Perawan Lembah Maut

Serial Pendekar Rajawali Sakti Episode Perawan Lembah Maut Karya Teguh S

Pendekar Rajawali Sakti

PERAWAN LEMBAH MAUT


SATU
SENJA baru saja merayap ke peraduannya. Bias cahaya matahari yang memerah jingga terlihat indah, menyemburat di balik sebuah gunung. Sebuah lembah kecil tampak membentang di bawahnya, ditumbuhi pepohonan yang sangat lebat. Dan tidak jauh dari situ, terlihat sebuah jalan tanah yang sunyi lengang, yang menghubungkan Desa Arunggeti dengan Desa Paringgi.

Tak lama kesunyian di sekitar lembah itu berlangsung. Karena sebentar kemudian terdengar hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu tidak terlalu cepat Tampak di ujung jalan sana, dua orang penunggang kuda tengah mengawal sebuah gerobak kecil yang ditarik dua ekor kuda. Kusir gerobak itu adalah seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya gemuk terbungkus baju hitam yang tidak sempurna cara memakainya. Sehingga perutnya yang buncit tampak seperti ingin mencuat keluar.

Sedangkan dua penunggang kuda yang berada di depan gerobak kayu itu masih terlihat muda dengan pedang tersandang di punggung. Sementara di dalam gerobak yang ditutupi kain kasar, terlihat dua orang wanita yang masing-masing berusia empat puluh lima tahun dan lima belas tahun. Wanita yang lebih tua tampak memangku sambil memeluk bocah laki-laki berusia sekitar delapan tahun.

“Kakang Rupadi...,” panggil pemuda berbaju coklat yang kira-kira berusia sekitar dua puluh lima tahun. Dia berkuda di samping laki-laki yang dipanggil Rupadi.

“Ada apa, Kariba?” tanya laki-laki berbaju biru tua, yang usianya sudah mencapai tiga puluh tahun.

Dialah yang bernama Rupadi Rupadi berpaling sedikit ke kanan. Dan saat itu juga keningnya jadi terlihat berkerut, begitu melihat wajah pemuda yang bernama Kariba memucat. Tampak keringat sebesar butir-butir jagung menitik membasahi wajah Kariba yang tidak tenang. Rupadi lalu menoleh ke belakang, menatap laki-laki tua berperut buncit yang mengendalikan gerobak kayunya. Kemudian, kembali ditatapnya Kariba. Saat itu, Kariba juga berpaling memandangnya. Sehingga, pandangan mereka langsung bertemu. Tapi, Kariba cepat-cepat memalingkan mukanya ke depan lagi.

“Ada yang ingin kau katakan, Kariba?” tanya Rupadi dibuat lembut nada suaranya.

“Entahlah, Kakang. Kalau ingat cerita orang, rasanya aku tidak mau lewat jalan ini...,” desah Kariba perlahan. Dan nada suaranya jelas sekali terdengar bergetar.

“Berharap saja, Kariba semoga kekhawatiranmu tidak menjadi kenyataan,” ujar Rupadi, bisa mengerti apa yang dicemaskan pemuda cukup tampan berbaju coklat itu.

Kariba jadi terdiam. Namun butir-butir keringat semakin banyak membasahi wajahnya. Sekilas wajahnya berpaling ke belakang, menatap gadis manis yang berada di dalam gerobak kayu. Sementara, Rupadi juga jadi membisu. Pikirannya mendadak saja jadi tidak menentu. Terlintas juga omong-omongan orang yang pernah didengarnya, tentang cerita-cerita mengerikan di jalan yang sedang dilalui saat ini. Tapi semua cerita itu memang bukan hanya cerita kosong belaka. Buktinya sudah banyak orang yang mengalami.

Bahkan hanya sedikit saja yang bisa selamat dari maut. Sepanjang jalan di sekitar lembah ini memang sangat mengerikan. Tidak heran kalau orang-orang yang tinggal di sekitar lembah ini menamakannya Lembah Maut. Dan jalan ini juga disebut Jalan Maut, karena dari sepuluh dua puluh orang yang melintas jalan ini, hanya satu orang saja yang bisa selamat. Sedangkan selebihnya.... Rupadi tidak sanggup membayangkan kengerian itu, tapi berusaha untuk tetap kelihatan tenang. Padahal, pikirannya semakin kacau tidak menentu.

Dan sementara itu matahari semakin jauh tenggelam di balik peraduannya. Tidak lama lagi, malam pasti akan datang menyelimuti sekitar lembah ini. Dan sudah barang tentu, mereka tidak ingin bermalam di tempat yang sudah terkenal keangkerannya. Padahal untuk menuju Desa Paringgi, masih jauh sekali jaraknya. Paling tidak, baru tengah malam nanti bisa sampai. Itu pun kalau mereka terus berjalan dan tidak berhenti sama sekali. Apalagi berjalan di malam hari, yang jelas sangat berbahaya. Dan semua itu bisa disadari Rupadi. Tapi sekarang ini, dia dan yang lain sudah berada di tengah-tengah, dan tidak mungkin kembali lagi.

“Kakang...,” desis Kariba tiba-tiba. Suaranya terdengar agak tersedak. Rupadi langsung berpaling menatapnya.

“Kau dengar suara itu, Kakang...?” sambung Kariba, pelan sekali suaranya. Rupadi hanya diam saja. Sayup-sayup telinganya juga mendengar suara seperti lolongan anjing hutan. Rupadi segera menghentikan langkah kaki kudanya. Sedangkan Kariba sudah sejak tadi berhenti, segera turun dari kudanya. Dihampirinya gerobak kayu yang juga berhenti. Rupanya, mereka yang ada di dalam gerobak ini juga mendengar lolongan anjing yang sangat memilukan itu.

“Ada apa, Kakang Kariba?” tanya gadis manis yang duduk di dalam gerobak.

Kariba tidak langsung menjawab, namun segera saja melompat ke atas gerobak ini. Dan dia kemudian duduk di samping laki-laki tua berperut buncit yang menjadi kusir.

“Kau pindah ke belakang, Golan. Lindungi mereka kalau terjadi sesuatu,” ujar Kariba.

“Baik, Den,” sahut laki-laki tua berperut buncit yang ternyata bernama Golan.

Sementara, Rupadi masih tetap berada di punggung kudanya. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, seakan-akan sedang mencari arah dari lolongan yang semakin jelas terdengar itu. Namun begitu sulit menentukan arahnya, karena lolongan itu seakan-akan datang dari segala arah. Bahkan sepergi mengepung tempat ini.

“Kariba! Cepat tinggalkan tempat ini!” seru Rupadi.

“Baik, Kakang! Hiyaaa...!” Kariba langsung saja menghentakkan tali kekang kuda yang menarik gerobak ini. Kedua ekor kuda itu kontan meringkik keras, lalu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Namun belum juga jauh kuda itu berlari, tiba-tiba saja....

Wusss!
“Hieeegkh...!”

Salah seekor kuda itu langsung meringkik keras, dan kontan tersungkur. Akibatnya kuda yang satu lagi jadi terguling. Hampir saja gerobak kayu itu terguling, kalau saja Kariba tidak cepat-cepat menghentikannya. Dengan gerakan cepat sekali, Kariba melompat turun dari gerobak itu. Langsung dihampirinya kuda yang tergeletak di tanah.

“Panah...!”

Kariba jadi kebingungan. Tapi belum juga mengatakan sesuatu, terdengar pekikan tertahan. Dan...

“Golan...!” pekik Kariba, terkejut. Pemuda itu langsung melompat naik ke atas gerobak ini. Tapi pada saat itu, sebatang anak panah lagi melesat ke arahnya.

“Upts...!” Hampir saja panah itu menghantam dadanya, kalau saja tubuhnya tidak segera ditarik ke kiri. Saat itu, laki-laki tua berperut buncit yang menjadi kusir gerobak kuda ini sudah tergeletak di tanah. Tampak sebatang anak panah menembus batang lehernya.

“Aaa...!”

“Eh...?!” Kariba kembali dikejutkan oleh terdengarnya jeritan panjang melengking tinggi. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat Rupadi terbanting dari punggung kudanya, dengan sebatang anak panah menembus dada. Kariba semakin bingung. Sementara, dua perempuan dan seorang anak laki-laki di dalam gerobak ini sudah kelihatan begitu ketakutan.

“Cepat turun dari kereta...!” perintah Kariba.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, wanita yang paling tua bergegas turun dari gerobak kayu ini bersama bocah yang berada dalam pelukannya. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, sebatang anak panah sudah melesat ke arahnya. Dan....

Crab!
“Aaakh...!”

Sebatang anak panah tiba-tiba saja menyambar batang leher perempuan itu. Akibatnya, tubuhnya kontan terjengkang. Sedangkan bocah yang berada dalam gendongannya kontan terlepas dari tangan dan jatuh ke tanah.

“Ibuuu...!”

“Sari, jangan...!” sentak Kariba, langsung mencekal tangan gadis manis yang akan memburu keluar dari atas kereta gerobak kayu ini.

Kariba semakin kelihatan bingung, apa yang harus dilakukan. Sementara dia sama sekali tidak tahu dari mana datangnya anak-anak panah itu. Perlahan Kariba turun dari gerobak kuda ini sambil mengendap-endap, cepat disambarnya bocah kecil itu. Lalu, Kariba segera kembali ke gerobak, dan meletakkan bocah itu di dalamnya. Setelah itu, kembali dia mengendap-endap mendekati kuda penarik gerobak yang tinggal satu. Lalu dilepaskannya tali-tali dari kuda yang sudah mati. Kemudian tali itu dipasangkan ke kudanya sendiri. Selanjutnya, kudanya siap untuk menarik gerobak itu. Sambil mengendap-endap dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, perlahan-lahan Kariba kembali naik dan duduk di tempat kusir kereta yang sangat sederhana ini.

“Hiyaaa...!” Kariba langsung menggebah dua ekor kuda yang menarik gerobak kayu ini. Kuda-kuda itu meringkik keras, lalu melesat cepat membawa gerobak kayu ini, yang jadi terguncang-guncang memperdengarkan suara berderak. Tapi Kariba tidak peduli lagi. Kudanya terus digebah sambil berteriak-teriak agar semakin cepat berlari.

“Hiya! Hiyaaa...!” “Kakang, mereka mengejar...!” teriak Sari.

“Oh...?!” Kariba jadi terkesiap begitu menoleh ke belakang. Tampak sekitar sepuluh orang tengah menunggang kuda yang dipacu cepat di belakang. Dan tampaknya, mereka memang mengejar gerobak ini. Kariba terus menggebah kuda-kudanya agar terus berlari semakin cepat.

“Hiya! Hiyaaa...!”

Sepuluh orang penunggang kuda itu semakin dekat saja jaraknya. Bahkan salah seorang tampak sudah memasang panah pada busurnya. Lalu....

Swing! Panah itu melesat cepat bagai kilat begitu dilepaskan dari busur. Dan....

Jleb!

“Aaakh...!”

Terdengar jeritan menyayat dari dalam gerobak. Kariba cepat berpaling ke belakang. Seketika jantungnya seakan jadi berhenti berdetak, begitu melihat bocah kecil yang kini berada dalam pelukan Sari tertembus panah pada punggungnya. Sementara, Sari jadi terpekik. Malah bocah itu makin dipeluk erat-erat.

“Pindah ke depan, Sari...!” teriak Kariba.

Sari menangis sesenggukan sambil memeluk bocah kecil itu. Sementara, orang-orang berkuda yang mengejar mereka semakin dekat saja. Walaupun Kariba sudah berusaha memacu cepat, tapi kedua ekor kuda itu memang terlalu berat menarik gerobak kayu yang cukup besar ini.

“Cepat, Sari...!” teriak Kariba sambil terus menggebah kudanya.

Sesaat Sari masih terdiam menangis sesenggukkan, kemudian melepaskan pelukannya pada anak kecil yang sudah tidak bernyawa lagi. Lalu gadis itu merangkak ke depan mendekati Kariba, dan duduk di sampingnya. Sementara orang-orang berkuda yang mengejar sudah semakin dekat saja.

“Pegang ini,” ujar Kariba sambil menyerahkan tali kekang kereta ini.

“Apa...?!” Sari tampak terkejut.

“Cepat! Pegang ini...!” Dengan ragu-ragu, Sari menerima tali kekang dari kulit itu.

Sementara, dua ekor kuda yang menarik gerobak ini terus berlari kencang seperti tidak terkendali lagi. Sedangkan Kariba segera merayap ke bagian belakang. Diambilnya busur dan sekantong anak panah. Kini Kariba siap membidik para pengejarnya.

“Hih!”
Wusss!
“Aaa...!”

Terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari arah belakang, begitu anak panah Kariba dilepaskan. Tampak salah seorang pengejar berkuda itu terbanting dari punggung kudanya. Bidikan Kariba memang sangat tepat, menembus langsung ke dada orang itu. Kariba cepat memasang kembali anak panahnya, dan kembali membidik pengejarnya.

“Hih!”
Swing!
Crab!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan panjang melengking, yang kemudian disusul ambruknya seorang lagi. Sementara, Sari yang mengendalikan gerobak ini, terus berteriak-teriak sambil memecut kuda-kuda itu agar semakin cepat berpacu. Gerobak kayu berukuran cukup besar ini semakin keras berguncang, dan berderak-derak, seakan-akan tidak mampu lagi diajak berpacu. Sementara itu, Kariba terus membidikkan anak panahnya.

“Hih!”
Siap!
Jleb!
“Aaa...!”

Kariba tersenyum senang, melihat lima orang sudah dijatuhkannya. Dan memang, pemuda ini sangat mahir menggunakan panah. Setiap bidikannya bisa dipastikan tidak pernah meleset. Kehilangan lima orang, rupanya pengejar-pengejar itu berpikir juga. Maka, mereka seketika menghentikan pengejarannya. Dibiarkan saja gerobak kuda itu melaju cepat meninggalkan kelima penunggang kuda ini. Senyum Kariba makin melebar melihat lima orang pengejarnya sudah berhenti. Pemuda itu cepat kembali ke depan, dan duduk di tempatnya semula. Kembali diambilnya tali kendali kereta ini dari tangan gadis manis di sebelahnya.

“Mereka tidak mengejar lagi, Sari,” kata Kariba memberi tahu. Sari hanya diam saja. Wajahnya berpaling ke belakang, melihat bocah kecil yang kini sudah tertelungkup tidak bernyawa lagi dengan punggung tertembus panah. Sementara, Kariba mulai memperlambat lari gerobak kayu ini. Dia juga berpaling ke belakang, seraya menghembuskan napas panjang.

“Kita akan urus nanti setelah sampai di Desa Paringgi,” ujar Kariba perlahan.

“Kita tinggal berdua, Kakang. Tidak punya apa-apa lagi,” ujar Sri lirih.

“Hhh...!” Kariba hanya menghembuskan napas panjang saja.

********************

Menjelang tengah malam, gerobak yang membawa Kariba dan Sari tiba di Desa Paringgi. Sunyi sekali keadaan desa ini. Tidak ada seorang pun yang terlihat berada di luar rumah. Hanya nyala lampu pelita di beranda depan rumah saja yang terlihat, menandakan kalau desa ini masih ada penghuninya. Kariba terus menjalankan gerobak kudanya perlahan-lahan memasuki desa yang tidak begitu besar ini.

Pandangannya beredar ke sekeliling, seakan ingin me-mastikan keadaan desa yang terasa begitu sunyi. Hentakkan kaki kuda dan gerit gerobak jelas sangat keras terdengar di kesunyian malam ini. Namun Kariba seperti tidak peduli. Gerobak kuda ini terus saja dijalankan perlahan-lahan. Sementara, Sari hanya diam membisu saja di sebelahnya.

“Masih jauh tempatnya, Kakang...?” tanya Sari memecah kesunyian.

“Di ujung jalan ini. Tinggal dua kali belokan lagi,” sahut Kariba juga pelan suaranya.

Namun begitu mereka melewati satu belokan, tiba-tiba saja bermunculan orang-orang dari balik dinding rumah dan pepohonan yang tumbuh di sepanjang pinggir jalan ini. Mereka langsung saja menghadang di depan, memadati jalan. Maka, Kariba cepat-cepat menghentikan langkah kaki kudanya.

“Hooop...!”

“Ada apa, Kakang? Kenapa mereka mencegat kita...?” tanya Sari.

“Entahlah,” sahut Kariba seraya menghembuskan napas sedikit.

Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya, berbaju putih ketat sehingga membentuk tubuhnya yang tegap berotot, melangkah mendekati gerobak kuda ini. Sementara, Kariba dan Sari tetap berada di atas gerobak itu. Dipandanginya laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang menyandang sebilah pedang di pinggangnya. Laki-laki itu berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan dua ekor kuda penarik gerobak kayu.

“Aku Gorapati, kepala desa ini. Maaf, perjalanan kalian terpaksa kuhentikan,” kata laki-laki setengah baya itu memperkenalkan diri.

Suara laki-laki yang mengaku bernama Gorapati terdengar besar dan berat. Malah, berkesan tidak ramah. Tapi dari sikap dan sorot matanya, sudah terpancar keramahannya. Kariba segera turun dari atas kereta kudanya ini, lalu melangkah menghampiri laki-laki setengah baya yang mengaku sebagai Kepala Desa Paringgi ini. Sementara Sari tetap berada di atas gerobak ini.

“Maaf, apakah perjalanan kami mengganggu ketenteraman di sini, Ki?” ujar Kariba dengan suara dan sikap dibuat ramah dan sopan.

“Sama sekali tidak,” sahut Ki Gorapati.

“Lalu, kenapa kami dihentikan?” tanya Kariba.

“Hanya untuk pemeriksaan saja. Maaf, kuharap kau tidak keberatan, Anak Muda. Aku dan seluruh penduduk desa ini hanya berjaga-jaga saja.”

“Kami berdua datang dari jauh, Ki. Kami melewati jalan Lembah Maut. Bahkan tiga orang saudara kami telah tewas di sana. Dan di dalam gerobak itu, ada mayat anak kecil. Maaf, Ki. Aku harus segera sampai dan mengurusnya,” kata Kariba, meminta kebijaksanaan.

Kelopak mata Ki Gorapati jadi menyipit. Kemudian diperintahkannya seorang pemuda yang berada di belakangnya untuk memeriksa ke dalam gerobak. Tak lama, pemuda berusia sekitar dua puluh tahun bergegas mendekati gerobak kuda ini, dan langsung ke bagian belakang. Lalu, kepalanya dijulurkan.

Tak beberapa lama, pemuda itu kembali lagi, dan kepalanya bergerak mengangguk membenarkan kata-kata Kariba barusan. Sementara, Ki Gorapati melangkah menghampiri pemuda ini.

“Ke mana tujuanmu, Anak-Muda?” tanya Ki Gorapati.

“Ke sebelah utara desa ini. Di pinggiran Hutan Guyangan,” sahut Kariba.

“Tempat yang kau tuju masih terlalu jauh, Anak Muda. Bisa esok pagi baru sampai. Sebaiknya, kau ke rumahku saja. Aku dan penduduk Desa Paringgi akan membantu jasad....”

“Adikku,” selak Kariba buru-buru menjelaskan.

“Ya! Sebaiknya kau ke rumah Ki Gorapati saja,” sambut seorang pemuda yang berada di belakang kepala desa itu.

“Kasihan adikmu. Jangan terlalu lama dibiarkan begitu,” sambung yang lain.

Kariba tidak bisa lagi berkata-kata. Hatinya begitu terharu melihat kesediaan penduduk desa ini untuk mengurus mayat adiknya.

“Terima kasih...,” ucap Kariba perlahan.

Memang hanya itu yang bisa diucapkannya. Sementara, Ki Gorapati sudah merangkulnya dengan sikap lembut, seperti seorang ayah pada anaknya. Sedangkan beberapa anak muda sudah menghampiri gerobak kayu itu. Tampak seorang laki-laki tua membantu Sari turun. Saat itu, seorang anak muda naik ke atas gerobak dan memegang tali kendalinya.

“Kalian berdua pasti lelah. Mari, malam ini biar kalian istirahat di rumahku. Besok pagi, kalian baru bisa melanjutkan perjalanan,” kata Ki Gorapati.

“Terima kasih, Ki,” ucap Kariba dan Sari hampir berbarengan.

Mereka kemudian bergerak menuju rumah kepala desa ini. Dan di belakangnya, gerobak kuda dari kayu itu mengikuti, dikendalikan seorang anak muda berusia sekitar dua puluh tahun. Tapi tubuhnya tinggi tegap dan berotot, sehingga seperti sudah berusia tiga puluh tahun saja.

********************

DUA

Malam terus beranjak semakin larut. Dan memang, hari ini sudah lewat tengah malam. Tapi di rumah Ki Gorapati, kelihatan ramai dipenuhi orang. Beberapa orang wanita tampak sibuk mengurus mayat anak laki-laki yang dibawa Kariba. Sedangkan para pemuda menyediakan lubang kubur. Kariba dan Sari tidak bisa lagi menolak kesediaan mereka untuk mengurus jasad adiknya. Dan mereka juga tidak bisa menolak usul Ki Gorapati untuk menguburkannya di desa ini malam ini juga.

“Seharusnya jangan lewat jalan itu, Kariba. Kau bisa mengambil jalan berputar. Memang lebih jauh, dan baru sampai ke sini setelah tiga hari perjalanan. Tapi kurasa itu lebih aman daripada harus melewati jalan di Lembah Maut,” sesal Ki Gorapati, saat dia dan Kariba duduk berdua di bagian samping kanan rumahnya.

“Semula aku sudah mengusulkan begitu, Ki. Tapi kakakku tetap keras kepala. Dan aku tidak bisa berkata apa-apa. Terlebih lagi, ibu menyetujuinya. Dan memang, kami semua hanya berharap tidak mendapat halangan apa-apa di jalan,” ujar Kariba perlahan.

“Sudah terlalu banyak korban yang jatuh. Bahkan sudah lebih dari enam purnama jalan itu tidak dilalui orang lagi. Dan baru kau dan keluargamulah yang lewat setelah enam purnama ini,” jelas Ki Gorapati dengan suara agak mendesah perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.

Sedangkan Kariba hanya membisu saja. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Sementara, malam terus beranjak semakin larut. Dan pemuda itu tahu, Sari mungkin sudah terlelap tidur bersama anak gadis kepala desa ini. Memang, perjalanannya sangat melelahkan. Di dalam hatinya, Kariba benar-benar menyesali sikap kakaknya yang tidak mau mempedulikan kata-katanya, untuk tidak melalui jalan di Lembah Maut. Kalau saja mereka mengambil jalan berputar, tentu tidak akan seperti ini jadinya.

“Seperti yang tadi kukatakan, selama enam purnama ini tidak ada seorang pun yang melalui jalan itu, Kariba. Dan ini rupanya yang mendorong iblis-iblis itu turun ke desa. Tiga hari yang lalu, mereka merajah desa ini dan merampas harta benda kami. Bahkan banyak penduduk mati. Yang lebih menjengkelkan, ada juga yang menculik anak-anak gadis kami. Itu sebabnya, kenapa aku menghentikan jalanmu, Kariba,” jelas Ki Gorapati memberi tahu keadaan di desanya ini tanpa diminta.

“Oh...?!” Kariba terkejut, tidak menyangka kalau Desa Paringgi ini baru saja terkena musibah. Sampai-sampai dipandanginya wajah kepala desa itu dalam-dalam. Jelas sekali terlihat dari keremangan cahaya lampu pelita, wajah Ki Gorapati terselimut mendung yang cukup tebal.

“Ah, sudahlah.... Tidak seharusnya hal ini kukatakan padamu, Kariba,” desah Ki Gorapati, seakan baru menyadari kalau tadi sedang mengeluh.

“Tidak apa-apa, Ki. Aku memang perlu tahu itu,” sergah Kariba sambil berusaha memberi senyum. Tapi, terasa sangat hambar senyumnya.

Ki Gorapati membalasnya juga dengan senyum tipis, dan terasa sangat dipaksakan. Untuk beberapa saat mereka terdiam membisu. Sementara, rumah kepala desa ini sudah mulai terasa sunyi. Dan memang, mereka semua sudah selesai menguburkan jasad adik Kariba yang mati terbunuh di Lembah Maut sore tadi.

“Ki...! Ki...!”

Tiba-tiba terdengar teriakan memanggil kepala desa itu. Tampak seorang anak muda berlari-lari cepat sambil berteriak-teriak memanggil kepala desanya. Malah larinya terlihat terpontang-panting, dan terkadang jatuh terjerembab. Namun dia cepat bangkit berdiri, dan berlari lagi sekuat tenaga. Ki Gorapati bergegas bangkit berdiri, dan melang-kah ke depan rumahnya ini. Sedangkan Kariba segera mengikuti kepala desa itu.

“Eh, Jamin...?! Ada apa...?” tanya Ki Gorapati langsung, begitu anak muda ini dekat.

“Mereka, Ki.... Mereka datang lagi...,” sahut Jamin tersendat-sendat.

“Apa...?!”

“Mereka, Ki. Iblis-iblis dari Lembah Maut....” Ki Gorapati tampak kebingungan beberapa saat.

“Cepat kumpulkan yang lain. Kita hadang sebelum mereka masuk ke desa ini,” perintah Ki Gorapati.

“Baik, Ki."

Pemuda yang bernama Jamin itu bergegas pergi berlari meninggalkan kepala desanya. Sementara Ki Gorapati bergegas melangkah masuk ke dalam rumah, seperti melupakan Kariba yang berada di sampingnya tadi. Dan Kariba sendiri bergegas melangkah menghampiri gerobaknya yang berada tidak jauh dari samping rumah ini. Lalu pemuda itu naik ke dalam gerobak, dan mengambil busur serta dua kantong anak panah. Juga sebilah pedang diikatkan di pinggangnya.

Dan begitu Kariba keluar dari dalam gerobaknya, terlihat Ki Gorapati sudah berada di depan rumahnya lagi. Sebilah pedang sudah tergantung di pinggangnya. Laki-laki setengah baya itu tampak terkejut melihat Kariba sudah siap dengan busur di tangan dan dua kantong anak panah tersandang di punggung. Dan di pinggangnya tergantung sebilah pedang.

“Aku akan ikut menghadang mereka, Ki,” tandas Kariba langsung, sebelum Ki Gorapati bisa membuka suaranya. Ki Gorapati tidak bisa melarang lagi. Sementara pemuda-pemuda desa ini sudah berdatangan, dan berkumpul di halaman depan rumah kepala desanya. Hanya beberapa patah kata saja Ki Gorapati berbicara, kemudian sudah melompat naik ke punggung kudanya. Dan sebentar saja, mereka sudah bergerak menuju perbatasan yang langsung berhubungan dengan Lembah Maut.

Baru saja Ki Gorapati dan sepuluh penduduk Desa Paringgi sampai di perbatasan, mereka sudah langsung diserang orang-orang yang menunggang kuda hitam dan berpakaian serba hitam. Sulit untuk melihat wajah mereka, karena seluruh kepala ditutupi kain hitam yang runcing pada bagian ujung kepalanya. Hanya warna hitam saja yang ada pada wajah mereka.

Kini anak-anak panah langsung berhamburan menghujani pemuda-pemuda desa ini. Jeritan-jeritan melengking dan menyayat pun langsung terdengar saling sambung, disusul ambruknya pemuda-pemuda Desa Paringgi. Kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, tentu saja membuat Ki Gorapati jadi terkejut setengah mati.

“Munduuur...!” teriak Ki Gorapati keras-keras.

Anak-anak muda desa itu segera bergerak mundur, menjauhi jangkauan hujan panah orang-orang berpakaian serba hitam yang semuanya menunggang kuda hitam. Sementara, orang-orang berkuda itu terus bergerak cepat, sambil menghujani panah. Saat itu, Kariba sudah menyiapkan panahnya. Langsung dibidiknya salah seorang yang berada di depan. Panahnya pun melesat cepat dari busur tanpa terbendung lagi, dan langsung menghujam tepat di dada orang berpakaian serba hitam. Kariba cepat memasang lagi panahnya, dan kembali menarik tali busurnya. Lalu....

Jleb!
“Aaa...!”

Ketepatan Kariba dalam memanah, membuat Ki Gorapati dan pemuda-pemuda desa yang berada di belakang jadi terlongong bengong. Sementara, Kariba terus menghujani panah ke arah orang-orang berkuda hitam itu dengan tangkas sekali. Akibatnya gerakan orang-orang berkuda hitam itu jadi terhambat. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah ada lima orang yang terguling jatuh dari kudanya. Kejadian itu, membuat mereka menghentikan gerakannya.

Sementara Kariba sudah siap dengan panah terpasang di busur, menunggu orang-orang berpakaian serba hitam yang semuanya menunggang kuda hitam maju. Tapi mereka tidak juga bergerak maju, malah terlihat mundur perlahan-lahan. Kini justru Kariba yang melangkah maju dengan busur terentang, siap melontarkan anak panah. Sementara, Ki Gorapati dan pemuda-pemuda Desa Paringgi ikut melangkah maju ke belakang Kariba.

“Yeaaa...!”

Namun, ternyata orang-orang berkuda itu malah berbalik dan langsung menggebah kudanya meninggalkan perbatasan Desa Paringgi ini. Seketika itu juga, pemuda-pemuda desa yang berada di belakang Kariba bersorak gembira, sambil mengacungkan golok di atas kepala. Sedangkan kedua tangan Kariba langsung terkulai seraya menghembuskan napas panjang. Memang, tangan tadi sudah terasa pegal, ketika merentangkan busur. Sedikit lagi saja, pasti tidak sanggup mengangkat kedua tangannya.

“Phuihhh...!” dengus Kariba, menghembuskan napas panjang kembali.

Ki Gorapati menghampiri, langsung menepuk pundak pemuda ini sambil tersenyum lebar. Kariba membalasnya dengan senyuman pula. Dan saat itu, pemuda-pemuda yang ada di sekelilingnya langsung menyalami dengan wajah cerah. Sementara Kariba hanya bisa tersenyum dengan mata merembang berkaca-kaca. Baru kali ini kemahirannya dalam memanah bisa digunakan untuk kepentingan orang banyak. Padahal selama ini, hanya digunakan untuk berburu di hutan.

“Ayo kita kembali...!” ajak Ki Gorapati.

Mereka segera kembali ke desa, tapi tidak semuanya. Ada sepuluh orang yang tetap tinggal berjaga-jaga di sekitar perbatasan ini.

“Kau hebat, Kariba. Tidak kusangka, ternyata kau pandai sekali memainkan panah,” puji Ki Gorapati.

“Hanya sedikit, Ki,” ujar Kariba merendah.

“Tapi berkat kehebatanmu, malam ini Desa Paringgi terbebas dari kehancuran,” kata Ki Gorapati terus memuji.

Kariba hanya tersenyum saja. Entah apa yang bisa diucapkan. Yang dilakukannya tadi, sebenarnya hanya melampiaskan kemarahan yang bercampur dendam dalam dadanya. Betapa tidak? Sebagian besar keluarganya telah terbunuh oleh orang-orang dari Lembah Maut.

********************

Kehebatan Kariba dalam memanah dan berhasil memukul mundur orang-orang dari Lembah Maut, cepat tersebar ke seluruh pelosok Desa Paringgi ini. Semua orang membicarakan peristiwa semalam. Dan mereka yang melihat langsung kehebatan Kariba, merasa bangga. Sementara itu di rumah Ki Gorapati, Kariba masih sulit mengabulkan permintaan kepala desa ini untuk tetap tinggi di desa ini.

“Kepandaianmu sangat dibutuhkan di sini, Kariba. Tidak ada seorang pun pemuda di desa ini yang bisa menggunakan panah. Aku yakin, mereka akan senang kalau kau sudi mengajarkannya,” desah Ki Gorapati.

Sedangkan Kariba hanya diam saja. Sesekali matanya menatap Sari yang duduk di sebelahnya. Tapi, gadis tanggung itu hanya diam saja. Padahal dari sorot matanya, dia tahu kalau Kariba meminta pendapat padanya. Sedangkan Sari sendiri merasa tidak memiliki hak untuk melarang atau menyetujui. Semua keputusan diserahkan pada kakaknya.

“Malam nanti, atau entah kapan, mereka pasti datang lagi ke sini. Dan tentu dengan kekuatan yang lebih besar lagi. Sedangkan kami semua, hanya mengandalkan keberanian saja. Pemuda-pemuda di desa ini tidak ada yang memiliki kedigdayaan. Apalagi memanah seperti yang kau miliki, Kariba,” kata Ki Gorapati lagi, terus mendesak agar Kariba mau tetap tinggal di desa ini.

“Melihat kepandaian mereka dalam memanah pun aku tidak yakin bisa terus bertahan dan memukul mundur mereka, Ki,” ujar Kariba terdengar pelan sekali suaranya.

“Kalau kau bersedia mengajarkan pada anak-anak muda di sini, paling tidak mereka telah mempunyai bekal, Kariba. Dan kini kami semakin kuat bertahan.”

“Hhh...!” Lagi-lagi Kariba menarik napas panjang-panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Memang sulit sekali pilihan yang harus dihadapinya sekarang ini. Sementara, Ki Gorapati begitu mendesak. Kariba juga tahu, Desa Paringgi ini membutuhkan seseorang yang bisa mempertahankannya dari kehancuran. Sedangkan dari dua kali pertemuan, Kariba sudah bisa mengetahui kalau kekuatan orang-orang berjubah serba hitam itu tidak bisa dianggap main-main. Malah, dia sendiri tidak yakin akan kemampuannya.

“Bagaimana, Kariba...?” desak Ki Gorapati.

“Baiklah, Ki,” sahut Kariba agak mendesah.

“Terima kasih, Kariba,” ucap Ki Gorapati senang.

“Tapi aku ada satu permintaan, Ki.”

“Katakan saja, Kariba.”

“Terus terang, Ki. Aku tidak mungkin bisa bertahan lama di sini. Dan untuk mengajarkan memanah, tidak sedikit waktu yang dibutuhkan. Sedangkan desa ini memerlukan seseorang yang tangguh secepat mungkin...,” jelas Kariba, terdengar terputus.

“Lalu...?”

Sebentar Kariba terdiam. Matanya memandang lurus ke depan, merayapi beberapa anak muda yang berada di bawah pohon, tengah duduk-duduk di halaman depan rumah kepala desa ini. Mereka seakan sedang menunggu sesuatu.

“Desa Paringgi ini memang berada di luar wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan aku ada usul yang mungkin bisa kau terima, Ki,” kata Kariba lagi.

“Apa usulmu, Kariba?” tanya Ki Gorapati.

“Kirim utusan ke Kotaraja Karang Setra. Mintalah bantuan di sana untuk menghalau iblis-iblis Lembah Maut itu,” ujar Kariba mengemukakan usulnya.

Ki Gorapati langsung terdiam dengan kening berkerut. Dipandanginya pemuda yang duduk didepannya ini dengan sinar mata begitu tajam.

“Kami punya kerajaan sendiri, Kariba...,” ujar Ki Gorapati terdengar agak mendesah suaranya.

“Benar, Ki. Tapi terlalu jauh ke kotaraja meminta bantuan. Paling tidak bisa memakan waktu dua pekan dari sini. Sedangkan Kotaraja Karang Setra, hanya ditempuh dalam tiga hari saja dengan kuda. Jadi kurasa, tidak ada salahnya bila meminta bantuan ke sana, Ki,” kata Kariba lagi.

Ki Gorapati kembali terdiam membisu, memikirkan usul yang diberikan Kariba. Memang diakui kebenaran kata-kata Kariba barusan. Tapi, apa mungkin meminta bantuan pada kerajaan lain? Sedangkan desa ini berada di luar wilayahnya.... Pertanyaan seperti itu terus menggayuti benak Ki Gorapati.

“Aku punya kenalan orang penting di Karang Setia, Ki, kata Kariba lagi.

“Hmmm...,” kening Ki Gorapati jadi berkerut me-mandangi pemuda ini.

“Dia punya kedudukan tinggi di istana, dan termasuk orang terdekat Raja Karang Setra. Kalau Ki Gorapati merasa sungkan, aku bisa bicara dengannya dan meminta bantuan secara pribadi, tanpa mengatasnamakan kerajaan. Bagaimana, Ki...?” usul Kariba lagi.

“Kau yakin temanmu itu bersedia?” tanya Ki Gorapati.

“Orang-orang Karang Setra tidak pernah memandang sesuatu dalam menolong yang lemah, Ki. Aku tahu betul mereka. Malah aku pernah tinggal sekitar tiga tahun di Karang Setra,” ujar Kariba meyakinkan.

“Ya.... Aku juga pernah mendengar tentang kebaikan rakyat Karang Setra,” desah Ki Gorapati.

“Nah! Tunggu apa lagi, Ki...? Sebaiknya kirim saja utusan ke sana.”

“Dia temanmu, Kariba. Dan kau sendiri yang mengatakannya akan meminta bantuan secara pribadi. Jadi kukira, harus kau sendiri yang datang menemuinya di sana,” kata Ki Gorapati.

Kariba mengangkat bahunya sendiri. Dan suasana sejenak jadi hening.

“Berapa lama kau tinggalkan desa ini?” tanya Ki Gorapati setelah cukup lama terdiam.

“Mungkin satu pekan, Ki. Kalau tidak ada halangan, bisa kupercepat sampai lima hari,” sahut Kariba.

“Baiklah. Kapan kau berangkat?”

“Kalau diizinkan, aku berangkat sekarang juga.”

Ki Gorapati terdiam. Perlahan kemudian laki-laki setengah baya itu bangkit berdiri, dan melangkah keluar dari ruangan depan rumahnya ini. Tangannya melambai memanggil seorang anak muda yang tengah duduk bersama teman-temannya di bawah pohon. Anak muda itu bergegas menghampiri Kepala Desa Paringgi ini.

“Siapkan kuda yang bagus dengan perbekalan cukup untuk satu pekan,” pinta Ki Gorapati.

“Mau pergi ke mana, Ki?” tanya anak muda itu keheranan.

“Bukan aku yang pergi, tapi Kariba.”

“Kariba...?”

“Dia akan meminta bantuan temannya. Sudah.... Cepat siapkan kudanya.

“Baik, Ki.”

Ki Gorapati kembali masuk ke dalam rumahnya yang cukup besar ini. Sementara, Kariba tengah berbicara dengan adiknya. Dan bicaranya langsung dihentikan begitu Ki Gorapati kembali duduk di kursinya, tepat di depan Kariba.

“Kudamu sedang disiapkan,” kata Ki Gorapati memberi tahu.

“Terima kasih, Ki,” ucap Kariba.

“Hm...,” Ki Gorapati hanya menggumam saja sedikit. Dan mereka kembali terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang ada dalam kepala mereka saat ini. Beberapa kali Ki Gorapati menghembuskan napas panjang, yang terdengar begitu berat.

“Kariba! Boleh kutanya sesuatu padamu...?” ujar Ki Gorapati setelah cukup lama berdiam diri membisu.

“Silakan, Ki,” sambut Kariba ramah.

“Siapa nama temanmu di Istana Karang Setra?” tanya Ki Gorapati langsung, seperti tidak dipikirkan lagi.

“Kalimun. Dulu dia seorang punggawa, tapi sekarang sudah menjadi panglima yang termuda di sana,” sahut Kariba.

“Dia dari desamu juga?”

“Ya! Kelahiran sana. Tapi, seluruh keluarganya sekarang sudah tinggal di Karang Setra.”

Ki Gorapati terdiam membisu lagi.

“Ada apa, Ki...? Kau kelihatannya tidak yakin...."

“Terus terang, aku sangsi kalau temanmu itu bersedia membantu desa ini, Kariba. Dia seorang panglima, tentu kau akan mendapat kesulitan untuk menemuinya.”

“Sudah sering kali aku mengunjunginya, Ki. Tidak terlalu sulit. Lagi pula, Istana Karang Setra sangat terbuka. Bahkan siapa saja boleh memasukinya, walaupun penjagaannya sangat ketat. Raja Karang Setra sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya, Ki. Aku yakin, Kalimun sudi menolong kita di sini,” tegas Kariba, meyakinkan.

“Mudah-mudahan saja, Kariba,” desah Ki Gorapati panjang. Mereka beranjak bangkit saat melihat anak muda yang disuruh Ki Gorapati muncul di depan sambil menuntun seekor kuda yang tegap dan gagah.

“Aku pergi dulu, Ki,” pamit Kariba setelah mereka sampai di beranda.

“Hati-hati, Kariba. Usahakan jangan terjadi bentrokan dengan siapa pun di jalan,” pesan Ki Gorapati.

“Akan ku usahankan, Ki,” sahut Kariba.

Pemuda itu bergegas melangkah mendekati kuda berkulit coklat yang berkilat ini, setelah memberi beberapa pesan pada adiknya. Dengan gerakan ringan, Kariba melompat naik ke punggung kuda itu. Sebentar ditatapnya Ki Gorapati, kemudian beralih pada Sari, yang berdiri di sebelah kiri kepala desa yang didampingi anak gadisnya.

“Hiyaaa...!”

Kuda coklat itu langsung melesat cepat bagai anak panah terlepas dari busur, begitu Kariba menghentakkan tali kekangnya. Debu langsung mengepul, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Sebentar saja Kariba sudah lenyap dari pandangan, setelah berbelok di tikungan jalan.

Sementara, Ki Gorapati sudah berbalik dan melangkah hendak masuk ke dalam rumahnya lagi. Tapi ayunan langkahnya jadi terhenti, begitu berpaling ke arah Sari yang masih tetap berdiri di beranda depan ini.

“Sari...,” panggil Ki Gorapati.

Sari berpaling ke belakang, dan memutar tubuhnya berbalik. Gadis itu lalu melangkah perlahan menghampiri kepala desa ini, yang berdiri di ambang pintu.

“Ada yang kau pikirkan, Sari...?” tegur Ki Gorapati lembut

“Aku mencemaskan Kakang Kariba,” sahut Sari.

“Kakakmu melaksanakan tugas suci, Sari. Mohon saja pada Sang Hyang Widi untuk keselamatannya. Dan mudah-mudahan dia kembali lagi ke sini bersama temannya yang panglima itu,” kata Ki Gorapati.

Sari hanya diam saja, lalu terus melangkah masuk ke dalam. Sementara, Ki Gorapati memandangi sampai punggung gadis itu lenyap di balik pintu penyekat ruangan, kemudian juga melangkah masuk ke dalam.

********************

TIGA

Hari-hari berlalu terasa begitu lambat. Sudah lima hari Kariba pergi ke Karang Setra, sementara orang-orang dari Lembah Maut sudah dua kali menyerang Desa Paringgi. Mereka membakar beberapa rumah, merampas barang-barang, dan membunuh penduduk yang sama sekali buta ilmu olah kanuragan. Kesengsaraan semakin nyata terlihat di Desa Paringgi. Sementara, Ki Gorapati sudah tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Sekali lagi orang-orang dari Lembah Maut itu datang, desa ini tidak akan tertolong lagi. Ini adalah malam yang keenam kepergian Kariba. Di beranda depan rumahnya, Ki Gorapati kelihatan gelisah sekali. Entah sudah berapa kali beranda depan rumahnya dikelilingi. Sementara ada sekitar dua puluh orang anak muda berada di sekitar halaman depan rumah kepala desa ini. Malam yang begitu pekat dan dingin, terasa sangat sunyi. Tidak satu rumah pun yang menyalakan lampu. Semua orang di desa ini tidak ada lagi yang berani keluar dari dalam rumahnya, kalau malam sudah jatuh menyelimuti seluruh Desa Paringgi ini.

“Kakang Kariba belum datang juga, Ayah...?”

Ki Gorapati berpaling begitu mendengar suara pertanyaan dari belakangnya. Senyumnya langsung terkembang, begitu melihat anak gadisnya tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu. Gadis manis berusia sekitar delapan belas tahun itu melangkah keluar, dan duduk di kursi kayu, tidak jauh dari tempat ayahnya berdiri.

“Belum,” sahut Ki Gorapati agak mendesah perlahan suaranya.

“Kau belum tidur, Purwita...? Sudah larut malam.”

“Aku tidak bisa tidur, Ayah,” sahut gadis yang ternyata bernama Purwita.

“Apa yang kau pikirkan...?”

Belum juga Purwita bisa menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut dari sebelah timur. Ki Gorapati cepat melompat keluar dari beranda depan rumahnya ini, dan langsung berlari cepat diikuti anak-anak muda yang sejak tadi berkumpul di halaman. Mereka terus berlari-lari menuju ke arah sumber ribut-ribut itu. Tampak, tidak jauh dari perbatasan desa sebelah timur, sekitar dua puluh anak muda dengan golok terhunus tengah menghadang dua orang penunggang kuda. Dan mereka segera bergerak menyingkir begitu Ki Gorapati datang.

“Ada apa ini...?” tanya Ki Gorapati.

“Mereka memaksa masuk, Ki. Katanya penting, ingin bertemu denganmu,” sahut salah seorang pemuda yang menghadang dua penunggang kuda itu.

Ki Gorapati memandangi kedua orang yang belum juga turun dari kudanya. Saat itu, salah satu dari dua penunggang kuda yang berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung melompat turun dari punggung tunggangannya. Dia adalah seorang pemuda tampan, dengan tubuh kekar dan berotot.

Sedangkan yang seorang lagi, adalah gadis muda yang sangat cantik. Bajunya warna biru muda yang ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan padat berisi. Dia juga segera melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu indah dan ringan. Dari sini bisa ditebak kalau gadis yang membawa kipas putih terselip di pinggang dan pedang bergagang kepala naga berwarna hitam tersampir di punggung itu tidak bisa dianggap sembarangan.

Dan memang, kedua orang itu tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi, yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka juga sering kali dijuluki Sepasang Pendekar dari Karang Setra.

Sementara itu, Ki Gorapati terus mengamati mereka yang sudah berdiri berdampingan di depan kuda masing-masing. “Siapa kalian berdua? Dan apa maksud kalian datang malam-malam ke desa ini?” tanya Ki Gorapati agak dalam terdengar nada suaranya.

“Namaku Rangga. Dan ini, Pandan Wangi. Kami berdua adalah utusan dari Karang Setra,” sahut Rangga memperkenalkan diri dan juga memperkenalkan Pandan Wangi. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya.

“Utusan dari Karang Setra...?” desah Ki Gorapati agak terperanjat.

“Apa kalian teman-temannya Kariba...?”

“Benar,” sahut Rangga, singkat.

“Lalu, kenapa kalian tidak datang bersama Kariba?” tanya Ki Gorapati lagi.

“Kariba mendapat kesulitan dengan luka-lukanya di jalan. Dia telah bertarung melawan beberapa orang berpakaian jubah hitam. Dan dia...,” jelas Pandan Wangi, terputus kata-katanya.

“Kariba tewas...?” desak Ki Gorapati lagi, terdengar agak bergetar.

Sepertinya, dia bisa menebak apa yang terjadi terhadap Kariba. Kedua pendekar dari Karang Setra itu hanya mengangguk saja.

“Oh.... Anak muda yang sangat berjasa terhadap desa ini. Budimu tak akan kami lupakan, Kariba..., Kariba. Tak ada sebutan yang pantas buatmu selain sebutan pahlawan,” desah Kepala Desa Paringgi itu.

“Dia telah damai di Nirwana, Ki,” hibur Rangga.

“Biarlah kabar ini aku yang akan menyampaikannya pada adiknya.”

Kini Ki Gorapati memerintahkan pemuda-pemuda desa yang mengelilingi untuk kembali ke tempat masing-masing. Dan hanya sekitar dua puluh orang saja yang masih mendampingi kepala desa itu.

“Maaf atas penyambutan yang tidak menyenangkan ini,” ucap Ki Gorapati.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ki. Aku justru kagum dengan kesigapan mereka,” ujar Rangga.

“Mereka semua memang kuperintahkan untuk menghalangi siapa saja yang mencoba masuk ke desa ini. Tapi sungguh..., mereka tidak mengenalmu. Maaf sekali lagi atas sikap mereka, Rangga.” Rangga hanya tersenyum saja. “Kedatangan kalian memang sangat ditunggu-tunggu. Bahkan... Hm.... Mungkin Kariba telah menceritakan semuanya yang terjadi di desa ini pada kalian. Sejak Kariba pergi, sudah dua kali mereka menyerang desa ini,” kata Ki Gorapati sambil melangkah kembali menuju rumahnya.

Rangga dan Pandan Wangi menyejajarkan langkahnya di samping kanan kepala desa, sambil menuntun kudanya. Sementara dua puluh orang pemuda yang mendampingi Ki Gorapati mengikuti dari belakang. Ki Gorapati menceritakan keadaan yang ada di desanya sambil terus berjalan. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian.

“Maaf, Ki. Apakah selama ini dari pihak kerajaan tidak ada usaha untuk melenyapkan mereka...?” tanya Pandan Wangi, setelah mereka semua berada di beranda depan rumah Ki Gorapati.

“Keberadaan orang-orang Lembah Maut sama sekali tidak diketahui pihak kerajaan, Nini Pandan,” sahut Ki Gorapati menjelaskan.

“Tidak ada yang melaporkan?”

Ki Gorapati hanya menggeleng saja.

“Sudah berapa lama mereka di sana?” tanya Rangga lagi.

“Entah sudah berapa tahun. Tapi sebelumnya mereka tidak pernah menjarah sampai ke desa. Biasanya, mereka hanya menghadang siapa saja yang lewat di jalan lembah itu. Entah kenapa, sekarang menjarah desa ini. Mungkin setelah enam purnama tidak ada lagi orang yang sudi lewat di jalan sana,” kembali Ki Gorapati menjelaskan secara gamblang.

“Berapa jumlah mereka, Ki?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Tidak ada yang tahu, Nini. Biasanya, mereka selalu muncul sepuluh orang. Tapi belakangan ini, mereka muncul dengan jumlah lebih banyak. Dan setiap kemunculannya, jumlah itu tidak pernah kurang atau bertambah.”

“Mereka hanya merampok saja, Ki?” tanya Rangga lagi.

“Mereka juga membunuh siapa saja tanpa kecuali. Bahkan juga orang tua dan anak-anak! Mereka bukan lagi manusia. Rangga. Tapi, iblis-iblis yang berujud manusia. Tindakan mereka sangat kejam, tidak kenal belas kasihan sedikit pun!”

“Kau tahu, siapa pemimpinnya, Ki?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Inilah yang membuatku, dan semua orang jadi bingung. Beberapa tahun yang lalu, sebelum gerombolan itu ada dan menguasai lembah, memang ada yang menghuni lembah itu. Dia adalah gadis yang juga sangat kejam seperti iblis. Semua orang menjulukinya sebagai si Perawan Lembah Maut. Hanya sekitar dua tahun Perawan Lembah Maut merajai lembah itu. Dan setelah satu tahun dia menghilang, gerombolan liar itu muncul. Tapi mereka juga selalu mengaku sebagai Prajurit Perawan Lembah Maut,” jelas Ki Gorapati lagi, dengan gamblang.

“Mungkin gadis itu sekarang memang sudah punya pasukan, Ki,” ujar Pandan Wangi agak menggumam suaranya.

“Entahlah, Nini. Mungkin juga...,” desah Ki Gorapati perlahan.

Sesaat mereka terdiam.

“Rasanya, kita harus tahu dulu kekuatan mereka, Kakang,” ujar Pandan Wangi seraya menatap Rangga yang duduk di sebelah kirinya.

“Ini yang sedang kupikirkan, Pandan,” sahut Rangga pelan.

Kembali mereka terdiam membisu. Entah, apa yang ada dalam benak mereka masing-masing saat ini. Sementara, malam terus merayap semakin bertambah larut. Dan keadaan di Desa Paringgi ini semakin terasa sunyi. Malah serangga malam seperti enggan memperdengarkan suaranya. Hanya desir angin saja yang terdengar menggesek dedaunan.

********************

Rangga berdiri tegak di atas puncak sebuah bukit yang cukup tinggi. Bukit ini seperti membatasi langsung antara Desa Paringgi dengan Lembah Maut. Dari atas puncak bukit ini bisa terlihat langsung ke arah desa. Demikian pula lembah yang selama ini ditakuti semua orang, hingga tidak ada yang berani masuk ke dalamnya. Bahkan untuk melewati jalannya saja, tidak ada yang sudi. Kecuali, memang dalam keadaan terpaksa. Atau mungkin, memang ingin mati di sana.

“Hm... tidak ada apa-apa di sana. Hanya hutan, semak, dan batu-batu saja,” gumam Rangga perlahan, dengan pandangan terus tertuju ke arah Lembah Maut.

Pendekar Rajawali Sakti berpaling saat mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Tampak Pandan Wangi dan Ki Gorapati bersama sekitar sepuluh orang anak muda, mendaki lereng bukit ini. Sebentar saja, mereka sudah sampai di tempat Rangga berdiri.

“Sudah kau lihat mereka, Rangga?” tanya Ki Gorapati langsung, begitu tiba di dekat Pendekar Rajawali Sakti.

“Belum. Bahkan tanda-tandanya saja tidak ada,” sahut Rangga.

“Mungkin mereka sudah tahu kedatanganmu,” selak seorang anak muda yang berdiri di belakang kepala desa itu.

“Benar, Rangga. Mereka pasti takut oleh kedatan-ganmu,” sambung pemuda lainnya.

Rangga jadi tersenyum. “Orang-orang seperti mereka tidak mengenal kata takut. Bahkan nyawa mereka sendiri tidak pernah dipikirkan. Kalaupun mereka mundur, itu hanya untuk sesaat saja. Untuk mengatur siasat,” jelas Rangga, kalem.

“Tapi, kenapa mereka tidak kelihatan setelah kau datang...?” tanya pemuda di belakang Ki Gorapati lagi.

Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan itu, dan hanya mengangkat bahu saja sedikit. Kembali pandangannya di arahkan ke Lembah Maut. Masih tetap sama seperti tadi, sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Begitu lengang dan sunyi. Bahkan terlihat begitu mengerikan dari atas bukit ini.

"Kembalilah kalian ke desa. Aku akan melihat ke sana,” kata Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Kau sendiri, Rangga...?” Ki Gorapati jadi terperanjat.

Rangga berpaling sedikit, dan tersenyum saja.

“Ayo, Ki,” ajak Pandan Wangi setelah melihat lirikan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hati-hati, Rangga. Mereka sangat kejam,” ujar Ki Gorapati memperingatkan.

“Tidak lama aku kembali lagi, Ki,” ucap Rangga menenangkan.

Ki Gorapati tak bisa memaksa Pendekar Rajawali Sakti untuk tak pergi ke Lembah Maut malam-malam begini. Sementara Pandan Wangi dan pemuda-pemuda Desa Paringgi sudah berjalan menuruni bukit ini. Sebentar Ki Gorapati berdiri diam di samping Pendekar Rajawali Sakti. Dan pandangannya juga terarah lurus ke Lembah Maut.

“Pergilah, Ki,” ujar Rangga meminta tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Hati-hati, Rangga.”

Setelah berkata demikian, Ki Gorapati bergegas melangkah menuruni puncak bukit ini. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak di sana, menatap lurus ke arah Lembah Maut. Dan perlahan kemudian Pendekar Rajawali Sakti melangkah. Namun setelah berjalan beberapa langkah....

“Hup!”

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat menuruni lereng bukit ini, menuju ke Lembah Maut yang kelihatan menghitam pekat berkesan angker. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat di antara gelapnya malam, dan pepohonan yang sangat rapat. Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dan sesekali tubuhnya melesat naik ke puncak pohon. Lalu dia berlompatan dari satu pohon, ke pohon lain dengan ringan sekali. Tubuhnya bagaikan sejumput kapas yang terbawa angin saja.

“Hap...!”

Rangga berhenti, lalu berdiri tegak pada sebatang cabang pohon yang cukup tinggi dan kuat. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Keningnya agak berkerut melihat dua tubuh laki-laki tergeletak di tengah jalan. Dan tidak jauh dari kedua mayat laki-laki itu, terlihat seorang wanita yang juga tergeletak tidak bernyawa lagi. Mereka tewas dengan anak panah terhujam di tubuh.

“Hmmm...,” Rangga jadi menggumam perlahan. Pendekar Rajawali Sakti teringat cerita Kariba yang sebenarnya ditemukan di perjalanan menuju Karang Setra. Kariba memang dalam keadaan terluka, setelah bertarung melawan perampok yang menjegalnya di tengah jalan. Luka yang sangat parah, membuat pemuda itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Namun dia sempat menceritakan semua yang dialami, juga keadaan Desa Paringgi, sebelum menghembuskan napas yang terakhir. Itu sebabnya, kenapa Rangga sekarang berada di Lembah Maut ini, setelah datang ke Desa Paringgi.

Kariba memang belum sampai ke Karang Setra, tapi sudah bertemu orang utama dari Karang Setra. Pendekar Rajawali Sakti, yang juga raja di Karang Setra. Hanya saja Kariba tidak tahu kalau yang menolongnya adalah Raja Karang Setra yang juga pendekar digdaya dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Dari cerita Kariba yang diingatnya, Rangga sudah bisa menduga kalau mayat-mayat itu pasti sanak saudara Kariba yang dibunuh orang-orang dari Lembah Neraka ini.

“Hup!”

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari atas pohon ini. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun kakinya menjejak pinggir jalan Lembah Maut ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Tidak ada yang bisa dilihat, kecuali kegelapan yang mengelilinginya. Perlahan kakinya melangkah menghampiri mayat laki-laki yang bertubuh tegap, berusia sekitar tiga puluh tahun.

Rangga memeriksa sebentar keadaan tubuh yang sudah tidak bernyawa itu. Sebatang anak panah tampak menembus dadanya. Dari warna hitam yang melingkar di sekitar anak panah itu, Rangga sudah bisa mengetahui kalau panah itu mengandung racun yang sangat mematikan. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, mendadak saja....

Wusss!
“Heh?! Upts...!”

Cepat Rangga memiringkan tubuh, begitu telinganya yang tajam mendengar desir halus dari belakang. Dan seketika terlihat sebatang anak panah meluncur deras, lewat sedikit saja di samping tubuhnya. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik kakinya ke kanan beberapa langkah, sehingga debu di jalan ini berkepul seperti tersepak kaki kuda.

Slap! Wusss!

Kembali terlihat beberapa anak panah berhamburan ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya, pemuda berbaju rompi putih itu terpaksa melesat ke udara. Dan tubuhnya langsung berputaran cepat beberapa kali, menghindari terjangan panah-panah itu.

“Hap!”

Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali di tanah, setelah bisa menghindari semua panah yang berhamburan menyerangnya. Dan baru saja tubuhnya bisa ditegakkan, beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam yang longgar sudah berlompatan keluar dari balik pohon dan semak belukar di sekitar jalan ini. Sebentar saja, Rangga sudah terkepung tidak kurang dari sepuluh orang berpakaian longgar serba hitam.

Mereka juga memakai penutup kepala dari kain hitam yang berbentuk runcing pada bagian atas kepalanya. Memang cukup sulit untuk melihat wajah mereka, karena lebarnya kain hitam yang menutupi kepala dan wajah. Hanya warna hitam saja yang terlihat pada wajah orang-orang ini. Rangga jadi teringat peristiwa yang pernah dialami. Orang-orang berpakaian seperti ini, mengingatkannya pada para penyembah iblis. Dan mereka biasanya disebut kaum pengikut iblis.

Tapi Rangga tidak bisa berpikir lebih panjang lagi, ketika orang-orang berpakaian serba hitam itu sudah berlompatan menyerang sambil mencabut pedangnya. Dan salah seorang yang berada di depan, cepat membabatkan pedangnya ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti.

“Hap!”

Cepat Rangga menarik kepala ke belakang, sehingga ujung pedang orang itu hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya. Dan pada saat yang bersamaan, seorang lagi sudah membabatkan pedangnya ke arah kaki kiri. Dan Rangga cepat mengangkat kaki kirinya sedikit menghindari tebasan pedang itu. Dan saat itu juga. Lengan kirinya dihentakkan ke samping sambil memiringkan tubuhnya ke kanan dengan kecepatan tak terduga sama sekali.

“Yeaaah...!”
Des!
“Akh...!”

Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti ini, sehingga orang itu tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan orang itu terpekik agak tertahan dengan tubuh terpental cukup jauh ke belakang. Memang, keras sekali tendangan Rangga barusan. Padahal tenaga dalam yang dikeluarkannya tidak penuh. Tapi, sudah cukup membuat orang itu tidak bisa cepat-cepat bangkit berdiri.

“Hup! Hiyaaat...!”

Rangga cepat-cepat melenting ke atas, dan hinggap di batang pohon yang cukup kuat. Tapi pada saat itu, beberapa batang anak panah sudah meluncur deras ke arahnya. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting menghindari serangan panah itu. Dan kembali kakinya mendarat di antara orang-orang berbaju serba hitam ini.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
“Gila...!”

Pendekar Rajawali Sakti jadi kaget juga, karena orang-orang berpakaian serba hitam ini langsung saja menyerang, begitu kakinya menjejak tanah. Terpaksa Rangga harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang datang dengan cepat dari segala arah ini. Seketika segera dikerahkannya jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, hingga serangan-serangan orang berpakaian serba hitam itu tidak ada yang bisa mencapai sasaran.

“Hap! Yeaaah...!”

Begitu memiliki kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting ke udara. Dan saat itu juga jurusnya dirubah menjadi jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, tepat di saat tiga orang lawannya juga melesat mengejar ke udara.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, cepat bagai kilat Rangga mengebutkan kedua tangannya yang terentang lebar. Begitu cepatnya, sehingga tiga orang berpakaian serba hitam itu tidak dapat lagi menghindarinya. Maka jeritan-jeritan panjang pun terdengar menyayat saling susul. Tampak ketiga orang itu jatuh terjerembab dengan bagian kepala berlumuran darah. Sementara dengan gerakan manis, Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah.

“Hhh!”

Pendekar Rajawali Sakti langsung bersiap menanti serangan. Tapi, tampaknya orang-orang berpakaian serba hitam ini jadi gentar juga melihat ketangguhan lawannya. Tidak ada seorang pun yang maju menyerang lagi, walau sikap mereka masih tetap mengepung, dengan senjata terhunus di tangan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sudah menyilangkan kedua tangannya yang terkepal di depan dada, siap mengeluarkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali Sakti’ tingkat terakhir. Ini bisa dilihat dari kedua kepalan tangan Rangga yang telah memerah seluruhnya, bagai besi terbakar dalam tungku.

“Ayo maju kalian semua, Iblis-Iblis Keparat!” geram Rangga sudah langsung memuncak amarahnya.

Rangga memang sudah geram, setelah melihat tiga mayat yang tergeletak di jalan ini. Terlebih lagi, setelah melihat keadaan Desa Paringgi. Pendekar Rajawali Sakti rupanya saat ini tidak ingin tanggung-tanggung lagi menghadapi orang-orang berpakaian seperti kaum pengikut iblis ini.

EMPAT

Dan pada saat itu, terdengar hentakan-hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu dengan kecepatan tinggi dari ujung jalan. Begitu kerasnya hentakan itu, membuat bumi yang dipijak jadi terasa bergetar bagai diguncang gempa. Dan saat itu juga, terlihat orang-orang berpakaian serba hitam ini bergerak berputar merapat kepungan. Pedang-pedang mereka pun sudah bergerak-gerak melintang di depan dada.

Tidak berapa lama kemudian, terlihat puluhan penunggang kuda berpacu cepat menuju jalan ini, dari dalam lebatnya hutan di ujung jalan Lembah Maut. Seketika, Pendekar Rajawali Sakti jadi terkesiap begitu melihat semua penunggang kuda itu mengenakan baju hitam yang disambung dengan penutup kepala berbentuk runcing. Pakaian yang sama seperti yang kini sedang mengepungnya. Dan jumlah mereka juga begitu banyak, ada sekitar lima puluh orang.

“Celaka...! Bisa-bisa aku kehabisan tenaga kalau begini...,” desis Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.

Dan tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting tinggi-tinggi ke angkasa. Lalu dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan sempurna, tubuhnya melesat cepat Sehingga orang-orang berpakaian serba hitam yang mengepungnya, jadi tersentak kaget tidak menyangka.

Namun belum juga hilang rasa keterkejutan mereka, Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak terlihat lagi bayangannya. Sementara orang-orang yang menunggang kuda, sudah sampai di tempat ini. Tampak berkuda paling depan, adalah seseorang yang berbaju hitam pekat dan sangat ketat Sehingga memetakan lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping, dengan bagian dada menyembul indah. Meskipun seluruh kepalanya memakai kerudung hitam dan wajahnya mengenakan topeng berbentuk tengkorak, namun dari bentuk tubuhnya sudah bisa dipastikan kalau dia adalah wanita.

Wanita bertopeng itu lalu melompat turun dari kudanya. Gerakannya begitu ringan, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah. Dari sini bisa dipastikan kalau wanita itu memiliki kepandaian tinggi. Saat itu juga, mereka yang tadi bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri, berlutut di depan wanita bertopeng tengkorak ini. Sementara, penunggang-penunggang kuda lain berlompatan turun dari punggung kudanya. Tanpa diperintah lagi mereka langsung bergerak menyebar, mengelilingi tempat ini.

“Siapa lawan kalian tadi?” tanya wanita bertopeng tengkorak itu, sambil melangkah beberapa tindak. Suaranya terdengar sangat datar dan tanpa tekanan sedikit pun. Begitu datar, seakan-akan bicara melalui perut saja. Sementara, orang-orang berpakaian serba hitam yang tadi bertarung tetap berlutut dengan kepala tertunduk menekuri tanah di depannya.

“Kami tidak tahu, Nini. Tapi, tampaknya bukan orang Desa Paringgi. Baru kali ini kami melihatnya, Nini,” sahut salah seorang sambil mengangkat kepala perlahan.

“Bagaimana kalian bisa kehilangan banyak begini, heh...?!”

“Dia sangat tangguh, Nini. Sulit merobohkannya.”

“Huh...!” Wanita bertopeng tengkorak itu mendengus berat. Beberapa saat dipandanginya mayat-mayat yang berge-limpangan di sekitarnya. Mungkin dari balik topeng tengkoraknya bisa diduga kalau wajahnya jadi memerah menahan geram, melihat pengikut-pengikutnya terbunuh hanya oleh satu orang saja.

“Bukankah kalian yang kuperintahkan menggempur Desa Paringgi...?” tanya wanita bertopeng tengkorak, dingin.

“Benar, Nini,” sahut orang berjubah hitam itu lagi.

“Lalu, kenapa kalian mengurusi pekerjaan yang bukan urusan kalian, heh...?!”

“Anak muda itu sangat mencurigakan sikapnya, Nini. Kami memperhatikannya waktu datang ke sini. Mayat-mayat itu diperiksanya sambil menggumam beberapa kali. Aku tidak tahu, apa yang digumamkannya. Lalu kami langsung menyerang, waktu dia memandang lurus ke tempat kita, Nini,” jelas orang itu.

“Anak muda katamu, heh...?!” “Benar, Nini. Usianya mungkin baru sekitar dua puluh tahun. Tapi, kepandaiannya sangat luar biasa. Gerakan-gerakkannya sungguh cepat, hingga kami semua sulit mendesaknya.”

“Hmmm.... Kau tahu, siapa dia?”

“Tidak, Nini.”

“Kau bisa sebutkan ciri-cirinya?”

“Bisa, Nini.”

“Katakan....”

“Dia masih muda. Pakaiannya baju rompi putih. Dan membawa pedang bergagang kepala burung dipunggung. Rambutnya panjang ter....”

“Cukup...!” sentak wanita bertopeng tengkorak itu memutuskan kata-kata pengikutnya.

Orang berjubah hitam langsung menghentikan kata-katanya. Sementara, wanita bertopeng tengkorak itu tampak tertegun dengan jari-jari tangan berada di dagunya yang tertutup topeng kulit. Dari balik topengnya, terpancar sorot mata yang tajam. Jelas, ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.

“Pendekar Rajawali Sakti.... Hm.... Aku yakin, pasti dia,” gumam wanita bertopeng tengkorak itu perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.

Sementara tidak ada seorang pun yang bersuara sedikit pun. Dan wanita bertopeng tengkorak itu memutar tubuhnya berbalik, lalu melangkah menghampiri kudanya yang dipegangi salah seorang pengikutnya. Diambilnya tali kekang kudanya. Lalu dengan gerakan ringan sekali, dia melompat naik ke atas punggung kudanya.

“Ayo kembali...!” seru wanita itu memberi perintah.

Tanpa seorang pun yang membantah, mereka yang datang bersamanya bergegas berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sementara wanita bertopeng tengkorak itu memandangi pengikutnya yang masih tetap berlutut di tanah.

“Cabut pedang kalian!” perintah wanita itu tegas.

“Nini...?!”

Mereka jadi tersentak kaget, tapi tidak bisa membantah lagi. Dengan tangan terlihat gemetar, mereka meloloskan pedang masing-masing. Kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas kepala. Dan....

Jleb!

Hampir bersamaan, mereka menghujamkan pedang itu ke tubuhnya sendiri tanpa keluhan sedikit pun juga. Dan mereka yang tadi bertarung dengan Pendekar Rajawali Sakti langsung ambruk ke tanah dengan pedang tertancap di dada masing-masing.

“Ayo, tinggalkan mereka!” perintah wanita itu sambil memutar kudanya.

Dan mereka langsung bergerak cepat, memacu kudanya meninggalkan jalan tanah yang berada di pinggiran Lembah Maut ini. Cepat sekali mereka berpacu, hingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Sementara tanpa ada seorang pun yang tahu, dari atas sebatang pohon yang cukup tinggi dan terlindung, Rangga memperhatikan semua peristiwa itu dengan hati tercekat.

“Edan...! Manusia atau iblis perempuan itu...,” kutuk Rangga dengan suara mendesis.

Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak bisa memahami sikap wanita bertopeng tengkorak yang dilihatnya malam ini. Pengikutnya yang tidak bisa men-jalankan tugas, harus bunuh diri. Baru kali ini dilihatnya ada seorang pemimpin bertindak demikian kejamnya pada anak buahnya. Tapi, Rangga tidak punya banyak waktu untuk memikirkannya, karena harus segera kembali ke Desa Paringgi. Dan secepatnya, Pendekar Rajawali Sakti harus menghentikan manusia-manusia biadab dari Lembah Maut itu.

Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, dalam waktu tidak berapa lama saja Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali di Desa Paringgi. Pendekar muda dari Karang Setra itu langsung menuju rumah Ki Gorapati. Di rumah kepala desa itu, bukan hanya Ki Gorapati saja yang sudah menunggu. Tapi, Pandan Wangi dan beberapa orang yang tampaknya sudah siap menghadapi orang-orang dari Lembah Maut.

“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Ki,” ujar Rangga langsung, sambil menghempaskan tubuhnya di kursi kayu di beranda depan rumah Kepala Desa Paringgi ini.

“Apa yang ingin kau ketahui, Rangga?” “Orang-orang Lembah Maut”

“Kau sudah temukan mereka?”
“Sudah.”
“Lalu...?”

“Kau tahu, siapa pemimpinnya, Ki?” Rangga balik bertanya.

Ki Gorapati hanya menggeleng saja.

“Dia seorang wanita, memakai topeng tengkorak,” ujar Rangga memberi tahu.

“Wanita bertopeng tengkorak...?” Tampak sekali kalau Ki Gorapati terkejut mendengar penjelasan Pendekar Rajawali Sakti barusan.

“Ya! Kau kenal, Ki...?”

“Perawan Lembah Maut..,” desis Ki Gorapati perlahan. Begitu pelan suaranya, sehingga hampir tidak terdengar.

Sementara Rangga memandangi laki-laki setengah baya itu dengan sinar mata begitu dalam. Sedangkan yang dipandangi jadi termangu, seperti ada sesuatu yang menghantui pikirannya. Dan untuk beberapa saat, mereka semua terdiam membisu. Dan mereka yang mendengar kalau orang-orang berpakaian serba hitam itu dipimpin si Perawan Lembah Maut, jadi tidak bisa lagi membuka suara. Julukan itu memang sudah sering kali terdengar.

Dan bagi yang pernah mendengarnya, rasanya tak akan berani lagi membuka suara untuk membicarakannya. Mereka tahu, tindakan wanita yang berjuluk si Perawan Lembah Maut itu sangat kejam. Bahkan kekejamannya melebihi iblis-iblis neraka. Inilah yang membuat mereka jadi terdiam. Dan dari raut wajah mereka, jelas sekali terpancar rasa kekhawatiran. Mereka takut kalau-kalau si Perawan Lembah Maut itu datang ke desa ini kembali, dan membumihanguskan dengan tuntas.

“Kau pasti sudah dengar banyak tentangnya, Rangga...,” ujar Ki Gorapati perlahan.

“Sedikit,” sahut Rangga agak mendesah.

“Kau tadi bertarung dengan orang-orangnya?” tanya Ki Gorapati lagi. Rangga hanya mengangguk saja. “Kau sempat membunuh mereka?”

Untuk kedua kalinya Rangga hanya mengangguk saja, namun keningnya kini terlihat sedikit berkerut. Pendekar Rajawali Sakti heran juga mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepala desa ini. Tapi, semua keheranannya masih tersimpan dalam hati. Sementara, Ki Gorapati menghembuskan napas panjang-panjang.

“Kau tahu, apa akibatnya kalau mereka tahu kalau kau ada di sini, Rangga? Mereka akan datang ke sini, dan benar-benar akan menghancurkan desa ini hingga rata dengan tanah,” jelas Ki Gorapati tetap terdengar pelan suaranya.

“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Ki,” ujar Rangga tegas.

“Aku percaya padamu, Rangga. Tapi jumlah mereka pasti sangat banyak. Bahkan berkepandaian tinggi. Aku rasa, semua penduduk desa ini tidak akan sanggup menghadapinya. Sedangkan kau.... Hanya kau dan Pandan Wangi saja yang memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan. Rangga...., maaf kalau aku jadi cemas dan... Ki Gorapati tidak melanjutkan ucapannya.

“Aku mengerti kecemasanmu, Ki,” kata Rangga, langsung bisa memahami.

“Untuk menghadapi mereka, memang dibutuhkan satu pasukan prajurit terlatih,” kata Ki Gorapati lagi.

“Tidak ada waktu lagi untuk meminta prajurit datang ke sini, Ki. Mereka akan kuhadapi dan mencoba menghancurkan di luar desamu ini,” tegas Rangga lagi.

“Apa yang akan kau lakukan, Rangga?” tanya Ki Gorapati tidak mengerti.

“Aku akan mendahului mereka, Ki,” sahut Rangga seraya tersenyum.

“Maksudmu.... Kau akan mendatangi mereka di Lembah Maut...?” terdengar tersedak suara Ki Gorapati.

Rangga hanya tersenyum saja, sambil mengangguk.

“Jangan, Rangga. Terlalu berbahaya datang ke sana...,” cegah Ki Gorapati.

“Jangan khawatir, Ki. Aku bisa menjaga diri. Dan tentunya aku juga tidak mau mati di sana. Percayalah. Jika Sang Hyang Widi mengizinkan, aku pasti selamat. Dan mereka tidak akan lagi mengganggu desa ini untuk selamanya,” tugas Rangga lagi, mencoba menenangkan perasaan kepala desa ini.

Ki Gorapati tidak bisa lagi berkata-kata. Dan memang, keinginan Rangga untuk pergi ke Lembah Maut tidak mungkin bisa dicegah lagi. Sementara, Pandan Wangi yang mendengarkan semua percakapan itu hanya diam saja membisu. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Gadis itu sendiri tidak mungkin bisa mencegah Rangga untuk pergi ke Lembah Maut, sebelum mereka menghancurkan desa ini.

Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut. Dan suasana di Desa Paringgi ini terasa begitu sunyi. Tapi, tampaknya malam ini orang-orang dari Lembah Maut itu tidak akan muncul. Dan Rangga memang sudah membuat mereka mundur, sebelum mencapai desa ini.

********************

Pagi-pagi sekali Rangga sudah berada di depan rumah Ki Gorapati. Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu sudah disiapkan untuk menemaninya pergi ke Lembah Maut hari ini juga. Pendekar Rajawali Sakti hanya melirik sedikit saja ketika mendengar suara langkah-langkah kaki menghampiri. Pekerjaannya dalam membenahi pelana kudanya segera dihentikan begitu yang dilihat datang adalah Pandan Wangi.

“Sudah kau siapkan kudaku, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung, begitu dekat.

“Sudah,” sahut Rangga seraya tersenyum. Rangga mengencangkan tali pengikat pelana, kemudian menepuk leher Dewa Bayu beberapa kali dengan lembut. Kuda hitam itu mendengus-dengus sambil menghentakkan kaki depannya beberapa kali. Rangga hanya tersenyum saja melihat tingkah kuda tunggangannya. Sementara Pandan Wangi sudah memeriksa kelengkapan kuda putihnya yang tinggi dan gagah.

“Berangkat sekarang, Kakang...?” ujar Pandan Wangi lagi, seraya melirik sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Memang sebaiknya begitu, Pandan. Sebelum ada penduduk yang bangun,” sahut Rangga.

“Tidak pamitan dulu pada Ki Gorapati?” Rangga tidak menjawab. Ditatapnya rumah Ki Gorapati yang kelihatan begitu sunyi. Memang, semalam mereka mengobrol di beranda depan rumah ini sampai larut. Dan yang pasti, Ki Gorapati juga masih mendengkur di pembaringannya. Tidak terlihat seorang pun yang menjaga rumah ini. Mereka semua begitu yakin kalau orang-orang dari Lembah Maut tak akan muncul. Jadi, kesempatan ini digunakan untuk beristirahat.

“Hup!”

Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat naik ke punggung kudanya. Sementara, Pandan Wangi masih saja tetap berdiri di samping kudanya sendiri. Rangga memandangi gadis cantik yang dikenal sebagai si Kipas Maut.

“Mau ikut, Pandan...?” Rangga menawarkan.

“Aku tidak akan pergi sebelum berpamitan dengan Ki Gorapati,” tegas Pandan Wangi.

“Ki Gorapati pasti belum bangun, Pandan....”

“Sepicing pun mataku tidak bisa terpejam....” Kedua pendekar muda itu jadi terkejut, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari arah rumah kepala desa ini. Dan begitu berpaling, tampak Ki Gorapati sudah berdiri di ambang pintu.

“Kalian akan berangkat sekarang juga?” tanya Ki Gorapati tanpa beranjak sedikit pun juga.

“Ya, sebelum semua penduduk bangun, Ki,” sahut Rangga.

“Baiklah, Rangga. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi padamu. Dan aku hanya bisa berharap, mudah-mudahan berhasil melenyapkan mereka,” ujar Ki Gorapati. “Maaf, aku tidak bisa membantumu lebih banyak lagi.”

“Kau sudah cukup berbuat, Ki,” ujar Rangga cepat-cepat. Ki Gorapati hanya tersenyum saja.

“Kami pergi dulu, Ki,” pamit Rangga.

“Hati-hatilah kalian...,” sambut Ki Gorapati.

Pandan Wangi baru melompat naik ke punggung kudanya. Sementara, Rangga sudah menghentakkan tali kekang kudanya. Sehingga, kuda hitam itu bergerak melangkah perlahan-lahan. Dan sebentar saja, Pandan Wangi sudah menyejajarkan langkah kaki kudanya di samping kuda hitam Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu terus mengendalikan kuda perlahan-lahan, keluar dari Desa Paringgi ini.

Dan setelah melewati perbatasan desa, mereka baru memacu cepat kudanya. Tapi Rangga sengaja tidak memacu kudanya dengan kecepatan penuh, dan tetap sejajar di samping kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi. Tepat di saat matahari baru menampakkan cahayanya di ufuk timur, kedua pendekar itu sampai di jalan yang sunyi dan tidak pernah lagi dilalui orang. Mereka menghentikan lari kudanya, di tempat semalam Rangga bertarung. Tampak mayat-mayat masih bergelimpangan di jalan ini.

“Di sini kau bertarung, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Ya,” sahut Rangga mendesah pelan, seraya mengangguk. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah menceritakan semua yang dialami semalam pada Pandan Wangi.

“Lalu, ke mana mereka perginya?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Ke sana,” sahut Rangga menunjuk. Pandan Wangi mematri pandangannya ke arah yang ditunjuk Rangga. Sementara, Rangga sendiri sudah menjalankan kudanya lagi, ke arah kepergian si Perawan Lembah Maut dan orang-orangnya semalam.

Pandan Wangi bergegas menggebah kudanya, dan kembali berada di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus berkuda tanpa bicara lagi. Sementara, matahari terus merayap naik semakin tinggi, memancarkan cahaya yang terang dan hangat.

********************

LIMA

Siang ini matahari terasa begitu terik memancarkan sinarnya, membuat kulit terasa bagai terbakar. Sementara, di tempat tersembunyi yang terletak di Lembah Maut, terlihat seorang wanita berbaju hitam pekat dan ketat, tengah duduk menyendiri di atas sebongkah batu di pinggir sebuah kolam mata air. Entah, sudah berapa lama wanita itu berada di sana, seakan-akan tidak mempedulikan sengatan sinar matahari yang begitu panas bagai hendak menghanguskan seluruh permukaan bumi ini.

Wanita itu mengangkat kepalanya perlahan, saat mendengar langkah kaki menghampiri dari arah belakang. Dan perlahan pula tubuhnya diputar berbalik. Tampak seseorang berjubah hitam longgar dan berpenutup kepala dari kain hitam yang berbentuk runcing, datang menghampiri. Dan dia langsung berlutut begitu dekat di depan wanita yang wajahnya ditutupi topeng kulit berbentuk tengkorak ini.

“Ada apa?” tanya wanita itu dengan suara dingin.

“Mereka datang, Nini,” sahut orang itu, tetap dengan sikap berlutut hormat.

“Mereka siapa...?”

“Sebaiknya lihatlah sendiri, siapa yang dibawa mereka, Nini. Kau pasti akan menyukainya,” ujar orang berjubah hitam itu. Wanita bertopeng tengkorak ini jadi penasaran juga.

Maka dia segera beranjak bangkit, dan melangkah tanpa bicara lagi. Sementara, orang berjubah hitam itu mengikuti dari belakang. Mereka terus berjalan memasuki sebuah bangunan berbentuk candi, yang seluruhnya terbuat dari batu. Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang sempit dan cukup gelap. Tidak lama kemudian, mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas dan terang benderang oleh cahaya obor yang terpasang di dinding. Di dalam ruangan ini, sudah menunggu sepuluh orang berjubah serba hitam. Dan di depan mereka, ter-lihat tumpukan peti yang terbuka tutupnya. Tampak di dalam peti-peti kayu itu penuh berisi barang terbuat dari emas dan perak. Dan di sana juga terlihat seorang anak muda berwajah tampan. Bajunya sangat indah, terbuat dari bahan sutera halus dengan sulaman-sulaman benang emas. Dia duduk di lantai dengan kedua tangan terikat tambang.

“Kau pasti tidak akan tertarik dengan barang-barang itu, Nini,” ujar orang berjubah hitam yang berdiri di belakang agak ke kanan dari wanita bertopeng tengkorak ini.

“Hmmm...,” wanita itu hanya menggumam saja sedikit. Wanita yang berjuluk Perawan Lembah Maut ini melangkah mendekati anak muda yang masih tetap terduduk di lantai dengan kedua tangan ke belakang terikat tambang. Wajahnya tampan sekali, dan tubuhnya tegap. Kulitnya putih seperti pemuda bangsawan. Beberapa saat wanita bertopeng tengkorak itu mengamati.

“Bawa dia ke kamarku,” perintah Perawan Lembah Maut itu tegas.

“Baik, Nini,” sahut orang berjubah hitam yang sejak tadi mengikutinya di belakang. Tanpa diperintah dua kali, orang berjubah hitam itu menarik pemuda ini hingga berdiri. Lalu, menggiringnya keluar dari ruangan ini.

“Jangan lupa, buka ikatannya...!” seru wanita bertopeng tengkorak itu agak keras suaranya.

“Baik, Nini.” Setelah orang berjubah hitam itu tidak terlihat lagi, wanita bertopeng tengkorak ini memandangi peti-peti yang penuh berisi barang dari emas dan perak. Kemudian dipandanginya sepuluh orang yang berlutut di lantai tidak jauh di depannya.

“Simpan barang-barang ini. Dan, kalian boleh beristirahat. Malam nanti, akan ada tugas yang besar untuk kalian semua. Aku ingin kalian beristirahat cukup hari ini,” ujar wanita itu memberi perintah.

“Segera, Nini...,” sahut sepuluh orang yang semuanya berbaju jubah warna hitam itu, serentak.

Perawan Lembah Maut itu lalu berbalik, dan terus melangkah meninggalkan ruangan ini. Dia berjalan dengan ayunan kaki lebar, memasuki sebuah lorong kecil yang tidak begitu terang. Hanya ada beberapa buah obor saja terpancang di dinding lorong ini. Ternyata, di ujung lorong ini terdapat sebuah pintu yang terbuat dari besi baja hitam yang sangat tebal dan kokoh kelihatannya. Tapi, Perawan Lembah Maut ini mudah sekali mendorongnya hingga terbuka lebar.

Tampak di balik pintu besi ini terdapat sebuah ruangan bagai sebuah kamar peristirahatan putri raja. Begitu indah dan berbau harum bunga-bunga. Di dalamnya, terlihat pemuda tampan tadi, yang baru saja menjadi tawanannya. Pemuda itu tampak tengah duduk di tepi pembaringan yang sangat indah, beralaskan kain sutera halus berwarna merah muda yang lembut. Wanita bertopeng tengkorak itu telah menutup kembali pintu ruangan ini rapat-rapat. Kemudian kakinya melangkah menghampiri pemuda tampan yang masih tetap duduk di tepi pembaringan, memandanginya dengan sorot mata sangat tajam menusuk.

“Siapa namamu, Bocah Bagus?” tanya Perempuan Lembah Maut dengan suara dibuat lembut.

“Kau tidak perlu tahu namaku, Perempuan Iblis!” sentak pemuda itu, langsung kasar.

“Ah.... Jangan bersikap kasar begitu padaku, Cah Bagus. Aku tahu, kau pasti tidak senang melihat sikap anak buahku. Lupakan saja, Cah Bagus. Sekarang, kau sudah ada di sini. Di istanaku ini. Dan tentu, tidak kalah indahnya dengan istanamu, bukan...?” masih tetap terdengar lembut suara wanita itu.

“Huh! Aku tahu siapa dirimu, Perempuan Iblis. Kaulah yang dijuluki si Perawan Lembah Maut. Jadi, jangan harap bisa memperdayaiku...!” ketus sekali nada suara anak muda ini.

“Bagus, kalau kau sudah tahu siapa aku. Tapi terus terang saja, aku lebih senang kalau dipanggil nama saja. Bukan julukan itu yang mereka berikan padaku. Kau ingin tahu namaku...?”

“Huh!”

“Sawitri.... Itulah namaku. Kau boleh memanggilku dengan nama itu,” jelas wanita ini, memperkenalkan diri dengan lembut. Sedikit pun tak ada rasa tersing-gung di hatinya melihat sikap pemuda ini. Sedangkan pemuda itu masih diam saja.

“Siapa namamu...? Aku sudah menyebutkan namaku. Dan sekarang, kau harus memperkenalkan diri.”

“Witangga. Arya Witangga. Panggil saja aku Witangga,” sahut pemuda itu, masih ketus.

Wanita bertopeng tengkorak yang mengaku bernama Sawitri itu terdiam dengan kepala terangguk beberapa kali. Sedangkan pemuda tampan yang mengaku bernama Arya Witangga, juga terdiam membisu. Namun sorot matanya masih tetap terlihat tajam tidak menunjukkan tanda-tanda persahabatan sama sekali.

“Aku tahu, apa yang kau pikirkan, Witangga. Kau pasti merasa tidak senang berada di sini. Tapi aku yakin, tidak lama lagi kau pasti akan menyukai tempat ini,” kata Sawitri yang juga dikenal sebagai si Perawan Lembah Maut itu, dengan suara lembut sekali.

Tapi Witangga tetap diam membisu saja. Dipandanginya wajah wanita yang berbentuk tengkorak mengerikan ini. Meskipun kulitnya putih dan bentuk tubuhnya ramping, namun kalau melihat wajahnya.... Semua orang pasti akan merasa jijik dan mual. Topeng kulit yang dikenakan wanita itu memang sangat halus buatannya. Sehingga, seakan-akan wanita itu tidak mengenakan topeng sama sekali. Begitu halus, hingga orang yang melihatnya pasti akan menyangka, memang seperti itulah wajah si Perawan Lembah Maut ini.

“Kenapa kau memandangiku seperti itu, Witangga...?” tegur Sawitri, merasa jengah dipandangi terus-menerus.

“Aku ingin tahu, seperti apa wajahmu di balik topeng jelek seperti itu,” dengus Witangga dingin.

Sawitri yang selama ini dikenal berjuluk si Perawan Lembah Maut itu hanya diam saja. Tampak beda matanya yang semula terlihat lembut, kini jadi memerah bagai menyimpan suatu bara api yang terbalut dendam. Begitu tajam sorot matanya, sehingga membuat Witangga jadi bergidik juga memandangnya. Maka pandangannya cepat-cepat dialihkan ke arah lain.

“Kau memang gagah dan tampan, Witangga. Dan memang, sudah sepantasnya kau berdampingan dengan gadis cantik. Tapi tidak.... Tidak akan pernah terjadi, Witangga. Orang-orang gagah dan tampan sepertimu, tidak akan punya kesempatan untuk memiliki. Orang sepertimu harus merasakan akibat dari apa yang telah dilakukan padaku..." terasa begitu dingin nada suara Sawitri.

Begitu diucapkannya, sampai membuat jantung Witangga terasa terhenti berdetak seketika. Dan wajahnya pun langsung memucat. Dia tahu, arti dari kata-kata yang barusan didengarnya. Sebuah kata-kata yang mengandung arti sangat dalam. Bahkan memancarkan api dendam yang tidak bisa dipadamkan lagi. Witangga semakin bergetar tubuhnya. Pemuda itu memang sudah banyak mendengar tentang wanita yang menghuni Lembah Maut yang berjuluk si Perawan Lembah Maut.

Dia tahu, wanita ini senang menangkapi pemuda-pemuda tampan dan gagah. Bahkan akan merusak wajah dan membuatnya cacat seumur hidup, lalu dilepaskan begitu saja. Banyak pemuda yang pernah tertangkap wanita ini tidak ada yang kembali dalam keadaan hidup. Kalaupun bisa sampai menemui desa, dalam waktu dua atau tiga hari pasti sudah ditemukan tidak bernyawa lagi.

“Kau ingin melihat wajahku, Witangga...? Inilah wajahku yang sebenarnya. Wajah wanita yang dicampakkan setelah kalian, laki-laki laknat menghancurkan segala-galanya dari diriku. Ini wajahku, Witangga. Lihat...!"

“Ikhhh...!” Witangga jadi terpekik, begitu wanita yang berjuluk si Perawan Lembah Maut ini membuka topeng tengkorak yang selalu dikenakannya.

Hampir tidak dipercaya, apa yang ada di depannya ini. Wanita yang memiliki kulit halus dengan bentuk tubuh yang sangat indah mewah ini, ternyata berwajah begitu mengerikan. Hampir seluruh kulit wajahnya mengelupas, bagai tersiram air panas. Sebelah matanya tidak memiliki kelopak sama sekali, hingga terlihat bundar dan merah bagai bola mainan anak-anak. Baris-baris giginya yang menghitam terlihat jelas, karena tidak memiliki bibir. Bahkan tidak memiliki hidung sama sekali. Hanya lubang besar saja yang terlihat. Witangga jadi bergidik ngeri melihat pemandangan seperti ini. Bahkan tidak sanggup memandang lebih lama lagi.

“Jangan palingkan wajah, Witangga. Tatap aku...! Tatap wajahku ini, Witangga. Tatap...!” sentak Sawitri terdengar kalap.

Dengan perasaan ngeri dan mual pada perutnya, Witangga mencoba untuk menatap wajah wanita ini.

“Orang-orang sepertimulah yang membuat wajahku jadi seperti ini, Witangga. Wajahku dulu cantik. Aku dulu adalah kembangnya Desa Galunggung, sebelah selatan lembah ini. Namun, kembang itu telah layu setelah beberapa pemuda memaksaku untuk menyerahkan kehormatanku. Setelah puas, mereka menyiksaku sambil merusak wajahku. Ketika aku dianggap telah mati, aku lalu dibuang di lembah ini. Dan ternyata nasib baik masih menyertaiku. Sebelum tubuhku dicacah anjing-anjing hutan, aku ditolong oleh seorang perempuan tua yang mengaku berjuluk Penguasa Lembah Maut Dia mengobati dan menyembuhkanku,” tutur Perawan Lembah Maut.

Sejenak wanita bertopeng tengkorak itu diam, seperti mengenang saat-saat yang pedih di hatinya. Kemudian kembali bercerita.

“Begitu telah sembuh, aku dididik dan diajarkan berbagai macam ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Dan setelah aku bisa menguasai seluruh ilmunya, dia meninggal dunia dengan tenang. Bahkan dia membebaskan niatku untuk membalas dendam pada siapa saja yang telah menyakitiku. Itulah dendamku pada pemuda-pemuda tampan, Witangga!” dengus Perawan Lembah Maut.

Napas perempuan bertopeng tengkorak itu tampak memburu. Sepertinya, segala kegeramannya ingin dimuntahkan saat ini juga.

“Dan kini, aku telah menguasai para pengikut Penguasa Lembah Maut Bahkan aku juga dijuluki, Perawan Lembah Maut Dan kau tahu, Witangga.... Aku sudah bersumpah, akan membuat semua lelaki gagah dan sengsara sepertimu sengsara seumur hidup! Dan aku akan membunuh semua orang yang tidak mau mematuhi perintahku. Aku tidak peduli, apa itu laki-laki, perempuan, orang tua, atau anak-anak! Mereka semua harus mati. Juga kau, Witangga...! Kau harus mati setelah wajahmu rusak sepertiku, tahu...!”

“Oh, tidak...,” desis Witangga jadi bergidik ngeri.

Kini Sawitri sudah mengenakan topeng tengkoraknya kembali. Kemudian, kakinya melangkah mendekati Witangga yang sudah gemetar ketakutan, dengan wajah pucat bersimbah keringat. Sementara Sawitri yang dikenal berjuluk Perawan Lembah Maut ini sudah semakin dekat saja. Perlahan dicabutnya sebilah pisau kecil dari balik lipatan ikat pinggangnya.

“Jangan.... Jangan kau lakukan itu, Nini. Jangan...,” rintih Witangga, memohon belas kasihan.

“Dulu aku juga berkata begitu, Witangga. Tapi mereka tidak peduli. Dan mereka terus menyiksaku. Dan sekarang, aku akan menikmati semua yang mereka lakukan padaku,” desis Sawitri, dingin menggetarkan.

“Tapi itu mereka, Sawitri. Bukan aku....”

“Sama. Semua laki-laki sama! Setelah puas, lalu mencampakkannya begitu saja seperti sampah!” bentak Sawitri garang.

Perawan Lembah Maut, terus melangkah perlahan mendekati Witangga. Sementara pemuda itu sudah berdiri bersandar ke dinding. Tubuhnya semakin hebat menggeletar, memandangi pisau yang berkilatan di tangan si Perawan Lembah Maut ini.

“Aku mohon padamu, Sawitri. Jangan.... Jangan kau lakukan...,” rintih Witangga memelas.

“Memohonlah sepuasmu, Witangga. Memohonlah...,” desis Sawitri semakin terdengar dingin suaranya.

Dan si Perawan Lembah Maut itu semakin dekat saja jaraknya. Sementara Witangga sudah tidak bisa lagi menggerakkan kakinya. Kedua bola matanya semakin lebar terbeliak, melihat ujung pisau di tangan wanita itu sudah demikian dekat dengan wajahnya.

“Nikmatilah wajah barumu, Witangga...,” desis Sawitri dingin. Dan....

“Hih!”
Rrrttt!
“Akh...!”

Witangga menjerit tertahan, begitu ujung pisau Sawitri menyayat pipinya. Darah seketika mengalir dari kulit wajah yang tersayat cukup dalam dan panjang ini. Namun Perawan Lembah Maut tidak berhenti sampai di situ saja. Ujung pisaunya terus digoreskan ke wajah pemuda ini, walaupun Witangga terus menjerit-jerit. Dia berusaha melepaskan diri dari kekejaman wanita yang selalu mengenakan topeng tengkorak untuk menutupi keburukan wajahnya ini.

Jeritan-jeritan menyayat pun terus terdengar berulang-ulang. Sementara, Sawitri semakin menikmati perbuatannya. Dan sesekali terdengar tawanya yang mengikik mengerikan. Sementara, dari wajah Witangga darah semakin banyak keluar. Dan wajah yang tampan itu, kini terlihat begitu mengerikan. Tersayat, berlumur darah segar.

Angin bertiup kencang menyebarkan bau busuk yang sangat menusuk hidung di sekitar Lembah Maut ini. Setiap kali matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, bau busuk itu selalu tersebar di sekitar lembah ini. Bau busuk dari mayat-mayat yang tidak pernah terkubur, jumlahnya semakin bertambah saja setiap hari. Sawitri yang dikenal berjuluk si Perawan Lembah Maut itu setiap hari semakin senang menyiksa anak-anak muda yang ditangkap dari desa-desa di sekitar lembah ini.

Wanita itu begitu menikmati perbuatannya, menyayat dan merusak wajah anak-anak muda. Dan setelah puas, tubuh anak muda itu dicampakkan begitu saja. Tak ada seorang pun yang bisa mengenalinya lagi, kalau masih bisa bertahan hidup. Tapi sampai saat ini, belum ada seorang pun yang bisa bertahan hidup lebih dari dua hari.

Kalau tidak mati karena kehabisan darah, pasti mati bunuh diri karena merasa sudah tidak ada gunanya lagi hidup di dunia ini dengan wajah rusak tersayat. Orang akan jijik melihat wajahnya lagi. Dan memang, ini yang diinginkan Perawan Lembah Maut yang ingin membalas dendam atas perbuatan laki-laki padanya. Perbuatan yang merusak wajahnya, hingga sekarang harus ditutupi dengan selembar topeng kulit.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Sementara, Rangga yang sudah beberapa hari berada di Desa Paringgi, semakin dibuat bingung oleh ulah si Perawan Lembah Maut dan para pengikutnya. Mereka sekarang tidak lagi mempedulikan harta benda, tapi menjarah desa hanya untuk menculik anak-anak muda. Dan yang lebih membingungkan lagi, yang dipilih adalah yang berwajah tampan saja. Entah sudah berapa banyak pemuda Desa Paringgi yang diculik. Tapi, sampai saat ini Rangga belum juga bisa menemukan letak sarang Perawan Lembah Maut.

Sudah berulang kali Pendekar Rajawali Sakti menjelajahi daerah Lembah Maut, tapi sama sekali tidak melihat adanya tanda-tanda yang menunjukkan letak sarang gerombolan aneh itu. Yang ditemukan hanya mayat-mayat pemuda yang wajahnya sudah rusak. Dan sebagian mayat sudah mulai membusuk, menyebarkan bau tidak sedap. Seperti malam ini, Rangga dan Pandan Wangi sengaja menerobos masuk ke Lembah Muat. Tapi, mereka hanya mendapat mayat-mayat yang sudah menyebarkan bau busuk memualkan perut.

“Ayo tinggalkan tempat ini, Kakang. Aku tidak tahan baunya,” ajak Pandan Wangi.

Rangga melirik sedikit pada gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut. Bagi Rangga sendiri, bau busuk yang bagaimanapun menyengatnya, mudah diatasi. Tapi bagi Pandan Wangi.... Rangga tahu, Pandan Wangi tidak bisa memindahkan pernapasannya ke perut. Sehingga, bau busuk yang menyebar dari mayat-mayat itu tidak bisa ditanggulangi.

“Ayo,” Rangga cepat menyetujui.

Kedua pendekar muda itu segera memacu kudanya meninggalkan Lembah Maut ini. Dan sebentar saja, mereka sudah sampai di jalan dekat lembah yang menghubungkan desa-desa dengan Lembah Maut ini. Di jalan ini juga, mereka menemukan beberapa sosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Dan kebanyakan, sudah mulai membusuk menyebarkan bau sangat tidak sedap.

Pandan Wangi terus memacu kudanya, hingga sampai di tempat yang cukup bersih udaranya. Si Kipas Maut itu menarik nafasnya dalam-dalam, mengisi rongga dadanya dengan udara bersih sebanyak-banyaknya. Sementara, Rangga yang sampai belakangan, langsung melompat turun dari punggung Dewa Bayu tunggangannya. Pandan Wangi bergegas mengikuti, melompat turun dari punggung kuda putihnya. Gerakannya terlihat sangat ringan dan indah.

“Phuih...! Lembah ini bisa penuh oleh mayat membusuk, kalau tidak segera dihentikan, Kakang,” ujar Pandan Wangi seraya menghembuskan napas panjang dan berat.

“Hm.” Rangga hanya menggumam saja sedikit Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya juga sudah tidak tahan lagi melihat semua ini. Tapi, memang tidak mudah untuk bisa menggempur si Perawan Lembah Maut dan para pengikutnya. Gerakan mereka begitu cepat, bagai hantu saja. Sulit diduga, kapan munculnya dan bagaimana perginya. Mereka selalu datang dan pergi dengan cepat, tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Seakan-akan, seluruh dataran Lembah Maut ini bisa menghapus jejak mereka.

ENAM

Malam terus merayap semakin larut. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih berada di jalan sekitar Lembah Maut. Terasa begitu sunyi keadaannya. Bahkan suara serangga malam pun tidak terdengar sama sekali. Hanya geraman-geraman anjing hutan saja yang sesekali terdengar, berpesta mengoyak tubuh-tubuh yang banyak bergelimpangan di sekitar hutan Lembah Maut ini.

“Kakang, aku kembali saja ke Desa Paringgi,” kata Pandan Wangi, memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka berdua.

“Kenapa...?” tanya Rangga ingin tahu alasannya.

“Aku tidak tahan,” sahut Pandan Wangi terus terang.

Rangga hanya diam saja. Memang Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa memaksa Pandan Wangi untuk terus ikut menjelajahi Lembah Maut ini, mencari sarang gerombolan si Perawan Lembah Maut. Keadaan di sekitar lembah ini memang sangat menggiriskan. Di mana-mana selalu terlihat mayat bergelimpangan yang sudah mulai menyebarkan bau busuk tidak sedap.

Memang harus diakui, meskipun Pandan Wangi seorang pendekar wanita digdaya, tapi juga manusia biasa. Dan Rangga tidak memungkirinya. Sekuat apa pun orangnya pasti tidak akan tahan melihat pemandangan mengerikan di lembah ini. Lebih-lebih, aroma yang tersebar pasti bisa membuat orang tidak akan bisa makan tiga hari. Dan Rangga benar-benar tidak bisa memaksa Pandan Wangi untuk terus ikut dan bertahan.

“Baiklah, Pandan. Aku tidak bisa memaksamu. Memang, sebaiknya kau tetap berada di Desa Paringgi,” ujar Rangga agak mendesah suaranya. “Bawa sekalian kudaku, Pandan.”

Pandan Wangi hanya mengangguk, kemudian kembali melompat naik ke punggung kudanya. Diambilnya tali kekang Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti ini. Sebentar dipandanginya Rangga yang masih tetap berdiri tegak di tengah jalan.

“Pergilah. Keadaan di sini memang tidak mengenakan. Dan kau sendiri, harus menjaga agar mereka tidak masuk ke Desa Paringgi,” ujar Rangga bisa memahami perasaan si Kipas Maut itu.

“Maafkan aku, Kakang,” ucap Pandan Wangi.

Rangga tersenyum, lalu menepuk bahu gadis itu. Dan sebentar kemudian, Pandan Wangi sudah melesat dengan kuda putihnya sambil menuntun Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja, bayangan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah lenyap ditelan gelapnya malam. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak memandang ke arah perginya Pandan Wangi. Dan perlahan kemudian, tubuhnya diputar berbalik. Namun pada saat itu....

“Heh...?!” Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba di depannya kini sudah ada sekitar sepuluh orang berpakaian longgar serba hitam. Bagian kepala mereka tertutup kain hitam yang runcing pada bagian atasnya. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, kapan datangnya orang-orang ini. Namun belum juga hilang rasa terkejutnya, mereka sudah berlompatan mengepung. Dan...

“Hiyaaat...!”

Salah seorang yang berada tepat di depan Rangga, langsung melompat sambil mengibaskan pedang ke arah leher. Begitu cepat serangannya, hingga membuat Rangga jadi terperangah sesaat. Namun cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik kepalanya ke belakang. Sehingga, tebasan pedang orang itu tidak sampai memenggal lehernya.

“Hup!”

Rangga cepat-cepat melompat mundur dua langkah, begitu dari arah depan agak ke kiri, datang lagi serangan yang cepat luar biasa dengan babatan cepat bagai kilat ke arah dada.

“Haiiit...!”

Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat meliukkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang ini. Dan begitu pedang yang menyerang dadanya lewat, dengan kecepatan sukar diikuti pandangan mata biasa, dilepaskannya satu tendangan menggeledek, sambil memutar tubuhnya sedikit ke kanan.

“Yeaaah...!”

Begitu cepat tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga orang yang menyerangnya kini tidak sempat lagi menghindar. Maka tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu tepat menghantam dada.

Desss!
“Akh...!”

Sambil memekik keras agak tertahan, orang berjubah hitam itu terpental jauh ke belakang. Dan nyawanya seketika melayang, begitu tubuhnya menghantam tanah. Tampak dari mulutnya mengalir darah segar agak kental. Sementara, saat itu Rangga sudah kembali memutar tubuhnya, sambil melepaskan satu pukulan keras dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir. Sehingga, kedua kepalan Pendekar Rajawali Sakti jadi memerah bagai terbakar!

“Hiyaaat...!”

Rupanya, tidak ingin tanggung-tanggung lagi menghadapi orang-orang dari Lembah Maut ini. Tiga kali pukulan dahsyatnya dilepaskan dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir. Dan seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking dan menyayat. Tampak tiga orang lawannya terjerembab dengan kepala pecah terhantam pukulan dahsyatnya!

“Hih! Yeaaah...!”

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke udara. Dan seketika itu juga, tubuhnya menukik deras dengan kedua kaki berputar dengan kecepatan luar biasa. Begitu cepat serangannya, sehingga dua orang itu tak dapat lagi berkelit menghindar. Dan seketika itu juga, kembali terdengar jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya dua orang ber-jubah hitam itu. Tampak dari kepala mereka yang remuk, mengalir darah segar.

“Hap!”

Manis sekali Rangga menjejak tanah kembali, setelah dalam beberapa gebrakan saja sudah merobohkan enam orang lawan. Dan kini, yang tersisa tinggal empat orang lagi. Tampaknya, keempat orang berjubah hitam itu sudah gentar menghadapi kedahsyatan dari jurus-jurus milik Pendekar Rajawali Sakti.

“Jangan takut! Seraaang...!”

Tiba-tiba salah seorang berteriak lantang menggelegar memberi semangat. Dan seketika itu juga, keempat orang yang tersisa ini serentak langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun hanya meliuk-liukkan tubuh yang begitu lentur, semua serangan itu mudah sekali dapat dihindarinya.

“Hih! Yeaaah...!”

Dan begitu mendapat kesempatan, Rangga langsung melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke dada salah seorang lawan. Begitu cepat serangannya, sehingga orang berjubah hitam tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....

Digkh!
“Akh...!”
“Hup! Hiyaaat...!”

Rangga tidak lagi menunggu sampai orang itu ambruk ke tanah. Tubuhnya langsung melesat, sambil berteriak keras menggelegar. Dan saat itu juga dua pukulan dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ yang sangat luar biasa dilepaskan secara beruntun. Akibatnya, dua orang lawan terlempar ke belakang seketika, sambil mengeluarkan jerit melengking.

“Hap!”

Pendekar Rajawali Sakti cepat menjejakkan kakinya kembali di tanah, tepat sekitar enam langkah lagi di depan lawan yang kini tinggal seorang saja. Orang berjubah hitam itu tampak kelabakan, begitu menyadari hanya tinggal sendiri. Sedangkan yang lain sudah menggeletak, tidak mungkin bangun lagi.

“Tinggal kau sendiri, Kisanak...,” ujar Rangga dingin. “Aku akan memberi pilihan. Kalau kau mau tetap hidup, tunjukkan tempat si Perawan Lembah Maut bersembunyi. Tapi kalau mau mati seperti yang lain, silakan serang aku.”

Orang berjubah hitam itu hanya diam saja, namun tetap melintangkan pedangnya di depan dada. Dari balik kerudung hitamnya, terpancar sorot mata yang sangat tajam. Tapi sinar mata itu tampak memancarkan kegentaran. Dan tampaknya, tawaran yang diajukan Pendekar Rajawali Sakti barusan tengah dipikirkannya.

“Aku janji, Kisanak. Aku tidak melakukan apa-apa padamu, kalau kau bersedia menunjukkan tempat persembunyian Perawan Lembah Maut. Dan kau boleh pergi ke mana saja kau suka,” bujuk Rangga. Namun orang berjubah hitam itu masih tetap diam membisu. “Pikirkanlah, Kisanak. Keputusan yang akan kau ambil, menyangkut keselamatan nyawamu,” kata Rangga lagi, terus mendesak dengan nada lembut.

Beberapa saat orang berjubah hitam itu masih tetap diam membisu. Kemudian, kakinya bergeser ke kanan selangkah, lalu ditarik ke belakang dua langkah. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Namun, sorot ma-tanya terlihat begitu tajam, memperhatikan setiap gerak orang berjubah hitam di depannya.

“Siapa kau, Anak Muda?” tanya orang berjubah hitam itu memecah kebisuannya.

“Rangga,” sahut Rangga memperkenalkan diri.

“Kepandaianmu sangat mengagumkan, Anak Muda. Kau pasti seorang pendekar. Apa julukanmu...?”

Rangga tidak langsung menjawab. Memang, dia selalu mengalami kesulitan bila harus menjawab pertanyaan seperti itu. Bukannya tidak mau, tapi entah kenapa Rangga tidak pernah mau mengatakan dari mulutnya sendiri tentang julukannya.

“Apa itu perlu untukmu, Kisanak?” Rangga malah balik bertanya.

“Hanya untuk meyakinkan diriku saja, Anak Muda,” sahut orang berjubah hitam itu.

Dan dari suaranya yang terdengar besar, jelas sekali kalau orang itu laki-laki. Tapi, Rangga sulit mengetahui usianya dengan pasti, karena wajahnya tertutup kain kerudung hitam yang menyelubungi seluruh kepalanya. Tapi jelas dapat dilihat dari jari-jari tangannya, kalau kulit orang ini pasti agak legam. Dan usianya, mungkin sudah mencapai lima puluh tahun.

“Untuk apa...?” tanya Rangga lagi, ingin tahu.

“Kau terlalu banyak bertanya, Anak Muda,” dengus orang itu berat.

“Maaf, aku tidak biasa menyebutkan julukanku...,” Rangga tidak menyelesaikan ucapannya.

“Anak muda! Kaukah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?” tebak orang berjubah hitam itu, langsung.

Dan saat itu juga Rangga jadi tertegun kaget. Sungguh tidak disangka kalau orang berjubah ini bisa menebak tepat sekali. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menghilangkan keterkejutannya dan langsung bersikap biasa lagi.

“Anak muda! Kalau kau memang benar Pendekar Rajawali Sakti, memang selama ini yang kucari. Dan itu bukan karena perintah Nini Sawitri, tapi memang keinginanku sendiri. Tapi kalau kau bukan Pendekar Rajawali Sakti, sekarang juga aku akan mengadu jiwa denganmu,” tegas orang berjubah hitam ini.

Dan untuk kedua kalinya, Rangga jadi tersedak hingga tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Sementara orang berjubah hitam itu sudah memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dipandanginya orang berjubah hitam ini dengan sinar mata dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan keheranan.

“Ya.... Aku memang Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Rangga akhirnya mengakui juga. Walaupun nada suara Pendekar Rajawali Sakti terdengar agak berat saat menyebutkan julukannya, tapi sedikit pun tidak tergambar nada kesombongan.

“Orang bisa saja mengaku-aku, Anak Muda. Tapi, aku sulit untuk dibodohi. Aku tahu betul, apa yang ada pada diri Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku bisa mengetahui pasti,” tegas orang berjubah hitam itu masih tetap tegas terdengar suaranya.

“Apa yang bisa meyakinkan dirimu?” tanya Rangga bernada mulai jengkel.

“Pedangmu...,” sahut orang berjubah hitam ini.

“Eh...?!” Rangga tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya kali ini.

“Di jagat ini, tidak ada yang mempunyai pedang seperti pedang yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Dari pedang itu, orang akan jelas mengetahuinya, kalau yang memegangnya pasti Pendekar Rajawali Sakti. Nah, Anak Muda.... Tunjukkan pedang yang kau sandang itu. Biar aku lebih yakin, kalau kau memang Pendekar Rajawali Sakti.”

“Kalau aku tidak mau...?” Rangga memberi pilihan lagi.

“Kita akan bertarung sampai salah seorang dari kita ada yang mati,” sahut orang berjubah hitam ini.

Memang sulit pilihan yang dihadapi Rangga kali ini. Sedangkan dia tidak ingin orang itu tewas di tangannya. Pendekar Rajawali Sakti berharap, orang itu masih tetap hidup dan bisa menjadi penunjuk jalan ke sarang gerombolan si Perawan Lembah Maut. Bagaimanapun juga, orang ini harus diperintahkan agar tetap hidup. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak punya pilihan lain lagi dengan perasaan enggan, dipegangnya juga gagang pedangnya yang selalu berada di punggung.

Perlahan-lahan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ditarik keluar dari warangka. Dan tercabut sejengkal saja, sudah memancar cahaya biru yang terang berkilauan yang menyilaukan mata dari mata pedang itu. Dan cahaya biru yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu, membuat orang berjubah hitam ini jadi terperangah diam membisu. Sementara, Rangga menahan pedang pusakanya untuk tidak tercabut penuh.

“Cukup...!” sentak orang berjubah hitam itu tiba-tiba.

Cring!

Rangga langsung memasukkan kembali pedang pusaka itu ke dalam warangka di punggung. Maka cahaya biru yang sempat menerangi tempat ini, langsung lenyap seketika. Sementara, orang berjubah hitam ini masih tetap berdiri, diam tidak bergeming sedikit pun. Dan dari balik kerudung kain hitamnya, dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Sementara, yang dipandangi hanya diam saja.

“Aku Ki Mutung, Pendekar Rajawali Sakti...,” ujar orang berjubah hitam itu memperkenalkan diri.

Lalu, orang yang mengaku bernama Ki Mutung membuka kain hitam yang menutupi seluruh kepalanya. Dan kini terlihat jelas raut wajah seorang laki-laki berusia lebih dari enam puluh tahun. Tapi, tubuhnya masih tetap kelihatan gagah. Dan rambutnya juga sudah kelihatan berwarna dua. Rangga sempat memandanginya sesaat.

“Aku berasal dari sebuah desa yang sangat jauh dari sini. Sejak dulu, aku sebenarnya tidak pernah berbuat jahat sedikit pun juga pada orang lain. Aku bergabung dengan Sawitri, karena putus asa,” Ki Mutung menceritakan dirinya tanpa diminta.

“Apa yang membuatmu putus asa, Ki?” tanya Rangga ingin tahu.

“Dulu, aku pemilik sebuah padepokan. Mungkin karena sebuah fitnah, orang-orang persilatan dari golongan putih menyerang padepokanku dan menghancurkannya. Hampir semua muridku tewas. Dan aku sendiri menderita luka sangat parah. Tapi, Nini Sawitri menyelamatkan nyawaku dan meminta aku bergabung dengannya. Aku menyanggupinya, asal dia bisa membalaskan sakit hatiku pada mereka yang sudah menghancurkan padepokanku. Dan Nini Sawitri lalu menyanggupi. Maka dalam waktu tidak berapa lama saja, semua orang yang menghancurkan padepokanku sudah dibereskannya. Sejak saat itu, aku bergabung dengannya. Kau tahu, Anak Muda. Aku jadi begitu dendam pada orang-orang persilatan. Ketangguhan Nini Sawitri kumanfaatkan untuk melampiaskan dendamku. Tapi melihat sepak terjang Nini Sawitri semakin liar saja, timbul pertentangan di dalam batinku. Hingga sekarang, aku terus merasa tersiksa. Dan...,” Ki Mutung tidak meneruskan.

“Kau menyesal, Ki...?”

“Ya..., aku menyesal. Aku menyesal telah bergabung dengan manusia berhati iblis seperti Nini Sawitri. Dan aku selalu mencari kesempatan untuk bisa membebaskan diri. Tapi kesempatan itu tidak pernah ada. Nini Sawitri selalu membunuh siapa saja yang bermaksud lari darinya. Bahkan siapa saja yang gagal menjalankan perintahnya langsung dibunuh, kalau tidak mau membunuh diri sendiri.”

“Hmmm....” Rangga menggumam kecil, dan langsung jadi teringat peristiwa beberapa waktu yang lalu. Pendekar Rajawali Sakti memang melihat orang-orang yang sempat bertarung dengannya membunuh dirinya sendiri, karena dianggap telah gagal.

“Anak muda....”

“Rangga,” selak Rangga cepat. “Panggil saja aku Rangga, Ki.”

Ki Mutung tersenyum. “Apa yang akan kau lakukan kalau bisa bertemu Nini Sawitri?” tanya Ki Mutung ingin tahu.

“Jelas aku akan menghentikan semua perbuatannya, Ki. Kalau masih bisa disadarkan, mungkin aku akan memberinya kelonggaran. Tapi kalau keras kepala, entahlah...,” sahut Rangga mendesah panjang.

“Dia tidak akan bisa disadarkan, Rangga. Hatinya sudah tertutup iblis,” tegas Ki Mutung.

Rangga hanya tersenyum saja. Entah, apa arti senyumnya ini.

“Rangga, aku akan mengantarkanmu menemui Nini Sawitri. Tapi, kau harus membunuhnya. Kalau tidak, dia akan membunuh kita berdua. Terutama, aku. Karena, aku sudah gagal melaksanakan perintahnya,” sambung Ki Mutung.

“Apa yang diperintahkannya padamu, Ki?” tanya Rangga.

“Mengambil beberapa anak muda dari Desa Paringgi.

********************

TUJUH

Malam ini juga, Rangga dan Ki Mutung berangkat ke Lembah Maut, tempat tinggal Nini Sawitri yang dikenal berjuluk si Perawan Lembah Maut dan para pengikutnya. Mereka masuk ke dalam hutan lebat dan tidak pernah diinjak orang kecuali pengikut-pengikutnya si Perawan Lembah Maut. Walaupun Ki Mutung sudah bercerita banyak, tapi Rangga masih saja bersikap hati-hati.

Sebagai pendekar yang berwawasan luas, Pendekar Rajawali Sakti belum percaya penuh pada laki-laki setengah baya ini. Bisa saja hal seperti ini hanya sebuah jebakan saja. Dan itu yang menjadi pikiran Rangga saat ini. Rangga merasakan sudah cukup jauh berjalan menembus lebatnya hutan di Lembah Maut ini, tapi belum juga terlihat ada tanda-tanda letak sarang persembunyian si Perawan Lembah Maut dan para pengikutnya.

Langkahnya segera dipercepat, menyusul Ki Mutung yang berjalan lebih dahulu di depan. Dan ayunan langkahnya disejajarkan di samping laki-laki berusia setengah baya yang mengenakan baju jubah panjang warna hitam pekat ini.

“Masih jauh tempatnya?” tanya Rangga bernada mulai curiga.

“Tidak. Sebentar lagi sampai. Sebaiknya, kau jangan banyak bicara. Nini Sawitri bisa mendengar dari jarak jauh,” sahut Ki Mutung.

“Hm... Kebetulan sekali kalau begitu. Aku memang ingin langsung bertemu dengannya,” ujar Rangga kalem.

“Iya. Tapi kalau dia yang tahu lebih dulu, kita berdua akan celaka. Percayalah padaku, Rangga. Kalau dia tidak mati, aku yang pasti mati. Dan kau juga....”

“Berapa orang pengikutnya?” tanya Rangga mengalihkan pembicaraan.

“Sekitar seratus orang.”

“Banyak juga....”

“Itu yang ada di lembah ini. Belum yang tersebar di setiap desa di sekitar Lembah Maut ini. Mungkin jumlah seluruhnya ada sekitar lima ratus orang. Nini Sawitri juga menyebar orang-orangnya sampai ke kota-kota kadipaten dan kotaraja. Pengikutnya sangat banyak. Dan kalau sudah menyebar, sulit dikenali lagi. Mereka berbaur dengan orang-orang biasa. Tapi kalau ingin mendapatkan mangsa, mereka bisa menjadi ganas. Bahkan lebih ganas dari serigala kelaparan.”

“Apa saja tugas mereka?”

“Selain merampok, juga membuat cacat anak-anak muda. Terutama, yang berwajah tampan. Hmmm.... Kau juga sangat tampan, Pendekar Rajawali Sakti. Hati-hatilah padanya. Dia bisa sangat liar dan kejam kalau melihat anak muda berwajah tampan. Kalau tidak bisa dibuat cacat wajahnya, akan langsung dibunuh secara kejam.”

“Hm.... Tampaknya dia sangat dendam. Kau tahu, apa sebabnya?” tanya Rangga jadi ingin tahu.

“Dia memang dendam pada anak-anak muda tampan dan gagah. Tapi kami semua pengikutnya tidak ada yang tahu alasannya, kenapa dia begitu dendam pada anak-anak muda tampan,” sahut Ki Mutung menjelaskan lagi.

Dan Rangga tidak bertanya-tanya lagi, dan terus berjalan di sebelah kiri laki-laki setengah baya yang ingin keluar dari gerombolan liar si Perawan Lembah Maut itu. Sementara hutan yang dilalui sekarang sudah terasa mulai tidak rapat lagi. Dan cahaya bulan pun mulai menerangi sekitarnya, hingga mereka bisa melihat jauh ke depan. Saat itu Ki Mutung menghentikan ayunan langkahnya.

Rangga juga jadi ikut berhenti berjalan. Hatinya agak heran juga melihat Ki Mutung memandang lurus ke depan, dengan kelopak mata tidak berkedip sedikit pun. Rangga mengarahkan pandangannya lurus ke depan, searah dengan pandangan mata laki-laki setengah baya itu. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat apa pun di depan sana, kecuali sebuah padang rumput kecil dan lebatnya pepohonan saja yang terlihat di sana.

“Ada apa, Ki?” tanya Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Di seberang padang rumput itu, tempat Nini Sawitri tinggal. Di sebuah puri tua,” sahut Ki Mutung memberi tahu.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit.

“Kalau kau menyeberangi padang rumput ini, mereka akan cepat mengetahuimu, Rangga. Sedangkan untuk menuju ke sana, hanya melalui padang rumput ini saja,” jelas Ki Mutung.

“Hm...,” lagi-lagi Rangga hanya menggumam perlahan.

“Di seberang padang rumput ini, Nini Sawitri menyebar orang-orangnya. Mereka sulit dilihat, karena selalu bersembunyi dengan rapi. Kau tidak akan bisa menyangka kemunculannya, Rangga,” sambung Ki Mutung.

“Kau tahu tempat-tempat persembunyian mereka yang pasti?” tanya Rangga.

“Sulit,” sahut Ki Mutung seraya menggeleng.

“Sulit...? Apa maksudmu, Ki?”

“Nini Sawitri selalu memindah-mindahkan mereka tanpa ada seorang pun yang tahu. Hanya dia saja yang tahu persis, di mana orang-orangnya di tempatkan.”

“Hebat.... Pertahanan yang sangat hebat dan mengagumkan,” puji Rangga tulus.

“Memang dia sangat ahli dalam mengatur siasat bertempur dan pertahanan, Rangga. Itu sebabnya, sampai sekarang tidak ada yang bisa mengalahkannya. Bahkan pernah beberapa kelompok perguruan silat menyerbu ke sini, tapi semuanya mati sebelum bisa mencapai puri. Dan prajurit kerajaan juga pernah mencoba, tapi tidak ada yang berhasil. Hingga pihak kerajaan sampai saat ini seperti tidak mau tahu.”

“Hm...,” kembali Rangga jadi bergumam. Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat cerita Kepala Desa Paringgi yang mengatakan kalau pihak kerajaan tidak tahu apa-apa tentang gerombolan liar si Perawan Lembah Maut ini.

“Ki! Aku selama ini tinggal di Desa Paringgi. Dan kepala desa itu mengatakan kalau pihak kerajaan tidak tahu apa-apa masalah ini,” kata Rangga mencoba mengorek keterangan.

“Sudah tentu dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya, Rangga. Karena kepala desa itu masih ada ikatan keluarga dengan pihak keluarga istana. Dan tentu saja dia tidak mau mencoreng nama keluarganya sendiri.”

Rangga mengangguk-angguk. Memang bisa diterima alasan itu. Dan dia juga tidak mau mempersoalkan lagi. Perhatiannya kembali ke depan, ke seberang padang rumput yang tidak begitu besar ini. Dan tampaknya, padang rumput ini memang sengaja dibuat. Ini bisa dilihat dari banyaknya bekas tebangan kayu yang tersebar hampir di seluruh padang rumput ini.

“Kau di sini saja, Ki...?” ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Aku kira, kau sebaiknya jangan ke sana sendiri, Rangga. Terlalu berbahaya bagi dirimu sendiri,” kata Ki Mutung, langsung bisa mengerti pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Rangga hanya tersenyum saja. “Baiklah, Rangga. Aku tidak bisa mendesak dan mencegahmu. Kalau kau ingin ke sana, biar aku di sini saja. Aku akan cegat kalau-kalau ada yang mau kabur dan menyerang ke sini,” kata Ki Mutung lagi.

“Baiklah kalau begitu. Kau siap-siap saja di sini dengan bagianmu, Ki,” kata Rangga terus tersenyum.

Ki Mutung hanya sedikit mengangguk saja. Sementara Rangga sudah mulai melangkah memasuki padang rumput yang tidak begitu luas ini. Ayunan kakinya terasa begitu ringan. Bahkan sedikit pun tidak terlihat gerakan pada daun-daun rerumputan yang terinjak kakinya. Seakan-akan, Pendekar Rajawali Sakti berjalan di atas pucuk-pucuk daun rerumputan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga membuat Ki Mutung yang melihatnya jadi berdecak kagum.

Tanpa mendapat halangan sedikit pun juga, Rangga sampai di seberang padang rumput ini. Tapi baru saja melewati satu pohon yang sangat besar, tiba-tiba saja dari balik kerimbunan daun pohon itu melesat turun dua buah sosok tubuh berpakaian serba hitam.

“Haiiit...!”

Rangga cepat-cepat melompat ke belakang, begitu dua orang berpakaian serba hitam itu langsung menyerangnya dengan pedang terhunus. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting ke udara sambil berteriak keras menggelegar.

“Hiyaaat..!”

Dengan kecepatan bagai kilat pula, pemuda berbaju rompi putih yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua kakinya hingga merentang ke samping, tepat mengarah ke kepala dua orang berbaju jubah hitam yang menyerangnya tanpa basa-basi lagi. Begitu cepat sekali serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dua orang berjubah hitam itu tidak sempat lagi berkelit menghindar. Maka tendangan itu tepat menghantam kepala mereka.

Desss!
Prak!
“Akh...!”
“Aaa...!”

Dua kali jeritan panjang melengking seketika terdengar menyayat. Sementara, Rangga sudah memutar tubuhnya di udara dengan gerakan indah sekali. Dan begitu kakinya menjejak tanah, dua orang berbaju serba hitam itu ambruk menggelegar ke tanah dengan kepala pecah berlumur darah. Hanya sebentar saja mereka sempat menggeliat dan mengerang, kemudian mengejang kaku. Mati.

“Hhh!” Rangga menghembuskan napas berat. Wajahnya berpaling sedikit ke seberang padang rumput, tapi Ki Mutung tidak terlihat lagi di sana. Rangga tahu, laki-laki setengah baya itu sudah menyembunyikan diri di balik pepohonan.

Sebentar Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian kakinya melangkah perlahan memasuki hutan yang kelihatannya tidak begitu lebat ini. Tapi, pepohonan yang tumbuh memang sangat besar-besar dan berdaun rimbun. Hingga, cahaya bulan sulit menerobos sampai ke permukaan tanah. Rangga terus melangkah dengan pendengaran dipasang tajam. Sedangkan kedua bola matanya juga tidak berkedip, memancar sangat tajam mengamati keadaan sekitarnya.

“Berhenti...!”
“Hm....”

Rangga langsung menghentikan ayunan kakinya, begitu tiba-tiba terdengar bentakan yang cukup keras mengejutkan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak kelihatan terkejut, karena memang sudah diperingati Ki Mutung. Tak heran kalau segala rintangan yang akan dihadapinya sudah dipersiapkan sejak tadi. Dan begitu terdengar desiran angin yang sangat halus dari belakang, Pendekar Rajawali Sakti cepat membanting tubuhnya ke belakang. Dan secepat itu pula kaki kirinya dihentakkan ke atas.

“Yeaaah...!”
Wusss!
Diegkh...!

Tepat di saat terlihatnya bayangan hitam berkelebat di atas tubuhnya, tendangan kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti yang ke atas menghantam dengan telak. Hingga, terdengar suara benturan yang cukup keras disertai keluhan pendek. Tampak sesosok tubuh berjubah hitam jatuh bergulingan, tidak jauh di samping tubuh Rangga yang menelentang ke atas.

“Hup!” Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit berdiri. Dan begitu kakinya menjejak tanah, terlihat seseorang berjubah hitam sudah menggeletak di tanah dengan dada remuk akibat terkena tendangan dahsyatnya.

“Hm....” Hanya sedikit saja Rangga menggumam, kemudian sudah melangkah lagi dengan ayunan kaki ringan dan perlahan. Mata dan telinganya tetap dipasang tajam. Dia tahu, di sekitar hutan Lembah Maut ini banyak orang bersembunyi, yang pasti sudah diperintahkan untuk membunuh siapa saja yang mencoba memasukinya.

Berbagai macam rintangan dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dengan mudah. Dan memang mereka yang mencoba menghadang, memang bukanlah tandingan pemuda berbaju rompi putih ini. Tak heran bila menghadapi rintangan dari mereka yang tingkat kepandaiannya masih rendah, bukanlah halangan yang berarti bagi Pendekar Rajawali Sakti.

Kini, mudah sekali Rangga bisa menemukan sebuah bangunan puri yang sudah tua dan kelihatan tidak terurus lagi ini. Dia tahu, puri itulah yang menjadi tempat tinggal si Perawan Lembah Maut. Tapi keadaan sekitarnya begitu sunyi, seperti tidak pernah ada yang datang ke tempat ini. Tanaman-tanaman rambat hampir memenuhi seluruh dinding puri yang terbuat dari batu. Bahkan lumut pun terlihat sangat tebal, menutupi seluruh batu-batu dinding puri ini.

“Hm.... Apa mungkin ini tempatnya...?” gumam Rangga jadi ragu-ragu sendiri melihat keadaan puri yang sudah hampir rusak dan tidak terawat ini. Namun, keraguan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak berlangsung lama. Belum juga bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja dari bagian atas puncak puri melesat sebuah bayangan hitam dengan kecepatan luar biasa. Seketika, Pendekar Rajawali Sakti jadi terperangah sesaat.

Wusss!
“Upts!”

Hampir saja bayangan hitam itu menghantam kepalanya, kalau saja Rangga tidak segera merunduk. Dan belum juga kepalanya bisa ditegakkan lagi, dari arah belakang sudah melesat satu bayangan hitam lagi dengan kecepatan bagai kilat.

“Hap...!” Cepat-cepat Rangga melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Sehingga, bayangan hitam itu lewat di bawah telapak kakinya. Saat itu juga, dari arah lain muncul bayangan hitam lagi yang langsung meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Hiyaaa...!”

Kali ini, Rangga tidak punya kesempatan lagi untuk berkelit menghindari. Terlebih lagi, sekarang ini sedang berada di udara. Dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan tangan kanan disertai jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, tepat pada saat bayangan hitam dekat dengannya. Hingga....

Plak!
“Akh...!”
“Hap!”

Bersamaan dengan terdengarnya pekikan tertahan, Rangga cepat-cepat menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Dan saat itu juga, terlihat seorang berjubah hitam bergulingan di tanah sambil menggeram. Tampak darah merembes keluar dari baju hitam yang dikenakannya. Dan saat itu juga, orang berjubah hitam ini langsung menggeletak tidak bisa bergerak-gerak lagi.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
“Hm”

Rangga hanya menggumam sedikit saja, saat melihat di sekelilingnya sudah bermunculan orang-orang berjubah hitam berlompatan ke arahnya. Dan sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepung tidak kurang dari seratus orang berjubah hitam, yang seluruh kepalanya berselubung kain hitam. Mereka semua menggenggam senjata pedang di tangan kanan. Begitu rapat, hingga tidak ada celah sedikit pun untuk bisa meloloskan diri.

Saat itu, Rangga cepat menyadari kalau tidak mungkin bisa menghadapi orang sebanyak ini bila hanya mengandalkan jurus-jurus biasa saja. Meskipun jurus-jurus yang dimiliki termasuk dalam golongan tingkat tinggi, tapi menghadapi orang yang berjumlah sekitar seratus ini tidak ada seorang pun yang akan sanggup. Sementara orang-orang berjubah hitam ini, tidak bisa dianggap sembarangan. Tingkat kepandaian mereka cukup lumayan.

Namun tetap saja Rangga tidak akan mampu menghadapi keroyokan orang sedemikian banyaknya. Maka Pendekar Rajawali Sakti harus menggunakan ilmu kesaktian dalam menghadapi kepungan orang yang berjumlah sekitar seratus ini. Rangga memutar tubuhnya perlahan dengan kaki menggeser, tetap menjejak tanah. Sorot matanya terlihat begitu tajam merayapi orang-orang berjubah hitam yang sudah mengepung rapat dengan senjata terhunus. Dan perlahan-lahan, kedua telapak tangannya mulai dirapatkan di depan dada, sambil terus bergerak perlahan memutar. Mereka juga bergerak perlahan, mengikuti arah gerakan Pendekar Rajawali Sakti.

“Seraaang...!”
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”

Begitu terdengar teriakan memerintah yang sangat lantang, orang-orang berjubah hitam ini langsung saja berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari segala arah. Pedang-pedang mereka berkelebatan begitu cepat, hingga sulit diikuti pandangan. Namun tanpa diduga sama sekali, saat itu juga Rangga yang sudah merapatkan kedua tangan di depan dada, memutar tubuhnya dengan kecepatan bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan secepat kilat pula kedua tangannya dihentakkan hingga merentang ke samping.

“Aji ‘Bayu Bajra’! Yeaaah...!”

Bersamaan terdengarnya teriakan lantang menggelegar Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja bertiup angin badai topan yang datang dari kedua tangannya yang terentang lebar. Dan seketika itu juga, orang-orang berjubah hitam itu berpentalan ke belakang, tidak mampu menahan hempasan angin badai yang sangat dahsyat ini!

Werrr!
“Aaa...!”
“Akh!”

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan menyayat, seketika itu juga terdengar saling sambut Begitu dahsyatnya aji kesaktian yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti, hingga bukan hanya orang-orang berjubah hitam ini saja yang berpelantingan terhempas. Tapi pepohonan di sekitarnya juga bertumbangan, tercabut sampai ke akar-akar nya disapu angin dari aji ‘Bayu Bajra’. Bahkan bebatuan pun berhamburan bagai segumpal kapas.

Tampak bangunan puri yang seluruhnya terbuat dari batu itu jadi bergetar bagaikan diguncang gempa. Bahkan bagian atasnya mulai berguguran, tidak mampu menahan gempuran aji kesaktian Pendekar Rajawali Sakti yang sangat dahsyat ini.

“Hap!” Rangga segera mengatupkan kedua telapak tangannya ke depan dada. Maka seketika badai yang diciptakannya terhenti. Tampak sekitarnya sudah hancur porak-poranda bagai baru saja dilanda kawanan banteng liar yang mengamuk. Tubuh-tubuh berjubah hitam tampak bergelimpangan tak bernyawa lagi. Bahkan ada yang tertindih pohon dan batu. Atau, tubuhnya menembus potongan kayu pohon!

Tidak ada seorang pun yang kelihatan masih bisa bernapas. Rangga menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat, memandangi keadaan sekitarnya. Memang, aji ‘Bayu Bajra’ yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti bukan saja bisa menumbangkan puluhan atau mungkin ratusan orang dalam waktu singkat saja. Tapi, alam sekitarnya juga ikut terkena akibatnya. Dan setiap kali Rangga selesai menggunakannya, selalu terselip rasa penyesalan melihat keadaan sekelilingnya jadi hancur berantakan seperti ini.

“Maaf. Aku terpaksa menggunakannya,” ujar Rangga pelan. Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah mendekati bangunan puri tua ini. Namun baru saja berjalan beberapa langkah....

Swing!
“Heh...?! Hup!”

DELAPAN

Sesaat Rangga terkesiap ketika tiba-tiba saja dari arah pintu puri yang mendadak terbuka, meluncur ratusan anak panah yang menghambur ke arahnya. Cepat-cepat tubuhnya diputar ke belakang. Dan pedangnya langsung dicabut dengan cepat. Lalu secepat itu pula pedangnya diputar untuk melindungi diri dari hujaman panah-panah yang meluruk bagai kilat ke arahnya

. “Hiyaaa...!”
Werrr!

Begitu cepat putaran Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti, sehingga yang terlihat hanya gelombang cahaya biru saja dalam menangkis serangan anak panah yang keluar dari dalam puri tua itu. Dan sekelilingnya yang terselimut gelap ini, langsung menjadi terang benderang oleh pancaran cahaya biru yang menyemburat menggelombang dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

“Hap!”

Rangga menghentikan gerakan pedangnya, begitu terasa tidak ada lagi serangan panah yang mengarah kepadanya. Pedang pusaka yang memancarkan cahaya biru terang menyilaukan ini disilangkan di depan dada, membuat sekelilingnya jadi bagaikan siang hari.

“Nini Sawitri, keluar kau...! Aku Pendekar Rajawali Sakti akan menantangmu bertarung!” tantang sekali teriakan Rangga.

Teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggema ke seluruh Lembah Maut ini, memantul dari pepohonan dan batu-batuan yang banyak tersebar di seluruh lembah. Namun, tidak ada sahutan sama sekali. Suasana pun jadi terasa lengang, begitu gema teriakan Pendekar Rajawali Sakti menghilang dari pendengaran. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak di depan bangunan puri tua ini. Perlahan pedangnya diangkat, dan dimasukkan kembali ke dalam warangka di punggung.

“Nini Sawitri...!” teriak Rangga memanggil lagi.

Masih juga belum ada jawaban. Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah beberapa tindak ke depan. Pandangan matanya tertuju lurus ke pintu yang kini terbuka lebar. Tampak keadaannya gelap pada bagian dalam puri itu. Dan sedikit pun tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Begitu sunyi dan lengang, hingga desir angin yang sangat halus pun dapat terdengar jelas.

“Baiklah, Nini Sawitri. Kalau kau tidak mau keluar, aku akan menghancurkan puri ini!” teriak Rangga lagi, masih dengan suara keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Pendekar Rajawali Sakti langsung bersiap mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir, hingga kedua kepalan tangannya terlihat memerah bagai besi terbakar dalam tungku. Kini, kedua kepalan tangannya sudah sejajar di pinggang. Rangga terus menatap ke arah pintu dengan sinar mata tajam. Namun, belum ada tanda-tanda si Perawan Lembah Maut menjawab tantangannya. Dan itu membuat Rangga tidak dapat lagi menahan diri.

“Aku sudah memperingatkanmu, Nini Sawitri...!” ujar Rangga lantang menggelegar. Belum juga ada tanggapan. “Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan begitu kepalan tangannya terbuka, dari kedua telapaknya meluncur seleret cahaya merah bagai api yang begitu cepat bagai kilat, langsung mengarah ke pintu puri tua itu.

Glarrr...!

Bumi seketika berguncang begitu terdengar ledakan dari puri yang terhantam pukulan jarak jauh dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir. Tampak batu-batu dari dalam puri terbongkar keluar, disertai semburan api dan asap hitam yang menggumpal tebal. Sementara, Rangga menunggu sambil berdiri tegak pada kedua kakinya yang kokoh. Pandangannya tetap tertuju lurus ke depan, tanpa berkedip sedikit pun ke arah bangunan puri yang sudah hancur bagian dalamnya. Tampak dinding-dinding batu bangunan puri itu sudah mulai retak. Bahkan sudah banyak yang berjatuhan akibat terkena pukulan jarak jauh yang sangat dahsyat dari Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga...!”

“Oh...?!” Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar teriakan memanggil dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik. Dan saat itu, tampak Ki Mutung tahu-tahu sudah berdiri cukup jauh di depannya. Laki-laki setengah baya bekas pengikut si Perawan Lembah Maut itu melangkah tergesa-gesa menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

“Ada apa, Ki Mutung?” tanya Rangga langsung, begitu Ki Mutung sudah dekat.

“Kau tidak akan menemukan si Perawan Lembah Maut itu di sini,” kata Ki Mutung langsung memberi tahu.

“Jadi, aku salah...?”

“Tidak. Kau benar, Rangga. Puri ini memang menjadi tempat tinggalnya. Tapi malam ini, dia tidak ada di sini. Aku lupa memberitahumu,” kata Ki Mutung.

“Di mana dia?”

Ki Mutung tidak langsung menjawab, namun malah mendongakkan kepalanya ke atas, memandang bulan yang malam ini bersinar penuh. Sebentar kemudian kembali ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti yang masih berdiri dekat di depannya. Tampak Rangga menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

“Sebaiknya kita memang tidak perlu ke sana, Rangga. Sebentar lagi, dia pasti kembali lagi ke sini,” kata Ki Mutung. “Sudah hampir pagi. Tidak lama lagi dia pasti datang.”

“Hm.... Di mana dia sebenarnya sekarang, Ki?” tanya Rangga, tetap ingin tahu.

“Di tempat mendiang gurunya, Penguasa Lembah Maut. Setiap bulan purnama, dia pasti ke sana untuk memberi penghormatan. Setiap kali pergi, dia hanya membawa sekitar sepuluh orang saja untuk mengawalnya. Tapi, aku rasa tidak lama lagi pasti kembali,” jelas Ki Mutung. Rangga hanya diam saja. “Kita tunggu saja di sini, Rangga. Nanti kau bisa menghadapinya. Sedangkan yang sepuluh orang, biar aku yang membereskan,” kata Ki Mutung lagi.

Rangga masih tetap diam beberapa saat. Tubuhnya kembali diputar, memandangi bangunan puri yang sudah hampir hancur itu. Sementara, Ki Mutung masih tetap berada di belakangnya. Saat itu, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengepalkan kedua tangannya di pinggang. Dan kedua kepalan tangannya perlahan-lahan jadi memerah bagai terbakar. Ki Mutung jadi terbeliak melihat perubahan itu, namun hanya bisa diam saja memperhatikan tanpa berkedip sedikitpun juga.

“Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga kedua tangannya cepat dihentakkan ke depan. Saat itu juga, terlihat selarik sinar merah meluncur cepat bagai kilat ke arah bangunan puri tua ini.

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar, membuat bangunan puri tua itu hancur seketika terhantam pukulan jarak jauh dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir. Dan saat itu, Rangga kembali melepaskan pukulan dahsyatnya. Akibatnya, bangunan puri tua ini jadi hancur berkeping-keping, menimbulkan kepulan debu yang membubung tinggi ke angkasa. Dan kilatan bunga api pun menyebar ke segala arah. Bumi bergetar hebat bagai diguncang gempa yang sangat kuat.

“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas berat.

“Kenapa kau hancurkan puri itu, Rangga?” tanya Ki Mutung.

“Hanya untuk memancing kemarahannya saja, Ki. Kalau tahu aku yang menghancurkan purinya, dia pasti akan marah dan berusaha membunuhku. Maka di saat itulah aku bisa mempermainkan perasaannya. Kalau sudah terpancing, dia akan kehilangan kendali diri. Dan aku bisa mudah mengalahkannya. Kau mengerti, Ki...?” Rangga menjelaskan alasannya menghancurkan bangunan puri itu.

“Kau hebat, Rangga,” puji Ki Mutung tulus. "Tidak percuma kau mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti yang begitu ternama dan digdaya. Kau memang pantas mendapatkan gelar pendekar sejati, Rangga. Bukan hanya ilmu-ilmu saja yang digdaya, tapi pikiranmu juga sangat cemerlang.”

Rangga hanya tersenyum sedikit saja, menanggapi pujian itu. “Ayo, Ki. Kita sembunyi dulu,” ajak Rangga.

Ki Mutung tidak membantah sedikit pun juga. Diikutinya langkah Rangga yang sudah berjalan lebih dulu mencari tempat persembunyian yang cocok. Sementara, malam terus beranjak semakin larut Dan memang sebentar lagi pagi akan datang menjelang. Di kejauhan, sudah mulai terdengar bunyi burung berkicau menyambut datangnya fajar.

Memang tidak terlalu lama Rangga menunggu. Buktinya Nini Sawitri yang dikenal berjuluk si Perawan Lembah Maut datang ke puri ini bersama sepuluh orang berjubah hitam yang mengawalnya. Wanita yang selalu mengenakan baju hitam dengan topeng tengkorak menutupi wajahnya itu, jadi terperanjat setengah mati melihat puri tempat tinggalnya sudah hancur tinggal puing-puing saja. Sementara, di pelataran puri ini terlihat mayat-mayat bergelimpangan.

“Keparat...! Siapa berani melakukan ini, heh...?!” geram Nini Sawitri, langsung memuncak amarahnya.

Saat itu Rangga muncul dari tempat persembunyiannya. Sedangkan Ki Mutung masih tetap bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk muncul dan langsung menggempur sepuluh orang yang mengawal si Perawan Lembah Maut.

“Pendekar Rajawali Sakti...,” desis Nini Sawitri, langsung mengenali pemuda berbaju rompi putih yang baru muncul dari balik semak belukar itu.

Memang di kalangan orang-orang persilatan, julukan Pendekar Rajawali Sakti sudah sangat akrab di telinga. Bahkan bagi orang yang baru pertama kali bertemu pun sudah langsung bisa mengenalinya. Memang tidak ada lagi yang mengenakan baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di dalam dunia persilatan, selain Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau yang bernama Nini Sawitri...?” tanya Rangga langsung dengan suara terdengar dingin.

“Benar!” sahut Nini Sawitri ketus. “Dan kau yang menghancurkan puriku...?!”

“Tidak salah lagi.”

“Bangsat keparat...! Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti!” geram Nini Sawitri langsung memuncak amarahnya.

“Justru kedatanganku untuk membungkammu, Nini Sawitri,” sambut Rangga dingin.

“Setan! Kubunuh kau! Hiyaaat...!”

Sambil memaki dan berteriak lantang menggelegar, Perawan Lembah Maut langsung saja melompat secepat kilat sambil melepaskan satu pukulan dahsyat ke arah batok kepala Rangga.

“Haiiit..!”

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, serangan si Perawan Lembah Maut dapat dihindari Pendekar Rajawali Sakti dengan mudah. Dan Rangga cepat-cepat menarik kakinya ke kiri dua langkah. Dan saat itu juga, tubuhnya dimiringkan, tepat di saat Nini Sawitri kembali melepaskan satu pukulan menyamping ke arah pinggang. Belum lagi pukulan si Perawan Lembah Maut bisa mencapai sasaran, tanpa diduga sama sekali Rangga sudah menghentakkan kaki kanannya ke samping dengan tubuh miring hampir jatuh.

“Yeaaah...!”
“Heh...?! Hup!”

Perawan Lembah Maut jadi kaget setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya ditarik ke belakang, menghindari serangan balik yang begitu cepat dan tanpa diduga sebelumnya. Wanita itu memaki dan menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sementara, Rangga sudah kembali berdiri tegak sambil memandang tajam, langsung ke bola mata si Perawan Lembah Maut ini.

“Hiyaaat...!”
Sret!
Cring!
Bet!

Nini Sawitri kembali melompat menyerang sambil cepat mencabut pedangnya. Dan secepat kilat pula pedangnya dibabatkan ke leher Pendekar Rajawali Sakti.

“Haiiit...!”

Namun kembali serangan wanita bertopeng tengkorak itu dapat mudah dihindari. Bahkan Rangga langsung memberi serangan balasan yang begitu cepat, hingga membuat si Perawan Lembah Maut itu jadi menyumpah serapah sambil berjumpalitan menghindari serangan-serangan. Pertarungan itu pun berjalan semakin sengit saja. Jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat langsung dikerahkan untuk saling menjatuhkan.

Namun setelah pertarungan berjalan lebih dari sepuluh jurus, belum juga ada tanda-tanda akan terhenti. Bahkan semakin dahsyat saja, dan terus meningkat dengan pengerahan aji-aji kesaktian. Suara ledakan-ledakan dahsyat menggelegar, seketika terdengar saling sambut ditingkahi teriakan-teriakan keras pertarungan. Dan loncatan-loncatan bunga api terlihat membubung tinggi ke angkasa.

Entah sudah berapa jurus dan beberapa banyak aji kesaktian yang dikerahkan, hingga membuat keadaan hutan sekitarnya semakin hancur tidak beraturan lagi. Tidak terhitung lagi, berapa batu yang hancur. Dan, berapa pula pepohonan yang tumbang. Namun pertarungan terus berjalan semakin sengit. Bahkan kini Rangga sudah menggunakan pedang pusakanya yang terkenal sangat dahsyat.

“Hap...!”

Entah pada jurus yang keberapa, tiba-tiba saja Nini Sawitri melompat mundur, keluar dari kancah pertarungan. Sementara itu, entah kapan dimulainya, Ki Mutung sudah menggempur sepuluh orang yang tadi bersama si Perawan Lembah Maut ini. Bahkan sudah terlihat tiga orang menggeletak tak bernyawa lagi.

“Kita mengadu jiwa sekarang, Pendekar Rajawali Sakti. Kerahkan ilmu yang paling kau andalkan,” tantang Nini Sawitri dingin menggetarkan.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam sedikit saja.

“Haaap...!”

Sementara, itu si Perawan Lembah Maut sudah bersiap mengerahkan aji pamungkasnya. Dan ilmu ini jarang sekali digunakan, kalau tidak dalam keadaan terpaksa. Dan selama ini belum ada satu ilmu kedigdayaan pun yang bisa menandinginya.

Sementara itu, Rangga masih berdiri tegak dengan pedang pusaka bersilang di depan dada. Saat itu, perlahan-lahan Rangga mulai menempelkan telapak tangannya di mata pedang, lalu menggo-soknya perlahan-lahan sampai pada ujung mata pedang. Dan kembali lagi, Rangga menggosoknya hingga ke pangkal.

“Sekarang saatnya, Pendekar Rajawali Sakti. Bersiaplah. Hiyaaat...!” Sambil berteriak keras menggelegar, si Perawan Lembah Maut menghentakkan kedua tangannya ke depan.

Dan pada saat itu juga.... “Aji ‘Cakra Buana Sukma’! Yeaaah...!” Secepat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan pedangnya lurus ke depan.

Dan di saat seberkas cahaya kuning keemas-emasan meluruk deras dari telapak tangan Nini Sawitri, seketika itu juga dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti memancarkan cahaya biru yang sangat terang menyilaukan mata.

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan yang sangat dahsyat menggelegar, begitu dua cahaya yang saling bertentangan ini bertemu di tengah-tengah.

“Hiyaaat..!” Rangga tidak lagi menunggu sampai cahaya birunya menyelimuti seluruh tubuh si Perawan Lembah Maut. Sambil berteriak keras menggelegar Pendekar Rajawali Sakti melesat, begitu Nini Sawitri tengah terhuyung-huyung akibat benturan dua cahaya dari ilmu kedigdyaan itu tadi. Dan serangan Rangga yang begitu cepat tanpa diduga sama sekali ini, membuat si Perawan Lembah Maut jadi terperangah dengan mata mendelik. Namun, dia tidak memiliki kesempatan lagi sedikit pun juga. Hingga...

Cras!
“Aaa...!”

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat, tepat ketika Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti membabat leher si Perawan Lembah Maut. Tampak wanita berbaju serba hitam itu masih berdiri tegak, tidak jauh di depan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sebentar kemudian, dia sudah limbung, lalu jatuh menggelepar dengan kepala terlepas dari leher. Darah tampak mengucur deras dari lehernya yang buntung tidak berkepala lagi.

Sementara, Rangga berdiri tegak memandangi tubuh si Perawan Lembah Maut yang sudah tewas dengan kepala terpisah dari leher. Kemudian pandangannya diarahkan pada Ki Mutung yang kini tinggal menghadapi dua orang lawannya. Dan jeritan kematian si Perawan Lembah Maut rupanya membuat dua orang itu jadi tersentak kaget. Saat itu juga, Ki Mutung membabatkan pedangnya. Akibatnya, dua orang lawannya ini tidak dapat lagi menghindar. Dan mereka seketika menjerit melengking, begitu mata pedang Ki Mutung membelah dadanya.

“Phuih...!”

Ki Mutung menghembuskan napas panjang, begitu menghabisi lawan terakhirnya. Langsung kepalanya diangkat dan melihat Pendekar Rajawali Sakti juga sudah selesai dengan lawan tangguhnya. Beberapa saat mereka hanya saling pandang, tanpa bicara sedikit pun juga.

“Ayo kita kembali ke Desa Paringgi, Ki,” ajak Rangga.

“Kau saja, Rangga,” tolak Ki Mutung tegas.

“Kenapa kau tidak mau ke sana?” tanya Rangga ingin tahu alasannya.

“Aku tidak berhak lagi menginjakkan kaki di sana, Rangga. Lagi pula, aku masih punya kampung halaman. Dan aku akan kembali ke sana, memulai hidup baru menjadi petani,” tolak Ki Mutung.

Rangga tidak bisa lagi mendesak, dan hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Dan tidak berapa lama kemudian, mereka sudah berpisah mengambil jalan sendiri-sendiri.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: ISTANA GERBANG NERAKA
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.