PETAKA GELANG KENCANA
SATU
Glarr...! Lidah petir menjilat angkasa. Awan kelabu bergumpal-gumpal, beriringan dan berkumpul di suatu tempat, terbawa angin yang bertiup kencang. Rintik-rintik hujan mulai jatuh, menerjang satu sosok bayangan putih yang terus melesat seperti dikejar setan, mencoba meninggalkan Lembah Wulung yang terkenal angker dan ganas.
“Tunggu aku, Kalinggi!”
Di belakang sosok itu, terdengar teriakan-teriakan bernada panggilan. Namun, sosok bayangan putih yang dipanggil Kalinggi sudah tidak ingin menghiraukan. Padahal, orang yang berteriak itu meminta agar Kalinggi menunggunya. Namun....
“Aaa...!” Tiba-tiba terdengar jeritan menyayat dari orang yang memanggil tadi, tidak jauh di belakang Kalinggi. Dengan ketakutan sosok serba putih itu berpaling ke belakang.
“Kala Dirja...!” serunya dengan suara tertahan. Laki-laki bernama Kala Dirja yang berlari di belakang Kalinggi jatuh terjengkang. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi.
Melihat kematian kawannya dengan dada berlubang dan berlumuran darah, Kalinggi yang berpakaian serba putih menjadi ragu untuk meneruskan pelariannya. Namun keraguan itu hanya berlangsung sekejap saja. Di kejap lain lelaki berpakaian serba putih itu telah berlari lagi sekuat tenaga. Dan kilat kembali membelah kegelapan, tampak jelas kalau Kalinggi sudah terluka.
Glarrr...! Suara petir terdengar mengguntur, tepat ketika laki-laki itu tersungkur terantuk sebuah akar. Tetapi secepatnya dia bangkit berdiri dan berlari kembali. Namun baru beberapa tombak berlari....
“Siapa yang telah berani datang ke Lembah Wulung, tidak ada jalan lain kecuali ke neraka!”
Terdengar suara menggelegar yang seakan datang dari seluruh penjuru lembah. Kalinggi tercekat. Hatinya semakin cemas. Apalagi dia tinggal sendiri, dan kelima kawannya sudah tewas semuanya. Namun mengingat begitu pentingnya tugas yang harus dijalankan walaupun sudah dalam keadaan payah, dia tak sudi menyerah begitu saja.
Apa yang dilakukan Kalinggi ternyata tidak sia-sia. Sekarang laki-laki berbaju serba putih ini sudah sampai di pinggir lembah. Tetapi kenyataan lain segera dihadapi. Tebing Lembah Wulung sekarang telah berubah menjadi curam dan licin. Padahal, beberapa waktu yang lalu hal seperti ini tidak pernah ada!
Dengan napas tersengal-sengal Kalinggi berusaha memanjat dinding tebing didepannya. Tapi, apa yang dilakukan hanya sia-sia saja.
“Ha ha ha...! Kau terjebak di Lembah Wulung, Anak Muda!”
Kalinggi berbalik. Dan dia makin tercekat ketika tiba-tiba tidak jauh di belakangnya telah berdiri satu sosok berpakaian serba hitam. Dalam kegelapan lembah yang berselimut kabut, rupa sosok itu memang tidak dapat dikenali.
Merasa tidak punya pilihan lain, Kalinggi langsung mencabut senjatanya yang berupa tombak bermata ganda dan mempunyai ketajaman pada setiap sisinya. Senjatanya langsung dikibaskan.
Tap!
“Heh?!”.Akan tetapi sesuatu yang tidak diduga-duga terjadi. Laki-laki berpakaian serba putih ini merasa seperti ada sebuah kekuatan kasat mata yang menahan senjatanya. Kekuatan itu bahkan mendorong tubuhnya ke belakang.
Bruk...!
Kalinggi jatuh terduduk. Mulutnya meringis, merasakan nyeri pada pantatnya.
“Hari kematianmu sudah tiba, hai anak manusia! Kau tidak mungkin dapat menyelamatkan diri lagi...!” desis sosok berpakaian serba hitam seraya menghampiri dan berhenti satu tombak di depan Kalinggi.
Tentu saja Kalinggi berubah ketakutan. Apalagi saat menyadari bahwa sekujur tubuhnya kini sama sekali tidak dapat digerakkannya. “Kau memang hebat, Kisanak! Aku tidak tahu, apakah kau manusia atau bukan. Tetapi kalau boleh tahu, coba jelaskan padaku siapa kau sebenarnya?!” kata Kalinggi dengan suara bergetar.
“Manusia sepertimu dan seperti mereka yang pernah datang ke Lembah Wulung ini, tidak pantas mengetahui siapa aku. Karena aku mempunyai derajat yang lebih tinggi dibandingkan kalian!” dengus sosok serba hitam.
“Tetapi...!” Ucapan Kalinggi terhenti begitu saja, ketika tiba-tiba terlihat beberapa buah benda berwarna putih sebesar kelingking yang panjangnya tidak lebih dari sejengkal, meluncur deras ke arahnya. Di tengah-tengah perjalanan benda berwarna putih itu berubah menjadi banyak. Dan Kalinggi sama sekali tidak dapat menghindarinya. Hingga...
Crep! Crep!
“Aaa..!” Telak sekali benda-benda berwarna putih yang melesat dari tangan sosok serba hitam menghujam tubuh Kalinggi. Teriakan panjang yang terasa begitu menyayat, seakan ingin menandingi suara petir dan desah hujan gerimis di Lembah Wulung ini. Kalinggi terkapar dengan sekujur tubuh ditembusi benda-benda putih panjang milik sosok berbaju hitam itu.
Kini, suasana berubah sunyi kembali, kecual suara desah hujan dan sesekali terdengar guntur menggelegar. Sementara, sosok serba hitam tadi berkelebat lenyap meninggalkan korbannya begitu saja.
********************
Malam pekat telah menyelimuti Bukit Lembayung, yang dikenal oleh orang persilatan sebagai tempat berdirinya Padepokan Banteng Ireng. Hanya bulan sepotong yang menerangi mayapada. Untungnya langit tampak cerah dengan bintang-bintang bertaburan, setelah kemarin hampir semalaman tertutup awan gelap.
Di pinggir ladang yang puluhan tombak jauhnya dari padepokan itu, satu sosok bertubuh tegap berjalan mondar-mandir seperti tengah menanti sesuatu di pinggir sebuah dangau. Tak begitu jelas bentuk wajahnya, namun dari sikapnya agaknya hatinya tengah gelisah menanti Namun tak lama kemudian....
“Kakang Kanigara...!” Terdengar panggilan dari samping kanan. Suaranya terdengar begitu merdu.
Sosok tubuh tegap yang ternyata seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu menoleh dengan wajah gembira. Di depannya kini telah berdiri seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.
“Ah, kukira kau tidak menepati janji, Kekasihku. Sudah lama aku menunggu kehadiranmu di sini, Mayang Sari! Kuharap kau membawa kabar gembira,” desah laki-laki yang dipanggil Kanigara.
Mereka lantas saling berpelukan melepas rindu. Bahkan laki-laki itu langsung memagut bibir wanita yang bernama Mayang Sari dengan lembut. Sementara Mayang Sari membalasnya tak kalah liar, seakan-akan tak ingin melepaskannya. Cukup lama mereka saling memagut, sampai Mayang Sari akhirnya mendorong tubuh perkasa di depannya. Napasnya tersengal tidak teratur pertanda gairahnya tengah berkobar.
“Kakang. Tidak dapatkah kau melupakan masalah itu untuk sementara saja? Sejak si tua Janaloka sakit, aku selalu diliputi rasa was-was. Dan aku ingin ketenangan dan sedikit kesenangan yang dapat kita nikmati bersama- sama. Kau tidak keberatan, bukan?” tukas Mayang Sari manja.
“Tentu saja aku tidak keberatan. Toh suamimu tak bisa memberi kepuasan lagi padamu. Aku yakin, kau pasti butuh kehangatan yang selama ini tak pernah kau dapatkan, kecuali dari diriku. Apalagi, malam ini memang terlalu dingin bila dilewatkan begitu saja...,” sahut Kanigara.
“Kau memang pandai, Kakang,” puji Mayang Sari tanpa merasa malu sedikit pun.
Kanigara lantas membopong Mayang Sari, dan membawanya ke dalam dangau. Dibaringkannya tubuh ramping itu di balai-balai bambu yang terdapat di tempat ini. Dan tanpa memberi kesempatan Mayang Sari bicara, Kanigara langsung memagut kembali bibir merah merekah itu. Mayang Sari mendesah-desah lirih merasakan kenikmatan, ketika bibir Kanigara menjalari leher dan tengkuknya.
“Bawalah aku terbang ke sana, Kakang.... Beri aku kenikmatan seperti biasanya...!” pinta Mayang Sari sambil merintih-rintih seperti orang dahaga di padang tandus.
Kanigara tahu, apa yang harus dilakukannya. Laki-laki ini agaknya pandai sekali memanfaatkan kelemahan perempuan yang selalu puas dalam kobaran nafsu. Apalagi mengingat suaminya kini tidak lebih hanya seorang laki-laki tua lemah dan sakit-sakitan yang tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai laki-laki.
Tangan-tangan kekar Kanigara mulai mempereteli pakaian Mayang Sari yang terus menggeliat-geliat dan menggapai-gapai. Dan kini, wanita itu dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya yang padat dan menggairahkan.
“Kakang..., aaakh.... Aku sudah tidak sabar lagi...?!” rintih Mayang Sari sambil menarik tangan Kanigara ke dadanya yang membukit indah.
“Sabarlah, Sayang.... Kita akan menuju langit tingkat tujuh sebentar lagi!” sahut Kanigara bergetar suaranya.
Hanya dalam waktu sangat singkat, laki-laki itu telah melepaskan seluruh pakaian yang menempel di tubuhnya sendiri. Dan kini mereka telah sama-sama dalam keadaan polos. Kanigara tak membuang-buang waktu lagi. Gelegak birahi telah berkobar dalam dadanya. Langsung ditubruknya Mayang Sari dengan pagutan-pagutan liar ke bagian-bagian terpeka di tubuh wanita itu.
“Cintailah aku sepenuh kemampuanmu, Kakang!” desis Mayang Sari di tengah-tengah erangannya yang dipenuhi kobaran nafsu.
Memang, itulah yang terjadi kemudian. Tanpa menghiraukan tempat dan waktu. Kanigara membawa wanita ini ke lembah kenikmatan, setiap kali mereka bertemu secara rahasia. Kini yang terdengar hanya dengus napas mereka yang ditingkahi erangan-erangan lirih. Dalam kegelapan itu samar-samar terlihat gerakan-gerakan teratur yang semakin lama semakin menggila.
“Aaahh...! Ohhh....!” Dan suara erangan bercampur nafsu iblis yang menyesatkan semakin bertambah jelas. Udara di sekeliling yang dingin malah membuat tubuh mereka basah bersimbah keringat. Sampai akhirnya...
“Aaakh...!” Mereka telah sampai pada puncak pendakian, dengan tubuh mengejang. Sebentar kemudian tubuh mereka telah terkulai, sama-sama telentang. Keadaan di sekitar tempat itu kemudian berubah sunyi.
“Sudah berapa lama kita menjalin hubungan, Kekasihku?” tanya Kanigara memecah keheningan.
“Sejak si tua Janaloka sakit-sakitan, dan tak bisa memberiku kepuasan Yaaah..., kira-kira lima tahun....” sahut Mayang Sari seraya beringsut. Segera pakaiannya dikenakan kembali. Kemudian dia duduk di samping Kanigara.
Kanigara tersenyum. Senyumannya menyimpan seribu teka-teki yang tidak pernah terlihat oleh kekasihnya. Demikian pula tatapan matanya yang berbinar liar penuh kebengisan.
“Lima tahun adalah waktu yang cukup lama.” desah Kanigara, seakan mengingatkan. “Sekarang kau sudah menjadi istri Ketua Padepokan Banteng Ireng yang punya kesaktian tinggi. Ingatkah kau, apa yang selalu kuminta darimu?”
“Hingga saat ini aku belum menemukan dimana si tua Janaloka itu menyembunyikan Gelang Kencana, Kakang. Tapi kau harus percaya padaku. Apa pun yang kulakukan semuanya demi cintaku padamu!” tandas Mayang Sari seraya mengelus dada kekasihnya yang bidang dan ditumbuhi bulu-bulu halus.
Memang, Mayang Sari sebenarnya adalah istri Ki Janaloka. Ketua Padepokan Banteng Ireng yang kini terbaring sakit. Namun wanita ini sebenarnya hanyalah istri kedua Ki Janaloka, setelah istri pertamanya tewas entah mengapa. Dan istri pertama, Ki Janaloka mempunyai putra satu orang yang pergi tak jelas rimbanya.
Sejak kematian istri dan kepergian anaknya, Ki Janaloka mendadak jatuh sakit. Ada yang bilang, sakitnya karena memikirkan mereka. Tapi itu pun masih tanda tanya. Namun yang jelas, sejak itulah Ketua Padepokan Banteng Ireng tak bisa melayani istri keduanya.
“Aku percaya! Tetapi, kau harus menemukan secepatnya. Aku punya rencana besar dengan benda itu. Di luar rencanaku, aku sebenarnya khawatir kalau Gelang Kencana sampai terjatuh ke tangan orang lain,” tegas Kanigara dalam kebimbangan.
“Mengapa Kakang berpendapat begitu?” tukas Mayang Sari, seraya bangkit berdiri.
“Aku mendengar kabar dari orang-orang yang kupercaya, bahwa ada orang luar yang mengetahui kehebatan barang yang cukup langka itu. Itulah sebabnya, kau harus mendapatkan Gelang Kencana secepatnya. Kalau barang itu sudah berada di tangan kita, maka masalah Janaloka menjadi urusanku!” jawab laki-laki tersebut.
“Baiklah. Aku akan berusaha mendapatkan barang itu secepatnya. Aku harus kembali secepatnya, sebelum orang lain mengetahui kita berada di sini.”
Kanigara mengangguk setuju. Tanpa berkata apa-apa lagi Mayang Sari langsung meninggalkan tempat pertemuan mereka.
********************
Suasana di Padepokan Banteng Ireng memang semakin bertambah panas. Apalagi mengingat penyakit yang diderita Ketua Padepokan Banteng Ireng yang semakin bertambah gawat saja. Sura Pati sebagai murid tertua di padepokan ini merasa kehabisan cara untuk menolong gurunya.
Dia telah membicarakan masalah guru mereka pada murid kedua. Namun adik seperguruannya yang bernama Kanigara pun merasa tidak sanggup mencari tabib yang mampu menyembuhkan penyakit Ki Janaloka.
“Kita harus berusaha keras menyembuhkan penyakit yang diderita Guru!” tegas Sura Pati pada pertemuan di ruang utama padepokan pagi itu.
“Semua cara sudah kita tempuh. Lalu, apalagi yang akan kita lakukan, Kakang?” tanya Kanigara.
Sura Pati langsung terdiam Tatapan matanya sekarang beralih pada Ki Belong. Laki-laki bungkuk berbaju ungu ini hanya menundukkan kepala. Di Padepokan Banteng Ireng, dia masih terhitung adik kandung Ki Janaloka.
“Bagaimana pendapat Paman Guru?” tanya Sura Pati.
“Aku tidak punya pendapat apa-apa. Aku tahu, kakangku sakit. Seperti kalian, aku pun telah berusaha. Ternyata, usahaku untuk menyembuhkannya tidak mendatangkan hasil,” desah Ki Belong, masygul.
“Kudengar di Lembah Wulung ada seorang tabib yang dapat menolong berbagai penyakit. Mungkin jika kita bisa menghubunginya, sehingga kesehatan Guru dapat pulih seperti semula,” Kanigara mengajukan pendapatnya.
Sebaliknya, Ki Belong malah tersenyum sinis. Dipandangnya Kanigara dan Sura Pati silih berganti. Seakan, ingin diketahuinya isi hatinya masing-masing murid keponakannya itu.
“Aku bosan dengan sikap pura-pura. Keyakinanku mengatakan, telah terjadi pengkhianatan di padepokan ini. Aku tidak tahu, apa yang menjadi tujuan pengkhianat itu. Yang jelas, ada orang tertentu yang sengaja meracuni Kakang Janaloka...!” tegas Ki Belong sengit.
Ucapan kakek berbadan bungkuk ini tentu cukup mengejutkan Kanigara maupun Sura Pati.
“Paman bicara apa? Tuduhan Paman tidak beralasan!” sergah Sura Pati berang. Rupanya, laki-laki berusia tiga puluh lima tahun ini paham betul bagaimana sikap paman guru mereka yang suka membuat onar.
“Mustahil Guru yang begitu baik ada yang memusuhinya! Secara tidak langsung, Paman telah menuduh!” bantah Kanigara pula.
“Saat ini, aku bicara kebenaran. Di antara kita pasti ada yang berusaha membunuh Kakang Janaloka. Terbukti beberapa orang adik seperguruan kalian yang kukirim ke Lembah Wulung, tidak kembali. Selain itu, aku juga telah menemukan serbuk beracun di dalam minuman Kakang Janaloka!” dengus Ki Belong berapi-api.
“Huh...! Rupanya Paman Guru telah mengirim beberapa murid ke Lembah Wulung? Lalu, untuk apa? Bukankah Paman tahu tempat itu sangat berbahaya?” tukas Kanigara curiga.
“Aku tahu, Lembah Wulung adalah tempat yang cukup angker. Di sana memang merupakan sumber kematian. Tetapi aku yakin, di sana pula sumber kehidupan berasal. Aku cukup mengenal daerah itu. Dan aku percaya, jika tidak ada yang mengkhianati usahaku, paling tidak Kalinggi dan kawan-kawannya sudah kembali ke sini saat ini,” papar Ki Belong.
“Paman terlalu gegabah. Tindakan Paman selalu merugikan Padepokan Banteng Ireng!” desis Sura Pati.
“Sudahlah.... Aku bosan dengan perdebatan ini. Sekarang aku akan pergi untuk mencari obat buat kakangku. Dan kuharap, suatu saat orang yang mengkhianati Kakang Janaloka dapat tertangkap hidup atau mati!” Ucapan Ki Belong jelas membuat Sura Pati dan Kanigara merasa seperti ditampar.
Mereka menganggap Ki Belong yang terhitung adik guru mereka telah menyebar fitnah. Namun, mereka tidak berani menentang Ki Belong. Mengingat kakek yang setengah sinting ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Sehabis berkata demikian, Ki Belong beranjak pergi dari tempat ini. Wajahnya jelas menyiratkan kekesalan. Entah ditujukan pada siapa. Kini di ruang utama itu hanya tinggal Kanigara dan Sura Pati saja. Tampaknya mereka masih terpengaruh oleh ucapan Ki Belong.
“Bagaimana pendapatmu tentang tuduhannya itu, Kanigara?” tanya Sura Pati pada adik seperguruannya.
“Kecurigaannya itu jelas-jelas ditujukan pada kita. Menurut Kakang, mungkinkah seorang murid tega mengkhianati orang yang telah mendidik kita sejak kecil?” tukas Kanigara.
“Memang jarang. Tetapi bukan berarti tidak pernah ada, bukan?” jawab Sura Pati, pelan suaranya.
“Memang.... Namun aku merasa tidak pernah berbuat apa-apa. Aku malah curiga bukan mustahil Paman Belong yang melakukan sesuatu dengan niat busuknya yang tidak jelas apa!” tebak Kanigara.
“Sesuatu apa maksudmu?” tanya Sura Pati. Kanigara tersenyum.
“Kita sama-sama tahu bahwa Guru kita menyimpan Gelang Kencana yang katanya mengandung berbagai macam kehebatan. Untuk maksud-maksud baik, gelang itu dapat mendatangkan kedamaian. Namun bila sampai terjatuh ke tangan orang-orang salah, maka dapat menimbulkan malapetaka,” jelas Kanigara kalem.
Kening Sura Pati berkerut dalam. Baru sekarang dia teringat akan hal itu. Lalu, siapa yang berkhianat? Mungkinkah Ki Belong atau murid-murid Padepokan Banteng Ireng lainnya?
Murid tertua yang cukup lugu ini berjanji dalam hati untuk menyelidiki keberadaan Gelang Kencana, dan juga orang-orang yang mungkin menghendaki benda sakti itu.
“Apa yang kau katakan mungkin benar, Kanigara. Kita harus bersikap waspada. Bukan mustahil Ki Belong yang mempunyai watak angin-anginan memang menghendaki barang bertuah itu,” gumam Sura Pati menutup pembicaraan.
********************
DUA
Tiga sosok bayangan hitam menghentikan lesatan tubuhnya, ketika satu sosok tubuh berpakaian ungu yang mereka kejar mendadak hilang. Mereka berpandangan untuk beberapa saat.
“Mustahil dia dapat menghilang seperti setan!” dengus sosok berpakaian serba hitam yang bertubuh jangkung sambil mencari-cari.
“Aku sependapat dengan Kakang Walang Sungsang,” sahut yang berbadan gemuk. “Dia pasti masih bersembunyi di sekitar tempat ini.”
“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya yang bertubuh sedang.
“Walang Geni! Dan kau, Walang Abang! Kalian sisir daerah sana. Dan aku akan bergerak kesana. Jangan ada sejengkal semak belukar pun yang terlewati. Tugas kita adalah membunuh dan merampas Gelang Kencana dari tangannya!” tegas laki-laki jangkung yang bernama Walang Sungsang.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi ketiga laki-laki ini segera menyebar dengan arah berlawanan. Sementara laki-laki berbadan sedang yang bernama Walang Abang telah sampai di bawah sebatang pohon rindang. Dia meneliti, namun tidak ada tanda-tanda mencurigakan di situ. Namun baru saja bermaksud meninggalkan kerimbunan pohon, tanpa diduga-duga tiga buah benda berwarna putih melesat ke arah punggungnya.
Set! Set! Set!
Sebagai orang yang kenyang pengalaman dalam rimba persilatan, tentu saja Walang Abang merasakan datangnya bahaya yang mengancam. Sehingga tanpa banyak pertimbangan dia melompat ke samping dan terus berguling-guling.
Crap! Crap! Crap!
Ketiga benda putih keperakan yang ternyata senjata rahasia berbentuk ruyung dari perak tidak mengenai sasaran. Laki-laki berbadan sedang terbungkus pakaian hitam ini belum sempat menarik napas, saat serangan kedua menyusul. Sekali ini dia tidak tinggal diam. Maka secepat kilat cambuknya yang melilit pinggang diloloskan. Dan....
Ctar! Ctar! Ctar!
Ruyung-ruyung tajam berkilatan melesat cepat itu runtuh dan berpentalan ke tiga arah. Walang Abang tersenyum dingin sambil memandang ke atas pohon, arah senjata rahasia tadi berasal.
“Kepada yang bersembunyi di atas pohon! Harap tunjukkan diri secepatnya, kalau ingin selamat!” teriak Walang Abang penuh ancaman.
Sejenak Walang Abang menunggu, tetapi tidak ada tanggapan apa-apa. Sehingga membuat kesabaran laki-laki berbaju hitam ini sirna.
“Baiklah,” geramnya. “Kalau kau tidak mau turun, aku punya cara untuk memaksamu!” Begitu habis ucapannya, Walang Abang mengayunkan cambuk di tangannya.
Wuuuttt...!
Sebelum cambuk itu menghantam batang pohon, mendadak melesat satu sosok bayangan. Kemudian dengan gerakan cukup menakjubkan, bayangan itu menjejakkan kakinya tidak jauh di depan Walang Abang. Ternyata orang yang mereka kejar tidak lain dari Ki Belong, adik kandung Ketua Padepokan Banteng Ireng. Laki-laki tua bungkuk ini memperhatikan orang yang bersenjata cambuk ini sekilas saja. Dan ternyata, dia memang tidak mengenal Walang Abang.
“Kulihat kalian tadi mengikuti aku! Dan mana kedua kawanmu lainnya?” dengus Ki Belong.
“Hei, Kisanak! Melihat badanmu yang bungkuk tentu kau yang bernama Ki Belong, adik Ki Janaloka. Kau tidak usah khawatir tentang kedua kawanku ini. Sebentar lagi mereka segera datang kemari!” jawab Walang Abang.
“Suiiitttt...!” Walang Abang bersiul. Jelas, siulan itu sebagai suatu panggilan. Karena sekejap saja tampak dua orang berkelebat cepat ke arah mereka.
“Hmm.... Kalian sudah berkumpul. Sekarang coba jelaskan, siapa kalian? Dan, mengapa mengikuti perjalananku?” gumam Ki Belong tegas.
Tampak ketiga laki-laki berpakaian serba hitam ini tersenyum dingin. Sikap mereka jelas sangat meremehkan.
“Kami adalah Tiga Pendekar Cambuk Maut dari Pajajaran...,” sahut Walang Sungsang. “Aku Pendekar Pertama. Yang ini Pendekar Kedua, dan ini Pendekar Ketiga.”
“Kalau tidak salah, kalian adalah jago-jago bayaran. Untuk apa datang jauh-jauh kemari dari Pajajaran?” tanya Ki Belong dengan kening berkerut.
Tentu saja tiga laki-laki berjuluk Tiga Pendekar Cambuk Maut terkejut, karena tidak menyangka laki-laki tua ini mengetahui tentang pekerjaan mereka.
“Ha ha ha...!”
Tiga Pendekar Cambuk Maut tertawa hampir bersamaan. Kemudian yang bernama Walang Geni datang menghampiri.
“Kunci pintu batu Gua Selarong ada pada Gelang Kencana, Ki Belong. Kami tahu, Janaloka telah menyimpannya selama puluhan tahun. Kami dengar, gelang itu memiliki bermacam-macam kesaktian. Tetapi yang terpenting, bila berhasil mendapatkan Gelang Kencana, kami akan menjadi orang yang paling kaya di kolong langit ini. Gua Selarong menyimpan harta karun yang tidak akan habis dimakan tujuh turunan,” kata Walang Geni.
“Semua itu hanya omong kosong. Dan itu pun urusan Kakang Janaloka. Jadi mengapa kalian mengikuti aku?” dengus Ki Belong tidak senang.
Sekarang Ki Belong mulai menyadari, rupanya bukan ancaman dari dalam padepokan saja yang mengancam keselamatan saudara kandungnya. Kehadiran pihak luar pun menjadi ancaman tersendiri bagi kejayaan Padepokan Banteng Ireng. Lalu bagaimana orang luar mengetahui tentang Gelang Kencana. Bahkan menuduhnya seakan-akan Gelang Kencana ada padanya. Berbagai pertanyaan menyelinap dibenak Ki Belong.
“Ki Belong! Kami tidak akan mengganggumu, jika kau bersedia menyerahkan Gelang Kencana pada kami Kurasa hanya itu saja yang dapat menyelamatkanmu dari bencana mengerikan!” ancam Pendekar Cambuk Maut Pertama.
Karuan saja Ki Belong menjadi sangat marah. Sebab, dia sendiri sampai sejauh itu tidak mau tahu dengan Gelang Kencana. Sekarang terbayang dalam ingatan laki-laki bungkuk ini, bahwa sepuluh tahun yang lalu Gelang Kencana juga telah merenggut korban yang tidak sedikit. Bertahun-tahun gelang itu aman di tangan Ki Janaloka Dan kini setelah sepuluh tahun pula, tampaknya Gelang Kencana akan meminta korban lagi. Ki Belong menjadi gelisah melihat kenyataan ini.
“Aku tidak dapat memberikan apa yang kalian minta!” tegas Ki Belong.
Tiga Pendekar Cambuk Maut terkejut mendengar pernyataan Ki Belong. Mereka sadar betul dengan kehebatan yang dimiliki Ki Belong. Tetapi mereka juga merasa yakin dengan kemampuan yang dimiliki.
Pendekar Cambuk Maut Kedua yang bernama asli Walang Abang melompat ke depan. Jelas sekali sekarang tatapan matanya mengandung permusuhan.
“Kami jarang mengulang ucapan kami, Ki Belong. Kau meninggalkan padepokan, pasti dengan maksud ingin menyelamatkan Gelang Kencana. Untuk itu, serahkan pada kami sekarang juga!”
“Kalian memang orang-orang sinting berotak miring! Aku meninggalkan padepokan semata-mata karena ingin mencari obat untuk kakangku Janaloka!” bantah Ki Belong, tegas.
“Heh?! Ternyata kau tidak mau mengakuinya juga? Kami akan memaksamu demi Gelang Kencana!” geram Walang Geni, Pendekar Cambuk Maut Ketiga.
Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh Walang Geni sudah berkelebat menerjang Ki Belong. Kakek berbadan bungkuk ini tentu tidak tinggal diam. Badannya dimiringkan ke samping, sehingga tinju yang meluncur deras ke bagian wajahnya hanya menghantam tempat kosong. Ki Belong cepat mengibaskan tangannya melepas serangan balik ke dada.
“Heh?!” Pendekar Cambuk Maut Ketiga sempat terkejut juga mendapat serangan balasan yang tidak terduga-duga ini. Begitu cepat gerakannya, sehingga Walang Geni tidak sempat lagi menghindari. Sehingga....
Buk!
“Hugkh!” Begitu kerasnya pukulan Ki Belong, sehingga membuat Pendekar Cambuk Maut Ketiga terbanting Ke tanah. Tampak jelas dari sudut bibirnya meneteskan darah, pertanda menderita luka dalam lumayan.
“Bangsat betul kau!” teriak Pendekar Cambuk Pertama.
Walang Sungsang segera memberi isyarat pada saudaranya yang bernama Walang Abang untuk melancarkan serangan secara bersama-sama. Dan tanpa banyak kata, kedua laki-laki berbaju hitam ini segera melancarkan serangan-serangan dahsyat. Sementara Walang Geni yang sudah bangkit kembali, ikut membantu serangan. Namun sebelum serangan-serangan itu datang, Ki Belong kini mendahului melakukan serangan.
“Hiya! Heaaa...!”
Wuuut!
Dengan mengandalkan jurus ‘Menggapai Dewa Rembulan Menangis Di Balik Awan’, satu loncatan dilakukan Ki Belong, Kedua kakinya berputar, sedangkan pukulannya menghantam ke tiga arah. Begitu dahsyat serangan Ki Belong, sehingga ketiga lawannya terpaksa mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menghindar. Namun kaki Pendekar Cambuk Maut Kedua yang bergerak lincah sempat terpeleset, sehingga tangan kanan Ki Belong sempat menghantam bahunya.
Duk!
“Aaakh...!” Disertai keluhan tertahan, tubuh Walang Abang berputar tiga kali terkena hantaman Ki Belong.
Melihat kejadian ini, dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut jelas tidak tinggal diam.
“Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras menggelegak, mereka mengeluarkan jurus ‘Lingkaran Hitam’. Langsung melesat ke udara. Secepat kilat, tangan mereka bagaikan kilat meraih hulu cambuk. Dengan cambuk itulah mereka mulai melakukan serangan ganas yang paling berbahaya.
Ctar! Ctar!
Suara lecutan mengiringi liuk-liukkan cambuk di tangan dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut. Terkadang cambuk berujung mata pisau itu memagut bagaikan ular. Atau membelit dan menampar ke arah Ki Belong. Sementara kakek berbadan bungkuk ini terpaksa menguras segenap kemampuannya untuk menghalau atau mengusir setiap serangan. Dalam hati harus diakui, bahwa serangan-serangan yang datang silih berganti ini memang cukup berbahaya dan mempersempit ruang geraknya.
“Hup!” Ki Belong tiba-tiba melenting ke udara. Kedua tangannya menghentak ke delapan penjuru. Maka segulung angin berhawa panas melesat ke arah dua lawannya. Tetapi, Walang Sungsang bertindak cerdik. Serangan cambuknya dibelokkan ke bagian kaki sebelum pukulan laki-laki bungkuk itu. Tindakan ini tentu di luar perhitungan Ki Belong. Sehingga, kaki kirinya tidak sempat lagi diselamatkan.
Ctar! Sret! Sret!
Saat cambuk yang melilit kakinya dihentakkan Walang Sungsang, tidak dapat dicegah tubuh Ki Belong ikut terseret dan terpelanting.
“Wuaagkh...!” Ki Belong jatuh terguling-guling. Tidak satu pukulan pun yang dilepaskan mengenai sasaran.
Sementara dia berusaha membebaskan kakinya dari lilitan cambuk. Tetapi pada saat itu Walang Sungsang telah menyentakkan cambuknya lagi.
Wuuut...!
Seketika tubuh Ki Belong melayang di udara dan ikut berputar sesuai putaran cambuk. Dalam keadaan seperti itu bahaya lainnya kiranya datang mengancam Walang Abang yang sudah bisa menguasai diri lagi bersama Walang Geni cepat mengebutkan cambuknya.
Maka kini dua cambuk datang dari kiri kanan. Setiap ujung cambuk-cambuk itu menusuk kebagian-bagian tubuh Ki Belong yang sangat berbahaya. Ki Belong yang tubuhnya terus melayang-layang di udara dan kehilangan keseimbangan, jelas tidak mungkin dapat bertindak leluasa.
Satu-satunya cara untuk membebaskan diri adalah dengan melumpuhkan Pendekar Cambuk Pertama. Saat itu juga, laki-laki tua bungkuk ini bersiap-siap melepaskan pukulan ‘Pelita Gaib’, salah satu pukulan andalan yang dimiliki. Sekali lagi, tangannya dikibaskan ke arah Walang Sungsang.
Wesss...!
Seketika seleret sinar merah meluncur deras ke arah Pendekar Cambuk Maut Pertama. Pada saat yang sama pula, ujung cambuk Pendekar Cambuk Maut Kedua dan Ketiga menghantam punggung dan lengannya.
Bret! Bret!
“Aaakh!” Ki Belong menjerit tertahan. Punggungnya robek dan mengucurkan darah. Di lain pihak.
Pendekar Cambuk Maut Pertama juga tidak mampu menghindari serangan Ki Belong tadi. Sehingga....
Glarrr!
“Aaa...!” Telak sekali pukulan ‘Pelita Gaib’ menghantam perut Walang Sungsang. Maka ledakan keras disertai jeritan terdengar. Pendekar Cambuk Maut Pertama kontan terkapar dengan perut hancur menghitam. Nyawanya melayang seketika itu juga.
Ki Belong sendiri saat cambuk terlepas dari tangan lawannya langsung jatuh terhuyung-huyung, kehilangan keseimbangan. Setelah berhasil menguasai diri, segera dilepaskannya cambuk yang melilit kakinya. Dengan cambuk milik Walang Sungsang yang sudah tewas, Ki Belong mulai bersiap melakukan serangan balik. Sementara Pendekar Cambuk Maut Kedua dan Ketiga terkejut sekali melihat kematian saudara tertua mereka.
“Kau telah membunuh saudara kami, Tua Renta Bungkuk. Kau harus membayarnya sekarang juga!” bentak Walang Geni.
“Aku benci dengan orang serakah. Tetapi, aku lebih benci lagi pada orang-orang yang banyak tingkah seperti kalian!” sahut Ki Belong bergetar.
“Keparat! Hiaaa...!” dengus Pendekar Cambuk Maut Ketiga. Bersama Walang Abang, Pendekar Cambuk Maut Ketiga segera melakukan serangan-serangan berbahaya.
Sementara Ki Belong jelas tidak mau mengulur waktu lagi. Segera disambutnya serangan dengan lecutan cambuk di tangannya. Sedangkan kakinya yang lincah terus bergerak menghindari setiap serangan. Setelah pertarungan berlangsung puluhan jurus, ternyata keadaan tetap tidak berubah jauh. Sehingga, Walang Geni dan Walang Abang semakin bertambah berang saja.
“Ciaaat...!” Sambil berteriak nyaring, Pendekar Cambuk Kedua dan Ketiga menggabungkan tangannya. Tampak jelas sekujur tubuh mereka berubah menegang. Keringat dalam waktu singkat telah membasahi pakaian mereka.
Ki Belong menyadari kedua lawannya bermaksud melepaskan pukulan ganas ke arahnya. Yang mengagumkan, sambil melepaskan pukulan ganas, cambuk di tangan mereka tidak pernah berhenti menggeliat.
“Hiyaaa...!” geram Ki Belong sambil mengerahkan jurus ‘Pelita Gaib’nya. Ketika kedua tangan laki-laki bungkuk itu diputar ke udara, maka terlihat cahaya merah kembali berpijar dari kepalan tangannya.
“Hiyaaa...!” teriak dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut pula, tidak mau kalah. Segera dikeluarkannya jurus ‘Mambang Membara’!
“Hiyaaa...!”
Wus! Wus...!
Glar! Glarrr!
Segulung angin kencang menebar sinar merah dan sinar hitam bertemu di tengah-tengah jalan, sehingga menimbulkan ledakan-ledakan keras menggelegar. Sekejap itu juga, tampak tiga sosok tubuh berpelantingan dengan arah berlawanan. Akibat pertemuan dua kekuatan dahsyat tadi, memang cukup membuat masing-masing lawan menderita luka dalam yang tidak ringan.
Ki Belong segera duduk bersila, menghimpun hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang dideritanya. Sambil menyeka cucuran darah yang mengalir di sudut-sudut bibirnya, dia bangkit berdiri.
Begitu melihat kedua lawannya masih belum mampu bangkit juga, Ki Belong tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kembali tenaga dalamnya dihimpun. Dan secepat kilat dilepaskannya pukulan kedua arah.
Wes! Wesss...!
Tidak kepalang tanggung, kali ini dua leret sinar langsung melesat ke arah Walang Geni dan Walang Abang yang baru saja berusaha bangkit.
“Heh?!” Dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut hanya terperangah saja. Mereka sudah tidak sempat menghindari serangan. Sehingga....
Glarrr!
“Aaa...!” “Aaa...!”
Dua jeritan kesakitan terdengar mewarnai ledakan keras menggelegar. Pendekar Cambuk Maut Kedua dan Ketiga terlempar. Begitu mencium tanah, jiwa mereka sudah melayang. Ki Belong menarik napas dalam-dalam.
Dia merasa dirinya telah kehilangan tenaga, sehingga sekujur tubuhnya terasa lemas. Namun ada pemandangan lain yang menarik perhatiannya. Maka segera dihampirinya mayat salah satu bekas lawannya.
“Secarik pesan ditulis di atas daun lontar! Aku harus tahu, apa yang terjadi di balik semua ini,” kata batin Ki Belong.
Kakek tua berbadan bungkuk ini selanjutnya segera membaca pesan yang tertulis di atas daun lontar. Dan wajahnya berubah merah padam, begitu selesai membaca.
“Siapa Bayangan Hitam? Saudaraku benar-benar dalam keadaan terancam bahaya. Aku harus menyelamatkannya!” desis Ki Belong.
********************
TIGA
Kabar tentang Gelang rencana semakin santer terdengar di kalangan persilatan. Entah siapa yang menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya. Tak urung, kabar itu pun telah sampai di telinga Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
Pemuda tampan berbaju rompi putih ini menjadi khawatir akan terjadi pertumpahan darah tidak lama lagi, ketika mendengar kalau beberapa tokoh persilatan dari berbagai golongan mulai keluar dari sarangnya. Sekarang, Pendekar Rajawali Sakti bergerak menuju ke arah utara. Sudah setengah harian dia melakukan perjalanan, hingga tiba disebuah pinggiran hutan. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya.
“Aku merasakan kehadiran orang lain di sini!” gumam Rangga.
Apa yang diucapkan Rangga menjadi kenyataan. Dikejap kemudian, dari semak-semak di sekelilingnya berlompatan tidak kurang sepuluh laki-laki bertubuh kerdil memakai baju warna kuning gemerlap. Kening mereka menonjol dengan kumis jarang. Salah seorang memakai mahkota seperti seorang raja.
“Ho ho ho...! Dua hari menunggu, kiranya yang kami nanti akhirnya datang juga,” kata laki-laki kerdil yang memakai mahkota.
Dengan langkah jumawa laki-laki kerdil bermahkota ini mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti, seakan sedang meneliti sampai di mana kehebatannya. Rangga jelas tidak mengerti, apa yang diinginkan laki-laki kerdil ini. Namun dia hanya diam saja sambil bersikap waspada.
“Serahkan Gelang Kencana itu pada kami! Percayalah kami hanya menginginkan harta karun di Gua Selarong,” ujar laki-laki kerdil bermahkota.
“Kau siapa, Kisanak?” tanya Rangga.
“Aku Katakini, raja dari semua manusia kerdil dari Kulon Progo. Dan kuharap, kau mau mematuhi perintah raja!” tegas laki-laki cebol bermahkota yang mengaku bernama Katakini.
“Lalu apa hubungannya Gelang Kencana dengan Gua Selarong?”
“Ho ho ho...! Kau tidak tahu, atau hanya berpura-pura tidak tahu, heh...?!” dengus Katakini disertai senyum sinis.
“Aku benar-benar tidak tahu!” tandas Pendekar Rajawali Sakti, seadanya.
“Memang tidak banyak orang yang tahu hubungan Gelang Kencana dengan Gua Selarong. Supaya lebih jelas, Gelang Kencana sebenarnya merupakan kunci pembuka pintu batu Gua Selarong. Di dalam gua itu, tersimpan harta yang tidak ternilai jumlahnya. Jika kami berhasil masuk ke sana dengan bantuan Gelang Kencana, maka akan dapat membangun sebuah kerajaan besar di tanah Jawa ini.”
Rangga hanya tersenyum mendengar penjelasan Katakini tersebut. “Menurut yang kudengar, Gelang Kencana memiliki berbagai macam kesaktian. Jadi, mana yang benar?” tanya Rangga.
“Apa yang mereka katakan memang benar. Tetapi, aku tidak membutuhkan kehebatannya. Aku ingin mendapatkan gelang itu semata-mata hanya ingin mendapatkan harta yang tersimpan di Gua Selarong,” tegas Katakini.
“Sekarang, serahkanlah Gelang Kencana pada kami. Aku berjanji tidak akan mengganggumu!”
“Aku tidak tahu menahu dengan segala macam gelang yang kau maksudkan. Melihat bentuknya saja, belum pernah!” bantah Rangga tegas.
Selesai Rangga berkata, sepuluh orang prajurit kerdil ini serentak mengurungnya. Pendekar Rajawali Sakti bergerak mundur, dan semakin bersikap waspada.
“Seseorang yang dapat dipercaya mengatakan pada kami, bahwa kaulah yang dipercaya Janaloka untuk menyelamatkan Gelang Kencana dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi, jangan mungkir begitu terhadap kami!” desak Katakini tampak semakin tidak sabar lagi.
Rangga memang merasa semakin tidak mengerti ucapan raja kaum kerdil ini. Namun setidak-tidaknya, pernyataan Katakini telah membuatnya berpikir keras. Sampai akhirnya, dia teringat pada orang-orang berpakaian ungu yang menguntitnya. Tindak tanduk mereka waktu itu jelas-jelas sangat mencurigakan. Lalu, siapa Janaloka yang dimaksud Katakini?
“Kalau benar dugaanmu, coba jelaskan siapa Janaloka yang telah mengirimkan Gelang Kencana padaku?” tanya Rangga.
“Ho ho ho...! Aku tidak bisa ditipu. Janaloka tidak lain adalah Ketua Padepokan Banteng Ireng yang sekarang sedang sekarat terkena penyakit aneh. Apakah kau masih meragukan aku?” tukas Katakini.
“Memang aku tidak ragu sekarang. Perlu kau ketahui, Janaloka tidak pernah menitipkan apa-apa padaku!” tegas Rangga.
Jawaban yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti tentu membuat raja manusia kerdil ini menjadi sangat marah. Pemuda berbaju rompi putih ini dianggap telah menyepelekannya.
Katakini jelas tidak dapat menerima begitu saja. Untuk itu, sekali lagi diberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti.
“Kuminta dengan hormat padamu sekali lagi, cepat serahkan Gelang Kencana padaku!”
“Kau meminta sesuatu yang tidak kumiliki. Jika kau tetap bersikeras, maka aku juga dapat bersikap keras padamu!” jawab Rangga tegas.
Ucapan Pendekar Rajawali Sakti hanya membuat Katakini menjadi sangat marah. Maka begitu laki-laki kerdil bermahkota itu menudingkan telunjuknya, maka sepuluh orang prajurit utamanya serentak melancarkan serangan.
Prajurit-prajurit kerdil ini semula tidak terlihat membawa senjata. Namun begitu tangan mereka bergerak, tampak sebuah sinar biru berpijar dari tangan. Sinar itu hanya dalam waktu sekedipan mata saja telah berubah menjadi senjata berbagai bentuk.
“Ilmu sihir...!” desis Rangga, tanpa sadar.
“Kau segera akan tahu siapa kami, Pendekar Rajawali Sakti!” cibir Katakini yang rupanya sudah mengenali pemuda yang dihadapi dari ciri-cirinya.
Sebaliknya, Rangga semakin bertambah kaget saja, karena tidak menyangka Katakini mengetahui siapa dirinya yang sesungguhnya. Tetapi, Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak sempat berpikir lebih jauh lagi. Karena, sepuluh prajurit utama Katakini sudah menyerang dengan mempergunakan jurus-jurus andalan yang aneh.
“Hup...!” Rangga terpaksa mempergunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menghindari serangan-serangan yang sangat cepat ini.
Hanya dalam waktu cukup singkat, pertempuran pun telah berlangsung seru. Tampaknya walaupun hanya prajurit, orang-orang kerdil ini sudah sangat terlatih dalam hal ilmu olah kanuragan. Terbukti, Rangga masih tetap merasakan tekanan gelombang serangan mereka.
Mau tidak mau Rangga semakin memperhebat gerakan tubuhnya dengan meliuk-liuk bagai orang mabuk. Gerakannya ditunjang oleh kelincahan kakinya. Setiap serangan senjata lawannya meluncur deras ke bagian perut maupun dadanya, maka bagaikan karet tubuhnya berkelit!
Satu serangan tombak pendek yang selalu memancarkan sinar biru ini luput. Dan Rangga melihat sebuah kesempatan bagus. Secepat kilat, tubuhnya bergerak ke depan. Sedangkan tangan kanan menghantam bagian kepala prajurit yang menyerangnya.
Prak!
“Wuaagkh...!” Dengan kepala pecah, tubuh prajurit kerdil itu terpelanting disertai jerit kesakitan yang sangat memilukan. Bukan saja para prajurit lainnya yang sempat terkejut melihat kenyataan itu.
Tetapi Katakini sampai terjingkat melihat kehebatan pemuda berbaju rompi putih ini. Melihat kematian kawannya yang kemudian raib secara gaib, para prajurit kerdil lainnya tampak semakin marah. Salah satu prajurit segera mengacungkan tangannya tinggi-tinggi ke udara. Apa yang dilakukannya ini segera diikuti prajurit lainnya. Lalu...
“Bunuh...!”
“Hiya! Hiyaaa...!”
Secara serentak senjata di tangan para prajurit kerdil ini menderu ke depan. Serangan mereka bagaikan terjangan ombak di lautan. Sehingga, membuat Pendekar Rajawali Sakti harus berjumpalitan di udara. Gerakannya cukup cepat, tetapi senjata salah seorang prajurit masih sempat menyambar pahanya.
Cras!
“Uhh.... Sial!” Rangga mengeluh tertahan. Darah mengucur dari luka di pahanya. Namun tubuhnya berjumpalitan di udara. Ketika tubuhnya meluncur deras ke bawah, langsung dikerahkannya jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Kaki kirinya langsung mengibas ke bagian kepala. Begitu cepat dan tak terduga serangannya, sehingga....
Prak! Prak!
“Aaa...!” Dua orang prajurit Katakini kontan terlempar dengan kepala hancur bersimbah darah.
Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Segera tangannya menghentak ke arah sasaran. “Aji ‘Guntur Geni’...!”
Wuuusss...!
Seketika seleret sinar merah seperti bara menerjang para prajurit Katakini. Mereka yang sempat melihat serangan berbahaya itu langsung memutar senjata untuk melindungi diri. Tetapi mereka yang tidak sempat menyelamatkan diri....
Glarrr!
“Wuaaagkh...!”
Lima sosok kerdil langsung terpelanting roboh disertai jeritan menyayat. Begitu mencium tanah, mereka tewas semuanya. Dan seperti kawan-kawannya pertama tadi, setelah tubuh mereka menyentuh tanah tiba-tiba raib seperti ditelan bumi.
“Jelas manusia-manusia kerdil ini adalah makhluk iblis! Atau mungkin saja, makhluk jejadian yang menyaru sebagai manusia...,” gumam Rangga, pelan.
“Kau benar-benar pemuda edan yang harus mempertanggungjawabkan kesalahanmu!” teriak Katakini marah.
“Maaf, Kisanak. Bukankah kalian yang memaksaku? Kalian yang menjual, maka aku yang membeli!” ucap Pendekar Rajawali Sakti tenang.
“Bangsat! Hiyaaa...!”
Disertai teriakan melengking, raja kaum kerdil ini langsung menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kedua tangannya yang pendek meluncur deras ke bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan.
Namun, Rangga sudah memperhitungkan segalanya. Dengan gesit dia menghindari setiap serangan dengan liukan tubuhnya ke kiri dan kanan. Tetapi, kemudian Pendekar Rajawali Sakti merasakan adanya suatu keanehan. Tangan Katakini ternyata bisa memanjang, dan terus terjulur. Kali ini, menuju ke bagian tenggorokan.
Melihat tangan lawan terus mengejarnya seperti karet, maka Rangga segera menangkis dengan mempergunakan sikunya disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Duk!
“Heh...?!” Katakini terhuyung mundur. Tubuhnya sempat tergetar. Sebaliknya Rangga terpaksa menahan napas ketika dadanya terasa sesak seperti tertimpa batu.
Kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini saling berpandangan sejenak. Di kejap lain, sambil berteriak nyaring Katakini menekuk kedua kakinya. Sedangkan kedua tangannya diputar begitu rupa dengan gerakan cepat, sulit diikuti mata.
“Hiyaaa...!” teriak Katakini sambil mengerahkan ajian ‘Bayang-Bayang Gaib’. Bersamaan dengan suara teriakannya, di sekujur tubuh Katakini tiba-tiba memancar sinar warna-warni seperti pelangi.
Dan ini membuat Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Kelengahan Rangga yang hanya sekejap ini dimanfaatkan Katakini, laki-laki kerdil ini cepat memutar tubuhnya, lalu tiba-tiba meluruk deras ke arah Rangga Cepat sekali gerakannya ini, sehingga Pendekar Rajawali Sakti hanya dapat menggeser tubuhnya dua langkah ke kanan.
Namun sepertinya dapat membaca gerakan lawan, Katakini tiba-tiba mengibaskan tangan kanannya pula. Tidak dapat dihindari lagi....
Buk!
“Hugkh...!” Tangan Katakini yang terkembang seperti cakar elang menghantam telak dada Rangga, sekaligus merobek kulitnya. Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung setelah mengeluh tertahan. Dadanya terasa sesak seperti remuk pada bagian dalamnya. Tiba-tiba perutnya merasa mual. Ketika terbatuk-batuk, maka yang keluar dari mulutnya adalah gumpalan darah kental! Wajah Rangga tampak berubah memucat. Seketika dikerahkannya hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang diderita.
“Hik hik hik...! Kau segera mampus jika tetap mempertahankan Gelang Kencana itu!” ancam Katakini meremehkan lawannya.
“Dasar iblis! Tuduhanmu sama sekali tidak beralasan. Aku telah memutuskan bahwa kau tak bisa dibiarkan!” geram Rangga.
“Pemuda ceriwis bermulut besar! Terimalah kematianmu! Hiyaaa...!” teriak Katakini, raja orang kerdil dari Kulon Progo. Tubuh pendek itu langsung melompat ke depan. Rangga yang sempat merasakan kehebatan Katakini segera mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ pada tingkat terakhir.
“Heaaa...!” Pendekar Rajawali Sakti merunduk begitu rendah ketika serangan Katakini menghantam ke bagian bahunya. Dengan lincah kakinya bergerak menyapu.
“Hup!” Katakini melompat. Kini badannya tetap mengambang di udara. Melihat gerakan lawan yang begitu hebat, Rangga tiba-tiba menjulurkan tangannya. Tinjunya yang terkepal menghantam ke bagian selangkangan.
“Hiih...!”
“Uts...!” Tetapi dengan cukup menakjubkan, Katakini sambil tersenyum mengejek melompat mundur. Sehingga serangan Rangga tidak mengenai sasaran. Rangga menjadi penasaran.
“Hiyaaa...!” Diawali teriakan melengking tinggi, Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba melesat ke udara. Mulutnya terus berteriak seperti orang kesurupan. Teriakan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam dari Pendekar Rajawali Sakti membuat Katakini tersentak kaget. Maka saat itu juga gelombang serangan suara itu berusaha dibendungnya dengan pengerahan tenaga dalam.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti agaknya sudah tidak memberi hati lagi begitu meluruk turun, langsung dikerahkannya jurus ‘Seribu Rajawali’. Tubuhnya seketika berkelebat cepat mengitari Katakini dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Sehingga tubuh Pendekar Rajawali Sakti seperti berubah menjadi seribu banyaknya.
“Huup...!”
“Eiiit!” Teriakan-teriakan keras mewarnai berkelebatnya sosok tubuh berbaju rompi putih. Kini Katakini tampak terkurung di tengah-tengah sinar putih. Kendati demikian, hal ini tidak membuat nyalinya ciut. Saat itu juga dilepaskannya tendangan kilat berulang-ulang ke arah salah satu dari bayangan Pendekar Rajawali Sakti yang jadi berjumlah banyak.
Namun, tendangannya hanya mengenai tempat kosong saja. Rangga tidak membuang-buang waktu. Setelah mengerahkan tenaga dalam ke bagian tangannya, jurusnya segera dirubah menjadi jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Saat tangannya berubah merah membara, tubuhnya seketika melesat ke arah Katakini.
Wuttt!
Melihat bahaya yang mengancam jiwanya, Katakini tidak tinggal diam. Tangannya yang memancarkan sinar biru pun dikibaskan pula, memapak hantaman Pendekar Rajawali Sakti. Dan....
Glarrr!
“Huaaakh...!” Ledakan dahsyat dari bertemunya dua kekuatan besar terdengar keras memekakkan telinga. Tak lama, sebuah jeritan keras menggema. Tampak Pendekar Rajawali Sakti jatuh terduduk. Sedangkan ketika melihat ke arah Katakini, laki-laki kerdil itu tengah dalam keadaan terkapar. Entah hidup atau mati.
Rangga yang juga terluka dalam segera menghimpun hawa murninya. Tidak sampai sepenanakan nasi, Pendekar Rajawali Sakti segera membuka matanya yang langsung ditujukan pada Katakini. Namun, laki-laki kerdil itu telah hilang dari pandangan. Ia pun mencari-cari ternyata lawannya sudah tidak berada di situ lagi.
“Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata kepandaianmu memang tinggi. Aku mengakui kehebatanmu! Untuk itu, aku tidak akan lagi campur tangan dalam urusan Gelang Kencana!”
Terdengar sebuah suara yang terdengar seperti di kejauhan. Jelas itu suara Katakini. Agaknya laki-laki cebol itu bicara melalui ilmu mengirimkan suara jarak jauh. Memang, kehadiran manusia jejadian itu cukup membuat mata Pendekar Rajawali Sakti terbuka lebar. Kiranya, begitu banyak orang yang menginginkan Gelang Kencana. Rasanya, Rangga merasa perlu untuk memberi peringatan pada Ki Janaloka tentang kemungkinan bahaya yang mengancam.
“Aku sendiri belum pernah melihat, bagaimana kehebatan yang dimiliki Gelang Kencana. Jika memang benar gelang itu pula sebagai kunci pintu batu Gua Selarong, maka pertumpahan darah mungkin segera akan terjadi di daerah itu. Sebaiknya, sebelum segala sesuatu yang tidak diingini terjadi, aku harus membicarakan hal ini pada orang yang bernama Janaloka itu!” pikir Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa membuang-buang waktu lebih lama, Rangga segera menuju ke Padepokan Banteng Ireng.
********************
EMPAT
Secara diam-diam, Ki Belong menyelidiki apa yang membuat kakak kandungnya sakit seperti itu. Apalagi dia berkeyakinan kalau Ki Janaloka tidak mungkin sakit karena penyakit biasa.
Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. Sampai akhirnya, Ki Belong menemukan bukti kalau ternyata dalam makanan yang disuguhkan pada Ki Janaloka mengandung racun yang dapat membunuh seseorang secara perlahan-lahan.
Maka, apa yang dicurigainya selama ini ternyata cukup beralasan. Jelas sekali ada seseorang yang sengaja meracuni kakangnya. Hanya saja, dia tidak tahu siapa yang telah melakukannya. Pada siapa dia harus curiga?
Dalam kemarahan meledak-ledak, Ki Belong segera menemui juru masak padepokan yang masih terhitung murid-murid Ki Janaloka sendiri. Ternyata orang yang dicari-carinya sudah tidak ada di tempat.
Di belakang Padepokan Banteng Ireng, Ki Belong bertemu Sura Pati, murid tertua di padepokan ini. Pemuda itu memandang heran ketika melihat kehadiran laki-laki tua bungkuk ini. Karena, tidak biasanya Ki Belong menelusup sampai di belakang padepokan.
“Kulihat Paman Guru seperti sedang mencari seseorang. Ada apa gerangan?” tanya Sura Pati, berusaha menutupi keheranannya.
“Aku mencari juru masak. Apakah kau melihatnya?”
“Sudah beberapa hari Paman tidak pulang ke padepokan ini. Dalam beberapa hari itu, telah banyak perubahan yang terjadi di tempat kita,” jelas Sura Pati prihatin.
“Maafkan aku, Paman. Selama ini aku mencurigai Paman telah melakukan sesuatu, sehingga membuat Guru sakit. Ternyata, kecurigaanku tidak beralasan.”
“Apa maksudmu? Aku bertanya padamu, dimana juru masak kita?” desak Ki Belong tegang.
“Juru masak kita menghilang sejak kemarin. Aku mencurigainya kalau dia telah membubuhkan racun dalam makanan Guru. Mungkin dugaanku benar. Terbukti, dia melarikan diri,” jelas Sura Pati.
“Hm.... Jika betul melarikan diri, bisa jadi dia dibunuh seseorang...,” gumam kakek berbadan bungkuk ini curiga.
“Maksud Paman?”
“Boleh jadi Panaran hanya dipergunakan sebagai alat, atau dijadikan kambing hitam. Dengan begitu, pelaku yang sebenarnya tidak ketahuan oleh kita,” duga Ki Belong.
Sura Pati langsung terdiam. Dia sendiri tidak pernah berpikir sejauh itu. Kalau benar dugaan Ki Belong, lalu siapa sebenarnya yang menginginkan kematian gurunya? Mungkinkah Kanigara?
Rasanya sangat mustahil. Sebab, adik seperguruannya itu hampir tidak pernah berhenti memikirkan keselamatan gurunya. Boleh jadi pada murid-murid lain yang menghendaki kematian Ki Janaloka. Kalau benar, mungkinkah orang itu tidak lain dari Buntaran? Sebab, selama ini dia selalu iri melihat kemajuan silat yang dimiliki saudara-saudara seperguruan.
“Paman Guru?”
“Hmm...,” Ki Belong menggumam tidak jelas.
“Aku curiga pada Buntaran. Bagaimana kalau kita menanyakan hal ini padanya?” usul Sura Pati.
“Mencurigai seseorang tanpa bukti-bukti yang kuat, tidak bedanya dengan fitnah. Jika kau mau kuajak bekerja sama, sebaiknya bawa pergi gurumu ke sebuah tempat yang aman!” sergah Ki Belong seraya memberi saran.
Sura Pati terkejut mendengar keputusan Ki Belong. Bagaimanapun, padepokan tidak boleh ditinggalkan oleh pimpinan. Sebab selain mereka akan berhadapan dengan musuh dalam selimut, juga musuh dari luar pun dapat muncul tiba-tiba.
“Kau kelihatan ragu, Sura Pati?” tanya Ki Belong, penuh teguran.
“Aku bukannya meragukan niat baik Paman. Tetapi, bagaimana jadinya nanti jika kita tinggalkan padepokan ini? Orang-orang yang menginginkan Gelang Kencana bukan sedikit,” kilah Sura Pati.
“Bukan tidak mungkin orang yang meracun saudaraku memang menghendaki Gelang Kencana juga!” tebak Ki Belong.
“Kalau begitu kita putuskan untuk mencari bangsat tengik yang telah meracuni guruku!” tandas Sura Pati.
Ki Belong mengangguk setuju. Mereka kemudian berpisah, untuk melakukan tugas masing-masing.
********************
Malam semakin larut saat terdengar suara rintihan dari dalam sebuah kamar di Padepokan Banteng Ireng. Memang, yang merintih-rintih itu tidak lain dari Ki Janaloka yang tengah dalam keadaan sekarat. Sementara Mayang Sari, istri keduanya, tampak duduk di samping pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
“Jangan menangis, Istriku. Tabahlah.... Aku merasa tak sanggup lagi untuk bertahan lebih lama. Satu pesanku, selamatkan Gelang Kencana ini dari tangan jahat siapa pun!” desah Ki Janaloka dengan suara tersendat-sendat dan lirih.
Laki-laki tua yang tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang ini segera mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik pakaiannya. Diserahkannya bungkusan itu pada Mayang Sari.
“Cepat simpan baik-baik barang pusaka itu, sebelum orang lain dalam padepokan ini melihatnya!” perintah Ki Janaloka, melanjutkan.
Mayang Sari segera melakukan apa yang diperintah suaminya. “Kakang Janaloka.... Bersikap tegarlah, Kakang akan segera sembuh dari penyakit yang Kakang derita!” hibur Mayang Sari.
“Tidak mungkin,” bantah Ki Janaloka. Kepalanya pun menggeleng lemah tanpa tenaga. “Sejak aku sakit, pandanganku semakin mengabur. Bahkan sekarang, sudah tidak dapat melihat apa-apa sama sekali. Lidahku kelu. Otakku sulit berpikir. Aku merasa saatnya sekarang telah tiba. Jagalah Gelang Kencana baik-baik. Sebab jika sampai jatuh ke tangan orang salah, hanya akan menimbulkan malapetaka saja!”
“Kakang, jangan bicara begitu!” sergah Mayang Sari.
“Aaa...!” Ki Janaloka tampaknya ingin mengatakan sesuatu. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya berupa jeritan kesakitan, disertai keluarnya darah dari mulut serta hidung.
“Kakaaang...!” teriak Mayang Sari, ketika melihat kepala suaminya terkulai.
Jeritan Mayang Sari seketika membuat murid-murid Padepokan Banteng Ireng tersentak kaget. Mereka segera berlari menuju kamar gurunya. Yang pertama sampai di tempat itu adalah Ki Belong dan Sura Pati, kemudian menyusul pula Kanigara. Mereka berebut memeluki jasad gurunya. Sedangkan Ki Belong hanya berdiri mematung dengan mata berkaca-kaca.
“Tidak kusangka kau pergi secepat itu, Kakang. Kematianmu tetap menjadi teka-teki bagiku. Setidaknya sampai kejap ini!” desis Ki Belong, lirih.
“Aku yakin Buntaran dan Panaran yang telah meracuni guru kita!” teriak Kanigara tiba-tiba.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Sura Pati dengan mata melotot.
“Sudah dua hari ini, aku mencari mereka. Ternyata mereka melarikan diri!” dengus Kanigara.
“Kalau begitu kita harus mencari mereka!” tegas Sura Pati.
“Serahkan semua itu padaku, Kakang. Biar malam ini juga aku yang mencarinya!” ujar Kanigara menyanggupi.
Baik Ki Belong maupun Sura Pati tidak kuasa mencegah, karena Kanigara sudah telanjur meninggalkan kamar duka. Entah mengapa, Ki Belong merasa tidak enak hatinya. Dia jadi teringat tentang Gelang Kencana yang telah disimpan almarhum selama bertahun-tahun. Entah, di mana barang itu sekarang. Laki-laki ini ingin menanyakan hal itu pada Mayang Sari, tetapi takut orang-orang yang hadir malah mencurigainya.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Paman Guru?” tanya Sura Pati, minta petunjuk.
“Sebagai murid perintahkan agar tetap bersikap waspada. Sementara itu, coba bawa Mayang Sari agar beristirahat!” perintah Ki Belong.
“Tidak. Aku ingin menunggui suamiku!” bantah Mayang Sari, keras.
“Aku memahami bagaimana perasaanmu pada kakangku. Tetapi, kau harus mematuhi aturan yang berlaku di padepokan ini,” tekan Ki Belong.
Sebentar wanita itu menatap mayat suaminya. Lalu tubuhnya beringsut. “Baiklah,” desah Mayang Sari.
Tidak lama kemudian Sura Pati sudah membimbing Mayang Sari menuju ke kamarnya, tepat di sebelah kamar tempat jasad Ki Janaloka terbaring. Setelah selesai mengantar Mayang Sari ke kamar, Sura Pati segera menuju pendopo depan. Namun baru saja di tengah jalan....
“Auuuwww...! Tolooong...!”
Tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang perempuan... Sura Pati langsung menoleh ke arah datangnya suara. Sekelebatan, dia melihat sebuah bayangan hitam melesat sambil memanggul sesosok tubuh ramping.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sura Pati langsung melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah sampai di bagian belakang padepokan, dia kehilangan jejak. Sura Pati terus berusaha mencari, ternyata usahanya hanya sia-sia saja.
Khawatir dengan nasib Mayang Sari, cepat Sura Pati berlari menuju kamar istri gurunya. Setelah sampai di sana, dia jadi terkejut karena Mayang Sari tidak berada di kamarnya.
“Gila! Malapetaka apa ini namanya?” rutuk Sura Pati. “Aku harus melaporkan kejadian ini pada Paman Guru!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sura Pati segera menuju kamar duka. Langsung ditemuinya Ki Belong. Kakek berbadan bungkuk ini agak terkejut melihat kedatangan Sura Pati yang begitu cepat.
“Ada apa, Sura?” tanya Ki Belong.
“Celaka, Paman! Mayang Sari baru saja dilarikan seorang berpakaian hitam!”
“Apa?!” sentak Ki Belong. Sama sekali Ki Belong tidak menduga ada seseorang yang begitu berhasrat menculik Mayang Sari. Yang membuatnya terheran-heran, waktunya hampir bersamaan pula dengan meninggalnya Ki Janaloka.
Apa tujuan si penculik itu kalau bukan menginginkan Gelang Kencana? Pastilah dia beranggapan, Mayang Sari mengetahui tempat penyimpanan benda yang mengandung kesaktian itu. Padahal sampai akhir hayatnya, Ki Janaloka tidak pernah bercerita di mana Gelang Kencana tersimpan walaupun pada adik kandungnya sendiri.
“Kita benar-benar menghadapi tantangan yang sangat berat. Dalam keadaan berkabung seperti sekarang ini, sebaiknya kita tunda pembicaraan terhadap hal-hal yang menyangkut persoalan duniawi. Besok setelah menguburkan Kakang Janaloka, kita boleh membicarakan urusan ini lebih lanjut,” ujar Ki Belong, memberi pengarahan.
“Tidak bisa begitu, Paman Guru. Kita sama-sama kehilangan orang yang sangat berharga bagi kita. Guru telah mangkat. Jika orang luar sampai tahu, mereka akan berlomba-lomba kemari menyerang kita...,” sergah Sura Pati.
“Bagaimana bisa terjadi?” sela Ki Belong sengit.
“Mengapa tidak? Orang-orang itu pasti akan meminta Gelang Kencana pada kita,” jelas Sura Pati khawatir.
Ki Belong tersenyum sedih. Dia merasa, apa yang dikatakan Sura Pati memang benar. Dia baru ingat bahwa kabar tentang kehebatan Gelang Kencana telah tersebar luas. Buktinya, laki-laki bungkuk ini telah berhadapan dengan Tiga Pendekar Cambuk Maut belum lama berselang.
Jadi memang tak mustahil orang-orang rimba persilatan akan menyerbu ke Padepokan Banteng Ireng setelah mendengar kematian Ki Janaloka. Karena mereka menganggap, pemegang sang gelang itu sudah tak ada lagi, sehingga bebas untuk diperebutkan.
“Kurasa kata-katamu memang benar, Sura. Kau tetaplah berjaga-jaga di sini. Aku akan mempersiapkan seluruh kekuatan yang kita punya untuk menjaga segala kemungkinan!”
Di halaman depan Padepokan Banteng Ireng murid-murid almarhum Ki Janaloka yang sedang dirundung duka tampak tetap bersikap waspada. Beberapa penjaga malam mondar-mandir melaksanakan tugasnya. Tetapi di luar sepengetahuan mereka, di balik pagar bambu yang mengelilingi padepokan tampak bayangan putih berkelebat mendekati pintu utama.
Begitu tiba di depan pintu pagar yang terkunci, bayangan putih ini langsung melompati pagar. Gerakannya ringan tidak menimbulkan suara. Sehingga saat menjejakkan kakinya, tidak ada seorang pun yang mendengar. Akan tetapi, sial bagi sosok berbaju rompi putih ini. Karena dari arah samping padepokan, tampak sesosok tubuh berkelebat ke arahnya.
“Berhenti...!”
“Heh...?!” Pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti ini tersentak mendengar teriakan. Kepalanya langsung menoleh. Tampak seorang laki-laki tua berbadan bungkuk menghampirinya.
“Jelaskan siapa kau, Kisanak? Mengapa datang kemari dalam suasana malam pula?” tanya kakek berpakaian ungu yang tidak lain Ki Belong.
Pada saat yang sama, muncul beberapa murid padepokan setelah tadi mendengar teriakan. Mereka langsung mengurung Pendekar Rajawali Sakti dengan senjata terhunus.
“Namaku Rangga,” jawab pemuda berbaju rompi putih memperkenalkan diri. “Aku datang dengan tujuan baik. Yaitu, ingin memperingati Ketua Padepokan Banteng Ireng tentang bahaya yang mengancam karena Gelang Kencana.”
“Heh...?! Kau tahu juga tentang benda keparat itu?! Tapi perlu kau ketahui, Kakang Janaloka baru saja mangkat karena diracun oleh seseorang!” jelas Ki Belong.
Suaranya penuh getaran, pertanda tengah diliputi rasa sedih yang mendalam. Rangga terkejut mendengar penjelasan kakek berbadan bungkuk itu. Ternyata, kedatangannya terlambat dan dalam waktu yang salah pula.
“Aku ikut sedih mendengarnya. Kalau begitu, aku mohon diri, Paman...!” ucap Rangga, lirih. Pendekar Rajawali Sakti berbalik. Namun baru beberapa tindak melangkah....
“Tunggu...!” cegah Ki Belong.
“Ada apa. Paman?” tanya Rangga sambil berbalik kembali.
Ki Belong merasa tidak tahu, apa yang harus dikatakannya. Pemuda berompi putih yang mengaku dirinya bernama Rangga ini belum dikenalnya sama sekali. Namun setelah melihat tingkah laku serta sebilah pedang berhulu kepala burung rajawali, laki-laki tua ini merasa yakin kalau inilah orangnya yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, sebagaimana yang sering didengarnya.
“Katakan padaku, benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Ki Belong.
Rangga hanya tersenyum. Dia membungkuk menjura hormat. “Kalau hanya julukan kosong yang dimaksud, kurasa memang tak salah, Paman. Tetapi yang lebih penting buatmu, kedatanganku hanya ingin memberi peringatan bahwa sebaiknya mulai saat ini berhati-hati. Sebab, banyak yang menginginkan Gelang Kencana,” ingat Rangga, pelan suaranya.
Ki Belong semakin yakin kalau pemuda dihadapannya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia juga pernah mendengar kalau Ki Janaloka kakangnya, berniat menitipkan Gelang Kencana pada pendekar yang paling disegani di jagat ini. Tapi entah kenapa, sampai akhir hayatnya, Ki Janaloka tak melaksanakan niatnya. Mungkin karena belum mengenal Pendekar Rajawali Sakti secara dekat.
“Apa yang kau katakan memang benar, Rangga. Hanya, mungkin kami tidak mungkin dapat menghadapi mereka tanpa bantuanmu. Apalagi, mengingat sampai sekarang ini kami tidak tahu di mana Kakang Janaloka menyimpan gelang yang menghebohkan itu. Tapi kabar yang kudengar dia memang ingin menitipkannya padamu...!” jelas Ki Belong polos.
“Menarik sekali kalau begitu,” timpal Rangga.
“Sebaiknya jika tidak keberatan, masuklah kepondok kami. Aku akan menceritakan semuanya,” janji Ki Belong.
Setelah Pendekar Rajawali Sakti mendengar penjelasan kemelut yang terjadi di Padepokan Banteng Ireng serta tentang Gelang Kencana, ternyata persoalan yang harus dihadapi Ki Belong memang tidak ringan. Namun, Rangga merasa ada sesuatu yang terasa ganjil.
Pertama, mengenai menghilangnya Buntaran dan Panaran. Mustahil kedua orang ini pergi begitu saja, tanpa diketahui murid-murid lainnya. Lalu, mengapa Kanigara tega meninggalkan padepokan pada saat dalam suasana berkabung, walaupun dengan alasan ingin mencari orang yang telah meracuni gurunya.
“Paman! Yang mula-mula kita lakukan besok adalah mencari dua murid padepokan ini. Aku punya cara tersendiri untuk membuktikan, apakah mereka bersalah atau tidak,” jelas Rangga hati-hati sekali.
“Apa pun yang akan kau lakukan, aku setuju saja. Aku berharap mudah-mudahan tidak ada yang mendengar kematian Kakang Janaloka. Dengan begitu, berarti persoalan yang akan dihadapi tidak semakin bertambah berat saja,” sahut Ki Belong.
“Aku pun berharap demikian, Paman,” desah Rangga. “Dan kalau begitu aku mohon diri dulu, Paman....”
“Jangan, Rangga. Kumohon, menginaplah disini barang semalam Aku mohon, Rangga...,” pinta Ki Belong.
Melihat sinar mata Ki Belong yang penuh harap, Rangga jadi tidak enak juga kalau tidak meluluskannya. Bahkan kemudian orang tua ini membawa Rangga untuk menempati sebuah kamar.
Setelah berbasa-basi sebentar, Ki Belong kembali menuju ke kamar duka, tempat murid-murid Padepokan Banteng Ireng berjaga-jaga di sana.
Sementara sejak memasuki kamar berukuran sedang yang telah disediakan untuknya, Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung tertidur. Pikirannya menerawang pada beberapa persoalan yang baru saja diceritakan Ki Belong. Dia berusaha menghubung-hubungkan antara persoalan yang satu dengan yang lain.
Dalam suasana yang serba dingin itu, tiba-tiba Rangga dikejutkan oleh terciumnya bau busuk seperti bangkai manusia. Rangga berusaha mempertegas penciumannya.
“Mustahil orang yang baru meninggal sudah menebar bau busuk seperti sekarang ini. Pasti ada yang tidak beres telah terjadi di sekitar padepokan ini...,” gumam Rangga, menduga-duga.
Rangga segera bangkit berdiri, dan berjalan keluar. Baru beberapa langkah, Pendekar Rajawali Sakti telah bertemu Sura Pati. Walaupun Ki Belong telah memberitahukan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti kepadanya, namun Sura Pati sempat terkejut juga.
“Kaukah yang bernama Rangga?” tanya Sura Pati. Melihat caranya memandang, tampaknya Sura Pati selalu curiga pada siapa pun.
“Ya...!” jawab Rangga singkat.
“Peraturan di padepokan ini, setiap tamu di atas tengah malam harus tidur,” jelas Sura Pati, dingin.
“Aku bukan tamu yang datang untuk melihat-lihat, Sobat. Apakah kau tidak mencium adanya bau busuk ini?” tanya Rangga.
Sura Pati mengendus-endus. Cuping hidungnya kembang-kempis seakan meragukan apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti.
“Benar ucapanmu. Padahal, sore tadi bau busuk seperti ini tidak tercium sedikit pun. Lalu, apa kesimpulanmu tentang hal ini?”
“Aku tidak dapat menyimpulkan apa-apa, sebelum menemukan sumber bau ini. Kalau kau tidak keberatan, sebaiknya kita mulai melakukan pemeriksaan bersama-sama,” saran pemuda berbaju rompi putih.
“Aku setuju saja,” sahut Sura Pati menyanggupi.
********************
LIMA
Baru ketika matahari mulai terbit di ufuk timur, Rangga dan Sura Pati merasa yakin kalau arah bau busuk datang dari selatan. Dan ketika mendekati sebuah ladang yang dipenuhi rumput alang-alang yang terletak cukup jauh dari padepokan, bau busuk makin tercium jelas.
“Kurasa kita sudah mendekati sasaran, Rangga,” gumam Sura Pati.
“Kuharap begitu,” sahut Rangga sambil terus mencari-cari.
“Lihat...!” Sura Pati tiba-tiba saja berseru tertahan, ketika baru saja menyibak gerumbul alang-alang.
Pendekar Rajawali Sakti langsung cepat menghampiri Sura Pati. Matanya langsung memandang ke arah yang dimaksudkan Sura Pati. Mata pemuda itu melotot, begitu melihat sosok mayat yang telah hampir membusuk. Tanpa menghiraukan bau busuk yang cukup menyengat, mereka segera bergerak melakukan pemeriksaan.
“Panaran? Ini mayat Panaran!” seru Sura Pati.
“Tubuhnya dipenuhi luka-luka. Melihat keadaannya, mungkin sudah dua hari yang lalu dia tewas di sini. Jelas, bukan dia yang telah mengambil Gelang Kencana,” simpul Rangga.
“Boleh jadi, dia mengetahui orang yang telah meracuni Guru. Karena dianggap membahayakan, maka Panaran dibunuh,” timpal Sura Pati.
Terlepas dari semua itu, Rangga setidak-tidaknya mulai menemukan titik terang di balik semua teka-teki kematian Ki Janaloka. Dan atas kematian itu, berarti Gelang Kencana semakin tak jelas berada di mana. Atau mungkin sudah raib, entah ke mana? Dan bisa dipastikan peristiwa keji ini semata-mata karena demi Gelang Kencana! Tapi, tunggu!
Mendadak saja Rangga teringat Kanigara atau Buntaran yang pergi meninggalkan padepokan. Demikian pula menghilangnya Mayang Sari yang diculik satu sosok berpakaian serba hitam. Dan bisa saja.... Rangga tidak mau menjelaskan dugaannya pada Sura Pati atau Ki Belong, sebelum segala sesuatunya benar-benar terbukti.
“Sudahlah. Sebaiknya sekarang kita bawa mayat Panaran untuk diurus secara layak bersama jenazah gurumu!” saran Rangga.
Sura Pati sebenarnya paling tidak tahan mengurus jenazah yang telah membusuk. Hanya merasa tidak enak hati saja jika harus menolak keinginan Rangga. Pada waktu yang bersamaan, sosok berpakaian serba hitam yang telah melarikan Mayang Sari terus berlari menuju Gua Selarong.
Hingga sampai di suatu tempat sosok berpakaian serba hitam itu berhenti. Segera diturunkannya Mayang Sari yang dalam keadaan tertotok. Sejenak pandangan matanya beredar kesekeliling seakan sedang mencari-cari sesuatu.
“Suiiittt...!”
Tampak sosok itu memang sedang memberi isyarat pada seseorang. Setelah menunggu sekian waktu lama, terlihat sebuah bayangan serba ungu bergerak mendekati.
“Aku telah melakukan tugas yang telah kau berikan padaku dengan baik. Kuharap jika kau berhasil menemukan harta karun di Gua Selarong, selain hadiah yang kau janjikan, aku juga menginginkan sebagian harta itu untuk membangun sebuah singgasana di daerah tanah kelahiranku...!”
“Kerjasamamu memang kunilai cukup baik. Tetapi aku perlu memeriksa, apakah Mayang Sari membawa Gelang Kencana sebagaimana yang telah kupesankan padanya,” sahut orang berbaju serba ungu yang memakai topeng warna kelabu ini.
Hanya dengan beberapa kali lompatan saja, orang bertopeng itu telah sampai di depan laki-laki berpakaian serba hitam. Ditelitinya Mayang Sari yang dalam keadaan tertotok dan terbujur kaku di atas rerumputan. Nyatanya, istri Ki Janaloka ini sedikit pun tidak memperlihatkan ketakutannya. Sehingga, membuat orang berbaju hitam agak terheran-heran.
Beberapa saat kemudian, orang bertopeng dan berpakaian serba ungu itu memeriksa beberapa bagian tubuh Mayang Sari. Tak lama ditemukannya sebuah bungkusan kecil dari kain berwarna merah darah.
“Kurasa memang itulah Gelang Kencana. Aku sendiri seumur hidup belum pernah melihatnya. Coba buka!” pinta laki-laki berbaju hitam.
“Keinginanmu sama dengan keinginanku. Sekarang, perhatikanlah baik-baik. Karena, hanya sekali saja aku memperlihatkan Gelang Kencana padamu!” ujar laki-laki bertopeng.
Dengan sangat hati-hati, laki-laki bertopeng mulai membuka bungkusan kain merah darah. Seketika terlihatlah sebuah benda sebesar kelingking berwarna merah darah. Pada salah satu ujung gelang berbentuk kepala ular sendok. Sedangkan pada bagian ujung lainnya berbentuk ekor, namun bergerigi seperti kunci.
“Hm.... Sungguh menakjubkan Gelang Kencana ini. Lihatlah! Cahaya yang terpancar dari dalamnya tidak pernah padam,” ujar laki-laki bertopeng.
“Sebuah keajaiban dunia yang tidak pernah kulihat sebelumnya,” desah yang berbaju hitam menimpali.
Bibir di balik topeng tersenyum dingin. Tiba-tiba saja, tangannya digerakkan ke arah laki-laki di depannya.
“Bunuh si baju hitam!” perintah orang bertopeng, berteriak. Laksana kilat Gelang Kencana yang semula hanya melingkar sebagaimana gelang pada umumnya, melesat ke arah laki-laki berbaju hitam. Tidak dapat dihindari lagi, ujung gelang yang berbentuk kepala ular menghujam dileher.
Crep!
“Aaa...!” Laki-laki berbaju hitam menjerit keras. Sekujur tubuhnya langsung berwarna merah seperti bara api, lalu jatuh tersungkur. Hanya dalam waktu singkat terjadi keanehan yang sedemikian mengerikan. Tubuh yang telah terkapar itu langsung membengkak. Sekujur kulitnya pecah, mengeluarkan cairan berwarna merah menebar bau busuk. Di dalam cairan keluar pula makhluk-makhluk kecil seperti ulat berwarna merah. Ulat-ulat itu langsung menyantap daging-daging korbannya yang telah membusuk dalam waktu singkat!
“Kembali padaku, Gelang Kencana!” perintah laki-laki bertopeng.
Saat itu juga, gelang ajaib yang dapat hidup dengan sendirinya hanya dengan sebuah perintah itu kembali pada tangan laki-laki bertopeng. Sejenak dipandangnya gelang itu, lalu dipondongnya Mayang Sari.
“Kau telah begitu banyak mengetahui rencanaku, Sobat. Hanya aku dan Mayang Sari saja yang patut menikmati semua harta benda yang tersimpan di Gua Selarong.”
Untuk yang terakhir kalinya, orang bertopeng itu memandang ke arah mayat korbannya yang hampir habis digerogoti ulat merah yang jumlahnya mencapai ribuan. Kemudian dengan tenang kakinya melangkah pergi sambil memanggul Mayang Sari.
********************
Acara penguburan jenazah Ki Janaloka dan Panaran berlangsung cukup hikmat dan sangat sederhana di samping padepokan. Ki Belong dan Sura Pati juga tampak hadir di situ. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya memperhatikan acara pemakaman dari jarak cukup jauh. Kiranya dia merasa khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diingini.
Kekhawatirannya ternyata cukup beralasan. Karena saat sedang berlangsungnya acara pemakaman, tampak lima orang laki-laki bersenjata golok besar menyerbu ke padepokan. Kedatangan mereka ternyata hanya sempat dilihat Rangga.
Dan tanpa memberitahukan pada yang lain-lainnya, Pendekar Rajawali Sakti langsung datang menghampiri. Melihat penampilan mereka, jelas kelima laki-laki ini bermaksud tidak baik. Dan Rangga telah bertekad untuk bersikap tegas.
“Ada yang bisa kubantu, Kisanak semua?” tegur Rangga, membuat kelima laki-laki ini menoleh ke arah Rangga yang telah berdiri sejauh dua tombak.
“Kami Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak, sengaja datang jauh-jauh ke sini ingin bertemu Ketua Padepokan Banteng Ireng!” salah seorang yang berbadan gemuk memperkenalkan diri.
“Kebetulan orang yang ingin kalian kunjungi telah mangkat. Harap tinggalkan tempat ini, karena, kami semua sedang berduka cita!” jelas Rangga, singkat dan tegas.
“Kau siapa?” tanya laki-laki berbadan jangkung dan bermuka kuning.
“Aku orang yang mewakili tuan rumah untuk bicara pada siapa pun yang datang kemari,” jawab Pendekar Rajawali Sakti.
“Huh! Kiranya kau sok lebih dari tikus busuk!” sela yang berbadan gemuk terbungkus baju merah.
Sikapnya meremehkan sekali. Kemudian laki-laki gemuk ini berbisik pada kawannya. Entah, apa yang dibicarakan.
“Kami akan pergi dari sini, asal wakil pimpinan Padepokan Banteng Ireng bersedia memberi Gelang Kencana pada kami!” tandas laki-laki yang berbadan gemuk dengan mata tajam menghujam ke bola mata Rangga. Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum mendengarnya. Dari julukan saja. Rangga sudah memaklumi kalau kelima laki-laki bertampang kasar itu bukan orang baik-baik. Dan dia merasa tidak perlu memberi hati lagi.
“Permintaan kalian terlalu berat, Kisanak. Lagi pula, apa yang kalian inginkan telah dilarikan seseorang. Mustahil kami dapat memberikannya!” sahut Rangga tegas, seraya memberi alasan kuat.
“Kurang ajar! Kau jangan coba-coba mengelabui kami, Anak Muda! Kau pikir kami dapat diakali?” dengus yang berbadan kurus seperti orang cacingan.
“Aku bicara yang sebenarnya. Kalau kalian tidak suka, terserah...!” sahut Rangga dingin.
“Rupanya kau belum tahu siapa kami, Bocah Ingusan! Kalau apa yang kami minta tidak diberikan, maka kematianmu sudah di ambang mata! Saudara-saudaraku! Bunuh dia...!” tegas laki-laki gemuk berbaju merah.
Rupanya laki-laki gemuk berkumis serta berjenggot tebal ini merupakan pimpinan dari Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak.
“Hiyaaa!”
Wuuut!
Tanpa membuang waktu lagi, keempat anggota Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak secara serentak menyerang Rangga. Tubuh mereka meluruk deras dengan tangan terpentang lebar, meluncur ke bagian empat jalan darah di tubuh Rangga.
Sebagai orang yang telah berpengalaman, tentu Pendekar Rajawali Sakti menyadari betapa berbahayanya serangan mereka. Sehingga, dia harus bersikap waspada dan mengerahkan kemampuannya. Rangga merundukkan tubuhnya sambil berputar, tangannya berkelebat menangkis serangan.
Duk! Duk!
“Heh...?!” Keempat pengeroyok terdorong mundur. Tangan mereka yang membentur tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung bengkak membiru. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri sempat jatuh terduduk.
“Hiyaaa...!” teriak salah seorang pengeroyok. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang diderita, keempatnya kembali melancarkan serangan, mempergunakan jurus ‘Langkah-Langkah Para Iblis’. Sebuah jurus yang mengandalkan kelincahan kaki disertai tenaga dalam penuh.
“Hiaaa...!” Teriakan keras itu disertai melesatnya empat sosok tubuh ke arah Rangga.
Pemuda berbaju rompi putih ini sejenak memperhatikan serangan yang menimbulkan sambaran angin cukup keras. Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi dipergunakannya jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Tubuhnya langsung meliuk-liuk seperti orang mabuk, yang ditunjang kelincahan kaki. Sehingga tak satu serangan pun yang mendarat di tubuhnya.
“Hup!”
Tanpa terduga-duga. Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara. Begitu tubuhnya meluncur deras ke bawah, kakinya bergerak melakukan tendangan menggeledek dalam jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’.
Wuut! Des! Prak!
Dua sosok tubuh kontan terlempar dengan kepala hancur bermandikan darah. Mereka langsung tewas seketika tanpa mampu mengeluarkan jeritan lagi.
Apa yang terjadi pada kedua orang kawannya tentu membuat laki-laki gemuk berbaju merah yang jadi pimpinan Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak terkejut bukan main. Padahal, mereka bukan orang yang berkepandaian rendah. Jadi sangat sulit dipercaya kalau hanya dalam beberapa gebrakan saja, saudara-saudaranya sudah ada yang tewas secara mengenaskan!
Tentu, pimpinan Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak tidak dapat tinggal diam. Dengan cepat segera golok besar yang tergantung di pinggangnya dicabut.
“Anak muda! Kau telah membunuh orang-orang saudaraku. Maka, jangan harap dapat lolos dari tanganku!” bentak pimpinan Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak.
“Jangan terlalu yakin dengan kemampuan diri sendiri. Sadarlah, selagi aku masih memberi ampun,” ujar Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
“Kurang ajar! Hiyaaa...!” teriak laki-laki gemuk itu.
Serangan itu diikuti dua orang lainnya. Dan dengan senjata terhunus pula, mereka menyerang Rangga. Sambaran senjata yang besar dan cukup berat itu menimbulkan suara menderu-deru. Hebatnya walaupun golok tampak berat, namun ketiga orang itu dengan mudah memutar-mutarnya. Mereka terus mencecar, ke mana pun Rangga mencoba menghindarinya.
“Gila betul! Serangan golok mereka begitu kompak. Aku tidak mungkin terus menerus menguras tenaga!” desah Pendekar Rajawali Sakti.
Wuuut...!
Pemuda berbaju rompi putih baru saja bermaksud mempergunakan jurus lainnya, namun golok di tangan laki-laki gemuk berbaju merah menyambar ke bagian bahu.
“Uts...!” Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya seraya memiringkan badan ke kiri. Maka, tebasan golok hanya menyambar angin. Tetapi di luar dugaan, kaki laki-laki gemuk itu terangkat menghantam dadanya. Serangan beruntun uang disertai tipuan ini tentu saja tidak sempat dielakkan Rangga. Maka....
Buk!
“Hugkh...!” Rangga kontan terlempar dan jatuh terguling-guling. Melihat pemuda itu dapat dirobohkan, maka dua orang lain segera ikut menyerang bersama-sama.
Hujan golok tidak dapat dicegah lagi. Rangga yang bagian dadanya terhantam tendangan, terpaksa bangkit berdiri secepatnya. Dengan mengandalkan kelincahan kaki dan tubuhnya yang terus meliuk-liuk, serangan ketiga lawannya dapat dielakkan.
Pimpinan Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak ini menjadi gusar. Secara tiba-tiba, dia melompat ke udara. Sementara, dua orang saudaranya terus mendesak dari bawah. Setelah berputar-putaran di udara, laki-laki gemuk itu melesat sambil mengibaskan golok ke bagian kepala.
Mendapat tekanan dari dua arah yang berbeda, tentu saja Rangga benar-benar kerepotan. Serangan mereka sekarang lebih berbahaya lagi, dibanding sebelumnya.
“Heaaa...!” Disertai teriakan menggeledek, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke tiga arah dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. “Aji ‘Bayu Bajra’...!” Kejap itu juga meluncur tiga gulung angin kencang laksana topan ke arah lawan-lawannya.
Wuuuss...!
“Huaagkh...!” Tiga anggota Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak terpental disertai jeritan keras saat serangan angin topan dahsyat menyapu deras tubuh mereka. Dan keras sekali tubuh mereka mencium tanah. Yang paling parah menerima akibat serangan Pendekar Rajawali Sakti adalah laki-laki gemuk berbaju merah. Karena pada saat yang sama tubuhnya mengambang di udara, sehingga tidak ada kekuatan baginya untuk bertahan. Sambil memuntahkan darah kental, ketiga laki-laki bertampang kasar ini mencoba bangkit berdiri. Wajah mereka tampak berubah pucat.
Memang, apa yang telah dilakukan Rangga benar-benar telah membuka mata. Sehingga para tokoh hitam ini merasa perlu untuk mengerahkan seluruh kemampuan.
Jeb! Jeb!
Secara kompak sambil memegang golok ditangan kiri, ketiga tokoh ini memutar tangan kanan. Setelah tangan yang terkepal itu memancarkan cahaya berwarna kuning, mereka segera bergerak menerjang ke depan.
“Hiyaaa...!” teriak ketiga orang itu seraya mengerahkan pukulan jurus ‘Lima Iblis Menerkam Bulan’ secara serentak. Dan begitu tangan-tangan yang terkepal mengembang dengan sendirinya, tiga leret sinar kuning keemasan meluncur deras menerjang Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti terkesiap juga melihat serangan dari tiga jurusan. Dua buah sinar berhasil dihindari dengan meliukkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Namun saat hendak menghindari sinar ketiga dengan menjatuhkan diri....
Glarrr!
“Aaa...!” Jeritan kesakitan merobek angkasa setelah terdengarnya suara ledakan tadi. Tidak dapat dihindari lagi Rangga jatuh terguling-guling setelah bahunya tersambar sinar kuning yang menerobos pertahanannya. Jika saja tadi tidak sempat mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya, niscaya Rangga sudah tewas saat itu juga.
Walaupun begitu, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat memungkiri kalau saat ini menderita luka dalam yang tidak ringan. Segera dihimpunnya hawa murni dari pusat di perutnya untuk memulihkan luka yang diderita.
Sementara, tiga manusia telengas yang rupanya sudah kesetanan itu tidak memberi kesempatan lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk hidup lebih lama.
“Bunuh...!” teriak laki-laki gemuk. Serentak mereka mengayunkan senjata, dan secara bersamaan menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menyadari akan bahaya besar yang mengancam. Padahal saat itu, dia belum siap bergerak untuk menghindar. Ketika mata golok tiga lawannya hanya tinggal beberapa jengkal lagi menebas tiga bagian tubuhnya, pada saat itu pula Rangga menggapai gagang pedang yang tergantung dipunggung.
Sring!
Seketika sinar biru berkilauan berkelebat ketiga arah, membuat ketiga manusia telengas terkejut.
Tras! Tras! Tras!
Tring! Tring!
Ketiga manusia telengas itu terdorong mundur di saat sinar biru yang ternyata sinar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu menghantam golok hingga berpatahan. Rasa nyeri kontan menjalari tangan mereka. Namun mereka ini sudah tidak menghiraukannya. Di saat yang sama Pendekar Rajawali Sakti telah berdiri tegak dengan tatapan mata teramat dingin menggetarkan.
“Kalian memang orang-orang yang tidak pantas diberi hidup lebih lama lagi!” desis Rangga.
“Heaaa...!” “Hiyaaa...!”
Dibarengi jeritan melengking tinggi, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar sambil mengelebatkan pedangnya secara melingkar.
Cras! Cras!
“Aaagkh...!” Jeritan itu disertai tergelimpangnya dua sosok tubuh yang tak sempat menghindari lagi. Kepala mereka kontan terpisah dari badan. Darah menyembur dari bagian leher yang sudah tidak berkepala.
Melihat kematian saudaranya yang sedemikian mengerikan, laki-laki gemuk berbaju merah yang tadi sempat menyelamatkan diri dengan membuang tubuhnya jadi gentar. Tanpa membuang-buang waktu dia segera bangkit dan bermaksud melarikan diri. Namun apa yang akan dilakukannya sempat dilihat Rangga.
“Tidak ada tempat yang aman bagi pengecut sepertimu!” geram Rangga, seraya memungut golok yang sudah buntung milik lawannya.
“Hiiih...!” Secepat angin Pendekar Rajawali Sakti melempar golok buntung itu ke arah laki-laki gemuk yang sudah beberapa tombak berlari. Dan....
Jeb!
“Aaa...!” Golok buntung itu menancap di punggung laki-laki gemuk. Disertai jeritan keras, tubuhnya tersungkur dan tidak mampu bangkit untuk selama-lamanya.
Rangga menggeleng-gelengkan kepala sambil memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti kedalam warangkanya. Saat badannya berbalik, tidak jauh di depannya tampak Ki Belong, Sura Pati, beserta murid-murid Padepokan Banteng Ireng. Mereka semua memandangnya dengan penuh rasa kagum.
********************
ENAM
Sudah dua hari Rangga berada di Padepokan Banteng Ireng. Dan selama ini rasanya Rangga tidak mungkin menunggu lebih lama lagi. Bagaimanapun, saat ini orang yang telah meracuni Ki Janaloka telah berada di lain tempat. Dan bisa jadi, dia telah berhasil mencuri Gelang Kencana. Sementara orang- orang rimba persilatan yang menginginkan Gelang Kencana pasti akan datang lagi menyatroni Padepokan Banteng Ireng!
Sore harinya Rangga menjumpai Ki Belong yang pada saat itu tengah duduk melamun seorang diri di pendopo depan. Memang patut diakui, sejak meninggalnya Ketua Padepokan Banteng Ireng, murid-murid seperti lesu darah.
Mereka kehilangan gairah untuk melakukan kegiatan sehari-hati. Hanya Sura Pati saja yang tampak sibuk melakukan berbagai kegiatan yang dianggap cukup perlu. Ki Belong tampak terkejut melihat kehadiran Rangga. Namun sebentar kemudian, dia sudah dapat bersikap seperti biasanya.
“Duduklah kemari, Rangga! Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Ki Belong, lembut.
“Tentang apa, Paman?” tanya Rangga sambil menghempaskan punggungnya di atas balai-balai.
“Mereka yang mati jelas tidak akan pernah kembali. Seperti kakangku dan juga Panaran. Di luar semua itu, sampai sekarang ini aku dan beberapa murid telah memeriksa seluruh bangunan padepokan. Dan ternyata, Gelang Kencana tidak ditemukan. Jadi makin nyata kalau gelang itu telah benar-benar hilang, seperti dugaanmu. Sementara, kita juga belum menemukan siapa yang telah mengambil Gelang Kencana, juga yang meracuni Kakang Janaloka. Satu hal yang kutakutkan, seperti yang terjadi puluhan tahun yang lalu. Jika sampai terjatuh ke tangan orang yang salah, gelang itu hanya menimbulkan petaka saja! Hhh.... Sayang, aku tidak tahu di mana Kakang Janaloka menyimpannya,” desah Ki Belong.
“Kukira apa yang Paman katakan memang benar. Aku ingin tahu, benarkah selain mengandung berbagai macam kemukjizatan Gelang Kencana juga merupakan kunci untuk membuka pintu batu Gua Selarong?” tanya Rangga, ingin tahu.
Ki Belong tersentak mendengar pertanyaan Rangga. Dia heran, dari mana pemuda berompi putih itu mengetahui rahasia lain yang terkandung dalam Gelang Kencana
“Tentang pertanyaanmu, dari siapa kau mendengarnya?” tukas Ki Belong.
“Aku pernah bertemu manusia siluman kerdil yang bernama Katakini. Anehnya, katanya dia dengar dari seseorang kalau aku membawa Gelang Kencana. Padahal, baru sekali ini aku datang kemari. Keyakinanku mengatakan, di padepokan ini telah terjadi komplotan untuk mendapatkan barang tersebut!” jawab Rangga, terus terang.
Ki Belong menghembuskan napas dalam-dalam. “Yang dikatakan siluman kerdil itu memang benar. Tokoh itu dulu memang pernah menginginkan gelang itu juga. Gelang Kencana merupakan kunci pembuka pintu batu Gua Selarong. Hanya yang membahayakan, gelang itu dapat hidup hanya dengan perintah si pemegangnya. Dia dapat diperintahkan membunuh siapa saja,” jelas Ki Belong khawatir.
“Sebenarnya bagaimana wujud gelang itu, Paman?” tanya Rangga takjub.
“Bentuknya tak beda dengan gelang permata. Besarnya tidak lebih dari kelingking. Hanya pada bagian salah satu ujungnya berbentuk kepala ular. Dan pada ujung lain berbentuk ekor ular dan bergerigi. Bagian ekornya itulah yang merupakan kunci pintu batu Gua Selarong,” papar Ki Belong.
Rangga dapat mengerti, bagaimana bentuk benda itu walaupun samar-samar. Yang membuatnya heran, mengapa Kanigara tidak kembali ke padepokan sampai saat ini?
“Paman.... Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mencari orang yang telah melarikan Gelang Kencana itu,” kata Rangga.
“Pernyataanmu itu sudah kutunggu-tunggu sejak tadi. Kuharap kau juga mau mencari istri almarhum kakangku yang telah dilarikan sosok berpakaian hitam malam itu. Kurasa, jika dapat menemukannya dalam keadaan hidup, kau dapat bertanya pada Mayang Sari apakah tahu tentang gelang tersebut.”
“Aku akan berusaha semampuku, Paman,” janji Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan hendak melangkah meninggalkan Ki Belong. Tetapi sebelum bergerak Sura Pati terlihat sudah berdiri tak jauh dari situ.
“Apa pun yang terjadi, aku harus ikut denganmu, Rangga!” pinta Sura Pati. Kepalanya menoleh pada Ki Belong, seakan minta persetujuan.
“Kalau memang sudah keinginanmu begitu, aku tidak bisa melarangmu. Sura Pati!” ucap Ki Belong, seakan mengerti arti tatapan itu.
“Tetapi... bagaimana dengan padepokan ini?” tukas Rangga. “Jika orang-orang rimba persilatan datang ke sini, siapa yang akan membantu Paman?”
Ki Belong tersenyum, seakan memaklumi kekhawatiran Rangga. “Aku tahu. Kau tidak perlu cemas, Rangga. Kalau terjadi apa-apa, tentu bersama murid-murid yang lain aku dapat mengusir mereka!” tegas laki-laki tua berbadan bungkuk ini penuh keyakinan.
Rangga merasa tidak punya alasan lain untuk menolak keinginan Sura Pati. Sehingga terpaksa kepalanya mengangguk setuju.
“Rangga! Jika kau ingin mempergunakan kuda, di belakang sana ada beberapa ekor kuda pilihan yang dapat dipergunakan,” saran Ki Belong dengan ramah.
“Terima kasih atas kemurahan hatimu, Paman. Tapi kurasa lebih baik kami berjalan kaki saja,” ucap Rangga.
“Niat kita tinggal selangkah lagi, Mayang Sari.”
Kata-kata itu meluncur dari mulut seorang laki-laki berbaju serba ungu di dalam Gua Selarong. Sambil berkata demikian, dia mencopot topeng di wajahnya. Kini tampaklah wajahnya yang tampan. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Badannya tegap dengan dada bidang.
Duduk di samping laki-laki itu adalah seorang perempuan muda berwajah cantik yang dipanggil Mayang Sari. Begitu cantik dan mudanya, sehingga orang tidak menyangka kalau perempuan itu adalah seorang janda. Perempuan yang memang Mayang Sari ini memandang dengan penuh rasa takjub ke arah tumpukan peti batu berisi harta karun yang tidak ternilai harganya.
“Kakang Kanigara, kita dapat membangun apa saja dengan harta sebanyak ini,” kata Mayang Sari pada laki-laki tampan yang memang Kanigara. Mayang Sari langsung memeluk kekasih gelapnya.
“Lima tahun kita menjalin hubungan tanpa diketahui siapa pun, terkecuali Buntaran yang telah kubunuh, dan juga Panaran sang juru masak sial itu. Dan kita berhasil meracuni Guru kita yang juga suamimu. Lalu setelah menguasai Gelang Kencana dan harta karun yang terdapat di dalam gua ini, kita bukan saja menjadi orang yang paling kaya di bumi, tapi juga akan menjadi raja diraja rimba persilatan. Ha ha ha...!” kata Kanigara.
Kiranya berkat Gelang Kencana, kedua manusia berlainan jenis yang telah dirasuki iblis itu telah berhasil memasuki Gua Selarong. Dan kini mereka dapat menemukan harta karun yang tak ternilai itu. Bahkan di samping itu pula, mereka dapat mengendalikan Gelang Kencana untuk membunuh orang-orang yang dianggap menjadi lawan mereka.
“Ah..., Kakang. Rencana yang tersusun selama ini ternyata memang tidak sia-sia. Aku selalu merindukan saat-saat bersamamu selama-lamanya. Dan sekarang, kita tidak mungkin terpisahkan lagi, bukan?” desah Mayang Sari.
“Tentu saja, Sayang.... Tidak seorang pun yang dapat memisahkan kita. Tahukah kau, bahwa aku selalu ingin bercinta denganmu sepanjang siang dan malam?” kata Kanigara.
Mayang Sari menganggukkan kepalanya. Bibirnya yang merah mengembangkan senyum. Sedangkan tangannya dengan cekatan meraba-raba dada Kanigara yang bidang. Sebentar saja janda Ki Janaloka yang memang telah menjalin cinta gelap dengan Kanigara yang masih terhitung murid kedua di Padepokan Banteng Ireng ini kembali lupa daratan. Dipeluknya laki-laki itu.
Mendapat rangsangan menggoda kejantanannya, Kanigara tak membuang-buang waktu lagi. Saat itu juga dibalasnya pelukan Mayang Sari. Bibirnya langsung memagut bibir tipis wanita itu. Mayang Sari merintih-rintih dalam pagutan Kanigara. Bahkan pagutan laki-laki itu kian menjalar ke leher. Sementara tangan kekarnya mulai nakal, menjalari bukit kembar yang kenyal menggairahkan milik Mayang Sari.
“Oooh..., Kakang Kanigara. Berilah aku kehangatan. Bawalah aku ke surgamu.... Ayolah, Kakang.... Aku sudah tidak sabar lagi...!” desah Mayang Sari diiringi geliatan tubuhnya yang berirama membangkitkan gairah Kanigara yang terus terpacu bagai kuda liar.
Kanigara memang sadar betul dengan kelemahan perempuan yang berada dalam pelukannya. Mayang Sari memang mempunyai gairah yang besar. Dan selama suaminya sakit, gairah itu seperti terpendam, namun siap meledak sewaktu-waktu. Dan itu benar-benar dibuktikan Kanigara.
Sementara, Kanigara sendiri juga pandai memanfaatkan kesempatan ini. Sehingga, dia memperoleh keuntungan yang sangat banyak. Kesenangan duniawi, dan juga keinginannya mendapatkan Gelang Kencana. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kanigara segera melakukan apa yang diinginkan Mayang Sari. Dan apa yang terjadi selanjutnya hanya dinding gua saja yang menjadi saksi bisu.
********************
Sementara itu di luar gua, tampak sebelas laki-laki berpakaian serba biru dan berkepala gundul telah berdiri mengepung. Melihat penampilan, mereka tentu akan disangka sebagai para pendeta yang berasal dari sebuah kuil.
“Kelihatannya di dalam gua ada orang, Guru!” lapor seorang laki-laki gundul pada kakek botak beralis putih dan berjenggot hitam.
Kening kakek itu tampak bertaut. “Berarti ada yang telah berhasil memasuki gua itu. Sungguh malang nasibnya. Dia yang berhasil membuka kunci gua, kita yang akan menggotong harta karun ke Pasuruan! Sebaiknya kita bergerak lebih mendekat lagi,” perintah kakek botak pada sepuluh orang- orang gundul yang menjadi anak buahnya.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, sepuluh anak buah kakek itu segera bergerak mendekati sasaran.
“Kepada semua orang yang berada di dalam gua harap tunjukkan diri dan menyerahlah kepada kami!” teriak salah seorang, begitu telah benar-benar dekat dengan mulut gua.
Kanigara dan Mayang Sari yang baru saja selesai mengumbar birahi jelas menjadi terkejut. Mereka segera menyambar pakaian masing-masing.
“Ada orang yang datang kemari, Kakang!” dengus Mayang Sari sambil mengenakan pakaiannya. Suaranya menyiratkan ketidaksenangan, karena keasyikannya terganggu.
“Hanya orang-orang yang sudah bosan hidup saja berani datang ke sini. Persiapkan segala sesuatunya. Mari kita hadapi bersama-sama!” sahut Kanigara yang telah selesai berpakaian, tidak kalah gusarnya.
Dan dengan sekali lompat, sepasang insan ini sudah sampai di depan mulut gua. Dan Kanigara kontan terkejut juga, karena yang datang adalah sebelas laki-laki berkepala gundul.
“Ha ha ha...! Tidak kusangka tamu-tamuku adalah para keledai gundul. Jika kalian ingin minta sedekah, tentu aku akan memberi. Tetapi jika ingin mencari perkara, maka aku bersedia mengirim kalian ke neraka!” dengus Kanigara dingin.
Sebagai pimpinan dan telah berumur cukup lanjut pula, kakek berkepala botak tentu saja merasa tersinggung. Namun siapa pun pemuda itu, dia sadar betul pasti punya hubungan dengan Padepokan Banteng Ireng.
“Bicaramu kelewat takabur, Anak Muda. Kau saat ini tengah berhadapan dengan Perkumpulan Pandir Kawula. Dan aku, Ki Rayud, yang menjadi pimpinannya. Kami datang jauh-jauh dari ujung timur tanah Jawa bukan untuk minta sedekah. Kami ingin mengambil seluruh harta karun yang berada di dalam Gua Selarong!” sahut kakek botak bernama Ki Rayud tanpa malu-malu.
Rupanya Perkumpulan Pandir Kawula yang dipimpinnya tak lebih dari perkumpulan sesat yang tamak dengan harta.
“Ha ha ha...! Semula aku menyangka kalian adalah pendeta yang minta derma. Tidak tahunya, perampok yang minta harta Sungguh busuk hati kalian! Dan jangan pula kalian bermimpi mendapatkan harta di dalam gua ini, Kisanak!” tegas Kanigara.
“Huh...! Kau juga lebih busuk dari kami. Apa dikira setelah melihat tampang kalian, kami tidak tahu bahwa kalianlah yang telah meracuni Guru kalian sendiri. Bercinta dengan istri muda si Janaloka, kemudian melarikan Gelang Kencana ke sini?” ejek Ketua Perkumpulan Pandir Kawula sambil melirik Mayang Sari.
Kanigara pura-pura terkejut mendengar ucapan kakek berkepala gundul itu. Dia memang sudah menyangka, kabar yang disebar si Bayangan Hitam alias Buntaran telah sampai di kalangan persilatan. Tentu saja dengan maksud, agar tokoh-tokoh sesat menyerang Padepokan Banteng Ireng.
“Semua yang kulakukan bukan urusanmu! Cepat menyingkir dari sini sebelum hilang kesabaranku!” bentak Kanigara.
Seakan tidak menghiraukan ucapan laki-laki itu, Ki Rayud tertawa-tawa. Malah beberapa orang pengikutnya kemudian ikut tertawa pula. Merasa diremehkan.
Kanigara semakin naik pitam. Segera diberinya isyarat pada Mayang Sari yang wajahnya telah berubah merah karena malu untuk menyingkir. Perempuan ini langsung mematuhi perintah kekasih gelapnya. Setelah Mayang Sari menyingkir, Kanigara tampak lebih bebas menentukan sikapnya.
Dengan sikap tenang, Kanigara mendekati Ki Rayud. Sementara kakek berpakaian selempang biru itu tetap berdiri di tempatnya dengan sikap waspada.
“Nafsumu memang kelewat besar untuk mendapatkan harta itu. Hanya aku khawatir, apa yang menjadi keinginanmu tinggal angan-angan saja, Kisanak!” desis Kanigara disertai senyum mengejek.
Kata-kata laki-laki berbaju ungu ini hanya memancing kemarahan pemimpin Pandir Kawula. Terbukti sebentar kemudian dia telah memberi isyarat pada semua anak buahnya untuk menyerang.
“Huh...! Tidak kusangka, orang sepertimu bisanya cuma main keroyok saja. Sungguh sangat memalukan...!”
“Bangsat! Hiyaaa...!” teriak laki-laki anggota Perkumpulan Pandir Kawula yang berperut gendut sambil mengayunkan senjatanya yang berupa kapak.
Serangan kapak besar itu tidak dapat dianggap main-main. Karena selain senjata itu memiliki ketajaman pada kedua sisinya, juga disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Dengan mempergunakan jurus-jurus warisan Padepokan Banteng Ireng, Kanigara mencoba menghindari serangan. Kepandaian laki-laki ini memang sudah mencapai taraf sempurna, sehingga gerakannya bagaikan burung walet yang menyambar-nyambar.
Gerakan tubuh Kanigara yang seperti ini, membuat serangan kapak itu luput. Tetapi dari arah belakang menyusul pula serangan lain. Sehingga laki-laki murid Padepokan Banteng Ireng itu cepat merendahkan tubuhnya seraya berputar. Dan tiba-tiba kakinya melepas tendangan ke belakang.
Duk!
“Hugkh...!” Salah seorang anggota Perkumpulan Pandir Kawula terpental. Perutnya hancur terkena tendangan Kanigara. Dia roboh sambil muntahkan darah kental.
Dengan tewasnya salah satu anggota Perkumpulan Pandir Kawula, bukan berarti serangan yang lain-lain semakin mengendor. Malah sekarang semakin bertambah hebat saja. Senjata-senjata kapak kembali menghujani Kanigara.
Dan murid Padepokan Banteng Ireng itu terpaksa menguras seluruh kemampuan yang dimiliki. Sambil terus bergerak menghindar, pedang tipis yang selalu melingkar di pinggang dicabutnya.
Wuuut! Wuuuttt...!
Trang! Trang!
Pedang tipis Kanigara berputar secepat kilat, langsung memapak hujan kapak yang menderu ke arahnya. Sekujur tubuh Kanigara sampai bergetar. Tetapi pada saat yang sama dilepaskannya tendangan berantai.
Des! Des...!
Lawan-lawan yang terdekat dengan Kanigara terjungkal terkena tendangan. Namun laki-laki yang berperut gendut masih sempat menghindar. Bahkan kemudian melakukan serangan balik dengan sambaran kapaknya. Kanigara tidak menyangka secepat itu datangnya serangan. Maka, badannya hanya sempat dimiringkan sedikit ke kiri. Dalam kesempatan itu, senjata kapak terus meluncur deras ke bagian punggung. Sehingga....
Bret!
“Wuaaakh...!” Disertai keluhan tertahan, Kanigara melompat mundur. Punggungnya robek, mengucurkan darah. Sementara Mayang Sari jadi khawatir melihat keselamatan kekasih gelapnya.
“Hik hik hik...! Kau segera akan melihat, siapa lebih dulu berangkat ke neraka, Pemuda Sialan!” teriak Ki Rayud.
“Phuih...! Kau boleh tertawa atas luka yang kuderita. Tetapi sebentar lagi, segera kau rasakan betapa pedihnya siksa yang akan kuberikan pada kalian!” desis Kanigara, membuang ludah dengan geram.
Sambil terus melompat mundur menghindari tebasan mata kapak lawan-lawannya, Kanigara tiba-tiba saja mengambil bungkusan kain merah dari balik pakaian. Seketika dikeluarkannya sebuah benda berbentuk gelang berwarna merah muda. Dan begitu terkena cahaya matahari, sehingga warna merah muda berubah menjadi merah darah, gelang berbentuk ular itu mulai menggeliat. Hidup! Dan, memang itulah yang terjadi kemudian.
Ki Rayud yang sempat melihat kejadian ganjil itu kontan terjingkat mundur. “Gelang Kencana, gelang iblis!” desis Ki Rayud.
Kanigara tersenyum seperti setan. Matanya mendelik dipenuhi nafsu membunuh. “Bunuh mereka!” perintah Kanigara lantang.
Wuuut!
Seperti kilatan petir, gelang ajaib yang telah hidup itu melesat ke arah para anak buah Ki Rayud. Kepalanya yang berbentuk kepala ular merah mematuk leher mereka satu persatu.
Ctet! Ctet...!
“Aaa...!” Beberapa anak buah Ki Rayud bergeletakan roboh dengan sebuah luka di leher. Dan belum juga sempat bangkit, pedang milik Kanigara membelah kepala mereka.
Sebenarnya walau Kanigara tidak campur tangan, akibat gigitan Gelang Kencana sudah membuat mereka tewas. Sebab racun yang terkandung di dalamnya cukup ganas dan mematikan. Seperti kejadian-kejadian terdahulu, begitu nyawa melayang, maka tubuh mereka langsung menggelembung.
Di dalam perut orang-orang yang sudah tewas, seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak. Dalam waktu tidak lama, perut mereka pecah mengeluarkan cairan berwarna merah bercampur ulat-ulat kecil sebesar cacing yang langsung menyerbu daging mayat-mayat yang sudah mulai membusuk.
Sembilan orang kini tewas secara sia-sia dalam keadaan sangat mengerikan. Sementara Gelang Kencana terus berputar-putar di udara.
“Bunuh orang tua gundul itu!” teriak Kanigara.
Cuiiit!
Kali ini gelang ajaib itu berbalik menyerang Ki Rayud. Sementara Ketua Perkumpulan Pandir Kawula ini terpaksa memutar senjatanya sambil melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Gelang Kencana. Namun seakan mengerti dengan bahaya yang mengancam, dengan gesit ular jelmaan Gelang Kencana menghindar dan meliuk-liuk. Seterusnya, menghujam dada Ki Rayud.
Blesss!
“Hekh...!” Ki Rayud menjerit dengan mata melotot. Tubuhnya mengejang, kemudian menggelepar. Setelah berkelojotan sebentar, tubuhnya diam selama-lamanya. Seperti kejadian tadi, mayat Ki Rayud menggelembung dan pecah mengeluarkan darah beserta ulat-ulat kecil. Seketika binatang-binatang menjijikkan itu menggerogoti jasadnya.
Ular jejadian kembali ke wujudnya semula. Kanigara tersenyum dingin melihat kematian menggiriskan lawan-lawannya. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa, dia masuk ke dalam gua menjumpai kekasih gelapnya yang telah menunggu dengan perasaan cemas.
********************
TUJUH
Sudah berhari-hari Ki Belong tidak dapat berpikir jernih. Terlalu banyak persoalan membuatnya sering murung. Apalagi dia juga merasa khawatir pada Rangga dan Sura Pati yang kemungkinan tidak dapat menghadapi pencuri Gelang Kencana, mengingat betapa hebatnya kekuatan yang terkandung di dalamnya.
Ki Belong tentu tidak berlebih-lebihan, mengingat dia sendiri pernah melihat kehebatan Gelang Kencana beberapa puluh tahun yang lalu. Walau memang patut diakui, Pendekar Rajawali Sakti memang pemuda yang memiliki kepandaian sulit diukur. Di samping itu, sampai kini pun Ki Belong sering bertanya-tanya, benarkah Kanigara telah mencuri Gelang Kencana? Menurut kabar yang tersebar di luar, serta dugaan Rangga, memang Kanigara yang melakukannya. Kendati demikian laki-laki tua bungkuk ini merasa ragu juga. Sebab sebelum Kanigara meninggalkan padepokan, sikapnya terlihat wajar-wajar saja?
Sedang Ki Belong termenung seorang diri, tiba-tiba dikejutkan oleh desah napas seseorang disertai terciumnya bau busuk yang sangat menyengat. Seketika Ki Belong yang tengah duduk di beranda bangunan pendopo menoleh ke arah datangnya bau busuk.
Dan dia terperangah karena entah sejak kapan tidak jauh di sampingnya telah berdiri seorang laki-laki berpakaian hitam bertampang buruk yang menderita luka-luka sudah membusuk. Anehnya, tidak seorang murid padepokan pun yang mengetahui kehadirannya!
Bahkan bila orang berwajah rusak itu mau, mungkin sejak tadi Ki Belong sudah tewas di tangannya. Kedatangannya memang seperti angin. Maka bisa diduga kalau kepandaiannya sangat tinggi. Herannya, Ki Belong seperti pernah mengenali orang itu.
“Paman! Lupakah Paman pada manusia malang sepertiku?” tanya laki-laki bermuka buruk ini. Suaranya serak, seperti ada sesuatu yang menyumbar tenggorokannya.
Ki Belong terperangah! Sungguh tidak disangka laki-laki bermuka mengerikan itu memanggilnya Paman!
“Kau siapa? Wajahmu seperti pernah kukenal?” tanya Ki Belong, bergetar suaranya.
“Lima tahun yang lalu setelah ibuku meninggal, ayah tega mengusirku karena berselisih pendapat. Aku tak setuju ayahku menikahi muridnya sendiri...!” tutur laki-laki berwajah mengerikan itu.
“Pari Kesit?!” seru Ki Belong, menebak. Tanpa mempedulikan keadaan laki-laki bermuka rusak yang menimbulkan bau busuk itu, Ki Belong langsung menubruk dan memeluknya. Laki-laki ini menangis seperti anak kecil di bawah kaki Pari Kesit.
“Berdirilah, Paman. Aku memang Pari Kesit keponakanmu!” ujar laki-laki berwajah buruk bernama Pari Kesit sambil menarik tangan Ki Belong, sehingga mereka saling berhadap-hadapan.
“Tetapi...!” Ki Belong tidak mampu melanjutkan ucapannya.
“Aku dibuang ke Lembah Wulung waktu itu. Yaitu sebuah lembah yang memiliki keganasan alam paling ganas di dunia ini. Aku terpaksa berjuang melawan keganasan alam untuk mempertahankan hidupku. Inilah jadinya Paman. Bukan saja Ayah membenciku, tapi juga seluruh dunia memusuhiku,” lanjut Pari Kesit pahit, suaranya satu-satu dan dingin sekali.
“Ayahmu telah meninggal, Nak. Dia pasti menyesali kesalahannya,” desah Ki Belong dengan tubuh terguncang menahan rasa haru.
Laki-laki tua ini tidak pernah menyangka keponakannya mengalami penderitaan yang begitu pahit. Padahal kesalahan Pari Kesit hanya karena memergoki ayahnya yang menjalin cinta dengan Mayang Sari, muridnya sendiri.
Lantas, Pari Kesit juga menentang ayahnya yang ingin menikahi wanita itu. Bukan hanya Pari Kesit saja yang menderita. Tetapi, ibunya juga tewas secara mengenaskan karena menentang keinginan suaminya untuk beristri dua. Jadi kalau dihitung-hitung, sebenarnya pantas jika Pari Kesit mendendam pada ayahnya.
“Aku telah mengetahuinya melalui mata batinku, Paman. Untuk itulah aku datang ke sini.”
“Lalu apa yang ingin kau lakukan? Bukankah ayahmu telah begitu banyak menyakiti hatimu, Nak?” tukas Ki Belong.
“Memang. Seburuk apa pun, dia tetap ayahku. Orang yang telah membuatku hadir di dunia yang tidak ramah ini. Aku ingin melihat kuburnya. Dan aku juga ingin menanyakan beberapa hal pada Paman,” jelas Pari Kesit. Nada suaranya begitu dalam, pertanda berusaha menekan gejolak amarahnya.
“Apakah kau ingin bertanya tentang Gelang Kencana?” tanya Ki Belong.
Pari Kesit menggelengkan kepala. “Mengenai Gelang Kencana, aku sudah tahu siapa yang telah mengambilnya,” tutur Pari Kesit tenang.
Seakan tidak percaya, sepasang mata tua Ki Belong membulat lebar. Walaupun dia tahu siapa yang mencuri Gelang Kencana berdasarkan kabar yang tersiar dan dugaan Pendekar Rajawali Sakti, tapi rasa penasaran tetap menuntut keingintahuannya. Paling tidak, untuk meyakinkan tuduhan itu.
“Menurutmu. Siapa, Nak?” tanya Ki Belong.
“Menurut mata batinku, Mayang Sari telah bekerjasama dengan Kanigara dalam pencurian Gelang Kencana. Perlu Paman ketahui, kedua manusia keparat itu telah menjalin hubungan gelap dan bercinta secara sembunyi-sembunyi. Dan atas perintah Kanigara, Mayang Sari tega meracuni Ayah. Tetapi, Ayah tidak pernah mencurigainya. Sampai pada akhir kematiannya, Gelang Kencana diserahkan pada Mayang Sari. Sekarang mereka telah bersatu dan hidup di dalam Gua Selarong!”
Ki Belong menjadi kagum mendengar penjelasan Pari Kesit yang pas dengan dugaan Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh tidak disangka keponakannya memiliki kepandaian yang sedemikian mengagumkan. Dan mustahil Pari Kesit mendengar berita itu dari dunia persilatan, karena pemuda itu memang tinggal di tempat yang tak mungkin dikunjungi manusia!
Entah bagaimana caranya Pari Kesit mempelajari ilmu yang sangat langka itu. Yang jelas, sekarang duduk persoalannya semakin jelas.
“Pari Kesit.... Sebenarnya aku juga mencurigai Panaran dan Buntaran. Dapatkah kau jelaskan masalah ini?” tanya Ki Belong, semakin penasaran.
“Panaran memang terlibat terutama atas kematian Ayah. Dialah juru masak yang membubuhkan racun, di samping Mayang Sari sendiri. Hanya karena dia telah mengancam Kanigara dengan akan melaporkan semua ini, maka Kanigara terpaksa membunuhnya. Buntaran juga punya andil atas kematian Ayah. Buntaran lantas menyebar berita tentang Gelang Kencana pada beberapa tokoh persilatan. Ada yang dikirimi surat dari daun lontar, juga ada yang lewat mulut. Dalam menyebarkan berita. Buntaran selalu memakai julukan si Bayangan Hitam. Dan dia pula yang menyebar tentang hubungan gelap Kanigara dengan Mayang Sari....”
Ki Belong tersentak. Dia jadi teringat dengan salah satu mayat Tiga Pendekar Cambuk Maut yang membawa sebuah daun lontar, yang berisi ajakan merebut Gelang Kencana saat si pemegang sedang sekarat.
“Hm.... Jadi si Bayangan Hitam tak lain Buntaran,” gumam Ki Belong.
“Benar. Selanjutnya si Bayangan Hitam ditugasi menculik Mayang Sari. Sebenarnya penculikan itu hanya siasat saja, agar Kanigara bisa membawa Mayang Sari tanpa dicurigai.... Tapi selanjutnya, malah Buntaran sendiri yang dibunuh Kanigara...."
“Keparat benar si Kanigara!”
“Semua tindakannya hanya dilandasi nafsu serakah saja, Paman. Karena dia pun sebenarnya ingin menguasai dunia persilatan dengan menyebar berita tentang Gelang Kencana. Dengan demikian orang-orang persilatan akan saling berlomba mendapatkannya, tanpa mempedulikan pertumpahan darah. Baru bila tinggal beberapa tokoh saja, dia berniat menghancurkannya dengan Gelang Kencana yang sudah dicurinya....”
“Benar-benar biadab, Kanigara. Sungguh tak kusangka ayahmu telah membesarkan serigala-serigala berhati busuk!”
“Tidak ada gunanya Paman berkeluh kesah. Semuanya sudah terjadi. Secara tidak sadar, Ayah memang menghendaki kejadian seperti ini, Paman,” ujar pemuda itu, tetap datar suaranya.
“Mengapa kau tidak datang kemari sebelum segala-galanya terlambat?” tanya Ki Belong menyesalkan.
“Dulu Ayah melarangku kembali ke padepokan ini dengan alasan apa pun. Apakah aku harus melanggar pantangan? Dan lagi, sekarang Ayah telah tewas. Juga, ada bahaya mengancam di padepokan ini....”
“Ya, ayahmu memang bukan dewa. Dia manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan,” desah Ki Belong.
“Aku selalu memegang teguh janji seseorang dan menjaga lidahku agar tidak berkata salah, Paman.”
“Kalau begitu, kau ingin kembali ke Lembah Wulung?” tebak Ki Belong tampak tidak setuju.
Pari Kesit tidak langsung menjawab. Tatapan matanya menerawang ke halaman samping tempat kubur ayah dan ibunya. Sebagai anak, entah mengapa dia tidak dapat membenci ayahnya, walaupun dulu selalu disakiti.
“Mungkin setelah ke sini aku akan menghentikan sepak terjang Kanigara dan membuat perhitungan dengannya,” tandas Pari Kesit kemudian.
Ki Belong tidak langsung menyetujui. Jauh di lubuk hatinya keselamatan keponakannya yang cuma satu-satunya ini dikhawatirkannya betul. Setelah mereka terpisah sekian tahun lamanya, Ki Belong merasa tidak ingin terpisah lagi untuk selama-lamanya. Bagaimanapun, Pari Kesit seorang pemuda yang sangat lugu dan berpegang pada janjinya.
“Mengapa Paman hanya diam saja?” tanya Pari Kesit.
“Diamku bukan karena tidak menyetujui rencanamu. Masalah Kanigara dan Mayang Sari sudah ada yang mengurusnya. Yaitu, Pendekar Rajawali Sakti dan Sura Pati,” jelas Ki Belong.
“Kuakui kehebatan pemuda itu. Dia pendekar besar. Tetapi pantaskah aku hanya menjadi penonton? Padahal penyebab dari semua bencana ini berasal dari keluarga kita?” tukas Pari Kesit.
“Baiklah.... Aku tak menghalangi rencanamu. Sekarang aku mohon, istirahatlah kau dulu. Mandi dan ganti pakaianmu. Setelah itu, kita makan bersama-sama. Besok, pagi-pagi sekali kau boleh memulai apa yang menjadi rencanamu. Tapi, ingat. Jangan lupa menengok makam kedua orangtuamu....”
“Terima kasih, Paman,” ucap Pari Kesit.
“Satu lagi pesanku, setelah rencanamu selesai, kembalilah ke padepokan ini. Sebab, hanya kaulah satu-satunya pengganti ayahmu,” ingat Ki Belong.
“Pesan Paman akan kuperhatikan,” sahut Pari Kesit, mantap.
Kemudian mereka segera memasuki ruang utama Padepokan Banteng Ireng. Ki Belong terus merangkul bahu Pari Kesit, seakan tak ingin melepaskannya.
********************
Setelah melakukan perjalanan hampir seharian penuh, Pendekar Rajawali Sakti dan Sura Pati tiba di pinggir sebuah lembah. Buat Pendekar Rajawali Sakti mungkin bukan masalah untuk melanjutkan perjalanan. Memang jalan yang akan ditempuh semakin sulit.
Namun Rangga juga mempertimbangkan Sura Pati. Di samping terlihat lelah, ilmu meringankan tubuh laki-laki itu masih jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti mulai mencari tempat bermalam yang paling cocok. Tak lama ditemukannya sebuah pohon yang cukup rindang dan bercabang banyak.
“Rasanya malam ini hujan akan turun, Rangga. Entah mengapa, perasaanku lagi kurang enak,” gumam Sura Pati, pelan.
“Hilangkanlah segala perasaan was-was yang menghantui dirimu, Sura Pati. Kau perlu istirahat cukup. Dengan adanya Gelang Kencana di tangan adik seperguruanmu, kita tidak boleh menganggap remeh. Kepandaiannya boleh rendah darimu. Tetapi, kita harus bersikap waspada,” ujar Rangga, tegas.
“Aku tahu. Entahlah..., aku heran mengapa berubah menjadi begini pengecut. Apa kau tidak mengendus bau sesuatu, Rangga?” desah Sura Pati.
“Maksudmu?”
“Bau bangkai.”
Rangga mengangguk. Kepalanya langsung menoleh saat mendengar suara burung hantu tidak jauh dari pohon. Pendekar Rajawali Sakti sempat terkejut ketika melihat benda-benda putih berkilat, seperti tengkorak manusia.
“Ada apa, Rangga?” tanya Sura Pati dengan suara tertahan.
“Sebaiknya kita periksa tempat itu!” ajak Rangga sambil menarik tangan Sura Pati.
Tanpa membantah lagi, pemuda bertubuh jangkung itu langsung bergerak mengikuti. Tidak lama mereka sampai di depan seonggok tulang-belulang. Sura Pati sempat terperangah ketika melihat sebuah benda berkilat-kilat tergeletak tidak jauh dari tulang-belulang yang berserakan.
“Ada apa, Sura Pati?” tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
“Melihat kalung yang tergeletak, rasanya walaupun hanya menemukan tengkoraknya saja, aku dapat mengenalinya,” jelas Sura Pati pelan sekali.
“Siapa rupanya?” desis Rangga.
“Ini pasti tulang-belulang Buntaran. Aku kenal betul dengan kalung miliknya.”
“Dia dibunuh juga. Berarti, Buntaran sebenarnya tahu mengenai gelang itu. Atau mungkin juga, tahu siapa yang meracuni gurumu,” duga Rangga tenang.
“Menurutmu siapa?” tanya Sura Pati penasaran.
“Seperti dugaanku semula aku berani menjamin, pastilah perbuatan Kanigara. Dia berpura-pura pergi melacak orang yang telah meracuni gurumu, sebenarnya hanya tipu muslihat saja yang dia pakai.”
“Bangsat betul dia!” geram Sura Pati.
“Sudahlah. Tidak perlu marah-marah. Sebaiknya kita menyingkir dari sini. Aku yakin, kau tidak dapat tidur setelah melihat mayat Buntaran,” ujar Rangga, langsung diikuti anggukan kepala Sura Pati.
********************
Pagi-pagi Pendekar Rajawali Sakti dan Sura Pati meneruskan perjalanan menuju ke Gua Selarong. Namun di tengah perjalanan, mereka dihadang dua orang laki-laki. Yang satu berbadan tinggi, dan yang satunya lagi berbadan pendek.
“Siapa kalian...? Dan mengapa menghadang kami? Menyingkirlah... Kami tergesa-gesa...,” Kata Sura Pati.
“Aku si Cindek. Dan saudaraku ini si Duwur. Kami hanya menjalankan perintah atasan kami!” jawab laki-laki yang berbadan gemuk pendek.
“Apa hubungannya dengan kami?!” serobot Rangga, dengan suara keras.
“Ho ho ho...! Hubungannya jelas ada. Bukankah kalian ingin pergi ke Gua Selarong?” tebak si Duwur.
“Kalau benar?” tukas Sura Pati, menantang.
“Gua Selarong milik majikan kami. Di sana akan dibangun sebuah kerajaan yang paling besar di dunia. Sedangkan tugas kami adalah mencegah siapa saja yang coba-coba datang ke sana!” tegas si Duwur.
“Kurang ajar!” geram Sura Pati. “Aku tahu, majikan kalian pasti Kanigara. Sekarang, menyingkirlah dari hadapan kami kalau tidak ingin mampus secara sia-sia!”
“Huh...! Terhadap pemuda ingusan seperti kalian, siapa takut?!” dengus si Cindek meremehkan.
Setelah selesai dengan ucapannya, kedua laki-laki yang memiliki tinggi badan tidak seimbang ini menarik jubah yang tersampir di bagian bahu. Saat itu juga jubah mereka langsung dikebutkan ke arah Rangga dan Sura Pati.
Wusss!
Seketika meluncur angin keras menyambar kearah Rangga dan Sura Pati. Sambaran angin keras menebar hawa panas itu disertai melesatnya benda-benda halus berwarna putih mengkilat.
“Cepat menghindar, Sura Pati...! Mereka mempergunakan jarum-jarum beracun!” teriak Pendekar Rajawali Sakti memberi peringatan.
Keduanya segera melenting ke udara. Sambil berputaran di udara, baik Sura Pati maupun Rangga mengibaskan kedua tangan ke arah serangan.
Wuuus...!
Segulung angin kencang menderu dahsyat, mematahkan serangan si Cindek dan si Duwur.
Glarrr!
“Heh...?!”
Terjadi benturan tenaga dalam yang menimbulkan ledakan keras. Si Cindek dan si Duwur terkejut sekali. Mereka terhuyung kebelakang. Bahkan jarum-jarum beracun yang melesat dari jubah mereka runtuh, menimbulkan suara bergemerincing. Melihat serangan pertama dapat dipatahkan, maka kedua laki-laki aneh ini segera melakukan serangan susulan.
Namun Sura Pati tampaknya sudah tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi. Apalagi si Cindek dan si Duwur mengaku sebagai kaki tangan dari orang yang sangat dibencinya. Maka pedangnya segera diloloskan. Kini perkelahian terbagi dua. Si Cindek berhadapan dengan Sura Pati, sedangkan si Duwur berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti.
“Heaaa...!” “Ciaaat...!”
Si Cindek kembali mengebutkan jubahnya, tampak jarum-jarum beracunnya tersimpan. Untuk yang kedua kalinya, angin keras disertai meluncurnya jarum-jarum beracun menderu ke arah Sura Pati.
Namun hanya memutar pedangnya yang membentuk perisai diri, murid tertua Padepokan Banteng Ireng itu bisa mematahkannya. Senjata-senjata rahasia itu berpelantingan ke empat penjuru arah. Di luar dugaan, si Cindek melepaskan tendangan kilat ke arah Sura Pati.
“Hih!” Pemuda itu mencoba menangkis dengan mempergunakan pedang. Tetapi si Cindek cepat sekali menarik balik kakinya. Begitu sambaran pedang lewat, si Cindek berputar seraya mengibaskan tangan ke bagian dada. Tidak terelakkan lagi....
Buk!
“Hugkh...!” Sura Pati jatuh terjengkang disertai keluhan pendek. Sedemikian kerasnya pukulan barusan, sehingga membuatnya meneteskan darah dari sudut-sudut bibirnya. Secepatnya Sura Pati bangkit berdiri. Sambil menggeram penuh kemarahan, pedangnya diputar sedemikian cepat. Langsung dipergunakannya jurus ‘Amukan Banteng Ketaton’, sebuah jurus pedang yang cukup berbahaya!
Wuuut!
“Uts...!” Si Cindek langsung berjumpalitan kebelakang, ketika mulai merasakan adanya sebuah dorongan cukup keras dari pedang pemuda itu. Jubah ditangannya dikibaskan berulang-ulang. Akan tetapi, gerakannya seakan tertahan serangan senjata Sura Pati.
Wuut!
Malah pedang di tangan Sura Pati meluncur deras ke bagian leher. Melihat bahaya datang, si Cindek terpaksa mempergunakan jubah hitamnya untuk menangkis.
Bret!
“Heh...?!” Jubah itu kontan terputus menjadi dua bagian. Si Cindek terkesiap melihat bayangan ini. Sementara, serangan Sura Pati semakin menghebat saja. Kini tanpa jubah di tangan, si Cindek semakin terdesak saja. Pada satu kesempatan si Cindek menghentakkan kedua tangannya. Namun pada waktu bersamaan pula, Sura Pati telah melenting tinggi. Beberapa kali tubuhnya berputaran, lalu meluruk deras dengan tusukan pedang. Dan....
Jleb!
“Aaa...!” Disertai jeritan keras darah menyembur dari luka di dada si Cindek. Laki-laki pendek ini terjengkang dengan mata melotot. Nyawanya lepas kejap itu juga.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti tanpa mengalami kesulitan berarti terus mendesak si Duwur. Tiba-tiba secepat kilat tubuh Rangga melenting ke atas. Saat tubuhnya meluncur ke bawah, dikerahkannya jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ dengan kaki mengibas cepat. Si Duwur berusaha merundukkan kepala, namun gerakannya terlambat. Dan....
Prak!
“Aaa...!” Kepala si Duwur pecah berantakan, sehingga darah bercampur otak berhamburan ke mana-mana. Tubuhnya oleng ke kiri dan oleng ke kanan sampai akhirnya jatuh terguling tanpa pernah bangkit kembali.
“Heh?! Ternyata kau lebih cepat dariku, Sura Pati!” puji Rangga sambil menggelengkan kepala.
“Bukan masalah cepat atau lambat. Aku heran, mengapa Kanigara dalam waktu singkat telah dapat mengumpulkan tukang pukulnya?” desah Sura Pati terheran-heran.
Rangga tersenyum. Ditepuk-tepuknya bahu Sura Pati. “Siapa pun akan tergiur jika harta benda sudah bicara. Sudahlah.... Jangan pikirkan yang tidak perlu. Kurasa, tidak lama lagi kita segera sampai ke tempat tujuan. Waspadalah! Mungkin, bukan kedua tukang pukul ini saja yang akan menghadang. Siapa tahu, Kanigara telah berhasil mengumpulkan selusin tukang pukul berkepandaian tinggi,” kejar Pendekar Rajawali Sakti.
“Mudah-mudahan saja tukang pukulnya hanya mempunyai ilmu olah kanuragan seperti si Cindek dan si Duwur ini,” ujar Sura Pati penuh harap.
“Mudah-mudahan saja!”
********************
DELAPAN
Begitu tiba di Gua Selarong, Pari Kesit langsung melepaskan pukulan-pukulan dahsyat ke dinding gua. Sehingga membuat gua itu bergetar seperti diguncang gempa, menimbulkan suara gemuruh.
Tidak lama dari dalam gua melesat keluar dua sosok tubuh. Yang satunya adalah seorang laki-laki tampan berbaju ungu. Sedangkan yang satunya lagi, wanita cantik berpakaian biru muda. Mereka tidak lain Kanigara dan Mayang Sari.
“Huh! Rupanya orang berbau busuk dan bermuka buruk ini yang telah mengganggu ketenangan kita, Kekasihku!” dengus Kanigara setelah melihat kehadiran Pari Kesit.
“Sungguh memalukan! Betapa rendahnya dirimu, Mayang Sari! Tidak kusangka kau bersedia diperistri Janaloka semata-mata hanya karena ingin mendapatkan Gelang Kencana! Kau perempuan jalang terkutuk yang patut dicincang sampai mati!” bentak Pari Kesit sambil menuding Mayang Sari.
Perempuan cantik itu terkesiap. Bahkan tanpa sadar melompat mundur, dan berlindung di belakang kekasihnya. Sementara bagai tersengat kalajengking wajah Kanigara berubah merah padam.
“Tidak ada hujan tidak ada angin kau datang mencaci maki. Ucapanmu sebusuk tubuhmu! Siapa kau, heh...?!” bentak Kanigara.
“Kau juga murid terkutuk,” tuding Pari Kesit berteriak. Sama sekali tidak dihiraukan ucapan Kanigara. “Kau membuat siasat yang sangat keji! Kau racuni gurumu sendiri. Kau tiduri istrinya seperti binatang. Huh.... Betapa hinanya dirimu!”
“Bicaramu kacau. Coba jelaskan, siapa kau? Dan mau apa datang ke sini?!” bentak Kanigara.
“Aku Pari Kesit...!” Belum sempat pemuda berbaju hitam ini melanjutkan ucapannya, Kanigara dan Mayang Sari sudah tertawa-tawa seperti orang kurang waras.
“Oho...! Rupanya kau Pari Kesit si anak malang. Perlu kau ketahui, sejak ayahmu sakit-sakitan, kami telah menjalin hubungan cinta. Dasar si tua bangka Janaloka saja yang tidak tahu diri. Dia memang pantas mati secara sia-sia!” ejek Kanigara
“Lihatlah manusia buruk rupa. Tidakkah kau tahu, bahwa kami merupakan pasangan abadi?” timpal Mayang Sari.
“Benar! Kalian memang pasangan iblis yang pantas dikirim ke neraka! Sekarang kuminta padamu untuk mengembalikan Gelang Kencana pada pewaris Padepokan Banteng Ireng yang sah!” perintah Pari Kesit.
“Tidak kusangka, manusia busuk sepertimu masih berkeinginan memiliki Gelang Kencana. Cobalah berkaca di air sana, apakah kau pantas memilikinya?” ejek Kanigara.
“Aku tidak berniat memiliki apa pun. Jika Gelang Kencana tetap berada di tanganmu, hanya akan menimbulkan bencana saja...!” tukas Pari Kesit.
Bagi Kanigara maupun Mayang Sari yang telah mendapatkan banyak keuntungan dari Gelang Kencana, mana sudi dan peduli dengan peringatan Pari Kesit. Mereka telah bertekad untuk mempertahankannya dari gangguan siapa pun.
“Kau boleh mimpi untuk merebut gelang ini. Tapi jangan harap akan mendapatkannya!” tegas Kanigara.
Pertanyaan ini tentu membuat Pari Kesit kehilangan kesabarannya. Mungkin sudah ketentuan takdir baginya kalau harus bertarung dengan Kanigara ada yang tewas.
“Kanigara!” desis Pari Kesit, begitu dingin. Sehingga, membuat tengkuk yang mendengarnya meremang berdiri.
“Ada apa lagi manusia busuk?” tanya Kanigara, mencemooh.
“Tanpa Gelang Kencana, kau bukanlah apa-apa. Jika kau mau menyerah padaku, aku berjanji untuk membiarkan kalian tetap hidup. Tetapi kalau kau tetap membangkang, diantara kita harus ada yang mati di sini!” tegas Pari Kesit.
Kata-kata yang diucapkan Pari Kesit membuat Kanigara tertawa-tawa. Padahal jika mau menyadari, Pari Kesit telah memberikan banyak keringanan padanya. Siapa pun tahu, Pari Kesit adalah pemuda jujur yang suka memegang janji, dan karena iblis memang telah mengotori jiwa Kanigara dan Mayang Sari, ajakan itu tidak ubahnya seperti lolongan anjing ditengah malam yang kemudian berlalu begitu saja di sisi telinga Kanigara.
“Ayah dan ibumu telah binasa. Kuharap, kau segera mampus di tanganku agar dunia yang indah ini tidak kotor karena tampangmu begitu jelek...!” desis Kanigara.
Apa yang dikatakan laki-laki tampan itu memupus habis kesabaran Pari Kesit. Tampaknya, memang tidak ada pilihan lain lagi selain mengambil tindakan tegas terhadap kedua manusia sesat itu. Laksana kilat Pari Kesit menghentakkan tinju mengancam Kanigara.
Dan pemuda berbaju ungu murid Ki Janaloka semula menganggap remeh serangan jarak jauhnya. Tetapi setelah dilihat sinar redup melesat dari tangan Pari Kesit, cepat didorongnya Mayang Sari untuk menyingkir. Sedangkan dia sendiri berjumpalitan ke udara untuk menghindar.
Blarrr!
Serangan jarak jauh Pari Kesit tidak mengenai sasaran. Dentum keras terdengar. Dan pintu batu gua pun runtuh. Untung Mayang Sari tadi sudah keluar meninggalkan gua. Kalau tidak, pasti terkubur hidup-hidup.
“Kurang ajar! Kau telah merusak tempat tinggalku!” teriak Kanigara.
Tidak mau kalah, pemuda berpakaian ungu ini juga melepaskan pukulan jarak jauhnya.
Tetapi Pari Kesit hanya menggeram. “Pukulan Pembelah Jagat? Huh! Pukulan ‘Halimun Senja’ tidak mungkin dapat dibendung jika mengandalkan pukulan itu!” dengus Pari Kesit.
Tapi mana mau Kanigara percaya dengan ucapan Pari Kesit yang dianggapnya anak kemarin sore. Apalagi sudah melihat sendiri kehebatan pukulan miliknya. Maka tangannya pun dikibaskan berulang-ulang.
Seleret sinar kuning disertai menebarnya hawa panas meluncur deras ke arah Pari Kesit. Sedikit pun pemuda berwajah buruk ini tidak bergeser dari tempatnya. Begitu gelombang pukulan tinggal empat batang tombak lagi, tangannya didorongkan ke depan. Kembali sinar redup melesat dari kepalan tangan Pari Kesit. Udara yang telah berubah panas semakin bertambah panas. Sampai akhirnya...
Glar! Glarrr!
“Hah...?!”
Terjadi ledakan dahsyat. Tampak Kanigara terguling-guling. Sudut-sudut bibirnya meneteskan darah. Sedangkan Pari Kesit hanya tergetar saja, pertanda tenaga dalamnya berada beberapa tingkat lebih tinggi. Melihat kenyataan ini Mayang Sari yang juga tidak tinggal diam. Langsung pedang tipis yang terselip di pinggangnya dicabut.
“Manusia busuk! Mampus sajalah kau menyusul orangtuamu! Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras, Mayang Sari meluruk.
Pedang di tangannya bergerak liar, menusuk ke bagian pinggang, dada, dan juga mata. Pari Kesit sadar betul kalau wanita itu mempergunakan jurus ‘Tarian Ular Emas’. Dan dia sudah memahami betul dasar-dasar jurus yang dipergunakan Mayang Sari. Sehingga dengan mudahnya serangan senjata itu dihindarinya.
Set! Set!
“Uts!” Walaupun hanya tinggal setengah jengkal pedang Mayang Sari merobek perut, Pari Kesit yang masih dapat berkelit. Bahkan badannya kemudian berputar. Dan tiba-tiba tangannya meluncur ke bagian pinggang. Tidak ampun lagi....
Des!
“Wuaaakh...!” Mayang Sari kontan mengeluh tertahan, lalu jatuh terpelanting dengan senjata masih tetap tergenggam di tangannya. Secepat kilat wanita itu bangkit berdiri dan bersiap-siap melakukan serangan.
Pada saat yang sama tanpa diketahui Pari Kesit, dari samping Kanigara melepaskan Gelang Kencana yang telah berubah warna merah darah....
“Bunuh manusia jelek itu, Gelang Kencana...!”
Ssstt...!
Seperti sambaran kilat, Gelang Kencana yang telah berubah menjadi hidup melesat ke arah Pari Kesit. Wujudnya yang berbentuk ular merah darah sebesar kelingking meliuk-liuk ke arah sasaran.
Inilah sebuah bahaya besar yang harus dihindari pemuda berbaju hitam. Tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuhnya melompat ke sana kemari sambil meliuk-liuk mengelakkan pagutan ular merah darah. Gerakan-gerakan Pari Kesit yang sedemikian aneh, membuat ular penjelmaan Gelang Kencana kehilangan sasaran.
Pada saat yang bersamaan, Sura Pati muncul tepat di belakang Pari Kesit. Pemuda yang baru datang bersama Pendekar Rajawali Sakti itu terkesiap melihat luncuran ular yang melenceng ke arahnya. Untuk menghindar, sudah tidak punya waktu lagi. Maka terpaksa tangannya mengibas.
Wuuut!
Segulung angin menderu dan menghadang serangan ular merah. Tetapi, pukulan Sura Pati seakan tidak berarti. Karena, ular merah darah itu ternyata mampu menembus gelombang angin pukulannya. Dan...
Crep!
“Aaa...!” Ular berwarna merah darah kontan menghujam leher Sura Pati. Pemuda malang itu menjerit setinggi langit. Tubuhnya terlempar. Sedangkan ular penjelmaan Gelang Kencana kembali berbalik ke arah pemiliknya.
Tap!
“Cukup dulu, Gelang Kencana. Rupanya kita kedatangan tamu baru!” ujar Kanigara sambil menimang-nimang Gelang Kencana yang melingkar di atas telapak tangannya.
“Sura Pati!” teriak Rangga sambil memeriksa Sura Pati. Namun pemuda itu telah tewas dengan sekujur tubuh berubah merah. Karena Pari Kesit kenal baik dengan Sura Pati, maka dia pun segera datang menghampiri.
“Aku Pari Kesit. Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti, sebagaimana yang diceritakan pamanku Ki Belong!” jelas pemuda berpakaian hitam memperkenalkan diri.
“Tampaknya, kedatangan kami hampir terlambat. Sebaiknya, kita hadapi kedua iblis itu bersama-sama!” tegas Rangga.
“Kanigara tidak begitu berbahaya. Gelang Kencana itulah yang perlu diatasi. Jika kau punya senjata, sebaiknya pergunakan senjatamu!” saran Pari Kesit, berbisik.
Dalam kesempatan itu, Kanigara yang semakin percaya diri ini segera menghampiri Rangga dan Pari Kesit. Senyumnya mengembang menunjukkan keangkuhannya.
“Rupanya kau juga ingin mampus hingga telah berani datang ke sini!” dengus Kanigara, dingin.
Rangga dan Pari Kesit serentak berdiri. Pendekar Rajawali Sakti memandang Kanigara dengan sinar mata dingin menusuk. “Kesalahanmu sudah melebihi takaran. Sekarang, aku harus menghentikanmu!” desis Rangga.
Selesai dengan ucapannya. Pendekar Rajawali Sakti menerjang Kanigara. Langsung dikerahkannya jurus-jurus simpanan dari rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’.
Sementara Pari Kesit juga tidak tinggal diam. Segera diserangnya Mayang Sari. Tentu saja perempuan itu terkesiap, sebab sudah merasakan kehebatan lawannya. Dengan cepat pedangnya diputar untuk menghalau serangan. Pedang Mayang Sari meluncur deras, menerobos pertahanan Pari Kesit.
Tetapi, putra Ki Janaloka itu dengan sigap segera mempergunakan jurus menghindarinya yang aneh. Gerakan tubuhnya tampak tidak beraturan saja. Walaupun begitu tak satu serangan yang mengenai sasaran. Di lain waktu Pari Kesit membalas serangan dengan kekuatan berlipat ganda.
Sementara itu, Kanigara tampaknya sudah tidak memberi angin pada Pendekar Rajawali Sakti. Dia tidak mungkin dapat bertahan jika hanya mengandalkan kemampuannya saja. Menghadapi Pari Kesit saja, kepandaiannya kalah jauh. Apalagi sekarang harus menghadapi serangan dahsyat pemuda berbaju rompi putih ini.
“Gelang Kencana pelindungku! Bunuh kedua musuh itu...!” teriak Kanigara dengan suara keras menggelegar.
Sebagaimana yang terjadi pertama tadi, maka gelang yang melingkar di atas telapak tangan Kanigara kembali menggeliat dan hidup. Warnanya yang merah muda berubah menjadi merah darah. Seketika secara gaib berubahlah gelang itu menjadi ular, dan langsung meluncur deras menyerang Rangga.
Melihat serangan Gelang Kencana yang telah berubah menjadi ular berwarna merah darah. Rangga langsung teringat ajian yang pernah diberikan Satria Naga Emas, yang hidup sezaman dengan gurunya. Pendekar Rajawali.
Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti mulai merapalnya. Aneh bin ajaib.... Tepat ketika ular jejadian itu sejengkal lagi menghujam leher Rangga, mendadak terjatuh dan berubah menjadi Gelang Kencana kembali.
Pluk! Blasshhh...!
Begitu menyentuh tanah, secara aneh pula gelang itu meletup kecil, lalu berubah menjadi abu. Kanigara terkejut sekali melihat kenyataan ini. Dia menggeram marah, lalu mencabut pedang tipisnya. Seketika diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan gencar.
Melihat pedang lawannya meluncur deras kebagian dada, Rangga berkelit ke samping. Secepat itu dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti, dan secepat itu pula dikibaskan menyamping. Dan....
Crasss!
“Aaa...!” Kanigara kontan melolong panjang saat sinar biru berkilauan yang memancar dari pedang Rangga menembus dadanya. Tubuh pemuda itu langsung roboh, dan nyawanya melayang saat itu juga.
Melihat kematian kekasihnya, Mayang Sari yang sudah dalam keadaan terdesak hanya menjerit. Sementara, serangan Pari Kesit semakin bertambah menghebat. Karena perhatiannya terbagi-bagi, wanita itu jadi lepas kendali.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Pari Kesit. Ketika Mayang Sari melompat mundur, Pari Kesit menerjang ke depan. Seketika tangan pemuda berwajah buruk itu terjulur, menghantam dada Mayang Sari dengan keras.
Prak!
“Huaagkh...!” Perempuan itu kontan tersungkur roboh dengan tulang dada hancur. Mulutnya mengucurkan darah segar. Tubuhnya berkelojotan sekejap, kemudian terdiam untuk selama-lamanya.
Pari Kesit memperhatikan mayat wanita itu sambil menghela napas panjang. “Gelang Kencana hancur. Tetapi, tidak mengapa. Aku mewakili Padepokan Banteng Ireng, kuucapkan terima kasih atas bantuanmu!” ucap Pari Kesit, agak keras.
Ucapan pemuda berwajah buruk ini tidak terjawab. Karena, ternyata Pendekar Rajawali Sakti telah pergi di luar sepengetahuannya. Kepala Pari Kesit menggeleng.
“Hm... Di atas langit ternyata masih ada langit!” gumam Pari Kesit sambil menghampiri mayat Sura Pati.
Matahari sudah condong di ufuk barat, saat Pari Kesit meninggalkan Gua Selarong. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa ada orang lain yang telah membantunya.
S E L E S A I
~ PENDETA MURTAD ~