Pendekar Rajawali Sakti
SILUMAN PENGHISAP DARAH
SATU
SIANG itu udara terasa sangat panas. Seorang wanita muda berbaju kumal penuh tambalan berjalan perlahan-lahan di bawah teriknya sinar matahari yang berada tepat di atas kepala. Jalan yang dilaluinya penuh dengan batu kerikil, seakan-akan ingin memanggang kakinya yang telanjang. Tapi, tidak dipedulikannya batu-batu yang mulai membara terbakar sinar matahari yang begitu terik itu. Kakinya terus melangkah perlahan-lahan. Tatapan mata wanita muda itu terlihat begitu tajam memandang lurus ke depan. Di ujung jalan yang sedang dilaluinya, tampak sebuah perkampungan yang begitu sunyi, bagai tidak berpenduduk. Terlihat satu dua orang sempat melintas di jalan itu, tapi kemudian menghilang lagi ke dalam rumah. Wanita berpakaian seperti gembel itu menghentikan ayunan kakinya. Dilihatnya seorang wanita separuh baya yang bertubuh gemuk tengah duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang, melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.
"Mau apa kau di situ, Gembel Busuk!? Pergi sana...!" bentak wanita gemuk itu begitu melihat didekatnya telah berdiri seorang perempuan muda. Tubuhnya kotor, dan pakaiannya kumal penuh tambalan.
"Hsss...!" Wanita berpakaian kumal itu hanya mendesis seperti ular. Matanya yang semakin tajam dan memerah terus menatap perempuan gemuk itu. Perlahan bibirnya bergerak terbuka dan menyeringai. Tampak dua buah taring menyembul keluar, sehingga wajahnya yang kotor penuh lumpur semakin kelihatan menyeramkan.
"Akh...!" pekik perempuan gemuk itu ketakutan.
Tapi, belum sempat dia berbuat sesuatu, tiba-tiba wanita berbaju kumal penuh tambalan itu sudah melompat cepat seperti harimau yang menerkam mangsa. Begitu cepat gerakannya, tahu-tahu sudah dicengkeramnya perempuan separuh baya bertubuh gemuk itu.
"Ghraaaugkh...!"
"Aaa..!!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Kesunyian pun terpecah di siang hari yang panas menyengat itu. Tampak wanita berpakaian gembel itu menghunjamkan giginya yang bertaring ke leher berdaging gemuk itu. Darah pun seketika muncrat keluar. Dan, wanita gemuk itu berkelojotan meregang nyawa.
"Ghraaagkh...!"
Sambil menggerung bagai binatang buas, wanita berpakaian kumal penuh tambalan itu mengoyak leher dan dada korbannya dengan buas sekali. Lalu, seperti seorang pengelana yang kehausan, dihirupnya darah segar yang berhamburan keluar dari dada dan leher yang terkoyak lebar itu. Sedangkan si wanita gemuk sudah diam tak bergerak lagi.
Jeritan yang begitu panjang dan melengking tadi rupanya terdengar oleh penduduk desa yang berada tidak jauh dari tempat itu. Seketika, orang-orang pun bermunculan dari dalam rumah. Mereka berlarian menuju ke arah datangnya jeritan tadi, sambil menggenggam berbagai bentuk senjata. Namun, para penduduk desa itu tersentak kaget begitu melihat seorang wanita berbaju penuh tambalan tengah mencabik-cabik tubuh seorang wanita gemuk. Wajah mereka langsung memucat.
"Ghrrr..!" Setelah tidak ada lagi darah yang tersisa, wanita kumal yang buas itu segera bangkit berdiri. Matanya yang memerah dan menyorot tajam langsung menatap pada kerumunan orang banyak. Dia mendesis dan meraung kecil. Lalu...
Wusss...!
Tiba-tiba wanita aneh itu melesat cepat bagai kilat, sehingga dalam sekejap mata sudah lenyap dari penglihatan. Dan para penduduk yang tadi berdatangan itu masih tertegun kaku seperti mimpi.
Kegemparan menyelimuti Desa Gedangan. Semua orang membicarakan peristiwa berdarah yang begitu mengerikan dan baru pertama kali terjadi itu. Terlebih lagi, hampir semua orang di desa ini melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana buasnya wanita aneh itu mencabik serta menghirup darah penduduk yang menjadi korbannya. Tak ada seorang pun yang tidak membicarakan peristiwa aneh dan mengerikan itu. Semua orang larut membicarakannya, tidak terkecuali Ki Legik.
Kepala Desa Gedangan ini tidak habis-habisnya memikirkan peristiwa mengerikan yang baru pertama kali terjadi di desanya ini. Siang itu juga dia mengumpulkan para pemuka desa, yang seluruhnya berjumlah empat orang. Mereka adalah Ki Murad, Ki Rasak, Ki Bulang, dan Cantraka yang paling muda di antara para pemuka desa lainnya. Juga usianya masih sekitar tiga puluh lima tahun.
"Aku tidak akan memanggil kalian ke sini kalau tidak ada seorang pun yang melihat kejadiannya. Hampir semua penduduk Desa Gedangan ini melihatnya...," kata Ki Legik memulai pembicaraan.
"Memang sungguh mengerikan Ki. Aku sendiri jelas melihatnya," selak Ki Murad. "Aku tidak tahu, dia itu manusia atau binatang. Begitu buas dan liar."
"Hm..., apakah kau mengenali wajahnya?" tanya Ki Legik seraya menatap cukup dalam pada wajah Ki Murad.
"Sulit untuk mengenalinya, Ki. Sosoknya menyeramkan dan kotor sekali. Pakaiannya seperti gembel, penuh tambalan dan compang-camping. Tapi...," Ki Murad menghentikan kata-katanya.
"Tapi kenapa, Ki Murad?" tanya Cantraka minta diteruskan.
"Tampaknya dia seorang wanita, Cantraka."
"Wanita...?!"
Semua orang yang berada di ruangan depan rumah kepala desa itu terlongong-longong. Seakan-akan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Mereka berpandangan satu sama lain. Memang, di antara mereka berlima, hanya Ki Murad yang melihat langsung peristiwa mengerikan itu.
Sedangkan yang lain, bahkan Kepala Desa Gedangan sendiri, hanya mendengar ceritanya. Semua mata kini tertuju pada Ki Murad, seakan-akan meminta keterangan lebih banyak lagi dari laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna biru ini.
"Dari bentuk tubuhnya, aku yakin kalau dia wanita. Tapi suaranya seperti raungan Harimau," lanjut Ki Murad.
"Hm...." Ki Legik menggumam perlahan.
Keningnya yang sudah banyak kerutannya semakin dalam la-gi berkerut. Janggutnya yang panjang dan sudah memutih semua dielus-elusnya. Laki-laki tua yang mengenakan baju berwarna putih itu mengangguk-anggukkan kepala. Sungguh dia tidak menyangka kalau makhluk buas dan mengerikan itu ternyata seorang wanita.
Dan yang lebih tidak dimengerti lagi, tidak ada darah setetes pun yang tersisa pada korban yang seluruh tubuhnya tercabik itu. Bahkan lehernya berlubang sangat besar, hampir buntung. Dadanya pun berlubang, sampai menampakkan seluruh isinya. Siapa pun yang melihat keadaan korban hasil keganasan wanita liar itu pasti akan bergidik ngeri.
Dan kalau tak melihat langsung kejadian yang menggemparkan itu, siapa pun pasti akan menyangka bahwa itu adalah perbuatan seekor binatang buas yang keluar dari dalam hutan. Tapi peristiwa itu disaksikan oleh hampir seluruh penduduk Desa Gedangan ini Maka, tak ada alasan lagi untuk tak mempercayainya.
"Apa kau juga perhatikan, ke mana dia pergi?" tanya Ki Legik setelah cukup lama merenung.
"Tampaknya dia pergi ke Hutan Cengkir," sahut Ki Murad lagi.
"Hm...," gumam Ki Legik lagi.
"Apa tidak sebaiknya kita kejar saja ke sana sebelum dia kembali lagi dan mengambil korban?" selak Ki Bulang, yang sejak tadi diam saja.
"Benar, Ki. Lebih baik kita mendahului daripada nanti jatuh korban lebih banyak lagi," sambung Ki Rasak menyetujui usul Ki Bulang.
"Hutan itu terlalu luas dan lebat. Juga banyak binatang buasnya. Terlalu berbahaya jika kita harus mengejar masuk ke sana," kata Ki Legik, yang tampaknya tidak menyetujui usul itu.
"Ada kemungkinan juga, dia hanya lewat dan tidak kembali lagi ke sini," kata Ki Murad, yang bisa mengerti akan keberatan kepala desa itu.
"Kepercayaan penduduk bisa hilang kalau kita diam saja, Ki," desak Ki Bulang.
"Hm..., lalu siapa yang akan pergi ke sana?" tanya Ki Legik.
"Aku dan semua muridku," sahut Ki Bulang mantap.
"Aku akan menjaga di sekitar tepian hutan," sambung Ki Rasak.
"Kalau Ki Legik mengizinkan, aku akan ke sana sekarang juga," sambung Ki Bulang, bersemangat sekali.
"Hhh...!" Ki Legik menarik napas dalam-dalam. Terasa berat sekali tarikannya. Sebentar dia terdiam, kemudian menganggukkan kepalanya sedikit.
Ki Bulang dan Ki Rasak bergegas berdiri. Setelah membungkukkan tubuh memberi hormat, kedua laki-laki tua itu bergegas meninggalkan rumah Kepala Desa Gedangan ini. Sedangkan Ki Legik, Ki Murad, dan Cantraka masih tetap duduk di kursinya masing-masing. Mereka masih tetap terdiam, walaupun Ki Bulang dan Ki Rasak sudah tidak terlihat lagi.
"Seharusnya kau tidak membiarkan mereka pergi ke Hutan Cengkir. Terlalu berbahaya... Apalagi kita belum tahu betul, siapa pembunuh itu," kata Ki Murad agak mendesah. Tampak sekali dia tidak menyetujui kepergian Ki Bulang dan Ki Rasak.
"Mereka akan tetap pergi, walaupun aku tidak mengizinkan," sahut Ki Legik, yang mengetahui betul watak kedua orang pemuka desa yang bersikeras mengejar wanita aneh itu.
"Konyol!" dengus Ki Murad.
"Sudahlah, Ki. Sebaiknya kau kerahkan saja murid-muridmu untuk berjaga-jaga. Mungkin saja wanita itu akan kembali lagi ke sini," kata Ki Legik.
"Semua muridku sudah kuperintahkan untuk waspada, Ki. Bahkan aku sudah menyebar sebagian muridku ke setiap pelosok desa ini," sahut Ki Murad.
"Kau selalu saja bertindak cepat," puji Ki Legik.
"Terima kasih, Ki. Tapi aku tetap mengkhawatirkan mereka. Tidak selayaknya mereka pergi ke Hutan Cengkir."
Ki Legik hanya tersenyum. Dia bisa mengerti kekhawatiran laki-laki tua berjubah panjang biru ini. Ki Murad, Ki Bulang, dan Ki Rasak memang masih memiliki satu darah persaudaraan, meskipun cukup jauh. Berkat mereka bertigalah keadaan Desa Gedangan begitu aman, tenteram, dan damai. Mereka masing-masing juga memiliki sejumlah murid, walaupun tidak mendirikan padepokan.
Mereka selalu bekerjasama dalam membangun dan menjaga keamanan Desa Gedangan. Di antara para pemuka desa itu, hanya Cantraka yang tidak mempunyai murid seorang pun. Bahkan dia tak memiliki satu pun pengikut. Cantraka selalu senang bekerja sendiri. Tapi, tingkat kepandaian yang dimilikinya tidak kalah dibandingkan pemuka desa lainnya. Bahkan bisa dikatakan, tingkat kepandaian Cantraka lebih tinggi satu tingkat dibandingkan mereka, yang jauh lebih tua darinya.
"Mau ke mana, Cantraka?" tegur Ki Legik, begitu melihat Cantraka bangkit dari kursinya.
"Ke luar, Ki," sahut Cantraka sambil terus saja melangkah meninggalkan ruangan yang berukuran cukup besar itu.
Tinggal Ki Legik serta Ki Murad yang masih berada di dalam ruangan itu. Mereka sama-sama terdiam, tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Akhirnya, Ki Murad juga berpamitan. Ki Legik mengantarkannya sampai di beranda. Beberapa saat lamanya, Ki Legik berdiri mematung di beranda rumahnya yang cukup luas dan terang-benderang oleh cahaya lampu pelita yang tergantung di tengah-tengahnya.
Baru saja Ki Legik memutar tubuhnya, tiba-tiba terdengar jeritan panjang melengking tinggi, yang membuatnya tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke luar beranda. Kedua bola matanya langsung terbeliak lebar, begitu kakinya menjejak tanah yang berumput cukup tebal di halaman depan yang cukup luas itu.
"Heh.... Apa itu...?!"
Hampir saja Ki Legik tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Laki-laki tua itu tertegun, dengan kelopak mata terbuka lebar dan mulut ternganga. Sedangkan jeritan panjang yang melengking tinggi tadi tidak terdengar lagi. Kini keadaan begitu sunyi, seperti suasana kuburan pada malam hari.
"Hey...!" seru Ki Legik lantang. "Hup!" Cepat Ki Legik melompat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Beberapa kali lompatan saja, laki-laki tua itu sudah sampai di sudut halaman rumahnya yang cukup gelap ini. Tampak di bawah sebatang pohon besar, seseorang berpakaian kumal dan kotor penuh tambalan dengan rakus tengah mengoyak dan menghirup darah seorang pemuda yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Darah berceceran di sekitarnya. Bentakan Ki Legik tadi membuat wanita berpakaian kumal itu terperanjat
"Ghrrr...!"
"Oh...?!" Ki Legik terkesiap begitu wanita bertubuh kotor dan mengenakan pakaian lusuh penuh tambalan itu memalingkan wajahnya. Sosok wanita itu mengerikan sekali. Bibir dan seluruh rongga mulutnya berwarna merah akibat darah yang melekat. Pakaiannya pun bernoda darah yang sudah mengering. Sedangkan pemuda yang berada di depannya tampak tergeletak dengan seluruh tubuh tercabik, serta leher dan dada terkoyak lebar.
"Dewata Yang Agung..., makhluk apa ini..?" desah Ki Legik serasa bermimpi.
"Ghraaagkh...!"
Tiba-tiba wanita aneh bagai binatang liar itu melompat cepat bagai kilat sambil meraung keras menggetarkan jantung. Sesaat Ki Legik terkesiap. Namun, bergegas tubuhnya dibanting ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Dihindarinya terjangan wanita aneh itu.
"Hup!" Ki Legik bergegas bangkit begitu berhasil lepas dari incaran maut wanita aneh itu. Namun, baru saja kakinya menjejak tanah, kembali dia harus melompat ke samping. Wanita aneh itu telah menerjang lagi dengan kecepatan bagai kilat. Beberapa kali Ki Legik berjumpalitan di udara. Kemudian, dengan manis sekali kakinya dijejakkan di tanah.
Pada saat itu, terlihat beberapa orang berlarian menghampiri. Tiga orang di antaranya membawa obor yang menyala cukup besar, sehingga malam yang pekat ini menjadi terang. Mereka semua terkesiap dan berdiri kaku begitu melihat sosok wanita bertubuh kotor bagai baru keluar dari lumpur sawah tengah berdiri tegak berhadapan dengan Kepala Desa Gedangan. Wajah wanita itu mengerikan sekali. Dua buah taring menyembul keluar bagai hendak mengoyak bibirnya yang merah oleh darah korbannya.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba wanita itu tertawa mengikik. Semua orang yang berada di halaman depan rumah Kepala Desa Gedangan ini pun bergidik ngeri. Dan sebelum ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba wanita aneh itu melesat cepat bagai kilat. Saat itu juga....
Wusss! Bret!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar menyayat dan memecah kesunyian malam. Dan pada saat wanita itu lenyap, tampak seseorang ambruk menggelimpang di tanah sambil mengerang dan berkelojotan meregang nyawa. Lehernya tampak terkoyak sangat lebar. Darah berhamburan ke luar tak terbendung lagi.
Semua yang berada di halaman rumah Kepala Desa Gedangan itu kembali terperanjat setengah mati. Sungguh cepat gerakan wanita itu. Tanpa dapat dilihat dengan pandangan mata biasa, tahu-tahu dia sudah melesat sambil menyambar salah seorang dari mereka hingga tewas berkelojotan. Cukup lama mereka terpaku dan tak mampu berbuat apa pun, hingga tampak kemudian teman mereka telah menggeletak tak bernyawa dengan leher terkoyak lebar dan berlumuran darah.
Sementara itu, Ki Legik masih berdiri kaku dengan sinar mata memancar kosong ke depan. Dia masih belum bisa mempercayai kejadian yang baru dilihatnya tadi. Semuanya seperti mimpi buruk yang mengerikan sekali. Seorang wanita yang begitu buas dan liar telah membunuh dua orang di halaman rumahnya dalam waktu yang amat singkat. Gerakannya pun begitu cepat seperti siluman.
"Hm...,siapa dia sebenarnya...?" gumam Ki Legik bertanya-tanya sendiri.
Sementara itu beberapa pembantu Ki Legik segera mengurus kedua mayat yang menggeletak di tanah tanpa diperintah lagi. Laki-laki tua ini pun mengayunkan kakinya perlahan menuju ke rumahnya. Kini tak ada seorang pun yang berbicara, terlebih-lebih Ki Legik. Laki-laki tua itu masih belum bisa memahami sepenuhnya kejadian mengerikan dan mengejutkan yang baru dialaminya.
DUA
Kegemparan semakin melanda Desa Gedangan. Semua orang membicarakan peristiwa mengerikan yang terjadi malam ini di halaman depan rumah kepala desa. Mereka selalu bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan siluman penghisap darah itu...? Namun, pertanyaan itu hanyalah tinggal pertanyaan. Tak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Mereka hanya bisa berharap agar perempuan siluman itu tidak menemui dan menjadikan mereka sebagai korban berikutnya.
Sementara itu tidak jauh dari Desa Gedangan, tepatnya di tepi Hutan Cengkir, tampak seorang wanita muda tengah duduk memeluk lutut di bawah naungan sebatang pohon yang cukup rindang. Wajah dan tubuhnya kotor. Sedangkan baju hitam yang dikenakannya tampak kumal dan compang-camping penuh tambalan. Pandangan wanita itu tertuju lurus ke arah Desa Gedangan.
Entah sudah berapa lama dia duduk diam menyendiri di sana. Dan saat matahari tepat berada di atas kepala, dia baru bangkit berdiri. Terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat sekali. Perlahan kakinya melangkah mendekati sebuah sungai kecil yang berada tidak jauh dari tempatnya duduk tadi. Dia berhenti setelah berada di tepi sungai itu. Perlahan dia berlutut Dan memandangi wajahnya yang terpantul oleh air sungai yang begitu jernih.
"Mungkin kalau tubuhku lebih bersih lagi, aku bisa lebih bebas bergerak. Hhh..., aku tidak boleh mengecewakannya. Aku harus mendapatkan mereka sebelum orang lain tahu siapa aku, gumam wanita itu, berbicara pada dirinya sendiri.
Beberapa saat dia masih diam memandangi wajah dan seluruh tubuhnya yang terpantul oleh jernihnya air sungai. Kemudian tangannya mulai menyentuh air. Lalu dibersihkannya kotoran yang melekat di lengan. Bibirnya menyunggingkan senyuman begitu melihat kulit tangannya yang tampak putih halus setelah tersapu air sungai dari segala debu dan kotoran yang melekat.
Byurrr...!
Tiba-tiba dia melompat ke dalam sungai itu. Tawanya langsung pecah berderai. Segala debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya langsung lenyap oleh air sungai yang bening dan jernih ini. Wanita itu bermain-main di sungai sepuasnya, seakan-akan dia tidak akan bertemu air lagi sepanjang hidupnya.
Setelah puas bermain-main dan membersihkan diri di dalam sungai, barulah dia beranjak naik. Tapi, sesaat kemudian wajahnya kembali terlihat murung memandangi pakaiannya yang masih lusuh, compang-camping, dan penuh tambalan. Walaupun kini wajah dan tubuhnya sudah bersih dan kelihatan cantik, namun pakaiannya tetap membuat dia belum merasa senang.
"Aku harus mencari pakaian yang lebih pantas. Tapi di mana...? Hhh...!"
Pandangannya langsung tertuju lurus pada Desa Gedangan. Bibirnya yang merah, bergerak perlahan menyunggingkan senyum yang semakin lebar. Dan sepasang bola matanya berbinar cerah, secerah sinar mentari yang bersorot terik siang ini. Tiba-tiba....
"Hup!"
Bagaikan kilat, wanita itu melompat. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan bumi. Entah ke mana perginya. Tak ada seorang pun yang melihatnya di tempat yang begitu sunyi dan tidak pernah dilalui orang ini
********************
Tidak seperti hari-hari yang lalu, Desa Gedangan kali ini terasa begitu sunyi. Peristiwa pembunuhan yang begitu mengerikan dalam beberapa hari ini tampaknya benar-benar mencekam seluruh penduduk. Semua pembunuhan itu dilakukan oleh seorang wanita yang mereka juluki Siluman Penghisap Darah. Memang tepat sekali julukan itu.
Karena meskipun korban-korban yang jatuh semuanya dalam keadaan tercabik, tak ada darah setetes pun yang terlihat. Bahkan tidak sedikit yang melihat wanita aneh itu beraksi. Pembunuhannya dengan cara yang sangat brutal dan liar. Dia menghirup darah korbannya hingga habis tak bersisa, seperti binatang liar yang kehausan.
Hampir semua orang di desa itu tidak berani lagi meninggalkan rumahnya. Bahkan kini tak ada seorang pun yang berani lagi membicarakannya. Karena Siluman Penghisap Darah seperti memiliki seribu telinga. Siapa saja yang membicarakannya, keesokan harinya pasti kedapatan mati dengan tubuh terkoyak dan darah habis diisap.
Keadaan seperti ini tentu saja sangat merugikan pemilik-pemilik kedai yang biasanya ramai dikunjungi orang. Tak satu pun kedai yang kelihatan dikunjungi selama beberapa hari ini. Hanya kedai Ki Biran yang tampak dikunjungi tamu hari ini. Tapi, tamu itu pun hanya dua orang. Dan tampaknya mereka pengembara. Atau, bisa juga dikatakan kaum pendekar dari rimba persilatan.
Tamu yang satu adalah seorang pemuda berwajah tampan, mengenakan baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung bertengger di punggungnya. Sedangkan yang satunya lagi adalah seorang gadis cantik berbaju biru muda agak ketat, yang selalu memain-mainkan sebuah kipas di depan dadanya. Dan sebilah pedang bergagang kepala naga berwarna hitam tampak tersampir dipunggungnya. Dari pakaian dan senjata yang tersandang, bisa diketahui kalau mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi, yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
"Tampaknya tujuan kita ke sini tidak salah, Kakang," bisik Pandan Wangi, perlahan.
"Hm...," gumam Rangga, menanggapi.
"Sepi sekali di sini," ujar Pandan Wangi lagi, seraya mengedarkan pandangannya ke luar melalui pintu kedai yang terbuka lebar.
Pada saat yang sama, pemilik kedai yang dikenal dengan panggilan Ki Biran itu muncul dari ruangan belakang. Di tangannya tergenggam sebuah baki kayu berisi seguci arak. Dengan sikap yang hormat dan sopan, laki-laki tua itu menaruh guci yang dibawanya ke meja yang ditempati kedua pendekar muda ini.
"Sebentar, Ki..," cegah Pandan Wangi, saat Ki Biran hendak berlalu.
"Ada apa, Nisanak?" tanya Ki Biran dengan tubuh agak sedikit terbungkuk.
"Kau tahu, kenapa desa ini sepi sekali, Ki?" tanya Pandan Wangi langsung.
"Oh..., eh...." Ki Biran tampak kelabakan mendapat pertanyaan yang begitu langsung dari gadis cantik ini. Wajahnya memucat dan tubuhnya bergetar bersimbah keringat.
Perubahan yang begitu mendadak itu membuat kening Pandan Wangi berkerut. Bahkan, Rangga sampai memandanginya dalam-dalam. Mendapat pandangan yang begitu dalam dari dua orang tamunya ini, Ki Biran semakin kelihatan gelisah ketakutan.
"Ada apa, Ki? Kenapa kau begitu ketakutan...?" tanya Pandan Wangi lagi
"Maaf, Nisanak. Maaf, aku..., aku...," suara Ki Biran terdengar tergagap.
"Ada sesuatu yang terjadi di desa ini, Ki?" tanya Rangga, masih dengan tatapan mata yang dalam.
Ki Biran semakin gelisah. Dia melirik ke kanan dan kiri, tampak takut kalau-kalau ada orang lain yang mendengar pembicaraannya. Tapi, memang tak ada seorang pun selain mereka bertiga. Dengan tangan bergetar, Ki Biran menarik kursi kayu ke dekat meja, lalu duduk di sana sambil memeluk baki kayunya. Beberapa kali dia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat untuk menenangkan dirinya.
"Memang telah terjadi sesuatu yang mengerikan. Itulah sebabnya, desa ini menjadi sepi. Bahkan beberapa hari ini tidak ada pengunjung yang datang ke kedaiku ini," kata Ki Biran dengan suara yang berbisik perlahan. Begitu pelannya suara Ki Biran, sehingga hampir-hampir tidak terdengar.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi semakin mengerutkan kening. Sesaat mereka melemparkan pandangan, kemudian kembali menatap Ki Biran dengan kening masih berkerut. Dan untuk beberapa saat, mereka terdiam tanpa ada yang berbicara lagi.
"Kejadian apa, Ki?" tanya Pandan Wangi kemudian, memecah kesunyian.
"Beberapa hari ini, muncul seorang perempuan siluman...," sahut Ki Biran masih dengan suara yang pelan sekali.
"Perempuan siluman...?" Pandan Wangi langsung menatap pada Rangga, yang sejak tadi diam saja. Dan pandangan si Kipas Maut itu langsung bertemu dengan tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti ini. Mereka kemudian kembali sama-sama memandang Ki Biran.
"Sudah beberapa hari ini perempuan siluman itu muncul. Dan sudah banyak juga yang menjadi korbannya. Semua korbannya dibunuh dan seluruh tubuh mereka dicabik-cabik. Bahkan darah mereka dihirup sampai habis. Hihhh..., mengerikan sekali." Ki Biran bergidik, tidak sanggup membayangkannya.
"Apa ada yang pernah melihatnya, Ki?" tanya Rangga.
"Ya, hampir semua penduduk desa ini sudah melihatnya. Dia selalu muncul tanpa takut dipergoki penduduk. Tadinya dia muncul seperti gembel yang baru keluar dari hutan. Tubuhnya kotor dan pakaiannya kumal penuh tambalan. Tapi belakangan ini, perempuan itu muncul dengan tubuh yang bersih. Dia seperti seorang putri bangsawan. Wajahnya cantik sekali. Tapi, dia sangat buas dan liar kalau sudah mengambil korban untuk diisap darahnya sampai habis. Kami semua selalu menyebutnya si Siluman Penghisap Darah," jelas Ki Biran lagi.
"Dia pasti Inten, Kakang," ujar Pandan Wangi, langsung bisa menebak.
"Hm...," Rangga hanya menggumam.
"Kalian mengenalnya...?" tanya Ki Biran agak terperanjat.
"Mungkin, Ki. Karena kami berdua memang sedang mengejar orang yang begitu mirip dengan perempuan yang kau ceritakan tadi," sahut Pandan Wangi.
"Oh, benarkah...?" Rangga dan Pandan Wangi sama-sama menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, kenapa kalian tidak pergi saja ke rumah Ki Legik? Kalian pasti akan mendapat banyak keterangan mengenai Siluman Penghisap Darah itu. Ki Legik pernah bertarung dengannya. Bahkan beberapa orang pembantunya sudah menjadi korban."
"Siapa itu Ki Legik?" tanya Rangga.
"Kepala Desa Gedangan ini," sahut Ki Biran.
Rangga menatap Pandan Wangi yang saat itu juga tengah memandangnya. Sesaat mereka saling melemparkan pandangan, kemudian sama-sama berdiri dari kursinya masing-masing. Ki Biran pun ikut berdiri.
"Memang sebaiknya kita pergi ke rumah kepala desa, Kakang," kata Pandan Wangi.
"Hm..., ayolah," ajak Rangga.
"Tunggu dulu...!" cegah Ki Biran
"Ada apa lagi, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Aku ikut. Aku tidak mau tinggal di sini sendirian. Dia pasti datang padaku, karena aku telah bercerita banyak pada kalian," kata Ki Biran.
Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak. Setelah Ki Biran membereskan kedainya, mereka segera berangkat ke rumah Ki Legik. Maka, tiga ekor kuda pun bergerak tidak begitu cepat melintasi jalan tanah berdebu yang sepi dan lengang. Tak ada seorang pun yang terlihat di sepanjang jalan ini. Suasananya begitu sunyi, bagai sebuah desa mati yang tidak berpenghuni lagi.
********************
Semula Ki Legik tampak keheranan ketika menerima kedatangan Rangga dan Pandan Wangi malam-malam begini. Terlebih lagi, dia tidak kenal dengan kedua orang muda itu. Tapi, setelah Rangga menjelaskan perihal kedatangannya ke Desa Gedangan ini, Ki Legik mengangguk-angguk mengerti.
"Aku sendiri tidak yakin, dia itu manusia atau bukan...," gumam Ki Legik, seakan-akan tidak percaya dengan perkataannya sendiri.
"Dia memang bukan manusia, Ki," kata Rangga.
"Apa maksudmu, Kisanak...?" tanya Ki Legik tidak mengerti.
"Panggil saja aku Rangga, Ki. Dan ini Pandan Wangi," pinta Rangga seraya tersenyum.
"Baiklah, Rangga....Tapi, kenapa kau kata-kan dia bukan lagi manusia?"
"Karena dia sebenarnya sudah mati. Dia dihidupkan kembali untuk mencari empat orang yang memperkosa dan membunuhnya. Dan dia akan tetap hidup selama masih bisa mendapatkan darah untuk kehidupan dan kekuatannya," jelas Rangga.
"Benar, Ki," sambung Pandan Wangi. "Dia berasal dari Desa Mungkit. Kami sudah berhasil membunuh orang yang membangkitkan kematiannya. Tapi itu belum cukup, selama perempuan siluman itu masih terus berkeliaran. Bahkan seandainya dia berhasil mendapatkan keempat orang pembunuhnya pun, dia tetap akan terus berkeliaran sambil membunuh setiap orang yang ditemuinya untuk mendapatkan darah."
"Semakin banyak dia mendapatkan darah manusia, semakin sempurna saja kehidupannya. Dan aku khawatir, tidak akan ada seorang pun lagi yang bisa menghentikannya. Karena dia memang bukan lagi manusia," sambung Rangga.
"Oh...," desah Ki Legik tidak menyangka.
"Tapi, kenapa dia datang ke desa ini...?"
"Dia akan datang dan pergi ke mana saja dengan membawa kehancuran bagi manusia. Dia tidak akan memilih lagi korbannya. Siapa saja yang ditemui, akan menjadi korbannya," jelas Rangga lagi.
Ki Legik terlongong-longong, tidak tahu lagi apa yang akan dikatakannya. Sungguh dia tidak mengira kalau desanya benar-benar telah kedatangan seorang perempuan siluman yang haus darah. Dan, akan melanda Desa Gedangan ini kalau saja Siluman Penghisap Darah itu tidak segera dihentikan. Dan yang pasti lagi, siluman itu tidak akan pergi sebelum seluruh penduduk desa ini habis menjadi korbannya. Tapi, yang lebih mengerikan, semakin banyak dia mendapatkan darah, semakin sempurnalah kehidupan dan kekuatannya. Di saat mereka semua terdiam, tiba-tiba....
"Aaa...!"
"Heh...?!"
"Oh,..?!"
Mereka terperanjat setengah mati ketika tiba-tiba terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga dan Pandan Wangi langsung melesat keluar dari rumah Kepala Desa Gedangan ini. Dan Ki Legik sendiri pun turut bergegas ke luar dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Rangga dan Pandan Wangi terus berlompatan sambil mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi tingkatannya. Bahkan, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu sudah mencapai pada tingkatan yang sempurna. Sehingga, dalam waktu yang begitu singkat, dia sudah berada di tempat berasalnya jeritan panjang melengking tinggi tadi. Sedangkan Pandan Wangi tampak tertinggal cukup jauh.
"Inten...!" seru Rangga lantang menggelegar. Rangga benar-benar tersentak kaget setengah mati begitu melihat seorang wanita muda berwajah cantik tengah mengoyak-ngoyak tubuh seorang pemuda yang sudah tergeletak tak bernyawa. Dan dari leher yang terkoyak cukup lebar, wanita itu menghirup darah yang bercucuran dengan rakus sekali, seperti seorang pengembara yang sudah berhari-hari tidak menemukan air di padang yang sangat gersang.
"Gehrrr...!"
Bentakan Rangga yang begitu keras dan menggelegar tadi membuat wanita itu terkejut. Dia cepat berpaling, sambil memperdengarkan gerungannya yang menyerupai suara seekor binatang buas. Sepasang bola matanya merah menyala bagai bola api. Sedangkan seluruh bibir dan rongga mulutnya tampak merah berlumur darah pemuda korbannya itu.
Rangga sempat terkesiap saat menyaksikan kekejaman di depan matanya ini. Bulu kuduknya sampai meremang. Dan kelopak matanya terbuka lebar, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang sedang disaksikannya. Memang sungguh sukar dipercaya, seorang wanita berwajah cantik, dengan bentuk tubuh yang kelihatan lemah itu, mampu melakukan perbuatan keji seperti binatang buas.
"Apa yang kau lakukan, Inten...?" sentak Rangga, yang masih agak terpana.
"Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku...?" Wanita yang selama ini dijuluki Siluman Penghisap Darah itu malah balik bertanya dengan suaranya yang begitu datar dan kering.
Tapi tiba-tiba dia tertegun. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata yang tajam, seolah-olah sedang terlintas di dalam ingatannya kalau mereka pernah bertemu, bahkan pernah bertarung menyabung nyawa.
"Hik hik hik..!"
Siluman Penghisap Darah yang sebenarnya bernama Inten itu mendadak tertawa mengikik. Tawanya terdengar sangat mengerikan.
"Hentikan semua ini, Inten. Kau tidak bisa membunuh semua orang kau temui," kata Rangga, dengan nada suara agak dalam.
"Hik hik hik...! Kau tidak bisa menghentikan aku, Rangga. Aku tidak akan berhenti sebelum mereka kulumat habis!" sahut Inten, dengan suara agak mendesis dan dingin.
Pada saat itu pula Pandan Wangi datang, yang disusul kemudian oleh Ki Legik dan empat orang pemuka Desa Gedangan bersama murid-murid mereka yang rata-rata masih berusia muda. Dan sebentar saja, sekeliling tempat ini sudah terkepung. Beberapa orang di antara mereka langsung mencabut senjata masing-masing. Pandan Wangi dan Ki Legik bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan berdiri mengapit di samping kanan dan kirinya.
"Sebaiknya kau ikut denganku kembali ke Desa Mungkit, Inten," kata Rangga mencoba membujuk.
"Sudah kukatakan, jangan coba-coba menghentikan ku, Rangga!" sentak Inten agak keras.
Siluman Penghisap Darah itu tiba-tiba melompat meninggalkan tubuh korbannya yang menggeletak berlumuran darah itu. Ringan sekali gerakannya. Dan tahu-tahu dia sudah berdiri tegak sekitar satu batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti. Bajunya yang agak longgar dan berwarna merah menyala sedikit berkibar dipermainkan angin. Wanita ini memang sudah mengganti pakaiannya yang kumal dan penuh tambalan dengan pakaian yang cukup bersih, walaupun tampak kebesaran untuk ukuran tubuhnya.
"Ghrrr...!"
Siluman Penghisap Darah menggerung kecil sambil menyeringai. Diperlihatkannya baris-baris giginya yang runcing dan bertaring.
Sementara itu Rangga merentangkan kedua tangannya sedikit ke samping. Sedangkan Pandan Wangi dan Ki Legik langsung bergerak ke belakang menjauhinya. Mereka kini bergabung dengan empat orang pemuka Desa Gedangan. Tempat ini sudah terkepung semakin rapat. Tidak kurang dari lima puluh pemuda, yang semuanya menghunus senjata masing-masing, mengepung rapat tempat ini.
"Ghraaaughk...!"
Sambil meraung keras menggelegar, tiba-tiba Inten melompat secepat kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakannya, sehingga Rangga terkesiap sejenak. Tapi, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke samping kanan. Dihindarinya terkaman perempuan siluman itu.
"Hap!"
Setelah melakukan beberapa kali putaran, dengan manis sekali Rangga menjejakkan kembali kakinya di tanah. Namun pada saat itu, tanpa diduga sama sekali Inten berhasil memutar tubuhnya dan langsung melompat seraya melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah lambung Pendekar Rajawali Sakti.
"Hait..!"
Dengan gerakan tubuh yang indah, Rangga kembali berhasil menghindari serangan Siluman Penghisap Darah. Dan secepat itu pula kaki kanannya dihentakkan dengan tubuh agak terbungkuk dan sedikit berputar ke samping.
"Hiyaaa...!"
"Hih!"
TIGA
Ternyata tanpa diduga sama sekali, Inten tidak berusaha menghindar sedikit pun. Bahkan dengan cepat sekali tangan kanannya dihentakkan, menyambut tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Hingga tak pelak lagi, tangan dan kaki mereka beradu keras, tepat di depan perut perempuan siluman itu.
Plak!
"Ufs..."
Rangga cepat-cepat menarik kembali kakinya. Lalu, tubuhnya langsung dilentingkan ke belakang, berputar beberapa kali sebelum menjejakkan kembali kakinya di tanah.
"Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Dan begitu tangan kanannya menjulur ke depan, tampak jari-jari tangannya mengembang lebar dan meregang kaku bagai sepasang cakar burung rajawali yang siap mencengkeram mangsanya. Rangga memang bersiap mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali' pada tingkatan yang terakhir. Pendekar Rajawali Sakti rupanya sudah tidak mau tanggung-tanggung lagi menghadapi Siluman Penghisap Darah ini.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Tepat ketika Inten melompat cepat sambil berteriak menggelegar, Rangga segera mengebutkan kedua tangannya dengan cepat sekali. Disambutnya serangan yang dilancarkan wanita berbaju merah menyala itu. Tapi beberapa kali kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti itu masih berhasil dihindari Inten, walaupun agak kewalahan.
"Hiyaaa...!"
Kembali Rangga mengebutkan tangannya hendak menyambar kaki perempuan siluman itu. Tapi, tanpa diduga sama sekali, Siluman Penghisap Darah justru melentingkan tubuhnya ke udara.
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melesat ke udara. Dikejarnya perempuan siluman itu. Dan, langsung saja jurusnya diubah begitu dia berada di udara. Kedua tangannya merentang lebar, dengan jari-jari menyatu rapat. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengebutkan tangannya beberapa kali ke arah tubuh Siluman Penghisap Darah.
"Hait..!"
Tapi dengan gerakan-gerakan tubuh yang begitu indah, Inten berkelit menghindari semua kebutan tangan Rangga yang menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' itu. Sehingga, tak satu pun serangan yang dilakukan Rangga bisa mengenai sasaran dengan tepat. Bahkan beberapa kali Inten memberikan serangan balasan, yang membuat Rangga agak kelabakan menghindarinya, apalagi sekarang ini mereka bertarung cukup jauh dari tanah.
"Hap! Yeaaah...!"
Sambil memutar tubuhnya, Rangga meluncur ke bawah. Dan dengan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah. Tepat pada saat itu Siluman Penghisap Darah juga sudah kembali berpijak di tanah, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Inten melepaskan satu tendangan keras menggeledek ketika Rangga masih berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Begitu cepatnya tendangan itu dilepaskan, sehingga Rangga tidak sempat lagi menghindar. Hingga....
Desss!
"Akh...!"
Rangga terpekik keras agak tertahan. Tendangan yang dilepaskan Siluman Penghisap Darah tepat menghantam dada Rangga. Sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi terpental sejauh dua batang tombak. Tubuh pemuda berbaju putih itu terbanting keras di tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan, lalu melompat bangkit berdiri. Tampak setetes darah kental mengalir dari sudut bibirnya.
"Kakang...," desis Pandan Wangi, cemas. Bergegas gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu berlari menghampiri Rangga. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti segera merentangkan tangannya ke depan, sehingga Pandan Wangi tidak jadi menghampirinya. Gadis itu hanya bisa memandang dengan sinar mata memancarkan kekhawatiran yang begitu mendalam.
"Hik hik hik..."
Kau harus mati sekarang juga, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Inten dingin menggetarkan, sambil tertawa terkikik mengerikan.
"Kau yang harus mampus, Keparat! Hiyaaat..!"
"Pandan, jangan...!"
Tapi teriakan Rangga tidak lagi didengar. Pandan Wangi sudah melompat cepat sekali. Diterjangnya Siluman Penghisap Darah itu sambil mencabut senjata kipasnya. Dan kipas itu langsung dikebutkannya beberapa kali dengan kecepatan yang luar biasa. Begitu cepatnya kebutan itu sehingga yang terlihat hanyalah kilatan-kilatan cahaya keperakan yang berkelebatan di sekitar tubuh perempuan siluman itu.
Serangan-serangan yang dilakukan Pandan Wangi memang sungguh dahsyat. Namun, gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan Siluman Penghisap Darah juga indah dan cepat sekali. Sehingga, sampai lima jurus pertarungan itu berlangsung, belum juga Pandan Wangi bisa mendesaknya. Dan tak satu pun dari serangannya yang mengenai sasaran.
"Setan keparat! Hiyaaa...!" Wuk!
Pandan Wangi semakin meningkatkan serangannya. Langsung dikeluarkannya jurus-jurus maut andalannya. Begitu cepat gerakan-gerakan yang dilakukan si Kipas Maut itu, sehingga yang tampak hanyalah bayangan-bayangan biru, merah, dan keperakan yang berkelebatan saling sambar. Rangga pun tidak menyangka kalau kemajuan yang dicapai wanita ini ternyata telah begitu pesat.
"Akh...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan keras agak ter-tahan. Tampak sebuah bayangan merah terpental dari kancah pertarungan itu. Dan terlihat Pandan Wangi berdiri kokoh dengan kedua kaki tertekuk dan tangan kiri menjulur lurus ke depan, dengan kipas mautnya terbuka di depan dada.
Saat itu terlihat Siluman Penghisap Darah jatuh bergelimpangan beberapa kali di tanah. Namun dia cepat melompat bangkit. Tubuhnya agak limbung begitu dia bisa berdiri. Tangan kirinya memegangi dada. Tampaknya Pandan Wangi berhasil memasukkan satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke dada wanita siluman itu.
"Ghrr...!"
Siluman Penghisap Darah menggerung perlahan. Sorot matanya yang sangat tajam menusuk langsung ke bola mata Pandan Wangi, yang kini sudah berdiri tegak sambil mengebut-ngebutkan kipasnya di depan dada. Tatapan mata Pandan Wangi juga tidak kalah tajamnya membalas sorot mata Siluman Penghisap Darah itu.
Hup...!"
Tiba-tiba Inten melesat bagai kilat ke arah kanan. Begitu cepat lesatannya, sehingga tak ada seorang pun yang sempat menyadari. Dan seketika itu juga....
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua jeritan yang melengking tinggi tiba-tiba terdengar saling susul, bersamaan dengan lenyapnya tubuh Siluman Penghisap Darah.
"Hup? Hiyaaa...!"
Seketika itu juga, Pandan Wangi segera melenting sambil mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya yang sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan. Pandan Wangi benar-benar tidak mau lagi melepaskan wanita yang seharusnya sudah mati Itu.
"Pandan, tunggu...!"seru Rangga, keras.
Tapi Pandan Wangi sudah menghilang begitu cepat, mengejar perempuan siluman yang buas itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu, Rangga segera melesat mengejar Pandan Wangi. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap dari pandangan mata.
Sementara di tempat itu, tampak dua orang lagi sudah menggeletak tak bernyawa, dengan leher koyak bercucuran darah. Kepergian Inten dan dua pendekar muda yang begitu cepat itu membuat semua orang yang berada di sekitar tempat pertarungan tadi terpana beberapa saat. Bahkan, Ki Legik sendiri ikut terdiam seperti bermimpi. Beberapa hari belakangan ini, tak henti-hentinya dia dihadapkan pada peristiwa yang sangat membingungkan dan mengerikan.
"Dewata Yang Agung..., peristiwa apa lagi yang akan terjadi di desa ini...?" desah Ki Legik begitu tersadar dari keterpanaannya.
Sementara itu, empat orang pemuka Desa Gedangan yang berada dekat dengannya saling berpandangan satu sama lain. Mereka pun masih belum bisa mengerti dan seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru disaksikan ini. Meskipun rata-rata memiliki kepandaian tinggi, mereka bukanlah orang-orang rimba persilatan, sehingga jarang sekali melihat kejadian-kejadian aneh dan menakjubkan seperti ini.
"Siapa dua orang anak muda tadi, Ki?" tanya Ki Murad memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.
Saat itu Ki Rasak sudah memerintahkan murid-muridnya untuk mengurus ketiga mayat yang ditinggalkan Siluman Penghisap Darah. Tampak beberapa jendela rumah yang berada dekat dengan tempat itu terkuak sedikit. Dan, tersembullah kepala-kepala yang ingin mengetahui kejadian barusan. Tapi yang mereka lihat kini hanyalah kepala desa dan empat orang pemuka Desa Gedangan serta puluhan pemuda yang tengah mengurus ketiga mayat tadi.
"Aku belum kenal banyak. Mereka baru saja datang tadi," sahut Ki Legik perlahan.
"Tampaknya mereka pendekar yang berkepandaian tinggi," ujar Ki Murad lagi, agak menggumam.
"Siapa pun kedua orang itu, yang jelas mereka berada di pihak kita," selak Ki Rasak.
"Mereka memang sedang memburu perempuan siluman itu," kata Ki Legik.
"Hm..., jadi mereka tahu siapa perempuan iblis itu, Ki..?" ujar Ki Murad.
"Ya, tapi mereka belum bercerita banyak....
"Apakah mereka akan kembali lagi ke sini, Ki?" tanya Cantraka.
"Aku harap begitu."
Kembali mereka terdiam beberapa saat. Sebaiknya kita tunggu saja di rumahku. Kuda-kuda mereka masih ada di sana. Aku yakin, mereka akan kembali lagi," kata Ki Legik kemudian.
Tak ada yang menolak ajakan itu. Mereka segera melangkah menuju rumah Kepala Desa Gedangan. Hanya Ki Rasak yang tetap tinggal di situ, karena harus membereskan tempat itu dulu serta harus mengatur kembali murid-muridnya untuk tetap berjaga-jaga di seluruh wilayah Desa Gedangan ini.
********************
Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi tampak kebingungan ketika sampai di tepi Hutan Cengkir, yang berbatasan langsung dengan Desa Gedangan. Mereka tak menemukan lagi jejak-jejak Siluman Penghisap Darah. Jejak-jejaknya benar-benar menghilang di tepi hutan ini
"Hm..., apa mungkin dia masuk ke dalam hutan ini..?" gumam Pandan Wangi, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Mungkin juga, Pandan," sahut Rangga.
"Kau ingin terus mengejarnya, Kakang?"
Rangga tidak langsung menjawab. Ditatapnya matahari yang sudah condong ke arah Barat. Sebentar lagi malam akan datang menyelimuti wilayah Desa Gedangan dan Hutan Cengkir. Dan terlalu berbahaya tentunya menjelajahi hutan yang sangat lebat ini di malam hari.
"Sebaiknya kita kembali dulu ke rumah Ki Legik," saran Rangga.
"Yaaah..., hari memang sudah senja," desah Pandan Wangi seraya mengangkat bahunya sedikit.
Mereka pun kemudian melangkah ke Desa Gedangan, yang masih tampak sunyi seperti sebuah desa mati yang ditinggalkan penduduknya. Dan cukup lama mereka berjalan tanpa berbicara sedikit pun.
"Aku jadi tidak mengerti, kenapa kau sepertinya tidak mampu menghadapinya, Kakang...?" tanya Pandan Wangi, memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.
"Kau ingat apa kata Nyai Labur sebelum meninggal..?"
Pandan Wangi terdiam.
"Nyai Labur bilang, Inten sengaja dibangkitkan dengan ilmu warisan leluhurnya. Dan dia juga dipersiapkan untuk berhadapan dengan laki-laki. Nyai Labur juga bilang bahwa Inten sesungguhnya belum sempurna. Meskipun tidak akan kalah oleh laki-laki, dia tidak akan berdaya bila berhadapan dengan sesama wanita," jelas Rangga [Untuk lebih jelas, silakan baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Perempuan Siluman]
"Tapi tampaknya dia lebih tangguh dibanding di Desa Mungkit dulu, Kakang."
"Itu sudah pasti, Pandan. Selama ini dia pasti sudah mendapatkan banyak korban untuk diambil darahnya. Dan semakin banyak dia mendapatkan darah, maka kehidupan dan kekuatannya semakin sempurna."
"Hm..., apa itu berarti dia tidak akan mungkin bisa dihentikan lagi, Kakang?"
"Entahlah, Pandan. Sebaiknya kita tetap terus berusaha," sahut Rangga, agak mendesah.
Mereka terus berjalan perlahan-lahan dan mulai memasuki jalan di Desa Gedangan. Desa ini kelihatan masih sunyi sekali. Hanya beberapa orang saja terlihat berada di luar rumah. Dan itu pun orang-orang yang ditugaskan untuk berjaga-jaga bila Siluman Penghisap Darah muncul kembali.
"Mereka semua benar-benar dicekam ketakutan, Kakang, Kasihan...," desah Pandan Wangi sambil mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
Rangga diam saja. Keadaan seperti ini memang kerap kali dijumpai dalam pengembaraannya. Keadaan desa yang dicekam oleh ketakutan dari ketidakberdayaan terhadap kejahatan orang-orang kuat telah berulang kali mereka temui. Desa Gedangan ini sekarang harus menghadapi orang yang semestinya sudah terbaring di dalam kubur.
Adapun siluman yang masih berkeliaran itu adalah hasil perbuatan sesat seorang perempuan tua yang terlalu mencintai anaknya. Anak yang terlalu dicintai itu telah mengalami kematian secara tidak wajar. Dan perempuan tua itu tidak dapat menerimanya dengan hati lapang. Dia bertekad mencari keempat orang pembunuh anaknya. Namun hal itu tidak mungkin bisa dilaksanakannya, karena anaknya sendiri tidak bisa mengenali keempat orang itu.
Pada saat kejadian itu, mereka mengenakan topeng yang menutupi seluruh wajah. Maka hingga kini Siluman Penghisap Darah terus berkeliaran mencari para pembunuhnya sambil menyebar maut. Korban-korban pun berjatuhan untuk diisap darahnya hingga habis tak bersisa. Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi telah sampai di depan kedai milik Ki Biran. Mereka menghentikan langkah di situ.
"Apa Ki Biran sudah kembali, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil merayapi kedai yang tetap tertutup itu.
"Aku rasa, dia masih berada di rumah Ki Legik. Tidak mungkin dia berani lagi ke sini," sahut Rangga.
"Hhh..., kasihan dia," desah Pandan Wangi. Kembali mereka terdiam.
"Aku rasa, ada baiknya kita tinggal di sini, Kakang. Biar lebih leluasa dan bebas," saran Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum.
"Biar Ki Biran bisa pulang," sambung Pandan Wangi.
Mereka kembali mengayunkan kaki perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang masih tetap lengang itu. Tak seorang pun terlihat lagi berada di luar rumah. Namun, dari beberapa jendela yang terbuka sedikit, tampak kepala-kepala menyembul. Rupa-rupanya beberapa penduduk mengintip dan memperhatikan kedua pendekar muda itu. Pendekar Rajawali Sakti sendiri tidak lagi peduli. Kakinya terus saja melangkah di samping Pandan Wangi.
Sementara itu, matahari semakin condong ke arah Barat. Sinarnya tidak lagi terik seperti tadi, bahkan kini terasa begitu lembut menyapu kulit. Rangga dan Pandan Wangi sudah sampai di depan pintu halaman rumah Ki Legik, yang terbuat dari bambu. Mereka kemudian melangkah melintasi halaman yang berukuran cukup luas itu.
Di beranda depan, Ki Legik dan empat orang pemuka Desa Gedangan tampak sedang duduk menanti kedatangan mereka. Ki Legik segera menyambut, kedua pendekar muda ini, dan segera memperkenalkan mereka kepada keempat orang pemuka desa itu. Mereka kemudian duduk melingkari meja di beranda rumah itu dan langsung terlibat dalam pembicaraan yang serius mengenai Siluman Penghisap Darah.
********************
EMPAT
Malam sudah cukup larut. Di beranda depan rumah Ki Biran yang juga dijadikan kedai itu, tampak Pandan Wangi masih duduk di balai-balai bambu yang berada di dekat pintu. Suasana malam di Desa Gedangan sunyi sekali. Hanya desiran angin dan suara binatang malam yang terdengar. Sejak matahari tenggelam tadi, tak seorang pun terlihat melintasi jalan di depan sana. Benar-benar sunyi dan mencekam keadaannya.
"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa berat, Pandan Wangi turun dari balai-balai bambu itu.
Perlahan kakinya terayun ke luar beranda. Sedikit dia melirik ke arah jendela sebuah kamar yang tampak terang oleh nyala lampu pelita. Dia tahu, Rangga dan Ki Biran masih berbincang-bincang di dalam kamar itu. Entah apa yang mereka perbincangkan. Pandan Wangi terus mengayunkan kakinya melintasi halaman rumah.
"Pandan..."
"Heh...?!" Pandan Wangi agak tersentak kaget ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara pelan yang memanggil namanya.
Sesaat pandangannya diedarkan ke sekeliling. Tapi, tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Hanya kegelapan yang menyelimuti sekelilingnya.
"Pandan, ke sini...."
"Hm...." Pandan Wangi menggumam saat berpaling ke arah kanan. Di balik sebatang pohon yang ada di seberang jalan, terlihat seseorang seperti sedang bersembunyi. Kelopak mata gadis itu sedikit menyipit. Ketika melihat tangan orang itu melambai memanggilnya. Pandan Wangi agak ragu-ragu juga.
Setelah melirik sedikit ke arah jendela kamar yang masih terbuka lebar dan kelihatan terang-benderang itu, bergegas kakinya melangkah menyeberangi jalan tanah yang berdebu dan sedikit berbatu ini. Orang yang bersembunyi di balik pohon beringin itu langsung keluar begitu Pandan Wangi sudah mendekat.
Hampir saja Pandan Wangi tidak percaya dengan pandangannya sendiri. Sungguh dia tidak mengira, orang yang bersembunyi di balik pohon dan memanggilnya tadi ternyata adalah Darkan, menantu Kepala Desa Mungkit, yang istrinya kini menjadi perempuan siluman setelah dibangkitkan kembali dari kubur oleh ibunya.
"Darkan..., mau apa kau ke sini?" tanya Pandan Wangi agak berbisik.
"Menemuimu," sahut Darkan, langsung.
"Edan...! Apa-apaan kau, heh...?!" sentak Pandan Wangi, melirik kaget mendengar jawaban yang begitu langsung dari laki-laki muda ini.
"Pandan, sejak aku melihatmu, aku tidak bisa lagi melupakanmu. Aku...!"
"Cukup, Darkan..!" sentak Pandan Wangi cepat, memutuskan ucapan laki-laki berwajah cukup tampan ini.
Pandan Wangi melirik ke kanan dan ke kiri, khawatir kalau-kalau ada orang lain yang melihat dan mendengarkan pembicaraan ini. Kemudian dia menatap sebentar ke arah jendela rumah Ki Biran, yang masih juga terbuka lebar dan terang benderang. Bergegas gadis itu menjauhi jalan ini. Darkan segera mengikuti gadis itu dari belakang.
Sedangkan Pandan Wangi terus berjalan menembus sebuah kebun yang hampir tidak terawat lagi. Semak-semak sudah meranggas memenuhi kebun ini. Pandan Wangi baru berhenti melangkah setelah sampai di pinggir sungai kecil yang membelah kebun ini menjadi dua bagian. Perlahan dia berbalik, dan langsung menatap Darkan yang kini berada dekat sekali di depannya.
"Kau keterlaluan, Darkan. Tidak seharusnya kau berada di sini," desis Pandan Wangi dengan nada tidak senang atas kehadiran laki-laki muda ini.
"Ke manapun kau pergi, aku selalu mengikutimu, Pandan. Rasanya aku tidak bisa lagi hidup tanpamu. Percayalah, Pandan.... Aku akan membahagiakan mu," kata Darkan, tidak peduli dengan sikap Pandan Wangi.
"Kau gila, Darkan. Kau tahu..., aku sudah bertunangan. Dan tunanganku ada di sini. Jangan berbuat bodoh begitu, Darkan. Kau belum lama kehilangan istrimu. Dan sekarang, istrimu itu jadi manusia siluman penyebar maut!"
"Aku tidak peduli, Pandan. Aku mencintaimu. Dan aku ingin kau jadi istriku."
"Edan...!" desis Pandan Wangi, yang jadi serba salah.
Baru kali ini dia menghadapi seorang laki-laki yang begitu mencintainya hingga tidak mau peduli dengan keadaan sekeliling, Darkan begitu gigih ingin mendapatkan cintanya. Dan hal itu sudah pernah diutarakan laki-laki itu ketika berada di Desa Mungkit dulu. Pandan Wangi sendiri tidak mengerti, baru dua hari mereka kenal, Darkan langsung saja menyatakan cintanya.
Bahkan laki-laki itu terus mengejar dan mendesaknya, walaupun Pandan Wangi sudah tegas menolak. Bahkan, dikatakan juga oleh Pandan Wangi bahwa dia adalah tunangan Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti. Diingatkan pula bahwa istri Darkan yang sudah meninggal sekarang bangkit lagi menjadi Siluman Penghisap Darah. Tapi, Darkan tetap tidak peduli.
Tiba-tiba Darkan meraih tangan Pandan Wangi dan menggenggamnya kuat-kuat. Lalu cepat sekali dia menyentaknya, sehingga Pandan Wangi terpekik kaget dan kehilangan keseimbangan. Darkan langsung menyambut tubuh ramping gadis itu dan memeluknya erat-erat.
"Jangan! Gila kau, Darkan. Lepaskan...!" sentak Pandan Wangi, yang langsung memerah wajahnya.
"Tidak.... Sebelum kau menerima cintaku, Pandan," sahut Darkan dengan napas yang tersengal memburu.
"Edan...!"
Plak!
Tiba-tiba tangan Pandan Wangi melayang cepat dan mendarat di wajah laki-laki muda itu. Seketika itu pula pelukan Darkan terlepas. Pandan Wangi cepat-cepat menjauhkan diri. Sebentar dia menatap tajam, lalu bergegas berbalik dan melangkah meninggalkan pemuda ini.
"Pandan, tunggu...!" Darkan bergegas mengejar. Dan dihadangnya si Kipas Maut itu dari depan.
Pandan Wangi pun terpaksa menghentikan langkahnya. Kedua bola matanya yang bersorot tajam menusuk langsung ke bola mata Darkan, yang juga balas menatapnya tanpa berkedip sedikit pun. Tampak di kegelapan malam, pipi kiri pemuda itu memerah bergambar lima jari tangan Pandan Wangi yang sempat mendarat tadi.
"Ikutlah bersamaku, Pandan. Aku benar-benar mencintaimu," ujar Darkan, agak merengek. Pandan Wangi diam saja. Tatapan matanya masih menusuk langsung ke bola mata pemuda di depannya ini Dan, tiba-tiba...
"Hup!"
"Pandan...!"
Tapi Pandan Wangi sudah melesat cepat bagai kilat. Sehingga, sebelum Darkan bisa mengejar, gadis itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Dia menghilang tertelan oleh gelapnya malam yang pekat ini. Darkan hanya bisa berdiri mematung. Dipandanginya arah kepergian Pandan Wangi.
"Huh! Dia harus jatuh ke tanganku...!" dengus Darkan.
Beberapa saat pemuda itu masih tetap berdiri mematung di tengah-tengah kebun yang cukup lebat pepohonannya. Sementara itu malam terus merayap, semakin bertambah larut.
"Pandan Wangi... Hhh...! Dia cantik sekali. Apa pun caranya, dia harus jatuh ke dalam pelukanku. Harus...!" desis Darkan lagi.
Cepat dia memutar tubuhnya berbalik. Tapi pada saat itu, tiba-tiba sebuah bayangan merah berkelebat cepat tidak jauh di depannya. Darkan tersentak kaget.
"Hey...!"
Namun bayangan merah itu sudah menghilang begitu cepat, secepat dia berkelebat tadi. Darkan penasaran. Bergegas dia melesat mengejar bayangan merah itu. Gerakannya cepat dan ringan sekali, karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah mencapai tingkatan yang cukup tinggi. Sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan tempat itu. Ditembusnya malam yang begitu pekat tanpa cahaya bulan sedikit pun.
"Hup! Hiyaaa...!"
Darkan terus berlari cepat menerobos lebatnya pepohonan di kebun yang cukup luas ini. Sesekali dia masih sempat melihat bayangan merah itu berkelebat begitu cepat di depannya.
"Berhenti..!" seru Darkan keras, sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
Teriakan Darkan yang begitu keras membuat sosok berbaju merah muda yang berkelebat cepat bagai kilat itu seketika berhenti. Dan, Darkan sendiri pun langsung menghentikan larinya. Jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak dari sosok berbaju merah muda yang membelakanginya itu.
"Nisanak, siapa kau...?" tanya Darkan dengan suara agak tertahan.
Wanita berbaju merah itu tidak menjawab. Perlahan tubuhnya berputar. Seketika itu juga, Darkan terpekik dengan mata terbeliak lebar dan mulut ternganga. Hampir-hampir dia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Wanita yang berdiri di depannya ini sangat cantik, dengan bentuk tubuh yang ramping dan indah menggiurkan.
Tapi, bukan itu yang membuat Darkan jadi terlongong-longong seperti patung batu. Wajah wanita yang ternyata dikenalnya itulah yang membuatnya tidak bisa lagi berkata-kata.
"Inten...," desis Darkan, hampir tidak terdengar.
"Siapa kau?" tanya wanita cantik berbaju merah muda itu, terdengar begitu datar dan dingin. Tak ada tekanan sedikit pun pada nada suara itu.
Darkan sedikit terkesiap dengan istrinya, yang sebenarnya sudah meninggal tapi bangkit lagi dalam bentuk siluman. Tentu saja Inten tidak mengenalinya lagi.
"Kau..., kau sudah lupa padaku, Inten...? Aku Darkan, suamimu...."
Entah apa yang terlintas di dalam benak Darkan sekarang ini. Yang jelas, tidak ada lagi rasa takut di dalam dirinya. Bahkan, dicobanya untuk mengembalikan ingatan wanita itu pada dirinya. Perlahan Darkan melangkah mendekati. Sedangkan Inten yang kini dikenal dengan julukan Siluman Penghisap Darah itu masih tetap saja berdiri tegak dengan pandangan kosong, bagai tak memiliki kehidupan sama sekali.
"Suamiku...?"
"Benar, Inten. Aku suamimu. Sudah lama aku mencarimu. Kau menghilang begitu saja tanpa memberi kabar apa pun padaku."
Inten merayapi Darkan dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Beberapa saat lamanya dia terdiam. Sedangkan Darkan sudah semakin dekat. Langkahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan Siluman Penghisap Darah.
"Kau tentu ingat dengan Nek Paring, bukan...?" Darkan terus mencoba mempengaruhi jalan pikiran wanita ini.
"Nek Paring...?" kening Inten langsung berkerut "Oh...! Bagaimana dia...?"
"Dia sudah tewas," sahut Darkan.
"Keparat..! Siapa yang membunuhnya?" Wajah Inten langsung memerah begitu mendengar Nek Paring sudah tewas. Hanya perempuan tua itulah yang bisa dikenalnya, karena Nek Paring sebenarnya adalah ibunya sendiri. Dan perempuan tua itulah yang telah membangkitkan kematiannya dengan ilmu warisan leluhur keluarganya.
"Rangga.... Dia dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Dia yang membunuh Nek Paring, nenek kita berdua, Inten. Kau tentu sangat mencintai Nek Paring. Aku juga mencintainya, Inten. Itu sebabnya aku mencarimu untuk membalas kematiannya."
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Inten, dengan nada suara yang dingin sekali.
"Benar, Inten. Dia yang membunuh Nek Paring. Dan sekarang dia juga sedang mengejarmu," kata Darkan, terus menjejali Siluman Penghisap Darah dengan kata-kata bernada menghasut.
Inten terdiam. Kembali dia memandangi pemuda di depannya ini dalam-dalam. "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau mengaku suamiku?" tanya Inten tiba-tiba, masih dengan nada suara yang dingin.
"Aku memang suamimu, Inten. Nek Paring yang menikahkan dan merestui kita," sahut Darkan. "Tapi..."
"Aku tahu, kau pasti lupa. Terlalu banyak beban persoalan yang kau hadapi, sehingga kau lupa tentang perkawinan kita," selak Darkan cepat.
"Benarkah kau suamiku...?"
"Aku berani bersumpah, Inten. Aku tidak akan ada di sini mencarimu kalau kau bukan istriku," kata Darkan meyakinkan.
Inten kelihatan masih ragu-ragu. Sedangkan Darkan sudah semakin dekat Perlahan-lahan pemuda itu mengulurkan tangannya, dan meraih tangan wanita cantik ini, lalu digenggamnya erat-erat. Agak terkesiap juga dia begitu merasakan tangan wanita ini dingin sekali, seperti batu di puncak gunung yang tinggi dan berselimut kabut.
Sedikit pun tidak dirasakan adanya kehangatan darah pada tangan yang putih dan terlihat pucat ini. Tapi, Darkan tidak lagi peduli. Dia terus menggenggam tangan yang dingin ini dengan erat sekali. Karena, di dalam benaknya, dia sudah mempunyai suatu rencana yang hanya diketahuinya sendiri. Yaitu memanfaatkan Siluman Penghisap Darah ini untuk menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, yang dianggapnya sebagai penghalang besar dalam upaya memperoleh cinta Pandan Wangi.
"Sudah lama kita tidak bertemu, Inten. Aku rindu sekali padamu," desah Darkan selembut mungkin.
"Kau benar-benar suamiku...?" Inten masih kelihatan ragu-ragu.
"Kenapa kau bertanya begitu, Inten? Aku sungguh-sungguh suamimu. Nek Paringlah yang merestuinya," ujar Darkan kembali, berusaha meyakinkan.
"Aku akan melakukan apa saja demi kau, Inten. Percayalah, aku sangat mencintaimu."
"Kau mau melakukan apa pun untukku?"
"Ya, demi cintaku padamu."
"Tapi, aku ini..."
"Aku tahu, Inten. Aku tahu.... Aku akan membantumu dan menggantikan kedudukan Nek Paring. Percayalah, aku akan mencarikan darah untukmu," kata Darkan lagi, kelihatan bersungguh-sungguh.
"Oh, benarkah itu...?"
"Tentu, Inten. Malam ini juga aku akan mencarikan darah untukmu. Dan kau tidak perlu lagi keluar masuk desa untuk mencari darah. Persiapkan saja dirimu untuk menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Kita berdua akan membalas kematian Nek Paring," kata Darkan setengah berbisik di dekat telinga wanita ini.
"Aku senang mendengarnya."
"Marilah, kita cari tempat yang aman," ajak Darkan.
"Tapi, kau akan mencarikan darah untukku malam ini, bukan?"
"Ya," sahut Darkan mantap.
"Pergilah kau. Aku tunggu di sini. Nanti baru kita cari tempat tinggal yang aman," kata Inten lagi.
"Kau menguji kesetiaanku, Inten...?"
Siluman Penghisap Darah tidak menjawab sedikit pun. Dia hanya menatap dengan sinar mata yang cukup dalam dan tertuju lurus pada bola mata pemuda di depannya ini.
"Baiklah, Inten. Malam ini kau tunggu di sini. Aku akan segera kembali untuk memenuhi permintaanmu," kata Darkan.
"Pergilah. Aku menunggumu di sini."
Sebentar Darkan memandangi wajah yang putih dan kelihatan pucat itu. Kemudian kakinya melangkah mundur beberapa tindak dan segera melesat pergi dengan cepat sekali. Sedangkan Inten masih tetap berdiri mematung seperti arca batu. Dipandanginya arah kepergian pemuda itu.
********************
Malam ini angin bertiup kencang. Awan hitam menggumpal bergulung-gulung di langit yang kelam, membuat sang rembulan tidak sanggup menembus cahayanya untuk menerangi mayapada ini. Di dalam pekatnya malam, tampak sesosok tubuh bergerak mengendap-endap di antara dinding-dinding rumah. Sosok tubuh tinggi tegap itu mengenakan baju berwarna biru gelap yang hampir hitam, sehingga keberadaannya sulit diketahui.
"Hup!"
Tiba-tiba dia melesat ringan ke atas atap sebuah rumah. Sebentar tubuhnya dirapatkan di atas atap itu. Lalu, tangannya mulai membongkar atap. Sejenak dia melirik ke kanan dan kiri. Dirayapinya keadaan sekitar. Dan tampaknya tak ada seorang pun yang terlihat. Begitu sunyi keadaan di Desa Gedangan ini.
Brusss!
Tiba-tiba orang itu sudah lenyap ke dalam rumah yang atapnya sudah dibongkar cukup lebar olehnya tadi. Tak lama kemudian, kembali dia terlihat melesat ke atas atap, dengan membawa sesosok tubuh yang tampaknya tidak sadarkan diri. Sejenak pandangannya diedarkan, merayapi keadaan sekitarnya. Lalu bagaikan kilat, laki-laki bertubuh tinggi tegap itu melesat turun dari atas atap. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, tiba-tiba....
"Berhenti...! Siapa kau?"
"Heh...?!"
Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu terkejut setengah mati begitu tiba-tiba terdengar bentakan keras yang menggelegar. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba melesat sebuah bayangan kuning. Dan tahu-tahu di depan laki-laki muda berbaju biru gelap itu sudah berdiri seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah berwarna kuning. Dialah salah seorang pemuka Desa Gedangan, yang bernama Ki Bulang.
"Phuih!
Belum apa-apa sudah ada penghalang!" dengus pemuda tampan berbaju biru gelap itu dalam hati.
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanya Ki Bulang tegas.
Namun pemuda tampan bertubuh tegap yang tak lain dari Darkan itu tidak menjawab. Dan, mendadak...
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Darkan melompat sambil mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Dan secepat itu pula goloknya dibabatkan ke arah kepala orang tua berjubah kuning ini.
Wuk! "Uts...!"
Untung Ki Bulang segera merundukkan kepalanya, sehingga tebasan golok itu hanya lewat di atas kepalanya. Tapi, belum juga Ki Bulang bisa menarik kepalanya tegak kembali, mendadak Darkan sudah melepaskan satu tendangan keras sambil memutar tubuhnya di udara.
"Hiyaaa...!" Desss!
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Darkan, sehingga Ki Bulang tidak sempat lagi berkelit menghindar. Tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini tepat menghantam punggung laki-laki tua berjubah kuning itu. Tak pelak lagi, tubuh Ki Bulang terjerembab jatuh mencium tanah.
"Mampus kau, Orang Tua Keparat! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak menggelegar, Darkan meluruk deras sambil mengayunkan goloknya dengan cepat sekali ke arah laki-laki tua berjubah kuning yang baru saja bisa bangkit berdiri itu. Tak ada lagi kesempatan bagi Ki Bulang untuk menghindari serangan yang begitu cepat ini. Dan....
"Hih!"
Tap!
"Yeaaah...!"
Diegkh!
"Akh...!"
Sungguh sukar dipercaya! Begitu Ki Bulang berhasil menjepit golok itu dengan kedua belah tangannya, mendadak Darkan memutar tubuhnya sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah dada laki-laki tua berjubah kuning ini. Begitu cepat dan kerasnya tendangan itu. sehingga tubuh Ki Bulang terpental jauh sambil memekik keras agak tertahan.
"Hiyaaat..!"
Darkan rupanya tidak mau lagi membuang-buang waktu. Bagaikan kilat, pemuda itu meluruk deras. Dikejarnya tubuh Ki Bulang yang meluncur deras akibat terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskannya tadi.
Bet!
Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, Darkan mengebutkan goloknya dan mengarahkan langsung ke leher laki-laki tua berjubah kuning itu. Begitu cepat serangan yang dilakukan Darkan, sehingga Ki Bulang benar-benar tidak dapat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, saat ini keseimbangan tubuhnya memang belum bisa dikuasai. Hingga akhirnya....
Cras!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Kesunyian malam pun terpecah. Tampak Ki Bulang jatuh menggelepar di tanah dengan leher terbabat hampir putus. Darah bercucuran deras dari luka yang menganga lebar di leher laki-laki tua berjubah kuning ini.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Darkan segera melesat meninggalkan Ki Bulang yang masih menggelepar meregang nyawa. Cepat sekali gerakan yang dilakukan Darkan, sehingga dalam sekejap pemuda itu sudah lenyap sambil membawa seseorang yang diambilnya dari dalam rumah tadi. Seorang penduduk Desa Gedangan akan dipersembahkannya untuk Siluman Penghisap Darah.
Sementara itu, jeritan melengking tinggi dan menyayat tadi telah membuat orang-orang yang tengah terlelap dari buaian mimpi seketika terjaga. Dan, lampu di rumah-rumah yang ada di sekitar jalan itu langsung menyala. Tampak dari ujung jalan, beberapa orang berlari-lari ke arah tubuh Ki Bulang, yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi dengan leher hampir putus terbabat golok.
Diantara mereka yang berdatangan, tampak Rangga dan Pandan Wangi, yang disusul oleh Ki Legik, Cantraka, Ki Murad, dan Ki Rasak. Mereka terperanjat setengah mati begitu melihat dari dekat tubuh Ki Bulang yang sudah menggeletak tak bernyawa itu. Leher pemuka desa ini hampir putus. Dan darah masih bercucuran dari lehernya yang menganga lebar itu.
"Iblis...!" desis Pandan Wangi, yang wajahnya langsung memerah.
LIMA
Kegemparan dan ketakutan semakin melanda Desa Gedangan. Sekarang bukan hanya Siluman Penghisap Darah yang muncul mencari korban. Tapi, kini muncul juga seorang laki-laki muda dengan wajah tampan dan tubuh tinggi tegap berotot, yang menculik penduduk desa. Beberapa orang peronda sempat memergoki dan bertarung dengannya. Tapi, Tampaknya pemuda itu lebih tangguh dari mereka. Bahkan, Ki Bulang pun berhasil dibunuhnya.
Padahal laki-laki tua itu adalah salah seorang pemuka Desa Gedangan. Semua orang yang diculik pemuda itu pasti ditemukan mati dengan tubuh tercabik dan darah tak tersisa sedikit pun. Kenyataan ini membuat Rangga menduga bahwa Siluman Penghisap Darah sekarang dibantu oleh orang lain yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
Entah sudah berapa orang yang menjadi korban iblis itu. Dan hal ini membuat seluruh penduduk Desa Gedangan semakin dicekam perasaan takut. Bahkan, mereka tidak lagi merasa aman, walaupun berada di dalam rumahnya sendiri.
"Keadaan ini tidak bisa didiamkan terus-menerus, Kakang. Kita harus segera mendapatkan iblis-iblis itu sebelum semua penduduk desa ini habis jadi korban kebiadaban mereka!' desis Pandan Wangi geram.
"Mereka benar-benar siluman Pandan. Mereka datang dan menghilang seperti setan," kata Rangga, dengan suara perlahan.
"Tapi kita harus secepatnya menghentikan mereka, Kakang. Aku tidak ingin kepercayaan Ki Legik kepada kita menjadi luntur, karena sampai saat ini iblis-iblis itu masih juga berkeliaran mencari korban," kata Pandan Wangi, yang tampak tidak sabar lagi. Rangga diam saja.
"Sebaiknya malam ini kita meronda keliling desa, Kakang. Siapa tahu kita bisa bertemu dengan salah satu iblis itu," kata Pandan Wangi lagi.
"Kita berpencar...?" tanya Rangga.
"Sebaiknya begitu, Kakang."
"Baiklah, Pandan. Kau ke sebelah Utara dan aku ke Selatan," kata Rangga.
Pandan Wangi tersenyum. Gadis itu bergegas meninggalkan Rangga, yang masih berdiri di tengah jalan memandanginya. Pendekar Rajawali Sakti melihat, ada sesuatu yang aneh pada diri Pandan Wangi, sesuatu yang tidak bisa diduga dan tidak dimengertinya sekarang ini. Tapi dia yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Pandan Wangi darinya, sesuatu yang tidak ingin diketahui orang lain, yang menjadi rahasia bagi Pandan Wangi sendiri.
Sementara itu si Kipas Maut sudah berjalan jauh meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Dia terus melangkah menyusuri jalan tanah yang berdebu ini. Sedangkan malam terus merayap semakin bertambah larut. Suasana di Desa Gedangan seperti hari-hari yang lainnya, masih sunyi sekali. Bahkan sekarang tidak banyak lagi orang yang mau meronda di malam hari. Hanya murid-murid dari para pemuka Desa Gedangan yang masih melakukan tugasnya, meskipun dengan keadaan terpaksa karena juga dicekam oleh perasaan takut dan khawatir jika harus berhadapan langsung dengan iblis-iblis penghisap darah itu.
Brusss!
"Heh...?!"
Tiba-tiba Pandan Wangi dikejutkan oleh sesosok tubuh yang melesat cepat dari dalam sebuah rumah yang telah dijebol atapnya. Orang itu tepat mendarat sekitar beberapa langkah di depan si Kipas Maut. Tampak jelas, dia juga terkejut melihat Pandan Wangi. Sedangkan gadis itu terbeliak matanya, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya kini.
"Darkan...," desah Pandan Wangi.
Sosok tubuh yang ternyata Darkan itu tampak memanggul seorang wanita yang tidak sadarkan diri di pundak kanannya. Rupanya pemuda itu baru saja menculik seorang wanita dari dalam rumah tadi, yang tentu saja akan dipersembahkan untuk Siluman Penghisap Darah.
"Tidak kusangka, ternyata kau bersekutu dengan perempuan iblis itu, Darkan...."
"Dia istriku!" sentak Darkan.
"Oh..., kau rupanya masih menganggap dia sebagai istrimu?" ujar Pandan Wangi, sinis. "Huh! Dasar laki-laki buaya! Iblis... Sementara istrimu menjadi Siluman Penghisap Darah, kau mengemis-ngemis cinta padaku. Sekarang..., kau malah membantunya dengan berbuat seperti dia. Kau benar-benar manusia iblis, Darkan..!"
"Aku lakukan semua ini karena cintaku padamu, Pandan. Aku harus melakukan semua ini agar dia mau melawan kekasihmu. Hanya Rangga-lah penghalang ku satu-satunya," kata Darkan.
"Keparat..! Iblis kau, Darkan!" geram Pandan Wangi, berang. "Orang sepertimu tidak pantas lagi hidup di dunia ini. Kau harus mampus, Iblis! Hiyaaat..!"
Pandan Wangi tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Sambil berteriak keras, gadis itu melesat cepat bagai kilat menerjang pemuda tampan yang masih memanggul seorang wanita itu. Tapi mendadak....
"Hih...!" Darkan cepat melontarkan wanita yang dipanggilnya ke arah Pandan Wangi. Pandan Wangi pun terkejut setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya dilentingkan ke belakang beberapa kali. Langsung wanita yang tidak sadarkan diri itu ditangkapnya. Dan dengan manis sekali gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini menjejakkan kembali kakinya di tanah. Lalu, wanita yang berada di dalam gendongannya itu ditaruhnya di tanah. Dan....
"Hiyaaat..!"
"Hup!"
Pandan Wangi cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara begitu Darkan melompat untuk menyerangnya dengan kecepatan bagai kilat.
Sret! Bet!
"Haiiit..!"
Cepat-cepat Pandan Wangi menarik kakinya ke atas ketika Darkan tiba-tiba mencabut golok dan membabatkannya langsung ke arah kaki gadis itu. Golok yang berkilat tajam itu pun berkelebat cepat di bawah telapak kaki Pandan Wangi.
"Yeaaah...!"
Pada saat itu pula Pandan Wangi menghentakkan kakinya dengan cepat. Dan dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek ke arah kepala pemuda tampan berbaju biru tua ini. Namun, dengan sedikit saja mengegoskan kepala, Darkan berhasil mengelak, sehingga tendangan Pandan Wangi hanya mengenai angin saja.
Tap! Tap!
Secara bersamaan mereka mendarat kembali ke tanah. Saat itu juga, Darkan mengebutkan golok ke arah perut lawannya. Dan, Pandan Wangi cepat-cepat menarik perutnya ke belakang, sehingga tubuhnya menjadi agak membungkuk. Ujung golok yang berkilat tajam itu pun berkelebat cepat di bawah perut si Kipas Maut ini. Lalu, cepat-cepat Pandan Wangi menarik tubuhnya hingga doyong ke belakang, karena Darkan telah kembali menyerang dengan melepaskan satu pukulan keras dari bawah ke arah wajah gadis cantik itu.
"Hih! Yeaaah...!"
Sret! Wuk!
Pandan Wangi segera mencabut senjata andalannya, sebuah kipas baja putih berwarna keperakan. Secepat kilat, dibukanya kipas itu sambil mengebutkan ke depan. Begitu cepat gerakan yang dilakukannya, sehingga Darkan tampak terkejut setengah mati.
"Uts...!"
Cepat-cepat Darkan menarik tubuhnya ke belakang. Dihindarinya kebutan kipas keperakan yang berujung runcing seperti anak panah itu. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, mendadak Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaat..!"
Bet!
"Heh...?!"
Cras!
"Aaakh...!"
Darkan terhuyung-huyung ke belakang begitu ujung-ujung kipas baja putih itu menyambar dada sebelah kirinya. Darah pun langsung menyemburat dari luka di dada kiri yang cukup panjang itu. Beberapa kali Darkan memandangi luka di dadanya dan Pandan Wangi bergantian, seakan-akan tidak percaya bahwa gadis itu mampu melukainya. Memang sungguh cepat serangan batasan yang dilancarkan Pandan Wangi tadi. Sehingga Darkan sama sekali tidak sempat melakukan tindakan untuk menghindar. Dan akibatnya, dia mendapat luka di dada kiri.
"Tunggu pembalasanku, Pandan'." desis Darkan menggeram.
"Hiyaaa...!" Cepat sekali pemuda itu melesat pergi.
Namun Pandan Wangi rupanya tidak ingin melepaskannya begitu saja. Secepat Darkan melesat, secepat itu pula Pandan Wangi melompat mengejar dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi melentingkan tubuhnya berulang kali ke udara. Lalu, setelah melakukan beberapa kali putaran di atas kepala pemuda itu, gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini menjejakkan kakinya dengan manis sekali di tanah.
"Mau lari ke mana kau, Iblis...?!" desis Pandan Wangi, dingin.
"Setan...! Phuih!"
Darkan geram setengah mati, karena Pandan Wangi berhasil mengejarnya. Bahkan gadis cantik itu kini sudah berdiri menghadang di depan. Memang tidak sulit bagi Pandan Wangi untuk mengejar pemuda ini, karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh lebih tinggi. Bahkan, tingkat kepandaian si Kipas Maut juga beberapa tingkat di atas pemuda ini. Hal itu pun disadari sepenuhnya oleh Darkan, sehingga dia langsung menyilangkan goloknya di depan dada.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, Darkan langsung melompat menyerang. Goloknya berkelebatan cepat beberapa kali, mengurung tubuh si Kipas Maut. Namun dengan gerakan tubuh yang meliuk-liuk indah, Pandan Wangi berhasil mementahkan semua serangan yang dilancarkan pemuda itu.
"Hait..!" Bet!
Cepat sekali Pandan Wangi mengebutkan kipas mautnya di depan dada ketika golok Darkan mengibas ke arahnya.
Trang!
"Akh...!"
Darkan terpekik tertahan saat goloknya menghantam kipas berwarna keperakan yang terkembang lebar itu. Cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Dan kedua kelopak matanya terbeliak lebar begitu melihat mata goloknya telah gompal akibat benturan keras dengan kipas yang terkembang lebar di depan dada si Kipas Maut itu.
Pandan Wangi berdiri tegak dengan bibir terkatup rapat. Sorot matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata pemuda berwajah cukup tampan di depannya ini. Perlahan-lahan kakinya bergerak mendekati pemuda itu. Sedangkan kipas mautnya terus terkembang dan bergerak perlahan-lahan di depan dadanya, seakan-akan gadis itu merasa kepanasan di malam yang berudara dingin ini.
"Kau benar-benar memuakkan di mataku, Darkan. Kau picik! Tidak pantas kau hidup lagi, Darkan..," desis Pandan Wangi, dingin.
Sementara itu Darkan bergerak melangkah ke belakang perlahan-lahan. Di depan matanya, Pandan Wangi sekarang ini seperti sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Dan kipas mautnya yang bergerak-gerak di depan dadanya itu bagaikan sebuah mata pedang algojo yang sudah siap untuk memenggal kepala.
"Terimalah kematianmu, Darkan...," desis Pandan Wangi lagi. "Hiyaaat..!"
Pandan Wangi melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras dengan tangan kirinya, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah hampir mencapai tingkat kesempurnaan.
"Hait!"
Darkan cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Pukulan keras menggeledek si Kipas Maut tadi lewat di samping tubuh Darkan. Namun, tanpa diduga sama sekali, secepat Pandan Wangi memutar tubuhnya, secepat itu pula lepas satu tendangan keras ke arah dada Darkan. Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Pandan Wangi, sehingga Darkan tidak bisa lagi berkelit menghindarinya. Dan...
Diegkh!
"Akh...!"
Darkan terhuyung-huyung ke belakang sambil memekik keras. Dadanya telah terkena tendangan keras si Kipas Maut Dan belum juga pemuda itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Pandan Wangi sudah melepaskan satu pukulan keras dengan tangan kirinya. Begitu cepat pukulan yang dilancarkan Pandan Wangi, sehingga Darkan benar-benar tidak mampu lagi untuk menghindarinya. Dadanya pun terhantam dengan deras sekali.
Bet! Cras!
"Aaa...!"
Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ. Kipas baja putihnya langsung dikebutkan, hingga ujung-ujung kipas yang berbentuk runcing seperti anak panah ini kembali merobek dada pemuda itu. Darah pun muncrat ke luar dengan derasnya. Lebar dan dalam sekali sayatan kipas di dada Darkan. Dan ketika satu tendangan lagi mendarat di tubuhnya, Darkan langsung ambruk ke tanah.
"Hhh...!"
Pandan Wangi mendengus berat. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri Darkan, yang telah menggeletak tak berdaya di tanah. Golok pemuda itu sudah terpental entah ke mana. Sedangkan darah terus bercucuran dari luka yang cukup besar di dadanya. Dengan wajah yang memucat, Darkan mencoba bergerak menjauhi si Kipas Maut.
"Saatmu sudah tiba, Darkan...," desis Pandan Wangi, dingin menggetarkan.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangkat kipas mautnya. Tatapan matanya menusuk tajam pada bola mata pemuda yang berusaha merayap menjauhinya itu. Namun begitu Pandan Wangi hendak mengebutkan kipasnya ke leher pemuda itu, mendadak....
"Tahan..!"
Pandan Wangi langsung menghentikan gerakan tangan kanannya. Cepat-cepat kepalanya berpaling menatap arah bentakan yang mengejutkan tadi. Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan putih yang begitu cepat bagai kilat.
"Kakang Rangga...."
"Kau tidak perlu membunuhnya, Pandan."
Perlahan Pandan Wangi menurunkan tangan kanannya yang menggenggam kipas maut berwarna putih keperakan itu. Kemudian dia berpaling menatap tajam pada Darkan, yang masih telentang di tanah dengan darah bercucuran deras dari luka di dadanya. Rangga menghampiri si Kipas Maut dan berdiri di samping kanan gadis itu. Dengan lembut sekali dia memegang pergelangan tangan Pandan Wangi dan menutup kipas mautnya. Pandan Wangi pun menyelipkan kembali kipas itu ke balik sabuk yang melilit pinggangnya.
"Dia sudah menghinaku, Kakang. Dia bersekutu dengan Siluman Penghisap Darah," desis Pandan Wangi yang masih merasa geram.
"Aku tahu. Aku dengar semua pembicaraanmu dengannya tadi," kata Rangga, tenang.
"Kau...?" Pandan Wangi tampak terkejut mendengar kata-kata Rangga barusan.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. Kakinya kemudian melangkah menghampiri Darkan, yang masih menggeletak lemah karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memberikan totokan pada sekitar luka di dada pemuda itu. Dan, darah pun seketika berhenti mengalir. Lalu, Rangga mengangkat pemuda itu agar berdiri. Darkan tampak sudah tidak berdaya lagi. Dia benar-benar lemah, karena terlalu banyak mengeluarkan darah.
Pada saat itu, terlihat orang-orang berdatangan. Tampak yang berjalan paling depan adalah Ki Legik dan tiga orang pemuka Desa Gedangan. Rangga dan Pandan Wangi yang sudah mengurus wanita yang diambil Darkan dari rumahnya tadi menunggu Ki Legik dan orang-orang itu datang.
"Apa yang terjadi, Rangga?" tanya Ki Legik begitu tiba di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Orang ini akan menunjukkan kepada kita di mana tinggalnya Siluman Penghisap Darah itu, Ki," kata Rangga.
"Siapa dia?" tanya Ki Legik lagi.
"Kau tentu masih ingat dengan cerita ku tentang Siluman Penghisap Darah, bukan? Wanita itu sebenarnya sudah mati. Dia dihidupkan kembali oleh ibunya. Dan orang ini adalah suaminya," jelas Rangga dengan singkat.
Sebentar Ki Legik menatap Darkan, yang tangannya dipegangi Rangga. Kemudian, setelah memerintahkan para pembantunya untuk meringkus pemuda itu, dia menghampiri wanita yang diculik Darkan tadi. Wanita itu kini sudah sadar dan berada dalam pelukan Pandan Wangi. Ki Legik memerintahkan beberapa pembantunya untuk mengantarkan wanita itu pulang. Lalu dia menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Darkan tampak dijaga ketat dan dipegangi oleh dua orang pemuda di kanan dan kirinya.
"Di mana perempuan siluman itu tinggal..?" tanya Ki Legik dengan suara yang dingin menggetarkan.
Darkan diam saja. Dia malah menatap tajam dan lurus pada bola mata Kepala Desa Gedangan ini. Tampaknya dia tidak lagi peduli akan dirinya. Dan, saat pandangannya tertuju pada Pandan Wangi, rasa cintanya langsung luntur seketika dan berubah menjadi kebencian yang amat mendalam. Dia benar-benar benci kepada Pandan Wangi, karena gadis itu telah menolak cintanya. Bahkan, karena gadis itu pula, kini dia menjadi tawanan di Desa Gedangan ini. Dia sadar, hidupnya tidak akan bertahan lama lagi.
"Kau akan diampuni kalau mau menunjukkan di mana tinggalnya perempuan siluman itu, Darkan. Sebaiknya kau berterus terang saja. Jangan mempersulit dirimu sendiri," bujuk Rangga.
"Kau tidak akan bisa membujuk ku, Rangga. Kau akan mati di tangan Inten. Dia akan membumihanguskan desa ini kalau aku tidak kembali malam ini," desis Darkan, yang sudah tidak peduli lagi pada dirinya sendiri. "Ha ha ha...!"
"Bawa dia...!" perintah Ki Legik, tegas.
Dua orang yang memegangi tangan Darkan segera menyeret pemuda itu, Dan sekitar sepuluh orang ikut mengiringinya. Sedangkan Darkan terus tertawa terbahak-bahak. Pandan Wangi yang sudah berdiri di samping Rangga terus memandangi Darkan yang sedang digiring pemuda-pemuda bersenjata golok itu. Sedangkan Rangga sendiri terus memandangi Pandan Wangi.
"Aku akan mengorek keterangan darinya, Rangga," kata Ki Legik. Tanpa menunggu jawaban dari Pendekar Rajawali Sakti, Ki Legik segera melangkah pergi, diikuti oleh yang lainnya.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih tetap berdiri pada tempatnya. Mereka masih belum berbicara sedikit juga, meskipun semua orang yang tadi mendatanginya sudah jauh pergi meninggalkan tempat mereka berdiri.
"Kau sudah kenal lama dengannya, Pandan?" tanya Rangga setelah cukup lama membisu.
"Sama denganmu," sahut Pandan Wangi.
"Hm..., kenapa dia begitu cepat jatuh cinta padamu?" tanya Rangga lagi ingin tahu.
"Katanya, aku mirip sekali dengan bekas kekasihnya. Dia juga berkata bahwa dia terpaksa menikahi Inten karena berhutang budi pada ayah gadis itu. Sedangkan dia sendiri terus berharap untuk bisa bertemu dengan kekasihnya yang telah pergi akibat pernikahannya dengan putri kepala desa itu. Bahkan dia menyangka kalau aku adalah kekasihnya, dan tidak peduli meskipun sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku bukan kekasihnya. Dia juga tidak peduli dengan dirimu, Kakang," jelas Pandan Wangi.
"Hm...," gumam Rangga dengan kepala terangguk-angguk.
"Tapi sekarang dia pasti membenciku, Kakang," lanjut Pandan Wangi.
"Ah..., sudahlah, Pandan. Kau pun tidak perlu menanggapinya dengan sungguh-sungguh," kata Rangga, bisa mengerti.
Pandan Wangi hanya tersenyum. Begitu tipis senyumannya, sehingga hampir tidak terlihat sama sekali. Rangga melingkarkan tangannya di pundak gadis itu, kemudian mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan perlahan-lahan tanpa berbicara lagi. Sedangkan malam terus merambat semakin larut. Udara pun terasa bertambah dingin. Dan Desa Gedangan masih saja diselimuti oleh kesunyian yang begitu mencekam.
********************
ENAM
Di sudut sebuah kamar berukuran kecil yang seluruh dinding dan atapnya terbuat dari batu, tampak Darkan duduk meringkuk sambil memeluk lutut. Luka di dadanya sudah terbalut kain. Lelaki muda itu kemudian mengedarkan pandangannya berkeliling. Darkan mengeluh, karena tidak ada jalan sedikit pun untuk bisa ke luar dari ruangan ini.
Hanya ada sebuah pintu besi dan sebuah jendela kecil berjeruji besi di kurungan ini. Dari jendela kecil itu sinar matahari menerobos masuk, sehingga membuat keadaan di dalam ruangan kecil itu tidak begitu lembab dan kumuh. Tak ada satu barang pun di dalam ruangan ini. Bahkan lantainya penuh oleh jerami kering yang berserakan, tanpa meja, kursi, ataupun pembaringan.
Di depan pintu besi ruangan itu, tampak dua orang pemuda bersenjata golok sedang berjaga-jaga. Sebentar-sebentar mereka bergantian mengintip ke dalam, melalui lubang kecil pada pintu besi yang kokoh itu, untuk memastikan apakah Darkan masih ada di dalam atau tidak.
"Seharusnya digantung saja dia...," dengus salah seorang penjaga itu, agak kesal.
"Kau benar. Dia sudah terlalu banyak membunuh teman dan saudara kita. Tidak pantas lagi iblis itu hidup," sahut pemuda satunya lagi.
"Huh! Kalau saja Ki Legik tidak melarang...,sudah kupenggal kepalanya."
Mereka langsung terdiam begitu melihat Ki Legik bersama Rangga, Ki Murad, Ki Rasak, dan Cantraka datang menghampiri. Tidak terlihat Pandan Wangi di antara mereka. Gadis itu memang sengaja tidak ikut. Dia tidak ingin lagi bertemu Darkan. Pandan Wangi tahu, jika Darkan melihat dirinya, pemuda itu tidak akan membuka mulut. Karena rasa cinta yang ada di dalam hati Darkan kini sudah berganti dengan kebencian yang penuh dendam pada si Kipas Maut. Karena cintanyalah dia berada di Desa Gedangan dan sekarang harus meringkuk di dalam kamar tahanan yang kotor ini.
"Buka pintunya," perintah Ki Legik begitu dekat dengan kamar tahanan yang berada di bagian belakang rumah tinggalnya ini.
Salah seorang penjaga tadi bergegas membuka pintu yang terbuat dari besi itu.
Krieeet..!
Cahaya matahari langsung menerobos masuk begitu pintu terbuka lebar. Saat itu Darkan bergerak bangkit. Ki Legik, yang didampingi Rangga, berdiri tegak di ambang pintu. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan berukuran tidak begitu besar ini.
"Bagaimana keadaanmu, Darkan?" tanya Ki Legik, mencoba bersikap ramah.
"Buruk," sahut Darkan, agak ketus.
"Aku menyesal harus menempatkanmu di sini. Kau sebenarnya bisa mendapatkan tempat yang lebih baik kalau mau bekerjasama," kata Ki Legik.
"Hhh...!" Darkan hanya mendengus sinis. Dia menatap tajam penuh kebencian pada Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di samping Kepala Desa Gedangan itu. Di belakang kedua orang itu, berdiri tiga orang pemuka Desa Gedangan. Sedangkan di ambang pintu, dua orang pemuda dengan senjata golok terselip di pinggang tetap berjaga-jaga.
"Jangan sia-siakan hidupmu, Darkan. Buang jauh-jauh semua bisikan iblis di dalam hatimu," bujuk Rangga.
Darkan tetap diam. Sorot matanya semakin terlihat tajam. Raut wajahnya memancarkan ketegangan. Sedangkan bibirnya terkatup rapat, dengan geraham bergemeletuk menahan amarah. Tiba-tiba, kedua bola mata Darkan merah menyala, bagai sepasang bola api. Dan....
"Ghraaaugkh...!"
Darkan berteriak keras dengan suara yang terdengar bagai raungan seekor binatang buas. Sedangkan kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala. Tentu saja hal ini membuat semua orang yang berada di dalam ruangan itu terkejut setengah mati. Terlebih lagi kemudian terlihat raut wajah Darkan langsung berubah menjadi pucat bagai mayat. Belum lagi rasa terkejut mereka lenyap, mendadak saja....
"Ghraaagkh...!"
Sambil meraung dahsyat, Darkan yang kini sudah berubah menjadi manusia siluman itu melompat cepat ke depan. Saat itu juga Rangga mendorong tubuh Ki Legik hingga jatuh terguling dan terhindar dari terjangan Darkan. Sedangkan Rangga segera melompat ke samping. Ki Murad dan Cantraka pun sempat melompat ke samping, sehingga terhindar pula dari terjangan Darkan. Namun, tiga orang lainnya yang berada di belakang Rangga tidak sempat lagi berbuat sesuatu. Sehingga....
Bret!
"Aaakh...!"
Jeritan panjang yang melengking tinggi tiba-tiba terdengar menyayat dan menggetarkan jantung. Tampak Ki Rasak jatuh menggelepar dengan leher terkoyak lebar. Darahnya pun muncrat keluar dengan deras sekali. Belum lagi ada yang melakukan sesuatu, kembali terdengar jeritan-jeritan panjang yang saling susul. Tampak dua orang pemuda yang menjaga di pintu tadi bergelimpangan dengan leher yang juga terkoyak lebar berlumuran darah. Sedangkan Darkan sudah melompat keluar dari dalam ruangan yang mengurungnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga yang bisa lebih cepat menguasai keadaan, segera melesat ke luar dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai pada tingkatan sempurna. Dengan ma-nis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu melakukan beberapa kali putaran di udara dan lewat di atas kepala Darkan. Lalu dengan indahnya dia mendarat sekitar satu batang tombak di depan pemuda yang tampaknya sudah dirasuki siluman itu.
"Ghrrr...!"
Wuk!
"Uts...!"
Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan ketika Darkan dengan begitu cepat melompat sambil melepaskan satu pukulan keras ke arahnya. Dan di saat tangan Darkan menjulur, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kakinya, memberi satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam ke arah perut Darkan. Begitu cepatnya tendangan Rangga, sehingga Darkan tidak sempat lagi menghindar.
Desss!
"Hugkh...!"
"Yeaaah....!"
Selagi tubuh Darkan terbungkuk, Rangga langsung melepaskan satu pukulan keras dengan tangan kanannya ke dada pemuda itu, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
Plak!
"Argkh...!"
Darkan meraung keras agak tertahan. Dadanya terkena pukulan menggeledek yang sangat keras dari Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu juga, Rangga melentingkan tubuhnya sedikit ke atas. Dan dilepaskannya satu tendangan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam sempurna ke dada pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
Bugkh!
"Aaargkh...!"
Terdengar raungan yang panjang dan mengerikan bersamaan dengan terpentalnya tubuh Darkan ke belakang dengan keras sekali, setelah dadanya menerima tendangan bertenaga dalam sempurna dari Pendekar Rajawali Sakti. Dan dengan keras pula tubuh pemuda itu langsung terbanting ke tanah. Namun, tanpa diduga sama sekali, Darkan bisa cepat bangkit dan berdiri lagi.
"Ghrrr...!"
Darkan menggerung dahsyat bagai seekor binatang buas yang kesakitan. Sedangkan Rangga sudah berdiri tegak untuk bersiap-siap menerima serangan pemuda yang sudah dirasuki siluman ini. Saat itu, di depan pintu bangunan batu yang dijadikan tempat untuk menahan Darkan tadi, berdiri Ki Legik, Ki Murad, dan Cantraka. Dan entah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu halaman belakang rumah Kepala Desa Gedangan ini sudah dipenuhi oleh murid-murid kepala desa dan para pemuka desa itu.
"Ghraaaugkh...!"
Sambil menggerung dahsyat, Darkan melompat cepat bagai kilat menerjang Rangga. Jari-jari tangannya yang merah berlumuran darah dan meregang kaku, slap untuk mencabik-cabik seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Namun begitu Darkan mendekat, cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke udara sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan kedua tangannya ketubuh pemuda itu. Begitu cepat dan dahsyatnya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang dikeluarkan Rangga, sehingga Darkan tidak mampu lagi berkelit menghindar.
Desss!
Bugkh!
"Argkh...!"
"Hiyaaa...!"
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya lebih tinggi ke udara. Dilakukannya dua kali putaran dengan indah sekali. Dan dengan kecepatan yang begitu tinggi, Pendekar Rajawali Sakti segera meluruk turun dengan mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kedua kakinya bergerak begitu cepat seperti berputar. Langsung diarahkan kakinya ke kepala Darkan yang tengah terhuyung-huyung akibat terkena dua kali tebasan tangan Rangga tadi.
Plak!
"Aaargkh...!"
Seketika darah muncrat keluar dari kepala Darkan yang retak terkena kaki Rangga yang meluruk dengan deras tadi. Saat itu juga Rangga melakukan dua kali putaran di udara. Dan dengan manis sekali, kakinya dijejakkan di depan pemuda yang sedang kerasukan siluman itu. Kemudian dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek yang langsung mendarat di dada Darkan.
Begkh!
"Aaakh...!"
"Oh...?!"
Rangga tersentak kaget begitu mendengar jeritan Darkan yang tampak lain bunyinya itu. Tapi, terlambat bagi Rangga untuk menyadarinya. Darkan sudah terpental cukup jauh ke belakang. Dan dengan keras sekali tubuh pemuda itu jatuh menghantam tanah. Setelah beberapa saat menggeliat dan menggeletar di tanah, tubuh Darkan mengejang lalu diam tak bergerak lagi. Mulutnya tampak mengeluarkan darah, sedangkan kepalanya yang retak pun masih mengucurkan darah segar.
Rangga bergegas menghampiri dan langsung berlutut di samping pemuda dari Desa Mungkit ini.
"Darkan...," desis Rangga perlahan.
Namun Darkan sudah tidak bergerak lagi untuk selamanya. Pemuda itu tewas seketika, karena mendapat beberapa gempuran dahsyat dari Pendekar Rajawali Sakti tadi. Saat itu Ki Legik dan dua orang pemuka Desa Gedangan sudah datang menghampiri. Mereka berdiri di belakang Pendekar Rajawali Sakti, yang masih berlutut di samping tubuh Darkan.
"Kasihan kau, Darkan. Kau hanya salah satu korban...," desah Rangga perlahan, sambil bangkit berdiri.
"Apakah dia tidak tertolong lagi?" tanya Ki Legik seraya menatap Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti hanya menggeleng. Sedangkan Ki Legik menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Sesaat mereka semua terdiam. Sementara ini Ki Murad sudah memerintahkan murid-muridnya untuk membereskan semua mayat yang bergelimpangan.
"Kenapa dia bisa berubah mengerikan seperti itu, Rangga? Apakah dia juga siluman...?" tanya Ki Legik.
"Bukan," sahut Rangga, agak mendesah.
"Bukan...?!"
"Dia manusia biasa. Tapi, dia sudah terpengaruh segala jiwa dan kehidupannya oleh Siluman Penghisap Darah. Atau, mungkin juga justru perempuan siluman itu yang merasuk ke dalam tubuhnya," ujar Rangga, mencoba menjelaskan. Baru saja Ki Legik membuka mulutnya hendak bertanya lagi, tiba-tiba....
"Hik hik hik...!"
"Oh...?!"
Ki Legik terperanjat setengah mati ketika tiba-tiba terdengar tawa keras menggema yang mengikik kering dan serak seperti burung gagak. Sedangkan Rangga langsung melompat ke belakang beberapa langkah. Pandangan pemuda itu langsung beredar berkeliling. Tapi, tak ada tanda-tanda bahwa Siluman Penghisap Darah ada di sekitar rumah Kepala Desa Gedangan ini. Suara tawa itu pun sudah menghilang tanpa dapat diketahui lagi dari mana datangnya.
"Aku pergi dulu, Ki," kata Rangga cepat-cepat.
"Mau ke mana...?"
Tapi belum juga Ki Legik menyelesaikan pertanyaannya, Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat melesat pergi bagai kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejap bayangan tubuhnya sudah tak terlihat lagi.
********************
"Pandan...!" Rangga langsung berteriak memanggil Pandan Wangi begitu sampai di depan rumah Ki Biran yang juga dijadikan kedai itu. Tapi, tak ada sahutan sedikit pun yang didengarnya. Keadaan rumah itu tampak sunyi sekali. Baru saja Rangga melangkah dua tindak mendekati pintu depan yang tertutup, tiba-tiba pintu itu terbuka. Dan muncul Ki Biran dengan tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Mana Pandan Wangi, Ki...?" tanya Rangga begitu Ki Biran telah dekat di depannya.
"Pergi, Den."
"Pergi ke mana?"
"Tidak tahu, Den. Nini Pandan Wangi tidak bilang apa-apa," sahut Ki Biran.
Rangga mendengus. Dia cemas karena Pandan Wangi pergi seorang diri. Padahal, tadi dia sudah berpesan agar Pandan Wangi menunggunya sampai dia kembali ke rumah ini, karena keadaan semakin bertambah gawat. Sejak mereka berhasil meringkus Darkan yang kepergok menculik seorang wanita, tindakan Siluman Penghisap Darah semakin brutal saja.
Dia membantai siapa saja yang berhasil ditemuinya. Bahkan dia sudah mulai mengobrak-abrik rumah-rumah penduduk hanya untuk membunuh dan menghirup darah manusia. Tidak ada lagi tempat yang aman bagi seluruh penduduk Desa Gedangan, sehingga semua orang di desa ini pun semakin diliputi ketakutan. Kecemasan yang tersirat jelas di wajah Pendekar Rajawali Sakti dapat dipahami Ki Biran. Laki-laki tua pemilik kedai yang hidup seorang diri itu menghampiri Rangga lebih dekat.
"Sebaiknya kau cepat susul dia, Den, Aku juga khawatir terjadi sesuatu padanya," kata Ki Biran.
"Kalau saja aku tahu ke mana perginya, Ki..," kata Rangga.
"Memang sulit. Nini Pandan Wangi tidak mengatakan apa-apa padaku. Dia hanya bilang mau pergi itu saja...," kata Ki Biran, agak menggumam.
"Kau lihat ke arah mana Pandan Wangi pergi, Ki?" tanya Rangga.
"Ke arah Hutan Cengkir," sahut Ki Biran.
"Ke Hutan Cengkir...? Mau apa dia ke sana?" tanya Rangga, seperti pada dirinya sendiri.
"Banyak orang yang melihat, perempuan siluman itu sering keluar masuk hutan itu, Den. Barangkali dia memang bertempat tinggal di sana sekarang ini. Dan aku...," Ki Biran tidak meneruskan kalimatnya.
"Kau kenapa, Ki...?" desak Rangga.
"Aku menceritakan semua yang ku tahu kepadanya, Den. Lalu...," kembali Ki Biran tidak meneruskan kata-katanya. Rangga juga terdiam membisu.
"Maaf, Den. Bukannya aku ingin mencelakakannya. Nini Pandan Wangi sendiri yang terus mendesak dan bertanya segala macam."
"Sudahlah, Ki. Dalam hal ini, kau tidak bersalah apa-apa. Tidak perlu meminta maaf. Kau memang patut mengatakan apa saja yang kau ketahui. Seluruh penduduk desa ini pun seharusnya ikut membantu, bukannya hanya diam dan bersembunyi menerima nasib. Kalau saja mereka semua mau bahu membahu, tidak mungkin perempuan siluman itu bisa merajalela membunuhi penduduk desa yang tidak bersalah. Hm..., sepak terjang perempuan siluman itu memang harus secepatnya dihentikan," ujar Rangga, agak menggumam.
Sesaat mereka terdiam.
"Aku pergi dulu, Ki. Dan sebaiknya kau tidak keluar dari rumah," kata Rangga seraya berpesan.
"Hati-hati, Den."
Rangga hanya tersenyum. Kemudian kakinya melangkah menghampiri kuda hitamnya yang tertambat di bawah pohon kemuning. Dengan gerakan yang ringan dan indah, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya yang bernama Dewa Bayu. Sebentar ditatapnya Ki Biran, lalu cepat menggebah kudanya.
"Hiyaaa...."
Bagaikan anak panah yang lepas dari busur, Dewa Bayu melesat cepat bagai kilat membawa Pendekar Rajawali Sakti di atas punggungnya. Sedangkan Ki Biran terus menatap sampai kuda hitam itu lenyap dari pandangan, hingga kepulan debu yang tertinggal. Ki Biran lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya, dan mengunci rapat-rapat semua pintu dan jendela. Sementara itu Rangga terus memacu cepat kudanya menuju Hutan Cengkir.
TUJUH
Benarkah Pandan Wangi pergi ke Hutan Cengkir? Ya, gadis itu memang pergi ke sana, seperti yang dikatakan Ki Biran. Dan dia tentunya meninggalkan kudanya di tepi hutan, sehingga Rangga dengan mudah menemukan kuda itu. Pendekar Rajawali Sakti semakin kelihatan cemas. Dia tahu, hutan ini tidak pernah dimasuki orang, bahkan terkenal dengan keangkerannya. Banyak juga orang yang mengatakan kalau Hutan Cengkir adalah tempat tinggal para siluman.
Sementara itu Pandan Wangi sendiri sudah berjalan cukup jauh menembus lebatnya hutan ini. Gadis itu juga sudah mendengar cerita yang menyeramkan tentang hutan ini. Tapi, setelah dia berada di dalamnya, ternyata hutan ini begitu indah. Tempat ini penuh dengan binatang liar yang cantik dan hidup bebas tanpa takut mendapat gangguan dari para pemburu liar. Udaranya pun terasa sejuk sekali. Keangkerannya tak terlihat sedikit pun. Bahkan, keindahannya tampak begitu alami.
"Hm..., hutan ini luas sekali. Kemana aku harus mencari perempuan siluman itu...?" gumam Pandan Wangi, bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Gadis cantik berbaju biru yang dijuluki si Kipas Maut itu terus mengayunkan kakinya semakin jauh menembus hutan. Tapi dia belum juga menemukan tanda-tanda yang bisa menunjukkan di mana Siluman Penghisap Darah itu berada. Bahkan, tak satu pun terlihat pondok ataupun gua yang bisa dijadikan tempat tinggal di sini. Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sendiri.
"Sebaiknya aku kembali saja sebelum Kakang Rangga tahu aku pergi ke sini," gumam Pandan Wangi dalam hati. Gadis itu memutar tubuhnya hendak berbalik. Tapi mendadak.... "Oh...?!"
Cepat si Kipas Maut itu melompat mundur beberapa langkah. Tiba-tiba saja di depannya telah berdiri seorang perempuan muda yang begitu cantik, yang mengenakan baju warna merah muda agak longgar dan tipis. Sehingga membayangkan tekuk-lekuk tubuhnya yang indah dan ramping menggiurkan.
"Inten...," desis Pandan Wangi yang langsung mengenali.
Wanita itu memang Inten, yang selama ini dikenal dengan sebutan Siluman Penghisap Darah. Perlahan Pandan Wangi menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Sedangkan Inten tetap berdiri tegap, dengan sinar mata yang bersorot tajam dan tertuju langsung ke bola mata si Kipas Maut.
"Mau apa kau datang ke sini, Pandan Wangi?" kata perempuan siluman itu dengan nada suara yang terdengar begitu dingin dan datar.
"Kau tentu sudah tahu jawabannya, Inten," sahut Pandan Wangi, tidak kalah dinginnya.
"Kau terlalu berani datang seorang diri ke tempatku, Pandan. Kau tahu apa akibatnya kalau berani menginjak tempatku tanpa izin...?"
"Sejak kapan kau menguasai hutan ini?" ujar Pandan Wangi, sinis.
"Sejak aku datang, hutan ini menjadi milikku. Juga seluruh mayapada ini menjadi milikku. Dan semua orang harus menyerahkan darahnya padaku setiap hari. Aku adalah ratu di dunia ini, Pandan. Ratu yang menguasai seluruh jagat raya ini. Ha ha ha...!"
"Kau hanya siluman, Inten. Dan kau tidak berhak lagi hidup di dunia ini. Kau sudah mati...! Seharusnya kau hidup di alam lain. Bukan di sini tempatmu," kata Pandan Wangi, dengan nada suara agak tinggi.
"Hik hik hik...! Beraninya kau berkata begitu padaku, Pandan. Hari-hari yang lalu kau boleh bangga bisa mengalahkanku. Tapi sekarang, kehidupanku sudah sempurna. Dan kau sekarang tidak ada artinya bagiku, Pandan," desis Inten, diiringi tawa terkikik yang kering mengerikan.
Sret! Bet!
Pandan Wangi segera mencabut kipas mautnya dan langsung mengebutkannya. Kipas berwarna keperakan itu pun terkembang lebar di depan dadanya. Sementara Siluman Penghisap Darah tampak kelihatan tenang. Diperhatikannya setiap gerakan yang dilakukan Pandan Wangi. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Dan, sorot matanya terasa tajam sekali, seakan-akan ingin menembus langsung ke dalam lubuk hati Pandan Wangi yang paling dalam.
"Pandan...!"
"Tiba-tiba terdengar teriakan keras yang menggema di seluruh hutan, yang membuat Siluman Penghisap Darah terkejut. Bahkan Pandan Wangi juga tersentak kaget, terlebih lagi dia mengenali betul suara itu, yang sudah begitu akrab di telinganya.
"Kakang Rangga...," desah Pandan Wangi.
Entah bagaimana perasaan gadis itu. Dia kelihatan senang tapi sekaligus khawatir saat mengetahui bahwa Pendekar Rajawali Sakti telah datang ke Hutan Cengkir ini. Jelas sekali, teriakan yang memanggil si Kipas Maut tadi adalah suara Rangga. Tapi, hanya suaranya yang terdengar keras menggema. Sosoknya belum juga terlihat.
"Keparat..! Rupanya dia juga bisa cepat sampai ke sini," desis Inten, geram.
Tiba-tiba Siluman Penghisap Darah melesat pergi bagai kilat. Begitu cepat gerakannya, sehingga dia sudah menghilang sebelum Pandan Wangi bertindak mencegahnya.
"Huh! Cepat sekali dia menghilang!" dengus Pandan Wangi.
Saat itu kembali terdengar teriakan keras menggema yang memanggil nama Pandan Wangi. Suara itu terdengar sangat jelas, seakan-akan berada dekat sekali. Tapi, pemilik suara itu belum juga kelihatan. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap berdiri tegak dan tak bergeming sedikit pun.
"Hhh! Aku tidak mau Kakang Rangga menemuiku di sini," desis Pandan Wangi. "Tapi..., dia pasti sudah menemukan kudaku. Pada saat itu pula dari balik semak-semak muncul Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu melangkah cepat, mendekati Pandan Wangi.
"Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, Kakang," dengus Pandan Wangi.
"Lalu, kenapa kau sendiri berada di sini?" balas Rangga.
"Suaramu mengejutkan dia. Sehingga dia lari begitu saja," dengus Pandan Wangi lagi.
"Dia...?! Dia siapa, Pandan?" "Perempuan siluman itu," sahut Pandan Wangi sambil memberengut.
"Kau berhasil menemuinya?" Pendekar Rajawali Sakti tampaknya kurang mempercayai kata-kata Pandan Wangi.
Memang sama sekali tidak terlihat ada bekas-bekas pertarungan di sini. Bahkan, keadaan Pandan Wangi sendiri tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia baru bertarung dengan Siluman Penghisap Darah.
"Aku tidak menemuinya di sini, tapi dia sendiri yang datang menemuiku."
Rangga masih tetap diam. Tampaknya dia sedang berpikir keras. Belum lama tadi, dia mendengar suara tawa perempuan siluman itu di halaman belakang rumah Ki Legik. Dan sekarang Pandan Wangi berkata bahwa perempuan siluman itu menemuinya di sini. Ini berarti putri Kepala Desa Mungkit itu benar-benar sudah menjadi manusia siluman. Dan, ini juga berarti kehidupannya sebagai manusia siluman mulai mendekati kesempurnaan. Akan semakin sulitlah sekarang menghadapi perempuan siluman itu.
Yang pasti, Siluman Penghisap Darah kini semakin kuat dan semakin sulit ditandingi. Dan jika dia benar-benar sudah sempurna, tak akan ada seorang pun yang bisa menandingi kedigdayaannya. Dunia pun akan kiamat dengan cepat. Rangga menjadi risau, karena dia menyadari bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tentu memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan.
"Aku yakin, dia memang tinggal di dalam hutan ini, Kakang," kata Pandan Wangi, memecahkan lamunan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebaiknya kita kembali dulu ke Desa Gedangan, Pandan. Keadaan di sana semakin bertambah gawat. Terlebih lagi setelah...," Rangga tidak meneruskan ucapannya.
"Setelah apa, Kakang?" desak Pandan Wangi.
"Darkan...Dia sudah tewas," kata Rangga, pelan.
"Oh, benarkah...?!" Pandan Wangi tampak terkejut.
Sedangkan Rangga hanya mengangguk. Mereka terdiam dan tampaknya sama-sama mengerti bahwa tewasnya Darkan akan menambah buruk keadaan di Desa Gedangan. Karena Siluman Penghisap Darah pasti akan menuntut balas.
"Sebaiknya kita cepat kembali ke Desa Gedangan, Kakang," ajak Pandan Wangi.
"Ayolah...."
********************
Sementara itu, agak jauh di pinggiran Desa Gedangan, Ki Legik, Ki Murad, Cantraka, dan para penduduk desa baru saja selesai menguburkan jasad Darkan yang tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
Dan tanpa ada seorang pun yang mengetahui, dan tempat yang cukup tersembunyi tampak seorang wanita cantik berbaju merah muda yang agak tipis sedang memperhatikan semua itu. Wanita muda itu baru keluar setelah semua orang tidak terlihat lagi di sekitarnya. Kemudian dia berdiri mematung di pinggiran kuburan yang masih baru itu. Perlahan kepalanya terangkat dan pandangannya langsung tertuju lurus dan tajam ke arah Desa Gedangan.
"Siapa pun yang membunuhmu, dia harus mati di tanganku, Darkan. Percayalah, aku akan membalas kematianmu," desis wanita itu, dingin sekali.
Kembali wanita itu menatap kuburan yang masih baru. Perlahan kemudian kakinya melangkah mundur beberapa tindak. Dan sorot matanya yang tajam kembali tertuju ke Desa Gedangan. Sementara, Ki Legik dan orang-orangnya sudah tidak terlihat lagi. Suasana di pinggiran desa itu demikian sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar berhembus agak kencang mempermainkan dedaunan.
"Hhh! Akan kuhancurkan mereka semua kalau tidak mau menyerahkan orang yang membunuh Darkan," desis wanita itu lagi, semakin dingin nada suaranya.
Sebentar ditatapnya kuburan Darkan. Kemudian kakinya melangkah hendak meninggalkan kuburan yang masih baru itu. Namun, baru saja kakinya melangkah beberapa tindak, mendadak....
"Berhenti kau, Siluman Keparat...!"
Wanita cantik berbaju merah itu langsung berhenti melangkah ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras dari arah belakangnya. Perlahan tubuhnya berbalik. Kelopak matanya menyipit begitu terlihat di depannya kini sudah berdiri seorang pemuda berusia tiga puluh tahun, yang mengenakan baju putih cukup ketat sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang berukuran panjang tergantung di pinggang pemuda itu.
Dia tak lain adalah Cantraka, yang telah memisahkan diri dari para penduduk desa lainnya, dan kembali ke kuburan ini. Sekarang Cantraka berdiri tegak dengan sikap menantang di depan wanita cantik berbaju merah itu yang tak lain dari Inten, Siluman Penghisap Darah.
"Kau pikir aku tidak tahu dengan kehadiranmu di sini, Siluman Keparat..," desis Cantraka, dengan nada suara yang dingin sekali.
"Hm...," gumam Inten, perlahan. Bibir Inten yang selalu berwarna merah menyala itu bergerak sedikit menyunggingkan senyuman.
Begitu cantik wajahnya saat dia tersenyum, sehingga tidak terlihat sama sekali bahwa wanita ini adalah Siluman Penghisap Darah. Bahkan, terlalu cantik dan lembut kalau dia dikatakan sebagai manusia siluman. Dan kalau saja Cantraka tidak tahu siapa sebenarnya wanita ini, tentu dia tidak akan pernah menyangka kalau bentuk tubuh dan wajah yang sangat cantik menawan ini menyimpan dendam yang hebat.
"Siapa pun kau, enyahlah dari Desa Gedangan!" sentak Cantraka, tegas.
"Hik hik hik...! Indah sekali kata-katamu, Kisanak," sambut Inten, disertai tawanya yang mengerikan.
"Phuih! Jangan mengejekku, Perempuan Siluman!" dengus Cantraka seraya menyemburkan ludah.
"Hik hik hik...!" Inten terus saja tertawa terkikik.
Tapi, tiba-tiba suara tawa itu terhenti seketika. Dan, raut wajahnya menegang kaku. Sedangkan sorot matanya terlihat sangat tajam, seakan-akan hendak menembus langsung ke dalam rongga dada pemuda di depannya ini. Kemudian perlahan bibirnya bergerak membentuk sebuah seringai. Tampak dua buah taring yang tajam berkilat menyembul bagai hendak mengoyak bibirnya yang merah bagai berlumur darah. Wajah yang semula terlihat begitu cantik itu kini berubah menjadi dingin dan mengerikan.
"Kau tegap dan gagah sekali. Pasti darah yang mengalir di tubuhmu sangat segar. Hsss...!" ujar Inten sambil mendesis lirih.
"Hih...!" Cantraka bergidik juga melihat perubahan yang begitu cepat pada wanita ini. Dan suara yang mendesis itu membuat jantungnya berdebar. Tapi, dia cepat-cepat menguatkan diri. Ditatapnya tajam-tajam Siluman Penghisap Darah yang sudah bergerak perlahan-lahan mendekatinya.
Sret!
Cantraka langsung mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Dengan gerakan indah, pedangnya disilangkan di depan dada. Sedangkan sorot matanya masih tetap tajam, membalas tatapan liar mengerikan dari sinar mata Siluman Penghisap Darah.
"Ghraaaugkh...!"
"Hup! Hiyaaat..!"
Secara bersamaan, keduanya melompat cepat saling menerjang. Cantraka cepat-cepat mengebutkan pedangnya ke depan, mengarah langsung ke dada Siluman Penghisap Darah. Namun, dengan gerakan meliuk yang begitu indah, wanita itu berhasil mengelakkan tebasan pedang pemuda ini. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangannya yang berkuku runcing dikibaskan ke arah leher Cantraka.
"Hait..!"
Cepat-cepat Cantraka memutar tubuhnya ke belakang, sehingga kibasan jari-jari tangan yang meregang kaku dengan kuku-kuku yang runcing tajam itu berhasil dihindarinya. Beberapa kali Cantraka berjumpalitan di udara. Dan dengan manis sekali kakinya kembali dijejakkan di tanah. Namun, pada saat yang bersamaan, Inten sudah meluruk deras seraya mengebutkan kedua tangannya dengan cepat dan bergantian.
"Uts...!"
Cantraka harus berjumpalitan lagi. Di hindarinya serangan-serangan cepat yang dilakukan Siluman Penghisap Darah. Dan begitu dia memiliki kesempatan, cepat-sepat pedangnya berkelebat membalas serangan-serangan wanita itu. Pertarungan ini memang sengit sekali.Masing-masing saling mengeluarkan jurus-jurusnya yang cepat dan dahsyat.
Namun, lama-kelamaan Cantraka mulai tampak mengalami kesulitan. Beberapa kali dia melancarkan serangan dengan pedangnya, tapi wanita itu selalu berhasil mementahkannya dengan mudah. Bahkan, serangan-serangan balasan yang diberikan perempuan siluman itu membuat Cantraka kelabakan setengah mati untuk menghindarinya. Hingga....
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Tiba-tiba Inten mengibaskan tangan ka-nannya dengan cepat sekali ke arah dada lawannya. Dan begitu Cantraka berhasil menghindarinya, mendadak perempuan siluman itu melepaskan satu tendangan menggeledek sambil memutar tubuhnya dengan cepat sekali. Cantraka tampak tidak mampu lagi berkelit.
Desss!
"Akh...!"
Tak pelak lagi, Cantraka kontan terpental ke belakang. Dadanya telah terkena tendangan yang keras luar biasa itu. Dengan keras pula dia jatuh menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali sambil mengeluarkan pekikan keras agak tertahan. Pada saat itu pula, Inten sudah melompat sambil meraung dahsyat menggelegar. Kedua tangannya menjulur lurus ke depan, dengan jari-jari tangan yang berkuku runcing dan meregang kaku. Hendak di koyaknya tubuh pemuda itu.
"Ghraaaugkh... !"
"Hup...!"
Cantrakacepat-cepat menggulirkan tubuhnya ke samping, lalu langsung melenting bangkit berdiri. Namun, pada saat itu juga....
Bet! Bret!
"Aaakh...!"
Kembali Cantraka terhuyung-huyung begitu jari-jari tangan perempuan siluman itu merobek punggungnya. Darah seketika mengalir keluar dari punggung yang terobek cukup lebar itu. Cantraka meringis menahan perih pada punggungnya. Sedangkan Siluman Penghisap Darah sudah berdiri tegak sambil memandangi jari-jari tangannya yang berlumuran darah.
"Hik hik hik...!" Sambil tertawa mengikik, perempuan siluman itu menjilati darah yang melekat di jari-jari tangannya. Begitu nikmat tampaknya, sehingga perut Cantraka bergolak mual menyaksikannya.
"Hik hik hik...! Nikmat sekali darahmu, Anak Muda."
"Iblis...," desis Cantraka, yang merasa jijik. "Kubunuh kau, Siluman Keparat! Hiyaaat..!"
Wuk!
Tanpa menghiraukan luka di punggungnya, Cantraka melompat cepat bagai kilat sambil mengebutkan pedangnya. Tapi, dengan sedikit saja mengegoskan tubuh, Siluman Penghisap Darah berhasil menghindari tebasan pedang itu. Bahkan, dengan kecepatan yang begitu sukar diikuti pandangan mata biasa, tangan kanan wanita siluman itu mengibas ke perut Cantraka.
Bret!
"Akh...!"
Untuk kedua kalinya Cantraka terpekik. Perutnya sobek terkena samba ran jari-jari tangan yang berkuku runcing bagai mata pedang itu. Dan pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya yang bercucuran darah.
"Ghraaaugkh...!"
DELAPAN
Cepat sekali Siluman Penghisap Darah memutar tubuhnya sambil menggerung dahsyat. Lalu, bagaikan kilat, dia melompat dengan kedua tangan menjulur ke depan. Diarahkan tangannya ke leher Cantraka yang masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Tapi, belum juga jari-jari tangan yang meregang kaku dan berkuku runcing bagai mata pedang itu sampai di leher Cantraka, tiba-tiba....
Slap! Plak!
"Aaargkh...!"
Sebuah bayangan putih berkelebat cepat memotong arus terjangan Siluman Penghisap Darah. Bahkan, wanita siluman itu tampak meraung keras dengan tubuh terpental ke belakang, seperti tersambar sesuatu yang bertenaga besar sekali. Namun, Siluman Penghisap Darah bisa segera menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan, dengan manis sekali kakinya dijejakkan di tanah.
Tampak pada saat itu, seorang pemuda berbaju rompi putih mendarat tepat dua langkah di depan Cantraka. Pada saat yang bersamaan, terlihat pula seorang gadis cantik muncul bersama dua ekor kuda. Gadis cantik itu duduk anggun di punggung seekor kuda putih.
"Rangga...,"desah Cantraka, lega melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut itu.
Pemuda berbaju rompi putih itulah yang telah menyelamatkan nyawanya yang terancam di ambang maut tadi. Sementara itu Siluman Penghisap Darah mendengus berang. Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut benar-benar tepat di saat dia hampir berhasil mengoyak leher Cantraka tadi.
"Menjauhlah kau, Cantraka," pinta Rangga, tanpa berpaling sedikit pun.
Tanpa diminta dua kali, Cantraka bergegas menyingkir. Sedangkan Pandan Wangi melompat turun dari punggung kudanya, lalu segera menghampiri Cantraka dan memberikan beberapa totokan di sekitar luka pemuda itu, untuk menghentikan aliran darahnya.
Rangga melangkah mendekati Inten dengan sorot mata yang tajam sekali. Kakinya berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi di depan wanita cantik yang dijuluki Siluman Penghisap Darah itu. Beberapa saat mereka berdiri tegak dan saling melemparkan sorot mata tajam, seakan-akan sama-sama sedang mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.
"Akulah lawanmu, Inten," desis Rangga, dingin menggetarkan.
"Ghrrr...!" Siluman Penghisap Darah hanya menggerung. Sorot matanya yang merah semakin terlihat tajam. Perlahan kakinya digeser beberapa langkah ke kanan. Jari-jari tangannya yang berlumuran darah dan berkuku runcing sudah meregang kaku di depan dada. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak memperhatikan setiap gerak yang dilakukan wanita siluman itu.
"Ghraaaugkh...!"
Tiba-tiba Siluman Penghisap Darah melompat cepat sambil meraung dahsyat. Begitu cepat gerakannya, sehingga Rangga sedikit terpana sesaat. Namun, dengan cepat sekali dan dengan gerakan yang begitu manis, Pendekar Rajawali Sakti segera meliukkan tubuhnya menghindari serangan itu.
"Hup!"
Secepat kilat Rangga melentingkan tubuhnya ke atas. Dan, begitu melewati kepala wanita siluman itu, tiba-tiba kakinya bergerak cepat dengan mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat serangan balasan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Siluman Penghisap Darah tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....
Plak! "Argkh...!"
Sambil meraung keras, Siluman Penghisap Darah jatuh bergulingan di tanah. Kepalanya telah terkena tendangan keras bertenaga dalam sempurna dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dilepaskan Rangga barusan. Namun, tanpa diduga sama sekali, perempuan siluman itu mampu bangkit berdiri lagi dengan cepat. Bahkan, tak ada sedikit pun akibat yang kelihatan dari tendangan keras yang bersarang di kepalanya tadi.
Rangga tampak tertegun. Biasanya tendangan dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' akan membuat kepala lawannya pecah berantakan. Atau, paling tidak menjadi retak. Tapi kini Siluman Penghisap Darah sama sekali tidak mengalami luka sedikit pun pada kepalanya. Bahkan dia bisa berdiri tegak kembali dengan kedua kaki yang tetap kokoh.
"Hik hik hik...! Kau tidak ada artinya bagiku, Pendekar Rajawali Sakti."
Kering sekali suara Siluman Penghisap Darah. Dan belum juga hilang suaranya dari pendengaran, bagai kilat dia melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kedua tangannya mengebut cepat bergantian, sehingga Rangga harus meliuk-liukkan tubuhnya dengan gerakan kaki yang lincah dan ringan.
Dalam menghadapi serangan-serangan cepat dan beruntun yang dahsyat ini, Rangga mau tak mau harus menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dan dengan jurus itu dengan mudah dia bisa mementahkan semua serangan yang dilancarkan Siluman Penghisap Darah. Bahkan...
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba Rangga mengubah jurusnya dengan cepat sekali. Tubuhnya sedikit dibungkukkan. Dan, tangan kanannya cepat mengibas ke depan, mengarah ke perut lawan dengan jari-jari mengembang kaku seperti cakar seekor burung rajawali. Begitu cepat serangan yang dilancarkan Rangga dengan mempergunakan jurus 'Cakar Rajawali' itu, sehingga Siluman Penghisap Darah tidak sempat lagi berkelit menghindar.
Bret!
"Aaargkh...!"
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke belakang begitu tangan Siluman Penghisap Darah mengibas hendak menyambar kepalanya. Tampak darah berwarna hitam dan berbau busuk bercucuran deras dari perut yang terkoyak terkena jurus 'Cakar Rajawali' yang dilancarkan Rangga tadi.
"Ghraaaugkh...! Keparat kau, Rangga...!"
Sambil menggerung keras menggelegar, Siluman Penghisap Darah melompat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti lagi. Cepat sekali serangannya, sehingga Rangga terpaksa berjumpalitan menghindarinya. Wanita siluman itu terus melancarkan serangan-serangan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tidak diberinya sedikit pun kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk melepaskan serangan balasan.
Dan, tampaknya Rangga memang kerepotan juga menghadapi serangan-serangan yang begitu gencar dan dahsyat ini. Kebutan-kebutan tangan Siluman Penghisap Darah menimbulkan suara angin yang menderu keras bagai topan. Bahkan, beberapa pohon dan batu hancur terkena sambaran tangan dengan jari-jari berkuku runcing yang meregang kaku itu. Rupanya luka di perutnya yang terus mengucurkan darah berwarna hitam dan berbau busuk itu tidak dipedulikannya.
"Ghraaaugkh...!"
Siluman Penghisap Darah terus menyerang dengan membabi buta, sambil menggerung-gerung dahsyat Dan, Rangga terus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang mengancam jiwanya. Tidak ada kesempatan sedikit pun bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk melakukan serangan balasan.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba Pandan Wangi yang sejak tadi memperhatikan pertarungan itu melompat cepat bagai kilat sambil mencabut pedang yang selalu tersampir di punggungnya. Dan, secepat kilat pula gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu membabatkan pedangnya ke leher Siluman Penghisap Darah. Begitu cepat serangan yang dilakukannya, sehingga perempuan siluman itu tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu seluruh perhatiannya sudah tertumpah pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan....
Cras!
"Aaargkh...!"
"Hup!"
Pandan Wangi cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, dan berputaran beberapa kali begitu berhasil membabatkan pedangnya ke leher Siluman Penghisap Darah. Tampak leher wanita siluman itu terbabat hampir putus oleh Pedang Naga Geni yang tergenggam erat di tangan kanan si Kipas Maut. Tapi, sungguh sukar dipercaya!
Wanita itu masih tetap mampu berdiri tegak, seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh lehernya yang sudah hampir putus, yang juga mengucurkan darah berwarna hitam dan berbau busuk memualkan perut.
"Gila...!" desis Pandan Wangi, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sementara itu Rangga sudah berada di samping gadis cantik yang dijuluki si Kipas Maut itu. Dia juga terpana dan terlongong-longong. Siluman Penghisap Darah masih tetap berdiri tegak, meskipun perutnya sudah terkoyak dan lehernya terbabat hampir putus. Bahkan, dia kini bergerak mendekati kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Sedangkan Cantraka yang berada di tempat agak jauh, ikut pula terlongong-longong menyaksikan semua ini
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Pandan Wangi.
Rangga hanya menggumam perlahan. Dia mengerti, pertanyaan Pandan Wangi tadi ditujukan untuk mencari tahu bagaimana cara melenyapkan Siluman Penghisap Darah itu. Namun, Rangga sendiri tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya kini. Tampaknya kedua pendekar muda itu memang mengalami kesulitan dalam menghadapi Inten yang sudah sepenuhnya menjadi manusia siluman ini.
Perutnya sudah tercabik dan lehernya sudah terbabat hampir putus, tapi masih juga dia mampu berdiri tegak, seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan keadaan tubuhnya. Sementara itu, perlahan-lahan Inten mengangkat tangan kanannya ke atas, lalu mengusap lehernya yang terbelah hampir buntung itu. Tampak asap tipis berwarna merah agak kehitaman mengepul dari lehernya.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung perlahan, Inten menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, lalu bergerak terdongak menatap langit. Dan begitu tangan kanannya bergerak turun, terlihat leher yang tadi sudah terbabat hampir putus itu kini telah menyatu rapat kembali. Tangan yang terus bergerak turun itu berhenti di perutnya yang berlubang. Kemudian tangannya digerak-gerakkan, mengusap perutnya. Asap merah kehitaman kembali terlihat mengepul dari perut yang berlubang itu, Dan perlahan-lahan lubang di perut itu pun menghilang.
Semua yang dilakukan Siluman Penghisap Darah itu tidak luput dari perhatian Rangga dan Pandan Wangi. Kedua pendekar muda ini benar-benar terlongong melihat suatu keanehan yang bellum pernah disaksikan itu.
"Hik hik hik...!" Siluman Penghisap Darah terkikik serak dan mengerikan. Suara tawa yang begitu keras itu menyebar ke seluruh penjuru mata angin. Dan, pada saat perempuan siluman itu berhenti tertawa, dia langsung menatap tajam pada kedua pendekar muda di depannya. Bibirnya terkatup rapat. Gerahamnya bergelemetuk, seakan-akan menahan kemarahan yang meluap-luap di dalam dada. Kemudian perlahan kakinya bergerak mendekati Rangga dan Pandan Wangi.
"Ghraaaugkh...!"
Tiba-tiba perempuan siluman itu melompat cepat sambil menggerung dahsyat. Kedua tangannya terjulur turus ke depan, dengan jari-jari tangan meregang kaku bagai sepasang cakar elang yang hendak mengoyak tubuh mangsanya.
"Menyingkir, Pandan!" seru Rangga tiba-tiba.
"Hup!"
"Hap!"
Pandan Wangi dan Rangga cepat-cepat berlompatan ke samping. Dihindari oleh mereka terjangan Siluman Penghisap Darah itu. Beberapa kali mereka melakukan putaran sebelum menjejakkan kaki secara bersamaan di tanah. Sementara, perempuan siluman itu sudah berdiri tegak kembali. Dan, sekarang kedua pendekar muda itu berada di sebelah kanan dan kirinya.
"Ghrrr...!"
Sret!
Perlahan-lahan Rangga mencabut pedang pusakanya yang sejak tadi selalu tersimpan dalam warangkanya di punggung. Seketika itu juga cahaya biru terang yang menyilaukan mata, langsung memancar begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.
Wuk! Wuk...!
Dengan gerakan-gerakan yang indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya beberapa kali. Lalu pedang itu ditempatkan tersilang di depan dada. Kedua kaki Rangga terpentang tebar di samping, dengan lutut agak tertekuk. Tatapan matanya yang begitu tajam, tersorot lurus pada bola mata yang memerah bagai sepasang bola api itu.
"Perempuan siluman ini tidak bisa dilawan dengan jurus-jurus biasa. Hm...," gumam Rangga dalam hati.
Perlahan-lahan Rangga mengulurkan tangannya ke depan, dengan pedang masih tersilang sejajar dengan dada. Kemudian perlahan pula dia menempelkan telapak tangan kirinya ke mata pedang yang memancarkan sinar biru terang berkilauan itu. Lalu telapak tangan itu bergerak menggosok sampai ke ujung, dan kembali lagi hingga ke pangkal tangkainya.
"Hap!"
Cepat sekali Rangga menarik pedangnya kembali ke dekat dada. Lalu, secepat itu pula dihentakkannya ke depan, hingga ujungnya tertuju lurus ke arah dada Siluman Penghisap Darah, sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur yang meledak di siang hari.
"Aji 'Cakra Buana Sukma". Yeaaah...!"
Slap!
Seketika itu juga, secercah cahaya biru terang berkilauan meluruk deras bagai kilat ke arah Siluman Penghisap Darah. Begitu cepat sinar biru itu meluncur, sehingga perempuan siluman itu tidak bisa lagi bergerak menghindar. Dan tanpa dapat dicegah lagi, sinar biru itu langsung menghantam dan menyelimuti seluruh tubuh Siluman Penghisap Darah.
"Ghraaagkh...!" Sambil meraung dahsyat, Siluman penghisap Darah menggeliat-geliat di dalam selubung biru yang memancar dari ujung Pedang Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga terus berdiri tegak, dengan kedua kaki terpaku kuat dan merentang agak lebar di tanah.
"Hih...!"
Tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak ke depan dada dengan jari-jari yang merapat kuat. Ujung ibu jarinya menempel di tengah-tengah dada yang sedikit berbulu itu. Tampak butiran-butiran keringat menitik deras dari kening dan lehernya. Kelihatan jelas sekali bahwa Rangga mengerahkan seluruh kemampuan aji 'Cakra Buana Sukma' untuk menandingi perlawanan Siluman Penghisap Darah.
Bresss!
Tiba-tiba kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti amblas ke dalam tanah hingga sampai ke lutut. Dan ini membuat Pandan Wangi terkejut setengah mati. Belum pernah dia melihat Rangga berlaku seperti ini dalam mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' yang sangat dahsyat itu.
"Ghraaagkh...!"
Siluman Penghisap Darah terus menggeliat-geliat sambil meraung-raung keras menggelegar di dalam selubung cahaya biru yang semakin kuat memancar dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba Rangga menghentakkan pedangnya ke atas. Seketika itu juga, cahaya biru yang memancar dari pedangnya lenyap. Dan bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti kembali menghentakkan pedangnya kedepan sambil berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Slap! Glarrr...!
"Ghraaaugkh...!"
Ledakan dahsyat menggelegar terdengar bersamaan dengan memancarnya kembali cahaya biru dari pedang Pendekar Rajawali Sakti, yang langsung menghantam tubuh Siluman Penghisap Darah. Saat itu juga, terdengar raungan keras memekakkan telinga.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Rangga melesat ke udara dan langsung meluruk deras sambil membabatkan pedangnya ke tubuh Siluman Penghisap Darah.
Glarrr...!
Kembali terdengar ledakan keras menggelegar begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menghantam tubuh yang masih terselimut cahaya biru terang itu. Dan bersamaan dengan melentingnya tubuh Rangga ke belakang, cahaya biru itu pun seketika lenyap. Tampak Pedang Rajawali Sakti sudah kembali bersarang di dalam warangkanya di punggung.
Sementara itu terlihat Siluman Penghisap Darah berdiri tegak mematung, dengan kelopak mata terbeliak lebar dan mulut ternganga. Pada saat itu juga....
"Hap! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Rangga melompat cepat. Langsung diberikannya satu tendangan keras menggeledek ke arah dada perempuan siluman itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Tak pelak lagi, tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menghantam tepat di bagian dada Siluman Penghisap Darah.
Glarrr...!
"Hup!"
Bersamaan dengan melentingnya tubuh Rangga ke belakang, terdengar lagi ledakan dahsyat menggelegar. Dan begitu kedua kaki Rangga menjejak di tanah, tampak tubuh Siluman Penghisap Darah telah hancur menjadi debu.
"Phuuuh...!"
Rangga menghembuskan napas dengan kuat dan panjang. Dia berdiri tegak memandangi debu hitam yang tersebar sekitar satu batang tombak di depannya. Tubuh Siluman Penghisap Darah sudah hancur. Sungguh dahsyat hasil yang diakibatkan aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir itu.
"Oh, Kakang...!" Pandan Wangi berlari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan langsung menghambur memeluknya, tanpa menghiraukan keringat yang membanjiri seluruh tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.
Sedangkan Cantraka, yang sudah bisa bangkit berdiri, tampak melangkah tertatih-tatih sambil menahan rasa sakit pada lukanya. Dihampirinya kedua pendekar muda itu. Perlahan Pandan Wangi melepaskan pelukannya ketika Cantraka sudah dekat. Kemudian Cantraka tersenyum lebar sambil menyodorkan tangannya, yang langsung disambut Pendekar Rajawali Sakti dengan senyuman yang lebar juga. Mereka berjabatan tangan dengan erat dan hangat sekali.
"Terima kasih. Kau telah membebaskan kami semua dari siluman itu," ucap Cantraka.
"Pengorbananmu pun tidak kecil, Cantraka," ujar Rangga, yang tampak tidak mau mengecilkan arti perjuangan Cantraka.
"Seluruh penduduk Desa Gedangan pasti gembira menyambut kemenangan ini, Rangga."
"Ah, terima kasih sekali. Tapi kami harus segera pergi. Masih ada urusan lain yang harus diselesaikan," tolak Rangga dengan halus.
"Ah, sayang sekali...," desah Cantraka.
Rangga melepaskan jabatan tangannya, kemudian melangkah mundur dua tindak. Sementara itu Pandan Wangi sudah mengambil kuda-kuda mereka yang tadi ditinggalkannya tidak jauh dari tempat ini. Gadis itu sudah berada di punggung kuda putihnya. Dan, diserahkannya tali kekang kuda hitam Dewa Bayu kepada Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Cantraka tidak bisa lagi menahan kepergian kedua pendekar muda itu.
"Sampaikan salam hormatku pada Ki Legik, Cantraka," ucap Rangga.
"Akan kusampaikan, Rangga," sahut Cantraka.
"Hiya!"
"Yeaaah...!"
Rangga dan Pandan Wangi segera menggebah kuda mereka dengan cepat meninggalkan tepian Desa Gedangan.
Sementara itu Cantraka masih berdiri mematung sambil memegangi perutnya yang sobek. Tapi, tidak ada lagi darah yang keluar, karena dia sudah diberikan totokan yang cukup kuat oleh Pandan Wangi tadi. Cantraka masih berdiri mematung memandangi kedua pendekar muda yang semakin jauh meninggalkannya. Mereka pergi untuk mengemban tugas berikutnya sebagai pendekar penegak keadilan.
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: KABUT HITAM DI KARANG SETRA