Pendekar Remaja
Karya Kho Ping Hoo
JILID 27
PADA keesokan harinya, baru saja Cin Hai keluar dari benteng untuk melakukan tugasnya, yaitu mencari Malangi Khan membicarakan tentang Putera Mahkota yang masih tertahan di benteng Alkata-san, tiba-tiba saja dari depan dia melihat debu mengebul tinggi. Cepat Pendekar Bodoh menyelinap di belakang sebatang pohon dan memandang ke depan.
Ternyata yang datang adalah sepasukan berkuda yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang. Di depan sendiri, dengan menunggang seekor kuda berbulu putih yang besar dan kuat, adalah Malangi Khan yang berwajah muram dan keningnya berkerut.
Melihat bahwa yang datang hanyalah satu pasukan kecil, maka Cin Hai maklum bahwa Malangi Khan hendak mendatangi benteng bukan dengan maksud menyerang, maka dia lalu melompat keluar dari balik pohon itu dan menghadang di jalan sambil mengangkat tangannya.
Ketika Malangi Khan melihat Pendekar Bodoh, ia memberi perintah berhenti dan ia cepat melompat turun dari kudanya, berlari menghampiri Cin Hai. Begitu datang, dengan wajah merah saking marahnya, Raja Mongol itu menudingkan jari telunjuknya kepada Pendekar Bodoh dan berkata,
“Tak kusangka bahwa Pendekar Bodoh ternyata adalah orang yang tidak bisa dipercaya mulutnya, seorang yang mudah melanggar janji!”
Cin Hai sudah mengerti kenapa Raja Mongol ini datang-datang begitu marah dan merasa gemas, maka dia kemudian menjura dan berkata dengan senyum simpul, “Malangi Khan, kebetulan sekali aku pun sedang menuju ke bentengmu untuk bicara tentang puteramu.”
“Kembalikan puteraku, jika tidak, demi nenek moyangku, aku akan mengerahkan seluruh bangsaku untuk menerjang ke selatan sampai orang terakhir. Akan aku bumi hanguskan setiap jengkal tanah di selatan!”
“Sabar, sabar, Khan yang baik. Seorang Raja yang besar tidak demikian mudah dikuasai oleh nafsu marah. Dengarlah dulu, sebenarnya tentang keponakanku Kwee Cin, bukan akulah yang merampasnya, maka jangan dikira bahwa Pendekar Bodoh tidak memegang janji.”
“Biar pun bukan kau, tentu kawan-kawanmu atas perintahmu!”
Cin Hai menggelengkan kepala. “Sayang sekali bukan, Khan yang mulia. Aku tidak tahu menahu mengenai perampasan kembali anak itu. Akan tetapi sudahlah, anak itu sudah kembali kepada ayah bundanya, ada pun puteramu sedang bermain-main dengan anak itu di bawah perlindungan Kwee An dan isterinya yang amat mencintainya!”
“Puteraku tidak diganggu? Kamangis tidak apa-apa?” tanya Khan ini dengan muka amat gelisah.
“Siapa yang akan berani mengganggu puteramu itu kalau ibu dari Kwee Cin menantang setiap orang yang akan mengganggunya? Ketahuilah bahwa ibu dari anak yang tertawan di bentengmu itu, bersedia mengorbankan nyawanya untuk melindungi puteramu!” Cin Hai dengan sejujurnya lalu menceritakan tentang pembelaan Ma Hoa terhada Kamangis sehingga Kaisar Mongol ini menjadi terharu sekali.
“Maafkan aku, Pendekar Bodoh. Aku telah meragukan kegagahanmu dan sifat ksatriamu! Di mana anakku?” kata Malangi Khan dengan terharu sambil memegang lengan tangan Cin Hai.
“Malangi Khan, apakah ini berarti bahwa untuk selanjutnya kau akan mengaku sahabat kepadaku?”
“Tentu, bahkan kau dan saudara-saudaramu kuakui sebagai sanak saudaraku sendiri. Lebih dari itu, aku menyerahkan Kamangis putera tunggalku itu sebagai muridmu!”
Melihat sikap sungguh-sungguh dari Malangi Khan, Cin Hai merasa gembira sekali dan kembali bertanya, “Tidak hanya aku dan saudara-saudaraku, akan tetapi rakyat Tiongkok seluruhnya, maukah kau menganggapnya sebagai saudara? Kau tak akan mengganggu mereka lagi, tidak akan menyerang ke selatan lagi?”
“Tidak, tidak! Dengan adanya orang-orang seperti engkau, aku merasa malu kalau harus menyerang ke selatan. Biarlah, aku akan lupakan pembunuhan yang sudah-sudah, yang dilakukan oleh tentara-tentara selatan di perbatasan utara. Dan aku akan mengunjungi kaisarmu, akan mengirim bulu ternak yang paling halus sebagai tanda penghargaan.”
Kini Cin Hai yang memegang lengan Malangi Khan dengan kuat sehingga Kaisar itu meringis kesakitan. Cin Hai yang lupa diri lalu mengendorkan pegangannya dan berkata, “Malangi Khan, kau berjanji untuk membuktikan omonganmu tadi?”
“Tentu saja! Bagiku berlaku ucapan dari bangsamu: It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar, empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali).”
Bukan main girangnya hati Pendekar Bodoh. Tak disangkanya bahwa tugasnya ini dapat terpenuhi dengan demikian mudahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari arah belakangnya dan tampak sepasukan besar tentara kerajaan yang dipimpin oleh Kam Liong sendiri, dikawani pula oleh semua orang gagah yang berkumpul di benteng Alkata-san, datang menuju ke tempat itu! Ini terjadi adalah gara-gara para penjaga yang melaporkan bahwa Malangi Khan bersama pasukannya yang sangat kuat sudah datang menyerbu!
“Pendekar Bodoh, apakah artinya ini?” Kembali wajah Malangi Khan menjadi muram dan bercuriga akan tetapi Cin Hai segera menjawab,
“Jangan kuatir, Khan yang mulia. Akulah yang bertanggung jawab dan akan mencegah mereka bertindak!”
Kemudian, Cin Hai lalu menghadang di tengah jalan sambil mengangkat tangan. Ia lantas mengerahkan tenaganya berseru dengan amat nyaringnya,
“Kam-ciangkun, jangan menyerang! Malangi Khan datang dengan maksud damai!”
Kam Liong terheran melihat Pendekar Bodoh berada di sana dan sesudah mendengar seruan ini, dia segera memberi perintah pasukannya berhenti. Dia sendiri lalu turun dari kudanya dan bersama Tiong Kun Tojin, Kam Wi, dan juga Kwee An dan yang lain-lain, Kam Liong lalu menghampiri Cin Hai dan Malangi Khan.
Dengan sikap angkuh Malangi Khan berdiri menghadapi mereka dengan dada terangkat, sikapnya agung sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai seorang Khan yang besar. Kam Liong adalah seorang panglima yang tahu diri dan tidak sombong, maka dia lalu memberi hormat terlebih dahulu yang segera dibalas oleh Malangi Khan.
“Malangi Khan, benarkah kata-kata Sie Taihiap tadi bahwa kau bermaksud damai?”
“Memandang muka Pendekar Bodoh yang menjadi saudaraku dan juga menjadi guru dari puteraku, memang benar aku akan mengakhiri permusuhan, melupakan segala kejadian yang lalu dan dalam waktu dekat aku akan mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kaisarmu. Sampaikan kata-kataku ini kepada Kaisar dan juga kepada semua prajuritmu yang menjaga tapal batas, agar supaya jangan sampai mengganggu orang-orangku yang hendak memasuki daerah Tiong-goan dalam perjalanannya berdagang.”
Bukan main girangnya hati Kam Liong mendengar ini. Hal ini memang amat diharapkan oleh Kaisar dan biar pun yang berjasa dalam hal ini adalah Pendekar Bodoh, akan tetapi karena dia adalah pemimpin besar barisan, tentu saja pahalanya terjatuh kepada dia!
Akan tetapi Kam Wi yang beradat kasar itu merasa curiga. Sambil melangkah maju dia berkata, “Dengan latar belakang dan alasan apakah maka tiba-tiba Malangi Khan hendak berdamai?”
Malangi Khan memandang dengan mata mendelik, juga Kam Wi melotot sehingga dua orang tinggi besar itu berlagak bagaikan dua ekor ayam jantan akan bertarung. Akan tetapi Cin Hai cepat berkata,
“Kam-enghiong, Malangi Khan yang mulia telah melihat bahwa orang-orang yang tadinya dianggap sebagai musuhnya ternyata sama sekali tidak mengganggu puteranya, dan hal ini melembutkan hatinya dan dia suka sekali berdamai dengan orang-orang yang tidak mengganggu anak kecil, biar pun anak itu anak musuhnya pula.”
Keterangan ini diterima oleh Kam Wi dengan muka menjadi merah karena dia merasa tersindir. Memang tadinya ia bermaksud untuk memenggal leher Putera Mahkota Mongol itu untuk melumpuhkan semangat barisan Mongol.
“Malangi Khan, untuk membuktikan kesungguhan maksud hatimu yang sangat baik, aku mewakili panglima kerajaan yang menjadi keponakanku sendiri untuk mengundangmu makan dan minum di dalam benteng Alkata-san, sesuai dengan sikap persaudaraan yang tadi kau kemukakan,” Kam Wi berkata kepada Malangi Khan.
Dia adalah seorang kang-ouw yang selalu jujur dan kasar, juga amat berhati-hati, maka ia sengaja melakukan siasat ini untuk mencari tahu sikap sesungguhnya dari Malangi Khan.
“Selain Kaisarmu sendiri, aku tidak mau menerima undangan dari segala orang!” Malangi Khan berkata dengan angkuh.
“Kalau begitu, bagaimana kami dapat percaya bahwa kau mempunyai maksud damai?” Kam Wi membentak marah dan suasana menjadi panas lagi. Melihat ini Kam Liong lalu berkata dengan halus,
“Malangi Khan, benar seperti yang diucapkan oleh pamanku tadi. Kami mengundangmu menghadiri perjamuan sederhana untuk merayakan perdamaian kita.”
Akan tetapi Malangi Khan tetap berkepala batu dan menggelengkan kepalanya. Akhirnya Pendekar Bodoh turun tangan. Ia menghampiri Malangi Khan dan berkata,
“Khan yang baik, mengapa kau menolak undangan persaudaraan? Marilah, sekalian kau dapat menyambut puteramu yang tentu telah lama menanti-nantikan kedatanganmu. Kau bawalah semua pengiringmu, sebab dalam suasana perdamaian ini perlu sekali diadakan malam gembira antara kita sama kita!”
Mendengar ucapan ini, lenyaplah kemuraman pada wajah Kaisar Mongol itu. “Kalau kau yang mengundang, itu lain lagi, Saudaraku!”
Dan dia lalu memberi tanda dengan tangannya kepada semua pengiringnya yang berada di belakangnya. Maka, majulah mereka bergerak menuju ke benteng Alkata-san dalam suasana damai!
Diam-diam Kam Wi membisikkan sesuatu kepada Kam Liong, “Suruh para penyelidikmu menyelidiki keadaan di luar, siapa tahu kalau Malangi Khan diam-diam memerintahkan penyerbuan besar.” Kam Liong mengangguk-angguk, karena tanpa nasehat ini, dia pun tentu tidak akan melupakan hal ini.
Pertemuan antara Malangi Khan dan Kamangis amat menggembirakan.
“Ada orang yang mengganggumu di sini?” ayah itu bertanya kaku.
Kamangis menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah Ma Hoa. “Aku mendapatkan perlindungan dari dia yang kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia amat manis budi dan baik sekali, Ayah.”
Malangi Khan memandang kepada Ma Hoa lalu menjura, “Bukankah Toanio ini Ibu dari Kwee Cin?”
Ma Hoa mengangguk, maka Malangi Khan dengan girang dan kagum lalu tertawa besar. “Ehh, Kamangis, kalau begitu mengapa kau tidak menyebut ibu saja kepadanya? Kau boleh menjadi anak angkatnya. Ha-ha-ha!”
Dan serta merta Kamangis yang sangat patuh kepada ayahnya itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ma Hoa sambil menyebut, “Ibu...”
Ma Hoa girang dan juga terharu. Dia memeluk Kamangis dan berkata, “Bagus, memang kau baik sekali. Patut menjadi saudara Cin-ji. Karena kau sudah menjadi anak angkatku, sepatutnya kau kuberi nama julukan, yaitu Kwee Hong”
Malangi Khan tertawa terbahak-bahak. “Bagus, bagus! Memang burung Hong merupakan lambang kebesaran dan kemuliaan. Terima kasih, Toanio!” Pendekar Bodoh lalu bertepuk tangan diikuti oleh orang-orang lain sehingga suasana di situ gembira sekali.
“Ehh, aku hampir lupa, Kamangis, hayo kau cepat memberi hormat kepada gurumu!” Ia menuding ke arah Cin Hai.
Kamangi terheran dan memandang kepada Cin Hai. “Apakah dia lebih lihai dari pada ibu, Ayah? Ibu memiliki ilmu silat yang luar biasa sekali, juga ayah angkatku, demikian kata Kwee Cin. Apakah dia lebih lihai dari mereka?”
“Ha-ha-ha-ha, anak bodoh. Dialah orang yang paling hebat di antara kita semua. Dialah Pendekar Bodoh, dan kau beruntung sekali bisa menjadi muridnya.”
Karena Kamangis memang cerdik, ia lalu berlutut di depan Cin Hai dan memberi hormat sambil menyebut, ‘Suhu’! Kemudian atas perintah ayahnya pula, anak ini pun kemudian memberi hormat kepada ‘ayah angkatnya’ dan juga kepada Lin Lin yang disebut ‘subo’ (isteri guru).
Perjamuan berjalan dengan lancar dan gembira sampai tengah malam. Karena merasa girang sekali puteranya selamat dan permusuhan dapat dihabiskan malam itu, Malangi Khan minum arak sebanyak-banyaknya dan karena arak dari selatan memang jauh lebih keras dari pada arak yang sering kali diminumnya, maka dia menjadi mabuk.
Hal ini memang disengaja oleh Kam Liong karena panglima muda ini ingin sekali dapat mendengar ocehan Malangi Khan dalam mabuknya. Seperti biasa, orang tak akan dapat menyimpan rahasianya apa bila sedang mabuk sehingga jika Malangi Khan mempunyai rencana tertentu dan ‘perdamaian’ yang diperlihatkannya itu hanya tipuan belaka, tentu di dalam mabuknya Kaisar ini akan membuka rahasia. Akan tetapi, ternyata Malangi Khan tidak membuka rahasia apa-apa, kecuali menyebutkan nama-nama beberapa orang selir yang disayanginya!
Dengan bantuan Pendekar Bodoh, Malangi Khan lalu diantar ke dalam sebuah kamar di mana dia lantas tidur mendengkur keras sekali. Kemudian Kaisar Mongol itu ditinggalkan tidur seorang diri di dalam kamar itu, karena yang lain-lain masih melanjutkan perjamuan yang amat gembira.
Siapakah orangnya yang tidak gembira menerima berita bahwa perang dihentikan dan perdamaian membuat mereka mendapat kesempatan untuk pulang dan bertemu kembali dengan keluarga masing-masing? Dalam perjamuan itu, ikut serta para perwira dan orang gagah yang menemani pemimpin-pemimpin pasukan pengawal Malangi Khan.
Kwee An dan Ma Hoa mengantar Kamangis dan Kwee Cin tidur dan Kwee An berpesan kepada Ma Hoa agar jangan meninggalkan dua orang anak itu, karena siapa tahu kalau ada orang jahat di antara para pengikut Malangi Khan. Kemudian dia kembali ke ruang perjamuan, akan tetapi dia mengambil jalan memutar ke belakang.
Tiba-tiba saja dia melihat bayangan orang berkelebat, dan gerakan orang ini luar biasa gesitnya. Tubuh orang itu pendek dan gemuk, mengingatkan dia akan tubuh Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, tapi orang ini tidak berjenggot.
Di antara kawan-kawannya dan orang-orang gagah yang berkumpul di Alkata-san, tidak ada orang yang tubuhnya berbentuk seperti ini, maka timbullah kecurigaannya. Secara diam-diam dia kemudian mengikuti bayangan ini, yang dengan hati-hati mempergunakan kesempatan selagi semua orang sedang makan minum untuk mendatangi jendela kamar di mana Malangi Khan tidur mendengkur dengan pulasnya!
Setibanya di luar jendela, ia lalu mencabut sepasang golok dari punggungnya dan sekali cokel saja, terbukalah jendela itu yang lalu diganjalnya dengan sebatang ranting kering. Kemudian, dengan gerakan gesit sekali orang ini lalu melompat ke dalam kamar.
Ternyata bahwa Malangi Khan tidurnya pulas sekali akibat pengaruh arak sehingga dia tidak mendengar sama sekali akan perbuatan orang yang mencurigakan ini. Orang ini adalah seorang Panglima Mongol yang bertubuh pendek gemuk, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Ia bernama Khalinga, seorang panglima Mongol keturunan Tartar yang amat benci kepada orang-orang Han.
Hal ini tidak mengherankan oleh karena ayahnya dahulu tewas oleh orang Han, maka ia telah bermaksud untuk menumpas setiap bangsa Han yang dijumpainya. Kemudian oleh Malangi Khan dia dipilih menjadi panglima sebab memang Khalinga memiliki kepandaian yang lumayan, apa lagi permainan siang-to (sepasang golok) darinya amat lihai.
Ketika Khalinga mendapat kenyataan bahwa Malangi Khan menyatakan damai dengan orang-orang Han, bahkan hendak mengunjungi Kaisar untuk menyatakan persahabatan, hatinya menjadi panas dan mendongkol sekali. Timbullah kebenciannya yang amat hebat terhadap Kaisarnya yang dianggapnya lemah, pengecut dan ingin mengkhianati cita-cita bangsa Mongol. Oleh karena itu, diam-diam dia mendatangi tempat tidur Malangi Khan dan hendak mempergunakan kesempatan selagi kaisar itu tidur dan para tamu sedang makan minum, untuk membunuh Kaisar Malangi Khan!
Niat ini bukan semata-mata terdorong oleh kebenciannya yang tiba-tiba terhadap Malangi Khan, melainkan merupakan siasat yang amat licin dari orang pendek peranakan Tartar Mongol ini.
Kalau ia dapat membunuh Malangi Khan tanpa diketahui oleh siapa pun juga, tentulah peristiwa hebat ini akan melenyapkan sama sekali maksud damai dari Malangi Khan dan tentu dengan mudah dia akan dapat menghasut para panglima dan bala tentara Mongol bahwa dengan sengaja Malangi Khan dijebak ke dalam perangkap kemudian diam-diam dibunuh oleh orang-oran Han! Dengan demikian seluruh bala tentara Mongol tentu akan serentak bangkit dan memusuhi orang-orang Han, dan siapa tahu kalau-kalau dia akan dapat memperoleh kedudukan tinggi!
Akan tetapi semua itu hanya mimpi atau lamunan kosong belaka karena tanpa ia ketahui, pada saat itu ia telah diikuti oleh seorang pendekar besar yang lihai, yaitu Kwee An!
Di dalam kamar Malangi Khan itu masih terang karena lilin yang bernyala di atas ciak-tai (tempat lilin) masih belum habis dan belum padam. Ketika Kwee An melihat betapa orang pendek itu mengangkat golok dan hendak membacok Malangi Khan, cepat-cepat tangan kanannya bergerak dan sebutir batu kerikil tajam melayang ke arah pergelangan tangan kiri orang yang telah mengangkat golok kiri untuk dibacokkan ke arah leher Malangi Khan itu!
Orang itu menjerit perlahan lantas goloknya terlepas dari pegangan. Dia merasa tangan kirinya menjadi lumpuh. Bukan main herannya ketika ia tidak mendengar suara goloknya yang terlepas itu berdentang di atas lantai, malah tiba-tiba api lilin bergoyang.
Alangkah kagetnya ketika ia menengok, ia melihat goloknya yang terlepas tadi sebelum jatuh ke atas lantai, sudah disambar oleh bayangan yang gagah dan kini berdiri dengan golok rampasan itu di depannya sambil tersenyum mengejek. Khalinga mengenal orang ini sebagai Kwee An, ayah dari anak yang dulu ditahan di dalam benteng, maka dengan nekat dia lalu menerjang dengan goloknya.
Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan Kwee An, pendekar besar yang berilmu tinggi itu. Setelah belasan jurus mereka bertempur, bukan Khalinga yang menyerang, bahkan dia menjadi pihak yang diserang kalang-kabut oleh Kwee An!
Kwee An hendak menawannya hidup-hidup, maka agak sukar ia mengalahkan lawannya. Kalau saja dia mau menurunkan tangan maut, dalam satu dua jurus saja tentu dia akan dapat membuat lawannya roboh tak bernyawa lagi atau terluka berat.
Suara golok yang beradu menimbulkan suara nyaring dan membangunkan Malangi Khan dari tidurnya.
“Hei! Kalian sedang berbuat apa di sini?” tegurnya heran ketika melihat salah seorang panglimanya sedang bertempur melawan Kwee An.
“Malangi Khan! Penjahat ini berusaha membunuhmu!” berkata Kwee An.
Malangi Khan bukanlah seorang Kaisar besar apa bila dia tidak tahu akan watak semua panglimanya. Begitu mendengar hal ini, segera dia maklum bahwa Khalinga tentu akan menimbulkan kekeruhan, hendak membunuhnya agar memancing permusuhan di antara orang-orang Han dan orang-orang Mongol, karena Malangi Khan sudah tahu betul akan kebencian Khalinga terhadap orang Han.
“Khalinga, kau berani hendak mengkhianati aku?” bentaknya marah.
Khalinga berdiri dengan muka merah dan dada berombak di depan kaisarnya yang telah duduk di atas pembaringan, sedangkan Kwee An juga menunda serangannya akan tetapi terus memandang dengan penuh kewaspadaan.
“Malangi, kau bilang aku mengkhianati engkau? Justru kau orangnya yang mengkhianati bangsa Mongol, kau Kaisar lemah dan pengecut! Kau sudah menyerah kepada bangsat-bangsat Han tanpa mengeluarkan setetes darah, alangkah rendah dan hinanya, alangkah pengecut. Orang macam kau harus mampus di ujung golokku!” Sambil berkata demikian, Khalinga lalu menubruk maju dan menusukkan goloknya ke arah dada Malangi Khan!
Akan tetapi Kwee An segera membentak marah dan sekali goloknya berkelebat, Khalinga lantas berseru kesakitan dan goloknya terlempar ke atas lantai, ada pun tangan kanannya berlumur darah terkena ujung golok Kwee An.
Malangi Khan melompat turun, mengambil golok yang terlepas dari tangan Khalinga, lalu mengangkat golok itu untuk dibacokkan ke arah kepala Khalinga.
“Ha-ha! Kaisar pengecut, kau hendak membunuhku? Bunuhlah, ini dadaku! Aku Khalinga tidak takut mati, tidak seperti engkau!”
Melihat sikap Khalinga ini, maka lemaslah tangan Malangi Khan. Kaisar ini paling suka dan kagum akan kegagahan dan sikap yang berani mati dari Khalinga ini menimbulkan sayangnya.
“Khalinga, lekas pergilah! Aku ampuni jiwamu. Akan tetapi jangan sekali-kali kau berani memperlihatkan mukamu di hadapanku lagi. Kembalilah kau kepada orang-orang Tartar, kau tidak berhak menyebut diri menjadi orang Mongol lagi!”
Bagaikan seekor anjing dipukul, Khalinga melompat keluar dari jendela dan melarikan diri. Setelah Kaisar menyatakan dia bukan orang Mongol lagi, dia tidak berani membuka mulut memaki Malangi Khan, karena sebagai orang Tartar tentu saja dia tidak berhak ikut mencampuri urusan Negara Mongol!
Sementara itu, ribut-ribut ini telah menarik perhatian orang-orang dan Cin Hai diikuti yang lain-lain telah memburu ke tempat itu. Mereka masih dapat melihat betapa Malangi Khan mengampuni calon pembunuh itu, maka makin kagumlah Cin Hai kepada Kaisar Mongol ini.
Juga Kim Wi dan Kam Liong, demikian pula Tiong Kun Tojin, diam-diam memuji Kaisar yang bijaksana ini. Lebih-lebih Kam Wi mengakui kebenaran sikap Pendekar Bodoh yang berhasil menarik hati Kaisar Mongol ini, karena menurut hasil penyelidikan para petugas, ternyata bahwa barisan Mongol yang luar biasa besar jumlahnya telah mengurung sekitar Pegunungan Alkata-san! Kalau saja Malangi Khan mereka ganggu dan kalau saja pecah pertempuran besar, biar pun orang-orang gagah ini tidak merasa jeri dan belum tentu mereka kalah, akan tetapi sudah pasti bahwa banyak korban akan roboh di antara kedua pihak.
Ada pun Malangi Khan tentu saja merasa amat berterima kasih kepada Kwee An, karena kalau tidak kebetulan pendekar ini melihat Khalinga, tentu dia sudah terbunuh oleh orang pendek itu. Dan lebih bersyukur lagi hati Kaisar ini bahwa penolongnya ternyata adalah ayah angkat dari Kamangis putera tunggalnya!
Pada keesokan harinya, Malangi Khan membawa seluruh pasukan serta bala tentaranya untuk kembali ke utara setelah menerima janji dari Pendekar Bodoh bahwa pendekar ini kelak akan menyusul ke utara mengunjungi istana Malangi Khan dan untuk menurunkan ilmu kepandaian kepada Pangeran Kamangis.
Sebaliknya, Kam Liong juga membawa kembali seluruh pasukannya ke kota raja setelah mengangkat seorang komandan untuk bertugas menjaga tapal batas utara dengan pesan agar supaya memperkuat disiplin agar anak buahnya tidak mencari perselisihan dengan orang-orang Mongol yang berlalu-lintas membawa barang dagangan mereka.
Semua orang merasa puas dengan kesudahan dari perang besar yang akan meletus itu, hanya Cin Hai dan sekeluarganya yang merasa amat gelisah karena sampai pada waktu itu, Lili masih juga belum pulang! Terutama sekali Lin Lin merasa gelisah sekali.
Oleh karena itu, ketika Goat Lan dan Hong Beng dengan disertai oleh Kwee An dan Ma Hoa kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada Kaisar mengenai hasil tugas hukuman mereka dan minta dibebaskan serta diampunkan, Cin Hai dan Lin Lin tidak ikut pulang, melainkan hendak pergi mencari Lili.
Dengan diperkuat oleh laporan Kam Liong, Kaisar yang mendengar tentang kesudahan perang itu menjadi sangat gembira dan memuji Hong Beng serta Goat Lan sebagai dua orang pendekar yang setia dan gagah.
“Aku telah mendengar bahwa kalian berdua sudah bertunangan,” Kaisar berkata dengan ramah, “biar pun kalian belum menikah, sudah sepatutnya aku memberi selamat dengan sedikit tanda mata.”
Kaisar lalu memberi hadiah kepada sepasang pendekar ini, yakni sepasang siang-kiam (pedang pasangan) yang bergagang emas serta sebuah giok-ma (kuda kumala), yaitu sebuah perhiasan berbentuk kuda yang terbuat dari batu kemala dan diukir indah sekali sehingga nampaknya seperti hidup saja.
Ada pun Pangeran Mahkota yang merasa amat berterima kasih kepada Goat Lan karena sudah menolong nyawanya dari maut berupa penyakit hebat itu, lalu meloloskan sebuah kancing bajunya yang terbuat dari pada intan. Kancing baju ini berbentuk bulat dan intan yang luar biasa besarnya ini terukir dengan huruf Hok (Rejeki) dan di belakangnya terukir pula dengan huruf-huruf yang berarti Putera Pangeran.
Dengan memegang kancing seperti itu berarti Goat Lan juga telah memegang kekuasaan yang besar, karena ke mana pun juga dia pergi, asalkan dia memperlihatkan kancing ini kepada para pembesar negeri, maka ia tentu akan diterima dengan penuh penghormatan seperti orang menerima kunjungan Pangeran sendiri!
Demikianlah, sesudah menghaturkan terima kasih dengan hati terharu, Hong Beng serta Goat Lan lalu meninggalkan istana dan bersama dengan Kwee An dan Ma Hoa, mereka lalu kembali ke Tiang-an. Di sepanjang jalan mereka bergembira, apa lagi Kwee Cin yang memang belum pernah menikmati perjalanan yang demikian jauh.
Ada pun Sin-kai Lo Sian, ketika oleh Cin Hai disuruh kembali terlebih dahulu ke Shaning karena suami isteri ini hendak mencari Lili, Pengemis Sakti ini menolak dengan halus dan menyatakan bahwa dia sudah bosan untuk berdiam menganggur di dalam rumah dan darah petualangnya memanggilnya untuk kembali mengadakan perantauan seperti pada waktu dahulu.
Ke manakah perginya Lili, gadis remaja yang cantik dan gagah berani itu? Mari kita ikuti perjalanannya yang penuh bahaya…
Sebagaimana sudah diketahui, ketika mendengar bahwa Goat Lan dan Hong Beng pergi ke benteng orang Mongol untuk menolong Kwee Cin, Lili yang berani dan bengal menjadi tergerak hatinya sehingga malam-malam dia lalu minggat dari benteng Alkata-san untuk menyusul kakaknya dan calon soso-nya (kakak ipar) itu.
Ia mempergunakan ilmu lari cepat di malam terang bulan dan ia merasa gembira sekali. Melalui gunung-gunung dan hutan-hutan liar di malam disinari bulan itu sama sekali tidak membuat hatinya menjadi takut, sebaliknya ia malah merasa demikian gembira sehingga ia berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi kecil seperti ketika ia masih kanak-kanak dahulu.
Akan tetapi oleh karena selama hidupnya Lili belum pernah menginjak daerah ini dan ia pun masih belum berpengalaman dalam hal mencari jalan dengan hanya mengandalkan petunjuk lisan dari seorang Haimi tua seperti Nurhacu itu, maka tanpa disadarinya kedua kakinya menyeleweng dan makin jauh ia meninggalkan arah tujuannya! Ia membelok ke barat menuju ke rimba raya di atas sebuah bukit yang gelap dan menghitam mengerikan.
Setelah malam hampir terganti fajar, kian jauhlah ia tersasar dan makin bingunglah hati Lili. Menurut Nurhacu, hutan yang dilaluinya ini tidak panjang dan sebelum fajar ia sudah dapat keluar dari hutan ini dan sampai di padang rumput dari mana benteng orang-orang Mongol akan tampak. Akan tetapi sekarang sudah menjelang fajar, hutan yang dilalui ini makin lama makin liar dan makin padat oleh pohon-pohon raksasa.
Ia menjadi mendongkol sekali kepada Nurhacu, disangkanya sengaja memberi petunjuk menyesatkan. Mulai lenyaplah kegembiraan di wajahnya, terganti oleh kemarahan yang terlihat pada bibirnya yang cemberut.
Akan tetapi dasar watak Lili amat gembira, setelah fajar terganti pagi dan matahari mulai bersinar, kegembiraannya timbul lagi bersama dengan datangnya suara burung-burung hutan berkicau dan munculnya binatang-binatang hutan yang sangat elok. Beberapa ekor binatang kecil seperti kelinci, rusa, dan lain-lain keluar dari semak-semak, berlari-lari kecil bermandi cahaya matahari sehingga Lili menjadi gembira sekali.
Ia pun lalu ikut berlari-lari, mengejar ke sana ke mari untuk melihat binatang-binatang itu bermain-main sambil kadang-kadang terdengar suara tawanya yang merdu dan nyaring. Kalau ada orang melihat keadaan di dalam hutan liar ini pada waktu itu, dia akan melihat binatang-binatang kecil berlari-larian dan bermain-main di dalam cahaya matahari pagi, mendengar suara burung-burung berkicau serta melihat kembang-kembang mekar indah dengan hiasan mutiara-mutiara embun pagi yang bergantungan di kelopaknya, sehingga pada saat melihat seorang dara juita berbaju kembang berlari ke sana-sini sambil tertawa merdu, tentu orang itu akan menyangka bahwa Lili adalah seorang bidadari atau seorang peri!
Ketika melihat ada sepasang rusa di bawah pohon sedang berkasih-kasihan, yang jantan membelai-belai yang betina dengan lehernya yang panjang indah, hati Lili berdebar dan tiba-tiba di depan matanya terbayang wajah seorang pemuda!
Ia mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa sangat aneh dan marah kepada diri sendiri. Mengapa wajah yang terbayang itu wajah... Lie Siong, orang kurang ajar itu? Kalau saja dia teringat pertama-tama kepada Kam Liong atau bahkan kepada Song Kam Seng sekali pun, dia tak akan merasa aneh. Akan tetapi… Lie Siong?!
Tanpa terasa lagi dia menjumput pasir dan menyambitkannya ke arah sepasang rusa itu yang menjadi terkejut dan melarikan diri. Lenyap pulalah bayangan wajah Lie Siong dari depan matanya dan Lili menjadi gembira kembali.
Tiba-tiba dia melihat seekor kelinci putih yang gemuk dan timbullah seleranya. Dia telah melakukan perjalanan selama setengah malam tanpa istirahat dan kini dia merasa amat lapar. Dikerjarnya kelinci itu, akan tetapi walau pun gemuk dan keempat kakinya pendek-pendek, namun ternyata kelinci putih itu dapat berlari cepat sekali dan sebentar saja dia menghilang di dalam semak-semak.
Lili memang beradat keras dan tidak mudah mengaku kalah. Dia lalu mencabut pedang Liong-coan-kiam dan membabat semak-semak itu hingga bersih! Sebelum semak-semak itu habis dibabat, kelinci itu telah melompat pergi lagi dan kembali menyusup ke dalam semak-semak yang lebih lebat lagi. Lili menggigit bibirnya.
“Kelinci manja! Ke mana kau hendak pergi? Biar pun kau pergi ke neraka, tetap saja aku akan dapat menangkap dan menikmati dagingmu yang empuk!”
Kembali Lili membabat semak-semak berduri itu. Akan tetapi seperti tadi pula, kelinci itu melompat dan berpindah-pindah dari sebuah semak ke semak yang lain. Sebentar saja, sudah lebih dari sepuluh rumpun semak-semak belukar yang dibabat habis oleh pedang Liang-coan-kiam di tangan Lili.
Dan akhirnya kelinci itu menjadi sangat ketakutan dan berlari terus, dikejar oleh Lili yang menjadi semakin gemas. Setelah kehabisan jalan, kelinci itu kembali menyusup ke dalam semak-semak yang penuh dengan tetumbuhan daun hitam yang gelap sekali. Lili tidak peduli dan mulai membabat lagi.
Pedang Liong-coan-kiam adalah pedang pusaka yang amat tajam, maka dengan mudah saja semak-semak itu dibabat hingga berhamburan ke kanan kiri sampai terlihat tanah di bawahnya. Sesudah semak-semak ini habis terbabat, tidak seperti tadi, kelinci itu tetap tidak kelihatan.
Lili menjadi penasaran sekali. Sudah terang bahwa kelinci itu tak melompat keluar, akan tetapi mengapa juga tidak berada di dalam semak-semak ini? Apakah kelinci itu pandai menghilang? Ia mencari terus, melempar-lemparkan semak-semak yang sudah terbabat itu ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja kelinci tidak nampak.
Akhirnya ia melihat ada sebuah lubang bundar yang lebarnya kurang lebih satu setengah kaki. Ia pun mengangguk-angguk dan tersenyum. “Kelinci licik, kau kira aku tidak tahu ke mana bersembunyi? Keluarlah!”
Dia lalu menepuk-nepuk pinggir lobang itu dan menjadi terheran-heran ketika mendengar suara berdengung dari bawah tanah. Lobang itu ternyata kosong di sebelah dalamnya, pikirnya. Tempat apakah ini? Goa tertutup?
Dia lalu mempergunakan pedangnya untuk menggali lubang itu dan baru saja satu kaki dalamnya, ternyata bahwa lobang di bawah luar biasa besarnya, merupakan sumur yang lebar sekali. Jadi lubang tadi merupakan ‘cerobong’ pada langit-langit ruangan di bawah tanah ini!
Lili menjadi tertarik sekali. Dia segera melebarkan cerobong itu sampai kira-kira tiga kaki segi empat, lalu mengambil batu dan melemparnya ke bawah. Tidak dalam, pikirnya, dan di bawah tanah lunak biasa saja. Hal ini diketahui karena dalam waktu singkat batu itu mengenai dasar ruang dan terdengar suara berdebuk.
Ia harus menangkap kelinci itu dan di samping itu, ia pun ingin tahu apakah yang berada di dalam ruang di bawah tanah ini. Memang ia memiliki nyali yang amat besar. Dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan kanan, gadis ini kemudian melompat ke dalam lubang tadi.
Benar seperti yang disangkanya tadi, kakinya menyentuh tanah dan ternyata lubang itu dalamnya hanya dua tombak kurang. Sesudah matanya terbiasa dengan pemandangan suram-suram di dalam lubang itu, ia mulai melakukan penyelidikan. Sinar matahari yang masuk dari lubang atas, cukup untuk melihat keadaan di sekelilingnya.
Sumur itu ternyata besar juga, kira-kira tiga tombak luasnya dan dikelilingi oleh dinding batu-batu karang yang kehitaman dan mengkilap. Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya, dia tidak melihat kelinci putih tadi! Ia menjadi penasaran sekali karena sumur itu ternyata kosong melompong tidak ada apa-apanya yang menarik, sedangkan kelinci itu lenyap begitu saja.
Ia menyelidiki bagian bawah dinding di seputar tempat itu kalau-kalau ada lubangnya dari mana kelinci itu dapat masuk. Usahanya berhasil karena memang benar di sebelah kiri terdapat lubang kecil di bagian bawah.
Ia mendongkol sekali, tentu kelinci tadi telah melarikan diri ke lubang ini, dan bagaimana dirinya bisa masuk? Lubang itu hanya dapat dimasuki kedua tangannya saja. Ia mencoba lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam lubang ini dan mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya bahwa di balik dinding ini pun merupakan ruang terbuka!
Lili makin tertarik. Ia memeriksa dinding itu dan mendapat kenyataan yang mendebarkan hatinya bahwa di situ terdapat pecahan yang merupakan sebuah pintu! Akan tetapi pintu ini rapat sekali dan ketika ia mencoba untuk mendorongnya, ternyata pintu itu kuat sekali.
Ia lalu mencari akal dan memeriksa lagi. Mungkin bukan pintu dorongan, melainkan pintu angkat seperti penutup lubang jendela, pikirnya. Ia lalu memasukkan kedua tangannya di dalam lubang di bawah pintu ini kemudian mengerahkan tenaganya mengangkat sambil mendorong ke luar.
Dia berhasil! Pintu bundar itu bergerak keluar, akan tetapi Lili harus segera melepaskan kedua tangannya karena pintu itu itu terlampau berat baginya. Peluhnya membasahi jidat dan ia beristirahat sebentar. Setelah tenaga terkumpul kembali ia lalu mencoba lagi, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat membuka pintu itu terus sampai dia dapat masuk melalui lubangnya.
Lili adalah seorang yang keras hati dan apa bila sudah mempunyai kehendak, maka akan berusaha mati-matian untuk mencapai kehendak ini. Berkali-kali dia mencoba dan ketika dia mengangkat untuk yang ke sekian belas kalinya, tiba-tiba pintu itu terbuka terus dan tidak menindih kembali seperti ada sesuatu yang mengganjalnya!
Cepat dia merayap masuk ke dalam ruang di balik pintu itu dan alangkah herannya ketika melihat bahwa pintu yang tebal dan berat sekali itu kini tertahan oleh sebatang tongkat bambu yang kecil dan panjang, sebatang tongkat yang dipegang oleh seorang nenek tua. Atau bukan manusiakah nenek ini? Lili memandang dengan mata terbelalak.
Dia melihat bentuk tubuh yang kurus kering dan kecil sekali, bongkok dan kulitnya sudah menjadi satu dengan tulang, melekat sehingga hampir kelihatan seperti sebuah rangka hidup. Rambut nenek ini putih semua dan awut-awutan menutupi mukanya yang berkulit kehitaman. Bajunya hitam menutupi kedua pundak terus bawah.
Kalau saja dua lubang yang merupakan matanya itu tidak bergerak-gerak dan tangan kiri yang memegang tongkat tidak sedang menjaga pintu batu, tentu Lili akan menyangkanya sebuah patung rusak. Tangan kanan nenek ini memegang kelinci putih yang sejak tadi dikejar-kejar oleh Lili.
Setelah dara itu masuk, nenek ini lalu menggerakkan tangan kanannya dan kelinci putih itu melayang keluar melalui pintu batu kemudian terdengar suara keras ketika ia menarik kembali tongkatnya dan daun pintu batu yang berat itu menimpa turun lagi dan menutup tempat itu. Akan tetapi tempat itu tetap terang karena mendapat cahaya matahari dari atas yang turun melalui lubang-lubang kecil yang tinggi sekali dari tempat itu.
Lili menjadi terkejut bukan main. Ia cepat memandang ke sekelilingnya dan tidak melihat sebuah pun jalan keluar. Ketika ia memandang kembali kepada nenek itu, kini nenek itu telah duduk bersila dan diam tak bergerak bagaikan patung asli dari batu hitam!
Lili mulai merasa takut. Dia seakan-akan berada di dalam kuburan, dikubur hidup-hidup bersama sebuah patung batu yang mengerikan, karena kelihatannya seperti tengkorak. Cepat dia menghampiri pintu batu tadi dan berusaha membukanya agar dapat keluar dan melarikan diri.
Akan tetapi seperti tadi, ia tidak mampu membuka pintu itu, tidak mampu membuka lebih lebar dari satu dim saja! Lalu bagaimanakah nenek tadi dapat menahan pintu itu dengan sebatang tongkat bambu?
Lili lalu menghampiri nenek itu dan dengan suara halus membujuk, “Nenek tua yang baik, maafkanlah kelancanganku masuk ke sini dan tolonglah aku keluar dari goa ini. Aku tidak dapat membuka pintunya.”
Berkali-kali ia mengucapkan permintaan ini akan tetapi jangankan membuka mata atau mulut, nenek aneh itu bergerak pun tidak. Mendadak Lili teringat dengan bulu tengkuk berdiri bahwa mungkin sekali nenek ini bukan manusia, melainkan seorang iblis penjaga bumi! Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Liok-te Pouwsat (Dewi Bumi), mohon ampun atas kekurang ajaran hamba. Hamba Sie Hong Li telah melakukan dosa karena berlancang masuk ke tempat kediaman Pouwsat tanpa disengaja, mohon ampun dan tolonglah hamba keluar dari kuburan ini!”
Kembali Lili mengulangi permohonannya ini sampai sepuluh kali, akan tetapi nenek itu tetap saja duduk bersila tanpa membuka mata atau mulut. Akhirnya Lili menjadi marah sekali. Ia melompat bangun dan membentak,
“Aha, tak tahunya engkau seorang Iblis Bumi yang jahat, ya? Kau hendak mengurungku sampai mati di sini atau sampai menjadi tua dan buruk seperti engkau? Lebih baik aku mati! Akan tetapi sebelum aku mati, kalau kau tidak mau membuka pintu goa ini, kaulah yang akan kubikin mampus lebih dulu!”
Lili mencabut Liong-coan-kiam yang berkilauan di dalam keadaan suram-suram itu. Dia menggerak-gerakkan pedangnya untuk menakut-nakuti nenek itu, dan benar saja, nenek itu sekarang membuka sepasang matanya yang mencorong laksana mata kucing. Akan tetapi, bukannya menjadi takut, bahkan tiba-tiba saja nenek itu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Lili berdiri saking seramnya. Nenek itu ketawa tiada ubahnya seperti mayat atau tengkorak tertawa!
“Kau menertawakan aku? Agaknya kau tak tahu sampai di mana kelihaian pedang Liong-coan-kiam ini!” Sambil berkata demikian, Lili kemudian mainkan pedangnya dengan hebat, menyerang nenek itu.
Akan tetapi, pedangnya terbentur dengan tongkat bambu dan terpental kembali, diiringi suara ketawa nenek itu. Lili tahu bahwa nenek ini tentu memiliki kepandaian tinggi, maka ia lalu mainkan jurus-jurus dari Liong-coan Kiam-sut ciptaan ayahnya. Pedangnya lenyap menjadi segulung sinar yang mengurung tubuh nenek itu.
Akan tetapi ke mana pun juga pedangnya berkelebat, selalu pedang ini terbentur kembali oleh tongkat bambu yang luar biasa itu dan tiba-tiba, dibarengi oleh suara ketawanya, nenek itu menggunakan tangan kanannya merampas pedang Lili! Dengan sangat mudah dia menangkap pedang itu dan membetotnya tanpa Lili mampu berdaya apa-apa! Dan ketika gadis ini memandang, ia membelalakkan kedua matanya karena sekali tekuk saja dengan jari-jari tangan kanannya, pedang Liong-coan-kiam telah dipatahkan!
“Nenek gila, kau berani merusak pedangku?!” bentak Lili dengan marah dan sekarang ia mengeluarkan kipasnya, kemudian tanpa menanti lagi ia lalu mainkan ilmu kipas yang ia pelajari dari Swi Kiat Siansu, yakni Ilmu Kipas San-sui San-hoat yang lihai.
Kembali ia terperanjat ketika semua jurus dari San-sui San-hoat diperlihatkan, sekali ulur tangannya saja nenek itu sudah merampas kipasnya dan mematahkannya pula seperti pedang tadi! Lili menjadi makin gelisah.
Celaka, pikirnya. Sekarang aku harus menemui kematian di tempat ini. Akan tetapi dia tidak menjadi takut, bahkan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir. Kini ia maju menyerang dengan tangan kosong, dan memainkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajari dari orang tuanya, yaitu Pek-in Hoat-sut diganti-ganti dengan Kong-ciak Sin-na!
Dua macam ilmu silat tangan kosong ini adalah ilmu yang tangguh dari Bu Pun Su. Akan tetapi ketika digunakan menghadapi nenek ini agaknya seperti tenaga air sungai bertemu dengan laut karena nenek itu sambil tertawa-tawa kini juga memainkan Pek-in Hoat-sut untuk melawan Lili! Akhirnya Lili kehabisan tenaga dan dia pun roboh pingsan di depan nenek itu saking lelah, lapar, marah dan putus harapan!
Pada saat Lili siuman kembali, nenek itu memberinya tiga butir buah hitam dan memberi tanda agar dia makan buah itu. Lili merasa tubuhnya letih dan lapar, maka karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, dia menjadi seperti seekor harimau betina yang menemui manusia kuat. Ia makan tiga butir buah itu yang ternyata enak dan wangi dan perutnya terasa penuh dan kenyang!
Kemudian nenek itu menggurat-guratkan ujung tongkatnya di atas lantai. Ternyata bahwa nenek itu telah menuliskan beberapa huruf yang cukup indah. Lili lalu membacanya,
‘Kau berjodoh untuk menjadi muridku selama dua pekan. Engkau harus mempelajari ilmu silat ciptaanku yang kuberi nama Hang-liong Cap-it Ciang-hoat (Sebelas Jurus Ilmu Silat Penakluk Naga). Akan tetapi ada syaratnya, yaitu di waktu kau masih mempelajari dan melatih ilmu silat ini selama satu bulan kau tidak boleh bicara dan harus bertapa gagu!’
Lili merasa aneh sekali. Akan tetapi sesudah dia maklum bahwa dia tidak akan mati dan bahkan menjadi murid seorang yang pandai luar biasa, dia pun menjadi girang dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.
“Teecu akan mentaati semua perintah Suthai.”
Demikianlah, selama dua pekan, dara perkasa ini mempelajari semacam ilmu silat yang baru dan yang luar biasa lihainya, dan biar pun ilmu silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat hanya terdiri dari sebelas jurus, akan tetapi setiap jurus memerlukan gerakan yang sukar dan sempurna serta tenaga yang luar biasa.
Setiap hari gurunya menempelkan telapak tangan kiri pada telapak tangan kanannya, sedangkan tangan kiri Lili lalu disuruh mendorong daun pintu itu untuk membukanya. Pertama kali Lili masih saja tidak kuat, kecuali setelah gurunya mengerahkan tenaga dan menyalurkannya melalui telapak tangannya. Tetapi begitu gurunya melepaskan tempelan telapak tangannya, pintu itu turun kembali tanpa Lili dapat menahannya!
Akan tetapi lambat laun, setelah sembilan hari, Lili dapat membuka daun pintu itu dengan tenaganya sendiri! Ternyata bahwa lweekang-nya telah meningkat secara luar biasa dan cepat sekali. Setelah dua minggu, tamatlah pelajarannya.
Gurunya bertanya kepadanya melalui tulisan di atas lantai,
‘Aku menurunkan ilmu silat ini kepadamu hanya karena kau pernah mempelajari Pek-in Hoat-sut dari Lu Kwan Cu (Bu Pun Su). Pernah apakah kau dengan dia?’
‘Dia adalah Sucouw-ku (Kakek Guruku),’ jawab Lili, juga dengan tulisan di atas lantai karena dia menepati janjinya bertapa gagu selama sebulan! Kemudian ia menambahkan. ‘Dan bolehkah teecu bertanya, siapakah nama Suthai?’
Nenek yang bagai tengkorak itu hanya menuliskan tiga huruf di atas lantai yang berbunyi, ‘Bu-liang-sim’ yang artinya ‘Tiada Pribudi’, kemudian ia menudingkan tongkatnya ke arah pintu goa mengusir Lili pergi dari situ.
Lili berlutut dan mencium tangan gurunya yang aneh ini sebagai tanda berterima kasih, kemudian dia lalu membuka batu besar yang menjadi pintu goa dan keluar dari goa itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat kelinci putih yang dulu dilempar keluar oleh gurunya masih berada di situ, akan tetapi kelinci ini telah menjadi begitu kurus karena selama dua pekan tidak makan!
Kalau dulu Lili ingin sekali makan dagingnya, sekarang gadis ini malah menjadi kasihan melihatnya. Dia memegang binatang itu pada kedua telinganya, kemudian membawanya melompat ke atas, keluar dari sumur itu. Setelah sampai di atas, dia lalu memandang ke kanan kiri dan melemparkan kelinci itu ke dalam semak belukar.
Dia menarik napas panjang dengan penuh kebahagiaan karena merasa bersyukur masih dapat hidup setelah mengalami pengalaman yang semikian hebat. Kemudian, setelah dia menghafal keadaan di sekeliling tempat itu untuk mengingat tempat tinggal gurunya, dia lalu menggunakan semak-semak untuk menutupi lubang itu agar jangan sampai terlihat oleh orang lain.
Kemudian pergilah dia dari sana, sambil tidak lupa untuk melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang masih harus dipelajarinya terus. Meski pun dia sudah kehilangan Liong-coan-kiam serta kipasnya, dua senjata yang diandalkannya, akan tetapi sekarang karena dia sudah mendapatkan ilmu silat yang luar biasa ini, dia merasa lebih percaya kepada diri sendiri dari pada dahulu.
Sesudah Malangi Khan menyatakan damai dengan bala tentara Kaisar, perdagangan di tapal batas utara menjadi ramai lagi, bahkan lebih ramai dari pada sebelum terjadinya perang. Kota-kota di utara yang tadinya kosong dan sunyi karena ditinggalkan oleh para penduduknya yang pergi mengungsi, sekarang menjadi penuh lagi, bahkan bertambah pula oleh orang-orang Han dan orang Mongol yang datang untuk mencari untung dalam perdagangan di tempat itu.
Kota Kun-lip juga menjadi ramai sekali. Kota ini terletak di sebelah selatan tembok besar dan perdagangan di situ ternyata maju sekali. Oleh karena itu, tidak heran apa bila kota ini banyak dikunjungi orang dan karenanya, hotel dan restoran menjadi subur dan maju.
Setelah mendengar bahwa peperangan telah selesai dan semua orang itu telah kembali ke selatan, Lili tidak segera kembali ke Shaning karena dia masih belum menghabiskan tapa gagunya. Dia merasa amat tidak enak untuk berhadapan dengan orang-orang yang dikenalnya, terutama keluarganya, dalam keadaan bertapa gagu dan tidak boleh bicara ini!
Sekarang ia maklum kenapa gurunya yang aneh itu melarangnya bicara selama sebulan dalam waktu ia masih melatih diri dengan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat. Selain tapa gagu ini merupakan ujian yang berat bagi kekerasan hatinya untuk bertekun mempelajari ilmu silat yang aneh dan sukar itu, juga pada waktu melatih ilmu silat ini, tenaga lweekang selalu terkumpul di dalam dadanya sehingga dengan mudah disalurkan ke arah kedua tangannya. Kalau ia membuka mulut bicara, maka itu berarti perhatiannya akan terpecah dan hawa yang terkumpul itu bisa buyar atau membocor keluar. Memang, untuk berlatih Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dibutuhkan perhatian yang khusus dan pengerahan tenaga dalam yang sepenuhnya.
Pada pagi hari itu, sudah genap dua puluh hari dia bertapa gagu. Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat telah hampir sempurna dilatih. Tiga hari lagi dia sudah dapat membuka pantangan bicara, dan hari itu dia berjalan-jalan di dalam kota Kun-lip. Ketika ia berjalan sampai di depan sebuah restoran besar, tiba-tiba ada orang memanggilnya,
“Lili...!”
Ia cepat menengok dan melihat Song Kam Seng tengah duduk di belakang sebuah meja di halaman luar restoran itu sambil menghadapi hidangan.
“Nona Hong Li, kau hendak kemanakah? Silakan duduk dan mari kita bercakap-cakap. Sudah sangat lama kita tidak bertemu. Bagaimana keadaan kedua orang tuamu?” Kam Seng bertanya dengan ramah dan nyata sekali kegembiraannya bertemu dengan nona ini.
Akan tetapi, biar pun di dalam hatinya Lili tidak marah lagi kepada Kam Seng yang telah memperlihatkan jasa-jasanya dalam keadaan perang yang lalu, namun tentu saja ia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini karena dia masih sedang berpantang bicara. Maka dia berpura-pura tidak melihat, cepat membuang muka dan hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan pemuda itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Gadis liar, baru sekarang aku mendapat kesempatan melunaskan perhitungan!”
Tiba-tiba dari belakangnya, Lili merasa sambaran angin hebat dan cepat ia lalu miringkan tubuh melompat ke kanan. Ternyata yang baru menyerangnya itu adalah Ban Sai Cinjin dengan huncwe mautnya!
Kakek ini memang sedang berada di kota itu dan tadi ketika Kam Seng duduk seorang diri, sebetulnya kakek itu sedang memesan masakan ke meja pengurus restoran, maka Lili tidak melihatnya. Ketika kakek ini melihat Lili, timbullah marahnya karena dia teringat betapa gadis ini pernah menghina dan mengganggunya, dan betapa ayah gadis ini juga sudah menghinanya secara luar biasa sekali.
Karena Lili tidak bisa membalas dengan kata-kata, gadis ini hanya berdiri dan menatap ke arah Ban Sai Cinjin dengan alis berkerut dan mata bernyala. Ia tidak ada nafsu untuk berkelahi oleh karena ia sedang melatih ilmu silatnya yang sebentar lagi akan sempurna. Kalau ia pergunakan dalam pertempuran, maka akan banyak hawa dipergunakan dan ini berarti ia menderita rugi sebelum ilmu silatnya tamat. Kalau saja ia sudah tamat, tentu dengan gembira gadis yang suka berkelahi ini akan melayani dan menghajarnya.
“Bocah, bersedialah untuk mati!” kembali Ban Sai Cinjin membentak sambil sekaligus dia mengirim dua macam serangan.
Tangan kanannya memukulkan huncwe maut ke arah kepala Lili sedangkan kaki kirinya diangkat untuk mengirim tendangan yang menjaga kalau-kalau gadis itu akan melompat ke belakang.
Melihat gerakan kakek ini, Lili segera tahu bahwa dibandingkan dengan dahulu, kakek ini telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Memang benar, Ban Sai Cinjin yang telah mengalami kekalahan berkali-kali, dan bahkan telah dihajar setengah mati oleh Pendekar Bodoh, menjadi sakit hati dan dengan prihatin dia lalu memperdalam ilmu silatnya atas bantuan suheng-nya, yaitu Wi Kong Siansu yang lihai dan yang berjuluk Toat-beng Lomo (Iblis Tua Pencabut Nyawa ).
Menghadapi serangan Ban Sai Cinjin yang hebat ini, Lili lalu merendahkan tubuhnya dan menekuk lutut, mengelak dengan gerakan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw, karena ia masih belum mau mempergunakan ilmu silatnya yang baru.
“Susiok, jangan ganggu Nona Sie!” Kam Seng berkali-kali berseru mencegah susiok-nya, sedangkan orang-orang yang makan di restoran itu terutama yang dekat dengan tempat pertempuran, pada melarikan diri dengan ketakutan.
Delapan jurus sudah dimainkan oleh Ban Sai Cinjin untuk merobohkan Lili. Akan tetapi setelah melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat, ternyata gadis ini telah mendapat kemajuan yang sangat luar biasa dalam ilmu ginkang sehingga tubuhnya menjadi ringan dan gesit sekali. Sambaran-sambaran huncwe maut dari Ban Sai Cinjin itu seakan-akan menyerang sehelai bulu yang sedemikan ringan sehingga yang diserang telah melayang pergi sebelum pukulannya tiba.
“Susiok, jangan berlaku kejam!” tiba-tiba saja Kam Seng yang semenjak tadi memandang dengan penuh kegelisahan, kini mendadak meloncat maju dan…
“Tranggg…!” terdengar suara nyaring ketika huncwe itu tertangkis oleh pedang di tangan Kam Seng!
Lili menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh dan berdiri memandang kepada kedua orang yang kini saling berhadapan itu. Sepasang mata Ban Sai Cinjin mendelik dan terputar-putar saking marahnya, dan karena pipi kanannya masih ada tanda bekas luka-luka goresan yang dihadiahkan oleh Pendekar Bodoh kepadanya di benteng orang Mongol, maka ia terlihat menyeramkan sekali. Seakan-akan apilah yang keluar dari mulut dan hidungnya dan ia seolah-olah hendak menelan pemuda yang berdiri di depannya itu.
“Bangsat terkutuk! Jadi kau hendak membalas budi kami dengan pengkhianatan? Kau hendak membela orang yang menjadi musuh kami, menjadi musuhku sekaligus musuh gurumu? Kau berani melawan Susiok-mu, anjing tak kenal budi?”
“Susiok, kalau kau menyerang orang lain, aku masih dapat melihatnya, akan tetapi Nona itu... ? Tidak, Susiok, biar pun aku harus mati, aku akan membelanya!”
“Bangsat, kau cinta padanya, ya? Kau jatuh cinta kepada anak musuh besarmu ini? Kau benar-benar anjing pengecut, karena itu kau harus mampus!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, Ban Sai Cinjin menyerang murid keponakannya sendiri.
Song Kam Seng cepat menangkis dengan pedangnya, akan tetapi walau pun dia sudah memperoleh warisan ilmu silat yang tinggi dari Wi Kong Siansu, bagaimana dia dapat melawan susiok-nya (paman gurunya)? Sebentar saja ia telah terdesak hebat sekali dan hanya dapat menangkis sambil mundur.
Sementara itu, Lili berdiri dengan sepasang mata menjadi basah. Dia teringat pula akan pengalamannya dahulu ketika ia tertawan oleh Ban Sai Cinjin. Betapa pemuda itu telah menciumnya dan hampir saja mencemarkan namanya. Betapa pemuda itu hampir saja membunuhnya dan semua itu hanya dicegah oleh perasaan cinta kasih dari pemuda itu.
Ia maklum bahwa Kam Seng amat membenci ayahnya dan juga tentu sudah berusaha membencinya karena ayah Kam Seng tewas dalam tangan Pendekar Bodoh, akan tetapi ternyata pemuda itu tetap tidak mampu membencinya, bahkan sampai sekarang cintanya terhadap dirinya masih amat besar sehingga pemuda itu sampai berani melawan paman guru sendiri dan berani pula mengorbankan nyawa. Mengingat sampai di sini, Lili segera melompat maju hendak membantu Kam Seng, akan tetapi terlambat!
Dengan satu serangan secepat kilat, Ban Sai Cinjin telah berhasil mengemplang kepala pemuda itu yang terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya terlepas dari tangannya! Ban Sai Cinjin memburu maju hendak memberi pukulan maut, akan tetapi tiba-tiba dia merasa iganya disambar oleh angin pukulan yang hebat sekali! Ia cepat-cepat memutar tubuhnya dan mengelak dari pukulan Lili ini, kemudian ia mengayun huncwe-nya ke arah kepala gadis ini.
Lili menyambutnya dengan gerakan dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan dengan amat mudah huncwe itu terampas olehnya, ditekuk di antara jari tangannya dan…
“Pletak!” patahlah huncwe maut dari Ban Sai Cinjin yang diandal-andalkan itu!
Terbelalak mata Ban Sai Cinjin memandang ke arah Lili karena tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini mampu merampas huncwe-nya dengan tangan kosong. Ia segera melompat ke belakang dan melarikan diri!
Lili hendak mengejarnya akan tetapi dia mendengar keluhan perlahan, maka dia teringat kembali kepada Kam Seng. Cepat-cepat ia menghampiri pemuda yang merintih-rintih itu. Bukan main mencelos dan terheran hatinya ketika melihat kepala pemuda itu telah retak dan berlumur darah!
Ternyata yang datang adalah sepasukan berkuda yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang. Di depan sendiri, dengan menunggang seekor kuda berbulu putih yang besar dan kuat, adalah Malangi Khan yang berwajah muram dan keningnya berkerut.
Melihat bahwa yang datang hanyalah satu pasukan kecil, maka Cin Hai maklum bahwa Malangi Khan hendak mendatangi benteng bukan dengan maksud menyerang, maka dia lalu melompat keluar dari balik pohon itu dan menghadang di jalan sambil mengangkat tangannya.
Ketika Malangi Khan melihat Pendekar Bodoh, ia memberi perintah berhenti dan ia cepat melompat turun dari kudanya, berlari menghampiri Cin Hai. Begitu datang, dengan wajah merah saking marahnya, Raja Mongol itu menudingkan jari telunjuknya kepada Pendekar Bodoh dan berkata,
“Tak kusangka bahwa Pendekar Bodoh ternyata adalah orang yang tidak bisa dipercaya mulutnya, seorang yang mudah melanggar janji!”
Cin Hai sudah mengerti kenapa Raja Mongol ini datang-datang begitu marah dan merasa gemas, maka dia kemudian menjura dan berkata dengan senyum simpul, “Malangi Khan, kebetulan sekali aku pun sedang menuju ke bentengmu untuk bicara tentang puteramu.”
“Kembalikan puteraku, jika tidak, demi nenek moyangku, aku akan mengerahkan seluruh bangsaku untuk menerjang ke selatan sampai orang terakhir. Akan aku bumi hanguskan setiap jengkal tanah di selatan!”
“Sabar, sabar, Khan yang baik. Seorang Raja yang besar tidak demikian mudah dikuasai oleh nafsu marah. Dengarlah dulu, sebenarnya tentang keponakanku Kwee Cin, bukan akulah yang merampasnya, maka jangan dikira bahwa Pendekar Bodoh tidak memegang janji.”
“Biar pun bukan kau, tentu kawan-kawanmu atas perintahmu!”
Cin Hai menggelengkan kepala. “Sayang sekali bukan, Khan yang mulia. Aku tidak tahu menahu mengenai perampasan kembali anak itu. Akan tetapi sudahlah, anak itu sudah kembali kepada ayah bundanya, ada pun puteramu sedang bermain-main dengan anak itu di bawah perlindungan Kwee An dan isterinya yang amat mencintainya!”
“Puteraku tidak diganggu? Kamangis tidak apa-apa?” tanya Khan ini dengan muka amat gelisah.
“Siapa yang akan berani mengganggu puteramu itu kalau ibu dari Kwee Cin menantang setiap orang yang akan mengganggunya? Ketahuilah bahwa ibu dari anak yang tertawan di bentengmu itu, bersedia mengorbankan nyawanya untuk melindungi puteramu!” Cin Hai dengan sejujurnya lalu menceritakan tentang pembelaan Ma Hoa terhada Kamangis sehingga Kaisar Mongol ini menjadi terharu sekali.
“Maafkan aku, Pendekar Bodoh. Aku telah meragukan kegagahanmu dan sifat ksatriamu! Di mana anakku?” kata Malangi Khan dengan terharu sambil memegang lengan tangan Cin Hai.
“Malangi Khan, apakah ini berarti bahwa untuk selanjutnya kau akan mengaku sahabat kepadaku?”
“Tentu, bahkan kau dan saudara-saudaramu kuakui sebagai sanak saudaraku sendiri. Lebih dari itu, aku menyerahkan Kamangis putera tunggalku itu sebagai muridmu!”
Melihat sikap sungguh-sungguh dari Malangi Khan, Cin Hai merasa gembira sekali dan kembali bertanya, “Tidak hanya aku dan saudara-saudaraku, akan tetapi rakyat Tiongkok seluruhnya, maukah kau menganggapnya sebagai saudara? Kau tak akan mengganggu mereka lagi, tidak akan menyerang ke selatan lagi?”
“Tidak, tidak! Dengan adanya orang-orang seperti engkau, aku merasa malu kalau harus menyerang ke selatan. Biarlah, aku akan lupakan pembunuhan yang sudah-sudah, yang dilakukan oleh tentara-tentara selatan di perbatasan utara. Dan aku akan mengunjungi kaisarmu, akan mengirim bulu ternak yang paling halus sebagai tanda penghargaan.”
Kini Cin Hai yang memegang lengan Malangi Khan dengan kuat sehingga Kaisar itu meringis kesakitan. Cin Hai yang lupa diri lalu mengendorkan pegangannya dan berkata, “Malangi Khan, kau berjanji untuk membuktikan omonganmu tadi?”
“Tentu saja! Bagiku berlaku ucapan dari bangsamu: It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar, empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali).”
Bukan main girangnya hati Pendekar Bodoh. Tak disangkanya bahwa tugasnya ini dapat terpenuhi dengan demikian mudahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari arah belakangnya dan tampak sepasukan besar tentara kerajaan yang dipimpin oleh Kam Liong sendiri, dikawani pula oleh semua orang gagah yang berkumpul di benteng Alkata-san, datang menuju ke tempat itu! Ini terjadi adalah gara-gara para penjaga yang melaporkan bahwa Malangi Khan bersama pasukannya yang sangat kuat sudah datang menyerbu!
“Pendekar Bodoh, apakah artinya ini?” Kembali wajah Malangi Khan menjadi muram dan bercuriga akan tetapi Cin Hai segera menjawab,
“Jangan kuatir, Khan yang mulia. Akulah yang bertanggung jawab dan akan mencegah mereka bertindak!”
Kemudian, Cin Hai lalu menghadang di tengah jalan sambil mengangkat tangan. Ia lantas mengerahkan tenaganya berseru dengan amat nyaringnya,
“Kam-ciangkun, jangan menyerang! Malangi Khan datang dengan maksud damai!”
Kam Liong terheran melihat Pendekar Bodoh berada di sana dan sesudah mendengar seruan ini, dia segera memberi perintah pasukannya berhenti. Dia sendiri lalu turun dari kudanya dan bersama Tiong Kun Tojin, Kam Wi, dan juga Kwee An dan yang lain-lain, Kam Liong lalu menghampiri Cin Hai dan Malangi Khan.
Dengan sikap angkuh Malangi Khan berdiri menghadapi mereka dengan dada terangkat, sikapnya agung sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai seorang Khan yang besar. Kam Liong adalah seorang panglima yang tahu diri dan tidak sombong, maka dia lalu memberi hormat terlebih dahulu yang segera dibalas oleh Malangi Khan.
“Malangi Khan, benarkah kata-kata Sie Taihiap tadi bahwa kau bermaksud damai?”
“Memandang muka Pendekar Bodoh yang menjadi saudaraku dan juga menjadi guru dari puteraku, memang benar aku akan mengakhiri permusuhan, melupakan segala kejadian yang lalu dan dalam waktu dekat aku akan mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kaisarmu. Sampaikan kata-kataku ini kepada Kaisar dan juga kepada semua prajuritmu yang menjaga tapal batas, agar supaya jangan sampai mengganggu orang-orangku yang hendak memasuki daerah Tiong-goan dalam perjalanannya berdagang.”
Bukan main girangnya hati Kam Liong mendengar ini. Hal ini memang amat diharapkan oleh Kaisar dan biar pun yang berjasa dalam hal ini adalah Pendekar Bodoh, akan tetapi karena dia adalah pemimpin besar barisan, tentu saja pahalanya terjatuh kepada dia!
Akan tetapi Kam Wi yang beradat kasar itu merasa curiga. Sambil melangkah maju dia berkata, “Dengan latar belakang dan alasan apakah maka tiba-tiba Malangi Khan hendak berdamai?”
Malangi Khan memandang dengan mata mendelik, juga Kam Wi melotot sehingga dua orang tinggi besar itu berlagak bagaikan dua ekor ayam jantan akan bertarung. Akan tetapi Cin Hai cepat berkata,
“Kam-enghiong, Malangi Khan yang mulia telah melihat bahwa orang-orang yang tadinya dianggap sebagai musuhnya ternyata sama sekali tidak mengganggu puteranya, dan hal ini melembutkan hatinya dan dia suka sekali berdamai dengan orang-orang yang tidak mengganggu anak kecil, biar pun anak itu anak musuhnya pula.”
Keterangan ini diterima oleh Kam Wi dengan muka menjadi merah karena dia merasa tersindir. Memang tadinya ia bermaksud untuk memenggal leher Putera Mahkota Mongol itu untuk melumpuhkan semangat barisan Mongol.
“Malangi Khan, untuk membuktikan kesungguhan maksud hatimu yang sangat baik, aku mewakili panglima kerajaan yang menjadi keponakanku sendiri untuk mengundangmu makan dan minum di dalam benteng Alkata-san, sesuai dengan sikap persaudaraan yang tadi kau kemukakan,” Kam Wi berkata kepada Malangi Khan.
Dia adalah seorang kang-ouw yang selalu jujur dan kasar, juga amat berhati-hati, maka ia sengaja melakukan siasat ini untuk mencari tahu sikap sesungguhnya dari Malangi Khan.
“Selain Kaisarmu sendiri, aku tidak mau menerima undangan dari segala orang!” Malangi Khan berkata dengan angkuh.
“Kalau begitu, bagaimana kami dapat percaya bahwa kau mempunyai maksud damai?” Kam Wi membentak marah dan suasana menjadi panas lagi. Melihat ini Kam Liong lalu berkata dengan halus,
“Malangi Khan, benar seperti yang diucapkan oleh pamanku tadi. Kami mengundangmu menghadiri perjamuan sederhana untuk merayakan perdamaian kita.”
Akan tetapi Malangi Khan tetap berkepala batu dan menggelengkan kepalanya. Akhirnya Pendekar Bodoh turun tangan. Ia menghampiri Malangi Khan dan berkata,
“Khan yang baik, mengapa kau menolak undangan persaudaraan? Marilah, sekalian kau dapat menyambut puteramu yang tentu telah lama menanti-nantikan kedatanganmu. Kau bawalah semua pengiringmu, sebab dalam suasana perdamaian ini perlu sekali diadakan malam gembira antara kita sama kita!”
Mendengar ucapan ini, lenyaplah kemuraman pada wajah Kaisar Mongol itu. “Kalau kau yang mengundang, itu lain lagi, Saudaraku!”
Dan dia lalu memberi tanda dengan tangannya kepada semua pengiringnya yang berada di belakangnya. Maka, majulah mereka bergerak menuju ke benteng Alkata-san dalam suasana damai!
Diam-diam Kam Wi membisikkan sesuatu kepada Kam Liong, “Suruh para penyelidikmu menyelidiki keadaan di luar, siapa tahu kalau Malangi Khan diam-diam memerintahkan penyerbuan besar.” Kam Liong mengangguk-angguk, karena tanpa nasehat ini, dia pun tentu tidak akan melupakan hal ini.
Pertemuan antara Malangi Khan dan Kamangis amat menggembirakan.
“Ada orang yang mengganggumu di sini?” ayah itu bertanya kaku.
Kamangis menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah Ma Hoa. “Aku mendapatkan perlindungan dari dia yang kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia amat manis budi dan baik sekali, Ayah.”
Malangi Khan memandang kepada Ma Hoa lalu menjura, “Bukankah Toanio ini Ibu dari Kwee Cin?”
Ma Hoa mengangguk, maka Malangi Khan dengan girang dan kagum lalu tertawa besar. “Ehh, Kamangis, kalau begitu mengapa kau tidak menyebut ibu saja kepadanya? Kau boleh menjadi anak angkatnya. Ha-ha-ha!”
Dan serta merta Kamangis yang sangat patuh kepada ayahnya itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ma Hoa sambil menyebut, “Ibu...”
Ma Hoa girang dan juga terharu. Dia memeluk Kamangis dan berkata, “Bagus, memang kau baik sekali. Patut menjadi saudara Cin-ji. Karena kau sudah menjadi anak angkatku, sepatutnya kau kuberi nama julukan, yaitu Kwee Hong”
Malangi Khan tertawa terbahak-bahak. “Bagus, bagus! Memang burung Hong merupakan lambang kebesaran dan kemuliaan. Terima kasih, Toanio!” Pendekar Bodoh lalu bertepuk tangan diikuti oleh orang-orang lain sehingga suasana di situ gembira sekali.
“Ehh, aku hampir lupa, Kamangis, hayo kau cepat memberi hormat kepada gurumu!” Ia menuding ke arah Cin Hai.
Kamangi terheran dan memandang kepada Cin Hai. “Apakah dia lebih lihai dari pada ibu, Ayah? Ibu memiliki ilmu silat yang luar biasa sekali, juga ayah angkatku, demikian kata Kwee Cin. Apakah dia lebih lihai dari mereka?”
“Ha-ha-ha-ha, anak bodoh. Dialah orang yang paling hebat di antara kita semua. Dialah Pendekar Bodoh, dan kau beruntung sekali bisa menjadi muridnya.”
Karena Kamangis memang cerdik, ia lalu berlutut di depan Cin Hai dan memberi hormat sambil menyebut, ‘Suhu’! Kemudian atas perintah ayahnya pula, anak ini pun kemudian memberi hormat kepada ‘ayah angkatnya’ dan juga kepada Lin Lin yang disebut ‘subo’ (isteri guru).
Perjamuan berjalan dengan lancar dan gembira sampai tengah malam. Karena merasa girang sekali puteranya selamat dan permusuhan dapat dihabiskan malam itu, Malangi Khan minum arak sebanyak-banyaknya dan karena arak dari selatan memang jauh lebih keras dari pada arak yang sering kali diminumnya, maka dia menjadi mabuk.
Hal ini memang disengaja oleh Kam Liong karena panglima muda ini ingin sekali dapat mendengar ocehan Malangi Khan dalam mabuknya. Seperti biasa, orang tak akan dapat menyimpan rahasianya apa bila sedang mabuk sehingga jika Malangi Khan mempunyai rencana tertentu dan ‘perdamaian’ yang diperlihatkannya itu hanya tipuan belaka, tentu di dalam mabuknya Kaisar ini akan membuka rahasia. Akan tetapi, ternyata Malangi Khan tidak membuka rahasia apa-apa, kecuali menyebutkan nama-nama beberapa orang selir yang disayanginya!
Dengan bantuan Pendekar Bodoh, Malangi Khan lalu diantar ke dalam sebuah kamar di mana dia lantas tidur mendengkur keras sekali. Kemudian Kaisar Mongol itu ditinggalkan tidur seorang diri di dalam kamar itu, karena yang lain-lain masih melanjutkan perjamuan yang amat gembira.
Siapakah orangnya yang tidak gembira menerima berita bahwa perang dihentikan dan perdamaian membuat mereka mendapat kesempatan untuk pulang dan bertemu kembali dengan keluarga masing-masing? Dalam perjamuan itu, ikut serta para perwira dan orang gagah yang menemani pemimpin-pemimpin pasukan pengawal Malangi Khan.
Kwee An dan Ma Hoa mengantar Kamangis dan Kwee Cin tidur dan Kwee An berpesan kepada Ma Hoa agar jangan meninggalkan dua orang anak itu, karena siapa tahu kalau ada orang jahat di antara para pengikut Malangi Khan. Kemudian dia kembali ke ruang perjamuan, akan tetapi dia mengambil jalan memutar ke belakang.
Tiba-tiba saja dia melihat bayangan orang berkelebat, dan gerakan orang ini luar biasa gesitnya. Tubuh orang itu pendek dan gemuk, mengingatkan dia akan tubuh Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, tapi orang ini tidak berjenggot.
Di antara kawan-kawannya dan orang-orang gagah yang berkumpul di Alkata-san, tidak ada orang yang tubuhnya berbentuk seperti ini, maka timbullah kecurigaannya. Secara diam-diam dia kemudian mengikuti bayangan ini, yang dengan hati-hati mempergunakan kesempatan selagi semua orang sedang makan minum untuk mendatangi jendela kamar di mana Malangi Khan tidur mendengkur dengan pulasnya!
Setibanya di luar jendela, ia lalu mencabut sepasang golok dari punggungnya dan sekali cokel saja, terbukalah jendela itu yang lalu diganjalnya dengan sebatang ranting kering. Kemudian, dengan gerakan gesit sekali orang ini lalu melompat ke dalam kamar.
Ternyata bahwa Malangi Khan tidurnya pulas sekali akibat pengaruh arak sehingga dia tidak mendengar sama sekali akan perbuatan orang yang mencurigakan ini. Orang ini adalah seorang Panglima Mongol yang bertubuh pendek gemuk, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Ia bernama Khalinga, seorang panglima Mongol keturunan Tartar yang amat benci kepada orang-orang Han.
Hal ini tidak mengherankan oleh karena ayahnya dahulu tewas oleh orang Han, maka ia telah bermaksud untuk menumpas setiap bangsa Han yang dijumpainya. Kemudian oleh Malangi Khan dia dipilih menjadi panglima sebab memang Khalinga memiliki kepandaian yang lumayan, apa lagi permainan siang-to (sepasang golok) darinya amat lihai.
Ketika Khalinga mendapat kenyataan bahwa Malangi Khan menyatakan damai dengan orang-orang Han, bahkan hendak mengunjungi Kaisar untuk menyatakan persahabatan, hatinya menjadi panas dan mendongkol sekali. Timbullah kebenciannya yang amat hebat terhadap Kaisarnya yang dianggapnya lemah, pengecut dan ingin mengkhianati cita-cita bangsa Mongol. Oleh karena itu, diam-diam dia mendatangi tempat tidur Malangi Khan dan hendak mempergunakan kesempatan selagi kaisar itu tidur dan para tamu sedang makan minum, untuk membunuh Kaisar Malangi Khan!
Niat ini bukan semata-mata terdorong oleh kebenciannya yang tiba-tiba terhadap Malangi Khan, melainkan merupakan siasat yang amat licin dari orang pendek peranakan Tartar Mongol ini.
Kalau ia dapat membunuh Malangi Khan tanpa diketahui oleh siapa pun juga, tentulah peristiwa hebat ini akan melenyapkan sama sekali maksud damai dari Malangi Khan dan tentu dengan mudah dia akan dapat menghasut para panglima dan bala tentara Mongol bahwa dengan sengaja Malangi Khan dijebak ke dalam perangkap kemudian diam-diam dibunuh oleh orang-oran Han! Dengan demikian seluruh bala tentara Mongol tentu akan serentak bangkit dan memusuhi orang-orang Han, dan siapa tahu kalau-kalau dia akan dapat memperoleh kedudukan tinggi!
Akan tetapi semua itu hanya mimpi atau lamunan kosong belaka karena tanpa ia ketahui, pada saat itu ia telah diikuti oleh seorang pendekar besar yang lihai, yaitu Kwee An!
Di dalam kamar Malangi Khan itu masih terang karena lilin yang bernyala di atas ciak-tai (tempat lilin) masih belum habis dan belum padam. Ketika Kwee An melihat betapa orang pendek itu mengangkat golok dan hendak membacok Malangi Khan, cepat-cepat tangan kanannya bergerak dan sebutir batu kerikil tajam melayang ke arah pergelangan tangan kiri orang yang telah mengangkat golok kiri untuk dibacokkan ke arah leher Malangi Khan itu!
Orang itu menjerit perlahan lantas goloknya terlepas dari pegangan. Dia merasa tangan kirinya menjadi lumpuh. Bukan main herannya ketika ia tidak mendengar suara goloknya yang terlepas itu berdentang di atas lantai, malah tiba-tiba api lilin bergoyang.
Alangkah kagetnya ketika ia menengok, ia melihat goloknya yang terlepas tadi sebelum jatuh ke atas lantai, sudah disambar oleh bayangan yang gagah dan kini berdiri dengan golok rampasan itu di depannya sambil tersenyum mengejek. Khalinga mengenal orang ini sebagai Kwee An, ayah dari anak yang dulu ditahan di dalam benteng, maka dengan nekat dia lalu menerjang dengan goloknya.
Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan Kwee An, pendekar besar yang berilmu tinggi itu. Setelah belasan jurus mereka bertempur, bukan Khalinga yang menyerang, bahkan dia menjadi pihak yang diserang kalang-kabut oleh Kwee An!
Kwee An hendak menawannya hidup-hidup, maka agak sukar ia mengalahkan lawannya. Kalau saja dia mau menurunkan tangan maut, dalam satu dua jurus saja tentu dia akan dapat membuat lawannya roboh tak bernyawa lagi atau terluka berat.
Suara golok yang beradu menimbulkan suara nyaring dan membangunkan Malangi Khan dari tidurnya.
“Hei! Kalian sedang berbuat apa di sini?” tegurnya heran ketika melihat salah seorang panglimanya sedang bertempur melawan Kwee An.
“Malangi Khan! Penjahat ini berusaha membunuhmu!” berkata Kwee An.
Malangi Khan bukanlah seorang Kaisar besar apa bila dia tidak tahu akan watak semua panglimanya. Begitu mendengar hal ini, segera dia maklum bahwa Khalinga tentu akan menimbulkan kekeruhan, hendak membunuhnya agar memancing permusuhan di antara orang-orang Han dan orang-orang Mongol, karena Malangi Khan sudah tahu betul akan kebencian Khalinga terhadap orang Han.
“Khalinga, kau berani hendak mengkhianati aku?” bentaknya marah.
Khalinga berdiri dengan muka merah dan dada berombak di depan kaisarnya yang telah duduk di atas pembaringan, sedangkan Kwee An juga menunda serangannya akan tetapi terus memandang dengan penuh kewaspadaan.
“Malangi, kau bilang aku mengkhianati engkau? Justru kau orangnya yang mengkhianati bangsa Mongol, kau Kaisar lemah dan pengecut! Kau sudah menyerah kepada bangsat-bangsat Han tanpa mengeluarkan setetes darah, alangkah rendah dan hinanya, alangkah pengecut. Orang macam kau harus mampus di ujung golokku!” Sambil berkata demikian, Khalinga lalu menubruk maju dan menusukkan goloknya ke arah dada Malangi Khan!
Akan tetapi Kwee An segera membentak marah dan sekali goloknya berkelebat, Khalinga lantas berseru kesakitan dan goloknya terlempar ke atas lantai, ada pun tangan kanannya berlumur darah terkena ujung golok Kwee An.
Malangi Khan melompat turun, mengambil golok yang terlepas dari tangan Khalinga, lalu mengangkat golok itu untuk dibacokkan ke arah kepala Khalinga.
“Ha-ha! Kaisar pengecut, kau hendak membunuhku? Bunuhlah, ini dadaku! Aku Khalinga tidak takut mati, tidak seperti engkau!”
Melihat sikap Khalinga ini, maka lemaslah tangan Malangi Khan. Kaisar ini paling suka dan kagum akan kegagahan dan sikap yang berani mati dari Khalinga ini menimbulkan sayangnya.
“Khalinga, lekas pergilah! Aku ampuni jiwamu. Akan tetapi jangan sekali-kali kau berani memperlihatkan mukamu di hadapanku lagi. Kembalilah kau kepada orang-orang Tartar, kau tidak berhak menyebut diri menjadi orang Mongol lagi!”
Bagaikan seekor anjing dipukul, Khalinga melompat keluar dari jendela dan melarikan diri. Setelah Kaisar menyatakan dia bukan orang Mongol lagi, dia tidak berani membuka mulut memaki Malangi Khan, karena sebagai orang Tartar tentu saja dia tidak berhak ikut mencampuri urusan Negara Mongol!
Sementara itu, ribut-ribut ini telah menarik perhatian orang-orang dan Cin Hai diikuti yang lain-lain telah memburu ke tempat itu. Mereka masih dapat melihat betapa Malangi Khan mengampuni calon pembunuh itu, maka makin kagumlah Cin Hai kepada Kaisar Mongol ini.
Juga Kim Wi dan Kam Liong, demikian pula Tiong Kun Tojin, diam-diam memuji Kaisar yang bijaksana ini. Lebih-lebih Kam Wi mengakui kebenaran sikap Pendekar Bodoh yang berhasil menarik hati Kaisar Mongol ini, karena menurut hasil penyelidikan para petugas, ternyata bahwa barisan Mongol yang luar biasa besar jumlahnya telah mengurung sekitar Pegunungan Alkata-san! Kalau saja Malangi Khan mereka ganggu dan kalau saja pecah pertempuran besar, biar pun orang-orang gagah ini tidak merasa jeri dan belum tentu mereka kalah, akan tetapi sudah pasti bahwa banyak korban akan roboh di antara kedua pihak.
Ada pun Malangi Khan tentu saja merasa amat berterima kasih kepada Kwee An, karena kalau tidak kebetulan pendekar ini melihat Khalinga, tentu dia sudah terbunuh oleh orang pendek itu. Dan lebih bersyukur lagi hati Kaisar ini bahwa penolongnya ternyata adalah ayah angkat dari Kamangis putera tunggalnya!
Pada keesokan harinya, Malangi Khan membawa seluruh pasukan serta bala tentaranya untuk kembali ke utara setelah menerima janji dari Pendekar Bodoh bahwa pendekar ini kelak akan menyusul ke utara mengunjungi istana Malangi Khan dan untuk menurunkan ilmu kepandaian kepada Pangeran Kamangis.
Sebaliknya, Kam Liong juga membawa kembali seluruh pasukannya ke kota raja setelah mengangkat seorang komandan untuk bertugas menjaga tapal batas utara dengan pesan agar supaya memperkuat disiplin agar anak buahnya tidak mencari perselisihan dengan orang-orang Mongol yang berlalu-lintas membawa barang dagangan mereka.
Semua orang merasa puas dengan kesudahan dari perang besar yang akan meletus itu, hanya Cin Hai dan sekeluarganya yang merasa amat gelisah karena sampai pada waktu itu, Lili masih juga belum pulang! Terutama sekali Lin Lin merasa gelisah sekali.
Oleh karena itu, ketika Goat Lan dan Hong Beng dengan disertai oleh Kwee An dan Ma Hoa kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada Kaisar mengenai hasil tugas hukuman mereka dan minta dibebaskan serta diampunkan, Cin Hai dan Lin Lin tidak ikut pulang, melainkan hendak pergi mencari Lili.
Dengan diperkuat oleh laporan Kam Liong, Kaisar yang mendengar tentang kesudahan perang itu menjadi sangat gembira dan memuji Hong Beng serta Goat Lan sebagai dua orang pendekar yang setia dan gagah.
“Aku telah mendengar bahwa kalian berdua sudah bertunangan,” Kaisar berkata dengan ramah, “biar pun kalian belum menikah, sudah sepatutnya aku memberi selamat dengan sedikit tanda mata.”
Kaisar lalu memberi hadiah kepada sepasang pendekar ini, yakni sepasang siang-kiam (pedang pasangan) yang bergagang emas serta sebuah giok-ma (kuda kumala), yaitu sebuah perhiasan berbentuk kuda yang terbuat dari batu kemala dan diukir indah sekali sehingga nampaknya seperti hidup saja.
Ada pun Pangeran Mahkota yang merasa amat berterima kasih kepada Goat Lan karena sudah menolong nyawanya dari maut berupa penyakit hebat itu, lalu meloloskan sebuah kancing bajunya yang terbuat dari pada intan. Kancing baju ini berbentuk bulat dan intan yang luar biasa besarnya ini terukir dengan huruf Hok (Rejeki) dan di belakangnya terukir pula dengan huruf-huruf yang berarti Putera Pangeran.
Dengan memegang kancing seperti itu berarti Goat Lan juga telah memegang kekuasaan yang besar, karena ke mana pun juga dia pergi, asalkan dia memperlihatkan kancing ini kepada para pembesar negeri, maka ia tentu akan diterima dengan penuh penghormatan seperti orang menerima kunjungan Pangeran sendiri!
Demikianlah, sesudah menghaturkan terima kasih dengan hati terharu, Hong Beng serta Goat Lan lalu meninggalkan istana dan bersama dengan Kwee An dan Ma Hoa, mereka lalu kembali ke Tiang-an. Di sepanjang jalan mereka bergembira, apa lagi Kwee Cin yang memang belum pernah menikmati perjalanan yang demikian jauh.
Ada pun Sin-kai Lo Sian, ketika oleh Cin Hai disuruh kembali terlebih dahulu ke Shaning karena suami isteri ini hendak mencari Lili, Pengemis Sakti ini menolak dengan halus dan menyatakan bahwa dia sudah bosan untuk berdiam menganggur di dalam rumah dan darah petualangnya memanggilnya untuk kembali mengadakan perantauan seperti pada waktu dahulu.
*****
Ke manakah perginya Lili, gadis remaja yang cantik dan gagah berani itu? Mari kita ikuti perjalanannya yang penuh bahaya…
Sebagaimana sudah diketahui, ketika mendengar bahwa Goat Lan dan Hong Beng pergi ke benteng orang Mongol untuk menolong Kwee Cin, Lili yang berani dan bengal menjadi tergerak hatinya sehingga malam-malam dia lalu minggat dari benteng Alkata-san untuk menyusul kakaknya dan calon soso-nya (kakak ipar) itu.
Ia mempergunakan ilmu lari cepat di malam terang bulan dan ia merasa gembira sekali. Melalui gunung-gunung dan hutan-hutan liar di malam disinari bulan itu sama sekali tidak membuat hatinya menjadi takut, sebaliknya ia malah merasa demikian gembira sehingga ia berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi kecil seperti ketika ia masih kanak-kanak dahulu.
Akan tetapi oleh karena selama hidupnya Lili belum pernah menginjak daerah ini dan ia pun masih belum berpengalaman dalam hal mencari jalan dengan hanya mengandalkan petunjuk lisan dari seorang Haimi tua seperti Nurhacu itu, maka tanpa disadarinya kedua kakinya menyeleweng dan makin jauh ia meninggalkan arah tujuannya! Ia membelok ke barat menuju ke rimba raya di atas sebuah bukit yang gelap dan menghitam mengerikan.
Setelah malam hampir terganti fajar, kian jauhlah ia tersasar dan makin bingunglah hati Lili. Menurut Nurhacu, hutan yang dilaluinya ini tidak panjang dan sebelum fajar ia sudah dapat keluar dari hutan ini dan sampai di padang rumput dari mana benteng orang-orang Mongol akan tampak. Akan tetapi sekarang sudah menjelang fajar, hutan yang dilalui ini makin lama makin liar dan makin padat oleh pohon-pohon raksasa.
Ia menjadi mendongkol sekali kepada Nurhacu, disangkanya sengaja memberi petunjuk menyesatkan. Mulai lenyaplah kegembiraan di wajahnya, terganti oleh kemarahan yang terlihat pada bibirnya yang cemberut.
Akan tetapi dasar watak Lili amat gembira, setelah fajar terganti pagi dan matahari mulai bersinar, kegembiraannya timbul lagi bersama dengan datangnya suara burung-burung hutan berkicau dan munculnya binatang-binatang hutan yang sangat elok. Beberapa ekor binatang kecil seperti kelinci, rusa, dan lain-lain keluar dari semak-semak, berlari-lari kecil bermandi cahaya matahari sehingga Lili menjadi gembira sekali.
Ia pun lalu ikut berlari-lari, mengejar ke sana ke mari untuk melihat binatang-binatang itu bermain-main sambil kadang-kadang terdengar suara tawanya yang merdu dan nyaring. Kalau ada orang melihat keadaan di dalam hutan liar ini pada waktu itu, dia akan melihat binatang-binatang kecil berlari-larian dan bermain-main di dalam cahaya matahari pagi, mendengar suara burung-burung berkicau serta melihat kembang-kembang mekar indah dengan hiasan mutiara-mutiara embun pagi yang bergantungan di kelopaknya, sehingga pada saat melihat seorang dara juita berbaju kembang berlari ke sana-sini sambil tertawa merdu, tentu orang itu akan menyangka bahwa Lili adalah seorang bidadari atau seorang peri!
Ketika melihat ada sepasang rusa di bawah pohon sedang berkasih-kasihan, yang jantan membelai-belai yang betina dengan lehernya yang panjang indah, hati Lili berdebar dan tiba-tiba di depan matanya terbayang wajah seorang pemuda!
Ia mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa sangat aneh dan marah kepada diri sendiri. Mengapa wajah yang terbayang itu wajah... Lie Siong, orang kurang ajar itu? Kalau saja dia teringat pertama-tama kepada Kam Liong atau bahkan kepada Song Kam Seng sekali pun, dia tak akan merasa aneh. Akan tetapi… Lie Siong?!
Tanpa terasa lagi dia menjumput pasir dan menyambitkannya ke arah sepasang rusa itu yang menjadi terkejut dan melarikan diri. Lenyap pulalah bayangan wajah Lie Siong dari depan matanya dan Lili menjadi gembira kembali.
Tiba-tiba dia melihat seekor kelinci putih yang gemuk dan timbullah seleranya. Dia telah melakukan perjalanan selama setengah malam tanpa istirahat dan kini dia merasa amat lapar. Dikerjarnya kelinci itu, akan tetapi walau pun gemuk dan keempat kakinya pendek-pendek, namun ternyata kelinci putih itu dapat berlari cepat sekali dan sebentar saja dia menghilang di dalam semak-semak.
Lili memang beradat keras dan tidak mudah mengaku kalah. Dia lalu mencabut pedang Liong-coan-kiam dan membabat semak-semak itu hingga bersih! Sebelum semak-semak itu habis dibabat, kelinci itu telah melompat pergi lagi dan kembali menyusup ke dalam semak-semak yang lebih lebat lagi. Lili menggigit bibirnya.
“Kelinci manja! Ke mana kau hendak pergi? Biar pun kau pergi ke neraka, tetap saja aku akan dapat menangkap dan menikmati dagingmu yang empuk!”
Kembali Lili membabat semak-semak berduri itu. Akan tetapi seperti tadi pula, kelinci itu melompat dan berpindah-pindah dari sebuah semak ke semak yang lain. Sebentar saja, sudah lebih dari sepuluh rumpun semak-semak belukar yang dibabat habis oleh pedang Liang-coan-kiam di tangan Lili.
Dan akhirnya kelinci itu menjadi sangat ketakutan dan berlari terus, dikejar oleh Lili yang menjadi semakin gemas. Setelah kehabisan jalan, kelinci itu kembali menyusup ke dalam semak-semak yang penuh dengan tetumbuhan daun hitam yang gelap sekali. Lili tidak peduli dan mulai membabat lagi.
Pedang Liong-coan-kiam adalah pedang pusaka yang amat tajam, maka dengan mudah saja semak-semak itu dibabat hingga berhamburan ke kanan kiri sampai terlihat tanah di bawahnya. Sesudah semak-semak ini habis terbabat, tidak seperti tadi, kelinci itu tetap tidak kelihatan.
Lili menjadi penasaran sekali. Sudah terang bahwa kelinci itu tak melompat keluar, akan tetapi mengapa juga tidak berada di dalam semak-semak ini? Apakah kelinci itu pandai menghilang? Ia mencari terus, melempar-lemparkan semak-semak yang sudah terbabat itu ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja kelinci tidak nampak.
Akhirnya ia melihat ada sebuah lubang bundar yang lebarnya kurang lebih satu setengah kaki. Ia pun mengangguk-angguk dan tersenyum. “Kelinci licik, kau kira aku tidak tahu ke mana bersembunyi? Keluarlah!”
Dia lalu menepuk-nepuk pinggir lobang itu dan menjadi terheran-heran ketika mendengar suara berdengung dari bawah tanah. Lobang itu ternyata kosong di sebelah dalamnya, pikirnya. Tempat apakah ini? Goa tertutup?
Dia lalu mempergunakan pedangnya untuk menggali lubang itu dan baru saja satu kaki dalamnya, ternyata bahwa lobang di bawah luar biasa besarnya, merupakan sumur yang lebar sekali. Jadi lubang tadi merupakan ‘cerobong’ pada langit-langit ruangan di bawah tanah ini!
Lili menjadi tertarik sekali. Dia segera melebarkan cerobong itu sampai kira-kira tiga kaki segi empat, lalu mengambil batu dan melemparnya ke bawah. Tidak dalam, pikirnya, dan di bawah tanah lunak biasa saja. Hal ini diketahui karena dalam waktu singkat batu itu mengenai dasar ruang dan terdengar suara berdebuk.
Ia harus menangkap kelinci itu dan di samping itu, ia pun ingin tahu apakah yang berada di dalam ruang di bawah tanah ini. Memang ia memiliki nyali yang amat besar. Dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan kanan, gadis ini kemudian melompat ke dalam lubang tadi.
Benar seperti yang disangkanya tadi, kakinya menyentuh tanah dan ternyata lubang itu dalamnya hanya dua tombak kurang. Sesudah matanya terbiasa dengan pemandangan suram-suram di dalam lubang itu, ia mulai melakukan penyelidikan. Sinar matahari yang masuk dari lubang atas, cukup untuk melihat keadaan di sekelilingnya.
Sumur itu ternyata besar juga, kira-kira tiga tombak luasnya dan dikelilingi oleh dinding batu-batu karang yang kehitaman dan mengkilap. Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya, dia tidak melihat kelinci putih tadi! Ia menjadi penasaran sekali karena sumur itu ternyata kosong melompong tidak ada apa-apanya yang menarik, sedangkan kelinci itu lenyap begitu saja.
Ia menyelidiki bagian bawah dinding di seputar tempat itu kalau-kalau ada lubangnya dari mana kelinci itu dapat masuk. Usahanya berhasil karena memang benar di sebelah kiri terdapat lubang kecil di bagian bawah.
Ia mendongkol sekali, tentu kelinci tadi telah melarikan diri ke lubang ini, dan bagaimana dirinya bisa masuk? Lubang itu hanya dapat dimasuki kedua tangannya saja. Ia mencoba lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam lubang ini dan mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya bahwa di balik dinding ini pun merupakan ruang terbuka!
Lili makin tertarik. Ia memeriksa dinding itu dan mendapat kenyataan yang mendebarkan hatinya bahwa di situ terdapat pecahan yang merupakan sebuah pintu! Akan tetapi pintu ini rapat sekali dan ketika ia mencoba untuk mendorongnya, ternyata pintu itu kuat sekali.
Ia lalu mencari akal dan memeriksa lagi. Mungkin bukan pintu dorongan, melainkan pintu angkat seperti penutup lubang jendela, pikirnya. Ia lalu memasukkan kedua tangannya di dalam lubang di bawah pintu ini kemudian mengerahkan tenaganya mengangkat sambil mendorong ke luar.
Dia berhasil! Pintu bundar itu bergerak keluar, akan tetapi Lili harus segera melepaskan kedua tangannya karena pintu itu itu terlampau berat baginya. Peluhnya membasahi jidat dan ia beristirahat sebentar. Setelah tenaga terkumpul kembali ia lalu mencoba lagi, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat membuka pintu itu terus sampai dia dapat masuk melalui lubangnya.
Lili adalah seorang yang keras hati dan apa bila sudah mempunyai kehendak, maka akan berusaha mati-matian untuk mencapai kehendak ini. Berkali-kali dia mencoba dan ketika dia mengangkat untuk yang ke sekian belas kalinya, tiba-tiba pintu itu terbuka terus dan tidak menindih kembali seperti ada sesuatu yang mengganjalnya!
Cepat dia merayap masuk ke dalam ruang di balik pintu itu dan alangkah herannya ketika melihat bahwa pintu yang tebal dan berat sekali itu kini tertahan oleh sebatang tongkat bambu yang kecil dan panjang, sebatang tongkat yang dipegang oleh seorang nenek tua. Atau bukan manusiakah nenek ini? Lili memandang dengan mata terbelalak.
Dia melihat bentuk tubuh yang kurus kering dan kecil sekali, bongkok dan kulitnya sudah menjadi satu dengan tulang, melekat sehingga hampir kelihatan seperti sebuah rangka hidup. Rambut nenek ini putih semua dan awut-awutan menutupi mukanya yang berkulit kehitaman. Bajunya hitam menutupi kedua pundak terus bawah.
Kalau saja dua lubang yang merupakan matanya itu tidak bergerak-gerak dan tangan kiri yang memegang tongkat tidak sedang menjaga pintu batu, tentu Lili akan menyangkanya sebuah patung rusak. Tangan kanan nenek ini memegang kelinci putih yang sejak tadi dikejar-kejar oleh Lili.
Setelah dara itu masuk, nenek ini lalu menggerakkan tangan kanannya dan kelinci putih itu melayang keluar melalui pintu batu kemudian terdengar suara keras ketika ia menarik kembali tongkatnya dan daun pintu batu yang berat itu menimpa turun lagi dan menutup tempat itu. Akan tetapi tempat itu tetap terang karena mendapat cahaya matahari dari atas yang turun melalui lubang-lubang kecil yang tinggi sekali dari tempat itu.
Lili menjadi terkejut bukan main. Ia cepat memandang ke sekelilingnya dan tidak melihat sebuah pun jalan keluar. Ketika ia memandang kembali kepada nenek itu, kini nenek itu telah duduk bersila dan diam tak bergerak bagaikan patung asli dari batu hitam!
Lili mulai merasa takut. Dia seakan-akan berada di dalam kuburan, dikubur hidup-hidup bersama sebuah patung batu yang mengerikan, karena kelihatannya seperti tengkorak. Cepat dia menghampiri pintu batu tadi dan berusaha membukanya agar dapat keluar dan melarikan diri.
Akan tetapi seperti tadi, ia tidak mampu membuka pintu itu, tidak mampu membuka lebih lebar dari satu dim saja! Lalu bagaimanakah nenek tadi dapat menahan pintu itu dengan sebatang tongkat bambu?
Lili lalu menghampiri nenek itu dan dengan suara halus membujuk, “Nenek tua yang baik, maafkanlah kelancanganku masuk ke sini dan tolonglah aku keluar dari goa ini. Aku tidak dapat membuka pintunya.”
Berkali-kali ia mengucapkan permintaan ini akan tetapi jangankan membuka mata atau mulut, nenek aneh itu bergerak pun tidak. Mendadak Lili teringat dengan bulu tengkuk berdiri bahwa mungkin sekali nenek ini bukan manusia, melainkan seorang iblis penjaga bumi! Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Liok-te Pouwsat (Dewi Bumi), mohon ampun atas kekurang ajaran hamba. Hamba Sie Hong Li telah melakukan dosa karena berlancang masuk ke tempat kediaman Pouwsat tanpa disengaja, mohon ampun dan tolonglah hamba keluar dari kuburan ini!”
Kembali Lili mengulangi permohonannya ini sampai sepuluh kali, akan tetapi nenek itu tetap saja duduk bersila tanpa membuka mata atau mulut. Akhirnya Lili menjadi marah sekali. Ia melompat bangun dan membentak,
“Aha, tak tahunya engkau seorang Iblis Bumi yang jahat, ya? Kau hendak mengurungku sampai mati di sini atau sampai menjadi tua dan buruk seperti engkau? Lebih baik aku mati! Akan tetapi sebelum aku mati, kalau kau tidak mau membuka pintu goa ini, kaulah yang akan kubikin mampus lebih dulu!”
Lili mencabut Liong-coan-kiam yang berkilauan di dalam keadaan suram-suram itu. Dia menggerak-gerakkan pedangnya untuk menakut-nakuti nenek itu, dan benar saja, nenek itu sekarang membuka sepasang matanya yang mencorong laksana mata kucing. Akan tetapi, bukannya menjadi takut, bahkan tiba-tiba saja nenek itu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Lili berdiri saking seramnya. Nenek itu ketawa tiada ubahnya seperti mayat atau tengkorak tertawa!
“Kau menertawakan aku? Agaknya kau tak tahu sampai di mana kelihaian pedang Liong-coan-kiam ini!” Sambil berkata demikian, Lili kemudian mainkan pedangnya dengan hebat, menyerang nenek itu.
Akan tetapi, pedangnya terbentur dengan tongkat bambu dan terpental kembali, diiringi suara ketawa nenek itu. Lili tahu bahwa nenek ini tentu memiliki kepandaian tinggi, maka ia lalu mainkan jurus-jurus dari Liong-coan Kiam-sut ciptaan ayahnya. Pedangnya lenyap menjadi segulung sinar yang mengurung tubuh nenek itu.
Akan tetapi ke mana pun juga pedangnya berkelebat, selalu pedang ini terbentur kembali oleh tongkat bambu yang luar biasa itu dan tiba-tiba, dibarengi oleh suara ketawanya, nenek itu menggunakan tangan kanannya merampas pedang Lili! Dengan sangat mudah dia menangkap pedang itu dan membetotnya tanpa Lili mampu berdaya apa-apa! Dan ketika gadis ini memandang, ia membelalakkan kedua matanya karena sekali tekuk saja dengan jari-jari tangan kanannya, pedang Liong-coan-kiam telah dipatahkan!
“Nenek gila, kau berani merusak pedangku?!” bentak Lili dengan marah dan sekarang ia mengeluarkan kipasnya, kemudian tanpa menanti lagi ia lalu mainkan ilmu kipas yang ia pelajari dari Swi Kiat Siansu, yakni Ilmu Kipas San-sui San-hoat yang lihai.
Kembali ia terperanjat ketika semua jurus dari San-sui San-hoat diperlihatkan, sekali ulur tangannya saja nenek itu sudah merampas kipasnya dan mematahkannya pula seperti pedang tadi! Lili menjadi makin gelisah.
Celaka, pikirnya. Sekarang aku harus menemui kematian di tempat ini. Akan tetapi dia tidak menjadi takut, bahkan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir. Kini ia maju menyerang dengan tangan kosong, dan memainkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajari dari orang tuanya, yaitu Pek-in Hoat-sut diganti-ganti dengan Kong-ciak Sin-na!
Dua macam ilmu silat tangan kosong ini adalah ilmu yang tangguh dari Bu Pun Su. Akan tetapi ketika digunakan menghadapi nenek ini agaknya seperti tenaga air sungai bertemu dengan laut karena nenek itu sambil tertawa-tawa kini juga memainkan Pek-in Hoat-sut untuk melawan Lili! Akhirnya Lili kehabisan tenaga dan dia pun roboh pingsan di depan nenek itu saking lelah, lapar, marah dan putus harapan!
Pada saat Lili siuman kembali, nenek itu memberinya tiga butir buah hitam dan memberi tanda agar dia makan buah itu. Lili merasa tubuhnya letih dan lapar, maka karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, dia menjadi seperti seekor harimau betina yang menemui manusia kuat. Ia makan tiga butir buah itu yang ternyata enak dan wangi dan perutnya terasa penuh dan kenyang!
Kemudian nenek itu menggurat-guratkan ujung tongkatnya di atas lantai. Ternyata bahwa nenek itu telah menuliskan beberapa huruf yang cukup indah. Lili lalu membacanya,
‘Kau berjodoh untuk menjadi muridku selama dua pekan. Engkau harus mempelajari ilmu silat ciptaanku yang kuberi nama Hang-liong Cap-it Ciang-hoat (Sebelas Jurus Ilmu Silat Penakluk Naga). Akan tetapi ada syaratnya, yaitu di waktu kau masih mempelajari dan melatih ilmu silat ini selama satu bulan kau tidak boleh bicara dan harus bertapa gagu!’
Lili merasa aneh sekali. Akan tetapi sesudah dia maklum bahwa dia tidak akan mati dan bahkan menjadi murid seorang yang pandai luar biasa, dia pun menjadi girang dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.
“Teecu akan mentaati semua perintah Suthai.”
Demikianlah, selama dua pekan, dara perkasa ini mempelajari semacam ilmu silat yang baru dan yang luar biasa lihainya, dan biar pun ilmu silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat hanya terdiri dari sebelas jurus, akan tetapi setiap jurus memerlukan gerakan yang sukar dan sempurna serta tenaga yang luar biasa.
Setiap hari gurunya menempelkan telapak tangan kiri pada telapak tangan kanannya, sedangkan tangan kiri Lili lalu disuruh mendorong daun pintu itu untuk membukanya. Pertama kali Lili masih saja tidak kuat, kecuali setelah gurunya mengerahkan tenaga dan menyalurkannya melalui telapak tangannya. Tetapi begitu gurunya melepaskan tempelan telapak tangannya, pintu itu turun kembali tanpa Lili dapat menahannya!
Akan tetapi lambat laun, setelah sembilan hari, Lili dapat membuka daun pintu itu dengan tenaganya sendiri! Ternyata bahwa lweekang-nya telah meningkat secara luar biasa dan cepat sekali. Setelah dua minggu, tamatlah pelajarannya.
Gurunya bertanya kepadanya melalui tulisan di atas lantai,
‘Aku menurunkan ilmu silat ini kepadamu hanya karena kau pernah mempelajari Pek-in Hoat-sut dari Lu Kwan Cu (Bu Pun Su). Pernah apakah kau dengan dia?’
‘Dia adalah Sucouw-ku (Kakek Guruku),’ jawab Lili, juga dengan tulisan di atas lantai karena dia menepati janjinya bertapa gagu selama sebulan! Kemudian ia menambahkan. ‘Dan bolehkah teecu bertanya, siapakah nama Suthai?’
Nenek yang bagai tengkorak itu hanya menuliskan tiga huruf di atas lantai yang berbunyi, ‘Bu-liang-sim’ yang artinya ‘Tiada Pribudi’, kemudian ia menudingkan tongkatnya ke arah pintu goa mengusir Lili pergi dari situ.
Lili berlutut dan mencium tangan gurunya yang aneh ini sebagai tanda berterima kasih, kemudian dia lalu membuka batu besar yang menjadi pintu goa dan keluar dari goa itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat kelinci putih yang dulu dilempar keluar oleh gurunya masih berada di situ, akan tetapi kelinci ini telah menjadi begitu kurus karena selama dua pekan tidak makan!
Kalau dulu Lili ingin sekali makan dagingnya, sekarang gadis ini malah menjadi kasihan melihatnya. Dia memegang binatang itu pada kedua telinganya, kemudian membawanya melompat ke atas, keluar dari sumur itu. Setelah sampai di atas, dia lalu memandang ke kanan kiri dan melemparkan kelinci itu ke dalam semak belukar.
Dia menarik napas panjang dengan penuh kebahagiaan karena merasa bersyukur masih dapat hidup setelah mengalami pengalaman yang semikian hebat. Kemudian, setelah dia menghafal keadaan di sekeliling tempat itu untuk mengingat tempat tinggal gurunya, dia lalu menggunakan semak-semak untuk menutupi lubang itu agar jangan sampai terlihat oleh orang lain.
Kemudian pergilah dia dari sana, sambil tidak lupa untuk melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang masih harus dipelajarinya terus. Meski pun dia sudah kehilangan Liong-coan-kiam serta kipasnya, dua senjata yang diandalkannya, akan tetapi sekarang karena dia sudah mendapatkan ilmu silat yang luar biasa ini, dia merasa lebih percaya kepada diri sendiri dari pada dahulu.
*****
Sesudah Malangi Khan menyatakan damai dengan bala tentara Kaisar, perdagangan di tapal batas utara menjadi ramai lagi, bahkan lebih ramai dari pada sebelum terjadinya perang. Kota-kota di utara yang tadinya kosong dan sunyi karena ditinggalkan oleh para penduduknya yang pergi mengungsi, sekarang menjadi penuh lagi, bahkan bertambah pula oleh orang-orang Han dan orang Mongol yang datang untuk mencari untung dalam perdagangan di tempat itu.
Kota Kun-lip juga menjadi ramai sekali. Kota ini terletak di sebelah selatan tembok besar dan perdagangan di situ ternyata maju sekali. Oleh karena itu, tidak heran apa bila kota ini banyak dikunjungi orang dan karenanya, hotel dan restoran menjadi subur dan maju.
Setelah mendengar bahwa peperangan telah selesai dan semua orang itu telah kembali ke selatan, Lili tidak segera kembali ke Shaning karena dia masih belum menghabiskan tapa gagunya. Dia merasa amat tidak enak untuk berhadapan dengan orang-orang yang dikenalnya, terutama keluarganya, dalam keadaan bertapa gagu dan tidak boleh bicara ini!
Sekarang ia maklum kenapa gurunya yang aneh itu melarangnya bicara selama sebulan dalam waktu ia masih melatih diri dengan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat. Selain tapa gagu ini merupakan ujian yang berat bagi kekerasan hatinya untuk bertekun mempelajari ilmu silat yang aneh dan sukar itu, juga pada waktu melatih ilmu silat ini, tenaga lweekang selalu terkumpul di dalam dadanya sehingga dengan mudah disalurkan ke arah kedua tangannya. Kalau ia membuka mulut bicara, maka itu berarti perhatiannya akan terpecah dan hawa yang terkumpul itu bisa buyar atau membocor keluar. Memang, untuk berlatih Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dibutuhkan perhatian yang khusus dan pengerahan tenaga dalam yang sepenuhnya.
Pada pagi hari itu, sudah genap dua puluh hari dia bertapa gagu. Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat telah hampir sempurna dilatih. Tiga hari lagi dia sudah dapat membuka pantangan bicara, dan hari itu dia berjalan-jalan di dalam kota Kun-lip. Ketika ia berjalan sampai di depan sebuah restoran besar, tiba-tiba ada orang memanggilnya,
“Lili...!”
Ia cepat menengok dan melihat Song Kam Seng tengah duduk di belakang sebuah meja di halaman luar restoran itu sambil menghadapi hidangan.
“Nona Hong Li, kau hendak kemanakah? Silakan duduk dan mari kita bercakap-cakap. Sudah sangat lama kita tidak bertemu. Bagaimana keadaan kedua orang tuamu?” Kam Seng bertanya dengan ramah dan nyata sekali kegembiraannya bertemu dengan nona ini.
Akan tetapi, biar pun di dalam hatinya Lili tidak marah lagi kepada Kam Seng yang telah memperlihatkan jasa-jasanya dalam keadaan perang yang lalu, namun tentu saja ia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini karena dia masih sedang berpantang bicara. Maka dia berpura-pura tidak melihat, cepat membuang muka dan hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan pemuda itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Gadis liar, baru sekarang aku mendapat kesempatan melunaskan perhitungan!”
Tiba-tiba dari belakangnya, Lili merasa sambaran angin hebat dan cepat ia lalu miringkan tubuh melompat ke kanan. Ternyata yang baru menyerangnya itu adalah Ban Sai Cinjin dengan huncwe mautnya!
Kakek ini memang sedang berada di kota itu dan tadi ketika Kam Seng duduk seorang diri, sebetulnya kakek itu sedang memesan masakan ke meja pengurus restoran, maka Lili tidak melihatnya. Ketika kakek ini melihat Lili, timbullah marahnya karena dia teringat betapa gadis ini pernah menghina dan mengganggunya, dan betapa ayah gadis ini juga sudah menghinanya secara luar biasa sekali.
Karena Lili tidak bisa membalas dengan kata-kata, gadis ini hanya berdiri dan menatap ke arah Ban Sai Cinjin dengan alis berkerut dan mata bernyala. Ia tidak ada nafsu untuk berkelahi oleh karena ia sedang melatih ilmu silatnya yang sebentar lagi akan sempurna. Kalau ia pergunakan dalam pertempuran, maka akan banyak hawa dipergunakan dan ini berarti ia menderita rugi sebelum ilmu silatnya tamat. Kalau saja ia sudah tamat, tentu dengan gembira gadis yang suka berkelahi ini akan melayani dan menghajarnya.
“Bocah, bersedialah untuk mati!” kembali Ban Sai Cinjin membentak sambil sekaligus dia mengirim dua macam serangan.
Tangan kanannya memukulkan huncwe maut ke arah kepala Lili sedangkan kaki kirinya diangkat untuk mengirim tendangan yang menjaga kalau-kalau gadis itu akan melompat ke belakang.
Melihat gerakan kakek ini, Lili segera tahu bahwa dibandingkan dengan dahulu, kakek ini telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Memang benar, Ban Sai Cinjin yang telah mengalami kekalahan berkali-kali, dan bahkan telah dihajar setengah mati oleh Pendekar Bodoh, menjadi sakit hati dan dengan prihatin dia lalu memperdalam ilmu silatnya atas bantuan suheng-nya, yaitu Wi Kong Siansu yang lihai dan yang berjuluk Toat-beng Lomo (Iblis Tua Pencabut Nyawa ).
Menghadapi serangan Ban Sai Cinjin yang hebat ini, Lili lalu merendahkan tubuhnya dan menekuk lutut, mengelak dengan gerakan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw, karena ia masih belum mau mempergunakan ilmu silatnya yang baru.
“Susiok, jangan ganggu Nona Sie!” Kam Seng berkali-kali berseru mencegah susiok-nya, sedangkan orang-orang yang makan di restoran itu terutama yang dekat dengan tempat pertempuran, pada melarikan diri dengan ketakutan.
Delapan jurus sudah dimainkan oleh Ban Sai Cinjin untuk merobohkan Lili. Akan tetapi setelah melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat, ternyata gadis ini telah mendapat kemajuan yang sangat luar biasa dalam ilmu ginkang sehingga tubuhnya menjadi ringan dan gesit sekali. Sambaran-sambaran huncwe maut dari Ban Sai Cinjin itu seakan-akan menyerang sehelai bulu yang sedemikan ringan sehingga yang diserang telah melayang pergi sebelum pukulannya tiba.
“Susiok, jangan berlaku kejam!” tiba-tiba saja Kam Seng yang semenjak tadi memandang dengan penuh kegelisahan, kini mendadak meloncat maju dan…
“Tranggg…!” terdengar suara nyaring ketika huncwe itu tertangkis oleh pedang di tangan Kam Seng!
Lili menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh dan berdiri memandang kepada kedua orang yang kini saling berhadapan itu. Sepasang mata Ban Sai Cinjin mendelik dan terputar-putar saking marahnya, dan karena pipi kanannya masih ada tanda bekas luka-luka goresan yang dihadiahkan oleh Pendekar Bodoh kepadanya di benteng orang Mongol, maka ia terlihat menyeramkan sekali. Seakan-akan apilah yang keluar dari mulut dan hidungnya dan ia seolah-olah hendak menelan pemuda yang berdiri di depannya itu.
“Bangsat terkutuk! Jadi kau hendak membalas budi kami dengan pengkhianatan? Kau hendak membela orang yang menjadi musuh kami, menjadi musuhku sekaligus musuh gurumu? Kau berani melawan Susiok-mu, anjing tak kenal budi?”
“Susiok, kalau kau menyerang orang lain, aku masih dapat melihatnya, akan tetapi Nona itu... ? Tidak, Susiok, biar pun aku harus mati, aku akan membelanya!”
“Bangsat, kau cinta padanya, ya? Kau jatuh cinta kepada anak musuh besarmu ini? Kau benar-benar anjing pengecut, karena itu kau harus mampus!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, Ban Sai Cinjin menyerang murid keponakannya sendiri.
Song Kam Seng cepat menangkis dengan pedangnya, akan tetapi walau pun dia sudah memperoleh warisan ilmu silat yang tinggi dari Wi Kong Siansu, bagaimana dia dapat melawan susiok-nya (paman gurunya)? Sebentar saja ia telah terdesak hebat sekali dan hanya dapat menangkis sambil mundur.
Sementara itu, Lili berdiri dengan sepasang mata menjadi basah. Dia teringat pula akan pengalamannya dahulu ketika ia tertawan oleh Ban Sai Cinjin. Betapa pemuda itu telah menciumnya dan hampir saja mencemarkan namanya. Betapa pemuda itu hampir saja membunuhnya dan semua itu hanya dicegah oleh perasaan cinta kasih dari pemuda itu.
Ia maklum bahwa Kam Seng amat membenci ayahnya dan juga tentu sudah berusaha membencinya karena ayah Kam Seng tewas dalam tangan Pendekar Bodoh, akan tetapi ternyata pemuda itu tetap tidak mampu membencinya, bahkan sampai sekarang cintanya terhadap dirinya masih amat besar sehingga pemuda itu sampai berani melawan paman guru sendiri dan berani pula mengorbankan nyawa. Mengingat sampai di sini, Lili segera melompat maju hendak membantu Kam Seng, akan tetapi terlambat!
Dengan satu serangan secepat kilat, Ban Sai Cinjin telah berhasil mengemplang kepala pemuda itu yang terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya terlepas dari tangannya! Ban Sai Cinjin memburu maju hendak memberi pukulan maut, akan tetapi tiba-tiba dia merasa iganya disambar oleh angin pukulan yang hebat sekali! Ia cepat-cepat memutar tubuhnya dan mengelak dari pukulan Lili ini, kemudian ia mengayun huncwe-nya ke arah kepala gadis ini.
Lili menyambutnya dengan gerakan dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan dengan amat mudah huncwe itu terampas olehnya, ditekuk di antara jari tangannya dan…
“Pletak!” patahlah huncwe maut dari Ban Sai Cinjin yang diandal-andalkan itu!
Terbelalak mata Ban Sai Cinjin memandang ke arah Lili karena tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini mampu merampas huncwe-nya dengan tangan kosong. Ia segera melompat ke belakang dan melarikan diri!
Lili hendak mengejarnya akan tetapi dia mendengar keluhan perlahan, maka dia teringat kembali kepada Kam Seng. Cepat-cepat ia menghampiri pemuda yang merintih-rintih itu. Bukan main mencelos dan terheran hatinya ketika melihat kepala pemuda itu telah retak dan berlumur darah!