pedang puteranya sudah sempurna, tak ada kesalahan sedikit pun. Diam-diam dia maklum bahwa sekarang kepandaian puteranya sudah mencapai tingkat yang tidak lebih rendah dari pada kepandaiannya sendiri! Dia telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada putera tercinta ini.

“Siong-ji,” Ang I Niocu berkata sambil duduk di dekat puteranya dan memandang dengan mata penuh kasih sayang, “sekarang aku berani menyatakan bahwa kepandaianmu telah sampai di tingkat yang cukup tinggi. Aku dapat meninggalkan dunia ini dengan hati lega karena kepandaianmu ini sudah cukup untuk digunakan sebagai penjaga diri.”

Berseri wajah Lie Siong mendengar ini. Biasanya, sehabis berlatih, ibunya selalu masih mencelanya.

“Kalau begitu, sudah tiba waktunya bagiku untuk turun gunung, Ibu?”

Ang I Niocu menggelengkan kepala. “Berat bagiku untuk berpisah darimu, Anakku. Kalau kau pergi, bagaimanakah dengan aku?”

“Kenapa, Ibu? Mengapa Ibu tidak ikut turun gunung? Marilah kita turun dari tempat yang sunyi ini. Apakah selama hidup Ibu tidak mau bertemu dengan manusia?”

Tiba-tiba kerut di jidat Ang I Niocu makin mendalam. “Tengoklah aku, Siong-ji. Lihatlah mukaku ini baik-baik! Alangkah akan malu hatiku dan hatimu apa bila orang lain melihat mukaku yang buruk ini!” Ia lalu menarik napas panjang berulang-ulang.

Lie Siong juga mengerutkan keningnya dan memandang wajah ibunya. “Aneh sekali, Ibu. Aku merasa heran karena kau selalu menyebut hal ini. Menurut pandanganku, wajahmu sangat cantik dan aku bangga melihat wajahmu, Ibu. Mengapa kau selalu menganggap wajahmu buruk? Aku sudah sering kali melihat wanita-wanita di dusun bawah gunung dan tak ada seorang di antara mereka memiliki mata sebening mata Ibu, bentuk muka secantik muka Ibu! Ibu sama sekali tidak buruk, hanya nampak tua, itu betul. Akan tetapi, apakah hal ini perlu dibuat malu? Apakah yang tidak akan pernah menjadi tua di dunia ini? Benda-benda yang paling keras dan kuat, akhirnya akan menjadi tua pula!”

Ang I Niocu memegang tangan puteranya. “Ah, Siong-ji, kalau saja kau dapat melihat wajah ibumu pada waktu masih muda dulu! Ah, dibandingkan dengan sekarang, bedanya seperti bumi dengan langit!”

“Aku tak peduli, Ibu. Bagiku, bagaimana pun juga perubahan yang terjadi pada wajahmu, kau tetap ibuku. Tua atau muda, cantik atau buruk, seorang Ibu tetap menjadi wanita termulia di dunia ini! Marilah kita turun gunung, Ibu, dan aku bersumpah, siapa saja yang berani mencela wajah Ibu, yang berani menghina atau membikin malu kepadamu, akan kupecahkan kepalanya!”

Dengan terharu Ang I Niocu memeluk puteranya. “Aku girang mendengar ucapanmu ini, Siong-ji. Kau tidak perlu khawatir, kurasa tidak ada seorang pun di dunia ini yang begitu berani menghina Ang I Niocu! Seandainya ada, tak perlu kau mengeluarkan peluh, aku sendiri masih cukup kuat untuk meremukkan kepalanya!”

“Kalau begitu, kau mau turun gunung, Ibu?”

Kembali kening Ang I Niocu berkerut lagi. “Nanti dulu, Siong-ji... aku masih ragu-ragu... wajahku ini...”

Lie Siong bangun berdiri dan membanting-banting kaki. “Lagi-lagi Ibu berbicara tentang wajah...!”

“Ahhh, kau tidak tahu, Anakku. Dulu, Ang I Niocu adalah secantik-cantiknya orang, akan tetapi sekarang, seburuk-buruknya wanita! Bagaimana aku dapat menghadapi mereka?”

“Mereka siapa, Ibu?”

“Ayahmu, Pendekar Bodoh, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa...”

“Sudahlah, sudahlah! Aku bosan mendengar nama mereka kau sebut-sebut terus!” kata Lie Siong sambil mempergunakan kedua tangan untuk menutup telinganya!

Pada saat itu, Ang I Niocu yang tadinya masih duduk di atas tanah, melompat bangun dan memegang lengan anaknya. Ia mendengar sesuatu dan sebelum ia dan puteranya dapat bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dengan gesitnya dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang hwesio gundul yang berpakaian putih dan berusia kurang lebih enam puluh tahun.

Hwesio ini bermuka lebar, bermata tenang berpengaruh dan mulutnya selalu tersenyum sabar. Dia adalah Pek I Hosiang yang sengaja datang mencari ke dalam hutan ini karena hendak menyaksikan sendiri bagaimana macamnya ‘Sepasang Iblis’ yang ditakuti semua orang itu.

Dia telah dapat menemukan goa tempat tinggal sepasang iblis itu dan melihat golok dan kapak milik ketiga orang muridnya berserakan di depan goa. Melihat goa itu kosong dan sunyi, Pek I Hosiang lalu mencari ke tempat lain dan akhirnya dia mendengar suara dua orang bercakap-cakap maka cepat menghampiri mereka.

Pek I Hosiang cepat membungkuk dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

“Omitohud! Harap dimaafkan apa bila pinceng mengganggu Ji-wi, dan telah datang tanpa diundang. Jika pinceng tidak salah duga, Ji-wi tentulah sepasang pendekar yang sedang mengasingkan diri di dalam hutan ini, dan yang telah disohorkan oleh semua orang di sekitar pegunungan ini.”

Tiba-tiba Ang I Niocu melangkah maju menghadapi hwesio itu, kemudian membentak, “Pergilah...! Kau hwesio tak tahu adat, pergilah dari sini!”

Pek I Hosiang terkejut melihat wanita tua yang amat galak ini, akan tetapi dengan sabar ia tersenyum dan kembali memberi hormat.

“Maaf, maaf! Sudah pinceng akui tadi bahwa pinceng telah berlaku lancang, akan tetapi pinceng memang sengaja datang hendak berkenalan dengan Ji-wi yang lihai. Pinceng mendengar tentang keadaan Ji-wi dari tiga orang murid pinceng yang beberapa hari yang lalu telah berlaku kurang ajar dan menerima hukuman. Pinceng bernama Pek I Hoasiang dan menjadi ketua dari kelenteng di bawah gunung. Pinceng kini sengaja datang untuk memintakan maaf bagi tiga orang murid pinceng. Bolehkah kiranya pinceng mengetahui, Ji-wi siapakah?”

“Sudahlah, sudahlah!” Ang I Niocu lalu membanting-banting kakinya dengan gemas dan hilang sabar. “Kami tidak ingin mengetahui namamu dan tidak ingin pula mengenalkan nama kami. Kau pergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku dan menjatuhkan tangan kepadamu!”

Akan tetapi Pek I Hosiang masih tetap tenang dan sabar. “Toanio (Nyonya Besar), harap suka berlaku sabar, karena sesungguhnya pinceng tidak bermaksud buruk. Sudah bertahun-tahun pinceng mendengar tentang adanya sepasang siluman di hutan ini, namun pinceng tidak percaya dan menduga bahwa yang dianggap siluman tentulah dua orang sakti yang bertapa di sini.”

“Cukup...! Pergi...!” Ang I Niocu membentak lagi.

“Omitohud! Banyak sudah pinceng berjumpa orang-orang pandai, akan tetapi tidak ada yang seaneh Ji-wi ini...”

“Kau mencari penyakit!” Sambil membentak marah, Ang I Niocu segera maju menyerang dengan sebuah pukulan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Pukulan ini luar biasa hebatnya, karena dari kedua lengan tangannya mengebul uap putih!

“Omitohud!” Kembali Pek I Hosiang menyebut nama Buddha dan cepat bagaikan kilat dia mengelak sambil menangkis dengan tangan kanannya.

Ketika dua lengan tangan beradu, Pek I Hosiang berseru kaget dan terhuyung-huyung mundur tiga langkah, sedangkan Ang I Niocu juga merasa betapa tenaga pukulannya terbentur pada tenaga yang amat kuat. Ia merasa heran sekali karena jarang ada orang yang bisa menahan pukulan Pek-in Hoat-sut! Ia pun maklum bahwa hwesio ini bukanlah orang sembarangan.

Sebaliknya, melihat pukulan ini, Pek I Hosiang memandang dengan mata terbelalak. “Bukankah... pukulan tadi adalah sebuah gerakan dari Pek-in Hoat-sut?” katanya sambil memandang dengan mata terbelalak.

Kembali Ang I Niocu tertegun. “Kau sudah mengetahui kelihaian pukulanku, tidak lekas minggat dari sini?!” Ia maju lagi, siap menyerang kembali.

“Ahh... kalau begitu..., Toanio ini tentulah Ang I Niocu!”

Bukan main terkejut dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar bahwa hwesio tua ini telah mengenalnya. Selama ini dia berusaha untuk menjauhi manusia supaya tidak ada orang melihat bahwa Ang I Niocu yang cantik jelita kini telah berubah menjadi seorang nenek tua buruk.

“Bangsat gundul! Dengan menyebut nama itu, berarti kau harus mampus!” teriaknya dan kembali dia memukul.

Akan tetapi Pek I Hosiang dapat mengelak dengan cepat sambil berkata, “Tentu Ang I Niocu! Siapa lagi wanita berbaju merah yang cantik jelita dan dapat mainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut selain Ang I Niocu?”

Ucapan ini semakin membakar hati Ang I Niocu. Sesungguhnya, dalam pandangan mata Pek I Hosiang, ia masih nampak cantik jelita, sungguh pun sudah amat tua, akan tetapi ia mengira bahwa hwesio itu sengaja menghina dan mengejeknya dengan menyebutkan cantik jelita tadi.

Ketika ia hendak menyerang kembali, tiba-tiba Lie Siong berkata, “Ibu, berikanlah hwesio ini kepadaku!”

Ang I Niocu tiba-tiba teringat akan puteranya dan dia lalu timbul pikiran untuk mencoba kepandaian puteranya itu. Hwesio ini cukup tangguh, dan tepatlah apa bila dipergunakan sebagai ujian bagi puteranya.

“Baik, kau majulah dan hancurkan kepala orang yang sudah berani menghina ibumu ini,” katanya sambil melompat mundur.

Di dalam hatinya, Lie Siong tidak setuju dengan pendapat ibunya. Dia sama sekali tidak menganggap hwesio tua ini menghina ibunya, akan tetapi ia tidak berkata satu kata pun. Memang dia sengaja hendak mencoba kepandaian hwesio ini, sekalian untuk mencegah ibunya turun tangan, karena pemuda ini dapat menduga bahwa kalau ibunya yang maju, hwesio ini pasti akan tewas!

Demikianlah, tanpa menanti hwesio itu mengeluarkan kata-kata, Lie Siong lalu melompat maju dan menyerangnya dengan pukulan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw. Hwesio itu kagum sekali melihat gerakan yang indah ini dan timbul kegembiraan hatinya untuk mencoba kepandaian ‘siluman’ ini.

Pek I Hosiang adalah seorang hwesio yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia adalah murid tunggal dari Biauw Leng Hosiang, tokoh kang-ouw yang sangat terkenal. Bagi pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Biauw Leng Hosiang adalah sute (adik seperguruan) dari Biauw Suthai, tokouw (pendeta wanita) yang lihai dan yang menjadi guru pertama dari Lin Lin atau Nyonya Cin Hai si Pendekar Bodoh!

Oleh karena itu tentu saja ilmu silatnya amat tinggi. Tidak seperti gurunya yang tersesat, Pek I Hosiang ternyata menjadi seorang hwesio yang suci dan beribadat.

Pek I Hosiang sudah sering mendengar nama Ang I Niocu dan mendengar pula bahwa ilmu silat Pendekar Wanita Baju Merah itu amat tinggi. Ia tahu pula bahwa Ang I Niocu mendapat latihan dari Bu Pun Su dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi seperti Pek-in Hoat-sut, Kong-ciak Sin-na dan lain-lain. Karena itu ketika ia melihat pemuda itu bersilat demikian indahnya, dia dapat menduga bahwa tentu inilah ilmu silat yang disebut Sian-li Utauw!

Meski pun gerakan pemuda itu lemah lembut dan ilmu silatnya lebih patut disebut tarian yang indah, namun dia maklum akan kelihaian tarian ini dan tidak berani memandang ringan. Beberapa kali dia sengaja menangkis untuk mencoba tenaga pemuda ini, akan tetapi ia terkejut sekali ketika merasa betapa lengannya tergetar tiap kali bertemu dengan lengan pemuda itu! Ia menjadi kagum sekali.

“Pantas...!” serunya sambil mengelak dari sebuah pukulan. “Pantas sekali kau menjadi putera Ang I Niocu yang lihai!”

Selama hidup Pek I Hosiang belum pernah menghadapi tandingan semuda dan selihai ini, maka saking gembiranya, dia lalu mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang toya pendek yang tadi diselipkan pada ikat pinggangnya.

“Anak muda, mari kita coba-coba mengadu senjata!” katanya.

Lie Siong mewarisi watak ibunya yang keras dan tinggi hati, maka mendapat tantangan ini, dia tidak mempedulikan lawannya dan terus saja menyerang dengan tangan kosong! Dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, yaitu semacam ilmu silat yang banyak menggunakan cengkeraman dan memang tepat sekali dipergunakan untuk menghadapi lawan bersenjata dengan tangan kosong.

Pek I Hosiang terkejut bukan main dan biar pun mulutnya tetap tersenyum dan sepasang matanya memandang kagum, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa penasaran dan tak senang. Alangkah sombongnya anak muda ini, pikirnya. Karena itu, dia segera memutar kedua toyanya dengan cepat sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya bermain toya.

Perlu diketahui oleh para pembaca yang belum membaca kisah Pendekar Bodoh bahwa tingkat ilmu silat Biauw Leng Hosiang tidak di bawah tingkat Ang I Niocu, maka karena Pek I Hosiang juga sudah mewarisi sebagian besar dari ilmu silat gurunya itu, maka tentu saja Lie Siong tidak dapat bertahan lama menghadapinya dengan tangan kosong.

Kedua toya pendek di tangan Pek I Hosiang bergerak laksana sepasang ular besar yang menyerang dengan berlenggak-lenggok, sehingga semua usaha Lie Siong dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk merampas senjata ini tidak pernah berhasil. Bahkan lambat akan tetapi pasti, Pek I Hosiang mulai mendesak pemuda itu!

Melihat betapa pemuda itu masih saja tak mau mengeluarkan senjatanya, Pek I Hosiang lalu memainkan gerak tipu Hing-san Chian-kun (Menyerampang Bersih Ribuan Tentara). Kedua toyanya menyambar-nyambar dari kanan kiri mengeluarkan gulungan sinar putih yang mendatangkan angin menderu.

Lie Siong diam-diam terkejut juga melihat kehebatan lawan ini, maka dia terpaksa cepat menggerakkan dua kakinya dan menghindarkan desakan lawan dengan langkah Tui-po Lian-hoan (Gerakan Kaki Mundur Berantai) sambil memukul-mukulkan kedua tangannya menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut untuk menolak datangnya dua toya yang berbahaya itu.

Namun, gerakan kedua toya di tangan Pek I Hosiang amat cepatnya dan juga tidak lurus seperti senjata lainnya, tetapi menyerang secara berlenggak-lenggok tak tentu dari mana arahnya sehingga sukarlah untuk ditangkis, sungguh pun dengan tenaga Pek-in Hoat-sut yang lihai. Karena itu, terpaksa Lie Siong mengenjot kedua kakinya, dan sambil berseru keras dia melompat dengan gerakan Lee-hi Ta-teng (Ikan Melompat ke Atas) kemudian disusul dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin (Naga Iblis Berjungkir Balik) maka tubuhnya lalu berjumpalitan di udara dan dengan jalan ini ia terhindar dari serangan lawan. Ketika dia melompat turun kembali, pada tangannya sudah nampak pedang Sin-liong-kiam yang berbentuk naga itu!

Bukan main kagumnya Pek I Hosiang melihat Sin-liong-kiam yang hebat itu!

“Bagus, jangan berlaku sheji (sungkan), anak muda yang gagah, kau majulah dengan pedangmu itu!”

Mereka bertempur lagi dan kali ini pertempuran itu betul-betul hebat dan ramai sekali. Lie Siong memutar pedangnya yang aneh itu dengan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, sedangkan Pek I Hosiang memainkan Ilmu Toya Hek-cia-kun-hwat yang juga luar biasa cepat dan kuatnya.

Akan tetapi, akhirnya hwesio tua itu terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu pedang lawan yang muda namun lihai itu. Dengan gerakan tipu Lian-hwa Gai-ho (Bunga Teratai Membuka Daun), Lie Siong menyerang dengan hebat sekali menusuk pusar lawannya.

Pek I Hosiang sangat terkejut menyaksikan hebatnya serangan ini. Sungguh pun pedang lawannya itu tidak runcing, akan tetapi bahayanya tidak kalah oleh pedang biasa yang runcing, karena kepala naga itu mempunyai tanduk yang runcing dan dapat digunakan untuk menotok jalan darah atau melukai tubuh. Dia cepat-cepat menangkis dengan toya di tangan kanannya sambil mengayun toya di tangan kiri mengemplang lawan.

Inilah gerakan ilmu toya yang disebut Menerima Kembang Memberi Buah dari Ilmu Toya Heng-cia Kun-hoat yang lihai. Memang Ilmu Toya Heng-cia Kun-hoat ini mengutamakan gerakan pembalasan yang amat cepat. Tiap kali toya kanan atau kiri menangkis, maka toya kedua pasti membarengi serangan lawan itu untuk mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya!

Akan tetapi, Lie Siong sudah tahu akan sifat ilmu toya ini, karena itu pada waktu dia tadi menyerang dengan gerakan Lian-hwa Gai-ho, dia telah siap sedia dengan tangan kirinya. Melihat toya di tangan kiri lawan menyambar ke arah kepalanya, dia cepat mengulurkan tangan dan menggunakan cengkeraman Kong-ciak Sin-na mencoba merampas toya itu!

Tentu saja Pek I Hosiang tidak mau membiarkan toyanya dirampas, maka ia cepat-cepat mengubah gerakan toya kiri ini ke samping supaya tidak sampai dirampas. Akan tetapi ternyata bahwa gerakan merampas dari pemuda itu hanyalah gerakan pancingan belaka untuk mengalihkan perhatian Pek I Hosiang, karena sebenarnya yang hendak merampas senjata lawan adalah tangan kanannya yang memegang pedang.

Ketika lawannya memperhatikan gerakan tangan kiri, maka ketika pedang itu ditangkis oleh toya kanan, Lie Siong menggetarkan tangan kanannya dan lidah merah dari pedang naga itu dengan cepat lalu membelit toya lawan dan sekali ia berseru keras dan menarik, toya kanan dari Pek I Hosiang telah terbetot dan terlepas!

Pek I Hosiang kaget sekali, cepat menggunakan gerakan Naga Hitam Keluar dari Awan, melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan lawannya. Akan tetapi sebetulnya tak perlu ia menggunakan gerakan ini, karena Lie Siong tidak menyerangnya, juga tidak mengejarnya.

Sambil melihat sebatang toyanya tergantung pada lidah pedang naga itu, Pek I Hosiang menghela napas dan tersenyum pahit.

“Omitohud! Kau anak muda betul-betul mengagumkan! Pinceng Pek I Hosiang mengaku kalah!” Ia menjura kepada Lie Siong.

Pemuda itu tidak menjawab, hanya menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba toya yang tadi terbelit oleh lidah pedang naganya, kini terlepas lantas meluncur ke arah pemiliknya dengan kecepatan laksana anak panah yang terlepas dari busurnya! Pek I Hosiang cepat mengulur tangan dan menangkap toyanya yang hendak menembus dadanya itu.

Akan tetapi, Ang I Niocu tidak puas dengan kemenangan puteranya yang tidak melukai lawannya itu.

“Hwesio busuk, lekas kau pergi dari sini dan tinggalkan toyamu!” katanya dan secepat kilat dia sudah mencabut pedang Liong-cu-kiam yang bercahaya menyilaukan itu. “Tidak seorang pun yang datang bersenjata boleh pulang membawa senjatanya!”

Ia lalu menerjang dengan cepat, menyerang dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Menyebar Bunga hingga pedangnya berkelebat dan berubah menjadi segulung sinar indah. Pek I Hosiang terkejut dan cepat mengangkat kedua toyanya untuk menangkis.

“Traang...! Traaaang...!”

Saat dua kali pedang Liong-cu-kiam bertemu dengan sepasang toya itu, ternyata dengan amat mudahnya toya-toya itu terbabat putus!

Ang I Niocu melompat mundur kembali, masukkan pedang ke dalam sarung pedangnya dan berkata singkat, “Pergilah!”

Pek I Hosiang menjadi pucat dan ia masih menahan perihnya hati karena hinaan ini. Ia tersenyum sabar dan menjura.

“Terima kasih atas petunjuk dari Ang I Niocu dan puteramu!” hwesio ini lalu melompat dan turun gunung dengan tindakan kaki cepat sekali.

Sesudah bayangan hwesio itu tidak nampak lagi, Lie Siong lalu berkata kepada ibunya, “Ibu, Liong-cu-kiam itu hebat sekali. Kalau pedang Sin-liong-kiam beradu dengan pedang Liong-cu-kiam, bukankah senjataku akan terbabat putus pula?”

“Siong-ji, apa kau kira ibumu akan mencarikan pedang sembarangan saja untukmu tanpa diuji terlebih dulu? Cabutlah pedangmu itu!”

Lie Siong meloloskan Sin-liong-kiam, ada pun Ang I Niocu juga mencabut Liong-cu-kiam. “Nah, mari kita berlatih, sekalian untuk membuktikan apakah pedangmu akan rusak kalau akan bertemu dengan pedangku!”

Anak dan ibu itu lalu bermain pedang, serang menyerang dengan hebatnya, bahkan lebih hebat dari pada pertempuran melawan hwesio tadi! Beginilah cara Ang I Niocu melatih anaknya! Dulu, sebelum Lie Siong memiliki kepandaian tinggi, setiap kali berlatih dengan ibunya, pemuda ini tentu mengalami kesakitan dan selalu dirobohkan oleh ibunya!

Pernah ia mengalami ditotok sampai pingsan, dipukul sampai matang biru, bahkan ketika berlatih senjata tajam, pernah pundaknya tergores pedang sampai mengeluarkan darah! Hal ini memang disengaja oleh Ang I Niocu untuk melatih ketabahan kepada puteranya. Sekarang mereka berlatih dengan pedang-pedang mustika, hal yang baru kali ini mereka lakukan. Liong-cu-kiam dan Sin-liong-kiam berkali-kali bertemu sehingga terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berpijar, akan tetapi kedua pedang itu ternyata tidak rusak!

Seratus jurus lebih mereka bermain pedang dan yang nampak hanyalah bayang-bayang putih dan merah yang diselimuti oleh gulungan cahaya pedang Liong-cu-kiam yang putih seperti perak dan sinar pedang Sin-liong-kiam yang kekuning-kuningan seperti emas!

“Sudah cukup...!”

Keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing. Hati Lie Siong merasa puas sekali dan diam-diam Ang I Niocu yang nampak berpeluh pada jidatnya itu makin sayang dan bangga terhadap puteranya. Kini kepandaian puteranya itu tidak kalah olehnya!

“Siong-ji, sekarang telah banyak orang yang tahu akan tempat tinggal kita, malah hwesio gundul tadi sudah mengetahui siapa adanya kita! Kurasa tidak perlu lagi kita lebih lama tinggal di tempat ini!”

Lie Siong menatap wajah ibunya. Ia girang sekali, akan tetapi kegirangan ini sama sekali tidak membayang pada wajahnya yang elok.

“Jadi, kita turun gunung?” tanyanya penuh harapan.

Betapa pun keras hatinya sehingga dia sering kali berbantah dengan ibunya, namun Lie Siong adalah seorang anak yang berbakti dan sama sekali ia tidak mau memaksa pergi kalau ibunya belum memberi persetujuannya.

Akan tetapi ibunya menggeleng kepala. “Bukan kita, akan tetapi engkau sendiri! Sudah lama kau ingin merantau, bukan? Nah, sekarang kepandaianmu sudah cukup. Kau pergi dan carilah pengalaman di dunia kang-ouw!”

“Akan tetapi, bagaimana dengan kau, Ibu...? Kau akan kesunyian, hidup seorang diri di tempat ini...”

Ibunya lantas mencabut pedang Liong-cu-kiam yang ampuh tadi. “Aku sudah mempunyai kawan. Liong-cu-kiam ini adalah kawanku yang amat setia, pedang inilah yang memberi kenang-kenangan kepadaku.” Sambil berkata demikian, dia mengusap-usap pedang itu dengan tangannya, penuh kasih sayang.

“Ibu, dari manakah kau memperoleh Liong-cu-kiam itu?”

Ibunya menghela napas panjang dan teringatlah dia akan segala pengalaman bersama Pendekar Bodoh ketika mendapatkan pedang itu.

“Sesungguhnya, Susiok-couw Bu Pun Su yang memberi pedang ini kepadaku. Masih ada sebatang lagi, yang lebih panjang, dan yang sekarang berada di dalam tangan Pendekar Bodoh.”

“Ah, aku ingin sekali menyaksikan kelihaian orang tua yang menjadi susiok-couw-mu itu, Ibu.”

“Anak bodoh, jangan sembarangan bicara! Susiok-couw Bu Pun Su adalah seorang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Tiada tokoh di dunia ini yang dapat mengimbanginya, dan sekarang yang mewarisi kepandaiannya hanyalah Pendekar Bodoh seorang, walau pun ibumu juga pernah mendapat latihan darinya.”

“Hemm, aku pun sejak dulu ingin sekali bertemu dengan Pendekar Bodoh yang sering kali Ibu puji-puji.”

“Pergilah dan kau tentu akan berjumpa dengan mereka yang pandai itu. Pergilah dan berlakulah hati-hati, jangan membikin malu nama ibumu.”

Sesudah berkata demikian, Ang I Niocu mengajak puteranya kembali ke dalam goa lalu mengumpulkan pakaian puteranya. Dia mengeluarkan pula beberapa stel pakaian warna kuning dengan leher baju merah. Memang, semenjak masih kecil, Lie Siong selalu diberi pakaian warna putih atau kuning oleh ibunya sehingga lama kelamaan pemuda itu hanya suka mengenakan pakaian putih atau kuning saja.

“Nah, kau pergilah, Anakku. Kau sudah tahu di mana tempat tinggal sahabat-sahabatku, carilah mereka dan jangan kau membikin malu ibumu. Juga kau telah tahu siapa adanya tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat dan yang pernah bermusuhan dengan ibumu, karena itu berhati-hatilah terhadap mereka. Kurasa ayahmu tidak berada di Pulau Pek-le-to lagi, karena ayahmu tentu mencari-cari kita. Kasihan ayahmu itu, kau carilah dia dan mintakan ampun ibumu yang telah meninggalkan dia. Berangkatlah, doaku besertamu selamanya.”

“Selamat tinggal, Ibu. Dan... Ibu hendak ke manakah? Bilakah aku bisa bertemu dengan Ibu lagi?”

“Tak perlu kau bingungkan soal ibumu, Nak. Aku boleh jadi berada di sini atau di tempat lain, akan tetapi jangan khawatir, kita pasti akan bertemu kembali kelak.”

Berat hati Lie Siong ketika hendak meninggalkan tempat itu. Dia telah melangkah keluar dari goa, akan tetapi tiba-tiba dia kembali lagi dan memeluk ibunya.

“Ibu, berjanjilah bahwa kita pasti akan bertemu lagi.”

Ang I Niocu merasa terharu dan dia lalu tersenyum, senyum yang sudah bertahun-tahun meninggalkan bibirnya. Ia lalu mendekap kepala puteranya dan mencium jidat puteranya yang tercinta itu.

“Jangan gelisah, Siong-ji. Apakah kau kira aku senang hati berpisah dengan kau untuk selamanya? Percayalah, pasti aku akan bertemu kembali dengan engkau, Anakku.”

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Maka berangkatlah Lie Siong dengan membawa sebungkus pakaian yang diikatkan pada punggungnya, ada pun pedangnya, Sin-liong-kiam, atas kehendak ibunya disembunyikan di balik mantelnya yang panjang.

Ketika dia telah keluar dari hutan tempat tinggalnya dan memasuki hutan berikutnya, dia mendengar suara riuh rendah dan ternyata bahwa dari bawah gunung nampak dua puluh orang lebih sedang naik menuju ke hutan itu. Mereka adalah penebang-penebang pohon yang bersenjata lengkap, mengiringi enam orang yang bukan lain adalah para pengusaha kayu.

Mereka ini merasa penasaran ketika mendengar cerita tiga orang penebang pohon yang bertemu dengan sepasang ‘siluman’ itu dan kini setelah mengumpulkan dua puluh lebih orang-orang yang dianggap paling kuat dan gagah di antaranya sebagian besar adalah murid dari Pek I Hosiang, lalu beramai-ramai naik ke atas gunung hendak menyerbu dan menangkap siluman-siluman itu!

Lie Siong tertarik hatinya melihat orang banyak ini, terutama ketika dia melihat mereka itu berhenti dan bersorak seakan-akan menonton sesuatu yang menarik hati. Pada saat Lie Siong sampai di dekat tempat itu, ternyata dia melihat empat orang yang bertubuh kuat sedang mendemonstrasikan tenaga mereka.

Keempat orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang paling pandai. Tadi ketika mereka berjalan naik, mereka tiada hentinya membicarakan sepasang siluman itu dan timbul hati ngeri dan takut di antara sebagian besar para penebang pohon. Oleh karena itu, untuk membakar semangat kawan-kawannya, empat orang yang terkuat itu kemudian memperlihatkan tenaga mereka dan memang mereka ini kuat sekali!

Sebatang pohon yang besarnya tak kurang dari tubuh enam orang menjadi satu, telah diikat batangnya dengan seutas tambang yang besar dan sangat kuat, kemudian empat orang itu lalu mengerahkan tenaga menarik tambang itu. Urat-urat menonjol pada dada dan tangan mereka yang telanjang karena untuk demonstrasi ini, mereka sengaja sudah menanggalkan baju agar tidak robek.

Memang kehebatan tenaga mereka sulit dipercaya. Empat ekor kerbau saja belum tentu akan dapat menarik pohon itu sehingga tumbang, akan tetapi pada saat empat orang ini mengerahkan tenaga, segera terdengar suara keras sekali dan pohon itu roboh berikut akar-akarnya!

Karena semua orang sedang menonton pertunjukan ini dengan penuh perhatian, maka tak ada seorang pun di antara mereka melihat Lie Siong yang diam-diam berdiri di antara mereka, yang menonton demonstrasi itu.

Berbareng dengan robohnya pohon itu, terdengar sorak-sorai memuji, karena siapakah yang tidak kagum menyaksikan tenaga luar biasa dari empat orang jagoan itu? Empat orang itu memandang ke sekeliling dengan bangga dan mengangkat dada, akan tetapi tiba-tiba seorang di antara mereka yang berjenggot pendek, melihat Lie Siong.

Ia merasa heran karena tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika dia melihat betapa pemuda yang lemah-lembut ini tidak turut bersorak memuji. Memang tak seorang pun di antara mereka mengenal Lie Siong, sebab tiga orang penebang pohon yang pernah dia robohkan itu tidak berani ikut serta bersama rombongan ini. Si Jenggot Pendek melangkah maju dan menegur,

“Eh, Sobat! Kau ini siapakah dan mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak menghargai kepandaian kami? Ketahuilah bahwa hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian kami berempatlah maka sepasang siluman Pek-ang Siang-mo itu akan ditumpas!”

Semua orang kini memandang kepada Lie Siong dengan heran karena mereka pun tidak mengenal pemuda ini dan tidak tahu pula kapan pemuda ini datang di situ.

Lie Siong merasa mendongkol sekali melihat kesombongan mereka, terutama sekali saat mendengar betapa mereka hendak membasmi sepasang iblis yang dia dapat menduga tentu dimaksudkan ibunya dan dia sendiri. Dengan wajah tenang dan tak berubah sedikit pun juga, ia berkata acuh tak acuh,

“Apa sih anehnya tenaga kalian berempat? Lebih baik kalian pergi dan jangan masuk ke dalam hutan di atas ini.”

“Eh, ehh, mengapa kau berkata demikian?” tanya Si Jenggot Pendek.

“Karena tenagamu yang hanya dapat merobohkan pohon lapuk itu takkan ada gunanya. Kalau kalian pergunakan untuk menarik lawan, biar pun hanya satu kakinya saja, kalian tidak akan mampu merobohkannya!”

Bukan main marahnya empat orang jagoan itu dan semua orang juga ikut memandang dengan heran dan marah.

“Orang muda, kau tahanlah lidahmu! Kalau kau bicara sembarangan saja, dengan sekali pukul aku akan menghancurkan kepalamu!” kata salah seorang di antara empat jagoan itu yang bertubuh besar pendek.

“Siapa bicara sembarangan? Kalianlah yang bermata buta dan sombong.”

“Kau bicara sungguh-sungguh?” Si Jenggot Pendek berkata sambil tersenyum menghina. “Kalau begitu, kau berani membiarkan sebelah kakimu kami tarik dengan tambang dan kau merasa pasti bahwa kami tidak akan dapat merobohkanmu?”

Semua orang tertawa mengejek mendengar ini. Enam orang pengusaha itu lalu berdiri sekelompok kemudian berbisik-bisik karena mereka juga merasa sangat heran melihat keberanian pemuda tampan ini.

Akan tetapi Lie Siong masih bersikap tenang dan dingin. “Mengapa tidak berani? Kalau kau dapat menarik sebelah kakiku dengan tambang dan dapat merobohkan aku, barulah kalian patut naik ke hutan itu.”

“Bagus!” seru Si Jenggot Pendek. “Akan tetapi kalau kakimu sampai terbetot putus dari tubuhmu, jangan kau persalahkan kami, anak muda yang manis!”

Terdengar suara orang-orang tertawa disusul dengan ejekan, “Bila kakinya sudah copot, bagaimana dia bisa mengeluarkan kata-kata lagi?”

Kembali terdengar semua orang tertawa geli sungguh pun mereka memandang semakin tertarik dan dengan penuh perhatian. Semua orang lalu menduga-duga siapa gerangan pemuda yang mencari penyakit ini. Apakah dia berotak miring?

“Boleh, aku berjanji,” jawab Lie Siong yang ingin mempermainkan orang-orang sombong itu, “sebaliknya kalian semua harus berjanji bahwa apa bila kalian tak dapat merobohkan sebelah kakiku maka selama hidup kalian tidak akan mengganggu dan menebang pohon di hutan itu!”

“Jadi!!” seru Si Jenggot Pendek, tidak memikirkan lagi keheranan hati yang timbul karena ucapan pemuda ini seakan-akan membela sepasang siluman di hutan itu!

Semua orang lalu mundur dan membuat lingkaran, berdiri mengelilingi pemuda itu. Para pengusaha berdiri sekelompok sedangkan para penebang kayu berdiri di kelompok lain yang tersendiri, tidak berani mendekati para ‘thauwke’ (majikan) itu. Empat orang kuat itu lalu mempersiapkan tambang besar tadi. Si Jenggot Pendek memegang ujung tambang dan menghampiri Lie Siong sambil bertanya menyeringai,

“Kau sudah siap?”

Lie Siong menurunkan buntalan pakaiannya dan menaruh di atas tanah bawah pohon, kemudian dia kembali ke tengah lapangan itu, dan berdiri dengan satu kaki, mengangkat kaki kirinya ke depan, dan kedua tangannya ditaruh di belakang. Sikapnya demikian enak dan seakan-akan tak bertenaga sama sekali sehingga semua orang tertawa mengejek.

Kalau orang yang mempunyai kepandaian silat, tentu akan memasang bhesi (kuda-kuda) yang teguh, mengerahkan tenaga pada kaki yang hendak ditarik. Akan tetapi mengapa pemuda ini berdiri seakan-akan sedang makan angin menikmati sinar bulan purnama? Sungguh lucu dan menggelikan. Jangan kata hendak ditarik dengan tambang oleh empat orang yang bertenaga gajah, sedangkan kalau ada angin besar bertiup saja, agaknya pemuda itu akan rubuh.

Tentu saja mereka itu tidak tahu bahwa Lie Siong diam-diam sudah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh yang disebut Ban-kin-cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati) dan cara berdiri itu adalah bhesi (kuda-kuda) dari Ilmu Silat Sian-li Utauw (Ilmu Silat Bidadari), yaitu disebut Berdiri Dengan Kaki Berakar!

“Aku sudah siap!” Lie Siong berkata dengan suara dingin saja seakan-akan tidak sedang menghadapi urusan penting.

Sambil tertawa haha-hihi, Si Jenggot Pendek lalu membelitkan ujung tambang pada kaki kanan Lie Siong tepat pada tulang keringnya, di atas pergelangan kaki, agak di bawah betisnya. Kemudian setelah memeriksa bahwa ikatan tali pada kaki itu cukup kuat takkan terlepas bila ditarik, ia lalu mendekati kawan-kawannya dan sambil tersenyum-senyum ia berkata perlahan,

“Kita menggunakan tenaga tiba-tiba menariknya agar dia jatuh terjengkang!”

Tiga orang itu tersenyum gembira kemudian menganggukkan kepalanya. Mereka segera berdiri berbaris dan memegang tambang itu.

Semua orang memandang dengan napas tertahan, karena betapa pun mereka merasa lucu dan penasaran kepada pemuda yang mereka anggap berotak miring ini. Melihat wajah yang elok dan kulit yang halus itu mereka merasa kasihan juga.

Sedikitnya kaki yang tidak seberapa besarnya itu pasti akan patah akibat tarikan empat orang kuat ini, pikir mereka. Bahkan salah seorang pengusaha yang berpakaian kuning dan yang masih muda berwajah tampan, lalu menghampiri Lie Siong dan berkata,

“Hian-te, kenapa kau melakukan hal yang bodoh ini? Kau mintalah maaf kepada mereka dan aku yang tanggung bahwa perkara ini akan dibikin habis sampai di sini saja.”

Lie Siong paling tidak suka apa bila ada orang menaruh hati kasihan kepadanya, maka sambil mengerling tajam ke arah orang itu, dia pun berkata, “Jangan ikut campur, dan mundurlah!” Tentu saja semua orang semakin merasa tak senang melihat sikap ini, dan orang baju kuning itu pun mundur dengan muka kemerahan.

“Aku sudah siap, hayo tariklah sekuatmu!” kata Lie Siong sekali lagi.

Orang berjenggot pendek itu lalu memberi aba-aba, “Tarik...!!”

Empat orang itu langsung mengerahkan seluruh tenaga membetot tambang itu sehingga urat-urat pada lengan dan dada mereka mengembung. Semua orang memandang dan terbayang sudah di mata mereka betapa pemuda elok ini akan jatuh tunggang-langgang dengan kaki patah. Akan tetapi... sungguh aneh, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu!

Pemuda elok itu masih berdiri seperti tadi, kaki kiri diangkat ke depan dan kedua tangan ditaruh di belakang. Sedikit pun ia tidak berkedip seakan-akan sama sekali tidak merasa akan tarikan dan sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri!

“Aduh...! Sungguh aneh!” terdengar suara penonton.

“Tak masuk di akal!”
“Tak mungkin...!”
“Ajaib sekali...!”

Jika semua orang yang menonton menjadi terheran-heran, empat orang jagoan itu lebih terkejut lagi. Tambang itu sudah tertarik sehingga menegang, bahkan terdengar bergerit saking kuatnya mereka menarik, akan tetapi mereka merasa seolah-olah sedang menarik sebuah gunung saja!

Untuk sesaat mereka saling pandang, kemudian dengan amat penasaran mereka segera menarik lagi. Kini tarikan mereka tidak teratur lagi, suara mereka ‘ah-ah, uh-uh’ sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, sehingga mereka terhuyung ke sana terdorong ke mari, namun tetap saja kaki yang dilibat tambang dan ditarik itu sama sekali tidak bergeming sedikit pun!

Kini tak seorang pun penonton dapat mengeluarkan suara, bahkan bernapas pun mereka hampir lupa! Keempat orang jagoan itu sambil membetot, memandang kepada pemuda itu dengan mulut ternganga saking herannya, akan tetapi mereka tidak berhenti menarik. Mustahil tidak dapat merobohkannya, pikir mereka dan kembali mereka mengerahkan tenaga seadanya untuk membetot kaki yang hanya kecil saja itu!

Peluh sebesar kacang telah menitik turun dari jidat mereka, dan napas mereka pun mulai terengah-engah setelah beberapa lama mereka menarik dengan tenaga sepenuhnya.

Lie Siong merasa bahwa sudah cukup ia memperlihatkan tenaganya, karena itu dia lalu membentak keras.

“Tidak lekas-lekas lepaskan tambang?” Sambil berkata demikian, tanpa menurunkan kaki kirinya, kaki kanannya melakukan gerakan mengisar dan... tak dapat ditahan pula, empat orang jagoan itu lalu terdorong ke depan, dan karena mereka masih belum melepaskan tambang itu, mereka jatuh saling timpa!

Yang paling sial adalah Si Jenggot Pendek karena ia tertindih oleh dua orang kawannya dan karena jatuhnya dengan hidung di depan, maka ketika merangkak bangun kembali, hidungnya yang tadinya mancung telah menjadi pesek dan berdarah!

Kini ramailah orang-orang itu memuji dan menyatakan keheranan mereka. Bagaimana mungkin terjadi hal yang aneh ini? Walau pun sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mereka masih belum dapat percaya bahwa seorang pemuda yang lemah-lembut dan berkulit halus itu dapat memiliki tenaga yang demikian besarnya. Siapakah pemuda lihai ini? Mereka saling bertanya tanpa berani menanyakan sendiri kepada pemuda itu.

Pada saat itu nampak dua orang berlari dari bawah lereng. Mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar bersama seorang hwesio. Ketika laki-laki tinggi besar itu tiba di situ dan melihat Lie Siong, ia lalu cepat berseru kepada semua orang,

“Dia adalah iblis putih!”

Orang ini adalah seorang di antara penebang pohon yang dulu pernah dirobohkan oleh Lie Siong, dan mendengar seruan ini, semua orang menjadi pucat mukanya, ada yang menggigil dan bahkan ada yang cepat mengangkat kaki lari dari situ! Akan tetapi, ketika mereka melihat hwesio yang datang bersama penebang tadi, semua orang lalu menjadi tabah kembali dan mengikuti hwesio itu menghampiri Lie Siong. Hwesio itu bukan lain adalah Pek I Hosiang sendiri.

Melihat bahwa yang menimbulkan keributan itu adalah Lie Siong, Pek I Hosiang segera merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil memberi hormat.

“Omitohud, tak tahunya Siauw-enghiong (Orang Muda Gagah) yang datang di sini! Harap suka maafkan murid-murid pinceng yang bodoh dan tidak tahu aturan, Siauw-enghiong. Sesungguhnya ketika pinceng mendengar bahwa mereka ini hendak menyerbu ke dalam hutan, segera pinceng menyusul ke sini untuk mencegah mereka.”

Melihat Lie Siong hanya berdiri tanpa menjawab, hwesio itu lantas memandang kepada semua orang dan berkata,

“Cuwi sekalian, harap mendengarkan kata-kata pinceng. Mulai sekarang janganlah ada seorang pun berani mengganggu hutan di atas itu! Ketahuilah bahwa di situ tinggal dua orang pendekar sakti yang mengasingkan diri! Pegunungan ini mempunyai banyak sekali hutan-hutan besar, mengapa harus mengganggu hutan kecil? Kalau kalian sayang diri, jangan sekali-kali berani memasuki hutan itu lagi. Ang I Niocu dan puteranya bukanlah siluman, akan tetapi pendekar-pendekar besar yang berkepandaian tinggi dan tidak mau diganggu!”

Semua orang terkejut mendengar ini, karena tak pernah mereka sangka bahwa hwesio ini pun telah kenal kepada dua orang yang tadinya dianggap siluman itu, terutama sekali para murid yang pernah mendengar nama Ang I Niocu yang tersohor! Mereka cepat memandang kepada pemuda yang diperkenalkan sebagai putera Ang I Nicou itu, tetapi alangkah heran dan kagetnya semua orang ketika melihat bahwa di situ tidak nampak lagi bayangan pemuda tadi! Pemuda tadi telah lenyap bersama buntalan pakaiannya tanpa diketahui oleh seorang pun kecuali Pek I Hosiang. Hwesio ini lalu berkata,

“Dia sudah pergi!” Dia menghela napas. “Masih baik bahwa pemuda itu sendiri yang datang di sini, tidak bersama ibunya. Kalau kalian berani mengganggu ibunya, tak dapat kubayangkan kengerian yang menjadi akibatnya!”

Semenjak saat itu, semua orang memandang hutan itu sebagai tempat keramat dan tak seorang pun berani naik ke situ. Nama Ang I Niocu makin terkenal, dan juga puteranya menjadi buah bibir semua orang yang tinggal di sekitar Pegunungan Ho-lan-san.

*****


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.