Pendekar Rajawali Sakti
PERAWAN DALAM PASUNGAN
SATU
PAGI yang seharusnya hening, dipecahkan teriakan-teriakan keras seorang wanita. Setiap hari, semua orang di Desa Tampuk mendengar teriakan-teriakan itu. Dan mereka sudah terbiasa mendengarnya, walaupun merasa terganggu juga. Bukan hanya di pagi hari, tapi hampir setiap saat teriakan-teriakan itu selalu terdengar. Teriakan itu datang dari sebuah gubuk kecil yang sudah rapuh. Dinding-dindingnya sudah penuh lubang, dan atapnya sudah banyak yang berjatuhan. Hampir semua orang yang melintas di depan gubuk kecil itu selalu menyemburkan ludah, diser-tai sumpah serapah. Dan teriakan-teriakan pagi ini, membuat orang-orang yang melintas di depan gubuk kecil itu jadi menggerutu. Mereka menyumpah serapah sambil menyemburkan ludahnya.
"Huh, mengganggu! Seharusnya dibuang saja ke tengah hutan, biar dimakan binatang buas!" dengus seorang laki-laki tua menggerutu, sambil menyemburkan ludahnya tepat di depan pintu gubuk kecil yang terbuka sedikit.
"Sudah, Ki. Biar saja," timpal perempuan tua yang berjalan di sampingnya.
Teriakan-teriakan dari dalam gubuk reyot itu berhenti. Dan kini, berganti tangisan yang terisak, begitu memilukan. Tapi, sebentar kemudian tangisan itu sudah berganti lagi dengan gumaman-gumaman kecil, menendangkan lagu yang tidak jelas iramanya. Kembali, sebentar kemudian sudah berganti tangisan terisak yang memilukan.
Kalau sudah begitu, tak ada seorang pun yang menyemburkan ludahnya lagi di depan gubuk kecil ini. Dan kebencian mereka oleh gangguan teriakan-teriakan tadi pun langsung berganti, kepiluan. Isak tangis itu memang membuat hati mereka yang mendengarnya jadi trenyuh.
"Kasihan...," desah seorang gadis muda yang melintas di depan gubuk kecil dan reyot itu.
"Iya. Tidak bisa kubayangkan, seandainya aku yang jadi dia,” sambut seorang gadis lain yang berjalan bersamanya.
"Seharusnya dia dibiarkan saja hidup bebas," kata gadis itu lagi.
"Sembarangan saja kalau bicara. Dia bisa membunuh orang lagi, kalau dibiarkan bebas," celetuk seorang gadis lagi yang bertubuh gemuk.
"Ah, sudahlah. Ayo terus saja ke sungai," selak seorang gadis lainnya.
Gadis-gadis itu tidak lagi berbicara, dan terus berjalan menuju sungai. Sementara, isak tangis yang memilukan dari dalam gubuk itu pun sudah tidak lagi terdengar. Kini suasana begitu sunyi, sedikit pun tak terdengar suara dari dalam gubuk di pinggir jalan Desa Tampuk ini.
Sementara, matahari semakin menggelincir naik ke langit yang bening. Sedikit pun tak terlihat awan berarak. Semua penduduk Desa Tampuk sudah sejak tadi sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jalan tanah yang tadi masih kelihatan sepi, kini sudah ramai dipenuhi orang yang hendak berangkat menuju ke pekerjaannya masing-masing.
Hampir semua orang yang melintasi gubuk kecil itu selalu berhenti sebentar. Bermacam-macam pembicaraan terlontar dari mulut mereka, dengan pendapat yang berbeda. Tapi, suara-suara dari dalam gubuk kecil itu sudah tidak lagi terdengar. Saat itu terlihat seorang perempuan tua renta yang tubuhnya begitu kurus, berjalan tertatih-tatih menghampiri gubuk kecil ini.
Tak ada seorang pun yang menghiraukan. Bahkan tak ada seorang pun yang meliriknya, saat perempuan tua kurus dan bungkuk itu masuk ke dalam gubuk ini. Bau debu langsung menyengat hidungnya, saat perempuan tua itu berada di dalam. Tampak seorang wanita yang masih muda usianya, tengah duduk lemah di atas tumpukan jerami kering. Kedua kakinya terpasung balok kayu yang cukup besar dan terikat rantai besi yang sangat kuat Wanita muda yang kotor berdebu Ini hanya melirik sedikit saja pada perempuan tua kurus itu.
"Ku bawakan makanan kesukaan mu, Angki," kata perempuan tua kurus itu.
Suara perempuan tua itu terdengar serak dan kering sekali, namun nadanya terdengar ditahan. Dia melangkah tertatih menghampiri wanita yang kedua kakinya terpasung itu. Sebuah bungkusan daun waru diletakkan di depannya. Tapi, wanita muda bertubuh kotor dan berbaju lusuh penuh sobekan itu hanya melirik sedikit saja. Kemudian, matanya menatap tajam pada perempuan tua bertubuh kurus kering yang kini sudah duduk di depannya.
"Kenapa kau selalu mengirim makanan untuk ku, Nyai Suti?" terdengar datar suara wanita terpasung yang dipanggil Angki itu.
Sementara wanita yang dipanggil Nyai Suti hanya tersenyum saja. Dibukanya bungkusan daun waru itu ternyata berisi makanan dengan ikan bakar yang kelihatannya begitu sedap. Nini Angki sempat menelan air liurnya saat melihat makanan yang memang sangat disukainya. Tapi makanan itu tidak disentuh sedikit pun juga, dan hanya dipandangi saja beberapa saat. Kemudian kembali matanya menatap dengan sinar yang begitu tajam pada wajah tua penuh keriput di depannya.
"Makanlah, Nini. Semua ini aku buatkan hanya untukmu," kata Nyai Suti diringi senyum manis tersungging di bibirnya yang kering keriput
"Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, Nyai. Mereka pasti akan membenci mu," kata Nini Angki.
"Aku tidak peduli!" dengus Nyai Suti. "Mereka semua kejam. Aku tidak suka cara mereka memasung mu sampai bertahun-tahun begini. Kau manusia, Nini. Kau bukan binatang. Tidak sepatutnya diperlakukan begini."
Nini Angki terus memandangi perempuan tua kurus ini, namun sinar matanya tidak lagi tajam seperti tadi. Terlihat titik-titik air mengambang di pelupuk matanya. Perlahan tangannya bergerak menjulur, meraih bungkusan daun waru itu. Kemudian makanan yang dibawakan perempuan tua kurus ini mulai dinikmatinya.
Nyai Suti tersenyum melihat gadis dalam pasungan ini menikmati makanannya. Di tuangkannya air bening dari dalam kendi tanah liat ke dalam gelas bambu yang dibawa, lalu disodorkannya pada Nini Angki Dengan sikap sedikit ragu-ragu, Nini Angki menerima gelas bambu yang kasar buatannya ini. Kemudian, isinya diteguk hingga tandas tak bersisa.
"Habiskan, Nini. Aku senang kalau kau menghabiskan semua makanan yang kubawa," ujar Nyai Suti senang.
“Terima kasih, Nyai," ucap Nini Angki.
Sampai matahari berada di atas kepala, Nyai Suti baru keluar dari dalam gubuk kecil yang reyot di pinggir jalan itu. Tapi baru beberapa langkah gubuk Itu ditinggalkan, tiba-tiba saja hatinya jadi tersedak. Bahkan ayunan kakinya langsung terhenti, begitu melihat seorang laki-laki setengah baya berjalan dari arah yang berlawanan. Di belakangnya, mengikuti empat orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot. Di pinggang mereka masing-masing terselip sebilah golok. Sedangkan laki-laki setengah baya yang mengenakan baju warna biru muda, menggenggam tongkat berwarna hitam di tangan kanan.
"Ki Rampak...," desis Nyai Suti perlahan.
Seluruh tubuh Nyai Suti bergetar menggigil, seperti terserang demam. Dia tahu, laki-laki setengah baya yang berjalan ke arahnya dan diiringi empat orang bertubuh tinggi tegap berotot itu adalah Kepala Desa Tampuk ini. Dan dialah yang memerintahkan untuk memasung Nini Angki. Mereka berhenti berjalan setelah dekat dengan Nyai Suti. Sedangkan perempuan tua bertubuh kurus kering itu hanya menundukkan kepala saja. Tubuhnya yang sudah bungkuk, semakin terlihat terbungkuk.
"Apa yang kau lakukan di sana, Nyai?" Tanya Ki Rampak sambil menunjuk gubuk kecil, tempat Nini Angki dipasung.
"Aku..., aku hanya memberi makanan saja," sahut Nyai Suti tergagap.
"Sudah berapa kali kuperingatkan, Nyai. Jangan lagi memberi makanan padanya!" bentak Ki Rampak kasar.
“Tapi...."
"Diam...!" bentak Ki Rampak lantang.
Nyai Suti seketika terdiam. Sementara tubuhnya jadi semakin keras menggigil ketakutan. Memang sudah berulang kali kepala desa itu memergoki Nyai Suti yang datang mengunjungi Nini Angki. Terlebih lagi memberi makanan pada gadis pasungan itu. Padahal, hal itu adalah larangan. Tapi entah kenapa, Nyai Suti tidak pernah mengindahkan larangan itu. Dan setiap hari, perempuan tua ini selalu datang memberi makanan pada gadis pasungan itu.
"Dengar, Nyai ini peringatanku yang terakhir. Kalau kau masih saja suka memberi makanan padanya, aku tidak segan-segan memberi hukuman yang berat padamu," ancam Ki Rampak.
Nyai Suti hanya bisa diam membisu saja, tidak berani lagi membuka suara. Sementara, Ki Rampak sudah melangkah pergi diikuti empat orang pengawalnya. Nyai Suti masih tetap diam memandangi kepergian kepala desa itu. Dan dia baru melangkah pergi setelah Ki Rampak tidak terlihat lagi. Ayunan kakinya begitu perlahan dan tertatih. Kepalanya juga terus tertunduk, mengikuti ayunan langkah kakinya yang perlahan.
Langkah perempuan tua itu baru terhenti setelah tiba di depan rumahnya yang kecil dan kumuh. Perlahan kepalanya terangkat naik. Dan pandangannya langsung tertumbuk pada seorang laki-laki tua renta yang tengah menggosok-gosok mata cangkul. Di adalah Ki Sampar, suami Nyai Suti. Laki-laki tua renta yang sudah berusia delapan puluh tahun itu menghentikan pekerjaannya. Langsung dipandangnya Nyai Suti yang berdiri saja mematung memandanginya.
"Tadi kulihat Ki Rampak lewat sini. Kau bertemu dengannya, Nyai?" Ujar Ki Sampar dengan suara bergetar, karena termakan usia.
Nyai Suti tidak menyahut, tapi melangkah menghampiri. Tubuhnya segera dihenyakkan di samping suaminya. Wajahnya masih kelihatan murung. Pandangannya begitu kosong, menatap lurus ke depan, bagai tidak lagi memiliki gairah hidup. Sedangkan Ki Sampar memandanginya dengan kening semakin banyak berkerut Dia tahu, apa yang telah terjadi pada istrinya.
"Aku sudah katakan padamu, Nyai. Tidak ada gunanya berbelas kasih pada Nini Angki. Semua orang jadi membenci dia. Bahkan anak-anak kita sendiri tidak ada lagi yang sudi datang. Sudahlah, Nyai.... Tidak perlu lagi ke sana, walau hanya mengantarkan makanan saja," kata Ki Sampar lembut.
"Aku kasihan melihatnya, Ki. Dia sudah hidup sebatang kara, bahkan sekarang harus menjalani pasungan," ujar Nyai Suti lirih.
"Aku tahu, Nyai. Kita boleh saja kasihan pada orang lain. Tapi, rasa kasihan itu jangan sampai membuat kita sendiri jadi sengsara. Sudah hidup kita susah, malah sekarang dibenci orang. Semua itu hanya karena kau sering datang memberi makanan pada Nini Angki," kata Ki Sampar, bernada menyesali perbuatan istrinya.
Nyai Suti hanya diam saja. Memang sulit berbuat baik pada seseorang. Dan terkadang, orang lain tidak mau mengerti terhadap perbuatan baik yang dilakukan. Orang biasanya hanya melihat dari luar saja, tidak mau melihat jauh ke dalam. Dan Ki Sampar sudah tidak kuat lagi menghadapi sikap semua orang di Desa Tampuk ini.
"Sudah kau masuk sana, Nyai. Sudah siang, apa kau tidak mau lagi menyediakan makan buat ku...?" Kata Ki Sampar lagi.
Nyai Suti bangkit berdiri tanpa berkata apa-apa lagi. Dia melangkah masuk ke dalam rumahnya kecil dan sudah hampir rubuh ini. Sementara, Ki Sampar meneruskan pekerjaannya, menajamkan mata cangkul. Sekilas matanya masih melirik istrinya sebelum menghilang ke dalam rumah. Dia hanya bisa menghembuskan napas panjang, sambil menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
********************
Waktu terus bergulir, tetap sejalan dengan peredaran matahari yang mengelilingi bumi. Siang yang begitu terik pun berganti malam. Seluruh Desa Tampuk sudah terselimut kegelapan malam yang begitu pekat. Tak terlihat satu pun bintang di langit yang menghitam kelam. Dan suasana malam ini terasa begitu lain dari biasanya. Angin pun seakan-akan enggan berhembus, membuat udara malam ini terasa begitu panas!
Tepat tengah malam, terlihat sesosok tubuh berkelebat cepat dari satu rumah ke rumah Iain. Gerakannya begitu cepat dan ringan, hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun juga. Sosok tubuh itu berhenti bergerak. Bahkan langsung cepat menyelinap ke balik sebatang pohon yang sangat besar di pinggir jalan, ketika terlihat dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap berjalan sambil berbicara dari arah depan. Mereka adalah dua orang pengawal Ki Rampak
"Panas sekali malam ini, Kakang Tarik," ujar salah seorang.
"Benar! Tidak seperti biasanya," sahut orang yang bernama Tarik.
"Sebaiknya kita istirahat saja dulu di bawah pohon itu, Adi Carwa."
Orang yang dipanggil Carwa melirik ke arah pohon di pinggir jalan yang ditunjuk Tarik. Kemudian, kepalanya terangguk. Tampaknya dia menyetujui ajakan itu. Mereka terus melangkah mendekati pohon yang cukup besar, berdaun lebat dan rimbun sekali. Tapi, sedikit pun tak terlihat adanya gerakan pada daun-daun pohon itu. Memang, kelihatannya tidak terasa ada angin berhembus.
"Uh...!" Carwa mengeluh pendek begitu duduk di atas akar yang menyembul keluar dari dalam tanah.
"Kenapa kau mengeluh, Carwa?" tegur Tarik.
"Aku merasa tidak enak malam ini, Kakang," sahut Carwa seraya mendesah pendek.
"Ada yang kau pikirkan, Carwa?" Tanya Tarik ingin tahu.
"Entahlah...," desah Carwa.
Kening Tarik jadi berkerut melihat Carwa tampak begitu gelisah. Dan duduknya juga tidak tenang, seperti berada di atas bara api yang setiap saat bisa saja membakar sampai jadi arang. Mereka terdiam dan tidak bicara lagi sedikit pun juga. Perlahan Carwa bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Tarik jadi ikut berdiri, dan terus memandanginya dengan kelopak mata agak menyipit.
"Ayo kita pulang saja, Kakang. Perasaan ku semakin tidak enak saja," ajak Carwa.
"Baiklah," sahut Tarik, sedikit mendesah.
Tapi baru saja mereka akan melangkah meninggalkan pohon di pinggir jalan itu, mendadak...
Slap!
"Heh...?!"
“Hah...?!"
Kedua orang pengawal kepala desa itu jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan dari balik pohon. Begitu cepatnya berkelebat, tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seseorang yang membuat kedua bola mata jadi terbeliak lebar.
"Kau...?!" tersekat suara Carwa. Tapi belum juga mereka bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba saja orang itu sudah bergerak begitu cepat. Tapi kedua pengawal kepala desa itu cepat menyadari. Maka, mereka langsung berlompatan menyebar menghindari serangan cepat itu.
"Hiyaaa...!" Baru saja Carwa menjejakkan kakinya di tanah, orang aneh itu sudah kembali bergerak begitu cepat bagai kilat Pada saat itu, terlihat kilatan cahaya keperakan berkelebatan begitu cepat ke arah leher laki-laki bertubuh tegap berotot ini. Begitu cepatnya, hingga Carwa tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi rasa terkejut dan keseimbangan tubuhnya belum bisa dikuasainya. Sehingga....
Crasss! "Aaakh...!"
Carwa menjerit melengking. Carwa langsung jatuh menggelepar dengan leher terbabat hampir buntung. Darah langsung menyembur deras sekali dari lehernya yang menganga lebar hampir buntung. Hanya sebentar saja Carwa mampu bergerak menggelepar seperti ayam disembelih, sesaat kemudian sudah mengejang kaku. Lalu, dia diam tak bergerak-gerak lagi. Mati.
"Carwa...," desis Tarik tertahan. Namun pada saat yang sama, orang aneh itu sudah bergerak cepat memutar tubuhnya. Dan kembali, kilatan cahaya keperakan terlihat berkelebat begitu cepat, bersamaan dengan gerakan tangan kanannya.
"Heh...?! Utts!"
Cepat-cepat Tarik melompat ke belakang, menghindari serangan yang begitu cepat bagai kilat. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejak tanah. Hanya sedikit saja suara yang ditimbulkannya. Tapi baru saja bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, satu serangan cepat bagai kilat sudah kembali meluruk ke arahnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat Tarik melenting ke udara, dan kembali berputaran beberapa kali. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang aneh itu melesat cepat mengejarnya. Dan pada saat yang sama, tangan kanannya kembali dikibaskan, yang kemudian disusul cahaya kilat keperakan yang berkelebat begitu cepat mengarah ke dada laki-laki bertubuh tinggi tegap itu. Begitu cepatnya serangan orang aneh ini, sehingga membuat Tarik yang berada di udara tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Bret "Akh...!” Begkh!
Satu tendangan yang begitu keras, membuat tubuh Tarik terbanting ke tanah. Darah terlihat muncrat keluar dari dadanya yang terbelah, seperti tersabet pedang. Namun, Tarik masih bisa bangkit berdiri, meskipun terhuyung. Darah semakin banyak mengucur dari dadanya yang terbelah cukup lebar itu.
"Yeaaah...!"
Belum juga Tarik bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, orang aneh itu sudah meluruk lagi dengan kecepatan begitu luar biasa. Sementara, Tarik hanya bisa terbeliak lebar, dengan mulut tern-ganga.
Bet! Cras! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tampak Tarik terpaku diam, kemudian limbung beberapa saat. Dan tanpa dapat dicegah lagi, dia jatuh terguling dengan kepala terpisah dari leher. Seketika itu juga, darah menyembur deras sekali dari lehernya yang buntung tak berkepala lagi.
Sementara, orang aneh itu berdiri tegak meman-dangi. Sebentar kemudian, tubuhnya melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, hingga hanya sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi bayangannya. Dan pada saat itu juga, tampak rumah-rumah di sekitar jalan itu menyalakan lampunya. Dan tak lama, terlihat penduduk Desa Tampuk bermunculan dari dalam rumah masing-masing. Suara pertarungan yang hanya sebentar itu, sudah membuat semua penduduk yang tengah tertidur lelap jadi terbangun. Dan mereka bermunculan hendak mengetahui keributan yang terjadi hanya beberapa saat itu. Tapi begitu mengetahui ada dua orang yang tergeletak di tengah jalan, tidak ada seorang pun yang menghampiri. Terlebih lagi setelah tahu, siapa yang tergeletak di tengah jalan dengan darah berhamburan. Sementara tidak jauh dari jalan itu, terlihat Nyai Suti dan suaminya juga keluar dari dalam rumahnya. Terlebih lagi, pertarungan itu memang tidak jauh di depan rumah mereka. Maka tentu saja mereka berdua yang lebih jelas melihat dua orang pengawal kepala desa itu tergeletak tak bernyawa dengan keadaan begitu mengerikan.
"Malapetaka apa lagi ini...?" desah Ki Sampar, bernada seperti bertanya pada diri sendiri.
"Rupanya Sang Hyang Widi sudah memperlihatkan kebesarannya," gumam Nyai Suti perlahan, seakan bicara untuk diri sendiri. Suami istri berusia lanjut itu kembali masuk ke dalam rumahnya. Sementara, tak ada seorang pun yang berani mendekati dua pengawal kepala desa yang sudah tidak bernyawa lagi. Mereka juga satu persatu kembali masuk ke dalam rumah, dan hanya memperhatikan saja dari balik jendela. Entah kenapa, mereka jadi begitu takut untuk mendekat.
********************
DUA
Kematian dua orang pengawal Ki Rampak, membuat Desa Tampuk jadi gempar. Tapi, tak ada seorang pun yang berani membicarakannya. Dan kalaupun membicarakan, selalu dengan sikap hati-hati sekali, seakan-akan takut ada orang lain yang mendengar. Tapi, di antara penduduk desa itu hanya Nyai Suti yang kelihatan gembira atas kematian dua orang pengawal Kepala Desa Tampuk.
"Biar manusia-manusia durjana itu mampus semua!" dengus Nyai Suti.
"Jangan sembarangan kalau bicara, Nyai," tegur Ki Sampar.
"Sudah lama aku berharap agar ada orang yang membunuh orang-orang durhaka itu," Cetus Nyai Suti lagi.
"Sudah, Nyai. Bisa celaka kalau ada orang yang mendengar."
"Biar saja. Mereka semua pengecut! Sudah tahu hidup tertindas, tapi tidak juga bertindak apa-apa.
Huh! Kalau saja aku masih muda, sudah ku obrak-abrik manusia-manusia iblis itu," dengus Nyai Suti, meluapkan semua ganjalan yang selama ini tertekan dalam hatinya.
Sedangkan Ki Sampar hanya menggeleng-geleng saja. Bisa dimaklumi tumpahan isi hati istrinya. Dan memang di dalam hatinya sendiri dia juga senang kalau ada orang yang bisa mengikis habis kezaliman yang ada di Desa Tampuk. Kepala desa ini memang hidup seperti raja kecil saja. Segala perkataannya merupakan sebuah peraturan yang tidak bisa dibantah sedikit pun juga. Bukan hanya pasangan suami istri berusia lanjut ini saja yang pernah merasakan kezaliman Ki Rampak. Bahkan, semua penduduk Desa Tampuk ini sudah merasakannya.
Tapi memang, tak ada seorang pun yang berani menentangnya. Apalagi, Ki Rampak selalu dikelilingi empat orang pengawalnya yang tidak segan-segan menurunkan tangan kejam. Buktinya sekarang, sudah dua orang yang tewas dalam semalam. Tapi, Itu bukan berarti kekuatan Ki Rampak sudah berkurang banyak. Memang masih ada pengawal-pengawal lain yang tidak kalah dinginnya daripada empat orang pengawal utamanya itu.
Apalagi, telah bertahun-tahun Ki Rampak ditumpangi hidup oleh adiknya yang sudah malang melintang dalam rimba persilatan. Dan semua orang di Desa Tampuk sudah mengenalnya. Bukan hanya kepandaiannya saja yang tinggi, tapi juga ke-kejamannya tidak kalah dibanding Ki Rampak. Adik kepala desa itu biasa dipanggil dengan nama Ki Gagak Bulang.
"Aku akan ke ladang dulu, Nyai," kata Ki Sampar memutuskan lamunannya.
Laki-laki tua itu bergegas melangkah keluar dari rumahnya. Dia tidak ingin istrinya terus mengoceh, menumpahkan ganjalan dalam dadanya yang sudah lama ditahannya. Perasaan itu paling tidak sudah ditahan selama Ki Rampak menguasai desa ini dan mengangkat dirinya sendiri menjadi kepala desa. Tanpa menunggu jawaban istrinya lagi, Ki Sampar terus saja melangkah meninggalkan rumahnya.
Sementara, Nyai Suti juga bergegas membungkus makanan. Dan tak lama kemudian laki-laki tua itu sudah keluar dari rumahnya. Langkahnya tampak tertatih, dengan tubuh terbungkuk. Walaupun sudah begitu renta, tapi jalannya tanpa bantuan tongkat sebatang pun juga. Nyai Suti terus berjalan tertatih-tatih menuju gubuk kecil yang tidak jauh dari rumahnya. Letaknya di pinggir jalan membelah Desa Tampuk ini. Beberapa orang yang melihatnya kelihatan tidak ambil peduli. Dan bahkan mereka seperti tidak sudi melihat perempuan tua renta yang sudah memasuki gubuk kecil itu.
"Kau sudah dengar apa yang terjadi semalam, Angki...?" Tanya Nyai Suti begitu duduk di depan gadis muda yang terpasung kedua kakinya.
Sedangkan Nini Angki hanya diam saja sambil memandangi. Diambilnya bungkusan daun waru yang dibawa Nyai Suti, lalu dibukanya perlahan-lahan. Tanpa disuruh lagi, dilahapnya makanan yang dibungkus daun waru itu. Nyai Suti tersenyum, dan menuangkan air dari kendi tanah liat ke dalam gelas bambu yang kasar buatannya. Lalu di-letakkannya gelas bambu itu ke atas balok yang membelenggu kedua kaki Nini Angki.
"Dua orang pengawal Ki Rampak dibunuh orang semalam," kata Nyai Suti melanjutkan.
Nini Angki menghentikan makannya. Di tatapnya perempuan tua itu dalam-dalam. Tapi, sorot matanya terlihat begitu kosong. Tak berapa lama, kembali, dinikmati makan tanpa berbicara sedikit pun juga. Sedangkan Nyai Suti tidak bicara lagi, dan terus memperhatikan perempuan terpasung yang tengah menikmati makanan.
"Kalau mereka sudah habis, kau pasti akan bebas, Nini," kata Nyai Suti lagi.
"Tidak ada seorang pun yang akan membebaskan aku, Nyai. Kecuali diriku sendiri," ujar Nini Angki datar.
"Ah! Jangan dihiraukan orang lain. Aku yakin, tidak lama lagi kau pasti akan bebas," hibur Nyai Suti membesarkan hati gadis ini.
Tapi, Nini Angki hanya tersenyum kecil. Dilemparkannya daun waru bekas bungkusan makanannya begitu saja. Kemudian diambilnya gelas bambu dan isinya diteguk sampai tandas tak bersisa lagi. Nyai Suti menambahkan lagi air bening ke dalam gelas yang sudah kosong itu. Sementara bibirnya yang keriput tetap menyunggingkan senyum. Entah kenapa, sejak tadi perempuan tua itu selalu tersenyum. Mungkin hatinya gembira melihat dua orang pengawal Ki Rampak mati terbunuh semalam. Bahkan peringatan Ki Rampak tidak dipedulikannya lagi. Dia benar-benar sudah nekat.
"Nyai! Sebaiknya kau tidak perlu lagi datang ke sini. Aku tidak ingin kau mendapat kesulitan. Lagi pula, semua orang di desa ini jadi membenci mu," kata Nini Angki pelan.
"Biarkan mereka membenci ku, Nini. Mereka pasti akan mendapat ganjarannya, karena telah memasung mu," sahut Nyai Suti tegas.
"Aku tetap akan mengunjungimu."
"Nyai.... Apa kau tidak ingat, kenapa aku sampai dipasung begini...?"
"Aku tahu. Tapi aku yakin, kau tidak bersalah. Dan bukan kau yang melakukannya, Nini. Dan kau Juga tidak gila. Hanya mereka saja yang menganggapmu gila, Nini„" sahut Nyai Suti tetap tegas nada suaranya.
Nini Angki tersenyum tipis. Begitu hambar senyumannya. Kepalanya yang ditumbuhi rambut panjang teriap tak teratur, bergerak menggeleng beberapa kali. Nyai Suti melihat adanya kesenduan dalam bola mata yang lesu tanpa gairah hidup lagi itu.
Beberapa saat mereka terdiam tak berbicara sedikit pun juga. Dan beberapa kali pula sorot mata mereka bertemu. Sementara, matahari terus beranjak naik semakin tinggi. Sinarnya yang terik, menerobos masuk melalui lubang yang begitu banyak terdapat di dinding dan atap gubuk ini. Nyai Suti beranjak bangkit berdiri Didekatkannya kendi tanah liat ke samping sebelah kiri Nini Angki
"Aku pulang dulu, Nini," pamit Nyai Suti.
"Terima kasih, Nyai," ucap Nini Angki perlahan.
"Tidak lama lagi, kau pasti bebas Nini, percayalah padaku," kata Nyai Suti mantap.
Nini Angki hanya tersenyum saja. Masih terlihat hambar sekali senyumannya. Sementara, Nyai Suti sudah melangkah keluar dari dalam gubuk pasungan ini. Tapi baru saja mencapai pintu, Nini Angki sudah memanggilnya. Nyai Suti segera memutar tubuhnya berbalik.
"Ada apa, Nini?" Tanya Nyai Suti lembut, seperti seorang ibu pada anak gadisnya yang manja.
"Nyai, boleh aku minta sesuatu pada mu...?"
"Katakan saja. Apa yang kau minta, mudah-mudahan bisa ku turuti."
“Tolong Bawakan selembar kain hitam, Nyai?” pinta Nini Angki.
"Kain hitam...? Untuk apa, Nini?"
"Udara di sini terlalu dingin. Barangkali saja bisa sedikit menghangatkan tubuhku, Nyai.”
"Bagaimana kalau ku buatkan baju saja, Nini? Biar kau bisa memakainya," usul Nyai Suti.
"Itu juga boleh. Tapi aku minta yang berwarna hitam. Kalau kau tidak keberatan, Nyai."
"Nanti sore akan ku bawakan. Kebetulan siang ini ada pasaran, jadi aku bisa membelikan baju buatmu," kata Nyai Suti
“Terima kasih, Nyai."
Nyai Suti tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Kini dia terus berjalan tertatih-tatih, tidak mempedulikan pandangan orang padanya. Sedangkan dari dalam, Nini Angki terus memandangi punggung perempuan renta itu sampai tak terlihat lagi.
********************
Kematian dua orang pengawalnya, membuat Ki Rampak jadi berang setengah mati. Di perintahkannya semua orang-orangnya yang berjumlah puluhan untuk mencari pembunuh dua orang pengawal kebanggaannya. Dan ini membuat kesengsaraan penduduk Desa Tampuk semakin bertambah. Orang-orang Ki Rampak sudah langsung bertindak kasar dalam mencari pembunuh dua orang pengawal kepala desa itu.
Mereka tidak segan-segan menjatuhkan tangan, hanya untuk mencari keterangan saja. Tapi, memang tidak ada seorang penduduk pun yang tahu siapa orangnya. Hingga sampai malam, tidak ada suatu keterangan pun yang diperoleh. Dan ini membuat Ki Rampak semakin bertambah berang. Sementara, adiknya yang baru datang kemarin dari pengembaraannya, sudah berulangkali mencoba menyabarkan. Malam ini juga, Ki Rampak memerintahkan semua orang-orangnya untuk meronda, kalau-kalau pembunuh aneh itu muncul lagi.
"Kau tidak bisa mencari dengan cara seperti ini, Kakang," sergah Ki Gagak Bulang, mengingatkan.
"Huh! Aku ingin kepala si keparat itu!" dengus Ki Rampak.
Ki Rampak bangkit berdiri dari kursi rotan di beranda depan rumahnya yang besar ini. Tapi baru saja bisa menegakkan tubuhnya, mendadak saja terlihat secercah cahaya keperakan meluruk deras ke arahnya.
"Utfs!" Cepat-cepat Ki Rampak memiringkan tubuhnya, menghindari terjangan benda bercahaya keperakan itu. Maka, benda itu lewat sedikit saja di samping dadanya yang miring dan langsung menghantam dinding kayu rumahnya.
"Hup!" Cepat-cepat Ki Rampak melompat keluar dari depan rumahnya. Begitu cepat dan ringan gerakannya, tahu-tahu dia sudah berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya yang luas. Tapi, tak ada seorang pun berjaga malam.
Sementara, Ki Gagak Bulang melompat cepat dari kursinya, menghampiri benda berwarna keperakan yang menancap cukup dalam di dinding papan rumahnya.
"Hih!" Ki Gagak Bulang terpaksa harus mengerahkan tenaga dalam untuk bisa mencabut sebuah benda berbentuk bintang dari bahan perak. Sebentar diperhatikan, kemudian bergegas dihampirinya Ki Rampak yang berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan berkeliling, di tengah-tengah halaman rumahnya. Ki Gagak Bulang langsung menunjukkan bintang perak yang dicabutnya dari dinding. Tapi, Ki Rampak hanya melirik saja sedikit pada benda yang berada di telapak tangan adiknya.
"Kau kenal benda ini, Kakang?" Tanya Ki Gagak Bulang.
"Tidak," sahut Ki Rampak.
"Benda ini jelas ditujukan padamu, Kakang," terdengar agak menggumam suara Ki Gagak Bulang, seakan-akan bicara untuk diri sendiri.
"Hhh! Rupanya dia sudah ingin main-main denganku!" dengus Ki Rampak kesal.
"Kau harus hati-hati, Kakang. Aku yakin, dia mengirimkannya sebagai peringatan untukmu," kata Ki Gagak Bulang.
"Huh. Dia harus mampus di tanganku!" Dengus Ki Rampak. Sambil menghentakkan kakinya, Ki Rampak kembali masuk ke dalam beranda depan rumahnya.
Sementara, Ki Gagak Bulang memperhatikan sebentar, kemudian melangkah mengikuti. Begitu sampai, tubuhnya dihempaskan di kursi yang tadi didudukinya. Sedangkan Ki Rampak sudah sejak tadi duduk di kursinya kembali. Raut wajah kepala desa itu kelihatan menegang dan merah bagai kepiting rebus dalam kuali. Ki Rampak merebut bintang perak dari tangan adiknya. Kemudian diperhatikannya benda itu dengan seksama.
Setelah puas membolak-balik bintang perak itu, lalu diletakkan ke atas meja di depannya. Hanya sebuah benda biasa yang berbentuk bintang. Sedikit pun tak terasa adanya racun atau sesuatu yang bisa berbahaya. Ki Rampak menghembuskan napas yang panjang dan terasa berat.
Namun baru saja dia bisa merasa sedikit tenang, tiba-tiba saja....
"Aaa...!"
"Heh...?! Apa lagi itu...?" sentak Ki Rampak terkejut.
"Hup?" Sedangkan Ki Gagak Bulang sudah melompat cepat meninggalkan beranda. Ki Rampak bergegas mengikuti ke arah sumber jeritan melengking yang terdengar begitu mengejutkan tadi. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, sehingga bisa melesat begitu cepat. Hingga dalam sekejapan mata saja, mereka sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya, lenyap tertelan kegelapan malam yang begitu pekat. Sedikit pun tidak diterangi bintang maupun bulan.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Kakak beradik itu terus berlompatan beberapa kali. Hingga akhirnya, mereka berhenti setelah tiba di dekat pagar tembok yang mengelilingi rumah ini di bagian belakang. Kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar, begitu melihat empat orang yang menjaga bagian belakang rumah ini sudah tergeletak tak bernyawa dengan leher terbabat hampir buntung. Darah masih terlihat mengalir keluar dari luka menganga di leher.
"Keparat..!" desis Ki Rampak geram.
********************
Hari terus berjalan terasa lambat. Satu pekan sudah Desa Tampuk dihantui orang penuh teka-teki yang membantai orang-orang Ki Rampak. Satu persatu para pengawal kepala desa itu dibunuh secara gelap. Dan tentu saja hal ini membuat mereka jadi dicekam rasa takut, karena pembunuh itu selalu muncul secara diam-diam. Dan setiap hari dalam kemunculannya, selalu saja ada yang tewas.
Kejadian ini tentu saja membuat penduduk Desa Tampuk merasa senang, tapi juga khawatir oleh keadaan yang semakin memanas. Mereka senang, karena rasa sakit hati bisa terbalas, walaupun dengan tangan orang lain. Tapi mereka juga khawatir kalau-kalau Ki Rampak jadi membabi buta, karena telah kehilangan banyak anak buahnya. Dan kegembiraan ini hanya tersimpan di dalam hati.
Tak ada seorang pun yang berani mengungkapkannya, kecuali Nyai Suti. Perempuan tua itu seperti tidak peduli. Bahkan terang-terangan menyatakan kegembiraannya atas munculnya pembunuh gelap itu. Dan tentu saja hal ini membuat Ki Rampak merasa curiga. Maka diutuslah orang-orangnya untuk menangkap Nyai Suti.
"Lepaskan! Kenapa kalian menangkapku, heh...?” bentak Nyai Suti terus memberontak, tidak senang diperlakukan kasar begini.
Tapi, orang-orang suruhan Ki Rampak tidak ambil peduli. Mereka terus saja menyeret perempuan tua itu dengan tambang yang diikatkan di kedua tangannya. Nyai Suti terus berteriak-teriak sambil berusaha memberontak, mencoba melepaskan diri dari belenggu tambang yang mengikat kedua tangannya. Tapi, ikatan tambang itu demikian kuat. Maka, tentu saja tenaga tuanya sama sekali tidak mampu melepaskannya.
Sedangkan Ki Sampar tidak bisa berbuat apa-apa. Laki-laki tua itu hanya bisa mengelus dadanya yang kerempeng, sambil meratapi kemalangan istrinya. Dengan mata berkaca-kaca, dia memandangi istrinya yang terus diseret tanpa ampun oleh orang-orang suruhan Ki Rampak. Sementara penduduk desa yang menyaksikan juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk menolong. Mereka hanya bisa memandangi dengan hati trenyuh. Tampak Nyai Suti jatuh bangun, terseret di tengah jalan yang berdebu membelah Desa Tampuk ini. Tapi belum juga jauh Nyai Suti diseret dari rumahnya, tiba-tiba saja....
Wus! Bet! Tas...!
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Semua orang yang melihat, seketika jadi terpana bengong. Begitu cepat sekali, tahu-tahu sebuah bayangan hitam berkelebat dan langsung memutuskan tambang yang mengikat kedua tangan Nyai Suti. Dan sebelum ada yang bisa menyadari lebih jauh lagi, mendadak bayangan hitam itu kembali berkelebat begitu cepat, disertai kilatan cahaya keperakan yang melesat cepat bagai kilat. Dan....
"Aaa...!"
"Akh...!"
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, seketika terdengar begitu menyayat saling sambut. Tampak enam orang yang menyeret Nyai Suti, seketika bertumbangan ambruk dengan leher terbabat hampir buntung. Darah langsung berhamburan membasahi Jalan tanah yang berdebu.
Sementara, Nyai Suti sudah tergeletak tak sadarkan diri. Dan belum Juga ada yang sempat menyadari, sosok tubuh hitam itu bergerak cepat menyambar Nyai Suti, lalu bagaikan kilat melesat pergi. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Tinggallah kini enam orang suruhan Ki Rampak yang bergelimpangan berlumuran darah dari lehernya. Mati.
Begitu cepatnya kejadian itu, hingga tak ada seorang pun yang sempat memperhatikan, siapa orang berpakaian serba hitam yang gerakannya begitu cepat bagai kilat. Bahkan enam orang suruhan Ki Rampak yang rata-rata berkepandaian lumayan tidak mampu berbuat apa pun Juga. Dan mereka langsung tewas dengan leher terbabat hampir buntung.
Saat itu juga, semua orang yang tadi berada di sepanjang pinggir Jalan langsung berhamburan bubar. Dan sebentar saja, Jalan Desa Tampuk itu Jadi sunyi lengang, tak terlihat seorang pun di sana lagi.
"Nyai...," desis Ki Sampar tanpa sadar. Laki-laki tua itu masih tetap berdiri terpaku, memandang kosong ke depan seperti tengah bermimpi. Istrinya yang tadi diseret kasar, kini sudah lenyap disambar sosok tubuh serba hitam yang muncul begitu tiba-tiba.
"Oh...! Aku harus cepat pergi dari desa ini," desah Ki Sampar begitu tersadar. Bergegas laki-laki tua itu memutar tubuhnya berbalik, dan setengah berlari masuk ke dalam rumah.
Sementara, keadaan di desa itu jadi sepi lengang, tak terlihat seorang pun di luar. Enam orang suruhan Ki Rampak masih terlihat bergelimpangan di tengah Jalan. Darah masih terlihat mengucur dari leher-leher yang terbabat hampir buntung. Saat itu, Ki Sampar terlihat keluar dari dalam rumahnya. Dengan langkah tergesa-gesa, ditinggalkannya rumah gubuk reyotnya. Sedikit pun kepalanya tidak berpaling ke belakang, dan terus berjalan secepat kemampuan untuk meninggalkan Desa Tampuk ini.
********************
TIGA
"Keparat! Cari orang tua itu! Bawa kepalanya padaku....'" geram Ki Rampak Wajah Ki Rampak memerah, dan bola matanya terlihat berapi-api.
Dia begitu marah mendengar enam orang suruhannya tewas, dan Nyai Suti menghilang tanpa jejak. Sedangkan Ki Sampar juga hilang melarikan diri. Kemarahannya begitu memuncak, hingga semua orangnya diperintahkan untuk mencari suami istri lanjut usia itu. Bahkan diperitahkannya pula untuk membunuh mereka di tempat.
"Kumpulkan semua orang ke sini!" perintah Ki Rampak lantang menggelegar.
"Untuk apa Kakang?" selak Ki Gagak Bulang bertanya.
"Huh! Mereka semua harus bertanggung jawab. Mereka pasti sekongkol ingin menjatuhkan kedudukanku!" dengus Ki Rampak masih diliputi kegeraman yang memuncak.
"Kau tidak bisa menimpakan kemarahan mu pada penduduk desa ini, Kakang. Dan lagi, belum tentu mereka terlibat langsung. Sebaiknya, pusatkan saja perhatianmu pada dua orang itu. Terutama, si pembunuh aneh itu," kata ki Gagak Bulang, mencoba meredakan amarah Ki Rampak yang meluap-luap, dan sudah mencapai titik kepalanya.
"Huh!" Ki Rampak hanya mendengus saja sambil menyemburkan ludahnya. Sementara, semua orang yang diperintah langsung mengerjakan perintahnya. Mereka menggeledah semua rumah yang ada di Desa Tampuk ini, dan mengumpulkan semua penduduk secara paksa di depan halaman rumah kepala desa itu.
Sementara, Ki Rampak dengan angkernya berdiri tegak di tangga atas beranda rumahnya. Matanya yang memerah terlihat begitu tajam mengerikan, merayapi orang yang semakin banyak berkumpul di halaman yang luas ini. Tak ada seorang pun penduduk Desa Tampuk pun yang berani mengangkat kepalanya. Terlebih lagi, menentang sorot mata Ki Rampak yang begitu tajam berwarna merah bagai sepasang biji saga.
Meskipun banyak orang, tapi suasananya begitu sunyi mencekam. Seorang pun tak ada yang membuka suara. Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat bagai kilat. Tahu-tahu, di atas atap rumah kepala desa itu sudah berdiri seseorang bertubuh ramping, dengan seluruh tubuh terselubung pakaian berwarna hitam pekat. Seluruh kepalanya juga tertutup kain hitam, kecuali bagian matanya yang terlihat. Seketika, suasana yang sunyi senyap jadi gaduh oleh gumaman-gumaman orang-orang yang memadati halaman depan rumah kepala desa itu.
"Pengecut! Bukan begitu seharusnya cara seorang ksatria!" Terasa begitu dingin nada suara orang berbaju serba hitam itu.
Tapi dari nada suaranya, jelas bisa di ketahui kalau dia seorang wanita. Hanya saja, sulit diketahui orangnya, karena seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain berwarna hitam pekat. Hanya matanya saja yang terlihat dari dua lubang pada kain hitam selubung kepala itu.
"Setan keparat..!" desis Ki Rampak geram.
"Tangkap dia...!"
"Hiyaaa...!"
“Yeaaah...!"
Belum lagi lenyap teriakan perintah Ki Rampak, dua orang pemuda langsung melompat naik ke atas atap sambil mencabut goloknya. Ringan sekali gerakan mereka, pertanda memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi belum juga kedua pemuda tadi sampai di atas atap, wanita berbaju hitam itu sudah mengebutkan tangan kanannya dua kali dengan kecepatan yang begitu tinggi.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Seketika itu juga, terlihat dua benda bercahaya keperakan melesat cepat bagai kilat ke arah dua orang pemuda tadi. Begitu cepatnya melesat, sehingga kedua pemuda yang tengah meluncur ke atas atap tidak sempat menghindar. Dan....
Crab! Bres!
"Akh...!"
"Aaa...!"
Tak pelak lagi, mereka jatuh begitu dadanya tertembus benda-benda berbentuk bintang berwarna keperakan. Keras sekali mereka jatuh menghantam tanah, dan langsung tewas seketika itu juga. Pada saat itu, semua penduduk yang berkumpul di halaman depan rumah ki Rampak langsung berhamburan menyelamatkan diri masing-masing.
Kegaduhan langsung terjadi saat itu juga. Tak ada seorang pun dari penduduk yang mau ikut campur dalam urusan ini. Dan mereka lebih baik cepat pergi menyelamatkan diri, daripada harus menjadi korban. Maka sebentar saja, sudah tidak terlihat seorang penduduk pun di halaman depan rumah kepala desa itu. Tinggal Ki Rampak dan adiknya, serta puluhan orang pengikutnya yang masih berada di halaman luas bagai sebuah padang rumput di tengah desa ini.
"Hup!"
Slap...!
Tiba-tiba saja wanita berbaju serba hitam itu melesat cepat bagai kilat. Hingga dalam sekejap mata saja, sudah lenyap tak terlihat lagi. Tapi, Ki Rampak masih sempat melihat arah kepergian wanita aneh itu.
"Kejar dia ke Selatan...!" seru Ki Rampak lantang menggelegar.
Tanpa menunggu perintah dua kali, semua pengikut Ki Rampak yang berjumlah puluhan itu langsung berlarian menuju ke arah Selatan. Sementara, Ki Rampak sendiri bergegas melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon. Ki Gagak Bulang segera mengikuti kepala desa yang juga kakaknya itu. Sebentar kemudian, mereka sudah memacu kudanya dengan cepat menuju arah Selatan.
"Hiya...!"
“Yeaaah...!"
********************
Ki Rampak dan para pengikutnya menghentikan pengejarannya, setelah tiba di tepi sebuah hutan yang berbatasan langsung dengan Desa Tampuk sebelah Selatan. Ki Rampak langsung memerintahkan orang-orang agar menyebar, memeriksa setiap jengkal hutan ini. Sedangkan dia sendiri menunggu di tepi hutan bersama dua orang pengawal kebanggaannya.
Sementara, Ki Gagak Bulang ikut mencari wanita aneh berbaju serba hitam itu bersama yang lainnya. Bersama enam orang, Ki Gagak Bulang terus menerobos lebih jauh masuk ke dalam hutan. Keadaan hutan yang tidak begitu lebat, membuat ge-rakan mereka lebih leluasa.
"Berhenti dulu," perintah Ki Gagak Bulang.
Enam orang pemuda yang mengikuti segera menghentikan langkahnya. Sementara Ki Gagak Bulang memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan. Pendengarannya yang setajam mata pisau, saat itu mendengar tarikan napas yang halus dan memburu, tidak jauh di sebelah kanan.
"Hup...!"
Cepat sekali Ki Gagak Bulang melompat masuk ke dalam sebuah semak belukar. Dan tak lama kemudian, dia sudah kembali melesat sambil memanggul seseorang di pundaknya. Begitu kakinya menjejak tanah, orang itu segera dijatuhkan dengan keras, hingga terguling beberapa kali. Terdengar pekikan tertahan, disertai keluhan merintih panjang.
"Ki Sampar...," desis Ki Gagak Bulang, begitu mengetahui orang yang ditemukannya di balik semak belukar.
Sementara, laki-laki tua renta yang ternyata memang Ki Sampar tampak gemetar ketakutan. Wajahnya terlihat pucat pasi, dan tubuhnya menggigil seperti terserang demam. Saat itu, enam orang pemuda yang mengikuti Ki Gagak Bulang sudah men-gepung laki-laki tua yang meninggalkan Desa Tampuk, setelah Istrinya dilarikan seseorang ketika sedang diseret paksa oleh para pengikut Ki Rampak.
"Phuih! Cari bawal yang didapat malah teri!" sungut Ki Gagak Bulang kesal, mengetahui yang didapatkan malah Ki Sampar.
"Oh..., ampun..., ampun, Ki. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku sedang mencari kayu bakar," rintih Ki Sampar memelas.
"Diam! Aku tidak tanya!" Bentak Ki Gagak Bulang kesal.
Ki Sampar langsung terdiam. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap sorot mata yang mendelik tajam. Sementara, Ki Gagak Bulang sudah melangkah lebih mendekat lagi. Terdengar gemeletuk gerahamnya karena menahan geram. Dia memang sudah tidak bisa lagi menahan kesabarannya, atas semua yang telah terjadi terhadap kakaknya yang telah dibuat malu di depan orang banyak
"Bangun," terasa dingin sekali suara Ki Gagak Bulang.
"Oh, Ki...."
"Bangun kataku, cepat..!" bentak Ki Gagak Bulang kasar. Dengan tubuh menggeletar ketakutan, Ki Sampar beranjak bangun perlahan-lahan. Tapi belum juga bisa berdiri dengan sempurna, mendadak saja....
"Hih!"
Bek!
"Aduh...!"
Ki Sampar mengeluh, begitu tiba-tiba satu pukulan keras mendarat telak di dadanya. Seketika itu juga, tubuh yang kurus kering itu terpental jatuh ke tanah. Nafasnya yang sejak tadi sudah tersendat, semakin tersengal setelah menerima pukulan keras tadi. Meskipun, tidak disertai pengerahan tenaga dalam.
"Bangun...!" desis Ki Gagak Bulang dingin.
"Ugkh...!" Ki Sampar melenguh, merasakan sakit yang amat sangat pada dadanya. Tapi, dia tetap berusaha bangkit berdiri Kembali.
Ki Gagak Bulang memberi satu pukulan keras ke perut laki-laki tua renta itu, sehingga tubuhnya jadi terbungkuk. Pada saat itu, satu pukulan lagi mendarat di wajahnya. Akibatnya, Ki Sampar terdongak seketika. Tampak darah muncrat keluar dari mulutnya. Dan begitu satu pukulan lagi mendarat di dada, dia tidak dapat bertahan berdiri lagi. Tubuhnya langsung terpental ke belakang, dan jatuh bergelimpang keras sekali di atas tanah yang penuh ranting dan dedaunan kering.
"Katakan, Orang Tua.... Di mana perempuan setan itu tinggal?" Desis Ki Gagak Bulang bertanya, dengan suara dingin menggetarkan.
Tentu saja dengan mulut dipenuhi darah, sukar bagi ki Sampar menjawab pertanyaan itu. Terlebih lagi, nafasnya semakin tersengal. Bahkan dadanya juga terasa begitu nyeri. Ki Sampar hanya bisa menggeletak diam merasakan sakit yang amat sangat di sekujur tubuhnya. Seakan-akan seluruh tulang-tulang tuanya terasakan sudah berpatahan.
"Jawab pertanyaanku. Setan!" Bentak Ki Gagak Bulang.
Namun Ki Sampar tetap diam. Bibirnya bergerak-gerak menggeletar, seakan ingin mengatakan sesuatu. Tapi, yang terdengar hanya gumaman-gumaman tidak jelas. Darah yang memenuhi rongga mulutnya, membuatnya sulit bicara. Sedangkan Ki Gagak Bulang tampaknya sudah tidak sabaran lagi. Perlahan, dihampiri orang tua renta itu.
"Jangan menunggu kesabaranku habis. Keparat!" Desis Ki Gagak Bulang mengancam. Namun, tetap gumaman-gumaman kecil yang keluar dari mulut Ki Sampar.
"Keparat..,! Rupanya kau ingin mampus, heh? Hih...!"
Begkh!
"Ugkh...!"
Ki Sampar hanya bisa terlenguh sedikit, begitu kaki Ki Gagak Bulang mendarat tepat di lambungnya. Kembali orang tua renta itu terguling beberapa kali dan baru berhenti setelah tubuhnya menabrak akar pohon yang menyembul keluar dari dalam tanah. Ki Gagak Bulang melangkah perlahan menghampiri. Gemeretak gerahamnya terdengar begitu jelas. Sementara, enam orang pemuda yang menyertainya hanya bisa menyaksikan saja, tanpa dapat berbuat sesuatu.
"Katakan! Di mana perempuan keparat itu, Tua Bangka...?!" Desis Ki Gagak Bulang menggeram. Kaki Ki Gagak Bulang terus terayun, semakin mendekati Ki Sampar.
Sementara, orang tua itu tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya. Seluruh tulang-tulang tuanya seakan sudah hancur terkena pukulan dan tendangan Ki Gagak Bulang yang begitu keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam sedikit pun juga. Tapi, Ki Sampar memang orang biasa yang sama sekali tidak mengerti ilmu-ilmu olah kanuragan. Sehingga, siksaan ini membuat seluruh tulangnya jadi seperti remuk, dan membuat tubuhnya sulit digerakkan lagi. Laki-laki tua itu sudah pasrah. Apa yang akan terjadi pada dirinya akan direlakan saja.
"Katakan, di mana perempuan keparat itu..?! Atau ingin kupercepat ke neraka, heh...?!" Bentak Ki Gagak Bulang lagi.
Tapi, Ki Sampar tetap saja diam. Darah terus mengucur dari mulutnya. Sementara, Ki Gagak Bulang sudah begitu dekat. Dan tiba-tiba saja...
"Keparat..! Hih!"
Diegkh!
"Akh...!"
Satu tendangan lagi mendarat tepat di dada Ki Sampar. Akibatnya, orang tua itu terpental sejauh satu batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam pohon, membuatnya kembali terpekik, merasakan sakit yang amat sangat.
“Mampus kau, Orang Tua Keparat! Hiyaaa...!"
Gagak Bulang tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Bagaikan kilat dia melompat sambil mengarahkan pukulan disertai tenaga dalam ke tubuh Ki Sampar. Sementara, orang tua itu sudah memejamkan mata, pasrah menerima kematian di tangan adik kandung Kepala Desa Tampuk ini. Tapi begitu pukulan Ki Gagak Bulang hampir menjebol dada Ki Sampar, mendadak....
Plak!
"Ikh...!"
Ki Gagak Bulang jadi terpekik kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting kembali ke belakang beberapa kali. Dia sempat melihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat. Juga dirasakan pukulannya tadi seperti membentur suatu kekuatan yang melebihi kekuatan tenaga dalamnya.
"Hap!"
Namun, cepat Ki Gagak Bulang bisa menguasai keseimbangan dirinya. Dan dengan satu gerakan indah, kakinya mendarat manis sekali di tanah. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah berumput yang banyak ditaburi daun-daun kering.
"Setan...!" Ki Gagak Bulang begitu geram setengah mati Sorot matanya terlihat tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan yang tahu-tahu sudah berdiri di depan Ki sampar. Pemuda itu berbaju rompi putih, dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung. Dia berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.
Srek!
Saat itu, terdengar suara gemerisik dari dalam sebuah semak tak jauh dari sebelah kanan pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Kemudian muncullah seorang gadis cantik yang mengenakan baju biru muda agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang indah dan ramping. Gadis itu melangkah tenang menghampiri Ki Sampar. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih itu hanya melirik saja sedikit, memperhatikan gadis cantik berbaju biru muda yang memeriksa luka di tubuh laki-laki tua renta ini.
"Hanya luka luar," kata gadis itu memberi tahu.
"Hm...." Pemuda tampan berbaju rompi putih itu kembali mengarahkan pandangannya pada Ki Gagak Bulang.
Sementara enam orang pemuda yang ikut bersama adik kandung Kepala Desa Tampuk itu kini sudah berdiri berjajar di belakangnya. Mereka semua sudah menghunus golok masing-masing.
"Anak muda, menyingkir kau! Ini bukan urusanmu....” bentak Ki Gagak Bulang kasar.
"Hmm. Kalau urusanmu menyiksa orang tua lemah ini, tentu aku tidak akan tinggal diam begitu saja," sahut pemuda berbaju rompi putih itu dingin.
"Keparat..! Mau cari mampus rupanya, heh...?!" Desis Ki Gagak Bulang menggeram.
"Mati dan hidupku bukan di tanganmu, Kisanak," kata pemuda itu lagi, terdengar tenang nada suaranya.
"Phuih!" Ki Gagak Bulang menyemburkan ludahnya, sengit.
Sementara, pemuda tampan berbaju rompi putih itu kembali melirik sedikit pada gadis cantik yang tengah mengobati Ki Sampar, dengan beberapa totokan dan pijatannya.
"Kau bawa dulu, Pandan. Nanti aku menyusul," kata pemuda itu perlahan.
Gadis cantik berbaju biru muda yang dipanggil Pandan hanya mengangguk saja. Kemudian ringan sekali tubuh kurus itu dipondongnya. Begitu ringannya, bagaikan mengangkat sekantung kapas saja. Dan tanpa berbicara sedikit pun juga, tubuhnya melesat pergi begitu cepat. Hingga dalam sekejapan mata saja, sudah lenyap dari pandangan.
"Phuih!" Ki Gagak Bulang semakin geram saja melihat gadis cantik itu melarikan Ki Sampar.
Sementara, pemuda tampan berbaju rompi putih ini sudah menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Tatapan matanya masih terlihat tajam, memperhatikan Ki Gagak Bulang yang menyemburkan ludahnya dengan kesal beberapa kali.
"Cincang bocah keparat itu...!" Perintah Ki Gagak Bulang lantang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, enam orang pemuda yang ada di belakang Ki Gagak Bulang langsung berlompatan menyerang pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tapi belum juga mereka sampai, tiba-tiba saja pemuda tampan itu sudah melesat cepat ke atas. Lalu....
Slap!
"Heh,..?!"
Ki Gagak Bulang jadi tersentak kaget setengah mati. Demikian pula keenam orang pemuda yang menyertainya. Mereka jadi kebingungan, karena tiba-tiba saja pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih itu lenyap seperti asap. Entah ke mana arah kepergiannya, tak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya.
“Phuih! Keparat..!" geram Ki Gagak Bulang.
Ki Gagak Bulang benar-benar geram oleh kejadian ini. Belum pernah dia dipermainkan seperti ini. Kemarahannya benar-benar tidak bisa lagi ditakar. Sambil mengumpat memaki-maki, Ki Gagak Bulang memerintahkan enam orang pemuda yang menyertainya untuk mencari pemuda tampan yang telah mempermainkannya begitu rupa.
"Cari sampai dapat!" bentak Ki Gagak Bulang.
Enam orang pemuda itu tidak bisa lagi menolak. Mereka langsung berpencar, mencari pemuda berbaju rompi putih yang telah mempermainkan Ki Gagak Bulang. Sementara, laki-laki setengah baya ini terus memaki-maki sambil melangkah pergi meninggalkan tempat ini. Hentakan kakinya begitu keras, menandakan hatinya kalau sedang kesal.
"Kupecahkan kepalanya kalau bertemu, huh!" dengus Ki Gagak Bulang.
Sementara, matahari terus bergerak menggelincir semakin tinggi. Tapi, mereka tidak juga bisa menemukan pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Apalagi, untuk bisa menemukan gadis cantik yang membawa lari Ki Sampar. Dan ini membuat Ki Gagak Bulang jadi semakin gusar. Hatinya benar-benar geram, karena merasa telah dipermainkan seorang pemuda yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Ayo, kita kembali saja ke Desa Tampuk," ajak Ki Gagak Bulang, setelah enam orang yang menyertainya sudah berkumpul lagi.
“Tidak diteruskan mencarinya, Ki?" Tanya salah seorang.
"Tidak," sahut Ki Gagak Bulang mendengus.
Keenam pemuda itu tidak membantah lagi, lalu segera melangkah mengikuti laki-laki setengah baya ini. Mereka berjalan cepat menerobos hutan yang begitu lebat ini, kembali menuju Desa Tampuk. Sementara, Ki Gagak Bulang yang berjalan di depan tidak henti-hentinya menggerutu. Sesekali ludahnya disemburkan dengan kesal. Sampai di tepi hutan, mereka bertemu Ki Rampak. Tapi Ki Gagak Bulang tidak berbicara sedikit pun juga. Dia hanya memandang sedikit saja pada Ki Rampak dan terus mengayunkan kakinya kembali ke Desa Tampuk.
Sementara, matahari terus menggelincir ke arah Barat. Sinarnya pun sudah tidak lagi terasa begitu terik seperti tadi. Dan cahayanya mulai memudar, tertutup awan yang semakin menebal. Angin pun kini bertiup begitu kencang, pertanda hari sebentar lagi akan berganti senja.
"Ayo kembali...!" seru Ki Rampak, setelah semua orang-orangnya kembali dari dalam hutan tanpa hasil.
********************
EMPAT
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh Desa Tampuk. Kesunyian begitu terasa di desa ini. Tak ada seorang pun yang terlihat di luar. Dan rumah-rumah yang ada pun tampak tertutup rapat pintu dan jendelanya. Hanya cahaya redup dari pelita kecil saja yang terlihat dari kisi-kisi pintu dan jendela setiap rumah. Tapi, keadaan terang-benderang terlihat di rumah Ki Rampak. Bahkan beberapa obor terpancang di setiap sudut halaman rumahnya. Keadaannya seperti tengah mengadakan pesta, namun hanya para penjaga saja yang terlihat.
Sementara di dalam salah satu kamar, terlihat Ki Rampak belum juga bisa merebahkan tubuhnya. Hatinya tampak gelisah, berjalan mondar-mandir di dalam kamar ini. Beberapa kali terdengar tarikan nafasnya yang panjang, disertai hembusan napas yang terasa begitu berat.
Bruk!
"Heh...?!"
Tiba-tiba saja Ki Rampak tersentak kaget, ketika mendengar suara seperti orang terjatuh. Cepat-cepat dia melompat ke jendela. Tapi belum juga sampai, mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat memasuki kamar ini melalui jen-dela yang terbuka lebar.
"Utfs...!"
Hampir saja Ki Rampak terlanda bayangan hitam itu, kalau saja tidak cepat-cepat melenting ke belakang. Dua kali dia berputaran di udara. Lalu manis sekali mendarat di lantai yang keras dan licin. Saat itu, seorang bertubuh ramping sudah ber-diri membelakangi jendela. Seluruh tubuhnya tertutup baju ketat berwarna hitam. Sementara seluruh kepalanya juga terselubung kain hitam pekat. Hanya dua lubang kecil pada matanya saja yang terlihat.
"Siapa kau...?" bentak Ki Rampak.
Tangan kanan Ki Rampak cepat menyambar pedang yang tergeletak di atas meja, tidak jauh di sebelah kanan. Begitu dapat, cepat-cepat dipindahkannya ke tangan kiri. Sedangkan orang bertubuh ramping yang mengenakan pakaian serba hitam tetap berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun juga. Dari dua lubang di bagian mata, terlihat sorot matanya yang begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Kepala Desa Tampuk ini. Dari bentuk tubuhnya, sudah dapat dipastikan kalau dia seorang wanita.
"Hiyaaa...."
Tiba-tiba saja wanita berbaju serba hitam itu melompat cepat bagai kilat, menerjang Ki Rampak. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Ki Rampak terhenyak sesaat Namun dengan cepat pula dia melompat ke samping, sambil meliukkan tubuhnya. Langsung dihindarinya satu pukulan yang melayang deras ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu lepas dari serangan, Ki Rampak cepat melepaskan satu tendangan keras menggeledek, dengan tubuh agak miring ke kiri. Tendangannya yang begitu cepat, mengarah langsung ke dada wanita ini
"Hap!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, wanita berbaju serba hitam itu malah menghentakkan tangan kirinya. Langsung disambutnya tendangan kaki kanan Kepala Desa Tampuk ini. Hingga tak pelak lagi, tangan dan kaki itu beradu keras tak terelakan lagi.
Plak!
"Ikh...!"
"Hup!"
Ki Rampak terpekik kecil. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Sedangkan wanita berbaju serba hitam itu juga cepat melenting ke belakang beberapa kali. Dan mereka kini kembali berdiri berhadapan, berjarak beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"
Namun wanita berbaju serba hitam itu kem-bali melompat menyerang dengan kecepatan luar biasa. Beberapa pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung dilepaskan secara beruntun. Akibatnya Ki Rampak terpaksa berjumpalitan menghindarinya. Maka pertarungan di dalam kamar yang cukup luas ini pun tidak dapat terelakkan lagi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu memiliki kesempatan, Ki Rampak cepat melenting ke udara. Lalu, cepat sekali tangannya mengibas ke arah kepala wanita yang berselubung kain hitam ini. Namun dengan gerakan kepala yang begitu manis, sambaran tangan Ki Rampak berhasil dihindarinya.
“Yeaaah...!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Ki Rampak memutar tubuhnya. Dan secepat itu pula, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek dengan tubuh berputar cepat. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan kepala desa ini, sehingga wanita berbaju serba hitam itu tidak dapat lagi menghindari. Dan....
Bek!
"Akh...!"
Wanita itu terpekik keras agak tertahan. Tendangan yang mendarat tepat di dadanya begitu keras, membuatnya terpental deras ke belakang. Lontarannya baru berhenti setelah menghantam dinding kamar ini hingga bergetar hendak rubuh. Namun, dia cepat bisa menguasai diri, dan kembali berdiri tegak. Sambil memegangi dadanya yang terkena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi tadi, matanya menyorot tajam ke arah Ki Rampak.
"Hiyaaa...!"
Ki Rampak langsung melompat menyerang, sambil mencabut pedangnya yang tergenggam di tangan kiri. Dan secepat itu pula pedangnya dikebutkan ke arah kepala wanita aneh berbaju serba hitam itu.
"Hih! Yeaaah...!"
Wanita berbaju serba hitam itu cepat mencabut sebatang tongkat kayu sepanjang tiga jengkal dari balik ikat pingggangnya. Kemudian langsung cepat dikebutkannya untuk menangkis sabetan pedang kepala desa itu.
Trang!
"Heh...?!"
Ki Rampak jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat pedangnya ditarik pulang, lalu melompat ke belakang beberapa langkah. Hampir dia tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Tongkat yang kelihatannya terbuat dari kayu biasa itu ternyata bagaikan sebatang tongkat besi baja yang begitu kuat. Bahkan tangannya tadi sampai bergetar saat pedangnya beradu dengan tongkat kayu yang ujungnya runcing.
"Hap!"
Ki Rampak cepat melintangkan pedangnya di depan dada. Perlahan kakinya bergeser ke samping beberapa langkah. Kemudian cepat sekali tangan kirinya bergerak mengebut ke depan. Saat itu juga, terlihat beberapa buah benda bulat berwarna merah melesat cepat dari tangan kiri kepala desa itu.
"Hup!" "Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan melompatnya wanita aneh berbaju serba hitam itu dalam menghindari senjata-senjata rahasia itu, Ki Rampak sudah lebih cepat lagi melesat ke udara. Dan secepat kilat pula pedangnya. dibabatkan ke arah lambung. Tapi, wanita itu lebih cepat lagi menarik tubuhnya ke belakang. Sehingga, tubuhnya jadi agak terbungkuk. Dan pada saat itu, Ki Rampak mengibaskan tangan kirinya ke arah ujung kepala.
Bret! "Ikh...!"
Wanita itu jadi terpekik begitu kain hitam yang menyelubungi kepalanya terampas tangan kiri Ki Rampak. Cepat-cepat tubuhnya meluruk ke bawah sambil berputaran beberapa kali. Tampak di batik selubung kain hitam, tergerai rambut hitam yang panjang tak teratur. Tepat pada saat kaki wanita itu menjejak lantai, Ki Rampak juga mendarat manis sekali. Namun saat itu juga matanya jadi terbeliak.
"Kau...?!"
"Ya aku...! Hik hik hik...!"
Bet!
Begitu cepat dan tiba-tiba sekali wanita itu mengebutkan tongkat kayunya yang berujung runcing ke leher Ki Rampak. Sementara laki-laki setengah baya itu masih terpana seperti bermimpi. Sehingga, dia tidak sempat menyadari lebih cepat lagi terhadap serangan ini. Dan....
Cras!
“Aaakh...!"
Darah langsung muncrat begitu ujung tongkat wanita itu membabat leher Ki Rampak, hingga hampir buntung. Hanya sebentar Kepala Desa Tampuk itu masih bisa berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk menggelepar di lantai kamarnya. Darah berhamburan deras sekali dari lehernya yang menganga terbabat tongkat kayu berujung runcing. Sebentar kemudian, seluruh tubuh Ki Rampak mengejang, terdiam kaku tak bergerak-gerak lagi.
"Hik hik hik...!"
Slap!
Sambil memperdengarkan suara tawa yang terkikik kering mengerikan, wanita berbaju serba hitam itu melesat cepat keluar dari kamar ini melalui jendela yang masih terbuka lebar. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara itu, Ki Rampak sudah tergeletak tak bernyawa lagi, dengan leher terbabat hampir buntung dan mengucurkan darah segar.
********************
Sementara itu, terlihat api membumbung tinggi ke angkasa. Sehingga, membuat Desa Tampuk yang gelap ini jadi terang benderang. Dan udara yang semula, dingin pun jadi panas oleh kobaran api yang semakin terlihat membesar itu. Beberapa orang yang menjaga di rumah Ki Rampak, jadi terkejut melihat api yang tiba-tiba saja berkobar begitu besar. Bahkan beberapa penduduk mulai terlihat keluar. Mereka serentak berlarian menuju ke arah api yang berkobar itu. Tapi begitu sampai, tak ada seorang pun yang berani mendekat. Karena, api yang berkobar besar itu telah membakar habis gubuk reyot, tempat Nini Angki dipasung. Sementara, Ki Gagak Bulang yang juga melihat kobaran api itu bergegas berlari menuju ke kamar Ki Rampak
"Kakang...! Kakang...!" panggil Ki Gagak Bulang sambil menggedor pintu kamar kakaknya.
Tapi, tak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Kening Ki Gagak Bulang jadi berkerut. Dicobanya untuk membuka pintu. Dan dengan mudah sekali pintu itu terdorong terbuka. Keheranannya semakin bertambah, karena Ki Gagak Bulang tahu kalau kakaknya tidak pernah lupa mengunci pintu kalau sudah berada di dalam kamarnya. Dan begitu pintu terbuka lebar...
"Kakang...!" sentak Ki Gagak Bulang terperanjat.
Cepat Ki Gagak Bulang melompat masuk ke dalam, begitu melihat Ki Rampak tergeletak di lantai berlumuran darah. Hampir dia tidak percaya melihatnya. Leher Ki Rampak terbabat Hampir buntung, persis seperti korban-korban pembunuhan yang lainnya. Beberapa saat Ki Gagak Bulang tertegun seperti tengah bermimpi, kemudian berteriak memanggil para penjaga.
Sebentar saja beberapa orang berdatangan masuk ke dalam kamar ini. Dan mereka jadi terperanjat setengah mati begitu melihat Ki Kampak tergeletak di lantai tak bernyawa lagi, dengan leher terbabat hampir buntung. Darah menggenang dari leher yang menganga lebar itu. Pada saat itu, terdengar suara mengerang lirih dari luar jendela.
"Hap!" Ki Gagak Bulang cepat melompat keluar melalui jendela. Dan begitu kakinya menjejak tanah, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Tampak lima orang yang bertugas menjaga kamar kepala desa ini bergelimpangan dengan leher terkoyak hampir buntung.
"Ohhh...!"
"Heh...?!"
Ki Gagak Bulang kembali tersentak, begitu mendengar rintihan dari balik semak pohon perdu. Bergegas dihampirinya semak yang bergerak-gerak itu. Dan begitu disibakkan, ternyata seorang pemuda terbaring didalam semak. Pemuda itu merintih lirih. Darah masih terlihat dari lehernya yang robek cukup lebar. Cepat-cepat Ki Gagak Bulang mengeluarkannya dari semak perdu ini. Sementara, puluhan orang pengikut Ki Rampak sudah berdatangan. Dan beberapa orang terlihat di jendela kamar Kepala Desa Tampuk ini.
"Apa yang terjadi...?! Siapa yang melakukan ini?!" Tanya Ki Gagak Bulang, sambil mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu.
"Ni..., Nini Angki...!"
"Siapa...?!" Rasanya seperti tersambar guntur, begitu mendengar nama Nini Angki disebut dengan suara parau dan lemah sekali.
Tapi Ki Gagak Bulang tidak bisa lagi terus bertanya, karena pemuda itu sudah terkulai tak bernyawa lagi. Dan hanya satu nama saja yang sempat disebutkan, tapi cukup membuat semua yang mendengarnya jadi tersentak, seperti tersengat ribuan lebah berbisa.
"Mustahil...!" Desis Ki Gagak Bulang seraya bangkit berdiri.
Pada saat itu, terlihat berlari-lari dua orang pemuda. Mereka langsung menghampiri Ki Gagak Bulang. Napas mereka tersengal, dan keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya.
"Ada apa lagi ini...?" sentak Ki Gagak Bulang. Kedua bola matanya mendelik lebar menatap dua pemuda yang terengah-engah di depannya.
"Nini Angki.... Gubuk Nini Angki terbakar. Dan dia..., dia membunuh sepuluh orang di Selatan, Ki," lapor salah seorang pemuda itu dengan suara tersendat dan napas tersengal.
"Apa...?!"
"Tinggal kami berdua saja yang berhasil lolos, Ki. Nini Angki mengamuk, membunuh sepuluh orang di Selatan," ulang pemuda satunya lagi
"Keparat...!" desis ki Gagak Bulang geram.
Seluruh wajah Ki Gagak Bulang memerah. Sedangkan kedua bola matanya memancar tajam berapi-api. Nafasnya jadi memburu seperti kuda yang seharian penuh dipacu cepat. Sementara, tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka semua memandang pada adik kandung Kepala Desa Tampuk ini
"Sebagian urus jasad Kakang Rampak. Sebagian lagi ikut aku," perintah Ki Gagak Bulang.
Bergegas Ki Gagak Bulang melangkah menuju kandang kuda yang berada di bagian halaman belakang rumah ini. Sedangkan sekitar dua puluh orang bergegas mengikuti, dan sebagian lagi segera mengurus mayat Ki Rampak. Tak berapa lama berselang, Ki Gagak Bulang sudah memacu kudanya diikuti dua puluh orang yang juga menunggang kuda. Mereka bergerak cepat menuju ke arah Selatan.
Sementara, api masih terlihat berkobar besar, membakar gubuk tempat Nini Angki dipasung. Hampir semua penduduk sudah keluar dari rumahnya. Dan mereka hanya bisa memandangi gubuk pasungan Nini Angki yang semakin habis dimakan api. Tak ada seorang pun yang berani mendekati. Dan mereka juga hanya bisa meman-dangi kepergian Ki Gagak Bulang bersama dua puluh orang menuju Selatan. Mereka hanya bisa bertanya-tanya saja di dalam hati, tanpa ada seorang pun yang berani mengucapkannya.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sementara, Ki Gagak Bulang terus memacu cepat kudanya, diiringi dua puluh orang pengikutnya dari belakang. Mereka terus bergerak cepat menuju ke arah Selatan.
********************
Sementara itu jauh dari Desa Tampuk, tampak sebuah api unggun menyala kecil di bawah kerindangan sebatang pohon yang batangnya sangat besar. Tidak jauh dari api unggun itu, terlihat Ki Sampar duduk bersila di dampingi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dan seorang gadis cantik mengenakan baju biru muda yang agak ketat.
"Bagaimana sekarang, Ki? Sudah enakan...?" Tanya pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
Ki Sampar tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Untung hanya luka luar saja. Jadi, tidak terlalu sulit menyembuhkannya," desah gadis berbaju biru yang duduk di sebelah kiri Ki Sampar.
"Terima kasih, atas usaha kalian yang telah bersusah payah menolongku," ucap Ki Sampar.
"Apa yang kami lakukan sudah biasa, Ki. Kami tidak bisa melihat penganiayaan terjadi di depan mata," kata gadis cantik itu, tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Kalian tentu para pendekar muda," kata Ki Sampar lagi, "Siapa kalian ini, dan dari mana kalian datang...?"
"Aku Rangga," pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri lebih dulu.
"Aku Pandan Wangi, Ki. Tapi panggil saja aku Pandan," sambung gadis cantik berbaju biru muda.
Mereka memang Rangga dan Pandan Wangi yang tengah mengembara, setelah beberapa hari lamanya berada di Kerajaan Karang Setra. Dan mereka lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Sepasang pendekar muda yang tidak asing lagi di kalangan rimba persilatan. Tapi bagi Ki Sampar, nama mereka baru kali ini terdengar di telinganya. Karena memang, dia bukanlah orang persilatan. Jadi tidak tahu perkembangan dunia persilatan sekarang ini.
"Kenapa kau sampai teraniaya tadi, Ki?" Tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Entahlah..., aku sendiri tidak tahu," sahut Ki Sampar mendesah perlahan.
"Tentu ada sebabnya, Ki," desak Pandan Wangi.
Ki Sampar tertunduk. Wajahnya kelihatan murung terselimut mendung. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi saling melempar pandang, Mereka merasa kalau ada sesuatu yang disembunyikan orang tua ini. Dan mereka juga yakin ada suatu persoalan, sampai orang tua renta ini teraniaya. Bahkan hampir saja mati terbunuh kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak cepat menolongnya.
"Semua ini berawal dari munculnya pembunuh gelap itu...," ujar Ki Sampar perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Pembunuh gelap...?" selak Pandan Wangi, langsung menatap dalam-dalam ke bola mata orang tua renta itu.
“Ya! Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku dan istriku dilibatkan. Sampai-sampai, aku tidak tahu lagi, di mana istriku berada. Dan aku sendiri..., hampir saja mati di tangan Ki Gagak Bulang," sahut Ki Sampar masih terdengar pelan suaranya.
"Kau berasal dari Desa Tampuk, Ki?" selak Rangga.
"Benar," sahut Ki Sampar.
"Ceritakan, Ki. Apa yang telah terjadi," pinta Pandan Wangi jadi ingin tahu.
"Semua terjadi begitu saja, Nini. Orang itu tiba-tiba saja muncul, dan membunuhi pengikut-pengikut Ki Rampak," kata Ki Sampar.
"Siapa itu Ki Rampak?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Kepala Desa Tampuk. Tapi, semua orang tidak menyukainya. Dia kejam dan memeras penduduk dengan kekuatannya. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya. Bahkan ketika memasung anak gadis kepala desa yang dulu pun, tidak ada seorang pun yang berani menentang. Bahkan semua penduduk diharuskan membenci gadis malang itu. Hanya istriku saja yang tidak sudi menuruti perintahnya. Setiap hari istriku mengirimkan makanan untuk Nini Angki," Ki Sampar memulai ceritanya.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
“Teruskan, Ki," pinta Pandan Wangi.
"Bertahun-tahun, Desa Tampuk berada dalam genggaman Ki Rampak. Dan belakangan ini, muncul seseorang yang membunuh para pengikut Ki Rampak. Dan itu adalah awal malapetaka. Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku dan istriku sampai di libatkan. Padahal, aku tidak tahu-menahu terhadap semua itu," sambung Ki Sampar tetap pelan suaranya.
"Lalu, di mana istrimu, Ki?" Tanya Pandan Wangi.
"Dibawa orang aneh itu," sahut Ki Sampar.
"Maksudmu...?" Pandan Wangi meminta penjelasan.
Ki Sampar pun langsung menceritakan semua kejadian yang menimpa istrinya, sampai dia memutuskan untuk meninggalkan Desa Tampuk. Tapi, Ki Gagak Bulang berhasil menemukannya. Bahkan hampir saja mati kalau saja tidak segera tertolong Pendekar Rajawali Sakti. Ki Sampar jelas sekali menceritakannya, sementara Rangga dan Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian. Beberapa kali pendekar-pendekar muda itu saling melemparkan pandang. Dan mereka tidak berbicara lagi, walaupun Ki Sampar sudah menyelesaikan ceritanya.
********************
LIMA
Rangga menghentikan langkah kudanya tepat di depan sebuah kedai kecil yang berada di ujung jalan Desa Tampuk. Sunyi sekali keadaan kedai itu. Dan tak ada seorang pun terlihat di dalam sana. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti turun dari punggung kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu. Setelah menambatkan kuda hitam itu di bawah pohon kenanga, Rangga melangkah memasuki kedai itu.
Kedatangan Pendekar Rajawali Sakti langsung disambut pemilik kedai yang rupanya seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk, berusaha bersikap ramah. Kemudian pengunjung tunggalnya ini dibawa ke tempat yang paling nyaman. Rangga hanya tersenyum saja melihat sikap pemilik kedai, yang seperti sudah berhari-hari tidak kedatangan pengunjung.
"Sepi sekali kedaimu ini, Ki," ujar Rangga setelah menempatkan tubuhnya di kursi kayu, tidak jauh dari jendela yang terbuka lebar, langsung menghadap ke jalan.
"Yaaah.... Beginilah keadaannya, Den. Sudah beberapa hari ini selalu sepi. Paling-paling, hanya satu dua orang saja yang mampir ke sini. Itu juga tidak lama," sahut pemilik kedai itu lesu.
"Tapi kelihatannya desa ini cukup ramai, Ki," kata Rangga lagi.
"Kelihatannya saja, Den," sahut pemilik kedai itu.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Sebentar pandangannya dilayangkan keluar, melalui jendela yang terbuka lebar, Kemudian dipesannya beberapa macam makanan, serta seguci arak manis. Laki-laki tua pemilik kedai itu bergegas melayani pesanan tamunya ini dengan sikap ramah.
Saat Pendekar Rajawali Sakti menikmati makanannya, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat, menyelinap ke bagian belakang kedai ini. Matanya sempat melirik pada pemilik kedai yang duduk di sudut. Laki-laki tua pemilik kedai itu bangkit berdiri, dan melangkah ke belakang tanpa berkata-kata sedikit pun juga. Rangga terus mengawasi dari sudut ekor matanya.
"Hm...." Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah aji kesaktian yang bisa mendengarkan suara dari jarak jauh dan sekecil apa pun juga, Bahkan bisa memilih-milih suara menurut keinginannya. Dengan ajian itu, segala macam pembicaraan yang diinginkan bisa didengarkannya. Rangga mengarahkan suara dari belakang kedai ini, dari tempatnya melihat sebuah bayangan berkelebat cepat ke belakang kedai. Sedangkan pemilik kedai ini juga langsung ke belakang, walaupun sikapnya seperti tidak mengetahui adanya bayangan tadi.
"Hm..." Rangga menggumam kecil begitu mendengar percakapan dari belakang kedai. Dan satu suara sudah dikenalnya. Tampaknya suara pemilik kedai ini. Sedangkan satu suara lain, diyakini kalau itu suara seorang perempuan. Dan tampaknya, seorang wanita yang masih muda usianya. Dengan aji 'Pembeda Gerak dan Suara’, Pendekar Rajawali Sakti bisa mendengar jelas sekali. Sepertinya, kedua orang itu berbicara dekat di depannya.
"Siapa dia, Ki?" terdengar jelas di telinga Rangga, suara seorang wanita bertanya pada pemilik kedai ini.
"Kelihatannya dia pendatang, Nini," sahut pemilik kedai.
"Sudah kau tanyakan, apa tujuannya datang ke sini?" Tanya wanita itu lagi.
"Belum."
"Kenapa belum..,?"
"Aku belum sempat bertanya, Nini."
"Kau tahu, Ki. Saat-saat seperti ini, aku tidak suka ada orang asing datang ke Desa Tampuk ini. Aku tidak mau ada orang luar ikut campur dalam persoalan ini. Semuanya masih bisa ku atasi dengan tanganku sendiri. Kau percaya padaku, Ki...?" tegas sekali nada suara wanita itu.
"Aku percaya, Nini," sahut si pemilik kedai.
"Desa ini harus kembali seperti semula, Ki. Seperti waktu ayahku dulu masih menjadi kepala desa. Aku bertekad mengembalikan desa ini seperti semula. Tidak di bawah cengkeraman manusia-manusia iblis seperti Ki Rampak!"
"Pelan-pelan, Nini. Nanti pemuda itu dengar,” kata laki-laki tua pemilik kedai memperingatkan.
Beberapa saat tidak terdengar suara apa pun juga.
"Aku pergi dulu, Ki," pamit wanita itu setelah cukup lama terdiam.
"Baik. Tapi, bagaimana keadaan Nyai Suti?"
"Dia baik-baik saja. Hanya, masih mengkhawatirkan suaminya. Sayang, aku belum bisa menemukan...," kata wanita itu dengan suara terputus.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada Ki Sampar. Kasihan dia...."
"Aku harap begitu, Ki. Aku juga tidak ingin ada korban seorang pun dari penduduk. Aku pergi dulu, Ki. Tanyai orang asing itu, untuk apa datang ke desa ini."
"Iya, Nini. Aku pasti akan tanyakan padanya."
"Aku pergi, Ki.”
Tidak lagi terdengar suara percakapan itu. Sementara, Rangga langsung mencabut kembali aji 'Pembeda Gerak dan Suara’. Saat itu sempat terlihat bayangan hitam berkelebat begitu cepat, dan langsung menghilang dalam sekejapan mata saja. Tak berapa lama kemudian, laki-laki tua pemilik kedai ini sudah muncul kembali dalam kedainya. Kepalanya terangguk ramah pada Rangga, sambil mengembangkan senyum. Rangga ramah membalasnya, walaupun kini sudah tahu kalau keramahan pemilik kedai itu dibuat-buat.
"Ingin tambah lagi minumannya, Den?" pemilik kedai itu menawarkan ramah.
"Boleh," sahut Rangga. Sebenarnya, minumannya saja belum habis. Tapi, Rangga memang sengaja. Dia ingin memberi kesempatan pada pemilik kedai yang sempat memperkenalkan diri bernama Ki Taluk. Dan Rangga juga malah menawarkan untuk minum bersama. Dengan sikap yang ramah sekali, Ki Taluk menerima tawaran itu.
"Sepertinya, kau bukan penduduk desa ini, Anak Muda," kata Ki Taluk setelah meneguk habis arak dalam gelasnya yang terbuat dari bambu.
"Benar, Ki. Aku hanya seorang pengembara," sahut Rangga kalem.
"Boleh aku tahu ke mana tujuanmu, Anak Muda...?" pancing Ki Taluk mulai menyelidik.
"Sebenarnya tidak ada, Ki. Tapi dalam perjalanan, aku bertemu orang tua yang menceritakan keadaan di desa ini. Semula, aku tidak begitu tertarik. Tapi setelah dia mengatakan kalau di desa ini muncul seorang pembunuh gelap yang sudah mengambil banyak korban, aku jadi tertarik juga untuk mengetahuinya. Makanya, aku datang ke sini," kata Rangga sengaja bicara demikian.
"Oh! Siapa orang tua itu, Anak Muda?" Tanya Ki Taluk tidak bisa menahan keterkejutannya.
"Ki Sampar. Dia dalam keadaan terluka, tapi sekarang berada dalam perawatan teman ku," sahut Rangga.
Ki Taluk mengangguk-anggukkan kepala. Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi. Dia tahu, Ki Taluk ingin menyelidikinya. Dan Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja membuka, karena ingin sekali bertemu orang aneh yang telah mencabut banyak nyawa di Desa Tampuk ini. Meskipun dari keterangan yang diberikan Ki Sampar, orang-orang yang dibunuh hanyalah orang-orang Ki Rampak, Kepala Desa Tampuk yang selalu bertindak dingin dan tangan besi.
"Malang sekali nasib Ki Sampar. Entah kenapa, dia dan istrinya dituduh mata-mata dari si pembunuh gelap itu," kata Ki Taluk dengan suara menggumam perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.
"Ku dengar, katanya pembunuh gelap itu namanya Nini Angki, gadis yang selama ini di pasung. Benar begitu, Ki?" Tanya Rangga juga menyelidik.
"Hanya orang-orang Ki Rampak saja yang mengetahui begitu, Den. Padahal, gubuk tempat pasungan Nini Angki sudah habis terbakar. Yaaah..., kasihan nasibnya. Sudah orang tuanya dikurung dalam tanah, dia malah dituduh gila dan dipasung. Bahkan kami semua disuruh membencinya. Pada hal, kami begitu kasihan melihat penderitaannya," terdengar pelan sekali suara Ki Taluk.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah, apa yang ada dalam kepalanya sekarang ini. Sedangkan Ki Taluk terdiam, mempermain-mainkan pinggiran gelas bambu dengan ujung jemari tangannya yang sudah keriput. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan raut wajah tua yang duduk di depannya. Kemendungan di wajah itu, sama sekali tidak dibuat-buat. Dan Rangga tahu, penderitaan yang dialami Ki Taluk merupakan penderitaan seluruh penduduk Desa Tampuk ini. Penderitaan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun.
"Seharusnya kami semua bisa senang, karena Ki Rampak sudah tewas. Tapi itu tidak mungkin, Anak Muda," kata Ki Taluk lagi.
"Kenapa, Ki?"
"Ki Gagak Bulang..., adik kandung Ki Rampak ternyata lebih kejam lagi. Malah, sekarang dia yang menguasai seluruh desa ini. Dia belum puas kalau belum membalas kematian kakaknya pada si pembunuh gelap itu," kata Ki Taluk lagi.
"Maksudmu, pada Nini Angki..?"
Ki Taluk tampak terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu langsung dari Pendekar Rajawali Sakti. Maka cepat-cepat keterkejutannya dihilangkan. Hanya saja, Rangga sudah sempat melihat jelas. Dan Pendekar Rajawali Sakti jadi yakin, kalau orang aneh itu adalah Nini Angki. Hanya saja dia masih berpikir, bagaimana mungkin seorang gadis yang terpasung bertahun-tahun bisa melepaskan diri. Bahkan sekarang muncul dengan satu kepandaian yang begitu tinggi tingkatannya. Bahkan, penguasa desa ini juga kerepotan dibuatnya.
"Aku pergi dulu, Ki. Mungkin aku kembali lagi ke sini nanti," pamit Rangga.
Setelah membayar semua makanan dan minumannya, Pendekar Rajawali Sakti melangkah keluar. Ki Taluk mengantarkan sampai di depan pintu kedainya itu. Dia masih tetap berdiri disana memandangi kepergian pemuda tampan berbaju rompi putih itu, dengan kuda hitamnya. Saat itu, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat, tepat ketika Rangga berbelok ke kanan di ujung jalan.
Ki Taluk terperanjat dan cepat-cepat masuk ke dalam kedainya. Di dalam kedai, sudah ada seorang gadis berwajah cantik berbaju hitam pekat yang cukup ketat. Sehingga, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Dia duduk di kursi tempat Rangga duduk disana tadi. Bergegas Ki Taluk menghampiri, dan duduk di depannya.
"Bagaimana, Ki?" Tanya gadis cantik itu langsung.
"Dia ingin bertemu denganmu, Nini. Dan tampaknya, dia sudah tahu kalau orang aneh itu adalah kau," sahut Ki Taluk.
"Dia juga tahu namaku, Ki?"
Ki Taluk mengangguk.
"Ahhh.... Siapa dia, ya...?" desah gadis itu bernada seperti bertanya pada diri sendiri.
Sedangkan Ki Taluk hanya diam saja memandangi wajah yang cantik ini. Dan gadis itu memang Nini Angki, yang selama ini selalu disebut sebagai Perawan Pasungan oleh seluruh penduduk Desa Tampuk. Tapi, keadaannya sekarang tidak kotor dan lusuh, seperti ketika masih berada dalam pasungan. Kini kecantikannya begitu jelas memancar di wajahnya. Namun, di balik kecantikan wajahnya terpancar suatu tekad yang kukuh.
"Sejauh mana dia sudah tahu, Ki?" Tanya Nini Angki.
Ki Taluk langsung saja menceritakan semua pembicaraannya dengan pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Dan begitu Ki Taluk mengatakan tentang keadaan Ki Sampar, tiba-tiba saja gadis cantik berbaju hitam yang selama ini dikenal sebagai Perawan Pasungan melesat begitu cepat bagai kilat. Hingga membuat Ki Taluk jadi terlongong bengong. Sekejap mata saja bayangannya sudah lenyap tak berbekas lagi.
"Ck ck ck...!" Ki Taluk berdecak kagum.
********************
Saat itu, Rangga memacu kudanya dengan kecepatan sedang. Pendekar Rajawali Sakti tidak kelihatan terburu-buru. Sesekali kepalanya terlihat menoleh ke belakang, seperti ada sesuatu yang tengah ditunggu. Tapi, tak ada seorang pun yang terlihat mengikuti. Rangga segera memperlambat lari kudanya.
"Hieeegkh...!" Tiba-tiba saja kuda hitam bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Rangga jadi tersentak kaget. Cepat-cepat tali kendali kudanya dikuasai. Dan begitu kuda hitam itu bisa tenang, cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dengan gerakan yang begitu indah dan ringan.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan. Pendekar Rajawali Sakti memiringkan kepalanya sedikit, dan memasang pendengarannya tajam-tajam. Angin yang bertiup agak keras, membuat rambutnya yang gondrong melambai-lambai. Dua langkah Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke depan. Begitu ringan sekali ayunan kakinya, hingga sedikit pun tidak menimbulkan suara. Kembali mulutnya menggumam perlahan. Kemudian, matanya melirik sedikit pada Dewa Bayu yang mendengus-dengus kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Rupanya sudah ada yang menunggu, Dewa Bayu. Kau menyingkirlah," kata Rangga perlahan.
Kuda Hitam Dewa Bayu meringkik kecil, kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Dia baru berhenti setelah jaraknya cukup jauh. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak, seperti menanti sesuatu. Pendengarannya masih tetap terpasang tajam.
Wus! Slap!
"Hait..!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke kiri, begitu tiba-tiba terlihat sebatang tombak panjang meluncur deras ke arahnya dari depan. Tombak itu lewat sedikit di samping tubuh pemuda berbaju rompi putih ini dan menancap di samping kakinya.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Pada saat itu, terlihat berlompatan sekitar sepuluh orang bersenjata golok dari balik semak belukar dan dari atas pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar tempat ini.
"Hup!" Rangga cepat-cepat melompat ke belakang, sejauh beberapa langkah. Tahu-tahu, di depannya sudah berdiri sepuluh orang pemuda yang semuanya menggenggam senjata golok.
"Hm...," Rangga mengumam kecil. Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti begitu tajam merayapi sepuluh pemuda yang berdiri menghadang, bersikap siap menyerang. Golok-golok mereka tampak melintang di depan dada. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam.
"Mau apa kalian menghadang jalanku?" Tanya Rangga agak dingin suaranya.
"He he he...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkekeh. Rangga cepat berpaling ke arah datangnya suara tawa itu. Tampak di atas sebongkah batu yang Cukup besar berdiri Seorang laki-laki setengah baya. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut menyipit. Dia pernah melihat laki-laki setengah baya yang telah menganiaya Ki Sampar. Dan memang, dia adalah Ki Gagak Bulang yang sekarang menggantikan kakaknya menguasai Desa Tampuk.
"Hup!" Ringan sekali gerakan Ki Gagak Bulang saat melompat turun dari atas batu. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya mendarat, tepat sekitar satu batang tombak lagi di depan Rangga. Suara tawanya yang terkekeh kembali terdengar. Kemudian di ujung jari tangan kanannya dijentikkan, Saat itu juga, terlihat puluhan kepala menyembul dari balik semak belukar, dan kelebatan daun, pepohonan di sekeliling Pendekar Rajawali Sakti.
Sekitar dua puluh orang sudah siap dengan panah terpasang di busur dan mengarah langsung ke Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu menggumam kecil, dengan mata beredar berkeliling. Langsung disadari kalau keadaannya sangat tidak menguntungkan. Meskipun memiliki kepandaian yang begitu tinggi, tapi memang tidak mudah untuk bisa keluar dari kepungan yang rapat begini.
"Sebaiknya kau menyerahkan Ki Sampar, dari pada tubuhmu tercincang, Anak Muda," ancam Ki Gagak Bulang.
"Kenapa kau menginginkan orang tua itu, Kisanak?" Tanya Rangga.
"Dia harus bertanggung jawab atas kematian kakakku!" sahut Ki Gagak Bulang membentak.
"Hm, Ki Sampar terluka cukup parah. Jadi, tidak mungkin bisa membunuh orang," kata Rangga setengah menggumam.
"Memang bukan dia. Tapi, orang suruhannya!" Dengus Ki Gagak Bulang.
"Tidak ada seorang pun yang menjadi suruhannya, Kisanak. Aku tahu Ki Sampar tidak terlibat dalam persoalanmu. Dia hanya orang tua biasa yang tidak punya pikiran macam-macam. Kau salah besar kalau menuduhkan kesalahan padanya," sergah Rangga meluruskan nama Ki Sampar.
"Keparat! Aku tidak butuh ocehanmu, Anak Muda! Aku minta kau jangan banyak bicara. Serahkan saja si tua bangka keparat itu padaku!" Bentak Ki Gagak Bulang kasar.
"Dia tidak ada lagi. Dia sudah pergi bersama istrinya," kata Rangga kalem.
"Setan...! Jangan coba-coba mempermainkan aku, Bocah!" Bentak Ki Gagak Bulang tidak percaya.
"Siapa bilang aku mempermainkan mu...? Ki Sampar memang sudah pergi bersama istrinya. Dan tidak akan kembali lagi ke desa ini," kata Rangga kalem.
"Phuih!" Ki Gagak Bulang menyemburkan ludahnya, sengit. Ki Gagak Bulang mengayunkan kakinya ke depan tiga langkah. Sorot matanya begitu tajam dan berapi-api, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Terdengar gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang meluap-luap.
Sementara, Rangga masih kelihatan tenang, walaupun sesekali matanya beredar berkeliling. Dia memperhitungkan segala kemungkinan dalam menghadapi kepungan rapat begini.
"Kau akan mampus di sini, Bocah!" Desis Ki Gagak Bulang. Begitu Ki Gagak Bulang menjentikkan ujung jemari tangannya, seketika itu juga...
Sing! Wusss!
"Hup!"
ENAM
Cepat-cepat Rangga melenting ke udara, begitu tiba-tiba saja puluhan batang anak panah berhamburan menghujaninya. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara, sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'! Kedua tangannya terkembang lebar, dan bergerak begitu cepat mengibas anak-anak panah yang menghujaninya.
"Hiyaaa...!"
Beberapa batang panah yang berhasil dirampas langsung cepat dilemparkan, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Anak-anak panah itu meluruk deras, kembali pada pemiliknya. Tindakan Rangga yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat orang-orang yang melepaskan panah jadi terhenyak kaget setengah mati.
"Hiya!" Yeaaah...!"
Mereka yang masih sempat menghindar, segera berlompatan. Tapi yang terlambat, harus menerima nasib terpanggang panahnya sendiri. Jeritan-jeritan melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat dan saling sambut. Tampak beberapa orang terjungkal roboh tertembus panah.
Sementara itu, Rangga meluruk turun manis sekali, setelah tidak ada lagi panah yang menghujaninya. Beberapa batang panah berada di dalam genggaman kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sambil menghembuskan napas berat, dilemparkannya panah-panah itu ke tanah.
Sementara Ki Gagak Bulang jadi terbeliak, melihat serangan orang-orangnya dapat dipatahkan begitu mudah, hanya lewat satu jurus saja.
"Seraaang...!" teriak Ki Gagak Bulang lantang, memberi perintah.
"Hiyaaa. !"
"Yeaaah...!"
"Yaaa...!"
Seketika itu juga, sekitar dua puluh orang bersenjata golok berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka langsung menyerang dari berbagai jurus, dengan cepat sekali. Sehingga, membuat pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari serangan-serangan yang datang secara cepat beruntun dari segala arah.
Tapi belum juga lama pertarungan itu berjalan, tiba-tiba saja terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi saling susul. Kemudian, terlihat orang-orang yang mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti berpentalan. Mereka langsung jatuh menggelepar dengan dada tertembus benda keperakan berbentuk bintang.
"Hup!" Cepat-cepat Rangga melenting ke belakang. Hanya dalam waktu sebentaran saja, sudah lima belas orang yang tergeletak tak bernyawa lagi. Dan mereka langsung berlumuran darah, tertembus senjata berbentuk bintang keperakan. Bukan hanya Ki Gagak Bulang saja yang terkejut. Bahkan Rangga juga jadi kebingungan sendiri, karena tidak pernah menggunakan senjata rahasia dalam menghadapi lawan-lawannya. Dan ia juga tidak tahu, dari mana senjata-senjata rahasia itu datang. Karena, tadi begitu sibuk menghindari serangan-serangan yang datang beruntun dari segala arah.
"Keparat..!" geram Ki Gagak Bulang. Wajah Ki Gagak Bulang semakin kelihatan memerah. Sedangkan kedua bola matanya berapi-api, merayapi orang-orangnya yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Sudah begitu banyak dia kehilangan pengikut. Bahkan kakak kandungnya juga sudah tewas di tangan orang aneh yang belum diketahui orangnya. Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Gerahamnya bergemeletuk, menahan kemarahan yang begitu menggelegak dalam dada.
"Ayo, tinggalkan tempat ini!" seru Ki Gagak Bulang.
Bagaikan kilat, Ki Gagak Bulang melompat cepat meninggalkan tempat itu. Semua pengikutnya bergegas berlompatan pergi. Sementara, Rangga sama sekali tidak bermaksud mencegah. Hanya dipandanginya saja kepergian mereka semua. Kemudian perlahan tubuhnya diputar dan melangkah menghampiri kudanya. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat di depannya. Dan tahu-tahu, sudah berdiri seorang gadis cantik berbaju serba hitam. Rangga langsung menghentikan ayunan kakinya.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak," ucap Rangga langsung bisa menebak kalau gadis inilah yang menolongnya tadi dari keroyokan orang-orang Ki Gagak Bulang.
"Hm...," gadis itu hanya menggumam sedikit saja.
Rangga mengayunkan kakinya beberapa langkah ke depan, dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi dari gadis cantik berbaju serba hitam ini, Beberapa saat Rangga memandangi, kemudian bibirnya tersenyum.
"Kau yang bernama Nini Angki?" Tanya Rangga memastikan.
"Dari mana kau tahu namaku?" Dengus gadis cantik berbaju hitam yang memang Nini Angki si Perawan Pasungan.
"Aku hanya menduga saja," sahut Rangga kalem.
"Kau siapa, Kisanak?" Balas Nini Angki bertanya. Suara wanita itu masih terdengar bernada dingin dan datar. Tatapan matanya juga begitu tajam, seakan-akan tengah menyelidik tingkat kepandaian pemuda tampan di depannya.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja, membiarkan dirinya dipandangi dengan sinar mata penuh selidik.
"Namaku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri.
"Kenapa kau mencariku?" Tanya Nini Angki masih dengan nada suara terdengar dingin dan agak ketus.
“Tidak," sahut Rangga seraya menggelengkan kepala.
"Lalu, untuk apa kau datang ke Desa Tampuk?" kejar Nini Angki lagi.
Rangga tidak menjawab, dan hanya mengangkat bahunya saja sedikit Kemudian, kakinya melangkah ringan menghampiri kudanya. Diambil tali kekang kudanya, dan kembali melangkah menghampiri gadis cantik yang selama ini selalu disebut sebagai Perempuan Pasungan, karena memang sudah beberapa tahun hidup dalam pasungan.
Pendekar Rajawali Sakti kembali berdiri di depan Nini Angki dengan jarak sekitar lima langkah. Sedangkan Nini Angki terus memandanginya dengan sorot mata begitu tajam, tertuju lurus ke bola mata pemuda tampan di depannya. Untuk beberapa saat lamanya, tidak ada seorang pun yang berbicara.
"Kuharap kau tidak perlu lagi berpura-pura, Kisanak. Aku sudah tahu tujuanmu datang ke Desa Tampuk ini. Dan kuminta Segera tinggalkan desa ini. Jangan coba-coba mencampuri urusanku dengan iblis-iblis keparat itu!" terasa begitu dingin suara Nini Angki.
Dan Rangga hanya tersenyum saja, meskipun dari nada suara wanita itu sudah bisa tertangkap adanya ancaman yang tidak bisa dipandang main-main. Dan Nini Angki memang bersungguh-sungguh, tidak ingin urusannya dicampuri orang lain. Semua penghinaan pada diri dan keluarganya harus dibalas dengan tangannya sendiri. Walaupun dia tahu, terlalu berat untuk menghadapi Ki Gagak Bulang seorang diri.
Terlebih lagi, Ki Gagak Bulang sudah begitu berpengalaman dalam rimba persilatan yang terkenal ganas dan keras. Namun, sudah menjadi tekadnya untuk menyelesaikan dendamnya seorang diri saja. Dan selama bertahun-tahun berada di dalam pasungan, sudah berlatih tekun untuk memperdalam jurus-jurus yang pernah dipelajari dari ayahnya.
Cerdiknya, dengan modal tenaga dalam yang pernah didapat, Nini Angki mampu membuka dan mengunci gembok pasungannya. Dan bila sudah terbebas, dia berlatih penuh ketekunan. Hingga akhirnya semua ilmu yang didapat dulu berhasil disempurnakannya. Dan selama ini, Nini Angki harus berpura-pura jadi orang gila, untuk keselamatan diri sendiri.
Begitu sempurnanya peranan yang dimainkan, sehingga semua orang di Desa Tampuk benar-benar sudah menganggapnya gila. Hanya Nyai Suti dan beberapa orang desa yang masih memandangnya sebagai anak kepala desa, dan tidak menganggapnya gila.
"Sayang sekali, aku sudah berjanji pada Ki Sampar untuk membebaskan Desa Tampuk dari penindasan Ki Rampak dan orang-orangnya," kata Rangga kalem.
"Hhh! Di mana kau sembunyikan Ki Sampar?" Desis Nini Angki sambil mendengus berat Belum juga Rangga sempat menjawab, tiba-tiba saja....
"Aku di sini, Nini Angki."
"Hah...?!"
Bukan hanya Nini Angki yang terkejut, tapi juga Pendekar Rajawali Sakti, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tua yang sudah bergetar. Bersamaan mereka, berpaling ke arah datangnya suara. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh dari mereka sudah ada Ki Sampar yang didampingi Pandan Wangi.
Mungkin karena seluruh perhatian mereka begitu tertumpah, sehingga tidak mendengar suara langkah Ki Sampar dan Pandan Wangi. Hingga, tahu-tahu mereka ada di tempat ini. Ki Sampar melangkah tertatih-tatih, dibimbing Pandan Wangi menghampiri Nini Angki yang berdiri sekitar lima langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti. Dia berhenti tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Nini Angki.
Sedangkan Rangga menggeser kakinya mendekati Pandan Wangi yang memapah laki-laki tua itu. Mereka semua jadi terdiam, tak ada seorang pun yang membuka suara lebih dahulu. Sementara, Rangga menarik tangan Pandan Wangi menjauhi Ki Sampar dan Nini Angki. Dia memberi kesempatan pada mereka untuk berbicara berdua saja. Rangga mengajak Pandan Wangi menghampiri kuda Dewa Bayu, yang kini sudah ditemani si Putih, kuda tunggangan Pandan Wangi.
"Aku senang melihatmu lagi, Nini," Kata Ki Sampar dengan mata berkaca-kaca.
"Aku begitu mengkhawatirkan mu, Ki," Kata Nini Angki.
"Bagaimana keadaan Nyai Suti?" Tanya Ki Sampar.
"Baik," sahut Nini Angki.
"Kau sendiri, Ki...?"
"Hampir saja aku mati. Untung segera ditolong mereka," sahut Ki Sampar sambil melirik Rangga dan Pandan Wangi.
Nini Angki juga melirik sedikit pada kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Kembali mereka terdiam, dan hanya saling berpandangan saja. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah duduk di bawah pohon, tidak jauh dari kuda-kuda mereka. Sepasang pendekar muda itu juga, tengah berbicara. Entah, apa yang dibicarakan.
"Aku tahu, kau sudah berhasil membunuh Ki Rampak. Tapi itu bukan berarti kemenangan ada di tanganmu sekarang ini, Nini. Masih lebih berat lagi rintangan yang harus kau hadapi untuk membebaskan Desa Tampuk. Terutama sekali, membebaskan ayahmu dari tahanan mereka," kata Ki Sampar dengan suara bergetar karena sudah termakan usia.
"Ya! Memang, tidak mudah mengusir Ki Gagak Bulang dari desa ini, Ki," desah Nini Angki mengakui.
"Kau harus mencari teman Nini. Paling tidak, yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Ki Gagak Bulang," kata Ki Sampar lagi.
"Maksudmu, Ki...?" Tanya Nini Angki tidak mengerti.
Ki Sampar tidak langsung menjawab. Kemudian kepalanya berpaling, dan langsung memandang Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Nini Angki langsung bisa mengerti, meskipun Ki Sampar belum menjelaskan maksudnya. Dan memang diakui, kepandaian yang dimiliki pemuda tampan berbaju rompi putih itu sangat tinggi. Jurus-jurus Pendekar Rajawali Sakti sudah dilihatnya.
Memang, tadi dia membantunya. Tapi, sebenarnya juga tidak diperlukan Rangga dalam menghadapi keroyokan dua puluh orang anak buah Ki Rampak, yang kini diambil alih adik kandungnya. Nini Angki juga sudah merasa kalau bantuan Pendekar Rajawali Sakti sangat diperlukan untuk menghadapi Ki Gagak Bulang. Tapi entah kenapa, dia jadi merasa angkuh. Bahkan tidak ingin mengutarakannya.
"Aku dan semua penduduk Desa Tampuk ada di belakangmu, Nini!” Kata Ki Sampar lagi.
“Tapi, Ki...."
"Aku tahu tekadmu, Nini Nyai Suti sudah banyak cerita padaku. Dia memang wanita yang kuat dan berani. Aku benar-benar mengaguminya. Meskipun berulang kali diancam, tapi tetap saja tidak peduli. Dan sebenarnya pula, aku dan istriku sudah tahu kalau di dalam pasungan kau selalu melatih ilmu-ilmu kedigdayaan. Itu sebabnya, kenapa istriku tidak mempedulikan keselamatan dirinya, dan terus datang membawakan makanan untukmu," selak Ki Sampar cepat membuat Nini Angki tidak bisa lagi berkata-kata.
Memang selama bertahun-tahun ini, jasa Ki Sampar begitu besar padanya. Terutama sekali istrinya. Nyai Suti selalu berani menantang bahaya, walaupun sudah berulang kali diancam agar tidak lagi mengirim makanan, selama Nini Angki berada dalam pasungan. Dan ini tidak mungkin bisa dilupakan begitu saja. Bahkan kitab-kitab yang dibacanya selama bertahun-tahun ini juga berkat jasa Ki Sampar. Laki-laki tua itu begitu berani menyelinap masuk ke dalam rumah Ki Rampak, hanya untuk mengambil kitab ayah gadis ini, kemudian di serahkan padanya. Dengan kitab itu, Nini Angki bisa bertahan dalam pasungan. Bahkan kini menjadi seorang wanita yang berilmu tinggi. Nini Angki terdiam cukup lama.
Sementara, Ki Sampar tidak berbicara lagi, seakan-akan memberi kesempatan pada gadis itu untuk berpikir. Paling tidak, untuk mempertimbangkan sarannya, agar meminta bantuan pada kedua pendekar muda yang digdaya itu. Beberapa kali Nini Angki melirik Rangga. Dan setiap kali lirikannya bertemu sorot mata pendekar muda yang tampan itu, cepat-cepat dialihkan ke arah lain. Entah kenapa, dadanya selalu bergetar bila mendapat sorot mata pemuda tampan itu.
"Mereka tentu bersedia membantu kita, Nini," kata Ki Sampar mendesak, setelah cukup lama Nini Angki hanya diam saja membisu.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin, Ki?" Tanya Nini Angki.
"Mereka adalah para pendekar, Nini. Mereka bersedia membantu. Apalagi, tujuanmu begitu mulia. Aku tahu itu, karena mereka sudah mengatakannya padaku untuk membantu membebaskan penduduk Desa Tampuk dari cengkeraman mereka," jelas Ki Sampar.
"Tapi jumlah mereka begini banyak, Ki. Dan aku masih terus mencoba mengurangi kekuatan mereka,” kata Nini Angki.
"Bagi pendekar, tidak menjadi persoalan dengan jumlah yang banyak, Nini," selak Ki Sampar.
Nini Angki kembali terdiam. Memang, dia sudah melihat sedikit sepak terjang pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Meskipun dikeroyok dua puluh orang bersenjata golok, tapi sedikit pun tidak merasa kewalahan. Bahkan tak ada seorang pun dari pengeroyoknya yang berhasil menyentuh tubuhnya. Juga, ketika diserang puluhan anak panah. Pendekar Rajawali Sakti bahkan bisa membalas dan merobohkan sebagian dari pemanah-pemanah itu. Dari situ saja, sebenarnya Nini Angki sudah merasa yakin kalau tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda tampan itu memang sangat tinggi.
Rangga hanya mengangkat pundaknya saja, ketika Nini Angki mengutarakan keinginannya untuk meminta bantuan menghadapi Ki Gagak Bulang. Pendekar Rajawali Sakti melirik Pandan Wangi. Sedangkan si Kipas Maut itu hanya mengangkat pundaknya sedikit. Seakan-akan, mereka tengah mempermainkan si Perawan Pasungan ini, karena tadi sikapnya begitu angkuh. Dan Nini Angki sendiri menyadari hal itu. Tapi wanita itu hanya diam saja, karena memang memerlukan bantuan kedua pendekar digdaya ini. Terlebih lagi setelah tahu, siapa pemuda tampan berbaju rompi ini dari Ki Sampar.
"Apa yang harus kami lakukan?" Tanya Pandan Wangi, karena Rangga hanya diam saja.
“Terus terang, aku sendiri tidak sanggup menghadapi Ki Gagak Bulang. Dan aku percaya, kalian mampu menghadapinya," kata Nini Angki. “Terutama kau, Kisanak."
"Rangga," selak Rangga meminta gadis itu memanggil namanya saja.
"Tidak pantas aku memanggil namamu saja, Kisanak," tolak Nini Angki.
"Panggil saja seperti Pandan Wangi bila memanggil ku," kata Rangga seraya melirik Pandan Wangi.
"Dia lebih senang kalau dianggap tua, Angki," selak Pandan Wangi berseloroh. "Panggil saja kakang. Dia sudah suka kalau dipanggil begitu."
Nini Angki tersenyum mendengar gurauan Pandan Wangi. Dan memang, Rangga lebih tua beberapa tahun darinya. Jadi, sudah sepantasnya kalau memanggilnya dengan sebutan Kakang Rangga. Sedangkan Ki Sampar hanya tersenyum-senyum saja melihat keakraban yang langsung terjadi di antara ketiga anak muda ini. Terlebih lagi, Pandan Wangi memang pintar mengakrabkan suasana.
"Kau sudah pernah bertarung dengannya, Angki?" Tanya Pandan Wangi
"Dengan Ki Gagak Bulang...?" Nini Angki balik bertanya.
Pandan Wangi mengangguk.
"Belum," sahut Nini Angki. "Tapi dialah yang mengalahkan ayahku, dan menjebloskannya ke penjara bawah tanah yang dibuatnya sendiri."
"Jadi, ayahmu masih hidup?" Selak Rangga, bertanya.
"Aku tidak tahu. Sudah beberapa tahun ini aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Dan selama itu, aku berada dalam pasungan. Kalian pasti sudah tahu dari Ki Sampar," kata Nini Angki seraya melirik Ki Sampar yang duduk bersila di sampingnya.
"Ya! Ki Sampar sudah bercerita banyak. Bahkan tentang hubungan kalian yang masih ada darah keturunan," kata Rangga.
"Memang, Ki Sampar saudara sepupu ayahku," kata Nini Angki membenarkan.
"Angki, kenapa kau begitu yakin tidak bisa menghadapi Ki Gagak Bulang?" Tanya Pandan Wangi lagi menyelak.
"Semua ilmu yang kumiliki berasal dari ayahku. Sedangkan ayahku kalah olehnya. Jadi, tidak mungkin aku bisa menandinginya, Kak Pandan."
"Tapi kau berhasil menewaskan kakaknya," kata Pandan Wangi lagi.
"Kepandaian yang dimiliki ki Rampak memang tidak terlalu tinggi. Dan kekuatannya hanya mengandalkan jumlah pengikutnya saja. Tidak sulit sebenarnya mengalahkannya. Tapi yang menjadi pikiranku adalah menghadapi Ki Gagak Bulang ini. Tingkat kepandaiannya masih jauh berada di atasku," kata Nini Angki berterus terang lagi.
Pandan Wangi melirik sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk dekat di sebelah kanannya. Sedangkan yang dilirik hanya diam saja, lalu menghembuskan napas kuat-kuat
"Baiklah. Aku akan menghadapinya. Sedangkan kau dan Pandan Wangi membereskan pengikut-pengikutnya," kata Rangga.
“Tapi yang terpenting, kita pertemukan dulu Ki Sampar dengan istrinya, Kakang," selak Pandan Wangi.
"He he he...," Ki Sampar jadi terkekeh.
“Ayo, kita berangkat sekarang,” Ajak Rangga seraya bangkit berdiri. Mereka semua berdiri.
“Jauh tempatnya, Angki?” Tanya Pandan Wangi.
“Tidak,” Sahut Nini Angki.
********************
TUJUH
Malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh Desa Tampuk. Kesunyian terasa begitu mencekam. Langit tampak menghitam kelam, terselimut awan yang menggumpal tebal. Sedikit pun tak terlihat cahaya bintang maupun bulan. Dan tak ada seorang pun yang terlihat berada di luar rumahnya. Begitu sunyinya malam ini, hingga detak langkah kaki Nini Angki yang begitu perlahan sampai terdengar di telinganya sendiri.
Gadis itu berjalan perlahan-lahan di dalam kegelapan malam. Pandangannya tertuju lurus ke arah sebuah rumah yang paling besar di Desa Tampuk ini. Rumah yang dulu di tempati bersama ayahnya, tapi sekarang di kuasai Ki Gagak Bulang, setelah kakaknya tewas di tangan si Perawan Pasungan ini. Ayunan langkah kakinya baru berhenti setelah sampai di depan pintu gerbang rumah yang paling besar di Desa Tampuk ini.
Sorot matanya begitu tajam mengamati keadaan sekitar rumah besar itu. Tak ada seorang pun terlihat, walaupun keadaannya cukup terang oleh nyala api pelita dan obor yang terpancang di setiap sudut. Begitu sunyinya, hingga desir angin terasa jelas mengusik telinga.
"Hup!" Ringan sekali Nini Angki melompat naik ke atas tembok batu yang mengelilingi bekas rumahnya ini. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak bagian atas tembok itu. Tubuhnya langsung merunduk, berlindung dari bayang-bayang pohon. Sebentar matanya yang tajam mengawasi keadaan di dalam tembok pagar dari batu ini. Tak terlihat seorang pun. Begitu sepi, seakan-akan rumah ini sudah ditinggalkan begitu saja.
"Hm...," Nini Angki menggumam perlahan.
"Hup!" Kembali Nini Angki melompat turun dari atas tembok itu. Begitu ringan gerakannya, hingga sedikit pun tidak menimbulkan suara. Manis sekali gadis itu menjejakkan kakinya di tanah, kemudian kembali melesat ringan sambil memutar tubuhnya beberapa kali di udara. Hanya tiga kali lompatan saja, dia sudah mencapai bagian samping rumah yang berukuran sangat besar ini. Segera tubuhnya dirapatkan di dinding batu yang dingin dan sedikit berlumut ini.
Seperti seekor kucing, Nini Angki kembali melompat dan hinggap di atas atap. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat cukup tinggi, gadis yang selama ini selalu disebut si Perawan Pasungan itu berlari-lari di atas atap. Tujuannya langsung ke bagian belakang. Dan begitu sampai di bagian belakang, cepat dia melompat turun. Gerakannya begitu ringan dan indah. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, mendadak saja....
Wusss!
"Utfs!
Cepat-cepat Nini Angki memiringkan tubuhnya, begitu matanya menangkap sebatang anak panah meluruk deras ke arahnya. Panah itu lewat sedikit di samping tubuhnya dan langsung menancap di tiang yang terbuat dari kayu.
"He he he...!"
"Oh...?!"
Nini Angki jadi terbeliak, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkekeh. Dan lebih terkejut lagi, saat bermunculan orang-orang yang menghunus senjata golok, kemudian disusul munculnya Ki Gagak Bulang. Sebentar saja Nini Angki sudah terkepung tidak kurang dari empat puluh orang, yang semuanya menggenggam golok terhunus.
"He he he...! Sudah kuduga, kau pasti datang untuk membebaskan ayahmu, Angki," terasa dingin suara Ki Gagak Bulang, disertai tawanya yang terkekeh kering.
"Hm...," Nini Angki hanya menggumam kecil.
“Tapi tidak kukira kau akan datang sendiri, Angki Ke mana teman-temanmu..,? Atau mereka sudah meninggalkan mu?" sinis sekali nada suara Ki Gagak Bulang.
"Jangan banyak mulut." bentak Nini Angki lantang. "Bebaskan ayahku. Dan kau..., enyah dari sini!"
"Ha ha ha...!" Ki Gagak Bulang tertawa tergelak.
Sedangkan Nini Angki hanya mendengus geram. Begitu Ki Gagak Bulang menjejakkan ujung jarinya, seketika itu juga enam orang pemuda bersenjata golok langsung berlompatan menyerang Nini Angki. Golok-golok mereka berkelebat cepat, mengincar tubuh gadis cantik berbaju serba hitam ini.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sret. Wuk!
Sambil melentingkan tubuhnya, Nini Angki langsung mencabut senjatanya berupa tongkat kayu pendek yang ujungnya runcing tajam. Secepat kilat tongkatnya dikebutkan menyampok sebilah golok yang melayang deras mengarah dadanya.
Trak!
Begitu golok bisa terhalau, cepat sekali Nini Angki memutar tongkatnya. Langsung tongkatnya dibabatkan dengan kecepatan bagai kilat di leher pemuda itu. Begitu cepatnya serangannya, sehingga pemuda itu tidak sempat lagi berkelit. Dan....
Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar. Ujung tongkat kayu berukuran pendek telah merobek leher pemuda itu hingga hampir buntung. Darah langsung muncrat berhamburan, bersamaan dengan ambruknya tubuh pemuda itu.
"Hyyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Nini Angki cepat melentingkan tubuhnya. Dan secepat itu pula dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi kearah salah seorang pengeroyoknya. Begitu cepat tendangannya, sehingga lawannya tidak sempat lagi menghindar.
Begkh!
"Akh...!"
"Hiyaaa...!"
Wuk!
Bret! Bret!
Kembali ujung tongkat Nini Angki yang berbentuk runcing, merobek tenggorokan lawannya. Kembali darah menyembur keluar deras sekali dari leher yang terkoyak lebar. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, sudah dua orang tergeletak tak bernyawa lagi, dengan leher terkoyak hampir buntung. Dan ini membuat Ki Gagak Bulang jadi geram setengah mati.
"Minggir...!" seru Ki Gagak Bulang lantang menggelegar. "Hiyaaa...!"
Begitu empat orang yang tersisa berlompatan mundur, bagaikan kilat laki-laki setengah baya berwajah kasar itu melompat langsung menyerang Nini Angki. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Ki Gagak Bulang, sehingga membuat Nini Angki jadi kelabakan menghindarinya.
"Heaaat..!" Nini Angki terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan kilat yang dilancarkan laki-laki setengah baya ini.
Memang sungguh dahsyat serangan-serangan yang dilancarkan Ki Gagak Bulang. Setiap kali pukulannya terlontar, menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat, disertai pancaran hawa panas yang sangat menyengat. Nini Angki cepat menyadari kalau pukulan-pukulan itu mengandung pengerahan tenaga dalam yang begitu tinggi. Dan wanita itu tidak ingin bertindak ayal-ayalan untuk memapak serangan itu, Tapi, tampaknya Ki Gagak Bulang tidak memberi kesempatan sedikit pun pada gadis ini untuk bisa membalas menyerang. Saat itu, jurus-jurusnya yang begitu dahsyat dan berbahaya langsung dikerahkan.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan pertarungan itu berlangsung semakin dahsyat saja. Begitu tinggi tingkatan ilmu yang dimiliki Ki Gagak Bulang, sehingga gerakan-gerakannya begitu sukar diikuti mata biasa. Dan kini, Nini Angki sudah kelihatan kewalahan menghadapinya. Dia hanya mampu berkelit dan menghindar, tanpa dapat lagi membalas serangan-serangan laki-laki setengah baya ini.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang begitu cepat ke arah dada gadis cantik berbaju serba hitam ini.
"Haiit..!"
Cepat-cepat Nini Angki berkelit menghindar dengan mengegoskan tubuhnya. Tapi belum juga bisa menyempurnakan kedudukan tubuhnya, tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang sudah melepaskan satu tendangannya keras menggeledek, sambil memutar tubuhnya.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya, tendangan itu, membuat Nini Angki jadi terbeliak. Dan wanita itu tidak mampu lagi menghindar, dalam keadaan tubuh yang tidak sempurna. Apalagi, dia baru saja menghindari satu pukulan keras menggeledek yang dilepaskan laki-laki setengah baya berwajah kasar ini. Hingga...
Des!
“Akh...!"
Bruk!
Keras sekali tendangan itu mendarat di dada, membuat Nini Angki terbanting keras ke tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, namun cepat bisa bangkit berdiri lagi. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, mendadak...
"Hiyaaa...!"
Begkh!
"Aaakh...!"
Kembali Nini Angki terpental dan terbanting keras begitu satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi mendarat telak di dadanya. Tampaknya gadis itu seperti tidak mampu bangkit lagi dengan cepat Dia menggeliat sambil mengerang lirih. Tampak darah mengalir keluar dari mulut dan hidungnya. Memang keras sekali pukulan yang dilepaskan Ki Gagak Bulang yang mendarat telak di dada. Sehingga Nini Angki merasakan nafasnya jadi sesak.
“Tangkap dia!" seru Ki Gagak Bulang memberi perintah.
Nini Angki yang kelihatannya sudah tidak lagi berdaya, tiba-tiba saja melesat bangkit ketika dua orang pemuda hendak meringkusnya dengan kasar. Dan tanpa diduga sama sekali, dilepaskannya dua pukulan beruntun yang begitu cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Akh!"
"Ugkh!"
Kedua pemuda itu hanya mampu memekik dan melenguh begitu pukulan Nini Angki mendarat telak di tubuhnya. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, Nini Angki sudah cepat sekali mengebutkan tongkat kayunya yang sepanjang tiga jengkal. Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling sambut. Kemudian disusul oleh ambruknya dua orang pemuda yang tadi hendak meringkusnya dengan kasar. Darah langsung muncrat dari leher yang terpenggal hampir buntung.
"Setan...!" desis Ki Gagak Bulang menggeram berang.
"Hiyaaat..!" Bagaikan kilat, Ki Gagak Bulang melesat sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun ke arah gadis yang selama ini dikenal sebagai Perawan Pasungan. Tapi tanpa diduga sama sekali, Nini Angki ternyata masih memiliki sisa-sisa kekuatan yang tidak bisa dipandang enteng. Dengan gerakan-gerakan tubuh begitu manis dan lincah, serangan-serangan Ki Gagak Bulang berhasil dihindari.
"Hup! Hiyaaa...!”
Hingga pada satu kesempatan, Nini Angki melenting ke udara. Tapi baru saja melesat, tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang sudah melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Begitu cepatnya pukulan itu terlontar, sehingga Nini Angki tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, dia sedang berada di udara saat ini. Hingga....
Des! "Aaakh...!"
Kembali Nini Angki memekik keras, begitu pukulan Ki Gagak Bulang mendarat di tubuhnya. Dan begitu Nini Angki jatuh terguling, cepat sekali Ki Gagak Bulang memberi satu tendangan keras menggeledek. Dan akibatnya gadis itu terpental jauh. Keras sekali tubuhnya menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping. Nini Angki hanya mampu merintih lirih sambil menggeliat. Saat itu juga, Ki Gagak Bulang melompat menghampiri. Dan....
Tukk!
"Ukh...!"
Nini Angki hanya bisa melenguh kecil, begitu satu totokan mendarat di lehernya. Dan seketika, tubuhnya jadi lemas tak berdaya lagi. Dia hanya mampu meringis menahan sakit dan sesak pada dadanya, saat merasakan satu tendangan keras kembali menghantam tubuhnya.
"Ringkus dia!" perintah Ki Gagak Bulang.
Dua orang pemuda bergegas menghampiri, dan langsung meringkus Nini Angki. Dengan kasar sekali Nini Angki dipaksa berdiri. Sementara itu, Ki Gagak Bulang melangkah menghampiri. Dan tiba-tiba saja....
Plak! "Akh!"
Nini Angki kembali terpekik, begitu satu tamparan keras mendarat di pipinya. Gadis itu langsung terkulai lemas. Begitu kerasnya tamparan itu, membuat Nini Angki merasa pening dan berkunang-kunang. Perlahan kemudian, pandangannya mulai mengabur, dan pendengarannya pun semakin berkurang. Lalu begitu satu pukulan bersarang di tengkuknya, gadis cantik itu langsung ambruk kembali ke tanah. Hanya sedikit saja dia mengerang dan menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
"Masukkan dia ke penjara bersama ayahnya," perintah Ki Gagak Bulang.
Dua orang pemuda langsung menyeret kasar gadis itu. Sementara Nini Angki benar-benar sudah tidak lagi bertenaga. Bahkan kesadarannya pun sudah lenyap. Dunia baginya saat ini begitu gelap. Nini Angki merasakan dirinya kini sudah mati dan sedang menuju ke Swargaloka. Dan tidak tahu lagi, apa yang terjadi pada dirinya. Dia juga tidak tahu, kalau dua orang pemuda telah membawanya masuk ke dalam penjara bawah tanah.
********************
Sementara itu, di tengah hutan yang letaknya agak jauh dari Desa Tampuk, Rangga dan Pandan Wangi tengah kelabakan mencari Nini Angki yang menghilang begitu saja. Ki Sampar dan istrinya juga ikut mencari. Tapi, Nini Angki benar-benar tidak ada lagi. Entah pergi ke mana, tak ada seorang pun yang tahu.
"Apa dia tidak bilang apa-apa, Ki?" tanya Rangga.
“Tidak," sahut Ki Sampar.
“Tadi, katanya hanya ingin mencari angin sebentar. Tapi sampai sekarang belum juga kembali," ujar Nyai Suti.
"Kakang, apa mungkin dia pergi ke Desa Tampuk...?" selak Pandan Wangi, seperti bertanya pada diri sendiri.
"Edan...! Untuk apa dia ke sana sendiri...?" dengus Rangga.
"Anak itu memang keras wataknya, Den," ujar Nyai Suti. "Dia pasti memang pergi ke sana untuk membebaskan ayahnya."
"Iya. Tapi kenapa harus sendiri...? Bukankah dia sudah setuju untuk mengadakan serangan besok siang...?" desis Rangga jadi kesal.
"Mungkin dia sudah tidak sabar lagi, Den," kata Nyai masih membela Nini Angki.
"Hhh!" Rangga mendengus berat. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti bergegas melangkah menghampiri kudanya. Pandan Wangi, Ki Sampar, dan istrinya bergegas mengikuti.
Sementara, Rangga sudah melompat naik ke punggung kudanya. Gerakannya begitu cepat dan ringan. Sedangkan Pandan Wangi baru saja sampai di samping kudanya. Gadis itu memegang tali kekang kuda putih ini. Sementara, Ki Sampar dan istrinya hanya berdiri saja di depan Rangga yang berada di punggung kuda hitam Dewa Bayu.
"Mau ke mana, Den?" Tanya Nyai Suti.
"Cari Nini Angki," sahut Rangga singkat.
"Ke mana?" Tanya Nyai Suti lagi.
"Mungkin ke Desa Tampuk," sahut Rangga lagi.
Rangga melirik sedikit pada Pandan Wangi yang sudah duduk di punggung kudanya yang berbulu putih dan tegak. Sedangkan Ki Sampar dan istrinya hanya memandangi saja kedua pendekar muda itu bergantian.
"Pandan, kau pakai kudaku. Biar Ki Sampar dan Nyai Suti pakai kudamu," kata Rangga langsung melompat turun dari punggung kuda. Pandan Wangi juga segera melompat turun dari punggung kuda putihnya.
"Kau bisa naik kuda, Ki?" Tanya Rangga.
"Dulu waktu masih muda, aku sering naik kuda," sahut Ki Sampar.
"Pakailah kuda Pandan Wangi. Pelan-pelan saja." Kata Rangga.
"Kau sendiri.?"
Rangga hanya tersenyum saja. Sebentar Pendekar Rajawali sakti berbicara pada Pandan Wangi, kemudian menepuk pundak gadis yang berjuluk si Kipas Maut. Setelah mengatakan beberapa pesan pada Ki Sampar dan Nyai Suti, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melesat cepat bagai kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Sementara Pandan Wangi membantu Ki Sampar dan istrinya naik ke kuda putih miliknya. Sedangkan dia sendiri kemudian melompat naik ke punggung Dewa Bayu.
"Hrs...! Cek, cek...!"
Pandan Wangi sengaja menjalankan kuda pelan-pelan, mendampingi kuda yang ditunggangi Ki Sampar dan istrinya. Mereka jelas menuju Desa Tampuk, karena begitu yakin kalau Nini Angki pergi kesana untuk membebaskan ayahnya. Juga, untuk membalas dendam pada Ki Gagak Bulang. Dan ini yang dikhawatirkan.
********************
DELAPAN
Malam masih menyelimuti permukaan bumi Desa Tampuk. Kesunyian masih terasa begitu mencekam. Tidak ada seorang pun terlihat berkeliaran di luar. Tapi di sekitar rumah besar yang hanya satu-satunya di desa itu, tampak dijaga ketat puluhan pemuda yang semuanya bersenjata golok terselip di pinggang. Saat itu, Rangga yang datang ke desa ini mempergunakan ilmu lari cepat yang dipadu ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, sudah sampai di depan rumah besar yang kini ditempati Ki Gagak Bulang.
Hanya sebentar saja Rangga mengamati keadaan sekitarnya, kemudian dengan gerakan ringan sekali melesat langsung ke atas rumah. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat mendaratkan kakinya di alas atap rumah ini. Seperti seekor kucing, Rangga berlari-lari ringan menuju langsung ke bagian belakang. Dia tahu, penjara bawah tanah yang mengurung ayah Nini Angki adanya di bagian belakang. Dan hal itu diketahuinya dari Ki Sampar.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan saat melihat sekitar enam orang menjaga bangunan kecil dari batu. Pendekar Rajawali Sakti tahu, bangunan kecil dari batu itu merupakan pintu masuk ke dalam penjara. Beberapa saat diamatinya keadaan sekelilingnya. Begitu ketat penjagaannya. Kalau dia melakukan gerakan, pasti cepat bisa diketahui. Rangga terpaksa harus memutar otaknya, mencari jalan terbaik untuk membebaskan ayah Nini Angki dari dalam penjara bawah tanah.
Tapi Rangga juga jadi heran, karena sejak tadi tidak melihat Nini Angki di sini. Rangga jadi bertanya-tanya sendiri. Entah kenapa, terselip rasa kecemasan yang tiba-tiba terhadap diri gadis itu. Dia khawatir, terjadi sesuatu pada Nini Angki. Karena dia tahu, gadis itu tidak akan mungkin bisa menandingi kepandaian Ki Gagak Bulang. Walaupun kepandaian yang dimiliki Nini Angki sudah cukup tinggi, tapi masih kalah beberapa tingkat bila dibanding Ki Gagak Bulang.
"Turunlah kau. Tidak baik menyelinap begitu di tengah malam....”
"Heh...?!" Rangga terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja terdengar suara menggema di telinganya. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di atas atap ini sudah berdiri seorang laki-laki setengah baya. Dialah Ki Gagak Bulang, adik kandung Ki Rampak. Saat itu, Rangga cepat berdiri.
"Sudah kuduga, kau pasti datang ke desa ini bukan hanya sekadar singgah, Anak Muda," ujar Ki Gagak Bulang dingin. "Mau apa kau menyelinap di rumahku?"
"Aku mencari seseorang," sahut Rangga kalem.
“Tidak ada yang bisa kau temukan di sini, Anak Muda."
“Tapi, aku yakin dia ada sini," tegas Rangga.
"Phuih!" Ki Gagak Bulang menyemburkan ludahnya.
Sementara Rangga mengedarkan pandangannya ke bawah. Pendekar Rajawali Sakti agak terkejut juga, begitu melihat sekeliling rumah ini sudah terkepung puluhan orang bersenjata golok. Dan rata-rata mereka masih berusia muda. Langsung disadari kalau kedatangannya memang sudah ditunggu. Dan dia juga yakin, Nini Angki pasti ada di sini. Diduga, gadis itu pasti sudah tertangkap. Rangga hanya bisa berharap tidak terjadi sesuatu pada Nini Angki.
"Anak muda! Kalau kau mencari Nini Angki, dia sudah mampus. Dan sebaiknya, jangan ikut campur dalam persoalan ini." Dingin sekali nada suara Ki Gagak Bulang.
"Boleh aku melihat jasadnya...?" Pinta Rangga tidak percaya.
"Kalau kau ingin lihat, pergi saja ke hutan sana. Dia sudah habis dimakan binatang liar!" dengus Ki Gagak Bulang.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja. Begitu tipis senyumnya. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak percaya kalau Nini Angki sudah tewas. Dia tahu, kepandaian yang dimiliki gadis itu cukup tinggi, dan tidak mungkin bisa dikalahkan begitu saja.
"Sebelum pikiranku berubah, sebaiknya cepat tinggalkan desa ini, Anak Muda. Aku tidak sudi lagi melihat mukamu di sini!" bentak Ki Gagak Bulang.
"Aku akan pergi bersama Nini Angki," sahut Rangga kalem. Namun terdengar tegas nada suaranya. "Di mana dia...?"
"Keparat...! Kau mencari penyakit, Bocah!" geram Ki Gagak Bulang mulai gusar.
"Di mana Nini Angki, Kisanak?" Desak Rangga.
"Dia sudah mampus!"
"Aku ingin jasadnya," Rangga terus mendesak.
"Setan....! Kau ingin mampus juga, heh...?"
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Begitu tipis senyumannya. Dan ini membuat Ki Gagak Bulang tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Sikap Rangga yang begitu tenang, dianggap meremehkan dirinya.
"Pisah kepalamu, Bocah! Hiyaaa,..!"
Tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang berseru nyaring. Lalu, bagaikan kilat dia melompat cepat sambil mencabut goloknya yang berwarna hitam pekat. Begitu cepat serangan yang dilakukannya, membuat Rangga jadi terhenyak sesaat.
"Haiiit..!"
Namun dengan gerakan manis sekali Pendekar Rajawali sakti berhasil mengelakkan tebasan golok hitam itu di lehernya. Dan cepat-cepat tubuhnya dimiringkan ke kiri, lalu secepat kilat pula tangan kanannya bergerak menyodok ke arah lambung.
"Utfs...!" Ki Gagak Bulang jadi tersentak kaget. Cepat-cepat laki-laki setengah baya itu melompat mundur beberapa langkah, menghindari sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu menjejak atap rumah ini, secepat kilat Ki Gagak Bulang melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Goloknya yang berwarna hitam pekat langsung dikibaskan beberapa kali dan cepat sekali. Akibatnya, Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan begitu satu tendangan keras menggeledek di lepaskan laki-laki setengah baya itu, Rangga tidak dapat lagi berkelit menghindar. Cepat tangannya dihentakkan, menangkis tendangan sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Hingga tak pelak lagi, tangan dan kaki yang mengandung kekuatan tenaga dalam itu beradu keras.
Plak.
"Ikh! Hiyaaa...."
"Hup!"
Mereka sama-sama terpental ke belakang sejauh beberapa langkah. Rangga yang berada di tepi tidak dapat lagi menguasai keseimbangan. Tubuhnya langsung meluncur turun dengan deras sekali. Tapi sebelum mencapai tanah, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...."
Saat itu juga, dua orang pemuda bersenjata golok sudah berlompatan cepat sambil membabatkan goloknya ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap! Yeaaah...."
Rangga langsung mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu cepat sekali gerakan kedua tangannya mengibas, sehingga dua orang pemuda yang menyerangnya tidak dapat lagi menghindari. Dan mereka jadi terpekik begitu kibasan tangan Rangga menghantam kepalanya, hingga pecah berantakan. Kedua pemuda itu langsung ambruk menggelepar tak bernyawa lagi. Darah berhamburan dari kepala yang pecah terkena kibasan tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.
“Hup! Hiyaaa...!"
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya, begitu melihat Ki Gagak Bulang sudah meluruk deras dari atas atap. Golok yang berwarna hitam itu langsung dibabatkan ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Utfs!" Hanya sedikit saja golok hitam itu lewat di atas kepala Rangga. Lalu, cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Dan pada saat itu, dari arah belakang sudah melompat dua orang sambil membabatkan goloknya cepat sekali.
"Haittt..!" Rangga cepat-cepat merunduk ke depan, dan secepat kilat menghentakkan kakinya ke belakang. Langsung ditendangnya dada salah seorang pembokongnya. Kemudian tubuhnya langsung diputar sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek ke arah seorang lagi. Jeritan-jeritan panjang terdengar saling sambut, disusul ambruknya dua orang pemuda yang membokong Pendekar Rajawali Sakti. Mereka langsung tewas seketika begitu tubuhnya menghantam tanah.
"Keparat..! Hiyaaat..!"
Sambil mendesis geram, Ki Gagak Bulang kembali melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu juga, beberapa orang pemuda ikut berlompatan mengeroyok pemuda berbaju rompi putih ini
"Hap! Hiyaaat..!"
Begitu cepat sekali gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga serangan-serangan yang datang dari segala penjuru itu tidak ada yang berhasil menyentuh tubuhnya. Bahkan pukulan-pukulan yang dilepaskan membuat para penyerangnya menjerit keras, dan berpentalan dengan nyawa melayang dari tubuh.
"Phuih...!" Rangga benar-benar geram setengah mati, menghadapi keroyokan yang begitu banyak. Bahkan ruang geraknya semakin menyempit saja. Dan dia juga sudah mulai sulit menghindari serangan-serangan yang datang cepat dan beruntun dari segala arah itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Dan begitu memiliki kesempatan, cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke udara. Tapi beberapa orang pengeroyoknya sudah berlompatan cepat mengejar. Tak ada lagi pilihan buat Rangga. Cepat-cepat pedang pusakanya yang tersimpan dalam warangka di punggung dicabut.
Cring!
Seketika itu juga, cahaya biru yang berkilau menyilaukan mata menyemburat terang dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Beberapa orang yang mencoba mengejar Rangga di udara, langsung menutupi matanya dengan tangan. Mereka tidak sanggup menentang cahaya biru yang memancar dari pedang itu.
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat membabatkan pedangnya beberapa kali. Seketika itu juga jeritan-jeritan melengking dan menyayat terdengar saling sambut Tampak tubuh-tubuh yang terpenggal buntung berjatuhan ke tanah.
"Hap!" Manis sekali Rangga kembali mendarat, dan menjejakkan kakinya di tanah. Kali ini, tak ada seorang pun yang berani mendekat. Pendekar Rajawali Sakti melintangkan pedangnya di depan dada. Dengan pedang pusaka yang memancarkan cahaya biru berkilauan, membuat Pendekar Rajawali Sakti bagaikan dewa maut yang siap mencabut nyawa.
"Seraaang...!" seru Ki Gagak Bulang keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
“Yeaaah...!"
Kembali Rangga diserang dari segala jurusan. Namun dengan pedang pusaka berada di tangan, Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi mengalami kesulitan. Cahaya biru terang yang memancar dari pedang pusaka Rajawali Sakti berkelebatan begitu cepat, hingga bentuknya lenyap tak terlihat. Dan hanya kilatan-kilatan cahaya biru saja yang terlihat berkelebatan menyambar orang-orang yang menyerangnya. Jeritan-jeritan menyayat terdengar saling susul. Setiap kali pedang itu bergerak berkelebat, satu dua orang langsung ambruk menggelepar tak bernyawa lagi. Dan pada saat itu, terdengar suara ringkikan kuda yang begitu keras.
"Hiyaaat..!"
“Pandan Wangi...," desis Rangga begitu melihat seorang gadis berbaju biru melompat cepat dari punggung kuda hitam.
Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu langsung mengamuk dengan kipas bajanya di tangan kanan. Hanya beberapa gebrakan saja, Pandan Wangi sudah menewaskan beberapa orang. Jeritan-jeritan yang melengking dan menyayat semakin se-ring terdengar dengan datangnya Pandan Wangi. Dan gempuran anak buah Ki Gagak Bulang jadi tidak terarah lagi.
Saat itu juga, terdengar teriakan-teriakan keras dari bagian depan rumah besar ini. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat orang-orang berlarian sambil mengacungkan senjata dari berbagai macam bentuk. Rangga jadi terhenyak kaget, tidak menyangka kalau para penduduk Desa Tampuk begitu cepat berdatangan. Bahkan mereka langsung terjun ke dalam kancah pertarungan ini. Keadaan pun semakin tidak karuan saja. Jeritan-jeritan melengking dan menyayat mengantar kematian semakin sering terdengar, bercampur baur suara denting senjata beradu.
"Hup!" Rangga cepat melompat begitu melihat ki Gagak Bulang melesat hendak meninggalkan kancah pertarungan. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga hanya sekali lesatan saja sudah berhasil menyusul Ki Gagak Bulang. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat menghadang di depan laki-laki setengah baya ini
"Kau tidak bisa pergi dariku, Ki Gagak Bulang," desis Rangga dingin.
"Keparat..! Phuih!" dengus Ki Gagak Bulang sambil menyemburkan ludahnya dengan geram.
Cepat laka-laki setengah baya itu melintangkan goloknya yang berwarna hitam ke depan dada. Sementara, Rangga menjulurkan pedangnya lurus ke depan. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuat pandangan Ki Gagak Bulang jadi terganggu.
"Hiyaaat..!" Bagaikan kilat, Ki Gagak Bulang melompat sambil, membabatkan goloknya, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Namun, Rangga tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Dan begitu golok hitam itu sudah dekat cepat sekali pedangnya dikebutkan untuk menyampok golok hitam itu.
"Yeaaah...!"
Tring! Trak!
"Heh...?!"
Ki Gagak Bulang jadi tersentak kaget setengah mati. Dia tidak dapat lagi menarik pulang senjatanya, hingga beradu keras dengan pedang pusaka Rajawali Sakti. Dan lebih terkejut lagi, begitu melihat goloknya ternyata terpotong menjadi dua bagian.
"Yeaaah...!" Belum Juga hilang rasa terkejutnya, Pendekar Rajawali Sakti sudah melompat cepat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek. Begitu cepat serangannya, sehingga Ki Gagak Bulang tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Begkh! "Akh...!"
Begitu kerasnya tendangan yang dilepaskan Rangga, membuat tubuh Ki Gagak Bulang terbanting keras ke tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan. Darah langsung menyembur keluar dari mulutnya, begitu mencoba bangkit berdiri. Sementara, Rangga sudah kembali bergerak mendekati.
Tiba-tiba saja ki Gagak Bulang mengibaskan cepat tangan kanannya. Seketika itu juga, terlihat beberapa benda berwarna keperakan melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun begitu cepat pula Rangga memutar pedangnya. Hingga, senjata-senjata rahasia itu rontok sebelum mencapai tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat begitu melihat Ki Gagak Bulang mencoba melarikan diri. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke leher laki-laki setengah baya ini. Hingga...
Cras!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat. Tampak Ki Gagak Bulang berdiri tegak mematung, tapi tak berapa lama kemudian tubuhnya jadi limbung. Dan tepat pada saat Rangga memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka, terlihat Ki Gagak Bulang ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung menyemburat keluar deras sekali dari leher yang sudah tidak berkepala lagi.
"Hhh!" Rangga menghempaskan napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya perlahan, begitu mendengar suara langkah kaki menghampiri. Tampak Pandan Wangi melangkah cepat menghampiri.
Sementara, pertarungan antara orang-orang Ki Gagak Bulang melawan penduduk desa Tampuk pun sudah berakhir. Di bawah pimpinan Ki Sampar, mereka beramai-ramai mencoba menghancurkan pintu penjara bawah tanah untuk membebaskan Nini Angki dan ayahnya, yang dikurung di sana.
"Mereka tahu, Nini Angki berada di sana bersama ayahnya, Kakang,” kata Pandan Wangi memberi tahu, sebelum Rangga bertanya.
Tampak Ki Sampar dan beberapa orang menerobos masuk begitu pintu berhasil dibongkar paksa. Tak berapa lama kemudian, mereka keluar lagi bersama Nini Angki dan seorang laki-laki tua bertubuh kurus yang keadaannya begitu lemah.
"Ayo kita pergi," ajak Rangga.
"Tidak tunggu mereka dulu, Kakang?" Tanya Pandan Wangi.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja, kemudian melangkah menghampiri kudanya. Pandan Wangi mengikuti dari belakang. Tak berapa lama kemudian, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah melesat pergi, sebelum ada seorang pun yang tahu.
S E L E S A I
BERIKUTNYA: PENYAMARAN RADEN SANJAYA