Pendekar Rajawali Sakti
TEROR SI RAJA API
SATU
Glaaar...! Kilatan cahaya membelah angkasa yang diikuti oleh suara guntur menggelegar, menggetarkan alam ini. Awan tebal berawan hitam bergulung-gulung menutupi langit yang semula cerah. Angin berhembus kencang bagai hendak meruntuhkan puncak Gunung Galuring yang berselimut awan hitam. Dan setiap kali kilat menyambar, terlihat sebongkah batu yang sangat besar memancarkan cahaya merah membara bagai terbakar. Semburat cahaya merah dari batu di atas puncak Gunung Galuring itu sampai terlihat dari Desa Batang yang terletak tidak jauh dari kaki gunung sebelah timur. Alam yang seakan-akan sedang murka, membuat seluruh penduduk desa itu tidak ada yang berani ke luar rumahnya. Tapi pada salah satu rumah kecil yang letaknya agak menyendiri, terlihat dua orang laki-laki lanjut usia telah berdiri di depan beranda. Pandangan mereka lurus ke puncak Gunung Galuring tanpa berkedip sedikit pun. Perhatian mereka tampaknya tertuju pada bongkahan batu yang memancarkan cahaya merah bagai api yang semakin jelas terlihat itu.
“Aku merasakan, ini bukan kejadian alam biasa. Batinku mengatakan, akan terjadi sesuatu ..." gumam salah seorang laki-laki tua yang berjubah panjang warna biru muda.
Tidak henti-hentinya ujung tongkatnya diketuk-ketukkan ke tanah. Sedangkan pandangannya terus tertuju ke arah puncak Gunung Galuring. Sedangkan seorang lagi yang berbaju jubah panjang warna putih, tangannya tampak menggenggam sebilah keris yang tangkainya berbentuk kepala seekor ular. Dan matanya hanya melirik sedikit saja, kemudian kembali tertuju ke puncak Gunung Galuring.
"Kakang Baranang! Aku merasakan hembusan angin yang lain dari biasanya," bisik orang tua yang berjubah putih.
"Hmmm... Jangan pindah dari tempatmu, Adi Jambala " sahut orang tua berjubah biru muda yang dipanggil Eyang Baranang. Suaranya terdengar menggumam dan dalam sekali.
"Sebaiknya kita masuk saja, Kakang," kata orang tua berjubah putih yang dipanggil Eyang Jambala, menyarankan.
Tapi Eyang Baranang hanya diam saja, tanpa sedikit pun menggeser kakinya. Bahkan kepalanya tidak berpaling sama sekali. Sedangkan Eyang Jambala kelihatan begitu gelisah. Beberapa kali matanya melirik orang tua yang berada di sebelah kanannya.
Mereka memang dua orang yang sudah lanjut usia. Dan semua penduduk Desa Batang ini selalu memanggil Eyang Baranang dan Eyang Jambala pada kakak beradik yang memiliki ilmu sangat tinggi ini. Dan walaupun usia mereka sudah lebih dari delapan puluh tahun, kedua orang tua itu tak satu pun mengangkat murid.
Sementara itu titik-titik air sudah mulai turun mengguyur Desa Batang. Tapi kedua orang tua itu masih tetap berdiri tegak di beranda rumahnya, seakan tidak peduli pada air hujan yang turun semakin deras.
"Masuklah ke dalam, Adi Jambala. Aku akan ke puncak Gunung Garuling," ujar Eyang Baranang tanpa berpaling sedikit pun.
"Gila...! Kau jangan edan-edanan, Kakang!" sentak Eyang Jambala terkejut.
Tapi belum juga bentakan Eyang Jambala hilang dari pendengaran, bagaikan kilat Eyang Baranang sudah melesat begitu cepat. Hingga, hanya bayangan jubah yang berwarna biru muda itu saja yang terlihat berkelebat begitu cepat.
"Kakang...!" teriak Eyang Jambala semakin tersentak kaget.
Tapi laki-laki berjubah putih itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena Eyang Baranang sudah tidak terlihat lagi bayangannya yang lenyap tertelan kegelapan dan rintik air hujan deras.
"Edan...! Mau apa dia ke sana...?" dengus Eyang Jambala tidak mengerti.
Sementara dia masih tetap berdiri mematung memandangi arah kepergian kakaknya. Namun hujan yang semakin deras, membuatnya harus bergegas melangkah masuk ke dalam gubuknya. Saat itu, hujan pun turun bagaikan ditumpahkan dari langit. Suaranya mengguruh seperti hendak menghancurkan seluruh isi alam ini. Sementara Eyang Jambala berdiri mematung di ambang pintu yang setengah tertutup. Dan pandangannya terus tertuju lurus ke arah puncak Gunung Garuling.
********************
Sementara itu, Eyang Baranang sudah tiba di tengah-tengah lereng Gunung Garuling. Laki-laki tua berjubah biru itu terus berjalan cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepat ayunan langkahnya. Sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan jubah biru muda, yang menembus gelapnya malam dan lebatnya pepohonan di sekitar Lereng Gunung Garuling.
Tepat di saat terlihat kilatan cahaya membelah angkasa, Eyang Baranang tiba di puncak Gunung Garuling. Dia berhenti tepat di depan sebongkah batu yang memancarkan cahaya merah bagai terbakar. Tingginya batu itu sama dengan tinggi manusia yang sedang duduk. Bentuknya juga seperti seseorang yang sedang duduk bersila. Dengan kelopak mata tidak berkedip, Eyang Baranang memperhatikan batu yang berbentuk seperti patung manusia yang memancarkan cahaya merah bagai terbakar itu.
Clark!
Glaaar...!
Seleret cahaya kilat tiba-tiba menyambar dari angkasa, tepat di atas bongkahan batu bercahaya merah itu. Bahkan ujung lidah kilat menyambar bongkahan batu itu tepat di bagian atasnya, menimbulkan satu ledakan keras menggelegar yang terdengar bagai hendak menghancurkan puncak gunung ini. Malah, Eyang Baranang sampai terlompat beberapa langkah ke belakang, disertai rasa kaget.
"Heh...?!"
Glaaar...!
Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, Eyang Baranang kembali terbeliak dan terlompat ke belakang beberapa langkah. Karena tiba-tiba kembali terdengar ledakan dahsyat yang menggelegar, bersamaan dengan sambaran kilat di angkasa. Mulutnya jadi ternganga lebar. Malah kedua bola matanya terbuka bagai melihat hantu yang begitu menyeramkan.
"Dewata Yang Agung...! Apa itu...?" desis Eyang Baranang dengan kedua bola mata masih terbeliak lebar.
Hampir laki-laki berjubah biru muda itu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bongkahan batu yang membara, bagai terbakar itu, tiba-tiba saja bergerak-gerak seperti hidup! Dan belum juga Eyang Baranang bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja batu merah membara yang kini sudah berwajah manusia berwarna merah itu melesat cepat bagai kilat ke arahnya.
"Oh...?! Haiiit...!"
Hanya sesaat saja Eyang Baranang terkesiap, namun cepat melesat ke samping. Dan seketika tubuhnya dilempar ke tanah bergulingan, menghindari terjangan makhluk berwarna merah bagai api yang berbentuk manusia itu.
"Hap!"
Eyang Baranang cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, makhluk merah itu sudah bergerak cepat. Dan saat itu juga, melesat kilatan cahaya merah bagai lidah api yang meluruk deras ke arah orang tua berjubah biru muda ini.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat Eyang Baranang melenting ke udara, dan berputaran dua kali menghindari serangan makhluk aneh berwarna merah itu. Dan kilatan cahaya merah bagai lidah api itu terus meluruk deras di bawah kaki orang tua ini. Dan begitu menyambar sebatang pohon, seketika terdengar ledakan keras yang begitu dahsyat menggelegar. Sesaat Eyang Baranang jadi terkesiap, begitu melihat po¬hon itu menghitam hangus bagai terbakar. Dan tidak berapa lama kemudian, pohon itu hancur jadi debu.
"Edan...!" dengus Eyang Baranang, kagum.
Tapi laki-laki tua berjubah biru muda itu tidak bisa berlarut-larut dalam kekaguman. Masalahnya makhluk merah itu sudah kembali melesat menyerang cepat bagai kilat. Terpaksa Eyang Baranang harus berjumpalitan di udara menghindari serangan dahsyat makhluk yang seluruh tubuhnya merah menyala bagai terdiri dari gumpalan api itu. Dan suara-suara ledakan pun terdengar saling susul. Kibasan-kibasan tangan makhluk itu selalu memancarkan kilatan api yang menghanguskan pepohonan di sekitarnya, hingga hancur jadi debu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Eyang Baranang cepat-cepat melenting menjauhi tempat itu ketika memiliki kesempatan yang hanya sedikit sekali. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi. lakilaki tua itu bisa menjaga jarak hingga sejauh dua batang tombak. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya cepat kembali melesat hendak meninggalkan makhluk aneh berwarna merah menyala ini.
"Hap!"
Namun begitu kakinya menjejak tanah, mendadak saja dari arah belakang terasa ada desir angin mengandung hawa panas membara. Eyang Baranang jadi terkesiap juga. Cepat-cepat tubuhnya meliuk. Dan saat itu juga, terlihat kilatan cahaya merah melesat begitu cepat di sampingnya. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, Eyang Baranang kembali terbeliak! Ternyata tiba-tiba saja di depannya sudah berdiri sosok tubuh yang memancarkan cahaya merah menyala bagai gumpalan api!
Slap!
"Ikh...?!"
Eyang Baranang jadi terpekik, begitu tiba-tiba tangan makhluk aneh ini mengibas ke depan. Dan belum juga bisa menyadari apa yang terjadi, tangan makhluk itu sudah mencengkeram batang lehernya!
"Akh...!"
Eyang Baranang jadi terpekik, begitu tubuhnya terasa terangkat naik. Dan saat itu juga, tubuh orang tua itu terbanting keras sekali ke tanah, sehingga, membuatnya kembali terpekik di tanah. Dan begitu gelimpangan tubuhnya terhenti saat menghantam sebatang pohon tumbang, makhluk merah itu terlihat sudah melesat cepat sekali. Dan tahu-tahu, kedua kakinya siap mendarat tepat di dada orang tua ini. Hingga...
"Hegkh! Aaaakh...!"
Jeritan melengking tinggi pun seketika terdengar menyayat, memecah kesunyiah malam di puncak Gunung Garuling ini. Tampak Eyang Baranang menggeliat-geliat di bawah injakan kaki makhluk berwarna merah menyala bagai gumpalan api ini. Dan tidak berapa lama kemudian tubuhnya mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Tampak asap berwarna kemerahan mengepul dan dadanya, begitu makhluk merah ini mengangkat kakinya dari dada Eyang Baranang. Dan pelahan-lahan, tubuh orang tua itu jadi menghitam hangus seperti terbakar. Lalu tidak berapa lama saja seluruh tubuh orang tua ini hancur jadi debu.
"Ghragkh! Ha ha ha...!"
Suara tawa keras menggelegar terdengar memecah kebisuan malam yang dingin dan berselimut awan tebal menghitam ini. Suara tawa yang begitu keras, seakan-akan hendak meruntuhkan seluruh punggung Gunung Garuling. Bahkan suara tawa itu bagai tidak akan pernah terhenti.
Sementara itu, Eyang Baranang sudah tergeletak tidak bernyawa lagi di puncak gunung yang di¬ngin dan berselimut kabut tebal ini. Dan tidak jauh dari tubuhnya, terlihat berdiri sesosok makhluk berbentuk manusia yang seluruh tubuhnya membara seperti terbakar. Dan tawa yang menggelegar itu datangnya dari makhluk bertubuh bagai api ini.
Tampak kedua bola matanya yang memerah bagai sepasang bola api, menatap nyalang pada tubuh Eyang Baranang yang menggeletak tidak bernyawa lagi, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Pelahan di hampirinya tubuh orang tua yang tidak bergerak-gerak itu. Sebentar dipandangi. Dan suara tawanya pun sudah terhenti saat kedua bola matanya yang merah membara memandangi tubuh Eyang Baranang.
"Ghrrrm...! Kau akan menjadi pengikutku yang pertama, Orang Tua...," terdengar berat dan dingin sekali suara makhluk yang tubuhnya seperti terselubung api itu.
Pelahan makhluk itu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas kepala. Kemudian, dari mulutnya terdengar geraman kecil, namun begitu dahsyat bagai Guntur. Dan tidak berapa lama, tampak kedua tangannya dihentakkan ke tubuh Eyang Baranang yang tergeletak tidak jauh di depannya. Saat itu juga, dari kedua telapak tangan makhluk bertubuh api itu memancar cahaya merah membara yang mengepulkan asap kemerahan. Cahaya merah itu langsung menerpa tubuh Eyang Baranang, dan menyelimuti seluruh tubuhnya!
"Ghrrrr...!"
Tampak tubuh Eyang Baranang mulai bergerak menggeletar. Semakin lama, getaran di tubuhnya semakin terlihat kencang. Hingga akhirnya, tubuh laki-laki tua berjubah biru tua itu mengambang, tidak menyentuh tanah sedikit pun juga. Tapi tubuhnya masih terus menggeletak seperti orang kedinginan. Dan begitu kedua tangan makhluk bertubuh api ini terhentak ke belakang, tubuh Eyang Baranang kembali mengeletak di tanah.
"Bangkit kau, Orang Tua! Ghrrr...!" bentak makhluk bertubuh api itu lantang.
Belum juga bentakan itu, hilang tiba-tiba saja kelopak mata Eyang Baranang terbuka. Namun sedikit pun tidak terlihat adanya cahaya kehidupan pada kedua bola matanya. Dan dengan gerakan yang sangat kaku, Eyang Baranang langsung bangkit berdiri tegak di depan makhluk bertubuh api ini. Sedikit pun tubuhnya tak bergeming, berdiri tegak dengan pandangan lurus dan kosong ke depan.
"Ha ha ha...!"
Makhluk bertubuh api ini tertawa terbahak-bahak, melihat Eyang Baranang yang sudah tidak bernyawa bisa bangkit berdiri lagi. Tapi sedikit pun Eyang Baranang tidak menggerakkan tubuhnya. Bahkan raut wajahnya begitu datar, sedangkan pandangan matanya kosong, tertuju lurus ke depan.
"Orang tua! Siapa namamu..?" tanya makhluk bertubuh api itu.
"Baranang," sahut Eyang Baranang.
Suara orang tua itu terdengar sangat datar. Bahkan sedikit pun tak terdengar adanya tekanan pada nada suaranya, malah saat bicara tadi pun, hanya sedikit saja bergerak bibirnya. Dan dia terus memandang kosong ke depan. Sama sekali hdak terlihat adanya napas kehidupan, walaupun Eyang Baranang tegak pada kedua kakinya.
"Dari mana kau berasal?" tanya makhluk bertubuh api itu lagi.
"Desa Batang," sahut Eyang Baranang masih dengan suara yang datar, tanpa tekanan sedikit pun.
"Bagus! Sekarang, kau kembali ke desa asal mu. Kau buat desa itu menjadi neraka," perintah makhluk bertubuh api itu.
"Baik..."
"Pergilah sekarang juga. Dan aku ingin kau membawa manusia-manusia tangguh sepertimu. Tapi! Kau harus membawanya dalam keadaan sudah mati. Aku akan menjadikan mereka pengikutku yang paling setia sepertimu. Dan seluruh jagat ini akan kukuasai. Ha ha ha....!"
Eyang Baranang hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun. Sementara suara tawa makhluk bertubuh api itu masih terus terdengar beberapa saat.
"Berangkatlah kau sekarang, Baranang," perintah makhluk bertubuh api itu tegas.
"Baik...," sahut Eyang Baranang datar.
Tanpa diperintah dua kali lagi, Eyang Baranang segera berbalik, dan melangkah pergi menuruni puncak Gunung Garuling ini. Sementara makhluk bertubuh api itu memandangi sampai orang tua itu lenyap dari pandangan mata. Dan dia kembali tertawa keras dan menggelegar, bagai halilintar membelah angkasa.
"Ha ha ha...!"
********************
Matahari baru saja menampakkan wujudnya. Cahayanya yang terang, hangat menyirami seluruh permukaan bumi Desa Batang. Dua hari penuh, desa itu bagaikan mati dari segala kegiatan. Baru hari ketiga ini penduduk desa itu keluar dari dalam rumahnya, setelah terdengar kokok ayam jantan, dan pancaran sinar sang Surya unruk menghangatkan bumi yang selama dua hari ini terus-menerus diselimuti kegelapan serta hembusan angin kencang yang membawa tihk titik air hujan.
Dari sebuah rumah kecil dan sederhana yang agak terpencil letaknya, terlihat Eyang Jambala melangkah keluar dari dalam. Orang tua itu berialan pelahan-lahan dengan bantuan sebatang tongkat kayu di tangan kanannya. Dia berhenti melangkah tepat di tengah-tengah halaman depan yang tidak begitu luas. Dan pandangan matanya langsung tertuju lurus ke arah puncak Gunung Garuling yang kini tampak bening tanpa sedikit pun terlihat kabut menggantung menyelimutinya.
"Hhh...! Sudah tiga hari ini Kakang Baranang tidak kembali. Apa yang terjadi padanya di sana...?" desah Eyang Jambala pelahan. Bicara pada diri sendiri.
Namun perhatian Eyang Jambala teralih, saat dua orang pemuda melintas di depan halaman rumahnya. Kedua pemuda itu menyapanya ramah. Dan Eyang Jambala membalas hanya dengan anggukkan kepala dan senyum tipis tersungging di bibir. Kedua pemuda itu menghentikan ayunan langkah kakinya, melihat raut wajah Eyang Jambala terlihat terselimut mendung.
"Aku tidak apa-apa. Pergilah kalian," kata Eyang Jambala, sebelum kedua pemuda itu bisa membuka suara.
"Maaf, Eyang...," ucap salah seorang seraya membungkuk sedikit memberi hormat.
"Hm.. "
Eyang Jambala hanya menggumam kecil saja, seraya menganggukkan kepala sedikit. Dan kedua anak muda Desa Batang itu melangkah pergi meninggalkannya sendirian. Kembali perhatian Eyang Jambala tercurah ke puncak Gunung Garuling yang siang ini puncaknya terlihat begitu indah. Namun tiba-tiba saja...
"Oh...?!"
Eyang Jambala jadi tersentak kaget. Kelopak mata orang tua itu jadi terlihat agak menyipit, mulutnya ternganga. Dan pandangannya tertuju ke arah puncak Gunung Garuling. Raut wajahnya terlihat jagi agak memucat, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang tengah disaksikannya sekarang ini.
"Bagaimana mungkin...? Oh, Dewata Yang Agung Bencana apa yang akan melanda jagat ini...?" desah Eyang Jambala agak tersendak nada suaranya.
Tanpa sadar orang tua berjubah putih itu melangkah beberapa tindak ke depan. Dan raut wajahnya kini memancarkan kesungguhan yang amat sangat, memperhatikan satu tempat di puncak Gunung Garuling. Sorot matanya terlihat begitu tajam seakan-akan ingin menegaskan penglihatannya.
"Kakang Baranang.... Oh, tidak..! Ini tidak boleh terjadi, aku harus segera mencarinya ke sana. Mudah-mudahan saja belum terlambat," desah Eyang Jambala lagi.
Setelah berkata demikian pada dirinya sendiri, dengan kecepatan bagai kilat Eyang Jambala yang membawa sebatang tongkat kayu melesat bagaikan angin. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan baju jubah yang dikenakannya sudah tak terlihat lagi. Dan lesatan yang begitu cepat, membuat debu serta daun-daun kering berterbangan ke angkasa, bagaikan dihempas tiupan angin kencang.
********************
DUA
Tepat di saat matahari berada di atas kepala. Eyang Jambala baru sampai di Puncak Gunung Garuling. Laki-laki berjubah putih itu berhenti tidak jauh di depan sebuah tingkaran hitam yang masih mengepulkan asap tipis di tanah berumput yang tidak begitu tebal. Kedua bola matanya terbeliak lebar, melihat bulatan hitam di depannya. Dan pelahan pandangannya beredar ke sekeliling. Tampak keadaan sekitarnya begitu hancur porak-poranda, seperti habis terjadi pertarungan sangat dahsyat.
"Jagat Dewa Batara.... apa yang terjadi di sini...?" desah Eyang Jambala bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Laki-laki tua berjubah putih itu terus mengedarkan pandangan ke sekeliling, merayapi sekitarnya yang hancur porak-poranda. Seakan-akan ada yang tengah dicarinya. Dan memang, dia sedang mencari Eyang Baranang yang sudah tiga hari ini menghilang, setelah mengatakan ingin pergi ke puncak Gunung Garuling ini. Tapi sedikit pun tidak ditemukan tanda-tanda kalau kakaknya itu pernah datang ke tempat ini. Namun dari keadaan yang hancur seperti ini, Eyang Jambala begitu yakin kalau Eyang Baranang pasti pernah menginjakkan kakinya di sini dalam nga hari belakangan ini.
Belum lagi Eyang Jambala bisa berpikir lebih banyak, mendadak saja merasa ada desir angin yang begitu halus menerpa tubuhnya dari belakang. Sebuah terpaan angin yang dirasakannya bukan angin biasa. Dan Eyang Jambala cepat-cepat berbalik.
"Kakang Baranang..."
Eyang Jambala hendak melangkah menghampiri begitu Eyang Baranang tahu-tahu sudah berada di depannya. Tapi langkah kakinya jadi terhenti melihat raut wajah Eyang Baranang begitu pucat. Dan pandangannya juga kosong, tanpa cahaya kehidupan sedikit pun juga. Sedangkan Eyang Baranang sendiri hanya tegak seperti patung, sehingga membuat Eyang Jambala jadi ragu-ragu untuk mendekatinya.
"Kakang, kenapa kau?! Apa yang terjadi pada mu...?! Kenapa wajahmu pucat sekali, Kakang...?"
Eyang Jambala menyerbu dengan pertanyaan beruntun. Dirasakan adanya keanehan yang begitu menyolok pada diri kakaknya. Dan keanehan itulah yang membuatnya jadi ragu-ragu mendekati. Namun pertanyaan Eyang Jambala yang beruntun tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Bahkan Eyang Baranang malah menyeringai, membuat Eyang Jambala jadi terhenyak. Tampak baris-baris gigi orang tua di depannya seperti gigi binatang buas. Begitu runcing dan tajam, seperti siap hendak mengoyak tubuhnya. Maka Eyang Jambala langsung saja menarik kakinya ke belakang dua langkah.
"Kakang...," Eyang Jambala masih mencoba bicara sambil berusaha menenangkan diri.
Ghrrr...!"
Tapi sahutan Eyang Baranang malah berupa geraman kecil yang membuat Eyang Jambala jadi terlompat ke belakang sejauh tiga langkah. Laki-laki berjubah putih ini mendengar geraman yang sangat mengerikan keluar dari bibir orang tua yang sejak kecil teramat dekat dan sangat dikenalnya.
"Oh, Dewata Yang Agung.... Apa yang telah terjadi pada kakang Baranang...?" desah Eyang Jambala lirih.
Eyang Jambala benar-benar tidak tahu, apa yang telah terjadi di puncak Gunung Garuling ini, hingga Eyang Baranang jadi berubah seperti itu. Sorot matanya yang semula terlihat kosong tanpa cahaya kehidupan, kini berubah menjadi merah menyala bagai sepasang bola api. Dan bibirnya semakin lebar menyeringai, memperlihatkan baris-baris gigi yang runcing dan bertaring tajam seperti mata pisau.
"Kau pasti bukan Kakang Baranang. Siapa pun kau, enyahlah dari tubuh kakakku...!" desis Eyang Jambala dingin menggetarkan.
"Ghraaakh...!"
Eyang Baranang malah menggerung keras. Sementara, Eyang Jambala sudah menggeser kakinya pelahan ke kanan. Dan saat itu juga Eyang Baranang melesat cepat bagai kilat, menerjang orang tua yang memegang tongkat kayu pada tangan kanannya. Begitu cepat gerakannya hingga membuat Eyang Jambala jadi tersentak sesaat. Tapi dengan gerakan gesit sekali, Eyang Jambala berhasil menghindari terjangan kakaknya yang sudah berubah ini.
"Hap! Hiyaaa...!"
Sambil melenting ke udara, Eyang Jambala melepaskan satu tendangan keras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangannya, sehingga Eyang Baranang tidak sempat lagi berkelit. Terlebih lagi, saat ini tubuhnya tengah doyong ke depan. Dan....
Duk!
"Ghragkh!"
Tendangan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Eyang Jambala tepat menghantam punggung. Akibatnya, Eyang Baranang yang kini sudah berubah seperti makhluk liar itu jadi terdorong ke depan beberapa langkah. Tapi dengan ge¬rakan begitu cepat tubuhnya diputar. Langsung saja diberikannya satu kibasan tangan kanan yang begitu keras, hingga menimbulkan desir angina menggetarkan jantung.
"Haiiit..!"
Eyang Jambala cepat-cepat melompat ke belakang. Dan begitu kibasan tangan kanan Eyang Baranang lewat di depan tubuhnya, cepat sekali tongkatnya dikebutkan, langsung diarahkan ke bagian kepala orang tua yang sudah berubah jadi makhluk mengerikan ini.
Wut!
Tak!
"Argkh...!"
Untuk kedua kalinya Eyang Baranang meraung keras, begitu hantaman tongkat Eyang Jambala menghantam telak di batok kepalanya. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa saat ke belakang, sambil meraung memegangi kepalanya. Sementara, Eyang Jambala sudah siap dengan tongkat tergenggam erat di tangan kanan.
Agak terkesiap juga laki-laki tua berjubah putih ini melihat Eyang Baranang tidak mengalami luka sedikit pun juga pada kepalanya. Padahal, tadi tongkat kayunya diayunkan dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Dan semula dia begitu yakin kalau kepala Eyang Baranang bakal pecah terhantam tongkatnya. Tapi, apa yang terlihat sungguh membuat hatinya jadi terkesiap. Sedikit pun tidak terlihat luka pada kepala orang tua berjubah biru muda itu.
Bahkan Eyang Baranang kembali bersiap hendak menyerang, setelah menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Sepertinya, dia tengah menghilangkan rasa pening akibat sabetan tongkat kayu Eyang Jambala pada kepalanya tadi.
Semula Eyang Jambala memang ragu-ragu untuk melayani pertarungan ini. Maka begitu menyadari kalau yang dihadapinya bukan lagi kakaknya, walaupun berwujud tubuh kakaknya, Eyang Jambala tidak lagi tanggung-tanggung melancarkan serangan. Dia sadar di dalam tubuh itu berisi makhluk yang sangat liar dan ganas, dengan nafsu membunuh sangat tinggi. Maka kini setiap kibasan tongkat Eyang Jambala selalu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tapi walaupun beberapa kali Eyang Baranang terkena hantaman tongkat kayu, tampak sama sekali tidak berpengaruh pada dirinya. Tubuhnya sedikit pun tidak terluka. Bahkan kelihatan semakin bertambah ganas saja. Serangan serangan yang dilancarkan begitu berbahaya. Kedua tangannya mengibas dengan cepat dan sangat dahsyat. Setiap kibasannya menimbulkan hempasan angin kencang yang mengandung hawa panas menyengat. Akibatnya udara di sekitar pertarungan jadi semakin menipis oleh hempasan hawa panas dari setiap kibasan tangan Eyang Baranang, membuat dada terasa sesak.
"Ugkh...! Kalau begini terus, bisa habis napasku! Kakang Baranang benar-benar sudah berubah.... Aku harus mencari tahu, apa penyebabnya. Ugkh...!" Eyang Jambala jadi mengeluh dalam hati.
Eyang Jambala merasakan napasnya semakin sesak. Dan memang, udara di sekitarnya semakin menipis saja. Bahkan serangan-serangan yang di lancarkannya, kini seperti tidak berarti sama sekali pada Eyang Baranang. Sabetan tongkatnya pun tidak menimbulkan pengaruh apa-apa.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu mendapat kesempatan yang sangat sedikit, Eyang Jambala cepat-cepat melenting ke belakang, seraya berputaran beberapa kali di udara. Lalu manis sekali kakinya menjejak kembali di tanah, dengan jarak sejauh dua batang tombak dari Eyang Baranang.
"Aku tidak boleh mati di sini, agar bisa memperingatkan penduduk Desa Batang," desis Eyang Jambala agak tersengal suaranya.
Namun keinginan Eyang Jambala memang tidak mudah dilaksanakan. Sebelum bisa bergerak. Eyang Baranang sudah melesat cepat bagai kilat kembali menyerangnya. Satu kibasan tangan kanannya melayang deras di arahkan ke dada Eyang Jambala.
"Hap!"
Cepat-cepat Eyang Jambala melompat ke samping. Langsung tongkat kayunya dikibaskan, mencoba menangkis serangan tangan kanan Eyang Baranang. Begitu cepat gerakan yang mereka lakukan, sehingga sangat sulit diikuti pandangan mata biasa. Dan mendadak saja...
Wut!
Trak!
"Heh...!"
Eyang Jambala jadi tersentak kaget setengah mati. Dirasakan tongkatnya bagai membentur sebongkah batu cadas yang teramat keras. Dan kedua bola matanya semakin terbeliak lebar begitu melihat tongkatnya sudah buntung menjadi dua bagian. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja Eyang Baranang sudah kembali melesat dengan serangan menggeledek, sambil memperdengarkan gerungan menggetarkan.
"Ghrooougkh...!"
Bet! Satu kibasan tangan kiri yang begitu cepat, sama sekali tidak dapat dilihat Eyang Jambala. Terlebih lagi saat, itu keterkejutannya belum sempat dihilangkan. Hingga....
Plak!
"Akh...!"
Eyang Jambala kontan jadi terpekik, begitu kibasan tangan kiri Eyang Baranang berhasil mendarat telak di dadanya. Begitu keras kibasan itu, hingga Eyang Jambala jadi terpental sejauh tiga batang tombak. Lalu keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah. Beberapa kali Eyang Jambala bergulingan di tanah yang berumput tidak begitu tebal ini.
"Hup!"
Namun Eyang Jambala cepat melesat bangkit berdiri, walaupun jadi terhuyung-huyung. Tampak darah kental memenuhi rongga mulutnya.
"Hoeeek...!"
Eyang Jambala langsung memuntahkan darah kental yang menggumpal di dalam mulutnya. Dengan punggung tangan kiri, disekanya darah yang masih tersisa di bibir. Napasnya masih terasa begitu sesak. Bahkan pandangannya berkunang-kunang. Sementara itu, Eyang Baranang sudah kembali siap melakukan serangan.
"Phuih! Aku harus cepat meninggalkan tempat ini...!" dengus Eyang Jambala dalam hati, sambil menyemburkan ludah yang bercampur darah. Tenaganya sungguh luar biasa. Aku tidak akan mampu menandinginya hanya seorang diri saja. Iblis mana pun yang bersarang di dalam tubuhnya, pasti memiliki tenaga sangat besar dan kekebalan tubuh. Huh...!"
Eyang Jambala mengedarkan pandangan ke sekeliling, berusaha mencari kesempatan yang baik untuk bisa cepat pergi dari tempat itu. Sementara itu, Eyang Baranang sudah melangkah pelan-pelan mendekati. Dan dari mulutnya terus memperdengarkan suara menggereng seperti harimau kelaparan melihat seekor domba yang gemuk.
"Ghrrraukh...!"
Begitu habis menggereng panjang dan keras menggelegar, bagai kilat Eyang Baranang melesat menerjang Eyang Jambala. Dan kali ini, satu pukulan tangan kanan dilepaskan begitu cepat dan menggeledek.
"Hup! Hiyaaa...!"
Eyang Jambala cepat-cepat melenting tinggi-tinggi ke udara, menghindari serangan Eyang Baranang. Dan pukulan yang dilepaskan bagai guntur di siang bolong itu hanya menghantam pohon beringin yang sangat besar batangnya. Seketika, po¬hon yang sangat besar itu hancur berkeping-keping, memperdengarkan ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat. Bahkan mampu membuat seluruh permukaan tanah di puncak Gunung Garuling ini jadi bergetar! Sementara itu, Eyang Jambala sudah berada di atas sebuah pohon.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tanpa membuang buang kesempatan yang ada, Eyang Jambala cepat-cepat melenting ke pohon yang satu lagi. Dan kembali cepat melenting hanya dengan menotokkan ujung jarinya saja pada batang pohon.
"Ghraaagkh...!"
Melihat lawannya mencoba melarikan diri, tampaknya Eyang Baranang merasa tidak puas. Dia langsung menggerung dahsyat sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas kepala. Dan tangan yang sudah terkepal, cepat ditujukan ke arah Eyang Jambala yang semakin terlihat jauh.
"Ghraaagkh..."
Eyang Baranang melesat cepat mengejar lawannya, sambil mengeluarkan gerungan panjang yang terdengar begitu dahsyat. Begitu cepat gerakan Eyang Baranang, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan jubah biru muda yang dikenakannya tidak terlihat sama sekali.
"Phuih...!"
Eyang Jambala menghembuskan napas panjang-panjang. Dia berhenti berlari, lalu berpaling ke belakang. Tidak terlihat ada yang mengejarnya di belakang. Sementara, sekelilingnya hanya pepohonan saja yang terlihat. Eyang Jambala tahu kalau saat ini masih berada di bagian lereng Gunung Garuling. Pelahan kakinya mulai terayun setelah jalan napasnya kembali seperti biasa.
"Hhh!" Apa yang terjadi sebenarnya...? Kenapa Kakang Baranang jadi liar begitu..?"
Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam kepala Eyang Jambala, tapi tidak satu pun yang bisa terjawab. Eyang Jambala terus berjalan pelahan-lahan menuruni lereng Gunung Garuling ini. Otaknya terus berpikir dan bertanya-tanya tentang semua yang baru saja terjadi pada dirinya. Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa Eyang Baranang jadi liar seperti binatang buas begitu?
Eyang Jambala terus berjalan pelahan-lahan sambil memikirkan kejadian yang baru saja dialami. Memang sulit untuk bisa diterima akal sehat manu¬sia biasa. Eyang Baranang yang sudah dikenalnya sejak kecil, bahkan sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri, mendadak saja jadi berubah liar dan ganas begitu. Bahkan sama sekali bdak mengenalnya lagi. Ini benar-benar membuatnya jadi tidak mengerti.
Saat berjalan dengan pikiran terus melayang, tiba-tiba saja orang tua itu dikejutkan oleh gerungan yang begitu keras dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik. Dan seketika itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, melihat Eyang Baranang berlari dengan kecepatan sangat tinggi ke arahnya.
"Heh. ?! Mau apa dia mengejarku terus...?"
Eyang Jambala tidak sempat lagi menjawab pertanyaannya sendiri, karena Eyang Baranang sudah melesat cepat bagai kilat menerjangnya. Cepat-cepat tubuhnya meliuk ke kiri, menghindari terjangan yang begitu cepat luar biasa. Namun belum juga bisa menarik tegak tubuhnya kembali, Eyang Baranang sudah kembali melesat cepat menyerang sambil memperdengarkan raungan yang begitu keras menggetarkan jantung.
"Haiiit..!"
Kembali Eyang Jambala harus meliukkan tubuhnya, menghindari serangan yang begitu cepat. Jari-jari tangan Eyang Baranang yang terkembang lebar, mengibas begitu cepat mengarah ke dadanya. Namun dengan egosan tubuh yang begitu indah sekali, Eyang Jambala berhasil menghindari. Dan cepat-cepat dia melompat ke belakang, menjaga jarak sejauh lima langkah.
"Ghraaaugkh...!"
Kembali Eyang Baranang melesat bagai kilat menerjang dengan jari-jari tangan terkembang lebar, mengincar leher Eyang Jambala.
"Hap! Yeaaah...!"
Tapi, kali ini Eyang Jambala sudah siap menghadapi serangan yang sangat dahsyat mematikan ini. Dan begitu jari-jari tangan Eyang Baranang dekat dengan lehernya, seketika itu juga tangan kanannya dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Plak!
Benturan pun tidak dapat dihindarkan lagi. Begitu kerasnya, hingga Eyang Jambala jadi meringis. Maka cepat-cepat tangannya ditarik sambil meompat ke belakang beberapa langkah. Hampir tidak dipercaya dengan yang dialaminya barusan. Pergelangan tangan kanannya terasa seperti remuk, dan jadi panas menyengat saat berbenturan dengan tangan Eyang Baranang tadi! Dirasakannya seakan-akan tangannya habis menyentuh lempengan besi baja yang baru saja diangkat dari dalam tungku pembakaran. Begitu panas, sampai pergelangan tangannya menghitam bagai terbakar.
"Ghraaagkh...!"
Sementara itu, Eyang Baranang sudah kembali melompat menyerang sambil meraung keras. Dan ini membuat Eyang Jambala jadi agak bergetar juga hatinya. Namun dengan gerakan gesit sekali, Eyang Jambala cepat-cepat melompat ke kiri, menghindari serangan orang tua ini. Dan saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Eyang Jambala, sehingga Eyang Baranang yang baru saja gagal melancarkan serangan, tidak sempat lagi menghindar. Akibatnya lambung orang tua berjubah biru muda itu terkena tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Saking kerasnya, hingga membuat Eyang Baranang jadi meraung keras merasakan kesakitan sekali.
Tapi tubuhnya cepat berbalik dan langsung melesat tinggi ke atas, melewati kepala Eyang Jambala. Seakan-akan rasa sakit yang diakibatkan tendangan keras bertenaga dalam tinggi pada lambungnya tadi tidak dihiraukan. Dia kembali menyerang ganas dan cepat luar biasa, membuat Eyang Jambala jadi terkesiap. Sungguh tidak di sangka kalau Eyang Baranang jadi begitu kuat dan tangguh.
"Hup! Hiyaaa...!"
Eyang Jambala cepat-cepat melenting kebelakang dan berputaran beberapa kali, menghindari serangan yang dilancarkan Eyang Baranang ini. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tanpa diduga sama sekali satu tendangan yang begitu cepat melayang ke arah dadanya. Eyang Jambala yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah, sama sekali tidak menduga datangnya serangan ini. Akibatnya dia tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...
Diegkh!
"Akh...!"
Suara pekikan tertahan pun terdengar, bersamaan terpentalnya tubuh Eyang Jambala ke belakang dengan deras sekali. Dan sekarang pohon yang sangat besar, langsung hancur berkeping-keping terlanda punggung orang tua ini. Tampak Eyang Jambala terguling beberapa kali di antara pecahan pohon yang terlanda tubuhnya tadi. Namun, dia cepat berusaha bangkit berdiri, begitu melihat Eyang Baranang sudah kembali hendak menyerang.
"Ugkh..!"
Tapi begitu berdiri, Eyang Jambala jadi terhuyung. Sementara tangan kanannya terus mendekap dada yang terkena tendangan keras menggeledek tadi. Tampak darah kental menyembur dari mulutnya, begitu orang tua ini terbatuk. Sepertinya, Eyang Jambala mengalami luka dalam yang cukup parah, sehingga darah terpaksa harus menyembur dari mulutnya. Dan saat itu, Eyang Baranang sudah cepat menggeser kakinya mendekati. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi dari Eyang Jambala, dia menggerung keras sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu...
"Ghraaagkh...!"
Slap!
"Ohk! Mati aku…," desah Eyang Jambala, begitu melihat Eyang Baranang sudah kembali menyerangnya.
Begitu cepat serangan Eyang Baranang ini, hingga membuat Eyang Jambala tidak punya kesempatan lagi untuk menghindar. Terlebih lagi, sekarang ini menderita luka dalam yang cukup parah pada dadanya, sampai darah kental terus mengalir dari mulutnya. Namun begitu jari-jari tangan yang runcing dan agak menghitam itu hampir sampai di lehar Eyang Jambala, mendadak saja...
Slap!
Plak!
"Argkh...!"
"Heh...?!"
TIGA
Eyang jambala jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terlihat berkelebat sebuah bayangan putih begitu cepat memapak serangan Eyang Baranang. Dan satu benturan yang begitu keras, membuat Eyang Baranang jadi meraung dahsyat dan terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Namun, dia cepat bisa bangkit tegak berdiri lagi, sebelum Eyang Jambala bisa menyadari apa yang terjadi.
"Ghrrr...!"
Eyang Baranang jadi menggeram sengit, melihat seorang pemuda berwajah tampan tahu-tahu sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, tepat di depan Eyang Jambala yang masih terlongong bengong seperti bermimpi. Sungguh, seakan tidak dipercayai apa yang sedang dialaminya sekarang ini. Sementara pemuda yang tiba-tiba saja muncul menyelamatkan nyawa orang tua ini, tetap berdiri tegak membelakanginya. Tampak sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggungnya. Pemuda itu sungguh tegap. Dan urat-uratnya yang tersembul dari balik baju rompi putih yang dikenakannya bisa terlihat jelas.
Sementara itu, Eyang Baranang sudah menggeser kakinya pelahan-lahan ke kanan, sambil menggerung-gerung seperti seekor binatang buas kelaparan. Sorot matanya terlihat begitu tajam dan memerah, menatap langsung ke wajah tampan pemuda berbaju rompi putih yang berada sekitar dua batang tombak di depannya. Perhatiannya kini tidak lagi tertuju pada Eyang Jambala, tapi pada pemuda tampan yang menyelamatkan nyawa Eyang Jambala tadi.
"Ghrrraugkh...!"
Sambil memperdengarkan gerungan yang begitu dahsyat, Eyang Baranang melesat cepat menyerang pemuda berbaju rompi putih ini. Dan Saat itu juga, tangan kanannya mengibas cepat mengarah ke dada.
"Haiiit..!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan tubuh, pemuda berbaju rompi putih yang menyandang pedang di punggung ini mudah sekali menghindarinya. Bahkan langsung memberikan serangan balasan yang begitu cepat, hingga sulit diduga. Dia langsung melepaskan satu tendangan keras menggeledek sambil melompat sedikit. Begitu cepatnya tendangan itu, hingga Eyang Baranang tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih, tubuhnya saat itu sedang doyong ke depan. Maka, tendangan pemuda itu tepat menghantam dadanya.
Diegkh!
"Aaargkh...!"
"Aaargkh...!"
Eyang Baranang menggerung keras sambil melesat cepat. Lalu, dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang begitu dahsyat!
"Hup! Hiyaaa...!" Pemuda berompi putih itu pun menghentakkan kedua tangannya ke depan, menyambut pukulan Eyang Baranang. Maka...
Glaaarrr...!
Eyang Baranang meraung keras, dan kontan terpental beberapa langkah ke belakang. Tapi, dia cepat bisa menguasai keseimbangan tubuh kembali, dan langsung saja menggerung sambil melesat menyerang. Seketika dilepaskannya, satu pukulan keras menggeledek yang begitu dahsyat luar biasa!
"Hup! Hiyaaa...!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju rompi putih ini malah menghentakkan kedua tangannya ke depan, tanpa ada usaha menghindar sedikit juga. Akibatnya pukulan yang dilepaskan Eyang Baranang tepat menghantam kedua telapak tangan pemuda itu. Maka seketika itu juga...
Glaaar...!
Satu ledakan yang begitu keras seketika terjadi. Tampak kilatan bunga api memercik dari kedua tangan yang beradu keras ini. Dan saat itu juga, Eyang Baranang meraung keras dengan tubuh terpental balik ke belakang Sementara, pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih bersih ini masih tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun juga. Terlihat dari kedua telapak tangannya yang terbuka menjulur ke depan, asap tipis berwarna agak kemerahan mengepul terbawa angin. Sementara itu, Eyang Baranang jatuh bergulingan beberapa kali di tanah, tapi cepat bisa bangkit berdiri tegak.
"Hm, hebat... Luar biasa sekali tenaganya. Kalau orang biasa, pasti sudah hancur lebur terkena pukulan geledekku ini," gumam pemuda itu pelahan, memuji ketangguhan lawannya.
Sementara itu di tempat lain, terlihat Eyang Jambala berdiri agak jauh di tempat yang cukup aman. Diperhatikannya semua pertarungan yang terjadi. Hatinya sungguh mengagumi ketangguhan pemuda berbaju rompi putih yang sama sekali belum dikenalnya ini, dan tiba-tiba saja muncul menyelamatkan nyawanya. Dan baru saja, beberapa kali pemuda itu berhasil membuat Eyang Baranang jatuh bangun.
"Kau pasti bukan lagi manusia, Orang tua. Siapa yang ada di dalam dirimu...?" terdengar dingin dan lantang sekali suara pemuda itu.
"Ghraaagkh...!"
Tapi Eyang Baranang hanya menjawab pertanyaan itu dengan gerungan panjang menggetarkan, begitu kerasnya, hingga seluruh lereng Gunung Garuling terasa bergetar. Sementara, pemuda berbaju rompi putih tetap berdiri tegak denga sorot mata begitu tajam menusuk, memperhatikan orang tua yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.
"Kau kelihatan berbahaya sekali bagi orang banyak, Orang Tua. Terpaksa kau harus kuredam sebelum membuat neraka di jagat ini," kata pemuda berbaju rompi putih itu lagi, masih dengan nada suara terdengar dingin menggetarkan.
Setelah berkata begitu, cepat pemuda itu merapatkan kedua telapak tangannya ke depan dada. Dan pelahan-lahan tubuhnya bergerak doyong ke kanan, lalu pelahan lahan pula ditarik hingga doyong ke kiri. Dan begitu tubuhnya kembali tegak, telah tampak semburat cahaya biru pada kedua telapak tangan yang merapat di depan dada. Sementara, sorot matanya masih terlihat tajam, memperhatikan Eyang Baranang yang tetap berdiri agak membungkuk di depannya. Sedangkan kaki pemuda berbaju rompi putih ini sudah terpentang cukup lebar, dan agak tertekuk ke depan lututnya. Saat itu mendadak saja...
Slap!
Wusss...!
Tiba-tiba saja terlihat kilatan cahaya merah bagai api melesat di angkasa, diikuti hembusan angin kencang yang membuat debu serta daun-daun kering berterbangan bagai terlanda badai. Bahkan pepohonan langsung berguguran daun-daunnya. Kejadian yang begitu cepat ini, membuat Eyang Jambala dan pemuda berbaju rompi putih itu jadi tersentak. Namun belum juga hilang rasa keterkejutan mereka, mendadak saja tubuh Eyang Bararang melesat cepat bagai kilat. Hingga dalam sekejap saja bagaikan tertelan bumi.
"Hhh...!"
Pemuda berbaju rompi putih ini melepaskan telapak tangannya yang menyatu pelahan-lahan setelah tubuhnya tegak kembali. Dan saat itu, cahaya biru yang menyemburat dari kedua telapaknya lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Eyang Jambala bergegas berlari-lari menghampiri.
"Anak muda, terimalah salam hormatku...," ucap Eyang Jambala seraya membungkuk sedikit dengan kedua telapak tangan menyatu di depan dada.
"Sudahlah, Ki. Tidak perlu bersikap begitu padaku," sambut pemuda ini diiringi senyum ramah sekali.
"Maaf, Anak Muda. Siapakah kau sebenarnya? Kepandaian yang kau miliki sungguh mengagumkan. Kalau kau tidak muncul tadi, mungkin sekarang ini tubuhku sudah menjadi santapan cacing-cacing tanah," kata Eyang Jambala. "Oh, ya... Aku Eyang Jambala, dari Desa Batang. Tidak jauh dari lereng Gunung Garuling ini. Ada di sebelah sana..."
"Namaku Rangga, Eyang," sahut pemuda tampan berbaju rompi putih itu terus tersenyum ramah.
Pemuda tampan itu memang Rangga, yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Eyang Jambala yang memang tidak pernah mengikuti perkembangan dunia persilatan, sama sekali tidak tahu kalau sekarang sedang berhadapan dengan seorang pendekar muda dan digdaya yang namanya selalu menjadi buah bibir orang-orang persilatan. Baik mereka yang beraliran putih, maupun hitam.
"Nak Rangga, aku benar-benar berterima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau tidak keberatan, aku senang sekali bila kau sudi mampir ke gubukku di Desa Batang barang sejenak," ujar Eyang Jambala langsung mengundang.
"Aku berada di sini tidak seorang diri, Eyang."
"Oh, berapa orang temanmu?"
"Satu. Tidak lama lagi dia pasti datang. Terpaksa tadi kutinggalkan, begitu aku mendengar suara pertarungan. Dia harus menuntun kudaku yang mendadak saja jadi rewel."
Belum juga selesai kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu, sudah terdengar hentakan-hentakan langkah kaki kuda mendekati. Dan tidak berapa lama kemudian, muncul seorang gadis cantik berbaju biru menunggang kuda putih. Di belakangnya berjalan seekor kuda hitam yang kelihatannya begitu gelisah. Binatang itu mendengus-dengus sambil menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Dan, gadis itu langsung melompat turun dari punggung kudanya, setelah dekat dengan kedua orang laki-laki ini.
Langsung dihampirinya Rangga yang berdiri di depan Eyang Jambala sambil memandangi dengan bibir terus menyunggingkan senyum. Dari sebuah kipas yang terselip di pinggangnya, jelas sekali kalau gadis ini adalah Pandan Wangi. Dan di kalangan rimba persilatan, dia dikenal sebagai Si Kipas Maut. Walaupun, di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala naga yang berwarna hitam berkilat.
"Kakang, Dewa Bayu tidak mau diam. Dia malah hampir membuatku terjatuh dari kuda. Sepertinya, dia tidak mau diajak ke sini," kata Pandan Wangi mengomel sambil merengut.
Rangga hanya tersenyum saja, dan langsung memperkenalkan si Kipas Maut pada Eyang Jambala tanpa mempedulikan gerutunya. Pandan Wangi buru-buru menjura memberi salam penghormatan. Eyang Jambala segera membalasnya dengan tubuh membungkuk sedikit.
"Pandan, Eyang Jambala mengajak kita mampir ke rumahnya. Kau mau...?" ujar Rangga, mengutarakan maksud orang tua itu.
"Terserah kau saja, Kakang. Tapi...," sahut Pandan Wangi terputus.
"Tapi apa, Nisanak?" tanya Eyang Jambala.
"Jauh tempatnya?" Pandan Wangi malah balik bertanya.
"Tidak...," sahut Eyang Jambala sedikit tersenyum. "Kenapa kau tanyakan itu, Nisanak?"
Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Dan matanya melirik sedikit pada kuda hitam Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatan begitu gelisah, seakan-akan tidak senang berada di tempat ini. Rangga dan Eyang Jambala juga menatap ke arah kuda hitam yang terus mendengus berat sambil menghentak hentakkan kedua kaki depannya ke tanah.
"Aku kira Dewa Bayu akan berubah kalau sudah sampai di Desa Batang. Biasanya, perasaan yang dimiliki binatang lebih peka dari manusia. Aku yakin, dia mengetahui sesuatu yang tidak bisa kita ketahui di sini," kata Eyang Jambala. Seakan-akan bisa mengerti kegelisahan Dewa Bayu.
"Kau benar, Eyang. Sejak memasuki daerah Gunung Garuling ini, Dewa Bayu sudah kelihatan gelisah. Bahkan sempat mengamuk kira-kira dua atau tiga hari yang lalu, saat seluruh daerah Gunung Garuling tertutup awan tebal," sambut Rangga membenarkan pendapat orang tua itu.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat pergi, Anak Muda. Tempat ini memang tidak baik untuk ditinggali. Ayo, kita akan lebih leluasa lagi berbicara di gubukku nanti," ajak Eyang Jambala.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas melangkah meninggalkan lereng Gunung Garuling ini. Rangga dan Pandan Wangi berjalan di belakang Eyang Jambala, sambil menuntun kuda masing-masing. Mereka terus berjalan agak cepat, tanpa bicara sedikit pun juga. Tapi, kening Rangga sedikit agak berkerut melihat Eyang Jambala berjalan cepat, seakan-akan memang ingin segera meninggalkan gunung yang kelihatan angker dan menyeramkan ini. Entah, apa yang ada dalam benak Pendekar Rajawali Sakti saat ini.
********************
Pandan Wangi sempat berdecak kagum setelah berada di dalam rumah Eyang Jambala yang tidak begitu besar dan sangat sederhana. Kekagumannya bukan karena melihat bentuk rumahnya, tapi kebersihannya. Padahal Eyang Jambala mengatakan kalau sekarang hanya sendiri saja tinggal di sini. Dan dalam perjalanan tadi, Eyang Jambala sempat bercerita banyak tentang semua yang telah terjadi, sampai bertarung dengan saudara angkatnya sendiri. Dan hampir saja, dia terbunuh kalau saja Rangga tidak segera datang menyelamatkannya.
"Beginilah keadaan gubukku, Nini. Gubuk kakek renta yang tidak punya daya apa-apa," kata Eyang Jambala merendah.
"Ah! Kau terlalu merendahkan diri, Eyang. Walaupun sederhana, tapi sangat bersih. Seperti sering terkena sentuhan tangan wanita," puji Pandan Wangi.
Eyang Jambala mempersilakan kedua tamunya duduk di kursi kayu yang sudah tua. Namun, Pandan Wangi kembali berdecak kagum, begitu tidak mendapatkan debu sedikit pun di kursi ini. Begitu bersih, walaupun keadaannya sudah sangat lapuk. Hatinya benar-benar mengagumi orang tua ini dalam merawat rumahnya.
Sementara itu, Eyang Jambala sudah menghilang ke bagian belakang. Tapi tidak lama dia muncul lagi, membawa sebuah baki kayu yang berisi dua guci arak kecil dan tiga buah gelas bambu. Pandan Wangi cepat berdiri dan mengambil baki itu dari tangan Eyang Jambala, kemudian meletakkannya di atas meja yang berada tepat di depan kursi yang didudukinya tadi. Kemudian, diisinya gelas-gelas bambu dengan arak dari guci berukuran kecil yang tampaknya terbuat dari tembikar.
"Silakan.... Hanya ini yang bisa kuhidangkan," ujar Eyang Jambala mempersilakan dengan sikap ramah sekali.
"Terima kasih, Eyang," sahut Rangga dan Pandan Wangi bersamaan.
Mereka menikmati arak manis yang harum ini. Rangga sempat berdecak memuji kelezatan arak yang dihidangkan Eyang Jambala. Selama dalam pengembaraannya, baru kali ini Pendekar Rajawali Sakti merasakan arak yang begitu nikmat dan harum. Sungguh lain dengan arak-arak yang biasa ditemuinya. Pandan Wangi pun merasakan yang sama. Maka langsung pujiannya tulus diutarakan, membuat Eyang Jambala jadi tersipu.
"Itu hanya arak buatan penduduk sini. Hanya arak murah yang bisa kudapatkan," Eyang Jambala kembali merendah.
"Tapi arak ini benar-benar nikmat, Eyang.. Belum pernah aku menemukan arak senikmat ini," kembali Pandan Wangi memuji.
"Ah! Sudahlah, Nini... Bisa besar kepalaku nanti kalau dipuji terus menerus," kata Eyang Jambala mencoba menghentikan pujian si Kipas Maut itu.
Pandan Wangi jadi tersenyum, dan kembali menuangkan arak dari dalam guci kecil ke dalam gelasnya. Kemudian ditambahkannya arak itu ke gelas Rangga. Dan, gadis itu kembali meneguknya hingga tandas. Rangga hanya menggelengkan kepala saja melihat Pandan Wangi yang menganggap arak seperti air putih biasa dari sungai. Sedangkan Eyang Jambala terlihat senang melihat tamunya menyukai arak yang disuguhkannya. Dia bangkit berdiri lagi dari kursinya.
"Mau ke mana, Eyang?" tanya Rangga.
"Aku masih punya persediaan arak yang cukup," kata Eyang Jambala terus saja berjalan ke belakang.
Rangga tidak bisa lagi mencegah orang tua itu. Dan matanya langsung melirik Pandan Wangi yang sudah mengisi gelasnya lagi. Baru beberapa saat saja, sudah empat gelas arak yang masuk dalam tenggorokan gadis ini. Dan pada saat Pandan Wangi hendak meneguk untuk yang kelima kalinya, Rangga cepat mecekal pergelangan tangannya. Pandan Wangi jadi mendelik, melihat Rangga mencegah agar tidak menghabiskan arak yang siap diminumnya.
"Aku tidak mau melihat kau mabuk! Pandan. Jangan terlalu banyak," Rangga menasehati.
"Dulu aku sering minum-minuman seperti ini, Kakang. Bahkan yang lebih keras sekalipun," kata Pandan Wangi seraya melepaskan cekalan tangan Pendekar Rajawali Sakti pada pergelangan tangannya. Tapi, gadis itu juga tidak ingin membuat kekasihnya kecewa. Maka diletakkannya gelas bambu yang berisi penuh arak manis itu ke atas meja.
"Itu dulu, Pandan. Tapi sekarang kau sudah lain. Aku tidak ingin melihatmu liar lagi seperti dulu," kata Rangga mengingatkan lagi.
Tapi Pandan Wangi hanya tersenyum saja mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia jadi teringat pertemuannya pertama kali dengan pemuda tampan yang kini menjadi kekasihnya. Dan gadis itu tertawa sendiri kalau mengingat masa-masa kehidupannya dulu. Memang, dia dikenal sebagai gadis liar yang tidak pernah mengenal tata krama kehidupan.
Sejak kecil Pandan Wangi memang hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Dan sudah beberapa orang yang menjadi gurunya, sebelum kakeknya yang entah benar atau tidak telah meninggal dalam pertarungan. Tapi, Pandan Wangi yang sekarang memang sudah lain hanya terkadang, masih belum bisa mengendalikan kesabarannya.
Bahkan kalau sedang bertarung, keganasannya selalu lebih menonjol. Hingga, terkadang Rangga harus selalu memperingatkan. Dan Pandan Wangi sendiri tidak pernah merasa marah atau tersinggung setiap kali Rangga memperingatkannya. Hatinya malah merasa senang. Padahal dulu, tidak ada seorang pun yang bisa menasehatinya.
"Kenapa tersenyum...?" tegur Rangga.
"Ah, tidak...," sahut Pandan Wangi masih saja tersenyum-senyum sendiri.
Saat itu, Eyang Jambala sudah kembali membawa lima guci arak yang cukup besar ukurannya, dan langsung dilerakkan di atas meja. Pandan Wangi jadi tersenyum lebar. Sementara, Rangga hanya diam saja. Dan matanya hanya melirik sedikit pada guci-guci arak yang berada di depannya. Mereka bertiga kembali duduk melingkari meja kayu yang tidak begitu besar ukurannya, yang terbuat dari kayu biasa yang sudah lapuk.
"Aku senang kalau kalian menyukai arak ini. Jangan takut kehabisan. Aku punya persediaan yang cukup banyak. Bahkan bisa untuk sebuah perayaan," kata Eyang Jambala.
"Terima kasih, Eyang. Ini saja sudah cukup banyak," ujar Rangga.
"Ayo, Nini. Jangan malu-malu. Gadis-gadis di desa ini juga semuanya minum arak. Bagi penduduk Desa Batang, minum arak seperti juga minum air biasa dari pancuran," ujar Eyang Jambala lagi.
Rangga hanya tersenyum saja. Sementara, Pandan Wangi sudah kembali meneguk habis araknya. Memang selama berjalan bersama-sama dengan Pendekar Rajawali Sakti itu, Pandan Wangi terpaksa harus menahan kegemarannya minum arak. Bahkan hampir tidak pernah meneguk minuman yang bisa memabukkan ini. Tapi mendapatkan arak yang begitu nikmat, keinginannya tidak bisa terbendung lagi. Sementara, Rangga sendiri tidak bisa lagi mencegah, karena tidak ingin Eyang Jambala tersinggung
. "Eyang, aku masih belum bisa mengerti. Bagaimana Eyang Baranang bisa jadi berubah seperti itu...?" Rangga memulai kembali pembicaraan yang sempat terputus.
"Itulah yang menjadi pertanyaan, Rangga. Kakang Baranang pergi ke puncak Gunung Garuling di saat seluruh alam ini diliputi kegelapan beberapa hari. Aku menunggu di sini sampai tiga hari lamanya. Dan begitu matahari muncul, aku langsung menyusulnya. Tapi yang kudapatkan...." Eyang Jambala tidak melanjutkan.
"Peristiwa alam yang terjadi kemarin, memang kurasakan seperti bukan kejadian alam biasa. Seperti ada kekuatan dahsyat yang menyebabkan langit tertutup awan hitam beberapa hari. Dan terus terang, Eyang. Aku sendiri jadi tertarik ke Gunung Garuling, karena melihat adanya cahaya merah dari puncaknya. Aku ingin mencari tahu, cahaya apa itu," timpal Rangga.
"Yaaah... Kakang Baranang juga pergi ke sana karena melihat cahaya itu. Aku sudah memperingatkan, tapi dia tetap keras kepala. Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi padanya, hingga jadi berubah liar begitu," pelan sekali terdengar suara Eyang Jambala.
"Eyang sudah sampai ke puncak Gunung Garuling?" selak Pandan Wangi bertanya.
"Sudah," sahut Eyang Jambala seraya beralih menatap Kipas Maut itu.
"Lalu, apa yang kau temukan di sana?" tanya Pandan Wangi lagi.
Eyang Jambala hanya menggelengkan kepala saja. Dia memang tidak menemukan apa-apa di puncak Gunung Garuling, kecuali hutan yang berantakan saja, seperti habis terjadi pertempuran sengit. Dan semua itu diceritakan pada kedua pendekar muda yang menjadi tamunya ini, tanpa sedikit pun ada yang dikurangi atau dilebihkan.
Sementara Rangga kelihatan begitu penuh perhatian pada persoalan ini. Dan memang, kedatangannya ke Gunung Garuling karena melihat cahaya merah menyala dari atas puncaknya. Saat itu, memang seluruh alam terselimut awan hitam tebal, hingga dalam beberapa hari tidak tampak cahaya matahari maupun bulan. Dunia seakan-akan hendak kiamat. Bahkan tidak seekor binantang pun yang keluar dari sarangnya. Kejadian inilah yang membuat Rangga jadi tertarik untuk mengetahuinya.
"Kakang, apa sebaiknya kita pergi saja ke puncak Gunung Garuling. Barangkali di sana kita bisa menemukan jawaban lebih banyak lagi," saran Pandan Wangi.
"Hmmm...," tapi Rangga hanya menggumam saja mendengar saran si Kipas Maut itu.
"Kalau boleh kunasihatkan, sebaiknya kalian berdua tidak perlu pergi ke sana. Terlalu berbahaya...," selak Eyang Jambala.
Rangga dan Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan pada orang tua ini.
"Aku yakin, ada sesuatu kekuatan yang sangat dahsyat di sana, yang belum bisa kita ketahui. Demi keselamatan kalian berdua, sebaiknya tidak perlu pergi ke sana lagi. Kita lihat saja perkembangannya dulu," sambung Eyang Jambala.
Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandangan. Mereka sama-sama mengangkat bahunya, belum bisa memutuskan apa yang akan dilakukan.
"Kalian berdua bisa tinggal di sini. Dan aku membantu apa saja yang dibutuhkan," kata Eyang Jambala lagi.
"Terima kasih hanya itu yang terucap dari bibir Rangga.
********************
EMPAT
Malam sudah jatuh menyelimuti Gunung Garuling. Kegelapan dan kesunyian begitu terasa. Bahkan angin pun seakan enggan berhembus membuat udara terasa begitu panas. Sementara Rangga yang terpaksa harus tinggal sementara di rumah Eyang Jambala, belum bisa memicingkan matanya. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa berdiri mematung di depan jendela kamar yang dibiarkan terbuka lebar. Dari jendela kamar ini, dia bisa memandang jelas ke arah puncak Gunung Garuling yang kelihatan menghitam bagai raksasa tidur.
"Hm, sepi sekali malam ini...," gumam Rangga pelahan.
Dan Rangga merasakan ada sesuatu yang janggal malam ini. Rasanya kesunyian teramat sangat menyelimuti sekitarnya. Begitu sunyi, sampai suara gerit serangga malam pun tidak terdengar sedikit pun juga. Bahkan tidak terasa adanya hembusan angin, sehingga udara terasa begitu panas. Padahal langit tampak hitam berselimut awan tebal, tanda-tanda akan turun hujan. Keanehan semakin terasa menyelimuti hati Pendekar Rajawali Sakti, saat menjelang tengah malam. Udara yang begitu panas. semakin terasa bagai membakar tubuhnya. Bahkan titik keringat sudah membanjir di seluruh tubuh.
Dan tiba-tiba saja, terdengar ringkikan kuda yang begitu keras. Rangga jadi tersentak juga, saat mengenali kalau ringkikan itu pasti berasal dari Dewa Bayu yang ditambatkan di samping rumah ini. Dan ringkikannya juga terdengar seperti sedang menderita. Bergegas Rangga menjulurkan kepalanya ke luar melalui jendela, hendak melihat kuda tunggangannya Dan pada saat kepalanya ke luar jendela...
Slap!
"Heh...?!"
Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba saja terlihat kilatan cahaya merah bagai api melesat begitu cepat melintas di depan wajahnya. Cepat kepalanya ditarik. Namun, sambaran cahaya merah itu cukup membuat wajahnya panas bagai terbakar. Rangga cepat-cepat melompat ke belakang, langsung menyilangkan tangan kiri di depan wajahnya.
"Dewata Yang Agung! Apa itu...?"
Kedua bola mata Rangga kontan terbeliak begitu melihat sesosok tubuh berbentuk manusia tahu-tahu sudah berdiri tidak seberapa jauh di depan jendela kamar ini. Sosok tubuh yang mengeluarkan api seperti orang terbakar itu berdiri tegak menghadap ke jendela kamar yang terbuka ini. Belum juga Rangga bisa mengerahui, mendadak saja manusia yang seluruh tubuhnya memancarkan cahaya api itu mengebutkan tangan kanannya ke depan. Dan seketika itu juga, melesat segumpal bola api yang langsung menembus masuk melalui jendela.
"Heh...?! Hap!"
Rangga cepat-cepat menghentakkan tangan kanannya, memberi pukulan menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, begitu melihat manusia yang bertubuh api menyerang. Angin pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti memang sangat kuat luar biasa, hingga gumpalan bola api itu terpental balik keluar. Tapi Rangga juga jadi terdorong ke belakang dua langkah.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke luar menerobos jendela kamar ini. Langsung disadari kalau manusia bertubuh api ini bisa saja membakar rumah Eyang Jambala yang ditempatinya, kalau tidak cepat-cepat keluar. Sungguh ringan gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak tanah, tepat sekitar satu batang tombak di depan manusia bertubuh api ini.
"Siapa kau...?" Rangga langsung melontarkan pertanyaan tegas.
"Ghrrr...! Aku si Raja Api," sahut manusia bertubuh api memperkenalkan diri.
"Hm... Apa maksudmu menyerangku?" tanya Rangga lagi.
"Jawabnya ada pada dirimu sendiri, Pendekar Rajawali Sakti."
"Heh...?! Kau tahu namaku...?" Rangga jadi terperanjat, karena makhluk aneh yang menamakan diri si Raja Api itu sudah mengetahui julukannya.
"Kedatanganmu memang sudah lama kutunggu, Pendekar Rajawali Sakti. Orang sepertimulah yang kucari. Kau tangguh dan berilmu tinggi, sehingga akan membantuku menguasai seluruh jagad ini," kata si Raja Api dengan suara berat dan besar sekali.
Rangga hanya terdiam dengan kening berkerut. Kata-kata si Raja Api barusan sudah barang tentu membuat hatinya jadi tidak senang. Tidak mungkin dia sudi membantu keinginan yang dianggapnya gila itu. Menguasai jagad... Keinginan yang tidak akan mungkin bisa terlaksana.
"Raja Api! Kalau kau sudah tahu siapa diriku, tentu juga sudah bisa menebak jawabanku dari keinginanmu yang gila itu," tegas Rangga agak lantang suaranya.
"Ghrrr...! Sudah kuduga kau akan bersikap begitu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, ketahuilah. Raja Api tidak boleh ditolak. Dan kau akan merasakan akibatnya, karena berani menolak keinginan Raja Api," sambut si Raja Api dingin.
"Kau tidak bisa memaksaku, Raja Api. Bahkan aku akan menentang segala keinginan gilamu itu!"
"Ghrrr...!"
Si Raja Api tampak geram mendengar jawaban tegas Pendekar Rajawali Sakti. Dia sampai menggerung keras, membuat tanah yang dipijaknya jadi bergetar bagai diguncang gempa. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Kedua bola matanya menyala tajam, memperhatikan manusia yang seluruh tubuhnya memancarkan api dan menyebarkan hawa panas yang membakar.
"Kau akan menyesal telah menolakku, Pendekar Rajawali Sakti. Ingat-ingatlah itu...!" ancam si Raja Api sambil menggeram kecil.
Setelah melontarkan kata-kata ancaman begitu si Raja Api memutar tubuhnya. Dan saat itu juga, tubuhnya melesat dengan kecepatan bagai kilat. Begitu cepat lesatannya, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya merah. Dan dalam sekejap mata saja, dia sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara, Rangga tetap berdiri tegap memandang ke arah perginya si Raja Api.
Saat itu Pendekar Rajawali Sakti mendengar suara gerit daun pintu dibuka. Perlahan Rangga berbalik, dan melihat Pandan Wangi bersama Eyang Jambala keluar dari dalam kamar. Sementara kuda hitam bernama Dewa Bayu yang berada di samping rumah ini sudah tidak lagi meringkik membuat gaduh.
"Kakang, ada apa tadi...?" Pandan Wangi langsung rnelontarkan pertanyaan begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak ada apa-apa," sahut Rangga seraya melangkah menuju beranda depan.
Pandan Wangi mengikuti dari belakang. Sementara, Eyang Jambala lebih tertarik pada hal lain. Dan kakinya segera melangkah menghampiri tempat si Raja Api tadi berdiri. Pelahan tubuhnya jongkok menekuk lututnya. Dan tanganya langsung meraba tanah yang sedikit berumput dan kelihatan menghitam hangus seperti terbakar. Kening Eyang Jambala jadi berkerut. Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa berat, laki-laki tua itu kembali berdiri dan langsung berbalik. Kakinya kini melangkah agak tergesa-gesa menghampiri Rangga dan Pandan Wangi yang sudah duduk di balai bambu di beranda depan rumah ini.
"Rangga...."
"Ada apa, Eyang?"
Rangga menggeser duduknya, memberi tempat pada Eyang Jambala. Dan orang tua yang sudah lanjut usianya ini duduk bersila tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Pandan Wangi bergeser mendekati pemuda berbaju rompi putih ini. Tampak begitu jelas pada raut wajah Eyang Jambala yang jadi memucat seperti kapas.
"Ada apa, Eyang? Kenapa kau kelihatan...?" pertanyaan Rangga tidak selesai, karena....
"Kau temukan sesuatu Eyang?" selak Pandan Wangi.
"Hhhh...!"
Eyang Jambala tidak langsung menjawab pertanyaan kedua pendekar muda itu. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan begitu berat untuk mengutarakan, apa yang ditemukannya barusan. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian, seakan-akan ada yang hendak dicarinya pada kedua pasang bola mata pendekar di depannya. Dan pandangannya terus tertuju pada Rangga. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi merasa agak jenggah.
"Ada apa, Eyang? Kenapa kau memandangku begitu?" tegur Rangga halus.
"Mahkluk apa yang kau jumpai tadi, Rangga?" Eyang Jambala malah balik bertanya.
"Aku tidak tahu, mahkluk apa itu. Tubuhnya seperti manusia biasa, tapi seluruhnya terdiri dari api. Dan dia menamakan dirinya si Raja Api," sahut Rangga.
"Sudah kuduga sejak semula desah Eyang Jambala seraya menghembuskan napas berat.
"Ada apa, Eyang? Kau tahu siapa dia...?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
"Hhhh...!"
Lagi-lagi Eyang Jambala tidak langsung menjawab, kecuali menghembuskan napas panjang terasa begitu berat. Sementara Rangga dan Pandan Wangi memandangi dengan sinar mata begitu dalam pada wajah laki-laki tua ini. Sedangkan yang dipandangi masih terdiam dengan pandangan lurus ke depan, ke arah puncak Gunung Garuling yang menghitam bagaikan raksasa sedang tidur.
"Apa yang diinginkannya darimu, Rangga?" tanya Eyang Jambala setelah cukup lama membisu.
"Entahlah..., aku tidak mengerti maksudnya," sahut Rangga tidak mau berterus terang.
"Hhhh...!"
Kembali Eyang Jambala menghembuskan napas panjang. Sementara, Rangga jadi semakin bertanya-tanya dalam hati. Perasaannya mengatakan kalau orang tua ini mengetahui sesuatu tentang makhluk bertubuh api yang tadi muncul menjumpainya, dengan satu keinginan gila yang tentu saja sangat ditentang semua kaum pendekar di kolong langit ini.
"Ketahuilah, Rangga. Orang-orang di Desa Batang ini mempercayai adanya dewa-dewa. Dan salah satunya, adalah Dewa Api. Mereka juga percaya kalau para dewa itu mempunyai keturunan. Dan terkadang, keturunan dewa itu menjelma menjadi manusia. Demikian pula Dewa Api. Kabarnya, Dewa Api mempunyai seorang putra yang turun ke bumi, tanpa meminta restu lebih dulu dari ayahnya. Sehingga penjelmaannya menjadi manusia tidak sempurna. Walaupun bentuk tubuhnya sudah mirip manusia, tapi tidak bisa menghilangkan api yang ada pada dirinya. Dia ingin kembali ke Swargaloka, tapi para dewa sudah mengutuknya. Makanya hingga akhir zaman, dia tetap berada di bumi dengan bentuk manusia bertubuh api. Mendapat kutukan itu, dia menjadi murka. Maka kemarahannya dilampiaskan pada semua mahkluk yang ada di bumi ini. Aku tidak ingat lagi, kapan kemunculannya yang terakhir kali. Dan sekarang, rupanya dia muncul lagi untuk membuat bumi ini menjadi neraka, agar bisa kembali ke Swargaloka," panjang lebar Eyang Jambala mengisahkan kepercayaan penduduk Desa Batang.
"Lalu, apa hubungannya dengan si Raja Api, Eyang?" tanya Pandan Wangi ingin lebih jelas lagi.
"Si Raja Api itulah putra Dewa Api," sahut Eyang Jambala.
"Oooh...," Pandan Wangi mendesah panjang. Kembali mereka terdiam membisu.
"Sekarang aku baru tahu, kenapa Kakang Baranang jadi berubah seperti itu. Tampaknya, Raja Api ingin kembali melakukan sepak terjangnya dengan cara yang sama. Dia selalu mencari orang-orang berkepandaian tinggi yang akan dibunuhnya, dan kemudian dihidupkan kembali dengan diwarisi ilmu para dewa. Ah, Kakang Baranang.... Kenapa kau bernasib malang begitu...?" desah Eyang Jambala lirih.
"Eyang, untuk apa si Raja Api membunuh dan membangkitkan kembali orang-orang berkepandaian tinggi?" tanya Rangga ingin tahu lebih banyak lagi.
"Dia selalu membentuk bala tentara dari orang-orang berkepandaian tinggi yang sudah mati. Dengan bala tentaranya, seluruh jagat ini akan dikuasainya. Maksudnya untuk mendesak para dewa agar diperbolehkan kembali ke Swargaloka. Kalau keinginannya tidak juga dikabulkan, seluruh jagat ini bisa dibakar hangus Rangga," jelas Eyang Jambala gamblang.
"Kalau begitu, dia harus segera dicegah, Kakang," selak Pandan Wangi bersemangat.
"Tidak semudah yang diperkirakan, Nini Pandan. Raja Api bukanlah manusia, tapi keturunan langsung dari Dewa Api. Dan tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkannya. Dia tidak akan pernah mati," kata Eyang Jambala.
"Tapi kita tidak boleh tinggal diam begitu saja, Eyang. Harus ada yang mencegah kegilaannya," tegas Pandan Wangi.
"Benar, Eyang. Dia tidak bisa seenaknya saja berbuat begitu. Aku percaya, melihat tindakannya yang keterlaluan, Dewata tidak akan bisa mengabulkan keinginannya. Dia harus bisa merubah sikap agar bisa diterima kembali di Swargaloka," sambung Rangga membenarkan pendapat Pandan Wangi.
"Akan sia-sia saja, Rangga. Biarkanlah dia berbuat semaunya. Nanti juga akan berhenti sendiri, seperti yang sudah-sudah," cegah Eyang Jambala.
"Setelah membuat kehancuran di mana-mana, Eyang...?" selak Pandan Wangi tidak puas.
"Yaaah.... Mungkin itu memang sudah kehendak Dewata. Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Biarlah semuanya berlalu, seperti apa yang dikehendaki Sang Hyang Widhi."
"Maaf, Eyang. Kalau aku tidak mematuhi kata-katamu. Aku rasa, kakang Rangga juga sependapat denganku. Kita harus mencari cara agar putra Dewa Api itu bisa kembali ke asalnya, sehingga tidak terus-menerus membuat neraka di bumi ini," tegas Pandan Wangi lagi.
"Tidak perlu, Nini. Akan sia sia saja..."
Pandan Wangi hanya tersenyum tipis saja. Sementara, Rangga terdiam, tidak bersuara sedikit pun juga. Sedangkan Eyang Jambala seakan-akan menyesali tekad si Kipas Maut yang ingin menentang si Raja Api. Sementara, malam terus merambat semakin larut. Dan kesunyian terus terasa menye¬limuti seluruh Desa Batang ini. Rangga, Pandan Wangi dan Eyang Jambala masih tetap duduk di beranda depan menunggu fajar menyingsing.
********************
Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru menampakkan cahayanya, Rangga sudah berada di atas punggung Dewa Bayu. Diperhatikannya Pandan Wangi yang keluar dari dalam rumah bersama Eyang Jambala. Dua ekor kuda sudah siap di samping kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti ini. Seekor kuda putih yang gagah tunggangan Pandan Wangi, dan seekor kuda coklat berbelang putih yang akan menjadi tunggangan Eyang Jambala. Pagi ini, mereka memang sudah sepakat hendak ke puncak Gunung Garuling.
Walaupun sebenarnya tidak setuju, tapi Eyang Jambala tidak bisa membiarkan kedua anak muda yang telah menyelamatkan nyawanya ini pergi begitu saja ke puncak Gunung Garuling. Perasaannya yang halus, tidak bisa melihat kedua pendekar muda ini mati sia-sia di tangan Raja Api, seperti yang terjadi pada Eyang Baranang. Dan mungkin, sekarang ini jumlah pengikut si Raja Api sudah bertambah.
Entah berapa orang tokoh persilatan berkepandaian tinggi yang akan menjadi pengikut si Raja Api, untuk membuat bumi ini menjadi neraka. Dan memang, sampai saat ini belum ada tindakan apa pun dari si Raja Api pada penduduk di desa-desa yang tersebar di sekitar kaki Gunung Garuling.
"Kalian sudah siap?" tanya Rangga begitu dekat.
"Ya," sahut Pandan Wangi seraya melompat naik ke punggung kuda putihnya.
Eyang Jambala mengikuti, melompat ke punggung kudanya sendiri dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sebentar mereka saling melemparkan pandangan, kemudian sama-sama menggebah kudanya tanpa bicara sedikit pun juga. Kini pandangan mereka tertuju lurus ke arah puncak Gunung Garuling yang mendekam diam membisu, namun menyimpan begitu banyak teka-teki yang belum terungkapkan.
Mereka terus menjalankan kudanya pelahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu. Tampak penduduk Desa Batang sudah mulai terlihat keluar dari dalam rumahnya. Namun sedikit pun pada wajah mereka tidak tersirat ancaman mengerikan yang akan datang sebentar lagi dari si Raja Api.
Saat ketiga tokoh persilatan itu mencapai perbatasan, kegiatan sehari-hari di Desa Batang pun sudah mulai tampak. Sementara Rangga yang berkuda paling depan, sudah mulai mempercepat lari kudanya. Pandan Wangi dan Eyang Jambala terus mengikuti dan belakang. Kini mereka mulai meniti jalan setapak di kaki Gunung Garuling. Semakin jauh mereka masuk ke dalam hutan, semakin lebat pepohonan yang tumbuh. Hingga akhirnya, mereka tidak mungkin lagi bisa melaluinya dengan kuda, setelah sampai di punggung lereng Gunung Garuling ini.
"Kenapa tidak memilih jalan yang lebih mudah saja, Kakang? Aku lihat tadi, di sebelah sana ada jalan setapak ke puncak," Pandan Wangi mengeluh dengan jalan yang dipilih Rangga.
"Ini jalan memutari punggung gunung, Pandan Wangi. Si Raja Api pasti menduga kalau kita akan melalui jalan sebelah sana. Dia pasti tidak akan menduga kalau kita akan muncul dan belakang," jelas Rangga.
"Tapi tampaknya perhitunganmu salah, Rangga, " selak Eyang Jambala.
Rangga langsung berpaling menatap orang tua itu. Tapi baru saja mulutnya terbuka hendak bicara, mendadak saja...
"Kakang, awas...!" teriak Pandan Wangi tiba-tiba.
"Heh?! Uts...!"
Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu terlihat sebatang tombak panjang melesat cepat bagai kilat ke arahnya. Dan tombak itu hanya lewat sedikit saja di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Awas panah...!" teriak Eyang Jambala.
"Hap!"
"Hup!"
"Hiyaaat...!"
Eyang Jambala dan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan anak panah yang berhamburan bagaikan hujan. Sementara, Pandan Wangi sendiri sudah menggunakan kipas mautnya untuk menghalau setiap anak panah yang menghujani tubuhnya. Sedangkan Eyang Jambala cepat memutar tongkatnya untuk melindungi diri dari serangan anak panah.
LIMA
Dan Rangga sendiri hanya berjumpalitan di udara, sambil sesekali mengibaskan tangannya, menghempaskan anak anak panah yang datang menyerbu dari segala penjuru ini. Memang sungguh dahsyat serangan panah itu. Tapi, mereka memang tidak bisa dianggap enteng yang mudah ditaklukkan begitu saja. Hingga serangan panah itu berakhir, tidak satu batang anak panah pun yang berhasil melukai kulit mereka bertiga. Dan mereka kini sudah berdiri agak merapat saling beradu punggung dengan sikap bersiaga penuh.
"Tampaknya si Raja Api sudah mengetahui kedatangan kita, Rangga," ujar Eyang Jambala pelahan, setengah berbisik terdengar suaranya.
"Ya...," jawab Rangga hanya dengan desahan panjang saja.
"Kau melihat ada orang di sekitar sini, Kakang?" tanya Pandan Wangi juga berbisik pelahan suaranya.
"Tidak," sahut Rangga.
"Mendengar sesuatu?" tanya Eyang Jambala.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja. Memang sama sekali tidak terdengar apa pun yang mencurigakan. Padahal sejak adanya serangan tadi, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengerahkan' Aji Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi telinganya yang semakin bertambah tajam dengan pengerahan ajian itu, sama sekali tidak mendengar adanya napas kehidupan di sekitar hutan lereng Gunung Garuling ini. Hanya desir angin saja yang terdengar, mempermainkan daun-daun pohon.
"Aneh.... Kalau tidak ada orang, dari mana panah-panah ini datang...?" desisi Pandan Wangi seperti bicara pada diri sendiri.
Tidak ada yang menyahut kata-kata si Kipas Maut itu. Sementara, Rangga mulai melangkah memisahkan diri dari yang lainnya. Ayunan kakinya begitu pelahan dan hati-hati, disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Sehingga, ayunan langkahnya tidak menimbulkan suara sedikit pun juga. Sementara, Pandan Wangi dan Eyang Jambala hanya memperhatikan dengan sikap masih berwaspada penuh. Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti berjalan beberapa langkah, mendadak saja....
"Kakang, awas...!"
Brul!
"Heh...?! Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba saja tanah yang dipijaknya terbongkar. Cepat tubuhnya melenting ke udara. Dan saat itu juga, dari dalam tanah yang terbongkar muncul sesosok tubuh manusia yang langsung melesat ke udara mengejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Ikh! Yeaaaah...!"
Cepat Rangga mengibaskan tangan kanannya, mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat kibasan tangan kanannya, sehingga mahkluk berbentuk manusia yang sudah mati dan rusak itu tidak dapat lagi berkelit menghindarinya. Maka kibasan tangan Rangga yang bagaikan sebilah mata pedang itu tepat menghantam batang lehernya.
"Aaargkh...!"
Makhluk mayat hidup itu menggerung keras. Tubuhnya kontan terpental deras ke belakang, dan jatuh keras sekali menghantam tanah. Tampak batang lehernya patah, membuat kepalanya jadi miring.
"Heh...?!"
Rangga jadi terbeliak setengah mati, begitu melihat mayat hidup itu langsung melesat masuk ke dalam tanah, setelah tulang lehernya patah terkena kibasan tangannya tadi. Dan belum lagi lenyap rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan biru muda di depannya. Cepat Rangga melenting dan berputaran dua kali ke belakang. Dan begitu kakinya menjejakkan tanah, tepat sekitar satu batang tombak di depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah biru muda berwajah sangat pucat, bagaikan tidak pernah lagi teraliri darah.
"Kakang Baranang...!" seru Eyang Jambala agak tertahan suaranya.
'Hmm...."
Sementara, Rangga hanya bergumam sedikit. Dia memang sudah pernah bentrok sekali melawan orang tua yang bernama Eyang Baranang ini. Pendekar Rajawali Sakti merentangkan tangan kirinya sedikit, mencegah Eyang Jambala yang sudah melangkah hendak menghampiri Eyang Baranang. Terpaksa laki-laki tua berjubah putih itu menghentikan langkahnya. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun. Sementara, matanya lurus memandang Eyang Baranang yang berdiri tegak berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ghrrr...!"
Eyang Baranang menggeram kecil, dengan sorot mata begitu tajam menatap langsung ke bola mata pemuda berbaju rompi putih di depannya. Sedikit pun sikapnya tidak peduli pada Eyang Jambala dan Pandan Wangi yang berada sekitar dua batang tombak jauhnya di belakang Pendekar Rajawali Sakti ini. Sorot mata orang tua itu seakan-akan memancarkan dendam dan nafsu membunuh yang tidak terbendung lagi. Sementara, Rangga sendiri kelihatan tenang mendapat tantangan dari Eyang Baranang ini.
Saat itu, pelahan-lahan Eyang Jambala melangkah menghampiri Rangga yang tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Laki-laki tua berjubah putih itu baru berhenti setelah dekat di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit kepalanya dijulurkan mendekati telinga pemuda berbaju rompi putih ini.
"Hati-hati, Rangga. Kakang Baranang sudah bukan lagi manusia. Sulit untuk melenyapkan orang yang sebenarnya sudah mati," bisik Eyang Jambala, memperingatkan.
"Hm...." Rangga hanya menggumam sedikit saja.
Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak mengalihkan perhatian pada Eyang Baranang yang kini sudah mengangkat kedua tangannya, hingga menjulur lurus ke depan. Tampak kuku-kuku jari tangannya yang runcing mengembang kaku, bagaikan sepuluh pasang mata pisau yang siap mengoyak tubuh pemuda di depannya.
"Menyingkiriah, Eyang...." pinta Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
Tanpa diminta lagi, Eyang Jambala bergegas menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Dan, laki-laki tua berjubah putih itu kini berdiri di samping Pandan Wangi yang masih tetap memegang kipasnya di depan dada. Sementara itu, Rangga sudah menggeser kakinya ke kanan dengan kedua tangan sudah terkepal erat. Tampak jelas kalau kedua kepalan tangannya jadi berwarna merah seperti besi terbakar dalam tungku. Pandan Wangi yang melihat perubahan pada kedua kepalan tangan itu, sudah tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah siap mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Majulah kau...," desis Rangga dingin menggetarkan.
"Ghrrr....!"
Sebentar Eyang Baranang menatap tajam pemuda berbaju rompi putih di depannya itu, kemudian mulai menarik kedua tangannya yang menjulur ke belakang. Lalu....
"Ghraaagkh...!"
Slap!
Begitu kedua tangannya yang terkembang dihentakkan ke depan, seketika itu juga melesat kilatan cahaya api yang meluruk deras bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap! Yeaaah...!"
Rangga yang memang sudah siap sejak tadi, tidak berusaha menghindar sedikit pun. Dan bagaikan kilat pula kedua tangannya yang sudah terkepal dan berwarna merah dihentakkan ke depan. Langsung disambut serangan yang dilancarkan Eyang Baranang. Dan seketika itu juga, dari kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti melesat cahaya merah, memapak kilatan cahaya api dari telapak tangan Eyang Baranang.
Glaaar...!
Satu ledakan keras dan dahsyat, seketika terdengar menggelegar bagai hendak memecah seluruh alam ini, tepat ketika dua cahaya merah beradu di tengah-tengah.
"Argkh...!"
Saat itu juga, terdengar raungan keras dari Eyang Baranang. Tampak orang tua itu terpental cukup keras ke belakang. Dan punggungnya sampai menghantam sebatang pohon. Akibatnya, pohon yang sangat besar itu hancur berkeping-keping. Sementara Rangga tetap berdiri tegak, tanpa bergeming sedikit pun juga dengan kedua tangan sudah kembali terkepal di pinggang.
"Ghrrrr...!"
Eyang Baranang cepat bangkit berdiri sambil menggereng pelahan. Dan begitu bisa berdiri tegak, langsung saja tubuhnya melesat cepat sambil memperdengarkan gerungan keras memekakkan telinga. Tapi, Rangga terlihat masih tetap berdiri tegak, seperti menanti datangnya serangan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Dan begitu tangan kanan Eyang Baranang mengibas ke arah kepala, cepat sekali Rangga menghentakkan tangan kirinya untuk menangkis. Tapi tanpa diduga sama sekali, Eyang Baranang cepat bisa menarik tangannya setengah berputar. Dan dengan kecepatan bagai kilat, langsung dilepaskan satu pukulan lurus tangan kiri ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap! Yeaaah....!"
Tapi, lagi-lagi Rangga tidak berusaha menghindarinya. Maka dengan cepat pula tangan kanannya dihentakkan, menyambut pukulan lurus yang dilepaskan Eyang Baranang. Begitu cepat kejadian itu berlangsung, sehingga sulit sekali untuk bisa menghindari benturan. Dan...
Glaaar...!
Kembali terdengar ledakan keras menggelegar yang memekakkan telinga, begitu dua tangan beradu keras. Tampak Eyang Baranang terdorong ke belakang beberapa langkah. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga.
"Ghrrr...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga tahu, orang tua ini bisa sangat berbahaya. Maka dia tak mau lagi tanggung-tanggung menghadapinya. Dan sebelum Eyang Baranang bisa menguasai keseimbangan tubuhnya cepat bagai kilat tubuhnya melesat tinggi ke atas kepala orang tua itu. Dan dengan kecepatan luar biasa, kedua kakinya bergerak hampir berputar mengarah ke kapala Eyang Baranang.
"Ghragkh!"
Sambil menggerung keras, Eyang Baranang berusaha mengegoskan kepalanya, menghindari teriangan kaki Rangga yang mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Dan begitu terlepas dari serangan Pendekar Rajawali Sakti, kembali cepat dilepaskan satu pukulan lurus dengan tangan kanan ke arah dada.
"Hap! Yeaaah...!"
Kembali Rangga mencoba menahan serangan Eyang Baranang. Sedangkan Eyang Baranang rupanya kali ini tidak mau mengambil bahaya terlalu dini. Cepat pukulannya ditarik kembali, dan langsung diberikannya satu tendangan keras menggeledek yang begitu keras luar biasa!
"Upths! Yeaaah...!"
Tapi dengan gerakan begitu manis, Rangga berhasil menghindari tendangan menggeledek Eyang Baranang. Dan seketika itu juga kakinya bergerak cepat dengan tubuh agak meliuk ke kiri. Lalu, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kanannya ke dada orang tua ini. Begitu cepat pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Eyang Baranang tidak dapat lagi menghindarinya. Dan...
Diegkh!
"Aaargkh...!"
Eyang Baranang meraung keras, begitu pukulan yang dilepaskan Rangga menghantam tepat dadanya. Akibatnya tubuh orang tua berjubah biru muda itu terpental ke belakang, menabrak beberapa batang pohon hingga tumbang. Tapi, orang tua itu bisa cepat menguasai keseimbangan tubuhnya, hingga tidak sampai ambruk ke tanah. Dan tampaknya, pukulan yang diterima tidak sampai membuatnya terluka. Bahkan cepat sekali siap bertarung lagi.
"Ghraaagkh...!"
"Edan...! Kekuatannya seperti batu karang saja," dengus Rangga dalam hati, melihat ketangguhan Eyang Baranang.
Bukan hanya Rangga saja yang keheranan melihat kekuatan tubuh Eyang Baranang. Tapi, Eyang Jambala yang sudah mengenalnya sejak lama pun jadi terheran-heran. Dia tahu persis, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki Eyang Baranang. Dan tadi juga sudah bisa diduga kalau pukulan yang dilepaskan Rangga mengandung tenaga dalam yang tinggi sekali. Tapi, ternyata sedikit pun Eyang Baranang tidak mengalami luka.
Sementara itu, Eyang Baranang sudah melesat cepat melakukan serangan, memperdengarkan gerungan panjang yang begitu keras menggelegar. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti kelihatan masih tetap berdiri tegak, dengan kedua tangan terkepal di samping pinggang. Terlihat jelas kalau kedua kepalan tangannya berwarna merah membara seperti besi terbakar dalam tungku. Dan Pandan Wangi yang melihat, sudah bisa menebak kalau Rangga sudah siap mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Hih! Yeaaah...!"
Dan begitu tubuh Eyang Baranang berada dalam jangkauan, cepat sekali Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras menggetarkan. Begitu cepat pukulan kedua tangan yang bersamaan itu dilepaskan, sehingga Eyang Baranang yang menyerang lewat udara tidak dapat lagi menghindarinya.
Diegkh!
"Glaaar...!
Seketika ledakan yang begitu keras memekakkan telinga, saat kedua kepalan tangan Rangga yang sudah berwarna merah bagai mengeluarkan api itu menghantam tepat dada Eyang Baranang. Begitu tinggi tingkatan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' sehingga membuat Eyang Baranang jadi terpental jauh ke belakang. Dan dia meraung keras, membuat jantung siapa saja yang mendengar jadi bergetar.
Bruk!
Keras sekali Eyang Baranang jatuh menghantam sebongkah batu yang sebesar kerbau. Bahkan batu itu seketika hancur berkeping-keping. Tapi hanya sebentar saja tubuhnya menggeliat. Dan herannya, Eyang Baranang sudah bisa bangkit berdiri lagi walaupun di dadanya terlihat dua bulatan hitam yang mengepulkan asap. Sayang, pada saat itu juga Rangga sudah melompat cepat bagai kilat, sambil berteriak keras melengking tinggi.
"Hiyaaat...!"
Saat itu juga...
Sret!
Cring!
Cepat sekali Rangga mencabut pedang pusaka Rajawali Sakti dari dalam warangka di punggung. Dan dengan kecepatan dahsyat, pedangnya dikebutkan disertai pengerahan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hih!"
Bet!
Eyang Baranang yang baru saja bisa bangkit berdiri, sudah tentu tidak dapat lagi berkelit. Terlebih lagi, baru saja menerima pukulan dahsyat yang membuat dadanya jadi terbakar hangus. Maka pedang bercahaya biru terang itu mengibas tepat memenggal batang lehernya.
Cras!
"Aaargkh...!"
Eyang Baranang seketika meraung keras, begitu mata pedang yang memancarkan cahaya biru terang menyilaukan mata berkelebat cepat menebas lehernya. Sementara, Rangga cepat melompat mundur beberapa langkah, tepat di saat tangan kanan Eyang Baranang mengibas ke depan.
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga kembali melompat dan langsung melepaskan satu tendangan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Diegkh!
Kontan tendangan itu tepat menghantam dada Eyang Baranang, hingga membuatnya terpental ke belakang. Dan saat itu juga, kepalanya terpisah dari leher. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada. Tampak Eyang Baranang menggelepar dengan darah berwarna kehitaman mengalir deras dari lehernya yang buntung tidak berkepala lagi. Hanya sebentar Eyang Baranang menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
Sementara, Pandan Wangi dan Eyang Jambala sudah melangkah cepat menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap berdiri tegak, memandangi tubuh Eyang Baranang yang sudah menggeletak dengan leher buntung.
Trek!
Rangga memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung, begitu Pandan Wangi dan Eyang Jambala sampai di sampingnya. Dan Pendekar Rajawali Sakti kini diapit dari samping kanan dan kiri.
"Malang benar nasibmu, Kakang...," desah Eyang Baranang.
"Ayo, Eyang. Kita tidak punya waktu banyak," ajak Rangga sambil menepuk lembut punggung orang tua itu.
Sebentar Eyang Jambala berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti, kemudian menganggukkan kepalanya sedikit. Dan mereka bertiga sudah kembali bergerak cepat menuju puncak Gunung Garuling yang masih tetap diam membisu dengan segala keangkerannya.
********************
ENAM
Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Eyang Jambala dan dua orang pendekar muda dari Karang Setra itu sudah sampai di Puncak Gunung Garuling. Eyang Jambala langsung membawa mereka ke tempat pertama kali menjumpai Eyang Baranang yang sudah berubah menjadi seperti makhluk liar yang ganas dan haus darah. Tapi, ternyata tidak ada yang bisa didapatkan di tempat ini, kecuali kesunyian saja.
Bahkan saat mereka menjelajahi seluruh sudut di puncak Gunung Garuling ini, dan sampai kembali lagi ke tempat semula, tidak ada yang bisa didapatkan. Sedikit pun tidak ditemukan petunjuk, di mana adanya si Raja Api yang telah membuat Eyang Baranang jadi liar seperti itu.
"Kau lihat lingkaran hitam itu, Rangga...?" tunjuk Eyang Jambala pada sebuah lingkaran hitam yang membakar rerumputan di depannya.
Rangga memandangi lingkaran hitam yang terus mengepulkan asap tipis itu. Pandan Wangi yang berada di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti juga memandang ke sana. Dan mereka bersamaan berpaling menatap Eyang Jambala.
"Itu tempat si Raja Api menjalankan hukumannya, menjadi batu yang selalu mengeluarkan api. Dan api itulah yang kalian lihat," kata Eyang Jambala lagi, memberi penjelasan.
"Hmmm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.
"Kenapa dia sampai dihukum menjadi batu, Eyang?" tanya Pandan Wangi.
"Karena kekejamannya, menjadikan bumi ini seperti neraka. Dia membunuh orang-orang yang tidak berdosa, membantai para pendekar berkepandaian tinggi, dan kembali menghidupkan mereka untuk dijadikan laskar prajurit. Para dewa menjadi murka hingga menghukumnya menjadi batu yang terus menerus mengeluarkan api," jelas Eyang Jambala.
"Lalu, kenapa dia bisa bebas lagi?" tanya Pandan Wangi lagi semakin ingin tahu.
"Entahlah...," sahut Eyang Jambala agak mendesah. "Mungkin dalam menjalankan hukumannya, dia terus menerus menambah kekuatan, hingga bisa membebaskan diri dari belenggu hukumannya."
Pandan Wangi terdiam tidak bertanya lagi. Dan matanya menatap dalam-dalam pada Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi membisu saja. Tapi kening pemuda yang ditatapnya kelihatan agak berkerut, pertanda sedang memikirkan sesuatu yang begitu dalam. Entah, apa yang menjadi beban pikirannya saat ini, sulit untuk bisa mengetahuinya.
"Dia bukan manusia, Kakang. Dia putra dewa. Rasanya tidak mungkin bisa mengalahkannya," kata Pandan Wangi pelan.
"Kita memang tidak mungkin bisa mengalahkan putra dewa. Tapi, kita harus berusaha untuk menghentikan segala perbuatan kejinya," sahut Rangga mantap.
"Kau akan menantangnya bertarung, Kakang?" Pandan Wangi seperti ingin menegaskan.
"Ya," sahut Rangga tegas.
"Aku memang tidak meragukan kepandaianmu, Kakang. Tapi...," Pandan Wangi tidak meneruskan.
"Serahkan saja segalanya pada Sang Hyang Widhi, Pandan. Aku hanya berharap, bisa menghentikan sepak terjangnya saja. Aku tahu dia seorang putra dewa. Tapi paling tidak, dia sedang menjalani hukumannya menjadi manusia. Walaupun, seluruh tubuhnya terdiri dari api. Dan ingat tidak ada satu manusia pun yang bisa hidup kekal abadi. Pasti ada hari kematiannya. Mudah-mudahan saja aku bisa mengirimnya kembali ke Swargaloka," kata Rangga tetap terdengar mantap suaranya.
"Aku percaya padamu, Kakang," ucap Pandan Wangi yakin.
Rangga hanya tersenyum saja sedikit. Lalu, wajahnya berpaling menatap Eyang Jambala yang sejak tadi diam saja memperhatikan lingkaran hitam di depannya yang terus-menerus mengeluarkan asap tipis. Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekat lingkaran hitam itu, kemudian berlutut, hingga menyentuh tanah. Sedangkan Pandan Wangi sudah berada tidak jauh di sebelah kiri Eyang Jambala. Diperhatikannya Rangga yang sudah memeriksa lingkaran hitam berasap di tanah ini. Tidak lama Rangga memeriksa lingkaran hitam itu, lalu kembali bangkit dan melangkah menghampiri Pandan Wangi yang berada di sebelah Eyang Jambala. Sedikit ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat.
"Ada yang kau dapatkan, Rangga?" tanya Eyang Jambala.
"Entah kenapa, aku jadi tidak yakin kalau dia putra dewa. Aku lebih condong berpendapat, kalau dia seorang manusia biasa yang berkepandaian sangat tinggi, hingga seluruh tubuhnya bisa mengeluarkan api," terdengar pelan dan agak mendesah suara Rangga.
"Dari mana kau bisa berpendapat begitu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab, tapi malah berpaling ke belakang. Dan matanya menatap lingkaran hitam yang masih terlihat jelas mengepulkan asap. Kemudian ditatapnya Pandan Wangi sebentar, lalu beralih pada Eyang Jambala.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini," ajak Rangga tanpa menjawab pertanyaan si Kipas Maut tadi.
********************
Matahari sudah condong ke arah barat. Sinarnya yang semula terasa begitu terik dan membakar, kini terasa begitu lembut membelai kulit. Tampak indah sekali cahaya memerah jingga yang menyemburat dari balik punggung Gunung Garuling. Sementara itu, Eyang Jambala dan kedua pendekar muda dari Karang Setra sudah berada kembali di dekat perbatasan Desa Batang. Mereka tidak menunggang kudanya, tapi hanya menuntunnya. Entah sudah berapa lama mereka terdiam membisu, tidak bicara sedikit pun juga.
"Kakang, lihat...!" seru Pandan Wangi tiba-tiba, sambil menunjuk ke arah Desa Batang yang berada tidak seberapa jauh lagi dari tempat mereka berjalan ini.
Bukan hanya Rangga yang langsung mengarahkan pandangannya ke desa itu, tapi Eyang Jambala juga cepat memandang ke sana. Tampak Desa Batang seperti memerah dengan asap hitam berkepul, membumbung tinggi ke angkasa. Sesaat hati mereka semua jadi terkesiap. Jelas sekali kalau Desa Batang terlanda musibah kebakaran hebat.
"Hup! Hiyaaa..!"
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga orang yang berkepandaian tinggi itu segera berlompatan cepat bagai kilat, meninggalkan kuda-kudanya begitu saja. Dan mereka berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi tingkatannya.
Tapi jelas sekali kalau Rangga terus berada di depan, dan semakin jauh meninggalkan dua orang yang bersamanya. Memang sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti, hingga Pandan Wangi dan Eyang Jambala tidak dapat lagi mengimbanginya. Padahal, kedua orang itu mengerahkan seluruh kemampuannya, tapi tetap saja tertinggal jauh di belakang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu ringan Rangga melenting, saat memasuki Desa Batang. Dan tubuhnya langsung melesat tinggi ke udara. Lalu dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti hinggap di atas sebuah atap rumah yang belum tersentuh api. Sementara, sudah tidak terhitung lagi rumah yang hancur termakan api. Dan angin yang bertiup cukup kencang, membantu si jago merah itu melahap rumah-rumah penduduk Desa Batang ini.
"Hap!"
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tidak sedikit pun menimbulkan suara saat meluncur turun dan menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Seketika, jantungnya jadi terhenti berdetak melihat keadaan di Desa Batang ini.
Tampak mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih memenuhi jalan. Dan api terus berkobar semakin besar, melahap rumah-rumah yang berdekatan letaknya. Pelahan Rangga melangkah melewati mayat-mayat yang tubuhnya hampir menghitam seperti terbakar. Tanpa banyak berpikir lagi, Rangga sudah bisa menebak kalau semua ini pasti perbuatan si Raja Api.
"Hmmm.... Rupanya dia sudah melancarkan sepak terjangnya yang keji...," gumam Rangga bicara sendiri dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan sambil mengamati keadaan sekitarnya. Tidak ada seorang pun yang dijumpainya masih hidup. Hatinya jadi bergetar, begitu melihat mayat seorang bayi yang belum berumur satu tahun menggeletak dalam parit dengan tubuh hangus terbakar. Tampaknya, si Raja Api membantai seluruh penduduk Desa Batang ini tanpa terkecuali. Dan ini membuat darah Pendekar Rajawali Sakti jadi bergolak mendidih.
"Hm... tidak ada seorang pun yang hidup," gumam Rangga dalam hati lagi. "Tapi, heh...?!"
Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan yang begitu cepat sekali di depannya. Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan hijau saja. Sejenak Rangga jadi terkesiap, lalu...
"Hup! Hiyaaa...!"
Dengan mengerahkan llmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, dengan kecepatan mengagumkan Pendekar Rajawali Sakti melesat mengejar bayangan hijau yang tadi dilihatnya hanya sekejap saja.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu indah Rangga melenting ke atas pohon. Lalu hanya menotokkan sedikit ujung jari kakinya ke pucuk daun pohon itu, tubuhnya kembali mele¬sat cepat bagai kilat. Saat berada di udara ini, Pen¬dekar Rajawali Sakti melihat seorang laki-laki ber¬baju hijau tengah melesat cepat, menyelinap di antara pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar Desa Batang ini.
"Hup!"
Rangga terus berlompatan dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lainya, hingga bisa melewati orang itu dari atas. Dan langsung tubuhnya meluruk turun dengan gerakan cepat dan indah sekali. Lalu, manis sekali kakinya mendarat tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga.
"Berhenti...!"
Heh...?!"
Kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba, membuat pemuda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun berbaju warna hijau daun itu jadi tersentak kaget. Dan wajahnya pun seketika jadi memucat, begitu melihat seorang pemuda berbaju rompi putih dengan gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggung, tahu-tahu sudah berdiri tegak di depannya.
"Sss... siapa kau?"
Suara anak muda itu terdengar agak bergetar, saat melontarkan pertanyaan sambil menudingkan jari telunjuk ke depan. Sementara, Rangga hanya tersenyum saja sambil melangkah mendekati beberapa tindak. Dan langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam tindak lagi di depan anak muda berbaju warna hijau daun cukup ketat ini. Tampak tubuhnya tegap berotot, dan wajahnya juga cukup tampan. Kulitnya yang kuning, agak kecoklatan terbakar cahaya matahari.
"Namaku Rangga. Aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini. Kisanak! Kau tahu apa yang terjadi di sini...?" terdengar tenang sekali suara Rangga.
"Kau benar-benar pengembara, atau...?" anak muda itu tidak melanjutkan ucapannya.
Pemuda berbaju hijau itu mengamati Rangga dengan sinar mata menyelidik penuh curiga. Sedangkan Rangga sendiri tetap berdiri tenang, dengan senyum tersungging lembut di bibirnya.
"Kau tidak perlu takut dan curiga padaku, Kisanak. Apa hanya kau yang hidup di Desa Batang..?" terdengar lembut sekali nada suara Rangga.
"Kau ... kau bukan anak buah si Raja Api?" pemuda itu malah balik bertanya, dengan nada suara masih terdengar ragu-ragu dan curiga.
"Bukan," sahut Rangga kembali memberi senyum persahabatan.
"Kalau begitu, siapa namamu?"
"Rangga," sahut Rangga menyebutkan namanya. "Dan kau?"
"Kadiman."
"Kadiman... Hm... Kau mau ceritakan, apa yang terjadi di desamu?" pinta Rangga lembut.
"Mengerikan sekali. Dia datang bersama pengikutnya, membunuh semua orang di Desa Batang. Tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup. Si Raja Api benar-benar kejam dan mengerikan. Kalau saja aku mampu, sudah kubunuh dia," jelas sekali kalau nada suara Kadiman begitu gusar, melihat tindakan pembataian yang dilakukan si Raja Api.
"Berapa orang pengikut si Raja Api?" tanya Rangga.
"Lima belas orang."
"Apa dia mengambil orang-orang dari Desa Batang?"
"Tidak. Dia tidak pernah mengambil orang yang tidak memiliki kepandaian, yang diambil hanya orang berkepandaian tinggi. Dan kalau aku tidak salah dengar, dia mencari orang yang bernama Pendekar Rajawali Sakti," sahut Kadiman, menjelaskan lagi.
"Hm.... Mau apa dia mencari Pendekar Rajawali Sakti?" nada suara Rangga terdengar seperti bergumam, seakan-akan pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.
Walaupun terkejut, tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak menampakkannya sama sekali. Dan dalam hatinya dia terus bertanya-tanya, apa maksudnya si Raja Api mencari dirinya? Padahal mereka hanya bertemu satu kali saja, ketika Rangga bermalam di rumah Eyang Jambala. Tapi, tampaknya memang si Raja Api sangat menginginkan Pendekar Rajawali Sakti untuk jadi pengikutnya. Dan memang, tidak aneh lagi kalau si Raja Api sudah mengetahui kepandaian Pendekar Rajawali Sakti, karena julukan itu sudah begitu terkenal. Semua orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan pasti sudah banyak mendengar tentang sepak terjangnya. Walaupun tidak sedikit yang belum mengenal orangnya.
"Kau tahu, ke arah mana si Raja Api pergi?" tanya Rangga lagi, setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Ke selatan," sahut Kadiman.
"Hm... Bukankah itu menuju ke Desa Jalung...?"
"Benar."
"Sudah berapa lama dia pergi?"
"Belum lama "
"Baiklah. Terima kasih, Kadiman. Sebaiknya, kembalilah ke desamu. Cari, barangkali saja masih ada yang hidup selain dirimu. Aku akan mengejar si Raja Api, untuk mencoba menghentikannya, sebelum membantai penduduk di Desa Jalung," kata Rangga.
"Tap... Eh...?!"
Kadiman jadi terlongong, begitu tiba-tiba saja Rangga yang sebenarnya berjuluk Pendekar Rajawali Sakti melesat dengan kecepatan begitu tinggi. Hingga sebelum Kadiman bisa membuka suara lebih banyak lagi, bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tidak berbekas sama sekali.
Sementara Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, menuju arah Selatan. Dan sepanjang jalan yang dilalui, jejak-jejak yang ditinggalkan si Raja Api begitu jelas terlihat. Tanah berumput yang dilaluinya menghitam hangus terbakar. Dan tidak sedikit ranting pohon yang terbakar jadi arang. Rangga terus berlari dengan kecepatan tinggi, mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan si Raja Api itu.
Namun tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti menghentikan larinya tepat di tikungan jalan setapak yang tengah dilaluinya. Pendekar Rajawali Sakti berhenti dan berdiri tegak seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata hanya pepohonan saja yang terlihat di sekelilingnya. Dan tidak jauh di depannya, terlihat sebuah padang rumput yang tidak begitu luas. Tapi dari jejak yang ada, Rangga tahu kalau si Raja Api tidak menuju padang rumput yang akan membawanya ke Desa Jalung. Jejak itu justru berlawanan arahnya dengan jalan yang menuju Desa Jalung.
"Hm... Aku harus mengikutinya dari atas. Baiklah Akan kuminta Rajawali Putih datang membantuku," gumam Rangga pelahan, bicara sendiri.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti diam memperhatikan sekelilingnya, kemudian melesat cepat menuju padang rumput yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Kemudian, dia sudah berdiri tegak di tengah-tengah padang rumput yang menghijau bagai permadani terhampar itu. Tampak kepala Pendekar Rajawali Sakti terdongak ke atas, memandang langit yang cerah, tanpa awan sedikit pun. Dan tidak berapa lama kemudian, Pendekar Rajawali Sakti menarik napas dalam-dalam. Lalu...
"Suiiit..!"
Terdengar siulan panjang melengking tinggi, dengan nada suara terdengar sangat aneh. Namun bagi siapa saja yang mendengarnya, siulan itu bisa menyakitkan gendang telinga. Rangga terdiam sesaat dengan kepala tetap terdongak ke atas. Sebentar kemudian kembali ditariknya napas dalam-dalam, dan kembali bersiul nyaring melengking tinggi dengan nada suara aneh.
"Suiiit..!"
Siulan yang panjang dan melengking tinggi kali ini, membuat Pendekar Rajawali Sakti terlihat tersenyum kecil dengan kepala masih menengadah ke atas. Tampak sebuah titik hitam bercahaya putih keperakan, mengambang di angkasa.
"Khraaagkh...!"
Saat itu juga terdengar, teriakan serak yang begitu keras menyakitkan telinga, bagai hendak membelah angkasa yang sunyi dan lengang ini. Saat itu, Rangga melambaikan tangannya ke atas, tepat ketika terlihat sebuah bentuk seekor burung rajawali berbulu putih keperakan melayang di angkasa dengan kecepatan bagai kilat. Dan ketika semakin dekat jelas sekali terlihat kalau itu bukan burung biasa, tapi seekor rajawali raksasa berbulu putih keperakan.
"Cepat ke sini, Rajawali...!" teriak Rangga keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Khraaagkh...!"
Wusss!
Rangga sempat juga memalingkan wajah sedikit, begitu burung rajawali putih raksasa mendarat tepat di depannya. Seketika, debu dan dedaunan kering berterbangan keangkasa, terhempas kebutan sayap yang begitu besar bagai hendak menutupi seluruh padang rumput ini. Rangga bergegas menghampiri burung rajawali raksasa itu.
. Pendekar Rajawali Sakti memeluk leher yang sebesar batang pohon kelapa, saat menjulur pada nya. Beberapa saat Rangga memeluk leher burung Raksasa ini, kemudian melepaskan pelukannya setelah rasa rindunya terhapus. Dan memang, sudah terlalu lama Rangga tidak berjumpa burung Rajawali raksasa tunggangannya.
"Aku minta tolong padamu, Rajawali," kata Rangga sambil mengelus-elus leher burung rajawali raksasa ini.
"Khrrr...!"
"Tidak terlalu sulit. Hanya menghadang jalan si Raja Api dan beberapa pengikutnya saja. Tapi aku juga tidak bisa menjamin, apa yang terjadi nanti. Dia begitu tangguh dan sangat berbahaya, Rajawali," kata Rangga seperti mengerti apa yang disuarakan burung raksasa itu tadi.
"Khraaagkh ..!"
"Iya, nanti kuceritakan sambil jalan."
Setelah berkata demikian, tanpa membuang buang waktu lagi Rangga langsung saja melompat naik ke punggung burung rajawali raksasa tunggangannya ini. Seketika itu juga, Rajawali Putih melesat cepat bagai kilat sambil memperdengarkan suara keras dan serak menyakitkan telinga.
"Khraaagkh...!"
"Jangan terlalu tinggi, Rajawali...!" seru Rangga keras, meminta agar rajawali raksasa tunggangannya tidak terbang terlalu tinggi.
"Khraaagkh...!"
"lya, aku tahu. Aku tidak peduli kalaupun dia melihatmu, Rajawali. Biarkan saja dia tahu, kalau aku milikmu," kata Rangga, seperti tahu kekhawatiran Rajawali Putih.
"Khraaagkh...!"
"Bila memang terpaksa, kau boleh turun tangan, Rajawali. Tapi bila aku masih bisa mengatasi, sebaiknya seperti biasa saja. Kau tetap mengawasi dari atas."
"Khraaagkh...!"
Rangga tersenyum sambil menepuk-nepuk leher tunggangannya beberapa kali. Entah, apa yang membuatnya tersenyum. Memang hanya dia sendiri yang bisa mengerti setiap suara yang keluar dari paruh Rajawali Putih itu. Seakan-akan, mereka memang begitu jelas berbicara, walaupun yang terdengar sangat aneh bagi orang yang tidak mengerti. Tapi bagi Rangga, setiap suara yang dikeluarkan Rajawali Putih bisa mudah diartikannya.
TUJUH
"Itu dia mereka, Rajawali!" seru Rangga lantang, sambil menunjuk beberapa orang yang bergerak cepat menembus hutan lebat.
Tampak di antara mereka, bergerak paling depan sesosok tubuh yang terus-menerus memancarkan cahaya merah, bagai terselubung api. Mereka tampak jelas sekali bergerak cepat. Dan itu sudah bisa ditebak Rangga, kalau mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Tingkat kepandaian yang mereka miliki sudah barang tentu sangat tinggi. Terlebih, mereka kini bukan lagi manusia. Tapi, orang-orang yang sudah mati dan dibangkitkan kembali dengan kekuatan ilmu yang dimiliki si Raja Api.
"Khraaagkh...!"
"Tidak, Rajawali..! Bukan di sini tempatnya. Tunggu sampai mereka tiba di tempat yang cukup terbuka, tapi jauh dari pemukiman...!" seru Rangga keras-keras, agar suaranya bisa mengalahkan angin yang menderu kencang di angkasa.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih berputar-putar di angkasa. Sementara, Rangga yang berada di punggung burung rajawali raksasa itu terus memperhatikan orang-orang yang bergerak cepat menembus hutan di bawahnya. Dan Pendekar Rajawali Sakti yakin, mereka adalah si Raja Api bersama para pengikutnya. Tidak begitu banyak jumlahnya, hanya sekitar lima belas orang saja. Itu berarti dalam waktu beberapa hari saja, si Raja Api sudah menaklukkan lima belas orang berkepandaian tinggi yang dibunuhnya, kemudian dibangkitkan kembali untuk dijadikan budaknya yang setia.
"Mereka menuju tanah lapang itu, Rajawali...!" seru Rangga sambil menunjuk ke arah sebuah padang yang cukup luas, dengan rerumputannya yang hijau menghampar indah bagai permadani.
"Khraaagkh...!"
"Cepat ke sana, Rajawali. Kita hadang mereka di sana," pinta Rangga, masih dengan suara keras.
Rajawali Putih langsung saja melesat dengan kecepatan dahsyat menuju padang rumput yang cukup luas itu. Dia terus menukik turun dengan kecepatan yang masih begitu tinggi. Dan begitu dekat dengan tanah, Rangga langsung berdiri di punggung raksasa ini. Lalu...
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat dari punggung burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini. Sementara Rajawali Putih kembali melesat tinggi ke angkasa, begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah.
"Khraaagkh...!"
Sebentar Rangga mendongakkan kepala, melihat Rajawali Putih yang kini sudah berada begitu tinggi di angkasa. Tapi, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu tidak pergi jauh dan hanya berputar-putar di atas padang rumput ini.
"Hup!"
Sementara Rangga sudah melompat cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, mendekati sebongkah batu sebesar kerbau yang ada di pinggiran padang rumput itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekali lesatan saja sudah berdiri tegak di atas batu yang sangat besar dan menghitam, yang tertutup lumut itu.
"Hm... Mereka jelas menuju ke sini," gumam Rangga sambil memandang jauh ke depan.
Dari atas batu yang cukup tinggi ini, Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat jelas ke arah si Raja Api dan para pengikutnya yang bergerak cepat menembus hutan. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti melihat dengan mempergunakan aji 'Tata Netra', sehingga makin memperjelas penglihatannya dari jarak jauh.
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Rangga melompat turun dari atas batu ini. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tubuh Pendekar Rajawali Sakti langsung membungkuk. Lalu kembali tubuhnya ditegakkan langsung diamatinya keadaan sekeliling beberapa saat. Kemudian, bergegas dicarinya tempat berlindung yang cukup baik untuk menanti si Raja Api.
"Hm.... Semak ini cukup melindungi diriku," gumam Rangga setelah berada dalam semak belukar yang memang cukup melindungi diri dari penglihatan.
Tidak lama Rangga menunggu, Si Raja Api sudah terlihat bersama para pengikutnya yang berjumlah sekitar lima belas orang. Dari pakaian yang dikenakan, sudah bisa diduga kalau mereka adalah orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi. Tapi dari raut wajah mereka yang pucat dan pandangan mata yang kosong, juga bisa dipastikan kalau mereka sebenarnya sudah mati. Tapi kemudian mereka dibangkitkan kembali dengan ilmu yang dimiliki si Raja Api.
Rangga menanti dengan penuh kesabaran. Pikirannya bisa menebak, si Raja Api mengambil jalan yang menuju sebuah desa yang berada tidak seberapa jauh lagi dari padang rumput ini. Dan sudah pasti kedatangannya ke desa-desa hanya untuk mencari orang-orang berkepandaian tinggi, dan melakukan sepak terjang yang ganas di seluruh permukaan bumi ini. Hal itulah yang tidak diinginkan Rangga.
"Hup!"
Begitu si Raja Api dekat, cepat sekali Rangga melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Begitu indah dan ringan gerakannya, hingga membuat si Raja Api tersentak kaget. Cepat langkahnya dihentikan. Dan mereka yang berada di belakang si Raja Api itu segera bergerak mengepung Pendekar Rajawali Sakti tanpa diperintah lagi. Sedangkan si Raja Api tetap berada tepat di depan Rangga.
"Ghrrrr...!"
Si Raja Api menggeram pelahan, dengan bola mata berkilatan merah bagai hendak memancarkan api yang akan menghanguskan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, Rangga sendiri tetap berdiri tenang, membalas tatapan si Raja Api itu dengan sinar mata yang sangat dingin.
"Sudah kuduga, kau pasti akan mengejarku sampai ke sini, Pendekar Rajawali Sakti. Aku akan merasa senang sekali kalau kau dengan sukarela sudi bergabung bersamaku," terdengar begitu dingin dan datar nada suara si Raja Api.
"Kau hanya bermimpi bisa mengajakku bekerjasama dengan iblis sepertimu, Raja Api," sambut Rangga tegas, tidak kalah dingin nada suaranya.
"Ha ha ha...! Kau akan menyesal berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau lihat sendiri, tidak ada seorang pun manusia yang bisa mengalahkan aku. Apa tidak kau sadari, siapa aku sebenarnya..? Aku putra Dewa Api yang menguasai seluruh api di jagat ini. Kau tidak akan mampu mengalahkan aku, Pendekar Rajawab Sakti. Sebaiknya, serahkan saja diri dan nyawamu padaku. Ha ha ha..."
"Kau bisa membunuhku, Raja Api. Tapi jangan harap bisa menguasai jiwaku," tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Ghrrr ! Kau akan menyesal, Pendekar Rajawali Sakti," desis si Raja Api menggeram dingin.
Rangga hanya tersenyum tipis dan sinis. Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan bisa bekerjasama dengan siapa saja yang bertindak brutal, membunuh orang sembarangan saja tanpa peduli. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah melihat sendiri akibat dari pembantaian si Raja Api ini. Dan tentu saja dia tidak akan mungkin tinggal diam. Walau nyawa sekalipun taruhannya.
"Bunuh manusia keparat ini...!" seru si Raja Api lantang menggelegar memberi perintah.
"Ghraaagkh...!"
"Aaarhkh...!"
Belum lagi menghilang teriakan si Raja Api dari pendengaran, lima belas orang yang sebenarnya sudah menjadi mayat itu langsung saja bergerak cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan gesit sekali, pemuda berbaju rompi putih itu melesat berputar sambil melepaskan beberapa kali pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun sungguh tidak diduga, mereka bisa berkelit cepat, menghindari setiap pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan dengan cepat bisa menyerang semakin dekat, mengepung pemuda berbaju rompi putih ini. Dan mereka langsung memberi serangan-serangan dahsyat dari segala arah.
"Hup! Hiyaaat...!"
Rangga sudah menyadari kalau lawan-lawannya bukan tandingan yang bisa dipandang sebelah mata. Maka, dia tidak mau tanggung-tanggung lagi langsung dipadukannya jurus 'Seribu Rajawali' dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga seakan-akan menjadi banyak jumlahnya. Tubuhnya seperti berada di setiap tempat, yang membuat lawan-lawannya jadi kelabakan sendiri.
Saat itu juga, Rangga melepaskan pukulan-pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, yang membuat kedua kepalan tangannya jadi merah membara. Dan setiap pukulan yang dilepaskan, menimbulkan lesatan cahaya merah yang begitu dahsyat, bagaikan kilatan cahaya petir yang menyambar dari angkasa.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Jeritan-jeritan panjang disertai raungan keras seketika terdengar, bersamaan dengan terjadinya ledakan-ledakan yang begitu menggetarkan jantung akibat pukulan-pukulan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti ke arah para pengikut si Raja Api. Tampak mereka berpelantingan ke udara, dan terbanting keras ke tanah dengan tubuh hangus seperti terbakar.
Dalam beberapa gebrakan saja, sudah lima orang yang tergeletak tidak bangun lagi, terkena pukulan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu dahsyat jurus gabungan yang dikerahkannya, hingga membuat para pengikut si Raja Api jadi berpencaran menjauh. Bahkan lima orang dari mereka sudah tidak bisa bangkit lagi, dengan tubuh hangus seperti terbakar.
"Ghrrr...!"
Si Raja Api jadi menggereng marah, melihat lima orang pengikutnya ambruk hanya dalam beberapa gebrakan saja. Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Rajawali Sakti yang dianggapnya masih terlalu muda, ternyata memliki kepandaian begitu dahsyat. Bahkan pukulan yang dilepaskannya bisa menghanguskan tubuh manusia yang terkena.
Sementara, Rangga sendiri berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Bibirnya tampak menyunggingkan senyum tipis, tapi sorot matanya begitu tajam menatap lurus pada si Raja Api yang semakin membara seluruh tubuhnya. Dan kemarahan yang amat sangat akibat dari tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu barusan pada lima orang pengikutnya, membuat tubuhnya makin membara.
"Kubunuh kau, Pendekar Rajawali Sakti! Ghraaaugkh...!"
Sambil menggerung keras menggetarkan, si Raja Api langsung saja melompat menyerang. Dan seketika satu pukulan dilepaskan dengan kecepatan bagai kilat mengarah langsung ke dada pemuda berbaju rompi putih itu. Namun sebelum pukulannya sampai, melesat satu kilatan merah yang meluruk begitu cepat dari kepalan tangan si Raja Api yang menjulur ke depan. Sesaat Rangga agak terkesiap. Namun cepat meliukkan tubuhnya menghindari dengan gerakan manis sekali.
"Haiiit...!"
Serangan yang gagal, malah membuat si Raja Api semakin bertambah berang saja. Maka serangannya makin meningkat dengan jurus-jurus yang begitu cepat dan berbahaya. Sehingga Rangga terpaksa harus berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan yang cepat dari segala arah.
Dari gerakan-gerakannya yang seperti tidak beraturan, jelas kalau Rangga tengah mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' Satu jurus andalannya dalam menghindarkan diri dari serang¬an lawan. Dan memang, jurus itu sangat ampuh terbukti, tidak ada satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Ghrrr...! Keparat!"
Si Raja Api semakin bertambah geram melihat tidak satu pun dari serangan-serangan yang dilancarkannya mengenai sasaran. Semua serangan yang dilancarkan dapat dengan mudah dimentahkan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara si Raja Api semakin meningkatkan daya serangannya. Hingga setiap pukulan yang dilepaskan, selalu menimbulkan sambaran api yang begitu panas menyengat kulit. Bahkan udara di sekitar pertarungan itu sendiri semakin terasa menipis.
"Hm... Kalau terus begini, aku bisa kehabisan napas...," gumam Rangga dalam hati.
Tampaknya Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menyadari kalau keadaan seperti ini sangat tidak menguntungkan. Dan lagi serangan-serangan yang dilancarkan lawannya ini terasa semakin bertambah dahsyat dan berbahaya sekali. Sedikit saja kelengahan, akan berakibat sangat parah bagi dirinya sendiri.
Menyadari hal ini cepat sekali Rangga merubah jurusnya menjadi jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega" begitu mendapat kesempatan. Begitu kedua tangannya bisa terentang lebar ke samping, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat tinggi ke udara. Namun pada saat yang bersamaan, si Raja Api sudah menghentakkan tangan kanannya ke atas.
"Ghraaagkh....!"
Seketika itu juga, dari kepalan tangan si Raja Api melesat secercah cahaya merah yang meluncur cepat bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaat...!"
Tapi Rangga tampaknya sudah menyadari serangan seperti itu. Dengan gerakan berputar yang manis sekali, serangan si Raja Api berhasil dihindarkannya. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Pen¬dekar Rajawali Sakti langsung melanjutkan jurusnya menjadi jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Rangga menukik deras dengan kedua kaki bergerak berputar cepat mengarah ke kepala si Raja Api. Begitu cepat gerakannya hingga membuat si Raja Api jadi terhenyak kaget tidak menyangka. Saking terkejutnya, sampai-sampai tidak sempat lagi berkelit menghin¬dari serangan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti. Dan...
"Des!
"Aaargkh...!"
Si Raja Api jadi terpekik keras, begitu kepalanya telak sekali tersambar kaki kanan Rangga yang berputar begitu cepat, disertai pengerahan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Tampak si Raja Api itu terpental ke belakang sambil memegangi kepalanya. Dan pada saat itu juga, Rangga sudah menjejakkan kakinya kembali ke tanah.
Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti mendarat, mendadak saja dari arah belakang, samping, dan depannya, sudah berlompatan para pengikut si Raja Api. Sesaat Rangga jadi terhenyak kaget. Serangan dari segala arah yang demikian cepat sekali itu tidak memberi kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk berkelit. Tapi pada saat yang sangat gawat itu, mendadak saja...
"Khraaagkh...!"
Tiba-tiba saja dari angkasa Rajawali Putih yang memang sejak tadi mengawasi, meluruk deras menyambar orang-orang yang menyerang Rangga dari segala penjuru. Burung bertubuh raksasa itu mengibaskan kedua sayapnya yang besar dan kokoh, sehingga mampu membuat beberapa orang terpelanting sekaligus menjerit melengking tinggi mengantar kematian yang kedua.
Kemunculan Rajawali Putih, membuat Raja Api jadi terlongong bengong. Bahkan mereka yang tadi menyerang Rangga, seketika menghentikan pertarungannya. Dan mereka segera berlompatan, menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Mungkin mereka merasa ngeri melihat seekor burung rajawali raksasa yang sebesar bukit itu. Menyadari lawannya tidak lagi melakukan serangan, Rangga segera melompat mendekati Rajawali Putih yang kini sudah mendekam diam di tempatnya.
"Hadapi mereka, Rajawali. Tidak perlu sungkan-sungkan. Mereka bukan lagi manusia," kata Rangga sambil menepuk leher burung rajawali raksasa itu.
"Khraaagkh...!"
"Aku akan mencoba menandingi kesaktian si Raja Api."
"Khrrrr...!
" "Jangan khawatir, Rajawali. Aku akan berhati-hati menghadapinya."
Rangga yang tidak mau lagi membuang-buang waktu, langsung saja melompat ke arah si Raja Api sambil mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangka di punggung. Sementara itu, Rajawali Pu¬tih sudah mulai mengangkasa lagi. Lalu dengan kecepatan dahsyat, burung rajawali itu menukik deras menghajar semua pengikut si Raja Api
. Sebentar saja, sudah terdengar raungan keras dan pekikan kesakitan yang mengantarkan maut. Tampak tiga orang terpental ke udara, lalu keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Hanya sebentar saja mereka menggeliat, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi, mati untuk yang kedua kali.
Sementara di tempat lain. Pedang Pusaka Rajawali Sakti berada di dalam genggaman tangan Pendekar Rajawali Sakti terus bergerak melancarkan serangan-serangan yang semakin cepat dan dahsyat. Dan tentu saja hal ini membuat si Raja Api semakin bertambah geram. Beberapa kali ludahnya disemburkannya sambil menggerutu kesal. Karena, beberapa kali serangan yang dilancarkan selalu saja mudah dapat dipatahkan. Bahkan sudah beberapa kali tubuhnya terpaksa harus jungkir balik, menghindari serangan pedang yang memancarkan cahaya biru menyilaukan mata.
DELAPAN
Pertarungan yang terjadi antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Raja Api memang sangat dahsyat. Bahkan tempat sekitar pertarungan sudah hancur tidak berbentuk lagi. Tidak sedikit pepohonan yang hangus menghitam terbakar, akibat terkena pukulan-pukulan si Raja Api yang tidak mengenai sasaran. Sementara dengan menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma', Rangga terus mencoba mendesak lawannya.
Sedangkan Rajawali Putih sudah menyelesaikan bagiannya sendiri. Tidak seorang pun dari lawannya yang bisa bangkit berdiri lagi. Dan burung rajawali raksasa itu kini langsung membumbung tinggi ke angkasa, bertepatan dengan terdengarnya hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
Tidak berapa lama kemudian, setelah Rajawali Putih membumbung tinggi ke angkasa muncul Pandan Wangi bersama Eyang Jambala yang menunggang kuda dengan kecepatan tinggi. Tampak di belakang mereka, mengikuti seekor kuda hitam yang menjadi tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka langsung berlompatan turun, begitu berada tidak seberapa jauh dari tempat pertarungan Rangga melawan si Raja Api.
"Tampaknya kita terlambat, Eyang...," ujar Pandan Wangi dengan nada suara seperti menyesali.
"Lihat saja, Pandan. Mudah-mudahan Rangga bisa mengalahkan si Raja Api," sambut Eyang Jambala mencoba membesarkan hati si Kipas Maut itu.
Pandan Wangi tidak bersuara lagi. Perhatiannya kini tertuju langsung pada pertarungan sengit antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Raja Api. Dan Eyang Jambala juga tidak bersuara sedikit pun dan terus memperhatikan pertarungan yang semakin dahsyat.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Rangga melesat tinggi ke atas, lalu berputaran beberapa kali ke belakang. Dan seketika tubuhnya meluruk deras ke arah si Raja Api, dengan ujung pedang terhunus lurus ke depan.
"Ghraaagkh...!"
Si Raja Api menggerung keras sambil menengadahkan kepalanya ke atas. Dan saat itu juga, tangan kanannya dikebutkan ke atas. Seketika...
Wut!
"Haiiit...!"
Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, tidak menyangka kalau si Raja Api akan bertindak seperti itu. Cepat-cepat tubuhnya melenting berputar ke belakang sambil menarik serangannya. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, tampak dalam genggaman si Raja Api terdapat sebilah pedang yang mengeluarkan api dari seluruh mata pedangnya.
"Hap!"
Rangga cepat-cepat menyilangkan pedangnya ke depan dada. Dan saat itu. Si Raja Api sudah melompat cepat, sambil mengeluarkan gerungan dahsyat. Lalu seketika pedang apinya dikebutkan ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Hih! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Rangga menghentakkan pedangnya, menangkis serangan pedang api lawannya. Maka benturan keras pun tidak dapat dihindari lagi.
Trang!
Percikan bunga api terlihat memendar, begitu dua senjata yang berpamor sangat dahsyat beradu. Tampak mereka sama-sama berlompatan mundur ke belakang beberapa langkah. Namun saat itu, Rangga sudah melesat cepat sekali. Dan langsung pedangnya dibabatkan menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepat serangan Pendekar Rajawali Sakti hingga kebutan pedangnya menimbulkan deru angin bagai topan. Tapi si Raja Api kelihatannya sama sekali tidak berusaha menghindar Dan begitu ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti dekat, cepat sekali pedangnya dikebutkan untuk menangkis serangan itu. Dan....
Trang!
Kembali dua pedang berpamor sangat dahsyat itu beradu hingga kali ini menimbulkan ledakan dahsyat disertai percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Kembali mereka sama-sama terpental ke belakang, sejauh beberapa langkah. Sementara, Rangga dua kali berputaran lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah.
"Hap!"
Rangga langsung saja menyilangkan pedangnya ke depan dada. Dan telapak tangannya langsung ditempelkan pada mata pedang yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan itu. Setelah menghembuskan napas sekali, telapak tangan kirinya mulai digerakkan menggosok mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dan begitu telapak tangan kiri kembali berada pada pangkal tangkai pedang, tampak cahaya biru yang memancar dari mata pedang jadi menggumpal.
Sementara Pandan Wangi yang menyaksikan, sudah bisa mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah siap mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' yang dipadukan dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang sangat dahsyat. Si Kipas Maut tahu, kalau Rangga sudah memadukan ilmu yang begitu dahsyat dan sangat diandalkan berarti sudah menganggap lawannya bukanlah lawan biasa. Pandan Wangi yang mengetahui akan kedahsyatan ilmu yang akan dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti, cepat-cepat mengajak Eyang Jambala menyingkir lebih menjauh lagi.
Sementara itu, Rangga sudah siap mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' yang dipadukan dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Tapi tampaknya si Raja Api kelihatan tidak bergerak sedikit pun juga, seakan-akan tengah menanti serangan dari Pendekar Rajawali Sakti. Hingga untuk beberapa saat, mereka hanya diam saja dengan hati diliputi ketegangan yang amat sangat.
"Ghrrrr...!"
"Hap!"
Rangga langsung mengangkat pedangnya dengan kedua tangan, begitu si Raja Api mengebutkan pedangnya ke depan. Dan tepat ketika dari ujung mata pedang si Raja Api mengeluarkan cahaya merah menyala bagai api, seketika itu juga Rangga menghentakkan pedangnya ke depan dengan kedua tangan menggenggam tangkai. Maka dari ujung pedangnya, melesat gumpalan cahaya biru yang sangat terang menyilaukan mata.
Glaaar...!
Tepat di saat dua cahaya yang saling berlawanan itu bertemu, terdengar ledakan keras menggelegar yang menggetarkan seluruh jagat ini. Tampak Rangga sampai terdorong ke belakang tiga langkah. Tapi si Raja api terlihat terpental sejauh lima batang tombak ke belakang. Dan punggungnya langsung menghantam sebatang pohon, hingga seketika hancur berkeping-keping.
"Ghraaagkh...!"
Bet!
"Hap! 'Aji Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Tepat di saat si Raja Api melompat, Rangga segera menghentakkan pedangnya dibarengi sentakan tangan kiri ke depan, dengan jari-jari tangan terkembang lebar. Dan seketika itu juga, cahaya biru yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti menghantam tubuh si Raja Api. Dan pada saat itu juga, dari telapak tangan kiri Rangga memancar cahaya biru terang yang juga menghantam tubuh si Raja Api.
Glaaar...!
Kembali terdengar ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat, hingga membuat tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa. Sementara, pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Si Raja Api yang mengadu ilmu kedigdayaan dan kesaktian tinggi terus berlangsung.
Tampak seluruh tubuh si Raja Api sudah terselubung cahaya biru yang memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti dan telapak tangan kirinya yang menjulur ke depan. Sedangkan Rangga sendiri pelahan-lahan mulai melangkah mendekat.
Tampak si Raja Api menggeliat-geliat dalam lingkaran cahaya biru yang menyelubungi seluruh tubuhnya. Sedangkan saat itu entah dari mana datangnya, tahu-tahu di sekitar pertarungan sudah dipenuhi orang yang semuanya menyandang senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran. Tapi dari sorot mata, jelas sekali mereka memandang benci pada si Raja Api.
Sedikit demi sedikit, jarak antara mereka berdua semakin bertambah dekat saja. Dan di dalam selubung cahaya biru, si Raja Api terus menggeliat-geliat sambil menggerung-gerung berusaha melepaskan diri. Tapi semakin kuat berusaha, semakin banyak tenaga yang keluar.
"Hih! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar, membuat hati siapa saja yang mendengar jadi bergetar. Dan seketika itu juga, pedangnya dihentakkan ke atas kepala. Sedangkan tangan kirinya tetap menjulur lurus ke depan, menjaga si Raja Api yang tetap berada dalam selubung cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma.
Bet!
Seketika itu juga bagaikan kilat si Raja Api melompat hendak melepaskan diri dari belenggu. Tapi pada saat yang sama, Rangga sudah membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke leher si Raja Api. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sangat sulit untuk dihindarkan. Dan tidak berapa lama kemudian....
Cras!
"Aaargkh...!"
Raungan yang sangat panjang terdengar keras menggetarkan, terdengar bersamaan dengan terbabatnya leher si Raja Api oleh pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu, Rangga sudah berada sekitar satu batang tombak jauhnya di depan si Raja Api dengan pedang tetap tergenggam di tangan kanan.
Sementara, si Raja Api masih hidup berdiri dengan tubuh limbung. Namun tidak berapa lama kemudian, tubuhnya ambruk dengan kepala langsung menggelinding dari batang lehernya. Dan begitu tubuh si Raja Api menyentuh tanah, tiba-tiba saja...
Slap!
Heh...!"
"Hah, apa itu...?!"
Semua orang yang ada di tempat itu jadi terbeliak, begitu tiba-tiba saja secercah cahaya merah bagai api meluncur deras dari angkasa. Dan cahaya merah itu langsung menyambar tubuh dan kepala yang terpisah agak jauh dari leher Si Raja Api.
Sebentar saja, seluruh tubuh dan kepala si Raja Api sudah tertutup cahaya merah yang memancar dari langit. Namun tidak berapa lama kemudian, cahaya merah itu lenyap dari pandangan mata. Dan semua orang yang menyaksikan juga jadi semakin lebar terbeliak, ketika tubuh dan kepala si Raja Api ikut lenyap bersama cahaya merah itu. Bahkan tidak meninggalkan bekas sedikit pun juga.
"Rupanya para Dewa jadi juga mengambil si Raja Api," desah Eyang Jambala bernada lega.
"Apakah itu berarti dia tidak akan muncul lagi ke dunia ini, Eyang?" tanya Pandan Wangi.
"Mudah-mudahan saja tidak," sahut Eyang Jambala.
Sementara itu, Rangga sudah memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti kedalam warangka di punggung. Lalu kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi dan Eyang Jambala. Sedikit dia sempat memperhatikan orang-orang yang banyak berkumpul di sekelilingnya.
"Siapa mereka, Eyang?" tanya Rangga langsung begitu dekat dengan Eyang Jambala.
"Mereka dari desa-desa yang tidak jauh dari sini, Rangga. Tampaknya mereka mendengar suara pertarunganmu dengan si Raja Api, lalu berdatangan ke sini," sahut Eyang Jambala menjelaskan.
"Ayo kita pergi, Pandan," ajak Rangga.
Tanpa banyak bicara lagi kedua pendekar muda dari Karang Setra itu melangkah pergi sambil menuntun kudanya. Dan Eyang Jambala bergegas mengikuti, saat mengetahui kalau kedua pendekar muda itu menuju Desa Batang. Sementara orang-orang yang berdatangan karena mendengar pertarungan tadi, hanya bisa melongo dengan segudang pertanyaan terbias pada wajahnya masing-masing.
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: DENDAM DATUK GENI