PENGHUNI TELAGA IBLIS
SATU
DESA Weton Nyelap kali ini terasa hening. Malam yang pekat seperti larut dalam mendung yang sejak sore tadi memayungi desa yang cukup ramai ini. Gerimis mulai turun satu-satu. Di ujung langit sana sesekali terlihat kilat yang menjilat angkasa. Sejenak suasana jadi terang benderang, kemudian kembali gelap pekat.Glarrr!
"Oeee...! Oeee...!"
Di ujung desa yang menghadap ke sebuah jurang yang cukup dalam, berdiri sesosok tubuh ramping sambil menimang seorang bayi yang terus menangis. Ketika guntur membelah langit, tangis bayi itu berhenti sesaat. Dari denyut jantungnya yang berdetak cepat, agaknya bayi Itu terkejut kaget. Namun tangisnya kembali meledak, ketika rasa dingin dan lapar kembali menyengat
"Anakku.... Maafkan ibu, Nak. Ibu terpaksa melakukannya terhadapmu. Rasanya, tak ada cara lain lagi untuk mengobatimu. Ibu tak tahu harus berbuat apa. Hidup pun rasanya kau tak berguna. Bahkan hanya menjadi cercaan serta hinaan belaka yang lebih menyakitkan...."
Perempuan itu menangis terisak, kemudian mengangkat bayinya agak tinggi. Lalu... "Tidak! Kau tak boleh mati! Susah payah kau kulahirkan. Dan kau adalah anakku satu-satunya! Meskipun muka buruk dan tubuhmu menjijikkan, kau tetap anakku! Kau tetap anakku...." jerit perempuan yang rupanya ibu si bayi, sambil memeluk anaknya kembali erat-erat.
Glarrr!
Gemuruh petir kembali menggelegar. Ibu muda itu tersentak, dan terus memeluk anaknya, segera dia berlari kecil meninggalkan tempat itu, dan terus menelusuri jalan setapak melewati hutan yang tak begitu lebat. Kemudian, perempuan itu sudah tiba di sebuah pondok yang berada agak terpisah dari pondok-pondok lain di Desa Weton Nyelap ini.
"Kang Rukmana, buka pintu! Buka pintunya, Kang...!" teriak perempuan itu, ketika sudah berada di depan pintu.
Krieeet!
Perempuan itu mendorong pintu yang tak terkunci kemudian menyeruak masuk ke dalam. Segera bayinya diletakkan di atas tempat tidur. Bola matanya mencari-cari ke sekeliling ruangan, kemudian kembali menatap bayinya dengan wajah penuh haru. Tak terasa air matanya menitik satu persatu.
"Kang Rukmana, oh...! Maafkan aku, Kang. Sejak kematianmu, aku jadi sering kalut. Aku masih merasa kalau kau ada di rumah ini mengawasi kami. Kang Rukmana.... Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan terhadap Pulang Geni. Keadaannya teru menyiksaku...," desah perempuan itu lirih.
Perlahan-lahan dibelai bayinya itu. Bocah berusia kurang dari setahun itu terdiam. Bola matanya menatap lucu ke arah ibunya. Terlihat bibirnya tersenyum beberapa kali, seperti hendak mengajak bercanda. Dan perempuan itu coba tersenyum, walau terlihat pahit. Tak kuasa dia menahan haru, sehingga sesekali berpaling ke arah lain.
Bayi itu memang lain dari bayi lainnya. Sekujur tubuhnya dipenuhi koreng bernanah yang menebarkan bau busuk. Sehingga akan menimbulkan perasaaan jijik bagi siapa saja yang melihatnya. Seluruh penduduk di Desa Weton Nyelap ini telah mengetahui. Bahkan telah mengucilkan keluarga ini, karena penyakit yang dibawa bayi bernama Pulang Geni. Mereka takut, penyakit itu akan menular pada beberapa orang penduduk desa yang pernah bertandang di rumah ini.
Dan kenyataannya memang demikian. Tak lama saja para penduduk tertular, dan kedapatan tewas. Padahal beberapa dukun dan tabib hebat telah didatangkan. Namun, tak seorang pun yang berhasil mengobati. Sehingga, orang-orang di desa ini tak ada yang berani mendekat ke rumah itu, karena takut tertular penyakit aneh bayi bernama Pulang Geni.
Namun, kenyataan ada yang aneh. Ternyata, ibu si bayi sama sekali tak ketularan penyakit anaknya itu. Padahal, bapaknya sendiri tertular dan meninggal karena penyakit yang diderita anaknya. Dan yang lebih aneh lagi. Ibu muda itu malah terlihat lebih cantik dari biasanya!
Sebagai seorang janda dengan paras cantik, perempuan bernama Setiasih itu memang sering menjadi incaran pemuda-pemuda di desa ini. Beberapa orang kelaki-lakiannya tergoda, sering berkunjung dengan maksud tertentu, sambil berpura-pura iba atas kemalangan yang menimpa anaknya. Tapi, justru merekalah yang kemudian tertular penyakit si bayi, dan tak berapa lama tewas. Inilah yang membuat beberapa pemuda desa tak ada lagi yang berani mendatangi rumahnya, meski menyimpan hasrat hati yang menggebu-gebu terhadap janda muda bernama Setiasih itu.
********************
Seseorang berlari-lari kecil di antara gerimisnya air hujan yang mulai merebak menjadi hujan lebat. Dia melewati sebuah tikungan jalan, lalu memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Tak lama, segera diketuknya pintu dengan tak sabar.
"Ki, tolong bukakan pintu! Ki Gendi, tolong bukakan pintu..!"
Sebentar saja terdengar langkah terseret di balik pintu. Tak berapa lama pintu terbuka. Dari dalam muncul, sesosok tubuh kurus berwajah lusuh yang hanya mengenakan sarung.
"Oh, Wongso.... Kukira siapa? Ada apa hujan-hujan begini, seperti dikejar setan?"
"Anu, Ki. Si Digul..., mati!" sahut orang yang dipanggil Wongso itu lirih.
"Hm!" gumam laki-laki bernama Gendi sambil menggeleng lemah.
"Sudah saatnya kita harus bertindak, Ki!" lanjut Wongso geram.
"Apa maksudmu?"
"Yang lain sudah setuju. Mereka hanya menunggu perintah dari Ki Gendi. Kami sudah tak tahan! Kalau terus dibiarkan, akan semakin banyak korban jatuh!"
"Kenapa si Digul masih nekat? Padahal, dia kan sudah tahu kalau mendekati Setiasih selagi anaknya masih ada, sama artinya bunuh diri...?" gumam laki-laki itu lagi.
"Aku juga telah memperingatkannya. Tapi, dasar si Digul mata keranjang. Dia bisa buta, begitu melihat Setiasih yang semakin cantik itu!"
"Tapi, apa kita harus membunuh mereka?"
"Ki Gendi kan sebagai kepala desa, pasti bisa menemukan jalan keluarnya. Kita tak bisa terus hidup dibayangi ketakutan begini. Cepat atau lambat, seluruh Desa Weton Nyelap akan ketularan!"
Kepala Desa Weton Nyelap itu terdiam beberapa saat. Beberapa bulan belakangan ini, para penduduk terus mendesaknya agar mengusir Setiasih serta anaknya. Bahkan yang lebih keras lagi, menginginkan agar ibu dan anak itu dibunuh saja. Tapi sejauh ini, laki-laki setengah baya itu belum mengambil tindakan apa-apa. Memang, bagaimanapun juga, akal sehat serta sikapnya yang selama ini bijaksana masih bisa melihat kejadian itu dengan kepala dingin.
Penduduk yang ketularan biasanya adalah pemuda-pemuda desa lelaki hidung belang yang bermaksud mengoda janda berwajah cantik itu. Baik dengan rayuan maupun tindakan kasar. Akibatnya bisaa diduga. Selain keinginan mereka gagal, orang-orang itu pun terkena penyakit yang menjijikkan. Dan akhirnya, penyakit itu ditularkan pada orang lain yang berdekatan. Padahal, selama ini Setiasih dan bayinya jarang berada di luar rumah. Mereka selalu mengurung diri, dan tak pernah bercampur penduduk lainnya, sejak anak pertamanya itu menimbulkan masalah.
"Bagaimana, Ki Gendi? Kita harus mengambil tindakan sekarang juga. Kalau tidak, semua orang desa akan mengamuk!" tanya Wongso mengingatkan.
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Ki! Seluruh penduduk desa sekarang tengah berkumpul di rumah Setiasih. Mereka telah siap mencincang ibu dan anak itu. Ki Gendi cepat bertindak. Kalau tidak, mereka akan gelap mata!"
"Astaga! Kenapa kau tak bilang dari tadi?!" sentak kepala desa itu, seraya buru-buru masuk ke dalam untuk berpakaian.
Tak berapa lama, Ki Gendi telah keluar dengan sebilah golok terselip di pinggang. Laki-laki setengah baya itu berlari-lari kecil ke samping rumahnya, kemudian telah kembali bersama dua pelepah daun pisang yang cukup besar.
"Ayo lekas kita ke Sana!" lanjut Ki Gendil sambil menyerahkan sebelah pelepah daun pisang itu pada Wongso.
Ki Gendil Dan Wongso berlari-lari kecil menuju ujung desa di sebelah tenggara. Dari kejauhan terlihat nyala obor yang dibawa penduduk menerangi sekitar rumah kecil di ujung desa ini. Sementara teriakan-teriakan penuh amarah terdengar di antara deru rintik hujan yang semakin lebat.
"Setiasih! Pergi kau dari desa ini, Perempuan Sial! Sejak kehadiranmu, desa ini terus.ditimpa sial! Kaulah penyebabnya! Pergi dari sini, dan bawa anakmu yang menjijikkan. Cepaaat...!" teriak seorang penduduk.
"Pergi kalian dari sini atau kami bakar rumahmu!" tambah yang lain.
"Perempuan sial! Kau dan bayimu telah menyebar bencana bagi desa ini. Pergi kalian, cepaaat...!"
Di antara penduduk desa, tampaknya ada sebagian yang begitu geram dan dendam terhadap penghuni rumah itu. Serentak mereka maju dan menyulut dinding pondok yang terbuat dari anyaman bambu itu.
Prasss!
Werrr...!
Meskipun hujan turun lebat, api tetap menyala pada bagian-bagian dinding yang kering, begitu beberapa penduduk menyulutkan obornya, dan api pun terus menjalar ke sekitarnya ketika mereka melempar obor ke rumah itu.
"Oh! Tolong...! Tolooong...!" teriak sebuah suara dari dalam.
Mendadak sesosok tubuh keluar dari pintu belakang. Dengan tergopoh-gopoh sosok itu menuju hutan yang memang tak begitu jauh dari rumah ini.
"Itu dia! Kejar! Bunuh saja sekalian...!" teriak seorang penduduk.
Yang lain segera berlari mengejar, begitu mendengar seruan bernada perintah. Sambil berteriak riuh, mereka terus berlari mengacung-acungkan senjata-senjata tajam.
"Tangkap! Jangan biarkan dia lolos! Kejar terus...!"
"Bunuuuh...!"
Mereka yang tadinya mengepung rumah itu, kini berbondong-bondong mengejar sesosok tubuh yang tadi keluar dari rumah. Sementara Ki Gendi dan Wongso baru tiba, ketika penduduk desa telah cukup jauh mengejar sosok yang tak lain Setiasih bersama bayinya.
"Celaka! Mereka membakar rumahnya!" kata kepala desa itu menyesalkan sambil menggelengkan kepala.
"Sekarang mereka mengejar ke hutan. Barangkali, Setiasih kabur membawa anaknya ke sana, Ki!" sambung Wongso.
"Sebaiknya kita menyusul mereka!" sahut Ki Gendi sambil berlari kecil ke dalam hutan, ke arah sebagian penduduk desa menghilang ke sana.
"Eh, Ki! Tunggu..!"
"Apa lagi? Ayo, cepat! Mereka bisa binasa di tangan penduduk desa yang tengah kalap itu!" sentak Kepala Desa Weton Nyelap tak mempedulikan teriakan laki-laki bernama Wongso.
Wongso sendiri sedikit heran. Kenapa kepala desanya ini kelihatan begitu cemas memikirkan nasib Setiasih dan anaknya? Padahal, hampir seluruh penduduk desa ini bukan saja sekadar benci, tapi ingin melenyapkan ibu dan anak itu yang dianggap pembawa sial. Barangkali, itulah yang membuat para penduduk tak mau melapor, ketika berangkat mengepung rumah Setiasih. Mereka beranggapan, Ki Gendi pasti akan menghalangi niat mereka.
Memang, selama ini yang membuat Setiasih dan anaknya masih selamat di Desa Weton Nyelap adalah karena belas kasihan kepala desa itu. Entah, apa yang membuat Ki Gendi begitu gigih membela ibu dan anaknya itu. Tak seorang pun mengetahuinya. Hanya, sejak kematian istrinya dua tahun lalu, Ki Gendi itu sering memberi perhatian pada Setiasih!
Seluruh penduduk desa bukannya tak tahu. Bahkan ketika suami Setiasih masih hidup, Ki Gendi sering bertandang ke rumahnya. Dan ketika terdengar kabar kalau anak Setiasih temyata menyebar malapetaka dengan menularkan penyakit, barulah kepala desa itu tak berani lagi datang ke sana. Hanya, agaknya perhatian terhadap Setiasih masih terus berlanjut, dengan berusaha melindunginya dari amukan seluruh penduduk desa.
Setiasih yang masih menggendong anaknya terkejut setengah mati ketika suara-suara itu semakin dekat terdengar. Dan kepalanya tak mau menoleh sedikit pun. Ketakutannya semakin menggebu-gebu dalam dada. Sehingga larinya terus dipacu semakin kencang. Aneh! Sepertinya Setiasih merasa ada tenaga gaib yang menggerakkannya. Sehingga, larinya semakin kencang. Bahkan mampu menembus kegelapan malam di dalam hutan yang mulai pekat dan rapat oleh pepohonan tanpa bantuan obor!
Tentu saja hal ini membuat para pengejar semakin panasaran saja. Tapi lama kelamaan, mereka merasa ada sesuatu yang aneh dan tak wajar. Mustahil perempuan itu mampu berlari sedemikian cepat menembus kegelapan malam dan hutan yang begitu lebat. Mereka saja yang beramai ramai dan membawa penerangan obor, tersendat-sendat. Bahkan semakin ke dalam, malah tak bisa berlari karena banyak akar pohon dan ranting yang malang melintang menghalangi jalan.
"Sial! Dia sudah tak kelihatan lagi!" gerutu salah seorang penduduk mengayunkan golok menebas salah satu ranting pohon yang menghalangi jalan
"Bagaimana sekarang?" tanya yang lain.
"Sekarang dia sudah kabur. Dan suatu saat, dia pasti kembali serta membuat bencana. Kalau dibiarkan begitu saja, kitalah kelak yang bakal celaka dan hidup tak tenang," selak yang lain.
"Maksudmu, kita harus mengejarnya sampai dapat sekarang juga?" tegas seorang laki-laki bertubuh kurus, berusia sekitar empat puluh tahun.
"Kapan lagi kesempatannya kalau tidak sekarang?" sahut orang itu enteng.
"Huh! Kalian boleh mengejar perempuan itu sampai dapat. Tapi, kami tidak. Hutan di dalam sana angker. Malah bukan tak mungkin bahaya lain akan mengancam. Perempuan itu tentu tak akan selamat!" sahut sebuah suara yang menolak usul agar mereka terus mengejar buruannya.
"Ya. Aku juga tak sudi. Silakan kalau memang kalian ingin mengejarnya. Aku tak sudi mati sekarang!" sambung yang lainnya.
"Aku juga tak mau. Lebih ke dalam hutan ini, terdapat suatu daerah angker. Hiiiy...! Di situ terdapat sebuah Telaga Iblis. Tak seorang pun yang pernah kembali, setelah masuk ke Sana!" desis orang tua berusia lanjut dengan raut wajah ketakutan.
Tapi, beberapa orang penduduk desa lain yang masih penasaran tak mempedulikannya. Mereka terus kembali mengejar buruannya. Sementara, sebagian besar pendudukdesa lain kembali pulang.
Sementara Setiasih masih terus berlari sambil mendekap bayinya erat-erat. Langkah kakinya terus menuju ke tengah hutan yang selama ini tak pernah dimasuki manusia. Dan langkahnya baru berhenti ketika didepannya menghadang sebuah telaga yang airnya tampak keruh dan menghitam. Tepat dua tombak di tepi telaga, terdapat sebuah nisan yang kusam dan ditumbuhi lumut.
Bola mata perempuan itu memperhatikan ke sekeliling. Tampak banyak tulang-belulang berserakan disekitamya. Entah kenapa, sedikit pun tak terbersit rasa ngeri dan takut di hatinya. Kakinya terus melangkah pelan mendekati nisan tua itu, dan berjongkok sambil memperhatikan dengan seksama.
Diusapnya pelan-pelan nisan tua itu. Lalu dibersihkannya lumut serta lumpur yang menempel pada nisan itu. Sehingga, terlihatlah sederetan tulisan yang berbunyi,
DISINI DI KUBURKAN MAYAT SUKMA MANGUN TAPA
Krekkk!
Nisan itu diputar-putar ke kiri dan kanan, masing-masing dua kali. Dan..., mendadak terdengar suara-suara tanah yang berjatuhan pada tanah yang mengelilingi nisan. Makin lama makin banyak, sehingga terciptalah sebuah lubang di dekat nisan itu yang menuju ke suatu ruang di bawah tanah. Tanpa pikir panjang lagi, perempuan itu membawa bayinya ke dalam.
Ruangan di bawah tanah ini terasa lembab dan pengap. Ada penerangan dari nyala obor kecil. Entah, siapa yang menyalakannya. Namun Setiasih tidak mempedulikannya. Dia memperhatikan dengan seksama keadaan di dalam ruangan ini. Di dekat nyala obor itu terlihat beberapa tetes getah kental berwarna hitam kecoklatan yang terus berkumpul pada wadah, sehingga membuat api menyala.
Tetesan getah itu sendiri berasal dari ranting pohon yang agaknya berasal dari atas permukaan tanah. Setiasih mencium tetesan getah itu, dan baru diketahuinya kalau itu tak lain dari getah damar. Kemudian kembali diperhatikannya keadaan di sekeliling. Diujung ruangan terlihat sesosok tulang-belulang mayat manusia sedang duduk bersila. Perempuan itu melangkah pelan. Dan seraya meletakkan bayinya yang sejak tadi kelihatan diam membisu, dia bersujud di depan kerangka manusia itu.
"Kisanak, maafkan kelancangan kami. Aku sendiri tak tahu, kenapa bisa berada di sini. Sepertinya, ada gambaran di mataku kalau tempat ini sama sekali tak asing. Dan, seolah-olah aku telah hafal betul. Padahal seumur hidup, aku belum pernah ke sini. Kalau benar kau telah menolong kami dari bahaya maut, maka aku mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya...," ucap Setiasih lirih.
Tak terdengar sahutan apa-apa. Perempuan itu masih bersujud. Dan anehnya, bayinya tetap diam membisu seperti patung. Tak terdengar sedikit pun suara dari mulutnya. Mendadak ruangan di tempat itu menjadi hangat. Dan perlahan-lahan bertiup angin berbau busuk yang berputar-putar dalam ruangan. Ada sesuatu yang terasa bergerak, namun perempuan itu tak berani mengangkat muka. Ketika segalanya terasa kembali seperti sediakala, barulah kepalanya berani diangkat.
Sesosok tubuh yang tinggal tulang belulang itu kini terangkat ke atas kira-kira dua jengkal lebih. Kini terlihat lebih jelas ternyata di atas tempatnya bersila, ada sebuah batu datar berbentuk segi empat yang tebal sekali. Perempuan itu melihat tulisan seperti digurat dengan tangan di sisi altar, SUKMA MANGUN TAPA! Di bawahnya terlihat sebuah tanda panah yang menuju ke bawah. Seperti ada yang menggerakkan, tangannya bergerak ke bawah seperti mengorek sesuatu. Betul saja! Bagian bawah altar, persis di tempat yang ditunjukkan anak panah itu terdapat sebuah lubang kecil. Tak begitu dalam dia mengorek, sebentar saja sudah mendapatkan sebuah kitab yang cukup tebal. Buru-buru diambil dan dibukanya kitab itu setelah kembali bersujud di hadapan tengkorak yang diyakininya sebagai Ki Sukma Mangun Tapa.
"Kitab pelajaran ilmu silat?! Apakah aku, eh kami dipercayakan untuk mempelajarinya?" desis perempuan itu dengan wajah heran bercampur takjub.
Di halaman pertama kitab itu terdapat tulisan yang langsung dibaca.
Pelajaran ilmu-ilmu sakti yang ada di dalam kitab ini adalah untuk kalian yang sengaja kubawa ke sini!
Perempuan itu merenung beberapa saat kemudian, lalu terlihat tersenyum haru. Langsung ditatapnya tengkorak Ki Sukma Mangun Tapa.
"Ki Sukma Mangun Tapa! Kami sangat berterima kasih kalau kau benar bermaksud mengangkat murid pada kami berdua. Terima kasih, Ki! Aku bersumpah akan belajar sebaik-baiknya, agar tak mengecewakanmu. Demikian pula anakku nantinya!" ucap perempuan itu.
Barulang-ulang kali Setiasih bersujud sebagai ungkapan rasa terima kasih, kemudian berpaling pada bayinya. Bocah itu tampak tersenyum sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah hendak menggapai ibunya.
"Pulang Geni, Anakku! Oh! Aku tak akan biarkan kau mati, Nak. Kau akan hidup! Kau harus hidup untuk membalaskan sakit hati kita pada penduduk Desa Weton Nyelap! Kau dengar, Nak?" ujar Setiasih.
Berkali-kali perempuan itu berkata demikian, sambil memeluk tubuh anaknya erat-erat untuk menumpahkan rasa haru. Pada saat itu, kembali bertiup hawa panas ke dalam ruangan yang berasal dari bawah batu, tempat tengkorak manusia itu berada.
Sementara, Setiasih seperti tak menyadari keadaan. Namun lama-kelamaan baru disadari kalau secara aneh ternyata seluruh tubuh anaknya yang penuh koreng bernanah dan menimbulkan bau busuk, kini. mendadak kering. Bahkan bau busuknya perlahan-lahan sirna bersamaan dengan hilangnya hawa panas yang menyelimuti ruangan itu.
"Oh, Pulang Geni! Anakku, syukurlah penyakitmu memperlihatkan tanda-tanda kesembuhan. Mudah-mudahan ada petunjuk yang bisa menyembuhkan seluruh luka yang ada di tubuhmu ini!" desis Setiasih dengan wajah suka cita.
********************
Waktu terus bergulir sesuai kodratnya. Tak terasa sudah lima belas tahun lebih waktu berjalan sejak peristiwa di hutan dekat Desa Weton Nyelap. Dan selama itu pula, para penduduk desa beranggapan kalau Setiasih beserta anaknya yang bernama Pulang Geni telah tewas dimakan binatang buas di tengah hutan. Atau juga, karena kelancangan mereka memasuki kawasan hutan yang amat angker, sehingga penunggunya marah dan menghukum hingga binasa. Buktinya, beberapa penduduk desa yang waktu itu keras kepala ingin terus mencari Setiasih serta anaknya, tak pernah kembali lagi ke desa. Ini semakin memperkuat dugaan, kalau Setiasih dan Pulang Geni pasti binasa juga. Tapi benarkah hal itu terjadi pada mereka?
Justru hari ini, ibu dan anak terlihat tengah menghadap Ki Sukma Mangun Tapa. Mereka agaknya kebingungan sehubungan dengan beberapa pelajaran terakhir ilmu sakti yang ada dalam kitab pusaka warisan itu
"Ki Sukma Mangun Tapa! Meskipun kau tiada, tapi kami telah menganggapmu sebagai guru. Dan seolah-olah, kau tengah mengawasi setiap tindakan yang kami lakukan di sini. Dan sebagai seorang guru, sudah sepatutnya kau memberi petunjuk pada setiap kesulitan yang kami alami, sehubungan pelajaran ilmu olah kanuragan yang terdapat dalam warisan kitab pusaka milikmu. Kini, kami telah mempelajari semuanya dengan sebaik-baiknya. Tapi, hanya satu yang belum kami kuasai. Yaitu, puncak dari segala kesaktian yang ada dalam kitab itu. Ini sangat membingungkan, karena kami tak mampu menangkapnya dengan baik! Eyang Guru! Berilah kami petunjuk, kalau memang merestui kami sebagai muridmu...!" kata Setiasih dengan suara lirih, namun menggema dalam ruangan.
Hening sesaat ibu dan anak itu menunggu tanggapan sambil tetap dalam keadaan menunduk. Dan mendadak terdengar angin kencang yang berputar di tempat itu. Begitu kencangnya, sehingga pakaian yang dikenakan berkibar kibar. Kemudian, terdengar suara gemuruh dan guncangan hebat yang membuat ruangan ini bergetar. Tampak batu-batu kecil runtuh dari alas.
"Oh!"
"Ibu...!" Kedua orang itu tersentak. Kejadian itu baru sekali ini dialami, selama lima belas tahun mereka berada di sini. Mereka tersentak kaget, dan buru-buru menepi mencari perlindungan. Dan tiba-tiba....
"Setiasih, dan kau Pulang Geni. Kalian memang telah kurestui menjadi muridku. Bahkan, akulah yang menarik kalian ke sini lima betas tahun lalu. Dan aku pula yang selalu mengawasi kalian selama ini. Pelajaran terakhir kitab pusakaku itu memang tak akan berhasil sebelum kalian memenuhi persyaratannya...," terdengar suara yang menggema memenuhi ruangan ini.
"Siapa? Siapakah kau...?!" sentak Setiasih, sambil memandang ke sekeliling ruangan, namun tak terlihat apapun. Keduanya memandang lekat-lekat ke arah tengkorak Ki Sukma Mangun Tapa. Namun tak ada yang berubah. Tengkorak itu masih tetap dalam keadaannya semula.
"Apakah kau Eyang Sukma Mangun Tapa?" tanya Pulang Geni dengan nada setengah yakin.
"Ambillah hati dan jantung perempuan yang baru melahirkan. Lalu, bersama bayinya bawa ke sini..." Kembali terdengar suara, namun lebih sayup-sayup seperti orang berteriak di kejauhan.
"Apa?!"
Ibu danak anak itu seperti tersentak mendengar kata-kata barusan. Namun bersamaan dengan itu, guncangan yang sejak tadi melanda ruangan itu berhenti. Ruangan kembali sunyi. Hanya tercium bau busuk yang semakin menyengat dari kolam yang berada dj ruangan ini.
"Lihat, Bu! Air kolam itu berubah merah kehitam-hitaman!" tunjuk Pulang Geni.
Perempuan itu mengangguk-angguk kecil, kemudian kembali berpaling pada tengkorak di hadapannya. "Eyang.... Kalau memang itu sudah keinginanmu, aku akan berangkat sekarang juga...," lirih suara Setiasih sambil menundukkan kepala.
Setelah melakukan sikap khidmat beberapa saat, Setiasih berpaling pada anaknya. "Pulang Geni. Tunggulah di sini sebentar. Ibu akan mencari persyaratan yang harus dipenuhi dulu," ujar Setiasih.
Pulang Geni menganggukkan kepala. Dan tak lama kemudian perempuan itu beranjak keluar lewat tangga batu yang menghubungkannya dengan nisan tua diatas permukaan tanah.
********************
Malam belum lagi larut. Namun karena hujan rintik-rintik masih turun, membuat sebagian penduduk Desa Weton Nyelap enggan keluar rumah. Sehingga, tak heran bila desa itu terlihat sepi. Bahkan hanya satu dua rumah saja yang di depan rumahnya dipasang obor sebagai penerangan.
Sementara, ternyata ada juga sosok tubuh yang masih berkeliaran. Dia adalah seorang lelaki berusia lebih kurang dua puluh lima tahun yang tengah menelusuri jalan desa itu. Langkahnya lebar-lebar sambil melompat-lompat kecil menghindari genangan air hujan yang menciprati celananya. Tubuhnya dibalut kain sarung untuk sekadar pengusir hawa dingin. Sementara tangannya yang sebelah lagi memegangi daun pisang, untuk melindunginya dari curah air hujan.
"Huh! Ada-ada saja istriku! Malam-malam begini melahirkan. Bukannya besok saja. Lagi pula, mana kutahu di mana rumah dukun beranak itu. Semua penduduk saat ini pasti sedang tertidur lelap. Apa musti kuketuk pintu rumah mereka satu persatu, untuk menanyakan rumah Nyai Kartinah?" gerutu laki-laki itu sambil menunjukkan wajah kesal.
Namun mendadak dia terkejut, ketika melihat sesosok tubuh di depannya yang tengah berjalan tenang. Orang itu bertubuh ramping, mengenakan kerudung kepala.
"Eh, siapa itu? Kelihatannya seperti perempuan. Jangan-jangan, Kuntilanak. Mana Jumat Kliwon lagi! Tapi..., ah! Kedua kakinya menapak di tanah. Pasti dia manusia. Lebih baik, aku bertanya padanya. Siapa tahu, perempuan ini bisa membantu menunjukkan rumah dukun beranak itu...," kata laki-laki itu dalam hati.
Maka dengan memberanikan diri, laki-laki itu mendekat.
"Maaf, Nisanak. Apakah rumah Nyai Kartinah dukun beranak dari Desa Pace Asak masih jauh dari sini?" tegur laki-laki itu sopan.
"Hm.... Ada keperluan apa kau menanyakannya?" sahut perempuan berkerudung itu balik bertanya.
Laki-laki yang sebenarnya bernama Atmojo itu tak langsung menjawab. Lewat cahaya kilatan petir yang sekilas seperti membelah angkasa, paras perempuan itu dapat terlihat meskipun tak lama. Masih muda dan..., cantik sekali!
Tanpa sadar, Atmojo tersentak kaget dan bulu kuduknya merinding. Jantungnya berdetak lebih kencang karena dugaan-dugaan buruk mulai merasuki benaknya. Jangan-jangan, dia kuntilanak yang sedang keluyuran mencari mangsa. Tapi saat ini, Atmojo telah berada persis di dekatnya. Kalaupun mau lari, barangkali tak akan sempat lagi.
"Is..., istriku akan melahirkan. Dan aku..., aku bermaksud memanggilnya...," sahut Atmojo tergagap.
"Kebetulan sekali! Akulah Nyai Kartinah. Dimana tempat tinggalmu?"
"Desa Weton Nyelap...."
"Hm ... Sungguh suatu kebetulan, karena aku pun akan ke sana untuk menolong saudara misanku yang katanya akan melahirkan besok. Mungkin, aku akan menginap barang sehari atau dua hari untuk menjaganya. Tapi sebelum itu, rasanya aku masih punya waktu untuk menolong istrimu...," kata perempuan cantik yang mengaku bernama Nyai Kartinah.
"Oh, syukurlah. Terima kasih, Nyai. Silakan!" sahut Atmojo girang.
Mereka cepat meninggalkan tempat itu. Buat Atmojo memang amat kebetulan, karena tak usah bersusah payah menuju Desa Pace Asak lagi. Dengan wajah suka cita Atmojo mengantarkan Nyai Kartinah ke dalam satu ruangan yang tak terlalu luas. Di atas tempat tidur, tampak tergolek sesosok perempuan yang tengah ditunggui seorang perempuan tua. Perempuan di atas tempat tidur itu menggeliat-geliat sambil mengeluh kesakitan.
"Silakan kalian keluar dan masak air yang banyak. Istrimu agaknya sulit melahirkan!" ujar Nyai Kartinah dingin.
"Eh! Biarkan aku berada disini Nyai. Dia anakku satu-satunya. Dan ini, kelahiran yang pertama. Dia tentu sangat khawatir bila tak ada orang dekat yang dikenalnya, saat-saat melahirkan nanti," sahut perempuan tua yang berada di dekat wanita yang akan melahirkan.
"Hm, tak perlu. Biarkan aku sendiri saja di kamar ini. Dia malah akan bersikap manja, kalau ada Nyai. Dan itu bisa tambah menyulitkan keluarnya si jabang bayi...."
Mendengar kata kata tak bersahabat dari Nyai Kartinah, mau tak mau perempuan tua itu terpaksa mengikutinya, meskipun hatinya penasaran. Mereka memang tak perlu masak air lagi, karena memang telah disiapkan sejak dukun beranak itu belum datang.
"Dukun beranak itu aneh!" desis perempuan tua itu ketika menghenyakkan pantat di dipan yang terdapat di ruang tengah.
"Kenapa, Mak?" tanya Atmojo.
"Orang mau lihat, kok tak boleh! Sikapnya pun dingin, serta tak bersahabat. Padahal kata orang, Nyai Kartinah ramah, selalu murah senyum, dan...."
"Dan kenapa, Mak!"
"Perempuan itu terlalu cantik untuk menjadi seorang dukun beranak. Dia sama sekali tak pantas!" dengus perempuan tua itu.
"Ah! Itu bukan alasan, Mak. Bisa saja dia mewarisi kepintaran dari orang tuanya. Dan...."
"Maksudku, kata orang-orang Nyai Kartinah itu sudah berusia lanjut. Bukan berusia muda seperti dia! Jo! Apa kau tak salah jalan ke rumah Nyai Kartinah dan malah main gila dengan perempuan itu?" potong perempuan tua itu dengan nada kesal, sehingga membuat kata kata Atmojo terputus.
"Hush! Jangan sembarangan, Mak! Mana mungkin aku melakukan perbuatan terkutuk itu. Aku mencintai Sukesih. Dan sungguh gila kalau aku masih memikirkan perempuan lain, selagi dia berjuang melahirkan anak pertamaku!" sentak Atmojo menepis tuduhan mertuanya.
"Ahhh! Jadi tak enak hatiku. Aku betul-belul curiga dengan perempuan itu!" desah perempuan tua itu sambil menggelengkan kepala. Lalu dia bangkit dari duduknya, untuk berlalu ke dalam. Tapi, Atmojo langsung menangkap tangannya sambil menggeleng lemah.
"Jangan, Mak! Biarkan saja. Mungkin ada baiknya kita tak melihat ke dalam. Aku pun tak berani melihatnya!"
"Kau ini apa?! Seorang suami seharusnya berada di samping istrinya pada saat melahirkan. Dan kau malah takut tak karuan. Bagaimana sih, kamu ini?!" sentak mertuanya.
Atmojo diam saja mendengar bentakan mertuanya. Dia memang tak berani masuk ke dalam, karena tak tahan mendengar keluhan-keluhan istrinya sejak tadi.
"Sudah, lepaskan tanganmu! Pokoknya, aku mau masuk ke dalam! Dia anakku. Dan dia pasti membutuhkan aku, pada saat-saat begini!" lanjut perempuan tua itu, dengan nada kesal.
"Jangan, Mak Lebih baik kita menunggu saja. Barangkali sebentar lagi bayi itu akan lahir!" cegah Atmojo.
Namun, perempuan tua itu agaknya tak bisa ditahan lagi. Meskipun Atmojo berkeras menahannya, namun dia lebih keras lagi untuk masuk ke dalam. Dan pada saat itulah terdengar tangisan bayi dari dalam.
"Oaaa...! Oaaa...!"
Mereka tersentak dan saling berpandangan untuk beberapa saat. Tapi perempuan tua itu lebih cepat menerobos masuk ke dalam kamar dengan wajah cerah. "Cucuku! Oh, Cucuku...!" teriak perempuan tua itu girang. Namun mendadak...
"Aaa...!" Terdengar jeritan menyayat yang berasal dari kamar istri Atmojo yang tengah melahirkan.
"Astaga!" Atmojo kontan tersentak kaget. Bersamaan dengan itu, mendadak tubuh mertuanya terlempar keluar dari kamar dalam keadaan menyedihkan dan jatuh keras di tanah.
Kepala perempuan tua itu remuk dan tulang dadanya patah. Nyawanya melayang sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Dengan perasaan gusar, Atmojo menerobos masuk ke dalam.
Laki-laki itu terkejut, begitu melihat apa yang terjadi di dalam kamar. Tampak Nyai Kartinah menggendong bayi dengan sebelah langan, sementara istrinya tergolek di tempat tidur dalam keadaan berlumur darah. Dada istrinya bolong. Tampak jantung dan hatjnya hilang!
Atmojo langsung berpikir cepat, begitu melihat darah menetes dari bungkusan kain panjang yang dipegang perempuan berwajah cantik yang mengaku bernama Nyai Kartinah.
"Keparat! Apa yang kau lakukan terhadap istriku?!" Atmojo kalap. Langsung goloknya dicabut dan diterjangnya perempuan itu
Hiyaaa...!"
Atmojo langsung membabatkan goloknya ke arah leher. Tapi Nyai Kartinah cepat sekali mengegos ke kiri, seraya menyodokkan tangan kanannya ke perut Atmojo. Begitu cepat gerakannya sehingga....
Dukkk!
"Aaakh...!"
Atmojo menjerit keras begitu satu pukulan telak mendarat di perutnya. Bahkan tubuhnya kontan melayang keluar kamar, langsung membentur dinding! Atmojo merasakan kepalanya jadi pening dan isi perutnya bagai diaduk-aduk tak karuan. Dengan amarah yang meluap-luap, laki-laki itu tak mempedulikan rasa sakit yang diderita. Cepat dia bangkit, dan mengangkat sebuah kursi kayu jati untuk dihantamkan pada perempuan itu.
"Kuntilanak keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!"
Nyai Kartinah tentu saja tak sudi kepalanya dihantam kursi dari kayu jati yang dilakukan Atmojo. Dengan gerakan tangkas sekali, perempuan itu merunduk, dan langsung menggerakkan tangannya untuk menangkap kursi yang dihantamkan Atmojo.
Tap!
Begitu kursi itu tertangkap, Nyai Kartinah langsung melepaskan tendangan yang begitu keras ke perut.
Duk!
"Hegkh!" Atmojo memekik kecil. Tubuhnya terjajar beberapa tindak. Dan kesempatan ini digunakan Nyai Kartinah untuk melepaskan dua hantaman ke kepala dan dada.
Dugk! Prak!
"Aaa...!" Atmojo kontan menjerit tinggi begitu kepala dan dadanya hancur terhantam keprukan tangan Nyai Kartinah. Tubuhnya ambruk dan langsung menggelepar-gelepar di tanah. Lalu, tubuhnya diam tak bergerak lagi. Mati bersimbah darah.
Sementara, perempuan itu hanya melirik seki-las seraya melemparkan kursi yang telah direbut dari tangan Atmojo. Kemudian dengan ringan tubuhnya melesat dari tempat itu menerobos keluar lewat jendela.
"Hi hi hi...!" Nyai Kartinah terus melesat memperdengarkan suara tawa yang nyaring mendirikan bulu roma.
Dengan kecepatan luar biasa, dia terus menembus kegelapan malam menuju tengah hutan yang berbatasan dengan ujung desa itu. Sebentar saja perempuan itu telah berada di dekat sebuah telaga yang airnya hitam dan berbau amat busuk. Di dekatnya terdapat sebuah lubang yang menuju ke bawah. Tanpa berpikir panjang lagi dia terus menuruni anak tangga, masuk ke dalam goa.
"Bagaimana, Bu? Apakah Ibu sudah mendapatkan persyaratan itu?" tanya seorang pemuda tanggung berwajah tampan. Langsung didatanginya perempuan itu dengan wajah gembira. Tampak perempuan yang mengaku Nyai Kartinah dan sebenarnya Setiasih itu menggendong seorang bayi serta kantung yang masih meneteskan darah.
"Mari kita menghadap Eyang Guru," ajak Setiasih setelah mengangguk.
Setiasih dan pemuda yang bernama Pulang Geni melangkah pelan mendekati altar yang diatasnya terdapat tengkorak manusia.
"Eyang, kami telah memenuhi apa yang kau perintahkan. Sekarang apa yang harus kami lakukan?" Tanya Setiasih dengan sikap hormat sambil menundukkan kepala.
Tak terdengar sahutan. Hanya udara di tempat ini semakin panas dan angin kencang bertiup. Lalu, ruangan seperti dilanda gempa yang membuat dinding-dinding bergetar.
"Bagus! Letakkan hati yang kau bawa itu ke dada tengkorakku. Kemudian makanlah jantung itu olehmu. Sedangkan bayi itu harus dilahap anakmu! Dan setelah itu, kalian berdua harus menyemplung ke dalam kolam itu!" sayup-sayup kembali terdengar sebuah suara.
"Ba..., baik, Eyang!" Dengan patuh mereka mengikuti apa yang di-katakan suara gaib itu. Namun sungguh di luar dugaan, baru saja mereka hendak menyemplung ke dalam kolam, mendadak melesat dua larik sinar merah jambu yang berasal dari tengkorak Ki Sukma Mangun Tapa. Sinar yang agak besar menghantam Pulang Geni. Dan yang lebih kecil menimpa tubuh Setiasih.
Blas! Srat!
"Aaakh...!"
"Ugkh...!" Tubuh mereka kontan terasa kejang disengat ribuan kalajengking. Untung saja mereka tak sampai terjengkang jatuh.
"Pulang Geni, cepat! Sebentar lagi ruangan ini akan roboh!" teriak Setiasih sambil menarik lengan anaknya untuk melompat ke dalam kolam itu.
Tanpa berpikir panjang lagi, mereka segera menyeburkan diri ke dalam kolam berwarna merah kehitaman dan berbau busuk itu. Baru saja mereka menyebur ke dalamnya, sekonyong-konyong dinding goa itu runtuh dan bagian atasnya ambruk, sehingga menimpa telaga itu. Sementara, ibu dan anak itu terus menyelam hingga ke dasarnya. Mereka terus berenang menelusuri dasar kolam yang berupa lorong bawah tanah. Rupanya kolam itu adalah bagian dari Telaga Iblis. Begitu ibu dan anak itu telah menembus lorong itu, mereka melihat dasar kolam menjadi luas sekali. Maka mereka segera berenang menuju ke permukaan air. Benar saja, ibu dan anak itu ternyata telah berada di Telaga Iblis. Dengan sisa-sisa napas yang ada, mereka terus berenang ke tepi telaga.
"Kalian berdua telah mewarisi kesaktian yang kumiliki, maka pergilah dari sini. Tak seorang pun akan mewarisi kesaktianku lagi setelah kalian karena tempat ini telah terkubur di dasar Telaga Iblis. Pergilah kalian sekarang!" sayup-sayup terdengar suara, ketika Setiasih dan Pulang Geni telah tiba di tepinya.
"Ba..., baik, Eyang," sahut keduanya dengan nada lesu, karena hampir kehabisan napas.
TIGA
Seorang gadis cantik tengah berlari-lari kecil menemui ibunya di belakang. Senyumnya terkembang dengan kedua belah tangan disembunyikan di balik tubuhnya. Ibunya melirik sekilas sambil geleng-geleng kepala, lalu menghentikan pekerjaannya.
"Belakangan ini Ibu lihat kau selalu gembira, Surtiningsih. Apa yang menyebabkan hatimu begitu gembira?" tanya wanita setengah baya itu, menatap anak gadisnya yang kini telah tumbuh menjadi perawan bertubuh sintal dan berwajah manis.
"Coba Ibu tebak?" gadis cantik yang bernama Surtiningsih malah memberi pertanyaan pada ibunya.
"Mana bisa Ibu menebak. Tapi...." ibunya tersenyum-senyum dikulum.
"Apa?!" tantang Surtiningsih.
Perempuan setengah baya itu masih tersenyum-senyum kecil. "Biasanya kalau anak perawan suka cengar-cengir sendiri dan rajin bersolek, tentu tak lain karena...."
"Karena apa?" potong Surtiningsih dengan suara mulai meninggi. Wajahnya tampak jengah menahan malu.
"Karena memiliki pujaan hati!" tebak wanita setengah baya itu yang dikenal bernama Nyi Suparmi.
Gadis itu seketika menundukkan wajah dengan tersipu-sipu malu. Nyi Suparmi mendekat dan mencoba meyakinkan. "Tadi malam kau pulang agak malam. Dan katanya diantar oleh seorang pemuda. Apakah itu kekasihmu?" tanya Nyi Suparmi.
Surtiningsih mengangguk sambil tersenyum kecil.
"Siapa namanya. Dan, berasal dan desa mana?"
"Eh! Aku belum sempat kenal namanya, Bu Tak sempat...," sahut Surtiningsih terheran-heran sendiri.
Mendengar itu, tentu Nyi Suparmi semakin keheranan. Ditatap anaknya itu dengan wajah penuh tanda tanya. "Bagaimana mungkin?"
"Ah! Aku lupa, Bu. Tapi hari ini pasti akan ku-tanyakan. Dia berjanji akan menemuiku di luar desa!" sahut Surtiningsih dengan wajah girang.
"Bawalah dia nanti ke sini," ujar Nyi Suparmi.
"Tentu, Bu. Surtiningsih berangkat dulu sekarang!" pamit gadis itu sambil berbalik.
"Eh, tunggu dulu! Kau sudah pamit pada ayahmu?"
Surtiningsih menoleh sekilas sambil mengangguk cepat, kemudian kembali berlalu. Perempuan setengah baya itu hanya menggeleng kecil sambil tersenyum-senyum.
********************
Surtingsih tak langsung ke tempat tujuan. Gadis itu rupanya lebih memilih mampir ke rumah kawan akrabnya, yang bernama Prapti. Dan baru saja kakinya menginjak halaman rumah Prapti, di sana sudah banyak orang ramai berkumpul. Hatinya tercekat dan bertanya-tanya. Apa yang telah terjadi di rumah itu? Bergegas Surtiningsih menghampiri seorang laki-laki setengah baya yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Langsung ditanyakan, kenapa di rumah Prapti terjadi keramaian seperti itu.
"Prapti meninggal..." jelas laki-laki setengah baya itu.
"Apa! Meninggal? Karena apa?!" Bukan main kagetnya Surtiningsih mendengar berita itu. Langsung diterobosnya orang-orang yang berkumpul. Dia langsung masuk ke dalam, menemui kedua orang tua sahabatnya itu.
Apa yang dilihat Surtiningsih memang tak salah. Tampak Prapti terbujur kaku di sebuah dipan beralaskan tikar pandan. Sekujur tubuhnya penuh bisul-bisul bernanah. Sebagian telah pecah, membasahi kain putih yang menutupi tubuhnya. Bahkan bau busuk yang amat menusuk menyergap di tempat ini. Beberapa orang terlihat mual-mual. Malah ada yang muntah muntah, sampai jatuh pingsan. Tentu saja karena tak tahan oleh bau busuk yang luar biasa.
"Ibu tak tahu sebabnya. Tapi mulanya dia sakit hati karena kekasihnya ternyata main gila dengan perempuan lain. Padahal, laki-laki itu telah berjanji, sehingga Prapti rela menyerahkan segalanya. Karena pikirnya tak lain lagi kekasihnya akan mengawininya," jelas perempuan berusia empat puluh dua tahun. Dan dia adalah ibu dari Prapti yang meninggal dunia itu.
Surtiningsih termenung sesaat mendengar cerita itu. Kekasih? Prapti tak pernah menceritakan padanya, siapa sebenarnya yang menjadi kekasihnya. Dan Surtiningsih sendiri belum pernah bertemu kekasih Prapti. Tapi kenapa bisa jadi begini? Apa karena Prapti punya penyakit yang menjijikkan itu, sehingga kekasihnya tak sudi lagi padanya? Tapi sejak kecil, dia tahu betul kalau Prapti belum pernah menderita penyakit seperti ini.
********************
Surtiningsih memang tak langsung pulang. Gadis itu harus memenuhi janjinya terhadap seseorang di ujung desa ini. Dan dengan setengah berlari di hampirinya seorang pemuda berwajah tampan yang telah menunggu lama di depan sebuah pondok kecil yang biasa digunakan para petani untuk menunggu sawahnya. Pemuda berambut sebahu itu tampak duduk dengan gelisah, di bawah siraman matahari yang menerobos lewata atap pondok yang sudah rusak. Kelihatan pondok itu sudah sekian lama tak dipakai lagi.
"Hm Mengapa lama sekali kau ke sini, Surti?" sapa pemuda itu ketika Surtiningsih telah mendekat.
"Aku mampir dulu di rumah kawan, Kang. Dia..., dia..., meninggal dunia tadi," sahut gadis itu lirih, seraya menempatkan pantat di sisi pemuda itu.
"Oh! Aku turut berduka cita atas kemalangan yang menimpa kawanmu itu!" seru si pemuda dengan wajah terkejut.
"Oh, ya. Aku tak bisa lama-lama berada di sini, Kang. Kedua orangtuaku perlu diberi tahu tentang meninggalnya Prapti," kata Surtiningsih, memberi tahu.
"Sabarlah. Sebentar lagi, Surti. Aku masih rindu denganmu. Mari kita berbincang-bincang di dalam," ajak pemuda itu. Dirangkulnya pinggang Surtiningsih dan ditatapnya dalam-dalam.
Gadis itu juga balas memandang, Dan seperti mendapat kekuatan gaib, ketika pemuda itu menganggukkan kepala sambil tersenyum manis. Surtiningsih tak kuasa menolak. Dia pasrah saja saat pemuda itu membawanya ke dalam, sambil memeluknya.
Di dalam gubuk kecil itu tak terdapat apa-apa, selain dipan kecil yang sudah reot. Sebelum dia sendiri duduk, pemuda itu juga mendudukkan Surtiningsih didipan yang beralaskan tikar pandan. Dibelai-belainya rambut gadis itu perlahan-lahan.
Sementara Surtiningsih diam saja sambil tertunduk malu. Dan tangan pemuda itu agaknya tak diam di situ. Dengan nakalnya, tangan pemuda itu terus menjelajahi daerah-daerah yang paling peka bagi seorang gadis. Surtiningsih tersentak kaget dan berusaha berontak. Namun pemuda itu malah memeluk tubuhnya makin erat. Kembali Surtiningsih seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Malah ketika pakaiannya dibuka perlahan-lahan, dia hanya menatapi pemuda itu dengan sinar mata kosong.
"Kang! Ja..., jangan...!" hanya itu yang keluar dari bibir Surtiningsih.
Namun penolakan itu malah membuat pemuda itu makin liar saja. Bahkan tangannya seperti tak mengenal lelah menjelajahi dua bukit ranum miliki Surtiningsih yang berbentuk indah menantang. Sementara Surtiningsih juga seperti lupa segalanya. Pelukannya pada pemuda itu makin dipererat. Desahan-desahan lirih makin sering terdengar, ditingkahi deru napas menggebu.
"Jangan takut, Surti. Di sini sepi. Sejak tadi, tak seorang pun kulihat lewat sini," bujuk pemuda itu lirih.
Dan belum juga Surtiningsih bersuara lagi, pemuda itu langsung melumat bibirnya dengan gemas. Surtiningsih gelagapan sendiri. Gadis desa yang baru menginjak usia dewasa itu sama sekali belum pernah merasakan pengalaman yang men-debarkan seperti ini. Sehingga tak heran kalau tubuhnya gemetar panas dingin. Tapi pemuda itu terus merayu dan mencumbunya tanpa henti. Sehingga, gadis itu seperti tak kuasa menolak. Dan ketika pemuda itu telah membuka pakaiannya sendiri, Surtiningsih malah seperti menunggu tak sabar.
"Kang...," desah gadis itu lirih, seraya kembali memeluk pemuda itu.
Dan kini yang terdengar hanya napas bagai kuda pacu saja dalam pondok itu. Kedua insan itu seperti sudah mabuk dalam bahtera nafsu.
********************
Walaupun sudah berpakaian, Surtiningsih merasakan bergetar dan panas dingin. Dia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Entah apa, dia sendiri tidak tahu.
"Kang...," panggil gadis itu.
"Hm..." pemuda itu hanya bergumam.
"Aku..., aku takut..."
"Kenapa takut?"
"Kau..., kau berjanji akan menikahiku, bukan?"
"Tentu saja. Kenapa tidak...!"
"Aku tak ingin nasibku seperti kawanku itu...."
Pemuda itu hanya tersenyum. Kemudian diciumnya gadis itu sesaat. Lalu, punggungnya ditepuk-tepuk.
"Apakah kau tak percaya kata kataku?" tanya pemuda itu.
"Aku percaya...."
"Nah! Kenapa diragukan lagi? Sekarang kau ingin pulang?"
Surtiningsih mengganggukkan kepala. Kemudian ditatapnya pemuda itu dengan sorot mata penuh harap.
"Ayah dan ibu ingin bertemu denganmu. Mau kah kau bertemu mereka sekarang?" kata Sur-tiningsih, seraya bangkit dari duduknya.
"Aku senang sekali mendengarnya. Sampaikan salam hormatku pada beliau. Tapi untuk saat sekarang, aku belum bisa. Ada sesuatu yang harus kukerjakan dirumah. Kapan-kapan, aku pasti mampir. Tak apa-apa kan?" kilah pemuda itu, juga bangkit dari duduknya.
Surtiningsih menggeleng lemah. Ada sedikit rasa kecewa dalam hatinya mendengar penolakan itu. Tapi dia tak kuasa memaksa. Padahal keinginannya untuk memperkenalkan pemuda itu pada orangtuanya menggebu-gebu sekali. Dia sendiri tidak tahu, kenapa sampai terlalu percaya pada pemuda itu. Sepertinya, ada sesuatu kekuatan yang tak bisa ditolaknya. Dan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, gadis itu menurut saja ketika pemuda itu membawanya ke depan pondok
"Aku pulang dulu, Kang," pamit Surtiningsih.
Pemuda itu hanya tersenyum manis sambil mengangguk pelan. Dan sambil melangkah pelan, sesekali Surtiningsih menoleh ke arah pondok itu. Tampak pemuda itu melambai sambil tersenyum manis.
********************
"Surti! Kenapa mukamu pucat? Kau sakit?" tanya Nyi Suparmi heran melihat wajah anaknya berkerut menahan sakit sehabis bangun tidur.
"Aduh .., aduuuh...!" keluh Surtiningsih.
"Surti! Kenapa kau, Nak? Kenapa? Kang! Anakmu ini kenapa?! Dia..., dia...!"
Perempuan setengah baya itu tampak bingung sambil berteriak-teriak memilukan. Sebentar saja seorang laki-laki setengah baya masuk ke dalam kamar. Seketika dia terkejut memandang Surtiningsih yang tergeletak dengan wajah pucat dan sekujur tubuh terasa dingin bagai disiram es. Tubuh gadis itu bergetar hebat dan keringat sebesar butiran butiran jagung mengucur dari pori-porinya.
"Astaga! Surti! Kenapa kau, Nak?! Dari mana kau kemarin!" sentak laki-laki yang tak lain ayah Surtiningsih. Dia bernama Ki Riman.
"Ayah.... Ibu..., panas..., dingin. Aduuuh, sa..., sakit..."
"Surti, kenapa kau? Kenapa?! Kang! Jangan diam saja. Ayo cepat panggil dukun! Cepat, Pak" teriak Nyi Suparmi dengan wajah gelisah.
"Baik, baik..," Ki Riman langsung melompat keluar dari kamar. Dia segera berlari memanggil dukun yang hanya sepuluh tombak dari rumahnya.
Sebentar saja Ki Riman sudah kembali membawa seorang dukun yang tersohor di Desa Weton Nyelap ini. Namun begitu tiba di depan rumah, terdengar jerit tangis istrinya yang memilukan. Laki-laki setengah baya itu cepat menerobos ke dalam. Dan ternyata anaknya sudah terbujur kaku dengan mata terpejam. Jantungnya telah berhenti berdetak. Demikian pula nadinya telah berhenti berdenyut. Nyi Suparmi langsung memeluk suaminya begitu tiba di dalam kamar.
"Anak kita, Kang, Anak kita...!" teriak Nyi Suparmi dengan suara memilukan.
Laki-laki itu tak tahu, apa yang harus dilakukannya. Dia hanya membelai belai kepala istrinya dan berusaha menenangkan.
"Sudahlah, Bu. Mungkin sudah ditakdirkan kalau ajal anak kita telah tiba hari ini...."
"Kematiannya tak wajar!" desis dukun yang dibawa Ki Riman setelah memeriksa tubuh gadis itu.
"Apa?!" sentak kedua orang suami istri itu heran.
"Coba lihat! Sekujur tubuhnya timbul bercak-bercak merah yang cepat sekali menjalar. Lihat! Bercak merah di lehernya telah menjadi sebuah bisul yang terus membesar!" tunjuk dukun itu dengan wajah kaget.
Apa yang dikatakan dukun itu memang benar. Dan tentu saja ini membuat mereka kaget. Apalagi ketika bisul itu pecah dan menyebarkan bau busuk yang sangat menusuk!
"Celaka! Penyakit yang dideritanya mirip Prapti!" desis dukun itu kembali.
"Prapti kawannya?" tanya Ki Riman, ingin memastikan.
Dukun itu mengangguk "Baru saja tadi Prapti meninggal. Dan...."
Kedua suami istri itu terkejut dan mengira bahwa penyakit anaknya berasal dari Prapti karena ketularan.
Dan memang tak ada yang tahu kalau kejadian yang sama telah menimpa perawan-perawan lain di desa Weton Nyelap. Satu persatu mereka tewas dengan didahului terserang penyakit aneh, berupa bercak-bercak bernanah yang menyebarkan bau busuk!
Tentu saja kejadian itu membuat kalut seisi desa. Sebab, ternyata korban-korban yang tewas semakin bertambah dari hari ke hari. Bahkan kali ini tidak hanya perawan atau wanita bersuami, tapi juga pemuda-pemuda dan laki-laki penduduk desa ini.
********************
Ki Gendi berjalan mondar mandir di teras depan rumahnya. Sesekali matanya melirik ke depan, seperti hendak menembus kegelapan malam. Kemudian ketika mengetahui tak ada seorang pun di sana, Kepala Desa Weton Nyelap itu terhenyak kembali di kursi. Lalu, dihisapnya lintingan rokok bakaunya dalam-dalam. Dan mendadak laki-laki setegah baya itu tersentak kaget, ketika seseorang berlari tergopoh gopoh dari arah luar.
"Wongso! Sudah kau temukan dia?" tanya Gendi, langsung bangkit dari duduknya.
Seorang laki-laki bertubuh kurus dengan kumis jarang tak beraturan, menganggukkan kepala.
"Di mana?" tanya kepala desa itu.
"Di rumah Ki Sumarja."
"Gila! Tua bangka itu ternyata masih doyan perempuan juga!" desis Ki Gendi.
"Kita akan menggerebeknya sekarang, Ki?"
"Apa kau yakin kalau perempuan itu yang menyebabkan malapetaka di desa kita ini?"
Wongso mengangguk cepat "Semua orang tahu kalau dia memang perempuan nakal dan penggoda suami orang...."
"Hm.... Alasan lainnya?"
"Semua orang juga tahu, kalau habis bercinta dengannya maka laki-laki itu terserang penyakit yang menjijikkan. Lalu, tak berapa lama laki-laki itu tewas. Dan dia tak sendiri, Ki. Tapi berdua dengan seorang pemuda tanggung berwajah tampan. Pada mulanya, tak ada seorang pun yang mengenalnya. Tapi seorang penduduk desa telah mengenali wajahnya, saat bersama seorang gadis penduduk desa ini," jelas Wongso.
"Hm... Kalau begitu, mari kita berangkat..Bawa beberapa orang tangguh untuk berjaga-jaga, jangan sampai mereka melawan!"
"Baik, Ki!"
Kedua orang itu segera melangkah keluar halaman rumah kepala desa Ini. Tak berapa lama mereka berjalan. Ki Gendi langsung berbelok menuju tempat yang dimaksud. Sedangkan Wongso berjalan mendatangi beberapa orang desa yang selama ini dikenal sebagai jago-jago silat tangguh.
"Sumarja! Buka pintumu, cepat!" bentak Ki Gendi sambil mengetuk sebuah pintu rumah ketika telah tiba di rumah Ki Sumarja.
"Siapa?!" Terdengar sahutan dari dalam. Tapi bukan hanya itu yang terdengar. Ada pula suara ribut-ribut kecil seperti orang yang kebingungan.
"Aku, Ki Gendi..!" jawab Ki Gendi dari luar.
Tak berapa lama terdengar suara langkah terseret. Dan begitu pintu terbuka, muncul sese-orang dari dalam. Rambutnya kusut dan mukanya terlihat pucat. Pakaiannya pun berkesan acak-acakan. Laki-laki kurus dengan rambut sebagian besar telah ubanan itu tersenyum kecil ketika melihat orang yang datang.
"Eh, Ki Gendi. Ada apa malam-malam begini ke sini, Ki?" sapa orang yang dipanggil Ki Sumarja dengan suara serak bercampur sedikit gemetar.
"Mana perempuan itu?" tanya Ki Gendi tanpa tendeng aling-aling.
"Perempuan? Perempuan mana?"
"Jangan berpura-pura, Sumarja!" bentak laki-laki berkumis tebal dengan tubuh besar, yang juga Kepala desa Weton Nyelap ini.
"Eh! Aku tak mengerti maksudmu...?!" Ki Sumarja berusaha menutupi apa yang terjadi di rumahnya. Namun, mendadak seorang perempuan muda muncul dari dalam. Dan bibirnya langsung melepaskan senyum kecil pada Kepala Desa Weton Nyelap itu.
"Akukah yang kau maksud?" kata wanita itu dengan suara mendesah dan senyum genit.
Ki Gendi terkejut begitu melihat wajah perempuan itu. Mana mungkin wajah yang selama ini selalu terbayang dalam ingatannya bisa terlupakan. Tapi kenangan itu telah berlalu lima belas tahun silam. Seharusnya, dia sudah sedikit berumur. Tapi yang berdiri di hadapannya, seperti gadis berusia belasan tahun!
"Kau... Setiasih...?"
"Jangan bergurau, Ki Gendi. Mana mungkin dia Setiasih. Kalaupun betul, tentu tak semuda ini. Setiasih telah mati lima belas tahun lalu!" sahut Ki Sumarja sambil tertawa kecil.
Ki Gendi cepat tersadar mendengar tawa Sumarja. Wajahnya kembali berubah kelam. "Setiasih atau bukan kau harus ikut untuk menerima hukuman!" tegas Ki Gendi.
"Tunggu dulu! Ada persoalan apa ini?!" selak Ki Sumarja.
Ki Gendi mendelik tajam pada laki-laki berusia kurang dari lima puluh tahun itu. "Tak tahukah, kalau jiwamu kini dalam bahaya!" tanya kepala desa itu dingin. "Kau telah melakukan hubungan badan dengannya, bukan?"
Ki Sumarja tak menyahut.
"Nyawamu tinggal sesaat lagi, Sumarja!" lanjut Ki Gendi.
"Omong kosong!" teriak Ki Sumarja ketika tubuhnya terasa mulai dingin.
"Kau boleh telan ucapanmu itu. Tapi dia berkata benar. Kau akan mampus sesaat lagi!" timpal satu suara yang tiba-tiba saja menggema di tempat itu.
Serentak ketiganya berpaling ke arah sumber suara. Kini di depan pintu rumah Ki Sumarja berdiri seorang laki-laki bertubuh sedang. Wajahnya seram dengan kumis tebal. Tangannya membawa sebilah pedang besar. Bola matanya tajam menusuk ketika menatap ke arah perempuan yang berada di samping Ki Sumarja.
"Perempuan keparat! Kau akan mampus di tanganku!" dengus laki-laki itu sambil mendengus dingin.
"Heh?!"
Sring!
Ki Sumarja dan Ki Gendi terkejut mendengar kata-kata orang yang baru datang itu. Tapi lebih terkejut lagi ketika mendadak laki-laki itu mengibaskan pedangnya yang tajam berkilat ke arah perempuan di samping Ki Sumarja.
EMPAT
"Yeaaa...!" Dengan gerakan serentak, Ki Gendi dan Ki Sumarja cepat membuang diri ke depan. Mereka menduga gadis itu pasti tak akan selamat. Bahkan akan tewas terkena tebasan pedang laki-laki bertampang seram itu.
Namun bukan main kagetnya kedua orang itu ketika bangkit. Tampak perempuan itu melesat keluar rumah. Sementara, laki-laki bertambang seram itu terus mengejar dengan kibasan-kibasan pedangnya. Dan ketika telah berada di halaman, perempuan cantik yang dikenali Ki Gendi sebagai Setiasih itu segera melayani serangan-serangan pedang dengan liukan-liukkan tubuhnya.
"Gila! Tapi, aaakh.... Aduh...," desis Ki Sumarja kaget.
Laki-laki tua itu tiba-tiba menggigil kedinginan. Dan sebentar saja tubuhnya berguling-gulingan sambil menjerit kesakitan.
"Marja, kenapa kau? Kenapa?!" sentak Ki Gendi sambil menggoyang-goyangkan tubuh laki-laki tua itu.
Untuk sesaat, kepala desa itu menjadi kalut. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan. Masih untung Wongso serta beberapa orang jagoan desa telah berada ditempat itu. Sementara penduduk yang terjaga dari tidur juga bergegas menuju rumah Ki Sumarja.
"Cepat! Bawa dia ke tempat Ki Gringsing. Mudah-mudahan orang tua itu bisa menyembuhkan!" perintah Ki Gendi.
"Percuma, Ki...," sahut salah seorang yang berada di dekatnya.
"Kenapa?"
"Ki Sumarja tak akan selamat. Dia telah terkena racun jahat perempuan itu...."
"Keparat!" maki Ki Gendi.
"Beberapa orang yang dibawa berobat ke tempat Ki Gringsing tak ada yang sembuh. Dan semuanya tewas," lanjut orang tadi.
"Kalau begitu, kalian bantu dia. Dan, tangkap perempuan itu untuk dihukum!"
"Baik, Ki!"
Lima orang jagoan Desa Weton Nyelap langsung melompat, hendak membantu meringkus perempuan yang tengah bertarung. Namun....
"Sial! Siapa yang menyuruh kalian mencampuri urusanku, heh?!" bentak lelaki berwajah seram.
"Maaf, Kisanak Perempuan itu telah lama kami cari, karena telah meresahkan desa ini. Maka sudah sepatutnya kami tangkap!" sahut seorang di antara kelima jagoan desa itu.
"Phuih! Siapa peduli dengan urusan kalian. Dia telah membunuh adikku. Maka sudah sepatutnya dia mampus di tanganku!" dengus laki-laki seram itu.
"Huh! Kenapa berebutan jika ingin mampus?! Ayo, majulah kalian semua. Biar mudah aku mengirim kalian ke akherat!" dengus perempuan berwajah cantik itu menantang.
Begitu selesai kata-katanya, perempuan yang dikenali sebagai Setiasih itu melenting ke atas seraya berputar-putar di udara. Sementara laki-laki berwajah seram itu mengikuti dari bawah sambil mengayunkan pedang. Begitu juga kelima jagoan itu. Mereka langsung menghadang di bawah dengan golok terhunus.
"Yeaaa...!" Mendadak Setiasih mengayunkan telapak tangan kirinya.
Wusss...!
Seketika dari telapak kiri perempuan itu menebar segumpal kabut berwarna hitam kemerahan yang menghalangi pandangan. Bahkan kabut itu membawa bau busuk yang amat menyengat. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak disadari para pengeroyoknya. Maka....
"Aaa...!".Terdengar jeritan panjang dan menyayat, yang diiringi terlemparnya beberapa orang termasuk laki-laki seram yang tadi berhadapan dengan Setiasih. Rupanya, kabut berwarna hitam kemerahan-merahan itu membawa racun yang amat mematikan. Akibatnya mereka kontan ambruk di tanah dengan dada hangus.
Tampak dari mulut, hidung, dan telinga mengeluarkan darah berwarna kehitam-hitaman. Jelas, nyawa mereka telah terenggut secara mengenaskan. Sementara itu dari kelima jagoan desa itu, hanya seorang yang berhasil menyelamatkan diri, karena tadi sempat menjatuhkan diri ke tanah, langsung bergulingan menghindari serangan yang cepat dan tak terduga itu.
Melihat kejadian ini tentu saja kemarahan penduduk Desa Weton Nyelap yang sejak tadi semakin banyak berkumpul, serentak bangkit. Dan secara berbarengan mereka maju sambil mengacung acungkan senjata apa saja untuk menghajar perempuan itu.
"Hi hi hi..! Kalian pikir bisa berbuat sesuka hati seperti lima belas tahun lalu?! Hari ini adalah pembalasan yang setimpal, atas perbuatan kalian terhadapku dan anakku. Kalian akan mampus! Kalian akan mampus!" kata perempuan berwajah cantik itu dengan suara melengking.
"Heh?! Kalau demikian, benar dugaanku! Dia Setiasih. Tapi apa betul?" gumam sebuah suara.
"Huh! Siapa yang peduli?! Yang penting, perempuan laknat ini harus mampus!"
"Bunuh dia...!" teriak beberapa oang. Seperti air bah, puluhan penduduk Desa Weton Nyelap menyerbu ke arah Setiasih. Namun saat itu, pula terdengar satu suitan nyaring yang menggema di tempat itu. Kemudian, disusul melesatnya sesosok tubuh yang langsung menyerang penduduk desa.
"Bagus, Pulang Geni! Mari kita hancurkan mereka bersama-sama!" kata Setiasih sambil tertawa nyaring.
"Hiyaaa...!"
Dalam sekejap saja beberapa orang penduduk desa memekik kesakitan dan ambruk tak berdaya begitu Setiasih bersama seorang pemuda tampan membantai satu persatu penduduk desa yang tak memiliki kepandaian apa-apa. Sementara di tempat itu pun mendadak tercium bau busuk yang menyengat. Bahkan beberapa saat kemudian muncul... tengkorak-tengkorak manusia!
Entah dari mana datangnya, tapi tengkorak itu yang jumlahnya mencapai puluhan langsung mengepung dan menyerang penduduk Desa Weton Nyelap. Tentu saja hal itu membuat mereka ketakutan dan berlarian ke sana kemari untuk menyelamatkan diri. Namun, sebagian lainnya melawan dengan gigih meskipun harus menemui ajal di tangan kedua orang yang memiliki kepandaian tinggi dan di tangan kerangka-kerangka manusia yang tak kenal ampun.
Dalam sekejap tempat itu berubah menjadi ladang pembantaian, dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Hampir seluruh penduduk Desa Weton Nyelap tewas dengan cara amat mengerikan. Sementara beberapa orang saja yang selamat, karena telah lebih dulu kabur!
"Hi hi hi...! Kini terimalah akibat perbuatan kalian terhadap kami dulu. Hi hi hi...! Tak akan kubiarkan seorang pun yang akan menghina kami!" teriak Setiasih dengan ketawa nyaring.
Setiasih dan anaknya yang bernama Pulang Geni merayapi sekitarnya yang telah penuh dengan mayat. Lalu mereka melesat meninggalkan tempat itu dengan gerakan gesit. Sementara kerangka-kerangka manusia tadi juga mengikuti, dengan melangkah perlahan-lahan. Kini Desa Weton Nyelap, kembali sunyi, sepi dan berubah menjadi kuburan penduduknya sendiri!
********************
Sepasang anak muda tampak tengah memacu kudanya perlahan-lahan ketika telah memasuki batas sebuah desa. Dari papan yang terpancang di dekat sebatang pohon warna diketahui kalau desa ini bernama Kedu Halang, Sebuah desa yang cukup ramai, karena merupakan jalan pintas antara dua kerajaan yang selama ini selalu bersahabat akrab. Sehingga, tak heran bila siang dan malam tempat ini selalu ramai dikunjungi orang.
"Kakang, aku lapar. Sebaiknya kita mengisi perut dulu sebelum melanjutkan perjalanan," usul gadis berbaju biru muda itu dengan wajah berkerut. Pemuda tampan di sampingnya yang mengendarai kuda berbulu hitam itu tersenyum kecil, memandang gadis cantik berbaju biru muda di sebelahnya.
"Baiklah, Pandan kita berhenti di depan sana!" tunjuk pemuda berbaju rompi putih ketika melihat sebuah kedai makanan di depan sana.
Memang, pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung itu tak lain dari Rangga yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti Sedangkan gadis di sebelahnya tentu saja Pandan Wangi.
Sepasang pendekar dari Karang Serra itu segera menjalankan kudanya menuju kedai. Begitu sampai, mereka segera turun dan menambatkan kudanya di depan kedai ini yang kelihatan cukup ramai. Dan sebenarnya Pandan Wangi merasa enggan untuk memasukinya. Tapi di desa ini memang tak ada lagi kedai lainnya. Karena, hanya kedai ini satu satunya.
"Aku kesal kalau sudah ramai orang begini. Coba lihat, Kakang. Mereka memperhatikan, seolah-olah kita berasal dari dunia lain," bisik Pandan Wangj, ketika memasuki kedai. Mereka juga langsung disambut oleh seorang pelayan yang juga mencarikan meja.
Memang saat itu seisi kedai yang tadinya ramai kini mendadak sepi begitu melihat kehadiran mereka. Bahkan satu persatu pengunjung mulai meninggalkan kedai seperti ketakutan melihat Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Tentu saja hal itu menarik perhatian Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang! Kau melihat keanehan di tempat ini, bukan?" tanya Pandan Wangi.
Rangga mengangguk pelan, namun berusaha tak memperhatikan sekelilingnya. Tapi, mana mau Pandan Wangi bersikap begitu. Malah dibalasnya siapa saja yang menatap dengan mata mendelik tajam dan wajah tak senang. Sehingga, tindakannya mungkin membuat beberapa orang berwajah kasar merasa tak senang. Dan kini mereka sudah langsung menghampiri dan mengelilingi sepasang anak muda itu.
"He he he...! Perempuan cantik! Kudengar dari bisik-bisik orang, kalian adalah Setan Kuburan? Ah! Tak salah. Yang perempuan katanya cantik, dan mau diajak tidur bersama," kata seorang laki yang bertubuh kurus dengan cambang bauk tebal.
Mendengar ucapan orang itu, bukan main geramnya Pandan Wangi. Amarahnya langsung menggelegak, seketika gadis itu bangkit dari kursinya, sambil menatap tajam penuh amarah. Sedangkan Rangga tetap tenang-tenang saja di kursinya.
"Kurang ajar! Mau kutampar mulut busukmu itu, he?!" maki Pandan Wangi sambil menuding ke arah laki-laki kurus Itu.
"Ha ha ha...! Kata orang lagi, kau memang hebat. Tapi jangan sembarangan bicara di depan Jarot Kelono!" kata laki-laki kurus bernama Jarot Kelono.
Pandan Wangi agaknya tak bisa menahan amarah dan jengkelnya sejak mendengar kata-kata laki-laki itu. Tanpa basa-basi lagi kepalan tangannya diayunkan.
Wuttt!
Namun laki-laki kurus bernama Jarot Kelono sedikit membuktikan kata-katanya, seketika ditangkisnya serangan itu.
"Hih!"
Plakkk!
Serangan Pandan Wangi tak berhenti sampai di situ. Maka dengan tiba-tiba lutut kanannya kembali menghantam perut. Untungnya Jarot Kelono mundur beberapa langkah, sehingga lutut gadis itu tak sampai bersarang di perutnya. Namun ternyata ujung kaki Pandan Wangi terus mengejar ke arah pelipis. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak mampu dihindari Jarot Kelono.
Desss!
"Ukh...!" Jarot Kelono kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil meringis kesakitan, begitu ujung kaki Pandan Wangi mendarat telak di pelipisnya.
"Kurang ajar! Berani kau memukul kakangku, perempuan rendah! Mampuslah bagianmu!" dengus dua lelaki yang tadi bersama Jarot Kelono. Begitu mencabut golok, mereka langsung menyerang Pandan Wangi dengan geram.
"Huhhh..." Pandan Wangi mendengus garang. Seketika kipas mautnya dicabut, bersiap menghantam balik serangan dua orang lawannya. Dan begitu golok-golok itu hampir menyentuh kulitnya, tangannya yang memegang kipas langsung dikebutkan.
"Hiyaaa...!"
Trak! Trak!
Dengan sekali kebut kedua senjata lawan ter-pental begitu terpapak senjata milik Pandan Wangi. Bersamaan dengan itu Pandan Wangi juga melepaskan dua tendangan.keras yang cepat dan beruntun. Sehingga....
Diegkh! Dugkh!
"Aaakh! Ugkh!"
Kedua orang itu kontan terjajar ke belakang sambil merintih kesakitan. Mereka bermaksud bangkit dan akan menghajar gadis itu kembali. Tapi...
"Tahan...!" cegah Jarot Kelono.
"Kenapa, Kang? Perempuan rendah ini telah mempermalukan kita. Dia patut dihajar!"
"Sekali lagi kau berkata begitu, kurobek murutmu!" bentak Pandan Wangi sambil memelototkan matanya ke arah orang yang berkata barusan.
Orang itu melirik pada Jarot Kelono dengan wajah bingung. Tampak Jarot Kelono mendekati gadis itu sambil menyelipkan goloknya ke pinggang.
"Nisanak! Melihat kipasmu, apakah kau yang berjuluk si Kipas Maut?" tanya Jarot Kelono dengan sikap lebih sopan dari sebelumnya
"Kalau memang benar, apa lantas kau akan terus kurang ajar padaku?" dengus Pandan Wangj, masih geram.
"Kalau begitu, maafkan kesalahpahaman ini, Nisanak..," ucap Jarot Kelono seraya menjura.
"Apakah maksudmu sebagai kesalahpahaman?" tanya Pandan Wangi tanpa membalas peng-hormatan itu!
"Kami kira kalian adalah sepasang Setan Kuburan yang sering membuat kekacauan," jelas Jarot Kelono.
Pandan Wangi menaikkan alisnya yang membentuk indah. Wajahnya masih tetap menunjukkan kebingungan.
"Apakah kalian tak mendengar berita tentang Setan Kuburan?" tanya Jarot Kelono meyakinkan.
Pandan Wangi menggelengkan kepala.
"Huh! Berpura-pura tidak tahu, atau memang kau sendiri orangnya?" sentak sebuah suara di dalam kedai.
"Heh?!"
Serentak mereka berpaling ke arah sumber suara dan tampak seorang perempuan tua berambut panjang yang telah memutih dan dibiarkan tak terurus tengah duduk tenang di kursinya. Memang tidak ada orang lain lagi selain perempuan tua itu. Karena pengunjung kedai lainnya memang telah sejak tadi pergi dari sini.
Perempuan tua berbaju hitam itu, memegang tongkat kayu terbuat dari cabang pohon yang agaknya telah berumur ratusan tahun. Wajahnya tak bersahabat, bahkan cenderung seram. Kelopak matanya cekung dan hidungnya panjang, bengkok ke bawah. Bibirnya hitam dan tebal.
"Nisanak! Apakah maksud kata-katamu itu?!" tanya Pandan Wangi dengan nada suara tak senang.
"Hik hik hik...! Kau sendiri pasti mengerti. Tapi yang jelas, kau tak akan selamat dari tempat ini. Dan kau tak akan kubiarkan pergi dengan nyawa masih melekat di tubuh!" ancam perempuan tua itu enteng.
"Nisanak! Aku semakin tak mengerti, ke mana arah pembicaraanmu. Datang-datang bicara ngawur. Kenal denganmu pun, baru hari ini. Jadi bagaimana mungkin aku bisa berurusan denganmu!" dengus Pandan Wangi semakin kesal.
"Benar, kita memang baru berkenalan hari ini. Tapi kalau aku tak keluar dari pertapaanku karena ulahmu yang meracuni cucuku sampai mati, maka aku akan terus penasaran. Huh! Setan Kuburan mau bertingkah di hadapan Gagak Setan Pemakan Bangkai!" dengus nenek yang ternyata berjuluk Gagak Setan Pemakan Bangkai.
"Hm... Kiranya kau pun menuduhku Setan Kuburan. Orang tua! Agaknya kau sudah kelewat tua, sehingga membuatmu pikun. Aku tak pernah kenal cucumu. Dan aku tak tahu-menahu tentang Setan Kuburan. Dan kau pikir, dengan begitu aku takut meninggalkan tempat ini?!" sahut Pandan Wangi, dengan sikap menantang.
Pandan Wangi lalu berbalik. Ditatapnya Rangga yang masih tak peduli. Tampaknya, Pendekar Rajawali Sakti masih asyik dengan santapannya. "Mari, Kakang. Kita tinggalkan kedai yang penuh orang-orang sinting. Lama-lama berada di tempat ini, aku bisa ketularan sinting," ajak Pandan Wangi, geram.
"Nyai Gagak Setan Pemakan Bangkai! Apakah yang dikatakan gadis itu benar. Dia bukan Setan Kuburan, dan sama sekali tak tahu-menahu soal cucumu yang menjadi korban. Dialah pendekar wanita kenamaan yang berjuluk si Kipas Maut," kata Jarot Kelono yang agaknya ingin menjernihkan suasana.
"Huh! Siapa yang peduli ocehanmu!" dengus Gagak Setan Pemakan Bangkai sambil melepaskan satu pukulan maut jarak jauh ke arah Pandan Wangi.
Werrr!
Pandan Wangi agaknya sudah menduga. Maka sebelum pukulan yang mengandung desir angin kuat itu menghantam dirinya, dengan gerakan cepat tubuhnya melenting, dan mendarat manis di atas meja di sebelah kirinya. Bola matanya langsung menatap tajam ke arah nenek itu.
"Orang tua sial! Agaknya kau memang tak bisa diberi pengertian. Kalau sudah dikepruk kepalamu mungkin baru kau bisa mengerti!" maki Pandan Wangi berang.
"Bocah kurang ajar! Kau pikir siapa dirimu, sampai berani berkata begitu padaku! Hih!" Wajah perempuan tua itu tampak garang. Dan dengan kemarahan memuncak dia sudah langsung melompat menyerang gadis itu.
"Sal!" maki Pandan Wangi kembali. Seketika kipas mautnya yang tadi sudah diselipkan ke pinggangnya kembali dicabut. Dan dia telah bersiap menyambut serangan.
"Hiyaaa...!"
Satu sabetan keras ujung tongkat Gagak Setan Pemakan Bangkai menderu menghantam batok kepala Pandan Wangi. Namun dengan gesit gadis itu mengelak sambil menundukkan kepala. Ujung tongkat nenek itu tahu-tahu telah melesat kembali, menyodok ke arah jantung. Maka terpaksa Pandan Wangi menangkis dengan kipas yang terbuat dari baja putih.
Wuttt!
Trakkk!
Gadis itu mengeluh ketika senjata mereka beradu. Dia merasakan dorongan tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat tongkatnya begitu kuat. Namun begitu, gadis itu masih sempat menyodokkan sebelah kaki ke perut Gagak Setan Pemakan Bangkai.
"Haiiit..!"
Dengan gerakan lincah, nenek itu melompat ke atas untuk menghindarinya. Dan bersamaan dengan itu, ujung tongkatnya menggebuk punggung Pandan Wangi. Pandan Wangi menyadari kedudukannya yang tak memungkinkan melakukan serangan. Maka....
"Hiyaaa...!"
Tubuh Pandan Wangi langsung mencelat keluar dari kedai itu. Tapi dengan gerakan nyaris sama, perempuan tua itu pun mengikuti sambil terus mengayunkan tongkatnya.
"Huh! Kau pikir bisa lolos dari seranganku!" dengus Gagak Setan Pamakan Bangkai garang.
"Yeaaa...!"
Pandan Wangi terkejut setengah mati ketika merasakan angin serangan tongkat nenek itu yang begitu dekat dan keras sekali. Apalagi, dia tak sempat mengelak banyak. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya, dicoba menangkis dengan kipas baja putihnya. Dan ternyata, serangan tongkat itu hanya tipuan belaka. Karena serangan nenek itu yang sesungguhnya adalah tendangan kaki. Begitu cepat gerakannya, sehingga Pandan Wangi tak mampu menghindari. Dan...
Wuttt!
Dukkk!
"Aaakh...!"
Gadis itu mengeluh kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ketika perutnya dihantam tendangan nenek itu. Sementara Gagak Setan Pemakan Bangkai sudah langsung melesat dengan tongkatnya untuk menghabisi gadis itu.
"Perempuan keparat. Mampuslah kau sekarang juga! Hih!"
"Gagak Setan Pemakan Bangkai, tahan seranganmu!" Tiba-tiba sebuah suara terdengar.
"Heh?!"
LIMA
Gagak Setan Pemakan Bangkai agaknya tak merasa terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan tiba-tiba dilepaskannya satu pukulan jarak jauh ke arah satu sosok bayangan putih yang melesat ke arahnya. Sesosok tubuh berbaju rompi putih itu melenting ke udara untuk menghindari pukulan jarak jauh yang mengarah kearahnya. Kemudian cepat dikirimkannya serangan balasan berupa pukulan jarak jauh pula.
Perempuan tua itu tersentak kaget. Maka tubuhnya langsung melenting menghindar. Rambut dan pakaiannya sampai berkibar-kibar laksana dilanda badai topan hebat begitu serangan itu lewat. Dengan sekuat tenaga dicobanya untuk bertahan. Bahkan dengan gesit tongkatnya diayunkan ketika lawan barunya semakin mendekat
"Mampus!"
"Hup! Belum lagi, Nenek Ompong!"
"Bangsat!" maki Gagak Setan Pemakan Bangkai ketika serangannya dapat digagalkan.
Saat itu sosok berbaju rompi putih itu telah melompat ke atas, kemudian dengan cepat menghantamkan satu tendangan ke wajah. Mau tak mau orang tua itu melompat kebelakang menghindarinya. Namun dia masih sempat kembali menyabetkan tongkat. Sementara, sosok berbaju rompi putih itu terus memburu sambil meliuk-liuk. Gerakannya semakin indah menghindari sabetan tongkat perempuan tua itu.
"Yeaaa...!"
Tiba-tiba saja sosok bayangan putih itu membuat serangan balik, dengan melepaskan satu pukulan ke arah kepala.
"Uhhh!"
Gagak Setan Pamakan Bangkai terkejut. Keringat dinginnya mengucur pedahan, ketika nyaris saja kepalanya remuk terkena hantaman yang mampu dihindarinya dengan mengegos ke kiri. Tapi angin serangannya saja mampu membuat kepalanya terasa pening dan berdenyut kencang. Begitu ada kesempatan, dia jungkir balik beberapa kali, untuk menjauhi bayangan putih itu. Tapi pada saat yang sama, bayangan putih itu memang tak melanjutkan serangan. Dia langsung mendarat, dan memperhatikannya.
"Huh! Sudah kuduga. Kau pasti akan membela gendakmu!" dengus nenek itu begitu mengetahui siapa yang menyerangnya tadi.
Bayangan putih itu memang tak lain dari Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu tersenyum kecil dengan sikap tenang. "Orang tua! Sikapmu sudah keterlaluan. Dan ini tak bisa kudiamkan begitu saja," kata Pendekar Rajawali Sakti datar.
"Huh! Kau pikir dirimu sudah hebat dan merasa jago sendiri? Meski kau memiliki kepandaian setinggi langit, jangan harap akan kusudahi begitu saja persoalan ini. Salah satu di antara kita harus mampus." dengus perempuan tua itu berang.
"Kenapa harus begitu?" tanya Rangga.
"Karena gendakmu itu cucuku tewas!" sentak Gagak Solan Pamakan Bangkai sengit.
"Kurang ajar! Tutup mulutmu, Tua Bangka!" sentak Pandan Wangi marah, karena sudah berapa kali nenek itu menyebutnya gendak. Suatu hal yang amat hina bagi seorang wanita.
"He?! Kelakuanmu sudah jelas. Apa kau ingin mungkir lagi?!" bola mata perempuan tua itu mendelik garang.
"Kurang ajar!" Pandan Wangi bermaksud akan menghajar, namun....
"Sabar, Pandan. Kita harus menyelesaikan persoalan ini dengan cara yang baik...," cegah Rangga, buru-buru.
"Dia sudah keterlaluan menghinaku, Kakang! Tua bangka sepertinya memang harus dihajar agar tak sembarangan menuduh orang!" dengus Pandan Wangi.
"Kalau memang dia keras kepala maka sudah sepatutnya kau yang harus menahan amarahmu. Ini hanya salah paham. Dan kita harus selesaikan dengan kepala dingin. Kalau masing-masing berkeras, tentu tak akan menyelesaikan persoalan. Nah, bersabarlah, Pandan...," bujuk Rangga halus.
Meskipun hatinya kesal dan kemarahannya siap meledak, tapi gadis itu menurut juga pada kata-kata kekasihnya.
"Hm.... Kau tak akan bisa membelanya, Bo-cah. Sebab kau sendiri punya kelakuan yang sama dengan gendakmu!" dengus Gagak Setan Pamakan Bangkai sinis.
"Nisanak! Kau bicara sepertinya kenal betul dengan kami! Tapi keyakinanmu itu sebenarnya salah besar. Dan tuduhanmu, sama sekali tak beralasan. Mendengar nama itu pun, baru sekali ini. Kalau kau memang mengenal Setan Kuburan, tentu takkan salah mengenali orang saat ini. Kecuali, kalau kau memang sengaja membuat keonaran dengan tuduhan yang dicari-cari," sahut Rangga enteng.
"Bocah sial! Malah menuduhku pula yang tidak-tidak. Jadi, siapa kalian kalau bukan Setan Kuburan?!"
"Yang jelas, kami bukan Setan Kuburan. Dan kau harus tahu. Kalau tidak, sama saja kau mencari-cari urusan!"
"Kurang ajar! Kau pikir aku takut denganmu, heh?!"
"Aku tak bilang begitu. Tapi, ingat saja sejak tadi, kaulah yang mulai mencari gara-gara. Jadi sebenarnya siapa yang patut marah dalam hal ini?"
"Huh! Kau pikir aku mudah dikibuli bocah ingusan seperti kalian!"
"Mereka tak mengibulimu, Nenek Pikun! Kaulah yang kelewat banyak mengurung diri, sehingga tak menyadari kalau saat ini tengah berhadapan dengan pendekar besar di jagad ini!" timpal sebuah suara, tiba-tiba.
Semua orang yang ada di situ segera berpaling, dan melihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus telah berdiri tak jauh dari situ. Rambutnya yang pendek dan telah ubanan, diikat sehelai kain merah dan hitam. Kulit wajahnya telah keriput. Demikian pula lengan dan kakinya. Sepintas lalu, orang tua itu seperti orang desa. Tapi, perempuan tua itu agaknya kenal betul dengannya.
"Ki Waringin! Apa kerjamu di sini, heh?!" sentak Gagak Setan Pemakan Bangkai dengan nada galak.
"Apa pula yang kau kerjakan di sini, Nyai Ambarwati?" sahut orang tua yang dipanggil Ki Waringin enteng.
"Sial! Dasar tua bangka tak tahu diri. Aku bertanya, dan kau harus menjawab!" dengus Gagak Setan Pemakan Bangkai yang ternyata bernama asli Nyai Ambarwati.
"Hm. ... Apa hakmu memerintahku?" "Tua bangka sial! Apakah kau ingin kugebuk?!" ancam Nyai Ambarwati
"He he he...! Sikap galakmu masih sama seperti tiga puluh tahun lalu. Tapi, sebaiknya dikurangi untuk keselamatan dirimu sendiri, Nyai. Kalau dulu, kau boleh karena merasa hebat. Tapi saat ini, tokoh persilatan yang memiliki kepandaian berlipat ganda sudah tak terhitung. Kau patut berhati-hati!"
"Hm.... Ingin kulihat, kemajuanmu selama tiga puluh tahun ini!" dengus Nyai Ambarwati.
"Nyai Ambarwati, jangan memaksaku! Urusan kita sama, yaitu mencari Setan Kuburan. Kenapa kau malah mempersulit urusan?" sahut Ki Waringin santai.
"Aku akan berbuat sesuka hatiku tanpa ada yang bisa melarang! Sebaiknya, keluarkan seluruh kepandaianmu, karena aku tak akan segan menghajarmu!"
"Ha ha ha...! Aku telah memperingatkan agar tak mendapat malu. Tapi, agaknya kau tetap berkeras kepala juga. Hm... Kalau begitu, kuberi kau kesempatan dengan menyerangku sebanyak empat jurus!"
"Huh! Aku mampu menjatuhkanmu kurang dari dua jurus!"
"Sebaiknya buktikan dulu ucapanmu itu, Nyai. Karena sesudah itu, aku akan balas menyerangmu!" dingin ucapan Ki Waringin.
Nyai Ambarwati tak mempedulikan ucapan Ki Waringin. Dengan geram tongkatnya diputar langsung diserangnya laki-laki tua itu dengan sengit!
"Yeaaa...!"
Namun dengan gesit Ki Waringin melompat ke sana kemari untuk menghindari sambaran tongkat Gagak Setan Pamakan Bangkai Gerakannya sangat mengagumkan, karena mampu melompat ringan bagai sehelai kapas. Bahkan, gerakannya juga cepat bagai lesatan anak panah. Sehingga, beberapa kali serangan dahsyat yang dilancarkan Nyai Ambarwati mampu dihindari dengan mudah.
"Kakang! Lebih baik kita tinggalkan tempat ini, selagi mereka sibuk dengan urusannya. Aku muak berada disini terus!" ajak Pandan Wangi seraya menghampiri kudanya.
"Ya.... Aku pikir pun demikian. Perempuan tua itu keras kepala dan mau menang sendiri. Percuma kita debat omong dengannya," sahut Rangga juga menghampiri kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu.
Namun baru saja mereka naik di punggung kudanya.... "Bocah celaka! Kalian pikir bisa kabur dariku, heh?!"
Tiba-tiba Nyai Ambarwati membentak nyaring sambil melesat menyerang sepasang pendekar dari Karang Setra itu.
Wuttt!
"Hiyaaat..!"
Dengan gerakan ringan, sepasang pendekar dari Karang Setra itu melompat ke belakang dari punggung kuda masing-masing, ketika ujung tongkat Nyai Ambarwati menderu menghantam. Dan serangan perempuan tua itu agaknya tak berhenti sampai di situ. Begitu mereka mendarat di tanah, dengan cepat tongkat perempuan tua itu kembali menghantam seperti tak mau berhenti.
"Nisanak! Jangan keterlaluan! Aku pun punya batas kesabaran kalau terus begini!" teriak Rangga memperingatkan, sambil terus berusaha menghidar.
"Huh! Siapa yang peduli dengan kesabaran?! Aku hanya inginkan nyawa busuk kalian!" dengus Nyai Ambarwati geram.
"Nyai Ambarwati! Kenapa kau ini?! Bukankah kau tengah berurusan denganku? Ayo, teruskan! Biarkan bocah-bocah itu berlalu!" teriak Ki Waringin lantang.
"Tua bangka busuk! Aku akan menyelesaikan urusanku yang lebih penting. Dan setelah itu, baru giliranmu. Itu pun kalau kau bukan penakut!" sahut Nyai Ambarwati tak mempedulikan tantangan orang tua bertubuh kurus itu. Sementara serangan-serangannya semakin gencar saja terhadap kedua anak muda itu.
"He he he...! Sebaiknya hentikan perbuatan konyolmu sebelum mendapat malu, Nyai!" ujar Ki Waringin seperti mengingatkan.
Tapi, mana mau perempuan tua itu mendengar ocehan Ki Waringin. Dia tetap menyerang kedua lawannya dengan kemarahan meluap. Ini tentu saja membuat Rangga dan Pandan Wangi mulal tak senang dan habis kesabaran. Terlebih-lebih, gadis itu. Kemarahannya yang tadi terpendam, kini marak kembali. Sambil mendengus geram, kipasnya dicabut dan mulai balas menyerang.
"Tua bangka bebal! Kau memang perlu diberi pelajaran!" bentak gadis itu nyaring.
Wuttt! Wuttt!
Pandan Wangi menyadari kalau tenaga dalam perempuan tua itu lebih tinggi setingkat. Tapi dalam kecepatan bergerak, gadis ini lebih unggul. Dan itu disadarinya betul. Sehingga sebisa mungkin dia selalu menghindari benturan senjata, tanpa mengunakan serangan-serangannya.
Sementara itu, melihat Pandan Wangi telah membalas serangan, Rangga segera menghentikan serangannya. Dia hanya memperhatikan seksama setiap gerakan perempuan tua itu. Sebenarnya disadari kalau Pandan Wangi mampu melawan perempuan tua itu. Tapi, gadis itu sering ceroboh dan tak hati-hati. Apalagi kalau sedang marah. Sehingga meski bagaimanapun, Pendekar Rajawali Sakti terpaksa mengawasi dan berjaga-jaga jangan sampai gadis itu celaka.
Sementara tiga laki-laki yang tadi berada di kedai, kini keluar untuk melihat pertarungan. Dan agaknya, bukan mereka saja yang menaruh perhatian. Demikian pula orang-orang yang lalu-lalang di sekitar itu. Mereka berhenti dan menonton pertarungan tingkat tinggi yang jarang mereka lihat. Sehingga lambat laun tanpa disadari tempat itu telah menjadi ajang tontonan menarik.
Dengan kipas baja putih di tangan, Pandan Wangi merasa lebih mantap menghadapi serangan tongkat Gagak Setan Pamakan Bangkai. Tubuhnya bergerak segesit kijang dan menyodok tiba-tiba ke arah perempuan tua itu. Hal itulah yang sering membuat Nyai Ambarwati yang berjuluk Gagak Setan Pemakan Bangkai sering terkejut dan semakin penasaran. Dia berusaha mengadu senjata, tapi dengan lincah Pandan Wangi berkelit. Tentu saja hal itu semakin membuatnya kalap dan penasaran. Namun, sejauh ini dia tak bisa berbuat apa-apa, karena gadis itu semakin berada di atas angin dan mendesaknya habis-habisan!
Wut!
Ujung tongkat Gagak Setan Pemakan Bangkai berhasil dihindari Pandan Wangi dengan berjungkir balik ke atas sambil mengembangkan kipasnya. Dan dengan gerakan mengagumkan tubuhnya meluruk turun, membawa sebuah serangan dahsyat!
"Hiyaaat!"
"Hiiih...!"
Nyai Ambarwati mendengus. Ujung tongkatnya seketika diayunkan menghantam dada gadis itu. Tapi dengan gerakan lincah Pandan Wangi kembali berputaran di udara. Dan begitu ujung tongkat itu lewat, kipasnya langsung menyambar cepat ke leher. Nyai Ambarwati terkejut. Buru-buru kepalanya dimiringkan. Tapi saat itulah ujung kaki kanan gadis itu melayang ke perut.
Duk!
"Akh!" Nyai Ambarwati terpekik, begitu perutnya terhantam tendangan Pandan Wangi yang keras. Tubuhnya kontan terjungkal beberapa langkah. Sebenarnya, bisa saja pada saat itu Pandan Wangi menghabisi. Namun, tak dilakukan. Dia merasa sakit hatinya terhadap perempuan tua itu kini telah terbalas.
"Hm... Hitungan kita saat ini satu sama, Nisanak. Kau boleh meneruskan urusan ini kapan saja kau suka!"
Nyai Ambarwati cepat bangkit dan bermaksud melompat menghajar lawan. Namun mendadak ..
"Setan Kuburan! Ada Setan Kuburan...!" Terdengar teriakan seseorang sambil berlari tergopoh-gopoh ke arah orang yang sedang bertarung.
Orang-orang yang berada di tempat itu serentak kaget. Sebagian terlihat kabur. Namun sebagian lagi bergegas menghadang orang yang datang itu.
"Di mana dia?!" tanya seseorang bertubuh tinggi kurus.
"Di sana! Di ujung desa. Dia sedang bertarung melawan dua orang lawannya!" sahut orang yang tadi datang.
Laki-laki tinggi kurus itu langsung melompat dan berlari sekencang-kencangnya ke arah yang ditunjukkan. Begitu juga yang lainnya, termasuk Ki Waringin dan Jarot Kelono serta kawan-kawannya.
Sementara Nyai Ambarwati mendelik tajam pada kedua anak muda itu, sebelum akhirnya mengikuti yang lain. "Urusan kita belum selesai, Bocah. Kalian akan bertemu lagi denganku!" kata Gagak Setan Pamakan Bangkai mendengus, sebelum melesat dari situ.
Mendengar itu, Pandan Wangi melotot garang. "Tua bangka keras kepala! Aku siap menghadapimu kapan saja kau suka!" teriak Pandan Wangi, sengit.
"Sudahlah, Pandan! Untuk apa diladeni..," desah Rangga kembali dihampirinya Dewa Bayu. Sebentar saja dia sudah melompat ke punggung kudanya, diikuti Pandan Wangi.
"Huh! Kesal aku dibuatnya! Seharusnya orang tua seperti itu bisa lebih bijaksana. Tapi ini terbalik. Kelakuannya lebih sinting daripada orang gila!" dengus Pandan Wangi lagi.
Rangga tertawa kecil melihat kemarahan kekasihnya.
"Kenapa Kakang tertawa?!" bentak Pandan Wangi galak.
"Sudahlah... Tak usah dipikirkan. Sebaiknya kita ikuti arah mereka saja. Aku pun heran, kenapa dua orang yang kita temui menyangka kalau kita adalah Setan Kuburan. Kalau mereka sinting, ya mungkin kita memang Setan Kuburan..."
"Kau saja yang jadi Setan Kuburan!" sahut Pandan Wangi kesal.
Rangga tersenyum kecil. "Aku hanya bercanda. Maksudku, barangkali mereka benar kalau kita mirip orang yang disebut dengan Setan Kuburan itu..."
Pandan Wangi tidak menyahut. Dan kudanya dipacu lebih cepat. Rangga tersenyum sambil menggeleng lemah. Kemudian kudanya juga dihela agar berlari lebih kencang untuk menyusul gadis itu.
Sepasang pendekar dari Karang Setra itu tiba di sana agaknya sudah terlambat. Karena begitu sampai, yang tinggal hanya segelintir penduduk desa ini yang tengah menggotong dua sosok mayat. Sedangkan para tokoh persilatan yang tadi menuju ke sini sudah tak ada.
"Kisanak! Ke mana perginya orang yang dise-but Setan Kuburan itu?" tanya Rangga pada salah seorang yang masih berada di tempat itu. Orang itu menujuk ke satu arah.
"Dia pergi ke arah sana. Dan sebagian pendekar tadi pun mengejar ke arah sana. Kalian belum terlambat kalau ingin bergabung dengan mereka. Makin banyak orang yang akan mengejar Setan Kuburan, akan semakin bagus. Karena kalau dibiarkan turus, mereka akan semakin mengganas," sahut orang itu seraya berlalu.
"Mari, Pandan. Kita kejar mereka!" Rangga segera memacu kudanya dengan kencang. Sementara Pandan Wangi mengikuti dari belakang.
"Kenapa Kakang begitu bersemangat mengejar Setan Kuburan yang tak ketahuan juntrungannya itu?!" teriak Pandan Wangi di sela-sela angin yang bertiup kencang, ketika mereka melaju di atas punggung kuda yang berlari bagai terbang.
"Aku mau tahu, apa benar mereka mirip kita?!"
"Lalu?!"
"Ya cari tahu, apakah mereka selama ini berbuat jahat atau tidak..."
"Hm.... mana ada penjahat yang mau mengaku."
"Tentu saja kita tak tanya pada Setan Kuburan itu."
"Jadi mau tanya pada siapa? Pada setan betulan?" ejek Pandan Wangi.
Rangga tertawa kecil.
"Atau barangkali Kakang penasaran?" tambah Pandan Wangi.
"He, penasaran kenapa?" Rangga balik bertanya dengan kening berkerut.
"Dua orang yang menuduhku sebagai Setan Kuburan. Tentu orang yang berjuluk Setan Kuburan itu perempuan. Dan paling tidak berwajah cantik...," ledek Pandan Wangi.
"Ha ha ha...!" Rangga tak bisa menahan ketawa mendengar kata-kata Pandan Wangi.
"Kenapa ketawa?!"
Belum juga Pendekar Rajawab Sakti menjawab, tiba-tiba...
"Ha ha ha...! Dua sejoli yang sedang dimabuk asmara ternyata mencari mati datang ke sini!" Terdengar satu suara yang lantang dan menggema di tempat iu.
Serentak Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi menghentikan lari kuda masing masing. Diperhatikannya keadaan sekeliling dengan seksama. Tak terlihat seorang pun di tempat itu. Hanya pepohonan, rumput, serta desau angin yang menggerak-gerakkan ranting dan dedaunan. Namun pendengaran dan penglihatan Rangga yang tajam, mampu melihat seseorang yang bersembunyi di sela-sela batang pohon yang tak jauh di depan mereka.
"Kisanak! Tak ada gunanya kau bersembunyi kalau tak mampu menutupi pandangan kami. Keluarlah dan jelaskan, apa yang kau maksud tadi!" sahut Rangga dengan suara tak kalah lantangnya.
Tak terdengar sahutan. Pandan Wangi sendiri masih heran, di mana orang yang berteriak tadi menyembunyikan diri. Tapi dia memang yakin, Rangga jelas mengetahui orang itu. Dan terbukti, ketika tak juga terdengar jawaban, ujung kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti menghantam sebongkah kerikil yang cukup besar. Seketika kerikil itu mencelat jauh ke depan, ke arah sebatang pohon yang agak tinggi.
Takkk!
ENAM
Kerikil yang dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti dengan ujung kakinya menghantam salah satu cabang pohon yang besar. Dan saat itu juga, melesat sesosok bayangan merah ke udara dan setelah berputaran beberapa kali di udara, sosok bayangan merah itu berdiri tegak di hadapan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
Di hadapan sepasang pendekar dari Karang Setra kini terlihat, kalau yang berdiri adalah pemuda tanggung berwajah tampan. Rambutnya panjang sebahu. Badannya tegap dengan kulitnya halus seperti bayi yang terbungkus pakaian ketat berwarna merah. Senyumnya menawan dan memikat hati.
Pandan Wangi bukannya tak mengakuinya, malah ketika beradu pandang, jantungnya berdetak lebih kencang. Sorot mata pemuda tanggung itu seperti memiliki daya sihir yang memikat kuat. Maka buru-buru pandangannya dipalingkan.
"Kenapa, Nisanak? Kenapa kau berpaling? Apakah kau tak suka bila aku ingin berkawan denganmu?" tanya pemuda itu dengan suara halus.
Perlahan pemuda itu mendekati Pandan Wangi, dan seolah-olah tak peduli dengan adanya Rangga di tempat itu. Tapi sebelum melangkah tiga tindak, sebelah tangan Rangga telah menjaganya.
"Jaga sikapmu, Kisanak!"
"Minggir kau! Aku tak berurusan denganmu!" Tanpa menoleh sedikit pun, pemuda tanggung itu mengibaskan tangan, bermaksud menepis tangan Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau kibasan tangan pemuda itu tidak sembarangan. Maka seketika tangannya dialiri tenaga dalam tinggi.
Plak!
"Aku bilang jaga sikapmu!" sentak Rangga, begitu kedua lengan mereka beradu.
Pemuda tanggung itu terkejut setengah mati ketika tangannya terasa kesemutan akibat benturan barusan. Maka kali ini baru kepalanya berpaling, dan memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan senyum sinis.
"Hm... Pantas kau berlagak. Rupanya memiliki kepandaian juga, heh?! Tapi jangan dikira keinginanku tak akan kumiliki. Perempuan itu harus jadi milikku. Dan tak seorang pun bisa menghalangi kalau tidak ingin mampus! Hup!"
Selesai berkata demikian, pemuda tanggung itu membuka kedua kakinya lebar. Dan sambil menunduk kepala, kepalan tangan kanannya menghantam ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan sigap Rangga menangkis dan balas menyodok dengan satu tendangan kilat. Tubuh pemuda itu melesat ke atas, lalu bergerak cepat menyambar punggung Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Tapi mana sudi Rangga dipecundangi begitu rupa. Maka tubuhnya cepat berputar, terus mengayunkan satu tendangan menggeledek. Untung saja pemuda tanggung itu sempat melenting ke belakang, sehingga terhindar dari bahaya. Namun pada serangan selanjutnya, terlihat pemuda tanggung itu seperti berusaha menghindari benturan. Dan dia merasakan kalau tenaga dalamnya kalah jauh. Apalagi Rangga telah kaya pengalaman bertarung. Sehingga, tak heran kalau Rangga berada diatas angin.
"Hiyaaa...!"
Dalam satu kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti mengurung pertahanan lawannya dengan pengerahan lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti. Namun Rangga tak terpancing mengikutinya. Pendekar Rajawali Sakti menunggu di bawah dengan sikap siap bertarung dalam pengerahan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Hal itu memang tak mudah jika dilakukan orang yang berkepandaian tanggung. Kini pemuda tanggung itu mengayunkan tendangan. Namun Rangga cepat menghindar dengan bergerak ke kanan. Dan seketika dilepaskannya satu sodokan ke arah dada. Dalam keadaan kaget begitu, pemuda itu masih sempat menangkis dengan tangan kiri.
Wuttt!
Plakkk!
Namun satu sodokan keras kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tak sempat diperhitungkan pemuda itu. Akibatnya....
Des!
"Aaakh!" Pemuda itu menjerit kesakitan, begitu kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di perutnya. Tubuhnya kontan terjungkal beberapa langkah. Dan dengan gesit dia, bangkit. Lalu tiba-tiba dilepaskannya satu pukulan maut ke arah Rangga.
"Yeaaa...!"
Rangga cepat melompat ke atas, ketika selarik sinar hitam kemerahan yang keluar dari telapak tangan pemuda itu menderu ke arahnya. Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti siap mengerahkan ajiannya kembali ketika melihat gelagat kalau pemuda itu akan menggunakan kesempatan untuk membawa kabur Pandan Wangi. Memang gadis ini masih terkesima dalam keadaan mematung, akibat pengaruh sihir pemuda tanggung itu tadi.
"Jangan harap kau bisa melakukan niat busukmu selagi aku masih hidup! Hiiih!"
Werrr!
"Hup!" Pemuda tanggung itu terkejut ketika tiba-tiba selarik sinar merah meluruk dari tangan Pendekar Rajawali Sakti yang melepaskan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Untung saja dia sempat jungkir balik menghindari, lalu cepat melesat kabur dari situ. Rangga sengaja tak mengejarnya, karena mengkhawatirkan keselamatan Pandan Wangi. Langsung dihampirinya gadis itu.
"Pandan, kau tak apa-apa...?" tegur Rangga menepuk bahu kekasihnya.
"Eh, apa!?" sahut Pandan Wangi seperti terjaga dari mimpi.
"Tidak ada apa-apa. Mari kita lanjutkan perjalanan," ajak Rangga enteng.
Sementara Pandan Wangi kembali terdiam. Dia merasa bingung atas kejadian tadi. Kenapa dia? Apa yang telah terjadi? Tapi, Rangga tak memberikan jawaban. Dan hal itu semakin membuatnya penasaran saja.
********************
Sosok berbaju merah tampak terus berlari menembus hutan lebat menuju kaki Gunung Kelud. Di satu tempat yang agak tersembunyi, sosok yang ternyata pemuda tanggung itu memasuki sebuah goa yang terdapat dalam lereng gunung. Di sana telah menanti seorang wanita berwajah cantik. Sambil tersenyum disambutnya pemuda yang langsung membungkuk memberi hormat.
"Bangunlah Pulang Geni"
Pemuda tanggung yang tak lain Pulang Geni itu segera bangkit berdiri. Namun kepalanya tetap tertunduk.
"Apa yang terjadi? Wajahmu kelihatan murung sekali. Apakah kau gagal memikat gadis idamanmu?" tanya wanita itu lembut seraya mengajak masuk ke dalam suatu ruangan di dalam goa itu.
Pulang Geni mengangguk pelan.
"Hm.... Sungguh mengherankan! Siapa gadis itu?"
"Entahlah, Bu. Kalau saja kawannya tak menghalangiku, mungkin sudah kubawa ke sini...," sahut Pulang Geni lesu.
Perempuan yang rupanya Setiasih itu tersenyum kecil begitu mendengar cerita Pulang Geni. "Ibu mengerti maksudmu...," desah Setiasih.
Pulang Geni masih terdiam dan tetap menundukkan kepala.
"Kau dikalahkan kawan gadis itu, bukan?"
Pemuda itu mengangguk. Dan wajah wanita di depannya berubah seketika. Rautnya yang tadi penuh senyum dan manis, kini berubah menyeramkan menyiratkan hawa kesedihan.
"Hm.... Sungguh hebat orang itu. Siapa dia?" tanya Setiasih, seraya duduk di sebongkah batu.
"Aku..., aku tak mengenalnya, Bu," sahut Pulang Geni, ikut duduk di sisi ibunya.
"Kau bisa menyebutkan ciri-cirinya, bukan?"
Pulang Geni mengangguk. Lalu diceritakannya tentang pemuda yang telah mempecundanginya. Setiasih mengangguk-angguk kecil, begitu mendengar penuturan anaknya. Kemudian terlihat bibirnya kembali tersenyum sinis.
"Hm.... Pantas kau kebentur dengannya...," kata wanita cantik itu.
"Maksud, Ibu?"
"Aku sempat mencuri dengar pembicaraan, ketika mereka berada dalam kedai di desa itu. Orang yang kau hadapi itu adalah Pendekar Rajawali Sakti. Menurut para tokoh persilatan, dia sangat disegani karena kepandaiannya yang tinggi dan sulit ditaklukkan. Konon pula, banyak sudah tokoh sesat yang berilmu tinggi tewas di tangannya. Kau memang harus berhati-hati bila berhadapan dengannya. Jangan gegabah, apalagi sampai menganggap enteng," kata Setiasih memberi nasihat pada anaknya.
"Tapi, aku menginginkan gadis yang bersamanya itu, Bu!" sahut Pulang Geni berkeras.
"Kau bermaksud merampasnya dari sisi pemuda itu?"
Pulang Geni terdiam mendengar pertanyaan ibunya. Kemudian ditatapnya dalam-dalam wajah ibunya. "Lalu, apa yang harus kulakukan..?" tanya Pulang Geni, seperti marah.
"Serahkan saja pada Ibu."
"Ibu akan bertarung melawannya?"
"Menurutmu, bagaimana?" sahut Setiasih balik bertanya.
Pulang Geni berpikir sesaat, kemudian tersenyum kecil. "Apa yang Ibu perkirakan, memang tak meleset. Kepandaiannya memang sulit diukur. Kalau saja tadi aku berkeras melawan, tentu tak akan selamat. Agaknya dia memang tak bisa dilawan dengan kekerasan tutur Pulang Geni.
"Orang itu memang harus ditaklukkan. Bahkan harus dibinasakan, karena akan menghalangi rencana kita. Tapi untuk menghadapinya, kita tak bisa menggunakan kekerasan. Banyak hal yang bisa digunakan, seperti mencari kelemahannya. Dan kelemahannya seorang laki-laki, umumnya mudah kepincut perempuan cantik. Menurutmu, apa Ibu terlalu jelek untuk menghadapinya?" tanya Setiasih sambil tersenyum kecil
Pulang Geni tersenyum lebar. "Ibu adalah wanita tercantik yang pernah kulihat selama ini. Tak seorang pun yang mampu menandingi kecantikan Ibu!" puji pemuda itu cepat.
Setiasih bangkit dari duduknya di batu yang terdapat di ruangan goa itu, lalu dia menuju ke ruangan lain. Sementara, Pulang Geni menunggu beberapa saat lamanya. Tak lama, kemudian perempuan itu telah keluar lagi. Kini dia memakai baju lusuh seperti kebanyakan seorang perempuan desa.
"Bagaimana menurutmu?"
"Sebagai seorang gadis desa sekalipun, Ibu tetap cantik!"
"Nah! Sementara waktu ini, lupakan dulu gadis idamanmu itu. Dan bersenang-senanglah dengan gadis lain yang mampu memuaskanmu. Ibu akan pergi sekarang juga...."
Pulang Geni cepat mengangguk. Tak berapa lama, perempuan berwajah cantik itu telah melesat keluar dari goa itu. Dengan ge-rakan ringan dan gesit tubuhnya terus melesat meninggalkan goa. Pulang Geni tersenyum kecil, kemudian melangkah keluar goa. Pemuda itu melesat pula dari tempat ini dengan arah berlawanan dari yang diambil ibunya.
********************
Sepanjang perjalanan, Pandan Wangi masih terus penasaran melihat kelakuan Rangga. Pemuda itu sama sekali tak mau menceritakan apa yang telah terjadi tadi.
"Untuk apa? Aku kan sudah katakan, tak ada terjadi apa-apa," sahut Rangga enteng.
"Bohong! Lalu, ke mana perginya bocah itu?" desah Pandan Wangi.
"Kau naksir padanya?"
"Kakang! Jangan mengalihkan perhatian!" sahut Pandan Wangi kesal.
"Lho? Aku lihat sendiri melihat kau menatapnya tadi. Kata orang, sinar mata manusia itu tak bisa membohongi perasaannya," kata Rangga tersenyum kecil.
"Brengsek!"
Rangga kembali tertawa kecil.
"Sejak kapan aku pernah mengkhianatimu?! Coba katakan, sejak kapan?! Justru Kakang-lah yang acapkali mengkhianatiku!"
Mendengar gadis itu mengeluarkan kata-kata nyaring dan wajah berang, Rangga tersentak. Kemudian, bibirnya tersenyum kembali. "Sudah, kenapa dipersoalkan betul...?"
"Aku akan terus penasaran kalau Kakang tak mau menjawab!"
"Kau benar-benar ingin tahu?" tanya pemuda itu sambil menoleh pada gadis itu.
"Tentu saja!"
Rangga menghela napas pendek sambil memandang ke depan sekilas. Dari sini, mereka dapat melihat sebuah desa di depan sana. "Pemuda itu menyukai dirimu dan ingin membawamu. Kau tak berusaha menolak. Dan kelihatannya juga tak keberatan. Tapi, aku yang keberatan. Dan aku pula yang menolak. Dan ketika dia ingin mencoba dengan cara kasar, aku tak mungkin mendiamkan begitu saja. Tapi, akhirnya dia mengalah dan kabur...!" tutur Rangga.
"Bohong!" sentak Pandan Wangi berang
"Kenapa aku musti berbohong?"
Pandan Wangi memandang pemuda itu agak lama. Wajahnya terlihat merah, dengan bola mata mulai berair. Dia seperti tak kuasa menahan sedih di hatinya. Maka kudanya segera dipacu kencang-kencang. Namun belum lagi kuda itu berlari, Rangga telah cepat melompat dan menahannya. Sementara Pandan Wangi sudah langsung turun dari kudanya. Gadis itu langsung lari ke satu arah sambil menangis sesenggukan
"Pandan, tunggu!"
Pandan Wangi agaknya tak mempedulikan panggilan itu. Dia terus berlari ke sebatang pohon besar. Baru setelah itu dia berhenti, dan menelungkupkan wajahnya pada batang pohon besar berdaun rindang. Rangga segera bergerak menghampiri.
"Pandan. Dengar. Aku tadi hanya menggoda saja..." bujuk Rangga, ketika telah dekat.
"Kakang! Kau tentu tahu, aku tak mungkin berbuat seperti itu. Lagi pula, mana pernah aku mengkhianatimu. Apalagi di depan matamu sendiri. Kenapa kau tega berkata begitu?!" teriak Pandan Wangi di antara isak tangisnya.
"Sudah kukatakan, itu tak benar. Aku hanya ingin menggodamu. Sudah, jangan menangis seperti anak kecil begitu," desah Rangga.
Langsung dipegangnya bahu gadis itu, dan dibalikkan tubuhnya. Namun Pandan Wangi tetap menundukkan kepala. Sementara isak tangisnya masih terdengar halus.
"Aku percaya padamu...," lanjut Rangga sambil menaikkan dagu gadis itu hingga saling bertatapan.
"Lalu apa yang terjadi tadi? Tolong jelaskan, Kakang. Sungguh, aku tak mengerti!"
Rangga tersenyum kecil. "Kau tak salah. Tapi, pemuda itulah yang culas. Dia mencoba meluluhkan hatimu menggunakan tenaga batinnya yang mampu mempengaruhi siapa saja yang tenaga batinnya lemah. Dan kau tadi telah terpengaruh. Tapi, itu bukan salahmu. Siapa bilang aku tak percaya kalau kau hanya mencintaiku seorang?"
"Kakang! Kau..., kau...."
Pandan Wangj tak kuasa melampiaskan perasaan hatinya yang terasa sedikit lega. Dipeluknya pemuda itu erat-erat, seakan ingin menumpahkan sesak hatinya sejak tadi.
"Aku tak pernah berpikir seburuk itu, Pandan. Aku selalu percaya padamu...," bisik Rangga di telinga gadis itu sambil membelai lembut riak rambutnya yang panjang hitam. "Sekarang, ayo kita pergi dari sini."
Pandan Wangi mengangguk. Tak berapa lama kedua anak muda itu kembali ke tempat kuda masing-masing yang tadi ditinggalkan.
Sepasang pendekar dari Karang Setra itu kini melewati sebuah rumah yang di halamannya terlihat banyak orang berkerumun. Dengan kening berkerut dan wajah heran, mereka terus memandangi ke arah rumah itu. Sementara dari dalam terdengar tangis yang panjang. Lalu satu persatu orang-orang yang berada di dalam ruangan itu keluar sambil menutup hidung mereka.
"Hm.... Apa yang telah terjadi di rumah itu? Ayo, Pandan. Coba kita tanyakan pada mereka," ajak Rangga.
Kedua anak muda itu segera turun dari kudanya. Dan Rangga segera mendekati salah seorang yang tidak jauh di depan mereka.
"Kisanak, apa yang telah terjadi di rumah ini?" tanya Rangga ramah.
Orang itu menoleh. Ditatapnya Rangga dan Pandan Wangi bergantian, dengan sinar mata penuh selidik. "Siapakah kalian? Apakah kalian kaki tangannya si Setan Kuburan?" orang itu malah balik bertanya.
Rangga tersenyum manis, lalu menggeleng. "Kami hanya pengembara biasa...," sahut Rangga pelan."
"Syukurlah. Kukira kalian kaki tangannya Setan Kuburan. Baru saja dia membuat korban baru. Penghuni rumah ini tewas...," jelas orang itu.
"Terbunuh?"
"Tepatnya begitu, meski secara tak langsung."
"Bagaimana hal itu bisa terjadi?" tanya Rangga bingung.
"Menurut apa yang kuketahui, Setan Kuburan itu terdiri dari dua orang. Yang satu pemuda dan yang satu lagi perempuan. Mereka menjerat mangsanya secara halus. Dan, jarang sekali ada yang mampu menolak ajakan mereka. Setelah puas berhubungan badan, maka korbannya akan menderita suatu penyakit aneh. Tubuhnya mengeluarkan bisul-bisul, yang kemudian pecah dan mengeluarkan bau busuk. Dan dalam waktu singkat orang itu akan meninggal," jelas orang itu secara singkat.
"Apakah pemilik rumah ini tokoh persilatan?"
Orang yang di tanya menggeleng. "Dia hanya seorang petani biasa. Setan Kuburan itu tak memilih-milih korban. Perempuan atau laki-laki berwajah cantik atau tampan, akan menjadi korban mereka."
"Lalu, kenapa orang-orang itu disebut Setan Kuburan?" tanya Rangga masih bingung.
"Konon kedua Setan Kuburan itu mampu membangkitkan mayat-mayat, untuk diperintah menyerang lawannya. Tak heran bila sampai sekarang tak seorang pun yang berhasil membi-nasakan mereka," jelas orang itu.
Rangga dan Pandan Wangi kembali meng-anggukkan kepala mendengar cerita itu.
"Kisanak! Kulihat kau membawa-bawa pedang. Juga kawanmu itu. Kalian tentu bukan orang sembarangan. Apakah kalian pun akan mencari Setan Kuburan dan membinasakan mereka?" tanya orang itu.
"Hm.... Setiap kejahatan harus ada ganjarannya, seperti halnya kebaikan. Yakinlah! Dia tak akan bisa terus-terusan berbuat sesuka hatinya dengan menimbulkan korban di mana-mana," sahut Rangga.
Setelah berbasa-basi sebentar, Pendekar Rajawali Sakti mengajak Pandan Wangi meninggalkan tempat itu. Kedua pendekar dari Karang Setra segera melompat ke atas punggung kuda masing-masing. Sebentar saja kuda itu sudah bergerak kencang meninggalkan tempat itu. Sementara orang tadi memandangi dua anak muda itu sampai hilang di tikungan jalan. Kemudian terlihat dia menghela napas pendek..
udah-mudahan mampu mengatasi Setan Kuburan keparat itu. Kalau tidak, entah bagaimana jadinya negeri ini. Korban akan terus berjatuhan, dan tak seorang pun yang mampu menahannya.
TUJUH
"Tolong...! Tolooong...!"
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan sejenak begitu mendengar suara minta tolong dari depan mereka. Keduanya segera turun dari kuda dan tegak berdiri sambil memandangi wanita yang berlari tergopoh-gopoh menuju keduanya. Beberapa kali dia jatuh bangun sambil berusaha menahan rasa sakit. Napasnya terengah-engah begitu wanita itu tiba di depan sepasang pendekar dari Karang Setra. Mukanya pucat dan rambutnya terlihat kusut. Matanya menatap memelas ke arah Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Wajahnya nampak dipenuhi rasa ketakutan.
"Tolong. Di sana ada..., ada si Setan Kuburan. Dia tengah menganiaya korbannya!" tunjuk wanita itu ke satu arah.
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan sejenak. "Kakang, mari kita ke sana! Tanganku sudah gatal ingin menghajar orang itu!" ujar Pandan Wangi cepat.
"Baiklah. Coba tunjukkan, di mana mereka berada," ujar Pendekar Rajawali Sakti, kembali menatap wanita itu.
"Aku..., aku, takut..."
"Jangan khawatir. Kami akan melindungimu. Ayo, tunjukkan dimana si Setan Kuburan itu berada! desak Pandan Wangi.
Dengan wajah khawatir, wanita itu mengantarkan Rangga dan Pandan Wangi ke tempat tadi dia bertemu Setan Kuburan. Mereka melangkah agak bergegas. Rangga dan Pandan Wangi berdampingan sambil menuntun kuda masing-masing. Sementara wanita itu agak ke belakang, di samping Pandan Wangi.
"Di situ...," tunjukkan wanita itu ke sebuah pohon kecil. Memang tempat itu tak jauh dari tempat Rangga dan Pandan Wangi bertemu wanita tadi. Sehingga sebentar saja mereka sudah tiba di depan pondok kecil yang terletak di pinggir hutan.
"Hm, Pandan. Kau tunggu di sini, dan jaga dia. Biar aku yang masuk ke dalam!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak, Kakang! Aku juga ingin melihat bagai-mana tampang mereka!" sahut Pandan Wangi lebih dulu melompat dan melangkah hati-hati mendekati pondok itu.
"Hati-hati, Pandan!" Rangga mengingatkan. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti mengikuti gadis itu dari belakang sambil mengajak wanita yang tadi ditemui.
"Bau busuk apa ini?!" desis Pandan Wangi sambil menutup hidungnya.
Rangga pun mencium bau itu. Seketika hatinya semakin penasaran saja dengan apa yang telah terjadi di dalam pondok itu. Dengan hati-hati, Pendekar Rajawali Sakti mengintip ke dalam lewal celah-celah dinding yang bolong. Tak terlihat seorang pun. Maka sambil mengendap-endap, mereka menerobos masuk ke dalam.
"Astaga!" Pandan Wangi nyaris terpekik ketika melihat sesosok tubuh tergeletak di lantai pondok dalam keadaan menjijikkan. Tubuhnya meleleh seperti daging busuk. Dan, dari situlah sumber bau busuk itu!
"Kakang..!" Gadis itu memeluk Rangga sambil membenamkan wajahnya dengan perasaan ngeri dan geli.
Rangga buru-buru mengajak Pandan Wangi keluar dan menjauh dari pondok ini. Sesaat lamanya, barulah gadis itu melepaskan pelukannya. Keduanya memandang kepada wanita yang sejak tadi masih menunjukkan rasa takutnya.
"Siapa orang itu?!" tanya Pandan Wangi lirih.
"Dia.., dia bapakku ..," sahut wanita itu sambil terisak menangis.
Pandan Wangi membujuk wanita itu beberapa lama, sampai tangisnya sedikit meredah. "Sudahlah. Hapus air matamu dan relakan ke pergiannya. Setan Kuburan keparat itu akan mendapat balasan yang setimpal atas perbuatannya...!" lanjut Pandan Wangi, geram.
"Kini aku sebatang kara dan tak tahu harus pergi ke mana...," lirih suara wanita itu.
"Kau tak punya sanak keluarga yang lain?" tanya Pandan Wangi.
Wanita itu menggeleng lemah, kemudian menundukkan kepala. Sementara Pandan Wangi memandang Rangga, seakan meminta persetujuan atau pertimbangan. Sedang Rangga hanya diam, seraya mengangkat bahu.
"Orang-orang itu pasti mau menolongmu...."
"Setan Kuburan itu pasti akan mengejarku, ke mana saja aku pergi. Dan seluruh penduduk desa ini dicekam ketakutan. Mereka tak ada yang mau menolongku, kalau nyawa mereka sendiri terancam oleh kehadiranku. Oh! Aku tak tahu harus pergi ke mana. Barangkali memang sudah ditakdirkan kalau aku akan menjadi korban si Setan Kuburan itu," ratap wanita itu lirih.
"Kakang, bagaimana kalau kita ajak saja dia...?" tanya Pandan Wangi.
Rangga berpikir sesaat, sebelum menyatakan persetujuannya. "Terserah kau saja kalau memang demikian...."
"Terima kasih, Kakang...," sahut Pandan Wangi sambil tersenyum kecil. Pandan Wangi memandang pada wanita itu, bibirnya masih tetap tersenyum. Kemudian dia menepuk bahunya pelan.
"Eh, siapa namamu?" tanya Pandan Wangi.
"Ng.., Ningsih."
"Nah, Ningsih. Kau boleh ikut kami untuk sementara. Tapi setelah menemukan si Setan Kuburan, kita akan berpisah. Karena, tak ada lagi yang akan mengganggumu," lanjut Pandan Wangi.
"Oh, terima kasih. Terima kasih...!" sahut wanita itu, berseri.
Tak berapa lama kemudian, mereka melanjut-kan perjalanan kembali dengan mengajak gadis itu bersama!
********************
Malam telah larut ketika Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi, dan wanita yang mengaku bernama Ningsih tiba di kotaraja yang cukup ramai. Dan mereka telah mendapat tempat penginapan, sehingga dapat beristirahat dengan leluasa. Sepanjang perjalanan mereka tadi, dapat diketahui kalau jejak si Setan Kuburan sampai pula di tempat ini. Hal itulah yang membuat mereka menuju ke tempat ini.
Di sepanjang perjalanan pun banyak terlihat tokoh-tokoh persilatan berkumpul. Agaknya, sepak terjang si Setan Kuburan yang tak memilih korban, telah menimbulkan kemarahan mereka. Memang, tak kurang sanak saudara mereka pun ikut menjadi korban. Dan di antaranya, tak sedikit yang merasa geram dan bermaksud menghukum si Setan Kuburan meskipun sanak saudaranya tak ada yang menjadi korban.
Rangga baru saja akan memejamkan mata ketika pintu kamar digedor. Dia tersentak kaget. Buru-buru dia bangkit, lalu melangkah ke arah pintu. Cepat dibukanya pintu kamar ini.
"Ningsih? Ada apa?!" tanya Rangga kaget, begitu pintu dibuka. Tampak wajah wanita itu pucat ketakutan, dan hela napasnya terasa memburu di depan pintu kamar ini.
"Pandan Wangi, dia..., dia...." Suara Ningsih tergagap, tak mampu mengungkapkan satu patah kata pun.
"Pandan Wangi? Kenapa dia?!" Rangga tersentak kaget.
Tanpa mempedulikan wanita itu, Pendekar Rajawali Sakti melompat dan menerobos masuk ke dalam kamar Pandan Wangi. Begitu masuk, kamar itu terlihat kosong. Sementara tempat tidur serta barang-barang lain tampak berantakan. Jendela luar terbuka. Tanpa pikir panjang lagi Rangga langsung melesat menerobos keluar lewat jendela. Ditembusnya malam gelap, dengan berlari ke satu arah.
Penglihatan serta pendengarannya dipertajam. Namun, tak ada tanda-tanda yang patut dicurigai. Mustahil tak seorang pun yang mengetahui, apa yang terjadi di kamar itu? Beberapa orang masih lalu lalang di tempat itu. Dan, keadaannya seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Pendekar Rajawali Sakti segera berbalik, begitu menyadari keadaan. Seketika tubuhnya melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Kembali diterobosnya jendela kamar penginapan itu.
Tampak Ningsih masih terduduk dengan wajah ketakutan, ketika Rangga masuk ke kamarnya. Ditatapnya pemuda itu sekilas, kemudian kembali menundukkan kepala.
"Katakan apa yang terjadi Ningsih?" tanya Rangga dingin.
"Seseorang menerobos lewat jendela. Dan Pandan Wangi langsung menyerangnya ketika orang itu hendak menangkap kami. Aku masih sempat melihat orang itu...," jelas Ningsih dengan tubuh gemetar.
"Kau lihat siapa orang itu?" desak Pendekar Rajawali Sakti.
Ningsih menggeleng.
"Setan! Siapa pun yang berbuat demikian terhadapnya, tak akan selamat dari tanganku!" geram pemuda itu sambil melangkah gusar keluar dari kamar itu.
"Tunggu...!" Ningsih berteriak memanggil sambil berlari kecil menghampiri.
"Ada apa?" Rangga menghentikan langkahnya.
"Aku..., aku takut...," sahut Ningsih dengan suara gemetar.
"Kau tak apa-apa di sini. Tunggulah di kamar. Aku akan mencari jejak orang yang lelah menculik Pandan Wangi!" ujar Rangga bergegas.
"Aku ikut saja!"
Ningsih langsung menangkap pergelangan tangan Rangga. Wajahnya terlihat mengiba dan penuh ketakutan. Tapi saat itu Rangga seperti tak mempedulikannya. Yang dikhawatirkan hanya nasib Pandan Wangi. Sehingga, meskipun gadis itu terus memohon, Rangga terus bergegas meninggalkannya.
Dan meskipun demikian, gadis itu tetap mengikuti Pendekar Rajawali Sakti dari belakang, dan dengan hati-hati sekali. Bahkan gerakannya terlihat lincah dan gesit!
"Kejar dia! Jangan sampai lolos lagi!" Mendadak terdengar suara ribut-ribut di luar kedai.
"Itu dia si Setan Kuburan! Tangkap dan jangan beri kesempatan kabur!"
Rangga kaget juga ketika mendengar teriakan-teriakan itu. Seketika langkahnya dihentikan. Dan Pendekar Rajawali Sakti melihat beberapa tokoh persilatan tampak tengah melompat saling berebut ke satu arah.
"Sial! Apa yang kulakukan sekarang? Mencari Pandan Wangi, atau mengejar si keparat itu?!" gumam pemuda itu geram.
Lama Pendekar Rajawali Sakti berpikir sambil mengingat-ingat apa yang diceritakan Ningsih tadi. Benarkah Pandan Wangi bisa dicundangi dalam waktu singkat begitu? Rasanya sulit diterima akal. Seandainya bermaksud menjatuhkan Pandan Wangi, tak akan cukup dengan tiga atau empat jurus. Kecuali..., kalau Pandan Wangi lengah dan sama sekali tak menyangka kalau akan diserang. Atau barangkali orang yang menculiknya itu memiliki kepandaian sangat tinggi? Apa tidak mungkin kalau orang itu si Setan Kuburan. Mengingat, kejadian yang menimpa Pandan Wangi dengan kehadiran si Setan Kuburan yang diributkan orang-orang itu beberapa waktu yang lalu?
"Setan! Dia akan mampus di tanganku kalau berani berbuat sesuatu terhadap Pandan Wangi!" geram pemuda itu sambil melompat cepat dan berlari kencang ke arah orang-orang tadi.
Agaknya Pendekar Rajawali Sakti memang tak perlu mengejar lebih jauh. Di ujung desa ini, telah berkumpul banyak orang. Tempat itu sendiri telah diterangi berpuluh-puluh obor yang dibawa seba-gian besar penduduk desa ini. Agaknya mereka penasaran betul dan ingin melihat, bagaimana tampang orang yang sering disebut Setan Kuburan.
Sementara itu di tempat yang agak luas dipenuhi rumput, tengah terjadi pertarungan. Di dekatnya juga terlihat sesosok tubuh terbujur kaku dalam keadaan menyedihkan. Kepalanya remuk dan tulang dadanya patah. Rangga mengalihkan perhatian. Dicobanya melihat dengan pandangan yang tajam ke arah dua orang yang tengah bertarung itu. Yang seorang laki-laki berusia lanjut dengan rambut dan jenggot panjang. Jubahnya kuning berbunga-bunga dengan warna dasar abu-abu. Sementara yang seorang lagi...
"Hei? Betulkah pemuda yang tengah bertarung itu Setan Kuburan?!" kata pemuda itu bicara sendiri.
"Ya, dialah si keparat Setan Kuburan itu," sahut salah seorang tokoh persilatan yang berada di dekatnya, dan kebetulan mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.
Mendadak, saat itu terdengar pekikan kesakitan. Tubuh orang tua itu tersungkur dengan memuntahkan darah kental. Bola matanya mendelik lebar, dan tubuhnya menggelepar beberapa saat. Sedangkan pemuda yang menjadi lawannya tegak berdiri sambil memandang ke sekeliling dengan senyum sinis.
"Hm.... Siapa lagi yang akan menyusul untuk mampus?" kata pemuda itu dingin.
Rangga baru saja akan melompat untuk menghadapi pemuda itu, namun beberapa orang tokoh persilatan lebih dulu menyerbu serentak. Terpaksa niat itu diurungkan.
"Jahanam keparat! Kau pikir bisa berbuat sesuka hatimu?! Kau akan mampus hari ini juga!"
"Cincang dia!"
"Bunuh...!"
Melihat keberanian beberapa orang tokoh persilatan yang menyerbu ke arah pemuda itu, yang lain pun ikut-ikutan menghajar. Mereka seperti ingin melampiaskan dendam selama ini yang menggumpal di dada.
"Tikus-tikus tak berguna! Kalian pikir bisa menghancurkanku dengan cara begini?! Terimalah kematian kalian, yeaaa...!"
Werrr...!
Sambil membentak nyaring pemuda itu menyorongkan sebelah telapak tangannya. Saat itu pula, menderu angin kencang yang berbau busuk menghantam orang-orang yang akan mengerubutinya.
"Aaakh...!"
Sebagian orang-orang itu terpelanting sambil menjerit kesakitan. Sebagian lagi bertahan sambil memasang kuda-kuda kokoh. Beberapa orang lagi malah terlihat terus menyerang pemuda itu dengan garang. Seolah-olah, mereka tak terpengaruh sedikit pun dengan hantaman pukulan yang dilancarkan pemuda yang diduga Setan Kuburan.
"Mampus!" dengus salah seorang sambil menebaskan pedangnya ke leher lawan.
Namun dengan gerakan gesit, Setan Kuburan menundukkan kepala. Tubuhnya terus melayang menghindari tendangan maut yang dilancarkan seorang lawannya yang lain. Kemudian, kepalan tangan kanannya menyodok ke salah seorang. Sementara, kaki kirinya menghantam keras pada seorang lawan lagi yang mencoba mencuri kesempatan dengan menyerang dari bawah.
"Hiyaaa!"
Dugkh!
Orang yang mencoba menyerang dari bawah kontan terjengkang ketika dadanya terhantam kaki kiri Setan Kuburan. Dan begitu mendarat, Setan Kuburan telah mendapat dua sapuan pukulan dari dua orang pengeroyok. Seketika, dipapaknya dua pukulan itu dengan gerakan cepat.
Wuttt!
Plak! Plakkk!
"Uhhh...!"
Dua tokoh yang beradu pukulan dengan Setan Kuburan mengeluh kesaktian sambil mengusap tangan bekas benturan tadi. Wajah mereka meringis kesakitan. Agaknya, mereka baru menyadari kalau tenaga dalam pemuda itu sangat kuat dan tak bisa dianggap enteng. Tak heran bila tak ada seorang pun yang sampai saat ini yang berhasil mengalahkannya.
"Huh! Sebaiknya kalian bunuh diri saja ber-sama-sama. Percuma, karena keinginan kalian untuk menghancurkan diriku hanya omong kosong. Kalianlah yang akan mampus di tanganku!" dengus pemuda itu sinis.
"Tutup mulutmu, Bocah! Kau pikir kami takut dengan mulut besarmu itu?! Meski punya kepandaian tinggi jangan harap kami akan mundur!" sahut salah seorang yang bertubuh tegap dengan codet di pipi kirinya. Senjatanya berupa pedang.
Orang itu dalam dunia persilatan dikenal sebagai si Pedang Angin. Permainan pedangnya cepat dan hebat. Jarang ada orang yang mampu mengunggulinya. Sementara, tiga orang kawannya yang tegak berdiri mengurung pemuda itu masing-masing adalah si Belalang Sakti yang bertubuh kurus dan bermuka lonjong. Lalu, Peri Rimba Emas yang berambut panjang. Dan meski telah berusia lebih dari empat puluh tahun, namun masih terlihat cantik. Sementara yang terakhir adalah si Kapak Maut yang bertubuh gemuk pendek dan memiliki bibir dower. Senjatanya berupa sepasang tongkat pendek terbuat dari baja hitam. Masing masing ujungnya, terdapat mala pisau yang tajam berkilat.
"Hi hi hi...! Bocah gendeng, kau pikir dirimu sudah paling jago sehingga berani pentang bacot begitu?" sinis suara Peri Rimba Emas sambil tertawa dingin.
"Ha ha ha...! Perempuan molek! Kau sungguh menarik perhatianku. Meskipun usiamu sudah tua, tapi wajahmu masih tetap cantik dan tubuhmu menggugah seleraku. Sungguh sayang kalau musti mati di tanganku. Kalau kau mau menyerah dan minta ampun, barangkali aku akan mempertimbangkannya," kata pemuda itu jumawa.
"Bocah ceriwis! Mulutmu agaknya perlu ditampar agar kau tak seenaknya bicara pada nenek moyangmu!" dengus Peri Rimba Emas sambil melompat menyerang.
Satu tendangan yang dilancarkan perempuan itu berhasil dihindari. Tapi hampir bersamaan dengan itu, ujung rambutnya yang panjang ternyata merupakan senjata yang ampuh saat menyambar ke arah dada Setan Kuburan. Sementara pemuda itu kelihatan tak terlalu terkejut melihat serangan itu. Terbukti, dia mampu menghindarinya.
Kalau saja pertarungan di antara mereka berlangsung satu lawan satu, barangkali akan sulit sekali bagi Peri Rimba Emas untuk menjatuhkan Setan Kuburan. Bahkan bisa jadi, malah dia yang akan dijatuhkan dengan mudah oleh pemuda tanggung itu. Untung saja agaknya hal itu tak terjadi. Memang ketiga kawannya yang lain juga mempunyai kepentingan sama, untuk membalaskan dendam terhadap pemuda tanggung yang dijuluki Setan Kuburan. Sehingga tentu saja sampai saat ini Peri Rimba Emas masih bisa bertahan.
Melihat si Setan Kuburan disibuki oleh keempat lawannya, pengeroyok yang lain pun kini kembali maju menyerang dengan semangat menggebu-gebu. Tentu saja hal itu cukup merepotkan Setan Kuburan. Kalau dibiarkan terus, bukan tak mungkin akan keteler. Bahkan sedikit saja lengah, maka nyawanya pasti melayang.
"Keparat!" dengus pemuda tanggung itu geram. Pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya seketika berputar dan langsung meluncur deras ke atas bagai kitiran. Begitu meluruk langsung dilepaskannya dua hantaman pada arah yang berlawanan. Seketika terlihat kelebatan sinar merah kehitam-hitaman meluncur deras seperti menghantam ke langit. Dalam sekejap saja, daerah di sekitar tempat itu dipenuhi hawa busuk yang amat menusuk. Orang-orang kontan tersentak kaget. Dan beberapa saat, serangan mereka berhenti.
"Kurang ajar! Dia pasti akan memanggil anak buahnya untuk menyerang kita!" dengus si Pedang Angin berang.
"Awas, hati-hati!" teriak salah seorang memperingatkan dengan sikap waspada.
"Lebih baik dia dibinasakan lebih dulu, sebelum mayat-mayat hidup itu ke sini!" desis si Belalang Sakti, sudah terus melompat menyerang pemuda itu, diikuti ketiga kawannya.
DELAPAN
Namun baru saja yang lain akan bergerak menyerang, sekonyong-konyong muncul beberapa tengkorak yang bergerak perlahan ke arah mereka. Jumlah tengkorak itu makin lama terus bertambah. Sebagian tinggal tulang-belulang. Namun tak kurang yang tubuhnya masih utuh atau rusak sebagian. Semuanya menebar bau busuk yang amat menusuk. Akibatnya sebagian orang-orang yang berada di tempat itu menutup hidung. Bahkan ada yang sudah muntah muntah.
"Grrrrgr...!"
"Uhhh!"
Mayat-mayat hidup itu langsung menyerang buas siapa saja yang berada di dekatnya. Tentu saja hal itu membuat mereka ketakutan. Namun sebagian lain dengan gagah berani terus melawan dan mampu menghancurkan satu atau dua sosok tengkorak Tapi jumlah mayat-mayat hidup itu terus bertambah, seperti tiada henti mengepung tempat Ini.
"Ha ha ha...! Tempat ini akan menjadi kuburan bagi kalian semua. Dan begitu mampus, maka kalian adalah pengikut-pengikutku yang setia!" teriak pemuda itu sambil tertawa terbahak-bahak.
"Huh! Jangan terlalu yakin, Bocah! Sesumbarmu tak akan berlaku bagi kami!" dengus si Katak Maut semakin geram mendengar ocehan sombong pemuda itu.
Sebenarnya, si Katak Maut hanya membesarkan semangat kawan-kawannya saja, berikut beberapa tokoh lain yang nyalinya mulai jatuh begitu melihat kehadiran mayat-mayat hidup itu. Pada kenyataannya, hal itu memang tak membantu banyak. Malah kebanyakan dari mereka mulai putus asa. Bahkan banyak juga yang langsung kabur ketakutan begitu melihat kemunculan mayat-mayat hidup itu. Sehingga, mau tak mau yang lainnya jadi patah semangat dan perlahan-lahan kehilangan keberanian. Apalagi, mayat-mayat hidup itu mampu bergerak cepat dan menghantam lawan seperti dikendalikan saja. Tiap kali pukulan atau tendangannya, mampu membuat.lawan terjungkal. Bahkan tak jarang yang muntah darah!"
Tapi, mendadak semangat mereka kembali muncul ketika mayat-mayat hidup itu terpental ke sana kemari tertiup angin topan maha dahsyat. Tampak seorang pemuda berambut panjang terurai dengan memakai baju rompi putih tengah mengamuk hebat. Dengan ajiannya mayat-mayat hidup itu dihancurkannya.
"Horeee! Kita hancurkan setan-setan keparat ini!"
"Sikaaat..!"
Teriakan-teriakan itu benar-benar mengejutkan Setan Kuburan. Sorot matanya tajam melihat siapa gerangan yang mampu memporak-porandakan anak buahnya. Dan ketika mengetahui, wajahnya sedikit berubah menunjukkan keterkejutannya.
"Sial! Kenapa dia berada di sini?!" maki pemuda itu kesal.
Memang yang tengah mengamuk itu tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti, orang yang selama ini harus dihindarinya untuk sementara. Terakhir pertemuan mereka, dia mendapat pelajaran pahit dari pemuda berbaju rompi putih itu. Dan malam ini, agaknya dia tak ingin peristiwa itu terulang lagi. Sehingga, tak heran kalau segenap kemampuannya dikerahkan untuk menjatuhkan keempat lawannya.
"Yeaaa...!"
Kini pemuda tanggung itu melepaskan satu serangan kaki ke arah si Belalang Sakti. Dan dengan cepat orang tua berusia empat puluh tahun itu menghindarinya dengan melenting dan berputaran di udara. Dan Setan Kuburan langsung melanjutkan serangannya berupa tendangan ke arah si Katak Maut sambil menghindari serangan si Pedang Angin dan Peri Rimba Emas. Setelah itu, kembali pemuda yang sebenarnya bernama Pulang Geni mencecar si Belalang Sakti. Agaknya dia merasakan kalau di antara keempat lawannya, hanya si Belalang Sakti saja yang daya serangnya tak begitu kuat. Namun sayang pertahannya hebat. Maka pertahanan itulah yang hendak ditembusnya.
"Yeaaa..!"
Tapi rupanya kepalan tangan Katak Maut lebih cepat menderu ke arah dada pemuda tanggung itu. Maka dengan gerakan manis. Pulang Geni memiringkan tubuh sambil menangkis dengan tangan kanan.
Plakkk!
Pada saat yang hampir bersamaan, dengan nekat Pulang Geni membiarkan tangan kirinya dililit ujung rambut Peri Rimba Emas. Namun dengan sekuat tenaga, tangan yang dililit rambut itu disentakkan keras.
"Hih!" Wanita itu tersentak kaget. Terpaksa diikutinya sentakan itu kalau tak ingin kulit kepalanya copot. Apalagi tenaga yang dikerahkan pemuda itu kuat sekali.
Prasss!
Agaknya, Pulang Geni memang mempunyai suatu rencana lain. Ternyata gerakannya yang menyentak itu menjadikan rambut Peri Rimba Emas sebagai tameng untuk menangkis kelebatan senjata si Pedang Angin.
"Hih!"
Prasss!
Tak ampun lagi! Rambut si Peri Rimba Emas hanya tersisa sedikit, begitu pedang milik Pedang Angin memapasnya. Bukan main terkejutnya wanita cantik itu. Sekian tahun memelihara rambutnya, tapi kini hanya sekali tebas saja tinggal sejengkal dari kulit kepalanya. Demikian pula si Pedang Angin. Sungguh sama sekali tak disangka kalau pemuda itu akan menyodorkan rambut si Peri Rimba Emas sebagai tameng. Sehingga untuk beberapa saat dia jadi terpaku tak percaya. Dan hal itu di manfaatkan betul oleh Pulang Geni. Seketika dilepaskannya pukulan maut yang menderu dengan tubuh berputar, disertai tendangan menggeledek ke arah Peri Rimba Emas.
Dukkk!
Desss!
"Aaakh...!"
Si Pedang Angin dan Peri Rimba Emas memekik nyaring ketika dada dan perut mereka terkena sodokan kepalan tangan dan tendangan Setan Kuburan yang keras bukan main. Keduanya kontan terjungkal di tanah dengan darah segar meleleh dari mulut.
"Kurang ajar!"
Si Belalang Sakti dan Kapak Maut memaki hampir berbarengan. Dan mereka langsung menyerang disertai kemarahan meluap.
Menghadapi kedua orang itu tidaklah sesulit saat mereka masih berempat. Lagi pula, pemuda tanggung itu menyadari betul kalau kedua lawannya kini tidak memiliki kepandaian, sehebat si Pedang Angin atau Peri Rimba Emas.
"Yeaaa...!"
Pulang Geni menundukkan kepala, ketika satu pukulan si Katak Maut menghantam ke arah dada. Lalu sambil memutar tubuhnya langsung mencelat ke atas, menghindari tendangan si Belalang Sakti. Dan pada saat yang bersamaan, kedua kakinya yang lincah berputaran memberi serangan balasan.
"Hih!"
"Uhhh!"
Kedua pendekar itu mencoba berkelit dari tendangan dengan menggeser ke samping kanan dan kiri. Namun dengan gerakan cepat, Pulang Geni melepaskan satu sodokan keras ke arah si Katak Maut yang bergeser ke kanan.
Diegkh!
"Aaakh...!" Si Katak Maut kontan terjengkang disertai muntahan darah, ketika kepalan tangan kanan Pulang Geni menghantam dadanya.
Sementara si Belalang Sakti mencoba mencuri kesempatan dengan mengirim tendangan kilat. Tapi cepat sekali Pulang Geni melenting ke atas dan berputaran diudara. Dan belum juga si Belalang Sakti memperbaiki kedudukan, tubuh Pulang Geni telah meluruk turun dengan gerakan laksana kilat. Kepalan tangannya bahkan siap diarahkan ke punggung kiri Belalang Sakti dengan kekuatan penuh. Tak ada kesempatan bagi orang tua bertubuh kurus itu untuk menghindar, sehingga....
Begkh!
"Aaakh...!" Disertai jeritan nyaring, tubuh Belalang Sakti terjungkal ke tanah, begitu punggungnya terhantam kepalan tangan Pulang Geni. Tubuh Belalang Sakti kini tergeletak di tanah dalam keadaan sekarat, setelah memuntahkan darah segar.
Pulang Geni bermaksud kabur dari tempat itu. Namun baru saja melangkah tiga tindak, seseorang menghadang di depannya dengan wajah dingin dan sorot mata penuh kemarahan.
"Pendekar Rajawali Sakti?!" sahut Pulang Geni terkejut. Pemuda tanggung itu menoleh ke sekeliling. Tampak pasukan mayat hidupnya hanya tinggal segelintir saja. Dan itu pun menjadi bulan-bulanan beberapa tokoh-tokoh yang masih tersisa.
"Tak akan kubiarkan kau pergi dari tempat ini sebelum Pandan Wangi dikembalikan padaku!" geram Pendekar Rajawali Sakti dingin.
"He?! Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura! Sehelai saja rambutnya rontok karena ulahmu, sudah cukup nyawamu sebagai penggantinya!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Kau kira aku takut padamu! Aku tak tahu apa-apa tentang perempuan yang kau sebut Pandan Wangi itu. Tapi, baik! Majulah kalau memang kau memiliki kemampuan!" dengus Pulang Geni geram.
Rangga tak lagi menyahut! Namun tubuhnya sudah langsung mencelat mengirimkan serangan maut yang bertenaga kuat. Pemuda itu agaknya mengetahui betul tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga dia tak mau melayani secara serampangan. Dan ditambah dengan hawa kemarahannya yang menyala-nyala di dada, serangan Pendekar Rajawali Sakti memang tak bisa dianggap enteng. Pulang Geni atau yang lebih dikenal sebagai Setan Kuburan terpaksa mencoba menahan serangan lawan dengan sekuat daya kemampuannya.
Sementara, Rangga sendiri sebenarnya sudah bisa menilai kemampuan Pulang Geni. Dan lagi, walaupun marah, dia masih bisa mengendalikannya. Sehingga, setiap serangan yang dilakukan sebenarnya hanya untuk menakut-nakuti pemuda tanggung itu. Malah dia hanya menggunakan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' tingkat menengah.
"Hiyaaa!"
Bet! Bet!
Satu tendangan yang diikuti sodokan kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti, mampu dihindari Pulang Geni dengan gerakan mencelat ke belakang. Tapi serangan itu tak berhenti di situ. Dengan pengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' serangan Rangga seperti beruntun dan tiada henti. Baru saja Pulang Geni mendaratkan kakinya dengan manis di tanah Rangga sudah memberikan tendangan kaki kanan yang cepat bertenaga dalam kuat.
"Hih!" Pulang Geni terkesiap sejenak, namun buru-buru mengibaskan tangan kirinya, untuk memapak tendangan Rangga.
Plakkk! Pemuda tanggung itu meringis menahan sakit pada tangan kirinya, begitu memapak serangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan tendangan memutar dengan kaki kiri. Sehingga....
Duk!
"Uhhh...!" Setan Kuburan mengeluh pelan, ketika bahu kirinya terkena tendangan Rangga. Tubuhnya terjajar dua langkah ke belakang sambil merasakan persendiannya yang seolah mau copot. Pulang Geni menyadari, kalau terus-terusan begini, dia tak akan unggul melawan Pendekar Rajawali Sakti. Maka dipersiapkannya ajian miliknya, untuk menghancurkan pertahanan Pendekar Rajawali Sakti.
Beberapa kali si Setan Kuburan itu melepaskan pukulan maut yang membuat beberapa pohon di sekitarnya hancur berantakan. Bahkan mereka yang tadi bertarung dan kini menonton pertarungan, terpaksa menyingkir agak jauh. Memang, hawa sinar merah kehitam-hitaman yang dikeluarkan si Setan Kuburan juga menyebar bau busuk yang menyengat
"Hihhh!" Pendekar Rajawali Sakti menggertakkan rahangnya melihat Setan Kuburan telah melepaskan ajiannya. Bahkan kini selarik sinar berwarna merah kehitam-hitaman telah meluncur ke arahnya. Maka seketika dia membuat gerakan di depan dada. Lalu begitu tangannya telah berada dipinggang, langsung dihentakkan ke depan, melepaskan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Seketika dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti melesat sinar merah yang memapak serangan Pulang Geni.
Glarrr!
"Aaakh...!" Dua pukulan maut beradu, menimbulkan le dakan yang cukup keras. Pulang Geni seketika terpental, disertai jeritan keras ketika merasakan pukulannya berbalik menghantam dirinya. Ternyata pengaruh tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti yang kuat tersalur lewat pukulan, terus melabrak pemuda tanggung itu.
"Hiyaaa...!" Dan saat itu juga, tubuh Pendekar Rajawali Sakti melompat, bermaksud menghabisi Pulang Geni. Namun mendadak...
"Pendekar Rajawali Sakti, hentikan! Kalau tidak kekasihmu akan mampus!"
"Heh?!" Rangga terkejut, dan kontan menghentikan serangannya. Setelah berputaran di udara sesaat, dia mendarat manis di tanah. Langsung kepalanya menoleh ke arah datangnya suara. Wajah Pendekar Rajawali Sakti kontan berubah heran, ketika melihat siapa orang yang mengeluarkan bentakan tadi.
"Ningsih?! Apa yang kau lakukan?!"
Orang itu memang Ningsih! Sambil tersenyum sinis, dia mencengkeram Pandan Wangi yang kelihatan tak berdaya. Mata Pendekar Rajawali Sakti menyipit, mencoba melihat tegas keadaan Pandan Wangi. Gadis itu kelihatannya tak kurang suatu apapun, karena tubuhnya dalam keadaan tertotok.
"Hm... Jadi selama ini kau membohongiku. Apa maksudmu, Ningsih?" tanya Rangga dingin sambil melangkah pelan mendekati.
"Jangan mendekat kalau tak ingin kekasihmu ini mampus!" bentak Ningsih memperingatkan.
Rangga langsung menghentikan langkah. "Siapa kau sebenarnya. Dan, apa yang kau inginkan?!"
"Hi hi hi...! Akulah Setan Kuburan yang selama ini dicari-cari. Sedangkan itu adalah anakku. Huh! Kalau saja kau tak mengacau, maka rencana kami akan berjalan mulus. Sekarang, cabutlah pedangmu. Dan, gorok lehermu! Kalau tidak, kekasihmu akan mampus di hadapanmu!" ancam perempuan itu. Dia pura-pura akan mencekik leher Pandan Wangi, untuk menunjukkan kalau ancamannya tak main-main.
"Ningsih, lepaskan Pandan Wangi! Kita akan bicara baik-baik selak Pendekar Rapwali Sakti.
"Tulup mulutmu! Namaku bukan Ningsih, tapi Setiasih. Dan anakku, bernama Pulang Geni. Tak ada lagi yang akan dibicarakan saat ini. Turuti saja kata-kataku. Semua yang telah berlalu, tak akan bisa kembali lagi. Ketika dulu orang-orang membenci dan mengucilkan kami, kemudian kami diburu-buru seperti binatang, siapa yang mau bicara pada saat itu? Siapa yang memandang dan memberi belas kasihan pada kami? Semua orang menyalahkan penyakit anakku! Padahal, tak seorang ibu pun yang menghendaki anaknya menyebar malapetaka. Tapi, mereka tak mau mengerti. Bahkan tetap menganggap kami penyebab malapetaka. Sekarang, semuanya sudah berakhir. Dan kalian, akan menerima pembalasan yang menyakitkan dari kami...!" kata perempuan itu, seperti menyimpan dendam yang membara.
Rangga bingung sendiri mendengar cerita perempuan itu. Sepertinya cerita itu tak ada ujung pangkalnya. Namun sedikit banyak bisa dimengerti, apa yang menyebabkan mereka berbuat seperti yang dilakukan belakangan ini
"Setiasih! Dendam tak akan bisa terhapus dengan dendam pula. Karena, semuanya akan berbuntut panjang. Tidakkah kau bisa mengerti kalau kau dan anakmu masih punya kesempatan untuk hidup tenang dan tenteram? Kalau kau tetap pada jalanmu, maka mereka pun akan menuntut dendam kembali...!"
"Tutup mulutmu! Aku tak sudi mendengar khotbah itu lagi! Kau pikir, siapa dirimu?! Orang suci? Dewa?! Kau tak lebih busuk dari kami. Berapa banyak darah yang telah mengotori tanganmu. Dan berapa banyak oang yang mencari-carimu, untuk membalaskan dendam mereka akibat perbuatanmu. Apakah kau tak menyadarinya?!" sentak perempuan itu garang.
"Kau benar. Tapi, aku beda denganmu. Aku membunuh orang-orang tertentu yang menyebabkan malapetaka. Tapi, korban kalian kebanyakan orang yang tak tahu apa-apa tentang urusanmu. Bahkan banyak dari mereka yang tak mengenalmu!"
"Sudah! Sudah! Aku muak mendengar ocehanmu. Sekarang, cabut pedangmu. Dan, goroklah lehermu sendiri. Kalau tidak, gadis cantik ini akan mampus sekarang juga!" dengus Setiasih geram.
Perempuan itu agaknya betul-betul membuktikan ucapannya. Langsung dicekiknya leher Pandan Wangi kuat-kuat, sehingga gadis itu gelagapan dan sulit bernapas. Pelipisnya menegang, dan wajahnya mulai merah kebiru-biruan. Rangga tidak sampai hati melihatnya. Tapi, dia tak punya pilihan kalau tak ingin melihat kekasihnya mati di depan matanya tanpa bisa ditolong.
"Baiklah. Kuturuti kata-katamu...," desah Pendekar Rajawali Sakti sambil mencabut pedang pusakanya perlahan-lahan.
Sring!
"Heh?! Perempuan itu tersentak kaget, begitu melihat pamor Pedang Pusaka Rajawali Sakti, demikian juga yang lainnya. Kini malam yang hanya diterangi obor-obor, seketika disapu sinar biru kemilau yang terpancar dari batang pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Wajah Pendekar Rajawali Sakti terlihat dingin penuh perbawa bersama pedang itu. Bola matanya tajam, menatap perempuan di hadapannya.
Setiasih bergidik ngeri ketika menatapnya. Namun dengan sekuat tenaga dicobanya untuk melawan pengaruh yang ditimbulkan perbawa pedang itu, dan sinar mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan baru saat dia akan menguasai diri, mendadak...
Serrr! Serrr! Tiba-tiba melesat beberapa senjata rahasia yang dilemparkan seorang tokoh persilatan ke arah perempuan itu. Sejenak Setiasih gelagapan, dan buru buru mengibaskan tangannya untuk menangkis senjata rahasia itu. Sehingga pegangan pada Pandan Wangi terlepas.
"Hiyaaa...!" Sementara Pendekar Rajawali Sakti tak mau menyia-nyiakan peluang emas itu. Dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, dia melompat ke arah perempuan itu. Angin gerakannya mendesir kencang, dan membuat kaget beberapa tokoh persilatan yang sempat dilaluinya.
Setiasih yang baru saja menangkis habis senjata rahasia itu, mencoba kembali menyandera Pandan Wangi. Namun ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat datangnya. Sehingga...
Bresss!
aa...! Perempuan itu menjerit melengking tinggi begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar, tubuhnya kontan ambruk bersimbah darah.
buuu! Sambil berteriak kalap, Pulang Geni dengan kekuatannya sudah langsung melompat sambil menghantamkan pukulan maut ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang membelakanginya. Sepertinya, Rangga membiarkan saja serangan yang mengancamnya. Tapi tanpa diduga sama sekali ujung pedangnya cepat disorongkan ke belakang. Padahal tepat pada saat itu, Pulang Geni hampir mendaratkan pukulan. Dan....
Blesss...!
"Aaa..." Kembali terdengar jeritan menyayat, begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menembus dada Pulang Geni hingga ke punggung. Pendekar Rajawali Sakti cepat mencabut senjatanya, sehingga pemuda tanggung itu ambruk di tanah. Tampak darah memuncrat deras dari lubang yang tertembus pedang Pendekar Rajawali Sakti. Setelah menggelepar sesaat, tubuhnya meregang kaku. Mati!
Pendekar Rajawali Sakti merayapi dua sosok tubuh yang bersimbah darah, karena termakan pedangnya.
Cring!
Setelah memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka, Rangga menghampiri Pandan Wangi yang tak berdaya di tanah akibat tertotok oleh Setan Kuburan. Sebentar saja totokan itu telah dibebaskan Rangga.
"Kakang.... Apa yang terjadi," desah Pandan Wangi setelah tersadar.
"Kau baru saja pingsan, Pandan. Bangunlah. Rasanya kau tak menderita apa-apa...," ujar Rangga.
"Bagaimana dengan si Setan Kuburan?" tanya Pandan Wangi, begitu teringat.
Rangga tak menjawab. Hanya matanya yang berpaling ke arah dua mayat yang terbujur kaku, bersimbah darah. Dan Pandan Wangi juga berpaling ke sana.
"Mari kita pergi dari sini. Tak ada lagi yang perlu dikerjakan di sini," ajak Rangga.
"Ayo, Kakang.'"
Kedua pendekar dari Karang Setra itu segera melangkah perlahan, menuju penginapan. Mereka memang harus mengambil kuda yang ditinggalkan di sana.
"Kisanak, terima kasih atas pertolonganmu...," kata Pendekar Rajawali Sakti, ketika melewati seorang tokoh persilatan berusia lanjut. Memang dialah yang melepaskan senjata rahasia berupa pisau tadi.
"Anak muda! Dari mana kau tahu, kalau aku yang melempar dua bilah pisau itu. Padahal, kau tak melihatnya?" tanya orang tua itu, agak heran.
"Lho? Bukankah Kisanak sendiri yang barusan menyahut. Kalau aku sih hanya mengucapkan terima kasih saja," kata Rangga, agak bergurau.
Orang tua itu jadi garuk-garuk kepala sendiri sambil mengeleng-geleng seperti orang bodoh. Sementara Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut telah berlalu dari tempat itu.
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: RAHASIA CANDI TUA