DENDAM GADIS PERTAPA
SATU
"Bakar! Bunuh semua...!""Hiyaaa...!"
"Tolooong...!"
Cras!
"Aaa...!"
Teriakan-teriakan keras menggelegar, berpadu menjadi satu bersama jeritan panjang melengking tinggi yang ditingkahi kobaran api membakar rumah-rumah yang ada di sebelah selatan kota Kadipaten Parunggungan. Suara ringkikan kuda dan tangisan anak-anak berbaur menjadi satu, membuat malam yang seharusnya hening ini menjadi panas membara, seperti api yang membakar rumah-rumah itu.
Api yang berkobar semakin membesar, membuat malam menjadi terang dan panas. Teriakan-teriakan keras memberi perintah terus terdengar, disusul jeritan menyayat yang saling sambut.
Suasana begitu kacau, tak terkendali lagi. Tampak penduduk kota kadipaten sebelah selatan ini berusaha menyelamatkan diri masing-masing dari amukan segerombolan orang berpakaian serba merah, yang semuanya menunggang kuda dan sangat ganas itu.
Tidak peduli anak-anak yang ditemui, mereka langsung membabatkan golok tanpa ada rasa belas kasihan sedikit pun. Dan di antara kegaduhan itu, terlihat seorang laki-Iaki tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun, sambil tersenyum-senyum memandangi kegaduhan di sekelilingnya di atas punggung kuda putihnya. Di sampingnya terlihat seorang gadis cantik. Dia juga tersenyum-senyum, menyaksikan kekacauan ini. Bahkan sesekali tangan kanannya mengibas ke samping, yang disusul melesatnya sebuah benda seperti pisau kecil bercahaya putih keperakan dengan kecepatan bagai kilat. Dan benda itu langsung menembus leher penduduk yang terlihat dekat dengannya.
Di depan mereka, terlihat seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun tengah sibuk berteriak-teriak memberi perintah. Suaranya keras dan menggelegar, dengan pedang terayun-ayun ke atas kepala. Kuda yang ditungganginya terus meringkik, menghentak-hentakkan kedua kaki depannya ke tanah seperti gelisah. Seakan kuda itu sudah tidak tahan lagi melihat kekacauan di sekelilingnya.
Dan orang-orang berpakaian serba merah yang semuanya menunggang kuda terus mengobrak-abrik kota Kadipaten Parunggungan sebelah selatan ini, sambil berteriak-teriak keras. Seakan, mereka berada dalam satu medan pertarungan yang dahsyat. Hingga, tidak satu pun rumah di bagian selatan kota kadipaten ini yang masih terlihat utuh dari sambaran api.
Saat itu juga, terlihat salah seorang pemudaberbaju merah yang menghunus golok mengham-piri laki-laki tua berjubah merah yang didampingi gadis cantik. Pemuda ini langsung menyarungkan goloknya. Segera tubuhnya membungkuk diatas punggung kuda tunggangannya, begitu dekat di depan laki-laki tua berjenggot putih yang berjubah merah ini.
"Sepasukan prajurit kadipaten sudah bergerak ke sini, Gusti," lapor pemuda itu.
"Hm. Kembali ke tempat...," ujar orang tua berjubah merah itu.
Pemuda itu segera kembali ke tempat pembantaian penduduk kadipaten ini. Dan laki-laki yang dipanggil dengan sebutan 'gusti' itu menatap pemuda berbaju merah yang pada bagian punggungnya bergambar seekor ular naga dan sepasang cakar burung elang mengembang kedepan, yang masih berteriak-teriak memberi perintah.
"Priyada, kemari sebentar...!" panggil orang tua berjubah merah yang ternyata pemimpin gerombolan ini.
Pemuda berbaju merah bergambar naga di punggung itu segera berbalik. Dan tubuhnya langsung membungkuk, memberi hormat pada laki-laki tua berjenggot putih ini.
"Ada apa. Ayah," sahut pemuda yang dipanggil Priyada itu. Sikapnya begitu hormat.
"Perintahkan mereka semua agar kembali. Tinggalkan tempat ini secepatnya. Dan, jangan ada seorang pun yang tertinggal," perintah orang tua itu.
"Baik, Ayah. Segera hamba laksanakan," sahut Priyada.
Sebelum Priyada memutar kudanya berbalik kembali, laki-laki berjubah merah yang rambut dan jenggotnya sudah memutih semua itu sudah langsung cepat menggebah kudanya, diikuti gads cantik yang terus mendampinginya. Dan Priyada segera mernerintahkan anak buahnya, meninggalkan kota yang sudah hancur ini. Maka seketika itu juga, orang-orang berbaju serba merah itu sudah langsung menggebah cepat kudanya, keluar dari kota ini dari gerbang perbatasan sebelah selatan. Cepat sekali mereka bergerak, hingga sebentar saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam.
Dan saat itu juga, para prajurit dari Kadipaten Parunggungan datang. Mereka jadi terlongong, seakan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Tldak satu bangunan rumah pun yang terlihat masih utuh. Mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih, hampir memadati jalan. Sebuah pemandangan yang begitu mengenaskan, sulit dijabarkan. Tapi para prajurit itu tidak ada yang bisa berbuat sesuatu. Mereka hanya mendapatkan rumah-rumah yang terbakar, serta mayat-mayat bergelimpangan yang masih mengeluarkan darah segar.
Peristiwa yang terjadi di selatan Kadipaten Parunggungan itu tentu saja membuat penguasa kadipaten ini jadi geram. Adpati Wiyatala langsung mengumpulkan orang-orang kepercayaannya. Mereka semua diminta untuk mencari gerombolan liar yang telah merusak sebagian kota kadipaten ini dan membantai hampir semua penduduknya. Kalau saja para prajurit tidak segera datang, mungkin sudah tidak ada lagi penduduk yang tersisa. Dan yang masih hidup pun dalam keadaan terluka cukup parah.
Hari itu juga, sebelum matahari benar-benar menampakkan diri di ufuk timur, lima orang kepercayaan Adipati Wiyatala sudah bergerak bersama puluhan prajurit, menyebar ke seluruh pelosok wilayah Kadipaten Parunggungan. Mereka tentu saja berusaha mencari gerombolan liar yang telah membuat sebuah peristiwa besar. Dan itu memang tidak bisa didiamkan begitu saja. Tapi, gerombolan liar dari mana yang melakukan semua perbuatan keji ini...?
Tidak ada seorang pun yang tahu, dari mana datangnya gerombolan liar itu. Dan, apa maksud mereka merajah Kadipaten Parunggungan. Sejak peristiwa malam itu, hari-hari selalu diisi ketakutan dan kecemasan seluruh rakyat di Kadipaten Parunggungan. Semua rakyat jadi merasa tidak tenteram. Setiap hari, selalu saja terjadi pembantaian dan pembakaran rumah-rumah penduduk yang selalu terjadi pada malam hari.
Mereka datang secara tiba-tiba, seperti hantu dari arah yang sukar ditentukan. Dan mereka juga menghilang cepat, setiap kali sepasukan prajurit datang ke tempat kejadian. Keadaan yang semakin memburuk ini membuat Adipati Wiyatala semakin berang. Dan dia memerintahkan untuk mengadakan penjagaan yang lebih ketat di seluruh wilayah kota kadipaten ini. Tapi semakin diperketat penjagaannya, semakin berani saja gerombolan liar itu menjarah.
Bahkan mereka sudah berani menghadang para prajurit yang sedang meronda, sekaligus membantainya. Hingga dalam beberapa hari saja, kekuatan yang dimiliki Kadipaten Parunggungan ini semakin berkurang. Tentu saja hal ini membuat Adipati Wiyatala semakin geram, tanpa bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
Dan malam itu, kembali gerombolan muncul di sebelah timur kota kadipaten ini. Mereka membakar habis rumah-rumah penduduk, dan membunuh semua orang. Puluhan prajurit yang menjaga wilayah itu tidak dapat membendung keganasan gerombolan ini. Hingga, mereka terpaksa mundur mendekati jantung kota. Tapi, gerombolan liar itu terus bergerak maju, mendesak prajurit-prajurit. Maka pertempuran di tengah kota pun tidak dapat dihindari lagi.
Sementara itu Adipati Wiyatala yang sudah didampingi lima orang abdi kepercayaannya, kelihatan cemas. Apalagi, mengetahui kalau gerombolan liar itu semakin dekat ke istana kadipaten ini. Sementara, para prajurit yang ditugaskan menjaga dan menghadang, sudah tidak mampu lagi bertahan lebih lama. Mereka semakin terdesak, hingga gerombolan itu semakin mendekati istana ini.
Kadipaten Parunggungan, malam ini benar-benar menjadi lautan api. Di setiap penjuru terlihat kobaran api membakar rumah-rumah penduduk. Jerit kematian dan teriakan pertempuran bagai hendak mengguncangkan seluruh tanah kadipaten ini. Denting senjata pun semakin jelas terdengar dari dalam istana yang sudah terjaga ketat. Bahkan pintu gerbang benteng istana yang kokoh, sudah tertutup rapat. Rakyat yang berhasil lolos dari amukan gerombolan itu, kini berkumpul memadati halaman depan istana yang terjaga ketat.
Pasukan prajurit pemanah sudah siap di atas tembok benteng dengan anak panah terpasang di busur. Mereka menunggu gerombolan itu dekat dengan hati cemas. Sementara, di dalam ruangan depan istana, tampak Adipati Wiyatala semakin terlihat gelisah dan cemas, didampingi lima orang abdi kepercayaannya.
"Paman Rondowungu, siapkan prajurit pilihan. Dan, bawa keluargaku keluar dari istana ini, melalui jalan rahasia. Selamatkan mereka dari bencana ini. Terutama, putraku...," perintah Adipati Wiyatala, saat keadaan semakin meruncing.
"Sendika, Gusti Adipati," sahut seorang laki-laki berusia setengah baya, disertai sembah hormat.
Tanpa diperintah dua kali, laki-laki setengah baya yang dipanggil Rondowungu segera mengumpulkan tiga puluh orang prajurit pilihan. Dan dia langsung membawa keluarga adipati, bersama para prajurit pilihan itu keluar dari istana ini melalui jalan rahasia. Sementara Adipati Wiyatala sendiri bersama empat orang abdi setianya, sudah keluar dari dalam istana. Hatinya begitu trenyuh melihat rakyatnya berjejelan di halaman depan istana ini, mencari perlindungan padanya.
"Kalian berdua, ajak seluruh rakyat mengungsi melalui jalan rahasia ke pantai. Aku tidak sudi mereka menjadi korban sia-sia di sini," ujar Adipati Wiyatala, pada dua orang abdi setianya.
"Bawa prajurit pilihan kalian secukupnya."
Dua orang abdi yang ditunjuk itu segera memberi hormat, dan mengumpulkan prajurit-prajurit pilihan. Dan mereka segera menggiring rakyat kadipaten ke bagian belakang istana ini. Rakyat yang memang ingin mencari selamat saling berebutan dan mendahului, saat pintu rahasia yang berada di balik dinding belakang istana terbuka lebar. Mereka masuk ke dalam lorong rahasia di bawah tanah, mengikuti dua orang abdi setia Adipati Wiyatala yang dikawal tidak kurang dari lima puluh orang prajurit.
Sementara di bagian depan benteng istana, masih terdengar teriakan-teriakan pertempuran disertai denting senjata beradu, yang mengiringi jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan menyayat saling sambut. Dan di halaman depan istana, kini sudah sepi. Tidak lagi terlihat satu orang penduduk pun di Sana. Mereka kini sudah berada dalam lorong bawah tanah yang aman, menuju keluar istana melalui jalan rahasia. Empat orang prajurit yang menjaga pintu lorong rahasia langsung menutup kembali, setelah tidak ada seorang pun yang melaluinya. Dan mereka kembali ke tempatnya semula, untuk mempertahankan istana ini.
"Paman Kabasan, Ki Jarukati...," panggil Adipati Wiyatala pada dua orang abdi setianya yang masih menemani.
"Sendika, Gusti Adipati," sahut kedua abdi itu bersamaan, seraya memberi sembah hormat.
"Aku rasa, ini saatnya untuk membuktikan kesetiaan kalian pada Kadipaten Parunggungan ini. Aku minta, kalian bersama-samaku dalam mempertahankan istana ini sampai titik darah yang penghabisan," kata Adipati Wiyatala penuh semangat.
"Hamba tidak akan mundur setapak pun, Gusti," sambut Ki Jarukati, yang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Suaranya terdengar mantap.
"Hamba pun rela mengorbankan nyawa demi kadipaten ini, Gusti," sambung Paman Kabasan, yang berusia sekitar empat puluh lima tahun.
Sedangkan Adipati Wiyatala sendiri masih berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Memang, dia adalah seorang adipati yang masih muda. Tapi kepandaiannya sangat disegani dan dihormati seluruh rakyatnya. Dan saat itu terlihat seorang prajurit yang bertugas mengamati keadaan di luar, berlari-lari menghampiri. Prajurit berusia muda itu langsung membungkuk dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada, begitu berada dekat di depan Adipati Wiyatala.
"Mereka sudah dekat, Gusti. Bahkan sudah mencoba untuk menjebol pintu gerbang," lapor prajurit itu dengan napas tersengal.
"Paman Kabasan, perintahkan pasukan panah untuk menghalau mereka," perintah Adipati Wiyatala langsung.
"Baik, Gusti," sahut Paman Kabasan tegas.
Seketika itu juga, Paman Kabasan langsung melompat cepat sekali. Dan dengan gerakan indah tubuhnya melesat, naik ke atas pagar tembok yang tinggi dan kokoh, tepat di atas pintu gerbang utama benteng istana kadipaten ini. Sebilah pedang sudah tergenggam di tangan kanannya dan terangkat tinggi ke atas kepala. Lalu....
"Pasukan panah...! Seraaang...!"
Begitu mendapat perintah dari Paman Kabasan, seketika itu juga pasukan panah yang memang sejak tadi sudah menunggu perintah langsung melepaskan anak-anak panah, menghujani gerombolan liar yang berjumlah sangat besar di bawah benteng istana kadipaten ini.
Merasa sulit untuk menembus benteng kadipaten yang terjaga sangat ketat, orang-orang berpakaian serba merah ini segera menarik diri, menjauhi istana kadipaten ini. Paman Kabasan segera berteriak memberi perintah untuk menghentikan serangan, Dan seketika itu juga, suasana menjadi sunyi lengang tanpa terdengar ada suara sedikit pun juga.
"Hup...!" Paman Kabasan kembali melompat turun dan atas benteng istana kadipaten ini. Begitu ringan gerakannya, pertanda kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan tanpa memperdengarkan suara sedikit pun juga, kedua kakinya menjejak tanah, tidak jauh di depan Adipati Wiyatala. Langsung diberikannya hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan ke depan dada, sambil membungkuk sedikit.
"Jumlah mereka sangat besar, Gusti. Rasanya tidak mungkin bertahan lebih lama lagi," kata Paman Kabasan langsung memberi laporan.
"Persiapkan panah sebanyak-banyaknya. Terus bertahan, sampai bantuan datang," kata Adipati Wiyatala tegas.
"Tapi dengan kekuatan yang ada sekarang, rasanya sulit bertahan lebih lama lagi, Gusti. Sedang persiapan panah sangat terbatas," jelas Paman Kabasan.
"Apa pun yang terjadi, tetap bertahan. Dan Ki Jarukati bersiap bersama prajuritnya di depan pintu, bila mereka berhasil menerobos masuk," tegas Adipati Wiyatala.
Ki Jarukati hanya mengangguk saja. Dan memang, prajurit-prajurit yang sudah siap sejak tadi kini berbaris rapi di tengah-tengah halaman depan istana ini. Mereka menjaga kalau-kalau lawan mereka di luar bisa menjebol pintu gerbang yang tertutup rapat. Walaupun jumlah prajurit yang dipimpinnya kini tinggal sekitar lima puluh orang lagi, tapi Ki Jarukati tidak menunjukkan kegentaran sedikit pun juga. Bahkan tampak begitu tenang, seperti tidak terjadi sesuatu yang membuat Adipati Wiyatala begitu cemas.
"Paman Kabasan, keluarkan seluruh persediaan panah dari gudang senjata. Dan, perlengkapi prajuritmu dengan tombak," perintah Adipati Wiyatala.
"Sendika, Gusti. Segera hamba perintahkan prajurit untuk mempersiapkan segalanya," sahut Paman Kabasan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Paman Kabasan segera memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengeluarkan seluruh senjata yang ada dalam gudang persenjataan. Dan mereka segera membekali masing-masing dengan senjata itu. Kesibukan pun terlihat di dalam benteng istana ini. Sementara, di luar lawan mereka terus mengepung rapat benteng ini, dari jarak yang tidak terlalu jauh.
Jumlah gerombolan itu memang sudah berku-rang, akibat serangan anak panah tadi. Tapi, itu tidak membuat mereka gentar. Sementara, seluruh prajurit di dalam benteng istana ini sudah membekali diri dengan senjata lengkap. Adipati Wiyatala sendiri, didampingi Paman Kabasan dan Ki Jarukati, melihat keadaan gerombolan itu dari atas benteng.
"Lihat, Gusti. Kekuatan mereka seperti satu pasukan besar sebuah kerajaan," jelas Paman Kabasan.
"Hm...," Adipati Wiyatala hanya menggumam saja sedikit.
"Tiga orang yang menunggang kuda itulah pemimpinnya," jelas Paman Kabasan lagi.
"Tapi mereka tampaknya bukan pasukan prajurit kerajaan. Aku sama sekali tidak melihat ada lambang kerajaan pada mereka," selak Ki Jarukati, yang sejak tadi diam saja.
"Mereka memang gerombolan liar, Ki," sahut Paman Kabasan.
"Kau kenali dari pakaian mereka, Kabasan?" tanya Ki Jarukati lagi.
Paman Kabasan hanya menggeleng saja. Sedangkan Adipati Wiyatala tetap diam membisu, dengan pandangan tidak berkedip merayapi orang-orang yang mengepung rapat istananya ini. Seakan, dia tengah memperhitungkan kekuatan lawannya. Entah, apa yang ada dalam benak adipati berusia muda ini. Beberapa kali dia menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Sementara, Ki Jarukati dan Paman Kabasan tidak berbicara lagi. Mereka juga memandangi pihak lawan yang semuanya berpakaian berwarna merah menyala.
Melihat dari jumlah yang begitu banyak, memang sulit untuk bisa bertahan lebih lama lagi. Terlebih lagi, sudah terlihat kepandaian mereka dalam bertempur. Sepertinya, orang-orang berbaju serba merah itu sangat berpengalaman dan ahli dalam pertempuran. Dan tampaknya, ketiga pemimpinnya sedang merundingkan satu rencana, untuk menggepur dan merebut istana kadipaten ini.
Saat itulah, Ki Jarukati berpaling memandang Adipati Wiyatala. Jelas sekali tersirat satu kecemasan yang tidak bisa disembunyikan pada wajah adipati berusia muda ini. Sebuah kecemasan akan keruntuhan kadipaten yang dipimpinnya. Ki Jarukati tahu, Adipati Wiyatala juga sudah memperhitungkan kekuatan yang dimiliki. Dan tidak mungkin mereka bisa bertahan lebih lama lagi, kalau lawan kembali menggempur. Mereka pasti bisa menjebol pintu gerbang benteng, dan menyerbu masuk ke dalam. Kalau sampai hal ini terjadi, sudah pasti istana ini tidak akan dapat lagi dipertahankan.
"Gusti, apa tak sebaiknya Gusti Adipati mengungsi saja menyelamatkan diri. Biar hamba dan Kabasan membendung mereka dengan sebagian prajurit saja," saran Ki Jarukati.
"Tidak, Ki. Apa pun yang akan terjadi, aku tetap di sini bersama kalian," tolak Adipati Wiyatala tegas.
"Tapi, Gusti.... Dengan kekuatan seperti ini, tidak mungkin bisa bertahan lebih lama lagi, kalau mereka kembali menyerang," desak Ki Jarukati.
Adipati Wiyatala malah tersenyum. Walaupun dari raut wajah rasa kecemasannya tidak bisa lagi disembunyikan, namun dia berusaha untuk tetap tenang.
"Leluhurku membangun kadipaten ini dengan keringat dan darah. Tidak pantas rasanya kalau aku meninggalkan warisan leluhurku ini hanya untuk kepentingan diri sendiri. Tidak, Ki.... Lebih baik, berkubang darah daripada menjadi seorang pengecut. Aku tidak akan mengampuni diriku sendiri, kalau sampai kedipaten ini jatuh. Sedangkan, aku sendiri tetap hidup dalam pelarian," tegas Adipati Wiyatala, namun terdengar agak tergetar.
"Oh, Gusti...."
Hanya desahan kecil saja yang mampu dikeluarkan Ki Jarukati melihat ketekadan hati junjungannya. Dan tanpa disadari, kedua bola matanya jadi merembang berkaca-kaca. Entah, apa yang membuat hatinya begitu terharu setelah mendengar kata-kata adipati berusia muda ini. Dan Ki Jarukati tidak bisa lagi mendesaknya. Sementara, orang-orang di luar benteng istana itu sudah mulai bergerak kembali dengan perlahan.
DUA
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Ketika terdengar perintah yang begitu keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa, seketika itu juga orang-orang berbaju merah itu cepat berlarian sambil berteriak-teriak. Dengan senjata teracung di atas kepala, mereka menyerang benteng istana kadipaten ini.
Sementara di atas pagar benteng yang tinggi dan kokoh, para prajurit sudah siap dengan anak panah terpasang di busur. Mereka tinggal menunggu perintah dari Paman Kabasan, yang sudah ditunjuk Adipati Wiyatala untuk memimpin prajurit mempertahankan istana.
Pada saat ini, gerombolan itu semakin bertam-bah dekat saja. Sehingga, tanah di sekitar benteng istana jadi bergetar bagai diguncang gempa. Dan teriakan-teriakan keras terus terdengar membahana saling sambut, bagai hendak menggetarkan hati siapa saja yang mendengar.
"Seraaang...!"
Tepat ketika bagian depan orang-orang berbaju merah itu berada dalam jangkauan panah, Paman Kabasan langsung berteriak memberi perintah. Suaranya keras menggelegar, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Maka seketika itu juga, para prajurit yang memang sudah siap menunggu perintah, langsung cepat melepaskan anak-anak panah. Dan....
Wusss!
Szing!
"Akh...!"
"Aaa...!"
Bersamaan dengan hamburan anak-anak panah dari atas benteng istana ini, terdengar teriakan-teriakan melengking tinggi yang saling sambut dari luar benteng istana. Tampak orang-orang berbaju serba merah menyala itu mulai berjatuhan, terhujam anak-anak panah yang terus menghujani bagai tidak pernah berhenti. Tapi, tidak sedikit orang-orang berseragam merah yang berhasil mendekati pintu gerbang benteng istana ini. Dan mereka sudah mulai mencoba menjebolnya dengan menggunakan sebuah gelondongan sebatang pohon berukuran sangat besar yang digotong puluhan orang.
Jder...!
Berkali-kali pintu gerbang benteng yang terbuat dari kayu jati tebal dan berlapis lempengan baja hitam itu dihantam gelondongan kayu. Tapi, pintu benteng itu hanya sedikit bergetar saja, walau memperdengarkan suara keras menggelegar menggetarkan jantung. Sementara, para prajurit terus menghujaninya dengan anak-anak panah. Tapi, orang-orang berpakaian serba merah itu tidak mengenal menyerah. Mereka terus berusaha mendobrak pintu gerbang benteng ini. Dan saat itu juga, tiba-tiba....
"Minggir semua...!"
Slap!
Bersamaan terdengar bentakan nyaring yang mengalahkan teriakan-teriakan dan jeritan orang-orang berpakaian serba merah yang sedang berusaha menjebol pintu gerbang benteng, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat bagai kilat. Dan bayangan itu langsung menjejakkan kakinya, tepat di depan pintu benteng itu. Sementara, mereka yang tadi berusaha menjebol pintu gerbang yang tinggi dan kokoh ini langsung bergerak menyingkir. Dan semua itu tidak luput dari perhatian Adipati Wiyatala dan Ki Jarukati.
"Perintahkan prajuritmu siap-siap menyambut mereka, Ki Jarukati," ujar Adipati Wiyatala, langsung memberi perintah.
"Sendika, Gusti," sahut Ki Jarukati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jarukati langsung melompat turun dari atas benteng ini. Segera dihampirinya para prajuritnya yang sudah berdiri berjajar sejak tadi, memenuhi halaman depan istana kadipaten ini. Ki Jarukati langsung memberi perintah, dan mengatur prajuritnya.
Sementara di depan pintu gerbang, seorang gadis cantik berbaju merah menyala, berdiri tegak di depan pintu gerbang benteng istana kadipaten itu. Sebilah pedang tampak tergenggam di tangan kanannya. Tatapan matanya begitu tajam, seakan hendak menembus langsung kedalam benteng istana melalui pintu ini. Sama sekali tidak dipedulikan keadaan sekitarnya. Apalagi terhadap tubuh-tubuh yang tertembus anak panah di sekitamya. Bahkan tidak peduli dengan puluhan batang anak panah yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Anehnya, tidak satu anak panah pun yang bisa menembus tubuhnya. Padahal, kelihatannya gadis itu tetap diam, tidak bergerak menghindar sedikit pun juga.
"Hap! Yeaaah...!"
Dan tiba-tiba saja, gadis berwajah cantik bertubuh ramping menggiurkan itu berteriak keras menggelegar. Dan seketika dia melompat bagai hendak menerjang pintu gerbang benteng yang kokoh dan sangat tebal berlapis lempengan baja hitam ini. Dan saat itu juga, pedangnya dibabatkan kepintu gerbang.
Trang
Glarrr...!
Satu ledakan keras dan dahsyat seketika terdengar menggelegar bagai guntur memecah langit yang menghitam kelam ini, tepat ketika pedang gadis itu menghantam daun pintu gerbang benteng. Dan saat itu juga, asap hitam mengepul di sekitarnya. Dan ketika asap hitam itu lenyap tertiup angin, terlihat pintu gerbang yang berlapis lembaran baja hitam itu sudah hancur berkeping-keping.
"Oh...?!" Melihat kejadian itu, bukan saja Ki Jarukati dan Paman Kabasan yang terlongong bengong seperti tidak percaya. Tapi, Adipati Wiyatala juga tersentak kaget, bagai terbangun dari mimpi buruk yang sukar diterima akal sehat. Pintu yang tebal terbuat dari kayu jati tua dan berlapis lembaran besi baja hitam yang sudah tidak diragukan kekuatannya, hancur berkeping-keping hanya dengan sekali sabetan pedang saja. Lebih mengejutkan lagi, semua itu dilakukan oleh gadis berparas cantik yang kelihatan seperti seorang gadis lemah.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Begitu terdengar teriakan memberi perintah dari gadis cantik ini, seketika itu juga orang-orang berpakaian serba merah yang ada di belakangnya langsung bergerak cepat menghambur, menyerbu masuk ke dalam benteng istana yang pintunya sudah hancur berkeping-keping.
"Sambut mereka! Seraaang...!" teriak Ki Jarukati saat itu juga.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Bersama para prajuritnya, Ki Jarukati langsung melompat menyambut para penyerang, begitu menerobos masuk melalui pintu yang sudah hancur berkeping-keping. Dengan sebatang tongkat kayu di tangan, Ki Jarukati berlompatan sambil mengebutkan tongkatnya dengan kecepatan begitu sulit diikuti pandangan mata biasa. Maka seketika itu juga, jeritan dan lengkingan tinggi menyayat terdengar saling sambut, bercampur teriakan-teriakan pertempuran yang ditingkahi denting senjata beradu.
Pertempuran di dalam benteng istana Kadipaten Parunggungan memang tidak dapat lagi dihindari. Orang-orang berbaju serba merah yang tidak diketahui dari mana asalnya, bagai air bah menjebol tanggul, menyerbu masuk ke dalam benteng. Sementara dari atas pagar benteng, Adipati Wiyatala langsung memerintahkan prajurit panah yang berada di atas benteng untuk turun membantu yang lain. Sedangkan Paman Kabasan sendiri sudah sejak tadi terjun kedalam kancah pertarungan, membantu Ki Jarukati yang mengamuk bagai banteng terluka.
Setiap kibasan tongkat orang tua itu selalu menimbulkan korban, yang langsung ambruk tidak bangun-bangun lagi. Sedangkan dengan pedang di tangan kanan, Paman Kabasan juga terlihat sulit dibendung lagi. Setiap lawan yang berada dekat dalam jangkauannya, tidak ada yang sanggup membendung tebasan pedangnya.
Baru beberapa saat saja pertarungan itu ber-langsung, dari kedua belah pihak sudah banyak jatuh korban berlumuran darah dan tak bernyawa lagi. Jeritan-jeritan melengking mengiringi kematian pun semakin sering terdengar saling sambut. Tapi, orang-orang berbaju serba merah itu seperti tidak akan pernah ada habisnya. Mereka terus bermunculan, menerobos pintu yang sudah hancur. Dan mereka segera membantu teman-temannya, menghajar para prajurit Kadipaten Parunggungan yang berusaha mempertahankan istana. Sementara di atas benteng, terlihat Adipati Wiyatala tampak berang melihat para prajuritnya semakin kewalahan saja membendung gempuran lawan.
"Hup! Yeaaah...! Cring!"
Sambil melompat turun dengan gerakan begitu ringan bagai kapas, Adipati Wiyatala langsung mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, pedangnya seketika berkelebat cepat bagai kilat, membabat dua orang lawan yang saat itu berada dekat di depannya. Begitu cepat kibasan pedangnya, hingga dua orang lawan tidak sempat lagi berkelit. Dan....
Bret!
Cras!
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat. Dan dua orang berpakaian serba merah itu langsung ambruk, dengan dada terbelah sangat lebar mengucurkan darah segar. Sementara, Adipati Wiyatala langsung melompat menghampiri orang-orang berbaju serba merah lainnya. Dengan pedang pusakanya, dia mengamuk. Pedangnya dibabatkan dengan kecepatan bagai kilat, dan sulit diikuti pandangan mata biasa. Jeritan-jeritan melengking tinggi pun semakin sering terdengar, ambruknya tubuh-tubuh berlumur darah yang sudah tidak bernyawa lagi akibat terbabat pedang Adipati Wiyatala.
Terjunnya Adipati Wiyatala ke dalam kancah pertarungan, membuat semangat Ki Jarukati, Paman Kabasan, dan prajurit-prajuritnya langsung bangkit. Dan mereka kini tidak lagi menghiraukan lawan yang jumlahnya lebih dari tiga kali lipat. Mereka terus bergerak, mencoba mendesak lawan keluar dari dalam benteng. Tapi dengan jumlah kekuatan yang tidak seimbang, tentu saja gerombolan orang berbaju merah menyala sulit diusir keluar. Bahkan mendesak saja terasa begitu sulit. Malah, para prajurit kadipaten itu sendiri yang terus saja terdesak mundur, sehingga mendekati bangunan istana yang megah ini.
"Aku lawanmu, Orang Tua...!"
Jlek!
"Ukh...?!" Ki Jarukati jadi terlenguh kaget, ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras yang ditujukan untuknya. Belum juga kagetnya hilang, tiba-tiba muncul seorang gadis cantik yang tadi menghancurkan pintu gerbang benteng istana ini dengan pedangnya. Ki Jarukati langsung menarik kakinya ke belakang dua langkah. Sementara, gadis itu sudah menyilangkan pedang di depan dada, dengan tatapan mata begitu tajam, bagai sepasang bola api.
"Hiyaaa...!" Tanpa banyak bicara lagi, gadis cantik itu langsung melompat, menerjang Ki Jarukati. Dan pedangnya cepat sekali berkelebat secara beruntun, bagai hendak mengurung ruang gerak laki-laki tua lawannya.
"Hup! Yeaaah...!" Namun dengan kelincahan yang begitu luar biasa, Ki Jarukati berhasil menghindarinya. Dan baru dalam dua jurus pertarungan berlangsung, Ki Jarukati sudah merasakan adanya aliran hawa panas yang begitu menyengat di sekitar tubuhnya. Hawa panas menyengat itu jelas sekali berasal dari pedang, di tangan gadis cantik berbaju serba merah menyala yang berkepandaian tinggi ini.
"Ugkh...!" Ki Jarukati kembali melenguh, saat dadanya terasa jadi sesak. Bahkan panas yang membakar, membuat kulitnya jadi pedih, hingga terasa sukar mengembangkan jurus dalam pertarungannya. Dan saat pertarungan memasuki jurus ke sebelas, tiba-tiba saja gadis cantik itu melenting ke atas, dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa. Lalu tahu-tahu, secercah cahaya putih keperakan sudah menyambar bagai kilat mengarah ke batok kepala orang tua ini.
"Haiiit..! Bet!"
Untung saja Ki Jarukati bisa cepat mengegoskan kepala cepat, hingga tebasan pedang gadis itu tidak sampai memecah kepalanya. Dan cepat-cepat orang tua itu menarik kakinya ke belakang dua langkah. Tapi, pada saat itu juga gadis cantik berbaju serba merah ini sudah cepat menggeser kakinya ke belakang, sambil merundukkan tubuhnya. Dan pada jarak yang hampir bersamaan, pedangnya dikebutkan ke arah kaki Paman Kabasan.
"Wut! Ikh...?!"
Ki Jarukati jadi terpekik kaget, ketika pedang di tangan gadis cantik lawannya tiba-tiba saja berkelebat begitu cepat mengarah pada kedua kakinya. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke atas. Tapi, tindakan itu yang justru diinginkan gadis ini. Maka dalam waktu sekejapan mata saja, gadis cantik ini sudah melesat cepat mengikuti Ki Jarukati. Dan saat itu juga, pedangnya berkelebat cepat bagai kilat.
Gerakan Ki Jarukati memang sudah kelihatan lebih lamban. Hingga, tebasan pedang yang dilakukan lawannya di udara ini tidak dapat dihindari lagi. Dan....
Cras!
"Kiii...!" Teriakan peringatan yang diberikan Adipati Wiyatala, tidak dapat lagi menyelamatkan orang tua ini. Pedang yang ditebaskan gadis cantik itu sudah merobek dada Ki Jarukati, hingga tedengar jeritan panjang melengking tinggi. Adipati Wiyatala sendiri tidak dapat lagi menolong, karena harus menghadapi pemimpin dari gerombolan liar ini.
Tampak Ki Jarukati terhuyung-huyung ke belakang, begitu kedua kakinya kembali menjejak tanah. Darah berhamburan keluar deras sekali dari dadanya yang terbelah begitu dalam dan lebar. Sementara, gadis cantik yang menjadi lawannya sudah berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Namun sebentar kemudian, tubuhnya sudah cepat mencelat kembali sambil mengebutkan pedangnya. Dan....
"Hih...!"
Bet!
Cras!
Tidak ada suara yang terdengar, saat pedang gadis itu membabat batang leher Ki Jarukati. Tampak orang tua itu hanya bisa terbeliak lebar, dengan mulut temganga. Namun tidak berapa lama kemudian tubuhya sudah limbung, lalu ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung mengucur deras dari leher yang sudah buntung tak berkepala lagi.
"Ha ha ha...!" Gadis cantik ini tertawa terbahak-bahak melihat lawannya tergeletak dengan kepala buntung. Kematian Ki Jarukati membuat para prajurit jadi berang setengah mati. Dan mereka langsung berlompatan menyerang. Tapi, gadis itu memang sulit ditandingi. Gerakan-gerakannya begitu cepat. Sehingga dalam waktu sebentar saja, tidak ada seorang prajurit pun yang bisa berdiri lagi. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, mereka sudah ambruk tidak bernyawa lagi.
"Perempuan setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
"Uptsh! Haiiit..!" Gadis cantik berbaju merah ketat dari bahan tipis itu segera melenting ke depan dan berputaran beberapa kali, ketika tiba-tiba saja terdengar bentakan begitu keras sekali dari arah belakangnya. Manis sekali kakinya menjejak tanah, dengan tubuh berbalik. Dan pada saat itu juga, terlihat Paman Kabasan melompat dengan kecepatan bagai kilat menerjang sambil mengayunkan pedang ke arah leher gadis cantik ini.
"Bet! Uptsh!"
Namun hanya mengegoskan kepala sedikit saja, ujung pedang itu lewat sedikit di depan teng-gorokan gadis cantik yang putih jenjang ini. Cepat kakinya ditarik kebelakang dua langkah. Kemudian cepat sekali dia melompat sedikit sambil mengayunkan satu tendangan keras menggelegar, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hih! Wut!"
Paman Kabasan tidak berusaha menghindari tendangan gadis itu sedikit pun juga. Bahkan tanpa diduga sama sekali, pedangnya dikibaskan berputar ke bawah, mencoba menebas kaki gadis ini.
"Ikh...?!" Gadis itu jadi terpekik kaget, sungguh tidak disangka kalau lawannya akan bertindak seperti itu. Cepat-cepat kakinya ditarik kembali, dan langsung dia melompat ke belakang tiga langkah. Tapi pada saat gadis itu menjejakkan kakinya kembali ke tanah, Paman Kabasan sudah melompat sambil membabatkan pedangnya dengan kecepatan kilat. Akibatnya gadis cantik berbaju merah yang belum siap menerima serangan secepat itu, tidak ada kesempatan lagi untuk berkelit. Tapi disaat mata pedang Paman Kabasan hampir menebas lehernya, mendadak saja....
"Tring! Heh...?!"
Paman Kabasan jadi kaget setengah mati, ketiba-tiba terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat disertai kilatan cahaya putih keperakkan yang menghantam pedangnya. Sehingga, kibasan pada leher gadis cantik ini jadi tidak tepat mencapai sasaran. Dan Paman Kabasan cepat-cepat melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya tiga kali di udara. Dan saat kedua kakinya menjejak tanah kembali, di depannya terlihat bukan hanya gadis cantik berbaju merah itu yang ada. Tapi, kini dia didampingi seorang pemuda tampan yang juga berbaju warna merah menyala.
"Berikan dia padaku, Worodini," pinta pemuda itu, tanpa memalingkan pandangan sedikit pun pada Paman Kabasan.
"Silakan, Kakang Priyada," sahut gadis cantik berbaju merah menyala yang bernama Worodini itu. "Tapi, hati-hatilah. Tampaknya dia cukup kuat."
Pemuda tampan yang ternyata Priyada hanya tersenyum sedikit mendengar peringatan Worodini. Kemudian kakinya terayun tiga langkah ke depan, mendekati Paman Kabasan yang sejak tadi sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Sementara di tempat lain, pertarungan antara prajurit Kadipaten Parunggungan melawan para penyerang masih terus berlangsung sengit, walaupun sudah terlihat jelas kemenangan akan diraih orang-orang berbaju serba merah.
Dan di saat Priyada sudah mulai menyerang Paman Kabasan, di tempat lain yang agak jauh letaknya, terlihat Adipati Wiyatala tengah bertarung sengit melawan seorang laki-laki tua yang sudah memutih semua jenggot dan rambutnya. Pertarungan itu tampak sudah menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi, yang begitu dahsyat. Sehingga beberapa kali, terdengar ledakan keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa, ketika pukulan mereka saling beradu.
Dan tampaknya pertarunggin juga sudah berjalan cukup panjang. Ini bisa terlihat dari keringat yang sudah membajiri sekujur tubuh mereka. Namun, tampaknya pertarungan masih akan terus berlangsung sengit. Dan sedikit pun belum terlihat adanya tanda-tanda kalau pertarungan bakal berakhir. Mereka sama-sama melancarkan serangan lewat jurus-jurus tingkat tinggi.
"Hup...!" Tiba-tiba saja laki-laki tua berjengot putih yang menutupi lehernya itu melompat ke belakang, keluar dari pertarungannya bersama adipati muda itu. Dan saat kedua kakinya baru saja menjejak tanah, dengan kecepatan bagai kilat tongkatnya dikebutkan ke depan sambil berteriak keras menggelegar.
"Yeaaa...!"
Slap!
Seketika itu juga, dari ujung tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya meluncur secercah cahaya merah bagai sebuah pijaran api yang meluruk deras kearah Adipati Wiyatala.
"Hup...!" Manis sekali Adipati Wiyatala menghindari serangan, dengan melenting ke atas. Beberapa kali dia melakukan putaran dengan gerakan manis sekali. Maka cahaya merah bagai api yang memancar dari ujung tongkat orang tua itu lewat hanya sedikit saja di bawah tubuh Adipati Wiyatala.
"Hiya! Yeaaah...!"
TIGA
Belum juga kedua kaki Adipati Wiyatala bisa menyentuh tanah, orang tua berjenggot putih panjang itu sudah berteriak lagi. Suaranya menggelegar bagai guntur, dengan tongkat dikebutkan ke depan beberapa kali. Seketika cahaya-cahaya merah berhamburan cepat menghujani adipati muda ini.
"Hup! Yeaaah...!" Sambil berteriak keras, Adipati Wiyatala cepat-cepat memutar tubuhnya. Dicobanya untuk menghindari serangan lawan yang sangat dahsyat dan berbahaya ini. Begitu indah dan cepat gerakan Adipati Wiyatala. Sehingga tidak satu serangan pun yang bisa menghantam tubuhnya.
Namun di saat Adipati Wiyatala tengah berjumpalitan di udara, mendadak saja laki-laki tua berjubah merah yang menjadi lawannya sudah melesat cepat bagai kilat. Dan saat itu juga, dilepaskannya satu pukulan lurus ke arah dada dengan tangan kiri.
"Yeaaah...!" Begitu cepat pukulan orang tua itu, sehingga Adipati Wiyatala tidak sempat lagi berkelit. Terlebih lagi, saat ini tengah disibuki serbuan cahaya-cahaya merah yang meluncur dari ujung tongkat lawannya.
Di saat Adipati Wiyatala tengah berjumpalitan di udara, orang tua itu langsung melepaskan satu pukulan lurus dengan tangan kirinya.
"Yeaaah...!" Begitu cepat pukulan itu, sehingga Adipati Wiyatala tidak sempat lagi berkelit. Dadanya langsung terhantam pukulan dahsyat yang dilepaskan lawan! Hingga....
"Diegkh! Aaakh...!"
Adipati Wiyatala kontan menjerit keras, begitu dadanya terkena pukulan dahsyat yang dilepaskan lawannya. Dan seketika itu juga, adipati berusia muda ini terpental cukup jauh ke belakang. Dan keras sekali tubuhnya menghantam tanah berumput yang lembab oleh embun bercampur darah ini. Beberapa kali Adipati Wiyatala bergelimpangan di tanah, namun cepat dia bisa melompat bangkit berdiri walau terhuyung-huyung. Kini dia merasakan dadanya sesak, seluruh tulangnya terasa remuk akibat pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi tadi.
Dan sebelum Adipati Wiyatala bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, orang tua berjubah merah itu sudah melompat cepat menerjangnya. Seketika itu pula satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan begitu cepat. Dan....
"Des! Aaakh...!"
Kembali Adipati Wiyatala terpekik keras agak tertahan, ketika tendangan kaki kanan lawannya tepat mendarat di dadanya kembali. Akibatnya, adipati itu kembali terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Lalu tubuhnya bergulingan beberapa kali di tanah, hingga tubuhnya menghantam sebatang pohon yang cukup besar di halaman Istana Kadipaten Parunggungan ini. Begitu kerasnya benturan tadi, hingga pohon yang lingkaran batangnya cukup besar itu, jadi hancur berkeping-keping. Dan pada saat itu juga, orang tua berjubah merah itu sudah cepat melompat lagi sambil mengeluarkan bentakan keras yang cukup menggetarkan jantung.
"Menyerahlah kau, Wiyatala...!" desis laki-laki tua berjubah merah itu. Seketika ujung tongkatnya yang runcing ditekan ke batang tenggorokan Adipati Wiyatala.
Tapi permintaan orang tua itu malah dijawab Adipati Wiyatala dengan sorot mata yang begitu tajam, seperti mata setan yang keluar dari api neraka. Begitu tajamnya, hingga membuat jantung orang tua itu jadi bergetar juga. Namun dia bisa menguasai dirinya kembali hingga tenang. Sedangkan di sekitarnya, pertarungan antara dua kelompok ini masih terus berlangsung sengit. Sementara Adipati Wiyatala sudah tidak bisa lagi berbuat sesuatu, karena ujung senjata berbentuk runcing itu sudah menempel di batang tenggorokannya.
Namun saat itu, seorang prajurit melihat ke arah Adipati Wiyatala yang sudah tidak berdaya. Dan tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung melompat ke belakang orang tua berjubah merah ini sambil berteriak keras menggelegar. Seketika pedangnya diayunkan kepunggung orang tua ini.
"Setan! Hih...!"
Bet!
Slap!
Crab!
"Aaa...!"
Prajurit itu tidak bisa lagi berkelit menghindar, ketika orang tua berjubah merah ini mengebutkan tangan kirinya ke belakang. Maka sebuah pisau kecil melesat begitu cepat dari balik lipatan lengan bajunya yang longgar, dan langsung menembus dada prajurit ini. Namun kesempatan yang sangat sedikit itu tidak disia-siakan Adipati Wiyatala. Di saat lawannya agak lengah, cepat sekali kepalanya ditarik ke belakang, dan langsung berputar cepat sekali sambil melepaskan satu tendangan menggeledek menggunakan kaki kanan. Begitu cepat tindakannya, hingga orang tua berjubah merah ini tidak sempat lagi menyadari. Dan....
Begkh!
"Akh...!"
"Hup...!"
Bersama terdorongnya tubuh orang tua itu ke belakang, Adipati Wiyatala cepat melompat ke belakang beberapa langkah. Tendangan yang dilepaskannya tadi, tepat menghantam perut orang tua ini, hingga terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan tubuh terbungkuk. Namun keseimbangan tubuhnya cepat bisa terkuasai. Dan sambil menggeram marah, orang tua berjubah merah itu langsung melompat menyerang Adipati Wiyatala.
"Haiiit..!" Adipati Wiyatala cepat-cepat melenting ke belakang sambil berputaran dua kali, menghindari sabetan tongkat lawannya. Namun begitu kakinya menjejak tanah, orang tua berjubah merah itu sudah kembali mengebutkan tongkatnya ke arah perut. Maka Adipati Wiyatala harus membungkukkan tubuhnya, menghindari sabetan ujung tongkat yang runcing itu. Dan pada saat itu juga, orang tua berjubah merah ini sudah melepaskan satu pukulan keras menggeledek bertenaga dalam tinggi dengan kecepatan kilat. Hingga....
"Plak! Akh...!"
Adipati Wiyatala yang tidak sempat lagi menarik kepalanya ke belakang. Dan dia harus merasakan kerasnya pukulan lawannya. Seketika dia menjerit keras dengan kepala terdongak ke belakang. Dan belum juga bisa berbuat sesuatu, orang tua berjubah merah itu sudah memberi satu pukulan lurus dengan tangan kiri. Begitu cepatnya pukulan itu, hingga Adipati Wiyatala tidak sempat lagi menghindarinya.
"Diegkh! Aaakh...!"
Kembali Adipati Wiyatala menjerita keras, dengan tubuh terpental deras ke belakang. Begitu keras tubuhnya terbanting di tanah, hingga keluar pekikan agak tertahan. Dan pada saat itu juga, orang tua berjubah merah ini sudah melompat menerkamnya. Langsung ujung tongkatnya yang runcing ditempelkan ke leher adipati itu.
"Hih!" Orang tua itu menyepakkan kakinya ke pedang di tangan Adipati Wiyatala, hingga terpental jauh. Sementara Adipati Wiyatala itu sendiri tetap telentang dengan leher tertekan ujung tongkat yang runcing. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Sementara, para prajuritnya sendiri sudah tidak berdaya lagi menghadapi serangan. Mereka benar-benar tidak dapat lagi bertahan. Satu persatu, mereka bertumbangan disertai jeritan menyayat yang melengking tinggi.
Adipati Wiyatala sempat melirik ke arah tubuh Ki Jarukati sudah tergeletak tidak bernyawa lagi digenangi darah. Sementara tidak jauh dari tubuh Ki Jarukati, terlihat Paman Kabasan. Dia juga tergeletak berlumur darah, dengan dada terinjak sebelah kaki Priyada. Pemuda itu tampak tertawa terbahak-bahak, bisa mengalahkan lawannya yang tangguh ini.
"Ayo bangun...!" bentak laki-laki tua berjubah merah.
Adipati Wiyatala tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Terpaksa perintah itu diikuti. Dengan masih menahan rasa sakit dan sesak yang menyelimuti dada, Adipati Wiyatala mencoba bangkit berdiri. Saat itu, dia melihat seorang gadis berbaju merah yang dengan ganasnya membantai para prajurit. Padahal para prajurit sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Pedang di tangan gadis itu berkelebatan begitu cepat membuat para prajurit tidak mampu lagi menghadangnya.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus terdengar saling sambut memilukan hati. Sementara, Adipati Wiyatala tidak dapat berbuat apa-apa. Hingga dalam waktu tidak begitu lama, semua prajuritnya sudah tidak ada lagi yang bisa berdiri tegak. Mereka bergelimpangan saling tumpang tindih dengan darah menggenangi tubuhnya. Tidak ada lagi seorang pun prajurit yang tersisa.
********************
Kadipaten Parunggungan benar-benar jatuh. Kota kadipaten yang semula ramai dan tenteram, kini menjadi kota mati setelah jatuh ke tangan gerombolan liar yang dipimpin Ki Warungkul, yang dibantu dua orang anaknya. Merekalah yang kini menguasai bangunan istana kadipaten itu, sekaligus menjadikan Adipati Wiyatala sebagai tawanan. Laki-laki tua berjubah merah yang sudah memutih semua rambut dan jenggotnya itu memerintah orang-orangnya untuk mengejar keluarga adipati yang sempat melarikan diri bersama Paman Rondowungu dan tiga puluh orang prajurit, serta seluruh rakyat kadipaten ini yang juga bisa melarikan diri melalui jalan rahasia.
Sementara itu, rombongan yang dipimpin Paman Rondowungu, salah seorang kepercayaan Adipati Wiyatala, sudah jauh meninggalkan wilayah Kadipaten Parunggungan. Mereka beristirahat di dalam hutan yang tidak begitu lebat di tepi sebuah telaga. Sebuah telaga yang berair sangat jernih, memantulkan cahaya bulan bagai taburan mutiara di permukaan telaga.
"Hamba rasa, tempat ini cukup aman untuk melepas lelah, Gusti Nyai Winarsih," kata Paman Rondowungu.
Wanita berparas cantik itu tidak menjawab. Dia kini duduk di atas sebatang pohon kayu tumbang sambil memeluk putranya yang masih berusia tiga tahun. Pandangannya segera beredar ke sekeliling, merayapi tiga puluh orang prajurit yang tampak kelelahan, dua hari dua malam melakukan perjalanan tanpa istirahat. Bahkan kuda-kuda mereka juga sudah kelihatan begitu lelah, sehingga harus beristirahat untuk menyegarkan diri kembali. Istri Adipati Wiyatala yang bernama Nyai Winarsih itu kini memandangi putra tunggalnya dengan mata berkaca-kaca.
"Apa tidak ada yang membawa tenda, Paman?" tanya Nyai Winarsih dengan suara pelan dan sendu.
"Tidak, Gusti. Perbekalan pun kami tidak sempat membawanya,'' sahut Paman Rondowungu.
"Hhh...," desah Nyai Winarsih panjang.
Dua hari dalam perjalanan yang sangat sulit ini memang begitu terasa. Seakan-akan, mereka sudah melakukan perjalanan dua tahun lamanya. Keadaanlah yang memaksa mereka untuk tidak membawa perbekalan sedikit pun. Dan selama ini, mereka bisa makan apa saja yang bisa didapatkan dalam perjalanan. Nyai Winarsih sendiri merasakan tubuhnya begitu penat dan kotor. Selama dua hari ini tidak setitik air pun yang menyentuh tubuhnya. Bahkan putranya sendiri kelihatan begitu letih, tertidur dalam pangkuannya.
"Ke mana tujuan kita sekarang, Paman?" tanya Nyai Winarsih masih dengan suara begitu pelan dan lirih.
Paman Rondowungu tidak langsung memberi jawaban. Dia sendiri belum bisa memastikan, ke mana tujuannya. Hanya ada satu dalam benaknya, meninggalkan Kadipaten Parunggungan sejauh-jauhnya untuk menghindari kejaran gerombolan liar yang diperkirakan tentu sudah menguasai wilayah kadipaten sekarang.
"Gusti Rondowungu...."
Paman Rondowungu langsung berpaling, ketika mendengar suara panggilan dari belakang. Tampak seorang prajurit muda tahu-tahu sudah berada di belakangnya. Tubuhnya membungkuk memberi hormat sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung. Paman Rondowungu berbalik.
"Ada apa, Kaliga?" tanya Paman Rondowungu.
"Ampun, Gusti. Kalau boleh ikut bicara, hamba mempunyai usul yang mungkin bisa diterima," jelas prajurit muda yang dipanggil Kaliga itu dengan sikap sangat hormat.
"Hm.... Apa usulmu, Kaliga?" selak Nyai Winarsih.
"Ampun, Gusti. Hamba sebenarnya bukan orang asli dari Kadipaten Parunggungan. Hamba datang ke kota kadipaten, dan mencari pekerjaan menjadi prajurit dengan bekal yang dimiliki. Dan sebenarnya pula, hamba berasal dari sebuah kerajaan kecil yang berada di wilayah kulon. Di sana hamba, hanya rakyat jelata. Tapi terus terang saja, sampai saat ini hamba masih mengagumi raja di sana," kata Kaliga, menjelaskan tentang dirinya lebih dahulu.
"Hm.... Lalu, apa saranmu?" tanya Paman Rondowungu.
"Begini, Gusti. Hamba tahu kalau kerajaan itu dipimpin seorang raja muda yang gagah perkasa. Kesaktiannya begitu sukar dicari tandingannya. Dan beliau juga seorang pendekar muda digdaya. Hamba tahu, raja itu sangat bermurah hati dan ringan tangan untuk membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Jadi menurut hamba, alangkah baiknya kalau kita pergi ke sana untuk meminta bantuan. Barangkali saja, raja agung itu bisa membantu membebaskan Kadipaten Parunggungan dari mereka," jelas Kaliga.
Paman Rondowungu tidak langsung menanggapi. Dia terdiam, lalu berpaling pada Nyai Winarsih. Dan wanita cantik itu hanya mengangguk saja. Bagi dirinya usul apa pun yang dirasakan baik, akan selalu diterima pada saat seperti sekarang ini.
"Apa nama kerajaan itu, Kaliga?" tanya Paman Rondowungu, setelah terdiam beberapa saat.
"Karang Setra, Gusti," sahut Kaliga.
"Dan nama rajanya?"
"Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Dan mungkin Gusti Rondowungu sudah pernah mendengar julukannya. Dialah yang disebut Pendekar Rajawali Sakti."
"Siapa...?!" Paman Rondowungu jadi tersentak kaget setengah mati, ketika mendengar Pendekar Rajawali Sakti disebut. Bagi telinganya, nama itu tidak asing lagi. Sudah sering nama Pendekar Rajawali Sakti didengarnya. Dan memang, pendekar itu selalu menjadi buah bibir di kalangan orang-orang persilatan. Dia sendiri yang selalu mengikuti perkembangan dunia persilatan, sudah barang tentu sering mendengar nama pendekar muda yang sangat digdaya dan sukar dicari tandingannya saat ini.
Paman Rondowungu juga pernah mendengar kalau pendekar itu juga memiliki seekor burung rajawali raksasa yang menjadi tunggangannya, selain seekor kuda hitam yang bukan seekor kuda biasa. Tapi, Paman Rondowungu sama sekali tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti ternyata Raja Karang Setra. Dan dia juga tahu, Kerajaan Karang Setra adalah sebuah kerajaan kecil, tapi sangat makmur dan damai kehidupannya. Juga sangat kuat dalam pertahanannya.
Kerajaan Karang Setra bukan hanya terkenal keindahan alamnya saja. Tapi, para ksatrianya yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi juga terkenal. Sulit bagi kerajaan mana pun juga untuk bisa menggempurnya. Karena, wilayah kerajaan itu dikelilingi para ksatria berkepandaian tinggi. Dan lagi, para prajuritnya juga memiliki kepandaian bertempur yang sukar ditandingi kerajaan lain.
"Kau sudah mengenalnya, Kaliga...?" tanya Paman Rondowungu setelah beberapa saat membisu.
"Belum, Gusti. Melihat pun hamba belum pernah," sahut Kaliga berterus terang.
"Lalu, bagaimana kau bisa menemuinya?"
"Hamba sering mendengar kalau Gusti Prabu Rangga tidak pernah menolak siapa saja yang ingin bertemu. Dan para abdinya juga sangat ramah. Mereka mengizinkan siapa saja yang ingin bertemu rajanya. Apalagi, kalau orang yang datang dari jauh dengan maksud meminta pertolongan. Tidak akan ada rintangan di sana, Gusti," jelas Kaliga.
"Hm...." Paman Rondowungu kembali terdiam. Dia sendiri memang sering mendengar akan sepak terjang Raja Karang Setra yang juga seorang pendekar digdaya itu. Tapi, sampai saat ini memang belum pernah bertemu orangnya. Hanya namanya saja yang sering didengarnya.
"Hamba yakin, Gusti Prabu Rangga akan membantu kita merebut kembali Kadipaten Parunggungan," kata Kaliga menyambung dengan suara mantap.
"Tapi sangat jauh dari sini, Kaliga," kata Paman Rondowungu. "Paling tidak membutuhkan lebih dari dua pekan perjalanan dengan berkuda."
"Hamba sanggup datang sendiri ke sana sebagai utusan kalau memang diizinkan, Gusti," Kaliga langsung menawarkan diri.
"Ah...," desah Paman Rondowungu panjang. Sulit bagi Paman Rondowungu untuk memutuskan persoalan ini seorang diri. Dia tahu, prajuritnya yang satu ini memiliki tekad dan keberanian yang tidak dimiliki prajurit lainnya. Darah para ksatria Karang Setra rupanya terus mengalir dalam tubuhnya. Darah seorang ksatria yang gagah berani dan setia pada junjungan.
"Dengan berkuda tanpa henti, hamba bisa menempuhnya dalam waktu empat hari empat malam, Gusti," tegas Kaliga lagi.
"Tapi kudamu akan mati sesampainya di sana, Kaliga," selak Nyai Winarsih. "Dan kau juga akan kehabisan tenaga. Aku tidak ingin kau korbankan diri hanya untukku."
"Untuk kejayaan Kadipaten Parunggungan, Gusti Putri," tegas Kaliga mantap.
"Oh.... Kau memang seorang prajurit sejati, Kaliga," desah Nyai Winarsih terharu.
"Izinkan hamba pergi sekarang juga, Gusti. Hamba akan kembali dengan membawa bala bantuan, untuk merebut kembali Kadipaten Parunggungan," kata Kaliga lagi, bernada mendesak.
Sementara Nyai Winarsih dan Paman Rondowungu hanya diam saja dengan kelopak mata berkaca-kaca. Sulit bagi mereka untuk bisa memutuskan. Apalagi, melepas kepergian seorang prajurit sejati seperti Kaliga yang akan menempuh perjalanan jauh dan sulit seorang diri. Walaupun, tekad itu begitu membara dalam hati prajurit muda ini.
"Izinkan hamba, Gusti. Hamba berjanji, akan kembali lagi dengan membawa bala bantuan dari Karang Setra," desak Kaliga lagi.
Paman Rondowungu masih saja terdiam membisu. Sedangkan Nyai Winarsih juga tidak bisa lagi bersuara. Mereka terdiam, tidak dapat memutuskan keinginan prajurit muda itu. Terasa begitu berat bagi mereka untuk mengizinkan Kaliga pergi ke Karang Setra, menempuh perjalanan panjang dan begitu sulit. Belum lagi kalau mendapat rintangan di tengah jalan. Maka sudah barang tentu akan semakin sulit bagi Kaliga untuk bisa sampai di Karang Setra dalam waktu empat hari. Sedangkan kalau mereka pergi bersama-sama, akan memakan waktu lebih dari dua pekan. Dan yang pasti, akan banyak pula rintangan yang bakal dihadapi di perjalanan. Malah bukan tidak mungkin, sebagian besar prajurit tidak akan bisa sampai ke Karang Setra dalam keadaan seperti ini.
Terlebih lagi, Paman Rondowungu juga memikirkan Nyai Winarsih dan putranya yang masih teramat kecil ini. Sudah barang tentu mereka tidak akan bisa bertahan dalam menempuh perjalanan sejauh itu. Baru dua hari saja, mereka sudah kelihatan begitu lelah. Bahkan rasanya sulit untuk bisa meneruskan perjalanan kembali.
Memang, hanya ada satu jalan untuk mereka semua. Mengizinkan Kaliga pergi ke Karang Setra untuk merninta bantuan, dan menunggunya dalam hutan ini. Atau mengambil satu bahaya yang teramat besar, dengan menempuh perjalanan ke Karang Setra bersama-sama. Sedangkan hutan ini, tampaknya tidak akan terjangkau lagi dari gerombolan liar pimpinan Ki Warungkul. Dan kalaupun ada yang mengejar, mereka tentu masih bisa bertahan selama Kaliga pergi ke Karang Setra meminta bantuan.
"Hhh...," terasa panjang dan begitu berat Paman Rondowungu menghembuskan napas.
Laki-laki itu berpaling sedikit ke belakang, menatap Nyai Winarsih yang juga tengah memandang padanya. Sesaat mereka saling berpandangan, dengan sinar mata begitu redup. Dan Paman Rondowungu kembali menatap Kaliga yang masih menunggu keputusan atas permintaannya tadi.
"Baiklah, Kaliga. Aku izinkan kau pergi. Tapi, sebaiknya berangkat besok pagi saja, saat fajar datang," kata Paman Rondowungu memutuskan juga.
"Terima kasih, Gusti. Hamba akan mempersiapkan diri sekarang juga," sahut Kaliga seraya memberi sembah hormat.
Paman Rondowungu menganggukkan kepala sedikit. Dan Kaliga bergegas meninggalkannya, kembali bergabung bersama prajurit lain yang duduk melingkari sebuah api unggun. Sedangkan Paman Rondowungu kembali duduk di depan Nyai Winarsih yang sejak tadi tetap saja duduk diatas sebatang pohon tumbang itu.
"Maafkan aku, Gusti. Aku mengambil keputusan tanpa meminta izin teriebih dahulu," ujar Paman Rondowungu.
"Keputusanmu sangat bijaksana, Paman. Kita semua memang tidak mungkin menempuh perjalanan sejauh itu bersama-sama. Dan lagi, aku terus memikirkan nasib Kakang Wiyatala dan lain," kata Nyai Winarsih.
"Mudah-mudahan saja mereka semua masih bisa bertahan, Gusti," desah Paman Rondowungu.
"Ya...," desah Nyai Winarsih perlahan.
Dan mereka kembali terdiam, dengan pikiran masing-masing yang bergayut dalam benak. Suasana pun terasa begitu sunyi. Angin yang berhembus malam ini terasa begitu dingin, hingga menusuk tulang. Nyai Winarsih bangkit berdiri, lalu melangkah mendekati api unggun sambil menggendong putranya yang sudah terlelap sejak tadi. Paman Rondowungu mendampingi dari belakang. Beberapa prajurit menyingkir, memberi tempat pada istri Adipati Parunggungan. Kemudian dua orang prajurit menggelar selembar kulit binatang untuk tempat wanita itu beristirahat di dekat api unggun yang bisa menghangatkan tubuhnya.
Tidak ada seorang pun yang bersuara. Beberapa prajurit sudah terlihat lelap dalam tidur. Mereka memang kelelahan sekali, setelah menempuh perjalanan panjang selama dua hari tanpa berhenti. Paman Rondowungu sendiri sengaja tidak memerintahkan prajurit untuk menjaga. Disadari betul kalau prajurit-prajuritnya ini membutuhkan waktu untuk beristirahat.
********************
EMPAT
Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru menampakkan cahayanya di ufuk timur, Kaliga sudah pergi meninggalkan rombongan dari Kadipaten Parunggungan ini menuju Karang Setra. Kudanya digebah dengan kecepatan tinggi, begitu Paman Rondowungu memberi restu. Tidak ada seorang prajurit pun yang mendampinginya. Kaliga memang memilih untuk pergi seorang diri, agar lebih cepat tiba ke Karang Setra.
Sementara Paman Rondowungu sudah memutuskan untuk tetap berada di dalam hutan ini, sampai bantuan yang diminta Kaliga dari Karang Setra datang. Dan prajuritnya diperintahkan membuat sebuah pondok sementara, untuk tempat tinggal Gusti Putri Nyai Winarsih dan putranya yang masih kecil.
Kaliga terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, seperti dikejar setan. Tidak dipedulikan hutan yang semakin rapat dan sulit diikuti. Kudanya terus saja digebah agar tetap beriari cepat. Hingga matahari berada di atas kepala, Kaliga terus menembus hutan yang lebat ini. Tapi lari kudanya terpaksa dihentikan, ketika sebuah-sungai besar menghadang jalannya di depan. Sungai yang mengalir sangat deras ini tidak mungkin dilalui lagi. Kaliga mengedarkan pandangan berkeliling. Tidak ada sebuah rakit pun di tepi sungai yang sangat besar dan berada di tengah-tengah hutan ini.
"Kau akan menyeberang, Anak Muda...?"
"Heh...?!" Kaliga tiba-tiba saja tersentak kaget, ketika terdengar suara menegurnya dari arah belakang. Sebuah suara yang sangat berat terdengarnya. Cepat tubuhnya berbalik. Entah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu sudah ada seorang laki-laki tua bertubuh gemuk yang tidak berbaju di tempat ini. Dia hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut, dengan sebuah kain sarung lusuh melilit di pinggang. Begitu gemuknya, hingga lehernya seperti menghilang tertutup kulit wajahnya.
"Oh..., iya. Aku memang akan menyeberang. Tapi, tidak ada rakit di sini," kata Kaliga tergagap.
"Aku rasa, kau bisa menyeberangi sungai ini tanpa membutuhkan rakit," kata orang tua bertubuh gemuk itu.
Kaliga jadi berkerut keningnya. Dipandanginya orang tua bertubuh gemuk di depannya dengan kelopak mata agak menyipit. Tapi yang dipandangi kelihatan tersenyum. Sebuah senyum lebar, seperti seorang bocah. Walaupun sudah berusia lanjut, tapi wajah bulat orang ini seperti wajah seorang anak berumur tujuh tahun saja. Dan senyumnya, juga seperti senyum seorang bocah.
"Siapa kau, Ki...?" tanya Kaliga jadi ingin tahu.
"Semua orang menyebutku si Tua Bermuka Bocah. Tapi, sebenarnya aku lebih senang kalau dipanggil Ki Bancak. Karena, itulah namaku yang sebenarnya," sahut laki-laki gemuk itu memperkenalkan diri. "Dan kau sendiri siapa...?"
"Namaku Kaliga."
"Kau memakai seragam prajurit. Apa memang seorang prajurit..?" tanya Ki Bancak, sambil memperhatikan Kaliga dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Ya.... Aku memang seorang prajurit Ki. Aku prajurit dari Kadipaten Parunggungan."
"Hm...," Ki Bancak menggumam dengan kepala terangguk beberapa kali.
Sedangkan Kaliga diam saja, memandangi orang tua yang bernama Ki Bancak yang berjuluk si Tua Bermuka Bocah itu. Memang cocok sekali julukan itu. Karena, wajah orang tua ini seperti wajah seorang anak-anak saja.
"Kau seperti baru saja menempuh perjalanan jauh. Kalau boleh tahu, ke mana tujuanmu, Anak Muda?" tanya Ki Bancak setelah mengamati pemuda di depannya beberapa saat.
"Ke Karang Setra," sahut Kaliga berterus terang.
"Mau apa ke sana?"
"Meminta bantuan pada Gusti Prabu Rangga," lagi-lagi Kaliga menjawab terus terang.
"Meminta bantuan...?"
"Ya.... Saat ini, mungkin Kadipaten Parunggungan sudah dikuasai gerombolan liar itu, Ki. Aku bersama Gusti Putri Nyai Winarsih sedang mengungsi. Tapi, mereka kutinggalkan di tepi telaga. Mereka tidak kuat lagi untuk terus berjalan. Jadi, aku memutuskan untuk pergi sendiri ke Karang Setra, sementara mereka menunggu di tepi telaga," jelas Kaliga.
"Gerombolan apa yang mengacau Kadipaten Parunggungan?" tanya Ki Bancak.
"Aku tidak tahu, Ki. Bahkan aku juga tidak tahu, dari mana mereka datang. Dalam beberapa hari saja, mereka sudah menguasai seluruh wilayah kadipaten. Dan puncaknya, mereka menyerang istana. Gusti Adipati Wiyatala sendiri yang memberi perintah pada Gusti Rondowungu untuk membawa keluarganya mengungsi. Sedangkan Gusti Adipati Wiyatala sendiri bersama prajurit lain berusaha mempertahankan istana."
"Sudah berapa hari kau meninggalkan Kadipaten Parunggungan?"
"Tiga hari ini, Ki."
"Hm.... Tentu sudah banyak perubahannya," gumam Ki Bancak pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Ya.... Aku juga cemas akan keselamatan Gusti Adipati Wiyatala, Ki."
"Dengar, Anak Muda. Aku hanya ingin memberitahumu saja. Saat ini, orang yang kau cari tidak ada di Karang Setra. Dan kau akan mendapatkan kekecewaan saja kalau memaksa pergi kesana. Dan lagi, orang-orang di Istana Karang Setra tidak akan bisa mengirimkan bantuan tanpa mendapat persetujuan dari rajanya. Sedangkan raja mereka sendiri, sekarang ini sedang mengembara," jelas Ki Bancak.
"Lalu, apa yang harus kulakukan, Ki? Aku harus bisa mendapatkan bantuan sebelum mereka bisa menemukan Nyai Winarsih dan yang lain."
"Kalau kau ingin meminta bantuan, sebaiknya pergi saja ke hulu sungai ini. Nanti kau akan bertemu Desa Batang Hulu. Di sana kau bisa bertemu orang yang dimaksud," kata Ki Bancak memberitahu lagi.
"Gusti Prabu Rangga maksudmu, Ki...?"
"Benar. Tapi, jangan memanggilnya dengan sebutan itu lagi."
"Kenapa, Ki...?"
"Dia tidak suka disebut dengan panggilan Gusti Prabu dalam pengembaraannya. Dan dia lebih senang bila dipanggil nama saja. Kalau nanti sudah bertemu, dia kau panggil, Rangga. Jangan bersikap seperti menghadap seorang raja. Rangga tidak seperti raja-raja lainnya. Dia selalu menganggap orang biasa, kalau sedang mengembara. Pergilah ke Desa Batang Hulu. Aku rasa, Rangga sendiri pun sudah bisa mengusir mereka dari Istana Kadipaten Parunggungan.
"Tampaknya kau begitu kenal dengannya, Ki. Apa kau pernah bertemu?" tanya Kaliga jadi tertarik pada orang tua bertubuh gemuk yang wajahnya seperti anak-anak ini.
Tapi, Ki Bancak hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan itu. Kemudian tubuhnya berbalik dan melangkah hendak meninggalkan prajurit muda itu. Tapi baru beberapa langkah berjalan, Kaliga sudah memanggilnya. Bergegas Kaliga melangkah mengejar, dan berdiri di depan orang tua bertubuh gemuk ini seperti ingin mencegah kepergiannya.
"Sebentar, Ki. Ada yang ingin kutanyakan padamu," kata Kaliga dengan sopan.
"Apa...?"
"Bisa kau tunjukkan, seperti apa Pendekar Rajawali Sakti itu, Ki...?" tanya Kaliga langsung. "Masalahnya, aku belum pernah berjumpa. Dan aku tidak tahu, seperti apa rupanya."
"Mungkin seusia denganmu. Tapi, tubuhnya lebih tinggi dan tegap. Dan dia selalu memakai baju putih tanpa lengan, dengan dada terbuka. Di punggungnya, tersampir sebilah pedang bergagang kepala burung. Dan keberadaannya selalu didampingi kekasihnya yang bernama Pandan Wangi."
"Terima kasih, Ki."
"Hm...."
"Kau sendiri hendak ke mana, Ki?" tanya Kaliga sopan.
"Ke mana saja kakiku melangkah. Aku pengembara yang tidak punya tujuan pasti," sahut Ki Bancak seenaknya.
"Kalau begitu, kuucapkan terima kasih," ucap Kaliga seraya membungkuk memberi hormat.
Namun ketika prajurit muda itu menegakkan tubuhnya kembali, seketika kedua bola matanya jadi terbeliak dengan mulut ternganga lebar. Orang tua bertubuh gemuk yang dikenal berjuluk si Tua Bermuka Bocah itu tahu-tahu sudah tidak ada lagi di depannya. Entah kapan perginya, hingga Kaliga tidak dapat mengetahuinya sedikit pun juga.
"Hebat... Tentu tingkat kepandaiannya sudah tinggi sekali...," gumam. Kaliga, memuji dengan kagum.
Kaliga tidak mau lagi memikirkan orang tua yang sangat baik itu. Bergegas kudanya yang sedang melepas dahaga di tepi sungai ini dihampiri. Dengan gerakan melompat yang indah, Kaliga langsung melompat naik ke punggung kudanya. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, kudanya langsung digebah menuju hulu sungai, seperti yang ditunjukkan si Tua Bermuka Bocah tadi.
Kaliga terus memacu cepat kudanya, menyusuri tepian sungai ini. Dia tidak tahu kalau sebenarnya Ki Bancak terus mengawasinya dari atas dahan sebuah pohon yang cukup tinggi. Orang tua bermuka seperti anak-anak itu, baru turun dari atas pohon itu, setelah Kaliga tidak terlihat lagi dari pandangannya.
"Hm.... Prajurit muda yang baik. Mudah-mudahan saja dia masih bisa menemukan Pendekar Rajawali Sakti di sana. Ah...! Sebaiknya aku mencoba saja pergi ke Kadipaten Parunggungan. Aku ingin tahu, seperti apa keadaan di sana, sampai prajurit muda itu nekat hendak meminta bantuan ke Karang Setra," gumam Ki Bancak dalam hati.
********************
Matahari sudah hampir menenggelamkan diri di balik bukit sebelah barat, ketika Kaliga baru saja sampai di Desa Batang Hulu. Sebuah desa yang berdiri dipinggiran sungai besar yang mengalir tenang. Dan tampaknya, penduduk di desa ini hidup dari hasil menangkap ikan. Begitu banyak perahu tertambat di tepi sungai. Dan jala-jala yang bertebaran, terjemur agar bisa dipakai lagi malam nanti untuk mencari ikan. Kaliga memperlambat lari kudanya, setelah memasuki desa ini. Dan kini kudanya dijalankan perlahan-lahan.
"Hop...!" Kaliga menghentikan langkah kaki kudanya, ketika melihat seorang laki-laki tua berjalan dari depan menuju ke arahnya. Dia segera melompat turun, dan melangkah sambil menuntun kuda tunggangannya. Kaliga langsung berhenti melangkah, begitu laki-laki tua yang membawa jala di punggungnya dekat di depannya. Cepat Kaliga membungkukkan tubuhnya sedikit, sambil memberi salam. Dan orang tua itu membalasnya dengan ramah.
"Maaf, Ki. Boleh bertanya sedikit...?" ujar Kaliga sopan.
"Silakan, Anak Muda," sahut orang tua itu, juga ramah.
"Apakah kau melihat dua orang pendatang di desa ini? Seorang pemuda seusiaku dan seorang gadis, Ki...?" tanya Kaliga langsung.
"Pendatang...?" orang tua itu malah balik bertanya dengan kening berkerut.
"Benar, Ki."
"Rasanya, tidak ada seorang pendatang yang masuk ke desa ini dalam beberapa hari," jelas orang tua itu.
"Tidak ada, Ki...?" Kaliga ingin memastikan.
"Benar, Anak Muda. Tidak ada seorang pun pendatang di desa ini. Malah baru kau saja yang datang sekarang."
"Hm...," Kaliga jadi menggumam dengan kening berkerut. Prajurit ini jadi teringat kata-kata Ki Bancak yang menyuruhnya ke desa ini. Katanya juga, dia akan bertemu Pendekar Rajawali Sakti di desa ini. Tapi, orang tua itu mengatakan kalau tidak ada seorang pun yang datang ke desa ini. Kaliga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
"Siapa yang kau cari itu, Anak Muda? Apa dia saudaramu...?" tanya orang tua yang tidak berbaju ini, membangunkan lamunan Kaliga.
"Benar, Ki. Sudah lama mereka meninggalkan rumah. Aku disuruh ayahku untuk mencarinya," sahut Kaliga, sedikit berdusta.
"Sebaiknya kau cari saja, Anak Muda. Mungkin memang ada di sini, dan aku tidak tahu. Maklum? aku selalu sibuk disungai mencari ikan."
"Terima kasih, Ki," ucap Kaliga. Setelah tubuhnya membungkuk memberi hormat, Kaliga segera mengayunkan kakinya sambil menuntun kudanya, menyusuri jalan tanah berdebu ini. Sementara, matahari semakin tenggelam di kaki langit sebelah barat. Cahayanya tidak lagi terik seperti siang tadi. Kaliga terus berjalan perlahan-lahan dengan kepala penuh diselimuti berbagai macam pikiran dan pertanyaan. Mungkinkah Ki Bancak mendustainya? Tapi, untuk apa...? Kaliga terus bertanya-tanya dalam hati.
Hingga tanpa terasa, prajurit itu sudah berada di luar Desa Batang Hulu ini. Ayunan kakinya segera dihentikan. Dan tubuhnya langsung berbalik sambil melepaskan tali kekang kudanya. Kuda coklat dengan keempat kakinya berwarna putih itu melenggang, mendekati rerumputan yang tumbuh di pinggir jalan ini. Binatang itu langsung merumput di sana, mengisi perutnya yang sudah kosong. Sementara, Kaliga berdiri mematung memandang ke arah Desa Batang Hulu yang sudah mulai kelihatan sepi. Tampak rumah-rumah di sana sudah mulai menyalakan pelita. Sebentar lagi, malam akan datang menyelimuti desa ini. Sementara Kaliga belum juga bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti yang katanya ada di desa ini.
"Ah...! Kenapa aku tidak menyeberang saja dari desa ini? Aku rasa, ada sampan yang bisa kusewa untuk menyeberang. Aku bisa langsung menuju Karang Setra," gumam Kaliga.
Prajurit muda itu bergegas menghampiri kudanya yang masih merumput. Dan Kaliga segera melompat naik ke punggung kudanya. Tapi baru saja akan menggebahnya, tiba-tiba saja dari arah desa terlihat dua orang penunggang kuda menuju ke arahnya. Kaliga jadi mengurungkan niatnya untuk meninggalkan desa itu dan menyeberangi sungai. Ditunggunya sampai kuda penunggang kuda itu dekat. Walaupun keadaan sudah mulai temaram, tapi Kaliga masih bisa melihat jelas, kalau kedua penunggang kuda itu adalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik. Dan dari pakaian yang dikenakan itu, Kaliga langsung menduga kalau pemuda yang berbaju putih tanpa lengan dengan sebilah gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari punggung itu adalah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hus...!" Kaliga segera menghentakkan tali kekang kudanya, menghampiri kedua penunggang kuda itu. Dan dia segera melompat turun, begitu dekat di depannya. Kini Kaliga berdiri tegak dengan sikap menghadang, membuat kedua penunggang kuda itu langsung menghentikan langkah kudanya.
Pemuda berbaju putih tanpa lengan yang menunggang kuda hitam itu segera melompat turun, diikuti gadis cantik yang berkuda bersamanya. Dan mereka pun saling berhadapan tanpa bersuara. Sementara Kaliga segera membungkukkan tubuhnya, sambil mengucapkan salam. Kedua orang di depannya ini segera menyambutnya dengan ramah.
"Maaf, Kisanak. Apa maksudmu menghadang perjalanan kami?" tegur pemuda berbaju rompi putih itu dengan nada suara sopan.
"Kaukah yang bernama Rangga...?" Kaliga langsung saja melontarkan pertanyaan, tanpa menjawab pertanyaan pemuda berbaju rompi putih itu tadi.
"Benar," sahut pemuda berbaju rompi putih itu dengan kening sedikit berkemt.
Pemuda berbaju rompi putih memang Rangga, yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis cantik berbaju biru yang bersamanya tidak lain Pandan Wangi, yang dikenal dengan si Kipas Maut. Karena, dia memang selalu membawa sebuah kipas putih yang digunakan sebagai senjata.
"Ah! Kalau begitu, kebetulan sekali. Aku memang sedang mencarimu...," ujar Kaliga, langsung cerah wajahnya.
"Ada apa kau mencariku, Kisanak?" tanya Rangga, tampak heran.
"Aku bernama Kaliga, seorang prajurit dari Kadipaten Parunggungan. Aku sengaja mencarimu untuk meminta bantuan. Dan sebenarnya, aku ingin ke Karang Setra. Tapi, seseorang memberitahu kalau aku bisa bertemu denganmu di Desa Batang Hulu ini," jelas Kaliga, langsung.
"Hm.... Pertolongan apa yang kau inginkan dariku?" tanya Rangga dengan suara menggumam.
"Mengusir gerombolan liar dari Kadipaten Parunggungan. Mungkin mereka sekarang sudah menguasai istana...," sahut Kaliga.
Dan tanpa diminta lagi, Kaliga langsung menceritakan semua yang telah terjadi diKadipaten Parunggungan. Sementara, Rangga mendengarkan dengan kening berkerut. Sampai Kaliga selesai bercerita, Pendekar Rajawali Sakti masih saja diam dengan kelopak mata agak menyipit. Matanya segera melirik sedikit pada Pandan Wangi yang berdiri di sebelahnya. Gadis itu juga diam saja, memandangi Kaliga yang kini sudah terdiam.
"Di mana rombongan yang membawa istri adipati itu sekarang?" tanya Rangga, setelah beberapa saat terdiam membisu.
"Di tepi telaga, di tengah-tengah hutan," sahut Kaliga.
"Apa tidak ada yang mengejar?"
"Aku tidak tahu, karena langsung memisahkan diri. Tapi aku rasa mereka masih berada di sana, menungguku datang dengan membawa bantuan prajurit dari Karang Setra," sahut Kaliga.
Rangga kembali terdiam. Dan ditatapnya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja membisu.
"Baiklah, Kisanak. Aku akan melihat keadaan sekitar Kadipaten Parunggungan dulu. Kalau memang perlu mengerahkan prajurit, biar Pandan Wangi yang akan pergi ke Karang Setra meminta prajurit di sana," ujar Rangga.
"Oh.... Terima kasih, Gusti...," ucap Kaliga, langsung menjatuhkan diri berlutut di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ah, sudahlah.... Tidak perlu kau bersikap seperti itu. Sebaiknya, kembali saja pada rombonganmu. Kalau memang tempat itu aman, sebaiknya tetap di sana," ujar Rangga lagi sambil membangunkan prajurit muda itu.
"Aku akan segera memberi tahu Gusti Putri," kata Kaliga gembira.
Rangga hanya tersenyum saja. Sedangkan Kaliga sudah melompat naik ke punggung kudanya. "Tunggu dulu...," cegah Rangga cepat pada Kaliga yang akan menggebah kudanya.
Kaliga langsung menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
"Pandan! Kau ikut bersamanya. Biar kau tahu, di mana tempat mereka. Setelah itu, kau langsung temui aku di bagian selatan kota Kadipaten Parunggungan," kata Rangga meminta.
"Baik, Kakang," sahut Pandan Wangi. Tanpa diminta dua kali, gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu sudah melompat naik ke punggung kuda putihnya. Dan dia segera mengajak Kaliga pergi dari Desa Batang Hulu ini.
Sementara mereka pergi, Rangga tetap berdiri mematung di sana. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya dengan gerakan begitu ringan.
"Ayo, Dewa Bayu. Bawa aku ke kota Kadipaten Parunggungan," kata Rangga meminta pada kudanya.
Kuda hitam yang dipanggil Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas, seakan bisa mengerti semua yang diucapkan Rangga tadi. Dan saat itu juga, binatang itu langsung melesat cepat bagai kilat, seperti anak panah lepas dari busur. Begitu cepat melesatnya, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah lenyap meninggalkan kepulan debu dan daun-daun kering.
Rangga terus memacu kudanya bagaikan berlari di atas angin saja. Kecepatan lari kuda hitam itu memang luar biasa. Tidak ada satu ekor kuda pun di dunia ini yang bisa menandingi kecepatan larinya. Hingga dalam waktu tidak lama, Dewa Bayu sudah membawa Pendekar Rajawali Sakti menembus kelebatan hutan yang langsung menuju kota Kadipaten Parunggungan.
Walaupun hutan begitu lebat, namun tidak mampu mengendorkan kecepatan lari kuda hitam ini. Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan hitam saja di antara pepohonan yang rapat di dalam hutan. Dan di saat kegelapan sudah menyelimuti permukaan bumi ini, Rangga baru tiba di perbatasan kota Kadipaten Parunggungan sebelah selatan.
"Oh...?!" Hampir saja Pendekar Rajawali Sakti itu tidak percaya dengan apa yang disaksikannya ini. Tidak ada satu rumah pun yang masih berdiri utuh di bagian selatan kota Kadipaten Parunggungan ini. Semua rumah sudah habis terbakar jadi debu. Dan mayat-mayat yang sudah menyebarkan bau busuk, bergeletakkan di mana-mana. Rangga merasakan sedang memasuki sebuah tempat pembantaian manusia. Mayat-mayat yang sudah mulai membusuk, sama sekali tidak terurus lagi di antara puing-puing hitam bekas rumah-rumah yang terbakar.
Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Dan kakinya melangkah sambil menuntun kudanya memasuki kota kadipaten itu. Seluruh bulu di tubuhnya langsung bergidik melihat pemandangan yang begitu mengenaskan. Sungguh tidak disangka seperti ini keadaannya.
"Dewata Yang Agung.... Bencana apa yang sedang terjadi di sini...?" desah Rangga lirih.
********************
LIMA
Sepanjang jalan menuju tengah kota, hanya rumah-rumah bekas terbakar dan mayat-mayat bergelimpangan yang sudah mulai menyebarkan bau busuk saja yang bisa didapati Pendekar Rajawali Sakti. Tldak ada seorang pun yang ditemukan masih hidup. Kota ini benar-benar sudah menjadi kota mati, penuh puing menghitam hangus dan mayat bergelimpangan tak tentu arah saling tumpang tindih. Rangga terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan, menuju sebuah bangunan megah dikelilingi pagar tembok benteng yang kokoh. Inilah satu-satunya bangunan yang masih berdiri tegak di tengah kota Kadipaten Parunggungan ini.
Rangga terus mengayunkan kakinya semakin mendekati bangunan istana kadipaten itu. Tapi ketika sudah tinggal sekitar tiga batang tombak lagi jaraknya, tiba-tiba saja dari bagian atas benteng itu bermunculan orang-orang berbaju serba merah yang siap dengan anak panah terpasang pada busurnya. Dan dari pintu gerbang utama yang tidak tertutup itu, bermunculan orang-orang berpakaian serba merah kain membawa tombak yang begitu banyak.
Mereka langsung berjajar, seperti menghadang langkah Pendekar Rajawali Sakti. Dan memang, Rangga langsung menghentikan langkah kakinya. Tampak di antara orang-orang yang berjajar di depan pintu gerbang benteng bangunan istana itu, seorang pemuda tampan yang juga memakai baju merah menyala. Sebilah pedang juga tampak tergantung di pinggang. Hanya dia yang menunggang kuda. Sedangkan yang lain berdiri berjajar membentuk tiga barisan, seperti hendak menghadang musuh yang berjumlah besar saja. Padahal, hanya satu orang saja yang dihadapi sekarang ini.
"Hm... Benar apa yang dikatakan Kaliga. Mereka tidak bisa dihadapi seorang diri saja. Harus mengerahkan prajurit untuk mengusirnya dari sini," gumam Rangga dalam hati, setelah melihat kekuatan yang begitu besar ini.
Saat itu, terlihat pemuda penunggang kuda bergerak maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda yang tak lain dari Priyada ini menghentikan kudanya, setelah berjarak sekitar satu batang tombak lagi dari Pendekar Rajawali Sakti. Dengan sorot mata sangat tajam, dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya.
"Mau apa kau datang ke sini?!" bentak Priyada langsung.
"Hanya sekadar lewat saja," sahut Rangga.
"Kalau hanya lewat, cepat pergi. Atau kau ingin bernasib sama dengan mereka...?"
Rangga hanya diam saja. Terbersit kilatan kegeraman pada matanya, mendapat sikap kasar seperti ini. Tapi disadari kalau tidak mungkin bisa melakukan sesuatu untuk memberi pelajaran pada pemuda itu. Dan Rangga juga tidak ingin bertindak gegabah. Kedatangannya kekota kadipaten ini dengan maksud untuk mengetahui kebenaran dari cerita Kaliga saja. Dan dia memang harus pergi, tanpa harus menimbulkan kecurigaan. Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik ke punggung kudanya.
"Cepat pergi! Tunggu apa lagi kau...?!" bentak Priyada kasar.
Sebentar Rangga menatap tajam pemuda itu, kemudian memutar tubuhnya. Langsung Dewa Bayu digebah kencang, hingga langsung melesat membawa Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan Priyada. Hanya debu saja yang terlihat mengepul di udara.
Priyada sempat terlongong bengong melihat kecepatan lari kuda itu. Seumur hidup, belum pernah dia melihat lari kuda sehebat itu. Beberapa saat dia tetap diam memandangi kepulan debu di kejauhan yang semakin menipis di udara. Sementara kuda hitam itu sudah tidak terlihat lagi dari pelupuk matanya.
"Hm... Hebat sekali kuda itu," gumam Priyada. "Ah! Bodoh sekali aku. Kenapa tidak kurampas saja kuda itu tadi...?"
Priyada menyesali kebodohannya sendiri, tapi sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kuda hitam yang membuatnya terkagum-kagum itu sudah lenyap, entah pergi kemana. Priyada segera memutar kudanya berbalik, dan cepat menggebahnya memasuki benteng istana kadipaten ini. Dan orang-orang berbaju serba merah yang ikut keluar bersamanya tadi segera mengikutinya dari belakang, masuk kembali ke dalam benteng istana. Sementara Rangga sendiri sudah tiba di perbatasan kota sebelah selatan. Di sini, dia akan menunggu Pandan Wangi.
********************
Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya. Lalu dia melompat turun dari punggung kudanya. Begitu indah dan ringan gerakannya. Sehingga, tidak terdengar suara sedikit pun saat kedua kakinya menjejak tanah. Rangga merasakan sekelilingnya begitu sunyi. Sepanjang mata memandang, hanya kegelapan saja yang ada. Dan untuk menunggu Pandan Wangi sampai ke sini, masih harus menunggu dua hari lagi. Tapi dengan menunggang kuda Dewa Bayu, Pendekar Rajawali Sakti hanya sebentar saja bisa sampai.
"Ah! Sebaiknya kuselidiki saja kekuatan mereka dulu dengan Rajawali Putih. Dari angkasa, aku rasa bisa lebih leluasa melihat keadaan di dalam benteng istana," gumam Rangga, bicara pada diri sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti mengelus-elus kuda tunggangannya ini. Kemudian, dia menepuk lehernya tiga kali dengan lembut. Dan kuda hitam itu mendengus sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau jangan pergi ke mana-mana, Dewa Bayu. Tetap saja di sini menunggu Pandan Wangi," kata Rangga pada kudanya.
Kuda hitam itu mendengus sekali lagi sambil menganggukkan kepalanya. Seakan, semua yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti bisa dimengerti. Rangga tersenyum, dan menepuk lembut leher kuda itu. Kemudian dia berdiri tegak, dengan kepala terdongak ke atas. Sebentar saja perhatiannya sudah terpusat kearah lain. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam. Lalu....
"Suiiit...!" Saat itu juga terdengar siulan panjang melengking tinggi dan bernada aneh. Siulan itu menggema bagai hendak menembus langit yang bertaburkan bintang. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti menunggu, dengan kepala tetap mendongak ke atas, memandangi langit gelap penuh bertaburkan cahaya bintang. Kembali dia memusatkan dirinya, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Suiiit...!" Rangga kembali bersiul, memanggil burung rajawali raksasa tunggangannya, selain Dewa Bayu. Dan kali ini, dia tidak menunggu lama. Di langityang menghitam, terlihat seekor burung melesat bagai kilat, seperti keluar dari lingkaran cahaya bulan yang bersinar penuh malam ini.
"Khraaagkh...!"
"Kesini, Rajawali...!" seru Rangga sambil melambaikan tangannya, memanggil burung rajawali raksasa.
"Khraaagkh...!" Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu meluruk deras sekali, lalu mendarat begitu ringan di depan Rangga. Dia mengkirik pelan, seakan menanyakan maksud Rangga memanggilnya malam-malam begini. Saat itu, Rangga sudah melangkah menghampiri.
"Hup!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandang Dewa Bayu yang diam memandangi Rajawali Putih.
"Kau tetap di sini, Dewa Bayu," kata Rangga meminta.
Kuda hitam itu meringkik keras, sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Dan ringkikan kuda hitam itu langsung disambut Rajawali Putih dengan teriakannya yang nyaring memekakkan telinga. Rangga hanya tersenyum saja, seakan bisa mengerti semua yang disuarakan kedua binatang kesayangannya. Kemudian, ditepuknya leher Rajawali Putih tiga kali. Maka bumng rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung mengepakkan sayapnya sambil mengeluarkan jeritan serak yang keras menggelegar, bagai guntur membelah angkasa.
"Khraaagkh...!"
Slap!
Hanya sekali saja mengepakkan sayap, Raja-wali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa, membawa Pendekar Rajawali Sakti yang berada dipunggungnya.
"Kebangunan istana itu, Rajawali...!" seru Rangga sambil menunjuk ke arah bangunan istana kadipaten yang dikelilingi pagar benteng dari batu.
"Khraaagkh...!"
Dari atas ini, Rangga bisa melihat jelas sekali keadaan di dalam benteng istana itu. Dan Rajawali Putih berputar-putar di atas bangunan istana ini, memberi kesempatan pada Rangga untuk bisa leluasa mengamatinya.
"Hebat...!" desis Rangga begitu melihat kekuatan yang ada di dalam benteng istana itu. "Mereka seperti sebuah pasukan kerajaan saja. Banyak sekali jumlah mereka...."
Namun ketika Rangga melayangkan pandangannya ke bagian belakang bangunan istana yang megah ini, keningnya jadi berkerut. Matanya menangkap seseorang terikat pada sebatang tonggak kayu melintang dengan tangan terentang. Seluruh pakaiannya sudah tercabik. Dan sepertinya, seluruh tubuhnya mendapat siksa cambukan. Walaupun dari angkasa dan dalam keadaan malam hari, tapi Rangga bisa melihat jelas karena mengerahkan aji 'Tatar Netra'. Sebuah ilmu yang membuat penglihatannya jadi terang, walau dalam keadaan yang sangat gelap dan jarak yang sangat jauh sekalipun.
"Hm, siapa dia...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.
Rangga melihat kalau orang yang terpancang pada tonggak kayu bersilang di bagian belakang istana itu adalah seorang laki-laki berusia muda, yang mungkin sebaya dengannya. Seluruh pakaian dan tubuhnya tercabik bekas cambukan. Darah yang sudah mengering, melekat mengotori seluruh tubuhnya. Walaupun sudah koyak, tapi pakaian yang dikenakannya jelas sekali bukan pakaian rakyat biasa.
"Apakah dia Adipati Wiyatala...?" gumam Rangga lagi, bertanya pada diri sendiri dalam hati.
Rangga meminta Rajawali Putih lebih mendekat. Dan saat itu, Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat lebih jelas lagi. Namun belum juga bisa lama mengamatinya, terlihat tiga orang keluar dari pintu belakang istana. Tampak seorang laki-laki tua, seorang gadis cantik, dan seorang pemuda yang dikenali Rangga ketika mendekati bangunan istana ini tengah mendekati orang yang terpancang pada tonggak. Rangga langsung meminta Rajawali Putih untuk naik lebih tinggi lagi. Dan saat itu juga, dikerahkannya aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah ilmu yang membuat pendengarannya lebih tajam berpuluh kali lipat daripada pendengaran manusia biasa. Bahkan pendengarannya bisa dipusatkan pada sesuatu yang ingin didengarnya, tanpa mendapat gangguan dari sekelilingnya.
Dengan aji 'Pembeda Gerak dan Suara' Rangga bisa mendengar suara seekor semut di dalam lubangnya. Walaupun, didekat lubang semut itu ada seekor harimau yang mengaum. Karena ajian itu memang bisa meredam suara harimau, untuk mendengarkan suara semut di dalam lubang.
Sementara di halaman belakang istana kadipaten itu, Pendekar Rajawali Sakti melihat laki-laki tua berjubah merah yang ternyata Ki Warungkul makin mendekati laki-laki yang terpancang pada batang tonggak kayu. Sedangkan dua orang yang mendampinginya sudah tentu Priyada dan Worodini.
"Dengar, Wiyatala.... Ini untuk yang terakhir kalinya aku bermurah hati padamu. Ke mana istri dan anakmu...?" dingin sekali nada suara Ki Warungkul.
Laki-laki yang terpancang pada tonggak kayu itu memang Adipati Wiyatala. Dan adipati itu hanya diam saja. Tatapan matanya tajam, walaupun wajahnya biru lebam dengan darah kering mengotorinya.
"Phuih!" Adipati Wiyatala menyemburkan ludahnya dengan sengit. Ludah yang bercampur darah itu hampir saja mengenai wajah Ki Warungkul. Untung saja orang tua itu segera mengegoskan kepalanya ke samping.
"Setan! Kau benar-benar tidak bisa dikasih hati! Hih...!"
Plak!
Walaupun tamparan yang mendarat di wajah begitu keras, tapi Adipati Wiyatala tidak mengeluarkan pekikan sedikit pun. Bahkan keluhan kecil saja tidak terdengar dari bibirnya yang merah berlumur darah.
"Katakan, di mana anak dan istrimu...?!" bentak Ki Warungkul mulai tidak sabar lagi.
"Kalaupun kau bunuh aku, tidak bakalan bicara padamu, Iblis...!" dengus Adipati Wiyatala ketus.
"Kurang ajar...!" Hampir saja Ki Warungkul menampar lagi wajah adipati itu, kalau saja Worodini tidak cepat mencegahnya. Terpaksa Ki Warungkul menurunkan lagi tangannya yang sudah terangkat. Sambil mendengus kesal, kakinya ditarik ke belakang. Dan tempatnya kini diambil alih oleh Worodini.
Gadis cantik itu tersenyum manis sekali. Tapi, Adipati Wiyatala malah menyemburkan ludahnya. Walaupun wajah dan senyum Worodini begitu cantik, tapi dalam pandangan mata Adipati Wiyatala, wajah gadis ini bagaikan iblis dari neraka yang ingin mengoyaknya.
"Kakang Wiyatala.... Tidak ada gunanya berkeras kepala seperti ini. Beritahu saja, di mana anakmu sekarang berada. Aku yakin, kadipaten ini akan dikembalikan Ayah padamu seperti semula. Percayalah, Kakang...," Worodini mencoba membujuk dengan suaranya yang dibuat lembut.
Tapi Adipati Wiyatala hanya diam saja, memandangi gadis itu dengan sinar mata begitu tajam membakar. Dan pada saat itu, terlintas kembali suatu kenangan yang selama ini sudah terlupakan. Suatu kenangan yang saat itu terasa begitu indah dan manis. Kenangan yang sebenarnya sangat sulit dilupakan.
Saat itu, Adipati Wiyatala belum menjabat sebagai adipati di Kadipaten Parunggungan. Wiyatala kala itu masih seorang pemuda lajang yang suka berpetualang mencari berbagai macam pengalaman. Seorang pemuda yang kaya dan tampan, dan sudah barang tentu tidak sedikit gadis-gadis yang memimpikan bisa bersanding dengannya. Bahkan bisa berbincang-bincang berdua dengannya saja, sudah mempakan suatu kebanggaan besar bagi seorang gadis.
Dan rupanya, Wiyatala menyadari akan kelebihannya. Maka kelebihannya itu dimanfaatkan tanpa memikirkan akibat yang harus ditanggung. Berpetualang dalam rimba asmara memang sangat memabukkan. Dan ini juga membuat Wiyatala jadi lupa diri. Gadis-gadis yang terpikat padanya, hanya dijadikan bunga pemuas nafsu, yang kemudian dicampakkan begitu saja setelah layu.
Petualangan demi petualangan diarungi Wiyatala. Hingga akhirnya, bertemu seorang gadis, putri seorang pertapa dari puncak gunung yang letaknya teramat jauh dari Kadipaten Parunggungan. Wiyatala tidak bisa menahan gejolak hatinya, saat melihat kecantikan gadis itu. Tidak dipedulikannya kalau gadis itu putri seorang pertapa. Wiyatala kemudian mencampakkan gadis itu setelah puas menikmatinya. Dan tentu saja ini membuat ayah gadis itu jadi berang.
Tapi pertapa itu tidak bisa berbuat apa-apa, setelah tahu kalau pemuda yang telah merusak masa depan anak gadisnya adalah putra seorang adipati. Dan dendam pertapa itu terus membara sampai kini. Sementara gadis itu sekarang berada di depan Adipati Wiyatala bersama ayah dan kakaknya, setelah menghancurkan kota kadipaten ini hingga rata dengan tanah.
Tapi, sebenarnya Adipati Wiyatala tahu, bukan hanya dendam saja yang mereka lampiaskan di kadipaten ini. Mereka pasti punya maksud tertentu yang tidak bisa dikabulkan. Entah kenapa, mereka begitu ingin sekali memiliki putra adipati itu. Entah, apa yang menarik pada diri putra Adipati Wiyatala.
"Percayalah padaku, Kakang. Putramu tidak akan disakiti. Bahkan dia akan membuat kadipaten ini menjadi sebuah kota kadipaten yang makmur dan bertambah besar. Bahkan, Ayah sudah melihat kalau kadipaten ini kelak akan menjadi sebuah kerajaan dibawah kekuasaan putramu nanti. Untuk itu, Ayah ingin mengambil dan mendidik putramu untuk dipersiapkan menjadi seorang raja," desak Worodini lagi.
Adipati Wiyatala masih saja diam membisu memandangi gadis cantik yang dulu pernah mengisi hari-harinya dengan cinta dan kemesraan.
Worodini berpaling ke belakang, menatap ayah dan kakaknya. Dengan pandangan matanya, mereka diminta pergi meninggalkannya. Setelah saling berpandangan beberapa saat, Ki Warungkul mengajak Priyada meninggalkan Worodini dan Adipati Wiyatala.
Kini, gadis itu melangkah lebih dekat dengan Adipati Wiyatala setelah kedua laki-laki itu meninggalkannya. Tangannya yang berjari-jari lentik dijulurkan ke wajah Adipati Wiyatala. Dengan lembut sekali, disekanya darah di wajah adipati muda ini. Halusnya kulit jari-jari tangan Worodini membuat jantung Adipati Wiyatala jadi berdetak kencang.
Dan bayang-bayang masa lalunya bersama gadis ini kembali terlintas di pelupuk matanya. Bayangan-bayangan yang membuat dadanya semakin menggemuruh. Dan untuk beberapa saat, mereka berdua terdiam membisu. Maka hanya saling berpandangan saja, dengan sinar mata sulit diartikan.
"Kakang.... Sebenarnya aku begitu mencintaimu. Masa-masa indah yang pernah kita lalui bersama dulu, tidak pernah hilang dari ingatanku. Dan aku selalu merindukan masa itu terulang kembali bersamamu. Aku selalu berharap, bisa kembali berkumpul bersamamu, walaupun aku tahu kau sudah beristri, bahkan mempunyai seorang anak," terdengar pelan suara Worodini.
Tapi Adipati Wiyatala masih saja tetap diam seperti patung. Dan Worodini mulai meletakkan tubuhnya ke tubuh adipati muda yang masih terpancang di tiang kayu bersilang, dengan kedua tangan terentang lebar.
"Kakang.... Sebenarnya aku ingin sekali mendampingimu memimpin kadipaten ini. Aku juga bisa, melahirkan anak yang manis-manis untukmu. Kakang, kau masih ingat janji kita dulu...?" masih terdengar lembut sekali suara Worodini. Namun, Adipati Wiyatala tetap saja diam membisu. Dan dalam benaknya, semua yang pernah terjadi pada gadis ini terus membayang jelas. Seakan-akan, semua itu terjadi baru kemarin saja. Worodini perlahan melepaskan pelukannya pada adipati muda yang dulu pernah dicintainya. Dan kakinya melangkah menjauh perlahan-lahan, dengan pandangan mata masih tetap merayapi wajah Adipati Wiyatala.
Sementara di angkasa, Rangga tems memperhatikan semua kejadian itu. Dan tiba-tiba saja, kedua bola mata Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak lebar ketika melihat Worodini menarik pedangnya perlahan-lahan. Dan ujung pedang itu ditujukan langsung ke dada Adipati Wiyatala.
"Gawat...! Aku harus mencegahnya...," desis Rangga dalam hati.
Sementara itu, Worodini sudah melangkah mendekati laki-laki bekas kekasihnya yang kini terpancang tidak berdaya pada sebatang tonggak kayu bersilang didepannya. Dan pedangnya, tetap tertuju lurus ke dada yang terbuka penuh noda darah kering itu.
"Selamatkan orang yang terikat itu, Rajawali. Cepat, jangan sampai gadis itu membunuhnya...," perintah Rangga pada Rajawali Putih yang ditungganginya ini.
"Khraaagkh...! Wusss!"
Sambil mengeluarkan pekikan yang begitu keras, Rajawali Putih meluncur cepat bagai kilat ke bawah. Jeritan burung rajawali raksasa yang begitu keras menggelegar memecah angkasa, membuat Worodini jadi tersentak kaget setengah mati. Dan ketika kepalanya mendongak, seketika itu juga kedua bola matanya jadi terbeliak lebar dengan mulut ternganga. Seakan, dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Belum juga gadis itu bisa menyadari, tahu-tahu Rajawali Putih sudah menyambar bagian ujung atas tonggak yang mengikat Adipati Wiyatala dengan sebelah cakarnya. Dan burung itu langsung melambung tinggi, membawa Adipati Wiyatala yang masih terikat pada tonggak kayu bersilang.
"Khraaagkh...!" Teriakan burung rajawali raksasa yang tiba-tiba saja muncul dan menyambar Adipati Wiyatala, memang membuat Ki Warungkul dan Priyada yang tadi meninggalkan Worodini tadi dibelakang istana ini jadi tersentak kaget. Apalagi, begitu melihat Worodini berdiri terpaku seperti patung memandang ke atas. Sementara Adipati Wiyatala tidak lagi terlihat disana. Bahkan tonggak yang mengikat adipati itu juga tidak ada.
"Woro...! Ada apa ini...? Ke mana Wiyatala...?" tanya Ki Warungkul langsung.
Worodini tidak langsung menjawab. Matanya terus memandang ke atas, bagai sedang merayapi langit yang kelam bertaburkan cahaya bintang dan rembulan.
"Woro...." Ki Warungkul menggoyangkan bahu anak gadisnya.
"Oh...?!" Worodini langsung tersentak, seperti baru terbangun dari tidurnya. Dan gadis itu langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya ini. Tangisnya yang tidak dapat dibendung lagi, seketika itu pecah dalam pelukan laki-laki tua itu.
"Woro, ada apa...?" tanya Ki Warungkul tidak sabar, melihat anaknya menangis dalam pelukannya.
"Kakang Wiyatala, Ayah.... Dia..., dia pergi...," kata Worodini tersendat, disela isak tangisnya yang begitu memilukan.
"Pergi...? Apa maksudmu, Woro...?!" sentak Priyada.
Worodini mencoba menenangkan diri, dan melepaskan pelukan pada ayahnya. Diusapnya air mata yang membasahi pipi. Setelah terasa tenang, mulai diceritakannya apa yang terjadi tadi.
"Apa...?!"
ENAM
Ki Warungkul terkejut setengah mati, setelah mendengar cerita anak gadisnya. Sukar dipercaya kalau Adipati Wiyatala tiba-tiba saja melayang ke angkasa, disambar seekor burung rajawali raksasa? Memang sulit diterima akal, tapi Ki Warungkul tidak bisa menuduh anak gadisnya ini berdusta. Walaupun tahu Worodini pernah menjalin cinta dengan Adipati Wiyatala, tapi orang tua ini tahu kalau Worodini juga menyimpan dendam. Dan gadis ini ingin membunuh laki-laki itu setelah mendapatkan keturunan yang diharapkan bisa menggantikannya menguasai kadipaten ini. Tapi, mereka juga harus bisa menemukan putra Adipati Wiyatala dari Nyai Winarsih, yang sampai saat ini masih belum diketahui di mana rimbanya.
Dan sekarang mereka kehilangan Adipati Wiyatala, orang yang diharapkan bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Nyai Winarsih dan putranya? Tapi yang membuat Ki Warungkul masih sulit percaya, tentang burung raksasa yang menyambar adipati itu. Benarkah di dunia ini ada burung raksasa yang bisa membawa terbang seorang manusia...?
Pertanyaan ini terus menggayuti benak Ki Warungkul. Pertanyaan yang tidak bisa terjawab sampai saat ini. Karena, dia sendiri tidak yakin ada seekor burung raksasa yang bisa membawa manusia.
Sementara itu jauh di luar perbatasan kota kadipaten sebelah selatan, Rajawali Putih menurunkan Adipati Wiyatala perlahan-lahan dari cengkeraman cakarnya. Rangga yang berada di punggung burung rajawali itu, segera melompat turun, langsung menyangga tonggak kayu yang mengikat adipati ini. Rajawali Putih melepaskan cakarnya, setelah Rangga menyangga tonggak itu. Langsung tonggak itu direbahkan perlahan-lahan di tanah. Bergegas dilepaskannya tambang yang mengikat kedua tangan, pinggang, dan kaki. Lalu disingkirkan tonggak kayu bersilang itu jauh-jauh. Rangga memeriksa keadaan tubuh adipati ini.
"Hhh.... Untung saja hanya luka luar yang dideritanya, Rajawali," desah Rangga memberitahu keadaan Adipati Wiyatala pada burung rajawali putih.
Sedangkan adipati itu sendiri tampak tidak sadarkan diri, setelah dibawa melambung tinggi ke angkasa oleh Rajawali Putih. Memang tidak ada seorang pun yang bisa tetap sadar kalau tersambar burung rajawali raksasa ini. Apa lagi, sampai dibawa naik ke angkasa malam-malam begini. Kalau saja Adipati Wiyatala memiliki jantung lemah, pasti sudah mati seketika itu juga.
Rangga terus menunggui setelah memberi beberapa kali totokan ringan pada bagian-bagian tertentu di tubuh adipati ini. Paling tidak, untuk mengurangi rasa sakit saat adipati itu tersadar nanti.
"Sebentar lagi dia sadar. Kita bisa tanyakan, apa yang terjadi nanti...," desah Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri sambil berpaling menatap Rajawali Putih.
"Khrrrkh...," Rajawali Putih mengkirik perlahan.
"Aku rasa, sebaiknya kau memang pergi dulu, Rajawali. Dia pasti akan ketakutan kalau sampai melihatmu nanti," kata Rangga.
"Khrrrkh...!" Tampaknya, burung rajawali raksasa itu bisa mengerti. Dan tanpa diminta dua kali lagi, sayapnya segera dikembangkan. Lalu tubuhnya melesat tinggi ke angkasa. Rangga memandangi burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu, sampai ke angkasa. Rajawali Putih tidak pergi meninggalkannya, dan tetap berada di angkasa sambil berputar-putar tepat di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar kemudian Rangga sudah kembali memandangi Adipati Wiyatala yang masih belum juga sadarkan diri.
Memang benar apa yang dikatakan Rangga. Tidak lama, Adipati Wiyatala siuman dari pingsannya dan langsung mencoba bangkit. Tapi, Rangga sudah lebih cepat mencegah dan menekan dadanya. Terpaksa Adipati Wiyatala tetap terbaring walau seluruh tubuhnya seperti tidak merasakan nyeri. Padahal luka-luka di tubuhnya akibat bekas cambukan masih memenuhi. Adipati Wiyatala memandangi Rangga yang berjongkok di sebelahnya.
"Siapa kau, Kisanak...? Kenapa aku berada di tempat ini...?" tanya Adipati Wiyatala dengan suara pelan dan agak tersendat.
"Namaku Rangga, Gusti Adipati. Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan saja melihat penyiksaan terhadap dirimu," sahut Rangga memperkenalkan diri, sambil mencoba menjelaskan dengan singkat.
"Oh.... Kau tahu kalau aku seorang adipati...?" desah Adipati Wiyatala agak terkejut.
Rangga hanya mengangguk saja sambil memberi senyum manis. Adipati Wiyatala kembali menghembuskan napas panjang, sambil mendongakkan kepala ke atas. Dia melihat seekor burung berputar-putar seperti sedang mengelilingi bulan di atas sana. Langsung ditatapnya wajah tampan pemuda yang masih berjongkok di sebelahnya.
"Dia itu sahabatku, Gusti Adipati. Rajawali Putih.... Dia memang seekor burung, tapi lebih daripada sekadar burung," jelas Rangga, seperti bisa membaca arti pandangan mata Adipati Wiyatala.
"Kau memiliki burung raksasa...?" tanya Adipati Wiyatala, seperti tidak percaya.
Rangga hanya tersenyum sambil mengangguk sedikit.
"Kau bukan dewa...?"
"Bukan. Aku hanya manusia biasa. Sama seperti yang lain," sahut Rangga lembut.
Adipati Wiyatala kembali memandang ke atas. Sebentar kemudian kembali ditatapnya Rangga. Perlahan tubuhnya beringsut, lalu mencoba bangkit. Kali ini, Rangga tidak mencegahnya. Dan adipati itu pun duduk bersila di depan Rangga yang kini juga sudah duduk bersila di atas rerumputan yang tebal dan agak lembab oleh embun ini. Beberapa saat mereka terdiam, hanya saling berpandangan saja. Entah, apa yang ada dalam kepala mereka masing-masing.
"Gusti, apa sebenarnya yang terjadi hingga kau disiksa begitu?" tanya Rangga, setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Panjang ceritanya, Rangga. Dan semua ini memang salahku...," sahut Adipati Wiyatala pelan, dengan kepala tertunduk.
"Ceritakanlah. Mungkin aku bisa membantu menyelesaikan persoalanmu," pinta Rangga tulus.
"Sudah terlalu banyak korban yang jatuh. Dan aku tidak ingin ada korban lain lagi. Biarlah semua ini terjadi. Dan memang, aku yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa ini," ujar Adipati Wiyatala lirih. "Rangga..., kenapa kau menolongku? Seharusnya, kau biarkan saja aku mati. Kematianku akan menyelesaikan semua persoalan ini."
"Itu tidak benar, Gusti Adipati. Mereka tidak akan berhenti selama anak dan istrimu masih hidup dalam pelarian. Mereka akan terus mengejar, sampai mendapatkannya. Dan selama itu pula, korban akan terus berjatuhan."
"Tapi, semua ini akibat kesalahanku, Rangga. Dan aku sendiri yang harus menebusnya."
"Apa pun kesalahanmu, mereka tidak patut bertindak seperti itu. Kalau mereka ingin menuntut, seharusnya tidak membantai habis semua orang di Kadipaten Parunggungan. Apa pun alasannya, pembantaian tidak pernah dibenarkan. Mereka sudah bertindak seperti iblis dari neraka. Membantai siapa saja yang dtemui tanpa peduli. Padahal, hanya satu yang diinginkan. Dan aku yakin, bukan kematianlah yang diinginkan. Tapi, putramu...," kata Rangga tegas, membeberkan persoalan ini.
Adipati Wiyatala jadi terlongong bengong. Dia merasa, Rangga sudah tahu semua persoalan yang sebenarnya. Padahal, hal itu merasa belum diceritakannya. Dan memang, Rangga sebenarnya sudah tahu dari kata-kata Worodini, ketika Adipati Wiyatala masih terikat di belakang istana kadipatennya. Dari pembicaraan itu, Rangga sudah bisa mengambil kesimpulan dan langsung diutarakannya. Tentu saja, ini membuat Adipati Wiyatala jadi terlongong.
"Gusti, katakan sejujurnya padaku. Untuk apa mereka melakukan ini semua dan menginginkan putramu...?" tanya Rangga tegas, meminta penjelasan.
Adipati Wiyatala tidak langsung menjawab. Terasa begitu berat baginya untuk menjawab pertanyaan Rangga barusan. Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan, dia ingin mencari kekuatan dalam dirinya sendiri. Dan beberapa kali pula kepalanya mendongak ke atas. Entah, apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Dia melihat raut wajah Rangga begitu datar, menunggu jawaban atas pertanyaan yang diajukannya tadi.
"Rangga, kau mau berkata jujur padaku...?" Adipati Wiyatala malah balik bertanya.
Rangga hanya mengangguk saja.
"Siapa kau sebenarnya. Dan, kenapa kau sudi menolongku...?" tanya Adipati Wiyatala agak ditahan nada suaranya.
Kali ini Rangga jadi terdiam, tidak langsung menjawab. Tapi hanya sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti itu terdiam membisu. Kemudian....
"Aku berasal dari Karang Setra. Seorang prajurit bertemu denganku di jalan. Dia menceritakan semua yang terjadi di Kadipaten Parunggungan ini. Dan aku tidak bisa menolak permintaannya, untuk mengembalikan kadipaten ini seperti semula," jelas Rangga, singkat.
"Siapa nama prajurit itu?"
"Kaliga."
"Oh...," desah Adipati Wiyatala panjang. Adipati ini tahu kalau prajurit itu yang mengawal istri dan anaknya dalam pelarian. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Lalu, tangannya terulur dan menggenggam tangan Rangga erat-erat.
"Katakan padaku, bagaimana keadaan anak dan istriku...."
"Aku tidak menjumpainya. Tapi, lusa adikku datang kesini memberi tahu keadaannya. Kaliga mengatakan, kalau mereka ada di tempat yang aman sekarang ini," jelas Rangga.
"Dewata Yang Agung...," desah Adipati Wiyatala lagi.
"Gusti Adipati, katakan padaku. Kenapa mereka menginginkan anakmu...?" Rangga kini balik bertanya, meminta penjelasan. "Siapa mereka sebenarnya?"
"Rangga.... Aku tidak tahu, dari mana mereka datang. Tapi aku kenal pemimpin mereka...," kata Adipati Wiyatala terputus.
"Siapa?"
"Ki Warungkul. Dia seorang pertapa. Dan anak gadisnya pernah menjalin cinta denganku. Inilah kesalahan yang pernah kubuat, hingga berakibat sangat mengenaskan. Dia rupanya tidak suka aku mengawini gadis lain. Ki Warungkul ingin, agar anak gadisnya yang melahirkan putra pertamaku. Karena memang sudah digariskan kalau putra pertamaku nantinya, akan menjadikan kedipaten ini sebuah kerajaan besar yang akan tertuang dalam kalam sejarah sepanjang zaman. Tapi, semua itu tidak akan pernah terjadi kalau putraku tidak sampai mencapai usia tujuh belas tahun. Mereka tentu akan membunuh putraku. Dan mereka tentu mendesakku untuk mengawini Worodini. Karena setiap anak yang terlahir dari benihku, akan menjadi raja kelak. Tapi, aku tidak sudi menuruti keinginan mereka. Aku tahu, apa yang ada dalam hatinya. Mereka ingin menguasai jagad ini dengan perantara keturunanku...," jelas Adipati Wiyatala panjang lebar. Rangga terdiam mendengarkan. "Sejujurnya kukatakan, aku rela mengorbankan nyawa agar putraku tetap hidup. Kalaupun putraku memang ditakdirkan harus mati, aku juga akan mati agar tidak lagi timbul peristiwa seperti ini lagi. Itu sebabnya, mengapa aku tidak ingin kau selamatkan dari kematian tadi. Aku lebih senang mati, daripada harus...," Adipati Wiyatala tidak melanjutkan.
Saat itu terdengar hentakan kaki-kaki kuda dari kejauhan. Dan Rangga cepat bangkit berdiri, memandang ke arah suara kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Jelas sekali kalau suara itu datang dari arah kota Kadipaten Parunggungan. Dan saat itu, Adipati Wiyatala juga sudah berdiri walau dengan tubuh limbung.
"Mereka datang mengejarku, Rangga...," desis Adipati Wiyatala pelan.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.
Dalam siraman cahaya bulan, terlihat debu mengepul ke angkasa, melewati pucuk pepohonan. Kepulan debu itu semakin dekat dan jelas terlihat menuju ke arah ini. Rangga tahu, orang-orang Ki Warungkul yang akan datang. Dan juga bisa diperkirakan kalau jumlah mereka tentu sangat banyak.
"Kau tetap saja di sini, Gusti. Aku akan menghadang mereka," kata Rangga.
"Sendiri...?!" Adipati Wiyatala tersentak kaget. Tapi belum juga bisa mencegah, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga dalam sekejapan mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap dari pandangan mata adipati ini.
Sementara itu, Rangga terus berlari, menembus lebatnya pepohonan. Dan sebentar saja, dia sudah sampai di tepi hutan. Saat itu Pendekar Rajawali Sakti melihat serombongan orang-orang berbaju merah memacu cepat kudanya, melintasi padang rumput di tepi hutan yang berbatasan langsung dengan bagian selatan kota. Rangga berhenti berlari, dan mendongakkan kepala keatas. Tampak Rajawali Putih masih mengikuti dari angkasa.
"Bantu aku mengenyahkan mereka, Rajawali...!" seru Rangga dengan menggunakan kata-kata batin.
"Khraaagkh...!"
"Hup! Hiyaaa...!" Cepat sekali Rangga melompat, dan berlari mengerahkan ilmu meringankan tubuh melintasi padang rumput yang sangat luas ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti berhenti berlari, setelah tiba di tengah-tengah padang rumput itu, tepat di saat rombongan berkuda itu juga sampai di sana. Di antara mereka, tampak Priyada yang memimpin, dengan menunggang seekor kuda putih yang gagah. Priyada terlihat mengerutkan keningnya, saat melihat pemuda yang pernah diusirnya dari depan istana kadipaten berdiri tegak dengan sikap menghadang. Dengan gerakan indah sekali, pemuda berbaju merah menyala itu melompat turun dari punggung kudanya. Dan kakinya langsung dijejakkan tepat, sekitar lima langkah lagi di depan Rangga.
"Pasti kau biang keladi semua ini, Kisanak...," duga Priyada mendesis dingin menggetarkan. "Di mana kau sembunyikan Wiyatala...!"
Kecurigaan Priyada memang beralasan, kareria ketika pertama kali bertemu Pendekar Rajawali Sakti, dia sudah menduga bakal terjadi sesuatu. Karena belum menimbulkan masalah, maka waktu itu Priyada membiarkan Rangga pergi.
"Dia berkumpul bersama keluarganya sekarang. Dan tidak lama lagi, akan mengenyahkan kalian semua dari tanah kelahirannya," balas Rangga terus terang, dan tidak kalah dingin.
"Keparat...!" geram Priyada langsung memuncak amarahnya.
Sret!
Kening Rangga agak berkerut, saat Priyada mencabut pedangnya. Kilatan pedang itu memiliki pamor cukup dahsyat, dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Dari pedang itu, Rangga sudah bisa mengukur kepandaian Priyada.
"Katakan! Di mana Wiyatala berada! Atau, kau ingin mampus...?!" bentak Priyada garang.
"Mungkin kau sendiri yang akan merasakan gelapnya alam kubur, Kisanak," sambut Rangga sambil tersenyum sinis.
"Keparat...!" Priyada tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Dan sambil menggeram berang, pedangnya dikebutkan ke depan. Saat itu Rangga sudah menarik kakinya ke belakang. Tapi, sempat juga merasakan adanya hawa panas dari angin kebutan pedang pemuda di depannya.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" Sambil membentak keras menggelegar, Priyada langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Bagaikan kilat pedangnya dibabatkan tepat mengarah ke leher Rangga. Tapi hanya mengegoskan kepala yang begitu indah, Rangga berhasil menghindari tebasan pedang itu. Dan cepat kakinya menarik kembali ke belakang dua langkah.
"Yeaaah...!" Namun Priyada terus mendesak, dan menyerang ganas. Pedangnya berkelebat begitu cepat, mengurung setiap gerak Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dengan pengerahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga bisa mudah menghindari setiap serangan. Sehingga, membuat Priyada semakin bertambah berang. Dan serangan-serangannya pun ditingkatkan. Hingga setiap kebutan pedangnya, selalu menimbulkan suara menggemuruh bagai badai di sekeliling tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Rangga melenting keatas, tepat ketika Priyada mengebutkan pedangnya ke arah kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti langsung berputaran di udara. Begitu kepalanya berada di bawah, saat itu juga tangan kanannya dikibaskan menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Bet! Haiiit..!"
TUJUH
Priyada jadi kelabakan setengah mati, menghindari serangan-serangan Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun hanya menggunakan tangan kosong, tapi setiap serangan yang dilancarkannya sungguh luar biasa. Akibatnya Priyada terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangannya. Bahkan tidak punya kesempatan sedikit pun untuk memberi serangan balasan. Setiap ruang geraknya seakan sudah tertutup, hingga terus terdesak dan semakin kewalahan saja.
Meskipun Rangga hanya mengerahkan lima jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang dipadukan menjadi satu dengan cepat, sudah membuat Priyada jadi kalang kabut menghadapinya. Bahkan sudah beberapa kali harus merasakan kerasnya pukulan atau tendangan yang mendarat di tubuhnya. Tapi entah kenapa, Rangga tidak mengerahkan penuh kekuatan tenaga dalamnya. Tak heran kalau Priyada masih mampu bertahan, walau sudah tidak mampu lagi melancarkan serangan balasan.
"Hup...!" Tiba-tiba saja Priyada melompat ke belakang sambil berputaran beberapa kali di udara, ketika Rangga melakukan beberapa kali pukulan gencar. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, seketika itu juga dia berteriak lantang menggelegar. "Seraaang...!"
"Hup!" Rangga jadi mendengus, ketika melihat orang-orang yang sejak tadi sudah mengepungnya langsung berhamburan menyerang disertai teriakan-teriakan keras membahana, begitu mendengar perintah Priyada. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengeluarkan siulan nyaring melengking tinggi.
"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Tidak ada seorang pun yang tidak terlongong kaget, ketika tiba-tiba saja dari angkasa meluruk deras seekor burung rajawali raksasa dengan kecepatan bagai kilat. Dan belum lagi ada yang sempat menyadari, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah menyambar, dengan kepakan kedua sayapnya yang lebar dan kokoh.
"Khraaagkh...!"
Bret!
Prak!
"Akh!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat dan saling sambut, dari mereka yang tersambar sayap Rajawali Putih. Dan dalam waktu tidak berapa lama, puluhan orang sudah bergelimpangan berlumuran darah tidak bernyawa lagi. Rajawali Putih terus mengamuk sambil berkaokan keras, menghajar orang-orang berpakaian serba merah. Dan ini membuat mereka jadi kalang kabut. Mereka berlarian sambil berteriak-teriak, berusaha menyelamatkan diri dari amukan burung rajawali raksasa ini.
Sementara Rangga sendiri sudah melompat cepat, menerjang Priyada yang masih terlongong bengong, seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Dan ketika Pendekar Rajawali Sakti melepaskan pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat pertama, Priyada tidak sempat lagi menyadarinya. Bahkan juga tidak dapat lagi menghindarinya. Sehingga pukulan keras bertenaga dalam tinggi itu tepat menghantam dadanya.
"Diegkh! Aaakh...!" Sambil menjerit keras, Priyada seketika itu juga terpental jauh ke belakang. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, dan terus bergulingan hingga melanda sebatang pohon yang cukup besar, sampai hancur berkeping-keping.
"Hoek...!" Segumpal darah kental menyembur keluar dari mulut Priyada. Walau dengan dada sesak dan mata berkunang-kunang, pemuda itu masih juga berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, Rangga sudah kembali melompat dengan kecepatan tinggi. Langsung diberikannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tingkat terakhir.
Begitu cepat pukulan Rangga, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya merah dari angin pukulan itu. Sementara Priyada tidak sanggup lagi berkelit menghindarinya. Dan....
"Begkh! Aaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, bersama terpentalnya tubuh pemuda itu ke belakang dengan deras sekali. Darah terlihat muncrat keluar dari mulut yang ternganga kesakitan itu.
Bruk! Keras sekali tubuh Priyada menghantam tanah. Dan hanya sedikit saja terlihat gerakan di tubuh pemuda itu, yang langsung mengejang kaku dan tidak bergerak-gerak lagi. Dadanya tampak remuk dan hangus menghitam seperti terbakar. Sementara darah berhamburan keluar dari mulutnya. Sedangkan Rangga berdiri tegak tidak jauh darinya, memandangi dengan tatapan mata tajam, penuh kebencian yang tidak dapat lagi dilukiskan.
Rangga memang selalu memandang benci pada orang-orang yang memiliki hati iblis. Dan dia tidak pernah memberi ampun, kalau orang itu tidak mau menyadari tindakan iblisnya. Sementara, tidak jauh dibelakangnya Rajawali Putih masih mengamuk, menghajar anak buah Priyada yang sudah tidak bisa lagi berbuat banyak. Jeritan-jeritan panjang mengiringi kematian terus terdengar saling sambut menyayat hati. Tapi beberapa dari mereka masih bisa meloloskan diri dari amukan burung rajawali raksasa. Dan mereka terus berlari cepat, kembali kekotak Kadipaten Parunggungan.
"Cukup, Rajawali...!" seru Rangga tiba-tiba," sambil berbalik.
"Khraaagkh...!" Rajawali Putih langsung melesat ke atas, dan kembali menukik deras sekali ke belakang pemuda berbaju rompi putih ini. Dengan gerakan begitu ringan, Rajawali Putih mendarat tidak jauh di belakang Rangga.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti memandangi orang-orang yang bergelimpangan tidak bernyawa lagi, dengan darah membanjir di sekitamya. Beberapa orang tampak masih merintih menahan sakit. Dan, masih ada sekitar sepuluh orang lagi yang hidup tanpa mendapat luka sedikit pun. Mereka tidak ada lagi yang berani melakukan sesuatu. Bahkan, langsung melempar senjatanya tanda menyerah.
"Pergi kalian. Dan, jangan lagi datang kesini!" bentak Rangga langsung mengusir.
Tanpa diperintah dua kali, mereka yang masih bisa berlari segera mengambil langkah seribu. Lari lintang pukang meninggalkan tempatnya. Sementara Rangga berbalik, dan memeluk burung rajawali raksasa tunggangannya.
"Ayo, Rajawali. Kita obrak-abrik mereka di Istana Kadipaten Parunggungan," ajak Rangga. "Rasanya, aku tidak membutuhkan prajurit untuk mengusir mereka dari kadipaten ini."
"Khrrr...!"
"Hup!" Begitu indah dan ringan gerakan Rangga ketika melompat naik ke punggung burung rajawali raksasa ini. Dan begitu duduk, Rajawali Putih langsung berteriak keras, dengan kepakan sayapnya yang lebar. Sekali kepak saja, burung rajawali raksasa itu sudah melesat tinggi ke angkasa. Suaranya yang serak dan keras menggelegar, bagai hendak memecah kesunyian malam ini.
Tepat di saat Pendekar Rajawali Sakti itu pergi bersama burung rajawali raksasa tunggangannya itu, dari balik sebatang pohon yang sangat besar muncul seorang laki-laki berusia muda dengan pakaian sudah koyak. Dia adalah Adipati Wiyatala. "Dewata Yang Agung.... Aku yakin dia, pasti dewa yang turun dari kahyangan...," desah Adpati Wiyatala.
Rupanya adipati itu menyaksikan semua yang terjadi di tempat ini. Dan dia juga melihat Rangga yang pergi bersama burung rajawali raksasa tunggangannya yang begitu dahsyat dan sulit bisa dipercaya keberadaannya. Dan burung itu kini membawa Rangga terbang, menuju Istana Kadipaten Parunggungan.
Adipati Wiyatala tidak tahu, apa yang dilakukan pemuda penolongnya yang dianggap dewa itu. Dia hanya berdiri terpaku beberapa saat, memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di depannya. Hanya dalam waktu singkat, pemuda berbaju putih yang mengaku bernama Rangga dan menunggang seekor burung rajawali raksasa itu, bisa mengobrak-abrik begitu banyak pengikut Ki Warungkul. Bahkan begitu mudah bisa menewaskan Priyada, salah satu putra Ki Warungkul yang berkepandaian tinggi.
"Bahaya kalau aku masih tetap di sini. Sebaiknya, aku pergi," gumam Adipati Wiyatala.
Menyadari kalau tempat ini sangat berbahaya, bergegas adipati itu berbalik dan melangkah pergi dengan ayunan langkah cepat. Adipati Wiyatala langsung masuk ke dalam hutan, terus menembus lebatnya hutan yang pekat berselimut kabut cukup tebal ini. Tidak dipedulikan lebatnya hutan dan gelapnya malam. Langkahnya tergesa-gesa, sehingga berapa kali kakinya tersangkut akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Dan beberapa kali pula dia jatuh bergulingan, tapi terus bangkit kembali dan berjalan cepat. Tidak dihiraukannya rasa letih serta luka-luka bekas cambukan di tubuhnya ini.
Tanpa terasa, Adipati Wiyatala sudah berjalan begitu jauh menembus hutan yang gelap dan lebat ini. Dan ketika merasakan keletihan yang amat sangat, dia jatuh tertelungkup di atas rerumputan yang basah oleh embun. Napasnya tersengal memburu. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya, membuat seluruh luka sayatan bekas cambukan terasa begitu pedih. Adipati Wiyatala mengangkat kepalanya perlahan. Dan saat itu juga kedua matanya jadi terbeliak lebar, saat melihat sesosok tubuh ramping tahu-tahu sudah berdiri tegak di depannya.
"Oh...?!" Begitu terkejutnya, hingga adipati itu langsung terlompat bangkit berdiri seperti lupa akan keletihan yang menyerang tubuhnya. Adipati Wiyatala menarik kakinya ke belakang beberapa langkah, sambil memandangi wanita berwajah cantik yang tahu-tahu muncul di depannya ini. Seorang wanita berusia muda mengenakan baju ketat warna biru, hingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebuah gagang pedang tersandang di punggungnya. Dan sebuah kipas terkembang ditangan kanan, menutupi dadanya yang membusung indah.
"Sss..., siapa kau...?" tanya Adipati Wiyatala dengan suara bergetar seperti kedinginan.
"Maaf, kalau kedatanganku membuatmu terkejut. Aku Pandan Wangi. Dan kau siapa?" lembut sekali suara gadis itu. Dan gadis itu memang Pandan Wangi, yang lebih dikenal sebagai Kipas Maut. Dia melangkah menghampiri Adipati Wiyatala yang terlihat sudah mulai bisa menguasai dirinya kembali. Bahkan kini napasnya sudah tidak lagi memburu cepat.
"Eh? Kau terluka...? Siapa yang melukaimu...?"
Pandan Wangi jadi terkejut, begitu melihat keadaan laki-laki muda di depannya. Gadis ini memang tidak mengenal siapa laki-laki itu. Namun bergegas tangannya diulurkan, menekan dada sebelah kiri Adipati Wiyatala. Dan saat itu juga, kedua bola matanya terbeliak lebar. Dirasakan adanya aliran hawa yang cukup hangat pada ujung jari tangannya yang menyentuh dada penuh luka bekas cambukan ini.
"Kau sudah tersalurkan hawa murni. Siapa yang melakukannya padamu, Kisanak?" tanya Pandan Wangi, langsung tahu kalau ada aliran hawa murni pada jalan darah laki-laki penuh luka di tubuhnya ini.
"Dewa," sahut Adipati Wiyatala.
"Dewa...?" Kening Pandan Wangi jadi berkerut memandangi wajah Adipati Wiyatala yang tampan itu dengan sinar mata agak tajam.
"Dewa yang turun dari kahyangan menunggang seekor burung raksasa. Dialah yang menolongku. Dan...," Adipati Wiyatala tidak melanjutkan.
"Siapa dewa itu, Kisanak? Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Pandan Wangi. Dadanya seketika jadi bergemuruh.
"Dia mengaku bernama Rangga. Seorang pemuda tampan, dan memiliki kepandaian begitu tinggi. Aku yakin, dia dewa yang turun dari kahyangan untuk menolongku dari tangan jahat Ki Warungkul," jelas Adipati Wiyatala.
"Kau siapa sebenarnya, Kisanak?" tanya Pandan Wangi yang langsung bisa menebak, kalau dewa yang dimaksudkan Adipati Wiyatala adalah Rangga.
"Aku Wiyatala. Aku adipati yang...," Adipati Wiyatala tidak lagi dapat melanjutkan kata-katanya.
"Di mana sekarang dia berada?" tanya Pandan Wangi tidak menghiraukan nada suara Adipati Wiyatala yang tersedak.
"Ke Istana Kadipaten Parunggungan. Dia akan mengusir iblis-iblis itu dari sana," sahut Adipati Wiyatala.
Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi langsung melesat cepat bagai kilat. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya yang dikuasai, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan.
Dan ini membuat Adipati Wiyatala jadi terlongong bengong melihatnya. "Oh...."
"Pergilah terus ke depan. Tidak jauh lagi, kau akan bertemu keluargamu..."
Dan di saat tengah terlongong itu, terdengar suara Pandan Wangi di telinganya. Begitu jelas terdengar, seakan-akan gadis itu masih berada di dekatnya. Padahal, sudah tidak lagi terlihat bayangannya sedikit pun juga.
"Oh.... Siapa dia? Apakah dia Dewi dari kahyangan juga...?" desah Adipati Wiyatala.
Tapi adipati itu tidak bisa lagi terus bertanya-tanya, mencari jawaban dari semua keanehan yang disaksikannya. Mengingat gadis itu mengatakan kalau adipati ini bisa bertemu keluarganya kembali, bergegas kakinya terayun melangkah. Entah mendapat dorongan kekuatan dari mana, Adipati Wiyatala seakan tidak lagi merasa letih. Semua keletihannya seketika lenyap. Dan dia terus berjalan menembus hutan yang gelap dan lebat berselimut kabut tebal ini.
********************
Sementara itu, Rangga sudah berkeliling di angkasa Istana Kadipaten Parunggungan. Pendekar Rajawali Sakti melihat keadaan di bawah sana seperti akan perang saja. Begitu banyak orang berpakaian serba merah memadati halaman depan istana yang luas itu. Dan mereka semua sudah siap dengan senjata masing-masing. Tampak seorang laki-laki tua berjubah merah yang didampingi seorang gadis cantik yang juga mengenakan baju warna merah, berdiri di atas tangga beranda depan istana. Di depannya, terlihat sekitar lima belas orang terduduk dengan kepala tertunduk menekuri tanah.
Saat itu, Rangga melihat gadis cantik yang sudah diketahuinya sebagai Worodini, melompat dengan kecepatan tinggi sambil mencabut pedang. Dan saat itu juga. Pedangnya dibabatkan pada orang-orang yang tertunduk di depan tangga beranda depan istana ini.
Cras!
Tidak ada seorang pun yang bersuara ketika pedang gadis itu memenggal leher lima belas orang itu. Hanya sekali kelebatan saja, kepala lima belas orang itu terpisah dari lehernya. Darah seketika mengucur keluar, bersamaan dengan tubuh-tubuh yang terjungkal tanpa kepala lagi. Begitu cepat sekali kejadian itu, tahu-tahu Worodini sudah kembali berdiri di samping ayahnya. Sementara, Rangga yang menyaksikan dari punggung Rajawali Putih, darahnya seketika jadi terkesiap melihat kekejaman gadis itu.
Rangga tahu orang-orang yang kepalanya dipenggal itu adalah yang lolos dari amukan Rajawali Putih tadi. Dan mereka rupanya kembali lagi ke istana ini. Tapi, yang didapatkan hanya pemenggalan kepala saja. Tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup. Sementara, juga tidak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu untuk menentang tindakan yang kejam itu. Semua hanya bisa diam dengan kepala tertunduk.
"Dengar...! Aku tidak ingin kegagalan ini terulang lagi. Malam ini juga, kalian harus berangkat ke hutan itu. Cari mereka sampai ketemu. Bawa kepalanya ke sini!" lantang sekali suara Ki Warungkul.
Begitu keras suara laki-laki tua itu, hingga Rangga yang berada di angkasa bisa jelas mendengamya. Dan seketika darahnya bergolak mendidih seperti terbakar. Tapi Rangga masih harus menahan diri.
"Worodini, cari mereka! Bawa kepala mereka untukku," perintah Ki Warungkul.
"Aku juga akan membalas kematian Kakang Priyada, Ayah. Aku ingin tahu, seperti apa dia," sahut Worodini lugas.
"Pergilah sekarang. Bawa orang-orang sebanyak mungkin," kata Ki Wamngkul.
Worodini mengangguk, kemudian melangkah menuruni anak tangga beranda depan istana itu. Seorang pemuda menghampiri sambil menuntun seekor kuda putih yang tinggi dan tegap. Tanpa banyak bicara lagi, Worodini langsung melompat naik ke punggung kuda itu. Begitu indah dan ringan gerakannya, pertanda kepandaiannya tidak bisa dikatakan rendah lagi.
Dan saat itu juga, orang-orang yang berkumpul memadati halaman depan istana kadipaten segera memisahkan diri membagi dua bagian. Dan sebagian dari mereka, langsung berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sedangkan yang lain mengambil tempat di depan tangga beranda istana ini, membelakangi Ki Warungkul. Sementara Worodini yang sudah duduk di atas punggung kudanya, menatap ayahnya sebentar. Dan begitu kepala orang tua ini terangguk, kudanya langsung digebah cepat.
"Hiyaaat...!" Kuda putih itu seketika melesat kencang, menerobos pintu gerbang yang dibuka empat orang penjaga. Kepergian Worodini diikuti sekitar seratus orang yang semuanya menunggang kuda dan berpakaian serba merah. Maka malam yang seharusnya sunyi ini, dipecahkan oleh hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat meninggalkan istana ini.
Sementara Rangga yang berada di angkasa, terus memperhatikan semua dengan mata tidak berkedip. Dia ingin tahu, ke mana gadis itu pergi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sudah menduga kalau gadis itu pasti pergi ke dalam hutan, tempat kakaknya mati bersama puluhan orang pengikutnya yang diamuk Rajawali Putih.
"Bahaya.... Kalau mereka sampai menemukan Adipati Wiyatala di sana. Sebaiknya, dia kuhadang sambil mengurangi jumlah kekuatan mereka," gumam Rangga dalam hati.
Tanpa banyak membuang waktu lagi, Rangga langsung menyuruh Rajawali Putih mengikuti rombongan Worodini. Maka burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu segera melesat cepat, mengejar ke arah Worodini dan pengikutnya bergerak tadi. Tidak ada seorang pun yang tahu keberadaan Pendekar Rajawali Sakti di angkasa. Sementara, Ki Warungkul sendiri sudah sibuk mengatur orang-orangnya untuk menjaga sekeliling istana.
Begitu banyak pengikut Ki Warungkul yang tewas diamuk Rajawali Putih, hingga kini hanya memiliki pengikut sekitar dua ratus orang saja. Dan sebagian, sekarang ikut bersama Worodini. Dengan hanya memiliki kekuatan seperti ini, memang tidak mudah mempertahankan sebuah istana. Dan semua itu disadari Ki Warungkul, hingga semua pengikutnya yang tersisa diperintahkan untuk lebih memperkuat penjagaan.
Sementara itu, Rangga yang terbang bersama Rajawali Putih di angkasa terus mengikuti gerakan Worodini dan orang-orangnya yang sudah mulai memasuki hutan. Tidak lama lagi, mereka akan sampai di tempat, Rangga bersama Rajawali Putih mengamuk tadi. Sedangkan malam terus merayap semakin larut. Udara yang begitu dingin tidak lagi dirasakan.
"Lebih mendekat, Rajawali. Aku tidak ingin kehilangan jejak mereka," pinta Rangga, saat rombongan merah itu sudah mulai memasuki hutan lebat ini.
"Khraaagkh...!" Rajawali Putih merendahkan terbangnya. Meskipun hutan begitu lebat, tapi burung rajawali raksasa itu masih bisa melihat jelas orang-orang di dalam hutan itu. Sedangkan Rangga sesekali kehilangan jejak. Dan kini yang diandalkan hanya Rajawali Putih untuk terus mengikuti. Memang, kabut yang menyelimuti hutan itu demikian tebal.
"Khraaagkh...!"
"Heh...?! Ada apa, Rajawali?"
DELAPAN
Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja Rajawali Putih menjerit keras sambil menjulurkan kepala ke bawah. Saat itu, kabut di bawah sana memang tebal sekali. Sehingga, pandangan Pendekar Rajawali Sakti jadi terhalang. Namun ketika matanya menangkap sebuah bayangan biru berkelebat di dalam kabut yang tiba-tiba menipis sedikit, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar.
"Pandan Wangi...," desis Rangga.
"Khraaagkh...!"
"Cepat turun, Rajawali. Jangan sampai dia bertemu mereka," pinta Rangga dengan suara dibuat keras, untuk mengalahkan deru angin yang begitu keras di angkasa.
"Khraaagkh...!" Rajawali Putih segera menukik turun cepat sekali. Sehingga sebentar saja, burung raksasa itu sudah menembus tebalnya kabut yang menyelimuti hutan ini, dan langsung mendarat di sebuah tempat yang agak lapang. Tepat pada saat itu di depan sana Pandan Wangi sedang berlari cepat menuju ke kota Kadipaten Parunggungan. Gadis itu tampak terkejut, begitu tiba-tiba melihat Rajawali Putih di depannya. Cepat larinya dihentikan. Dan pada saat itu, Rangga melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa ini.
"Kakang...."
"Cepat kesini, Pandan!" seru Rangga begitu menjejakkan kakinya di tanah.
Pandan Wangi bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Ditatapnya sebentar pada burung rajawali raksasa di belakang pemuda ini, kemudian beralih pada wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa?" tanya Pandan Wangi, melihat wajah Rangga agak tegang.
"Kenapa kau ada di sini? Bukankah aku menyuruhmu ke Karang Setra, setelah menemui keluarga Adipati Wiyatala...?" Rangga malah balik bertanya.
"Semula, aku memang ingin ke sana, Kakang. Tapi hutan ini begitu lebat, hingga aku tersesat. Dan aku bertemu Adipati Wiyatala. Darinya, aku tahu kalau kau sedang menghadapi mereka. Maka aku langsung saja menyusulmu," kata Pandan Wangi menjelaskan. "Aku khawatir padamu."
Rangga tersenyum kecil, kemudian menarik tangan Pandan Wangi. "Sebagian dari mereka menuju ke sini. Aku tidak ingin kau bertemu mereka. Ayo, kita hindari dulu," kata Rangga.
Pandan Wangi ingin mengeluarkan suara, tapi Rangga sudah menarik tangannya. Dan gadis itu terpaksa melesat, mengikuti Rangga yang melompat naik ke punggung Rajawali Putih sambil memegangi tangannya.
"Ayo, Rajawali. Ikuti mereka lagi," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!" Sekali mengepakkan sayap, burung rajawali raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa membawa sepasang pendekar muda dari Karang Setra. Sebentar Rajawali Putih berputar-putar, kemudian melesat ke arah utara. Saat itu, Rangga melihat bayangan orang-orang berbaju merah itu berkelebat dari balik pepohonan yang begitu lebat di dalam hutan ini.
"Kau lihat, Pandan. Itu mereka," jelas Rangga, memberi tahu.
Pandan Wangi melihat bayangan-bayangan merah berkelebatan menembus hutan yang sangat lebat dan gelap terselimut kabut tebal di bawah, sana. Dia tahu, apa yang dimaksud Rangga. Orang-orang itulah yang merusak dan merebut Kadipaten Parunggungan. Walaupun belum melihat bagaimana keadaan kadipaten itu, tapi Pandan Wangi sudah bisa membayangkannya. Terlebih lagi, kalau ingat cerita Kaliga dalam perjalanan kembali ketempat persembunyian keluarga Adipati Wiyatala di tepi telaga yang ada di dalam hutan ini. Kota kadipaten itu tentu saja sudah tidak lagi berpenghuni.
"Kakang, mereka menuju ke telaga...!" seru Pandan Wangi.
"Telaga...?" Rangga mengerutkan keningnya.
"Benar! Di sanalah keluarga Adipati Wiyatala berada," kata Pandan Wangi lagi memberi tahu.
"Berapa jauh lagi?"
"Tidak jauh, Kakang. Tidak lama lagi, mereka akan tiba di sana."
"Kalau begitu, kita harus menghadang mereka di sini. Mereka orang-orang kejam, Pandan. Apalagi, mereka juga ditugaskan membunuh Adipati Wiyatala. Tapi yang lebih penting lagi, mereka harus membawa kepalaku pada pemimpinnya," jelas Rangga.
"Kepalamu...?" Pandan Wangi tampak terkejut mendengar penjelasan Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa yang kau lakukan, Kakang?"
Dengan singkat Rangga menceritakan semua yang terjadi. Dan Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian. Sungguh tidak disangka kalau dalam waktu sesingkat ini, Rangga sudah bisa mengurangi jumlah kekuatan yang dimiliki gerombolan itu sekarang. Bahkan menewaskan salah seorang putra Ki Warungkul yang menjadi salah satu pemimpin orang-orang itu.
"Kita hadang mereka, Rajawali...!" seru Rangga begitu menyelesaikan ceritanya.
"Khraaagkh...!" Tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih langsung meluruk deras menuju ke arah orang-orang berbaju serba merah yang kini sudah mulai terlihat jelas. Karena, mereka sudah memasuki daerah yang mulai jarang pepohonannya.
"Khraaagkh...!" Jeritan burung rajawali raksasa yang begitu keras, memang membuat orang-orang berbaju serba merah itu jadi tersentak kaget. Mereka bagai mendengar ledakan gunung berapi, tepat di depan telinga. Begitu kerasnya, hingga membuat jantung bagai berhenti berdetak seketika. Dan ketika mendongakkan kepala, tampak seekor burung rajawali raksasa meluruk deras ke arah mereka. Seketika, kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar, seperti melihat sepasukan iblis dari neraka yang akan melumat habis tubuh mereka semua.
"Cepat berlindung...!" seru Worodini yang lebih cepat tersadar.
Seketika, orang-orang berbaju serba merah itu berserabutan, berlompatan dari punggung kuda, mereka berusaha mencari tempat perlindungan, tapi keadaan malah menjadi kacau. Mereka saling bertabrakan, membuat kuda-kuda tunggangan juga ikut kalang kabut. Dan ini memang disengaja Rangga, untuk memecahkan perhatian mereka semua. Maka dimintanya Rajawali Putih berputar-putar saja, membuat keadaan semakin bertambah kacau tidak menentu.
Sementara, Rajawali Putih semakin dekat saja. Dan begitu burung rajawali raksasa itu mengibaskan sayap ke bawah, Rangga langsung melompat turun diikuti Pandan Wangi. Beberapa orang seketika menjerit, terkena sambaran sayap burung rajawali.
"Dia bagianku, Kakang...!" seru Pandan Wangi begitu kakinya menjejak tanah. "Hiyaaat!"
Pandan Wangi langsung saja meluruk cepat sekali ke arah Worodini. Bagaikan kilat, si Kipas Maut segera mencabut senjata kipasnya, dan langsung dikebutkan ke arah dada Worodini.
"Bet! Aikh...?!" Worodini jadi terpekik kaget setengah mati. Untung saja dia cepat melompat ke belakang, sehingga serangan Pandan Wangi bisa dihindari. Sehingga hanya sedikit saja ujung kipas yang runcing seperti mata anak panah itu berkelebat di depan dadanya. Namun belum juga keseimbangan tubuhnya bisa dikuasai, Pandan Wangi sudah kembali melompat menyerang dengan kebutan-kebutan senjata kipas mautnya yang sangat cepat dan dahsyat. Akibatnya Worodini terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan yang cepat dan gencar ini.
Sementara itu, Rangga yang dibantu Rajawali Putih mulai mengamuk, menghajar lawan yang berjumlah sangat besar. Menyadari jumlah lawan yang begitu besar, Rangga tidak sungkan-sungkan lagi menggunakan pedang pusakanya. Maka, keadaan di dalam hutan ini jadi terang benderang seperti siang hari. Cahaya yang memendar keluar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti, berkelebat begitu cepat bagai kilat, membuat mereka yang berada di dekatnya tidak dapat lagi menghadapinya.
Jeritan-jeritan panjang mengiringi kematian pun semakin sering terdengar saling sambut. Dan tubuh bersimbah darah terus berjatuhan semakin banyak. Namun Rangga bagai kesetanan, mengamuk membabatkan pedangnya pada lawan-lawannya yang mendekat. Pedang yang memancarkan cahaya biru terang itu berkelebat begitu cepat, sehingga setiap gerakannya selalu menimbulkan korban yang tidak dapat dihindari lagi.
Sementara di tempat lain, Pandan Wangi terus mendesak Worodini yang hanya bisa berjumpalitan menghindar, tanpa mampu memberi serangan balasan sedikit pun juga. Seakan-akan, Pandan Wangi sengaja tidak memberi kesempatan pada lawannya untuk balas menyerang.
"Hiya! Hiya...!" Sambil berteriak nyaring, Pandan Wangi terus bergerak cepat sekali, menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang begitu dahsyat. Dan ini tentu saja membuat Worodini semakin kelabakan menghadapinya. Terlebih lagi, dia melihat orang-orangnya sama sekali tidak berdaya menghadapi gempuran Rangga dan burung rajawali raksasa yang memang tidak ada tandingannya. Jeritan-jeritan melengking semakin sering terdengar, membuat Worodini semakin sulit mengendalikan diri. Hingga...
"Yeaaah...!" Begitu keras teriakan Pandan Wangi, hingga membuat Worodini jadi tersentak setengah mati. Tapi belum juga bisa melenyapkan keterkejutannya, si Kipas Maut sudah melepaskan satu pukulan keras dengan telapak tangan kiri. Begitu cepat pukulannya, sehingga Worodini tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
"Diegkh! Akh...!" Worodini jadi terpekik keras, begitu pukulan Pandan Wangi telak menghantam dadanya. Seketika itu juga, tubuhnya terpental deras ke belakang, menghantam sebatang pohon hingga tumbang. Keras sekali tubuh gadis itu terbanting ke tanah. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi sudah melompat menerjang kembali sambil mengebutkan kipas mautnya.
"Hiyaaat...!" Worodini kini mempunyai kesempatan untuk menggunakan pedangnya. Maka secepat itu pula pedangnya diloloskan dan langsung dibabatkan ke depan.
"Ikh! Cring! Bet!"
Maka terpaksa Pandan Wangi harus melenting ke belakang, menghindari sabetan pedang lawannya. Tepat di saat Pandan Wangi menjejakkan kakinya kembali ditanah, Worodini melompat bangkit berdiri. Seketika dia menekan dadanya yang terasa sesak, akibat terkena pukulan keras dari si Kipas Maut.
"Hih! Yeaaah?!" Kali ini Worodini rupanya tidak mau lagi kecolongan. Sebelum Pandan Wangi bisa menyerang kembali, dia cepat mendahului. Pedangnya seketika itu juga berkelebat begitu cepat menyambar ke arah kepala Pandan Wangi. Namun dengan satu gerakan mengegos yang begitu manis, Pandan Wangi bisa menghindari sambaran pedang lawan. Cepat kakinya ditarik ke belakang.
Namun saat itu juga, Worodini sudah memutar pedangnya dan langsung membabatkannya ke arah dada si Kipas Maut ini. Begitu cepat serangannya, hingga Pandan Wangi tidak ada lagi kesempatan untuk menghindarinya. Maka secepat itu pula kipasnya dikembangkan di depan dada.
"Trang! Ikh...?!" Worodini jadi terpekik, ketika pedangnya berbenturan dengan senjata kipas lawannya. Cepat kakinya ditarik ke belakang tiga langkah. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi sudah melesat cepat bagai kilat menerjangnya. Kipas Maut yang menjadi andalannya, langsung dikibaskan ke arah leher lawannya.
"Bet! Haiiit!" Worodini cepat-cepat menangkis tebasan kipas putih keperakan yang mengincar lehernya. Maka benturan dua senjata pun tidak dapat dihindari lagi. Bunga api seketika terlihat memercik, begitu dua senjata itu beradu tepat di depan tenggorokan Worodini.
Dan pada saat itu juga, tanpa diduga sama sekali Pandan Wangi sudah cepat berputar. Langsung dilepaskannya satu tendangan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangannya, hingga membuat Worodini jadi terperangah tidak dapat lagi berkelit.
"Diegkh! Akh...!" Untuk kedua kalinya, Worodini memekik. Tubuhnya kontan terpental ke belakang, begitu tendangan berputar yang dilancarkan Pandan Wangi menghantam dadanya. Dan saat itu juga, Pandan Wangi sudah melesat cepat bagai kilat mengejar lawannya. Langsung senjata kipas mautnya dikebutkan kearah batang leher Worodini.
"Hiyaaa...! Wut!"
Worodini yang belum juga bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, sama sekali tidak dapat lagi berkelit dari serangan si Kipas Maut. Jelas, lehernya yang putih jenjang itu akan menjadi sasaran senjata maut Pandan Wangi yang berupa kipas berujung runcing bagai mata panah ini. Namun, Worodini masih berusaha menghindarinya. Hingga....
"Cras! Akh...!"
Worodini jadi terpekik, begitu ujung kipas Pandan Wangi masih juga menyambar bahunya. Seketika itu juga darah mengalir deras. Cepat-cepat Worodini melompat ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Dan pedangnya masih sempat dikebutkan ke depan, hingga Pandan Wangi terpaksa harus melenting ke belakang menghindari sambaran pedang.
"Kurang ajar...!" geram Worodini, melihat luka cukup besar di bahunya.
Darah terus mengalir membasahi pakaiannya. Saat itu, Worodini sempat melihat ke arah pengikut-pengikutnya. Seketika itu juga, hatinya jadi terkesiap. Ternyata para pengikutnya yang berjumlah sekitar seratus orang sama sekali tidak berdaya menghadapi amukan Pendekar Rajawali Sakti dan burung rajawali raksasa tunggangannya. Sungguh tidak dipercaya kalau sudah lebih dari setengah orang-orangnya telah tergeletak tidak bernyawa lagi. Dan kedua bola mata Worodini semakin terbeliak, saat melihat cahaya biru terang dari pedang tergenggam di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Sebaiknya semua ini kulaporkan pada Ayah!" dengus Worodini dalam hati.
Sejenak gadis itu melayangkan pandangan ke sekitarnya. Dan sambil berteriak nyaring, Worodini langsung melompat menerjang si Kipas Maut ini. Pedangnya langsung berkelebat cepat sekali, menyambar ke arah kepala Pandan Wangi.
Bet! Namun dengan gerakan indah sekali, Pandan Wangi berhasil menghindarinya. Tapi si Kipas Maut sama sekali tidak menyangka kalau serangan yang dilancarkan lawannya hanya sebuah tipuan belaka. Dan di saat tubuh si Kipas Maut ini terbungkuk, Worodini langsung melompat mendekati kudanya.
"Hiyaaa...!" Kuda putih yang tinggi dan gagah itu kontan meringkik, begitu merasakan ada yang menungganginya. Dan ketika tali kekangnya terhentak keras, kuda itu langsung melesat cepat meninggalkan orang-orang berbaju serba merah yang sudah tidak lagi bisa menghadapi Rangga dan Rajawali Putih.
"Hei, jangan lari kau...!" bentak Pandan Wangi terkejut.
Tapi teriakan Pandan Wangi seperti tertelan riuhnya suara pertarungan di belakangnya. Sedangkan Worodini sendiri sudah lenyap tidak terlihat bayangannya sedikit pun juga. Dan ini membuat Pandan Wangi yang tidak sempat lagi mengejar, jadi menggerutu kesal sendiri. Dan kekesalan hatinya langsung dilampiaskan pada orang-orang berbaju serba merah yang sudah tidak dapat lagi mempertahankan diri. Maka mereka semakin kalang kabut begitu Pandan Wangi terjun ke dalam pertarungan. Dan jeritan-jeritan melengking tinggi pun semakin sering terdengar saling sambut, bersama ambruknya tubuh-tubuh berhamburan darah.
Hingga dalam waktu sebentar saja, tinggal sekitar sepuluh orang yang tersisa. Dan mereka langsung melemparkan senjata tanda menyerah. Pandan Wangi segera melompat menghampiri Rangga. Sedangkan Rajawali Putih sudah kembali ke angkasa, tanpa diminta lagi.
"Dengar! Kalau kalian ingin bertobat, kuperintahkan pergi dari sini. Dan, jangan coba-coba kembali lagi," dingin sekali nada suara Rangga.
Sepuluh orang itu segera membungkuk. Dan mereka segera beranjak pergi, sebelum Rangga mengusirnya dengan kasar. Mereka langsung berpencar, menuju ke arah masing-masing.
"Bagaimana sekarang, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Mengembalikan Kadipaten Parunggungan," sahut Rangga, mantap.
Mampukah Pendekar Rajawali Sakti mengembalikan Kadipaten Parunggungan seperti sediakala? Dan, bagaimana sikap Ki Warungkul setelah mengetahui anak gadisnya dapat dilukai Pandan Wangi? Apakah dia akan terus mempertahankan istana yang sudah berlumur darah itu...?
Untuk mengetahui kisah selanjutnya, nantikan serial Pendekar Rajawali Sakti, episode ISTANA RATU SIHIR
SELESAI