Pendekar Remaja
Karya Kho Ping Hoo
JILID 11
SEPERTI telah dituturkan di bagian depan, teriakan-teriakan Hok Ti Hwesio terdengar oleh Kam Seng yang berada di dalam kamarnya dan sedang menghadapi Lili yang tertawan. Suara senjata yang didengarnya ternyata adalah suara pisau di tangan Hok Ti Hwesio yang beradu dengan huncwe Ban Sai Cinjin.
Memang, Goat Lan yang jenaka dan nakal itu beberapa kali menyampok tangan Hok Ti Hwesio sehingga pisaunya menjadi nyeleweng dan membentur senjata suhu-nya sendiri, membuat Ban Sai Cinjin menjadi makin marah dan mendongkol.
Goat Lan terheran pada saat melihat seorang pemuda tampan dengan pedang di tangan ikut maju mengeroyoknya. Ia melihat gerakan pedang yang cukup tangkas dan lihai. Kini setelah dikeroyok tiga, dia tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas dengan serangannya.
Akan tetapi gadis ini benar-benar tabah dan jenaka. Biar pun tiga orang lawannya amat tangguh, ia masih melayani mereka dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, menyambar-nyambar di antara gelombang serangan.
Dan pada saat itu, datanglah Lili. Hal ini benar-benar tak pernah disangka oleh Goat Lan. Tentu saja dia menjadi amat gembira dan girang. Telah bertahun-tahun dia tidak bertemu dengan Lili, mungkin sudah ada tiga tahun.
Dia melihat betapa calon adik iparnya ini maju menyerbu dengan senjata pedang dan kipas. Dia merasa amat heran ketika melihat betapa Lili menyerbu Ban Sai Cinjin dengan muka merah dan mata berapi, agaknya Lili amat marah dan membenci kakek mewah itu.
Melihat kemarahan Lili yang agaknya penuh nafsu membunuh itu, Goat Lan tidak mau main-main lagi dan saat ia berseru keras, kaki kanannya telah berhasil menendang tubuh belakang Hok Ti Hwesio dengan gerakan Soan-hong-twi (Tendangan Kitiran Angin).
Tendangan ini dilakukan dengan tenaga yang ratusan kati beratnya dan cukup membuat tulang punggung lawan menjadi patah-patah. Akan tetapi, bagaikan sebuah bal karet, tubuh Hok Ti Hwesio terpental keras dan ketika membentur dinding, lalu mental kembali dan bergulingan di atas lantai tanpa luka sedikit pun!
Goat Lan terheran-heran sehingga untuk sesaat ia berdiri bengong memandang manusia bal itu! Tentu saja ia tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio telah melatih diri dengan ilmu kebal yang luar biasa dan yang dimilikinya setelah dia makan tiga buah jantung manusia!
Pada saat Goat Lan berdiri bengong memandang Hok Ti Hwesio saking herannya, Kam Seng mengirim tusukan maut dengan pedangnya. Ujung pedangnya sudah berada dekat sekali dengan dada kiri Goat Lan, akan tetapi alangkah terkejut hati Kam Seng ketika tiba-tiba, bagaikan tubuh seekor ular, tubuh gadis itu melenggok ke kiri dan tusukan itu hanya lewat di pinggir tubuhnya saja! Dan sebelum Kam Seng kehilangan rasa herannya, tiba-tiba saja dia merasa lengan kanannya sakit sekali dan pedangnya telah terlepas dari pegangannya! Tanpa dia ketahui, dengan gerakan yang cepat bukan main bagaikan kilat menyambar, Goat Lan telah mengirim totokan ke arah urat nadinya!
Hok Ti Hwesio telah bangun berdiri lagi, begitu juga Kam Seng telah mengambil kembali pedangnya karena totokan tadi tidak berbahaya, akan tetapi kedua orang itu kini merasa ragu-ragu dan hanya memandang kepada gadis itu dengan bengong. Mereka mengira sedang berhadapan dengan setan, sebab bagaimanakah seorang gadis cantik lagi muda itu dapat menghadapi mereka dengan tangan kosong dan membuat mereka tak berdaya dengan dua kali serangan saja?
Sementara itu, Ban Sai Cinjin telah diserang dan didesak hebat oleh Lili yang berusaha membunuhnya! Pundaknya yang tadi terluka mulai terasa sakit bukan main dan agaknya sambungan tulang yang telah disambung itu kini terlepas lagi! Keadaannya benar-benar berbahaya dan Goat Lan hanya memandang sambil tertawa-tawa.
Pada saat itu, terdengar seruan orang dan tahu-tahu dari dalam menyambar angin yang menolak kipas Lili yang sedang dipukulkan ke arah dada Ban Sai Cinjin! Goat Lan amat terkejut ketika melihat betapa kipas itu terpental dan tahu bahwa dari dalam ada orang berkepandaian tinggi yang turun tangan. Benar saja, seruan tadi segera disusul dengan munculnya seorang tosu tua.
“Nona Sie!” kata tosu itu ketika Lili melompat mundur. “Muridku telah berlaku sangat baik kepadamu, mengapa kau masih mati-matian mengacaukan tempat tinggal orang lain?”
Melihat munculnya tosu yang sore tadi sudah merobohkannya, kemarahan Lili jadi makin memuncak. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Wi Kong Siansu ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, akan tetapi puteri Pendekar Bodoh ini memang mempunyai ketabahan yang diwarisinya dari ayah bundanya.
“Tosu siluman, rasakan pembalasanku!” teriaknya keras dan ia cepat menyerang dengan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut di tangan kanan serta mainkan San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Gunung dan Air) dengan tangan kirinya!
Wi Kong Siansu sudah tahu akan kelihaian gadis galak ini, maka dia berlaku hati-hati sekali dan mainkan kedua lengan bajunya dengan cepat. Juga Goat Lan berdiri dengan kagum memandang ilmu silat yang dimainkan oleh Lili. Diam-diam dia mengakui bahwa ilmu silat Lili benar-benar hebat sekali.
Akan tetapi ketika ia melihat gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu, ia lebih kaget lagi. Ujung lengan baju yang terbuat dari kain lemas itu kini mengeras bagaikan ujung toya baja dan tiap kali terbentur dengan pedang atau gagang kipas Lili, terdengar suara keras dan senjata di tangan gadis itu terpental ke belakang.
Melihat hal ini saja maklumlah Goat Lan bahwa kepandaian tosu tua ini sungguh hebat sekali dan jika dibiarkan saja, Lili mungkin takkan dapat menang. Maka ia lalu mencabut senjatanya dan berseru,
“Kakek tua, jangan kau orang tua menghina yang muda!”
Ketika Wi Kong Siansu melihat datangnya serangan dan melihat senjata di tangan Goat Lan, kakek ini terkejut sekali dan cepat dia melompat mundur. Ternyata bahwa gadis ini sekarang memegang dua batang bambu kuning yang hanya sebesar lengan anak-anak dan berujung runcing, panjangnya kira-kira hanya tiga kaki!
“Tahan, Nona. Apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”
Goat Lan memang bersifat nakal dan jenaka, karena itu sambil tersenyum-senyum ia pun menjawab,
“Totiang (sebutan untuk pendeta tua), aku yang muda tidak mau membawa-bawa nama orang-orang tua untuk menakuti-nakuti kau!”
Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. “Siapa takut kepadamu? Meski pun Hok Peng Taisu sendiri yang datang, aku Wi Kong Siansu belum tentu akan takut kepadanya! Hanya kulihat bahwa sepasang bambu runcingmu itu adalah bambu runcing yang merupakan kepandaian tunggal dari Hok Peng Taisu.”
“Sudahlah, tidak perlu kita membawa-bawa nama orang tua itu di tempat yang kotor ini. Pendeknya, kalau Totiang takut, sudah saja jangan kau mengganggu adikku ini!”
“Siapa takut? Biarlah, biar kumencoba kepandaian Bu Pun Su dan Swie Kiat Siansu yang diturunkan kepada Nona Sie ini dan sekalian kurasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!” Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu lalu mencabut pedangnya yang disembunyikan di balik jubahnya yang lebar.
Pedang ini bersinar kehitaman sebab inilah pedang mustika yang sangat berbahaya dan ganas yang bernama Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam)! Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu memang telah menciptakan semacam ilmu pedang tunggal yang pada waktu itu merupakan sebuah dari ilmu-ilmu pedang yang paling terkenal dan ditakuti di masa itu.
Ilmu pedang ini ia ciptakan berdasarkan pedang mustikanya yang didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san. Karena pedang itu mengeluarkan sinar kehitaman dan didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san (Bukit Setan Hitam), maka ia lalu memberi nama Hek-kwi-kiam pada pedang itu dan lalu memberi nama pada ilmu pedang ciptaannya Hek-kwi Kiam-sut.
Walau pun Kam Seng sudah mempelajari ilmu pedang ini dengan tekunnya, akan tetapi karena ilmu pedang ini amat sukar dan banyak sekali perubahannya, maka kepandaian itu boleh dibilang belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian Wi Kong Siansu Si Iblis Tua Pencabut Nyawa!
“Majulah, anak-anak muda! Biarlah kalian mendapat kehormatan untuk mengenal Hek-kwi Kiam-sut dari dekat!”
Akan tetapi Lili yang amat marah sudah tak sabar lagi mendengar ocehan tosu itu dan cepat maju menyerang dengan pedangnya. Goat Lan yang dapat menduga kelihaian tosu itu, lalu maju pula membarengi gerakan Lili dan mengirim serangan dengan bambu runcingnya.
Sesungguhnya, dari kedua suhu-nya yang menggembleng dirinya selama delapan tahun, yaitu Sin Kong Tianglo Si Raja Obat dan Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak, Giok Lan hanya menerima latihan-latihan ilmu silat tangan kosong beserta lweekang dan ginkang. Akan tetapi gadis ini tentu saja tidak mau meniru kedua suhu-nya yang menggunakan senjata-senjata yang paling aneh di antara sekalian senjata ahli silat di dunia ini.
Yok-ong Sin Kong Tianglo selalu mempergunakan keranjang obat dan pisau pemotong rumput sebagai senjata, sedangkan Im-yang Giok-cu mempergunakan senjata guci arak. Oleh karena itu, di samping menerima gemblengan ilmu silat dari kedua kakek sakti ini, Goat Lan juga mempelajari ilmu pedang dari ayahnya dan terutama sekali yang paling disukai adalah mempelajari ilmu bambu runcing dari ibunya!
Bahkan sesudah dia dapat memainkan ilmu bambu runcing dengan pandai, dia lalu minta kepada ayahnya untuk membuatkan bambu runcing terbuat dari sepasang bambu kuning seperti milik ibunya! Hanya dengan senjata inilah Goat Lan melakukan perantauannya!
Ilmu silat Goat Lan tentu saja sudah tinggi dan tangguh bukan main. Ia telah menerima gemblengan dari empat orang berkepandaian tinggi dan biasanya dia hanya menghadapi para lawan yang betapa lihai pun dengan kedua kaki tangannya sambil mengandalkan ginkang-nya yang seperti ibunya itu. Akan tetapi kini saat menghadapi Wi Kong Siansu, terpaksa dia harus mengeluarkan bambu-runcingnya.
Begitu pula dengan Wi Kong Siansu. Biasanya, orang tua ini selalu memandang rendah lawan-lawannya dan tak pernah dia mengeluarkan pedang mustikanya. Kini menghadapi dua orang gadis cantik dan masih muda dia sampai mengeluarkan pedangnya, dapatlah diketahui bahwa tosu ini sama sekali tidak berani memandang ringan terhadap Lili dan Goat Lan.
Bahkan Ban Sai Cinjin sendiri memandang heran dan ia selalu bersiap sedia dengan hati berdebar-debar. Hok Ti Hwesio dan Kam Seng tentu saja hanya berdiri di sudut ruangan yang luas itu sambil menonton dan sama sekali tidak berani mencoba untuk ikut turun tangan.
Pertempuran kali ini memang benar-benar hebat sekali. Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut luar biasa ganas dan cepatnya hingga ruang yang terang oleh cahaya lampu itu menjadi muram, oleh karena sinar pedang itu bergulung-gulung laksana uap gunung berapi yang mengandung abu hitam.
Akan tetapi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan merupakan titik kuning, yang kadang-kadang berkelebat bagaikan halilintar menyambar dengan cepatnya. Sedangkan pedang Liong-coan-kiam terkenal sebagai pedang yang ampuh, kini digerakkan dengan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut menjadi amat mengagumkan, berkelebat-kelebat bersinar putih laksana perak merupakan seekor naga perkasa yang bermain-main di antara awan hitam dan halilintar! Kipas maut di tangan kiri Lili merupakan pusat angin yang apa bila digerakkan membuat para penonton merasakan sambaran angin dingin yang aneh!
Empat ilmu silat yang luar biasa tingginya kini bertemu, dimainkan oleh tiga orang yang memiliki ilmu tinggi, sungguh merupakan pemandangan yang sukar dilihat orang! Ban Sai Cinjin, Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio sampai berdiri bengong bagaikan terpaku di lantai.
Bagi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang ilmu kepandaiannya jauh lebih rendah, tidak ada kemungkinan sama sekali bagi mereka untuk ikut turun tangan dalam pertempuran yang maha dahsyat itu, akan tetapi tidak demikian dengan Ban Sai Cinjin. Apa bila diukur tingkat kepandaiannya, memang dia tidak usah mengaku kalah terhadap dua orang gadis itu.
Maka secara diam-diam kakek mewah ini lalu menelan dua butir pil dan mengurut-urut pundaknya, membenarkan letak tulang pundak sambil mengatur napasnya. Lalu, setelah pundaknya tidak begitu sakit lagi, dia lalu mengeluarkan tembakau hitamnya yang amat berbahaya, dan mulai mengisi kepala huncwe-nya dengan tembakau beracun itu. Tidak lama kemudian, mengebullah asap tembakau yang membuat kepala menjadi pening dan napas menjadi sesak. Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sendiri terpaksa melangkah mundur menjauhi agar jangan sampai terkena serangan asap beracun itu.
Goat Lan adalah murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, maka tentu saja ia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan, terutama sekali tentang racun yang sering kali dipergunakan oleh kaum hek-to (jalan hitam, yaitu orang-orang jahat). Begitu hidungnya mencium bau asap tembakau yang mulai melayang-layang di ruangan itu, ia pun maklum bahwa kakek mewah dengan huncwe mautnya itu akan ikut turun tangan pula, hendak mengandalkan huncwe dan asapnya yang lihai.
Cepat tangan kirinya menancapkan bambu runcing yang kiri di ikat pinggang, menjaga diri dengan bambu runcing kanan, lalu menggunakan tangan kirinya untuk merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan dua butir buah yang putih warnanya, lalu menyerahkan sebutir kepada Lili sambil berkata,
“Lili, masukkan buah ini ke dalam mulut dan gigit! Jangan telan!”
Lili menerima buah itu dan ketika dia menggigitnya, maka mulut dan hidungnya terasa dingin dan pedas, akan tetapi tercium hawa yang sangat harum keluar dari mulut serta hidungnya.
Pada saat itu pula, Ban Sai Cinjin sudah melompat maju dan menyerbu dengan huncwe mautnya sambil mengebulkan asap hitam dari mulutnya ke arah kedua orang gadis itu. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya pada waktu ia melihat Lili dan Goat Lan tidak mengelak dan menerima asap itu tanpa terpengaruh sedikit pun! Ternyata bahwa asap hitam itu sebelum dapat memasuki hidung atau mulut dua orang dara pendekar ini, telah diusir kembali oleh hawa harum yang keluar dari mulut dan hidung mereka!
Akan tetapi, setelah Ban Sai Cinjin ikut menyerbu, sibuk jugalah Lili dan Goat Lan. Tadi saat menghadapi dan mengeroyok Wi Kong Siansu, keadaan mereka baru dapat disebut seimbang, tetapi masih saja mereka berdua merasa amat sukar untuk dapat merobohkan Toat-beng Lo-mo yang memang sakti itu.
Kini, ditambah Ban Sai Cinjin yang memiliki ilmu kepandaian tidak lebih rendah dari pada tingkat mereka, tentu saja menimbulkan banyak kesukaran sehingga keduanya terpaksa mengerahkan kepandaian pada penjagaan diri.
“Lili, mari kita pergi, malam sudah lewat!” kata Goat Lan sambil memutar kedua bambu runcingnya menghadapi pedang hitam Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu. Memang, saat itu malam telah terganti pagi. Ayam-ayam hutan mulai berkokok nyaring, burung-burung mulai berkicau.
“Ha-ha-ha, nona-nona manis! Kalian baru boleh pergi setelah meninggalkan tubuh kalian yang bagus di sini. Hanya nyawa kalian saja yang bisa pergi! Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin tertawa bergelak karena girangnya melihat betapa dia dan suheng-nya dapat mendesak kedua nona lihai itu.
Sebenarnya, pertempuran itu boleh dibilang amat ganjil. Wi Kong Siansu tetap dikeroyok dua oleh Lili dan Goat Lan, ada pun Ban Sai Cinjin hanya membantu suheng-nya dengan serangan-serangan curang kepada dua orang nona itu.
Lili dan Goat Lan tidak dapat membalas kakek mewah ini karena mereka selalu harus mencurahkan perhatian terhadap Toat-beng Lo-mo yang benar-benar sangat berbahaya dan lihai. Kedua nona itu merasa serba sulit.
Kalau seorang di antara mereka meningalkan Toai-beng Lo-mo untuk menghadapi Ban Sai Cinjin, mungkin sekali dia akan dapat merobohkan Ban Sai Cinjin yang sudah terluka pundaknya. Akan tetapi kawan yang ditinggalkan juga sangat berbahaya kedudukannya dan mungkin tidak akan kuat menghadapi Toat-beng Lo-mo. Maka mereka tetap saling bantu dan tidak mau meninggalkan kawan, selalu bersama-sama menghadapi desakan Toat-beng Lo-mo dan Ban Sai Cinjin tanpa dapat membalas!
Sebetulnya, biar pun hati nurani dan peri kemanusiaannya amat tipis, namun Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu masih mempunyai kegagahan dan keangkuhan, tidak mempunyai sifat pengecut dan rendah seperti sute-nya. Mendengar ejekan sute-nya terhadap kedua orang nona itu, ia merasa amat jengah dan malu.
Dua orang kakek yang telah dikenal sebagai tokoh-tokoh besar persilatan dan yang telah membuat nama besar di kalangan kang-ouw, sekarang menghadapi dua orang gadis yang usianya baru belasan tahun dan telah bertempur dua ratus jurus belum juga dapat mengalahkan mereka! Apa lagi kalau dia mengingat bahwa dua orang gadis muda ini adalah anak dan murid-murid dari orang-orang sakti seperti Hok Peng Taisu, Bu Pun Su dan Pendekar Bodoh, ia merasa gentar juga kalau harus merobohkan atau menewaskan mereka ini.
Juga ada sedikit rasa sayang dalam hatinya kalau harus menewaskan dua orang gadis muda yang demikian cantik jelita, jenaka, dan memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian tingginya. Sebagai seorang ahli silat yang kawakan, tentu saja dia selalu merasa sayang kepada orang-orang muda yang berbakat dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi.
Tiba-tiba Lili dan Goat Lan yang sudah merasa sibuk dan mengambil keputusan untuk berlaku nekad, merasa betapa desakan pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan melemah. Mereka merasa heran sekali, akan tetapi tentu saja kedua orang gadis ini betapa pun tabah dan beraninya, tidak sudi berlaku bodoh dan membunuh diri.
Cepat mereka menggunakan kesempatan pada waktu pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan mengecil sinarnya. Mereka lalu berbareng melakukan penyerangan kepada Ban Sai Cinjin yang amat nekad menyerang membabi buta.
Hampir saja Ban Sai Cinjin menjadi korban pedang Lili kalau saja Toat-beng Lomo tidak cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi perubahan ini, yaitu dari pihak terserang menjadi pihak penyerang, sudah memberi kesempatan kepada Lili dan Goat Lan untuk cepat melompat keluar dari ruangan itu!
Ban Sai Cinjin hendak mengejar akan tetapi suheng-nya mencegah. “Mereka sudah lari, jangan dikejar, Sute. Kepandaian mereka tinggi dan tidak perlu pertempuran yang sudah berlangsung setengah malam ini harus diperpanjang lagi.”
Karena pundaknya juga terasa amat sakit, terpaksa Ban Sai Cinjin membatalkan niatnya. Kalau suheng-nya tidak ikut mengejar, bagaimana ia dapat melawan kedua orang gadis yang lihai itu? Ia menarik napas panjang dan berkata,
“Baru anak dari Pendekar Bodoh dan seorang kawannya saja, dua orang gadis muda, sudah membuat kita tak berdaya, apa lagi kalau Pendekar Bodoh sendiri beserta kawan-kawannya datang menyerbu!”
Ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk mencela dan menegur suheng-nya, dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu juga merasa sindiran ini. Ia menghela napas ketika menjawab,
“Kau tahu sendiri bahwa mereka adalah para murid orang-orang sakti. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku akan kalah atau takut kepada mereka, Sute. Yang menjadikan pikiranku ruwet adalah pulangnya Ong Tek. Apa bila Pangeran Ong mendengar bahwa puteranya hampir saja kau bunuh, bukankah ini berarti bahwa kita sudah memancing permusuhan dengan para perwira kerajaan?”
“Aku tidak takut, Suheng!” jawab Ban Sai Cinjin.
Toat-beng Lo-mo tak menjawab, hanya menarik napas panjang. Perkara sudah menjadi semakin besar dan ruwet, tak ada lain jalan melainkan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
“Kam Seng, mulai sekarang kau harus melatih diri baik-baik, karena kau pun maklum bahwa pihak musuh-musuhmu ternyata terdiri dari orang-orang pandai.”
Pada siang harinya, datanglah Bouw Hun Ti membawa tiga orang tua aneh dan besarlah hati Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin melihat kedatangan tiga orang tua ini. Mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun), tiga orang kakek aneh dan sakti yang sudah amat terkenal namanya di perbatasan Mancuria di utara.
Baru melihat keadaan tiga orang ini saja sudah sangat aneh. Yang seorang tinggi kurus potongan tubuhnya seperti suling, sama besarnya dari kaki sampai ke kepalanya. Orang kedua gemuk dengan muka lebar dan mulut besar, berjubah pendeta Buddha, mulutnya lebar seperti terobek dari telinga ke telinga.
Orang ke tiga lebih aneh lagi. Kalau orang tidak melihat mukanya, tentu akan menyangka bahwa dia adalah seorang anak kecil. Dari pundak sampai ke kaki memang dia persis seperti seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kalau orang melihat wajahnya, dia pasti akan terkejut dan heran. Mukanya adalah muka seorang kakek tua berjenggot dan berkepala botak.
Sungguh pun keadaan ketiga orang ini aneh sekali, namun ilmu kepandaian mereka amat tersohor dan mereka terkenal sebagai orang-orang sakti.
Hailun Thai-lek Sam-kui tadinya agak merasa segan untuk menuruti bujukan Bouw Hun Ti. Akan tetapi saat mereka mendengar bahwa Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu agak takut dan gelisah sehingga mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, ketiga orang Iblis Geledek ini menjadi amat tertarik.
Mereka lalu ikut turun gunung dan tiba di tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Dengan serta merta Ban Sai Cinjin yang kaya raya lalu memberi perintah kepada Hok Ti Hwesio untuk mempersiapkan hidangan-hidangah yang paling mewah dan lezat. Mereka lalu makan minum dengan riangnya. Kegelisahan yang tadi terlupakan sudah oleh Ban Sai Cinjin. Bahkan Wi Kong Siansu juga mulai merasa lega karena dia maklum akan kelihaian tiga orang iblis itu.
Sementara itu, setelah dapat melarikan diri dari kuil serta meninggalkan Ban Sai Cinjin dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang lihai itu, Lili lalu membawa Goat Lan untuk mampir ke rumah penginapan dan mengambil buntalan pakaiannya. Kemudian, pada pagi itu juga mereka lalu melarikan diri keluar dari dusun Tong-sin-bun.
“Ahh, sungguh lihai tosu tua itu!” kata Goat Lan setelah mereka tiba di luar dusun. Dia berhenti, kemudian memegang kedua tangan Lili. “Akan tetapi mengapa kau bisa berada di dalam kuil itu, Lili? Dan apakah yang terjadi? Pertemuanku dengan kau di tempat itu selain amat menggirangkan hati, juga amat mengejutkan dan mengherankan!”
Lili membalas pelukan Goat Lan dan berkata sambil tertawa. “Sebenarnya aku sedang melakukan perjalanan untuk mengunjungi kau di Tiang-an.”
“Aihh, aneh benar kau ini. Dari tempat tinggalmu ke Tiang-an, sama sekali tidak melewati tempat ini. Apakah kau tersesat jalan?”
Lili tersenyum lagi. “Goat Lan, berjanjilah dulu, bahwa kau takkan membuka rahasiaku ini kepada orang lain. Juga tidak kepada ayah ibu, karena sebenarnya aku telah mengambil jalan sendiri!”
“Rahasia apakah?” Goat Lan bertanya heran.
“Sesungguhnya, dari rumah aku berpamit untuk pergi ke Tiang-an dengan alasan sudah merasa rindu padamu. Akan tetapi, diam-diam aku tidak menuju ke rumahmu, melainkan membelok ke Tong-sin-bun untuk mencari musuh besarku, Bouw Hun Ti. Tentunya kau sudah mendengar pula bahwa Bouw Hun Ti adalah murid dari Ban Sai Cinjin, maka aku langsung menuju ke sana untuk mencarinya. Nah, jangan kau ceritakan hal ini kepada ayah atau ibuku, karena mereka tentu akan marah besar. Memang ayah ibuku benar, karena hampir saja aku mendapat celaka besar.”
Maka, kemudian berceritalah Lili tentang pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak menceritakan bahwa ketika dia tertawan, Kam Seng sudah mencium jidatnya! Ia hanya memberitahukan kepada Goat Lan bahwa Kam Seng itu sesungguhnya adalah putera dari Song Kun, suheng dari ayah Lili!
“Dan bagaimana kau bisa kebetulan sekali datang pada malam hari tadi, Goat Lan?”
“Mari kita mengaso dahulu di bawah pohon itu,” kata Goat Lan sambil menuju ke arah sebatang pohon besar di pinggir jalan. “Ceritaku agak panjang karena memang sudah lama kita tak saling jumpa. Mari kita duduk di sana dan mari kuceritakan pengalamanku. Kau tentu akan tertarik mendengarnya. Karena ketahuilah bahwa aku pernah bertemu dengan Bouw Hun Ti musuh besarmu itu!”
Mereka lalu pergi dan duduk di bawah pohon yang rindang itu, dan berceritalah Goat Lan dengan jelas, didengarkan oleh Lili dengan asyiknya.
Memang sudah terlalu lama kita meninggalkan Goat Lan dan sepatutnya kita menengok keadaannya semenjak ia diambil murid Yok-ong Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Goat Lan dibawa oleh kedua suhu-nya ke Bukit Liong-ki-san, yaitu sebuah bukit yang puncaknya tampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dengan amat tekun dan rajinnya Goat Lan melatih diri di bawah bimbingan Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Selama delapan tahun ia berlatih silat, juga ia mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-ong Sin Kong Tianglo. Kedua orang kakek ini merasa sangat gembira melihat ketekunan dan kemajuan murid tunggal mereka dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang paling tinggi.
Goat Lan tidak merasa kesepian oleh karena hampir sebulan sekali, ayah ibunya tentu datang menengoknya, bahkan dia menerima pula latihan ilmu silat dari ayah bundanya. Sebaliknya kedua orang suhu-nya pada waktu menganggur selalu bermain catur dan dua orang kakek itu biar pun sudah sering kali mendapat petunjuk dari Goat Lan, tetap saja masih amat bodoh dalam hal permainan catur! Agaknya memang betul kata orang-orang dulu bahwa otak orang tua sudah menjadi keras dan tumpul!
Tidak saja Kwee An dan Ma Hoa sering kali berkunjung ke puncak Liong-ki-san, bahkan beberapa kali Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, yaitu Lin Lin, membawa Lili naik ke gunung itu untuk mengunjungi. Oleh karena itulah, hubungan antara Lili dan Goat Lan menjadi erat.
Delapan tahun kemudian, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu yang sudah merasa bahwa kepandaian yang mereka ajarkan kepada Goat Lan sudah cukup, kedua orang kakek yang kini telah berusia amat tua itu lalu kembali ke tempat tinggal masing-masing, yaitu di daerah utara.
Goat Lan kembali ke Tiang-an, melanjutkan pelajaran ilmu silatnya dari ayah bundanya sehingga dia kini menjadi seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Kalau dibuat perbandingan, gadis muda ini mempunyai lebih banyak ilmu silat yang tinggi-tinggi dari pada ibu atau ayahnya, maka tentu saja Kwee An dan Ma Hoa menjadi amat bangga akan puteri tunggalnya ini.
Dua tahun lamanya Goat Lan mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, juga Ilmu Silat Bambu Runcing dari ibunya. Seperti ibunya, ia dapat mainkan Ilmu Silat Bambu Runcing ciptaan Hok Peng Taisu dengan amat baik dan bahkan berkat didikan Im-yang Giok-cu ia memiliki lweekang yang amat hebat serta ginkang yang dilatihnya dari Sin Kong Tianglo membuat gerakannya laksana seekor burung walet.
Pada suatu hari, datanglah Im-yang Giok-cu yang membawa berita amat menyedihkan hati Goat Lan dan orang tuanya. Ternyata bahwa Sin Kong Tianglo yang sudah amat tua itu meninggal dunia di daerah utara.
“Sin Kong Tianglo meninggalkan sebuah pesanan untukmu, Goat Lan,” berkata Im-yang Giok-cu setelah kesedihan Goat Lan agak mereda. “Pada waktu ini, putera Kaisar yang menjadi Putera Mahkota, menderita sakit hebat sekali. Menurut Sin Kong Tianglo, obat satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakit pangeran itu hanyalah To-hio-giok-ko (Daun Golok Buah Mutiara) yang terdapat di daerah bersalju sebelah utara tapal batas. Dan karena mencari obat itulah maka ia menemui kematiannya! Tubuhnya yang amat tua itu tidak kuat menahan dingin dan karena serangan hawa dingin dan kelelahan, dia tewas di sana!”
“Mengapa dia bersusah payah mencarikan obat untuk Putera Mahkota?” tanya Ma Hoa dengan heran. Pertanyaan ini agaknya terkandung dalam pikiran Kwee An dan Goat Lan pula karena mereka juga segera memandang kepada Im-yang Giok-cu untuk mendengar bagaimana jawaban kakek itu.
Im-yang Giok-cu menurunkan guci araknya dan sebelum menjawab dia meneguk dahulu araknya.
“Memang Raja Obat itu orangnya aneh sekali. Seperti juga aku tua bangka tiada guna, ia tidak menaruh perhatian tentang keadaan Kaisar dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli pengobatan dia memiliki satu kelemahan, yaitu selalu ingin menyembuhkan penyakit yang paling aneh. Selain dari pada itu, memang harus diakui bahwa di antara para pangeran, maka Putera Mahkota boleh disebut seorang pemuda yang paling baik, mempunyai sifat-sifat baik dan agaknya kalau dia menjadi Kaisar kelak, dia akan menjadi seorang Raja yang bijaksana. Karena itulah, maka banyak sekali ahli pengobatan yang mencoba untuk menyembuhkannya, hanya untuk mencegah supaya jangan sampai ada pangeran lain yang menggantikannya menjadi Putera Mahkota kalau dia meninggal.”
“Dan apakah pesan mendiang Suhu untukku?” tanya Goat Lan kepada suhu-nya yang kedua ini.
“Dia mengharuskan engkau untuk pergi ke utara mencari obat itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota!” jawab Im-yang Giok-cu sambil meneguk araknya lagi.
Goat Lan menerima berita ini dengan tenang saja, akan tetapi kedua orang tuanya saling pandang dengan muka berubah. Mereka telah maklum akan berbahayanya perjalanan ke daerah utara yang selain dingin juga banyak terdapat orang-orang buas dan jahat.
“Mengapa harus Goat Lan yang pergi mencari obat itu?” tanya Kwee An.
Dan Ma Hoa menyambung dengan suara penasaran, “Apakah tidak bisa orang lain yang mencarikannya?”
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak. “Tentu saja aku maklum dengan kekhawatiran kalian berdua. Siapa orangnya yang akan membiarkan Goat Lan pergi seorang diri ke tempat jauh itu? Akan tetapi Sin Kong Tianglo memang orang aneh!” Dia mengangguk-angguk lalu menyambung, “Aneh dan gila!”
Bagi Goat Lan, tidak aneh kalau Im-yang Giok-cu memaki gila kepada Sin Kong Tianglo, karena memang dua orang suhu-nya ini sudah biasa saling memaki!
“Dan susahnya, ini adalah pesannya, pesan orang yang hendak menghembuskan napas terakhir. Pesan seorang yang sudah meninggal harus dilaksanakan dan dipenuhi, kalau tidak, ahh... aku orang tua takkan dapat hidup tenang dan tenteram lagi. Arwah Sin Kong Tianglo tentu akan menjadi setan dan mengejar-ngejarku ke mana-mana. Pesannya ialah Giok Lan seorang, tak boleh orang lain, harus melanjutkan usahanya untuk mencari obat To-hio-giok-ko itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota.”
“Akan tetapi,” Ma Hoa terus membantah, “kenapa mendiang Sin Kong Locianpwe begitu mengkhawatirkan kesehatan Putera Mahkota dan tidak mempedulikan bahaya yang bisa menimpa diri anakku? Apakah ini adil namanya? Atau, apakah dia tidak sayang kepada muridnya?”
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak. “Belum kuceritakan yang lebih aneh lagi. Sebenarnya Sin Kong Tiangto sendiri tidak berapa peduli apakah Putera Mahkota akan mati atau pun hidup, akan tetapi sampai pada saat terakhir, orang tua yang berkepala batu itu selalu hendak mempertahankan namanya! Ia memang angkuh dan menjaga namanya sebagai Yok-ong (Raja Obat)! Ketahuilah, secara kebetulan Yok-ong Sin Kong Tianglo tiba di kota raja dan dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw ahli pengobatan yang terkenal dari seluruh daerah. Tentu saja, tukang obat bertemu ahli obat, mereka bicara asyik tentang hal pengobatan dan akhirnya mereka itu berdebat ramai sekali. Semua tukang obat yang berada di kota raja menyatakan bahwa di dunia ini tak ada obat lagi untuk penyakit yang diderita oleh Putera Mahkota. Akan tetapi Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan bahwa ada obatnya! Dia dibantah oleh banyak orang dan akhirnya semua orang minta buktinya. Kakek gila itu menantang dan menyatakan kesanggupannya, bahwa ia akan memperoleh obat itu dan menyembuhkan Putera Mahkota dengan taruhan bahwa kalau ia tidak bisa, ia tidak mau memakai gelar Yok-ong (Raja Obat) lagi! Nah, celakanya, ketika dia sedang mencari obat itu, dia terserang hawa dingin dan meninggal dunia. Masih baik bahwa dia bertemu denganku dan aku sudah menawarkan tenagaku untuk melanjutkan usahanya mencari obat itu, akan tetapi ia tidak mau menerima tawaranku, katanya, harus muridku yang akan mencari obat dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota. Biarlah muridku sendiri yang menolong namaku dari hinaan orang, dan biar muridku yang membuktikan bahwa julukan Yok-ong bukanlah sia-sia belaka!”
Kwee An, Ma Hoa, dan Goat Lan mendengarkan penuturan ini dengan bengong. Tanpa diberitahu, mereka bertiga maklum bahwa hal ini menyangkut nama baik dan kehormatan Sin Kong Tianglo.
“Nah, sekarang kalian tahu mengapa dia menghendaki Goat Lan seorang yang mencari obat itu? Kakek gila itu takut kalau-kalau para ahli obat di dunia kang-ouw akan mencela, mentertawainya, dan menghina julukannya sebagai Yok-ong! Dan aku tahu, kalau terjadi hal demikian, maka nyawa Yok-ong itu tentu akan berkeliaran lalu yang dijadikan sasaran terutama sekali adalah aku, karena akulah yang berjanji padanya untuk menyampaikan hal ini kepada Goat Lan dan membujuknya agar supaya suka berbakti kepadanya.”
“Baik, Suhu, teecu akan pergi melanjutkan usaha Suhu Sin Kong Tianglo!” tiba-tiba Goat Lan berkata dengan suara tetap.
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak lalu menenggak araknya lagi.
“Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga!” katanya dengan mata dikedip-kedipkan girang. “Bila tidak demikian jawabanmu, kau tentu bukan murid Yok-ong dan aku!” Im-yang Giok-cu lalu menuangkan semua sisa araknya ke dalam perut lalu berkata lagi dengan wajah berseri,
“Goat Lan, Sin Kong Tianglo telah berkata kepadaku bahwa bila kau mampu melanjutkan usahanya serta mengangkat namanya sebagai Yok-ong, aku boleh memberikan barang warisannya ini!” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan segi empat yang tipis kepada muridnya.
Goat Lan menerimanya dan dengan hati-hati ia membuka bungkusan kain kuning itu dan ternyata bahwa di dalamnya terdapat sebuah kitab yang sudah usang dan kuning.
“Kitab obat dari Suhu!” Goat Lan berseru dengan mata terbelalak.
Pernah Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan padanya bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai dan orang-orang jahat yang amat menginginkan kitab itu, akan tetapi suhu-nya itu selalu menjaganya dengan baik-baik.
“Kitab ini sangat berharga,” kata suhu-nya dahulu, “maka jangan harap orang lain dapat mengambilnya dari aku. Aku lebih menghargai kitab ini dari pada nyawaku sendiri! Dan kelak kalau aku mati kitab ini akan kubawa serta. Karena kalau sampai terjatuh ke dalam tangan orang jahat, maka kitab ini akan mendatangkan mala petaka hebat kepada dunia, walau pun di dalam tangan orang baik-baik benda ini akan merupakan penolong manusia yang amat besar jasanya.”
Dengan bengong Goat Lan memegang kitab itu dan Im-yang Giok-cu berkata lagi, “Aku merasa berat sekali membawa-bawa kitab ini selama melakukan perjalanan ke sini, oleh karena aku pun maklum akan keinginan orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab ini. Di waktu kitab ini berada di tangan Sin Kong Tianglo, tidak ada yang berani mencoba untuk merampasnya, akan tetapi sesudah orang tua itu meninggal dunia, tentu mereka akan berusaha mendapatkan kitab ini. Oleh karena itu hati-hatilah kau menjaga kitab ini, muridku. Dan satu hal lagi, apa bila kau hendak mencari obat Tohio-giok-ko, hanya satu tempat yang terdapat daun dan buah itu yaitu pada sepanjang lembah Sungai Sungari di sebelah selatan kota Hailun. Nah, aku telah memenuhi semua tugasku. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, Im-yang Giok-cu lalu pergi dengan cepat tanpa dapat ditahan lagi.
Kwee An dan Ma Hoa kemudian saling pandang dengan mata masih mengandung penuh kekhawatiran. Akhirnya Ma Hoa memegang tangan Goat Lan dan berkata,
“Goat Lan, memang sudah seharusnya kau menjaga nama baik suhu-mu. Akan tetapi, kami tidak tega untuk melepasmu pergi seorang diri begitu saja. Kita akan pergi bertiga.”
“Benar kata-kata ibumu, Goat Lan, tempat itu amat jauh. Aku sendiri bersama Pendekar Bodoh pernah melakukan perjalanan ke sana dan memang tempat itu amat berbahaya.”
“Akan tetapi, Suhu Sin Kong Tianglo telah memesan agar supaya aku pergi sendiri, kalau sampai terdengar oleh orang kang-ouw bahwa sebagai murid Sin Kong Tianglo aku telah mengandalkan kepandaian Ayah dan lbu untuk mendapatkan obat itu, bukankah nama Suhu akan ditertawakan orang?”
“Peduli apakah kalau mereka mentertawakan di belakang punggung kita?” kata Ma Hoa. “Coba suruh mereka tertawa di depan mukaku, tentu tertawanya itu akan menjadi tawa terakhir dalam hidupnya!”
“Akan tetapi aku ingin pergi seorang diri, Ibu. Apa bila Ayah dan Ibu turut membantuku, maka aku akan merasa seolah-olah aku telah menyalahi pesan terakhir dari pada Suhu. Hanya kitab ini...” Ia memandang kepada kitab itu dengan penuh khidmat, “aku tak berani membawa-bawanya pergi merantau. Lebih baik ditinggal di sini saja dalam perlindungan Ayah dan Ibu.”
“Goat Lan, jangan kau berkata demikian,” ayahnya menegur. “Kalau kau pergi merantau seorang diri, kau tentu akan membikin ibumu selalu merasa gelisah dan berkhawatir. Apa kau senang melihat ibumu selalu dirundung kegelisahan memikirkan keadaanmu?”
Goat Lan menengok pada ibunya yang juga sedang memandangnya. Melihat sinar mata ibunya yang penuh kasih sayang dan wajah yang cantik itu kini menjadi murung, Goat Lan lalu tersenyum dan memeluk ibunya.
“Ahh, Ayah! Kau jangan merendahkan Ibu! Ibu kan bukan anak kecil lagi dan Ibu sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya padaku. Bukankah begitu, Ibu? Semenjak kecil, Ayah dan Ibu sudah mendidik dan memberi pelajaran ilmu silat dan kepandaian untuk menjaga diri padaku. Bahkan delapan tahun lamanya dua orang suhu-ku telah menggemblengku untuk meyakinkan ilmu silat tinggi, kemudian Ayah dan Ibu memberi tambahan lagi ilmu kepandaian yang kupelajari dengan rajin. Selama bertahun-tahun itu aku selalu tekun, rajin dan dengan susah payah belajar ilmu silat. Apa bila sekarang melakukan perjalanan sebegitu saja aku harus mundur dan takut, apa perlunya selama ini aku mempelajari ilmu silat? Bukankah hal itu hanya akan merendahkan nama kedua orang suhu-ku, bahkan akan mendatangkan rasa malu kepada Ayah dan Ibu? Aku sudah mempelajari ilmu silat, jika sekarang tidak dipergunakan, habis apakah kepandaian itu harus kukeram di dalam kamar, menyulam, membaca buku, mempelajari tulisan-tulisan indah dan sajak, sehingga kepandaian silat itu akan membusuk dan kemudian terlupa olehku?”
Selama puteri mereka ini berbicara, Kwee An dan Ma Hoa bertukar pandang dan mata mereka bersinar gembira. Girang hati mereka mendengar semangat yang gagah ini dan lenyaplah keraguan mereka. Tanpa mereka lihat perubahannya, ternyata Goat Lan kini telah menjadi dewasa. Hanya orang yang sudah dewasa saja dapat memiliki pendirian seperti itu.
Sesudah memberi nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk yang sangat perlu diketahui seorang perantau, akhirnya keduanya menyetujui keberangkatan Goat Lan
“Hanya satu hal yang harus kau janjikan,” kata Ma Hoa, “yaitu kau tidak boleh pergi lebih lama dari enam bulan.”
“Baik, Ibu, aku berjanji. Menurut perhitungan Ayah, perjalanan ke situ pulang pergi hanya makan waktu dua bulan, maka waktu enam bulan sudah cukup bagiku.”
“Bukan karena aku ingin memberi batas waktu yang terlalu sempit dan mengikat, anakku, hanya kau harus ingat bahwa usiamu telah masuk sembilan belas tahun dan perjanjian kita terhadap keluarga Sie sudah dekat waktunya.”
Tiba-tiba saja wajah Goat Lan menjadi merah sekali. Dia memang tahu bahwa dia telah dipertunangkan dengan Sie Hong Beng, kakak dari Lili, putera dari Pendekar Bodoh yang tidak diketahui bagaimana rupanya. Ia hanya satu kali bertemu dengan Sie Hong Beng, yaitu ketika ia masih berusia lima tahun! Semenjak itu, belum pernah ia bertemu lagi dan ia sudah lupa akan rupa pemuda yang kini menjadi caIon suaminya itu.
Memang, jika ia ingat bahwa pemuda itu adalah kakak Lili yang cantik manis dan putera dari Pendekar Bodoh yang amat terkenal sebagai suami isteri pendekar yang gagah dan dikasih sayangi oleh ayah ibunya, dia boleh merasa puas akan ikatan jodoh ini. Namun betapa pun juga, sungguh pun mulutnya tidak pernah berkata sesuatu, akan tetapi ada perasaan kurang enak dalam lubuk hati. Ia belum melihat bagaimana keadaan pemuda tunangannya itu, bagaimana macam orangnya dan bagaimana pula kepandaiannya.
Goat Lan berangkat ke utara sambil membawa pesan dan nasehat kedua orang tuanya. Ia masih ingat betapa ayah ibunya beberapa kali berpesan kepadanya bahwa apa bila ia bertemu dengan seorang yang bernama Bouw Hun Ti, ia diperbolehkan menyerang dan membinasakan orang itu tanpa perlu ragu-ragu lagi.
“Dia adalah pembunuh Paman Yousuf dan dulu telah menculik Lili, maka berarti bahwa dia adalah musuh besar kita pula. Menurut penuturan Pendekar Bodoh, penjahat yang bernama Bouw Hun Ti itu kepandaiannya tak perlu ditakutkan, akan tetapi kau berhati-hatilah Goat Lan, karena dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin yang terkenal amat jahat dan curang.”
Bagaikan seekor burung terlepas dari kurungan, Goat Lan melakukan perjalanan dengan amat gembira. Baru kali ini ia melakukan perantauan dan melakukan segala sesuatu atas keputusan sendiri. Selama ini selalu ada orang-orang yang menjaganya, suhu-suhu-nya, ayah ibunya, dan baru sekarang ia merasa betapa besar kegunaan segala pelajaran ilmu silat yang dipelajarinya selama bertahun-tahun itu.
Dia tidak membekal senjata lain kecuali sepasang bambu runcingnya, dan karena ayah bundanya juga maklum akan kemampuannya menjaga diri dengan tangan kosong atau dengan bambu runcing itu, maka mereka melepaskan dengan hati aman.
Tepat seperti yang sudah diperhitungkan oleh Kwee An, kurang lebih sebulan kemudian sesudah melakukan perjalanan cepat dan lancar, Goat Lan tiba di lembah sungai Sungari di perbatasan Boancu. Dia lalu berjalan di sepanjang sungai itu dan ketika dia sampai di sebelah selatan kota Hailun, ternyata bahwa lembah itu tertutup oleh hutan yang sangat liar dan gelap.
Hari sudah menjadi senja ketika dia tiba di sebuah dusun di luar hutan. Melihat ke arah hutan yang sangat gelap sehingga membuat tempat itu nampak hampir hitam, Goat Lan terpaksa menunda perjalanannya. Dia merasa lapar setelah melakukan perjalanan sehari lamanya, akan tetapi walau pun asap gurih dan sedap yang keluar dari sebuah rumah makan kecil membuat hidungnya berkembang kempis dan perutnya menggeliat-geliat, ia dapat menahan seleranya dan lebih dulu mencari tempat penginapan.
Namun ia kecewa karena ternyata bahwa di dusun itu tidak terdapat rumah penginapan. Satu-satunya rumah penginapan kecil yang masih ada papan namanya, sudah ditutup. Heranlah Goat Lan melihat keadaan ini dan dia bertanya kepada seorang kakek petani yang memandangnya dari pintu rumahnya.
“Lopek, aku adalah seorang pelancong yang membutuhkan tempat penginapan. Di mana kiranya terdapat rumah penginapan di dusun ini?”
Kakek itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian dan sepasang matanya yang keriput dan sipit itu membayangkan kecurigaan besar, tapi melihat bahwa yang bertanya kepadanya adalah seorang gadis muda cantik dan halus tutur sapanya, kecurigaannya berubah menjadi keheranan besar.
“Nona, mendengar bicaramu, kau tentulah datang dari selatan. Mengapa kau tersasar sampai sejauh ini? Kau lihat sendiri, di dusun ini hanya sebagian saja dari penduduknya adalah orang-orang Han, sebagian besar adalah penduduk dari suku bangsa lain. Kau hendak pergi ke manakah?”
Memang benar, sejak tadi agak sukar bagi Goat Lan untuk bertanya keterangan sesuatu, karena di mana-mana dia melihat orang-orang yang amat berlainan dengan orang-orang Han, baik bentuk muka mau pun keadaan pakaiannya. Sungguh pun jawaban kakek ini tidak pada tempatnya, yaitu menjawab dengan sebuah pertanyaan pula, akan tetapi Goat Lan tetap bersabar dan tersenyum ramah.
“Tidak salah dugaanmu, Lopek. Aku memang datang dari selatan dan seperti yang telah kukatakan tadi, aku adalah seorang pelancong.”
“Sebagai seorang pelancong, kau benar-benar sudah memilih tempat yang aneh. Hawa begini dingin, tidak ada pemandangan indah di sini, banyak penyakit merajalela.”
Ia memandang pada pakaian Goat Lan yang tidak tebal dan kepada wajah serta tangan gadis itu yang telanjang tidak tertutup sesuatu, dan makin heranlah hatinya. Bagaimana mungkin seorang gadis cantik jelita dan muda seperti ini mampu menahan dingin yang menggoroti kulit?
Pada waktu itu, bulan kedua baru tiba dan keadaan sedang dingin-dinginnya. Bagi kakek itu sendiri biar pun telah puluhan tahun ia tinggal di daerah dingin ini, namun tetap saja pada waktu seperti itu, tanpa perlindungan pakaian dari kulit domba, ia takkan tahan dan dan kulit tubuhnya akan pecah-pecah.
“Nona, selanjutnya kau hendak ke manakah?” tanyanya kemudian.
“Aku ingin bermalam di dusun ini untuk satu malam saja dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan ke sana!” Goat Lan menudingkan telunjuknya ke arah hutan yang kini sudah menjadi hitam karena diselimuti oleh malam yang mulai mendatang.
Tiba-tiba kakek itu nampak gugup dan pucat.
“Jangan, Nona...! Jangan kau pergi ke sana. Dengarlah kata-kata orang tua seperti aku. Hidupku tidak akan lama lagi dan aku ingin mencegah seorang muda seperti engkau dari kesengsaraan, jangan kau memasuki tempat itu kalau kau sayang kepada nyawamu!”
Goat Lan sangat terkejut, akan tetapi hatinya yang tabah membuat ia tetap tenang. Ia memandang kepada kakek itu dengan tajam dan ketika kakek itu balas memandang dan sinar mata mereka bertemu, kakek itu menjadi makin pucat dan dia melangkah mundur dua langkah.
“Kau… matamu sama benar dengan matanya… kau...”
“Ehh, ada apakah Lopek? Aku seorang manusia biasa, seorang pelancong yang sedang membutuhkan tempat penginapan untuk beristirahat malam ini. Jangan kau bicara yang aneh-aneh Lopek. Dapatkah kau menolongku dan memberitahukan di mana aku dapat bermalam? Kalau tidak mau, tidak apalah, aku bisa mencari keterangan dan minta tolong kepada orang lain.”
Ucapan ini agaknya menyadarkan kakek itu kembali.
“Kau... kau bukan orang jahat?”
Goat Lan merasa dongkol, akan tetapi terpaksa dia tersenyum juga. Melihat pandangan mata dan wajah kakek itu, ia maklum bahwa sikap yang aneh ini timbul dari rasa takut yang hebat dari orang tua ini.
“Tiada gunanya aku menjawab pertanyaanmu ini, Lopek. Siapakah orangnya di dunia ini yang suka mengaku bahwa ia adalah orang jahat? Tentu saja seperti orang lain di dunia ini, aku akan menjawab bahwa aku bukan orang jahat, akan tetapi meski pun kau dapat mendengar jawaban mulutku, bagaimana kau akan dapat mengetahui keadaanku yang sebenarnya?”
Jawaban ini benar-benar membuat kakek itu tercengang.
“Nona, kau masih amat muda akan tetapi sudah dapat bicara seperti itu. Terang bahwa kau bukan orang jahat. Mari, silakan masuk, akan kuceritakan kenapa aku mencegahmu memasuki tempat berbahaya itu.”
Akan tetapi Goat Lan menggelengkan kepalanya. “Aku datang untuk mencari tempat penginapan Lopek, bukan untuk mendengar cerita tentang tempat berbahaya.”
Dia mengangguk dan hendak pergi meninggalkan kakek itu. Akan tetapi orang tua itu melangkah maju dan berkata,
“Nona, apa bila aku sudah mempersilakan kau masuk ke dalam gubukku, itu berarti aku menawarkan tempat ini untuk kau tinggal malam ini. Tentu saja kalau kau sudi tinggal di rumah yang buruk dan kecil ini. Dan aku berani menawarkan rumahku, oleh karena aku maklum bahwa di dalam dusun ini kau tak akan dapat menemukan rumah penginapan. Nah, sudikah kau?”
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari kakek itu dan melihat pandang matanya yang jujur, Goat Lan terpaksa melangkah masuk dan sambil tersenyum dia menyatakan terima kasihnya. Di luar dugaannya semula, walau pun rumah itu dari luar nampak amat buruk dan di dalamnya juga sangat sederhana, namun benar-benar bersih dan menyenangkan.
Sebuah lampu terletak menyala di atas meja kayu yang sederhana bentuknya akan tetapi yang sering kali bertemu dengan kain pembersih. Di kanan kiri meja itu terdapat dua buah bangku kayu yang sederhana pula. Dari ruang depan yang kecil ini nampak dua buah pintu kamar di kanan kiri yang tertutup oleh muili (tirai pintu) yang berwarna kuning dan cukup bersih sungguh pun sudah ada beberapa tambalan di sana sini.
Kakek itu mempersilakan Goat Lan mengambil tempat duduk di atas bangku. Lalu dia sendiri mengeluarkan sebotol arak dan dua cawan kosong dari peti besi yang berdiri di sudut.
“Aku orang miskin, Nona, seperti sebagian besar orang yang tinggal di sini.”
“Kau maksudkan, seperti sebagian besar manusia di dunia ini,” menyambung Goat Lan. “Kemiskinan bukanlah hal yang menyusahkan hati, Lopek.”
Kembali kakek itu tercengang dan wajahnya berseri. “Mendengar ucapanmu, hampir aku percaya bahwa kau adalah seorang gadis petani yang sederhana dan bijaksana. Akan tetapi tidak mungkin seorang gadis petani mempunyai wajah seperti kau dan pakaianmu pula. Ahhh, kau tentulah seorang gadis bangsawan yang kaya raya.” Sebelum Goat Lan membantah kakek itu telah menaruh botol arak di atas meja, lalu cepat berkata lagi. “Kau tentu belum makan, Nona? Tunggulah, biar aku masak bubur untukmu.”
Goat Lan cepat mencegah dan segera dia mengeluarkan sepotong uang perak. “Jangan repot-repot, Lopek. Memang aku lapar dan belum makan semenjak pagi tadi, akan tetapi kalau kau suka, tolonglah belikan nasi dan sedikit masakan dengan uang ini.”
Kakek itu memandang ke arah uang perak di atas meja dan tersenyum pahit, kemudian dia mengambil uang itu dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu bertindak keluar.
“Lopek, jangan lupa, beli untuk dua orang. Aku tidak mau makan sendiri saja!” Goat Lan berseru kepada kakek itu yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Goat Lan yang sudah banyak menerima banyak pesan dari ayah bundanya agar supaya berlaku hati-hati, setelah kakek itu keluar, cepat dia mengadakan pemeriksaan di dalam rumah itu. Disingkapnya tirai pintu kamar dan dilongoknya ke dalam.
Kamar tidur biasa saja dan amat sederhana. Demikian pula kamar tidur ke dua. Rumah ini benar-benar kosong, tidak ada orang lain dan agaknya menjadi tempat tinggal dari dua orang, melihat adanya dua buah kamar tidur itu.
Ia lalu membuka tutup botol arak dan mencicipi sedikit. Arak biasa saja, arak merah yang sudah dicampur dengan air. Ia lalu duduk lagi dengan lega. Tidak dapat diragukan lagi bahwa kakek itu adalah seorang petani miskin yang sederhana dan jujur. Kalau memang di dusun ini tidak ada rumah penginapan, tidak ada tempat yang lebih aman dan baik dari pada rumah Pak Tani ini.
Goat Lan menurunkan buntalan pakaian dari pundaknya dan meletakkan buntalan itu di atas meja, kemudian ia duduk melonjorkan kedua kakinya yang penat. Kakek yang aneh, pikirnya, mengapa ia begitu takut kepada hutan itu?
Tak lama kemudian kakek itu datang membawa makanan. Tanpa banyak cakap mereka berdua lalu makan bersama bagaikan keluarga serumah. Entah mengapa, duduk makan bersama kakek di dalam rumah sederhana itu membuat Goat Lan teringat kepada ayah bundanya! Sesudah selesai makan, barulah Goat Lan bertanya mengapa kakek itu tadi melarangnya memasuki hutan liar itu.
Sebelum menjawab, kakek itu mengusap perutnya dan berkata, “Ah, alangkah nikmatnya makan masakan mahal itu. Sudah bertahun-tahun tidak merasai makanan sesedap itu.”
Goat Lan tersenyum dan hatinya gembira karena sedikit uangnya dapat mendatangkan kenikmatan kepada kakek yang ramah tamah ini. “Kalau setiap hari kau masak masakan seperti ini, akan lenyaplah kelezatannya, Lopek.”
“Kau benar!” kakek itu berseru gembira. “Kau mengingatkan aku akan dongeng tentang raja yang sudah bosan dengan semua kemewahan dan makanan enak yang setiap hari dihadapinya hingga dia tidak doyan lagi semua makanan-makanan lezat dan mahal yang dihadapinya dan ingin ia menjadi seorang petani yang dapat makan hidangan sederhana dengan lahapnya. Dia tidak tahu sama sekali betapa sambil makan hidangannya yang miskin, petani itu pun merindukan makanan lezat yang dihadap raja. Ha-ha-ha!”
Goat Lan mengangguk. “Demikianlah jika nafsu angkara mempermainkan hati manusia, Lopek. Selalu bosan akan keadaan diri sendiri dan selalu ingin menjangkau apa yang tidak dimilikinya.”
“Kau pintar sekali! Ha-ha-ha, kau sungguh mengagumkan, Nona.”
“Lopek, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Mengapakah kau nampak begitu takut kepada hutan itu dan mengapa pula kau mencegahku memasukinya?”
Tiba-tiba lenyaplah kegembiraan pada wajah kakek itu. Ia menghela napas beberapa kali lalu menceritakan dengan suara perlahan.
“Hutan itu memang semenjak dahulu sangat liar. Selain banyak terdapat binatang buas, terutama sekali ular-ular berbisa, juga belum lama ini di dalam hutan itu muncul seorang siluman yang sangat mengerikan! Dahulu di dalam hutan itu terdapat satu gerombolan perampok yang mempergunakan hutan itu sebagai asrama, akan tetapi begitu siluman itu muncul, pada suatu pagi tahu-tahu para perampok yang jumlahnya tiga puluh orang lebih itu telah menggeletak di luar hutan dalam keadaan luka-luka hebat dan bertumpuk-tumpuk! Dan menurut cerita mereka, katanya pada malam hari itu mereka diserang oleh seorang siluman wanita yang mengerikan! Semenjak saat itulah tidak ada perampok lagi yang mengganggu sekitar daerah ini, akan tetapi juga tidak ada seorang pun manusia berani memasuki hutan yang mengerikan itu.”
Goat Lan merasa amat tertarik mendengar cerita ini. “Benar-benar tak pernah ada orang yang berani memasuki hutan itu, Lopek?” dia bertanya.
Orang tua itu mengerutkan keningnya.
“Semenjak saat itu memang tak pernah ada manusia yang lewat di sini dan terus menuju ke hutan. Kukatakan manusia, karena tentu saja yang berani memasuki hutan itu hanya iblis-iblis dan siluman-siluman, bukan manusia biasa seperti yang kulihat kemarin.” Kakek itu nampak takut-takut dan merasa ngeri ketika ia memandang ke arah pintu depan yang terbuka dan nampak hitam kelam di luar.
“Apa maksudmu, Lopek? Apakah ada iblis dan siluman yang kau lihat memasuki hutan itu?” ketika mengajukan pertanyaan ini, biar pun Goat Lan seorang dara perkasa yang tak kenal takut, namun kini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang!
“Betul, memang mereka bukan manusia!” Kakek itu mengangguk dan berkata sambil berbisik, “Aku melihat ada empat bayangan yang seperti sosok bayangan manusia, akan tetapi luar biasa anehnya. Baru cara mereka berjalan saja sudah aneh, begitu cepatnya seperti terbang! Memang, kurasa mereka itu berjalan tidak menginjak bumi seperti biasa iblis berjalan, melayang-layang satu kaki di atas tanah! Dan bentuk tubuh mereka juga sungguh ganjil! Yang tinggi berkepala kecil, yang pendek berkepala besar. Huh, sungguh menyeramkan!”
“Berapa orangkah semuanya, Lopek?”
“Ada empat! Yang seorang seperti manusia biasa, akan tetapi yang tiga orang, ahh, aku masih menggigil ketakutan kalau teringat akan mereka! Maka, sekali lagi aku minta agar kau membatalkan niatmu memasuki hutan itu, Nona. Apa bila kau hendak melakukan perjalanan, jangan sekali-kali berani memasuki hutan yang penuh siluman dan binatang buas itu.”
Goat Lan tersenyum. “Percayalah, Lopek, mendengar ceritamu ini, aku pun merasa takut dan ngeri. Akan tetapi, tentang memasuki hutan, aku tak akan mundur. Besok pagi-pagi aku tetap akan melanjutkan perjalananku memasuki hutan itu, dan apa bila seperti yang kau katakan tadi…”
“Apa yang hendak kau lakukan? Apa dayamu terhadap siluman-siluman yang pandai terbang melayang? Nona, jangan kau mencari penyakit!”
Goat Lan tersenyum lagi. “Kalau bertemu dengan mereka, akan kusampaikan salamku kepada mereka, Lopek.”
Kakek itu melengak dan memandang kepada dara perkasa itu dengan mata terbelalak. “Nona, jangan kau main-main! Tiga puluh lebih perampok yang gagah perkasa dan kuat roboh luka-luka tak berdaya menghadapi seorang siluman wanita dari hutan itu. Apa lagi Nona hanya gadis muda, dan kini dalam hutan itu terdapat sekian banyak siluman!”
Goat Lan tidak menyembunyikan senyumannya. “Lopek, jangan kau khawatir. Sebetulnya aku pernah mempelajari ilmu kepandaian dan tahu cara bagaimana harus menghadapi dan mengalahkan siluman-siluman!”
Tiba-tiba gadis itu memandang ke arah pintu dan alangkah kagetnya hati kakek itu ketika melihat gadis itu sekali berkelebat telah lenyap dari hadapannya dan terdengar seruan gadis itu dari luar pintu. “Siluman dari mana berani mengintai rumah orang?”
Terdengar suara angin di luar pintu dan ketika kakek itu memburu keluar, dia melihat dua bayangan orang berkelebat seperti sedang bertempur! Tidak lama kemudian terdengar seruan seorang laki-laki yang suaranya parau,
”Aduhh...!”
Dan terlihat olehnya betapa bayangan yang berseru kesakitan itu berlari cepat ke arah hutan! Ketika kakek itu masih memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat, ia melihat bayangan ke dua, melompat ke hadapannya dan ternyata bahwa bayangan ini adalah bayangan gadis yang tadi duduk berhadapan dengan dia.
“Jangan takut, Lopek. Siluman tadi telah pergi.” Ia lalu memegang lengan kakek itu dan dibawanya masuk ke dalam pondok.
Kedua mata kakek itu hampir keluar dari rongganya ketika ia memandang kepada Goat Lan dengan mata terbelalak. Sukar sekali dapat dipercaya betapa seorang gadis cantik jelita dan jenaka seperti ini benar-benar sanggup mengusir pergi seorang siluman jahat! Kemudian di dalam benaknya yang sudah banyak dipengaruhi cerita tahyul itu timbullah sangkaan bahwa gadis ini tentulah seorang bidadari, bukan seorang manusia biasa. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Goat Lan dan berkata,
“Niang-niang (sebutan untuk bidadari atau dewi), mohon maaf sebesarnya bahwa hamba tadi sudah berani berlaku kurang ajar dan kurang menghormat. Harap Niang-niang sudi mengampunkan dosa hamba tadi...”
Hampir saja Goat Lan tertawa bergelak-gelak ketika menyaksikan tingkah laku orang tua ini. Ia merasa geli sekali dan dengan agak kasar ia membetot tangan kakek itu supaya bangun dan berdiri kembali.
“Lopek, apakah kau mengajak aku bermain sandiwara? Jangan menyangka yang bukan-bukan Lopek, dan marilah kita mengaso. Aku perlu beristirahat untuk menghadapi hari esok.”
Dia kemudian memasuki sebuah di antara dua kamar itu dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa membuka pakaian dan sepatu. Kakek itu setelah berkali-kali menarik napas panjang saking heran dan kagum, lalu menutup pintu dan buru-buru memasuki kamar ke dua.
Akan tetapi bagaimana dia dapat tidur? Pikirannya penuh dengan siluman-siluman dan dewi yang gagah perkasa itu, dan diam-diam dia merasa girang sekali bahwa dia telah mendapat kehormatan besar menjadi tuan rumah dari seorang bidadari atau dewi. Dia akan menceritakan hal ini kepada semua tetangga, dan dia akan menjadikan peristiwa ini sebagai kebanggaannya seumur hidup.
Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia mendengar suara. “Lopek, selamat tinggal dan terima kasih!”
Ketika ia melompat bangun dan keluar dari kamarnya, ternyata tamunya yang cantik dan aneh itu sudah pergi dan tidak berada di dalam kamar lagi. Di atas mejanya terdapat tiga potong uang perak yang cukup besar!
Kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan mulutnya berkemak-kemik seperti laku seorang dukun meminta berkah dari Penghuni Langit!
Goat Lan memang meninggalkan rumah itu secara diam-diam dan di waktu hari masih pagi sekali, karena ia merasa tidak enak melihat sikap kakek yang berlebih-lebihan dan yang amat tahyul itu.
Malam tadi, dia sudah merasa heran sekali ketika melihat benar-benar ada orang yang mengintai rumah kakek itu. Lebih-lebih herannya ketika ia menyerbu keluar, ia disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang berkepandaian tinggi!
Begitu keluar pintu karena melihat berkelebatnya bayangan yang mengintai, dia segera mengulur tangan hendak menangkap pundak orang itu dengan gerakan dari Gin-na-hwat (ilmu silat yang mempergunakan tangkapan dan cengkeraman). Akan tetapi ketika lelaki itu menangkis, Goat Lan merasa betapa tangkisan itu berat dan kuat sekali mengandung tenaga lweekang yang tak boleh dibuat gegabah!
Ia maklum bahwa ‘siluman’ ini adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka cepat dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat dan menyerang hebat. Sampai beberapa belas jurus orang itu dapat mempertahankan diri, akan tetapi akhirnya sebuah totokan jari tangan Goat Lan pada pundaknya membuat dia berseru kesakitan dan cepat melarikan diri ke arah hutan!
Hal inilah yang membuat Goat Lan mendapat kesimpulan bahwa di dalam hutan itu tentu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Dia masih belum dapat menetapkan apakah orang-orang itu termasuk golongan orang jahat atau orang gagah yang menyembunyikan diri dari dunia ramai.
Orang yang malam tadi bertempur dengan dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga totokannya tak membuatnya roboh, hanya berseru kesakitan akan tetapi masih dapat melarikan diri. Kalau saja ia tidak mempunyai keperluan untuk mencari obat To-hio-giok-ko yang berada di lembah sungai dalam hutan itu, tentu dia juga tidak mau memasuki hutan dan mencari penyakit atau perkara dengan orang-orang yang dianggap siluman oleh kakek itu.
Dengan waspada dan hati-hati sekali Goat Lan berjalan memasuki hutan itu, lalu mencari sungai yang mengalir di hutan. Hutan ini sungguh liar dan penuh dengan pohon-pohon besar, penuh pula dengan semak-semak belukar yang tampaknya belum pernah dijamah oleh tangan manusia.
Pada waktu dia sampai di pinggir sungai yang ditumbuhi rumput-rumput hijau, tiba-tiba ia mendengar suara gerakan di antara semak-semak. Dia cepat memandang sambil segera menghentikan langkah kakinya, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Ah, tentu seekor binatang yang lari bersembunyi, pikirnya. Dengan tenang dan tabah dia melanjutkan perjalanannya di sepanjang Sungai Sungari yang lebar dan jernih airnya, terus menuju ke utara. Matanya mencari-cari ke kanan kiri, melihat rumput-rumput yang tumbuh di situ.
Beberapa kali ia seperti mendengar suara tindakan orang yang mengikutinya, akan tetapi setiap kali dia menengok, dia tidak melihat bayangan seorang pun. Diam-diam ia merasa ngeri juga. Benarkah dongeng kakek itu bahwa di dalam hutan ini terdapat banyak setan dan siluman?
Ia seperti mendengar tindakan kaki orang yang ringan sekali dan kalau memang yang berjalan itu seorang manusia, ia tentu akan dapat melihatnya. Sampai tiga kali ia merasa seperti mendengar orang berjalan, akan tetapi betapa pun cepatnya dia menengok ke belakang, ia tak pernah melihat sesuatu, kecuali daun-daun pohon yang bergerak tertiup angin atau seekor burung yang terbang sambil mengeluarkan seruan kaget.
Ahh, peduli apa dengan siluman mau pun orang? Asal saja dia tidak menggangguku, pikirnya. Dia lalu melanjutkan usahanya mencari daun dan buah obat itu. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, belum juga dia mendapatkan Daun Golok Buah Mutiara.
Banyak terdapat bermacam-macam pohon di tempat itu, akan tetapi tiada yang berdaun seperti golok dan berbuah seperti mutiara. Goat Lan adalah seorang gadis muda yang lincah dan jenaka, maka ia mulai merasa tipis harapannya. Ia kurang sabar dan akhirnya ia pun duduk beristirahat di bawah pohon sambil makan buah yang dipetiknya di tengah perjalanan itu.
Tiba-tiba ia melempar buah yang dimakannya dan melompat berdiri. Ia mendengar suara orang bicara dan tak lama kemudian, di tempat itu muncullah empat orang laki-laki yang berlompatan keluar dari balik pohon-pohon besar. Melihat mereka ini, jantung Goat Lan langsung berdebar dan merasa bulu tengkuknya meremang. Betul-betulkah ada siluman muncul di siang hari?
Tiga di antara empat orang yang muncul ini benar-benar tidak pantas disebut manusia, ada pun orang ke empat potongan tubuhnya seperti yang sudah bertempur dengan dia malam tadi! Orang ke empat ini adalah seorang setengah tua yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat. Dia tersenyum menyeringai dan berkata kepada tiga orang kawannya yang seperti siluman,
“Sam-wi-enghiong (Tuan Bertiga Yang Gagah), inilah Nona yang gagah dan jelita itu!”
Tak salah lagi, orang inilah yang telah bertempur dengan dia malam hari tadi, pikir Goat Lan dan mendengar orang itu bercakap-cakap dengan bahasa manusia kepada tiga orang yang seperti siluman, legalah hatinya. Apa pun juga yang akan terjadi, dia tidak merasa gentar menghadapi sesama manusia! Dia mulai menaruh perhatian kepada tiga orang aneh itu.
Memang, tiga orang ini benar-benar mempunyai bentuk yang lucu dan aneh. Mereka ini bukan lain adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun). Yang tertua bernama Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Dunia) dan sungguh pun ini bukan sebuah nama, namun oleh orang ini diaku sebagai nama julukannya!
Thian-he Te-it Siansu ini adalah seorang yang tubuhnya seperti seorang kanak-kanak, akan tetapi kepalanya botak dan jenggotnya sudah putih semua. Mukanya jelas muka seorang kakek yang sudah tinggi usianya. Kedua kakinya kecil seperti kaki kanak-kanak pula, begitu pula tangannya. Orang kate ini memegang sebatang payung yang ujungnya tumpul dan setiap ranting payungnya terbuat dari logam keras yang berujung runcing.
Orang ke dua adalah seorang pendek gemuk sekali yang bermuka lebar dan mulut serta kedua matanya besar-besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf ‘Buddha’. Orang ini selalu tersenyum lebar dan ia berjalan sambil menyeret sebuah rantai panjang dan besar. Inilah orang kedua dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang bernama Lak Mou Couwsu.
Ada pun orang ke tiga berpotongan tubuh seperti suling, tinggi kurus dengan kepala kecil tertutup kopyah kecil pula. Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri sementara jenggotnya hitam seperti jenggot kambing modelnya. Dia memegang sebatang tongkat dan namanya adalah Bouw Ki.
Melihat keadaan mereka, agaknya tidak pantas sama sekali bahwa mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui yang sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan membuat para orang gagah gentar mendengar nama mereka!
Orang ke empat, yaitu orang setengah tua yang tadi malam bertempur dengan Goat Lan, sebenarnya adalah Bouw Hun Ti! Memang, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Bouw Hun Ti pergi ke utara untuk membujuk dan minta bantuan Hailun Thai-lek Sam-kui untuk memperkuat kedudukannya menghadapi para musuhnya, yaitu Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya.
Ketika Bouw Hun Ti dan kawan-kawannya tiba di dusun itu, dan sebagaimana biasa ketiga orang iblis itu tidak suka bermalam di tempat ramai, akan tetapi memilih hutan belukar, Bouw Hun Ti lalu berjalan-jalan dan dia melihat Goat Lan!
Bouw Hun Ti selain jahat dan kejam, juga mempunyai kelemahan terhadap wajah elok. Maka begitu melihat Goat Lan yang cantik jelita seperti bidadari, ia pun menjadi tertarik. Malam hari itu dia mendatangi gubuk kakek yang menjadi tuan rumah Goat Lan, akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu ternyata bukanlah makanan empuk, bahkan ia terkena totokan yang amat lihai! Tentu saja Bouw Hun Ti menjadi terkejut dan curiga.
Memang, Goat Lan yang jenaka dan nakal itu beberapa kali menyampok tangan Hok Ti Hwesio sehingga pisaunya menjadi nyeleweng dan membentur senjata suhu-nya sendiri, membuat Ban Sai Cinjin menjadi makin marah dan mendongkol.
Goat Lan terheran pada saat melihat seorang pemuda tampan dengan pedang di tangan ikut maju mengeroyoknya. Ia melihat gerakan pedang yang cukup tangkas dan lihai. Kini setelah dikeroyok tiga, dia tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas dengan serangannya.
Akan tetapi gadis ini benar-benar tabah dan jenaka. Biar pun tiga orang lawannya amat tangguh, ia masih melayani mereka dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, menyambar-nyambar di antara gelombang serangan.
Dan pada saat itu, datanglah Lili. Hal ini benar-benar tak pernah disangka oleh Goat Lan. Tentu saja dia menjadi amat gembira dan girang. Telah bertahun-tahun dia tidak bertemu dengan Lili, mungkin sudah ada tiga tahun.
Dia melihat betapa calon adik iparnya ini maju menyerbu dengan senjata pedang dan kipas. Dia merasa amat heran ketika melihat betapa Lili menyerbu Ban Sai Cinjin dengan muka merah dan mata berapi, agaknya Lili amat marah dan membenci kakek mewah itu.
Melihat kemarahan Lili yang agaknya penuh nafsu membunuh itu, Goat Lan tidak mau main-main lagi dan saat ia berseru keras, kaki kanannya telah berhasil menendang tubuh belakang Hok Ti Hwesio dengan gerakan Soan-hong-twi (Tendangan Kitiran Angin).
Tendangan ini dilakukan dengan tenaga yang ratusan kati beratnya dan cukup membuat tulang punggung lawan menjadi patah-patah. Akan tetapi, bagaikan sebuah bal karet, tubuh Hok Ti Hwesio terpental keras dan ketika membentur dinding, lalu mental kembali dan bergulingan di atas lantai tanpa luka sedikit pun!
Goat Lan terheran-heran sehingga untuk sesaat ia berdiri bengong memandang manusia bal itu! Tentu saja ia tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio telah melatih diri dengan ilmu kebal yang luar biasa dan yang dimilikinya setelah dia makan tiga buah jantung manusia!
Pada saat Goat Lan berdiri bengong memandang Hok Ti Hwesio saking herannya, Kam Seng mengirim tusukan maut dengan pedangnya. Ujung pedangnya sudah berada dekat sekali dengan dada kiri Goat Lan, akan tetapi alangkah terkejut hati Kam Seng ketika tiba-tiba, bagaikan tubuh seekor ular, tubuh gadis itu melenggok ke kiri dan tusukan itu hanya lewat di pinggir tubuhnya saja! Dan sebelum Kam Seng kehilangan rasa herannya, tiba-tiba saja dia merasa lengan kanannya sakit sekali dan pedangnya telah terlepas dari pegangannya! Tanpa dia ketahui, dengan gerakan yang cepat bukan main bagaikan kilat menyambar, Goat Lan telah mengirim totokan ke arah urat nadinya!
Hok Ti Hwesio telah bangun berdiri lagi, begitu juga Kam Seng telah mengambil kembali pedangnya karena totokan tadi tidak berbahaya, akan tetapi kedua orang itu kini merasa ragu-ragu dan hanya memandang kepada gadis itu dengan bengong. Mereka mengira sedang berhadapan dengan setan, sebab bagaimanakah seorang gadis cantik lagi muda itu dapat menghadapi mereka dengan tangan kosong dan membuat mereka tak berdaya dengan dua kali serangan saja?
Sementara itu, Ban Sai Cinjin telah diserang dan didesak hebat oleh Lili yang berusaha membunuhnya! Pundaknya yang tadi terluka mulai terasa sakit bukan main dan agaknya sambungan tulang yang telah disambung itu kini terlepas lagi! Keadaannya benar-benar berbahaya dan Goat Lan hanya memandang sambil tertawa-tawa.
Pada saat itu, terdengar seruan orang dan tahu-tahu dari dalam menyambar angin yang menolak kipas Lili yang sedang dipukulkan ke arah dada Ban Sai Cinjin! Goat Lan amat terkejut ketika melihat betapa kipas itu terpental dan tahu bahwa dari dalam ada orang berkepandaian tinggi yang turun tangan. Benar saja, seruan tadi segera disusul dengan munculnya seorang tosu tua.
“Nona Sie!” kata tosu itu ketika Lili melompat mundur. “Muridku telah berlaku sangat baik kepadamu, mengapa kau masih mati-matian mengacaukan tempat tinggal orang lain?”
Melihat munculnya tosu yang sore tadi sudah merobohkannya, kemarahan Lili jadi makin memuncak. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Wi Kong Siansu ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, akan tetapi puteri Pendekar Bodoh ini memang mempunyai ketabahan yang diwarisinya dari ayah bundanya.
“Tosu siluman, rasakan pembalasanku!” teriaknya keras dan ia cepat menyerang dengan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut di tangan kanan serta mainkan San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Gunung dan Air) dengan tangan kirinya!
Wi Kong Siansu sudah tahu akan kelihaian gadis galak ini, maka dia berlaku hati-hati sekali dan mainkan kedua lengan bajunya dengan cepat. Juga Goat Lan berdiri dengan kagum memandang ilmu silat yang dimainkan oleh Lili. Diam-diam dia mengakui bahwa ilmu silat Lili benar-benar hebat sekali.
Akan tetapi ketika ia melihat gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu, ia lebih kaget lagi. Ujung lengan baju yang terbuat dari kain lemas itu kini mengeras bagaikan ujung toya baja dan tiap kali terbentur dengan pedang atau gagang kipas Lili, terdengar suara keras dan senjata di tangan gadis itu terpental ke belakang.
Melihat hal ini saja maklumlah Goat Lan bahwa kepandaian tosu tua ini sungguh hebat sekali dan jika dibiarkan saja, Lili mungkin takkan dapat menang. Maka ia lalu mencabut senjatanya dan berseru,
“Kakek tua, jangan kau orang tua menghina yang muda!”
Ketika Wi Kong Siansu melihat datangnya serangan dan melihat senjata di tangan Goat Lan, kakek ini terkejut sekali dan cepat dia melompat mundur. Ternyata bahwa gadis ini sekarang memegang dua batang bambu kuning yang hanya sebesar lengan anak-anak dan berujung runcing, panjangnya kira-kira hanya tiga kaki!
“Tahan, Nona. Apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”
Goat Lan memang bersifat nakal dan jenaka, karena itu sambil tersenyum-senyum ia pun menjawab,
“Totiang (sebutan untuk pendeta tua), aku yang muda tidak mau membawa-bawa nama orang-orang tua untuk menakuti-nakuti kau!”
Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. “Siapa takut kepadamu? Meski pun Hok Peng Taisu sendiri yang datang, aku Wi Kong Siansu belum tentu akan takut kepadanya! Hanya kulihat bahwa sepasang bambu runcingmu itu adalah bambu runcing yang merupakan kepandaian tunggal dari Hok Peng Taisu.”
“Sudahlah, tidak perlu kita membawa-bawa nama orang tua itu di tempat yang kotor ini. Pendeknya, kalau Totiang takut, sudah saja jangan kau mengganggu adikku ini!”
“Siapa takut? Biarlah, biar kumencoba kepandaian Bu Pun Su dan Swie Kiat Siansu yang diturunkan kepada Nona Sie ini dan sekalian kurasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!” Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu lalu mencabut pedangnya yang disembunyikan di balik jubahnya yang lebar.
Pedang ini bersinar kehitaman sebab inilah pedang mustika yang sangat berbahaya dan ganas yang bernama Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam)! Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu memang telah menciptakan semacam ilmu pedang tunggal yang pada waktu itu merupakan sebuah dari ilmu-ilmu pedang yang paling terkenal dan ditakuti di masa itu.
Ilmu pedang ini ia ciptakan berdasarkan pedang mustikanya yang didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san. Karena pedang itu mengeluarkan sinar kehitaman dan didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san (Bukit Setan Hitam), maka ia lalu memberi nama Hek-kwi-kiam pada pedang itu dan lalu memberi nama pada ilmu pedang ciptaannya Hek-kwi Kiam-sut.
Walau pun Kam Seng sudah mempelajari ilmu pedang ini dengan tekunnya, akan tetapi karena ilmu pedang ini amat sukar dan banyak sekali perubahannya, maka kepandaian itu boleh dibilang belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian Wi Kong Siansu Si Iblis Tua Pencabut Nyawa!
“Majulah, anak-anak muda! Biarlah kalian mendapat kehormatan untuk mengenal Hek-kwi Kiam-sut dari dekat!”
Akan tetapi Lili yang amat marah sudah tak sabar lagi mendengar ocehan tosu itu dan cepat maju menyerang dengan pedangnya. Goat Lan yang dapat menduga kelihaian tosu itu, lalu maju pula membarengi gerakan Lili dan mengirim serangan dengan bambu runcingnya.
Sesungguhnya, dari kedua suhu-nya yang menggembleng dirinya selama delapan tahun, yaitu Sin Kong Tianglo Si Raja Obat dan Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak, Giok Lan hanya menerima latihan-latihan ilmu silat tangan kosong beserta lweekang dan ginkang. Akan tetapi gadis ini tentu saja tidak mau meniru kedua suhu-nya yang menggunakan senjata-senjata yang paling aneh di antara sekalian senjata ahli silat di dunia ini.
Yok-ong Sin Kong Tianglo selalu mempergunakan keranjang obat dan pisau pemotong rumput sebagai senjata, sedangkan Im-yang Giok-cu mempergunakan senjata guci arak. Oleh karena itu, di samping menerima gemblengan ilmu silat dari kedua kakek sakti ini, Goat Lan juga mempelajari ilmu pedang dari ayahnya dan terutama sekali yang paling disukai adalah mempelajari ilmu bambu runcing dari ibunya!
Bahkan sesudah dia dapat memainkan ilmu bambu runcing dengan pandai, dia lalu minta kepada ayahnya untuk membuatkan bambu runcing terbuat dari sepasang bambu kuning seperti milik ibunya! Hanya dengan senjata inilah Goat Lan melakukan perantauannya!
Ilmu silat Goat Lan tentu saja sudah tinggi dan tangguh bukan main. Ia telah menerima gemblengan dari empat orang berkepandaian tinggi dan biasanya dia hanya menghadapi para lawan yang betapa lihai pun dengan kedua kaki tangannya sambil mengandalkan ginkang-nya yang seperti ibunya itu. Akan tetapi kini saat menghadapi Wi Kong Siansu, terpaksa dia harus mengeluarkan bambu-runcingnya.
Begitu pula dengan Wi Kong Siansu. Biasanya, orang tua ini selalu memandang rendah lawan-lawannya dan tak pernah dia mengeluarkan pedang mustikanya. Kini menghadapi dua orang gadis cantik dan masih muda dia sampai mengeluarkan pedangnya, dapatlah diketahui bahwa tosu ini sama sekali tidak berani memandang ringan terhadap Lili dan Goat Lan.
Bahkan Ban Sai Cinjin sendiri memandang heran dan ia selalu bersiap sedia dengan hati berdebar-debar. Hok Ti Hwesio dan Kam Seng tentu saja hanya berdiri di sudut ruangan yang luas itu sambil menonton dan sama sekali tidak berani mencoba untuk ikut turun tangan.
Pertempuran kali ini memang benar-benar hebat sekali. Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut luar biasa ganas dan cepatnya hingga ruang yang terang oleh cahaya lampu itu menjadi muram, oleh karena sinar pedang itu bergulung-gulung laksana uap gunung berapi yang mengandung abu hitam.
Akan tetapi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan merupakan titik kuning, yang kadang-kadang berkelebat bagaikan halilintar menyambar dengan cepatnya. Sedangkan pedang Liong-coan-kiam terkenal sebagai pedang yang ampuh, kini digerakkan dengan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut menjadi amat mengagumkan, berkelebat-kelebat bersinar putih laksana perak merupakan seekor naga perkasa yang bermain-main di antara awan hitam dan halilintar! Kipas maut di tangan kiri Lili merupakan pusat angin yang apa bila digerakkan membuat para penonton merasakan sambaran angin dingin yang aneh!
Empat ilmu silat yang luar biasa tingginya kini bertemu, dimainkan oleh tiga orang yang memiliki ilmu tinggi, sungguh merupakan pemandangan yang sukar dilihat orang! Ban Sai Cinjin, Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio sampai berdiri bengong bagaikan terpaku di lantai.
Bagi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang ilmu kepandaiannya jauh lebih rendah, tidak ada kemungkinan sama sekali bagi mereka untuk ikut turun tangan dalam pertempuran yang maha dahsyat itu, akan tetapi tidak demikian dengan Ban Sai Cinjin. Apa bila diukur tingkat kepandaiannya, memang dia tidak usah mengaku kalah terhadap dua orang gadis itu.
Maka secara diam-diam kakek mewah ini lalu menelan dua butir pil dan mengurut-urut pundaknya, membenarkan letak tulang pundak sambil mengatur napasnya. Lalu, setelah pundaknya tidak begitu sakit lagi, dia lalu mengeluarkan tembakau hitamnya yang amat berbahaya, dan mulai mengisi kepala huncwe-nya dengan tembakau beracun itu. Tidak lama kemudian, mengebullah asap tembakau yang membuat kepala menjadi pening dan napas menjadi sesak. Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sendiri terpaksa melangkah mundur menjauhi agar jangan sampai terkena serangan asap beracun itu.
Goat Lan adalah murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, maka tentu saja ia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan, terutama sekali tentang racun yang sering kali dipergunakan oleh kaum hek-to (jalan hitam, yaitu orang-orang jahat). Begitu hidungnya mencium bau asap tembakau yang mulai melayang-layang di ruangan itu, ia pun maklum bahwa kakek mewah dengan huncwe mautnya itu akan ikut turun tangan pula, hendak mengandalkan huncwe dan asapnya yang lihai.
Cepat tangan kirinya menancapkan bambu runcing yang kiri di ikat pinggang, menjaga diri dengan bambu runcing kanan, lalu menggunakan tangan kirinya untuk merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan dua butir buah yang putih warnanya, lalu menyerahkan sebutir kepada Lili sambil berkata,
“Lili, masukkan buah ini ke dalam mulut dan gigit! Jangan telan!”
Lili menerima buah itu dan ketika dia menggigitnya, maka mulut dan hidungnya terasa dingin dan pedas, akan tetapi tercium hawa yang sangat harum keluar dari mulut serta hidungnya.
Pada saat itu pula, Ban Sai Cinjin sudah melompat maju dan menyerbu dengan huncwe mautnya sambil mengebulkan asap hitam dari mulutnya ke arah kedua orang gadis itu. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya pada waktu ia melihat Lili dan Goat Lan tidak mengelak dan menerima asap itu tanpa terpengaruh sedikit pun! Ternyata bahwa asap hitam itu sebelum dapat memasuki hidung atau mulut dua orang dara pendekar ini, telah diusir kembali oleh hawa harum yang keluar dari mulut dan hidung mereka!
Akan tetapi, setelah Ban Sai Cinjin ikut menyerbu, sibuk jugalah Lili dan Goat Lan. Tadi saat menghadapi dan mengeroyok Wi Kong Siansu, keadaan mereka baru dapat disebut seimbang, tetapi masih saja mereka berdua merasa amat sukar untuk dapat merobohkan Toat-beng Lo-mo yang memang sakti itu.
Kini, ditambah Ban Sai Cinjin yang memiliki ilmu kepandaian tidak lebih rendah dari pada tingkat mereka, tentu saja menimbulkan banyak kesukaran sehingga keduanya terpaksa mengerahkan kepandaian pada penjagaan diri.
“Lili, mari kita pergi, malam sudah lewat!” kata Goat Lan sambil memutar kedua bambu runcingnya menghadapi pedang hitam Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu. Memang, saat itu malam telah terganti pagi. Ayam-ayam hutan mulai berkokok nyaring, burung-burung mulai berkicau.
“Ha-ha-ha, nona-nona manis! Kalian baru boleh pergi setelah meninggalkan tubuh kalian yang bagus di sini. Hanya nyawa kalian saja yang bisa pergi! Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin tertawa bergelak karena girangnya melihat betapa dia dan suheng-nya dapat mendesak kedua nona lihai itu.
Sebenarnya, pertempuran itu boleh dibilang amat ganjil. Wi Kong Siansu tetap dikeroyok dua oleh Lili dan Goat Lan, ada pun Ban Sai Cinjin hanya membantu suheng-nya dengan serangan-serangan curang kepada dua orang nona itu.
Lili dan Goat Lan tidak dapat membalas kakek mewah ini karena mereka selalu harus mencurahkan perhatian terhadap Toat-beng Lo-mo yang benar-benar sangat berbahaya dan lihai. Kedua nona itu merasa serba sulit.
Kalau seorang di antara mereka meningalkan Toai-beng Lo-mo untuk menghadapi Ban Sai Cinjin, mungkin sekali dia akan dapat merobohkan Ban Sai Cinjin yang sudah terluka pundaknya. Akan tetapi kawan yang ditinggalkan juga sangat berbahaya kedudukannya dan mungkin tidak akan kuat menghadapi Toat-beng Lo-mo. Maka mereka tetap saling bantu dan tidak mau meninggalkan kawan, selalu bersama-sama menghadapi desakan Toat-beng Lo-mo dan Ban Sai Cinjin tanpa dapat membalas!
Sebetulnya, biar pun hati nurani dan peri kemanusiaannya amat tipis, namun Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu masih mempunyai kegagahan dan keangkuhan, tidak mempunyai sifat pengecut dan rendah seperti sute-nya. Mendengar ejekan sute-nya terhadap kedua orang nona itu, ia merasa amat jengah dan malu.
Dua orang kakek yang telah dikenal sebagai tokoh-tokoh besar persilatan dan yang telah membuat nama besar di kalangan kang-ouw, sekarang menghadapi dua orang gadis yang usianya baru belasan tahun dan telah bertempur dua ratus jurus belum juga dapat mengalahkan mereka! Apa lagi kalau dia mengingat bahwa dua orang gadis muda ini adalah anak dan murid-murid dari orang-orang sakti seperti Hok Peng Taisu, Bu Pun Su dan Pendekar Bodoh, ia merasa gentar juga kalau harus merobohkan atau menewaskan mereka ini.
Juga ada sedikit rasa sayang dalam hatinya kalau harus menewaskan dua orang gadis muda yang demikian cantik jelita, jenaka, dan memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian tingginya. Sebagai seorang ahli silat yang kawakan, tentu saja dia selalu merasa sayang kepada orang-orang muda yang berbakat dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi.
Tiba-tiba Lili dan Goat Lan yang sudah merasa sibuk dan mengambil keputusan untuk berlaku nekad, merasa betapa desakan pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan melemah. Mereka merasa heran sekali, akan tetapi tentu saja kedua orang gadis ini betapa pun tabah dan beraninya, tidak sudi berlaku bodoh dan membunuh diri.
Cepat mereka menggunakan kesempatan pada waktu pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan mengecil sinarnya. Mereka lalu berbareng melakukan penyerangan kepada Ban Sai Cinjin yang amat nekad menyerang membabi buta.
Hampir saja Ban Sai Cinjin menjadi korban pedang Lili kalau saja Toat-beng Lomo tidak cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi perubahan ini, yaitu dari pihak terserang menjadi pihak penyerang, sudah memberi kesempatan kepada Lili dan Goat Lan untuk cepat melompat keluar dari ruangan itu!
Ban Sai Cinjin hendak mengejar akan tetapi suheng-nya mencegah. “Mereka sudah lari, jangan dikejar, Sute. Kepandaian mereka tinggi dan tidak perlu pertempuran yang sudah berlangsung setengah malam ini harus diperpanjang lagi.”
Karena pundaknya juga terasa amat sakit, terpaksa Ban Sai Cinjin membatalkan niatnya. Kalau suheng-nya tidak ikut mengejar, bagaimana ia dapat melawan kedua orang gadis yang lihai itu? Ia menarik napas panjang dan berkata,
“Baru anak dari Pendekar Bodoh dan seorang kawannya saja, dua orang gadis muda, sudah membuat kita tak berdaya, apa lagi kalau Pendekar Bodoh sendiri beserta kawan-kawannya datang menyerbu!”
Ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk mencela dan menegur suheng-nya, dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu juga merasa sindiran ini. Ia menghela napas ketika menjawab,
“Kau tahu sendiri bahwa mereka adalah para murid orang-orang sakti. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku akan kalah atau takut kepada mereka, Sute. Yang menjadikan pikiranku ruwet adalah pulangnya Ong Tek. Apa bila Pangeran Ong mendengar bahwa puteranya hampir saja kau bunuh, bukankah ini berarti bahwa kita sudah memancing permusuhan dengan para perwira kerajaan?”
“Aku tidak takut, Suheng!” jawab Ban Sai Cinjin.
Toat-beng Lo-mo tak menjawab, hanya menarik napas panjang. Perkara sudah menjadi semakin besar dan ruwet, tak ada lain jalan melainkan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
“Kam Seng, mulai sekarang kau harus melatih diri baik-baik, karena kau pun maklum bahwa pihak musuh-musuhmu ternyata terdiri dari orang-orang pandai.”
Pada siang harinya, datanglah Bouw Hun Ti membawa tiga orang tua aneh dan besarlah hati Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin melihat kedatangan tiga orang tua ini. Mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun), tiga orang kakek aneh dan sakti yang sudah amat terkenal namanya di perbatasan Mancuria di utara.
Baru melihat keadaan tiga orang ini saja sudah sangat aneh. Yang seorang tinggi kurus potongan tubuhnya seperti suling, sama besarnya dari kaki sampai ke kepalanya. Orang kedua gemuk dengan muka lebar dan mulut besar, berjubah pendeta Buddha, mulutnya lebar seperti terobek dari telinga ke telinga.
Orang ke tiga lebih aneh lagi. Kalau orang tidak melihat mukanya, tentu akan menyangka bahwa dia adalah seorang anak kecil. Dari pundak sampai ke kaki memang dia persis seperti seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kalau orang melihat wajahnya, dia pasti akan terkejut dan heran. Mukanya adalah muka seorang kakek tua berjenggot dan berkepala botak.
Sungguh pun keadaan ketiga orang ini aneh sekali, namun ilmu kepandaian mereka amat tersohor dan mereka terkenal sebagai orang-orang sakti.
Hailun Thai-lek Sam-kui tadinya agak merasa segan untuk menuruti bujukan Bouw Hun Ti. Akan tetapi saat mereka mendengar bahwa Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu agak takut dan gelisah sehingga mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, ketiga orang Iblis Geledek ini menjadi amat tertarik.
Mereka lalu ikut turun gunung dan tiba di tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Dengan serta merta Ban Sai Cinjin yang kaya raya lalu memberi perintah kepada Hok Ti Hwesio untuk mempersiapkan hidangan-hidangah yang paling mewah dan lezat. Mereka lalu makan minum dengan riangnya. Kegelisahan yang tadi terlupakan sudah oleh Ban Sai Cinjin. Bahkan Wi Kong Siansu juga mulai merasa lega karena dia maklum akan kelihaian tiga orang iblis itu.
*****
Sementara itu, setelah dapat melarikan diri dari kuil serta meninggalkan Ban Sai Cinjin dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang lihai itu, Lili lalu membawa Goat Lan untuk mampir ke rumah penginapan dan mengambil buntalan pakaiannya. Kemudian, pada pagi itu juga mereka lalu melarikan diri keluar dari dusun Tong-sin-bun.
“Ahh, sungguh lihai tosu tua itu!” kata Goat Lan setelah mereka tiba di luar dusun. Dia berhenti, kemudian memegang kedua tangan Lili. “Akan tetapi mengapa kau bisa berada di dalam kuil itu, Lili? Dan apakah yang terjadi? Pertemuanku dengan kau di tempat itu selain amat menggirangkan hati, juga amat mengejutkan dan mengherankan!”
Lili membalas pelukan Goat Lan dan berkata sambil tertawa. “Sebenarnya aku sedang melakukan perjalanan untuk mengunjungi kau di Tiang-an.”
“Aihh, aneh benar kau ini. Dari tempat tinggalmu ke Tiang-an, sama sekali tidak melewati tempat ini. Apakah kau tersesat jalan?”
Lili tersenyum lagi. “Goat Lan, berjanjilah dulu, bahwa kau takkan membuka rahasiaku ini kepada orang lain. Juga tidak kepada ayah ibu, karena sebenarnya aku telah mengambil jalan sendiri!”
“Rahasia apakah?” Goat Lan bertanya heran.
“Sesungguhnya, dari rumah aku berpamit untuk pergi ke Tiang-an dengan alasan sudah merasa rindu padamu. Akan tetapi, diam-diam aku tidak menuju ke rumahmu, melainkan membelok ke Tong-sin-bun untuk mencari musuh besarku, Bouw Hun Ti. Tentunya kau sudah mendengar pula bahwa Bouw Hun Ti adalah murid dari Ban Sai Cinjin, maka aku langsung menuju ke sana untuk mencarinya. Nah, jangan kau ceritakan hal ini kepada ayah atau ibuku, karena mereka tentu akan marah besar. Memang ayah ibuku benar, karena hampir saja aku mendapat celaka besar.”
Maka, kemudian berceritalah Lili tentang pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak menceritakan bahwa ketika dia tertawan, Kam Seng sudah mencium jidatnya! Ia hanya memberitahukan kepada Goat Lan bahwa Kam Seng itu sesungguhnya adalah putera dari Song Kun, suheng dari ayah Lili!
“Dan bagaimana kau bisa kebetulan sekali datang pada malam hari tadi, Goat Lan?”
“Mari kita mengaso dahulu di bawah pohon itu,” kata Goat Lan sambil menuju ke arah sebatang pohon besar di pinggir jalan. “Ceritaku agak panjang karena memang sudah lama kita tak saling jumpa. Mari kita duduk di sana dan mari kuceritakan pengalamanku. Kau tentu akan tertarik mendengarnya. Karena ketahuilah bahwa aku pernah bertemu dengan Bouw Hun Ti musuh besarmu itu!”
Mereka lalu pergi dan duduk di bawah pohon yang rindang itu, dan berceritalah Goat Lan dengan jelas, didengarkan oleh Lili dengan asyiknya.
*****
Memang sudah terlalu lama kita meninggalkan Goat Lan dan sepatutnya kita menengok keadaannya semenjak ia diambil murid Yok-ong Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Goat Lan dibawa oleh kedua suhu-nya ke Bukit Liong-ki-san, yaitu sebuah bukit yang puncaknya tampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dengan amat tekun dan rajinnya Goat Lan melatih diri di bawah bimbingan Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Selama delapan tahun ia berlatih silat, juga ia mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-ong Sin Kong Tianglo. Kedua orang kakek ini merasa sangat gembira melihat ketekunan dan kemajuan murid tunggal mereka dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang paling tinggi.
Goat Lan tidak merasa kesepian oleh karena hampir sebulan sekali, ayah ibunya tentu datang menengoknya, bahkan dia menerima pula latihan ilmu silat dari ayah bundanya. Sebaliknya kedua orang suhu-nya pada waktu menganggur selalu bermain catur dan dua orang kakek itu biar pun sudah sering kali mendapat petunjuk dari Goat Lan, tetap saja masih amat bodoh dalam hal permainan catur! Agaknya memang betul kata orang-orang dulu bahwa otak orang tua sudah menjadi keras dan tumpul!
Tidak saja Kwee An dan Ma Hoa sering kali berkunjung ke puncak Liong-ki-san, bahkan beberapa kali Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, yaitu Lin Lin, membawa Lili naik ke gunung itu untuk mengunjungi. Oleh karena itulah, hubungan antara Lili dan Goat Lan menjadi erat.
Delapan tahun kemudian, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu yang sudah merasa bahwa kepandaian yang mereka ajarkan kepada Goat Lan sudah cukup, kedua orang kakek yang kini telah berusia amat tua itu lalu kembali ke tempat tinggal masing-masing, yaitu di daerah utara.
Goat Lan kembali ke Tiang-an, melanjutkan pelajaran ilmu silatnya dari ayah bundanya sehingga dia kini menjadi seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Kalau dibuat perbandingan, gadis muda ini mempunyai lebih banyak ilmu silat yang tinggi-tinggi dari pada ibu atau ayahnya, maka tentu saja Kwee An dan Ma Hoa menjadi amat bangga akan puteri tunggalnya ini.
Dua tahun lamanya Goat Lan mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, juga Ilmu Silat Bambu Runcing dari ibunya. Seperti ibunya, ia dapat mainkan Ilmu Silat Bambu Runcing ciptaan Hok Peng Taisu dengan amat baik dan bahkan berkat didikan Im-yang Giok-cu ia memiliki lweekang yang amat hebat serta ginkang yang dilatihnya dari Sin Kong Tianglo membuat gerakannya laksana seekor burung walet.
Pada suatu hari, datanglah Im-yang Giok-cu yang membawa berita amat menyedihkan hati Goat Lan dan orang tuanya. Ternyata bahwa Sin Kong Tianglo yang sudah amat tua itu meninggal dunia di daerah utara.
“Sin Kong Tianglo meninggalkan sebuah pesanan untukmu, Goat Lan,” berkata Im-yang Giok-cu setelah kesedihan Goat Lan agak mereda. “Pada waktu ini, putera Kaisar yang menjadi Putera Mahkota, menderita sakit hebat sekali. Menurut Sin Kong Tianglo, obat satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakit pangeran itu hanyalah To-hio-giok-ko (Daun Golok Buah Mutiara) yang terdapat di daerah bersalju sebelah utara tapal batas. Dan karena mencari obat itulah maka ia menemui kematiannya! Tubuhnya yang amat tua itu tidak kuat menahan dingin dan karena serangan hawa dingin dan kelelahan, dia tewas di sana!”
“Mengapa dia bersusah payah mencarikan obat untuk Putera Mahkota?” tanya Ma Hoa dengan heran. Pertanyaan ini agaknya terkandung dalam pikiran Kwee An dan Goat Lan pula karena mereka juga segera memandang kepada Im-yang Giok-cu untuk mendengar bagaimana jawaban kakek itu.
Im-yang Giok-cu menurunkan guci araknya dan sebelum menjawab dia meneguk dahulu araknya.
“Memang Raja Obat itu orangnya aneh sekali. Seperti juga aku tua bangka tiada guna, ia tidak menaruh perhatian tentang keadaan Kaisar dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli pengobatan dia memiliki satu kelemahan, yaitu selalu ingin menyembuhkan penyakit yang paling aneh. Selain dari pada itu, memang harus diakui bahwa di antara para pangeran, maka Putera Mahkota boleh disebut seorang pemuda yang paling baik, mempunyai sifat-sifat baik dan agaknya kalau dia menjadi Kaisar kelak, dia akan menjadi seorang Raja yang bijaksana. Karena itulah, maka banyak sekali ahli pengobatan yang mencoba untuk menyembuhkannya, hanya untuk mencegah supaya jangan sampai ada pangeran lain yang menggantikannya menjadi Putera Mahkota kalau dia meninggal.”
“Dan apakah pesan mendiang Suhu untukku?” tanya Goat Lan kepada suhu-nya yang kedua ini.
“Dia mengharuskan engkau untuk pergi ke utara mencari obat itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota!” jawab Im-yang Giok-cu sambil meneguk araknya lagi.
Goat Lan menerima berita ini dengan tenang saja, akan tetapi kedua orang tuanya saling pandang dengan muka berubah. Mereka telah maklum akan berbahayanya perjalanan ke daerah utara yang selain dingin juga banyak terdapat orang-orang buas dan jahat.
“Mengapa harus Goat Lan yang pergi mencari obat itu?” tanya Kwee An.
Dan Ma Hoa menyambung dengan suara penasaran, “Apakah tidak bisa orang lain yang mencarikannya?”
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak. “Tentu saja aku maklum dengan kekhawatiran kalian berdua. Siapa orangnya yang akan membiarkan Goat Lan pergi seorang diri ke tempat jauh itu? Akan tetapi Sin Kong Tianglo memang orang aneh!” Dia mengangguk-angguk lalu menyambung, “Aneh dan gila!”
Bagi Goat Lan, tidak aneh kalau Im-yang Giok-cu memaki gila kepada Sin Kong Tianglo, karena memang dua orang suhu-nya ini sudah biasa saling memaki!
“Dan susahnya, ini adalah pesannya, pesan orang yang hendak menghembuskan napas terakhir. Pesan seorang yang sudah meninggal harus dilaksanakan dan dipenuhi, kalau tidak, ahh... aku orang tua takkan dapat hidup tenang dan tenteram lagi. Arwah Sin Kong Tianglo tentu akan menjadi setan dan mengejar-ngejarku ke mana-mana. Pesannya ialah Giok Lan seorang, tak boleh orang lain, harus melanjutkan usahanya untuk mencari obat To-hio-giok-ko itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota.”
“Akan tetapi,” Ma Hoa terus membantah, “kenapa mendiang Sin Kong Locianpwe begitu mengkhawatirkan kesehatan Putera Mahkota dan tidak mempedulikan bahaya yang bisa menimpa diri anakku? Apakah ini adil namanya? Atau, apakah dia tidak sayang kepada muridnya?”
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak. “Belum kuceritakan yang lebih aneh lagi. Sebenarnya Sin Kong Tiangto sendiri tidak berapa peduli apakah Putera Mahkota akan mati atau pun hidup, akan tetapi sampai pada saat terakhir, orang tua yang berkepala batu itu selalu hendak mempertahankan namanya! Ia memang angkuh dan menjaga namanya sebagai Yok-ong (Raja Obat)! Ketahuilah, secara kebetulan Yok-ong Sin Kong Tianglo tiba di kota raja dan dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw ahli pengobatan yang terkenal dari seluruh daerah. Tentu saja, tukang obat bertemu ahli obat, mereka bicara asyik tentang hal pengobatan dan akhirnya mereka itu berdebat ramai sekali. Semua tukang obat yang berada di kota raja menyatakan bahwa di dunia ini tak ada obat lagi untuk penyakit yang diderita oleh Putera Mahkota. Akan tetapi Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan bahwa ada obatnya! Dia dibantah oleh banyak orang dan akhirnya semua orang minta buktinya. Kakek gila itu menantang dan menyatakan kesanggupannya, bahwa ia akan memperoleh obat itu dan menyembuhkan Putera Mahkota dengan taruhan bahwa kalau ia tidak bisa, ia tidak mau memakai gelar Yok-ong (Raja Obat) lagi! Nah, celakanya, ketika dia sedang mencari obat itu, dia terserang hawa dingin dan meninggal dunia. Masih baik bahwa dia bertemu denganku dan aku sudah menawarkan tenagaku untuk melanjutkan usahanya mencari obat itu, akan tetapi ia tidak mau menerima tawaranku, katanya, harus muridku yang akan mencari obat dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota. Biarlah muridku sendiri yang menolong namaku dari hinaan orang, dan biar muridku yang membuktikan bahwa julukan Yok-ong bukanlah sia-sia belaka!”
Kwee An, Ma Hoa, dan Goat Lan mendengarkan penuturan ini dengan bengong. Tanpa diberitahu, mereka bertiga maklum bahwa hal ini menyangkut nama baik dan kehormatan Sin Kong Tianglo.
“Nah, sekarang kalian tahu mengapa dia menghendaki Goat Lan seorang yang mencari obat itu? Kakek gila itu takut kalau-kalau para ahli obat di dunia kang-ouw akan mencela, mentertawainya, dan menghina julukannya sebagai Yok-ong! Dan aku tahu, kalau terjadi hal demikian, maka nyawa Yok-ong itu tentu akan berkeliaran lalu yang dijadikan sasaran terutama sekali adalah aku, karena akulah yang berjanji padanya untuk menyampaikan hal ini kepada Goat Lan dan membujuknya agar supaya suka berbakti kepadanya.”
“Baik, Suhu, teecu akan pergi melanjutkan usaha Suhu Sin Kong Tianglo!” tiba-tiba Goat Lan berkata dengan suara tetap.
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak lalu menenggak araknya lagi.
“Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga!” katanya dengan mata dikedip-kedipkan girang. “Bila tidak demikian jawabanmu, kau tentu bukan murid Yok-ong dan aku!” Im-yang Giok-cu lalu menuangkan semua sisa araknya ke dalam perut lalu berkata lagi dengan wajah berseri,
“Goat Lan, Sin Kong Tianglo telah berkata kepadaku bahwa bila kau mampu melanjutkan usahanya serta mengangkat namanya sebagai Yok-ong, aku boleh memberikan barang warisannya ini!” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan segi empat yang tipis kepada muridnya.
Goat Lan menerimanya dan dengan hati-hati ia membuka bungkusan kain kuning itu dan ternyata bahwa di dalamnya terdapat sebuah kitab yang sudah usang dan kuning.
“Kitab obat dari Suhu!” Goat Lan berseru dengan mata terbelalak.
Pernah Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan padanya bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai dan orang-orang jahat yang amat menginginkan kitab itu, akan tetapi suhu-nya itu selalu menjaganya dengan baik-baik.
“Kitab ini sangat berharga,” kata suhu-nya dahulu, “maka jangan harap orang lain dapat mengambilnya dari aku. Aku lebih menghargai kitab ini dari pada nyawaku sendiri! Dan kelak kalau aku mati kitab ini akan kubawa serta. Karena kalau sampai terjatuh ke dalam tangan orang jahat, maka kitab ini akan mendatangkan mala petaka hebat kepada dunia, walau pun di dalam tangan orang baik-baik benda ini akan merupakan penolong manusia yang amat besar jasanya.”
Dengan bengong Goat Lan memegang kitab itu dan Im-yang Giok-cu berkata lagi, “Aku merasa berat sekali membawa-bawa kitab ini selama melakukan perjalanan ke sini, oleh karena aku pun maklum akan keinginan orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab ini. Di waktu kitab ini berada di tangan Sin Kong Tianglo, tidak ada yang berani mencoba untuk merampasnya, akan tetapi sesudah orang tua itu meninggal dunia, tentu mereka akan berusaha mendapatkan kitab ini. Oleh karena itu hati-hatilah kau menjaga kitab ini, muridku. Dan satu hal lagi, apa bila kau hendak mencari obat Tohio-giok-ko, hanya satu tempat yang terdapat daun dan buah itu yaitu pada sepanjang lembah Sungai Sungari di sebelah selatan kota Hailun. Nah, aku telah memenuhi semua tugasku. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, Im-yang Giok-cu lalu pergi dengan cepat tanpa dapat ditahan lagi.
Kwee An dan Ma Hoa kemudian saling pandang dengan mata masih mengandung penuh kekhawatiran. Akhirnya Ma Hoa memegang tangan Goat Lan dan berkata,
“Goat Lan, memang sudah seharusnya kau menjaga nama baik suhu-mu. Akan tetapi, kami tidak tega untuk melepasmu pergi seorang diri begitu saja. Kita akan pergi bertiga.”
“Benar kata-kata ibumu, Goat Lan, tempat itu amat jauh. Aku sendiri bersama Pendekar Bodoh pernah melakukan perjalanan ke sana dan memang tempat itu amat berbahaya.”
“Akan tetapi, Suhu Sin Kong Tianglo telah memesan agar supaya aku pergi sendiri, kalau sampai terdengar oleh orang kang-ouw bahwa sebagai murid Sin Kong Tianglo aku telah mengandalkan kepandaian Ayah dan lbu untuk mendapatkan obat itu, bukankah nama Suhu akan ditertawakan orang?”
“Peduli apakah kalau mereka mentertawakan di belakang punggung kita?” kata Ma Hoa. “Coba suruh mereka tertawa di depan mukaku, tentu tertawanya itu akan menjadi tawa terakhir dalam hidupnya!”
“Akan tetapi aku ingin pergi seorang diri, Ibu. Apa bila Ayah dan Ibu turut membantuku, maka aku akan merasa seolah-olah aku telah menyalahi pesan terakhir dari pada Suhu. Hanya kitab ini...” Ia memandang kepada kitab itu dengan penuh khidmat, “aku tak berani membawa-bawanya pergi merantau. Lebih baik ditinggal di sini saja dalam perlindungan Ayah dan Ibu.”
“Goat Lan, jangan kau berkata demikian,” ayahnya menegur. “Kalau kau pergi merantau seorang diri, kau tentu akan membikin ibumu selalu merasa gelisah dan berkhawatir. Apa kau senang melihat ibumu selalu dirundung kegelisahan memikirkan keadaanmu?”
Goat Lan menengok pada ibunya yang juga sedang memandangnya. Melihat sinar mata ibunya yang penuh kasih sayang dan wajah yang cantik itu kini menjadi murung, Goat Lan lalu tersenyum dan memeluk ibunya.
“Ahh, Ayah! Kau jangan merendahkan Ibu! Ibu kan bukan anak kecil lagi dan Ibu sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya padaku. Bukankah begitu, Ibu? Semenjak kecil, Ayah dan Ibu sudah mendidik dan memberi pelajaran ilmu silat dan kepandaian untuk menjaga diri padaku. Bahkan delapan tahun lamanya dua orang suhu-ku telah menggemblengku untuk meyakinkan ilmu silat tinggi, kemudian Ayah dan Ibu memberi tambahan lagi ilmu kepandaian yang kupelajari dengan rajin. Selama bertahun-tahun itu aku selalu tekun, rajin dan dengan susah payah belajar ilmu silat. Apa bila sekarang melakukan perjalanan sebegitu saja aku harus mundur dan takut, apa perlunya selama ini aku mempelajari ilmu silat? Bukankah hal itu hanya akan merendahkan nama kedua orang suhu-ku, bahkan akan mendatangkan rasa malu kepada Ayah dan Ibu? Aku sudah mempelajari ilmu silat, jika sekarang tidak dipergunakan, habis apakah kepandaian itu harus kukeram di dalam kamar, menyulam, membaca buku, mempelajari tulisan-tulisan indah dan sajak, sehingga kepandaian silat itu akan membusuk dan kemudian terlupa olehku?”
Selama puteri mereka ini berbicara, Kwee An dan Ma Hoa bertukar pandang dan mata mereka bersinar gembira. Girang hati mereka mendengar semangat yang gagah ini dan lenyaplah keraguan mereka. Tanpa mereka lihat perubahannya, ternyata Goat Lan kini telah menjadi dewasa. Hanya orang yang sudah dewasa saja dapat memiliki pendirian seperti itu.
Sesudah memberi nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk yang sangat perlu diketahui seorang perantau, akhirnya keduanya menyetujui keberangkatan Goat Lan
“Hanya satu hal yang harus kau janjikan,” kata Ma Hoa, “yaitu kau tidak boleh pergi lebih lama dari enam bulan.”
“Baik, Ibu, aku berjanji. Menurut perhitungan Ayah, perjalanan ke situ pulang pergi hanya makan waktu dua bulan, maka waktu enam bulan sudah cukup bagiku.”
“Bukan karena aku ingin memberi batas waktu yang terlalu sempit dan mengikat, anakku, hanya kau harus ingat bahwa usiamu telah masuk sembilan belas tahun dan perjanjian kita terhadap keluarga Sie sudah dekat waktunya.”
Tiba-tiba saja wajah Goat Lan menjadi merah sekali. Dia memang tahu bahwa dia telah dipertunangkan dengan Sie Hong Beng, kakak dari Lili, putera dari Pendekar Bodoh yang tidak diketahui bagaimana rupanya. Ia hanya satu kali bertemu dengan Sie Hong Beng, yaitu ketika ia masih berusia lima tahun! Semenjak itu, belum pernah ia bertemu lagi dan ia sudah lupa akan rupa pemuda yang kini menjadi caIon suaminya itu.
Memang, jika ia ingat bahwa pemuda itu adalah kakak Lili yang cantik manis dan putera dari Pendekar Bodoh yang amat terkenal sebagai suami isteri pendekar yang gagah dan dikasih sayangi oleh ayah ibunya, dia boleh merasa puas akan ikatan jodoh ini. Namun betapa pun juga, sungguh pun mulutnya tidak pernah berkata sesuatu, akan tetapi ada perasaan kurang enak dalam lubuk hati. Ia belum melihat bagaimana keadaan pemuda tunangannya itu, bagaimana macam orangnya dan bagaimana pula kepandaiannya.
Goat Lan berangkat ke utara sambil membawa pesan dan nasehat kedua orang tuanya. Ia masih ingat betapa ayah ibunya beberapa kali berpesan kepadanya bahwa apa bila ia bertemu dengan seorang yang bernama Bouw Hun Ti, ia diperbolehkan menyerang dan membinasakan orang itu tanpa perlu ragu-ragu lagi.
“Dia adalah pembunuh Paman Yousuf dan dulu telah menculik Lili, maka berarti bahwa dia adalah musuh besar kita pula. Menurut penuturan Pendekar Bodoh, penjahat yang bernama Bouw Hun Ti itu kepandaiannya tak perlu ditakutkan, akan tetapi kau berhati-hatilah Goat Lan, karena dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin yang terkenal amat jahat dan curang.”
Bagaikan seekor burung terlepas dari kurungan, Goat Lan melakukan perjalanan dengan amat gembira. Baru kali ini ia melakukan perantauan dan melakukan segala sesuatu atas keputusan sendiri. Selama ini selalu ada orang-orang yang menjaganya, suhu-suhu-nya, ayah ibunya, dan baru sekarang ia merasa betapa besar kegunaan segala pelajaran ilmu silat yang dipelajarinya selama bertahun-tahun itu.
Dia tidak membekal senjata lain kecuali sepasang bambu runcingnya, dan karena ayah bundanya juga maklum akan kemampuannya menjaga diri dengan tangan kosong atau dengan bambu runcing itu, maka mereka melepaskan dengan hati aman.
Tepat seperti yang sudah diperhitungkan oleh Kwee An, kurang lebih sebulan kemudian sesudah melakukan perjalanan cepat dan lancar, Goat Lan tiba di lembah sungai Sungari di perbatasan Boancu. Dia lalu berjalan di sepanjang sungai itu dan ketika dia sampai di sebelah selatan kota Hailun, ternyata bahwa lembah itu tertutup oleh hutan yang sangat liar dan gelap.
Hari sudah menjadi senja ketika dia tiba di sebuah dusun di luar hutan. Melihat ke arah hutan yang sangat gelap sehingga membuat tempat itu nampak hampir hitam, Goat Lan terpaksa menunda perjalanannya. Dia merasa lapar setelah melakukan perjalanan sehari lamanya, akan tetapi walau pun asap gurih dan sedap yang keluar dari sebuah rumah makan kecil membuat hidungnya berkembang kempis dan perutnya menggeliat-geliat, ia dapat menahan seleranya dan lebih dulu mencari tempat penginapan.
Namun ia kecewa karena ternyata bahwa di dusun itu tidak terdapat rumah penginapan. Satu-satunya rumah penginapan kecil yang masih ada papan namanya, sudah ditutup. Heranlah Goat Lan melihat keadaan ini dan dia bertanya kepada seorang kakek petani yang memandangnya dari pintu rumahnya.
“Lopek, aku adalah seorang pelancong yang membutuhkan tempat penginapan. Di mana kiranya terdapat rumah penginapan di dusun ini?”
Kakek itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian dan sepasang matanya yang keriput dan sipit itu membayangkan kecurigaan besar, tapi melihat bahwa yang bertanya kepadanya adalah seorang gadis muda cantik dan halus tutur sapanya, kecurigaannya berubah menjadi keheranan besar.
“Nona, mendengar bicaramu, kau tentulah datang dari selatan. Mengapa kau tersasar sampai sejauh ini? Kau lihat sendiri, di dusun ini hanya sebagian saja dari penduduknya adalah orang-orang Han, sebagian besar adalah penduduk dari suku bangsa lain. Kau hendak pergi ke manakah?”
Memang benar, sejak tadi agak sukar bagi Goat Lan untuk bertanya keterangan sesuatu, karena di mana-mana dia melihat orang-orang yang amat berlainan dengan orang-orang Han, baik bentuk muka mau pun keadaan pakaiannya. Sungguh pun jawaban kakek ini tidak pada tempatnya, yaitu menjawab dengan sebuah pertanyaan pula, akan tetapi Goat Lan tetap bersabar dan tersenyum ramah.
“Tidak salah dugaanmu, Lopek. Aku memang datang dari selatan dan seperti yang telah kukatakan tadi, aku adalah seorang pelancong.”
“Sebagai seorang pelancong, kau benar-benar sudah memilih tempat yang aneh. Hawa begini dingin, tidak ada pemandangan indah di sini, banyak penyakit merajalela.”
Ia memandang pada pakaian Goat Lan yang tidak tebal dan kepada wajah serta tangan gadis itu yang telanjang tidak tertutup sesuatu, dan makin heranlah hatinya. Bagaimana mungkin seorang gadis cantik jelita dan muda seperti ini mampu menahan dingin yang menggoroti kulit?
Pada waktu itu, bulan kedua baru tiba dan keadaan sedang dingin-dinginnya. Bagi kakek itu sendiri biar pun telah puluhan tahun ia tinggal di daerah dingin ini, namun tetap saja pada waktu seperti itu, tanpa perlindungan pakaian dari kulit domba, ia takkan tahan dan dan kulit tubuhnya akan pecah-pecah.
“Nona, selanjutnya kau hendak ke manakah?” tanyanya kemudian.
“Aku ingin bermalam di dusun ini untuk satu malam saja dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan ke sana!” Goat Lan menudingkan telunjuknya ke arah hutan yang kini sudah menjadi hitam karena diselimuti oleh malam yang mulai mendatang.
Tiba-tiba kakek itu nampak gugup dan pucat.
“Jangan, Nona...! Jangan kau pergi ke sana. Dengarlah kata-kata orang tua seperti aku. Hidupku tidak akan lama lagi dan aku ingin mencegah seorang muda seperti engkau dari kesengsaraan, jangan kau memasuki tempat itu kalau kau sayang kepada nyawamu!”
Goat Lan sangat terkejut, akan tetapi hatinya yang tabah membuat ia tetap tenang. Ia memandang kepada kakek itu dengan tajam dan ketika kakek itu balas memandang dan sinar mata mereka bertemu, kakek itu menjadi makin pucat dan dia melangkah mundur dua langkah.
“Kau… matamu sama benar dengan matanya… kau...”
“Ehh, ada apakah Lopek? Aku seorang manusia biasa, seorang pelancong yang sedang membutuhkan tempat penginapan untuk beristirahat malam ini. Jangan kau bicara yang aneh-aneh Lopek. Dapatkah kau menolongku dan memberitahukan di mana aku dapat bermalam? Kalau tidak mau, tidak apalah, aku bisa mencari keterangan dan minta tolong kepada orang lain.”
Ucapan ini agaknya menyadarkan kakek itu kembali.
“Kau... kau bukan orang jahat?”
Goat Lan merasa dongkol, akan tetapi terpaksa dia tersenyum juga. Melihat pandangan mata dan wajah kakek itu, ia maklum bahwa sikap yang aneh ini timbul dari rasa takut yang hebat dari orang tua ini.
“Tiada gunanya aku menjawab pertanyaanmu ini, Lopek. Siapakah orangnya di dunia ini yang suka mengaku bahwa ia adalah orang jahat? Tentu saja seperti orang lain di dunia ini, aku akan menjawab bahwa aku bukan orang jahat, akan tetapi meski pun kau dapat mendengar jawaban mulutku, bagaimana kau akan dapat mengetahui keadaanku yang sebenarnya?”
Jawaban ini benar-benar membuat kakek itu tercengang.
“Nona, kau masih amat muda akan tetapi sudah dapat bicara seperti itu. Terang bahwa kau bukan orang jahat. Mari, silakan masuk, akan kuceritakan kenapa aku mencegahmu memasuki tempat berbahaya itu.”
Akan tetapi Goat Lan menggelengkan kepalanya. “Aku datang untuk mencari tempat penginapan Lopek, bukan untuk mendengar cerita tentang tempat berbahaya.”
Dia mengangguk dan hendak pergi meninggalkan kakek itu. Akan tetapi orang tua itu melangkah maju dan berkata,
“Nona, apa bila aku sudah mempersilakan kau masuk ke dalam gubukku, itu berarti aku menawarkan tempat ini untuk kau tinggal malam ini. Tentu saja kalau kau sudi tinggal di rumah yang buruk dan kecil ini. Dan aku berani menawarkan rumahku, oleh karena aku maklum bahwa di dalam dusun ini kau tak akan dapat menemukan rumah penginapan. Nah, sudikah kau?”
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari kakek itu dan melihat pandang matanya yang jujur, Goat Lan terpaksa melangkah masuk dan sambil tersenyum dia menyatakan terima kasihnya. Di luar dugaannya semula, walau pun rumah itu dari luar nampak amat buruk dan di dalamnya juga sangat sederhana, namun benar-benar bersih dan menyenangkan.
Sebuah lampu terletak menyala di atas meja kayu yang sederhana bentuknya akan tetapi yang sering kali bertemu dengan kain pembersih. Di kanan kiri meja itu terdapat dua buah bangku kayu yang sederhana pula. Dari ruang depan yang kecil ini nampak dua buah pintu kamar di kanan kiri yang tertutup oleh muili (tirai pintu) yang berwarna kuning dan cukup bersih sungguh pun sudah ada beberapa tambalan di sana sini.
Kakek itu mempersilakan Goat Lan mengambil tempat duduk di atas bangku. Lalu dia sendiri mengeluarkan sebotol arak dan dua cawan kosong dari peti besi yang berdiri di sudut.
“Aku orang miskin, Nona, seperti sebagian besar orang yang tinggal di sini.”
“Kau maksudkan, seperti sebagian besar manusia di dunia ini,” menyambung Goat Lan. “Kemiskinan bukanlah hal yang menyusahkan hati, Lopek.”
Kembali kakek itu tercengang dan wajahnya berseri. “Mendengar ucapanmu, hampir aku percaya bahwa kau adalah seorang gadis petani yang sederhana dan bijaksana. Akan tetapi tidak mungkin seorang gadis petani mempunyai wajah seperti kau dan pakaianmu pula. Ahhh, kau tentulah seorang gadis bangsawan yang kaya raya.” Sebelum Goat Lan membantah kakek itu telah menaruh botol arak di atas meja, lalu cepat berkata lagi. “Kau tentu belum makan, Nona? Tunggulah, biar aku masak bubur untukmu.”
Goat Lan cepat mencegah dan segera dia mengeluarkan sepotong uang perak. “Jangan repot-repot, Lopek. Memang aku lapar dan belum makan semenjak pagi tadi, akan tetapi kalau kau suka, tolonglah belikan nasi dan sedikit masakan dengan uang ini.”
Kakek itu memandang ke arah uang perak di atas meja dan tersenyum pahit, kemudian dia mengambil uang itu dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu bertindak keluar.
“Lopek, jangan lupa, beli untuk dua orang. Aku tidak mau makan sendiri saja!” Goat Lan berseru kepada kakek itu yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Goat Lan yang sudah banyak menerima banyak pesan dari ayah bundanya agar supaya berlaku hati-hati, setelah kakek itu keluar, cepat dia mengadakan pemeriksaan di dalam rumah itu. Disingkapnya tirai pintu kamar dan dilongoknya ke dalam.
Kamar tidur biasa saja dan amat sederhana. Demikian pula kamar tidur ke dua. Rumah ini benar-benar kosong, tidak ada orang lain dan agaknya menjadi tempat tinggal dari dua orang, melihat adanya dua buah kamar tidur itu.
Ia lalu membuka tutup botol arak dan mencicipi sedikit. Arak biasa saja, arak merah yang sudah dicampur dengan air. Ia lalu duduk lagi dengan lega. Tidak dapat diragukan lagi bahwa kakek itu adalah seorang petani miskin yang sederhana dan jujur. Kalau memang di dusun ini tidak ada rumah penginapan, tidak ada tempat yang lebih aman dan baik dari pada rumah Pak Tani ini.
Goat Lan menurunkan buntalan pakaian dari pundaknya dan meletakkan buntalan itu di atas meja, kemudian ia duduk melonjorkan kedua kakinya yang penat. Kakek yang aneh, pikirnya, mengapa ia begitu takut kepada hutan itu?
Tak lama kemudian kakek itu datang membawa makanan. Tanpa banyak cakap mereka berdua lalu makan bersama bagaikan keluarga serumah. Entah mengapa, duduk makan bersama kakek di dalam rumah sederhana itu membuat Goat Lan teringat kepada ayah bundanya! Sesudah selesai makan, barulah Goat Lan bertanya mengapa kakek itu tadi melarangnya memasuki hutan liar itu.
Sebelum menjawab, kakek itu mengusap perutnya dan berkata, “Ah, alangkah nikmatnya makan masakan mahal itu. Sudah bertahun-tahun tidak merasai makanan sesedap itu.”
Goat Lan tersenyum dan hatinya gembira karena sedikit uangnya dapat mendatangkan kenikmatan kepada kakek yang ramah tamah ini. “Kalau setiap hari kau masak masakan seperti ini, akan lenyaplah kelezatannya, Lopek.”
“Kau benar!” kakek itu berseru gembira. “Kau mengingatkan aku akan dongeng tentang raja yang sudah bosan dengan semua kemewahan dan makanan enak yang setiap hari dihadapinya hingga dia tidak doyan lagi semua makanan-makanan lezat dan mahal yang dihadapinya dan ingin ia menjadi seorang petani yang dapat makan hidangan sederhana dengan lahapnya. Dia tidak tahu sama sekali betapa sambil makan hidangannya yang miskin, petani itu pun merindukan makanan lezat yang dihadap raja. Ha-ha-ha!”
Goat Lan mengangguk. “Demikianlah jika nafsu angkara mempermainkan hati manusia, Lopek. Selalu bosan akan keadaan diri sendiri dan selalu ingin menjangkau apa yang tidak dimilikinya.”
“Kau pintar sekali! Ha-ha-ha, kau sungguh mengagumkan, Nona.”
“Lopek, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Mengapakah kau nampak begitu takut kepada hutan itu dan mengapa pula kau mencegahku memasukinya?”
Tiba-tiba lenyaplah kegembiraan pada wajah kakek itu. Ia menghela napas beberapa kali lalu menceritakan dengan suara perlahan.
“Hutan itu memang semenjak dahulu sangat liar. Selain banyak terdapat binatang buas, terutama sekali ular-ular berbisa, juga belum lama ini di dalam hutan itu muncul seorang siluman yang sangat mengerikan! Dahulu di dalam hutan itu terdapat satu gerombolan perampok yang mempergunakan hutan itu sebagai asrama, akan tetapi begitu siluman itu muncul, pada suatu pagi tahu-tahu para perampok yang jumlahnya tiga puluh orang lebih itu telah menggeletak di luar hutan dalam keadaan luka-luka hebat dan bertumpuk-tumpuk! Dan menurut cerita mereka, katanya pada malam hari itu mereka diserang oleh seorang siluman wanita yang mengerikan! Semenjak saat itulah tidak ada perampok lagi yang mengganggu sekitar daerah ini, akan tetapi juga tidak ada seorang pun manusia berani memasuki hutan yang mengerikan itu.”
Goat Lan merasa amat tertarik mendengar cerita ini. “Benar-benar tak pernah ada orang yang berani memasuki hutan itu, Lopek?” dia bertanya.
Orang tua itu mengerutkan keningnya.
“Semenjak saat itu memang tak pernah ada manusia yang lewat di sini dan terus menuju ke hutan. Kukatakan manusia, karena tentu saja yang berani memasuki hutan itu hanya iblis-iblis dan siluman-siluman, bukan manusia biasa seperti yang kulihat kemarin.” Kakek itu nampak takut-takut dan merasa ngeri ketika ia memandang ke arah pintu depan yang terbuka dan nampak hitam kelam di luar.
“Apa maksudmu, Lopek? Apakah ada iblis dan siluman yang kau lihat memasuki hutan itu?” ketika mengajukan pertanyaan ini, biar pun Goat Lan seorang dara perkasa yang tak kenal takut, namun kini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang!
“Betul, memang mereka bukan manusia!” Kakek itu mengangguk dan berkata sambil berbisik, “Aku melihat ada empat bayangan yang seperti sosok bayangan manusia, akan tetapi luar biasa anehnya. Baru cara mereka berjalan saja sudah aneh, begitu cepatnya seperti terbang! Memang, kurasa mereka itu berjalan tidak menginjak bumi seperti biasa iblis berjalan, melayang-layang satu kaki di atas tanah! Dan bentuk tubuh mereka juga sungguh ganjil! Yang tinggi berkepala kecil, yang pendek berkepala besar. Huh, sungguh menyeramkan!”
“Berapa orangkah semuanya, Lopek?”
“Ada empat! Yang seorang seperti manusia biasa, akan tetapi yang tiga orang, ahh, aku masih menggigil ketakutan kalau teringat akan mereka! Maka, sekali lagi aku minta agar kau membatalkan niatmu memasuki hutan itu, Nona. Apa bila kau hendak melakukan perjalanan, jangan sekali-kali berani memasuki hutan yang penuh siluman dan binatang buas itu.”
Goat Lan tersenyum. “Percayalah, Lopek, mendengar ceritamu ini, aku pun merasa takut dan ngeri. Akan tetapi, tentang memasuki hutan, aku tak akan mundur. Besok pagi-pagi aku tetap akan melanjutkan perjalananku memasuki hutan itu, dan apa bila seperti yang kau katakan tadi…”
“Apa yang hendak kau lakukan? Apa dayamu terhadap siluman-siluman yang pandai terbang melayang? Nona, jangan kau mencari penyakit!”
Goat Lan tersenyum lagi. “Kalau bertemu dengan mereka, akan kusampaikan salamku kepada mereka, Lopek.”
Kakek itu melengak dan memandang kepada dara perkasa itu dengan mata terbelalak. “Nona, jangan kau main-main! Tiga puluh lebih perampok yang gagah perkasa dan kuat roboh luka-luka tak berdaya menghadapi seorang siluman wanita dari hutan itu. Apa lagi Nona hanya gadis muda, dan kini dalam hutan itu terdapat sekian banyak siluman!”
Goat Lan tidak menyembunyikan senyumannya. “Lopek, jangan kau khawatir. Sebetulnya aku pernah mempelajari ilmu kepandaian dan tahu cara bagaimana harus menghadapi dan mengalahkan siluman-siluman!”
Tiba-tiba gadis itu memandang ke arah pintu dan alangkah kagetnya hati kakek itu ketika melihat gadis itu sekali berkelebat telah lenyap dari hadapannya dan terdengar seruan gadis itu dari luar pintu. “Siluman dari mana berani mengintai rumah orang?”
Terdengar suara angin di luar pintu dan ketika kakek itu memburu keluar, dia melihat dua bayangan orang berkelebat seperti sedang bertempur! Tidak lama kemudian terdengar seruan seorang laki-laki yang suaranya parau,
”Aduhh...!”
Dan terlihat olehnya betapa bayangan yang berseru kesakitan itu berlari cepat ke arah hutan! Ketika kakek itu masih memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat, ia melihat bayangan ke dua, melompat ke hadapannya dan ternyata bahwa bayangan ini adalah bayangan gadis yang tadi duduk berhadapan dengan dia.
“Jangan takut, Lopek. Siluman tadi telah pergi.” Ia lalu memegang lengan kakek itu dan dibawanya masuk ke dalam pondok.
Kedua mata kakek itu hampir keluar dari rongganya ketika ia memandang kepada Goat Lan dengan mata terbelalak. Sukar sekali dapat dipercaya betapa seorang gadis cantik jelita dan jenaka seperti ini benar-benar sanggup mengusir pergi seorang siluman jahat! Kemudian di dalam benaknya yang sudah banyak dipengaruhi cerita tahyul itu timbullah sangkaan bahwa gadis ini tentulah seorang bidadari, bukan seorang manusia biasa. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Goat Lan dan berkata,
“Niang-niang (sebutan untuk bidadari atau dewi), mohon maaf sebesarnya bahwa hamba tadi sudah berani berlaku kurang ajar dan kurang menghormat. Harap Niang-niang sudi mengampunkan dosa hamba tadi...”
Hampir saja Goat Lan tertawa bergelak-gelak ketika menyaksikan tingkah laku orang tua ini. Ia merasa geli sekali dan dengan agak kasar ia membetot tangan kakek itu supaya bangun dan berdiri kembali.
“Lopek, apakah kau mengajak aku bermain sandiwara? Jangan menyangka yang bukan-bukan Lopek, dan marilah kita mengaso. Aku perlu beristirahat untuk menghadapi hari esok.”
Dia kemudian memasuki sebuah di antara dua kamar itu dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa membuka pakaian dan sepatu. Kakek itu setelah berkali-kali menarik napas panjang saking heran dan kagum, lalu menutup pintu dan buru-buru memasuki kamar ke dua.
Akan tetapi bagaimana dia dapat tidur? Pikirannya penuh dengan siluman-siluman dan dewi yang gagah perkasa itu, dan diam-diam dia merasa girang sekali bahwa dia telah mendapat kehormatan besar menjadi tuan rumah dari seorang bidadari atau dewi. Dia akan menceritakan hal ini kepada semua tetangga, dan dia akan menjadikan peristiwa ini sebagai kebanggaannya seumur hidup.
Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia mendengar suara. “Lopek, selamat tinggal dan terima kasih!”
Ketika ia melompat bangun dan keluar dari kamarnya, ternyata tamunya yang cantik dan aneh itu sudah pergi dan tidak berada di dalam kamar lagi. Di atas mejanya terdapat tiga potong uang perak yang cukup besar!
Kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan mulutnya berkemak-kemik seperti laku seorang dukun meminta berkah dari Penghuni Langit!
Goat Lan memang meninggalkan rumah itu secara diam-diam dan di waktu hari masih pagi sekali, karena ia merasa tidak enak melihat sikap kakek yang berlebih-lebihan dan yang amat tahyul itu.
Malam tadi, dia sudah merasa heran sekali ketika melihat benar-benar ada orang yang mengintai rumah kakek itu. Lebih-lebih herannya ketika ia menyerbu keluar, ia disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang berkepandaian tinggi!
Begitu keluar pintu karena melihat berkelebatnya bayangan yang mengintai, dia segera mengulur tangan hendak menangkap pundak orang itu dengan gerakan dari Gin-na-hwat (ilmu silat yang mempergunakan tangkapan dan cengkeraman). Akan tetapi ketika lelaki itu menangkis, Goat Lan merasa betapa tangkisan itu berat dan kuat sekali mengandung tenaga lweekang yang tak boleh dibuat gegabah!
Ia maklum bahwa ‘siluman’ ini adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka cepat dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat dan menyerang hebat. Sampai beberapa belas jurus orang itu dapat mempertahankan diri, akan tetapi akhirnya sebuah totokan jari tangan Goat Lan pada pundaknya membuat dia berseru kesakitan dan cepat melarikan diri ke arah hutan!
Hal inilah yang membuat Goat Lan mendapat kesimpulan bahwa di dalam hutan itu tentu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Dia masih belum dapat menetapkan apakah orang-orang itu termasuk golongan orang jahat atau orang gagah yang menyembunyikan diri dari dunia ramai.
Orang yang malam tadi bertempur dengan dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga totokannya tak membuatnya roboh, hanya berseru kesakitan akan tetapi masih dapat melarikan diri. Kalau saja ia tidak mempunyai keperluan untuk mencari obat To-hio-giok-ko yang berada di lembah sungai dalam hutan itu, tentu dia juga tidak mau memasuki hutan dan mencari penyakit atau perkara dengan orang-orang yang dianggap siluman oleh kakek itu.
Dengan waspada dan hati-hati sekali Goat Lan berjalan memasuki hutan itu, lalu mencari sungai yang mengalir di hutan. Hutan ini sungguh liar dan penuh dengan pohon-pohon besar, penuh pula dengan semak-semak belukar yang tampaknya belum pernah dijamah oleh tangan manusia.
Pada waktu dia sampai di pinggir sungai yang ditumbuhi rumput-rumput hijau, tiba-tiba ia mendengar suara gerakan di antara semak-semak. Dia cepat memandang sambil segera menghentikan langkah kakinya, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Ah, tentu seekor binatang yang lari bersembunyi, pikirnya. Dengan tenang dan tabah dia melanjutkan perjalanannya di sepanjang Sungai Sungari yang lebar dan jernih airnya, terus menuju ke utara. Matanya mencari-cari ke kanan kiri, melihat rumput-rumput yang tumbuh di situ.
Beberapa kali ia seperti mendengar suara tindakan orang yang mengikutinya, akan tetapi setiap kali dia menengok, dia tidak melihat bayangan seorang pun. Diam-diam ia merasa ngeri juga. Benarkah dongeng kakek itu bahwa di dalam hutan ini terdapat banyak setan dan siluman?
Ia seperti mendengar tindakan kaki orang yang ringan sekali dan kalau memang yang berjalan itu seorang manusia, ia tentu akan dapat melihatnya. Sampai tiga kali ia merasa seperti mendengar orang berjalan, akan tetapi betapa pun cepatnya dia menengok ke belakang, ia tak pernah melihat sesuatu, kecuali daun-daun pohon yang bergerak tertiup angin atau seekor burung yang terbang sambil mengeluarkan seruan kaget.
Ahh, peduli apa dengan siluman mau pun orang? Asal saja dia tidak menggangguku, pikirnya. Dia lalu melanjutkan usahanya mencari daun dan buah obat itu. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, belum juga dia mendapatkan Daun Golok Buah Mutiara.
Banyak terdapat bermacam-macam pohon di tempat itu, akan tetapi tiada yang berdaun seperti golok dan berbuah seperti mutiara. Goat Lan adalah seorang gadis muda yang lincah dan jenaka, maka ia mulai merasa tipis harapannya. Ia kurang sabar dan akhirnya ia pun duduk beristirahat di bawah pohon sambil makan buah yang dipetiknya di tengah perjalanan itu.
Tiba-tiba ia melempar buah yang dimakannya dan melompat berdiri. Ia mendengar suara orang bicara dan tak lama kemudian, di tempat itu muncullah empat orang laki-laki yang berlompatan keluar dari balik pohon-pohon besar. Melihat mereka ini, jantung Goat Lan langsung berdebar dan merasa bulu tengkuknya meremang. Betul-betulkah ada siluman muncul di siang hari?
Tiga di antara empat orang yang muncul ini benar-benar tidak pantas disebut manusia, ada pun orang ke empat potongan tubuhnya seperti yang sudah bertempur dengan dia malam tadi! Orang ke empat ini adalah seorang setengah tua yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat. Dia tersenyum menyeringai dan berkata kepada tiga orang kawannya yang seperti siluman,
“Sam-wi-enghiong (Tuan Bertiga Yang Gagah), inilah Nona yang gagah dan jelita itu!”
Tak salah lagi, orang inilah yang telah bertempur dengan dia malam hari tadi, pikir Goat Lan dan mendengar orang itu bercakap-cakap dengan bahasa manusia kepada tiga orang yang seperti siluman, legalah hatinya. Apa pun juga yang akan terjadi, dia tidak merasa gentar menghadapi sesama manusia! Dia mulai menaruh perhatian kepada tiga orang aneh itu.
Memang, tiga orang ini benar-benar mempunyai bentuk yang lucu dan aneh. Mereka ini bukan lain adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun). Yang tertua bernama Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Dunia) dan sungguh pun ini bukan sebuah nama, namun oleh orang ini diaku sebagai nama julukannya!
Thian-he Te-it Siansu ini adalah seorang yang tubuhnya seperti seorang kanak-kanak, akan tetapi kepalanya botak dan jenggotnya sudah putih semua. Mukanya jelas muka seorang kakek yang sudah tinggi usianya. Kedua kakinya kecil seperti kaki kanak-kanak pula, begitu pula tangannya. Orang kate ini memegang sebatang payung yang ujungnya tumpul dan setiap ranting payungnya terbuat dari logam keras yang berujung runcing.
Orang ke dua adalah seorang pendek gemuk sekali yang bermuka lebar dan mulut serta kedua matanya besar-besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf ‘Buddha’. Orang ini selalu tersenyum lebar dan ia berjalan sambil menyeret sebuah rantai panjang dan besar. Inilah orang kedua dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang bernama Lak Mou Couwsu.
Ada pun orang ke tiga berpotongan tubuh seperti suling, tinggi kurus dengan kepala kecil tertutup kopyah kecil pula. Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri sementara jenggotnya hitam seperti jenggot kambing modelnya. Dia memegang sebatang tongkat dan namanya adalah Bouw Ki.
Melihat keadaan mereka, agaknya tidak pantas sama sekali bahwa mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui yang sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan membuat para orang gagah gentar mendengar nama mereka!
Orang ke empat, yaitu orang setengah tua yang tadi malam bertempur dengan Goat Lan, sebenarnya adalah Bouw Hun Ti! Memang, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Bouw Hun Ti pergi ke utara untuk membujuk dan minta bantuan Hailun Thai-lek Sam-kui untuk memperkuat kedudukannya menghadapi para musuhnya, yaitu Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya.
Ketika Bouw Hun Ti dan kawan-kawannya tiba di dusun itu, dan sebagaimana biasa ketiga orang iblis itu tidak suka bermalam di tempat ramai, akan tetapi memilih hutan belukar, Bouw Hun Ti lalu berjalan-jalan dan dia melihat Goat Lan!
Bouw Hun Ti selain jahat dan kejam, juga mempunyai kelemahan terhadap wajah elok. Maka begitu melihat Goat Lan yang cantik jelita seperti bidadari, ia pun menjadi tertarik. Malam hari itu dia mendatangi gubuk kakek yang menjadi tuan rumah Goat Lan, akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu ternyata bukanlah makanan empuk, bahkan ia terkena totokan yang amat lihai! Tentu saja Bouw Hun Ti menjadi terkejut dan curiga.