Pendekar Rajawali Sakti
MALAIKAT PENCABUT NYAWA
SATU
Sret!
Cring!
“Hiyaaa...!”
Bret!
“Aaa...!”
Sebuah teriakan keras menggelegar terdengar memecah keheningan malam, disusul jeritan panjang melengking tinggi. Suara-suara itu menggema, sampai menyusup ke dalam hutan terbawa angin malam. Sementara tiga orang yang tengah bermalam di dalam hutan itu jadi terkejut. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu bergegas bangkit dan melangkah cepat menuju ke arah datangnya teriakan dan jeritan tadi.
“Cepat. Arahnya dari sebelah sana...!” seru seorang laki-laki tua berjubah putih yang berjalan paling depan.
Usia orang tua itu jelas lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi ayunan langkahnya begitu cepat dan ringan, pertanda tingkat kepandaiannya sudah sangat tinggi. Sebatang tongkat kayu berwarna hitam legam terayun-ayun di tangan kanannya. Sementara dua orang lagi yang berusia sekitar dua puluh lima tahun, mengikuti dari belakang. Mereka berusaha menyamai langkah orang tua berjubah putih itu, tapi tetap saja tertinggal di belakang.
Malam yang begitu pekat, memang cukup menyulitkan bagi mereka untuk bergerak lebih cepat lagi. Terlebih, pepohonan yang tumbuh di dalam hutan ini begitu rapat. Namun, akhirnya mereka tiba juga di sebuah dataran dengan hamparan rumput yang tidak begitu luas. Dan mereka tampak terkejut begitu melihat sesosok tubuh tergeletak di tengah-tengah padang rumput ini. Maka, bergegas mereka menghampirinya. Dan begitu dekat...
“Pendekar Golok Api...,” desis laki-laki tua berjubah putih.
Bergegas laki-laki tua itu mendekati tubuh seorang laki-laki tegap berotot yang tergeletak dengan kening kepala terbelah. Orang tua berjubah putih itu segera mengangkat tubuh laki-laki tegap yang dikenalinya sebagai Pendekar Golok Api, dan meletakkannya dalam pangkuannya.
“Dia masih hidup, Ki Anjir?” tanya salah seorang yang mengikuti laki-laki tua berjubah putih itu.
Laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Ki Anjir hanya menggeleng saja perlahan. Kemudian dibaringkannya tubuh Pendekar Golok Api. Perlahan dia bangkit berdiri dengan wajah terlihat mendung. Sinar matanya begitu redup memandangi sosok tubuh Pendekar Golok Api yang terbujur kaku tak bernyawa lagi. Darah yang keluar dari kepala Pendekar Golok Api yang pecah seperti terbabat pedang, masih terasa hangat. Ini berarti baru beberapa saat saja kematiannya. Dan untuk beberapa saat, tidak ada yang bicara. Mereka semua membisu dengan kepala tertunduk, memandangi tubuh Pendekar Golok Api yang terbujur kaku tak bernyawa lagi.
“Melihat dari lukanya, jelas kalau ini perbuatan manusia iblis keparat itu...!” desis Ki Anjir terdengar geram nada suaranya.
“Huh! Lagi-lagi dia!” dengus salah seorang yang berbaju warna biru pekat. “Sudah sepuluh pendekar yang tewas di tangannya. Hhh...! Berapa orang lagi yang akan mati kalau tidak segera dicegah,” desah Ki Anjir perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.
“Ki.... Aku jadi ragu, apakah kita bertiga mampu menghadapinya...?” desis seorang lagi yang berbaju hijau.
“Kenapa kau jadi punya pikiran begitu, Kamdan?” sorot mata Ki Anjir jadi tajam.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun dan berbaju hijau yang bernama Kamdan jadi tertunduk. Berat rasanya membalas sorotan mata Ki Anjir yang begitu tajam menusuk. Sementara, pandangan Ki Anjir beralih pada orang satunya lagi, yang berdiri di sebelah kanan Kamdan.
“Kau juga akan mengundurkan diri, Julak?” terdengar dalam sekali nada suara Ki Anjir.
“Aku tidak akan meninggalkanmu, Ki,” sahut laki-laki berbaju biru yang dipanggil Julak, mantap.
“Hm, bagus! Aku senang melihat tekad dan semangatmu yang besar. Jangan sampai kita kalah sebelum bertarung,” sambut Ki Anjir memberi semangat Ki Anjir kembali menatap Kamdan.
Sedangkan yang dipandangi masih tetap tertunduk. Dan matanya melirik sedikit pada temannya yang tadi baru menyatakan tetap mengikuti laki-laki tua itu untuk mengejar orang yang telah membantai sepuluh orang pendekar dalam beberapa hari ini, dan sudah menggemparkan seluruh rimba persilatan. Hingga, bukan hanya mereka saja yang mengejar, tapi masih banyak para pendekar tangguh yang ingin membasmi tukang jagal itu.
“Aku tetap ingin kembali, Ki. Maafkan aku,” ujar Kamdan tidak berani mengangkat kepala sedikit pun juga.
“Hhh...!” Ki Anjir hanya menghembuskan napas beratnya saja.
Beberapa saat orang tua itu terdiam, memandangi Kamdan yang sudah beberapa hari ini mengikutinya mengejar pembunuh para pendekar itu. Memang beberapa pendekar tangguh yang ditemui sudah tewas dengan luka sama persis, sehingga membuat hati siapa saja yang melihat tidak akan tahan. Sedangkan Ki Anjir menyadari kalau Kamdan dan Julak bukan pendekar. Kepandaian yang dimiliki juga belum bisa dikatakan tinggi. Bahkan jauh berada di bawah tingkat kepandaian Ki Anjir sendiri. Wajar saja kalau Kamdan merasa gentar.
Terlebih lagi, sekarang dia sudah menyaksikan sendiri mayat Pendekar Golok Api. Pendekar Golok Api adalah seorang pendekar tangguh dan digdaya. Bahkan julukannya sudah terkenal di jagat raya ini. Bahkan tokoh-tokoh persilatan manapun juga akan menyanjungnya. Tapi sekarang, Pendekar Golok Api sudah menggeletak tak bernyawa lagi dengan kening terbelah. Luka yang sama dengan yang ditemui pada para pendekar lainnya.
“Baiklah, Kamdan. Aku tidak bisa memaksamu untuk terus melangkah maju. Kau berhak memilih. Pulanglah...,” kata Ki Anjir dengan nada suara terasa begitu berat.
“Maafkan aku, Ki,” ucap Kamdan penuh penyesalan.
Ki Anjir hanya tersenyum saja, dan menepuk lembut pundak Kamdan. Setelah memberi salam penghormatan dengan membungkukkan tubuhnya, Kamdan kemudian melangkah pergi meninggalkan orang tua itu. Sementara, Ki Anjir dan Julak hanya bisa memandangi. Memang tidak mungkin mencegah kepergian Kamdan kalau itu memang sudah menjadi pilihannya yang terbaik. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang ingin menyerahkan nyawanya sia-sia. Terlebih lagi, kalau yang akan dihadapi sudah jelas memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi. Pilihan Kamdan memang tepat, karena menyadari kemampuannya sendiri.
“Kau belum terlambat kalau ingin mengikuti jejak Kamdan, Julak,” kata Ki Anjir.
“Apa pun yang terjadi, aku tetap bersamamu, Ki,” sambut Julak mantap. “Aku harus membalaskan dendamku!”
Ki Anjir tersenyum seraya menepuk pundak Julak. Kemudian mereka melangkah meninggalkan jasad Pendekar Golok Api yang terbujur kaku dengan kening terbelah mengucurkan darah.
********************
Malam terus merayap semakin larut. Terasa sunyi sekali di dalam hutan sekitar lereng Gunung Granggang ini. Kamdan yang memisahkan diri dari Ki Anjir dan Julak, terus melangkah tanpa berpaling sedikit pun ke belakang. Obor bambu yang dibawanya memang cukup untuk menerangi jalan yang dilalui. Dan tampaknya, dia juga tidak tergesa-gesa. Memang masih jauh untuk sampai ke desa terdekat. Tapi Kamdan tidak perlu khawatir. Dia tahu betul seluk-beluk hutan di sekitar lereng Gunung Granggang ini.
“Hhh! Dinginnya...,” dengus Kamdan agak menggigil.
Udara malam ini memang terasa sangat dingin. Angin bertiup kencang, membuat api obor meliuk- liuk seakan-akan hampir padam. Namun Kamdan tidak mempedulikannya, dan terus berjalan dengan ayunan kaki mantap, menembus lebatnya hutan. Sampai akhirnya, laki-laki itu tiba di jalan setapak di dalam hutan yang sangat lebat ini. Dia tahu, jalan ini sering dilalui penduduk desa yang tidak seberapa jauh lagi letaknya.
Kerlip lampu pelita dari rumah-rumah sebuah desa sudah mulai terlihat. Kamdan semakin mempercepat ayunan kakinya. Udara dingin yang menggigilkan ini sudah tidak tertahankan lagi. Tubuhnya terus-menerus menggigil, menahan hawa dingin yang sangat menusuk kulit.
“Mudah-mudahan saja masih ada rumah penginapan yang buka. Hhh...! Dinginnya sudah tidak tertahan lagi,” keluh Kamdan.
Desa di depannya sudah semakin jelas terlihat, walaupun kabut yang turun cukup tebal. Kamdan terus melangkah cepat menuju desa itu. Tapi belum juga sampai, mendadak saja....
Wusss!
“Heh...?!”
Kedua bola mata Kamdan jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba di depannya berkelebat sebuah bayangan yang begitu cepat. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang bertubuh tinggi dan ramping. Sebilah pedang tergenggam di tangan kirinya. Cukup sulit bisa melihat wajahnya. Karena selain kabut yang tebal, orang itu juga membelakangi cahaya pelita dari rumah-rumah penduduk desa yang sudah tidak seberapa jauh lagi jaraknya. Dan malam itu juga sedikit pun tidak terlihat cahaya bulan. Hingga, Kamdan sama sekali tidak bisa melihat jelas wajah orang yang tiba-tiba saja muncul di depannya.
“Sss..., siapa kau...?” terdengar bergetar suara Kamdan.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Monyet Jelek!”
Terdengar kasar sekali nada suara orang itu, membuat Kamdan jadi tersedak kaget setengah mati. Begitu terkejutnya, hingga sampai terlompat ke belakang beberapa langkah.
Srettt...!
“Oh...?” Seketika Kamdan merasakan tenggorokannya jadi kering, saat orang itu mencabut pedangnya perlahan-lahan. Cahaya keperakan pedang itu membuat kedua bola mata Kamdan jadi terbeliak tidak berkedip. Saat itu juga disadari, dengan siapa Kamdan berhadapan.
“Kau..., kau...,” sulit sekali Kamdan membuka suaranya. Seluruh tubuh laki-laki itu jadi bergetar menggigil. Bukan lagi karena udara yang dingin, tapi rasa takut yang amat sangat. Dia tahu siapa orang ini, walaupun wajahnya tidak kelihatan.
“Jangan..., jangan bunuh aku.... Aku mohon! Jangan bunuh aku...,” rengek Kamdan memelas.
“Bukankah kau memburuku...? Kenapa sekarang jadi seperti tikus melihat kucing...? Sekarang, aku ada di sini. Nah! Hadapilah aku, Monyet Jelek!” dengus orang itu dingin.
“Tid..., tidak! Aku..., aku....”
“Huh! Aku muak melihat orang sepertimu. Hih...!”
Wuk!
Cras!
“Akh...!”
Kamdan hanya bisa terpekik kecil, begitu pedang yang berkilat keperakan itu berkelebat begitu cepat ke wajahnya. Dan seketika itu juga, dia jadi terpaku diam dengan bola mata terbeliak lebar dan mulut ternganga.
Cring!
Tepat di saat orang itu memasukkkan kembali pedangnya, saat itu juga Kamdan jatuh ke tanah. Hanya sebentar saja tubuhnya menggelepar, kemudian mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak darah mengalir keluar dari batok kepalanya yang hampir terbelah menjadi dua bagian.
“Phuih...!”
Orang berpakaian gelap yang sangat ketat itu menyemburkan ludahnya sambil mendengus berat. Kemudian tubuhnya berputar dan seketika itu juga melesat bagai kilat. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Kamdan menggeletak tak bernyawa terselimut kabut, tidak jauh lagi dari desa di kaki lereng Gunung Granggang ini.
Dan malam terus merayap semakin larut. Tidak ada seorang pun yang mengetahui peristiwa itu. Bahkan pekikan Kamdan yang terakhir pun sama sekali tidak terdengar, walaupun keadaan malam sangat sunyi. Hanya serangga-serangga malam saja yang menjadi saksi dari peristiwa mengerikan ini. Baru pada pagi harinya, seluruh penduduk Desa Granggang jadi gem-par menemukan mayat Kamdan tergeletak tidak jauh di jalan desa itu.
Kematian Kamdan cepat sekali menyebar, dan langsung menjadi buah bibir semua orang di Desa Granggang. Di desa yang letaknya agak terpencil dan terkenal tenang itu, seakan baru pertama kali terjadi peristiwa pembunuhan yang sangat mengiriskan ini. Batok kepala Kamdan hampir terbelah terbagi dua. Jelas, kepalanya tersabet pedang yang sangat tajam! Dan yang pasti dilakukan oleh orang yang memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi.
“Aku benci ada pembunuh berkeliaran di desa ini...!” dengus Ki Langkas, Kepala Desa Granggang geram.
Hari itu juga Ki Langkas mengumpulkan pemuka-pemuka desa. Ada enam orang laki yang semuanya hadir berpakaian jubah putih hadir di bagian beranda depan rumahnya. Tampak semuanya laki-laki berusia lanjut, dan bukanlah orang-orang sembarangan. Ini terlihat jelas dari raut wajah dan sinar mata mereka. Walaupun sudah penuh kerutan, tapi masih memancar tajam.
Dan mereka juga membawa senjata dengan bentuk berbeda. Ki Langkas juga mengenakan baju jubah panjang berwarna putih. Dia sendiri sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi tubuhnya masih kelihatan gagah dan kekar, walaupun sebuah tongkat berkepala ular tidak pernah terlepas dari tangannya.
“Aku ingin pembunuh itu ditangkap secepatnya, sebelum kematian menyebar di desa ini,” sambung Ki Langkas tegas.
“Tapi, Ki. Orang yang terbunuh itu bukan warga desa ini. Bahkan tidak ada seorang pun yang mengenalnya,” selak salah seorang yang memegang cambuk kulit warna hitam.
“Dan lagi, kelihatannya orang itu dari kalangan persilatan. Aku rasa wajar kalau dia sampai terbunuh,” sambung seorang lagi yang membawa senjata pedang.
“Didalam dunia persilatan, dibunuh atau terbunuh itu sudah biasa. Aku yakin, pembunuhnya sudah tidak ada lagi di sini. Mereka pasti bertarung semalam. Hanya saja, kita semua tidak ada yang tahu,” kata seorang lagi.
“Apa pun namanya, aku tidak ingin desa ini ada pembunuh berkeliaran. Dan kuminta pada kalian semua, agar mengawasi siapa saja yang masuk ke desa ini. Tidak peduli apakah, laki-laki atau perempuan. Tidak peduli berapa usianya. Siapa saja yang datang, dan ternyata bukan warga desa ini, patut dicurigai. Paham...!” agak keras terdengar suara Ki Langkas.
Semua yang ada hanya mengangguk kepala saja. Mereka tahu betul watak kepala desa itu. Tegas dan segala perintahnya tidak bisa dibantah lagi. Di Desa Granggang ini, Ki Langkas bagaikan seorang raja kecil saja. Segala perintahnya harus ditaati, tanpa ada yang boleh membantah. Tapi walaupun wataknya sangat keras, dia tidak segan- segan turun-tangan membantu yang lemah. Tak heran kalau semua orang di desa ini menyukainya, dan tetap mempertahankannya sebagai kepala desa. Padahal usianya sudah sangat lanjut.
“Tugaskan pada murid-murid kalian untuk selalu waspada. Dan ketatkan penjagaan keamanan di desa ini,” perintah Ki Langkas lagi.
“Baik, Ki.” Serempak enam orang tua itu menyahut.
“Laporkan padaku secepatnya, siapa-siapa saja orang asing yang ada di desa ini sekarang. Dan aku akan menanyainya langsung pada mereka,” kata Ki Langkas lagi.
“Ki...,” selak laki-laki tua yang membawa pedang.
“Ada apa, Ki Adong?” tanya Ki Langkas, seraya menatap laki-laki tua bersenjata pedang yang bernama Ki Adong.
“Aku rasa, hal itu terlalu berlebihan, Ki. Belum saatnya kita begitu menaruh kecurigaan pada para pendatang. Kalaupun harus dicurigai, jangan sampai mereka merasa dicurigai. Kita atasi saja secara diam-diam. Dan itu lebih memudahkan kita, kalau memang pembunuh itu masih berkeliaran di desa ini,” kata Ki Adong, tidak setuju pada keinginan kepala desa itu.
“Benar, Ki. Kita tidak perlu terlalu memaksakan diri. Lagi pula, baru satu orang yang terbunuh. Dan orang itu juga bukan warga desa ini. Jadi, kurasa tidak perlu terlalu mencurigai para pendatang,” sambung yang lain menyetujui saran Ki Adong.
Kepala Desa Granggang itu hanya diam saja. Dalam hati, diakuinya juga kebenaran jalan pikiran para pembantunya ini. Dia memang terlalu larut terbawa amarah oleh terjadinya pembunuhan di desanya yang selama ini selalu tenang dan damai. Bertahun-tahun dia menjadi kepala desa, baru kali ini ada peristiwa pembunuhan. Dan tentu saja membuatnya jadi merasa panas sendiri.
“Baiklah, lakukan saja apa yang menurut kalian baik,” ujar Ki Langkas mengalah juga.
Enam orang pembantu kepala desa itu sama-sama menarik napas lega. Baru kali ini Ki Langkas bisa mengalah. Biasanya, mana mau? Dan tak berapa lama kemudian, enam orang tetua desa itu meninggalkan rumah kepala desa ini. Sementara Ki Langkas mengantarkan mereka sampai di depan pintu pagar rumahnya yang hanya terbuat dari belahan bambu. Sampai mereka semua pergi, baru orang tua itu kembali masuk ke dalam rumahnya. Di dalam ruangan depan yang berukuran cukup luas, seorang gadis bertubuh mungil menghadangnya, dengan wajah seperti seorang anak berusia tiga belas tahun. Padahal, usianya sudah delapan belas tahun.
“Ayah....”
“Jangan ikut campur. Ini bukan urusanmu!” sentak Ki Langkas cepat, sebelum gadis itu bisa membuka suaranya lebih banyak lagi.
Gadis itu langsung terdiam. Dan Ki Langkas terus saja melangkah masuk melewati ruangan depan itu. Sementara, gadis manis yang berbaju kuning muda dengan potongan cukup ketat itu hanya memandangi saja, sampai punggung ayahnya lenyap dari penglihatannya.
“Hhh...!”
********************
DUA
Matahari sudah hampir tenggelam di belahan bumi bagian barat. Sinarnya tidak lagi terik, dan terasa begitu lembut menyentuh kulit seorang gadis muda yang tengah memperhatikan seekor kelinci merumput di semak belukar. Perlahan-lahan gadis itu mengendap mendekati. Dan begitu dekat, langsung melompat hendak menerkam kelinci itu.
“Kena...!” serunya girang, begitu berhasil menangkap kelinci yang sangat gemuk ini.
Gadis itu bangkit berdiri dengan wajah cerah. Pakaiannya kotor berdebu, penuh rerumputan kering. Dipandanginya kelinci yang berada di dalam cengkeraman tangannya yang mungil. Bibirnya menyunggingkan senyuman lebar. Bergegas kakinya melangkah dengan gerakan begitu ringan.
“Ayah...! Aku dapat kelinci...!” teriaknya riang. Gadis itu terus berlari-lari kecil sambil berteriak-teriak riang memanggil ayahnya.
Tapi tak terdengar sahutan sedikit pun juga. Dan mendadak saja, gerakan kakinya terhenti dengan kedua bola mata jadi terbeliak lebar.
“Ayah...!” Gadis itu jadi terpekik, begitu melihat sesosok tubuh tertelungkup dengan kepala hampir terbelah dua. Darah tampak mengucur membasahi rerumputan. Kelinci yang berada dalam genggaman tangannya langsung terlepas. Gadis itu tidak menghiraukannya lagi, dan cepat berlari serta menubruk tubuh laki-laki tua yang tergeletak tidak bernyawa lagi.
“Ayah...!”
“Dia sudah mati....”
“Oh...?!”
Gadis manis itu tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari depannya. Cepat wajahnya diangkat. Dan kedua bola matanya seketika jadi terbeliak lebar, begitu melihat seseorang tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh di depannya. Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya kelihatan cukup tampan, tapi sorot matanya begitu tajam. Bibirnya yang agak memerah, menyunggingkan sebuah senyuman lebar. Tapi di mata gadis manis itu, senyuman pemuda ini bagaikan sebuah seringai serigala yang melihat anak domba gemuk. Sorot matanya memancarkan cahaya yang begitu dingin!
“Sungguh beruntung. Sudah terlalu lama aku tidak pernah lagi menyentuh wanita.”
“Oh...?!” Gadis itu jadi terperanjat mendengar kata-kata yang bisa mendirikan bulu kuduk. Cepat dia bangkit berdiri, dan melangkah mundur. Seketika wajahnya memucat, dan seluruh tubuhnya menggeletar. Naluri kewanitaannya saat itu juga mengatakan kalau dirinya dalam bahaya.
“Jangan takut, Manis. Aku tidak akan menyakitimu. Justru aku akan membawamu mengarungi lautan indah yang tidak akan bisa kau lupakan,” kata pemuda itu dengan bibir terus menyeringai lebar.
“Oh, tidak....”
Perlahan pemuda yang berbaju biru gelap itu melangkah mendekati. Sedangkan gadis berwajah manis ini terus melangkah mundur dengan tubuh bergetar hebat. Dan tiba-tiba saja, pemuda itu melompat cepat sekali. Akibatnya gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu jadi terpekik kaget setengah mati. Tapi belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja pergelangan tangannya sudah dicekal erat pemuda itu.
“Ouwh...! Lepaskan!” sentak gadis itu ketakutan.
“He he he...!”
“Auwh...!”
Hanya sekali sentak saja, gadis itu sudah berada dalam pelukan. Dia meronta sambil menjerit-jerit, berusaha melepaskan diri. Tapi, pelukan pemuda itu sangat kuat. Dan....
Brukkk!
“Akh...!”
Mereka jatuh bergulingan di tanah berumput ini. Tapi pelukan pemuda itu tidak juga terlepas. Bahkan semakin erat saja memeluk pinggang ramping ini. Mereka bergulingan beberapa kali. Dan sebentar kemudian, pemuda itu sudah menghimpit tubuh mungil gadis ini dengan tubuhnya yang kekar.
“Diamlah, Manis. Kau akan merasakan sesuatu yang membuat dirimu melambung ke langit tingkat tujuh...,” desah pemuda itu dengan napas mulai memburu.
“Tidak! Jangaaan...!”
“He he he...!”
Bret!
“Auw...!”
“Aaah...!
Tidak kusangka, ternyata kau memiliki tubuh yang indah sekali...,” desah pemuda itu. Bola matanya tampak liar merayapi bagian dada yang terbuka membusung lembut, dengan jakun turun naik.
“Jangan...,” gadis itu hanya bisa merintih, memohon belas kasihan. Tapi, kedua bola mata pemuda itu sudah semakin menjilati gumpalan daging terbalut kulit putih halus yang berbentuk indah setelah baju bagian dada gadis ini berhasil direnggutnya. Sinar matanya semakin terlihat liar saja. Dengan brutal, diterkamnya gadis itu. Lalu dengan sikap kasar sekali, di cabik-cabiknya seluruh pakaiannya, hingga tidak ada lagi sehelai benang pun yang melekat.
“Jangan.... Aku mohon, jangan sakiti aku...,” rintih gadis itu memelas.
Air mata gadis malang ini sudah berlinang deras membanjiri pipinya yang putih halus. Tapi, pemuda itu tidak mempedulikan rintihannya. Bahkan semakin brutal saja. Kedua tangannya terus bergerak liar mene-lusuri setiap lekuk tubuh berkulit putih halus ini. Akibatnya, gadis itu jadi menggelinjang dan merintih lirih memohon belas kasihan. Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat, saat pemuda yang menindihnya mulai melepaskan pakaiannya sendiri. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk memberontak melepaskan diri. Dia hanya dapat merintih dan menangis memohon belas kasihan. Tapi semua itu hanya membuat gemuruh di dada pemuda ini menggelegak. Nafasnya sudah mulai mendengus memburu. Jari-jari tangannya semakin liar, merayap ke seluruh tubuhnya.
“Tolong..., jangan....” Sia-sia saja gadis itu merintih dan memohon, ketika pemuda itu tidak bisa lagi mengendalikan diri.
Nafsunya sudah demikian membara, melihat tubuh putih halus yang polos tanpa penutup sedikit pun juga. Sama sekali tidak dihiraukannya rintihan gadis ini. Setan memang telah menguasai seluruh jiwanya. Hingga akhirnya....
“Aaakh...!”
Diiringi jeritan panjang yang melengking tinggi, gadis itu seketika mengejang kaku dengan mata terbeliak lebar. Dan saat itu juga, tubuhnya jadi lemas bagaikan sekuntum bunga yang dipetik oleh tangan jahil. Air matanya semakin deras mengalir, membasahi pipinya. Dia merasakan sesuatu yang sama sekali belum pernah dialami. Rasa nyeri yang amat sangat di antara lipatan kedua pahanya. Ada sesuatu yang telah hilang pada dirinya, sehingga membuat seluruh hatinya hancur berkeping-keping. Lemas sudah seluruh tubuhnya menghadapi kenyataan ini. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali hanya menangis dan meringis merasakan nyeri. Bukan saja pada bagian lipatan kedua pahanya, tapi seluruh tubuhnya juga.
Sedangkan pemuda itu semakin liar saja. Bahkan seluruh tubuhnya sudah bersimbah keringat, dan nafasnya semakin keras memburu. Namun tidak berapa lama kemudian, dia melenguh panjang. Seluruh tubuh mengejang kaku, lalu jatuh lunglai di samping tubuh berkulit putih halus itu. Hanya beberapa saat pemuda itu menggeletak mengatur pernapasannya kembali, kemudian bergegas mengenakan pakaiannya. Bibirnya tampak tersenyum lebar melihat tubuh putih halus yang polos tergolek disampingnya.
“He he he...!” “Iblis! Binatang...! Kubunuh kau...!” jerit gadis itu jadi kalap.
Dan tiba-tiba saja, gadis itu bangkit. Langsung diterkamnya pemuda ini. Tapi pada saat yang bersamaan, pemuda itu cepat sekali mengibaskan tangan kanannya. Hingga...
Plak!
“Akh...!”
Gadis manis itu terpekik kecil, begitu tangan kanan pemuda ini menghantam tepat di wajahnya. Seketika tubuhnya terlempar ke belakang, sejauh beberapa langkah.
“Huh! Kau memang tidak ada gunanya! Hih...!”
Sambil mendengus, pemuda itu kembali me-ngebutkan tangan kanannya. Dan saat itu juga, dari tangannya melesat cepat sebuah benda berbentuk pisau kecil. Dan....
Crab!
“Aaa...!”
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat, ketika pisau kecil itu menancap dalam di dada gadis manis ini. Hanya sebentar gadis itu bisa bergerak, sesaat kemudian sudah mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi.
“Setan keparat...! Tidak ada seorang pun yang bisa berguna untukku!” dengus pemuda itu bernada kesal.
Sebentar dia memandangi dua tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi, kemudian cepat melangkah pergi, tanpa menghiraukan dua sosok tubuh tak bernyawa itu. Sebentar saja, keadaan di tepian hutan kaki lereng Gunung Granggang ini jadi sunyi.
********************
Desa Granggang yang berada di bawah kaki Gunung Granggang, kembali gempar setelah ditemukannya dua mayat, tidak jauh dari perbatasan desa yang merupakan tepian hutan. Dan lebih gempar lagi ketika mengetahui kalau dua mayat yang ditemukan ternyata warga desa itu. Lebih-lebih, salah satu mayat ternyata seorang gadis dalam keadaan tubuh tidak berpakaian sama sekali. Sedangkan mayat satunya lagi, semua orang tahu kalau laki-laki tua itu adalah ayahnya.
“Keterlaluan...! Ini benar-benar keterlaluan!” geram Ki Langkas, begitu mendapat laporan tentang dua mayat di tepi hutan itu.
Kepala desa itu benar-benar berang dibuatnya. Belum lama mereka digemparkan oleh ditemukannya mayat seorang laki-laki tidak dikenal, dan sekarang dua orang penduduk desa itu tewas dalam keadaan mengenaskan sekali. Tentu saja kejadian ini membuat Ki Langkas jadi berang setengah mati.
Sementara, enam orang tua pemuka Desa Granggang hanya diam saja dengan kepala tertunduk lesu. Mereka juga tidak tahu, apa sebenarnya yang sedang terjadi di desa ini. Sudah tiga orang ditemukan tewas secara mengenaskan, dalam dua hari ini. Peristiwa pembunuhan yang membuat semua penduduk desa ini dicekam rasa ketakutan. Dan hari itu juga, suasana desa jadi sunyi senyap, tanpa ada seorang pun yang berani lagi keluar rumah. Mereka takut kalau-kalau pembunuh biadab itu muncul dan membantainya dengan kejam.
“Aku minta, kalian semua cari pembunuh keparat itu. Dan aku ingin agar dia dihukum mati!” perintah Ki Langkas dengan wajah memerah geram.
Enam orang tua yang menjadi pembantunya hanya menganggukkan kepala saja.
“Tutup desa ini dari pendatang. Aku tidak mau ada seorang pun yang datang ke desa ini, sebelum pembunuh keparat itu ditangkap!” perintah kepala desa itu lagi.
Setelah mendapat beberapa perintah lagi, enam orang laki-laki tua yang menjadi pembantu kepala desa itu meninggalkan rumah Ki Langkas. Setelah tamunya pergi semua, Ki Langkas bergegas masuk ke dalam kamarnya. Diambil pedang kesayangannya, dan diikatkan ke pinggang. Tanpa disadari, anak gadisnya terus memperhatikan. Ki Langkas baru tahu setelah tubuhnya diputar berbalik. Anak gadisnya yang bernama Intan sudah berada di ambang pintu kamar ini.
“Dengar, Intan. Ini persoalan pelik. Aku tidak ingin kau ikut campur,” kata Ki Langkas cepat, sebelum anak gadisnya membuka mulut.
“Aku tidak takut terhadap pembunuh itu, Ayah,” tegas Intan mantap.
“Tapi aku tidak ingin kau ikut campur!” sentak Ki Langkas tegas.
“Ayah....”
“Cukup! Kau di rumah saja. Jaga ibumu.”
Intan langsung bungkam mendengar bentakan ayahnya yang cukup keras itu. Dia tahu, kalau ayahnya sudah berkata sekasar itu, pasti persoalan yang dihadapinya tidak ringan. Dan tentunya tidak mungkin bisa didesak lagi. Intan hanya bisa diam, berdiri memandangi ayahnya yang sudah melangkah cepat keluar dari kamar ini.
********************
Suasana di Desa Granggang semakin kelihatan sunyi. Hanya beberapa orang saja yang masih kelihatan berada di luar rumah. Itu pun hanya laki-laki. Dan di pinggang mereka terselip sebilah golok. Sementara Itu, matahari sudah condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi terik menyengat kulit seperti tadi. Hanya rona merah jingga saja yang terlihat menyembur di balik bukit. Begitu indah dipandang mata.
Tapi semua keindahan itu sama sekali tidak dapat dirasakan seluruh penduduk desa ini. Saat itu, terlihat dua orang laki-laki berjalan perlahan-lahan dari arah utara Desa Granggang ini. Seorang tampak sudah berusia lanjut. Dan seorang lagi kelihatan masih muda. Mungkin usianya sekitar dua puluh lima tahun. Mereka berjalan beriringan tanpa berkata sedikit pun juga. Namun langkah mereka terhenti, begitu hampir memasuki desa yang kelihatan sunyi ini.
“Ada apa, Ki? Kenapa berhenti...?” tanya pemuda yang berada di sebelah kiri laki-laki tua berjubah putih.
“Sepi sekali desa ini. Seperti tidak berpenduduk. Hmmm...,” laki-laki tua itu hanya menggumam kecil, seakan tidak mendengar pertanyaan pemuda di sebelahnya.
“Sudah sore, Ki. Barangkali semua orang sudah masuk ke dalam rumah masing-masing.”
“Tidak.... Aku merasakan....”
Belum lagi selesai kata-kata orang tua berjubah putih itu, tiba-tiba saja dari balik gerumbul semak belukar dan belakang pohon bermunculan anak-anak muda dengan senjata terhunus. Mereka langsung saja membentuk barisan, seperti berusaha menghadang dua orang itu untuk memasuki desa ini. Dan berdiri paling depan, terlihat enam orang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih, yang semuanya mengenakan baju jubah panjang warna putih.
Yang membedakan pada penampilan mereka hanya senjata saja. Mereka adalah para Tetua Desa Granggang ini. Seorang dari mereka yang membawa pedang, melangkah ke depan beberapa tindak. Dialah Ki Adong, salah seorang pemuka di desa ini.
“Maaf, siapa kalian berdua. Dan hendak ke mana tujuan kalian..?” tanya Ki Adong dengan sikap dibuat ramah.
“Aku Ki Anjir. Dan ini Julak. Kami dua orang pengembara yang kebetulan lewat dan hendak mencari tempat untuk bermalam,” sahut laki-laki tua yang ternyata Ki Anjir. Sikap dan tutur katanya juga dibuat sopan, mengimbangi pertanyaan Ki Adong barusan.
“Sayang sekali. Desa ini sudah tertutup bagi para pendatang. Maaf, kami tidak bisa mengizinkan kalian bermalam di sini,” sambut Ki Adong tegas, namun masih terdengar ramah.
“Hm, sejak kapan desa ini tertutup...?” agak menggumam suara Ki Anjir.
“Beberapa hari ini, sering terjadi pembunuhan aneh yang sangat kejam. Dan kami terpaksa menutup desa ini sampai pembunuh itu tertangkap,” jelas Ki Adong singkat.
“Pembunuh aneh...?!” Ki Anjir kelihatan terkejut mendengar penjelasan Ki Adong barusan. Cepat digamitnya tangan Julak sam-pai merapat dengannya.
“Kalian bukan penduduk desa ini. Maka kuminta pengertian dari kalian berdua, untuk secepatnya meninggalkan desa ini. Kami tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian,” kata Ki Adong lagi, masih dengan sikap dan kata-kata sopan.
“Kalau boleh aku tahu, apakah ada ciri-ciri yang sama pada setiap korban pembunuhan itu...?” tanya Ki Anjir, tanpa menghiraukan pengusiran secara halus pada dirinya.
“Kenapa kau bertanya seperti itu, Kisanak?” Ki Adong malah balik bertanya. Kening orang tua itu kelihatan berkerut. Dan sorot matanya memancar lurus ke bola mata Ki Anjir. Jelas sekali kalau dia menaruh kecurigaan pada Ki Anjir.
“Terus terang, kami berdua sebenarnya sedang mengejar seseorang. Dia pembunuh kejam yang sudah banyak menelan korban dengan pedangnya. Dan semua korbannya tewas akibat tebasan pedang yang hampir membelah kepalanya,” jelas Ki Anjir singkat.
“Oh...?!” Ki Adong jadi tersentak dan langsung berpaling. Pandangannya segera dilemparkan pada yang lain. Bukan hanya Ki Adong sendiri yang terkejut mendengar penjelasan Ki Anjir barusan. Tapi lima orang tua yang sebaya dengannya, dan berada di belakangnya juga jadi tersentak kaget.
Beberapa saat mereka terdiam dan saling melemparkan pandangan satu sama lain. Sebentar kemudian Ki Adong kembali menatap Ki Anjir. Kakinya pun melangkah tiga tindak ke depan, mendekati laki-laki tua berjubah putih yang datang bersama seorang pemuda itu. Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka semua terdiam. Tidak ada yang bicara sedikit pun juga. Terdengar helaan napas Ki Adong beberapa kali.
“Beberapa pembunuhan yang terjadi di sini, semua korbannya memang tewas akibat luka yang hampir membelah kepalanya,” terdengar pelan suara Ki Adong, seakan bicara untuk diri sendiri.
“Oh, benarkah...?!” kali ini Ki Anjir yang terkejut. Padahal, sejak tadi Ki Anjir sudah menduga kalau orang yang selama ini dikejarnya ada di Desa Granggang. Tapi, tetap saja dia jadi terkejut. Terlebih lagi, setelah Ki Adong menceritakan tanpa diminta. Kali ini yang menjadi korban bukan hanya para pendekar, tapi juga orang-orang biasa yang tidak mengenal ilmu olah kanuragan. Hal inilah yang membuat Ki Anjir jadi terpaku diam. Dan kembali mereka terdiam membisu.
Sementara, matahari sudah semakin jauh tenggelam ke balik cakrawala sebelah barat. Keremangan mulai terasa menyelimuti seluruh Desa Granggang ini. Sedangkan Ki Anjir masih tetap terpaku dengan kening kelihatan berkerut begitu dalam. Beberapa kali nafasnya ditarik dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Sementara Julak yang sejak tadi tidak beranjak dari samping laki-laki tua itu hanya membisu saja, entah apa yang ada dalam pikirannya. Pemuda itu beberapa kali memperhatikan raut wajah Ki Anjir lewat sudut ekor matanya.
“Ki...,” terdengar agak tersekat suara Julak. Ki Anjir berpaling sedikit, langsung menatap laki-laki di sebelahnya ini.
“Sebaiknya kita memang tidak perlu masuk ke desa ini. Kita tunggu saja dia di sana,” kata Julak memberi usul, sambil menunjuk ke arah hutan.
“Hm...,” Ki Anjir hanya menggumam saja sedikit. Sebentar orang tua itu memandangi Julak, kemudian beralih pada Ki Adong dan lima orang laki-laki tua yang masih berdiri berjajar di belakang Ki Adong. Sementara, puluhan anak-anak muda masih tetap berada di belakang mereka. Semuanya sudah menggenggam senjata yang terhunus dari warangka.
“Ayo kita pergi, Julak,” ujar Ki Anjir akhirnya. Setelah berbasa-basi sebentar, Ki Anjir mengajak Julak meninggalkan perbatasan Desa Granggang itu.
Sementara, Ki Adong dan yang lain masih tetap berada di sana memandangi kepergian dua orang itu. Tampak jelas sekali dari pandangan mata, kalau Ki Adong sebenarnya tidak ingin mencegah Ki Anjir dan Julak masuk ke desa ini. Dia percaya, kedua orang itu bukanlah pembunuh biadab yang sudah menggemparkan Desa Granggang ini. Tapi, dia tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Apalagi, menentang keputusan yang sudah ditetapkan kepala desa.
“Kalian sebaiknya pulang saja. Biar aku yang menjaga di sini,” ujar Ki Adong tanpa berpaling sedikit pun.
“Aku akan menggantikanmu nanti setelah gelap, Ki,” ujar seorang laki-laki tua di belakangnya yang membawa senjata berupa tombak pendek.
Ki Adong hanya tersenyum saja. Begitu tipis senyumannya, sehingga hampir tidak terlihat. Dan dia masih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun. Tapi telinganya masih mendengar langkah-langkah kaki di belakang yang semakin menjauh meninggalkannya.
********************
TIGA
Malam terus merambat, menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Granggang. Kesunyian begitu terasa mencekam. Hanya jerit serangga malam saja yang terdengar. Tapi keadaan di desa itu kelihatan terang-benderang, seperti tengah mengadakan sebuah pesta. Obor-obor terlihat menyala, terpancang di setiap sudut dan jalan-jalan di desa itu. Bahkan tidak satu rumah pun yang tidak menyalakan pelita.
Namun suasananya begitu sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat. Dan itu pun tengah berjaga-jaga dengan senjata golok atau tombak. Mereka semua adalah anak muda yang menjadi murid enam orang pemuka desa ini. Suasana desa yang tidak biasanya ini, menjadi perhatian seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia tampak berdiri tegak di atas bukit sebelah timur Desa Granggang.
Pakaian laki-laki itu terlihat bersih dan bagus. Dan tampaknya, terbuat dari bahan sutera yang sangat halus berwarna putih keperakan. Tampak sebilah pedang tergantung di pinggangnya yang ramping, namun sangat berotot dan padat berisi. Sorot matanya terlihat sangat tajam, memandangi keadaan Desa Granggang dari atas bukit ini. Memang, terlihat jelas sekali keadaan desa itu dari atas bukit ini.
“Hm.... Ada enam orang yang harus kuhadapi di sana. Tapi..., yang paling utama adalah kepala desanya. Hmmm.... Dia bisa belakangan. Yang penting, pembantu-pembantunya dulu yang enam orang itu...,” gumam pemuda itu bicara pada diri sendiri.
Pandangannya tertuju lurus pada sebuah rumah berukuran cukup besar. Berhalaman sangat luas, dan dipagari belahan bambu. Rumah itu kelihatan terang oleh cahaya pelita dan obor yang terpancang di setiap sudut halaman. Terlihat juga beberapa orang bersenjata golok tengah berjaga-jaga di sekitar halaman rumah itu.
“Ki Manik..., tunggulah. Aku akan datang malam ini,” kembali pemuda itu menggumam perlahan.
Beberapa saat dia masih berdiri tegak di atas bukit itu, dan sebentar kemudian menghembuskan napas berat. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya melesat turun dari puncak bukit yang tidak seberapa tinggi itu. Sungguh cepat sekali gerakannya, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah berada di kaki bukit ini. Dan hanya tinggal beberapa batang tombak lagi jaraknya, gerbang perbatasan yang dijaga sekitar enam orang anak muda bersenjata tombak sudah terlihat. Pemuda itu berhenti sebentar, memandangi enam orang pemuda yang menjaga gerbang masuk ke Desa Granggang dari sebelah timur ini. Kemudian....
“Hup!” Hanya sekali lesatan saja, pemuda itu meluncur bagaikan sebatang anak panah lepas dari busurnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga gerakannya bisa seperti angin. Bahkan kedua telapak kakinya seperti tidak menjejak tanah sama sekali, seakan-akan berlari di atas angin.
“Hei, berhenti...!”
Baru saja pemuda tampan itu mendekati gerbang perbatasan ini, sudah terdengar bentakan yang cukup keras dan mengejutkan. Seketika gerakan larinya berhenti. Dan saat itu juga, terlihat enam orang anak muda yang menjaga gerbang perbatasan desa ini berlari-lari kecil menghampiri. Mereka baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan pemuda berbaju putih keperakan ini.
“Siapa kau?! Mau apa kau malam-malam datang ke sini...?!” tanya salah seorang dengan nada suara agak membentak.
“Hm...,” pemuda itu hanya menggumam saja sedikit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, merayapi enam orang di depannya yang sudah mengarahkan tombak dan langsung diarahkan ke dada. Tapi pemuda berwajah cukup tampan dan memiliki sorot mata sangat tajam ini hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun juga. Padahal, enam buah ujung mata tombak begitu dekat di dadanya.
“Heh! Ditanya malah mendelik...!” bentak pemuda yang berada paling depan.
“Minggir! Aku tidak punya urusan dengan kalian!” pemuda berbaju putih keperakan itu malah balik membentak.
“Heh...?!” Enam orang pemuda itu jadi tersentak. Seketika mereka berlompatan ke belakang sejauh tiga langkah, mendengar bentakan yang begitu dingin dan datar sekali. Membuat jantung mereka seketika jadi bergetar.
“Minggir kataku! Jangan sampai kesabaranku hilang...!” bentak pemuda itu lagi, sedikit mengancam.
“Setan...! Berani kau kurang ajar di...!”
“Huh!” Belum juga habis bentakan itu, pemuda berbaju putih keperakan ini sudah mendengus. Dan tiba-tiba saja dia melesat begitu cepat sambil mencabut pedangnya. Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan beberapa kali ke arah enam orang pemuda itu. Begitu cepat gerakannya sehingga enam orang pemuda yang berjaga di gerbang perbatasan ini hanya bisa terperangah saja.
Wuk! Bet!
Tidak terdengar lagi suara sedikit pun juga. Dan tahu-tahu enam orang anak muda berusia sekitar dua puluh tahun itu sudah ambruk bergelimpangan, setelah kepalanya terbabat hampir terbelah menjadi dua bagian. Seketika tanah tersiram darah yang mengucur deras dari kepala-kepala yang terbelah itu.
Cring!
“Huh!”
Sambil mendengus berat, pemuda berbaju putih keperakan ini memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka di pinggang. Kemudian kakinya melangkah tenang memasuki Desa Granggang, tanpa sedikit pun berpaling ke arah enam orang korbannya yang bergeletakan dengan kepala terbelah berhamburan darah. Ayunan kakinya begitu mantap dan tenang. Dan sorot matanya tidak berkedip sedikit pun juga, menatap lurus ke sebuah rumah berukuran cukup besar berhalaman luas yang dipagari belahan bambu.
Sejak dari atas bukit tadi, perhatiannya memang tidak terlepas dari rumah yang kelihatan terang-benderang oleh cahaya pelita dan obor ini. Dia baru berhenti melangkah, setelah tiba di bagian samping halaman rumah yang berpagar belahan bambu ini. Sebentar matanya beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya.
Pemuda itu berdiri tegak di balik sebatang pohon yang cukup besar, sehingga melindungi dirinya dari gemerlapnya cahaya api obor dan pelita. Malam ini, langit pun kelihatan begitu cerah, bertaburkan bintang dan cahaya bulan. Tapi sosok tubuh pemuda itu terlindung bayang-bayang pohon. Beberapa saat dia masih berdiri tegak di sana merayapi keadaan sekitarnya. Dan sebentar kemudian....
“Hup!”
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda itu. Sehingga hanya sekali lesatan saja, dia sudah bisa mencapai atap rumah ini. Namun baru saja menjejakkan kakinya di atas atap dengan ringan, sudah terdengar bentakan keras dari dalam rumah.
“Siapa itu...?!”
Pemuda berbaju putih keperakan itu jadi tersentak kaget setengah mati. Padahal, tadi ilmu meringankan tubuhnya sudah dikerahkan penuh. Bahkan sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak atap tadi. Tapi, rupanya masih saja ada yang mendengar. Dan belum juga rasa keterkejutannya bisa dihilangkan mendadak saja....
“Heh...?!”
Brus!
Brak!
“Hup...!”
Cepat sekali pemuda berbaju putih keperakan itu melenting, tepat ketika telinganya mendengar suara hembusan angin yang begitu kencang dari bawah atap ini. Dan pada saat itu juga, terlihat atap bangunan rumah besar itu hancur berkeping-keping, berhamburan tinggi ke udara dan menyebar ke segala arah.
Sementara pemuda itu berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menukik turun. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kembali sepasang kakinya menjejak tanah. Namun pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat keluar dari atas atap. Bayangan putih itu berputaran beberapa kali di udara. Lalu dengan gerakan cepat dan indah sekali bayangan itu menukik turun, dan langsung mendarat manis sekitar dua batang tombak dari pemuda berbaju putih keperakan ini.
Ternyata bayangan yang baru keluar dari dalam rumah dengan menjebol atap tadi seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Bajunya jubah panjang berwarna putih. Dan dia adalah salah seorang Tetua Desa Granggang ini. Dan semua orang mengenalnya sebagai Ki Manik. Seutas cambuk berwarna hitam dan berbulu halus, tergenggam menggulung di tangan kanannya.
“Siapa kau...?!” terdengar begitu dalam nada suara Ki Manik.
“Aku malaikat yang akan mencabut nyawamu!” sambut pemuda itu. Jawabannya terdengar dingin sekali.
“Heh...?!” Ki Manik jadi terlonjak kaget. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat beberapa langkah ke belakang. Kedua bola matanya jadi berputaran, memandangi seluruh tubuh pemuda di depannya, seakan-akan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
“Bersiaplah menerima kematianmu, Ki Manik. Malaikat Pencabut Nyawa sudah datang menunaikan tugas,” kata pemuda itu, masih dengan nada dingin sekali.
“Phuih! Walaupun berganti nama seribu kali, aku tahu kau yang sebenarnya, Randataka!” dengus Ki Manik agak gusar.
“Bagus...! Aku senang masih ada yang bisa mengenaliku. Buatlah kematianmu senyaman mungkin, Ki Manik. Malam ini juga, aku akan mencabut nyawamu.”
Sret!
Cring!
Setelah berkata demikian, pemuda berbaju putih keperakan yang dikenali Ki Manik bernama Randataka langsung meloloskan pedangnya yang tergantung di pinggang. Pedang bercahaya keperakan itu seketika membuat kelopak mata Ki Manik jadi berkerut menyipit.
“Sambutlah kematianmu sekarang, Ki Manik! Hiyaaat...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Randataka melompat cepat mengebutkan pedangnya mengarah ke leher. Begitu cepat sekali sabetan pedangnya, hingga membuat Ki Manik jadi terperangah sesaat. Tapi cepat sekali kepalanya diegoskan, hingga tebasan pedang pemuda itu hanya lewat sedikit saja di depan tenggorokannya.
“Hup!”
Ki Manik cepat-cepat melompat ke belakang, dan langsung saja mengebutkan cambuknya ke depan, tepat di saat Randataka yang memperkenalkan diri sebagai Malaikat Pencabut Nyawa sudah melesat sambil memutar pedangnya dengan kecepatan luar biasa.
Ctar!
“Haiiit...!”
Bet!
“Heh...?!”
Ki Manik jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat Randataka malah memapak kebutan cambuknya dengan pedang. Dan cepat-cepat cambuknya ditarik kembali. Tapi, gerakannya memang sudah terlambat. Dan....
Tes!
“Ikh...!”
Ki Manik jadi terpekik kecil, begitu melihat cambuknya terpenggal tepat di tengah-tengahnya. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, pemuda berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa itu sudah melesat cepat. Dan saat itu juga pedangnya dikebutkan ke arah kepala laki-laki tua Tetua Desa Granggang itu.
“Hiyaaat...!”
“Hah...?!”
Ki Manik hanya bisa terperangah dengan kedua bola mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Dan saat itu juga....
Cras!
“Hegkh...!”
Hanya keluhan kecil saja yang terdengar, ketika batok kepala Ki Manik terbabat pedang tepat pada bagian tengah keningnya. Untuk sesaat, orang tua itu masih bisa berdiri. Namun sebentar kemudian tubuhnya jadi limbung, lalu ambruk menggelepar di tanah dengan kepala terbelah menjadi dua bagian. Darah langsung berhamburan membanjiri tanah yang sedikit berumput ini. Ki Manik menggelepar beberapa saat, kemudian diam mengejang kaku tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya langsung melayang saat itu juga. Sementara, Randataka tetap berdiri tegak memandangi.
“Huh!”
Sambil mendengus berat, Malaikat Pencabut Nyawa melesat begitu cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan pada saat itu juga, murid-murid Ki Manik berdatangan. Mereka kontan jadi terperanjat setengah mati begitu melihat gurunya sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan kepala terbelah berlumur darah.
“Ki...!”
Seluruh penduduk Desa Granggang kembali digemparkan oleh kematian Ki Manik. Ki Langkas yang menjadi kepala desa juga jadi geram setengah mati. Belum lagi pembunuh itu bisa dibekuk, kini salah seorang pembantunya sudah tewas dengan kepala terbelah menjadi dua bagian pada keningnya. Sungguh kematian yang sangat mengenaskan!
Dari beberapa orang murid, Ki Langkas tahu kalau Ki Manik bertarung dengan seseorang semalam. Sayangnya, tidak ada seorang pun dari murid-murid Ki Manik yang melihat jalannya pertarungan. Mereka semua mengatakan kalau pertarungan berjalan cepat. Dan begitu mereka sampai, Ki Manik sudah mengeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan orang yang bertarung dengannya sudah lenyap, entah ke mana.
Kegemparan yang terjadi di Desa Granggang dan kematian Ki Manik yang begitu mengenaskan, sempat juga didengar Ki Anjir dan Julak yang tetap berada tidak jauh dari batas Desa Granggang ini. Mereka mengetahui semua itu dari seorang perambah hutan yang tinggal di desa ini.
“Sepertinya ada yang dicarinya di desa ini, Ki,” kata Julak setelah perambah hutan itu tidak terlihat lagi, tenggelam ke dalam hutan yang cukup lebat membatasi desa.
“Desa Granggang memang terkenal, karena banyak melahirkan pendekar muda dan tangguh. Dan kau tahu, Julak. Mereka yang mencegat kita di perbatasan desa adalah orang-orang tua yang berilmu sangat tinggi. Dari tangan merekalah banyak lahir pendekar tangguh yang kini tersebar hampir di seluruh jagat ini,” jelas Ki Anjir memberi tahu.
“Tapi, apa maksudnya dia membantai di desa ini, Ki?” tanya Julak lagi.
“Mungkin dia beranggapan, desa ini adalah sumber dari para penegak keadilan. Dan kau tahu, Malaikat Pencabut Nyawa ingin menumpas habis para pendekar. Sehingga mereka yang berjalan pada aliran hitam bisa bebas berbuat semaunya,” kembali Ki Anjir menjelaskan.
“Huh! Seperti hanya dia saja yang paling jago di dunia ini, Ki,” terdengar agak mendengus nada suara Julak.
“Tapi memang harus diakui, Malaikat Pencabut Nyawa memiliki kepandaian sangat tinggi. Aku sendiri rasanya belum tentu unggul bila berhadapan dengannya,” Ki Anjir mengakui tulus.
“Kalau merasa sudah tidak mampu, kenapa masih saja mengejarnya, Ki?” tanya Julak.
Ki Anjir tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang-panjang, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Pandangannya jadi lurus ke depan. Begitu kosong cahaya matanya. Sementara, Julak hanya memandangi saja dari sebelah kanan. Dia duduk di atas sebatang kayu yang sudah tumbang, agak jauh dari Ki Anjir. Orang tua itu duduk di atas rerumputan di bawah pohon beringin yang cukup besar dan lebat daunnya, hingga melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.
Perlahan Ki Anjir bangkit berdiri. Sementara, Julak masih tetap duduk memandangi orang tua itu. Dia tidak mengerti, kenapa Ki Anjir begitu ingin bertemu orang yang selama ini dikejar, yang selalu menjuluki diri sebagai Malaikat Pencabut Nyawa. Dan setiap kali hal itu ditanyakan, Ki Anjir selalu tidak bisa menjawab. Bahkan raut wajahnya kelihatan jadi begitu mendung, seperti ada sesuatu yang tengah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang mungkin berhubungan dengan si Malaikat Pencabut Nyawa.
“Ayo kita ke Desa Granggang, Julak,” ajak Ki Anjar.
“Untuk apa, Ki? Penduduk desa itu tidak mau menerima kita di sana. Malah, bisa-bisa kita yang dituduh,” tolak Julak tegas.
“Aku akan menemui kepala desanya. Mudah-mudahan saja, dia mau mengerti. Lagi pula, tujuan kedatangan kita justru ingin membantu mereka membebaskan diri dari cengkeraman si Malaikat Pencabut Nyawa,” kata Ki Anjir mencoba meyakinkan.
“Tapi, Ki....”
“Kau tidak mau ikut...?”
Julak jadi ragu-ragu juga. Sungguh mati, dia tidak sudi ditinggal sendirian dalam hutan ini. Apa lagi dia tahu, Kamdan yang juga teman seperjalanan ini sudah tewas di tangan si Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan itu diketahui setelah mendapat keterangan dari beberapa penduduk Desa Granggang. Makanya, dia tidak ingin nasibnya sama seperti Kamdan.
Entah kenapa, selama berjalan bersama orang tua itu, mereka sama sekali tidak pernah bertemu Malaikat Pencabut Nyawa yang telah membantai puluhan orang. Dan kebanyakan yang dibantainya adalah para pendekar-pendekar kondang dalam kalangan rimba persilatan. Tapi kali ini, Malaikat Pencabut Nyawa sudah menjarah Desa Granggang. Bahkan sudah mencabut beberapa nyawa penduduk di desa ini. Lalu, Kamdan pun ikut jadi korban.
Sementara, Ki Anjir sudah melangkah meninggalkan tepian hutan ini. Dan Julak bergegas bangkit berdiri, lalu berjalan cepat mengikuti. Sebentar saja, dia sudah berada di sebelah kanan orang tua itu. Ayunan kakinya disejajarkan agar tidak tertinggal. Walaupun Ki Anjir usianya jauh lebih tua, tapi tingkat kepandaian yang dimiliki memang jauh di atasnya. Tidak heran kalau Julak sebentar-sebentar harus berlari kecil agar tidak tertinggal.
“Mereka pasti tidak mau menerima kita lagi, Ki,” kata Julak seperti mengingatkan kejadian kemarin.
Mereka memang pernah datang ke desa itu kemarin, tapi telah lebih dulu dicegat dan tidak boleh masuk ke sana. Waktu itu, Ki Anjir memang mengalah. Dia tidak ingin terjadi keributan, walaupun di dalam hati merasa kecewa juga. Tapi semua kekecewaan itu ditelannya, dan berusaha untuk memahami keadaan yang tengah terjadi di sana.
“Mudah-mudahan kali ini mereka mau mengerti, Julak. Aku merasa kalau di desa ini kita bisa bertemu Malaikat Pencabut Nyawa,” tegas Ki Anjir.
“Kalau memang tetap menolak, Ki...?” tanya Julak ingin tahu.
Ki Anjir tidak menjawab, dan terus melangkah tanpa membuka suara lagi. Sementara, Julak juga tidak mendesak. Dan kini, mereka sudah tiba di perbatasan desa. Sungguh mengherankan, tidak ada seorang pun dijumpai di sini. Padahal mereka kemarin dicegat puluhan orang. Ki Anjir menghentikan langkahnya. Keningnya seketika terlihat berkerut saat melihat seorang pemuda dan seorang gadis tengah duduk di bawah pohon sambil menikmati makanan yang terbungkus daun waru.
Tidak jauh dari mereka duduk, terlihat dua ekor kuda sedang merumput. Dari pakaian dan senjata yang disandang, bisa dipastikan kalau mereka dari kalangan rimba persilatan. Dan kehadiran Ki Anjar dan Julak, membuat kedua anak muda itu menghentikan makannya. Bahkan yang pemuda segera bangkit berdiri, setelah membersihkan tangannya dari air di dalam kendi tanah liat. Kemudian, kakinya melangkah tenang menghampiri. Sedangkan gadis yang tadi makan bersamanya, segera membereskan bekas-bekas mereka.
“Kenapa kalian makan di sini?” Ki Anjir langsung saja bertanya, begitu pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih itu sudah berada dekat di depannya. Pemuda itu menjura dengan membungkuk sedikit, memberi salam penghormatan. Ki Anjir segera membalas dengan membungkukkan tubuhnya juga. Tampak sebilah gagang pedang berbentuk kepala burung tersembul dari punggungnya, saat pemuda itu menjura tadi.
“Sebenarnya kami ingin makan di kedai. Tapi, beberapa orang mencegat dan melarang kami masuk ke desa itu,” sahut pemuda itu lembut, sambil menunjuk ke arah Desa Granggang yang sudah terlihat
“Dan makanan itu, dari mana kalian dapatkan?” tanya Ki Anjir lagi.
“Pemilik kedai yang mengantarkannya, setelah aku mengatakan hanya ingin singgah sebentar dan mencari kedai.”
Ki Anjir mengangguk-anggukkan kepala sebentar. “Kau bukan orang sini?” tanya orang tua itu lagi.
“Benar. Kami berdua pengembara yang kebetulan saja lewat.”
“Hm....”
“Ada apa, Ki?” tanya pemuda itu.
Ki Anjir tidak langsung menjawab. Dipandanginya pemuda di depannya ini dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara, gadis yang bersama pemuda itu sudah berdiri disebelah kanannya. Ki Anjir juga memandangi gadis berwajah cantik berbaju biru muda itu. Tampak di balik ikat pinggangnya terselip sebuah kipas yang terbuat dari baja putih keperakan. Dan di punggungnya juga tersandang sebilah pedang bergagang kepala seekor naga berwarna hitam berkilatan.
“Siapa nama kalian...?” tanya Ki Anjir.
“Rangga. Dan ini adikku. Namanya, Pandan Wangi.”
Kembali Ki Anjir mengangguk-anggukkan kepala. Dia juga kemudian memperkenalkan diri, dan memperkenalkan Julak yang berada di sebelah kirinya. Sementara itu, tidak jauh di dalam desa, terlihat beberapa anak muda terus mengamati mereka berempat. Dan di antara anak-anak muda yang jumlahnya sekitar dua puluh orang itu, terlihat Ki Adong bersama Ki Langkas. Kedua orang itu seperti tengah berbincang-bincang. Tapi, perhatian mereka terus tertuju pada keempat orang yang berada di pinggiran desa itu.
********************
EMPAT
Pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga dan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti, mengajak Ki Anjir dan Julak untuk duduk di bawah pohon beringin yang cukup rindang. Sehingga, mereka terlindung dari sengatan cahaya matahari yang begitu terik siang ini. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran.
Sementara Pandan Wangi yang di kalangan rimba persilatan dikenal berjuluk si Kipas Maut, menyediakan arak manis dari sebuah bumbung bambu yang didapat dari pemilik kedai di Desa Granggang. Mereka bukannya tidak tahu kalau terus-menerus diawasi dari desa. Tapi, Ki Anjir sudah mengatakan agar tidak mempedulikan. Dan ini membuat kening Rangga jadi berkerut. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak mengerti sikap semua orang di Desa Granggang ini. Tadi, dia dicegat dan tidak diizinkan masuk ke dalam desa itu. Dan sekarang, Ki Anjir memintanya agar tidak mempedulikan mereka yang tengah mengawasi.
“Sebenarnya apa yang sedang terjadi di desa itu, Ki?” tanya Pandan Wangi seraya melirik ke arah Desa Granggang.
“Pembunuhan...,” sahut Ki Anjir pelan, terdengar seperti terputus suaranya.
“Pembunuhan...?” kening Pandan Wangi jadi berkerut.
“Malaikat Pencabut Nyawa merajalela. Sudah puluhan orang yang dibunuh. Dan kebanyakan dari korbannya adalah pendekar,” selak Julak cepat, sebelum Ki Anjir bisa membuka suaranya.
Sementara Pandan Wangi menatap Rangga yang sejak tadi diam saja. Entah, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti itu. Keningnya kelihatan sedikit berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu. Sementara, Ki Anjir jadi terdiam membisu. Wajahnya lalu berpaling ke arah Desa Granggang. Dan pandangannya jadi terpaku saat melihat seorang laki-laki berusia sebaya dengannya berjalan menghampiri.
Sementara, beberapa orang terlihat mengawasi dari kejauhan. Rangga juga mengangkat kepala begitu telinganya yang tajam mendengar ayunan langkah kaki menuju ke arah pohon ini. Pandangan Pandan Wangi juga terarah pada laki-laki tua berjubah putih yang membawa tongkat berkepala ular di tangan kanannya.
Dialah Ki Langkas, Kepala Desa Granggang ini. Mereka segera berdiri, begitu Ki Langkas sudah dekat, dan berhenti melangkah setelah jaraknya sekitar satu batang tombak lagi. Kepala desa itu membungkukkan tubuhnya sedikit, dan langsung disambut dengan bungkukan tubuh pula.
“Maaf. Apakah kehadiran kami di sini mengganggu, Ki?” tanya Ki Anjir membuka suara lebih dahulu.
“Sebenarnya, tidak. Itu kalau mau berterus-terang, siapa kalian sebenarnya. Dan apa tujuan datang ke sini,” sambut Ki Langkas ramah.
“Namaku Ki Anjir. Dan mereka adalah teman- temanku. Kami para pengembara yang kebetulan lewat di sini,” sahut Ki Anjir langsung memperkenalkan diri, yang disusul orang-orang di sebelahnya.
Sementara, Ki Langkas mengangguk-anggukkan kepala setelah mengetahui nama-nama mereka semua. Sekilas matanya melirik Pandan Wangi. Di dalam hatinya, mungkin Pandan Wangi seumur dengan anak gadisnya. Tapi hatinya mengakui kalau Pandan Wangi berkulit lebih putih dan berwajah lebih cantik, seperti bidadari turun dari kayangan.
“Lalu, tujuan kalian datang ke sini?” tanya Ki Langkas lagi.
“Terus-terang, Ki. Aku sampai datang ke sini, karena mengejar seseorang yang mungkin saja telah membuat keonaran di desa ini,” sahut Ki Anjir berterus-terang.
“Maksudmu...?” Ki Langkas meminta penjelasan.
Sebentar Ki Anjir menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja, karena sebenarnya memang hanya kebetulan saja berada di tempat ini. Sedangkan Ki Anjir dan Julak punya tujuan tertentu, hingga tiba di Desa Granggang ini.
“Begini, Ki...,” terputus suara Ki Anjir.
“Langkas ... Namaku Langkas, kepala desa di sini,” Ki Langkas cepat-cepat memperkenalkan diri.
Memang sejak tadi dia belum memperkenalkan siapa dirinya. Dan dirinya baru diperkenalkan setelah mendengar nada suara Ki Anjir yang terputus.
“Aku dan Julak sebenarnya datang dari jauh. Dan kedatanganku ke desa ini, sebenarnya tidak sengaja. Dan lagi, semula sebenarnya kami bertiga. Tapi yang seorang lebih dulu putus asa dan memutuskan untuk pulang. Lalu...,” Ki Anjir tidak melanjutkan.
“Teman kami tewas beberapa hari lalu, tidak jauh dari desa ini, Ki,” selak Julak.
“Oh...?!” Ki Langkas tampak terkejut. "Temanmu yang mana...?”
“Seusiaku, Ki. Dia tewas dengan...,” sahut Julak terputus.
“Ya..., ya aku tahu,” kata Ki Langkas seraya menganggukkan kepala.
“Jadi, itu teman kalian...?”
“Benar, Ki,” sahut Ki Anjir.
“Hm.... Lalu, kau datang ke sini hendak mencari pembunuhnya?” tanya Ki Langkas lagi.
“Sudah lama kami mengejarnya, Ki. Bahkan sudah lebih dari dua purnama kami mengembara mengejarnya, hingga sampai ke desa ini,” sahut Ki Anjir menjelaskan lagi.
“Ahhh.... Kenapa tidak kau katakan saja sejak kemarin...?” desah Ki Langkas seperti menyesali.
“Sebenarnya aku ingin menjelaskan, Ki. Tapi...,” kembali Ki Anjir terputus kata-katanya. Dan matanya diarahkan ke gerbang Desa Granggang.
“Sudahlah..., maafkan atas sikap mereka,” ujar Ki Langkas, seperti mengerti arti tatapan Ki Anjir.
Ki Anjir hanya tersenyum saja seraya menganggukkan kepala sedikit. Saat itu, Ki Langkas menatap Rangga dan Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam saja mendengarkan semua pembicaraan ini.
“Kalau kalian berdua, Anak Muda...?” tanya Ki Langkas. “Aku lihat, kalian datang terpisah. Apakah kalian juga bertujuan sama dengan Ki Anjir?”
“Tidak, Ki,” sahut Rangga cepat. “Sebenarnya kami hanya sekadar lewat saja. Dan tujuan kami juga tidak menentu.”
“Hm..., kalian pendekar pengembara?” tanya Ki Anjir agak menggumam nada suaranya. Dan jelas sekali kalau nada pertanyaan tengah menyelidik.
“Kami memang pendekar pengembara, Ki,” selak Pandan Wangi menyahuti. “Dan kami bukan orang jahat. Justru kamilah yang selalu memerangi kejahatan dan keangkaramurkaan.”
Ki Langkas mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali mendengar penjelasan Pandan Wangi. Kemudian kembali ditatapnya Ki Anjir dan Julak yang berdiri agak terpisah dari Rangga dan Pandan Wangi. Beberapa saat mereka terdiam, seakan-akan tengah menunggu apa yang akan diucapkan kepala desa itu.
“Mari! Kalian kuundang ke rumahku,” ajak Ki Langkas semakin ramah.
“Terima kasih, Ki,” ucap Ki Anjir menyambut gembira.
“Silakan....” Ki Langkas merentangkan tangannya, mempersilakan Ki Anjir berjalan lebih dulu.
Setelah menganggukkan kepala sedikit pada kepala desa itu, Ki Anjir melangkah yang kemudian diikuti Julak. Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Ki Langkas yang sudah melangkah beberapa tindak, jadi berhenti dan berbalik memandang dua pendekar muda itu.
“Kenapa kalian diam saja...? Ayo! Aku juga mengundang kalian berdua,” kata Ki Langkas.
“Terima kasih, Ki. Aku...,” Rangga Ingin menolak. Tapi Pandan Wangi sudah menyikut pinggang Pendekar Rajawali Sakti, hingga langsung terdiam.
“Ayolah.... Kalian tentu bisa memaklumi sikap kami semua tadi,” desak Ki Langkas.
Rangga mengangkat bahu sedikit, kemudian menghampiri kudanya. Diambilnya tali kekang dua ekor kuda itu, dan dituntunnya. Yang satu kemudian diserahkan Pandan Wangi. Mereka kemudian berjalan mengikuti Ki Langkas yang berjalan di sebelah kanan Ki Anjir. Sementara, Julak berada di belakang kedua orang tua itu.
Sikap Ki Langkas yang langsung berubah memang bisa dimengerti. Saat ini, dia memang membutuhkan orang-orang berkepandaian tinggi untuk menghadapi pembunuh gelap yang telah menewaskan salah seorang pembantunya. Terlebih lagi, setelah kepala desa itu tahu maksud kedatangan Ki Anjir yang secara jujur dan terus-terang diutarakannya.
Dia berharap Ki Anjir dan yang lain bisa menghadapi pembunuh gelap yang sekarang sudah diketahui namanya, walaupun hanya berupa julukannya saja. Tapi itu juga sudah membuat bergetar hati siapa saja yang mendengarnya. Malaikat Pencabut Nyawa....
Seperti pada malam-malam sebelumnya, Desa Granggang terbias oleh cahaya lampu pelita dan obor yang terpancang di setiap sudut dan jalan. Bahkan susananya juga tidak kelihatan sunyi. Beberapa orang laki-laki terlihat menggerombol di tempat-tempat yang dijadikan pos penjagaan.
Di dalam sebuah kamar di rumah Ki Langkas, terlihat Rangga berdiri mematung di depan jendela. Ki Langkas memang menyediakan kamar untuk mereka yang dianggap sebagai tamunya. Rumah kepala desa itu memang sangat besar, dan memiliki banyak kamar yang tidak terisi. Sehingga, mereka yang diundang bisa menempatinya.
Entah sudah berapa lama Rangga berdiri mematung di depan jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Pandangannya lurus ke depan, seakan-akan tengah mengamati beberapa orang yang menggerombol tidak jauh di depan halaman rumah kepala desa ini. Namun, sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tidak memandang ke sana. Entah apa yang tengah menjadi perhatiannya. Bahkan sepertinya tidak bernapas, tanpa terlihat adanya gerakan pada dadanya.
“Hhh...!” Terdengar berat sekali hembusan nafasnya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya berbalik. Tapi belum juga berbalik, mendadak saja.... “Heh...?!”
Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja sekilas terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat melintasi jalan di depannya.
“Hup!”
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar dari jendela kamar ini. Begitu sempurna sekali ilmu meringankan tubuh yang dikuasai, sehingga bentuk tubuhnya lenyap. Dan hanya bayangan putih saja yang terlihat berkelebat begitu cepat bagai kilat. Dalam sekejapan mata saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada jauh dari rumah kepala desa.
Dan larinya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang berukuran cukup besar berhalaman luas. Sekilas matanya masih melihat bayangan yang tadi sempat membuatnya terkejut menghilang di sekitar rumah ini. Dia tahu, rumah itu adalah rumah Ki Rampat, salah seorang pemuka desa yang membantu Ki Langkas memimpin penduduk Desa Granggang ini.
“Hmmm....”
Perlahan Rangga mengayunkan kakinya memasuki halaman rumah itu. Agak heran juga dia, karena rumah ini kelihatan sunyi dan tidak ada dijaga oleh seorang pun. Sedangkan yang diketahuinya, setiap rumah tetua desa memiliki penjaga yang terdiri dari murid-murid mereka. Tapi rasa heran di hati Pendekar Rajawali Sakti tidak berlangsung lama, begitu melihat sesosok tubuh tergeletak di beranda depan rumah. Bergegas dihampirinya sosok tubuh itu.
“Eh...?!”
Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak, begitu melihat sosok tubuh itu ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Dan dari kepalanya yang terbelah, mengucurkan darah segar yang masih hangat. Ini berarti orang itu belum lagi lama tewas. Saat Rangga baru saja hendak menjamah tubuh itu, tiba-tiba saja....
“Tolooong...!”
“Heh...?! Hup!”
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat begitu mendengar teriakan dari dalam rumah. Pintu yang tertutup rapat, seketika ambruk diterjangnya. Rangga langsung melesat masuk ke dalam. Tapi baru saja menjejakkan kakinya di ruangan depan yang cukup luas ini, mendadak saja terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat sekali ke arahnya.
“Hup...!”
Hampir saja bayangan putih itu menerjang, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat berkelit ke samping. Dan seketika itu juga seluruh tenaganya dikempos.
Slap!
Bagaikan kilat, pemuda berbaju rompi putih yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar, mengejar bayangan putih itu.
“Berhenti...!” bentak Rangga dengan suara keras menggelegar, karena disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Bayangan putih itu langsung berhenti berkelebat Dan secepat itu pula tubuhnya berputar. Dan....
“Hih!”
Wusss...!
“Heh...?! Hup!”
Cepat Rangga melenting ke udara, ketika tiba-tiba saja melesat sebuah benda kecil berwarna putih keperakan ke arahnya. Dan benda yang meluruk deras itu hanya lewat di bawah kaki Rangga. Sementara Pendekar Rajawali Sakti segera meluruk deras ke arah orang berbaju serba putih keperakan yang berdiri tegak di halaman depan rumah Ki Rampat.
“Hap!”
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya di tanah, tepat sekitar satu setengah tombak di depan sosok tubuh yang dikejarnya tadi. Dan ternyata dia seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun. Bajunya warna putih keperakan, dengan wajah cukup tampan. Tapi, sorot matanya sangat tajam menusuk. Dan guratan-guratan wajahnya mencerminkan guratan kekerasan serta kekejaman. Agak terkesiap juga Rangga begitu menatap sorot mata yang begitu tajam menusuk.
“Siapa kau...?!” agak mendesis suara Rangga.
“Aku Malaikat Pencabut Nyawa,” sahut pemuda itu dingin sekali nada suaranya.
“O.... Jadi, kau yang selama ini membuat kekacauan di sini...?” desis Rangga jadi dingin.
“Kau sudah tahu maka menyingkirlah sebelum kubelah kepalamu!” dengus Malaikat Pencabut Nyawa tetap dingin nada suaranya.
“Justru akulah yang menginginkan agar kau pergi dari desa ini. Atau, kau akan menghadapi pengadilan dari perbuatan-perbuatanmu!” sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
“Keparat..! Berani kau menantangku, heh...!” geram Malaikat Pencabut Nyawa.
Sret!
Cring!
Langsung saja Malaikat Pencabut Nyawa mencabut pedangnya yang memancarkan cahaya putih keperakan. Rangga sempat kagum juga melihat pamor pedang yang dahsyat itu. Dan kedua tangannya sudah terkepal, siap menghadapi serangan pemuda yang mengaku berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa.
“Sebut nama leluhurmu sebelum kukirim ke neraka!” desis Malaikat Pencabut Nyawa.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit.
“Hap! Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa langsung melompat menerjang bagai kilat. Pedangnya dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap!”
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepalanya, Rangga bisa menghindari tebasan pedang itu. Tapi dia agak terkejut juga, karena angin tebasan pedang itu memancarkan hawa panas yang sangat menyengat. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang beberapa langkah.
“Hih! Yeaaah...!”
Tapi pemuda berbaju putih keperakan yang menjuluki diri sebagai Malaikat Pencabut Nyawa, tidak berhenti sampai di situ saja. Belum lagi Rangga bisa menegakkan tubuhnya, pemuda itu sudah kembali menyerang. Beberapa kali pedangnya dikebutkan, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, hingga menimbulkan desir angin menderu menggetarkan jantung. Tapi, Rangga bukanlah lawan yang bisa dianggap enteng. Dengan menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, tidak satu serangan pun yang berhasil menyambar tubuhnya.
“Phuih!”
Malaikat Pencabut Nyawa jadi geram melihat semua serangannya kali ini bisa dihindari. Bahkan terasa sulit sekali untuk mendesak lawan. Gerakan-gerakan menghindar yang dilakukan Rangga juga sungguh aneh baginya. Memang, Pendekar Rajawali Sakti seperti orang kebanyakan minum arak. Gerakan-gerakannya tidak beraturan sama sekali. Bahkan terkadang tubuhnya begitu miring, sampai hampir jatuh.
Tapi tetap saja tidak mudah bagi Malaikat Pencabut Nyawa membabatkan pedangnya. Setiap kali pedangnya hampir menebas bagian tubuh lawan, manis sekali Pendekar Rajawali Sakti bisa berkelit. Dan ini membuat Malaikat Pencabut Nyawa jadi semakin bertambah berang. Dia merasa kalau sedang dipermainkan pemuda berbaju rompi putih ini.
“Hup!”
Malaikat Pencabut Nyawa melompat ke belakang menghentikan pertarungan. Sementara, Rangga kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada disertai senyuman tipis tersungging di bibir.
“Setan keparat! Siapa kau, heh...?!” bentak Malaikat Pencabut Nyawa jadi ingin tahu.
Selama ini, Malaikat Pencabut Nyawa dengan mudah bisa mengalahkan lawan-lawannya. Padahal rata-rata lawannya memiliki kepandaian tinggi dan sudah terkenal dalam rimba persilatan. Dan kini setelah lima jurus dikerahkan, tapi tubuh pemuda berbaju rompi putih itu belum juga bisa dilukai sedikit pun.
“Aku rasa itu tidak penting, Malaikat Pencabut Nyawa. Bukankah kau juga membantai siapa saja yang dianggap sebagai penghalang...? Nah, sekarang aku akan menghalangi setiap gerakmu. Jadi, juga harus membunuhku lebih dulu sebelum merasa menjadi raja di jagat raya ini,” sambut Rangga dingin sekali suaranya.
“Phuih! Lagakmu seperti yang paling jago saja di kolong langit. Katakan, siapa namamu sebelum batok kepalamu kutebas!” dengus Malaikat Pencabut Nyawa.
“Rangga,” sahut Rangga singkat.
“Huh! Julukanmu...!” Malaikat Pencabut Nyawa masih juga belum merasa puas.
Tapi belum juga Rangga bisa membuka mulut, terdengar suara-suara langkah menghampiri. Dan terlihat beberapa orang berlari-lari menghampiri sambil membawa obor. Malaikat Pencabut Nyawa mendengus kecil, setelah melihat begitu banyak orang berdatangan menghampiri.
“Huh! Nyawamu masih terlindungi, Keparat! Tapi lain kali, kau tidak akan lolos dari kematian!” dengus Malaikat Pencabut Nyawa terdengar kesal nada suaranya.
Setelah berkata begitu, cepat sekali tubuhnya melesat pergi sambil menyarungkan kembali pedangnya. Begitu cepat lesatannya, sehingga Rangga tidak sempat lagi mencegah. Terlebih lagi, jarak mereka memang ada sekitar dua batang tombak lebih. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa berdiri mematung menatap arah kepergian Malaikat Pencabut Nyawa.
Sementara, mereka yang datang sudah sampai di halaman depan rumah ini. Dan di antara mereka terlihat Pandan Wangi, Ki Anjir, Julak, dan Ki Langkas bersama empat orang tua pembantunya. Mereka langsung menghampiri Rangga, kecuali empat orang tua berjubah putih yang menjadi orang kepercayaan Ki Langkas.
“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung.
“Aku tidak tahu. Aku belum sempat masuk ke dalam,” sahut Rangga.
“Kau tidak apa-apa, Rangga?” tanya Ki Langkas.
“Tidak...,” sahut Rangga seraya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Saat itu keluar salah seorang yang tadi langsung masuk ke dalam rumah. “Ki Langkas, ke sini cepat...!”
Ki Langkas bergegas menghampiri, diikuti Rangga, Ki Anjir dan Pandan Wangi. Sedangkan Julak dan yang lain tetap menunggu di luar. Mereka langsung saja menerobos masuk ke dalam. Rangga yang memang baru sempat masuk sampai ke ruangan depan tadi, jadi tersedak begitu melihat ke dalam rumah ini. Keadaannya sangat berantakan dan banyak darah berceceran di lantai.
Dan begitu mereka sampai di dalam sebuah ruangan tidur, terlihat tiga tubuh tergeletak tak bernyawa lagi dengan kepala terbelah hampir menjadi dua bagian. Mereka adalah Ki Rampat dan istrinya, serta seorang lagi yang dikenal adik Ki Rampat.
Rangga bergegas memeriksa ke ruangan-ruangan lain di rumah ini, dan menemukan beberapa tubuh lagi bergeletakan dengan kepala terbelah berhamburan darah.
Malam itu kembali Desa Granggang gempar. Ki Rampat dan seluruh keluarga serta muridnya tewas terbantai dengan luka sama, terbelah pada kepala hingga hampir menjadi dua bagian. Kekejaman ini bukan saja membuat penduduk menjadi marah. Bahkan Rangga juga jadi geram setengah mati. Baru kali ini disaksikannya sebuah pembantaian yang begitu keji!
“Iblis...!” tanpa sadar Rangga mengeram.
********************
LIMA
Rangga benar-benar menyesal dengan membiarkan Malaikat Pencabut Nyawa melarikan diri. Padahal, bisa saja orang itu dikejarnya tadi. Tapi semua penyesalan itu tidak ada gunanya lagi. Dan entah, berapa orang lagi yang akan menjadi korban kebiadaban Malaikat Pencabut Nyawa.
Semua orang di Desa Granggang ini diliputi kecemasan. Mereka takut kalau-kalau pembantai biadab itu datang lagi dan menghabisi nyawa mereka. Kini, Malaikat Pencabut Nyawa tidak pilih-pilih lagi. Siapa saja yang berusaha menghalangi, tidak ada ampun lagi. Sejak kematian Ki Rampat, sudah tiga orang Tetua Desa Granggang yang tewas secara beruntun dan mengerikan.
Bukan mereka saja yang terbunuh, tapi seluruh keluarga dan murid-murid juga terbantai. Dan sekarang, tinggal Ki Adong saja yang masih hidup bersama Ki Langkas. Sedangkan gerakan yang dilakukan Malaikat Pencabut Nyawa benar-benar sulit diduga. Tidak ada yang bisa menduga, kapan kemunculannya, dan kapan pula perginya. Gerakannya bagaikan hantu yang bisa saja muncul tanpa menghiraukan waktu dan keadaan.
Hal ini tentu saja membuat Ki Langkas semakin bertambah berang. Sementara Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Anjir yang berada di desa itu juga tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada seorang pun yang tahu, di mana tempat persembunyian si Malaikat Pencabut Nyawa, jika tidak muncul ke desa ini, yang semakin dicekam ketakutan.
“Tindakannya seperti orang yang sedang membalas dendam...,” gumam Rangga, ketika sedang duduk seorang diri di halaman belakang rumah Ki Langkas.
Sejak pertarungannya dengan Malaikat Pencabut Nyawa malam itu, Rangga terlihat lebih sering menyendiri. Dia berusaha mencari tahu latar belakang tindakan brutal si Malaikat Pencabut Nyawa itu.
“Aku juga menduga begitu, Kakang....”
“Eh...?!”
Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari belakangnya. Cepat kepalanya diputar berpaling. Sungguh tidak diketahuinya kalau ada seorang gadis cantik sudah berdiri dekat sekali di belakangnya, yang memang Intan, putri satu-satunya Ki Langkas.
“Boleh aku menemanimu...?” pinta Intan lembut.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu menggeser duduknya sedikit. Intan mengambil tempat agak jauh di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Halaman belakang rumah Ki Langkas memang cukup besar. Di situ juga ada beberapa buah bangku panjang dari bambu.
“Maaf, tadi aku mengejutkanmu,” ucap Intan.
“Ah, tidak...,” sahut Rangga seraya tersenyum, membalas senyuman manis gadis itu.
“Aku juga tadi menyebutmu Kakang. Boleh...?”
“Sama sekali aku tidak keberatan. Aku senang kalau kau mau memanggilku begitu,” sambut Rangga terbuka.
“Terima kasih,” ucap Intan seraya tersenyum.
Begitu manis senyumnya. Tapi Rangga tidak sempat lagi memperhatikan. Pandangannya sudah tertuju lurus ke depan, memperhatikan kupu-kupu yang bermain-main di antara kelopak bunga. Intan juga mengarahkan pandangan ke sana. Entah, kenapa dia jadi tersenyum sendiri.
“Aku dengar, kau sempat bertarung melawan Malaikat Pencabut Nyawa. Benar, Kakang...?” ujar Intan lagi, setelah beberapa saat terdiam.
Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
“Seperti apa rupanya? Apakah wajahnya mengerikan seperti setan, Kakang...?” tanya Intan lagi.
“Tampan, seperti bayi yang baru lahir dan tidak punya dosa sama sekali,” sahut Rangga seadanya.
“Kepandaiannya juga tinggi?” tanya Intan lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
“Aku jadi penasaran. Seperti apa sih dia...,” desis Intan seperti bicara pada diri sendiri.
“Kau akan tahu nanti, kalau dia sudah tertangkap,” sahut Rangga pelan.
“Justru itu, Kakang. Aku ingin tanganku sendiri yang menangkapnya. Bahkan kalau perlu memenggal kepalanya, untuk membayar nyawa paman-pamanku,” agak terdengar geram nada suara Intan.
“Dia bukan orang sembarangan, Intan. Kepandaiannya sangat tinggi. Aku sendiri tidak yakin, apakah mampu menghadapinya atau tidak. Bahkan mereka yang menjadi korbannya, bukanlah orang-orang sembarangan. Kepandaian mereka sangat tinggi. Dengan demikian dia pasti memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi lagi daripada para korbannya,” kata Rangga mencoba menjelaskan keadaan sebenarnya yang sedang terjadi.
“Setinggi apa pun tingkat kepandaiannya, pasti ada kelemahannya juga, Kakang.”
“Yahhh, memang...,” sahut Rangga mendesah.
“Hm...,” Intan menggumam kecil.
Rangga kini terdiam. Pandangannya terus tertuju ke depan. Gadis yang duduk di sebelahnya juga membisu. Dipandanginya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Entah kenapa, jantungnya jadi berdetak kencang begitu bertemu pandang, setelah Rangga berpaling. Intan buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan tidak sanggup menerima sorotan mata Pendekar Rajawali Sakti yang sebenarnya terasa begitu lembut. Tapi hal itu justru membuat jantungnya berdetak kencang tak terkendalikan.
“Kakang! Tadi kau mengatakan kalau perbuatannya dilandasi rasa balas dendam. Aku juga berpikir begitu,” kata Intan, untuk menghilangkan gemuruh di dadanya.
“Ini baru dugaan saja, Intan.”
“Tapi ayah tidak mau menerima, Kakang. Aku sudah mengatakannya, malah ayah membentakku dan mengatakan kalau ini bukan urusanku.”
“Ayahmu benar, Intan. Memang sebaiknya kau jangan ikut campur dalam persoalan ini. Tapi....”
“Tapi kenapa, Kakang?”
“Kira-kira, apa yang membuat rasa dendam pada dirinya...?” suara Rangga terdengar menggumam, seperti bertanya pada diri sendiri. Intan hanya membisu saja. Dia sendiri tidak tahu, apa yang menjadi pangkal semua persoalan ini. Sedangkan dia sendiri belum tahu, seperti apa orang yang berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa yang telah menggemparkan Desa Granggang ini, hingga terus-menerus dicekam rasa ketakutan.
“Aku tahu jawabannya, Kakang...!” sentak Intan tiba-tiba.
“Oh, ya...?!” Rangga jadi tersentak kaget. “Apa...?”
“Jawabannya ada pada Ki Anjir.”
“Heh...?! Kenapa begitu?”
“Tanyakan saja padanya, Kakang. Aku yakin, Ki Anjir pasti lebih tahu.”
“Hm....”
Rangga melihat kalau Intan mempunyai otak cerdas. Gadis itu seperti bisa melihat sesuatu yang tidak pernah terpikirkan orang lain. Dan pembicaraannya bersama Intan sore ini di halaman belakang rumahnya, membuat Rangga jadi berpikir keras. Sedangkan Intan sendiri kelihatan tersenyum-senyum, seperti sedang menguji kecerdasan otak Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau sama saja seperti ayah, Kakang. Terlalu memusatkan perhatian pada si Malaikat Pencabut Nyawa, tapi tidak mau melirik sedikit pada hal-hal yang kelihatannya kecil. Padahal, dari sesuatu yang kecil itu bisa didapat yang lebih besar lagi,” kata Intan seperti mengejek.
“Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu, Intan,” ujar Rangga berterus-terang.
“Sungguh...?” Intan seperti bermain-main.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Pendekar Rajawali Sakti memang benar-benar tidak mengerti semua yang dikatakan gadis itu. Kata-ka-tanya seperti tengah memberi persoalan baru yang tidak kalah rumitnya. Dan Intan malah tersenyum lebar, namun begitu manis.
“Katakan, Intan. Apa maksudmu...?” pinta Rangga.
“Heran.... Padahal, Ki Anjir mengatakannya di depanmu dan yang lainnya. Juga, ayah. Tapi, kenapa tidak ada yang bisa memahami...? Sedangkan aku yang hanya mendengar dari cerita Paman Adong saja, sudah bisa tahu,” ujar Intan masih bermain-main.
“Apa yang dikatakan Ki Anjir?” tanya Rangga ingin tahu.
“Kau tidak ingat apa yang dikatakannya, Kakang...?”
Rangga menggelengkan kepala saja.
“Waktu pertama kali ayah menemuimu dan Ki Anjir di perbatasan desa, dan setelah kau berada di sini bersama Ki Anjir. Pasti kau ingat, apa yang dikatakannya,” kata Intan lagi.
Rangga terdiam merenung. Keningnya terlihat berkerut cukup dalam, berusaha mengingat-ingat perkataan Ki Anjir, dan yang sudah didengarnya. Sesat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam wajah Intan. Maka gadis itu jadi tersipu, dan cepat-cepat memalingkan wajahnya yang tiba-tiba saja jadi memerah. Saat itu terdengar suara ayunan langkah kaki yang ringan sekali. Rangga memalingkan wajah perlahan-lahan, dan segera berdiri begitu melihat Ki Langkas datang menghampiri bersama Ki Anjir dan Pandan Wangi. Rangga juga cepat-cepat berdiri, setelah mengetahui ada yang datang.
“Kakang, Ki Anjir sudah menemukan tempat persembunyian si Malaikat Pencabut Nyawa,” kata Pandan Wangi langsung memberi tahu, begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
“Oh, ya...? Di mana...?” tanya Rangga agak terkejut.
“Sebelah timur dari desa ini. Adanya di dalam hutan, masuk ke dalam lembah kecil,” sahut Ki Anjir.
“Hm, lalu...?"
“Aku akan segera ke sana. Julak masih ada di sana mengawasi,” sahut Ki Anjir lagi.
“Tapi aku mengusulkan agar kita pergi bersama-sama, Kakang,” selak Pandan Wangi.
“Hm, ya.... Memang itu lebih bagus lagi,” sahut Rangga langsung menyetujui.
“Aku ikut..!” selak Intan cepat.
“Tidak! “ sentak Ki Langkas langsung tegas.
Intan langsung memberengut. Gadis itu tidak bisa lagi memaksa, melihat raut wajah ayahnya agak memerah dan kedua bola matanya mendelik, seperti hendak melesat keluar. Dia tahu, kalau raut wajah ayahnya sudah seperti itu, tidak mungkin lagi bisa didesak. Walaupun, dengan sikap dan rayuan manja.
“Sudah sore. Sebaiknya segera saja kita berangkat ke sana,” ujar Ki Langkas sambil melirik tajam anak gadisnya.
“Memang itu keinginanku, Ki. Aku khawatir pada Julak,” sahut Ki Anjir.
“Ayolah,” ajak Ki Langkas lagi. Tanpa bicara lagi, mereka bergegas melangkah meninggalkan halaman belakang rumah kepala desa itu.
Tinggallah Intan yang masih tetap berdiri mematung dengan wajah memberengut kesal. Ingin sekali dia ikut, tapi ayahnya sudah tegas-tegas melarang. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, walaupun hatinya begitu kesal.
********************
Matahari terus merayap semakin tenggelam ke arah barat. Cahayanya tidak lagi terik seperti siang tadi. Ki Langkas yang mengikuti Ki Anjir yang berjalan lebih dulu. Mereka sudah cukup jauh meninggalkan Desa Granggang, dan kini menerobos hutan yang cukup lebat.
“Masih jauh tempatnya, Ki?” tanya Pandan Wangi seperti tidak sabar lagi.
“Sebentar lagi,” sahut Ki Anjir. Dan memang, tidak lama mereka berjalan, tibalah di sebuah tempat yang cukup lapang. Pepohonan tidak lagi rapat seperti tadi. Dan di sana Julak sudah menunggu bersama dua orang pemuda yang membawa senjata golok. Mereka langsung menyongsong begitu Ki Anjir datang.
“Dia masih di dalam, Julak?” tanya Ki Anjir langsung.
“Tidak ada yang keluar dari gubuk itu sejak tadi, Ki,” sahut Julak, seraya menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil yang berada di pinggir lembah.
Semua mata langsung mengarah ke gubuk itu. Memang cukup tersembunyi letaknya, karena hampir tertutup batu-batuan yang banyak berserakan di sekitar lembah kecil ini. Dan kelihatanya, tidak terlalu sulit untuk mencapai ke sana, karena hanya menyeberangi lembah yang penuh batu saja. Dan kehadiran mereka juga tidak akan terlihat dari gubuk itu, jika mendekati secara sembunyi-sembunyi dari balik batu-batu besar yang banyak terdapat di sana. Dan diam-diam, Rangga mengamati keadaan sekitar lembah itu.
“Kau tidak salah, Ki?” tanya Rangga seperti ragu-ragu.
“Bukan hanya aku saja yang melihat Malaikat Pencabut Nyawa masuk ke dalam gubuk itu. Mereka juga melihatnya,” sahut Ki Anjir seraya menunjuk Julak dan dua orang pemuda yang bersamanya.
“Benar,” sahut Julak. “Dia masuk ke sana.”
“Dan sampai sekarang, dia belum kelihatan keluar lagi,” sambung seorang pemuda yang berdiri di sebelah kanan Julak.
“Bagaimana, Rangga...?” tanya Ki Langkas.
“Aku akan melihat ke sana,” selak Ki Adong yang sejak dari rumah Ki Langkas tadi diam saja.
Tanpa menunggu jawaban lagi, laki-laki tua berjubah putih yang memang sudah berang terhadap perbuatan si Malaikat Pencabut Nyawa, langsung saja melesat cepat menghampiri gubuk kecil di seberang lembah yang ada di tengah-tengah hutan ini. Gerakannya begitu lincah dan ringan, seperti tidak terpengaruh oleh usianya yang sudah lanjut. Begitu ringannya, sehingga seakan-akan kedua kakinya tidak lagi menjejak bebatuan yang banyak tersebar di lembah ini.
Dan sebentar saja, Ki Adong sudah berada dekat di depan gubuk itu. Sementara yang lain mulai bergerak mendekati perlahan-lahan. Tampak Rangga berjalan paling depan, diikuti Ki Langkas dan Ki Anjir. Sedangkan Pandan Wangi dan yang lain mengikuti dari belakang. Suasana tegang begitu terasa menyelimuti mereka semua. Sementara, Ki Adong sudah berdiri tegak sekitar tiga batang tombak di depan gubuk kecil yang beratapkan daun-daun ilalang kering itu. Tangan kanannya sudah meraba pedangnya, walaupun belum tercabut dari warangka yang tergantung di pinggang.
“Kisanak yang ada di dalam, keluarlah...!” seru Ki Adong dengan suara keras, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
Suara orang tua itu bergema ke seluruh lembah ini. Tapi sedikit pun tidak terdengar jawaban, sampai suara Ki Adong lenyap dari pendengaran. Dan suasana kembali sunyi terbalut ketegangan. Sementara, Rangga sudah berada tidak seberapa jauh lagi di belakang Ki Adong. Ayunan langkah kakinya berhenti diikuti yang lainnya.
“Malaikat Pencabut Nyawa...!” Belum lagi Ki Adong selesai berteriak, tiba-tiba saja....
Wusss...!
“Heh...?!
Upts...!”
Cepat-cepat Ki Adong memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu terlihat secercah cahaya keperakan meluncur cepat ke arahnya. Cahaya keperakan dari sebuah benda kecil berbentuk pisau lewat sedikit di samping tubuh Ki Adong, dan terus meluncur cepat ke belakangnya.
Rangga yang berada tepat di belakang orang tua itu tetap berdiri tegak, tapi tangan kirinya bergerak begitu cepat. Langsung ditangkapnya pisau bercahaya keperakan itu dengan gerakan tangan kirinya yang manis sekali. Kini, pisau yang meluncur deras dari dalam gubuk kecil tadi berhasil ditangkap dua jari tangan kiri Rangga.
“Gila...! Dia langsung main kasar!” dengus Ki Langkas yang sempat terkejut juga tadi.
“Malaikat Pencabut Nyawa...! Keluar kau! Tempat ini sudah terkepung...!” seru Ki Adong lagi, lebih keras suaranya daripada sebelumnya.
Tetap tidak terdengar jawaban sedikit pun juga. Dan beberapa saat suasana kembali sunyi, tanpa ada seorang pun yang bersuara. Bahkan mereka seperti menahan napas. Hanya Rangga saja yang kelihatannya begitu tenang. Beberapa kali diamatinya pisau kecil keperakan yang tadi berhasil ditangkapnya dengan dua jari tangan. Kemudian, dilemparkannya pisau kecil itu tidak jauh darinya.
“Biar aku yang melihat ke dalam, Ki,” pinta Rangga.
Ki Adong berpaling ke belakang sedikit. Ditatapnya Ki Langkas. Kemudian kakinya bergeser ke kanan beberapa langkah, setelah melihat anggukan kepala Ki Langkas. Rangga langsung saja melangkah ke depan, sampai melewati laki-laki tua berjubah putih yang menyandang sebilah pedang di pinggang.
Rangga terus berjalan perlahan-lahan. Ayunan kakinya ringan sekali, seakan-akan berjalan di atas permukaan tanah berbatu ini. sorot matanya terlihat begitu tajam, memandangi pintu yang tertutup rapat. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi dari pintu gubuk kecil itu.
“Hup!”
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melompat tinggi ke udara. Lalu, dia menukik tajam sekali ke atas atap gubuk kecil, dan dengan manis sekali hinggap di atas atap. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak bersuara saat kedua kakinya menjejak atap yang terbuat dari rumput ilalang kering itu. Tapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya, mendadak saja....
Brusss!
“Heh?! Hup...!”
Rangga jadi terkejut. Begitu tiba-tiba atap yang dipijaknya jebol seperti terhantam sesuatu dari bawah. Cepat tubuhnya melenting ke udara, sehingga tidak sampai terkena bagian atap yang hancur berantakan itu. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah, tepat sekitar lima langkah lagi di depan pintu gubuk kecil itu.
“Hhh...!” Baru saja Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan nafasnya, mendadak....
Glarrr!
“Heh?! Hup!”
Kembali Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba gubuk di depannya meledak, memperdengarkan suara keras menggelegar. Bahkan tanah yang dipijaknya jadi bergetar bagai diguncang gempa. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang, sambil berputaran beberapa kali. Kepingan-kepingan gubuk yang hancur itu bertebaran di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
ENAM
Tampak api menyemburat membubung tinggi ke angkasa, disertai kepulan awan hitam yang begitu tebal seperti jamur. Setelah beberapa kali berputaran di udara, Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan ringan dan indah sekali.
“Huh...!”
Rangga jadi mendengus, melihat gubuk itu sudah hancur berkeping-keping. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, apa yang menyebabkan gubuk itu jadi hancur. Untung saja tubuhnya cepat melesat ke belakang, sehingga tidak sampai terkena pecahan gubuk itu.
Bukan hanya Rangga saja yang terkejut, tapi juga mereka yang berada cukup jauh dari situ juga tersentak kaget. Mereka langsung berlarian menghampiri pemuda yang selalu mengenakan berbaju rompi putih ini.
“Apa yang terjadi, Rangga?” tanya Ki Langkas langsung, begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
“Entahlah...,” sahut Rangga agak mendesah. “Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja gubuk itu hancur.”
“Aneh,” desis Pandan Wangi agak menggumam.
Sementara itu, Ki Anjir dan Ki Adong sudah berada dekat dengan puing-puing reruntuhan gubuk itu. Mereka tampaknya seperti tengah mencari sesuatu di sana.
“Ke sini cepat..!” Tiba-tiba saja Ki Anjir berseru keras, sambil melambaikan tangan.
Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Langkas bergegas menghampiri, diikuti Julak dan dua orang pemuda dari Desa Granggang. Sebentar saja, mereka sudah sampai di dekat Ki Anjir berdiri.
“Lihat...” Ki Anjir menunjuk ke depan. Tampak sebuah lempengan besi baja berbentuk bulat tergeletak di tanah, hampir tertutup kayu-kayu reruntuhan gubuk ini.
Rangga bergegas menghampiri, dan menyingkirkan kayu-kayu itu dengan kakinya. Dan setelah seluruh lempengan besi baja hitam itu terlihat tubuhnya kemudian membungkuk. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mulai mengangkat lempengan besi baja hitam berbentuk bundar yang ukurannya cukup besar juga. Dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna, sedikit demi sedikit lempengan besi baja hitam itu bisa digesernya.
Tampak di balik lempengan besi baja hitam itu terdapat sebuah lubang yang cukup dimasuki satu orang. Dan lubang itu kelihatannya memiliki tangga yang terbuat dari batu. Sebentar Rangga melirik yang lainnya, kemudian melangkah masuk ke dalam lubang itu. Pandan Wangi bergegas mengikuti dari belakang, disusul Ki Langkas, Ki Anjir, Ki Adong, Julak, dan dua orang pemuda dari Desa Granggang. Sebentar saja, mereka semua sudah berada di dalam lubang bawah tanah itu.
“Hati-hati, jalannya licin,” ujar Rangga memperingatkan.
Ternyata, lubang ini cukup dalam juga. Dan dari tangga-tangga batu yang dipijak, bisa dipastikan kalau bentuk lubang ini melingkar Semakin jauh masuk ke dalam, keadaannya semakin bertambah gelap. Hingga akhirnya, mereka tidak bisa melihat apa pun jua. Tapi, tidak demikian halnya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung menggunakan aji ‘Tatar Netra’, sehingga bisa melihat jelas sekali, walaupun keadaan di dalam lubang yang seperti goa ini begitu gelap.
Mereka terus berjalan perlahan-lahan meniti anak-anak tangga yang terus turun ke bawah dan berputar. Sesekali Rangga menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang tertinggal seorang pun juga. Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan di depan sambil tetap mengerahkan aji ‘Tatar Netra’, dan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’.
Begitu hati-hati sikapnya. Dia khawatir, lubang ini memiliki jebakan-jebakan yang bisa saja mencelakakan mereka semua. Mereka terus bergerak tanpa ada yang bersuara sedikit pun juga. Hingga tarikan napas saja yang bisa terdengar jelas sekali. Dan setelah cukup lama berjalan, akhirnya Rangga berhenti.
“Kenapa berhenti, Kakang?” tanya Pandan Wangi, ketika hampir menabrak Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja, Rangga cepat merentangkan tangannya ke belakang, sehingga menyentuh bagian dada Pandan Wangi yang membusung indah.
“Kau tunggu dulu di sini. Juga yang lain,” kata Rangga meminta.
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja. Rangga segera melangkah maju, dengan sikap masih terlihat hati-hati sekali. Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna dikerahkan, hingga ayunan langkah kakinya tidak terdengar sedikit pun juga.
Setelah melewati satu belokan, akhirnya Pendekar Rajawali Sakti tiba di sebuah ruangan yang sangat luas dan terang-benderang. Bagian atas ruangan itu terbuka lebar, sehingga cahaya matahari leluasa menerobos masuk ke dalam ruangan ini. Tidak ada yang bisa didapat, selain ruangan luas yang dinding-dindingnya terbuat dari tanah bercampur batu. Sedikit Rangga mendongakkan kepala ke atas. Cukup tinggi juga untuk mencapai ke atas sana, karena dibutuhkan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang lumayan.
“Ke sini kalian...!” seru Rangga keras.
Suara Pendekar Rajawali Sakti yang keras, menggema hingga hampir menggetarkan seluruh dinding-dinding ruangan ini. Kembali Rangga mengedarkan pandang ke sekeliling, memeriksa kalau-kalau ada sesuatu di ruangan ini. Tapi, tak juga ditemukan apa-apa. Ruangan berbentuk lingkaran luas ini benar-benar kosong, seperti sebuah dasar kawah. Dan saat itu, Pandan Wangi serta yang lain sudah sampai. Mereka tampak terheran-heran begitu menyadari berada dalam sebuah ruangan luas seperti dasar kawah.
“Di mana ini...? Seperti berada dalam lubang kawah,” ujar Pandan Wangi seperti untuk diri sendiri.
Mereka semua mengedarkan pandangan ke sekeliling. Jelas, tidak ada satu pun jalan keluar. Dan satu-satunya jalan, hanya melompati bagian atas bibir kawah ini. Dan di saat mereka semua mendongakkan kepala ke atas, saat itu juga terlihat seorang pemuda berbaju putih keperakan tengah berdiri tegak di pinggiran bibir lubang besar bagai lubang kawah ini.
“Malaikat Pencabut Nyawa...,” desis Ki Anjir langsung mengenali.
“Ha ha ha...! Mampuslah kalian semua...!”
Terdengar keras sekali suara pemuda berbaju putih keperakan yang dikenali sebagai si Malaikat Pencabut Nyawa itu. Sikapnya begitu pongah. Kedua tangannya berkacak pinggang. Senyumnya terkembang lebar dan sinar matanya memancarkan kepuasan. Seakan-akan dia berhasil menjebak mereka yang berada di bawah lubang yang sangat lebar ini.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Malaikat Pencabut Nyawa menghentakkan tangan kanannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari telapak tangannya meluncur secercah cahaya putih keperakan yang langsung menghantam bagian dinding lubang ini.
Glarrr...!
Ledakan keras seketika terdengar bersamaan dengan hancurnya dinding lubang ini. Tampak batu-batu berguguran. Dan dari bekas hantaman pukulan jarak jauh itu, terlihat cairan merah kental yang mengeluarkan api.
“Lahar...!” desis Ki Langkas tersentak kaget setengah mati.
Bukan hanya Ki Anjir saja yang terkejut, tapi yang lain juga jadi tersentak begitu menyadari dari bagian dinding yang dijebol tadi keluar cairan lahar. Sungguh mereka baru menyadari kalau saat ini berada di bagian lubang kawah anak Gunung Granggang.
Sementara itu, Malaikat Pencabut Nyawa semakin congkak memperhatikan lahar yang terus bergerak turun. Sedangkan mereka yang berada di bawah lubang kawah ini bergegas menepi menjauhi lahar itu.
“Ha ha ha...!”
Sambil memperdengarkan tawa yang keras menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa cepat sekali melesat pergi. Dalam sekejap mata saja, pemuda itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara di dalam lubang, tidak ada seorang pun yang bisa lagi berbuat sesuatu, cairan lahar itu terus merambat semakin dekat.
“Kalian semua cepat naik ke atas batu itu...!” seru Rangga tiba-tiba, sambil menunjuk ke sebongkah batu yang cukup besar, berada agak ke tepi dari lubang kawah ini.
Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka semua bergegas berlompatan naik ke atas batu itu. Sementara, Rangga masih tetap berdiri pada tempatnya.
“Rangga! Kenapa kau masih di situ...?” teriak Ki Langkas.
Namun Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak mendengar teriakan kepala desa tadi. Dia tetap berdiri tegak, memandangi lahar yang terus bergerak menyemburkan api dan asap berbau belerang. Lahar itu terus merayap, bergerak perlahan-lahan semakin mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebentar kemudian, terlihat pemuda berbaju rompi putih itu mendongakkan kepala ke atas.
“Tidak ada jalan lain. Hanya Rajawali Putih yang bisa mengeluarkan kita semuanya dari sini...,” gumam Rangga perlahan. Saat itu juga....
“Suiiit...!”
Dari bibir Rangga yang membentuk bulatan kecil itu terdengar siulan yang sangat nyaring melengking tinggi. Nadanya terdengar begitu aneh, tapi sama sekali tidak menyakitkan telinga yang mendengarnya. Tindakan Pendekar Rajawali Sakti tentu saja tidak dapat dimengerti. Hanya Pandan Wangi saja yang tahu kalau Rangga sedang memanggil Rajawali Putih, seekor burung rajawali raksasa yang berbulu putih keperakan.
Cukup lama juga Rangga menunggu, tapi Rajawali Putih belum juga kelihatan bayangannya. Sementara, lahar yang keluar dari dalam lubang di dinding itu semakin dekat saja ke arah pemuda ini. Sementara bau belereng sudah menguasai seluruh lubang sumur ini. Begitu menyesakkan, membuat pernapasan jadi tersengal.
“Suiiit..!”
Kembali Rangga bersiul nyaring. Dan kali ini, siulannya terdengar lebih panjang dan lebih nyaring. Kepala Pendekar Rajawali Sakti terdongak ke atas menatap langit yang mulai menghitam kelam. Saat itu, memang malam sudah datang menyelimuti sebagian permukaan bumi ini.
“Khraaagkh...!”
“Oh...?!”
“Heh, suara apa itu...?!”
Hanya Pandan Wangi saja yang kelihatan tidak terkejut, dan tenang sekali mendengar suara keras dan serak tadi. Sementara, Rangga cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala.
“Cepat pindahkan mereka ke atas, Rajawali...!” seru Rangga keras menggelegar.
“Khraaagkh...!”
Bersamaan terdengarnya suara keras menggelegar dan serak itu, tiba-tiba saja bertiup hembusan angin yang begitu kencang. Lalu, disusul terlihatnya sebuah bayangan putih keperakan berkelebat begitu cepat. Dari angkasa. Dan belum lagi mereka bisa menghilangkan rasa keterkejutannya, tahu-tahu....
“Akh?!”
“Aaakh...!”
Tiba-tiba saja Julak dan Ki Langkas memekik keras.
“Hei...?! Ki Anjir jadi terkejut setengah mati.
Tapi belum juga bisa berbuat sesuatu. Julak dan Ki Langkas sudah lenyap tanpa dapat diketahui lagi. Namun sebentar kemudian, kembali orang tua itu jadi tersentak kaget Dua orang pemuda yang tadi bersama Julak tiba-tiba juga lenyap, bersamaan kelebatan bayangan putih keperakan yang melesat secepat kilat
“Ada apa ini...?” tanya Ki Anjir tidak mengerti.
“Sahabat Kakang Rangga sedang menyelamatkan kita semua, Ki,” jelas Pandan Wangi.
“Maksudmu...?”
Belum lagi pertanyaan Ki Anjir bisa terjawab, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih keperakan meluncur deras dari angkasa. Dan belum juga laki-laki tua itu bisa menghilangkan keterkejutannya, mendadak saja terasa ada sesuatu yang mencengkeram kuat tubuhnya. Lalu, begitu cepat tubuhnya terangkat naik ke angkasa bersama Ki Adong. Ki Anjir dan Ki Adong sampai menjerit. Namun begitu jeritannya menghilang, bayangan putih keperakan Itu kembali meluncur turun. Dan tahu-tahu...
“Khragkh!”
“Hup!”
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga cepat melesat naik ke atas punggung rajawali raksasa itu. Pandan Wangi yang sejak tadi masih berdiri saja di atas batu, juga segera melompat naik tanpa disuruh lagi.
“Khraaagkh...!”
Wusss!
Hanya sekali kepak saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa dengan kecepatan bagai kilat. Dalam sekejap mata saja, burung rajawali raksasa itu sudah keluar dari dalam lubang kawah ini. Rajawali Putih terus melambung tinggi ke angkasa membawa dua pendekar muda dari Karang Setra itu.
Sementara cakarnya mencengkeram baju Ki Adong dan Ki Anjir. Tapi tidak berapa lama kemudian, rajawali raksasa itu sudah menukik kembali dengan kecepatan tinggi sekali. Sambil memperdengarkan suara keras dan serak menggelegar, Rajawali Putih mendarat ringan. Kedua sayapnya terkembang lebar ke samping. Sementara cakarnya melepaskan cengkeraman pada baju Ki Adong dan Ki Anjir. Sehingga kedua orang tua itu jatuh tersuruk, namun tidak menimbulkan rasa sakit. Hanya saja, napas mereka jadi turun naik akibat rasa terkejut yang amat sangat.
Rangga dan Pandan Wangi juga segera melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu. Mereka mendarat tepat di depan Ki Langkas, Julak, dan dua orang anak muda yang berdiri terpaku. Mata mereka memandangi, seperti tengah melihat Dewa Wisnu yang baru turun ke bumi dari Swargaloka. Seakan-akan, mereka tengah bermimpi.
Sampai-sampai tidak ada yang menyadari kalau Rangga, Pandan Wangi, Ki Adong, dan Ki Anjir sudah berada begitu dekat. Rangga berpaling sedikit pada Rajawali Putih yang masih mendekam tidak seberapa jauh di belakangnya. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu mengkirik perlahan.
“Pergilah, Rajawali. Terima kasih, atas pertolonganmu pada kami semua,” ucap Rangga.
“Khrrr...!”
“Jangan cemas, Rajawali. Aku tahu, apa yang harus kulakukan,” kata Rangga seperti bisa mengerti.
“Khraaagkh...!”
Setelah memperdengarkan suara yang keras dan serak memekakkan telinga, Rajawali Putih langsung mengepakkan sayapnya yang sangat lebar. Dan sekejap mata saja, burung rajawali raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa, lalu lenyap ditelan gelapnya malam yang sudah menyelimuti seluruh permukaan Gunung Granggang ini.
“Ayo, kita kembali ke desa,” ajak Rangga.
Seperti tidak mempedulikan keheranan mereka semua, Rangga diikuti Pandan Wangi langsung saja melangkah meninggalkan tempat ini, kembali menuju ke Desa Granggang. Sementara, Ki Langkas dan yang lain, masih tetap diam mematung. Seakan-akan, mereka belum tersadar dari mimpi yang membuatnya jadi terlongong bengong seperti itu.
Mereka baru bisa bergerak, setelah Rangga dan Pandan Wangi cukup jauh berjalan meninggalkan mereka. Ki Langkas yang lebih cepat tersadar, bergegas berjalan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian ayunan langkah kakinya disejajarkan di samping pemuda berbaju rompi putih itu. Sementara, Pandan Wangi memperlambat jalannya, hingga bersama-sama yang lain di belakang.
“Kau seperti kebingungan, Ki. Ada yang ingin kau tanyakan, Ki...?” Rangga seperti tahu, apa yang ada dalam benak kepala desa itu.
“Ng..., itu...,” Ki Langkas tidak bisa melanjutkan.
“Rajawali Putih...?” tebak Rangga langsung.
Ki Langkas hanya menganggukkan kepala saja. Sedangkan Rangga tersenyum kecil. Belum banyak orang yang tahu kalau Rangga memiliki sahabat seekor burung rajawali raksasa yang bukan saja menjadi tunggangannya, tapi juga gurunya. Rangga bisa memaklumi kalau Ki Langkas meminta penjelasan tentang Rajawali Putih.
Sementara di belakang, Ki Anjir juga meminta penjelasan tentang Rajawali Putih pada Pandan Wangi. Dan gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu juga hanya tersenyum saja. Dia hanya mengatakan, Rangga saja yang bisa menjelaskan. Gadis itu memang tidak ingin banyak bicara mengenai Rajawali Putih, karena takut kalau salah bicara. Walaupun agak kecewa, tapi Ki Anjir menuruti saja anjuran si Kipas Maut.
Bergegas dihampirinya Rangga yang berjalan di depan bersama Ki Langkas. Kini Pendekar Rajawali Sakti diapit dua orang laki-laki tua di kanan dan kirinya. Dan Rangga tidak bisa lagi mengelak saat didesak untuk menceritakan tentang burung rajawali raksasanya. Namun jelas sekali kalau hatinya merasa canggung menceritakannya. Tapi, itu sudah membuat Ki Langkas dan Ki Anjir jadi kagum. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang bersahabat dengan seekor burung raksasa. Bahkan bisa menungganginya.
“Kau pasti mempunyai julukan di kalangan rimba persilatan, Rangga. Kalau boleh tahu, apa julukanmu...?” Ki Langkas jadi ingin semakin tahu tentang diri anak muda yang kini sangat dikaguminya.
“Apakah itu penting, Ki?” Rangga malah balik bertanya.
“Bagi orang-orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, julukan sangat penting artinya,“ kata Ki Langkas bernada mendesak.
“Ah.... Entahlah, Ki,” desah Rangga merasa sungkan.
“Katakan saja, Rangga. Apa nama julukanmu...?” Ki Anjir ikut mendesak.
Rangga terdiam beberapa saat. Terasa sekali kalau julukannya tidak ingin disebutkan. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau dikatakan ingin menyombongkan diri dengan memperkenalkan julukannya. Baginya, sebuah julukan hanya digunakan orang-orang yang ingin membuat hati lawannya jadi gentar. Tapi Rangga tidak mengingkari, kalau dirinya justru julukannya itu yang lebih dikenal. Dan dia yakin, kedua orang tua ini pasti sudah mendengar julukannya.
Hanya saja, mereka belum pernah saling berjumpa, sehingga tidak bisa mengenali kalau yang dihadapinya sekarang ini Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti adalah pendekar muda yang sangat tangguh dan digdaya, dan selalu menjadi buah bibir di kalangan rimba persilatan. Mereka yang berkecimpung dalam dunia persilatan akan berpikir berulang-ulang kali kalau ingin menghadapinya. Rangga memang sangat disegani. Bukan hanya oleh golongan putih, tapi juga oleh orang-orang golongan hitam.
“Kakang Rangga tidak pernah mau mengatakan julukannya, Ki...,” tiba-tiba saja Pandan Wangi menyelak dari belakang.
Ki Anjir dan Ki Langkas langsung berpaling ke belakang, menatap gadis yang dikenal berjuluk d Kipas Maut itu. Pandan Wangi mempercepat ayunan langkah kakinya, hingga kini berada di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.
“Kakang Rangga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti,” jelas Pandan Wangi.
“Pendekar Rajawali Sakti...?!"
Bukan hanya Ki Anjir yang terkejut, tapi juga Ki Langkas jadi tersentak kaget begitu mengetahui kalau pemuda ini bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mereka yang berjalan di belakang sampai berhenti dan terjingkat. Tidak ada yang menyangka kalau pemuda tampan berbaju rompi putih yang sangat sederhana itu justru seorang pendekar besar yang sudah sangat ternama dan disegani di kalangan rimba persilatan.
********************
TUJUH
Menjelang tengah malam, mereka baru tiba di Desa Granggang. Keadaan desa itu kelihatan sangat sunyi, tidak ada seorang pun terlihat berada di luar rumahnya. Sejak terjadi beberapa pembunuhan yang menewaskan lima orang pemuka desa itu, tidak ada lagi penduduk yang mau keluar dari dalam rumahnya kalau sudah malam. Hingga, keadaan desa itu jadi seperti desa mati yang tidak berpenghuni lagi.
Mereka langsung menuju rumah Ki Langkas yang kelihatan terang-benderang. Tapi, tidak terlihat ada seorang pun di sekitar rumah itu. Keadaan yang sangat sunyi ini, membuat hati Rangga jadi bertanya-tanya. Saat itu juga, timbul satu kecurigaan dalam hatinya.
“Berhenti dulu...,” pinta Rangga, begitu mereka hampir memasuki pintu pagar halaman rumah yang terbuat dari bambu. Mereka langsung berhenti, tanpa membuka suara sedikit pun juga. Di dalam hati masing-masing juga sudah dipenuhi kecurigaan oleh keadaan yang sangat sunyi seperti ini. Saat semua terdiam membisu, tiba-tiba saja Ki Langkas tersentak....
“Mau ke mana, Ki...?!” Rangga langsung mencekal pergelangan tangan kepala desa itu, ketika baru saja hendak melangkah.
“Anakku.... Intan ada di dalam bersama ibunya,” kata Ki Langkas bernada cemas.
“Oh...?!” Rangga jadi tersedak. Baru dia ingat kalau Ki Langkas meninggalkan anak dan istrinya di rumah. Tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cekalan tangannya. Tapi, Ki Langkas hanya memandangi saja, seakan ingin agar pemuda itu melakukan sesuatu.
“Kalian tunggu di sini. Jangan ada yang mendekati rumah,” kata Rangga, tanpa berpaling sedikit pun.
Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melesat mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekap mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada dalam beranda rumah kepala desa itu, tepat di depan pintu yang tertutup rapat.
Perlahan Rangga melangkah mendekati pintu. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menajamkan telinga, mencoba mendengarkan sesuatu dari dalam. Dengan mengerahkan aji Pembeda Gerak dan Suara, dia mendengar tarikan-tarikan napas yang agak memburu dari dalam rumah ini. Sulit untuk bisa menerka, berapa orang yang ada di dalam. Namun dia tahu, di antara tarikan-tarikan napas itu terdengar tarikan napas yang sangat halus, dan hampir saja tidak tertangkap pendengarannya.
“Hm....” Perlahan Rangga menjulurkan tangannya, mendorong pintu yang tertutup rapat itu. Kewaspadaannya semakin meningkat, saat mengetahui kalau pintu itu tidak terkunci. Pintu itu terus didorong perlahan-lahan sampai terbuka lebar. Tapi, tidak terlihat seorang pun di balik pintu ini, kecuali hanya ruangan depan yang cukup luas dan terang-benderang oleh nyala api sebuah pelita yang tergantung di tengah-tengah.
“Intan...,” panggil Rangga dengan suara agak terdengar pelan.
Tidak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Rangga mulai mengayunkan kakinya perlahan-lahan memasuki rumah ini. Tapi baru saja melewati ambang pintu, mendadak saja sesosok tubuh terlihat meluncur deras ke arahnya, dari balik pintu penyekat ruangan depan dengan ruangan tengah ini.
“Hap...!”
Rangga cepat-cepat memiring ke kiri, sehingga sosok tubuh itu tidak sampai menghantam tubuhnya. Sosok tubuh itu langsung menghantam daun pintu yang terbuka hanya setengah. Begitu keras sekali, sehingga daun pintu itu sampai hancur berkeping-keping. Sedangkan sosok tubuh itu langsung jatuh terguling di lantai.
“Heh...?!”
Kelopak mata Rangga jadi terbeliak lebar begitu melihat sosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi. Dan tepat pada bagian tengah kepala dan keningnya tampak terbelah. Darah juga masih mengucur deras sekali, pertanda orang itu belum lagi lama mati. Melihat luka yang menganga lebar dan hampir membelah kepala menjadi dua bagian, Rangga langsung tahu kalau rumah kepala desa ini sudah dikuasai Malaikat Pencabut Nyawa.
Rangga tahu, anak muda yang menggeletak tak bernyawa itu adalah salah seorang penjaga rumah Ki Langkas. Seketika darahnya jadi bergolak mendidih. Perasaannya sudah tidak tahan lagi melihat kekejaman Malaikat Pencabut Nyawa. Dengan wajah memerah menahan kemarahan, Pendekar Rajawali Sakti melangkah mantap melintasi ruangan depan yang cukup luas ini. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, kembali terlihat sesosok tubuh melayang deras ke arahnya.
“Keparat! Hih...!” Rangga jadi mendesis geram, melihat perbuatan si Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti menghindari terjangan tubuh yang sudah tidak bernyawa. Jadi, sudah dua orang dilemparkannya dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
“Hap! Yeaaah...!”
Kemarahannya benar-benar sudah memuncak sampai ujung kepalanya. Tanpa menghiraukan lagi kalau sedang berada di rumah kepala desa, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja menghentakkan kedua tangannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar.
Slap!
Seketika itu juga, dari kedua tangannya yang terkepal meluncur cahaya merah menyala bagai api. Dan cahaya merah itu langsung meluruk deras bagai kilat menerobos pintu penyekat dua ruangan ini. Dan....
Glarrr!
Terdengar ledakan dahsyat, sehingga membuat seluruh dinding rumah ini jadi bergetar bagaikan hendak roboh. Tampak kilatan api menyemburat dari dalam ruangan itu. Rangga cepat melompat ke belakang tiga langkah. Dan pada saat itu juga tubuhnya langsung melesat ke atas menjebol atap, begitu telinganya mendengar desir angin yang sangat halus dari bagian ten-gah rumah ini.
“Hiyaaa...!”
Brak!
Pendekar Rajawali Sakti meluncur cepat bagai kilat keluar dengan menjebol atap. Tepat pada saat itu, sebuah bayangan putih keperakan juga melesa keluar menjebol atap. Tampak dua sosok tubuh melayang di udara secara bersamaan. Dan hampir berbarengan pula, mereka menjejakkan kaki di atas atap rumah kepa-la desa ini.
“Hap!”
Rangga langsung menyilangkan tangan kanannya ke depan dada, begitu melihat di depannya telah berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan. Bajunya putih keperakan yang cukup ketat Wajahnya terlihat cukup tampan, tapi memiliki sorot mata dan senyuman yang memancarkan kekejaman.
Sret!
Cring!
Saat itu juga, pemuda yang tidak lain si Malaikat Pencabut Nyawa itu mencabut pedangnya. Seketika membersitlah cahaya putih keperakan dari pedang itu. Rangga sedikit melangkah ke belakang dua tindak, karena sudah merasakan bagaimana dahsyatnya pedang itu.
“Huh! Rupanya kau masih bisa hidup juga...!” dengus Malaikat Pencabut Nyawa dingin menggetarkan.
“Dewata belum mengizinkan aku mati, sebelum kau pergi ke neraka,” sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
“Phuih! Akan kulihat, sampai di mana kemampuanmu, Setan Keparat!” dengus Malaikat Pencabut Nyawa.
Rangga hanya tersenyum sinis saja. Perlahan kakinya bergeser ke kanan, bersamaan bergeraknya kaki si Malaikat Pencabut Nyawa ke kiri. Jarak mereka hanya sekitar setengah batang tombak saja. Sehingga sorot mata mereka bisa memancar langsung saling menatap, seakan tengah mengukur tingkat kepandaian lawan masing-masing.
“Hap! Yeaaah...!”
Wuk!
Sambil berteriak keras menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa mengebutkan pedangnya ke depan. Rangga mengira kalau lawannya hendak menyerang, hingga cepat menarik kakinya ke belakang satu langkah. Tapi, ternyata si Malaikat Pencabut Nyawa hanya menggertak saja. Dan pada saat Rangga sempat terjebak itu, dengan kecepatan kilat Malaikat Pencabut Nyawa mengebutkan tangan kirinya ke depan. Saat itu juga, dari tangan kirinya mengulur dua buah benda berbentuk pisau kecil berwarna putih keperakan, langsung meluruk deras bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap...!”
Tapi hanya mengegoskan tubuh sedikit saja, Rangga bisa menghindari serangan gelap Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, cepat bagai kilat si Malaikat Pencabut Nyawa sudah melompat sambil mengebutkan pedangnya kearah kepala Pendekar Rajawali Sakti disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Haiiit...!”
Cepat-cepat Rangga menarik kepalanya ke belakang, sehingga tebasan pedang bercahaya keperakan itu tidak sampai membelah kepalanya, dan hanya lewat sedikit saja di depan wajahnya. Rangga segera menarik kakinya ke belakang satu langkah, sebelum si Malaikat Pencabut Nyawa melancarkan serangan lagi.
“Hup! Hiyaaat...!”
Rupanya, Malaikat Pencabut Nyawa tidak sudi lagi memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti itu untuk menyiapkan serangan. Begitu Rangga menarik kakinya selangkah, cepat sekali pedangnya diputar sambil melompat ke depan.
“Hap!”
Rangga segera meliukkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang yang bergerak secara berputar dengan cepat itu. Lalu tubuhnya segera melenting ke udara, tepat di saat si Malaikat Pencabut Nyawa membabatkan pedangnya ke arah kaki.
“Yeaaah...!”
Secepat kilat, Rangga meluruk deras dengan kedua kaki bergerak cepat pula, mengarah ke bagian atas kepala si Malaikat Pencabut Nyawa. Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’.
“Hap! Yeaaah...!”
Bet!
“Hup!”
Rangga cepat-cepat menarik kakinya, begitu Malaikat Pencabut Nyawa memutar pedangnya ke atas kepala. Dan pada saat itu juga, tubuhnya berputar hingga kepalanya berada di bawah, sedangkan kakinya tegak lurus ke atas. Dan seketika itu juga, dilepaskannya satu pukulan dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.
“Hiyaaa...!”
“Ikh...!”
Malaikat Pencabut Nyawa jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, menghindari pukulan yang dilepaskan Rangga tanpa dapat diduga sama sekali.
“Hap!”
Rangga segera menjejakkan kakinya kembali di atas atap rumah Ki Langkas ini, begitu pukulannya tidak mencapai sasaran. Dan pada saat itu juga, tubuhnya direndahkan. Lalu, cepat sekali tangannya menghentak ke depan dengan telapak tangan terkembang lebar.
“Yeaaah...!”
Slap!
“Heh...?! Hup!”
Untuk kedua kalinya, si Malaikat Pencabut Nyawa jadi tersentak mendapat serangan yang begitu cepat. Bergegas tubuhnya miring ke kanan, saat dari telapak tangan Rangga meluncur secercah cahaya merah bagai api. Pendekar Rajawali Sakti memang mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir, sehingga tangannya jadi berwarna merah bagai terbakar.
“Hiyaaat...!”
Begitu terlepas dari maut, Malaikat Pencabut Nyawa segera melenting ke atas. Lalu, sekali tubuhnya meluruk sambil membabatkan pedang ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Bet!
“Haiiit...!”
Rangga cepat-cepat merunduk, hingga tebasan pedang bercahaya keperakan itu hanya lewat sedikit saja di tas kepala. Lalu cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah, tepat di saat si Malaikat Pencabut Nyawa menjejakkan kakinya kembali di atas atap ini.
“Hup! Hiyaaa...!”
Saat itu juga, Malaikat Pencabut Nyawa melesat turun ke bawah dengan gerakan cepat dan ringan sekali. Rangga yang kali ini tidak mau lagi kecolongan, langsung saja melesat mengejar. Dan hampir bersamaan, mereka mendarat di tanah, tepat di tengah-tengah halaman depan rumah kepala desa ini.
Sementara Ki Langkas, Ki Adong, Pandan Wangi, Ki Anjir, dan Julak serta dua orang pemuda sudah berada di dalam halaman rumah kepala desa itu. Tapi, mereka tidak mau mendekati dua pemuda yang sedang berdiri tegak berhadapan dengan sikap hendak bertarung. Sejak tadi, mereka tidak berkedip memperhatikan jalannya pertarungan di atas atap. Dan kini, mereka bisa lebih jelas lagi melihat, setelah kedua pemuda itu sudah berdiri tegak di tanah saling berhadapan.
“Cabut senjatamu, Setan Keparat..!” bentak Malaikat Pencabut Nyawa agak kasar terdengar nada suaranya.
“Hhh! Aku belum perlu menggunakan senjata...,” sambut Rangga dingin.
“Phuih! Jangan menyesal kalau kau mampus tanpa sempat memegang senjata, Keparat!” dengus Malaikat Pencabut Nyawa geram, merasa diremehkan.
Tapi memang diakui oleh Malaikat Pencabut Nyawa, kalau tingkat kepandaian yang dimiliki Rangga sangat tinggi. Hingga, dia mendapat kesulitan menghadapinya. Belum pernah dialami, pertarungan yang sampai lebih dari lima jurus begini. Dan biasanya, lawan-lawannya sudah gentar lebih dahulu sebelum pedangnya dicabut.
Tapi menghadapi Rangga, Malaikat Pencabut Nyawa harus menguras tenaganya. Dan dalam beberapa jurus pertarungan di atas atap tadi, sudah membuat tubuhnya bermandikan keringat. Selagi mereka berdiri saling berhadapan dan bertatapan tajam, tiba-tiba saja terdengar suara yang begitu keras dari arah belakang Pendekar Rajawali Sakti.
“Randataka...!”
“Heh...?!”
Malaikat Pencabut Nyawa tampak terkejut begitu melihat Ki Anjir sudah melangkah menghampiri dengan ayunan kaki lebar-lebar dan cepat. Laki-laki tua itu berhenti tepat di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.
“Kembalikan pedang itu padaku, Randataka. Kau tidak berhak memilikinya. Sadarlah..., semua tindakanmu itu salah. Kau tidak bisa menguasai dunia dengan cara seperti itu,” bujuk Ki Anjir.
“Menyingkirlah, Ki. Jangan ikut campur urusanku...!” agak keras suara Malaikat Pencabut Nyawa yang dipanggil Randataka oleh Ki Anjir tadi.
“Jauh-jauh aku datang hanya untuk bertemu denganmu, Randataka. Aku akan mengajakmu pulang, dan melupakan semua yang telah kau lakukan selama ini. Ingatlah, Randataka. Istrimu menunggu di rumah,” desak Ki Anjir, masih bernada membujuk.
“Jangan coba-coba membujukku, Ki. Pergilah...! Biarkan aku menyelesaikan persoalan dulu. Aku janji, akan menyerahkan pedang ini padamu setelah urusanku selesai di sini,” tolak Randataka.
“Ada urusan apa kau di sini, Randataka?” tanya Ki Anjir jadi ingin tahu.
“Aku sudah bersumpah sejak dulu, Ki. Aku akan membantai mereka semua yang telah menghina seluruh keluargaku. Bahkan menyebabkan ayah ibuku, serta adikku meninggal. Aku akan menagih hutang pada semua orang di desa ini. Dengar itu, Ki. Aku harus menagih hutang nyawa keluargaku...!” keras sekali suara Randataka yang selama ini dikenal berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa.
“Apa sebenarnya yang terjadi, Randataka?” tanya Ki Anjir lagi, meminta penjelasan.
“Tanyakan saja pada orang tua rakus itu!” dengus Randataka sambil menuding Ki Langkas dan Ki Adong yang berdiri berdampingan.
Tampak kedua orang tua itu hanya membisu saja. Mereka seperti tengah bermimpi, begitu Ki Anjir memanggil nama asli si Malaikat Pencabut Nyawa. Seakan-akan, mereka baru tersadar siapa pemuda yang telah membantai lima orang pemuka desa ini serta beberapa penduduk. Bahkan sebelum sampai ke desa ini, Randataka telah membunuh pendekar-pendekar beraliran putih. Bukan hanya dua tiga orang pendekar yang berhasil dikalahkannya, tapi sudah puluhan orang.
“Jangan halangi aku, Ki. Mereka berdua harus mati. Juga, semua orang di desa ini harus mati di tanganku,” agak mendesis suara Randataka.
“Sudah cukup kau menyebarkan kematian, Randataka. Kembalilah..., pulang bersamaku,” kata Ki Anjir tetap membujuk.
“Jangan membuat kesabaranku hilang, Ki. Minggir...!” bentak Randataka kasar.
“Randataka...!”
“Setan...! Hih!”
Bet!
“Awas, Ki...!” seru Rangga.
“Hup!”
Cring!
Wuk!
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Rangga untuk menyelamatkan nyawa Ki Anjir dari tebasan pedang Malaikat Pencabut Nyawa. Maka dengan kecepatan kilat, pedangnya dicabut dan langsung dikebutkan untuk menangkis sabetan pedang Malaikat Pencabut Nyawa.
Trang!
“Ikh...?!”
Randataka jadi terpekik kaget. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, begitu pedangnya membentur pedang Rangga yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan. Sementara, Rangga cepat melompat ke depan untuk melindungi Ki Anjir yang jadi terpaku oleh perbuatan Randataka barusan padanya. Sungguh tidak diduga kalau Randataka bisa begitu tega hendak membunuhnya.
“Menyingkirlah, Ki. Biar dia kulumpuhkan,” kata Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.
“Phuih! Setan Keparat...! Mampus kau. Hiyaaat...!”
Randataka jadi geram setengah mati oleh campur tangannya Pendekar Rajawali Sakti. Sambil memaki dan berteriak lantang menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa melesat cepat bagai kilat sambil membabatkan pedang ke arah dada pemuda berbaju rompi putih itu.
Wuk!
“Haiiit..!”
Bet!
Cepat Rangga mengebutkan pedang, menangkis sabetan pedang Malaikat Pencabut Nyawa.
Trang!
Kembali dua pedang yang berpamor dahsyat berbenturan di depan dada Rangga. Dan pada saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke depan seraya membabatkan pedang ke arah kepala Malaikat Pencabut Nyawa.
“Hiyaaa...!”
Bet!
“Hup! Yeaaah...!”
Wuk!
Randataka cepat-cepat mengebutkan pedangnya ke atas kepala, menangkis sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan. Dan kembali pedang mereka beradu keras, hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah.
“Hup!”
Rangga cepat-cepat melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sementara, Randataka melenting ke belakang dan berputaran tiga kali di udara, sebelum kakinya menjejak tanah lagi.
“Hap!”
Dengan pedang masih tergenggam di tangan kanan, Randataka mulai mengerahkan sebuah ilmu kesaktian. Sementara, Rangga juga sudah menyilangkan pedangnya di depan dada. Lalu, perlahan-lahan telapak tangan kirinya digosokkan pada mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dari gerakannya itu, sudah bisa dipastikan kalau Pendekar Rajawali Sakti tengah mengerahkan sebuah aji kesakitan yang selama ini sukar dicari tandingannya. Aji ‘Cakra Buana Sukma’ yang sangat dahsyat, dan belum pernah ada yang bisa mengalahkannya.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Randataka yang selama ini dikenal berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa menghentakkan pedangnya ke depan. Dan secara bersamaan, tangan kirinya juga dihentakkan. Dan dari mata pedang serta telapak tangan kirinya, seketika itu juga memancar cahaya putih keperakan yang menyilaukan mata. Namun bersamaan dengan itu....
“Aji ‘Cakra Buana Sukma’! Yeaaah...!”
Slap!
Begitu Rangga menghentakkan pedang ke depan, saat itu juga melesat cahaya biru berkilauan yang menggumpal menghambat laju cahaya putih keperakan yang memancar dari pedang dan telapak tangan kiri Malaikat Pencabut Nyawa. Hingga pada titik tengah, kedua cahaya dahsyat itu bertemu. Dan....
Glarrr...!
Satu ledakan dahsyat seketika terdengar bagaikan hendak memecahkan seluruh alam ini. Tampak kilatan api menyambar ke segala arah, disertai kepulan asap putih dan biru membubung tinggi di angkasa. Saat itu juga terlihat Randataka terpental ke belakang sambil memekik keras agak tertahan.
DELAPAN
Sementara, Rangga hanya terdorong sekitar tiga langkah ke belakang. Beberapa kali Randataka berputar di udara, lalu kembali kedua kakinya menjejak tanah. Tapi terlihat tubuhnya sedikit terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya dengan tangan kiri. Tampak darah kental agak kehitaman merembes dari sudut bibir dan lubang hidungnya.
“Phuaaah...!”
Randataka menyemburkan ludah kental yang berwarna agak kehitaman. Beberapa kali kepalanya yang mendadak saja jadi terasa pening digeleng-gelengkan. Dua langkah kakinya berjalan ke depan, tapi ayunannya tidak lagi tegap.
“Keparat..! Kubunuh kau! Hiyaaat...!”
Randataka tidak menghiraukan keadaan dirinya yang sudah terluka akibat mengadu aji kesaktian tadi. Dengan kemarahan menggelegak dalam dada, Malaikat Pencabut Nyawa sudah kembali melompat sambil menghantamkan pedang ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap! Yeaaah...!”
Namun Rangga yang masih mengerahkan aji Cakra Buana Sukma tidak tinggal diam begitu saja. Dengan cepat tangan kirinya yang masih berselimut cahaya biru menggumpal bagai kabut dihentakkan. Maka, cahaya biru itu langsung meluruk deras menyambut serangan Randataka.
Slap!
“Akh...!”
Randataka jadi terpekik, ketika cahaya biru yang memancar dari telapak tangan kiri Rangga menghantam tubuhnya. Dan seketika itu juga, seluruh tubuh Malaikat Pencabut Nyawa terselubung cahaya biru terang yang menyilaukan mata.
“Setaaan...! Akh...!”
Randataka menjerit-jerit dan memaki berang. Tubuhnya menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri dari selubung cahaya biru yang menyelimutinya. Seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan. Tapi semakin kuat mengerahkan tenaga dalamnya, semakin terasa kuat pula tenaganya tersedot keluar. Randataka tampaknya tidak menyadari kalau aji Cakra Buana Sukma yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti justru menghisap kekuatannya sampai habis tak bersisa lagi.
“Yeaaah...! Akh...!”
Randataka terus menggeliatkan tubuhnya sambil berteriak-teriak, mencoba melepaskan diri dari selubung cahaya biru Pendekar Rajawali Sakti. Namun memang sulit baginya untuk bisa keluar. Tenaga dan kekuatannya juga semakin banyak terkuras tanpa dapat dicegah lagi. Semakin keras berusaha, semakin banyak pula kekuatannya yang terhisap.
“Aaakh...!”
Hingga akhirnya Randataka menjerit keras melengking tinggi. Dan pada saat itu juga....
“Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam pedang ke depan. Dan dari ujung mata pedang itu memancar sinar biru yang menggumpal berkilauan, langsung menghantam tubuh Randataka. Dan....
Blarrr...!
Satu ledakan dahsyat seketika terdengar begitu keras menggelegar, membuat tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa. Saat itu juga, terlihat Rangga melompat ke belakang sambil mencabut aji kesaktiannya. Dan pada saat yang bersamaan, terlihat tubuh Randataka meledak hancur hingga menjadi kumpulan debu.
“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.
Cring!
Pendekar Rajawali Sakti kembali memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Saat itu juga, cahaya biru yang membuat sekitarnya jadi terang-benderang bagai siang hari, lenyap seketika setelah pedang pusakanya tersimpan kembali dalam warangka. Tampak sekitar satu setengah batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti, seonggok debu dari tubuh si Malaikat Pencabut Nyawa yang hancur akibat terkena ilmu kesaktian aji Cakra Buana Sukma.
Beberapa saat Rangga masih berdiri tegak, memandangi onggokan debu dari tubuh Randataka. Saat itu, terlihat Pandan Wangi berlari-lari kecil menghampiri, diikuti yang lain. Mereka semua berdiri di depan Pendekar Rajawali Sakti, kecuali Pandan Wangi yang langsung mengambil tempat di sebelah kanannya.
“Terima kasih, Rangga. Kau telah menyelamatkan desa ini dari kehancuran,” ucap Ki Langkas, seraya menjura memberi hormat.
Rangga hanya tersenyum saja sedikit, dengan kepala terangguk kecil membalas salam penghormatan kepala desa itu. Namun sesaat kemudian, perhatiannya beralih pada Ki Anjir yang memandangi onggokan debu dari tubuh Malaikat Pencabut Nyawa. Tampak jelas kalau raut wajah orang tua itu terselimut duka yang sangat dalam.
“Kau tidak melihat ke dalam dulu, Ki...? Aku tadi tidak sempat mengetahui keadaan anak dan istrimu,” Rangga mengingatkan Ki Langkas.
“Oh...?!” Ki Langkas tersentak begitu diingatkan. Bergegas kakinya melangkah masuk ke dalam rumahnya tanpa berbicara lagi, diikuti dua orang pemuda yang memang murid Ki Langkas sendiri.
Sementara, Ki Anjir masih berdiri mematung tidak jauh dari tumpukan debu tubuh Malaikat Pencabut Nyawa. Di sebelahnya, tampak Julak juga berdiri mematung. Tapi, pandangan matanya, justru merayapi wajah Ki Anjir yang kelihatan begitu mendung. Rangga segera melangkah menghampiri orang tua ini. Dan tidak jauh, terlihat Ki Adong hanya memandangi saja, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
“Ki...,” lembut sekali suara Rangga terdengar. Ki Anjir mengangkat wajahnya, dan langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti. “Maaf, aku terpaksa...,” ucap Rangga, terdengar terputus suaranya.
“Aku mengerti, Rangga,” sambut Ki Anjir pelan. “Memang sudah sepantasnya dia menerima ganjarannya.”
“Tapi kelihatannya kau begitu sedih, Ki. Apa hubunganmu dengan Randataka?” tanya Rangga ingin tahu.
“Dia menantuku, Rangga. Juga, murid kesayanganku. Seluruh ilmu yang kumiliki sudah diwarisinya. Bahkan tanpa kuketahui, ilmu-ilmu yang diperolehnya dari sebuah goa yang tidak jauh dari tempat tinggalku dipelajarinya. Aku sendiri tidak tahu, kalau goa itu menyimpan banyak sekali catatan dari ilmu-ilmu kepandaian tingkat tinggi. Dan aku baru tahu, setelah pedang pusaka keturunan leluhurku dicurinya...,” dengan suara pelan dan agak tersendat, Ki Anjir menceritakan.
Rangga mengangguk-angguk beberapa kali. Bisa dipahami, kenapa Ki Anjir jadi kelihatan berduka setelah Randataka yang dikenal berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa tewas jadi debu akibat terkena aji Cakra Buana Sukma tingkat terakhir yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan ternyata, Randataka menantu Ki Anjir. Pantas saja orang tua itu selalu memburunya.
Randataka bukan hanya menantu, tapi juga murid terpandainya. Dan dia pergi, setelah mencuri pedang pusaka milik keluarga orang tua itu. Sebuah pedang perak yang sangat dahsyat pamornya. Bahkan, hampir saja Padang Pusaka Rajawali Sakti tidak dapat menandingi. Tapi, masih ada satu ganjalan dalam hati Pendekar Rajawali Sakti, yang tidak bisa ditahan lagi rasa keingintahuannya.
“Ki! Kau tahu, kenapa Randataka ingin menghancurkan desa ini...? Bahkan sepertinya begitu benci pada para pendekar,” tanya Rangga mengungkapkan rasa penasarannya.
“Entahlah...,” desah Ki Anjir perlahan. “Aku sendiri tidak tahu. Aku bertemu dengannya, waktu berusia sekitar sepuluh tahun. Waktu itu, tubuhnya kurus sekali. Dan hampir saja mati kelaparan. Aku tidak pernah tahu asal-usulnya, namun tidak pernah menanyakan. Selama ini, sikapnya selalu baik. Bahkan begitu penurut. Sedikit pun tidak pernah dia membantah setiap yang kukatakan. Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja perangainya jadi berubah begitu. Padahal, istrinya sekarang ini sedang hamil tua....”
Kembali Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
“Dia berasal dari desa ini, Ki Anjir...,” selak Ki Adong tiba-tiba.
Bukan hanya Ki Anjir yang cepat berpaling, menatap orang tua Pemuka Desa Granggang ini. Tapi, Rangga dan Pandan Wangi juga langsung menatapnya. Ki Adong melangkah beberapa tindak mendekati, dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan Ki Anjir.
“Sebenarnya, dia keturunan orang baik-baik. Orang tuanya petani. Waktu kecil, telah terjadi malapetaka yang membuat seluruh keluarganya tewas...” Ki Adong mulai menceritakan keadaan si Malaikat Pencabut Nyawa.
Sementara Rangga, Pandan Wangi, Ki Anjir, dan Julak hanya diam saja mendengarkan. Memang, Julak sendiri tidak tahu. Dia selama ini ikut bersama Ki Anjir, karena ingin membalas dendam pada Malaikat Pencabut Nyawa itu. Seluruh keluarganya dibantai habis. Padahal, keluarganya adalah dari golongan pendekar. Tapi memang kepandaian yang dimiliki si Malaikat Pencabut Nyawa sangat tinggi, hingga berhasil mengalahkan para pendekar yang ditemui selama perjalanannya ke Desa Granggang.
“Waktu itu, telah terjadi pertarungan antara tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi di sebelah utara Desa Granggang ini. Sedangkan rumah orang tua Randataka, tidak jauh dari tempat pertarungan itu. Entah kenapa, tiba-tiba saja rumah itu terbakar habis. Dan ketika rumah itu terbakar, seluruh keluarga Randataka ada di dalam. Hanya Randataka sendiri yang saat itu berada di luar bersama kami semua, menyaksikan pertarungan antara para pendekar. Randataka berusaha mendekati rumah yang terbakar, namun kami berusaha mencegah demi keselamatan dirinya,” Ki Adong berhenti sebentar.
Sedangkan mereka yang mendengarkan ceritanya tidak mengeluarkan suara sedikit pun juga.
“Sejak peristiwa itu, sikap Randataka jadi berubah. Dia lebih banyak berdiam dan menyendiri. Bahkan sering kali berkelahi dengan teman sebayanya tanpa sebab. Hingga akhirnya, dua orang temannya dibunuh ketika sedang menggembalakan domba. Sejak itu, Randataka tidak pernah lagi terlihat. Kami semua tidak tahu, kalau di dalam hatinya tersimpan dendam yang begitu mendalam. Kematian seluruh keluarganya dianggapnya karena kesalahan kami semua yang tidak melarang para pendekar bertarung di dekat rumahnya. Makanya, dia juga mendendam pada para pendekar yang menyebabkan rumah serta seluruh keluarganya habis terbakar.”
“Aku benar-benar tidak tahu kalau masa lalunya begitu kelam...,” desah Ki Anjir pelan. “Padahal, dia anak baik, rajin, dan penurut. Sungguh tidak kusangka kalau di dalam hatinya tersimpan bara api dendam.”
“Semua sudah terjadi, Ki. Walaupun perbuatannya salah, tapi aku tetap tidak akan menyalahkannya. Semua orang pasti akan berbuat hal yang sama,” ujar Ki Adong bijaksana.
“Ya.... Dendam memang sulit sekali dihilangkan dari dalam hati,” desah Ki Anjir.
Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Dan di saat mereka semua terdiam, muncul Ki Langkas dari dalam rumah. Kepala desa itu langsung menghampiri mereka yang masih berada di halaman depan rumahnya.
“Bagaimana keadaan anak dan istrimu, Ki?” Ki Adong langsung saja melontarkan pertanyaan, begitu Ki Langkas dekat.
“Ketika kutemukan, mereka dalam keadaan terikat. Tapi, tidak apa-apa,” sahut Ki Langkas seraya tersenyum. "Terima kasih, Rangga. Kau telah menyelamatkan nyawa keluargaku. Sedikit saja terlambat, habislah sudah....”
Rangga hanya menyambut dengan senyuman saja. Ki Langkas kemudian mengajak mereka semua masuk ke dalam rumah. Memang tidak ada yang bisa menolak lagi. Sedangkan saat ini, malam sudah begitu jauh menyelimuti seluruh Desa Granggang. Sementara udara di luar juga terasa begitu dingin. Mereka semua kemudian masuk ke dalam rumah kepala desa itu.
S E L E S A I
EPISODE BERIKUTNYA: ASMARA BERNODA DARAH