WANITA IBLIS
SATU
DESA KAHURIPAN yang biasanya tenang dan damai, mendadak saja berubah menjadi sebuah desa yang sunyi dan mencekam. Hal itu terjadi ketika secara berturut-turut, para penduduknya menemukan mayat yang berasal dari desa itu sendiri. Setiap mayat yang ditemukan, dalam keadaan membiru dengan darah meleleh dari mulut.
Maka tak heran, bila malam tiba para penduduk sudah mengunci pintu dan jendela rumah masing-masing. Mereka takut kalau-kalau menjadi korban berikutnya dari pembunuh yang belum jelas siapa.
Desa yang telah berubah menjadi desa mati bila malam tiba itu, makin bertambah seram ketika hujan mengguyur seperti dituangkan dari langit.
Seperti juga malam ini. Hujan yang turun bagai tak ingin menyisakan air setitik pun dari langit. Itu pun masih ditambah deras angin basah yang sesekali bertiup kencang, lalu perlahan-lahan melambat.
Di tengah terpaan angin dan hujan, ternyata masih ada satu sosok yang tengah berlarian menerabas kegelapan malam. Sosok yang kira-kira berusia dua puluh tahun ini berlari seperti hendak membelah desa ini menjadi dua bagian. Deru napasnya turun naik, ditingkahi debar jantungnya yang kian cepat.
"Hujan berengsek! Dari tadi saja aku pulang! Beginilah kalau keasyikan ngobrol dengan gadis cantik! Sampai tak ingat pulang!" rutuk pemuda itu dalam hati.
"Aauuung...!"
Suara rutukan pemuda itu disahuti oleh lolongan serigala di kejauhan. Mendengar suara itu, jantung pemuda itu berhenti berdetak. Larinya makin dipercepat, namun kakinya terasa berat untuk diajak melangkah. Keringat dingin mulai bercucuran di tubuhnya. Padahal, saat itu hujan turun makin lebat!
"Sialan! Keparat! Kenapa aku jadi begini...?!" dengus pemuda ini.
Belum puas pemuda itu mengumpat, mendadak...
"Aduh...! Tolong..., dingin!"
Tiba-tiba terdengar suara rintihan kedinginan dari samping kanan. Cepat pemuda itu menghentikan gerakannya, seraya mencari-cari.
"Itu suara seorang wanita! Hiiiyyy.... Jangan-jangan, suara kuntilanak yang sedang mencari mangsa?!" pikir pemuda itu.
"Hhh, tolong! Aku bisa mati kedinginan! Tolonglah aku!" kembali terdengar suara.
"Mustahil di dunia ini ada hantu! Aku tidak percaya! Lagi pula itu jelas-jelas suara seorang wanita minta tolong. Aku harus melihatnya. Siapa tahu, dia wanita desa yang kemalaman seperti aku!"
Rupanya, pemuda itu memiliki sedikit kepandaian ilmu olah kanuragan. Seketika tubuhnya berkelebat ke arah suara wanita yang didengarnya. Sebentar saja, pemuda itu telah tiba di bawah pohon rindang. Dan dia melihat seorang gadis cantik sedang menggigil kedinginan. Dihampirinya gadis itu dengan hati berdebar. Lalu diperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kedua kakinya menyentuh tanah. Jelas, dia manusia biasa. Bukan makhluk jejadian!" pikir pemuda itu.
"Hhh! Dingin! Tolong aku, Kisanak! Tubuhku terasa kaku!" ujar gadis itu dengan tubuh menggigil.
"Siapa kau, Nisanak. Kemana tujuanmu?! Dan, mengapa bisa berada di tempat ini?!" tanya pemuda itu perlahan.
"Aku Kumala.... Tujuan Desa Jatiragas. Tetapi aku kemalaman dan kehujanan di tempat ini! Aku berteduh di bawah pohon besar ini, namun hujan semakin besar dan tidak mau berhenti!" ujar gadis cantik yang mengaku bernama Kumala.
"Hm.... Namaku Barep. Oh, ya.... Apa yang dapat kulakukan untuk menolongmu, Nisanak?!" tanya pemuda yang ternyata bernama Barep.
"Tolong ambilkan daun pisang. Lalu kita cari tempat berteduh yang lebih baik untuk dapat berlindung dari air hujan ini," ujar Kumala.
Tanpa pikir panjang lagi, Barep pergi mencari daun pisang. Tak begitu jauh, sehingga sebentar saja dia telah kembali dengan membawa daun pisang di tangan. Lalu, mereka pergi mencari tempat yang terlindung dari air hujan. Kebetulan tak jauh dari tempat itu, ada gua yang cukup lebar untuk berteduh. Keduanya segera masuk ke dalam. Mungkin gua itu bekas tempat tinggal binatang liar, sehingga banyak daun dan ranting-ranting kering. Untuk menghangatkan diri, Barep segera membuat perapian. Sehingga sesaat saja tempat itu telah terasa agak panas.
"Tolong balikkan badanmu, Barep!"
Pemuda itu tahu, Kumala hendak membuka pakaian dan mengeringkannya dekat api. Rupanya gadis itu hendak membuka pakaian dan mengeringkan. Walaupun tidak melihat, tetapi Barep adalah laki-laki bujangan yang waras kejantanannya.
Sehingga tanpa terasa, wajahnya jadi memerah. Tubuhnya terasa panas, disertai debaran jantung yang terasa berdetak keras. Gejolak hati Barep tidak dapat ditahan lagi. Lalu secara sembunyi, matanya melirik ke belakang. Seketika darahnya terasa bergolak hebat, melihat Kumala tengah berdiri bagaikan patung lilin tanpa cacat sedikit pun.
"Pakaianmu sendiri basah, Barep. Apakah kau tidak berniat mengerikannya? Nanti kau bisa sakit. Keringkanlah dulu, baru kau pakai lagi!" kata Kumala, seolah menggoda kelaki-lakian Barep.
Sebentar Barep melengak kaget, dengan napas memburu kencang. Perasaannya bagai tersirap saat itu juga. Bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya.
Pemuda itu menuruti saja permintaan Kumala. Dan ketika tubuhnya berbalik gadis itu masih berdiri seperti patung lilin tanpa benang sehelaipun. Di tengah jilatan cahaya api unggun Kumala jadi semakin cantik.
Bagaikan tersihir, kedua insan berlainan jenis yang sudah sama-sama tanpa benang sehelai pun saling mendekat. Dan..., selanjutnya hanya dinding batu di tempat itu yang tahu apa yang terjadi. Yang jelas hanya deru napas memburu saja yang terdengar, bagaikan orang habis berlari jarak jauh. Namun....
"Aaa...!"
Beberapa saat kemudian, terdengarlah teriakan Barep yang menyayat dan mendirikan bulu roma. Sementara, hujan masih terus turun dengan lebatnya. Karena derasnya hujan, teriakan itu tidak ada yang mendengar, lenyap bagai ditelan kegelapan malam.
********************
Desa Kahuripan kembali dihebohkan dengan diketemukannya mayat Barep. Keadaan mayat itu persis seperti mayat yang sudah-sudah. Kulit dan daging berwarna biru kekuningan. Keadaan ini membuat desa itu semakin mencekam. Sementara, si pembunuh masih tetap terselubung dan gelap.
Sementara, pagi masih basah di Desa Kahu-ripan. Sejak hujan tadi malam hawa di desa ini begitu menggigilkan Banyak penduduk yang enggan keluar rumah. Mereka lebih suka bercakap-cakap tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di desa ini dan masih terselubung teka-teki.
Namun hawa dingin menggigilkan itu tak menyurutkan langkah seorang perempuan tua berambut putih di jalan utama desa ini. Pakaian serba merah yang dikenakannya berkibar-kibar ditiup angin, pedangnya tergantung di pinggang. Perempuan tua itu terus melangkah dan sebentar lagi akan melewati sebuah rumah yang tergolong mewah di desa itu.
Dua orang pemuda berpakaian indah, sedang bercakap-cakap di beranda rumah mewah itu. Mereka melirik sambil tersenyum sinis penuh ejekan.
"Gila! Usia sudah senja begitu, pakaiannya tidak mau kalah dengan gadis berusia belasan tahun! Mungkin dia bekas mucikari. Atau paling tidak, nenek tua itu kurang waras!" leceh salah seorang pemuda yang berpakaian kuning gading, dengan sulaman benang emas.
"Untung tidak ada banteng. Kalau ada, bisa ditanduk dia!" timpal pemuda yang berpakaian biru sambil tertawa-tawa.
Menyadari tengah disindir, perempuan tua yang tengah berjalan segera menghentikan langkahnya. Matanya langsung melirik tajam ke arah dua pemuda berpakaian perlente itu.
"Hik..., hik... hik...! Kau bicara apa, Anak Bagus?!" tegur perempuan tua itu, dingin.
"Aku tidak bicara apa-apa. Hanya berkata, walaupun sudah tua kau tetap masih tampak cantik," jawab yang berbaju kuning.
"Hik..., hik..., hik...! Benarkah demikian?!" tanya perempuan tua itu sambil tersenyum genit.
"Tentu saja benar. Masa aku bohong?!" tukas pemuda itu.
"Baiklah kalau begitu," kata perempuan tua ini, seraya berbalik dan melangkah meninggalkan tempat itu.
Namun entah bagaimana, baru saja perempuan tua itu pergi kedua pemuda tadi langsung mengikutinya. Bahkan ketika nenek itu berjalan cepat, terpaksa kedua pemuda ini mengikutinya dengan berlari-lari kecil.
Sementara itu, para penduduk yang menyaksikan, menjadi heran. Mereka jadi bertanya-tanya dalam hati. Apa yang telah terjadi dengan kedua pemuda itu? Tetapi dua pemuda itu anak orang kaya dan banyak tukang pukulnya, tak seorang penduduk pun yang berani ikut campur.
Perempuan itu terus membawa kedua pemuda tadi keluar desa. Sementara kedua pemuda tersebut, saling berlomba mengejar wanita tua didepan mereka. Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan tiga orang bertampang seram yang memang bermaksud menuju Desa. Kahuripan.
"Berhenti! Mau kau bawa ke mana anak majikan kami?!" bentak salah seorang bertampang seram, langsung menghadang perempuan tua itu.
Rupanya, ketiga orang bertampang seram ini adalah para tukang pukul dari dua pemuda yang tengah mengikuti si nenek. Kebetulan, di pagi ini memang jatah mereka berjaga.
"Hik..., hik..., hik...! Siapa yang membawa mereka berdua? Mereka sendiri yang mengikuti aku! Kalian hanya bakul nasi! Jadi, jangan berlagak di depanku!" sahut nenek ini, enteng.
"Nenek tidak tahu diri! Sudah bosan hidup rupanya!" dengus laki-laki yang bercodet pipi kiri.
"Tahan dulu, Sobat! Apa kau tidak melihat pedang yang tergantung di pinggangnya?!" cegah laki-laki berkumis tebal, pada teman yang baru saja membentak.
"Kenapa harus takut? Pedang itu hanya perhiasan untuk menakut-nakuti kita!" tukas laki-laki bercodet itu.
Sementara itu, kedua pemuda perlente tadi dengan manja memeluki tubuh nenek ini dari belakang. Tentu saja kejadian itu sangat mengherankan. Mungkinkah mereka yang masih semuda itu memperebutkan seorang perempuan tua? Ini pasti ada sesuatu yang tidak beres!
"Heaaat...!"
Sambil berteriak keras, salah seorang tukang pukul bergerak, bermaksud menarik jatuh tubuh perempuan tua ini. Tetapi dengan sekali bergerak, tangan tukang pukul itu sudah tercengkeram oleh nenek ini .
Krek!
"Aaakh...!"
Terdengar bunyi berkeretek yang cukup keras. Tangan tukang pukul yang bercodet kontan remuk tercengkeram tangan yang sekeras besi. Dia langsung menjerit kesakitan. Laki-laki bercodet itu melonjak-lonjak, menahan sakit sambil memegangi tangannya yang remuk. Pada saat itu, mendadak sebuah tamparan telak mampir di mukanya.
Plak!
Tanpa dapat dicegah lagi, orang bercodet itu ambruk dengan kepala retak mengucurkan darah. Sementara dia meregang nyawa, lalu diam tak bergerak lagi.
Melihat kekejaman perempuan tua itu, tukang pukul yang lainnya segera menerjang dengan senjata terhunus. Kini mereka tidak berani bertindak sembarangan lagi.
"Wanita iblis! Kau harus menerima pembalasan yang setimpal!" teriak laki-laki berkumis tebal.
"Yeaaa!"'
"Ciat!"
Saat itu juga dua senjata golok berkelebat ke arah perempuan tua ini. Namun hanya meliuk-liukkan tubuhnya, tak satu senjata pun yang mendarat di tubuh keropos itu. Bahkan ketika tiba-tiba perempuan tua itu mencabut senjata dan mengebutkan nya, dua orang tukang pukul itu kontan ambruk dengan leher hampir buntung! .
Sebentar perempuan tua itu memandangi ketiga mayat tukang pukul yang bergeletakan di tanah. Kemudian langkahnya yang tertunda diteruskan bersama kedua pemuda perlente itu. Entah ke mana tujuan mereka.
********************
Desa Kahuripan kembali geger dengan ditemukannya dua mayat pemuda perlente, yang tak lain anak dari orang terpandang di desa itu. Keadaan kedua mayat itu benar-benar mengenaskan. Semua anggota tubuh mereka terpotong-potong berserakan dipinggir desa.
Para penduduk yang menyaksikan sampai bergidik ngeri. Maka setelah diadakan upacara penguburan, orang terkaya di Desa Kahuripan itu memerintahkan pada siapa saja yang dapat menangkap hidup atau mati si pembunuh akan diberi hadiah besar.
Dalam waktu singkat, pengumuman itu telah menyebar ke telinga seluruh tokoh rimba persilatan, baik dari golongan putih maupun hitam. Berdasarkan keterangan penduduk yang melihat, maka ciri-ciri perempuan tua itu bisa diketahui. Berbekal keterangan itu, para tokoh persilatan mulai menyebar.
Namun setelah berhari-hari, si pembunuh belum juga ditemukan. Tentu saja hal ini membuat para pemburu hadiah menjadi putus asa. Bahkan hampir-hampir mereka telah melupakannya. Sampai suatu ketika, tepat di depan kedai di Desa Kahuripan, berjalan seorang perempuan tua berpakaian serba merah dengan pedang di punggung.
Kebetulan, dari pintu kedai keluar beberapa orang dengan pakaian sebagaimana orang persilatan, melihat perempuan tua itu. Seketika salah seorang yang berpakaian hijau terang langsung melompat menghadang.
"Berhenti!" bentak laki-laki berbaju hijau terang itu.
Seketika, perempuan tua berbaju merah menghentikan langkahnya dengan kening berkerut.
"Siapa kau, Kisanak? Mengapa kau menghentikan perjalananku?" tanya perempuan tua itu, kalem.
"Aku Wirareja! Dan kau tak usah banyak bicara lagi! Kau pasti buronan yang selama ini telah membunuh dua pemuda anak juragan Seta di Desa Kahuripan ini!" tuding laki-laki bernama Wirareja.
Sementara, beberapa orang yang tadi bersama Wirareja telah berdatangan dan langsung mengurung perempuan tua itu. Tentunya, mereka ingin mendapat bagian hadiah, jika berhasil membunuh perempuan tua ini.
"Hm.... Jadi yang kubunuh anak juragan Seta.... Hi hi hi.... Siapa suruh? Mereka telah lancang karena berani menghinaku. Lantas, kalian mau apa?
"Hm.... Jadi kau berani berbuat begitu karena memiliki sedikit kepandaian? Tetapi, di hadapanku jangan banyak lagak!" bentak Wirareja.
"Jangan berkata begitu di depan Nenek Ayuning, kecuali kau sudah bosan hidup, Monyet!" bentak perempuan tua yang ternyata bernama Ayuning.
"Cuh! Iblis sekalipun di depanku, jangan harap aku mundur!" dengus Wirareja sambil meludah ke tanah.
"Bagus! Agaknya kau tidak punya mata, berani lancang di depanku. Jangan menyesal kalau kedua matamu itu terpaksa kubuang!" bentak Nenek Ayuning dengan tangan tampak mulai gemetar.
"Hiaaat...!" Begitu kata-kata Nenek Ayuning habis, tubuhnya langsung berkelebat dengan kedua tangan kanan bergerak ke perut Wirareja.
"Uts!" Namun dengan sedikit menarik perutnya, laki-laki berbaju hijau terang itu berhasil menghindari. Sayang, Wirareja salah duga. Justru dengan demikian, kepalanya jadi menyorong ke depan. Maka dengan gerakan cepat bagai kilat, tangan kiri Nenek Ayuning sudah meluncur ke wajahnya. Dan...
Crap...!
"Aaakh...!"
Tepat sekali dua jari perempuan tua itu melesak ke kedua mata Wirareja, dan langsung mencongkelnya keluar. Saat itu juga terdengar teriakan setinggi langit, ketika Wirareja telah kehilangan kedua matanya. Darah langsung mengucur deras dari rongga matanya.
"Hiaaat...!"
Melihat Wirareja teraniaya, empat orang yang tadi bersamanya langsung menyerang Nenek Ayuning disertai teriakan menggelegar.
Namun agaknya kepandaian mereka semua, masih terpaut jauh di bawah Nenek Ayuning. Dengan cepat, perempuan tua itu berkelebat sambil membabatkan pedangnya. Maka sebentar saja....
"Aaakh!"
"Aaa...!"
Para pengeroyok kontan berpelantingan dalam keadaan binasa hanya sekali gebrak saja dengan dada atau leher tersayat pedang Nenek Ayuning. Jelas sulit diukur, betapa tingginya kepandaian perempuan tua itu. Setelah puas memandangi mayat-mayat lawannya, Nenek Ayuning langsung mendatangi rumah juragan Seta. Bisa ditebak, apa maksud kedatangannya.
********************
DUA
Senja sebentar lagi tiba, ketika matahari mulai beranjak ke arah barat. Namun demikian, udara sisa-sisa siang tadi masih terasa panas menyengat kulit. Tak heran bila dua sosok tubuh besar yang tengah berjalan di tepi sebuah padang ilalang, telah dibanjiri keringat.
Kedua orang yang ternyata berwajah sangat mirip satu sama lain itu berpakaian baju kulit macan. Pada pinggang masing-masing tergantung senjata gada berduri. Walaupun bertubuh besar, tetapi gerakan mereka ringan dan gesit. Bisa ditebak kalau kedua orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Tiba di sebuah persimpangan jalan, laki-laki kembar ini berpapasan dengan seorang gadis cantik berpakaian serba merah. Di pinggangnya tampak tergantung sebuah pedang berhiaskan benang-benang emas di hulunya.
"Ha ha ha...! Ada gadis cantik Kakang Layang Seto! Apakah kau tertarik?" kata salah satu dari dua orang kembar itu, mencoba menggoda.
"Kebetulan, Layang Kumitir. Aku sudah lama tidak makan daging mentah! Rupanya gadis itu sengaja menyerahkan diri pada kita!" jawab laki-laki yang dipanggil Layang Seto.
Semula, gadis itu berusaha tak ambil peduli. Namun ketika menyadari kalau kedua laki-laki itu seperti tak ingin memberi jalan, gadis itu kontan melotot tajam.
"Apa mau kalian, Kisanak berdua?! Tolong beri jalan padaku!" ujar gadis berbaju merah ini, dengan wajah garang.
"Mau kami? Ya, tubuhmu itu!" sahut laki-laki yang bernama Layang Kumitir, seenaknya.
"Huh! Kalian berdua memang harus diberi pelajaran!" dengus gadis cantik ini.
"Bah! Rupanya kau belum kenal kami. Kau tahu, kami adalah Iblis Kembar! Dan tak seorang pun bisa menghalangi niat kami!" balas Layang Seto.
Begitu kata-katanya habis, Layang Seto langsung menerkam. Tetapi gadis itu tak kalah sigap. Tubuhnya langsung bergerak ke samping seraya melayangkan satu bogem mentah ke wajah Layang Seto...
Digkh!
"Aaakh...!" Telak sekali kepalan tangan gadis itu mendarat di pipi Layang Seto. Disertai jerit kesakitan, tubuh laki-laki bauk itu terhuyung-huyung ke samping.
Begitu berhasil menjaga keseimbangan, Layang Seto memandang gadis itu tajam-tajam. Sungguh tak disangka kalau gadis itu begitu mudah mendaratkan pukulan di wajahnya.
Hal itu dapat terjadi, karena Layang Seto terlalu menganggap remeh. Dia tidak mengira kalau gadis itu dapat berkelit, bahkan dapat melepaskan serangan balasan yang cukup mengejutkan.
Sementara itu, melihat saudaranya dapat terpukul dengan mudah, Layang Kumitir segera mengirimkan tendangan ke arah pinggang gadis ini.
Hait!" Namun dengan mengegoskan tubuhnya ke samping, tendangan itu luput. Bahkan sebelum Layang Kumitir menarik pulang kakinya, gadis itu sudah membabatkan tangannya.
"Hih!
Dugkh!
"Aaakh...!" Seketika, tulang kering kaki Layang Kumitir terhantam babatan tajam gadis itu yang berisi tenaga dalam tinggi. Tentu saja laki-laki itu jadi berjingkrakan menahan rasa sakit pada kakinya.
Kini kedua laki-laki berjuluk Iblis Kembar sadar, kalau gadis ini tidak bisa dianggap sembarangan. Seketika Iblis Kembar memasang kuda-kuda, memainkan jurus baru disertai tenaga dalam tinggi. Terdengar suara tulang yang berkerotokan, pertanda tenaga dalam yang dikerahkan cukup besar.
"Heaaa...!" Sambil berteriak keras membahana, Iblis Kembar menerjang. Namun gadis cantik itu segera mengelak dengan meliuk-liukkan tubuhnya, sambil melepaskan serangan berupa tusukan dua jari ke arah Iblis Kembar.
"Yeaaat!"
Mendapati serangan mendadak ini, Iblis Kembar tak bisa menghindar, kecuali memapak.
Plak! Plak!
Suara benturan keras terdengar, menandai terjadi adu tenaga dalam tingkat tinggi. Memang perbedaan tenaga dalam masing-masing pihak tidak berselisih terlalu jauh. Tentu saja hal itu membuat kedua manusia kembar itu terkejut.
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya...?! Hm, selama ini belum ada seorang pun yang dapat mengimbangi kami dalam dunia persilatan. Jadi jangan menyesal kalau kami bertindak kasar padamu!" geram Layang Seto dengan suara keras.
"Hi hi hi...! Kalian masih belum pantas untuk mengetahui namaku. Kepandaian kalian masih terlalu jauh!" ejek gadis itu, enteng.
"Bangsat! Bosan hidup kau rupanya!" teriak Layang Kumitir.
"Ketahuilah, soal membunuh kami tidak pernah membedakan. Wanita atau pria, sama saja! Jelek atau cantik, siapa yang telah menyinggung kami bagiannya adalah mati!" timpal Layang Seto.
Begitu kata-kata itu tuntas, serangan tangan kosong yang dahsyat dari Iblis Kembar langsung menerjang gadis cantik.
"Hiaaat..!"
Namun dengan gerakan cepat luar biasa, gadis berbaju merah itu melenting ke atas. Tepat ketika Iblis Kembar berbalik, gadis itu sudah meluruk melepaskan dua tendangan dahsyat Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! Des!
Tepat sekali dua tendangan berturut-turut mendarat di dada Iblis Kembar. Seketika tubuh mereka terjajar mundur dengan pandangan tak percaya. Kedua manusia kembar itu tidak habis pikir, dari mana gadis semuda itu dapat memiliki tenaga dalam begitu kuat. Pasti gadis itu berguru pada orang yang sangat sakti. Atau paling tidak, telah mendapatkan suatu keberuntungan.
Disertai benak yang penuh tanda tanya, Iblis Kembar segera mencabut senjata masing-masing. Dan secara bersamaan, mereka menyerang wanita cantik itu. Dengan gada berduri di tangan, Iblis Kembar bagaikan harimau yang tumbuh sayap. Kedua senjata itu menderu-deru bagaikan topan.
"Ciat!"
Namun bagaikan kupu-kupu, tubuh gadis cantik itu berkelit di antara kelebatan-kelebatan gada berduri. Begitu ada kesempatan, tubuhnya cepat melenting. Kemudian dengan beberapa kali putaran dia berhasil menjauhi kedua lawannya. Lalu secepat kilat, tangannya mencabut pedang yang tergantung di pinggang.
Sring!
Begitu senjata itu tercabut, gadis ini langsung meluruk, melabrak Iblis Kembar dengan babatan pedangnya. Mendapat serangan mendadak, kedua laki-laki kembar itu cepat bergerak memapak dengan gada berduri.
Trang! Trang!
Berkali-kali senjata masing-masing bertemu, menimbulkan suara keras dan pijaran bunga api. Begitu satu sama lain kembali menyerang, pertarungan dahsyat kembali terjadi. Kali ini lebih seru dan dahsyat.
Pertarungan antara Iblis Kembar melawan gadis berpakaian serba merah bertambah dahsyat. Terutama, ketika gadis itu mulai merubah jurus-jurus silatnya. Gerakannya bagaikan sedang menari. Tiap liukan tubuhnya menimbulkan rangsangan nafsu kelaki-lakian Iblis Kembar. Entah, jurus apa yang dimainkan gadis itu.
Mendapati jurus aneh ini, Iblis Kembar jadi mati kutu. Perhatian mereka jadi terpecah, membuat gerakan silat jadi kacau. Napas mereka memburu keras. Apalagi, ketika gadis cantik itu mulai menarik pakaiannya ke atas, memamerkan betisnya yang putih mulus.
Saat itu pula iblis Kembar tidak dapat mengendalikan diri lagi. Gada berduri di tangan mereka mulai tidak terarah. Banyak pohon yang terhantam pukulan nyasar, hingga tumbang berantakan. Kepala mereka, mulai terasa pening. Apalagi, ketika gerakan gadis itu semakin menggila dengan rangsangan luar biasa yang memancing kelaki-lakian mereka.
"Hi hi hi...! Ayolah! Katanya ingin membunuhku! Masa jadi tidak bersemangat seperti itu...?!" ejek gadis berbaju merah ini.
"Bang..., sat! Kau..., memakai ilmu siluman...!" rutuk kedua orang kembar itu dengan suara terpatah-patah.
Walaupun Iblis Kembar tampak memaksakan diri untuk menerjang kembali, tetapi kaki dan tangan mereka seakan-akan tidak menurut lagi pada kemauan pikiran. Pada saat yang sama, dari mata gadis itu memancar cahaya kemerahan menakutkan. Akibatnya, Iblis Kembar tak mampu bergerak lagi, seperti tersihir.
Sebentar saja, pikiran kedua Iblis Kembar seakan-akan kosong. Bahkan mereka manggut-manggut ketika gadis itu mengisyaratkan sesuatu dengan gerakan merangsang. Maka bagai kerbau dicocok hidungnya, kedua orang kembar itu mengikuti dengan patuh.
********************
Malam telah cukup larut, ketika satu sosok tubuh tengah berjalan menuju ke sebuah pondok kecil di pinggiran Hutan Raga lembayung. Sosok yang ternyata seorang tua berkumis dan berjenggot panjang membawa alat pancing dan ikan yang cukup besar. Rupanya, setelah mendapatkan hasil, dia ingin beristirahat barang sejenak di pondok yang agaknya sudah tak terpakai lagi.
Tanpa ada firasat apa-apa, laki-laki tua itu mendorong pintu pondok. Dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat adegan yang terjadi dalam pondok. Seketika orang tua itu segera melompat keluar kembali. Dari gerakannya yang gesit, jelas kalau ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi
Sementara itu didalam pondok, terdengar suara ribut-ribut. Tidak lama dari pintu yang sudah terbuka, keluar tiga sosok tubuh. Ternyata mereka adalah seorang perempuan berbaju merah dengan dua laki-laki kembar yang tak lain Iblis Kembar.
"Hi hi hi...! Kiranya Lengser si Tukang Pancing! Mau apa kau datang kemari...?!" tanya perempuan tua itu, tertawa genit .
"Huh! Ayuning! Semakin tua kelakuanmu jadi semakin tidak genah saja! Apakah kau tidak malu dengan rambutmu yang sudah putih?!" ejek laki-laki tua berjuluk si Tukang Pancing dan bernama asli Ki Lengser. Agaknya laki-laki tua itu sudah mengenal ketiga orang di depannya.
"Hei, Lengser! Kuperingatkan jangan sok usil dengan segala urusanku! Atau kau akan menyesal setelah terlambat!" ancam perempuan tua yang tak lain Nenek Ayuning.
Memang, gadis berbaju merah yang berhasil menaklukkan Iblis Kembar dengan rangsangan-rangsangan maut itu sebenarnya adalah penjelmaan dari Nenek Ayuning. Selain memiliki kepandaian tinggi, Nenek Ayuning juga pandai dalam ilmu penyamaran yang diberi nama ilmu 'Alih Rupa'. Di samping itu dia juga memiliki aji 'Rangsang Jiwa' yang mampu membuat seorang laki-laki terpikat.
Dalam penyamaran sehari-hari sebagai gadis berbaju merah, Nenek Ayuning menggunakan nama Kumala. Di tangan gadis jelmaan ini, sudah berpuluh-puluh pemuda jatuh menjadi korban kebuasan nafsunya. Seperti juga yang terjadi di Desa Kahuripan beberapa purnama yang lalu.
"Sayangku..., bila kakek berjenggot itu ingin pamer kepandaian, biar denganku saja!" kata Layang Seto.
"Segala anak ingusan, Layang Seto dan Layang Kumitir mau main gertak denganku! Apa sudah bosan hidup...?!" sahut Ki Lengser sambil membelai-belai jenggotnya, setelah meletakkan pancing dan ikan besarnya di tanah.
Merasa direndahkan dan dihina, Iblis Kembar segera menghentakkan kedua tangan masing-masing, mengirimkan serangan pukulan jarak jauh. Seketika meluruk dua sinar keperakan ke arah laki-laki tua itu.
"Heaaa...!"
Namun dengan sigap, Ki Lengser juga menghentakkan tangannya ke depan, berusaha memapak dua kekuatan yang menerjang ke arahnya. Begitu dua sinar kekuningan meluruk ke depan....
Blarrr...!
"Aaakh!"
Terjadi benturan dahsyat yang membuat Iblis Kembar terdorong mundur, diiringi jerit kesakitan. Namun kedua orang kembar itu memang sudah berada dalam pengaruh Nenek Ayuning. Maka tanpa peduli lagi, mereka kembali menyerang ganas. Sehingga pertarungan sengit pun terjadi.
Berkat kegigihan, terutama dalam menggabungkan tenaga, Iblis Kembar kini dapat mengimbangi Ki Lengser. Sehingga terpaksa orang tua itu mengeluarkan ilmu simpanannya. Tangan kanan si Tukang Pancing dapat bergerak lambat, sedangkan tangan kirinya bergerak sangat cepat. Dan gerakan itu ternyata sangat membingungkan iblis Kembar.
"Heaaat...!" Pada satu kesempatan, Layang Kumitir mengirimkan tendangan keras ke arah pinggang.
"Yeaaat!" Secara tidak terduga, sisi telapak tangan si Tukang Pancing menyabet ke belakang.
Plak!
Tangkisan itu, tepat mengenai tulang kering Layang Kumitir. Seketika satu dari Iblis Kembar itu jadi berjingkrakan menahan sakit yang menusuk tulang.
"Ha ha ha...! Segala iblis kampungan mau bertingkah di depanku!" ejek Ki Lengser, kemudian mengambil alat pancingnya.
"Bangsat! Serang, laki-laki jompo itu!" teriak Layang Kumitir, kembali menyerang dengan senjata gadanya. Sementara Layang Seto segera mengikuti.
Ketika mengetahui kalau serangan itu cukup dahsyat, Ki Lengser segera memutar alat pancingnya sedemikian rupa, hingga mengeluarkan suara menderu tajam. Bahkan tiap gerakan alat pancing itu selalu mengancam bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dengan senjata gada berduri yang berat, Iblis Kembar berusaha mati-matian menghalau tiap serangan si Tukang Pancing.
Wuk! Wuk! Wuk!
Pragk! Pragk!
Berkali-kali senjata di tangan masing-masing beradu. Tetapi gada berduri milik Iblis Kembar tidak dapat menghancurkan alat pancing yang justru jauh lebih kecil. Dari sini bisa dilihat, betapa tingginya tenaga dalam Ki Lengser, jauh di atas kedua lawannya.
Bahkan berkali-kali, alat pancing Ki Lengser berhasil menyabet tubuh Iblis Kembar sampai matang dan biru. Walaupun tidak mematikan, sakitnya sangat terasa. Melihat Iblis Kembar tidak dapat berbuat apa-apa, Nenek Ayuning maju dengan senjata pedangnya.
Kini si Tukang Pancing jadi dikeroyok tiga. Lambat laun, laki-laki tua itu mulai terdesak. Apalagi ketika perempuan tua itu mengeluarkan aji 'Rangsang Jiwa' diserjap gerakannya yang merangsang. Akibatnya, Ki Lengser jadi kelabakan .
"Tidak tahu malu! Nenek peot gendeng kau!" maki si Tukang Pancing, kesal. Seketika Ki Lengser mengecutkan alat pancingnya. Sehingga mata kail yang terikat tali pancing berseliweran mencari mangsa.
"Seaaat!" Disertai teriakan keras, pedang di tangan Nenek Ayuning membabat, bermaksud memutuskan tali pancing Ki Lengser. Namun tali pancing itu alot sekali. Bahkan beberapa kali taliitu malah bergerak, berusaha melibat pedang di tangannya.
Melihat si Tukang Pancing masih dapat mengimbangi, Nenek Ayuning segera mengeluarkan aji 'Rangsang Jiwa' pada tingkat yang paling akhir. Akibatnya, Ki Lengser kembali kelabakan.
"Nenek sialan! Mau berkelahi atau mau pameran paha dan pantat peotmu itu...?!" rutuk si Tukang Pancing berusaha mengalihkan perhatiannya pada tatapan perempuan tua itu.
"Hi hi hi...! Kalau takut menghadapi ilmuku ini, katakan saja terus terang! Hayo, majulah kalau berani!" tantang Nenek Ayuning.
Menyadari bahayanya menghadapi ajian itu, si Tukang Pancing segera melenting ke belakang. Begitu kakinya mendarat, dia langsung hendak melarikan diri. Pada saat tubuhnya bergerak, bersamaan dengan itu alat pancingnya dikibaskan.
Crap!
"Auuuh!" Tepat sekali mata kail si Tukang Pancing menancap di telinga Layang Seto. Diiringi jerit kesakitan, satu dari Iblis Kembar ini memegangi telinganya.
"Kakek sialan! Lepaskan telingaku! Sakit!"
Tetapi, si Tukang Pancing malah menyentak tali kailnya, lalu kabur dari tempat ini. Begitu cepat gerakan si Tukang Pancing, sehingga sebentar saja dia telah berlari cukup jauh. Apalagi, dia juga mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi.
"Sialan! Dia lolos dari kejaran kita! Kalau bertemu lagi tidak akan kuberi hati kau!" dengus Nenek Ayuning, dengan tangan terkepal.
********************
TIGA
Dibawah teriknya sengatan sinar matahari, tampak berjalan seorang laki-laki tua berkumis dan berjenggot panjang. Laki-laki itu berjalan di pematang sawah, dengan alat pancing yang panjang tampak menjuntai di pundak. Memang, dia tak lain adalah Ki Lengser yang berjuluk si Tukang Pancing. Setelah kabur dari Nenek Ayuning dan Iblis Kembar, si Tukang Pancing langsung menuju Desa Garing ini.
Ki Lengser menghentikan langkahnya, ketika dua tombak di depannya tampak seorang petani tua bercaping lebar tengah mencangkul tanah dengan ayunan yang kuat dan bertenaga. Napas petani tampak biasa-biasa saja. Tidak terlihat sinar kelelahan pada wajahnya. Agaknya, petani itu juga memiliki kepandaian.
Merasa tak dipedulikan, Ki Lengser segera menendang batu sebesar kepala bayi di ujung kakinya. Pelan saja, namun menghasilkan kecepatan luar biasa, mengancam keselamatan petani itu. Namun entah disengaja atau tidak, pada saat batu itu hampir menghantam kepala, si petani mengangkat cangkulnya ke atas.
Trang!
Begitu luncuran batu berhasil dihalau, petani itu cepat menggerakkan cangkulnya ke tanah. Dan begitu mata cangkul menghujam, secepat itu pula tanah yang menempel dikebutkan. Maka sebongkah tanah basah langsung meluruk ke arah Ki Lengser.
"Uts!" Dengan lentingan indah, si Tukang Pancing berhasil menghindari serangan sebongkah tanah yang berisi tenaga dalam tinggi itu. Dan baru saja si Tukang Pancing mendarat...
"Ha ha ha...! Kau masih tetap hebat seperti dulu, Lengser!" sambut petani itu langsung menghampiri si Tukang Pancing dan memeluknya.
"He he he...! Kau pun begitu, Jembawan! Semakin tua semakin alot saja!" tukas si Tukang Pancing pada petani tua bertubuh kekar yang dipanggil Jembawan.
"Tidak biasanya kau mendatangi aku Ada perlu...?!" tanya Ki Jembawan dengan kening berkerut.
"Benar! Keperluan yang cukup penting!" jawab Ki Lengser.
"Katakan saja. Kau tidak perlu ragu!"
"Aku bertemu Ayuning!" jelas si Tukang Pancing.
"Apa kau tidak salah lihat? Katanya, dia sudah mati!" tanya Ki Jembawan, makin berkerut keningnya.
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Jembawan? Bahkan dia telah berhasil menguasai Iblis Kembar yang memiliki kepandaian cukup tinggi! Hal itu perlu kita perhitungkan. Mereka sangat kejam dan mau menang sendiri! Kaum persilatan bisa geger bila dia muncul kembali!" tandas Ki Lengser.
"Mengapa kau tidak berusaha menangkapnya...?!"
"Enak saja kau bicara! Aku telah bertempur habis-habisan dengan mereka. Kalau setan betina itu tidak mengeluarkan aji 'Rangsang Jiwa' aku tak akan mundur! Terus terang menghadapi ajian itu, aku harus berpikir seribu kali! Siapa yang mau jadi piaraan Nenek Peot itu...?!" tukas si Tukang Pancing melotot.
"Aku sendiri juga tidak berani menghadapi ajian itu!" tukas Ki Jembawan.
"Maksudku bukan menghadapi sendiri-sendiri. Kalau kita bersama, tentu dapat mendesaknya. Kita tidak boleh memberinya kesempatan untuk mengeluarkan ajian cabul itu. Apakah kau tidak mau bekerja sama lagi denganku...?" tanya si Tukang Pancing.
"Setan kau, Lengser! Sekali lagi bicara begitu, kutinggal sendirian kau di sini!" rutuk Ki Jembawan.
"Maaf, Jembawan! Bukan begitu maksudku. Kalau aku tidak percaya padamu, untuk apa datang kemari?!"
"Ya, sudahlah! Hm.... Sayang si Katembong alias Tukang Tebang Pohon tidak ada di sini! Kalau ada, tentu kita akan lebih kuat lagi!" gumam Ki Jembawan.
"Apakah kita perlu mencari dia dahulu, baru bertindak?!" tanya Ki Lengser. Belum juga pertanyaan Ki Lengser terjawab....
"Ha ha ha...!" Mendadak terdengar suara tawa berkepanjangan. Kemudian, disusul berkelebatnya sesosok bayangan. Dan tahu-tahu, di dekat mereka telah berdiri seorang laki-laki tua. Rambutnya putih, dia membawa gergaji di tangan kanan.
"Ha ha ha...! Panjang umurnya! Baru dibicarakan, orangnya langsung muncul! Mari, ke rumahku sambil minum teh dan ubi rebus!" ajak Ki Jembawan.
"Heh?! Soal urusan lain, nanti saja. Yang penting, mari kita makan dan minum dulu! Perutku sudah lapar sekali, Jembawan!" tukas laki-laki bernama Ki Katembong, langsung mendahului Jembawan.
********************
Dalam rimba persilatan saat ini memang diramaikan oleh tiga serangkai pendekar pembela kebenaran yang sulit dicari tandingnya. Mereka terdiri dari si Tukang Tebang Pohon, si Tukang Pancing, dan yang terakhir si Petani.
Tak heran kalau mereka bertiga termasuk kalangan atas. Dan mereka jarang muncul dalam dunia persilatan, bila tidak perlu benar. Kalau kali ini mereka muncul bersama, dapat diterka tentu ada persoalan besar tengah menanti.
Ki Lengser segera menceritakan apa yang di alaminya dengan Nenek Ayuning. Mendengar kemunculan perempuan tua itu si Tukang Tebang Pohon tampak terkejut. Dia sadar kalau kemunculan wanita iblis itu akan diwarnai oleh banjir darah yang tidak bersalah. Maka mereka segera berembuk untuk memecahkan cara menghadapi wanita iblis yang memiliki ajian langka bernama 'Rangsang Jiwa'.
"Katembong, masa kita harus menghadapinya dengan mata terpejam...?!" tanya si Tukang Pancing.
"Wah! Itu sama saja bunuh diri!" potong si Petani.
"Yah! Memang sulit menghadapi iblis itu. Yang penting, bila menghadapi iblis itu, kita tidak boleh memberi hati dan kesempatan padanya untuk menggunakan ajian setan itu. Pokoknya kita desak terus, sampai dia kelelahan sendiri. Setelah itu, langsung kita habisi saja. Kurasa itulah jalan satusatunya!" papar si TukangTebang Pohon.
"Kalau begitu, marilah berkemas untuk mencari Ayuning! Kita harus mendahuluinya, sebelum dia bersiap diri!" ajak Ki Jembawan.
********************
Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung menghentikan langkahnya, ketika di depannya tergolek satu sosok mayat pemuda tanpa benang sehelai pun. Sosok yang tak lain adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan kepalanya, melihat bibir tebing di atas sana.
Memang, saat ini Rangga berada di sebuah jalan berbatu. Yang diapit oleh dua tebing yang tak dalam. Tingginya sekitar enam tombak. Sebentar kemudian, Rangga segera memeriksa keadaan mayat itu.
"Hm.... Melihat keadaan mayat yang masih baru aku yakin kematiannya bukan karena terjatuh, dari tebing yang tak begitu tinggi ini. Dari wajah mayat ini kulihat adanya beban batin yang sangat dalam, yang baru saja dialami," gumam Rangga.
Rangga kembali mendongak, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tak ada yang terlihat. "Maaf, Kisanak. Aku terpaksa meninggalkan jasadmu di sini. Melihat keadaanmu, aku yakin ada sesuatu yang tak beres di atas sana," kata Rangga, berbicara sendiri sambil bangkit berdiri.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti menggenjot kakinya kuat-kuat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Saat itu juga tubuhnya melesat ke atas dan mendarat ringan di bibir tebing. Sebentar Rangga menghela napasnya panjang-panjang seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata, di depannya sebuah mulut hutan sudah menghadang.
Dengan langkah mantap, Pendekar Rajawali Sakti langsung memasuki hutan yang tak begitu rapat ini. Namun baru saja memasuki hutan sejauh beberapa tombak, mendadak di depannya berkelebat dua bayangan kuning, dan langsung berdiri menghadang.
Rangga menghentikan langkahnya. Di depannya kini telah berdiri dua laki-laki berwajah mirip satu sama lain. Mereka berpakaian kulit macan, senjata mereka adalah gada berduri. Siapa lagi mereka kalau bukan Iblis Kembar?
"Mengapa, kisanak berdua menghalangi jalanku?!" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Ha ha ha...! Siapa yang menghalangi...?! Ini jalan umum. Kalau mau lewat, silakan!" kata Layang Kumitir.
"Kalau begitu, maaf. Aku mau lewat!" ucap Pendekar Rajawali Sakti kalem, segera melanjutkan langkahnya.
"Berhenti...!"
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti berjalan tiga langkah mendadak terdengar sebuah bentakan menggeledek. Seketika Rangga menghentikan langkahnya. "Ada apa lagi, Kisanak...?!" tanya Rangga kalem.
"Mau lewat boleh saja. Tetapi, tinggalkan dulu nyawamu, Bocah Bau!" dengus Layang Seto.
"Ha! Dari raut wajah dan pakaian yang dikenakan, aku pernah mendengar dua orang kembar berjuluk Iblis Kembar yang sepak terjangnya menggiriskan. Jadi, kalian inilah orangnya!" gumam Rangga, tenang.
"Bagus kalau kau sudah mengenal kami. Kamilah Layang Sero dan Layang Kumitir, Iblis Kembar yang tidak ada duanya!"
Begitu habis kata-katanya, Layang Seto mencengkeram pundak Pendekar Rajawali Sakti dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mau jadi korban begitu saja. Maka segera tubuhnya dimiringkan ke kanan dengan gerakan manis.
Begitu serangan ke arahnya luput, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan tangannya bermaksud menghantam siku Layang Seto. Maka dengan sebisanya satu dari Iblis Kembar menangkis dengan telapak tangan kiri.
Plak!
"Akh!"
Terjadi benturan tangan dan itu membuat Layang Seto tergetar mundur. Seketika tangannya terasa kaku dan kesemutan. Sambil meringis kesakitan, ditatapnya pemuda itu tajam-tajam.
"Siapakah kau?! Hm.... Baru kali ini ada pemuda yang berhasil menahan tenaga dalam Iblis Kembar!" bentak Layang Seto
"Rangga...!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Yang kumaksud julukanmu, Kisanak!" desak Layang Seto.
"Buat apa julukan kalau hanya buat menakut-nakuti?" sindir Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Bangsat! Kau mempermainkan kami, Kisanak!" Seketika Iblis Kembar memasang kuda-kuda kokoh, seraya memutar gada berduri masing-masing. Lalu....
"Heaaat!"
"Ciyaaat!"
Begitu Iblis Kembar meluruk, kedua senjata yang mengerikan itu langsung mengancam seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Kerja sama kedua orang kembar sangat kompak. Bila yang satu menyerang, yang sarunya menutup jalan keluar. Apalagi diiringi tenaga dalam tinggi. Sehingga terlihat begitu dahsyat serangan itu.
Menghadapi serangan gencar ini, Rangga segera memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.Saat itu juga tubuhnya meliuk-liuk bagai orang mabuk. Walaupun gerakannya tidak beraturan, tapi tak satu senjata pun mampu menyentuhnya. Memang jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' lebih banyak menitik beratkan pada gerakan menghindar. Dan bila ada kesempatan. Rangga sesekali melepaskan serangan balasan.
Tetapi, setiap kali Rangga melakukan serangan balasan, selalu disambut sambaran senjata gada berduri. Sehingga mau tidak mau, terpaksa Rangga harus merubah jurusnya.
"Hiaaa...!"
Saat itu juga Rangga mengerahkan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Dan kini, kedua lawannya yang tangguh dapat diimbangi.
Pertarungan berjalan semakin sengit. Layang Kumifir, berteriak keras sambil menghantamkan gada ke arah kepala Rangga. Bersamaan dengan itu, Layang Seto membabatkan gadanya ke arah kepala pula.
Wuk! Wuk!
"Hait!" Dengan gerakan indah Rangga melenting ke atas seraya bersiap mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Sementara tanpa dapat dihindari lagi, kedua gada berduri itu beradu dengan sendirinya.
Blarrr...!
Terdengar benturan keras, ketika gada berduri itu beradu. Seketika bumi bergetar seperti dilanda gempa. Bahkan suara itu mampu merontokkan daun-daun pohon di sekitar hutan ini.
Pada saat Iblis Kembar masih terkesima, Rangga cepat meluruk melepaskan tendangan menggeledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Dugk! Dugk!
"Aaakh...!"
Kedua laki-laki kembar itu kontan jatuh telentang di atas tanah begitu kepala masing-masing terhantam kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Untung saja Rangga tidak mengerahkan tenaga dalam penuh, sehingga akibat yang ditimbulkan tidak begitu parah bagi Iblis Kembar. Dan untung saja Rangga tidak melanjutkan serangan. Begitu kakinya menjejak tanah, langsung ditunggunya Iblis Kembar untuk bangkit berdiri. Sementara pandangannya begitu tajam menusuk. Namun sebelum kedua orang itu benar-benar bangkit....
"Heh?" Mendadak saja telinga Pendekar Rajawali Sakti yang setajam telinga rajawali, mendengar suara desir halus di belakangnya. Sebagai pendekar yang telah banyak makan asam garam, Rangga sadar kalau serangan gelap mengancamnya.
"Shaaa...!"
Dengan gerakan luar biasa cepat, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengegos ke samping. Dan begitu serangan lewat di depan mukanya, tangannya cepat bagai kilat mendorong luncurannya yang ternyata berasal dari sebuah batu sebesar kepalan bayi.
Prak!
Saat itu juga, batu yang meluncur pecah menjadi beberapa bagian, namun tetap meluncur mengarah pada Iblis Kembar. Akibatnya....
Pletak! Pletuk...!
"Aduhhh...! Auuuw...!"
Beberapa pecahan batu sempat mampir di kepala kedua orang kembar itu, sebelum akhirnya jatuh di tanah. Layang Seto dan Layang Kumirir langsung memegangi kepala yang benjol akibat terhantam pecahan batu.
Sementara, Rangga sudah berbalik, ke arah tempat lemparan batu tadi berasal. Dan ternyata di depan telah berdiri seorang perempuan tua dengan senyum manis yang justru lebih mirip sebuah seringai.
Tapi entah kenapa mendadak saja, Rangga merasa jantungnya berdegup keras. Perasaan tak menentu kontan menjalari hatinya. Dan Rangga sadar ada sesuatu yang tak beres dari wanita tua itu yang lewat dari pancaran matanya. Seketika, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan kekuatan batinnya.
Mendapat perlawanan sengit dari pemuda itu, perempuan tua ini mengakui dalam hati kalau kekuatan batin lawannya sangat luar biasa. Maka dengan cepat, perempuan berpakaian serba merah itu mencabut pedangnya.
Sring!
"Hiaaat...!" Sambil berteriak keras, perempuan tua yang tak lain Nenek Ayuning menerjang ke arah Pendekar Rajawali Sakti .
"Uts!" Namun dengan gerakan cepat, Rangga membuang dirinya ke samping, sehingga serangan itu hanya lewat beberapa jari saja dari perutnya.
Begitu serangannya gagal, Nenek Ayuning segera mengerahkan aji 'Rangsang Jiwa' dalam setiap gerakannya.
Menghadapi ilmu kotor itu, perhatian Pendekar Rajawali Sakti jadi terpecah. Rangga sendiri tak mengerti, mengapa pikirannya mendadak kacau. Sehingga dalam waktu singkat, dia terdesak hebat dan hanya mampu menangkis serta main mundur terus. Tetapi, ujung pedang perempuan tua itu terus mendesaknya.
"Hup!" Terpaksa Rangga bergulingan terus di atas tanah berumput, menghindari setiap kebutan pedang Nenek Ayuning. Baru ketika ada jarak, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara.
Namun pada saat yang bersamaan, Iblis Kembar yang sudah sejak tadi bangkit, langsung menghantamkan gada berduri ke arah kepala Rangga.
"Yeaaat!"
"Aiiit...!" Dengan cepat, Rangga memiringkan kepala. Tetapi tetap saja terlambat, karena....
Brest!
"Aaakh!" Tak urung pundak Pendekar Rajawali Sakti terhajar gada berduri. Walaupun tidak mematikan, tetapi cukup menyakitkan. Begitu mendarat di tanah tubuhnya langsung terhuyung-huyung.
Melihat kesempatan bagus, Layang Seto cepat melepaskan tendangan keras ke punggung Pendekar Rajawali Sakti.
Buk!
Tanpa dapat mengelak lagi, Rangga langsung terdorong ke depan empat langkah terkena tendangan Layang Seto. Dalam keadaan luka seperti itu, Rangga memang tidak dapat berbuat banyak. Apalagi dikeroyok tiga orang berkepandaian tinggi. Untung saja sampai saat ini, Rangga masih mampu bertahan.
Namun lambat laun, pemuda berbaju rompi putih itu mulai jatuh bangun. Setiap saat, jiwa Pendekar Rajawali Sakti dapat terancam. Pada saat yang gawat bagi Rangga....
"Yeaaat!"
Mendadak terdengar teriakan menggelegar, yang diiringi berkelebatnya satu bayangan kuning ke arah Nenek Ayuning. Begitu cepat gerakan itu, sehingga membuat Nenek Ayuning terkesiap. Terutama ketika mendapat serangan selendang kuning milik sosok bayangan kuning itu.
Dengan terpaksa Nenek Ayuning harus melupakan Pendekar Rajawali Sakti dulu, kalau ingin selamat Maka cepat bagai kilat tubuhnya meloncat menjauh, menghindari sabetan-sabetan selendang kuning.
Kemudian dibantu Iblis Kembar yang sudah meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti, Nenek Ayuning menyerang sosok bayangan kuning yang ternyata seorang perempuan tua berpakaian serba kuning.
Namun menghadapi lawan yang sama-sama wanita, Nenek Ayuning jadi mati kutu, karena ajiannya tidak dapat digunakan lagi. Memang, ajian itu hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki .
Ternyata walaupun dibantu Iblis Kembar, Nenek Ayuning tetap saja berada di bawah angin. Tentu saja, ini karena ajiannya tidak berguna lagi. Apalagi, kepandaian perempuan tua berbaju kuning itu sangat tinggi.
Rangga yang sudah menyingkir ke tempat aman, bisa melihat kalau perempuan tua yang menolongnya tidak bisa dianggap remeh. Dari gerakan-gerakan silatnya yang cepat, Pendekar Rajawali Sakti sudah yakin kalau perempuan tua berbaju kuning bisa menjatuhkan lawan-lawannya.
Benar saja dugaan Rangga. Baru saja perempuan tua berbaju kuning itu mengebutkan selendang kuningnya ke arah Nenek Ayuning, mendadak arah kebutannya berbalik ke arah Iblis Kembar secara tak terduga. Sehingga....
Ctar! Ctar!
"Aaakh...! Aaakh...!"
Layang Seto dan Layang Kumrtir kontan terjengkang, tersengat kebutan selendang kuning yang meliuk-liuk bagaikan memiliki mata. Dada mereka kontan memerah, dengan napas tersengal.
Menyadari keadaan ini, Nenek Ayuning cepat bertindak... "Tinggalkan tempat ini!" seru Nenek Ayuning seraya berbalik dan berkelebat dari tempat ini.
Tanpa diperintah dua kali. Iblis Kembar segera bangkit dan berlari menyusul Nenek Ayuning.
Setelah lawan-lawannya menghilang, wanita tua yang menggunakan senjata selendang kuning menghampiri Rangga. "Tampaknya lukamu tidak terlampau parah, Anak Muda!" kata perempuan tua itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nini! Kalau boleh kutahu siapa nama besarmu, Nini?" tanya Rangga, setelah menjura memberi hormat.
"Namaku Sri Murti. Orang menjuluki aku Selendang Mayang! Karena masih ada urusan, aku mohon diri dulu. Kau tentunya Pendekar Rajawali Sakti, bukan? Hm.... Aku tahu dari pedangmu itu!"
Belum sempat Rangga menjawab, nenek berpakaian kuning yang ternyata bernama Sri Murti melesat pergi. Dan Rangga hanya bisa melepas dengan pandangan matanya saja.
********************
EMPAT
Senja bakal berakhir, ketika matahari mulai merambat menuju peraduannya Nyanyian serangga malam mulai bersahut-sahutan, mengisi kehidupan yang fana ini. Namun suara nyanyian alam yang cukup merdu itu mendadak berhenti oleh derak roda sebuah kereta berkuda yang melintasi jalan berbatu yang di kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon besar.
Kereta kuda yang terbuka itu sepertinya mengangkut sebuah peti berukir indah. Mungkin barang di dalamnya cukup berharga, sehingga tidak heran bila kereta kuda itu dikawal oleh sebelas orang berpakaian sebagaimana kaum persilatan.
Melihat gambar seekor kuda terbang pada sisi kereta kuda, bisa diduga kalau orang-orang ini berasal dari Perkumpulan Kuda Terbang, yang menjual jasa dalam pengawalan dan pengiriman barang berharga dari satu tempat, ke tempat lain.
Hampir semua penduduk di utara tanah Jawa dwipa ini tahu, kalau usaha jual jasa itu dipimpin oleh bekas pendekar persilatan cukup kondang. Orangnya bertubuh tinggi tegap, dengan wajah dihiasi kumis panjang. Sepasang tombak pendek selaki bertengger di kedua pinggangnya. Dan sosok itu memang ada di antara rombongan ini. Namanya, Ki Jebed. Begitu melewati jalan berbatu ini, Ki Jebed yang berjalan paling depan mengangkat tangan kanannya. Maka rombongan di belakangnya berhenti.
"Awas! Setelah kita makan siang di Desa Picung tadi, aku tak ingin kalian mengantuk. Kita harus meningkatkan kewaspadaan dan tidak boleh lengah! Firasatku mengatakan ada bahaya yang bakal muncul!" teriak Ki Jebed, ketika sejak di Desa Picung sudah merasakan firasat yang tidak enak. Baru saja kata-kata Ki Jebed habis....
"Ha ha ha...!" Tiba-tiba terdengarlah suara tawa besar yang menggetarkan dada. Bahkan dedaunan kering di pohon jadi berjatuhan ke tanah. Suara itu memang berisi tenaga dalam. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkepandaian tinggi.
"Siapakah, Kisanak...?! Kalau ada keperluan, harap tunjukkan diri!" teriak Ki Jebed seraya mengedarkan pandangan ke segala penjuru.
Sementara itu sepuluh orang anak buah laki-laki berkumis panjang ini sudah cepat menutup kedua telinga dengan kedua tangan, sambil mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh suara tawa. Sedangkan Ki Jebed sendiri memang sudah cukup berpengalaman, sehingga sejak menyuruh anak buahnya, dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya. Ketika belum melihat ada tanda-tanda munculnya seseorang, Ki Jebed semakin meningkatkan kewaspadaannya.
"Keluarlah, Kisanak. Bukankah kita belum pernah berurusan? Hm... Begini saja. Kalau kau ingin sesuatu, kami bersedia memberikannya sebagai tanda jalan. Bagaimana?" ujar Ki Jebed, cepat menangkap maksud sosok yang belum terlihat itu. Nada suaranya pun merendah, seperti ingin mencari damai saja.
"Ha ha ha...! Bagus kalau kau tahu diri! Kalau ingin selamat, harap cepat tinggalkan barang yang kalian bawa! Sedikit saja membantah, kalian akan menyesal!" ancam suara itu.
"Apa pun kau inginkan, harap tunjukkan diri!" tukas Ki Jebed.
Baru saja gema suara Ki Jebed hilang, mendadak berkelebat sesosok bayangan ke arahnya. Cepat dan ringan sekali gerakannya, dan tahu-tahu sosok itu telah berdiri di hadapan Ki Jebed sejauh dua tombak.
Melihat orang yang baru muncul ini, kening Ki Jebed berkerut dalam. Setelah berpikir sesaat, baru disadari kalau orang yang baru muncul ini adalah yang tadi siang berada di kedai di Desa Picung. Pantas saja orang itu selalu memperhatikan. Kiranya dia mempunyai maksud tertentu.
Memang waktu berada di Desa Picung untuk makan siang, Ki Jebed sadar kalau tengah diperhatikan oleh seorang laki-laki berusia sekitar empat puluhan. Orang itu bertelanjang dada. Namun dari atas dada hingga ke betisnya terbungkus sarung bercorak kotak-kotak, mirip dari Pulau Bali. Dan laki-laki bertelanjang dada itu kini sudah berada didepan Ki Jebed. Sikapnya demikian pongah di hadapannya.
"Sekarang aku telah muncul Cepatlah serahkan barang itu, sebelum aku bertindak kasar!" bentak orang bertelanjang dada ini.
"Siapakah nama dan julukanmu, Kisanak?! Aku belum pernah berurusan denganmu. Namaku Ki Jebed, Ketua Perkumpulan Kuda Terbang," kata Ki Jebed, berusaha menahan diri.
"Aku Raka Pitu dari dari tanah Bali Dan kau jangan banyak bicara lagi, cepat tinggalkan tempat ini!" bentak laki-laki dari tanah Bali yang mengaku bernama Raka Pitu.
Sementara itu sepuluh anak buah Ki Jebed sudah siap melindungi peti yang dikawal. Melihat tingkah mereka, Raka Pitu jadi berang. Maka seketika, tangannya bergerak mencengkeram dada Ki Jebed. Namun Ketua Perkumpulan Kuda Terbang itu cepat menangkis dengan tangan kiri.
"Hiaaat!"
Plak!
Bahkan Ki Jebed segera menyusulinya dengan sabetan sisi telapak tangan ke arah leher Raka Pitu. Tetapi dengan menggeser mundur kakinya dua langkah, Raka Fitu berhasil menghindari serangan. Sebentar saja, terjadilah pertarungan sengit.
"Heaaat...!"
Melihat Ki Jebed belum juga dapat menjatuhkan lawannya, tiga orang anak buahnya maju membantu dengan sabetan golok dan pedang.
Dengan cepat, Raka Pitu mengalihkan perhatian pada tiga pengeroyok. Dan sekali tangannya bergerak salah seorang pengeroyok berhasil dirampasnya. Kemudian secepat itu pula, golok yang berhasil, dirampas, dibabarkan ke arah tiga pengeroyoknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
"Yeaaa!"
Bret! Bret!
"Aaa..!"
Tiga teriakan saling susul langsung terdengar begitu golok itu menemui sasaran. Ketiga anak buah Ki Jebed kontan ambruk dengan leher putus terbabat golok yang berhasil dirampas Raka Pitu.
Sementara itu anak buah Ki Jebed yang lain bersiap hendak menyerang kembali. Sedangkan Ki Jebed sudah mencabut sepasang tombak pendeknya.
"Bajingan busuk! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus Ki Jebed.
"Segala pendekar kampungan mau jual lagak di depanku. Majulah! Biar kubeset kulitmu!" balas Raka Pitu.
"Heaaat..!"
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Jebed langsung meluruk sambil membabatkan sepasang tombak pendeknya secara bersilangan. Pada saat yang sama, Raka Pitu sudah menyilangkan kedua tangannya. Wajahnya tampak berkerut-kerut. Sedangkan kedua tangannya sudah mengepulkan asap tipis berwarna kehitaman. Tulang-tulangnya berkerotokan hebat.
Ki Jebed yang sudah telanjur menyerang, menjadi terkejut. Maka setengah mari segera dia menambah tenaga dalamnya pada kedua tangannya.
Begitu serangan Ki Jebed tiba, tanpa diduga Raka Pitu melenting ke udara. Sehingga serangan itu luput, membuat Ki Jebed terpuruk ke depan. Belum juga Ki Jebed berbalik, dari udara Raka Pitu meluruk dengan kedua telapak tangan mengarah ke pundak Ki Jebed. Dan...
Des! Des!
"Aaakh...!" Disertai jerit kesakitan, tubuh Ki Jebed terhuyung-huyung ke depan. |Tampak pakaiannya hangus terbakar. Dan pada kulit pundak, tertera gambar telapak tangan berwarna hitam. Sambil meringis menahan sakit, Ki Jebed berbalik lalu mundur dua langkah ke belakang.
"Ha ha ha...! Kau telah terkena pukulan 'Leak Hitam'! Usiamu kini tinggal beberapa hari lagi saja!" ejek Raka Pitu, begitu mendarat di tanah.
"Kau memiliki pukulan 'Leak Hitam'?! Kalau begitu, Leak Hitam yang terkenal itu...?!" tanya Ki Jebed, dengan suara menggantung di tenggorokan.
"Bagus kalau kau sudah tahu. Sekarang, serahkanlah barang yang kau kawal itu padaku!" sahut Raka Pitu yang ternyata berjuluk si Leak Hitam.
Pada saat itu seorang anak buah Ki Jebed, membokong dengan pedang ke arah punggung Raka Pitu.
"Haiiit!" Tetapi hanya sekali melangkah ke samping, serangan itu lewat begitu saja. Lalu dengan gerakan indah, Raka Pitu alias si Leak Hitam menangkap tangan si pembokong yang membawa pedang.
Tap!
Begitu tangan itu tertangkap, tangan kanan si Leak Hitam cepat menghantam punggung.
Des!
"Aaa...!"
Tidak ampun lagi, orang itu jatuh mencium tanah disertai muntahan darah segar berwarna kehitaman. Sedangkan pada punggungnya tertera gambar telapak tangan berwarna hitam legam. Seketika tercium bau hangus seperti daging terbakar.
Melihat salah seorang mati secara mengenaskan, nyali para anak buah Ki Jebed langsung ciut Mereka tidak berani berbuat apa-apa lagi. Bahkan ketika Raka Pitu menghampiri peti di atas kereta kuda, mereka, tidak mengadakan perlawanan.
Namun tidak buat Ki Jebed. Dengan memaksakan diri, dia meluruk ke arah Leak Hitam dari belakang dengan hujaman sepasang tombak pendeknya.
Sebagai tokoh berkepandaian tinggi, si Leak Hitam langsung merasakan desir serangan sebelum serangan itu sendiri datang. Maka bagaikan kilat kakinya cepat melepaskan tendangan berputar ke belakang yang tak terduga ke arah kepala Ki Jebed.
Prak!
"Aaakh...!" Disertai teriakan tertahan Ki Jebed terpelanting tiga langkah ke samping. Darah kental langsung mengucur dari kepalanya yang retak.
Sebentar Raka Pitu memandangi mayat Ki Jebed, lalu melangkah kembali ke arah peti. Dengan gerakan indah, si Leak Hitam meloncat ke atas kereta kuda. Sebentar dipandanginya peti berukir indah itu. Lalu...
"Hlh!"
Brak...!
Sekali hantam tutup peti berukir indah itu hancur berantakan. Namun...
"Heh?!" Betapa terkejutnya si Leak Hitam ketika melihat isi peti itu ternyata mayat seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Mayat itu dalam keadaan terpotong dua. Sedangkan kaki dan tangan mayat patah-patah, seperti sengaja dipatahkan!
"Bangsat! Siapakah yang mengirimkan mayat ini?!" bentak si Leak Hitam, begitu turun dari kereta kuda.
"Kami tidak tahu kalau peti itu berisi mayat. Pengirimnya mengaku seorang hartawan dari Desa Pulungan. Dia memberi upah cukup besar pada ketua kami untuk mengirimkan peti ini kepada temannya di Desa Gambir, yang bernama Linggar."
"Bagaimana bentuk dan rupa hartawan muda itu...?!" desak Raka Pitu.
"Dia seorang pemuda tampan berkumis tipis. Namanya Anjasmara. Dan dia selalu berpakaian serba biru," jelas anak buah Ki Jebed itu.
"Di manakah letak Desa Gambir...?!" tanya si Leak Hitam kembali.
"Desa Gambir tidak jauh dari Desa Picung. Berarti, sudah tidak jauh dari tempat ini. Di sanalah letaknya!"
"Kalian antarkan kiriman itu ke sana. Ganti saja tutupnya yang rusak itu!" ujar Raka Pitu. Selesai berkata, si Leak Hitam langsung berkelebat pergi dari tempat ini.
********************
Mendapat kiriman peti berukir indah sebesar itu, laki-laki bernama Linggar merasa heran. Karena, dia tidak merasa kenal dengan si pengirim yang mengaku bernama Anjasmara. Setelah peti itu dibuka, Linggar terkejut bercampur marah besar. Karena, mayat yang terpotong dua itu adalah mayat adik kandungnya sendiri! .
Karena tidak tahan menahan marah, Linggar menjadi lupa diri. Dengan beberapa kali hantaman saja, kelima sisa anak buah Ki Jebed berpelantingan dengan jiwa melayang!
Dengan matinya lima orang anak buah Ki Jebed, maka tamatlah riwayat Perkumpulan Kuda Terbang yang menjual jasa pengawalan barang.
"Keparat! Siapakah orang yang bernama Anjasmara itu?! Dia telah membangkitkan penyakit lamaku! Besok akan kucari dia di Desa Pulungan. Akan kuhirup darah jahanam itu!" maki Linggar.
"Siapa Anjasmara itu, Kakang? Mengapa dia berbuat begitu pada kita...?!" tanya seorang wanita cantik di sebelah Linggar.
Saat ini mereka berada di beranda rumah besar yang didiami Linggar. Memang selain bekas tokoh persilatan, Linggar terkenal sebagai orang paling kaya di Desa Gambir. Karena kekayaan dan kesaktiannya, tak seorang penduduk pun yang berani buka suara ketika Linggar membunuh lima orang anak buah Ki Jebed, kemarin.
"Entahlah... Mungkin orang yang mempunyai dendam pada kita. Kaupun tahu, dulu aku juga orang persilatan! Jadi tidak tertutup kemungkinan, kalau masih ada yang menaruh dendam pada kita!" tukas Linggar pada wanita cantik yang ternyata istrinya.
"Kau harus berhari-hari, Kakang. Dia pasti memiliki kepandaian tinggi! Kalau tidak, tak mungkin dia berani berbuat nekat seperti itu!" ujar wanita cantik itu memperingatkan.
Belum sempat Linggar menyahuti kembali, mendadak....
"Aaa...!"
"Heh?" Suami istri itu saling berpandangan sejenak, lalu bersama-sama terkejut ketika menyadari suara jeritan berasal dari kamar putri mereka. Dengan sigap, Linggar berkelebat ke arah kamar putrinya. Namun begitu sampai di depan kamar, ternyata pintunya terkunci.
"Hm..., bila terjadi sesuatu pada anak gadisku, akan kutebas batang lehermu!" teriak Linggar.
"Ha ha ha...! Dahulu, kakak wanitaku yang tidak tahu apa-apa telah kau perlakukan tidak sewajarnya! Ayah dan ibuku, habis kau bunuh. Dan kini aku datang menuntut balas. Kau masih ingat dengan Ki Kuda Amoksa...?! Akulah anaknya yang bernama Anjasmara!" sahut orang yang di dalam kamar.
Bersamaan dengan hilangnya suara itu, pintu kamar terbuka. Dan ketika Linggar akan masuk, mendadak satu sosok tubuh menerjang keluar. Maka secepat kilat, dipukulnya sosok itu.
Prak!
Tak ampun lagi, sosok tubuh yang memang baru saja mati itu terpental sampai membentur dinding. Kepalanya pecah dengan cairan meleleh keluar dari luka di kepalanya.
Linggar cepat bergerak menegasi sosok tubuh itu. "Nirmala!" teriak Linggar.
Betapa terkejutnya laki-laki itu, karena sosok tubuh yang baru saja dipukulnya adalah anak gadisnya sendiri. Mendapat kenyataan seperti itu, betapa terpukulnya hati Linggar. Demikian pula istrinya yang sudah berada di tempat ini. Wanita setengah baya itu kontan menjerit sambil memeluk putrinya. Ketika Linggar mengalihkan perhatian, tampak seorang pemuda tampan berkumis tipis sudah berada di depannya.
"Hatimu bagai binatang, Anak Muda!" dengus Linggar geram bukan main.
"Ha ha ha...! Kurasa, kaulah manusia yang terkejam di dunia ini!" ejek Anjasmara.
"Bangsat kau, Bocah! Kuhirup darahmu sekarang juga! Heaaat...!" Disertai teriakan membelah langit, Linggar langsung mencabut pedangnya dan langsung menyerang.
Namun, pemuda bernama Anjasmara tidak kalah gesit. Begitu kapaknya tercabut, langsung dipapaknya serangan itu.
Trang! Trang!
Berkali-kali kedua senjata mereka bertemu. Tetapi untuk beberapa saat, keduanya masih tetap berimbang. Sebentar saja pertarungan sengit berlangsung.
"Sheaaat!"
Tiba-tiba, Anjasmara mengubah gerakannya. Kapaknya tampak bergerak lambat bagaikan tidak bertenaga. Bahkan lebih tepat kalau dikatakan sedang menari. Tetapi dari gerakan yang lambat, keluar angin keras yang menahan gerak serangan pedang Linggar.
Tentu saja Linggar tidak mau ditekan begitu saja. Dia berusaha keluar dari kurungan ini. Maka segera dikerahkannya tenaga dalam yang dimiliki sampai batas kemampuan .
Pada saat itu, tiba-tiba Anjasmara melepaskan tekanannya. Kemudian kapak bermata duanya dimainkan secara cepat luar biasa. Tentu saja Linggar jadi kelabakan. Baru saja tenaga dalamnya dikerahkan, tahu-tahu tenaganya amblas karena pemuda itu tidak menekannya lagi Akibatnya, tubuhnya jadi terhuyung-huyung.
Kesempatan itu digunakan Anjasmara sebaik-baiknya. Cepat kapak bermata duanya berkelebat ke kepala Linggar. Dan...
Cras! Cras!
"Aaakh!"
"Kakang...!" Istri Linggar langsung menjerit menyayat melihat suaminya ambruk dengan leher buntung. Langsung ditubruknya mayat bersimbah darah ini disertai tangis yang meraung-raung.
Sementara setelah mendengus sinis, Anjasmara berkelebat meninggalkan tempat ini.
LIMA
Anjasmara terus berlari dengan kecepatan sulit diikuti pandangan mata biasa. Namun kecepatan itu masih terlihat biasa-biasa saja di depan orang yang baru saja dilewati.
"Berhenti!"
Anjasmara seketika menghentikan larinya, begitu terdengar bentakan nyaring menggelegar. Begitu pemuda ini berbalik, di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah baya bertelanjang dada. Dari dada ke bawah, dia hanya mengenakan sarung bercorak kotak-kotak. Siapa lagi orang ini kalau bukan Raka Pitu yang berjuluk si Leak Hitam.
"Siapa kau, Kisanak..?" tanya Anjasmara, menatapi orang di depannya tajam-tajam.
"Aku Raka Pitu yang berjuluk si Leak Hitam. Dan kau pasti Anjasmara, bukan;..?!"
"Leak Hitam! Aku pernah mendengar julukan itu. Lantas, apa maksudmu menghadang jalanku...?!" tanya Anjasmara dengan suara keras.
"Aku hanya ingin tahu, siapa orang sombong yang telah begitu berani mengirimkan mayat dalam peti, sampai aku sendiri sempat terkecoh?!" bentak Raka Pitu.
"Oh, soal itu! Apa hubungaanmu dengan Linggar...?" tanya Anjasmara.
"Tidak ada hubungan apa-apa. Aku hanya ingin tahu, apakah kepandaian yang kau miliki seimbang dengan kesombonganmu?!"
"Bangsat! Apa maumu sebenarnya, Leak Hitam?!"
"Menjajalmu. Itu saja. Kau telah mengecewakanku dengan peti yang kusangka barang berharga. Dan sebagai gantinya, nyawamulah yang pantas!"
"Baik kalau memang begitu. Terimalah ini! Heaaa!" Sambil berteriak memberi peringatan, Anjasmara melepaskan satu pukulan berisi tenaga dalam penuh ke dada Raka Pitu...
Namun dengan gerakan mantap, si Leak Hitam cepat memapak dengan tangannya pula.
Plak!
Baru saja terjadi benturan, Raka Pitu balas menyerang, melepaskan satu tendangan kearah selangkangan Anjasmara.
"Hih!"
Dug!
Dengan menaikkan lututnya, Anjasmara berhasil membendung serangan dahsyat Raka Pitu. Bahkan dengan gerakan memutar, kakinya menyapu ke arah lutut si Leak Hitam.
Mendapat serangan tak terduga, Raka Pitu cepat menjatuhkan diri dan bergulingan. Setelah ada jarak dia melenting berdiri dan bersiap hendak balas menyerang.
"Hup!"
Begitu berdiri si Leak Hitam segera menggosok-gosokkan kedua tangannya. Perlahan-lahan, telapak tangannya berubah warna menjadi kehitaman mengeluarkan asap tips. Kemudian bagaikan anak panah, tubuhnya meluncur ke arah Anjasmara.
Dengan terkejut, Anjasmara bergerak cepat. Tubuhnya segera dilempar ke samping. Maka selamatlah dia dari pukulan 'Leak Hitam' yang dahsyat.
Sementara sebuah batu besar yang tepat berada di belakang pemuda itu, langsung retak-retak dengan gambar telapak tangan berwarna hitam yang masih mengepulkan asap hitam. Jelas itu sebuah pukulan beracun yang ganas dan mematikan!
Melihat hal ini wajah Anjasmara sedikit pucat. Sungguh tidak disangka kalau si Leak Hitam memiliki pukulan beracun seperti itu. Maka kini dengan cepat pemuda itu mempersiapkan ajian yang menjadi andalannya 'Gelap Ngampar'. Seketika terdengar bunyi tulang yang berkeretekan.
Raka Pitu yang sudah berbalik jadi bergerak mundur dua langkah sambil mempersiapkan diri.
"Ciat!"
"Yeaaa!"
Setelah saling berpandang sejenak, keduanya sama-sama menerjang dengan tenaga penuh.
Blar...!
Seketika terdengar suara ledakan keras, ketika dua pukulan bertemu. Akibatnya keduanya sama-sama mundur tiga langkah ke belakang.
Mendapat kesempatan itu, Raka Pitu tak menyia-nyiakannya. Terutama setelah menyadari kalau orang bernama Anjasmara sulit untuk ditundukkan. Maka begitu tubuhnya terjajar mundur, dia berbalik dan langsung melesat pergi.
Anjasmara sendiri tidak mengejarnya. Karena sebenarnya dia sendiri yakin, belum tentu dapat mengalahkan si Leak Hitam jika bertarung terus-menerus.
********************
Sepak terjang si Leak Hitam kini makin mewarnai dunia persilatan yang penuh bergelimang darah. Sayangnya sepak terjang tokoh itu berada di jalan sesat, yang sering membuat keresahan di mana-mana. Sehingga dalam waktu singkat saja, si Leak Hitam jadi pembicaraan di mana-mana.
Banyak harta para penduduk yang ludes dirampok tokoh sesat itu. Bahkan banyak pula para perampok yang hartanya dirampas si Leak Hitam. Sehingga, tokoh sesat itu dibenci oleh kalangan hitam maupun putih.
Seperti hari ini, si Leak Hitam sudah mendapat korban, seorang saudagar kaya yang baru saja pulang berdagang di kotapraja. Semua pengawalnya sudah binasa di tangan si Leak Hitam. Sedangkan saudagar itu sendiri sudah terpojok dalam ketidak berdayaan .
"Ampunilah aku, Kisanak! Kau boleh mengambil semua barang yang kubawa. Tetapi, ampunilah jiwaku! Aku mempunyai banyak anak. Bahkan ada yang masih kecil-kecil!" ratap saudagar bertubuh gemuk dengan tubuh gemetar.
"Kalau begitu, berikanlah buntalan kecil yang ada di pinggangmu! Bila banyak cerewet, akan kubunuh kau!" ancam Raka Pitu sambil mengacungkan senjata rampasan yang penuh bernoda darah itu.
Dengan tangan gemetar, saudagar gemuk itu memberikan bungkusan dengan tangan kanannya. Tetapi dengan gerakan kilat, golok di tangan si Leak Hitam berkelebat. Dan...
Cras!
"Wuaaa!"
Dengan sekali sabet, tangan kanan saudagar gemuk itu putus sebatas siku. Darah segar langsung menyembur dari bekas lukanya itu. Saudagar itu menjerit menyayat dengan mata terpejam, tak kuasa memandang tangannya yang buntung. Sedangkan bungkusan itu sebelum jatuh ke tanah, berhasil ditangkap si Leak Hitam.
"Ha ha ha...! Percuma saja kau kubiarkan hidup. Lebih baik kau berangkat saja ke neraka!" kata Raka Pitu, dingin.
Si Leak Hitam sudah mengangkat golok, hendak menghabisi saudagar bertubuh gemuk itu. Tetapi, sebelum maksudnya terlaksana....
Tak!
Mendadak saja golok di tangan si Leak Hitam terlempar ketika sebuah benda sebesar kelereng membenturnya. Bahkan tangannya terasa kesemutan.
Dengan cepat si Leak Hitam menoleh. Maka tampak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggungnya. Ya, dia memang Pendekar Rajawali Sakti. Dia pulalah yang melemparkan batu kerikil tadi ke arah golok di tangan Raka Pitu. Sehingga nyawa saudagar itu terselamatkan.
"Siapakah kau...?! Jangan campuri urusanku, kalau ingin melihat matahari besok pagi!" dengus si Leak Hitam dengan mata menyorot tajam.
"Dari pakaian yang kau kenakan, bisa kuterka kalau kau Raka Pitu yang berjuluk Leak Hitam!" tebak pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti. "Dan aku tidak bisa membiarkan si Leak Hitam berkeliaran menyebar maut di mana-mana. Hm.... Namamu sudah cukup kotor untuk hidup di dunia ini."
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak?! Apakah kau benar-benar sudah bosan hidup?! Pergilah sebelum kesabaranku habis!"
"Aku hanya orang biasa. Namaku Rangga! Dan aku tak bisa pergi begitu saja, sebelum yakin bahwa kau akan menghentikan sepak terjangmu!"
"Keparat! Rupanya kau sudah tak bisa dikasih hati! Heaaat...!"
Begitu kata-kata si Leak Hitam selesai, dengan gerakan kilat telapak tangannya meluncur ke arah dada Rangga. Dahsyat bukan main serangan itu, membuat Rangga jadi kelabakan menghindarinya.
"Hup!" Setelah melompat kebelakang beberapa tombak Pendekar Rajawali Sakti langsung mempersiapkan diri mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Si Leak Hitam kembali melancarkan serangan dahsyat bertubi-tubi. Namun hanya dengan meliuk-liukkan tubuhnya bagai orang mabuk, semua serangan itu berhasil dihindari Rangga. Tak satu pukulan pun mendarat di tubuh pemuda itu.
ENAM
Melihat serangannya selalu gagal, membuat Raka Pitu meningkatkan serangannya. Jurus-jurus andalan tingkat tinggi langsung dikeluarkan.
Sebentar Rangga merasa kewalahan, kemudian sudah bisa membaca setiap gerakan lawannya. Maka cepat dikerahkannya jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang cukup diandalkannya.
Pada satu kesempatan si Leak Hitam mencoba membuka pertahanan dengan melumpuhkan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti lewat tamparan telapak tangan yang mengandung racun ganas.
"Heaaat...!"
Cepat sekali telapak tangan si Leak Hitam bergerak ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja menghindari serangan dengan memiringkan tubuh ke kiri. Akibatnya....
Plak!
Tepat sekali telapak tangan yang berisi racun itu mendarat di tangan Rangga. Namun sungguh di luar dugaan, ternyata Pendekar Rajawali Sakti tak mengalami pengaruh apa-apa dengan racun yang dilepaskan Raka Pitu. Dan sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti memang kebal racun jenis apa pun, setelah makan sejenis jamur di Lembah Bangkai.
Belum hilang keterkejutan si Leak Hitam, mendadak Pendekar Rajawali Sakti melancarkan serangan dahsyat. Tubuh pemuda itu sudah meluruk, sambil menghantamkan tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi.
"Heaaa...!"
Karena untuk menghindar sudah tak mungkin, si Leak Hitam berusaha memapak dengan kedua telapak tangannya yang juga berisi tenaga dalam tinggi.
Bletar!
"Aaakh...!"
Dua pukulan yang berisi tenaga dalam kuat berada Akibatnya debu dan pasir jadi beterbangan Rangga masih berdiri di tempatnya. Sedangkan Raka Pitu terdorong mundur sampai jatuh duduk disertai keluhan kesakitan.
"Bagus! Ku akui, tenaga dalammu memang hebat. Sekarang cabutlah senjatamu, Kisanak! Mari sekarang kita bermain senjata!" ujar si Leak Hitam sambil mencabut kerisnya yang berwarna hitam legam di balik pinggangnya.
"Belum waktunya bagiku untuk mencabut pedang. Aku masih mampu menghadapimu dengan tangan kosong," sahut Rangga, dingin.
"Persetan dengan ocehanmu! Heaaat..!"
Disertai teriakan menggelegar, si Leak Hitam memutar-mutar kerisnya di atas kepala. Seketika dari keris berkeluk tujuh itu keluar asap hitam bergulung-gulung. Sebentar saja, seluruh tubuh Raka Pitu telah terselubungi asap hitam. Inilah ilmu 'Leak Hitam' milik tokoh sesat itu.
Begitu asap telah benar-benar pekat, si Leak Hitam meluruk menyerang, bersama gulungan asapnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Secara tiba-tiba dari gulungan asap itu menyeruak sebuah pukulan dahsyat. Apalagi, walaupun tahan racun, tetap saja asap hitam itu mengganggu jalan napas Pendekar Rajawali Sakti.
Maka dalam beberapa jurus kemudian, Rangga sudah terdesak hebat. Ketika baru saja mengelakkan serangan keris, tahu-tahu tangan kiri Raka Pitu berhasil menggedor punggungnya.
Des!
"Aaakh...!"
Tidak dapat ditahan lagi, tubuh Rangga jatuh mencium tanah. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat bangkit, setelah membuat jarak dengan bergulingan. Menyadari kalau senjata si Leak Hitam amat berbahaya, cepat tangan Rangga bergerak ke punggung. Dan...
Cring! Saat itu juga Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar kebiruan keluar dari sarangnya.
Si Leak Hitam yang melihat perbawa pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti jadi bergidik. Namun perasaan itu dihilangkannya. Bahkan tubuhnya kembali meluruk, membabatkan kerisnya.
Begitu melihat si Leak Hitam menyerang, Rangga segera memainkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'! Sambil mengebutkan pedangnya.
"Heh? Kenapa aku ini? Kenapa pikiranku mendadak kacau? Bangsat! Ini pasti karena pedang itu."
Raka Pitu mengumpat dalam hati ketika tiba-tiba pikirannya terpecah. Bahkan mendadak semangat bertarungnya lenyap. Lebih gila lagi, jiwanya seperti tercacah-cacah setiap melihat kebutan pedang di tangan pemuda itu. Mendapati perasaan demikian si Leak Hitam mencoba membangkitkan semangatnya.
"Heaaat...!" Disertai teriakan keras membahana, tubuh Raka Pitu yang terselimut asap hitam meluruk dengan keris berkelebat mengincar keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiaaa...!" Pada saat yang sama Rangga juga meluruk, berusaha menahan laju serangan Raka Pitu. Dan...
Tras!
"Heh?" Betapa terkejut si Leak Hitam melihat senjata pusakanya terpenggal menjadi dua bagian, terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Dan belum habis keterkejutannya, Pedang Pusaka Rajawali Sakti sudah kembali berkelebat, mengincar dada tokoh sesat itu. Demikian cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga....
Crap!
"Aaa...!" Tepat sekali pedang Pendekar Rajawali Sakti menghujam dada si Leak Hitam hingga menyodok jantung dan menembus punggung. Tokoh sesat yang selama ini membuat resah itu hanya melotot, tanpa mampu berbuat apa-apa.
"Hih!"
Brak!
Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedangnya, tubuh si Leak Hitam ambruk di tanah dengan darah mengucur deras dari dada.
********************
Anjasmara sejak kematian keluarganya yang dibunuh Linggar, seorang tokoh sesat berkepandaian tinggi, menjadi sangat membenci tokoh-tokoh hitam. Dan menurut kabar, pembunuhan yang dilakukan Linggar, dibantu oleh dua tokoh sesat yang berwajah kembar. Kedua tokoh sesat itu selalu berpakaian dari kulit macan, dengan senjata gada berduri yang dikenal berjuluk Iblis Kembar.
Kini dengan berbekal keterangan dari orang-orang yang pernah melihat, Anjasmara berupaya mencari Iblis Kembar. Dan entah kebetulan atau bagaimana, ketika melintasi sebuah pinggiran hutan, pemuda itu melihat dua orang berpakaian kulit macan.
"Kisanak berdua, kuharap berhenti!" teriak Anjasmara.
Seketika kedua orang berpakaian kulit macan menghentikan langkahnya, lalu berbalik.
Melihat kedua orang itu berhenti, Anjasmara segera melangkah menghampiri. "Hei... Apakah kisanak berdua yang berjuluk Iblis Kembar?" tanya Anjasmara, seraya memandang tajam-tajam pada kedua orang yang memang berwajah kembar.
"Kalau ya, kau mau apa?!" bentak salah satu dari dua orang kembar yang memang Iblis Kembar.
"Kalau begitu, pencarianku tidak sia-sia. Aku mencari kalian, hendak menagih hutang nyawa keluargaku yang kau bantai bersama Linggar!"
"Banyak manusia yang sudah kubantai. Jadi tolong sebutkan siapa yang kau maksudkan?" ujar Layang Seto, jumawa.
"Kau tentu masih ingat dengan Kudamoksa? Dia dan keluarganyalah yang kau bantai. Dan aku anak satu-satunya yang masih hidup, karena saat itu tengah berpergian jauh," jelas Anjasmara.
"Hm.... Ya, ya. Aku ingat. Kalau begitu, silakan menagih hutang di neraka!" timpal Layang Kumitir, tak mau kalah.
"Jahanam! Kalian memang iblis-iblis dari neraka! Heaaat...!" Diiringi suara keras menggelegar, Anjasmara melancarkan serangan dengan kapak bermata duanya, sekaligus hendak membabat Iblis Kembar.
"Uts!" Dengan gerakan mengagumkan Iblis Kembar cepat mengelak sambil menepis tangan yang memegang kapak bermata dua. Namun dengan cepat Anjasmara cepat menarik pula tangannya.
Sementara Layang Kumitir sudah melepaskan tendangan ke arah pinggang Anjasmara. Namun dengan sigap Anjasmara menyabetkan sisi telapak tangannya pada tulang kering Layang Kumitir.
Dig!
Sambil meringis kesakitan, Layang Kumitir melompat mundur. Jelas, kalau tenaga dalam pemuda itu cukup tinggi. Melihat lawannya memiliki tenaga dalam kuat, Layang Seto segera menerjang dengan kekuatan penuh lewat gada berdurinya.
"Chiaaat..!"
Tak ada waktu lagi bagi Anjasmara untuk menghindar. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan selembar nyawanya, dia harus memapak dengan kapak bermata duanya. Dan....
Trang!
"Uhhh...!" Kali ini Layang Seto terjajar mundur setelah senjatanya terhantam kapak bermata dua. Tangannya langsung terasa nyeri. Bahkan senjatanya hampir terlepas dari pegangan. Dan baru saja Anjasmara hendak melanjutkan serangan .
"Hi hi hi...!" Mendadak terdengar sebuah suara tawa, yang disusul berkelebatnya satu sosok berpakaian serba merah. Begitu cepat kelebatannya, sehingga tahu-tahu di depan Anjasmara telah berdiri seorang gadis cantik berpakaian serba merah.
"Siapa kau, Nisanak? Apa keperluanmu datang ke tempat ini?" tanya Anjasmara dingin.
"Aku, Kumala. Aku datang ke tempat ini, karena ini memang wilayahku...," sahut gadis cantik itu, enteng.
Kemudian gadis yang bernama Kumala itu memandang ke arah Iblis Kembar. "Bagaimana Layang Seto? Juga kau, Layang Kumitir? Apakah kalian sudah mendapat persembahan buatku? Hi hi hi...!"
Mendengar pembicaraan ini, Anjasmara kontan terkesiap. Saat itu juga, jantungnya berdetak lebih kencang lagi. Bisa ditebak, apa yang dimaksud gadis bemama Kumala yang sebenarnya Nenek Ayuning.
"Jika kau berkenan, pemuda ini-bisa jadi milikmu, Nek," sahut Layang Kumitir, seraya memandang ke arah Anjasmara.
"Hm. Boleh juga," desah Kumala, alias Nenek Ayuning.
Tanpa ada yang menyadari, saat itu juga Nenek Ayuning mengerahkan aji 'Rangsang Jiwa' yang ditujukan pada Anjasmara. Ini dilakukan karena selain Anjasmara cukup tampan, juga karena pemuda ini berkepandaian tinggi.
Rasanya mustahil bagi gadis yang sebenarnya perempuan tua itu untuk dapat menaklukkan dengan jurus-jurus silat. Apalagi, begitu melihat wajah Anjasmara, nafsu iblis wanita ini langsung berkobar-kobar. Tidak terkecuali pemuda yang bernama Anjasmara, matanya sampai tidak berkedip mengawasi wanita itu.
Begitu memandang wanita itu, darah Anjasmara langsung' berdesir. Aliran darahnya seperti terbalik. Wajah wanita itu begitu cantik tanpa cacat sedikit pun. Dan secara aneh, bagaikan tertarik kekuatan yang tidak terlihat, Anjasmara terus berjalan menghampiri wanita cantik itu.
Sambil berjalan, Anjasmara berusaha melawan pengaruh gaib ini dengan mengerahkan kekuatan batinnya. Bagaikan tersadar dari mimpi, pemuda itu berusaha menahan diri dari tarikan gaib itu. Tetapi dari sisi lain, ada kekuatan yang memaksanya untuk maju. Maka terjadilah perang batin yang sengit. Keringat dingin sudah mengucur dari tubuh Anjasmara.
Ketika hampir berhasil mengatasi kekuatan gaib yang mengikatnya, wanita cantik itu tampak meliuk-liukkan tubuhnya dengan gerakan merangsang. Menghadapi gerakan ini tampak Anjasmara sangat tersiksa. Pikirannya bercabang dua dan sulit dikendalikan.
"Heaaat!"
Mendadak saja sekuat tenaga, Anjasmara berteriak seraya membabatkan kapak bermata dua yang telah tergenggam di tangan. Namun dengan tetap merapalkan ajian itu, Kumala berusaha meningkatkan kekuatan gaib yang terkandung dalam ajiannya. Bahkan semakin menggila dengan memperlihatkan bagian yang terlarang. Sehingga pikiran Anjasmara jadi buyar dan pecah. Dan tiba-tiba, Anjasmara menghentikan serangannya dengan pikiran kosong. Dirinya tidak dapat dikuasainya lagi. Dia diam saja dibunuh sekalipun.
Mendapat kesempatan itu, Kumala mendekatinya. Lalu segera dijejalinya obat pelupa pada Anjasmara. Saat itu juga pemuda itu hanya bisa menurut pada kemauan dan apa yang diperintahkannya saja.
TUJUH
Saat ini, Kumala alias Nenek Ayuning memang berusaha menyusun kekuatan untuk menguasai rimba persilatan, dengan mengumpulkan orang-orang berkepandaian tinggi yang berhasil dipengaruhi lewat aji 'Rangsang Jiwa'.
Di samping itu Nenek Ayuning juga menginginkan pemuda-pemuda untuk dijadikan pemuas nafsu iblisnya. Setelah puas, pemuda-pemuda itu biasanya dibunuh. Namun jika ada pemuda yang mempunyai ilmu olah kanuragan wanita iblis itu tidak membunuhnya, melainkan akan dijadikan pengawalnya. Seperti apa yang terjadi terhadap Anjasmara.
Seperti biasanya, saat ini Iblis Kembar ditugaskan Nenek Ayuning untuk mencari pemuda-pemuda desa. Dengan langkah mantap, kedua orang itu memasuki mulut Desa Picung. Sebentar mereka menghentikan langkah, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Setelah berpandangan sejenak, mereka melanjutkan langkah. Namun baru beberapa tindak memasuki mulut desa itu....
"Mau ke mana kalian, Iblis Keparat..?! Kali ini, jangan harap dapat meloloskan diri lagi!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, membuat Iblis Kembar tersentak kaget Begitu mereka berbalik, tampak tiga orang berusia cukup tua telah berdiri mantap di depan. Yang seorang membawa alat pancing. Sedang dua lainnya masing-masing membawa cangkul dan gergaji panjang Ya, mereka Ki Langser yang berjuluk si Tukang Pancing, Ki Jembawan yang berjuluk si Petani, dan Ki Katem-bong yang berjuluk si Tukang Tebang Pohon.
"Keparat! Kiranya kau lagi, Ki Lengser! Walaupun kali ini kau membawa dua temanmu, jangan harap kami takut!" hardik Layang Seto.
"Hm.... Kalian sudah besar kepala rupanya, setelah jadi begundal si Ayuning. Baiklah. Terimalah ini, tikus-tikus busuk. Hiaaat..!"
Tiga orang tua itu agaknya tidak mau banyak mulut lagi. Dengan teriakan menggeledek, Ki Lengser menerjang. Serangannya itu diikuti si Jembawan yang bersenjatakan cangkul. Sedangkan saat ini, Ki Katembong alias si Tukang Tebang Pohon belum bertindak apa-apa.
Sementara itu Iblis Kembar kelihatannya tidak mau kalah gertak. Bahkan Layang Kumitir sudah membabatkan senjata gada berduri, untuk menahan laju serangan Ki Jembawan.
Trang! Trang!
Terjadi benturan keras ketika senjata masing-masing bertema Kedua orang itu tergetar mundur, namun segera mempersiapkan serangan berikut.
Sementara itu senjata alat pancing Ki Lengser telah meluncurkan tali pancingnya yang berujung kail besar tajam luar biasa. Layang Seto berusaha berkelit dengan melompat ke sana kemari. Namun tali pancing itu seperti bermata. Sehingga....
Crap!
"Aaakh...!" Kali ini ujung mata kail Ki Lengser tepat menancap di telinga Layang Seto, menimbulkan rasa sakit bukan main. Apalagi, ketika Ki Lengser menarik kailnya, membuat telinga itu robek.
"Bangsat!" Setelah berteriak keras, Layang Seto menerjang Ki Lengser dengan senjata gada berdurinya. Namun sebelum serangannya mendekat, dari samping melesat sesosok tubuh yang langsung menyelak memapak dengan senjata gergaji. Ya, dia adalah Ki Katembong.
Trang!
Kedua senjata mereka berkali-kali bertema Dan setiap kali itu pula keduanya terdorong mundur. Saat itu pula pertarungan sengit terjadi.
"Katembong! Jangan biarkan mereka lolos lagi! Kekejaman mereka berdua melebihi iblis!" teriak Ki Lengser.
Sementara itu sambil melompat ke atas, Layang Kumitir menghantam gada ke arah kepala si Petani.
Terpaksa Ki Jembawan menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah, guna menghindari serangan. Tetapi, senjata gada berduri itu terus memburunya. Si Tukang Pancing melihat Ki Jembawan dalam bahaya, segera melecutkan tali pancingnya kearah tenggorokan Layang Kumitir.
"Hiaaa...!"
"Uts!" Terpaksa Layang Kumitir mengelakkan serangan dengan melenting ke samping kiri dan kanan. Namun memang itu yang diinginkan Ki Lengser. Sekali sentak, tali pancing yang lentur mencari sasaran.
Wut...!
Crap!
"Aaakh...!" Sungguh di luar dugaan, mata kail itu terus mengejar dan mendapatkan sasaran di bibir Layang Kumitir.
Layang Kumitir ingin berteriak tetapi tidak bisa. Karena baik bibir atas maupun bawah terkait mata pancing. Dan ketika tali pancing itu ditarik, terpaksa dia ikut meloncat agar bibirnya tidak sampai sobek.
Tentu saja laki-laki itu kini jadi permaian Ki Lengser. Ketika si Tukang Pancing mengebutkan senjatanya ke sana kemari, tubuh Layang Kumitir terpaksa mengikutinya. Bisa dibayangkan betapa sakitnya dipermainkan seperti itu.
Karena gerakannya terbatas, Layang Kumitir tidak bisa mengatur keadaannya. Ketika serangan gergaji milik Ki Katembong tiba, dia tidak dapat mengelakkannya. Dan....
Bret!
"Aaakh...!" Punggung Layang Kumitir kontan tersabet gergaji. Akibatnya baju dengan daging turut terbawa. Dan belum sempat berbuat sesuatu, gergaji itu telah menghantam dadanya kembali.
Cras!
"Aaakh...!" Dengan menggerung murka, Layang Kumitir menerjang Ki Katembong. Tetapi sebelum serangannya sampai, Ki Lengser kembali menarik tali kailnya.
"Heaaat!"
Sambil berteriak keras, Layang Kumitir berontak sekuat tenaga. Akibatnya sobeklah bibirnya. Namun laki-laki itu tak peduli, segera diterjangnya Ki Katembong. Tapi pada saat yang sama gergaji yang bergerigi tajam telah mengantam lehernya.
Jrasss...!
Blug!
Tanpa dapat berteriak kembali, Layang Kumitir ambruk dengan leher putus. Darah kontan menyembur dari bekas lukanya.
Kini, tinggal Layang Seto yang tengah bertanding melawan Ki Jembawan, petani yang bersenjata cangkul. Pada saat itu, Ki Lengser dan Ki Katembong ikut pula membantu Ki Jembawan. Tentu saja hal ini membuat kening Layang Seto berkerut, karena dia khawatir terhadap keselamatan saudaranya. Maka secepat kilat matanya melirik ke arah tadi Layang Kumitir bertarung.
Betapa terkejutnya Layang Seto melihat Layang Kumitir telah tewas dengan leher buntung. Mendapat kenyataan ini, hati Layang Seto kontan terkejut. Perhatiannya terpecah. Dengan demikian, ini sangat merugikan dirinya. Apalagi, kini dikeroyok tiga. Senjatanya, hanya dapat menangkis dan membendung serangan yang datangnya bagaikan air bah.
Pada satu kesempatan tali pancing yang ulet dan kuat milik Ki Lengser berhasil melibat tubuh Layang Seto. Semakin dia bergerak, tali itu jadi semakin kuat mengikatnya. Rupanya Ki Lengser telah menyalurkan tenaga dalam pada tali pancing itu.
"Sheaaat!"
"Haaat!"
Sementara senjata cangkul milik Ki Jembawan dan gergaji milik Ki Katembong sudah bergulung-gulung, menerjang ke arah Layang Seto. Dengan mati-matian, Layang Seto berusaha menendang kedua lawannya. Tetapi sekali membalikkan senjata, cangkul itu berhasil menghantam tulang keringnya. Sedangkan gergajinya sudah merobek perutnya.
"Aaa...!" Dengan sekuat tenaga. Layang Seto meronta ke atas. Tetapi sekali sentak, Ki Lengser berhasil membanting Layang Seto.
Bruk!
Pada saat itulah, kedua senjata Ki Jembawan dan Ki Katembong meluncur.
"Hiaaat...!"
"Terimalah kematianmu, Iblis Keji! Heaaat...!" teriak Ki Katembong dan Ki Jembawan seraya mengangkat senjatanya.
Grot!
Crot!
"Wuaaa!"
Tidak ampun lagi, tubuh Layang Seto dirancah senjata-senjata tokoh-tokoh tua itu, hingga tak berbentuk lagi. Matanya mendelik hampir keluar dari kelopaknya. Dadanya terkoyak-koyak. Darah segar mengalir dari sekujur tubuhnya. Setelah berkelejotan sejenak, Layang Seto diam untuk selama-lamanya.
Baru saja tiga tokoh itu berbalik hendak pergi mendadak...
"Jangan pergi begitu saja, orang tua-orang tua keparat! Orang-orang yang kalian bunuh itu sahabatku!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, membuat Ki Lengser, Ki Jembawan, dan Ki Katembong tersentak kaget. Mereka langsung berbalik.
Di depan mereka kini berdiri seorang pemuda tampan berkumis tipis dengan senjata kapak bermata dua di tangan. Memang, dia tak lain adalah Anjasmara!
"Siapa kau, Bocah?!" bentak Ki Katembong.
"Aku Anjasmara yang akan membalas atas kematian dua temanku!" sahut Anjasmara, kalem.
Mendapat jawaban itu, Ki Katembong mengerutkan alisnya. Pandangannya berubah mengeras. Seketika dikirimkannya serangan pembuka pada Anjasmara.
Sepertinya Anjasmara tidak menggubris serangan itu. Baru ketika serangan dekat, dua jarinya bergerak hendak menotok pergelangan tangan Ki Katembong. Cepat bagai kilat orang tua itu menarik pulang serangannya.
Kemudian Ki Katembong berusaha mencengkeram tangan pemuda itu. Dan bersamaan dengan itu, kakinya menyapu bagian bawah.
"Haaas!"
Dengan beberapa kali menggeser kaki, serangan itu berhasil dihindari Anjasmara. Kejadian itu hanya terjadi dalam sekejapan mata. Kini keduanya telah berhadapan kembali. Keduanya sama-sama mengagumi kepandaian satu sama lain.
"Hebat kau, Bocah! Pantas kau berani jual lagak.di hadapanku. Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian yang bisa diandalkan!" kata si Tukang Tebang Pohon, sambil menatap tajam Anjasmara.
"Hm! Itu baru sebagian kecil saja, Orang Tua! Sekarang, bersiaplah untuk menerima serangan ku yang sesungguhnya!"
"Keparat! Bocah sombong! Heaaat...!" Disertai bentakan nyaring, Ki Katembong langsung menyabetkan gergajinya.
Namun dengan berjumpalitan di udara Anjasmara berhasil mengelakkan serangan. Bahkan balas menyerang dengan pukulan jarak jauhnya begitu kakinya mendarat. Debu dan dedaunan, beterbangan ke segala penjuru akibat tenaga dalam yang luar biasa.
"Aiiit!" Dengan cepat, si Tukang Tebang Pohon menghentakkan tangannya yang bebas disertai tenaga dalam penuh.
Blarrr...!
Begitu terjadi benturan tenaga dalam, Ki Katembong cepat mengelebatkan gergajinya. Pertarungan semakin lama jadi bertambah sengit .
Sementara itu melihat Ki Katembong belum juga berhasil menjatuhkan pemuda itu, Ki Lengser dan Ki Jembawan mulai ikut menyerang. Ketika pertarungan telah menginjak beberapa jurus, pemuda itu belum berhasil didesak. Bahkan, secara mengejutkan kapak di tangan Anjasmara berhasil melukai Ki Jembawan.
Cras!
"Aaakh...!"
Kapak maut pemuda itu benar-benar tangguh dan sulit diterka, ke mana tujuan serangannya. Mereka sebenarnya merasa malu mengeroyok seorang pemuda. Tetapi mengingat kekejaman dan ilmu silat yang dimiliki pemuda itu sangat tinggi, terpaksa mereka melupakan hal itu. Ketika Ki Jembawan menghantamkan cangkulnya, Anjasmara menangkis dengan kapaknya.
Trang!
Bersamaan dengan itu, tangan kiri pemuda itu menghantam dada Ki Jembawan dengan telak.
Des!
"Aaakh...!" Kontan orang tua itu terlempar beberapa tengkah disertai keluhan tertahan.Karena begitu kuat tenaga dalam yang disalurkan pemuda itu, membuat Ki Jembawan yang terbanting keras tak bangun-bangun lagi.
"Hiaaat...!" Ki Lengser segera menyerang dengan alat pancingnya. Mata kailnya yang tajam berseliweran mencari mangsa.
Namun dengan sigap, pemuda itu mengebut-ngebutkan kapaknya, menghalau serangan.
"Ciat!"
Trang! Trang!
Berkali-kali, senjata mereka bertemu. Setiap kali senjatanya terpapak, Ki Lengser merasakan tangannya kesemutan. Segera dia sadar kalau tenaga dalam pemuda itu sangat tinggi. Maka sebisanya dia berusaha menghindari benturan senjata.
"Heaaat...!" Tiba-tiba, disertai teriakan menggeledek, Anjasmara menerjang Ki Katembong. Serangannya dahsyat bukan main, saling susul tidak ada hentinya.
Menghadapi serangan ini, orang tua itu berjumpalitan mundur sambil menjauhi Anjasmara yang melancarkan serangan tipuan, tiba-tiba berbalik dan menerjang ke arah Ki Lengser dengan sabetan kapaknya. Karena tidak menduga, akibatnya....
Cras!
"Aaa...!"
Tangan orang tua itu kontan terbabat putus. Tetapi pada saat yang bersamaan, kakinya berhasil menendang pundak Anjasmara. Memang, itulah yang diharapkan pemuda itu. Maka dengan cepat ditangkapnya kaki Ki Lengser. Kemudian kapaknya berkelebat dengan cepat. Dan....
Cras! Cras!
"Wuaeyaaa!"
Kedua kaki Ki Lengser langsung terbabat putus sebatas lutut. Dan tubuhnya ambruk ke tanah dalam keadaan menyedihkan. Tetapi Anjasmara masih kurang puas. Dengan sekali loncat, kakinya jatuh di atas perut Ki Lengser.
Krek!
"Aaakh...!" Orang tua itu kontan binasa dengan isi perut hancur. Darah meleleh dari seluruh panca inderanya. Kejadian ini hanya berlangsung sekejap. Bahkan Ki Katembong baru menyadarinya tanpa berbuat sesuatu.
"Bangsat! Kubunuh kau, Bocah Siluman!" maki si Tukang Tebang Pohon sengit.
Saat itu juga Ki Katembong meluruk sambil mengebutkan gergaji di tangannya. Terdengar suara bersiutan dari gergaji yang mencari mangsa. Tetapi, semua gerakannya tidak terkendali lagi. Itu disebabkan, karena dendamnya sudah meluap.
Tentu saja Anjasmara jadi girang. Agaknya, orang tua itu lupa kalau tindakannya sangat merugikan.
"Ciaaat!"
"Haiiit!"
Lima belas jurus berikutnya, Ki Katembong mulai terdesak. Jatuhnya orang tua itu tinggal rnenunggu waktu saja. Dan baru saja serangannya luput, Anjasmara sudah cepat membabatkan kapaknya ke perut.
Cras!
"Aaakh...!" Ki Katembong menjerit menyayat begitu kapak Anjasmara membabat perutnya. Tubuhnya kontan membungkuk dengan tangan kiri membekap lukanya yang mengucurkan darah.
Pada saat yang demikian, Anjasmara cepat melemparkan kapaknya ke arah kepala Ki Katembong disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Chiaaa...!"
Wut!
Begitu cepat kapak itu meluncur Dan....
Crap!
"Aaakh...!" Disertai jerit kematian, tubuh Ki Katembong ambruk begitu kapak Anjasmara mendarat di batok kepalanya.
DELAPAN
"Hm. Jadi ketiga laki-laki tua bangka itu sudah kau binasakan? Bagus! Yang penting bukan kau yang binasa. Kau terlalu tampan untuk binasa!" kata seorang perempuan tua kepada seorang pemuda di depannya.
Mereka tak lain adalah Nenek Ayuning dan Anjasmara. Setelah berhasil membunuh tiga tokoh tua berjuluk si Tukang Pancing, si Petani, dan si Tukang Tebang Pohon, Anjasmara kemudian memang segera menemui Nenek Ayuning di lereng Gunung Sangga Buana.
"Hm. Kini tugasmu tinggal satu lagi. Cari Pendekar Rajawali Sakti. Bunuh dia!" ujar Nenek Ayuning, mantap.
Belum juga gema suara perempuan itu lenyap, mendadak...
"Kau tidak perlu mencariku jauh-jauh, Nyi sanak!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang diikuti oleh berkelebatnya saru bayangan putih ke hadapan Nenek Ayuning.
"Pendekar Rajawali Sakti!" Betapa terkejutnya Nenek Ayuning ketika di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Ya, pemuda itu memang Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini, Pendekar Rajawali Sakti?!" tanya perempuan tua itu, menyelidik.
"Mudah saja. Ketika kulihat pemuda di sampingmu itu berhasil membunuh Ki Lengser, Ki Jembawan, dan Ki Katembong, aku berusaha mengikutinya secara diam-diam. Dan ternyata dugaanku benar, kalau pemuda itu pasti tangan kananmu. Sayang aku tak sempat menyelamatkan ketiga orang malang berhati lurus itu," sahut Rangga, penuh tekanan.
"Lantas, apa maumu, Pendekar Rajawali Sakti?!"
"Tak banyak. Aku hanya menginginkan kau bertobat, selagi masih ada kesempatan!"
"Jangan sok jadi pahlawan kesiangan, Anak Muda! Aku masih mampu membungkam mulutmu!"
"Hm.... Agaknya hatimu sudah tersaput nafsu iblis."
"Tutup mulutmu! Kau tahu, Anak Muda?! Bila aku membunuhmu, maka tak ada lagi yang mampu menghalangiku untuk menguasai dunia persilatan. Kecuali, bila kau ingin bergabung denganku untuk menjadi kekasih gelapku!"
Mendengar kata-kata terakhir Nenek Ayuning, wajah Rangga berubah merah padam. Seketika gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
"Dunia persilatan akan muak menerima kehadiranmu, Nyisanak!"
"Huh! Anjasmara! Serang dia. Bunuh sekalian!" ujar Nenek Ayuning, seraya menoleh ke arah Anjasmara. Sementara jari telunjuknya menuding ke arah Rangga.
"Heaaat...!" Disertai jeritan membahana, Anjasmara melompat menyerang dengan pukulan bertubi-tubi ke arah Rangga. Angin pukulannya terasa bergelombang, menyesakkan dada.
"Uts! Heaaa...!" Namun dengan meliuk-liukkan tubuhnya, Rangga berhasil menghindari serangan Anjasmara. Tak satu pukulan pun mendarat di tubuhnya.
Kenyataan ini membuat Anjasmara geram. Seketika kapak bermata dua miliknya dicabut, dan langsung diayunkan ke bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan.
"Anjas! Hati-hati! Dia bukan lawan ringan!" teriak Nenek Ayuning memperingatkan.
Rangga yang telah menggelar jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' kembali mampu menghindari serangan kapak bermata dua milik Anjasmara.
Nenek Ayuning yang mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu, segera ikut menyerang dengan pedangnya.
Walaupun dikeroyok dua, Pendekar Rajawali Sakti masih dapat mengimbanginya. Anjasmara yang keadaan tubuhnya masih lemah, menjadi incaran Rangga. Dan pada saat kapak mautnya membabat kaki Pendekar Rajawali Sakti, saat itu pula pedang Nenek Ayuning datang membantu.
Menghadapi serangan berbahaya itu, Rangga cepat membuang diri bergulingan di tanah.
"Yeaaat!"
Setelah mendapat jarak, Rangga cepat melenting bangkit. Dan seketika tubuhnya melesat, melakukan tendangan beruntun ke dada Anjasmara....
Des! Des!
"Aaakh...!"
Tidak ampun lagi, Anjasmara jatuh terguling. Sementara Nenek Ayuning segera memburu, melindungi Anjasmara dari serangan pedang yang mematikan. Namun dengan sigap, Pendekar Rajawali Sakti menjulurkan tangan ke arah pedang yang mengancamnya.
"Hih!"
Tak!
Hanya sekali sentil, senjata pedang jadi meleset arahnya. Mendapat kesempatan itu, Rangga menendang kepala Anjasmara. Tetapi pada saat yang sama, kapak Anjasmara menyabet kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!" Mendapat serangan itu, terpaksa Rangga menarik kakinya kembali, sehingga tebasan itu hanya menyambar angin kosong.
"Chiaaat...!" Sementara Nenek Ayuning menyerang kembali. Tubuhnya kembali meluruk, membabatkan pedangnya.
Mendengar teriakan serangan, cepat Rangga menoleh seraya menghentakkan kedua tangannya. "Aji 'Bayu Bajra'! Heaaa...!"
Seketika dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur gelombang angin bagai topan ke arah Nenek Ayuning.
Sebentar tubuh perempuan tua itu terhalang, namun cepat mampu menguasai diri dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Sebelum Nenek Ayuning menyerang kembali, Rangga sudah berbalik dan melesat ke arah Anjasmara yang terlongong bengong melihat kedahsyatan angin topan tadi.
"Heaaa...!"
Belum juga Anjasmara berbuat apa-apa, Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat meloloskan Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan. Dan secepat itu pula pedangnya dikebutkan ke arah Anjasmara. Dengan sebisanya, Anjasmara berusaha menahan laju pedang itu dengan kapaknya. Namun...
Tras!
Betapa terkejutnya pemuda itu melihat kapaknya hancur berkeping-keping terhantam pedang pusaka milik Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum habis rasa terkejutnya, pedang itu terus berkelebat tak tertahankan lagi. Sehingga....
Cras!
"Aaakh...!" Anjasmara hanya melenguh pendek dengan mata melotot, ketika Pedang Pusaka Rajawali Sakti membabat lehernya hingga putus!
Tepat ketika Rangga berbalik menghadapi Nenek Ayuning, tubuh Anjasmara ambruk di tanah dengan kepala menggelinding dan menyemburkan darah.
Nenek Ayuning begitu geram, melihat kematian Anjasmara. Matanya kontan memerah. Maka segera dia mengerahkan aji 'Rangsang Jiwa' sambil menggerak-gerakkan tubuhnya.
Rangga yang sudah bisa menebak maksud perempuan tua itu, cepat menutup mata nafsunya dengan mengerahkan kekuatan batinnya. Pada saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti menandinginya dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'!
Setelah membuat beberapa gerakan, Nenek Ayuning meluruk sambil membabatkan pedangnya. Pada saat yang sama, Rangga juga melesat, memapak.
Trang! Trang!
Berkali-kali pedang mereka bertemu. Sebanyak itu pula Nenek Ayuning merasakan tangannya kesemutan. Maka segera ditingkatkannya tenaga dalamnya. Kemudian kembali menyerang, mengincar jalan darah yang mematikan di tubuh Rangga. Rupanya siasat Pendekar Rajawali Sakti berhasil, ajian Nenek Ayuning tidak berarti apa-apa bila berhadapan dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
"Yeaaat!" Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluncur turun menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kedua kakinya bergerak begitu cepat mengincar kepala.
Nenek Ayuning terkejut. Dengan cepat pedangnya diputar di atas kepalanya. Sehingga, pemuda itu cepat menarik kakinya.
Melihat perempuan tua itu berhasil mengelakkan serangan, Rangga yang sudah mendarat di tanah kembali meluruk dengan hantaman tangan dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tangan Rangga yang telah berubah merah membara meluncur deras ke arah sasaran.
Sementara Nenek Ayuning merasa terdesak, segera memapak serangan dengan telapak tangannya.
Blar!
"Aaarg!" Nenek Ayuning kontan berteriak tertahan dengan tubuh terjajar beberapa langkah. Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti segera mengirim serangan susulan yang tidak kalah dahsyatnya disertai tenaga dalam penuh.
"Hup!"
Nenek Ayuning terpaksa menjatuhkan diri seraya bergulingan menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Tetapi, dia kurang memperhitungkan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga....
Digh!
"Ugh!" Telak sekali sebuah tendangan Rangga berhasil masuk ke iga. Perempuan tua itu segera bangkit dengan tubuh terhuyung-huyung.
"Hiaaa...!" Belum juga Nenek Ayuning berdiri sempurna, Rangga sudah meluruk kembali melepaskan kibasan tangan dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang mengarah ke dada. Sehingga....
Des!
"Aaa...!" Disertai jeritan, tubuh perempuan itu terpelanting ketanah. Namun dasar daya tahannya luar biasa, dia mampu bangkit kembali!
Dan belum juga Rangga mengirimkan serangan kembali....
"Hieeeh...!" Mendadak terdengar ringkikan yang diiringi derap langkah kaki kuda. Rangga dan Nenek Ayuning sama-sama menoleh. Dan mereka melihat seorang perempuan tua berbaju kuning sudah menghentikan lari kudanya tak jauh dari mereka.
Setelah turun dari kudanya, perempuan tua berbaju kuning itu menghampiri Nenek Ayuning seraya menatap tajam dengan sinar mata menusuk.
"Nenek tidak tahu diri! Perbuatanmu masih saja seperti dulu! Pantas saja guru mengusirmu!" bentak wanita tua berbaju kurang itu.
"Sri Murti, Nenek Usil! Guru sudah lama menutup mata. Mengapa kau masih selalu menggrecoki aku...? Lagi pula, aku masih terhitung kakak seperguruanmu. Kau jangan salahkan, bila aku membunuhmu!" bentak Nenek Ayuning.
"Dasar tidak tahu malu! Sudah berambut dua, lagakmu masih seperti anak muda saja! Biarlah aku yang mewakili guru untuk menghukummu!" balas perempuan tua yang ternyata bernama Sri Murti seraya meloloskan selendang kuningnya.
"Hiyaaat!" Pada saat itu juga Nenek Sri Murti melecutkan selendangnya.
Jdar! Jdar!
"Pendekar Rajawali Sakti, harap minggir dulu! Ini urusan padepokan kami. Harap kau jangan salah paham!" ujar Nenek Sri Murti .
Mau tidak mau, terpaksa Rangga menepi. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti pun mampu menghadapi Nenek Ayuning. Tapi karena dipikir ada orang yang lebih berhak untuk menghukumnya, Rangga hanya membiarkan saja sambil menyaksikan pertarungan yang sudah berlangsung antara Nenek Sri Murti melawan Nenek Ayuning.
Menghadapi sesama kaumnya, nenek berhati iblis itu tidak dapat menggunakan ajian 'Rangsang Jiwa'nya. Sedangkan semua jurus ilmu pedangnya, pada dasarnya telah diketahui saudara seperguruannya itu. Namun, dia terus juga menyerang dengan sengit. Sehingga untuk sementara keduanya sulit mencari kemenangan. Keuntungan Sri Murti adalah, selendangnya yang begitu lugas dan lentur. Bentuk serangannya juga dapat dirubah-rubah sesuka hatinya.
"Yeaaat!" Pedang Nenek Ayuning bergulung-gulung, menusuk ke arah dada adik seperguruannya. Namun dengan indahnya, selendang kuning itu melecut melingkar, berusaha melibat pedang.
"Huh!" Secepat itu pula, Nenek Ayuning menarik pedangnya kembali Bahkan kakinya berhasil menendang lutut Nenek Sri Murti.
Tuk!
Bruk!
Nenek Sri Murti jatuh terduduk. Namun, selendangnya yang dapat berubah lurus dan keras bagaikan besi berhasil juga menghantam tulang kering Nenek Ayuning.
Tak!
"Aaakh!" Tulang kering Nenek Ayuning jadi retak, menimbulkan rasa sakit menusuk ulu hati. "Bangsat! Kubeset kulitmu, Orang Jelek!" teriak nenek berhati iblis itu.
Nenek Sri Murti tidak mau meladeni. Begitu bangkit selendang kuningnya cepat dilecutkan, hingga meledak-ledak suaranya. Namun dengan ilmu pedangnya yang cukup ampuh, Nenek Ayuning masih dapat bertahan. Sayang nenek berhati iblis ini tidak tahu kalau adik seperguruannya telah diberi ilmu tambahan oleh gurunya, sebelum menutup mata.
Ketika melihat Nenek Ayuning sudah bergerak, Nenek Sri Murti segera melecutkan selendangnya ke arah kaki. Dengan cepat, nenek iblis itu meloncat ke atas. Tetapi memang itu yang dikehendaki Nenek Sri Murti, karena serangannya hanya pancingan belaka. Secara tiba-tiba, serangan Nenek Sri Murti berubah menghantam keras ke arah dada. Akibatnya...
Jdar!
"Aaayaaa!" Tidak tertahan lagi, Nenek Ayuning, terhajar selendang kuning di bagian dadanya hingga jatuh telentang. Dadanya tampak remuk, darah menyembur dari mulutnya. Dengan meringis menahan sakit, dia berusaha menggapai adik seperguruannya.
"Sri..., Murti..., maafkanlah..., aku... Aku memang jahat... Dan pantas untuk mati...," rintih Nenek Ayuning memilukan.
Nenek Sri Murti tak bisa membiarkan perasaannya. Maka segera dihampirinya Nenek Ayuning dan berusaha memeluknya.
"Awas, Nisanak! Berbahaya, jangan dekati dia!" cegah Rangga memberi peringatan.
Tetapi, terlambat. Karena....
"High!"
Bles!
Begitu tubuhnya dipeluk, Nenek Ayuning menusukkan pedangnya, sampai tembus ke punggung. Tepat saat Nenek Sri Murti jatuh terkulai menindih, Nenek Ayuning pun tewas.
"Hegk! Tidak..., kusangka! Sampai..., akhir hidupnya, dia tidak pernah berubah. Semoga Yang Maha Kuasa dapat memaafkan semua dosa-dosanya," desah Nenek Sri Murti, terdengar lirih.
Pendekar Rajawali Sakti cepat menghampiri dan berusaha menolong.
"Percuma saja, Pendekar Rajawali Sakti. Lukaku terlalu parah. Kalau boleh kuminta bantuanmu bila aku telah tiada, kuburkanlah dekat kakak seperguruanku ini. Kasihan dia...."
Begitu habis ucapannya, Nenek Sri Murti terkulai mati dalam pelukan Nenek Ayuning.
SELESAI