Pendekar Remaja
Karya Kho Ping Hoo
JILID 22
PANTAS saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin merasa amat gentar menghadapi sepasang orang gagah ini, karena mereka bukan lain adalah suami isteri yang amat terkenal yaitu Pendekar Bodoh dan isterinya!
Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh bersama Lin Lin, isterinya yang berkepandaian tinggi, datang pada saat yang amat tepat untuk menolong nyawa Lo Sian dan Kam Wi.
“Pendekar Bodoh…,” dengan bibir gemetar Ban Sai Cinjin masih sempat mengeluarkan kata-kata yang membayangkan kegelisahannya.
Cin Hai terseyum, senyum yang amat dingin. “Ban Sai Cinjin, telah lama aku mendengar namamu. Dan telah lama aku ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Bouw Hun Ti untuk menagih hutang. Hari ini kebetulan sekali kami berdua sempat menghalangi terjadinya sebuah di antara kekejamanmu. Akan tetapi oleh karena aku sudah menerima tantangan suheng-mu, Wi Kong Siansu, dan karena kau tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan aku, kali ini aku tak akan mengganggumu! Pergilah!”
Bukan main malu dan marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. Ia sedang berada di rumah sendiri, bagaimana Pendekar Bodoh ini berani mengusirnya begitu saja seperti seekor anjing? Biar pun dia sudah mendengar nama besar Pendekar Bodoh dan tentang kelihaiannya, akan tetapi belum pernah merasakan kelihaian itu dan lagi pula dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut, bukanlah seorang bu-beng-siauw-cut (orang rendah tak terkenal) juga bukan orang biasa.
“Pendekar Bodoh, lagakmu benar-benar sama besarnya dengan namamu, akan tetapi aku masih meragukan apakah kepandaianmu juga sebesar itu. Aku berada di rumahku sendiri, bagaimana kau bisa mengusirku?” lagak Ban Sai Cinjin menantang.
“Aku tidak mengusirmu pergi dari rumahmu, hanya minggatlah dari depan mataku. Sebal aku melihatmu!” kata Lin Lin yang mewakili suaminya.
Makin merah muka Ban Sai Cinjin. Kedua kaki tangannya berbunyi karena dia berusaha keras menahan kemarahannya sambil mengepalkan tinju hingga pipa yang digenggamnya hampir remuk!
“Kalau aku tidak mau pergi?” tantangnya.
“Mau atau tidak, pergilah!” Pendekar Bodoh membentak sambil melangkah cepat ke arah kakek mewah itu.
Ban Sai Cinjin ketika melihat betapa Pendekar Bodoh menghampirinya tanpa memegang pedang, timbul sifat pengecut dan liciknya. Tiba-tiba dia menggerakkan huncwe mautnya yang dipukulkan sehebatnya ke arah kepala Cin Hai!
Akan tetapi Ban Sai Cinjin kecelik besar kalau mengira bahwa serangan tiba-tiba secara pengecut ini akan dapat menghancurkan kepala Pendekar Bodoh. Dia tidak tahu bahwa Cin Hai telah memiliki kepandaian yang luar biasa sekali yang diwarisinya dari suhu-nya, yaitu Bu Pun Su. Kepandaian yang luar biasa sekali, yaitu pengertian tentang dasar dan pokok segala macam gerakan tubuh manusia pada waktu melakukan gerakan silat. Oleh karena itu, menyerang Pendekar Bodoh dengan tiba-tiba dan tidak tersangka, sama saja sukarnya dengan menyerang angin!
Belum juga huncwe itu bergerak, baru gerakan pundak Ban Sai Cinjin saja sudah dapat dilihat dan diketahui oleh Cin Hai, sehingga sebelum huncwe melayang ke kepalanya, dia sudah tahu bahwa huncwe itu akan melayang dan menyerangnya. Dengan tenang sekali Cin Hai mendiamkan saja.
Akan tetapi setelah huncwe itu melayang dekat dan Ban Sai Cinjin sudah merasa girang sekali, mendadak terdengar seruan kaget dari Ban Sai Cinjin dan tubuh kakek ini terlempar kemudian melayang keluar dari pintu ruangan itu! Suara tubuhnya jatuh berdebuk disusul berkelontangnya huncwe yang menyusulnya!
Bukan main terkejut dan herannya hati Ban Sai Cinjin. Bagaimana bisa terjadi hal seperti itu? Ia tak melihat Pendekar Bodoh bergerak, dan tadi sudah jelas sekali terlihat olehnya betapa huncwe-nya sudah mampir mengenai kepala lawannya. Ia hanya melihat tangan kiri dan kaki kanan lawannya bergerak sedikit saat huncwe-nya sudah hampir mengenai sasaran dan tahu-tahu ia telah terdorong sedemikian hebatnya!
Sebenarnya, ketika tadi Cin Hai melihat serangan Ban Sai Cinjin, ia berlaku tenang saja. Ia tahu dengan pasti bagaimana serangan itu akan dilanjutkan, maka ia mendiamkannya saja dan pada saat tangan yang memegang huncwe sudah hampir mengenai kepalanya, secepat kilat akan tetapi tetap tenang tangan kiri Cin Hai melayang dibarengi uap putih mengebul darl tangannya. Inilah sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut!
Sambaran hawa putih yang keluar dari pukulan ini lantas membuat tangan Ban Sai Cinjin terdorong sehingga pukulannya menjadi melenceng dan tidak mengenai kepala Cin Hai, dan berbareng dengan saat itu juga, kaki kanan Cin Hai telah melayang dan mendorong tubuh lawannya yang sama sekali tak mengira akan hal ini. Demikianlah, dengan mudah Cin Hai telah membuktikan omongannya tadi, yaitu memaksa Ban Sai Cinjin pergi dari hadapannya.
Sementara itu, Coa-ong Lojin melihat hal itu dengan mata terbelalak. Dia melihat dengan jelas betapa dengan mudahnya Pendekar Bodoh mengalahkan Ban Sai Cinjin. Hampir ia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Akan tetapi dia dapat melihat bahwa kekalahan yang demikian mudah dari Ban Sai Cinjin terjadi karena kesalahan kakek itu sendiri.
Dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin terlalu mencurahkan perhatian penjagaan diri. Memang serangan balasan dari Pendekar Bodoh tadi terjadi sangat di luar sangkaan dan mungkin di sinilah letaknya kekuatan dan kelihaian Pendekar Bodoh.
Coa-ong Lojin merasa bahwa ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh. Sungguh pun tidak akan menang, akan tetapi dia mungkin sanggup bertahan sampai beberapa lama, tidak seperti Ban Sai Cinjin, baru segebrakan saja sudah terlempar keluar pintu.
Semenjak tadi Lin Lin sudah memperhatikan Coa-ong Lojin dan juga Kam Wi yang masih menggeletak di bawah dan tadi hendak dibunuh oleh pengemis itu. Kini nyonya ini maju menghampiri Coa-ong Lojin dan berkata,
“Kalau aku tidak salah sangka, kau tentu Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang. Tongkat ularmu itu mengingatkan aku siapa adanya kau ini. Akan tetapi, mengapa kau hendak membunuh orang ini?”
“Isteriku, dia itu adalah Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh besar dari Kun-lun-pai!” kata Cin Hai kepada Lin Lin.
“Hemm, Sin-houw-enghiong terkenal sebagai orang gagah yang berpribudi tinggi, kenapa hendak kau bunuh?” kembali Lin Lin bertanya kepada Coa-ong Lojin yang untuk sesaat menjadi pucat tidak dapat menjawab.
“Aku hanya terbawa-bawa oleh Ban Sai Cinjin, akan tetapi...,” dia mengangkat dadanya memberanikan hatinya, “peduli apakah kalian dengan urusanku?”
Diam-diam Ketua Coa-tung Kai-pang ini menyangka bahwa Pendekar Bodoh tentu akan membela puteranya yang sudah menjadi Ketua Hek-tung Kai-pang, padahal sebenarnya Cin Hai dan Lin Lin belum mengetahui bahwa putera mereka, Hong Beng, telah diangkat menjadi ketua Hek-tung Kai-pang dan sudah pernah menanam bibit permusuhan dengan Coa-tung Kai-pang.
“Burung gagak tentu memilih kawan burung mayat!” kata Lin Lin. “Sudahlah, kami tidak ingin lebih lama lagi bicara denganmu. Pergilah!”
Biar pun merasa mendongkol dan marah, namun Coa-ong Lojin lebih hati-hati dari pada Ban Sai Cinjin dan dia tidak berani melawan.
“Pendekar Bodoh, kali ini aku Coa-ong Lojin mengalah kepadamu, karena tak ada sebab bagiku untuk mengadu nyawa. Akan tetapi lain kali aku tidak akan sudi menelan hinaan macam ini lagi!” Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu berjalan pergi.
Akan tetapi pada saat itu pula terdengar bentakan, “Pengemis kelaparan, jangan kau pergi dulu!”
Dari luar menyambar bayangan orang yang sekali mengulur tangan sudah menerkam ke arah pundak Coa-ong Lojin! Raja pengemis ini kaget sekali dan cepat menyabet dengan tongkatnya, akan tetapi dengan gerakan yang indah dan gesit sekali, orang itu mengelak dan sekali tangannya bergerak, tongkat ular itu telah kena dirampasnya!
Orang ini bukan lain adalah Kwee An, murid Eng Yang Cu tokoh Kim-san-pai, juga murid dari Pek Mo-ko Si Iblis Baju Putih, dan sekaligus menjadi murid dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng (baca cerita Pendekar Bodoh).
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin sebelum berangkat ke utara menyusul Hong Beng dan Goat Lan, mereka lebih dulu mampir di Tiang-an dan Kwee An lalu ikut dengan mereka untuk mencari puterinya, Goat Lan. Perjalanan tiga orang pendekar besar ini dilakukan dengan cepat dan lancar sekali. Dan pada suatu hari, mereka bertemu dengan Lilani yang sedang menggendong Lie Siong sambil mengalirkan air mata!
Tentu saja melihat keganjilan ini, ketiga orang pendekar itu berhenti dan menahan Lilani. Melihat wajah Lilani, Kwee An memandang dengan bengong. Dia merasa seperti pernah melihat gadis cantik ini, akan tetapi tidak ingat lagi, entah di mana. Lin Lin segera maju menghampiri Lilani dan bertanya,
“Nona yang manis, apakah yang telah terjadi dengan pemuda itu? Siapa kau dan siapa pula dia?”
Melihat sikap dan wajah ketiga orang setengah tua yang gagah itu, Lilani merasa kagum. Akan tetapi gadis ini masih merasa ragu-ragu untuk menceritakan keadaan dirinya. Siapa tahu kalau-kalau mereka ini juga kawan-kawan dari Ban Sai Cinjin?
Pendekar Bodoh dapat melihat keraguan gadis itu, maka ia lalu berkata, “Nona tak perlu kau mencurigai kami, karena kami biasanya hanya menolong orang, dan tak pernah mau mengganggu orang.”
“Siapakah Sam-wi yang mulia? Kenapa pula menahan perjalananku? Kawanku ini sedang terluka hebat dan perlu segera dicarikan obat, maka harap Sam-wi suka melepaskan aku yang malang ini.”
Kwee An yang sejak tadi memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian karena merasa sudah pernah bertemu dengan muka ini, lalu maju dan begitu melihat keadaan Lie Siong dia pun berseru kaget,
“Nona, kawanmu ini terluka oleh senjata berbisa! Lekaslah kau ceritakan keadaanmu dan jangan meragukan kami. Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan orang-orang baik. Pendekar di hadapanmu ini adalah Pendekar Bodoh dan kau tidak boleh mencurigainya lagi.”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah Lilani menjadi berseri. Dia menurunkan tubuh Lie Siong yang dipondongnya, kemudian serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cin Hai sambil berkata,
“Sie Taihiap, tolonglah aku yang sengsara ini, tolonglah aku demi orang tuaku yang telah Taihiap kenal. Aku adalah Lilani, anak dari Manako dan Meilani!”
“Kau anak Meilani...?” Kwee An yang berseru kaget dan barulah kini dia teringat bahwa wajah gadis ini bagaikan pinang dibelah dua, serupa benar dengan wajah Meilani, gadis Haimi yang dahulu telah menjadi ‘isterinya’ di luar kehendaknya itu! Juga Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan mereka teringat akan Meilani yang pernah mereka jumpai. (baca cerita Pendekar Bodoh)
“Bangunlah, Nak. Kau kenapakah dan siapa pula kawanmu ini?” Lin Lin bertanya sambil membangunkan gadis itu. “Tentu saja kami kenal baik dengan ayah bundamu, bahkan ini adalah Kwee Taihiap saudara tuaku yang boleh kau sebut sebagai ayah tirimu!”
Sungguh keterlaluan Lin Lin, dalam keadaan begini ia masih dapat menggoda kakaknya. Tentu saja Kwee An menjadi jengah sendiri ketika Lilani mendadak menjatuhkan diri dan berlutut pula di depannya.
“Bangunlah, bangunlah, dan lekas kau bercerita. Siapa pemuda ini dan kenapa ia sampai terluka begini hebat?”
“Dia bernama Lie Siong, putera dari Lie Kong Sian Taihiap dan...”
“Apa katamu?” Lin Lin hampir menjerit. “Kau bilang pemuda ini putera Lie-suheng... jadi dia... dia putera Ang I Niocu?!”
Lilani mengangguk dan dengan singkat dia menceritakan pertemuannya dengan Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin. Ketika mendengar betapa Lo Sian dan Kam Wi masih berada di dalam bahaya hebat, Pendekar Bodoh tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia minta tolong kepada Kwee An untuk merawat Lie Siong karena sedikit-sedikit Kwee An juga tahu cara pengobatan orang yang terluka, sedangkan ia sendiri lalu menarik tangan isterinya dan diajak berlari cepat sekali menuju ke rumah yang ditunjuk oleh Lilani.
Ada pun Kwee An setelah memeriksa luka Lie Siong dengan teliti, dengan amat terkejut dia melihat bahwa bisa yang masuk ke dalam tubuh pemuda melalui luka kecil itu amat berbahaya dan dia tidak sanggup mengobatinya. Ia lalu bertanya lagi kepada Lilani siapa yang melukai pemuda itu, dan ketika mendengar bahwa Lie Siong terluka oleh tongkat Coa-ong Lojin, dia segera memondong tubuh Lie Siong dan berkata,
“Hayo kita kejar mereka! Hanya Coa-ong Lojin saja yang dapat menolong nyawa pemuda ini!” Dan bersama Lilani mereka kemudian berlari cepat menyusul Pendekar Bodoh dan isterinya.
Demikianlah, ketika Kwee An tiba di situ dan melihat Coa-ong Lojin hendak pergi, dia lalu memberikan Lie Siong kepada Lilani dan dia sendiri lantas menyerang Coa-ong Lojin dan berhasil merampas tongkatnya.
“Pengemis ular,” kata Kwes An dengan sikap mengancam. “Jangan kau pergi dulu. Kalau kau tidak mau memberi obat untuk menyembuhkan luka Lie Siong, jangan harap kau akan dapat pergi dari sini dengan kepala masih menempel di lehermu!”
Coa-ong Lojin berdiri bengong karena terkajut serta herannya. Bagaimana orang dapat merampas tongkatnya dengan sedemikian mudahnya?
“Siapakah kau?” tanyanya.
“Kau berhadapan dengan orang she Kwee dari Tiang-an. Sudah tak perlu banyak cakap, lekas kau keluarkan obat untuk menyembuhkan lukanya,” berkata pula Kwee An sambil menunjuk ke arah Lie Siong yang dipondong masuk oleh Lilani.
“Kalau aku tidak mau dan tidak takut mampus?” tantang Coa-ong Lojin sambil tersenyum mengejek.
Kwee An menjadi gemas. “Bangsat rendah! Tahukah kau bahwa aku pernah menerima pelajaran dari Pek Mo-ko? Tahukah kau artinya ini? Aku dapat membuat kau menderita selama hidup, hidup tidak mati pun tidak! Di samping itu, aku akan pergi mencari kawan-kawanmu, semua anggota Coa-tung Kai-pang akan kubasmi habis sampai bersih!”
“Engko An, biarkan aku mencokel kedua matanya kalau dia tidak mau menyembuhkan putera Enci Im Giok (Ang I Niocu)!” kata Lin Lin dengan gemas sekali.
“Dan aku pun harus mematahkan kedua lengannya kalau dia tetap berkukuh tidak mau mengobati Lie Siong!” kata Cin Hai.
Mau tidak mau ngeri juga hati Coa-ong Lojin mendengar ancaman-ancaman ini, apa lagi dia pernah mendengar nama Pek Mo-ko sebagai tokoh besar yang memiliki kepandaian mengerikan sekali. Tadi pun dia telah menyaksikan kepandaian Kwee An yang demikian mudah merampas tongkatnya.
Ia menarik napas panjang, merasa tidak sanggup menghadapi tiga orang pendekar besar yang lihai ini. Dikeluarnya sebungkus obat bubuk putih dari saku bajunya dan berkatalah dia dengan gemas,
“Biarlah sekali ini aku Coa-ong Lojin mengaku kalah dan menuruti kehendak orang lain. Akan tetapi lain kali aku akan membikin pembalasan!” Dia melemparkan bungkusan obat kepada Kwee An dan hendak pergi.
“Nanti dulu!” seru Cin Hai. “Obat itu belum dibuktikan kemanjurannya!” Sambil berkata demikian Pendekar Bodoh menggerakkan tubuhnya yang melesat ke arah pengemis itu dan sekali ia menggerakkan tangannya tidak ampun lagi Coa-ong Lojin roboh tertotok.
Sementara itu, Lin Lin sudah menghampiri Lo Sian dan cepat memulihkan kesehatannya setelah menotok dan mengurut pundaknya. Sin-kai Lo Sian merasa gembira sekali dan ucapan pertama yang keluar dari mulutnya adalah,
“Dia harus disembuhkan, dia adalah putera Ang I Niocu!”
Cin Hai juga membebaskan totokan pada diri Kam Wi yang cepat melompat berdiri dan tanpa berkata sesuatu, orang yang kasar dan jujur ini langsung mengangkat tangan dan memukul ke arah Coa-ong Lojin yang telah duduk bersandar tembok tanpa berdaya lagi! Akan tetapi cepat-cepat Cin Hai menangkap tangannya. Pukulan Kam Wi ini dilakukan dengan keras sekali, akan tetapi dia tertegun ketika merasa betapa dalam tangkapan Cin Hai, dia tak kuasa menggerakkan tangannya itu.
“Dia orang jahat, harus dibunuh!” katanya dengan keras.
“Sabar dulu, Sin-houw-enghiong! Dia harus membuktikan terlebih dulu bahwa obat yang diberikan untuk menyembuhkan Lie Siong benar-benar manjur,” kata Cin Hai.
Sesudah dihibur-hibur oleh Cin Hai dan Lin Lin, akhirnya Kam Wi menjadi sabar dan mereka semua lalu menyaksikan betapa Kwee An mengobati Lie Siong. Atas petunjuk dari Coa-ong Lojin yang masih dapat bicara dengan lemah, luka di pundak kanannya itu lalu dicuci bersih dan dibubuhi obat bubuk yang sudah dicairkan dengan air. Kemudian, dengan obat bubuk itu pula, Lie Siong diberi minum obat dicampur sedikit arak. Setelah pengobatan ini, semua orang berdiam, menanti hasil pengobatan itu.
“Sebentar lagi dia akan siuman dan sembuh,” kata Coa-ong Lojin dengan perlahan.
“Awas, kalau kata-katamu tak terbukti, aku sendiri yang akan memukul hancur kepalamu yang jahat!” kata Kam Wi dengan melototkan kedua matanya yang lebar.
Akan tetapi, tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Coa-ong Lojin, tidak lama kemudian terdengar Lie Siong mengeluh dan pemuda ini membuka matanya. Wajahnya yang pucat telah menjadi merah kembali, sebaliknya luka di pundak yang tadinya merah telah mulai menjadi pulih.
“Baiknya kau tidak membohong sehingga jiwamu masih tertolong!” kata Pendekar Bodoh. Sebagai seorang budiman, ia tidak mau melanggar janji dan melihat Lie Siong betul-betul dapat disembuhkan, dia lalu menghampiri Coa-ong Lojin dan membebaskan totokannya sehingga pengemis itu dapat melompat berdiri.
“Baiklah sekali ini aku Coa-ong Lojin sudah menerima penghinaan berkali-kali. Kelak di puncak Thian-san aku akan memperkuat rombongan Wi Kong Siansu untuk menghadapi kalian!”
Setelah berkata demikian, pengemis bertongkat ular ini hendak pergi. Akan tetapi Kam Wi sudah melompat ke depannya dan sekali menendang, tubuh pengemis itu terlempar keluar dari pintu.
“Ha-ha-ha! Pengemis ular, lain kali bukan pantatmu yang kutendang tetapi kepalamu!”
Setelah Coa-ong Lojin pergi, Lie Siong memandang semua orang itu dengan heran. Dia menoleh kepada Lo Sian dengan mata mengandung pertanyaan, sehingga Sin-kai Lo Sian tersenyum dan berkata,
“Lie Siong, kau berhadapan dengan orang-orang sendiri. Sungguh bagus sekali nasibmu sehingga hari ini kau dapat bertemu dan ditolong oleh mereka ini. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Pendekar Bodoh dan isterinya, sedangkan orang gagah itu adalah Kwee An Taihiap dari Tiang-an!” Memang sebelumnya Lo Sian sudah mendapat keterangan dari Lilani yang memperkenalkan tiga orang besar itu.
Tentu saja Lie Siong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda ini dapat menekan perasaannya, dan tidak memperlihatkan perubahan pada wajahnya yang tampan.
“Siong-ji (Anak Siong), ayah dan ibumu adalah seperti kakak kami sendiri,” kata Lin Lin dengan terharu sambil menatap wajah yang tampan itu.
Lie Siong lalu memandang kepada Lin Lin. Alangkah cantiknya nyonya ini, hampir sama dengan Lili, yang tak pernah lenyap bayangannya dari depan matanya itu. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya yang nampak tua. Tiba-tiba saja ia menjadi terharu sekali ketika teringat akan ibunya yang telah ditinggalkannya.
Ibunya mempunyai sahabat-sahabat baik seperti ini, mengapa ibunya hidup menderita? Mengapa ayahnya sampai mati tanpa ada pembelaan dari mereka ini? Mereka ini adalah pendekar-pendekar besar seperti yang sudah sering kali disebut-sebut oleh ibunya, akan tetapi mengapa ibunya dan dia sampai hidup di tempat asing?
Hatinya menjadi dingin sekali. Keangkuhan hati pemuda ini tersinggung karena dalam keadaan tertimpa mala petaka, justru orang-orang ini yang telah menolongnya. Alangkah bodoh, lemah, dan tak berdaya dia nampak dalam pandangan mata ketiga orang ini! Padahal dia ingin sekali memperlihatkan kepada Pendekar Bodoh dan isterinya, bahwa keturunan Ang I Niocu tidak kalah oleh mereka!
Akan tetapi oleh karena telah ditolong oleh mereka, terpaksa Lie Siong lalu maju menjura memberi hormat dan berkata,
“Sungguh siauwte harus menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sam-wi yang gagah perkasa. Semoga Thian akan memberi kesempatan kepada siauwte untuk kelak membalas budi ini. Maafkan bahwa siauwte harus melanjutkan perjalanan mencari ayah, karena selain siauwte siapa lagi yang akan mencarinya?”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menoleh kepada Lilani, “Mari kita pergi!”
Gadis itu memandang dengan perasaan terheran-heran, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah ajakan pemuda yang menjadi pujaan hatinya? Ia hanya memandang kepada Lin Lin dengan sedih, kemudian sambil menahan isak, dia lalu melompat dan menyusul Lie Siong yang sudah lari terlebih dahulu.
“Eh, ehh, Lie Siong tunggu dulu! Aku akan menunjukkan tempatnya kepadamu!” Lo Sian berseru keras dan segera mengejar pula.
Ada pun Kwee An, Lin Lin, dan Cin Hai menjadi melengak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata saking herannya. Kemudian mereka saling pandang dengan perasaan aneh. Bagaimanakah pemuda itu dapat bersikap sedemikian dinginnya?
“Dia seperti orang marah,” kata Cin Hai.
“Tidak, seperti orang malu,” kata Lin Lin.
“Menurut pandanganku, seperti orang yang merasa sangat penasaran. Sungguh aneh!” kata Kwee An.
Selagi ketiga orang itu merasa terheran-heran, suasana yang tidak enak itu dipecahkan oteh suara Kam Wi yang keras,
“Ah, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat bertemu, bahkan mendapat pertolongan dari tiga orang pendekar besar! Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, memang agaknya Thian telah menyetujui usulku. Aku memang hendak bertemu dengan kau, Sie Taihiap!”
Cin Hai membalas penghormatan tokoh Kun-lun-pai itu. “Kam-enghiong, harap kau tidak berlaku sungkan. Saling bantu dan memberantas kejahatan di antara kalangan kita telah merupakan kewajiban yang tidak perlu dikotori oleh sebutan pertolongan atau pun budi. Kehormatan apakah yang hendak kau berikan kepada kami maka kau hendak mencari kami dan usul apakah yang kau maksudkan itu?”
“Harap kau dan isterimu tidak menganggap aku berlaku kurang ajar apa bila kesempatan ini kukemukakan maksud hatiku. Ketahuilah, aku mempunyai seorang anak keponakan yang bernama Kam Liong, yang sekarang menjabat pangkat sebagai panglima muda di kerajaan. Tentu kalian masih ingat pada Kam Hong Sin saudara tuaku, nah, Kam Liong adalah putera satu-satunya.”
“Kami sudah pernah bertemu dengan Kam Liong itu, Kam-enghiong. Dia adalah seorang pemuda yang gagah dan baik.”
Berseri wajah Kam Wi mendengar ucapan Lin Lin ini. “Bagus sekali, agaknya memang Thian telah menjadi penunjuk jalan! Toanio, seperti juga kau dan suamimu, aku pun telah melihat puterimu yang bernama Sie Hong Li! Juga suheng-ku, Suhu dari Kam Liong yang kau kenal sebagai tokoh pertama dari Kun-lun-pai, yaitu Tiong Kun Tojin, sangat suka melihat puterimu yang cantik dan gagah itu! Oleh karena itu, kami sudah sependapat, yaitu aku, Kam Liong, serta suhu-nya, untuk mengajukan pinangan kepada Sie Taihiap untuk menjodohkan Kam Liong dengan Nona Sie Hong Lie!”
Mendengar pinangan yang tiba-tiba dan terus terang di tempat yang tidak semestinya ini, kedua orang tua itu terkejut dan tersipu-sipu. Wajah Lin Lin menjadi merah akibat jengah. Belum pernah terpikir olehnya akan menerima lamaran orang dan sungguh pun di dalam hatinya ia amat suka kepada Kam Liong, akan tetapi mulutnya tak dapat berkata sesuatu.
Dia hanya memandang kepada suaminya yang kebetulan juga memandang kepadanya dengan mata bodoh. Sampai lama suami isteri ini hanya saling memandang, tidak dapat menjawab, bahkan tidak berani pula memandang pada Sin-houw-enghiong Kam Wi yang masih menanti jawaban mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli, dan ternyata yang tertawa itu adalah Kwee An.
“Ha-ha-ha, bagaimanakah kalian ini? Anak perempuan dilamar orang, kok hanya saling pandang seperti pemuda-pemudi yang main mata?”
Kwee An biasanya pendiam dan tidak banyak berkelakar, akan tetapi sekali ini ia sedang berkumpul dengan Lin Lin yang suka menggodanya, ia selalu mencari kesempatan untuk balas menggoda adiknya ini! Tentu saja Lin Lin menjadi makin bingung dan akhirnya Cin Hai yang dapat mengeluarkan kata-kata sambil menjura kepada Kam Wi,
“Kami menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas kehormatan yang Kam-enghiong berikan kepada kami. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa anak kami Hong Li yang bodoh dan buruk rupa itu mendapat perhatian dari keponakanmu, juga dari Tiong Kun Tojin dan dari kau sendiri. Sesungguhnya puteri kami yang bodoh itu terlalu rendah, apa bila dibandingkan dengan Kam-ciangkun yang biar pun masih muda sudah menduduki pangkat sedemikian tingginya, selain lihai juga menjadi anak murid dari tokoh Kun-lun-pai yang terkenal.”
“Bagus, bagus! Jadi kalian sudah setuju? Kalian menerima pinanganku?” Kam Wi yang jujur dan kasar itu segera memutuskannya.
“Bukan begitu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa, tak dapat kami memutuskan begitu saja...” kata Cin Hai.
“Hemmm, jadi Sie Taihiap menolak?” kembali Kam Wi memutuskan omongan Pendekar Bodoh.
Cin Hai tersenyum, ia maklum bahwa Kam Wi memiliki watak yang amat kasar, polos, dan tidak sabaran.
“Tenanglah, Kam-enghiong. Urusan perjodohan bukanlah seperti urusan jual beli barang murahan saja. Hal ini tentunya harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Sekarang kami tidak dapat memberi keputusan, berilah waktu kepada kami untuk memikirkan serta mempertimbangkannya dan terlebih dulu kami harus bertemu dan bicara dengan Lili puteri kami itu.”
“Pendekar Bodoh, kita adalah golongan orang-orang yang tak pandai bicara, karena lebih mudah bicara dengan kepalan tangan dari pada dengan bibir dan lidah. Kalau kiranya kalian berdua menolak pinangan ini, tak usah banyak sungkan, nyatakan saja sekarang. Aku takkan merasa penasaran atau marah, karena sudah semestinya sesuatu pinangan akan mengalami dua hal, diterima atau tidak.”
“Bagaimana kami dapat menolak pinanganmu? Kami berlaku sombong dan kurang ajar kalau menolaknya. Sesungguhnya kami tidak melihat sesuatu yang mengecewakan pada diri Kam Liong, akan tetapi...”
“Ha-ha-ha, jadi kau suka? Bagus, aku yang menanggung bahwa Kam Liong benar-benar akan merupakan seorang suami yang baik serta bijaksana, seorang anak menantu yang berbakti! Terima kasih atas penerimaanmu, Pendekar Bodoh, segera kita akan mencari hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan.”
“Nanti dulu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa. Jika tadi kunyatakan bahwa aku tidak menolak, itu bukan berarti bahwa aku menerimanya. Seperti telah kukatakan tadi, berilah waktu. Kita sedang menghadapi masa sulit, tugas dan kewajiban menghadang di depan mata, siapa mempunyai kesempatan untuk bicara tentang perjodohan? Tunggulah sampai musuh terusir semua, sampai kami dapat bertemu dengan putera dan puteri kami dalam keadaan selamat, barulah kita akan bicara tentang perjodohan ini!”
“Baik, baik. Betapa pun juga aku merasa yakin bahwa kau tidak menolak dan ucapan itu sudah setengah menerima. Baik, kita menanti sampai selesai tugas kami membela tanah air. Bila keadaan sudah aman, aku akan membawa Kam Liong datang ke Shaning untuk menentukan hari baik! Nah, selamat tinggal, dan terima kasih atas pertolongan kalian tadi!” Setelah berkata demikian dengan wajah berseri gembira Kam Wi lalu meninggalkan rumah itu.
Pendekar Bodoh menarik napas panjang. “Alangkah kasar dan jujurnya orang itu! Urusan perjodohan dianggap mudah begitu saja. Itulah jika orang tidak mempunyai anak sendiri, tidak merasa betapa sukarnya menetapkan jodoh bagi anak perempuan.”
“Sesungguhnya orang itu gegabah sekali,” kata Kwee An, “belum juga diberi keputusan, dia sudah menetapkan dengan yakin bahwa lamarannya diterima. Orang seperti itu kelak akan dapat menimbulkan keributan karena kebodohan, kejujuran, dan kekasarannya.”
“Terus terang saja, aku sendiri sudah setuju apa bila Lili mendapatkan jodoh seperti Kam Liong,” kata Lin Lin. “Kita sudah menyaksikan sendiri betapa pemuda itu sopan santun, lemah lembut, dan juga sudah menyatakan jasanya dengan membantu Hong Beng dan juga kita. Bukankah perbuatannya itu saja sudah memperlihatkan bahwa ia suka kepada Lili dan bahwa ia tidak hendak main-main dalam urusan perjodohan ini?”
“Betapa pun juga, keputusannya harus kau serahkan kepada Lili sendiri, karena urusan ini menyangkut kebahagiaan seumur hidupnya. Aku tidak akan merasa puas apa bila dia sendiri tidak menyetujui perjodohan ini. Dia yang akan menikah, dan dia pula yang akan menanggung segala akibatnya, dia yang akan sengsara atau senang kalau sudah terjadi perjodohan itu. Maka aku menyesal sekali kenapa Sin-houw-enghiong merasa demikian pasti dan tergesa-gesa menganggap kita sudah menerima pinangannya.”
Demikianlah, mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke utara sambil tak ada hentinya membicarakan urusan pinangan yang dilakukan oleh Kam Wi dengan cara yang kasar itu.
Dengan hati mengkal Lie Siong berlari, akan tetapi dia tidak berlari terlalu cepat karena bila ia melakukan hal ini, tentu Lilani akan tertinggal jauh. Oleh karena itu, maka sebentar saja ia telah tersusul oleh Lo Sian yang mengejarnya.
“Perlahan dulu, Anak Siong!” kata Sin-kai Lo Sian sesudah dapat menyusul pemuda itu. Lie Siong berhenti karena Lilani telah mendahuluinya berhenti untuk menanti datangnya pengemis tua itu.
“Mengapa kau meninggalkan mereka begitu saja? Bukankah mereka itu kawan-kawan baik ibu dan ayahmu? Kau sudah mereka tolong, akan tetapi kau meninggalkan mereka seakan-akan seorang yang sedang marah, mengapakah?” Lo Sian menegur Lie Siong yang mendengar dengan kepala ditundukkan.
“Alangkah rendah pandangan mereka terhadapku,” hanya inilah yang diucapkan oleh Lie Siong karena sebetulnya dia tidak suka hal itu dibicarakan lagi. “Lopek, kau menyusulku ada apakah? Karena kau sendiri tidak tahu dan tidak ingat lagi apa yang sudah terjadi dengan mendiang ayahku, aku tidak perlu mengganggumu lagi. Kembalilah kau kepada mereka dan ceritakan bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak tahu diri dan tidak tahu menerima budi. Biarlah mereka lupakan namaku, nama ibu dan ayahku!”
Lo Sian tertegun melihat sikap yang dingin dan kaku ini. Dia benar-benar merasa heran sekali melihat keadaan dan watak pemuda yang aneh ini.
“Lie Siong, sesudah beberapa lama aku melakukan perjalanan bersamamu, belum juga aku dapat mengerti watakmu, sungguh pun harus kuakui bahwa aku suka kepadamu. Aku menyusulmu bukan untuk mengganggumu, akan tetapi karena aku kini sudah dapat menduga siapa adanya pembunuh ayahmu dan di mana kiranya kita dapat menemukan makam ayahmu.”
“Siapa pembunuhnya? Di mana makamnya?” suara Lie Siong terdengar menggetar dan wajahnya memucat. Lo Sian lalu menceritakan tentang ucapan dan sikap Ban Sai Cinjin ketika tadi hendak membunuhnya.
“Tak salah lagi,” katanya sebagai penutup ceritanya, “pembunuh ayahmu pasti bukan lain orang, akan tetapi Ban Sai Cinjin sendiri! Dan kurasa, untuk mencari jejak ayahmu atau makamnya, kita harus pergi ke tempat tinggal Ban Sai Cinjin, yaitu dusun Tong-sin-bun!”
“Di tempat di mana aku pernah membakar rumahnya?”
Lo Sian mengangguk. “Di dekat dusun itu terdapat sebuah kuil milik Ban Sai Cinjin dan kalau tidak salah, di situlah kita akan dapat menemui jejak-jejak ayahmu atau makamnya. Kalau kau kehendaki, mari kuantarkan kau ke sana untuk menyelidiki.”
“Kembali ke Tong-sin-bun?” Lie Siong berkata ragu-ragu. “Kita telah tiba sejauh ini…” Dia lalu menengok ke arah Lilani. “Kita sudah sangat dekat dengan tempat di mana kita akan menemukan rombongan suku bangsa Haimi. Lebih baik kita mencari suku bangsa itu lebih dulu untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya. Setelah itu, baru kita kembali ke selatan untuk menyelidiki hal ini.”
Lo Sian menyatakan setuju dan demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara menuju ke kaki Gunung Alaka-san di sebelah barat. Di sepanjang jalan Lie Siong berkata bahwa kalau memang betul ayahnya telah terbunuh oleh Ban Sai Cinjin, dia bersumpah untuk membalas dendam dan akan mencari serta membunuh Ban Sai Cinjin, walau pun untuk itu dia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Pada masa itu, keadaan tapal batas sebelah utara memang amat genting. Pertempuran-pertempuran telah pecah dan terjadi di mana-mana, di mana saja rombongan pengacau bangsa Tartar dan Mongol bertemu dengan rombongan barisan pemerintah yang menjaga di perbatasan.
Malangi Khan sangat pandai mengatur siasatnya. Tidak saja dia membujuk dan menarik bangsa Tartar untuk bergabung dengan pasukannya untuk bersama-sama memukul ke selatan dengan janji-janji muluk, akan tetapi juga dia telah membujuk suku-suku bangsa Tiongkok yang tinggal di perbatasan utara untuk secara bersama-sama menggulingkan pemerintahan Kaisar Tiongkok.
Juga ia masih berusaha untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw untuk membantu usaha penyerbuannya, dengan pancingan-pancingan berupa harta benda dan janji kedudukan. Bahkan dengan Ban Sai Cinjin dia sudah mengadakan hubungan yang erat, dan menjanjikan bahwa apa bila kelak pemerintah kaisar telah terguling, dia hendak mengangkat Ban Sai Cinjin menjadi kaisar!
Ban Sai Cinjin sendiri bukan seorang bodoh, dan tidak dapat ia menelan mentah-mentah janji muluk ini, akan tetapi dengan kerja sama ini Ban Sai Cinjin sendiri pun mempunyai rencana. Bila mana mereka bersama sudah berhasil menyerbu ke selatan dan mendapat kemenangan, dengan mudah saja dia akan menggunakan pengaruhnya untuk berkhianat terhadap orang-orang Mongol itu sehingga dia akan dapat berkuasa di kota raja.
Sudah lama suku bangsa Haimi dikuasai oleh Malangi Khan. Sejak dia memukul bangsa Haimi ini hingga kepalanya, yaitu Manako melarikan diri dengan puterinya, maka bangsa ini menjadi semacam bangsa jajahan. Saliban, yang tadinya menjadi pembantu Manako, dengan sikapnya yang pandai menjilat, akhirnya terpakai oleh Malangi Khan dan orang ini diangkat menjadi kepala dari suku bangsa Haimi dan boleh dibilang dia menjadi kaki tangan bangsa Mongol.
Saliban mengumpulkan orang-orangnya baik dengan halus mau pun secara paksa, untuk bergabung kembali kemudian bersama-sama merupakan sebuah kesatuan yang cukup kuat untuk membantu usaha kaum Mongol itu menyerbu ke selatan, atau setidaknya bisa mengacaukan pertahanan tentara kerajaan di selatan. Berkat usaha Saliban ini, bangsa Haimi banyak yang ditangkap dan dijadikan anggota pasukan secara paksa, sehingga sungguh pun di dalam hati orang-orang Haimi ini tidak suka membantu orang Mongol dan memusuhi tentara Han, namun terpaksa mereka maju juga.
Pada suatu hari, barisan suku bangsa Haimi yang berjumlah lima puluh orang lebih dan dipimpin sendiri oleh Saliban, sambil berteriak-teriak menyeramkan, sedang mengurung sepasukan penjaga tapal batas yang hanya berjumlah tiga puluh orang. Sungguh amat menyeramkan orang-orang Haimi ini. Mereka rata-rata berkumis panjang, kecuali Saliban sendiri yang semenjak muda sudah membuang kumisnya, bersenjata golok dan pedang lalu menyerbu sambil berteriak-teriak menyeramkan.
Sebentar saja, pasukan kerajaan yang jumlahnya jauh lebih kecil itu sudah rapat-rapat terkurung dan sudah banyak korban yang jatuh di pihak pasukan ini. Seorang perwira tua dari pasukan kerajaan ini dengan mati-matian bertempur mainkan sepasang pedangnya. Luka-luka telah membuat seluruh tubuhnya mandi darah, akan tetapi perwira ini harus dipuji ketabahan dan keuletannya, karena dia tidak hendak menyerah sebelum titik darah terakhir!
Pada saat itu, tiba-tiba keadaan pihak orang-orang Haimi menjadi kacau-balau. Ternyata bahwa entah dari mana datangnya, di gelanggang peperangan itu telah datang seorang gadis cantik yang memainkan pedangnya secara luar biasa sekali. Pedang tunggal pada tangannya berkilauan dan setiap kali tangannya menggerakkan pedang, maka robohlah seorang lawan!
Gadis muda ini bukan lain adalah Sie Hong Li atau Lili! Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, setelah mendengar lamaran yang terus terang dan kasar dari Kam Wi, paman dari Kam Liong, gadis ini lalu melarikan diri meninggalkan rombongan Kam Liong. Karena dia memang tidak tahu jalan dan di sepanjang perjalanannya dia tidak bertemu dengan seorang manusia pun, dia telah salah mengambil jalan dan yang disangkanya ke utara sebetulnya membelok ke barat!
Demikianlah, pada saat dia melihat betapa serombongan tentara kerajaan dikeroyok dan dikurung oleh pasukan berkumis yang jauh lebih besar jumlahnya, tanpa diminta dan tanpa mengeluarkan kata-kata Lili lalu membantu pasukan kerajaan itu dan menyerang barisan berkumis dengan hebatnya.
Akan tetapi, ketika Lili datang membantu, pasukan kerajaan telah habis, bahkan perwira tua itu hanya sempat melihat Lili sebentar saja, karena perwira ini lalu roboh saking lelah dan banyak mengeluarkan darah. Beberapa bacokan golok lalu menamatkan riwayatnya. Sebentar kemudian hanya tersisa Lili seorang saja yang masih dikeroyok oleh puluhan orang berkumis.
Saliban yang melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa, merasa sayang apa bila gadis ini sampai mengalami kematian, maka ia lalu berseru, “Kawan-kawan, jangan bunuh gadis ini. Tangkap hidup-hidup!”
Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan dari pada dijalankan, karena jangan kata hendak menangkap hidup-hidup, untuk mendekati gadis itu saja sukarnya bukan main! Setiap orang yang terlalu berani mendekati Lili, tanpa dapat dicegah lagi roboh terkena tendangan atau kena sambaran hawa pukulan dari tangan kiri gadis itu, atau juga roboh karena keserempet pedang! Lili sengaja tak mau membunuh orang. Melihat orang-orang berkumis ini, teringatlah dia akan cerita ayah bundanya tentang bangsa Haimi, maka dia tidak tega untuk membunuh seorang pun di antara mereka.
“Bukankah kalian ini orang-orang Haimi? Kenapa memusuhi tentara kerajaan? Dengarlah, aku adalah puteri Pendekar Bodoh. Ayah ibuku kenal baik dengan kepala kalian, Manako dan Meilani!” seru Lili di antara amukannya.
Benar saja, mendengar seruannya ini, sebagian besar orang Haimi cepat mengundurkan diri. Mereka sudah pernah mendengar nama Pendekar Bodoh yang menjadi sahabat baik dari pada kepala mereka yang dulu, Manako. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan Saliban yang mendorong mereka untuk maju lagi dan mengadakan pengeroyokan.
Lili menjadi kewalahan juga. Tidak mungkin ia akan dapat melepaskan diri dari kepungan tanpa merobohkan atau menewaskan beberapa orang di antara mereka.
“Mana Manako atau Meilani? Suruh mereka keluar dan biar aku bicara dengan mereka!” teriaknya lagi. Akan tetapi siapakah yang berani melayaninya? Walau pun semua orang Haimi itu timbul hati simpatinya terhadap gadis ini, namun mereka takut kepada Saliban.
Sungguh celaka bagi Lili pada saat itu, serombongan pasukan Mongol yang lihai datang! Ketika melihat betapa sepasukan orang Haimi sedang mengeroyok seorang gadis Han, orang-orang Mongol ini cepat menyerbu dan mengeroyok Lili.
Keadaan Lili menjadi lebih berbahaya lagi. Walau pun dia mengamuk hebat, akan tetapi bagaimana dia dapat melayani ratusan orang musuh yang mengeroyoknya? Mereka itu kini mulai mempergunakan kaitan dan tambang sehingga gerakan Lili menjadi terhalang.
Lili melawan terus dan pertempuran luar biasa ini sungguh hebat. Seorang gadis muda jelita dikeroyok oleh ratusan orang Mongol dan Haimi, dan biar pun sudah ribuan jurus, belum juga gadis ini kalah! Mayat sudah bertumpuk, dan pandangan mata Lili pun sudah menjadi kabur.
Kepalanya pening, peluh membasahi seluruh tubuhnya dan tenaganya mulai berkurang. Tak mungkin baginya untuk keluar dari kepungan, maka dengan nekat dia lalu menyerbu, maksudnya hendak membunuh sebanyak-banyaknya musuh sebelum dia roboh.
Mendadak terdengar sorak-sorai bergemuruh dari jauh. Sepasukan tentara kerajaan yang lain datang menolong.
Orang-orang Mongol lalu memisahkan diri dan menyambut datangnya pasukan kerajaan yang terdiri dari seratus orang itu. Pertempuran makin hebat dan besar, akan tetapi Lili sudah lelah sekali sehingga pada saat kakinya terjirat tambang, tubuhnya terhuyung lalu terguling. Banyak tangan yang kuat menubruknya dan dalam sekejap mata saja dia telah diikat kuat-kuat oleh orang-orang Haimi, lalu Saliban mengempitnya dan membawanya lari bersama orang-orangnya.
Lili yang roboh pingsan saking lelahnya tak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali ternyata dia telah berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam. Kegelapan malam di dalam hutan itu terusir oleh cahaya api unggun besar yang sudah dibuat oleh orang-orang Haimi di tempat itu. Di sini agaknya memang menjadi tempat beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang sehingga merupakan tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Lili didudukkan menyandar batu karang dan ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang terikat erat-erat. Ketika dia membuka matanya, dia melihat banyak sekali orang Haimi mengelilingi api, duduk bercakap-cakap dalam bahasa Haimi.
Dulu secara iseng-iseng ayah bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu dan memberi pelajaran kepadanya mengenai bahasa Haimi, maka biar pun hanya sedikit, Lili dapat menangkap percakapan mereka.
“Jangan, Saliban, dia adalah puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee Taihiap yang telah banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!” terdengar seorang Haimi yang sudah tua berkata terhadap orang Haimi yang tak berkumis.
Ucapan ini agaknya diterima dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang di situ, karena mereka nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak berkumis itu menjadi marah.
“Siapa takut pada Pendekar Bodoh? Tak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh orang-orang Mongol? Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan yang amat baik ini jangan kita lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula. Apa bila kita membawanya kepada Malangi Khan kemudian mempersembahkannya, tentu dia akan berterima kasih dan girang sekali. Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah dan secantik ini.”
Kembali terdengar suara menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan tidak setuju. Semua ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Dia mendapat kesimpulan bahwa orang-orang Haimi ini bagaimana pun juga masih menaruh hati setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi mereka semua agaknya takut kepada orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.
Diam-diam Lili mengeluh. Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong, mendengar lamaran yang kasar hingga membuat mukanya selalu menjadi merah kembali kalau mengingatnya. Setelah meninggalkan rombongan itu, belum juga bertemu dengan Hong Beng dan Goat Lan bahkan kini terjatuh pula dalam tangan serombongan orang Haimi yang telah berubah dan telah menjadi kaki tangan Mongol! Bila ia diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia!
Akan tetapi Lili tak pernah berputus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini tidak akan mati putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada. Betapa pun hebat mala petaka mengancam, ia akan dapat menolong diri sendiri.
Dengan pikiran ini, hati Lili menjadi tetap dan ia segera meramkan mata dan tertidur. Ia menganggap perlu sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok pagi-pagi ia akan berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya.
Memang cerdik sekali pikiran Lili ini. Apa bila ia berusaha atau berkuatir hati, mungkin ia tidak akan dapat tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat dan kehabisan tenaga, kalau ditambah lagi dengan kegelisahan dan tidak dapat tidur, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Meski pun kaki tangannya terasa kaku dan kesemutan, namun dia merasa tubuhnya sehat dan segar, tidak lemas seperti malam tadi. Dan ia merasa heran sekali ketika melihat betapa semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api. Mereka tak bercakap-cakap lagi, hanya duduk melenggut.
Melihat keadaan orang-orang ini, maka timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah sengsaranya hidup seperti orang-orang ini. Agaknya tak berumah, tidak bebas, dan hidup hanya sebagai budak belian, di bawah perintah orang Haimi tak berkumis yang kini telah diperbudak pula oleh orang-orang Mongol itu. Kemanakah perginya Manako dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik ayah bundanya?
Pada saat Lili termenung sambil memandang ke arah Saliban yang juga sudah bangun dan sedang menendangi kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh Lili berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya. Bayangan ini berkelebat bagaikan bintang jatuh dan tiba-tiba tanpa diketahui oleh orang-orang Haimi itu, di depannya telah berdiri seorang wanita.
Cuaca pagi hari di dalam hutan itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Di dalam pandangan Lili, wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya seperti seorang bidadari dari kahyangan. Pakaiannya berwarna merah dan biar pun di sana-sini sudah ditambal, namun tidak mengurangi potongan bentuk tubuhnya yang langsing.
Tangan wanita itu memegang pedang yang mengeluarkan cahaya mencorong bagaikan bintang pagi, mengingatkan Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi pedang di tangan wanita baju merah itu lebih pendek dari pada Liong-cu-kiam ayahnya.
Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang bergerak membacok ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini sehingga Lili sendiri menjadi ngeri mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya. Tanpa terasa lagi gadis ini meramkan matanya.
Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya sudah terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang mengikat kaki tangannya! Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung!
Cepat-cepat dia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah bhesi dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga mengeluarkan uap putih. Lili melakukan gerakan ini di samping untuk mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili, digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya, “Siapa kau? Dari mana kau mempelajari Pek-in Hoat-sut?”
Ketika wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Sesudah terlihat jelas wajah ini ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya sudah putih semua dan seluruh kulit mukanya sudah penuh keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat kecantikan wanita itu. Pada saat itu juga teringatlah Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.
“Ang... Ang... I Niocu....,” katanya dengan suara gemetar.
Dua tangan yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.
“Kau siapakah? Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!” kata pula wanita itu yang memang betul Ang I Niocu adanya.
“Ahh... Ie-ie (Bibi) Im Giok...!” Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu.
Semenjak kecilnya, ibunya sering kali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi kepada Pendekar Bodoh suami isteri. Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya juga amat mengharukan karena selalu terbayang olehnya bahwa Ang I Niocu merupakan seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguh pun ia telah mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa mala petaka dan menjadi tua sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula mengalir di atas pipinya.
Sementara itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi. “Kau puteri Lin Lin, anak Cin Hai...?” bisiknya.
“Betul, Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie Hong Beng.”
Ang I Niocu memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati seperti baja ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!
Pada saat itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.
“Tangkap Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!” teriaknya.
Berubah wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili sambil berkata, “Apakah mereka ini yang menangkapmu? Ha-ha-ha, lihatlah anakku, lihat betapa Ie-ie-mu, meski pun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!” Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya!
Pedang ini sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam dan asalnya merupakan siang-kiam (pedang pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang mendapatkan pedang ini di dalam goa, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai ada pun yang pendek jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!
Melihat kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia pun dapat menduga bahwa kalau wanita baju merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.
“Ie-ie Im Giok, tahan dulu...!” teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu yang memegang pedang. “Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”
Ang I Niocu memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili sudah kuatir kalau nyonya luar biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan berkata perlahan, “Kau seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kau pakailah pedangku untuk menghadapi kepala mereka.”
“Terima kasih, Ie-ie, tidak usah!” jawab Lili gembira. “Untuk membunuh seekor anjing, tak patut mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!” Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam juga.
Dengan kedua tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menunggu datangnya serbuan puluhan orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.
“Saudara-saudara suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh yang sejak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani! Agaknya sekarang kalian telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang sangat jahat! Kalian hidup dalam bahaya akan kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu, dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu, aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan memukul hancur bangsa Mongol! Lebih baik tinggalkan pemimpinmu yang jahat itu dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!”
Tak seorang pun di antara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke depan dengan pedang di tangan.
“Perempuan sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan sesombong itu? Terpaksa sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu itu jahat sekali!”
“Ha-ha-ha, kau bernama Saliban? Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau membunuhku? Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan cara pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam tanganku!”
Saliban memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya. Akan tetapi oleh karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras, “Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!”
Akan tetapi tiada seorang pun di antara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata. Ucapan Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah mengambil keputusan hendak berdiam diri dulu, kemudian menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti.
Sebelum Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban. Saliban mengangkat pedang Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat dan hebat ke arah kepala gadis itu.
Akan tetapi, dengan sangat mudahnya Lili mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban. Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka. Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.
Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh bersama Lin Lin, isterinya yang berkepandaian tinggi, datang pada saat yang amat tepat untuk menolong nyawa Lo Sian dan Kam Wi.
“Pendekar Bodoh…,” dengan bibir gemetar Ban Sai Cinjin masih sempat mengeluarkan kata-kata yang membayangkan kegelisahannya.
Cin Hai terseyum, senyum yang amat dingin. “Ban Sai Cinjin, telah lama aku mendengar namamu. Dan telah lama aku ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Bouw Hun Ti untuk menagih hutang. Hari ini kebetulan sekali kami berdua sempat menghalangi terjadinya sebuah di antara kekejamanmu. Akan tetapi oleh karena aku sudah menerima tantangan suheng-mu, Wi Kong Siansu, dan karena kau tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan aku, kali ini aku tak akan mengganggumu! Pergilah!”
Bukan main malu dan marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. Ia sedang berada di rumah sendiri, bagaimana Pendekar Bodoh ini berani mengusirnya begitu saja seperti seekor anjing? Biar pun dia sudah mendengar nama besar Pendekar Bodoh dan tentang kelihaiannya, akan tetapi belum pernah merasakan kelihaian itu dan lagi pula dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut, bukanlah seorang bu-beng-siauw-cut (orang rendah tak terkenal) juga bukan orang biasa.
“Pendekar Bodoh, lagakmu benar-benar sama besarnya dengan namamu, akan tetapi aku masih meragukan apakah kepandaianmu juga sebesar itu. Aku berada di rumahku sendiri, bagaimana kau bisa mengusirku?” lagak Ban Sai Cinjin menantang.
“Aku tidak mengusirmu pergi dari rumahmu, hanya minggatlah dari depan mataku. Sebal aku melihatmu!” kata Lin Lin yang mewakili suaminya.
Makin merah muka Ban Sai Cinjin. Kedua kaki tangannya berbunyi karena dia berusaha keras menahan kemarahannya sambil mengepalkan tinju hingga pipa yang digenggamnya hampir remuk!
“Kalau aku tidak mau pergi?” tantangnya.
“Mau atau tidak, pergilah!” Pendekar Bodoh membentak sambil melangkah cepat ke arah kakek mewah itu.
Ban Sai Cinjin ketika melihat betapa Pendekar Bodoh menghampirinya tanpa memegang pedang, timbul sifat pengecut dan liciknya. Tiba-tiba dia menggerakkan huncwe mautnya yang dipukulkan sehebatnya ke arah kepala Cin Hai!
Akan tetapi Ban Sai Cinjin kecelik besar kalau mengira bahwa serangan tiba-tiba secara pengecut ini akan dapat menghancurkan kepala Pendekar Bodoh. Dia tidak tahu bahwa Cin Hai telah memiliki kepandaian yang luar biasa sekali yang diwarisinya dari suhu-nya, yaitu Bu Pun Su. Kepandaian yang luar biasa sekali, yaitu pengertian tentang dasar dan pokok segala macam gerakan tubuh manusia pada waktu melakukan gerakan silat. Oleh karena itu, menyerang Pendekar Bodoh dengan tiba-tiba dan tidak tersangka, sama saja sukarnya dengan menyerang angin!
Belum juga huncwe itu bergerak, baru gerakan pundak Ban Sai Cinjin saja sudah dapat dilihat dan diketahui oleh Cin Hai, sehingga sebelum huncwe melayang ke kepalanya, dia sudah tahu bahwa huncwe itu akan melayang dan menyerangnya. Dengan tenang sekali Cin Hai mendiamkan saja.
Akan tetapi setelah huncwe itu melayang dekat dan Ban Sai Cinjin sudah merasa girang sekali, mendadak terdengar seruan kaget dari Ban Sai Cinjin dan tubuh kakek ini terlempar kemudian melayang keluar dari pintu ruangan itu! Suara tubuhnya jatuh berdebuk disusul berkelontangnya huncwe yang menyusulnya!
Bukan main terkejut dan herannya hati Ban Sai Cinjin. Bagaimana bisa terjadi hal seperti itu? Ia tak melihat Pendekar Bodoh bergerak, dan tadi sudah jelas sekali terlihat olehnya betapa huncwe-nya sudah mampir mengenai kepala lawannya. Ia hanya melihat tangan kiri dan kaki kanan lawannya bergerak sedikit saat huncwe-nya sudah hampir mengenai sasaran dan tahu-tahu ia telah terdorong sedemikian hebatnya!
Sebenarnya, ketika tadi Cin Hai melihat serangan Ban Sai Cinjin, ia berlaku tenang saja. Ia tahu dengan pasti bagaimana serangan itu akan dilanjutkan, maka ia mendiamkannya saja dan pada saat tangan yang memegang huncwe sudah hampir mengenai kepalanya, secepat kilat akan tetapi tetap tenang tangan kiri Cin Hai melayang dibarengi uap putih mengebul darl tangannya. Inilah sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut!
Sambaran hawa putih yang keluar dari pukulan ini lantas membuat tangan Ban Sai Cinjin terdorong sehingga pukulannya menjadi melenceng dan tidak mengenai kepala Cin Hai, dan berbareng dengan saat itu juga, kaki kanan Cin Hai telah melayang dan mendorong tubuh lawannya yang sama sekali tak mengira akan hal ini. Demikianlah, dengan mudah Cin Hai telah membuktikan omongannya tadi, yaitu memaksa Ban Sai Cinjin pergi dari hadapannya.
Sementara itu, Coa-ong Lojin melihat hal itu dengan mata terbelalak. Dia melihat dengan jelas betapa dengan mudahnya Pendekar Bodoh mengalahkan Ban Sai Cinjin. Hampir ia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Akan tetapi dia dapat melihat bahwa kekalahan yang demikian mudah dari Ban Sai Cinjin terjadi karena kesalahan kakek itu sendiri.
Dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin terlalu mencurahkan perhatian penjagaan diri. Memang serangan balasan dari Pendekar Bodoh tadi terjadi sangat di luar sangkaan dan mungkin di sinilah letaknya kekuatan dan kelihaian Pendekar Bodoh.
Coa-ong Lojin merasa bahwa ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh. Sungguh pun tidak akan menang, akan tetapi dia mungkin sanggup bertahan sampai beberapa lama, tidak seperti Ban Sai Cinjin, baru segebrakan saja sudah terlempar keluar pintu.
Semenjak tadi Lin Lin sudah memperhatikan Coa-ong Lojin dan juga Kam Wi yang masih menggeletak di bawah dan tadi hendak dibunuh oleh pengemis itu. Kini nyonya ini maju menghampiri Coa-ong Lojin dan berkata,
“Kalau aku tidak salah sangka, kau tentu Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang. Tongkat ularmu itu mengingatkan aku siapa adanya kau ini. Akan tetapi, mengapa kau hendak membunuh orang ini?”
“Isteriku, dia itu adalah Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh besar dari Kun-lun-pai!” kata Cin Hai kepada Lin Lin.
“Hemm, Sin-houw-enghiong terkenal sebagai orang gagah yang berpribudi tinggi, kenapa hendak kau bunuh?” kembali Lin Lin bertanya kepada Coa-ong Lojin yang untuk sesaat menjadi pucat tidak dapat menjawab.
“Aku hanya terbawa-bawa oleh Ban Sai Cinjin, akan tetapi...,” dia mengangkat dadanya memberanikan hatinya, “peduli apakah kalian dengan urusanku?”
Diam-diam Ketua Coa-tung Kai-pang ini menyangka bahwa Pendekar Bodoh tentu akan membela puteranya yang sudah menjadi Ketua Hek-tung Kai-pang, padahal sebenarnya Cin Hai dan Lin Lin belum mengetahui bahwa putera mereka, Hong Beng, telah diangkat menjadi ketua Hek-tung Kai-pang dan sudah pernah menanam bibit permusuhan dengan Coa-tung Kai-pang.
“Burung gagak tentu memilih kawan burung mayat!” kata Lin Lin. “Sudahlah, kami tidak ingin lebih lama lagi bicara denganmu. Pergilah!”
Biar pun merasa mendongkol dan marah, namun Coa-ong Lojin lebih hati-hati dari pada Ban Sai Cinjin dan dia tidak berani melawan.
“Pendekar Bodoh, kali ini aku Coa-ong Lojin mengalah kepadamu, karena tak ada sebab bagiku untuk mengadu nyawa. Akan tetapi lain kali aku tidak akan sudi menelan hinaan macam ini lagi!” Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu berjalan pergi.
Akan tetapi pada saat itu pula terdengar bentakan, “Pengemis kelaparan, jangan kau pergi dulu!”
Dari luar menyambar bayangan orang yang sekali mengulur tangan sudah menerkam ke arah pundak Coa-ong Lojin! Raja pengemis ini kaget sekali dan cepat menyabet dengan tongkatnya, akan tetapi dengan gerakan yang indah dan gesit sekali, orang itu mengelak dan sekali tangannya bergerak, tongkat ular itu telah kena dirampasnya!
Orang ini bukan lain adalah Kwee An, murid Eng Yang Cu tokoh Kim-san-pai, juga murid dari Pek Mo-ko Si Iblis Baju Putih, dan sekaligus menjadi murid dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng (baca cerita Pendekar Bodoh).
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin sebelum berangkat ke utara menyusul Hong Beng dan Goat Lan, mereka lebih dulu mampir di Tiang-an dan Kwee An lalu ikut dengan mereka untuk mencari puterinya, Goat Lan. Perjalanan tiga orang pendekar besar ini dilakukan dengan cepat dan lancar sekali. Dan pada suatu hari, mereka bertemu dengan Lilani yang sedang menggendong Lie Siong sambil mengalirkan air mata!
Tentu saja melihat keganjilan ini, ketiga orang pendekar itu berhenti dan menahan Lilani. Melihat wajah Lilani, Kwee An memandang dengan bengong. Dia merasa seperti pernah melihat gadis cantik ini, akan tetapi tidak ingat lagi, entah di mana. Lin Lin segera maju menghampiri Lilani dan bertanya,
“Nona yang manis, apakah yang telah terjadi dengan pemuda itu? Siapa kau dan siapa pula dia?”
Melihat sikap dan wajah ketiga orang setengah tua yang gagah itu, Lilani merasa kagum. Akan tetapi gadis ini masih merasa ragu-ragu untuk menceritakan keadaan dirinya. Siapa tahu kalau-kalau mereka ini juga kawan-kawan dari Ban Sai Cinjin?
Pendekar Bodoh dapat melihat keraguan gadis itu, maka ia lalu berkata, “Nona tak perlu kau mencurigai kami, karena kami biasanya hanya menolong orang, dan tak pernah mau mengganggu orang.”
“Siapakah Sam-wi yang mulia? Kenapa pula menahan perjalananku? Kawanku ini sedang terluka hebat dan perlu segera dicarikan obat, maka harap Sam-wi suka melepaskan aku yang malang ini.”
Kwee An yang sejak tadi memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian karena merasa sudah pernah bertemu dengan muka ini, lalu maju dan begitu melihat keadaan Lie Siong dia pun berseru kaget,
“Nona, kawanmu ini terluka oleh senjata berbisa! Lekaslah kau ceritakan keadaanmu dan jangan meragukan kami. Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan orang-orang baik. Pendekar di hadapanmu ini adalah Pendekar Bodoh dan kau tidak boleh mencurigainya lagi.”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah Lilani menjadi berseri. Dia menurunkan tubuh Lie Siong yang dipondongnya, kemudian serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cin Hai sambil berkata,
“Sie Taihiap, tolonglah aku yang sengsara ini, tolonglah aku demi orang tuaku yang telah Taihiap kenal. Aku adalah Lilani, anak dari Manako dan Meilani!”
“Kau anak Meilani...?” Kwee An yang berseru kaget dan barulah kini dia teringat bahwa wajah gadis ini bagaikan pinang dibelah dua, serupa benar dengan wajah Meilani, gadis Haimi yang dahulu telah menjadi ‘isterinya’ di luar kehendaknya itu! Juga Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan mereka teringat akan Meilani yang pernah mereka jumpai. (baca cerita Pendekar Bodoh)
“Bangunlah, Nak. Kau kenapakah dan siapa pula kawanmu ini?” Lin Lin bertanya sambil membangunkan gadis itu. “Tentu saja kami kenal baik dengan ayah bundamu, bahkan ini adalah Kwee Taihiap saudara tuaku yang boleh kau sebut sebagai ayah tirimu!”
Sungguh keterlaluan Lin Lin, dalam keadaan begini ia masih dapat menggoda kakaknya. Tentu saja Kwee An menjadi jengah sendiri ketika Lilani mendadak menjatuhkan diri dan berlutut pula di depannya.
“Bangunlah, bangunlah, dan lekas kau bercerita. Siapa pemuda ini dan kenapa ia sampai terluka begini hebat?”
“Dia bernama Lie Siong, putera dari Lie Kong Sian Taihiap dan...”
“Apa katamu?” Lin Lin hampir menjerit. “Kau bilang pemuda ini putera Lie-suheng... jadi dia... dia putera Ang I Niocu?!”
Lilani mengangguk dan dengan singkat dia menceritakan pertemuannya dengan Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin. Ketika mendengar betapa Lo Sian dan Kam Wi masih berada di dalam bahaya hebat, Pendekar Bodoh tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia minta tolong kepada Kwee An untuk merawat Lie Siong karena sedikit-sedikit Kwee An juga tahu cara pengobatan orang yang terluka, sedangkan ia sendiri lalu menarik tangan isterinya dan diajak berlari cepat sekali menuju ke rumah yang ditunjuk oleh Lilani.
Ada pun Kwee An setelah memeriksa luka Lie Siong dengan teliti, dengan amat terkejut dia melihat bahwa bisa yang masuk ke dalam tubuh pemuda melalui luka kecil itu amat berbahaya dan dia tidak sanggup mengobatinya. Ia lalu bertanya lagi kepada Lilani siapa yang melukai pemuda itu, dan ketika mendengar bahwa Lie Siong terluka oleh tongkat Coa-ong Lojin, dia segera memondong tubuh Lie Siong dan berkata,
“Hayo kita kejar mereka! Hanya Coa-ong Lojin saja yang dapat menolong nyawa pemuda ini!” Dan bersama Lilani mereka kemudian berlari cepat menyusul Pendekar Bodoh dan isterinya.
Demikianlah, ketika Kwee An tiba di situ dan melihat Coa-ong Lojin hendak pergi, dia lalu memberikan Lie Siong kepada Lilani dan dia sendiri lantas menyerang Coa-ong Lojin dan berhasil merampas tongkatnya.
“Pengemis ular,” kata Kwes An dengan sikap mengancam. “Jangan kau pergi dulu. Kalau kau tidak mau memberi obat untuk menyembuhkan luka Lie Siong, jangan harap kau akan dapat pergi dari sini dengan kepala masih menempel di lehermu!”
Coa-ong Lojin berdiri bengong karena terkajut serta herannya. Bagaimana orang dapat merampas tongkatnya dengan sedemikian mudahnya?
“Siapakah kau?” tanyanya.
“Kau berhadapan dengan orang she Kwee dari Tiang-an. Sudah tak perlu banyak cakap, lekas kau keluarkan obat untuk menyembuhkan lukanya,” berkata pula Kwee An sambil menunjuk ke arah Lie Siong yang dipondong masuk oleh Lilani.
“Kalau aku tidak mau dan tidak takut mampus?” tantang Coa-ong Lojin sambil tersenyum mengejek.
Kwee An menjadi gemas. “Bangsat rendah! Tahukah kau bahwa aku pernah menerima pelajaran dari Pek Mo-ko? Tahukah kau artinya ini? Aku dapat membuat kau menderita selama hidup, hidup tidak mati pun tidak! Di samping itu, aku akan pergi mencari kawan-kawanmu, semua anggota Coa-tung Kai-pang akan kubasmi habis sampai bersih!”
“Engko An, biarkan aku mencokel kedua matanya kalau dia tidak mau menyembuhkan putera Enci Im Giok (Ang I Niocu)!” kata Lin Lin dengan gemas sekali.
“Dan aku pun harus mematahkan kedua lengannya kalau dia tetap berkukuh tidak mau mengobati Lie Siong!” kata Cin Hai.
Mau tidak mau ngeri juga hati Coa-ong Lojin mendengar ancaman-ancaman ini, apa lagi dia pernah mendengar nama Pek Mo-ko sebagai tokoh besar yang memiliki kepandaian mengerikan sekali. Tadi pun dia telah menyaksikan kepandaian Kwee An yang demikian mudah merampas tongkatnya.
Ia menarik napas panjang, merasa tidak sanggup menghadapi tiga orang pendekar besar yang lihai ini. Dikeluarnya sebungkus obat bubuk putih dari saku bajunya dan berkatalah dia dengan gemas,
“Biarlah sekali ini aku Coa-ong Lojin mengaku kalah dan menuruti kehendak orang lain. Akan tetapi lain kali aku akan membikin pembalasan!” Dia melemparkan bungkusan obat kepada Kwee An dan hendak pergi.
“Nanti dulu!” seru Cin Hai. “Obat itu belum dibuktikan kemanjurannya!” Sambil berkata demikian Pendekar Bodoh menggerakkan tubuhnya yang melesat ke arah pengemis itu dan sekali ia menggerakkan tangannya tidak ampun lagi Coa-ong Lojin roboh tertotok.
Sementara itu, Lin Lin sudah menghampiri Lo Sian dan cepat memulihkan kesehatannya setelah menotok dan mengurut pundaknya. Sin-kai Lo Sian merasa gembira sekali dan ucapan pertama yang keluar dari mulutnya adalah,
“Dia harus disembuhkan, dia adalah putera Ang I Niocu!”
Cin Hai juga membebaskan totokan pada diri Kam Wi yang cepat melompat berdiri dan tanpa berkata sesuatu, orang yang kasar dan jujur ini langsung mengangkat tangan dan memukul ke arah Coa-ong Lojin yang telah duduk bersandar tembok tanpa berdaya lagi! Akan tetapi cepat-cepat Cin Hai menangkap tangannya. Pukulan Kam Wi ini dilakukan dengan keras sekali, akan tetapi dia tertegun ketika merasa betapa dalam tangkapan Cin Hai, dia tak kuasa menggerakkan tangannya itu.
“Dia orang jahat, harus dibunuh!” katanya dengan keras.
“Sabar dulu, Sin-houw-enghiong! Dia harus membuktikan terlebih dulu bahwa obat yang diberikan untuk menyembuhkan Lie Siong benar-benar manjur,” kata Cin Hai.
Sesudah dihibur-hibur oleh Cin Hai dan Lin Lin, akhirnya Kam Wi menjadi sabar dan mereka semua lalu menyaksikan betapa Kwee An mengobati Lie Siong. Atas petunjuk dari Coa-ong Lojin yang masih dapat bicara dengan lemah, luka di pundak kanannya itu lalu dicuci bersih dan dibubuhi obat bubuk yang sudah dicairkan dengan air. Kemudian, dengan obat bubuk itu pula, Lie Siong diberi minum obat dicampur sedikit arak. Setelah pengobatan ini, semua orang berdiam, menanti hasil pengobatan itu.
“Sebentar lagi dia akan siuman dan sembuh,” kata Coa-ong Lojin dengan perlahan.
“Awas, kalau kata-katamu tak terbukti, aku sendiri yang akan memukul hancur kepalamu yang jahat!” kata Kam Wi dengan melototkan kedua matanya yang lebar.
Akan tetapi, tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Coa-ong Lojin, tidak lama kemudian terdengar Lie Siong mengeluh dan pemuda ini membuka matanya. Wajahnya yang pucat telah menjadi merah kembali, sebaliknya luka di pundak yang tadinya merah telah mulai menjadi pulih.
“Baiknya kau tidak membohong sehingga jiwamu masih tertolong!” kata Pendekar Bodoh. Sebagai seorang budiman, ia tidak mau melanggar janji dan melihat Lie Siong betul-betul dapat disembuhkan, dia lalu menghampiri Coa-ong Lojin dan membebaskan totokannya sehingga pengemis itu dapat melompat berdiri.
“Baiklah sekali ini aku Coa-ong Lojin sudah menerima penghinaan berkali-kali. Kelak di puncak Thian-san aku akan memperkuat rombongan Wi Kong Siansu untuk menghadapi kalian!”
Setelah berkata demikian, pengemis bertongkat ular ini hendak pergi. Akan tetapi Kam Wi sudah melompat ke depannya dan sekali menendang, tubuh pengemis itu terlempar keluar dari pintu.
“Ha-ha-ha! Pengemis ular, lain kali bukan pantatmu yang kutendang tetapi kepalamu!”
Setelah Coa-ong Lojin pergi, Lie Siong memandang semua orang itu dengan heran. Dia menoleh kepada Lo Sian dengan mata mengandung pertanyaan, sehingga Sin-kai Lo Sian tersenyum dan berkata,
“Lie Siong, kau berhadapan dengan orang-orang sendiri. Sungguh bagus sekali nasibmu sehingga hari ini kau dapat bertemu dan ditolong oleh mereka ini. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Pendekar Bodoh dan isterinya, sedangkan orang gagah itu adalah Kwee An Taihiap dari Tiang-an!” Memang sebelumnya Lo Sian sudah mendapat keterangan dari Lilani yang memperkenalkan tiga orang besar itu.
Tentu saja Lie Siong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda ini dapat menekan perasaannya, dan tidak memperlihatkan perubahan pada wajahnya yang tampan.
“Siong-ji (Anak Siong), ayah dan ibumu adalah seperti kakak kami sendiri,” kata Lin Lin dengan terharu sambil menatap wajah yang tampan itu.
Lie Siong lalu memandang kepada Lin Lin. Alangkah cantiknya nyonya ini, hampir sama dengan Lili, yang tak pernah lenyap bayangannya dari depan matanya itu. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya yang nampak tua. Tiba-tiba saja ia menjadi terharu sekali ketika teringat akan ibunya yang telah ditinggalkannya.
Ibunya mempunyai sahabat-sahabat baik seperti ini, mengapa ibunya hidup menderita? Mengapa ayahnya sampai mati tanpa ada pembelaan dari mereka ini? Mereka ini adalah pendekar-pendekar besar seperti yang sudah sering kali disebut-sebut oleh ibunya, akan tetapi mengapa ibunya dan dia sampai hidup di tempat asing?
Hatinya menjadi dingin sekali. Keangkuhan hati pemuda ini tersinggung karena dalam keadaan tertimpa mala petaka, justru orang-orang ini yang telah menolongnya. Alangkah bodoh, lemah, dan tak berdaya dia nampak dalam pandangan mata ketiga orang ini! Padahal dia ingin sekali memperlihatkan kepada Pendekar Bodoh dan isterinya, bahwa keturunan Ang I Niocu tidak kalah oleh mereka!
Akan tetapi oleh karena telah ditolong oleh mereka, terpaksa Lie Siong lalu maju menjura memberi hormat dan berkata,
“Sungguh siauwte harus menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sam-wi yang gagah perkasa. Semoga Thian akan memberi kesempatan kepada siauwte untuk kelak membalas budi ini. Maafkan bahwa siauwte harus melanjutkan perjalanan mencari ayah, karena selain siauwte siapa lagi yang akan mencarinya?”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menoleh kepada Lilani, “Mari kita pergi!”
Gadis itu memandang dengan perasaan terheran-heran, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah ajakan pemuda yang menjadi pujaan hatinya? Ia hanya memandang kepada Lin Lin dengan sedih, kemudian sambil menahan isak, dia lalu melompat dan menyusul Lie Siong yang sudah lari terlebih dahulu.
“Eh, ehh, Lie Siong tunggu dulu! Aku akan menunjukkan tempatnya kepadamu!” Lo Sian berseru keras dan segera mengejar pula.
Ada pun Kwee An, Lin Lin, dan Cin Hai menjadi melengak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata saking herannya. Kemudian mereka saling pandang dengan perasaan aneh. Bagaimanakah pemuda itu dapat bersikap sedemikian dinginnya?
“Dia seperti orang marah,” kata Cin Hai.
“Tidak, seperti orang malu,” kata Lin Lin.
“Menurut pandanganku, seperti orang yang merasa sangat penasaran. Sungguh aneh!” kata Kwee An.
Selagi ketiga orang itu merasa terheran-heran, suasana yang tidak enak itu dipecahkan oteh suara Kam Wi yang keras,
“Ah, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat bertemu, bahkan mendapat pertolongan dari tiga orang pendekar besar! Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, memang agaknya Thian telah menyetujui usulku. Aku memang hendak bertemu dengan kau, Sie Taihiap!”
Cin Hai membalas penghormatan tokoh Kun-lun-pai itu. “Kam-enghiong, harap kau tidak berlaku sungkan. Saling bantu dan memberantas kejahatan di antara kalangan kita telah merupakan kewajiban yang tidak perlu dikotori oleh sebutan pertolongan atau pun budi. Kehormatan apakah yang hendak kau berikan kepada kami maka kau hendak mencari kami dan usul apakah yang kau maksudkan itu?”
“Harap kau dan isterimu tidak menganggap aku berlaku kurang ajar apa bila kesempatan ini kukemukakan maksud hatiku. Ketahuilah, aku mempunyai seorang anak keponakan yang bernama Kam Liong, yang sekarang menjabat pangkat sebagai panglima muda di kerajaan. Tentu kalian masih ingat pada Kam Hong Sin saudara tuaku, nah, Kam Liong adalah putera satu-satunya.”
“Kami sudah pernah bertemu dengan Kam Liong itu, Kam-enghiong. Dia adalah seorang pemuda yang gagah dan baik.”
Berseri wajah Kam Wi mendengar ucapan Lin Lin ini. “Bagus sekali, agaknya memang Thian telah menjadi penunjuk jalan! Toanio, seperti juga kau dan suamimu, aku pun telah melihat puterimu yang bernama Sie Hong Li! Juga suheng-ku, Suhu dari Kam Liong yang kau kenal sebagai tokoh pertama dari Kun-lun-pai, yaitu Tiong Kun Tojin, sangat suka melihat puterimu yang cantik dan gagah itu! Oleh karena itu, kami sudah sependapat, yaitu aku, Kam Liong, serta suhu-nya, untuk mengajukan pinangan kepada Sie Taihiap untuk menjodohkan Kam Liong dengan Nona Sie Hong Lie!”
Mendengar pinangan yang tiba-tiba dan terus terang di tempat yang tidak semestinya ini, kedua orang tua itu terkejut dan tersipu-sipu. Wajah Lin Lin menjadi merah akibat jengah. Belum pernah terpikir olehnya akan menerima lamaran orang dan sungguh pun di dalam hatinya ia amat suka kepada Kam Liong, akan tetapi mulutnya tak dapat berkata sesuatu.
Dia hanya memandang kepada suaminya yang kebetulan juga memandang kepadanya dengan mata bodoh. Sampai lama suami isteri ini hanya saling memandang, tidak dapat menjawab, bahkan tidak berani pula memandang pada Sin-houw-enghiong Kam Wi yang masih menanti jawaban mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli, dan ternyata yang tertawa itu adalah Kwee An.
“Ha-ha-ha, bagaimanakah kalian ini? Anak perempuan dilamar orang, kok hanya saling pandang seperti pemuda-pemudi yang main mata?”
Kwee An biasanya pendiam dan tidak banyak berkelakar, akan tetapi sekali ini ia sedang berkumpul dengan Lin Lin yang suka menggodanya, ia selalu mencari kesempatan untuk balas menggoda adiknya ini! Tentu saja Lin Lin menjadi makin bingung dan akhirnya Cin Hai yang dapat mengeluarkan kata-kata sambil menjura kepada Kam Wi,
“Kami menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas kehormatan yang Kam-enghiong berikan kepada kami. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa anak kami Hong Li yang bodoh dan buruk rupa itu mendapat perhatian dari keponakanmu, juga dari Tiong Kun Tojin dan dari kau sendiri. Sesungguhnya puteri kami yang bodoh itu terlalu rendah, apa bila dibandingkan dengan Kam-ciangkun yang biar pun masih muda sudah menduduki pangkat sedemikian tingginya, selain lihai juga menjadi anak murid dari tokoh Kun-lun-pai yang terkenal.”
“Bagus, bagus! Jadi kalian sudah setuju? Kalian menerima pinanganku?” Kam Wi yang jujur dan kasar itu segera memutuskannya.
“Bukan begitu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa, tak dapat kami memutuskan begitu saja...” kata Cin Hai.
“Hemmm, jadi Sie Taihiap menolak?” kembali Kam Wi memutuskan omongan Pendekar Bodoh.
Cin Hai tersenyum, ia maklum bahwa Kam Wi memiliki watak yang amat kasar, polos, dan tidak sabaran.
“Tenanglah, Kam-enghiong. Urusan perjodohan bukanlah seperti urusan jual beli barang murahan saja. Hal ini tentunya harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Sekarang kami tidak dapat memberi keputusan, berilah waktu kepada kami untuk memikirkan serta mempertimbangkannya dan terlebih dulu kami harus bertemu dan bicara dengan Lili puteri kami itu.”
“Pendekar Bodoh, kita adalah golongan orang-orang yang tak pandai bicara, karena lebih mudah bicara dengan kepalan tangan dari pada dengan bibir dan lidah. Kalau kiranya kalian berdua menolak pinangan ini, tak usah banyak sungkan, nyatakan saja sekarang. Aku takkan merasa penasaran atau marah, karena sudah semestinya sesuatu pinangan akan mengalami dua hal, diterima atau tidak.”
“Bagaimana kami dapat menolak pinanganmu? Kami berlaku sombong dan kurang ajar kalau menolaknya. Sesungguhnya kami tidak melihat sesuatu yang mengecewakan pada diri Kam Liong, akan tetapi...”
“Ha-ha-ha, jadi kau suka? Bagus, aku yang menanggung bahwa Kam Liong benar-benar akan merupakan seorang suami yang baik serta bijaksana, seorang anak menantu yang berbakti! Terima kasih atas penerimaanmu, Pendekar Bodoh, segera kita akan mencari hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan.”
“Nanti dulu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa. Jika tadi kunyatakan bahwa aku tidak menolak, itu bukan berarti bahwa aku menerimanya. Seperti telah kukatakan tadi, berilah waktu. Kita sedang menghadapi masa sulit, tugas dan kewajiban menghadang di depan mata, siapa mempunyai kesempatan untuk bicara tentang perjodohan? Tunggulah sampai musuh terusir semua, sampai kami dapat bertemu dengan putera dan puteri kami dalam keadaan selamat, barulah kita akan bicara tentang perjodohan ini!”
“Baik, baik. Betapa pun juga aku merasa yakin bahwa kau tidak menolak dan ucapan itu sudah setengah menerima. Baik, kita menanti sampai selesai tugas kami membela tanah air. Bila keadaan sudah aman, aku akan membawa Kam Liong datang ke Shaning untuk menentukan hari baik! Nah, selamat tinggal, dan terima kasih atas pertolongan kalian tadi!” Setelah berkata demikian dengan wajah berseri gembira Kam Wi lalu meninggalkan rumah itu.
Pendekar Bodoh menarik napas panjang. “Alangkah kasar dan jujurnya orang itu! Urusan perjodohan dianggap mudah begitu saja. Itulah jika orang tidak mempunyai anak sendiri, tidak merasa betapa sukarnya menetapkan jodoh bagi anak perempuan.”
“Sesungguhnya orang itu gegabah sekali,” kata Kwee An, “belum juga diberi keputusan, dia sudah menetapkan dengan yakin bahwa lamarannya diterima. Orang seperti itu kelak akan dapat menimbulkan keributan karena kebodohan, kejujuran, dan kekasarannya.”
“Terus terang saja, aku sendiri sudah setuju apa bila Lili mendapatkan jodoh seperti Kam Liong,” kata Lin Lin. “Kita sudah menyaksikan sendiri betapa pemuda itu sopan santun, lemah lembut, dan juga sudah menyatakan jasanya dengan membantu Hong Beng dan juga kita. Bukankah perbuatannya itu saja sudah memperlihatkan bahwa ia suka kepada Lili dan bahwa ia tidak hendak main-main dalam urusan perjodohan ini?”
“Betapa pun juga, keputusannya harus kau serahkan kepada Lili sendiri, karena urusan ini menyangkut kebahagiaan seumur hidupnya. Aku tidak akan merasa puas apa bila dia sendiri tidak menyetujui perjodohan ini. Dia yang akan menikah, dan dia pula yang akan menanggung segala akibatnya, dia yang akan sengsara atau senang kalau sudah terjadi perjodohan itu. Maka aku menyesal sekali kenapa Sin-houw-enghiong merasa demikian pasti dan tergesa-gesa menganggap kita sudah menerima pinangannya.”
Demikianlah, mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke utara sambil tak ada hentinya membicarakan urusan pinangan yang dilakukan oleh Kam Wi dengan cara yang kasar itu.
*****
Dengan hati mengkal Lie Siong berlari, akan tetapi dia tidak berlari terlalu cepat karena bila ia melakukan hal ini, tentu Lilani akan tertinggal jauh. Oleh karena itu, maka sebentar saja ia telah tersusul oleh Lo Sian yang mengejarnya.
“Perlahan dulu, Anak Siong!” kata Sin-kai Lo Sian sesudah dapat menyusul pemuda itu. Lie Siong berhenti karena Lilani telah mendahuluinya berhenti untuk menanti datangnya pengemis tua itu.
“Mengapa kau meninggalkan mereka begitu saja? Bukankah mereka itu kawan-kawan baik ibu dan ayahmu? Kau sudah mereka tolong, akan tetapi kau meninggalkan mereka seakan-akan seorang yang sedang marah, mengapakah?” Lo Sian menegur Lie Siong yang mendengar dengan kepala ditundukkan.
“Alangkah rendah pandangan mereka terhadapku,” hanya inilah yang diucapkan oleh Lie Siong karena sebetulnya dia tidak suka hal itu dibicarakan lagi. “Lopek, kau menyusulku ada apakah? Karena kau sendiri tidak tahu dan tidak ingat lagi apa yang sudah terjadi dengan mendiang ayahku, aku tidak perlu mengganggumu lagi. Kembalilah kau kepada mereka dan ceritakan bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak tahu diri dan tidak tahu menerima budi. Biarlah mereka lupakan namaku, nama ibu dan ayahku!”
Lo Sian tertegun melihat sikap yang dingin dan kaku ini. Dia benar-benar merasa heran sekali melihat keadaan dan watak pemuda yang aneh ini.
“Lie Siong, sesudah beberapa lama aku melakukan perjalanan bersamamu, belum juga aku dapat mengerti watakmu, sungguh pun harus kuakui bahwa aku suka kepadamu. Aku menyusulmu bukan untuk mengganggumu, akan tetapi karena aku kini sudah dapat menduga siapa adanya pembunuh ayahmu dan di mana kiranya kita dapat menemukan makam ayahmu.”
“Siapa pembunuhnya? Di mana makamnya?” suara Lie Siong terdengar menggetar dan wajahnya memucat. Lo Sian lalu menceritakan tentang ucapan dan sikap Ban Sai Cinjin ketika tadi hendak membunuhnya.
“Tak salah lagi,” katanya sebagai penutup ceritanya, “pembunuh ayahmu pasti bukan lain orang, akan tetapi Ban Sai Cinjin sendiri! Dan kurasa, untuk mencari jejak ayahmu atau makamnya, kita harus pergi ke tempat tinggal Ban Sai Cinjin, yaitu dusun Tong-sin-bun!”
“Di tempat di mana aku pernah membakar rumahnya?”
Lo Sian mengangguk. “Di dekat dusun itu terdapat sebuah kuil milik Ban Sai Cinjin dan kalau tidak salah, di situlah kita akan dapat menemui jejak-jejak ayahmu atau makamnya. Kalau kau kehendaki, mari kuantarkan kau ke sana untuk menyelidiki.”
“Kembali ke Tong-sin-bun?” Lie Siong berkata ragu-ragu. “Kita telah tiba sejauh ini…” Dia lalu menengok ke arah Lilani. “Kita sudah sangat dekat dengan tempat di mana kita akan menemukan rombongan suku bangsa Haimi. Lebih baik kita mencari suku bangsa itu lebih dulu untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya. Setelah itu, baru kita kembali ke selatan untuk menyelidiki hal ini.”
Lo Sian menyatakan setuju dan demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara menuju ke kaki Gunung Alaka-san di sebelah barat. Di sepanjang jalan Lie Siong berkata bahwa kalau memang betul ayahnya telah terbunuh oleh Ban Sai Cinjin, dia bersumpah untuk membalas dendam dan akan mencari serta membunuh Ban Sai Cinjin, walau pun untuk itu dia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
*****
Pada masa itu, keadaan tapal batas sebelah utara memang amat genting. Pertempuran-pertempuran telah pecah dan terjadi di mana-mana, di mana saja rombongan pengacau bangsa Tartar dan Mongol bertemu dengan rombongan barisan pemerintah yang menjaga di perbatasan.
Malangi Khan sangat pandai mengatur siasatnya. Tidak saja dia membujuk dan menarik bangsa Tartar untuk bergabung dengan pasukannya untuk bersama-sama memukul ke selatan dengan janji-janji muluk, akan tetapi juga dia telah membujuk suku-suku bangsa Tiongkok yang tinggal di perbatasan utara untuk secara bersama-sama menggulingkan pemerintahan Kaisar Tiongkok.
Juga ia masih berusaha untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw untuk membantu usaha penyerbuannya, dengan pancingan-pancingan berupa harta benda dan janji kedudukan. Bahkan dengan Ban Sai Cinjin dia sudah mengadakan hubungan yang erat, dan menjanjikan bahwa apa bila kelak pemerintah kaisar telah terguling, dia hendak mengangkat Ban Sai Cinjin menjadi kaisar!
Ban Sai Cinjin sendiri bukan seorang bodoh, dan tidak dapat ia menelan mentah-mentah janji muluk ini, akan tetapi dengan kerja sama ini Ban Sai Cinjin sendiri pun mempunyai rencana. Bila mana mereka bersama sudah berhasil menyerbu ke selatan dan mendapat kemenangan, dengan mudah saja dia akan menggunakan pengaruhnya untuk berkhianat terhadap orang-orang Mongol itu sehingga dia akan dapat berkuasa di kota raja.
Sudah lama suku bangsa Haimi dikuasai oleh Malangi Khan. Sejak dia memukul bangsa Haimi ini hingga kepalanya, yaitu Manako melarikan diri dengan puterinya, maka bangsa ini menjadi semacam bangsa jajahan. Saliban, yang tadinya menjadi pembantu Manako, dengan sikapnya yang pandai menjilat, akhirnya terpakai oleh Malangi Khan dan orang ini diangkat menjadi kepala dari suku bangsa Haimi dan boleh dibilang dia menjadi kaki tangan bangsa Mongol.
Saliban mengumpulkan orang-orangnya baik dengan halus mau pun secara paksa, untuk bergabung kembali kemudian bersama-sama merupakan sebuah kesatuan yang cukup kuat untuk membantu usaha kaum Mongol itu menyerbu ke selatan, atau setidaknya bisa mengacaukan pertahanan tentara kerajaan di selatan. Berkat usaha Saliban ini, bangsa Haimi banyak yang ditangkap dan dijadikan anggota pasukan secara paksa, sehingga sungguh pun di dalam hati orang-orang Haimi ini tidak suka membantu orang Mongol dan memusuhi tentara Han, namun terpaksa mereka maju juga.
Pada suatu hari, barisan suku bangsa Haimi yang berjumlah lima puluh orang lebih dan dipimpin sendiri oleh Saliban, sambil berteriak-teriak menyeramkan, sedang mengurung sepasukan penjaga tapal batas yang hanya berjumlah tiga puluh orang. Sungguh amat menyeramkan orang-orang Haimi ini. Mereka rata-rata berkumis panjang, kecuali Saliban sendiri yang semenjak muda sudah membuang kumisnya, bersenjata golok dan pedang lalu menyerbu sambil berteriak-teriak menyeramkan.
Sebentar saja, pasukan kerajaan yang jumlahnya jauh lebih kecil itu sudah rapat-rapat terkurung dan sudah banyak korban yang jatuh di pihak pasukan ini. Seorang perwira tua dari pasukan kerajaan ini dengan mati-matian bertempur mainkan sepasang pedangnya. Luka-luka telah membuat seluruh tubuhnya mandi darah, akan tetapi perwira ini harus dipuji ketabahan dan keuletannya, karena dia tidak hendak menyerah sebelum titik darah terakhir!
Pada saat itu, tiba-tiba keadaan pihak orang-orang Haimi menjadi kacau-balau. Ternyata bahwa entah dari mana datangnya, di gelanggang peperangan itu telah datang seorang gadis cantik yang memainkan pedangnya secara luar biasa sekali. Pedang tunggal pada tangannya berkilauan dan setiap kali tangannya menggerakkan pedang, maka robohlah seorang lawan!
Gadis muda ini bukan lain adalah Sie Hong Li atau Lili! Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, setelah mendengar lamaran yang terus terang dan kasar dari Kam Wi, paman dari Kam Liong, gadis ini lalu melarikan diri meninggalkan rombongan Kam Liong. Karena dia memang tidak tahu jalan dan di sepanjang perjalanannya dia tidak bertemu dengan seorang manusia pun, dia telah salah mengambil jalan dan yang disangkanya ke utara sebetulnya membelok ke barat!
Demikianlah, pada saat dia melihat betapa serombongan tentara kerajaan dikeroyok dan dikurung oleh pasukan berkumis yang jauh lebih besar jumlahnya, tanpa diminta dan tanpa mengeluarkan kata-kata Lili lalu membantu pasukan kerajaan itu dan menyerang barisan berkumis dengan hebatnya.
Akan tetapi, ketika Lili datang membantu, pasukan kerajaan telah habis, bahkan perwira tua itu hanya sempat melihat Lili sebentar saja, karena perwira ini lalu roboh saking lelah dan banyak mengeluarkan darah. Beberapa bacokan golok lalu menamatkan riwayatnya. Sebentar kemudian hanya tersisa Lili seorang saja yang masih dikeroyok oleh puluhan orang berkumis.
Saliban yang melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa, merasa sayang apa bila gadis ini sampai mengalami kematian, maka ia lalu berseru, “Kawan-kawan, jangan bunuh gadis ini. Tangkap hidup-hidup!”
Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan dari pada dijalankan, karena jangan kata hendak menangkap hidup-hidup, untuk mendekati gadis itu saja sukarnya bukan main! Setiap orang yang terlalu berani mendekati Lili, tanpa dapat dicegah lagi roboh terkena tendangan atau kena sambaran hawa pukulan dari tangan kiri gadis itu, atau juga roboh karena keserempet pedang! Lili sengaja tak mau membunuh orang. Melihat orang-orang berkumis ini, teringatlah dia akan cerita ayah bundanya tentang bangsa Haimi, maka dia tidak tega untuk membunuh seorang pun di antara mereka.
“Bukankah kalian ini orang-orang Haimi? Kenapa memusuhi tentara kerajaan? Dengarlah, aku adalah puteri Pendekar Bodoh. Ayah ibuku kenal baik dengan kepala kalian, Manako dan Meilani!” seru Lili di antara amukannya.
Benar saja, mendengar seruannya ini, sebagian besar orang Haimi cepat mengundurkan diri. Mereka sudah pernah mendengar nama Pendekar Bodoh yang menjadi sahabat baik dari pada kepala mereka yang dulu, Manako. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan Saliban yang mendorong mereka untuk maju lagi dan mengadakan pengeroyokan.
Lili menjadi kewalahan juga. Tidak mungkin ia akan dapat melepaskan diri dari kepungan tanpa merobohkan atau menewaskan beberapa orang di antara mereka.
“Mana Manako atau Meilani? Suruh mereka keluar dan biar aku bicara dengan mereka!” teriaknya lagi. Akan tetapi siapakah yang berani melayaninya? Walau pun semua orang Haimi itu timbul hati simpatinya terhadap gadis ini, namun mereka takut kepada Saliban.
Sungguh celaka bagi Lili pada saat itu, serombongan pasukan Mongol yang lihai datang! Ketika melihat betapa sepasukan orang Haimi sedang mengeroyok seorang gadis Han, orang-orang Mongol ini cepat menyerbu dan mengeroyok Lili.
Keadaan Lili menjadi lebih berbahaya lagi. Walau pun dia mengamuk hebat, akan tetapi bagaimana dia dapat melayani ratusan orang musuh yang mengeroyoknya? Mereka itu kini mulai mempergunakan kaitan dan tambang sehingga gerakan Lili menjadi terhalang.
Lili melawan terus dan pertempuran luar biasa ini sungguh hebat. Seorang gadis muda jelita dikeroyok oleh ratusan orang Mongol dan Haimi, dan biar pun sudah ribuan jurus, belum juga gadis ini kalah! Mayat sudah bertumpuk, dan pandangan mata Lili pun sudah menjadi kabur.
Kepalanya pening, peluh membasahi seluruh tubuhnya dan tenaganya mulai berkurang. Tak mungkin baginya untuk keluar dari kepungan, maka dengan nekat dia lalu menyerbu, maksudnya hendak membunuh sebanyak-banyaknya musuh sebelum dia roboh.
Mendadak terdengar sorak-sorai bergemuruh dari jauh. Sepasukan tentara kerajaan yang lain datang menolong.
Orang-orang Mongol lalu memisahkan diri dan menyambut datangnya pasukan kerajaan yang terdiri dari seratus orang itu. Pertempuran makin hebat dan besar, akan tetapi Lili sudah lelah sekali sehingga pada saat kakinya terjirat tambang, tubuhnya terhuyung lalu terguling. Banyak tangan yang kuat menubruknya dan dalam sekejap mata saja dia telah diikat kuat-kuat oleh orang-orang Haimi, lalu Saliban mengempitnya dan membawanya lari bersama orang-orangnya.
Lili yang roboh pingsan saking lelahnya tak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali ternyata dia telah berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam. Kegelapan malam di dalam hutan itu terusir oleh cahaya api unggun besar yang sudah dibuat oleh orang-orang Haimi di tempat itu. Di sini agaknya memang menjadi tempat beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang sehingga merupakan tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Lili didudukkan menyandar batu karang dan ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang terikat erat-erat. Ketika dia membuka matanya, dia melihat banyak sekali orang Haimi mengelilingi api, duduk bercakap-cakap dalam bahasa Haimi.
Dulu secara iseng-iseng ayah bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu dan memberi pelajaran kepadanya mengenai bahasa Haimi, maka biar pun hanya sedikit, Lili dapat menangkap percakapan mereka.
“Jangan, Saliban, dia adalah puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee Taihiap yang telah banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!” terdengar seorang Haimi yang sudah tua berkata terhadap orang Haimi yang tak berkumis.
Ucapan ini agaknya diterima dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang di situ, karena mereka nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak berkumis itu menjadi marah.
“Siapa takut pada Pendekar Bodoh? Tak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh orang-orang Mongol? Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan yang amat baik ini jangan kita lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula. Apa bila kita membawanya kepada Malangi Khan kemudian mempersembahkannya, tentu dia akan berterima kasih dan girang sekali. Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah dan secantik ini.”
Kembali terdengar suara menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan tidak setuju. Semua ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Dia mendapat kesimpulan bahwa orang-orang Haimi ini bagaimana pun juga masih menaruh hati setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi mereka semua agaknya takut kepada orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.
Diam-diam Lili mengeluh. Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong, mendengar lamaran yang kasar hingga membuat mukanya selalu menjadi merah kembali kalau mengingatnya. Setelah meninggalkan rombongan itu, belum juga bertemu dengan Hong Beng dan Goat Lan bahkan kini terjatuh pula dalam tangan serombongan orang Haimi yang telah berubah dan telah menjadi kaki tangan Mongol! Bila ia diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia!
Akan tetapi Lili tak pernah berputus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini tidak akan mati putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada. Betapa pun hebat mala petaka mengancam, ia akan dapat menolong diri sendiri.
Dengan pikiran ini, hati Lili menjadi tetap dan ia segera meramkan mata dan tertidur. Ia menganggap perlu sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok pagi-pagi ia akan berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya.
Memang cerdik sekali pikiran Lili ini. Apa bila ia berusaha atau berkuatir hati, mungkin ia tidak akan dapat tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat dan kehabisan tenaga, kalau ditambah lagi dengan kegelisahan dan tidak dapat tidur, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Meski pun kaki tangannya terasa kaku dan kesemutan, namun dia merasa tubuhnya sehat dan segar, tidak lemas seperti malam tadi. Dan ia merasa heran sekali ketika melihat betapa semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api. Mereka tak bercakap-cakap lagi, hanya duduk melenggut.
Melihat keadaan orang-orang ini, maka timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah sengsaranya hidup seperti orang-orang ini. Agaknya tak berumah, tidak bebas, dan hidup hanya sebagai budak belian, di bawah perintah orang Haimi tak berkumis yang kini telah diperbudak pula oleh orang-orang Mongol itu. Kemanakah perginya Manako dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik ayah bundanya?
Pada saat Lili termenung sambil memandang ke arah Saliban yang juga sudah bangun dan sedang menendangi kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh Lili berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya. Bayangan ini berkelebat bagaikan bintang jatuh dan tiba-tiba tanpa diketahui oleh orang-orang Haimi itu, di depannya telah berdiri seorang wanita.
Cuaca pagi hari di dalam hutan itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Di dalam pandangan Lili, wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya seperti seorang bidadari dari kahyangan. Pakaiannya berwarna merah dan biar pun di sana-sini sudah ditambal, namun tidak mengurangi potongan bentuk tubuhnya yang langsing.
Tangan wanita itu memegang pedang yang mengeluarkan cahaya mencorong bagaikan bintang pagi, mengingatkan Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi pedang di tangan wanita baju merah itu lebih pendek dari pada Liong-cu-kiam ayahnya.
Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang bergerak membacok ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini sehingga Lili sendiri menjadi ngeri mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya. Tanpa terasa lagi gadis ini meramkan matanya.
Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya sudah terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang mengikat kaki tangannya! Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung!
Cepat-cepat dia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah bhesi dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga mengeluarkan uap putih. Lili melakukan gerakan ini di samping untuk mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili, digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya, “Siapa kau? Dari mana kau mempelajari Pek-in Hoat-sut?”
Ketika wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Sesudah terlihat jelas wajah ini ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya sudah putih semua dan seluruh kulit mukanya sudah penuh keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat kecantikan wanita itu. Pada saat itu juga teringatlah Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.
“Ang... Ang... I Niocu....,” katanya dengan suara gemetar.
Dua tangan yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.
“Kau siapakah? Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!” kata pula wanita itu yang memang betul Ang I Niocu adanya.
“Ahh... Ie-ie (Bibi) Im Giok...!” Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu.
Semenjak kecilnya, ibunya sering kali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi kepada Pendekar Bodoh suami isteri. Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya juga amat mengharukan karena selalu terbayang olehnya bahwa Ang I Niocu merupakan seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguh pun ia telah mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa mala petaka dan menjadi tua sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula mengalir di atas pipinya.
Sementara itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi. “Kau puteri Lin Lin, anak Cin Hai...?” bisiknya.
“Betul, Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie Hong Beng.”
Ang I Niocu memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati seperti baja ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!
Pada saat itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.
“Tangkap Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!” teriaknya.
Berubah wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili sambil berkata, “Apakah mereka ini yang menangkapmu? Ha-ha-ha, lihatlah anakku, lihat betapa Ie-ie-mu, meski pun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!” Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya!
Pedang ini sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam dan asalnya merupakan siang-kiam (pedang pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang mendapatkan pedang ini di dalam goa, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai ada pun yang pendek jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!
Melihat kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia pun dapat menduga bahwa kalau wanita baju merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.
“Ie-ie Im Giok, tahan dulu...!” teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu yang memegang pedang. “Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”
Ang I Niocu memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili sudah kuatir kalau nyonya luar biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan berkata perlahan, “Kau seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kau pakailah pedangku untuk menghadapi kepala mereka.”
“Terima kasih, Ie-ie, tidak usah!” jawab Lili gembira. “Untuk membunuh seekor anjing, tak patut mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!” Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam juga.
Dengan kedua tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menunggu datangnya serbuan puluhan orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.
“Saudara-saudara suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh yang sejak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani! Agaknya sekarang kalian telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang sangat jahat! Kalian hidup dalam bahaya akan kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu, dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu, aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan memukul hancur bangsa Mongol! Lebih baik tinggalkan pemimpinmu yang jahat itu dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!”
Tak seorang pun di antara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke depan dengan pedang di tangan.
“Perempuan sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan sesombong itu? Terpaksa sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu itu jahat sekali!”
“Ha-ha-ha, kau bernama Saliban? Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau membunuhku? Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan cara pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam tanganku!”
Saliban memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya. Akan tetapi oleh karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras, “Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!”
Akan tetapi tiada seorang pun di antara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata. Ucapan Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah mengambil keputusan hendak berdiam diri dulu, kemudian menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti.
Sebelum Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban. Saliban mengangkat pedang Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat dan hebat ke arah kepala gadis itu.
Akan tetapi, dengan sangat mudahnya Lili mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban. Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka. Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.