KOTA CENG TAO terletak di tepi laut, merupakan sebuah kota pelabuhan yang cukup besar di Propinsi Shan-tung. Setiap hari perahu-perahu dagang yang besar berlabuh di situ, ada yang datang membawa barang-barang dagangan dari luar daerah, bahkan dari luar negeri ke kota itu, ada pula yang mengangkut barang-barang dari dalam keluar.
Bukan hanya usaha perdagangan yang meramaikan kota Ceng-tao. Akan tetapi juga hasil penangkapan ikan laut di daerah pelabuhan itu amat baik sehingga pantai itu penuh pula dengan perahu-perahu nelayan dan terbentuklah sebuah pasar ikan di tepi pantai.
Biasanya, semenjak pagi-pagi sekali pantai itu sudah sibuk, terutama sibuk dengan para nelayan yang baru pulang dari tengah lautan di mana mereka bekerja, semalam suntuk menangkap ikan, lalu membawa pulang hasil penangkapan ikan mereka yang memenuhi perahu. Bau amis ikan-ikan mati akan memenuhi tempat itu, dan bukan hanya lalat-lalat yang merubung, akan tetapi juga manusia-manusia yang berebutan melelang ikan-ikan itu untuk dijual kembali ke pasar lantas memperoleh untung yang kadang-kadang lebih besar dari pada para nelayan itu sendiri.
Kadang terlihat pula pemandangan yang mengharukan, menyedihkan dan mendatangkan rasa penasaran di dalam hati. Sebagian besar para nelayan itu hanya alat-alat belaka dari para juragan yang melepas uang dan meminjamkan perahu-perahu, jala-jala dan alat-alat perlengkapan yang baik untuk menangkap ikan. Mereka inilah yang nantinya menentukan harga ketika para nelayan sudah kembali dari tengah laut.
Harga ditekan sedemikian rupa, tetapi para nelayan tidak berani melawan karena mereka telah terbenam dalam hutang setinggi leher. Selain itu, para juragan itu membawa tukang-tukang pukul yang galak dan kejam. Tidak jarang terjadi pemukulan-pemukulan di pinggir pantai itu oleh para tukang pukul terhadap nelayan yang berani membangkang. Ada pula nelayan-nelayan yang menangis sebab hasilnya terlalu sedikit untuk dapat menghidupkan keluarganya, apa lagi kalau ada anggota keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan uang untuk biaya pengobatan.
Akan tetapi, pada pagi hari itu keadaan di tepi pantai agak sunyi. Hujan sudah turun sejak malam tadi. Karena hujan badai membuat air laut meliar, malam tadi para nelayan banyak yang terpaksa pulang tanpa memperoleh hasil.
Setelah matahari mulai muncul, hujan mereda, tidak selebat semalam, akan tetapi masih juga turun rintik-rintik. Di kota Ceng-tao sendiri, sungguh pun pagi itu masih hujan gerimis, namun di jalanan penuh juga dengan orang berlalu-lalang memakai payung atau memakai caping lebar untuk melindungi diri dari timpaan air lembut yang dingin.
Nampak pula gerobak-gerobak yang mengangkut barang-barang dagangan seperti sayur-mayur, ikan dan sebagainya. Mereka berbondong-bondong menuju ke pasar yang berada di tengah kota. Ada pula tukang-tukang panggul yang membantu memikul barang-barang berat menuju pasar. Mereka ini tidak berbaju hingga tubuh yang bagian atasnya telanjang itu tertimpa air hujan.
Tubuh yang berpeluh itu menjadi makin basah. Air hujan bercampur air keringat membuat tubuh itu mengkilap, kelihatan kuat dengan otot-otot menjendol. Akan tetapi mereka tidak terganggu oleh air hujan yang dingin, malah bagi mereka terasa enak di badan, sejuk dan banyak mengurangi rasa lelah.
Berbagai macam orang yang berlalu-lalang di jalan raya menuju ke pasar. Dari keadaan pakaian mereka dapatlah diketahui siapa di antara mereka yang pedagang beruang dan siapa yang hanya kuli miskin. Pakaian mereka yang mendatangkan perbedaan itu, bukan hanya pakaian, akan tetapi juga pandang mata dan sikap mereka.
Sebagian besar manusia mencerminkan keadaan kehidupan mereka pada sikap dan air muka. Yang kaya, pandai atau berkedudukan biasanya mengangkat muka tinggi-tinggi, merasa lebih dari pada orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya miskin, bodoh dan tidak ada kekuasaan, banyak menunduk dan merendahkan diri.
Akan tetapi pada pagi hari itu, terdapat suatu suasana gembira yang dapat dirasakan oleh semua orang dari segala tingkatan. Semacam kegembiraan yang aneh, yang terasa oleh seluruh badan dan batin, kegembiraan yang tercipta oleh keadaan bumi dan udara.
Setelah hujan lebat semalam, jalan-jalan raya, genteng-genteng rumah, semuanya terlihat bersih tercuci oleh air hujan. Walau pun hujan masih gerimis dan matahari masih tertutup kabut, namun suasana terasa bersih, sejuk dan jernih.
Suara air selokan yang menampung air hujan serta segala kotoran yang disapu olehnya, laksana dendang pagi yang sangat merdu. Bahkan pohon-pohon nampak berseri karena mereka pun sudah dicuci bersih dari debu-debu, juga daun-daun tua dirontokkan. Setiap daun kini nampak hijau bersih kemilau. Suasana ini mendatangkan suatu rasa gembira yang ajaib.
Di pintu gerbang kota pun nampak beberapa orang atau gerobak lewat. Mereka datang dari dusun-dusun di luar kota Ceng-tao. Matahari sudah naik agak tinggi, namun hujan masih turun rintik-rintik, walau pun sudah mulai jarang.
Pada saat itu pintu gerbang sudah sunyi, sudah tidak nampak orang lewat lagi. Agaknya orang-orang dusun yang menuju ke kota Ceng-tao sudah habis. Mereka datang semenjak pagi sekali tadi, takut kalau kesiangan yang akan membuat dagangan mereka jatuh harga atau tidak laku.
Para penjaga pintu gerbang duduk santai di dalam gardu. Tentu saja mereka itu merasa enggan untuk berjaga di luar sehingga tertimpa air hujan. Lagi pula, dalam keadaan aman seperti hari itu, perlu apa berjaga dengan ketat? Yang memasuki pintu gerbang bukan lain hanyalah orang-orang dusun yang hendak berjualan ke pasar kota.
Suasana di sekitar pintu gerbang sunyi dan hening. Para penjaga yang berada di dalam gardu mengasyikkan diri bermain kartu sambil minum arak untuk menghangatkan tubuh. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara nyanyian! Suaranya agak parau, dalam, dan terdengar lucu, nada-nadanya juga seenaknya saja.
Mau tak mau para penjaga mendengarnya juga karena suara itu terdengar lucu dan aneh, mereka pun setengah memperhatikan. Suara nyanyian itu kini diselingi suara ringkik kuda dan semakin didengarkan, semakin tertarik pula hati para penjaga karena memang suara nyanyian itu lucu dan juga aneh kata-katanya. Apa lagi diselingi ringkik kuda, seolah-olah manusia dan kudanya bernyanyi bersama-sama.
Tok-tak-tok-tak hujan turun bertitik Top-tap-top-tap langkah kudaku cantik! Hiiii... yeeehhhh...! (suara ringkik kuda) Biar hujan biar panas, manusia tetap mengeluh biar panas biar hujan, kuda takkan mengaduh! Hiii... yeeehhhh...! (suara ringkik kuda) Manusia memang pintar, pandai berkeluh-kesah kudaku memang tolol, tak kenal hati susah! Hiii... yeeehhhh...! (suara ringkik kuda) Ha-ha-hi-ha-ha-ha-ha!
Para penjaga dalam gardu itu kini menghentikan permainan kartu mereka, lalu beberapa orang di antara mereka melongok dari jendela gardu untuk melihat siapa gerangan orang yang bernyanyi-nyanyi secara aneh dalam hujan rintik-rintik itu.
Tak lama kemudian nampaklah orangnya! Seekor kuda yang bentuknya lucu, kecil kurus dan pendek sehingga lebih mirip seekor anak kuda yang mukanya sudah tua, melangkah seenaknya dan agaknya kuda itu selalu berbunyi meringkik apa bila lehernya ditepuk oleh penunggangnya. Tidak mengherankan jika tadi dia dapat ikut bernyanyi menyelingi suara nyanyian majikannya.
Kuda kecil mirip keledai itu melangkah sambil menunduk, kadang-kadang berdongak bila meringkik dan matanya yang besar itu berkilat. Dia terlihat girang dan lega sekali karena tersiram air yang menyegarkan setelah setiap hari melakukan perjalanan jauh di atas jalan berdebu dan di bawah sengatan terik matahari. Air hujan itu amat menyenangkan hatinya, agaknya perasaan itu sama dengan apa yang dirasakan oleh para tukang pikul tadi.
Penunggang kuda itu tidak kalah anehnya jika dibandingkan dengan kudanya sendiri. Dia adalah seorang wanita muda, seorang dara remaja yang pakaiannya aneh dan tak karuan! Bajunya kembang-kembang dan tambal-tambal, agaknya dijahit seenaknya saja sehingga kebesaran dan kedodoran, lengan kiri terlalu pendek lengan kanan terlalu panjang, malah ada bagian pundak yang robek.
Mukanya kotor berdebu, muka yang sangat lincah gembira penuh senyum, dan matanya juga bersinar-sinar membayangkan kelucuan dan kenakalan. Rambutnya yang hitam dan subur itu dikepang dua dan yang sebelah membelit leher, sebelah lagi berjuntai di depan dada.
Lucunya, dara remaja yang aneh ini memegang sebuah payung butut yang sudah bocor di sana-sini. Naik kuda pakai payung butut sambil bernyanyi-nyanyi! Belum pernah para penjaga itu melihat hal yang selucu ini sehingga mereka pun tertawa. Mungkin perempuan gila, pikir mereka.
Akan tetapi setelah dara beserta kudanya datang semakin dekat, tampaklah oleh mereka bahwa di balik kelucuan dan kesederhanaan yang terasa ugal-ugalan itu masih bisa dilihat bentuk wajah yang manis serta bentuk tubuh yang padat ramping dan mulai mekar, mulai menunjukkan lekuk lekung tubuh yang amat indah bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Seorang dara yang usianya kurang lebih lima belas tahun.
Enam orang penjaga di dalam gardu itu tertawa keras, membuat dara penunggang kuda menengok. Melihat orang-orang itu tertawa, gadis itu pun tersenyum dan melihat mereka kini melambaikan tangan, ia pun ikut melambaikan tangan. Hal ini membuat para penjaga menjadi makin gembira. Keadaan yang sunyi, hawa yang amat dingin, dan pengaruh arak membuat mereka menjadi iseng. Dua orang di antara mereka, yaitu kepala penjaga dan pembantunya, cepat bangkit dan keluar dari gardu sambil berseru,
"Heii, nona manis, tunggu dulu!"
Empat orang teman mereka mencoba untuk mengingatkan mereka, tetapi karena mereka itu adalah kepala jaga dan pembantunya, yang lain tidak berani menentang.
"Hemmm, kalian tahu bahwa aku bukanlah jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Aku hanya ingin menggoda anak lucu itu, paling-paling hanya akan menciumnya. Apa bila dia mau, boleh kita bawa ke sini dan kita ajak main-main, kalau dia tidak mau pun aku tidak akan memaksa."
Dengan kata-kata demikian, para temannya hanya tertawa gembira. Bagaimana pun juga, mereka adalah prajurit-prajurit yang sudah biasa suka bersikap ugal-ugalan dan senang main-main untuk memperlihatkan kekuasaan dirinya.
Kepala jaga itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sebesar gentong, rambut kepala pada bagian ubun-ubun botak dan matanya juga lebar bundar. Tubuh yang gendut pendek itu membayangkan kekuatan yang besar dan ketika dia menyeringai, giginya nampak hitam oleh candu rokok.
Pembantunya juga berusia empat puluhan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya sipit, kulit mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Kedua orang ini sudah keluar dari pintu gardu dan kini berdiri menghadang tepat di tengah-tengah pintu gerbang, sambil bertolak pinggang dengan kedua kaki mereka terpentang lebar. Mereka memandang ke depan, ke arah dara berkuda itu dengan mulut menyeringai.
Dara itu agaknya tidak mengerti akan maksud dua orang laki-laki yang hendak menggoda atau mengganggu itu. Karena dua orang itu menghadang di tengah pintu gerbang, maka terpaksa dia menahan kudanya agar tidak sampai menabrak mereka dan dengan senyum lebar dia pun berkata,
"Heii, dua orang sobat penjaga, berilah kudaku jalan dan biarkan aku lewat!"
Setelah kini berhadapan dan melihat dari dekat, kepala jaga itu dengan hati girang sekali mendapat kenyataan bahwa gadis yang berpakaian aneh-aneh ini, biar pun kulit mukanya kotor penuh debu, akan tetapi sebenarnya wajah itu amat manis dan sebagian kulit yang agaknya terkena usapan tangan dan bersih dari debu itu terlihat mulus dan putih. Seorang dara remaja yang manis sekali! Apa lagi, ketika gadis itu tersenyum, nampak lesung pipit menghias pipinya dan juga giginya nampak putih dan rata.
"Ha-ha-ha-ha, nona. Boleh saja engkau lewat, akan tetapi engkau harus membayar pajak lebih dahulu!" kata kepala jaga yang gendut sambil tertawa sehingga perut gendutnya itu bergerak-gerak.
Nona muda itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Eh, eh, mana ada aturan begitu? Sudah sering kali aku keluar masuk pintu gerbang, dan pintu gerbang yang ini pun setiap hari sudah banyak dilewati orang, akan tetapi belum pernah ada orang lewat yang diharuskan membayar pajak! Rasanya pemerintah tidak pernah mengeluarkan keharusan membayar pajak lewat pintu gerbang!"
"Ha-ha-ha, engkau ini nona manis akan tetapi bodoh. Kalau yang berkuasa menghendaki, jangankan untuk lewat pintu gerbang kota, bahkan orang kentut pun bisa saja diharuskan membayar pajak. Dan sekarang yang berkuasa di pintu gerbang ini sudah mengharuskan agar engkau membayar pajak. Karena itu engkau tidak boleh membangkang, nona, sebab pembangkangan berarti pemberontakan dan engkau bisa ditangkap kemudian dijebloskan ke dalam penjara!"
"Hemm, dan siapa yang berkuasa di pintu gerbang ini sekarang?"
"Siapa lagi kalau bukan tuan besarmu ini?" Si gendut berkata sambil menunjuk perutnya sendiri yang besar sambil tertawa.
"Wah, ini namanya bukan pajak tapi pemerasan!" Dara remaja itu berteriak.
Sebetulnya sikapnya ini saja sudah harus menjadi peringatan bagi dua orang penghadang itu. Kalau nona itu seorang gadis biasa, tidak mungkin sikapnya seberani dan secerdik itu dalam berbantah. Seorang gadis biasa apa lagi dari dusun, baru bertemu dengan penjaga dan dihardik sedikit saja tentu sudah akan bersikap ketakutan.
"Jangan banyak cerewet!" Si kurus sipit membentak. "Taati perintah kepala jaga kami bila engkau tidak ingin celaka!"
"Hemm, jadi pajak ini bukan peraturan pemerintah melainkan peraturan kalian sendiri?"
"Benar, kami yang berkuasa di sini!" kata si gendut.
"Dan hasil pungutan pajak liar ini kalian nikmati sendiri, bukan untuk pemerintah?"
"Tentu saja!"
"Wah, kalau demikian kalian adalah para perampok berseragam yang menyamar sebagai pejabat pemerintah!"
"Hush, tutup mulutmu atau engkau kami tangkap dan kami jebloskan penjara!"
"Huh, pantasnya orang-orang semacam kalian ini yang harus ditangkap dan dipenjarakan. Kalian sudah merongrong kewibawaan pemerintah dengan tingkah laku kalian, kalian juga mencemarkan nama negara dengan menggunakan kekuasaan menggendutkan perut dan kantong sendiri, dan kalian inilah pengkhianat-pengkhianat dan musuh-musuh rakyat dan negara yang menekan dan memeras rakyat!"
"Hei, perempuan gila, tutup mulutmu itu!" Si tinggi kurus membentak, akan tetapi si gendut menyeringai.
"Gadis liar, tentu makin menyenangkan jika nanti telah dapat kutundukkan! Hayo, engkau harus mentaati peraturan dan membayar pajak, nona manis."
"Berapa pajaknya?" Gadis itu bertanya sambil bersungut-sungut.
"Ha-ha-ha, itulah anehnya. Pajak yang harus kau bayar adalah... dua kali ciuman kepada kami!"
Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi mulut itu lalu tersenyum manis. Agaknya kalau tadinya dia merasa marah karena peraturan pajak yang dianggapnya pemerasan itu, kini kemarahannya lenyap karena dia merasa betapa permintaan pajak cium itu sangat lucu. Agaknya timbul kembali kejenakaan serta kelincahan gadis itu. Sikapnya tidak lagi serius seperti tadi ketika dia sedang berbantahan tentang pajak dan pemerasan.
"Bagus, ternyata kalian minta cium? Kebetulan sekali, aku memang ahli memberi ciuman! Heh, sobat gendut, engkau minta cium pipi kiri atau pipi kanan?"
Mendengar ucapan yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya itu, karena tadinya si gendut mengira bahwa gadis itu akan marah, para penjaga itu tertawa gembira. Kiranya gadis itu menerima ajakan mereka dengan kedua tangan terbuka dan sekarang bahkan menantang ciuman!
"Ha-ha-ha, coba engkau cium pipi kananku dua kali, nona manis!"
"Engkau mana mampu bertahan dua kali? Satu kali pun cukup. Dan engkau, sobat kurus, engkau minta ciuman kanan atau kiri?"
Si tinggi kurus bermata sipit menjadi gugup juga. Tak pernah disangkanya gadis ini malah menawarkan ciuman kepadanya. "Ehh, aku... hemm, yang kiri pun bolehlah!"
Kembali para penjaga tertawa riuh-rendah. Mereka semua sudah keluar dari dalam gardu karena sekarang mereka semua juga hendak minta ciuman dari gadis yang agaknya suka membagi-bagi ciuman itu. Dara itu turun dari atas punggung kudanya lantas memandang kepada mereka dengan senyum-simpul, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Mata si gendut berminyak saat dia melihat bahwa setelah turun dari kudanya, tubuh gadis itu nampak jelas keindahannya. Tinggi semampai dan padat, juga lenggangnya bagaikan batang yang-liu tertiup angin ketika gadis itu meninggalkan kuda dan menghampirinya.
"Sobat gendut minta ciuman pipi kanan dan sobat kurus minta ciuman pipi kiri? Baiklah, akan kuberi ciuman seorang satu kali saja, kalau kurang nanti boleh tambah lagi!"
Mendengar ucapan ini, dengan lagak lucu si gendut menggosok-gosok pipi kanannya agar bersih, siap-siap menerima ciuman, sedangkan si kurus juga berseri-seri wajahnya. Akan tetapi, mendadak tubuh dara itu bergerak dengan amat cepatnya sehingga bayangannya saja yang nampak, kedua kakinya melayang ke atas.
"Plakk! Plakkk!"
Tubuh si gendut dan si kurus itu terpelanting lantas terbanting jatuh bergulingan. Mereka mengaduh-aduh sambil memegangi pipi masing-masing. Setelah mereka merangkak dan bangkit duduk, ternyata pipi kanan si gendut sudah bengkak dan biru, sedangkan bibirnya mengalir darah akibat empat buah gigi pada ujung kanan patah-patah, sebaliknya si kurus memegangi pipi kirinya yang juga bengkak dan bibirnya berdarah.
Ternyata, dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, gadis itu tadi sudah menendang pipi kanan si gendut dengan kaki kiri sedangkan kaki kanannya menyambar pipi kiri si kurus. Selain cepat tendangan itu juga mengandung tenaga besar sekali hingga membuat kedua orang itu merasa seolah-olah kepala mereka telah copot.
"Heiii, mengapa engkau menendang orang?" Empat orang penjaga yang melihat kejadian itu menjadi terkejut dan marah, cepat berlari mendatangi dan mengurung gadis itu sambil mencabut golok.
"Bukankah mereka yang minta ciuman pipi kanan dan pipi kiri?" Gadis itu balas bertanya dengan sikap mengejek.
"Itu bukan ciuman!" bentak seorang di antara para penjaga.
"Aku tadi tidak mengatakan cium dengan apa! Apakah kalian kira aku akan sudi mencium pipi mereka dengan hidung atau bibirku? Aihh, tak usah, ya? Aku sudah memberi ciuman dengan ujung sepatu, masing-masing satu kali, kalau kurang boleh ditambah lagi. Apakah kalian berempat juga ingin minta bagian ciuman?"
Pada saat itu si gendut bersama pembantunya telah bangkit berdiri. Pipi mereka semakin besar bengkaknya, dan dengan mata merah si gendut kini memandang kepada gadis itu. Hatinya lebih nyeri dari pada pipinya. Rasa malu mengatasi rasa nyerinya sehingga lebih mendatangkan dendam dari pada kewaspadaan.
Sebenarnya, gerakan gadis itu yang dalam sekali gerak saja sudah mampu merobohkan dia dan pembantunya, telah cukup membuktikan bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang berilmu tinggi. Akan tetapi, perasaan dendam membuatnya mata gelap.
"Tangkap perempuan iblis ini! Bunuh...!" Dia sendiri sudah mencabut golok besarnya dan bersama lima orang anak buahnya, dia lalu menerjang dan menyerang gadis itu dengan amat ganasnya.
Gerakan golok mereka berenam itu jelas merupakan serangan untuk membunuh. Cahaya golok mereka berkilauan tertimpa sinar matahari yang kini mulai menebarkan cahayanya setelah ditinggalkan awan dan setelah hujan mulai berhenti menitik.
Akan tetapi pandang mata enam orang penjaga itu menjadi kabur ketika mereka melihat betapa nona di hadapan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja yang mengelak ke kanan kiri dengan kecepatan yang luar biasa. Semua tusukan dan bacokan golok tidak ada yang mengenai sasaran bahkan pada waktu golok terayun, bayangan itu telah lenyap untuk muncul di tempat lain.
Saat si gendut tiba-tiba melihat bayangan dara itu muncul di depannya sambil tersenyum mengejek, dia mengeluarkan bentakan nyaring lantas goloknya menyambar ke arah leher nona itu dengan kecepatan kilat dan pengerahan tenaga seluruhnya. Akibat didorong oleh kemarahan serta nafsu membunuh yang berkobar-kobar, kepala jaga gendut ini lupa akan pantangan dalam gerakan silat. Pantangan ini adalah menggunakan seluruh tenaga dalam serangan.
Seharusnya, dalam setiap serangan, orang selalu mempergunakan tenaga terbatas agar masih ada sisa tenaga untuk memperkuat kedudukan kaki dan untuk persiapan menjaga diri. Namun si gendut ini melakukan serangan dengan mengerahkan seluruh tenaga.
Maka, pada saat gadis itu dengan amat lincahnya bergerak mengelak, si gendut tak dapat mengendalikan dirinya lagi sehingga dia pun terdorong oleh tenaganya sendiri, dan tanpa kakinya dapat mengatur keseimbangan badan lagi, tubuhnya lantas tersungkur ke depan. Pada saat itu, kaki gadis itu kembali menciumnya, sekali ini mencium dada sebelah kiri.
"Ngekkk...!" Si gendut terpelanting dan tahu-tahu goloknya telah terampas oleh nona itu.
Sambil tersenyum nona itu menggerakkan golok rampasan ke arah muka si gendut yang memandang terbelalak sehingga wajahnya pucat sekali karena dia tahu bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba saja golok itu dilepas oleh si nona sehingga meluncur ke bawah, gagangnya di depan dan menyambar ke arah si gendut.
"Krekkkk...!"
Si gendut mengeluh, akan tetapi sulit mengeluarkan suara karena mulutnya telah dipenuhi oleh gagang golok yang telah membuat seluruh gigi dalam mulutnya rontok! Ada beberapa buah gigi yang tertelan dan sekarang dia mendelik, menggunakan kedua tangannya untuk mengeluarkan golok itu yang gagangnya tertanam di dalam mulutnya.
Setelah merobohkan kepala jaga, nona itu lalu meloncat ke atas punggung kudanya. Lima orang penjaga mengejarnya dengan golok, akan tetapi mendadak nona itu mengeluarkan pekik melengking lantas kedua tangannya bergerak ke kanan kiri. Sungguh hebat! Tanpa tersentuh, tubuh kelima orang penjaga itu terpelanting semua dan terbanting roboh seperti terlanda angin yang sangat kuat. Dan ketika mereka bangkit berdiri, kuda itu sudah lari memasuki kota.
"Kejar...!" teriak si mata sipit.
Mereka berlima segera melakukan pengejaran, meninggalkan si gendut yang masih terus mengeluh dan meratapi giginya itu. Akan tetapi nona dan kudanya sudah lenyap. Bahkan ketika mereka melapor dan pasukan penjaga ikut mencari, mereka tak dapat menemukan jejak nona dengan kudanya itu, seolah-olah kudanya telah lenyap ditelan bumi. Tentu saja peristiwa ini segera tersiar dan menjadi buah percakapan para penduduk Ceng-tao.
Berita tentang munculnya seorang dara aneh dengan kuda aneh, menyanyikan lagu aneh pula, yang setelah dengan mudahnya merobohkan enam orang penjaga lalu lenyap begitu saja, membuat semua orang lalu menghubungkannya dengan kepercayaan mereka akan kesaktian Dewi Laut yang mereka percaya. Mana mungkin seorang gadis muda selain merobohkan enam orang penjaga, memiliki kuda sakti juga pandai menghilang begitu saja seperti terbang ke langit atau amblas ke bumi kalau dia bukan Dewi Laut?
Di dalam kota itu ada sebuah kuil, yaitu kuil Dewi Laut. Menurut dongeng turun temurun di antara penduduk Ceng-tao yang di jaman dulunya adalah para nelayan, Dewi Laut dikenal sebagai dewi yang selain menguasai lautan, juga menjadi pelindung kaum nelayan. Oleh karena itu, maka patung dewi itu di dalam kuilnya dipuja-puja dan disembahyangi, bahkan dirayakan setiap tahun pada hari ulang tahunnya.
Bahkan ada dongeng di antara para penduduk bahwa Dewi Laut itu sewaktu-waktu turun ke bumi dan melakukan bermacam hal yang menggemparkan. Akan tetapi, semua hal yang dilakukannya itu pada umumnya menentang kejahatan dan menghukum pelakunya.
Betapa pun juga, ada kalanya Sang Dewi muncul melakukan hal-hal yang ganas. Hal ini kabarnya terjadi kalau penduduk lupa memberi sesajen atau korban sehingga sang dewi menjadi marah lalu menghukum penduduk dengan perbuatan-perbuatan yang ganas. Bila mana sekali waktu terdengar berita bahwa amukan dewi itu adalah karena penduduk lupa memberi sesajen, maka dapat dipastikan bahwa berita itu bersumber dari kuil itu sendiri.
Tentu saja para nikouw yang menjaga kuil itulah yang menjadi sumber berita. Hal ini amat penting bagi mereka karena berita itu dapat memperkuat kembali kepercayaan serta rasa takut penduduk terhadap Dewi Laut. Bila sudah begitu maka berbondonglah orang-orang datang bersembahyang sambil memberi sedekah! Dan hal ini amat perlu bagi kehidupan para nikouw, bagi terpenuhinya semua kebutuhan dan biaya menjaga dan merawat kuil.
Mungkin sekali yang dimaksudkan dengan sebutan Dewi Laut adalah nama lain dari Kwan Im Posat. Begitu banyaknya dongeng tentang Dewi Kwan Im Posat sebagai Dewi Belas Kasih ini sehingga tidak mengherankan kalau penduduk Ceng-tao yang dahulunya adalah kaum nelayan dan laut merupakan daerah penting bagi mereka lalu menciptakan sebutan Dewi Laut bagi Kwan Im Posat. Sesudah turun temurun, maka hanya nama Dewi Laut itu saja yang dikenal sebagai dewi pujaan mereka.
Ketua nikouw yang bertugas di kuil itu adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun berjuluk Hai Cu Nikouw. Dia sengaja memakai julukan Hai Cu yang berarti Mustika Laut, agar sesuai dengan tempat itu dan sesuai pula dengan dewi yang dipuja.
Hai Cu Nikouw ini bukanlah nikouw biasa yang lemah. Tidak, dia adalah seorang ahli silat yang memiliki tingkat cukup tinggi sehingga namanya dikenal dan ditakuti orang terutama kaum penjahat yang tidak berani mengganggu kuil itu, bahkan tidak berani beroperasi di daerah yang berdekatan dengan kuil Dewi Laut.
Hai Cu Nikouw ini mempunyai seorang suheng, juga kini menjadi ketua kuil yang berada di luar kota. Suheng-nya itu berjuluk Thian Kong Hwesio, berusia enam puluh tahun lebih dan memiliki ilmu silat yang lebih lihai dari pada sumoi-nya.
Ketika penduduk ramai-ramai membicarakan tentang munculnya seorang gadis aneh yang melakukan kegemparan dan para penduduk mulai menghubungkan gadis itu dengan Dewi Laut, Hai Cu Nikouw juga mendengar cerita itu. Nikouw tua ini tersenyum saja. Di dalam hatinya dia maklum bahwa semua berita tentang Dewi Laut itu hanyalah bohong belaka, walau pun dia sendiri adalah pemuja Dewi Laut. Dan kini dia menduga bahwa tentu gadis yang dihebohkan itu sama sekali bukan penjelmaan Dewi Laut, melainkan seorang gadis kang-ouw.
Ia pun tahu bagaimana tingkah para petugas jaga di pintu gerbang itu dan dapat menduga bahwa tentu gadis kang-ouw itu telah diganggu sehingga mengamuk kemudian menghajar mereka. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan tidak mau membantah kabar itu. Biarlah, pikirnya, biar penduduk makin yakin akan kesaktian Sian-li.
Pada keesokan harinya, berita tentang Dewi Laut itu menjadi semakin besar dan tambah menggemparkan. Apa lagi saat para penduduk menerima kabar dari para nikouw penjaga kuil itu bahwa tadi malam patung Dewi Laut telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Para nikouw yang mengurus kuil itu pun tidak tahu kapan dan ke mana hilangnya patung itu, seolah-olah menghilang begitu saja dari tempat pemujaannya.
Jangankan penduduk, bahkan Hai Cu Nikouw sendiri merasa amat terkejut dan heran saat menerima laporan para muridnya bahwa patung Dewi Laut sudah lenyap! Siapa orangnya berani main-main dan berani mati mencuri patung keramat itu? Agaknya tak mungkin ada pencuri yang berani melakukan hal itu. Akan tetapi... kenyataannya, patung itu memang lenyap begitu saja. Benarkah bahwa Dewi Laut telah menjelma menjadi gadis aneh? Ahh, tak mungkin!
Nikouw tua itu segera menghubungi suheng-nya lantas mereka pun berunding. Hilangnya patung Dewi Laut sungguh merupakan hal yang menimbulkan rasa penasaran dan marah. Terang bahwa penjahat yang mencurinya tidak memandang mata terhadap mereka, atau setidaknya kepada Hai Cu Nikouw sehingga pencurian patung itu dapat dianggap sebagai suatu tantangan.
"Tidak mungkin patung itu dicuri karena nilainya. Tidak ada emas permata yang menghias patung itu. Maka jelaslah bahwa pencurinya melakukan hal itu untuk menghinaku, untuk menantangku!" demikian antara lain Hai Cu Nikouw menyatakan rasa penasaran hatinya di depan suheng-nya.
Dia adalah seorang wanita yang biar pun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih nampak segar dan sehat, juga wajahnya masih membayangkan raut yang sangat cantik. Rambutnya habis dicukur licin, wajahnya belum banyak dimakan kerutan, kedua matanya masih tajam dan ada keangkuhan membayang pada dagunya yang meruncing, agaknya keangkuhan yang timbul karena yakin dengan kemampuan dirinya.
Tubuhnya kecil namun agak tinggi, dan gerak-geriknya masih cekatan. Sepasang pedang tergantung di punggungnya dan baru semenjak hari itulah dia selalu membawa sepasang pedang itu, karena merasa bahwa dia ditantang orang.
Suheng-nya menarik napas panjang. "Tenanglah, sumoi. Jika pencuri patung itu memang benar menantangmu, kenapa hingga sekarang dia masih belum muncul? Apa maksudnya mencuri patung? Dan berita tentang gadis yang aneh itu. Jangan-jangan dia yang mencuri patung itu, hanya untuk memperlihatkan kepandaiannya. Banyak ulah gadis-gadis muda kang-ouw yang seperti itu, hanya untuk mencari kepopuleran nama belaka."
Hwesio itu telah berusia enam puluh tiga tahun. Kepalanya gundul licin dan malam itu dia memakai penutup kepala. Jubahnya kuning dan tubuhnya gendut tinggi. Seuntai tasbeh panjang tergantung pada lehernya dan jubah kuningnya cukup bersih. Di meja dekat dia duduk tersandar tongkatnya, sebuah tongkat hwesio yang terbuat dari baja disepuh emas. Di samping menjadi tanda kebesarannya sebagai ketua kuil, tongkat ini juga merupakan senjatanya yang ampuh.
Mereka bercakap-cakap di ruangan belakang kuil Dewi Laut. Hwesio tua itu mengunjungi sumoi-nya, sesudah mendengar apa yang telah terjadi di kuil itu kemudian dihubungi oleh sumoi-nya.
Keadaan di kuil itu amat sunyi. Para nikouw sibuk berjaga-jaga karena patung itu lenyap malam kemarin. Hai Cu Nikouw nampak murung dan mudah marah, dan memarahi murid-muridnya yang dikatakan lengah dan banyak tidur. Maka, malam ini mereka tidak berani tidur dan berjaga secara bergiliran.
Tiba-tiba keheningan di ruangan itu terpecah oleh suara ketawa lirih yang datangnya dari arah atas, disusul suara orang mendengus serta mengejek. Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat kakak beradik seperguruan itu sudah meloncat keluar dari jendela. Thian Kong Hwesio telah menyambar tongkatnya dan sumoi-nya juga sudah mencabut siang-kiamnya, kemudian keduanya cepat melayang naik ke atas genteng dari luar ruangan.
Tampak bayangan yang amat gesit berkelebat menjauh atau agaknya sengaja memancing kedua orang itu. Di dalam kegelapan malam yang remang-remang, di bawah sinar bulan sepotong, nampak jelas bahwa sosok bayangan itu adalah seorang wanita, dengan tubuh ramping terbungkus pakaian ketat.
"Iblis betina, engkau hendak lari ke mana?!" Hai Cu Nikouw membentak sambil meloncat ke depan dan mengejar, dibayangi suheng-nya.
Akan tetapi bayangan itu berlari terus, berlompatan ke sana-sini, dari genteng ke genteng rumah lain, sambil kadang-kadang terdengar suara ketawanya, ketawa seorang wanita.
Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw menjadi penasaran sekali. Mereka mengejar dan mengerahkan semua tenaga untuk mengimbangi keringanan tubuh bayangan itu, namun harus mereka akui bahwa ginkang dari bayangan di depan itu begitu hebatnya. Kadang-kadang meloncat turun jika dikejar ke bawah, dan tahu-tahu dengan sekali melesat sudah berada di atas genteng rumah lain.
Kejar-mengejar terjadi beberapa lamanya. Dua orang pendeta itu merasa kaget dan heran bukan main sebab setelah berlari-larian sekian lamanya, ternyata bayangan itu membawa mereka kembali ke genteng kuil Dewi Laut! Tiba-tiba bayangan itu meloncat tinggi sekali lalu kakinya hinggap di atas ujung menara kuil yang kecil. Mereka memandang bengong, kagum dan tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyusul wanita aneh itu.
"Hemm, hwesio dan nikouw tolol! Apakah kalian berdua benar-benar hendak menentang dan melawan Dewi Laut?"
Hai Cu Nikouw dan suheng-nya terkejut dan menjadi bimbang mendengar suara bentakan yang mengandung wibawa itu,. Benarkah bayangan ini adalah bayangannya Dewi Laut? Mereka berdua adalah pemuja Dewi Laut, tetapi mereka bukan orang-orang yang percaya akan tahyul dan dongeng-dongeng tentang Dewi Laut menjelma sebagai manusia, maka mereka merasa ragu-ragu.
"Hemm, kalian masih ragu-ragu? Apakah menanti sampai aku marah dan kubakar kuil ini? Kalian memujaku hanya pura-pura saja, ya?"
Hai Cu Nikouw terkejut sekali sehingga dia langsung menjatuhkan diri berlutut. Dewi Laut yang sejati atau pun bukan, jelas bayangan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan bagaimana pun juga, bayangan itu belum melakukan sesuatu yang merugikan.
Melihat sumoi-nya berlutut, Thian Kong Hwesio juga berlutut sambil berseru, "Omitohud, harap maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Sian-li."
Bayangan itu tertawa, suara ketawanya halus namun mengerikan. Sukar untuk mengenal wajahnya karena selain bulan sepotong kurang terang sinarnya, juga bulan itu berada di belakang kepala bayangan itu sehingga wajahnya tertutup oleh kegelapan.
"Ha-ha-hi-hi-hi, sekarang baru kalian menyembahku. Dengarkan baik-baik. Kepercayaan para penghuni kota Ceng-tao kepadaku mulai berkurang, padahal akulah yang melindungi mereka. Katakan pada mereka bahwa aku menghendaki sesajen yang harus disediakan malam besok di dalam menara ini. Aku menghendaki emas murni lima puluh tail, berikut hidangan yang paling lezat dan semuanya masih panas untuk lima orang. Dan semua itu harus diantarkan oleh dua orang pria muda yang masih perjaka serta berwajah tampan, dan mereka harus membawa semua itu ke dalam ruangan kosong di atas menara. Awas, kalau permintaanku tadi tidak ditaati, bukan hanya kuil ini yang kubakar, namun aku juga akan mendatangkan badai besar, agar ombak menggulung habis kota Ceng-tao!"
Dua orang pendeta itu mendengarkan sambil menundukkan muka. Hati mereka memang merasa gentar juga, walau pun masih ada perasaan bimbang apakah benar ini suara dewi yang mereka puja-puja sebagai pelindung rakyat Ceng-tao itu. Sesudah suara itu lenyap, mereka baru mengangkat muka memandang dan ternyata bayangan itu telah lenyap dari puncak menara!
Mereka berdua memandang ke kanan kiri, tapi tidak melihat apa-apa lagi. Bayangan daun pohon tinggi yang tumbuh di belakang kuil bergoyang-goyang tertiup angin sehingga dua orang pendeta yang lihai itu merasa juga betapa tengkuk mereka menjadi dingin. Betapa hebatnya wanita itu, pikir mereka. Dapat menghilang begitu saja dari puncak menara yang begitu tinggi tanpa mereka ketahui.
Mereka berdua kemudian meloncat turun. Ketika mereka berjalan menuju ke dalam, dua orang nikouw menyambut mereka dan salah seorang di antara mereka berkata,
"Subo... patung... patung itu..."
"Ada apa? Bicara yang benar!" bentak Hai Cu Nikouw.
"Patung itu sudah kembali...!"
Mendengar ini, Hai Cu Nikouw cepat berlari ke dalam, ke ruangan pemujaan dan ia berdiri terpukau memandang wajah patung Dewi Laut yang diterangi oleh lilin! Patung itu sudah kembali di tempatnya!
Mereka berdua, suheng dan sumoi itu, segera berunding di dalam ruangan. "Bagaimana pendapatmu, suheng? Benarkah... Sang Dewi menjelma dan yang kita jumpai tadi adalah penjelmaan beliau?"
Suheng-nya menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Omitohud... semoga Thian melindungi kita semua. Kita semua telah tahu betapa mulia dan bijaksananya Sang Dewi pelindung rakyat dan kota Ceng-tao. Akan tetapi permintaan tadi sungguh-sungguh berlawanan sekali. Lima puluh tail emas? Masakan-masakan lezat yang diantar oleh dua orang pemuda tampan! Sungguh berlawanan sekali dengan kemuliaan dan kebijaksanaan. Pinceng merasa curiga, sumoi."
"Akan tetapi... kesaktiannya itu... dan... dan patung itu..."
Suheng-nya mengangguk-angguk. "Engkau tentu tahu alangkah banyaknya orang berilmu tinggi di dunia ini. Juga golongan sesat banyak mempunyai orang-orang yang sakti. Siapa tahu ada yang menyamar sebagai Sang Dewi. Pinceng tetap merasa curiga sekali, dan tak sepatutnya jika kita mentaati perintah yang begitu keterlaluan dan yang berbau nafsu keserakahan."
"Habis, bagaimana baiknya menurut pendapatmu, suheng?"
"Kita harus bersiap siaga. Besok kita rundingkan hal ini dengan kepala daerah dan para komandan pasukan keamanan di kota ini, untuk bersama-sama menghadapi tantangan ini."
Pada keesokan harinya, suheng dan sumoi itu pun pergilah ke kantor kepala daerah dan melaporkan apa yang telah mereka alami semalam. Kepala daerah mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau kotanya diganggu penjahat. Maka dia pun cepat memanggil para pemimpin pasukan penjaga keamanan dan mereka segera mengadakan perundingan dan mengatur siasat untuk menghadapi penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut itu.
Atas usul Thian Kong Hwesio, dua orang pemuda dipilih untuk menjadi pengantar barang-barang permintaan Dewi Laut. Tentu saja mereka bukan pemuda biasa, namun dua orang murid Thian Kong Hwesio sendiri yang selain muda dan tampan, juga gagah dan memiliki kepandaian silat yang sudah cukup tinggi.
Kamar di menara itu adalah sebuah ruangan atau tempat Hai Cu Nikouw biasa berlatih semedhi, sebuah ruangan yang berukuran tiga meter kali tiga meter. Satu-satunya jalan menuju ke ruangan itu hanya melalui sebuah anak tangga yang sempit dan yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja.
Bersama kepala daerah dan para perwira, suheng dan sumoi itu lalu memasang jebakan dan mengatur baris pendam. Pasukan pilihan bersembunyi di kanan kiri anak tangga, dan di sekitar menara itu telah bersembunyi pula pasukan lain, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw sendiri bersembunyi di atas genteng menara, bersiap untuk menyerbu kalau penjahat itu memasuki kamar menara.
Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio yang nanti akan membawa barang-barang pesanan penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut, diam-diam juga memperlengkapi dirinya dengan senjata yang disembunyikan di bawah baju longgar.
Malam itu bulan lebih terang dari pada malam kemarin. Langit sangat cerah, akan tetapi tidak demikian cerah rasa hati dua orang suheng dan sumoi yang sedang bersembunyi di atas genteng. Jantung mereka berdebar tegang.
Walau pun mereka tahu bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh para perwira yang pandai, bahkan di dalam menara sudah terdapat pasukan pilihan yang bersembunyi, namun mereka tahu bahwa mereka menghadapi seorang yang sangat lihai. Di samping itu, timbul kekhawatiran di hati Hai Cu Nikouw, yaitu kalau-kalau yang akan muncul adalah benar-benar penjelmaan Dewi Laut. Ngeri dia memikirkan kemungkinan ini, walau pun suheng-nya sudah menyatakan keyakinannya bahwa tentu wanita itu seorang penjahat yang mengaku-aku sebagai Dewi Laut.
Setelah malam agak larut dan bulan naik tinggi, suasana menjadi amat sunyi dan makin menyeramkan. Suara seekor burung malam yang terbang di atas kepala mereka sempat mengejutkan hati dua orang pendeta yang memiliki ilmu tinggi itu. Dalam keadaan tegang, memang orang menjadi mudah sekali kaget.
Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio nampak naik ke atas menara melalui anak tangga. Mereka adalah dua orang pemuda berusia dua puluh tahun, berwajah tampan dan bersikap gagah, juga mengenakan pakaian indah. Dengan langkah tegap mereka menaiki anak tangga.
Salah seorang di antara mereka membawa baki penuh dengan hidangan-hidangan yang masih mengepulkan uap panas. Yang seorang lagi membawa baki tertutup kain merah dan di baki itu terdapat gumpalan-gumpalan emas seberat lima puluh tail emas.
Mereka sudah mempersiapkan diri dengan senjata rahasia dan pedang pendek yang kini mereka sembunyikan di bawah jubah. Mereka tahu pula bahwa guru dan bibi guru mereka berjaga di atas genteng menara, dan bahwa di situ juga banyak terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi untuk melindungi mereka. Namun tetap saja mereka merasa tegang dan agak gentar karena guru mereka sudah berpesan bahwa yang mereka hadapi adalah wanita iblis yang amat lihai.
Jantung mereka berdebar tegang ketika keduanya tiba di depan kamar menara. Dengan hati-hati mereka menggunakan kaki mendorong daun pintu yang dengan mudah terbuka karena memang tak terkunci. Ruangan itu kosong. Sebuah ruangan bersih berbau harum dupa dan bunga, dan lantainya ditilami permadani dan kasur tipis.
Mereka berdua saling pandang dengan hati lega karena ternyata iblis itu tidak berada di sana. Dengan hati-hati mereka membuka sepatu dan memasuki ruangan itu, meletakkan baki masakan dan emas itu di atas lantai. Karena lilin yang bernyala di sudut ruangan itu hampir padam, seorang di antara mereka lalu menyalakan sebuah lilin besar di sudut dan kamar itu menjadi terang.
Agaknya sinar terang di kamar itu menjadi tanda bagi sesosok bayangan untuk bergerak datang. Demikian cepatnya bayangan itu bergerak sehingga Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw yang sedang berjaga di atas genteng hanya melihat berkelebatnya bayangan yang kemudian lenyap. Mereka mengira bahwa itu hanya bayangan burung yang lewat, maka mereka tetap mendekam di tempat persembunyian mereka sambil menanti dengan waspada.
Akan tetapi bayangan yang berkelebat amat cepat tadi ternyata bukan burung, melainkan bayangan dari sesosok tubuh manusia yang ramping pinggangnya. Bayangan itu melesat dengan cepatnya lantas bersembunyi di balik wuwungan menara. Cahaya lilin besar yang menyorot keluar dari genteng menara menimpa mukanya. Muka yang mengerikan karena memakai topeng hitam yang memiliki lubang-lubang kecil memperlihatkan sepasang mata yang bersinar tajam, hidung yang kecil serta mulut yang bibirnya lebar dan amat merah. Sukar menaksir bagaimana bentuk wajahnya atau pun berapa usianya.
Agaknya dia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa di sekitar tempat itu bersembunyi banyak penjaga yang terus mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata yang tegang. Dengan seenaknya bayangan itu lalu meloncat turun dan menghampiri anak tangga. Akan tetapi baru saja dia meletakkan kakinya pada anak tangga pertama, tiba-tiba enam orang penjaga yang bersembunyi di sekitar anak tangga sudah bermunculan dan menyerbunya dengan senjata mereka.
Melihat senjata berkilatan dari segenap penjuru, wanita berkedok itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, kelihatan tidak kaget sama sekali dan bibir yang merah lebar di balik kedok itu menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih dan besar-besar.
Tiba-tiba kedua tangannya bergerak, maka benda-benda kecil berkeredepan menyambar ke arah enam orang penyerangnya dan terdengarlah suara mereka menjerit lalu seorang demi seorang roboh terpelanting dan tidak dapat bangkit kembali melainkan berkelojotan dalam sekarat! Leher mereka, tepat di tenggorokan, tertancap oleh sebatang jarum yang amblas masuk, membawa racun bersamanya.
Jeritan-jeritan ini tentu saja menarik perhatian, lantas nampaklah bayangan banyak orang berlari-larian dan dari atas menyambar tubuh Hai Cu Nikouw. Melihat betapa ada seorang wanita berkedok berdiri di bawah anak tangga dan enam orang penjaga yang bertugas menjaga di sana telah roboh berkelojotan semua, Hai Cu Nikouw dan suheng-nya terkejut bukan main. Bagaimana wanita ini dapat masuk ke situ tanpa mereka ketahui?
"Iblis jahat, terimalah hukumanmu!" bentak Hai Cu Nikouw.
Sambil membentak dia menerjang ke depan, mempergunakan sepasang pedangnya yang jarang sekali keluar dari sarungnya itu. Dua cahaya putih berkelebat menyilang dan titik pertemuan silangan ini adalah leher wanita berkedok itu. Hebat bukan kepalang serangan nenek pendeta ini.
"Cringgg...!"
Sepasang pedang itu saling serempet sendiri, namun leher yang menjadi sasaran sudah tidak berada di tempat. Kiranya wanita berkedok itu dengan gerakan yang lebih cepat lagi sudah dapat mengelak dan meloncat ke belakang sambil tersenyum di balik kedoknya.
"Hemm, kalian mengkhianatiku! Berarti kalian mencari mampus dan kuil ini akan kubakar habis!"
Thian Kong Hwesio sudah ikut menerjang pula dengan mempergunakan tongkat bajanya. Wanita berkedok itu pun cepat mengelak dari sambaran tongkat yang mengarah kepala, kemudian tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangannya seperti yang tadi dilakukan untuk merobohkan enam orang penjaga.
"Wuuuttt...!"
Tiga batang jarum beracun menyambar ke arah tubuh Thian Kong Hwesio dan tiga lagi ke arah Hai Cu Nikouw. Akan tetapi kedua orang pendeta ini tidaklah selemah para penjaga tadi. Mereka berdua sudah dapat menduga akan kelihaian dan kecurangan lawan, maka begitu wanita itu menggerakkan kedua tangannya dan melihat berkelebatnya benda kecil, mereka cepat meloncat ke samping sehingga terhindar dari maut. Dengan marah mereka berdua lalu menyerang wanita iblis itu dari kanan kiri.
"Singgg...!"
Wanita itu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubahnya, lantas nampaklah sebatang pedang berkilauan di tangannya. Begitu dia menggerakkan pedang menangkis, serangan kedua orang pendeta itu dapat ditangkisnya dan mereka berdua cepat melangkah mundur dengan kaget ketika tangkisan itu menimbulkan suara nyaring dan mereka merasa betapa lengan mereka kesemutan. Cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka yang juga merupakan senjata pilihan tidak sampai rusak oleh tangkisan pedang wanita iblis itu.
Kembali mereka menerjang, tetapi sekali ini wanita berkedok bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan serangan yang gerakannya sangat ganas, cepat dan kuat. Dalam belasan jurus saja suheng dan sumoi itu telah terdesak hebat oleh pedang si wanita iblis yang gaya permainannya sangat aneh dan ganas itu. Akan tetapi, kakak beradik seperguruan itu langsung merasa lega ketika bermunculan perwira-perwira dengan pasukannya yang mengurung dan mengeroyok si wanita iblis.
Wanita berkedok itu kini terdesak dan dia pun mulai memaki-maki dengan kata-kata kotor. Hal ini semakin meyakinkan hati Thian Kong Hwesio dan sumoi-nya bahwa tidak mungkin jika wanita berkedok ini merupakan penjelmaan Dewi Laut yang berbudi mulia itu. Mereka pun menyerang dan mendesak dengan sengit.
Karena sekarang dikeroyok oleh banyak orang, wanita berkedok yang sedang terdesak itu meninggalkan bawah anak tangga lalu menuju ke ruangan yang tak jauh dari situ, sebuah ruangan yang luas di mana dia dapat memainkan pedangnya dengan leluasa.
Wanita itu memang lihai sekali, terutama memiliki kecepatan yang luar biasa. Kalau tidak dikeroyok sampai delapan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan, karena mereka yang membantu kedua orang pendeta itu adalah para perwira, maka belum tentu dua orang itu mampu mendesaknya. Dia telah berusaha untuk menyebar jarum-jarumnya, akan tetapi enam orang perwira itu terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan dengan senjata rahasia.
Baiknya para prajurit penjaga yang mengepung tempat itu sudah gentar menghadapinya, sesudah empat prajurit yang ikut-ikutan maju akhirnya roboh dan tewas oleh pedangnya. Mereka hanya mengepung tempat itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak berani sembarangan maju, bahkan dilarang oleh para perwira.
Kini wanita berkedok itu mulai merasa kerepotan dan mencari-cari jalan keluar yang telah tertutup dan terkepung oleh pasukan. Selagi dia kerepotan itu, mendadak terdengar suara ketawa yang parau, disusul suara ejekan yang kasar.
"Ha-ha-ha, sekarang nenek cabul seperti tikus tersudut!"
Terjadi kekacauan di dekat pintu dan nampak enam orang anggota pasukan roboh mandi darah, disusul kemunculan seorang kakek yang usianya sudah hampir enam puluh tahun. Kakek ini bertubuh tinggi besar, mukanya membayangkan kekasaran. Matanya lebar dan bundar, hidungnya besar, mulutnya hampir tidak terlihat akibat tertutup kumis dan jenggot. Pakaiannya juga terbuat dari kain kasar sederhana, dan sepatunya butut.
Kakek ini membawa sebatang pecut panjang, tetapi ketika membobol kepungan pasukan dari belakang tadi, dia merobohkan enam orang prajurit itu hanya dengan cengkeraman-cengkeraman tangan kirinya yang bagaikan tangan baja itu. Sekali cengkeram saja, maka pecahlah kepala orang-orang itu dan mereka pun roboh berlumuran darah dalam keadaan yang amat mengerikan!
Meski pun kakek itu datang sambil memaki si wanita iblis, akan tetapi melihat betapa dia membunuh enam orang prajurit, para perwira menjadi marah dan maklum bahwa kakek ini pun bukan orang baik-baik dan bukan pihak kawan. Maka mereka pun menyambutnya dengan serangan senjata mereka.
Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika kakek itu menggerakkan cambuknya, dan robohlah salah seorang di antara enam orang perwira itu. Dahinya, di antara kedua mata, berlubang mengeluarkan darah dan dia pun tewas seketika. Kiranya pada ujung cambuk kakek itu dipasangi sebuah benda seperti paku yang terbuat dari baja dan benda inilah yang tadi menyambar dan melubangi dahi itu.
Tentu saja keadaan menjadi geger dan kini perkelahian menjadi semakin sengit di mana nenek berkedok dan kakek bercambuk itu mengamuk dan membabati musuh seenaknya. Karena ditinggalkan oleh enam orang perwira tapi kini tinggal lima orang, karena hendak mengeroyok kakek itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw kini terpaksa menghadapi nenek iblis itu berdua saja sehingga mereka segera terdesak hebat.
"Kakek hina-dina, aku tak butuh bantuanmu!" Sambil terus menyerang, berkali-kali nenek iblis itu berteriak memaki-maki kakek itu.
"Nenek cabul tak tahu budi, tutup saja mulutmu dan mari kita bereskan mereka ini!" kakek itu menjawab, dengan suara kasar pula.
Karena saling memaki ini, agaknya timbul kemarahan di dalam hati mereka dan keduanya mengamuk semakin hebat. Dalam waktu yang tidak terlampau lama, akhirnya lima orang perwira itu pun roboh dan tewas di tangan kakek itu, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw pun terdesak, bahkan sudah menderita luka-luka yang cukup parah oleh sambaran pedang wanita iblis!
Pasukan yang mengepung melihat atasan mereka sudah roboh semua. Mereka berusaha untuk mengeroyok, akan tetapi mereka yang berani maju lebih dulu seperti mengantarkan nyawa saja. Yang lain-lain menjadi gentar dan ketika Thian Kong Hwesio serta sumoi-nya terpaksa meloncat ke atas genteng dan menyelamatkan diri, sisa pasukan itu pun segera lari cerai-berai!
Kini tinggal si nenek iblis dan kakek lihai itu yang berdiri saling berhadapan, dan dengan senjata di tangan, wajah mereka masih nampak beringas. Belasan mayat bergelimpangan di sekitar mereka dan bau amis darah memenuhi udara tempat itu.
"Koai-pian Hek-mo, siapa suruh engkau membantu? Kita adalah saingan dan musuh, aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Nenek iblis itu membentak.
Dengan tangan kiri kakek yang berjuluk Koai-pian Hek-mo itu mengusap mukanya yang kasar dan hitam, mengusap keringatnya. "Hwa-hwa Kui-bo, dalam keadaan kita ditentang oleh golongan putih, engkau masih begini congkak terhadap orang segolongan? Apakah otakmu sudah mulai miring?"
"Tua bangka hina, mampuslah kau!" Nenek berkedok itu pun segera menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan yang amat cepat ke arah dada lawan.
"Cringgg....! Tranggg...!"
Cambuk itu bergerak lantas gagangnya menangkis pedang. Pedang dan cambuk bertemu dengan amat kerasnya sehingga keduanya bertindak mundur tiga langkah.
"Kui-bo, musuh-musuh yang kuat sudah mulai berkumpul. Kita harus bersatu padu untuk menghadapi mereka. Biarlah saat ini kita berdamai dulu, kalau memang perlu lain kali kita lanjutkan. Mari kita bekerja sama. Bukankah ada dua orang pemuda di menara itu? Kita bagi saja seorang satu. Engkau sendiri tak boleh terlampau menghamburkan tenaga, ada pun dua orang pemuda sekaligus tentu dapat menghabiskan tenagamu, padahal kita akan memerlukannya dalam hari-hari mendatang ini. Bagaimana? Apakah kau ingin kita terus berkelahi dan membiarkan musuh-musuh kita mentertawakan kita?"
Nenek itu nampak bimbang dan akhirnya ia mendengus. "Huh, enak saja, aku yang susah payah engkau hanya ingin menggerogoti hasilnya!" Akan tetapi sambil berkata demikian, dia menyimpan pedangnya, membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke tangga menara. Kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, tadi aku pun sudah turut bersusah payah, maka sudah sepatutnya kalau aku mendapatkan bagianku pula." Kemudian dia pun melangkah lebar menyusul nenek iblis itu menaiki anak tangga.
Dapat dibayangkan betapa gentar dan tegang rasa hati dua orang muda yang berada di dalam kamar menara itu. Dari atas mereka menyaksikan perkelahian yang amat hebat itu dan melihat alangkah lihainya nenek dan kakek iblis. Bahkan mereka melihat pula betapa guru mereka, Thian Kong Hwesio, terluka dan melarikan diri. Kalau guru mereka sendiri, dibantu oleh bibi guru mereka, tak mampu mengalahkan nenek iblis itu, apa lagi mereka! Dan kini nenek itu malah disertai oleh kakek yang demikian lihainya.
Biar pun demikian, sebagai pemuda-pemuda yang semenjak kecil digembleng kegagahan oleh guru mereka, dua orang muda itu menanti kedatangan kakek dan nenek iblis dengan pedang di tangan kanan dan senjata rahasia piauw (pisau terbang) di tangan kiri. Begitu Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo muncul dan baru saja mereka melangkahkan kaki melewati ambang pintu, dua orang muda itu menyerang dengan sambitan piauw mereka!
Akan tetapi sedikit pun kedua orang iblis itu tidak memperlihatkan rasa kagetnya. Hanya dengan gerakan tangan kiri sedikit saja keduanya sudah mampu menyampok runtuh dua batang piauw itu yang meluncur ke bawah lantas menancap ke atas lantai kamar menara yang berbuat dari papan tebal. Kini kedua orang pemuda itu menyerang dengan pedang mereka secara nekat.
"Ha-ha-ha-ha, kekasih-kekasih kita menyambut dengan hangat sekali!" Koai-pian Hek-mo tertawa dan dia pun menyambut pedang lawan dengan tangan kosong! Dalam beberapa gebrakan saja, pedang itu dapat dirampas dan sekali tangan kakek itu menotok, pemuda yang menyerangnya roboh lemas dan segera disambar ke dalam rangkulannya.
Pemuda kedua yang menyerang Hwa-hwa Kui-bo juga mengalami nasib yang sama pula. Pedangnya terpukul jatuh dan dia pun ditotok kemudian dirangkul dan dipondong. Sambil tertawa-tawa, Koai-pian Hek-mo telah memondong pemuda tawanannya menuju ke dalam kamar menara, membawanya ke sebuah sudut kamar. Hwa-hwa Kui-bo juga membawa korbannya ke sudut yang lain, kemudian dari tempat itu ia meniup ke arah lilin besar yang seketika menjadi padam.
"Ha-ha-ha, Kui-bo, engkau masih jengah dan malu-malu lagi? Ha-ha-ha!" kakek iblis itu mentertawakan temannya yang tidak menjawab. Kamar itu menjadi gelap dan dari luar tak terdengar apa-apa lagi.
Sementara itu, kepala daerah menjadi terkejut dan marah sekali saat mendengar laporan tentang kegagalan pasukan keamanan menghadapi penjahat yang mengacau di kuil Dewi Laut. Dia segera memerintahkan semua perwira yang ada untuk mengirim pasukan baru dan membantu kawan-kawan mereka.
Sesudah mengobati luka-luka mereka, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw juga turut membantu para perwira melakukan pengepungan terhadap kuil dan terutama menara itu. Mereka semua melihat betapa menara itu gelap, lilin di dalamnya telah dipadamkan orang dan tidak terdengar suara apa pun dari luar.
Pada saat para perwira membuat gerakan yang memerintahkan anak buahnya menyerbu menara, Thian Kong Hwesio cepat mengangkat tangan dan menggeleng kepala. "Jangan sembarangan bergerak! Mereka berada di tempat gelap dalam kamar dan mereka itu lihai sekali. Menyerbu mereka yang berada dalam gelap sama dengan mengantar nyawa saja. Biar kita kepung saja dan menanti sampai mereka keluar, baru kita serbu dan keroyok."
Karena sudah melihat bekas tangan dua orang iblis yang sangat lihai itu, para perwira lalu mentaati nasehat Thian Kong Hwesio sehingga mereka kini hanya mengepung menara itu dengan penjagaan yang ketat sekali. Pasukan anak panah dipasang di sayap kiri, sayap kanan adalah pasukan tombak, dan dari depan berjaga pasukan sepasang golok, lalu dari belakang dijaga oleh pasukan pedang. Semuanya telah diatur rapi dan agaknya kalau dua orang penjahat itu hendak keluar, maka mereka harus menghadapi pengepungan rapat yang pasti akan amat sukar mereka lalui.
Thian Kong Hwesio sendiri berulang-ulang menarik napas panjang. Dia mengkhawatirkan keselamatan dua orang muridnya, akan tetapi dia sendiri tidak berdaya menolong mereka, pihak musuh terlalu lihai, Maka diam-diam dia pun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat siapa gerangan dua orang iblis yang mengacau Ceng-tao dan sekarang dengan beraninya menguasai menara kuil Dewi Laut, agaknya enak-enakan saja di dalam tanpa peduli akan kepungan pasukan penjaga keamanan.
Di dunia kang-ouw, nama Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) telah sangat terkenal. Tiga belas orang manusia dari golongan hitam atau kalangan sesat ini merajalela di seluruh penjuru, merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia hitam. Akan tetapi karena mereka ini biasanya tidak turun tangan sendiri, dan hanya mengandalkan murid-murid atau anak buah mereka untuk mencari nafkah secara haram, hanya nama mereka saja yang dikenal. Akan tetapi jarang ada orang pernah berjumpa dengan mereka. Maka tidak mengherankan jika Thian Kong Hwesio yang sudah luas pengetahuan serta pengalamannya di dunia kang-ouw itu pun tidak mengenali dua orang iblis ini.
Koai-pian Hek-mo (Iblis Hitam Cambuk Aneh) dan Hwa-hwa Kui-bo (Biang Iblis Boneka) adalah dua orang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan). Kakek itu disebut Hek-mo karena memang mukanya kasar dan hitam, sedangkan nenek itu dijuluki Hwa-hwa yang bisa diartikan boneka atau juga dapat diartikan Wanita Cabul karena memang dia adalah seorang wanita petualang yang suka mempermainkan pemuda-pemuda tampan, terutama yang masih perjaka. Tentu saja hal ini dilakukannya dengan paksaan!
Koai-pian Hek-mo mempunyai watak yang aneh pula, suatu kelainan batin yang membuat dia pun suka memperkosa pemuda-pemuda dan dia tidak suka mendekati wanita! Karena sama-sama suka mempermainkan pemuda tampan inilah maka terjadi sebuah persaingan di antara Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo.
Pernah beberapa kali mereka memperebutkan seorang pemuda tampan, bahkan mereka sempat pula berkelahi mati-matian. Tapi tingkat kepandaian mereka terlampau seimbang sehingga di antara mereka belum pernah ada yang kalah mau pun menang. Dan karena mereka adalah tokoh hitam dari daerah yang sama, yaitu daerah Muara Sungai Kuning, maka mereka sering berjumpa dan bersaingan. Hanya karena mereka itu merasa masih persaudara dalam kesatuan Cap-sha-kui saja maka sampai sedemikian jauhnya mereka belum saling membunuh.
Dengan gelisah, marah dan tegang, Thian Kong Hwesio, Hai Cu Nikouw dan para perwira terus menjaga dan mengepung menara. Mereka merasa penasaran karena sampai lewat tengah malam, dua iblis itu belum juga keluar dari dalam menara.
Menjelang pagi, Thian Kong Hwesio dan sumoi-nya dengan kaget melihat berkelebatnya sesosok bayangan ke arah menara. Mereka cepat memberi isyarat dan semua anggota pasukan bersiap.
Dua orang pendeta itu terheran-heran. Mereka melakukan penjagaan dan mengharapkan dua orang jahat itu keluar dari menara, tetapi mengapa kini ada bayangan berkelebat dan agaknya malah menuju ke menara? Dan bagaimanakah bayangan ini bisa melalui semua penjagaan yang demikian ketatnya? Mereka berdua saling pandang dan merasa bingung, juga ngeri karena melihat kemunculan demikian banyak orang yang memiliki kepandaian begitu hebat.
Tiba-tiba saja para penjaga itu mendengar suara hiruk-pikuk dan bentakan-bentakan yang keluar dari dalam menara, bahkan kini ada cahaya lilin menyala di dalam kamar. Dari luar, nampak di balik tirai jendela bayangan orang-orang berkelahi dengan gerakan yang amat cepatnya!
Apakah yang sesungguhnya telah terjadi dalam kamar itu? Apakah kedua orang anggota Cap-sha-kui itu kambuh kembali penyakit mereka lantas saling berhantam sendiri? Sama sekali tidak demikian!
Tadinya keadaan di dalam kamar masih gelap dan sunyi, seakan-akan orang-orang yang berada di dalamnya sudah tidur nyenyak. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara perlahan diikuti daun pintu terbuka dari luar, lalu tampak sesosok bayangan menyelinap masuk dan terdengar suara seorang wanita menegur dengan suara mengejek.
"Huhh, tua bangka-tua bangka yang tidak tahu malu! Perbuatan hina kalian ini sungguh terkutuk dan akan menyeret kalian ke neraka jahanam!"
Yang pertama-tama bergerak adalah cambuk panjang Koai-pian Hek-mo, maka terdengar suara meledak ketika cambuk panjang itu melecut sambil menyambar ke arah datangnya suara wanita yang membentak mereka tadi. Akan tetapi, sebelum mengenai sasarannya, ujung cambuk itu membalik kepadanya dan tentu saja Koai-pian Hek-mo menjadi terkejut sekali.
"Siapa kau...?!" bentaknya. Jawabannya hanya suara ketawa merdu seorang wanita.
Di dalam kegelapan itu agaknya Hwa-hwa Kui-bo mampu menangkap gerakan serangan cambuk tadi dan juga dapat menduga bahwa serangan kawannya itu gagal, maka dia pun menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum beracun segera menyambar ke arah suara ketawa wanita itu.
Akan tetapi terdengar suara berkerintingan dan jarum-jarum itu runtuh semuanya ke atas lantai, tanda bahwa yang diserangnya telah berhasil menangkis semua jarum itu di dalam gelap! Melihat kenyataan ini, Hwa-hwa Kui-bo cepat-cepat menyalakan api dan tidak lama kemudian lilin besar di sudut itu pun sudah bernyala hingga sinar terang memenuhi kamar itu, mengusir kegelapan.
Dua orang tokoh iblis itu sudah meloncat berdiri lantas memandang dengan heran ketika mereka melihat bahwa yang berani mengganggu dan mengejek mereka hanyalah seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dengan potongan tidak karuan! Seorang gadis remaja yang usianya antara lima belas atau enam belas tahun dengan rambut dikuncir menjadi dua, sepasang matanya lincah bersinar, mulutnya mengulum senyum mengejek.
Tentu saja mereka berdua tidak memandang sebelah mata kepada anak perempuan ini. Mereka berdua hanya suka kepada pemuda-pemuda remaja tampan, namun tidak suka bahkan membenci wanita-wanita muda yang cantik. Maka kini mereka pun memandang dengan sinar mata penuh kemarahan kepada gadis itu.
Melihat bahwa yang datang hanya seorang gadis remaja yang sempat membuat mereka terkejut, kedua orang tokoh besar itu merasa malu dan terhina. Perasaan ini lalu tumbuh menjadi kemarahan dan kebencian, maka tanpa banyak cakap lagi Hwa-hwa Kui-bo telah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah perut dara itu ada pun tangan kirinya segera membentuk cakar dan langsung mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan!
Sungguh merupakan serangan gabungan yang hebat bukan main, apa lagi bagi seorang dara remaja seperti itu. Biar pun hanya tangan kosong, harus diakui bahwa cengkeraman itu bahkan lebih mengerikan dan lebih berbahaya dari pada tusukan pedang.
Akan tetapi, nenek yang sudah merasa yakin bahwa satu di antara kedua tangannya yang melakukan serangan itu pasti akan memperoleh hasil, langsung berteriak kaget sesudah melihat betapa dara itu dengan lincah dan ringannya telah memiringkan tubuh mengelak dari tusukan pedang, sedangkan tangan kiri yang mencengkeram itu disambutnya dengan tamparan tangan terbuka.
"Plakkk!"
Dan tubuh nenek berkedok itu terhuyung ke belakang, tubuhnya terasa panas dan kaku seperti kemasukan hawa yang amat kuat dan aneh!
"Ihhh...!" Nenek itu berseru dan bergidik karena baru sekarang dia merasakan akibat yang demikian anehnya ketika tangannya bertemu dengan tangan lawan, apa lagi lawannya ini hanyalah seorang bocah!
Maklum bahwa bagaimana pun juga dara remaja itu ternyata memiliki kepandaian hebat, Koai-pian Hek-mo lalu menggerakkan cambuknya yang meledak dan menyambar secara bertubi-tubi, sekali bergerak langsung mematuk ke arah tiga jalan darah di bagian depan tubuh dara itu yang kesemuanya merupakan patukan mematikan.
"Ting-ting-cringggg...!"
Tiga kali ujung cambuk yang ada pakunya itu terpental, dan yang ketiga kalinya bahkan terpental keras lalu menyambar ke arah muka pemegang cambuk itu sendiri! Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali sehingga cepat menarik kembali cambuknya agar paku pada ujung cambuk tidak mematuk hidungnya sendiri.
Kini dua orang tokoh besar dunia hitam itu terbuka matanya. Dengan hati-hati mereka pun menyerang dari kanan kiri. Namun dara itu melayani mereka dengan tangan kosong saja! Demikian ringan gerakan tubuhnya, laksana sehelai bulu saja yang sukar sekali diserang, seolah-olah diterbangkan oleh gerakan senjata-senjata mereka sehingga sebelum senjata mengenai sasaran, tubuh itu sudah mendahului pergi.
Dua orang tokoh jahat itu memancing-mancing untuk mengenali gerakan sang dara. Akan tetapi, gerakan dara itu aneh bukan main. Mirip-mirip dasar gerakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai, namun ada pula unsur gerakan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan bahkan semua ilmu silat dari perguruan-perguruan besar bagai dicampur aduk menjadi satu! Selain kecepatan gerak, yang amat hebat adalah tenaga yang terkandung dalam kedua tangan yang kecil halus itu.
Bukan hanya usaha perdagangan yang meramaikan kota Ceng-tao. Akan tetapi juga hasil penangkapan ikan laut di daerah pelabuhan itu amat baik sehingga pantai itu penuh pula dengan perahu-perahu nelayan dan terbentuklah sebuah pasar ikan di tepi pantai.
Biasanya, semenjak pagi-pagi sekali pantai itu sudah sibuk, terutama sibuk dengan para nelayan yang baru pulang dari tengah lautan di mana mereka bekerja, semalam suntuk menangkap ikan, lalu membawa pulang hasil penangkapan ikan mereka yang memenuhi perahu. Bau amis ikan-ikan mati akan memenuhi tempat itu, dan bukan hanya lalat-lalat yang merubung, akan tetapi juga manusia-manusia yang berebutan melelang ikan-ikan itu untuk dijual kembali ke pasar lantas memperoleh untung yang kadang-kadang lebih besar dari pada para nelayan itu sendiri.
Kadang terlihat pula pemandangan yang mengharukan, menyedihkan dan mendatangkan rasa penasaran di dalam hati. Sebagian besar para nelayan itu hanya alat-alat belaka dari para juragan yang melepas uang dan meminjamkan perahu-perahu, jala-jala dan alat-alat perlengkapan yang baik untuk menangkap ikan. Mereka inilah yang nantinya menentukan harga ketika para nelayan sudah kembali dari tengah laut.
Harga ditekan sedemikian rupa, tetapi para nelayan tidak berani melawan karena mereka telah terbenam dalam hutang setinggi leher. Selain itu, para juragan itu membawa tukang-tukang pukul yang galak dan kejam. Tidak jarang terjadi pemukulan-pemukulan di pinggir pantai itu oleh para tukang pukul terhadap nelayan yang berani membangkang. Ada pula nelayan-nelayan yang menangis sebab hasilnya terlalu sedikit untuk dapat menghidupkan keluarganya, apa lagi kalau ada anggota keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan uang untuk biaya pengobatan.
Akan tetapi, pada pagi hari itu keadaan di tepi pantai agak sunyi. Hujan sudah turun sejak malam tadi. Karena hujan badai membuat air laut meliar, malam tadi para nelayan banyak yang terpaksa pulang tanpa memperoleh hasil.
Setelah matahari mulai muncul, hujan mereda, tidak selebat semalam, akan tetapi masih juga turun rintik-rintik. Di kota Ceng-tao sendiri, sungguh pun pagi itu masih hujan gerimis, namun di jalanan penuh juga dengan orang berlalu-lalang memakai payung atau memakai caping lebar untuk melindungi diri dari timpaan air lembut yang dingin.
Nampak pula gerobak-gerobak yang mengangkut barang-barang dagangan seperti sayur-mayur, ikan dan sebagainya. Mereka berbondong-bondong menuju ke pasar yang berada di tengah kota. Ada pula tukang-tukang panggul yang membantu memikul barang-barang berat menuju pasar. Mereka ini tidak berbaju hingga tubuh yang bagian atasnya telanjang itu tertimpa air hujan.
Tubuh yang berpeluh itu menjadi makin basah. Air hujan bercampur air keringat membuat tubuh itu mengkilap, kelihatan kuat dengan otot-otot menjendol. Akan tetapi mereka tidak terganggu oleh air hujan yang dingin, malah bagi mereka terasa enak di badan, sejuk dan banyak mengurangi rasa lelah.
Berbagai macam orang yang berlalu-lalang di jalan raya menuju ke pasar. Dari keadaan pakaian mereka dapatlah diketahui siapa di antara mereka yang pedagang beruang dan siapa yang hanya kuli miskin. Pakaian mereka yang mendatangkan perbedaan itu, bukan hanya pakaian, akan tetapi juga pandang mata dan sikap mereka.
Sebagian besar manusia mencerminkan keadaan kehidupan mereka pada sikap dan air muka. Yang kaya, pandai atau berkedudukan biasanya mengangkat muka tinggi-tinggi, merasa lebih dari pada orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya miskin, bodoh dan tidak ada kekuasaan, banyak menunduk dan merendahkan diri.
Akan tetapi pada pagi hari itu, terdapat suatu suasana gembira yang dapat dirasakan oleh semua orang dari segala tingkatan. Semacam kegembiraan yang aneh, yang terasa oleh seluruh badan dan batin, kegembiraan yang tercipta oleh keadaan bumi dan udara.
Setelah hujan lebat semalam, jalan-jalan raya, genteng-genteng rumah, semuanya terlihat bersih tercuci oleh air hujan. Walau pun hujan masih gerimis dan matahari masih tertutup kabut, namun suasana terasa bersih, sejuk dan jernih.
Suara air selokan yang menampung air hujan serta segala kotoran yang disapu olehnya, laksana dendang pagi yang sangat merdu. Bahkan pohon-pohon nampak berseri karena mereka pun sudah dicuci bersih dari debu-debu, juga daun-daun tua dirontokkan. Setiap daun kini nampak hijau bersih kemilau. Suasana ini mendatangkan suatu rasa gembira yang ajaib.
Di pintu gerbang kota pun nampak beberapa orang atau gerobak lewat. Mereka datang dari dusun-dusun di luar kota Ceng-tao. Matahari sudah naik agak tinggi, namun hujan masih turun rintik-rintik, walau pun sudah mulai jarang.
Pada saat itu pintu gerbang sudah sunyi, sudah tidak nampak orang lewat lagi. Agaknya orang-orang dusun yang menuju ke kota Ceng-tao sudah habis. Mereka datang semenjak pagi sekali tadi, takut kalau kesiangan yang akan membuat dagangan mereka jatuh harga atau tidak laku.
Para penjaga pintu gerbang duduk santai di dalam gardu. Tentu saja mereka itu merasa enggan untuk berjaga di luar sehingga tertimpa air hujan. Lagi pula, dalam keadaan aman seperti hari itu, perlu apa berjaga dengan ketat? Yang memasuki pintu gerbang bukan lain hanyalah orang-orang dusun yang hendak berjualan ke pasar kota.
Suasana di sekitar pintu gerbang sunyi dan hening. Para penjaga yang berada di dalam gardu mengasyikkan diri bermain kartu sambil minum arak untuk menghangatkan tubuh. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara nyanyian! Suaranya agak parau, dalam, dan terdengar lucu, nada-nadanya juga seenaknya saja.
Mau tak mau para penjaga mendengarnya juga karena suara itu terdengar lucu dan aneh, mereka pun setengah memperhatikan. Suara nyanyian itu kini diselingi suara ringkik kuda dan semakin didengarkan, semakin tertarik pula hati para penjaga karena memang suara nyanyian itu lucu dan juga aneh kata-katanya. Apa lagi diselingi ringkik kuda, seolah-olah manusia dan kudanya bernyanyi bersama-sama.
Tok-tak-tok-tak hujan turun bertitik Top-tap-top-tap langkah kudaku cantik! Hiiii... yeeehhhh...! (suara ringkik kuda) Biar hujan biar panas, manusia tetap mengeluh biar panas biar hujan, kuda takkan mengaduh! Hiii... yeeehhhh...! (suara ringkik kuda) Manusia memang pintar, pandai berkeluh-kesah kudaku memang tolol, tak kenal hati susah! Hiii... yeeehhhh...! (suara ringkik kuda) Ha-ha-hi-ha-ha-ha-ha!
Para penjaga dalam gardu itu kini menghentikan permainan kartu mereka, lalu beberapa orang di antara mereka melongok dari jendela gardu untuk melihat siapa gerangan orang yang bernyanyi-nyanyi secara aneh dalam hujan rintik-rintik itu.
Tak lama kemudian nampaklah orangnya! Seekor kuda yang bentuknya lucu, kecil kurus dan pendek sehingga lebih mirip seekor anak kuda yang mukanya sudah tua, melangkah seenaknya dan agaknya kuda itu selalu berbunyi meringkik apa bila lehernya ditepuk oleh penunggangnya. Tidak mengherankan jika tadi dia dapat ikut bernyanyi menyelingi suara nyanyian majikannya.
Kuda kecil mirip keledai itu melangkah sambil menunduk, kadang-kadang berdongak bila meringkik dan matanya yang besar itu berkilat. Dia terlihat girang dan lega sekali karena tersiram air yang menyegarkan setelah setiap hari melakukan perjalanan jauh di atas jalan berdebu dan di bawah sengatan terik matahari. Air hujan itu amat menyenangkan hatinya, agaknya perasaan itu sama dengan apa yang dirasakan oleh para tukang pikul tadi.
Penunggang kuda itu tidak kalah anehnya jika dibandingkan dengan kudanya sendiri. Dia adalah seorang wanita muda, seorang dara remaja yang pakaiannya aneh dan tak karuan! Bajunya kembang-kembang dan tambal-tambal, agaknya dijahit seenaknya saja sehingga kebesaran dan kedodoran, lengan kiri terlalu pendek lengan kanan terlalu panjang, malah ada bagian pundak yang robek.
Mukanya kotor berdebu, muka yang sangat lincah gembira penuh senyum, dan matanya juga bersinar-sinar membayangkan kelucuan dan kenakalan. Rambutnya yang hitam dan subur itu dikepang dua dan yang sebelah membelit leher, sebelah lagi berjuntai di depan dada.
Lucunya, dara remaja yang aneh ini memegang sebuah payung butut yang sudah bocor di sana-sini. Naik kuda pakai payung butut sambil bernyanyi-nyanyi! Belum pernah para penjaga itu melihat hal yang selucu ini sehingga mereka pun tertawa. Mungkin perempuan gila, pikir mereka.
Akan tetapi setelah dara beserta kudanya datang semakin dekat, tampaklah oleh mereka bahwa di balik kelucuan dan kesederhanaan yang terasa ugal-ugalan itu masih bisa dilihat bentuk wajah yang manis serta bentuk tubuh yang padat ramping dan mulai mekar, mulai menunjukkan lekuk lekung tubuh yang amat indah bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Seorang dara yang usianya kurang lebih lima belas tahun.
Enam orang penjaga di dalam gardu itu tertawa keras, membuat dara penunggang kuda menengok. Melihat orang-orang itu tertawa, gadis itu pun tersenyum dan melihat mereka kini melambaikan tangan, ia pun ikut melambaikan tangan. Hal ini membuat para penjaga menjadi makin gembira. Keadaan yang sunyi, hawa yang amat dingin, dan pengaruh arak membuat mereka menjadi iseng. Dua orang di antara mereka, yaitu kepala penjaga dan pembantunya, cepat bangkit dan keluar dari gardu sambil berseru,
"Heii, nona manis, tunggu dulu!"
Empat orang teman mereka mencoba untuk mengingatkan mereka, tetapi karena mereka itu adalah kepala jaga dan pembantunya, yang lain tidak berani menentang.
"Hemmm, kalian tahu bahwa aku bukanlah jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Aku hanya ingin menggoda anak lucu itu, paling-paling hanya akan menciumnya. Apa bila dia mau, boleh kita bawa ke sini dan kita ajak main-main, kalau dia tidak mau pun aku tidak akan memaksa."
Dengan kata-kata demikian, para temannya hanya tertawa gembira. Bagaimana pun juga, mereka adalah prajurit-prajurit yang sudah biasa suka bersikap ugal-ugalan dan senang main-main untuk memperlihatkan kekuasaan dirinya.
Kepala jaga itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sebesar gentong, rambut kepala pada bagian ubun-ubun botak dan matanya juga lebar bundar. Tubuh yang gendut pendek itu membayangkan kekuatan yang besar dan ketika dia menyeringai, giginya nampak hitam oleh candu rokok.
Pembantunya juga berusia empat puluhan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya sipit, kulit mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Kedua orang ini sudah keluar dari pintu gardu dan kini berdiri menghadang tepat di tengah-tengah pintu gerbang, sambil bertolak pinggang dengan kedua kaki mereka terpentang lebar. Mereka memandang ke depan, ke arah dara berkuda itu dengan mulut menyeringai.
Dara itu agaknya tidak mengerti akan maksud dua orang laki-laki yang hendak menggoda atau mengganggu itu. Karena dua orang itu menghadang di tengah pintu gerbang, maka terpaksa dia menahan kudanya agar tidak sampai menabrak mereka dan dengan senyum lebar dia pun berkata,
"Heii, dua orang sobat penjaga, berilah kudaku jalan dan biarkan aku lewat!"
Setelah kini berhadapan dan melihat dari dekat, kepala jaga itu dengan hati girang sekali mendapat kenyataan bahwa gadis yang berpakaian aneh-aneh ini, biar pun kulit mukanya kotor penuh debu, akan tetapi sebenarnya wajah itu amat manis dan sebagian kulit yang agaknya terkena usapan tangan dan bersih dari debu itu terlihat mulus dan putih. Seorang dara remaja yang manis sekali! Apa lagi, ketika gadis itu tersenyum, nampak lesung pipit menghias pipinya dan juga giginya nampak putih dan rata.
"Ha-ha-ha-ha, nona. Boleh saja engkau lewat, akan tetapi engkau harus membayar pajak lebih dahulu!" kata kepala jaga yang gendut sambil tertawa sehingga perut gendutnya itu bergerak-gerak.
Nona muda itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Eh, eh, mana ada aturan begitu? Sudah sering kali aku keluar masuk pintu gerbang, dan pintu gerbang yang ini pun setiap hari sudah banyak dilewati orang, akan tetapi belum pernah ada orang lewat yang diharuskan membayar pajak! Rasanya pemerintah tidak pernah mengeluarkan keharusan membayar pajak lewat pintu gerbang!"
"Ha-ha-ha, engkau ini nona manis akan tetapi bodoh. Kalau yang berkuasa menghendaki, jangankan untuk lewat pintu gerbang kota, bahkan orang kentut pun bisa saja diharuskan membayar pajak. Dan sekarang yang berkuasa di pintu gerbang ini sudah mengharuskan agar engkau membayar pajak. Karena itu engkau tidak boleh membangkang, nona, sebab pembangkangan berarti pemberontakan dan engkau bisa ditangkap kemudian dijebloskan ke dalam penjara!"
"Hemm, dan siapa yang berkuasa di pintu gerbang ini sekarang?"
"Siapa lagi kalau bukan tuan besarmu ini?" Si gendut berkata sambil menunjuk perutnya sendiri yang besar sambil tertawa.
"Wah, ini namanya bukan pajak tapi pemerasan!" Dara remaja itu berteriak.
Sebetulnya sikapnya ini saja sudah harus menjadi peringatan bagi dua orang penghadang itu. Kalau nona itu seorang gadis biasa, tidak mungkin sikapnya seberani dan secerdik itu dalam berbantah. Seorang gadis biasa apa lagi dari dusun, baru bertemu dengan penjaga dan dihardik sedikit saja tentu sudah akan bersikap ketakutan.
"Jangan banyak cerewet!" Si kurus sipit membentak. "Taati perintah kepala jaga kami bila engkau tidak ingin celaka!"
"Hemm, jadi pajak ini bukan peraturan pemerintah melainkan peraturan kalian sendiri?"
"Benar, kami yang berkuasa di sini!" kata si gendut.
"Dan hasil pungutan pajak liar ini kalian nikmati sendiri, bukan untuk pemerintah?"
"Tentu saja!"
"Wah, kalau demikian kalian adalah para perampok berseragam yang menyamar sebagai pejabat pemerintah!"
"Hush, tutup mulutmu atau engkau kami tangkap dan kami jebloskan penjara!"
"Huh, pantasnya orang-orang semacam kalian ini yang harus ditangkap dan dipenjarakan. Kalian sudah merongrong kewibawaan pemerintah dengan tingkah laku kalian, kalian juga mencemarkan nama negara dengan menggunakan kekuasaan menggendutkan perut dan kantong sendiri, dan kalian inilah pengkhianat-pengkhianat dan musuh-musuh rakyat dan negara yang menekan dan memeras rakyat!"
"Hei, perempuan gila, tutup mulutmu itu!" Si tinggi kurus membentak, akan tetapi si gendut menyeringai.
"Gadis liar, tentu makin menyenangkan jika nanti telah dapat kutundukkan! Hayo, engkau harus mentaati peraturan dan membayar pajak, nona manis."
"Berapa pajaknya?" Gadis itu bertanya sambil bersungut-sungut.
"Ha-ha-ha, itulah anehnya. Pajak yang harus kau bayar adalah... dua kali ciuman kepada kami!"
Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi mulut itu lalu tersenyum manis. Agaknya kalau tadinya dia merasa marah karena peraturan pajak yang dianggapnya pemerasan itu, kini kemarahannya lenyap karena dia merasa betapa permintaan pajak cium itu sangat lucu. Agaknya timbul kembali kejenakaan serta kelincahan gadis itu. Sikapnya tidak lagi serius seperti tadi ketika dia sedang berbantahan tentang pajak dan pemerasan.
"Bagus, ternyata kalian minta cium? Kebetulan sekali, aku memang ahli memberi ciuman! Heh, sobat gendut, engkau minta cium pipi kiri atau pipi kanan?"
Mendengar ucapan yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya itu, karena tadinya si gendut mengira bahwa gadis itu akan marah, para penjaga itu tertawa gembira. Kiranya gadis itu menerima ajakan mereka dengan kedua tangan terbuka dan sekarang bahkan menantang ciuman!
"Ha-ha-ha, coba engkau cium pipi kananku dua kali, nona manis!"
"Engkau mana mampu bertahan dua kali? Satu kali pun cukup. Dan engkau, sobat kurus, engkau minta ciuman kanan atau kiri?"
Si tinggi kurus bermata sipit menjadi gugup juga. Tak pernah disangkanya gadis ini malah menawarkan ciuman kepadanya. "Ehh, aku... hemm, yang kiri pun bolehlah!"
Kembali para penjaga tertawa riuh-rendah. Mereka semua sudah keluar dari dalam gardu karena sekarang mereka semua juga hendak minta ciuman dari gadis yang agaknya suka membagi-bagi ciuman itu. Dara itu turun dari atas punggung kudanya lantas memandang kepada mereka dengan senyum-simpul, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Mata si gendut berminyak saat dia melihat bahwa setelah turun dari kudanya, tubuh gadis itu nampak jelas keindahannya. Tinggi semampai dan padat, juga lenggangnya bagaikan batang yang-liu tertiup angin ketika gadis itu meninggalkan kuda dan menghampirinya.
"Sobat gendut minta ciuman pipi kanan dan sobat kurus minta ciuman pipi kiri? Baiklah, akan kuberi ciuman seorang satu kali saja, kalau kurang nanti boleh tambah lagi!"
Mendengar ucapan ini, dengan lagak lucu si gendut menggosok-gosok pipi kanannya agar bersih, siap-siap menerima ciuman, sedangkan si kurus juga berseri-seri wajahnya. Akan tetapi, mendadak tubuh dara itu bergerak dengan amat cepatnya sehingga bayangannya saja yang nampak, kedua kakinya melayang ke atas.
"Plakk! Plakkk!"
Tubuh si gendut dan si kurus itu terpelanting lantas terbanting jatuh bergulingan. Mereka mengaduh-aduh sambil memegangi pipi masing-masing. Setelah mereka merangkak dan bangkit duduk, ternyata pipi kanan si gendut sudah bengkak dan biru, sedangkan bibirnya mengalir darah akibat empat buah gigi pada ujung kanan patah-patah, sebaliknya si kurus memegangi pipi kirinya yang juga bengkak dan bibirnya berdarah.
Ternyata, dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, gadis itu tadi sudah menendang pipi kanan si gendut dengan kaki kiri sedangkan kaki kanannya menyambar pipi kiri si kurus. Selain cepat tendangan itu juga mengandung tenaga besar sekali hingga membuat kedua orang itu merasa seolah-olah kepala mereka telah copot.
"Heiii, mengapa engkau menendang orang?" Empat orang penjaga yang melihat kejadian itu menjadi terkejut dan marah, cepat berlari mendatangi dan mengurung gadis itu sambil mencabut golok.
"Bukankah mereka yang minta ciuman pipi kanan dan pipi kiri?" Gadis itu balas bertanya dengan sikap mengejek.
"Itu bukan ciuman!" bentak seorang di antara para penjaga.
"Aku tadi tidak mengatakan cium dengan apa! Apakah kalian kira aku akan sudi mencium pipi mereka dengan hidung atau bibirku? Aihh, tak usah, ya? Aku sudah memberi ciuman dengan ujung sepatu, masing-masing satu kali, kalau kurang boleh ditambah lagi. Apakah kalian berempat juga ingin minta bagian ciuman?"
Pada saat itu si gendut bersama pembantunya telah bangkit berdiri. Pipi mereka semakin besar bengkaknya, dan dengan mata merah si gendut kini memandang kepada gadis itu. Hatinya lebih nyeri dari pada pipinya. Rasa malu mengatasi rasa nyerinya sehingga lebih mendatangkan dendam dari pada kewaspadaan.
Sebenarnya, gerakan gadis itu yang dalam sekali gerak saja sudah mampu merobohkan dia dan pembantunya, telah cukup membuktikan bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang berilmu tinggi. Akan tetapi, perasaan dendam membuatnya mata gelap.
"Tangkap perempuan iblis ini! Bunuh...!" Dia sendiri sudah mencabut golok besarnya dan bersama lima orang anak buahnya, dia lalu menerjang dan menyerang gadis itu dengan amat ganasnya.
Gerakan golok mereka berenam itu jelas merupakan serangan untuk membunuh. Cahaya golok mereka berkilauan tertimpa sinar matahari yang kini mulai menebarkan cahayanya setelah ditinggalkan awan dan setelah hujan mulai berhenti menitik.
Akan tetapi pandang mata enam orang penjaga itu menjadi kabur ketika mereka melihat betapa nona di hadapan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja yang mengelak ke kanan kiri dengan kecepatan yang luar biasa. Semua tusukan dan bacokan golok tidak ada yang mengenai sasaran bahkan pada waktu golok terayun, bayangan itu telah lenyap untuk muncul di tempat lain.
Saat si gendut tiba-tiba melihat bayangan dara itu muncul di depannya sambil tersenyum mengejek, dia mengeluarkan bentakan nyaring lantas goloknya menyambar ke arah leher nona itu dengan kecepatan kilat dan pengerahan tenaga seluruhnya. Akibat didorong oleh kemarahan serta nafsu membunuh yang berkobar-kobar, kepala jaga gendut ini lupa akan pantangan dalam gerakan silat. Pantangan ini adalah menggunakan seluruh tenaga dalam serangan.
Seharusnya, dalam setiap serangan, orang selalu mempergunakan tenaga terbatas agar masih ada sisa tenaga untuk memperkuat kedudukan kaki dan untuk persiapan menjaga diri. Namun si gendut ini melakukan serangan dengan mengerahkan seluruh tenaga.
Maka, pada saat gadis itu dengan amat lincahnya bergerak mengelak, si gendut tak dapat mengendalikan dirinya lagi sehingga dia pun terdorong oleh tenaganya sendiri, dan tanpa kakinya dapat mengatur keseimbangan badan lagi, tubuhnya lantas tersungkur ke depan. Pada saat itu, kaki gadis itu kembali menciumnya, sekali ini mencium dada sebelah kiri.
"Ngekkk...!" Si gendut terpelanting dan tahu-tahu goloknya telah terampas oleh nona itu.
Sambil tersenyum nona itu menggerakkan golok rampasan ke arah muka si gendut yang memandang terbelalak sehingga wajahnya pucat sekali karena dia tahu bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba saja golok itu dilepas oleh si nona sehingga meluncur ke bawah, gagangnya di depan dan menyambar ke arah si gendut.
"Krekkkk...!"
Si gendut mengeluh, akan tetapi sulit mengeluarkan suara karena mulutnya telah dipenuhi oleh gagang golok yang telah membuat seluruh gigi dalam mulutnya rontok! Ada beberapa buah gigi yang tertelan dan sekarang dia mendelik, menggunakan kedua tangannya untuk mengeluarkan golok itu yang gagangnya tertanam di dalam mulutnya.
Setelah merobohkan kepala jaga, nona itu lalu meloncat ke atas punggung kudanya. Lima orang penjaga mengejarnya dengan golok, akan tetapi mendadak nona itu mengeluarkan pekik melengking lantas kedua tangannya bergerak ke kanan kiri. Sungguh hebat! Tanpa tersentuh, tubuh kelima orang penjaga itu terpelanting semua dan terbanting roboh seperti terlanda angin yang sangat kuat. Dan ketika mereka bangkit berdiri, kuda itu sudah lari memasuki kota.
"Kejar...!" teriak si mata sipit.
Mereka berlima segera melakukan pengejaran, meninggalkan si gendut yang masih terus mengeluh dan meratapi giginya itu. Akan tetapi nona dan kudanya sudah lenyap. Bahkan ketika mereka melapor dan pasukan penjaga ikut mencari, mereka tak dapat menemukan jejak nona dengan kudanya itu, seolah-olah kudanya telah lenyap ditelan bumi. Tentu saja peristiwa ini segera tersiar dan menjadi buah percakapan para penduduk Ceng-tao.
Berita tentang munculnya seorang dara aneh dengan kuda aneh, menyanyikan lagu aneh pula, yang setelah dengan mudahnya merobohkan enam orang penjaga lalu lenyap begitu saja, membuat semua orang lalu menghubungkannya dengan kepercayaan mereka akan kesaktian Dewi Laut yang mereka percaya. Mana mungkin seorang gadis muda selain merobohkan enam orang penjaga, memiliki kuda sakti juga pandai menghilang begitu saja seperti terbang ke langit atau amblas ke bumi kalau dia bukan Dewi Laut?
Di dalam kota itu ada sebuah kuil, yaitu kuil Dewi Laut. Menurut dongeng turun temurun di antara penduduk Ceng-tao yang di jaman dulunya adalah para nelayan, Dewi Laut dikenal sebagai dewi yang selain menguasai lautan, juga menjadi pelindung kaum nelayan. Oleh karena itu, maka patung dewi itu di dalam kuilnya dipuja-puja dan disembahyangi, bahkan dirayakan setiap tahun pada hari ulang tahunnya.
Bahkan ada dongeng di antara para penduduk bahwa Dewi Laut itu sewaktu-waktu turun ke bumi dan melakukan bermacam hal yang menggemparkan. Akan tetapi, semua hal yang dilakukannya itu pada umumnya menentang kejahatan dan menghukum pelakunya.
Betapa pun juga, ada kalanya Sang Dewi muncul melakukan hal-hal yang ganas. Hal ini kabarnya terjadi kalau penduduk lupa memberi sesajen atau korban sehingga sang dewi menjadi marah lalu menghukum penduduk dengan perbuatan-perbuatan yang ganas. Bila mana sekali waktu terdengar berita bahwa amukan dewi itu adalah karena penduduk lupa memberi sesajen, maka dapat dipastikan bahwa berita itu bersumber dari kuil itu sendiri.
Tentu saja para nikouw yang menjaga kuil itulah yang menjadi sumber berita. Hal ini amat penting bagi mereka karena berita itu dapat memperkuat kembali kepercayaan serta rasa takut penduduk terhadap Dewi Laut. Bila sudah begitu maka berbondonglah orang-orang datang bersembahyang sambil memberi sedekah! Dan hal ini amat perlu bagi kehidupan para nikouw, bagi terpenuhinya semua kebutuhan dan biaya menjaga dan merawat kuil.
Mungkin sekali yang dimaksudkan dengan sebutan Dewi Laut adalah nama lain dari Kwan Im Posat. Begitu banyaknya dongeng tentang Dewi Kwan Im Posat sebagai Dewi Belas Kasih ini sehingga tidak mengherankan kalau penduduk Ceng-tao yang dahulunya adalah kaum nelayan dan laut merupakan daerah penting bagi mereka lalu menciptakan sebutan Dewi Laut bagi Kwan Im Posat. Sesudah turun temurun, maka hanya nama Dewi Laut itu saja yang dikenal sebagai dewi pujaan mereka.
Ketua nikouw yang bertugas di kuil itu adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun berjuluk Hai Cu Nikouw. Dia sengaja memakai julukan Hai Cu yang berarti Mustika Laut, agar sesuai dengan tempat itu dan sesuai pula dengan dewi yang dipuja.
Hai Cu Nikouw ini bukanlah nikouw biasa yang lemah. Tidak, dia adalah seorang ahli silat yang memiliki tingkat cukup tinggi sehingga namanya dikenal dan ditakuti orang terutama kaum penjahat yang tidak berani mengganggu kuil itu, bahkan tidak berani beroperasi di daerah yang berdekatan dengan kuil Dewi Laut.
Hai Cu Nikouw ini mempunyai seorang suheng, juga kini menjadi ketua kuil yang berada di luar kota. Suheng-nya itu berjuluk Thian Kong Hwesio, berusia enam puluh tahun lebih dan memiliki ilmu silat yang lebih lihai dari pada sumoi-nya.
Ketika penduduk ramai-ramai membicarakan tentang munculnya seorang gadis aneh yang melakukan kegemparan dan para penduduk mulai menghubungkan gadis itu dengan Dewi Laut, Hai Cu Nikouw juga mendengar cerita itu. Nikouw tua ini tersenyum saja. Di dalam hatinya dia maklum bahwa semua berita tentang Dewi Laut itu hanyalah bohong belaka, walau pun dia sendiri adalah pemuja Dewi Laut. Dan kini dia menduga bahwa tentu gadis yang dihebohkan itu sama sekali bukan penjelmaan Dewi Laut, melainkan seorang gadis kang-ouw.
Ia pun tahu bagaimana tingkah para petugas jaga di pintu gerbang itu dan dapat menduga bahwa tentu gadis kang-ouw itu telah diganggu sehingga mengamuk kemudian menghajar mereka. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan tidak mau membantah kabar itu. Biarlah, pikirnya, biar penduduk makin yakin akan kesaktian Sian-li.
Pada keesokan harinya, berita tentang Dewi Laut itu menjadi semakin besar dan tambah menggemparkan. Apa lagi saat para penduduk menerima kabar dari para nikouw penjaga kuil itu bahwa tadi malam patung Dewi Laut telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Para nikouw yang mengurus kuil itu pun tidak tahu kapan dan ke mana hilangnya patung itu, seolah-olah menghilang begitu saja dari tempat pemujaannya.
Jangankan penduduk, bahkan Hai Cu Nikouw sendiri merasa amat terkejut dan heran saat menerima laporan para muridnya bahwa patung Dewi Laut sudah lenyap! Siapa orangnya berani main-main dan berani mati mencuri patung keramat itu? Agaknya tak mungkin ada pencuri yang berani melakukan hal itu. Akan tetapi... kenyataannya, patung itu memang lenyap begitu saja. Benarkah bahwa Dewi Laut telah menjelma menjadi gadis aneh? Ahh, tak mungkin!
Nikouw tua itu segera menghubungi suheng-nya lantas mereka pun berunding. Hilangnya patung Dewi Laut sungguh merupakan hal yang menimbulkan rasa penasaran dan marah. Terang bahwa penjahat yang mencurinya tidak memandang mata terhadap mereka, atau setidaknya kepada Hai Cu Nikouw sehingga pencurian patung itu dapat dianggap sebagai suatu tantangan.
"Tidak mungkin patung itu dicuri karena nilainya. Tidak ada emas permata yang menghias patung itu. Maka jelaslah bahwa pencurinya melakukan hal itu untuk menghinaku, untuk menantangku!" demikian antara lain Hai Cu Nikouw menyatakan rasa penasaran hatinya di depan suheng-nya.
Dia adalah seorang wanita yang biar pun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih nampak segar dan sehat, juga wajahnya masih membayangkan raut yang sangat cantik. Rambutnya habis dicukur licin, wajahnya belum banyak dimakan kerutan, kedua matanya masih tajam dan ada keangkuhan membayang pada dagunya yang meruncing, agaknya keangkuhan yang timbul karena yakin dengan kemampuan dirinya.
Tubuhnya kecil namun agak tinggi, dan gerak-geriknya masih cekatan. Sepasang pedang tergantung di punggungnya dan baru semenjak hari itulah dia selalu membawa sepasang pedang itu, karena merasa bahwa dia ditantang orang.
Suheng-nya menarik napas panjang. "Tenanglah, sumoi. Jika pencuri patung itu memang benar menantangmu, kenapa hingga sekarang dia masih belum muncul? Apa maksudnya mencuri patung? Dan berita tentang gadis yang aneh itu. Jangan-jangan dia yang mencuri patung itu, hanya untuk memperlihatkan kepandaiannya. Banyak ulah gadis-gadis muda kang-ouw yang seperti itu, hanya untuk mencari kepopuleran nama belaka."
Hwesio itu telah berusia enam puluh tiga tahun. Kepalanya gundul licin dan malam itu dia memakai penutup kepala. Jubahnya kuning dan tubuhnya gendut tinggi. Seuntai tasbeh panjang tergantung pada lehernya dan jubah kuningnya cukup bersih. Di meja dekat dia duduk tersandar tongkatnya, sebuah tongkat hwesio yang terbuat dari baja disepuh emas. Di samping menjadi tanda kebesarannya sebagai ketua kuil, tongkat ini juga merupakan senjatanya yang ampuh.
Mereka bercakap-cakap di ruangan belakang kuil Dewi Laut. Hwesio tua itu mengunjungi sumoi-nya, sesudah mendengar apa yang telah terjadi di kuil itu kemudian dihubungi oleh sumoi-nya.
Keadaan di kuil itu amat sunyi. Para nikouw sibuk berjaga-jaga karena patung itu lenyap malam kemarin. Hai Cu Nikouw nampak murung dan mudah marah, dan memarahi murid-muridnya yang dikatakan lengah dan banyak tidur. Maka, malam ini mereka tidak berani tidur dan berjaga secara bergiliran.
Tiba-tiba keheningan di ruangan itu terpecah oleh suara ketawa lirih yang datangnya dari arah atas, disusul suara orang mendengus serta mengejek. Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat kakak beradik seperguruan itu sudah meloncat keluar dari jendela. Thian Kong Hwesio telah menyambar tongkatnya dan sumoi-nya juga sudah mencabut siang-kiamnya, kemudian keduanya cepat melayang naik ke atas genteng dari luar ruangan.
Tampak bayangan yang amat gesit berkelebat menjauh atau agaknya sengaja memancing kedua orang itu. Di dalam kegelapan malam yang remang-remang, di bawah sinar bulan sepotong, nampak jelas bahwa sosok bayangan itu adalah seorang wanita, dengan tubuh ramping terbungkus pakaian ketat.
"Iblis betina, engkau hendak lari ke mana?!" Hai Cu Nikouw membentak sambil meloncat ke depan dan mengejar, dibayangi suheng-nya.
Akan tetapi bayangan itu berlari terus, berlompatan ke sana-sini, dari genteng ke genteng rumah lain, sambil kadang-kadang terdengar suara ketawanya, ketawa seorang wanita.
Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw menjadi penasaran sekali. Mereka mengejar dan mengerahkan semua tenaga untuk mengimbangi keringanan tubuh bayangan itu, namun harus mereka akui bahwa ginkang dari bayangan di depan itu begitu hebatnya. Kadang-kadang meloncat turun jika dikejar ke bawah, dan tahu-tahu dengan sekali melesat sudah berada di atas genteng rumah lain.
Kejar-mengejar terjadi beberapa lamanya. Dua orang pendeta itu merasa kaget dan heran bukan main sebab setelah berlari-larian sekian lamanya, ternyata bayangan itu membawa mereka kembali ke genteng kuil Dewi Laut! Tiba-tiba bayangan itu meloncat tinggi sekali lalu kakinya hinggap di atas ujung menara kuil yang kecil. Mereka memandang bengong, kagum dan tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyusul wanita aneh itu.
"Hemm, hwesio dan nikouw tolol! Apakah kalian berdua benar-benar hendak menentang dan melawan Dewi Laut?"
Hai Cu Nikouw dan suheng-nya terkejut dan menjadi bimbang mendengar suara bentakan yang mengandung wibawa itu,. Benarkah bayangan ini adalah bayangannya Dewi Laut? Mereka berdua adalah pemuja Dewi Laut, tetapi mereka bukan orang-orang yang percaya akan tahyul dan dongeng-dongeng tentang Dewi Laut menjelma sebagai manusia, maka mereka merasa ragu-ragu.
"Hemm, kalian masih ragu-ragu? Apakah menanti sampai aku marah dan kubakar kuil ini? Kalian memujaku hanya pura-pura saja, ya?"
Hai Cu Nikouw terkejut sekali sehingga dia langsung menjatuhkan diri berlutut. Dewi Laut yang sejati atau pun bukan, jelas bayangan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan bagaimana pun juga, bayangan itu belum melakukan sesuatu yang merugikan.
Melihat sumoi-nya berlutut, Thian Kong Hwesio juga berlutut sambil berseru, "Omitohud, harap maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Sian-li."
Bayangan itu tertawa, suara ketawanya halus namun mengerikan. Sukar untuk mengenal wajahnya karena selain bulan sepotong kurang terang sinarnya, juga bulan itu berada di belakang kepala bayangan itu sehingga wajahnya tertutup oleh kegelapan.
"Ha-ha-hi-hi-hi, sekarang baru kalian menyembahku. Dengarkan baik-baik. Kepercayaan para penghuni kota Ceng-tao kepadaku mulai berkurang, padahal akulah yang melindungi mereka. Katakan pada mereka bahwa aku menghendaki sesajen yang harus disediakan malam besok di dalam menara ini. Aku menghendaki emas murni lima puluh tail, berikut hidangan yang paling lezat dan semuanya masih panas untuk lima orang. Dan semua itu harus diantarkan oleh dua orang pria muda yang masih perjaka serta berwajah tampan, dan mereka harus membawa semua itu ke dalam ruangan kosong di atas menara. Awas, kalau permintaanku tadi tidak ditaati, bukan hanya kuil ini yang kubakar, namun aku juga akan mendatangkan badai besar, agar ombak menggulung habis kota Ceng-tao!"
Dua orang pendeta itu mendengarkan sambil menundukkan muka. Hati mereka memang merasa gentar juga, walau pun masih ada perasaan bimbang apakah benar ini suara dewi yang mereka puja-puja sebagai pelindung rakyat Ceng-tao itu. Sesudah suara itu lenyap, mereka baru mengangkat muka memandang dan ternyata bayangan itu telah lenyap dari puncak menara!
Mereka berdua memandang ke kanan kiri, tapi tidak melihat apa-apa lagi. Bayangan daun pohon tinggi yang tumbuh di belakang kuil bergoyang-goyang tertiup angin sehingga dua orang pendeta yang lihai itu merasa juga betapa tengkuk mereka menjadi dingin. Betapa hebatnya wanita itu, pikir mereka. Dapat menghilang begitu saja dari puncak menara yang begitu tinggi tanpa mereka ketahui.
Mereka berdua kemudian meloncat turun. Ketika mereka berjalan menuju ke dalam, dua orang nikouw menyambut mereka dan salah seorang di antara mereka berkata,
"Subo... patung... patung itu..."
"Ada apa? Bicara yang benar!" bentak Hai Cu Nikouw.
"Patung itu sudah kembali...!"
Mendengar ini, Hai Cu Nikouw cepat berlari ke dalam, ke ruangan pemujaan dan ia berdiri terpukau memandang wajah patung Dewi Laut yang diterangi oleh lilin! Patung itu sudah kembali di tempatnya!
Mereka berdua, suheng dan sumoi itu, segera berunding di dalam ruangan. "Bagaimana pendapatmu, suheng? Benarkah... Sang Dewi menjelma dan yang kita jumpai tadi adalah penjelmaan beliau?"
Suheng-nya menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Omitohud... semoga Thian melindungi kita semua. Kita semua telah tahu betapa mulia dan bijaksananya Sang Dewi pelindung rakyat dan kota Ceng-tao. Akan tetapi permintaan tadi sungguh-sungguh berlawanan sekali. Lima puluh tail emas? Masakan-masakan lezat yang diantar oleh dua orang pemuda tampan! Sungguh berlawanan sekali dengan kemuliaan dan kebijaksanaan. Pinceng merasa curiga, sumoi."
"Akan tetapi... kesaktiannya itu... dan... dan patung itu..."
Suheng-nya mengangguk-angguk. "Engkau tentu tahu alangkah banyaknya orang berilmu tinggi di dunia ini. Juga golongan sesat banyak mempunyai orang-orang yang sakti. Siapa tahu ada yang menyamar sebagai Sang Dewi. Pinceng tetap merasa curiga sekali, dan tak sepatutnya jika kita mentaati perintah yang begitu keterlaluan dan yang berbau nafsu keserakahan."
"Habis, bagaimana baiknya menurut pendapatmu, suheng?"
"Kita harus bersiap siaga. Besok kita rundingkan hal ini dengan kepala daerah dan para komandan pasukan keamanan di kota ini, untuk bersama-sama menghadapi tantangan ini."
Pada keesokan harinya, suheng dan sumoi itu pun pergilah ke kantor kepala daerah dan melaporkan apa yang telah mereka alami semalam. Kepala daerah mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau kotanya diganggu penjahat. Maka dia pun cepat memanggil para pemimpin pasukan penjaga keamanan dan mereka segera mengadakan perundingan dan mengatur siasat untuk menghadapi penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut itu.
Atas usul Thian Kong Hwesio, dua orang pemuda dipilih untuk menjadi pengantar barang-barang permintaan Dewi Laut. Tentu saja mereka bukan pemuda biasa, namun dua orang murid Thian Kong Hwesio sendiri yang selain muda dan tampan, juga gagah dan memiliki kepandaian silat yang sudah cukup tinggi.
Kamar di menara itu adalah sebuah ruangan atau tempat Hai Cu Nikouw biasa berlatih semedhi, sebuah ruangan yang berukuran tiga meter kali tiga meter. Satu-satunya jalan menuju ke ruangan itu hanya melalui sebuah anak tangga yang sempit dan yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja.
Bersama kepala daerah dan para perwira, suheng dan sumoi itu lalu memasang jebakan dan mengatur baris pendam. Pasukan pilihan bersembunyi di kanan kiri anak tangga, dan di sekitar menara itu telah bersembunyi pula pasukan lain, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw sendiri bersembunyi di atas genteng menara, bersiap untuk menyerbu kalau penjahat itu memasuki kamar menara.
Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio yang nanti akan membawa barang-barang pesanan penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut, diam-diam juga memperlengkapi dirinya dengan senjata yang disembunyikan di bawah baju longgar.
Malam itu bulan lebih terang dari pada malam kemarin. Langit sangat cerah, akan tetapi tidak demikian cerah rasa hati dua orang suheng dan sumoi yang sedang bersembunyi di atas genteng. Jantung mereka berdebar tegang.
Walau pun mereka tahu bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh para perwira yang pandai, bahkan di dalam menara sudah terdapat pasukan pilihan yang bersembunyi, namun mereka tahu bahwa mereka menghadapi seorang yang sangat lihai. Di samping itu, timbul kekhawatiran di hati Hai Cu Nikouw, yaitu kalau-kalau yang akan muncul adalah benar-benar penjelmaan Dewi Laut. Ngeri dia memikirkan kemungkinan ini, walau pun suheng-nya sudah menyatakan keyakinannya bahwa tentu wanita itu seorang penjahat yang mengaku-aku sebagai Dewi Laut.
Setelah malam agak larut dan bulan naik tinggi, suasana menjadi amat sunyi dan makin menyeramkan. Suara seekor burung malam yang terbang di atas kepala mereka sempat mengejutkan hati dua orang pendeta yang memiliki ilmu tinggi itu. Dalam keadaan tegang, memang orang menjadi mudah sekali kaget.
Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio nampak naik ke atas menara melalui anak tangga. Mereka adalah dua orang pemuda berusia dua puluh tahun, berwajah tampan dan bersikap gagah, juga mengenakan pakaian indah. Dengan langkah tegap mereka menaiki anak tangga.
Salah seorang di antara mereka membawa baki penuh dengan hidangan-hidangan yang masih mengepulkan uap panas. Yang seorang lagi membawa baki tertutup kain merah dan di baki itu terdapat gumpalan-gumpalan emas seberat lima puluh tail emas.
Mereka sudah mempersiapkan diri dengan senjata rahasia dan pedang pendek yang kini mereka sembunyikan di bawah jubah. Mereka tahu pula bahwa guru dan bibi guru mereka berjaga di atas genteng menara, dan bahwa di situ juga banyak terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi untuk melindungi mereka. Namun tetap saja mereka merasa tegang dan agak gentar karena guru mereka sudah berpesan bahwa yang mereka hadapi adalah wanita iblis yang amat lihai.
Jantung mereka berdebar tegang ketika keduanya tiba di depan kamar menara. Dengan hati-hati mereka menggunakan kaki mendorong daun pintu yang dengan mudah terbuka karena memang tak terkunci. Ruangan itu kosong. Sebuah ruangan bersih berbau harum dupa dan bunga, dan lantainya ditilami permadani dan kasur tipis.
Mereka berdua saling pandang dengan hati lega karena ternyata iblis itu tidak berada di sana. Dengan hati-hati mereka membuka sepatu dan memasuki ruangan itu, meletakkan baki masakan dan emas itu di atas lantai. Karena lilin yang bernyala di sudut ruangan itu hampir padam, seorang di antara mereka lalu menyalakan sebuah lilin besar di sudut dan kamar itu menjadi terang.
Agaknya sinar terang di kamar itu menjadi tanda bagi sesosok bayangan untuk bergerak datang. Demikian cepatnya bayangan itu bergerak sehingga Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw yang sedang berjaga di atas genteng hanya melihat berkelebatnya bayangan yang kemudian lenyap. Mereka mengira bahwa itu hanya bayangan burung yang lewat, maka mereka tetap mendekam di tempat persembunyian mereka sambil menanti dengan waspada.
Akan tetapi bayangan yang berkelebat amat cepat tadi ternyata bukan burung, melainkan bayangan dari sesosok tubuh manusia yang ramping pinggangnya. Bayangan itu melesat dengan cepatnya lantas bersembunyi di balik wuwungan menara. Cahaya lilin besar yang menyorot keluar dari genteng menara menimpa mukanya. Muka yang mengerikan karena memakai topeng hitam yang memiliki lubang-lubang kecil memperlihatkan sepasang mata yang bersinar tajam, hidung yang kecil serta mulut yang bibirnya lebar dan amat merah. Sukar menaksir bagaimana bentuk wajahnya atau pun berapa usianya.
Agaknya dia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa di sekitar tempat itu bersembunyi banyak penjaga yang terus mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata yang tegang. Dengan seenaknya bayangan itu lalu meloncat turun dan menghampiri anak tangga. Akan tetapi baru saja dia meletakkan kakinya pada anak tangga pertama, tiba-tiba enam orang penjaga yang bersembunyi di sekitar anak tangga sudah bermunculan dan menyerbunya dengan senjata mereka.
Melihat senjata berkilatan dari segenap penjuru, wanita berkedok itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, kelihatan tidak kaget sama sekali dan bibir yang merah lebar di balik kedok itu menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih dan besar-besar.
Tiba-tiba kedua tangannya bergerak, maka benda-benda kecil berkeredepan menyambar ke arah enam orang penyerangnya dan terdengarlah suara mereka menjerit lalu seorang demi seorang roboh terpelanting dan tidak dapat bangkit kembali melainkan berkelojotan dalam sekarat! Leher mereka, tepat di tenggorokan, tertancap oleh sebatang jarum yang amblas masuk, membawa racun bersamanya.
Jeritan-jeritan ini tentu saja menarik perhatian, lantas nampaklah bayangan banyak orang berlari-larian dan dari atas menyambar tubuh Hai Cu Nikouw. Melihat betapa ada seorang wanita berkedok berdiri di bawah anak tangga dan enam orang penjaga yang bertugas menjaga di sana telah roboh berkelojotan semua, Hai Cu Nikouw dan suheng-nya terkejut bukan main. Bagaimana wanita ini dapat masuk ke situ tanpa mereka ketahui?
"Iblis jahat, terimalah hukumanmu!" bentak Hai Cu Nikouw.
Sambil membentak dia menerjang ke depan, mempergunakan sepasang pedangnya yang jarang sekali keluar dari sarungnya itu. Dua cahaya putih berkelebat menyilang dan titik pertemuan silangan ini adalah leher wanita berkedok itu. Hebat bukan kepalang serangan nenek pendeta ini.
"Cringgg...!"
Sepasang pedang itu saling serempet sendiri, namun leher yang menjadi sasaran sudah tidak berada di tempat. Kiranya wanita berkedok itu dengan gerakan yang lebih cepat lagi sudah dapat mengelak dan meloncat ke belakang sambil tersenyum di balik kedoknya.
"Hemm, kalian mengkhianatiku! Berarti kalian mencari mampus dan kuil ini akan kubakar habis!"
Thian Kong Hwesio sudah ikut menerjang pula dengan mempergunakan tongkat bajanya. Wanita berkedok itu pun cepat mengelak dari sambaran tongkat yang mengarah kepala, kemudian tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangannya seperti yang tadi dilakukan untuk merobohkan enam orang penjaga.
"Wuuuttt...!"
Tiga batang jarum beracun menyambar ke arah tubuh Thian Kong Hwesio dan tiga lagi ke arah Hai Cu Nikouw. Akan tetapi kedua orang pendeta ini tidaklah selemah para penjaga tadi. Mereka berdua sudah dapat menduga akan kelihaian dan kecurangan lawan, maka begitu wanita itu menggerakkan kedua tangannya dan melihat berkelebatnya benda kecil, mereka cepat meloncat ke samping sehingga terhindar dari maut. Dengan marah mereka berdua lalu menyerang wanita iblis itu dari kanan kiri.
"Singgg...!"
Wanita itu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubahnya, lantas nampaklah sebatang pedang berkilauan di tangannya. Begitu dia menggerakkan pedang menangkis, serangan kedua orang pendeta itu dapat ditangkisnya dan mereka berdua cepat melangkah mundur dengan kaget ketika tangkisan itu menimbulkan suara nyaring dan mereka merasa betapa lengan mereka kesemutan. Cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka yang juga merupakan senjata pilihan tidak sampai rusak oleh tangkisan pedang wanita iblis itu.
Kembali mereka menerjang, tetapi sekali ini wanita berkedok bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan serangan yang gerakannya sangat ganas, cepat dan kuat. Dalam belasan jurus saja suheng dan sumoi itu telah terdesak hebat oleh pedang si wanita iblis yang gaya permainannya sangat aneh dan ganas itu. Akan tetapi, kakak beradik seperguruan itu langsung merasa lega ketika bermunculan perwira-perwira dengan pasukannya yang mengurung dan mengeroyok si wanita iblis.
Wanita berkedok itu kini terdesak dan dia pun mulai memaki-maki dengan kata-kata kotor. Hal ini semakin meyakinkan hati Thian Kong Hwesio dan sumoi-nya bahwa tidak mungkin jika wanita berkedok ini merupakan penjelmaan Dewi Laut yang berbudi mulia itu. Mereka pun menyerang dan mendesak dengan sengit.
Karena sekarang dikeroyok oleh banyak orang, wanita berkedok yang sedang terdesak itu meninggalkan bawah anak tangga lalu menuju ke ruangan yang tak jauh dari situ, sebuah ruangan yang luas di mana dia dapat memainkan pedangnya dengan leluasa.
Wanita itu memang lihai sekali, terutama memiliki kecepatan yang luar biasa. Kalau tidak dikeroyok sampai delapan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan, karena mereka yang membantu kedua orang pendeta itu adalah para perwira, maka belum tentu dua orang itu mampu mendesaknya. Dia telah berusaha untuk menyebar jarum-jarumnya, akan tetapi enam orang perwira itu terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan dengan senjata rahasia.
Baiknya para prajurit penjaga yang mengepung tempat itu sudah gentar menghadapinya, sesudah empat prajurit yang ikut-ikutan maju akhirnya roboh dan tewas oleh pedangnya. Mereka hanya mengepung tempat itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak berani sembarangan maju, bahkan dilarang oleh para perwira.
Kini wanita berkedok itu mulai merasa kerepotan dan mencari-cari jalan keluar yang telah tertutup dan terkepung oleh pasukan. Selagi dia kerepotan itu, mendadak terdengar suara ketawa yang parau, disusul suara ejekan yang kasar.
"Ha-ha-ha, sekarang nenek cabul seperti tikus tersudut!"
Terjadi kekacauan di dekat pintu dan nampak enam orang anggota pasukan roboh mandi darah, disusul kemunculan seorang kakek yang usianya sudah hampir enam puluh tahun. Kakek ini bertubuh tinggi besar, mukanya membayangkan kekasaran. Matanya lebar dan bundar, hidungnya besar, mulutnya hampir tidak terlihat akibat tertutup kumis dan jenggot. Pakaiannya juga terbuat dari kain kasar sederhana, dan sepatunya butut.
Kakek ini membawa sebatang pecut panjang, tetapi ketika membobol kepungan pasukan dari belakang tadi, dia merobohkan enam orang prajurit itu hanya dengan cengkeraman-cengkeraman tangan kirinya yang bagaikan tangan baja itu. Sekali cengkeram saja, maka pecahlah kepala orang-orang itu dan mereka pun roboh berlumuran darah dalam keadaan yang amat mengerikan!
Meski pun kakek itu datang sambil memaki si wanita iblis, akan tetapi melihat betapa dia membunuh enam orang prajurit, para perwira menjadi marah dan maklum bahwa kakek ini pun bukan orang baik-baik dan bukan pihak kawan. Maka mereka pun menyambutnya dengan serangan senjata mereka.
Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika kakek itu menggerakkan cambuknya, dan robohlah salah seorang di antara enam orang perwira itu. Dahinya, di antara kedua mata, berlubang mengeluarkan darah dan dia pun tewas seketika. Kiranya pada ujung cambuk kakek itu dipasangi sebuah benda seperti paku yang terbuat dari baja dan benda inilah yang tadi menyambar dan melubangi dahi itu.
Tentu saja keadaan menjadi geger dan kini perkelahian menjadi semakin sengit di mana nenek berkedok dan kakek bercambuk itu mengamuk dan membabati musuh seenaknya. Karena ditinggalkan oleh enam orang perwira tapi kini tinggal lima orang, karena hendak mengeroyok kakek itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw kini terpaksa menghadapi nenek iblis itu berdua saja sehingga mereka segera terdesak hebat.
"Kakek hina-dina, aku tak butuh bantuanmu!" Sambil terus menyerang, berkali-kali nenek iblis itu berteriak memaki-maki kakek itu.
"Nenek cabul tak tahu budi, tutup saja mulutmu dan mari kita bereskan mereka ini!" kakek itu menjawab, dengan suara kasar pula.
Karena saling memaki ini, agaknya timbul kemarahan di dalam hati mereka dan keduanya mengamuk semakin hebat. Dalam waktu yang tidak terlampau lama, akhirnya lima orang perwira itu pun roboh dan tewas di tangan kakek itu, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw pun terdesak, bahkan sudah menderita luka-luka yang cukup parah oleh sambaran pedang wanita iblis!
Pasukan yang mengepung melihat atasan mereka sudah roboh semua. Mereka berusaha untuk mengeroyok, akan tetapi mereka yang berani maju lebih dulu seperti mengantarkan nyawa saja. Yang lain-lain menjadi gentar dan ketika Thian Kong Hwesio serta sumoi-nya terpaksa meloncat ke atas genteng dan menyelamatkan diri, sisa pasukan itu pun segera lari cerai-berai!
Kini tinggal si nenek iblis dan kakek lihai itu yang berdiri saling berhadapan, dan dengan senjata di tangan, wajah mereka masih nampak beringas. Belasan mayat bergelimpangan di sekitar mereka dan bau amis darah memenuhi udara tempat itu.
"Koai-pian Hek-mo, siapa suruh engkau membantu? Kita adalah saingan dan musuh, aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Nenek iblis itu membentak.
Dengan tangan kiri kakek yang berjuluk Koai-pian Hek-mo itu mengusap mukanya yang kasar dan hitam, mengusap keringatnya. "Hwa-hwa Kui-bo, dalam keadaan kita ditentang oleh golongan putih, engkau masih begini congkak terhadap orang segolongan? Apakah otakmu sudah mulai miring?"
"Tua bangka hina, mampuslah kau!" Nenek berkedok itu pun segera menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan yang amat cepat ke arah dada lawan.
"Cringgg....! Tranggg...!"
Cambuk itu bergerak lantas gagangnya menangkis pedang. Pedang dan cambuk bertemu dengan amat kerasnya sehingga keduanya bertindak mundur tiga langkah.
"Kui-bo, musuh-musuh yang kuat sudah mulai berkumpul. Kita harus bersatu padu untuk menghadapi mereka. Biarlah saat ini kita berdamai dulu, kalau memang perlu lain kali kita lanjutkan. Mari kita bekerja sama. Bukankah ada dua orang pemuda di menara itu? Kita bagi saja seorang satu. Engkau sendiri tak boleh terlampau menghamburkan tenaga, ada pun dua orang pemuda sekaligus tentu dapat menghabiskan tenagamu, padahal kita akan memerlukannya dalam hari-hari mendatang ini. Bagaimana? Apakah kau ingin kita terus berkelahi dan membiarkan musuh-musuh kita mentertawakan kita?"
Nenek itu nampak bimbang dan akhirnya ia mendengus. "Huh, enak saja, aku yang susah payah engkau hanya ingin menggerogoti hasilnya!" Akan tetapi sambil berkata demikian, dia menyimpan pedangnya, membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke tangga menara. Kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, tadi aku pun sudah turut bersusah payah, maka sudah sepatutnya kalau aku mendapatkan bagianku pula." Kemudian dia pun melangkah lebar menyusul nenek iblis itu menaiki anak tangga.
Dapat dibayangkan betapa gentar dan tegang rasa hati dua orang muda yang berada di dalam kamar menara itu. Dari atas mereka menyaksikan perkelahian yang amat hebat itu dan melihat alangkah lihainya nenek dan kakek iblis. Bahkan mereka melihat pula betapa guru mereka, Thian Kong Hwesio, terluka dan melarikan diri. Kalau guru mereka sendiri, dibantu oleh bibi guru mereka, tak mampu mengalahkan nenek iblis itu, apa lagi mereka! Dan kini nenek itu malah disertai oleh kakek yang demikian lihainya.
Biar pun demikian, sebagai pemuda-pemuda yang semenjak kecil digembleng kegagahan oleh guru mereka, dua orang muda itu menanti kedatangan kakek dan nenek iblis dengan pedang di tangan kanan dan senjata rahasia piauw (pisau terbang) di tangan kiri. Begitu Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo muncul dan baru saja mereka melangkahkan kaki melewati ambang pintu, dua orang muda itu menyerang dengan sambitan piauw mereka!
Akan tetapi sedikit pun kedua orang iblis itu tidak memperlihatkan rasa kagetnya. Hanya dengan gerakan tangan kiri sedikit saja keduanya sudah mampu menyampok runtuh dua batang piauw itu yang meluncur ke bawah lantas menancap ke atas lantai kamar menara yang berbuat dari papan tebal. Kini kedua orang pemuda itu menyerang dengan pedang mereka secara nekat.
"Ha-ha-ha-ha, kekasih-kekasih kita menyambut dengan hangat sekali!" Koai-pian Hek-mo tertawa dan dia pun menyambut pedang lawan dengan tangan kosong! Dalam beberapa gebrakan saja, pedang itu dapat dirampas dan sekali tangan kakek itu menotok, pemuda yang menyerangnya roboh lemas dan segera disambar ke dalam rangkulannya.
Pemuda kedua yang menyerang Hwa-hwa Kui-bo juga mengalami nasib yang sama pula. Pedangnya terpukul jatuh dan dia pun ditotok kemudian dirangkul dan dipondong. Sambil tertawa-tawa, Koai-pian Hek-mo telah memondong pemuda tawanannya menuju ke dalam kamar menara, membawanya ke sebuah sudut kamar. Hwa-hwa Kui-bo juga membawa korbannya ke sudut yang lain, kemudian dari tempat itu ia meniup ke arah lilin besar yang seketika menjadi padam.
"Ha-ha-ha, Kui-bo, engkau masih jengah dan malu-malu lagi? Ha-ha-ha!" kakek iblis itu mentertawakan temannya yang tidak menjawab. Kamar itu menjadi gelap dan dari luar tak terdengar apa-apa lagi.
********************
Sementara itu, kepala daerah menjadi terkejut dan marah sekali saat mendengar laporan tentang kegagalan pasukan keamanan menghadapi penjahat yang mengacau di kuil Dewi Laut. Dia segera memerintahkan semua perwira yang ada untuk mengirim pasukan baru dan membantu kawan-kawan mereka.
Sesudah mengobati luka-luka mereka, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw juga turut membantu para perwira melakukan pengepungan terhadap kuil dan terutama menara itu. Mereka semua melihat betapa menara itu gelap, lilin di dalamnya telah dipadamkan orang dan tidak terdengar suara apa pun dari luar.
Pada saat para perwira membuat gerakan yang memerintahkan anak buahnya menyerbu menara, Thian Kong Hwesio cepat mengangkat tangan dan menggeleng kepala. "Jangan sembarangan bergerak! Mereka berada di tempat gelap dalam kamar dan mereka itu lihai sekali. Menyerbu mereka yang berada dalam gelap sama dengan mengantar nyawa saja. Biar kita kepung saja dan menanti sampai mereka keluar, baru kita serbu dan keroyok."
Karena sudah melihat bekas tangan dua orang iblis yang sangat lihai itu, para perwira lalu mentaati nasehat Thian Kong Hwesio sehingga mereka kini hanya mengepung menara itu dengan penjagaan yang ketat sekali. Pasukan anak panah dipasang di sayap kiri, sayap kanan adalah pasukan tombak, dan dari depan berjaga pasukan sepasang golok, lalu dari belakang dijaga oleh pasukan pedang. Semuanya telah diatur rapi dan agaknya kalau dua orang penjahat itu hendak keluar, maka mereka harus menghadapi pengepungan rapat yang pasti akan amat sukar mereka lalui.
Thian Kong Hwesio sendiri berulang-ulang menarik napas panjang. Dia mengkhawatirkan keselamatan dua orang muridnya, akan tetapi dia sendiri tidak berdaya menolong mereka, pihak musuh terlalu lihai, Maka diam-diam dia pun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat siapa gerangan dua orang iblis yang mengacau Ceng-tao dan sekarang dengan beraninya menguasai menara kuil Dewi Laut, agaknya enak-enakan saja di dalam tanpa peduli akan kepungan pasukan penjaga keamanan.
Di dunia kang-ouw, nama Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) telah sangat terkenal. Tiga belas orang manusia dari golongan hitam atau kalangan sesat ini merajalela di seluruh penjuru, merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia hitam. Akan tetapi karena mereka ini biasanya tidak turun tangan sendiri, dan hanya mengandalkan murid-murid atau anak buah mereka untuk mencari nafkah secara haram, hanya nama mereka saja yang dikenal. Akan tetapi jarang ada orang pernah berjumpa dengan mereka. Maka tidak mengherankan jika Thian Kong Hwesio yang sudah luas pengetahuan serta pengalamannya di dunia kang-ouw itu pun tidak mengenali dua orang iblis ini.
Koai-pian Hek-mo (Iblis Hitam Cambuk Aneh) dan Hwa-hwa Kui-bo (Biang Iblis Boneka) adalah dua orang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan). Kakek itu disebut Hek-mo karena memang mukanya kasar dan hitam, sedangkan nenek itu dijuluki Hwa-hwa yang bisa diartikan boneka atau juga dapat diartikan Wanita Cabul karena memang dia adalah seorang wanita petualang yang suka mempermainkan pemuda-pemuda tampan, terutama yang masih perjaka. Tentu saja hal ini dilakukannya dengan paksaan!
Koai-pian Hek-mo mempunyai watak yang aneh pula, suatu kelainan batin yang membuat dia pun suka memperkosa pemuda-pemuda dan dia tidak suka mendekati wanita! Karena sama-sama suka mempermainkan pemuda tampan inilah maka terjadi sebuah persaingan di antara Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo.
Pernah beberapa kali mereka memperebutkan seorang pemuda tampan, bahkan mereka sempat pula berkelahi mati-matian. Tapi tingkat kepandaian mereka terlampau seimbang sehingga di antara mereka belum pernah ada yang kalah mau pun menang. Dan karena mereka adalah tokoh hitam dari daerah yang sama, yaitu daerah Muara Sungai Kuning, maka mereka sering berjumpa dan bersaingan. Hanya karena mereka itu merasa masih persaudara dalam kesatuan Cap-sha-kui saja maka sampai sedemikian jauhnya mereka belum saling membunuh.
Dengan gelisah, marah dan tegang, Thian Kong Hwesio, Hai Cu Nikouw dan para perwira terus menjaga dan mengepung menara. Mereka merasa penasaran karena sampai lewat tengah malam, dua iblis itu belum juga keluar dari dalam menara.
Menjelang pagi, Thian Kong Hwesio dan sumoi-nya dengan kaget melihat berkelebatnya sesosok bayangan ke arah menara. Mereka cepat memberi isyarat dan semua anggota pasukan bersiap.
Dua orang pendeta itu terheran-heran. Mereka melakukan penjagaan dan mengharapkan dua orang jahat itu keluar dari menara, tetapi mengapa kini ada bayangan berkelebat dan agaknya malah menuju ke menara? Dan bagaimanakah bayangan ini bisa melalui semua penjagaan yang demikian ketatnya? Mereka berdua saling pandang dan merasa bingung, juga ngeri karena melihat kemunculan demikian banyak orang yang memiliki kepandaian begitu hebat.
Tiba-tiba saja para penjaga itu mendengar suara hiruk-pikuk dan bentakan-bentakan yang keluar dari dalam menara, bahkan kini ada cahaya lilin menyala di dalam kamar. Dari luar, nampak di balik tirai jendela bayangan orang-orang berkelahi dengan gerakan yang amat cepatnya!
Apakah yang sesungguhnya telah terjadi dalam kamar itu? Apakah kedua orang anggota Cap-sha-kui itu kambuh kembali penyakit mereka lantas saling berhantam sendiri? Sama sekali tidak demikian!
Tadinya keadaan di dalam kamar masih gelap dan sunyi, seakan-akan orang-orang yang berada di dalamnya sudah tidur nyenyak. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara perlahan diikuti daun pintu terbuka dari luar, lalu tampak sesosok bayangan menyelinap masuk dan terdengar suara seorang wanita menegur dengan suara mengejek.
"Huhh, tua bangka-tua bangka yang tidak tahu malu! Perbuatan hina kalian ini sungguh terkutuk dan akan menyeret kalian ke neraka jahanam!"
Yang pertama-tama bergerak adalah cambuk panjang Koai-pian Hek-mo, maka terdengar suara meledak ketika cambuk panjang itu melecut sambil menyambar ke arah datangnya suara wanita yang membentak mereka tadi. Akan tetapi, sebelum mengenai sasarannya, ujung cambuk itu membalik kepadanya dan tentu saja Koai-pian Hek-mo menjadi terkejut sekali.
"Siapa kau...?!" bentaknya. Jawabannya hanya suara ketawa merdu seorang wanita.
Di dalam kegelapan itu agaknya Hwa-hwa Kui-bo mampu menangkap gerakan serangan cambuk tadi dan juga dapat menduga bahwa serangan kawannya itu gagal, maka dia pun menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum beracun segera menyambar ke arah suara ketawa wanita itu.
Akan tetapi terdengar suara berkerintingan dan jarum-jarum itu runtuh semuanya ke atas lantai, tanda bahwa yang diserangnya telah berhasil menangkis semua jarum itu di dalam gelap! Melihat kenyataan ini, Hwa-hwa Kui-bo cepat-cepat menyalakan api dan tidak lama kemudian lilin besar di sudut itu pun sudah bernyala hingga sinar terang memenuhi kamar itu, mengusir kegelapan.
Dua orang tokoh iblis itu sudah meloncat berdiri lantas memandang dengan heran ketika mereka melihat bahwa yang berani mengganggu dan mengejek mereka hanyalah seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dengan potongan tidak karuan! Seorang gadis remaja yang usianya antara lima belas atau enam belas tahun dengan rambut dikuncir menjadi dua, sepasang matanya lincah bersinar, mulutnya mengulum senyum mengejek.
Tentu saja mereka berdua tidak memandang sebelah mata kepada anak perempuan ini. Mereka berdua hanya suka kepada pemuda-pemuda remaja tampan, namun tidak suka bahkan membenci wanita-wanita muda yang cantik. Maka kini mereka pun memandang dengan sinar mata penuh kemarahan kepada gadis itu.
Melihat bahwa yang datang hanya seorang gadis remaja yang sempat membuat mereka terkejut, kedua orang tokoh besar itu merasa malu dan terhina. Perasaan ini lalu tumbuh menjadi kemarahan dan kebencian, maka tanpa banyak cakap lagi Hwa-hwa Kui-bo telah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah perut dara itu ada pun tangan kirinya segera membentuk cakar dan langsung mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan!
Sungguh merupakan serangan gabungan yang hebat bukan main, apa lagi bagi seorang dara remaja seperti itu. Biar pun hanya tangan kosong, harus diakui bahwa cengkeraman itu bahkan lebih mengerikan dan lebih berbahaya dari pada tusukan pedang.
Akan tetapi, nenek yang sudah merasa yakin bahwa satu di antara kedua tangannya yang melakukan serangan itu pasti akan memperoleh hasil, langsung berteriak kaget sesudah melihat betapa dara itu dengan lincah dan ringannya telah memiringkan tubuh mengelak dari tusukan pedang, sedangkan tangan kiri yang mencengkeram itu disambutnya dengan tamparan tangan terbuka.
"Plakkk!"
Dan tubuh nenek berkedok itu terhuyung ke belakang, tubuhnya terasa panas dan kaku seperti kemasukan hawa yang amat kuat dan aneh!
"Ihhh...!" Nenek itu berseru dan bergidik karena baru sekarang dia merasakan akibat yang demikian anehnya ketika tangannya bertemu dengan tangan lawan, apa lagi lawannya ini hanyalah seorang bocah!
Maklum bahwa bagaimana pun juga dara remaja itu ternyata memiliki kepandaian hebat, Koai-pian Hek-mo lalu menggerakkan cambuknya yang meledak dan menyambar secara bertubi-tubi, sekali bergerak langsung mematuk ke arah tiga jalan darah di bagian depan tubuh dara itu yang kesemuanya merupakan patukan mematikan.
"Ting-ting-cringggg...!"
Tiga kali ujung cambuk yang ada pakunya itu terpental, dan yang ketiga kalinya bahkan terpental keras lalu menyambar ke arah muka pemegang cambuk itu sendiri! Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali sehingga cepat menarik kembali cambuknya agar paku pada ujung cambuk tidak mematuk hidungnya sendiri.
Kini dua orang tokoh besar dunia hitam itu terbuka matanya. Dengan hati-hati mereka pun menyerang dari kanan kiri. Namun dara itu melayani mereka dengan tangan kosong saja! Demikian ringan gerakan tubuhnya, laksana sehelai bulu saja yang sukar sekali diserang, seolah-olah diterbangkan oleh gerakan senjata-senjata mereka sehingga sebelum senjata mengenai sasaran, tubuh itu sudah mendahului pergi.
Dua orang tokoh jahat itu memancing-mancing untuk mengenali gerakan sang dara. Akan tetapi, gerakan dara itu aneh bukan main. Mirip-mirip dasar gerakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai, namun ada pula unsur gerakan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan bahkan semua ilmu silat dari perguruan-perguruan besar bagai dicampur aduk menjadi satu! Selain kecepatan gerak, yang amat hebat adalah tenaga yang terkandung dalam kedua tangan yang kecil halus itu.