MAWAR BERBISA
SATU
Brak!MERAH padam seluruh wajah Ki Gopar melihat bungkusan daun waru yang tergeletak di tanah, ternyata berisi kepala anaknya. Sebuah meja kayu jati disebelahnya hancur berkeping-keping seketika, terhantam pukulan tangannya yang besar dan berbulu. Sementara lima orang yang berada di depannya tidak ada yang berani mengangkat kepala. Sedangkan seorang laki-laki tua duduk bersimpuh di lantai dengan tubuh menggeletar hebat, seperti terserang demam. Dia juga tidak berani memandang wajah Ki Gopar yang memerah, dengan mata bagai sepasang bola api.
"Katakan! Siapa yang menyuruhmu mengantarkan ini, Ki Lamput...?!" tanya Ki Gopar mendesis dingin, pada laki-laki tua yang duduk bersimpuh di lantai.
"Aku..., aku tidak kenal. Aku hanya disuruh mengantarkan bungkusan itu...," sahut laki-laki tua bernama Ki Lamput keringat dingin sudah membasahi tubuhnya yang tidak mengenakan baju.
"Bohong! Kau pasti tahu!" bentak Ki Gopar berang.
"Sungguh..., Gusti. Aku tidak tahu...."
"Cambuk dia!" perintah Ki Gopar dengan bentakan menggelegar.
Seketika seorang laki-laki bertubuh tegap dan berotot, melangkah maju mendekati Ki Lamput. Seutas cambuk kulit tampak tergenggam di tangan kanannya yang sudah terangkat ke atas. Dan....
"Hih!"
Ctar!
"Akh...!" Ki Lamput menjerit keras, ketika cambuk kulit itu menghantam tubuhnya. Seketika kulit punggungnya robek mengeluarkan darah. Tubuh tua yang kurus dan tidak berbaju itu langsung tersungkur jatuh, mencium lantai yang keras dan berkilat ini. Mulutnya merintih, merasakan sakit yang amat sangat pada punggungnya.
Ctar!
"Akh...!" Kembali orang tua itu memekik ketika cambuk itu kembali menyengat kulit punggungnya. Beberapa kali cambuk itu menyengat punggungnya, hingga orang tua itu tidak dapat lagi bergerak. Dia langsung menggeletak di lantai dengan punggung hancur berlumuran darah. Dan ketika tukang pukul Ki Gopar itu ingin mengayunkan cambuknya lagi, Ki Gopar cepat menghentikannya.
"Cukup, Bantar!"
Laki-laki bertubuh tegap dan berotot yang bernama Bantar itu menghentikan ayunan cambuknya yang sudah terangkat naik. Tubuhnya dibungkukkan memberi hormat pada Ki Gopar, kemudian melangkah mundur beberapa tindak.
"Bawa dia keluar. Lemparkan ke dalam hutan. Biar jadi santapan anjing-anjing hutan," perintah Ki Gopar.
Dua orang yang berada di belakang Bantar langsung melangkah mendekati Ki Lamput yang sudah tidak bergerak-gerak lagi. Mereka menggotongnya, setelah memberi hormat pada Ki Gopar dengan membungkuk. Ki Gopar sendiri langsung beranjak pergi meninggal-kan ruangan depan rumahnya yang besar dan megah. Beberapa orang yang ada di ruangan itu langsung membungkuk dengan sikap begitu hormat. Tapi sebelum melewati pintu yang langsung menuju ke bagian tengah rumah ini, langkah kakinya terhenti.
"Cari tubuh anakku sampai ketemu. Lalu, kuburkan dekat makam ibunya," perintah Ki Gopar tanpa berbalik sedikit pun.
Setelah memberi perintah, Ki Gopar langsung menghilang di balik pintu yang kembali tertutup. Sementara semua orang yang ada di dalam ruangan itu segera beranjak pergi, menjalankan perintah majikannya. Sebentar saja, ruangan yang besar dan megah itu sudah sunyi, tanpa seorang pun terlihat lagi. Sementara Ki Gopar masuk ke dalam kamar tidurnya yang berukuran cukup besar.
Tampak di atas ranjang yang besar dan beralas sehelai kain sutera halus berwarna merah muda, tergolek seorang wanita cantik. Tubuhnya hanya ditutupi selembar kain yang sangat tipis, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya terlihat jelas.
"Lama kau menungguku, Manis...?" kata Ki Gopar dengan senyum yang merekah lebar.
Wanita itu hanya tersenyum saja. Sebuah senyum yang manis sekali. Tubuhnya digeliatkan sedikit. Dan gerakannya membuat kedua bola mata Ki Gopar jadi terbeliak lebar, karena kain tipis penutup pahanya tersingkap. Laki-laki bertubuh gemuk ini menghampiri wanita itu, lalu beranjak naik ke atas pembaringan. Tanpa bicara lagi, lalu langsung dipeluknya wanita itu.
********************
Senja baru saja beranjak turun menyelimuti seluruh daerah kaki Gunung Cagarasa. Di dalam kamar yang besar dan indah, Ki Gopar tergolek di atas pembaringan bertelanjang dada. Keringat masih membasahi sekujur tubuhnya. Dan di sebelahnya, tergolek sesosok tubuh indah berkulit putih yang hanya tertutup selembar kain putih tipis sebatas pinggang. Sehingga, seluruh bagian punggungnya terbuka lebar.
Laki-laki yang tampak berusia sekitar lima puluh empat tahun itu beranjak turun dari pembaringan ini. Dia memandangi tubuh indah berkulit putih halus yang tertelungkup di atas pembaringan tanpa gerakan sedikit pun. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar penuh kepuasan. Diambilnya pakaiannya yang teronggok di lantai, lalu dikenakannya kembali. Sebilah golok yang tergeletak di atas meja diselipkan ke balik ikat pinggangnya.
"He he he he...!" Ki Gopar seakan lupa kalau siang tadi ada seorang laki-laki tua dari Desa Sembilit, mengantarkan kepala anaknya. Dia terus terkekeh sambil melangkah keluar dari dalam kamar ini. Sekilas ditatapnya tubuh wanita yang masih tergolek di atas pembaringan, sebelum tangannya membuka pintu kamar ini. Dua orang laki-laki berusia muda yang menjaga pintu kamar segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Bawa perempuan itu keluar. Buang mayatnya ke dalam jurang," perintah Ki Gopar.
"Baik, Ki," sahut kedua pemuda itu dengan sikap hormat.
Tanpa diperintah dua kali, dua orang pemuda yang diperintah Ki Gopar bergegas masuk ke dalam kamar. Sedangkan Ki Gopar sudah kembali menghilang ke dalam kamar lain yang ada di sebelah kamar ini. Dan dua orang pemuda itu segera menggotong tubuh wanita muda yang ternyata sudah menjadi mayat keluar dari kamar ini. Hanya sehelai kain sutera tipis berwarna putih yang membungkus tubuh indah dan berkulit putih mulus tanpa cacat ini.
Tanpa banyak bicara, mereka menggotong wanita itu keluar melalui jalan belakang. Sebuah gerobak yang ditarik seekor kuda sudah siap menanti bersama kusirnya di depan pintu belakang rumah besar yang dikelilingi pagar tinggi seperti benteng ini. Tubuh wanita itu diletakkan di bagian belakang gerobak. Dan kedua pemuda itu segera naik ke atas gerobak kayu itu.
"Jalan...," perintah salah seorang pemuda pada kusir tua ini.
"Hus...!"
Ctar!
Kuda penarik gerobak itu meringkik, ketika cambuk di tangan kusir itu menggetar tubuhnya. Dan gerobak itu bergerak cepat meninggalkan bagian belakang rumah yang dikelilingi pagar tinggi seperti benteng ini. Gerobak kayu yang ditarik seekor kuda itu terus meninggalkan bangunan di kaki Gunung Cagarasa ini, melalui pintu belakang yang dijaga empat orang laki-laki muda bersenjata tombak panjang.
Gerobak kayu itu terus meluncur, membelah jalan tanah berdebu. Tidak ada seorang pun yang membuka suara sepanjang perjalanan. Kusir gerobak itu seakan sudah tahu, ke mana harus membawa mayat wanita ini. Kudanya lantas dibelokkan memasuki hutan yang tidak seberapa lebat. Dan hewan itu terus dicambuki sambil berteriak-teriak, menyuruh lebih cepat lagi berlari. Sehingga, gerobak itu terguncang-guncang melintasi jalan yang penuh lubang dan berbatu ini.
Dan tidak berapa lama, mereka pun tiba di tepi sebuah jurang yang ada di lereng Gunung Cagarasa. Serentak kedua pemuda itu melompat turun dengan gerakan sigap. Mereka menurunkan mayat perempuan itu dari dalam gerobak kayu ini. Dan tanpa berkata-kata sedikit pun, dilemparkannya mayat wanita itu ke dalam jurang. Beberapa saat mereka memandangi, sampai tubuh wanita itu lenyap tertelan kabut yang tebal dalam jurang ini.
"Ayo, kita kembali," ajak pemuda yang berbaju ketat warna merah.
Mereka lantas kembali naik ke atas gerobak kayu. Sementara kusir tua yang sejak tadi tidak banyak bicara, segera menghela kuda penarik gerobak. Mereka kembali bergerak tanpa ada yang bicara sedikit pun melintasi jalan yang tadi dilalui.
"Kemana, Den?" tanya kusir tua itu memecah kebisuan yang terjadi sejak tadi.
"Langsung pulang," sahut pemuda yang berbaju ketat warna merah.
"Tidak mencari wanita lain untuk Ki Gopar, Den?" tanya kusir tua itu lagi.
"Belum ada perintah," sahut pemuda berbaju merah.
"Tapi biasanya kan begitu, Den. Aku takut kena marah nanti. Sebaiknya, jangan langsung pulang. Cari dulu wanita buat Ki Gopar."
"Sudah, jangan cerewet! Ikuti saja perintahku!" bentak pemuda berbaju merah itu.
Kusir tua ini langsung diam, tidak berani membuka suara lagi. Dia tahu, dua orang pemuda itu merupakan orang kepercayaan Ki Gopar. Dan yang pasti memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang rendah lagi. Kusir tua itu terus mengendalikan tali kekang kudanya, dan terus menuju bangunan besar dikelilingi benteng yang ada di kaki Gunung Cagarasa ini. Tidak ada seorang pun yang bicara, sampai mereka tiba di bagian belakang bangunan itu. Dan gerobak kayu ini terus masuk melewati pintu belakang yang masih dijaga empat orang pemuda bersenjatakan tombak.
Kusir tua itu mengantarkan dua orang pemuda ini ke depan pintu belakang, sebelum membawa kuda dan gerobaknya ke tempat penyimpanan di halaman belakang. Sementara dua orang pemuda itu langsung menemui Ki Gopar yang sejak tadi memang menunggu di ruangan tengah. Laki-laki setengah baya bertubuh gemuk itu tertawa terbahak-bahak, mengetahui kedua pemuda itu menjalankan perintahnya dengan baik.
********************
Malam sudah cukup larut menyelimuti sekitar Gunung Cagarasa. Jeritan serangga malam yang ditingkahi lolongan anjing hutan terdengar saling sambut, membuat suasana malam ini terasa begitu mencekam. Tampak di dalam hutan yang sunyi dan gelap, terlihat sesosok tubuh kurus dengan punggung hancur bekas cambukan, tergolek diam tidak bergerak-gerak.
Dari balik semak belukar yang berada tidak jauh dari tubuh tua itu, terlihat seekor anjing hutan mengendap-endap menghampiri. Kedua bola matanya yang merah, menatap tajam sosok tubuh tua yang tanpa gerakan sedikit pun juga. Bau darah yang keluar dari luka di punggung, membuat anjing liar itu makin mendekatinya.
"Ghrrrr...!" Sambil menggereng kecil, anjing hutan yang liar ini terus mendekati. Dan binatang buas itu berhenti sebentar dengan tubuh merendah, hampir merapat tanah. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya melompat hendak menerkam tubuh tua yang tergolek diam seperti mati. Tapi belum juga anjing hutan itu sampai, mendadak saja terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat menerjang anjing liar itu.
"Kaing...!" Keras sekali terjangan bayangan putih itu, hingga anjing hutan itu terpental jauh ke belakang dan membentur sebatang pohon keras sekali. Seketika binatang liar itu tewas dengan tulang punggung hancur terhempas pohon tadi. Sementara di dekat tubuh tua yang tergolek itu tahu-tahu sudah berdiri sesosok tubuh berbaju ketat warna putih. Kepala dan seluruh wajahnya terbungkus kain putih, seperti kerudung. Hanya bagian matanya saja yang tidak tertutup.
Dari tubuhnya yang ramping, dan kulit tangan serta betisnya yang putih halus, jelas sekali kalau dia seorang wanita. Dia merendahkan tubuhnya, berjongkok di samping tubuh tua yang tertelungkup ini. Sedikit ujung jari tangannya disentuhkan ke bagian bawah leher laki-laki tua yang ternyata Ki Lamput.
"Oh.... Syukurlah kau masih hidup, Ki...," desah wanita berbaju putih itu pelan.
Sebentar wanita berbaju putih itu memeriksa luka-luka di punggung Ki Lamput. Kemudian diberikannya beberapa totokan lembut di sekitar luka itu. Sebentar pandangannya beredar berkeliling. Tidak ada yang bisa dilihat, selain kegelapan dan pepohonan yang merapat di sekitarnya.
"Kau harus sembuh, Ki. Akan kubalaskan perbuatan mereka padamu," kata wanita itu agak tertekan suaranya. Sebentar dia terdiam. Kemudian...
"Hup!" Cepat sekali wanita ini mengangkat tubuh Ki Lamput, bagai mengangkat segumpal karung berisi kapas saja. Kemudian tubuhnya melesat cepat sekali, sehingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tertelan gelapnya malam dan lebatnya pepohonan di dalam hutan ini. Dan kesunyian pun kembali menyelimuti sekitarnya. Hanya gerit binatang malam dan lolong anjing hutan saja yang masih terdengar mengisi kesunyian malam, bagai sebuah tembang alam yang membuat bulu-bulu halus di tubuh meremang berdiri.
********************
Sementara itu di bagian halaman belakang rumah besar yang dikelilingi pagar tinggi seperti benteng, terlihat Ki Gopar berdiri mematung di depan tiga buah kuburan. Salah satu tampak masih terlihat baru, yang di atasnya ditaburi bunga-bunga. Entah, sudah berapa lama Ki Gopar berada di sana. Agak jauh, terlihat dua orang pemuda, serta lima orang laki-laki tua memandanginya tanpa ada seorang pun yang bersuara.
"Istirahatlah kalian dengan tenang. Percayalah, aku akan mencari pembunuh kalian semua. Akan kukubur dia hidup-hidup," desis Ki Gopar pelan, bicara pada diri sendiri.
Beberapa saat, Ki Gopar masih berdiri diam di depan kuburan keluarganya. Memang, satu persatu keluarga-nya mati terbunuh, tanpa dapat diketahui pembunuhnya sampai sekarang. Dan terakhir, anak laki-lakinya yang mati secara mengenaskan sekali siang tadi. Hanya kepalanya saja yang dikirim padanya. Sedangkan tubuhnya tergantung di atas pohon, di tepi hutan tidak jauh dari tempat tinggalnya yang bagaikan istana kecil ini.
Ki Gopar memutar tubuhnya berbalik. Kakinya lantas melangkah menghampiri orang kepercayaannya yang berjumlah tujuh orang itu. Mereka langsung membungkuk, memberi hormat, begitu Ki Gopar sudah berada dekat di depan. Laki-laki berusia setengah baya yang bertubuh gemuk, namun otot-ototnya bersembulan itu hanya diam saja memandangi anak buahnya satu persatu.
"Dengar.... Aku tidak peduli, apa yang akan kalian lakukan di luar sana. Aku inginkan setan keparat itu hidup atau mati. Bawa dia ke sini...," perintah Ki Gopar, tegas.
"Aku sudah menyebar semua anak buahku ke segala penjuru, Ki," kata laki-laki tua berbaju hitam ketat, dengan sebilah pedang tergantung di pinggang.
"Aku juga sudah menyebar semua orangku, Ki," sambung laki-laki setengah baya bertubuh kurus. Bajunya longgar warna kuning, dengan sebatang tongkat putih tergenggam di tangan kanan.
"Aku percaya kalian sudah melakukan semua perintahku dengan baik. Tapi, aku menginginkan kalian berusaha lebih keras lagi. Kalau perlu, gunakan segala cara. Kalau perlu, gunakan kekerasan pada semua orang yang dicurigai. Atau pada siapa pun," tegas Ki Gopar.
Semua hanya bisa mengangguk saja.
"Dan untuk kalian berdua...," lanjut Ki Gopar sambil menatap dua orang anak muda yang berada tepat di depannya.
"Apa yang harus kami lakukan, Ki?" tanya pemuda berbaju merah ketat.
"Kalian tetap pada tugas semula," kata Ki Gopar memberi tugas.
"Akan kami lakukan sebaik mungkin."
"Tiga hari lagi, bulan purnama datang. Kalian harus sediakan seorang gadis yang masih suci. Dengan gadis itu, kekuatanku akan semakin bertambah. Aku ingin menguasai seluruh jagad raya ini, tanpa ada seorang pun yang bisa menandingiku. Kalian semua mengerti?!"
"Kami paham, Ki...," sahut mereka serentak.
"Pergilah kalian."
Tanpa ada yang bicara lagi, tujuh orang kepercayaan Ki Gopar segera pergi setelah memberi penghormatan dengan membungkuk. Ki Gopar sendiri langsung masuk ke dalam rumah besarnya yang dikelilingi pagar tinggi bagai benteng pertahanan.
Tanpa ada seorang pun yang tahu, semua yang terjadi di belakang rumah itu diawasi seorang laki-laki tua yang bersembunyi di balik sebuah pohon. Laki-laki tua yang menjadi kusir gerobak kayu dan selalu dipanggil Ki Jambun itu bergegas pergi dari halaman belakang ini. Dia terus saja keluar dari bangunan benteng itu, melalui pintu belakang yang dijaga empat orang anak muda bersenjata tombak.
Ki Jambun memang bebas keluar masuk bangunan ini melalui jalan belakang. Dia terus berjalan dengan langkah tergesa-gesa, menyusuri jalan setapak yang berbatu. Malam yang gelap, tidak menghalangi orang tua ini menyusuri jalan kecil itu. Terus saja kakinya melangkah cepat menuju sebuah perkampungan yang berada tidak seberapa jauh dari bangunan besar bagai benteng itu. Sebuah desa yang kelihatan terang benderang oleh cahaya lampu pelita.
Namun belum juga kusir tua itu sampai di desa yang sudah terlihat di depannya, mendadak saja terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat. Seketika Ki Jambun jadi terpekik kaget setengah mati. Dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri sesosok tubuh ramping yang berbaju warna putih ketat, dengan seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain putih. Hanya pada bagian kedua matanya saja yang terlihat.
"Oh, kau...," desah Ki Jambun langsung merasa lega, begitu mengetahui orang yang mencegatnya.
Wanita berbaju serba putih itu melangkah mendekati, dan berhenti setelah berjarak sekitar tiga langkah lagi di depan kusir tua itu. "Ada hal penting yang ingin kau sampaikan hingga tergesa-gesa begitu, Ki?" tegur wanita itu langsung.
"Benar, Nini," sahut Ki Jambun setelah dapat mengatur jalan napasnya kembali.
"Katakan...."
"Ki Gopar memerintahkan semua orangnya untuk mencari pembunuh istri dan anak-anaknya. Mereka diperintahkan untuk melakukan segala cara. Bahkan kalau perlu dengan kekerasan. Dia ingin menangkapmu, Nini," kata Ki Jambun memberitahu.
"Hm... Sudah lama aku menantikan itu, Ki Jambun. Kembalilah ke sana. Amati terus setiap gerak yang dilakukan Ki Gopar dan semua orangnya. Dan jangan lupa, terus laporkan semuanya padaku," ujar wanita berbaju putih itu tegas.
"Nini...."
"Apa...?"
"Bagaimana keadaan Ki Lamput?" tanya Ki Jambun. Nada suaranya terdengar cemas.
"Dia akan segera pulih kembali. Mereka menyiksanya dengan kejam. Untung saja Ki Lamput punya daya tahan tubuh kuat," sahut wanita itu, memberitahu keadaan Ki Lamput yang ditemuinya di tengah hutan dalam keadaan pingsan dan punggung hancur bekas cambukan.
"Mereka menyiksanya dengan mencambuk sampai pingsan, Nini," desis Ki Jambun.
"Aku tahu, Ki. Sebaiknya mulai sekarang, kau harus lebih berhati-hati lagi. Jangan sampai ada yang tahu kau menjadi mata-mataku. Mungkin, nasibmu tidak akan seberuntung Ki Lamput kalau mereka sampai tahu siapa dirimu sebenarnya," ujar wanita itu, mengingatkan.
"Aku akan selalu hati-hati, Nini."
"Kembalilah segera. Jangan sampai mereka mencurigaimu."
"Ah...! Tenang saja, Nini. Mereka pasti menyangka aku mencari hiburan di Desa Watukan. Aku biasa pulang larut malam. Tidak ada yang mencurigaiku," kata Ki Jambun.
"Tapi kau tetap harus selalu waspada, Ki," wanita itu tetap memperingatkan.
"Terima kasih, Nini. Aku akan selalu hati-hati."
"Aku pergi dulu, Ki."
"Sebentar, Nini..."
"Ada apa lagi?"
"Tiga hari lagi bulan purnama. Ki Gopar mem-butuhkan seorang gadis yang masih suci, untuk menyempurnakan ilmu-ilmunya. Sarkam dan Karun ditugaskan mencari gadis itu," lapor Ki Jambun lagi.
"Baiklah, Ki. Aku akan mencegah mereka. Aku pergi dulu, Ki. Hup...!"
Tanpa banyak bicara lagi, wanita berbaju serba putih itu segera melesat cepat bagai kilat. Sehingga dalam sekejapan mata saja, sudah lenyap dari pandangan Ki Jambun. Dan orang tua itu meneruskan langkahnya menuju Desa Watukan yang jaraknya sudah tidak seberapa jauh lagi dari jalan ini. Kali ini jalannya tidak lagi bergegas seperti tadi. Orang tua yang bertugas menjadi kusir di benteng Ki Gopar itu berjalan ringan sambil bersiul-siul.
********************
DUA
Dua orang pemuda kepercayaan Ki Gopar yang bernama Sarkam dan Karun sudah tiba di Desa Kranggan. Di desa ini, mereka harus mendapatkan seorang gadis yang masih suci untuk persembahan Ki Gopar dalam menyempurnakan ilmu-ilmunya. Memang aneh ilmu yang dituntut Ki Gopar. Dia harus merenggut dan menikmati mahkota seorang gadis suci setiap bulan purnama datang. Dan setelah itu kekuatannya semakin bertambah dan semakin sempurna saja. Bahkan setiap tiga hari sekali, dua orang pemuda ini harus menyediakan seorang wanita padanya.
Anehnya, setiap wanita yang berhubungan badan dengan Ki Gopar selalu tewas tanpa ada luka sedikit pun. Memang, wanita-wanita itulah yang membuat Ki Gopar tetap bisa hidup dengan bentuk tubuh dan wajah tetap, tanpa sedikit pun ada kerutan. Padahal, sebenarnya usianya sudah lebih dari seratus tahun. Tapi tetap saja dia terlihat seperti masih berusia di bawah lima puluh tahun. Bahkan setiap kali selesai berhubungan, Ki Gopar semakin terlihat muda saja.
"Sarkam! Kau tahu, siapa sebenarnya Ki Gopar itu...?" tanya Karun mengisi kebisuan yang terjadi sejak tadi.
"Tidak," sahut Karun, singkat.
"Dia itu sebenarnya orang tua yang sudah berumur lebih dari seratus tahun," kata Sarkam memberitahu.
"Dari mana kau tahu?" tanya Karun, heran.
"Ki Gopar sendiri yang menceritakan padaku. Katanya, aku akan diajarkan ilmunya yang langka itu. Dengan ilmu itu kita bisa hidup abadi, tanpa takut dimakan usia dan kematian," jelas Sarkam. Kau perhatikan saja. Setiap kali kita mempersembahkan seorang wanita, dia semakin kelihatan muda. Dan katanya, kalau sudah kembali pada usia dua puluh lima tahun, wanita-wanita itu hanya untuk kesempurnaan ilmunya saja. Tanpa harus memudakan usianya lagi."
"Ilmu apa yang dimilikinya?" tanya Karun jadi ingin tahu.
"Dia tidak mengatakannya padaku. Tapi, dia berjanji akan menurunkannya padaku, setelah malam purnama nanti. Bahkan aku juga akan diberikan ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan tingkat tinggi yang tidak ada tandingannya di dunia ini," sambung Sarkam.
"Kau percaya pada janjinya?"
"Tentu saja. Ki Gopar tidak pernah mengingkari janji. Asal, kita selalu taat dan patuh pada semua perintahnya."
"Kenapa hanya kau saja yang ditawarkan, sedang aku tidak...?"
"Entahlah.... Mungkin kau juga akan mendapatkan giliran nanti. Sabar saja, Karun. Aku yakin, kau juga akan mendapatkannya. Dan kalaupun tidak, aku yang akan memberikannya padamu."
"Kau harus janji, Sarkam."
"Tentu, aku janji."
Karun diam saja. Dan Sarkam pun juga tidak bicara lagi. Sementara mereka sudah semakin dekat dengan Desa Kranggan yang selalu sunyi jika malam sudah datang menjelang. Dan di desa kecil itu, hanya ada satu buah kedai saja yang buka sampai malam hari. Sedangkan kedai-kedai lain hanya buka pada siang hari.
"Sarkam! Sudah kau dapatkan sasaran kita malam ini? Gadis mana yang akan kau berikan pada Ki Gopar?" tanya Karun setelah cukup lama berdiam diri.
"Sudah," sahut Sarkam. "Anaknya Ki Sarumpat"
"Kepala Desa Kranggan...? Kau gila, Sarkam! Apa kau tidak tahu Ki Sarumpat memiliki kepandaian tinggi dan juga dikelilingi orang-orang tangguh yang tidak sedikit jumlahnya...? Dia juga punya hubungan dekat dengan pendekar-pendekar tangguh. Jangan, Sarkam.... Aku tidak ingin mencari kesulitan dengan mereka," sentak Karun terkejut mendengar rencana temannya.
"Hanya gadis itu yang kuketahui masih suci, Karun."
"Tapi masih banyak gadis lain..."
"Gadis-gadis lain di Desa Kranggan tidak ada yang secantik Selasih, putri Ki Sarumpat."
"Aku sarankan padamu, Sarkam. Jangan cari perkara dengan Ki Sarumpat. Aku tahu betul, siapa dia. Kan aku berasal dari Desa Kranggan juga," Karun tetap mencoba mencegah rencana temannya yang dianggap sudah gila ini.
"Kau tenang saja, Karun. Kalau tidak berani, tunggu saja di luar desa. Biar aku sendiri yang melakukannya," tandas Sarkam tidak peduli.
"Sebaiknya jangan, Sarkam. Biar aku yang mencari gadis lainnya saja."
"Kau boleh mencari yang lain. Tapi aku tetap yang itu. Kita lihat saja. Mana yang dipilih Ki Gopar. Gadis pilihanmu, atau gadis pilihanku," tantang Sarkam.
"Sarkam...."
"Sudahlah... Untuk kali ini, kita mengambil jalan masing-masing saja. Aku janji tidak akan melibatkanmu kalau terjadi sesuatu," potong Sarkam, cepat.
Karun tidak dapat berbuat apa-apa lagi, untuk mencegah Sarkam yang ingin menculik putri Kepala Desa Kranggan. Dia hanya berharap, tidak terjadi sesuatu yang akan susah nantinya. Dia tahu betul, Kepala Desa Kranggan bukan orang sembarangan. Bahkan juga memiliki hubungan yang luas dengan pendekar-pendekar digdaya. Tapi, Karun juga tahu kalau Sarkam tidak mungkin bisa dicegah lagi.
"Baiklah, Sarkam. Pergilah ke Desa Kranggan. Aku akan ke Desa Kampil," Karun akhirnya memutuskan.
"Kita lihat saja nanti, Karun," kata Sarkam sambil tersenyum lebar.
Karun segera menghentikan langkahnya. Sedangkan Sarkam terus saja melangkah menuju Desa Kranggan sambil tertawa-tawa seperti ada yang menggelitik tenggorokannya. Sementara, Karun hanya memandangi saja dengan kepala menggeleng perlahan beberapa kali. Dan tanpa banyak bicara lagi, pemuda itu bergegas berbelok arah menuju Desa Kampil yang memang bersebelahan dengan Desa Kranggan di kaki Gunung Cagarasa ini.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Tidak ada seorang pun dari kedua anak muda itu yang tahu kalau sepasang bola mata indah telah sejak tadi memperhatikan. Sepasang bola mata yang bersembunyi di balik kerudung putih itu menutupi seluruh wajah dan kepalanya. Dia adalah seorang wanita yang mengenakan baju serba putih dan ketat. Sebilah pedang bergagang kuning keemasan tampak tergantung di pinggangnya yang ramping. Wanita itu baru keluar dari balik pohon, setelah Sarkam terlihat masuk ke Desa Kranggan.
"Kau akan rasakan, Sarkam...," desis wanita berbaju serba putih itu.
Dan bagaikan kilat, wanita itu melesat begitu cepat. Sehingga hanya bayangan tubuhnya saja yang terlihat berkelebat, menembus kegelapan malam. Dalam waktu sekejapan mata saja bayangannya sudah lenyap tidak terlihat lagi.
********************
Dari balik pohon yang cukup tersembunyi, Sarkam memandangi rumah Ki Sarumpat yang tampak terang-benderang. Tampak ada dua orang tamu di rumah itu. Seorang pemuda yang sebaya dengan dirinya dan berwajah tampan. Bajunya rompi berwarna putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung. Sedang yang satu lagi, seorang gadis berbaju biru muda yang sangat cantik. Dengan sebuah kipas putih keperakan terkembang di depan dada, dia bagai seorang putri raja. Duduk dengan anggunnya di samping pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tidak terlihat ada satu senjata pun tersandang di tubuhnya. Sarkam jadi menduga kalau dia hanya seorang gadis biasa yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan.
Jakun Sarkam jadi bergerak turun naik, melihat paras gadis itu bagai bidadari dari kayangan. Malah gadis itu jauh lebih cantik daripada Selasih, putri Kepala Desa Kranggan ini.
"Hm.... Ki Gopar tentu akan semakin senang kalau aku bisa mendapatkan gadis itu...," pikir Sarkam. "Baik! Akan kutunggu dia di sini."
Sarkam memang harus bisa menahan sabar, menunggu gadis cantik di rumah Ki Sarumpat itu. Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara yang dingin membuat tubuh Sarkam jadi menggigil. Pandangannya diedarkan ke sekeliling. Sudah tidak terlihat seorang pun berada di luar rumah. Begitu sunyi keadaannya. Sementara, dua orang itu masih saja terlibat pembicaraan dengan Ki Sarumpat di ruangan depan rumahnya yang terang-benderang ini.
Cukup lama juga Sarkam menunggu. Tapi, penantiannya tidak sia-sia. Pemuda berbaju rompi putih itu keluar dari rumah kepala desa ini. Sedangkan gadis cantik berbaju biru muda tetap tinggal bersama Ki Sarumpat. Mereka mengantarkan pemuda ini sampai ke depan pintu pagar halaman yang terbuat dari bambu. Dari balik pohon tempat bersembunyi, Sarkam bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Ingat kata-kataku tadi, Pandan," ujar pemuda berbaju rompi putih itu, sebelum meninggalkan rumah kepala desa ini.
Dan gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan itu hanya mengangguk.
"Jangan sampai Naga Geni hilang, Ki," pesan pemuda itu pada Ki Sarumpat.
"Akan kujaga dengan baik, Rangga. Percayalah padaku...," sahut Ki Sarumpat.
Pemuda yang dipanggil Rangga itu tersenyum. Kaki pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah dengan ayunan lebar dan cepat, meninggalkan mereka berdua. Setelah tidak terlihat lagi, Ki Sarumpat dan gadis cantik yang memang Pandan Wangi itu atau si Kipas Maut baru masuk kembali ke dalam rumah. Tidak ada yang bicara sedikit pun. Sementara dari balik persembunyiannya, Sarkam tersenyum lebar melihat gadis cantik itu masuk ke dalam kamar depan. Sedangkan Ki Sarumpat masuk ke dalam kamarnya sendiri, setelah mematikan lampu ruangan depan rumahnya.
"Kesempatanku sekarang...," bisik Sarkam dalam hati.
Sebentar Sarkam mengamati keadaan sekitarnya, kemudian bergerak cepat dan ringan sekali mendekati rumah Ki Sarumpat. Sebentar saja, pemuda itu sudah merapatkan punggungnya di dinding samping rumah kepala desa itu. Kembali diamatinya keadaan sekitarnya yang tetap sunyi, tanpa terlihat seorang pun.
Perlahan-lahan Sarkam menghampiri jendela kamar depan. Telinganya langsung ditempelkan pada lubang jendela itu. Tidak terdengar suara sedikit pun. Sarkam menduga kalau gadis cantik itu sudah tidur. Dengan ujung golok, dicongkelnya jendela itu. Mudah sekali hal itu dilakukannya. Jendela itu kini terbuka lebar, hingga Sarkam dapat melihat jelas ke dalam kamar ini. Bibirnya tersenyum melihat gadis yang diincarnya tertidur lelap di atas pembaringan, bersama anak gadis Ki Sarumpat.
"Beruntung sekali aku malam ini. Mereka berdua akan kubawa...," bisik Sarkam gembira dalam hati, melihat di dalam kamar ini ternyata ada dua orang gadis cantik yang sedang tidur lelap.
"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, Sarkam melompat masuk ke dalam kamar. Hanya sedikit saja suara yang ditimbulkannya saat kakinya menjejak lantai kamar dari papan ini. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, diberikannya totokan pada pusat jalan darah kedua gadis itu.
Tuk! Tuk!
"Uhh...!" Terdengar lenguhan pendek dari bibir gadis yang tidur di sebelah Pandan Wangi. Sedangkan Pandan Wangi yang dikenal sebagai si Kipas Maut, tidak bergerak sedikit pun. Kedua bola matanya tetap terpejam seperti mati.
"He he he he...." Sarkam tertawa terkekeh melihat kemudahan yang diperolehnya malam ini. Tanpa membuang-buang waktu lagi, langsung dipanggulnya kedua gadis itu di pundaknya. Lalu dengan gerakan ringan, dia melompat keluar melalui jendela.
"Hup!" Sarkam langsung berlari cepat membawa dua orang gadis yang sudah tertotok pusat jalan darahnya. Cepat sekali larinya yang mempergunakan ilmu meringankan tubuh, walaupun membawa beban dua orang gadis di pundaknya. Pemuda itu tersenyum senang, merasa malam ini merupakan keberuntungannya. Sama sekali dia tidak tahu kalau semua yang dilakukannya tengah diamati sepasang mata sejak tadi dari dalam rumah kepala desa itu. Bahkan di luar, dua pasang mata yang saling berjauhan jaraknya juga mengamatinya.
Sarkam terus berlari keluar dari Desa Kranggan ini. Dan suara tawanya baru terdengar keras menggelegar, setelah sampai di luar desa. Tapi, mendadak saja suara tawanya terhenti, ketika terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat memotong arah larinya di depan.
"Heh...?!" Sarkam jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba di depannya sudah berdiri sesosok tubuh ramping berbaju serba putih bersih. Seluruh kepala dan wajahnya tampak tertutup kain kerudung putih yang cukup tebal. Hanya kedua matanya saja yang terlihat jelas.
"Tinggalkan gadis-gadis itu di sini, Iblis...!" desis wanita berbaju putih itu, dingin menggetarkan.
"Siapa kau...?!" bentak Sarkam agak bergetar suaranya.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Pokoknya, tinggalkan gadis-gadis itu...!" sahut wanita berbaju putih itu membentak.
"Phuih!" Sarkam menyemburkan ludahnya. Perlahan diturunkannya kedua gadis itu dari pundaknya. Dan langsung goloknya yang terselip di pinggang dicabut.
"Phuih!" Kembali Sarkam menyemburkan ludahnya dengan sengit. Dan goloknya cepat dilintangkan di depan dada. Sementara wanita berbaju serba putih itu tetap diam, tidak bergerak sedikit pun juga. Hanya pandangan matanya saja yang terlihat menyorot tajam, memperhatikan setiap gerakan kaki pemuda ini.
"Hiyaaat..!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sarkam langsung saja melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga goloknya dikebutkan tepat mengarah ke batang leher yang tertutup kerudung putih ini.
Bet!
"Haiiit...!" Namun hanya sedikit saja wanita itu mengegoskan kepala, maka tebasan golok Sarkam hanya lewat sedikit di depan leher. Dan pada saat Sarkam belum bisa menarik golok kembali, wanita itu sudah memberi satu sodokan yang keras ke dada pemuda ini. Sodokan yang cepat itu, membuat Sarkam tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Des!
"Akh...!" Sarkam jadi terpekik, begitu dadanya telak dan keras sekali terkena sodokan wanita itu. Seketika tubuhnya terpental ke belakang sejauh beberapa langkah, dia cepat bisa menguasai keseimbangannya kembali. Langsung goloknya disilangkan di depan dada. Kalau saja sodokan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, mungkin dada pemuda ini sudah remuk.
"Keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaat...!" Sambil membentak geram, Sarkam kembali melompat cepat sekali. Goloknya sudah langsung dihantamkan ke dada wanita berbaju putih ini. Namun kembali tebasan golok itu hanya mengenai angin saja, ketika wanita itu hanya mengegoskan saja sedikit. Bahkan wanita itu langsung berputar sambil melepaskan satu tendangan keras ke pinggang Sarkam.
Begkh!
"Akh...!" Kembali Sarkam memekik, terkena tendangan yang cukup keras dari lawannya. Tubuhnya bergulingan beberapa kali di tanah, namun cepat bisa bangkit berdiri. Langsung goloknya kembali disilangkan di depan dada. Sarkam semakin geram saja. Dua kali dia terkena serangan balasan wanita itu. Dan, dua kali juga serangannya tidak membawa hasil yang diinginkan.
"Hiyaaat...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Sarkam kembali melompat cepat memberi serangan. Kali ini goloknya dikibaskan beberapa kali, diimbangi gerakan tubuh yang meliuk menyerang wanita berbaju serba putih itu.
"Haiiit..!" Namun dengan gerakan tubuh cepat dan indah sekali, wanita itu berhasil menghindari semua serangan Sarkam. Bahkan tanpa diduga sama sekali, pukulannya kembali mendarat di dada pemuda itu, disusul tendangan keras yang mendarat tepat di perut. Kembali Sarkam menjerit dan bergulingan beberapa kali, setelah tubuhnya menghantam tanah cukup keras. Sarkam tidak dapat lagi mempertahankan goloknya yang terlepas entah ke mana.
Pemuda itu terus bergulingan, dan baru berhenti setelah tubuhnya menyentuh tubuh Pandan Wangi yang masih tergolek diam bersebelahan dengan anak gadis Kepala Desa Kranggan.
"Hoeeekh...!" Sarkam memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya, ketika mencoba bangkit berdiri. Seluruh rongga dadanya terasa seperti terhimpit bongkahan baru yang sangat besar dan berat sekali. Napasnya jadi tersendat, dan kepalanya juga terasa pening. Beberapa kali kepalanya digeleng-gelengkan, mencoba mengusir rasa pening yang menyerang.
"Phuuuh...!" Sarkam menyemburkan ludah yang bercampur darah di mulut. Kemudian dia bangkit berdiri, dan menatap wanita berbaju serba putih itu dengan sinar mata memancarkan kebencian mendalam. Kemudian matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang masih tergolek diam di sebelahnya. Lalu dengan gerakan cepat, Sarkam mengangkat tubuh gadis itu dan memanggulnya di pundak. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya cepat memutar berbalik, lalu melompat. Seketika seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hei! Jangan lari kau, Iblis...! Hup! Yeaaah...!" Wanita berbaju serba putih itu segera melesat mengejar Sarkam yang sudah menghilang dengan cepat, ditelan kegelapan malam dan lebatnya pepohonan di pinggiran Desa Kranggan ini. Sementara, anak gadis Ki Sarumpat masih tergeletak diam tidak sadarkan diri di tanah. Tubuhnya yang hanya ditutupi selembar kain, jadi berlumuran tanah yang agak becek.
Teriakan-teriakan Sarkam dan wanita berbaju serba putih itu sudah tidak terdengar lagi. Sementara, malam terus beranjak semakin bertambah larut saja. Dan pada saat itu, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat, langsung menyambar tubuh gadis kepala desa itu. Cepat sekali gerakannya, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu, gadis itu sudah lenyap tidak berbekas lagi, bersamaan lenyapnya bayangan putih yang menyambarnya tadi.
********************
TIGA
"Kasihan Kak Pandan. Seharusnya aku yang dibawa. Bukan dia...," lirih sekali suara Selasih.
"Jangan menyesali diri, Selasih. Semua ini memang di luar dari rencana semula," kata Rangga.
"Tapi, seharusnya tidak begini jadinya kalau aku tak menginginkan tidur bersamanya dalam satu kamar," Selasih masih juga menyesali sikapnya.
"Sudahlah, Selasih. Jangan terlalu menyesali diri. Nini Pandan tentu bisa menjaga diri," hibur Ki Sarumpat.
Selasih hanya diam saja dengan wajah terselimut duka. Sedangkan Rangga juga diam membisu. Pendekar Rajawali Sakti beranjak bangkit dari kursinya, kemudian melangkah keluar dari dalam kamar ini. Ki Sarumpat segera mengikutinya. Sedangkan Selasih tetap di dalam kamar bersama ibu dan dua orang kakak laki-lakinya.
Di beranda depan, Rangga menghenyakkan tubuhnya di kursi bambu. Sedangkan Ki Sarumpat berdiri saja, menyandarkan punggungnya pada tiang beranda depan rumahnya. Beberapa saat mereka masih terdiam membisu, tanpa bicara sedikit pun.
"Siapa wanita yang menghadang orangnya Ki Gopar itu, Rangga?" tanya Ki Sarumpat.
"Entahlah, Ki. Wajahnya ditutupi selendang putih. Sulit bagiku untuk mengenalinya," sahut Rangga.
"Tampaknya ada juga yang ingin meruntuhkan Ki Gopar," desah Ki Sarumpat, perlahan.
"Tapi kemunculannya justru membuat semua rencana kita berantakan, Ki. Kita tidak tahu lagi, di mana tempat tinggal mereka," kata Rangga tetap pelan suaranya.
"Mereka mengincar anakku, Rangga. Aku yakin, ada yang kembali lagi ke sini," kata Ki Sarumpat.
"Dan kalau kita menunggu terus, mungkin Pandan Wangi sudah menjadi korban iblis itu, Ki," desah Rangga.
"Ya..., tinggal dua malam lagi waktunya," ujar Ki Sarumpat seraya menghembuskan napas panjang.
Mereka kembali terdiam membisu.
"Mudah-mudahan saja malam nanti Ki Jambun datang memberi keterangan lagi, Rangga," ujar Ki Sarumpat, mencoba membesarkan hati Pendekar Rajawali Sakti.
"Sarang mereka harus bisa kuketahui sebelum malam, Ki. Aku mengkhawatirkan keselamatan Pandan Wangi. Dia sama sekali tidak bersenjata," kata Rangga tetap mencemaskan kekasihnya.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Rangga," ujar Ki Sarumpat.
"Sebaiknya aku pergi dulu, Ki. Mudah-mudahan saja aku memperoleh sesuatu."
Ki Sarumpat tidak bisa mencegah keinginan Pendekar Rajawali Sakti. Kepala desa itu memang mengundang pendekar ini ke Desa Kranggan untuk menghadapi Ki Gopar dan orang-orangnya yang tindakannya senjakin sulit saja dihadapi. Entah sudah berapa puluh gadis yang diculik untuk menjadi korban laki-laki tua yang sebenarnya sudah berusia lebih dari seratus tahun itu.
Tapi memang, bukan hanya gadis dan wanita baik-baik saja yang diculik. Bahkan mereka juga mengambil wanita-wanita nakal yang dijanjikan bayaran besar, untuk melayani nafsu iblis Ki Gopar. Dan tidak ada seorang pun yang kembali lagi kalau sudah masuk ke dalam sarang mereka. Entah, bagaimana nasib mereka. Tidak ada seorang pun yang tahu.
Sementara, Rangga sudah jauh meninggalkan rumah kepala desa itu. Kudanya dijalankan perlahan-lahan, melintasi jalan desa yang berdebu ini. Beberapa orang yang berpapasan dengannya hanya memandangi saja, tanpa tahu apa yang sedang bergulat dalam hati Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Ki Sarumpat terus memandangi kepergian pemuda itu sampai lenyap dari pandangan mata.
Sementara itu, dalam sebuah kamar berukuran besar yang sangat mewah, Pandan Wangi tergolek diam dengan mata terpejam di atas pembaringan beralaskan kain sutera halus berwarna merah muda. Gadis itu masih mengenakan baju biru muda yang ketat, tanpa satu senjata terlihat tersandang di tubuhnya. Dan tidak jauh dari pembaringan, terlihat Ki Gopar tersenyum-senyum memandangi sekujur tubuh Pandan Wangi. Di sebelahnya Sarkam juga tersenyum-senyum puas, walau hanya bisa membawa satu gadis saja.
"Di mana kau dapatkan gadis secantik ini, Sarkam?" tanya Ki Gopar.
"Di Desa Kranggan, Ki," sahut Sarkam.
"Dia masih gadis suci?" tanya Ki Gopar lagi.
Sarkam tidak langsung menjawab. Dia tidak tahu, apakah gadis yang dibawanya masih suci atau sudah pernah bersuami. Ki Gopar memandangi anak buahnya ini dengan kelopak mata agak menyipit.
"Kenapa diam, Sarkam?" tanya Ki Gopar meminta jawaban.
"Aku.... Aku tidak tahu, Ki," sahut Sarkam tergagap.
"Kau tidak tahu...?"
"Dia kubawa dari rumah Ki Sarumpat, Kepala Desa Kranggan," jelas Sarkam.
"Jelaskan yang sebenarnya, Sarkam," pinta Ki Gopar. "Aku menginginkan kepastian, apakah ini masih suci atau sudah bersuami."
Sarkam terdiam sebentar. Beberapa kali ludahnya tertelan dengan sendirinya. Terasa sulit sekali baginya untuk menjelaskannya. Beberapa kali dipandanginya wajah cantik gadis yang terbaring seperti tidur di pembaringan beralaskan kain sutera merah muda ini.
"Jelaskan, Sarkam...," desak Ki Gopar.
"Dia..., dia tamu Ki Sarumpat, Ki. Kulihat dia datang bersama seorang laki-laki...," jelas Sarkam semakin tergagap suaranya.
"Laki-laki...?" terdengar agak tinggi nada suara Ki Gopar.
"Benar, Ki."
"Kau tahu, siapa laki-laki itu?"
Sarkam hanya menggelengkan kepala saja.
"Goblok! Kenapa tidak diselidiki dulu, heh...?!"
Sarkam hanya diam saja tanpa berani mengangkat wajahnya, untuk menatap wajah Ki Gopar yang kini kelihatan semakin bertambah muda itu. Bahkan, sepertinya lebih muda dari Sarkam.
"Dengar, Sarkam. Untuk malam purnama nanti, kau harus sediakan seorang gadis yang masih suci, belum terjamah laki-laki sama sekali. Dan kau harus mendapatkannya sekarang juga. Bulan purnama tinggal dua hari lagi, Sarkam. Ingat itu...," terdengar agak mendesis suara Ki Gopar.
Sarkam hanya menganggukkan kepala saja.
"Sarkam! Kau tahu, Ki Sarumpat mempunyai anak gadis yang masih suci, kan...?" bisik Ki Gopar.
"Benar, Ki," sahut Sarkam dengan dada menggemuruh.
"Culik gadis itu, dan bawa ke sini."
"Sekarang, Ki...?"
"Sekarang sudah hampir pagi. Besok malam saja."
"Baik, Ki. Besok malam gadis itu sudah ada di sini."
"Tapi ingat, Sarkam. Kalau tidak berhasil, kepalamu jadi gantinya."
Sarkam jadi bergidik mendengar ancaman itu. Sedangkan Ki Gopar sudah melangkah, meninggalkan kamar ini. Di depan pintu, Karun langsung membungkukkan tubuhnya, begitu Ki Gopar melewatinya. Karun bergegas masuk ke dalam kamar itu. Langsung ditemuinya Sarkam yang masih tetap diam dengan seluruh tubuh terasa lemas.
"Ada apa, Sarkam?" tanya Karun ingin tahu.
"Ki Gopar menginginkan anak gadis Ki Sarumpat," sahut Sarkam lesu, seraya melangkah keluar dari kamar ini.
Karun mengikuti. Ditutupnya pintu kamar itu kembali. Mereka berhenti di depan pintu. Tampak Sarkam begitu lesu seperti tidak lagi bersemangat. Karun terus memperhatikan dengan wajah mencerminkan keheranan dan rasa ingin tahu.
"Semalam, bukankah kau ingin menculik Selasih? Kenapa jadi perempuan lain yang dibawa ke sini?" tanya Karun ingin tahu.
"Dia juga ada di rumah Ki Sarumpat. Tadinya, aku mengambil dua-duanya," sahut Sarkam mencoba menjelaskan.
"Dua-duanya...?"
"Dia dan Selasih tidur dalam satu kamar. Keduanya sudah kubawa, tapi di tengah jalan seseorang mencoba menghadang dan merebut mereka berdua. Dan aku berhasil membawa yang ini. Sedangkan Selasih terpaksa kutinggalkan di tengah jalan," jelas Sarkam.
"Lalu, Ki Gopar ingin kepastian kalau gadis itu masih suci atau sudah bersuami. Begitu...?" desak Karun lagi.
Sarkam hanya mengangguk saja. "Malah aku diperintah harus menculik Selasih besok malam."
"Mampus kau, Sarkam...," desis Karun.
"Jangan menyumpahiku begitu, Karun. Bantulah aku...," rengek Sarkam.
"Bagaimana aku harus membantumu...? Ki Gopar sudah memberiku tugas lain malam nanti," sahut Karun, seraya mengangkat bahunya sedikit.
Sarkam semakin lemas. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Tidak mungkin rumah Ki Sarumpat didatangi lagi. Sudah pasti dia menjaga rumahnya malam nanti.
"Sudah istirahat dulu sana. Biar aku yang jaga di sini," kata Karun.
"Hhhh...!" Sarkam hanya menghembuskan napas panjang. Kakinya melangkah gontai meninggalkan temannya. Entah kenapa, Karun jadi merasa kasihan juga melihat Sarkam jadi lemas begitu, seperti tidak ada gairah hidup lagi. Karun menyadari, Sarkam memang tidak mungkin mendatangi rumah Ki Sarumpat lagi untuk menculik anak gadisnya malam nanti. Karena sudah barang tentu rumah akan terjaga dengan ketat. Sedangkan perintah yang diberikan Ki Gopar, tidak mungkin diabaikan begitu saja. Hanya kematian saja yang akan didapat, kalau sampai tidak menjalankan perintah.
"Kasihan kau, Sarkam...," desah Karun pelan.
********************
Sementara itu di dalam kamar, Pandan Wangi baru membuka matanya, setelah tidak lagi terdengar suara. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, mengamati keadaan kamar yang cukup besar dan indah ini. Kemudian gadis itu bergegas melompat turun dari pembaringan.
Memang tidak sukar bagi Pandan Wangi untuk bisa cepat sadar. Dan sebenarnya, totokan Sarkam semalam tidak berarti apa-apa baginya. Karena, tubuhnya dialiri hawa mumi, ketika Sarkam masuk ke dalam kamar di rumah Ki Sarumpat. Dan sebenarnya pula, Pandan Wangi sama sekali tidak pingsan. Dia hanya berpura-pura saja untuk mengetahui sarang Ki Gopar.
"Hm..., rupanya di sini tempat tinggalnya," gumam Pandan Wangi dalam hati. "Hebat... Seperti istana saja keadaannya."
Sebentar Pandan Wangi merayapi keadaan dalam kamar ini. Kemudian kakinya melangkah dengan ayunan begitu ringan mendekati pintu. Sedikit telinganya ditempelkan ke daun pintu yang tertutup rapat ini. Memang bisa terdengar adanya tarikan napas di balik pintu ini. Pandan Wangi langsung tahu kalau hanya satu orang saja yang menjaga. Tapi dari tarikan napasnya yang teratur dan ringan, sudah bisa ditebak kalau orang yang menjaga di depan pintu ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dikatakan rendah.
"Ah... mudah-mudahan saja jendela itu tidak terjaga," desah Pandan Wangi dalam hati, begitu matanya tertumbuk pada jendela besar di kamar ini.
Bergegas si Kipas Maut melangkah mendekati jendela yang tertutup rapat itu. Sedikit telinganya ditempelkan pada daun jendela itu. Dan bibirnya jadi tersenyum, saat tidak terdengarnya tarikan napas di balik jendela ini. Perlahan Pandan Wangi membuka jendela itu sedikit. Dia mengintip keluar, memperhatikan keadaan yang masih terlihat gelap. Saat ini memang sudah menjelang pagi, dan tidak ada seorang pun terlihat di luar sana.
Pandan Wangi cepat membuka jendela itu lebar-lebar. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi dia melompat keluar, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah hampir sempurna. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah di luar kamar itu. Dengan tubuh membungkuk, Pandan Wangi mengamati keadaan sekitarnya sebentar. Lalu...
"Aku harus mencapai pagar itu. Hup...!" Tanpa banyak omong lagi, Pandan Wangi cepat melompat mendekati pagar tinggi yang terbuat dari gelondongan kayu pohon ini. Hanya tiga kali lesatan saja, tubuhnya sudah mencapai pagar itu. Kembali tubuhnya merunduk, berlindung ke dalam semak yang tumbuh dekat pagar seperti benteng pertahanan ini. Tidak ada seorang pun terlihat di sekitar halaman samping bangunan besar seperti sebuah istana ini. Keadaannya begitu sunyi. Sejenak Pandan Wangi mendongak ke atas, dan bibirnya pun tersenyum sedikit.
"Hup...!" Hanya sekali genjot saja, tubuh gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah melesat naik ke atas, hingga melewati bagian ujung pagar benteng yang mengelilingi istana kecil ini. Lalu manis sekali ujung jari kakinya menotol ujung pagar yang berbentuk runcing ini, maka kembali tubuhnya melenting dengan gerakan begitu indah keluar dari lingkungan tempat tinggal Ki Gopar.
Dua kali Pandan Wangi berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi cepat berlari menembus hutan di samping bangunan berpagar tinggi ini. Sebentar saja, gadis itu sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan dan keadaan yang masih gelap ini.
Pandan Wangi terus berlari menembus hutan yang cukup lebat di kaki Gunung Cagarasa. Begitu lincah dan ringan gerakan kakinya, sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan istana kecil tempat tinggal Ki Gopar. Si Kipas Maut baru berhenti, setelah dirasakan cukup jauh. Kini dia berada di tempat yang cukup tinggi, untuk melihat keadaan di bagian dalam pagar tinggi seperti benteng itu.
"Biar besok pagi saja. Kalau sudah terang, aku baru ke Desa Kranggan. Mudah-mudahan Kakang Rangga masih di sana," gumam Pandan Wangi bicara pada diri sendiri.
Pandan Wangi menyandarkan punggung ke pohon, dengan mata tidak lepas dari bangunan besar berpagar tinggi di kaki gunung ini.
"Sayang, semua senjataku tertinggal di sana. Kalau salah satu ada saja...," gumam Pandan Wangi terputus.
Kening gadis itu jadi berkerut, saat melihat seorang laki-laki yang kelihatan masih muda berdiri di depan jendela kamar yang mengurungnya tadi. Dan di belakangnya, terlihat beberapa orang. Tampak jelas sekali kalau laki-laki berpakaian indah gemerlapan itu sedang marah-marah.
"Oh...?!" Pandan Wangi jadi terpekik sendiri, ketika laki-laki itu mencabut pedangnya dan langsung dikebutkan ke leher Sarkam yang berada tepat di depannya. Sekali tebas saja, kepala Sarkam menggelinding jatuh ke tanah. Dan dari lehernya yang buntung itu langsung menyembur darah segar. Tampak tubuh Sarkam ambruk menggelepar ke lantai. Tidak terdengar jeritan sedikit pun. Sementara, terlihat dua orang pemuda menggotong tubuh Sarkam yang sudah tidak berkepala lagi itu keluar dari kamar. Sedangkan seorang lagi membawa kepalanya keluar.
Saat itu laki-laki yang kelihatan muda kembali memutar tubuhnya berbalik. Matanya langsung memandang keluar jendela yang masih tetap terbuka lebar. Tampaknya dia begitu marah mengetahui wanita yang dipersiapkannya untuk korban malam purnama nanti, bisa meloloskan diri. Entah apa yang dikatakannya. Tapi Pandan Wangi bisa melihat kalau semua orang yang ada di dalam kamar itu langsung keluar.
Dan tidak lama kemudian, terlihat puluhan orang keluar dari dalam benteng itu dengan menunggang kuda. Salah satu di antaranya terlihat Karun yang menunggang kuda hitam berbelang putih pada keempat kakinya. Sementara dari lereng gunung yang cukup tinggi ini, Pandan Wangi bisa melihat jelas ke arah laki-laki yang tampak seperti masih muda. Dia tetap berdiri menghadap ke jendela kamar yang tetap terbuka lebar. Beberapa saat kemudian dia berbalik, dan melangkah meninggalkan kamar. Dan perhatian Pandan Wangi kini beralih pada orang-orang yang keluar dengan berkuda dari dalam benteng itu. Jelas kalau mereka mencari dirinya.
"Hm.... Anak muda yang bicara dengan penculikku menuju ke Desa Kranggan. Sebaiknya, aku cepat ke sana sebelum mereka sampai," gumam Pandan Wangi, saat melihat Karun berkuda menuju Desa Kranggan, bersama empat orang anak muda yang juga menunggang kuda.
Dan tanpa pikir panjang lagi, Pandan Wangi langsung melesat. Dia berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah hampir sempurna. Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan biru saja di antara pepohonan yang cukup rapat dan menghitam terselimut kegelapan.
********************
EMPAT
Ki Gopar menghempaskan tubuhnya ke kursi kayu jati yang berukir disertai hembusan napasnya yang berat. Seorang wanita yang sedang merajut, langsung menghentikan pekerjaannya. Matanya langsung memandang laki-laki yang kini sudah kelihatan muda seperti berusia tiga puluh tahun itu, wajah Ki Gopar kelihatan merah, dengan napas memburu cepat. Sedangkan wanita cantik yang ada di dalam ruangan ini segera menghampiri, sambil membawa sebuah gelas perak yang berisi arak manis. Disodorkannya gelas itu pada Ki Gopar.
"Kau kelihatan tidak senang. Ada apa...?" tegur wanita itu lembut.
"Aku kesal...!" dengus Ki Gopar. Langsung disambarnya gelas perak itu. Isinya segera direguk hingga tidak tersisa sedikit pun. Diletakkannya gelas itu di atas meja dengan keras sekali, hingga suaranya mengejutkan wanita yang berdiri di depannya.
"Kesal pada siapa?" tanya wanita itu lagi.
"Sarkam."
"Kenapa Sarkam?"
"Dia membawa perempuan yang membuatku marah. Tapi dia sudah menerima ganjarannya."
"Kau bunuh dia...?"
"Hanya itu yang pantas untuknya."
"Apa yang dilakukannya sampai kau membunuhnya...?"
"Dia bawa perempuan setan ke rumah ini. Perempuan itu sekarang kabur entah ke mana. Sarkam benar-benar tidak berguna lagi. Aku tidak menyesal kehilangan orang goblok seperti dia."
"Perempuan apa yang dia bawa?"
"Perempuan untuk korbanku malam purnama nanti. Dia seharusnya membawa gadis yang masih suci dan tidak tahu apa-apa tentang ilmu olah kanuragan. Tapi, Sarkam malah membawa perempuan yang berkepandaian tinggi. Dan perempuan itu bisa melepaskan totokannya dengan mudah, lalu kabur."
"Kenapa kau masih saja menculik perempuan-perempuan untuk korban...? Bukankah kau tidak membutuhkan mereka lagi? Semua yang kau inginkan sudah terkabul. Lantas apa lagi yang kau inginkan? Tidak ada gunanya lagi mengorbankan perempuan malam purnama nanti."
"Aku ingin kembali muda. Aku tidak ingin kelihatan tua."
"Tapi itu akan membuat dirimu susah nanti. Sudahlah... Jangan turutkan kata hatimu. Aku tahu sekarang, semua yang kau lakukan selama ini hanya untuk memuaskan nafsu setanmu saja. Kau hanya berkedok menculik perempuan untuk korban. Tapi yang sebenarnya, kau hanya memuaskan nafsumu saja, Gopar. Aku jadi tidak mengerti. Harusnya kau sudah puas dengan keadaanmu sekarang. Jangan lagi mencari perempuan untuk korban. Sudah saatnya kau menghentikan petualanganmu, Gopar. Jangan mencari-cari kesulitan dalam hidupmu lagi. Ingat, apa pesan ayahku. Ilmu itu tidak akan berguna kalau digunakan pada jalan yang sesat. Kau memang bisa kelihatan muda kembali, tapi tenaga dan kekuatanmu akan terus berkurang...."
"Kenapa kau jadi ceriwis begitu, Lestari...? Sebaiknya kau diam. Dan, jangan mencampuri urusanku!" bentak Ki Gopar.
"Urusanmu adalah urusanku juga, Gopar. Kalau terjadi apa-apa aku juga akan terbawa-bawa. Kau harus ingat, Gopar. Kau sekarang ini berada di mana...? Ini tempat tinggalku. Kau hanya menumpang saja di sini, bersama orang-orangmu. Aku tidak ingin nama baik tempat ini menjadi rusak oleh ulahmu!" sentak wanita berwajah cantik ini jadi berang.
"Sejak kapan kau berani menentangku, Lestari...?" dengus Ki Gopar, jadi dingin nada suaranya.
Wanita berwajah cantik yang dipanggil Lestari itu hanya diam saja.
"Dengar, Lestari. Kalau mau, aku bisa membunuhmu sekarang juga. Bahkan aku bisa menjadikanmu korban. Tapi aku tidak mau melakukannya. Kau adalah putri sahabatku. Dan, dari ayahmulah aku mendapatkan ilmu ini. Kau sendiri menggunakannya, hingga selalu kelihatan muda dan cantik."
"Tapi aku mengamalkannya tidak dengan korban manusia, Gopar. Aku melakukannya dengan jalan benar."
"Itu menurut jalanmu, Lestari. Sedangkan aku, mempunyai jalan sendiri. Jadi kuminta sekali lagi, jangan mencampuri urusanku. Dan mulai sekarang, aku yang berkuasa di sini. Bukan kau...!"
"Kau akan menyesal, Gopar," desis Lestari.
"Tutup mulutmu...!" bentak Ki Gopar, keras menggelegar.
Lestari langsung terdiam. Tapi, tatapan matanya terlihat begitu tajam memandang Ki Gopar yang wajahnya kini sudah tidak lagi terlihat kerutan sedikit pun. Wajah yang dulu renta, kini kembali muda dan gagah.
Dalam sinar mata wanita itu, terbetik rasa kebencian melihat sikap Ki Gopar. Apalagi, laki-laki ini sudah berkata terang-terangan merebut bangunan ini darinya. Istana kecil yang dibangunnya bersama-sama ayahnya yang kini sudah tiada, setelah semua ilmu yang membuat orang tampak selalu muda dan tidak takut akan datangnya kematian dilepaskannya.
Ilmu itu memang sangat langka, dan tidak banyak orang bisa memilikinya. Ki Gopar sendiri sebenarnya juga tidak memiliki ilmu itu. Dan dia memperolehnya dari ayahnya Lestari, sebelum orang tua itu menghembuskan napasnya yang terakhir dan menitipkan Lestari padanya.
Tapi setelah menguasai ilmu itu dengan sempurna, sikap dan tingkah laku Ki Gopar jadi berubah. Dan laki-laki bertubuh gemuk itu bukan lagi menjadi pelindung Lestari, tapi malah seperti memenjarakannya. Bahkan Lestari sama sekali jadi tidak punya hak atas rumahnya sendiri. Semuanya sudah diambil alih Ki Gopar dengan halus. Namun, baru sekarang inilah Ki Gopar mengatakannya terus terang.
Tentu saja hal ini membuat seluruh aliran darah di dalam tubuh Lestari jadi bergolak mendidih. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sadar, kepandaian yang dimiliki Ki Gopar jauh lebih tinggi daripada yang dikuasainya. Dan rasanya, tidak mungkin laki-laki ini bisa ditentangnya.
"Dengar, Gopar. Apapun yang kau lakukan, aku tidak akan ikut campur. Semua yang sudah kau lakukan, adalah tanggung jawabmu sendiri. Jangan memohon pertolonganku, nanti," kata Lestari seraya berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan ruangan ini.
"Mau ke mana kau...?!" bentak Ki Gopar, ketika melihat Lestari membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan ruangan ini.
"Jangan mengurusi aku lagi, Gopar. Urus saja dirimu sendiri!" bentak Lestari, mendengus.
"Lestari...!"
Lestari sudah tidak mau lagi mendengarkan. Wanita itu terus saja melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Dan ini membuat Ki Gopar tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Laki-laki gemuk itu hanya diam saja memandangi Lestari yang melangkah cepat meninggalkan ruangan ini. Ki Gopar menyambar guci arak, dan menuangkan isinya ke dalam gelas perak yang kosong. Lalu diteguknya arak manis itu hingga tandas tak bersisa lagi.
"Phuih! Kalau saja bukan putri sahabatku, sudah aku cabik-cabik tubuhmu...!" umpat Ki Gopar sengit.
********************
Sementara itu, Pandan Wangi sudah sampai di Desa Kranggan. Dan saat ini matahari sudah membiaskan cahayanya di ufuk timur. Napas kehidupan sudah kembali terasa di desa ini. Semua penduduknya sudah terbangun dan keluar dari rumahnya untuk mengisi kehidupan dengan kesibukan masing-masing. Dan Pandan Wangi langsung saja menuju rumah Ki Sarumpat.
"Pandan...," desis Ki Sarumpat ketika melihat Pandan Wangi memasuki halaman rumahnya.
Kepala desa itu bergegas menghampiri si Kipas Maut ini. Wajahnya kelihatan begitu gembira melihat kedatangan Pandan Wangi yang membuatnya cemas semalaman ini, hingga tidak dapat memejamkan mata sedikit pun.
"Ayo.... Mari masuk," ajak Ki Sarumpat.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Mereka lantas melangkah beriringan, menyeberangi halaman depan yang tidak begitu luas ini. Dan kedua orang yang usianya berbeda jauh itu terus masuk ke dalam ruangan depan rumah kepala desa ini. Dari dalam, muncul Selasih bersama ibu dan saudara-saudaranya. Mereka kelihatan senang melihat Pandan Wangi datang lagi tanpa kurang suatu apa pun. Bahkan begitu gembiranya, Selasih langsung menangis memeluk si Kipas Maut ini. Dan itu membuat Pandan Wangi jadi kelabakan sendiri. Selasih baru melepaskan pelukannya, setelah ibunya menepuk lembut pundaknya dari belakang. Selasih kemudian duduk di sebelah gadis Pendekar dari Karang Setra ini.
"Bagaimana kau bisa lolos dari mereka, Pandan?" tanya Ki Sarumpat ingin tahu.
"Mereka menganggapku seperti gadis lainnya. Dan aku sama sekali tidak terjaga," sahut Pandan Wangi menjelaskan dengan singkat.
"Kau tahu di mana sarang mereka sekarang?" tanya Ki Sarumpat.
"Ya," sahut Pandan Wangi seraya mengangguk.
"Di mana Pandan...?"
Pandan Wangi langsung berpaling ketika mendengar suara dari ambang pintu di belakangnya. Bibirnya langsung mengembangkan senyum melihat Rangga tahu-tahu sudah ada di ambang pintu ini. Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang tiba-tiba mengejutkan semua yang ada di dalam ruangan ini. Hanya Pandan Wangi saja yang kelihatan biasa, tidak terkejut sedikit pun.
Ki Sarumpat segera menggeser duduknya, memberi tempat pada Pendekar Rajawali Sakti untuk duduk di sebelahnya. Dengan bibir menyunggingkan senyum, Rangga kemudian duduk bersila di sebelah kepala desa itu. Tidak lagi tergambar kecemasan di wajahnya seperti semalam.
"Kakang pasti tidak percaya kalau aku sudah tahu sarang mereka," kata Pandan Wangi.
"Katakan saja, di mana sarang mereka, Pandan, " desak Rangga tidak sabar ingin tahu.
"Di kaki Gunung Cagarasa ini," sahut Pandan Wangi.
"Di sini...?" desis Ki Sarumpat heran.
"Benar!"
"Di dalam benteng Nyai Lestari," jelas Pandan Wangi.
"Kau jangan main-main, Pandan," sentak Rangga tidak percaya.
Bukan hanya Rangga yang tidak percaya, tapi Ki Sarumpat pun sampai memandangi Pandan Wangi dengan sinar mata tidak percaya. Mereka semua tahu, Nyai Lestari adalah seorang tabib wanita yang sangat sakti dan tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Apalagi, sampai mencelakakannya. Bahkan semua orang yang tinggal di desa-desa sekitar kaki Gunung Cagarasa ini mengenalnya dengan baik.
Nyai Lestari tidak pernah memandang golongan dalam menolong orang. Siapa saja yang membutuhkan pertolongannya akan dilayani dengan baik. Bahkan dia tidak pernah meminta imbalan dari orang yang ditolongnya. Karena kehidupannya sudah serba berkecukupan. Tinggalnya saja di dalam sebuah bangunan seperti istana yang dikelilingi pagar benteng, dengan pelayan-pelayan dan pengawal yang tidak sedikit jumlahnya. Karena, memang Nyai Lestari bukan hanya seorang tabib wanita. Tapi, dia juga seorang guru ilmu olah kanuragan. Tempat tinggalnya juga selalu disebut padepokan. Hanya saja, Nyai Lestari tidak pernah menggunakan nama untuk tempat tinggalnya. Dan dia juga tidak pernah mau menyebutkan kalau tempat tinggalnya adalah sebuah padepokan silat.
"Aku tidak main-main, Kakang. Aku dibawa ke sana. Aku bahkan, tahu siapa itu Ki Gopar. Dia ternyata masih muda. Ya..., seusiamu, Kakang," jelas Pandan Wangi, meyakinkan.
"Tidak mungkin...," desis Ki Sarumpat.
"Apanya yang tidak mungkin, Ki? Aku benar-benar jelas melihatnya. Bahkan dia sempat bicara pada orang yang menculikku. Semua yang dibicarakannya kudengar. Dia memang membutuhkan seorang gadis yang masih suci untuk dijadikan korban pada malam purnama nanti. Untung dia meragukan kesucianku, karena orang suruhannya melihatmu di rumah ini, Kakang Rangga. Ki Gopar menduga, kalau kau adalah suamiku. Dan dia menyuruh orangnya untuk menculik Selasih malam nanti," jelas Pandan Wangi lagi. "Tapi..."
"Tapi kenapa, Pandan?" desak Rangga minta diteruskan.
"Aku memang tidak melihat Nyai Lestari ada di sana," sahut Pandan Wangi.
Rangga dan Ki Sarumpat jadi saling berpandangan. Mereka langsung menduga, kalau telah terjadi sesuatu pada diri tabib wanita itu. Tapi, mereka memang tidak berani menduga terlalu jauh. Sementara, Pandan Wangi sudah melanjutkan ceritanya tanpa diminta lagi. Dan mereka kembali terdiam, mendengarkan cerita si Kipas Maut ini.
"Setelah dia tahu aku kabur, Ki Gopar langsung membunuh orang suruhannya yang menculikku. Dan sekarang, orang-orangnya sedang mencariku. Bahkan aku melihat ada yang menuju ke desa ini," jelas Pandan Wangi lagi.
"Kau kenali orang-orangnya?" tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Dan Rangga tidak bertanya lagi. Dia percaya, Pandan Wangi bisa melihat jelas pada jarak yang cukup jauh, walau keadaan sekelilingnya gelap. Karena, gadis itu sudah diajarkan sedikit ilmu 'Tatar Netra'. Ilmu yang digunakan untuk membuat pandangan mata menjadi lebih terang, walau dalam keadaan gelap bagaimanapun. Tapi memang Pandan Wangi belum sempurna mempelajarinya, sehingga pandangannya masih tetap terbatas, tidak seperti yang telah dikuasai Pendekar Rajawali Sakti.
"Sekarang ini mereka tentu sudah sampai di batas desa, karena menunggang kuda," sambung Pandan Wangi memberitahu lagi.
"Rangga! Sebaiknya hadang mereka sebelum membuat kekacauan di sini," pinta Ki Sarumpat langsung.
Rangga hanya diam saja, tapi kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Pandan Wangi bergegas mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Tapi belum juga sampai ke pintu, Ki Sarumpat sudah memanggilnya.
"Senjatamu, Pandan...," Ki Sarumpat mengingatkan.
Pandan Wangi langsung menghentikan langkahnya, dan memutar tubuhnya kembali. Sementara Ki Sarumpat sudah menghilang ke dalam kamarnya. Tapi, tidak lama dia kembali lagi sambil membawa sebilah pedang bergagang kepala naga hitam dan sebuah kipas berwarna putih keperakan.
Pandan Wangi menerima kedua senjatanya ini dan langsung mengenakannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis itu bergegas keluar menyusul Rangga yang sudah berada di depan pintu pagar halaman rumah kepala desa ini. Si Kipas Maut segera menjajarkan langkahnya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka pun terus berjalan tanpa ada yang bicara lagi.
Sementara Ki Sarumpat langsung memerintahkan anak dan istrinya menutup semua pintu dan jendela. Sedangkan dia sendiri keluar dari rumahnya, ingin memberitahukan semua penduduknya agar tidak ada yang keluar dari rumah. Terutama, anak-anak gadis yang bisa saja menjadi incaran orang-orangnya Ki Gopar untuk dijadikan korban malam purnama nanti.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh berjalan menuju perbatasan desa itu. Mereka mendengar suara kentongan di pukul saling sambut. Kedua Pendekar dari Karang Setra ini tahu arti suara kentongan itu menandakan desa ini terancam bahaya, dan meminta semua orang masuk ke dalam rumah masing-masing.
"Ki Sarumpat benar-benar seorang kepala desa yang baik," desah Pandan Wangi menggumam pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Ya! Dia selalu memikirkan keselamatan warganya," sambut Rangga.
"Kukira tindakannya sangat tepat dengan meminta kita datang ke sini untuk melindungi warga desanya dari Ki Gopar dan orang-orangnya," kata Pandan Wangi lagi.
"Benar, Pandan. Tapi sudah ada delapan orang gadis dari desa ini yang hilang."
"Mudah-mudahan saja tidak ada lagi gadis yang hilang diculik," desah Pandan Wangi berharap.
Dan mereka tidak lagi berbicara. Sementara, keadaan di Desa Kranggan ini sudah sunyi. Tidak terlihat seorang pun berada di luar rumah. Rangga dan Pandan Wangi terus saja berjalan tanpa bicara lagi.
Rangga menghentikan langkah kakinya, setelah tiba di luar perbatasan Desa Kranggan. Dan saat itu, terlihat lima orang menunggang kuda dengan cepat menuju desa ini. Pandan Wangi langsung mengenali mereka yang memang orang-orang suruhan Ki Gopar. Dan salah seorang adalah Karun. Mereka langsung menghentikan kudanya, begitu melihat ada dua orang menghadang di tengah jalan.
"Itu dia orangnya!" seru Karun langsung mengenali Pandan Wangi. "Tangkaaap...!"
"Hup!"
"Hiyaaa...!" Empat orang yang bersama Karun, langsung berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Dan mereka langsung saja berlompatan mengepung dua orang pendekar muda dari Karang Setra ini. Tapi, tidak ada seorang pun di belakang kedua pendekar ini. Sementara, Karun sendiri tetap berada di punggung kudanya. Dan empat orang itu sudah mencabut golok masing-masing. Rangga dan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dengan sinar mata tajam.
"Biar aku yang hadapi mereka, Kakang," pinta Pandan Wangi.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.
Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya juga ke belakang, memberi kesempatan pada Pandan Wangi untuk menghadapi orang-orang ini. Sepertinya, diyakininya betul kalau Pandan Wangi bisa mengatasi mereka dengan mudah. Sehingga, Pendekar Rajawali Sakti merasa tidak perlu harus turun tangan sendiri. Sementara, Pandan Wangi sudah mengembangkan Kipas Mautnya di depan dada.
"Serang! Tangkap gadis itu...!" perintah Karun tiba-tiba, dengan suara keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, empat orang itu langsung berlompatan menyerang Pandan Wangi dengan sabetan golok yang cepat. Tapi Pandan Wangi yang sudah siap menerima serangan sejak tadi, cepat melompat ke belakang. Kipas putihnya langsung dikebutkan ke depan, menyampok tebasan golok salah seorang lawannya yang berada tepat di depannya.
Trang!
"Yeaaah...!"
Begitu golok lawannya terpental terkena sambaran Kipas Maut, Pandan Wangi langsung saja melesat dengan tubuh sedikit meliuk ke kiri. Langsung dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangannya, sehingga lawan yang berada tepat di depannya tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Diegkh!
"Akh...!" Pemuda itu menjerit keras, begitu tendangan Pandan Wangi menghantam tepat dadanya. Seketika orang itu terbanting keras sekali ke tanah. Hanya sedikit saja dia menggeliat, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
"Hap! Yeaaah...!" Saat itu Pandan Wangi sudah harus cepat merunduk, ketika satu sambaran golok datang dari sebelah kanan. Cepat tangan kanannya dikibaskan ke samping, di saat golok itu menyambar lewat di atas kepala. Begitu cepat kibasan tangan kanan yang memegang kipas putih ini, hingga lawan yang berada di sebelah kanan tidak sempat lagi menyadarinya.
Bret!
"Aaaa...!" Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya seorang lagi dengan perut terbelah mengeluarkan darah segar.
Dalam beberapa gebrakan saja, Pandan Wangi sudah bisa merobohkan dua orang. Dan ini membuat kedua bola mata Karun jadi terbeliak lebar, seakan tidak percaya kalau gadis yang semalam diculik temannya memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Sehingga dalam waktu yang begitu singkat, dua orang bisa dirobohkannya. Dan dua orang lagi yang tersisa, kelihatan ragu-ragu untuk menyerang. Namun ketika mereka mendengar teriakan perintah dari Karun, mereka langsung saja berlompatan secara bersamaan menyerang si Kipas Maut ini.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hap! Shyaaa...!" Sungguh cepat gerakan Pandan Wangi, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Hanya kilatan cahaya putih dari kipasnya saja yang terlihat berkelebat begitu cepat, menyambar dua orang penyerangnya. Dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu dua orang pemuda itu sudah ambruk ke tanah disertai jeritan panjang yang menyayat hati. Tampak dada dan leher mereka terbelah, membuat darah mengucur deras membasahi tanah.
"Hah...?!" Karun jadi tersentak kaget setengah mati. Seakan tidak dipercayai kalau empat orang yang dibawanya dengan mudah sekali dapat dirobohkan oleh seorang gadis cantik yang semalam diculik Sarkam.
"Hiya! Hiyaaa...!" Tanpa berpikir panjang lagi, Karun langsung saja memutar kuda dan cepat menggebahnya meninggalkan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Sebentar saja, Karun sudah tidak terlihat lagi tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan yang berbatasan langsung dengan Desa Kranggan ini. Hanya debu saja yang masih terlihat mengepul membumbung tinggi di angkasa.
Sementara, Pandan Wangi hanya berdiri tegak memandangi di antara empat sosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Sedangkan Rangga segera menghampiri gadis ini, lalu berdiri di sebelah kanannya. Pandangan mereka tertuju pada kepulan debu yang masih terlihat keluar dari dalam hutan. Sementara suara hentakan kaki kuda yang dipacu cepat semakin menghilang dari pendengaran mereka berdua.
"Ini baru permulaan, Pandan. Mereka tentu tidak akan merasa senang," ujar Rangga pelan, dengan suara terdengar agak mendesah.
Pandan Wangi hanya diam saja. "Aku khawatir, mereka menghancurkan desa ini," sambung Rangga.
"Sebelum mereka sampai, kita harus lebih cepat bertindak, Kakang," tegas Pandan Wangi.
"Ya! Untuk menghindari jatuh korban lebih banyak lagi, kita memang harus lebih cepat bertindak daripada mereka," sambut Rangga.
"Kita datangi sarang mereka, Kakang...?" Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka segera melesat pergi menembus hutan dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam waktu sebentar saja, mereka sudah lenyap tertelan pepohonan di dalam hutan ini.
********************
LIMA
"Goblok...!" bentak Ki Gopar geram, begitu mendengar laporan Karun atas kegagalannya membawa kembali Pandan Wangi dari Desa Kranggan.
Terlebih lagi, Karun kehilangan empat orang temannya. Dan ini membuat kemarahan Ki Gopar semakin memuncak. Sementara Karun yang duduk bersimpuh di lantai tidak berani lagi mengangkat wajahnya. Memang bukan hanya dia sendiri yang berada dalam ruangan itu. Ada lima orang lagi kepercayaan Ki Gopar juga ada di ruangan ini. Mereka semuanya juga tertunduk, tidak sanggup menentang sorot mata Ki Gopar yang memerah tajam.
"Baru menghadapi perempuan saja sudah tidak becus. Apa kerja kalian selama ini, heh...?! Aku tidak sudi lagi mendengar kegagalan kalian. Sekarang juga, semua berangkat ke Desa Kranggan. Bunuh siapa saja yang menghalangi. Bawa semua gadis desa itu ke sini!" tinggi sekali nada suara Ki Gopar.
Tidak ada seorang pun yang berani membantah. Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka segera meninggalkan orang tua yang sudah kelihatan muda lagi ini. Sementara Ki Gopar sendiri masih tetap duduk di kursinya seperti seorang raja yang tengah gundah menghadapi serangan musuh kerajaan lain. Sedangkan di ruangan besar ini, sudah tidak ada lagi seorang pun pengikutnya. Semuanya sudah pergi menjalankan tugas yang diberikannya. Ki Gopar baru mengangkat kepala saat mendengar langkah kaki yang halus mendekati dari pintu yang berada di sebelah kanannya.
Tampak Nyai Lestari menghampiri dengan wajah memancarkan ketidaksenangan melihat sikap Ki Gopar yang dianggap sudah berlebihan. Langsung saja dilewatinya Ki Gopar, lalu menuju pintu keluar. Ki Gopar terus memandangi. Dan ketika Nyai Lestari hampir mencapai pintu...
"Lestari...!"
Nyai Lestari langsung menghentikan langkahnya, tapi tidak berbalik. Dia tetap diam menghadap ke pintu yang terbuka lebar sejak tadi. Sedangkan Ki Gopar sendiri masih tetap duduk di kursinya memandangi punggung wanita cantik yang sebenarnya juga sudah tua itu.
"Mau ke mana kau?" tegur Ki Gopar langsung. Nada suaranya terdengar dalam, agak ditekan.
"Pergi," sahut Nyai Lestari datar.
"Ke mana?"
"Ke mana aku suka. Aku sudah muak melihat tingkahmu di sini. Aku tidak sudi lagi berurusan denganmu!" bentak Nyai Lestari ketus.
Tanpa peduli kegeraman Ki Gopar, Nyai Lestari terus saja mengayunkan kakinya, keluar dari rumahnya yang besar bagai istana yang dikelilingi pagar tinggi seperti benteng ini. Kepergian Nyai Lestari membuat Ki Gopar semakin geram. Wajahnya sudah memerah, dan kedua bola matanya menyala bagai api.
"Kau tidak boleh pergi, Lestari...!" bentak Ki Gopar keras menggelegar.
Tapi Nyai Lestari tidak mempedulikan lagi. Wanita itu terus saja melangkah menyeberangi beranda depan yang cukup luas ini.
"Kembali kataku...!" bentak Ki Gopar sambil melompat turun dari kursinya.
Namun tetap saja Nyai Lestari tidak mempedulikannya.
"Keparat...!" geram Ki Gopar tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Hih! Yeaaah...!"
Bet!
Sambil membentak keras menggelegar, Ki Gopar mengebutkan tangan kanannya ke depan. Maka saat itu juga terlihat sebuah pisau kecil melesat dari dalam lengan bajunya. Deras sekali pisau kecil itu meluncur, membuat Nyai Lestari tidak sempat lagi menyadarinya. Hingga....
Jleb!
"Akh...!" Nyai Lestari kontan terpekik, begitu pisau yang dilemparkan Ki Gopar menembus punggungnya. Seketika, wanita itu jatuh tersungkur mencium tanah. Sementara, Ki Gopar sudah melompat keluar dari dalam ruangan ini. Langsung kakinya mendarat di tubuh perempuan cantik ini.
Des!
"Akh...!" Kembali Nyai Lestari memekik keras agak tertahan dengan tubuh bergulingan jauh di atas tanah berumput ini. Sementara Ki Gopar kembali menghampiri dengan geraman bergemeletuk, menahan kemarahan yang sudah meluap dalam dada. Saat itu, Nyai Lestari mencoba bangkit berdiri, walau darah sudah keluar dari mulutnya. Meskipun sebuah pisau menembus punggungnya, tapi wanita ini masih bisa berdiri. Walaupun, dengan tubuh terhuyung-huyung.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" Sambil membentak keras menggelegar, Ki Gopar melompat cepat sekali. Langsung dilepaskannya satu tendangan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Nyai Lestari sama sekali tidak mampu lagi menghindar. Namun begitu tendangan yang dilepaskan Ki Gopar hampir menghantam tubuhnya, mendadak saja....
Slap!
Tiba-tiba saja. sebuah bayangan putih berkelebat cepat sekali ke arah Nyai Lestari. Lalu....
Der!
"Heh...?!" Tendangan Ki Gopar jadi menghantam pohon beringin besar yang ada tepat di belakang Nyai Lestari, begitu bayangan putih tadi melesat pergi dari hadapan Ki Gopar. Seketika pohon yang sangat besar itu hancur berkeping-keping. Sedangkan Nyai Lestari sudah lenyap entah ke mana. Bayangan putih yang berkelebat begitu cepat itu telah menyambar dan membawanya entah ke mana.
Ki Gopar cepat mengedarkan pandangan ke sekeliling. Cepat disadari kalau ada orang lain yang menolong Nyai Lestari dari kematiannya tadi. Namun, kini tidak terlihat satu bayangan pun di sekitarnya. Hanya kesunyian saja yang ada di sekelilingnya.
"Setan...!" geram Ki Gopar berang. Cepat sekali Ki Gopar melompat ke atas, dan langsung hinggap di atap bangunan besar yang dikelilingi benteng ini. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi, tetap saja tidak terlihat ada seorang pun di sekitar bangunan seperti istana kecil dikelilingi pagar benteng ini.
"Phuih!" Ki Gopar menyemburkan ludahnya dengan sengit, disertai umpatan dalam hati. Dia tidak tahu, ada sepasang mata indah yang tersembunyi di balik kerudung kain putih terus mengamatinya sejak tadi. Sepasang mata bulat indah itu bersembunyi dari kerimbunan dedaunan, di atas pohon yang berada tidak jauh dari bangunan bagai benteng ini.
"Hup!" Ki Gopar kembali melesat turun dari atas atap ini. Gerakannya begitu indah dan ringan, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah.
Sementara sepasang mata yang tersembunyi di balik kerudung putih itu tetap diam tidak bergerak sedikit pun. Terus diperhatikannya Ki Gopar yang melangkah masuk kembali ke dalam rumah sambil bersungut-sungut, memuntahkan kekesalannya.
Dan pada saat itu, sesosok tubuh ramping berbaju serba putih meluncur turun dari atas pohon. Sosok tubuh ramping inilah yang sejak tadi mengamati Ki Gopar dari atas pohon. Dia terus berlari mengikuti pagar yang tinggi dan kokoh ini, menuju bagian belakang. Dan di sana, sudah menunggu seorang laki-laki tua yang menyembunyikan diri di balik sebuah pohon besar. Laki-laki tua yang ternyata kusir tua yang bernama Ki Jambun, segera keluar begitu melihat wanita berkerudung putih ini terlihat. Segera dihampirinya wanita itu dengan langkah tergesa-gesa.
"Mana Nyai Lestari...?" tanya Ki Jambun langsung, begitu dekat di depan wanita berkerudung putih ini.
"Terluka. Tapi sudah ditolong orang lain," sahut wanita itu.
"Siapa...?"
"Aku tidak tahu. Gerakannya sangat cepat Ki Gopar sendiri tidak bisa melihatnya," sahut wanita itu pelan.
"Mudah-mudahan saja yang menolongnya orang baik-baik," desah Ki Jambun.
"Ya, mudah-mudahan saja...," desah wanita itu.
"Aku akan mencari tahu, Nini. Aku masih bebas berkeliaran di desa-desa sekitar kaki Gunung Cagarasa ini," tegas Ki Jambun langsung bersemangat kembali.
"Apa yang akan kau lakukan, Ki?"
"Nini! Aku tahu kalau di Desa Kranggan ada seorang pendekar tangguh yang sudah membunuh empat orang pengikut Ki Gopar. Hanya Karun saja yang bisa menyelamatkan diri. Peristiwa itu, belum lama terjadi. Aku yakin pendekar itu yang menyelamatkan Nyai Lestari," duga Ki Jambun.
"Kau tahu, di mana mencarinya, Ki?"
"Dia tinggal di rumah Ki Sarumpat. Kepala Desa Kranggan, Nini," sahut Ki Jambun.
"Ayo kita pergi, Ki," ajak wanita berkerudung putih itu. "Kita lihat, apa benar pendekar itu yang menyelamatkannya."
"Tapi, Nini.... Aku tidak mungkin pergi sekarang. Ki Gopar pasti membutuhkan aku sekarang. Dia bisa marah kalau aku tidak ada," kata Ki Jambun.
"Kau tidak perlu kembali lagi ke sana, Ki. Nanti saja kalau iblis ini sudah mampus."
Ki Jambun jadi terdiam. Sementara, wanita berkerudung putih itu sudah melangkah pergi. Beberapa saat Ki Jambun terdiam, mempertimbangkan kata-kata wanita berkerudung putih itu. Dan tidak berapa lama kemudian, kakinya segera melangkah mengikuti wanita berkerudung putih yang sudah masuk ke dalam hutan di belakang bangunan besar dikelilingi pagar tinggi ini.
********************
Sementara itu, di dalam sebuah kamar di rumah Ki Sarumpat, tampak Nyai Lestari tertelungkup di atas ranjang dengan bagian punggung terbuka lebar. Pandan Wangi tengah mengobati luka di punggung wanita ini, ditemani Selasih dan ibunya. Sedangkan di ruangan lain, Rangga dan Ki Sarumpat sedang membicarakan Nyai Lestari yang hampir saja mati dibunuh Ki Gopar.
"Nyai Lestari bisa kau selamatkan, Rangga. Tapi aku khawatir terhadap anak gadisnya yang pasti masih ada di sana," ujar Ki Sarumpat.
"Ada wanita lain di rumah itu, Ki...?" tanya Rangga terkejut, tidak menyangka kalau masih ada wanita lain di dalam rumah seperti benteng itu.
"Nyai Lestari punya anak gadis yang sebaya Selasih. Dia pasti masih ada di sana, dan tidak tahu kalau ibunya hampir mati dibunuh Ki Gopar," jelas Ki Sarumpat.
Rangga jadi terdiam membisu untuk beberapa saat. "Siapa namanya, Ki?" tanya Rangga kemudian.
"Mawar," sahut Ki Sarumpat
"Kakang..." Tiba-tiba Pandan Wangi menyembulkan kepala dari balik pintu kamar, dan memanggil Rangga. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti menghampiri. Dilihatnya Nyai Lestari masih tertelungkup di atas pembaringan. Tapi, kini tubuhnya sudah tertutup selembar kain yang sudah pudar warnanya.
"Ada apa?" tanya Rangga berbisik.
"Nyai Lestari ingin bicara denganmu. Dia mendengar semua yang kau bicarakan dengan Ki Sarumpat," kata Pandan Wangi memberitahu.
Sedikit Rangga menatap wanita cantik yang sebenarnya sudah tua itu, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar ini. Selasih dan ibunya segera keluar dari kamar itu. Sedangkan Pandan Wangi tetap berdiri di ambang pintu.
Rangga menarik sebuah kursi kayu ke dekat pembaringan ini, dan duduk di sana. Sehingga jaraknya dengan Nyai Selasih begitu dekat sekali. Wanita itu membuka kelopak matanya, dan tersenyum melihat Rangga sudah dekat dengannya. Rangga membalas senyuman itu dengan senyum pula.
"Kau ingin bicara denganku, Nyai...?" terdengar pelan dan lembut suara Rangga.
"Aku mendengar semua yang kau bicarakan dengan Ki Sarumpat, Anak Muda. Aku sangat berterima kasih atas usahamu dalam menyelamatkan nyawaku. Tapi, aku tidak ingin kau mengorbankan dirimu lagi, menentang bahaya untuk putriku. Sejak Gopar datang, Mawar sudah pergi entah ke mana. Dan sampai saat ini, aku tidak pernah melihatnya lagi," jelas Nyai Lestari tentang anaknya. Rangga jadi terdiam.
"Tapi, aku merasa kalau Mawar masih hidup. Dia memang tidak menyukai Gopar, dan memilih pergi. Apalagi, dia pernah memergoki Gopar sedang memperkosa seorang gadis yang diculiknya dari desa di dalam kamarnya. Sejak kejadian itu, Mawar tidak pernah terlihat lagi," jelas Nyai Lestari lagi.
"Aku akan mencarinya, Nyai. Aku janji, akan membawanya ke sini untukmu," tegas Rangga, mencoba menenangkan hati wanita ini.
"Terima kasih, Rangga. Kau baik sekali...."
"Sebaiknya, Nyai istirahat saja dulu. Biar Pandan Wangi yang merawat lukamu. Beri saja dia petunjuk untuk membuat obatnya," ujar Rangga seraya bangkit berdiri.
"Kau akan ke mana?" tanya Nyai Lestari.
"Keluar sebentar, Nyai. Kudengar Ki Gopar menyebar orang-orangnya untuk membunuh Pandan Wangi dan menculik Selasih. Aku akan menjaga desa ini dari tangan kotor mereka," sahut Rangga.
Sebelum Nyai Lestari bisa mencegah, Pendekar Rajawali Sakti sudah melangkah keluar, melewati Pandan Wangi yang masih berdiri di ambang pintu. Rangga sedikit mengerlingkan matanya. Dan Pandan Wangi sudah bisa mengerti, walau tanpa harus dijelaskan lagi. Kembali gadis itu masuk ke dalam kamar ini, dan duduk di kursi yang tadi diduduki Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Rangga sudah kembali berada di beranda depan rumah Kepala Desa Kranggan ini. Dirayapinya keadaan sekitarnya beberapa saat. Begitu sunyi keadaannya, tidak seperti pertama kali ketika Rangga dan Pandan Wangi datang. Suasana di Desa Kranggan ini langsung berubah, setelah Ki Sarumpat memberitahu pada warganya akan bahaya yang mengancam desa ini. Kesunyian begitu terasa mencekam, membuat Rangga mengayunkan kakinya keluar. Namun baru saja berada di tengah-tengah halaman depan rumah ini, mendadak saja....
Wusss!
"Heh...?! Hup!"
Rangga cepat memiringkan tubuhnya begitu terdengar desir yang halus dari belakang. Dan cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke samping, begitu terlihat secercah cahaya merah melesat cepat bagai kilat, di samping tubuhnya. Cahaya merah itu langsung menghantam tanah, di depan Rangga tadi berdiri. Dan....
Glar!
"Upths!" Rangga kembali melompat ke depan. Tubuhnya langsung berputaran beberapa kali, begitu tanah yang terhantam cahaya merah itu terbongkar, menimbulkan ledakan dahsyat. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti kembali menjejakkan kakinya di tanah. Matanya langsung menangkap sesosok tubuh berjubah hitam, berdiri di atas atap rumah Ki Sarumpat. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat bagai kilat ke atas atap itu.
"Hiyaaa...!" Begitu cepatnya Rangga melesat, hingga membuat laki-laki tua berjubah hitam yang ada di atap jadi terbeliak kaget setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju rompi putih ini bisa bergerak begitu cepat bagai kilat.
"Haiiit...!" Namun laki-laki tua itu bisa menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti dengan gesit. Dia cepat melompat ke samping sambil memutar tubuhnya, dan kembali berdiri tegak dengan indah sekali. Sementara, Rangga sendiri sudah menjejakkan kakinya di atas atap rumah kepala desa ini.
"Siapa kau...?!" tanya Rangga langsung membentak.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku," sahut laki-laki tua berjubah hitam itu dingin. "Mampus kau! Hih! Yeaaah...!"
Tanpa banyak bicara lagi, orang tua berjubah hitam itu langsung saja mengebutkan tangan kanan ke depan. Dan seketika itu juga, dari telapak tangannya yang terbuka melesat cepat bulatan cahaya merah bagai bola api menerjang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!" Cepat Rangga melenting ke atas, hingga dapat menghindari serangan orang tua itu. Tapi, bola api ini justru menghantam atap rumah Ki Sarumpat hingga jebol, menimbulkan ledakan keras menggelegar. Sementara, Rangga langsung meluruk turun ke bawah. Dan orang tua itu terus saja melesat cepat mengejarnya.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Kembali orang tua itu mengebutkan tangan kanannya ke depan, membuat bola api kembali melesat mengejar Pendekar Rajawali Sakti dengan kecepatan bagai kilat.
"Hap!" Hanya sedikit saja Rangga menotokkan ujung jari kakinya ke tanah, maka tubuhnya langsung melesat kembali ke atas. Langsung Pendekar Rajawali Sakti berputar ke belakang, hingga melewati atas kepala orang tua itu. Dan bersamaan dengan terkembangnya kedua tangan Rangga ke samping, terdengar ledakan keras menggelegar dari tanah yang terbongkar terhantam bulatan bola api itu.
Gerakan Rangga yang berputar ke atas, membuat orang tua ini jadi terkesiap kaget tidak menyangka. Cepat tubuhnya diputar berbalik di udara. Namun pada saat yang bersamaan, Rangga sudah mengibaskan tangan kanannya cepat sekali, menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'!
"Yeaaah...!"
Wut!
"Heh...?!" Begitu cepatnya serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga orang tua berjubah hitam ini tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, tubuhnya baru saja diputar berbalik. Hingga, kibasan tangan Rangga yang begitu cepat tidak dapat lagi dielakkan. Dan....
Des!
"Akh...!" Orang tua itu memekik keras, begitu dadanya terkena kibasan keras tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti. Seketika, tubuhnya meluncur deras ke bawah dan terbanting keras di tanah. Sementara, Rangga terus meluncur ke bawah mengejar orang tua ini. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, anak sulung Ki Sarumpat terlihat sudah melompat keluar dari beranda depan rumahnya. Goloknya cepat dikibaskan ke tubuh orang tua berjubah hitam ini.
"Hiyaaa...!"
Bet! Cras!
"Aaaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, ketika golok yang dikibaskan anak sulung Ki Sarumpat menebas dada orang tua ini. Maka darah seketika muncrat keluar dengan deras sekali. Tampak orang tua berjubah hitam itu menggelepar sesaat, kemudian dam tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur deras dari dadanya yang terbelah lebar.
********************
ENAM
Rangga membantu Ki Sarumpat dan dua anak laki-lakinya membetulkan atap rumahnya yang jebol, setelah menguburkan mayat orang tua berjubah hitam yang dikenali sebagai pengikut Ki Gopar. Setelah selesai, mereka berkumpul di beranda depan rumah kepala desa ini. Pandan Wangi dan Selasih menyediakan minuman, kemudian kembali masuk ke dalam menjaga Nyai Lestari yang masih belum bisa turun dari pembaringan.
"Baru satu orang yang datang ke sini, Rangga. Aku yakin mereka akan kembali lagi menyerang," kata Ki Sarumpat pelan.
"Biar mereka datang ke sini, Ayah. Kita hadapi mereka bersama-sama," selak anak sulung kepala desa itu.
"Kepandaian yang kau miliki belum cukup, Rampal," desah Ki Sarumpat pelan. Sepertinya, dia masih menyesali tindakan anaknya yang langsung saja membunuh anak buah Ki Gopar tadi.
"Aku rela mati demi kebenaran, Ayah," tegas anak sulung Ki Sarumpat yang bernama Rampal itu.
Sementara, Rangga hanya tersenyum-senyum saja. Sebenarnya tindakan Rampal tadi pada orang tua pengikut Ki Gopar itu disesalinya juga. Tapi, dia tidak bisa bilang apa-apa lagi. Tindakan mereka selama ini memang bisa membuat orang menaruh kebencian. Tak heran, mereka juga akan melakukan tindakan yang sama seperti Rampal tadi. Dan Rangga tidak bisa menyalahkan tindakan Rampal, walaupun di dalam hatinya menyesali. Dan tindakan tadi tentu saja akan berekor panjang nantinya. Seakan, Rangga sudah bisa meramalkan apa yang bakal terjadi.
Saat itu Rangga bangkit berdiri dan melangkah keluar dari beranda depan rumah ini. Sementara Ki Sarumpat ikut berdiri dan melangkah menghampiri Rangga yang sudah berdiri di tengah-tengah halaman yang tidak begitu luas. Mereka sama-sama mengedarkan pandangannya ke sekeliling, merayapi keadaan sekitarnya yang begitu sunyi. Tak seorang penduduk pun terlihat berada di luar rumahnya. Ki Sarumpat memang melarang penduduknya keluar dari dalam rumah, sebelum persoalan ini terselesaikan. Tentu saja kepala desa ini tidak menginginkan timbulnya korban dari penduduk yang tidak tahu apa-apa. Namun demikian, tetap saja beberapa penduduknya sudah menjadi korban anak buah Ki Gopar. Sebagian besar adalah anak-anak gadis yang dijadikan korban untuk kesempurnaan ilmu Ki Gopar.
"Aku pergi dulu, Ki," pamit Rangga pelan.
"Mau ke mana, Rangga?" tanya Ki Sarumpat.
Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Kakinya terus saja melangkah, meninggalkan kepala desa itu di tengah halaman rumahnya. Sementara, Ki Sarumpat hanya bisa memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti tanpa dapat mencegah kepergiannya lagi.
Bergegas kepala desa itu kembali ke rumahnya, dan menyuruh anak-anaknya masuk ke dalam. Dengan segera ditutupnya semua pintu dan jendela. Di ruangan depan, Pandan Wangi memandangi Ki Sarumpat yang sedang menutupi pintu dan jendela rumahnya.
"Ke mana Kakang Rangga, Ki?" tanya Pandan Wangi yang tetap berdiri di ambang pintu kamar depan.
"Pergi," sahut Ki Sarumpat seraya berbalik.
"Ke mana?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Dia tidak mengatakan tujuannya," sahut Ki Sarumpat seraya menghempaskan tubuhnya, duduk di kursi kayu di ruangan depan.
Pandan Wangi jadi terdiam, dan kembali masuk ke dalam kamar itu. Di atas pembaringan di dalam kamar, terlihat Nyai Lestari masih tertelungkup ditunggui Selasih. Gadis itu terus menyeka keringat yang membanjiri wajah wanita cantik yang sebenarnya sudah tua ini. Sementara, Pandan Wangi hanya memandanginya saja. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Diambilnya pedang dan kipasnya yang tergeletak di atas meja. Lalu pedang itu dikenakan di punggung, sedang kipasnya diselipkan di balik ikat pinggangnya.
Pandan Wangi terus saja melangkah keluar dari dalam kamar ini. Dihampirinya Ki Sarumpat yang hanya bisa memandangi saja tanpa bicara sedikit pun.
"Kau juga akan pergi, Pandan?" tanya Ki Sarumpat terdengar pelan suaranya.
"Tidak," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum.
"Lalu, kenapa mengenakan senjata itu?"
"Untuk berjaga-jaga saja, Ki," sahut Pandan Wangi seraya menarik kursi kayu ke samping pintu kamar, lalu duduk di sana.
"Kukira kau akan pergi juga, Pandan...," desah Ki Sarumpat merasa lega melihat Pandan Wangi tidak meninggalkan rumah ini.
"Aku harus menjaga rumah ini, selama Kakang Rangga tidak ada, Ki," kata Pandan Wangi meyakinkan.
"Terima kasih...," hanya itu yang bisa diucapkan Ki Sarumpat.
Dan Pandan Wangi hanya tersenyum saja sedikit. Sementara Ki Sarumpat sudah sibuk mengasah goloknya dengan batu asahan. Golok yang sudah tajam berkilat itu tampak semakin tajam saja. Entah kenapa, Pandan Wangi jadi tersenyum lagi. Terutama ketika teringat dua senjatanya yang tidak pernah diasah. Dan memang, kedua senjata pusakanya tidak perlu diasah. Kalau golok yang dimiliki Ki Sarumpat tidak diasah, sudah barang tentu tidak bisa digunakan lagi.
********************
Sementara itu, Rangga sudah berada jauh di luar Desa Kranggan. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak di tengah-tengah sebuah padang rumput yang cukup luas, di lereng Gunung Cagarasa sebelah timur. Beberapa kali, matanya merayapi keadaan sekitarnya. Kemudian kepalanya terdongak ke atas, menatap langit yang cerah tanpa awan sedikit pun. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terdiam seperti patung, dengan pandangan tertuju lurus ke atas. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam. Dan.....
"Suiiit...!" Siulan panjang dan melengking tinggi dengan nada aneh itu seketika terdengar menggema, hingga menembus angkasa. Suara siulan itu terdengar keluar dari bibir Rangga yang membentuk bulatan kecil. Tidak begitu lama Rangga menunggu, dan kini sudah tersenyum ketika melihat sebuah titik kecil melayang jauh di angkasa.
Dan tidak berapa lama kemudian, titik kecil itu sudah terlihat jelas bentuknya. Tampak seekor burung rajawali meluncur cepat bagai kilat menuju padang rumput di lereng Gunung Cagarasa ini.
"Ke sini, Rajawali...!" seru Rangga sambil melambaikan tangan.
"Khraaagkh...!" Langit seakan menjadi mendung, begitu burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu berada di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan dengan gerakan ringan seperti kapas, burung rajawali yang selalu dipanggil Rajawali Putih itu mendarat tidak jauh di depan pemuda berbaju rompi putih ini. Rangga bergegas menghampiri. Langsung dipeluknya leher burung rajawali raksasa ini.
Hanya sebentar saja Rangga melepas kerinduannya, kemudian sudah melepaskan pelukannya lagi. Dipandanginya burung raksasa yang kelihatan mengerikan itu. Sedangkan burung rajawali ini hanya mengkirik perlahan saja.
"Aku memerlukan bantuanmu, Rajawali. Ada persoalan yang harus kuhadapi di Desa Kranggan," kata Rangga langsung mengutarakan masalah yang sedang dihadapi.
"Khrk...!"
Rangga tersenyum. Dia tahu, apa yang diinginkan Rajawali Putih. Tanpa banyak bicara lagi, langsung diceritakannya semua yang telah terjadi di sekitar kaki Gunung Cagarasa ini. Rajawali Putih mendengarkan penuh perhatian. Sesekali kepalanya bergerak miring ke kiri. Lalu kepalanya kembali tegak dan miring lagi ke kanan, mendengarkan penuturan pemuda berbaju rompi putih ini. Dan setelah Rangga menyelesaikan ceritanya, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung mengeluarkan suaranya yang serak dan keras memekakkan telinga.
"Khraaakh...!"
"Aku juga berpendapat begitu, Rajawali. Persoalan ini harus diselesaikan secepatnya, sebelum jatuh korban lebih banyak lagi. Sementara dua malam lagi bulan purnama. Ki Gopar harus mempersembahkan seorang gadis suci untuk kesempurnaan ilmunya. Semua ini harus dicegah sebelum terlambat, Rajawali. Aku khawatir tindakannya semakin sulit saja dihentikan," kata Rangga mengemukakan kekhawatirannya.
"Khrrrkh...!"
"Ayo, Rajawali. Kita datangi dia," ajak Rangga. "Hup!" Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Rajawali Putih.
"Khraagkh...!" Sambil mengeluarkan suara serak dan keras memekakkan telinga, Rajawali Putih melesat ke angkasa. Cepat sekali lesatannya, sehingga dalam sekejapan mata saja burung raksasa itu sudah jauh melayang di angkasa. Seakan, Rajawali Putih hendak menembus langit, sehingga hanya seperti titik saja yang terlihat.
Sementara, Rangga yang berada di punggung Rajawali Putih terpaksa harus berpegangan erat-erat. Angin di angkasa ini begitu kencang, seakan ingin menghempaskannya. Sedangkan Rajawali Putih terus meluncur cepat bagai kilat menuju kaki Gunung Cagarasa, tempat berdirinya bangunan besar seperti benteng pertahanan milik Ki Gopar yang direbutnya dari Nyai Lestari.
Sebentar saja Rajawali Putih sudah berada di atas bangunan yang dikelilingi pagar gelondongan kayu yang tinggi dan kokoh bagai benteng pertahanan. Rajawali Putih berputar-putar di atas bangunan sambil berkaokan keras. Dan ini membuat telinga Rangga jadi pekak, seperti hendak pecah.
"Jangan terlalu ribut, Rajawali," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
"Aku tahu, Rajawali. Aku sudah melihatnya sejak tadi," kata Rangga seperti bisa mengerti arti suara burung rajawali raksasa ini.
Di bawah sana, Rangga memang melihat Ki Gopar tengah berdiri tegak di depan rumah besar ini dengan tatapan ke atas. Teriakan Rajawali Putih tadi, rupanya membuat laki-laki tua yang kini semakin terlihat muda itu keluar dari dalam rumah. Dan kepalanya langsung mendongak ke atas. Tapi memang sulit untuk bisa melihat jelas bentuk Rajawali Putih yang terbang begitu tinggi. Hanya sebuah titik bercahaya keperakan saja yang terlihat melayang dan berputar-putar di atas bangunan bagai benteng pertahanan ini.
"Dia menyerang, Rajawali," kata Rangga, ketika melihat secercah cahaya kuning keemasan meluncur deras dari telapak tangan Ki Gopar yang terangkat ke atas.
"Khraaakh...!" Rajawali Putih langsung melesat tinggi, semakin naik ke atas. Sehingga, kilatan cahaya kuning keemasan itu tidak sampai mengenainya. Lalu cahaya kuning keemasan itu meledak di angkasa, menimbulkan suara keras menggelegar bagai guntur.
Sementara Rajawali Putih kembali berputar mengelilingi bangunan itu tanpa memperdengarkan suara lagi. Sedangkan dari bawah, terlihat Ki Gopar seperti ke-hilangan jejak burung rajawali raksasa itu. Pandangannya terus merayapi angkasa, mencari-cari titik putih keperakan yang diserangnya tadi.
Dari angkasa ini, Rangga bisa melihat jelas ke arah Ki Gopar, dengan mempergunakan ilmu 'Tatar Netra'. Tampak bibir laki-laki yang kelihatan muda itu menyunggingkan senyum. Rangga menduga, Ki Gopar mengira serangannya tadi tepat mengenai sasaran. Tampak Ki Gopar melangkah masuk kembali ke dalam bangunan besar itu.
"Lebih rendah lagi, Rajawali," pinta Rangga.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, Rajawali Putih cepat meluruk turun. Dan burung itu kembali berputar setelah jaraknya dengan atap bangunan itu sudah tidak tinggi lagi. Sehingga dari bawah, bentuknya yang besar dan hampir menutupi bangunan seperti benteng ini dapat terlihat jelas sekali. Dan pada saat Rajawali Putih melintasi bagian atap rumah besar itu, mendadak saja....
Slap!
"Awas...!" Rangga berseru nyaring, ketika tiba-tiba dari atas atap meluncur cahaya kuning keemasan yang langsung meluruk deras ke arah Rajawali Putih.
"Khraaagkh...!" Cepat sekali Rajawali Putih mengibaskan sayap kirinya, menyampok terjangan cahaya kuning keemasan itu. Dan memang, dia tidak punya kesempatan lagi untuk menghindarinya. Hingga....
Glaaar...!
"Khraaagkh...!"
"Rajawali...!" Rangga jadi terpekik, begitu merasakan getaran yang cukup kuat di punggung burung rajawali raksasa ini. Dan itu terjadi tepat ketika terdengar ledakan keras menggelegar, dari cahaya kuning keemasan yang tersampok sayap kiri burung rajawali.
Rajawali Putih pun menjerit keras, dan langsung melambung tinggi ke angkasa. Dia terus melesat meninggalkan bangunan besar itu dengan kecepatan bagai kilat, kembali membawa Rangga ke padang rumput yang ada di lereng Gunung Cagarasa ini.
Sementara di atas punggungnya, Rangga kelihatan cemas melihat darah mengucur dari sayap kiri Rajawali Putih raksasa ini. Sebentar saja, Rajawali Putih sudah kembali mendarat di atas rerumputan di lereng Gunung Cagarasa ini. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung burung raksasa tunggangannya.
"Kau terluka, Rajawali...," desis Rangga tidak dapat lagi menyembunyikan kecemasannya.
"Khrrr...!"
"Diamlah. Aku akan mengobati lukamu," kata Rangga.
"Khrrrkh...!"
Untung saja luka yang diderita Rajawali Putih tidak parah, sehingga Rangga bisa mudah mengobatinya. Sementara itu, Ki Gopar sudah mengumpulkan orang-orangnya lagi yang kini tinggal sekitar sembilan orang. Sementara, semua murid Nyai Lestari sudah pergi meninggalkan bangunan itu, setelah tahu kalau Ki Gopar berusaha membunuhnya. Sehingga tidak seorang pun yang masih tinggal di sana. Bahkan Ki Jambun yang menjadi kusir di rumah itu juga sudah pergi, entah ke mana. Bahkan wanita berkerudung putih yang selalu mengawasi rumah itu juga sudah tidak terlihat lagi.
"Kalian tentu sudah bisa melihat kalau ada orang-orang tertentu yang hendak membunuhku. Bahkan mereka sudah beberapa kali mencoba masuk ke rumah ini," kata Ki Gopar memulai.
Tidak ada seorang pun yang bersuara. Mereka semua diam dengan kepala tertunduk, menekuri lantai yang licin dan berkilat ini. Sejenak Ki Gopar memandangi sembilan orang anak buahnya.
"Mulai sekarang, lupakan dulu urusan dengan Nyai Lestari. Kalian harus menjaga sekitar rumah ini. Hanya Karun saja yang boleh keluar mencari gadis suci untuk korbanku malam purnama nanti. Dan kuminta, malam ini kau sudah bisa mendapatkannya. Sudah tidak ada waktu lagi...," lanjut Ki Gopar.
"Ke mana aku harus mencarinya, Ki?" tanya Karun tidak mengerti. "Semua kampung di sekitar kaki Gunung Cagarasa ini sudah terjaga. Bahkan setiap kampung memiliki pendekar yang selalu berjaga-jaga siang dan malam. Sulit untuk bisa mendapatkan gadis lagi, Ki."
"Kau harus bisa cari kesempatan, Karun. Atau aku sendiri yang harus melakukannya...?"
Karun jadi terdiam.
"Baik... Aku minta kalian jangan tinggalkan tempat ini, selama aku pergi. Biar aku yang mencari gadis itu sendiri," kata Ki Gopar memutuskan.
"Biar aku saja yang menjalankannya, Ki," selak seorang laki-laki setengah baya bertubuh tegap. Tampak seutas cambuk melingkar di dalam genggaman tangan kanannya.
"Hm.... Baiklah, Bodin.... Kuberi kesempatan padamu sampai sore nanti. Kalau kau tidak kembali sore ini, aku yang akan pergi sendiri," sahut Ki Gopar memberi kesempatan.
"Aku usahakan, Ki," sahut Bodin mantap.
"Pergilah sekarang." Bodin menjura memberi hormat, setelah bangkit berdiri. Dan tanpa banyak bicara lagi, kakinya segera melangkah pergi meninggalkan ruangan depan yang luas ini. Sementara, Karun dan tujuh orang lainnya tetap duduk bersila di depan Ki Gopar.
"Kalian jalankan tugas masing-masing. Kuminta jangan sampai ada tempat luang bagi orang luar masuk rumah ini. Mengerti...?"
"Mengerti, Ki...!"
Serempak mereka menyahuti. Dan tanpa diperintah dua kali, mereka segera beranjak bangkit, melangkah keluar dari ruangan ini. Tapi saat itu, Ki Gopar memanggil Karun yang baru saja sampai di ambang pintu. Karun berbalik, dan langsung menjura membungkuk memberi hormat.
"Ada apa, Ki?" tanya Karun dengan sikap hormat.
"Kau tetap di sini bersamaku, Karun. Aku membutuhkan orang yang bisa kuajak bicara," pinta Ki Gopar.
Karun segera menghampiri, dan kembali duduk bersila di sebelah laki-laki tua yang kini sudah terlihat kembali muda itu. Bahkan kelihatannya lebih muda daripada Karun yang baru berusia dua puluh delapan tahun.
"Karun! Kau tahu, di mana Mawar berada sekarang?" tanya Ki Gopar setelah beberapa saat terdiam membisu.
"Tidak, Ki," sahut Karun seraya menggeleng perlahan.
"Lalu, kau tahu di mana Ki Jambun?"
Karun terdiam sebentar. Lalu....
"Mungkin dia ada di pondoknya sekarang ini, Ki," sahut Karun.
"Kau tahu, di mana pondoknya?" tanya Ki Gopar lagi.
Karun hanya mengangguk saja. "Antarkan aku ke sana, Karun," pinta Ki Gopar.
Karun langsung mengangkat kepalanya dengan wajah terkejut. Dipandanginya wajah Ki Gopar yang kini terlihat tampan dan muda itu beberapa saat.
"Kenapa. .? Kau tidak mau mengantarkan aku ke sana...?" tegur Ki Gopar dengan mata mendelik lebar.
"Bukannya tidak mau, Ki. Tapi untuk apa...?" terdengar agak tergagap suara Karun.
"Aku yakin, Ki Jambun tahu di mana Mawar berada. Dan aku akan menjadikan Mawar sebagai korbanku, kalau Nyai Lestari tidak mau keluar dari persembunyian-nya. Karena, masih ada sesuatu yang disembunyikan Nyai Lestari dariku. Dan yang disembunyikannya itu, sangat penting artinya bagiku untuk menguasai dunia persilatan, Karun. Kau mengerti maksudku...?"
Karun hanya menganggukkan kepala saja.
"Siapkan kudaku sekarang juga, Karun. Kita pergi ke pondok Ki Jambun," perintah Ki Gopar.
Karun tidak bisa lagi menolak. Dia segera bangkit, lalu menjura hormat. Kemudian laki-laki itu bergegas melangkah keluar dari ruangan itu. Ki Gopar sendiri langsung meninggalkan ruangan ini. Dia masuk ke dalam sebuah kamar yang bersebelahan dengan ruangan depan ini. Dan tidak lama Ki Gopar sudah keluar lagi, terus melangkah menuju beranda depan. Sementara di ujung tangga beranda, Karun sudah menunggu dengan dua ekor kuda pilihan yang gagah.
Tidak lama kemudian, kuda mereka sudah dipacu cepat meninggalkan bangunan besar yang dikelilingi pagar kokoh seperti benteng pertahanan itu. Tidak ada seorang pun yang berbicara lagi. Dua orang yang menjaga pintu gerbang langsung membuka pintu lebar-lebar. Mereka segera membungkuk memberi hormat, ketika Ki Gopar dan Karun melintasinya. Kepergian mereka mendapat perhatian dari semua pengikut laki-laki tua yang kini sudah kembali menjadi muda lagi.
Ki Gopar dan Karun langsung memacu cepat kudanya, setelah berada di luar bangunan besar seperti benteng itu. Mereka tidak tahu kalau ada dua pasang mata yang sejak tadi terus mengawasinya dari angkasa tanpa berkedip sedikit pun. Mereka adalah Pendekar Rajawali Sakti dan Rajawali Putih raksasa tunggangannya. Mereka mengikuti terus ke mana Ki Gopar dan Karun pergi.
"Ikuti terus mereka, Rajawali," pinta Rangga yang berada di punggung Rajawali Putih tunggangannya.
"Khrakgh!"
********************
TUJUH
Brak!
Ki Gopar langsung mendobrak pintu pondok Ki Jambun yang berada di pinggir sebuah desa di kaki Gunung Cagarasa. Hanya sekali tendang saja, pintu dari belahan kayu itu hancur berkeping-keping. Langsung diterobosnya pintu itu, lalu masuk ke dalam.
Saat itu, Ki Jambun yang ada di dalam pondoknya ini baru saja akan menyuap makanan ke mulutnya. Dan dia sampai terlonjak kaget, begitu pintu terdobrak dari luar, disusul melesatnya tubuh Ki Gopar yang masuk ke dalam pondok ini. Sekujur tubuh Ki Jambun jadi bergetar menggigil, melihat Ki Gopar muncul di pondoknya.
"Hiiiih...!" Sambil menggeram, Ki Gopar menarik leher baju kusir tua ini dan langsung dilemparkannya keluar. Ki Jambun hanya bisa berteriak. Tubuh tua itu terlempar keluar, dan jatuh bergulingan keras sekali di tanah. Saat itu, Ki Gopar sudah kembali melesat keluar dari dalam pondok ini.
"Oh...! Ampun, Ki.... Ampun.... Jangan bunuh aku...," rintih Ki Jambun sambil berlutut, merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Hrg! Di mana Mawar kau sembunyikan, heh...?!" gerak Ki Gopar dengan suara keras menggelegar, membuat seluruh tubuh Ki Jambun semakin meng-geletar ketakutan.
"Aku..., aku...."
"Hih!"
Plak!
"Aduh...!" Ki Jambun jadi mengeluh, begitu telapak tangan Ki Gopar yang besar dan kuat menampar wajahnya. Akibatnya, dia terjatuh mencium tanah. Seketika, darah mengucur keluar dari bibirnya yang pecah. Ki Jambun merintih lirih, sambil berusaha bangkit kembali. Tapi belum juga bisa bangkit, satu tendangan yang keras sudah menghantam tubuhnya.
Duk!
"Akh...!" Ki Jambun kembali terpekik, dan bergulingan beberapa kali di tanah. Dan daya lontar tubuhnya baru berhenti setelah menabrak pohon, sehingga membuatnya kembali memekik kesakitan.
Sementara Ki Gopar terus menghampiri dengan wajah memerah. Tidak jauh di belakangnya, Karun hanya dapat menyaksikan saja sambil memegangi tali kekang dua ekor kuda tunggangan mereka. Terselip rasa iba melihat nasib kusir tua itu menjadi bulan-bulanan Ki Gopar, tanpa mampu memberi perlawanan sedikit pun.
Ki Jambun memang hanya seorang kusir tua yang sama sekali tidak mengenal ilmu-olah kanuragan. Dan dia hanya bisa pasrah akan nasib buruknya ini. Sambil merintih lirih, Ki Jambun berusaha bangkit. Sementara, Ki Gopar sudah berdiri tegak berkacak pinggang di depannya.
"Katakan! Di mana Mawar, Jambun...?!" desis Ki Gopar dingin menggetarkan.
"Aku tidak tahu, Ki. Sungguh...!" sahut Ki Gopar merintih lisih.
"Dengar, Jambun. Aku bisa mudah membunuhmu. Semudah membalikkan telapak tangan," desis Ki Gopar mengancam.
Seluruh tubuh Ki Jambun semakin keras bergetar mendengar ancaman itu. Kedua bola matanya berputar, seperti mencari sesuatu. Sedangkan Ki Gopar terus memandangi dengan sinar mata tajam berapi-api.
"Di mana dia, Jambun...?!" desak Ki Gopar dingin.
Ki Jambun hanya diam saja. Dan ini membuat Ki Gopar semakin berang. Tangannya terangkat. Lalu....
"Kau lebih memilih mampus rupanya. Hih...!"
Tepat ketika tangan Ki Gopar terayun hendak memukul kepala kusir tua itu, tiba-tiba saja dari atas meluncur sebuah bayangan putih yang begitu cepat menyambar Ki Jambun. Sehingga tamparan Ki Gopar yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu hanya mengenai pohon di belakang Ki Jambun tadi.
Brak! Begitu kerasnya tamparan itu, membuat kayu pohon itu hancur seketika. Dan pohon yang cukup besar itu tumbang, menghantam tanah, sampai menimbulkan getaran bagai gempa. Ki Gopar jadi menggeram marah, melihat kusir tua itu lenyap dari depannya.
"Setan keparat...!" Ki Gopar cepat berbalik. Dan pada saat itu, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat di depannya. Dan ini membuat orang tua yang sudah kelihatan muda lagi ini jadi tersentak kaget. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, dengan berputar satu kali.
Hap! Manis sekali Ki Gopar menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Dan pada saat itu juga, sekitar lima langkah di depannya sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Sebuah pedang bergagang kepala burung tampak bertengger di punggungnya.
"Siapa kau...?!" bentak Ki Gopar geram.
"Aku Rangga. Dan aku paling tidak suka pada orang yang menyiksa orang tua lemah tak berdaya sepertimu," dengus pemuda berbaju rompi putih itu dingin.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu memang Rangga, yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Dan jawaban Rangga yang tegas bernada dingin, membuat seluruh wajah Ki Gopar semakin merah bagai terbakar. Kedua bola matanya tampak berapi-api menatap tajam wajah tampan di depannya.
"Keparat...! Berani benar kau mencampuri urusanku! Berarti, kau sudah tidak sayang nyawa lagi, Anak Muda!" geram Ki Gopar berang.
"Tidak ada seorang pun yang tidak sayang dengan nyawanya, Kisanak. Aku juga begitu, Dan nyawaku akan kupertahankan kalau kau menginginkannya," sahut Rangga kalem dan tegas suaranya.
"Phuih! Kau menantangku, Bocah...!" geram Ki Gopar merasa tertantang.
"Terserah penilaianmu saja," sahut Rangga seraya tersenyum tipis.
"Setan...! Pecah kepalamu! Yeaaah...!" Sambil membentak geram, Ki Gopar langsung saja mengebutkan tangan kanannya ke depan, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan tepat di saat secercah cahaya kuning keemasan melesat dari telapak tangan yang terbuka, Rangga memiringkan kepala sedikit ke kanan.
Slap!
Glaaar...! Pondok kecil tempat tinggal Ki Jambun seketika hancur berkeping-keping, menimbulkan ledakan keras menggelegar, begitu terhantam cahaya kuning keemasan yang dilepaskan Ki Gopar tadi. Sementara, Karun yang tadi berada di depan pondok itu langsung melompat bergulingan ke tanah, menghindari pecahan kayu pondok itu. Api langsung berkobar, melahap pondok yang seluruhnya terbuat dari kayu ini. Rangga sendiri langsung melompat berputaran tiga kali ke samping kiri, membuat jarak sejauh satu batang tombak dengan Ki Gopar.
"Hm.... Dahsyat sekali ilmunya...," gumam Rangga dalam hati, memuji kedahsyatan ilmu yang dikerahkan Ki Gopar tadi.
Ilmu itulah yang membuat sayap Rajawali Putih terluka. Tapi untungnya tidak parah. Sehingga, burung rajawali raksasa itu masih bisa terbang membawa Rangga sampai ke tempat ini, setelah mereka berdua mengintainya dari tempat tinggal Nyai Lestari yang seperti benteng itu. Dan Rangga juga tidak bisa mem-bayangkan, bagaimana jadinya kalau cahaya kuning keemasan itu tadi sampai menghantam kepalanya.
Sementara, Ki Gopar sudah kembali bersiap melancarkan serangan dahsyatnya. Dia tampak semakin geram saja melihat pemuda yang menjadi lawannya bisa menghindari serangannya barusan.
"Tahan seranganku, Bocah! Hiyaaa...!" Sambil membentak keras, Ki Gopar kembali melancarkan serangan. Tapi saat ini, Rangga sudah siap menghadapi serangan itu. Dan ketika dari kedua telapak tangan Ki Gopar yang menghentak lurus ke depan meluncur cahaya kuning keemasan, saat itu juga Rangga mencabut pedang pusakanya dari punggung. Dan....
"Yeaaah...!"
Bet!
Glaaar!
Tepat ketika Rangga menyilangkan pedangnya di depan dada, cahaya kuning keemasan itu menghantam bagian tengah pedang pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru terang menyilaukan mata. Maka seketika itu juga, terdengar ledakan keras menggelegar yang sangat dahsyat memekakkan telinga. Dan saat itu juga...
"Akh...!" Tampak Ki Gopar menjerit keras. Tubuhnya kontan terpental jauh ke belakang. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak, tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya. Sementara pedang pusaka Rajawali Sakti tetap tersilang di depan dada, memancarkan cahaya biru terang yang menyilaukan mata. Tatapan matanya begitu tajam, memperhatikan Ki Gopar yang berusaha bangkit kembali sambil mengerang lirih. Tampak darah kental kehitaman mengalir dari sudut bibirnya. Dengan tubuh gontai, Ki Gopar kembali berdiri.
"Keparat kau, Anak Muda...! Aku akan kembali membunuhmu...!" desis Ki Gopar geram, penuh dendam menggeledek dalam dada.
Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi. Pedangnya masih tetap tergenggam erat, menyilang di depan dada. Saat itu Karun menghampiri Ki Gopar sambil menuntun kedua ekor kuda tunggangan mereka. Segera diserahkannya tali kekang seekor kuda pada Ki Gopar.
"Hup!" Dengan tubuh gontai, Ki Gopar cepat melompat naik ke punggung kudanya. Sejenak ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh dendam. Kemudian cepat kudanya digebah meninggalkan lawannya ini. Karun bergegas mengikuti, naik ke punggung kudanya. Tapi kudanya tidak langsung digebah. Dan matanya malah memandangi Rangga dengan sinar yang sukar diartikan. Baru kemudian dia menggebah kudanya, mengikuti Ki Gopar yang telah berada cukup jauh.
Cring!
Rangga memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Maka cahaya biru yang memancar terang dari mata pedang itu seketika lenyap. Beberapa saat Rangga masih tetap berdiri tegak, memandangi kepulan debu yang semakin jauh dan menghilang ditelan lebatnya pepohonan. Kemudian bergegas kakinya melangkah mendekati pintu pondok kecil, yang menjadi tempat tinggal Ki Jambun. Namun belum juga sampai ke depan pintu, dari dalam sudah keluar Ki Jambun. Dia langsung meng-hampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan menjatuhkan diri berlutut di depannya.
"Terima kasih, Den ... Terima kasih...," ucap Ki Jambun sambil berlutut, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada.
"Bangunlah, Ki," pinta Rangga sambil menyentuh sedikit pundak orang tua itu dengan ujung jari tangan.
Perlahan Ki Jambun bangkit berdiri. Rangga lantas memberi senyuman lebar dan manis sekali. Ki Jambun membungkukkan tubuh sedikit, memberi penghormatan seperti layaknya kaum persilatan. Dan senyum Rangga semakin lebar, melihat sikap kusir tua yang hampir mati dibunuh Ki Gopar ini.
"Aku tahu siapa kau, Ki. Itu sebabnya, kenapa aku menyelamatkan dirimu tadi," kata Rangga lembut, dengan senyum terus mengembang menghiasi bibir.
"Oh...," Ki Jambun hanya terlongong saja.
"Terus terang saja, Ki. Kedatanganku ke sini memang mengikuti Ki Gopar. Dan aku tahu, tujuan dia datang ke pondokmu ini. Dia pasti punya tujuan sama denganku, yakni mencari Mawar. Tapi, kedatanganku tidak dengan maksud jahat," kata Rangga lagi, masih dengan nada suara lembut.
"Aku..., aku...," Ki Jambun jadi tergagap.
"Tidak perlu menyembunyikannya padaku, Ki. Justru kedatanganku ke sini untuk membawa Mawar pada ibunya," selak Rangga cepat.
"Nyai Lestari...?!" Seketika terbeliak kedua bola mata Ki Jambun. Entah, laki-laki tua ini percaya atau tidak pada kata-kata Pendekar Rajawali Sakti barusan. Tapi yang jelas matanya terus memandangi wajah tampan pemuda itu. Bola matanya sampai berputar, seperti sedang menilai kejujuran dan keagungan hati pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya.
"Kau tentu sudah tahu, apa yang telah terjadi pada Nyai Lestari, Ki.... Bukannya ingin menyombongkan diri, tapi sekarang Nyai Lestari sudah ada di tempat yang aman, dan dalam perawatan orang yang kupercayai. Tapi sampai saat ini, dia selalu menyebut nama putrinya. Maka aku bermaksud membawa Mawar padanya. Aku juga ingin menghentikan semua perbuatan busuk Ki Gopar," jelas Rangga, sebelum Ki Jambun bisa berkata-kata lagi.
Kusir tua itu hanya diam saja, memandangi pemuda di depannya. Kemudian ditariknya napas panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. "Nini Mawar ada di goa persembunyiannya. Ayo kuantarkan kau ke sana," kata Ki Jambun, setelah yakin akan kejujuran hati pemuda ini.
"Terima kasih, Ki," ucap Rangga seraya tersenyum.
Namun baru saja mereka berjalan beberapa langkah, mendadak saja terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat di depan. Seketika langkah mereka terhenti. Dan saat itu juga, seorang wanita bertubuh ramping berbaju putih bersih sudah berdiri sekitar lima langkah lagi di depan kedua laki-laki ini. Wajahnya sulit untuk bisa dikenali, karena seluruh kepalanya tertutup kerudung putih yang cukup tebal. Hanya pada bagian matanya saja yang terlihat.
"Nini...," desis Ki Jambun langsung mengenali.
"Dia-kah Mawar, Ki...?" tanya Rangga langsung.
Belum juga Ki Jambun menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi, wanita berkerudung putih itu sudah membuka kain kerudung yang menutupi wajahnya. Ternyata, di balik kain kerudung putih itu ter-sembunyi seraut wajah yang begitu cantik, bagai bidadari. Rangga sempat terkesiap melihat kecantikan wajah gadis ini. Garis-garis wajahnya begitu mirip dengan Nyai Lestari. Rangga langsung menebak, kalau gadis ini memang Mawar. Putri Nyai Lestari yang memang sedang dicarinya.
"Aku memang Mawar," kata gadis itu menjawab pertanyaan Rangga tadi. "Di mana ibuku...?"
Rangga tidak langsung menjawab.
"Benar, Den. Dia Nini Mawar, putri tunggal Nyai Lestari...," kata Ki Jambun seperti mengetahui keraguan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit
"Katakan saja, di mana Nyai Lestari, Den. Dia memang Nini Mawar," kata Ki Jambun, mencoba meyakinkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Baik. Aku tahu, kau masih ragu. Tapi, kau tentu mengenali ini...," kata gadis cantik berbaju putih yang mengaku bernama Mawar itu.
Kelopak mata Rangga langsung menyipit, melihat seuntai kalung emas yang ditunjukkan gadis itu. Dia pernah melihat kalung itu sebelumnya. Dan memang, kalung itu seperti yang dipakai Nyai Lestari. Bahkan Rangga ingat kata-kata Nyai Lestari, sebelum pergi meninggalkan rumah Ki Sarumpat. Kalung itu hanya ada dua, yang dipakai dirinya, dan anak gadisnya. Tidak ada orang lain lagi yang mengenakan kalung itu, selain Nyai Lestari dan Mawar.
"Aku percaya kau Mawar. Maaf atas keraguanku tadi," ucap Rangga akhirnya.
"Aku bisa mengerti, Ka...," kata-kata Mawar terputus.
"Rangga. Panggil saja aku Rangga," Rangga langsung memperkenalkan diri.
Mawar memberi senyum manis. "Boleh aku memanggilmu Kakang...? Kau pasti lebih tua dariku," pinta Mawar.
"Tentu saja," sahut Rangga seraya tersenyum.
Sesaat mereka terdiam. Tampak Ki Jambun kelihatan senang, melihat Rangga sudah bisa mempercayai gadis ini.
"Kakang Rangga..., di mana ibuku sekarang?" tanya Mawar.
"Di rumah Ki Sarumpat. Kau boleh menjumpainya di sana bersama Ki Jambun," sahut Rangga.
"Kau sendiri?" tanya Mawar ingin tahu.
"Aku harus kembali ke rumahmu untuk mengusir Ki Gopar dan orang-orangnya," sahut Rangga tegas.
"Sendiri...?"
Rangga hanya tersenyum saja. Dia tahu, Mawar menyangsikan kemampuannya menghadapi Ki Gopar dan para begundalnya.
"Dia bisa diandalkan, Nini. Tadi Ki Gopar baru saja dikalahkan dengan pedang pusakanya yang sangat dahsyat," kata Ki Jambun memberitahu dengan wajah cerah.
"Aku tidak mau membiarkanmu sendiri ke sana, Kakang. Biar aku ikut denganmu," putus Mawar, langsung.
"Tidak menemui ibumu dulu?" tanya Rangga seperti menguji.
"Itu bisa nanti, Kakang. Yang penting sekarang, mereka harus enyah dari muka bumi ini. Mereka terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup. Terutama sekali, Gopar keparat itu. Dia bukan lagi manusia. Tapi, iblis yang bersarang di tubuh manusia," jelas Mawar dengan nada gusar.
Rangga melirik sedikit pada Ki Jambun.
"Biar Ki Jambun sendiri yang ke sana, memberitahu tujuan kita, Kakang," kata Mawar, seperti bisa mengerti arti pandangan lewat ekor mata Rangga pada kusir tua itu.
"Benar, Den. Aku sudah biasa ke sana. Aku sering memberitahukan hal-hal penting pada Ki Sarumpat. Bahkan rencana penculikan pada anak gadisnya, juga aku yang memberitahukannya. Itu sebabnya, Ki Sarumpat memintaku untuk menjaganya," kata Ki Jambun merasa bangga.
"Aku tahu itu, Ki. Terima kasih kau sudi memberi semua yang kau ketahui pada kami," ucap Rangga seraya tersenyum.
"Pergilah kalian berdua. Biar aku yang memberitahu Nyai Lestari dan Ki Sarumpat tentang kalian," kata Ki Jambun lagi.
"Ayo, Kakang. Sebentar lagi malam datang. Jangan menunda waktu. Aku rasa, ini malam yang terbaik untuk kita menyerang ke sana. Kalau sampai besok malam purnama, kekuatan Ki Gopar semakin sulit ditandingi lagi," kata Mawar memberitahu.
Rangga hanya mengangguk saja, lalu sedikit mendongakkan kepalanya ke atas. Tampak Rajawali Putih masih berada di atas kepalanya, berputar-putar menanti. Dengan pengerahan tenaga batin yang begitu dalam, Rangga meminta Rajawali Putih terus mengikutinya.
"Apa yang kau lihat, Kakang?" tegur Mawar.
"Ah, tidak...," sahut Rangga cepat-cepat.
"Ayo..."
Rangga langsung saja melangkah, tidak ingin Mawar terus bertanya setelah sikapnya tadi yang memandang Rajawali Putih di angkasa. Mawar mengikuti pemuda ini, dan menjajarkan langkahnya di sebelah kanan. Sementara, Ki Jambun langsung saja melangkah pergi menuju Desa Kranggan. Ingin secepatnya dia sampai ke sana, memberitahukan semua rencana Rangga dan Mawar.
********************
DELAPAN
Malam sudah mulai menyelimuti seluruh wilayah kaki Gunung Cagarasa ini, ketika Rangga dan Mawar tiba di depan bangunan besar tempat tinggal Nyai Lestari yang kini dikuasai Ki Gopar dan anak buahnya. Mereka tidak langsung menerobos ke dalam bangunan berbentuk benteng itu, karena penjagaan di sana tampaknya cukup ketat.
Sejenak Rangga menatap ke atas. Dan Rajawali Putih masih tampak di angkasa dengan jelas, walaupun kegelapan sudah menyelimuti sekitarnya. Dengan kekuatan batin yang begitu dalam, Rangga bisa berbicara pada burung rajawali raksasa itu. Pendekar Rajawali Sakti menanyakan keadaan di dalam benteng ini pada Rajawali Putih. Tampak bibir Rangga menyunggingkan senyum. Dan tanpa diketahui, Mawar sejak tadi terus memperhatikan. Gadis itu tampak heran melihat sikap Rangga yang dirasakannya aneh.
"Ada apa, Kakang? Kenapa tersenyum sendiri?" tegur Mawar langsung.
"Tidak apa-apa," sahut Rangga kalem, masih juga tersenyum.
Tanpa bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melangkah menghampiri bangunan besar seperti benteng ini. Mawar semakin heran, lalu bergegas mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Namun ketika mereka hampir sampai di depan pintu, Mawar langsung menarik tangan pemuda ini. Maka seketika ayunan kaki Rangga terhenti.
"Hati-hati, Kakang. Mungkin mereka sudah pasang perangkap untuk kita," Mawar memperingatkan.
"Tidak ada perangkap, Mawar. Hanya sembilan orang saja yang ada di dalam," sahut Rangga kalem.
"Dari mana kau tahu...?" tanya Mawar semakin heran.
Rangga tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Sudah barang tentu semua pembicaraannya dengan Rajawali Putih tidak akan dikatakannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti semakin mendekati pintu benteng ini, lalu berhenti setelah berjarak sekitar lima langkah lagi. Sementara, Mawar berada sekitar tiga langkah di belakangnya. Dia heran melihat Rangga hanya berdiri diam saja, memandangi pintu pagar seperti benteng yang tertutup rapat ini.
Sreeet! Cring!
Perlahan Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangka di punggung. Dan seketika itu juga, malam yang gelap ini jadi terang-benderang oleh cahaya biru yang memancar dari mata pedang itu. Mawar yang melihat kedahsyatan pamor pedang pemuda ini jadi terbeliak, seperti tidak percaya. Belum pernah disaksikannya sebuah pedang yang bisa memancarkan cahaya begitu terang menyilaukan mata. Sehingga, sekelilingnya jadi terang-benderang seperti siang hari saja.
Sementara, Rangga tetap berdiri tegak dengan pedang tergenggam pada kedua tangan, tegak lurus sejajar tubuhnya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terdiam, membuat suasana semakin terasa sunyi dan mencekam. Mawar sendiri tidak membuka suara sedikit pun. Dengan hati diliputi berbagai macam pertanyaan, gadis itu terus memperhatikan Rangga yang tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Tapi mendadak saja....
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga tiba-tiba melompat cepat sekali, sambil mengangkat pedang yang tergenggam dengan kedua tangan ke atas kepala. Dan seketika itu juga, pedang pusakanya dihantamkan ke pintu pagar benteng yang tertutup rapat dan terbuat dari kayu jati tebal ini. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu berkelebat begitu cepat sekali, hingga....
Glaar...!
Seketika itu juga terdengar ledakan dahsyat yang menggelegar. Bahkan tanah di sekitarnya jadi bergetar, bertepatan dengan hancurnya pintu pagar benteng terhantam pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti yang dahsyat.
"Hup!" Rangga langsung menerobos masuk, dan menjatuhkan diri ke tanah seraya bergulingan beberapa kali. Pendekar Rajawali Sakti menjaga, kalau-kalau sembilan orang anak buah Ki Gopar sudah menanti dengan panah. Tapi, ternyata tidak ada satu anak panah pun yang meluncur menghujaninya. Dan Rangga cepat melompat bangkit berdiri. Namun baru saja menjejakkan kakinya di tanah, seketika itu juga terdengar teriakan keras menggelegar memberi perintah.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup!" Rangga cepat melenting ke atas, dan langsung meluruk deras mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya yang memancarkan cahaya biru terang ke depan. Maka dua orang yang berada dekat di depannya, tidak dapat lagi menahan kibasan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ini.
Bret!
Cras!
"Akh'"
"Aaaa...!" Jeritan melengking tinggi seketika terdengar menyayat, bersamaan ambruknya dua orang itu. Darah kontan muncrat dari tubuh mereka yang terbelah, terbabat pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti.
Jeritan panjang itu membuat Mawar yang masih menunggu di luar langsung melompat masuk. Tanpa banyak bicara lagi gadis ini langsung melompat. Diterjangnya tujuh orang pengikut Ki Gopar ini. Pedangnya seketika berkelebat cepat sekali, menghantam senjata-senjata lawan yang langsung menyambut serangannya.
Sementara, Rangga langsung melesat, begitu berhasil merobohkan dua orang lawannya lagi. Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan sisa lawannya untuk Mawar yang dianggap mampu menghadapi lima orang yang tersisa.
"Hup! Yeaaah...!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melesat cepat sekali menerobos masuk ke dalam rumah besar yang dikelilingi pagar tinggi berbentuk benteng ini. Namun baru saja kakinya menjejak lantai depan pintu, secercah cahaya kuning keemasan sudah menyambutnya cepat bagai kilat.
"Hup!" Manis sekali Rangga melenting ke atas, dan berputaran dua kali menghindari terjangan cahaya kuning keemasan ini. Dan belum juga kakinya menjejak lantai, Ki Gopar sudah terlihat meluruk deras mener-jangnya. Satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam, langsung dilepaskan mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Hait!" Namun dengan gerakan mengegos yang begitu manis, Rangga bisa menghindari serangan Ki Gopar. Akibatnya Ki Gopar terus meluruk ke depan, dan hampir jatuh di luar beranda depan rumah ini. Untung saja dia cepat melenting ke atas. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah.
Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak sekitar lima langkah di depan Ki Gopar yang baru saja mendarat di tanah. Dan saat itu juga, Rangga menyilangkan pedang di depan dada. Telapak tangan kirinya sudah menempel di mata pedang yang memancarkan cahaya biru terang ini. Kedua kakinya terpentang lebar, dengan lutut tertekuk. Sehingga, tubuhnya merendah. Sementara Ki Gopar juga sudah bersiap mengerahkan ilmu kedigdayaannya yang sangat diandalkan.
"Hh...!" Sedikit Ki Gopar menghembuskan napas. Tangan kanannya yang terkepal ditarik, hingga tersilang di depan dada. Sedangkan tangan kiri yang mengembang, berada tepat di ujung kepalan tangan kanan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga sendiri sudah melakukan gerakan miring ke kiri, lalu kembali ke kanan. Dan tubuhnya tegak kembali, bersamaan dengan menggumpalnya cahaya biru di ujung pedang pusakanya. Jelas, Rangga langsung mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' dalam menghadapi orang tua yang dianggap sangat berbahaya ini.
Sekali saja pertemuannya dengan orang tua yang kelihatan muda ini, Rangga sudah tahu kalau tidak bisa lagi menganggapnya ringan. Sehingga terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus langsung menggunakan aji 'Cakra Buana Sukma', begitu melihat lawannya bersiap mengerahkan aji kesaktian juga.
Sementara seluruh tubuh Ki Gopar terlihat menggeletar, seperti terserang demam. Dan ketika tangannya dijatuhkan di depan dada, seketika itu juga dari kepalan tangan kanannya menyemburat cahaya merah. Sehingga, kini seluruh tangan kanan laki-laki tua yang kelihatan muda ini jadi memerah bagai terbakar.
"Hooop... Yeaaah...!" Tiba-tiba saja, Ki Gopar membentak keras menggelegar. Tangan kanannya menghentak ke depan, dengan jari-jari terbuka mengembang. Maka seketika itu juga, cahaya merah yang sejak tadi sudah menyebar di seluruh tangannya langsung meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Namun pada saat yang bersamaan, Rangga menghentakkan pedangnya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar, bagai guntur membelah angkasa. "Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Slap! Cahaya biru yang sudah menggumpal membentuk bulatan sebesar kepala di ujung pedang itu, seketika meluruk deras menyambut serangan cahaya merah yang memancar dari telapak tangan kanan Ki Gopar. Dalam jarak yang pendek ini, mereka sudah tentu tidak dapat lagi menghindari serangan satu sama lain. Hingga...
Glaaar...!
Seketika itu juga terdengar ledakan dahsyat yang menggelegar. Sehingga, tanah yang dipijak jadi berguncang hebat, begitu dua cahaya yang saling berlawanan beradu tepat di tengah-tengah. Dan saat itu juga....
"Akh...!" Ki Gopar langsung memekik keras agak tertahan dengan tubuh terpental sejauh satu batang tombak ke belakang. Sedangkan Rangga hanya bergeser satu langkah saja ke belakang, ketika aji kesaktian yang dilepaskan satu sama lain saling beradu keras.
"Hih! Yeaaah...!"
Bet!
Rangga tidak mau lagi membuang-buang waktu. Begitu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, cepat sekali pedang pusakanya dihentakkan ke depan. Seketika, cahaya biru yang sudah kembali menggumpal di ujung pedangnyaa melesat cepat bagai kilat. Cahaya itu langsung menerjang Ki Gopar yang baru saja bisa bangkit berdiri, setelah bergulingan beberapa kali di tanah yang berumput ini.
"Setan...!" Ki Gopar jadi memaki geram, melihat lawannya sudah kembali melancarkan serangan. Maka cepat tubuhnya melenting ke atas, menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga cepat mengangkat pedangnya sedikit ke atas. Dan cahaya biru yang meluruk deras itu terus mengikuti gerakan tubuh Ki Gopar. Begitu cepat lesatannya, sehingga Ki Gopar tidak dapat lagi menghindarinya.
Splahs!
"Aaaakh...!" Ki Gopar jadi menjerit keras, begitu tubuhnya terhantam cahaya bim itu. Dan seketika itu juga, tubuh laki-laki tua yang kini kelihatan muda kembali itu terbanting keras di tanah. Seketika kembali terdengar jeritan agak tertahan. Sementara, sinar biru yang terus memancar dari ujung pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti itu, terus menggulung seluruh tubuh Ki Gopar.
"Ikh ..! Aaaakh...!" Ki Gopar jadi kelabakan setengah mati. Langsung seluruh kekuatan yang dimilikinya dikerahkan untuk bisa melepaskan diri dari selubung cahaya biru ini. Namun pada saat itu juga, terasa adanya kekuatan yang sangat dahsyat menyedot seluruh tenaganya yang dikerahkan. Begitu deras aliran kekuatan yang tersedot keluar, membuat Ki Gopar jadi menjerit kesakitan. Bahkan seluruh tubuhnya jadi menggigil keras bagai terserang demam.
Sementara itu, perlahan-lahan Rangga mulai melangkah mendekati lawan. Pedangnya terus terjulur lurus ke arah Ki Gopar yang menggeliat-geliat, berusaha melepaskan diri dari selubung cahaya biru di seluruh tubuhnya. Tapi semakin kuat berusaha, semakin banyak kekuatannya yang mengalir keluar. Sehingga, akhirnya laki-laki bertubuh gemuk itu tidak dapat lagi menguasai kekuatannya yang terus mengalir dari dalam tubuhnya. Keadaan ini membuat Ki Gopar semakin bingung.
Sedangkan Rangga semakin bertambah dekat saja jaraknya. Dan sementara di tempat lain, Mawar tampaknya benar-benar menguasai jalannya pertarungan. Kini, dia tinggal menghadapi Karun saja yang kelihatannya masih tangguh. Sedangkan lawan-lawan yang lain sudah tidak ada yang bisa bangkit berdiri lagi. Mereka sudah tergeletak tidak bernyawa, dengan darah melumuri tubuhnya.
"Aku bisa saja mengampunimu, Ki Gopar. Tapi, kau tetap akan menjadi ancaman bagi semua orang nantinya...," desis Rangga dingin menggetarkan.
"Setan keparat! Kubunuh kau...!" geram Ki Gopar agak bergetar suaranya.
"Kau yang akan mati, Ki Gopar. Bersiaplah menerima kematianmu...," desis Rangga tak mempedulikan makian lawannya.
"Setan...! Kubunuh kau, Bocah Keparat..!"
Rangga sama sekali tidak mendengarkan teriakan-teriakan Ki Gopar yang terus memakinya. Pendekar Rajawali Sakti sudah mengangkat pedangnya perlahan-lahan ke atas. Dan tiba-tiba saja....
"Hih! Yeaaah...!"
Secepat pedang itu terhentak ke atas kepala. Dan secepat itu pula, Rangga mengibaskannya ke leher laki-laki tua yang kelihatan muda kembali ini. Begitu cepat serangan terakhir dari aji 'Cakra Buana Sukma' itu. Sehingga Ki Gopar yang sudah terkuras kekuatannya, tidak dapat lagi menghindarinya. Dan...
Cras!
"Aaaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar membelah angkasa, bersamaan berkelebatnya pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas leher lawannya ini. Tampak Ki Gopar berdiri diam dengan kedua bola mata terbeliak lebar dan mulut ternganga, seperti melihat hantu. Sementara, Rangga berdiri tegak di depannya dengan pedang pusaka masih tergenggam di tangan kanan.
Cring!
Bruk! Begitu pedang pusaka Rajawali Sakti tenggelam kembali ke dalam warangka di punggung pemuda ini, tubuh Ki Gopar langsung ambruk ke tanah, dengan kepala menggelinding terpisah. Seketika darah menyemburat keluar dari leher yang buntung tidak berkepala lagi. Sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuh Ki Gopar yang sudah tergeletak diam, tidak bergerak-gerak lagi, mati. Pendekar Rajawali Sakti harus melenyapkan Ki Gopar, karena memang amat berbahaya bila dibiarkan hidup.
Sementara itu terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari tempat lain. Rangga langsung berpaling. Tampak pedang Mawar menghunjam dada Karun begitu dalam, hingga tembus sampai ke punggung. Anak muda itu langsung ambruk menggelepar, begitu Mawar telah mencabut pedangnya.
Dengan gerakan sangat indah, Mawar memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka yang tergantung di pinggangnya yang ramping. Sebentar dipandanginya tubuh-tubuh lawannya yang sudah tergeletak tidak bernyawa lagi di sekitarnya. Kemudian kepalanya berpaling pada Rangga, dan melangkah menghampiri.
"Selesai sudah, Kakang...," desah Mawar sambil menyeka keringat yang membanjiri leher.
"Ya...," sahut Rangga juga mendesah pelan. "Sekarang kita jemput ibumu di Desa Kranggan."
Mawar tersenyum manis. Dan Rangga membalasnya dengan senyum yang tidak kalah manisnya. Mereka kemudian melangkah beriringan, keluar dari dalam benteng ini. Tidak ada seorang pun yang berbicara lagi. Sementara, malam terus merayap semakin larut. Angin dingin pun menyebarkan bau anyir darah yang menggenangi halaman depan rumah Nyai Lestari, yang seperti benteng pertahanan di kaki Gunung Cagarasa ini.
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: INTAN SAGA MERAH