Pendekar Remaja
Karya Kho Ping Hoo
JILID 25
Cin Hai dan Kwee An menjadi merah sekali mukanya. Cin Hai kemudian membebaskan totokannya dan setelah orang Mongol itu dapat bergerak lagi, ia membentak, “Kau bilang diutus oleh Malangi Khan, mengapa yang kau bawa ini adalah surat dari Ban Sai Cinjin?”
“Apakah bedanya Malangi Khan dan Ban Sai Cinjin?” Orang Mongol itu menjawab. “Ban Sai Cinjin telah menjadi tangan kanan Malangi Khan, maka setiap perintah Ban Sai Cinjin tentu sudah disetujui oleh Malangi Khan!”
“Baik, kau kembalilah kemudian sampaikan kepada Ban Sai Cinjin bahwa kami tak akan melanggar larangannya dan jangan dia sekali-kali berani mengganggu Kwee Cin karena kalau dia mengganggu anak itu, biar pun ia akan lari sampal ke neraka, pedangku pasti akan mendapatkan lehernya!”
Utusan itu lalu dilepaskan dan dengan kudanya yang luar biasa, utusan Mongol ini lalu membalap hingga sebentar saja dia hanya nampak sebagai titik hitam dengan debu yang mengebul di belakangnya.
“Nah, Kam-ciangkun, kau lihat dan mendengar sendiri. Kalau kita menyerbu begitu saja, pasti akan terbukti ancaman Ban Sai Cinjin yang berhati kejam dan curang.”
“Kalau demikian, Sie Taihiap. Biarlah siauwte memimpin sendiri barisan kerajaan untuk menggempur gunung itu. Ada pun Cu-wi sekalian lebih baik mengambil jalan belakang untuk mencari saudara-saudara yang sampai sekarang belum kembali.”
“Ini pun kurang sempurna, Kam-ciangkun,” kata Kwee An. “Memang kita semua sudah berpikir bulat untuk bersama-sama menghalau pengacau negara dan memusuhi barisan Mongol yang membikin kekacauan. Pihak Mongol selain banyak jumlahnya, juga di sana mereka dibantu oleh orang-orang pandai semacam Ban Sai Cinjin dan entah siapa lagi. Kalau kau maju dan sampai mengalami kekalahan, bukankah itu melemahkan semangat para prajurit? Lebih baik kau biarkan kami mencari anakku lebih dahulu dan kalau sudah berhasil dan selamat barulah kita bersama membikin pembalasan dan menghancurkan barisan Malangi Khan di bukit itu.”
“Berilah waktu lima hari kepada kami,” Cin Hai menyambung, “sesudah lewat lima hari boleh kau memimpin barisanmu menggempur musuh.”
Tentu saja Kam Liong tidak berani membantah dan menyatakan baik. Sikap pemuda ini amat menyenangkan hati dua pasang suami isteri pendekar itu, karena berbeda dengan sikap panglima-panglima lain yang biasanya amat sombong dan angkuh. Sikap panglima muda ini benar-benar menarik hati sehingga diam-diam Lin Lin menyampaikan kepada Ma Hoa dan Kwee An tentang lamaran yang diajukan oleh paman pemuda ini terhadap Lili.
“Memang dia orang baik, agaknya cukup pantas untuk menjadi mantumu,” kata Kwee An kepada adiknya ini, “tetapi betapa pun juga, sekarang belum waktunya bagi kita untuk membicarakan soal ini. Lagi pula dalam hal perjodohan harus ada persesuaian antara anak, ibu dan ayah. Jika ketiganya cocok barulah perjodohan itu dianggap baik dan akan berbahagia. Kita tunggu saja bagaimana pendapat Lili sendiri tentang pinangan itu.”
Mereka berempat lalu berunding mengenai urusan mereka untuk menolong Kwee Cin dan juga mencari Hong Beng, Goat Lan dan Lili.
“Lebih baik kita bagi-bagi tugas,” kata Kwee An, “biarlah aku dan Cin Hai pergi ke sarang mereka. Ada pun kau dan Lin Lin tinggallah saja di sini. Siapa tahu kalau-kalau utusan Mongol tadi hanya merupakan pancingan supaya kita semua pergi mengejar ke sana dan meninggalkan benteng ini. Jika kita semua pergi dan mereka tiba-tiba datang menyerang, kasihan sekali kalau sampai Kam-ciangkun mengalami kekalahan hebat! Kurasa aku dan Cin Hai berdua sudah cukup untuk menyelidiki keadaan mereka di gunung itu.”
“Apa yang dikatakan oleh Kwee An memang benar dan aku merasa setuju sekali,” kata Cin Hai yang walau pun menjadi adik ipar Kwee An namun selalu menyebut namanya begitu saja karena sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka belum menikah.
Biar pun merasa kecewa, namun Lin Lin dan Ma Hoa tidak membantah, karena memang tepat apa yang diusulkan oleh Kwee An itu. Pula tugas menjaga benteng itu tidak kalah pentingnya, kalau tidak dapat disebut lebih berbahaya.
Berangkatlah Cin Hai dan Kwee An pada hari itu juga menuju ke bukit utara itu. Seperti juga Lili, sebelum berangkat mereka meminta keterangan mengenai kedudukan bukit itu kepada Nurhacu, karena biar pun Cin Hai dan Kwee An pernah mengadakan perantauan di daerah utara pada waktu mereka muda, namun mereka belum pernah naik ke bukit itu.
Nurhacu yang tadinya dipaksa membantu orang-orang Mongol, tentu saja sudah pernah masuk ke dalam markas besar Malangi Khan. Sebab itu dengan jelas ia menggambarkan kedudukan markas musuh yang terjaga kuat itu.
Setelah kedua orang pendekar itu meninggalkan kaki Bukit Alkata-san di sebelah utara dan sedang berlari cepat menuju ke bukit yang menjulang tinggi di sebelah utara itu, dari sebuah tikungan jalan tiba-tiba saja keluarlah seorang pemuda tampan yang berlari cepat dengan gerakan gesit sekali. Pemuda itu lalu berhenti menghadang di tengah jalan ketika dia melihat dua orang laki-laki setengah tua yang berlari cepat itu.
Cin Hai dan Kwee An merasa curiga dan mereka pun cepat menahan kaki mereka dan berhenti di depan pemuda itu. Untuk beberapa lama mereka saling pandang, kemudian pemuda itu dengan sikap sopan lalu menjura dan bertanya,
“Mohon tanya, siapakah Ji-wi Lo-enghiong yang gagah ini? Dalam keadaan seperti saat ini, melihat dua orang gagah menuju ke utara, sungguh amat mengherankan hati.”
“Anak muda, kau pandai sekali membolak-balik kenyataan. Kami yang menuju ke utara belum dapat dikatakan aneh, sebaliknya kau seorang pemuda yang gagah akan tetapi dalam waktu seperti ini berkeliaran di daerah musuh betul-betul menimbulkan kecurigaan besar!”
Merahlah wajah pemuda itu. “Maaf, kau berkata benar, Lo-enghiong. Memang aku Song Kam Seng sudah salah memilih jalan. Akan tetapi aku sedang berusaha mencari jalan yang benar. Kuulangi lagi, siapakah gerangan Ji-wi yang terhormat?”
Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Cin Hai dan juga Kwee An. Kedua orang pendekar ini telah membaca surat Hong Beng dan tahu bahwa Hong Beng dan Goat Lan pergi meninggalkan benteng setelah dipancing oleh pemuda ini! Dan pula, Cin Hai sudah mendengar dari Lili bahwa pemuda ini adalah putera Song Kun dan sudah mengancam hendak membalas dendam kepadanya!
“Hemm, jadi kaukah yang bernama Song Kam Seng putera Song Kun? Ketahuilah, aku yang disebut Pendekar Bodoh dan ini adalah saudara tuaku bernama Kwee An! Hayo lekas kau ceritakan di mana adanya anak-anak kami, Hong Beng, Goat Lan dan Kwee Cin?”
Mendengar bahwa yang kini berhadapan dengannya adalah musuh besarnya, pembunuh ayahnya, tiba-tiba Kam Seng menjadi makin marah. Ia lalu memandang kepada Cin Hai dengan mata tajam, lalu mencabut pedangnya dan berkata,
“Bagus, jadi kaukah yang bernama Sie Cin Hai, orang yang telah membunuh ayahku dan membuat ibu dan aku hidup menderita selama bertahun-tahun? Manusia kejam, kau telah berhutang nyawa, maka sudah selayaknya sekarang aku menagihnya!” Sambil berkata demikian, Kam Seng lalu mengayun pedangnya menusuk dada Cin Hai.
Pendekar Bodoh hanya tersenyum saja dan sama sekali tidak menangkis atau mengelak. Akan tetapi dari samping mendadak berkelebat bayangan pedang dan dengan kerasnya pedang Kam Seng terpukul oleh pedang yang digerakkan oleh Kwee An hingga pedang itu terpental kembali dan hampir terlepas dari pegangan Kam Seng!
“Song Kam Seng, jangan kau berlaku sembrono! Ayahmu Song Kun bukan mati dibunuh oleh Pendekar Bodoh, akan tetapi dia mati karena kejahatannya sendiri. Seorang gagah membela kebenaran tanpa memandang kepada hubungan keluarga! Jika kiranya ayahmu itu masih hidup dan menjadi seorang yang amat jahat, apakah kau juga akan membantu dia dan ikut-ikutan menjadi jahat?”
Dengan pandangan mata liar Kam Seng membalikkan tubuh dan menghadapi Kwee An. “Kau bilang ayahku jahat? Apa maksudmu?”
“Memang hal yang paling sulit di dunia ini adalah mengakui atau melihat kesalahan pihak sendiri. Ayahmu dahulu mengancam jiwa Lin Lin yang sudah menjadi tunangan Cin Hai. Adikku itu terkena racun orang jahat, kemudian obat penawarnya dirampas oleh ayahmu, dan ayahmu mengancam hendak melenyapkan obat penawar itu kalau adikku tidak mau menjadi isterinya!”
Dengan singkat akan tetapi jelas, Kwee An lalu menceritakan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Song Kun pada waktu mudanya dan bahwa kematian Song Kun terjadi di dalam pertempuran melawan Cin Hai yang membela diri, jadi sekali-kali bukan Pendekar Bodoh yang sengaja membunuhnya.
Mendengar penuturan ini, pucatlah wajah Kam Seng. Alangkah bedanya dengan cerita yang telah didengarnya dari Ban Sai Cinjin! Mana yang benar? Akan tetapi suara hatinya membisikkan bahwa dia harus lebih percaya kepada dua orang pendekar besar ini dari pada kepada Ban Sai Cinjin yang berhati khianat.
“Biar pun andai kata mendiang ayahku benar jahat, sebagai puteranya aku harus berani menghadapi kenyataan dan berani pula membalaskan sakit hatinya. Kini aku menantang kepada Pendekar Bodoh untuk mengadu kepandaian, lepas dari soal siapa salah siapa benar antara dia dan ayahku. Aku hanya hendak memenuhi kewajiban sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada ayahnya. Apa bila aku kalah, sudahlah, mungkin ayah yang memang bersalah dalam pertempuran dahulu.” Sambil berkata demikian, kembali pemuda itu menghadapi Cin Hai dengan sikap menantang.
“Bocah lancang!” Kwee An membentak marah. “Kau mengandalkan apakah maka berani menantang Pendekar Bodoh? Mudah saja menyatakan tentang sakit hati dan dendam. Ketahuilah bahwa aku pun menaruh dendam kepadamu bila pandanganku sepicik engkau! Kau telah memancing dan mencelakakan puteriku Goat Lan dan bahkan mungkin kau sudah membantu susiok-mu Ban Sai Cinjin untuk menculik anakku Cin-ji! Nah, bukankah aku pun boleh berdendam kepadamu? Coba kau hadapi pedangku dulu kalau memang kau memiliki kepandaian!”
Akan tetapi, sambil tersenyum Cin Hai berkata, “Biarkanlah, Kwee An, biarkan anak ini, memperlihatkan tanduknya! Sikapnya mengingatkan kepadaku akan ayahnya, Song Kun. Demikian berani dan keras hati. Ehh, Kam Seng, aku sudah mendengar namamu disebut oleh puteriku, Lili. Kau sudah menyeberang ke pihak jahat dan menjadi murid dari Wi Kong Siansu? Kau salah, anak muda. Kalau saja kau tetap menjadi murid Nyo Tiang Le dan kemudian kau datang kepadaku, mengingat hubungan ayahmu dengan aku, kiranya aku takkan menolak untuk memberi bimbingan kepadamu. Sekarang kau bahkan hendak menantangku bertempur? Hemm, cobalah maju dan jangan ragu-ragu, seranglah sesuka hatimu.”
Mendengar ucapan yang tenang ini dan melihat sikap yang acuh tak acuh dari Pendekar Bodoh musuh besarnya, Kam Seng menjadi ragu-ragu. Tadi ia sudah merasai kelihaian tangkisan pedang Kwee An. Baru Kwee An saja sudah demikian hebat tenaganya, apa lagi Cin Hai yang kabarnya memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Kwee An!
Akan tetapi Kam Seng tidak takut. Hatinya telah bulat untuk membalas dendam ayahnya sehingga ia mengorbankan perasaannya dan berpindah ke pihak Ban Sai Cinjin. Bukan karena ia lebih cocok dengan rombongan ini, tidak, karena sebenarnya ia benci melihat kejahatan kakek pesolek itu. Ia rela berguru kepada Wi Kong Siansu hanya karena dia ingin tercapai maksudnya membalas dendam kepada musuh besarnya, yaitu Pendekar Bodoh.
Kalau ia teringat betapa ia dan ibunya terlunta-lunta setelah ayahnya tewas, sakit hatinya terhadap Pendekar Bodoh makin besar. Dan sekarang setelah ia bertemu dengan musuh besarnya, meski pun dia ingat musuhnya itu ayah dari Lili, gadis satu-satunya di dunia ini yang dicintainya, meski pun ia telah mendengar keterangan dari Kwee An betapa dahulu sebenarnya ayahnya yang salah dan jahat, namun bagaimana ia dapat membatalkan niat hatinya hendak membalas dendam?
Sekarang melihat sikap Cin Hai, amat tidak enak hati Kam Seng. Dia sebenarnya segan melawan pendekar yang bersikap tenang dan gagah ini, akan tetapi dia malu terhadap bayangannya sendiri kalau dia tidak melanjutkan niatnya yang telah terpendam di dalam hati sampai bertahun-tahun lamanya. Maka dia paksakan hatinya dan berseru, “Ayah di alam baka! Lihat bahwa anak telah melakukan usaha sekuat tenaga!”
Sambil berkata demikian dia lalu maju menyerang dengan hebat sekali kepada Pendekar Bodoh. Akan tetapi, dengan cara yang amat membingungkan mata Kam Seng, tahu-tahu pendekar besar itu telah dapat mengelak dari tusukan pedangnya. Ia menjadi penasaran dan melanjutkan serangannya sambil mengeluarkan ilmu pedang yang ia pelajari dengan susah payah dari Wi Kong Siansu.
Kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia menghadapi Lili, ilmu kepandaian pemuda ini sudah maju amat pesat dan jauh. Tidak saja ilmu pedangnya yang sudah menjadi kuat dan cepat, juga tenaga lweekang-nya sudah bertambah dan ginkang-nya pun amat baik mendekati kesempurnaan.
Diam-diam dalam hatinya Cin Hai memuji, akan tetapi dengan amat mudahnya Pendekar Bodoh mengelak dari setiap serangan. Pendekar Bodoh tidak mencabut pedangnya, dan hanya mempergunakan ujung lengan bajunya untuk kadang-kadang menyampok pedang kalau ia tidak keburu mengelak.
Dari sampokan ujung lengan baju ini saja Kam Seng sudah merasa terkejut bukan main. Gurunya sendiri, Wi Kong Siansu, juga ahli dalam hal bersilat dengan ujung lengan baju, akan tetapi kiranya tidak sehebat ini.
Kam Seng semakin mempercepat gerakan pedangnya sehingga tubuhnya lenyap dalam sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, mengambil keputusan untuk bertempur sampai nyawanya melayang! Dia merasa seakan-akan ayahnya juga menyaksikan pertempuran ini dari alam baka, maka dia tidak mau berlaku mengalah dan mendesak Pendekar Bodoh dengan nekat.
Pendekar Bodoh maklum bahwa biar pun ia telah mengenal ilmu pedang pemuda ini dan dapat menjaga diri, akan tetai dia tidak dapat menaksir sampai di mana kehebatan ilmu pedang ini apa bila dimainkan oleh Wi Kong Siansu. Ia telah mendapat tantangan dari Wi Kong Siansu, karena itu dia merasa kebetulan sekali kini dapat menghadapi ilmu pedang pendeta itu yang dimainkan oleh seorang muridnya yang pandai.
Menurut taksirannya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Kam Seng ini paling banyak baru tujuh puluh bagian tingkatnya. Maka dia lalu mencabut sulingnya yang selalu terselip di pinggangnya. Pendekar Bodoh boleh ketinggalan pakaian atau uang, akan tetapi dia tak pernah ketinggalan suling dan pedangnya! Suling ini merupakan senjatanya yang sangat istimewa, bahkan lebih lihai dari pada pedangnya Liong-cu-kiam!
Setelah mencabut sulingnya, makin serulah pertempuran itu. Sekarang Pendekar Bodoh menggunakan sulingnya untuk mengimbangi ilmu pedang Kam Seng. Sebenarnya kalau dia mau, dalam dua puluh jurus saja pasti dia akan dapat merobohkan Kam Seng. Akan tetapi Pendekar Bodoh memang ingin sekali mengukur sampai di mana kelihaian ilmu pedang ini yang kelak akan dihadapinya pula.
Tubuh Kam Seng sudah penuh keringat. Cin Hai berhasil memancingnya hingga pemuda itu menghabiskan seluruh jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari Wi Kong Siansu! Memang inilah maksudnya, dan setelah ilmu pedang itu habis dimainkan, Cin Hai segera mengerahkan tenaga pada sulingnya sehingga pada saat pedang dan suling menempel, pedang itu tak dapat ditarik kembali!
Betapa pun hebatnya Kam Seng mengeluarkan tenaga untuk membetot pedangnya, tetap saja pedang itu tidak dapat terlepas dari suling yang menempelnya. Akhirnya Cin Hai menggerakkan tangannya membetot dan sambil berseru keras Kam Seng pun terpaksa melepaskan gagang pedangnya karena tidak kuat menghadapi tenaga tarikan luar biasa ini.
“Kam Seng, kau mempunyai bakat yang cukup baik. Sayang sekali kau mempelajari ilmu silat yang keliru. Kepandaianmu apa bila dibandingkan dengan kepandaian ayahmu, ahh, kau ketinggalan amat jauh! Kalau saja kau tidak dibikin buta oleh dendam dan sakit hati yang bodoh dan sesat, aku akan suka sekali memberi bimbingan kepadamu, mengingat hubunganku dengan mendiang ayahmu.”
Kam Seng menjadi malu sekali. “Aku sudah kalah...” katanya dengan muka ditundukkan dan air matanya hampir menitik turun, wajahnya merah sekali. “Kalau Ji-wi menganggap aku tersesat dan jahat, bunuhlah, apa gunanya hidup dalam kesesatan dan kehinaan?”
Cin Hai merasa terharu melihat keadaan putera dari Song Kun ini, maka dia kemudian melangkah maju mengembalikan pedang yang dirampasnya tadi sambil menepuk-nepuk pundaknya. “Anak muda, aku tidak dapat menyalahkan engkau! Aku sendiri pada waktu muda selalu menjadi korban dari nafsu sendiri, melakukan perbuatan tanpa dipikir dulu dan menganggap diri sendiri selalu benar! Ketahuilah, bahwa kebaktian terhadap orang tua bukan asal berbakti saja. Membela nama orang tua bukan asal kau dapat membasmi musuh-musuh orang tuamu saja. Kau harus dapat mempergunakan akal sehat dan otak yang jernih. Apa bila orang tuamu melakukan sesuatu kesalahan, sebagaimana sudah menjadi lajimnya setiap manusia yang kadang-kadang tersesat dari jalan kebenaran, jalan satu-satunya bagimu untuk berbakti adalah dengan menebus kesalahan orang tuamu itu. Biar pun ayahmu telah dianggap jahat oleh dunia kang-ouw dan oleh orang-orang gagah, akan tetapi kalau kau sebagai putera tunggalnya dapat melakukan kebaikan, nama buruk ayahmu itu akan terhapus oleh perbuatan-perbuatanmu yang mulia. Sebaliknya, jika kau dibutakan oleh dendam tanpa melihat sebab-sebab kematian ayahmu, kau berarti akan menambah kotor nama ayahmu sehingga kau merupakan seorang anak yang durhaka!”
Kam Seng memandang dengan wajah pucat dan kedua matanya terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan menerima wejangan seperti ini dari mulut musuh besarnya! Ia makin ragu-ragu, tak tahu apa yang harus diucapkan mau pun dilakukannya.
“Ketahuilah bahwa kita semua ini berada di bawah pengaruh hukum alam, yaitu sebab dan akibat. Segala peristiwa yang terjadi merupakan akibat dan juga menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan terjadi. Kematian ayahmu di dalam tanganku juga merupakan akibat yang kini menyebabkan kau mencari dan hendak membalas padaku! Maka aku tidak marah kepadamu, karena di dalam segala petistiwa yang kujumpai, aku menengok dan mencari pada sebabnya. Tak mungkin kau ingin membunuhku tanpa sebab, seperti juga tidak mungkin tanganku membunuh ayahmu jika tidak ada sebab-sebab yang kuat! Carilah sebab-sebabnya dan kau tidak akan kaget melihat akibatnya karena kalau semua sebabnya sudah kau ketahui, akibat-akibatnya akan kau anggap sewajarnya!”
Tunduklah hati Kam Seng mendengar kata-kata yang mengandung filsafat tinggi akan tetapi mudah ditangkap ini. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai dan tak dapat menahan isak tangisnya!
“Susiok (Paman guru), ampunkanlah teecu dan ampunkan pula semua dosa mendiang ayahku...,” katanya dengan hati terharu.
“Tidak ada salah atau benar dalam hal ini, Kam Seng, dan tidak perlu maaf memaafkan. Di dalam setiap perbuatan itu terkandung kesalahan dan kebenaran, tergantung siapa yang melihatnya. Aku sudah cukup girang melihat kau dapat berpikir dengan otak sehat.” Cin Hai mengangkat pemuda itu berdiri lagi.
“Bagus, semua kegelapan sudah menjadi terang sekarang,” kata Kwee An. “Akan tetapi, Kam Seng, kau masih harus menerangkan tentang keadaan puteraku dan juga tentang keadaan Goat Lan dan Hong Beng. Kedatanganmu memberitahukan kepada mereka itu bukankah hanya satu pancingan belaka?”
“Tidak, Kwee Taihiap, sama sekali tidak! Biar pun harus kuakui bahwa aku telah salah memilih kawan dan telah terjerumus ke dalam lembah kejahatan, namun aku tetap tidak menjadi seorang pengkhianat negara dan bangsa! Aku merasa jijik melihat Susiok Ban Sai Cinjin, dan merasa sayang bahwa aku tak dapat menegurnya. Sesungguhnya, ketika aku melihat bahwa puteramu yang masih kecil itu datang bersama Ban Sai Cinjin dan mendengar bahwa dia hendak menggunakan puteramu itu untuk mencegah orang-orang gagah membantu tentara kerajaan, aku menjadi gelisah sekali. Hendak menolong dan membawa pergi puteramu, aku tidak berani. Maka aku lalu berlaku nekat dan diam-diam mengunjungi benteng Alkata-san di mana aku bertemu dengan Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng. Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan bahwa aku memberi gambaran tentang jalan belakang yang akan membawa mereka ke tempat kediaman Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain. Sudah kukatakan bahwa tempat itu berbahaya sekali, akan tetapi ternyata Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng amat nekat dan datang juga ke sana...”
“Lalu bagaimana? Apa yang terjadi dengan mereka?” tanya Kwee An dengan rasa ingin tahu sekali.
“Kini mereka juga telah tertawan oleh Ban Sai Cinjin!” kata Kam Seng. “Oleh karena itu siauwte sengaja hendak pergi ke benteng Ji-wi untuk memberitahukan hal ini dan tak terduga sama sekali telah bertemu dengan Ji-wi di sini.”
“Tak mungkin!” kata Kwee An.
“Sukar dipercaya bahwa Hong Beng bersama Goat Lan akan dapat tertawan sedemikian mudahnya,” kata Cin Hai.
Kam Seng tersenyum. “Harus diakui bahwa kepandaian Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng sangat lihai dan memang agaknya akan sukar sekali untuk mengalahkan dan menawan mereka. Akan tetapi dalam hal kecerdikan, mereka itu masih kalah jauh oleh orang-orang seperti Ban Sai Cinjin! Mereka berdua bukan tertawan karena kekerasan, akan tetapi mereka terpaksa mengalah dan menurut setelah Ban Sai Cinjin mengancam hendak membunuh Kwee Cin kalau mereka melawan terus!”
“Pengecut hina dina yang curang!” Kwee An berseru marah. “Akan kuhancurkan kepala manusia itu!”
“Kwee Taihiap, bagaimana jika Ban Sai Cinjin mengancam padamu untuk membinasakan puteramu sebelum kau turun tangan?” tanya pemuda itu.
Kwee An tak dapat menjawab, hanya mengertak gigi dengan marah dan gemas sekali.
“Kam Seng, kau yang mengetahui keadaan mereka, tidak maukah kau menolong kami? Tidak maukah kau melawan kejahatan dan membela kebenaran untuk menebus nama buruk mendiang ayahmu?” kata Cin Hai.
“Susiok, kedatangan teecu seperti telah kuceritakan tadi, sesungguhnya untuk memberi tahu kepada benteng tentara kerajaan. Sebetulnya tak usah dikuatirkan karena Kwee Cin telah diminta oleh Malangi Khan dan dijadikan kawan bermain putera Malangi Khan yang bernama Kamangis dan yang usianya sebaya. Untuk sementara ini, meski pun Ban Sai Cinjin sendiri tidak boleh berlaku sesuka hatinya untuk membunuh Kwee Cin yang disuka oleh Kamangis putera Malangi Khan! Akan tetapi, untuk merampas kembali anak itu pun bukan merupakan hal yang mudah.”
Kemudian dengan jelas Kam Seng segera menggambarkan tempat kedudukan Ban Sai Cinjin dan juga istana Malangi Khan di dalam benteng itu yang berada di tengah-tengah. Sesudah menuturkan semua ini, Kam Seng segera minta diri untuk kembali ke benteng Mongol itu. Ia berjanji bahwa ia akan memasang telinga dan mata serta akan berusaha menolong Goat Lan dan Hong Beng.
“Betapa pun juga, kita harus berusaha menolong Cin-ji,” kata Kwee An kepada Cin Hai setelah Kam Seng pergi.
Cin Hai mengerutkan kening. “Sekarang lebih ruwet lagi. Kalau kita berkeras memasuki istana Malangi Khan dan andai kata berhasil merampas dan menyelamatkan Cin-ji, lalu bagaimana dengan nasib Goat Lan dan Hong Beng? Dan di mana pula adanya Lili? Ah, kita harus mencari akal dan berlaku hati-hati.”
Kedua orang pendekar besar itu duduk di bawah pohon dan bertukar pikiran. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk berpisah.
Cin Hai hendak menuju ke tengah benteng, masuk ke dalam istana Malangi Khan, ada pun Kwee An akan mencari Goat Lan dan Hong Beng di belakang benteng, di tempat tinggal Ban Sai Cinjin dan kaki tangannya. Kwee An menyetujui hal ini oleh karena ia pun mengakui bahwa Cin Hai mempunyai kepandaian yang lebih tinggi maka patut menerima tugas yang lebih berbabaya dan berat.
Dengan ilmu lari cepat mereka, keduanya lalu melanjutkan perjalanan, mengitari bukit itu untuk masuk melalui belakang benteng. Dan tepat seperti yang dituturkan oleh Nurhachu orang Haimi itu, juga seperti yang digambarkan oleh Kam Seng, jalan itu sunyi saja, akan tetapi penuh hutan yang amat liar dan menyeramkan.
Ketika mereka melintas dengan cepat melalui sebuah hutan, dari jauh nampak bayangan orang yang berjalan cepat. Cin Hai dan Kwee An merasa curiga, cepat mereka melompat ke arah bayangan itu, akan tetapi ketika mereka tiba di situ, bayangan itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata mereka! Cin Hai dan Kwee An saling pandang heran.
“Apakah ada setan di tengah hari?” tanya Kwee An heran. Siapakah orangnya yang dapat menghilang dari depan mata mereka sedemikian anehnya?
Juga Cin Hai merasa heran sekali. Kalau bayangan tadi benar-benar seorang manusia, maka kepandaian ginkang-nya agaknya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri! Gerakan seperti itu menurut ingatannya hanya dimiliki oleh suhu-nya, yakni Bu Pun Su, atau orang-orang seperti Swi Kiat Sansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu dan tokoh-tokoh tinggi lain yang kesemuanya telah meninggal dunial
“Mungkin kita salah lihat,” katanya karena bukan menjadi watak Pendekar Bodoh untuk mengganggu orang yang tak mau memperlihatkan diri, “kita mempunyai tugas yang lebih penting.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan tak lama kemudian tibalah mereka di bawah tembok benteng sebelah belakang dari benteng tentara Mongol itu. Mereka menggunakan ginkang yang hebat dan melompat ke atas tembok. Dari sini mereka berpisah.
Cin Hai terus berlari-larian di atas tembok yang tingginya kurang lebih empat tombak dan lebarnya hanya kurang dari satu kaki itu. Tembok ini memanjang sampai beberapa belas li dan Cin Hai terus berlari mencari-cari bangungan istana kepala bangsa Mongol.
Beberapa orang penjaga yang mulai banyak terlihat setelah ia berlari kurang lebih dua li, sempat melihat bayangannya, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang dapat mengejar. Bahkan sebagian besar mengira bahwa yang melayang itu bukanlah seorang manusia, melainkan seekor burung besar. Gerakan Cin Hai sangat cepat sehingga kalau tidak kebetulan, jarang ada penjaga yang dapat melihatnya!
Sementara itu, Kwee An setelah berada di atas tembok dan melihat betapa keadaan di bawah sunyi saja, lalu melayang turun. Memang benar bahwa di situ tidak terjaga sama sekali dan di bawah dinding ini hanyalah merupakan belukar yang tidak terurus. Jauh di depan sana tampak tembok-tembok bangunan, yaitu bagian paling belakang dari benteng Mongol itu.
Kwee An berlaku hati-hati sekali. Waktu itu udara mulai gelap karena matahari sudah bersembunyi di barat. Dia pikir bahwa kalau dia berlaku sembrono dan menyerbu pada malam hari itu sehingga terlihat oleh musuh, maka keselamatan Hong Beng dan Goat Lan akan terancam.
Dari Kam Seng dia mendapat keterangan bahwa Goat Lan beserta Hong Beng ditahan di dalam rumah kecil yang berada di tengah-tengah kampung dalam benteng itu, tidak jauh dari rumah yang ditinggali oleh Ban Sai Cinjin. Goat Lan ditahan di dalam kamar sebelah kiri dan Hong Beng di kamar ke dua sebelah kanan.
Di depan dan belakang, atau pendeknya rumah itu dikelilingi oleh penjaga-penjaga yang sebenarnya bukan menjaga untuk menghalangi dua orang muda ini pergi, hanya untuk melihat saja, kalau mereka pergi akan segera dilaporkan dan Kwee Cin akan dibunuh!
Dengan perlahan Kwee An bergerak maju di balik belukar dan terus mengintai ke arah kampung itu. Dia menanti sampai gelap benar barulah dia menggunakan kepandaiannya masuk ke dalam kampung itu dan melompat naik ke atas wuwungan rumah. Ia melompat dari genteng ke wuwungan lain hingga akhirnya dapat mendekati rumah kecil di mana puterinya dan Hong Beng ditahan.
Benar saja, di seputar rumah itu dipasang kursi dan meja di mana duduk para penjaga yang nampaknya enak-enak saja, sebab mereka tidak ditugaskan untuk mencegah kedua orang muda itu melarikan diri. Apa bila sampai dua orang muda itu memberontak dan melarikan diri, apakah yang dapat mereka lakukan terhadap dua orang gagah itu?
Kwee An memandang ke arah jendela dan dalam cahaya yang remang-remang melalui tirai jendela dia melihat ada bayangan seorang gadis yang berpinggang langsing. Hatinya berdebar. Itulah Goat Lan, tak salah lagi!
Ingin dia melompat turun dan mengamuk, membunuh para penjaga yang tidak berarti itu bahkan kalau perlu mencari dan membunuh Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ia tidak berani melakukan ini sebelum Kwee Cin dapat tertolong oleh Cin Hai.
Lagi pula, sudah jelas bahwa Goat Lan dan Hong Beng tidak mengalami penderitaan dan hanya ditahan karena dua orang muda itu takut kalau-kalau Kwee Cin dibunuh, maka perlu apa menguatirkan keadaan dua orang muda ini? Lebih baik aku menyusul Cin Hai dan lebih dahulu menyelamatkan Kwee Cin pikirnya.
Akan tetapi, sebelum dia berangkat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke selatan di mana terdapat istana Malangi Khan yang terpisah cukup jauh, ia mendengar suara orang memaki-maki dan nampaklah Ban Sai Cinjin yang diikuti oleh lima orang lain berjalan ke arah rumah kecil itu.
Di bawah sinar lampu, Kwee An melihat dengan heran betapa kakek pesolek ini nampak matang biru mukanya, bahkan pada pipinya sebelah kanan nampak ada tanda goresan-goresan dan sepasang matanya serta pipinya kelihatan biru seakan-akan mukanya telah berkali-kali ditampar orang! Kakek ini tak hentinya menyumpah-nyumpah, “Akan kubunuh tujuh turunan... kubunuh tujuh turunan...!”
Kemudian dia memegang pinggangnya sambil membungkuk-bungkuk. “Aduh… aduhh… jahanam benar Pendekar Bodoh… aduhhh…!”
Setelah tiba di depan rumah itu, para penjaga segera berdiri dan memberi hormat pada Ban Sai Cinjin. Kwee An melihat bahwa Ban Sai Cinjin berjalan dengan sukar, dibantu Coa-ong Lojin dan di belakangnya nampak beberapa orang lain. Mereka ini sebetulnya adalah pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang atau pembantu-pembantu Coa-ong Lojin yang dahulu membantu Ban Sai Cinjin melakukan penculikan di Tiang-an dan selain menculik Kwee Cin juga telah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip.
“Apakah dua orang muda itu masih berada di kamar masing-masing?” tanyanya kepada para penjaga.
“Masih ada, mereka tak pernah pergi keluar dari kamar!” jawab para penjaga.
Mendadak terdengar suara Hong Beng dari kamarnya, “Ban Sai Cinjin, kau orang yang berhati curang dan pengecut! Kalau kau tidak mau disebut seorang rendah yang tidak pantas hidup di dunia kang-ouw, kau lepaskan Kwee Cin dan mari kita bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita mampus!”
“Tutup mulut! Kau... kau anak Pendekar Bodoh si bangsat kurang ajar! Awas kalau ada kesempatan, akan kubunuh tujuh turunan. Aku tak hendak bicara dengan kau! Kau mau pergi dari sini, pergilah! Aku hanya akan membunuh Kwee Cin dan Nona Goat Lan. Pergi dari sini, aku tidak butuh orang macam kau!”
Terdengar Hong Beng tertawa bergelak, mentertawakan Ban Sai Cinjin yang masih terus menyumpah-nyumpah tiada hentinya, kemudian kakek pesolek ini memasuki kamar Goat Lan diikuti oleh Coa-ong Lojin.
Dengan hati berdebar-debar Kwee An memasang telinga mendengarkan percakapan itu. Dengan sangat pandainya dia dapat mempergunakan kesempatan ketika Ban Sai Cinjin ribut mulut dengan Hong Beng, untuk melompat ke atas genteng dan kini berada di atas kamar Goat Lan!
“Nona Kwee,” dia mendengar suara parau dari Ban Sai Cinjin, “apakah kau masih belum mau insyaf? Alangkah keras kepala kau! Kau sudah ditipu oleh kaisar lalim, sudah dihina, akan tetapi masih saja kau bersetia kepadanya! Kau telah menyelamatkan nyawa Putera Mahkota, akan tetapi apa yang kau dapat? Hukuman buang! Kau bahkan dihina, hendak dijadikan selir, kemudian kau dibuang ke tempat yang seperti neraka di utara ini. Apakah kau tidak mempunyai perasaan keangkuhan sama sekali? Sekarang adikmu berada di tanganku, dan aku tidak minta banyak. Asal kau suka membantu kami, membantu hingga Kaisar lalim itu terguling jatuh dari kedudukannya, tidak saja adikmu akan selamat, malah banyak kemungkinan adikmu akan menjadi seorang pangeran!”
“Ban Sai Cinjin, percuma saja kau mengoceh di sini! Aku tetap tidak mau mendengar ocehanmu dan aku akan menuruti permintaanmu tidak keluar dari tempat ini. Akan tetapi sebaliknya, kau pun jangan sekali-kali berani mengganggu adikku, sebab jika kau sampai berani mengganggunya, aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk memukul sampai remuk batok kepalamu!”
Ban Sai Cinjin menyumpah-nyumpah lagi dan tersaruk-saruk keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluhannya ketika ia menuju ke bangunan di mana ia tinggal. Malam itu masih terdengar terus keluhannya ketika ia mengobati luka-luka di tubuhnya yang membuat ia merasa sakit seluruh tubuhnya, terutama sekali hatinya yang terasa amat sakit.
Malam hari itu sial sekali baginya. Siang tadi dia menghadap Malangi Khan dan hendak minta Kwee Cin, akan tetapi Malangi Khan tidak mengijinkan, karena Kwee Cin ternyata telah menjadi sahabat yang karib sekali dengan puteranya, Pangeran Kamangis. Dengan hati mendongkol Ban Sai Cinjin kembali ke kampung di belakang istana, akan tetapi di tengah jalan dia bertemu dengan Pendekar Bodoh!
“Bangsat tua bangka, kau sungguh curang dan tak tahu malu!” Pendekar Bodoh memaki. “Orang semacam kau sepatutnya dibunuh, akan tetapi karena kita ada perjanjian untuk bertemu di puncak Thian-san, kali ini kau takkan kubunuh, hanya akan kuberi hajaran!”
Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Cin Hai menyerangnya dengan hebat! Coa-ong Lojin bersama kawan-kawannya segera membantu, akan tetapi begitu Cin Hai mencabut Liong-cu-kiam, sekali gerakkan saja senjata mereka terbabat putus! Terpaksa mereka mundur lagi dan Ban Sai Cinjin yang melawan mati-matian lalu dibuat permainan oleh Cin Hai!
Mukanya ditampar berkali-kali dan pukulan serta tendangan menghujani tubuhnya. Cin Hai sengaja tidak memukul atau menendang dengan sepenuh tenaga, akan tetapi cukup untuk membuat muka kakek itu menjadi matang biru dan tubuhnya menjadi sakit semua. Sesudah Ban Sai Cinjin menjadi setengah pingsan, barulah Cin Hai meninggalkannya!
Tentu saja si Huncwe Maut merasa terhina sekali sehingga dia menyumpah-nyumpah. Kebenciannya terhadap Pendekar Bodoh semakin meluap, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Sementara itu, Pendekar Bodoh sudah menghilang di malam gelap, entah ke mana perginya.
Setelah Ban Sai Cinjin pergi, Goat Lan menengok ke atas dan berkata sambil tersenyum, “Ayah, turunlah sekarang!”
Kwee An girang sekali melihat ketajaman mata dan telinga puterinya. Ia cepat membuka genteng dan melompat turun ke dalam kamar anaknya. Goat Lan lalu memegang tangan ayahnya dan berkata, “Ayah, bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?”
Gadis ini mengeluarkan ucapan dengan keras sehingga Kwee An cepat memberi tanda dengan tangannya. Akan tetapi Goat Lan tertawa.
“Ayah, kita bukan ditawan. Aku berada di sini atas kehendakku sendiri, mengapa mesti takut? Biarlah Ban Sai Cinjin monyet tua itu mengetahui bahwa kau berada di sini, biar dia makin panas dan jengkel. Dia bisa berbuat apa terhadap kita?”
Mendengar ucapan ini, Kwee An menarik napas panjang. “Asal saja dia tak mengganggu Cin-ji, aku pun tidak takut apa-apa.”
Sementara itu, Hong Beng yang mendengar suara Goat Lan, dengan girang lalu datang dan memberi hormat kepada Kwee An. Mereka bertiga berbincang dengan asyik sekali sehingga melupakan waktu. Ketika Hong Beng mendengar bahwa ayahnya juga masuk ke dalam benteng ini dan bahkan mendatangi istana Malangi Khan, dan juga mendengar bahwa sebetulnya Kwee Cin sudah berada di istana dan tidak di dalam tangan Ban Sai Cinjin, Hong Beng lalu bangkit berdiri.
“Ah, kalau kita tahu akan hal itu, tidak usah lama-lama kita berada di tempat ini,” katanya kepada Goat Lan yang mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kalau begitu, biarlah aku pergi sekarang juga menyusul ayah. Siapa tahu kalau dia membutuhkan bantuan!” Kwee An dan Goat Lan tidak mencegahnya, maka Hong Beng lalu melompat keluar dan pergi dari rumah itu dengan cepat!
Ketika Ban Sai Cinjin mendapat laporan bahwa Hong Beng pergi dari kamar tahanan dan Goat Lan menerima seorang tamu lelaki yang disebut sebagai ayahnya, kakek ini merasa kaget dan juga marah sekali. Cepat ia mengumpulkan orang-orangnya dan mengerahkan semua prajurit Mongol yang berada di situ untuk mengurung rumah tahanan itu!
Kemudian, pada esok harinya setelah ia merasa bahwa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit lagi, bersama Coa-ong Lojin dia menghampiri rumah itu dan sekali dia mendorong, daun pintu pun terbuka. Ia menjadi marah sekali ketika melihat bahwa Goat Lan telah berdiri di situ dengan seorang laki-laki yang bukan lain adalah Kwee An, orang yang dulu pernah dijumpainya dan yang sudah memaksa Coa-ong Lojin mengobati Lie Siong dahulu itu. Kwee An melihat Goat Lan hendak bergerak menyerang Ban Sai Cinjin, maka cepat dia memegang pundak anaknya.
“Sabar dulu, Lan-ji,” katanya, kemudian sambil tersenyum mengejek dia menatap kepada Ban Sai Cinjin. “Selamat pagi, Ban Sai Cinjin, dan selamat bertemu kembali. Agaknya kau masih belum puas menerima gebukan dari Pendekar Bodoh dan sekarang masih hendak minta tambah dari aku!”
Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali dan kemarahannya ini membuat dadanya yang kena tendang oleh Cin Hai terasa sakit lagi. Ia berdiri tidak tetap dan hanya setelah Coa-ong Lojin memegang punggungnya, dia dapat berdiri teguh. Huncwe-nya terpegang dengan tangan kiri, kosong tak berasap, kemudian dengan tangan kanannya dia menudingkan telunjuknya ke arah Kwee An.
“Orang she Kwee, jangan kau banyak berlagak di sini! Sudah habis kesabaranku dan sekarang juga aku hendak menyuruh orang membunuh puteramu yang telah kutawan!”
Akan tetapi, Goat Lan dan Kwee An hanya tertawa, bahkan Kwee An tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Ban Sai Cinjin, memang sudah menjadi kebiasaan orang macammu ini selalu menggunakan gertakan, ancaman, penipuan dan lain-lain perbuatan curang dan licin. Apa kau kira sekarang kau dapat menggertak lagi? Aku tahu bahwa puteraku setelah kau culik secara curang dan pengecut, sekarang telah berada bersama putera Malangi Khan dan kau tidak dapat mengganggunya! Sekarang, aku tidak akan berlaku murah seperti Pendekar Bodoh! Untuk perbuatanmu menculik puteraku saja kau sudah layak kubunuh. Akan tetapi, aku masih hendak memberi kelonggaran kepadamu. Kembalikanlah Thian-te Ban-yo Pit-kip, baru aku akan mengampuni nyawa anjingmu!”
“Manusia sombong! Bukalah lebar-lebar matamu dan lihat, rumah ini telah terkurung oleh seratus lebih tentara, dan kau masih sanggup menyombong? Ha, untuk apa kitab itu bila sebentar lagi kau dan anakmu akan mampus di bawah hujan senjata?”
“Setan Tua, mampuslah kau!” Goat Lan yang sudah tak dapat menahan sabarnya lagi lalu menyerang dengan tangan kosong!
Walau pun serangan ini dilakukan dengan tangan kosong, namun Ban Sai Cinjin maklum akan kelihaian gadis ini. Cepat ia melompat keluar dari pintu, diikuti oleh Coa-ong Lojin. Goat Lan mencabut bambu runcingnya dan mengejar ke luar, disusul oleh ayahnya yang sudah mencabut pedangnya.
Akan tetapi, benar saja, di luar mereka disambut oleh keroyokan hebat. Tidak saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin yang mengeroyok, bahkan di situ terdapat Can Po Gan dan Can Po Tin, dua orang jago dari Shantung yang menjadi sahabat Wi Kong Siansu dan yang pernah bertemu dengan Lili dan Lo Sian di rumah makan. Juga di sana terdapat pengurus-pengurus tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, para perwira Mongol yang pandai bermain golok hingga jumlahnya semua menjadi empat belas orang!
Kagetlah Goat Lan melihat ini, karena sesungguhnya ia tidak pernah menduga bahwa di tempat itu terdapat orang-orang demikian banyaknya, yaitu orang-orang pandai. Melihat gerakan-gerakan senjata mereka, ia maklum bahwa orang-orang ini tak boleh dipandang ringan dan keadaannya bersama ayahnya bukannya tidak berbahaya. Apa lagi ketika ia menengok, ternyata tempat itu sudah terkurung oleh barisan yang sangat tebal, barisan orang Mongol yang bersenjata lengkap, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang!
Ban Sai Cinjin biar pun sudah dihajar sampai babak bundas oleh Cin Hai, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam. Kini setelah menghadapi pertempuran besar dan karena dia memang marah sekali, seketika itu juga tubuhnya terasa segar kembali. Dia menyerang dengan huncwe-nya, dan permainan huncwe-nya ini tetap saja yang paling berbahaya di antara semua pengeroyok.
Ban Sai Cinjin menyerang Kwee An dan dibantu juga oleh Coa-ong Lojin yang masih merasa sakit hati terhadap Kwee An. Raja pengemis ini mainkan sebatang tongkat ular yang ujungnya berbisa sehingga sekali saja ujung tongkatnya mengenai kulit musuhnya, pasti lawannya akan roboh dan tewas! Selain Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin, masih ada lagi lima orang perwira Mongol yang cukup kosen yang mengeroyok Kwee An!
Ada pun Goat Lan yang mainkan sepasang bambu runcing, menghadapi keroyokan dua orang jago Shantung itu. Sebagaimana diketahui, dua orang ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, barang kali tidak di bawah tingkat kepandaian Coa-ong Lojin. Apa lagi Po Tin yang bertubuh kecil itu ternyata memiliki gerakan yang sangat lincah dan tenaga lweekang-nya hebat, berbeda dengan Po Gan yang memiliki tenaga gwakang seperti seekor gajah! Selain dua orang jago Shantung yang berhasil dibeli oleh Ban Sai Cinjin ini, Goat Lan masih dikeroyok pula oleh lima orang pengurus kelas satu dari Coa-ong Kai-pang yang mengeroyok dengan tongkat ular mereka yang berbahaya.
Akan tetapi Goat Lan dan Kwee An tidak menjadi gentar, bahkan dua orang ini merasa gembira. Wajah mereka berseri-seri dan mereka seakan-akan hendak berlomba untuk merobohkan lawan! Ayah dan anak ini merasa lega karena berita tentang Kwee Cin yang kini sudah tidak berada dalam cengkeraman Ban Sai Cinjin lagi.
“Ayah, mari kita berlomba-lomba menghabiskan tujuh ekor tikus ini!” Goat Lan berseru sambil tersenyum.
“Baik, mari kita coba!” kata Kwee An dan berbareng dengan ucapan itu, terdengar jerit kesakitan karena seorang perwira Mongol telah kena ditendang oleh tendangan berantai dari Kwee An sehingga tubuh lawan ini terlempar empat tombak lebih!
“Satu...!” seru Kwee An.
Mendengar ini, Goat Lan merasa penasaran sekali. Dengan bambu runcing pada tangan kirinya dia menyerang Po Gan dengan cepat tak terduga. Ketika Po Gan dengan kaget melempar tubuh ke samping, Goat Lan lalu menyambarkan bambu runcingnya ke arah dada seorang pengurus Coa-tung Kai-pang yang berdiri di belakang Po Gan. Orang itu menjerit lalu roboh tak dapat bangun lagi.
“Satu...!” Goat Lan juga berseru keras.
Kwee An tersenyum lebar dan tidak lama kemudian, hampir berbareng ayah dan anak ini berseru, “Dua...!” dan terlemparlah dua orang pengeroyok!
Seruan ini disusul dan disusul lagi sehingga empat orang lawan masing-masing sudah dirobohkan! Yang mengeroyok Kwee An kini tinggal Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin dan seorang perwira Mongol, sedangkan pengeroyok Goat Lan tinggal Can Po Gan, Can Po Tin, dan seorang pengemis Coa-tung Kai-pang yang sudah empas-empis napasnya!
Melihat hal ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin. Ia berseru keras memberi aba-aba, maka puluhan prajurit segera menyerbu, mengurung rapat-rapat sambil menyerang dan bersorak-sorak!
Tentu saja Goat Lan dan Kwee An menjadi terkejut bukan main. Mereka tak usah takut menghadapi keroyokan para prajurit yang hanya merupakan orang-orang kasar, memiliki kepandaian biasa saja, akan tetapi karena jumlah mereka banyak sekali, maka untuk melepaskan diri dari kepungan mereka harus membunuh banyak sekali orang! Hal inilah yang tidak mereka kehendaki.
Jika saja pertempuran ini adalah sebuah peperangan, tentulah mereka akan mengamuk dan tidak akan segan-segan lagi untuk menjatuhkan pukulan maut. Akan tetapi sekarang pertempuran ini hanya merupakan perselisihan mereka dan Ban Sai Cinjin, maka kurang baik kalau harus membunuh banyak orang sungguh pun mereka itu adalah orang-orang Mongol yang menjadi musuh negara.
Pada saat Goat Lan dan Kwee An dikeroyok oleh prajurit-prajurit Mongol bagaikan ribuan ekor semut mengeroyok dua ekor burung, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
“Mundur semua! Lihat siapa yang berada dalam tawananku!”
Semua orang Mongol menengok dan mereka melihat dua orang laki-laki datang dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang anak laki-laki yang membuat mereka semua segera menjatuhkan diri berlutut! Ternyata bahwa yang datang itu adalah Cin Hai dan Hong Beng, sedangkan yang mereka tawan adalah Pangeran Kamangis, yaitu putera dari Malangi Khan!
Melihat betapa semua prajurit Mongol berlutut dan tidak berani pula mengeroyok, dan melihat betapa Pangeran Kamangis telah tertawan oleh Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin menjadi pucat sekali mukanya.
“Pendekar Bodoh, kau curang! Kau menawan Pangeran Kamangis untuk mengalahkan aku!”
Cin Hai tersenyum sindir. “Cacing tua, aku hanya meniru perbuatanmu sendiri. Kau telah menculik Kwee Cin yang sekarang disimpan oleh Malangi Khan. Kalau Kaisar Mongol itu tak mau melepaskan Kwee Cin, kami pun akan menahan puteranya. Kau masih bernasib baik tidak mampus dalam tanganku, cacing tua!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengajak Goat Lan dan Kwee An untuk meninggalkan tempat itu sambil memondong Pangeran Kamangis!
Ban Sai Cinjin membanting-banting kakinya dengan jengkel sekali dan dia cepat menuju ke istana Kaisar Malangi Khan untuk mencari keterangan bagaimana sampai pangeran itu dapat tertawan oleh Pendekar Bodoh.
Setibanya di depan Malangi Khan, di luar dugaannya, ia bahkan mendapat teguran keras dari Malangi Khan dan mendengar penuturan tentang keberanian Pendekar Bodoh yang membuat darahnya mendidih saking marahnya.
Malangi Khan, raja orang-orang Mongol menjadi marah sekali karena ada orang berani menculik puteranya begitu saja dari hadapannya tanpa dapat menangkap orang itu. Ban Sai Cinjin mendengarkan penuturan Malangi Khan itu dengan wajah sebentar merah dan sebentar pucat, tanda bahwa dia merasa malu dan juga mendongkol sekali terhadap Pendekar Bodoh.
Ternyata bahwa setelah memberi hajaran pada Ban Sai Cinjin, Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat sekali memasuki istana Malangi Khan. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Pendekar Bodoh dapat melewati semua penjagaan. Memang penjagaan istana Malangi Khan di tempat itu tak berapa kuat, oleh karena istana itu memang berada di tengah-tengah benteng pertahanan barisan Mongol, siapakah yang dapat masuk dan berani mengganggu?
Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa besar keheranan Malangi Khan ketika pada hari itu, selagi dia duduk dihadapi oleh para panglimanya untuk mengatur siasat perang yang hendak dilakukan terhadap pedalaman Tiongkok, tiba-tiba dari luar masuk seorang laki-laki setengah tua bangsa Han yang berpakaian putih sederhana, akan tetapi yang bertindak masuk dengan langkah tegap dan tenang seperti seorang raja saja!
“Hei...! Siapa kau? Berhenti!” Empat orang penjaga segera melompat dan cepat-cepat menghadangnya.
“Minggirlah, aku hendak bertemu dengan Malangi Khan, Kaisarmu!” Cin Hai menjawab dengan suara tenang, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Malangi Khan.
Jawaban ini tentu saja menimbulkan kegemparan di antara para panglima yang sedang menghadap Kaisar itu. Juga para penjaga segera menyerbu dan mengurung Pendekar Bodoh.
“Bunuh saja orang gila ini sebelum dia membikin kacau!” teriak seorang penjaga sambil menyerang dengan goloknya ke arah leher Cin Hai. Agaknya dengan sekali pancung dia hendak menyembelih orang Han yang lancang ini! Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya dan orang itu bersama goloknya terlempar jauh menimpa kawan-kawannya sendiri.
“Jangan bunuh dia, tangkap dan bawa dia menghadap di sini!” tiba-tiba terdengar suara Malangi Khan yang menggeledek. Tentu saja semua penjaga dan panglima yang sudah turun tangan, mentaati perintah ini.
“Orang gila, lebih baik kau menyerah untuk kami bawa menghadap Kaisar dari pada sakit tubuhmu!” kata seorang panglima yang diam-diam merasa khawatir akan amukan ‘orang gila’ yang telah disaksikan kelihaiannya ketika menghadapi serangan golok tadi.
Cin Hai tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk menimbulkan keributan, lagi pula agaknya akan jauh lebih mudah menghadapi Kaisar Malangi Khan dengan berpura-pura menyerah dari pada dengan jalan kekerasan.
“Baiklah, kau belenggu kedua tanganku!” katanya sambil tersenyum.
Melihat sikap orang setengah tua ini, semua penjaga dan panglima menjadi geli. Tentu orang gila, pikir mereka, mengapa raja ingin menghadapinya? Dengan cekatan, seorang panglima lalu mengambil rantai besi.
“Klik! Klik!” terdengar suara suara dan dua pergelangan tangan Cin Hai telah terbelenggu erat-erat!
Ada yang menganggap perbuatan panglima itu keterlaluan. Untuk membelenggu seorang gila, mengapa harus dipergunakan belenggu besi? Belenggu macam itu biasanya hanya dipergunakan untuk membelenggu pesakitan yang lihai dan berilmu tinggi saja.
Akan tetapi ketika dua orang panglima hendak mencabut dan merampas pedang dan suling yang terselip di pinggang Cin Hai, mereka lantas terperanjat dan terheran-heran. Dengan hanya melenggang dan menggerakkan tubuh, Cin Hai telah dapat mengelak dari mereka ini sehingga pedang dan sulingnya tak sampai tercabut! Sementara itu, beberapa kali melangkah dia telah berdiri di hadapan Kaisar Malangi Khan!
“Siapakah kau? Melihat sinar mata dan sikapmu, kau bukanlah seorang gila, akan tetapi kenapa kau berani berlancang masuk ke sini dan bagaimana kau bisa sampai di istana?” Kaisar Malangi Khan menyatakan keheranannya.
Cin Hai tersenyum dan karena dua tangannya diikat ke belakang ia hanya mengangguk, kemudian berkata dengan hormat, “Malangi Khan yang besar, maaf kalau aku datang mengganggu. Aku bernama Sie Cin Hai, seorang yang bodoh sehingga banyak orang menyebutku Pendekar Bodoh, dan aku masuk ke sini secara biasa saja, hanya agaknya orang-orangmu sedang mengantuk sehingga tidak melihatku.”
Malangi Khan nampak tertegun dan tidak percaya, ada pun semua panglima yang sedang berada di situ pun terkejut sekali. Akan tetapi siapakah mau percaya bahwa orang yang seperti gila dan yang menyerahkan diri dibelenggu tangannya ini adalah Pendekar Bodoh yang namanya menggemparkan sekali dan yang sangat ditakuti oleh Ban Sai Cinjin? Tak mungkin!
Beberapa orang panglima sudah terdengar tertawa kecil menahan geli hatinya karena menyangka bahwa orang ini tentulah seorang gila yang mengaku-aku sebagai Pendekar Bodoh! Seorang panglima yang berwatak kasar dan keras segera menuding ke arah Cin Hai dan membentak,
“Orang gila, jangan kurang ajar di hadapan raja yang besar! Orang gila macam engkau ini mana patut menjadi Pendekar Bodoh?”
Baru saja orang ini menutup mulutnya, semua orang terkejut, termasuk Malangi Khan karena orang itu kini duduk diam seperti patung dengan mata terbelalak memandang ke arah Cin Hai. Ketika seorang kawan yang didekatnya menggoyang tubuhnya, orang ini ternyata telah duduk dengan kaku seperti patung!
Tadi orang-orang hanya melihat sinar kecil menyambar ke arah iga panglima ini dan kini nampak nyatalah sebutir batu kecil menggelinding di bawahnya. Dan karena sinar itu tadi datangnya dari Cin Hai, mereka cepat memandang dan bukan main kaget hati semua panglima pada waktu melihat bahwa kini kedua tangan Cin Hai yang tadinya dibelenggu menjadi satu di belakang tubuhnya, kini telah berada di depan tubuhnya dalam keadaan masih terbelenggu seperti tadi! Bagaimana bisa orang yang kedua tangannya terbelenggu menjadi satu di belakang bisa pindah ke depan tubuh?
Di antara para panglima itu terdapat tiga orang panglima yang berpangkat jenderal, dan mereka ini memiliki kepandaian yang sudah cukup tinggi, dikenal sebagai tugu pelindung negara dan menjadi orang-orang kepercayaan Malangi Khan. Mereka ini masih terhitung murid keponakan dari Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, jago-jago nomor satu dan dua di Mongol yang menjadi murid-murid Swi Kiat Siansu di jaman belasan tahun yang lalu. (baca Pendekar Bodoh)
Oleh karena itu, tiga pelindung negara atau yang juga disebut Sam-koksu ini pernah pula mendengar nama Pendekar Bodoh. Tadinya mereka pun tak percaya ketika mendengar orang ini mengaku sebagai Pendekar Bodoh, karena mungkinkah orang yang pernah mengalahkan supek-supek (uwa-uwa guru) mereka Thian Kek Losu dan Sian Kek Losu ternyata hanya begini sederhana saja?
Akan tetapi ketika mereka melihat betapa kini orang yang terbelenggu itu sudah dapat memindahkan tangan dari belakang ke depan, mereka pun menjadi terkejut sekali. Untuk dapat memindahkan dua tangan yang terbelenggu dari belakang ke depan tubuh, hanya ada dua jalan.
Yang pertama adalah jalan sederhana saja, yaitu melangkahkan kedua kaki ke belakang melewati tengah-tengah antara kedua lengan, dan jalan ke dua hanya dapat dilakukan oleh orang berilmu tinggi yang telah memiliki ilmu kepandaian Sia-kut-hwat (Ilmu Melepas Tulang Melemaskan Tubuh) sehingga kedua tangan itu sekaligus dapat diputar ke depan melalui atas kepala tanpa merusak sambungan tulang pundak!
Kalau seandainya orang ini melakukan jalan pertama, bagaimana mereka semua tidak dapat melihatnya dan bagaimana pula ia dapat menyerang panglima yang menghinanya tadi dengan sebutir batu kecil?
Mohopi segera berdiri dan memeriksa panglima yang ternyata benar sudah tertotok jalan darah teng-sin-hiat dengan tepat sekali, lalu dengan beberapa kali tepukan dan urutan tangan Mohopi dapat menyembuhkan panglima itu yang kini tidak berani banyak tingkah lagi. Ada pun Kaisar yang melihat peristiwa ini, diam-diam berdebar hatinya. Benar-benar hebat kepandaian Pendekar Bodoh ini, dan apa maunya datang ke tempat ini?
“Ehh, kalau benar kau yang bernama Pendekar Bodoh, apakah kau berani menghadapi Sam-koksu untuk saling menguji kepandaian?” tanya Malangi Khan.
Cin Hai tersenyum, “Khan yang besar, sesungguhnya kejadian seperti inilah yang terbaik! Saling menguji kepandaian, saling memetik pengalaman dan menambah pengertian dari masing-masing pihak! Bukankah ini jauh lebih sempurna dari pada saling berperang?”
Malangi Khan mengerutkan keningnya, “Kau tahu apa tentang perang? Pendeknya, kau berani atau tidak menghadapi Sam-koksu kami?”
“Khan yang baik, aku datang dengan maksud baik, tentu saja aku akan menerima segala macam sambutan dari pihak tuan rumah. Juga telah lama aku mendengar bahwa Mongol memiliki banyak panglima-panglima yang pilihan dan jagoan maka barisan Mongol berani menyerang ke selatan. Kalau Tiga Guru Negara (Sam-koksu) sudi membuka mataku dan menambah pengetahuanku, sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih!”
“Beri ruangan yang lebar dan buka ikatan tangan tamu kita ini!” Malangi Khan berseru dengan wajah berseri.
Raja bangsa Mongol ini, seperti juga raja-raja Mongol yang sudah dan yang akan datang, memang terkenal sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan serta keperwiraan. Malangi Khan sendiri juga terhitung seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka tentu saja dia merasa amat gembira melihat tamunya yang mengaku Pendekar Bodoh ini sanggup menghadapi tiga orang koksunya! Kegembiraan Raja ini kiranya sama dengan kegembiraan seorang penggemar adu ayam melihat dua ekor ayam laga akan bertarung!
“Tak usah, Khan yang baik!” jawab Cin Hai dengan gembira pula, karena pengalamannya dengan orang-orang Mongol ini mengingatkan dia akan pengalamannya di waktu muda dahulu. “belenggu ini tak usah dibuka, biarlah aku menghadapi tiga jago-jagomu dengan tangan terbelenggu!”
Tentu saja ucapan ini membuat semua melengak. Malangi Khan memandang ke arah Cin Hai dengan ragu-ragu dan mulailah dia bersangsi apakah orang yang dikira sebagai Pendekar Bodoh ini bukannya seorang gila.
Akan tetapi tiga orang koksu itu menjadi marah sekali. Ucapan ini saja sudah merupakan penghinaan yang tidak boleh diampuni lagi! Bagaimana seorang tamu berani menantang koksu-koksu yang terkenal ini untuk dilawan dengan tangan kosong yang terbelenggu?
Sementara itu, para penghadap raja sudah mundur dan membuat lingkaran yang cukup lebar sehingga ruang persidangan itu kini berubah menjadi semacam lian-bu-thia (ruang bermain silat). Cin Hai menjura di hadapan Raja, kemudian berjalan dengan langkah enak berlenggang kangkung menuju ke tengah ruangan itu. Dua tangannya masih terbelenggu dan tergantung di depan perutnya.
“Khan yang mulia, hamba merasa malu untuk melawan orang yang berotak miring!” kata Ganisa, orang tertua dari Sam-koksu itu kepada rajanya.
“Tidak apa, Ganisa, biarlah kau coba menyerangnya. Kalau dia Pendekar Bodoh yang sesungguhnya, boleh kau mengukur sampai di mana tinggi ilmu kepandaiannya sehingga dia sesombong itu. Kalau dia bukan Pendekar Bodoh melainkan seorang gila, kau boleh membunuhnya karena dia telah berani bermain gila di tempat ini!”
Mendengar perintah Raja ini, Mohopi yang paling muda lalu maju mewakili kakaknya. Dia lalu mendapat ijin dari Malangi Khan dan Mohopi lalu melompat cepat berdiri di hadapan Cin Hai.
Melihat gerakan ini, Cin Hai tersenyum lantas berkata dengan beraninya. “Malangi Khan yang baik, bukankah tadi kau menantang kepadaku untuk menghadapi Sam-koksu (Tiga Guru Negara)? Mengapa yang maju hanya satu orang saja? Apakah yang dua sudah merasa jeri untuk menghadapi aku, takut kalah?”
Cin Hai sengaja mengeluarkan ucapan ini bukan tidak ada alasannya. Pertama karena ia ingin sekali mempengaruhi Raja itu agar supaya tunduk padanya sehingga mudah diajak berunding untuk membebaskan Kwee Cin. Kedua kalinya karena gerakan melompat dari Mohopi tadi sudah lebih dari cukup baginya untuk menilai sampai di mana gerakan tingkat kepandaian tiga orang jago Mongol itu.
“Orang gila, kau betul-betul sombong sekali!” Mohopi berseru marah mendengar ucapan ini dan serentak dia melakukan serangan bertubi-tubi.
Pertama-tama tangan kanannya dikepal menghantam dada Cin Hai dan pukulan ini lalu disusul dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah mata, lantas disusul pula dengan tendangan kaki kanan yang hebat sekali ke arah ulu hati! Tiga macam pukulan maut ini bergerak dengan beruntun hampir berbareng dan satu saja di antara tiga serangan ini mengenai sasaran, dapat dibayangkan bahwa orang yang diserangnya pasti akan roboh. Baru hawa pukulan dan tendangan itu saja sudah menerbitkan suara bersuitan!
Akan tetapi, sebelum tiga macam serangan itu melayang, lebih dulu Cin Hai telah dapat menduganya. Pendekar Bodoh ialah seorang pendekar sakti yang memiliki pengetahuan mengenai pokok dasar segala macam gerakan ilmu silat, semacam pengetahuan yang menjadi raja segala macam ilmu silat. Diserang dengan gerak tipu dari cabang persilatan mana pun juga, sebelum serangan itu melayang dating ia telah bisa menduganya hanya dengan melihat gerakan pundak dan paha untuk dapat menduga pukulan dan tendangan lawan.
Saat semua orang, termasuk Malangi Khan, mengharapkan bahwa segebrakan serangan yang mengandung tiga macam pukulan ini akan berhasil menjatuhkan tamu itu, tahu-tahu Mohopi sendiri menjadi kebingungan dan terdengar suara ketawa dari beberapa orang panglima yang merasa geli melihat pemandangan amat lucu.
Ketika kelihatannya Pendekar Bodoh seperti mau terkena pukulan yang tiga macam itu, tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dengan kegesitan yang tak terduga-duga dan dengan gerakan cepat sekali dia kemudian bergerak maju menyusup di bawah kaki lawan yang menendangnya! Dengan demikian, dia telah berhasil menyelamatkan diri dan kini berada di belakang Mohopi tanpa diketahui oleh lawannya, karena memang gerakan Pendekar Bodoh tadi cepat sekali.
Ketika melihat betapa Mohopi nampak tercengang mencari-cari lawannya, Malangi Khan sendiri menjadi terheran-heran, lalu tertawa bergelak. Gerakan dari Pendekar Bodoh tadi bukanlah gerakan ilmu silat, lebih mirip gerakan seekor monyet yang lucu, akan tetapi buktinya Mohopi dapat ditipu mentah-mentah.
“Majulah, majulah kalian bertiga!” perintah Malangi Khan dengan wajah gembira sekali.
Ganisa dan Citalani atau yang biasanya disebut Thai-koksu (Guru Negara Pertama) dan Ji-koksu (Guru Negara kedua) jadi marah sekali melihat betapa mereka dipermainkan oleh orang mengaku Pendekar Bodoh itu. Mereka pun tadi melihat betapa gerakan Cin Hai bukanlah gerakan silat, walau pun harus mereka akui bahwa gerakan itu selain amat cepat juga tidak terduga.
Mereka masih mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja. Akan tetapi kini mendengar perintah Malangi Khan, mereka lalu serentak maju berbareng mengirim serangan dengan maksud sekali serang merobohkan atau menewaskan tamu ini.
Akan tetapi kembali semua orang menjadi tercengang. Sambil tersenyum-senyum, Cin Hai dapat menghindarkan diri dari semua serangan dengan hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, miring ke kanan kiri, melompat ke depan belakang bagaikan seekor monyet yang amat gesit dan sukar diserang.
Biar pun penyerangnya ada tiga orang, akan tetapi mana dapat mereka ini melukai Cin Hai? Dahulu pun ketika supek mereka masih hidup, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, kedua orang ini pun tak berdaya menghadapi Pendekar Bodoh, apa lagi baru murid keponakannya! Tingkat kepandaian Sie Cin Hai masih beberapa tingkat lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Sam-koksu ini, karena itu walau pun mereka menyerang sambil mengerahkan semua kepandaian, tetap saja Pendekar Bodoh dapat menghadapi mereka dengan kedua tangan terbelenggu tanpa dapat teluka sedikit pun.
“Koksu, serang dia dengan senjatamu!” bentak Malangi Khan yang mukanya menjadi merah karena merasa malu dan penasaran mengapa tiga orang jagonya yang dijadikan pelindung negara ternyata tidak bisa berbuat apa-apa terhadap seorang yang demikian sederhana saja.
Mendengar perintah ini, tiga orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi yang paling menarik perhatian hingga membuat Cin Hai terkejut adalah senjata di tangan Thai-koksu Ganisa, oleh karena orang tua ini memegang seuntai rantai yang ujungnya diikatkan pada sebuah tengkorak kecil yang amat mengerikan!
Teringatlah Cin Hai kepada Thian Kek Losu yang dulu juga mempunyai senjata macam ini, maka dia lantas berlaku hati-hati sekali. Senjata Ji-koksu dan Sam-koksu tidak begitu diperhatikan karena kedua orang guru negara ke dua dan ke tiga ini hanya bersenjatakan golok besar yang biasa saja.
Kedua golok besar itu menyambar cepat, akan tetapi hanya dielakkan oleh Cin Hai sambil mempergunakan ginkang-nya yang luar biasa. Namun pada saat tengkorak kecil di ujung rantai yang dipegang oleh Thai-koksu itu mengarah mukanya, ia cepat mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu.
Dia maklum dari pengalamannya dahulu menghadapi Thai Kek Losu, bahwa tengkorak kecil ini mengandung hawa mukjijat dan kekuatan sihir. Dan di samping ini, juga di dalam tengkorak ini terdapat senjata-senjata rahasia yang berbisa dan amat berbahaya apa bila ditangkis.
Oleh karena itu, tanpa mempedulikan dua buah golok yang menyambar-nyambar, ia lalu mencurahkan perhatiannya kepada tengkorak kecil itu. Pada waktu ia melihat tengkorak menyambar cepat ke arah mukanya seperti hendak menciumnya, ia lalu menggerakkan kedua tangan dan sebelum Thai-koksu tahu, tengkorak itu sudah kena terpegang oleh kedua tangan Pendekar Bodoh!
Thai-koksu terkejut sekali. Ia hendak membetot dan menggunakan senjata rahasia yang berada di dalam tengkorak itu, akan tetapi cepat bagaikan kilat, Pendekar Bodoh sudah mengirim tendangan ke arah pergelangan tangannya. Thai-koksu berseru keras karena dengan tepat sekali tendangan itu sudah membuat sambungan pergelangan tangannya terlepas!
Sambil membawa tengkorak kecil itu, Cin Hai melanjutkan gerakannya. Sepasang golok dari Ji-koksu dan Sam-koksu menyambar dari kanan kiri, maka cepat ia lalu melangkah mundur, miring ke kanan, menggunakan sikunya yang ‘dimasukkan’ lurus ke dalam perut Sam-koksu.
“Ngekk!”
Meski pun Mohopi atau Samkoksu itu mengerahkan lweekang-nya ke arah perut, namun tentu saja dia tidak dapat menahan pukulan siku ini dan segera dia terhuyung mundur sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas!
Ada pun Ji-koksu yang menjadi marah sekali lalu kembali menerjang dengan goloknya, membabat secara bertubi-tubi ke arah pinggang dan leher Pendekar Bodoh. Cin Hai yang kedudukannya masih miring ketika merobohkan Mohopi tadi, melihat datangnya babatan golok, cepat menotol kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya segera mencelat ke atas bagaikan seekor burung terbang.
Citalani atau Ji-koksu yang memiliki ilmu golok paling lihai di antara saudara-saudaranya, cepat menerjang terus selagi tubuh Cin Hai masih berada di udara. Akan tetapi, dengan enaknya Cin Hai menggunakan tendangan menyerong yang kelihatannya ditujukan ke arah kepala lawannya, akan tetapi sesungguhnya lalu menyerong dan menendang ke arah golok!
“Apakah bedanya Malangi Khan dan Ban Sai Cinjin?” Orang Mongol itu menjawab. “Ban Sai Cinjin telah menjadi tangan kanan Malangi Khan, maka setiap perintah Ban Sai Cinjin tentu sudah disetujui oleh Malangi Khan!”
“Baik, kau kembalilah kemudian sampaikan kepada Ban Sai Cinjin bahwa kami tak akan melanggar larangannya dan jangan dia sekali-kali berani mengganggu Kwee Cin karena kalau dia mengganggu anak itu, biar pun ia akan lari sampal ke neraka, pedangku pasti akan mendapatkan lehernya!”
Utusan itu lalu dilepaskan dan dengan kudanya yang luar biasa, utusan Mongol ini lalu membalap hingga sebentar saja dia hanya nampak sebagai titik hitam dengan debu yang mengebul di belakangnya.
“Nah, Kam-ciangkun, kau lihat dan mendengar sendiri. Kalau kita menyerbu begitu saja, pasti akan terbukti ancaman Ban Sai Cinjin yang berhati kejam dan curang.”
“Kalau demikian, Sie Taihiap. Biarlah siauwte memimpin sendiri barisan kerajaan untuk menggempur gunung itu. Ada pun Cu-wi sekalian lebih baik mengambil jalan belakang untuk mencari saudara-saudara yang sampai sekarang belum kembali.”
“Ini pun kurang sempurna, Kam-ciangkun,” kata Kwee An. “Memang kita semua sudah berpikir bulat untuk bersama-sama menghalau pengacau negara dan memusuhi barisan Mongol yang membikin kekacauan. Pihak Mongol selain banyak jumlahnya, juga di sana mereka dibantu oleh orang-orang pandai semacam Ban Sai Cinjin dan entah siapa lagi. Kalau kau maju dan sampai mengalami kekalahan, bukankah itu melemahkan semangat para prajurit? Lebih baik kau biarkan kami mencari anakku lebih dahulu dan kalau sudah berhasil dan selamat barulah kita bersama membikin pembalasan dan menghancurkan barisan Malangi Khan di bukit itu.”
“Berilah waktu lima hari kepada kami,” Cin Hai menyambung, “sesudah lewat lima hari boleh kau memimpin barisanmu menggempur musuh.”
Tentu saja Kam Liong tidak berani membantah dan menyatakan baik. Sikap pemuda ini amat menyenangkan hati dua pasang suami isteri pendekar itu, karena berbeda dengan sikap panglima-panglima lain yang biasanya amat sombong dan angkuh. Sikap panglima muda ini benar-benar menarik hati sehingga diam-diam Lin Lin menyampaikan kepada Ma Hoa dan Kwee An tentang lamaran yang diajukan oleh paman pemuda ini terhadap Lili.
“Memang dia orang baik, agaknya cukup pantas untuk menjadi mantumu,” kata Kwee An kepada adiknya ini, “tetapi betapa pun juga, sekarang belum waktunya bagi kita untuk membicarakan soal ini. Lagi pula dalam hal perjodohan harus ada persesuaian antara anak, ibu dan ayah. Jika ketiganya cocok barulah perjodohan itu dianggap baik dan akan berbahagia. Kita tunggu saja bagaimana pendapat Lili sendiri tentang pinangan itu.”
Mereka berempat lalu berunding mengenai urusan mereka untuk menolong Kwee Cin dan juga mencari Hong Beng, Goat Lan dan Lili.
“Lebih baik kita bagi-bagi tugas,” kata Kwee An, “biarlah aku dan Cin Hai pergi ke sarang mereka. Ada pun kau dan Lin Lin tinggallah saja di sini. Siapa tahu kalau-kalau utusan Mongol tadi hanya merupakan pancingan supaya kita semua pergi mengejar ke sana dan meninggalkan benteng ini. Jika kita semua pergi dan mereka tiba-tiba datang menyerang, kasihan sekali kalau sampai Kam-ciangkun mengalami kekalahan hebat! Kurasa aku dan Cin Hai berdua sudah cukup untuk menyelidiki keadaan mereka di gunung itu.”
“Apa yang dikatakan oleh Kwee An memang benar dan aku merasa setuju sekali,” kata Cin Hai yang walau pun menjadi adik ipar Kwee An namun selalu menyebut namanya begitu saja karena sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka belum menikah.
Biar pun merasa kecewa, namun Lin Lin dan Ma Hoa tidak membantah, karena memang tepat apa yang diusulkan oleh Kwee An itu. Pula tugas menjaga benteng itu tidak kalah pentingnya, kalau tidak dapat disebut lebih berbahaya.
Berangkatlah Cin Hai dan Kwee An pada hari itu juga menuju ke bukit utara itu. Seperti juga Lili, sebelum berangkat mereka meminta keterangan mengenai kedudukan bukit itu kepada Nurhacu, karena biar pun Cin Hai dan Kwee An pernah mengadakan perantauan di daerah utara pada waktu mereka muda, namun mereka belum pernah naik ke bukit itu.
Nurhacu yang tadinya dipaksa membantu orang-orang Mongol, tentu saja sudah pernah masuk ke dalam markas besar Malangi Khan. Sebab itu dengan jelas ia menggambarkan kedudukan markas musuh yang terjaga kuat itu.
Setelah kedua orang pendekar itu meninggalkan kaki Bukit Alkata-san di sebelah utara dan sedang berlari cepat menuju ke bukit yang menjulang tinggi di sebelah utara itu, dari sebuah tikungan jalan tiba-tiba saja keluarlah seorang pemuda tampan yang berlari cepat dengan gerakan gesit sekali. Pemuda itu lalu berhenti menghadang di tengah jalan ketika dia melihat dua orang laki-laki setengah tua yang berlari cepat itu.
Cin Hai dan Kwee An merasa curiga dan mereka pun cepat menahan kaki mereka dan berhenti di depan pemuda itu. Untuk beberapa lama mereka saling pandang, kemudian pemuda itu dengan sikap sopan lalu menjura dan bertanya,
“Mohon tanya, siapakah Ji-wi Lo-enghiong yang gagah ini? Dalam keadaan seperti saat ini, melihat dua orang gagah menuju ke utara, sungguh amat mengherankan hati.”
“Anak muda, kau pandai sekali membolak-balik kenyataan. Kami yang menuju ke utara belum dapat dikatakan aneh, sebaliknya kau seorang pemuda yang gagah akan tetapi dalam waktu seperti ini berkeliaran di daerah musuh betul-betul menimbulkan kecurigaan besar!”
Merahlah wajah pemuda itu. “Maaf, kau berkata benar, Lo-enghiong. Memang aku Song Kam Seng sudah salah memilih jalan. Akan tetapi aku sedang berusaha mencari jalan yang benar. Kuulangi lagi, siapakah gerangan Ji-wi yang terhormat?”
Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Cin Hai dan juga Kwee An. Kedua orang pendekar ini telah membaca surat Hong Beng dan tahu bahwa Hong Beng dan Goat Lan pergi meninggalkan benteng setelah dipancing oleh pemuda ini! Dan pula, Cin Hai sudah mendengar dari Lili bahwa pemuda ini adalah putera Song Kun dan sudah mengancam hendak membalas dendam kepadanya!
“Hemm, jadi kaukah yang bernama Song Kam Seng putera Song Kun? Ketahuilah, aku yang disebut Pendekar Bodoh dan ini adalah saudara tuaku bernama Kwee An! Hayo lekas kau ceritakan di mana adanya anak-anak kami, Hong Beng, Goat Lan dan Kwee Cin?”
Mendengar bahwa yang kini berhadapan dengannya adalah musuh besarnya, pembunuh ayahnya, tiba-tiba Kam Seng menjadi makin marah. Ia lalu memandang kepada Cin Hai dengan mata tajam, lalu mencabut pedangnya dan berkata,
“Bagus, jadi kaukah yang bernama Sie Cin Hai, orang yang telah membunuh ayahku dan membuat ibu dan aku hidup menderita selama bertahun-tahun? Manusia kejam, kau telah berhutang nyawa, maka sudah selayaknya sekarang aku menagihnya!” Sambil berkata demikian, Kam Seng lalu mengayun pedangnya menusuk dada Cin Hai.
Pendekar Bodoh hanya tersenyum saja dan sama sekali tidak menangkis atau mengelak. Akan tetapi dari samping mendadak berkelebat bayangan pedang dan dengan kerasnya pedang Kam Seng terpukul oleh pedang yang digerakkan oleh Kwee An hingga pedang itu terpental kembali dan hampir terlepas dari pegangan Kam Seng!
“Song Kam Seng, jangan kau berlaku sembrono! Ayahmu Song Kun bukan mati dibunuh oleh Pendekar Bodoh, akan tetapi dia mati karena kejahatannya sendiri. Seorang gagah membela kebenaran tanpa memandang kepada hubungan keluarga! Jika kiranya ayahmu itu masih hidup dan menjadi seorang yang amat jahat, apakah kau juga akan membantu dia dan ikut-ikutan menjadi jahat?”
Dengan pandangan mata liar Kam Seng membalikkan tubuh dan menghadapi Kwee An. “Kau bilang ayahku jahat? Apa maksudmu?”
“Memang hal yang paling sulit di dunia ini adalah mengakui atau melihat kesalahan pihak sendiri. Ayahmu dahulu mengancam jiwa Lin Lin yang sudah menjadi tunangan Cin Hai. Adikku itu terkena racun orang jahat, kemudian obat penawarnya dirampas oleh ayahmu, dan ayahmu mengancam hendak melenyapkan obat penawar itu kalau adikku tidak mau menjadi isterinya!”
Dengan singkat akan tetapi jelas, Kwee An lalu menceritakan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Song Kun pada waktu mudanya dan bahwa kematian Song Kun terjadi di dalam pertempuran melawan Cin Hai yang membela diri, jadi sekali-kali bukan Pendekar Bodoh yang sengaja membunuhnya.
Mendengar penuturan ini, pucatlah wajah Kam Seng. Alangkah bedanya dengan cerita yang telah didengarnya dari Ban Sai Cinjin! Mana yang benar? Akan tetapi suara hatinya membisikkan bahwa dia harus lebih percaya kepada dua orang pendekar besar ini dari pada kepada Ban Sai Cinjin yang berhati khianat.
“Biar pun andai kata mendiang ayahku benar jahat, sebagai puteranya aku harus berani menghadapi kenyataan dan berani pula membalaskan sakit hatinya. Kini aku menantang kepada Pendekar Bodoh untuk mengadu kepandaian, lepas dari soal siapa salah siapa benar antara dia dan ayahku. Aku hanya hendak memenuhi kewajiban sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada ayahnya. Apa bila aku kalah, sudahlah, mungkin ayah yang memang bersalah dalam pertempuran dahulu.” Sambil berkata demikian, kembali pemuda itu menghadapi Cin Hai dengan sikap menantang.
“Bocah lancang!” Kwee An membentak marah. “Kau mengandalkan apakah maka berani menantang Pendekar Bodoh? Mudah saja menyatakan tentang sakit hati dan dendam. Ketahuilah bahwa aku pun menaruh dendam kepadamu bila pandanganku sepicik engkau! Kau telah memancing dan mencelakakan puteriku Goat Lan dan bahkan mungkin kau sudah membantu susiok-mu Ban Sai Cinjin untuk menculik anakku Cin-ji! Nah, bukankah aku pun boleh berdendam kepadamu? Coba kau hadapi pedangku dulu kalau memang kau memiliki kepandaian!”
Akan tetapi, sambil tersenyum Cin Hai berkata, “Biarkanlah, Kwee An, biarkan anak ini, memperlihatkan tanduknya! Sikapnya mengingatkan kepadaku akan ayahnya, Song Kun. Demikian berani dan keras hati. Ehh, Kam Seng, aku sudah mendengar namamu disebut oleh puteriku, Lili. Kau sudah menyeberang ke pihak jahat dan menjadi murid dari Wi Kong Siansu? Kau salah, anak muda. Kalau saja kau tetap menjadi murid Nyo Tiang Le dan kemudian kau datang kepadaku, mengingat hubungan ayahmu dengan aku, kiranya aku takkan menolak untuk memberi bimbingan kepadamu. Sekarang kau bahkan hendak menantangku bertempur? Hemm, cobalah maju dan jangan ragu-ragu, seranglah sesuka hatimu.”
Mendengar ucapan yang tenang ini dan melihat sikap yang acuh tak acuh dari Pendekar Bodoh musuh besarnya, Kam Seng menjadi ragu-ragu. Tadi ia sudah merasai kelihaian tangkisan pedang Kwee An. Baru Kwee An saja sudah demikian hebat tenaganya, apa lagi Cin Hai yang kabarnya memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Kwee An!
Akan tetapi Kam Seng tidak takut. Hatinya telah bulat untuk membalas dendam ayahnya sehingga ia mengorbankan perasaannya dan berpindah ke pihak Ban Sai Cinjin. Bukan karena ia lebih cocok dengan rombongan ini, tidak, karena sebenarnya ia benci melihat kejahatan kakek pesolek itu. Ia rela berguru kepada Wi Kong Siansu hanya karena dia ingin tercapai maksudnya membalas dendam kepada musuh besarnya, yaitu Pendekar Bodoh.
Kalau ia teringat betapa ia dan ibunya terlunta-lunta setelah ayahnya tewas, sakit hatinya terhadap Pendekar Bodoh makin besar. Dan sekarang setelah ia bertemu dengan musuh besarnya, meski pun dia ingat musuhnya itu ayah dari Lili, gadis satu-satunya di dunia ini yang dicintainya, meski pun ia telah mendengar keterangan dari Kwee An betapa dahulu sebenarnya ayahnya yang salah dan jahat, namun bagaimana ia dapat membatalkan niat hatinya hendak membalas dendam?
Sekarang melihat sikap Cin Hai, amat tidak enak hati Kam Seng. Dia sebenarnya segan melawan pendekar yang bersikap tenang dan gagah ini, akan tetapi dia malu terhadap bayangannya sendiri kalau dia tidak melanjutkan niatnya yang telah terpendam di dalam hati sampai bertahun-tahun lamanya. Maka dia paksakan hatinya dan berseru, “Ayah di alam baka! Lihat bahwa anak telah melakukan usaha sekuat tenaga!”
Sambil berkata demikian dia lalu maju menyerang dengan hebat sekali kepada Pendekar Bodoh. Akan tetapi, dengan cara yang amat membingungkan mata Kam Seng, tahu-tahu pendekar besar itu telah dapat mengelak dari tusukan pedangnya. Ia menjadi penasaran dan melanjutkan serangannya sambil mengeluarkan ilmu pedang yang ia pelajari dengan susah payah dari Wi Kong Siansu.
Kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia menghadapi Lili, ilmu kepandaian pemuda ini sudah maju amat pesat dan jauh. Tidak saja ilmu pedangnya yang sudah menjadi kuat dan cepat, juga tenaga lweekang-nya sudah bertambah dan ginkang-nya pun amat baik mendekati kesempurnaan.
Diam-diam dalam hatinya Cin Hai memuji, akan tetapi dengan amat mudahnya Pendekar Bodoh mengelak dari setiap serangan. Pendekar Bodoh tidak mencabut pedangnya, dan hanya mempergunakan ujung lengan bajunya untuk kadang-kadang menyampok pedang kalau ia tidak keburu mengelak.
Dari sampokan ujung lengan baju ini saja Kam Seng sudah merasa terkejut bukan main. Gurunya sendiri, Wi Kong Siansu, juga ahli dalam hal bersilat dengan ujung lengan baju, akan tetapi kiranya tidak sehebat ini.
Kam Seng semakin mempercepat gerakan pedangnya sehingga tubuhnya lenyap dalam sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, mengambil keputusan untuk bertempur sampai nyawanya melayang! Dia merasa seakan-akan ayahnya juga menyaksikan pertempuran ini dari alam baka, maka dia tidak mau berlaku mengalah dan mendesak Pendekar Bodoh dengan nekat.
Pendekar Bodoh maklum bahwa biar pun ia telah mengenal ilmu pedang pemuda ini dan dapat menjaga diri, akan tetai dia tidak dapat menaksir sampai di mana kehebatan ilmu pedang ini apa bila dimainkan oleh Wi Kong Siansu. Ia telah mendapat tantangan dari Wi Kong Siansu, karena itu dia merasa kebetulan sekali kini dapat menghadapi ilmu pedang pendeta itu yang dimainkan oleh seorang muridnya yang pandai.
Menurut taksirannya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Kam Seng ini paling banyak baru tujuh puluh bagian tingkatnya. Maka dia lalu mencabut sulingnya yang selalu terselip di pinggangnya. Pendekar Bodoh boleh ketinggalan pakaian atau uang, akan tetapi dia tak pernah ketinggalan suling dan pedangnya! Suling ini merupakan senjatanya yang sangat istimewa, bahkan lebih lihai dari pada pedangnya Liong-cu-kiam!
Setelah mencabut sulingnya, makin serulah pertempuran itu. Sekarang Pendekar Bodoh menggunakan sulingnya untuk mengimbangi ilmu pedang Kam Seng. Sebenarnya kalau dia mau, dalam dua puluh jurus saja pasti dia akan dapat merobohkan Kam Seng. Akan tetapi Pendekar Bodoh memang ingin sekali mengukur sampai di mana kelihaian ilmu pedang ini yang kelak akan dihadapinya pula.
Tubuh Kam Seng sudah penuh keringat. Cin Hai berhasil memancingnya hingga pemuda itu menghabiskan seluruh jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari Wi Kong Siansu! Memang inilah maksudnya, dan setelah ilmu pedang itu habis dimainkan, Cin Hai segera mengerahkan tenaga pada sulingnya sehingga pada saat pedang dan suling menempel, pedang itu tak dapat ditarik kembali!
Betapa pun hebatnya Kam Seng mengeluarkan tenaga untuk membetot pedangnya, tetap saja pedang itu tidak dapat terlepas dari suling yang menempelnya. Akhirnya Cin Hai menggerakkan tangannya membetot dan sambil berseru keras Kam Seng pun terpaksa melepaskan gagang pedangnya karena tidak kuat menghadapi tenaga tarikan luar biasa ini.
“Kam Seng, kau mempunyai bakat yang cukup baik. Sayang sekali kau mempelajari ilmu silat yang keliru. Kepandaianmu apa bila dibandingkan dengan kepandaian ayahmu, ahh, kau ketinggalan amat jauh! Kalau saja kau tidak dibikin buta oleh dendam dan sakit hati yang bodoh dan sesat, aku akan suka sekali memberi bimbingan kepadamu, mengingat hubunganku dengan mendiang ayahmu.”
Kam Seng menjadi malu sekali. “Aku sudah kalah...” katanya dengan muka ditundukkan dan air matanya hampir menitik turun, wajahnya merah sekali. “Kalau Ji-wi menganggap aku tersesat dan jahat, bunuhlah, apa gunanya hidup dalam kesesatan dan kehinaan?”
Cin Hai merasa terharu melihat keadaan putera dari Song Kun ini, maka dia kemudian melangkah maju mengembalikan pedang yang dirampasnya tadi sambil menepuk-nepuk pundaknya. “Anak muda, aku tidak dapat menyalahkan engkau! Aku sendiri pada waktu muda selalu menjadi korban dari nafsu sendiri, melakukan perbuatan tanpa dipikir dulu dan menganggap diri sendiri selalu benar! Ketahuilah, bahwa kebaktian terhadap orang tua bukan asal berbakti saja. Membela nama orang tua bukan asal kau dapat membasmi musuh-musuh orang tuamu saja. Kau harus dapat mempergunakan akal sehat dan otak yang jernih. Apa bila orang tuamu melakukan sesuatu kesalahan, sebagaimana sudah menjadi lajimnya setiap manusia yang kadang-kadang tersesat dari jalan kebenaran, jalan satu-satunya bagimu untuk berbakti adalah dengan menebus kesalahan orang tuamu itu. Biar pun ayahmu telah dianggap jahat oleh dunia kang-ouw dan oleh orang-orang gagah, akan tetapi kalau kau sebagai putera tunggalnya dapat melakukan kebaikan, nama buruk ayahmu itu akan terhapus oleh perbuatan-perbuatanmu yang mulia. Sebaliknya, jika kau dibutakan oleh dendam tanpa melihat sebab-sebab kematian ayahmu, kau berarti akan menambah kotor nama ayahmu sehingga kau merupakan seorang anak yang durhaka!”
Kam Seng memandang dengan wajah pucat dan kedua matanya terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan menerima wejangan seperti ini dari mulut musuh besarnya! Ia makin ragu-ragu, tak tahu apa yang harus diucapkan mau pun dilakukannya.
“Ketahuilah bahwa kita semua ini berada di bawah pengaruh hukum alam, yaitu sebab dan akibat. Segala peristiwa yang terjadi merupakan akibat dan juga menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan terjadi. Kematian ayahmu di dalam tanganku juga merupakan akibat yang kini menyebabkan kau mencari dan hendak membalas padaku! Maka aku tidak marah kepadamu, karena di dalam segala petistiwa yang kujumpai, aku menengok dan mencari pada sebabnya. Tak mungkin kau ingin membunuhku tanpa sebab, seperti juga tidak mungkin tanganku membunuh ayahmu jika tidak ada sebab-sebab yang kuat! Carilah sebab-sebabnya dan kau tidak akan kaget melihat akibatnya karena kalau semua sebabnya sudah kau ketahui, akibat-akibatnya akan kau anggap sewajarnya!”
Tunduklah hati Kam Seng mendengar kata-kata yang mengandung filsafat tinggi akan tetapi mudah ditangkap ini. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai dan tak dapat menahan isak tangisnya!
“Susiok (Paman guru), ampunkanlah teecu dan ampunkan pula semua dosa mendiang ayahku...,” katanya dengan hati terharu.
“Tidak ada salah atau benar dalam hal ini, Kam Seng, dan tidak perlu maaf memaafkan. Di dalam setiap perbuatan itu terkandung kesalahan dan kebenaran, tergantung siapa yang melihatnya. Aku sudah cukup girang melihat kau dapat berpikir dengan otak sehat.” Cin Hai mengangkat pemuda itu berdiri lagi.
“Bagus, semua kegelapan sudah menjadi terang sekarang,” kata Kwee An. “Akan tetapi, Kam Seng, kau masih harus menerangkan tentang keadaan puteraku dan juga tentang keadaan Goat Lan dan Hong Beng. Kedatanganmu memberitahukan kepada mereka itu bukankah hanya satu pancingan belaka?”
“Tidak, Kwee Taihiap, sama sekali tidak! Biar pun harus kuakui bahwa aku telah salah memilih kawan dan telah terjerumus ke dalam lembah kejahatan, namun aku tetap tidak menjadi seorang pengkhianat negara dan bangsa! Aku merasa jijik melihat Susiok Ban Sai Cinjin, dan merasa sayang bahwa aku tak dapat menegurnya. Sesungguhnya, ketika aku melihat bahwa puteramu yang masih kecil itu datang bersama Ban Sai Cinjin dan mendengar bahwa dia hendak menggunakan puteramu itu untuk mencegah orang-orang gagah membantu tentara kerajaan, aku menjadi gelisah sekali. Hendak menolong dan membawa pergi puteramu, aku tidak berani. Maka aku lalu berlaku nekat dan diam-diam mengunjungi benteng Alkata-san di mana aku bertemu dengan Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng. Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan bahwa aku memberi gambaran tentang jalan belakang yang akan membawa mereka ke tempat kediaman Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain. Sudah kukatakan bahwa tempat itu berbahaya sekali, akan tetapi ternyata Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng amat nekat dan datang juga ke sana...”
“Lalu bagaimana? Apa yang terjadi dengan mereka?” tanya Kwee An dengan rasa ingin tahu sekali.
“Kini mereka juga telah tertawan oleh Ban Sai Cinjin!” kata Kam Seng. “Oleh karena itu siauwte sengaja hendak pergi ke benteng Ji-wi untuk memberitahukan hal ini dan tak terduga sama sekali telah bertemu dengan Ji-wi di sini.”
“Tak mungkin!” kata Kwee An.
“Sukar dipercaya bahwa Hong Beng bersama Goat Lan akan dapat tertawan sedemikian mudahnya,” kata Cin Hai.
Kam Seng tersenyum. “Harus diakui bahwa kepandaian Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng sangat lihai dan memang agaknya akan sukar sekali untuk mengalahkan dan menawan mereka. Akan tetapi dalam hal kecerdikan, mereka itu masih kalah jauh oleh orang-orang seperti Ban Sai Cinjin! Mereka berdua bukan tertawan karena kekerasan, akan tetapi mereka terpaksa mengalah dan menurut setelah Ban Sai Cinjin mengancam hendak membunuh Kwee Cin kalau mereka melawan terus!”
“Pengecut hina dina yang curang!” Kwee An berseru marah. “Akan kuhancurkan kepala manusia itu!”
“Kwee Taihiap, bagaimana jika Ban Sai Cinjin mengancam padamu untuk membinasakan puteramu sebelum kau turun tangan?” tanya pemuda itu.
Kwee An tak dapat menjawab, hanya mengertak gigi dengan marah dan gemas sekali.
“Kam Seng, kau yang mengetahui keadaan mereka, tidak maukah kau menolong kami? Tidak maukah kau melawan kejahatan dan membela kebenaran untuk menebus nama buruk mendiang ayahmu?” kata Cin Hai.
“Susiok, kedatangan teecu seperti telah kuceritakan tadi, sesungguhnya untuk memberi tahu kepada benteng tentara kerajaan. Sebetulnya tak usah dikuatirkan karena Kwee Cin telah diminta oleh Malangi Khan dan dijadikan kawan bermain putera Malangi Khan yang bernama Kamangis dan yang usianya sebaya. Untuk sementara ini, meski pun Ban Sai Cinjin sendiri tidak boleh berlaku sesuka hatinya untuk membunuh Kwee Cin yang disuka oleh Kamangis putera Malangi Khan! Akan tetapi, untuk merampas kembali anak itu pun bukan merupakan hal yang mudah.”
Kemudian dengan jelas Kam Seng segera menggambarkan tempat kedudukan Ban Sai Cinjin dan juga istana Malangi Khan di dalam benteng itu yang berada di tengah-tengah. Sesudah menuturkan semua ini, Kam Seng segera minta diri untuk kembali ke benteng Mongol itu. Ia berjanji bahwa ia akan memasang telinga dan mata serta akan berusaha menolong Goat Lan dan Hong Beng.
“Betapa pun juga, kita harus berusaha menolong Cin-ji,” kata Kwee An kepada Cin Hai setelah Kam Seng pergi.
Cin Hai mengerutkan kening. “Sekarang lebih ruwet lagi. Kalau kita berkeras memasuki istana Malangi Khan dan andai kata berhasil merampas dan menyelamatkan Cin-ji, lalu bagaimana dengan nasib Goat Lan dan Hong Beng? Dan di mana pula adanya Lili? Ah, kita harus mencari akal dan berlaku hati-hati.”
Kedua orang pendekar besar itu duduk di bawah pohon dan bertukar pikiran. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk berpisah.
Cin Hai hendak menuju ke tengah benteng, masuk ke dalam istana Malangi Khan, ada pun Kwee An akan mencari Goat Lan dan Hong Beng di belakang benteng, di tempat tinggal Ban Sai Cinjin dan kaki tangannya. Kwee An menyetujui hal ini oleh karena ia pun mengakui bahwa Cin Hai mempunyai kepandaian yang lebih tinggi maka patut menerima tugas yang lebih berbabaya dan berat.
Dengan ilmu lari cepat mereka, keduanya lalu melanjutkan perjalanan, mengitari bukit itu untuk masuk melalui belakang benteng. Dan tepat seperti yang dituturkan oleh Nurhachu orang Haimi itu, juga seperti yang digambarkan oleh Kam Seng, jalan itu sunyi saja, akan tetapi penuh hutan yang amat liar dan menyeramkan.
Ketika mereka melintas dengan cepat melalui sebuah hutan, dari jauh nampak bayangan orang yang berjalan cepat. Cin Hai dan Kwee An merasa curiga, cepat mereka melompat ke arah bayangan itu, akan tetapi ketika mereka tiba di situ, bayangan itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata mereka! Cin Hai dan Kwee An saling pandang heran.
“Apakah ada setan di tengah hari?” tanya Kwee An heran. Siapakah orangnya yang dapat menghilang dari depan mata mereka sedemikian anehnya?
Juga Cin Hai merasa heran sekali. Kalau bayangan tadi benar-benar seorang manusia, maka kepandaian ginkang-nya agaknya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri! Gerakan seperti itu menurut ingatannya hanya dimiliki oleh suhu-nya, yakni Bu Pun Su, atau orang-orang seperti Swi Kiat Sansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu dan tokoh-tokoh tinggi lain yang kesemuanya telah meninggal dunial
“Mungkin kita salah lihat,” katanya karena bukan menjadi watak Pendekar Bodoh untuk mengganggu orang yang tak mau memperlihatkan diri, “kita mempunyai tugas yang lebih penting.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan tak lama kemudian tibalah mereka di bawah tembok benteng sebelah belakang dari benteng tentara Mongol itu. Mereka menggunakan ginkang yang hebat dan melompat ke atas tembok. Dari sini mereka berpisah.
Cin Hai terus berlari-larian di atas tembok yang tingginya kurang lebih empat tombak dan lebarnya hanya kurang dari satu kaki itu. Tembok ini memanjang sampai beberapa belas li dan Cin Hai terus berlari mencari-cari bangungan istana kepala bangsa Mongol.
Beberapa orang penjaga yang mulai banyak terlihat setelah ia berlari kurang lebih dua li, sempat melihat bayangannya, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang dapat mengejar. Bahkan sebagian besar mengira bahwa yang melayang itu bukanlah seorang manusia, melainkan seekor burung besar. Gerakan Cin Hai sangat cepat sehingga kalau tidak kebetulan, jarang ada penjaga yang dapat melihatnya!
Sementara itu, Kwee An setelah berada di atas tembok dan melihat betapa keadaan di bawah sunyi saja, lalu melayang turun. Memang benar bahwa di situ tidak terjaga sama sekali dan di bawah dinding ini hanyalah merupakan belukar yang tidak terurus. Jauh di depan sana tampak tembok-tembok bangunan, yaitu bagian paling belakang dari benteng Mongol itu.
Kwee An berlaku hati-hati sekali. Waktu itu udara mulai gelap karena matahari sudah bersembunyi di barat. Dia pikir bahwa kalau dia berlaku sembrono dan menyerbu pada malam hari itu sehingga terlihat oleh musuh, maka keselamatan Hong Beng dan Goat Lan akan terancam.
Dari Kam Seng dia mendapat keterangan bahwa Goat Lan beserta Hong Beng ditahan di dalam rumah kecil yang berada di tengah-tengah kampung dalam benteng itu, tidak jauh dari rumah yang ditinggali oleh Ban Sai Cinjin. Goat Lan ditahan di dalam kamar sebelah kiri dan Hong Beng di kamar ke dua sebelah kanan.
Di depan dan belakang, atau pendeknya rumah itu dikelilingi oleh penjaga-penjaga yang sebenarnya bukan menjaga untuk menghalangi dua orang muda ini pergi, hanya untuk melihat saja, kalau mereka pergi akan segera dilaporkan dan Kwee Cin akan dibunuh!
Dengan perlahan Kwee An bergerak maju di balik belukar dan terus mengintai ke arah kampung itu. Dia menanti sampai gelap benar barulah dia menggunakan kepandaiannya masuk ke dalam kampung itu dan melompat naik ke atas wuwungan rumah. Ia melompat dari genteng ke wuwungan lain hingga akhirnya dapat mendekati rumah kecil di mana puterinya dan Hong Beng ditahan.
Benar saja, di seputar rumah itu dipasang kursi dan meja di mana duduk para penjaga yang nampaknya enak-enak saja, sebab mereka tidak ditugaskan untuk mencegah kedua orang muda itu melarikan diri. Apa bila sampai dua orang muda itu memberontak dan melarikan diri, apakah yang dapat mereka lakukan terhadap dua orang gagah itu?
Kwee An memandang ke arah jendela dan dalam cahaya yang remang-remang melalui tirai jendela dia melihat ada bayangan seorang gadis yang berpinggang langsing. Hatinya berdebar. Itulah Goat Lan, tak salah lagi!
Ingin dia melompat turun dan mengamuk, membunuh para penjaga yang tidak berarti itu bahkan kalau perlu mencari dan membunuh Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ia tidak berani melakukan ini sebelum Kwee Cin dapat tertolong oleh Cin Hai.
Lagi pula, sudah jelas bahwa Goat Lan dan Hong Beng tidak mengalami penderitaan dan hanya ditahan karena dua orang muda itu takut kalau-kalau Kwee Cin dibunuh, maka perlu apa menguatirkan keadaan dua orang muda ini? Lebih baik aku menyusul Cin Hai dan lebih dahulu menyelamatkan Kwee Cin pikirnya.
Akan tetapi, sebelum dia berangkat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke selatan di mana terdapat istana Malangi Khan yang terpisah cukup jauh, ia mendengar suara orang memaki-maki dan nampaklah Ban Sai Cinjin yang diikuti oleh lima orang lain berjalan ke arah rumah kecil itu.
Di bawah sinar lampu, Kwee An melihat dengan heran betapa kakek pesolek ini nampak matang biru mukanya, bahkan pada pipinya sebelah kanan nampak ada tanda goresan-goresan dan sepasang matanya serta pipinya kelihatan biru seakan-akan mukanya telah berkali-kali ditampar orang! Kakek ini tak hentinya menyumpah-nyumpah, “Akan kubunuh tujuh turunan... kubunuh tujuh turunan...!”
Kemudian dia memegang pinggangnya sambil membungkuk-bungkuk. “Aduh… aduhh… jahanam benar Pendekar Bodoh… aduhhh…!”
Setelah tiba di depan rumah itu, para penjaga segera berdiri dan memberi hormat pada Ban Sai Cinjin. Kwee An melihat bahwa Ban Sai Cinjin berjalan dengan sukar, dibantu Coa-ong Lojin dan di belakangnya nampak beberapa orang lain. Mereka ini sebetulnya adalah pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang atau pembantu-pembantu Coa-ong Lojin yang dahulu membantu Ban Sai Cinjin melakukan penculikan di Tiang-an dan selain menculik Kwee Cin juga telah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip.
“Apakah dua orang muda itu masih berada di kamar masing-masing?” tanyanya kepada para penjaga.
“Masih ada, mereka tak pernah pergi keluar dari kamar!” jawab para penjaga.
Mendadak terdengar suara Hong Beng dari kamarnya, “Ban Sai Cinjin, kau orang yang berhati curang dan pengecut! Kalau kau tidak mau disebut seorang rendah yang tidak pantas hidup di dunia kang-ouw, kau lepaskan Kwee Cin dan mari kita bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita mampus!”
“Tutup mulut! Kau... kau anak Pendekar Bodoh si bangsat kurang ajar! Awas kalau ada kesempatan, akan kubunuh tujuh turunan. Aku tak hendak bicara dengan kau! Kau mau pergi dari sini, pergilah! Aku hanya akan membunuh Kwee Cin dan Nona Goat Lan. Pergi dari sini, aku tidak butuh orang macam kau!”
Terdengar Hong Beng tertawa bergelak, mentertawakan Ban Sai Cinjin yang masih terus menyumpah-nyumpah tiada hentinya, kemudian kakek pesolek ini memasuki kamar Goat Lan diikuti oleh Coa-ong Lojin.
Dengan hati berdebar-debar Kwee An memasang telinga mendengarkan percakapan itu. Dengan sangat pandainya dia dapat mempergunakan kesempatan ketika Ban Sai Cinjin ribut mulut dengan Hong Beng, untuk melompat ke atas genteng dan kini berada di atas kamar Goat Lan!
“Nona Kwee,” dia mendengar suara parau dari Ban Sai Cinjin, “apakah kau masih belum mau insyaf? Alangkah keras kepala kau! Kau sudah ditipu oleh kaisar lalim, sudah dihina, akan tetapi masih saja kau bersetia kepadanya! Kau telah menyelamatkan nyawa Putera Mahkota, akan tetapi apa yang kau dapat? Hukuman buang! Kau bahkan dihina, hendak dijadikan selir, kemudian kau dibuang ke tempat yang seperti neraka di utara ini. Apakah kau tidak mempunyai perasaan keangkuhan sama sekali? Sekarang adikmu berada di tanganku, dan aku tidak minta banyak. Asal kau suka membantu kami, membantu hingga Kaisar lalim itu terguling jatuh dari kedudukannya, tidak saja adikmu akan selamat, malah banyak kemungkinan adikmu akan menjadi seorang pangeran!”
“Ban Sai Cinjin, percuma saja kau mengoceh di sini! Aku tetap tidak mau mendengar ocehanmu dan aku akan menuruti permintaanmu tidak keluar dari tempat ini. Akan tetapi sebaliknya, kau pun jangan sekali-kali berani mengganggu adikku, sebab jika kau sampai berani mengganggunya, aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk memukul sampai remuk batok kepalamu!”
Ban Sai Cinjin menyumpah-nyumpah lagi dan tersaruk-saruk keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluhannya ketika ia menuju ke bangunan di mana ia tinggal. Malam itu masih terdengar terus keluhannya ketika ia mengobati luka-luka di tubuhnya yang membuat ia merasa sakit seluruh tubuhnya, terutama sekali hatinya yang terasa amat sakit.
Malam hari itu sial sekali baginya. Siang tadi dia menghadap Malangi Khan dan hendak minta Kwee Cin, akan tetapi Malangi Khan tidak mengijinkan, karena Kwee Cin ternyata telah menjadi sahabat yang karib sekali dengan puteranya, Pangeran Kamangis. Dengan hati mendongkol Ban Sai Cinjin kembali ke kampung di belakang istana, akan tetapi di tengah jalan dia bertemu dengan Pendekar Bodoh!
“Bangsat tua bangka, kau sungguh curang dan tak tahu malu!” Pendekar Bodoh memaki. “Orang semacam kau sepatutnya dibunuh, akan tetapi karena kita ada perjanjian untuk bertemu di puncak Thian-san, kali ini kau takkan kubunuh, hanya akan kuberi hajaran!”
Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Cin Hai menyerangnya dengan hebat! Coa-ong Lojin bersama kawan-kawannya segera membantu, akan tetapi begitu Cin Hai mencabut Liong-cu-kiam, sekali gerakkan saja senjata mereka terbabat putus! Terpaksa mereka mundur lagi dan Ban Sai Cinjin yang melawan mati-matian lalu dibuat permainan oleh Cin Hai!
Mukanya ditampar berkali-kali dan pukulan serta tendangan menghujani tubuhnya. Cin Hai sengaja tidak memukul atau menendang dengan sepenuh tenaga, akan tetapi cukup untuk membuat muka kakek itu menjadi matang biru dan tubuhnya menjadi sakit semua. Sesudah Ban Sai Cinjin menjadi setengah pingsan, barulah Cin Hai meninggalkannya!
Tentu saja si Huncwe Maut merasa terhina sekali sehingga dia menyumpah-nyumpah. Kebenciannya terhadap Pendekar Bodoh semakin meluap, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Sementara itu, Pendekar Bodoh sudah menghilang di malam gelap, entah ke mana perginya.
Setelah Ban Sai Cinjin pergi, Goat Lan menengok ke atas dan berkata sambil tersenyum, “Ayah, turunlah sekarang!”
Kwee An girang sekali melihat ketajaman mata dan telinga puterinya. Ia cepat membuka genteng dan melompat turun ke dalam kamar anaknya. Goat Lan lalu memegang tangan ayahnya dan berkata, “Ayah, bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?”
Gadis ini mengeluarkan ucapan dengan keras sehingga Kwee An cepat memberi tanda dengan tangannya. Akan tetapi Goat Lan tertawa.
“Ayah, kita bukan ditawan. Aku berada di sini atas kehendakku sendiri, mengapa mesti takut? Biarlah Ban Sai Cinjin monyet tua itu mengetahui bahwa kau berada di sini, biar dia makin panas dan jengkel. Dia bisa berbuat apa terhadap kita?”
Mendengar ucapan ini, Kwee An menarik napas panjang. “Asal saja dia tak mengganggu Cin-ji, aku pun tidak takut apa-apa.”
Sementara itu, Hong Beng yang mendengar suara Goat Lan, dengan girang lalu datang dan memberi hormat kepada Kwee An. Mereka bertiga berbincang dengan asyik sekali sehingga melupakan waktu. Ketika Hong Beng mendengar bahwa ayahnya juga masuk ke dalam benteng ini dan bahkan mendatangi istana Malangi Khan, dan juga mendengar bahwa sebetulnya Kwee Cin sudah berada di istana dan tidak di dalam tangan Ban Sai Cinjin, Hong Beng lalu bangkit berdiri.
“Ah, kalau kita tahu akan hal itu, tidak usah lama-lama kita berada di tempat ini,” katanya kepada Goat Lan yang mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kalau begitu, biarlah aku pergi sekarang juga menyusul ayah. Siapa tahu kalau dia membutuhkan bantuan!” Kwee An dan Goat Lan tidak mencegahnya, maka Hong Beng lalu melompat keluar dan pergi dari rumah itu dengan cepat!
Ketika Ban Sai Cinjin mendapat laporan bahwa Hong Beng pergi dari kamar tahanan dan Goat Lan menerima seorang tamu lelaki yang disebut sebagai ayahnya, kakek ini merasa kaget dan juga marah sekali. Cepat ia mengumpulkan orang-orangnya dan mengerahkan semua prajurit Mongol yang berada di situ untuk mengurung rumah tahanan itu!
Kemudian, pada esok harinya setelah ia merasa bahwa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit lagi, bersama Coa-ong Lojin dia menghampiri rumah itu dan sekali dia mendorong, daun pintu pun terbuka. Ia menjadi marah sekali ketika melihat bahwa Goat Lan telah berdiri di situ dengan seorang laki-laki yang bukan lain adalah Kwee An, orang yang dulu pernah dijumpainya dan yang sudah memaksa Coa-ong Lojin mengobati Lie Siong dahulu itu. Kwee An melihat Goat Lan hendak bergerak menyerang Ban Sai Cinjin, maka cepat dia memegang pundak anaknya.
“Sabar dulu, Lan-ji,” katanya, kemudian sambil tersenyum mengejek dia menatap kepada Ban Sai Cinjin. “Selamat pagi, Ban Sai Cinjin, dan selamat bertemu kembali. Agaknya kau masih belum puas menerima gebukan dari Pendekar Bodoh dan sekarang masih hendak minta tambah dari aku!”
Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali dan kemarahannya ini membuat dadanya yang kena tendang oleh Cin Hai terasa sakit lagi. Ia berdiri tidak tetap dan hanya setelah Coa-ong Lojin memegang punggungnya, dia dapat berdiri teguh. Huncwe-nya terpegang dengan tangan kiri, kosong tak berasap, kemudian dengan tangan kanannya dia menudingkan telunjuknya ke arah Kwee An.
“Orang she Kwee, jangan kau banyak berlagak di sini! Sudah habis kesabaranku dan sekarang juga aku hendak menyuruh orang membunuh puteramu yang telah kutawan!”
Akan tetapi, Goat Lan dan Kwee An hanya tertawa, bahkan Kwee An tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Ban Sai Cinjin, memang sudah menjadi kebiasaan orang macammu ini selalu menggunakan gertakan, ancaman, penipuan dan lain-lain perbuatan curang dan licin. Apa kau kira sekarang kau dapat menggertak lagi? Aku tahu bahwa puteraku setelah kau culik secara curang dan pengecut, sekarang telah berada bersama putera Malangi Khan dan kau tidak dapat mengganggunya! Sekarang, aku tidak akan berlaku murah seperti Pendekar Bodoh! Untuk perbuatanmu menculik puteraku saja kau sudah layak kubunuh. Akan tetapi, aku masih hendak memberi kelonggaran kepadamu. Kembalikanlah Thian-te Ban-yo Pit-kip, baru aku akan mengampuni nyawa anjingmu!”
“Manusia sombong! Bukalah lebar-lebar matamu dan lihat, rumah ini telah terkurung oleh seratus lebih tentara, dan kau masih sanggup menyombong? Ha, untuk apa kitab itu bila sebentar lagi kau dan anakmu akan mampus di bawah hujan senjata?”
“Setan Tua, mampuslah kau!” Goat Lan yang sudah tak dapat menahan sabarnya lagi lalu menyerang dengan tangan kosong!
Walau pun serangan ini dilakukan dengan tangan kosong, namun Ban Sai Cinjin maklum akan kelihaian gadis ini. Cepat ia melompat keluar dari pintu, diikuti oleh Coa-ong Lojin. Goat Lan mencabut bambu runcingnya dan mengejar ke luar, disusul oleh ayahnya yang sudah mencabut pedangnya.
Akan tetapi, benar saja, di luar mereka disambut oleh keroyokan hebat. Tidak saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin yang mengeroyok, bahkan di situ terdapat Can Po Gan dan Can Po Tin, dua orang jago dari Shantung yang menjadi sahabat Wi Kong Siansu dan yang pernah bertemu dengan Lili dan Lo Sian di rumah makan. Juga di sana terdapat pengurus-pengurus tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, para perwira Mongol yang pandai bermain golok hingga jumlahnya semua menjadi empat belas orang!
Kagetlah Goat Lan melihat ini, karena sesungguhnya ia tidak pernah menduga bahwa di tempat itu terdapat orang-orang demikian banyaknya, yaitu orang-orang pandai. Melihat gerakan-gerakan senjata mereka, ia maklum bahwa orang-orang ini tak boleh dipandang ringan dan keadaannya bersama ayahnya bukannya tidak berbahaya. Apa lagi ketika ia menengok, ternyata tempat itu sudah terkurung oleh barisan yang sangat tebal, barisan orang Mongol yang bersenjata lengkap, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang!
Ban Sai Cinjin biar pun sudah dihajar sampai babak bundas oleh Cin Hai, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam. Kini setelah menghadapi pertempuran besar dan karena dia memang marah sekali, seketika itu juga tubuhnya terasa segar kembali. Dia menyerang dengan huncwe-nya, dan permainan huncwe-nya ini tetap saja yang paling berbahaya di antara semua pengeroyok.
Ban Sai Cinjin menyerang Kwee An dan dibantu juga oleh Coa-ong Lojin yang masih merasa sakit hati terhadap Kwee An. Raja pengemis ini mainkan sebatang tongkat ular yang ujungnya berbisa sehingga sekali saja ujung tongkatnya mengenai kulit musuhnya, pasti lawannya akan roboh dan tewas! Selain Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin, masih ada lagi lima orang perwira Mongol yang cukup kosen yang mengeroyok Kwee An!
Ada pun Goat Lan yang mainkan sepasang bambu runcing, menghadapi keroyokan dua orang jago Shantung itu. Sebagaimana diketahui, dua orang ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, barang kali tidak di bawah tingkat kepandaian Coa-ong Lojin. Apa lagi Po Tin yang bertubuh kecil itu ternyata memiliki gerakan yang sangat lincah dan tenaga lweekang-nya hebat, berbeda dengan Po Gan yang memiliki tenaga gwakang seperti seekor gajah! Selain dua orang jago Shantung yang berhasil dibeli oleh Ban Sai Cinjin ini, Goat Lan masih dikeroyok pula oleh lima orang pengurus kelas satu dari Coa-ong Kai-pang yang mengeroyok dengan tongkat ular mereka yang berbahaya.
Akan tetapi Goat Lan dan Kwee An tidak menjadi gentar, bahkan dua orang ini merasa gembira. Wajah mereka berseri-seri dan mereka seakan-akan hendak berlomba untuk merobohkan lawan! Ayah dan anak ini merasa lega karena berita tentang Kwee Cin yang kini sudah tidak berada dalam cengkeraman Ban Sai Cinjin lagi.
“Ayah, mari kita berlomba-lomba menghabiskan tujuh ekor tikus ini!” Goat Lan berseru sambil tersenyum.
“Baik, mari kita coba!” kata Kwee An dan berbareng dengan ucapan itu, terdengar jerit kesakitan karena seorang perwira Mongol telah kena ditendang oleh tendangan berantai dari Kwee An sehingga tubuh lawan ini terlempar empat tombak lebih!
“Satu...!” seru Kwee An.
Mendengar ini, Goat Lan merasa penasaran sekali. Dengan bambu runcing pada tangan kirinya dia menyerang Po Gan dengan cepat tak terduga. Ketika Po Gan dengan kaget melempar tubuh ke samping, Goat Lan lalu menyambarkan bambu runcingnya ke arah dada seorang pengurus Coa-tung Kai-pang yang berdiri di belakang Po Gan. Orang itu menjerit lalu roboh tak dapat bangun lagi.
“Satu...!” Goat Lan juga berseru keras.
Kwee An tersenyum lebar dan tidak lama kemudian, hampir berbareng ayah dan anak ini berseru, “Dua...!” dan terlemparlah dua orang pengeroyok!
Seruan ini disusul dan disusul lagi sehingga empat orang lawan masing-masing sudah dirobohkan! Yang mengeroyok Kwee An kini tinggal Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin dan seorang perwira Mongol, sedangkan pengeroyok Goat Lan tinggal Can Po Gan, Can Po Tin, dan seorang pengemis Coa-tung Kai-pang yang sudah empas-empis napasnya!
Melihat hal ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin. Ia berseru keras memberi aba-aba, maka puluhan prajurit segera menyerbu, mengurung rapat-rapat sambil menyerang dan bersorak-sorak!
Tentu saja Goat Lan dan Kwee An menjadi terkejut bukan main. Mereka tak usah takut menghadapi keroyokan para prajurit yang hanya merupakan orang-orang kasar, memiliki kepandaian biasa saja, akan tetapi karena jumlah mereka banyak sekali, maka untuk melepaskan diri dari kepungan mereka harus membunuh banyak sekali orang! Hal inilah yang tidak mereka kehendaki.
Jika saja pertempuran ini adalah sebuah peperangan, tentulah mereka akan mengamuk dan tidak akan segan-segan lagi untuk menjatuhkan pukulan maut. Akan tetapi sekarang pertempuran ini hanya merupakan perselisihan mereka dan Ban Sai Cinjin, maka kurang baik kalau harus membunuh banyak orang sungguh pun mereka itu adalah orang-orang Mongol yang menjadi musuh negara.
Pada saat Goat Lan dan Kwee An dikeroyok oleh prajurit-prajurit Mongol bagaikan ribuan ekor semut mengeroyok dua ekor burung, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
“Mundur semua! Lihat siapa yang berada dalam tawananku!”
Semua orang Mongol menengok dan mereka melihat dua orang laki-laki datang dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang anak laki-laki yang membuat mereka semua segera menjatuhkan diri berlutut! Ternyata bahwa yang datang itu adalah Cin Hai dan Hong Beng, sedangkan yang mereka tawan adalah Pangeran Kamangis, yaitu putera dari Malangi Khan!
Melihat betapa semua prajurit Mongol berlutut dan tidak berani pula mengeroyok, dan melihat betapa Pangeran Kamangis telah tertawan oleh Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin menjadi pucat sekali mukanya.
“Pendekar Bodoh, kau curang! Kau menawan Pangeran Kamangis untuk mengalahkan aku!”
Cin Hai tersenyum sindir. “Cacing tua, aku hanya meniru perbuatanmu sendiri. Kau telah menculik Kwee Cin yang sekarang disimpan oleh Malangi Khan. Kalau Kaisar Mongol itu tak mau melepaskan Kwee Cin, kami pun akan menahan puteranya. Kau masih bernasib baik tidak mampus dalam tanganku, cacing tua!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengajak Goat Lan dan Kwee An untuk meninggalkan tempat itu sambil memondong Pangeran Kamangis!
Ban Sai Cinjin membanting-banting kakinya dengan jengkel sekali dan dia cepat menuju ke istana Kaisar Malangi Khan untuk mencari keterangan bagaimana sampai pangeran itu dapat tertawan oleh Pendekar Bodoh.
Setibanya di depan Malangi Khan, di luar dugaannya, ia bahkan mendapat teguran keras dari Malangi Khan dan mendengar penuturan tentang keberanian Pendekar Bodoh yang membuat darahnya mendidih saking marahnya.
Malangi Khan, raja orang-orang Mongol menjadi marah sekali karena ada orang berani menculik puteranya begitu saja dari hadapannya tanpa dapat menangkap orang itu. Ban Sai Cinjin mendengarkan penuturan Malangi Khan itu dengan wajah sebentar merah dan sebentar pucat, tanda bahwa dia merasa malu dan juga mendongkol sekali terhadap Pendekar Bodoh.
Ternyata bahwa setelah memberi hajaran pada Ban Sai Cinjin, Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat sekali memasuki istana Malangi Khan. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Pendekar Bodoh dapat melewati semua penjagaan. Memang penjagaan istana Malangi Khan di tempat itu tak berapa kuat, oleh karena istana itu memang berada di tengah-tengah benteng pertahanan barisan Mongol, siapakah yang dapat masuk dan berani mengganggu?
Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa besar keheranan Malangi Khan ketika pada hari itu, selagi dia duduk dihadapi oleh para panglimanya untuk mengatur siasat perang yang hendak dilakukan terhadap pedalaman Tiongkok, tiba-tiba dari luar masuk seorang laki-laki setengah tua bangsa Han yang berpakaian putih sederhana, akan tetapi yang bertindak masuk dengan langkah tegap dan tenang seperti seorang raja saja!
“Hei...! Siapa kau? Berhenti!” Empat orang penjaga segera melompat dan cepat-cepat menghadangnya.
“Minggirlah, aku hendak bertemu dengan Malangi Khan, Kaisarmu!” Cin Hai menjawab dengan suara tenang, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Malangi Khan.
Jawaban ini tentu saja menimbulkan kegemparan di antara para panglima yang sedang menghadap Kaisar itu. Juga para penjaga segera menyerbu dan mengurung Pendekar Bodoh.
“Bunuh saja orang gila ini sebelum dia membikin kacau!” teriak seorang penjaga sambil menyerang dengan goloknya ke arah leher Cin Hai. Agaknya dengan sekali pancung dia hendak menyembelih orang Han yang lancang ini! Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya dan orang itu bersama goloknya terlempar jauh menimpa kawan-kawannya sendiri.
“Jangan bunuh dia, tangkap dan bawa dia menghadap di sini!” tiba-tiba terdengar suara Malangi Khan yang menggeledek. Tentu saja semua penjaga dan panglima yang sudah turun tangan, mentaati perintah ini.
“Orang gila, lebih baik kau menyerah untuk kami bawa menghadap Kaisar dari pada sakit tubuhmu!” kata seorang panglima yang diam-diam merasa khawatir akan amukan ‘orang gila’ yang telah disaksikan kelihaiannya ketika menghadapi serangan golok tadi.
Cin Hai tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk menimbulkan keributan, lagi pula agaknya akan jauh lebih mudah menghadapi Kaisar Malangi Khan dengan berpura-pura menyerah dari pada dengan jalan kekerasan.
“Baiklah, kau belenggu kedua tanganku!” katanya sambil tersenyum.
Melihat sikap orang setengah tua ini, semua penjaga dan panglima menjadi geli. Tentu orang gila, pikir mereka, mengapa raja ingin menghadapinya? Dengan cekatan, seorang panglima lalu mengambil rantai besi.
“Klik! Klik!” terdengar suara suara dan dua pergelangan tangan Cin Hai telah terbelenggu erat-erat!
Ada yang menganggap perbuatan panglima itu keterlaluan. Untuk membelenggu seorang gila, mengapa harus dipergunakan belenggu besi? Belenggu macam itu biasanya hanya dipergunakan untuk membelenggu pesakitan yang lihai dan berilmu tinggi saja.
Akan tetapi ketika dua orang panglima hendak mencabut dan merampas pedang dan suling yang terselip di pinggang Cin Hai, mereka lantas terperanjat dan terheran-heran. Dengan hanya melenggang dan menggerakkan tubuh, Cin Hai telah dapat mengelak dari mereka ini sehingga pedang dan sulingnya tak sampai tercabut! Sementara itu, beberapa kali melangkah dia telah berdiri di hadapan Kaisar Malangi Khan!
“Siapakah kau? Melihat sinar mata dan sikapmu, kau bukanlah seorang gila, akan tetapi kenapa kau berani berlancang masuk ke sini dan bagaimana kau bisa sampai di istana?” Kaisar Malangi Khan menyatakan keheranannya.
Cin Hai tersenyum dan karena dua tangannya diikat ke belakang ia hanya mengangguk, kemudian berkata dengan hormat, “Malangi Khan yang besar, maaf kalau aku datang mengganggu. Aku bernama Sie Cin Hai, seorang yang bodoh sehingga banyak orang menyebutku Pendekar Bodoh, dan aku masuk ke sini secara biasa saja, hanya agaknya orang-orangmu sedang mengantuk sehingga tidak melihatku.”
Malangi Khan nampak tertegun dan tidak percaya, ada pun semua panglima yang sedang berada di situ pun terkejut sekali. Akan tetapi siapakah mau percaya bahwa orang yang seperti gila dan yang menyerahkan diri dibelenggu tangannya ini adalah Pendekar Bodoh yang namanya menggemparkan sekali dan yang sangat ditakuti oleh Ban Sai Cinjin? Tak mungkin!
Beberapa orang panglima sudah terdengar tertawa kecil menahan geli hatinya karena menyangka bahwa orang ini tentulah seorang gila yang mengaku-aku sebagai Pendekar Bodoh! Seorang panglima yang berwatak kasar dan keras segera menuding ke arah Cin Hai dan membentak,
“Orang gila, jangan kurang ajar di hadapan raja yang besar! Orang gila macam engkau ini mana patut menjadi Pendekar Bodoh?”
Baru saja orang ini menutup mulutnya, semua orang terkejut, termasuk Malangi Khan karena orang itu kini duduk diam seperti patung dengan mata terbelalak memandang ke arah Cin Hai. Ketika seorang kawan yang didekatnya menggoyang tubuhnya, orang ini ternyata telah duduk dengan kaku seperti patung!
Tadi orang-orang hanya melihat sinar kecil menyambar ke arah iga panglima ini dan kini nampak nyatalah sebutir batu kecil menggelinding di bawahnya. Dan karena sinar itu tadi datangnya dari Cin Hai, mereka cepat memandang dan bukan main kaget hati semua panglima pada waktu melihat bahwa kini kedua tangan Cin Hai yang tadinya dibelenggu menjadi satu di belakang tubuhnya, kini telah berada di depan tubuhnya dalam keadaan masih terbelenggu seperti tadi! Bagaimana bisa orang yang kedua tangannya terbelenggu menjadi satu di belakang bisa pindah ke depan tubuh?
Di antara para panglima itu terdapat tiga orang panglima yang berpangkat jenderal, dan mereka ini memiliki kepandaian yang sudah cukup tinggi, dikenal sebagai tugu pelindung negara dan menjadi orang-orang kepercayaan Malangi Khan. Mereka ini masih terhitung murid keponakan dari Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, jago-jago nomor satu dan dua di Mongol yang menjadi murid-murid Swi Kiat Siansu di jaman belasan tahun yang lalu. (baca Pendekar Bodoh)
Oleh karena itu, tiga pelindung negara atau yang juga disebut Sam-koksu ini pernah pula mendengar nama Pendekar Bodoh. Tadinya mereka pun tak percaya ketika mendengar orang ini mengaku sebagai Pendekar Bodoh, karena mungkinkah orang yang pernah mengalahkan supek-supek (uwa-uwa guru) mereka Thian Kek Losu dan Sian Kek Losu ternyata hanya begini sederhana saja?
Akan tetapi ketika mereka melihat betapa kini orang yang terbelenggu itu sudah dapat memindahkan tangan dari belakang ke depan, mereka pun menjadi terkejut sekali. Untuk dapat memindahkan dua tangan yang terbelenggu dari belakang ke depan tubuh, hanya ada dua jalan.
Yang pertama adalah jalan sederhana saja, yaitu melangkahkan kedua kaki ke belakang melewati tengah-tengah antara kedua lengan, dan jalan ke dua hanya dapat dilakukan oleh orang berilmu tinggi yang telah memiliki ilmu kepandaian Sia-kut-hwat (Ilmu Melepas Tulang Melemaskan Tubuh) sehingga kedua tangan itu sekaligus dapat diputar ke depan melalui atas kepala tanpa merusak sambungan tulang pundak!
Kalau seandainya orang ini melakukan jalan pertama, bagaimana mereka semua tidak dapat melihatnya dan bagaimana pula ia dapat menyerang panglima yang menghinanya tadi dengan sebutir batu kecil?
Mohopi segera berdiri dan memeriksa panglima yang ternyata benar sudah tertotok jalan darah teng-sin-hiat dengan tepat sekali, lalu dengan beberapa kali tepukan dan urutan tangan Mohopi dapat menyembuhkan panglima itu yang kini tidak berani banyak tingkah lagi. Ada pun Kaisar yang melihat peristiwa ini, diam-diam berdebar hatinya. Benar-benar hebat kepandaian Pendekar Bodoh ini, dan apa maunya datang ke tempat ini?
“Ehh, kalau benar kau yang bernama Pendekar Bodoh, apakah kau berani menghadapi Sam-koksu untuk saling menguji kepandaian?” tanya Malangi Khan.
Cin Hai tersenyum, “Khan yang besar, sesungguhnya kejadian seperti inilah yang terbaik! Saling menguji kepandaian, saling memetik pengalaman dan menambah pengertian dari masing-masing pihak! Bukankah ini jauh lebih sempurna dari pada saling berperang?”
Malangi Khan mengerutkan keningnya, “Kau tahu apa tentang perang? Pendeknya, kau berani atau tidak menghadapi Sam-koksu kami?”
“Khan yang baik, aku datang dengan maksud baik, tentu saja aku akan menerima segala macam sambutan dari pihak tuan rumah. Juga telah lama aku mendengar bahwa Mongol memiliki banyak panglima-panglima yang pilihan dan jagoan maka barisan Mongol berani menyerang ke selatan. Kalau Tiga Guru Negara (Sam-koksu) sudi membuka mataku dan menambah pengetahuanku, sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih!”
“Beri ruangan yang lebar dan buka ikatan tangan tamu kita ini!” Malangi Khan berseru dengan wajah berseri.
Raja bangsa Mongol ini, seperti juga raja-raja Mongol yang sudah dan yang akan datang, memang terkenal sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan serta keperwiraan. Malangi Khan sendiri juga terhitung seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka tentu saja dia merasa amat gembira melihat tamunya yang mengaku Pendekar Bodoh ini sanggup menghadapi tiga orang koksunya! Kegembiraan Raja ini kiranya sama dengan kegembiraan seorang penggemar adu ayam melihat dua ekor ayam laga akan bertarung!
“Tak usah, Khan yang baik!” jawab Cin Hai dengan gembira pula, karena pengalamannya dengan orang-orang Mongol ini mengingatkan dia akan pengalamannya di waktu muda dahulu. “belenggu ini tak usah dibuka, biarlah aku menghadapi tiga jago-jagomu dengan tangan terbelenggu!”
Tentu saja ucapan ini membuat semua melengak. Malangi Khan memandang ke arah Cin Hai dengan ragu-ragu dan mulailah dia bersangsi apakah orang yang dikira sebagai Pendekar Bodoh ini bukannya seorang gila.
Akan tetapi tiga orang koksu itu menjadi marah sekali. Ucapan ini saja sudah merupakan penghinaan yang tidak boleh diampuni lagi! Bagaimana seorang tamu berani menantang koksu-koksu yang terkenal ini untuk dilawan dengan tangan kosong yang terbelenggu?
Sementara itu, para penghadap raja sudah mundur dan membuat lingkaran yang cukup lebar sehingga ruang persidangan itu kini berubah menjadi semacam lian-bu-thia (ruang bermain silat). Cin Hai menjura di hadapan Raja, kemudian berjalan dengan langkah enak berlenggang kangkung menuju ke tengah ruangan itu. Dua tangannya masih terbelenggu dan tergantung di depan perutnya.
“Khan yang mulia, hamba merasa malu untuk melawan orang yang berotak miring!” kata Ganisa, orang tertua dari Sam-koksu itu kepada rajanya.
“Tidak apa, Ganisa, biarlah kau coba menyerangnya. Kalau dia Pendekar Bodoh yang sesungguhnya, boleh kau mengukur sampai di mana tinggi ilmu kepandaiannya sehingga dia sesombong itu. Kalau dia bukan Pendekar Bodoh melainkan seorang gila, kau boleh membunuhnya karena dia telah berani bermain gila di tempat ini!”
Mendengar perintah Raja ini, Mohopi yang paling muda lalu maju mewakili kakaknya. Dia lalu mendapat ijin dari Malangi Khan dan Mohopi lalu melompat cepat berdiri di hadapan Cin Hai.
Melihat gerakan ini, Cin Hai tersenyum lantas berkata dengan beraninya. “Malangi Khan yang baik, bukankah tadi kau menantang kepadaku untuk menghadapi Sam-koksu (Tiga Guru Negara)? Mengapa yang maju hanya satu orang saja? Apakah yang dua sudah merasa jeri untuk menghadapi aku, takut kalah?”
Cin Hai sengaja mengeluarkan ucapan ini bukan tidak ada alasannya. Pertama karena ia ingin sekali mempengaruhi Raja itu agar supaya tunduk padanya sehingga mudah diajak berunding untuk membebaskan Kwee Cin. Kedua kalinya karena gerakan melompat dari Mohopi tadi sudah lebih dari cukup baginya untuk menilai sampai di mana gerakan tingkat kepandaian tiga orang jago Mongol itu.
“Orang gila, kau betul-betul sombong sekali!” Mohopi berseru marah mendengar ucapan ini dan serentak dia melakukan serangan bertubi-tubi.
Pertama-tama tangan kanannya dikepal menghantam dada Cin Hai dan pukulan ini lalu disusul dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah mata, lantas disusul pula dengan tendangan kaki kanan yang hebat sekali ke arah ulu hati! Tiga macam pukulan maut ini bergerak dengan beruntun hampir berbareng dan satu saja di antara tiga serangan ini mengenai sasaran, dapat dibayangkan bahwa orang yang diserangnya pasti akan roboh. Baru hawa pukulan dan tendangan itu saja sudah menerbitkan suara bersuitan!
Akan tetapi, sebelum tiga macam serangan itu melayang, lebih dulu Cin Hai telah dapat menduganya. Pendekar Bodoh ialah seorang pendekar sakti yang memiliki pengetahuan mengenai pokok dasar segala macam gerakan ilmu silat, semacam pengetahuan yang menjadi raja segala macam ilmu silat. Diserang dengan gerak tipu dari cabang persilatan mana pun juga, sebelum serangan itu melayang dating ia telah bisa menduganya hanya dengan melihat gerakan pundak dan paha untuk dapat menduga pukulan dan tendangan lawan.
Saat semua orang, termasuk Malangi Khan, mengharapkan bahwa segebrakan serangan yang mengandung tiga macam pukulan ini akan berhasil menjatuhkan tamu itu, tahu-tahu Mohopi sendiri menjadi kebingungan dan terdengar suara ketawa dari beberapa orang panglima yang merasa geli melihat pemandangan amat lucu.
Ketika kelihatannya Pendekar Bodoh seperti mau terkena pukulan yang tiga macam itu, tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dengan kegesitan yang tak terduga-duga dan dengan gerakan cepat sekali dia kemudian bergerak maju menyusup di bawah kaki lawan yang menendangnya! Dengan demikian, dia telah berhasil menyelamatkan diri dan kini berada di belakang Mohopi tanpa diketahui oleh lawannya, karena memang gerakan Pendekar Bodoh tadi cepat sekali.
Ketika melihat betapa Mohopi nampak tercengang mencari-cari lawannya, Malangi Khan sendiri menjadi terheran-heran, lalu tertawa bergelak. Gerakan dari Pendekar Bodoh tadi bukanlah gerakan ilmu silat, lebih mirip gerakan seekor monyet yang lucu, akan tetapi buktinya Mohopi dapat ditipu mentah-mentah.
“Majulah, majulah kalian bertiga!” perintah Malangi Khan dengan wajah gembira sekali.
Ganisa dan Citalani atau yang biasanya disebut Thai-koksu (Guru Negara Pertama) dan Ji-koksu (Guru Negara kedua) jadi marah sekali melihat betapa mereka dipermainkan oleh orang mengaku Pendekar Bodoh itu. Mereka pun tadi melihat betapa gerakan Cin Hai bukanlah gerakan silat, walau pun harus mereka akui bahwa gerakan itu selain amat cepat juga tidak terduga.
Mereka masih mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja. Akan tetapi kini mendengar perintah Malangi Khan, mereka lalu serentak maju berbareng mengirim serangan dengan maksud sekali serang merobohkan atau menewaskan tamu ini.
Akan tetapi kembali semua orang menjadi tercengang. Sambil tersenyum-senyum, Cin Hai dapat menghindarkan diri dari semua serangan dengan hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, miring ke kanan kiri, melompat ke depan belakang bagaikan seekor monyet yang amat gesit dan sukar diserang.
Biar pun penyerangnya ada tiga orang, akan tetapi mana dapat mereka ini melukai Cin Hai? Dahulu pun ketika supek mereka masih hidup, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, kedua orang ini pun tak berdaya menghadapi Pendekar Bodoh, apa lagi baru murid keponakannya! Tingkat kepandaian Sie Cin Hai masih beberapa tingkat lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Sam-koksu ini, karena itu walau pun mereka menyerang sambil mengerahkan semua kepandaian, tetap saja Pendekar Bodoh dapat menghadapi mereka dengan kedua tangan terbelenggu tanpa dapat teluka sedikit pun.
“Koksu, serang dia dengan senjatamu!” bentak Malangi Khan yang mukanya menjadi merah karena merasa malu dan penasaran mengapa tiga orang jagonya yang dijadikan pelindung negara ternyata tidak bisa berbuat apa-apa terhadap seorang yang demikian sederhana saja.
Mendengar perintah ini, tiga orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi yang paling menarik perhatian hingga membuat Cin Hai terkejut adalah senjata di tangan Thai-koksu Ganisa, oleh karena orang tua ini memegang seuntai rantai yang ujungnya diikatkan pada sebuah tengkorak kecil yang amat mengerikan!
Teringatlah Cin Hai kepada Thian Kek Losu yang dulu juga mempunyai senjata macam ini, maka dia lantas berlaku hati-hati sekali. Senjata Ji-koksu dan Sam-koksu tidak begitu diperhatikan karena kedua orang guru negara ke dua dan ke tiga ini hanya bersenjatakan golok besar yang biasa saja.
Kedua golok besar itu menyambar cepat, akan tetapi hanya dielakkan oleh Cin Hai sambil mempergunakan ginkang-nya yang luar biasa. Namun pada saat tengkorak kecil di ujung rantai yang dipegang oleh Thai-koksu itu mengarah mukanya, ia cepat mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu.
Dia maklum dari pengalamannya dahulu menghadapi Thai Kek Losu, bahwa tengkorak kecil ini mengandung hawa mukjijat dan kekuatan sihir. Dan di samping ini, juga di dalam tengkorak ini terdapat senjata-senjata rahasia yang berbisa dan amat berbahaya apa bila ditangkis.
Oleh karena itu, tanpa mempedulikan dua buah golok yang menyambar-nyambar, ia lalu mencurahkan perhatiannya kepada tengkorak kecil itu. Pada waktu ia melihat tengkorak menyambar cepat ke arah mukanya seperti hendak menciumnya, ia lalu menggerakkan kedua tangan dan sebelum Thai-koksu tahu, tengkorak itu sudah kena terpegang oleh kedua tangan Pendekar Bodoh!
Thai-koksu terkejut sekali. Ia hendak membetot dan menggunakan senjata rahasia yang berada di dalam tengkorak itu, akan tetapi cepat bagaikan kilat, Pendekar Bodoh sudah mengirim tendangan ke arah pergelangan tangannya. Thai-koksu berseru keras karena dengan tepat sekali tendangan itu sudah membuat sambungan pergelangan tangannya terlepas!
Sambil membawa tengkorak kecil itu, Cin Hai melanjutkan gerakannya. Sepasang golok dari Ji-koksu dan Sam-koksu menyambar dari kanan kiri, maka cepat ia lalu melangkah mundur, miring ke kanan, menggunakan sikunya yang ‘dimasukkan’ lurus ke dalam perut Sam-koksu.
“Ngekk!”
Meski pun Mohopi atau Samkoksu itu mengerahkan lweekang-nya ke arah perut, namun tentu saja dia tidak dapat menahan pukulan siku ini dan segera dia terhuyung mundur sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas!
Ada pun Ji-koksu yang menjadi marah sekali lalu kembali menerjang dengan goloknya, membabat secara bertubi-tubi ke arah pinggang dan leher Pendekar Bodoh. Cin Hai yang kedudukannya masih miring ketika merobohkan Mohopi tadi, melihat datangnya babatan golok, cepat menotol kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya segera mencelat ke atas bagaikan seekor burung terbang.
Citalani atau Ji-koksu yang memiliki ilmu golok paling lihai di antara saudara-saudaranya, cepat menerjang terus selagi tubuh Cin Hai masih berada di udara. Akan tetapi, dengan enaknya Cin Hai menggunakan tendangan menyerong yang kelihatannya ditujukan ke arah kepala lawannya, akan tetapi sesungguhnya lalu menyerong dan menendang ke arah golok!