PUTRI RANDU WALANG
SATU
HARI belum terlalu senja ketika dua orang penunggang kuda mulai memasuki halaman luas sebuah bangunan kokoh terbuat dari kayu hutan. Daerah sekitar tempat ini agak gersang. Sedikit sekali pepohonan yang tumbuh. membuat matahari yang sudah berwarna jingga dengan leluasa menciptakan bayangan panjang.Pada bagian sebelah kiri bangunan itu, terlihat bangunan lain yang bertingkat dua. Atapnya dari ijuk. Sedangkan bangunan utamanya langsung berhubungan dengan pintu depan.
"Berhenti...!"
Mendadak terdengar bentakan seseorang. Lalu dari atas atap melayang dua sosok tubuh wajahnya ditutupi kain hitam. Mereka langsung menghunuskan sebilah golok ke arah kedua penunggang kuda itu.
"Hieee...!"Karena terkejut, kedua hewan itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Untung saja penunggangnya cepat menguasai keadaan. Sehingga dalam waktu singkat mereka berhasil menenangkan kuda-kuda itu.
"Siapa kalian?! Dan, apa maksud kalian datang ke tempat ini?!" bentak salah seorang dari dua orang bertopeng.
"Kami utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum! Dan kedatangan kami untuk bertemu dengan Gendoruwo Samber Nyawa!" sahut salah satu penunggang kuda.
"Mana tanda pengenal kalian?"
"Ini!" Salah seorang mengeluarkan lencana kerajaan. Langsung ditunjukkannya pada kedua orang bertopeng itu.
"Hm, baiklah. Silakan masuk. Ketua kami telah menunggu kedatangan kalian!" kata seorang bertopeng seraya mempersilakan kedua penunggang kuda itu masuk kedalam bangunan.
Setelah berkata demikian, kedua manusia bertopeng itu mencelat ke tempat semula Sebentar saja, mereka telah menghilang dibelakang bangunan. Kedua penunggang kuda itu memperhatikan sekilas. Mereka menghela napas dan saling berpandangan, kemudian dia menggebah kudanya memasuki halaman bangunan itu.
Mereka turun dari punggung kuda dan menambatkannya disebuah pohon yang tidak jauh dari situ. Suasana sepi, membuat mereka curiga dan merasa tak enak. Tidak seorang pun terlihat di tempat ini. Segalanya hening. Dan bangunan yang kumuh serta berkesan reot itu menambah suasana di tempat ini menjadi menyeramkan.
Krieeet...!
Terdengar derit pintu terbuka, ketika kedua orang itu membuka pintu bangunan ini, mereka segera melongok ke dalam. Ruangan itu tampak sepi.
"Sampurasun...." ucap salah seorang.
"Silakan masuk. Ketua telah menunggu kalian!"
Terdengar sebuah suara menyahuti, membuat keduanya memandang sekilas. Dan tahu-tahu mereka melihat seorang laki-laki tegap bertelanjang dada serta memakai ikat kepala lebar warna hitam, muncul begitu saja bagai sebuah bayangan.
"Eh, jalan mana yang kami lalui...?" tanya seorang yang bertubuh agak kecil.
"Hm, masuk sajalah. Di situ kalian akan menemui sebuah terowongan. Kemudian masuk dan turuni anak tangga tanpa ragu-ragu. Di sana, akan ada yang menyambut kalian!" sahut orang itu menjelaskan.
Apa yang dilihat kedua orang utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum dalam ruangan ini hanya suasana remang-remang yang diterangi cahaya matahari dari celah-celah didinding-dinding. Kini didalam ruangan terdapat tiga buah pintu yang berukuran berbeda.
Dengan diantar laki-laki tegap tadi, keduanya segera menuju pintu yang ditunjukkan. Dan mereka segera membukanya dengan mudah. Terlihat sebuah undakan anak tangga yang menuju ke bawah. Sebelum melaluinya, keduanya sempat melirik. Orang bertubuh tegap tadi ternyata telah lenyap dari tempatnya. Entah ke mana!
Kedua utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum melangkah ragu. Baru saja dua anak tangga dilalui, pintu kecil itu menutup cepat. Mereka tersentak kaget. Salah seorang cepat memburu dan berusaha membuka. Namun baru disadari kalau ternyata bagian dalam daun pintu itu terbuat dari baja. Padahal yang mereka lihat dari luar hanya terbuat dari kayu lapuk.
"Terkunci dan keras sekali!" desis orang itu seraya memandang ke arah kawannya dengan wajah cemas.
Laki-laki yang satu lagi tercenung. Kemudian dia menghela napas dan mengajak untuk terus menyusuri anak tangga. Lebih dari dua puluh undakan telah dilalui sebelum tiba di bawah. Dan di sana telah menyambut seorang lelaki bertopeng hitam dan bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan celana pangsi dengan sarung melilit pinggang.
"Mari ikuti aku! Ketua telah menunggu kedatangan kalian!" kata orang bertopeng hitam itu datar.
Kedua utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum mengikuti orang bertopeng itu dengan langkah ragu seraya memperhatikan keadaan sekeliling. Yang terlihat hanya cahaya remang-remang dari obor yang terpancang di dinding lorong ini.
Ketika membelok ke kiri sepanjang lebih kurang sepuluh tombak, ketiganya memasuki sebuah ruangan yang cukup luas. Di situ banyak ditemukan orang bertelanjang dada dan bercelana pangsi dengan pinggang terlilit sebuah sarung bercorak kotak-kotak. Entah apa yang mereka lakukan. Namun sepertinya tak seorang pun yang mempedulikan kedua orang asing itu.
"Silakan masuk. Dan katakan, berita apa yang kau bawa...!"
Tiba tiba terdengar suara bernada kasar. Padahal saat itu mereka baru saja memasuki sebuah kamar. Bahkan belum lagi, melihat siapa yang berada di dalamnya.
Cahaya di dalam ruangan ini tampak suram dan pengap. Ada kepulan asap yang menggantung, memenuhi ruangan. Sehingga, menambah sesaknya pernapasan. Beberapa.orang berdiri sambil bersedekap. Dua diantaranya mengapit sebuah kursi yang berukuran lebar. Di situ, duduk seorang laki-laki berusia setengah baya. Rambutnya yang lebat, dilepas begitu saja hingga berkesan awut-awutan. Wajahnya tidak terlihat jelas, diselimuti keremangan. Tapi seperti yang lain, dia pun bertelanjang dada. Celananya pangsi hitam dengan sebuah sarung kotak-kotak melilit pinggang. Tubuhnya terlihat tegap. Dan dalam kegelapan, sepasang matanya nyalang laksana mata seekor kucing di kegelapan.
"Lekas katakan maksud kalian!" sentak seseorang, ketika kedua utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum masih diam terpaku.
"Eh, ya... Tapi, apakah kami tengah berhadapan dengan Gendoruwo Samber Nyawa?" sahut seorang utusan meyakinkan dugaannya.
"Kalian tengah berhadapan dengannya!"
"Oh, iya.... Namaku, Pangkita. Dan ini, Selora. Kami membawa pesan dari Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum. Beliau membutuhkan bantuan untuk mewujudkan keinginannya," sahut utusan yang mengaku bernama Pangkita.
"Hm... imbalan apa yang bisa diberikan padaku?" tanya laki-laki yang duduk di hadapan kedua utusan ini.
"Apa yang Tuan inginkan akan dpenuhinya. Asal..."
"Ha ha ha...! Segala yang kuinginkan?!" potong laki-laki yang memang Gendoruwo Samber Nyawa.
"Be..., betul.... Tapi..."
"Aku mengerti! Tapi dia akan merasa berat mengabulkan apa yang kuinginkan," kata Gendoruwo Samber Nyawa tersenyum sinis.
"Asal hasilnya memuaskan, Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum tidak memikirkannya!"
"Hm, begitu?"
"Iya! Begitulah pesan beliau!" sahut Pangkita cepat seraya mengangguk.
"Hm, baiklah. Aku akan mengabulkan keinginannya."
"Oh! Beliau pasti akan gembira mendengar berita ini!" seru Pangkita girang.
Wajah Pangkita tampak berseri. Demikian pula Selora. Sementara itu pandangan mereka mulai terbiasa oleh keremangan ini. Sehingga, mereka mampu memperhatikan wajah wajah yang berdiri memenuhi ruangan. Mereka tampak kaku. Bahkan berkesan menggiriskan. Tak ada senyum sedikit pun, membiaskan jiwa penuh kebengisan. Dan meski keduanya berusaha bersikap ramah, tidak urung tetap saja merasa kecut.
"Eh! Kalau begitu, tidak ada lagi yang bisa kami bicarakan. Dan kami mohon pamit."
"Ha ha ha...! Kenapa buru-buru? Apakah kalian sudah begitu bosan di sini, sehingga harus cepat-cepat pergi?" tanya Gendoruwo Samber Nyawa.
"Kami harus cepat melaporkannya pada Kanjeng Gusti Ayu," sahut Pangkita.
"Rasanya tidak perlu. Sebab, beliau akan mendapat pesan langsung dari kami."
"Oh! Kalau begitu, bagus sekali!"
"Ha ha ha...! Kami terbiasa bekerja dengan rapi. Begitu pula pekerjaan ini. Segalanya akan berjalan rapi dan lancar!"
"Kanjeng Gusti Ayu memang tidak salah pilih. Kalian adalah orang-orang hebat. Mudah-mudahan rencana beliau berjalan mulus."
"Hua ha ha...! Tentu saja. Di tanganku, segalanya akan berjalan mulus. Dan yang terpenting, tak ada seorang pun yang akan tahu hal ini. Tak ada seorang pun!"
Gendoruwo Samber Nyawa langsung mendekatkan wajahnya pada kedua utusan itu seraya menekankan kata-kata terakhirnya.
"He he he...! Tentu. saja kami percaya," ujar Pangkita dan Selora terkekeh.
"Bagus! Kalau demikian, kalian pun mengerti. Lebih sedikit yang tahu soal ini, maka semakin baik. Maka, kalian harus mengalah!"
"Eh! Apa..., apa maksud kata-katamu itu...?!"
Pangkita terkejut setengah mati. Baru disadari kalau kata-kata orang itu terdengar masih menduga-duga. Gendonjwo Samber Nyawa menyeringai lebar.
"Kalian terlalu banyak tahu tempat ini. Dan itu tidak baik bagi kami. Siapa pun orangnya, jika bukan anak buahku, tidak boleh mengetahuinya. Dia harus mati!" Begitu habis kata-kata Gendoruwo Samber Nyawa habis, salah seorang yang berada di tempat itu langsung mencabut golok.
Wajah kedua utusan tampak pucat pasi bagai mayat. Bulu kuduk mereka meremang. Nyali mereka langsung terbang. Dan sebelum kedua utusan itu sempat menyadari apa yang akan terjadi, golok itu telah menebas kedua leher mereka.
"Ehhh...?!"
Srak! Cras!
"Hokh!"
Terdengar keluhan pendek tertahan yang diikuti cipratan darah segar! Kedua utusan itu ambruk. Dan seketika, lantai ruangan ini bersimbah darah!
"Buang dan berikan bangkai bangkai ini ke rawa!" perintah Gendonjwo Samber Nyawa.
Orang-orang bertelanjang dada itu langsung mengerjakan perintah. Sedang Gendoruwo Samber Nyawa sendiri bangkit, lalu berlalu dari ruangan ini. Dan berjalan ke sebuah pintu yang berada di sebelah kiri kursinya.
********************
Seorang pemuda mengendarai kudanya dijalan sepi, yang seperti jarang dilalui manusia. Di sekelilingnya banyak terlihat pepohonan dan semak belukar. Tempat ini memang mirip hutan, meski di beberapa sudutnya masih terlihat satu atau dua buah gubuk kecil.
Pemuda itu menghela kudanya pelan seraya mengawasi keadaan di sekelilingnya. Meski matahari bersinar garang, namun udara di tempat ini terasa sejuk. Angin yang bertiup sepoi-sepoi dan kerimbunan pepohonan, membuat sengatan matahari tak terasa secara langsung.
"Ugkh! Ugkh...!"
Terdengar suara batuk-batuk beberapa kali. Dan di depan pemuda itu kini tampak seorang wanita tua yang terbungkuk-bungkuk. Dia tengah mengangkat beban ranting kayu dipunggung. Beberapa kali langkahnya terhenti. Kemudian setelah itu kembali berjalan pelan.
"Nek, mari kubantu...!" Pemuda itu turun dari punggung kudanya. Segera dibantunya si nenek.
"Ah! Anak muda yang baik. Terima kasih atas bantuannya. Aku masih kuat mengangkatnya!" tolak si nenek, halus.
"Tidak mengapa, Nek! Biar kudaku yang membawanya," tandas pemuda itu, tidak peduli. Langsung diangkatnya beban yang dipikul wanita tua itu.
"Eh, terima kasih," ucap nenek ini.
"Masih jauhkah rumah nenek dari sini?"
"Tidak. Sudah dekat. Di seberang sungai kecil yang ada di depan sana," tunjuk nenek itu, seraya menuding ke depan.
"Hm..." Pemuda itu menoleh ke arah yang ditunjuk si nenek. Dari tempat mereka berada memang sudah terlihat sebuah sungai kecil agak ke sebelah kanan. Sebuah jembatan bambu yang agak lebar menghubungkan kedua tepi sungai itu. Nenek ini melangkah tertatih. Sementara pemuda itu mengikuti di belakangnya.
"Siapa namamu, Nak...?" tanya si nenek.
"Rangga."
"Rangga? Hm, ya. Apakah kau pun ingin mengikuti sayembara itu?" tebak si nenek bertanya lagi.
"Sayembara? Sayembara apa?" pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti balik bertanya.
"Aneh kalau kau tak tahu. Semua pemuda di Kerajaan Cadas Walang ini pasti tahu. Siapa yang tak terpikat oleh kecantikan Putri Randu Walang...?!" gumam si nenek.
"Nek, aku orang baru di sini. Jadi, sama sekali tidak tahu menahu soal sayembara itu. Kedatanganku ke sini hanya kebetulan saja. Aku seorang pengembara. Dan tujuanku hanya mengikuti ke mana langkah kakiku saja," jelas Rangga.
"He he he...! Pantas saja kau tidak tahu."
"Siapa sebenarnya Putri Randu Walang yang Nenek sebutkan itu. Dan, sayembara apa yang di maksudkan?!"
"Gusti Prabu Arya Turangga Waskita yang merupakan Penguasa Negeri Cadas Walang mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi putrinya," jelas si nenek singkat.
"Gusti Prabu Arya Turangga Waskita? Jadi dia penguasa negeri ini?"
"Benar...."
"Hm.... Mendengar namanya, pastilah beliau seorang yang arif lagi bijaksana!"
"He he he...! Beliau memang arif. Dan..., mungkin juga bijaksana," ujar si nenek menimpali, tapi bernada sinis.
"Kenapa mungkin? Apakah Nenek tidak merasakan kebijaksanaan beliau selama ini?"
"Beliau bijaksana. Tapi, terlalu lemah dan tidak punya pendirian tegas. Dengan demikian, sering menjadi makanan empuk bagi selir kesayangannya demi kepentingan pribadi. Tidak banyak yang tahu kalau sesungguhnya dia itu wanita telengas! Hatinya busuk, dan sering menyimpan niat-niat buruk. Sayang...! Satya Anggada tidak mau mendengar kata-kataku. Bocah itu terlalu menuruti hawa mudanya. Padahal, apa untungnya mengikuti sayembara itu?!"
"Eh! Siapakah yang kau bicarakan itu, Nek?" tanya Rangga, semakin tertarik.
"Siapa lagi kalau bukan cucuku si Satya Anggada! Dia betul-betul kepincut pada putri saja. Bahkan suka bermimpi akan menjadi raja suatu hari kelak!" sahut si nenek dengan perasaan kesal.
"Kurasa itu hal yang wajar. Nek. Setiap anak muda pasti punya impian dan harapan. Bukankah itu tidak salah?" Rangga coba memancing.
"Kalau saja yang diinginkannya gadis biasa dan dari keluarga baik-baik, maka aku tidak akan sejengkel ini! Putri Randu Walang, huh! Apa yang bisa diharapkannya dari perempuan angkuh itu?!" dengus si nenek.
"Perempuan angkuh? Dari mana Nenek bisa menduga seperti itu?"
"Kenapa tidak? Aku pernah menjadi dayang-dayang di Kerajaan Cadas Walang selama beberapa tahun. Waktu itu. Putri Randu Walang masih kecil. Tapi sifatnya yang sombong dan angkuh sudah terlihat. Dia tidak bisa diatur. Dan maunya hanya menuruti keinginan sendiri!"
Rangga tersenyum mendengar wanita ini bercerita dengan wajah kesal.
"Lalu, apakah karena sifatnya itu. Nenek akhirnya berhenti?"
"Tentu saja! Aku mendapat tugas menjaga sang putri. Dan suaru hari, sang putri lolos dari penjagaan. Semua sibuk mencari ke seluruh pelosok istana kerajaan. Raja langsung murka. Dan saat itu, aku menggigil ketakutan. Hukuman berat tentu akan menimpaku. Saat itu juga, aku diusir dari kerajaan. Beberapa hari kemudian baru aku mendapat kabar kalau sebenarnya sang putri tidak hilang. Dia hanya bermain agak jauh dari lingkungan istana. Anak itu memang nakal dan susah diatur. Dia lebih suka bermain di luaran, daripada di istana kerajaan yang luas dan mewah!"
"Bukankah itu hal yang bagus, Nek? Dengan begitu kelak dia akan menjadi putri yang mengerti akan kemauan para rakyatnya. Atau barangkali bila kelak sang raja mangkat, maka dia bisa menjadi ratu yang lebih adil serta bijaksana," kata Rangga, coba menyanggah.
"Negeri ini tidak pernah diperintah oleh wanita. Dan selamanya, hal itu belum pernah terjadi. Demikian pula dengan peraturan kerajaan yang berlaku. Seorang putri raja tidak akan menggantikan kedudukan ayahandanya. Kecuali, kalau dia bersuami. Maka suaminya yang bisa menggantikan kedudukan raja yang hendak turun tahta. Tetapi...."
"Tetapi apa, Nek?"
"Bila sang putri mangkat atau tidak berjodoh atau bahkan melepaskan haknya, maka putra selir raja yang akan menggantikan kedudukan sang raja."
"Itukah sebabnya, maka Gusti Prabu mengadakan sayembara ini?"
"Apa lagi maksudnya kalau bukan itu?!"
"Dan berarti, cucumu mempunyai cita-cita yang tinggi. Semestinya Nenek mendukung!" tandas Rangga.
"Dasar anak muda! Di mana-mana sama saja!" umpat si nenek pendek seraya menekuk mukanya.
Rangga tertawa saja. Sedang si nenek terdiam sampai mereka menemukan sebuah gubuk kecil. Pendekar Rajawali Sakti melirik ke samping gubuk. Dan di situ terlihat beberapa potong ranting yang tersisa. Tanpa banyak bicara Rangga meletakkan ranting yang dibawanya ke tempat itu. Setelah itu Rangga menghampiri kudanya yang berbulu hitam berkilat.
"Sudilah kau mampir dulu, Anak Muda?" si nenek menawarkan.
"Maaf, Nek. Aku harus melanjutkan perjalanan."
"Ah! Kau baik sekali. Sekali lagi terima kasih. Terima kasih atas bantuanmu!"
"Lain kali jangan bawa kayu sebanyak itu, Nek! Aku pergi dulu! Oh ya! Bila aku bertemu cucumu, pesan apa yang hendak kau sampaikan padanya?" kata Rangga seraya melompat ke atas punggung Dewa Bayu.
"Katakan padanya! Dia lebih pantas berladang dan membuka hutan, daripada terus bermimpi...!" teriak si nenek.
Rangga tersenyum. Setelah melambaikan tangan, kudanya digebah kencang, meninggalkan tempat itu.
********************
DUA
"Hormat kami, Kanjeng Gusti! Gusti Prabu telah menunggu di dalam sana!" ucap seorang penjaga pada seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Yang baru saja melewatinya, menuju sebuah balairung pribadi.
Wajah wanita ini lonjong dengan sepasang mata sedikit sipit. Namun tidak mengurangi kecantikannya. Kulitnya kuning langsat, hidungnya kecil agak mancung dengan bibir tipis agak lebar. Bentuk tubuhnya indah dan ramping, pada saat berjalan dengan langkah gemulai. Namun begitu, tak seorang pun yang berani mengangkat muka untuk melirik barang sekilas. Semua orang yang ada di situ menunduk sambil membungkukkan tubuh.
Sementara seorang penjaga lainnya, memberi salam hormat dengan membungkukkan tubuh. Wanita itu merapikan pakaiannya untuk sesaat, setelah tadi langkahnya terhenti.
"Apakah Kanjeng Gusti Prabu seorang diri?"
"Ampun, Kanjeng Gusti! Beliau bersama beberapa orang pengawal!"
"Hm, terima kasih," ucap wanita cantik yang dipanggil Kanjeng Gusti ini.
Wanita itu lantas melanjutkan langkahnya pelan memasuki ruangan yang serba mewah. Di dalamnya, penuh barang barang indah yang nilainya tiadatara. Kursi dan permadani yang mahal serta hiasan dinding yang bernilai tinggi. Persis agak ke tengah dinding yang berhadapan dengan pintu masuk, duduk seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih. Kumisnya tipis, kepalanya memakai mahkota terbuat dari emas bertatahkan permata indah berwarna-warni. Dia duduk disebuah kursi mewah berukir indah. Dan dia memang Penguasa Kerajaan Cadas Walang ini. Siapa lagi kalau bukan Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Hormat hamba, Kanjeng Gusti Prabu...!" Wanita itu menghaturkan hormat seraya merangkapkan kedua tangan dengan kepala menunduk.
"Hm... Kuterima hormatmu, Dinda? Silakan duduk!" ujar lelaki gagah itu dengan nada halus.
Wanita itu mengambil tempat di samping kiri Gusti Prabu Arya Turangga Waskita, lalu duduk dengan santun.
"Ada apa gerangan, Dinda Rara Ningrum? Kau memintaku untuk bertemu dan bicara tentang beberapa hal penting. Apakah gerangan yang hendak Dinda bicarakan?" tanya Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Ampun. Kanjeng Gusti Prabu! Sebelum hamba mengutarakan maksud ada baiknya kita harus mengingat, dalam keadaan bagaimana suatu pembicaraan dilangsungkan. Bila menyangkut ketatanegaraan, maka sudah selayaknya di hadapan para pejabat kerajaan yang berwenang. Namun bila itumenyangkut urusan keluarga, maka sepatutnya orang sendiri yang hadir," kata wanita yang ternyata Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, sambil menatapi para pejabat yang ada di ruangan ini.
"Hm...." Gusti Prabu Arya Turangga Waskita menepuk tangan dua kali.
Maka, empat orang pengawal yang berada dalam ruangan ini segera membungkuk hormat, lalu berlalu.
"Nah! Kini hanya ada kita berdua. Hal apa yang hendak Dinda sampaikan padaku?" lanjut laki-laki setengah baya itu setelah para pengawal pergi meninggalkan ruangan ini.
"Terus terang, Kanda. Hamba ingin menanyakan, apakah Kakanda masih ingat ketentuan kerajaan dalam hal ahli waris?" tanya Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Kenapa Dinda membicarakan hal itu?" Gusti Prabu Arya Turangga Waskita balik bertanya.
"Hamba khawatir Kakanda akan lupa "
"Tentu saja tidak!"
"Kalau demikian, tolonglah yakinkan hamba!"
Raja Cadas Walang ini menarik napas panjang. Kemudian bibirnya tersenyum kecil.
"Dinda... Pewarisku haruslah seorang anak laki-laki. Dan karena yang ada hanya wanita, maka suaminyalah yang kelak harus memegang tampuk pemerintahan. Oleh karena itu, kita harus tahu lebih dulu kecakapannya. Maka untuk itulah sayembara ini kubuat," sahut laki-laki ini singkat.
"Kakanda lupa. Bukankah Kakanda memiliki seorang putra yang cakap, lagi bisa diandalkan sebagai pengganti Kakanda dalam memimpin negara ini?"
"Maksudmu, Sodong Palimbanan?" tanya Gusti Prabu Arya Turangga Waskita, seperti ingin meyakinkan. Dahinya tampak berkerut tajam.
"Apakah ada yang lain?"
"Dinda.... Bukan aku tidak ingat, atau sengaja melupakannya. Tapi kau pun harus mengerti kalau dia tidak bisa."
"Apakah karena dia putra seorang selir?" potong Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Hm.... Mudah-mudahan kau mengerti."
Wajah wanita yang merupakan selir Gusti Prabu Arya Turangga Waskita ini berubah masam. Dia menghela napas yang terasa sesak. Tersiratlah perasaan hatinya yang kesal. Namun begitu Gusti Prabu Arya Turangga Waskita berusaha menghiburnya dengan kata-kata lembut dan senyum kecil.
"Dinda.... Aku tidak pernah membedakan di antara anak-anakku. Hanya dalam soal ini, agaknya yang sedikit istimewa. Karena. ini menyangkut kepentingan kerajaan. Dari dulu, peraturannya demikian. Dan bila berubah, maka rakyat akan menuntut. Bahkan bisa menimbulkan kekacauan. Dan itu pun akan dimanfaatkan para pemberontak," desah laki-laki itu coba memberi pengertian.
Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum terdiam beberapa saat seraya menundukkan kepala. "Bila Ananda Randu Walang menolak calonnya, apa yang hendak Kakanda lakukan?" tanya wanita cantik itu kemudian dengan nada lirih.
"Dia tidak punya pilihan lain. Ananda Randu Walang harus menerimanya!" tegas Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Kalau satria yang memenangkan sayembara itu tidak kuasa bersanding...?"
"Apa maksud Dinda...?" dahi Gusti Prabu Arya Turangga Waskita makin dalam berkerut.
"Aku mencemaskan nasib Ananda Randu Walang. Dia akan berbuat apa saja, bila dipaksa melakukan sesuatu yang tidak disukainya."
"Dia tidak akan melakukan hal yang buruk. Percayalah. Meskipun bukan ibu kandungnya, tapi aku percaya kalau kau memang menyayanginya. Dia anak baik. Dan pasti mau menuruti kata-kata orangtuanya."
"Ya, mudah-mudahan saja segalanya berjalan lancar. Aku pun turut berdoa. Rasanya tidak ada yang ingin kubicarakan lagi. Aku mohon diri Kanda!" pamit Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, langsung menghaturkan sembah.
"Baiklah. Silakan...!" ujar Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum melangkah lesu ke kamarnya. Dia lantas duduk termenung sesaat di tempat tidur. Tak lama, seseorang menghampiri dari arah pintu yang sedikit terbuka. Diliriknya sekilas. Ketika mengetahui siapa yang datang, wanita itu diam saja.
"Ada apa gerangan, Ibunda? Apakah Ayahanda tidak merubah keputusannya?" tanya seorang pemuda tampan berpakaian indah.
Wanita itu mengangkat wajah. Kemudian dipandangnya pemuda berusia dua puluh dua tahun di hadapannya itu lekat-lekat. Terbias sinar amarah yang bergejolak di hatinya pada wajah cantik itu. Dia mendengus geram seraya menggeleng pelan.
"Huh! Kalau begitu, apa boleh buat! Barangkali kita harus memakai segala cara!" lanjut pemuda itu ikut menggeram.
"Anakku Sodong Palimbanan. Jangan khawatir! Segalanya akan kuperbuat, agar kau bisa mencapai cita-citamu!" kata Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, tandas.
"Aku telah mendapatkan pasukan dalam jumlah banyak! Bila waktunya tiba, mereka akan bergerak!" desis pemuda yang dipanggil Sodong Palimbanan.
"Tidak, Anakku! Itu terlalu berbahaya. Kerajaan penuh prajurit tangguh yang gagah berani. Keadaanmu akan lebih parah nantinya bila berusaha merebutnya dengan jalan kekerasan," tolak Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Bukankah itu usul Ibu juga?" tanya Sodong Palimbanan, seperti ingin mengingatkan.
"Benar. Namun tidak sekarang dilaksanakannya."
"Lalu menunggu sampai kapan, Bu?!"
Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum terdiam sejurus lamanya dengan pandangan kosong ke depan. Pikirannya melayang seperti mengingat sesuatu.
"Apakah kedua pengawal yang pergi kemarin sudah kembali...?"
"Belum."
"Hm... Seharusnya mereka sudah kembali sore atau semalam. Apa yang terjadi? Apakah mereka menemui hambatan...?" gumam wanita itu seperti bicara pada diri sendiri.
"Apa yang ingin Ibu lakukan sehingga menyuruh dua orang kepercayaan kita?"
"Bukankah telah Ibu katakan sebelumnya. .?"
"Astaga! Jadi Ibu benar-benar ingin melibatkan Ki Torogongan dalam persoalan ini?!" seru Sodong Palimbanan kaget.
"Tiada jalan lain, Anakku," desah Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Tidakkah Ibu sadari kalau orang itu memiliki watak kejam dan tidak pandang bulu pada siapa pun?! Dia berbahaya bagi kita kelak. Bahkan bisa berbalik menjadi musuh!" kata Sodong Palimbanan, mengajukan keberatannya.
"Tenanglah, Sodong. Sampai saat ini dia dan anak buahnya masih yang terbaik. Kita memerlukan bantuannya untuk mewujudkan keinginanmu. Lagi pula, mana mungkin dia mengkhianati kita. Ki Torogongan adalah saudara sepupuku. Berarti, dia masih kerabat kita pula. Jadi, mana mungkin dia mengkhianati kita kilah Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Ibu.... Aku tidak yakin akan hal itu. Cerita mengenai dirinya amat buruk. Dia bahkan tidak peduli pada saudara sendiri," pemuda itu coba membantah.
"Itu tidak benar!"
"Heh?!" Anak dan ibu itu terkejut. Mereka cepat berpaling ke arah satu suara yang tiba tiba menyahuti kata-kata Sodong Palimbanan. Pemuda itu cepat mencabut golok dan bermaksud menyerang orang yang tidak dikenalnya.
Sepasang matanya merah menyala bagai saga. Kumis dan jenggotnya awut-awutan, seperti rambutnya yang terlihat tidak pernah terurus. Dia mengenakan celana pangsi hitam, dengan sarung kotak-kotak melilit dipinggang. Orang ini memang mirip begal!
"Tenanglah, Anakku. Kau harus belajar kenal dulu!" sergah Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, langsung mencekal lengan putranya sambil tersenyum kecil.
"Ibu, ada apa? Aku tidak mengenalnya. Dan dia juga bukan pegawai istana. Orang itu menyelundup, atau mata-mata. Dia perlu dihajar!" dengus Sodong Palimbanan geram.
Tenang saja. Dia tidak berbahaya pada kita Nah! Coba salami pamanmu. Dialah orangnya yang tengah kita bicarakan!"
"Apa?!" Sodong Palimbanan terkejut. Langsung dipandangnya orang tua bertelanjang dada di hadapannya.
"Paman... Aku Sodong Palimbanan, menghaturkan hormat padamu!" ucap pemuda itu dengan nada ragu seraya membungkukkan tubuh.
"He he he...! Jadi kaukah orangnya? Tidak buruk! Kau memang pantas menjadi seorang raja. He he he...!" sahut laki-laki bertelanjang dada ini.
"Kakang Torogongan, selamat datang ke tempatku! Apakah kehadiranmu diketahui orang?" sambut Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"He he he...! Kau meragukan kemampuanku, Rara Ningrum? Bila Gendoruwo Samber Nyawa muncul, maka tak ada seorang pun yang boleh mengetahuinya. Kecuali, bila diinginkannya!"
"Hm... Bagus, Kakang! Tidak sia-sia aku mem-percayaimu!" puji Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Kau boleh katakan, apa yang bisa kubantu!" tanya laki-laki bernama Ki Torogongan, alias Gendoruwo Samber Nyawa.
"Sabarlah dulu, Kakang. Tidak usah terburu-buru. Kau pasti lelah. Nanti akan kusiapkan hidangan untukmu. Dan sementara itu, ada baiknya kalau kita menunggu hidangan muncul dengan berbincang-bincang!" ajak Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum seraya memberi isyarat pada putranya.
Sodong Palimbanan segera keluar dari ruangan ini, setelah menjura hormat. Sedangkan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum beserta Ki Torogongan melangkah ke ruangan lain. Sebuah ruangan khusus yang berhubungan langsung dengan kamar ini.
********************
Seorang pemuda tersentak kaget di sebuah jalan yang menuju kotaraja Kerajaan Cadas Walang, ketika melihat banyak orang desa berbondong-bondong ke satu arah.
"Mau kemana mereka? Apakah hendak ke pasar untuk menjual hasil ladang? Tapi begini pagi?" gumam pemuda itu tidak habis pikir.
Dia melompat turun. Kemudian dihampirinya kuda hitamnya yang tertambat tidak jauh dari cabang pohon yang tadi digunakannya sebagai tempat beristirahat.
"Ayo, Dewa Bayu! Kita ikuti mereka !" ajak pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Heeeh!"
Rangga cepat menaiki kuda hitam bernama Dewa Bayu. Digebahnya kuda itu pelan. Hari masih kelewat pagi. Bahkan masih terlihat gelap. Kini Dewa Bayu melangkah pelan, membuntuti orang-orang yang berbondong.
"Hendak ke mana pagi-pagi begini, Ki?" sapa Rangga pada salah seorang laki-laki setengah baya yang berada di dekatnya.
"Eh, sampai kaget! Oh, ada apa? Eh, iya... Hari ini ada keramaian di kotaraja. Apakah kau tidak tahu?" sahut laki-laki itu setelah tersentak kaget, seraya mendekap dada kirinya dengan sebelah tangan.
"Keramaian apa?" tanya Rangga lagi.
"Sayembara! Hei?! Kulihat, kau bukan penduduk sini. Apakah kau hendak mengikuti sayembara ini?" tanya laki-laki setengah baya itu balik bertanya.
"Oh, sayembara itu? Ah, tidak. Kebetulan hanya melihat lihat saja di tempat ini. Eh! Maksudku, ingin melihat sayembara itu berlangsung," jawab Rangga.
"Sayang sekali. Wajahmu tampan. Dan kau pun kelihatannya gagah. Apalagi membawa-bawa pedang segala. Paling tidak, kau pasti memiliki ilmu olah kanuragan. Kenapa tidak ikut saja? Konon, sayembara itu berupa adu ketangkasan!"
"Adu ketangkasan bagaimana maksudmu, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti mulai tertarik.
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu pasti. Mungkin semacam ketangkasan menunggang kuda, perkelahian, atau semacam itu."
"Hm, memang menarik juga kedengarannya."
Laki-laki berusia setengah baya itu tertawa kecil. Wajahnya tampak riang sekali. "Tentu saja! Apalagi bagi pemenangnya. Wah! Setelah mendapat gadis cantik, maka dia akan dinobatkan pula sebagai putra mahkota. Apakah kau sama sekali tidak tertarik''
Pemuda itu tersenyum. "Pemuda sepertiku, mana pantas mengikuti sayembara segala macam. Aku hanya pengelana. Dan hidupku lebih pantas di alam terbuka."
"Hei, sayembara ini boleh diikuti siapa saja. Rakyat jelata ataukah para bangsawan. Baik miskin, kaya, maupun tua muda. Tidak ada batasan apa pun!" jelas orang tua itu bersemangat.
"Apakah kedatanganmu juga untuk mengikuti sayembara?"
"He he he...! Bisa saja kau. Aku hanya ingin menonton seperti yang lain. Lagi pula aku telah punya dua cucu!"
Pemuda itu ikut ikutan tertawa.
"Eh! Siapa namamu, Anak Muda?"
"Rangga, Ki."
"Hm, Rangga. Dari namamu saja, kau amat pantas menjadi raja. Benarkah kau tidak berminat mengikuti sayembara itu?"
Rangga menggeleng, dan kembali tersenyum. "Sayang sekali. Padahal bila saja kau ikut, aku tentu akan mendoakanmu."
Rangga kembali tersenyum. Iring-iringan ini bertemu iring-iringan penduduk dari desa lain. Kemudian, mereka bergabung, lalu berjalan bersama-sama. Di antara mereka mulai ribut saling bicara lantang sayembara yang dikatakan. Bahkan beberapa pemuda tampak gelisah. Mereka tersenyum-senyum sendiri membayangkan bila ikut sayembara, lalu menang dan bersanding bersama seorang putri jelita.
Menjelang matahari pagi muncul, mereka tiba di pinggiran kotaraja. Di sana, telah banyak pula orang berkumpul dari segala penjuru. Di antara kerumunan itu, terlihat beberapa pemuda menunggang kuda perlahan-lahan. Mereka tidak terlihat sekaligus, tapi satu persatu. Yang seorang berbaju mewah seperti bangsawan dengan menunggang kuda yang bagus. Di pinggang belakang tampak terselip sebilah keris.
Kemudian seorang pemuda bertubuh tegap berwajah kasar. Di pundaknya tersandang sebuah busur panah. Selanjutnya adalah laki-laki setengah baya dengan pedang di pinggang. Dan yang lain, rata-rata membawa senjata serta menunggang kuda. Orang-orang melirik. Dan mereka merasa yakin kalau mereka adalah peserta sayembara.
Apa yang mereka duga memang sebagian benar. Orang-orang berkuda itu kini memasuki sebuah gelanggang yang besar dan lebar yang berada tepat di depan pintu gerbang utama istana kerajaan. Satu persatu mereka berbaris. Kemudian, satu persatu pula turun dari kudanya untuk memberi penghormatan kepada raja serta beberapa kerabat kerajaan.
Rangga yang hadir di antara sekian banyak penonton, memperhatikan dengan seksama. Seperti kekaguman orang-orang terhadap putri raja yang duduk di sebelah kanan Gusti Prabu Arya Turangga Waskita, demikian pula yang dirasakannya.
"Hm, dia memang cantik...!" puji Rangga tanpa sadar, terlontar begitu saja.
"Ya, dia memang cantik. Tapi sayang, Putri Randu Walang tampak sedih. Apa gerangan yang membebani pikirannya," ujar seseorang yang berada di dekatnya.
"Apakah kau tidak tahu?" tanya yang lainnya.
"Tahu apa?"
"Konon sang putri tidak menyukai diadakannya ini!"
"Ah. masa...?!"
"Eh, tidak percaya! Bahkan katanya pula, dia belum berminat untuk bersuami."
"Ah, mana mungkin!"
"Kenapa tidak mungkin? Selama ini tidak ada tanda-tanda ke arah itu. Dan..., tiba-tiba saja sayembara ini diadakan."
"Ah! Itu bisa-bisamu saja! Yang jelas, Gusti Prabu merasa bahwa putrinya sudah pantas bersuami. "
"Uh! Tidak percaya, ya sudah!"
Rangga mendengarkan sekilas. Kemudian kepalanya kembali berpaling kearena gelanggang luas dihadapannya. Sayembara pertama mulai berlangsung, setelah seorang prajurit membacakan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Lalu setelah mendapat izin raja, para peserta menunjukkan kebolehannya.
Lomba pertama yang dilakukan adalah ketangkasan berkuda. Peserta sayembara satu persatu menunjukkan kebolehannya menunggang kuda mengitari arena, yang disambut sorak-sorai penonton. Ada yang mendecah kagum karena melihat seorang peserta yang demikian tangkas, juga ada yang bersorak karena geli melihat peserta terjungkal karena tunggangannya mengamuk. Tapi ada juga mencemooh melihat peserta yang sombong. Ternyata setelah mencoba, tidak lama kemudian dia terjatuh dari punggung kudanya.
Tidak heran bila beberapa peserta langsung gagal dalam lomba yang pertama ini. Sebab kuda yang ditunggangi memang khusus dipersiapkan untuk acara ini. Kuda-kuda itu masih liar, yang ditangkap beberapa hari lalu dari hutan dan belum dijinakkan!
Meski begitu, di antara sukacita penonton serta kerabat kerajaan, terdapat seseorang yang tak pernah tersenyum. Diam mematung dan tidak peduli keramaian ini. Wajahnya cantik, mengenakan pakaian bagus dari sutera halus warna hijau, merah, dan biru. Sinar kecantikannya yang seperti mampu menerangi tempat itu, kelihatan suram. Namun begitu, tetap saja semua mata lelaki menuju padanya. Mereka tahu. wanita inilah yang menjadi bintang dalam perlombaan.
"Ah! Putri Randu Walang yang jelita...! Kalau saja aku bisa memilikimu...," desah setiap orang, penuh harap.
TIGA
Malam ini tampak sepi. Bulan sepotong yang sedikit bersinar, terhalang awan hitam yang mulai bergerumbul. Sesekali terlihat kelelawar dan burung malam melintasi angkasa. Namun, keadaan seperti itu tidak mengusik orang-orang yang berada di bawahnya. Serta yang sedang terlelap dalam tenda-tenda kecil tidak jauh dari istana kerajaan.
Di sekitar tenda banyak prajurit kerajaan yang berjaga-jaga. Sebagian berdiri, lalu berjalan mondar-mandir. Beberapa di antaranya duduk menekur, menghadapi nyala api yang dijadikan penerangan sekaligus penghangat di malam yang cukup dingin ini. Namun tidak kurang pula yang terlelap sambil mendengkur keras!
Kawasan dan tenda-tenda kecil itu sengaja diperuntukkan bagi para peserta sayembara. Segala kebutuhan serta keamanan mereka dipenuhi pihak kerajaan. Masing-masing dari mereka dilayani tiga orang prajurit. Sehingga dengan demikian Gusti Prabu Arya Turangga Waskita berharap mereka merasa puas dan tidak memiliki keluhan saat maju ke arena pertandingan.
Wajah-wajah mereka tampak letih setelah hampir seharian tadi mengikuti perlombaan pertama. Esok, mereka akan maju ke perlombaan kedua. Adu ketangkasan ini lebih menentukan. Bila siang tadi banyak yang gugur. maka adu ketangkasan besok akan lebih seru. Sebab pertandingan ini menitik beratkan pada perkelahian. Mungkin akan lebih banyak lagi yang kalah. Sebagian besar peserta tampak tidak tenang dalam tidurnya. Semua memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Dan bisakah menjadi pemenang? Di tengah ketegangan mereka....
"Wuaaa...!"
"Heh?!"
Suasana di sekitar tenda-tenda kecil yang berjejer rapi itu tiba-tiba saja terang benderang. Dalam sekejap semua penghuninya keluar dengan wajah kaget begitu mendengar teriakan menyayat? di Sebuah tenda yang berada agak di sudut terbakar! Seketika beberapa orang keluar untuk membantu orang yang berada di dalam tenda itu. Sementara yang lain berusaha memadamkan api. Tapi saat itu juga, mencelat beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam yang langsung menyerang tanpa basa-basi.
"Yeaaat...!"
"Awaaas! Ada serangan gelap!" teriak seseorang memperingati.
Bret!
Trang!
"Aaa...!"
Dalam sekejap terjadi pertarungan sengit antara sosok-sosok berpakaian serba hitam yang tertutup topeng hitam, dengan para peserta sayembara dan para prajurit yang ditugasi menjaga. Suara beradunya senjata dan jerit kematian segera mewarnai tempat itu. Beberapa orang peserta sayembara ambruk dan tewas seketika dengan tubuh bersimbah darah. Namun ada juga yang sempat membawa senjata saat keluar tadi, dan langsung menangkis serangan-serangan lawan lalu balik menyerang dengan gencar.
"Suiiit!"
Mendadak terdengar suitan panjang yang nyaring. Orang-orang yang berpakaian serba hitam itu tahu-tahu melesat cepat bagai lesatan anak panah. Dan mereka langsung menghilang di kegelapan malam.
"Kurang ajar! Mari kita kejar mereka...!" teriak seseorang, langsung mengejar.
Beberapa orang lain cepat bergerak mengikuti. Tidak berapa lama mereka mengejar orang-orang bertopeng itu, muncul prajurit-prajurit kerajaan yang dipimpin seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Dia memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan wajah geram. Terutama ketika mendapati mayat-mayat prajurit kerajaan yang ditugaskan mengawal dan melayani kebutuhan para peserta sayembara. Semuanya bergelimpangan dengan luka menganga lebar.
"Kurang ajar! Siapa yang telah berbuat seperti ini?!"
Laki laki itu menggeram. Sepasang matanya mendelik lebar dengan wajah berkerut penuh amarah.
"Menyebar ke seluruh tempat ini. Dan, perketat penjagaan! Aku memastikan kalau kawasan ini telah dimasuki pengacau. Tangkap dan bawa kemari setiap orang-orang yang mencurigakan!" lanjut laki-laki bercambang bauk itu, memberi perintah.
"Siap, Panglima...!" sahut prajurit-prajurit berkuda itu, serempak.
Kemudian salah satu prajurit berteriak keras mengumpulkan prajurit-prajurit lain untuk menjalankan perintah Panglima Kerajaan Cadas Walang. Sementara panglima itu sendiri bersama tiga prajurit lainnya kembali ke istana kerajaan.
Setiba di pintu gerbang istana yang memang tidak jauh dari situ, panglima itu berhenti sesaat. "Kau! Kembalilah ke sana. Dan, temui peserta sayembara itu. Katakan bahwa aku ingin bertemu mereka sebentar lagi...!" perintah panglima itu pada salah seorang prajurit yang menyertainya.
"Baik, Panglima!" Prajurit itu bergegas berbalik dan segera memacu kuda. Sebentar saja, dia tiba di sana. Sementara para peserta sayembara telah kembali. Wajah-wajah mereka tampak lesu, kesal, dan marah.
Kawasan yang tadinya lengang, dalam sekejap berubah ramai oleh keributan itu. Para rakyat yang sore tadi memutuskan bermalam dengan mendirikan tenda-tenda, berkumpul ramai-ramai untuk melihat apa yang telah terjadi.
Sementara itu, pada saat terjadi serangan mendadak, Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi menonton adu ketangkasan dan ikut bermalam bersama para penduduk lain, memutuskan untuk mengejar seorang laki-laki berbaju serba hitam dan bertopeng. Namun tidak seperti yang lainnya. Pemuda itu telah terjaga sejak tadi, dan mendengar keributan dari kawasan bermukimnya peserta sayembara. Dia menyelinap dan ikut mengejar tanpa diketahui yang lainnya. Tidak mengherankan bila mereka tidak mampu mengejar dan pulang dengan tangan hampa. Orang-orang bertopeng itu memang memiliki ilmu peringan tubuh cukup hebat dan larinya pun amat cepat. Lagi pula mereka tidak berlari berkelompok, melainkan berpencar satu persatu.
Wuuut!
Pendekar Rajawali Sakti mengempos semangatnya, dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ringan, mengejar salah satu sosok orang berpakaian serba hitam. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga dalam sebentar saja, dia sudah hampir menyusul. Lalu dengan satu lentingan indah ke depan, tubuhnya berputaran di udara. Dan....
"Hentikan langkahmu, Kisanak!" bentak Rangga, begitu kakinya menjejak dua tombak di depan orang yang dikejar.
Orang bertopeng itu agaknya tidak mempedulikan peringatan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terus meluruk, langsung mengayunkan kepalan tangan kanan menghantam ke dada.
"Hiiih!"
"Uts!" Cepat bagai kilat Rangga bergerak ke kiri sambil mengibaskan tangan untuk menangkis pukulan. Bersamaan dengan itu, orang bertopeng langsung mengirimkan tendangan menghantam ke perut. Namun Rangga telah melejit ke atas.
Orang bertopeng ini ternyata tidak mau peduli apakah penghadangnya bisa menghindari serangannya atau tidak. Yang jelas, dia langsung mencabut golok. Segera ditebasnya perut Pendekar Rajawali Sakti.
Srak!
Bet!
"Kurang ajar...!" dengus Rangga geram. Pendekar Rajawali Sakti segera bergerak lincah menghindari setiap tebasan golok. Kemudian tiba-tiba saja tubuhnya merunduk, lalu bergerak cepat menyodok kearah orang bertopeng ini. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
"Yaaat!"
Plak! Duk!
"Uhhh ...!"
Tahu-tahu saja, pergelangan tangan orang bertopeng yang memegang golok itu kena kibasan tangan Rangga. Dan ini, membuat senjatanya terpental jauh. Dan belum lagi sempat berbuat apa-apa, satu hantaman keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, hingga tepat mengenai dada. Diiringi jerit kesakitan, orang bertopeng ini jatuh bergulingan. Dari sudut bibirnya tampak menetes darah kental. Dia terkejut dan mengusapnya. Saat itulah dia sadar kalau topengnya lepas.
"Siapa kau...?!" bentak orang itu garang dengan mata melotot lebar.
"Aku hanya salah seorang penonton adu ketangkasan siang tadi. Dan siapa pula kau? Kalian telah mengacau. Membunuhi para prajurit dan peserta sayembara itu," jelas Rangga dengan suara ditekan.
"Phuih! Budak kurang ajar! Mungkin kau salah satu anjing kerajaan yang ingin menjilat pantat majikannya! Kau tidak perlu tahu siapa aku! Pergi! Dan, jangan campuri urusan ini!" bentak orang berbaju serba hitam ini.
"Maaf, Kisanak. Aku bukan anjing. Dan oleh karenanya, kau tidak bisa mengusirku. Kau akan kubawa ke istana kerajaan, dan kuserahkan pada prajurit yang berkepentingan untuk menghukummu!" sahut Rangga menegaskan.
"Kurang ajar! Rupanya kau belum tahu siapa aku, he?!" dengus orang berbaju serba hitam, kembali mendelik garang.
"Katakanlah, siapa kau ini. Mungkin setelah mengenalmu, siapa tahu aku takut...," ejek Rangga disertai senyum sinis.
"Ketahuilah. Aku adalah anak buah Gendoruwo Samber Nyawa, yang ditakuti semua orang di lima kawasan!" kata orang itu sambil menepuk dada dan menunjukkan wajah angkuh.
"Gendoruwo Samber Nyawa? Hm, pastilah orang itu berwajah seram. Demikian pula wataknya. Boleh jadi dia amat ditakuti," gumam Rangga, enteng.
"Nah! Masih ada kesempatan untukmu pergi dari sini! Dan, ingat! Jangan coba-coba mencampuri urusan orang lain!" lanjut orang yang ternyata anak buah Gendoruwo Samber Nyawa dengan berkacak pinggang. Wajahnya tampak semakin jumawa saja.
"Hm.... Kau terlalu cepat memotong pembicaraan. Maksudku, mungkin saja orang-orang akan takut dengannya. Tapi mendengar nama itu, sungguh membuatku geli. Gendoruwo Samber Nyawa? Hm, dia pasti sebangsa pelawak yang lucu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti tenang.
"Seten! Rupanya kau sengaja cari mati, he?!" Dengan penuh amarah, anak buah Gendoruwo Samber Nyawa ini melompat. Langsung diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti kembali tanpa mempedulikan pergelangan tangan kanannya yang nyeri dihantam Rangga tadi.
"Heaaa!"
Wuuut!
Pendekar Rajawali Sakti cepat berkelit dengan membungkuk. Lalu tubuhnya segera berputar ke samping. Dan tahu-tahu, dia telah berada di belakang lawannya. Tapi orang berbaju serba hitam ini pun tidak kalah sigap. Dia segera melompat ke depan dengan berjungkir balik.
Pada saat yang sama, ternyata si Pendekar Rajawali Sakti langsung jungkir balik, mengejar. Begitu kakinya menjejak tanah, Rangga langsung melepaskan dua pukulan berturut-turut ke arah perut dan dada. Begitu cepat gerakan Rangga, sehingga tak mampu dihindari lawannya. Dan...
Duk! Des!
"Aaakh...!" Disertai jerit kesakitan, orang berbaju serba hitam terjungkal ke tanah dengan dada terasa sesak dan perut terasa mual. Dan dia hanya mampu mendelik, ketika Pendekar Rajawali Sakti meluruk ke arahnya hendak mencengkeram.
"Huh! Sekarang akan kubuat kau mengaku di hadapanku...!" desis Pendekar Rajawali Sakti. Tapi...
Entah dari mana, tahu-tahu melesat dua bayangan kecil sebesar kepalan tangan orang dewasa ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Wuuut! Wuuut!
Rangga cepat menyadari. Seketika dua buah benda yang telah mengancamnya, menghantam tanah begitu Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas.
Dum...!
"He, kurang ajar...!" maki Rangga kesal.
Saat itu juga terjadi ledakan kecil yang disertai gumpalan asap tebal yang sangat pekat dan banyak. Sehingga untuk beberapa saat, Rangga tidak bisa melihat apa-apa ketika kakinya menjejak tanah.
"Heaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti membentak keras. Kedua telapak tangannya cepat diputar ke depan. Seketika terasa angin kencang berputar menghalau gumpalan asap serta debu dan dedaunan yang berada di sekitarnya. Ketika gumpalan asap itu lenyap, maka Pendekar Rajawali Sakti langsung berpaling pada lawannya tadi. Namun orang berbaju serba hitam itu telah lenyap!
"Huh. brengsek! Pasti kawan-kawannya telah menyelamatkannya!" dengus Rangga dengan hari jengkel. Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dengan wajah bersungut kesal, kakinya segera melangkah meninggalkan tempat ini.
********************
Tok! Tok!
"Siapa...?"
Terdengar suara ketukan pintu di salah satu kamar indah di dalam Kerajaan Cadas Walang. Sementara, sosok di dalamnya cepat menyahuti, dengan kening berkerut.
"Ibu, Nak..."
"Oh, Ibu! Sebentar...!"
Sosok bertubuh ramping milik seorang gadis ini kemudian beringsut dari ranjang. Dengan langkah gemulai, dihampirinya pintu kamar ini.
Wajah gadis itu memang begitu sempurna. Rambutnya panjang dan hitam legam. Sepasang matanya bulat dengan deretan alis tebal sedikit melengkung. Hidungnya kecil dan agak mancung. Bibirnya merah merekah. Kulitnya putih bersih dengan bentuk tubuh indah. Bila tersenyum, maka akan mengguncangkan hati setiap lelaki. Namun, saat ini wajahnya tampak muram. Bola matanya tampak sayu. Malah dia tadi cukup lama termenung di atas ranjang, sampai terdengar ketukan halus dipintu tadi.
Ketika pintu dibuka, tampaklah seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun telah berdiri di ambang pintu. Wanita itu tersenyum lebar. Wajahnya cantik, meski sedikit dihiasi kerutan. Rambutnya yang panjang dan digelung ke atas, ditutupi sebuah selendang sutera warna ungu. Baju yang dikenakannya agak panjang. Dan di bagian dalam mulai dari pinggang, dibalut kain panjang berwarna dasar coklat.
"Apa yang tengah kau pikirkan, Anakku?" tanya wanita setengah baya ini ramah, seraya mengikuti gadis yang kembali duduk di tepi tempat tidurnya.
"Tidak ada apa-apa, Ibunda," sahut gadis cantik itu.
Wanita itu tersenyum. Kemudian dibelainya rambut gadis itu sesaat. "Hati seorang Ibu tidak akan bisa dibohongi bila anaknya gelisah atau mengalami kesusahan.
Seperti juga yang Ibu rasakan hari ini. Sejak tadi, kau terus gelisah. Bahkan sudah beberapa hari ini kau jarang sekali keluar dari kamarmu. Apa gerangan yang merisaukan hatimu, Anakku...? Katakanlah. Siapa tahu Ibu bisa menolongmu!" desah wanita setengah baya yang rupanya ibu dari gadis itu.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Malah dia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Kemudian kepalanya menoleh pada ibundanya.
"Bagaimana perasaan Ibu bila dijodohkan dengan orang yang tidak kita sukai. Padahal telah ada tambatan hati yang hendak dipilih...?" gadis itu malah mengajukan pertanyaan.
"Tentu saja hati kita akan sakit, Nak."
Gadis itu terdiam kembali. Sekali lagi dipandangnya wanita itu lekat-lekat untuk sejurus lamanya. "Kurasa demikianlah keadaanku sekarang ini, Bu...," lanjut gadis itu lirih.
"Hm. Ibu mengerti sekarang. Lalu, kalau boleh Ibu tahu, siapa gerangan tambatan hatimu itu? Mungkin bila ayahandamu tahu, dia akan melihat apakah pemuda itu pantas atau tidak. Baru setelah itu, ditentukan langkah selanjutnya."
"Ini agak sulit dijelaskan, Bu..."
"Anakku Randu Walang... Sedemikian sulitkah, sehingga kau tak mampu menceritakan pada Ibundamu?"
Gadis yang ternyata Putri Randu Walang ini kembali terdiam. Berat rasanya untuk menceritakan persoalan ini, meski kepada ibundanya sendiri. Tapi berpikir lebih lanjut, bila tidak diceritakan, maka sayembara itu akan terus berlangsung. Dan pasti ada pemenangnya. Padahal setelah diperhatikan dengan seksama, tak ada seorang pun yang berkenan di hatinya.
"Beberapa malam di bulan yang lalu, Ananda bermimpi bertemu seorang pemuda. Wajahnya tampan rambutnya agak panjang. Dia menyandang pedang di punggungnya. Pemuda itu memakai baju rompi putih dan menunggang kuda hitam lbunda, dia tersenyum padaku. Dan aku melihatnya gagah sekali!" sahut Putri Randu Walang menceritakan persoalannya dengan wajah berseri-seri.
"Kau suka padanya?" tanya wanita setengah baya ini.
"Entahlah... Dia seperti melekat di hatiku dan sulit sekali kulupakan. lbunda, apakah aku tidak dianggap gila bila menginginkan pemuda itu sebagai pendamping hidupku? Semula, aku berharap dia ada di antara peserta sayembara. Namun kuperhatikan satu persatu, ternyata tak ada seorang pun yang mirip dengan gambaran pemuda dalam mimpiku," sahut Putri Randu Walang gundah.
"Anakku, terkadang hal-hal seperti itu bisa saja terjadi. Namun kita harus menyadari kalau mimpi adalah sekadar bunga tidur. Jangan terlalu berharap banyak. Hal itu biasa terjadi pada setiap orang. Dan, tidak ada yang menganggapmu gila," hibur ibundanya.
"Tapi apakah salah bila aku terlalu berharap?"
"Tidak, Anakku. Apakah kau demikian yakin kalau pemuda itu ada dalam kenyataan?"
"Entahlah, Bu. Aku tidak yakin. Tapi, telah kukirim dua orang pengawal kerajaan yang bisa kupercaya, untuk mencari pemuda itu dengan memberitahukan ciri-cirinya."
Wanita permaisuri Raja Cadas Walang ini tersenyum kecil. Kembali dibelai-belainya bahu putrinya. "Ibu akan bicarakan hal ini pada ayahmu nanti. Mudah-mudahan beliau bisa mencarikan jalan."
"Ibu...!" seru Putri Randu Walang dengan wajah cemas.
"Ada apa, Anakku?"
"Aku khawatir ayahanda marah dan tidak menggubrisnya," keluh Putri Randu Walang.
"Tidak usah khawatir. Ayahmu bisa mengerti. Lagi pula, dia sayang padamu. Beliau tentu akan mencarikan jalan bagi kebahagiaanmu," hibur wanita itu.
"Bagaimana dengan sayembara ini?" Permaisuri ini belum sempat menjawab, ketika sekelebat bayangan melesat ke arah kamar. Dan tahu-tahu sesosok tubuh tegap bertelanjang dada, menerobos masuk dan berdiri di hadapan mereka. Bagian kepalanya ditutupi kain hitam. Dan hanya pada bagian mata terlihat dua buah bolongan kecil. Tubuh orang bertopeng itu melesat cepat, dan langsung menuju tempat tidur kedua ibu dan anak yang sedang berbincang-bincang itu.
"Ouw! Si... siapa kau...?!" sentak permaisuri itu dengan hati kecut dan wajah pucat.
Sementara, Putri Randu Walang langsung memeluk ibundanya erat-erat. Wajahnya tidak berani dipalingkan. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar. Tulang-tulangnya seperti copot dari setiap persendian.
"Minggir!" sentak orang bertopeng ini.
"Aouw!" Wanita ini tersentak dan menjerit keras. Tahu-tahu tubuhnya terjungkal, begitu orang bertopeng ini menyentak tangannya.
Begitu menyentak permaisuri, orang bertopeng itu langsung menangkap pergelangan tangan Putri Randu Walang dan menotoknya. Begitu cepat kejadiannya, tahu-tahu sang putri telah berada dalam bopongannya. Dan seketika itu pula, orang bertopeng itu kembali melesat ke arah datangnya tadi. Lalu tubuhnya menghilang di kegelapan malam.
"Pengawal, tolooong! Tolooong...! Putriku diculik! Putriku diculik!" teriak wanita itu, kalap.
Beberapa pengawal langsung mendobrak pintu, dan mendapati permaisuri junjungan mereka berteriak-teriak sambil menunjuk kearah jendela yang terbuka lebar.
"Kanjeng Gusti Ayu! Ada apa?" tanya seorang pengawal.
"Putriku diculik orang! Cepat kejar! Tangkap penculik itu sampai dapat! Cepat...!"
"Baik, Kanjeng Gusti Ayu!" Pengawal kerajaan ini cepat bertindak. Dua orang keluar lewat pintu kamar untuk memberitahukan kawannya. Sementara tiga lainnya langsung mengejar lewat jendela yang terbuka tadi.
EMPAT
Terjadinya penculikan terhadap Putri Randu Walang, langsung membuat semua prajurit kerajaan menjadi kalang kabut. Ketiga prajurit yang pertama mengejar, sempat melihat si penculik. Namun bukan main kagetnya mereka, ketika melihat apa yang dilakukan penculik itu. Meski samar-samar di kegelapan malam dan berada agak jauh tapi jelas kalau penculik itu tidak melompati tembok istana yang tinggi. Tapi...
"Astaga! Dia berjalan di muka tembok!" desis seorang prajurit.
"Gila! Orang itu pasti memiliki ilmu 'Cecak'...!" timpal kawannya.
"Heh?! Apa pedulinya?! Meski berilmu setinggi langit, kita harus mengejar dan menangkapnya. Orang itu telah menculik Putri Randu Walang!" sergah prajurit yang seorang lagi.
"Ah, iya! Hampir saja dia membuat kita lupa. Ayo, kumpulkan yang lain. Kita tangkap dia bersama-sama!" seru kedua prajurit yang tadi terpaku, kini seperti tersadar.
Salah seorang dari mereka segera berteriak. Maka lebih dari tiga puluh prajurit berkuda langsung keluar dari gerbang istana untuk mengejar penculik Putri Randu Walang.
Tiga puluh prajurit kerajaan tidak bisa dianggap sembarangan. Mereka merupakan prajurit terlatih yang rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan cukup hebat. Mereka mendapat perintah langsung dari Panglima Kurata.
"Heaaa...!" Derap langkah kaki kuda bergemuruh laksana ribuan pasukan besar yang tengah menuju medan laga. Malam ini. demikian kisruh dan amat menjengkelkan. Baru saja terjadi kehebohan di kemah-kemah para peserta sayembara, kini dikejutkan oleh hilangnya Putri Randu Walang. Dan sudah barang tentu yang amat geram adalah Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
Pasukan itu dipimpin tangan kanan Panglima Kurata, yairu Ki Srengseng. Mereka bergerak ke utara, di mana tiga orang anak buahnya telah melihat penculik itu lari ke arah sana. Kuda-kuda dipacu kencang, sampai tiba di tepi sebuah hutan.
"Berhenti...!" teriak Ki Srengseng, tiba-tiba.
Laki-laki tegap berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu memberi isyarat pada anak buahnya, ketika melihat dua orang tengah bertarung. Salah seorang terlihat memondong tubuh ramping, yang tak lain Putri Randu Walang. Ki Srengseng langsung memberi perintah untuk mengepung.
"Tangkap mereka berdua!"
"Yeaaa...!"
Mendengar teriakan para prajurit kerajaan, kedua orang yang tengah bertarung tersentak. Sesaat mereka menghentikan pertarungan langsung menoleh ke arah datangnya teriakan tadi. Namun justru kesempatan itu digunakan seorang yang memakai penutup kepala hitam serta memondong Putri Randu Walang di pundaknya, untuk melemparkan sesuatu.
"Hiiih!" Pemuda berbaju rompi putih yang menjadi lawannya tersentak kaget. Namun, dia cepat melompat ke atas menghindari.
Dum!
Seketika benda yang dilempar meledak menimbulkan asap tebal, menghalangi pandangan. Pada saat kaki pemuda itu mendarat kembali di tanah, melesat beberapa utas tambang ke arahnya dan langsung membelitnya.
Set! Set!
"Huh!" Pemuda itu berusaha menyentak saat kedua tangan dan kakinya terbelit. Empat sosok tubuh mendadak melayang. Bukannya mereka terbanting karena sentakan, melainkan meminjam tenaga sentakan untuk membelit lebih erat dengan saling berpindah di antara mereka sendiri. Sehingga dengan sendirinya, dalam waktu singkat dan tanpa disadari, keempat orang itu berhasil membekuk pemuda itu.
Dan ketika asap mulai sirna, kini terlihat siapa yang tertinggal. Para prajurit kerajaan telah mengepung tempat itu. Empat di antaranya meringkus pemuda berbaju rompi putih. Sedangkan lawannya yang mengenakan topeng dan memondong Putri Randu Walang di punggung, lenyap entah ke mana!
"Hih! Siapa kau?! Dan, apa yang kau kerjakan di sini?! Mengakulah! Kalau tidak akan kuhukum berat!" bentak Ki Srengseng, galak.
"Kisanak! Namaku Rangga. Aku hanya seorang pengembara. Tujuanku tidak buruk. Hm... Melihat dari seragam yang dikenakan, pastilah kalian prajurit Kerajaan.Cadas Walang. Lalu kenapa kalian diamkan saja orang tadi dan malah menangkapku? Kulihat, dia keluar dari istana dan membawa seseorang. Tindakannya mencurigakan. Sehingga, dia kuikuti. Aku bermaksud mencari tahu. Namun, orang itu ternyata bermaksud buruk. Karena, dia langsung menyerang. Kemudian aku bermaksud meringkusnya, sampai kalian merusak rencanaku," jelas Rangga, dengan sikap tenang.
"Dusta! Kalian telah bersekongkol menculik Putri Randu Walang! Sekarang katakan, ke mana kawanmu itu pergi?!" bentak Ki Srengseng, galak.
"Kisanak... Aku bicara apa adanya. Kau boleh percaya atau tidak."
"Kurang ajar! Penculik busuk! Kau akan merasakan akibatnya atas sikap keras kepalamu! Pengawal! Bawa dia...!"
"Tunggu!" Keempat pengawal yang tadi meringkus menggunakan tali, bersikap hendak mengikatnya dengan kuda. Pemuda itu jelas akan diseret menuju istana. Tapi niat mereka terhenti, ketika mendengar bentakan itu. Sepasang mata pemuda yang memang Rangga mendelik garang. Wajahnya berubah sinis, saat menatap tajam ke arah Ki Srengseng.
"Kisanak! Aku telah bicara yang sebenarnya padamu. Kau boleh percaya atau tidak. Tapi membawaku ke istana dengan cara seperti ini? Hm, tidak bisa!"
Setelah berkata begitu, Rangga mendengus geram. Kemudian dia membentak keras seraya melompat ke atas.
"Heaaat...!"
Tes! Tes!
"Uhhh...!" Keempat prajurit kerajaan itu terkejut. Mereka berusaha menahan, namun sentakan itu demikian keras. Tali yang melilit di tubuh Pendekar Rajawali Sakti putus, membuat keempat prajurit melayang. Mereka berusaha menahan keseimbangan tubuh, namun Rangga telah lebih dulu meluruk menyerang.
Duk! Buk!
"Aaakh...!" Para prajurit itu kontan terpental disertai jerit kesakitan. Mereka jatuh bergulingan. Dan sebelum bangkit, pemuda itu telah berdiri tegak, tepat di hadapan Ki Srengseng.
"Kau boleh katakan pada rajamu! Aku tiada urusan dengan penculik putrinya. Tapi bila kalian mau bekerjasama, aku bersedia membantu!" tegas Rangga.
"Huh! Apa derajatmu berani mengaturku?! Kau harus tunduk pada perintahku, karena selama ini tak ada seorang pun yang boleh membantah apa yang kukatakan!" dengus Ki Srengseng.
Setelah berkata begitu, laki-laki tegap ini langsung memberi perintah pada semua anak buahnya untuk meringkus Pendekar Rajawali Sakti.
"Ringkus dia sampai dapat...! Kalau melawan, kalian boleh bertindak keras!"
"Yeaaa...!"
Semua prajurit yang mengurung tempat ini serentak maju menyerang. Untuk sesaat Rangga terkesiap. Namun selanjutnya, Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram, langsung melompat dan mencabut pedangnya.
Sring!
"Heaaa...!"
"Heh?!"
Para prajurit itu terkejut. Dalam kegelapan ini, mereka melihat cahaya terang berwarna biru yang terpancar dari batang pedang pemuda itu. Namun hanya sekejapan mata saja. Sebab, selanjutnya cahaya itu bergerak amat cepat ke arah mereka.
Trasss...!
Kembali para prajurit itu dibuat kaget. Tanpa bisa berbuat apa-apa, senjata para prajurit putus dibabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Bahkan lebih dari lima belas orang langsung terjungkal sambil menjerit kesakitan terkena kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang berkelebat cepat. Sisanya yang tersentak dan berusaha melawan dengan balas menyerang atau menghindar, agaknya hanya menunggu waktu saja.
Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat. Dan dalam keadaan marah seperti ini, dia bertindak tidak kepalang tanggung. Semua lawan yang berada di dekatnya ambruk tanpa bisa melakukan perlawanan berarti. Dalam waktu singkat, semua prajurit kerajaan yang senjatanya telah dilucuti itu jatuh bangun dihajarnya.
"Pergilah kalian. Dan carilah si penculik itu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, setelah menjatuhkan lawan terakhirnya. Dan berdiri tegak memandang kepala pasukan prajurit kerajaan ini.
"Huh! Kau kira bisa berbuat semaumu?! Kau belum menang, Kisanak! Kau akan kutangkap dengan kedua tanganku!" dengus Ki Srengseng. Setelah berkata demikian, Ki Srengseng melompat. Langsung diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan pedang terhunus.
Sret!
"Hiiih!" Pedang di tangan kepala pasukan prajurit itu berkelebat cepat menyambar bagian leher, dada, dan pinggang. Namun Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus kecil. Kemudian pedang diputar menangkis senjata Ki Srengseng.
Tras!
"Heaaa!"
Pedang Ki Srengseng kontan putus dibabat senjata Pendekar Rajawali Sakti. Namun itu sama sekali tidak membuatnya kaget. Bahkan malah menyodok dada Rangga dengan hantaman telapak tangan kiri.
Plak! Wuuut!
Rangga mulai jengkel melihat keadaan ini. Cepat dia bergerak ke kanan, lalu menangkap pergelangan tangan Ki Srengseng, kemudian melesat ke belakang sambil menelikungnya.
Ki Srengseng agaknya tidak tinggal diam. Dia berusaha melepaskan diri, dengan membanting pemuda itu ke depan. Bersamaan dengan itu, tangan kanannya menyambar ke pinggang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, Rangga telah lebih dulu mendorongnya ke depan.
Ki Srengseng terhuyung-huyung, namun cepat berbalik hendak menyerang. Dan saat itulah Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan tendangan tepat ke perut.
Begkh!
"Ugkh..!" Ki Srengseng terjungkal keras. Dia berusaha bangkit, namun satu tendangan berikutnya telah menghantam dada. Tangan kanan Panglima Kurata itu menjerit lebih keras. Kali ini, dia tidak cepat bangkit. Telapak kirinya mendekap dada. Wajahnya tampak berkerut menahan sakit yang hebat.
"Maaf, Kisanak. Aku tidak bermaksud mencelakaimu. Tapi karena kau memaksa, maka aku harus membela diri...!" ujar Rangga seraya menyarungkan pedang.
"Selama ini, telah banyak kudengar kehebatan orang-orang persilatan. Namun begitu, tidak ada yang mampu semudah itu menjatuhkanku. Kau tentu bukan orang sembarangan. Kalau boleh kutahu, siapa sebenarnya nama besarmu...?" tanya Ki Srengseng datar.
"Kisanak... Aku tidak mempunyai nama besar. Rasanya, hal itu tidak perlu. Dan karena di antara kita tidak ada urusan lagi, maka aku mohon diri...," sahut Rangga.
Ki Srengseng mencoba mencegah, tapi pemuda itu tidak mempedulikannya. Pendekar Rajawali Sakti terus saja melangkah tanpa seorang pun yang berniat mencegahnya. Para prajurit hanya mampu menatap dengan wajah penuh tanda tanya.
********************
Wajah Gusti Prabu Arya Turangga Waskita begitu berang, penuh amarah dan amat murka. Hari ini di balairung utama terlihat banyak oranq. Selain Permaisuri Kembang Sari juga hadr selir beliau, yaitu Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum. Mereka didampingi putra dan putrinya. Hadir juga para selir lain, bersama putra-putri mereka. Juga tidak ketinggalan seluruh pejabat penting di kerajaan ini.
"Hari ini, kita telah mengalami kejadian yang sungguh tidak enak dan sekaligus membuatku marah. Putri Randu Walang diculik orang semalam. Kita tidak tahu siapa dan untuk apa. Tapi, ini mencoreng muka kerajaan. Dan tindakan keras harus kita lakukan terhadap orang itu, serta orang-orang yang berada di belakang semua ini!" tandas Gusti Prabu Arya Turangga Waskita dengan suara berat, tertahan.
"Ampun, Gusti Prabu Bolehkah hamba bicara?" ujar seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun.
"Silakan, Paman Patih Gora...!"
"Menurut hamba, kerajaan dalam keadaan aman. Dan prajurit-prajurit kita pun amat terlatih dalam segala hal. Bila karena sayembara ini sehingga suasana menjadi ramai lalu menimbulkan kelalaian, rasanya masih mustahil seseorang mampu masuk ke keputren yang dijaga ketat para prajurit pilihan. Kecuali bila hal ini didalangi orang dalam," kata seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun.
"Paman Patih...!" Apakah menurutmu ada orang dalam yang berkomplot menculik putriku...?!" tanya Permaisuri Kembang Sari yang kelihatan masih amat berduka, coba meyakinkan kata-kata orang tua itu.
"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Hamba tidak bisa mengatakan secara pasti sebelum terbukti. Itu hanya dugaan belaka...," ucap Patih Gora.
Wajah Permaisuri Kembang Sari tampak cemas. Wanita itu memandang kepada suaminya. "Gusti Prabu... Apakah itu bukan merupakan petunjuk? Kita harus menyelidikinya sampai tuntas. Putri Randu Walang tidak ketahuan nasibnya. Aku amat cemas memikirkannya. Kanda harus memeriksa semua orang yang dicurigai di kalangan istana. Mungkin apa yang dikatakan Paman Patih memang benar...!" ujar Permaisuri Kembang Sari, tandas.
"Sabarlah, Dinda. Bukan hanya kau saja yang merasa cemas atas hilangnya Putri Randu Walang. Aku serta semua orang di kerajaan ini merasakan hal yang sama. Namun kita harus bisa berpikir jernih, agar tidak kesalahan tangan dalam menuduh. Percayalah.... Aku bertanggung jawab, dan akan kutemukan putriku meski di ujung dunia sekali pun!" tukas Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Kakak Kembang Sari.... Apa yang dikatakan Gusti Prabu benar. Kita tidak bisa sembarang tuduh, sebab nanti ada yang menjadi korban. Ada baiknya kita mencari jalan lain. Kebetulan, aku mempunyai sebuah usul," timpal Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Benarkah? Usul apa gerangan, Dinda Rara Ningrum?" tanya Permaisuri Kembang Sari bersemangat.
"Namun, hamba harus memohon dulu pada Gusti Prabu. Sebab, bila Gusti Prabu tidak memperkenankan hamba bicara, mana bisa hamba bicara selancang itu di tempat ini," sahut Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, seraya melirik Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Dinda Rara Ningrum, silakan kemukakan usulmu. Jika kuanggap baik, maka akan kulaksanakan."
"Terima kasih, Gusti Prabu. Seperti kita ketahui, saat ini tengah diadakan sayembara untuk mencari calon suami Ananda Putri Randu Walang. Namun karena kejadian semalam, maka semuanya menjadi berantakan. Berita ini tidak bisa ditutupi, dan telah menyebar ke mana-mana dalam waktu singkat. Para peserta sayembara mulai gelisah. Apalagi setelah kejadian yang menimpa mereka semalam. Keadaan menjadi tidak jelas lagi. Nah! Hamba mengusulkan, agar tidak menimbulkan keresahan serta memperjelas keadaan mereka, maka rubahlah acara sayembara itu," jelas Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Merubah acara bagaimana maksudmu?" tanya Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Suruhlah mereka mencari sang putri. Dan yang menemukannya, akan berjodoh dengan sang putri. Hamba yakin, mereka akan lebih bersemangat karena ini penuh tantangan. Dan selain itu, kerahkan semua prajurit pilihan ke segala penjuru. Kalau perlu, biarkan mereka menyamar. Pasang mata dan telinga tajam-tajam. Sehingga dengan demikian, bila mendengar berita tentang si penculik, mereka akan cepat bergerak meringkusnya," lanjut Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum bersemangat.
Gusti Prabu Arya Turangga Waskita terdiam. Demikain juga yang lain. Belum ada seorang pun yang membantah usul Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum. Sepertinya, mereka tengah mempertimbangkan baik buruknya usul selir Gusti Prabu Arya Turangga Waskita yang paling mendapat perhatian itu.
"Bagaimana, Gusti Prabu? Apakah usul hamba buruk untuk dijalankan?"
"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu...!" ujar Patih Gora menghaturkan hormat sebelum Gusti Prabu Arya Turangga Waskita bicara.
"Ada apa, Paman Patih?"
"Pada dasarnya usul Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum memang baik. Namun. hamba kurang setuju bila harus mengerahkan semua prajurit pilihan," jelas laki laki tua itu.
"Ada apa, Paman Patih? Apakah kau tidak menginginkan Putri Randu Walang kembali?!" ujar Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, dengan wajah tidak senang.
"Hamba tidak mempunyai pikiran seburuk itu. Namun mengorbankan semua prajurit guna mencari Putri Randu Walang, adalah ancaman bagi kerajaan. Sebab dengan demikian, kerajaan akan kosong. Dan hal itu bisa dimanfaatkan orang-orang yang dengki untuk menggulingkan Gusti Prabu. Maafkan hamba atas penolakan usul itu. Namun, segalanya kembali kepada Gusti Prabu," tutur Patih Gora.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu! Putri Randu Walang, adalah masa depan kerajaan ini. Kita harus mencarinya sampai dapat! Ada pun tentang kecurigaan Paman Patih memang beralasan. Tapi, coba perhatikan baik-baik! Semua yang ada di balairung ini adalah orang-orang terdekat di lingkungan kerajaan, serta orang-orang yang terpercaya dan senantiasa setia pada Paduka. Mungkinkah mereka berkhianat, bila Gusti Prabu menginginkan agar kita semua tutup mulut? Sedangkan, nasib Putri Randu Walang entah ke mana rimbanya. Oleh sebab itu, amat perlu sekali kita mengerahkan semua prajurit terlatih dan menugaskan mereka diam-diam dengan menyamar sebagai rakyat biasa!" sahut Rara Ningrum, berapi-api.
Ruangan itu kembali sepi. Kata-kata Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum masih terus mengiang-ngiang di telinga.
"Kurasa apa yang dikatakannya memang benar. Maka aku memutuskan untuk mengadakan pencarian besar-besaran terhadap putriku!" sambut Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
Raja Cadas Walang telah memutuskan untuk menyerujui usul Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum. Termasuk, soal perubahan sayembara itu. Beberapa orang yang hadir dalam ruangan ini mengangguk setuju. Dan mereka merasa, tindakan yang dilakukan Gusti Prabu Arya Turangga Waskita benar serta sudah tepat. Namun begitu, beberapa orang lain diam saja, pertanda mereka patuh pada keputusan Gusti Prabu Arya Turangga Waskita, meskipun belum tentu menyetujuinya!
LIMA
Belum begitu lama para prajurit Kerajaan Cadas Walang berangkat, terjadi hal yang amat mengejutkan Gusti Prabu Arya Turangga Waskita. Lebih dari tujuh puluh orang prajuritnya, melucuti senjata-senjata kawannya sendiri. Keadaan itu berlangsung demikian cepat. Bahkan permaisuri, selir-selir, Panglima Kurata, dan Patih Gora langsung ditawan tanpa perlawanan.
"Apa-apaan ini? Hei?! Tahukah, apa yang tengah kalian lakukan?! Kalian bisa dihukum jerat atas perbuatan lancang ini!" sentak Gusti Prabu Arya Turangga Waskita berkali-kali.
"Percuma saja! Sebab hari ini, mereka tidak akan mematuhi perintahmu lagi," sahut Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum disertai senyum kecil.
"Rara Ningrum, apa maksudmu?! Apa maksud semua ini...?!" hardik Gusti Prabu Arya Turangga Waskita dengan wajah bingung. Sepasang matanya tampak membelalak lebar.
"Maksudku, kekuasaanmu telah berakhir. Dan sebentar lagi, akan ku umumkan pada seluruh rakyat bahwa Pangeran Sodong Palimbanan yang akan menggantikanmu!" tandas Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Kau..., kau, apa maksudmu? Apa yang kau lakukan ini?! Tahukah kau, betapa kejinya dirimu jika benar kau yang merencanakan pemberontakan ini?!" kata Gusti Prabu Arya Turangga Waskita, seperti tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Prabu Arya Turangga Waskita yang malang, ternyata kau tidak bodoh. Memang, akulah yang merencanakan semua ini. Bahkan aku merencanakannya dari jauh-jauh hari. Para prajurit ini tahu kalau mengabdi denganmu, mereka tidak mendapat apa-apa. Tapi mengabdi padaku, mereka akan mendapat harta serta derajat yang lebih tinggi."
"Perempuan hina! Tidak kusangka hatimu begitu keji. Apa yang mendorongmu berbuat seperti ini?!" dengus Penguasa Kerajaan Cadas Walang itu.
"Kau terlalu pilih kasih pada anak-anakmu. Aku ingin Sodong Palimbanan yang menjadi penggantimu, tapi kau malah meneruskan niat gilamu. Padahal, mana pantas seorang perempuan memerintah negeri?! Nah! Kau sudah dengar, bukan? Jadi, jangan berpikir aku berniat jahat. Sebab yang kulakukan sudah semestinya Sodong Palimbanan akan menjadi raja. Dan kau akan mengumumkan hal itu di tengah upacara penobatannya beberapa hari lagi," sahut Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum dengan senyum mengejek.
"Tidak! Kau tidak akan bisa memaksaku dengan cara seperti itu...!" sentak Gusti Prabu Arya Turangga Waskita tegas sambil mendengus geram.
"Hm, kau menolak? Tahukah kau apa yang kumiliki saat ini? Putri Randu Walang berada pada orang-orangku. Bila kau memang menyayanginya, maka nobatkan putraku menjadi penguasa kerajaan ini!" ancam Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Putriku, oh...?!" Wajah Permaisuri Kembang Sari tampak semakin kaget mendengar berita itu. Demikian pula sang prabu serta yang lainnya. Sama sekali tidak diduga kalau Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum mendalangi semua tindakan mahar yang terjadi di kerajaan ini.
"Rara Ningrum! Kau sungguh-sungguh berhati keji! Terkutuklah kau!" dengus Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Hi hi hi...! Makilah aku sepuasmu. Tapi, jangan harap aku akan surut dari niatku. Bila kau tidak menobatkan putraku, maka selain Putri Randu Walang, yang lainnya secara satu persatu akan binasa di hadapanmu!" sahut Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, mengancam.
"Lalu, akan kau apakan kami semua...?" tanya Patih Gora.
"Hi hi hi...! Pertanyaan yang bagus, Paman Patih. Yang kubutuhkan saat ini sampai penobatan putraku adalah, kehadiran kalian semua. Dan setelah hal itu selesai, maka ..."
"Kau akan menghabisi kami satu persatu?" potong laki-laki tua itu.
"Hm.... Ternyata otakmu masih cerdik, Paman Patih! Kalian nanti hanya sebagai kedok saat penobatan putraku, agar rakyat tidak curiga. Lalu setelah itu, aku tidak memburuhkan kalian lagi!"
"Kalau boleh kutahu, dengan siapa kau bekerjasama? Aku tidak yakin, kalau kau bekerja seorang diri...," pancing Patih Gora.
"Kau cerdik sekali, Paman Patih! Tidak ada salahnya kuberitahu. Toh, kalian tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi. Aku bersekutu dengan saudara misanku, yaitu Ki Torogongan? Kau kenal bukan? Atau, barangkali Panglima Kurata yang mengenalnya? Dia lebih dikenal sebagai Gendoruwo Samber Nyawa."
"Gendoruwo Samber Nyawa? Astaga! Kau bersekutu dengan penjahat terbesar di negeri ini?!" sentak Panglima Kurata kaget mendengar penjelasan wanita itu.
"Tidakkah kalian dengar? Dia bukan saja sekutuku. Tapi, juga saudara sepupuku. Kami telah lama merencanakan ini, sejak kakek kami dihukum mati oleh raja negeri ini!" desis Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, dengan wajah geram.
"Rara Ningrum... Kau..., kau telah mengecohku selama ini...?!" Gusti Prabu Arya Turangga Waskita berseru kaget.
"Sayang sekali, Paduka. Kau baru tahu hari ini. Tapi, segalanya sudah terlambat. Dan kau akan merasakan hukumanmu bersama yang lain."
Setelah berkata begitu, Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum langsung memberi perintah pada para prajurit kerajaan yang berpihak padanya.
"Bawa mereka! Dan, kumpulkan dalam satu penjara!"
"Baik, Kanjeng Gusti Ayu...!"
Gusti Prabu Arya Turangga Waskita memandang sekilas selirnya yang telah jadi pemberontak dengan sorot mata tajam, penuh amarah dan dendam.
"Rara Ningrum! Kau akan mendapat balasan setimpal atas perbuatanmu hari ini!" dengus Gusti Prabu Arya Turangga Waskita tajam sebelum berlalu dari balairung ini.
Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum hanya tersenyum. Sama sekali tidak dipedulikannya ancaman sang prabu.
********************
Sesosok tubuh tegap berlari-lari kencang dengan napas tersengal. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang. Rasanya, derap beberapa ekor kuda sudah semakin dekat di belakangnya. Menyadari hal itu, dia tidak mempedulikan napasnya yang hampir putus dan terus berlari. Beberapa kali dia tersungkur jatuh, namun cepat bangkit kembali. Dan terakhir, tubuhnya tersungkur ke dataran yang agak menurun. Tubuhnya bergulingan beberapa kali. Dia tidak mampu langsung bangkit. Tenaganya seperti terkuras habis seperti seluruh pakaiannya yang robek-robek.
"Kau kira bisa lari seenakmu saja, he?!"
"Ohhh...!" Sosok laki-laki bertubuh tegap itu terkejut. Mukanya pucat ketika seseorang berkata bernada dingin. Cepat menoleh dan melihat sepuluh penunggang kuda berseragam prajurit kerajaan telah mengelilinginya.
"Tangkap dia. Dan, bunuh saja kalau melawan!" teriak salah seorang memberi perintah.
"Huh!"
Mereka bersiap hendak meringkus, namun saat itu juga muncul beberapa orang bersenjata yang langsung melindungi.
"Tahan! Mengapa kalian hendak menangkapnya?" tanya salah seorang yang baru datang, dan langsung melindungi sosok yang tadi dikejar-kejar.
"Siapa kau?!" balas salah seorang prajurit berkuda yang mengepalai pasukan berkuda ini.
"Kisanak! Orang ini adalah Ki Srengseng. Beliau merupakan tangan kanan Panglima Kurata," jelas salah seorang prajurit berkuda yang agaknya mengenali wajah laki-laki berpakaian biasa itu.
"Hm... Jadi kau salah satu kaki tangan Panglima Kurata. Dan berarti, kau adalah orangnya Gusti Prabu Arya Turangga Waskita!"
"Heh?! Mengapa kau berkata seperti itu? Siapa kau sebenarnya?!" bentak Ki Srengseng.
"Aku Jarot, anak buah Gendoruwo Samber Nyawa! Dan kau jangan banyak mulut! Ringkus mereka...!" teriak Jarot, kepada pasukan prajurit berkuda yang ternyata anak buah Gendoruwo Samber Nyawa.
"Yeaaa...!"
Ki Srengseng dan anak buahnya terkejut. Para prajurit berkuda itu cepat bergerak. Sama sekali mereka tidak menduga akan diserang oleh prajurit-prajurit kerajaan yang dianggap kawan sendiri. Sehingga dengan sekali gebrak, tiga anak buah tangan kanan Panglima Kurata ini tewas bermandikan darah disabet pedang prajurit.
"Kurang ajar! Jadi kalian benar-benar pasukan pemberontak, he?!" sepasang mata Ki Srengseng melotot garang penuh amarah.
"He he he...! Bukan! Sekarang kami adalah prajurit-prajurit kerajaan. Kalianlah sebagai pemberontak. Dan sebagai pemberontak, sudah sewajibnya diringkus!"
"Apa yang telah kalian lakukan terhadap Gusti Prabu dan yang lainnya?"
"Dia telah meringkuk dalam penjara!"
"Bedebah! Siapa yang menjadi dalang pemberontakan ini?!"
"Ha ha ha...! Kau begitu ingin tahu, he? Tidak apa. Sebab, sebentar lagi toh ajalmu akan tiba. Semua ini tidak lain dari perbuatan...." Jarot tidak melanjutkan kata-katanya. Dan bibirnya malah tersenyum mengejek.
"Katakan, siapa?!"
"Ha ha ha...! Rasa penasaranmu boleh kau bawa ke akherat, karena tidak tahu siapa yang kini menjadi raja negeri ini!" ejek Jarot.
"Bajingan keparat! Kaulah yang akan kukirim ke akherat!" dengus Ki Srengseng langsung mencabut pedang dan menyerang ganas.
Selama ini, kepandaian Ki Srengseng boleh dibilang melampaui semua kawan-kawannya seangkatan. Di bawah Panglima Kurata, terdapat beberapa orang panglima yang memimpin beberapa pasukan. Dan semuanya, segan terhadapnya. Dan memang, tentang laki-laki bernama Jarot ini, dia sama sekali tidak mengenalnya. Jelas saja, sebab Jarot adalah anak buah Gendoruwo Samber Nyawa yang menyusup menyamar sebagai prajurit atas bantuan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
Sementara itu kepandaian Jarot ternyata juga sangat hebat dan tidak berada di bawahnya. Bahkan kelihatannya, dia tidak bersungguh-sungguh dalam bertarung menghadapinya. Sudah barang tentu hal ini membuat Ki Srengseng bertanya-tanya.
"Bedebah! Kau memang bukan prajurit kerajaan!"
"Ha ha ha...! Tadi sudah kukatakan, aku anak buah Gendoruwo Samber Nyawa! Sudahlah yang jelas, ajalmu sudah dekat, seperti anak buahmu. Bersiaplah!" dengus Jarot.
Ki Srengseng berpaling. Hatinya tampak semakin geram bercampur amarah. Anak buahnya sama sekali tidak berkutik menghadapi prajurit-prajurit kerajaan. Ini hal yang mustahil. Sebab, anak buahnya adalah prajurit-prajurit pilihan. Tapi, kenapa mereka dibuat jatuh bangun oleh kawan-kawannya sendiri yang bukan prajurit pilihan?
"Mereka pasti juga bukan prajurit-prajurit asli!" duga Ki Srengseng menyimpulkan.
Sementara itu Jarot menggerak-gerakkan kedua tangannya ke dada berkali-kali, membentuk gerakan cepat yang sulit diikuti pandangan mata orang-orang awam.
"Haaat! Heaaat! Yeaaa!"
Wuuur!
Jarot bergerak cepat. Tubuhnya langsung mencelat ke arah Ki Srengseng. Untuk sekilas, Ki Srengseng tidak mampu berbuat apa-apa, selain bergulingan untuk menghindari serangan gencar. Namun Jarot terus mencecarnya. Sehingga suatu ketika, baru saja Ki Srengseng melenting dan menjejak tanah, satu tendangan mendarat di dadanya.
Duk!
"Aaakh...!" Ki Srengseng terhuyung disertai jerit kesakitan. Dia berusaha menjaga keseimbangan tubuh. Namun satu sodokan kepalan tangan kanan Jarot kembali menghantam dada.
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh tangan kanan Panglima Kurata itu terjungkal roboh dengan wajah berkerut menahan rasa nyeri. Pedangnya terlempar dari genggaman. Satu sodokan keras menghantam dada, membuat isi dadanya seperti remuk.
"Hiiih! Mampus...!" desis Jarot. Langsung dihantamnya tubuh Ki Srengseng.
Sementara, tangan kanan Panglima Kurata ini tengah menggeliat menahan rasa sakit. Dia berusaha bangun dengan tertarih dan napas megap-megap.
Ki Srengseng mengeluh tertahan. Matanya sudah dipejamkan dan menarik napas panjang. Percuma saja dia berusaha menghindar. Sebab kecepatan pukulan jarak jauh yang dilepaskan Jarot ini tidak akan mampu diimbangi oleh kecepatan geraknya dalam menghindar. Dia hanya bisa pasrah menerima nasib. Dan...
"Heaaat!"
Glerrr...!
"Uhhh...!"
Pada saat-saat yang gawat, melesat sekelebatan cahaya merah memapak pukulan yang dilepaskan Jarot. Sesaat terdengar letupan kecil. Namun tampak tubuh Jarot terhuyung-huhung ke belakang sambil mendekap dadanya.
"Siapa kau?! Kurang ajar! Berani mencampuri urusan orang! Kau akan cari mati sendiri!" bentak Jarot dengan wajah garang dan pandangan mata tajam.
Tidak jauh di depan anak buah Gendoruwo Samber Nyawa, berdiri seorang pemuda berwajah tampan berambut panjang. Pemuda yang menyandang sebilah pedang bergagang kepala burung rajawali itu memakai rompi putih. Dan di dekatnya, terlihat seekor kuda berbulu hitam.
"Kau... oh! Bukankah kau Rangga?" seru Ki Srengseng dengan perasaan kaget bercampur gembira.
Sebaliknya pemuda itu tersenyum kecil. Lalu kepalanya mengangguk kecil. "Benar, Kisanak. Ingatanmu sungguh tajam."
"Bedebah! Siapa kau monyet kecil?! Tahukah kau, tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!" hardik Jarot merasa dianggap angin oleh pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Monyet besar! Tentu saja aku tahu, siapa kau"
"Setan!" Jarot menggeram.
Pendekar Rajawali Sakti menyahut asal-asalan, dan seperti menganggap enteng. Agaknya Jarot tidak bisa menerima hal itu. Dia langsung melompat menyerang dengan golok terhunus.
Srak!
"Mampus kau keparat!"
Bet! Bet!
Senjata laki-laki bertampang seram ini bergerak cepat menyambar kian kemari. Namun Rangga gesit sekali menghindari serangan dengan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Bahkan Jarot sampai terkecoh dan semakin geram saja. Sebab, semua serangannya dapat dipatahkan Rangga.
Wuuut!
Klap! Duk!
Satu sabetan golok ke arah bahu kanan, dihindari Pendekar Rajawali Sakti dengan bergerak ke kanan sambil berbalik. Tangan kanannya langsung menangkap pergelangan tangan Jarot. Dan dengan kuat disentaknya ke depan setelah sikut tangan kanannya menyodok ke dada anak buah Gendoruwo Samber Nyawa ini.
"Ugkh...!" Jarot mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung terbanting keras. Dia berusaha bangkit, tapi saat itu juga kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti telah bergerak ke arah leher dan menekannya kuat-kuat.
"Jangan berbuat macam-macam! Sedikit saja bergerak, maka kau akan mampus dengan leher patah!" ancam Rangga, garang.
"Bedebah! Apa maumu?!"
"Perintahkan anak buahmu menghentikan pertarungan! Cepat!"
Sambil mendengus geram, Jarot berteriak kencang. Para anak buahnya segera menghentikan pertarungan. Wajah mereka terkejut. Dan di antaranya tampak berkerut geram.
"Sekarang berbarislah di sebelah kanan!" tambah Rangga, memberi perintah.
Dengan kesal mereka mengikuti perintah Pendekar Rajawali Sakti, melangkah mendekati tempat yang ditunjuk.
"Hiiih! Mampus kau...!" dengus seseorang. Diam-diam, orang itu melepaskan dua buah pisau kecil yang amat beracun ke arah tenggorokan dan jantung Pendekar Rajawali Sakti
Set! Set!
"Heh...?!" Bukan main terkejutnya Rangga melihat serangan gelap itu. Tubuhnya langsung mencelat ke atas, seraya membuat gerakan jungkir balik untuk menghindarinya. Bersamaan dengan itu, secepat kilat Jarot bangkit dan mengeluarkan dua bilah pisau beracun dari balik bajunya untuk menghabisi Rangga secara membokong.
Tapi tindakan Pendekar Rajawali Sakti sungguh luar biasa. Saat tubuhnya jungkir balik menghindari serangan gelap. Kedua tangannya cepat menangkap kedua gagang pisau. Lalu dengan cepat dilepaskannya satu pisau ke arah Jarot yang belum sempat bertindak. Sementara sebuah lagi ke arah prajurit yang pertama melepaskan pisau-pisau tadi.
Crap! Cras!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Jarot memekik setinggi langit. Tubuhnya terjungkal roboh dengan tangan kanan menggenggam dua bilah pisau kecil. Sementara tepat di dada kirinya, menancap sebilah pisau dengan jenis sama. Bersamaan itu, salah seorang prajurit yang tadi melemparkan pisau, terjungkal dengan dahi tertancap pisaunya sendiri. Kedua orang itu tewas seketika dengan tubuh membiru!
Semua yang ada di tempat ini terkejut. Sebagian merasa heran dengan apa yang terjadi. Namun di antara mereka menatap Rangga dengan wajah tidak percaya.
"Siapa lagi yang hendak menyusul?!" teriak Rangga lantang seraya memandang anak buah Jarot satu persatu dengan tatapan menyelidik.
Tak ada seorang pun yang berani membalas tatapan itu. Semuanya diam tertunduk. Apa yang terjadi terhadap Jarot dan kawannya, telah cukup membuat nyali mereka ciut.
ENAM
Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan prajurit-prajurit pemberontak yang kini telah diringkus oleh anak buah Ki Srengseng dengan pandangan tajam. Di bawah todongan senjata, agaknya mereka tidak akan berbuat macam-macam lagi.
"Rangga.... Kami mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Kau muncul begitu saja seperti dewa yang turun dari langit," ucap Ki Srengseng.
"Ki Srengseng.... Kebetulan saja aku tertarik dengan kejadian yang menimpa kerajaanmu ini, kata Rangga.
"Apakah kau juga telah tahu tentang kejadian yang menimpa kerajaan saat ini?" tanya Ki Srengseng, lebih lanjut.
"Hal itulah yang membuatku tertarik."
"Tahukah kau, siapa yang menjadi biang keladi semua ini?"
"Kau bisa tanyakan pada mereka!" tuding Rangga pada para prajurit pemberontak.
"Betul juga saranmu!" Dengan wajah geram Ki Srengseng menghampiri para prajurit itu. Kemudian dia berkacak pinggang.
"Katakan padaku! Siapa kalian?! Dan, siapa pula yang menjadi biang keladi pemberontakan ini?!" hardik Ki Srengseng penuh amarah.
"Eh! Kami..., kami..!" sahut salah seorang. Namun suaranya tergagap. Dan berkali-kali kepalanya menoleh ke arah kawan-kawannya.
"Apa yang kau tunggu?!" hardik Ki Srengseng lagi.
"Eh! Aku..., aku"
"Dengar! Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Bicaralah! Atau, kau akan mampus sekarang juga!"
Wajah prajurit itu tampak pucat menahan rasa takut. Bukan saja takut oleh ancaman Ki Srengseng, tapi juga seperti takut pada sesuatu yang kelak dihadapi bila berani buka mulut. Dan mendadak saja...
Set! Set!
"Awas...!" Rangga berteriak memberi peringatan, begitu melihat beberapa sinar putih keperakan yang meluncur ke arah mereka.
Crab! Crab!
"Aaa...!"
Sayang, sinar-sinar putih keperakan dari beberapa bilah pisau itu meluncur begitu cepat. Dan salah satu di antaranya. menancap di dahi prajurit yang tengah bicara tanpa dapat dicegah lagi.
Tiga orang prajurit pemberontak langsung roboh dan tewas tertancap pisau. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Srengseng sendiri telah sibuk menghadapi tiga bilah pisau yang melesat kearah mereka.
"Uts!" Rangga bergerak sedikit ke samping dengan kedua tangan bergerak lincah. Langsung ditangkapnya dua bilah pisau yang mengancam keselamatannya.
Tap!
"Yeaaa...!"
Begitu tertangkap, Rangga cepat melemparkan kembali kearah datangnya pisau-pisau tadi. Sebentar saja, dari semak-semak tak jauh dari situ melompat sesosok tubuh ke udara menghindari pisau-pisau yang dilepaskan Rangga. Setelah jungkir balik beberapa kali, sosok itu mencelat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Ha ha ha...! Siapa nyana kalau Pendekar Rajawali Sakti ternyata ikut campur dalam urusan ini!" ujar orang itu, begitu mendarat di hadapan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum, memperhatikan orang yang bertelanjang dada di depannya. Wajah orang itu ditutupi kain hitam. Hanya terdapat dua lubang pada bagian matanya. Di pinggangnya terselip sebilah golok agak panjang, yang diiilit kain sarung kotak-kotak hitam dan putih. Orang ini hanya memakai celana pangsi hitam, yang panjang-nya sedikit di bawah lutut.
"Oh! Jadi, kaukah si Pendekar Rajawali Sakti? Benarkah itu, Rangga?!" Ki Srengseng memandang Rangga dengan wajah heran dan tidak percaya.
"Ha ha ha...! Jadi kau belum tahu, Ki Srengseng? Hm, sungguh mengherankan!" kata orang bertopeng itu.
"Siapa kau sebenarnya?! Buka topengmu, jika benar ksatria. Dengan demikian, aku bisa melihat wajah pengecutmu!" sentak Ki Srengseng tidak mempedulikan ocehan orang itu.
"He he he...! Kau katakan aku pengecut karena membunuh para prajurit tolol ini, dan sekaligus menyerang kalian?! Topeng ini bukan sekadar menutupi wajah. Tapi lebih merupakan ciri khas kawanan kami. Kau tentu bisa menduganya bukan?"
"Hm, kalau tidak salah kau anak buah Gendoruwo Samber Nyawa?" tebak Ki Srengseng.
"He he he..! Ternyata ingatanmu tajam juga, Ki Srengseng!"
"Ada urusan apa kau ke sini?!" tanya Ki Srengseng, ketus.
Sikap Ki Srengseng memang beralasan, karena kawanan Gendoruwo Samber Nyawa bukanlah kawanan baik-baik. Mereka merupakan kawanan penjahat, perampok, dan pembuat kekacauan. Selama ini, pihak kerajaan sudah cukup kerepotan menghadapinya. Bukan saja tiap anggotanya memiliki kepandaian cukup hebat. Tapi mereka juga memiliki sikap licik dan cerdik. Bila pasukan kerajaan mengejar, mereka sembunyi dan menyerang tiba-tiba. Sehingga tidak jarang para prajurit kerajaan menjadi geram. Sebab korban di pihak mereka terlalu banyak yang jatuh, ketimbang korban yang diderita kawanan itu.
"Urusan apa?! Ha ha ha...! Tidak tahukah bahwa kini kau dan anak buahmu adalah pemberontak? Dan aku ditugaskan menangkap kalian!"
"Jangan bicara ngawur! Jaga sikapmu terhadap prajurit kerajaan. Kalau tidak, kau akan kena hukuman berat!" desis Ki Srengseng, mengancam.
"Ha ha ha...! Bicaramu boleh juga. Tapi harap kau ketahui, saat ini kerajaan berada di tangan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum. Beliau bekerjasama dengan kami dalam menggulingkan rajamu. Maka tidak heran kalau kawan-kawanmu mudah sekali kami tangkap, meskipun menyamar dengan berpakaian biasa," jelas orang bertopeng itu.
"Kurang ajar! Pantas perempuan itu begitu berkeras dengan usulannya. Kiranya dia menyimpan niat busuk! Huh! Kurang ajar!" geram Ki Srengseng seraya mengepalkan kedua tangan.
"Hm... Kau menambah kesalahan lagi, dengan memaki junjungan kami. Maka kau patut mendapat hukuman mati"
"Bangsat bertopeng! Kau yang harus mampus di tanganku!" hardik Ki Srengseng.
"Budak hina, mampuslah kau!"
Mendadak saja, orang bertopeng itu menghentakkan tangan kanannya ke arah Ki Srengseng, melepaskan pukulan jarak jauh. Ki Srengseng sama sekali tidak menduga kalau orang ini mampu menyerangnya secepat itu. Tiba-tiba saja selarik cahaya kehitaman sudah melesat bagaikan kilat. Dia berusaha menghindar dengan membuang diri ke samping. Namun bersamaan dengan itu, orang bertopeng ini meluruk, melepaskan satu tendangan keras.
Begkh!
"Aaakh!" Ki Srengseng menjerit keras begitu perutnya terhantam kaki orang bertopeng itu. Belum sempat dia berbuat sesuatu, orang bertopeng itu sudah menyerang secara beruntun. Terpaksa tangan kanan Panglima Kurata ini bergulingan menghindarinya. Begitu mendapat kesempatan, Ki Srengseng cepat bangkit dengan satu lentingan indah.
Orang bertopeng itu menggeram. Sebelah kakinya langsung menyapu pinggang. Ki Srengseng berusaha menghindari dengan melompat ke atas. Tapi saat itu juga lawannya mengejar dengan kepalan tangan kanan menghantam ke arah dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Srengseng tak sempat menangkis.
Buk!
"Hugkh!"
"Mampuslah kau!" Orang bertopeng itu menggeram. Langsung diayunkannya satu tendangan saat Ki Srengseng terhuyung-huyung.
Des...!
"Aaakh...!" Ki Srengseng terjungkal, tidak mampu bangkit. Sementara orang bertopeng itu sudah bergerak cepat dengan satu injakan kaki untuk menghabisinya.
"Hiiih!" Mendadak saja, berkelebat satu bayangan putih yang langsung memapaki injakan kaki orang bertopeng itu.
Plak!
"Hm...!" Orang bertopeng itu mendengus dingin. Dia langsung melompat ke belakang dan berdiri tegak mengawasi bayangan putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah kuduga, kau akan mencampuri urusan ini!" dengus orang bertopeng itu.
"Maaf, Kisanak. Aku telah mencampuri urusan ini sejak semula. Kepalang basah. Maka lebih baik mandi sekalian. Lagi pula apa yang kalian lakukan adalah satu tindakan pemberontakan terhadap kerajaan. Kawanan Gendoruwo Samber Nyawa hendak memimpin kerajaan? Hm... Rakyat akan terancam bahaya bila dibiarkan!"
"Pendekar Rajawali Sakti! Kuhormati kau, karena nama besar. Tapi bukan berarti aku takut berhadapan denganmu. Pergilah! Dan, jangan campuri urusan ini. Sesungguhnya aku tidak ingin terlibat perkelahian denganmu!" ujar orang bertopeng itu lantang.
"Terima kasih. Tapi kau salah alamat bila menghormatiku. Tapi bila betul-betul ingin menghormatiku, maka hormati dulu nasib rakyat jelata. Bukan pada nama besarku!" sahut Rangga mantap.
"Hm... Kalau demikian, rasanya tidak ada jalan lain. Aku harus melenyapkan semua penghalang. Itulah sumpah kami!" dengus orang bertopeng itu, dingin.
"Kisanak! Tidak usah sungkan. Seperti apa yang kau inginkan, maka sekeras itu pula niatku. Aku tidak surut dari apa yang telah keluar dari mulutku!"
"Kalau begitu, bersiaplah! Aku tidak akan bertindak setengah-setengah padamu, Pendekar Rarajali Sakti!"
Setelah berkata begitu, orang bertopeng ini membentuk jurus. Kedua tangannya bergerak cepat di sekitar perut dan dada. Dia mendengus dingin. Kemudian tubuhnya menggelinjang dan meliuk-liuk dengan kedua kaki bergerak lincah.
"Yeaaa...!"
Sambil melangkah keras, orang bertopeng itu melakukan sodokan lewat kepalan tangan kanan ke arah dada. Dan Rangga cepat berkelit ke kiri. Tanpa diduga cepat sekali kepalan kiri orang bertopeng itu menyusul dari bawah. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat membuat lompatan ke samping kanan. Sementara, orang bertopeng itu terus bergerak menggelinjang. Kemudian mencelat melewati kepala Rangga sambil melepaskan beberapa hantaman ke kepala.
Plak! Plak!
Rangga yang memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' cepat mengangkat tangannya memapak pukulan yang hendak membelah kepalanya. Beberapa kali mereka beradu pukulan. Dan sejauh itu, belum terlihat tanda-tanda siapa yang lebih unggul. Sepintas lalu, memang terlihat Pendekar Rajawali Sakti agak keteter menghadapi serangan-serangan gencar yang dilancarkan lawannya.
"Hup! Yeaaa...!"
Begitu orang bertopeng itu mendarat, ganti tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mencelat ke atas. Setelah berputaran beberapa kali tubuhnya cepat menukik turun dengan kedua telapak terbuka lebar. Bersamaan dengan itu, agaknya orang bertopeng ini telah bersiap pula memapaki mengerahkan tenaga dalam tinggi.
Plak! Plak!
"Uhhh...!" Orang bertopeng itu mengeluh tertahan setelah memapak kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Terasa kalau tenaga dalam pemuda itu lebih tinggi. Bahkan tubuhnya sampai terhuyung-huyung ke belakang.
Sementara Rangga kembali melompat menerjang. Dan sepertinya, dia tidak mau memberi kesempatan sedikit pun. Orang bertopeng itu mendengus geram. Bahkan segera mengeluarkan sesuatu dari balik sarung yang melekat di pinggangnya, dan secepat itu dilemparkan ke arah Rangga.
Set! Set!
"Uts!" Pendekar Rajawali Sakti bergerak gesit menghindari dua bilah pisau yang menderu kencang ke arahnya. Bersamaan dengan itu, agaknya orang bertopeng ini menggunakan kesempatan untuk menghantam Pendekar Rajawali Sakti dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
"Heaaa! Mampuslah kau, Bocah Busuk!"
Werrr!
Tubuh Rangga melenting indah, menggunakan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sehingga, pukulan orang bertopeng itu mengenai tempat kosong. Begitu berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti cepat merubah jurusnya. Kedua kakinya langsung bergerak lincah, dengan kedua tangan membentang membuat gerakan indah. Dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang sekarang dikeluarkan, tiba-tiba Rangga menukik tajam kearah orang bertopeng itu.
Huk! Desss!
"Aaakh...!"
Tahu-tahu saja ujung kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti menghantam dahi. Kemudian kaki kanannya menyapu muka. Orang bertopeng itu terjungkal roboh disertai pekik kesakitan. Dengan terhuyung-huyung dia berusaha bangkit. Untung saja Rangga hanya mengeluarkan seperempat dari seluruh kemampuannya. Tapi kalau kepandaian lawannya pas-pasan, jelas kepalanya sudah hancur terhantam kaki Pendekar Rajawali Sakti. Begitu bangkit, orang bertopeng itu melemparkan pisau beracun ke arah Rangga yang baru saja mendarat di tanah.
Wuuut! Tap!
Dua buah berhasil dielakkan Rangga dengan memiringkan tubuh ke kanan. Sementara, pisau yang sebuah lagi ditangkap. Dengan gemas, pisau itu dilemparkan Rangga, hingga melesat tidak tertahankan. Dan...
Crab!
"Aaa...!" Orang bertopeng itu menjerit keras, tidak bisa menghindari pisau yang dilemparkan Rangga. Kembali dia roboh. Dan kali ini tubuhnya menggelepar tidak menentu, karena dahinya tertancap sebilah pisau miliknya sendiri. Hanya beberapa saat tubuhnya menggelepar. Kemudian dia meregang kaku, dengan wajah membiru. Racun dipisau itu bekerja cepat membunuh majikannya sendiri.
Sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti membuat para prajurit pemberontak bergidik. Pemuda ini telah membunuh dua orang berkepandaian hebat dalam waktu singkat. Dan kalau mau, dia bisa membunuh mereka semua. Itulah yang ditakuti kawanan yang bersegaram prajurit kerajaan ini. Sebab jelas sudah, kalau pemuda berjuluk Pendekar Rajawali Sakti berpihak pada Ki Srengseng.
"Bukankah kalian termasuk kawanan Gendoruwo Samber Nyawa?!" tanya Rangga dingin.
"Eh! Bu..., bukan. Kami prajurit-prajurit kerajaan!"
"Betul! Kami prajurit-prajurit kerajaan...!" timpal yang lain, cepat.
"Jika benar kalian prajurit-prajurit kerajaan, berarti harus mati ditanganku!" desis Rangga dengan nada mengancam.
Wajah Pendekar Rajawali Sakti tampak penuh perbawa dengan sepasang mata tajam mengawasi para prajurit satu persatu. Perlahan-lahan dihampirinya mereka. Dan hal itu membuat para prajurit kerajaan ini menjadi salah tingkah. Beberapa orang di antaranya tampak pucat.
"Jawab yang benar!" bentak Rangga, lantang.
"Eh! Benar, Kisanak. Kami memang kawanan Gendoruwo Samber Nyawa!" sahut seseorang mewakili kawan-kawannya.
"Bagus! Kalau demikian kalian tahu, di mana para prajurit kerajaan lainnya yang hilang secara aneh?"
"Mereka ditawan kawan kami."
"Tunjukkan padaku, di mana tempatnya!"
"Kau akan celaka berani memasuki sarang kami."
"Kau dan kawan-kawanmu yang akan lebih dulu celaka, sebelum menunjukkan di mana para prajurit kerajaan yang tengah menjalankan tugas itu kalian tawan!" desak Rangga mengancam.
"Hm Terserah padamu saja. Kalau memang kau menginginkan kematianmu tentu saja akan kutunjukkan."
"Bagus! Satu lagi pertanyaanku! Apakah Putri Randu Walang kalian sembunyikan di tempat yang sama?"
Prajurit itu diam tidak menjawab. Dia memandang pada kawan-kawannya dengan gelisah.
"Jawab!" hardik Rangga, seraya mencengkeram leher orang itu dengan kuat.
"Eh! Oh..., iya! Iya...!"
"Apakah keadaannya aman?"
"Dia selamat, selama penobatan itu belum dilangsungkan. Namun bila lewat dari waktu itu, maka dia tidak diperlukan. Ketua kami berpesan begitu untuk berjaga-jaga bila istana kerajaan tidak aman, sehingga sang putri akan dijadikan sandera," jelas prajurit itu.
"Siapa yang akan dinobatkan menjadi raja?"
"Putra Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, yaitu Pangeran Sodong Palimbanan."
"Kapan acara penobatan itu dilakukan?"
"Esok hari, saat matahari terbit"
"Nah! Jangan buang waktu lagi. Kau ikat kawanmu. Dan yang lainnya saling mengikat. Bila berani membantah, aku tidak akan segan-segan membunuh. Lalu naik ke kuda masing- masing dan kita berangkat sekarang kesarang kalian!" sentak Rangga memberi perintah.
Para prajurit itu bekerja saling mengikat sehingga mereka membentuk semacam rantai yang saling berkaitan. Sementara mereka tengah bekerja, Ki Srengseng mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga.... Sekali lagi, aku atas nama para prajurit kerajaan, mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu!"
"Ki Srengseng, simpan saja terima kasihmu itu untuk nanti. Pekerjaan kita belum selesai," ujar Rangga tersenyum.
"Rasanya tidak bisa kupercaya kalau kau muncul begitu saja dan membantu memecahkan kemelut ini. Benarkah kau betul-betul mengetahui kejadian buruk yang menimpa istana kerajaan?" tanya Ki Srengseng, seperti tak percaya.
"Saat itu hanya kebetulan saja. Bermula dari kerusuhan yang menimpa peserta sayembara. Aku kebetulan lewat di tempat itu, dan ingin melihat-lihat keramaian. Dan ketika kerusuhan terjadi, aku sempat bentrok dengan salah seorang anak buah kawanan Gendoruwo Samber Nyawa. Maka sejak itu, aku merasa penasaran karena ada yang tidak beres di kerajaanmu. Kemudian dalam waktu yang berbeda sedikit, putri yang disayembarakan itu diculik. Aku mengejarnya dan terlibat duel sampai dikacaukan oleh kalian...," jelas Rangga.
"Maafkan aku, Rangga. Aku sama sekali tidak bermaksud..."
"Sudahlah. Tidak usah dipikirkan. Sejak itu, aku semakin tertarik. Dan, istana kerajaan selalu kuawasi. Termasuk saat kalian keluar dari istana kerajaan dengan cara menyamar. Padahal, saat itu aku ingin memberitahu kalau di belakang istana telah berkumpul kawanan Gendoruwo Samber Nyawa yang siap melakukan pemberontakan, begitu kalian berlalu. Tapi aku tidak tahu, siapa yang bisa kupercaya. Prajurit-prajurit kerajaan telah banyak yang berpihak pada pemberontak," jelas Rangga lagi.
"Lalu bagaimana caramu hingga tiba di sini?"
"Saat itu, kuputuskan untuk mengikuti kalian. Dan sungguh tidak terduga kalau kawanan itu bermaksud menyergap kalian yang telah berpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Dua kelompok berhasil kuselamatkan. Dari mereka, aku tahu ke mana tujuan ketiga kelompok yang lain. Dua kelompok tidak berhasil kutemui. Dan aku berpikir, mereka telah dibunuh oleh kawanan itu atau mungkin ditawan. Lalu kuputuskan untuk mengikuti arah yang kalian ambil," jelas Rangga.
"Rangga, apakah kau memiliki langkah selanjutnya untuk membantu kami? Maaf, tidak seharusnya aku bertanya begitu. Tapi, saat ini hanya kaulah yang bisa kupercaya, sekaligus mampu membantu kami menghajar para pemberontak itu," pinta Ki Srengseng, berharap.
"Tidak perlu bicara seperti itu, Ki Srengseng. Rasanya sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk saling tolong-menolong. Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menyelamatkan sang putri."
"Membebaskannya dari sarang kawanan Gendoruwo Samber Nyawa? Astaga! Itu bunuh diri. Kau tidak mengetahui kekuatan mereka?!"
"Tenang saja! Semuanya sudah kupikirkan."
"Hhh..., entahlah. Tapi aku percaya dengan kepandaianmu. Ada hal yang kulupa, yaitu tentang kedua pasukan prajurit kerajaan yang berhasil kau selamatkan.... Kemana mereka? Kenapa tidak bergabung denganmu?"
"Mereka tengah menjalankan tugasnya masing-masing. Pasukan yang dipimpin Panglima Palaseha mengawasi keadaan istana kerajaan. Sementara pasukan yang dipimpin Panglima Dasmuka kusuruh mengawasi jalan masuk menuju Hutan Genjing."
"Hutan Genjing?" tanya Ki Srengseng dengan dahi berkerut heran.
"Ya! Sarang Gendoruwo Samber Nyawa!"
"Heh?! Jadi, kau telah mengetahui sarang mereka. Buat apa memaksa mereka." Kata-kata Ki Srengseng yang diucapkan dengan wajah kaget, seketika terhenti saat pemuda itu memberi isyarat.
"Ssst! Sudahlah. Tidak usah banyak bicara. Lihat, mereka telah selesai! Ayo kita berangkat!" ajak Rangga.
Ki Srengseng hanya bisa mengikuti, dengan langkah bingung!
********************
TUJUH
Satu sosok bertubuh ramping tampak pucat dan kotor dengan kedua tangan dan kaki terikat pada sebuah tonggak kayu di sebuah ruangan tertutup. Tubuhnya sedikit kurus dan matanya sendu. Tidak jauh dari tempat sosok yang ternyata seorang gadis, dua lelaki bertelanjang dada mengawasi. Masing-masing berusia dua puluh lima tahun dan tiga puluh tahun.
"Tuan Putri. Lebih baik makan. Jatahmu sedikit. Dan bila kau sia-siakan, maka tubuhmu makin kering kerontang!" ujar laki-laki yang berusia dua puluh lima tahun.
"Cuih! Siapa sudi menyentuh makanan busuk ini?! Lepaskan aku! Lepaskan...! Kalian bajingan-bajingan terkutuk! Apa yang kalian inginkan dariku?!" sentak gadis itu dengan suara serak dan mata melotot garang.
"Ha ha ha...! Sudah kukatakan berkali-kali padamu, tak ada gunanya berteriak. Kau hanya membuat tenggorokanmu kering. Sabarlah, sebab nasibmu akan ditentukan esok hari ..." lanjut pemuda itu.
"Eh. Kiman! Bagaimana menurutmu? Setelah dia tidak diperlukan lagi, apakah kau tidak memohon pada ketua untuk memilikinya?" tanya laki-laki yang berusia lebih tua daripada pemuda bernama Kiman.
"Seandainya saja aku bisa, ah! Rasanya tidak mungkin, Balung! Ketua agaknya akan menggarap gadis ini sendiri untuknya," sahut Kiman masghul.
"Hm, sayang sekali. Tapi masih ada jalan lain kalau memang kau betul-betul menginginkannya!" kata laki-laki yang bemama Balung.
"Apa?!" Kiman langsung berpaling dengan wajah bersinar gembira.
"Ini kesempatan, selagi ketua tidak ada di sini!" kata Balung lagi.
"Coba katakan, apa rencanamu?"
"Sini, kubisikkan!"
Kiman mendekatkan telinganya. Balung membisikkan sesuatu ke telinga kawannya untuk sesaat. Namun kesudahannya, Kiman terkejut setengah mati dan memandang kawannya dengan wajah kaget.
"Gila! Kau hendak menjerumuskan aku, he?! Sial, kau!"
"Eh, tunggu dulu! Jangan lekas marah. Ketua tidak akan tahu apakah dia masih perawan atau tidak," kilah Balung.
"Tidak! Aku tidak berani menanggung akibatnya. Ketua hanya menyuruh menjaga dan memberinya makan. Tidak lebih! Aku tidak berani macam-macam!" sahut Kiman tegas.
"Bodoh kau! Tidakkah kau menyadari? Di luar saja, puluhan ksatria dan putra raja berjuang mati-matian untuk mendapatkannya? Kini dia sudah berada di tempat kita. Maka bodoh sekali kalau kita hanya mendiamkannya saja," desah Balung.
Kiman terdiam, memikirkan kata-kata kawannya.
"Ayolah. Yang kita hadapi ini bukan gadis sembarangan. Dia putri raja, dan sekaligus wanita tercantik di seluruh negeri. Jarang ada kesempatan seperti ini yang datang dua kali dalam seumur hidup. Jika kau tidak segera menikmatinya, maka akan menyesal selamanya!" bujuk Balung memanas-manasi.
"Tapi..., bagaimana kalau Ketua tahu...?"
"Jangan takut! Ketua tidak akan tahu bila kita tidak memberitahukannya. Dia akan menilai gadis ini sudah tidak perawan lagi!" desah Balung dengan suara semakin berbisik.
"Tapi... Aku masih takut. Lung. Ketua akan marah besar bila mengetahui kalau kita melanggar tugas. Dia amat keras. Dan salah-salah, kita akan binasa dihukumnya."
"Ketua tidak peduli. Lagi pula seperti kebiasaannya, dia hanya memakainya sekali. Dan selanjutnya, kita yang menikmati. Dia tidak akan menghiraukan apakah gadis itu pernah dipakai sebelumnya atau belum sama sekali!"
Kiman terdiam kembali.
"Ayolah! Kapan lagi kita akan mendapat kesempatan seperti ini?" desak Balung.
Kiman menoleh. Dan pandangan matanya menelusuri lekuk-lekuk tubuh gadis itu. Sama sekali tidak dihiraukannya gadis ini tengah memelototinya. Terbayang dibenaknya tubuh gadis itu yang amat menggiurkan di balik pakaiannya. Tanpa sadar Kiman menelan ludah.
"Bagaimana...?" Balung menunggu jawaban sambil cengar-cengir.
"Kau yakin ketua tidak akan mengetahuinya...?" tanya Kiman berusaha meyakinkan.
"Percayalah! Dia tidak akan mempedulikan soal itu!"
"Tapi..., siapa yang lebih dulu...."
"Eee! Karena aku yang mengusulkan, maka aku yang harus lebih dulu. Sesudah itu, barulah giliranmu...!"
Kiman hanya bisa mengangguk lemah, seraya menelan ludah. Dia hanya mampu memandangi kawannya yang langsung bangkit menghampiri gadis itu dengan cengar-cengir.
"He he he...! Putri cantik... Hari ini kita akan bersenang-senang sejenak. Dan kau akan menikmatinya nanti...," kata Balung, tersedak.
"Cuih! Bajingan keparat! Mau apa kau dekat-dekat denganku?! Pergi! Pergi...!" teriak gadis itu seraya meludah.
Balung mendengus geram. Wajahnya yang tadi menyeringai, kena diludahi gadis itu. Seketika dia mencengkeram leher gadis itu. Sementara tangan kirinya merobek baju bagian dada gadis itu. Dan tubuhnya pun merapat dengan cepat.
"Ouw! Bajingan terkutuk! Apa yang kau lakukan padaku?! Setan! Pergi! Pergiii...!" maki gadis itu dengan amarah meluap.
"Huh! Kau kira dirimu siapa saat ini? Kau hanya tawanan yang menunggu waktu ajalmu. Akan kuperlihatkan, bagaimana kami mengurus tawanan!" dengus Balung.
Lelaki itu kembali menyeringai. Dan perlahan-lahan tangannya hendak meremas kedua payudara gadis itu yang membusung menantang, setelah bajunya dirobek laki-laki ini. Gadis itu terus berteriak memaki dan berusaha melepaskan diri. Namun sia-sia saja. Karena, ikatan itu kuat sekali. Dia ingin meludah, namun wajah laki-laki itu telah merapat di mukanya dengan tangan kiri mendekap mulutnya. Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain memejamkan mata, menangis, dan berdoa dalam hati.
"Buka pintu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan dari luar yang diikuti gedoran kuat di pintu. Kiman terkejut. Demikian pula Balung. Mereka menoleh dan memaki kesal ketika melihat seraut wajah bertopeng hitam di balik jeruji kecil yang ada di atas pintu masuk.
"Ada apa?!" tanya Balung, membentak.
"Ketua menyuruhku membawa tawanan!" sahut orang bertopeng di balik pintu.
"Tidak bisa! Tawanan akan ditentukan nasibnya esok hari. Ketua tidak pernah membatalkan keputusan!" bantah Balung.
"Kurang ajar! Berani kau membantah perintah ketua?!" Sepasang mata orang bertopeng itu mendelik lebar menandakan kalau tengah marah besar.
Balung termangu. Sedangkan Kiman ciut nyalinya. Melihat kemarahan orang itu, mereka merasa yakin akan kesungguhan berita yang dibawanya.
"Buka pintunya!" perintah Balung.
Dengan terburu-buru, Kiman membuka pintu. Kini tampak jelas seseorang yang memakai baju rompi putih tergesa-gesa masuk dan bermaksud membebaskan gadis itu.
"Tunggu! Sejak kapan kau boleh memakai baju seperti itu?!" hardik Balung yang masih merasa kesal, karena niatnya terhalang sehingga mencari-cari kesalahan orang ini.
"Apa urusannya denganmu?! Aku dari istana kerajaan, sedang terburu-buru. Dan ketua memintaku cepat kembali, jangan kau mempersoalkan pakaian segala! Tidakkah kau tahu kalau kawan-kawan yang lain justru lebih hebat, karena memakai seragam prajurit?!" bentak orang bertopeng yang memakai baju rompi putih itu.
Balung terdiam. Demikian pula Kiman. Mereka tidak bisa membantah lagi, saat gadis itu dilepaskan dari ikatan.
"Bajingan! Mau kau apakan aku?! Lepaskan! Lepaskan...!" teriak gadis itu kalap, berusaha memukul ketika ikatannya terlepas.
"Gadis liar! Sebaiknya kutenangkan dulu kau!" dengus orang bertopeng ini, sambil menotok. Dan kini, gadis itu lemas tak berdaya. "Aku harus pergi buru-buru!" lanjut orang bertopeng itu setelah membopong gadis ini.
Baru saja orang bertopeng itu akan keluar pintu, mendadak terdengar teriakan dari lorong di depan
"Pengacau! Ada pengacau..:!"
"Heh...?!" Balung dan Kiman saling berpandangan dengan wajah terkejut. Demikian pula orang bertopeng itu. Kedua anak buah Gendoruwo Samber Nyawa langsung bisa menduga. Dan mereka seketika makin curiga terhadap orang bertopeng berbaju rompi putih ini.
Balung mendengus geram seraya mengepalkan kedua tangannya. Dia menatap tajam pada orang bertopeng yang memakai baju rompi putih itu.
"Tunggu! Aku harus periksa, siapa kau! Jangan-jangan, kau malah salah seorang dari pengacau. Buka selubung topengmu!" sentak Balung.
"He, kau berani mencegahku? Aku utusan langsung dari ketua!"
"Aku tidak peduli! Buka topengmu! Atau, kubuka dengan paksa?!"
"Baiklah kalau itu maumu. Tapi, ingat. Jangan menyesal! Aku akan laporkan pada ketua kalau kau menghambat perjalananku. Dia akan marah besar. Dan kau akan dihukum berat...!" sahut orang bertopeng itu, seraya meletakkan gadis yang dipondongnya di bawah.
"Ketua akan berterima kasih bila ternyata kau seorang pengacau! Aku kenal semua anggota kawanan ini. Termasuk suaranya. Tapi kau membuatku curiga. Sebab aku belum pernah mendengar suaramu sebelumnya. Buka topengmu, cepat!" dengus Balung, memerintah.
"Baik! Lihat...!" Orang itu membuka topengnya. Namun bersamaan dengan itu kaki kanannya menghantam ke arah perut.
"Uts! Kurang ajar...!" Balung memaki geram. Untung dia mampu bergerak kesamping menghindari tendangan. Namun orang bertopeng yang ternyata seorang pemuda tampan itu tidak memberi kesempatan. Kepalan tangan kanannya menyusul cepat menghantam ke dada.
Wuuut!
Sodokan itu berhasil dihindari Balung dengan melompat ke atas. Namun pemuda yang kini telah membuka topengnya itu mengikuti gerakannya dan sempat mengayunkan satu tendangan, tepat ke dadanya.
Bugkh!
"Aaakh...!" Balung memekik tertahan. Tubuhnya terlempar dan membentur dinding, lalu ambruk tidak berkutik.
"Siapa kau sebenarnya?!" hardik Kiman berang, ketika melihat seraut wajah tampan berambut panjang.
"Aku malaikat maut yang datang menjemputmu!" dengus pemuda itu.
Pemuda itu bergerak cepat, mengayunkan tendangan. Namun Kiman cepat melompat ke atas, langsung mencabut pisau yang terselip di pinggang. Dua buah senjata rahasia itu seketika melesat kencang. Cepat bagai kilat, pemuda itu menjatuhkan diri dan lawan bergulingan menghindarinya. Sehingga senjata itu menancap ditonggak kayu. Dan seketika pemuda itu melenting, bangkit berdiri.
Belum sempat Kiman melancarkan serangan kembali, pemuda itu telah menyodok ulu hatinya. Cepat bagai kilat, Kiman bergerak ke samping sedikit. Masih sempat tangannya dikibaskan untuk menangkis tendangan pemuda itu yang menyusul cepat. Tapi....
Plak! Krak!
Selanjutnya Kiman memekik keras saat tangannya membentur kaki pemuda itu yang dialiri tenaga dalam tinggi. Terdengar tulang berderak patah di pangkal lengannya. Belum sempat Kiman menghilangkan rasa sakitnya, mendadak satu hantaman keras di perut membuatnya terjungkal roboh dan tidak mampu bangkit lagi.
Begkh!
"Ugkh!"
"Huh!" Pemuda itu mendengus dingin. Lalu dihampirinya kedua lawannya. Dia merogoh sesuatu di pinggang mereka, mengambil beberapa bilah pisau kecil. Kemudian dengan terburu-buru dihampirinya gadis itu.
"Kaukah Putri Randu Walang...?"
"Eh, iya.... Siapakah kau?" tanya sang putri, setelah cukup lama terkesima memandangi penolongnya.
"Namaku Rangga. Tidak usah takut. Aku datang ke sini bersama pasukan kerajaan. Jangan banyak membantah, karena kau akan mendengar sendiri ceritanya nanti. Sekarang yang terpenting, kita harus keluar dari sini secepatnya," ujar pemuda yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Eh! Ba.. baik..."
"Maaf!" Rangga berujar pendek, lalu membopong tubuh Putri Randu Walang keluar dari ruangan ini.
"Hei, siapa itu?!" Mendadak terdengar bentakan keras dari sebuah lorong.
"Heh?!"
Lebih dari sepuluh kawanan Gendoruwo Samber Nyawa langsung melompat dan bermaksud menghadang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi...
"Hiiih!" Pendekar Rajawali Sakti cepat mengibaskan tangannya yang memegang pisau.
Crab! Crep!
"Aaa...!" Tiga orang kontan roboh disertai jeritan keras. Dahi mereka tertancap pisau-pisau yang dilepaskan Rangga.
"Kurang ajar! Siapa kau...?!" bentak orang-orang yang mampu menghindari dari sambaran pisau-pisau tadi.
Dua orang dari mereka langsung menerjang dengan golok terhunus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
"Sial!" rutuk Rangga geram. Dalam keadaan begini, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau berpikir panjang lagi. Sehingga dengan sekali sentak, tangan kanannya mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tersampir di punggung. Maka seketika memancar sinar biru berkilau dari batang pedang.
Cahaya biru terang itu membuat dua orang yang berada di dekatnya terkesima. Cahaya itu bergerak cepat, langsung memapas putus kedua golok mereka.
Trang!
Kesempatan itu digunakan Rangga sebaik-baiknya. Kakinya cepat bergerak menghantam kedua lawannya sekaligus.
Duk! Des!
"Aaakh...!" Kedua orang itu menjerit kesakitan dan terjungkal menghantam dinding ruangan yang tidak begitu luas. Mereka langsung ambruk tak berdaya!
"Siapa yang mencoba menghalangiku, boleh menemui ajal!" desis Pendekar Rajawali Sakti garang penuh ancaman.
Kawanan yang tersisa memandang ragu ke arah Rangga. Kedua orang yang tadi maju lebih dulu, memiliki tingkat kepandaian di atas mereka. tapi dengan mudah, pemuda itu menjatuhkannya. Lalu, apa artinya jumlah mereka saat ini?
"Bagus! Agaknya kalian masih sayang nyawa. Ayo, masuk! Masuk ke dalam penjara itu! Kalian akan bergabung dengan yang lain. Bawa kedua orang ini! Cepaaat!" hardik si Pendekar Rajawali Sakti.
Delapan orang itu bekerja cepat mematuhi perintah Pendekar Rajawali Sakti. Satu persatu mereka masuk ke dalam ruangan, tempat Putri Randu Walang tadi dikurung. Dua orang dari mereka menggotong dua kawannya yang tadi dijatuhkan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi mendadak saja...
"Hiiih!" Dua orang coba-coba membokong Rangga dengan mengibaskan tangannya. Seketika, melesat sinar-sinar keperakan dari pisau-pisau yang dilepaskan.
"Hup...!" Bola mata Pendekar Rajawali Sakti melotot. Seketika dia melompat gesit sambil mengibaskan pedang.
Trang! Trang!
Pisau-pisau itu berhasil dipatahkan Rangga dengan pedangnya. Dan seketika, Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati dua orang yang melakukan serangan gelap.
Cras! Bruesss!
"Aaa...!" Seorang dari kawanan ini nyaris putus lehernya. Sementara yang seorang lagi ususnya terburai keluar. Tubuh keduanya kontan menghitam. Terutama pada bagian yang terkena luka sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka langsung ambruk dengan nyawa melayang!
"Jangan coba-coba membokongku. Dan aku tidak segan-segan bertindak keras pada kalian!" dengus Rangga geram.
Tidak ada seorang pun yang berani membantah. Mereka langsung masuk ke dalam ruangan dengan wajah pucat dan tubuh gemetar membayangkan bagaimana pemuda itu mampu bertindak kejam.
"Bersenang-senanglah kalian di dalam!" lanjut Rangga seraya mengunci ruangan dari luar.
Setelah itu, Pendekar Rajawali Sakti membuka totokan Putri Randu Walang dan bergegas keluar dari tempat ini. Setelah melewati lorong ini, di ruangan depan Pendekar Rajawali Sakti bertemu Ki Srengseng yang telah membebaskan dua pasukan anak buahnya.
"Bagaimana?" tanya Ki Srengseng berseru girang, melihat Putri Randu Walang selamat.
"Mereka telah kubereskan! Sekarang kita harus bergegas ke istana untuk membuat rencana serangan!" lanjut Rangga.
"Rangga... Aku kagum padamu. Kau bertindak cepat dan perhitunganmu tepat. Kau seperti bukan orang sembarangan. Dan kelihatannya kau mengerti betul soal peperangan...!" puji Ki Srengseng.
"Ki Srengseng, jangan terlalu memuji. Itu tidak ada gunanya. Lebih baik, kita bahas soal serangan ke istana kerajaan."
"Baiklah. Apakah kau punya usul?" tanya Ki Srengseng.
"Begini. Jumlah kita saat ini kurang dari lima puluh. Bentuk pasukan kecil seperti semula."
"Lalu?"
"Bagi-bagi tugas pada tiap pasukan itu! Satu pasukan bertugas menyebar ke beberapa wilayah. Bujuk rakyat untuk berjuang. Dua pasukan ikut denganku, menyerang dari depan. Dan dua pasukan yang tersisa, kau pimpin dari belakang. Kejutkan mereka dengan segera. Jangan ragu-ragu! Hajar siapa pun yang coba menghalangi! Mengerti?!" jelas Rangga.
"Aku bisa mengerti. Tapi ada usul yang mungkin bagus!" sahut Ki Srengseng.
"Bagaimana?"
"Ada jalan rahasia yang menembus ke gudang persenjataan. Rahasia ini hanya diketahui Gusti Prabu Arya Turangga Waskita dan beberapa orang yang terpercaya termasuk aku. Bagaimana kalau kami masuk dari sana dan mengejutkan mereka?"
"Itu usul yang baik! Ada usul lain?"
Semua terdiam. Maka atas usul Rangga, Ki Srengseng segera membagi tugas. Dan setelah semua sepakat, mereka bergerak cepat meninggalkan tempat ini.
********************
DELAPAN
Hari mulai gelap. Burung-burung mulai pulang ke sarang masing masing. Di langit terlihat awan hitam bergerumbul. Sebentar lagi, kelihatan akan hujan. Rumah-rumah penduduk terlihat sepi.
Sementara itu penjagaan di istana kerajaan tampak ketat. Tidak mengherankan, sebab esok hari Pangeran Sodong Palimbanan akan dinobatkan menjadi raja negeri ini. Pengumuman telah disebarkan siang tadi. Keributan kecil pun muncul. Rakyat kelihatan gelisah. Namun para prajurit kerajaan bertindak cepat. Mereka meringkus dan menggiring ke penjara siapa saja yang terlihat tidak setuju. Hal itu menimbulkan ketakutan di hati setiap penduduk kotaraja. Sehingga, mereka hanya diam membisu, tidak berani menunjukkan ketidaksenangannya.
Lima orang prajurit mondar-mandir di gerbang depan. Namun mereka sama sekali tidak memperhatikan beberapa orang yang mengendap-endap di balik semak-semak. Tiba-tiba...
Set! Set!
Mendadak, melesat sinar putih keperakan ke arah prajurit-prajurit itu.
Crab!
"Aaakh...!"
Tiga orang langsung ambruk dan tewas seketika begitu beberapa pisau melayang dan menancap tepat di tenggorokan. Dua orang prajurit lain terkejut. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, dua bilah pisau lain menancap di punggung. Kedua orang itu menjerit tertahan dan langsung ambruk. Bersamaan dengan itu beberapa sosok tubuh bertopeng hitam mendekat dengan gerakan cepat.
"Apa itu?! Hei, Jawab! Siapa...?!" bentak dua orang prajurit yang berjaga di atas tembok pagar. Tapi....
Set! Crab!
"Aaakh...!"
Dua bilah pisau melesat ke arah dua prajurit. Satu menancap di dahi, serta sebuah lagi menancap di jantung. Dua orang itu langsung ambruk disertai jeritan keras. Dan itu menimbulkan kekagetan terhadap prajurit lain.
"Ada pengacau! Awas, ada pengacau...!" teriak beberapa prajurit, langsung berlarian ke sana kemari memberitahukan kawan-kawannya.
Bruak...!
"Heaaa...!"
Saat itu juga, pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal dan amat kuat hancur berantakan oleh hantaman tenaga yang amat dahsyat. Beberapa orang yang berada diluar langsung mencelat ke dalam, menyerang para prajurit kerajaan dengan ganas.
Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Sekitar dua puluh orang bertopeng hitam bergerak cepat, sehingga beberapa prajurit kerajaan langsung ambruk dan tewas. Begitu menghabisi lawannya, orang-orang itu terus menerobos ke dalam bangunan istana. Ada yang menerobos jendela, dan ada pula yang mendobrak pintu. Malah ada pula yang masuk lewat atap.
Istana Kerajaan Cadas Walang heboh. Sementara prajurit-prajuritnya seperti tersengat hebat. Mereka kalang-kabut berusaha menghalau serangan yang berada didepan. Namun saat perhatian tertuju ke depan, serangan gencar kembali berlangsung dari bagian belakang bangunan istana. Sehingga, membuat para prajurit menjadi kacau balau.
"Kurang ajar! Siapa yang berani berbuat keji...?!" dengus seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun.
Tubuh orang itu kekar, bertelanjang dada. Rambutnya yang panjang dan sebagian telah memutih, dibiarkan awut-awutan begitu saja. Dia mengenakan celana pangsi hitam. Sebuah sarung tampak melilit pinggangnya yang juga terselip sebilah golok agak panjang.
"Heaaa...!"
Begitu melihat dua orang bertopeng menerobos kamarnya lewat atap, orang tua itu langsung menghentakkan telapak tangannya ke atas.
"Kisanak... Akulah lawanmu!" bentak seseorang seraya memapak serangan itu.
Bluerrr!
"Uhhh...!" Orang tua itu terkejut. Wajahnya jelas membayangkan kekagetannya. Bahkan tubuhnya sampai terhuyung-huyung ke belakang.
"Kurang ajar! Siapa kau?!" bentak orang tua berambut awut-awutan itu, garang.
"Kau tidak perlu tahu. Bersiaplah! Karena aku hanya memberi dua pilihan padamu. Menyerah, atau mampus di tanganku!" jawab sosok berbaju rompi putih yang telah mendaratkan kakinya di hadapan orang tua itu.
"Setan! Bocah busuk, kau tengah berhadapan dengan Gendoruwo Samber Nyawa!" geram orang tua itu dengan sepasang mata mendelik garang.
"Aku tidak peduli! Kau masih punya waktu untuk menyerah. Tempat ini telah terkepung rapat. Dan, tidak ada jalan keluar bagimu!" tandas pemuda yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Bangsat! Kau betul-betul tidak memandang sebelah mata padaku, he?!" dengus laki-laki berambut acak-acakan yang memang Gedoruwo Samber Nyawa, menggeram hebat.
Tiba-tiba saja Gendoruwo Samber Nyawa mendengus geram. Lalu tangan kanannya mencengkeram cepat ke muka Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!" Gendoruwo Samber Nyawa menyerang cepat disertai tenaga dalam tinggi. Agaknya panas betul hatinya mendengar ejekan pemuda itu. Sehingga, dia bermaksud menghabisi secepatnya.
Pendekar Rajawali Sakti agaknya yakin betul akan mampu mengatasi Gendoruwo Samber Nyawa. Maka tak ragu-ragu lagi, dtangkisnya cengkeraman tangan Gendoruwo Samber Nyawa.
Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' Pendekar Rajawali Sakti mampu mengandaskan serangan-serangan lawannya. Tubuhnya meliuk-liuk dengan gerakan kedua kaki lincah. Tapi, Rangga tidak mau berhenti sampai disitu. Agaknya, dia tidak mau bermain-main terlalu lama. Sehingga sesaat kemudian, jurusnya dirubah.
"Yeaaa...!"
Sring!
Bukan main kagetnya Gendoruwo Samber Nyawa ketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusakanya. Laki-laki tua itu sampai terkesiap melihat perbawa Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Bahkan dia hampir tersambar cahaya biru yang berkelebat cepat. Untung dia cepat tersadar. Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, orang tua itu berusaha menghindar.
"Kurang ajar! Bocah busuk, aku baru ingat sekarang. Ternyata kau Pendekar Rajawali Sakti, he?!" dengus, Gendoruwo Samber Nyawa setelah mampu menghindari kebutan senjata pedang itu.
"Bagus! Agaknya penglihatanmu sudah mulai tajam. Nah. sekarang lebih baik pikirkan keselamatan dirimu!" ujar Rangga, tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Huh! Segala bocah bau kencur mau menakut-nakuti aku! Kau kira dengan menggunakan nama besarmu, bisa menjatuhkan semangatku? Kau salah besar, Kunyuk!" maki Gendoruwo Samber Nyawa.
Setelah berkata begitu, Gendoruwo Samber Nyawa mencabut golok. Dia bermaksud balas menghajar lawan. Gerakannya sungguh indah dan cepat sekali. Dan yang lebih hebat, dalam ruangan yang tidak begitu luas, dia mampu menghindar dengan kedua telapak kaki menempel di dinding ruangan.
"Yaaat!" Golok Gendoruwo Samber Nyawa meliuk, berusaha menerobos pertahanan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Rangga agaknya tidak sebodoh itu. Dia tahu betul kalau laki-laki itu berusaha menghindari bentrokan senjata.
Gendoruwo Samber Nyawa gemas sendiri. Dia mencoba cara lain dengan mengecoh pemuda itu lewat serangan gelap berupa lemparan-lemparan pisau beracunnya. Tapi semua itu dapat ditebas Rangga yang sama sekali. Tidak mengurangi kewaspadaannya.
"Huh! Aku tidak ada waktu bermain-main denganmu! Rasakan pukulan Guntur Geni ini!" dengus Gendoruwo Samber Nyawa, segera menyatukan telapak tangan kirinya pada telapak tangan kanan yang masih menggenggam golok.
Rangga bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dilihatnya kedua tangan laki-laki tua itu bercahaya merah. Dan sedikit demi sedikit, warna merah itu semakin menyala laksana cahaya bara.
Pemuda itu mendengus pelan, segera pedangnya dihadapkan ke wajah. Sehingga, cahaya biru itu menyapu mukanya yang mulai berkerut menahan amarah. Lalu, tangan kirinya mengusap pedahan batang pedang itu.
Sinar biru itu perlahan-lahan mengalir ke kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan-lahan pula, sinar biru itu membentuk dua bulatan bagai bola yang menyelimuti kedua tangan Rangga. Kemudian dengan gerakan cepat dan indah, Pendekar Rajawali Sakti memasukkan pedangnya kedalam warangka di punggung.
"Yeaaa...!"
Sementara Gendoruwo Samber Nyawa sudah membentak keras. Sehingga, ruangan ini bergetar laksana dilanda topan prahara. Selarik cahaya kekilatan laksana petir seketika keluar dari telapak tangan kirinya, langsung melesat kencang menyambar Pendekar Rajawali Sakti.
"Aji Cakra Buana Sukma...!" Pada saat yang sama Rangga berteriak keras menggelegar, seraya mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan.
Bluerrr...!
Terdengar ledakan keras, saat kedua cahaya berlainan warna beradu. Cahaya biru dari ajian ciptaan Pendekar Rajawali Sakti kontan menyelubungi cahaya pukulan Gendoruwo Samber Nyawa. Bahkan cahaya biru itu bergerak cepat melindas, kemudian terus menghantam Gendoruwo Samber Nyawa.
"Huaaa...!" Tubuh Gendoruwo Samber Nyawa mendadak terjungkal menghantam dinding sampai jebol. Dan dia hanya mampu berteriak tertahan.
Rangga menarik napas dalam-dalam. Kemudian kakinya melangkah mendekati tubuh Gendoruwo Samber Nyawa. Yang kini mengepul asap tipis berbau sangit. Ternyata Gendoruwo Samber Nyawa telah tewas dan tubuh hangus!
Pemuda itu tersentak, begitu dari arah luar terdengar teriakan-teriakan membahana. "Hm.... Rakyat agaknya telah tiba. Kejatuhan mereka tinggal menunggu waktu. Sebaiknya, kuselamatkan yang lainnya," gumam pemuda itu.
Berpikir begitu, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat dan berlari kencang mencari-cari ruang penjara. Sepanjang yang dilewatinya, terlihat para prajurit kerajaan terdesak hebat. Beberapa orang dari para penduduk yang bersenjata apa adanya, telah menerobos ke dalam istana dan mengeroyok para prajurit yang tersisa.
Setiba di ruang penjara, Pendekar Rajawali Sakti terkejut dan cepat bersembunyi. Beberapa prajurit telah membuka pintu penjara dan menyandera raja, permaisuri, dan yang lain.
"Rara Ningrum! Kau akan merasakan akibatnya atas perbuatanmu ini!" dengus Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Tutup mulutmu!" sentak seorang pemuda yang menempelkan pedang ke leher Penguasa Cadas Walang ini.
"Sodong! Kau betul-betul anak durhaka! Aku bersumpah dan mengutukmu! Mulai hari ini kau bukan lagi putraku!" teriak sang prabu, gusar.
Sodong Palimbanan mendengus sinis. "Kau tidak akan...." Belum habis kata-kata pemuda itu.
"Hiaaa...!" Terdengar teriakan keras, membuat Sodong Palimbanan dan yang lain terkejut. Dan tahu-tahu sesosok tubuh melesat cepat ke arah mereka, bersama satu lesatan sebuah pisau kecil.
Crap!
"Aaakh...!"
Pisau itu menancap persis di tenggorokan Sodong Palimbanan. Pemuda itu memekik keras, dan ambruk seketika. Belum lagi yang lain sempat berbuat sesuatu apa pun, sosok bayangan itu langsung menghajar para prajurit kerajaan.
Duk! Des!
Begitu tiga orang prajurit roboh, bayangan putih itu terus berkelebat ke arah Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum. Langsung disanderanya selir telengas ini dengan sebilah pedang yang dirampas dari salah seorang prajurit.
"Letakkan senjata kalian dan menyerahlah!" bentak bayangan yang ternyata seorang pemuda.
Tujuh prajurit kerajaan yang berada di tempat itu terkejut. Sementara wajah Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum seketika pucat. Mereka bangkit perlahan sambil menahan rasa sakit akibat hajaran pemuda itu.
"Aku tidak main-main dengan kata-kataku! Bila seorang dari kalian ada yang berani berbuat macam-macam, maka leher wanita ini akan menggelinding! Sekarang, masuk ke dalam penjara ini! Ayo, cepat masuk...!" hardik pemuda yang memang Rangga.
Tanpa banyak membantah, mereka segera masuk ke dalam penjara. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung menguncinya.
"Panglima Kurata! Kuserahkan wanita ini padamu. Uruslah dia! Di luar sana, prajurit-prajurit kerajaan yang dipimpin Ki Srengseng dengan dibantu rakyat, kurasa telah menguasai keadaan!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Eh! Baik..., baik. Tapi tunggu dulu! Siapa kau sebenarnya...?!" sahut Panglima Kurata.
Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikannya. Dia berlalu cepat dari ruangan ini, melewati jalan samping. Lalu Rangga menerobos langit-langit ruangan dan menghilang di keremangan senja.
Baru saja pemuda itu berlalu, terdengar langkah kaki mendekati ruangan ini. Tampak seorang gadis berlari kecil seraya berseru haru!
"Ayaaah...! Ibuuu...!"
"Anakku Randu Walang...!" Permaisuri Kembang Sari berseru girang, dan langsung menghambur menyambut putrinya.
Mereka berpelukan lama sekali saling menumpahkan perasaan rindu dan haru. Sang prabu sendiri mendekat seraya mengelus-elus rambut putrinya. Sementara itu, di belakang sang putri, Ki Srengseng bersama para praruritnya menghadap Panglima Kurata dan melaporkan keadaan di istana kerajaan.
"Jadi, istana telah kalian kuasai?"
"Sudah, Kanjeng Panglima!"
"Hm... Bagus sekali kerjamu, Srengseng!" puji Panglima Kurata.
"Tapi semua ini tidak mutlak kerja hamba, Kanjeng Panglima."
"Lho? Apa maksudmu?"
"Hamba dibantu seseorang..."
"Seseorang? Siapa dia?!"
"Namanya Rangga. Dan dia berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Gendoruwo Samber Nyawa telah tewas. Kurasa, itu perbuatannya Tapi, kini dia telah pergi entah ke mana..."
"Maksudmu, pemuda berbaju rompi putih dan berambut panjang itu?"
"Betul! Apakah Kanjeng Panglima melihatnya?"
"Dia baru saja pergi, setelah membereskan para prajurit itu dan meringkus Rara Ningrum...!" jelas Panglima Kurata, dengan tangan menunjuk penjara.
"Lalu, ke mana dia sekarang?"
Panglima menunjuk pada langit-langit ruangan yang jebol. "Dia pergi begitu saja tanpa pamit melewati jalan itu..."
"Sayang sekali. Kita tidak sempat berterima kasih padanya...," gumam Ki Srengseng.
"Ki Srengseng! Apa yang telah terjadi? Dan, bagaimana kalian melakukan semua ini...?" tanya Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
Ki Srengseng segera menceritakan peristiwa yang dialaminya sampai pertemuannya dengan Rangga.
"Hm.... Pemuda itu telah banyak membantu kita. Entah bagaimana caranya kita berterima kasih padanya..."
"Ampun, Gusti Prabu! Pemuda itu memang banyak berjasa pada kita. Dan sepertinya, dia bukan orang sembarangan...."
"Tentu saja. Dia berhasil membunuh Gendoruwo Samber Nyawa, maka sudah jelas bukan orang sembarangan. Pemuda itu pasti tokoh hebat dalam dunia persilatan...!" sahut Panglima Kurata.
"Bukan begitu maksud hamba, Kanjeng Panglima...!"
"Lalu, apa?"
"Dia bukan seperti tokoh silat kebanyakan. Pemuda itu berbakat memimpin. Dan tindakannya begitu meyakinkan. Dia bahkan lebih pantas menjadi panglima kerajaan, ketimbang tokoh persilatan...!" tandas Ki Srengseng.
"Maksudmu, dia memang berasal dari kerajaan?"
"Entahlah, Kanjeng Panglima. Tapi dengan wajah dan wataknya yang demikian, dia pasti bukan orang sembarangan. Aku yakin betul. Caranya mengatur dan bertindak, sangat cepat serta tepat!" puji Ki Srengseng.
Pada saat itu Permaisuri Kembang Sari dan Putri Randu Walang mendekat. "Ayah... Pemuda itu telah berjasa banyak bagi kita, bukan? Apakah Ayahanda tidak berbuat sesuatu unluk membalas budi baiknya?"
"Tentu saja, Anakku. Tapi, bagaimana cara kita membalas budi baiknya? Dia pergi begitu saja. Dan, tak ada seorang pun tahu, dimana dia berada...," sahut Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Orang sepertinya amat sulit dicari. Dia seperti malaikat yang bisa datang pergi sesuka hatinya...," tambah Ki Srengseng.
"Tapi Ayah tidak bisa diam saja. Carilah dia. Dan, kerahkan para prajurit untuk berupaya menemukannya! Kalau tidak demikian, kita akan merasa berhutang budi selamanya!" sahut Putri Randu Walang berkeras.
"Tapi, kemana Ayah harus mencarinya?"
"Kemana saja! Pokoknya Ayahanda harus menemukan pemuda itu!"
Sang prabu menggeleng lemah seraya mendesah kecil.
"Gusti Prabu, biarlah hamba yang akan mencarinya!" sahut Ki Srengseng.
"Baiklah. Kau cari pemuda itu sampai dapat. Dan katakan padanya, aku mengundangnya ke sini dengan segala hormat. Lalu, bawalah beberapa orang prajurit untuk menyertaimu!" ujar Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Segala titah Gusti Prabu akan hamba junjung tinggi! Hamba berangkat sekarang, Gusti Prabu!"
Gusti Prabu Arya Turangga Waskita mengangguk. Ki Srengseng segera berlalu bersama beberapa orang prajurit pilihan. Sementara itu, Panglima Kurata menyelesaikan para tawanan dan memberi perintah untuk mengurusi istana kerajaan yang porak-poranda.
"Anakku. Kau kelihatan berkeras sekali menyuruh Ayahandamu mencari pemuda itu? Ada apa gerangan? Tidak biasanya kau bersikap begitu?" tanya Permaisuri Kembang Sari sambil menggandeng putrinya dan berlalu dari tempat ini.
"Tidak ada apa apa, lbunda..."
Permaisuri Kembang Sari tersenyum. "Kau tidak bisa membohongiku, Nak. lbu bisa merasakan kecemasan dan pengharapan pada tatapan matamu. Ceritakanlah. Adakah sesuatu yang kau pendam di hatimu?" desak wanita setengah baya pada putrinya.
Putri Randu Walang terdiam beberapa saat. Bahkan ketika wanita itu telah mengantarnya ke kamar.
"Apakah kau tidak mau berbagi perasaan dengan lbumu?"
Putri Randu Walang masih terdiam. Dan dia duduk termenung di tepi tempat tidur. "Ibu... Pernahkah kuceritakan tentang pemuda dalam impianku itu?" tanya Putri Randu Walang lirih.
"Ya.... Ibu ingat," desah Permaisuri Kembang Sari.
"Pemuda itulah yang kumaksudkan..."
"Benarkah?!" Wajah sang ibu tampak kaget.
"Benar, lbunda...," sahut Putri Randu Walang lirih". Aku tidak tahu, apakah dia pun merasakan hal yang sama. Tapi, kelihatannya dia sama sekali tidak mempedulikanku..."
"Anakku.... Mungkin kau salah mengenali orang..."
"Tidak, lbunda. Aku yakin betul!"
"Hm... Biarlah para prajurit kerajaan akan mencarinya sampai dapat!"
"Kurasa impian itu memang bunga tidur. Sebab, bila menjadi kenyataan, dia tentu tidak akan meninggalkanmu begitu saja..." hibur Permaisuri Kembang Sari.
Permaisuri Kembang Sari tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Tapi dia merasakan kalau hati putrinya ini amat gundah dan resah. Dia hanya mampu membelai rambutnya, kemudian mencium lembut keningnya.
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: TEROR MANUSIA BANGKAI