SATU
BULAN memancar penuh menerangi mayapada dengan cahayanya yang keemasan. Langit kelihatan begitu cerah, bertaburkan ribuan bintang gemerlap. Malam yang begitu indah, sayang sekali kalau tidak dinikmati. Di antara yang menikmatinya adalah sepasang insan duduk yang tengah bersandar saling merapat di bawah pohon rindang, tidak jauh dari tepian sungai yang mengalir bagai membelah Desa Paranggada.
Entah, sudah berapa lama mereka duduk di sana. Di tengah kebisuan sambil memandangi indahnya bulan yang bersinar penuh malam ini. Mereka duduk begitu rapat, hingga tidak ada jarak yang membatasi sedikit pun.
“Sejak tadi kau diam saja, Kakang. Apa yang kau pikirkan...?” tanya gadis yang berada di dalam pelukan seorang pemuda, memecah kebisuan.
Gadis itu mengangkat kepalanya sedikit, sehingga bisa menatap langsung ke wajah tampan kekasihnya. Sementara yang dipandangi hanya diam saja, menatap lurus ke arah bulan yang menggantung indah di langit. Perlahan kepala pemuda itu menoleh, hingga tatapan mata mereka bertemu begitu dekat. Bahkan hembusan napas mereka sampai terasa hangat menerpa kulit wajah.
“Lestari...,” terdengar begitu pelan suara pemuda ini.
“Hm...,” gadis yang dipanggil Lestari hanya menggumam saja.
Dia terus memandangi wajah pemuda kekasihnya ini. Sedangkan yang dipandangi malah menengadah ke atas, menatap bulan yang tetap menggantung di langit bening bertaburkan ribuan bintang.
“Aku hanya mendengar. Entah benar, atau tidak...,” terdengar terputus suara pemuda itu.
“Apa yang kau dengar, Kakang Balika?” tanya Lestari terus memandangi dengan sinar mata berbinar penuh cinta.
“Katanya, kau akan...,” kembali pemuda yang dipanggil Balika tidak meneruskan kata-katanya.
Pemuda itu berpaling. Ditatapnya gadis itu dengan sinar mata sulit diartikan. Sementara Lestari sama sekali tidak mengalihkan pandangannya, sehingga tatapan mata mereka kembali bertemu. Entah, untuk yang ke berapa kali.
“Aku kenapa, Kakang?” tanya Lestari masih belum bisa mengerti.
“Hhh...!” Balika menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Terasa begitu berat tarikan nafasnya. Dengan lembut dan perlahan sekali pelukannya dilepaskan, lalu bangkit berdiri. Kini Balika bersandar pada batang pohon yang cukup besar ini.
Sementara, Lestari masih tetap duduk di bawah pohon itu sambil memandangi tanpa berkedip sedikit pun. Dari raut wajahnya, jelas sekali kalau Lestari tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan pemuda itu. Kata-kata yang terputus dan tidak pernah terselesaikan.
Sementara, Balika terus terdiam membisu sambil menatap lurus ke depan. Entah apa yang tengah menjadi perhatiannya. Hanya kegelapan berselimut cahaya bulan saja, yang ada di sepanjang tatapan matanya.
“Kau ingin mengatakan apa, Kakang? Katakan saja. Jangan ragu,” desak Lestari sambil bangkit berdiri.
Gadis itu langsung saja melingkarkan tangannya ke pinggang Balika itu, dan merebahkan kepalanya di bahu. Sementara Balika masih tetap diam membisu. Kemudian tangannya dilingkarkan ke pundak ramping gadis ini. Kembali mereka terdiam membisu beberapa saat. Terdengar tarikan napas Balika yang terasa begitu berat.
“Lestari, kau tidak marah kalau aku mengatakannya...?” terdengar ragu-ragu nada suara Balika.
“Katakan saja, Kakang. Mengapa harus marah...?” sambut Lestari seraya memberikan senyum manis sekali.
“Terus terang, beberapa hari ini aku selalu gelisah,” kata Balika, mulai terus terang.
“Kenapa?” tanya Lestari ingin tahu.
“Yaaah.... Aku gelisah memikirkanmu, Lestari.”
“Aku...?”
“Beberapa hari ini, aku mendengar berita-berita yang tidak enak mengenai dirimu.”
“Berita apa, Kakang?”
“Kau tidak merasa, Lestari?” Balika balik bertanya.
“Berita apa...?” desak Lestari lagi.
“Hhh...!” lagi-lagi Balika menghembuskan napas berat.
Sementara, Lestari terus sabar menunggu. Sikapnya terlihat begitu tenang, seakan tidak terjadi sesuatu. Padahal, sikap kekasihnya terlihat begitu gundah, seperti ada sesuatu yang sedang dipendamnya dalam-dalam di hati.
********************
Malam terus merayap semakin larut. Sementara, dua anak manusia itu masih tetap berdiri berpelukan di bawah pohon. Padahal, keadaan sekitarnya kelihatan begitu sunyi. Tidak terlihat orang lain lagi di pinggiran Desa Paranggada ini. Begitu sunyi, hanya gerit binatang malam saja yang terdengar. Sedangkan angin yang bertiup pun semakin terasa dingin, seperti akan membekukan tulang. Tapi dua orang itu seperti tidak peduli dengan dinginnya udara malam.
“Lestari...,” terdengar begitu pelan suara Balika.
“Hmmm...,” Lestari hanya menggumam kecil.
“Benar apa yang aku dengar kalau kau akan...,” kembali kata-kata Balika terputus. Kelihatan begitu berat Balika mengatakannya. Sedangkan Lestari masih tetap sabar menunggu, tidak ingin lagi mendesak kekasihnya.
“Kau... kau akan dinikahkan, Lestari...?” Terdengar begitu pelan suara Balika. Bahkan suaranya seperti tenggelam dalam tenggorokannya sendiri.
Sementara Lestari yang mendengar kata-kata bernada berat itu jadi melepaskan pelukannya. Kakinya digeser dua langkah ke belakang, dan berbalik menghadap pemuda ini. Dipandanginya wajah tampan pemuda itu dalam-dalam. Tapi sebentar kemudian...
“Ha ha ha...!”
“Eh...?!” Balika jadi tersentak, begitu tiba-tiba saja Lestari tertawa terbahak-bahak, seakan ada yang lucu pada dirinya. Pemuda itu jadi keheranan sendiri, kenapa tiba-tiba saja Lestari jadi tertawa setelah apa yang selama beberapa hari ini selalu terpendam di dalam dadanya diutarakan.
“Kenapa kau tertawa, Lestari...?” suara Balika terdengar agak tersedak.
Lestari terus saja tertawa terpingkal-pingkal, sampai memegangi perutnya sendiri. Dan Balika jadi se-makin keheranan tidak mengerti. Namun tidak berapa lama kemudian, tawa gadis itu terhenti. Sementara tangannya terus memegangi perut yang mendadak saja jadi terasa sakit.
“Kau sama saja seperti yang lain, Kakang. Mudah percaya dan terpengaruh pada kabar burung. Jadi, percaya kalau kabar itu benar...?” kata Lestari dengan senyum lebar mengembang di bibirnya.
“Semua orang di desa sudah tahu, Lestari. Bagaimana mungkin aku tidak mempercayainya...? Sedangkan yang kudengar, kau akan dinikahkan oleh anak Juragan Merta,” Kata Balika bernada seperti ingin ketegasan.
“Edan...! Siapa yang mengatakan begitu..?” Lestari jadi sewot sendiri.
“Semua orang sudah membicarakan hari pernikahanmu, Lestari. Dan anak Juragan Marta sendiri sudah mengumbar suara, kalau sebentar lagi bakal mempersunting dirimu. Aku dengar sendiri, Lestari. Jelas, ini bukan kabar burung lagi.”
“Huh!” dengus Lestari kesal. Wajah Lestari yang tadi begitu cerah, kini jadi kelihatan kusut menahan kesal. Sebenarnya, kabar seperti itu memang sudah didengarnya. Memang tidak aneh lagi, karena dia putri satu-satunya Kepala Desa Paranggada. Sedangkan Juragan Marta adalah orang terkaya dan terpandang di desa itu. Jadi, sudah barang tentu kabar seperti itu akan cepat sekali tersebar luas. Tapi Lestari jadi heran sendiri, kenapa Balika jadi terpancing oleh berita itu...?
Padahal mereka sudah lama sekali menjalin hubungan. Malah, semua orang di Desa Peranggada juga sudah mengetahui hubungan mereka. Walaupun Balika bukan anak orang kaya, tapi kedua orangtuanya juga tidak bisa dikatakan miskin. Dan memang diakui, harta kekayaan yang dimiliki orangtuanya masih kalah kalau dibanding Juragan Marta. Tapi, sebenarnya bukan harta kekayaan yang diinginkan Lestari. Yang jelas, dia begitu mencintai pemuda ini.
Hanya sayangnya, hubungan mereka tidak disetujui kedua orangtua masing-masing. Entah kenapa? Tidak ada seorang pun yang tahu alasannya. Dan hubungan mereka mendapatkan tantangan sangat berat, tapi tidak pernah dihiraukan. Hanya dengan cara sembunyi-sembunyilah mereka masih tetap bisa bertemu dan memadu kasih. Seperti halnya malam ini. Walaupun sudah begitu larut, mereka belum juga beranjak pulang, seperti tiada lagi malam berikutnya.
“Kau mulai ragu akan cintaku, Kakang...?” ujar Lestari jadi bersungguh-sungguh.
“Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku, Lestari,” tegas Balika menatap.
“Nah! Kenapa percaya pada kabar kosong seperti itu...?”
“Aku tidak tahu, Lestari. Sepertinya, itu bukan hanya kabar kosong belaka. Aku....”
“Ah, sudahlah.... Jangan pikirkan itu lagi, Kakang. Yang penting sekarang, kita harus hadapi bersama. Kita tidak bisa seperti ini terus-menerus. Apa pun yang akan terjadi, aku tetap berada di sampingmu. Percayalah, cintaku tidak akan terbagi untuk orang lain.”
Balika jadi terdiam. Dipandanginya bola mata gadis itu dalam-dalam. Seakan ingin mencari kesungguhan dari kata-kata yang baru saja didengarnya. Dan Lestari sendiri membalas tatapan mata pemuda itu dengan sinar mata penuh cinta. Perlahan Balika melangkah menghampiri, hingga tubuh mereka begitu dekat. Tangan pemuda itu langsung melingkar di pinggang ramping ini. Sementara Lestari membiarkan saja pinggangnya dipeluk erat. Bahkan malah membenamkan tubuhnya ke dalam pelukan pemuda ini.
“Lestari....”
“Kakang....”
Tatapan mata mereka kini terpaut begitu dekat. Dan perlahan namun pasti, kepala Balika bergerak semakin dekat. Malah dengus nafasnya seakan terasa hendak membakar kulit wajah yang putih halus ini. Perlahan-lahan Lestari memejamkan matanya saat merasakan bibirnya tersentuh lembut oleh bibir pemuda itu.
“Ahhh....” Lestari mendesah lirih. Seluruh tubuhnya jadi bergetar saat Balika melumat bibirnya dengan dalam dan lembut sekali. Tubuh mereka menyatu rapat, seakan tidak ingin dilepaskan lagi. Balika terus memagut dan mengulum bibir yang selalu merah menantang. Sementara Lestari hanya bisa mendesah lirih, menikmati kehangatan dari pagutan pemuda yang dicintainya.
“Ah, Kakang...,” desah Lestari begitu Balika melepaskan pagutan di bibirnya.
Gadis itu langsung menyembunyikan wajahnya di dalam dada bidang kekasihnya. Entah kenapa, walaupun bukan sekali ini Balika melumat bibirnya, tapi sikap Lestari selalu saja seperti gadis yang baru pertama kali disentuh laki-laki. Wajahnya jadi memerah, dan seluruh tubuhnya bergetar bagai menggigil kedinginan. Padahal, dalam pelukan Balika terasa begitu hangat, membuat dengus napas pemuda itu jadi memburu cepat.
“Ahhh....” Lestari jadi menggelinjang begitu jari-jari tangan Balika mulai merayap menjelajahi tubuhnya. Matanya pun segera dipejamkan. Sesaat kepalanya jadi terdongak saat jari-jemari tangan Balika mulai menyentuh lembut dadanya yang membusung, terbungkus baju merah muda yang halus dan agak tipis.
“Kakang...,” desah Lestari lirih.
Entah kenapa, sedikit pun Lestari tidak menolak saat Balika membaringkannya di atas rerumputan yang mulai basah tersiram embun ini. Dan malam pun terus merayap semakin larut. Tidak ada seorang pun yang melihat. Hanya bulan dan bintang saja yang berkerut menyaksikan apa yang terjadi di bawahnya.
Lestari tersentak bangun dari tidurnya, saat seluruh tubuhnya terasa tersiram cahaya hangat matahari yang sudah naik tinggi. Tapi, bukan itu yang membuatnya langsung terlonjak bangkit dari pembaringan. Ternyata suara ribu-ribut dari luar rumahnya, membuat gadis itu bergegas bangkit dari pembaringan dan langsung berlari keluar dari dalam kamarnya. Setengah berlari, Lestari langsung menerobos ke ruangan depan rumahnya yang berukuran cukup luas ini.
Tapi baru saja hendak menerobos pintu depan, sebuah tangan halus namun sudah agak berkeriput, cepat mencekal tangannya. Seketika ayunan langkah kakinya berhenti. Begitu kepalanya berpaling, tahu-tahu di sampingnya sudah berdiri seorang wanita berusia lebih dari separo baya.
“Ibu. Ada apa ribut-ribut di luar?” tanya Lestari.
“Kau jangan keluar, Lestari,” cegah wanita tua itu, tanpa menghiraukan pertanyaan anaknya.
“Iya, tapi ada apa...?” desak Lestari.
Tapi wanita tua itu tidak menjawab, sehingga membuat Lestari jadi penasaran. Dengan sekali sentak saja, cekalan tangan ibunya terlepas. Dan gadis itu cepat-cepat menerobos pintu keluar. Tapi baru saja kakinya berada selangkah di ambang pintu, mendadak kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Dan....
“Kakang...!” Seluruh tubuh Lestari jadi bergetar, seakan-akan bumi yang dipijaknya terasa runtuh seketika itu juga. Hampir-hampir tidak dipercayai, apa yang dilihatnya ini. Memang begitu banyak orang berkerumun di depan rumahnya.
Tapi, bukan itu yang menjadi perhatiannya, melainkan sesosok tubuh pemuda yang menggeletak di ujung tangga beranda rumah ini. Tubuhnya terkapar di atas sebuah tandu dari bambu. Dan di samping sosok pemuda yang tergolek itu berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Sebatang tongkat kayu tampak tergenggam di tangan kanannya. Wajahnya kelihatan memerah, dan matanya berapi-api memancar bagai menahan kemarahan yang amat sangat.
Sementara di beranda depan rumah ini, berdiri Ki Rapala. Dialah Kepala Desa Paranggada ini, yang didampingi tidak kurang sepuluh orang pemuda yang semuanya menyandang golok terselip di pinggang.
“Kakang...!” Lestari berseru nyaring sambil berlari, hendak menghambur ke arah pemuda yang menggeletak seperti tidak bernyawa lagi di atas tandu bambu itu. Tapi belum juga sampai, Ki Rapala sudah begitu cepat mencekal pergelangan tangannya.
“Masuk...!” bentak Ki Rapala sambil mendelik.
“Tidak...! Kakang Balika...!” jerit Lestari jadi kalap. Gadis itu memberontak, mencoba melepaskan cekalan tangan ayahnya. Tapi tenaga laki-laki tua itu memang lebih kuat. Sampai seluruh tubuhnya lemas, Lestari tidak bisa juga melepaskan diri dari cekalan laki-laki tua ini.
“Hih!” Tuk!
Tiba-tiba saja, Ki Rapala mendaratkan satu totokan ke bagian atas dada Lestari. Akibatnya, gadis itu seketika terkulai lemas. Ki Rapala langsung memapah dan langsung dibawanya masuk, setelah berpesan pada sepuluh orang pengawalnya agar tetap berada di beranda. Ki Rapala terus melangkah masuk ke dalam rumahnya yang besar ini. Dibaringkannya Lestari di kursi panjang. Sementara, istrinya hanya bisa memandangi dengan wajah kelihatan cemas, tidak tahu apa yang harus diperbuat.
“Biar dia begitu dulu. Aku akan bereskan mereka di luar,” Kata Ki Rapala agak keras suaranya. Istrinya hanya mengangguk saja.
Sementara, Ki Rapala sudah kembali melangkah keluar rumahnya yang besar ini. Kepala desa itu kembali berdiri tegak di beranda depan, dengan tangan kanan sudah menggenggam gagang pedang, walaupun masih tersimpan dalam warangkanya di pinggang.
“Ki Antak! Sebaiknya kau bawa pulang mayat anakmu itu. Jangan membuat malu, sehingga menjadi tontonan seperti ini...!” terdengar lantang sekali suara Ki Rapala.
“Aku tidak akan membawanya pulang, sebelum pembunuh Balika dikeluarkan,” sentak Ki Antak tidak kalah lantangnya.
“Edan...!” desis Ki Rapala menggeram pelan.
“Siapa yang tahu kalau anakmu terbunuh...? Kedatanganmu ke sini, seperti menuduhku, Ki Antak. Tidakkah kau sadar akan tuduhanmu ini...?”
“Semalam Balika tidak pulang. Dan semua orang tahu, Balika semalam bersama anakmu, Lestari. Tidak ada seorang pun yang melihat mereka berpisah. Maka kuminta pertanggungjawabmu, Ki Rapala. Kau sebagai kepala desa, tentu bisa berbuat adil dan bijaksana. Aku ingin pembunuh anakku ditangkap dan dihukum gantung sampai mati!” lantang sekali suara Ki Antak.
“Heh...?! Kau benar-benar keterlaluan, Ki Antak. Kenapa kau jadi menuduh anakku yang membunuh Balika...?!” sentak Ki Rapala jadi terkejut.
“Aku minta sekali lagi, Ki Rapala. Keluarkan pembunuh itu...!”
Ki Rapala jadi berang setengah mati, tapi masih tetap mencoba bertahan dan bersabar menghadapi orang tua yang sedang kalap itu. Memang diakui, kalau semalam secara diam-diam Lestari meninggalkan rumah. Dan dia tahu, anak gadisnya hendak bertemu Balika. Dia juga tahu, Lestari baru pulang ketika sudah lewat tengah malam. Tapi siapa yang tahu, apa yang terjadi setelah mereka berpisah...?
Ki Rapala memang membiarkan saja anaknya menemui Balika semalam. Dia sendiri sudah mendengar kabar yang mengatakan, tidak lama lagi anak gadisnya ini akan menikah dengan putra Juragan Marta. Walaupun itu hanya isapan jempol belaka, tapi diakuinya kalau hatinya senang juga mendengarnya. Itu berarti bisa memisahkan hubungan asmara Lestari dengan Balika.
Dan Ki Rapala semalam berharap, kalau pertemuan mereka semalam adalah untuk yang terakhir. Tapi sungguh tidak disangka kalau siang ini benar-benar terjadi. Ternyata Balika ditemukan sudah tidak bernyawa lagi, berada di tepi sungai yang membelah pinggiran Desa Paranggada ini. Entah apa yang terjadi, tidak ada seorang pun yang tahu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Balika ditemukan tanpa sehelai pakaian pun melekat di tubuhnya.
********************
DUA
Kerumunan orang di depan rumah Ki Rapala baru bubar, setelah mayat Balika dibawa pergi. Meskipun akhirnya Ki Antak mau juga membawa mayat anaknya pulang. Itu pun setelah istrinya datang menyusul dan memaksanya untuk segera membawa pulang mayat anak mereka. Tapi, pada raut wajahnya terlihat jelas rasa ketidakpuasan.
Sebentar saja keadaan di rumah kepala desa itu jadi sunyi. Semua orang yang tadi berkerumun, sudah meninggalkan halaman rumah, ini untuk mengikuti Ki Antak yang membawa mayat anaknya di atas tandu yang digotong empat orang pembantunya. Sementara itu, Ki Rapala langsung menghenyakkan tubuhnya di kursi, begitu Ki Antak dan orang-orang yang mengikutinya sudah tidak terlihat lagi, menghilang di balik tikungan jalan. Dihembuskannya napas panjang yang terasa begitu Serat.
“Huhhh...!”
Saat kepala desa itu memalingkan muka, istrinya terlihat sudah berdiri di ambang pintu. Wanita berusia lebih dari separo baya itu datang menghampiri, Lalu duduk di sebelahnya. Sementara Ki Rapala sendiri segera mengarahkan pandangan ke depan jalan.
“Lestari bagaimana?” tanya Ki Rapala tanpa berpaling sedikitpun, setelah cukup lama berdiam diri.
“Sudah siuman, dan masih berada di kamarnya.”
Ki Rapala tidak bicara lagi. Memang putrinya tadi hanya ditotok sementara saja, agar bisa tenang. Karena saat itu, dia harus menghadapi Ki Antak yang sedang diselimuti amarah. Totokan itu memang ringan dan bisa hilang dengan sendirinya, setelah pingsan beberapa saat. Sehingga, tidak perlu pengerahan hawa murni maupun tenaga dalam untuk membebaskannya. Malah akan menghilang dengan sendirinya.
“Seharusnya kau tidak perlu bersikap seperti tadi. Biarkan saja dia menemui Balika untuk yang terakhir kali...,” keluh Nyi Rapala, seakan menyesali sikap suaminya yang melarang Lestari menemui mayat kekasihnya.
“Apa kau tidak lihat tadi...? Kau tahu, Ki Antak begitu marah. Bahkan bisa saja anak kita dibunuhnya...! Dia telah menuduh kita yang membunuh anaknya,” agak mendengus nada suara Ki Rapala.
Nyi Rapala jadi terdiam. Memang tidak bisa disangkal lagi. Dilihatnya sendiri, betapa marahnya Ki Antak tadi. Bahkan melontarkan tuduhan tanpa bukti nyata. Dan memang, orang yang sedang dilanda kemarahan sangat sulit mengendalikan diri. Di dalam hatinya, Nyi Rapala mengakui tindakan suaminya tadi. Tapi di balik itu semua, kekerasan yang dilakukan suaminya sama sekali tidak disetujuinya. Mestinya, menghadapi Ki Antak haruslah dengan lemah lembut. Bukannya malah dilawan dengan keras juga. Dan itulah yang membuat rumah mereka jadi ramai.
“Panggil Lestari ke sini!” perintah Ki Rapala.
Tanpa menjawab apa pun juga, Nyi Rapala langsung masuk ke dalam meninggalkan suaminya seorang diri di beranda depan. Tapi tidak berapa lama kemudian, perempuan tua itu sudah kembali lagi dengan raut wajah memancarkan kecemasan.
“Mana anak itu...?” tanya Ki Rapala langsung saja.
“Tidak ada...,” sahut Nyi Rapala agak takut.
“Tidak ada..?! Apa maksudmu, Nyi?” bentak Ki Rapala langsung gusar.
“Lestari tidak ada di kamarnya.”
“Apa...?!” Ki Rapala jadi tersentak.
Cepat dia melompat bangkit dari kursinya, dan langsung saja berlari ke dalam. Hampir saja istrinya tertabrak. Untung wanita tua itu cepat menarik diri ke belakang. Sementara, Ki Rapala terus berjalan cepat, dengan ayunan kaki lebar-lebar menuju kamar anak gadisnya. Namun mendadak saja, laki-laki tua itu jadi tertegun begitu sampai di depan pintu kamar Lestari.
Pintu kamar itu terbuka lebar, dan tidak terkunci sama sekali. Sedangkan di dalamnya tidak ada seorang pun. Demikian juga jendela kamarnya yang terbuka lebar. Ki Rapala bergegas masuk ke dalam. Sebentar pandangannya diedarkan ke sekeliling kamar ini, seakan ada yang sedang dicarinya. Lalu dihampirinya jendela, dan berdiri tegak di sana sambil memandang keluar.
“Huh! Anak kurang ajar...! Bikin susah orang tua!” dengus Ki Rapala gusar. Laki-laki tua itu cepat berbalik memutar tubuhnya.
Tapi belum juga melangkah, istrinya sudah berada di ambang pintu. Hanya sejenak saja laki-laki tua kepala desa itu menatap istrinya, kemudian bergegas melangkah keluar tanpa bicara sedikit pun. Tapi baru saja kakinya berada satu langkah di depan pintu, Nyi Rapala sudah mencekal pergelangan tangannya. Terpaksa Ki Rapala menghentikan langkahnya, dan langsung berpaling menatap tajam perempuan tua itu.
“Mau ke mana...?” tanya Nyi Rapala agak sendu terdengar suaranya.
“Huh!” Ki Rapala hanya mendengus saja. Dan sekali sentak, cekalan tangan istrinya sudah terlepas. Langsung kakinya melangkah meninggalkan perempuan tua itu. Sementara, Nyi Rapala hanya diam mematung dengan mata terlihat redup.
Sebentar saja punggung suaminya sudah tidak terlihat lagi. Dan tak lama kemudian, sudah terdengar hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Nyi Rapala tahu, suaminya pergi tidak seorang diri. Itu bisa diduga dari terdengarnya derap kaki ku-da. Memang, paling tidak, ada sekitar sepuluh ekor kuda yang dipacu cepat keluar dari halaman depan rumah ini.
“Hhh...!”
********************
Saat matahari baru saja tenggelam di balik peraduannya, Ki Rapala baru sampai di rumahnya yang berukuran besar dan berhalaman sangat luas ini. Sementara, suasana di desa itu sudah gelap dan sunyi. Tampak kerlip nyala lampu pelita memendar dari setiap rumah di Desa Paranggada ini. Ki Rapala melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya ringan sekali, ketika mendarat tepat di depan tangga bawah beranda rumahnya yang berjumlah tujuh undakan ini.
Seorang pembantunya bergegas mengambil kuda yang ditungganginya, dan membawanya ke belakang. Sementara beberapa pemuda yang tadi ikut dengannya langsung menuju belakang rumah tanpa turun dari kudanya. Tampak jelas wajah mereka begitu lelah dan tebal penuh debu bercampur keringat. Ki Rapala menapaki undakan beranda depan dengan ayunan kaki terlihat lesu.
Namun baru saja kakinya menapak di undakan terakhir, dan kepalanya terangkat, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Di ambang pintu ternyata telah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Baju warna merah yang begitu ketat, hingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Bibirnya yang merah tampak menyunggingkan senyum tipis yang terasa begitu sinis. Bahkan sorot matanya terlihat sangat tajam, menusuk langsung ke bola mata Ki Rapala yang terbeliak lebar bagai sedang berhadapan hantu wanita yang sangat cantik!
“Kau....” Belum lagi habis suara Ki Rapala, tiba-tiba saja gadis cantik berbaju merah itu sudah melesat cepat bagai kilat. Dan saat itu juga, terlihat satu kilatan cahaya keperakan berkelebat begitu cepat ke arah leher laki-laki tua kepala desa ini. Sama sekali tak ada waktu untuk menghindar maupun memapak serangan itu, karena terjadinya begitu cepat. Dan saat berikutnya....
Cras!
“Aaa...!” Jeritan panjang melengking tinggi, saat itu juga terdengar begitu menyayat. Dan begitu sosok tubuh wanita cantik berbaju merah itu lenyap setelah melesat ke atas atap, tubuh Ki Rapala jatuh terguling dari beranda. Dan dengan keras sekali, tubuhnya menghantam tanah. Hanya beberapa saat saja Ki Rapala masih bisa menggelepar, lalu sesaat kemudian seluruh tubuhnya mengejang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Tampak dari lehernya yang terbabat hampir buntung darah mengalir deras sekali.
Jeritan yang sangat panjang dan melengking itu, rupanya terdengar bukan hanya oleh penghuni rumah kepala desa ini. Tapi, para penduduk yang rumahnya berdekatan juga mendengarnya. Hingga dalam waktu sebentar saja, halaman depan rumah kepala desa itu sudah dihuni orang yang hampir semuanya membawa obor. Mereka seketika jadi terperanjat setengah mati, begitu mendapati tubuh kepala desanya terbujur kaku, tanpa nyawa lagi. Yang lebih mengerikan, lehernya terbabat hampir buntung!
Dan saat itu juga, dari dalam rumah keluar Nyi Rapala. Begitu melihat apa yang terjadi, wanita tua itu tidak dapat lagi mengeluarkan suara sedikit pun. Dan dia langsung jatuh tidak sadarkan diri di ambang pintu.
Seorang pekerja wanita rumah itu bergegas memapahnya, seraya minta tolong pada dua orang pemuda yang berada di dekatnya untuk membawa Nyi Rapala ke dalam. Sementara orang-orang yang berkerumun di depan rumah kepala desa itu semakin banyak, membuat keadaan malam yang semula tenang dan sunyi jadi gemerlap oleh cahaya api obor yang dibawa.
********************
Kematian Ki Rapala tentu saja membuat seluruh Desa Paranggada jadi gempar. Terlebih lagi, kematian Ki Rapala begitu mengenaskan. Entah, dengan apa orang itu memenggal leher Ki Rapala. Tapi yang membuat semua orang jadi bertanya-tanya, kematian kepala desa itu bersamaan dengan menghilangnya Lestari, putri tunggalnya.
Sampai tujuh hari kematian Ki Rapala, tidak ada seorang pun yang tahu, di mana gadis itu berada. Padahal, Nyi Rapala sendiri sudah memerintahkan orang-orangnya untuk mencari. Tapi, sampai saat ini gadis itu tidak pernah ketahuan rimbanya. Keadaan itu membuat Nyi Rapala semakin sering menyendiri, hingga akhirnya jatuh sakit. Sudah beberapa tabib mencoba menyembuhkan, tapi penyakit Nyi Rapala semakin bertambah parah saja. Hingga tepat satu purnama setelah kematian suaminya, wanita tua itu kemudian menyusul.
Kini, mendung menyelimuti seluruh angkasa Desa Paranggada. Keadaan Desa Paranggada yang tanpa pemimpin, membuat para pemuka desa harus mencari kepala desa baru. Tapi memang tidak mudah untuk memilih kepala desa yang baik. Padahal sudah beberapa orang yang begitu ingin menjadi kepala desa.
Mereka sudah melakukan berbagai macam cara untuk mempengaruhi penduduk, agar memilihnya menjadi kepala desa. Dan justru hal ini membuat keadaan di desa itu semakin tidak menentu. Keributan-keributan kecil mulai terjadi di mana-mana. Bahkan sampai terjadi beberapa pertarungan. Tapi sampai saat ini, memang belum ada yang menjadi korban. Hingga...
“Ada mayat...!”
“Heh...?!”
“Apa...?!”
Pagi ini, Desa Paranggada kembali digemparkan oleh ditemukannya sesosok mayat, yang menggeletak di pinggir jalan. Mereka berbondong-bondong berlari mendekati sosok tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi, dengan leher terbelah hampir buntung. Darah yang mengalir sudah kelihatan membeku, pertanda kematiannya sudah cukup lama di sana.
“Heh...?! Bukankah itu anaknya Ki Marta...?”
“Benar! Dia anaknya Ki Marta...!”
Keterkejutan penduduk desa itu semakin bertambah, setelah mengetahui kalau laki-laki yang tergeletak di pinggir jalan desa itu ternyata putra Ki Marta, orang yang paling terpandang di Desa Paranggada ini. Setelah mengenali orang yang tergeletak di pinggir jalan itu, tidak ada seorang pun yang berani lagi mendekat. Dan tiba-tiba saja kerumunan orang itu bergerak menyingkir, begitu terdengar bentakan keras dari arah belakang.
Tampak seorang laki-laki setengah baya bertubuh tegap dan terbungkus pakaian biru muda dari bahan sutera halus, tengah berjalan mantap dengan diiringi sekitar enam orang laki-laki berbadan kekar. Semua orang yang berkerumun di situ tahu, laki-laki setengah baya inilah yang bernama Ki Marta. Dia tampak tertegun, begitu melihat putranya tergeletak tidak bernyawa dan menjadi tontonan seluruh penduduk desa di pinggir jalan ini.
Yang lebih mengejutkan lagi, pemuda itu tewas tanpa mengenakan selembar pakaian pun di tubuhnya. Ki Marta segera memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk menutupi tubuh anaknya, dan membawanya pergi dari tempat itu. Sementara itu, tidak ada seorang pun yang berani bersuara.
Dan Ki Marta hanya memandangi orang-orang yang masih berkerumun di sekitarnya. Tampak jelas sekali dari raut wajahnya, kalau laki-laki terpandang ini tengah menahan kemarahan yang amat sangat. Wajahnya kelihatan memerah, dengan bola mata bersinar bagaikan sepasang bola api. Beberapa kali terdengar gerahamnya bergemeletuk, menahan kemarahan. Sedangkan tongkat kayu yang tergenggam di tangan kanannya sudah dihunjamkan cukup dalam ke tanah.
“Siapa yang pertama kali melihat anakku di sini...?” terdengar lantang dan menggelegar suara Ki Marta.
Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat wajah mendengar pertanyaan laki-laki setengah baya yang sangat berpengaruh dan paling kaya di desa itu. Ki Marta kembali memandangi mereka satu persatu dengan geraham bergemeletuk menahan geram.
“Aku, Ki....”
Tiba-tiba terdengar suara agak bergetar, diantara kerumunan orang-orang desa itu. Semua orang langsung mengalihkan pandangan, ke arah datangnya suara. Tampak seorang anak muda berusia sekitar dua puluh dua tahun, melangkah beberapa tindak mendekati Ki Marta. Dari sikapnya, sepertinya dia begitu takut. Seakan-akan, dia sedang berhadapan dengan seorang penuntut yang akan menjatuhkan hukuman mati!
“Kau yang pertama kali melihat?” tanya Ki Marta lagi. Masih bernada geram.
“Be..., benar, Ki,” sahut pemuda itu jadi tergagap.
“Siapa namamu?”
“Kajang.”
“Hanya kau sendiri yang melihat?”
“Tidak, Ki. Ada adikku.”
“Lalu, siapa lagi?”
Pemuda yang tadi mengaku bernama Kajang hanya menggeleng kepala saja. Dan kepalanya terus tertunduk, seakan tidak berani lagi menatap bola mata Ki Marta yang terlihat memerah bagai api. Sementara di belakang Ki Marta, berdiri dua orang laki-laki berbadan tegap berotot dengan golok masing-masing terselip di pinggang.
“Sedang apa kau di sini tadi?” tanya Ki Marta lagi.
“Aku..., aku hendak pergi ke ladang untuk menyabit rumput, Ki. Tapi tidak jadi, karena...,” suara Kajang terputus.
“Hm.... Kau lihat, siapa yang membunuh anakku?” tanya Ki Marta langsung.
Lagi-lagi Kajang menggelengkan kepala, menjawab pertanyaan orang tua itu.
“Hhh...!” Ki Marta menghembuskan nafasnya panjang- panjang. Kembali pandangannya beredar berkeliling.
Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat kepala, membalas pandangan mata laki-laki separo baya ini. Dan mereka semua terdiam, tidak bersuara sedikit pun juga. Sementara, Kajang masih berdiri sekitar lima langkah di depannya. Saat itu, mayat putra Ki Marta sudah dibawa pergi oleh empat orang pengawal laki-laki itu.
“Dengar, semua...! Anakku sudah menjadi korban. Dan bagai siapa saja yang bisa membawa kepala si keparat itu kepadaku, akan kusediakan hadiah seribu keping emas. Dengar itu...!” terdengar lantang sekali suara Ki Marta, sehingga semua orang yang ada di sekitar tempat itu mendengar jelas. Dan setelah berkata begitu, Ki Marta bergegas pergi. Langkah kakinya terlihat lebar dan seperti tergesa-gesa.
Sementara semua orang hanya bisa saling berpandangan saja. Tentu saja mereka tidak hanya terke-ut mendengar kata-kata terakhir yang diucapkan Ki Marta, tapi juga heran. Ternyata orang yang terkaya itu akan memberi hadiah yang sangat besar jumlahnya, hanya untuk membawa kepala pembunuh anaknya. Tapi siapa yang sanggup...?
Sedangkan mereka semua hanya penduduk bisa yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan sedikit pun. Dan yang pasti, pembunuh itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Ini bisa dibuktikan dengan tewasnya Ki Rapala. Dan mereka semua tahu, kepala desa itu memiliki kepandaian tidak rendah. Demikian pula anak Ki Marta yang kepandaiannya tidak seberapa jauh di bawah ayahnya sendiri. Mereka saja bisa tewas. Apa lagi hanya seorang penduduk desa yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa...?
Hadiah yang dijanjikan Ki Marta memang sangat menggiurkan sekali. Tapi tidak ada seorang pun yang mau mengambil bahaya hanya untuk mendapatkan seribu keping emas. Maka, mereka kini bubar begitu saja, seperti tidak menghiraukan hadiah seribu keping emas yang dijanjikan Ki Marta. Sebentar saja, jalan itu sudah sepi dari orang desa yang tadi berkerumun memadatinya. Dan saat itu, terihat dua anak muda berdiri tidak jauh dari jalan.
Mereka tampaknya berlindung dari sengatan sinar matahari di bawah pohon beringin yang cukup rindang. Yang seorang, adalah pemuda berwajah tampan. Bajunya rompi putih dengan sebilah gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul di balik punggungnya. Sedangkan yang berdiri di sebelah kirinya, adalah seorang gadis cantik. Baju berwarna biru muda. Tangannya terus memain-mainkan sebuah kipas berwarna putih keperakan di depan dadanya, seakan hendak mengusir hawa panas yang memang begitu menyengat pagi ini.
TIGA
Entah sudah berapa lama dua anak muda itu berada di sana. Tapi yang jelas, mereka melihat semua yang terjadi barusan. Dan kini mereka terdiam membisu, memandangi tempat putra Ki Marta ditemukan tergeletak sudah tidak bernyawa lagi.
“Kakang. Apakah memang dia yang kita cari...?” terdengar pelan sekali suara gadis cantik berbaju biru muda itu, tanpa berpaling sedikit pun pada pemuda disebelahnya.
“Entahlah, Pandan. Aku jadi ragu-ragu juga,” sahut pemuda berbaju rompi putih itu perlahan.
Gadis cantik yang dipanggil Pandan itu memalingkan mukanya sedikit, menatap wajah tampan di sebelahnya. Dia memang Pandan Wangi, yang dikenal berjuluk si Kipas Maut di kalangan orang-orang persilatan.
Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih yang berdiri di sebelahnya, tidak lain dari Rangga. Dan dia juga dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Kelihatannya, mereka berada di Desa Paranggada ini mempunyai satu tugas. Satu tugas yang tentu saja merupakan tugas sebagai pendekar.
“Kalau memang dia..., hm.... Tindakannya semakin biadab saja, Kakang. Dan ini tentu tidak bisa didiamkan terus-menerus,” ujar Pandan Wangi lagi, masih dengan suara pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
“Jangan terlalu berprasangka, Pandan. Sudah cukup jauh kita mengejar. Dan sampai sekarang, kita belum tahu pasti keberadaannya,” kata Rangga mencoba menyabarkan hati gadis ini.
Pandan Wangi memang cepat sekali naik darah. Apalagi melihat kekejaman terjadi di depan matanya. Sedangkan Rangga, selalu bisa menahan kesabaran. Bahkan harus terlalu sering mendinginkan darah Pandan Wangi yang cepat sekali mendidih.
“Ayo, Pandan. Kita cari kedai dulu. Sejak kemarin kau belum makan, kan...?” ajak Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Mereka kemudian melangkah menghampiri kuda yang ditambatkan tidak jauh dari tempat mereka berdiri di bawah pohon ini. Dua ekor kuda yang bagus dan tegap. Kuda itu tidak ditunggangi, tapi dituntun. Dan mereka terus berjalan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Paranggada ini bagai menjadi dua bagian.
Tidak ada seorang pun yang memperhatikan kedua pendekar dari Karang Setra ini. Semua perhatian orang di Desa Paranggada tengah terpusat pada peristiwa pembunuhan penuh teka-teki yang mengambil tiga korban. Dan semua yang korbannya, tewas dengan leher terbabat hampir buntung.
“Di sebelah sana kelihatannya ada kedai, Kakang,” ujar Pandan Wangi sambil menunjuk ke sebuah tikungan jalan.
“Hm.... Ayolah,” ajak Rangga agak menggumam nada suaranya.
Mereka terus berjalan sambil menuntun kudanya. Dan begitu sampai di tikungan jalan yang ditunjuk Pandan Wangi, mereka memang menemukan sebuah kedai yang tidak begitu besar, namun kelihatan begitu sepi. Kedua pendekar muda itu terus berjalan memasuki halaman kedai. Tampak seorang anak laki-laki berumur sekitar delapan tahun, berlari-lari kecil menghampiri.
“Kudanya, Den...,” ujar bocah itu menawarkan jasanya.
Rangga tersenyum, lalu menyerahkan tali kekang kudanya. Demikian pula Pandan Wangi. Sambil tersenyum riang, bocah yang bertelanjang dada itu menarik dua ekor kuda ini ke bagian samping kedai. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi terus melangkah masuk ke dalam kedai. Seorang perempuan tua bertubuh gemuk segera menyambut dengan senyum mengembang di bibirnya.
“Silakan, Den..., Nini...,” sambut perempuan gemuk itu, ramah.
Sebentar Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling kedai ini. Memang tidak besar, tapi kelihatan bersih sekali. Dan kedai ini sangat sunyi, tanpa seorang pun pengunjung. Rupanya, hanya mereka berdua saja yang datang ke kedai ini. Rangga memilih tempat tidak jauh dari pintu, tempat tadi masuk.
“Sediakan makanan enak, dan minumannya,” pinta Rangga.
“Baik, Den,” sahut perempuan gemuk itu, yang ternyata pemilik kedai ini. Perempuan gemuk itu bergegas melangkah ke bagian belakang kedai ini. Langkah kakinya terlihat terseok, mungkin terlalu berat menahan beban tubuhnya yang begitu gemuk.
Rangga kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan tak berapa lama kemudian, perempuan gemuk itu sudah kembali lagi bersama seorang gadis manis, sambil membawa sebuah baki kayu berukuran cukup besar. Dengan sikap ramah disertai senyuman manis mereka menghidangkan pesanan kedua pendekar muda ini. Rangga hanya memperhatikan saja. Sementara, Pandan Wangi sejak tadi terus mengarahkan pandangan ke jalan.
“Sebentar, Nyi...,” cegah Rangga ketika perempuan gemuk itu hendak meninggalkannya, setelah menghidangkan semua pesanan.
“Ada apa, Den?” tanya perempuan gemuk pemilik kedai ini ramah.
“Boleh bertanya sedikit, Nyi?” lembut sekali nada suara Rangga.
“Silakan, Den....”
“Hm. Apa nama desa ini, Nyi?”
“Desa Paranggada.”
“Ooo..,” Rangga mengangguk-angguk.
“Raden memangnya datang dari mana? Kok, tidak tahu nama desa ini...?” perempuan gemuk itu balik bertanya. Sementara, gadis manis yang tadi menyertainya sudah kembali menghilang ke belakang dan tidak muncul-muncul lagi.
“Kami berdua datang dari jauh, Nyi,” sahut Rangga.
“Kami pengembara yang kebetulan lewat desa ini,” sambung Pandan Wangi yang sudah melahap makanannya, tanpa dipersilakan lagi.
“Ooo.... Jadi, kalian berdua ini pengembara...?”
“Benar, Nyi,” sahut Rangga.
“Wah! Kalau begitu hati-hati, Den,” ujar perempuan gemuk itu.
“Kenapa...?” tanya Pandan Wangi langsung menghentikan makanannya.
“Desa ini sedang gempar, Nini. Apa tadi kalian tidak lihat ada kejadian di ujung jalan sana...?” perempuan gemuk itu menunjuk ke arah jalan, tempat arah kedatangan kedua tamunya ini tadi.
Rangga dan Pandan Wangi jadi saling melemparkan pandangan. “Pembunuhan itu, Nyi...?” ujar Rangga seakan ingin menegaskan.
“Benar, Den. Itu korban yang ketiga. Pertama, anaknya Ki Antak. Kemudian, disusul Ki Rapala, kepala desa ini. Dan yang barusan anak Ki Marta, orang paling kaya dan berpengaruh di desa ini. Dia bisa berbuat apa saja dengan kekayaannya. Tadi Ki Marta juga mengatakan, bahwa akan menyediakan hadiah seribu keping emas bagi siapa saja yang bisa membawa kepala pembunuh itu padanya,” jelas pemilik kedai tanpa diminta.
“Oh! Bisa berbahaya...,” desah Rangga seakan terkejut mendengarnya.
“Benar, Den. Bisa-bisa terjadi pembunuhan- pembunuhan lain. Bisa jadi, orang akan membawa kepala orang lain yang tidak bersalah, hanya untuk mendapatkan hadiah dari Ki Marta,” sambung pemilik kedai itu.
“Terlalu gegabah dia, Kakang,” ujar Pandan Wangi.
“Apa tidak disadari, kalau hadiah begitu besar malah akan memperburuk keadaan...? Hhh! Orang kaya di mana-mana sama. Tak pernah mau memikirkan akibat dan keselamatan orang lain.“
“Celakanya lagi, Nini. Baru tadi Ki Marta mengatakan begitu, sudah ada dua orang yang datang padanya. Dan katanya lagi, mereka akan mencari pembunuh itu,” sambung pemilik kedai ini.
“Siapa mereka, Nyi?” tanya Rangga.
“Wah, tidak tahu.... Kelihatannya mereka bukan orang sini. Memang, tadi mereka makan di sini. Seperti juga Raden dan Nini, mereka juga orang jauh.”
“Laki-laki atau perempuan, Nyi?” tanya Pandan Wangi, seraya melirik Rangga.
“Dua-duanya perempuan. Mereka juga membawa pedang seperti kalian.”
Rangga dan Pandan Wangi tidak bicara lagi. Sementara perempuan gemuk pemilik kedai itu sudah meninggalkan mereka, setelah berpamitan ke belakang. Dan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu kini menikmati makanannya tanpa bicara lagi.
********************
Setelah matahari berada di atas kepala, Rangga baru mengajak Pandan Wangi keluar dari kedai itu. Sedangkan pemilik kedai yang bertubuh gemuk itu mengantarkan sampai kedua pendekar itu naik ke punggung kudanya. Mereka menjalankan kudanya perlahan-lahan, sambil mengamati keadaan Desa Paranggada ini.
Sebentar saja, mereka sudah berada di perbatasan desa itu. Rumah-rumah sudah mulai kelihatan jarang. Dan, udaranya pun terasa lebih segar. Namun baru saja mereka hendak memacu kudanya, mendadak saja....
“Berhenti...!”
Sebuah bentakan keras, seketika membuat kedua pendekar muda itu jadi menghentikan langkah kaki kudanya. Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan biru. Dan tahu-tahu, di depan kuda mereka sudah berdiri seorang laki-laki berusia separo baya. Dan belum lagi kedua pendekar dari Karang Setra itu bisa menghilangkan keterkejutannya, dari balik semak dan pepohonan sudah berlompatan sekitar dua puluh orang yang langsung menghunuskan golok.
“Hm, ada apa ini...?” gumam Rangga pelan, seperti bertanya pada diri sendiri.
“Turun kalian dari kuda...!” bentak laki-laki separo baya yang berbaju biru itu, agak kasar nada suaranya.
“Maaf, Paman. Ada apa ini? Kenapa jalan kami dihadang...?” tanya Rangga mencoba ramah.
“Turun kataku...!” bentak laki-laki separo baya itu, tanpa menghiraukan keramahan Rangga.
Sedikit Rangga mengerutkan keningnya, tapi sebentar kemudian turun juga dari punggung kudanya. Sedangkan Pandan Wangi tetap duduk di atas kuda putihnya. Dan gadis itu baru turun, setelah Rangga memintanya. Seperti tahu akan ada bahaya, kedua ekor kuda itu langsung bergerak menjauh dari tempat semula. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi berdiri berdampingan dengan raut wajah memancarkan ketidakmengertian.
“Siapa kalian?!” tanya orang berbaju biru itu, masih dengan suara agak kasar.
“Aku Rangga. Dan ini adikku, Pandan Wangi. Kami berdua pengembara yang kebetulan lewat di....”
“Cukup...!” bentak orang berbaju biru itu, memutuskan kata-kata Rangga.
Bentakan itu membuat kening Rangga jadi semakin dalam berkerut. Benar-benar tidak dimengerti sikap laki-laki separo baya ini. Tapi melihat tongkat kayu tergenggam di tangan kanan dan caranya muncul tadi, Rangga sudah bisa menduga kalau orang yang berdiri tepat sekitar enam langkah di depannya ini memiliki kepandaian tinggi. Pendekar Rajawali Sakti jadi menduga-duga, apa maksud orang ini menghadangnya.
“Kalian mengaku pengembara. Hhh! Pasti kalian bangsat-bangsat keparat itu!” dengus orang itu kasar.
“Eh, apa katamu...?!” sentak Pandan Wangi langsung marah.
“Kalian tidak perlu mungkir. Aku Ki Marta yang akan memenggal kepala kalian berdua!”
“Tunggu dulu...! Apa maksud semua ini?” tanya Rangga meminta penjelasan.
“Tidak perlu lagi penjelasan, Setan Keparat! Kalian harus mampus sebelum jatuh korban lagi!”
“Heh...?!”
“Serang! Bunuh mereka...!”
Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja Ki Marta sudah berteriak lantang dan menggelegar bernada perintah. Dan seketika itu juga....
“Hiyaaat...!” “Yeaaah...!”
Orang-orang yang sejak tadi sudah menghunus golok dan tinggal menunggu perintah saja, seketika itu juga langsung berlompatan begitu mendengar perintah Ki Marta. Dan ini membuat kedua pendekar muda itu jadi semakin terperanjat. Namun, tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk mencegah.
“Hup!” “Hiyaaa...!”
Satu sambaran golok yang begitu cepat, hampir saja membelah kepala Rangga. Untung saja, Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat merundukkan kepalanya. Sementara, Pandan Wangi cepat melenting ke udara, saat sebilah golok berukuran cukup besar membabat ke arah kakinya. Dan saat itu juga, anak buah Ki Marta sudah merangsek, mengeroyok kedua pendekar ini. Teriakan-teriakan keras terdengar membahana, membuat jantung siapa saja akan berhenti berdetak bila mendengarnya.
Dan tanpa disadari, pertarungan itu diawasi oleh sepasang mata indah di balik sebuah tudung berbentuk bulat dan cukup besar. Sepasang mata itu berada cukup jauh dari tempat pertarungan, tapi cukup jelas untuk menyaksikannya.
Sementara Rangga terpaksa harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun dari segala arah. Digunakannya jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang hanya digunakan untuk menghindari setiap serangan. Dengan jurus ini, orang-orang yang mengeroyoknya jadi terasa sulit untuk mendesak.
Sementara, Pandan Wangi sudah menggunakan senjata Kipas Maut yang sangat terkenal di kalangan persilatan. Tapi gadis itu masih mencoba untuk bisa bersabar. Dan kipasnya hanya digunakan untuk menangkis senjata lawan-lawannya. Namun sesekali dilepaskannya pukulan ringan dengan tangan kiri. Dan itu sudah membuat beberapa lawannya jatuh bangun.
“Pandan! Tinggalkan tempat ini, cepat...!” seru Rangga dalam pertarungannya.
“Tidak...!” sahut Pandan Wangi juga berteriak keras.
“Pergi cepat...!” perintah Rangga lagi.
Pandan Wangi jadi bimbang juga. Sekilas matanya melirik Rangga yang dikeroyok oleh orang-orang yang jumlahnya lebih banyak. Bahkan Ki Marta sendiri sudah terjun menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi walaupun hanya melihat sekilas, Pandan Wangi sudah bisa mengetahui kalau Rangga bisa menguasai keadaan. Jelas sekali terlihat, mereka bukanlah tandingan Pendekar Rajawali Sakti, walaupun jumlahnya cukup banyak. Melihat keadaan yang tidak mengkhawatirkan itu, Pandan Wangi cepat-cepat melenting tinggi ke udara sambil menyambar sebuah ranting di tanah. Dan saat itu juga....
“Hup! Yeaaah...!”
Wuk!
Sambil melemparkan ranting itu, Pandan Wangi melesat cepat melewati kepala beberapa orang pengeroyoknya.
Tuk!
Manis sekali Pandan Wangi menotol ranting yang melayang di udara ini dengan ujung jari kakinya. Dan tubuhnya langsung melenting begitu cepat meninggalkan lawan-lawannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat mereka yang mengeroyoknya jadi terlongong bengong. Dan belum juga ada yang sempat menyadari, Pandan Wangi sudah berada di punggung kudanya lagi. Diambilnya tali kekang Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit masih sempat dilihatnya Rangga yang masih dikeroyok puluhan orang itu.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Kuda putih tunggangan Pandan Wangi langsung melesat cepat begitu digebah keras, tanpa ada seorang pun yang bisa mengejar. Sebentar saja, tempat itu sudah jauh ditinggalkannya. Sementara, Rangga masih terus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang.
“Hup! Hiyaaa...!”
Begitu melihat Pandan Wangi sudah pergi, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke angkasa. Lalu manis sekali kakinya hinggap di atas sebatang dahan pohon yang cukup tinggi.
“Maaf, aku tidak ada waktu untuk bermain- main dengan kalian,” ujar Rangga disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Dan saat itu juga....
“Hup!”
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga hanya bayangan tubuhnya saja yang sempat terlihat berkelebat bagai kilat. Dan dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tidak berbekas lagi.
Kepergian Rangga yang begitu menakjubkan, membuat Ki Marta dan orang-orangnya jadi terlongong bengong. Walaupun tadi mereka menggempur habis-habisan, tapi tidak seorang pun yang bisa menyarangkan serangannya. Dan sebaliknya, tidak seorang pun yang menjadi korban. Keadaan ini membuat Ki Marta jadi termangu sendiri, memandang ke arah kepergian pemuda itu.
“Rangga.... Hm.... Siapa dia sebenarnya...? Ilmunya begitu tinggi. Apakah dia benar bukan si pembunuh keparat itu...?” gumam Ki Marta jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
********************
Sementara itu, Pandan Wangi sudah cukup jauh meninggalkan Desa Paranggada. Lari kudanya baru dihentikan setelah dirasakan cukup jauh. Gadis itu langsung melompat turun dari punggung kudanya, dan berdiri tegak memandang ke arah Desa Paranggada, menunggu Rangga yang tadi ditinggalkannya dalam pertarungan.
“Apa yang kau tunggu, Pandan...?”
“Eh...?!” Pandan Wangi jadi tersentak kaget. Cepat tubuhnya berputar. Dan seketika kedua bola matanya jadi mendelik lebar, begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah duduk di atas sebatang pohon kayu yang tumbang. Entah kapan Pendekar Rajawali Sakti ada di sana, sama sekali Pandan Wangi tidak mendengar suara kedatangannya.
“Setan! Bikin kaget saja...!” dengus Pandan Wangi langsung memberengut.
“Jangan cemberut begitu, Pandan Wangi. Kau tambah cantik kalau....”
“Sudah...!” Pandan Wangi langsung membentak, membuat godaan Rangga jadi terhenti.
Tapi senyuman di bibir Pendekar Rajawali Sakti semakin terlihat melebar. Dan itu membuat Pandan Wangi jadi bersungut-sungut sendiri. Tubuhnya lalu dihempaskan di atas rerumputan, tidak jauh dari pemuda itu. Sementara, Rangga sendiri tetap duduk mencangkung di atas pohon tumbang ini. Beberapa saat mereka jadi terdiam.
“Kau tahu, siapa Ki Marta itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi agak mendengus terdengar nada suaranya.
“Orang tua yang anaknya terbunuh, kan...?” sahut Rangga bernada bertanya.
“Benar,” sahut Pandan Wangi. "Tapi, kenapa kita yang dituduh...?”
“Semua orang tua yang anaknya mati terbunuh tanpa diketahui, pasti akan mencurigai siapa saja yang tidak dikenalnya, Pandan. Kita memang salah, berada di desa itu selagi keadaan tidak mengizinkan,” kata Rangga kalem.
“Tapi jangan main tuduh dan keroyok, Kakang. Seharusnya hal itu bisa ditanyakan baik-baik. Huh! Dasar saja dia yang ingin cari gara-gara!” dengus Pandan Wangi masih merasa kesal.
“Sudahlah, Pandan. Tidak perlu diperpanjang lagi,” ujar Rangga, mencoba meredakan kekesalan hati gadis itu.
“Huh...!” Pandan Wangi kembali mendengus.
Rangga melompat turun dari atas batang pohon kayu tumbang itu. Ringan sekali gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya mendarat di tanah berumput ini. Segera dihampirinya Pandan Wangi dan kembali duduk di depannya. Diraihnya tangan gadis itu, lalu diremasnya dengan hangat. Tapi baru saja tangan gadis itu hendak ditarik ke bibirnya mendadak saja....
“Hmmm....”
“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Ssst..!”
Pandan Wangi langsung diam. Namun belum juga bisa mengetahui apa yang dimaksud Rangga, mendadak....
Wusss...!
“Hup!”
“Ikh...!”
Pandan Wangi jadi terpekik kaget, begitu tiba- tiba saja Rangga mendorong dadanya hingga terpental ke belakang, dan bergulingan beberapa kali. Sementara, Rangga sendiri melesat ke belakang sambil mengebutkan tangannya. Saat itu juga, Pandan Wangi melihat sebuah benda meluncur deras dan langsung mendapat kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Tap!
“Hap!”
Rangga cepat menjejakkan kakinya kembali di tanah. Sementara tangan kanannya kini tergenggam sebatang ranting kering sepanjang jengkal. Sedangkan Pandan Wangi yang juga sudah berdiri, bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
“Hih!”
Namun belum juga Pandan Wangi dekat, Rangga sudah cepat memutar tubuhnya. Dan secepat itu pula, tangan kanannya mengibas ke depan. Maka ranting kering yang tadi ditangkapnya, langsung meluncur deras bagai anak panah lepas dari busur.
Wusss...!
Srak!
Ranting itu menembus sebuah semak belukar. Dan pada saat itu, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat keluar dari dalam semak itu. Dan tahu-tahu, di atas pohon yang berjarak sekitar satu batang tombak dari kedua pendekar muda itu, sudah berdiri seseorang bertubuh ramping terbungkus baju merah menyala. Sayang, wajahnya sulit dikenali karena hampir seluruhnya tertutup sebuah tudung bambu yang cukup lebar di kepalanya.
EMPAT
Tapi dari bentuk tubuh dan bibirnya yang terlihat, bisa dipastikan kalau dia seorang wanita. Dan belum lagi Rangga maupun Pandan Wangi membuka suara, orang berpakaian serba merah menyala itu sudah meluncur turun dari atas pohon. Gerakannya begitu ringan bagai kapas. Dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah, tepat sekitar enam langkah lagi di depan kedua pendekar muda ini.
“Nisanak, siapa kau? Kenapa menyerang kami?” tanya Rangga mencoba ramah.
“Jangan tanya siapa aku! Yang penting, kalian cepat minggat dari sini. Jangan campuri urusanku!” terdengar kasar sekali kata-kata wanita itu.
“Heh...?! Ada apa ini...? Kenapa kau tiba-tiba saja memusuhi kami?” sentak Pandan Wangi tidak senang.
“Aku memang bisa jadi musuh, kalau kalian usil dengan urusan orang lain.”
“Nisanak! Tolong jelaskan, kenapa kau tidak menginginkan kami berdua ada di sini?” pinta Rangga masih mencoba untuk ramah, walaupun mendapat sikap yang bermusuhan.
“Tidak perlu dijelaskan. Sebaiknya kalian cepat pergi, sebelum pikiranku berubah dan memenggal leher kalian berdua!” dengus wanita itu, dingin.
“Kalau aku tidak mau pergi...?” Pandan Wangi langsung saja mengambil sikap menentang.
“Kau akan mati!” desis wanita itu semakin terasa dingin nada suaranya.
“Ha ha ha...!” Entah kenapa, Pandan Wangi jadi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata bernada ancaman itu.
Sementara, Rangga hanya diam saja. Memang, sudah dikenalnya betul akan watak Pandan Wangi. Dan dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin lagi bisa dihalangi. Karena sudah jelas, Pandan Wangi begitu cepat mengambil sikap menantang. Tampaknya pula, wanita berbaju merah yang mengenakan tudung bambu itu termakan tantangan si Kipas Maut. Dia mendengus berat. Dan dari balik tudungnya, jelas sekali kalau tengah menatap Pandan Wangi.
“Sebaiknya kau memang mampus! Hih...!” Cepat sekali wanita berbaju merah itu mengebutkan tangan kanannya. Dan seketika itu juga, dari balik lipatan lengan bajunya melesat cepat beberapa buah benda kecil berbentuk jarum ke arah Pandan Wangi.
“Heh...?! Hup!” Pandan Wangi agak terkesiap juga. Tapi dengan kecepatan mengagumkan, tubuhnya langsung melenting ke atas. Sehingga, jarum-jarum itu hanya lewat di bawah telapak kakinya. Tapi belum juga bisa menguasai diri di udara, mendadak saja wanita berbaju merah itu sudah melesat menyerang si Kipas Maut.
“Hiyaaat..!”
“Tahan...! Hih!” Rangga cepat-cepat bertindak. Langsung dilepaskannya satu sodokan kilat ke arah perut wanita itu. Sehingga, wanita itu harus membatalkan serangan pada Pandan Wangi, dan cepat-cepat memutar tubuhnya di udara untuk menghindari sodokan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
“Ikh...!”
Tap!
Manis sekali wanita itu kembali menjejakkan ka-kinya di tanah. Dan secara bersamaan, Pandan Wangi juga menjejakkan kakinya di samping Rangga.
“Huh! Kalian berdua sama saja! Jangan menyesal kalau hari ini tubuh kalian jadi santapan cacing tanah!” dengus wanita itu dingin, agak bergetar.
Sret!
Cring!
Saat itu juga, wanita bertudung besar ini langsung mencabut pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Tampaknya, sebilah pedang yang kelihatannya biasa saja, tanpa memiliki pamor mengiriskan.
“Hiyaaat...!”
Bet!
Begitu cepat wanita itu melompat sambil membabatkan pedangnya ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap!”
Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga cepat berkelit menghindari serangan wanita ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, arah pedang wanita itu bisa dibelokkan, hingga tertuju ke leher Pandan Wangi. Begitu cepatnya gerakan pedang itu, membuat kipas maut jadi terkesiap sesaat. Tapi dengan cepat sekali, Pandan Wangi mencabut senjata kipasnya, dan langsung dikebutkan ke depan tenggorokannya.
“Akh...!”
“Pandan...!”
Rangga jadi tersentak kaget. Ternyata tubuh Pandan Wangi terpental, ketika kipasnya yang melindungi tenggorokan menghantam pedang wanita bertudung ini. Namun belum juga Rangga bisa bertindak, wanita itu sudah kembali melesat cepat sambil membabatkan pedangnya tepat mengarah ke leher si Kipas Maut. Sementara, saat itu Pandan Wangi tengah terhuyung kehilangan keseimbangan. Dan ini seketika membuat Rangga jadi terkesiap.
“Hup! Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat. Langsung disambarnya tubuh Pandan Wangi, tepat di saat wanita berbaju merah dan bertudung bambu itu membabatkan pedangnya.
Wuk!
Pedang itu ternyata hanya melesat membabat angin. Begitu cepat sekali tindakan yang dilakukan Rangga, sehingga bisa menyelamatkan leher Pandan Wangi dari sabetan pedang yang kelihatannya biasa itu. Sementara, Rangga melenting tinggi ke udara. Lalu dengan manis sekali kakinya bisa dijejakkan di tanah. Dan Pandan Wangi langsung terhuyung, begitu terlepas dari pelukan Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau tidak apa-apa, Pandan?” tanya Rangga.
“Ukh, tanganku...,” keluh Pandan Wangi sambil memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri.
Gadis itu merasakan seluruh tulang tangan kanannya seperti remuk, akibat kipas mautnya membentur pedang wanita yang tidak dikenal itu. Sungguh tidak diduga kalau pedang yang kelihatannya biasa itu, memiliki kekuatan sangat dahsyat Bahkan tenaga dalam wanita itu juga sangat tinggi, sehingga membuat tangan kanan Pandan Wangi jadi terasa remuk.
“Menjauhlah, Pandan,” pinta Rangga.
Kali ini Pandan Wangi tidak membantah. Segera kakinya melangkah mundur menjauhi tempat itu. Bibirnya masih meringis menahan sakit yang amat sangat pada seluruh tangan kanannya. Sementara, kipas yang menjadi senjata kebanggaannya terpental jauh darinya. Dan Rangga sudah melangkah menghampiri kipas putih senjata Pandan Wangi yang tergeletak cukup jauh darinya.
Sedangkan wanita bertudung dari bambu itu hanya memperhatikan saja, dengan pedang tersilang di depan dada. Perlahan Rangga terus melangkah menghampiri kipas baja putih senjata Pandan Wangi. Dan begitu dekat, Pendekar Rajawali Sakti berhenti sambil memperhatikan wanita berbaju merah itu. Dalam beberapa gebrakan tadi, Rangga sudah dapat menilai kalau wanita itu tidak bisa dipandang enteng. Setiap gerakan yang dilakukan begitu cepat dan sama sekali tidak terduga.
Perlahan Rangga membungkukkan tubuhnya. Diambilnya kipas baja putih yang menggeletak ditanah, lalu diselipkan ke balik ikat pinggangnya. Pendekar Rajawali Sakti kembali berdiri tegak sebentar, lalu melangkah menghampiri wanita bertudung yang masih tetap diam, berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga.
Namun dari balik tudungnya yang cukup besar, Rangga bisa merasakan kalau sorot matanya yang tajam tertuju kepadanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi.
“Kepandaianmu sangat tinggi, Nisanak. Tapi sayang sekali, ilmu yang begitu tinggi digunakan tidak pada tempatnya...,” ujar Rangga agak datar terdengar nada suaranya.
“Kau juga ingin menantangku...?!” dengus wanita itu dingin, tanpa menghiraukan kata-kata Rangga barusan.
“Aku merasa tidak ada pertentangan di antara kita. Jadi sebaiknya tidak perlu membuka jurang permusuhan,” sahut Rangga kalem.
“Hm.... Kau takut...?” ejek wanita itu memanasi.
Rangga jadi tersenyum tapi terasa begitu kecut. Jelas sekali kalau wanita ini mencari persoalan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Namun, Rangga masih berusaha tidak terpancing. Hanya saja hatinya merasa penasaran, kenapa wanita ini menginginkannya cepat-cepat pergi meninggalkan Desa Paranggada. Dan belum lama tadi, Ki Marta bersama orang-orangnya juga menyerang. Bahkan menuduhnya telah membunuh anaknya. Apakah wanita ini juga punya alasan sama...?
“Nisanak! Kau menginginkan aku pergi dari sini. Kalau boleh tahu, apa sebabnya...?” Rangga meminta penjelasan lagi.
“Sudah kukatakan, tidak perlu penjelasan! Kalau kau mau selamat, cepat tinggalkan desa ini. Tapi kalau terus membandel, aku tidak akan segan-segan lagi memenggal kepalamu!” sahut wanita itu kembali men-gancam.
“Maaf, Nisa....”
“Keparat...! Rupanya kau ingin mampus, heh...?! Hih!”
Bet!
“Hap!”
Rangga cepat-cepat melompat mundur, begitu pedang di tangan wanita bertudung itu berkelebat begitu cepat ke arah lehernya. Sungguh tidak diduga kalau akan mendapat serangan yang begitu cepat dan mendadak. Dan belum saja tubuhnya bisa ditegakkan lagi, wanita bertudung itu sudah menyerang lagi dengan kecepatan sukar sekali diikuti mata biasa.
“Hih! Yeaaah...!”
Bet!
“Hap!”
Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan gencar wanita bertudung ini. Ujung pedang wanita itu bagaikan memiliki mata saja. Begitu cepat berkelebat, mengikuti setiap gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali ujung pedang itu hampir mengoyak tubuhnya, tapi sampai saat ini Rangga masih bisa menghindarinya. Jurus demi jurus berlalu cepat.
Tanpa terasa, masing-masing sudah mengeluarkan lebih dari lima jurus. Tapi, pertarungan masih terus berlangsung. Bahkan semakin bertambah sengit saja. Begitu cepat gerakan-gerakan yang dilakukan, sehingga sulit diikuti mata biasa. Hanya dua bayangan saja yang terlihat berkelebat saling sambar dengan kecepatan tinggi.
“Hup! Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja mereka sama-sama melenting ke udara. Tampak saat itu, Rangga mengerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Sementara, wanita bertudung itu membabatkan pedangnya ke arah kepala, tepat di saat Rangga merunduk sambil mengibaskan tangan kanannya ke arah perut. Namun tanpa diduga sama sekali....
Wut!
“Ikh...!”
Rangga jadi terperanjat setengah mati. Ternyata secara tidak terduga, wanita bertudung itu bisa cepat memutar pedangnya untuk melindungi perut dari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Maka cepat-cepat Rangga menarik tangannya pulang, sehingga terhindar dari tebasan pedang itu.
“Hap!”
Secara bersamaan, mereka meluruk turun sambil terus melancarkan serangan-serangan cepat yang sangat berbahaya. Dan begitu mereka sama-sama menjejakkan kaki di tanah, saat itu juga....
“Suiiit...!”
“Heh...?!” Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba terdengar siulan panjang dan melengking tinggi, sehingga membuat telinga jadi terasa sakit. Dan saat itu juga, wanita bertudung ini melompat mundur keluar dari pertarungan. Pedangnya langsung dimasukkan ke dalam warangka di punggung.
“Ingat! Aku akan mencarimu. Hati-hati dengan kepalamu, Setan Keparat...!” desis wanita itu dingin menggetarkan.
Setelah berkata demikian, dengan kecepatan menakjubkan wanita itu melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat.
Sementara, Rangga masih berdiri tegak seperti terpaku melihat kedigdayaan wanita bertudung tadi. Beberapa saat Rangga masih berdiri tegak, memandang ke arah perginya wanita bertudung yang tidak dikenalnya. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri Pandan Wangi yang kini sudah duduk bersila dengan sikap bersemadi. Rangga berhenti, setelah dekat di depan gadis itu. Saat itu juga, Pandan Wangi membuka kelopak matanya yang tadi terpejam. Langsung kepalanya diangkat, dan menatap wajah tampan di depannya.
“Bagaimana tanganmu?” tanya Rangga langsung.
“Hhh! Hanya terkena aliran tenaga dalam tinggi, Kakang,” sahut Pandan Wangi, seraya menghembuskan nafasnya.
Gadis itu kemudian bangkit berdiri. Sebentar tangan kanannya dihentak-hentakkan, kemudian bibirnya tersenyum. Entah apa yang membuatnya jadi terse-nyum. Rangga mengambil kipas putih dari sabuk pinggangnya, dan menyerahkan kembali pada Pandan Wangi. Gadis itu langsung menerimanya, dan menyelipkan ke balik ikat pinggangnya sendiri.
“Tangguh sekali dia, Kakang. Hampir saja semua tulang tanganku remuk. Untung aku mengerahkan tenaga dalam tadi,” kata Pandan Wangi agak mendengus suaranya.
“Kau terlalu gegabah, dan menganggap ringan senjatanya, Pandan,” kata Rangga menilai.
“Ya! Aku memang tadi sempat memandangnya ringan,” sahut Pandan Wangi mengakui.
“Itulah kesalahanmu, Pandan. Jangan sekali- sekali memandang enteng lawan rendah, walaupun kepandaiannya berada di bawahmu. Kau harus menganggap semua lawan tangguh dan berbahaya. Jadi, tidak sampai kecolongan begitu,” kata Rangga menasihati.
Pandan Wangi hanya diam saja. Memang, Rangga bukan sekali ini memberi nasihat. Tapi, memang Pandan Wangi selalu tidak pernah mendengarkan nasihatnya. Apalagi itu memang sudah jadi wataknya. Dan dia selalu menganggap dirinya benar saja. Apa yang dilakukan dan dianggapnya benar, tidak perlu lagi mendapat pertimbangan. Jadi, tidak aneh kalau sering kali Pandan Wangi kecolongan.
“Ayo, Pandan...,” ajak Rangga.
“Ke mana?” tanya Pandan Wangi seraya melangkah mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berjalan lebih dulu menghampiri kuda mereka.
“Ke Desa Paranggada,” sahut Rangga.
“Heh...?!” Pandan Wangi jadi terkejut mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti. “Untuk apa ke sana, Kakang...?” tanya Pandan Wangi.
Tapi Rangga sama sekali tidak menjawab, seakan tidak mendengar pertanyaan si Kipas Maut itu. Pendekar Rajawali Sakti terus saja melompat naik ke punggung kudanya. Dan Pandan Wangi bergegas mengikuti, naik ke punggung kudanya sendiri. Dan tidak berapa lama kemudian, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah memacu kudanya kembali, menuju Desa Paranggada.
********************
Hampir menjelang malam, Rangga dan Pandan Wangi baru sampai di Desa Paranggada. Keadaan di desa itu tidak berubah, sama seperti saat mereka datang siang tadi. Tidak ada seorang pun yang memperhatikannya. Bahkan semua orang di desa ini seperti tidak peduli. Tapi begitu mereka melewati sebuah rumah yang sangat besar dan berhalaman luas, beberapa anak muda yang ada di sekitar halaman rumah itu memandanginya dengan sinar mata mengandung kecurigaan.
Pandangan mata pemuda-pemuda itu bukannya tidak diketahui. Tapi memang, Rangga sengaja tidak mempedulikannya. Bahkan sengaja tidak memberitahukan Pandan Wangi yang memang tidak tahu kalau sedang diperhatikan beberapa pemuda yang berada di sekitar halaman rumah besar yang dilewati. Dan rumah itu memang yang paling besar di antara rumah-rumah lain di Desa Paranggada ini.
“Sudah hampir malam, Kakang. Apa ada pengina-pan di desa ini...?” ujar Pandan Wangi seraya berpaling menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti yang berkuda di sebelahnya.
“Mudah-mudahan saja ada,” sahut Rangga.
“Tidak semua desa ada penginapannya, Kakang. Kalau desa ini tidak ada penginapan, lalu bagaimana...?” nada suara Pandan Wangi seperti mengeluh.
Rangga hanya diam saja. Dia tahu, Pandan Wangi sebenarnya sudah jemu, karena beberapa hari ini terpaksa harus tidur di alam terbuka. Meskipun Pandan Wangi seorang pendekar, tapi tetap saja wanita yang menginginkan tempat nyaman untuk melepaskan lelah. Dan meskipun watak Pandan Wangi agak ugal-ugalan, tapi masih ada sedikit kemanjaan pada dirinya.
Saat itu, mereka sudah sampai di ujung jalan, tepat berada di depan kedai yang tadi siang dimasuki. Tampak kedai itu sudah tutup. Sedangkan perempuan gemuk pemilik kedai itu tengah duduk di balai bambu dekat pintu, bersama seorang gadis yang tadi membantunya melayani kedua pendekar muda ini. Tidak jauh dari mereka, terlihat bocah kecil yang tadi mengurus kuda kedua pendekar ini. Rangga dan Pandan Wangi sama-sama menghentikan langkah kaki kudanya.
Melihat kedua pendekar muda itu datang lagi, perempuan gemuk itu bergegas turun dari balai bambu di samping pintu kedainya. Dengan tergopoh-gopoh, dihampirinya Rangga dan Pandan Wangi, diikuti gadis manis dan bocah laki-laki yang sejak siang tadi bertelanjang dada ini. Sikap mereka begitu ramah, menyambut kedua pendekar muda ini. Rangga dan Pandan Wangi segera turun dari punggung kudanya.
“Maaf, Nyi. Apakah ada penginapan yang terdekat di sini?” tanya Rangga langsung.
“Penginapan...? Rasanya tidak ada penginapan di desa ini, Den,” sahut wanita gemuk itu. "Tapi kalau Raden dan Nini suka, bisa bermalam di sini. Tapi, hanya ada satu kamar kosong.”
“Biar kakak tidur denganku saja, Mak,” selak gadis manis di belakang wanita gemuk itu.
"Oh, iya.... Bisa..., bisa. Biar Nini tidur dengan anakku ini,” kata wanita gemuk itu.
“Terima kasih, Nyi. Jadi merepotkan saja,” ucap Rangga merasa tidak enak atas keramahan ini.
“Ah, tidak.... Raden juga sudah begitu baik. Belum pernah kami mendapatkan tamu sebaik kalian berdua. Mari..., biar kuda-kudanya diurus Randika.
Rangga tidak bisa lagi menolak, begitu wanita gemuk itu menarik tangannya. Sementara, bocah kecil yang bernama Randika sudah mengambil kuda-kuda mereka. Pandan Wangi mengikuti saja dari belakang, bersama anak gadis pemilik kedai itu.
“Siapa namamu, Dik?” tanya Pandan Wangi ramah.
“Randini, Kak,” sahut gadis itu.
“Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji Pandan Wangi.
“Ah, tidak secantik Kakak,” ujar Randini, jadi tersipu.
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah yang berada di samping kedai. Rumah Nyi Gembur, begitu orang-orang desa memanggil perempuan gemuk pemilik kedai ini. Entah, apa nama aslinya. Tapi tampaknya, perempuan gemuk itu tidak keberatan dipanggil Nyi Gembur. Dan memang, nama itu cocok sekali dengan bentuk tubuhnya yang gemuk dan subur.
Tapi anehnya, kedua anaknya tidak ada yang bertubuh gemuk. Terlebih lagi Randini. Tubuhnya sangat ramping. Malah kulitnya pun putih, tidak seperti ibunya yang agak hitam. Sedangkan Randika juga kurus. Hanya kulitnya saja yang sedikit hitam, karena tidak pernah memakai baju.
“Ngobrol dulu dengan Randini. Aku akan menyiapkan makan buat kalian,” kata Nyi Gembur, setelah mereka berada di dalam.
“Ah, tidak perlu repot-repot, Nyi,” ujar Pandan Wangi.
“Tidak apa-apa, Kak. Kami semua juga belum ada yang makan,” celetuk Randika yang tahu-tahu sudah berada di ambang pintu.
“Hush, Randika...!” sentak Nyi Gembur.
“Tapi memang benar kok, Mak. Randika sudah lapar dari tadi...,” Randika agak merengek.
“Iya, sebentar. Mak panaskan dulu sayurnya.”
“Cepat, Mak.”
“Iya...!”
Rangga hanya tersenyum saja mendengar semua itu. Sementara Pandan Wangi sudah terlibat obrolan yang entah menjurus ke mana bersama Randini. Kelihatan menarik sekali obrolan mereka, sehingga Rangga jadi tidak mau mengganggu. Pendekar Rajawali Sakti malah melangkah mendekati jendela, dan membukanya lebar-lebar. Angin senja yang bertiup lembut, langsung menghantam wajahnya. Begitu sejuk membuatnya terasa segar saat itu juga.
“Randika, nyalakan lampu...!” Terdengar teriakan Nyi Gembur dari belakang.
“Iya, Mak. Sebentar...!” balas Randika, tidak kalah kerasnya.
Rangga hanya melirik sedikit saja dan tersenyum melihat Randika begitu cekatan melaksanakan perintah ibunya. Sementara, Pandan Wangi dan Randini sudah menghilang entah ke mana. Mungkin, mereka masuk ke dalam kamar gadis itu. Dan Rangga tidak peduli lagi, karena tengah begitu menikmati udara segar di Desa Paranggada ini.
********************
LIMA
Malam terus merayap semakin larut. Namun Rangga belum juga bisa memejamkan mata dalam kamarnya yang disediakan Nyi Gembur. Entah kenapa, pikirannya terus menerawang, mengulang kembali cerita Nyi Gembur mengenai beberapa pembunuhan aneh yang terjadi dalam beberapa hari di Desa Paranggada ini.
Dan sebenarnya, kedatangannya ke desa ini juga sedang mengejar seorang pembunuh keji, yang telah membantai hampir habis penduduk sebuah desa yang disinggahinya. Rangga sendiri belum bisa menduga, apakah orang yang sekarang berkeliaran mencari korban itu adalah orang yang sama dengan yang dikejarnya kini.
Hanya saja dari cara korbannya tewas, Rangga jadi ragu-ragu. Namun mengingat begitu banyak cara membunuh, keraguannya jadi menipis juga. Meskipun masih ada keraguan, tapi Rangga berharap di desa ini bisa bertemu buronannya.
“Kakang....”
“Ohhh...?!” Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba terdengar suara yang sangat lembut dari belakang. Cepat tubuhnya diputar berbalik. Dan saat itu juga, keningnya jadi berkerut. Ternyata Randini tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu kamar ini. Sungguh tadi suara langkah gadis itu tidak didengar. Mungkin karena seluruh perhatian dan pikirannya terlalu terpusat pada si pembunuh aneh, sehingga sampai tidak mendengar suara langkah kaki Randini.
“Oh.... Ada apa, Randini? Kenapa malam- malam datang ke sini?” tanya Rangga jadi tergagap.
“Maaf, Kakang. Aku hanya ingin bicara sebentar denganmu. Penting...,” ujar Randini.
“Duduklah...,” pinta Rangga seraya merentangkan tangannya sedikit menunjuk kursi di sebelahnya.
Randini melangkah masuk ke dalam kamar yang tidak begitu besar ini, lalu duduk di kursi rotan yang ditunjuk Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri tetap berdiri membelakangi jendela yang sedikit terbuka. Sehingga dinginnya angin malam begitu terasa membelai punggungnya.
“Apa yang ingin kau ceritakan, Randini?” tanya Rangga melihat gadis itu hanya diam saja, dengan kepala sedikit tertunduk.
Sejenak Rangga memperhatikan raut wajah gadis itu saat kepalanya terangkat. Tampak jelas dari sinar matanya, kalau raut wajahnya seakan-akan begitu takut. Malah, tubuhnya mendadak saja jadi bergidik seperti kedinginan. Dan Rangga jadi mengerutkan keningnya melihat sikap gadis anak pemilik kedai ini.
“Ini penting, Kakang. Tapi kau harus janji...,” kata Randini pelan, seakan takut ada orang lain yang mendengar.
“Janji...?” Rangga jadi mengeratkan keningnya.
“Iya, janji jangan katakan pada orang lain.”
“Baiklah. Aku janji,” ujar Rangga jadi geli sendiri dalam hati.
Walaupun geli, Pendekar Rajawali Sakti juga terus bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan gadis berusia delapan belas tahun ini. Dan Rangga masih bisa bersabar dan menahan diri untuk tidak terus mendesak. Bisa terlihat dari raut wajah dan sorot matanya, kalau Randini kelihatan begitu takut. Pendekar Rajawali Sakti menduga pasti sesuatu yang akan dikatakannya amat rahasia. Buktinya gadis itu tampak begitu ketakutan.
“Nah! Katakan sekarang, apa yang ingin kau sampaikan padaku,” ujar Rangga lembut.
“Kakang masih ingat cerita Emak ku tadi...?”
Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
“Sebenarnya, aku lebih banyak tahu daripada orang lain, Kakang. Aku tahu, apa yang terjadi sebenarnya di desa ini.”
Kali ini Rangga benar-benar terkejut mendengarnya. Sungguh tidak disangka kalau Randini akan berkata seperti itu. Padahal dinilainya, gadis berusia sekitar delapan belas tahun ini begitu polos. Bahkan mungkin tidak tahu apa-apa yang terjadi di luar kehidupannya. Tapi, ternyata Randini malah tahu banyak.
“Kau tahu banyak mengenai pembunuh-pembunuh itu, Randini...?” tanya Rangga seperti ingin memastikan.
“Lebih dari yang orang lain ketahui, Kakang. Bahkan aku tahu siapa pelakunya,” sahut Randini mantap, tapi terdengar pelan sekali suaranya.
“Ah.... Kau jangan main-main, Randini.”
“Aku tidak main-main, Kakang. Aku sungguh-sungguh...,” tegas Randini, berusaha meyakinkan.
Rangga jadi tertegun beberapa saat. Sorot matanya terlihat begitu tajam merayapi wajah gadis manis itu. Rasanya, ingin dicarinya kesungguhan dari raut wajah dan sinar mata gadis itu. Dan yang ditemukan, Randini memang kelihatan tidak sedang bermain-main. Rangga jadi menghela napas panjang-panjang.
“Baiklah, Randini. Katakan, apa saja yang kau ketahui...,” ujar Rangga akhirnya ingin tahu juga.
Cukup lama juga Randini terdiam membisu, mencari kekuatan dan keberanian untuk menceritakan apa saja yang diketahuinya mengenai pembunuhan-pembunuhan aneh yang terjadi di Desa Paranggada ini. Sementara, Rangga menunggu hampir tidak sabar, tapi tetap mencoba menunggu. Beberapa kali Randini menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
“Semua orang di desa ini memang tidak ada yang tahu, Kakang. Hanya aku sendiri yang tahu. Dan sebenarnya, juga aku sudah berjanji untuk tidak bercerita pada orang lain. Tapi...,” Randini tidak meneruskan.
“Teruskan, Randini,” pinta Rangga.
“Aku merasa ikut bersalah kalau terus diam saja, Kakang. Bahkan jadi takut sendiri kalau-kalau dia datang dan membunuhku...,” sambung Randini kembali terputus.
“Hm.... Kau tahu betul, siapa orangnya?” tanya Rangga langsung. Randini mengangguk. “Siapa...?”
“Lestari.”
“Lestari...?! Siapa dia?” tanya Rangga merasa tidak mengenal nama yang disebutkan Randini barusan.
“Putri Ki Rapala, kepala desa yang ikut menjadi korban.”
“Eh...?!” Rangga benar-benar tersentak kaget setengah mati kali ini. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat mendekati Randini yang masih tetap duduk di kursi rotan ini. Dicekalnya tangan gadis itu erat-erat, sehingga membuat Randini jadi meringis. Rangga buru-buru melepaskannya, dan kembali mendekati jendela kamar ini. Pendekar Rajawali Sakti kini membelakangi Randini, menatap jauh keluar, membelah kegelapan malam.
Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam membisu. Perlahan Rangga memutar tubuhnya, dan kembali menatap Randini yang masih tetap duduk di kursi. Gadis itu juga terdiam memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan Rangga menghembuskan nafasnya panjang-panjang.
“Bagaimana kau bisa menceritakan semua itu, Randini?” tanya Rangga seakan tidak percaya.
“Aku tahu betul, Kakang. Sejak kecil, aku dan Lestari sudah bersahabat. Bahkan di antara kami tidak ada rahasia sedikit pun juga.”
“Hm...,” Rangga menggumam kecil. “Ceritakan, Randini. Kenapa dia sampai bisa begitu?”
Sebentar Randini terdiam. “Waktu berumur sepuluh tahun, aku dan Lestari sering main ke hutan. Waktu itu, aku menemukan sebuah goa dan langsung kuberitahukan pada Lestari. Dia minta agar masuk ke dalam goa itu. Semula aku takut, tapi Lestari terus memaksa. Dan akhirnya, kami berdua masuk ke dalamnya. Tidak ada apa-apa di dalam goa itu. Dan kami berdua jadi sering datang ke sana, sehingga goa itu seperti rumah kami saja. Beberapa hari yang lalu, ketika kami terakhir ke sana, goa itu sudah tidak lagi seperti biasanya. Dan begitu sampai di sana, kami menemukan seorang perempuan tua. Aku begitu ketakutan, tapi Lestari tidak sama sekali. Ternyata orang tua itu menderita sakit yang sangat parah. Dia meminta aku dan Lestari mendekat. Aku tidak mau, tapi Lestari mendekati juga. Dan...,” Randini memutuskan ceritanya.
“Apa yang terjadi, Randini?” tanya Rangga semakin ingin tahu.
“Perempuan tua itu lantas memegang wajah Lestari. Entah kenapa, tahu-tahu Lestari jadi berteriak. Tapi hanya sebentar saja, karena kemudian jatuh lemas. Dan tiba-tiba perempuan tua itu tertawa terbahak-bahak, sehingga aku semakin ketakutan. Lalu, dia menuangkan cairan merah seperti darah ke dalam mulut Lestari. Kemudian.... Ihhh...!” Randini tiba-tiba saja jadi bergidik.
“Kemudian apa yang terjadi, Randini?”
“Seluruh tubuh Lestari hancur, menyatu dengan tanah dalam goa itu. Aku jadi semakin ketakutan, dan terus saja lari keluar. Dan aku masih mendengar suara tawa perempuan tua itu, sebelum jatuh pingsan. Aku tidak tahu lagi, apa yang terjadi. Dan begitu sadar, aku sudah berada di rumah.”
“Kejadian itu tidak kau ceritakan pada orang lain?” tanya Rangga. Randini hanya menggeleng saja. “Kenapa?”
“Waktu aku sadar, Lestari ada di kamarku. Hanya dia saja sendiri.”
“Oh....”
“Aku juga terkejut waktu itu, Kakang. Langsung saja kutanyakan, apa yang terjadi padanya di dalam goa. Tapi Lestari hanya mengatakan kalau perempuan tua itu sebenarnya seorang dewi yang memberi sebuah ilmu padanya. Aku tak tahu, ilmu apa yang dimaksud. Tapi beberapa hari setelah kejadian itu, aku lihat Lestari membunuh seorang anak gembala, dengan memenggal lehernya sampai hampir buntung. Kemudian dia melakukan perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukannya. Lestari tahu kalau aku melihat, sehingga dia mengancam akan membunuhku jika sampai menceritakannya pada orang lain. Aku sama sekali tidak berani cerita, Kakang. Aku tahu ancamannya benar-benar dibuktikan.”
“Apa yang dilakukannya?”
“Menggauli mayat anak gembala itu.”
“Apa...?!”
“Bukan hanya anak gembala itu saja korbannya. Aku sering melihat Lestari membunuh dan menggauli korbannya. Bahkan seperti sengaja mengajakku untuk menyaksikannya. Aku benar-benar takut, Kakang. Tapi, aku tidak berani menolak. Lestari selalu mengancam akan membunuhku dan semua keluargaku, kalau tidak mau ikut dengannya mencari korban,” sambung Randini.
“Hm,” Rangga menggumam pendek.
“Beberapa hari yang lalu, semua orang kaget karena kekasih Lestari ditemukan mati terbunuh. Lehernya hampir buntung, dan tidak memakai pakaian sama sekali. Bahkan hari itu juga, Ki Rapala tewas dibunuh orang, juga dengan leher hampir buntung. Dan selang beberapa hari, anak Ki Marta juga mati terbunuh yang kemudian terus disusul beberapa pembunuhan lainnya. Semuanya yang mati dengan leher hampir buntung adalah laki-laki. Dari luka di lehernya, aku tahu kalau Lestari yang melakukan itu semua. Dia tidak akan memilih-milih korbannya. Bahkan ayahnya sendiri ikut menjadi korban. Semakin hari, dia semakin haus darah. Dan aku jadi takut untuk bertemu lagi dengannya, Kakang,” kata Randini lagi.
Rangga hanya diam saja. Entah, apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Memang terasa sangat aneh, semua orang diceritakan Randini barusan. Lestari seperti bukan lagi manusia. Dan semua itu terjadi setelah masuk ke dalam goa di dalam hutan. Sementara, Randini juga tidak meneruskan ceritanya. Dia terdiam dengan wajah kelihatan tenang, seakan sebagian beban yang selama ini disandangnya sudah terlepas dari pundaknya. Dan malam terus merayap semakin bertambah larut.
“Kembalilah ke kamarmu, Randini. Sudah terlalu malam. Tidak enak nanti kalau ibumu tahu,” kata Rangga lembut.
“Kakang..., kau janji tidak akan mengatakannya pada orang lain,” ujar Randini meminta kepastian.
Rangga tersenyum dan mengangguk.
“Terima kasih, Kakang. Hanya padamu ini semua kuceritakan. Karena aku tahu, kau adalah pendekar digdaya.”
“Kau bisa mempercayai aku, Randini.”
Randini tersenyum, kemudian bangkit berdiri. Lalu dia melangkah keluar dari kamar ini. Tapi baru saja kakinya sampai di ambang pintu, mendadak saja....
Wusss...!
“Heh?! Awas...! Hup!”
Rangga cepat melompat begitu melihat sebuah benda meluncur cepat bagai kilat, menerobos dari jendela. Sigap sekali Pendekar Rajawali Sakti menubruk tubuh Randini, hingga mereka jatuh bergulingan bersama-sama.
“Akh...!” Randini jadi terpekik.
Tubuh mereka yang terus bergulingan, hingga punggung Rangga sampai menabrak meja hingga hancur berantakan.
“Hup...!” Rangga cepat melompat bangkit berdiri. Dan suara gaduh itu rupanya mengagetkan semua orang yang ada di rumah ini. Dan di saat Rangga melompat mendekati jendela, Pandan Wangi muncul, diikuti Nyi Gembur.
“Ada apa...?” seru Pandan Wangi bertanya.
“Randini...?!” Nyi Gembur tersentak kaget melihat anak gadisnya tergeletak meringis di lantai, di antara pecahan meja kayu yang tadi terlanda punggung Rangga.
“Pandan, kau jaga mereka,” kata Rangga.
“Hup...!”
“Heh...?!”
Pandan Wangi jadi tersentak kaget tidak mengerti. Tapi baru saja membuka mulutnya, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat, keluar dari kamar ini melalui jendela. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Sementara, Pandan Wangi jadi termangu sesaat, tapi cepat menghampiri Randini yang tengah berusaha berdiri dibantu ibunya.
“Aduh...,” Randini mengeluh, merasakan sakit pada pinggangnya. Memang keras sekali Randini jatuh tadi. Tulang-tulang pinggangnya terasa remuk. Pandan Wangi bergegas membantu Nyi Gembur memapah Randini, kemudian membaringkannya ke tempat tidur kayu di kamar ini. Randini masih meringis merasakan sakit. Dan Pandan Wangi segera memeriksa tubuh gadis ini. Ternyata yang didapat luka memar di bagian belakang pinggang Randini, dan tidak ada luka lain yang mengkhawatirkan.
“Tidak apa-apa, Nyi. Berikan saja obat balur. Besok juga sudah sembuh,” jelas Pandan Wangi tentang keadaan Randini.
“Apa yang terjadi, Randini? Kenapa kau malam-malam ada di kamar ini...?” tanya Nyi Gembur langsung meminta penjelasan.
“Sudahlah, Nyi. Biarkan Randini istirahat dulu,” ujar Pandan Wangi mencoba menengahi.
Nyi Gembur kelihatan tidak puas. Tapi perempuan gemuk itu menurut saja, saat Pandan Wangi mengajaknya keluar dari kamar ini, setelah menutup jendelanya. Sementara, Randini masih terbaring di atas ranjang kayu ini. Gadis itu kelihatan seperti tidur pulas, setelah Pandan Wangi memberi satu totokan di bagian atas dadanya. Tidak lama Pandan Wangi kembali ke kamar itu, dan langsung membebaskan totokannya.
“Oh....” Randini mencoba bangkit duduk, tapi jadi meringis. Pandan Wangi membantu gadis itu duduk bersandar di pembaringan, lalu kemudian duduk di tepi ranjang ini.
“Masih terasa sakit?” tanya Pandan Wangi.
“He-eh...,” sahut Randini sambil meringis.
“Mana yang sakit?”
“Ini..., pinggangku.”
“Hanya luka memar. Besok juga sudah sembuh.”
Randini hanya mengangguk saja.
“Randini, apa yang terjadi? Kenapa kau sampai jatuh tadi?” tanya Pandan Wangi lembut.
“Aku..., oh! Tidak..., tidak apa-apa. Tadi, aku hanya terpeleset,” sahut Randini agak tergagap.
“Lalu, kenapa kau ada di sini?”
“Aku..., aku tadi ke belakang sebentar. Lalu, aku melihat Kakang Rangga belum tidur dan akan menanyakannya, tapi....”
“Sudahlah, Randini. Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Baringkan tubuhmu. Biar kupijat bagian yang sakit,” kata Pandan Wangi langsung bisa mengerti.
Tapi pengertian Pandan Wangi lain. Rangga memang tampan, sehingga sudah tidak heran lagi kalau gadis-gadis ingin dekat dengannya. Terlebih lagi, gadis muda seperti Randini ini. Pandan Wangi memang tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Dan dia hanya menduga kalau Randini ingin mengenal Rangga lebih dekat lagi, hingga malam-malam mendatangi kamarnya. Tapi begitu melihat meja yang hancur, Pandan Wangi jadi berkerut juga keningnya.
“Hm.... Apa yang terjadi sebenarnya...? Mustahil kalau Kakang Rangga tergoda dan ingin.... Ah, tidak! Tidak mungkin...,” Pandan Wangi bicara sendiri dalam hati. Berbagai macam dugaan berkecamuk dalam kepala si Kipas Maut. Namun dugaan-dugaan buruk itu berusaha diusirnya. Pandan Wangi hanya bisa berharap Rangga mau menjelaskannya nanti kalau sudah kembali.
********************
ENAM
Sementara itu, Rangga sudah jauh meninggalkan rumah Nyi Gembur. Sekilas masih sempat terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat menuju ke arah timur Desa Paranggada ini. Rangga tahu, arah yang dituju bayangan merah itu adalah hutan yang sering didatangi penduduk untuk mencari kayu bakar.
“Hup!” Pendekar Rajawali Sakti terus menggenjot ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai pada tingkat sempurna, begitu kembali melihat bayangan merah itu berkelebat masuk dan langsung menghilang ditelan lebatnya hutan ini. Rangga segera menghentikan larinya, setelah tiba di tepi hutan yang tidak begitu lebat ini. Sebentar pandangannya diedarkan ke sekeliling.
“Hm....” Pendengaran Rangga yang setajam mata pisau, langsung bisa menangkap adanya tarikan napas halus di sekitar tepian hutan ini. Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih jauh, mendadak saja berlompatan sosok-sosok tubuh dari balik pepohonan dalam hutan ini. Dan sebentar saja, pemuda itu sudah dikepung tidak kurang dari tiga puluh orang pemuda yang semuanya bersenjata golok terhunus di tangan kanan. Dan di antara mereka, terlihat Ki Marta yang menggenggam tongkat kayu.
“Serang dia...!” seru Ki Marta langsung memberi perintah.
“Heh, tunggu...!” sentak Rangga terkejut.
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
Tapi orang-orangnya Ki Marta tidak lagi mendengar cegahan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka langsung saja berlompatan menyerang dengan ganas, sehingga membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan, menghindari serangan yang datang dari segala arah ini. Namun dalam beberapa gebrakan saja, Rangga sudah bisa mengukur kalau kepandaian lawan-lawan-nya masih tergolong rendah. Dan sebenarnya, mudah saja baginya untuk menghabisi mereka semua. Tapi tentu saja Rangga sama sekali tidak ingin melenyapkan nyawa orang yang dianggapnya tidak tahu apa-apa ini.
“Maaf, aku tidak ada waktu melayani kalian. Hup! Yeaaah...!”
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke udara. Lalu, tubuhnya meluruk deras ke arah sebuah pohon yang tidak begitu jauh. Dan ketika kedua kakinya langsung menjejak batang pohon itu, lalu...
“Yeaaah...!”
Tanpa berhenti sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti kembali melesat cepat bagai kilat. Langsung ditinggalkannya orang-orang yang dipimpin Ki Marta ini. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi.
“Setan...! Ayo, kejar bocah keparat itu...!” seru Ki Marta lantang menggelegar.
Sekitar tiga puluh orang pemuda itu langsung berlarian masuk ke dalam hutan, mengejar Rangga yang sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Sementara, Ki Marta mendengus-dengus kesal. Sudah dua kali dia ditinggalkan begitu saja oleh pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya yang dicurigai sebagai pembunuh putra tunggalnya beberapa hari lalu.
Sementara itu, Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, hingga semakin jauh masuk ke dalam hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan dia baru berhenti berlari, setelah dirasakan cukup jauh dari orang-orang Ki Marta.
“Huh!” Rangga mendengus menghembuskan napas berat Sedikit Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke belakang, dan memang tidak terlihat ada yang mengejar. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling.
“Hhh! Ke mana dia...?” gumam Rangga bertanya sendiri. Bulan yang bersinar penuh malam ini, cukup menerangi hutan yang tidak begitu lebat. Sama sekali Rangga tidak melihat ada seorang pun di dalam hutan ini. Bahkan telinganya tidak mendengar suara yang mencurigakan sedikit pun. Sedangkan angin yang bertiup begitu dingin, membuat tubuhnya jadi bergidik menggigil.
“Hhh! Gara-gara Ki Marta, semuanya jadi berantakan. Huh...!” dengus Rangga menggerutu sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Namun belum juga jauh berjalan, ayunan kakinya tiba-tiba saja terhenti. Dan kelopak matanya langsung menyipit, saat melihat kilatan cahaya api jauh di antara pepohonan hutan ini.
“Hm, coba kudekati,” gumam Rangga dalam hati.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melangkah dengan ayunan kaki cepat dan lebar-lebar. Tanpa disadari ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan, sehingga ayunan langkahnya jadi begitu cepat. Dan sebentar saja, api yang dilihatnya tadi sudah dekat Rangga segera menghentikan ayunan langkahnya. Tampak di dekat api itu duduk seseorang bertubuh ramping, menutupi tubuhnya dengan kain yang sudah lusuh warnanya.
“Ehm ehm...!” Rangga mendehem beberapa kali, sehingga orang itu langsung mengangkat kepalanya. Agak terkejut juga Rangga, begitu melihat kalau orang itu ternyata wanita berwajah cantik. Lebih terkejut lagi, karena hanya seorang diri di dalam hutan yang sunyi ini. Malah, hanya selembar kain lusuh itu saja yang menjadi teman penghangat tubuhnya.
“Maaf, kalau aku mengganggu...,” ujar Rangga ramah.
“Ah, tidak. Silakan duduk kalau kau kedinginan,” sambut wanita itu juga ramah, seraya tersenyum manis.
“Terima kasih.” Rangga mengambil tempat di depan wanita ini. Hanya api yang menyala tidak begitu besar saja yang membatasi mereka. Sekilas Rangga melirik wajah wanita ini. Begitu cantik, bagaikan bidadari baru turun dari kayangan. Dan saat itu juga, benak Rangga berputar, mengolah berbagai macam pertanyaan yang tiba-tiba saja berkecamuk dalam kepalanya.
“Kau sendiri di sini, Nisanak?” tanya Rangga setelah beberapa saat terdiam.
“Kelihatannya bagaimana...?” wanita itu malah balik bertanya.
Rangga jadi tersenyum sendiri. Entah, apa arti senyumannya. Dan kembali matanya melirik sekilas ke wajah cantik di depannya. Namun saat itu juga, jantungnya jadi berdegup kencang. Ternyata begitu wanita di depannya mengetahui lirikannya, malah memberi senyuman yang sungguh menawan.
“Kau seperti sedang mengejar sesuatu, Kisanak...,” ujar wanita itu.
“Rangga. Panggil saja aku Rangga,” selak Rangga memotong, memperkenalkan diri.
“Nama yang gagah,” puji wanita itu.
“Dan siapa namamu, Nisanak?” tanya Rangga ingin tahu.
“Apakah itu penting?” wanita itu malah balik bertanya.
“Kalau kau tidak keberatan....”
“Ah.... Semua orang sudah melupakan aku, Ki....”
“Rangga.”
Wanita itu tersenyum. “Aku memanggilmu Rangga saja?”
“Sama sekali aku tidak keberatan.”
“Baiklah, Rangga. Kenapa kau ingin tahu namaku, sementara semua orang selalu menghindar dan melupakan aku...?”
“Rasanya tidak enak kalau kita tidak tahu nama masing-masing. Sedangkan malam masih terlalu panjang untuk dilewati,” sahut Rangga memberi alasan.
“Kau pasti tidak ingin mendengar namaku, Rangga.”
“Kenapa?”
“Karena...,” wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya.
“Karena apa, Nisanak?” desak Rangga ingin tahu.
“Kau akan membenciku, Rangga,” kata wanita itu pelan. Begitu pelan suaranya, sampai hampir tidak terdengar di telinga.
Seketika, Rangga merasakan adanya nada kesenduan pada kata-kata wanita itu barusan. Dan hatinya mendadak saja jadi terkesiap begitu melihat raut wajah wanita itu jadi berselimut mendung. Rangga jadi menduga-duga, siapa sebenarnya wanita ini...? Tapi pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti rupanya masih terlalu jauh untuk mendapat jawaban.
Wanita itu jadi terdiam membisu, memandangi nyala api yang kecil di depannya. Entah apa yang menarik dalam api itu. Tangannya bergerak-gerak mengorek tanah di ujung jari kakinya. Sementara, Rangga hanya diam saja sambil memperhatikan dengan bola mata tidak berkedip. Namun mendadak saja detak jantungnya jadi berdebar keras, begitu berhembus angin kencang, sampai menyibakkan kain yang menyelubungi tubuh wanita di depannya.
“Eh...?”
“Ada apa, Rangga?” tanya wanita itu langsung mengangkat kepalanya.
Begitu terkejutnya Rangga tadi, sampai-sampai terlompat berdiri. Langsung dipandanginya wanita berwajah cantik yang masih duduk beralaskan selembar kain ini. Sorot matanya seakan-akan tidak percaya dengan apa yang terlihat barusan. Di balik kerudung kain itu, ternyata wanita ini mengenakan baju warna merah yang sangat ketat. Sedangkan Rangga berada di dalam hutan ini justru karena mengejar bayangan merah dari rumah Nyi Gembur. Saat itu juga, Rangga jadi teringat cerita Randini. Tapi dugaannya masih belum yakin, kalau wanita yang berada duduk di depannya ini adalah Lestari. Sedangkan orang yang dikejarnya saja tadi, sama sekali tidak diketahui. Yang terlihat tadi kelebatan bayangan saja dengan kecepatan sangat tinggi.
“Maaf, Nisanak. Apakah kau yang bernama Lestari?” Rangga langsung saja menebak.
Tapi wanita itu malah tersenyum mendengar pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Dan perlahan, bangkit berdiri, lalu melepaskan kain yang membungkus tubuhnya. Tepat dugaan Rangga. Wanita itu memang mengenakan baju warna merah menyala yang cukup ketat, sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang indah dan ramping menggiurkan. Namun di balik semua keindahan itu, terlihat sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Entah sadar atau tidak, Rangga menarik kakinya ke belakang tiga langkah.
“Pandanganmu sungguh tajam, Rangga. Sayang, kita berada di sini bukan sebagai teman. Tapi kalau kau mau, kita bisa menjadi teman,” kata wanita itu lembut Dan memang, dialah Lestari yang merupakan putri tunggal Ki Rapala, kepala desa yang tewas di tangan anaknya sendiri.
Lestari memang tidak akan peduli. Dia membunuh siapa saja kalau memang ingin membunuh orang. Entah, apa sebenarnya yang terjadi pada diri gadis ini. Dari cerita Randini, Rangga merasakan adanya ketidakwajaran pada diri gadis ini. Dan sorot matanya yang terlihat sekarang, seperti tidak lagi memiliki cahaya kehidupan. Begitu kosong dan datar, seperti bola mata orang yang sudah mati.
“Aku tahu, kau sudah banyak sekali tahu tentang diriku, Rangga. Tapi sayang, kau belum tahu siapa aku sesungguhnya,” kata Lestari.
Kali ini nada suara wanita itu terdengar dingin sekali. Begitu datar, tanpa adanya tekanan sedikit pun. Raut wajahnya juga kini terlihat begitu dingin. Bahkan perlahan-lahan berubah memucat. Rangga jadi agak terkesiap melihatnya, namun berusaha untuk tetap tenang.
“Yang jelas kau pasti bukan Lestari. Kau hanya meminjam tubuh gadis Lestari,” ujar Rangga agak datar suaranya terdengar.
“Ha ha ha...! Sungguh hebat kau, Rangga. Tidak percuma kalau kau mendapat julukan Pendekar Rajawali Sakti. Pandanganmu memang sangat tajam, persis seperti burung rajawali.”
“Hm.... Kau juga sudah tahu tentang diriku, Lestari.”
“Tidak terlalu sulit untuk mengetahui tentang kau, Rangga. Dan aku sudah mengetahuimu sejak lama. Hhh! Kau pasti tidak akan bisa melupakan suaraku ini, Pendekar Rajawali Sakti....”
Rangga jadi tertegun, begitu mendengar suara gadis ini jadi berubah seperti suara seorang perempuan tua yang sudah lanjut, tidak lagi lembut seperti tadi. Saat itu juga, otak Rangga jadi berputar. Dia berusaha mengingat-ingat, suara siapa yang baru saja didengarnya.
“Nyi Sura...,” desis Rangga bisa mengenali suara itu.
“Hi hi hi...! Kau memang hebat, Rangga. Kau bisa mengenali suaraku.”
Rangga jadi tercenung. Sungguh tidak disangka kalau di dalam tubuh Lestari ternyata berisi roh Nyi Sura, orang yang selama ini diburunya bersama Pandan Wangi dari Desa Karuling.
“Di desa Karuling ketangguhanmu kuakui, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sekarang, aku semakin kuat. Aku tidak akan lari lagi menghadapimu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku malah khawatir, malam ini justru kau yang akan menggali lubang kuburmu sendiri. Hi hi hi...!”
“Hm....”
Di Desa Karuling, mereka memang sempat bertarung. Dan Rangga sempat melukai Nyi Sura, sebelum wanita yang sebenarnya sudah tua itu bisa melarikan diri. Tapi sungguh tidak disangka kalau Nyi Sura bisa memindahkan rohnya ke tubuh orang lain. Waktu itu, Rangga sudah yakin kalau Nyi Sura menderita luka yang sangat parah dan tidak mungkin disembuhkan lagi.
Sungguh tidak disangka, dalam beberapa hari saja, Nyi Sura sudah memindahkan rohnya ke tubuh Lestari. Bahkan kembali melakukan perbuatan kejinya, membunuh orang-orang hanya untuk kesenangan saja. Tapi memang sangat aneh ilmu yang dimiliki Nyi Sura ini. Semakin banyak membunuh orang, semakin digdaya saja ilmunya. Malah, kekuatannya akan semakin berlipat ganda kalau kedua tangannya sudah berlumuran darah.
Ilmu yang sangat aneh ini, membuat Rangga harus berhati-hati menghadapinya. Sedikit saja terluka dan mengeluarkan darah, akan membuat wanita itu semakin bertambah kuat saja. Dan semakin banyak darah yang keluar dari tubuh lawannya, semakin sulit saja dikalahkan. Rangga tidak tahu, ilmu apa yang dimiliki Nyi Sura.
“Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Jemput ajalmu.... Yeaaah...!”
Belum lagi hilang kata-katanya, Nyi Sura yang meminjam tubuh Lestari sudah melesat begitu cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga dilepaskannya satu pukulan yang sangat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hupts...!” Namun dengan liukan tubuh yang sangat indah, serangan wanita ini dapat dihindari. Dan Rangga cepat-cepat menarik kakinya ke belakang dua langkah.
Tapi pada saat itu juga, Lestari sudah melepaskan satu tendangan menggeledek sambil memutar tubuhnya ke samping.
“Yeaaah...!”
“Hap! Hih...!”
Plak!
“Ikh...!”
Lestari jadi terpekik kaget, karena tanpa diduga sama sekali Rangga tidak berkelit menghindar. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti memapak tendangannya, dengan satu kebutan tangan kiri yang begitu cepat, hingga kakinya tidak dapat ditarik lagi. Maka, satu benturan yang sangat keras pun terjadi, membuat wanita itu jadi terpekik. Cepat kakinya ditarik dan melompat ke belakang sambil berputar satu kali di udara.
Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak, tidak terpengaruh sedikit pun dari tangkisan tangan kanannya tadi.
“Ugkh...!” Lestari tampak terhuyung-huyung sedikit begitu kakinya kembali menjejak tanah. Seketika pergelangan kakinya terasa begitu nyeri. Tapi rasa nyerinya itu cepat bisa dihilangkan, dan kembali bersiap hendak melakukan pertarungan.
Melihat dari gerakannya, saat itu juga Rangga langsung teringat seorang wanita yang beberapa hari lalu menghadangnya, dan meminta agar dia dan Pandan Wangi meninggalkan Desa Paranggada. Tanpa dijelaskan lagi, Rangga langsung tahu kalau wanita yang menghadangnya pasti Nyi Sura, yang meminjam tubuh Lestari. Rangga tidak tahu, ada berapa orang yang digunakan Nyi Sura. Pendekar Rajawali Sakti langsung menyadari kalau sekarang ini tengah mendapatkan kesulitan yang sangat besar. Nyi Sura sudah bisa memindahkan rohnya ke tubuh orang lain. Dan ini berarti semakin sulit saja untuk melenyapkannya. Kalau pun Pendekar Rajawali Sakti bisa membunuh raga yang dipinjam Nyi Sura, itu bukan berarti Nyi Sura juga sudah ikut mati. Rohnya akan melayang mencari raga baru. Dan yang lebih parah lagi, raga yang sebenarnya sudah mati, akan sulit ditaklukkan. Rangga merasa sama saja berhadapan dengan orang mati yang tidak mungkin dimatikan untuk kedua kalinya.
“Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaa...!”
Sret!
Cring!
Wut!
“Haiiit..!”
Rangga cepat-cepat merundukkan kepalanya, saat Nyi Sura kembali menyerang sambil mencabut pedangnya, dan langsung membabatkannya ke leher Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja Rangga cepat merunduk, sehingga mata pedang yang kelihatannya biasa saja hanya lewat di atas kepalanya.
Tapi, angin tebasan pedang itu sempat juga terasa, membuat Rangga cepat-cepat menarik kakinya ke belakang dua langkah. Memang, angin tebasan pedang itu terasa sangat panas, menyengat kulit kepala. Dan belum sempat Rangga berpikir lebih jauh lagi. Nyi Sura yang menggunakan tubuh Lestari sudah kembali melesat menyerangnya.
“Hiyaaat...!”
Bet!
Wuk!
“Hup! Yeaaah...!”
Rangga terpaksa harus berjumpalitan, menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ dalam menghadapi perempuan yang sebenarnya sudah mati ini. Kilatan-kilatan cahaya pedang berkelebat mengurung tubuhnya yang tengah meliuk-liuk bagai belut. Begitu licin, hingga masih terasa sulit bagi Lestari untuk bisa menyarangkan pedangnya ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
TUJUH
Entah, sudah berapa jurus pertarungan antar Rangga dan Nyi Sura yang menggunakan tubuh Lestari itu berlangsung. Jurus demi jurus terus cepat berganti. Dan Rangga juga sudah mengerahkan dan menggabung-gabungkan rangkaian lima 'Jurus Rajawali Sakti' yang sangat tangguh dan berbahaya. Dengan jurus-jurus itu, Nyi Sura semakin kelabakan saja menghadapinya. Malah sama sekali tidak bisa lagi menyarangkan serangan-serangan. Semua sambaran pedang dan pukulan serta tendangan yang dilancarkannya, mudah sekali dapat dihindari Pendekar Rajawali Sakti.
“Setan keparat! Hiyaaat...!” Nyi Sura semakin bertambah geram saja dan terus memperhebat serangan-serangan. Begitu cepat kebutan-kebutan pedangnya, sehingga bentuknya jadi lenyap. Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya putih keperakan, menggulung tubuh Rangga yang juga hanya kelihatan bayangannya saja.
Entah sudah berapa jurus pertarungan berlangsung, tapi sedikit pun belum ada tanda-tanda bakal berhenti. Sementara, malam terus merayap semakin bertambah larut. Dan udara di sekitar pertarungan itu jadi terasa hangat. Kilatan-kilatan cahaya pedang Nyi Sura yang dalam tubuh Lestari, membuat sekitarnya jadi terang.
Kini pertarungan itu terus meningkat menggunakan ilmu-ilmu kedigdayaan, sehingga menimbulkan ledakan-ledakan yang terdengar saling susul dan menggelegar dahsyat. Batu-batu mulai terlihat pecah berhamburan. Puluhan pohon bertumbangan. Bahkan tidak sedikit yang hangus terbakar. Tapi, pertarungan itu masih terus berlangsung semakin sengit.
Suara-suara pertarungan itu rupanya terdengar juga oleh Ki Marta dan orang-orangnya yang memang berada dalam hutan ini dalam upaya mengejar Rangga yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di Desa Paranggada.
Dan bukan hanya Ki Marta saja yang terkejut begitu melihat pemuda yang dikejarnya kini tengah bertarung sengit melawan seorang wanita berbaju merah. Tapi, semua pengikutnya juga jadi mengkeret nyalinya. Dan yang lebih mengejutkan, ternyata lawan yang sedang dihadapi pemuda berbaju rompi putih itu adalah Lestari. Karena dialah putri tunggal Ki Rapala kepala desa mereka sendiri. Dan Ki Rapala pun telah menjadi korban pembunuhan pula.
“Ki! Bukankah itu Lestari...?” ujar salah seorang pemuda yang berdiri di sebelah kanan Ki Marta.
“Hm, benar,” sahut Ki Marta agak menggumam terdengar suaranya.
“Hebat..! Tidak disangka kalau dia punya kepandaian begitu tinggi,” sambung pemuda lainnya memuji.
Sedangkan Ki Marta hanya diam saja memandangi pertarungan itu tanpa berkedip sedikit pun juga. Tampak keningnya jadi berkerut, seakan-akan tengah memikirkan sesuatu. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Namun....
“Kalian berpencar, dan kepung tempat ini. Jaga jangan sampai gadis itu bisa lolos!” perintah Ki Marta agak mendesis terdengar suaranya.
“Eh?! Apa, Ki...?”
Tentu saja pemuda-pemuda itu jadi terkejut mendengar perintah Ki Marta barusan. Sungguh mereka tidak mengerti, kenapa justru harus memusuhi Lestari. Dan, kenapa bukannya pemuda asing yang tadi dikejar yang harus dimusuhi...? Tapi, tidak ada seorang pun yang berani membantah perintah Ki Marta. Walaupun dengan raut wajah memancarkan ketidakmengertian, tapi mereka bergerak juga mengepung tempat ini dari jarak yang cukup jauh.
Sementara, Ki Marta tetap berdiri tegap memperhatikan pertarungan. Kedua bola matanya tidak berkedip sedikit pun. Beberapa kali mulutnya menggumam pelan, dan hampir tidak terdengar suaranya. Sementara pertarungan antara Rangga dan Nyi Sura yang menggunakan tubuh Lestari, masih terus berlangsung sengit.
“Hup! Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja secara bersamaan, mereka melompat ke atas sambil berteriak keras menggelegar. Semua orang yang ada di sekitar pertarungan itu jadi menengadahkan kepala. Dan saat itu juga, mereka saling melontarkan pukulan keras dan cepat bagai kilat
“Yeaaah...!”
“Hiyaaa...!”
Plak!
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar seketika itu juga terdengar, tepat di saat dua pasang telapak tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi yang berisi aji kesaktian beradu di udara. Tampak bunga api memercik, menyebar ke segala arah disertai kepulan asap hitam membubung tinggi ke angkasa. Dan pada saat itu juga, terlihat kedua orang yang bertarung itu sama-sama terpental jauh ke belakang. Secara bersamaan pula, mereka jatuh bergulingan di tanah beberapa kali.
“Hoeeekh...!”
“Ugkh!”
Tampak Nyi Sura yang memakai tubuh Lestari memuntahkan darah kental berwarna kehitaman, begitu tubuhnya berhenti berguling. Sedangkan Rangga melenguh berat, sambil memegangi dadanya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-geleng. Dan begitu bangkit berdiri, kedua kakinya seperti tidak sanggup menahan beban berat tubuhnya, sehingga jadi limbung beberapa saat.
Sementara, Nyi Sura masih terduduk dengan kedua lutut tertekuk ke belakang. Dan pedangnya menjadi tumpuan berat tubuhnya.
“Ukh...!” Perlahan wanita itu bangkit berdiri, bertumpu pada pedang yang ujungnya menghunjam ke dalam tanah. Sesaat tubuhnya masih kelihatan limbung. Mulutnya penuh darah yang menggumpal kental. Sesekali darah yang memenuhi rongga mulutnya termuntah.
Sementara Rangga sudah bisa berdiri tegak, walaupun pandangan matanya masih agak berkunang-kunang.
“Kau.... Kau memang hebat, Pendekar Rajawali Sakti...,” ujar Nyi Sura terbata-bata suaranya.
Rangga hanya diam saja memandangi wanita itu dengan tajam. Perlahan Nyi Sura mengangkat tangan kirinya ke depan. Namun belum juga sempurna mengangkat tangannya, mendadak saja....
“Akh...!"
Bruk!
Begitu terdengar jeritan tertahan, tubuh wanita yang meminjam raga orang lain itu jatuh terguling kembali ke tanah. Dan kembali dari mulutnya menyembur darah kental kehitaman. Perlahan kepalanya diangkat, langsung menatap Rangga yang masih tetap berdiri tegak memandanginya.
“Aku belum kalah, Pendekar Rajawali Sakti.... Tunggulah! Aku akan kembali lagi membalas semua ini. Akh...!” Nyi Sura yang memakai tubuh Lestari, langsung ambruk setelah berkata tersendat. Dan tubuhnya tidak lagi bergerak sedikit pun juga.
Sementara, Rangga masih berdiri memandangi beberapa saat, kemudian melangkah menghampiri wanita itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah....
“Heh...?!”
Wusss!
“Hi hi hi...!”
Bukan hanya Rangga saja yang kaget setengah mati, begitu tiba-tiba tubuh Lestari yang tergeletak di tanah jadi lumer seperti lumpur tersiram air. Dan pada saat yang bersamaan, terlihat secercah cahaya kebiruan melesat dari tubuh gadis itu, disertai terdengarnya suara tawa mengikik mengerikan.
Mau tak mau, bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya jadi meremang berdiri. Begitu cepat cahaya kebiruan itu melesat, sehingga dalam sekejapan mata sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Sedangkan tubuh Lestari sudah lenyap mencair. Rangga jadi berdiri mematung memandangi cairan berwarna merah agak kehitaman yang berasal dari tubuh Lestari.
Dan saat itu, Ki Marta bersama orang-orangnya datang menghampiri. Tapi, kali ini sikap mereka tidak seperti semula. Tidak lagi terpancar cahaya permusuhan di mata mereka. Dan Rangga langsung mengangkat kepalanya, menatap Ki Marta yang sudah berada sekitar setengah batang tombak di depannya.
“Terimalah salam hormat dan maafku, Gusti Pendekar...,” ucap Ki Marta sambil menjura memberi hormat.
“Kenapa kau bersikap begitu, Ki?” tanya Rangga tidak mengerti.
“Maafkan atas tindakanku, Gusti Pendekar. Aku sungguh-sungguh tidak tahu kalau kau seorang pendekar digdaya yang sudah sering kali kudengar julukannya,” sahut Ki Marta masih dengan memberi hormat.
Sementara anak buah Ki Marta yang berjumlah sekitar tiga puluhan itu, langsung mengambil tempat di belakangnya dan langsung berlutut tanpa diperintah lagi. Kata-kata Nyi Sura yang terakhir tadi, sudah menyadarkan. Rupanya mereka selama ini tak tahu kalau pemuda yang dicurigai adalah seorang pendekar digdaya yang julukannya sudah sering kali terdengar. Apalagi, sepak terjangnya. Hal inilah yang membuat mereka langsung berubah sikap.
Rangga yang langsung cepat bisa tanggap, jadi tersenyum sendiri. Nyi Sura tadi memang menyebut julukannya, Pendekar Rajawali Sakti. Kini bisa dimengerti perubahan sikap Ki Marta dan orang-orangnya ini. Sudah barang tentu mereka jadi berubah, setelah tahu siapa sebenarnya pemuda berbaju rompi putih ini.
“Ah, sudahlah.... Bangkitlah kalian. Tidak baik bersikap begitu padaku,” ujar Rangga merasa jengah.
“Gusti.... Sudilah Gusti Pendekar memaafkan kami semua yang telah berlaku tidak semestinya selama ini,” ucap Ki Marta lagi.
“Ah, lupakan saja. Aku bisa mengerti dan memahami semuanya. Kau tidak salah, Ki. Juga orang-orangmu. Sudahlah..., bangkitlah kalian semua,” ujar Rangga lembut.
Ki Marta memerintahkan orang-orangnya berdiri. Dan mereka semua menuruti perintah itu. Sedangkan Rangga melangkah mendekati Ki Marta, langsung menepuk pundaknya dengan senyuman penuh persahabatan tersungging di bibirnya.
“Sebaiknya kita kembali ke desa, Ki,” ajak Rangga. “Sudah terlalu malam. Terlalu berbahaya berada di dalam hutan malam-malam begini,” ajak Rangga.
“Benar, Gusti...,” sahut Ki Marta seraya mengangguk.
“Ah! Tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu, Ki. Panggil saja aku Rangga. Namaku Rangga,” kata Rangga meminta.
“Tapi....”
“Kau tidak perlu bersikap seperti itu. Aku tidak pantas menerima sanjungan yang begitu besar. Aku sama sepertimu juga, Ki. Panggil saja aku Rangga,” ujar Rangga memutuskan ucapan Ki Marta.
“Baiklah, kalau itu maumu,” sahut Ki Marta tidak bisa lagi menolak.
Rangga hanya tersenyum saja. Dan sebentar kemudian, mereka sudah berjalan bersama-sama keluar dari dalam hutan yang sudah hancur porak-poranda akibat pertarungan yang sangat dahsyat tadi. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi, sampai tiba di Desa Paranggada.
“Kita berpisah di sini, Ki. Aku harus kembali ke rumah Nyi Gembur. Aku bermalam di sana. Adikku pasti sudah tidak sabar menunggu,” kata Rangga saat mereka sampai di perempatan jalan.
“Baiklah, Rangga,” sambut Ki Marta.
Mereka pun berpisah. Rangga terus menuju ke rumah Nyi Gembur, sedangkan Ki Marta mengambil jalan ke kanan, pulang ke rumahnya sendiri diikuti pembantu-pembantunya.
Dan malam pun terus merayap semakin bertambah larut Desa Paranggada ini juga semakin terasa sunyi. Malam yang terasa begitu dingin. Tapi, tidak demikian halnya Rangga. Rasanya malam ini begitu panas. Dan Pendekar Rajawali Sakti memang harus secepatnya sampai di rumah Nyi Gembur, untuk bersemadi. Kekuatannya yang begitu banyak terkuras akibat pertarungannya dengan Nyi Sura tadi harus segera dipulih-kan.
********************
Rangga kembali masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. Dia agak terperanjat juga, begitu berada di dalam kamar yang disewanya dari Nyi Gembur. Di dalam kamar itu bukan hanya ada Randini, tapi juga Pandan Wangi dan Nyi Gembur. Ketiga wanita ini seperti sedang menunggunya.
“Kotor sekali kau, Kakang. Dari mana saja...?” tegur Pandan Wangi langsung.
“Panjang untuk diceritakan,” sahut Rangga seraya menghempaskan tubuhnya, duduk di kursi rotan dekat jendela.
Sementara, Pandan Wangi berdiri saja di samping pintu. Sedangkan Nyi Gembur duduk di tepi pembaringan bersama Randini. Mereka semua mengerahkan pandangan pada Pendekar Rajawali Sakti. Namun yang dipandangi seperti tidak peduli. Sebentar matanya dipejamkan. Kemudian tangannya bergerak, memijat bagian dadanya tiga kali.
“Hhh...!”
“Kau seperti habis bertarung, Kakang. Kau terluka?” tanya Pandan Wangi dengan kelopak mata agak menyipit.
Rangga kembali tersenyum seraya menatap gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini. Memang sudah lama sekali mereka selalu bersama-sama dalam pengembaraan. Sudah barang tentu Pandan Wangi bisa cepat mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti baru saja bertarung. Dan sekarang, mendapat luka yang diketahui pemuda itu sendiri.
“Dengan siapa kau bertarung, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Nyi Sura,” sahut Rangga.
“Apa...?! Dia ada di sini?” Pandan Wangi kelihatan terkejut.
“Ya. Dia ada di sini. Dan semua yang terjadi di desa ini akibat ulahnya,” kata Rangga lagi.
“Ukh...!”
“Oh! Kau terluka, Kakang....”
Rangga cepat mengulurkan tangannya ke depan, saat Pandan Wangi mau mendekat. Seketika Pandan Wangi jadi mengurungkan langkahnya. Hanya dipandanginya saja Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sinar mata penuh kecemasan.
“Nanti akan kuceritakan semuanya. Sekarang biarkan aku bersemadi dulu,” kata Rangga meminta.
“Parah lukanya, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Tidak begitu. Tapi kau jangan mendekat, ada racun di sekitar tubuhku. Keluarlah kalian.”
Pandan Wangi langsung bisa mengerti, dan segera mengajak Nyi Gembur dan putrinya keluar dari dalam kamar ini. Dan ketika Pandan Wangi hendak menutup jendela, Rangga sudah cepat mencegahnya. Terpaksa gadis itu terus saja melangkah keluar dari kamar ini, dan menutup pintunya rapat-rapat. Pandan Wangi menyusul Nyi Gembur dan Randini yang sudah berada di ruangan tengah rumahnya. Hanya ada sebuah pelita yang menyala, sehingga hampir tidak sanggup menerangi seluruh ruangan yang cukup luas ini. Mereka bertiga duduk menghadapi meja bundar dari kayu berwarna hitam pekat.
“Dugaanmu ternyata salah, Randini,” ujar Pandan Wangi seraya menatap Randini cukup dalam.
"Tadi Kakang Rangga mengatakan kalau habis bertarung dengan Nyi Sura, orang yang selama ini kami kejar. Dia memang perempuan berdarah dingin. Sudah tidak terhitung lagi berapa orang terbunuh di tangannya. Yang lebih menjengkelkan, perbuatannya itu hanya untuk kesenangan belaka dan untuk menambah kekuatan ilmunya. Dari membunuh itu, Nyi Sura bisa semakin kuat dan tangguh.”
“Tapi, tanda-tanda dari korbannya sangat mirip dengan yang dilakukan Lestari, Kak Pandan,” selak Randini.
Randini memang sudah menceritakan semuanya pada si Kipas Maut ini. Hal ini terpaksa diceritakan, karena Pandan Wangi terus mendesak. Randini tahu kalau ada kecurigaan dalam hati Pandan Wangi, makanya terpaksa harus mengatakan yang sebenarnya. Semula memang Pandan Wangi masih belum percaya betul. Tapi setelah Rangga pulang dalam keadaan terluka dalam, semua yang dikatakan Randini baru bisa dipercayai. Rangga bukan menghindari dirinya, tapi mengejar orang yang hendak membunuh Randini. Dan orang itu ternyata Nyi Sura, wanita pembunuh berdarah dingin yang selama ini dikejar.
“Kak Pandan..., mungkin saja orang itu bukan mengincar aku, tapi Kakang Rangga,” ujar Randini terdengar hati-hati sekali nada suaranya.
“Hm, mungkin juga...,” gumam Pandan Wangi pelan.
“Mungkin, kebetulan saja orang yang Kak Pandan dan Kakang Rangga cari ada di sini. Tapi aku yakin, semua pembunuhan yang terjadi di desa ini dilakukan oleh Lestari,” tegas Randini lagi dengan suara mantap.
“Kenapa kau begitu yakin, Randini?” tanya Pandan Wangi jadi ingin tahu.
Randini tidak langsung menjawab, tapi malah menatap ibunya yang duduk di sebelahnya. Kemudian terdengar tarikan nafasnya yang begitu panjang dan dalam. Lalu dihembuskan kuat-kuat. Sementara, Pandan Wangi terus menatap, seakan menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam. Ruangan ini jadi terasa begitu sunyi, sampai suara jangkrik di luar terdengar sangat jelas. Saat itu, Nyi Gembur bangkit berdiri.
“Aku buatkan minuman hangat dulu,” kata Nyi Gembur, langsung saja melangkah pergi ke belakang.
********************
DELAPAN
Pagi-pagi sekali, Rangga sudah berpamitan pada Nyi Gembur. Diajaknya Randini untuk pergi ke goa yang telah diceritakan semalam. Pandan Wangi tidak mau ketinggalan, karena memang harus ikut untuk menjaga keselamatan anak gadis pemilik kedai yang rumahnya dipakai untuk menginap semalam. Mereka tidak menunggang kuda, karena Randini bukan hanya gadis desa yang lugu, tapi juga tidak pernah menunggang kuda seumur hidupnya.
Semalam Rangga memang sudah menceritakan semua yang dialami di dalam hutan. Dan dia tahu, Nyi Sura belum mati. Tapi yang jelas Pendekar Rajawali Sakti mempunyai pendapat kalau kehidupan Nyi Sura ada di dalam goa, tempat terakhir kalinya ditemukan. Dia yakin, pasti ada di dalam goa itu. Maka Randini harus diajak untuk menunjukkan jalannya.
Namun begitu mereka sampai di perbatasan desa, Ki Marta sudah menanti bersama lima orang pembantunya. Laki-laki separo baya ini meminta Rangga agar mengizinkannya ikut. Dan Rangga sendiri tidak kuasa menolaknya. Kini, mereka berdelapan menuju dalam hutan. Hanya saja, jalan yang dilalui bukan jalan yang semalam dilalui Rangga. Randini tetap berjalan paling depan menjadi penunjuk jalan, didampingi Pandan Wangi. Sementara, Rangga berada di belakangnya bersama Ki Marta, diikuti lima orang pemuda pembantu laki-laki separo baya ini.
Tepat di saat matahari berada di atas kepala, mereka sampai di depan mulut goa yang cukup besar. Dan kelihatannya, memang cukup mengerikan. Bahkan banyak ular yang berkumpul di depan mulut goa ini, memperdengarkan suara mendesis mengerikan. Rangga kemudian meminta mereka semua, menyingkir menjauhi mulut goa itu. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti perlahan melangkah mendekati. Ayunan kakinya baru terhenti setelah berjarak tinggal sekitar tujuh langkah lagi di depan goa ini. Ketika Rangga berdiri tegak memandangi ular-ular itu, Randini mendekati Pandan Wangi.
“Dulu goa ini tidak banyak ularnya...,” bisik Randini.
“Hm.... Kakang Rangga pasti bisa mengatasi,” ujar Pandan Wangi, juga berbisik.
Dan apa yang dikatakan Pandan Wangi memang menjadi kenyataan. Tidak berapa lama kemudian, ular-ular itu terlihat bergerak pergi meninggalkan mulut goa ini. Sedangkan Rangga kelihatan tidak bertindak apa-apa. Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri mematung saja memandangi ular-ular yang kini semakin menghilang di telan semak belukar. Memang tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Pandan Wangi. Gadis itu tahu, Pendekar Rajawali Sakti memiliki sebuah ilmu aneh sehingga bisa berhubungan dengan ular-ular manapun di dunia ini. Semua ilmu itu didapatkan ketika Rangga bertemu sahabat gurunya, Satria Naga Emas.
“Heh...?! Bagaimana mungkin ular-ular itu bisa pergi...? Ilmu apa yang dipakai?” desis Ki Marta keheranan sendiri.
Sementara, Rangga sudah melangkah mendekati mulut goa itu. Tidak ada lagi seekor ular pun yang terlihat lagi. Sementara, mereka yang berada cukup jauh dari mulut goa itu terus memandangi dengan dada berdebar kencang. Semakin dekat Pendekar Rajawali Sakti ke mulut goa, semakin kencang jantung mereka berdetak. Namun belum juga Rangga masuk ke dalam goa itu, mendadak saja....
Slart!
“Hup!”
Secepat secercah cahaya merah meluruk deras dari dalam goa itu, secepat itu pula Rangga mengegoskan tubuhnya ke belakang. Sehingga, kilatan cahaya merah itu hanya lewat di samping tubuhnya. Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik tegak tubuhnya lagi, kembali terlihat satu serangan kilat dari beberapa buah benda berbentuk pisau kecil yang memancarkan cahaya keperakan.
“Hup! Yeaaah...!”
Terpaksa Rangga harus melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali menghindari terjangan pisau-pisau kecil dari perak. Sementara mereka yang menyaksikan dari kejauhan, jadi kaget setengah mati, melihat Rangga diserang dari dalam goa. Hanya Pandan Wangi saja yang kelihatan tenang, karena tahu betul kemampuan Pendekar Rajawali Sakti. Sesulit apa pun bahaya yang menghadangnya, Rangga pasti bisa menghadapi dengan tenang.
Sementara itu, semakin banyak saja senjata kecil berhamburan keluar dari dalam goa, membuat Rangga tidak punya kesempatan sedikit pun untuk menjejakkan kakinya di tanah. Beberapa kali ujung jari tangan dan kakinya menotok benda-benda itu, kemudian kembali melesat ke udara dan berputaran dengan gerakan manis sekali.
“Dia perlu bantuan...,” desis Ki Marta.
“Jangan, Ki!” sentak Pandan Wangi.
Tap!
Cepat sekali gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu menangkap pergelangan tangan Ki Marta, dan mencekalnya erat-erat. Akibatnya, laki-laki separo baya itu jadi meringis, memandangi gadis cantik ini.
“Kakang Rangga tidak perlu bantuan. Lihat saja. Dia pasti bisa mengatasi semuanya,” tandas Pandan Wangi sambil melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Ki Marta.
“Tapi, Nini....”
“Percayalah. Tidak akan terjadi apa-apa pada Kakang Rangga,” kata Pandan Wangi meyakinkan.
Ki Marta tidak bisa lagi berkata-kata. Walaupun raut wajahnya memancarkan kecemasan, tapi tidak bi-sa membantah kata-kata Pandan Wangi. Dan memang kenyataannya, Rangga masih bisa mengatasi serangan-serangan itu, walaupun harus berjumpalitan di udara menghindarinya, tanpa dapat membalas sedikit pun.
“Hup! Hiyaaa ...!”
Tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi-tinggi ke udara. Lalu secepat kilat, tubuhnya meluruk deras dengan kepala berada di bawah. Bagaikan seekor burung rajawali, kedua tangannya mengembang lebar ke samping. Dan saat itu juga....
“Aji Bayu Bajra! Yeaaa...!”
Wuk!
Secepat kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti menyatu di depan wajahnya, seketika itu juga dari kedua telapak tangannya yang terbuka berhembus angin badai yang begitu keras menghantam mulut goa ini.
Glarrr!
Satu ledakan dahsyat seketika terjadi, membuat bumi bergetar hebat bagai diguncang gempa. Dan bersamaan begitu kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, mulut goa itu hancur berkeping-keping. Akibatnya, debu dan bebatuan langsung berhamburan di sekitarnya. Rangga melompat mundur sejauh dua batang tombak, begitu dari dalam kepulan debu di mulut goa bagai kilat.
Wusss!
“Haiiit..!”
Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan, begitu bayangan merah itu meluncur deras menerjang ke arahnya. Tapi di saat bayangan merah itu melewati tubuhnya, saat itu juga....
Plak!
“Akh...!”
“Kakang...!”
“Rangga...!”
Semua yang menyaksikan jadi terpekik, begitu melihat Rangga tahu-tahu terpental ke kanan sejauh dua batang tombak. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti jatuh keras sekali ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Brak!
Sebatang pohon yang cukup besar seketika hancur terlanda tubuh pemuda ini. Namun bersamaan dengan hancurnya batang pohon itu, Rangga cepat sekali melesat bangkit. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak di tanah.
Saat itu juga, bayangan merah yang tadi menerjangnya sudah berada sekitar satu batang tombak di depannya. Tampak kini di depannya telah berdiri seorang wanita muda bertubuh ramping dan padat terbungkus baju warna merah menyala. Rangga langsung yakin kalau wanita itu pernah juga bertarung dengannya. Dan dia tahu, di dalam tubuh wanita ini bersembunyi Nyi Sura.
“Kau pakai siapa lagi untuk menghadapiku, Nyi Sura...,” desis Rangga, terdengar sangat dingin nada suaranya.
“Jangan banyak omong kau, Rangga. Kau harus mampus! Hih...!”
Slap!
“Hap!”
Manis sekali Rangga mengegoskan tubuhnya, tepat ketika Nyi Sura yang kini memakai tubuh gadis ini menghentakkan tangan kanannya. Seketika dari telapak tangan itu memercik kilatan api yang menyambar di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap! Yeaaah...!”
Rangga yang sudah tahu akan kedigdayaan lawannya, tidak ingin bermain-main lagi. Dengan kecepatan kilat, tubuhnya langsung melesat tinggi ke angkasa. Dan saat berada di atas kepala wanita itu, cepat tubuhnya menukik turun dengan kedua kaki berputaran mengarah ke kepala.
“Jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’...,” desis Pandan Wangi yang terus menyaksikan, langsung mengenali.
“Yeaaah...!”
“Upts! Hiyaaa...!”
Sret!
Bet!
“Aikh...!”
Rangga jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja Nyi Sura mencabut ikat pinggang, dan langsung mengebutkannya di atas kepala. Cepat-cepat Rangga memutar tubuhnya. Langsung diberikannya satu pukulan keras ke arah dada, begitu tubuhnya terbalik dengan kepala berada di bawah.
“Hap!”
Namun tanpa diduga sama sekali, Nyi Sura memapak pukulan itu dengan menyilangkan tangan kiri di depan dada. Hingga....
Plak!
“Hap!”
Rangga melenting ke belakang dan berputaran beberapa kali begitu pukulannya mendarat di tangan wanita ini. Sedangkan Nyi Sura sendiri sempat terdorong dua langkah ke belakang. Dengan manis sekali, Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah.
“Hap!”
“Cabut pedangmu, Rangga! Hari ini kita mengadu nyawa!” dengus Nyi Sura dingin menantang.
“Hm....” Rangga sebenarnya masih enggan menggunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang masih saja tersimpan dalam warangka di punggung. Tapi melihat ketangguhan perempuan ini, memang tidak ada pilihan lain lagi. Pedang pusakanya yang sampai saat ini belum ada yang bisa menandingi kesaktiannya harus digunakan.
Cring!
“Hah...?!”
Bukan hanya Nyi Sura yang terbeliak melihat pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru menyilaukan mata. Tapi semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi ternganga memandangnya. Sementara, Rangga sudah menyilangkan pedangnya di depan dada. Sedangkan telapak tangan kirinya sudah menempel pada bagian pangkal gagang pedang.
“Kau sudah membuatku muak, Nyi Sura. Aku tidak akan sungkan-sungkan lagi menghadapimu,” kata Rangga dengan suara begitu dingin dan datar.
“Huh! Kau pikir aku takut melihat pedang bututmu, Pendekar Rajawali Sakti!” dengus Nyi Sura, menutupi rasa keterkejutannya.
“Bersiaplah, Nyi Sura. Kau yang menginginkan. Dan aku tidak akan mengecewakanmu,” kata Rangga lagi, masih dengan suara dingin menggetarkan. Dengan pedang di tangan, Pendekar Rajawali Sakti bagaikan sosok malaikat maut yang sudah siap mencabut nyawa perempuan itu.
Sementara, Pandan Wangi segera meminta yang lainnya untuk menyingkir lebih jauh lagi. Dia tahu, saat ini Rangga akan mengeluarkan aji kesaktiannya yang paling dahsyat dan belum ada tandingannya pada saat ini. Si Kipas Maut tak ingin ada di antara mereka yang terkena ajian dahsyat Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap!”
Saat itu, Nyi Sura sudah siap mengeluarkan ilmu kesaktian pamungkasnya. Sementara, perlahan-lahan Rangga mulai menggosok mata pedangnya dengan telapak tangan kiri. Dan saat itu juga, cahaya biru yang memancar dari pedang pusaka itu menggumpal, tepat ketika telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti berada di ujung senjatanya.
“Hiyaaa...!”
“Hap! Aji Cakra Buana Sukma! Yeaaah...!”
Tepat di saat Nyi Sura melompat sambil berteriak nyaring. Rangga menghentakkan ujung pedang yang tangkainya terpegang oleh kedua tangannya ke depan. Dan saat itu juga, dari ujung Pedang Rajawali Sakti memancar cahaya biru terang yang bergulung-gulung, menyambut tubuh perempuan yang mengenakan baju warna merah menyala ini.
Plas!
“Akh...!”
Bruk!
Nyi Sura langsung jatuh menghantam tanah, begitu tubuhnya terhantam cahaya biru yang memancar dari ujung Pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu hendak melompat bangkit, Rangga sudah menekannya. Akibatnya, wanita itu menggeletak di tanah sambil menggelepar mengeluarkan desisan bagai ular.
“Hih!”
Hanya sekali sentak saja, tubuh Nyi Sura terangkat bangkit berdiri. Sementara, sinar biru yang memancar dari Pedang Pendekar Rajawali Sakti terus menggulung tubuhnya.
“Aaakh...!”
Nyi Sura terus menggeliat-geliat sambil berteriak, seakan-akan seluruh tubuhnya dihunjam ribuan jarum yang sangat menyakitkan. Dan semakin keras perempuan itu berusaha melepaskan belenggu cahaya biru ini, semakin deras pula tenaganya mengalir keluar, hingga tidak dapat lagi dikendalikan.
Saat itu, Rangga perlahan-lahan mulai melangkah maju mendekati. Sedangkan cahaya biru yang memancar dari ujung pedangnya semakin banyak menggumpal menggulung tubuh Nyi Sura. Tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti demikian tajam, seakan tidak ingin melepaskan wanita yang sudah lama dikejarnya ini. Sekilas Rangga berpaling pada Pandan Wangi yang berada di antara orang-orang dari Desa Paranggada.
“Pandan! Cari Batu Mustika Merah miliknya di dalam goa!” teriak Rangga keras.
“Baik, Kakang!” sahut Pandan Wangi. “Hup!”
“Setan keparat! Jangan...!” teriak Nyi Sura terkejut “Hih! Aaakh...!”
Baru saja Nyi Sura hendak melepaskan- pukulan jarak jauhnya pada Pandan Wangi, Rangga sudah menekan kuat sekali. Akibatnya, wanita itu jadi terpekik dan kembali menggelepar di tanah. Dan Rangga sudah menghentakkan pedangnya lagi, sehingga wanita ini kembali berdiri di depannya.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah lenyap di dalam goa. Tapi tidak berapa lama, gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah kembali lagi sambil membawa sebuah batu berwarna merah menyala yang memancarkan cahaya berkilauan begitu indah.
“Kakang, sudah kudapatkan!” seru Pandan Wangi memberi tahu.
“Hancurkan batu itu dengan pedangmu, Pandan!”
“Tidak! Jangaaan...! Akh!” teriak Nyi Sura.
Namun Pandan Wangi sudah mencabut Pedang Pusaka Naga Geni. Seketika pedang berwarna merah bagai terbakar itu langsung saja dihantamkan ke Batu Mustika Merah yang tadi diletakkan di tanah, sebelum mencabut pedangnya.
“Yeaaah...!” Pandan Wangi segera mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan siap dikebutkan. Dan....
Glarrr!
“Hih!”
Tepat pada saat terdengarnya ledakan dari Batu Mustika Merah yang hancur, saat itu juga Rangga mengangkat pedangnya ke atas kepala. Dan...
“Hiyaaa...!”
Cras!
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya. Maka...
“Aaa...!” Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar, bersamaan tergulingnya kepala Nyi Sura, begitu terbabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
“Hup!”
Cring!
Sambil melompat ke belakang, Rangga memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Dan seketika itu juga, cahaya biru memancar menerangi tempat ini jadi lenyap tak terlihat lagi. Sementara, sekitar satu batang tombak di depannya telah menggeletak tubuh seorang wanita berbaju merah. Pendekar Rajawali Sakti berpaling, saat mendengar langkah-langkah kaki menghampirinya.
“Ayo, kita kembali ke Desa Paranggada,” ajak Rangga.
Tidak ada seorang pun yang membuka suara mendengar ajakan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, mereka semua langsung saja melangkah mengikuti Rangga yang sudah lebih dulu berjalan didampingi Pandan Wangi.
“Kakang! Bagaimana kau tahu kalau Nyi Sura punya Batu Mustika Merah?” tanya Pandan Wangi.
“Setiap orang yang bisa melepaskan jiwa dari raganya, akan menyimpan jiwa yang sesungguhnya di dalam sebuah benda. Dan kebetulan saja, aku tahu kalau Nyi Sura selalu membawa-bawa Batu Mustika Merah. Aku jadi berpikir, mungkin di batu itu jiwa yang sesungguhnya disimpan,” jelas Rangga.
“Aku sama sekali tidak memperhatikan, Kakang,” ujar Pandan Wangi. Rangga hanya tersenyum saja. “Kakang, kenapa kita kembali ke Desa Paranggada? Mengapa tidak terus saja melanjutkan perjalan ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Kau lupa pada kuda kita, Pandan...?”
“Oh...?!”
Lagi-lagi Rangga tersenyum. Sedangkan Pandan Wangi hanya tersipu saja. Entah kenapa, gadis itu jadi malu sendiri, karena tidak ingat kalau kuda mereka ditinggalkan di Desa Paranggada. Sudah tentu kuda-kuda itu harus diambil dulu, sebelum melanjutkan pengembaraan yang panjang dan tiada akhir ini.
SELESAI