ISTANA RATU SIHIR
SATU
"Keparat..!"Brak!
Sebuah meja kayu jati yang sangat tebal, seketika hancur berkeping-keping terhantam kepalan tangan Ki Warungkul. Wajah laki-laki tua ini jadi merah membara, seperti terbakar. Kedua bola matanya yang merah seperti sepasang bola api, berputar liar memandangi putrinya yang duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk. Darah sudah tidak lagi mengalir dari luka robek di bahu gadis itu akibat terkena sambaran senjata Kipas Maut Pandan Wangi.
"Siapa nama gadis itu, Worodini?" tanya Ki Warungkul. Nada suaranya memendam amarah membara.
"Aku tidak tahu, Ayah. Tiba-tiba saja mereka muncul dari langit, dan langsung mengobrak-abrik pasukanku," sahut Worodini pelan, seraya mengangkat kepala sedikit. Dan langsung ditatapnya laki-laki tua yang berdiri di depannya.
"Edan...! Hanya dua orang saja, kau dan seratus orang anak buahmu tidak dapat menghadapinya...?" desis Ki Warungkul, seperti tidak percaya.
"Mereka memang hanya dua orang saja, Ayah. Tapi yang membantu mereka, seekor burung rajawali raksasa! Sulit untuk menghadapinya, Ayah. Mereka seakan sepasang dewa yang turun dari kahyangan," jelas Worodihi lagi.
"Phuih! Tidak ada dewa yang membunuh manusia!" dengus Ki Warungkul.
"Tapi mereka benar-benar datang dari langit, Ayah. Mereka menunggang burung rajawali raksasa," Worodini beruraha meyakinkan ayahnya yang masih juga kelihatan belum percaya terhadap semua ceritanya.
Memang dalam satu malam saja, Ki Warungkul sudah kehilangan lebih dari dua ratus orang pengikutnya. Dan mereka terbantai hanya oleh dua anak muda berkepandaian tinggi yang datang menunggang seekor burung rajawali raksasa. Masih untung, Worodini bisa selamat. Sedangkan hampir semua anak buahnya tewas dihajar burung rajawali raksasa itu.
Gadis itu sendiri mendapat luka yang cukup dalam di bahu kirinya, karena bertarung melawan gadis cantik yang datang bersama seorang pemuda dan burung rajawali raksasa. Worodini begitu yakin kalau mereka bukan manusia biasa. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa menunggangi burung. Dan baru kali ini Worodini bisa melihat seekor burung rajawali yang sangat besar seperti gunung. Di saat mereka terdiam, tiba-tiba saja....
"Khraaagkh...!"
"Oh...?!"
"Heh...?! Apa itu...?" sentak Ki Warungkul, kaget setengah mati.
"Mereka datang, Ayah...," desis Worodini, langsung bergetar jantungnya.
Ketika gadis itu dan pasukannya diserang, memang terlebih dulu terdengar suara keras menggelegar dari angkasa. Kemudian, disusul munculnya seekor burung rajawali raksasa yang ditunggangi sepasang anak muda yang tangguh dan sukar ditandingi. Sekarang, suara itu kembali terdengar. Dan ini membuat tubuh Worodini seketika bergetar.
"Mereka datang, Ayah. Mereka pasti akan menyerang kita di sini...," desis Worodini, tidak dapat menahan getaran suaranya.
Ki Warungkul hanya diam saja, dengan pandangan lurus ke depan. Tampak pengikutnya yang kini tinggal sekitar seratus orang, sudah berkumpul di tengah-tengah halaman depan istana kadipaten ini. Mereka tampaknya juga terkejut mendengar suara yang begitu keras menggelegar dari angkasa tadi. Dan mereka berusaha mencari sumber arah suara itu, tapi memang sulit. Karena saat ini malam begitu gelap. Hanya warna hitam saja yang terlihat di langit.
Ki Warungkul segera mengayunkan kakinya, keluar dari dalam istana yang dikuasai setelah merebutnya dari tangan Adipati Wiyatala. Dan Worodini mengikuti dari belakang tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga. Mereka langsung keluar, meniti anak-anak tangga beranda istana yang terbuat dari batu pualam putih. Begitu kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja....
"Ki Warungkul...! Tinggalkan kadipaten ini, kalau kau dan semua orang-orang masih ingin hidup...!"
"Oh...?!" Bukan hanya Worodini saja yang terkejut mendengar suara keras menggema yang seakan datang dari langit. Bahkan semua orang yang ada di situ seperti terpaku dengan kepala menengadah ke atas. Mereka berusaha mencari sumber arah suara itu, tapi yang terlihat hanya langit hitam bertaburkan sedikit cahaya bintang.
"Hup...!" Ki Warungkul cepat melesat ke atas, lalu naik ke atap bangunan istana yang dikelilingi pagar benteng ini. Begitu indah dan ringan gerakannya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak atap. Tahu-tahu, orang tua itu sudah berdiri tegak di atas atap bangunan istana kadipaten ini. Pandangannya segera beredar ke sekeliling, tapi tidak terlihat seorang pun yang mencurigakan. Kesunyian begitu mencekam menyelimuti mereka semua. Seakan-akan, suatu pengadilan langsung dari dewata tengah dihadapi malam ini.
"Setan...! Siapa kau?! Tunjukkan dirimu...!" seru Ki Warungkul lantang menggelegar.
Belum lagi lenyap suara orang tua itu, tiba-tiba saja dari kegelapan malam di angkasa melesat sebuah bayangan putih keperakan yang begitu besar. Begitu bayangan putih itu berkelebat, hingga tidak ada seorang pun yang bisa jelas melihatnya. Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan putih lain melesat dengan kecepatan bagai kilat. Belum ada seorang pun yang bisa menyadari, tahu-tahu di depan Ki Warungkul sudah berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Kemunculan pemuda itu bersamaan dengan lenyapnya bayangan putih keperakan yang sangat besar tadi di angkasa.
Kemunculan pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti, tentu saja membuat Ki Warungkul jadi kaget setengah mati. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat ke belakang tiga langkah. Hampir tidak dipercaya! Kemunculan pemuda yang sudah membuat kegemparan ini, bagaikan dewa saja yang turun dari langit
"Siapa kau...?!" desis Ki Warungkul agak bergetar nada suaranya.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Ki Warungkul. Yang perlu kau ketahui, kedatanganku kesini untuk mengusirmu dari kadipaten ini," dingin sekali jawaban Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Kau pikir bisa seenaknya mengusirku begitu saja, heh...?! Dewa sekalipun tidak mampu mengusirku dari istana ini!" bentak Ki Warungkul, langsung berang.
Bet!
Ki Warungkul langsung saja mengebutkan tongkatnya ke depan. Maka ujung tongkatnya yang runcing, tertuju lurus ke dada pemuda di depannya. Namun pemuda yang nama sebenarnya adalah Rangga atau dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti, kelihatan tenang seperti tidak mempedulikan ujung tongkat yang mengancam dadanya.
"Hanya sekali aku memperingatimu, Ki Warungkul. Kau tidak berhak sama sekali berada di Kadipaten Parunggungan ini. Pergilah, sebelum jatuh korban lebih banyak lagi," desis Rangga. Suaranya semakin terdengar dingin menggetarkan.
Sementara, semua pengikut Ki Warungkul hanya bisa menyaksikan dari bawah. Tidak ada seorang pun yang berani melakukan tindakan, tanpa diperintah. Sedangkan Worodini kelihatan cemas atas munculnya pemuda seperti dewa itu. Apalagi, kini pemuda itu berhadapan dengan ayahnya. Worodini tidak ingin ayahnya mendapat celaka. Dia tahu, pemuda itu memiliki kepandaian laksana dewa. Buktinya hanya seorang diri saja, dia mampu mengobrak-abrik seratus orang pengikutnya!
"Kau boleh bangga bisa menghancurkan orang-orangku, Anak Muda. Tapi, aku ingin tahu. Sampai di mana kepandaianmu," desis Ki Warungkul dingin menggetarkan.
"Hm...." Rangga hanya sedikit menggumam saja. Sementara, Ki Warungkul sudah mengayunkan kakinya dua langkah mendekati. Tongkatnya masih terhunus lurus, dengan ujungnya yang runcing tertuju langsung ke dada pemuda di depannya. Dan saat ujung tongkatnya tinggal dua jengkal lagi dari dada Pendekar Rajawali Sakti, dengan kecepatan bagai kilat orang tua berjubah merah itu menghentakkannya ke depan.
"Upths!" Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan tubuhnya, tongkat itu lewat di samping kiri. Dan tanpa diduga sama sekali, tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti mengibas, menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Bet!
Tapi, Ki Warungkul rupanya sudah tahu akan tindakan Pendekar Rajawali Sakti. Maka dengan cepat tongkatnya ditarik berputar, dan langsung disabetkan ke arah kaki pemuda itu sambil sedikit mcmbungkukkan tubuhnya.
"Haiiit...!" Cepat-cepat Rangga melompat keatas, menghindari sambaran tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya itu. Dan tubuhnya langsung berputar ke belakang, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di atas atap bangunan istana ini. Saat itu, Ki Warungkul sudah kembali melesat cepat sambil menyabetkan tongkatnya beberapa kali secara beruntun.
"Hup! Yeaaah...!" Rangga terpaksa harus berjumpalitan diudara, menghindari setiap serangan Ki Warungkul yang cepat dan gencar ini. Beberapa kali tongkat kayu itu mengibas, mengincar tubuhnya. Tapi dengan gerakan indah sekali, Rangga selalu dapat menghindarinya.
Pertarungan di atas atap istana itu berlangsung sengit. Ki Warungkul yang sudah begitu berang, karena putranya berhasil ditewaskan pemuda ini, tidak segan-segan lagi menyerang dengan jurus-jurus tingkat tinggi. Setiap kebutan tongkatnya, selalu menimbulkan hempasan angin begitu kuat menderu bagai badai, disertai hembusan hawa panas yang begitu menyengat.
Bahkan setelah pertarungan berlangsung lebih dari delapan jurus, tampak tongkat kayu yang kelihatannya biasa, jadi berwarna merah seperti mengeluarkan api. Sementara hawa panas yang ditimbulkannya juga semakin menyengat, membuat udara disekitarnya jadi menipis. Rangga yang cepat menyadari akan keadaan ini, segera memindahkan jalan pernapasannya melalui perut. Sehingga dia tidak lagi merasa sulit bernapas walaupun udara disekitarnya semakin menipis.
"Edan...! Dia bisa menahan delapan jurus seranganku! Ilmu apa yang dimilikinya...?!" dengus Ki Warungkul dalam hati.
Walaupun kagum dengan ketahanan lawannya, tapi Ki Warungkul juga jadi penasaran. Maka serangan-serangannya semakin ditingkatkan. Bahkan tubuhnya seakan lenyap dari pandangan mata. Hanya bayangan jubah merah yang dikenakan saja terlihat berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga sendiri masih menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Sehingga setiap serangan yang dilancarkan orang tua itu bisa dihindari dengan manis. Tapi Pendekar Rajawali Sakti juga merasa kalau tidak akan mungkin bisa bertahan lebih lama menghadapi serangan yang semakin gencar dan berbahaya ini.
"Jebol! Yeaaah...!" Tiba-tiba saja, Ki Warungkul membentak keras menggelegar. Dan dengan gerakan begitu cepat, tubuhnya diputar ke bawah. Lalu tongkatnya dikelebatkan begitu cepat, menyambar kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Namun di saat pemuda berbaju rompi putih itu melesat ke atas menghindari sambaran tongkat itu, mendadak saja Ki Warungkul melesat cepat mendahului tanpa diduga sama sekali. Dan bagaikan kilat, dilepaskannya satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri tanpa terduga sebelumnya. Begitu cepat pukulannya, sehingga....
"Diegkh! Akh...!" Rangga jadi terpekik, begitu merasa kan pukulan yang dilepaskan Ki Warungkul keras menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke belakang. Hingga tak ayal lagi, Pendekar Rajawali Sakti meluncur ke bawah dan jatuh keras sekali menghantam tanah. Kembali terdengar pekikan agak tertahan. Tampak Pendekar Rajawali Sakti bergulingan beberapa kali di tanah. Dan ketika Ki Warungkul yang juga melesat memburu sudah menjejakkan kakinya, Rangga cepat melompat bangkit berdiri.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menjejakkan kakinya secara sempurna di tanah, Ki Warungkul sudah melesat begitu cepat sambil menghujamkan ujung tongkatnya kearah dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
"Uphts!" Cepat-cepat Rangga mengegoskan tubuhnya ke kanan, membuat hujaman tongkat Ki Warungkul lewat di depan dadanya. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan tangan kiri, mencoba menghantarn perut lawannya yang lowong ini.
Bet!
"Ikh...?!" Ki Warungkul jadi tersedak kaget. Sungguh tidak disangka pemuda ini masih bisa memberi serangan. Cepat dia menarik diri kebelakang, dengan melenting berputar dua kali. Maka kesempatan ini digunakan Rangga untuk membuat jarak. Seketika dilakukannya beberapa gerakan tangan, sambil menyelimuti seluruh rongga dadanya, seketika lenyap. Dan Rangga mengambil napas segar sebanyak-banyaknya. Sementara saat itu Ki Warungkul sudah memutar tongkatnya cepat sekali di depan tubuhnya.
Belum juga perhatian Rangga bisa terpusat kembali pada pertarungan, Ki Warungkul sudah kembali melesat cepat sambil memutar tongkatnya hingga mengeluarkan suara menderu yang begitu dahsyat bagai badai. Dan tongkatnya langsung dihantamkan dari atas kepala Pendekar Rajawali Sakti ini. Begitu keras hantamannya, hingga deru angin yang ditimbulkannya sempat membuat jantung siapa pun yang mendengarnya jadi terhenti berdetak. Sementara semua orang yang menyaksikan pertarungan sudah menduga, apa yang akan terjadi pada pemuda berbaju rompi putih ini, jika terhantam tongkat yang sangat dahsyat itu. Namun....
Glarrr...!
Mendadak saja satu ledakan yang begitu dahsyat seketika terdengar bagai guntur memecah angkasa, ketika tongkat itu sepertinya menghantarn tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tampak debu dan asap berwarna kemerahan mengepul bagai kabut tebal menggumpal. Saat itu juga, terlihat Ki Warungkul melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya beberapa kali. Lalu, manis sekali orang tua berjubah merah itu menjejakkan kakinya di tanah. Tatapan matanya menyorot begitu tajam, memperhatikan kepulan asap kemerahan bercampur debu yang bergulung-gulung didepannya.
Kesunyian begitu terasa menyelimuti sekitar nya. Bukan hanya Ki Warungkul saja. Tapi, semua pengikutnya terus memperhatikan gumpalan asap kemerahan dengan dada berdebar-debar. Mereka sudah barang tentu mengharapkan pemuda berbaju rompi putih itu hancur jadi debu, terkena hantaman tongkat Ki Warungkul yang dahsyat. Tapi ketika kepulan asap itu mulai menipis tertiup angin, puluhan pasang mata yang sejak tadi terus memperhatikan jadi terbeliak lebar dengan mulut ternganga. Seakan, mereka tidak percaya dengan apa yang disaksikan.
Di dalam kepulan debu dan asap kemerahan yang sudah tipis itu, tidak ada seorang pun di sana. Entah, ke mana Pendekar Rajawali Sakti pergi. Dan, kapan itu dilakukannya. Tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan Ki Warungkul sendiri tidak tahu, bagaimana pemuda yang menjadi lawan bertarungnya bisa menghindari serangan dahsyatnya. Bahkan sampai lenyap tanpa diketahui, bagai tertelan bumi saja.
"Keparat..!" geram Ki Warungkul berang.
Bergegas orang tua itu melangkah mendekati kepulan debu dan asap yang sudah hampir tidak terlihat. Di sana, yang didapati hanya tanah yang terbongkar, berlubang sangat besar akibat hantaman tongkatnya tadi. Rangga benar-benar lenyap, bagai ditelan bumi. Dan ini membuat Ki Warungkul semakin berang saja.
Sementara, semua pengikut orang tua itu tidak ada seorang pun yang bersuara. Mereka juga terheran-heran melihat semua kejadian ini. Sulit dipercaya, ada orang yang bisa menghindari serangan dahsyat dari tongkat Ki Warungkul yang sudah terkenal kedigdayaannya.
Perlahan Ki Warungkul berbalik. Dipandanginya orang-orang yang sejak tadi berkumpul melihat tanpa bersuara sedikit pun. Kedua bola mata Ki Warungkul jadi mendelik, melihat orang-orangnya hanya diam saja tanpa melakukan sesuatu yang berarti.
"Kenapa kalian diam saja...?! Ayo, cari bocah keparat itu sampai dapat...!" bentak Ki Warungkul memberi perintah.
Mendengar bentakan lantang menggelegar itu mereka langsung berhamburan, menyebar ke seluruh pelosok istana ini. Hanya Worodini saja yang masih berada ditempatnya. Gadis itu segera melangkah menghampiri ayahnya yang kelihatan begitu tegang, memendam amarah yang meluap-luap bagai tak tertahankan lagi. Agak ngeri juga Worodini melihat wajah ayahnya memerah seperti terbakar, dengan bola mata berapi-api mengerikan.
"Kemasi barang-barangmu, Woro," kata Ki Warungkul.
"Untuk apa...?" tanya Worodini terkejut.
"Kita tinggalkan istana ini sekarang juga."
"Tapi, Ayah...."
"Sudah! Turuti kata-kataku...!" bentak Ki Warungkul.
Worodini langsung terdiam mendengar bentakan ayahnya yang begitu keras, bagai guntur yang menggelegar di angkasa. Tanpa banyak bicara lagi, kakinya bergegas melangkah menaiki anak-anak tangga beranda depan istana. Sedangkan Ki Warungkul masih tetap berdiri diam mematung di tempatnya. Entah, apa yang ada didalam kepalanya saat ini. Sementara orang-orangnya yang setia sudah kembali lagi, memberi laporan kalau tidak berhasil menemukan Pendekar Rajawali Sakti disekitar istana ini. Ki Warungkul hanya diam saja menerima laporan orang-orangnya ini.
Kemudian laki-laki tua itu memerintahkan mereka semua untuk bersiap-siap meninggalkan Istana Kadipaten Parunggungan. Walau hati mereka bertanya-tanya, tapi semua menuruti perintah itu. Mereka segera mempersiapkan kuda-kuda, dan mengemasi perbekalan. Dan malam itu juga, mereka berangkat meninggalkan istana yang diduduki dalam beberapa hari ini.
DUA
Sementara itu, tidak jauh dari bangunan Istana Kadipaten Parunggungan ini, Rangga dan Pandan Wangi yang berdiri berlindung di balik bayang-bayang sebuah pohon terus memperhatikan rombongan orang-orang berbaju serba merah. Rombongan yang dipimpin Ki Warungkul ini tengah keluar dari dalam tembok pagar benteng istana ini. Mereka semua menunggang kuda. Tidak ada seorang pun yang berjalan kaki. Pada barisan belakang, terlihat enam buah pedati yang ditarik masing-masing empat ekor kuda mengikuti rombongan berjumlah cukup besar itu.
"Mereka sudah pergi, Kakang," kata Pandan Wangi.
"Ya,... Tapi, itu bukan berarti persoalannya sudah selesai, Pandan."
"Maksudmu...?" Pandan Wangi tidak mengerti.
"Aku yakin, mereka akan kembali lagi ke sini. Paling tidak, kadipaten ini tidak dibiarkan kembali hidup seperti semula," sahut Rangga pelan suaranya.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab. Dia sendiri tidak tahu, apa yang akan dilakukan sekarang ini. Tapi baginya yang penting sudah memenuhi janjinya pada Adipati Wiyatala untuk mengusir mereka dari kadipaten ini. Hanya saja, masih belum bisa dimengerti, kenapa mereka begitu mudah meninggalkan istana ini...? Padahal tadi, hampir saja Pendekar Rajawali Sakti tidak sanggup menandingi ketangguhan Ki Warungkul dalam pertarungannya yang begitu menguras tenaga.
"Kakang, apa tidak sebaiknya Adipati Wiyatala diberitahu dulu?" ujar Pandan Wangi, memberi saran.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.
Sementara rombongan Ki Warungkul sudah tidak terlihat lagi. Dan saat itu, malam sudah hampir berganti pagi. Kokok ayam jantan sudah mulai terdengar di kejauhan. Dan di ufuk timur, rona merah jingga mulai terlihat membayang.
"Pandan, pergilah temui Adipati Wiyatala dan keluarganya. Aku akan menjaga segala kemungkinan disini," kata Rangga. "Kau sudah temukan kudamu...?"
"Sudah," sahut Pandan Wangi.
"Tidak pernah jauh dari Dewa Bayu."
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah memberi perintah pada kuda tunggangannya yang bernama Dewa Bayu, untuk selalu menjaga si Putih, kuda tunggangan Pandan Wangi yang hanya seekor kuda biasa. Sedangkan Dewa Bayu, bukanlah kuda biasa. Bahkan tidak ada duanya di dunia ini.
"Pergilah sekarang, Pandan. Kau dampingi mereka sampai ke sini," kata Rangga meminta.
Pandan Wangi hanya mengangguk sedikit. Dan tanpa banyak bicara lagi, gadis cantik berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah berlari cepat sekali ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga sendiri masih tetap berada di balik bayang-bayang pohon itu. Sebentar kemudian kepalanya terdongak memandang ke atas. Tampak Rajawali Putih masih saja berputar-putar di atas sana.
"Suiiit...! Kesini, Rajawali...!" seru Rangga sambil bersiul nyaring.
"Khraaagkh...!" Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung meluruk turun. Lesatannya cepat sekali, hingga sebentar saja sudah mendarat di depan Rangga. Pemuda berbaju rompi putih itu segera menghampiri, dan langsung melompat naik ke punggung Rajawali Putih.
"Ayo, Rajawali. Kita ikuti mereka. Kau tahu, kemana mereka pergi, kan...?" ujar Rangga meminta.
"Khraaagkh...!"
Wusss...!
Hanya sekali saja Rajawali Putih mengepakkan sayap, sudah melambung tinggi ke angkasa. Dan dari atas ini, Rangga bisa melihat Pandan Wangi yang kini sudah memacu kuda putihnya, begitu cepat menerobos hutan. Sedangkan di tempat lain, terlihat rombongan orang-orang berpakaian serba merah bergerak cepat, semakin jauh meninggalkan kota Kadipaten Parunggungan.
"Ikuti mereka, Rajawali. Tapi jangan sampai mereka mengetahui," pinta Rangga.
"Khrrr...!" Rajawali Putih hanya mengkirik saja perlahan. Dan burung raksasa ini terus melayang mengikuti rombongan orang-orang berbaju merah yang terus bergerak cepat melintasi sebuah padang rumput, lalu masuk ke dalam sebuah lembah yang tidak begitu besar di bawah sana. Mereka terus bergerak ke arah timur, seperti ingin menghampiri matahari yang baru saja menampakkan diri dari persembunyiannya di balik bukit
Jelas sekali Rangga melihat kalau orang-orang berpakaian serba merah itu terus bergerak mendaki sebuah bukit gersang yang berbatu. Rangga tahu, itu adalah Bukit Ular. Sebuah bukit yang tidak pernah dimasuki manusia. Dan bukit itu kabarnya dihuni ribuan ular berbisa segala jenis. Hingga tidak seorang pun yang berani mendekatinya. Bahkan mendekati sekitarnya saja, harus berpikir seribu kali. Mereka kini meninggalkan kuda-kudanya di kaki bukit itu. Hanya sekitar lima belas orang saja dari mereka yang menjaga kuda-kuda itu. Rangga tidak tahu, apa yang mereka lakukan di bukit gersang berbatu itu. Mereka terus bergerak cepat, semakin tinggi menuju puncak bukit.
Dari angkasa ini, Rangga melihat di tengah-tengah puncak bukit itu terdapat sebuah bangunan besar, seperti sebuah istana tua yang sudah tidak terpakai lagi. Tampak Ki Warungkul bersama anak gadisnya dan semua pengikutnya masuk ke dalam bangunan istana tua itu. Sulit diketahui apa yang mereka lakukan didalam istana itu. Karena, seluruh bangunan istana itu terbuat dari batu dan tertutup rapat. Dan Rangga hanya bisa menunggu. Tapi, orang-orang itu tidak ada lagi yang kelihatan keluar dari dalamnya.
"Coba dekati bangunan itu, Rajawali," pinta Rangga.
Tapi belum juga Rajawali Putih bergerak mendekati bangunan istana itu, tiba-tiba saja bagian tengah atap istana tua yang berbentuk bulat dan besar itu terbuka. Dan tiba-tiba dari dalam melesat cepat bagai kilat sesuatu yang sangat besar berwarna hitam.
"Khraaagkh...!"
Bukan hanya Rajawali Putih yang terkejut, setelah tahu apa yang keluar dari dalam istana tua itu. Malah Rangga sampai terpekik, seakan tidak percaya. Dari dalam bangunan istana tua itu, mendadak keluar seekor burung rajawali raksasa yang sangat mirip Rajawali Putih! Hanya saja, burung rajawali raksasa itu berbulu hitam legam seperti arang.
"Awas...!" Rangga jadi terpekik, ketika tiba-tiba burung rajawali raksasa yang keluar dari bagian atas istana tua itu, melesat menyerang dengan kecepatan kilat.
"Khraaagkh...!" Rajawali Putih segera mengepakkan sayapnya, dan cepat melesat naik ke atas. Sehingga, terjangan burung rajawali raksasa hitam itu tidak sampai mengenainya. Dan pada saat burung rajawali hitam itu berada tepat di bawahnya, Rajawali Putih langsung berputar. Lalu seketika tubuhnya menukik deras dengan paruh yang besar terbuka lebar.
"Khraaagkh...!"
Prak!
Tepat sekali paruh Rajawali Putih yang besar dan kokoh itu menghantam batok kepala burung rajawali hitam. Begitu keras patokannya, hingga kepala burung rajawali hitam raksasa itu pecah seketika. Tapi saat itu, satu keanehan tiba-tiba terjadi. Burung rajawali hitam itu mendadak menghilang.
"Heh...? Ke mana dia, Rajawali...?" seru Rangga terkejut.
"Khraaagkh...!" Rajawali Putih yang tampak gelisah menghadapi kenyataan, berkaokan keras sekali. Kepalanya berputaran, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi memang, burung rajawali hitam itu tidak tampak lagi. Lenyap begitu saja bagai asap, ketika batok kepalanya dihantam paruh Rajawali Putih tadi.
Dan ketika mereka tengah kebingungan, tiba-tiba dari atap bangunan istana tua yang masih terbuka lebar melesat sebuah bola api yang sangat besar. Kecepatannya bagai kilat, mengarah pada burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini.
"Awas, Rajawali...!" seru Rangga memperi-ngatkan.
"Khraaagkh... !"
Wusss...!
Cepat sekali Rajawali Putih memiringkan tubuhnya ke kanan dengan merentangkan sayapnya yang lebar ke atas. Sehingga, terjangan bola api itu tidak sampai mengenainya. Lalu dengan kecepatan begitu tinggi, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini berputar di udara. Dan pada saat yang sama, bola api yang sangat besar itu berputar, langsung melesat cepat menerjang. Begitu besarnya bola api itu, hingga dalam jarak yang masih jauh pun panasnya yang menyengat sudah terasa.
"Khraaagkh...!"
Wusss!
Kembali bola api raksasa itu tidak menemui sasaran, karena Rajawali Putih begitu cepat menghindarinya. Dan dengan kecepatan tinggi pula, Rajawali Putih langsung berputar. Tapi pada saat yang bersamaan, bola api itu sudah berputar balik. Bahkan langsung melesat hendak menyerang kembali burung rajawali raksasa ini.
"Ke bawah, Rajawali...!" seru Rangga lantang.
"Khraaagkh...!"
Tepat di saat bola api itu sudah dekat, Rajawali Putih segera menukik cepat ke bawah. Dan pada saat itu juga, Rangga mencabut pedang pusakanya yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan. Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang pusakanya ke atas kepala, tepat ketika bola api itu berada diatas kepalanya. Dan....
Glarrr...!
Seketika itu juga, terdengar ledakan dahsyat bagai hendak memecah alam ini, di saat Pedang Pusaka Rajawali Sakti menghantam bola api yang kontan pecah berhamburan. Bahkan lenyap seketika, menimbulkan kepulan asap merah yang menggumpal membentuk bulatan.
Namun ketika asap merah itu lenyap, muncul seekor ular naga yang sangat besar berwarna merah menyala seperti terbakar. Aneh! Ular naga itu bisa melayang di angkasa, seakan-akan berada di atas tanah saja! Rangga yang saat itu berdiri di punggung Rajawali Putih jadi tersedak kaget setengah mati. Pedang pusakanya yang memancarkan cahaya biru terang, langsung disilangkan ke depan dada. Sedangkan Rajawali Putih juga tampak seperti gelisah, melihat kenyataan seperti ini. Mereka mendapat serangan-serangan aneh yang begitu sulit dipercaya. Serangan-serangan itu muncul begitu saja, dari dalam bangunan istana tua di atas Bukit Ular ini.
"Ini pasti sihir, Rajawali. Jangan gelisah. Kita hadapi bersama-sama," desis Rangga, mencoba menenangkan burung rajawali raksasa tunggangannya.
"Khraaagkh...!"
"Bagus, Rajawali. Jangan percaya semua itu. Ini pasti hanya sihir," dengus Rangga.
Ular naga raksasa merah itu meliuk-liuk di udara, seakan ingin memperlihatkan kekuatannya. Dari mulut dan lubang hidungnya menyembur api yang mengepulkan asap berwarna merah. Saat itu, Rangga merasakan kalau semburan api dan asap itu mengandung racun sangat mematikan. Tapi hatinya tidak merasa cemas sedikit pun. Tubuhnya memang sudah kebal terhadap segala jenis racun yang paling berbahaya sekalipun di dunia ini. Karena sejak kecil Rangga selalu makan jamur yang mengandung sari kebal racun di Lembah Bangkai
"Hosss...!" Dengan gerakan begitu cepat, ular naga raksasa itu meluruk ke arah Rajawali Putih yang ditunggangi Rangga. Api yang menyembur dari moncongnya, hampir saja mengenai sayap burung rajawali raksasa. Untung saja Rajawali Putih segera mengepakkan sayapnya ke atas. Dan cepat tubuhnya melesat tinggi, hingga melewati ular naga raksasa ini. Dan pada saat itu juga, tanpa diduga sama sekali Rangga melompat dari punggung Rajawali Putih.
"Hiyaaat...!"
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih tampak terkejut melihat kenekatan Rangga yang melompat sambil mengangkat pedangnya ke atas kepala. Dan begitu dekat dengan kepala ular naga raksasa ini, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menghantamkan pedang pusakanya disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Bet!
Begitu cepat serangan Pendekar Rajawali Sakti ini, hingga ular naga raksasa itu tidak sempat lagi menghindarinya. Dan.....
Cras!
"Aaargkh...!" Ular naga raksasa berwarna merah itu meraung keras dengan kepala terbelah. Dan pada saat itu juga, dari seluruh tubuhnya mengepul asap berwarna merah. Sementara, Rangga terus meluruk deras ke bawah, tanpa dapat menguasai keseimbangan tubuhnya kembali.
"Khraaagkh...!" Melihat Rangga dalam keadaan bahaya, Rajawali Putih segera meluruk deras kebawah. Langsung dihadangnya pemuda ini di bawahnya. Maka dengan manis sekali, Rangga jatuh tepat di punggung sahabat tunggangannya. Sementara di atas kepala mereka, asap merah yang mengepul menyelubungi tubuh naga raksasa itu tampak melesat ke arah atap bangunan istana tua yang ada di puncak Bukit Ular ini. Dan asap itu langsung menghilang begitu masuk ke dalam melalui atap yang terbuka. Seketika, atap itu bergerak cepat menutup kembali. Sedangkan Rajawali Putih sudah kembali melambung tinggi ke angkasa, bersama Rangga yang berdiri tegak diatas punggungnya sambil memegang Pedang Pusaka Rajawali Sakti tersilang di depan dada.
Cring!
Rangga memasukkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangka di punggung. Maka cahaya biru terang yang memancar dari pedang itu lenyap seketika. Dia pun kembali duduk di punggung burung rajawali raksasa ini. Cukup lama Rajawali Putih berputar-putar di atas bangunan istana tua ini, tapi tidak ada satu serangan pun yang datang lagi. Namun, Rangga bisa merasakan kalau udara di atas puncak bukit ini mengandung hawa racun dan sihir yang sangat berbahaya.
"Kita kembali dulu, Rajawali. Tidak mungkin menerobos istana itu sekarang," kata Rangga.
"Khraaagkh...!" Tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih langsung melesat, kembali ke arah kota Kadipaten Parunggungan. Sementara, keadaan di sekitar Bukit Ular itu tetap sunyi seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Dan mereka yang masuk ke dalam bangunan istana tua itu juga tidak ada yang terlihat keluar lagi. Dan kini Rajawali Putih dan Rangga sudah jauh meninggalkan bukit itu menuju kota Kadipaten Parunggungan.
********************
Rangga mengayunkan kakinya memasuki kota Kadipaten Parunggungan. Sengaja kedatangannya ke kota kadipaten ini hanya berjalan kaki. Sedangkan Rajawali Putih ditinggalkan di tempat yang cukup jauh dan aman, yang tidak mungkin dijarah manusia. Dan Rangga memang tidak perlu merasa cemas ada orang yang melihat burung rajawali raksasa sahabatnya.
Pendekar Rajawali Sakti terus mengayunkan kakinya dengan ringan. Dan dia jadi tergegun, melihat kota yang semula kosong ditinggalkan penduduknya, kini terlihat mulai ramai. Entah dari mana orang-orang ini datang. Begitu cepat keberadaan mereka.
Namun Rangga tidak sempat berpikir lebih ba-nyak lagi. Kakinya terus saja melangkah menuju ke Istana Kadipaten Parunggungan. Ayunan langkah yang cepat, membuatnya sebentar saja sudah sampai di depan bangunan istana megah yang dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan kokoh ini. Hanya saja, pintu gerbang pagar benteng itu hancur berkeping-keping. Sehingga dari jalanan, bisa terlihat jelas sekali keadaan di dalamnya.
"Kakang...!"
Rangga tersenyum begitu melihat Pandan Wangi berlari-lari kecil, keluar dari gerbang benteng istana kadipaten ini. Tampak dua orang berseragam prajurit sudah menjaga pintu gerbang itu. Sementara, Pandan Wangi sudah berdiri dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Ingin rasanya gadis itu memeluk dan menciumnya. Tapi semua keinginan itu hanya ada dalam hati saja, karena memang tidak mungkin melakukannya di depan orang banyak.
"Aku cemas memikirkanmu, Kakang. Kau tidak apa-apa...?" ujar Pandan Wangi langsung melepaskan kecemasan hatinya.
Rangga hanya tersenyum saja, sambil melangkah mendekati pintu gerbang benteng istana. Pandan Wangi mengikuti, menjajarkan langkahnya di samping kiri Pendekar Rajawali Sakti. Dua orang prajurit yang menjaga pintu gerbang, langsung membungkuk memberi hormat. Dan saat mereka melewati halaman depan istana yang sangat luas ini, di beranda depan istana terlihat Adipati Wiyatala bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Tampaknya, mereka memang sudah menanti. Mereka didampingi abdi-abdi setianya yang selama ini terpaksa mengungsi menuruti perintah Adipati Wiyatala.
Rangga segera membungkukkan tubuhnya sedikit dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, begitu berada di depan Adipati Wiyatala. Dan adipati muda itu langsung menyambutnya, dengan kedua tangan terulur penuh rasa persaudaraan. Ramah sekali Adipati Wiyatala meminta Rangga masuk. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat menolak lagi. Mereka kemudian duduk melingkari sebuah meja besar yang ada di tengah-tengah ruangan tengah istana yang megah ini.
"Aku tidak tahu, dengan apa harus membalas semua jasamu pada Kadipaten Parunggungan ini, Rangga...," ujar Adipati Wiyatala membuka suara lebih dulu.
"Ah! Semua yang kulakukan hanya sekadarmenjalankan sedikit tugas," kata Rangga merendah.
"Kau benar-benar seorang pendekar, Rangga. Atau, kau memang dewa yang sengaja turun dari kahyangan untuk menyelamatkan kadipaten ini... ?" ujar Adipati Wiyatala lagi, langsung mengemukakan rasa keingintahuannya pada pendekar muda yang sangat digdaya ini.
"Aku hanya manusia biasa, Gusti Adipati. Sama seperti yang lain. Kalau aku bisa membebas kan kadipaten ini dari tangan-tangan iblis mereka, itu memang sudah kehendak Sang Hyang Widhi. Dan aku hanya sebagai perantaranya saja," lagi-lagi Rangga merendah.
Tapi Adipati Wiyatala hanya tersenyum-senyum saja. Walaupun Rangga berulang kali merendahkan diri, Adipati Wiyatala tetap menaruh hormat pada pendekar muda ini. Bahkan begitu menyanjungnya, karena berhasil mengembalikan istana kadipaten ini padanya. Malah kini, kota kadipaten kembali terisi oleh napas-napas kehidupan yang sarat harapan dan impian seluruh rakyatnya.
"Rangga, masih banyak rakyatku yang belum kembali. Dan aku tidak tahu, di mana mereka sekarang ini. Tapi aku yakin, cepat atau lambat, mereka pasti akan kembali. Hanya saja..., kuminta padamu, selama beberapa hari ini kau sudi tinggal dulu di istana ini. Terus terang, aku masih mencemaskan mereka kembali lagi ke sini dalam waktu dekat," kata Adipati Wiyatala langsung mengutarakan keinginan hatinya.
Dan Rangga tidak bisa cepat menjawab. Pendekar Rajawali Sakti hanya diam merenung, mempertimbangkan tawaran adipati yang masih sebaya dirinya ini. Memang tidak ada salahnya kalau dia tinggal di kadipaten ini dalam beberapa hari saja. Dan di dalam hatinya, sebenarnya juga masih memikirkan kemungkinan bila Ki Warungkul dan orang-orangnya kembali lagi, setelah merasa cukup kuat. Apalagi semua tujuan dan keinginan orang tua itu belum lagi tercapai.
Rangga tahu, orang seperti Ki Warungkul itu tidak akan merasa puas, setelah menderita kekalahan yang begitu besar. Kehilangan seorang putra, dan pengikut yang sangat besar jumlahnya. Lebih dari setengah jumlah kekuatan yang dimiliki kini sudah musnah!
Dari pertimbangan itu, Rangga tidak bisa menolak keinginan adipati ini. Sambil mengembangkan senyum, kepala Pendekar Rajawali Sakti bergerak terangguk. Dan saat itu juga senyuman lebar mengembang di bibir Adipati Wiyatala. Hatinya begitu senang, Rangga menerima permintaannya. Adipati Wiyatala langsung memerintahkan emban-embannya menyiapkan dua kamar untuk beristirahat kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.
TIGA
Tidak hanya beberapa hari saja Rangga berada di kota Kadipaten Parunggungan ini. Bahkan sampai satu purnama lamanya berada di kota ini. Hanya saja kini Pendekar Rajawali Sakti tak lagi harus tinggal di dalam lingkungan benteng istana kadipaten yang langsung berbenah diri, setelah dirusak gerombolan liar yang dipimpin Ki Warungkul. Hanya sesekali saja Rangga datang mengunjungi Adipati Wiyatala di dalam istananya. Dan adipati itu selalu menyambutnya dengan ramah.
Namun sampai saat ini, adipati itu belum tahu siapa Rangga yang sebenarnya. Hanya Kaliga saja yang tahu, siapa Rangga sebenarnya. Tapi Rangga sudah berpesan pada prajurit muda yang berasal dari Karang Setra itu, untuk tidak membuka rahasianya pada siapa pun juga. Kaliga hanya menjawab kalau bertemu pendekar muda ini di tengah jalan, jika ada yang bertanya padanya. Kaliga menepati janjinya pada Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, sampai kini tidak ada seorang pun yang tahu, siapa Rangga sebenarnya.
Siang ini Rangga datang mengunjungi Adipati Wiyatala di istana kadipatennya yang megah. Dan kedatangannya disambut adipati muda itu di dalam taman belakang yang sangat indah ini. Di dalam taman itu hanya ada beberapa gadis emban, istri Adipati Wiyatala, dan putranya yang masih berusia sekitar dua tahun. Mereka semua segera meninggalkan taman ini, setelah Adipati Wiyatala memintanya pergi. Dan kini, hanya ada mereka berdua saja yang tetap di dalam taman yang sangat indah dan tertata apik. Rangga sendiri sampai mengagumi keindahannya. Kelihatannya memang tidak kalah dengan taman-taman keputren yang ada di istana kerajaan mana pun juga.
"Rangga ada yang ingin kubicarakan padamu...," kata Adipati Wiyatala membuka suara lebih dulu.
"Tentang apa, Gusti Adipati?" tanya Rangga.
"Hhh...!" Adipati Wiyatala menghembuskan napas panjang. Seakan hatinya begitu berat untuk mengatakan persoalan yang sedang dihadapi saat ini. Sedangkan Rangga sendiri sudah bisa menebak kalau ada sesuatu yang membuat wajah adipati muda ini jadi murung.
"Katakan, apa persoalanmu, Gusti. Mungkin bisa kubantu menyelesaikan," kata Rangga meminta, halus.
"Dalam beberapa hari ini, aku selalu dihantui mimpi-mimpi buruk yang begitu mengerikan. Dan mimpi itu selalu terulang setiap malam, hingga aku sulit memejamkan mata...," jelas Adipati Wiyatala setelah menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
Rangga hanya diam saja, menunggu kelanjutan kisah mimpi adipati itu. Dan untuk beberapa saat, mereka berdua membisu. Kembali Adipati Wiyatala menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Seakan, ada sesuatu yang mengganjal rongga dadanya. Dan ganjalan itu berusaha dihalau dengan tarikan napasnya yang panjang dan berat sekali.
"Dalam mimpi itu, aku berada dalam sebuah ruangan gelap dan pengap seperti dalam penjara. Dan di sana, aku diperintahkan untuk membunuh anakku sendiri. Mimpi itu selalu muncul setiap malam dalam tidurku, Rangga. Dan aku yakin ini bukan hanya sekadar mimpi. Bahkan mungkin merupakan tanda peringatan untukku," jelas Adipati Wiyatala, menceritakan tentang mimpi anehnya.
Sedangkan Rangga hanya diam saja, sambil mengangguk-anggukkan kepala. Walaupun hanya sepotong-sepotong saja Adipati Wiyatala menceritakannya, tapi Rangga sudah bisa menarik kesimpulan. Dan kesimpulannya tidak berbeda jauh dengan yang diutarakan Adipati Wiyatala barusan. Dia juga menduga, kalau mimpi-mimpi itu merupakan sebuah peringatan. Hanya saja mereka tidak tahu, apa artinya.
"Bagaimana aku harus mengatakan pada istriku, kalau mimpi itu menjadi kenyataan...? Rangga, aku benar-benar membutuhkan pertolonganmu. Aku ingin tahu, siapa penyebar bencana di sini. Aku yakin, masih ada orang lain lagi di belakang Ki Warungkul," sambung Adipati Wiyatala.
"Itu hanya sekadar mimpi, Gusti. Tidak perlu dirisaukan," ujar Rangga mencoba menenangkan.
"Tapi tempat itu aku tahu, Rangga. Dan benar-benar ada...."
Kening Rangga jadi berkerut. Dipandanginya wajah adipati itu dalam-dalam, seakan ingin mencari satu kepastian di dalam bola matanya.
"Aku yakin, itu bukan hanya sekadar mimpi. Itu merupakan peringatan bagiku, Rangga," ujar Adipati Wiyatala sungguh-sungguh.
"Hm.... Bagaimana kau bisa begitu yakin?" tanya Rangga setengah menggumam.
"Kau lihat ini, Rangga?" Adipati Wiyatala menunjukkan lengan kanannya. Seketika kelopak mata Rangga jadi berkerut, melihat guratan panjang pada lengan adipati itu. Sebuah guratan, seperti bekas tersayat sebuah pedang, dan tampaknya belum lama. Rangga mengangkat kepalanya, langsung menatap bola mata adipati muda ini.
"Dalam mimpi itu, aku melukai diriku sendiri tanpa sadar dengan sebuah keris. Dan ketika bangun, luka sayatan itu berbekas. Apa ini sebuah mimpi belaka, Rangga...? Tidak! Aku yakin, ini merupakan peringatan bagiku," tandas Adipati Wiyatala meyakinkan.
Rangga hanya diam saja, tidak tahu apa yang harus dikatakan pada adipati ini. Memang tidak mungkin kalau sebuah mimpi bisa meninggalkan bekas yang nyata. Tapi sangat sulit bisa menerima kenyataan ini. Suatu kenyataan yang berada di luar akal sehat manusia.
"Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu, Rangga. Aku bisa gila kalau terus-menerus begini," keluh Adipati Wiyatala.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Gusti Adipati?" tanya Rangga pelan.
"Cari orang yang mengganggu ketenteramanku, Rangga. Aku yakin, orang itu ada hubungannya dengan Ki Warungkul," tegas Adipati Wiyatala.
"Kau pernah melihat ada seseorang di dalam mimpimu?" tanya Rangga lagi.
Adipati Wiyatala tidak langsung menjawab. Keningnya berkerut begitu dalam. Seakan-akan, dia tengah mengingat-ingat semua peristiwa yang terjadi dalam mimpi-mimpinya. Peristiwa dalam mimpi yang membuat gelisah hatinya, karena yakin kalau itu bukan mimpi biasa. Tapi, sebuah peringatan baginya yang dikirim seseorang melalui mimpi buruk. Cukup lama Adipati Wiyatala diam termenung.
Kemudian terlihat kepalanya bergerak menggeleng perlahan. Dan Rangga langsung menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam membisu. Tidak ada seorang pun yang bersuara lagi. Namun kening mereka tampak berkerut begitu dalam. Entah, apa yang ada dalam benak masing-masing saat ini.
Sementara keadaan di taman belakang itu mulai temaram. Senja sudah turun sejak tadi, menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Parunggungan. Tidak ada seorang pun yang terlihat di dalam tanah belakang ini, kecuali mereka berdua yang masih tetap diam membisu. Sesekali terdengar tarikan napas yang panjang dan terasa begitu berat.
Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga bangkit berdiri dari kursi panjang yang terbuat dari bambu. Kemudian kakinya melangkah tiga tindak ke depan, dan menatap lurus ke langit dengan kepala terdongak. Sedangkan Adipati Wiyatala hanya memandangi saja. Tidak tahu, apa yang akan dilakukan pemuda berbaju rompi putih yang sudah menyelamatkan nyawanya. Lama juga Rangga diam membisu membelakangi adipati berusia muda ini. Kemudian tubuhnya berbalik sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.
"Malam ini, kau kutunggu di perbatasan timur kota...," kata Rangga terdengar pelan dan agak berat suaranya.
"Untuk apa...?" tanya Adipati Wiyatala tidak mengerti.
"Entahlah, Gusti. Hanya saja, aku merasa kalau malam nanti semua yang membuatmu gelisah akan terjawab," sahut Rangga agak mendesah pelan.
Adipati Wiyatala tidak menyahuti, diam saja memandangi wajah tampan yang kelihatan datar itu. Dia sudah begitu percaya dan mengagungkan pemuda berbaju rompi putih ini. Maka sulit untuk bisa menolak lagi semua yang dikatakannya. Apa-lagi, Adipati Wiyatala masih menganggap kalau Rangga adalah sosok dewa yang menyamar menjadi manusia.
"Baiklah, Rangga. Aku akan datang menemui saat menjelang tengah malam nanti," kata Adipati Wiyatala.
"Aku menunggu, Gusti. Dan sebaiknya, jangan membawa pengawal," kata Rangga sedikit memberi senyum.
Adipati Wiyatala hanya mengangguk saja. Sementara Rangga berbalik, dan melangkah meninggalkan adipati itu tanpa bicara lagi. Sedangkan Adipati Wiyatala masih tetap duduk di kursi panjang dari bambu ini, dengan mata terus memandangi punggung Rangga sampai menghilang di balik pintu.
Beberapa saat Adipati Wiyatala masih tetap duduk merenung di dalam taman ini. Dan di saat matahari sudah hampir menenggelamkan diri di ufuk timur, baru dia bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan taman belakang ini. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja....
"Wus! Heh...?! Hup!"
Cepat-cepat Adipati Wiyatala melompat kebelakang dengan memutar tubuh dua kali, begitu tiba-tiba terdengar suara mendesing dari arah samping kiri yang begitu mengejutkan. Tampak sebatang anak panah meluncur begitu cepat tepat melewati dada, ketika adipati muda itu baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Dan tangkas sekali tangan kanan mengibaskan, hingga anak panah itu tertangkap dengan mantap.
Kening Adipati Wiyatala jadi berkerut, melihat pada bagian tengah batang anak panah itu terikat selembar kulit dengan pita merah menyala seperti darah. Dengan kedua bola mata terbuka lebar, lembaran kulit kayu yang sudah kering itu dibuka. Dan di sana, tertera sebaris kalimat yang membuat seluruh tubuhnya jadi menggigil geram.
"Keparat...!"
********************
Sudah tengah malam, tapi Adipati Wiyatala belum juga kelihatan batang hidungnya. Sementara, Rangga sudah mulai kelihatan cemas. Berbagai macam dugaan muncul dalam benaknya. Tapi semua dugaan buruk yang timbul cepat disingkirkan. Hatinya masih tetap bersabar, menunggu kedatangan Adipati Wiyatala yang berjanji datang menemuinya di tempat ini. Tapi sampai lewat tengah malam, tanda-tanda kedatangannya belum juga kelihatan.
"Hm, kenapa dia belum juga datang? Apa yang terjadi dengannya...?" gumam Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Sementara angin malam yang berhembus menyebarkan udara dingin, membuat Rangga harus melipat kedua tangannya di depan dada. Beberapa kali tubuhnya terlihat bergidik menggigil, diterpa angin malam yang sangat dingin. Sedangkan langit tampak kelam, tidak terlihat cahaya bulan maupun bintang di sana. Awan hitam bergulung-gulung, pertanda tidak lama lagi bumi akan diguyur hujan lebat.
"Ah! Kenapa hatiku jadi tidak enak...?" desis Rangga, bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pikiran Pendekar Rajawali Sakti itu terus tertuju pada Adipati Wiyatala yang belum juga menampakkan diri. Dan kegelisahan hatinya semakin menjadi-jadi, saat titik-titik air mulai turun menyentuh kulit tubuhnya. Sejenak Rangga mendongakkan kepala ke atas, melihat awan hitam yang bergulung-gulung, seakan begitu dekat di atas kepalanya ini.
"Sebaiknya aku lihat saja dia di istananya," gumam Rangga langsung memutuskan.
Tapi belum juga kaki Rangga terayun melangkah, tiba-tiba dari balik pepohonan dan semak belukar yang ada di perbatasan kota sebelah timur ini, bermunculan sosok-sosok tubuh berbaju merah menyala. Mereka yang berjumlah sepuluh orang ini, langsung berlompatan mengepung Pendekar Rajawali Sakti dengan pedang terhunus di tangan masing-masing. Dan mereka langsung bergerak berputar, mengelilingi pemuda itu. Rangga melihat kalau mereka adalah anak muda yang mungkin usianya sebaya dengannya. Dan tampaknya, mereka adalah para pengikut Ki Warungkul. Tapi tentu saja Rangga tidak mau menganggap enteng ke sepuluh orang itu. Karena bisa diperkirakan, rata-rata kemunculannya tadi, yang melesat begitu ringan dan cepat. Bahkan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Malah Rangga sama sekali tidak tahu kalau mereka sudah berada di tempat ini sejak tadi.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar memberi perintah. Dan seketika itu juga, sepuluh orang yang semuanya berpakaian merah menyala itu langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti, sambil berteriak-teriak keras bagai hendak menggetarkan jantung. Dan ketika seorang yang berada tepat didepannya mengebutkan pedangnya ke arah kepala, cepat sekali Rangga merunduk, sehingga tebasan pedang itu lewat di atas kepalanya.
Tapi belum juga Rangga bisa menegakkan tubuhnya kembali, satu serangan lain datang dengan cepat dari arah sebelah kanan. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya menggeser ke kiri, menghindari serangan pedang lawan.
"Hup!" Cepat Rangga melompat ke belakang, begitu seorang lawannya yang berada di sebelah kiri melompat sambil mengibaskan pedang ke pinggang. Dan saat itu juga, Rangga langsung melesat. Tubuhnya langsung berputar cepat sekali sambil mengembangkan kedua tangan lebar-lebar ke samping, seperti seekor burung yang hendak mengepakkan sayapnya.
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti berputar cepat sekali. Tangan kanannya langsung mengibas bagai kilat ke arah salah seorang lawan yang berada tepat di belakang tadi. Begitu cepat gerakan dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' itu, hingga-orang berpakaian serba merah ini tidak sempat lagi menyadarinya. Maka, kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantarn dadanya.
"Begkh! Akh...!"
Begitu keras kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu, hingga seluruh tulang dada orang berpakaian serba merah itu jadi remuk seketika. Bahkan keras sekali tubuhnya menghantarn tanah. Hanya sedikit saja ada gerakan pada tubuhnya, kemudian diam sama sekali. Tampak cairan merah yang kental mengalir keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Sementara Rangga sendiri sudah harus melompat ke atas, menghindari sabetan pedang lawan lainnya yang datang dari arah sebelah kanan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu berada di udara, Rangga cepat sekali meluruk ke arah penyerangnya. Dan kaki kanannya langsung bergerak menghentak begitu cepat, dengan gerakan berputar. Begitu cepat gerakan dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', hingga pemuda berpakaian serba merah ini tidak dapat lagi menghindarinya. Dan sambaran kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantarn batok kepalanya.
"Prak! Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat, bagai hendak memecah kesunyian malam di perbatasan kota sebelah timur ini. Orang itu pun kontan menggeletak tewas dengan kepala pecah berantakan. Darah berhamburan keluar deras sekali membasahi rerumputan. Sementara itu Rangga sudah kembali berdiri tegak, siap menghadapi serangan lawan-lawannya yang kini tinggal delapan orang dalam dua kali gebrakan saja.
Dan delapan orang pemuda berpakaian serba merah itu tampaknya mulai dihinggapi keraguan, melihat Rangga begitu mudah sekali menjatuhkan dua orang temannya. Bahkan kedua orang itu tidak lagi bergerak-gerak, menandakan kalau mereka sudah tidak bernyawa lagi. Kini mereka yang tersisa ini hanya bergerak memutari Pendekar Rajawali Sakti perlahan-lahan, sambil mempermainkan pedangnya di depan dada.
"Seraaang...!"
Tepat disaat terdengar suara keras menggelegar memberi perintah, delapan orang berpakaian serba merah itu langsung berlompatan secara bersamaan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun serangan itu memang sudah diperhitungkan Rangga sejak tadi. Dan pada saat itu juga, tubuhnya langsung melenting ke atas. Dan secepat kilat pedang pusakanya yang selalu bertengger di punggung dicabut.
Sret! Cring...!
Keadaan malam yang semula begitu gelap, tiba-tiba saja jadi terang benderang bagai siang hari, begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangka. Sudah barang tentu, kedahsyatan pamor pedang itu membuat delapan orang pemuda berbaju merah menyala ini jadi terperangah.
Dan pada saat itu juga, Rangga sudah bergerak cepat bagai kilat sambil membabatkan pedangnya. Begitu cepat gerakannya, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Dan yang terlihat hanya kilatan cahaya biru menyilaukan mata.
Trang! Tring...!
Terdengar suara-suara senjata beradu saling sambut. Dan ketika Rangga melesat ke belakang sambil berputar di udara beberapa kali, delapan orang berpakaian serba merah itu jadi terlongong. Seakan, mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi!
Hanya sekali saja Rangga mengebutkan pedang, delapan bilah pedang yang tergenggam seketika buntung tepat pada bagian pangkal tangkai. Dan mata pedang mereka yang terpenggal itu jatuh tepat di ujung jari kaki masing-masing.
Sementara, Rangga kini sudah berdiri tegak sekitar satu batang tombak di depan delapan orang pemuda berbaju merah menyala ini. Dan pedangnya juga sudah kembali tersimpan dalam warangka yang selalu tersampir di punggung. Keadaan yang tadi terang benderang oleh cahaya biru berkilauan yang memancar dari mata pedangnya, kini kembali gelap gulita berselimut awan hitam di langit.
"Dengar! Aku tidak akan segan-segan membunuh kalian. Bagiku, semudah membalikkan tangan untuk mengirim kalian semua ke neraka...," dingin sekali nada suara Rangga.
Delapan orang pemuda berbaju serba merah menyala itu tidak dapat berkata-kata lagi. Dan mereka hanya bisa terpaku, dengan kedua bola mata terbuka lebar menatap Pendekar Rajawali Sakti. Seakan, mereka kini berhadapan dengan sosok dewa yang turun dari kahyangan.
"Aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku sendiri. Aku akan membebaskan dan membiarkan kalian tetap hidup, kalau memberitahukan di mana markas kalian semua," masih terdengar dingin sekali nada suara Rangga.
Tidak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka hanya memandangi, dengan sinar mata begitu sulit diartikan. Dan Rangga membalas tatapan mata mereka dengan sinar yang sangat tajam menusuk. Dan..., entah kenapa mereka semua jadi menunduk. Seakan, tidak sanggup lagi menentang sorot mata Pendekar Rajawali Sakti yang begitu tajam, bagai hendak mengiris langsung seluruh rongga dada mereka semua. Sedangkan Rangga sendiri, tampak menyunggingkan senyum tipis, melihat lawan-lawannya ini seakan sudah menyerah.
"Ayo, katakan...! Di mana sarang kalian?!" bentak Rangga.
Salah seorang mengangkat kepala, dan langsung menatap ke bola mata Rangga yang merah berapi-api, bagai hendak membakar hangus seluruh tubuh delapan orang pemuda di depannya.
"Katakan! Di mana teman-teman kalian lainnya?!" tanya Rangga mendesak lagi.
"Di puncak Bukit Ular," sahut pemuda berbaju merah itu pelan.
"Baik...," gumam Rangga pelan. "Kalian boleh pergi sekarang. Dan, jangan coba-coba lagi datang ke kadipaten ini. Kalian paham...?!"
"Delapan orang berpakaian serba merah itu menganggukkan kepala. Mereka memang lebih memilih hidup, daripada harus mati sia-sia di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh disadari kalau kepandaian yang mereka miliki selama, ini belum ada seujung kuku dari kepandaian yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti. Terbukti, hanya dalam dua gebrakan saja dua orang dari mereka kini sudah tergeletak tidak bernyawa.
"Cepat pergi...!" bentak Rangga mengusir.
Dan tanpa diperintah dua kali, delapan orang berpakaian serba hitam itu langsung berlarian meninggalkan tempat ini, menerobos hutan yang sangat lebat dan gelap gulita tanpa penerangan sedikit pun juga.
Dan pada saat mereka semua benar-benar sudah lenyap dari pandangan mata, terdengar henlakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Tampak seorang gadis berbaju ketat warna biru muda tengah menunggang seekor kuda putih yang dipacu cepat menuju ke arah Rangga berdiri menanti.
"Pandan Wangi.... Mau apa dia datang ke sini...?" desis Rangga, pelan suaranya.
EMPAT
Ada apa, Pandan? Kenapa kau datang ke sini...?" Rangga langsung saja melontarkan pertanyaan, begitu gadis cantik berbaju biru yang menunggang kuda putih itu sudah dekat di depannya. Dan gadis yang memang Pandan Wangi langsung melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan sangat indah dan ringan. Kakinya langsung menjejak sekitar tiga langkah lagi didepan Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi juga tampak terkejut, melihat dua sosok tubuh berbaju merah tergeletak tidak bernyawa lagi di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun bertanya-tanya dalam hati, tapi sudah bisa diduga apa yang tejadi di sini. Namun pertanyaan dalam hatinya tidak juga dikeluarkan. Gadis itu kembali menatap wajah tampan pemuda di depannya.
"Kau harus segera ke istana kadipaten, Kakang...," kata Pandan Wangi terputus.
"Ada apa di sana?" tanya Rangga, dengan dada seketika berdebar menggemuruh.
"Raden Pinangsang hilang," sahut Pandan Wangi.
"Apa...?!" Rangga tersentak kaget setengah mati mendengar putra Adipati Wiyatala hilang. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dengan bola mata berputar. Seakan, ingin dicari kebenaran di dalam wajah yang cantik itu. Sebentar kemudian Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan napas panjang, dengan kepala terdongak ke atas, menatap langit kelam. Titik-titik air semakin banyak berjatuhan dari langit. Tampaknya, hujan deras mulai mengguyur seluruh wilayah kota Kadipaten Parunggungan ini.
"Lalu, bagaimana dengan Adipati Wiyatala sendiri?" tanya Rangga, setelah beberapa saat membisu.
"Pergi mencari Raden Pinangsang bersama prajuritnya," sahut Pandan Wangi memberitahu lagi.
"Ke mana?"
Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit. Dia sendiri tidak tahu, ke mana adipati itu pergi mencari anaknya yang hilang. Dan Rangga kembali menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.
"Kau kembali saja ke kota, Pandan. Aku akan coba mencari Raden Pinangsang," kata Rangga akhirnya.
"Ke mana kau akan mencarinya, Kakang?"
Kali ini Rangga yang tidak bisa menjawab. Hanya bahunya diangkat saja sedikit. Sementara Pandan Wangi sendiri tidak dapat lagi mendesak. Dan tubuhnya segera berbalik, lalu melangkah menghampiri kudanya. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri di tempatnya, memandangi gadis itu naik ke punggung kudanya. Pandan Wangi juga menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti beberapa saat.
Pandan Wangi membalikkan arah kudanya tanpa bersuara lagi. Kemudian kudanya digebah kencang, hingga kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Kemudian binatang itu melesat cepat kembali memandangi sampai gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu lenyap dari pandangan.
"Hm, aku tahu, siapa yang menculik Raden Pinangsang. Aku juga tahu, ke mana mereka membawanya pergi," gumam Rangga dalam hati. "Hm.... Aku harus meminta bantuan Rajawali Putih untuk pergi ke sana.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera memanggil Rajawali Putih tunggangannya. Dan tidak lama berselang, burung rajawali raksasa itu sudah datang memenuhi panggilannya. Rangga langsung melompat naik ke punggung Rajawali Putih, dan memintanya mengantarkan ke puncak Bukit Ular. Rangga yakin, pasti orang-orangnya Ki Warungkullah yang menculik Raden Pinangsang. Dan dia juga tahu, ke mana mereka membawanya pergi.
"Khraaagkh...!" Tanpa diminta dua kali, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung melesat tinggi ke angkasa, membawa Rangga di punggungnya. Dan burung raksasa itu langsung melesat cepat menuju Bukit Ular.
Hujan turun deras sekali bagai ditumpahkan dari langit. Suaranya menggemuruh dahsyat, seakan-akan hendak meruntuhkan seluruh permukaan bumi. Suara guntur meledak-ledak membelah angkasa, disertai percikan cahaya kilat yang seakan-akan ingin merobek langit yang gelap gulita tertutup awan tebal menghitam.
Dan di angkasa, Rangga bersama Rajawali Putih sudah berada tepat di atas puncak Bukit Ular. Dalam kegelapan malam seperti ini, keadaan di bukit itu sungguh membuat bulu kuduk siapa saja yang melihat jadi meremang berdiri. Rangga sendiri sempat bergidik, melihat pemandangan di sekitar Bukit Ular ini. Tapi hatinya dimantapkan, karena yakin Raden Pinangsang berada di dalam bangunan istana yang ada di puncak Bukit Ular ini.
"Turunkan aku di depan istana tua itu, Rajawali," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
"Heh?! Ada apa, Rajawali? Kenapa kau tidak mau turun...?" sentak Rangga terkejut, melihat Rajawali Putih tidak menuruti perintahnya.
Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu tetap saja terbang berputar-putar, mengelilingi bagian atas atap bangunan istana tua di puncak Bukit Ular ini. Seakan, permintaan Rangga barusan tidak didengarkannya. Burung itu terus berputar-putar sambil berkoakan keras, bagai hendak mengalahkan suara gemuruh angin yang membawa hujan deras ini.
"Turunkan aku di sini, Rajawali...!" perintah Rangga lagi, dengan mengerahkan suaranya.
"Khraaagkh...!"
"Tapi Rajawali Putih tetap saja tidak menuruti perintah pemuda ini. Bahkan semakin melambung tinggi, hingga melewati gumpalan awan hitam yang menggantung di langit. Kilatan cahaya kilat seakan-akan hendak menyambar sayap burung yang putih dan lebar ini. Tapi, ujung cahaya kilat itu hanya sampai di ujung sayap Rajawali Putih. Hanya ledakan suaranya saja yang membuat telinga Rangga seakan-akan pecah.
"Ada apa, Rajawali? Kenapa kau tidak menurunkan aku disana?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Khrrrkh...!"
"Aku tidak mengerti, Rajawali Kenapa kau jadi takut..? Kemana keberanianmu, Rajawali? Kemana...?" agak tersedak nada suara Rangga, saat mengetahui burung rajawali raksasa tunggangannya merasa takut untuk menurunkannya di depan bangunan istana tua itu.
Tapi, entah apa yang membuat Rajawali Putih tidak berani mendekati istana tua itu. Atau karena pernah mendapat serangan dahsyat dari penghuni istana tua itu...? Semua ini memang sulit dimengerti. Bahkan Rangga sendiri tidak tahu, apa sebabnya.
Sementara Rajawali Putih malah membawa pemuda ini menjauhi bangunan istana tua itu. Dia terus melesat cepat menuju arah timur. Sedangkan Rangga yang berada di punggungnya, tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya benaknya saja yang terus berputar, bertanya-tanya tidak mengerti atas sikap burung rajawali raksasa tunggangannya.
Hingga sampai pada sebuah lembah yang sangat dalam dan lebar, Rajawali Putih meluruk turun cepat bagai kilat. Begitu dalamnya lembah itu, hingga terlihat gelap terselimut kabut tebal. Dan Rangga tahu, apa nama lembah ini. Keningnya jadi berkerut dengan benak terus diliputi berbagai macam pertanyaan yang sulit dijawab. Untuk apa Rajawali Putih membawanya ke Lembah Bangkai...?!
Lembah Bangkai. Sebuah lembah yang tidak pernah dimasuki manusia. Lembah tempat Rangga dibesarkan oleh burung rajawali raksasa ini. Di tepi lembah itu, semua peristiwa berdarah yang membuat kedua orang tuanya mati terbunuh kembali terlintas. Di dalam lembah ini pula, dia tumbuh besar menjadi seorang pemuda digdaya yang dipenuhi ilmu-ilmu kedigdayaan tingkat tinggi yang sukar dicari tandingannya. Di dalam lembah ini, Pendekar Rajawali Sakti mendapatkan begitu banyak kitab pusaka yang memuat ilmu kedigdayaan tingkat tinggi.
"Khraaagkh...!"
"Hup!" Rangga langsung melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa ini, begitu mendarat di dasar lembah yang sangat dalam dan sulit dimasuki manusia. Rajawali Putih mendarat tepat di depan sebuah makam tua yang kelihatan terawat rapi, dengan cungkup terbuat dari perak. Burung rajawali raksasa berbulu putih itu mendekam tidak jauh dari makam tua ini.
Sementara itu Rangga yang masih diliputi ketidak-mengertian, sudah melangkah mendekati makam tua yang dianggapnya makam gurunya ini. Padahal dia hanya bertemu arwah pemilik makam itu saja. Memang, di sana terbaring seorang pendekar besar pada masa lebih dari seratus tahun yang lalu. Seorang pendekar digdaya yang tidak tertandingi kesaktiannya, yang dulu dikenal sebagai Pendekar Rajawali. Dan kini semua ilmunya dikuasai Rangga dengan sempurna.
"Guru.... Aku tidak mengerti, kenapa Rajawali Putih membawaku datang menemuimu ke sini. Datanglah padaku, Guru. Berilah petunjuk dan penjelasan dari semua kejadian yang membingungkan diriku ini," ujar Rangga penuh rasa hormat di depan makam Pendekar Rajawali.
Tidak ada suara sedikit pun terdengar. Begitu sunyi keadaan di dalam lembah ini. Bahkan suara angin pun tidak terdengar mengusik telinga Pendekar Rajawali Sakti yang tetap duduk bersimpuh di depan makam tua yang dianggap makam gurunya. Namun kesunyian itu mendadak saja pecah, oleh ledakan yang sangat dahsyat. Dan bersamaan dengan itu, terlihat secercah cahaya kilat menyambar di angkasa, tepat menghantarn bagian tengah makam bercungkup perak itu.
Glarrr...!
Kembali terdengar ledakan amat dahsyat, membuat tanah di sekitar dasar lembah ini jadi bergetar bagai diguncang gempa. Saat itu juga, dari kuburan yang tiba-tiba terbelah itu mengepul asap putih yang bergulung-gulung panjang ke atas. Rangga yang tahu kalau arwah gurunya akan muncul dari dalam kuburnya itu, tetap tenang duduk bersila.
Pendekar Rajawali Sakti langsung merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, ketika dari kepulan asap putih itu muncul seorang laki-laki tua berwajah bersih. Dia mengenakan baju jubah putih panjang. Rambut dan jenggotnya juga sudah berwarna putih semua. Laki-laki bermata tajam bercahaya itu berdiri mengambang diatas kepulan asap putih, yang berada tepat di tengah-tengah makam tua ini.
"Kau sudah datang, Rangga...," terdengar berat sekali suara laki-laki yang muncul dari dalam kuburan itu.
"Benar, Guru. Aku datang memenuhi panggilanmu," sahut Rangga dengan sikap begitu hormat
"Dengar, Rangga. Aku tidak akan meminta Rajawali Putih membawamu datang ke sini, kalau tidak memandang perlu dan sangat mendesak."
Rangga hanya diam saja memandangi sosok tubuh gurunya. Dia tidak tahu, apa maksud gurunya memanggil, dengan menyuruh Rajawali Putih menjemputnya. Rangga hanya bisa diam membisu. Ditunggunya, apa yang akan dikatakan laki-laki tua yang dulu ketika masa seratus tahun lalu, merupakan seorang pendekar digdaya tidak tertandingi.
"Aku tahu apa yang sedang kau hadapi sekarang ini, Rangga. Kau tentu bertanya-tanya, kenapa Rajawali Putih sampai begitu takut mendekati istana tua itu, kan...? Rajawali Putih memang kuperintahkan untuk tidak mendekati istana itu. Dan kalau kau ingin terus menyelesaikan persoalanmu, harus kau hadapi sendiri tanpa harus meminta bantuan pada Rajawali Putih...."
"Kenapa Rajawali Putih tidak boleh mendekati istana itu, Guru?" tanya Rangga.
"Karena istana itu dihuni Nyai Wisantika."
"Siapa dia?" tanya Rangga ingin tahu.
"Dia seorang perempuan yang seharusnya sudah mati seratus tahun yang lalu. Tapi karena memiliki sebuah ilmu yang bisa membuat dirinya tidak akan pernah mati sepanjang zaman, dia masih tetap hidup. Ilmu iblis yang tidak akan bisa kau pahami, Rangga. Dan dia akan benar-benar bangkit menjadi manusia tangguh tanpa tanding, jika seluruh tubuhnya dilumuri darah seorang anak berusia tiga tahun yang lahir pada hari ketiga bulan ketiga juga. Dan anak itu, sekarang sudah ada. Hanya saja, dia harus mendapatkannya melalui orang-orang yang mengabdi padanya."
Rangga mengangguk-angguk. Dia tahu, apa yang dimaksudkan gurunya. Anak yang dimaksudkan adalah Raden Pinangsang, putra Adipati Wiyatala. Dan sekarang, anak itu sudah berada dalam istana tua itu, setelah diculik pengikut-pengikut Ki Warungkul. Dan rupanya, Ki Warungkul sendiri adalah abdi setia penghuni istana tua yang ditakuti Rajawali Putih.
"Rangga, perlu kau ketahui. Nyai Wisantika itu seorang wanita penyihir. Ilmu-ilmunya sulit ditandingi. Dia bisa menjadikan apa saja yang ada di dunia ini. Dia pernah membuat Rajawali Putih hampir mati. Itu sebabnya, kenapa Rajawali Putih tidak ingin berhadapan lagi dengan perempuan penyihir itu. Dan sekarang, dia punya kesempatan untuk meneruskan keinginannya menguasai dunia ini dengan darah anak itu. Kau harus bisa menghentikannya, Rangga. Kalau dia sampai terjun dalam dunia persilatan lagi, dunia akan jadi neraka. Dan kau tidak akan bisa lagi memusnahkannya. Seperti juga yang pernah kualami. Hanya dia-lah satu-satunya orang yang tidak bisa kutandingi."
Rangga hanya diam saja mendengar penjelasan gurunya dengan kepala tertunduk. Dan perlahan kepalanya diangkat langsung menatap arwah gurunya yang muncul dari dalam kuburnya itu. "Guru, dengan apa aku harus menghadapinya?" tanya Rangga pelan sekali suaranya.
"Kau tidak akan mampu menghadapinya, Rangga. Hanya satu yang bisa kau lakukan sekarang."
"Apa itu...?"
"Cegah dia mendapatkan anak itu. Dan, hancurkan istananya agar tidak ada orang lagi yang menjadi pengikutnya."
"Tapi, Guru. Anak itu sudah mereka dapatkan sekarang."
"Apa...?"
"Mereka sudah mendapatkan anak itu. Dan sekarang, ada di dalam istana itu, Guru."
"Celaka.... Kau harus segera pergi ke sana. Keluarkan anak itu sekarang juga. Jangan menunggu waktu lagi, Rangga. Cepatlah pergi, Rajawali Putih akan mengantarkanmu sampai ke kaki Bukit Ular saja."
"Baik, Guru."
"Dengar, Rangga. Kalau kau sudah mendapatkan anak itu, bawa dia ke tempat yang aman dan jauh dari jangkauan pengikut-pengikut iblis wanita itu. Kau mengerti...?"
Rangga mengangguk.
"Setelah itu, hancurkan istananya. Juga semua orang yang mengabdi padanya. Karena, mereka yang mengabdi akan menjadikan dunia ini neraka. Nah, pergilah sekarang juga sebelum terlambat. Aku akan membantumu dari sini, Rangga."
Rangga langsung memberi sembah hormat dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung. Dan saat itu juga, sosok laki-laki tua berjubah putih itu menghilang bersama merapatnya kembali kuburan yang terbelah tadi. Rangga segera bangkit berdiri dan berbalik. Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik kepunggung burung rajawali raksasa tunggangannya.
"Antarkan aku ke Bukit Ular secepatnya, Rajawali, " pinta Rangga.
"Khraaagkhk...!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rajawali Putih segera mengepakkan sayap dan langsung melesat ke atas, keluar dari dalam Lembah Bangkai ini bersama Rangga yang duduk dipunggungnya. Begitu cepat Rajawali Putih melesat, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Hanya kilatan cahaya putih keperakan saja yang terlihat, bagai membelah langit yang hitam terselimut awan tebal.
Sementara hujan sudah berhenti mengucur membasahi bumi. Hanya titik-titik air kecil saja yang masih terlihat turun dari langit. Sedangkan Rangga dan Rajawali Putih terus meluncur di angkasa yang gelap dengan kecepatan bagai kilat. Begitu cepatnya, hingga dalam waktu tidak begitu lama sudah sampai di atas puncak Bukit Ular. Dan Rajawali Putih segera meluruk deras, kekaki bukit sebelah timur.
Begitu ringan burung rajawali raksasa ini mendarat di tempat yang agak lapang. Dan Rangga segera melompat turun. Beberapa saat mereka saling berpandangan, seakan-akan mereka tahu isi hati masing-masing saat ini.
"Pergilah, Rajawali. Tinggalkan aku di sini," kata Rangga pelan.
"Khrrr...!"
"Aku akan hati-hati, Rajawali," ujar Rangga seraya memberikan senyum.
Entah apa arti senyum Pendekar Rajawali Sakti. Dan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini segera mengepakkan sayapnya, sambil mengeluarkan suara nyaring melengking tinggi. Rangga tahu, Rajawali Putih sangat mencemaskan dirinya yang harus seorang diri menghadapi penghuni istana tua di puncak Bukit Ular. Beberapa saat Rangga menatap ke atas. Dan kakinya baru melangkah setelah bayangan Rajawali Putih tidak terlihat lagi, lenyap tertelan gumpalan awan hitam yang masih menggantung menyelimuti langit.
Rangga terus melangkah dengan ayunan cepat, mempergunakan ilmu meringankari tubuh yang sudah sempurna. Sehingga gerakannya begitu sulit dilihat, seakan-akan berjalan di atas tanah. Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya bayangan putih saja yang berkelebat di antara tebaran batu-batu di bukit ini. Bukit yang sangat gersang, tanpa ada satu tumbuhan pun terlihat. Dan Rangga terus berlari cepat mendaki bukit berbatu ini.
"Hup..." Ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat melompati tembok bangunan istana tua ini. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, Rangga hinggap diatas tembok yang berlumut dan sudah banyak yang gompal. Sebentar pandanganhya beredar ke sekeliling, namun tidak ada seorang pun terlihat di sekitarnya. Sambil berjingkat dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melangkah kebagian belakang bangunan istana ini.
LIMA
Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Dan langkahnya seketika terhenti, begitu terlihat secercah cahaya memendar dari bagian atas atap yang berbentuk bulat seperti kulit telur yang terbelah dua. Sejenak Rangga memperhatikan, kemudian menghampiri cahaya terang yang memancar dari bagian dalam bangunan istana ini. Dari atap bulat itu, Pendekar Rajawali Sakti pernah diserang oleh cahaya yang kemudian berubah-ubah bentuk menjadi binatang-binatang buas berukuran raksasa.
Rangga jadi tertarik ingin tahu, kemudian mendekat dan merebahkan dirinya menelungkup di atas atap ini. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menjulurkan kepalanya dengan tubuh merapat tengkurap di atas atap istana yang terbuat dari batu tanah merah ini.
"Heh...?!" Saat itu juga, kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, ketika melihat Ki Warungkul bersama anak gadisnya dan semua pengikutnya. Mereka kini tengah berkumpul dalam ruangan berukuran besar seperti sebuah balairung, tepat di bawah atap yang terbuka bagian atasnya. Semua tampak duduk bersila, melingkari ruangan yang sangat luas. Tampak sebuah altar batu terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Dan sesuatu di atas altar batu itulah yang membuat kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar. Di sana, terbaring sesosok tubuh anak laki-laki berusia tiga tahun yang sudah dikenalnya. Anak kecil itulah putra Adipati Wiyatala, yang akan dikorbankan oleh Ki Warungkul.
Tidak jauh dari altar batu itu, terdapat sebuah peti kayu jati berwarna hitam yang tutupnya terbuka. Di dalamnya terbaring seorang perempuan tua, seperti sedang tidur saja layaknya. Tapi tidak ada gerakan sedikit pun di tubuhnya, yang menandakan kalau perempuan tua itu masih hidup. Rangga tahu, perempuan tua itulah yang bernama Nyai Wisantika, seorang perempuan tukang sihir yang sangat ditakuti pada masa kehidupannya seratus tahun silam. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti, guru Rangga, juga tidak mampu menghadapinya. Apakah Rangga sekarang yang mengenakan gelar Pendekar Rajawali Sakti bisa menghadapi penyihir perempuan itu? Malah, dalam keadan seperti itu, Nyai Wisantika masih mampu menggelar ilmu-ilmu sihirnya. Padahal, tubuhnya dalam keadaan seperti mati. Lantas, bagaimana kalau dia sudah benar-benar hidup, setelah dilumuri darah dari putra Adipati Wiyatala.
Tapi Rangga memang harus bisa menggagalkan usaha persembahan korban manusia itu, agar Nyai Wisantika tidak ada kesempatan hidup kembali. Dan itu sudah menjadi tugasnya yang diberi gurunya langsung di Lembah Bangkai. Tapi apakah Rangga mampu menyelamatkan Raden Pinangsang di tengah-tengah pengikut Ki Warungkul yang berjumlah sangat banyak...?
Rangga sendiri tidak tahu, bagaimana caranya menyelamatkan bocah berumur tiga tahun itu dari dalam istana tua ini. Rasanya memang tidak mungkin menerobos masuk kedalam sana. Sementara di sana, terlihat lebih dari seratus orang dengan senjata terhunus mengelilingi bocah itu di atas altar batu persembahan.
Kini terlihat Ki Warungkul yang selalu didampingi Worodini sudah melangkah ke depan mendekati altar batu itu. Tampak sebuah keris berwarna kuning keemasan berlekuk tujuh, tergenggam di tangan kanannya. Dan dia berhenti tepat di depan altar batu persembahan. Tampak jelas sekali kalau Raden Pinangsang tidak sadarkan diri, seperti terlelap tidur di atas batu persembahan.
"Apa pun yang terjadi, aku harus bisa menggagalkan perbuatan iblis mereka. Hhh...!" desis Rangga dalam hati.
Sebentar Rangga berdiri tegak di tepi lubang atap bangunan istana ini. Tatapan matanya begitu tajam, memperhatikan ruangan besar, dibawahnya. Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau di atas atap, ada seseorang berdiri tegak di sana. Dan ketika Ki Warungkul mengangkat keris emas berkeluk tujuh dengan kedua tangan ke atas kepala, saat itu juga Rangga melompat masuk dari atas atap ruangan yang terbuka sambil mengembangkan kedua tangannya lebar-lebar, mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Hiyaaa...!" Teriakan Rangga yang begitu keras menggelegar memenuhi ruangan, membuat mereka semua yang ada di dalam ruangan jadi tersentak kaget setengah mati. Bahkan Ki Warungkul yang sudah siap menghujamkan keris emas di tangannya ke dada Raden Pinangsang, jadi terlonjak dan mendongak ke atas. Namun belum juga disadari apa yang terjadi, Rangga sudah berkelebat begitu cepat mengibaskan tangannya, tepat ke tangan Ki Warungkul yang menggenggam keris emas berkeluk tujuh itu.
Plak!
"Akh...!" Ki Warungkul jadi terpekik kaget setengah mati, dan tidak dapat lagi mempertahankan keris emas dari genggamannya. Sehingga keris itu langsung terpental jauh ke atas. Dan pada saat belum ada seorang pun yang menyadari, Rangga sudah melesat cepat sekali ke atas altar batu persembahan. Dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti langsung menyambar tubuh Raden Pinangsang, langsung dipanggulnya dipundak kiri.
"Hup! Yeaaah..!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung melenting tinggi-tinggi ke atas, berusaha mencapai bagian atas atap istana yang terbuka dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. Tapi belum juga sampai di sana, tiba-tiba saja secercah cahaya merah bagai api melesat begitu cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Slart!
"Haiiit..!" Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti meliuk, dan melenting ke samping kanan, menghindari serangan cahaya merah bagai api. Lalu, manis sekali ujung jari kakinya menjejak batu dinding bangunan istana ini, dan langsung melenting cepat. Dan kini Rangga hinggap di atas sebuah palang batu yang berada di bagian kiri ruangan besar ini. Dan pada saat itu juga....
Clrasss...!
"Heh...?!" Hampir saja Rangga tidak percaya melihatnya. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, saat melihat dari kedua bola mata perempuan tua yang terbaring didalam peti itu memancar cahaya merah bagai api. Kecepatannya bagai kilat langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaa...!" Secepat kilat Rangga melenting ke atas, sambil berputaran beberapa kali di udara. Sehingga cahaya merah yang memancar dari kedua bola mata perempuan tua dalam peti mati itu menghantarn palang batu yang menjadi pijakan Rangga tadi. Maka seketika terdengar ledakan dahsyat menggelegar, saat palang batu itu hancur terhantam cahaya merah ini,
Glarrr...!
"Awaaas...!"
"Menyingkir semuaaa...!"
Ki Warungkul dan Worodini langsung berteriak memerintahkan orang-orangnya untuk segera menyingkir, menghindari reruntuhan palang batu yang hancur terkena sambaran cahaya merah tadi. Tapi mereka yang masih diliputi keterkejutan, tidak sempat lagi menghindar. Dan seketika itu juga, batu-batu yang berguguran dari atas menghantam. Maka seketika jeritan-jeritan panjang melengking tinggi langsung terdengar saling sambut.
Sementara itu, Rangga kini sudah kembali hinggap di atas palang batu lainnya. Dan tubuhnya segera melesat, begitu terlihat kilatan cahaya merah kembali meluruk ke arahnya. Dan. cahaya merah itu kembali menghantarn palang batu yang sangat besar ini hingga hancur berkeping-keping. Suara ledakan pun kembali terdengar dahsyat memenuhi ruangan yang besar ini.
Kekacauan seketika terjadi dalam ruangan besar itu. Semua pengikut Ki Warungkul jadi berlarian sambil berteriak-teriak, berusaha menyelamatkan diri dari reruntuhan batu yang menghujaninya tanpa ampun. Sedangkan Rangga terus berlompatan dengan gerakan sangat lincah, menghindari setiap serangan kilatan cahaya merah yang memburu, kemana saja tubuhnya bergerak membawa Raden Pinangsang di atas bahu kirinya.
Rangga seperti sengaja berlompatan dari satu tempat ke tempat lain, hingga membuat kilatan-kilatan cahaya merah itu menghancur leburkan dinding dan pilar-pilar batu di dalam ruangan ini. Akibatnya, keadaan semakin bertambah kacau balau. Orang-orang berbaju serba merah yang menjadi pengikut Ki Warungkul, berusaha menyelamatkan diri dengan keluar dari ruangan ini melalui tiga buah pintu yang ada. Mereka saling berlomba untuk bisa keluar lebih dahulu. Sementara, sudah beberapa orang yang tergeletak mati terhimpit batu.
Dan kilatan-kilatan cahaya merah itu terus memancar, mengejar Rangga yang bergerak kemana saja menghindarinya. Hingga kehancuran ruangan istana ini tidak bisa lagi dihindari. Saat itu juga Ki Warungkul jadi cemas melihat keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Bergegas dihampirinya peti mati yang terbuat dari kayu jati berwarna hitam itu. Lalu dengan cepat ditutup peti itu. Dan seketika itu juga, kilatan-kilatan cahaya merah tidak terlihat lagi.
Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat tubuhnya melenting tinggi-tinggi keatas, mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Begitu cepat lesatannya, hingga sekejapan mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap, keluar dari dalam ruangan ini melalui bagian atap yang terbuka cukup lebar. Dan tiba-tiba saja, atap yang semula terbuka itu bergerak menutup, tepat di saat Rangga sudah menerobos keluar dari sana.
"Setan keparat! Cari pengacau itu...! Kejar...! Jangan biarkan dia lolos...!" teriak Ki Warungkul kalang kabut.
Ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti memang sudah sangat sempurna tingkatannya. Hingga tanpa kesulitan lagi, Rangga bisa melompat turun dari atas atap istana tua di puncak Bukit Ular ini. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja dari arah sebelah kiri sudah bermunculan orang-orang berpakaian serba merah yang berlarian menghampirinya sambil berteriak-teriak keras menyerukan kematian.
"Seraaang...!"
"Bunuh dia...!"
"Hiyaaat..!"
Gerakan mereka memang cepat, hingga Rangga tidak punya kesempatan menghindarinya. Apa lagi, dua orang yang begitu dekat sudah langsung melompat menyerang dengan pedang yang dikibaskan begitu cepat.
"Haiiit..!" Cepat sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari sabetan dua bilah pedang yang bersamaan waktunya. Kemudian tubuhnya cepat melenting ke atas. Seketika kedua kakinya langsung bergerak berputar, menghentak disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat lagi dihindari. Akibatnya, kedua orang yang menyerang ini langsung memekik keras, begitu kedua kaki Rangga menghantam kepala mereka, sampai terdengar suara berderak dari tulang-tulang tengkorak kepala yang pecah. Dan kedua orang berbaju merah menyala itu seketika ambruk, dengan kepala pecah berlumur darah. Sementara, Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah.
Dan pada saat itu juga, orang-orang berpakaian serba merah sudah berlompatan cepat langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari arah depan. Dan Rangga tidak punya lagi kesempatan menghindarinya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat, menyambut serangan-serangan itu menggunakan jurus-jurus 'Rajawali Sakti' yang dipadukan menjadi satu.
Namun orang-orang berpakaian serba merah itu seperti tidak mengenal gentar sedikit pun juga. Mereka terus merangsek dan menyerang tanpa henti dari segala arah. Dan ini membuat Rangga jadi kerepotan juga melayaninya.
"Terpaksa, aku harus gunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti," desis Rangga dalam hati.
Sret! Cring...!
Seketika itu juga malam yang gelap gulita ini jadi terang benderang, begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangka. Dan seketika itu juga, Rangga melompat menyambut serangan orang berpakaian serba merah ini dengan pedang pusaka berkelebat begitu cepat bagai kilat. Begitu cepat serangannya, hingga lima orang yang berada paling depan tidak dapat lagi menghindarinya. Dan mereka menjerit melengking tinggi, begitu tubuhnya tersambar pedang yang memancarkan cahaya biru terang ini.
"Hiyaaat...!" Rangga yang menyadari kalau jumlah lawannya sangat banyak, tidak mau kehilangan kesempatan. Dia cepat mendahului sebelum orang-orang berpakaian serba merah itu bisa berbuat lebih banyak lagi. Dengan kebutan pedang pusaka di tangan, Pendekar Rajawali Sakti berlompatan cepat sekali.
Kecepatan dari sabetan pedang itu memang sungguh luar biasa. Sulit diikuti pandangan mata biasa, hingga tak ada seorang pun yang bisa menghadangnya. Maka jeritan-jeritan panjang melengking tinggi mengiringi kematian pun semakin sering terdengar saling sambut. Kilatan-kilatan cahaya pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat di antara orang-orang berpakaian serba merah yang semakin kalang kabut tidak menentu. Terasa sulit bagi mereka untuk membendung serangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sementara Rangga sendiri sengaja bergerak, mendekati lereng bukit ini. Dan begitu mendapat kesempatan, tanpa menunggu waktu lagi tubuhnya langsung melesat melewati beberapa kepala musuhnya.
"Hiyaaat...!"
Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, hingga sebelum ada yang sempat menyadari sudah lenyap tertelan batu-batu yang banyak berserakan di sekitar lereng bukit ini. Sekilas masih terlihat kilatan cahaya biru berkelebat menuruni lereng bukit kemudian lenyap dari pandangan mata, tepat di kaki Bukit Ular ini. Dan pada saat itu Ki Warungkul keluar dari dalam bangunan istana tua ini bersama anak gadisnya. Dia masih sempat melihat sebagian orang-orangnya berlarian menuruni lereng bukit.
"Kemana dia...?!" tanya Ki Warungkul langsung, dengan suara keras.
"Dia lari ke arah sana, Ki!" sahut salah seorang sambil menunjuk ke arah kaki bukit
"Setan! Kejar...! Jangan biarkan lolos. Bawa kembali bocah itu padaku!" perintah Ki Warungkul kalap.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, semua pengikut orang tua itu segera berlarian menuruni Bukit Ular, menyusul yang lainnya. Sementara itu, Ki Warungkul menggerutu dan mengumpat Pendekar Rajawali Sakti yang berhasil membawa lari Raden Pinangsang. Padahal, bocah itu akan dikorbankan untuk kebangkitan kembali Nyai Wisantika. Tanpa darah itu, tidak mungkin Nyai Wisantika bisa dibangkitkan kembali. Dan dia sendiri tidak akan mungkin bisa menyempurnakan ilmunya, tanpa darah anak itu.
"Ayo, Worodini. Kita temui Nyai Wisantika," ajak Ki Warungkul.
''Untuk apa, Ayah?" tanya Worodini yang sebenarnya merasa ngeri melihat perempuan tua dalam peti matinya.
"Aku akan laporkan semua kejadian ini," sahut Ki Warungkul.
"Tapi dia tidak usah tahu, Ayah."
"Paling tidak, aku akan meminta petunjuk darinya untuk mendapatkan bocah itu kembali."
Worodini tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi. Dan dengan hati terpaksa, diikutinya ayunan langkah kaki ayahnya, masuk kembali ke dalam bangunan istana tua ini.
Sementara itu di tempat lain, Rangga sudah cukup jauh meninggalkan Bukit Ular. Dan Pendekar Rajawali Sakti kini sudah sampai di tengah-tengah hutan yang merupakan sebuah padang rumput cukup luas. Malam teramat pekat, dengan rintik-rintik air hujan masih turun. Walaupun tidak besar, namun mampu membuat suasana didalam hutan itu cukup menyeramkan. Tapi, Rangga yang malah berhenti di sana, seakan tidak peduli dengan keadaan yang sunyi dan menyeramkan. Dipandanginya bocah kecil di pundak kirinya yang masih belum juga sadarkan diri. Rangga memindahkan bocah itu ke dalam pondongannya. Kembali dipandanginya wajah bocah yang tidak berdosa ini.
"Kau akan aman bersamaku, Raden. Jangan takut, aku tidak akan membiarkan kau jatuh ke tangan mereka lagi," kata Rangga berbisik pelan.
Sejenak Pendekar Rajawali Sakti terdiam, kemudian mendongakkan kepala keatas. Dan tidak lama kemudian, terdengar suara siulannya yang nyaring melengking tinggi dengan nada suara aneh terdengar di telinga.
"Suiiit...!"
Belum juga siulannya lenyap dari pendengarannya, sudah terlihat seekor burung rajawali meluruk deras dari angkasa. Rupanya Rajawali Putih tidak meninggalkan Rangga jauh-jauh. Sehingga burung itu bisa langsung mendengar panggilan tadi, dan cepat menghampirinya. Langit yang gelap tertutup awan hitam, memang membuat keberadaan burung rajawali raksasa itu sulit bisa diketahui.
"Cepat kesini, Rajawali. Mereka mengejarku...!" seru Rangga memanggil burung rajawali tunggangannya itu.
"Khraaagkh...!"
Ringan sekali Rajawali Putih'mendarat tepat didepan Rangga. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melompat naik ke punggung burung rajawali raksasa ini.
"Cepat bawa aku ke tempat yang aman, Rajawali. Kita harus sembunyikan anak ini dari jangkauan mereka," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, burung rajawali raksasa itu segera mengepakkan sayapnya yang lebar. Hanya sekali kepakan saja, sudah melambung tinggi ke angkasa membawa Rangga di punggungnya yang memondong Raden Pinangsang.
Rajawali Putih terus melesat cepat bagai kilat, menembus awan hitam yang begitu pekat menggantung di langit Angin di atas yang begitu dingin, membuat Rangga terpaksa harus mendekap tubuh bocah kecil itu agar tidak kedinginan.
"Khraaagkh...!"
"Ada apa, Rajawali?" tanya Rangga, saat mendengar teriakan Rajawali Putih yang begitu keras menggelegar, bagai hendak memecah angkasa yang gelap tanpa cahaya bintang maupun rembulan.
"Khraaagkh...!" Rangga menjulurkan kepala ke bawah. Saat itu juga, keningnya jadi berkerut melihat serombongan orang berkuda tengah bergerak cepat mendekati Bukit Ular. Dari jalan yang dilalui, jelas sekali bisa diketahui kalau mereka datang dari arah kota Kadipaten Parunggungan. Dan kedua bola mata Pendekar Rajawali Sakti jadi bertambah lebar terbeliak, saat mengenali pakaian seragam yang dikenakan orang berkuda yang berjumlah sekitar tiga puluh orang itu. Dan di depan mereka, terlihat Adipati Wiyatala yang menunggang seekor kuda hitam.
"Hm.... Mau apa mereka ke Bukit Ular...?" gumam Rangga jadi bertanya sendiri dalam hati.
Belum juga Rangga bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja kedua bola matanya jadi terbeliak semakin lebar, ketika melihat serombongan orang berkuda lain, yang berbaju warna merah menyala. Rombongan itu bergerak dari arah yang berlawanan dengan rombongan Adipati Wiyatala. Dan Rangga tahu, siapa orang-orang berpakaian serba merah yang datang dari arah Bukit Ular itu.
"Rajawali! Turunkan aku di sana. Dan, bawa anak ini ke tempat yang kau anggap aman," pinta Rangga langsung.
"Khraaagkh...!"
"Jangan khawatir, Rajawali. Aku hanya ingin mencegah iblis-iblis itu membantai Adipati Wiyatala dan prajuritnya," kata Rangga, seakan bisa mengerti perasaan cemas burung rajawali raksasa sahabatnya.
"Khraaagkh...!"
"Bagus. Cepat turunkan aku, Rajawali."
ENAM
"Hup!" Manis sekali Rangga melompat turun, sebelum Rajawali Putih bisa menjejakkan kakinya di tanah. Segera tubuh Raden Pinangsang ditanah diletakkan. Dan tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih segera menyambar tubuh bocah kecil itu, dan langsung dibawa melesat tinggi ke angkasa. Sementara, Rangga memandangi kepergian burung rajawali raksasa itu beberapa saat. Dan saat itu juga, telinganya mendengar hentakan-hentakan puluhan ekor kaki kuda yang dipacu cepat menuju kearahnya.
"Sebaiknya aku temui dulu Adipati Wiyatala. Aku harus memberitahu kalau ada orang-orang Ki Warungkul yang menuju ke sini," gumam Rangga bicara pada diri sendiri.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung melesat, berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepat larinya, sehingga seakan-akan kedua kakinya tidak lagi menapak tanah. Dan hanya kelebatan bayangan putih dari pakaiannya saja yang terlihat, di antara kegelapan malam dan lebatnya pepohonan.
Sementara itu Adipati Wiyatala bersama sekitar lima puluh orang prajurit terus bergerak cepat, menuju Bukit Ular. Tidak lama lagi, adipati itu akan tiba di kaki Bukit Ular. Dan jalan yang dilalui sekarang, juga sudah mulai dipenuhi batu berserakan. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat memotong arah gerakan rombongan prajurit Kadipaten Parunggungan ini.
"Hooop...!" Adipati Wiyatala langsung menarik tali kekang kudanya, sambil mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi ke atas kepala. Dan tepat di saat rombongan prajurit Kadipaten Parunggungan itu menghentikan lari kudanya, bayangan putih tadi kembali terlihat berkelebat tepat di depan Adipati Wiyatala. Namun belum juga adipati berusia muda ini bisa bersuara, tahu-tahu di depannya sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga...," desis Adipati Wiyatala terkejut.
"Maaf, aku membuatmu terkejut," ucap Rangga hormat.
Adipati Wiyatala segera melompat turun dari punggung kudanya, langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap berdiri tegak di depannya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sementara semua prajurit yang dibawa Adipati Wiyatala berhenti melangkah setelah jaraknya dengan Rangga tinggal sekitar tiga tindak lagi.
"Apa yang kau lakukan di sini, Rangga?" tanya Adipati Wiyatala.
"Menyelamatkan Raden Pinangsang," sahut Rangga datar.
"Putraku...?"
Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
"Lalu...? Apa kau sudah mengeluarkannya dari sana? Di mana Pinangsang sekarang, Rangga...?"
Sulit bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan yang beruntun itu, hingga hanya diam saja memandangi Adipati Wiyatala yang tampaknya cepat menyadari kesalahannya.
"Maaf. Aku..., aku terlalu...."
"Sudahlah, Gusti Adipati. Aku bisa memahami perasaanmu," ujar Rangga lembut seraya mengembangkan senyum.
"Di mana Pinangsang sekarang berada, Rangga?" tanya Adipati Wiyatala masih ingin tahu juga nasib anaknya.
"Dia sekarang berada di tempat yang aman. Kau tidak perlu mencemaskannya. Mereka tidak akan mungkin bisa mendapatkannya lagi," kata Rangga memberi tahu.
"Oh...," Adipati Wiyatala menghembuskan napas lega.
Terasa lega seluruh rongga dadanya, mendengar anaknya sudah selamat, dan sekarang berada di tempat yang aman. Adipati Wiyatala begitu percaya pada kejujuran Pendekar Rajawali Sakti ini, yang pasti akan berkata apa adanya.
"Gusti, aku datang menemui di sini, karena ada sesuatu yang hendak kuberitahu padamu," kata Rangga langsung menjurus pada pokok persoalan.
"Apa itu, Rangga?"
"Sekarang ini, gerombolan orang-orang berbaju serba merah sedang menuju ke tempat ini. Aku rasa tidak lama lagi mereka akan sampai. Perintahkan prajuritmu untuk bersiaga. Aku khawatir, mereka akan kembali menyerang Kadipaten Parunggungan," Rangga langsung memberitahu, apa yang dilihatnya dari angkasa bersama Rajawali Putih tadi.
"Benarkah itu, Rangga...?"
Rangga mengangguk mantap. Dan tanpa menunggu waktu lagi, Adipati Wiyatala langsung memerintahkan prajuritnya untuk bersembunyi, dan bersiaga mengadakan penyergapan. Sementara, Rangga jadi tersenyum. Dikaguminya kesigapan Adipati Wiyatala yang langsung bisa memahami laporannya tadi, dan langsung memerintahkan prajuritnya untuk mengambil tempat. Sementara kuda-kuda mereka segera disembunyikan di balik semak dan pepohonan yang cukup lebat didalam hutan ini.
"Sebaiknya kita juga bersembunyi, Rangga," kata Adipati Wiyatala. .
"Aku rasa tidak ada waktu lagi, Gusti Adipati...."
Belum juga menghilang kata-kata Rangga dari pendengaran, sudah terdengar hentakan-hentakan puluhan kaki kuda dipacu menuju tempat ini. Dan tidak lama kemudian, muncul puluhan orang berpakaian serba merah yang semuanya menunggang kuda dari ujung jalan setapak, didalam hutan yang berkabut tebal ini.
Dan tampaknya, orang-orang berpakaian serba merah itu sangat terkejut, saat melihat dua orang yang sudah dikenali berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka langsung menghentikan lari kudanya, dan berlompatan turun. Tanpa diperintah lagi, senjata pedang masing-masing segera dicabut, dan langsung bergerak berlompatan mengepung Adipati Wiyatala dan Pendekar Rajawali Sakti.
"Seraaang...!"
"Bunuh mereka...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Teriakan keras menggelegar memberi perintah, seketika terdengar memecah kesunyian malam yang teramat pekat. Dan seketika itu juga, orang-orang berpakaian serba merah berlompatan menyerang Adipati Wiyatala dan Pendekar Rajawali Sakti. Namun belum juga serangan sampai, Adipati Wiyatala sudah berteriak lantang menggelegar, mengalahkan teriakan-teriakan orang-orang berpakaian serba merah itu.
"Serang mereka...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Dan pada saat itu juga, dari balik semak belukar dan pepohonan berlompatan para prajurit Kadipaten Parunggungan yang sudah mengepung tempat ini. Kemunculan prajurit yang berjumlah puluhan, membuat orang-orang berpakaian serba merah ini jadi kaget setengah mati. Tapi, mereka tak sempat lagi menyadari kedudukan yang tidak menguntungkan ini. Malah prajurit-prajurit itu sudah melancarkan serangan cepat dari segala arah.
Bahkan Adipati Wiyatala sendiri sudah mencabut pedangnya, dan langsung melesat begitu cepat Pedangnya segera dibabatkan dengan kecepatan bagai kilat.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Cras!
"Aaakh...?!"
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar saling sambut, mengiringi kematian disertai teriakan-teriakan keras pembangkit pertempuran. Denting senjata beradu pun terdengar, menyemaraki suasana pertempuran. Sementara itu, Rangga yang melihat keadaan sangat menguntungkan pihak prajurit Kadipaten Parunggungan, segera melompat mundur keluar dari kancah pertarungan ini. Dan dia merasa tidak perlu mengotori tangan dengan darah.
Dan pertarungan dua kelompok itu terus berlangsung sengit. Tubuh-tubuh bersimbah darah semakin sering berjatuhan dari kedua belah pihak. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun semakin sering terdengar menyayat, bagai hendak memecah kesunyian dan kedamaian hutan ini. Tampak jelas kalau para prajurit Kadipaten Parunggungan yang langsung di bawah pimpinan Adipati Wiyatala benar-benar menguasai jalannya pertarungan. Mereka bertarung bagai benteng terluka.
Dalam waktu tidak begitu lama, sudah puluhan orang ambruk berlumuran darah. Namun pertarungan terus saja berlangsung sengit. Dan pada saat itu, tiga orang dari pihak lawan berhasil meloloskan diri dari kancah pertarungan. Dan mereka segera melompat naik ke punggung kuda, langsung menggebahnya cepat meninggalkan pertarungan ini.
"Hhh! Mereka tentu akan meminta bantuan...," dengus Rangga yang melihat ketiga orang itu melarikan diri. "Mereka harus dicegah. Hup...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera melesat cepat bagai kilat, mengejar tiga orang yang bisa meloloskan diri itu. Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga dalam beberapa kali lesatan saja, ketiga orang yang melarikan diri itu sudah bisa terkejar. Dan Rangga langsung menghadangnya didepan.
Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang sangat tiba-tiba dan tidak diduga itu, tentu saja membuat ketiga orang berbaju serba merah itu jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat mereka menghentikan lari kudanya, dan segera berlompatan turun bersamaan. Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung saja berlompatan menyerang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Namun Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah siap sejak tadi, segera melompat keatas menghindari sabetan pedang lawan yang datang dari sebelah kiri dan kanan. Dan saat pedang itu lewat di bawah tubuhnya, manis sekali Rangga berputaran di udara. Lalu bagaikan kilat, dilepas-kannya satu pukulan dahsyat, dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat serangan balik Pendekar Rajawali Sakti, hingga orang yang menyerangnya tidak dapat lagi berkelit menghindar. Maka pukulan yang dahsyat itu tepat menghantarn dadanya.
"Begkh! Akh...!"
Orang berpakaian serba merah itu seketika menjerit keras, dengan tubuh terpental jauh ke belakang. Dan keras sekali punggungnya menghantam pohon. Bahkan sampai terpental kembali, jatuh menghantam tanah dengan keras. Hanya sedikit saja gerakan terlihat, kemudian tubuh berbaju merah menyala itu diam tidak bergerak-gerak lagi dengan darah menggumpal mengalir dari mulut.
"Hiyaaat...!"
Rangga yang sudah begitu muak dengan orang-orang ini, tidak membuang-buang waktu dan tenaga percuma. Sebelum dua orang yang tersisa itu bisa berbuat sesuatu, tubuhnya sudah bergerak cepat mendahului. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kedua tangannya yang tiba-tiba terentang lebar ke samping dikibaskan. Cepat sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti yang mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', membuat kedua orang lawannya ini tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Begkh!
Des!
"Akh!"
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi menyambut kematian dua orang berpakaian serba merah itu seketika terdengar menyayat, bersamaan terpentalnya dua tubuh berbaju serba merah ke belakang dengan deras sekali. Sementara, Rangga sudah kembali berdiri tegak memandangi dua orang lawannya yang kini sudah tergeletak tidak bergerak-gerak lagi. Tampak kepala mereka remuk, terkena kibasan tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna tadi.
"Hhh! Aku harus kembali ke tempat pertarungan," gumam Rangga dalam hati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera berlari cepat sekali bagai angin meninggalkan tempat itu. Dan yang dituju langsung ke arah pertarungan yang tentu saja masih berlangsung.
Dan memang benar, pertarungan belum juga selesai. Tapi Rangga langsung bisa menarik napas lega, melihat para prajurit Kadipaten Parunggungan yang langsung dipimpin adipatinya sudah dapat menguasai jalannya pertarungan. Sedangkan lawan mereka semakin kewalahan saja, seakan sudah tidak sanggup lagi meneruskan pertarungan. Dan Rangga pun memutuskan untuk tidak ikut terjun bertarung.
Sementara jeritan panjang melengking tinggi disertai denting senjata beradu terus terdengar, memecah kesunyian malam yang gelap dan berselimut kabut tebal. Tubuh-tubuh berlumuran darah pun semakin sering berjatuhan.
Hingga akhirnya, orang-orang berpakaian serba merah menyala itu tinggal sekitar delapan orang lagi. Dan mereka segera melempar senjata tanda menyerah. Dan saat itu juga, Adipati Wiyatala berteriak lantang menggelegar, memberi perintah pada prajurit-prajuritnya untuk tidak menyerang lawan yang sudah menyerah. Dan seketika itu juga, pertarungan berhenti. Rangga segera menghampiri Adipati Wiyatala yang sedang memerintah prajuritnya untuk menangkap sisa-sisa lawan yang masih hidup.
"Banyak juga prajuritmu yang gugur, Gusti Adipati," ujar Rangga agak menggumam suaranya, seperti bicara pada diri sendiri.
"Ya, lebih dari setengahnya," desah Adipati Wiyatala.
Rangga terdiam, memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan sating tumpang tindih di sekitarnya. Darah berhamburan menyebarkan bau anyir memualkan perut. Sementara para prajurit kadipaten terus bekerja mengumpulkan teman-teman yang gugur dan terluka. Tanpa diberi perintah lagi, beberapa orang mulai menggali tanah membuat kuburan. Sebagian lagi merawat mereka yang masih hidup dan terluka cukup parah.
"Bagaimana, Gusti Adipati...? Apa kau tetap akan ke Bukit Ular?" kembali Rangga membuka suara setelah terdiam beberapa saat.
"Hhh...!" Adipati Wiyatala tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Ditariknya napas panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Memang tidak mungkin tujuannya ke Bukit Ular diteruskan dengan hanya mengandalkan prajurit yang tinggal beberapa orang saja. Mereka juga kelihatan begitu lelah setelah bertarung tadi. Kembali Adipati Wiyatala menghembuskan napas panjang, dan berpaling menatap wajah Rangga yang berada di sebelah kiri.
"Kau bilang anakku sudah kau selamatkan. Benar itu, Rangga...?" ujar Adipati Wiyatala ingin meyakinkan diri.
"Benar," sahut Rangga mantap.
"Lalu, di mana sekarang?"
"Ada di tempat yang aman, dan tidak mungkin mereka bisa mengambilnya lagi," sahut Rangga menjelaskan.
"Kau tahu sahabatku, kan...?"
Adipati Wiyatala terdiam sejenak. Kemudian kepalanya terangguk perlahan. Dia tahu, apa yang dimaksudkan Rangga. Sudah tentu sahabat yang dimaksudkan adalah seekor burung rajawali raksasa, tunggangan pemuda ini.
Adipati itu menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Ada kelonggaran didalam dadanya, setelah mengetahui putranya kini berada dalam lindungan burung rajawali raksasa.
Dia percaya, Rangga tentu bisa mudah menerobos istana di puncak Bukit Ular, karena masih menganggap kalau pemuda itu adalah dewa yang turun dari kahyangan untuk membantunya. Sampai saat ini, Adipati Wiyatala memang belum tahu siapa Rangga sebenarnya. Dan Rangga sendiri masih terus merahasiakan dirinya.
"Untuk sementara, biarlah Raden Pinangsang bersama sahabatku, Gusti Adipati. Terlalu berbahaya baginya kalau kembali ke istana. Mereka bisa mudah menembus benteng istana, dan bisa mengambilnya kembali. Aku tidak inginkan kejadian itu terulang kembali. Kalau sampai mereka mendapatkannya lagi, mungkin tidak akan bisa tertolong. Mereka akan mengorbankannya untuk iblis yang mereka sembah," jelas Rangga.
"Mereka memang manusia-manusia iblis yang harus ditumpas, Rangga. Aku sudah bertekad akan menumpas mereka sampai ke akar-akarnya," desis Adipati Wiyatala, dingin menggetarkan.
Rangga diam membisu. Sementara sisa prajurit Adipati Wiyatala sudah menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan mereka sudah membuat usungan yang diikatkan ke belakang kuda, untuk mengangkut teman-teman yang terluka parah. Sedangkan yang hanya mendapat luka ringan, sudah naik ke punggung kuda masing-masing. Prajurit yang lain juga sudah berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Hanya seorang saja yang masih memegangi tali kekang dua ekor kuda di belakang Adipati Wiyatala.
"Gusti...," ujar prajurit berusia muda itu seakan mengingatkan.
Adipati Wiyatala berpaling sedikit, dan mengambil tali kekang kudanya yang dipegangi prajurit itu. Dan tanpa bicara lagi, adipati itu segera melompat naik kepunggung kudanya ini. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri ditempatnya.
"Banyak kuda di sini, Rangga. Kau bisa pilih salah satu yang kau sukai," ujar Adipati Wiyatala, seraya memandang Pendekar Rajawali Sakti itu.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja, disertai gelengan kepala. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah lagi menunggang kuda lain, setelah memiliki Dewa Bayu. Penolakan Rangga yang tanpa berpikir lebih dulu itu, membuat kening Adipati Wiyatala jadi berkerut.
"Biarkan aku tetap di sini, Gusti Adipati. Sebaiknya kau segera kembali ke istanamu. Perkuat saja pertahanan di sana," kata Rangga, seperti bisa membaca jalan pikiran adipati itu.
"Lalu, kau sendiri akan ke mana?" tanya Adipati Wiyatala.
Rangga tidak bisa langsung menjawab, dan hanya mengangkat bahunya saja. Dan sebenarnya, dia sudah punya satu rencana dalam benaknya, tapi tidak ingin diketahui oleh Adipati Wiyatala. Dia tahu, adipati itu pasti akan ikut kalau tahu rencana yang ada dalam kepalanya.
"Hm.... Sebaiknya aku pergi saja cepat-cepat sebelum banyak lagi pertanyaan yang sulit," gumam Rangga dalam hati.
Dan tanpa berpikir lebih panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Dan ini membuat Adipati Wiyatala dan para prajuritnya jadi terlongong bengong. Mereka seperti melihat dewa yang menghilang begitu saja, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun juga.
"Oh...! Dia benar-benar dewa yang berada di pihakku...," desah Adipati Wiyatala dalam hati.
Beberapa saat Adipati Wiyatala masih terdiam di atas punggung kudanya, memandang ke tempat tadi Rangga berdiri. Memang tidak ada sedikit pun yang ditinggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan, entah ke arah mana perginya tadi. Adipati Wiyatala sendiri yang kepandaiannya sudah tinggi, masih sulit untuk bisa menerima tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya. Hingga dalam hatinya, dia semakin yakin kalau Rangga benar-benar dewa yang ingin menolongnya dari rongrongan manusia-manusia penghuni istana tua di puncak Bukit Ular itu.
"Kalian kembalilah ke istana. Aku akan menyusul nanti...!" seru Adipati Wiyatala memberi perintah.
Semua prajuritnya jadi terlongong bengong tidak mengerti. Tapi, tidak ada seorang pun yang berani membantah. Maka walau dengan hati berat diliputi berbagai macam pertanyaan atas keputusan junjungannya, mereka tidak bisa membantah lagi. Segera dilaksanakannya perintah itu, meninggalkan hutan ini. Sementara Adipati Wiyatala sendiri masih tetap duduk mematung di atas punggung kudanya. Entah, apa yang ada dalam benak Adipati Parunggungan itu.
"Hm.... Aku yakin, Rangga pergi ke puncak Bukit Ular. Sebaiknya aku juga pergi kesana. Pasti kehadiranku di sana ada gunanya," gumam Adipati Wiyatala dalam hati.
Tanpa mempertimbangkan lebih dulu, Adipati Wiyatala langsung menggebah cepat kudanya, menuju Bukit Ular setelah prajuritnya tidak lagi terlihat ada di tempat ini. Namun tanpa diketahui, seorang prajurit yang merasa cemas melihat junjungannya, tidak mengikuti yang lain kembali ke istana. Dia bersembunyi di balik pohon, dan terus memperhatikan Adipati Wiyatala yang menuju Bukit Ular, sampai tidak terlihat lagi bayangannya sedikit pun juga.
"Sebaiknya kulaporkan kepergian Gusti Adipati di Bukit Ular pada Paman Rondowungu," gumam prajurit itu, langsung mengambil keputusan.
Dan tanpa menunggu waktu lagi, prajurit itu segera melompat naik ke punggung kudanya, langsung menggebahnya dengan kencang. Sehingga, membuat kuda itu meringkik keras, melesat cepat meninggalkan hutan itu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
TUJUH
Dugaan Adipati Wiyatala memang benar. Rangga kini sudah berada di puncak Bukit Ular, tidak jauh dari bangunan istana tua yang berdiri angker di puncak bukit berbatu itu. Entah sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti berada di sana memandangi bangunan istana tua yang sebagian atapnya telah hancur oleh si pemilik bangunan itu sendiri. Sedikit pun Rangga tidak berkedip saat memandang. Begitu sunyi keadaannya. Tidak terlihat seorang pun ada di sekitar bangunan istana tua yang gelap, tanpa terlihat cahaya. Sehingg keadaannya semakin angker dan menyeramkan.
Cukup lama juga Adipati Wiyatala memperhatikan Rangga yang terus memandangi bangunan istana tua di puncak Bukit Ular ini. Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak bergerak dengan pandangan tertuju lurus ke arah pintu yang tertutup rapat. Adipati Wiyatala tidak tahu, apa yang sedang dilakukan pemuda berbaju rompi putih itu. Dia hanya bisa memperhatikan dari jarak yang cukup jauh, dan terlindung bayang-bayang pepohonan.
"Heh...?! Dia mulai menggerakkan tangannya. Apa yang akan dilakukan...?" desis Adipati Wiyatala agak terkejut.
Saat itu, Pendekar Rajawali Sakti memang kelihatan membuat beberapa gerakan kedua tangan di depan dada, bersamaan dengan terentangnya kedua kaki ke samping. Dan saat lututnya menekuk ke depan, kedua tangannya yang terkepal ditarik, hingga sejajar pinggang. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terdiam, dengan tatapan mata begitu tajam menyorot langsung ke pintu istana yang tertutup rapat sekitar dua batang tombak di depannya.
"Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak lantang menggelegar, bagai guntur hendak membelah angkasa yang kelam tanpa bintang ini. Dan bersamaan dengan itu, kedua tangannya yang tadi terkepal sejajar pinggang, langsung dihentakkan bersamaan ke depan. Maka seketika itu juga....
Wusss...! Bruakkk!
Kedua bola mata Adipati Wiyatala jadi terbeliak lebar, melihat pintu dari kayu jati yang sangat besar dan tebal, seketika hancur berkeping-keping, begitu kedua tangan Rangga terhentak ke depan. Tidak ada cahaya atau benda apa pun yang melesat menghantarn pintu itu. Pukulan jarak jauh yang disertai aji 'Bayu Bajra' memang sangat dahsyat. Bukan hanya pintu istana tua itu saja yang hancur berkeping-keping. Bahkan seluruh bangunan istana tua itu jadi bergetar hebat bagai diguncang gempa dahsyat. Malah tanah di sekitar puncak bukit itu juga jadi bergetar.
Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak, dengan kedua tangan sudah kembali terkepal di samping pinggang. Tatapan matanya masih tertuju lurus ke pintu yang sudah hancur. Tidak terlihat apa pun juga dalam bangunan istana tua itu, kecuali kegelapan saja. Namun, begitu debu yang mengepul didepan pintu istana tua itu lenyap, tiba-tiba saja terlihat puluhan orang berpakaian serba merah berlarian cepat sekali, sambil berteriak-teriak menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sret! Cring!
Tanpa membuang-buang waktu lebih banyak lagi, Rangga langsung saja melompat menyambut serangan orang-orang berbaju serba merah sambil mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangka di punggung. Dan seketika itu juga, malam yang semula teramat pekat jadi terang benderang terjilat cahaya biru yang memancar dari mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Bet! Cras!
"Aaakh...!" Hanya satu kali saja Rangga mengebutkan pedangnya yang sangat dahsyat, lima orang penyerangnya langsung terjungkal mandi darah, disertai jeritan panjang melengking tinggi sating sambut.
"Hiya! Hiyaaat...!"
Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Dia memang sudah bertekad untuk menghancurkan pengabdi-pengabdi setan itu, sampai ke akar-akarnya. Dengan pedang pusaka yang dahsyat, Pendekar Rajawali Sakti berlompatan sambil mengebutkan pedangnya dengan kecepatan tinggi. Bahkan gerakannya sukar dibendung lagi. Jeritan-jeritan panjang melengking terus terdengar saling sambut mengiringi kematian. Tubuh-tubuh bersimbah darah terus berjatuhan, tanpa dapat dicegah lagi.
Dan dalam waktu tidak begitu lama, puluhan orang berpakaian serba merah itu sudah tidak ada lagi yang bisa bangkit berdiri. Mereka semua sudah bergelimpangan mandi darah, tak bernyawa lagi. Rangga berdiri tegak, memandangi lawan-lawannya yang bergelimpangan berlumuran darah disekitarnya. Kemudian matanya menatap pintu istana tua yang sudah tidak berpintu lagi. Begitu gelap keadaannya, hingga bagian dalamnya sulit dilihat dengan jelas.
"Hm...." Sambil menggumam pelan, Pendekar Rajawali Sakti mulai melangkah perlahan-lahan mendekati pintu istana tua dipuncak Bukit Ular ini. Disimpannya kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Maka cahaya biru terang yang menyilaukan mata langsung lenyap, membuat keadaan di sekitar istana tua itu jadi kembali gelap, Namun baru saja Rangga kembali mengayunkan langkah dua tindak, mendadak saja ayunan kakinya dihentikan. Dan langsung kepalanya berpaling ke belakang.
"Hup...!" Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat, bagai hendak menembus gumpalan kabut yang cukup tebal menyelimuti seluruh puncak Bukit Ular ini. Begitu cepat lesatannya, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Bahkan Adipati Wiyatala sendiri yang sejak tadi memperhatikan, jadi kelabakan. Karena, Rangga tiba-tiba lenyap begitu saja bagai melesat masuk ke dalam tanah. Namun belum juga lenyap dari rasa keterkejutan adipati berusia muda itu, tiba-tiba saja....
"Heh...?!" Begitu terkejutnya, sampai Adipati Wiyatala terlompat kebelakang tiga langkah. Karena tiba-tiba saja Rangga sudah berdiri didepannya, tanpa diketahui lagi dari mana datangnya. Bahkan kelebatan bayangan bajunya saja tidak terlihat. Dan ini membuat jantung Adipati Wiyatala seakan-akan berhenti berdetak seketika.
"Rangga.... Kau mengejutkan aku saja...," desis Adipati Wiyatala sambil menghembuskan napas panjang.
"Kenapa kau mengikutiku, Gusti Adipati. Bukankah aku sudah memintamu kembali ke kadipaten?" terdengar datar suara Rangga.
"Aku..., aku ingin melihat kau menghancurkan mereka, Rangga. Aku ingin melihat dewa sepertimu, menghancurkan kejahatan," sahut Adipati Wiyatala dengan suara tergagap.
"Aku bukan dewa, Gusti Adipati. Aku manusia biasa, sama sepertimu. Aku hanya seorang pengembara yang tidak bisa menyembunyikan tangan saat melihat kejahatan berlangsung didepan mata," Rangga mencoba menjelaskan.
"Siapa pun kau, aku tetap ingin melihat kehancuran mereka," tegas Adipati Wiyatala.
"Tidak ada yang dapat kau lakukan disini, Gusti Adipati. Kembalilah ke kadipaten. Kau sangat dibutuhkan disana," desak Rangga.
Perlahan Adipati Wiyatala menggeleng. Sedangkan Rangga langsung bisa mengetahui kalau tidak mungkin bisa mendesak Adipati Wiyatala untuk meninggalkan puncak Bukit Ular. Perlahan Rangga berbalik, dan langsung menatap bangunan istana tua yang masih tetap berdiri tegak, sekitar lima batang tombak jaraknya. Dan Adipati Wiyatala kini menjajarkan dirinya di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti itu. Matanya juga menatap kearah bangunan istana tua itu tanpa berkedip sedikit pun juga.
"Dulu tempat ini sangat angker. Tidak ada seorang pun yang berani datang kesini. Bukan hanya angker, tapi banyak ular berbisa yang hidup di sini. Tapi entah kenapa, sekarang aku tidak menjumpai satu ekor ular pun di sini," kata Adipati Wiyatala, menjelaskan tentang Bukit Ular ini tanpa diminta.
"Hm...," Rangga hanya sedikit menggumamsaja.
"Aneh..., kemana ular yang dulu memenuhi tempat ini...?" gumam Adipati Wiyatala, seperti bertanya pada diri sendiri.
"Kau tidak akan bisa menjumpai seekor ular pun disini, Gusti Adipati;" kata Rangga pelan.
"Kenapa?" tanya Adipati Wiyatala.
"Ular-ular itu kini sudah menjelma menjadi manusia, karena sebenarnya memang manusia yang dikutuk dewata," kata Rangga menjelaskan.
"Maksudmu...?" Adipati Wiyatala meminta penjelasan.
"Mereka bisa kembali menjadi manusia, karena pemimpin mereka yang menguasai istana itu, sudah merasakan darah seorang anak perempuan yang lahir pada hari ketiga, tepat bulan ketiga dan berusia tiga tahun. Tapi, dia belum bisa bangkit dengan sempurna, sebelum merasakan darah pasangannya," jelas Rangga. "Hanya pengikutnya saja yang bisa kembali menjadi manusia."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Rangga...," kembali Adipati Wiyatala meminta penjelasan.
"Pasangannya adalah putramu, Gusti Adipati. Kalau sampai bisa menikmati darah putramu yang berusia tiga tahun, dan lahir pada hari ke tiga, bulan ketiga juga, dia akan bangkit dengan sempurna untuk membuat bumi ini menjadi neraka. Dan semua itu bisa terjadi, karena ulah Ki Warungkul bersama anak-anaknya."
"Oh.... Apakah kau bisa mencegahnya, Rangga?" tanya Adipati Wiyatala langsung bergetar jantungnya.
"Untuk sementara, aku bisa mencegahnya. Yang jelas, dengan mengamankan putramu, Gusti Adipati. Dan sekarang, aku harus menghancurkan mereka. Juga istana itu," sahut Rangga.
"Caranya....??"
Rangga tidak langsung menjawab. Dia memang merasa mendapat kesulitan untuk menghancurkan mereka beserta istana tua itu. Entah bagaimana, pengikut penghuni istana tua itu seperti tidak ada habisnya. Berulang kali muncul dengan jumlah banyak. Walaupun sudah puluhan yang bisa dibinasakan, tapi masih saja muncul yang lain dalam jumlah besar. Hal ini yang membuat Rangga merasa tertantang, dan ingin cepat menghancurkan istana tua bersama semua penghuninya.
"Aku akan mengerahkan seluruh prajurit kadipaten yang ada untuk menghancurkan mereka, Rangga," kata Adipati Wiyatala.
"Tidak ada gunanya, Gusti Adipati. Mereka bukan lagi manusia biasa. Bukannya tidak mungkin, prajurit-mulah yang akan musnah," kata Rangga, tegas menolak.
Adipati Wiyatala langsung terdiam membisu. Setelah tahu siapa yang sedang dihadapinya, jantungnya langsung berdebar kencang. Bahkan darahnya berdesir cepat, seperti tidak beraturan lagi. Sedangkan Rangga juga terdiam membisu, dengan kening berkerut cukup dalam. Entah apa yang ada dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu. Cukup lama juga mereka berdua terdiam membisu, memandangi bangunan istana tua yang berdiri ditengah-tengah puncak Bukit Ular ini.
Sementara, keadaan begitu sunyi. Dan malam pun terus merambat semakin bertambah larut. Seolah-olah, malam ini tidak akan pernah berakhir. Kabut pun semakin tebal menyelimuti seluruh puncak bukit yang berbatu ini. Namun, Rangga dan Adipati Wiyatala masih diam membisu, tak bergerak sedikit pun juga. Mereka terus memandangi bangunan istana tua yang angker dan tidak terawat itu.
"Kau tetap di sini, Gusti Adipati. Jangan mengikutiku lagi," kata Rangga dengan nada suara agak ditekan.
"Kau akan kemana?" tanya Adipati Wiyatala.
Tapi belum juga pertanyaan Adipati Wiyatala menghilang dari pendengaran, Rangga sudah melesat bagai kilat, membuat Adipati Wiyatala jadi terbeliak. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti, hingga bayangannya pun sulit dilihat lagi. Dan entah kemana arahnya, Rangga sudah lenyap tanpa dapat lagi diikuti pandangan mata. Dan Adipati Wiyatala jadi kelabakan sendiri, mengedarkan pandangan berkeliling. Matanya mencari, kalau-kalau bayangan Pendekar Rajawali Sakti kembali terlihat. Tapi harapannya tidak bisa terpenuhi.
"Ah! Mungkinkah dia manusia biasa sepertiku...? Rasanya sulit bisa diterima, kalau manusia biasa bisa menghilang seperti asap. Atau, dia sudah memiliki kepandaian tingkat tinggi yang sempurna...?"
Adipati Wiyatala jadi bertanya-tanya sendiri mengenai Rangga yang sangat membingungkan. Masih terlalu sulit baginya untuk bisa memahami ilmu tingkat tinggi yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Baginya, ilmu seperti itu hanya dimiliki para pertapa tua yang sudah mensucikan dirinya dari kehidupan kotor dunia nyata. Tapi, Rangga bukanlah seorang pertapa. Bahkan usianya masih terlalu muda untuk disebut pertapa yang sudah dapat dikatakan setengah dewa. Baru kali ini Adipati Wiyatala melihat seorang pemuda yang sebaya dengannya, memiliki kepandaian begitu tinggi sekali!
"Ah! Sebaiknya aku turuti saja kata-katanya. Toh, aku hanya ingin melihat istana itu hancur," gumam Adipati Wiyatala, bicara pada diri sendiri didalam hati.
Adipati Wiyatala melangkah menghampiri sebongkah batu yang sebesar kerbau, kemudian duduk bersila di atas batu itu. Dipandanginya bangunan istana tua yang berdiri angker ditengah-tengah puncak Bukit Ular ini. Entah kenapa, dia tidak ingin lagi melanggar larangan Rangga. Mungkin karena kehadirannya ditempat ini bisa diketahui Pendekar Rajawali Sakti, tanpa disadarinya.
Sementara itu, dibagian belakang istana tua yang belum hancur, tampak Rangga sudah berada di atas atap. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti berjingkat-jingkat mendekati lubang cukup besar yang menganga tepat di bagian tengah atap bangunan berbentuk seperti tempurung kelapa terbalik ini.
"Hup!" Setelah mengamati beberapa saat bagian dalam istana tua ini, Rangga melompat masuk dengan gerakan begitu indah dan ringan. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya dengan ringan di lantai dari batu yang dingin dan kotor ini. Sejenak tubuhnya merendah, sambil mengedarkan pandangan ke sekelilng ruangan luas yang pengap dan kotor penuh debu ini. Tidak ada seorang pun terlihat. Bahkan altar yang ada didalam ruangan ini juga kosong. Peti mati yang semula berada dekat altar batu itu juga kini tidak terlihat lagi. Perlahan Rangga menegakkan tubuhnya kembali. Namun pada saat itu juga....
"Hiyaaat...!"
"Heh..?! Hup!" Cepat-cepat Rangga melenting ke atas, ketika berpaling dan melihat sesosok tubuh ramping melesat begitu cepat menyerangnya, disertai kilatan cahaya putih keperakan.
Tring!
"Hap!" Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya di lantai, bersama terdengarnya sebuah dentingan dari sebuah senjata yang menghantam batu. Cepat Rangga berbalik, dan di depannya kini terlihat seorang gadis cantik, berbaju merah yang sangat ketat. Sebilah pedang tampak tergenggam di tangan kanan. Gadis cantik yang tidak lain Worodini tampak sudah siap, melancarkan serangan kembali. Pedangnya kini sudah melintang di depan dada. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak, menatap gadis itu dengan sinar mata sangat tajam menusuk.
"Hiyaaat...!" Sambil berteriak nyaring, Worodini kembali melompat dengan kecepatan tinggi sekali. Dan pedangnya seketika itu juga dikebutkan, tepat mengarah ke leher pemuda berbaju rompi putih ini.
Bet!
"Haiiit...!" Hanya sedikit saja Rangga menarik kepalanya ke belakang, maka tebasan pedang gadis itu tidak sampai memenggal batang lehemya. Dan ujung pedang yang runcing itu hanya lewat sedikit saja di depan batang tenggorokan Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu juga, Rangga cepat menarik kakinya ke belakang satu langkah. Dan secepat kilat tubuhnya berputar sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna, begitu tubuhnya membungkuk.
"Hup!" Namun, Worodini rupanya bukan gadis sembarangan. Dengan gerakan cepat dan indah sekali, tubuhnya melenting ke atas. Sehingga, membuat tendangan kaki kiri Rangga tidak sampai menghantam tubuhnya. Pada saat berada di atas, pedangnya dikebutkan ke bawah, tepat mengancam batok kepala Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat serangan baliknya, hingga tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk berkelit menghindarinya. Namun...
"Hap! Tap!"
"Hei...?!" Worodini jadi terbeliak lebar, ketika tiba-tiba saja Rangga mengatupkan kedua telapak tangannya di atas kepala, hingga menjepit ujung pedang yang hampir membelah kepalanya. Belum lagi Worodini bisa menghilang rasa keterkejutannya, Rangga sudah menghentakkan kedua tangannya yang menjepit pedang ke bawah, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Oh...?!" Worodini jadi tersentak kaget setengah mati. Keseimbangan tubuhnya tidak dapat lagi dikuasai, hingga sentakan tangan Rangga membuat dirinya jadi terpental dan terbanting keras sekali di lantai yang kotor terbuat dari batu hitam ini. Worodini terpekik keras, begitu tubuhnya menghantam lantai dengan keras sekali. Namun pedangnya yang terjepit sempat ditarik disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, sambil menggulingkan tubuhnya menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Hih!" Tapi, Rangga bukannya menahan sentakan gadis itu. Malah kedua tangannya dihentakkan ke depan, sambil melepaskan jepitannya pada ujung pedang itu. Sehingga, Worodini tidak dapat lagi menguasai dirinya yang terus bergulingan dilantai, sampai menabrak altar batu yang ada ditengah-tengah ruangan ini.
"Akh...!" Kembali Worodini terpekik, begitu punggungnya menghantam batu besar yang menjadi tempat persembahan bagi penghuni istana tua ini. Namun, gadis itu bisa cepat bangkit kembali, dan langsung menyilangkan pedangnya di depan dada. Sedangkan Rangga sendiri sudah kembali berdiri tegak, siap menyambut serangan gadis itu kembali.
"Mampus kau! Hiyaaat...!" Sambil berteriak lantang menggelegar, Worodini kembali melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya dijulurkan kedepan, tepat mengarah kebagian dada pemuda berbaju rompi putih ini. Namun, begitu tubuh gadis itu dekat, tanpa diduga sama sekali Rangga menarik pedang pusakanya. Langsung pedang itu dikibaskan kedepan, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaa...!"
Trang! Cras!
"Aaakh...!" Worodini jadi menjerit melengking tinggi, begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti menghantam buntung pedangnya. Bahkan langsung membelah kepalanya, hingga menjadi dua. Begitu dahsyat pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti, hingga tidak ada satu senjata pun yang sanggup meghadangnya.
Seketika itu juga Worodini ambruk ke lantai, dengan darah berhamburan deras dari kepalanya yang terbelah. Tubuhnya bergelinjang, menggelegar meregang nyawa tidak jauh di depan Rangga yang berdiri, sambil menggenggam Pedang Pusaka Rajawali Sakti di tangan kanan.
Pedang yang memancarkan cahaya biru terang itu, membuat keadaan di seluruh ruangan ini jadi terang benderang, bagai bermandikan cahaya pelita. Sementara, Worodini hanya sebentar saja menggelegar. Kemudian, tubuhnya mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi.
"Woro...!"
"Hm...!"
Rangga langsung berpaling, ketika mendengar jeritan dari arah kiri. Saat itu, terlihat seorang laki-laki tua berjubah merah menyala, berlari menghambur kearah Worodini yang sudah tergeletak kaku tidak bernyawa lagi dengan kepala terbelah menjadi dua. Sementara tidak jauh di depannya, Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak memandangi. Pedang Pusaka Rajawali Sakti sudah kembali tersimpan dalam warangka, membuat keadaan ruangan ini kembali gelap. Sementara laki-laki tua berjubah merah yang tidak lain Ki Warungkul, langsung menghambur dan memeluk tubuh anak gadisnya yang sudah tidak bernyawa lagi.
DELAPAN
Namun hanya sebentar saja laki-laki tua itu meratapi kematian anak gadisnya, kemudian sudah bangkit berdiri setelah meletakkan tubuh Worodini kembali ke lantai. Tatapan matanya yang tajam langsung menyorot, menembus ke dalam bola mata Rangga yang berdiri tegak sekitar satu batang tombak di depannya. Terdengar suara geraham bergemeletuk, menahan kemarahan yang memuncak didalam dada. Dan perlahan Ki Warungkul melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Kau harus membayar nyawa kedua anakku, Bocah Setan...!" desis Ki Warungkul dengan suara menggeletar menahan marah.
Rangga hanya diam saja, menanti serangan orang tua yang dulunya seorang pertapa ini. Sementara, jarak mereka sudah semakin bertambah dekat saja. Perlahan-lahan Ki Warungkul mencabut pedang yang selalu tersembunyi di balik jubahnya yang panjang. Kemudian...
"Mampus kau, Setan Keparat! Hiyaaat...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Warungkul langsung melesat dengan kecepatan tinggi. Pedangnya langsung dikibaskan begitu cepat, tepat mengarah ke batang leher Pendekar Rajawali Sakti ini.
Bet!
"Haiiit..!" Namun hanya sedikit mengegos kepala, tebas-an pedang orang tua itu tidak sampai mengenai batang leher Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali, tongkat kayu yang berada di dalam genggaman tangan kiri orang tua itu berkelebat begitu cepat ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan memang, Rangga bukan lawan sembarangan. Maka dengan gerakan begitu indah, Pendekar Rajawali Sakti melenting kebelakang sambil memutar tubuhnya, menghindari serangan beruntun yang dilancarkan orang tua berjubah merah itu.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!" Tapi, Ki Warungkul rupanya tidak mau lagi memberi kesempatan pada lawannya untuk balas menyerang. Sebelum kedua kaki Rangga bisa menjejak lantai, orang tua itu sudah kembali melompat dengan kecepatan kilat. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan kedua senjata secara beruntun dan cepat. Sehingga, Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
Dengan mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', serangan-serangan yang dilancarkan Ki Warungkul tidak ada yang bisa menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun jarak di antara mereka berdua begitu dekat tapi sangat sulit bagi Ki Warungkul untuk bisa menyarangkan serangan-serangannya. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga begitu sulit diterka arahnya. Bahkan sering terlihat, seakan-akan Rangga tidak menggunakan jurus-jurus silat. Gerakan-gerakannya lebih mirip orang yang kebanyakan minum arak. Sama sekali tidak beraturan. Dan ini membuat Ki Warungkul semakin sulit menyarangkan serangan-serangannya.
"Kau mempermainkan aku, Bocah Setan! Mampus kau! Hiyaaat...!"
Ki Warungkul semakin geram saja. Dan seketika serangannya ditingkatkan dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat cepat dan dahsyat Dan Rangga pun jadi kelabakan juga menghadapinya.
Tapi dengan ketenangan luar biasa, dia masih bisa menghindari setiap serangan orang tua ini. Bahkan beberapa kali, Rangga bisa melancarkan serangan balasan, walau dengan mudah bisa dipatahkan Ki Warungkul.
"Huh! Bisa habis napasku kalau terus begini.. .!" dengus Rangga dalam hati.
Serangan-serangan Ki Warungkul memang sangat cepat dan dahsyat luar biasa. Sehingga, membuat Rangga harus jungkir balik menghindarinya. Sedangkan beberapa kali serangan balasan yang dilancarkannya, sama sekali tidak berarti. Dan memang, Rangga belum mempunyai kesempatan sedikit pun untuk memberikan serangan balasan yang berarti.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja Ki Warungkul membentak keras menggelegar. Dan saat itu juga, pedangnya dikebutkan tepat mengarah ke kaki Pendekar Rajawali Sakti ini.
Dan kesempatan yang sangat sedikit ini, tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat tubuhnya melenting keatas, dan langsung mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari dalam warangka di punggung. Seketika itu juga, ruangan yang gelap gulita jadi terang benderang oleh cahaya yang memancar dari mata pedangnya.
"Oh...?!" Ki Warungkul jadi terkesiap kaget, melihat cahaya yang memancar menyilaukan mata dari pedang lawan. Cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah.
Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua kaki kokoh di atas lantai batu hitam yang kotor berlumut ini. Pedang pusakanya tersilang di depan dada, membuat dirinya bagai sosok dewa yang akan mencabut nyawa laki-laki tua di depannya.
Cahaya biru terang yang memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti, menerobos sampai keluar melalui pintu istana tua yang sudah hancur. Dan cahaya itu membuat Adipati Wiyatala jadi bergetar. Hatinya jadi tertarik ingin mengetahui peristiwa yang terjadi di dalam istana itu. Dan tanpa berpikir panjang lebar, adipati ini segera melompat dan berlari kencang menghampiri bangunan istana tua itu.
"Hah...?!" Kedua bola mata Adipati Wiyatala jadi terbeliak lebar, melihat Rangga dengan pedang pusakanya yang lurus ke depan, berdiri tegak sekitar tujuh langkah didepan Ki Warungkul. Tampak dari ujung pedang itu memancar cahaya biru terang, yang menggulung seluruh tubuh Ki Warungkul. Sementara, orang tua itu terlihat menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya biru yang memancar dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Kini seluruh bangunan istana ini mulai bergetar bagai diguncang gempa. Sedangkan batu-batu atap istana mulai berjatuhan. Sementara, Adipati Wiyatala tetap berdiri di ambang pintu, menyaksikan sebuah pertarungan tingkat tinggi yang belum pernah disaksikan selama ini. Sedangkan saat itu, Rangga mulai melangkah mendekati Ki Warungkul yang semakin lemah gerakannya di dalam selubung cahaya biru yang memancar dari ujung Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Hiyaaat...!" Dan tiba-tiba saja, Rangga berteriak keras menggelegar. Lalu bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil menghentakkan pedang ke atas kepala. Dan secepat kilat pula pedangnya dibabatkan tepat ke batang leher Ki Warungkul. Begitu cepatnya serangan akhir Pendekar Rajawali Sakti, membuat Ki Warungkul tidak dapat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Cras!
"Aaakh...!" Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar sangat menyayat, ketika Pedang Pusaka Rajawali Sakti membabat batang leher Ki Warungkul. Sementara Rangga sudah kembali melompat ke belakang sejauh lima langkah, sambil berputaran dua kali di udara. Dan begitu kedua kakinya menjejak lantai, kepala Ki Warungkul jatuh menggelinding, terpisah dari leher. Seketika itu juga, darah muncrat keluar dengan deras sekali dari batang leher yang buntung.
Tubuh Ki Warungkul yang sudah tidak berkepala lagi jadi limbung, kemudian ambruk ke lantai istana tua ini. Sebentar tubuh orang tua itu meregang nyawa, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur keluar dari leher yang buntung tidak berkepala lagi.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang, sambil menyimpan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Sebentar dipandanginya tubuh Ki Warungkul yang sudah tergeletak tidak bernyawa di depannya. Kemudian pandangannya beralih pada Adipati Wiyatala yang berdiri mematung di ambang pintu. Sedangkan istana tua ini semakin keras bergetar, membuat batu-batu berjaruhan semakin banyak.
"Hup!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melompat ke luar. Dan dengan cepat sekali disambarnya Adipati Wiyatala yang masih tetap mematung seperti tidak percaya dengan semua yang tengah disaksikannya. Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali di tanah bersama Adipati Wiyatala. Sementara, getaran pada istana tua itu semakin bertambah kencang saja. Sehingga, tanah berbatu di puncak Bukit Ular ini jadi berguncang seperti terjadi gempa.
"Mundurlah, Gusti Adipati," kata Rangga meminta dengan nada suara dalam.
"Apa yang akan kau lakukan, Rangga?" tanya Adipati Wiyatala.
"Mundurlah...."
Adipati Wiyatala segera menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua telapak tangan merapat didepan dada. Dan perlahan-lahan, tubuhnya bergerak hingga doyong ke kanan, lalu ditarik perlahan-lahan ke kiri. Dan begitu tubuhnya tegak kembali, terlihat semburat cahaya biru terang berkilau di antara kedua telapak tangan yang merapat di depan dada. Cahaya biru terang yang sama dengan cahaya pada Pedang Pusaka Rajawali Sakti di punggung pemuda itu. Sementara, Adipati Wiyatala terus memandangi tidak mengerti dengan semua yang diperbuat pemuda berbaju rompi putih ini.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat cahaya biru terang, langsung menghantam bangunan istana tua itu. Maka seketika....
Glarrr...!
Satu ledakan dahsyat seketika terjadi, bersamaan dengan hantaman cahaya biru dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti pada bangunan istana tua ini. Akibatnya, istana tua di puncak Bukit Ular ini jadi semakin hancur berkeping keping, menciptakan kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa bagai sebuah jamur raksasa.
Sementara batu-batu dari bangunan istana tua itu berhamburan disekitarnya, berpentalan keangkasa bagai letusan gunung berapi. Puncak Bukit Ular ini pun berguncang hebat. Di antara suara gemuruh dan ledakan dahsyat itu, terdengar jeritan melengking tinggi seorang wanita.
Rangga tahu, itu adalah jeritan perempuan tua yang menjadi penghuni istana tua ini. Perempuan iblis yang ingin menguasai dunia dengan kejahatannya. Sementara, Rangga menarik kakinya perlahan-lahan ke belakang. Dan kakinya baai berhenti setelah berada disamping kanan Adipati Wiyatala. Tampak istana tua itu kini sudah hancur berkeping-keping tidak berbentuk lagi.
"Ayo kita tinggalkan bukit ini," ajak Rangga seraya berbalik.
"Mereka semua sudah musnah, Rangga?" tanya Adipati Wiyatala, sambil mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti. Segera langkah kakinya disejajarkan di samping Rangga.
Rangga hanya mengangguk saja.
"Lalu, bagaimana dengan putraku?" tanya Adipati Wiyatala.
"Aku akan mengembalikan padamu, Gusti Adipati...! sahut Rangga seraya tersenyum.
"Terima kasih...."
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: IBLIS TANGAN TUJUH