ANCAMAN DARI UTARA
SATU
SEORANG gadis cantik dengan tubuh padat terbungkus kain dari atas dada hingga bawah lututnya berlari tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang dengan wajah pucat ketakutan.
Sejak selesai mencuci pakaian di sungai tadi, gadis ini merasa ada seseorang yang membuntutinya. Dia merutuk diri sendiri, kenapa tadi tidak pulang bersama teman-temannya. Memang ada seorang pemuda yang ditunggunya. Namun pemuda itu tak muncul-muncul juga. Akibatnya, terpaksa dia pulang sendiri.
Dan kini sebuah ancaman siap mengintai. Ketika gadis itu baru saja lima langkah meninggalkan sungai, seorang laki-laki berpakaian serba hitam mengikutinya. Meski tidak terang-terangan, tapi cukup membuat gadis ini ketakutan. Apalagi, menyadari kalau jarak di antara mereka tak berubah sedikit pun. Padahal, gadis itu berlari sekuat tenaganya. Sedang si penguntit berjalan biasa.
"Apa yang diinginkannya?" keluh gadis itu, gelisah sambil terus berlari. Keringat dingin semakin banyak membasahi tubuhnya. Begitu memasuki jalan utama desa, ada tersirat harapan di wajah gadis ini. Dan bagai mendapat kekuatan....
"Tolooong...! Tolooong...!" Terasa ada luapan kegembiraan ketika gadis ini berhasil berteriak. Padahal sejak tadi dia telah berusaha. Namun tak ada sedikit pun suara yang bisa lepas dari kerongkongannya. Maka seperti lahar yang muncrat dari gunung berapi, dia berteriak sekuat-kuatnya.
Suara teriakan itu menggema, menyentak pendengaran para penduduk Desa Kanoman. Para petani yang bekerja di ladang, atau yang kebetulan lewat mendengar teriakan itu. Mereka bagai mendapat kata sepakat berlarian ke arah jalan utama. Dan begitu bertemu, kembali mereka mencari-cari arah datangnya teriakan tadi.
"Dari arah sana!" teriak seorang laki-laki setengah baya yang memakai caping bambu dan cangkul.
"Suara perempuan? Siapa, ya?" timpal laki-laki bertubuh tambun.
"Apa yang terjadi? Pembunuhan? Pemerkosaan?!" seru laki-laki bertubuh pendek.
Sebelum ada yang bisa menjawab, dari arah utara berlari-lari seorang gadis terbungkus kain lurik dari atas dada hingga betis.
"Hei?! Itu kan Den Marni, putri Juragan Narayana!" teriak seseorang, langsung menghampiri.
"Tolong! Tolong, Ki! Ada orang jahat! Ada orang jahat...!" teriak gadis yang ternyata bernama Marni dengan tubuh menggigil. Langsung dipeluknya laki-laki setengah baya berjenggot panjang itu.
"Tenang, Den Marni. Tenang! Tarik napas dalam-dalam, lalu tenangkan pikiranmu. Ini aku, Ki Lawas," ujar laki-laki setengah baya berjenggot panjang.
Marni menarik napas panjang-panjang setelah melepas pelukan. Kepalanya menoleh ke belakang. Tapi, laki-laki yang tadi mengejarnya tak kelihatan batang hidungnya. "Dia tadi di sana! Mengikutiku...!" tunjuk gadis itu.
Sejenak orang-orang yang ada di situ mengikuti arah pandangan Marni. "Siapa?" tanya Ki Lawas dengan kening berkerut. Memang tak ada siapa-siapa.
"Laki-laki berbaju hitam itu! Dia..., dia mengikuti sejak tadi!"
"Marni.... Tak ada laki-laki berbaju hitam yang mengikutimu. Ada juga penduduk desa yang tengah bekerja di ladang."
"Dia membawa pedang, Ki! Rambutnya panjang, dikuncir! Matanya seram dan kulitnya kuning. Aku yakin dia bermaksud buruk, Ki!"
"Kami tak melihat orang seperti itu!"
"Di sana! Dia di sana, Ki!" tegas Marni.
Dahi Ki Lawas mengernyit saat menoleh ke arah yang ditunjuk Marni. Memang tak ada orang dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan Marni. Namun untuk membuat gadis itu tenang, disuruhnya beberapa orang memeriksa ke arah yang ditunjuk.
"Periksa yang benar!"
"Beres, Ki!"
Beberapa orang langsung memeriksa tempat yang ditunjuk Marni. Namun, sesaat mereka kembali sambil menggeleng lemah.
"Kami tak menemukan siapa pun, Ki...."
"Sudah kalian periksa dengan teliti?"
Mereka mengangguk. Dan Ki Lawas menghela napas seraya berpaling ke arah Marni. Gadis itu kelihatannya sudah agak tenang. Namun wajahnya masih pucat, menyiratkan perasaan takut.
"Betul, kan? Tidak ada siapa-siapa?"
Marni terdiam. Dicobanya kembali mencari-cari laki-laki yang tadi menghantuinya. Seperti apa yang dikatakan Ki Lawas, memang tak ditemukan siapa-siapa selain orang-orang desa yang telah dikenalnya.
"Biar kuantar pulang ya, Den?" tawar Ki Lawas.
Gadis itu mengangguk. "Cucianku tertinggal di sana, Ki...."
"Tidak usah khawatir. Mereka akan mencarikan dan membawanya ke rumahmu," jawab Ki Lawas.
Lalu laki-laki setengah baya ini memerintahkan dua orang yang berada di tempat itu untuk mencari cucian Marni dan membawanya ke rumah Juragan Narayana. Dia sendiri mengantarkan Marni pulang.
********************
Kejadian siang tadi betul-betul menghantui Marni. Meski ayahnya telah memperketat penjagaan, namun hati gadis itu tetap saja belum merasa tenteram. Padahal, dia berada dalam kamarnya.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara ketukan di pintu. Gadis itu malas-malasan membukanya. Begitu terbuka, tampak seraut wanita setengah baya muncul, dengan senyum manis. Wanita itu masuk ke dalam, mendampingi Marni yang terus saja berjalan ke tempat tidur.
"Masih memikirkan laki-laki itu?" tanya wanita setengah baya yang masih terlihat cantik. Dia lantas duduk di sisi tempat tidur.
Marni mengangguk
"Jangan turuti kegelisahan itu. Tidak akan terjadi apa-apa. Percayalah. Ayahmu sudah menyuruh orang-orangnya untuk memperketat penjagaan...," hibur wanita ini.
"Orang itu..., ah! Entah apa yang diinginkannya! Sorot matanya menyeramkan, Bu. Aku betul-betul takut...!" keluh Marni.
"Mulai besok kau di rumah saja. Biarkan Mbok Irah yang mencuci pakaian. Lagi pula sudah berkali-kali Ibu katakan, tak perlu bersusah-payah mencuci sampai ke sungai segala. Kita kan punya sumur dan kamar mandi. Kau bisa mencuci kapan saja kau suka. Tapi alasanmu selalu saja ingin ketemu kawan-kawan!" kata wanita setengah baya yang tak lain ibunya Marni.
Dia sering dipanggil dengan Nyai Narayana. Marni terdiam. Pikirannya masih tetap tertuju pada laki-laki berbaju hitam yang menguntitnya. Tak peduli ibunya yang terus mengoceh.
"Sekarang tidurlah. Tak ada yang mesti ditakuti," ujar Nyai Narayana.
"Eh, ibu mau ke mana?" cegah gadis itu ketika wanita setengah baya hendak beranjak dari sisi tempat tidur dan hendak melangkah.
"Kenapa? Kau ingin ditemani?" tukas Nyai Narayana.
Dengan malu-malu, Marni mengangguk. Wanita setengah baya itu menggeleng lemah sambil menghela napas. Perlahan dia kembali duduk di tepi ranjang.
"Baiklah. Ibu akan menemanimu di sini...," desah Nyai Narayana.
"Terima kasih, Bu," ucap Marni perlahan.
"Sekarang, tidurlah."
"Aku belum ngantuk. Rasanya mata sulit dipejamkan. Bagaimana kalau Ibu mendongeng?"
"Anak manja! Usiamu sekarang sudah tujuh belas tahun, tahu? Kau masih suka mendengar Ibu mendongeng?!"
Marni tersenyum-senyum melihat ibunya menggeleng-gelengkan kepala. "Ibu mau, kan?" desak Marni.
"Ya, tidak apa. Eh! Sebelumnya Ibu mau tanya, apa tidak pernah terpikir olehmu untuk berumah tangga? Usiamu sudah cukup, Mami."
"Ibu..., bicara apa? Siapa yang mau sama aku yang jelek ini?!" rajuk Marni seraya menyembunyikan wajahnya ke balik bantal.
"Kalau sepertimu saja jelek, lantas yang cantik bagaimana?" tukas Nyai Narayana.
Marni tak menjawab. Dia tersipu-sipu malu. Rasanya baru kemarin dia menjalani masa kanak-kanak. Dan sekarang usianya mulai beranjak remaja yang berangkat dewasa. Dan telinganya masih kaget mendengar cerita tentang kekasih kawan-kawannya. Juga, apa yang mereka lakukan kala berduaan. Wajah Marni akan bersemu merah bila kawan-kawannya bercerita tentang indahnya saat berkasih-kasih.
Di sisi lain, Marni masih ketakutan bila ada laki-laki yang memperhatikannya. Namun begitu jauh di lubuk hatinya, ada keinginan untuk mencoba peristiwa-peristiwa yang pernah diceritakan kawan-kawannya. Mungkin enak. Dan kelihatannya mendebarkan. Apalagi bicara dengan pemuda-pemuda yang mengejar-ngejarnya.
"Ayo.... Yang cantik itu seperti apa?" ulang Nyai Narayana. "Eee, malah melamun! Nah! Ketahuan sekarang! Kau sudah punya kekasih? Katakan pada ibu, siapa orangnya? Tampankah dia? Siapa namanya? Orang dari desa kita juga?"
Berondongan pertanyaan itu membuat Marni tergagap. Rona wajahnya berubah-ubah cepat. Apalagi ketika ibunya menyingkap bantal yang menghalangi pandangan.
"Ayo, mengaku...!" desak Nyai Narayana. "Ibu, itu tak ada! Ibu mengarang-ngarang cerita"
"Eee, apanya yang tak ada? Apanya yang mengarang-ngarang cerita? Ibu hanya tanya, benar atau tidak. Dan..., memang sudah biasa kalau seorang gadis tengah kasmaran, pasti tingkahnya serba salah. Termasuk, bicaranya ngawur sepertimu tadi! Ayo, sekarang jawab!"
"Jawab apa?" "Kau sudah punya kekasih, 'kan?" desak Nyai Narayana sambil tersenyum-senyum.
"Tidak!" sergah Marni.
"Bohong!" kejar Nyai Narayana.
"Sungguh, tidak ada!" tegas Marni.
"Mungkin ada seorang pemuda yang mengejar-ngejar dan sangat tergila-gila padamu. Siapa dia?" pancing wanita setengah baya itu.
Marni tersipu. Dalam hatinya, dibenarkan kata-kata ibunya. Memang ada seorang yang menaksir padanya. Namanya, Kelana. Pemuda desa ini juga. Ayahnya termasuk kawan dekat Ki Narayana, ayahnya Marni. Pemuda itu tampan. Dan..., mungkin memperhatikannya. Dia suka menjemput kalau Marni pulang mencuci di sungai. Suka membawakan bakul cuciannya. Tapi, Marni selalu menolak. Jantungnya berdebar kencang sekali bila berjalan dengannya.
Padahal sudah sering pemuda itu dibentaknya agar jangan mengantarnya pulang. Tapi dasar Kelana kepala batu. Dia malah tak peduli. Dan tadi siang, sebenarnya Kelana berjanji akan menjemputnya. Belakangan baru diketahui, kenapa Kelana tak muncul. Ternyata pemuda itu tengah pergi ke kota karena suatu keperluan. Dan pada saat Kelana tak muncul, justru datang gangguan yang di luar dugaan.
"Nah, benar kan?!" Tuding Nyai Narayana, menyentak lamunan Marni.
"Tidaaak!" sahut Marni, bersikeras.
"Ayo, mengaku!" Nyai Narayana mulai menggelitiki anaknya yang terus berusaha menghindar.
"Tidak! Tidak ada!"
"Kalau tidak mengaku, akan terus Ibu gelitiki."
Mami terkikik, lalu lompat dari tempat tidur. Tapi ibunya mengejar. Sehingga untuk beberapa saat, mereka saling kucing-kucingan. Marni seperti melupakan perasaan was-was yang sejak tadi menghantui. Sementara ibunya mulai gembira. Namun hal itu tak berlangsung lama. Sebab....
"Seraaang...!"
"Aaa...!" Terdengar teriakan dari luar, yang disusul teriakan bernada kematian.
"Ohh...!" Ibu dan anak itu mendesah dengan hati tercekat. Mereka langsung berhenti kejar-kejaran, dan saling pandang dengan perasaan was-was.
"Ibu...!" seru Marni. Seketika ibunya dipeluk erat-erat.
Untuk sesaat Marni dan Nyai Narayana tak tahu harus berbuat apa. Marni menenggelamkan wajahnya ke perut ibunya di sisi tempat tidur. Sedangkan sang ibu hanya bisa mengelus-elus rambut putrinya. Namun ketika terdengar jeritan selanjutnya, Nyai Narayana tersentak.
"Marni, kau harus lari! Selamatkan dirimu!" ujar wanita setengah baya itu.
"Ibu, ada apa?" tanya Marni kebingungan.
Pertanyaan itu tak perlu dijawab, sebab Marni sudah menduga apa yang terjadi. Dan ketakutannya yang tadi reda, kembali muncul dengan hebatnya. Yang terbayang dalam benaknya adalah kemunculan laki-laki berbaju serba hitam yang akan mengobrak-abrik rumahnya.
"Kau di sini dulu! Ibu akan lihat, apa yang terjadi," ujar Nyai Narayana.
"Tidak! Aku ikuuut...!" Marni tak peduli. Meski hatinya gentar, tapi lebih takut ditinggal seorang diri di kamar ini. Maka buru-buru dia menyusul ibunya.
"Tapi kau mesti janji. Kalau terjadi apa-apa, kau mesti cepat melarikan diri, ya?" ingat Nyai Narayana, seraya memegang pundak putri satu-satunya.
Marni tak mengangguk. Juga tak menanggapi peringatan ibunya. Ketakutan betul-betul menguasai hatinya.
"Juragan Putri...!" Terdengar panggilan yang diiringi munculnya seorang pemuda dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya pucat nafasnya turun naik tak beraturan saat tiba di depan Nyai Narayana dan Marni.
"Ada apa, Ludira?" tanya wanita setengah baya itu.
"Kita mesti buru-buru pergi!" sahut pemuda bernama Ludira.
"Iya, tapi apa yang terjadi? Mana suamiku...?!" desak Nyai Narayana.
"Tidak sempat lagi! Ayo cepat! Nanti saja sambil jalan akan kuceritakan. Kita lewat belakang!" sergah Ludira, seraya mengajak keduanya dengan setengah memaksa.
"Ludira, katakan ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Marni.
"Dua laki-laki berbaju serba hitam bersenjata pedang. Tiba-tiba saja mereka muncul dan mengamuk. Mereka orang asing. Kepandaian mereka hebat sekali. Tukang pukul Juragan tak mampu menandinginya. Mereka tewas dengan sekali hajar!"
Ketakutan Marni makin menjadi-jadi mendengar cerita itu.
"Cerita Den Mami benar! Tapi, mereka tidak hanya satu, melainkan dua orang. Mereka ingin bertemu Den Marni. Tapi, caranya kasar sekali. Juragan coba menghadapinya dengan baik-baik, tapi mereka tak terima. Bahkan menghajar Juragan...," lanjut Ludira.
"Suamiku....! Apa yang terjadi terhadap juraganmu, Ludira?" seru wanita setengah baya itu. Hampir saja dia hendak berbalik kalau Ludira tak mencekal kuat-kuat. Wanita itu berusaha berontak.
"Lepaskan! Aku mesti lihat apa yang terjadi pada suamiku?! Lepaskan, Ludira!" bentak Nyi Narayana.
"Juragan Putri... Aku hanya menjalankan perintah dari Juragan Narayana untuk menyelamatkan Juragan Putri dan Den Marni. Lebih baik kita tidak ke sana. Ayo! Cepat, Juragan Putri! Den Marni!"
"Tidak! Aku mesti bertemu suamiku. Ludira! Jangan halangi! Lepaskan!" teriak wanita setengah baya itu.
"Aduuuh, tolong, Juragan Putri! Juragan...!" Sekarang malah Ludira yang berteriak-teriak ketika Nyai Narayana berhasil melepaskan diri dan kabur sekencang-kencangnya ke depan.
Marni pun mengikuti jejak ibunya. Ludira buru-buru mencekal tangan Marni. Meski gadis itu memberontak, namun tak dipedulikannya. Terus saja gadis itu dibawa ke kandang kuda.
"Lepaskan, Ludira! Biar aku menyusul Ibu! Le鈥恜askan!" teriak Marni.
"Maaf, Den Marni! Aku mesti menjalankan perintah...," ucap Ludira.
"Lepaskaaan...!"
"Ya, lepaskan dia...!"
"Oh...?!" Ludira tercekat ketika terdengar suara dari belakang. Begitu berbalik, tampak berdiri dua sosok tubuh berbaju serba hitam. Celaka, Den...!" desah Ludira dengan wajah agak pucat. Tangan kanannya siap meraba gagang golok.
"Lepaskan dia!" bentak salah seorang.
"Tidak bisa." Ludira coba mengempos keberaniannya untuk menjawab.
"Lepaskan kataku! Atau kepalamu akan kutebas?!"
"Tidak. Pergilah kalian!" Tiba-tiba Ludira bertindak nekat. Dia berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului. Maka langsung dicabutnya golok dan diserangnya kedua laki-laki itu. "Yeaaa...!"
Kedua laki-laki berbaju serba hitam itu mendengus dingin. Kemudian salah seorang segera melayani serangan. Cepat dan singkat sekali gerakan laki-laki itu. Sekilas terlihat bayangan putih yang memantul dari pedang panjangnya. Dan tahu-tahu terdengar keluhan tertahan dari mulut. Ludira ambruk bersimbah darah. Sementara pedang, lawan telah kembali ke sarangnya.
"Ludira?!" seru Mami tertahan. Gadis itu mendekap mulut dan bengong memandangi mayat pembantu ayahnya. Kemudian perlahan-lahan didekatinya mayat Ludira untuk meyakinkan dugaannya. Namun baru beberapa langkah, salah seorang langsung melayang. Barulah gadis itu menyadari kalau keadaannya saat ini amat buruk.
"lnikah gadis yang kau ceritakan itu, Idashi?" tanya salah seorang laki-laki berbaju hitam.
Laki-laki bernama Idashi yang memeluk Mami terkekeh kecil sambil mengangguk.
"Lepaskan aku! Lepaskaaan...! Keparat, lepaskaaan...!" teriak Mami, garang. Dengan sekuat tenaga gadis itu berusaha melepaskan diri. Namun sia-sia saja, karena pelukan Idashi kuat bukan main.
"Ayo kita pergi!" ajak kawan Idashi.
"Mau ke mana? Di sini saja, Ichimaru!"
"Idashi! Jangan macam-macam! Jangan sampai kedatangan kita terlalu menyolok di mata penduduk. Kau boleh bawa gadis kesukaanmu.itu. Tapi tidak boleh bersenang-senang di sini!" tukas laki-laki yang bernama Ichimaru.
Idashi mengangguk. Dan dengan gerakan cepat ditotoknya Marni sampai pingsan. Kemudian mereka berkelebat meninggalkan halaman belakang rumah Juragan Narayana.
********************
DUA
Dada Kelana terasa bergemuruh bukan main mendengar berita yang menimpa keluarga Ki Narayana. Begitu tiba di rumah orang terkaya di Desa Kanoman yang dilihatnya sangat mengiriskan. Mayat-mayat bergelimpangan. Keadaan rumah juragan itu masih terlihat porak poranda, Ki Narayana terluka.
"Orang-orang asing. Entah, apa maunya. Mereka..., mereka menculik Mami...," tutur istri Juragan Narayana dengan terbata-bata dan air mata berlinang, sambil merawat suaminya.
"Terkutuk!" desis Kelana geram. "Ke mana mereka membawanya?"
Wanita itu menggeleng lemah. Dan air matanya kembali mengalir. "Yang lain telah berusaha mencari...," sambung Nyai Narayana.
"Bibi, tenang saja di sini. Urus Paman Narayana. Biar mereka kukejar," ujar Kelana, pemuda yang selama ini menaruh perhatian pada Marni.
"Kembalikan Mami ke sini, Kelana...."
"Jangan khawatir! Aku akan membawa Marni kembali, Bik!" Dengan wajah geram dan hati penuh amarah, pemuda itu segera bangkit.
Kakinya melangkah lebar, keluar dari rumah Juragan Narayana. Bersama beberapa penduduk desa, dia bertekad mencari orang-orang asing yang telah mengobrak-abrik tempat kediaman Marni, gadis yang menarik perhatiannya. Juragan Narayana sendiri sekarang hanya bisa terbaring, ditemani istri dan beberapa tetangga. Meski kaya dan memiliki banyak sawah, ladang, serta heran ternak, laki-laki setengah baya itu bukanlah orang sombong. Perangainya ramah dan pemurah.
Tak mengherankan kalau penduduk desa menyayanginya. Maka ketika mendengar musibah yang menimpa keluarga itu, tanpa diminta mereka berbondong-bondong menolongnya. Sebagian mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman depan, dan lainnya mengejar orang-orang berbaju serba hitam yang telah melarikan diri membawa Marni.
Sementara itu, Kelana terus melangkah ke arah beberapa laki-laki penduduk desa yang tengah berkumpul di depan rumah Kepala Desa. Benaknya menduga yang bukan-bukan akan keselamatan Marni. Dia khawatir para laki-laki asing itu merusak kehormatan Marni. Dan..., kita-kira dia mengerti, di mana tempat orang-orang melakukan perbuatan maksiat!
"Ikut aku, Kang Braja!" ajak Kelana ketika tiba di depan rumah Kepala Desa.
"Ke mana, Kelana?" tanya laki-laki bertubuh kurus yang dipanggil Braja.
"Ke Jurang Langu!" sahut Kelana.
"Ke jurang Langu? Mau apa malam-malam ke sana, Kelana?" tanya Braja lagi.
"Mencari Marni! Memangnya mau apa lagi?!"
"Mencari Marni kok ke sana? Apa kau yakin Mami dilarikan ke sana?"
"Ayolah, kau mau ikut atau tidak?"
"Baiklah. Aku ikut Legawa! Dan kau, Kubil! Ayo temani Kelana!" ujar Braja.
Jurang Langu. Sebuah lembah yang tidak terlalu landai. Banyak pepohonan meski tanahnya kebanyakan berbatu dan kelihatan gersang. Di sana berdiri sebuah pondok tua berusia ratusan tahun. Konon, pondok itu dulu pernah ditinggali seorang tokoh persilatan yang tak dikenal penduduk desa itu. Dan tokoh itu dianggap telah meninggal, karena tiada seorang pun yang tahu di mana keberadaannya sampai sekarang.
Belakang diketahui kalau pondok itu dijadikan tempat maksiat bagi muda-mudi yang tengah kasmaran dan tak tahan godaan setan. Meski begitu, tak satu penduduk pun yang berani mengusik. Karena kebanyakan mereka takut mendekati tempat itu, setelah salah seorang penebang hutan menemukan beberapa mayat bergelimpangan di sekitar pondok itu.
Kelana berada paling depan ketika bersama Braja, Legawa, dan Kubil tiba di dekat pondok tua itu. Saat itu malam gelap telah melingkupi sekitarnya. Angin berhembus perlahan. Dia memberi isyarat agar obor-obor dimatikan serta menyiapkan senjata.
"Aduh.... Dengkul ku gemetar...," keluh Braja, berbisik.
"Kang Braja.... Kalau kau takut, lebih baik pulang saja...!" bisik Kubil.
"Iya. Lebih baik kelonan dengan istrimu...!" timpal Legawa.
"Sialan kau, Legawa! Siapa bilang aku takut?!" dengus Braja melotot lebar.
"O, mungkin dengkulnya gemetar karena kebanyakan!" sambung Kubil.
"Kebanyakan apa?" tanya Legawa pura-pura tidak mengerti.
"Awas kau, Kubil!" ancam Braja.
"Aku bilang Kang Braja dengkulnya gemetar karena kebanyakan..., nyangkul! Iya kan, Kang?!" Kubil terkekeh ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Nyangkul sawah yang bisa kentut?" tukas Legawa.
Sebelum mereka terkekeh kembali. Kelana sudah memberi isyarat. "Kalian ini kenapa? Masih sempat bercanda segala!" desis Kelana.
"Aduh, Kelana marah. Tenang, Kawan. Marni tak apa-apa. Kelihatannya kau sewot betul...!" olok Kubil.
"Sudah, sudah...! Diam kalian!"
Semua terdiam. Perhatian mereka kini sama-sama tertuju ke arah pondok. "Biar aku yang periksa ke sana...," cetus Legawa.
Saat itu juga, Legawa lompat ke depan. Dia melangkah mengendap-endap ke arah pondok. Namun baru saja sampai lima tombak di samping pondok, langkahnya terhenti ketika sesosok tubuh tegak berdiri menghadang. Melihat keadaan itu, Kelana, Kubil, dan Braja muncul. Mereka langsung mengelilingi seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda. Matanya sipit, namun menyorot garang.
"Nah, ini orangnya!" seru Braja yang tadi berada di rumah Juragan Karta ketika keributan terjadi.
"Yakin, Kang?!"
"Meski bukan dia, tapi orang ini kawannya. Entahlah, aku tak begitu ingat. Tapi sipit-sipitnya sama. Dan baju serta,.., eeeh!" Braja terkejut. Langsung dia melompat mundur ketika laki-laki berbaju serba hitam itu menghunus pedang panjang.
"Benar, Kelana! Ini orangnya. Tak salah lagi!" teriak Braja, buru-buru menyelinap di belakang Kelana.
"Kurang ajar! Hei, Bajingan Sipit! Mana Marni? Kembalikan dia pada kami!" bentak Kelana.
"Cari mati! Pergi! Sebelum kepala kalian kutebas!" desis laki-laki berbaju serba hitam itu.
"Huh! Jahanam terkutuk! Masih sempat juga kau menggertak, he?!" dengus Legawa. Dan tak banyak bicara lagi, Legawa langsung melompat menyerang dengan golok terhunus.
Disertai dengusan dingin, laki-laki bermata sipit itu mengibaskan pedangnya yang berkilatan.
Tras! Sret!
"Aaa...!" Pedang laki-laki itu kontan mematahkan golok Legawa dan terus menyambar ke dahi. Terdengar jeritan panjang sebelum Legawa tersungkur. Dari dahinya memancur darah segar.
"Legawa...!" seru Kelana dengan suara tercekat.
"Kalian akan bernasib seperti dia! Dan tak ada kesempatan bagi kalian untuk meloloskan diri!" desis laki-laki berbaju serba hitam itu, menyeringai dingin.
"Keparat! Kau harus menebus kematiannya!" desis Kelana, siap melepas serangan.
"Yeaaa...!" Namun Kubil lebih cepat mendahului. Goloknya berkelebat cepat mengibas.
Namun dengan enaknya laki-laki itu bergerak ke kiri, seraya mengayunkan pedang. Tepat ketika golok kubil terhantam, golok Kelana meluncur datang menuju perut. Dengan kecepatan luar biasa, laki-laki bermata sipit itu memutar pedangnya ke bawah. Golok Kubil dan Kelana laksana batang pisang bertemu kelebatan pedang tajam. Putus menjadi dua bagian! Bahkan sebelum mereka menguasai diri, laki-laki bermata sipit itu telah menggerakkan pedangnya cepat bukan main. Lalu....
"Cras! Cras!
"Aaa...!" Kubil dan Kelana menjerit tertahan sebelum ambruk tak berdaya dengan dahi tertembus pedang.
"Ohh...!" Braja terkejut setengah mati melihat kematian kawan-kawannya. Wajahnya pucat pasi dengan tubuh semakin gemetar. Sesaat matanya memandang mayat ketiga kawannya, lalu beralih kepada laki-laki berbaju serba hitam itu. Tanpa sadar kakinya beringsut mundur.
"He he he...! Kau masih menginginkan gadis itu? Dia tengah digilir kawanku. Kau boleh menonton kalau mau. Asal, tidak buat keributan," kekeh orang bermata sipit ini.
"Ma..., Marni?" sebut Braja, tertahan.
"O.... Namanya Marni, ya? Bagus. Dia gadis cantik dan cocok buat kami. Mungkin kau bisa carikan gadis-gadis cantik lainnya buat kami."
"Oh! Bi..., bisa, Tuan! Bisa!" sahut Braja cepat setengah berlutut. "Sekarang, Tuan?"
"Ya, sekarang."
"Kalau begitu, baiklah! Akan kucarikan segera!" Braja sudah akan bangkit dan bermaksud kabur secepatnya. "Enak saja! Kalian kira aku germo! Rasakan! Nanti akan kubawa semua penduduk desa untuk menghabisi kalian!" umpat Braja dalam hati.
"Tunggu dulu!" cegah laki-laki asing itu.
"Eh! Apa lagi, Tuan?" tanya Braja.
"Maksudku, kau boleh mencarikannya dari akhirat sana!"
Mata Braja terbelalak lebar. Dan lututnya lemah seperti lumpuh. Sukmanya terasa terbang ketika mendengar ancaman itu. Apalagi ketika melihat laki-laki berbaju serba hitam itu mengangkat pedang. "Tu..., Tuan! Ampuni jiwaku. Ampuni aku, Tuan...," ratap Braja seraya bersujud mencium kaki laki-laki itu.
Tapi laki-laki itu tak mempedulikannya. Dengan kasar ditendangnya kepala Braja. Braja tergeser beberapa langkah disertai jerit tertahan. Namun, buru-buru dia kembali bersujud di kaki orang itu. Namun sebelum hal itu dilakukan, mata pedang laki-laki sipit ini telah menyambar ke dahi.
"Aaa...!" Braja kontan melotot lebar dengan mulut ternganga. Darah mengucur dari dahi, lalu ambruk tak berdaya.
Laki-laki berbaju serba hitam itu mendengus dingin. Kembali pedangnya disarungkan setelah membersihkan percikan darah.
"Buntaro, ada apa?" Terdengar suara dari belakang yang disertai munculnya seseorang di tempat itu. Seseorang yang juga berpakaian sama dengan laki-laki yang bernama Buntaro.
"Empat kecoa coba mengejar kita ke sini, Yamaguchi. Jangan khawatir, mereka telah kubereskan," sahut Buntaro.
"Hmm!" gumam laki-laki bernama Yamaguchi seraya memperhatikan keempat mayat itu sebentar. "Sekarang giliranmu!"
"He he he...! Dia tentu hebat, ya?" kekeh Buntaro.
"Kau akan merasakannya sebentar lagi."
Buntaro terkekeh, langsung berbalik. Kakinya melangkah lebar-lebar memasuki pondok. Sementara Yamaguchi menyusul beberapa saat kemudian, telah memeriksa dan merasa yakin tak ada lagi orang yang akan mengganggu mereka.
********************
"Heaaa...!" Seekor kuda berlari kencang membelah jalan kota Kadipaten Demak. Baru ketika tiba di depan sebuah halaman luas, penunggangnya menarik tali kekang. Dan kini, kuda itu memasuki halaman sebuah bangunan besar. Seorang laki-laki setengah baya mengambil tali kekang, ketika laki-laki penunggang kuda turun.
"Tolong mandikan dan beri makan rumput yang segar!" ujar penunggang kuda itu.
"Baik, Den!" sahut laki-laki setengah baya.
Laki-laki penunggang kuda itu hendak melangkah lebar, namun niatnya diurungkan. Dia ingat sesuatu. "Kanjeng Adipati ada?" tanya laki-laki penunggang kuda yang berpakaian serba putih ini.
"Ada, Den! Sedang menerima tamu," sahut pengurus kuda itu.
"Siapa?"
"Tidak tahu. Tapi kedua tamu itu datang bersama Den Wirabuana."
"Bagaimana tampang mereka?"
"Seram..., seperti orang-orang persilatan. Yang seorang berbaju merah dan matanya picak. Senjatanya tombak bermata tiga. Yang seorang lagi berbaju biru tua, membawa senjata pedang besar," jelas pengurus kuda itu.
"Hmm! Agaknya mereka si Tombak Mata Empat dan si Pedang Akhirat," gumam laki-laki berperawakan sedang berusia sekitar tiga puluh lima tahun seraya melangkah masuk ke dalam setelah melewati beberapa pengawal berseragam. Beberapa penjaga yang berpapasan memberi hormat. Namun laki-laki ini hanya mengangguk dan terus masuk ke dalam sebuah ruangan besar mirip balairung.
"Kanjeng Adipati Sangkaran, hamba menghadap!" seru laki-laki berpakaian serba putih ini dengan sebelah lutut mencium lantai.
Seperti yang dikatakan pengurus kuda tadi, Kanjeng Adipati memang tengah kedatangan dua orang tamu yang dibawa Ki Wirabuana, salah seorang kepercayaan Kanjeng Adipati seperti dirinya.
"Ah! Kau rupanya Seda Lepen! Silakan duduk!" ujar seorang lelaki berperawakan gemuk dan berkumis tebal yang duduk di kursi kebesarannya. Orang ini berusia sekitar empat puluh tahun lebih. Dialah penguasa di wilayah Kadipaten Demak.
Laki-laki berbaju serba putih yang ternyata bernama Seda Lepen mengambil tempat duduk yang ada di hadapan Ki Wirabuana. "Hamba membawa berita, Kanjeng...," lapor Seda Lepen.
"Berita apa yang kau bawa?" tanya Adipati Sangkaran Seda Lepen melirik kedua tamu yang dibawa Ki Wirabuana. Terus terang, hatinya merasa ragu untuk menyampaikan berita yang dibawa. "Katakan saja yang penting-penting!" desak Kanjeng Adipati, seperti mengerti kecurigaan di hati salah satu orang kepercayaannya ini terhadap dua tamunya.
"Baiklah, Gusti...," desah Seda Lepen.
"Maaf, Gusti! Hamba menyela pembicaraan," sela Ki Wirabuana.
"Ada apa Wirabuana?" tanya Adipati Sangkaran.
"Ada baiknya kalau hamba menunjukkan tempat bagi mereka...."
"Ah, ya! Itu baik sekali! Silakan!" Ki Wirabuana dan dua tamunya memberi hormat, sebelum meninggalkan tempat itu. Setelah mereka berlalu dari ruangan, kelihatan kalau Seda Lepen sedikit leluasa menjelaskan berita yang dibawa.
"Katakan, berita apa yang kau bawa?" tanya Adipati Sangkaran.
"Kita kedatangan empat tamu, Kanjeng Adipati! Mereka hebat!" lapor Seda Lepen.
"Mana mereka?"
"Hamba belum membicarakan hal ini. Tapi, kehebatan mereka tak diragukan lagi.
"Dari mana kau bisa seyakin itu?"
"Hamba melihat sendiri, Kanjeng Adipati. Ilmu olah kanuragan mereka aneh dan ganas. Apalagi kalau tengah menggunakan senjata. Keempat orang asing itu rasanya sepadan dengan keinginan Kanjeng!"
"Orang asing?"
"Benar, Kanjeng. Mereka orang asing. Berpakaian serba hitam dan bersenjata pedang panjang. Mata mereka sipit dan berkulit kuning," jelas Seda Lepen.
Kanjeng Adipati bergumam pendek sambil mengerutkan dahi. Kemudian memandang kembali pada Seda Lepen. "Kalau begitu kau boleh bawa mereka kemari, untuk menunjukkan kehebatan di depanku!"
"Kalau Kanjeng Adipati telah mengizinkan, maka tentu saja akan hamba kerjakan secepatnya. Tapi...."
"Tapi apa?" potong Adipati Sangkaran.
"Hamba ingin kelihatan kalau ini soal resmi. Oleh karena itu harap sertakan beberapa prajurit dan..., sejumlah uang," papar Seda Lepen.
"Untuk apa semua itu Seda Lepen?!" seru Kanjeng Adipati dengan wajah sedikit kaget.
"Maaf, Kanjeng Adipati! Sekali lagi maafkan kelancangan hamba. Tapi semua ini demi tercapainya cita-cita Kanjeng. Kita memilih orang yang hebat. Dan biasanya, orang-orang hebat itu sadar akan dirinya, lalu banyak tingkah. Namun dengan adanya para prajurit, dia tentu maklum tengah berurusan dengan negara. Sedangkan uang yang hamba maksudkan adalah, kalau-kalau dia meminta bayaran di muka lebih dulu. Begitulah, Kanjeng. Tak ada maksud hamba yang lain di balik semua ini, selain ingin mendatangkan keempat orang itu secepat mungkin ke hadapan Kanjeng...," jelas Seda Lepen.
"Menurutmu, berapa harga mereka seorang?" tanya Kanjeng Adipati, mulai termakan ucapan Seda Lepen.
"Kalau Kanjeng berani membayar yang lainnya sekeping uang perminggu. Maka untuk mereka mungkin sudah cukup dua keping uang emas perminggu."
Adipati Sangkaran tersenyum sambil manggut-manggut. "Seda Lepen! Aku punya jago-jago hebat di sini. Kenapa kau kira keempat orang asing itu lebih hebat ketimbang mereka? Apakah kau hanya melebih-lebihkan saja?" tukas Kanjeng Adipati.
鈥淗amba telah melihat sebagian besar kehebatan jago-jago kadipaten. Dan ketika melihat kehebatan mereka, maka jelas hamba bisa membandingkannya. Dan rasanya, hamba tak salah, Kanjeng...," kilah Seda Lepen.
"Baiklah.... Kalau kau begitu yakin, maka bawalah mereka ke sini!"
"Terima kasih, Kanjeng Adipati...."
"Bawa beberapa prajurit yang kau sukai. Lalu mintalah pada bendahara kadipaten sejumlah uang yang kau butuhkan!"
"Terima kasih, Kanjeng. Terima kasih!" Setelah berdiri dan membungkuk, Seda Lepen berlalu dari ruangan itu.
Kanjeng Adipati Sangkaran memperhatikan sambil tersenyum-senyum, sampai Seda Lepen menghilang dari ruangan ini. "Kalau saja apa yang dikatakannya benar, maka lengkaplah sudah prajurit-prajuritku! Dan setelah itu, cita-citaku akan terwujud cepat. He he he...!"
********************
TIGA
Sepak terjang orang-orang berpakaian serba hitam dengan mata sipit semakin membuat resah penduduk di wilayah Kadipaten Demak. Mereka menculiki beberapa gadis, dan merusak kehormatannya secara paksa. Beberapa penduduk yang coba menguntit dan meringkus, kedapatan binasa secara mengerikan.
Kejadian ini benar-benar meresahkan. Dan para penduduk tak tahu, mesti berbuat apa. Satu-satunya jalan bagi orang tua yang memiliki anak gadis adalah mengungsikannya ke tempat yang cukup jauh dari wilayah Kadipaten Demak. Namun yang tak memiliki saudara atau kenalan di tempat lain, terpaksa bahu-membahu dengan keluarga lain untuk memperketat penjagaan.
Kejadian seperti itu telah beberapa kali mengguncang Desa Maspati yang termasuk dalam wilayah Kadipaten Demak. Terlihat beberapa laki-laki dewasa saling jaga bergantian. Mereka selalu siap dengan senjata masing-masing, dan cepat bergerak bila melihat gelagat yang tak beres. Sore belum lagi sirna. Suasana masih agak terang ketika seorang laki-laki berbaju serba hitam mendatangi rumah besar yang pintu gerbangnya dijaga lima pemuda.
"Maaf, aku mau bertemu pemilik rumah ini," kata laki-laki itu.
Kelima pemuda penjaga rumah besar ini langsung lompat menghadang. Mereka memandang laki-laki bermata sipit itu dengan sorot mata tajam. Dari cara bicara dengan bahasa yang terpatah-patah dan dengan logat aneh, jelas kalau laki-laki itu dari negeri asing.
"Kelihatannya kita menemukan orang yang dimaksud!" bisik pemuda yang berbaju merah dengan kepala terikat kain merah pula.
"Kau yakin, Jarot?" tukas pemuda yang berbaju coklat.
"Pasti, Boma! Orang ini berbaju serba hitam, bermata sipit, dan berambut panjang dikuncir. Dan dia punya pedang panjang. Dari cara berpakaian, sudah diketahui kalau mereka bukan penduduk negeri ini," sahut pemuda bernama Jarot.
"Kalau begitu, kita mesti bersiap!" ujar pemuda bernama Boma. Empat pemuda lainnya mengangguk.
"Apa kalian tuli?! Aku ingin bertemu pemilik rumah ini!" tegas laki-laki berbaju hitam itu dengan suara agak kasar.
"Beliau tak ada?" sahut pemuda berbaju kuning.
"Sudah pindah!" timpal yang lainnya.
"Sebaiknya kau pergi saja!"
"Kalian coba menipuku? He he he...!" kekeh laki-laki berbaju hitam itu. "Tak ada gunanya! Di dalam ada tiga gadis cantik dalam sebuah kamar. Dan sebentar lagi, mereka akan keluar menemaniku."
"Aaa...!" Baru saja selesai bicara laki-laki itu, terdengar jeritan dari dalam. Kelima pemuda itu terkesiap. Di dalam ada empat pemuda lagi yang menjaga ketiga gadis yang dimaksud. Maka begitu mendengar teriakan seperti jerit kesakitan, kontan mereka curiga.
"Tunggu di sini! Aku ke dalam!" kata Boma.
"Tak perlu repot-repot. Kawan-kawanku tengah mengurus mereka...," ujar laki-laki berbaju hitam itu.
"Apa?! Kurang ajar! Kalian apakan saudara-saudara kami?!" dengus yang bernama Jarot. Boma tak peduli lagi. Dia terus berlari ke dalam.
"Siapa pun yang menghalangi kami, maka...!" Orang asing itu menempelkan sisi telapak tangannya ke leher, lalu menggerakkannya ke samping. Mukanya kelihatan melebar, ketika dahinya dinaikkan. Sementara bibirnya mengulas senyum, mengejek.
"Bangsat! Kalau begitu kau saja yang mampus lebih dulu!" Jarot yang lekas naik darah langsung menghunus golok. Dia melompat, menebas batang leher laki-laki di depannya. "Hiaaat!"
Laki-laki berbaju serba hitam itu mendengus dingin. Sedikit tubuhnya dimiringkan, maka golok itu luput dari sasaran. Dan mendadak sebelah tangannya menangkap pergelangan tangan Jarot Lalu kaki kanannya menyapu ke ulu hati.
"Hugkh!" Pemuda bersenjata golok itu hanya mampu mengeluh tertahan ketika tendangan tadi mendarat di perutnya. Tangannya tak mampu bergerak seperti dicengkeram capit baja. Dari mulutnya menyembur darah segar. Lalu, tubuhnya lunglai tak berdaya ketika dihempaskan.
"Jarot!" seru salah seorang pemuda, kaget. Mereka menghampiri, dan memeriksa luka yang diderita Jarot. Namun pemuda itu hanya mampu bertahan sebentar. Mulutnya terbuka lebar, ingin mengatakan sesuatu. Tapi tak ada yang keluar selain hembusan nafasnya yang terakhir.
"Keparat!"
"Terkutuk kau!"
"Kubunuh kau! Kubunuh kaaauuu...!"
Ketiga pemuda itu menggeram marah. Serentak mereka menyerang dengan golok terhunus.
"Hmm...!" Laki-laki berbaju serba hitam itu menggumam tak jelas. Namun secepat kilat meloloskan pedang. "Heaaa...!" Diiringi bentakan keras pedang itu berkelebat, memapas golok-golok.
Tras! Tras! Tras!
Belum sempat ketiga pemuda itu berbuat sesuatu, pedang ini terus menyambar dahi.
Cras! Cras! Cras!
"Aaa...!" Kejadian itu berlangsung cepat dan singkat. Kemudian pedang itu kembali ke dalam sarung, tepat saat ketiga pemuda ini ambruk dengan dahi mengucurkan darah dengan teriakan hampir berbarengan.
Sementara dari dalam rumah terlihat tiga sosok bayangan hitam mendekat. Masing-masing memanggul satu sosok tubuh ramping. Jelas, sosok wanita.
"Beres?" tanya laki-laki berpakaian serba hitam ketika ketiga sosok itu tiba di depannya. Ketiga sosok berpakaian serba hitam pula mengangguk. "Mari kita pergi!"
Meski sebagian penduduk desa mengetahui apa yang terjadi, namun tak satu pun yang mau membantu. Bukan mereka tak peduli. Namun, agaknya para penduduk tahu, apa akibatnya kalau berani ikut campur. Dan ketimbang mati sia-sia, lebih baik diam saja!
********************
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras, membuat empat sosok berpakaian serba hitam yang tiga di antaranya masing-masing membawa tiga tubuh ramping langsung berhenti di perempatan jalan utama. Begitu mereka berbalik, tampak serombongan prajurit berseragam menghampiri dengan langkah lebar. Paling depan adalah laki-laki berpakaian serba putih. Dialah yang memimpin rombongan prajurit ini.
Empat orang asing itu memandang dengan kening berkerut Salah seorang yang tak memondong tubuh ramping, melangkah maju mendekati pemimpin rombongan prajurit itu.
"Kami dari tentara Kadipaten Demak yang mendapat perintah agar kalian menghadap Kanjeng Adipati!" kata laki-laki berpakaian serba putih yang tak lain Seda Lepen.
"Apa kesalahan kami?" tanya laki-laki berpa鈥恔aian serba hitam, mewakili kawan-kawannya.
"Hmm!" gumam Seda Lepen. Matanya memandang tiga gadis yang tengah dipondong laki-laki berbaju serba hitam. "Menculik gadis-gadis itu!"
"Kisanak! Kalian salah duga! Mereka adalah kekasih kami. Dan kami tengah bermain-main...," kilah laki-laki bermata sipit ini.
"Bermain-main dengan kekasih yang dalam keadaan tertotok?" sindir Seda Lepen.
Mendengar sentilan ini, laki-laki berbaju serba hitam itu diam membisu. Tak tahu apa yang mesti dijawabnya.
"Sebaiknya berterus-terang saja. Kami bisa menyediakan keinginan kalian. Dan..., tentunya ada imbal balik," sambung Seda Lepen.
"Apa maksudmu?" tanya laki-laki asing ini.
"Aku Seda Lepen, tangan kanan Kanjeng Adipati. Beliau tertarik mendengar kehebatan kalian...."
"Hmm, lalu?"
"Kalian telah banyak membuat kerusuhan di wilayah ini. Dan menurut hukum yang berlaku, mestinya kalian digantung. Namun Kanjeng Adipati adalah seorang yang berpikiran luas. Jadi, kalian akan diampuni serta diberi hadiah besar, bila kau bekerja untuk beliau...," jelas Seda Lepen dengan muka manis.
"Kalau kami menolak?"
"Hukuman gantung itu akan berlaku! Tapi, sebaiknya kalian pikirkan baik-baik. Sebab, Kanjeng Adipati tak bermaksud menyusahkan. Sedikit kerjasama, maka Kanjeng Adipati akan membuat kalian senang."
Laki-laki asing tidak buru-buru menjawab. Matanya melirik pada ketiga kawannya. Mereka berembuk agak lama, sebelum memutuskan sesuatu.
"Kalau kami membantu beliau, apakah kalian akan mengabulkan keinginan kami?" tanya laki-laki asing itu.
"Tentu saja! Kalian mau apa? Wanita-wanita cantik setiap malam? Uang emas, dan tempat tinggal yang nyaman? Kanjeng Adipati pasti akan senang mengabulkannya!" sahut Seda Lepen, tegas.
"Selain itu ada keinginan kami yang lain!" tambah laki-laki asing ini.
"Katakanlah, apa itu?"
"Kalian mesti mencarikan seseorang yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti untuk kami"
"Pendekar Rajawali Sakti?!" desis Seda Lepen dengan wajah kaget.
"Kenapa? Kau tak sanggup?!"
"Eh, kenapa tidak? Tentu saja kami sanggup. Kalau boleh tahu, untuk urusan apa kalian mencari-carinya?"
"Dia punya hutang nyawa pada kami!" dengus laki-laki berbaju hitam itu.
Seda Lepen mengangguk-angguk. "Memang, orang-orang seperti kalian banyak yang mencari-cari Pendekar Rajawali Sakti untuk urusan dendam. Namun jarang ada yang berani terang-terangan. Kebanyakan mereka takut mendengar nama besar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kurasa kalian tidak seperti itu..."
"Cuhhh...! Orang lain boleh takut padanya! Tapi bila dia berani muncul di depanku, kepalanya akan menggelinding!" dengus laki-laki berbaju hitam itu.
"Ha ha ha...! Aku percaya, karena kalian mempunyai kemampuan hebat. Sejak pertama, sepak terjang kalian telah kuikuti dan kulaporkan pada Kanjeng Adipati. Dan beliau amat menghargai sekali kemampuan kalian yang luar biasa. Nah! Sebagai pertanda kerjasama kita, maukah kalian memperkenalkan diri?" puji Seda Lepen.
"Aku Buntaro. Dan ini Yamaguchi. Ini Idashi, dan Ichimaru."
Seda Lepen sedikit bingung dengan dahi berkerut. Untuk saat ini, dia mungkin tak akan lupa nama dan wajah mereka. Tapi nanti, dia mungkin agak lupa. Sebab wajah keempatnya hampir mirip. Setelah mengamat-amati beberapa saat, barulah Seda Lepen menemukan perbedaan itu. Yaitu, pada ikat pinggang serta ronce di hulu gagang pedang mereka. Buntaro memakai warna merah. Sedangkan Yamaguchi kuning. Idashi berwarna putih, serta Ichimaru memakai warna hitam.
"Mari kita berangkat!" ajak Seda Lepen.
"Sekarang?" tanya Buntaro.
"Ya! Tak ada yang mesti ditunda lagi. Bukankah kesepakatan telah kita buat?"
Buntaro tak langsung menjawab, melainkan melirik pada ketiga kawannya. Mereka pun sekilas menoleh pada tiga sosok wanita yang tengah dipondong. Dan sekilas saja Seda Lepen mengetahui apa yang memberatkan.
"Bawa ketiganya! Anggap saja itu hadiah pertama dari Kanjeng Adipati!" ujar Seda Lepen.
********************
Desa Watu Ukur merupakan daerah yang sering dilalui orang yang hendak ke wilayah Kadipaten Demak, atau sebaliknya yang hendak meninggalkan tempat itu dari wilayah barat. Tak heran kalau tempat ini cukup ramai dikunjungi pendatang. Siang ini, seperti biasa banyak pedagang atau pengelana yang kebetulan melewati tempat ini. Keramaian itu ditingkahi pula oleh suara orang yang menggebah kudanya dengan kencang di pinggir desa. Debu tampak mengepul tinggi ke atas.
Tidak jauh di belakang, pada jarak sekitar empat atau lima langkah, tiga orang penunggang kuda mengejarnya. Ketiga penunggang kuda yang di belakang itu mengacung-acungkan pedang dan tombak. Mereka kelihatan garang sekali sambil berteriak-teriak mengancam.
"Lebih baik kau berhenti dan serahkan jiwamu, Jonggol Maraka!" teriak salah seorang pengejar.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau? Tak seorang pun yang bisa menolongmu saat ini!" timpal yang berada di tengah.
"Huh! Tanganku sudah gatal ingin memotes kepalanya!" dengus orang yang berkuda paling kiri sambil mengacungkan tombak. Tangan kirinya menarik tali kekang, lalu menggebah kudanya hingga berlari lebih kencang lagi. "Hiih...!" Tiba-tiba saja laki-laki itu melempar tombak ditangannya.
Siuutt...!
Tombak meluncur ganas, mengincar punggung penunggang kuda yang berada di depan. Laki-laki bernama Jonggol Maraka terpaksa membungkuk. Namun tindakannya tak banyak membantu, karena lemparan tombak agak ke bawah. Mau tak mau terpaksa dia melompat dan langsung bergulingan.
"Hieeekh...!" Tombak itu menancap tepat di tengkuk kuda yang ditunggangi Jonggol Maraka. Terdengar jerit kesakitan hewan itu, sebelum ambruk dan menggelepar-gelepar. Sementara, Jonggol Maraka telah cepat bangkit berdiri.
Ketiga laki-laki yang mengejar Jonggol Maraka langsung berlompatan setelah menghentikan kuda. Ketiga orang yang kepalanya tertutup kain hitam dengan dua lubang di bagian mata itu langsung mengurung.
"He he he...! Hari ini kau tak akan bisa lari lagi, Jonggol Maraka. Lebih baik menyerah. Dan relakan lehermu ku potong!" ejek salah seorang bertopeng hitam sambil terkekeh lebar.
Jonggol Maraka mendengus geram. Matanya disipitkan. Dalam jarak dekat seperti ini, dia belum juga mampu menebak siapa ketiga orang ini. "Siapa sebenarnya kalian?! Dan, apa yang kalian inginkan dariku?! Tidak tahukah kalian tengah berhadapan dengan pejabat kerajaan?!" gertak Jonggol Maraka.
"Siapa kami, kau tak perlu tahu!" dengus orang bertopeng yang bersenjata pedang. "Kami menginginkan kepalamu! Dan ini tentu saja tak salah alamat, karena kau telah memperjelasnya."
"Jadi kalian sengaja mengincar ku?" tukas Jonggol Maraka.
"Kau cerdik, sayang nyawamu bakal melayang!"
"Huh! Jangan harap aku akan menyerah begitu mudah!" dengus Jonggol Maraka.
"Dua puluh prajurit mu telah mampus! Apalagi yang kau harapkan? Bersiaplah menyusul mereka!" dengus orang bertopeng yang tadi melemparkan tombak. Dan tadi tombaknya telah dicabut dari punggung kuda Jonggol Maraka.
"Heaaat..!" Disertai bentakan keras laki-laki bersenjata tombak itu langsung menyerang.
Wuuuttt...!
"Mampus!"
Jonggol Maraka melompat ke samping, ketika ujung tombak itu hendak menghujam ke dada. Namun orang bertopeng itu tidak berhenti sampai di situ. Begitu serangannya gagal, tubuhnya langsung berputar. Langsung dilepaskannya satu tendangan berputar. Jonggol Maraka tak kalah sigap. Lengan kanannya cepat mengibas dari kiri ke kanan.
Plaaaakkk...!
"Uhh...!" Jonggol Maraka mengeluh tertahan dengan tubuh terjajar. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit. Dan sebelum dia berbuat sesuatu, ujung tombak orang bertopeng telah menyambar dadanya.
Craaasss...!
"Wuaakh...!" Jonggol Maraka menjerit kesakitan sambil membekap dadanya yang terluka lebar. Dari sela-sela jarinya merembes darah segar. Belum juga dia menotok lukanya untuk menghentikan darah, satu tendangan geledek telah menggedor dadanya.
Desss...!
"Aaa...!" Jonggol Maraka kontan terjungkal roboh beberapa langkah ke belakang.
"Berdoalah sebelum berangkat ke akhirat!" ejek orang bersenjata tombak menyeringai lebar.
Kedua orang bertopeng lainnya hanya terkekeh, memandangi kawannya yang siap melompat dengan tombak terhunus. Tak ada waktu buat Jonggol Maraka untuk menghindar. Apalagi keadaannya amat payah. Bahkan untuk berguling pun rasanya sulit. Dia hanya mampu memejamkan mata dan menghela napas. Pasrah akan kematian yang akan menimpanya sebentar lagi. Namun sebelum orang bertopeng itu melompat dan menghujamkan tombak ke jantung....
"Kisanak! Rasanya tak pantas kau berbuat begitu pada orang yang tengah sekarat...!"
Terdengar teguran yang disusul berkelebatnya satu bayangan putih. Ketiga orang bertopeng itu tersentak, langsung memandang kesatu orang. Tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Di balik punggungnya tampak gagang pedang berbentuk kepala burung.
"Siapa kau, Bocah? Apa maumu?!" bentak salah satu orang bertopeng.
"Aku Rangga, seorang pengembara yang paling benci melihat orang-orang telengas macam kalian. Lawan kalian telah tak berdaya, mengapa harus bertindak kejam lagi sahut pemuda yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Kurang ajar! Kau tak tahu tengah berhadapan dengan siapa?!" desis salah satu orang bertopeng yang bersenjata kapak dengan hati menggelegak penuh amarah. Dia langsung lompat menyerang.
"Yeaaa...!"
Begitu lawan bergerak menyerang, Pendekar Rajawali Sakti segera membuat kuda-kuda rendah. Dia bersiap menghadapi segala kemungkinan.
EMPAT
"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti melenting ringan, sehingga tebasan kapak hanya lewat beberapa jari di bawah kakinya. Begitu mendarat, laki-laki bertopeng itu telah kembali menyambarkan kapak.
"Uts!" Rangga meliukkan tubuhnya, seraya melepas gedoran kepalan tangan ke dada.
Orang bertopeng itu mundur dua langkah, sehingga kepalan pemuda berbaju rompi putih itu dapat dihindari. Namun Pendekar Rajawali Sakti membarengi dengan tendangan beruntun ke dada. Begitu cepat gerakannya. Sehingga....
Duduuuukkk....! Duuuukkk....!
"Aaakh...!" Tak ampun lagi orang bertopeng bersenjata kapak itu terjungkal roboh disertai jerit kesakitan. Isi dadanya seperti remuk menerima tendangan geledek tadi.
Dua orang bertopeng lainnya melengak kaget. Mereka tak menyangka pemuda berompi putih itu demikian hebat. Untuk sesaat dahi keduanya berkerut, coba mengingat-ingat di mana mereka pernah mengenal ciri-ciri khas pemuda ini.
"Kenapa kalian diam saja?! Ayo, bantu aku menghajarnya!" bentak laki-laki bertopeng yang bersenjata kapak dengan wajah berang.
"Eeeh!"' Keduanya kaget. Namun secepatnya mereka menghunus senjata dan langsung menyerang pemuda itu bersamaan.
"Heaaa...!" "Yeaaat!"
"Pengecut-pengecut seperti kalian memang membuatku muak saja!" desis Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum dingin. "Kalian terlalu memaksa, namun jangan dikira aku akan membiarkannya...."
"Heaaaaaa...!"
Tanpa mempedulikan kata-kata Rangga, ketiga orang bertopeng itu menyerang berbarengan dengan hebat. Senjata mereka berseliweran menimbulkan angin menderu-deru tajam. Rangga segera mengerahkan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Tubuhnya bergerak ringan dan gesit meliuk-liuk indah bagai orang mabuk di antara kelebatan golok lawan-lawannya.
"Kemampuan kalian hebat. Sayang, digunakan untuk jalan sesat...," gumam Rangga.
"Setan! Jangan berkhotbah di depan kami!" bentak orang bertopeng yang bersenjata pedang. "Kuremukkan batok kepalamu, Bocah!"
"Bicara kalian kelewat besar, Sobat! Tapi kemampuan kalian sekecil tahi kuku," kata Rangga mulai memanas-manasi.
"Kurang ajar!" Secara serempak ketiga orang bertopeng itu menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki.
Namun kali ini Pendekar Rajawali Sakti tak ingin hanya menghindarinya saja. Begitu salah seorang menghujamkan tombak, dia melompat ke belakang. Pada saat yang bersamaan, dua orang yang masing-masing bersenjata kapak dan pedang sudah mengejar. Satu mengincar kepala dan seorang lagi mengincar perut.
Rangga cepat mengembangkan kedua tangan dengan telapak membentuk paruh rajawali. Dibuatnya beberapa gerakan dengan kaki bersilangan. Dari gerakannya jelas kalau Pendekar Rajawali Sakti tengah membuka jurus awal 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua lawannya terkesiap. Namun mereka tetap meneruskan serangan. Tepat ketika senjata-senjata itu berkelebat, Rangga memiringkan tubuhnya sambil mengibaskan tangannya yang berisi tenaga dalam sempurna.
Trak...! Trak...!
Senjata-senjata itu kontan berpatahan. Dan sebelum kedua orang bertopeng itu menyadari, Pendekar Rajawali Sakti telah memutar tubuhnya seraya melepas tendangan setengah melingkar.
Dessss....! Dessss...!
"Aaakh...!" Kedua orang itu kontan tersentak disertai teriakan tertahan ketika tendangan Rangga mendarat telak di tubuh masing-masing.
"Aku tahu! Dia si Pendekar Rajawali Sakti!" seru orang yang bersenjata tombak, tanpa meneruskan serangan. Kedua orang yang baru saja mendapat hadiah dari Pendekar Rajawali Sakti tercekat sambil merangkak bangun. Mereka memandang pemuda itu dengan sorot mata tak percaya.
"Tak mungkin!" desis orang yang bersenjata pedang, setelah mampu bangkit.
"Tapi nyatanya begitu!" sahut orang yang ber鈥恠enjata tombak.
"Aku yakin dengan ciri-cirinya. Lihatlah gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung itu. Lebih baik kabur selagi ada kesempatan, karena sia-sia saja bila melawannya."
"Tapi...." Orang yang bersenjata kapak agak ragu. Namun seketika kedua kawannya angkat kaki, mau tak mau terpaksa dia mengikuti. Bertiga saja mereka tak mampu menghajar pemuda itu, apalagi kini seorang diri.
Rangga tersenyum, tak berusaha mengejar. Matanya memperhatikan sebentar, sampai mereka menghilang dari pandangan.
"Kisanak! Kenapa kau lepaskan? Mestinya orang seperti mereka tak perlu diampuni! Mereka telah menumpas prajurit-prajurit kerajaan!" tegur Jonggol Maraka, menyadarkan Rangga.
"Apakah Kisanak dari kerajaan?" Rangga malah balik bertanya.
"Benar! Namaku Jonggol Maraka, panglima regu kecil yang biasa bertugas keliling wilayah Kerajaan Pasir Angin," sahut Jonggol Maraka.
"Aku Rangga...."
"Dan kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!" serobot Jonggol Maraka. "Ah, sudah lama aku mendengar nama besarmu, Pendekar Rajawali Sakti!"
Rangga tersenyum. "Maaf, panggil aku Rangga saja, Ki Jonggol. Oh, ya, Ki. Aku tak tahu duduk persoalannya. Jadi tak ada alasan bagiku untuk meringkus mereka. Dari kejauhan kulihat mereka mengeroyokmu. Dan kulihat pula dari wajahmu, kau bukan orang jahat. Itulah yang membuatku tergerak menolong...," ucap Rangga, sopan.
"Sudahlah, tak apa. Kau memang tak salah, Rangga...," desah Jonggol Maraka.
"Apa sebenarnya yang membuat mereka menyerangmu? Apakah kau mengenalinya, Ki?"
Jonggol Maraka menggeleng lemah. "Tidak. Hanya saja, aku merasa yakin kalau mereka kaki tangan para pengacau yang belakangan ini banyak membuat keresahan...."
"Pengacau?" Ki Jonggol Maraka kembali mengangguk. Disertai rintihan.
Rangga tersadar dan segera memberikan perawatan pada luka yang diderita lelaki itu.
"Belakangan ini para pengacau mulai mengganggu keamanan wilayah Kerajaan Pasir Angin. Mereka bukan saja merampok para penduduk, tapi juga berani membunuh para prajurit kerajaan yang tengah berkeliling di sekitar wilayah kerajaan," jelas Jonggol Maraka mulai bercerita. "Gusti Prabu Wisnu Palaran berusaha mengamankannya dengan mengirim para tokoh-tokoh silat tangguh yang selama ini bercokol di istana. Namun setiap kali mereka muncul, maka para perampok itu lenyap dan tak berani menampakkan batang hidungnya!"
"Jadi menurutmu, mereka mengerti siapa musuh yang dihadapi?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Kelihatannya begitu. Mereka tahu betul kekuatan kami. Sehingga bila menemukan lawan tangguh, mereka bersembunyi. Sebaliknya bila menemukan petugas yang dianggap lemah, mereka berani menampakkan diri," jelas Jonggol Maraka lagi.
"Apakah menurutmu hal ini kejadian biasa?"
"Entahlah. Gusti Prabu punya dugaan ada gerakan tersembunyi yang bermaksud menggulingkan kekuasaannya."
"Ada orang yang dicurigai sebagai dalang dari semua gerakan ini?" tanya Rangga.
"Belum.... Tapi, entahlah. Aku hanya pejabat rendahan dan tak tahu banyak soal itu," sahut Jonggol Maraka, jujur.
"Hmm." Rangga terdiam beberapa saat. Entah apa yang dipikirkannya. Namun sebelum dia kembali bicara, Jonggol Maraka telah menawarkan sesuatu.
"Rangga, bila orang sepertimu mau mengabdi pada kerajaan, aku yakin Gusti Prabu pasti akan suka."
Rangga tersenyum. "Terima kasih, Ki. Orang sepertiku mestinya hidup berkelana di alam bebas...," tolak Rangga halus.
"Sayang sekali. Padahal dengan kepandaianmu, kau bisa mengabdikan diri...."
"Tapi tidak mesti mengabdi pada kerajaan, Ki. Selama ini aku berusaha mengabdikan diri demi kepentingan orang banyak. Dan hasilnya, bisa kulihat dan ku rasakan sendiri. Atau barangkali kau menilai kalau caraku selama ini bukan bentuk pengabdian terhadap masyarakat?"
"Ah! Mana berani aku mengira begitu, Rangga! Apa yang kau katakan itu benar. Dan aku menyadari kalau yang kukatakan tadi adalah kekeliruan!"
Rangga kembali tersenyum. "Tidak mesti begitu, Ki. Setiap orang punya pemikiran masing-masing. Bila mengabdi pada kerajaan dianggap cara yang lebih baik, maka dia boleh saja mengamalkan kepandaiannya di sana," sergah Rangga, halus.
"Kau membuatku bingung, Rangga!" Jonggol Maraka tersipu-sipu.
Pemuda itu tersenyum kembali. Manis sekali. "Tapi meski begitu, aku ingin bertemu rajamu. Mudah-mudahan beliau tidak keberatan," kata Rangga.
"Tentu saja tidak! Kurasa beliau malah gembira menerima kedatanganmu," sambut Jonggol Maraka gembira. Wajahnya kelihatan berseri-seri.
"Lebih baik kita berangkat sekarang saja!"
Entah kenapa Jonggol Maraka kelihatan begitu senang begitu mendengar keinginan Rangga untuk ikut bersamanya ke ibukota kerajaan. Mungkin dia berharap bila tiba di istana, pikiran pemuda ini akan berubah. Lalu dia bersedia mengabdikan kepandaian untuk kerajaan. Dengan demikian kerajaannya akan di segani kerajaan-kerajaan lain, karena memandang Pendekar Rajawali Sakti.
Untuk menuju ke ibukota Kerajaan Pasir Angin mereka mesti melewati Kadipaten Demak. Ini jalan tercepat. Lagi pula, Jonggol Maraka banyak bercerita kalau Adipati yang memimpin wilayah ini seorang abdi setia Gusti Prabu Wisnu Palaran.
"Ada baiknya kita mampir dulu ke tempat kediamannya," ajak Jonggol Maraka ketika mereka tiba di depan rumah kediaman Adipati Sangkaran. "Beliau tentu akan senang!"
"Baiklah."
"Sampurasun! Aku Jonggol Maraka. Dan ini, kawanku. Aku pejabat kerajaan yang hendak bertemu Kanjeng Adipati!" ucap laki-laki itu pada seorang penjaga gerbang istana kadipaten.
"Silakan masuk dan menunggu sebentar. Hamba hendak memberi tahu Kanjeng Adipati!" sahut penjaga seraya membungkuk hormat.
Rangga dan Jonggol Maraka mengikuti dari belakang. Sementara seorang prajurit menggantikan tugas pengawal tadi untuk beberapa saat. Rangga melihat pengamanan di istana kadipaten ini tidak terlalu ketat. Hanya ada dua prajurit di gerbang depan. Dua di kiri kanan bangunan, dan dua orang di pos kecil dekat gerbang depan.
"Wilayah Demak daerah teraman di seluruh Kerajaan Pasir Angin ini," jelas Jonggol Maraka setengah berbisik. Sementara, pengawal tadi meninggalkan mereka di beranda depan.
Rangga mengangguk. "Ki Jonggol kenal baik dengan penguasa wilayah ini?" tanya Rangga.
"Tidak kenal baik. Tapi sekali kami pernah bertemu di istana kerajaan. Beliau cukup ramah sehingga banyak dikenal pejabat istana," sahut Jonggol Maraka.
Percakapan mereka terhenti ketika muncul seorang laki-laki gemuk dan berkumis tebal di ambang pintu sambil tersenyum lebar.
"Saudaraku, Ki Jonggol Maraka... Senang mendengar kau mau mampir ke tempatku!"
Jonggol Maraka dan Rangga buru-buru bangkit dari duduknya. Dan pejabat kerajaan itu segera menghampiri laki-laki gemuk yang tak lain Adipati Sangkaran, setelah menjura hormat. Mereka berpelukan sebentar.
"Hm.... Siapa yang bersamamu ini? Rasanya aku baru sekali ini melihatnya?" tanya Adipati Sangkaran ketika melepaskan pelukan terhadap Jonggol Maraka. Wajahnya berseri dihiasi senyum ketika mengucapkan kata-kata bersahabat.
"Kanjeng Adipati...," panggil Jonggol Maraka.
"Aaah! Kau ini apa-apaan?!" tukas Adipati Sangkaran. "Jangan banyak peradatan segala. Kau adalah kawanku. Maka, bersikaplah seperti seorang sahabat!"
"Ini sambutan yang luar biasa bagi kami. Biasanya seorang prajurit akan membawa kami ke tempat seorang pembesar. Tapi, ini malah pembesar yang mendatangi kami."
"Ha ha ha...! Bukankah tadi sudah kukatakan? Kau dan aku adalah sahabat. Jadi, jangan persoalkan hal itu. Aku malah senang kau mau berkunjung. Dan takut kalian pergi karena lama menunggu, maka tergopoh-gopoh aku keluar untuk menyambut kalian."
"Jangan terlalu merendah, Kanjeng..., eh, Ki Sangkaran!" ujar Jonggol Maraka, buru-buru merubah panggilan terhadap adipati itu.
"Mana mungkin kami akan pergi hanya karena menunggu sedikit lama."
"He he he...! Sudahlah, jangan persoalkan itu lagi. Nah! Sekarang, maukah kau memperkenalkan kawanmu ini padaku?"
"Kau akan kaget mendengarnya, Ki Sangkaran...."
"Benarkah?! Apakah dia kerabat kerajaan yang belum kukenal? Atau mungkin calon menantumu?"
"Ha ha ha...! Jangan bergurau, Ki Sangkaran. Mana mungkin aku punya menantu, sedangkan anakku masih kecil-kecil."
"Kalau begitu lekas terangkan. Jangan membuatku penasaran!"
"Dia adalah Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Jonggol Maraka. Pada wajahnya tersirat kebanggaan ketika memperkenalkan pemuda itu.
Sebaliknya Rangga kelihatan malu dan berusaha merendah. "Ki Jonggol Maraka ternyata lupa menambahkan kalau hamba hanya seorang pengelana biasa tanpa kebisaan apa-apa."
"Aah! Benarkah?! Jadi kau sungguh-sungguh pendekar besar itu?!" seru Adipati Sangkaran dengan wajah kaget. "Ini betul-betul membuatku kaget, Ki Jonggol! Tak kusangka selama ini kau berkawan dengan pendekar terkenal yang namanya sudah kondang ke mana-mana. Silakan masuk, Pendekar Rajawali Sakti. Selamat datang di gubukku yang buruk!"
"Kanjeng Adipati...."
"Aaah! Tidak usah banyak peradatan!" potong Adipati Sangkaran ketika Rangga akan angkat bicara. Segera digamit lengan keduanya untuk diajak masuk ke dalam. Mereka pun segera jalan beriringan. "Siapkan jamuan makan untuk tamu-tamu istimewa kita! Makanan yang paling istimewa! Lengkap dengan hiburannya!" teriak Adipati Sangkaran.
"Ki Sangkaran, ini betul-betul...."
"Ha ha ha...! Tenanglah, Sahabatku! Tidak setahun sekali kau mau mampir ke tempatku!" tukas Ki Sangkaran.
"Ini betul-betul hari istimewa bagiku. Dan aku tak ingin kalian merasa disambut kurang akrab. Aku ingin kalian merasa betah di sini!"
"Ki Sangkaran, kami tak bermaksud bermalam. Perjalanan ini hanya sekadar persinggahan...."
"Sudah! Jangan pikirkan dulu hal itu! Ayo, silakan duduk!"
Adipati Sangkaran mengajak kedua tamunya memasuki sebuah ruangan luas yang dipenuhi tiang-tiang besar berukir. Lantainya halus dan berkilat, terbuat dari marmer. Jonggol Maraka sempat berdecak kagum menyaksikan perabotan-perabotan indah dalam ruangan itu. Namun matanya tak leluasa jelalatan ke mana-mana, karena dalam ruangan itu terdapat banyak orang. Entah siapa. Namun di antara mereka ada yang kelihatan sebagai tokoh-tokoh persilatan.
"Perkenalkan! Mereka adalah tamu-tamu istimewaku!" ujar Adipati Sangkaran seraya duduk di atas singgasana yang terbuat dari ukiran indah beralas kulit rusa.
Orang-orang yang berada di tempat itu merangkapkan kedua tangan ke dada untuk memberi hormat. Rangga dan Jonggol Maraka membalasnya sambil tersenyum sebelum duduk di tempat yang disediakan. Adipati Sangkaran duduk di tengah ruangan, agak bersandar ke dinding. Di depannya berjajar di kiri-kanan saling berhadapan beberapa buah kursi dalam jarak sekitar empat langkah.
Rangga dan Jonggol Maraka duduk di sebelah kanan dari hadapan sang Adipati. Sementara di sebelah mereka duduk beberapa pejabat kadipaten. Beberapa orang pernah dikenal Jonggol Maraka. Namun, sebatas mengenal wajah, karena pernah diajak sang Adipati ke istana. Sedang yang lain tidak dikenal. Apalagi tamu-tamu yang duduk di depan mereka. Kelihatan angker dan tidak bersahabat.
"Tempat ini kelihatan tidak nyaman bagi kita...," bisik Jonggol Maraka halus di dekat Rangga. Rangga tak menjawab selain tersenyum kecil. "Maafkan, Rangga. Aku tak bermaksud menyulitkanmu dengan mengajak mampir ke sini," ucap Jonggol Maraka lagi, berbisik.
"Jangan pikirkan hal itu. Coba tenangkan pikiran. Dan, nikmati apa yang bisa dinikmati," ujar Rangga.
"Hatiku mulai tak tenang!" desis Jonggol Maraka.
"Ssst! Jangan menarik perhatian mereka!" bisik Rangga halus.
"Sebaiknya kita cari alasan saja untuk meninggalkan tempat ini."
"Tak perlu."
"Tapi...."
Jonggol Maraka sudah akan membantah kalau saja saat itu tidak muncul seorang gadis penari yang diiringi beberapa lelaki memainkan tetabuhan. Gadis itu berwajah cantik, memakai penutup kepala. Gaunnya dari sutera tebal berlengan panjang penuh dengan gelang-gelang di pergelangan tangan. Bagian bawah gaunnya lebih panjang dari gaun panjang pada umumnya, sehingga sampai menyapu lantai.
Sepintas lalu, pakaian gadis itu amat sopan. Irama tetabuhan pertama-tama pelan. Dan gadis itu berlenggak-lenggok dengan gerakan-gerakan gemulai. Namun lama-kelamaan, seiring suara tetabuhan yang cepat, tariannya jadi sedikit liar. Dan penutup kepalanya mulai dibuka hingga rambutnya yang hitam lebat tergerai hingga ke pinggul.
"Hm, cantik sekali!" puji Jonggol Maraka, mendecak kagum.
Pujian dan decak kagum berkali-kali keluar dari mulut pejabat kerajaan itu ketika gadis penari ini membuka pakaian yang menyembunyikan anggota tubuhnya yang indah. Ternyata, pakaian luar itu semacam jubah. Setelah dilepas pelan-pelan, tersingkap sehelai kain tipis tembus pandangan, memamerkan bentuk badan yang indah. Seolah-olah, sang penari hanya mengenakan penutup dada dan bagian bawah perut.
LIMA
"Lihat! Hmm.... Kalau aku punya istri secantik ini, mana mungkin kuperlihatkan pada orang lain!" desis Jonggol Maraka, geregetan melihat goyang pinggul sang penari. Apalagi kelihatannya gadis itu berkali-kali tersenyum dan mengerling ke arah mereka. Jonggol Maraka hanya bisa menelan ludah dan mendecah berkali-kali.
"Gila! Betul-betul gila...!"
Agaknya hal yang sama pun dialami tamu-tamu yang lain. Wajah-wajah angker di depan mereka, kini berubah manis seperti bocah penurut. Sekali-sekali timbul decak kekaguman, seperti yang terlontar dari mulut Jonggol Maraka. Mereka betul-betul dibuai dalam pesona duniawi yang mengesankan. Seolah tiada pandangan lain yang lebih indah ketimbang tubuh penari yang meliuk-liuk.
Pada mulanya Rangga pun merasakan hal yang sama. Namun belakangan ada hal yang tak beres dalam benaknya. "Apakah adat semua adipati di kerajaan ini sama? Mereka senang menonton tarian-tarian seperti ini?" gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.
Kini gadis itu membuka selubung tipisnya. Semua menahan napas melihat kulit halus kekuning-kuningan. Sementara, irama tetabuhan semakin hingar-bingar. Dan gerakan penari ini semakin liar. Kini tangannya yang lentik mulai memegang-megang penutup dada. Dan tanpa sadar Jonggol Maraka berteriak-teriak di hati.
"Ayo, buka! Buka...! Uhh.... Kau membuatku gila! Ingin kulihat betapa indahnya sesuatu yang terbungkus disana!"
Semua mata tertuju ke sana. Menahan napas dengan debaran jantung semakin cepat. Penutup dada yang dikenakan gadis itu terlihat kecil dan sempit, untuk membungkus dua buah bukit kembar yang kelewat besar itu. Apalagi guncangan yang ditimbulkannya betul-betul membuat saraf lelaki yang melihat kelihatan tegang. Ketika semua terbuai dalam pemandangan yang memabukkan, mendadak penari yang kini tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya.
Set! Set!
Seketika meluncur dua sinar putih keperakan ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Arahnya tepat di tenggorokan Rangga. Rangga kaget, namun masih sempat melengos ke samping.
Crab! Crab!
Benda-benda putih keperakan yang ternyata dua bilah pisau kecil itu menancap di dinding belakang Rangga.
"Penari, apa yang kau perbuat terhadap tamuku?!" bentak Adipati Sangkaran berang. Tanpa memberi perintah pada prajuritnya, adipati itu langsung melompat dari singgasana dan menghajar penari itu.
"Aku..., aku...!" Penari itu tampak gugup. Wajahnya pucat ketakutan ketika memandang Adipati Sangkaran. Namun dia tak mampu bicara banyak, karena laki-laki gemuk itu lebih dulu menotoknya hingga lemas tak mampu bergerak.
"Kau tahu, apa akibatnya atas perbuatanmu itu?! Hukuman gantung akan menantimu!" desis Adipati Sangkaran geram.
"Pengawal! Bawa dia dalam kurungan! Aku tak ingin suasana persahabatan ini dirusak oleh tingkahnya!"
Dua prajurit buru-buru menghampiri, dan meringkus gadis itu serta membawanya keluar dari ruangan. Adipati Sangkaran lantas melangkah lebar mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Kedua tangannya langsung dirangkapkan di depan dada.
"Rangga, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian tadi! Penari itu pasti akan mendapat hukuman berat atas perbuatannya yang kurang ajar. Namun karena kita dalam suasana bergembira, untuk sementara ku tangguhkan hukuman terhadapnya. Silakan nikmati kembali hidangannya!" ucap laki-laki gemuk itu.
"Ki Sangkaran, penari tadi cuma alat. Orang di belakangnya yang mesti mendapat hukuman berat!" sahut Rangga dengan nada tajam.
"Kau benar, Rangga! Tentu saja kami tak akan membiarkannya begitu saja tanpa pemeriksaan. Siapa pun dalangnya, maka akan dihukum berat. Kalian bisa menyaksikannya. Oleh sebab itu menginaplah barang satu atau dua hari!"
"Ki Sangkaran.... Kami berterima kasih atas kemurahan hatimu. Namun kami tak bisa berlama-lama, sehubungan peristiwa buruk yang menimpa rombonganku. Beberapa perampok membegal kami dan membunuh semua prajurit yang bersamaku. Aku belum lagi mengurus mayat mereka. Oleh karena itu, maaf seribu maaf. Kami tak bisa memenuhi undanganmu," sahut Jonggol Maraka.
"Ah, sayang sekali. Aku turut berduka cita atas musibah yang menimpamu, Sahabatku. Biarlah para prajuritku yang akan mengurusnya."
"Terima kasih, Ki Sangkaran. Namun tetap saja aku mesti melaporkan hal ini pada Kanjeng Prabu... "
"Kalau Ki Jonggol setuju akan kukirim dua prajuritku melaporkan kejadian ini pada Kanjeng Prabu. Mereka prajurit terlatih dengan kuda-kuda pilihan yang mampu berlari kencang. Perjalanan mereka akan singkat. Sedangkan Ki Jonggol masih merasa letih. Dan karena kau telah berada di sini, kewajibanku untuk mengusut musibah yang menimpamu sampai tuntas. Bukankah aku wakil Kanjeng Prabu di sini? Maka, aku pun berkewajiban membantumu. Tidak usah khawatir. Katakan saja, di mana tempatmu dibegal dan ciri-ciri pembegalnya. Para prajutiku akan segera bergerak membereskannya!" ujar Adipati Sangkaran dengan mantap.
Tak ada alasan lagi bagi Jonggol Maraka untuk meninggalkan tempat ini. Apalagi ketika Rangga mendukung rencana Adipati Sangkaran.
"Ki Sangkaran! Aku senang sekali kau memperbolehkan kami menginap. Ini kehormatan besar!" kata Rangga.
"Aduh, mati aku!" umpat Jonggol Maraka dalam hati.
********************
Pelayanan yang diberikan Adipati Sangkaran terbilang cepat dan memuaskan. Janjinya pun ditepati. Begitu dia duduk di singgasana, maka saat itu pula beberapa prajurit diperintahkan untuk mengusut mayat para prajurit yang tewas seperti diceritakan Jonggol Maraka. Beliau pun memerintahkan dua prajurit pilihan untuk segera berangkat ke ibukota kerajaan, untuk melaporkan peristiwa yang menimpa Jonggol Maraka.
Sementara Jonggol Maraka kesal bukan main, karena berarti tidak bisa segera angkat kaki. Padahal kecurigaannya sudah makin menjadi-jadi. Ada yang tak beres di tempat ini. Sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Namun kawan seperjalanannya malah mendukung keinginan tuan rumah. Kemudian ditambah lagi ketika mereka diberikan kamar terpisah. Jaraknya cukup jauh, sekitar lima belas langkah!
Agaknya bukan cuma Jonggol Maraka saja yang curiga. Karena Rangga pun merasakan hal yang sama. Kejadian siang tadi jelas mencurigakan. Penari itu kelihatan kikuk dan takut. Lagi pula, kenapa mesti Adipati Sangkaran sendiri yang turun tangan untuk membungkam mulutnya? Padahal, dia bisa menyuruh orang lain yang ada di ruangan itu.
Malam baru saja menyergap sekitar Kadipaten Demak Udara dingin menyelinap ke mana-mana. Bulan muncul sedikit di balik awan kelabu. Cahayanya remang-remang menerangi istana Kadipaten Demak Meski beberapa prajurit berjaga-jaga, namun tak seorang pun yang menyadari ketika sesosok bayangan putih mengendap-endap di atas atap. Bayangan putih itu bergerak cepat dan ringan ke arah belakang bangunan, menuju penjara bawah tanah yang dijaga ketat.
Ada tujuh prajurit yang berjaga di sana. Dua berjaga di pintu penjara, dua lagi di mulut pintu yang menuju ke bawah. Sementara tiga orang berjaga-jaga di sekitar jalan masuk menuju penjara bawah tanah. Rasanya seekor tikus kecil sekali pun tak akan lolos dari intaian mereka. Bayangan putih itu mengintip di balik tembok, mengawasi ketiga prajurit seperti mencari akal bagaimana cara melumpuhkan mereka.
Sesaat bayangan putih itu berbalik. Ketika melihat seekor tikus di rerimbunan semak, dengan gerakan cepat dan ringan dia melompat. Ditangkapnya tikus itu dan langsung dipotes kepalanya. Tanpa menghiraukan darah yang memerciki pakaiannya, bayangan putih itu melenting kembali ke atas atap. Gerakannya ringan sekali, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya mendarat, kembali dia mengendap-endap, mendekati ketiga prajurit itu. Lalu segera dilemparkannya bangkai tikus yang terus menguncurkan darah.
Pluuuukkk...!
"Hei?!" Ketiga prajurit itu terkejut ketika sesuatu jatuh ke dekat mereka dari atas.
"Bangkai tikus!" seru salah satu prajurit.
"Masih berdarah!" timpal prajurit lainnya.
"Pertanda apa ini?"
Sebelum mereka mengetahui sesuatu, mendadak bayangan putih di atas atap meluruk tajam sambil mengibaskan tangannya berkali-kali.
Des! Des! Des!
"Aaakh...!" Ketiga prajurit itu mengeluh halus, lalu ambruk tak berdaya.
"Hei, apa itu?!" Salah seorang prajurit yang berada di dalam berseru kaget ketika melihat satu bayangan putih berkelebat. Bersama kawannya, dia memeriksa keluar. Namun....
"Hiih!"
Duuukk...! Dessss...!
"Hugkh!" Baru saja mereka melangkah keluar pintu, satu sodokan telak menghantam ulu hati masing-masing. Keduanya ambruk, tak sadarkan diri.
"Hup!" Bayangan itu terus menerobos ke dalam, sambil merapatkan punggung ke dinding tembok.
"Dua penjaga lagi!" desis bayangan itu ketika melihat dua sosok prajurit berjaga-jaga di depan sebuah pintu. "Aku yakin, di situ tempatnya."
Bayangan ini terdiam, seolah mencari akal sebentar. Tak lama pedangnya diloloskan hingga terpancar cahaya biru yang menarik perhatian. Jarak di antara mereka hanya sekitar sepuluh langkah. Dan tempat ini sempit dan gelap, memiliki lebar sekitar rentangan kedua tangan. Tingginya hanya satu tombak.
"Hei, apa itu?!" tunjuk seorang prajurit ke arah lorong.
"Bersinar biru! Benda keramat barangkali!" jawab prajurit lainnya.
"Lebih baik kita lihat! Aku yakin itu benda berharga!"
Penjaga itu sudah mau menasihati, namun prajurit yang satu lagi agaknya kelewat bernafsu. Buru-buru dihampirinya benda itu hingga terpaksa kawannya mengikuti.
"Astaga! Sebilah pedang! Wah, hebat...!" teriak prajurit pertama sambil memungut pedang yang memancarkan cahaya kebiruan.
Mereka langsung mengagumi pedang hebat itu dengan wajah kagum. Namun tak lama, karena saat itu juga melayang turun sesosok tubuh dari langit-langit lorong. Langsung dihajarnya kedua prajurit itu tanpa perlawanan berarti.
Bak! Buk!
"Uhh. !" Kedua pemuda itu tergeletak tak berdaya. Dan bayangan putih itu segera memungut pedang yang mengeluarkan cahaya biru sambil menyeringai kecil.
"Belum waktunya kalian memiliki senjata sehebat ini," gumam bayangan putih ini sambil meninggalkan tempat itu. Langkah bayangan ini pasti, menuju pintu yang tadi terjaga. Terkunci!" desisnya.
Namun sosok ini seperti tak kehilangan akal. Pedangnya langsung menebas kunci gembok yang terbuat dari besi hingga putus. Dan perlahan-lahan dibukanya pintu penjara yang tertutup kayu jati tebal. Ruangan penjara itu sendiri tertutup dinding-dinding bertembok tebal. Dengan pintu yang berlapis. Setelah jeruji besi, di dalamnya terdapat dinding kayu. Lalu, dinding beton berengsel baja tebal. Semuanya dalam keadaan terkunci Namun dengan pedangnya, tak ada kesulitan bagi bayangan itu untuk membukanya. Perlahan-lahan bayangan ini membuka pintu, lalu melongok ke dalam.
"Sepi...!" desis bayangan putih ini halus. Sosok ini bermaksud melongok ke balik pintu bagian dalam. Namun sebelum hal itu dilakukan, mendadak terdengar desir angin halus di belakangnya. "Celaka! Anak panah keparat!" rutuknya ketika puluhan anak panah menyerbu ke arahnya.
"Hup!"
Jalan pintas termudah yang terpikir saat itu adalah masuk ke dalam. Namun sosok tubuh itu tak melakukannya. Tubuhnya malah mencelat ke atas.
Brusss...!
Hebat! Bayangan itu langsung menerobos langit-langit, menjebol wuwungan.
"Kejaaar! Jangan sampai lolos...!" teriak seorang prajurit garang.
"Yeaaa...!"
Entah dari mana munculnya, tapi saat itu juga muncul puluhan prajurit kadipaten yang menyerang sosok bayangan tadi. Mereka bersiap di segala arah dengan anak panah siap dilepaskan.
"Dia menuju ke timur! Kejaaar! Jangan sampai lolos...!"
"Huh!" Seorang laki-laki gemuk berusia sekitar empat puluh tahun lebih menggeram marah. Dia tak lain Adipati Sangkaran, yang ditemani beberapa anak buahnya yang setia.
"Kurang ajar! Siapa dia?! Bagaimanapun orang itu mesti ditangkap!" maki Adipati Sangkaran.
"Gerakannya gesit dan lincah sekali! Dia tentu bukan sembarangan orang...," gumam Ki Wirabuana orang kepercayaan Adipati Sangkaran.
"Tak sulit menebaknya."
"Siapa?" tanya Adipati Sangkaran.
"Tamu Kanjeng Adipati sendiri...," desah Ki Wirabuana.
"Ki Jonggol maksudmu?!"
"Huh! Orang itu tak punya kebisaan apa-apa! Menghadapi Tiga Elang Barat saja tak becus! Malah kehilangan semua anak buahnya."
"Jadi...."
"Tamu Kanjeng Adipati yang satu lagi!" timpal Seda Lepen menyambung.
"Pendekar Rajawali Sakti?"
"Hanya dia, Kanjeng! Jebakan kita tak mengena. Mestinya dia masuk ke dalam ruangan itu, untuk berlindung. Namun, dia cukup cerdik dengan menyadari umpan yang kita pasang. Kalau saja dia masuk ke dalam, tamatlah riwayatnya!"
"Kenapa kau bisa berpikir begitu, Seda Lepen?"
"Hanya orang yang kenyang pengalaman bisa berpikir begitu, Untuk membuktikannya, mari kita memeriksa kamarnya."
"Ketuk lagi biar keras!" perintah Adipati Sangkaran ketika tiba di pintu kamar Pendekar Rajawali Sakti.
"Ya, ya..., tunggu...!" sahut suara di dalam, sebelum seorang prajurit menggedor pintu kembali.
Pintu terbuka. Tampak seraut wajah tampan milik Rangga. "Oh, Kanjeng Adipati!" seru Rangga sambil mengucek-ngucek mata. Rambutnya kusut. Matanya agak merah seperti habis tertidur lelap. "Ada apa malam-malam menemui hamba, Kanjeng Adipati?"
Adipati Sangkaran tak menjawab. Matanya liar memandangi seluruh ruangan. Lalu para prajuritnya diperintahkan memeriksa ruangan. Sementara Rangga melongo tak mengerti.
"Kanjeng Adipati, ada apa? Apakah mencari sesuatu, lalu mencurigai hamba sebagai pencurinya?" tanya Rangga, bingung.
"Seseorang coba menyusup ke istana ini," kata Adipati Sangkaran, dingin.
"Menyusup?! Untuk apa? Mencuri sesuatu?"
"Tidak! Dia coba menjenguk tawanan."
"Menjenguk tawanan? Apakah itu sesuatu yang dilarang?"
"Tentu saja tidak! Tapi menjenguk tawanan malam-malam begini dan melumpuhkan tujuh penjaga, perlu dicurigai. Aku yakin..., dia komplotan dari wanita penari itu!"
"O....!" Rangga mengangguk, mengerti. "Lalu, mengapa memeriksa kamar hamba?" tanya Rangga, bernada tak suka.
"Penyusup itu kami lihat hilang di sekitar tempat ini. Kami curiga, dia bersembunyi di kamarmu. Dan bisa saja dia mencelakaimu selagi lengah," kilah Adipati Sangkaran berpura-pura. Adipati Sangkaran menatap tajam Rangga. "Kaulah penyusup itu, Keparat!" desisnya dalam hati.
"Apakah kau tak melihat atau mendengar sesuatu, Rangga?" tanya Ki Wirabuana dengan sorot mata curiga.
"Tidak! Aku tidak melihat dan mendengar apa pun," sahut Rangga, kalem.
鈥淭ertidur pulas agaknya."
"Ya, begitulah!" sahut Rangga seraya tersenyum.
"Seorang pendekar hebat dan terlatih sampai tertidur pulas?" Pertanyaan itu jelas-jelas menyindirnya.
Dan Rangga tenang-tenang saja menjawab. "Terima kasih atas pujian mu, Ki Wirabuana. Namun kau lupa kalau aku pun manusia biasa seperti kalian. Apakah itu berarti aku tak boleh tidur pulas?" kilah Rangga.
Mendengar jawaban itu Ki Wirabuana tak mampu bersuara lagi. "Maaf, Rangga. Kami tak bermaksud mencurigaimu!" lanjut Seda Lepen halus. "Silakan lanjutkan mimpi indah mu...."
Selesai berkata begitu, Seda Lepen menepuk-nepuk pundak. Pendekar Rajawali Sakti, agak ke dekat leher. Tepukan itu tidak sembarangan, karena disalurkan lewat pengerahan tenaga dalam cukup kuat. Rangga bukannya tak menyadari. Dia pun balas menekan, sehingga nyaris terlihat telapak tangan Seda Lepen terangkat setinggi seperempat jari, seperti disodok. Dan itu membuat Seda Lepen kaget, karena tak mengira tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti bisa sehebat itu.
"Rangga, kami permisi dulu," kata Adipati Sangkaran setelah para prajuritnya melaporkan bahwa tak ada satu pun yang dicurigai. "Maaf telah mengganggu kenyamananmu, Rangga. Namun ini semua kami lakukan demi keamanan!"
"Terima kasih atas perhatian Kanjeng Adipati. Ini kehormatan besar bagiku," sahut Rangga berusaha tersenyum. Pendekar Rajawali Sakti tak langsung menutup pintu, sebelum mereka betul-betul hilang dari pandangan. Kemudian setelah menutup rapat-rapat dia menghela napas. Rangga duduk di tepi ranjang dan tersenyum sendiri.
"Kena kalian ku kibuli...," gumam Rangga, tersenyum.
********************
ENAM
"Goblok!" Adipati Sangkaran memaki-maki tak karuan setelah kejadian tadi. Dia mondar-mandir di ruangan khusus, ditemani Ki Wirabuana dan Seda Lepen. "Mana bukti ucapanmu?! Ternyata dia tak mampu dijebak! Ini membuatku kesal! Ini usulmu, Wirabuana! Apalagi yang hendak kau katakan?!" bentak Penguasa Kadipaten Demak ini.
"Hamba mohon maaf, Kanjeng Adipati. Rencana memang tak berjalan lancar...," ujar Ki Wirabuana, takut-takut.
"Maaf! Maaf...! Apakah hanya itu yang bisa kau ucapkan?!"
Ki Wirabuana diam membisu. Kepalanya menunduk dalam.
"Karena ini rencanamu, maka kau pula yang harus menyelesaikannya! Aku tak mau dengar kegagalan lagi!" lanjut adipati ini.
"Hamba akan berusaha, Kanjeng Adipati," sahut Ki Wirabuana mantap.
"Tidak! Kau harus berhasil!"
"Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan, Kanjeng. Hamba tahu hal itu. Dan kita semua pun menyadarinya...," sahut Seda Lepen dengan suara halus, ketika Ki Wirabuana tertunduk lesu.
"Hmm.... Lalu, apa rencanamu?"
"Kenapa tidak kita biarkan dia coba membebaskan penari itu? Lalu, kita pergoki kalau semua ini permainannya. Kemudian, kita tangkap mereka dan beri hukuman gantung!"
"Huh! Kau kira semudah itu?"
"Kalau tidak berhasil, hamba masih punya rencana terakhir."
"Apa?"
"Memberi tahu tamu-tamu kita dari utara itu. Bukankah mereka memang tengah mencari-cari Pendekar Rajawali Sakti?"
Adipati Sangkaran terdiam sejurus lamanya mendengar usul Seda Lepen.
"Bagaimana Kanjeng Adipati?" tanya Seda Lepen.
"Aku setuju usulmu yang terakhir itu...," gumam Adipati Sangkaran sambil manggut-manggut.
"Kalau begitu, bisa kita laksanakan esok hari!"
Adipati Sangkaran kembali terdiam beberapa saat. Dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu. "Sebenarnya aku ingin meringkusnya sendiri dengan tanganku...."
"Kanjeng, bukankah kita mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan? Kalau memaksakan diri, kita akan kehilangan jago-jago kita. Padahal, belum tentu dia akan tertangkap. Memberinya pada musuhnya adalah jalan keluar terbaik. Tidak perlu kita sesali, karena tujuan utama telah tercapai. Yaitu, menghabisinya!"
"Ya, kau benar," sahut adipati ini sambil menghembuskan napas berat. "Jangan lupa pula. Aku ingin dia dibereskan bersamaan dengan si Jonggol."
"Jangan khawatir, Kanjeng! Segalanya akan beres!"
"Jangan sampai gagal lagi!" Adipati Sangkaran menekankan. "Sudah kalian jelaskan pada prajurit-prajurit yang kukirim?"
"Beres, Kanjeng. Kita buat seolah-olah Jonggol Maraka adalah pengkhianat negara. Kalalupun dia bisa lolos dari kita, maka tak akan luput dari tiang gantungan di kerajaan!"
"Bagus! Tapi aku ingin dia mampus di sini. Dengan begitu, tak ada lagi yang mesti dibuat cemas."
"Baik, Kanjeng!"
"Kalian boleh pergi sekarang!"
********************
Kali ini Rangga setuju dengan niat Jonggol Maraka untuk segera angkat kaki dari tempat ini.
"Ini membuat hatiku cemas dan was-was!" keluh Jonggol Maraka ketika mereka telah jauh dari kediaman Adipati Sangkaran.
"Kenapa?"
"Aku merasa ada yang tak beres dengan tempat ini! Demikian banyak tokoh silat yang disewa adipati itu. Apa yang hendak dilakukannya? Padahal, wilayahnya aman dan jarang terjadi keributan!" omel Jonggol Maraka.
Rangga tersenyum mendengarnya. "Saking amannya, apakah tak mencurigai sesuatu?" cetus Rangga, bertanya.
"Apa?"
"Semalam ada kejadian aneh...," tutur Rangga, memulai.
"Ya, aku dengar! Seorang penyusup coba masuk ke dalam penjara bawah tanah. Mungkin ingin membebaskan penari itu. Tapi, kenapa kamarmu yang digeledah?"
"Dan si penari sebenarnya tak ada di ruangan bawah tanah itu," kata Rangga, tak menjawab pertanyaan Jonggol Maraka.
"Dari mana kau mengetahuinya, Rangga?" tanya Jonggol Maraka.
"Karena aku melihat sendiri ke sana."
"Ke sana? Bersama Adipati Sangkaran?!"
"Tidak. Seorang diri."
"Seorang diri? Maksudnya..., kau sendiri yang menyusup ke sana?"
Rangga mengangguk sambil tersenyum.
"Jadi..., jadi kaukah penyusup itu?!" desis Jonggol Maraka, kaget.
Rangga kembali mengangguk dan tersenyum.
"Astaga! Tahukah kau, betapa bahayanya pekerjaan itu? Kalau sampai tertangkap, tentu akan membuat kita malu!"
"Tapi nyatanya tidak, kan?"
Jonggol Maraka menggaruk-garuk kepalanya sambil menghela nafas. Lalu dipandangnya pemuda itu. Dan bibirnya pun tersenyum. "Rangga, kau sungguh hebat! Bagaimana kau bisa lolos dari kejaran mereka?" tanya Jonggol Maraka, kagum.
"Aku mengambil jalan singkat. Bukan dari genteng, melainkan melewati kamar-kamar. Lalu aku melompat ke jendela. Mengusut-ngusutkan rambut, dan mengucek-ngucek mata seperti kelihatan habis bangun tidur Kemudian yang terpenting adalah mengatur pernapasan. Sehingga, jantung tidak berdetak kencang. Seda Lepen pun coba memeriksa denyut nadiku, tapi kurasa dia bisa ku bohongi," jelas Rangga.
Jonggol Maraka kembali mendesah kagum mendengar penuturan sahabat barunya.
"Lupakan soal itu. Ada yang terpenting yang mesti dilaporkan pada Gusti Prabu Wisnu Palaran," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Soal peristiwa yang menimpa ku? Tentu saja!" tegas Jonggol Maraka.
"Bukan. Tapi, soal pemberontakan besar yang akan menggulingkan beliau!" sahut Rangga, mengejutkan.
"Pemberontakan? Hei, dari mana kau tahu? Dan, siapa yang akan berontak terhadap kekuasaan Gusti Prabu?!" sentak Jonggol Maraka.
"Setidaknya, begitu kesimpulanku."
"Rangga! Aku tak mengerti!" keluh Jonggol Maraka dengan muka berkerut.
"Ki Jonggol, ketahuilah. Sebenarnya yang hendak dibunuh si penari itu adakah kau sendiri."
"Aku?" Ki Jonggol Maraka menunjuk diri dengan wajah heran. Lalu tersenyum lebar. "Kau pasti bergurau, Rangga! Adipati Sangkaran tak mungkin melakukan hal itu padaku."
"Aku mungkin punya banyak musuh yang mendendam dan berusaha setiap saat mengincar nyawaku."
Tapi ingat-ingat, Ki! Nyawamu pun dalam bahaya ketika berhadapan dengan tiga orang bertopeng tempo hari," tegas Rangga.
"Aku yakin tiga orang itu hanya penjahat biasa," kilah Jonggol Maraka.
"Ketika kau bentrok, apakah mereka merampas dan melucuti barang-barang yang kau bawa? Bukankah mereka hanya berniat membunuhmu dan prajurit-prajurit kerajaan?"
Jonggol Maraka terdiam. Memang itu yang diceritakan pada Rangga selama perjalanannya ke Kadipaten Demak tempo hari. Senyumnya hilang. Dan terlihat dia menggeleng lemah.
"Nah, betul kan? Jadi mereka menyerang dengan sengaja," lanjut Rangga.
Jonggol Maraka menoleh sahabatnya itu. Lalu..., maksudmu mereka adalah orang-orangnya Adipati Sangkaran?" duga Jonggol Maraka.
"Kau tak akan percaya kalau kukatakan..., ya!"
"Tidak mungkin! Kau tak punya alasan untuk itu. Kau hanya asal tuduh dan tak punya bukti!"
Rangga tersenyum kecut. "Aku punya ilmu 'Pembeda Gerak Dan Suara' yang lumayan bisa diandalkan. Ketika selesai memeriksa kamarku semalam, aku menyelinap dan mendengarkan pembicaraan Adipati Sangkaran bersama dua orang kepercayaannya. Dan..., kurasa kau tak akan mau dengar rencana apa yang hendak dilakukan terhadap kita," papar Rangga.
Jonggol Maraka terdiam. Dia ragu, apakah mesti percaya dengan kecurigaan Pendekar Rajawali Sakti. Adipati Sangkaran begitu baik pada mereka. Sikapnya pun ramah.
"Ki, sebaiknya kita berbelok ke kanan!" ujar Rangga ketika tiba di jalan bercabang tiga.
"Ke kanan?" balik Jonggol Maraka tertawa. "Kalau tidak sedang beraneh-aneh, kau pasti tak tahu jalan. Kalau kita berbelok ke kiri, tidak sampai tengah hari kita akan tiba di ibukota kerajaan. Kalau kita ke kanan, kemungkinan tengah malam atau esok pagi kita akan tiba."
"Aku tahu! Tapi kalau kau ingin menemui kesulitan, pergilah lewat jalan kiri. Di sana akan menunggu ajalmu!" jawab Rangga kalem.
"Apa?! Kau pikir Adipati Sangkaran akan membunuhku?" sentak Jonggol Maraka.
"Kau dianggap membahayakan! Bila tiba di istana lalu menceritakan semua peristiwa yang kau alami di tempatnya, Gusti Prabu Wisnu Palaran akan curiga. Lalu beliau mengirim pasukan pengamat. Gerakannya terganggu. Dan jadi tidak leluasa berbuat sesuatu yang direncanakannya!"
"Apa yang direncanakannya?"
"Kau bisa menjawabnya sendiri!"
"Tidak. Aku tidak tahu. Katakanlah!"
"Percuma. Kau tak percaya. Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan diri. Aku tak yakin, apakah Adipati Sangkaran akan menutup semua jalan atau tidak." Rangga tak mempedulikan Jonggol Maraka. Langsung saja dia berkelebat cepat menuju jalan kanan.
Sedangkan Jonggol Maraka mau tak mau terpaksa mengikuti dari belakang. "Rangga, tunggu...!" teriak Jonggol Maraka ketika pemuda itu makin menjauhinya.
"Cepat!" teriak Rangga tanpa memperlambat kelebatan tubuhnya. Namun beberapa saat kemudian Pendekar Rajawali Sakti berhenti. Jonggol Maraka bernapas lega. Namun, wajahnya langsung terkejut ketika melihat apa yang membuat pemuda itu menghentikan kelebatannya.
"Eeeh....!"
Di depan mereka berdiri tegak sesosok tubuh berbaju serba hitam dengan rambut panjang dikuncir pada bagian belakang kepala agak ke atas. Kulitnya kuning dan bermata sipit. Di punggungnya tersandang sebilah pedang panjang yang gagangnya terlihat ronce pita warna kuning. Sama seperti warna ikat pinggangnya. Sementara di belakang laki-laki itu terlihat beberapa sosok tubuh bersenjata lengkap. Wajah mereka tertutup selubung kain hitam, dan yang terlihat hanya sepasang mata saja.
"Siapa kalian?! Berani betul menghentikan orang-orang kerajaan?!" bentak Jonggol Maraka, dingin.
Laki-laki berbaju serba hitam itu maju dua langkah. Matanya tak lekang memandang Pendekar Rajawali Sakti yang tetap berdiri tenang. Sama sekali tidak digubrisnya bentakan Jonggol Maraka. Seolah-olah sama sekali tak dianggapnya ada di tempat itu.
"Setan!" Jonggol Maraka menggeram marah. Namun pejabat kerajaan ini hanya berani menggerutu dalam hati, karena melihat sorot mata laki-laki berbaju serba hitam itu saja sudah cukup membuat sebagian semangatnya terbang. Belum lagi orang-orang bertopeng yang telah siap dengan senjata masing-masing seperti hendak mencincang mereka.
"Kau Pendekar Rajawali Sakti?!" tuding laki-laki berbaju hitam itu.
"Benar! Siapa yang tengah bicara padaku?" sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku Yamaguchi!"
"Yamaguchi? Mendengar nama dan melihat caramu berpakaian, agaknya kau bukan penduduk negeri ini."
"Aku datang dari utara. Dari sebuah negeri yang kalian sebut negeri Sakura atau juga negeri Matahari Terbit!"
"Hmm. Pantas! Tapi, apa urusanmu mencegat kami?"
"Aku punya urusan denganmu!"
"Dan mereka?" tunjuk Rangga pada orang-orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu! Terserah, apa maunya mereka. Pendekar Rajawali Sakti, bersiaplah!"
Srang...!
Yamaguchi mencabut pedang, membuat kuda-kuda siap menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara orang-orang bertopeng yang menyertainya membuat gerakan mengurung. Dua dari mereka mendekati Jonggol Maraka.
"He he he...! Hari ini saat kematianmu, Jonggol!" kata salah satu orang bertopeng mengejek seraya menghunuskan pedang.
Melihat keadaan itu Jonggol Maraka pun bersiap dengan senjatanya untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ayo! Berdoalah, abdi kerajaan yang setia! Sebentar lagi kau akan bertemu para prajurit mu di akhirat!"
"Siapa kalian?!" bentak Jonggol Maraka.
"Kami malaikat maut! He he he...!"
"Kau gemetaran, Jonggol Maraka?" ejek yang seorang lagi.
"Mampus!" dengus orang bertopeng seraya mengibaskan pedang.
Wuuuuttt....!
Jonggol Maraka berkelit ke samping dan terus melompat ke belakang. Namun, buru-buru dia kembali lompat ke depan sambil bergulingan ketika orang-orang bertopeng yang membuat lingkaran kembali mengibaskan senjata ke arahnya.
"He he he...! Kau tak akan bisa ke mana-mana, Jonggol! Hari ini tak akan ada yang bisa menolongmu!"
"Terkutuk kalian! Aku pantang menyerah sebelum ajal tiba!"
"Ajalmu telah ditentukan di tanganku!" bentak orang bertopeng yang bersenjata keris. Seketika senjatanya ditusukkan ke arah perut. Jonggol Maraka menangkis dengan pedangnya.
Trang...!
Pada saat yang sama, orang bertopeng lainnya menghantam punggungnya dari belakang, tanpa dapat dihindari.
Begkh...!
"Aaakh...!" Pejabat kerajaan itu menjerit kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang. Belum sempat menguasai diri, datang serangan dari samping berupa tendangan menggeledek.
Duuuukkk...!
"Aaakh...!" Jonggol Maraka menjerit. Tubuhnya sempoyongan ke samping. Dia betul-betul menjadi bulan-bulanan. Kalau yang satu menyerang dengan menggunakan senjata, maka yang seorang lagi menyarangkan tendangan atau pukulan.
Sementara itu, pertarungan antara Yamaguchi dengan Rangga berlangsung seru. Tokoh dari utara itu memainkan jurus-jurus pedangnya yang indah namun sangat berbahaya. Namun dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga mampu mengatasinya.
"Pendekar Rajawali Sakti! Aku akan mati terhormat seandainya kau melawanku dengan pedang!" dengus Yamaguchi.
"Aku tak tahu, apa alasanmu hendak bertarung mati-matian denganku...," sahut Rangga.
"Kau telah membunuh Akira Yamamoto!"
"Akira Yamamoto?" Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut dan coba mengingat.
"Dia saudara seperguruan kami! Kau telah membinasakannya. Maka kami menantangmu bertarung hidup atau mati!" jelas Yamaguchi.
"Aku ingat! Jadi yang kau maksudkan adalah si Pendekar Pedang Bayangan?" (Tentang Akira Yamamoto, silahkan baca episode Pendekar Pedang Bayangan)
"Kau menyebutnya begitu!"
"Hm.... Aku mengerti. Jadi, kau datang jauh-jauh ke sini hendak membalas kekalahannya?" tebak Rangga.
"Aku tidak sendiri. Tapi, berempat. Kebetulan saja kau melewati jalan ini."
"Jadi, dua jalan lainnya telah dihadang kawan-kawanmu?"
"Benar! Dua di jalan sebelah kiri, dan seorang lagi di jalan tengah."
"Kenapa mesti dua orang yang ditempatkan di jalan kiri? Mestinya kalian berkumpul semua di sini," sahut Rangga, enteng.
"Menurut perkiraan, kau akan melewati jalan kiri. Tapi siapa duga kalau ternyata aku yang lebih dulu bertemu denganmu!" kilah Yamaguchi.
"Dari mana kau bisa menduga kalau kemungkinan aku kira melewati jalan kiri?" tanya Rangga penuh selidik. Tapi Yamaguchi tak menjawab. Maka Rangga mulai bisa menebak. "Kalian pasti bekerjasama dengan Adipati Sangkaran!" tebak Rangga.
"Aku dan tiga kawanku hanya menginginkan nyawamu!" sahut Yamaguchi.
Mesti tak langsung, namun Rangga segera mengerti kalau orang utara ini berkata jujur. Berarti benar dugaannya kalau Adipati Sangkaran menginginkan kematian mereka berdua.
"Kisanak! Kuterima tantanganmu!" sahut Rangga, langsung melenting ke belakang untuk membuat jarak. Tangannya langsung meraba punggung begitu mendarat di tanah.
Sring!
Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika sinar biru berkilauan memancar dari mata pedang. Kini, keduanya saling berhadapan dalam jarak sekitar enam langkah. Mereka saling menatap dengan sorot mata tajam, dengan tubuh mematung. Lalu....
"Heaaa...!"
Tras...!
"Heh?!" Yamaguchi tercekat kaget melihat ujung senjata yang berbenturan dengan pedang Pendekar Rajawali Sakti terbabat putus. Dalam hati, dia mengagumi pedang di tangan Rangga yang punya pamor hebat. Bahkan tangannya terasa nyeri bukan main.
"Yeaaa...!"
Namun Yamaguchi cepat menepis kekagumannya. Tubuhnya kembali berkelebat. Pedangnya yang buntung bergerak-gerak menyambar ke dahi, leher, dan semua anggota tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Gerakannya sederhana, namun gesit dan bertenaga kuat.
Meski Rangga sedikit banyak telah mengenal gaya ilmu silat Yamaguchi lewat Akira Yamamoto yang pernah dikalahkannya, tapi agaknya ada beberapa tambahan. Ini sedikit membingungkan. Sehingga untuk selang waktu beberapa saat, Rangga lebih banyak menghindar dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
TUJUH
"Pendekar Rajawali Sakti! Lawanlah aku dengan ilmu silat yang kau miliki! Kenapa terus menghindar?!" geram Yamaguchi.
"Aku belum lari, Sobat. Tidak usah khawatir."
"Heaaaa...!"
Begitu Yamaguchi menyerang lagi, kali ini Rangga mulai mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Pengerahan jurus yang dilakukan Rangga, membuat Yamaguchi tercekat. Saat itu juga dia merasa kelimpungan, tak tahu harus berbuat apa. Semangat bertarungnya mendadak hilang. Setiap kali sinar biru berkelebat ke arahnya, jiwanya bagaikan merintih-rintih dan terpecah-pecah.
"Oh.... Kenapa jadi begini...?" keluh Yamaguchi. Tokoh dari negeri Sakura ini mulai terpojok. Serangannya tak begitu membahayakan lagi, karena kali ini kendali serangan dipegang Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa...!"
Rangga tak memberi kesempatan. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat menerjang dengan pedang mengibas cepat. Yamaguchi coba memompa semangatnya. Pedangnya yang buntung ujungnya cepat memapak.
Trasss...!
"Uhh...!" Kembali laki-laki bermata sipit mengeluh tertahan ketika pedangnya terbabat di tengah-tengahnya. Tubuhnya pun terjajar beberapa langkah dengan mulut meringis menahan sakit pada tangannya.
Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah melenting ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepatnya, tahu-tahu tubuhnya telah meluruk dengan tebasan pedangnya. Lalu....
Crasss...!
"Aaa...!" Kejadian itu berlangsung cepat, dan tahu-tahu terdengar keluhan tertahan. Tampak tubuh Yamaguchi terhuyung-huyung dengan mata mendelik. Darah segar meleleh dari lehernya. Tepat ketika Rangga berbalik untuk melihat keadaan Jonggol Maraka, Yamaguchi ambruk tanpa nyawa lagi.
"Heh...?!" Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Secepatnya dia melompat untuk menolong Jonggol Maraka yang menjadi bulan-bulanan. Begitu meluruk, Rangga langsung membabatkan pedangnya.
Trassss....!
"Heh?!" Kedua orang bertopeng itu terkejut Pedang dan keris mereka buntung terbabat pedang di tangan Rangga. Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti sudah menyambar pangkal leher.
Cras! Cras!
"Aaa...!" Kedua orang bertopeng ini kontan ambruk. Darah segar memancar dari pangkal leher, membasahi bumi.
"Heh?!" Orang-orang bertopeng lainnya terkejut. Serentak mereka melompat mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti, meninggalkan Jonggol Maraka.
"Heaaa...!"
"Suiittt...!" Sementara sebelum serangan datang, Pendekar Rajawali Sakti telah bersuit nyaring. Tak lama, muncul seekor kuda gagah berbulu hitam mengkilat dari balik semak-semak. "Dewa Bayu! Bawa Ki Jonggol!" teriak Rangga begitu melihat kuda yang tak lain Dewa Bayu sambil menghindari serangan.
Memang, Dewa Bayu adalah kuda yang selalu setia menemani ke mana Rangga pergi. Walaupun Pendekar Rajawali Sakti tak mengendarainya, secara diam-diam kuda ini selalu mengikuti. Maka bila sewaktu-waktu diperlukan, Dewa Bayu akan cepat datang.
"Ki Jonggol, pergilah! Beri tahu Gusti Prabu kalau Adipati Sangkaran hendak memberontak! Ayo, cepat! Sebelum yang lainnya ke sini. Bawa kudaku! Tak usah heran dengan kudaku. Ayo, cepat!" teriak Rangga.
"Tapi kau sendiri...," sahut Jonggol Maraka, ragu-ragu.
"Jangan pikirkan aku! Lekas pergi. Pacu kudaku sekencang-kencangnya!" teriak Rangga lagi seraya menangkis serangan-serangan.
"Baiklah. Hati-hati! Kaupun harus menjaga diri...," sahut Jonggol Maraka, lemah.
Perlahan pejabat kerajaan ini bangkit mendekati kuda berbulu hitam yang berada di depannya. Dan dengan perlahan pula dia naik ke punggung Dewa Bayu. Dua orang mencoba menghalangi, namun Pendekar Rajawali Sakti cepat meluruk dengan kibasan pedang. Maka keduanya terpaksa mundur.
"Dewa Bayu, bawa dia! Turuti perintahnya!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.
Kuda hitam itu meringkik halus, lalu melesat cepat membawa Jonggol Maraka yang sedang terluka. Kini Pendekar Rajawali Sakti bisa bergerak leluasa. Tubuhnya telah berkelebat sambil membabatkan pedang.
Crassss...!
"Aaaaaa...!"
Rangga tak ingin berlama-lama lagi. Satu orang telah dibuat roboh dengan perut terbuka lebar, mengucurkan darah. Orang itu terpekik, lalu roboh.
"Heaaa...!"
Lima orang bertopeng menyergap dari depan dengan sambaran senjata. Namun secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang.
Trassss...!
"Uhh...!" Dua orang langsung melompat mundur ketika ujung pedang pemuda itu berbalik cepat Namun, tiga orang lainnya tak sempat menghindar. Sehingga....
Cras! Cras! Cras!
"Aaa...!" Mereka terpekik kesakitan, ketika ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti merobek perut. Tubuh mereka kontan ambruk dan menggelepar-gelepar.
"Huh!"
Tujuh orang bertopeng yang kini tersisa tampak ragu menyerang kembali. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tampak tegak berdiri dengan tatapan mengandung perbawa kuat. Dia siap menanti serangan berikutnya. Namun sebelum ada yang menyerang kembali, terdengar derap langkah beberapa ekor kuda ke arah tempat ini. Dan sebentar saja tempat ini telah dipenuhi beberapa orang penunggang kuda.
"Hebat! Sungguh hebat, Rangga!"
Rangga tersenyum ketika melirik laki-laki setengah baya berperawakan besar yang barusan memuji. Dia tak lain adalah Adipati Sangkaran.
"Terima kasih atas pujianmu, Adipati Sangkaran," sahut Rangga, datar.
Adipati Sangkaran tidak sendirian muncul. Di sampingnya berjajar beberapa tokoh persilatan yang pernah ditemui Rangga di balairung. Tak ketinggalan dua anak buahnya yang setia, yaitu Ki Wirabuana dan Seda Lepen. Tampak pula para prajurit yang mengelilingi. Jumlahnya kurang lebih lima puluh orang. Dua puluh lima di antaranya bersenjata panah.
"Yamaguchi!" teriak seorang laki-laki berpakaian serba hitam.
Begitu turun dari punggung kuda, bersama tiga laki-laki berbaju serba hitam lainnya, laki-laki itu melangkah lebar mendekati mayat Yamaguchi. Mereka mengerubunginya sebentar, sebelum tegak berdiri memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam.
"Kau yang membunuhnya?" tanya yang memakai ikat pinggang merah. Dia adalah Buntaro.
"Ya!" sahut Rangga, tegas.
"Hhh...!" Buntaro dan dua saudara seperguruannya yang bernama Idashi dan Ichimaru menggeram. Seketika, mereka mencabut pedang.
Sring!
"Bersiaplah menerima serangan!"
Rangga tak mau buang waktu. Pedang Pusaka Rajawali Sakti segera dicabut, siap menghadapi serangan.
"Kisanak! Kalau kalian butuh waktu cepat, maka kami akan bantu membereskannya untukmu!" teriak Adipati Sangkaran.
"Tidak perlu! Ini urusan pribadi. Jangan campuri urusan kami!" bentak Buntaro.
Adipati Sangkaran mendengus kesal. Pada dasarnya, dia seorang yang tinggi hati dan tak mau direndahkan orang lain. Apalagi dihina. Dan jawaban Buntaro betul-betul mengesalkannya.
"Bangsat!" rutuk laki-laki gemuk ini dengan suara halus. Dari semula tingkah orang-orang ini betul-betul memuakkan!
"Sabar saja, Kanjeng!" ujar Ki Sedan Lepen.
"Terkadang untuk mencapai tujuan, kita mesti menahan segalanya. Termasuk menahan amarah."
"Aku ingin mereka dihabisi secepatnya!" dengus adipati itu.
"Untuk apa, Kanjeng? Bukankah lebih enak menonton mereka saling bunuh? Kalau orang-orang sipit itu gagal membunuh Pendekar Rajawali Sakti, maka kita yang menghabisinya. Begitu pula sebaliknya. Tapi menurut hamba, apakah tidak sebaiknya tiga orang itu dimanfaatkan?"
"Seda Lepen! Aku muak melihat tingkah mereka yang kurang ajar! Habisi mereka semua!" perintah Adipati Sangkaran.
"Kalau itu yang Kanjeng Adipati kehendaki, maka tak ada lagi yang bisa kukatakan. Tapi, akan lebih muda membereskan seekor macan bila mereka terluka parah. Kita tak perlu banyak mengeluarkan tenaga. Jadi, biarkan saja mereka saling cakar-cakaran. Dan kita membereskan sisanya," kilah Seda Lepen.
"Terserah mu saja! Tapi, jangan lupa. Aku tak ingin si Jonggol itu selamat!"
"Telah ku kerahkan lima orang penunggang kuda terbaik dan kuda-kuda yang paling cepat. Dia terluka parah. Tentu tak akan bisa lari jauh."
"Sebaiknya kau buktikan itu. Sebab kalau tidak, kita akan celaka. Kalau kita celaka, maka kupastikan kepalamu yang akan lebih dulu menggelinding!"
"Jangan khawatir, Kanjeng!"
"Huh!" Adipati Sangkaran mendengus geram. Bagaimanapun, jawaban anak buahnya ditujukan agar hatinya merasa tenang. Namun tetap saja hatinya gelisah. Bayang-bayang impiannya akan sirna. Dan itu membuatnya kesal bukan main.
Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan ketiga tokoh dari negeri Sakura berlangsung seru dan alot. Serangan ketiga tokoh itu kompak dan saling mendukung. Agak sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menembus pertahanan mereka.
"Idashi! Ichimaru! Gunakan jurus 'Tapak Lima'...!" teriak Buntaro dengan bahasa yang tak dimengerti Rangga.
Namun Pendekar Rajawali Sakti segera menyadari perubahan gerak yang dilakukan ketiga lawannya. Kalau tadi mereka saling menyerang silih berganti, maka kini bergerak mengelilingi. Makin lama makin cepat, dan terus berlari kencang.
"Heaaa...!" Rangga membentak nyaring. Tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas. Namun saat itu juga, kurungannya ikut mencelat ke atas sambil mengibaskan pedang.
"Shaaah!" Pendekar Rajawali Sakti tak kalah gesit. Pe鈥恉angnya cepat bergerak berputaran begitu cepat.
Trang!
"Hup!" Sehabis menangkis, kembali Pendekar Rajawali Sakti melompat turun. Dan sebelum dia membuka serangan, ketiga orang asing ini melemparkan benda-benda sebesar telur puyuh.
"Heh?!" Rangga tercekat, ketika benda-benda itu meletup dan menebarkan asap tebal menghalangi pandangan. Dan dalam keadaan seperti itu, telinganya yang terlatih merasakan desir angin tajam menyambar dari tiga jurusan.
"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri sambil membabatkan pedangnya.
Cras! Cras!
"Aaaaaa...!" Dua sosok tubuh tampak ambruk bergelimpangan darah. Sementara seorang lagi terhuyung-huyung ke belakang.
"Idashi! Ichimaru...!" teriak Buntaro kaget melihat leher kedua kawannya nyaris putus terbabat pedang Rangga. Dia sendiri mendapat luka goresan di dada, menimbulkan tetesan darah merah kehitam-hitaman.
DELAPAN
Laki-laki itu buru-buru menghampiri Idashi dan Ichimaru. Diguncang-guncangkannya dua tubuh itu. Namun tak seorang pun yang mampu bergerak lagi. "Idashi! Ichimaru...!" teriak Buntaro lirih. Cukup lama Buntaro terpekur tanpa menghiraukan Rangga yang hanya berdiri menanti. Namun ketika bangkit perlahan, sorot matanya terlihat penuh dendam dan kebencian.
"Kau harus membalas kematian mereka dengan nyawamu!" desis Buntaro geram.
"Aku telah siap, Sobat! Silakan," sahut Pendekar Rajawali Sakti, datar.
Untuk sesaat mereka hanya saling berpandangan. Seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing. Mendadak...
"Seraaang...! Habisi mereka...!"
"Hei?!"
Rangga dan Buntaro yang tengah bertarung terkejut. Mereka langsung menghentikan pertarungan ketika mendengar Adipati Sangkaran memerintahkan pasukan panahnya untuk menghabisi mereka berdua.
"Kisanak! Kita hentikan dulu pertarungan!" teriak Rangga, langsung mengibaskan tangan untuk menahan gempuran anak-anak panah yang berseliweran.
"Kuharap kau jangan menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri!" kata Buntaro, memperingatkan.
"Aku bukan jenis manusia pengecut!"
Buntaro tak menjawab. Bahkan kini telah sibuk mengibaskan pedang untuk menangkis hujan anak panah.
"Heaaa...!"
Traaakk...! Traaakk!
"Serangan Bintang Tujuh!" teriak Seda Lepen.
Bersama Ki Wirabuana, Seda Lepen memimpin para prajurit kadipaten. Sementara para tokoh silat yang selama ini disewa Adipati Sangkaran belum juga turun tangan. Tapi tampaknya mereka hanya tinggal menunggu perintah. Kini, serangan yang disebutkan Seda Lepen membentuk tujuh kelompok, mengelilingi dua mangsa yang tengah diincar. Para prajurit itu bersenjata golok, pedang, dan tombak.
"Seraaang...!" teriak Seda Lepen. "Heaaa..,!"
Dari tujuh jurusan para prajurit kadipaten bergerak bagai lesatan anak panah. Bersamaan dengan itu, hujan anak panah berhenti, para prajurit pemanah seperti memberi kesempatan pada kawan-kawan mereka untuk mengembangkan serangan.
"Hmm...!" Rangga dan Buntaro mulai kewalahan menghadapi bentuk serangan yang aneh ini. Setiap serangan yang dilakukan tiga orang cuma sekali. Dan mereka telah siap untuk menghindar bila lawan menyerang. Setelah aman, maka berikutnya orang di belakang yang ganti menyerang. Begitu selanjutnya hingga kembali pada orang pertama. Dan serangan seperti itu memang telah terbukti keampuhannya selama ini di medan perang. Sehingga Seda Lepen dan yang lain merasa yakin bakal mampu menghabisi kedua lawannya dalam waktu singkat. Dan itu terbukti ketika....
Craaassss...! Craaaasss...!
"Aaakh...!"
Rangga dan Buntaro terpekik ketika punggung mereka tergores pedang. Dan Buntaro cepat bergulingan untuk mengincar bagian kaki lawan-lawannya. Sementara Rangga melompat ke atas untuk mengincar batok kepala.
"Heaaaaa...!"
Traaass! Breeettt!
"Aaaaakh...!"
Beberapa prajurit terpekik kesakitan. Tujuh orang pertama roboh bermandikan darah. Tiga korban Buntaro, dan empat hasil sasaran pedang Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaaaa...!"
Meski berkurang tujuh, namun serangan para prajurit terus dilakukan. Serangan yang dilakukan Rangga dan Buntaro mengacak ke mana-mana. Kadang mereka menyerang para prajurit yang belum mendapat giliran menyerang. Sehingga, prajurit-prajurit itu kaget. Dan mau tak mau terpaksa menyelamatkan diri. Dengan demikian serangan keseluruhan menjadi kacau balau.
Craaasss....! Breeeetttt...!
"Aaaaaa...!"
Empat orang lagi menyusul. Dan berikutnya, dua orang langsung terlempar ke belakang dengan tubuh berlumuran darah.
"Bentuk Bintang Menurun!" teriak Seda Lepen.
Entah apa yang dimaksud 'Bintang Menurun'. Namun yang terlihat para prajurit yang mengepung satu persatu melonggarkan serangan. Mereka meninggalkan kancah pertarungan dengan cepat. Sebagai gantinya, regu pemanah kembali menunjukkan kebolehannya.
"Seraaang...!"
Set! Set!
"Heaaa...!"
Dengan geram Rangga dan Buntaro memutar pedang, menangkis dan mematahkan semua anak panah. Namun anak panah berikutnya muncul secepat kilat ke arah Buntaro. Dan....
Crab...!
"Aaakh...!" Buntaro menjerit tertahan. Punggungnya tertancap sebatang anak panah, persis di dekat pangkal lengan kanan. Sehingga gerakannya agak terganggu ketika mengayunkan pedang. Padahal saat itu hujan anak panah belum lagi reda. Dan....
"Hup!" Rangga berkelebat cepat. Pedangnya mengibas, menghadang anak panah yang hendak merengut nyawa tokoh dari utara itu.
Trasss...! Trasss...!
"Terima kasih. Kau telah menyelamatkanku..." ucap Buntaro, begitu melihat Rangga melumpuhkan seluncur anak panah.
"Lupakanlah," ujar Rangga sambil memasukkan pedang ke dalam warangka di punggung. Saat itu juga Rangga telah membuat kuda-kuda kokoh. Kedua telapak tangan yang telah digosok-gosok satu sama lain telah menghadap ke atas di samping pinggang. Lalu....
"Aji Bayu Bajra! Heaaa...!"
Wuusssss...!
Disertai bentakan keras, Pendekar Rajawali Sakti mendorong kedua telapak tangannya ke depan, Dari kedua telapaknya, seketika menderu angin kencang yang menerbangkan debu, batu-batuan kecil, serta segala sampah yang ada di depan hingga menghalangi pandangan. Bukan cuma itu. Regu pemanah pun kontan terkejut. Mereka kontan terlempar ke belakang, dan jatuh setelah menghantam pepohonan hingga tumbang.
"Habisi mereka...!" teriak Adipati Sangkaran, pada tokoh-tokoh persilatan yang disewanya.
"Yeaaaaaa...!"
Sekitar lima belas tokoh persilatan sewaan Adipati Sangkaran berlompatan ke tengah kancah pertarungan, langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dan Buntaro.
"Keparat!" desis Buntaro. Dengan wajah berkerut menahan geram bercampur marah, laki-laki dari negeri Sakura ini tegak berdiri. Tak dihiraukan lagi luka-lukanya. Sebelah tangannya merogoh saku di balik baju. Begitu mengibas....
Busssss...!
Disertai letupan kecil, benda itu meledak mengeluarkan asap putih tebal menghalangi pandangan.
"Heaaaaaa...!"
Bersamaan dengan itu, Buntaro bergerak cepat membabat dengan pedangnya. Dan tanpa isyarat sebelumnya, Rangga pun bergerak bersamaan memanfaatkan kesempatan itu.
Breeettt...! Craasss...!
"Aaaaa...!"
Terdengar jerit kesakitan disertai tubuh-tubuh yang ambruk ke tanah bergelimpangan darah. Dan ketika asap reda, terlihat lima orang tokoh persilatan tergeletak bermandikan darah! Sepuluh tokoh persilatan lainnya terhenyak. Mereka tanpa sadar melompat mundur bersamaan, masih terkesima melihat gebrakan yang dilakukan Buntaro dan Rangga.
Kini tak seorang pun yang berani mendekat sembarangan. Sebenarnya orang-orang sewaan Adipati Sangkaran bukanlah tokoh sembarangan. Kalaupun lima di antaranya tewas dengan mudah, itu karena terlalu menganggap remeh. Namun yang paling penting, mereka dikejutkan oleh selubung asap putih. Buntaro memang telah terlatih berkelahi dalam keadaan seperti itu. Sementara Rangga yang memiliki aji 'Tatar Netra' tak mengalami kesulitan untuk mencari sasaran.
"Ayo, kenapa kalian diam saja! Serang mereka! Habisi...!" teriak Adipati Sangkaran kalap.
Kesepuluh orang persilatan sewaan itu kembali mendekat. Namun mereka kini lebih berhati-hati. Sementara Rangga dan Buntaro saling memunggungi. Mereka berputar pelan, mengikuti gerakan yang dibuat kesepuluh orang itu.
"Hiih!" Buntaro mematahkan anak panah yang menancap di punggung, dan memindahkan pedang ke tangan kiri. Wajahnya berkerut. Bukan saja menahan sakit, tapi juga geram dan amarah.
"Kau yakin masih kuat?" tanya Rangga dengan suara setengah berbisik.
"Jangan khawatir. Aku mampu menjaga diri," sahut Buntaro, mantap.
"Bagus! Sebaiknya kaupun menyiapkan peledak yang mampu mengeluarkan asap itu!"
"Mereka tak akan tertipu lagi!"
"Mereka ini binatang sewaan adipati laknat itu! Dan binatang selalu terperangkap dalam lubang yang sama."
Buntaro tak menjawab. Saat itu mendesing beberapa buah paku besar berwarna kehitam-hitaman ke arah mereka.
"Awas! Paku ini beracun...!" desis Rangga mengingatkan.
Tring....!
Buntaro menggerakkan pedangnya, memapak paku-paku beracun yang diarahkan padanya. Demikian pula Rangga. Dan tengah mereka sibuk dengan paku beracun itu, kesembilan tokoh sewaan ini lompat mengurung. Dua orang menyabetkan tombak dari belakang.
Bet...! Bet....!
"Hup!" Namun Rangga dan Buntaro lebih cepat melompat ke depan. Pada saat yang sama, dua lawan lainnya siap menyambut dengan babatan pedang. Sementara dua lagi dari arah bawah menyabetkan golok. Sedangkan empat lawan yang tersisa melepaskan senjata rahasia berupa paku beracun.
"Sekarang, Sobat!" teriak Rangga memberi isyarat langsung melenting ke atas.
"Hih!" Buntaro kembali mengibaskan tangannya yang memegang benda putih sebesar telur puyuh. Tubuhnya pun telah pula melenting ke atas. Asap tebal langsung menghalangi pandangan. Empat lawan yang bertugas melempar senjata rahasia sempat melompat ke belakang. Namun enam orang lainnya yang telanjur menyerang dalam jarak dekat, tak mungkin mampu menghindar saat pedang Rangga dan Buntaro telah berkelebat dari atas.
Crassss...! Crassss....!
"Aaaaaakh...!
Terdengar babatan senjata, yang diselingi teriakan kesakitan. Enam orang kontan terjungkal roboh bermandikan darah. Pada saat Rangga dan Buntaro masih berada di udara, kembali melesat paku-paku beracun. Tak ada waktu lagi buat menghindar. Sehingga....
Craaaab...! Craaaab...!
"Aaaaakh...!" Begitu mendarat Buntaro terhuyung-huyung ke belakang. Tampak dua paku beracun menempel di dada.
"Hugkh!" Tokoh dari utara itu coba bertahan dengan berdiri tegak. Dari mulutnya mulai menetes darah segar. Matanya liar memandang Adipati Sangkaran. "Anjing terkutuk itu mesti mati di tanganku!" desis Buntaro geram.
"Kisanak! Diamlah sebentar!" kata Rangga sambil mendekati. Dua buah jari tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat menotok di sekitar paku beracun yang menancap. Dicabutnya senjata rahasia itu dari tubuh Buntaro.
"Terima kasih, Kawan...!" ucap Buntaro lirih. "Kau pun terluka!" Buntaro menunjuk dua buah paku yang menancap di punggung Pendekar Rajawali Sakti. Dia tak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti kebal terhadap segala jenis racun.
"Tak apa," jawab Rangga seraya mencabut kedua paku beracun dengan dua buah jari. Sementara itu Adipati Sangkaran telah berteriak memberi perintah. Sisa prajuritnya siap dikerahkan untuk membunuh kedua orang yang dibencinya. Namun sebelum mereka bergerak, terdengar suara derap langkah kuda dari kejauhan yang menuju ke tempat itu. Jumlahnya puluhan?
"Pasukan kerajaan tengah menuju ke sini...!" teriak seorang prajurit seraya memacu kuda ke arah Adipati Sangkaran. Agaknya, sejak tadi dia bertugas untuk mengawasi keadaan di sekitar tempat ini.
"Keparat terkutuk!" desis Adipati Sangkaran geram. Laki-laki gemuk ini berlari kecil menghampiri kuda tunggangannya. "Seda Lepen! Wirabuana! Bunuh mereka lekas!" Setelah berkata demikian, adipati itu memacu kudanya kencang-kencang meninggalkan tempat ini. Namun setelah adipati itu menjauh, Seda Lepen pun mengikuti jejaknya.
"Seda Lepen! Mau ke mana kau?" tanya Ki Wirabuana, mengikuti Seda Lepen yang telah melompat ke punggung kuda.
"Kau kira aku mau apa? Mengikuti perintahnya? Tolol sekali! Kita semua akan ditangkap pasukan kerajaan. Sia-sia melawan! Dan lebih tolol lagi kalau melawan mereka berdua. Jalan terbaik saat ini adalah menyelamatkan diri! Kalau kau mau menuruti perintahnya, silakan saja. Lawanlah mereka berdua!" sahut Seda Lepen enteng.
"Kalau begitu aku pun tak sudi! Siapa mau mati sia-sia! Sebelas dari lima belas orang itu tewas. Dan sebagian besar prajurit kita pun binasa. Adipati Sangkaran enak-enakan menyelamatkan diri sendiri! Buat apa aku menurutinya?!"
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Lekas kita pergi!"
"Heaaaaaa...!"
Kedua orang telengas itu menggebah kuda, meninggalkan sisa prajurit yang kelihatan bingung karena tak tahu harus berbuat apa. Pada saat itu pasukan kerajaan yang dikatakan tadi telah tiba di sana.
"Semua menyerah atau akan mati di tangan kami...!" teriak seorang laki-laki bertubuh kekar yang berkuda paling depan. Laki-laki bertubuh besar dengan kumis tebal itu mengacungkan pedang besar ke atas. Matanya nyalang, memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tidak terlihat perlawanan berarti dari para prajurit kadipaten. Mereka semua melemparkan senjata tanda menyerah.
"Bagus! Itu pilihan baik bagi kalian," dengus laki-laki kekar itu. "Kumpulkan mereka di satu tempat. Dan, ikat kedua tangan mereka semua!"
Setelah itu, laki-laki ini turun dari kudanya. Diperhatikannya mayat-mayat yang bergeletakan di mana-mana. Kemudian pandangannya beralih pada Rangga dan Buntaro. Saat ini, keduanya belum lagi menyarungkan pedang.
"Siapa di antara kalian berdua yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?" tanya laki-laki berkumis ini.
"Aku...," sahut Rangga.
Laki-laki itu membungkuk, memberi hormat. "Pendekar Rajawali Sakti.... Aku Arda Winangun, Panglima Utama Kerajaan Pasir Angin menghaturkan hormat padamu!"
"Panglima Arda Winangun, aku pun menghaturkan hormat atas bantuanmu. Terima kasih. Kalau tidak, entah apa yang terjadi pada kami," sahut Rangga.
"Mayat-mayat ini..., apakah kalian yang melakukannya?" tanya laki-laki berkumis yang bernama Arda Winangun.
"Mereka kelewat memaksa. Dan kami mesti mempertahankan diri."
Panglima Arda Winangun mendecah kagum. "Sebagian dari mereka pernah kukenal. Dan orang-orang ini tergolong tokoh hebat. Tapi sayang, mereka harus berurusan denganmu. Dan akhirnya menemui ajal."
"Ajal mereka di tangan Yang Maha Kuasa dengan meminjam tangan kami...," kata Rangga merendah.
"Pendekar Rajawali Sakti, kau memang kelewat merendah. Kalian tengah terluka cukup parah kalau tak diobati mungkin akan semakin parah. Kami punya tabib hebat. Maukah kalian ke sana menerima undangan raja kami?"
Rangga dan Buntaro saling berpandangan sejenak.
"Kisanak..., Kau tengah terkena serangan racun. Perlu sedikit perawatan untuk mengembalikan keadaanmu seperti sediakala. Lebih baik menerima tawaran itu...," kata Rangga.
"Bagaimana denganmu sendiri?" tanya Buntaro.
"Jangan kau pikirkan aku. Bukankah kau ingin menantangku? Nah, obatilah dulu lukamu. Aku ingin pertarungan yang jujur dan bersih," ujar Rangga sambil tersenyum manis.
"Sungguh kau berjiwa ksatria sejati, Pendekar Rajawali Sakti! Nantikan aku di Bukit Muria pada dua purnama yang akan datang," sahut Buntaro.
Dan Rangga hanya mengangguk dengan senyum penuh perbawa.
S E L E S A I
EPISODE BERIKUTNYA: MEMBURU RAJAWALI