DARA itu jelas jauh lebih lihai dari pada kedua orang lawannya, akan tetapi agaknya dia memang berwatak bengal, jenaka dan suka main-main. Dia sengaja mempermainkan dua orang yang dia tahu sedang menyelidiki gerakan-gerakannya itu, lantas sengaja membuat gerakan kacau-balau, bahkan ketika balas menyerang dia menggunakan cara memukul seperti anak-anak yang tidak pernah belajar silat sehingga kelihatan lemah, akan tetapi dengan diam-diam dia mengerahkan sinkang-nya sehingga serangan balasannya itu luar biasa anehnya.
Dikatakan kuat, cara memukulnya sembarangan saja, akan tetapi jika dinamakan lemah, nyatanya pukulan itu mengandung tenaga yang amat ampuh. Jadi berat-berat ringan, juga ringan-ringan berat, cukup membingungkan kedua orang lawannya. Bukan hanya bingung dalam hal menerka ilmu silat lawannya itu, akan tetapi juga bingung bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu.
Bagaimana pun juga, dara remaja itu hanya bertangan kosong dan yang mengeroyoknya adalah dua orang tokoh yang amat lihai, dua orang di antara Cap-sha-kui yang memakai senjata ampuh andalan mereka masing-masing. Karena itu, akhirnya dara ini pun merasa bahwa permainannya sekali ini amat berbahaya.
Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara pekik melengking aneh dan pendek, lalu tahu-tahu dengan jari telunjuknya dia menyentil ujung cambuk yang menyambar ke arah lehernya. Ujung cambuk itu terpental ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo, sedangkan serangan pedang nenek itu dihindarkannya dengan mengelak ke belakang. Nenek yang mukanya disambar ujung cambuk itu tentu saja menjadi terkejut bukan main.
"Gila kau...!" bentaknya kepada kawannya karena dia mengira bahwa kawannya itu salah sasaran. Sebaliknya, kakek itu pun kaget dan cepat menarik cambuknya.
Kesempatan ini dipergunakan oleh dara itu untuk balas menyerang. Tangannya meluncur ke arah ubun-ubun kepala Hwa-hwa Kui-bo, ada pun kakinya menendang atau menyepak ke arah perut Koai-pian Hek-mo yang berada di belakangnya.
Serangan itu amat cepat gerakannya dan pada waktu kedua orang iblis itu meloncat untuk menghindar, tiba-tiba tubuh dara itu berjungkir balik, kepala di bawah kaki di atas, tangan kirinya menunjang badan. Sekarang tiba-tiba saja dia melanjutkan serangannya dengan tubuh terbalik, yaitu kakinya menyerang ubun-ubun kepala Koai-pian Hek-mo sedangkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Hwa-hwa Kui-bo! Dan hebatnya, di dalam serangan-serangannya itu terkandung hawa pukulan yang jauh lebih kuat dari pada tadi, sehingga meski pun kedua orang iblis itu berusaha menangkis dan mengelak, tetap saja mereka terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir roboh!
Melihat kehebatan serangan ini, wajah mereka menjadi pucat dan tanpa diberi komando, keduanya langsung meloncat keluar dari menara itu, menggunakan ginkang mereka yang hebat, sekali melayang mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam larut itu.
Dara muda itu tidak mengejar, melainkan menengok dan memandang ke arah dua orang pemuda yang berada di sudut kanan dan kiri, sekilas pandang saja, lalu dia membuang muka dengan kulit muka berobah merah dan juga alis berkerut.
Kedua orang pemuda itu ternyata sudah tewas dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya, keduanya mungkin menolak atau melawan sehingga setelah dipaksa mereka lalu dibunuh secara kejam oleh dua orang manusia iblis tadi. Oleh karena dua orang lawannya sudah melarikan diri, dara itu pun lalu meloncat keluar dari pintu kamar menara.
"Iblis betina, hendak lari ke mana kau?" Terdengar bentakan-bentakan dan serombongan anak panah menyambutnya dari samping!
"Ehh, gila...!" Dara itu berseru.
Akan tetapi karena puluhan batang anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya itu tak mungkin dapat diusirnya hanya dengan seruan, terpaksa dia melempar diri ke belakang lantas bergulingan. Dia lupa bahwa dia bukan sedang berada di atas tanah, melainkan di wuwungan rumah dekat menara kuil, maka tentu saja susunan genteng yang tidak rata itu membuat dia terguling-guling kacau dan genteng-genteng banyak yang patah dan pecah. Setelah dia moloncat bangun, dia sudah dikepung dan dikeroyok oleh barisan tombak!
"Eh, eh, bagaimana ini?" teriaknya akan tetapi dia pun harus cepat mengelak ke sana sini karena para prajurit itu tidak mau banyak cakap lagi.
Semua orang mengira bahwa tentu gadis ini iblis betina yang sudah menyamar sebagai Dewi Laut. Apa lagi ketika beberapa orang di antara mereka mengenali gadis ini seperti yang digambarkan sebagai gadis aneh menunggang kuda yang sudah mengacau di pintu gerbang kemarin dulu, mereka merasa yakin bahwa gadis inilah iblis betina itu.
Repot jugalah gadis itu dikeroyok orang sedemikian banyaknya. Apa lagi karena dia tidak ingin melukai mereka, apa lagi membunuhnya. Dengan gerakan amat lincah dia mengelak ke sana-sini, membagi-bagi tendangan hanya untuk merobohkan beberapa orang namun tanpa mendatangkan luka berat.
Kalau kemarin dulu dia mematahkan semua gigi di mulut kepala jaga yang gendut, hal itu adalah karena si gendut bersikap terlalu kurang ajar kepadanya. Kini dia tidak tega untuk mencelakai orang-orang yang mengeroyoknya, maklum bahwa mereka itu salah duga dan mengira dialah penjahatnya yang mengacau di kuil itu.
Pada saat para penjaga yang bersembunyi di bagian lain bermunculan, gadis itu tiba-tiba masuk kembali ke dalam kamar menara. Semua orang tidak berani mengejarnya masuk, hanya mengurung menara itu dengan senjata siap di tangan.
Tidak lama kemudian pintu kamar itu terbuka dari dalam, lalu muncullah seorang pemuda tampan! Pasukan yang memegang busur dan siap dengan anak panah mereka tidak jadi melepaskan anak panah. Dan dari belakang terdengar seruan Thian Kong Hwesio, "Tahan, jangan serang, dia murid pinceng!"
Akan tetapi pemuda yang dikenalnya sebagai muridnya karena mengenakan pakaian satu di antara dua pemuda itu, kini berlari ke depan, menggunakan kesempatan selagi orang lengah, meloncat lantas melayang di atas kepala mereka ke arah wuwungan kuil di depan kemudian berloncatan dan lenyap ditelan malam yang sudah hampir terganti pagi namun masih amat gelap itu. Barulah Thian Kong Hwesio sadar bahwa yang disangka muridnya tadi bukanlah muridnya, melainkan gadis itu yang mengenakan pakaian muridnya itu!
Para perwira memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Pengejaran cepat dilakukan akan tetapi para pengejar itu meraba-raba di tempat gelap, tidak tahu ke arah mana gadis itu menghilang.
Sementara itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw memasuki kamar menara. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat dua orang murid yang sudah menjadi mayat itu. Semua hidangan yang dibawa oleh dua orang pemuda itu telah habis dimakan, akan tetapi buntalan emas masih berada di situ, tidak sempat dibawa pergi penjahat.
Sementara itu, dalam sebuah hutan yang terdapat di luar kota Ceng-tao, Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo saling berbantahan dan saling menyalahkan.
"Dasar engkau yang mata keranjang dan ceroboh!" Si muka hitam itu mengomel. "Kalau memang engkau ketagihan pemuda, mengapa tidak menangkap saja beberapa orang lalu membawa mereka ke tempat sepi seperti hutan ini? Kenapa harus dinikmati di kuil yang keramat? Engkau mencari penyakit saja!"
Wanita itu kini sudah menanggalkan kedoknya dan jika orang melihat mukanya pada saat itu baru mereka akan tahu kenapa wanita ini suka memakai kedok. Kiranya pipi kanannya terdapat codet atau luka bekas guratan yang dalam dan panjang hingga membuat muka itu tampak menyeramkan dan menjijikkan. Sambil meludah Hwa-hwa Kui-bo menudingkan telunjuknya ke arah hidung kakek itu.
"Cih, tak tahu malu! Engkau sendiri juga ikut menikmatinya, sekarang ingin menyalahkan aku? Keparat, apakah engkau hendak mencoba-coba kepandaianku?"
Kakek itu menghela napas panjang kemudian melambaikan tangannya dengan hati kesal. "Sudahlah, jangan bicara lagi mengenai kepandaian. Kau kira kita ini memiliki kepandaian macam apa? Mengeroyok seorang bocah bertangan kosong saja tak becus mengalahkan dia!"
Ucapan ini membuat nenek itu teringat dan berdiam diri, tidak jadi menghunus pedangnya tetapi nampak termangu-mangu. "Aku masih heran, siapakah gerangan bocah setan yang mempunyai kepandaian sehebat itu? Aku masih heran dan sungguh aku sama sekali tak dapat mengenali ilmu silatnya yang aneh-aneh itu..."
"Aku sendiri pun heran. Ada beberapa gerakannya yang mengingatkan aku akan ilmu-ilmu mukjijat dari Pendekar Sadis..."
"Ehhh...!" Wanita itu hampir menjerit saat mengeluarkan seruan itu. Bagaimana pun juga, sebutan Pendekar Sadis membuat jantungnya seperti akan copot rasanya.
"Mungkin juga bukan, karena di dalam gerakan-gerakannya terdapat unsur ilmu-ilmu silat tinggi yang lain seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain. Sungguh bocah itu seperti setan saja. Tidak salah lagi! Dia tentu puteri atau murid seorang sakti. Karena itulah, kita harus berhati-hati, kita harus bersatu karena bukankah sekarang ini orang-orang golongan putih yang menentang kita sedang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu?"
Wanita itu mengangguk-angguk. "Memang kedatanganku ke sini juga hendak menyelidiki kebenaran berita itu. Kita tidak boleh tinggal diam saja kalau benar mereka mengadakan pertemuan. Apakah saudara-saudara kita yang lain juga akan datang?"
"Kurasa demikian. Bahkan datuk-datuk kita pun kabarnya akan muncul, untuk melakukan penyelidikan sendiri."
"Benarkah begitu? Aihh, bakalan ramai kalau begitu! Memang mereka, golongan putih itu, semakin congkak dan takabur saja. Kalau kita tidak melawan mereka, tentu golongan kita dianggap golongan tahu dan sudah tidak mempunyai jagoan-jagoan lagi." Hwa-hwa Kui-bo mengepalkan dua tinjunya, ada pun sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi penuh kebencian.
"Kalau mereka datang, tentu muncul di Ceng-tao. Akan tetapi karena kita sedang menjadi buruan di Ceng-tao, sebaiknya kita mendekati Puncak Bukit Perahu itu sambil menunggu kedatangan para sahabat kita. Bagaimana pun juga, tentu akhirnya mereka semua akan berdatangan ke bukit itu pula."
Wanita itu mengangguk. Mereka lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan menuju ke utara.
Pada keesokan paginya, di pasar kota Ceng-tao. Pagi itu pasar ini tetap ramai seperti biasa, seakan-akan malam tadi tidak pernah terjadi sesuatu. Akan tetapi, di sela-sela percakapan sehari-hari dan urusan perdagangan, ramai pula orang bicara tentang peristiwa di kuil Dewi Laut di mana terjadi pertempuran yang menewaskan belasan orang prajurit keamanan.
Maka bermacam-macamlah pendapat orang tentang peristiwa itu. Yang kepercayaannya terhadap kesaktian Dewi Laut sudah berlebihan, kukuh berpendapat bahwa semuanya itu adalah akibat kemarahan Dewi Laut yang hendak menghukum pendeta kuil serta para prajurit.
"Kalau bukan Sang Dewi, mana mungkin ada wanita yang dapat menghindarkan diri dari kepungan para prajurit?"
"Dan kabarnya, wanita itu hanya tertawa saja pada waktu dihujani anak panah!" Yang lain menambahkan, memperkuat kepercayaan orang-orang terhadap Dewi Laut.
Biar pun urusan itu ramai dibicarakan orang, pada akhirnya mereka yang berada di pasar ini sibuk dengan urusan mereka sendiri, urusan memperoleh untung sebanyak-banyaknya atau mencari kesenangan melalui belanjaan.
Ada yang secara royal membeli pakaian-pakaian mahal, sedangkan di sudut sana, masih di pasar itu pula, terdapat banyak orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian yang telah berbulan-bulan tak pernah diganti, karena bajunya memang hanya yang melekat di badan itulah.
Ada pula orang-orang yang sedang menikmati masakan-masakan lezat berharga mahal di restoran-restoran, makan dengan lahapnya, tidak peduli akan pandang mata yang disertai air liur ditelan dari para pengemis tua muda yang berkeliaran di situ dengan perut kosong menanggung lapar.
Sekelompok anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan yang dibuang oleh pelayan restoran ke tempat sampah. Sejenak sang pelayan itu berdiri sambil menonton anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan bagai sekelompok anjing kelaparan berebut tulang. Tentu saja sisa-sisa makanan itu bercampur dengan kotoran dan tanah sesudah dibuang ke tempat sampah. Agaknya, memberikan saja makanan itu kepada anak-anak pengemis secara demikian saja tidak memuaskan hati si pelayan ini.
Ada jembel tua yang duduk bersandar tembok di sudut, tenang-tenang saja memandangi semua pengemis yang bekerja bermodalkan suara mengharukan untuk minta dikasihani. Kadang-kadang tampak ada pengemis datang menghampirinya dan memberikan sesuatu, makanan atau uang kecil kepada pengemis tua ini.
Ia adalah seorang raja kecil kaum pengemis di pasar itu yang melindungi para pengemis. Tentu saja dia sendiri tidak perlu mengemis karena para anak buahnya selalu membagi hasil kepadanya. Ada pula yang terlihat bermalas-malasan karena telah memperoleh hasil mengemis dan perutnya sudah kenyang. Pekerjaan yang sangat mudah itu benar-benar membuat mereka menjadi malas.
Ada pula seorang ibu pengemis memondong anak bayinya yang kurus, merengek-rengek menarik perhatian dan belas kasihan dari orang pasar, menceritakan bahwa bapak anak itu sudah mati dan kini dia hidup menjanda. Padahal, seorang laki-laki pengemis lain yang menjadi bapak anak itu pada saat itu sedang bermain judi kecil-kecilan di belakang pasar bersama kawan-kawan pengemis lainnya.
Akan tetapi, sebagian besar dari pada mereka yang berada di pasar itu, baik para penjual mau pun para pembeli, telah terbiasa dengan pemandangan ini dan tidak mempedulikan. Mereka melihat banyaknya pengemis di pasar ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pasar, dan andai kata pada suatu hari tidak ada seorang pun pengemis di situ, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran, bahkan mungkin akan merasa kehilangan.
Di antara orang yang berjubelan itu, di depan sebuah restoran, nampak seorang pemuda jembel penuh bercak-bercak lumpur dan arang, sedang duduk nongkrong memandang ke arah dua orang anak jembel kakak beradik yang sedang menangis sambil berangkulan. Si adik menangis dan si kakak menghiburnya.
"Mereka... mereka memukulku...!" rengek adiknya.
"Sudahlah, mereka pun lapar seperti kita. Nanti kalau ada sisa makanan lagi, biarlah aku yang akan memperebutkannya untukmu. Diamlah...," kakaknya menghibur.
Tanpa terasa lagi, jembel muda yang sedang nongkrong itu mengusap air matanya yang menetes turun dari kedua matanya ke atas pipi, menggunakan punggung tangan kirinya yang kotor sehingga pipinya menjadi semakin kotor lagi. Di lain saat, pemuda jembel ini sudah bangkit dan mengeluarkan sebuah mata uang kecil dari saku bajunya yang butut, dan dengan sepasang mata masih basah dia berkedip-kedip dan tersenyum seorang diri, kemudian dengan lenggang dibuat-buat pergilah dia menghampiri kedai bakpao di mana tukang bakpao yang berperut gendut sekali sedang memanaskan bakpaonya.
Aroma sedap keluar ketika uap dari tempat pemanasan bakpao itu mengepul. Pemuda jembel itu menyedot-nyedot hidungnya sambil berdiri di depan kedai itu dan memandang ke arah bakpao-bakpao yang bulat putih dan panas beruap itu.
Melihat ada seorang pemuda jembel berpakaian kotor berdiri di depan kedainya, si perut gendut segera menghardik, "Heh, mau apa kau berdiri di sini? Pergi!"
"Toapek, aku mau membeli bakpao, bukan mau mengemis." Sambil berkata demikian, dia menyodorkan uang logam kecil yang ada di telapak tangan kanannya. "Aku mau beli lima butir bakpao terisi daging dengan uang ini."
Si gendut cepat memandang, tapi begitu melihat uang logam di tangan pengemis itu, dia mencak-mencak dan mukanya yang gendut pula itu menjadi merah, matanya yang sipit coba dibelalakkan.
"Setan cilik! Uang itu untuk membeli sebutir saja masih kurang, dan kau minta lima butir? Itu bukan mengemis, juga bukan membeli, akan tetapi mau merampok!" Sepasang mata itu melotot dan tangannya dikepal dan diamangkan tinjunya ke arah pemuda jembel itu.
Pemuda jembel itu berjebi, menyeringai dan mentertawakan dengan sikap yang mengejek sekali. "Phuh, empek gendut! Perutmu begitu gendut tentu akibat kebanyakan untung dan kebanyakan makan bakpao! Huhh!"
Tentu saja penjual bakpao itu menjadi marah sekali. "Apa kau bilang? Ke sini kau! Biar kuputar batang lehermu sampai putus!"
"Coba saja kau lakukan itu kalau kau mampu menangkapku! Huh, siapa tidak tahu bahwa engkau mencuri kucing dan anjing tetangga, lalu kau sembelih dan dagingnya kau pakai jadi isi bakpao maka keuntunganmu berlimpah-limpah? Kau pencuri, penipu rendah!"
Tentu saja si tukang bakpao menjadi semakin marah. Cepat dia menyambar pisau besar pencacah daging bakpao, kemudian dia pun keluar dari kedainya melakukan pengejaran. Pengemis muda itu berlari, tidak terlalu jauh sambil mengejek memanaskan hati. Dia lari menyelinap di antara para pengunjung pasar dan setelah si gendut itu agak jauh, tiba-tiba dia menghilang. Selagi si gendut sambil memaki-maki mencari jembel muda itu, si jembel muda dengan jalan memutar, cepat kembali ke kedai dan diambilnya bakpao sekeranjang penuh, lalu dibagi-bagikannya bakpao-bakpao itu kepada anak-anak jembel yang berada di dalam pasar.
Ketika si gendut kembali ke kedainya lantas mencak-mencak melihat bakpao-bakpaonya hilang, jembel muda itu sedang tertawa terpingkal-pingkal saat melihat anak-anak jembel makan bakpao demikian lahapnya sampai leher mereka tercekik. Ketika tertawa, nampak deretan gigi-gigi putih dan bagi mereka yang pernah melihat mulut dan gigi ini tentu akan teringat bahwa mulut itu semalam pernah muncul di menara kuil Dewi Laut, dan dua hari yang lalu pernah muncul pula sebagai gadis aneh di pintu gerbang!
Melihat bakpao yang tadi dibagi-bagikan itu cepat habis dan anak-anak itu nampak masih belum kenyang, si jembel muda lalu menyelinap di antara orang banyak dan dia pun kini mendekati kedai bakpao itu. Berindap-indap dia mendekati kedai itu dari belakang, lantas mencuri beberapa butir bakpao yang ditumpuk di sebelah kiri si gendut itu.
Dia tidak tahu bahwa semenjak tadi gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata tiga orang lelaki setengah tua. Ketika dia kembali memegang sebuah bakpao yang masih terlampau panas, dia terkejut hingga mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya karena kepanasan, akan tetapi juga karena pundaknya dicengkeram orang dari belakang!
Si gendut tukang bakpao menoleh. Melihat betapa pemuda jembel yang tadi berada di situ sedang membawa beberapa buah bakpao dan sekarang kedua lengannya dipegangi oleh dua orang seperti menangkapnya, dia pun menjadi marah. "Nah, ini dia maling bakpaoku!" Dan dia pun mengangkat tangan untuk menampar muka pemuda jembel itu.
"Dukkk!"
Salah seorang di antara tiga orang laki-laki itu menangkis tamparan si gendut, membuat si gendut menyeringai kesakitan.
"Jangan sembarangan memukul!" hardik salah seorang di antara mereka. "Kami adalah perwira-perwira keamanan yang sedang melakukan operasi pembersihan!"
Mendengar bahwa tiga orang ini adalah perwira-perwira yang menyamar, si gendut tidak berani banyak cakap lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan hati berdebar tegang. Memang bukan hanya dia. Siapa pun juga di kota Ceng-tao, sekali berhadapan dengan petugas keamanan, menjadi kuncup hatinya dan tidak banyak tingkah.
Petugas keamanan amat ditakuti rakyat. Mereka dianggap sebagai golongan yang hanya mendatangkan kerugian saja, dianggap sebagai golongan orang yang tak dapat dipercaya dan yang lebih baik dijauhi atau dihindari.
Perasaan seperti ini akan selalu menyelinap dalam hati rakyat di negara mana pun juga selama para petugas keamanan lebih menonjolkan kekuasaan dari pada kewajibannya, membuat mereka menjadi para penindas dan pemeras yang bermodalkan kekuasaan dan kedudukan mereka.
Pemuda jembel itu pun yang tadinya mengerutkan alis dan bersikap melawan, sekarang menjadi lunak, apa lagi ketika melihat beberapa orang lain berpakaian preman mendatangi tempat itu dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah petugas-petugas keamanan yang menyamar.
Dan dia pun melihat betapa selain dia, ada pula beberapa orang jembel dan gelandangan yang ditangkapi. Sebab itu dia pun menyerah saja dibawa oleh para petugas itu, bersama tangkapan-tangkapan lainnya menuju ke sebuah gedung, yaitu gedung seorang pembesar yang menjadi komandan pasukan keamanan.
Tentu saja pembesar pasukan keamanan tidak tinggal diam begitu saja dengan adanya peristiwa di kuil Dewi Laut. Belasan orang anak buahnya tewas dan penjahat-penjahat itu tidak dapat tertangkap. Hal ini merupakan pukulan hebat dan mendatangkan rasa malu. Karena itu dia pun memerintahkan seluruh anak buahnya untuk disebar di semua tempat, menangkapi orang-orang yang dicurigai untuk ditanya mengenai penjahat-penjahat malam tadi, terutama tentang gadis yang pakaiannya seperti orang gelandangan.
Yang ditangkapi adalah pengemis-pengemis yang usianya sebaya dengan gadis itu, juga orang-orang yang patut dicurigai. Akan tetapi sebagian besar adalah orang-orang jembel dan gelandangan-gelandangan yang berada di pasar.
Bersama dengan pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi, jumlah tangkapan ada dua puluh orang lebih. Mereka digiring seperti ternak dibawa ke pejagalan. Di sepanjang jalan mereka menjadi tontonan orang maka sebentar saja tersiarlah berita bahwa para petugas keamanan menangkapi banyak pengemis muda.
Maka terjadilah pemeriksaan terhadap para tawanan itu, dilakukan di dalam gedung yang terletak di dalam daerah markas pasukan keamanan. Komandan keamanan sendiri yang langsung turun tangan melakukan pemeriksaan dengan keras.
Dia seorang komandan yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Dendam karena kematian banyak anak buah membuat komandan ini pusing dan murung, membuatnya menjadi semakin galak laksana harimau haus darah. Pemeriksaan dilakukan satu demi satu dan dengan kekerasan sehingga banyak di antara para tawanan harus menderita gebukan atau cambukan yang dilakukan bukan hanya untuk memaksa tawanan mengaku, akan tetapi juga terutama karena dorongan hati dendam yang hendak ditumpahkan.
Tukang-tukang siksa yang sudah siap dan berada di kamar pemeriksaan, agaknya sudah gatal-gatal tangan dan menurut kata hati mereka, semua tawanan harus disiksa sampai mengaku atau mampus! Maka di dalam ruangan pemeriksaan itu, setiap kali ada tawanan yang dibawa masuk, segera disusul oleh bentakan-bentakan, pukulan-pukulan dan diiringi raung-raung dan tangis kesakitan. Hal ini membuat hati para tawanan lainnya yang belum diperiksa menjadi panik dan ketakutan, sehingga belum juga diperiksa tapi sebagian telah menangis ketakutan.
Diam-diam pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi dengan cerdiknya menyelinap, dan tahu-tahu dia telah berada di paling ujung sehingga dia menjadi orang terakhir yang akan diperiksa. Ketika dia dibentak dan tangannya diseret oleh seorang petugas untuk dibawa masuk ke dalam kamar pemeriksaan, pada saat itu berkelebat bayangan orang di atas genteng dan ketika pemuda jembel itu mulai dihadapkan kepada komandan tinggi besar bermuka bengis, bayangan itu sudah bergantung dengan kedua kakinya pada atap di luar jendela, dan kepalanya yang tergantung ke bawah ini menjenguk dan mengintai dari luar jendela yang tinggi karena jendela ini adalah lubang angin. Pada saat itu, pemuda jembel telah dihujani bermacam pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.
"Siapa penjahat yang mengacau kuil Dewi Laut? Di mana tinggalnya dan siapa namanya? Siapa pula teman-temannya dan kenapa penjahat itu mengacau kuil dan membunuh para petugas keamanan? Hayo ceritakan semuanya kalau engkau tidak mau dirangket sampai pecah-pecah kulit punggungmu!" Komandan itu menghardik dan matanya yang besar itu seperti hendak meloncat keluar.
Ia sudah terlalu lelah dan pemuda jembel ini adalah orang terakhir yang diperiksanya. Dia telah melihat bahwa semua hasil pemeriksaan yang tadi tidak ada artinya, tak akan dapat mengungkapkan rahasia penjahat yang dicarinya. Hatinya kesal bukan main dan dia ingin menumpahkan semua kemarahannya pada pemuda jembel bertubuh kecil yang wajahnya berseri-seri dan cengar-cengir ini.
"Tidak tahu... saya tidak tahu..." berulang-ulang pemuda itu menjawab sambil menggeleng kepalanya.
Seorang di antara tiga orang perwira yang tadi menangkapnya, lalu berkata kepada sang komandan, "Ketika kami menangkapnya, dia sedang mencuri bakpao."
Komandan itu mengerutkan alisnya. Hampir dia membentak marah kepada bawahannya, mengapa pencuri bakpao saja ditangkap. Akan tetapi karena dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada tawanan terakhir ini, dia pun menghardik, "Bagus! Engkau pencuri, tentu engkau berkawan dengan maling itu! Siapa namamu?"
Pemuda jembel itu nampak gugup, akan tetapi menjawab juga dengan suara lirih, "Nama saya Cin..."
"Hanya Cin saja?"
"Hanya Cin saja."
"Apa she-nya (nama marganya)?"
"Sudah lupa."
"Brakkk!" Komandan itu menggebrak meja. "Jangan main-main kau! Mana mungkin orang lupa she-nya sendiri?"
"Tapi saya hanya mengingat bahwa nama saya Cin begitu saja, tuan besar."
"Hemm, baiklah. Sejak kapan engkau menjadi jembel?"
"Jembel? Apakah itu, tuan besar?"
"Jembel! Pengemis, tukang minta-minta tak tahu malu."
"Sejak lahir."
Sepasang mata yang sudah mulai lelah dan mengantuk itu kini terbelalak. Sebanyak itu orang yang telah diperiksanya, baru sekali ini menarik perhatiannya dengan jawaban yang aneh-aneh di luar dugaan.
"Sejak lahir jadi jembel? Pantas! Tak tahu malu! Nah, di mana rumahmu? Hayo mengaku terus terang sebelum kusuruh potong tanganmu yang suka mencuri itu!"
"Rumahku? Seluruh tempat di dunia ini adalah rumahku, tuan besar!"
Jawaban ini kembali membuat semua orang tertegun hingga komandan itu sendiri bangkit dari kursinya sambil mengepal tinju. "Engkau minta dipukul? Jawab yang benar!"
Wajah pemuda jembel itu kini berseri-seri seperti ketika dia mencuri bakpao di pasar tadi. Agaknya sudah pulih kembali kegembiraan hatinya dan dia tidak lagi dicekam rasa takut.
"Saya tidak berbohong. Gedung ini pun rumahku, bukankah buktinya aku sekarang tinggal di sini? Dan toko-toko di tepi jalan itu, tiap malam boleh saja aku tinggal di empernya, atau di bawah-bawah jembatan, semua tempat adalah tempat tinggalku..."
"Setan! Kau mau main-main?"
"Tidak, tuan besar. Dunia ini adalah rumahku, langit adalah atapku, bumi adalah lantaiku, pohon-pohon dan bunga-bunga adalah hiasan-hiasan rumahku, dan..."
"Cukup!" Komandan itu menghardik sambil menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi, lantas mengusap peluh dari dahinya.
Dia melirik ke arah para pembantunya dan mereka ini dengan penuh arti menyilangkan telunjuk ke depan dahi untuk menyatakan persangkaan mereka bahwa tentu jembel muda ini menderita penyakit miring otak.
"Jadi engkau adalah seorang gelandangan, ya? Seorang tuna wisma yang merantau ke mana-mana. Nah, engkau tentu mengenal penjahat yang semalam mengacau di kuil Dewi Laut, bukan? Hayo mengaku!" Komandan itu memberi isyarat dan dua orang tukang siksa sudah melangkah maju menghampiri.
"Aku tahu... aku tahu..." Pemuda itu berseru ketika melihat dua orang tukang siksa yang membawa cambuk yang sudah berlepotan darah itu menghampirinya.
"Bagus sekali!" Wajah komandan itu berseri-seri. Akhirnya berhasil juga pemeriksaan ini, pikirnya, "Hayo engkau katakan yang jelas siapa mereka itu, dan engkau bukan saja akan kubebaskan, malah akan kuberi hadiah pakaian dan uang."
"Aku tahu... seperti yang kudengar bahwa Sang Dewi Laut mengamuk di kuil, kemudian membunuh-bunuhi orang-orang yang dosanya terlalu banyak. Jadi yang mengacau adalah para hwesio dan nikouw sendiri dibantu oleh pasukan keamanan, merekalah yang dihajar oleh Sang Dewi karena mungkin terlalu banyak dosa..."
"Brakkk...!" Kembali komandan itu menggebrak meja dan mukanya menjadi pucat saking marahnya. "Hajar bocah ini! Beri dia dua puluh lima kali cambukan yang keras!"
Dua orang algojo itu menyeringai. Dua puluh lima kali cambukan pada tubuh yang kecil ini berarti mencambukinya sampai mati! Mereka menangkap tangan pemuda itu dan seorang di antara mereka menghardik,
"Buka bajunya!"
"Jangan... ahh, jangan... dibuka. Aku seorang wanita...!" Pemuda jembel itu berseru dan kini suara aslinya keluar, suara seorang gadis!
Dua orang algojo itu tertegun, cepat melepaskan tangannya saking kaget dan heran. Juga komandan itu sendiri memandang dengan mata terbelalak.
"Perempuan...? Kau perempuan yang menyamar...? Ah, sungguh mencurigakan...! Kalau begitu... aughhh...!"
Tiba-tiba komandan itu yang tadinya bangkit berdiri, menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba saja dia merasa kepalanya seperti akan meledak dan pening bukan main. Dia memejamkan mata dan menggerakkan tangan kepada para pembantunya.
"Bawa dia pergi... tahan dia di dalam sel... dia orang penting, besok pemeriksaan akan kulanjutkan, kepalaku pusing..."
Para prajurit pembantu lalu menyeret gadis yang menyamar sebagai pemuda jembel itu dan menjebloskannya ke dalam sel yang gelap. Pemuda jembel itu memang sebenarnya dara remaja yang pernah muncul naik kuda di pintu gerbang, juga ialah dara remaja yang semalam muncul di kuil Dewi Laut dan menandingi Hwa-hwa Kui-bo dan Kow-pian Hek-mo secara lihai itu.
Dengan wataknya yang bengal dan ugal-ugalan, sekarang dia sengaja membiarkan dirinya ditawan dan diperiksa, walau pun kalau dia menghendaki maka setiap waktu dapat saja dia meloloskan dirinya. Kini dia malah membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel yang amat kuat dan dapat mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri.
Semua ini sengaja dilakukan oleh dara yang bengal ini karena tadi dia melihat bayangan pemuda gagah yang bergantung di luar jendela. Dan dia melihat pula ketika pemuda itu meniupkan sebutir benda kecil yang mengenai jalan darah di dekat pelipis kepala sang komandan, membuat komandan itu kontan terserang rasa pening yang hebat.
Dia merasa amat tertarik melihat sepak terjang pemuda itu dan ia ingin sekali mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya, maka dia sengaja membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel tahanan yang gelap! Dia pun lantas menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda berpakaian putih bersih yang nampaknya lihai itu dan apa pula maunya.
Para pembaca sendiri tentu sudah bertanya-tanya sambil menduga-duga siapa gerangan dara remaja yang aneh ini, yang kadang berpakaian laksana seorang gadis ugal-ugalan atau memang dia berwatak ugal-ugalan, dan kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel.
Siapakah dia dan betapa mengagumkan dan mengherankan bahwa seorang dara semuda dia, usianya baru antara lima belas dan enam belas tahun, tetapi sudah demikian lihainya sehingga mampu menandingi pengeroyokan dua orang tokoh iblis seperti Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo, dua di antara Cap-sha-kui yang ditakuti dunia kang-ouw itu?
Kelihaian dara remaja ini tidaklah mengherankan apa bila kita ketahui siapa sebenarnya dia. Ia adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis! Bagi para pembaca yang belum pernah membaca kisah Pendekar Sadis sebaiknya mengenalnya sekarang juga.
Pendekar Sadis bernama Ceng Thian Sin, masih berdarah kaisar karena mendiang ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis mempunyai ilmu kepandaian yang amat luar biasa, amat banyak dan semua ilmunya adalah ilmu yang tinggi dan luar biasa. Bahkan dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, ilmu yang paling tinggi seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, bahkan Thi-khi I-beng yang sangat mukjijat itu sudah dikuasainya.
Dia mewarisi pula ilmu dari pendekar sakti Yap Kun Liong, yaitu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang. Juga dari neneknya, pendekar wanita Cia Giok Keng, dia mewarisi pedang Gin-hwa-kiam dan ilmu memainkan sabuk sebagai senjata. Untuk memperlengkap semua ilmunya, dia sudah pula mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari kitab tulisan Bu Beng Hud-couw, yaitu Ilmu Hek-liong Sin-ciang yang hanya terdiri dari delapan jurus, Ilmu Hok-te Sin-kun dan siulian menghimpun tenaga sakti berjungkir balik.
Sebagai puteri tunggal dari Pendekar Sadis yang demikian lihainya, sudah barang tentu dara itu lihai bukan main, mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya. Akan tetapi, dara remaja yang amat berbakat ini menjadi makin lihai karena ibunya pun seorang yang lihai sekali, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dan hanya berselisih sedikit saja kalau dibandingkan dengan ayahnya.
Ibunya bernama Toan Kim Hong, juga memiliki darah bangsawan karena ayahnya adalah seorang pangeran pula. Toan Kim Hong ini pernah menyamar sebagai nenek dan bahkan dahulu sudah berhasil menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan dengan julukan Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu-ilmunya juga hebat dan terutama sepasang Hok-mo Siang-kiam yang hitam itu amatlah ampuhnya. Ginkang-nya amat tinggi bahkan dalam hal kecepatan gerak, dia masih mengalahkan suaminya.
Ilmu silatnya Hok-mo Sin-kun juga amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Selain ilmu silat tinggi ini, juga dengan sinkang-nya yang kuat, dia pandai bermain silat Bian-kun dan tangannya dapat berubah lunak seperti kapas, namun mengandung tenaga mukjijat yang akan mengalahkan tenaga-tenaga yang tampaknya kuat. Senjata rahasianya jarum merah juga berbahaya, namun lebih berbahaya lagi adalah rambutnya. Dia bisa mempergunakan rambutnya sebagai senjata ampuh yang dapat merampas senjata lawan!
Demikianlah sedikit perkenalan dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin beserta isterinya, Toan Kim Hong atau dulu dikenal sebagai nenek Lam-sin. Mereka berdua hanya memiliki seorang anak, yaitu dara remaja yang kini berusia lima belas tahun dan bernama Ceng Sui Cin itu. Kini Pendekar Sadis sudah berusia empat puluh lima tahun dan isterinya yang lebih tua dua tahun itu masih kelihatan sangat cantik seperti wanita berusia tiga puluhan saja.
Sebagai puteri suami isteri pendekar yang demikian tinggi ilmunya, tidak mengherankan jika dalam usia semuda itu, Sui Cin sudah amat pandai. Ayah bundanya adalah manusia-manusia bebas, maka ia pun menjadi manusia bebas dan wajar. Bahkan ia diperbolehkan merantau sesuka hatinya karena ayah bundanya merasa yakin bahwa kesadaran tentang hidup yang sudah ditanamkan semenjak kecil kepada puterinya itu, dapat membuka mata puteri mereka dan dapat membuat Sui Cin selalu waspada akan segala hal yang terjadi, baik di dalam mau pun di luar dirinya.
Akan tetapi karena pada waktu muda mereka, Ceng Thian Sin mau pun Toan Kim Hong adalah petualang-petualang besar, maka agaknya darah petualang mengalir dalam tubuh Sui Cin. Dia suka bertualang serta menempuh bahaya-bahaya, bersikap ugal-ugalan dan tidak peduli akan tanggapan orang lain. Namun di balik semua ini, dia tetap seorang yang berwatak pendekar, yang selalu menentang kejahatan, menentang penindasan dan selalu siap untuk membela kaum yang lemah tertindas.
Di dalam perantuannya yang telah memakan waktu tiga bulan itu, dia tiba di Ceng-tao dan dia sengaja menuju ke sini karena ia mendengar kabar angin di dunia kang-ouw bahwa di Bukit Perahu akan diadakan pertemuan antara para tokoh pendekar yang suka menyebut dirinya golongan putih atau golongan bersih.
Ayah bundanya sendiri tak pernah mengaku bahwa mereka adalah orang-orang golongan bersih. Akan tetapi ia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang belum pernah dijumpainya. Bahkan dia belum pernah berjumpa dengan para tokoh sakti yang masih dekat hubungannya dengan ayah bundanya. Hal ini adalah karena nama ayahnya sebagai Pendekar Sadis agaknya membuat para tokoh bersih itu merasa segan mendekatinya.
Biar pun usianya masih amat muda, Sui Cin sudah cukup dewasa untuk dapat menduga bahwa ayah bundanya dapat digolongkan sebagai tokoh putih, akan tetapi dapat disebut tokoh hitam pula karena ayah bundanya tidak pernah menentang golongan hitam secara berterang.
Dan diam-diam dia pun merasa sebal terhadap para pendekar yang suka menyebut diri mereka golongan bersih, golongan putih, atau kaum pembela keadilan dan kebenaran! Ia menganggap mereka itu terlalu congkak dan tinggi hati, merasa benar sendiri, baik sendiri dan mau menang sendiri.
Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sebuah pulau kosong yang kini berobah menjadi pulau yang indah, hidup sebagai orang yang berkecukupan. Di pulau itu mereka bangun sebuah gedung yang mungil, dikelilingi rumah-rumah tempat tinggal mereka yang menjadi pelayan atau anak buah.
Sejak kecil Sui Cin hidup sebagai anak kaya. Akan tetapi sungguh aneh, anak ini merasa jemu sehingga di dalam perantauannya dia selalu menyamar sebagai seorang miskin. Dia merasa lebih bebas dalam pakaian butut, lebih dapat menikmati kehidupan sebagai orang miskin dari pada kalau dia menjadi puteri kaya yang melakukan perjalanan dalam kereta indah diiringi pasukan pengawal.
Kesukaan dara itu melihat tempat-tempat lain tidaklah mengherankan. Setiap orang selalu ingin menyaksikan tempat-tempat lain. Dan tempat sendiri, betapa pun indahnya, selalu menimbulkan kebosanan apa bila tidak sekali-kali ditinggalkan untuk menyaksikan tempat lain.
Pulau kosong yang ditinggali oleh keluarga Pendekar Sadis itu sebenarnya sangat indah, bernama Pulau Teratai Merah. Suami isteri itu sudah mengembang biakkan bunda-bunga teratai merah di situ sehingga pulau itu kini penuh dengan bunga-bunga teratai merah yang tumbuh subur di empang-empang air yang mereka buat di seluruh permukaan pulau.
Ceng Sui Cin yang berusia lima belas tahun lebih itu seperti setangkai teratai merah yang baru mekar. Wajahnya cantik jelita dan manis sekali seperti wajah ibunya, tapi sepasang matanya bersinar tajam seperti mata ayahnya.
Sepak terjangnya di pintu gerbang Ceng-tao dan di kuil Dewi Laut membuktikan bahwa ia adalah seorang dara yang gagah, ringan tangan tetapi adil dan hatinya tidak kejam, tidak mudah membunuh orang. Hal ini, yaitu jangan mudah membunuh, ditanamkan oleh ayah bundanya sejak ida kecil.
Ayah bundanya amat bengis pada waktu muda, bahkan ayahnya dijuluki Pendekar Sadis karena terlampau suka membunuh. Agaknya mereka menyesali perbuatan itu kemudian menanamkan ke dalam batin anak tunggal mereka agar jangan terlalu mudah membunuh orang.
Demikianlah sekelumit keterangan tentang siapa adanya gadis yang bernama Ceng Sui Cin itu. Kini sebagai akibat dari kebengalan dan keinginan tahunya, dia sudah dijebloskan ke dalam sel besi yang sempit dan gelap, tanpa tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.
Sesudah para petugas itu pergi, diam-diam Sui Cin lalu mencoba kekuatan pintu sel itu. Ternyata pintu baja itu amat kuat sehingga tak mungkin membongkarnya dengan tenaga kasar saja. Akan tetapi, karena dia tidak dibelenggu, dia pun merasa tenang dan leluasa.
Dicobanya pula kekuatan jeruji besi yang sebesar-besar lengannya itu. Memang tergetar sedikit, akan tetapi tidak melengkung. Dia menghentikan percobaannya dan menghimpun udara untuk memulihkan pernapasannya yang agak memburu. Sementara itu di luar mulai gelap sehingga di dalam sel yang tidak diberi penerangan itu pun menjadi semakin gelap.
"Sialan, lilin pun tidak diberi!" Sui Cin mengomel akan tetapi dia diam saja, bahkan segera duduk bersila di tengah sesempit itu untuk menghimpun tenaga.
Dia menanti karena merasa yakin bahwa tentu pemuda yang nampak bergantung di luar jendela sore tadi tidak akan berhenti sampai di situ saja, dan dia ingin melihat apa yang akan dilakukan olehnya. Kalau sampai semalam ini dia tidak muncul, terpaksa besok pagi dia akan mencari daya upaya untuk dapat meloloskan diri.
Akan tetapi ternyata dia tidak perlu menunggu terlampau lama. Menjelang tengah malam, tiba-tiba pendengarannya yang amat tajam bisa menangkap suara angin dari tubuh orang yang berkelebat dan tidak lama kemudian wajah pemuda sore tadi muncul di depan jeruji pintu sel. Penerangan yang ada di luar pun hanya remang-remang saja sehingga wajah pemuda itu tidak nampak jelas. Akan tetapi Sui Cin yakin bahwa tentu inilah pemuda yang sore tadi bergantung di luar jendela dan telah menyemburkan benda kecil yang mengenai pelipis komandan yang memeriksanya.
"Sssttt...!" Pemuda itu memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut pada saat Sui Cin bangkit menghampiri daun pintu. "Aku datang untuk membebaskanmu dari tempat ini..."
Melihat sikap pemuda itu dan mendengarnya berbisik-bisik serlus, Sui Cin yang biasanya menghadapi segala sesuatu dengan gembira dan lincah, secara diam-diam tersenyum dan merasa geli.
"Bagaimana aku dapat keluar dari sini?" bisiknya juga, ingin tahu bagaimana akal pemuda itu untuk membebaskannya. Kalau dia menjadi pemuda itu, untuk membebaskan tawanan dia akan merobohkan penjaga, merampas kuncinya kemudian membuka pintu tahanan itu dengan kunci.
"Begini..." kata pemuda itu sambil memegang dua buah jeruji baja dengan dua tangannya, lalu dia mengerahkan tenaga menariknya ke kanan kiri.
Melihat hal ini, Sui Cin memandang penuh perhatian dan kagumlah dara remaja ini melihat betapa jeruji besi sebesar lengannya itu kini melengkung ke kanan kiri! Dia sendiri sudah mencobanya tadi dan mendapat kenyataan betapa kuatnya baja itu. Akan tetapi pemuda ini bisa menariknya sampai melengkung. Hal ini membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat.
"Cepat keluarlah, kita pergi dari sini," kata pemuda itu setelah dua batang jeruji ditariknya bengkok dan membuat lubang yang cukup besar untuk dapat dilalui Sui Cin.
Dara itu merangkak melalui lubang itu dan berhasil keluar dari kamar tahanan sempit. Dia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian pemuda yang menolongnya ini, maka ia pun lalu berkata dengan suara lantang sekali,
"Anjing-anjing di sini sungguh menjemukan sekali! Orang-orang tidak bersalah ditangkapi dan disiksa..."
"Ssttt...! Harap jangan keras-keras kau bicara!" Pemuda itu berkata lirih.
"Mengapa tidak boleh keras-keras? Biar mereka semua mendengarnya. Memang anjing-anjing itu kurang ajar sekali, terutama srigala gendut yang melakukan pemeriksaan!"
"Hushhh...!" Pemuda itu mencegah dan memegang lengan Sui Cin, akan tetapi terlambat. Teriakan-teriakan gadis itu sudah terdengar oleh para penjaga lantas dari segala penjuru berdatangan mengepung tempat itu.
"Tawanan lolos...!"
"Kepung! Tangkap...!"
Para penjaga berteriak-teriak dan mengepung pemuda itu bersama Sui Cin yang secara diam-diam tersenyum gembira. Sekali ini ia akan dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu menghadapi pengeroyokan para penjaga yang telah mengepung ketat.
Pemuda itu mengerutkan alisnya dan menggeleng-gelengkan kepala dengan gemas. Kini para penjaga menyalakan obor yang menerangi tempat itu sehingga Sui Cin bisa melihat wajah pemuda itu dengan lebih jelas. Wajah yang sederhana saja, seperti wajah pemuda-pemuda biasa, namun sepasang mata itu bersinar tajam dan sikapnya penuh kegagahan.
Pemuda itu gagah perkasa, berpakaian rapi, matanya lebar tajam, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Biar pun raut mukanya tak bisa dinamakan tampan, akan tetapi dia pun tidak buruk sekali dan wajah itu membayangkan kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggung.
"Mari kita pergi...!" kata pemuda itu tiba-tiba sambil menarik lengan Sui Cin.
"Ke mana harus pergi?" Sui Cin pura-pura bertanya, karena sebenarnya dia belum ingin pergi sebelum menyaksikan bagaimana pemuda itu akan menghadapi para pengeroyok.
Pemuda itu nampak semakin tidak sabar. "Kau ikut saja denganku!"
Dan pada waktu itu, empat orang petugas sudah menubruk maju dengan senjata pedang mereka. Pemuda itu mengayunkan kakinya sehingga empat orang itu terpental dan roboh! Diam-diam Sui Cin terkejut. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Tenaga kakinya amat hebat dan cara melakukan tendangan yang membabat dari samping itu benar-benar merupakan gerakan kaki seorang ahli.
Akan tetapi pada saat itu si pemuda sudah merangkul pinggangnya dan mengempitnya lalu meloncat ke atas genteng! Beberapa batang anak panah melayang ke arahnya, akan tetapi dengan gerakan kaki, pemuda itu dapat meruntuhkan semua anak panah dan tidak lama kemudian, dia sudah membawa Sui Cin berloncatan dari atas wuwungan rumah ke wuwungan yang lain.
"Haiii...! Lepaskan aku...! Lepaskan...!" Sui Cin berteriak-teriak.
Ia sengaja meninggikan suaranya agar para pengejar tahu ke mana pemuda itu pergi. Dia masih belum merasa puas dan ingin melihat pemuda itu dalam sebuah perkelahian yang seru melawan pengeroyokan para penjaga keamanan. Akan tetapi, dia pun dapat merasa betapa cepatnya pemuda itu berlari sambil berloncatan di atas genteng, dan bahwa tidak akan mungkin para petugas itu dapat menyusulnya. Maka Sui Cin lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!"
Pemuda itu mengomel, "Aku ingin menolongmu, kenapa engkau malah bertingkah begini? Kalau aku melepaskanmu, bukankah engkau akan terjatuh dari atas wuwungan ini?"
Akhirnya, setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu baru melepaskan kempitannya. Begitu menginjak tanah, Sui Cin membanting-banting kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang kepadanya dengan tenang saja.
"Nona, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku pun tahu bahwa engkau adalah seorang yang baik hati dan pemberani. Akan tetapi sunggguh aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal budi."
"Tidak mengenal budi? Apa maksudmu berkata demikian?" Sui Cin bertanya galak.
"Engkau tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, juga tidak minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak meronta-ronta dan berteriak-teriak seakan-akan aku sedang menculikmu, bukan sedang menolongmu." Biar pun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya tetap halus dan sopan, tidak kasar.
Akan tetapi Sui Cin adalah seorang anak yang manja dan bengal. Dia bertolak pinggang dan memandang dengan mata terbelalak melotot. "Siapa yang minta kau tolong? Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku? Dan mengapa pula yang kau tolong hanya aku seorang? Mengapa yang lain-lainnya kau diamkan saja?" Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si pemuda.
Pemuda itu kelihatan kewalahan, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga, "Karena aku melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-kalau engkau akan celaka di tangan mereka."
"Huh, begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki biasa, tentu engkau tak akan peduli. Engkau hanya menjadi penolong perempuan saja? Hemm, di situ sudah terdapat pamrih yang kotor!"
Pemuda itu menjadi marah. Dia mengepal tinjunya, akan tetapi dia tetap dapat menguasai dirinya. Kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan berkata, "Sesukamulah. Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat tinggal!"
Pemuda itu meloncat, segera lenyap di dalam kegelapan malam. Gadis itu pun tertawa, dengan suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu menjadl merah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan tetapi dia tidak mungkin dapat memperlihatkan kemarahannya dengan bersikap kasar terhadap seorang wanita, apa lagi seorang gadis muda yang hidupnya demikian sengsara, sampai-sampai harus menyamar sebagai seorang pemuda untuk menghindarkan diri dari segala kesulitan. Seorang gadis yang tidak mempunyai tempat tinggal, yatim piatu dan miskin.
Dia percaya dengan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum. Biar pun hanya seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri dara remaja itu yang mengagumkan hatinya.
Dara itu demikian berani! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang pendekar. Wanita muda itu sama sekali tidak cengeng, dan sama sekali tidak kelihatan ketakutan walau pun terancam mala petaka hebat, walau pun bahkan sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main!
Pemuda itu lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan di mana dia tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal di situ karena dia sedang menanti datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga hari lagi di Puncak Bukit Perahu.
Ia datang sebagai wakil ayahnya, juga mewakili partai ayahnya yang berada jauh di utara, di luar Tembok Besar. Akan tetapi, biar pun dia mewakili ayahnya, dia kini hanya datang sebagai peninjau saja. Ayahnya melarangnya untuk melibatkan diri atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian dan permusuhan.
Pemuda ini bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dengan isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis telah diceritakan bahwa Cia Han Tiong putera dari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, telah menikah dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, di luar Tembok Besar. Mereka hidup rukun dan saling mencinta, dan dikaruniai seorang putera yang mereka beri nama Cia Sun.
Sebagai seorang pendekar sakti, tentu saja Cia Han Tiong mewariskan semua ilmunya kepada puteranya itu sehingga setelah berusia dua puluh dua tahun sekarang ini, Cia Sun sudah menguasai seluruh ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-ling-pai, kemudian mahir pula ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang.
Cia Sun berwatak pendiam dan serius, mirip seperti ayahnya. Namun perasaannya halus seperti ibunya dan walau pun dia tidak dapat disebut tampan, namun harus diakui bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar karena pendiam dan seriusnya.
Seperti diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis terdapat hubungan yang sangat erat. Mereka adalah saudara angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung saja. Biar pun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan, di antara keduanya tidak pernah sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih sayang antara saudara itu.
Tentu saja Cia Sun sama sekali tak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dikiranya yatim piatu dan miskin itu, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya itu dan keluarganya, namun dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari ayahnya.
Menurut keterangan ayahnya, pamannya yang berjuluk Pendekar Sadis itu sesungguhnya adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, juga mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biar pun belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat terhadap pamannya itu.
Pada saat isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan isterinya. Mereka hidup di tempat yang sangat sepi, jauh di utara dan tetangga mereka hanyalah penduduk liar di dusun-dusun yang amat jauh. Ketika mereka hidup berdua, hal ini sama sekali tidak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan tetapi sesudah Cia Sun terlahir, mereka membayangkan betapa akan sepinya kehidupan putera mereka kalau di tempat itu tidak ada manusia lain kecuali mereka bertiga saja.
Maka Cia Han Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai persilatan yang diberi nama Pek-liong-pang (Partai Naga Putih). Ia mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid.
Kini, sesudah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-liong-pang juga sudah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggota sebanyak lima puluh orang lebih. Belasan orang murid yang telah dianggap lulus oleh ketuanya kini telah pergi meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-liong-pang sehingga nama perkumpulan ini mulai dikenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan menjadi tempat penggemblengan calon-calon pendekar di utara.
Demikianlah keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang selalu mentaati pesan ayahnya tak mudah melibatkan diri dengan urusan orang lain. Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa ke markas, dia merasa penasaran dan tertarik sekali.
Diam-diam dia membayangi mereka dan dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tak sulit baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke dalam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan.
Ketika dia melihat Sui Cin diperiksa dan mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia pun merasa tidak tega. Tadinya dia memang mendiamkan saja pemeriksaan itu. karena dia mengnggap sudah selayaknya jika komandan itu melakukan penyelidikan karena dia pun sudah mendengar betapa banyak prajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di kuil Dewi Laut.
Akan tetapi, ketika melihat bahwa jembel muda itu adalah seorang dara, hatinya merasa tidak tega. Dia lantas turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang tepat mengenai jalan darah di dekat pelipis komandan gendut itu sehingga mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu disuruh tahan dalam sel.
Malam harinya dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa selain tabah, ternyata gadis itu memang amat aneh. Ditolong tidak bersyukur, ehh, malah marah-marah!
Akan tetapi sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik hatinya, membuat malam itu Cia Sun merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya pada diri orang lain, apa lagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mencemoohnya, terbayang terus di depan matanya.
"Ihh, mengapa aku ini?" pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibunya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah.
Dia selalu menolak karena memang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang dan ingin segera mempunyai cucu! Teringat akan hal itu, wajahnya menjadi merah.
Mengapa tiba-tiba saja dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah memasuki otaknya, dan apa hubungannya gadis jembel itu dengan pernikahan? Mukanya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apakah artinya ini? Inikah yang dinamakan jatuh cinta seperti yang sering kali dibacanya dari buku-buku namun yang belum pernah dirasakannya itu?
Sesudah dia termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-liong-pang, jatuh cinta kepada seorang gadis jembel! Baginya sendiri, seorang pendekar muda yang sejak kecil digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan, tidak membeda-bedakan antara kaya miskin.
Akan tetapi dia juga bisa melihat betapa nama besar Pek-liong-pang yang dijunjung tinggi oleh para pendekar murid Pek-liong-pang dan juga oleh orang-orang kang-ouw, dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi hingga membuat keluarga Cia terikat oleh belenggu kehormatan dan kemuliaan sehingga mereka tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau mencemarkan keharuman nama Pek-liong-pang itu!
Salah satu di antara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walau pun sifatnya lebih dalam dari pada kesenangan badan.
Pengejaran akan kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap kesenangan badan mau pun batin. Kita mengejarnya, jika sudah dapat kita hendak mempertahankannya. Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini jelas terdapat kekerasan. Pada waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan. Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin menghilangkannya dari tangan kita.
Betapa pun menyenangkan adanya sesuatu itu, baik bagi badan mau pun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan kekecewaan. Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini sangat menyenangkan, hari esok malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing di antara senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai, dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran setiap detik.
Alangkah bahagianya batin yang tak lagi dapat diombang-ambingkan senang dan susah, bagai sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah berubah biar pun ada badai dan ombak menggunung. Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur di antara ombak-ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan masih dapat menikmati hempasan gelombang yang bagaimana pun juga.
Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng-tiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun 1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di Tiongkok, yaitu bahwa tak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam (pembeser kebiri).
Kaisar Ceng Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat semua kepalsuan para thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka sekali meninggalkan istana secara diam-diam lalu melakukan perjalanan seorang diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan bersenang-senang. Dia mengabaikan urusan kerajaan sehingga kesempatan ini tentu saja digunakan sebaik-baiknya oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim.
Liu-thaikam ini berasal dari utara, dari sebuah keluarga petani miskin. Akan tetapi karena dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana semenjak remaja. Liu Kim sangat pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia sudah memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela dikebiri agar dapat mempertahankan kedudukannya.
Pelan-pelan dia mendapat kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaisar Ceng Tek diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang pada saat itu telah berhasil menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lantas diangkat menjadi kepala thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali karena para thaikam merupakan orang-orang kepercayaan kaisar.
Laki-laki yang dikebiri itu tidak dapat berhubungan dengan wanita lagi, akan tetapi karena nafsunya masih ada, maka sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu yang tidak dapat tersalurkan itu pada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali kepuasan akan kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, dan kepuasan karena memiliki banyak harta benda.
Rupanya inilah yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak dahulu selalu sangat licin serta pandai menguasai kaisar sehingga mereka mendapatkan kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri.
Pada waktu itu Kaisar Ceng Tek telah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun dia menjadi kepala thaikam. Kekuasaan mutlak mengenai urusan dalam istana berada di tangannya.
Kaisar muda usia yang lebih suka berkelana serta bersenang-senang itu percaya penuh kepada Liu-thaikam yang walau pun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingatkannya tentang kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda ini malah berbalik mendampratnya dan mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang dilaporkan itu.
Pemerintahan kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah Kerajaan Beng. Kaisar ini sangat lemah dan kurang memperhatikan kepentingan negara, walau pun dia bukanlah seorang kaisar yang lalim. Karena sikapnya yang kurang semangat, maka hal ini lalu menular kepada para pejabat sehingga secara keseluruhan, pemerintah kelihatan kurang peduli dan lemah.
Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat sembunyi mereka, kemudian merajalela karena alat-alat negara tak bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Maka gangguan-gangguan keamanan mulai berjangkit di mana-mana.
Yang amat menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis)! Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang kini bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar.
Mereka sama sekali tak merasa takut terhadap pemerintah yang lemah. Dan Cap-sha-kui ini bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat, akan tetapi berikut anak buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara, sampai wilayah kota raja.
Keadaan inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu yang terletak di lembah Sungai Huang-ho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao juga untuk ikut menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil dari ayahnya yang menjadi ketua Pek-liong-pang.
Memang sudah lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak lagi mencampuri urusan dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-liong-pang tersebar sebagai pendekar-pendekar di sekitar kota raja, maka Cia-pangcu kemudian mengutus puteranya sebagai wakil Pek-liong-pang, untuk melihat suasana dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.
"Kita masih belum tahu persoalannya secara mendalam," demikian Cia-pangcu memesan kepada puteranya. "Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan, lalu para pendekar berkumpul untuk merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semuanya ini ada hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Sebab itu, Sun-ji (anak Sun), engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri."
Demikianlah, ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin tanpa dia mengetahui bahwa dara jembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang sudah lama dikaguminya, yaitu Pendekar Sadis.
Sesudah melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tidak dapat tidur nyenyak karena selalu membayangkan wajah si gadis jembel, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu yang berada jauh di sebelah barat. Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada di tempat sunyi, Cia Sun lalu menggunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang saja.
Pemuda ini memang hebat. Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda yang semenjak kecil berolah raga. Wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya. Rambutnya digelung ke atas kemudian diikat sutera kuning. Pakaiannya yang sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam, demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera.
Ketika wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biar pun dia tidak memiliki wajah yang tampan, tetapi penuh kejantanan. Larinya cepat bukan kepalang. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis jembel yang semalam membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menunggang seekor kuda kecil cebol dan melarikan kudanya itu tidak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula. Gadis itu adalah Cui Sin dan dia pun tidak tahu bahwa baru saja pemuda yang semalam menolongnya itu juga melalui jalan ini dengan berlari cepat menuju ke barat.
Karena hari yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih kurang dua hari lagi, maka jalan masih sunyi dan selama itu Cia Sun belum berjumpa dengan pendekar lain yang dikenalnya atau orang-orang yang patut diduga pendekar. Selama seharian itu orang-orang yang ditemuinya di jalan hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao.
Ketika dia melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menembus hutan itu sebelum gelap karena kini matahari sudah condong ke barat. Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi sesudah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang amat besar sehingga nampak menyeramkan dan liar.
Bahkan jalan raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu. Agaknya para pejalan itu lebih senang mengambil jalan memutar dari pada harus memasuki hutan yang nampak liar itu. Akan tetapi Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja itu.
Di tempat tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutan-hutan yang lebih luas dan lebih liar lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat.
Akan tetapi, pada waktu dia tiba di tengah hutan di mana terdapat pohon-pohon raksasa, mendadak dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke bawah. Sebagai seorang pendekar yang sangat lihai, dengan kewaspadaan yang selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga, Cia Cun melempar tubuhnya ke belakang lalu berjungkir balik.
Betapa kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular besar. Badan ular itu melilit pada cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah. Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini tentu akan bisa menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orang pun akan dapat dimasukkan ke dalam perutnya.
Ular besar itu mengayunkan kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Jika dipukulkan seperti itu maka tangan pendekar muda ini hebatnya melebihi palu godam baja.
"Krekkk!"
Ular itu terkulai, lantas perlahan-lahan libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-geliat akan tetapi kepalanya tak dapat digerakkan lagi karena tengkuknya sudah patah-patah. Dan pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali.
Cia Sun memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia melihat betapa dirinya sudah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berbagai jenis dan warna, ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang memuakkan.
"Heh-heh-heh! Tar-tar-tarrr...! Hi-hik-hik!"
Cia Sun mengerutkan alisnya dan cepat menengok, sepasang matanya mencorong penuh kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bongkok tahu-tahu sudah berada di situ, memegang sebatang cambuk yang ekornya sembilan.
Nenek itu membunyikan cambuknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan nampak semacam asap yang mengepul dari ujung cambuknya, diseling suara ketawa terkekeh menyeramkan.
Dan Cia Sun melihat kenyataan bahwa ular-ular itu agaknya terkendali oleh suara ledakan cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular-ular ini dan sudah mengerahkan peliharaannya yang berupa ternak mengerikan ini untuk mengepung dirinya.
Dikatakan kuat, cara memukulnya sembarangan saja, akan tetapi jika dinamakan lemah, nyatanya pukulan itu mengandung tenaga yang amat ampuh. Jadi berat-berat ringan, juga ringan-ringan berat, cukup membingungkan kedua orang lawannya. Bukan hanya bingung dalam hal menerka ilmu silat lawannya itu, akan tetapi juga bingung bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu.
Bagaimana pun juga, dara remaja itu hanya bertangan kosong dan yang mengeroyoknya adalah dua orang tokoh yang amat lihai, dua orang di antara Cap-sha-kui yang memakai senjata ampuh andalan mereka masing-masing. Karena itu, akhirnya dara ini pun merasa bahwa permainannya sekali ini amat berbahaya.
Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara pekik melengking aneh dan pendek, lalu tahu-tahu dengan jari telunjuknya dia menyentil ujung cambuk yang menyambar ke arah lehernya. Ujung cambuk itu terpental ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo, sedangkan serangan pedang nenek itu dihindarkannya dengan mengelak ke belakang. Nenek yang mukanya disambar ujung cambuk itu tentu saja menjadi terkejut bukan main.
"Gila kau...!" bentaknya kepada kawannya karena dia mengira bahwa kawannya itu salah sasaran. Sebaliknya, kakek itu pun kaget dan cepat menarik cambuknya.
Kesempatan ini dipergunakan oleh dara itu untuk balas menyerang. Tangannya meluncur ke arah ubun-ubun kepala Hwa-hwa Kui-bo, ada pun kakinya menendang atau menyepak ke arah perut Koai-pian Hek-mo yang berada di belakangnya.
Serangan itu amat cepat gerakannya dan pada waktu kedua orang iblis itu meloncat untuk menghindar, tiba-tiba tubuh dara itu berjungkir balik, kepala di bawah kaki di atas, tangan kirinya menunjang badan. Sekarang tiba-tiba saja dia melanjutkan serangannya dengan tubuh terbalik, yaitu kakinya menyerang ubun-ubun kepala Koai-pian Hek-mo sedangkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Hwa-hwa Kui-bo! Dan hebatnya, di dalam serangan-serangannya itu terkandung hawa pukulan yang jauh lebih kuat dari pada tadi, sehingga meski pun kedua orang iblis itu berusaha menangkis dan mengelak, tetap saja mereka terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir roboh!
Melihat kehebatan serangan ini, wajah mereka menjadi pucat dan tanpa diberi komando, keduanya langsung meloncat keluar dari menara itu, menggunakan ginkang mereka yang hebat, sekali melayang mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam larut itu.
Dara muda itu tidak mengejar, melainkan menengok dan memandang ke arah dua orang pemuda yang berada di sudut kanan dan kiri, sekilas pandang saja, lalu dia membuang muka dengan kulit muka berobah merah dan juga alis berkerut.
Kedua orang pemuda itu ternyata sudah tewas dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya, keduanya mungkin menolak atau melawan sehingga setelah dipaksa mereka lalu dibunuh secara kejam oleh dua orang manusia iblis tadi. Oleh karena dua orang lawannya sudah melarikan diri, dara itu pun lalu meloncat keluar dari pintu kamar menara.
"Iblis betina, hendak lari ke mana kau?" Terdengar bentakan-bentakan dan serombongan anak panah menyambutnya dari samping!
"Ehh, gila...!" Dara itu berseru.
Akan tetapi karena puluhan batang anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya itu tak mungkin dapat diusirnya hanya dengan seruan, terpaksa dia melempar diri ke belakang lantas bergulingan. Dia lupa bahwa dia bukan sedang berada di atas tanah, melainkan di wuwungan rumah dekat menara kuil, maka tentu saja susunan genteng yang tidak rata itu membuat dia terguling-guling kacau dan genteng-genteng banyak yang patah dan pecah. Setelah dia moloncat bangun, dia sudah dikepung dan dikeroyok oleh barisan tombak!
"Eh, eh, bagaimana ini?" teriaknya akan tetapi dia pun harus cepat mengelak ke sana sini karena para prajurit itu tidak mau banyak cakap lagi.
Semua orang mengira bahwa tentu gadis ini iblis betina yang sudah menyamar sebagai Dewi Laut. Apa lagi ketika beberapa orang di antara mereka mengenali gadis ini seperti yang digambarkan sebagai gadis aneh menunggang kuda yang sudah mengacau di pintu gerbang kemarin dulu, mereka merasa yakin bahwa gadis inilah iblis betina itu.
Repot jugalah gadis itu dikeroyok orang sedemikian banyaknya. Apa lagi karena dia tidak ingin melukai mereka, apa lagi membunuhnya. Dengan gerakan amat lincah dia mengelak ke sana-sini, membagi-bagi tendangan hanya untuk merobohkan beberapa orang namun tanpa mendatangkan luka berat.
Kalau kemarin dulu dia mematahkan semua gigi di mulut kepala jaga yang gendut, hal itu adalah karena si gendut bersikap terlalu kurang ajar kepadanya. Kini dia tidak tega untuk mencelakai orang-orang yang mengeroyoknya, maklum bahwa mereka itu salah duga dan mengira dialah penjahatnya yang mengacau di kuil itu.
Pada saat para penjaga yang bersembunyi di bagian lain bermunculan, gadis itu tiba-tiba masuk kembali ke dalam kamar menara. Semua orang tidak berani mengejarnya masuk, hanya mengurung menara itu dengan senjata siap di tangan.
Tidak lama kemudian pintu kamar itu terbuka dari dalam, lalu muncullah seorang pemuda tampan! Pasukan yang memegang busur dan siap dengan anak panah mereka tidak jadi melepaskan anak panah. Dan dari belakang terdengar seruan Thian Kong Hwesio, "Tahan, jangan serang, dia murid pinceng!"
Akan tetapi pemuda yang dikenalnya sebagai muridnya karena mengenakan pakaian satu di antara dua pemuda itu, kini berlari ke depan, menggunakan kesempatan selagi orang lengah, meloncat lantas melayang di atas kepala mereka ke arah wuwungan kuil di depan kemudian berloncatan dan lenyap ditelan malam yang sudah hampir terganti pagi namun masih amat gelap itu. Barulah Thian Kong Hwesio sadar bahwa yang disangka muridnya tadi bukanlah muridnya, melainkan gadis itu yang mengenakan pakaian muridnya itu!
Para perwira memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Pengejaran cepat dilakukan akan tetapi para pengejar itu meraba-raba di tempat gelap, tidak tahu ke arah mana gadis itu menghilang.
Sementara itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw memasuki kamar menara. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat dua orang murid yang sudah menjadi mayat itu. Semua hidangan yang dibawa oleh dua orang pemuda itu telah habis dimakan, akan tetapi buntalan emas masih berada di situ, tidak sempat dibawa pergi penjahat.
********************
Sementara itu, dalam sebuah hutan yang terdapat di luar kota Ceng-tao, Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo saling berbantahan dan saling menyalahkan.
"Dasar engkau yang mata keranjang dan ceroboh!" Si muka hitam itu mengomel. "Kalau memang engkau ketagihan pemuda, mengapa tidak menangkap saja beberapa orang lalu membawa mereka ke tempat sepi seperti hutan ini? Kenapa harus dinikmati di kuil yang keramat? Engkau mencari penyakit saja!"
Wanita itu kini sudah menanggalkan kedoknya dan jika orang melihat mukanya pada saat itu baru mereka akan tahu kenapa wanita ini suka memakai kedok. Kiranya pipi kanannya terdapat codet atau luka bekas guratan yang dalam dan panjang hingga membuat muka itu tampak menyeramkan dan menjijikkan. Sambil meludah Hwa-hwa Kui-bo menudingkan telunjuknya ke arah hidung kakek itu.
"Cih, tak tahu malu! Engkau sendiri juga ikut menikmatinya, sekarang ingin menyalahkan aku? Keparat, apakah engkau hendak mencoba-coba kepandaianku?"
Kakek itu menghela napas panjang kemudian melambaikan tangannya dengan hati kesal. "Sudahlah, jangan bicara lagi mengenai kepandaian. Kau kira kita ini memiliki kepandaian macam apa? Mengeroyok seorang bocah bertangan kosong saja tak becus mengalahkan dia!"
Ucapan ini membuat nenek itu teringat dan berdiam diri, tidak jadi menghunus pedangnya tetapi nampak termangu-mangu. "Aku masih heran, siapakah gerangan bocah setan yang mempunyai kepandaian sehebat itu? Aku masih heran dan sungguh aku sama sekali tak dapat mengenali ilmu silatnya yang aneh-aneh itu..."
"Aku sendiri pun heran. Ada beberapa gerakannya yang mengingatkan aku akan ilmu-ilmu mukjijat dari Pendekar Sadis..."
"Ehhh...!" Wanita itu hampir menjerit saat mengeluarkan seruan itu. Bagaimana pun juga, sebutan Pendekar Sadis membuat jantungnya seperti akan copot rasanya.
"Mungkin juga bukan, karena di dalam gerakan-gerakannya terdapat unsur ilmu-ilmu silat tinggi yang lain seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain. Sungguh bocah itu seperti setan saja. Tidak salah lagi! Dia tentu puteri atau murid seorang sakti. Karena itulah, kita harus berhati-hati, kita harus bersatu karena bukankah sekarang ini orang-orang golongan putih yang menentang kita sedang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu?"
Wanita itu mengangguk-angguk. "Memang kedatanganku ke sini juga hendak menyelidiki kebenaran berita itu. Kita tidak boleh tinggal diam saja kalau benar mereka mengadakan pertemuan. Apakah saudara-saudara kita yang lain juga akan datang?"
"Kurasa demikian. Bahkan datuk-datuk kita pun kabarnya akan muncul, untuk melakukan penyelidikan sendiri."
"Benarkah begitu? Aihh, bakalan ramai kalau begitu! Memang mereka, golongan putih itu, semakin congkak dan takabur saja. Kalau kita tidak melawan mereka, tentu golongan kita dianggap golongan tahu dan sudah tidak mempunyai jagoan-jagoan lagi." Hwa-hwa Kui-bo mengepalkan dua tinjunya, ada pun sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi penuh kebencian.
"Kalau mereka datang, tentu muncul di Ceng-tao. Akan tetapi karena kita sedang menjadi buruan di Ceng-tao, sebaiknya kita mendekati Puncak Bukit Perahu itu sambil menunggu kedatangan para sahabat kita. Bagaimana pun juga, tentu akhirnya mereka semua akan berdatangan ke bukit itu pula."
Wanita itu mengangguk. Mereka lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan menuju ke utara.
********************
Pada keesokan paginya, di pasar kota Ceng-tao. Pagi itu pasar ini tetap ramai seperti biasa, seakan-akan malam tadi tidak pernah terjadi sesuatu. Akan tetapi, di sela-sela percakapan sehari-hari dan urusan perdagangan, ramai pula orang bicara tentang peristiwa di kuil Dewi Laut di mana terjadi pertempuran yang menewaskan belasan orang prajurit keamanan.
Maka bermacam-macamlah pendapat orang tentang peristiwa itu. Yang kepercayaannya terhadap kesaktian Dewi Laut sudah berlebihan, kukuh berpendapat bahwa semuanya itu adalah akibat kemarahan Dewi Laut yang hendak menghukum pendeta kuil serta para prajurit.
"Kalau bukan Sang Dewi, mana mungkin ada wanita yang dapat menghindarkan diri dari kepungan para prajurit?"
"Dan kabarnya, wanita itu hanya tertawa saja pada waktu dihujani anak panah!" Yang lain menambahkan, memperkuat kepercayaan orang-orang terhadap Dewi Laut.
Biar pun urusan itu ramai dibicarakan orang, pada akhirnya mereka yang berada di pasar ini sibuk dengan urusan mereka sendiri, urusan memperoleh untung sebanyak-banyaknya atau mencari kesenangan melalui belanjaan.
Ada yang secara royal membeli pakaian-pakaian mahal, sedangkan di sudut sana, masih di pasar itu pula, terdapat banyak orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian yang telah berbulan-bulan tak pernah diganti, karena bajunya memang hanya yang melekat di badan itulah.
Ada pula orang-orang yang sedang menikmati masakan-masakan lezat berharga mahal di restoran-restoran, makan dengan lahapnya, tidak peduli akan pandang mata yang disertai air liur ditelan dari para pengemis tua muda yang berkeliaran di situ dengan perut kosong menanggung lapar.
Sekelompok anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan yang dibuang oleh pelayan restoran ke tempat sampah. Sejenak sang pelayan itu berdiri sambil menonton anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan bagai sekelompok anjing kelaparan berebut tulang. Tentu saja sisa-sisa makanan itu bercampur dengan kotoran dan tanah sesudah dibuang ke tempat sampah. Agaknya, memberikan saja makanan itu kepada anak-anak pengemis secara demikian saja tidak memuaskan hati si pelayan ini.
Ada jembel tua yang duduk bersandar tembok di sudut, tenang-tenang saja memandangi semua pengemis yang bekerja bermodalkan suara mengharukan untuk minta dikasihani. Kadang-kadang tampak ada pengemis datang menghampirinya dan memberikan sesuatu, makanan atau uang kecil kepada pengemis tua ini.
Ia adalah seorang raja kecil kaum pengemis di pasar itu yang melindungi para pengemis. Tentu saja dia sendiri tidak perlu mengemis karena para anak buahnya selalu membagi hasil kepadanya. Ada pula yang terlihat bermalas-malasan karena telah memperoleh hasil mengemis dan perutnya sudah kenyang. Pekerjaan yang sangat mudah itu benar-benar membuat mereka menjadi malas.
Ada pula seorang ibu pengemis memondong anak bayinya yang kurus, merengek-rengek menarik perhatian dan belas kasihan dari orang pasar, menceritakan bahwa bapak anak itu sudah mati dan kini dia hidup menjanda. Padahal, seorang laki-laki pengemis lain yang menjadi bapak anak itu pada saat itu sedang bermain judi kecil-kecilan di belakang pasar bersama kawan-kawan pengemis lainnya.
Akan tetapi, sebagian besar dari pada mereka yang berada di pasar itu, baik para penjual mau pun para pembeli, telah terbiasa dengan pemandangan ini dan tidak mempedulikan. Mereka melihat banyaknya pengemis di pasar ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pasar, dan andai kata pada suatu hari tidak ada seorang pun pengemis di situ, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran, bahkan mungkin akan merasa kehilangan.
Di antara orang yang berjubelan itu, di depan sebuah restoran, nampak seorang pemuda jembel penuh bercak-bercak lumpur dan arang, sedang duduk nongkrong memandang ke arah dua orang anak jembel kakak beradik yang sedang menangis sambil berangkulan. Si adik menangis dan si kakak menghiburnya.
"Mereka... mereka memukulku...!" rengek adiknya.
"Sudahlah, mereka pun lapar seperti kita. Nanti kalau ada sisa makanan lagi, biarlah aku yang akan memperebutkannya untukmu. Diamlah...," kakaknya menghibur.
Tanpa terasa lagi, jembel muda yang sedang nongkrong itu mengusap air matanya yang menetes turun dari kedua matanya ke atas pipi, menggunakan punggung tangan kirinya yang kotor sehingga pipinya menjadi semakin kotor lagi. Di lain saat, pemuda jembel ini sudah bangkit dan mengeluarkan sebuah mata uang kecil dari saku bajunya yang butut, dan dengan sepasang mata masih basah dia berkedip-kedip dan tersenyum seorang diri, kemudian dengan lenggang dibuat-buat pergilah dia menghampiri kedai bakpao di mana tukang bakpao yang berperut gendut sekali sedang memanaskan bakpaonya.
Aroma sedap keluar ketika uap dari tempat pemanasan bakpao itu mengepul. Pemuda jembel itu menyedot-nyedot hidungnya sambil berdiri di depan kedai itu dan memandang ke arah bakpao-bakpao yang bulat putih dan panas beruap itu.
Melihat ada seorang pemuda jembel berpakaian kotor berdiri di depan kedainya, si perut gendut segera menghardik, "Heh, mau apa kau berdiri di sini? Pergi!"
"Toapek, aku mau membeli bakpao, bukan mau mengemis." Sambil berkata demikian, dia menyodorkan uang logam kecil yang ada di telapak tangan kanannya. "Aku mau beli lima butir bakpao terisi daging dengan uang ini."
Si gendut cepat memandang, tapi begitu melihat uang logam di tangan pengemis itu, dia mencak-mencak dan mukanya yang gendut pula itu menjadi merah, matanya yang sipit coba dibelalakkan.
"Setan cilik! Uang itu untuk membeli sebutir saja masih kurang, dan kau minta lima butir? Itu bukan mengemis, juga bukan membeli, akan tetapi mau merampok!" Sepasang mata itu melotot dan tangannya dikepal dan diamangkan tinjunya ke arah pemuda jembel itu.
Pemuda jembel itu berjebi, menyeringai dan mentertawakan dengan sikap yang mengejek sekali. "Phuh, empek gendut! Perutmu begitu gendut tentu akibat kebanyakan untung dan kebanyakan makan bakpao! Huhh!"
Tentu saja penjual bakpao itu menjadi marah sekali. "Apa kau bilang? Ke sini kau! Biar kuputar batang lehermu sampai putus!"
"Coba saja kau lakukan itu kalau kau mampu menangkapku! Huh, siapa tidak tahu bahwa engkau mencuri kucing dan anjing tetangga, lalu kau sembelih dan dagingnya kau pakai jadi isi bakpao maka keuntunganmu berlimpah-limpah? Kau pencuri, penipu rendah!"
Tentu saja si tukang bakpao menjadi semakin marah. Cepat dia menyambar pisau besar pencacah daging bakpao, kemudian dia pun keluar dari kedainya melakukan pengejaran. Pengemis muda itu berlari, tidak terlalu jauh sambil mengejek memanaskan hati. Dia lari menyelinap di antara para pengunjung pasar dan setelah si gendut itu agak jauh, tiba-tiba dia menghilang. Selagi si gendut sambil memaki-maki mencari jembel muda itu, si jembel muda dengan jalan memutar, cepat kembali ke kedai dan diambilnya bakpao sekeranjang penuh, lalu dibagi-bagikannya bakpao-bakpao itu kepada anak-anak jembel yang berada di dalam pasar.
Ketika si gendut kembali ke kedainya lantas mencak-mencak melihat bakpao-bakpaonya hilang, jembel muda itu sedang tertawa terpingkal-pingkal saat melihat anak-anak jembel makan bakpao demikian lahapnya sampai leher mereka tercekik. Ketika tertawa, nampak deretan gigi-gigi putih dan bagi mereka yang pernah melihat mulut dan gigi ini tentu akan teringat bahwa mulut itu semalam pernah muncul di menara kuil Dewi Laut, dan dua hari yang lalu pernah muncul pula sebagai gadis aneh di pintu gerbang!
Melihat bakpao yang tadi dibagi-bagikan itu cepat habis dan anak-anak itu nampak masih belum kenyang, si jembel muda lalu menyelinap di antara orang banyak dan dia pun kini mendekati kedai bakpao itu. Berindap-indap dia mendekati kedai itu dari belakang, lantas mencuri beberapa butir bakpao yang ditumpuk di sebelah kiri si gendut itu.
Dia tidak tahu bahwa semenjak tadi gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata tiga orang lelaki setengah tua. Ketika dia kembali memegang sebuah bakpao yang masih terlampau panas, dia terkejut hingga mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya karena kepanasan, akan tetapi juga karena pundaknya dicengkeram orang dari belakang!
Si gendut tukang bakpao menoleh. Melihat betapa pemuda jembel yang tadi berada di situ sedang membawa beberapa buah bakpao dan sekarang kedua lengannya dipegangi oleh dua orang seperti menangkapnya, dia pun menjadi marah. "Nah, ini dia maling bakpaoku!" Dan dia pun mengangkat tangan untuk menampar muka pemuda jembel itu.
"Dukkk!"
Salah seorang di antara tiga orang laki-laki itu menangkis tamparan si gendut, membuat si gendut menyeringai kesakitan.
"Jangan sembarangan memukul!" hardik salah seorang di antara mereka. "Kami adalah perwira-perwira keamanan yang sedang melakukan operasi pembersihan!"
Mendengar bahwa tiga orang ini adalah perwira-perwira yang menyamar, si gendut tidak berani banyak cakap lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan hati berdebar tegang. Memang bukan hanya dia. Siapa pun juga di kota Ceng-tao, sekali berhadapan dengan petugas keamanan, menjadi kuncup hatinya dan tidak banyak tingkah.
Petugas keamanan amat ditakuti rakyat. Mereka dianggap sebagai golongan yang hanya mendatangkan kerugian saja, dianggap sebagai golongan orang yang tak dapat dipercaya dan yang lebih baik dijauhi atau dihindari.
Perasaan seperti ini akan selalu menyelinap dalam hati rakyat di negara mana pun juga selama para petugas keamanan lebih menonjolkan kekuasaan dari pada kewajibannya, membuat mereka menjadi para penindas dan pemeras yang bermodalkan kekuasaan dan kedudukan mereka.
Pemuda jembel itu pun yang tadinya mengerutkan alis dan bersikap melawan, sekarang menjadi lunak, apa lagi ketika melihat beberapa orang lain berpakaian preman mendatangi tempat itu dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah petugas-petugas keamanan yang menyamar.
Dan dia pun melihat betapa selain dia, ada pula beberapa orang jembel dan gelandangan yang ditangkapi. Sebab itu dia pun menyerah saja dibawa oleh para petugas itu, bersama tangkapan-tangkapan lainnya menuju ke sebuah gedung, yaitu gedung seorang pembesar yang menjadi komandan pasukan keamanan.
Tentu saja pembesar pasukan keamanan tidak tinggal diam begitu saja dengan adanya peristiwa di kuil Dewi Laut. Belasan orang anak buahnya tewas dan penjahat-penjahat itu tidak dapat tertangkap. Hal ini merupakan pukulan hebat dan mendatangkan rasa malu. Karena itu dia pun memerintahkan seluruh anak buahnya untuk disebar di semua tempat, menangkapi orang-orang yang dicurigai untuk ditanya mengenai penjahat-penjahat malam tadi, terutama tentang gadis yang pakaiannya seperti orang gelandangan.
Yang ditangkapi adalah pengemis-pengemis yang usianya sebaya dengan gadis itu, juga orang-orang yang patut dicurigai. Akan tetapi sebagian besar adalah orang-orang jembel dan gelandangan-gelandangan yang berada di pasar.
Bersama dengan pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi, jumlah tangkapan ada dua puluh orang lebih. Mereka digiring seperti ternak dibawa ke pejagalan. Di sepanjang jalan mereka menjadi tontonan orang maka sebentar saja tersiarlah berita bahwa para petugas keamanan menangkapi banyak pengemis muda.
Maka terjadilah pemeriksaan terhadap para tawanan itu, dilakukan di dalam gedung yang terletak di dalam daerah markas pasukan keamanan. Komandan keamanan sendiri yang langsung turun tangan melakukan pemeriksaan dengan keras.
Dia seorang komandan yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Dendam karena kematian banyak anak buah membuat komandan ini pusing dan murung, membuatnya menjadi semakin galak laksana harimau haus darah. Pemeriksaan dilakukan satu demi satu dan dengan kekerasan sehingga banyak di antara para tawanan harus menderita gebukan atau cambukan yang dilakukan bukan hanya untuk memaksa tawanan mengaku, akan tetapi juga terutama karena dorongan hati dendam yang hendak ditumpahkan.
Tukang-tukang siksa yang sudah siap dan berada di kamar pemeriksaan, agaknya sudah gatal-gatal tangan dan menurut kata hati mereka, semua tawanan harus disiksa sampai mengaku atau mampus! Maka di dalam ruangan pemeriksaan itu, setiap kali ada tawanan yang dibawa masuk, segera disusul oleh bentakan-bentakan, pukulan-pukulan dan diiringi raung-raung dan tangis kesakitan. Hal ini membuat hati para tawanan lainnya yang belum diperiksa menjadi panik dan ketakutan, sehingga belum juga diperiksa tapi sebagian telah menangis ketakutan.
Diam-diam pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi dengan cerdiknya menyelinap, dan tahu-tahu dia telah berada di paling ujung sehingga dia menjadi orang terakhir yang akan diperiksa. Ketika dia dibentak dan tangannya diseret oleh seorang petugas untuk dibawa masuk ke dalam kamar pemeriksaan, pada saat itu berkelebat bayangan orang di atas genteng dan ketika pemuda jembel itu mulai dihadapkan kepada komandan tinggi besar bermuka bengis, bayangan itu sudah bergantung dengan kedua kakinya pada atap di luar jendela, dan kepalanya yang tergantung ke bawah ini menjenguk dan mengintai dari luar jendela yang tinggi karena jendela ini adalah lubang angin. Pada saat itu, pemuda jembel telah dihujani bermacam pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.
"Siapa penjahat yang mengacau kuil Dewi Laut? Di mana tinggalnya dan siapa namanya? Siapa pula teman-temannya dan kenapa penjahat itu mengacau kuil dan membunuh para petugas keamanan? Hayo ceritakan semuanya kalau engkau tidak mau dirangket sampai pecah-pecah kulit punggungmu!" Komandan itu menghardik dan matanya yang besar itu seperti hendak meloncat keluar.
Ia sudah terlalu lelah dan pemuda jembel ini adalah orang terakhir yang diperiksanya. Dia telah melihat bahwa semua hasil pemeriksaan yang tadi tidak ada artinya, tak akan dapat mengungkapkan rahasia penjahat yang dicarinya. Hatinya kesal bukan main dan dia ingin menumpahkan semua kemarahannya pada pemuda jembel bertubuh kecil yang wajahnya berseri-seri dan cengar-cengir ini.
"Tidak tahu... saya tidak tahu..." berulang-ulang pemuda itu menjawab sambil menggeleng kepalanya.
Seorang di antara tiga orang perwira yang tadi menangkapnya, lalu berkata kepada sang komandan, "Ketika kami menangkapnya, dia sedang mencuri bakpao."
Komandan itu mengerutkan alisnya. Hampir dia membentak marah kepada bawahannya, mengapa pencuri bakpao saja ditangkap. Akan tetapi karena dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada tawanan terakhir ini, dia pun menghardik, "Bagus! Engkau pencuri, tentu engkau berkawan dengan maling itu! Siapa namamu?"
Pemuda jembel itu nampak gugup, akan tetapi menjawab juga dengan suara lirih, "Nama saya Cin..."
"Hanya Cin saja?"
"Hanya Cin saja."
"Apa she-nya (nama marganya)?"
"Sudah lupa."
"Brakkk!" Komandan itu menggebrak meja. "Jangan main-main kau! Mana mungkin orang lupa she-nya sendiri?"
"Tapi saya hanya mengingat bahwa nama saya Cin begitu saja, tuan besar."
"Hemm, baiklah. Sejak kapan engkau menjadi jembel?"
"Jembel? Apakah itu, tuan besar?"
"Jembel! Pengemis, tukang minta-minta tak tahu malu."
"Sejak lahir."
Sepasang mata yang sudah mulai lelah dan mengantuk itu kini terbelalak. Sebanyak itu orang yang telah diperiksanya, baru sekali ini menarik perhatiannya dengan jawaban yang aneh-aneh di luar dugaan.
"Sejak lahir jadi jembel? Pantas! Tak tahu malu! Nah, di mana rumahmu? Hayo mengaku terus terang sebelum kusuruh potong tanganmu yang suka mencuri itu!"
"Rumahku? Seluruh tempat di dunia ini adalah rumahku, tuan besar!"
Jawaban ini kembali membuat semua orang tertegun hingga komandan itu sendiri bangkit dari kursinya sambil mengepal tinju. "Engkau minta dipukul? Jawab yang benar!"
Wajah pemuda jembel itu kini berseri-seri seperti ketika dia mencuri bakpao di pasar tadi. Agaknya sudah pulih kembali kegembiraan hatinya dan dia tidak lagi dicekam rasa takut.
"Saya tidak berbohong. Gedung ini pun rumahku, bukankah buktinya aku sekarang tinggal di sini? Dan toko-toko di tepi jalan itu, tiap malam boleh saja aku tinggal di empernya, atau di bawah-bawah jembatan, semua tempat adalah tempat tinggalku..."
"Setan! Kau mau main-main?"
"Tidak, tuan besar. Dunia ini adalah rumahku, langit adalah atapku, bumi adalah lantaiku, pohon-pohon dan bunga-bunga adalah hiasan-hiasan rumahku, dan..."
"Cukup!" Komandan itu menghardik sambil menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi, lantas mengusap peluh dari dahinya.
Dia melirik ke arah para pembantunya dan mereka ini dengan penuh arti menyilangkan telunjuk ke depan dahi untuk menyatakan persangkaan mereka bahwa tentu jembel muda ini menderita penyakit miring otak.
"Jadi engkau adalah seorang gelandangan, ya? Seorang tuna wisma yang merantau ke mana-mana. Nah, engkau tentu mengenal penjahat yang semalam mengacau di kuil Dewi Laut, bukan? Hayo mengaku!" Komandan itu memberi isyarat dan dua orang tukang siksa sudah melangkah maju menghampiri.
"Aku tahu... aku tahu..." Pemuda itu berseru ketika melihat dua orang tukang siksa yang membawa cambuk yang sudah berlepotan darah itu menghampirinya.
"Bagus sekali!" Wajah komandan itu berseri-seri. Akhirnya berhasil juga pemeriksaan ini, pikirnya, "Hayo engkau katakan yang jelas siapa mereka itu, dan engkau bukan saja akan kubebaskan, malah akan kuberi hadiah pakaian dan uang."
"Aku tahu... seperti yang kudengar bahwa Sang Dewi Laut mengamuk di kuil, kemudian membunuh-bunuhi orang-orang yang dosanya terlalu banyak. Jadi yang mengacau adalah para hwesio dan nikouw sendiri dibantu oleh pasukan keamanan, merekalah yang dihajar oleh Sang Dewi karena mungkin terlalu banyak dosa..."
"Brakkk...!" Kembali komandan itu menggebrak meja dan mukanya menjadi pucat saking marahnya. "Hajar bocah ini! Beri dia dua puluh lima kali cambukan yang keras!"
Dua orang algojo itu menyeringai. Dua puluh lima kali cambukan pada tubuh yang kecil ini berarti mencambukinya sampai mati! Mereka menangkap tangan pemuda itu dan seorang di antara mereka menghardik,
"Buka bajunya!"
"Jangan... ahh, jangan... dibuka. Aku seorang wanita...!" Pemuda jembel itu berseru dan kini suara aslinya keluar, suara seorang gadis!
Dua orang algojo itu tertegun, cepat melepaskan tangannya saking kaget dan heran. Juga komandan itu sendiri memandang dengan mata terbelalak.
"Perempuan...? Kau perempuan yang menyamar...? Ah, sungguh mencurigakan...! Kalau begitu... aughhh...!"
Tiba-tiba komandan itu yang tadinya bangkit berdiri, menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba saja dia merasa kepalanya seperti akan meledak dan pening bukan main. Dia memejamkan mata dan menggerakkan tangan kepada para pembantunya.
"Bawa dia pergi... tahan dia di dalam sel... dia orang penting, besok pemeriksaan akan kulanjutkan, kepalaku pusing..."
Para prajurit pembantu lalu menyeret gadis yang menyamar sebagai pemuda jembel itu dan menjebloskannya ke dalam sel yang gelap. Pemuda jembel itu memang sebenarnya dara remaja yang pernah muncul naik kuda di pintu gerbang, juga ialah dara remaja yang semalam muncul di kuil Dewi Laut dan menandingi Hwa-hwa Kui-bo dan Kow-pian Hek-mo secara lihai itu.
Dengan wataknya yang bengal dan ugal-ugalan, sekarang dia sengaja membiarkan dirinya ditawan dan diperiksa, walau pun kalau dia menghendaki maka setiap waktu dapat saja dia meloloskan dirinya. Kini dia malah membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel yang amat kuat dan dapat mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri.
Semua ini sengaja dilakukan oleh dara yang bengal ini karena tadi dia melihat bayangan pemuda gagah yang bergantung di luar jendela. Dan dia melihat pula ketika pemuda itu meniupkan sebutir benda kecil yang mengenai jalan darah di dekat pelipis kepala sang komandan, membuat komandan itu kontan terserang rasa pening yang hebat.
Dia merasa amat tertarik melihat sepak terjang pemuda itu dan ia ingin sekali mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya, maka dia sengaja membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel tahanan yang gelap! Dia pun lantas menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda berpakaian putih bersih yang nampaknya lihai itu dan apa pula maunya.
Para pembaca sendiri tentu sudah bertanya-tanya sambil menduga-duga siapa gerangan dara remaja yang aneh ini, yang kadang berpakaian laksana seorang gadis ugal-ugalan atau memang dia berwatak ugal-ugalan, dan kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel.
Siapakah dia dan betapa mengagumkan dan mengherankan bahwa seorang dara semuda dia, usianya baru antara lima belas dan enam belas tahun, tetapi sudah demikian lihainya sehingga mampu menandingi pengeroyokan dua orang tokoh iblis seperti Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo, dua di antara Cap-sha-kui yang ditakuti dunia kang-ouw itu?
Kelihaian dara remaja ini tidaklah mengherankan apa bila kita ketahui siapa sebenarnya dia. Ia adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis! Bagi para pembaca yang belum pernah membaca kisah Pendekar Sadis sebaiknya mengenalnya sekarang juga.
Pendekar Sadis bernama Ceng Thian Sin, masih berdarah kaisar karena mendiang ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis mempunyai ilmu kepandaian yang amat luar biasa, amat banyak dan semua ilmunya adalah ilmu yang tinggi dan luar biasa. Bahkan dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, ilmu yang paling tinggi seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, bahkan Thi-khi I-beng yang sangat mukjijat itu sudah dikuasainya.
Dia mewarisi pula ilmu dari pendekar sakti Yap Kun Liong, yaitu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang. Juga dari neneknya, pendekar wanita Cia Giok Keng, dia mewarisi pedang Gin-hwa-kiam dan ilmu memainkan sabuk sebagai senjata. Untuk memperlengkap semua ilmunya, dia sudah pula mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari kitab tulisan Bu Beng Hud-couw, yaitu Ilmu Hek-liong Sin-ciang yang hanya terdiri dari delapan jurus, Ilmu Hok-te Sin-kun dan siulian menghimpun tenaga sakti berjungkir balik.
Sebagai puteri tunggal dari Pendekar Sadis yang demikian lihainya, sudah barang tentu dara itu lihai bukan main, mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya. Akan tetapi, dara remaja yang amat berbakat ini menjadi makin lihai karena ibunya pun seorang yang lihai sekali, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dan hanya berselisih sedikit saja kalau dibandingkan dengan ayahnya.
Ibunya bernama Toan Kim Hong, juga memiliki darah bangsawan karena ayahnya adalah seorang pangeran pula. Toan Kim Hong ini pernah menyamar sebagai nenek dan bahkan dahulu sudah berhasil menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan dengan julukan Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu-ilmunya juga hebat dan terutama sepasang Hok-mo Siang-kiam yang hitam itu amatlah ampuhnya. Ginkang-nya amat tinggi bahkan dalam hal kecepatan gerak, dia masih mengalahkan suaminya.
Ilmu silatnya Hok-mo Sin-kun juga amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Selain ilmu silat tinggi ini, juga dengan sinkang-nya yang kuat, dia pandai bermain silat Bian-kun dan tangannya dapat berubah lunak seperti kapas, namun mengandung tenaga mukjijat yang akan mengalahkan tenaga-tenaga yang tampaknya kuat. Senjata rahasianya jarum merah juga berbahaya, namun lebih berbahaya lagi adalah rambutnya. Dia bisa mempergunakan rambutnya sebagai senjata ampuh yang dapat merampas senjata lawan!
Demikianlah sedikit perkenalan dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin beserta isterinya, Toan Kim Hong atau dulu dikenal sebagai nenek Lam-sin. Mereka berdua hanya memiliki seorang anak, yaitu dara remaja yang kini berusia lima belas tahun dan bernama Ceng Sui Cin itu. Kini Pendekar Sadis sudah berusia empat puluh lima tahun dan isterinya yang lebih tua dua tahun itu masih kelihatan sangat cantik seperti wanita berusia tiga puluhan saja.
Sebagai puteri suami isteri pendekar yang demikian tinggi ilmunya, tidak mengherankan jika dalam usia semuda itu, Sui Cin sudah amat pandai. Ayah bundanya adalah manusia-manusia bebas, maka ia pun menjadi manusia bebas dan wajar. Bahkan ia diperbolehkan merantau sesuka hatinya karena ayah bundanya merasa yakin bahwa kesadaran tentang hidup yang sudah ditanamkan semenjak kecil kepada puterinya itu, dapat membuka mata puteri mereka dan dapat membuat Sui Cin selalu waspada akan segala hal yang terjadi, baik di dalam mau pun di luar dirinya.
Akan tetapi karena pada waktu muda mereka, Ceng Thian Sin mau pun Toan Kim Hong adalah petualang-petualang besar, maka agaknya darah petualang mengalir dalam tubuh Sui Cin. Dia suka bertualang serta menempuh bahaya-bahaya, bersikap ugal-ugalan dan tidak peduli akan tanggapan orang lain. Namun di balik semua ini, dia tetap seorang yang berwatak pendekar, yang selalu menentang kejahatan, menentang penindasan dan selalu siap untuk membela kaum yang lemah tertindas.
Di dalam perantuannya yang telah memakan waktu tiga bulan itu, dia tiba di Ceng-tao dan dia sengaja menuju ke sini karena ia mendengar kabar angin di dunia kang-ouw bahwa di Bukit Perahu akan diadakan pertemuan antara para tokoh pendekar yang suka menyebut dirinya golongan putih atau golongan bersih.
Ayah bundanya sendiri tak pernah mengaku bahwa mereka adalah orang-orang golongan bersih. Akan tetapi ia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang belum pernah dijumpainya. Bahkan dia belum pernah berjumpa dengan para tokoh sakti yang masih dekat hubungannya dengan ayah bundanya. Hal ini adalah karena nama ayahnya sebagai Pendekar Sadis agaknya membuat para tokoh bersih itu merasa segan mendekatinya.
Biar pun usianya masih amat muda, Sui Cin sudah cukup dewasa untuk dapat menduga bahwa ayah bundanya dapat digolongkan sebagai tokoh putih, akan tetapi dapat disebut tokoh hitam pula karena ayah bundanya tidak pernah menentang golongan hitam secara berterang.
Dan diam-diam dia pun merasa sebal terhadap para pendekar yang suka menyebut diri mereka golongan bersih, golongan putih, atau kaum pembela keadilan dan kebenaran! Ia menganggap mereka itu terlalu congkak dan tinggi hati, merasa benar sendiri, baik sendiri dan mau menang sendiri.
Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sebuah pulau kosong yang kini berobah menjadi pulau yang indah, hidup sebagai orang yang berkecukupan. Di pulau itu mereka bangun sebuah gedung yang mungil, dikelilingi rumah-rumah tempat tinggal mereka yang menjadi pelayan atau anak buah.
Sejak kecil Sui Cin hidup sebagai anak kaya. Akan tetapi sungguh aneh, anak ini merasa jemu sehingga di dalam perantauannya dia selalu menyamar sebagai seorang miskin. Dia merasa lebih bebas dalam pakaian butut, lebih dapat menikmati kehidupan sebagai orang miskin dari pada kalau dia menjadi puteri kaya yang melakukan perjalanan dalam kereta indah diiringi pasukan pengawal.
Kesukaan dara itu melihat tempat-tempat lain tidaklah mengherankan. Setiap orang selalu ingin menyaksikan tempat-tempat lain. Dan tempat sendiri, betapa pun indahnya, selalu menimbulkan kebosanan apa bila tidak sekali-kali ditinggalkan untuk menyaksikan tempat lain.
Pulau kosong yang ditinggali oleh keluarga Pendekar Sadis itu sebenarnya sangat indah, bernama Pulau Teratai Merah. Suami isteri itu sudah mengembang biakkan bunda-bunga teratai merah di situ sehingga pulau itu kini penuh dengan bunga-bunga teratai merah yang tumbuh subur di empang-empang air yang mereka buat di seluruh permukaan pulau.
Ceng Sui Cin yang berusia lima belas tahun lebih itu seperti setangkai teratai merah yang baru mekar. Wajahnya cantik jelita dan manis sekali seperti wajah ibunya, tapi sepasang matanya bersinar tajam seperti mata ayahnya.
Sepak terjangnya di pintu gerbang Ceng-tao dan di kuil Dewi Laut membuktikan bahwa ia adalah seorang dara yang gagah, ringan tangan tetapi adil dan hatinya tidak kejam, tidak mudah membunuh orang. Hal ini, yaitu jangan mudah membunuh, ditanamkan oleh ayah bundanya sejak ida kecil.
Ayah bundanya amat bengis pada waktu muda, bahkan ayahnya dijuluki Pendekar Sadis karena terlampau suka membunuh. Agaknya mereka menyesali perbuatan itu kemudian menanamkan ke dalam batin anak tunggal mereka agar jangan terlalu mudah membunuh orang.
Demikianlah sekelumit keterangan tentang siapa adanya gadis yang bernama Ceng Sui Cin itu. Kini sebagai akibat dari kebengalan dan keinginan tahunya, dia sudah dijebloskan ke dalam sel besi yang sempit dan gelap, tanpa tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.
Sesudah para petugas itu pergi, diam-diam Sui Cin lalu mencoba kekuatan pintu sel itu. Ternyata pintu baja itu amat kuat sehingga tak mungkin membongkarnya dengan tenaga kasar saja. Akan tetapi, karena dia tidak dibelenggu, dia pun merasa tenang dan leluasa.
Dicobanya pula kekuatan jeruji besi yang sebesar-besar lengannya itu. Memang tergetar sedikit, akan tetapi tidak melengkung. Dia menghentikan percobaannya dan menghimpun udara untuk memulihkan pernapasannya yang agak memburu. Sementara itu di luar mulai gelap sehingga di dalam sel yang tidak diberi penerangan itu pun menjadi semakin gelap.
"Sialan, lilin pun tidak diberi!" Sui Cin mengomel akan tetapi dia diam saja, bahkan segera duduk bersila di tengah sesempit itu untuk menghimpun tenaga.
Dia menanti karena merasa yakin bahwa tentu pemuda yang nampak bergantung di luar jendela sore tadi tidak akan berhenti sampai di situ saja, dan dia ingin melihat apa yang akan dilakukan olehnya. Kalau sampai semalam ini dia tidak muncul, terpaksa besok pagi dia akan mencari daya upaya untuk dapat meloloskan diri.
Akan tetapi ternyata dia tidak perlu menunggu terlampau lama. Menjelang tengah malam, tiba-tiba pendengarannya yang amat tajam bisa menangkap suara angin dari tubuh orang yang berkelebat dan tidak lama kemudian wajah pemuda sore tadi muncul di depan jeruji pintu sel. Penerangan yang ada di luar pun hanya remang-remang saja sehingga wajah pemuda itu tidak nampak jelas. Akan tetapi Sui Cin yakin bahwa tentu inilah pemuda yang sore tadi bergantung di luar jendela dan telah menyemburkan benda kecil yang mengenai pelipis komandan yang memeriksanya.
"Sssttt...!" Pemuda itu memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut pada saat Sui Cin bangkit menghampiri daun pintu. "Aku datang untuk membebaskanmu dari tempat ini..."
Melihat sikap pemuda itu dan mendengarnya berbisik-bisik serlus, Sui Cin yang biasanya menghadapi segala sesuatu dengan gembira dan lincah, secara diam-diam tersenyum dan merasa geli.
"Bagaimana aku dapat keluar dari sini?" bisiknya juga, ingin tahu bagaimana akal pemuda itu untuk membebaskannya. Kalau dia menjadi pemuda itu, untuk membebaskan tawanan dia akan merobohkan penjaga, merampas kuncinya kemudian membuka pintu tahanan itu dengan kunci.
"Begini..." kata pemuda itu sambil memegang dua buah jeruji baja dengan dua tangannya, lalu dia mengerahkan tenaga menariknya ke kanan kiri.
Melihat hal ini, Sui Cin memandang penuh perhatian dan kagumlah dara remaja ini melihat betapa jeruji besi sebesar lengannya itu kini melengkung ke kanan kiri! Dia sendiri sudah mencobanya tadi dan mendapat kenyataan betapa kuatnya baja itu. Akan tetapi pemuda ini bisa menariknya sampai melengkung. Hal ini membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat.
"Cepat keluarlah, kita pergi dari sini," kata pemuda itu setelah dua batang jeruji ditariknya bengkok dan membuat lubang yang cukup besar untuk dapat dilalui Sui Cin.
Dara itu merangkak melalui lubang itu dan berhasil keluar dari kamar tahanan sempit. Dia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian pemuda yang menolongnya ini, maka ia pun lalu berkata dengan suara lantang sekali,
"Anjing-anjing di sini sungguh menjemukan sekali! Orang-orang tidak bersalah ditangkapi dan disiksa..."
"Ssttt...! Harap jangan keras-keras kau bicara!" Pemuda itu berkata lirih.
"Mengapa tidak boleh keras-keras? Biar mereka semua mendengarnya. Memang anjing-anjing itu kurang ajar sekali, terutama srigala gendut yang melakukan pemeriksaan!"
"Hushhh...!" Pemuda itu mencegah dan memegang lengan Sui Cin, akan tetapi terlambat. Teriakan-teriakan gadis itu sudah terdengar oleh para penjaga lantas dari segala penjuru berdatangan mengepung tempat itu.
"Tawanan lolos...!"
"Kepung! Tangkap...!"
Para penjaga berteriak-teriak dan mengepung pemuda itu bersama Sui Cin yang secara diam-diam tersenyum gembira. Sekali ini ia akan dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu menghadapi pengeroyokan para penjaga yang telah mengepung ketat.
Pemuda itu mengerutkan alisnya dan menggeleng-gelengkan kepala dengan gemas. Kini para penjaga menyalakan obor yang menerangi tempat itu sehingga Sui Cin bisa melihat wajah pemuda itu dengan lebih jelas. Wajah yang sederhana saja, seperti wajah pemuda-pemuda biasa, namun sepasang mata itu bersinar tajam dan sikapnya penuh kegagahan.
Pemuda itu gagah perkasa, berpakaian rapi, matanya lebar tajam, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Biar pun raut mukanya tak bisa dinamakan tampan, akan tetapi dia pun tidak buruk sekali dan wajah itu membayangkan kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggung.
"Mari kita pergi...!" kata pemuda itu tiba-tiba sambil menarik lengan Sui Cin.
"Ke mana harus pergi?" Sui Cin pura-pura bertanya, karena sebenarnya dia belum ingin pergi sebelum menyaksikan bagaimana pemuda itu akan menghadapi para pengeroyok.
Pemuda itu nampak semakin tidak sabar. "Kau ikut saja denganku!"
Dan pada waktu itu, empat orang petugas sudah menubruk maju dengan senjata pedang mereka. Pemuda itu mengayunkan kakinya sehingga empat orang itu terpental dan roboh! Diam-diam Sui Cin terkejut. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Tenaga kakinya amat hebat dan cara melakukan tendangan yang membabat dari samping itu benar-benar merupakan gerakan kaki seorang ahli.
Akan tetapi pada saat itu si pemuda sudah merangkul pinggangnya dan mengempitnya lalu meloncat ke atas genteng! Beberapa batang anak panah melayang ke arahnya, akan tetapi dengan gerakan kaki, pemuda itu dapat meruntuhkan semua anak panah dan tidak lama kemudian, dia sudah membawa Sui Cin berloncatan dari atas wuwungan rumah ke wuwungan yang lain.
"Haiii...! Lepaskan aku...! Lepaskan...!" Sui Cin berteriak-teriak.
Ia sengaja meninggikan suaranya agar para pengejar tahu ke mana pemuda itu pergi. Dia masih belum merasa puas dan ingin melihat pemuda itu dalam sebuah perkelahian yang seru melawan pengeroyokan para penjaga keamanan. Akan tetapi, dia pun dapat merasa betapa cepatnya pemuda itu berlari sambil berloncatan di atas genteng, dan bahwa tidak akan mungkin para petugas itu dapat menyusulnya. Maka Sui Cin lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!"
Pemuda itu mengomel, "Aku ingin menolongmu, kenapa engkau malah bertingkah begini? Kalau aku melepaskanmu, bukankah engkau akan terjatuh dari atas wuwungan ini?"
Akhirnya, setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu baru melepaskan kempitannya. Begitu menginjak tanah, Sui Cin membanting-banting kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang kepadanya dengan tenang saja.
"Nona, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku pun tahu bahwa engkau adalah seorang yang baik hati dan pemberani. Akan tetapi sunggguh aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal budi."
"Tidak mengenal budi? Apa maksudmu berkata demikian?" Sui Cin bertanya galak.
"Engkau tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, juga tidak minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak meronta-ronta dan berteriak-teriak seakan-akan aku sedang menculikmu, bukan sedang menolongmu." Biar pun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya tetap halus dan sopan, tidak kasar.
Akan tetapi Sui Cin adalah seorang anak yang manja dan bengal. Dia bertolak pinggang dan memandang dengan mata terbelalak melotot. "Siapa yang minta kau tolong? Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku? Dan mengapa pula yang kau tolong hanya aku seorang? Mengapa yang lain-lainnya kau diamkan saja?" Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si pemuda.
Pemuda itu kelihatan kewalahan, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga, "Karena aku melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-kalau engkau akan celaka di tangan mereka."
"Huh, begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki biasa, tentu engkau tak akan peduli. Engkau hanya menjadi penolong perempuan saja? Hemm, di situ sudah terdapat pamrih yang kotor!"
Pemuda itu menjadi marah. Dia mengepal tinjunya, akan tetapi dia tetap dapat menguasai dirinya. Kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan berkata, "Sesukamulah. Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat tinggal!"
Pemuda itu meloncat, segera lenyap di dalam kegelapan malam. Gadis itu pun tertawa, dengan suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu menjadl merah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan tetapi dia tidak mungkin dapat memperlihatkan kemarahannya dengan bersikap kasar terhadap seorang wanita, apa lagi seorang gadis muda yang hidupnya demikian sengsara, sampai-sampai harus menyamar sebagai seorang pemuda untuk menghindarkan diri dari segala kesulitan. Seorang gadis yang tidak mempunyai tempat tinggal, yatim piatu dan miskin.
Dia percaya dengan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum. Biar pun hanya seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri dara remaja itu yang mengagumkan hatinya.
Dara itu demikian berani! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang pendekar. Wanita muda itu sama sekali tidak cengeng, dan sama sekali tidak kelihatan ketakutan walau pun terancam mala petaka hebat, walau pun bahkan sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main!
Pemuda itu lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan di mana dia tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal di situ karena dia sedang menanti datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga hari lagi di Puncak Bukit Perahu.
Ia datang sebagai wakil ayahnya, juga mewakili partai ayahnya yang berada jauh di utara, di luar Tembok Besar. Akan tetapi, biar pun dia mewakili ayahnya, dia kini hanya datang sebagai peninjau saja. Ayahnya melarangnya untuk melibatkan diri atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian dan permusuhan.
Pemuda ini bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dengan isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis telah diceritakan bahwa Cia Han Tiong putera dari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, telah menikah dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, di luar Tembok Besar. Mereka hidup rukun dan saling mencinta, dan dikaruniai seorang putera yang mereka beri nama Cia Sun.
Sebagai seorang pendekar sakti, tentu saja Cia Han Tiong mewariskan semua ilmunya kepada puteranya itu sehingga setelah berusia dua puluh dua tahun sekarang ini, Cia Sun sudah menguasai seluruh ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-ling-pai, kemudian mahir pula ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang.
Cia Sun berwatak pendiam dan serius, mirip seperti ayahnya. Namun perasaannya halus seperti ibunya dan walau pun dia tidak dapat disebut tampan, namun harus diakui bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar karena pendiam dan seriusnya.
Seperti diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis terdapat hubungan yang sangat erat. Mereka adalah saudara angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung saja. Biar pun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan, di antara keduanya tidak pernah sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih sayang antara saudara itu.
Tentu saja Cia Sun sama sekali tak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dikiranya yatim piatu dan miskin itu, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya itu dan keluarganya, namun dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari ayahnya.
Menurut keterangan ayahnya, pamannya yang berjuluk Pendekar Sadis itu sesungguhnya adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, juga mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biar pun belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat terhadap pamannya itu.
Pada saat isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan isterinya. Mereka hidup di tempat yang sangat sepi, jauh di utara dan tetangga mereka hanyalah penduduk liar di dusun-dusun yang amat jauh. Ketika mereka hidup berdua, hal ini sama sekali tidak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan tetapi sesudah Cia Sun terlahir, mereka membayangkan betapa akan sepinya kehidupan putera mereka kalau di tempat itu tidak ada manusia lain kecuali mereka bertiga saja.
Maka Cia Han Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai persilatan yang diberi nama Pek-liong-pang (Partai Naga Putih). Ia mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid.
Kini, sesudah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-liong-pang juga sudah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggota sebanyak lima puluh orang lebih. Belasan orang murid yang telah dianggap lulus oleh ketuanya kini telah pergi meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-liong-pang sehingga nama perkumpulan ini mulai dikenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan menjadi tempat penggemblengan calon-calon pendekar di utara.
Demikianlah keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang selalu mentaati pesan ayahnya tak mudah melibatkan diri dengan urusan orang lain. Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa ke markas, dia merasa penasaran dan tertarik sekali.
Diam-diam dia membayangi mereka dan dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tak sulit baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke dalam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan.
Ketika dia melihat Sui Cin diperiksa dan mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia pun merasa tidak tega. Tadinya dia memang mendiamkan saja pemeriksaan itu. karena dia mengnggap sudah selayaknya jika komandan itu melakukan penyelidikan karena dia pun sudah mendengar betapa banyak prajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di kuil Dewi Laut.
Akan tetapi, ketika melihat bahwa jembel muda itu adalah seorang dara, hatinya merasa tidak tega. Dia lantas turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang tepat mengenai jalan darah di dekat pelipis komandan gendut itu sehingga mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu disuruh tahan dalam sel.
Malam harinya dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa selain tabah, ternyata gadis itu memang amat aneh. Ditolong tidak bersyukur, ehh, malah marah-marah!
Akan tetapi sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik hatinya, membuat malam itu Cia Sun merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya pada diri orang lain, apa lagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mencemoohnya, terbayang terus di depan matanya.
"Ihh, mengapa aku ini?" pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibunya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah.
Dia selalu menolak karena memang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang dan ingin segera mempunyai cucu! Teringat akan hal itu, wajahnya menjadi merah.
Mengapa tiba-tiba saja dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah memasuki otaknya, dan apa hubungannya gadis jembel itu dengan pernikahan? Mukanya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apakah artinya ini? Inikah yang dinamakan jatuh cinta seperti yang sering kali dibacanya dari buku-buku namun yang belum pernah dirasakannya itu?
Sesudah dia termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-liong-pang, jatuh cinta kepada seorang gadis jembel! Baginya sendiri, seorang pendekar muda yang sejak kecil digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan, tidak membeda-bedakan antara kaya miskin.
Akan tetapi dia juga bisa melihat betapa nama besar Pek-liong-pang yang dijunjung tinggi oleh para pendekar murid Pek-liong-pang dan juga oleh orang-orang kang-ouw, dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi hingga membuat keluarga Cia terikat oleh belenggu kehormatan dan kemuliaan sehingga mereka tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau mencemarkan keharuman nama Pek-liong-pang itu!
Salah satu di antara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walau pun sifatnya lebih dalam dari pada kesenangan badan.
Pengejaran akan kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap kesenangan badan mau pun batin. Kita mengejarnya, jika sudah dapat kita hendak mempertahankannya. Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini jelas terdapat kekerasan. Pada waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan. Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin menghilangkannya dari tangan kita.
Betapa pun menyenangkan adanya sesuatu itu, baik bagi badan mau pun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan kekecewaan. Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini sangat menyenangkan, hari esok malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing di antara senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai, dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran setiap detik.
Alangkah bahagianya batin yang tak lagi dapat diombang-ambingkan senang dan susah, bagai sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah berubah biar pun ada badai dan ombak menggunung. Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur di antara ombak-ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan masih dapat menikmati hempasan gelombang yang bagaimana pun juga.
********************
Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng-tiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun 1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di Tiongkok, yaitu bahwa tak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam (pembeser kebiri).
Kaisar Ceng Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat semua kepalsuan para thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka sekali meninggalkan istana secara diam-diam lalu melakukan perjalanan seorang diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan bersenang-senang. Dia mengabaikan urusan kerajaan sehingga kesempatan ini tentu saja digunakan sebaik-baiknya oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim.
Liu-thaikam ini berasal dari utara, dari sebuah keluarga petani miskin. Akan tetapi karena dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana semenjak remaja. Liu Kim sangat pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia sudah memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela dikebiri agar dapat mempertahankan kedudukannya.
Pelan-pelan dia mendapat kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaisar Ceng Tek diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang pada saat itu telah berhasil menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lantas diangkat menjadi kepala thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali karena para thaikam merupakan orang-orang kepercayaan kaisar.
Laki-laki yang dikebiri itu tidak dapat berhubungan dengan wanita lagi, akan tetapi karena nafsunya masih ada, maka sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu yang tidak dapat tersalurkan itu pada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali kepuasan akan kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, dan kepuasan karena memiliki banyak harta benda.
Rupanya inilah yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak dahulu selalu sangat licin serta pandai menguasai kaisar sehingga mereka mendapatkan kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri.
Pada waktu itu Kaisar Ceng Tek telah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun dia menjadi kepala thaikam. Kekuasaan mutlak mengenai urusan dalam istana berada di tangannya.
Kaisar muda usia yang lebih suka berkelana serta bersenang-senang itu percaya penuh kepada Liu-thaikam yang walau pun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingatkannya tentang kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda ini malah berbalik mendampratnya dan mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang dilaporkan itu.
Pemerintahan kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah Kerajaan Beng. Kaisar ini sangat lemah dan kurang memperhatikan kepentingan negara, walau pun dia bukanlah seorang kaisar yang lalim. Karena sikapnya yang kurang semangat, maka hal ini lalu menular kepada para pejabat sehingga secara keseluruhan, pemerintah kelihatan kurang peduli dan lemah.
Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat sembunyi mereka, kemudian merajalela karena alat-alat negara tak bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Maka gangguan-gangguan keamanan mulai berjangkit di mana-mana.
Yang amat menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis)! Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang kini bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar.
Mereka sama sekali tak merasa takut terhadap pemerintah yang lemah. Dan Cap-sha-kui ini bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat, akan tetapi berikut anak buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara, sampai wilayah kota raja.
Keadaan inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu yang terletak di lembah Sungai Huang-ho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao juga untuk ikut menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil dari ayahnya yang menjadi ketua Pek-liong-pang.
Memang sudah lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak lagi mencampuri urusan dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-liong-pang tersebar sebagai pendekar-pendekar di sekitar kota raja, maka Cia-pangcu kemudian mengutus puteranya sebagai wakil Pek-liong-pang, untuk melihat suasana dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.
"Kita masih belum tahu persoalannya secara mendalam," demikian Cia-pangcu memesan kepada puteranya. "Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan, lalu para pendekar berkumpul untuk merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semuanya ini ada hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Sebab itu, Sun-ji (anak Sun), engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri."
Demikianlah, ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin tanpa dia mengetahui bahwa dara jembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang sudah lama dikaguminya, yaitu Pendekar Sadis.
Sesudah melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tidak dapat tidur nyenyak karena selalu membayangkan wajah si gadis jembel, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu yang berada jauh di sebelah barat. Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada di tempat sunyi, Cia Sun lalu menggunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang saja.
Pemuda ini memang hebat. Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda yang semenjak kecil berolah raga. Wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya. Rambutnya digelung ke atas kemudian diikat sutera kuning. Pakaiannya yang sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam, demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera.
Ketika wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biar pun dia tidak memiliki wajah yang tampan, tetapi penuh kejantanan. Larinya cepat bukan kepalang. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis jembel yang semalam membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menunggang seekor kuda kecil cebol dan melarikan kudanya itu tidak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula. Gadis itu adalah Cui Sin dan dia pun tidak tahu bahwa baru saja pemuda yang semalam menolongnya itu juga melalui jalan ini dengan berlari cepat menuju ke barat.
Karena hari yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih kurang dua hari lagi, maka jalan masih sunyi dan selama itu Cia Sun belum berjumpa dengan pendekar lain yang dikenalnya atau orang-orang yang patut diduga pendekar. Selama seharian itu orang-orang yang ditemuinya di jalan hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao.
Ketika dia melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menembus hutan itu sebelum gelap karena kini matahari sudah condong ke barat. Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi sesudah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang amat besar sehingga nampak menyeramkan dan liar.
Bahkan jalan raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu. Agaknya para pejalan itu lebih senang mengambil jalan memutar dari pada harus memasuki hutan yang nampak liar itu. Akan tetapi Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja itu.
Di tempat tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutan-hutan yang lebih luas dan lebih liar lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat.
Akan tetapi, pada waktu dia tiba di tengah hutan di mana terdapat pohon-pohon raksasa, mendadak dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke bawah. Sebagai seorang pendekar yang sangat lihai, dengan kewaspadaan yang selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga, Cia Cun melempar tubuhnya ke belakang lalu berjungkir balik.
Betapa kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular besar. Badan ular itu melilit pada cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah. Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini tentu akan bisa menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orang pun akan dapat dimasukkan ke dalam perutnya.
Ular besar itu mengayunkan kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Jika dipukulkan seperti itu maka tangan pendekar muda ini hebatnya melebihi palu godam baja.
"Krekkk!"
Ular itu terkulai, lantas perlahan-lahan libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-geliat akan tetapi kepalanya tak dapat digerakkan lagi karena tengkuknya sudah patah-patah. Dan pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali.
Cia Sun memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia melihat betapa dirinya sudah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berbagai jenis dan warna, ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang memuakkan.
"Heh-heh-heh! Tar-tar-tarrr...! Hi-hik-hik!"
Cia Sun mengerutkan alisnya dan cepat menengok, sepasang matanya mencorong penuh kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bongkok tahu-tahu sudah berada di situ, memegang sebatang cambuk yang ekornya sembilan.
Nenek itu membunyikan cambuknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan nampak semacam asap yang mengepul dari ujung cambuknya, diseling suara ketawa terkekeh menyeramkan.
Dan Cia Sun melihat kenyataan bahwa ular-ular itu agaknya terkendali oleh suara ledakan cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular-ular ini dan sudah mengerahkan peliharaannya yang berupa ternak mengerikan ini untuk mengepung dirinya.