Pendekar Rajawali Sakti
PENGKHIANATAN DANUPAKSI
SATU
"Hiyaaa! Hiyaaa...!"Seorang pemuda berbaju rompi putih tampak tengah memacu cepat kudanya seperti dikejar setan. Sedangkan di belakangnya, seorang gadis berpakaian ketat warna biru muda tampak kewalahan lari kuda hitam di depannya. Memang kuda yang ditunggangi gadis itu kelihatannya bukan tandingan kuda di depannya yang bisa berlari secepat angin.
"Hiyaaa...!"
Gadis berpakaian serba biru muda dengan pedang bergagang kepala naga yang tersembul di balik punggungnya itu terus menggebah kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Tapi tetap saja kuda putih yang ditungganginya semakin Jauh tertinggal. Dan kini yang terlihat di depannya hanya kepulan debu membubung tinggi di angkasa. Sementara, pemuda itu sudah lenyap tak terlihat sama sekali bersama tunggangannya. Bahkan bayangannya pun sudah tidak terlihat.
"Edan...! Bisa mati kudaku kalau mengikuti Kakang Rangga terus!" dengus gadis berpakaian biru muda itu dalam hati.
Memang, penunggang kuda hitam yang telah melesat di depan itu adalah Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis penunggang kuda putih itu tentu saja adalah Pandan Wangi. Dan kalau dibandingkan, kuda putih milik Pandan Wangi memang tidak ada apa-apanya dengan kuda hitam bernama Dewa Bayu milik Rangga.
Pandan Wangi jadi iba juga melihat kuda putihnya telah mendengus-dengus kelelahan, karena terus-menerus dipaksa berlari cepat, mengikuti Dewa Bayu. Air liur kudanya terus mengalir menetes bersamaan dengus napasnya yang memburu.
"Hooop...!"
Tanpa menghiraukan Rangga yang sudah tidak terlihat lagi, Pandan Wangi menghentikan lari kudanya. Kemudian gadis itu melompat turun. Gerakannya sangat indah dan ringan. Dari sini bisa dilihat kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si Kipas Maut itu sudah sangat tinggi. Bahkan ketika kakinya menjejak tanah, sedikit pun tidak menimbulkan suara.
"Ayo ke sini, Putih...."
Pandan Wangi kini menuntun kuda putihnya mendekati sebuah aliran sungai kecil yang tidak jauh dari situ. Kemudian, ditinggalkannya kuda putih itu, dibiarkan mereguk sejuknya air sungai. Sedangkan, gadis cantik berbaju biru muda yang berjuluk si Kipas Maut itu menghempaskan tubuhnya di atas akar yang menonjol keluar dari dalam tanah.
“Phuuuh...!"
Keras sekali Pandan Wangi menghembuskan napasnya. Sementara pandangan matanya tertuju lurus ke arah kepulan debu yang masih terlihat membubung tinggi di angkasa. Dia tidak tahu lagi, sudah sampai di mana Rangga saat ini. Tapi, bukan itu yang menjadi pikirannya. Ada sesuatu yang terus mengganjal dalam benaknya, yang sampai saat ini belum bisa terjawab.
"Aneh.... Tidak biasanya Kakang Rangga seperti itu. Ada apa, ya...?" Pandan Wangi bicara sendiri, dengan nada bertanya-tanya.
Pandangan mata gadis itu terus tertuju ke arah kepulan debu yang semakin memudar tertiup angin, namun masih terlihat cukup jelas dari tempatnya beristirahat. Tampak keningnya berkerut, dan kelopak matanya sedikit menyipit. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Namun, pandangannya sedikit pun tidak beralih dari kepulan debu yang semakin memudar.
"Aku yakin, ada sesuatu yang terjadi pada diri Kakang Rangga. Tapi, apa...?" kembali Pandan Wangi bertanya-tanya pada diri sendiri.
Gadis itu memalingkan wajahnya, menatap kuda putih yang sudah tidak lagi melepaskan dahaga. Bahkan binatang yang tubuhnya tinggi tegap dan berotot itu tengah memandanginya. Seakan-akan ingin mengatakan sudah siap dipacu kembali, mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang sudah meninggalkan mereka berdua.
"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Pandan Wangi bangkit bcrdirl Sebentar tubuhnya digeliat-geliatkan, mencoba mengusir rasa pegal pada persendian tulang pinggangnya. Kemudian kakinya melangkah, menghampiri kudanya yang berbulu putih bersih bagai kapas.
"Sudah cukup istirahatmu, Putih?" Tanya Pandan Wangi sambil mengelus-elus leher kuda putihnya.
Kuda putih itu mengangguk-angguk sambil mendengus kecil, seakan-akan mengerti ucapan si Kipas Maut tadi. Pandan Wangi tersenyum. Dengan gerakan indah sekali, gadis itu melompat naik ke punggung kudanya. Tapi baru saja duduk di pelana, tiba-tiba....
Wusss!
"Heh...?! Hup!"
Cepat-cepat Pandan Wangi melenting ke udara, sambil menghentakkan kaki ke tubuh kudanya. Kuda putih itu kontan meringkik keras, dan langsung melompat begitu penunggangnya melesat ke atas.
"Hap!" Manis sekali gadis berjuluk si Kipas Maut itu menjejakkan kakinya kembali di tanah. Sedikit kepalanya berpaling, melirik sepotong ranting yang tadi meluncur cepat sekali ke arahnya. Ranting kering sepanjang dua jengkal itu menancap dalam pada sebatang pohon, tidak jauh di sebelah kanannya. Jelas, ranting itu dilemparkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Belum juga hilang rasa terkejutnya, kembali Pandan Wangi dikejutkan oleh melesatnya seorang wanita tua bungkuk dengan gerakan sangat ringan dari atas pohon. Begitu ringannya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah, tepat sekitar satu batang tombak di depan Pandan Wangi.
"Hm.... Kaukah yang melemparkan ranting itu padaku, Nek?" tanya Pandan Wangi langsung, sambil merayapi perempuan tua yang baru muncul itu.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua itu hanya terkikik saja untuk menjawab pertanyaan Pandan Wangi. Sedangkan si Kipas Maut itu semakin tajam merayapi seluruh tubuh perempuan tua di depannya.
Gadis itu menaksir, kalau usia perempuan tua itu pasti sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Tubuhnya yang bungkuk mengenakan baju panjang longgar berwarna hijau yang sudah memudar. Dan di tangan kanannya tampak tergenggam sebatang tongkat kayu yang bentuknya tidak beraturan. Pada lehernya yang keriput, melingkar seuntai kalung dari batu hitam sebesar-besar ibu jari. Suaranya pun terdengar kering dan mengerikan saat tertawa tadi. Dan rambutnya yang sudah putih tergelung ke atas, diikat oleh kain pita berwarna hitam lusuh.
"Kau yang bernama Pandan Wangi..?" Perempuan tua itu bertanya dengan suara kering dan datar.
"Benar," sahut Pandan Wangi.
"Hik hik hik...!"
"Dan kau, siapa...?" Pandan Wangi balik bertanya.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua itu hanya tertawa saja, seperti tidak menghiraukan pertanyaan Pandan Wangi barusan. Perlahan kakinya digeser ke depan beberapa langkah. Begitu ringan gerakan kakinya, sehingga hampir tidak terlihat Dan seakan-akan kedua telapak kakinya tidak menjejak tanah. Bahkan rumput yang dipijaknya pun sama sekali tidak rusak. Melihat itu, Pandan Wangi sudah bisa meduga kalau tingkat kepandaian yang dimiliki perempuan tua itu pasti sangat tinggi.
"Tidak perlu tahu siapa aku, Pandan Wangi. Yang perlu diketahui, hari ini kau harus bersiap-siap mati!" ancam perempuan tua itu dingin.
"Heh...?! Apa katamu...?!" Pandan Wangi jadi kaget setengah mati.
"Hik hik hik...! Rasanya kau belum tuli, Pandan Wangi. Bersiaplah menyambut kematianmu."
"Eh, tunggu...!"
"Hiyaaat..!"
Tapi perempuan tua yang tidak bersedia menyebutkan namanya, sudah melompat begitu cepat bagai kilat Akibatnya, Pandan Wangi jadi terperangah dengan kedua bola mata terbeliak lebar.
"Hap!" Cepat-cepat gadis berjuluk si Kipas Maut itu menarik tubuhnya ke belakang, begitu ujung tongkat perempuan tua yang runcing berkelebat cepat sekali mengarah ke dadanya. Dan ujung tongkat yang runcing itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Pandan Wangi.
"Hup!" Pandan Wangi langsung melompat ke belakang beberapa langkah, begitu terhindar dari serangan perempuan tua yang tidak dikenalnya itu. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, perempuan tua itu sudah kembali melesat cepat bagai kilat, sambil mengebutkan tongkatnya yang berujung runcing beberapa kali.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Mau tak mau Pandan Wangi terpaksa harus berjumpalitan, menghindari serangan-serangan cepat yang dilancarkan perempuan tua ini. Beberapa kali ujung tongkat runcing itu hampir mengenai tubuhnya, tapi si Kipas Maut masih bisa menghindari dengan gerakan tubuh yang sangat indah.
"Hup!" Begitu memiliki kesempatan, cepat-cepat Pandan Wangi melenting ke belakang, lalu berputaran beberapa kali sebelum kedua kakinya menjejak tanah.
Sret!
Bet!
Cepat sekali gerakan tangan Pandan Wangi, saat mencabut kipas maut dari balik ikat pinggangnya. Seketika senjata maut itu langsung terkembang di depan dada. Sementara, perempuan tua itu berdiri dengan tubuh terbungkuk. Ditatapnya tajam-tajam pada kipas putih keperakan yang terkembang di depan dada.
"Hik hik hik...! Kenapa tidak Pedang Naga Geni saja yang dicabut, Pandan Wangi...?" terasa dingin sekali nada suara perempuan tua itu.
"Hm.... Tampaknya kau sudah tahu banyak tentang diriku, Nenek Tua," desis Pandan Wangi, tidak kalah dinginnya.
"Aku sudah tahu banyak tentang dirimu, Pandan Wangi. Dan aku juga tahu cara untuk mengirimmu ke neraka," sahut perempuan tua itu, tetap kering dan dingin suaranya.
"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam perlahan saja. Sedikit si Kipas Maut menggeser kakinya ke kanan. Tatapan matanya tetap tajam, mengamati setiap gerakan perempuan tua ini. Dalam bentrokan yang terjadi beberapa jurus tadi, Pandan Wangi sudah bisa mengukur kalau kepandaian perempuan tua ini cukup tinggi. Namun sedikit pun tidak ada rasa gentar dalam hatinya.
"Bersiaplah, Pandan Wangi. Hiyaaat!"
Sambil berteriak nyaring, perempuan tua itu kembali melompat cepat bagai kilat dan dengan cepat pula tongkatnya dikebutkan beberapa kali, mengarah ke bagian-bagian tubuh si Kipas Maut yang mematikan.
"Hap! Yeaaah...!"
Bet! Wuk!
Tampaknya Pandan Wangi kelihatan tidak ingin main-main lagi dalam menghadapi perempuan tua yang tidak dikenalnya ini. Dengan cepat sekali serangan itu disambutnya dengan kipas maut yang terkembang di tangan kanan. Bahkan beberapa kali serangan tongkat berujung runcing itu dicoba untuk ditangkis. Tapi, tampaknya perempuan tua itu tidak ingin tongkatnya berbenturan dengan kipas putih keperakan milik Pandan Wangi. Dia selalu bisa menarik dan menghindar setiap kali si Kipas Maut hendak menyampoknya.
"Hiyaaa...!"
Melihat lawannya seperti sengaja menghindari senjata kipasnya, Pandan Wangi semangatnya langsung bangkit seketika itu juga. Dan sambil ber-teriak nyaring, tubuhnya melenting ke udara. Lalu, dengan cepat sekali tubuhnya meluruk deras sambil mengebutkan kipasnya yang berujung runcing. Arahnya langsung ke kepala, leher, dan dada perempuan tua ini.
"Hait..!"
Mendapat serangan balasan yang begitu cepat, perempuan tua itu jadi kelabakan juga menghindarinya. Tubuhnya berjumpalitan dan meliuk-liuk untuk menghindari kibasan kipas maut di tangan kanan Pandan Wangi. Kipas putih keperakan berujung runcing seperti mata anak panah itu bagaikan memiliki mata saja. Ke mana saja perempuan tua itu bergerak, kipas putih itu selalu mengikuti dengan kecepatan sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Hiyaaat..!"
Wuk!
Begitu cepat Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke arah dada. Dan kali ini, perempuan tua itu tidak punya kesempatan menghindar lagi. Terpaksa serangan itu harus ditangkis dengan tongkatnya. Hingga....
Tak!
"Ikh...?!"
"Hup!"
Perempuan tua itu jadi terperanjat setengah mati, begitu tongkatnya berbenturan dengan kipas maut milik Pandan Wangi. Sementara, gadis cantik yang berbaju biru muda itu langsung melompat ke belakang. Tubuhnya berputaran beberapa kali, sebelum kakinya menjejak tanah. Tampak bibirnya meringis sambil memindahkan kipasnya ke tangan kiri.
"Gila! Besar juga tenaga dalarh nenek tua ini...," dengus Pandan Wangi dalam hati.
"Phuih! Rupanya gadis ini memang tidak bisa dianggap enteng. Huh! Tampaknya aku harus memeras tenaga untuk menandinginya," dengus perempuan tua itu dalam hati.
Kini mereka berdiri berhadapan dengan jarak sekitar satu batang tombak. Satu sama lain saling menatap tajam, menusuk langsung ke bola mata masing-masing. Seakan-akan mereka tengah mengukur tingkat kepandaian satu sama lain.
Pandan Wangi memasukkan kembali kipas maut ke dalam sabuk emas yang membelit pinggangnya. Perlahan kemudian, tangan kanannya terangkat ke atas pundak. Lalu, digenggamnya tangkai Pedang Naga Geni yang berbentuk kepala ular naga berwama hitam pekat. Tapi senjata mautnya belum dicabut. Hatinya seperti ragu-ragu untuk menggunakan Pedang Naga Geni.
Si Kipas Maut itu jadi teringat kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berpesan agar tidak menggunakan Pedang Naga Geni kalau tidak terpaksa sekali. Dan memang, selama ini Pandan Wangi jarang sekali menggunakan Pedang Naga Geni dalam pertarungannya. Kalaupun pedang itu digunakan, memang karena untuk membela diri.
Cring!
Perlahan Pandan Wangi mencabut Pedang Naga Geni. Maka seketika dari mata pedang itu memancarkan api yang berkobar-kobar, dan menyebarkan hawa panas luar biasa. Begitu panasnya, sampai-sampai perempuan tua itu menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Agak terbeliak juga bola matanya saat melihat pamor Pedang Naga Geni begitu dahsyat
"Ayo! Majulah kau, Nenek Tua!" desis Pandan Wangi dingin menggeletar.
Saat itu juga, Pandan Wangi bagaikan malaikat maut yang hendak mencabut nyawa. Apalagi dengan Pedang Naga Geni di tangan. Dan wajahnya juga jadi menegang kaku. Sorot matanya terlihat begitu tajam. Sedikit pun bibirnya tidak menyunggingkan senyum. Bahkan terkatup rapat mencerminkan keganasan, bagai sosok siluman yang sudah haus darah. Dan itu memang pengaruh dari Pedang Naga Geni pada siapa saja yang memegangnya.
Nafsu membunuh pun seketika menyeruak menyelimuti hati si Kipas Maut itu. Tanpa dapat dicegah lagi, pengaruh dahsyat Pedang Naga Geni sudah merasuk ke daram hati dan aliran darah gadis itu. Dan tampaknya, jiwanya memang masih belum sempurna benar dalam penguasaan pengaruh pedang itu.
"Kenapa kau diam saja, Nenek Tua? Kau gentar melihat Pedang Naga Geni...?" terdengar sinis sekali nada suara Pandan Wangi.
"Hik...!"
Perempuan tua itu menelan ludahnya yang mendadak saja jadi terasa pahit. Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya jadi bergetar melihat pamor Pedang Naga Geni yang begitu dahsyat. Dan ini benar-benar di luar perkiraannya semula. Sungguh tidak disangka kalau pedang bergagang kepala naga hitam itu memiliki pamor yang sangat dahsyat, sehingga membuat hatinya langsung bergetar melihatnya.
"Kau tidak ingin menyerang, Nenek Tua...? Baik. Jangan salahkan aku kalau pedangku ini menghirup darah busukmu!" desis Pandan Wangi dingin menggetarkan.
Sambil berkata demikian, Pandan Wangi melangkah perlahan-lahan mendekati perempuan tua lawannya. Dan pedangnya yang mengeluarkan api sudah terentang lurus ke depan. Ujungnya diarahkan langsung ke jantung. Sementara, perempuan tua bertubuh bungkuk itu masih tetap diam memandangi tanpa berkedip sedikit pun.
"Mampuslah kau, Nenek Tua! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring melengking, tiba-tiba saja Pandan Wangi melompat cepat bagai kilat Dan pedangnya yang memancarkan api langsung ditebas-kan disertai pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Begitu dahsyat kebutan Pedang Naga Geni itu, sehingga menimbulkan suara angin menderu bagai badai.
"Hup!"
Perempuan tua itu cepat-cepat melompat ke belakang, menghindari tebasan pedang yang memancarkan api sangat panas luar biasa. Tapi, rupanya serangan Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali pedangnya dikebutkan dengan kecepatan sangat dahsyat, mengarah ke kaki perempuan tua lawannya.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Dan begitu Pedang Naga Geni berkelebat mengarah ke kaki, perempuan tua itu cepat-cepat melesat ke atas. Tapi tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi melenting. Dan tubuhnya jadi berbalik, hingga kakinya berada di atas. Lalu dengan gerakan cepat sekali, kakinya dihentakkan. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pandan Wangi kali ini, hingga perempuan tua itu tidak punya kesempatan untuk menghlndar. Dan....
Desss!
"Akh...!"
Begitu keras tendangan yang dilepaskan Pandan Wangi, sehingga membuat perempuan tua itu ter-pental sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi sudah melesat cepat sambil berteriak keras menggelegar. Bahkan pedangnya sudah terangkat naik ke atas kepala, siap ditebaskan ke leher perempuan tua ini.
"Hiyaaat...!"
"Oh, mati aku...," keluh perempuan tua itu.
Namun begitu mata Pedang Naga Geni yang memancarkan api itu hampir berkelebat menyambar leher perempuan tua yang menggeletak itu, mendadak saja....
Slap!
Tring!
"Ikh...?!"
Pandan Wangi jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat kilatan cahaya biru menyambar pedangnya yang tengah meluncur deras ke leher perempuan tua ini. Tangannya seketika terasa jadi menggeletar, begitu pedangnya membentur cahaya biru yang berkelebat begitu cepat menyambarnya tadi.
"Hup!"
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat ke belakang dan berputaran beberapa kali, sebelum kakinya menjejak tanah. Beberapa kali dilakukannya gerakan-gerakan jurus kembangan permainan pedang untuk melemaskan otot tangannya yang seketika juga jadi meregang kaku.
Dan begitu menatap perempuan tua lawannya yang masih menggeletak tak berdaya di tanah, kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya tampak ternganga.
"Kakang...."
DUA
Hampir saja Pandan Wangi tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Tepat di depan perempuan tua yang menjadi lawannya tadi, berdiri tegak Pendekar Rajawali Sakti dengan pedang pusaka sudah tersilang di depan dada. Cepat-cepat gadis itu memasukkan Pedang Naga Geni ke dalam warangkanya di punggung. Dan saat itu, Rangga juga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.
"Kakang...," desis Pandan Wangi, langsung menghampiri.
Tapi langkah gadis itu langsung terhenti, begitu melihat perempuan tua yang jadi lawannya tadi tengah berusaha bangkit berdiri dengan bantuan tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya. Dan akhirnya dia mampu berdiri, walau napasnya jadi tersengal akibat menerima tendangan dahsyat bertenaga dalam tinggi dari si Kipas Maut tadi.
Sementara, Rangga mengqeser kakinya ke kanan dan memutar tubuhnya sedikit. Kini, dirinya menjadi penengah di antara Pandan Wangi dan perempuan tua itu.
"Ada apa ini, Pandan? Kenapa sampai menggunakan Pedang Naga Geni?" tanya Rangga seraya menatap Pandan Wangi.
"Tanyakan saja padanya, Kakang. Dialah yang lebih dulu mencari gara-gara!" sahut Pandan Wangi, agak mendengus suaranya.
Rangga berpaling, menatap perempuan tua yang masih berusaha mengatur jalan pemapasannya. Pandan Wangi juga menatap perempuan tua itu dengan sinar mata tajam. Sedangkan yang dipandangi seperti tidak peduli, tetap saja berusaha mengatur jalan pernapasannya.
"Nyai! Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kau sampai bertarung dengan Pandan Wangi?" tanya Rangga, setelah melihat perempuan tua yang belum menyebutkan namanya itu sudah agak lancar pernapasannya.
Perempuan tua itu tidak menjawab. Hanya ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata yang sangat tajam. Dan mendadak saja....
"Hup!"
"Hei..!"
Hampir saja Pandan Wangi melesat mengejar, begitu tiba-tiba perempuan tua itu cepat melompat pergi. Dan untung saja, Rangga segera mencekal pergelangan tangan si Kipas Maut ini.
"Biarkan, Pandan. Tidak ada gunanya mengejar," ujar Rangga.
"Huh! Dia tadi hampir saja membunuhku, Kakang," dengus Pandan Wangi, masih merasa kesal.
Rangga melepaskan cekalan tangannya, kemudian melangkah menghampiri seekor kuda hitam yang berdiri berdampingan dengan kuda putih tunggangan si Kipas Maut.
Sementara, Pandan Wangi tetap berdiri tegak memandang ke arah kepergian perempuan tua tadi. Entah kenapa, hatinya masih saja merasa kesal. Mungkin karena tadi niatnya, untuk mengirim perempuan tua itu ke neraka tidak kesampaian.
Rangga kembali menghampiri Pandan Wangi sambil menuntun dua ekor kuda tunggangan masing-masing. Kemudian diserahkannya tali kekang kuda putih pada gadis itu. Sedangkan Pandan Wangi menerimanya dengan wajah masih memberengut Tapi Rangga tampak tidak peduli. Bahkan langsung melompat ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu.
"Ayo, Pandan. Naik ke kudamu," pinta Rangga, bernada agak memerintah.
Pandan Wangi menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti sesaat, kemudian melompat ke punggung kuda putih tunggangannya. Tapi, gadis itu tidak juga menghentakkan tali kekangnya. Sementara, Dewa Bayu sudah melangkah membawa Pendekar Rajawali Sakti di punggungnya. Pemuda itu menghentikan langkah kaki kudanya, saat merasakan Pandan Wangi belum juga mau menggebah kudanya. Ketika kepalanya berpaling ke belakang, tampak Pandan Wangi masih tetap duduk di punggung kudanya yang masih belum jalan juga.
"Ayo, Pandan. Ada apa lagi...?" agak keras.
Kini, baru Pandan Wangi menghentakkan tali kekang. Maka kuda putih itu melangkah perlahan-lahan menghampiri Dewa Bayu yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti. Kelihatannya, sepasang pendekar muda itu ingin mengendarai kuda perlahan-lahan. Sesekali Rangga melirik wajah Pandan Wangi yang masih kelihatan memberengut, akibat pertarungannya tidak sampai tuntas. Padahal, tinggal sedikit lagi lawannya bisa dikirim ke alam baka.
"Kau kesal, pertarunganmu kuhentikan...?" tegur Rangga seperti bisa membaca jalan pikiran gadis yang berkuda di sebelahnya.
"Seharusnya perempuan tua itu dibiarkan mati saja, Kakang," dengus Pandan Wangi masih bernada kesal.
"Kau mengenalnya?" tanya Rangga.
"Tidak," sahut Pandan Wangi.
"Lalu, kenapa sampai bertarung begitu?" tanya Rangga lagi, ingin tahu.
"Dialah yang memulai lebih dulu," sahut Pandan Wangi singkat.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia muncul dan langsung menyerangku."
"Kau tidak tanyakan alasannya?"
"Sudah, tapi tidak dijawab. Namanya saja tidak disebutkan."
"Aneh...," gumam Rangga seperti untuk diri sendiri.
"Kau sendiri, kenal nenek itu, Kakang?" Pandan Wangi balik bertanya, seraya menatap wajah tampan Pandan Wangi.
"Tidak," sahut Rangga.
Mereka kemudian terdiam. Sedangkan kuda yang ditunggangi tetap berjalan perlahan-lahan, meniti jalan tanah yang mulai berbatu. Sementara, matahari sudah mulai turun ke barat. Namun, sinarnya masih tetap terasa terik menyengat kulit.
Kedua pendekar muda itu terus mengendari kudanya perlahan-lahan tanpa berbicara lagi. Sampai akhirnya, mereka tiba di pinggir sebuah sungai besar. Di sini, langkah kuda mereka dihentikan. Secara bersamaan, kedua pendekar muda itu berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Sementara, kuda-kuda itu menikmati jernihnya air sungai.
Pandan Wangi membasuh wajah dan lengannya dengan air sungai jemih ini. Sementara, Rangga sudah menghenyakkan tubuhnya, duduk bersandar pada sebatang pohon tumbang. Pandan Wangi baru menghampiri Pendekar Rajawali Sakti setelah tubuhnya terasa segar kembali begitu terkena air sungai yang jernih dan cukup dingin ini. Lalu, tubuhnya dihempaskan di samping pemuda yang selalu berbaju rompi putih itu.
"Kau akan menyeberangi sungai ini, Kakang?" Tanya Pandan Wangi. Pandangan matanya langsung tertuju ke seberang sungai.
"lya," sahut Rangga singkat
"Jadi, kita kembali ke Karang Setra?"
Rangga tidak menjawab. Namun pandangannya tertuju lurus ke seberang sungai. Tampak di seberang sana, gadis gadis desa tengah membersihkan diri sambil bersenda gurau. Sementara bocah-bocah berlarian dan bermain-main dengan air sungai yang dangkal ini. Walaupun sangat lebar, tapi tidak deras alirannya.
Kini kedua pendekar muda itu tidak berbicara lagi. Mereka memandang terus ke seberang sungai. Sesekali Pandan Wangi melirik wajah tampan di sebelahnya. Dan setiap kali menatap dengan sudut ekor matanya, keningnya jadi berkerut. Mungkin sedang mencoba menerka, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Kita menginap di Desa Malingping. Besok pagi, baru ke kota," ujar Rangga sambil bangkit berdiri, setelah cukup lama beristirahat di tepi sungai ini.
"Boleh juga...," sambut Pandan Wangi yang sudah berdiri lebih dulu.
Mereka kemudian naik kembali ke punggung kuda masing-masing, kemudian menyeberangi sungai yang dangkal ini tanpa tergesa-gesa. Saat itu, matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya. Di ufuk barat, hanya terlihat semburat cahaya kuning kemerahan yang begitu lembut dan indah dipandang mata.
Kedua pendekar muda itu terus mengendalikan kudanya perlahan-lahan, walaupun sudah menye-berangi sungai yang kini kelihatan sepi. Mereka terus memasuki sebuah desa yang tidak begitu besar, namun letak rumah-rumahnya tertata rapi. Desa inilah yang dinamakan Desa Malingping, yang terdekat dengan Kotaraja Karang Setra.
"Di mana kita menginap, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Di penginapan Ki Sardan," sahut Rangga.
Pandan Wangi tahu betul rumah penginapan yang dimaksudkan Rangga. Mereka memang sering menginap di sana, kalau memang kebetulan singgah. Dan Ki Sardan, pemilik rumah penginapan itu, memang sudah dikenal mereka berdua. Walaupun, tidak tahu kalau sebenarnya pemuda yang selalu berbaju rompi putih ini adalah Raja Karang Setra. Selain juga seorang pendekar yang sering berkelana menegakkan keadilan dan kebenaran.
Rumah penginapan yang dituju sudah terlihat terang-benderang oleh cahaya lampu pelita. Dan kelihatannya juga banyak dikunjungi tamu. Tapi, sudah tentu tidak semua tamu yang menginap di sana. Karena selain menyediakan tempat bermalam, Ki Sardan juga membuka kedai. Apalagi, hanya satu-satunya kedai dan sekaligus rumah penginapan di Desa Malingping ini.
Ki Sardan kelihatan bergegas keluar begitu Rangga dan Pandan Wangi baru sampai. Laki-laki tua itu memegangi tali kekang kuda kedua pendekar muda itu saat turun dari punggung kudanya. Kemudian diserahkannya kuda-kuda itu pada pembantunya yang langsung membawa ke bagian belakang dari rumah penginapan ini. Ki Sardan tampak menyambut tamu langganannya ini dengan sikap ramah sekali.
"Seperti biasa, Den...?" tanya Ki Sardan ramah.
"Benar, Ki," sahut Rangga.
"Kalau begitu, makan saja dulu. Biar kamarnya disiapkan," usul Ki Sardan.
Rangga hanya mengangguk saja. Mereka kemudian masuk ke dalam kedai. Seperti biasanya, Ki Sardan memberi tempat yang istimewa pada kedua pendekar muda ini. Tapi, suasana kedai ini tidak seperti biasanya. Terasa begitu ramai. Dan Rangga tahu, tamu-tamu yang datang kebanyakan para pendatang yang kebetulan singgah. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti melihat adanya kelainan. Kebanyakan dari pengunjung kedai ternyata orang-orang persilatan. Dan ini bisa terlihat dari senjata yang dibawa.
Saat itu, Ki Sardan sudah ke belakang untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi kedua pendekar langganannya ini. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti jadi termenung. Dan ini membuat Pandan Wangi terus memperhatikan dengan kening agak berkerut.
"Ada apa, Kakang?" tegur Pandan Wangi.
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa," sahut Rangga agak tergagap.
"Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Sejak tadi, kuperhatikan sikapmu aneh," tegur Pandan Wangi lagi, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Tidak ada apa-apa," sahut Rangga mencoba memberi senyuman.
Tapi, Pandan Wangi tahu kalau ada sesuatu yang disembunyikan Pendekar Rajawali Sakti. Dan senyum Pendekar Rajawali Sakti juga terasa hambar sekali. Walaupun berusaha ditutupi, tapi Pandan Wangi masih bisa melihat adanya kegelisahan dalam diri kekasihnya. Gadis itu kemudian mengedarkan pandangan berkeliling, dan kembali menatap wajah tampan yang duduk tepat di depannya.
Saat itu, Ki Sardan datang lagi bersama seorang pembantunya yang membawa baki berukuran cukup besar, penuh berisi makanan dan minuman. Dengan sikap hormat sekali, laki-laki tua pemilik kedai dan rumah penginapan itu menyediakan hidangan di atas meja.
"Silakan, Den, Nini...," Ki Sardan mempersilakan dengan ramah, setelah semua makanan dan minuman terhidang di meja.
"Terima kasih," ucap Pandan Wangi.
Ki Sardan kembali meninggalkan mereka. Sementara, Rangga terus saja diam, seperti tengah ada yang direnungkan. Pandangan matanya begitu kosong, tertuju lurus ke depan. Sedangkan Pandan Wangi jadi penasaran memperhatikan sikap Rangga yang kelihatan aneh dan tidak seperti biasanya.
"Ayo makan dulu, Kakang. Sejak pagi tadi kau belum makan apa-apa, kan...?" ajak Pandan Wangi.
"Kau saja yang makan, Pandan," tolak Rangga.
Pandan Wangi memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Sedangkan yang dipandangi seperti tidak peduli, dan terus saja mengarahkan pandangan ke depan kedai ini.
Saat itu, terdengar suara kuda dipacu cepat. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat puluhan orang berkuda dengan cepat melintas di depan kedai ini. Semua orang yang ada di dalam kedai langsung menolehkan kepala ke luar. Saat itu juga, orang-orang yang memadati kedai kecil ini tergesa-gesa berhamburan keluar. Sebentar saja ruangan kedai yang cukup luas ini jadi sunyi. Yang tinggal hanya Rangga dan Pandan Wangi saja di tempatnya.
Dari bagian belakang, muncul Ki Sardan. Laki-laki tua itu langsung menuju pintu depan. Tapi pada saat itu, para penunggang kuda yang berpacu cepat tadi sudah tidak terlihat lagi. Bahkan mereka yang tadi ada di dalam kedai ini pun sudah tidak terlihat lagi. Entah kenapa mereka langsung pergi begitu para penunggang kuda berpacu cepat melintas di depan kedai ini terlihat.
"Cepat tutup semua pintu dan jendela!" seru Ki Sardan begitu para pembantunya keluar dari bagian belakang.
Tanpa ada yang membantah lagi, lima orang pembantu laki-laki tua itu segera melaksanakan perintahnya. Sementara Ki Sardan sendiri cepat-cepat menutup pintu depan. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja. Lima orang pembantu Ki Sardan kembali ke belakang setelah mengerjakan semua perintah majikannya. Bahkan beberapa pelita di dalam kedai ini sudah dimatikan. Tinggal dua pelita saja yang masih menyala, dan letaknya tidak jauh dari meja yang ditempat Rangga dan Pandan Wangi
"Ki...," panggil Pandan Wangi begitu Ki Sardan hendak kembali ke belakang.
"Oh...?!"
********************
Ki Sardan seperti baru tersadar kalau masih ada orang lain di dalam kedainya. Bergegas dihampirinya kedua pendekar muda langganannya itu. Dalam siraman cahaya lampu pelita yang sudah dikecilkan nyala apinya, terlihat wajah Ki Sardan begitu pucat
"Ada apa, Ki? Kenapa sudah menutup kedai ini?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Peraturan baru, Nini," sahut Ki Sardan.
"Peraturan baru...? Peraturan apa, Ki?" tanya Pandan Wangi keheranan.
Belum juga Ki Sardan menjawab pertanyaan Pandan Wangi, terdengar bunyi kentongan dipukul dengan irama yang berartj. Pandan Wangi langsung menatap Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja. Dia tahu, irama bunyi kentongan itu menandakan keadaan yang sedang genting. Itu artinya sama saja melarang orang keluar rumah. Bahkan melarang rumah-rumah menyalakan lampu. Saat itu, Ki Sardan mematikan lampu yang tinggal dua. Lalu, dinyalakannya pelita kecil, dan diletakkan di tengah-tengah meja yang ditempati kedua pendekar muda ini.
Nyala api pelita yang kecil, ternyata tak kuasa menerangi seluruh ruangan kedai yang besar ini. Dan hanya sekitar meja itu saja yang diterangi. Tindakan Ki Sardan membuat hati Pandan Wangi jadi semakin penasaran. Sedangkan Rangga kelihatan diam saja, seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Tanda kentongan itu biasanya dibunyikan kalau kerajaan sedang berperang. Apakah di sini telah terjadi perang, Ki?" tanya Pandan Wangi lagi. Kali ini suaranya dipelankan.
"Negeri ini memang sedang gawat, Nini. Sedang perang," jelas Ki Sardan.
“Perang...?!"
Pandan Wangi tidak bisa menahan keterkejutannya. Matanya sempat melirik Rangga yang masih kelihatan diam, tidak memberi tanggapan sedikit pun juga.
"Memang ada musuh yang menyerang, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Bukan musuh dari luar, Nini. Tapi, musuh dari dalam sendiri."
"Maksudmu, Ki?" Pandan Wangi meminta penjelasan.
Sesekali gadis itu melirik Rangga yang masih saja tetap membisu. Tapi, sekarang Pendekar Rajawali Sakti menatap Ki Sardan dengan sinar mata sukar diartikan.
"Kabarnya, di istana sedang terjadi makar. Dan pemberontak itu dibantu orang-orang persilatan. Aku sendiri tidak tahu yang sebenarnya. Tapi, kabar itu sudah tersebar luas. Dan katanya lagi, sekarang ini tahta kerajaan sedang kosong," jelas Ki Sardan, singkat.
"Siapa yang memberontak, Ki?" tanya Pandan Wangi seraya melirik Rangga.
"Wah tidak tahu, Nini. Aku tidak pernah ingin tahu urusan seperti itu," sahut Ki Sardan lagi.
Pandan Wangi terdiam tidak bertanya lagi. Ditatapnya wajah Pendekar Rajawali Sakti begitu dalam. Sedangkan yang ditatap masih tetap diam membisu.
"Sebaiknya kalian ke kamar saja. Biar makanan ini dibawa ke kamar," ujar Ki Sardan lagi.
"Biarkan kami di sini saja, Ki," kata Rangga, baru membuka suaranya.
"Kalau begitu, boleh kutinggal...?" pinta Ki Sardan.
"Silakan, Ki," ujar Rangga.
Ki Sardan bergegas meninggalkan ruangan kedai yang sudah sepi ini. Kini tinggal Rangga dan Pandan Wangi yang masih tetap duduk berhadapan tanpa berbicara sedikit pun juga. Beberapa kali mereka saling bertatapan.
********************
TIGA
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, Pandan Wangi sudah keluar dari kamar penginapannya. Langsung ditujunya kamar yang ditempati Rangga. Dan memang, kamar mereka bersebelahan. Tapi, mendadak saja kening gadis itu jadi berkerut begitu melihat pintu kamar Pendekar Rajawali Sakti sedikit terbuka. Malah masih terlihat nyala lampu palita dari daiam kamar.
Perlahan Pandan Wangi mendorong pintu hingga terbuka lebar. Tidak ada seorang pun di dalam kamar ini. Bahkan jendelanya masih tetap tertutup rapat. Bergegas Pandan Wangi masuk dan memeriksa seluruh ruangan ini. Ternyata Rangga benar-benar tidak ada lagi. Cepat-cepat gadis itu keluar lagi dari kamar ini dan kembali ke kamamya sendiri. Setelah menyiapkan senjatanya, gadis iiu kembali keluar dari kamarnya. Langsung ditujunya tempat penyimpanan kuda. Di depan kandang kuda, dia bertemu Ki Sardan.
"Lihat Kakang Rangga, Ki?" tanya Pandan Wangi, langsung.
"Sudah pergi pagi-pagi sekali tadi, Nini," sahut Ki Sardan.
"Pergi? Ke mana...?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Tidak mengatakan akan ke mana. Tapi Den Rangga pesan agar Nini tidak pergi ke mana-mana. Katanya, akan kembali lagi siang nanti” sahut Ki Sardan.
"Dia mengendarai kuda, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Tidak. Kudanya masih ada di kandang."
Pandan Wangi jadi tertegun. Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa Rangga jadi bersikap begitu...? Tidak seperti biasanya, Pendekar Rajawali Sakti pergi diam-diam tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Berbagai macam pikiran langsung terlintas di dalam benaknya. Dan kecemasan pun seketika muncul di hatinya.
"Tolong siapkan kudaku, Ki," pinta Pandan Wangi.
"Mau ke mana?" tanya Ki Sardan.
"Ada urusan, Ki," sahut Pandan Wangi tidak ingin banyak bicara lagi.
"Nanti kalau Den Rangga kembali...?"
"Bilang saja aku pergi sebentar."
Pandan Wangi langsung saja melangkah meninggalkan laki-laki tua itu, dan terus masuk kembali ke dalam rumah penginapan. Sementara Ki Sardan jadi tertegun kemudian memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan kuda putih tunggangan si Kipas Maut.
Seekor kuda putih tampak sudah slap di halaman depan kedai Ki Sardan, begitu Pandan Wangi keluar dari dalam kedai bersama laki-laki tua pemilik kedai. Seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun memegangi tali kekang kuda putih itu, dan menyerahkannya pada Pandan Wangi.
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pandan Wangi melompat naik ke atas punggung kudanya. Sebentar ditatapnya Ki Sardan. Kemudian, kudanya digebah dengan cepat
"Hiyaaa...!"
Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi tinggi ke atas. Lalu, binatang itu melesat cepat sekali bagaikan anak panah lepas dari busur. Debu mengepul tinggi ke angkasa, tersepak kaki kuda yang dipacu cepat.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi memacu cepat kudanya menuju arah selatan. Begitu cepatnya kuda putih itu berpacu, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah meninggalkan Desa Malingping. Gadis itu terus memacu cepat kudanya, melintasi jalan tanah yang berdebu dan sedikit berbatu.
Belum juga matahari naik tinggi, gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah sampai di perbatasan Kotaraja Karang Setra. Dan memang, jarak antara Desa Malingping dengan Kotaraja Karang Setra tidak begitu jauh, sehingga bisa ditempuh dalam waktu sebentar saja dengan berkuda.
Kini lari kudanya diperlambat, dan dihentikan tepat di pintu gerbang masuk Kotaraja Karang Setra. Tidak ada seorang pun penjaga. Sebentar Pandan Wangi mengamati keadaan sekitarnya.
"Hm, kenapa tidak ada seorang penjaga pun di sini...?" gumam Pandan Wangi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Perlahan gadis itu mengayunkan kakinya. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja terdengar bentakan keras menggelegar. Seketika gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu terkejut dan menghentikan ayunan langkahnya. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, dari balik sebatang pohon beringin yang besar muncul seorang laki-laki berusia separuh baya.
"Siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini?" tanya laki-laki separuh baya bertubuh tegap dan berbaju wama merah menyala.
"Aku Pandan Wangi. Kedatanganku ke sini untuk mengunjungi saudara-saudaraku di istana," sahut Pandan Wangi tegas.
"Hah...?! Kau Pandan Wangi...?"
Laki-laki separuh baya bertubuh tegap itu tampak terkejut, saat Pandan Wangi menyebutkan namanya. Begitu terkejutnya, sampai terlompat ke belakang tiga langkah. Dipandanginya gadis cantik berbaju biru muda itu dalam-dalam, dari ujung kepala hingga ke ujung jari kakinya. Seakan-akan ingin dipastikan kalau gadis ini memang Pandan Wangi.
"Kau siapa, Kisanak? Kenapa perjalananku dihentikan?" Pandan Wangi balik bertanya dengan nada suara tegas sekali.
"Aku Rakyandata, yang bertugas menjaga gerbang kota ini. Dan aku diperintahkan untuk menyingkirkan siapa saja yang mencoba masuk. Terlebih lagi, yang ada hubungannya dengan orang-orang istana," sahut laki-laki separuh baya yang memperkenalkan diri sebagai Rakyandata.
"Hm.... Sejak kapan kau menjadi penjaga pintu gerbang ini, Kisanak? Apakah Karang Setra sudah tidak punya prajurit lagi, sehingga harus orang luar yang menjaga kotanya...?" terdengar sinis sekali nada suara Pandan Wangi.
"Karang Setra sudah berubah, Pandan Wangi. Sebaiknya segera enyahlah dari sini, sebelum kuambil tindakan keras padamu!" sentak Rakyandata, terdengar kasar nada suaranya.
"Kau tahu, Kisanak. Tidak ada seorang pun yang bisa mengusirku dari sini," desis Pandan Wangi sinis.
"Aku yang akan mengusirmu, Pandan Wangi."
"Hhh...!" Pandan Wangi mendengus kecil dengan bibir menyunggingkan senyum sinis.
Sementara, Rakyandata sudah mencabut senjatanya yang berupa golok berukuran cukup besar. Golok itu berkilatan melintang di depan dada. Perlahan kakinya bergeser ke kanan beberapa langkah. Dan tatapan matanya begitu tajam dan tertuju lurus ke bola mata gadis cantik berjuluk si Kipas Maut yang kelihatan tenang. Bahkan Pandan Wangi tetap berdiri tegak sambil berkacak pinggang.
"Kuperingatkan sekali lagi, Pandan Wangi...."
"Kalau ingin mengusirku, coba saja. Ayo laksanakan, Kisanak!" potong Pandan Wangi cepat
"Phuih!" Rakyandata menyemburkan ludahnya sambil mendengus keras. Sebentar laki-laki berpakaian merah menyala itu menatap tajam Pandan Wangi. Kemudian....
"Hiyaaat..!"
Bet!
"Hait..!"
Manis sekali Pandan Wangi meliukkan tubuhnya, begitu Rakyandata menyerang cepat sambil membabatkan goloknya. Kenyataannya, hanya sedikit saja golok yang berkilatan tajam itu lewat di depan dada Pandan Wangi. Dan tanpa diduga sama sekali, gadis itu menarik tubuhnya ke kiri. Lalu dengan kecepatan sukar diikuti pandangan mata biasa, kaki kanannya dihentakkan. Langsung diberikannya satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Bet!
Rakyandata jadi terkejut setengah mati melihat gerakan Pandan Wangi. Maka cepat-cepat goloknya dikibaskan, mencoba menghalau tendangan si Kipas Maut itu. Namun begitu goloknya berkelebat, cepat sekali Pandan Wangi melenting ke udara, sampai melewati kepala laki-laki separuh baya ini. Dan dengan cepat sekali kakinya menjejak tanah, tepat di belakang Rakyandata.
"Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun juga, Pandan Wangi melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke punggung laki-laki separuh baya itu. Begitu cepat gerakannya sehingga Rakyandata tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....
Diegkh!
"Akh...!"
Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Pandan Wangi, sehingga Rakyandata terpental ke depan, sejauh dua batang tombak. Tubuhnya bergulingan di tanah beberapa kali, lalu cepat melompat bangkit Tapi baru saja bisa berdiri, Pandan Wangi sudah melesat begitu cepat sambil mencabut kipas maut dari balik sabuk emasnya. Senjata itu langsung dikebutkan dengan kecepatan sangat sukar diikuti mata biasa.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Begitu cepat serangan yang dilancarkan gadis berjuluk Kipas Maut itu. Akibatnya Rakyandata hanya mampu terbeliak, tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menghindar. Dan....
Cras!
"Aaa...!"
Jeritan panjang bernada kesakitan seketika terdengar menyayat, begitu ujung kipas maut yang berbentuk runcing seperti anak panah merobek dada Rakyandata.
Sebentar laki-laki separuh baya itu masih mampu bertahan berdiri. Dan begitu Pandan Wangi memberi satu tendangan keras ke perutnya, tubuh tinggi besar itu pun seketika ambruk ke tanah. Darah mengucur deras dari luka di dada yang cukup lebar dan panjang. Beberapa saat Rakyandata menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
"Huh!"
Pandan Wangi mendengus berat sambil memasukkan kembali kipas maut ke balik sabuk emasnya. Dipandanginya tubuh Rakyandata yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan dada sobek mengucurkan darah.
********************
Sambil menuntun kudanya, Pandan Wangi berjalan perlahan-lahan memasuki Kotaraja Karang Setra. Di dalam kota ini tidak terlihat adanya perubahan sedikit pun. Semua penduduknya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kota ini terlihat begitu ramai, sedikit pun tidak ada tanda-tanda adanya pemberontakan. Dan keadaan ini membuat Pandan Wangi jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Keanehan memang mulai terasa sejak Rangga tidak bersikap seperti biasa. Bahkan semakin terasa, setelah sampai di Desa Malingping. Kini keanehan itu menjadikan Pandan Wangi terus bertanya-tanya di dalam hati. Padahal di Desa Malingping, terdengar kabar kalau telah terjadi pemberontakan di Kotaraja Karang Setra ini. Buktinya, begitu masuk kotaraja, Pandan Wangi sudah dihadang oleh orang yang mengaku dari pihak istana. Bahkan orang itu juga melarang masuk siapa saja yang ada hubungannya dengan keluarga Istana Karang Setra. Tapi setelah sampai di desa ini, sedikit pun tidak terlihat adanya bekas-bekas terjadi pemberontakan. Dan ini yang membuat Pandan Wangi jadi tidak mengerti.
Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu baru menghentikan kudanya setelah tiba di depan pintu gerbang benteng istana. Sejenak hatinya jadi tertegun melihat empat orang prajurit menjaga pintu gerbang. Keempat prajurit itu juga memandanginya, seperti tengah memandang seorang asing yang patut dicurigai. Pandan Wangi segera menggebah kudanya perlahan, tidak jadi mendekati pintu gerbang benteng istana. Dan kini malah menjauhinya, dan berputar ke sebelah kanan. Beberapa prajurit terlihat di sekitar tembok benteng istana yang memang terlihat agak ketat penjagaannya. Tapi, itu bukanlah hal yang aneh. Setiap istana pasti dijaga ketat para prajurit ber-senjata lengkap.
"Ssst.., Nini.... Nini Pandan...."
"Heh...?!"
Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba telinganya mendengar bisikan memanggil namanya. Langkah kaki kudanya segera dihentikan. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, dengan bola mata berputar memandang ke sekitarnya. Tapi, tak terlihat seorang pun yang memanggilnya tadi.
Memang, di sekelilingnya banyak orang. Tapi, tak ada seorang pun yang kelihatan memperhatikan dirinya. Semua orang terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda dengan gerakan indah dan ringan sekali. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling, tapi orang yang memanggil namanya tidak juga didapatkan.
"Nini, ke sini. Aku ada di sebelah kananmu."
Kembali terdengar bisikan yang sangat halus, tapi begitu jelas terdengar di telinga. Pandan Wangi segera memalingkan wajahnya ke kanan, tapi tidak juga bisa menemukan adanya orang yang memanggil dengan bisikan perlahan tadi. Pandangan mata gadis itu kembali tertuju pada kerumunan orang yang mengelilingi seorang pedagang yang berteriak-teriak, berusaha menarik minat pembeli.
"Aku ada di balik pohon asam, Nini. Kemarilah.... Aku tidak bisa keluar menemuimu."
Kembali terdengar bisikan halus di telinga Pandan Wangi. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu langsung berpaling, dan menatap sebatang pohon asam tua yang tidak jauh dari kerumunan orang ba-nyak itu. Tapi, yang terlihat, di sana hanyalah seorang laki-laki tua berpakaian compang-camping dan mengenakan tudung usang. Dia tampak tengah duduk bersila menghadapi sebuah tempurung kelapa di depannya. Di atas pangkuannya, tergeletak sebatang tongkat kayu berwarna putih keperakan.
"Hm.... Apakah dia yang memanggilku tadi...?" gumam Pandan Wangi bertanya sendiri dalam hati.
Beberapa saat lamanya, gadis cantik berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini memandangi laki-laki tua pengemis itu. Sebentar kemudian, pandangannya beredar ke sekeliling. Tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Semua orang yang ada di sekitar tembok benteng istana ini seolah-olah tidak mengenalnya sama sekali. Kembali Pandan Wangi mengarahkan pandangan ke pohon asam tua di pinggir jalan. Tapi mendadak saja....
"Heh...?!"
Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak. Malah mulutnya sampai ternganga begitu pandangannya kembali tertuju ke pohon asam tua di pinggir jalan ini. Ternyata laki-laki tua pengemis yang tadi terlihat duduk bersila di bawah pohon asam itu, kini sudah tidak ada lagi. Bahkan sedikit pun tidak terlihat bekasnya. Tentu saja hal ini membuat Pandan Wangi jadi terlongong bengong.
"Ke mana dia...?" desis Pandan Wangi jadi bertanya sendiri.
Namun belum juga hilang desisannya, tiba-tiba Pandan Wangi mendengar bisikan halus yang bernada sama seperti tadi. Suara yang sangat halus, tapi begitu jelas terdengar. Itu sudah menandakan kalau orang yang mengirimkan suara padanya memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi. Terbukti, orang-orang yang ada di sekitar Pandan Wangi sama sekali tidak mendengar.
"Temui aku di ujung jalan ini."
"Hm...," gumam Pandan Wangi perlahan.
Pandan Wangi berpaling memandang ke ujung jalan yang membelah Kotaraja Karang Setra bagai menjadi dua bagian. Tapi, ujung jalan itu berbelok ke arah kanan. Dan kalau ditelusuri, akan berakhir di perbatasan bagian selatan. Pandan Wangi jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apa maksud orang itu?
"Hup!"
Setelah berpikir beberapa saat, Pandan Wangi melompat naik kembali ke punggung kuda putihnya. Kemudian tali kekang kuda itu dihentakkan, hingga kembali berjalan perlahan-lahan. Sengaja Pandan Wangi tidak cepat-cepat menggebah kudanya, agar tidak menarik perhatian orang-orang yang hampir memadati jalan ini.
Gadis itu juga tidak ingin menarik perhatian para prajurit yang setiap saat selalu mengawasi. Dan memang, tidak semua prajurit di Karang Setra ini mengenalnya. Tapi, paling tidak hampir semua prajurit berpangkat punggawa mengenalnya. Dan Pandan Wangi tidak ingin ada prajurit yang tahu kalau dirinya berada di Karang Setra ini seorang diri. Karena, biasanya selalu bersama-sama Rangga. Tapi sekarang ini Pendekar Rajawali Sakti itu pergi entah ke mana.
Pandan Wangi baru mempercepat lari kudanya. setelah tiba pada tikungan jalan yang sunyi. Dan kudanya terus dipacu dengan kecepatan sedang. Pandangan matanya tertuju lurus ke depan. Hanya satu dua orang saja yang terlihat berjalan di pinggir jalan. Dan mereka juga tampak tidak mempedulikannya.
"Hooop. .!"
Pandan Wangi baru menghentikan lari kudanya setelah hampir tiba di perbatasan kota bagian selatan. Tampak di gerbang perbatasan yang ditandai oleh bangunan dua buah batu berbentuk gapura, ter-lihat empat orang berseragam prajurit tengah berjaga-jaga bersenjatakan tombak.
"Hup!"
Ringan sekali Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda putihnya. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Dan pandangan matanya kemudian tertuju pada gerbang perbatasan kota yang dijaga empat orang prajurit bersenjata tombak berukuran panjang.
"Hm.... Tidak ada ujung jalan lain, selain gerbang perbatasan itu," gumam Pandan Wangi, terus menatap gerbang perbatasan kota itu.
"Nini Pandan..."
"Heh...?!"
Kembali Pandan Wangi dikejutkan suara yang terdengar begitu jelas di telinganya dari arah belakang. Cepat tubuhnya diputar berbalik. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat seorang laki-laki tua berpakaian compang-camping penuh tambalan, tahu-tahu sudah ada dekat di depannya kini. Laki-laki tua pengemis yang tadi duduk bersila di bawah pohon asam.
Sebentar Pandan Wangi memperhatikan, lalu melangkah menghampiri sambil menuntun kudanya. Gadis ini berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan pengemis tua itu. Hampir sulit untuk bisa melihat wajahnya, karena pengemis itu mengenakan caping bambu yang sudah usang dan berukuran lebar. Tapi, Pandan Wangi bisa melihat kalau wajah pengemis ini tidak seperti pengemis pada umumnya. Kelihatannya terlalu bersih untuk seorang pengemis.
"Ikuti aku," kata pengemis tua itu tanpa mengangkat wajah sedikit pun.
Tanpa menunggu jawaban lagi, pengemis tua itu langsung saja memutar tubuhnya berbalik. Dan kakinya melangkah ringan sambil mengayun-ayunkan tongkatnya yang berwama putih keperakan. Sementara, Pandan Wangi memandangi sebentar, kemudian melangkah sambil menuntun kudanya untuk mengikuti laki-laki pengemis tua itu.
EMPAT
Tanpa bicara sedikit pun, Pandan Wangi terus mengayunkan kakinya, mengikuti laki-laki pengemis tua itu. Padahal, di dalam kepalanya penuh berbagai macam tanda tanya. Sama sekali pengemis tua ini tidak dikenalnya, tapi sudah tahu nama Pandan Wangi. Dan semua pertanyaan itu hanya tersimpan di dalam kepala gadis itu saja.
"Ke mana kau akan membawaku, Pengemis Tua?" tanya Pandan Wangi tidak bisa juga menahan diri.
"Belum saatnya berbicara, Nini Pandan. Ikuti saja," sahut pengemis tua itu dengan suara datar dan agak serak.
Pandan Wangi langsung terdiam. Terus diikutinya ayunan kaki laki-laki tua ini sambil menuntun kuda putihnya. Sesekali diperhatikannya langkah kaki pengemis tua itu. Jelas sekali terlihat kalau rerumputan yang dipijak pengemis tua itu tidak bergoyang sedikit pun. Bahkan sama sekali tidak berbekas. Pandan Wangi langsung menyadari kalau pengemis tua itu memiliki kepandaian tinggi.
Setelah tiba di tepi sebuah sungai kecil, langkah pengemis itu baru berhenti. Dia berdiri mematung sebentar di tepian sungai kecil itu, memandang ke seberang. Kemudian perlahan-lahan tubuhnya bergerak naik ke atas. Pandan Wangi yang sejak tadi memperhatikan, jagi ternganga melihatnya. Ternyata pengemis tua itu bisa melayang seperti kapas! Dan lebih terpaku lagi, saat melihat pengemis tua itu menyeberangi sungai tanpa menyentuh permukaan air sedikit pun.
Belum juga hilang keterpanaan Pandan Wangi, pengemis tua itu sudah kembali menjejak tanah di seberang sungai. Tubuhnya berputar sedikit, dan berpaling ke belakang menatap Pandan Wangi yang masih berdiri bengong di seberang sungai.
"Ayo, Nini. Kita tidak banyak waktu lagi," ajak pengemis tua itu dari seberang sungai.
Suaranya terdengar biasa, seperti tidak ada perubahan pada nadanya. Pandan Wangi jadi tersentak. Maka cepat gadis itu melompat naik ke punggung kudanya. Lalu, kuda putih itu digebah untuk menyeberangi sungai kecil yang berair dangkal ini. Pada saat yang bersamaan, pengemis tua itu kembali mengayunkan kakinya meninggalkan seberang tepian sungai ini.
"Heii...?!"
Kembali Pandan Wangi dibuat terkejut. Kudanya sudah digebah cukup kencang, tapi tetap saja berada di belakang pengemis tua itu yang tetap melangkah seperti biasa. Sampai jauh sungai kecil itu tertinggal, tapi tetap saja Pandan Wangi berada di belakang pengemis tua itu.
"Hooop...!"
Pandan Wangi menarik tali kekang kuda putihnya hingga berhenti.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan sekali, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu melompat turun dari punggung kudanya. Sementara, pengemis tua itu juga menghentikan ayunan langkah kakinya. Dan kini, mereka berada dalam jarak sekitar tiga batang tombak. Perlahan pengemis tua itu memutar tubuhnya berbalik. Dan dari balik lindungan caping bambunya yang lebar, ditatapnya Pandan Wangi yang tetap berdiri tegak sambil memegangi tali kekang kuda putihnya. Gadis itu juga memandangi dengan sinar mata tajam.
"Ada apa? Kenapa kau berhenti, Nini...?" tanya pengemis tua itu, terdengar biasa saja suaranya.
"Katakan terus terang, apa maksudmu membawaku ke tempat ini?" Pandan Wangi malah balik bertanya.
Tapi pengemis tua itu tidak segera menjawab. Malah kakinya kini terayun menghampiri, dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi dari gadis cantik berbaju biru muda agak ketat ini. Dan belum juga pengemis tua itu menjawab pertanyaan Pandan Wangi tadi, tiba-tiba saja sudah terdengar suara yang agak nyaring.
"Aku yang memintanya membawamu ke sini, Kak Pandan!"
"Heh...?!"
Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati. Dan lebih terkejut lagi, begitu berpaling ke arah suara yang tiba-tiba terdengar tadi. Hampir tidak dipercayai dengan penglihatannya sendiri!
Entah datang dari mana, tahu-tahu di atas sebatang pohon yaang tumbang sudah berdiri seorang gadis cantik berbaju merah muda. Tampak sebilah pedang tersandang di punggungnya. Gadis itu segera melompat turun. Gerakannya terlihat indah dan ringan sekali. Kemudian, dia berjalan perlahan menghampiri si Kipas Maut yang masih terlongong bengong seperti tidak percaya dengan pandangannya sendiri.
"Cempaka...," desis Pandan Wangi seperti tidak sadar.
"Apa kabarmu, Kak Pandan?" sapa Cempaka.
"Baik," sahut Pandan Wangi masih seperti belum percaya kalau di tengah hutan seperti ini bertemu adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, aku memintamu dengan cara seperti ini. Semua ini demi keselamatan kita semua," ucap Cempaka.
Pandan Wangi tidak menyahuti. Matanya melirik laki-laki tua pengemis yang masih berdiri tidak jauh darinya.
"Kau pasti ingin tahu siapa dia, Kak Pandan...?" tebak Cempaka, seperti bisa membaca jalan pikiran si Kipas Maut itu.
Pandan Wangi kembali berpaling menatap adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah menghampiri pengemis tua itu, dan berdiri di sampingnya. Sementara, pengemis tua itu membuka caping bambu usang yang sejak tadi menutupi kepalanya. Kini terlihat jelas wajahnya yang bersih dan bercahaya, walaupun sudah dipenuhi keriput ketuaannya. Rambutnya juga sudah memutih semua. Demikian pula kumis dan jenggotnya yang menyatu, juga sudah berwarna putih semua. Namun, sorot matanya begitu tajam, walaupun memancarkan keteduhan.
"Ini Ki Sangkala. Tapi, biasanya orang selalu memanggilnya Pengemis Tongkat Putih. Dan dia juga sahabat karib Kakang Rangga," jelas Cempaka tanpa diminta.
"Oh..."
Pandan Wangi jadi terlongong. Sungguh sejak tadi tidak disadari kalau laki-laki tua berpakaian compangcamping dan penuh tambalan itu adalah si Pengemis Tongkat Putih. Dan memang, julukan itu sudah sering didengarnya. Tapi, memang baru kali ini Pandan Wangi bertemu. Rangga sendiri sudah sering menceritakan tentang sahabatnya yang satu ini. Pantas saja, ilmu meringankan tubuh yang diperlihatkannya begitu tinggi. Bahkan bisa melayang di atas air waktu menyeberangi sungai tadi. Dan bisa tidak terkejar walaupun Pandan Wangi sudah cepat menggebah kudanya tadi.
"Maafkan atas kelancanganku, Ki," Ucap Pandan Wangi seraya menjura memberi hormat.
"Ah.... Sudahlah, Nini," sambut Ki Sangkala yang dikenal berjuluk si Pengemis Tongkat Putih itu sambil tersenyum.
Pandan Wangi kembali menatap Cempaka yang berada di samping kanan Pengemis Tongkat Putih.
"Cempaka, kenapa kau ingin bertemu denganku di sini? Kenapa tidak di istana saja?" tanya Pandan Wangi langsung mengeluarkan ketidak-mengertiannya yang sejak tadi mengganjal dada.
Cempaka tidak langsung menjawab, tapi malah tersenyum dan melangkah menghampiri si Kipas Maut Jelas sekali kalau senyuman di bibir gadis itu sangat dipaksakan. Bahkan begitu hambar. Pandan Wangi langsung bisa menebak kalau telah terjadi sesuatu, sehingga Cempaka sekarang berada di tengah hutan seperti ini. Meskipun hutan ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan letaknya pun tidak begitu jauh dari kota. Hanya memerlukan waktu kurang dari setengah hari untuk menempuhnya, walaupun hanya berjalan kaki biasa.
"Kau tidak bersama Kakang Rangga, Kak Pandan?" Cempaka malah balik bertanya.
"Semula kami memang bersama-sama. Tapi entah kenapa, Kakang Rangga meninggalkan aku di Desa Malingping," sahut Pandan Wangi.
"Jadi kalian sudah sampai di Desa Malingping...?" selak Pengemis Tongkat Putih, ingin memastikan.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja membenarkan.
"Tentu kau sudah tahu apa yang terjadi di dalam istana...," tebak Ki Sangkala lagi dengan nada suara agak bertanya.
"Hanya mendengar, dan belum tahu kepastiannya. Malah, aku sendiri jadi tak percaya setelah sampai di kota tadi," sahut Pandan Wangi.
"Memang seperti itulah kenyataannya, Kak Pandan," tambah Cempaka perlahan, dengan suara agak mendesah panjang.
Kemudian Cempaka menceritakan keadaan Istana Karang Setra, sampai berada di tengah hutan ini. Pandan Wangi terus mendengar tanpa sedikit pun memotong. Sampai Cempaka selesai bercerita, Pandan Wangi masih terdiam seperti tak percaya. Dan kini suasana jadi hening.
"Kau yakin kalau Danupaksi yang berbuat itu, Cempaka?" tanya Pandan Wangi, memecah keheningan.
"Begitulah kenyataannya," sahut Cempaka masih terdengar pelan, sambil menghembuskan napas panjang.
"Kau melihat sendiri perbuatannya?" tanya Pandan Wangi lagi, ingin meyakinkan.
Cempaka hanya mengangguk saja, menjawab pertanyaan itu. Sedangkan Pandan Wangi menghembuskan napas panjang, seakan masih belum percaya kalau Danupaksi benar-benar berbuat makar, mengkhianati Rangga. Padahal kakak tirinya itu telah mempercayakan untuk menggantikannya menduduki tahta setiap kali pergi mengembara bersama Pandan Wangi.
Rasanya memang sukar dipercaya kabar itu. Tapi hampir semua orang yang ditemui mengatakan kalau istana kini sudah dikuasai sepenuhnya oleh Danupaksi. Dan untungnya pemberontakan itu tidak sampai meminta korban, karena seluruh prajurit berpihak pada Danupaksi. Bahkan tidak sedikit para pembesar yang berada di belakangnya. Tak heran kalau pemberontakan itu dapat berjalan mudah, tanpa mengganggu ketenangan rakyat. Bahkan semua kegiatan yang ada berjalan seperti biasa, tanpa terganggu sedikit pun. Sebuah pemberontakan yang sangat aneh, karena tidak ada satu kelompok rakyat pun yang mencoba menentangnya.
Pandan Wangi masih belum bisa percaya kalau Danupaksi kini telah mengkhianati kakak tirinya. Tapi, dia juga mau tak mau harus percaya pada Cempaka. Inilah yang membuat Pandan Wangi jadi sulit menentukan pilihan, karena sama-sama mempercayai kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku terpaksa lari dari istana, dan bersembunyi di sini. Kakang Danupaksi memerintahkan para prajurit menangkap dan memenjarakan aku. Tidak ada seorang prajurit pun yang berpihak padaku," jelas Cempaka. "Untung di saat yang sangat gawat dan hampir tertangkap, Ki Sangkala datang menolongku. Dialah yang membawaku ke hutan ini."
Pandan Wangi masih tetap diam. Jelas sekali kalau hatinya jadi bimbang.
"Aku sempat terluka dalam yang cukup parah oleh Kakang Danupaksi. Tapi, Ki Sangkala bisa menyembuhkan luka dalamku. Sudah lama aku menunggumu dan Kakang Rangga kembali dari pengembaraan. Dan baru sekarang ini bisa bertemu denganmu, Kak Pandan," lanjut Cempaka.
"Di mana kau tinggal?" tanya Pandan Wangi.
"Di gua, bersama Paman Wirapati, Paman Rakatala, dan semua keluarganya," sahut Cempaka.
"Lalu..., Ki Lintuk di mana?" tanya Pandan Wangi lagi.
Cempaka tidak langsung menjawab. Malah kepalanya kontan tertunduk dengan wajah terlihat berselimut mendung. Pandan Wangi jadi tertegun melihat perubahan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Segera tangannya terulur. Diangkatnya dagu Cempaka dengan ujung jari tangan, hingga kedua gadis itu saling bertatapan.
"Kenapa Ki Lintuk, Cempaka?" tanya Pandan Wangi.
"Dia tertangkap. Aku tidak tahu, bagaimana nasibnya sekarang," sahut Cempaka perlahan.
Pandan Wangi mendengus geram tanpa sadar. Dan mereka semua terdiam, membuat suasana di dalam hutan itu jadi sunyi senyap. Cukup lama juga mereka terdiam membisu.
"Ayo.... Sebaiknya, kita temui yang lain dulu," ajak Ki Sangkala memecah kesunyian.
Pandan Wangi dan Cempaka hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian, mereka melangkah mengikuti Ki Sangkala yang sudah berjalan lebih dulu. Sambil menuntun kudanya, Pandan Wangi berjalan di samping Cempaka. Sesekali matanya melirik wajah adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Terlihat jelas sekali kalau wajah cantik Cempaka terselimut mendung yang sangat tebal. Mereka terus berjalan tanpa berbicara sedikit pun.
********************
Sementara itu, di dalam sebuah ruangan penjara bawah tanah, seorang laki-laki tua berjubah putih tampak terikat dengan kedua tangan terentang. Kedua kakinya juga terikat rantai. Pakaian putih yang sudah terlihat koyak, juga telah banyak dinodai darah kering. Dari sudut bibimya masih terlihat mengalir darah. Dari pelipisnya yang sobek, juga terlihat aliran darah, walaupun tidak deras.
Perlahan laki-laki tua itu mengangkat kepalanya ketika pintu besi ruangan penjara bawah tanah itu terbuka. Kemudian, muncul seorang pemuda tampan berbaju merah muda dari bahan sutera halus, diiringi empat orang laki-laki berpakaian panglima perang. Mereka adalah Danupaksi dan empat orang panglima perang Kerajaan Karang Setra. Meskipun dalam keadaan yang sangat payah, tapi sorot mata orang tua itu sangat tajam menatap Danupaksi yang sudah berada dekat di depannya.
"Kasihan sekali.... Sebenarnya aku tidak ingin membuatmu menderita, Ki Lintuk. Tapi kau sangat keras kepala. Jadi, terpaksa harus kugunakan kekerasan untuk membuka mulutmu," kata Danupaksi dengan nada suara dingin sekali.
"Apa pun yang kau lakukan, aku tidak akan memberi tahu tempat penyimpanan kunci pusaka kerajaan!" tegas Ki Lintuk.
"Keparat..!"
Diegk!
"Ugkh...!"
Cepat sekali tangan kanan Danupaksi melayang, dan tahu-tahu sudah mendarat tepat di perut Ki Lintuk. Akibatnya, orang tua itu mengeluh dan kontan terbungkuk. Tapi rantai yang membelenggu kedua tangannya ke dinding membuat tubuhnya tetap berdiri. Darah langsung muncrat dari mulutnya, ketika perutnya terhantam tangan kanan Danupaksi yang begitu keras tanpa pengerahan tenaga dalam.
"Kau benar-benar keras kepala, Ki Lintuk!" desis Danupaksi.
"Phuih!"
Ki Lintuk menyemburkan ludahnya yang bercampur darah. Hampir saja ludah bercampur darah itu mengenai baju, kalau saja Danupaksi tidak segera menghindar ke belakang.
"Setan...! Kubunuh kau, Orang Tua Keparat" geram Danupaksi.
Tangan pemuda itu sudah terangkat naik. Tapi melihat sikap Ki Lintuk yang menantang, tangan yang sudah tersalur tenaga dalam itu tidak jadi dijatuhkan. Kalau saja sampai menjatuhkan tangan tadi, sudah dapat dipastikan seketika itu juga Ki Lintuk tewas dengan kepala pecah.
"Huh!"
Danupaksi mendengus kesal sambil menurunkan kembali tangannya yang sudah terangkat naik. Kakinya melangkah ke belakang beberapa tindak, lalu berpaling ke kiri. Ditatapnya salah seorang panglima yang memegang cambuk dari kulit. Duri-duri halus terlihat di seluruh badan cambuk kulit itu.
"Cambuk dia!" perintah Danupaksi, berang.
"Baik, Gusti Prabu," sahut panglima itu.
Dengan ayunan kaki mantap, panglima berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu melangkah menghampiri Ki Lintuk. Dan tanpa bicara lagi, cambuknya diayunkan dengan keras. Seketika cambuk itu menggeletar, menyengat tubuh tua yang terbelenggu rantai pada kedua tangan dan kakinya ini.
Ctar!
"Aaakh...!"
Ctar!
Beberapa kali cambuk itu menggeletar, menghantam tubuh Ki Lintuk. Akibatnya orang tua itu menjerit kesakitan sambil menggeliatkan tubuhnya. Beberapa kali cambukan saja, baju jubah putihnya sudah koyak berlumur darah. Bahkan kulit tubuhnya pun ikut terkoyak. Sementara, panglima itu terus saja mengayunkan cambuknya tanpa berkedip sedikit pun.
"Cukup...!"
Cepat Danupaksi memberi perintah, begitu Ki Lintuk sudah tidak lagi bisa mengangkat kepalanya. Orang tua itu kini jatuh pingsan, tidak tahan menerima deraan yang begitu pedih dan menyakitkan. Panglima itu segera mundur, dan membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Danupaksi segera meme-rintahkan panglima lainnya hanya dengan egosan kepala saja.
Panglima yang berada di sebelah kanannya segera melangkah maju sambil membawa ember kayu penuh berisi air. Dan langsung diguyumya tubuh Ki Lintuk. Seketika, Ki Lintuk jadi gelagapan dan merintih perih. Memang seluruh tubuhnya yang terluka akibat cambukan terasa sangat perih saat terguyur air dingin tadi. Mulutnya meringis merasakan siksaan yang begitu menyakitkan ini. Tapi, sorot matanya langsung terlihat tajam, menusuk langsung ke bola mata Danupaksi.
"Kau tidak akan mendapat apa-apa dengan membunuhku, Danupaksi," desis Ki Lintuk. "Kau tidak akan menjadi raja yang sah tanpa pusaka kerajaan berada di tanganmu."
"Aku seorang raja sekarang, Ki Lintuk. Aku bisa berbuat apa saja tanpa harus memegang pusaka kerajaan!" balas Danupaksi tidak kalah dingin.
"Tidak akan ada yang mengakuimu, Danupaksi," begitu dingin nada suara Ki Lintuk.
"Semua rakyat sudah mengakuiku, Ki Lintuk. Mereka semua sudah percaya kalau Rangga sudah mangkat Dan mereka melihat sendiri pembakaran mayatnya."
"Dusta...!" bentak Ki Lintuk geram.
"Kau sendiri sudah melihat, Ki Lintuk. Kenapa masih tidak percaya kalau itu jasad Prabu Rangga...? Sedangkan semua orang mempercayainya."
"Gusti Prabu Rangga pergi bersama Nini Pandan Wangi. Tidak mungkin Gusti Prabu datang sendiri, apalagi sudah meninggal. Kau dusta, Danupaksi! Dewata akan menghukummu!" lantang dan agak ber-getar suara Ki Lintuk menahan geram.
"Ha ha ha...!" Danupaksi hanya tertawa saja terbahak-bahak.
Kemudian adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik, dan melangkah keluar dari ruangan penjara bawah tanah. Sedangkan Ki Lintuk berteriak-teriak, mengatakan kalau Danupaksi hanya membual saja.
Tapi memang diakui, semua orang melihat tiga orang perambah hutan mengusung jasad Rangga dan membawanya ke istana. Bahkan semua orang melihat pembakaran jasad Raja Karang Setra itu. Meskipun semua orang percaya, tapi hanya Ki Lintuk, Cempaka, Wirapati, dan Paman Rakatala saja yang tidak mempercayainya. Sehingga, membuat Danupaksi yang tiba-tiba saja jadi berubah perangainya memerangi mereka.
Sayangnya, hanya Ki Lintuk yang bernasib naas. Dia tertangkap sebelum sempat keluar dari istana. Sedangkan Cempaka, Wirapati, dan Paman Rakatala sempat lolos. Walaupun, sempat juga dikejar-kejar para prajurit yang langsung dipimpin Danupaksi. Dan waktu itu tidak jauh dari perbatasan kota telah terjadi pertarungan sengit, walaupun tidak memakan korban seorang pun.
Cempaka, Paman Rakatala, dan Wirapati bisa meloloskan diri setelah datang bantuan dari Ki Sangkala yang dikenal berjuluk Pengemis Tongkat Putih. Walaupun sudah berada dalam kamar tahanan bawah tanah, tapi Ki Lintuk masih sempat mendengar kalau mereka yang sejalan dengannya berhasil meloloskan diri dari keserakahan Danupaksi.
"Danupaksi, kau akan menyesal...!" teriak Ki Lintuk.
Brak!
Tapi, suara Ki Lintuk langsung tenggelam begitu pintu penjara bawah tanah yang terbuat dari besi baja tertutup dengan keras. Orang tua itu masih saja berteriak-teriak, berusaha menyadarkan Danupaksi yang sudah dikelilingi setan-setan laknat itu. Dan tentu saja, suaranya tidak bisa terdengar lagi, karena sedikit pun tidak ada lubang di dalam kamar tahanan ini. Akhirnya, Ki Lintuk hanya bisa tertunduk lemas, merasakan perih pada seluruh tubuhnya yang terluka akibat tersayat cambuk tadi.
"Dewata Yang Agung..., bencana apa yang sedang kau limpahkan pada Karang Setra...?" desah Ki Lintuk lirih.
********************
LIMA
Penderitaan yang dialami Ki Lintuk memang sangat pedih. Tapi, lebih pedih lagi hati Rangga yang melihat beberapa orang terbaring telentang tanpa baju dengan tangan dan kaki terpancang di tengah-tengah halaman belakang istana. Pendekar Rajawali Sakti tahu, mereka adalah para punggawa, tamtama, serta beberapa orang pembesar kerajaan. Rangga yang saat itu berada di atas atap istana, dapat melihat jelas sekali keadaan di sekeliling Istana Kerajaan Karang Setra ini.
"Iblis...! Siapa yang melakukan ini...?" desis Rangga menggeram dalam hati.
Perhatian Pendekar Rajawali Sakti beralih saat melihat Danupaksi yang diiringi empat orang berpakaian panglima perang keluar dari dalam penjara bawah tanah. Di depan pintu penjara itu, terlihat empat orang prajurit bersenjata tombak tengah berjaga-jaga. Mereka membungkukkan tubuh untuk memberi hormat pada Danupaksi.
Dengan ayunan langkah tegap, Danupaksi berjalan menuju ke bangunan istana. Namun belum juga jauh meninggalkan bangunan penjara bawah tanah itu, mendadak ayunan kakinya terhenti. Dan kepalanya langsung terdongak ke atas, tepat menatap ke arah atap tempat Rangga berada. Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti melihat Danupaksi menatap ke arahnya. Dan belum lagi hilang keterkejutan Rangga, tiba-tiba saja Danupaksi sudah berseru lantang sambil menunjuk ke atas atap.
"Tangkap maling busuk itu...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!""
Rangga jadi tersentak kaget melihat empat orang panglima perang berlompatan cepat sekali ke arahnya. Dan sebelum keempat panglima itu sampai, cepat pula Pendekar Rajawali Sakti melesat hingga melewati kepala. Beberapa kali pemuda berbaju rompi putih itu berputaran di udara, lalu manis sekali kakinya menjejak tanah, tepat sekitar dua batang tombak lagi di depan Danupaksi.
"Danupaksi...," desis Rangga, bernada tidak percaya kalau Danupaksi memerintahkan empat panglima menyerangnya.
Bahkan, tadi mengatakan Pendekar Rajawali Sakti itu maling busuk. Sementara, empat orang panglima sudah kembali berlompatan dari atas atap dan langsung mengepung. Mereka kini sudah menggenggam pedang yang berkilatan tajam.
"Siapa kau?!" tanya Danupaksi tajam.
"Heh...?! Apa yang kau katakan, Danupaksi...?" Rangga jadi tersentak kaget.
Sungguh Rangga hampir tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Ternyata Danupaksi seperti tidak mengenal dirinya! Bahkan tadi menanyakan namanya dengan suara begitu dingin dan tajam. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi terheran-heran melihat sikap adik tirinya.
"Ditanya malah bengong! Siapa kau, heh...?!" bentak Danupaksi garang.
"Danupaksi! Apa yang terjadi padamu...?" tanya Rangga bernada keheranan.
"Setan! Apa katamu, heh?! Sembarangan saja menyebutku Danupaksi. Akulah raja di Karang Setra ini, tahu...?!" garang sekali nada suara Danupaksi.
Rangga jadi tertegun mendengar bentakan Danupaksi. Hampir tidak dipercayai pendengarannya sendiri. Ternyata, Danupaksi sama sekali tidak mengenalnya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai raja di Karang Setra ini!
"Tangkap dia...!" perintah Danupaksi lantang, sambil menuding Rangga dengan jari telunjuknya
"He! Tunggu...!"
Tapi, cegahan Rangga sudah tidak dapat menghentikan empat orang panglima. Mereka sudah cepat sekali berlompataan menyerang dari empat penjuru mata angin. Seketika itu juga, di sekitar tubuh Rangga berkelebatan empat batang pedang yang mengincar bagian-bagian tubuhnya yang paling mematikan.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Rangga langsung menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghihdari setiap serangan keempat panglima yang biasanya patuh pada perintahnya. Tapi kini, mereka sama saja seperti Danupaksi, Gigih sekali serangan mereka, dan sama sekali tidak kelihatan bermain-main. Bahkan serangan serangan mereka sangat berbahaya!
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga terpaksa harus melenting ke udara. Tapi baru saja berputaran satu kali di udara, sudah terdengar suara menggelegar bernada perintah. Dan bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, saat melihat di sekitarnya sudah mengepung puluhan prajurit yang siap dengan anak panah terpasang di busur!
"Gila...! Aku harus cepat menghindar," desis Rangga dalam hati.
"Hiyaaat..!"
"Seraaang...!"
Tepat di saat terdengar teriakan perintah dari Danupaksi, Rangga melesat secepat kilat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat sempurna. Dan di saat itu pula, terlihat puluhan batang anak panah berhamburan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga manis sekali bisa meminjam anak-anak panah itu untuk pijakan kakinya. Dan dengan lesatan yang begitu manis, Pendekar Rajawali Sakti melompati tembok benteng bagian belakang istana ini.
Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga belum juga Danupaksi bisa memberi perintah lagi, Rangga sudah lenyap tak terlihat lagi setelah melewati tembok benteng yang tinggi dan kokoh ini.
"Kejar setan keparat itu...!" teriak Danupaksi memberi perintah dengan suara lantang menggelegar.
Puluhan prajurit segera mengambil kuda dan menggebah keluar dari pintu belakang benteng istana. Debu seketika mengepul tinggi ke angkasa, begitu para prajurit yang berjumlah puluhan berhamburan menggebah kudanya mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lenyap tak terlihat lagi.
Sementara itu. Danupaksi langsung masuk ke dalam istana sambil menyumpah serapah, diikuti empat orang panglima yang sejak tadi mengawalnya. Kini derap langkah kaki kuda para prajurit pun sudah tidak terdengar lagi. Sementara itu, tanpa ada seorang pun yang tahu, Rangga ternyata bersembunyi di dalam kerimbunan pohon yang tidak jauh dari benteng bagian belakang istana. Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat mereka saat memacu kuda keluar dari lingkungan benteng istana untuk mengejarnya.
"Hm..., tentu jelas terjadi sesuatu yang tidak beres. Rasanya tidak mungkin Danupaksi tidak mengenaliku lagi...," gumam Rangga berbicara sendiri dalam hati.
Memang begitu banyak yang belum diketahui Pendekar Rajawali Sakti. Dan semua yang terjadi di lingkungan istana, menjadikan beban pikirannya saat ini. Terlebih lagi, setelah melihat sikap Danupaksi tadi. Dia jadi tidak mengerti, dan terus bertanya-tanya dalam hati. Apa sebenarnya yang sedang terjadi...? Benarkah Danupaksi sudah berkhianat? Bahkan kini menjadi raja di Karang Setra...?! Segudang pertanyaan terus menggayuti kepala Rangga. Dan dia belum bisa menentukan langkah yang harus ditempuh, melihat penjagaan di istana itu sangat ketat
"Aku harus mengatakan hal ini pada Pandan Wangi. Dia harus tahu sebelum terjadi sesuatu padanya," ujar Rangga berbicara sendiri lagi dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat sekali. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Bahkan sedikit pun tak menimbulkan suara saat tubuhnya bergerak melesat dengan kecepatan tinggi.
********************
Rangga begitu terkejut saat mendengar dari Ki Sardan, kalau Pandan Wangi sudah pergi meninggalkan rumah penginapan di Desa Malingping ini. Sedangkan Ki Sardan sendiri tidak tahu, ke mana perginya Pandan Wangi. Dan ini membuat hati Pendekar Rajawali Sakti jadi tidak tenteram. Terlebih lagi, setelah tahu kalau Danupaksi telah menguasai Istana Karang Setra dengan sikap dan perangai yang jauh berbeda. Seakan-akan yang ada di dalam tubuhnya bukanlah Danupaksi dulu. Sungguh jauh sekali perbedaannya.
Dan sekarang ini Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu lagi, ke mana Pandan Wangi pergi. Rangga benar-benar khawatir kalau gadis itu datang ke istana. Tapi setelah mendengar penjelasan Ki Sardan, rasanya memang tidak mungkin kalau Pandan Wangi pergi ke istana. Sedangkan Rangga sendiri sudah ada di sana sejak pagi-pagi tadi.
"Ke mana arah kepergiannya, Ki?" tanya Rangga.
"Kelihatannya ke kota, Den," sahut Ki Sardan sambil menunjuk ke arah Kotaraja Karang Setra.
"Kau yakin Pandan Wangi pergi ke sana, Ki?" tanya Rangga lagi, ingin ketegasan.
"Tidak salah, Den," sahut Ki Sardan tidak ragu-ragu lagi.
"Dia tidak menitipkan pesan apa-apa padaku?" tanya Rangga lagi.
"Tidak," sahut Ki Sardan seraya menggelengkan kepala.
Rangga terdiam dengan kepala tertunduk. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti termenung, kemudian melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di depan kedai Ki Sardan. Sedangkan Ki Sardan hanya memandangi saja tanpa mengerti. Rangga langsung melompat naik ke punggung Dewa Bayu. Sebentar ditatapnya Ki Sardan yang masih berdiri saja di depan kedainya, yang juga sekaligus penginapan untuk mereka yang kemalaman di desa ini.
"Aku pergi dulu, Ki," ujar Rangga.
"Baik, Den," sahut Ki Sardan, mengangguk.
"Oh ya, Ki. Apa Pandan Wangi sudah membayar semuanya?" tanya Rangga lagi.
"Sudah, Den."
Rangga mengangguk, kemudian kembali menggebah kudanya menuju Kotaraja Karang Setra. Sementara, Ki Sardan masih tetap berdiri di depan kedainya. Dipandanginya kepergian Pendekar Rajawali Sakti sambil menghilang di tikungan jalan. Sementara, Rangga terus memacu kudanya dengan kecepatan sedang. Keningnya tampak berkerut, memikirkan Pandan Wangi yang tidak mau menantinya di Desa Malingping ini.
"Hhh! Semua ini memang salahku...!" dengus Rangga dalam hati. "Seharusnya dia kuberitahu dulu. Pasti Pandan Wangi kesal kutinggalkan begitu saja. Hhh...!"
*** Sementara, di dalam hutan yang masih berada di dalam wilayah Kerajaan Karang Setra, Pandan Wangi tengah berkumpul bersama Cempaka, Paman Rakatala, dan Wirapati serta seluruh keluarga mereka yang mengungsi, akibat istana kini telah dikuasai Danupaksi. Mereka begitu gembira melihat kedatangan Pandan Wangi. Tapi tanpa adanya Rangga, tentu saja mereka jadi heran bercampur cemas. Pandan Wangi yang sudah tahu dari cerita mereka tentang keadaan di istana sekarang, kini tidak heran lagi melihat kecemasan yang tergambar jelas pada wajah-wajah mereka.
"Kalian melihat sendiri kalau yang diperabukan itu jasad Kakang Rangga?" tanya Pandan Wangi bernada ingin meyakinkan diri sendiri.
"Jelas sekali kami lihat, Nini Pandan," sahut Paman Rakatala, yang kelihatannya lebih tenang dari yang lain.
"Lalu, kapan terjadinya perubahan pada diri Danupaksi?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Sesaat setelah jasad Gusti Prabu Rangga diperabukan," sahut Wirapati.
"Kakang Danupaksi langsung mengangkat diri menjadi Raja, Kak Pandan. Ini yang membuat kami tidak suka, lalu menentangnya. Tapi anehnya semua prajurit, bahkan sebagian pembesar kerajaan, malah berada di belakangnya. Dan mereka yang menentang langsung ditangkap. Bahkan tidak sedikit yang disiksa," sambung Cempaka.
"Danupaksi yang melakukannya sendiri?" Tanya Pandan Wangi lagi.
Mereka semua mengangguk, seakan-akan tidak tega kalau mengatakan Danupaksi melakukan penyiksaan pada orang-orang yang menentangnya. Bahkan ada beberapa orang yang tewas di tangan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu, termasuk dua orang pembesar, tiga orang panglima, dan seorang patih dan lima orang punggawa. Mereka semua dipenggal kepalanya, karena tidak sudi mematuhi perintah Danupaksi. Yang membuat dada Pandan Wangi jadi bergemuruh, mereka dipenggal dengan tangan Danupaksi sendiri!
Memang sulit diterima akal kalau Danupaksi bisa berubah sekejam itu. Padahal, mereka semua mengenal betul watak dan sikap Danupaksi yang tidak jauh beda dengan Rangga. Tapi karena tidak sedikit orang yang telah melihat langsung kekejaman Danupaksi, membuat Pandan Wangi tidak bisa menyangkal lagi. Terlebih lagi, yang mengatakan adalah orang-orang kepercayaan Pendekar Rajawali Sakti yang selalu berada di dalam istana.
"Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa bencana datang begitu beruntun menimpa Karang Setra...?" desah Paman Rakatala mengeluh.
"Itu hanya ujian dari Dewata, Adi Rakatala," selak Ki Sangkala yang sejak tadi diam saja, duduk dekat mulut gua.
"Aku tidak menyangkal itu, Ki Sangkala. Tapi kenapa terjadinya begitu beruntun...? Baru saja selesai satu persoalan, kini muncul persoalan baru lagi. Hhh...! Apakah ini tanda-tanda kehancuran sebuah kerajaan...?" keluh Paman Rakatala lagi.
"Tidak perlu mengeluh, Paman. Semua bisa diatasi kalau nanti Kakang Rangga ada," kata Pandan Wangi.
"Apakah Gusti Rangga akan kembali lagi ke Desa Malingping?" tanya Wirapati
"Senja nanti, aku yakin Kakang Rangga akan kembali," sahut Pandan Wangi. "Kakang Rangga tidak pernah meninggalkanku begitu saja, dan pasti kembali lagi ke sana."
"Ini sudah hampir senja, Nini Pandan," Ki Sangkala mengingatkan.
"Oh! Kalau begitu, aku harus segera kembali. Aku khawatir kalau Kakang Rangga datang dan aku tidak ada, dia bisa pergi lagi."
Pandan Wangi langsung bangkit berdiri dan melangkah ke luar gua yang besar ini. Cempaka, Paman Rakatala, Wirapati, dan Ki Sangkala mengikuti sampai Pandan Wangi berada di punggung kuda putihnya.
"Aku pergi dulu, dan nanti kembali lagi bersama Kakang Rangga," kata Pandan Wangi berpamitan.
"Kau tidak apa-apa pergi sendiri, Nini Pandan?" tanya Ki Sangkala bemada khawatir.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian cepat menggebah kudanya. Kuda putih itu langsung melesat bagaikan anak panah terlepas dari busur, meninggalkan debu yang beterbangan bersama dedaunan kering. Sementara, Cempaka, Paman Rakatala, Wirapati, dan Ki Sangkala terus memandangi sampai si Kipas Maut tidak terlihat lagi, tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan ini
"Aku juga akan kembali ke kota," kata Ki Sangkala. "Masih banyak yang harus kukerjakan di sana."
"Apa yang akan kau lakukan, Ki?" tanya Cempaka.
"Danupaksi sudah mengundang jago-jago persilatan dari segala penjuru. Aku tidak tahu, apa maksudnya. Tapi sudah kulihat beberapa orang di kota," jelas Ki Sangkala yang dikenal berjuluk Pengemis Tongkat Putih.
"Kau akan menyelidiki, Ki?" tanya Wirapati.
"Tidak," sahut Pengemis Tongkat Putih.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Wirapati lagi, ingin tahu.
"Mencegah mereka masuk ke istana."
"Hanya kau sendiri?" selak Paman Rakatala.
Ki Sangkala tersenyum, dan menggelengkan kepala beberapa kali perlahan-lahan.
"Tidak sedikit pengemis tersebar di kota. Dan mereka rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Aku rasa, mereka bisa menghalangi orang-orang persilatan masuk ke istana," jelas Pengemis Tongkat Putih, kalem.
Pengemis Tongkat Putih lalu mengayunkan kakinya, sebelum ada yang melontarkan pertanyaan lagi. Dia terus berjalan dengan ayunan kaki yang sangat ringan. Begitu ringannya, seakan-akan kedua telapak kakinya tidak menyentuh tanah sama sekali. Dan sebentar saja tubuhnya sudah tidak terlihat, tertelan lebatnya pepohonan. Sementara, Cempaka, Paman Rakatala, dan Wirapati masih tetap berdiri di depan mulut gua.
"Apa yang kita lakukan sekarang...?" tanya Cempaka agak mendesah, seakan bertanya pada diri sendiri.
"Tidak ada yang bisa dilakukan, selain menunggu Nini Pandan Wangi datang bersama Gusti Rangga," sahut Paman Rakatala.
"Lagi pula, tidak ada yang bisa kita lakukan di kota. Hampir semua orang sudah mengenal kita semua. Dan semua prajurit juga sudah mengenal. Terlalu sulit untuk bisa bergerak bebas di sana," sambung Wirapati.
"Yaaah.... Kita memang hanya bisa menunggu," desah Cempaka seraya mengangkat pundaknya.
Gadis itu membalikkan tubuhnya, dan melangkah masuk ke dalam gua. Kini, hanya Paman Rakatala dan Wirapati yang masih tetap di luar gua. Mereka bersamaan duduk di atas sebatang kayu pohon yang sudah lama tumbang, dan hampir penuh ditumbuhi jamur pada bagian yang tidak terkena sinar matahari. Pandangan mata mereka tertuju lurus ke depan. Tapi, tak ada seorang pun yang membuka suara. Entah apa yang ada dalam kepala mereka berdua saat ini.
Cukup lama juga mereka berdiam diri. Dan beberapa kali terdengar tarikan napas panjang, dan terasa berat sekali. Sementara, matahari terus bergerak semakin condong ke arah barat Dan sinarnya tidak lagi terasa terik menyengat kulit. Burung-burung pun sudah mulai terdengar ramai berkicauan, kembali ke sarangnya. Begitu terasa indah dan damai di dalam hutan ini. Namun, itu tak cukup mampu mengusir kegalauan yang ada dalam hati kedua laki-laki itu.
"Seharusnya kita bisa melakukan sesuatu, Paman," ujar Wirapati, agak mendesah suaranya.
"Apa yang bisa kau lakukan...?" tanya Paman Rakatala.
"Membebaskan Ki Lintuk. Aku khawatir, Den Danupaksi sudah berbuat sesuatu padanya," sahut Wirapati dengan suara terdengar pelan.
"Apa pun yang terjadi, Ki Lintuk tidak mungkin dibunuhnya. Danupaksi tidak akan menjadi raja selamanya, tanpa memegang pusaka kerajaan. Dan kunci penyimpanan pusaka kerajaan hanya Ki Lintuk saja yang tahu, selain Gusti Prabu Rangga sendiri," sahut Paman Rakatala.
"Tanpa pusaka kerajaan pun, dia bisa menjadi raja dengan cara seperti itu, Paman."
"Benar! Tapi, itu tidak akan diakui seluruh rakyat."
"Apakah itu perlu bagi orang yang sudah kerasukan iblis...?"
"Entahlah...," desah Paman Rakatala.
Kembali mereka berdua terdiam, dan memandang lurus ke depan dengan sinar mata kosong, bagai tidak lagi memiliki gairah hidup. Mereka terdiam cukup lama sampai matahari benar-benar hampir tenggelam di ufuk barat, kedua laki-laki itu masih tetap duduk di batang pohon tumbang tanpa berbicara sedikit pun.
"Sudah hampir gelap. Kenapa Pandan Wangi belum juga datang, ya...?" tanya Wirapati, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
"Mungkin mendapat halangan di jalan," sahut Paman Rakatala.
"Seharusnya aku ikut tadi. Jadi, bisa membantu kalau terjadi sesuatu," desah Wirapati agak menyesal, membiarkan Pandan Wangi pergi sendiri ke Desa Malingping.
"Kau tidak perlu menyangsikan kemampuannya, Wirapati. Pandan Wangi sudah terlalu sering bersama-sama Gusti Prabu Rangga. Jadi, sudah barang tentu kepandaiannya pun semakin meningkat."
"Ya.... Tapi, kenapa begitu lama belum datang juga...?"
"Sabarlah.... Dia pasti datang."
"Hhh...."
Dan memang, Pandan Wangi tidak juga kunjung datang. Padahal hari benar-benar menjadi gelap. Ketidakmunculan si Kipas Maut. itu tentu saja menjadikan Paman Rakatala dan Wirapati gelisah. Bahkan bukan hanya mereka berdua yang gelisah, tapi juga Cempaka dan semua orang yang ada di dalam gua itu. Mereka terus berharap agar Pandan Wangi segera datang bersama Pendekar Rajawali Sakti. Namun yang diharapkan tidak juga kunjung datang, sampai malam terus merayap hingga larut.
********************
ENAM
Pandan Wangi memang tidak akan kembali lagi ke gua di tengah hutan itu. Buktinya setelah sampai di penginapan Ki Sardan, dia langsung pergi lagi setelah tahu kalau Rangga juga langsung pergi. Pemilik kedai dan penginapan itu mengatakan kalau Rangga sudah datang ke kedai. Namun begitu tidak mendapatkan Pandan Wangi di sana, Pendekar Rajawali Sakti langsung pergi lagi.
Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu langsung saja pergi ke kota, setelah mendapat petunjuk dari Ki Sardan kalau Rangga pergi ke Kotaraja Karang Setra. Pandan Wangi benar-benar menyesal terlalu lama meninggalkan penginapan. Buktinya dia hanya terlambat sedikit saja dibanding Rangga yang telah lebih dulu datang. Dan sekarang hari sudah berganti malam, tapi belum juga bisa bertemu Rangga. Sedangkan Kotaraja Karang Setra ini begitu luas. Rasanya Pandan Wangi bagaikan mencari sejumput jarum di tengah-tengah padang pasir yang sangat luas tak bertepi.
Entah sudah berapa lama Pandan Wangi berada tidak jauh dari Istana Karang Setra. Seakan-akan hatinya begitu yakin kalau bakal bertemu Rangga di sini. Gadis itu terus mengamati keadaan di sekitar istana itu. Penjagaan memang sangat ketat, dan rasanya sangat sukar menembus ke dalam. Namun demikian, keinginan untuk mencoba masuk ke dalam istana tetap ada. Tapi melihat penjagaan begitu ketat, hatinya jadi ragu-ragu juga.
"Apa yang kau lakukan di sini, Pandan Wangi...?"
"Oh...?!"
Pandan Wangi tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar teguran dari belakangnya. Cepat tubuhnya diputar berbalik. Tapi baru saja berputar, tahu-tahu....
Desss!
"Akh...!"
Pandan Wangi terpekik. Tubuhnya langsung terpental begitu merasakan adanya satu pukulan keras mendarat di dadanya. Keras sekali tubuh si Kipas Maut itu terbanting ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Untung saja pukulan yang diterima tidak mengandung pengerahan tenaga dalam. Sehingga, gadis itu bisa cepat bangkit kembali, walaupun napasnya jadi sedikit agak sesak. Cepat-cepat Pandan Wangi melakukan beberapa gerakan, sehingga jalan pernapasannya kembali berjalan seperti biasa.
"Kau...?!" desis Pandan Wangi, agak tersedak suaranya.
"Kemarin kau bisa tertawa, Pandan Wangi. Tapi sekarang, jangan harap bisa berbuat macam-macam...."
"Huh! Kau pikir aku takut, Perempuan Tua!" dengus Pandan Wangi langsung ketus.
"Hik hik hik...! Lihat sekelilingmu, Pandan. Kau tidak punya harapan lagi untuk lolos dariku sekarang."
Pandan Wangi terpaksa harus menelan ludahnya yang pahit, saat mengedarkan pandangan ke sekeli-ling. Sungguh tidak disadari kalau di sekitarnya kini sudah terkepung puluhan orang prajurit bersenjatakan panah, pedang, dan tombak terhunus mengarah ke tubuhnya. Dan memang sedikit pun tidak ada celah untuk dapat meloloskan diri. Sementara, perempuan tua berbaju hijau dengan tongkat tak beraturan bentuknya itu terus tertawa terkekeh. Dia merasa kali ini mendapat kemenangan dari gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut
"Sebaiknya menyerah saja, Pandan Wangi. Tidak ada gunanya melawan. Kau bisa hidup senang di istana. Bahkan kalau mau, kau bisa menjadi ratu di Karang Setra ini," bujuk perempuan tua itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Pandan Wangi ketus.
"Dia Nyai Juming...."
Tiba-tiba saja ada yang menyahuti pertanyaan Pandan Wangi. Gadis itu segera memutar tubuhnya, ke arah datangnya suara tadi. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat seorang pemuda tampan berbaju merah muda dari sutera halus, tengah duduk di atas punggung kuda yang gagah. Empat orang berpakaian panglima perang tampak mendampingi di kanan dan kirinya.
"Danupaksi...," desis Pandan Wangi.
"Nyai Juming orang yang paling berjasa, karena telah menyelamatkan Karang Setra dari tangan-tangan kotor setelah Prabu Rangga mangkat. Dan aku terpaksa menyingkirkan siapa saja yang berusaha membangkang ingin menguasai Karang Setra ini tanpa terkecuali," jelas pemuda tampan itu lagi yang ternyata memang Danupaksi.
"Kau mengatakan Kakang Rangga sudah mangkat..?! Mana buktinya?!" sentak Pandan Wangi terkejut
"Semua orang sudah tahu. Hm.... Siapa kau, Gadis Ayu? Kenapa kau menyebut Gusti Prabu Rangga dengan sebutan Kakang Rangga?" tanya Danupaksi.
"Eh...?! Kau tidak mengenalku, Danupaksi..?" Pandan Wangi kembali terkejut.
"Aku sekarang Raja Karang Setra. Jadi, kau jangan kurang ajar memanggilku dengan nama saja, Nisanak!" bentak Danupaksi garang.
Pandan Wangi langsung menelan ludahnya. Benar-benar sulit dimengerti semua yang terjadi. Danupaksi sudah tidak mengenalnya lagi! Bahkan kini menyebut dirinya Raja Karang Setra. Apa sebenarnya yang telah terjadi...? Mungkinkah Danupaksi sudah berkhianat, dan kini berpura-pura tidak mengenal orang-orang yang pernah dekat dengannya lagi? Segudang pertanyaan menggayuti kepala Pandan Wangi saat itu juga.
Gadis itu jadi teringat semua kata-kata Cempaka, Paman Rakatala, dan Wirapati. Mereka semua mengatakan kalau Danupaksi sudah jauh berubah, Danupaksi sekarang, bukanlah Danupaksi dulu yang biasa mereka kenal. Bahkan Danupaksi tidak mengenal orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya. Dan sekarang, Pandan Wangi benar-benar membuktikannya sendiri.
"Siapa dia, Nyai Juming?" tanya Danupaksi sambil menuding Pandan Wangi.
"Dia Pandan Wangi, Gusti Prabu. Dialah pembunuh Gusti Prabu Rangga, yang selama ini kita cari," sahut Nyai Juming.
"Heh...! Kalau begitu, tangkap! Beri dia hukuman penggal kepala di depan orang banyak!" perintah Danupaksi lantang. "Kalau melawan, bunuh saja!"
"Heh..., tunggu!" sentak Pandan Wangi tidak mengerti.
Tapi seruan Pandan Wangi sudah tidak didengar lagi. Saat itu juga salah seorang panglima perang yang mendampingi Danupaksi sudah berteriak memberi perintah untuk menangkap Pandan Wangi. Maka seketika puluhan prajurit segera berhamburan menyerang gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.
"Hup! Hiyaaat..!"
Pandan Wangi tidak punya pilihan lain lagi. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali. Lalu begitu kakinya menjejak tanah kembali, di tangan kanannya sudah tergenggam sebuah kipas putih keperakan yang terkembang di depan dada. Ujung-ujung kipas yang berbentuk runcing seperti mata anak panah tampak siap menangkal serangan.
"Hiyaaa...!"
Bet!"
Begitu cepat gerakan Pandan Wangi waktu mengebutkan kipas mautnya. Sehingga, sebilah pedang salah seorang prajurit yang menyerangnya, langsung terpenggal jadi dua bagian. Bahkan langsung disusul oleh satu tendangan keras, tanpa disertai pengerahan tenaga dalam. Namun, itu pun sudah membuat prajurit tadi terpental sambil memekik kesakitan
"Hup! Yeaaah...!"
Pandan Wangi cepat memutar tubuhnya sambil mengebutkan kipas maut ke belakang. Tepat di saat seorang prajurit lain menyerang dengan babatan pedang, maka kembali kipas gadis itu memenggal senjata itu hingga terpotong menjadi dua bagian.
"Hih!"
Kali ini Pandan Wangi memberi satu pukulan keras ke tubuh prajurit itu, tanpa disertai pengerahan tenaga dalam. Dan memang, Pandan Wangi sengaja tidak ingin membunuh para prajurit Karang Setra. Namun, tindakannya malah membuat sulit bagi dirinya sendiri. Satu serangan dapat dihalau, datang lagi serangan berikut dari arah lain. Dan ini membuat Pandan Wangi terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Sesekali kipasnya dikebutkan hanya untuk menangkis senjata para prajurit, hingga tidak bisa terpakai lagi.
Serangan-serangan terus berdatangan dari segala penjuru. Dan buktinya keadaan Pandan Wangi semakin terdesak saja. Malah, ruang geraknya pun semakin sempit. Tapi, gadis itu masih juga belum mau melukai seorang prajurit pun yang menyerangnya. Dia masih tetap bertahan dengan jurus-jurus cepat, walau tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Hasilnya, para prajurit itu jungkir balik, tanpa terluka sedikit pun.
"Phuih! Bisa habis napasku kalau begini terus!" dengus Pandan Wangi dalam hati.
Namun Pandan Wangi benar-benar tidak punya celah sedikit pun untuk bisa lolos dari kepungan para prajurit Bahkan terasa semakin mempersempit ruang geraknya saja. Pandan Wangi sudah kelihatan kewalahan sekali menghadapinya. Hatinya jadi ragu-ragu untuk bertindak tegas. Karena bagaimanapun juga, lawan yang dihadapi sekarang ini adalah para prajurit Karang Setra. Di saat keadaan Pandan Wangi benar-benar terjepit, tiba-tiba saja....
"Khraaagkh...!"
Belum juga suara serak yang begitu keras menggelegar tadi hilang dari pendengaran, tiba-tiba saja dari angkasa meluncur sebuah bayangan putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat. Dan bayangan besar itu langsung menyambar Pandan Wangi yang tengah mendongakkan kepala ke atas.
Dan mendadak saja Pandan Wangi sudah lenyap, bersamaan lenyapnya bayangan putih keperakan yang kembali melesat ke angkasa. Kejadian yang sangat cepat itu tentu saja membuat para prajurit yang mengeroyok Pandan Wangi jadi terlongong bengong. Bahkan Danupaksi dan Nyai Juming jadi terperanjat setengah mati, hingga tidak bisa bersuara sedikit pun. Memang perisrjwa itu begitu cepat berlangsung, sehingga sangat sulit bisa melihat bentuk kilatan cahaya keperakan yang menyambar Pandan Wangi.
"Apa itu tadi, Nyai Juming?" tanya Danupaksi yang lebih dulu tersadar.
"Sebaiknya jangan banyak tanya. Perintahkan saja prajuritmu kembali ke istana," sahut Nyai Juming dengan suara serak dan parau.
"Baik," sahut Danupaksi mematuhi. "Panglima, perintahkan mereka semua kembali ke istana."
Empat orang panglima yang mendampingi Danupaksi segera melaksanakan perintah itu. Danupaksi sendiri langsung menggebah kudanya dengan cepat memasuki istana. Sementara, Nyai Juming tetap berdiri di tempatnya memandangi ke langit yang pekat, penuh bertaburkan cahaya bintang.
"Hm.... Apakah itu rajawali raksasa tunggangan Pendekar Rajawali Sakti...?" gumam Nyai Juming bertanya-tanya sendiri. "Celaka...! Aku harus secepatnya membuat seluruh rakyat Karang Setra ini tunduk pada perintahku."
Bergegas Nyai Juming melangkah masuk ke istana. Sementara tanpa ada seorang pun yang mengetahui, dari balik sebatang pohon yang gelap, sepasang mata tengah memperhatikannya sejak tadi. Dan dia baru muncul dari balik pohon, begitu pintu gerbang benteng istana tertutup, setelah Nyai Juming melewatinya.
Ternyata, sepasang mata yang memperhatikan dari balik pohon itu adalah Ki Sangkala. Seorang laki-laki tua yang dikenal berjuluk Pengemis Tongkat Putih. Dia berdiri agak merapat dengan pohon dan terlindung bayang-bayang gelap, sehingga sulit diketahui keberadaannya.
"Sudah kuduga, ternyata memang kaulah biang keladi kekacauan ini, Dewi Obat..," desis Ki Sangkala, terus menatap tajam ke arah istana.
********************
Baru saja Ki Sangkala akan beranjak meninggalkan tempat itu, mendadak saja dirasakan ada sesuatu yang menempel di pundak kanannya. Cepat tubuhnya berbalik sambil mengibaskan tangan kanan yang menggenggam sebatang tongkat putih.
Wuk! Tap!
Tapi tongkat putih itu tertahan sesuatu yang sangat kuat Dan begitu Ki Sangkala hendak menghentakkannya, mendadak saja kedua bola matanya jadi terbeliak lebar.
"Tahan, Ki...."
"Edan...!"
Ki Sangkala mendengus sambil menarik tongkatnya yang tergenggam tangan kuat dan berotot. Dia menggerutu melihat seorang pemuda tampan mengenakan baju rompi putih yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya. Sungguh, sama sekali tidak diketahui kehadiran pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga, yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Sejak kapan kau ada di sini?" tanya Ki Sangkala masih bernada kesal, karena tadi sedikit dipermainkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sejak tadi," sahut Rangga kalem. "Sudah lama juga aku ada di sini, Ki."
"Kalau begitu, kau melihat semua peristiwa yang terjadi di sini...?" agak menggumam nada suara Ki Sangkala.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja.
"Pasti kau juga yang mengirimkan Rajawali Putih untuk menyelamatkan Pandan Wangi," tebak Ki Sangkala.
Rangga tidak menyahuti, tapi hanya tersenyum saja. Dan memang, Pendekar Rajawali Saktilah yang mengirimkan Rajawali Putih untuk menyelamatkan Pandan Wangi tadi. Pada saat itu, terlihat dua orang prajurit yang menjaga pintu gerbang benteng istana berjalan menuju ke arah mereka. Dan Rangga lebih dulu melihat kedatangan dua orang prajurit penjaga pintu gerbang itu.
"Ayo kita pergi dari sini, Ki," ajak Rangga.
"Eh...?!"
Belum juga Ki Sangkala bisa menolak, Rangga sudah cepat melesat sambil menarik tangan kiri laki-laki tua yang dikenal berjuluk si Pengemis Tongkat Putih. Mau tak mau, Ki Sangkala harus mengerahkan ilmu meringankan tubuh, untuk mengimbangi Pendekar Rajawali Sakti. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, sehingga dalam sekejap saja sudah jauh meninggalkan jalan di depan Istana Karang Setra.
Sehingga membuat kedua prajurit yang tadi hendak menghampiri jadi terlongong bengong seperti melihat hantu. Rangga baru berhenti berlari setelah dirasakan cukup jauh dari istana. Dan cekalannya pada pergelangan tangan kiri Ki Sangkala segera dilepaskannya.
"Kenapa kau menghindar?" tanya Ki Sangkala sambil mengurut pergelangan tangan kirinya yang tadi cukup kuat dicekal Rangga.
"Aku tidak ingin bentrok dengan prajuritku sendiri, Ki," sahut Rangga tanpa mengalihkan pandangan dari istana yang tampak berdiri megah, dikelilingi tembok benteng tinggi dan kokoh.
"Seharusnya, kau katakan saja ada prajurit datang. Tidak perlu menarikku seperti anak kecil!" sungut Ki Sangkala.
"Maaf, Ki," hanya itu yang diucapkan Rangga.
Ki Sangkala tidak bicara lagi. Dan matanya ikut diarahkan ke Istana Karang Setra. Tampak dua orang prajurit yang tadi hendak menghampiri mereka sudah kembali berkumpul di depan pintu gerbang bersama yang lain.
"Kau harus secepatnya membebaskan mereka semua, Rangga. Jangan sampai si Dewi Obat menyebarkan pengaruhnya pada seluruh rakyatmu," ujar Ki Sangkala yang tidak pernah memanggil Pendekar Rajawali Sakti dengan sebutan Gusti Prabu.
Dan memang mereka sudah saling mengenal sebelum Pendekar Rajawali Sakti menjadi Raja Karang Setra. Ki Sangkala pun tidak pernah merubah panggilan pada pemuda itu.
Sementara Rangga masih tetap diam. Pandangannya lurus tanpa berkedip sedikit pun ke arah Istana Karang Setra yang tampak tenang, seperti tidak terjadi sesuatu. Dia memang mendengar kata-kata si Pengemis Tongkat Putih itu. Tapi entah kenapa, lidahnya seperti kaku, seperti tidak bisa diajak bicara. Entah apa yang ada di dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti saat ini.
"Mereka semua dalam keadaan tidak sadar, Rangga. Dewi Obat memang terlalu pandai dalam mempengaruhi orang. Ilmu silatnya memang tidak tinggi. Tapi, sangat ahli dalam meramu obat-obatan. Bahkan memiliki semacam ramuan obat yang bisa menghilangkan ingatan orang. Barang siapa yang minum ramuannya, bisa jadi lupa sama sekali pada diri sendiri," jelas Ki Sangkala lagi, tanpa berpaling sedikit pun dari bangunan istana yang megah itu.
"Jadi kau mengira kalau Danupaksi dan yang lain sudah dipengaruhi ramuan penghilang ingatan itu, Ki..?" ujar Rangga bemada ingin memastikan.
"Tidak salah lagi, Rangga. Hal seperti ini sudah pernah terjadi di wilayah selatan. Dan aku memang sengaja berada di sini karena mendengar adanya ketidakberesan di kerajaanmu. Sejak semula memang sudah kuduga, setelah mendengar cerita dari Cempaka. Pasti Dewi Obat yang telah mempengaruhi Danupaksi dan yang lain dengan ramuannya yang sangat ampuh itu," sahut Ki Sangkala.
"Lalu, bagaimana menghilangkan pengaruh ramuan obat itu, Ki?" tanya Rangga seraya berpaling sedikit menatap Pengemis Tongkat Putih yang berada tepat di sebelah kirinya.
"Sulit..," sahut Ki Sangkala, terdengar pelan suaranya. Bahkan agak mendesah sambil menghembuskan napas pendek.
"Sulit..?"
"Hanya dia sendiri yang memiliki obat penawarnya. Dan lagi, sangat sulit untuk memperoleh obat penawar itu, Rangga. Dia pasti akan mempertahankan, walaupun mempertaruhkan nyawanya sendiri."
"Hm.... Kau tahu cara ramuan obatnya itu disebarkan, Ki?" tanya Rangga lagi.
"Hanya ada satu cara, Rangga," sahut Ki Sangkala mantap.
"Apa...?" tanya Rangga ingin tahu.
"Ramuan obat itu hanya bisa disebarkan melalui aliran sungai."
"Sungai...?"
Kening Rangga jadi berkerut. Kepalanya berpaling sedikit menatap Ki Sangkala, kemudian pandangannya beralih ke arah Istana Karang Setra yang kelihatan begitu tenang, seperti tidak terjadi apa-apa.
"Ya.... Hanya air yang bisa menyebarkan ramuan obat itu, Rangga. Ramuan itu disebarkan ke atas permukaan sungai. Dan aliran air sungai yang menyebarkan ramuan itu. Bisa kau bayangkan kalau semua orang di Karang Setra ini meminum air sungai yang sudah tersebar racun ramuan obat penghilang ingatan itu...."
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
"Orang yang minum air yang sudah tersebar ramuan obat itu, bukan hanya kehilangan ingatannya. Tapi juga menjadi patuh pada perintah Dewi Obat yang membuat racun itu. Segala yang diperintahkannya, akan dipatuhi tanpa sedikit pun bisa dibantah," sambung Ki Sangkala menjelaskan.
Rangga hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Kini disadari, kalau orang yang dihadapi sekarang ini tidak bisa dianggap enteng. Walaupun, tingkat kepandaian yang dimiliki orang itu tidaklah seberapa tinggi. Bahkan menghadapi Pandan Wangi saja, tidak sanggup. Tapi, Nyai Juming memiliki kepandaian meramu obat yang tidak dimiliki orang lain. Tidak heran kalau dirinya dijuluki si Dewi Obat. Dan kini ramuan yang sangat berbahaya sudah dikuasainya. Kalau tidak segera dicegah, bisa-bisa semua orang di jagat raya ini dikuasainya.
"Aku harus bisa mengenyahkannya secepatnya...!" desis Rangga dalam hati.
Tanpa berbicara lagi, Rangga memutar tubuhnya berbalik dan melangkah meninggalkan tempat itu. Ki Sangkala bergegas mengikuti, mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Mau ke mana kau, Rangga?" tanya Ki Sangkala ingin tahu.
"Menemui Pandan Wangi. Dia pasti sudah menunggu bersama Rajawali Putih," sahut Rangga.
"Di mana?"
"Di tempat yang aman."
Ki Sangkala tidak bertanya lagi, dan terus saja melangkah mengikuti ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda itu juga tidak bicara lagi sedikit pun juga. Namun dari keningnya yang berkerut, jelas tengah memikirkan sesuatu. Tapi, entah apa yang dipikirkannya. Hanya dia sendiri yang tahu.
********************
TUJUH
Rangga berdiri tegak di bawah air terjun. Dari sinilah sumber mata air yang menghidupi seluruh rakyat di Karang Setra. Sementara di belakangnya, Pandan Wangi, Ki Sangkala, Paman Rakatala, dan Wirapati tengah memperhatikannya. Mereka tahu, apa yang akan dilakukan Pendekar Rajawali Sakti.
Membendung aliran sungai yang menjadi sumber kehidupan seluruh rakyat Karang Setra, memang jalan satu-satunya untuk menyelamatkan seluruh rakyat dari bencana yang disebarkan Nyai Juming, atau si Dewi Obat Tapi itu juga mengandung akibat yang tidak kecil. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sanggup bertahan tanpa air. Bahkan pohon dan binatang pun hidup dari air. Jika sumber air yang menjadi tumpuan kehidupan ini dibendung, bisa dibayangkan akibatnya. Seluruh rakyat Karang Setra bisa mati kekurangan air. Dan bencana yang lebih besar pun akan timbul.
Pertumpahan darah pasti akan terjadi, demi segantang air. Dan pasti ini yang diharapkan si Dewi Obat untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra. Tapi, apakah memang itu yang diharapkan Dewi Obat? Rangga kelihatan bimbang sekali untuk membendung sumber mata air di tanah kelahirannya ini. Hatinya tidak yakin kalau Dewi Obat hanya ingin menghancurkan Karang Setra saja. Pasti ada maksud tertentu yang belum bisa diketahuinya.
"Ki Sangkala...," panggil Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
Ki Sangkala bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang tetap berdiri tegak di atas batu, tidak jauh dari air terjun yang mengalir sangat deras sekali, hingga menimbulkan suara menggemuruh bagai hendak meruntuhkan bumi. Pengemis Tongkat Putih itu kemudian berdiri di samping kanan Rangga.
"Kau tahu, apa maksud Dewi Obat mengacau di Karang Setra?" tanya Raugga langsung. Sedangkan pandangannya tetap tertuju pada air terjun di depannya.
"Kau ini seperti bukan seorang pendekar saja, Rangga...," ujar Ki Sangkala tidak menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Jawab saja pertanyaanku, Ki," desak Rangga tidak menghiraukan gurauan si Pengemis Tongkat Putih itu.
"Aku rasa, sama seperti kaum persilatan lainnya. Ingin melampiaskan nafsu serakah, dengan menguasai seluruh meryapada ini," sahut Ki Sangkala.
Agak tertegun juga Pengemis Tongkat Putih melihat wajah Rangga begitu menegang. Bahkan suaranya terdengar datar walau bertanya tadi. Sedikit pun tidak terdengar adanya tekanan pada nada suaranya. Dan pandangannya tetap tertuju lurus ke air terjun. Sedikit pun tidak dihiraukannya. percikan air yang hampir membasahi seluruh tubuhnya.
Memang berat sekali beban yang harus ditanggung Rangga kali ini. Dia harus bisa menentukan yang terbaik, dan tidak mengandung bahaya besar. Meskipun disadari, kalau setiap perjuangan pasti meminta korban yang tidak kecil. Tapi, tetap saja Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghindari jatuhnya korban. Terlebih lagi, kalau harus mengorbankan rakyatnya sendiri. Itu yang tidak diinginkannya.
"Sudah berapa negeri yang dikuasainya?" tanya Rangga lagi.
"Sejak Dewi Obat muncul, sudah ada delapan kerajaan yang berhasil dikuasainya. Dan ini yang kesembilan," sahut Ki Sangkala.
"Semua tunduk padanya?"
"Sampai sekarang. Karena, belum ada seorang pun yang berhasil mengambil obat penawarnya. Aku sendiri tidak tahu, apakah obat penawarnya ada padanya, atau disimpan di suatu tempat yang hanya dia sendiri yang tahu," sahut Ki Sangkala lagi
"Dia melakukan cara yang sama, Ki?" tanya Rangga lagi.
"Ya! Semua dilakukan melalui air."
Rangga terdiam membisu. Pandangan matanya masih tetap tertuju ke air terjun yang bagaikan paku raksasa hendak melubangi bumi ini. Sebentar ditariknya napas panjang. Lalu, perlahan tubuhnya berbalik Dan dengan satu lompatan yang sangat ringan, Pendekar Rajawali Sakti turun dari atas batu hitam berlumut ini. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi, Cempaka, Paman Rakatala, dan Wirapati yang menunggu agak jauh dari air terjun ini. Ki Sangkala mengikuti Pendekar Rajawali Sakti dari belakang.
"Kenapa tidak jadi membendung air terjun itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi langsung, begitu Rangga dekat
"Aku tidak ingin ada korban lebih banyak lagi, Pandan. Air terjun ini sumber kehidupan seluruh rakyat Karang Setra. Kalau kubendung, tidak ada lagi sumber mata air. Dan itu bisa berakibat parah sekali," sahut Rangga.
"Lalu...?"
"Kalian semua harus berjaga bergiliran di sini. Dewi Obat pasti sudah tahu sumber mata air ini."
"Kau sendiri, Kakang?" tanya Cempaka.
"Aku akan mencari jalan untuk mengenyahkan Dewi Obat dari istana. Kalau bisa, mendapatkan obat penawar ramuan penghilang ingatan," sahut Rangga.
"Bagaimana kalau obat penawarnya tidak ada?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Setiap ramuan obat pasti ada penawarnya, Pandan," selak Ki Sangkala. "Aku yakin, Dewi Obat memiliki penawarnya."
"Aku akan membantumu, Kakang," tegas Pandan Wangi.
"Tidak Kau harus tetap di sini membantu yang lain. Aku khawatir, Dewi Obat menggunakan prajurit untuk membersihkan tempat ini dari kalian," tolak Rangga, juga tegas.
Pandan Wangi langsung diam. Dia tahu, kalau Rangga sudah berkata begitu tidak mungkin bisa dicabut kembali. Sedangkan yang lain juga tidak ada yang bersuara. Mereka sudah mengenal watak Pendekar Rajawali Sakti. Maka dibiarkan saja ketika pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu melangkah pergi meninggalkan tempat ini. Tidak ada seorang pun yang membuka suara, walaupun Rangga sudah jauh meninggalkan mereka semua.
Saat itu, Ki Sangkala juga pergi. Arahnya berbeda dengan yang dituju Pendekar Rajawali Sakti. Dan Paman Rakatala segera mengatur penjagaan sekitar mata air yang berupa air terjun ini. Tidak ada seorang pun yang menolak pembagian tugas itu. Mereka se-gera menjalankan tugas masing-masing. Paman Rakatala sempat berpesan agar jangan sampai tejadi pertumpahan darah. Terlebih lagi, sampai bentrok dengan para prajurit. Bagaimana pun juga, mereka harus menyelamatkan para prajurit Bukan menganggap sebagai musuh.
"Kau yakin kalau si Dewi Obat akan datang ke sini menyebar ramuan racunnya itu, Cempaka...?" tanya Pandan Wangi ragu-ragu.
"Entahlah...," sahut Cempaka agak mendesah, sambil sedikit mengangkat bahunya.
Pandan Wangi juga mengangkat bahunya. Memang, saat ini rasanya sulit untuk menduga terlalu jauh. Dan yang bisa dilakukan hanya berjaga-jaga, menjajankan tugas masing-masing yang telah ditetapkan. Hanya itu yang bisa mereka lakukan sampai saat ini.
********************
Sementara itu, Rangga sudah berada di angkasa bersama Rajawali Putih. Diamatinya sekitar istana dari atas. Jelas sekali terlihat kalau penjagaan di sekitar istana tidak begitu ketat. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak heran lagi dengan penjagaan yang tidak ketat, setelah tahu banyak tentang Dewi Obat dari Ki Sangkala.
Saat itu, terlihat Danupaksi baru keluar dari dalam penjara bawah tanah, diikuti empat orang panglima yang mengapit seorang laki-laki tua. Baju jubah putih yang dikenakan orang tua itu sudah tidak beraturan lagi bentuknya. Jelas sekali terlihat dari angkasa, darah kering melekat di hampir seluruh pakaian yang dikenakannya.
"Ki Lintuk...," desis Rangga langsung mengenali.
Orang tua itu memang Ki Lintuk yang tengah digiring keluar dari dalam penjara, dan terus menuju bagian depan istana. Kedua tangannya terikat rantai ke belakang, yang disatukan dengan leher. Terlihat payah sekali keadaan Ki Lintuk. Dia berjalan dengan kaki terseret, dan beberapa kali hampir jatuh kalau tidak segera disangga salah seorang panglima yang mengapitnya.
Sikap mereka, kelihatan kasar sekali, sehingga membuat Rangga yang melihat dari atas jadi geram. Tapi menyadari kalau ingatan mereka sudah terganggu akibat pengaruh ramuan obat penghilang ingatan yang dibuat Dewi Obat, Rangga harus bisa menahan diri. Bagaimanapun juga, semua itu dilakukan tanpa sadar.
"Mau dibawa ke mana Ki Lintuk...?" gumam Rangga, bertanya pada diri sendiri.
Ki Lintuk memang dinaikkan ke atas punggung kuda. Dan di halaman depan istana, sudah siap satu pasukan prajurit berjumlah sangat besar. Danupaksi dan keempat panglima yang selalu mengawalnya juga berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Prajurit penjaga pintu gerbang segera membuka pintu lebar-lebar, begitu Danupaksi memberi perintah untuk bergerak dengan mengangkat tangan kanan ke atas.
Dari angkasa, Rangga terus memperhatikan. Mereka bergerak tidak terlalu cepat keluar dari lingkungan istana yang dikelilingi tembok benteng. Danupaksi berkuda paling depan, diikuti empat orang panglima yang mengawalnya. Di belakang mereka, Ki Lintuk dan satu pasukan prajurit bersenjata lengkap yang berjumlah lebih dari seratus orang. Mereka seperti layaknya hendak menuju medan perang. Rangga yang masih berada di angkasa, terus memperhatikan tanpa sedikit pun berkedip.
"Hm.... Aku tidak melihat Dewi Obat Ke mana dia?" gumam Rangga bertanya lagi pada diri sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti segera mengalihkan perhatiannya ke arah sekeliling istana yang masih dijaga ketat para prajurit bersenjata lengkap. Dia mencari-cari, di mana adanya Dewi Obat Tapi, perempuan tua yang nama sebenarnya Nyai Juming itu sama sekali tidak terlihat. Kembali Rangga melayangkan pandangan pada para prajurit yang dipimpin langsung oleh Danupaksi.
"Hm.... Mereka menuju mata air terjun," gumam Rangga, langsung bisa menebak arah tujuan Danupaksi dan para prajuritnya yang berjumlah besar itu.
Rangga jadi bimbang, karena tidak melihat adanya Dewi Obat di antara mereka. Sedangkan sudah jelas sekali kalau para prajurit itu menuju sumber mata air yang berupa air terjun di sebelah barat Kotaraja Karang Setra.
"Rajawali! Turunkan aku di belakang istana. Lalu, cegah mereka ke air terjun. Usahakan menyelamatkan Ki Lintuk," kata Rangga sambil menepuk leher burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang ditungganginya ini.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung meluruk deras ke bagian belakang istana. Dan Rangga segera melompat turun, begitu burung rajawali raksasa itu mendekati tanah, di luar tembok benteng istana bagian belakang.
"Hap!"
"Khraaagkh...!;'
Rajawali Putih kembali melesat ke angkasa. Begitu cepat lesatannya. Sehingga belum sempat Rangga mendongakkan kepala, burung rajawali raksasa itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Rangga mengamati tembok benteng bagian belakang ini. Dan...
"Hup...!"
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke atas tembok benteng. Hanya sekali lompatan saja, kakinya sudah mendarat di atas tembok Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun saat kakinya menjejak bibir tembok. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati keadaan, kemudian kembali melompat turun dengan gerakan begitu indah dan ringan.
"Hup...!"
Sedikit pun tidak terdengar suara begitu kakinya menjejak tanah yang berumput dan terawat rapi di bagian belakang istana. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terlihat terbungkuk, dengan kedua lutut ter-tekuk. Sementara, tangan kirinya menyentuh tanah. Lalu, tubuhnya kembali melesat cepat, dan tahu-tahu sudah merapat ke dinding dekat pintu belakang istana. Namun baru saja hendak melangkah masuk ke dalam, mendadak saja....
Wusss!
"Uts...!"
Rangga cepat menarik tubuhnya ke samping, begitu tiba-tiba dari dalam pintu yang terbuka meluncur sebatang tombak panjang. Tombak itu meluncur deras, lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti hingga menancap pada batang pohon cemara. Sedikit Rangga melirik tombak itu. Cukup dalam juga menancapnya pada batang pohon cemara. Dan Rangga sudah bisa menduga, tombak itu pasti dilemparkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih jauh, kembali harus melompat menghindari sebuah bayangan yang berkelebat begitu cepat dari dalam. Dua kali Rangga berputaran, dan manis sekali menjejakkan kakinya di tanah.
"Hm...." Sedikit Rangga menggumam begitu melihat sekitar satu batang tombak di depannya sudah berdiri seorang perempuan tua yang sudah dikenalnya. Perempuan tua itulah yang dijuluki si Dewi Obat
"Hik hik hik...! Sudah kuduga, kau pasti datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Dewi Obat yang nama sebenarnya Nyai Juming.
"Aku datang untuk membebaskan Karang Setra dari nafsu setanmu, Nyai Juming!" sambut Rangga dingin.
"Hik hik hik...!"
Nyai Juming tertawa terkikik. Terdengar kering sekali suara tawanya, sehingga sungguh tidak sedap merasuk ke dalam telinga. Namun lama-kelamaan, suara tawa itu semakin terdengar nyaring melengking. Bahkan membuat kening Rangga jadi berkerut Pendekar Rajawali Sakti langsung menangkap adanya getaran tenaga dalam yang tinggi di dalam suara tawa yang kering itu.
"Hap!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada, dan menarik kedua kakinya ke samping hingga terpentang cukup lebar. Tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan hendak menembus langsung ke bola mata perempuan tua di depannya.
********************
Perlahan-lahan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak mengembang ke samping, lalu ditarik ke belakang hingga kedua telapak tangan yang terkembang berada sejajar dengan dada. Kemudian, jari-jari tangannya yang bergerak mengepal berpindah ke pinggang. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam menembus langsung ke bola mata Nyai Juming yang masih terus tertawa disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dia seperti tidak tahu kalau saat itu Rangga tengah menyiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, yang bisa digunakan dalam jarak jauh. Dan begitu kedua kepalan tangan Rangga berubah menjadi merah membara bagai besi terbakar, mendadak saja....
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar, bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya yang sudah berwama merah membara ke depan. Dan seketika itu juga, dua sinar merah meleret begitu cepat ke arah Nyai Juming. Tindakan Rangga yang begitu cepat, membuat si Dewi Obat jadi terkesiap
"Hup...!"
Cepat-cepat Nyai Juming melenting ke atas, menghindari serangan yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti. Maka dua sinar merah yang memancar dari kedua kepalan tangan Rangga lewat di bawah kaki si Dewi Obat, dan langsung menghantam sebatang pohon cemara hingga hancur berkeping-keping.
Ledakan keras pun terdengar begitu menggelegar, bersamaan dengan hancurnya pohon cemara yang terkena sinar merah dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dilepaskan Rangga tadi. Akibat ledakan itu rupanya mengejutkan para prajurit yang menjaga di sekitar istana, sehingga langsung berdatangan.
"Jangan harap kau bisa memperalat mereka, Nyai Juming. Hiyaaat..!"
Belum juga Nyai Juming bisa memerintahkan para prajurit menyerang, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat begitu cepat bagai kilat. Langsung diberikannya serangan cepat dengan beberapa pukulan dahsyat dan beruntun.
"Hait..!"
Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat si Dewi Obat jadi berjumpalitan menghindarinya. Perempuan tua itu benar-benar kerepotan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan pemuda berbaju rompi putih ini. Bahkan sama sekali tidak sempat memperhatikan adanya prajurit di sekitar pertarungan yang kini hanya bisa menonton saja. Tidak ada seorang pun dari prajurit yang ikut terjun ke dalam pertarungan. Bahkan mereka terlihat bergerak mundur menjauh.
Sementara, Rangga benar-benar tidak memberi kesempatan kepada Nyai Juming. Bahkan untuk menarik napas panjang pun terasa sulit sekali. Perempuan tua yang dikenal berjuluk Dewi Obat itu semakin kerepotan saja menghindari serangan-serangan Rangga yang sangat cepat dan beruntun.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Pukulan-pukulan yang dilepaskan Rangga memang dahsyat luar biasa, karena disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Sehingga setiap kali pukulannya terlontar, selalu menimbulkan suara angin menggemuruh bagai badai.
Nyai Juming pun mulai kelihatan goyah, walaupun masih bisa menghindari setiap pukulan yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, Ia mulai tidak mampu menahan gempuran angin pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Wajahnya sudah mulai kelihatan memucat. Disadari kalau ilmu olah kanuragan yang dimilikinya tidak akan mampu menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Dan...
"Hiyaaat..!"
DELAPAN
Begitu memiliki kesempatan, Nyai Juming cepat melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Sementara itu, Rangga seperti sengaja tidak mengejar, dan hanya berdiri saja memandangi sampai Dewi Obat kembali menjejak tanah. Tampak napasnya terdengar memburu cepat dan keringat membanjiri seluruh tubuhnya.
"Phuih! Keparat kau, Rangga...!" dengus Nyai Juming geram.
Rangga hanya tersenyum tipis saja. Sedikit pun napasnya tidak terlihat memburu. Bahkan hanya sedikit saja keringat yang menitik di wajahnya. Sikap Pendekar Rajawali Sakti sangat tenang. Sementara, Nyai Juming masih kerepotan mengatur jalan pernapasannya.
"Nyai Juming! Aku akan mengampunimu kalau kau bersedia pergi dari istana ini, dan melepaskan semua pengaruhmu pada mereka," ujar Rangga. Suaranya terdengar datar dan dingin sekali.
"Huh! Kau pikir mudah menggertakku, Bocah!" bentak Nyai Juming mendengus berang.
"Aku tidak pernah berkata sampai dua kali, Nyai Juming," ujar Rangga kalem, tapi terdengar sangat tegas.
"Hik hik hik...! Kau pun akan menjadi pengikutku yang setia, Pendekar Rajawali Sakti," balas Nyai Juming.
"Hm...."
Rangga hanya menggumam saja. Saat itu, Nyai Juming sudah membuat beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Dan begitu kedua tangannya dengan jari-jari lurus dihentakkan lurus ke depan, seketika itu ujung jari-jari tangannya mengepul asap tipis berwarna kehijauan. Asap tipis kehijauan itu langsung meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm... Asap racun...," desis Rangga menggumam dalam hati. "Apakah ini ramuan obat penghilang ingatan...?"
Rangga memang langsung bisa merasakan adanya hawa racun dari asap kehijauan yang semakin dekat ke arahnya. Tapi, dia tetap berdiri tegak seperti menanti.
Sementara, kening Nyai Juming jadi berkerut melihat Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri tegak, seakan-akan sedikit pun tidak berusaha menghindar.
Dan Rangga memang tidak bergeming sedikit pun. Hingga, asap kehijauan itu menyelimuti seluruh tubuhnya. Sikap Rangga yang kelihatan tidak berusaha melawan, membuat hati Nyai Juming jadi terkesiap. Segera seluruh kekuatannya dikerahkan, hingga asap kehijauan yang keluar dari ujung-ujung jari tangannya semakin banyak menggumpal menyelimuti seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi, tetap saja Rangga tidak bergeming sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri tegak, walaupun seluruh tubuhnya hampir tidak terlihat lagi, terselimut asap kehijauan yang semakin menebal. Sementara, Nyai Juming mulai bergetar hatinya melihat lawannya seakan tidak terpengaruh oleh serangannya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja, Rangga berteriak lantang menggelegar sambil merentangkan kedua tangannya ke samping. Dan seketika itu juga, asap kehijauan yang menyelimuti tubuhnya menyebar, langsung lenyap bagai terhempas badai yang sangat dahsyat. Saat itu, terlihat Nyai Juming terdorong ke belakang sampai tiga langkah.
"Ugkh...!" Nyai Juming mengeluh sambil memegangi dadanya. Napasnya jadi tersengal memburu.
Sementara, Rangga tetap berdiri tegak dengan kedua tangan sekarang teriipat di depan dada.
"Kau tidak akan bisa mempengaruhiku dengan ilmu-ilmu obat racunmu, Nyai Juming. Ingatlah! Penawaranku masih berlaku. Dan ini yang terakhir kalau masih sayang nyawamu," ancam Rangga kalem.
"Keparat! Tidak ada seorang pun yang bisa merendahkan aku! Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti...!" geram Nyai Juming.
Dewi Obat benar-benar kelihatan berang. Dia merasa Pendekar Rajawali Sakti telah mempermainkannya. Dan selama ini, memang belum ada seorang pun yang sanggup menghadapi ilmu 'Penghilang Ingatan' yang dimilikinya. Dewi Obat memang sudah menyempurnakan ramuan obat penghilang ingatan, hingga menjadi sebuah ilmu kedigdayaan yang bersumber pada ujung-ujung jari tangannya. Tapi, tetap saja tidak dapat mempengaruhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaat..!"
Tanpa menghiraukan lagi siapa yang dihadapi sekarang, perempuan tua yang dikenal berjuluk Dewi Obat itu langsung melesat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa pukulan keras bertenaga dalam tinggi seketika dilepaskan secara beruntun.
"Hait..!" Namun, Rangga berhasil menghindari semua serangan Nyai Juming dengan mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dengan jurus itu, gerakangerakan yang dilakukannya memang sangat aneh. Jelasnya, tidak seperti dalam pertarungan. Bahkan terkadang seperti tengah bermain-main saja. Gerakan-gerakannya pun terkadang limbung, seperti orang kebanyakan minum arak. Tapi terasa sulit sekali bagi Nyai Juming untuk menyarangkan pukulannya. Perempuan tua itu tidak mampu lagi membaca setiap gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Nyai Juming melontarkan satu pukulan lurus disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi tingkatannya. Tapi, kali ini Rangga sedikit pun tidak bergeming. Dan begitu tangan si Dewi Obat sudah dekat dengan dadanya, cepat sekali tangan kirinya dihentakkan, menyambut serangan itu. Dan....
Plak!
"Akh...!"
Dewi Obat jadi terpekik, begitu tangannya membentur tangan Pendekar Rajawali Sai yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat kesempurnaan itu. Cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah. Bibirnya terlihat meringis merasakan nyeri yang amat sangat pada pergelangan tangan kanannya.
"Setan! Hiyaaat..!" Nyai Juming tidak lagi peduli. Kembali tubuhnya melompat menyerang, melepaskan satu pukulan dahsyat dengan tangan kirinya.
"Hait!" Dan Rangga hanya meliukkan tubuhnya saja sedikit Maka pukulan Nyai Juming lewat di depan dadanya yang agak dimiringkan. Saat itu juga, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan tangan kanannya. Begitu cepat kebutan tangannya, sehingga Nyai Juming tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Begkh!
"Ugkh...!"
Nyai Juming jadi mengeluh, begitu kepalan tangan kanan Rangga mendarat telak di perutnya. Sambil terbungkuk, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum juga tubuhnya ditegakkan kembali, Rangga sudah cepat sekali melepaskan satu pukulan keras dari bawah ke atas. Kali ini pun, Nyai Juming tidak dapat menghindarinya. Sehingga, wajahnya harus menerima pukulan yang begitu keras.
Diegkh!
"Akh...!"
Nyai Juming sampai terdongak ke atas. Tampak darah muncrat dari mulut dan hidungnya. Tubuhnya terpental ke belakang sejauh enam langkah, kemudian terhuyung-huyung sambil menggerung merasakan sakit yang tidak terkira pada wajahnya. Darah terus mengucur semakin banyak dari hidung dan mulutnya. Dan memang, keras sekali pukulan yang dilepaskan Rangga, sehingga tulang wajah Dewi Obat jadi retak.
"Ghrrr...!" Nyai Juming menggereng seperti binatang buas. Kepalanya bergerak menggeleng beberapa kali. Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun kini wajahnya penuh darah, tapi kelihatan semakin garang saja. Sama sekali tidak tersirat pada sorot matanya untuk menyerah.
Dan ini membuat Rangga jadi tertegun. Di dalam hati, dikaguminya kekerasan hati perempuan tua yang tidak mau menyerah. Padahal, jelas dirinya tidak akan mungkin bisa unggul dalam pertarungan ini.
"Yeaaah...!" Dengan mengerahkan sisa-sisa kekuatannya yang masih ada, Nyai Juming melompat sambil cepat melepaskan beberapa pukulan beruntun.
Dan Rangga hanya meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan perempuan tua ini. Pendekar Rajawali Sakti merasakan kalau serangan-serangan yang dilancarkan Dewi Obat ini tidaklah sedahsyat tadi. Bahkan terasa agak lamban, hingga mudah sekali dapat dihindarinya.
"Hih!"
Sambil menggeser kakinya sedikit ke kanan, Rangga melepaskan satu pukulan menyamping dengan tangan kanan. Begitu cepat sekali pukulannya sehingga Nyai Juming yang memang sudah agak lambat itu tidak mampu lagi menghindarinya. Dan seketika dadanya harus menerima telak kepalan tangan Rangga yang mengandung pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh.
Desss!
"Akh...!"
Nyai Juming jadi terbeliak, dan terdorong beberapa langkah ke belakang. Tapi, kembali dia melompat maju sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun.
"Edan...! Apa maksudnya ini...?" desis Rangga dalam hati.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti meliukkan tubuhnya menghindari serangan-serangan beruntun itu. Rangga jadi tidak mengerti sikap Nyai Juming yang terus menyerang, walaupun dalam keadaan sudah cukup parah. Namun, Rangga sendiri tampak-nya tidak ingin cepat-cepat menghentikan. Bahkan jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati melihat sikap yang ditunjukkan perempuan tua ini. Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti tengah kebingungan, tiba-tiba saja terdengar seruan menggelegar.
"Lumpuhkan dia dengan totokan jalan darah, Rangga...!"
"Oh...?!" Rangga jadi tersentak, namun cepat-cepat melompat ke belakang tiga langkah. Tapi, Nyai Juming terus mengejar dan menyerangnya membabi buta. Terpaksa, Rangga harus berlompatan menghindarinya. Saat itu, matanya sempat melihat Ki Sangkala berdiri tegak di atas tembok benteng bagian belakang. Entah kapan Pengemis Tongkat Putih sudah berada di sana. Namun Rangga merasa pasti kalau pengemis tua sahabatnya itu tadi yang berbicara. Dan....
"Hiyaaat..!"
Sambil melenting ke atas, cepat sekali Rangga melepaskan satu totokan ke dada si Dewi Obat, disusul satu totokan lagi di leher. Seketika itu juga, Dewi Obat jatuh terguling tanpa daya lagi. Jalan darah utamanya tersumbat oleh totokan yang sangat sempurna, hingga membuatnya tak berdaya. Rangga bergegas menghampiri, dan memeriksa keadaan perempuan tua ini.
Tampak Dewi Obat berusaha bicara. Tapi karena lehernya terkena totokan, sedikit pun tidak ada suara yang keluar. Saat itu, Ki Sangkala melompat turun dari atas tembok benteng, langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang kini sudah berada sekitar tiga langkah dari tubuh Nyai Juming.
"Kau tidak akan bisa membebaskan orang-orang yang kau cintai bila membunuhnya, Rangga," kata Ki Sangkala.
"Apa maksudmu, Ki?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Mereka nantinya akan menjadi liar tanpa pemimpin. Dia memang sangat berbahaya untuk hidup. Tapi, kau harus membebaskan mereka dulu dari pengaruhnya kalau ingin membunuh perempuan iblis ini," jelas Ki Sangkala.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti menatap Nyai Juming yang masih menggeletak tanpa daya. Perlahan kakinya melangkah menghampiri, dan membungkuk sedikit. Lalu, dibukanya totokan pada leher wanita tua itu.
"Keparat! Bunuhlah aku...!" geram Nyai Juming berusaha menggeliat
Tapi, totokan pada pusat jalan darahnya memang sangat sempurna. Sehingga, sulit baginya untuk bisa bergerak. Hanya bagian leher dan kepalanya saja yang kini dapat digerakkan lagi, setelah Rangga membebaskannya tadi. Hanya satu totokan saja, sudah membuat seluruh tubuh Dewi Obat jadi lumpuh.
"Nyai! Di mana kau simpan obat penawar penghilang ingatan?" tanya Ki Sangkala. Nada suaranya dibuat lembut
"Kau tidak akan bisa mendapatkannya, Pengemis Busuk!" dengus Nyai Juming.
"Di mana kau simpan, Nyai?" desak Ki Sangkala tanpa sedikit pun merasa sakit hati.
Nyai Juming hanya diam saja.
"Katakan, Nyai. Kurangi beban dosamu. Kau tidak akan bisa hidup terus-menerus dengan jalan seperti ini. Kau seorang yang ahli dalam ramuan obat-obatan. Maka, sepantasnya kepandaianmu digunakan untuk kebajikan. Bukan untuk mengumbar nafsu setan. Singkirkan bayang-bayang setan yang ada dalam dirimu, Nyai," bujuk Rangga.
"Tidak! Sampai mati pun aku tidak akan memberi obat penawar. Biar mereka jadi liar. Biar dunia ini hancur oleh mereka sendiri. Ha ha ha...!"
Rangga mendesah panjang. Dihampirinya Ki Sangkala yang berada agak di belakangnya. Sedikit matanya melirik para prajurit yang masih berada agak jauh. Tampaknya prajurit-prajurit itu sudah siap, dan tinggal menunggu perintah saja. Sekali saja Nyai Juming melontarkan perintah, prajurit itu akan langsung melaksanakannya. Tapi, tampaknya Nyai Juming lupa kalau di sekitarnya banyak prajurit yang sudah terpengaruh ramuan obat penghilang ingatan. Dia terus tertawa terbahak-bahak, seperti mengejek Pendekar Rajawali Sakti dan Pengemis Tongkat Putih.
"Ki, tahu bentuk ramuan obat itu?" tanya Rangga.
"Berupa serbuk tepung berwarna hijau," sahut Ki Sangkala.
"Apakah dia juga menggunakannya dalam ilmu kedigdayaan?" tanya Rangga teringat akan ilmu yang dikeluarkan Nyai Juming tadi dalam pertarungannya.
"Ya! Kudengar memang begitu. Dia juga bisa menggunakannya dengan ilmu kedigdayaan," sahut Ki Sangkala.
"Hm.... Kalau begitu, obat penawarnya juga ada di dalam dirinya, Ki," kata Rangga, bergumam.
"Oh, edan...!"
Plak!
Ki Sangkala menepuk keningnya sendiri. "Kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana? Sudah pasti dia tidak memiliki satu bentuk obat penawar pun. Dan pengaruh dari penghilang ingatan pasti ada pada dirinya sendiri. Edan...!" dengus Ki Sangkala seakan baru diingatkan.
Tanpa bicara lagi, Ki Sangkala langsung menghampiri Nyai Juming yang masih menggeletak, tapi sudah tidak tertawa lagi. Ki Sangkala memandangi dengan sinar mata tajam. Sementara, Rangga hanya memperhatikan dari belakang.
"Semua sumber ilmu berasal dari otak. Kalau otaknya mati, semua bentuk ilmu akan musnah. Aku tahu kelemahanmu sekarang, Nyai," desis Ki Sangkala, agak dingin nada suaranya.
"Heh...?! Apa yang akan kau lakukan...?" sentak Nyai Juming terkejut
"Otakmu harus diamankan lebih dulu sebelum kau sendiri mati, Nyai," kata Ki Sangkala datar.
"Oh, tidak..!"
Nyai Juming mencoba menggeliat, tapi pengaruh totokan Rangga pada jalan darahnya memang sangat kuat. Sehingga sedikit pun tubuhnya tidak bergerak, walaupun sudah berusaha bergerak sekuat tenaga. Sementara, Ki Sangkala sudah mengangkat tongkatnya yang berujung runcing, tepat di atas kepala Dewi Obat itu.
"Tidak! Jangan lakukan itu...!" jerit Nyai Juming ketakutan.
Tapi Ki Sangkala sudah tidak lagi mendengarkan. Dan....
"Hih!"
Jleb!
"Aaakh...!"
Nyai Juming menjerit melengking tinggi begitu ujung tongkat Ki Sangkala menembus tepat di ubun-ubun kepalanya. Lalu, cepat sekali Pengemis Tongkat Putih menotok leher Nyai Juming tiga kali.
"Bebaskan totokanmu, Rangga," ujar Ki Sangkala tanpa berpaling sedikit pun.
Rangga cepat-cepat menuruti. Dilepaskannya totokan di dada Nyai Juming. Seketika itu juga, tubuh Nyai Juming bisa bergerak. Dan pada saat itu, Ki Sangkala mencabut tongkatnya dari ubun-ubun kepala Dewi Obat
"Keparat..!" geram Nyai Juming.
Dan pada saat itu juga, terlihat para prajurit berjatuhan, ambruk ke tanah. Sementara, seluruh tubuh Nyai Juming kini menggeletar. Tampak asap kehijauan mengepul dari atas kepalanya yang bolong, akibat tertembus tongkat Ki Sangkala tadi.
"Aaakh...!" Nyai Juming menggeletar semakin hebat, disertai jeritan melengking tinggi. Kemudian tubuhnya ambruk ke tanah dan menggelepar sambil menjerit-jerit. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja Ki sangkala melompat ke atas, lalu....
"Yeaaah...!"
"Ki...!"
Crab!"
"Aaa...!"
Rangga tidak bisa mencegah lagi. Ujung tongkat Ki Sangkala sudah menembus dada Nyai Juming begitu dalam. Darah seketika menyembur keluar begitu tongkat tercabut dari dada. Hanya sebentar saja Nyai Juming masih bisa menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu, para prajurit yang tadi bergelimpangan mulai bangun lagi. Dan mereka seperti baru saja terbangun dari tidur yang sangat panjang. Kematian Nyai Juming membebaskan para prajurit dari pengaruh ilmu ramuan penghilang ingatan. Kini, mereka sudah pulih kembali seperti sediakala, walaupun tergambar jelas rasa kebingungan di wajah.
"Maaf, aku terpaksa membunuhnya. Hanya itu jalan satu-satunya untuk mengembalikan prajuritmu, Rangga," ucap Ki Sangkala.
"Ah, sudahlah... Sebaiknya kita temui yang lain dulu," ajak Rangga.
Tanpa banyak bicara lagi, kedua tokoh persilatan tingkat tinggi itu segera melesat melewati tembok benteng bagian belakang, sebelum ada para prajurit yang bisa menyadari. Dan memang, prajurit-prajurit itu masih diliputi kebingungan, karena selama ini berada dalam cengkeraman ketidaksadaran.
Sementara Rangga dan Ki Sangkala sudah jauh meninggalkan Istana Karang Setra, menuju ke air terjun untuk menemui yang lainnya. Pendekar Rajawali Sakti yakin, Danupaksi pun sudah terbebas dari pengaruh Dewi Obat.
SELANJUTNYA: DENDAM MEMBARA