PEMUDA itu menangis sampai tersedu-sedu sambil berlutut. Dia mengepal tinju dan ingin dia meraung-raung, akan tetapi ditahannya sehingga dia hanya tersedu dan terisak. Pria setengah tua yang duduk bersila di depannya membuka mata memandang dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara halus namun mengandung wibawa.
"Hentikan tangismu, hapus air matamu. Tidak pantas membiarkan perasaan dipengaruhi pikiran sehingga menimbulkan kelemahan. Tidak ada gunanya semua itu."
Pemuda itu berhenti terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, lalu dia memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh tanya dan penasaran. Pemuda itu adalah Cia Sun, sedangkan yang bersila di depannya adalah ayahnya, Cia Han Tiong.
Baru saja Cia Sun pulang ke Lembah Naga sesudah melakukan perantauan ke selatan. Ketika pagi hari itu dia sampai di lembah, dia merasa heran mengapa keadaan demikian sunyinya dan mengapa pula pandangan mata para petani gunung kepadanya demikian ganjil dan penuh rasa iba. Hetinya merasa tidak enak dan dia menghampiri seorang kakek petani lalu bertanya mengapa mereka memandangnya seperti itu.
"Kakek Phoa, aku adalah Cia Sun, apakah kakek beserta saudara sekalian sudah lupa? Ha-ha, baru saja aku pergi merantau selama satu tahun dan kalian memandangku seperti aku ini orang asing bagi kalian."
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat beberapa orang petani wanita menangis dan pergi meninggalkannya. Juga kakek itu memandang kepadanya dengan mata basah oleh air mata.
"Kakek Phoa, apakah yang sudah terjadi?" Dia memegang lengan kakek itu dan bertanya dengan mata terbelalak, hatinya gelisah sekali.
Dan kakek itulah yang bercerita. Betapa orang tuanya didatangi penjahat, betapa banyak murid Pek-liong-pai tewas oleh para penjahat, juga ibunya turut tewas. Ibunya! Tewas di tangan orang jahat! Mendengar ibunya tewas, Cia Sun tidak menunggu sampai kakek itu melanjutkan ceritanya. Dia sudah meloncat dan lari menuju ke pondok orang tuanya.
Didapatkannya rumah itu sunyi dan kotor. Sesudah dia masuk, nampak ayahnya sedang duduk bersila di dalam kamar. Ayahnya nampak menjadi sangat tua dan kurus. Maka dia langsung menjatuhkan diri berlutut dan menangis sampai ayahnya menyuruhnya berhenti menangis.
“Ayah, siapakah yang membunuh ibu?" Hanya itu yang dapat dikatakan setelah tangisnya dihentikannya.
Ayahnya tidak menjawab, hanya memandang padanya. Sejenak ayah dan anak ini saling pandang.
"Anakku, apakah maksudmu dengan pertanyaan itu? Hanya sekedar ingin tahu, apakah di baliknya tersembunyi dendam sakit hati?"
Cia Sun sudah mengenal watak ayahnya, bahkan sejak kecil dia bukan hanya digembleng ilmu silat dan sastera, akan tetapi juga tentang filsafat kehidupan. Akan tetapi pada waktu itu hatinya terlampau sakit dan sedih mendengar bahwa ibunya tewas oleh musuh, maka dia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya.
"Akan tetapi, ayah. Sebagai seorang anak, aku mendengar bahwa ibuku dibunuh orang. Apakah aku harus diam saja menerima nasib? Lalu menjadi anak macam apakah aku ini? Mana kebaktianku terhadap ibu kandungku, ayah?"
"Hemm, dengan lain kata-kata, engkau hendak menanyakan pembunuh ibumu agar dapat mencarinya lalu membalas dendam, membunuhnya untuk membalas sakit hatimu?"
"Bukankah hal itu sudah wajar saja, ayah? Sebagai anak ibu, apa bila aku tidak mencari pembunuhnya kemudian membalaskan sakit hatinya, apakah ibu tak akan menjadi setan penasaran?"
"Cia Sun!" Ayahnya membentak dan di dalam suara pendekar ini terkandung wibawa yang kuat. Nadanya bukan kemarahan, namun memperingatkan dan tegas sekali. "Dengarlah baik-baik, buang dulu semua nafsu yang memenuhi batinmu. Cia Sun, bukalah mata dan lihatlah. Apakah engkau mengira bahwa ibumu yang sudah meninggal dunia itu sekarang menjadi setan penasaran yang haus darah, yang akan menyeringai kegirangan melihat anak kandungnya menjadi pembunuh? Serendah itukah engkau menilai ibumu?"
Tentu saja Cia Sun terkejut sekali dan dia mengangkat muka memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak. "Tidak...! Tentu saja tidak! Bukan begitu maksudku, ayah!"
"Kalau bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat membunuh orang! Apa yang hendak kau lakukan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan ibumu, akan tetapi keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."
Getaran dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu timbul akibat ia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan rasa senang di hatinya.
"Baiklah, ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan tadi. Akan tetapi apakah yang telah terjadi? Apakah kesalahan ibu maka dia sampai dibunuh orang?"
Cia Han Tiong lalu menarik napas panjang. "Dendam... dendam... balas membalas, baik membalas budi mau pun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang karena dendam terhadap keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, lalu ibumu serta belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu mengenai mereka itu, anakku? Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian di hati mereka saja dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal?"
Cia Sun mengepal tinju dan mengangguk. "Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.
"Bagus!" kata ayahnya. "Dan sekarang engkau pun ingin menjadi seperti mereka, hendak mencari orang-orang yang tak kau kenal untuk kau bunuh hanya untuk memuaskan nafsu kebencianmu?"
Cia Sun terkejut, tak menyangka bahwa ke situ maksud ayahnya. "Tapi, ibu telah mereka bunuh, juga para suheng!"
"Rasa penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam dan bunuh membunuh, lalu menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu, terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas membalas tiada akhirnya? Mata rantai itu sekarang berada di tanganmu, mau kau patahkan ataukah mau kau sambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau mendendam, lantas mencari pembunuh ibu dan para suheng-mu, kemudian engkau membunuh mereka. Apakah kau kira sudah selesai sampai di sana saja? Kalau murid atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, pasti mereka pun akan mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau keturunanmu. Terus menerus begitu, tak ada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan menghapus dendam sekarang juga maka rantai belenggu itu pun patah."
Cia Sun termenung, lalu menarik napas panjang. "Ayah, dari ajaran ayah yang lalu, aku dapat mengerti tentang penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimana pun juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu saja?"
"Andai kata engkau berada di sini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela ibumu serta suheng-suheng-mu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah wajar. Akan tetapi, menanam kebencian di dalam hati merupakan racun bagi batin sendiri, anakku."
"Biarkan aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal mulanya."
"Mereka yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka adalah cucu murid dari mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua jauh-jauh datang dari negeri Sailan hendak mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas dendam. Akan tetapi karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku sekeluarga. Dan di dalam perkelahian itu, para suheng-mu dan ibumu jatuh sebagai korban dan tewas."
"Dan kedua iblis itu?"
"Mereka telah pergi dalam keadaan luka."
"Tapi kenapa mereka tidak membunuh ayah? Bukankah ayah merupakan musuh utama, sebagai putera kongkong? Kenapa mereka hanya membunuh ibu dan para suheng, dan melepaskan ayah?"
Cia Han Tiong menghela napas. "Mereka tidak mampu melakukan hal itu karena mereka terluka olehku dan tidak mampu melawan lagi."
Cia Sun memandang dengan mata terbelalak. "Ayah telah mengalahkan mereka?"
Ayahnya mengangguk. "Memang mereka itu lihai bukan main, akan tetapi aku berhasil mengalahkan mereka."
"Dan melukai mereka? Kalau mereka kalah dan terluka... bagaimana mereka dapat lolos dan pergi dari sini?"
"Aku telah melepaskan mereka dan membiarkan mereka pergi."
"Apa?" Cia Sun terlonjak berdiri, memandang kepada ayahnya dengan muka pucat. "Ayah berhasil mengalahkan dan melukai mereka, akan tetapi ayah... membiarkan mereka pergi begitu saja selagi jenazah ibu dan para suheng masih menggeletak di depan kaki ayah?"
Ayahnya mengangguk. "Aku sendiri pun hanya seorang manusia biasa, anakku, dan aku pun tak luput dari pada nafsu amarah dan sakit hati. Akan tetapi aku melihat dengan jelas betapa aku sekeluarga akan terperosok semakin dalam kalau aku hanya menuruti nafsu kebencian, maka aku sengaja membiarkan mereka pergi."
"Dan dengan perbuatan itu ayah merasa yakin bahwa ikatan dendam itu akan terputus? Bagaimana kalau dua iblis itu masih penasaran karena ayah dan aku masih belum tewas dan mereka masih berusaha untuk membunuh kita? Apakah kita pun harus diam saja dan menyerahkan nyawa untuk dibunuh?" Di dalam pertanyaan pemuda ini masih terkandung rasa penasaran yang amat besar.
Mendengar pertanyaan puteranya itu, Cia Han Tiong menahan senyum, menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku percaya bahwa mereka pun sudah insyaf akan kebodohan mereka dan merasa amat menyesal. Dan andai kata benar seperti yang kau katakan tadi, andai kata mereka itu pada suatu hari datang kembali dan berusaha untuk menyerang dan membunuh kita, tentu saja kita akan melawan mereka."
"Hemmm, bukankah hal itu sama saja namanya, ayah? Kita pun akan mempergunakan kekerasan apa bila diserang dan kalau mereka itu sangat lihai, berarti mereka atau kita yang akan tewas di dalam perkelahian itu?"
"Tidak, anakku. Hal itu sudah menjadi berbeda dan lain lagi. Apa bila kita diserang orang, berarti kita terancam bahaya dan sudah menjadi hak dan kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri, berusaha melepaskan diri dari ancaman bahaya. Dalam pembelaan diri ini tidak terkandung kebencian."
Han Tiong menatap tajam wajah puteranya dan merasa prihatin karena dia dapat melihat betapa rasa penasaran yang sangat besar mencekam hati puteranya dan bahwa dendam masih meracuni hati puteranya.
"Ingat, anakku. Kegagahan sejati berarti bisa mengalahkan cengkeraman hawa nafsu diri sendiri yang meracuni batin. Tak ada orang lain yang akan dapat membersihkan batinnya sendiri dari cengkeraman racun nafsu dendam kalau bukan kewaspadaan dan kesadaran sendiri."
Cia Sun tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa amat penasaran dan untuk melapangkan hatinya, dia segera berpamit dan meninggalkan ayahnya untuk menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya tariknya baginya itu. Dia pergi ke kuburan ibunya dan di hadapan kuburan yang masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya. Menangislah pemuda yang biasanya tabah ini tersedu-sedu.
Mengingat betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun yang lalu dan kini tiba-tiba sudah tiada, apa lagi mengingat betapa ibunya yang dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan dendam pun semakin tumbuh dalam hatinya.
Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin apa bila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan. Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalah gunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, maka takkan ada kebencian.
Sampai hari berganti malam, Cia Sun belum juga meninggalkan makam ibunya dan para suheng-nya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam. Makin dia membayangkan kehidupan yang silam di samping ibunya, dan makin dia mengingat-ingat akan kematian orang yang disayangnya, maka semakin besar pula penderitaan batinnya.
Dia tidak tahu bahwa sore tadi ayahnya sempat menjenguknya dan memandangnya dari jauh tanpa mengganggunya. Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu, kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya di mana dia lantas duduk bersemedhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi perang batin dalam diri puteranya.
Malam itu langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di hadapan makam ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat akan Sui Cin, gadis yang sudah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya.
Ketika dia melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan meminta nasehat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis.
Dia percaya bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta dilamarkan Sui Cin. Bukankah di antara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat pertalian batin yang amat erat? Teringat akan semua itu, hatinya menjadi hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.
Selagi Cia Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya, "Uhh-uhhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya, tidak dapat diharapkan lagi!"
Cia Sun melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Seorang kakek yang sangat menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar, wajahnya hitam penuh dengan cambang bauk dan sepasang matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap.
Diam-diam Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya ini tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya tengah dipenuhi kemarahan dan rasa dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya langsung membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.
"Iblis dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?!" bentaknya marah.
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu. Siapa mengganggu ketenteramanmu? Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau engkau menangis seperti itu maka yang mati akan dapat bangkit kembali? Biar engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekali pun, ibumu tetap saja akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali, ha-ha-ha!"
Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali mendengar kata-kata yang kasar dan nadanya mengejek ini. Andai kata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebencian, kata-kata ini tentu masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.
"Orang asing, cepat pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan urusan kematian ibuku?"
"Ha-ha-ha, engkau belum tahu siapa pembunuh ibumu, hanya mendengar namanya saja. Siapa tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha-ha!"
Cia Sun terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya adalah dua orang yang berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. "Apakah engkau berjuluk Hek-hiat Lo-mo?" tanyanya dengan suara membentak.
"Ha-ha-ha, boleh saja aku disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku mempunyai Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan lebih dahulu. Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah putera seorang pendekar yang berhati lemah, yang tak memiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak oleh orang lain. Engkau pun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat diharapkan."
"Iblis tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.
"Ha-ha, engkau hendak menyerangku? Engkau memiliki keberanian itu? Cobalah, orang muda, memang aku ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan keturunan Pendekar Lembah Naga!"
Mendengar ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga.
Maka, dengan kemarahan meluap Cia Sun segera menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali, maka dia pun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang kemudian begitu tangannya meluncur dia sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama pada bagian depan tubuh lawan. Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu sungguh amat dahsyat!
Biar pun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan, "Ah, inikah yang disebut totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)? Hebat, akan tetapi masih mentah!" Dan ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat saja dan tidak satu pun dapat mengenai tubuh kakek itu.
Diam-diam Cia Sun terkejut bukan main. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat luar biasa! Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat sehingga kalau bukan orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri semudah itu dari serangkaian totokannya.
Dia juga merasa penasaran sehingga kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Inilah ilmu dari ayahnya yang paling dirahasiakan. Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar biasa dan mukjijat. Biar pun hanya tiga belas jurus, akan tetapi setiap jurus mengandung kehebatan yang sulit ditahan atau ditandingi lawan.
Apa bila tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong sendiri pun jarang menggunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tak pernah menggunakannya dalam perkelahian. Tetapi kali ini Cia Sun yang berada dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan telah mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya.
"Wuuuttt...! Singgg...!" Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdengar ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan.
Kakek itu mengeluarkan suara kaget dan tak berani main-main lagi, segera mengerahkan tenaga kemudian menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambut pukulan dahsyat itu.
"Plakk! Plakk!"
Tubuh Cia Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam air sehingga hilang kekuatannya.
Namun, di balik kelembutan itu ternyata ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya sehingga justru tubuhnyalah yang malah terdorong ke belakang. Dan begitu dia berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar dan terasa lemas sehingga dia hampir terguling. Sebaliknya, kakek itu pun membelalakkan sepasang matanya yang melotot lebar.
"Ihh, ilmu setan apakah itu? Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu sesat macam itu tadi?" Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju hingga jubahnya yang lebar itu berkembang.
Cia Sun merasa seakan-akan dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang dan menyambar ke arahnya. Kedua kakinya masih terasa lemas, maka kini terpaksa dia pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan dari samping sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Desss...!"
Sekali ini, pertemuan antara lengan mereka bahkan membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang sangat lihai itu sudah menubruk dengan cengkeraman kedua tangannya ke arah kepala dan dada Cia Sun.
"Hehh!" Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar dan panjang menyambar dengan cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya untuk mengelak lalu meloncat bangun.
Dua tangan kakek itu ternyata masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau ditangkis!
"Bagus!" Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!"
Sungguh pun mulutnya memuji, akan tetapi kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia Sun menjadi amat repot dibuatnya. Pemuda ini segera merubah gerakannya, berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang sudah dipelajarinya. Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah mengejek!
"Ha-ha-ha, ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi I-beng? Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"
Cia Sun kini merasa yakin bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai dan telah mengenal ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa gugup dan ketika kakek itu menerjangnya dengan tendangan-tendangan berputar yang amat dahsyat, pahanya kena tendangan dan dia pun terguling lagi. Dan sekali ini, sebelum dia sempat bangkit berdiri, tahu-tahu kakek itu sudah menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya!
Cia Sun memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa jika kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya, maka dia tak akan tertolong lagi. Akan tetapi jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya sehingga dia pun membuka mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya, akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.
"Iblis busuk, apa bila engkau hendak membasmi kelurga kami, lakukanlah. Bunuhlah, aku tidak takut mati!"
"Ha-ha-ha!" kakek itu menarik tangannya lantas melangkah mundur. "Orang muda, kalau aku ini Hek-hiat Lo-mo, apa kau kira engkau masih hidup sekarang ini?"
Sadarlah Cia Sun bahwa kakek ini sebenarnya bukanlah musuh, melainkan seorang aneh yang agaknya tadi sengaja hendak menguji ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa banyak sekali orang pandai di dunia ini yang berwatak aneh dan agaknya kakek ini pun seorang di antara orang-orang aneh itu yang tidak dikenalnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu bangkit duduk dan berlutut menghadap kakek itu.
"Maaf kalau saya sudah keliru menilai orang. Siapakah locianpwe sebenarnya?" tanyanya dengan sikap hormat.
"Orang muda, siapa adanya aku tidaklah begitu penting dan baru akan kujawab sesudah engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
Kini hilang sudah rasa marah dalam hati Cia Sun terhadap orang aneh yang dia percaya adalah seorang sakti ini. "Silakan bertanya, locianpwe."
"Engkau adalah putera dari keluarga gagah perkasa yang selalu mengutamakan kebaikan. Ibumu adalah seorang wanita gagah yang berhati mulia, dan murid-murid Pek-liong-pai pun adalah pendekar-pendekar yang baik hati. Akan tetapi, pada suatu hari malapetaka datang menimpa. Dua orang manusia berhati iblis datang menyebar maut, menewaskan ibumu dan para suheng-mu yang sama sekali tidak bersalah terhadap dua orang itu. Nah, kini aku hendak bertanya padamu. Apakah engkau ingin membiarkan saja kejahatan itu, sama sekali tidak mendendam dan tidak ingin mencari lantas membunuh kedua orang itu untuk membalas dan juga untuk membasmi orang-orang yang demikian jahatnya?"
Cia Sun mengepal tinju, hatinya terasa seperti api disiram minyak, semangatnya semakin berkobar. "Tentu saja, locianpwe! Saya akan berusaha mencari dan membunuh kedua iblis jahat itu!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Benarkah itu? Bukankah ayahmu, ketua Pek-liong-pai yang berhati mulia dan suka mengalah itu tidak menghendaki demikian?"
Diam-diam Cia Sun terkejut. Orang aneh ini agaknya tahu segala-galanya, bukan hanya yang menimpa keluarganya saja, akan tetapi juga tahu akan watak ayahnya. Tentu saja hatinya memberontak karena dia ingin mempertahankan kehormatan dan nama ayahnya, ingin membenarkan dan membela pendirian ayahnya. Akan tetapi pada saat itu batinnya sudah terlalu panas oleh dendam sehingga pertanyaan itu bahkan membuat dia melihat lebih jelas lagi akan kesalahan dalam pendapat ayahnya itu.
"Mungkin ayah berpendapat demikian, akan tetapi saya tidak! Saya tidak ingin menjadi orang selemah itu dan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa memberi hukuman dan tanpa membalas!"
"Jadi engkau ingin membelas dendam? Tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"
"Mereka adalah Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo."
"Tahukah pula engkau di mana adanya mereka?"
Cia Sun memandang bingung dan menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, locianpwe, tetapi saya akan mencari mereka sampai dapat!"
"Orang muda, semangatmu cukup besar, akan tetapi jangan mengira bahwa akan mudah saja mencari mereka. Mereka itu adalah pendatang dari Sailan dan kini menyembunyikan diri. Pula, andai kata dapat bertemu, belum tentu engkau sanggup mengalahkan mereka. Sekarang begini. Aku tertarik kepadamu, kagum akan kelihaian dan kegagahanmu. Ilmu silatmu sudah hebat dan jarang ada yang akan dapat menandingimu kalau ilmu-ilmu yang kau miliki itu sudah dapat kau kuasai sampai matang. Ibarat buah engkau ini masih belum matang benar, dan ibarat batu giok engkau belum lagi digosok. Maukah engkau menjadi muridku dan membiarkan aku membimbingmu selama satu tahun kemudian kutunjukkan kepadamu di mana adanya dua orang musuh besarmu itu?"
Bukan main girangnya hati Cia Sun. Tanpa banyak sangsi lagi dia cepat memberi hormat sambil berlutut dan menjawab. "Saya bersedia dan saya mau, locianpwe!"
"Nah, kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah Go-bi San-jin, seorang pertapa usil yang tak terkenal dan mulai sekarang engkau harus ikut bersamaku tanpa memberi tahu pada ayahmu."
"Baik, suhu. Teecu mentaati perintah suhu," kata Cia Sun.
Dan malam hari itu juga, dari makam ibunya dia langsung saja pergi mengikuti gurunya tanpa memberi tahukan ayahnya! Dendamnya sudah sedemikian besarnya sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat membalas kematian ibunya dan para suheng-nya.
Rumah besar di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu. Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik seorang hartawan kaya raya ber-she (marga) Siangkoan.
Akan tetapi hartawan yang kabarnya usianya telah lanjut sekali dan sakit-sakitan itu amat jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang sempat melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah, entah pergi ke mana.
Pendeknya, pemilik rumah besar itu dikenal orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan Siangkoan) yang sudah tidak terlihat aktip berdagang lagi, agaknya hanya seorang kakek pensiunan yang sedang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta kekayaannya. Namun kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan menyaksikan apa yang sering kali terjadi di dalam rumah itu, orang itu akan terheran-heran dan terkejut bukan main.
Kiranya kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk kaum sesat yang ditakuti oleh hampir semua anggota dunia hitam. Juga para pendekar di dunia kang-ouw merasa seram kalau mendengar namanya. Dia adalah Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis Buta!
Dengan menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan Lo-jin dapat terbebas dari gangguan. Dia pun lolos dari pengamatan para pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri.
Siangkoan Lo-jin diketahui sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui lain yang menjadi para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain.
Pada suatu malam sesudah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota Ta-tung yang dekat dengan kota raja, pada sebelah dalam rumah besar itu terjadi kesibukan. Kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu maka para komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri.
Kiranya pada malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, laksana iblis-iblis gentayangan, berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam yang memasuki rumah besar itu. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam, yang kini datang untuk memenuhi panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam persekutuan itu.
Menjelang tengah malam, pada waktu kota Ta-tung menjadi sunyi karena sebagian besar penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah sudah para tamu aneh yang berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Dan di dalam ruangan belakang, di sebuah ruangan yang luas, mereka duduk berkumpul mengelilingi sebuah meja besar panjang.
Para pelayan Siangkoan Lo-jin yang sebetulnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat walau pun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tak pernah dicurigai orang. Ruang itu cukup luas dan terang sekali sehingga tampak jelas wajah mereka yang duduk mengelilingi meja besar panjang.
Di kepala meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana, pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dengan pakaian hartawan yang dikenakannya bila mana dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah. Kini pakaian hitamnya sangat sederhana dan longgar.
Kedua matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tidak pernah berkedip. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi alat bantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang amat ampuh.
Sebetulnya kakek buta ini memiliki sebuah rumah di kota Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam, terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, di mana dia dikenal sebagai seorang hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.
Di sebelah kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci Kang tak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, pada saat masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah ibunya yang tewas ketika dia masih kecil.
Dia hidup bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta namun harus diakuinya bahwa ayahnya amat mencintanya, biar pun dengan caranya sendiri yang aneh. Seluruh ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat berbakat, biar pun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, akan tetapi dia telah dapat mewarisi kepandaian itu.
Siangkoan Ci Kang duduk diam bagai arca, ada pun wajahnya membayangkan hati yang dingin dan tidak pedulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, malah jubahnya terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, tetapi tubuhnya tinggi tegap.
Pada waktu itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sejak semula dia sudah tidak setuju ketika mendengar ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar korup Liu-thaikam.
Memang dia tidak setuju, namun betapa pun juga, sebagai seorang anak yang mencinta ayahnya, dia selalu turun tangan membantu ayahnya, walau pun bantuan itu lebih berupa perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu bila mana kawan-kawan ayahnya melakukan kejahatan.
Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi dia juga tahu, bahkan merasa yakin, bahwa sebenarnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang yang diracuni dendam sesudah kedua matanya menjadi buta. Ayahnya hanya ingin menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat.
Dia merasa kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu ternyata masih dapat menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.
Berturut-turut mereka datang dan kini sudah berkumpul di sana dengan lengkap. Semua tokoh Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama membantu Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin.
Sebenarnya Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat, tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Oleh karena nama sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seakan-akan ada sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia kawan di dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari mereka tidak merasa tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.
Mereka tengah bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan mereka dan juga hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk kelak dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan penasaran sekali.
"Brakkkk…!" Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar dari gerakannya.
"Sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang pejabat saja sampai gagal, dan bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati pula. Kegagalan itu sendiri tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam lumpur. Masakah kita yang sudah dikenal seluruh dunia sebagai tokoh-tokoh utama sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"
Kui-kok Lo-mo yang mewakili kawan-kawannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa dia pun jeri terhadap kakek buta itu. "Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur sebaik-baiknya, bahkan kami juga dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi pemuda Cin-ling-pai itu benar-benar menjemukan! Kini dia pula yang menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan ia pula yang menyelamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kauwsu. Dan ternyata bahwa pesta itu pun agaknya sudah diatur oleh pemuda itu untuk menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah berhasil dengan baik semua."
“Pemuda keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan suara lantang dan marah.
"Bukan hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!" Suara Kiu-bwe Coa-li melengking ketika dia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang terkejut.
"Anak Pendekar Sadis? Yang mana?" Kui-kok Lo-bo bertanya, terkejut ketika mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya nampak kaget.
"Hi-hik, sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dan tidak mengenal dia. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Dia adalah puteri atau anak tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang dia memakai pakaian wanita biasa, tapi kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu kepandaiannya sangat tinggi, agaknya sudah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu belum tahu akan rahasia itu sehingga dia yang sudah tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik dari pada mereka.
"Aihhh, perempuan setan itukah yang kau maksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget. "Apakah dia yang pernah kita jumpai di kuil Dewi Laut di kota Ceng-tao?" Ia memandang kepada Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan rekannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri.
Kakek iblis ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu kemudian bertanding melawan seorang gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah. Kiranya gadis itu adalah puteri Pendekar Sadis! Memang demikian, di antara para tokoh sesat yang dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini mempunyai tingkat kepandaian yang paling rendah maka biar pun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi Sui Cin.
"Brakkk!" kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja.
Diam-diam dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biar pun dia lihai akan tetapi dia tak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal kedua orang muda yang sudah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah dihukum mati dan semua hartanya telah disita, ini berarti bahwa usaha yang dipupuknya selama ini berantakan sama sekali.
"Sungguh amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha kita gagal. Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi dua orang muda itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.
Sejak tadi Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan ayahnya, dia pun menarik napas panjang. "Aku sudah pernah bertemu dengan mereka dan menurut penglihatanku, sungguh pun mereka itu merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar biasa!"
"Kalau begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.
"Karena mereka berada pada pihak yang benar dan di belakang mereka terdapat pasukan pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.
"Keparat! Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"
Enam orang tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi tiba-tiba Tho-tee-kwi yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Biar pun kasar dan liar, akan tetapi raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu setengah kali orang biasa ini amat cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia tak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.
“Heh, bukan aku takut menghadapi mereka, akan tetapi jika memusuhi ketua Cin-ling-pai dan terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol?" Suaranya itu segera membuat para rekannya saling pandang dengan muka berubah agak pucat.
Memang, bagaimana pun juga mereka sudah mendengar tentang kehebatan tokoh-tokoh yang hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis yang membuat mereka harus berhitung sampai seratus kali sebelum benar-benar turun tangan memusuhinya.
"Dalam hal ini, nama Cap-sha-kui ikut tersangkut. Jika kalian semua sebanyak tiga belas orang maju bersama, apakah masih takut juga? Dan aku sendiri pun tidak akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Tidak, ayah, aku tidak mau!"
Ucapan Ci Kang ini membuat semua orang sangat terkejut hingga para tokoh Cap-sha-kui memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.
"Apa...? Apa kau bilang tadi, Ci Kang?" Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin, lirih dan lambat, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
Siangkoan Ci Kang tetap tenang saja walau pun dia tahu bahwa ayahnya beserta sekutu ayahnya itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya. "Aku tidak mau mewakili ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."
Terdengar suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang sudah berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu.
Melihat betapa tongkat itu menyambar cepat hingga sulit diikuti pandang mata dan betapa besar bahaya maut mengancam apa bila diserang oleh kakek buta itu, diam-diam enam orang Cap-sha-kui itu bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walau pun mereka juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apa lagi kalau lengkap tiga belas orang, kakek buta itu pun belum tentu akan mampu melawan mereka.
"Ci Kang, apa artinya ucapanmu itu? Apakah engkau hendak menjadi anak durhaka dan mengkhianati ayahmu sendiri?"
"Tidak, ayah. Akan tetapi semenjak dulu pun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya. Kegagalan yang lalu sudah semestinya menjadi peringatan supaya ayah menghentikan semua kegiatan yang tidak sehat itu. Aku tidak senang melihat ayah melakukan kejahatan dan mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."
"Brakkk!"
Ujung tepi meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.
"Ci Kang, aku sudah tua dan aku telah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam. Engkau harus lebih berhasil dari pada aku, anakku, dan..."
"Maaf, ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan dalam bentuk apa pun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."
"Tutup mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak dari hasil pekerjaan ayahmu? Kau kira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..." Kakek itu cepat menahan diri karena baru dia teringat bahwa di situ terdapat orang-orang lain yang turut mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka semua rahasia keluarganya.
"Ayah, aku tidak menghendaki semua harta itu. Jauh lebih baik aku hidup miskin dan tidak mempunyai apa-apa dari pada harus mendapatkan harta kekayaan melalui kejahatan."
"Sombong engkau! Katakan saja bahwa engkau jeri dan takut terhadap Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, engkau takut menghadapi manusia-manusia sombong yang menamakan diri mereka kaum bersih, golongan putih atau para pendekar. Engkau memang pengecut, penakut..."
"Aku tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para pendekar itu jauh lebih bersih dari pada penghidupan kaum sesat..."
"Anak durhaka...!" Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat.
Akan tetapi pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia telah meloncat bangun dan berdiri kembali. Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena serangannya gagal, segera menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan serangan yang lebih hebat lagi.
Biar pun buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam dari pada orang lain sehingga dalam menghadapi lawan, dia sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan serta mengetahui di mana lawan berada! Melihat ayahnya telah nekat dan menyerangnya secara mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan meloncat agak jauh ke dekat pintu.
"Ayah!" teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan karena dibikin buta, ayah kemudian berubah dan menjadi pemimpin para datuk sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah membikin buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"
"Keparat, kalau begitu aku akan membunuhmu!" Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan menjadi marah sekali itu sudah meloncat ke arah puteranya, kemudian menusukkan tongkatnya.
Akan tetapi Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka dia pun tahu akan kehebatan serangan itu. Tiba-tiba saja tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke atas lantai, kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi. Pemuda ini sudah mempergunakan ginkang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan di situ dia berdiri tegak, sama sekali tak bergerak, bahkan pernapasannya pun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi.
Dia tahu akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran. Maka kini, sesudah dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu ke mana perginya Ci Kang!
"Anak durhaka, jangan lari kau! Di mana engkau? Kurang ajar! Heii, apakah kalian sudah berubah menjadi patung semua? Hayo bantu aku untuk menangkap dan membunuh anak durhaka itu!" Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan melihat bentrokan antara ayah dan anak itu.
Kini, mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, dan selalu mereka segan kepada pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pendiam dan tidak banyak cakap itu. Sekarang pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju, kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan mati konyol.
"Lo-jin, puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok Lo-mo berseru sehingga teman-temannya menjadi lega.
Memang mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu sebelum mereka turun tangan membantu Siangkoan Lo-jin. Begitu mendengar ucapan ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin melompat ke kanan, dengan kecepatan luar biasa tongkatnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya. Ketika Siangkoan Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala puteranya.
Sebuah serangan yang sangat berbahaya dan cepat, mengandung maut! Sungguh amat berbahaya bila mengelak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari jurusan lain, maka jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang. Sebenarnya dia tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang mencengkeram, terpaksa dia harus mengerahkan tenaganya menangkis.
"Dukkk!"
Dua tenaga besar itu bertemu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin berusaha melompat ke belakang untuk mematahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, ada pun Ci Kang sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu!
Melihat betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang Cap-sha-kui itu menjadi berani dan mereka pun melakukan pengejaran keluar ruangan.
"Orang muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya. Angin keras menyambar disertai uap tipis putih keluar dari sepasang telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini ketika dia menyerang ke arah Ci Kang.
"Jangan kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan dia pun mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.
"Desss...!"
Keduanya terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat suaminya sampai terpental. Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang mempunyai tingkat lebih rendah, menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar rumah kemudian melarikan diri.....
Marahlah hati Siangkoan Lo-jin ketika mendapatkan kenyataan bahwa puteranya berhasil lolos. "Kalian ini sungguh sekelompok orang yang tidak berguna. Kalian membiarkan anak durhaka itu lolos begitu saja, tanpa mengejar?"
“Jangan salah mengerti, Lo-jin. Kami masih ragu-ragu untuk mengejar, karena betapa pun juga dia adalah putera tunggalmu, kami masih belum yakin benar apakah engkau hendak melihat dia terbunuh oleh kami," kata Kui-kok Lo-mo dengan cerdik.
"Bodoh! Siapa main-main?! Dari pada melihat anakku sendiri durhaka dan menentangku, lebih baik melihat dia mampus. Sekarang kuperintahkan kepada kalian, semua anggota Cap-sha-kui, untuk selain memusuhi Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, juga mencari dan menyeret anak durhaka itu ke depan kakiku agar aku dapat menghukumnya sendiri! Nah, pergilah kalian, aku tak ingin diganggu lagi!"
Enam orang itu lalu berkelebatan pergi sehingga kakek buta itu kini berada seorang diri di dalam ruangan. Dia berdiri seperti patung, termenung, dan dia membayangkan puteranya sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan selalu menentang kejahatan sehingga namanya dipuja serta dikagumi semua pendekar di dunia kang-ouw.
Tanpa terasa lagi, bibirnya yang kering itu tersenyum. Teringatlah dia akan dirinya sendiri. Menjadi seorang gagah yang dikagumi oleh seluruh dunia adalah cita-citanya, dan karena cita-cita itu tidak dapat terlaksana melalui kebaikan, dia hendak mengejar nama besar itu melalui kejahatan dengan memimpin kaum sesat dan menjadi orang jahat nomor satu di dunia! Kalau puteranya bisa menjadi orang yang paling menonjol dan terkenal, tak peduli sebagai penjahat nomor satu atau pendekar nomor satu, dia akan merasa bangga!
Akan tetapi dia sudah memerintahkan Cap-sha-kui untuk memusuhi anaknya! Tidak apa, memang seharusnya begitu. Jika anakku itu ingin menjadi pendekar nomor satu di dunia, maka dia harus sanggup menghadapi Cap-sha-kui, bahkan dia harus mampu membasmi Cap-sha-kui! Apa bila anaknya yang tidak mau menjadi penjahat nomor satu itu tidak bisa menjadi pendekar nomor satu, biarlah anaknya mati saja dari pada menjadi manusia yang tidak terkenal sama sekali!
Pemikiran seperti yang berada dalam batin Siangkoan Lo-jin itu mungkin akan kita anggap gila dan tidak lumrah. Akan tetapi, kalau kita mau membuka mata mengamati kehidupan di sekeliling kita, akan kita temui bahwa hampir setiap orang tidak jauh bedanya dengan Siangkoan Lo-jin ini.
Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak ini telah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menuturkan betapa kakeknya dulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan nomor satu, seorang penjudi paling hebat dan sebagainya? Mereka ini bercerita dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan betapa kakek mereka dulunya seorang yang paling terhormat, paling kaya atau tertinggi kedudukannya.
Juga hampir semua orang bercerita dengan bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang bercerita dengan suara malu-malu dan rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling patuh, paling pintar dan sebagainya. Kita sudah berwatak ingin menonjolkan diri, baik diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang dapat menjadi anakku, keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.
Membayangkan betapa puteranya akan menjadi seorang yang sangat terkenal, kakek itu terkenang akan keadaan dirinya sendiri yang serba gagal. Dia lalu meraba-raba dengan tongkatnya, menemukan sebuah kursi, menjatuhkan dirinya di atas kursi itu dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua tetes air mata yang jatuh ke atas pipi.
Restoran itu cukup ramai dan besar, dan malam hari itu restoran ini dikunjungi banyak tamu. Restoran Ban Lok memang merupakan sebuah restoran yang terkenal mempunyai masakan enak, paling terkenal di seluruh kota Cin-an. Ketika Ci Kang memasuki restoran itu, untung baginya dia masih kebagian meja yang paling sudut.
Dia memasuki restoran, tidak peduli akan pandangan orang kepadanya. Memang pakaian pemuda ini agak menyolok, tidak mewah seperti pakaian para tamu lain. Pakaian Ci Kang yang amat sederhana, dengan jubah kulit harimau, membuatnya tampak sebagai seorang pemburu, tidak ada keduanya di restoran itu.
Ketika dia melewati serombongan orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar, ada empat pasang mata yang memandangnya dengan senyum mengejek dan hidung sering dikembang-kempiskan seperti orang sedang mencium bau busuk, akan tetapi ada pula dua pasang mata halus yang memandang kepadanya, ke arah wajahnya, dengan pandang mata kagum.
Empat pasang mata yang terutama memandang kepada bajunya itu adalah mata empat orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian mewah, akan tetapi dengan sekali pandang saja tahulah Ci Kang bahwa mereka adalah orang-orang yang tergolong penjahat yang suka melakukan hal-hal yang tidak baik untuk mencari uang.
Ada pun dua pasang mata halus itu adalah mata dua orang wanita yang juga berpakaian mewah. Mereka itu adalah dua orang wanita muda yang usianya antara dua puluh tahun, cantik manis akan tetapi melihat sikap mereka yang genit dengan gaya yang dibuat-buat untuk memikat hati orang, Ci Kang juga mengenal sifat berandalan pada dua orang wanita itu sehingga bisa menduga bahwa mereka tentu pelacur-pelacur yang dibawa ke restoran untuk pesta oleh empat orang itu yang agaknya baru saja memperoleh hasil banyak dari pekerjaan kotor mereka.
Akan tetapi Ci Kang tak peduli, kemudian duduk memesan nasi, sayur dan air teh panas. Sudah menjadi wataknya untuk tidak mencampuri urusan orang dan tidak memperhatikan orang lain. Dengan sekali pandang saja dia sudah dapat melihat keadaan. Kalau tadi dia memandang ke arah enam orang itu hanyalah karena kewaspadaan saja, bukan karena ingin tahu.
Setelah hidangan yang dipesannya datang, diantar oleh seorang pelayan, ketika Ci Kang mengangkat muka untuk menerima hidangan itu, kembali dia melihat betapa dua orang wanita cantik yang genit-genit itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum dan melemparkan kerling. Bahkan keduanya cekikikan sambil saling berbisik dan memandang kepadanya, jelas sekali mereka itu sedang membicarakan dirinya.
Melihat ini, Ci Kang segera menundukkan muka dan menghindarkan pertemuan pandang mata dengan mereka. Hatinya sedang murung, ada pun sikap dua orang wanita cantik itu menambah kemurungan hatinya. Dia masih belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi di dalam pertemuan antara ayahnya dengan para tokoh Cap-sha-kui itu.
Dia benar-benar menyesali sikap ayahnya yang demikian keras dan kejam, bahkan tega hendak membunuhnya. Dia yakin benar akan nafsu membunuh ayahnya ketika ayahnya menyerang dalam keadaan marah dan hal ini sungguh amat menyakitkan hatinya.
Dia merasa benar betapa ayahnya amat mencintanya, amat sayang kepadanya dan telah mencurahkan kasih sayangnya itu sejak dia masih kecil. Akan tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya mengejar ambisi, dan untuk itu ayahnya bisa bersikap dan berbuat kejam seperti yang telah ditunjukkannya, yaitu dengan cara hendak membunuhnya, putera kandungnya sendiri.
"Heii, kalian melihat siapa sih? Kenapa lirak-lirik dan senyam-senyum saja kepada orang itu?" terdengar seorang di antara empat pria itu menegur.
Ci Kang mendengar ini dan sudah dapat menduga bahwa yang ditegur tentulah dua orang pelacur itu dan yang dimaksudkan dengan ‘orang itu’ tentulah dia sendiri. Akan tetapi dia terus makan minum dan tidak peduli.
"Percuma kami keluarkan banyak uang kalau kalian main mata dengan pria lain!" tegur suara orang ke dua.
"Apakah pelacur-pelacur masih mata keranjang melihat orang muda dan tampan?" orang ke tiga berkata.
"Uhhh, biar muda dan tampan, kalau kotor seperti itu, sungguh menjijikkan. Agaknya tak pernah berganti pakaian dan siapa tahu makanan itu tak akan dibayarnya!" ejek orang ke empat dan mereka berempat tertawa-tawa. Dua orang pelacur itu pun ikut tertawa walau pun suara ketawa mereka itu paksaan atau terdorong oleh kegenitan mereka.
Tentu saja Ci Kang mendengar semua itu dan tahu bahwa mereka molontarkan hinaan-hinaan kepada dirinya, bahkan mendengar suara mereka meludah-ludah ketika orang ke empat mengatakan bahwa dia kotor dan menjijikkan. Akan tetapi di dalam batin Ci Kang tersenyum, mentertawakan orang-orang itu karena dari sikap mereka itu, mereka seperti memperlihatkan kepada umum orang-orang macam apa adanya mereka.
Dia tidak mau melayani dan melanjutkan makan nasi dan sayur dengan cepat, lalu minum sedikit arak dan teh. Setelah semuanya selesai, dia pun cepat membayar harga makanan dan hendak meninggalkan restoran yang masih banyak pengunjungnya itu.
Empat orang itu memang jagoan-jagoan yang terkenal bengis dan ditakuti orang di kota Cin-an. Karena itu, biar pun semua orang juga mendengar ucapan-ucapan mereka yang menghina orang, tapi tidak ada yang mau mencampuri karena mencampuri urusan empat orang itu berarti mencari penyakit. Sedangkan empat orang jagoan itu memang sengaja melontarkan kata-kata tadi untuk menghina dan memancing kemarahan Ci Kang.
Pemuda itu makan di restoran ini tanpa mengganggu siapa pun juga, bahkan tidak pernah menoleh kepada mereka, maka tak ada alasan bagi mereka untuk mengganggu Ci Kang. Maka, karena hati mereka panas melihat betapa dua orang pelacur yang mereka bawa itu nampaknya tertarik kepada Ci Kang, mereka lantas melontarkan kata-kata hinaan untuk memancing supaya pemuda itu marah-marah sehingga mereka mempunyai alasan untuk menghajarnya. Siapa sangka pemuda itu sama sekali tidak mau menyambut atau saking tolol atau takutnya tidak berani menjawab.
Melihat betapa pemuda itu sudah bangkit dan hendak pergi, dan kini dua orang pelacur itu mendapat kesempatan untuk menatap wajah pemuda itu dengan pandang kagum, empat orang itu tidak dapat menahan kemarahan dan iri hati mereka. Sesudah saling pandang dan mengangguk, mereka lantas bangkit dari kursi mereka dan berloncatan menghadang Ci Kang yang hendak keluar dari restoran.
Melihat hal ini, para tamu yang telah mengenal empat orang jagoan itu menjadi ketakutan sehingga sebagian di antara mereka cepat menyingkir ke tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati khawatir.
Melihat empat orang itu berdiri menghadangnya, Ci Kang mengerutkan alisnya. Jelaslah bahwa empat orang yang menyeringai ini sengaja mencari keributan. Dia masih mencoba untuk menghindar dan mencari jalan keluar lain, akan tetapi gerakan ini oleh empat orang itu dianggap sebagai tanda takut, maka mereka segera mengurungnya sambil tersenyum lebar. Ci Kang kehabisan jalan, dan terpaksa dia mengangkat muka memandang mereka satu demi satu.
Empat orang itu amat terkejut melihat sinar mata yang mencorong itu, akan tetapi karena sejak tadi sikap pemuda itu yang tidak pernah memperlihatkan perlawanan, membuat hati mereka menjadi besar. Mereka sengaja hendak berlagak di depan dua orang pelacur itu dan ingin membikin malu kepada pemuda yang agaknya sudah menarik hati dan dikagumi oleh dua orang pelecur yang mereka sewa.
"Ha-ha-ha, bocah petani busuk, bersihkan dulu sepatu kami baru engkau boleh pergi dari sini!" kata seorang di antara mereka yang kumisnya lebat. Tiga orang temannya tertawa sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan memandang rendah.
Ci Kang tidak marah, hanya merasa muak dengan sikap mereka. Tanpa mempedulikan mereka, dia lalu melangkah maju dan ketika si kumis tebal yang berada di hadapannya itu mengangkat tangan ingin memukul, dia tidak mempedulikan dan melangkah terus hendak menabrak tubuh si kumis tebal.
Tentu saja si kumis tebal menjadi marah dan melanjutkan pukulannya ke arah kepala Ci Kang dan melihat ini, tiga orang kawannya juga sudah menggerakkan tangan menyerang Ci Kang dari kanan kiri dan belakang. Sekaligus, pemuda remaja itu diserang oleh empat orang dari empat jurusan, akan dipukuli begitu saja tanpa salah apa-apa.
Sejenak empat orang itu mengira bahwa pemuda itu tak akan melawan dan akan mandah saja mereka pukuli karena tubuh Ci Kang sama sekali tak nampak bergerak atau bersiap melawan. Akan tetapi, ketika tangan empat orang itu sudah tiba dekat tubuhnya, tiba-tiba saja Ci Kang menggerakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan sambil memutar tubuh menggeser kaki lantas terdengarlah suara tulang patah berturut-turut dan empat orang itu mengaduh-aduh sambil terpelanting ke belakang, jatuh dan memegangi tangan yang tadi dipakai menyerang karena lengan tangan itu telah patah-patah tulangnya ketika disambar tangan pemuda itu.
Ci Kang sama sekali tidak mempedulikan mereka lagi. Seperti tak pernah terjadi sesuatu, dengan wajah dingin dan langkah tenang pemuda ini lalu meninggalkan restoran itu, diikuti pandang mata semua orang yang terbelalak penuh keheranan dan kekaguman.
Empat orang itu bagaikan empat orang anak kecil, yang karena tololnya memukul benda keras sehingga tangan mereka sakit sendiri. Akan tetapi mereka langsung maklum bahwa pemuda berwajah dingin yang tadinya hendak mereka jadikan korban penghinaan mereka itu ternyata adalah seorang pemuda yang sakti, maka akhirnya mereka pun hanya berani memandang dengan muka pucat karena gentar dan karena menahan rasa nyeri dan tidak berani mengejar.
Peristiwa di dalam restoran itu tentu saja menjadi buah bibir para tamu sesudah mereka meninggalkan restoran. Akan tetapi, karena Ci Kang tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan di dalam peristiwa itu tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata, orang-orang hanya dapat menduga-duga siapa gerangan pemuda remaja berwajah dingin tetapi amat lihai itu.
Sementara itu Ci Kang terus melanjutkan perjalanannya, meninggalkan kota Cin-an pada malam hari itu juga karena dia tidak ingin dirinya terlibat lagi dalam keributan lain sebagai lanjutan dari peristiwa di dalam restoran tadi. Sebagai putera seorang datuk sesat yang sudah banyak mengenal watak para penjahat, Ci Kang pun mengerti bahwa orang-orang macam penjahat-penjahat kecil seperti yang beraksi di restoran tadi tentu memiliki kepala atau pemimpin.
Orang-orang semacam itu tidak pernah mau mengenal kelemahan sendiri. Mereka tentu tidak mau sudah begitu saja, melapor kepada kepala mereka atau mengumpulkan semua kawan mereka kemudian mencarinya untuk melakukan pembalasan. Orang-orang seperti itu tidak mempunyai kejantanan sedikit pun juga, dan mereka tidak akan malu-malu untuk mengandalkan pengeroyokan serta kecurangan lain.
Oleh karena dia tak ingin direpotkan oleh urusan tetek bengek macam itu, maka lebih baik malam itu juga dia pergi meninggalkan kota Cin-an, bukan karena takut melainkan karena segan berurusan dengan penjahat-penjahat kecil itu.
Ci Kang tidak pernah menyangka bahwa urusan kecil di rumah makan itu memang tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan mendatangkan akibat yang amat besar. Peristiwa itu menjadi buah bibir orang di kota Cin-an karena disebar oleh para tamu restoran yang menyaksikan keributan itu sehingga terdengar pula oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang pada keesokan harinya kebetulan tiba di kota itu.
"Heh, tak salah lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu tentulah Siangkoan Ci Kang," kata Kiu-bwe Coa-li.
"Benar, dan kita harus cepat mengejarnya!" kata Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa? Apa perlunya kita mengejarnya?" tanya Tho-tee-kwi dengan suara tak acuh.
Yang lain-lain juga segera memandang kepada kakek jubah putih itu. Di samping tingkat kepandaiannya paling tinggi, juga Kui-kok Lo-mo selalu tampil bersama dengan isterinya yang juga amat lihai sehingga suami isteri ini dianggap sebagai pemuka oleh empat orang rekannya.
"Apa perlunya? Tentu saja untuk menangkapnya lantas menyeretnya kepada Siangkoan Lo-jin, hidup atau mati." jawab Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa kita harus mencampuri urusan ayah dan anak itu?"
Kembali yang bertanya itu adalah Tho-tee-kwi. Di antara empat orang rekan suami isteri dari Kui-kok-san itu, hanya raksasa inilah yang kelihatan tidak gentar menentangnya dan sikapnya selalu kasar, liar dan tak acuh. Tiga orang rekan yang lain menunggu jawaban pertanyaan ini yang mereka anggap mampu mewakili keraguan hati mereka sendiri untuk mencampuri urusan keluarga Siangkoan.
"Begitu bodohkah engkau maka hal demikian saja engkau tidak mengerti? Apakah kalian merasa senang kalau selalu diperkuda oleh Siangkoan Lo-jin? Cap-sha-kui yang selama ini merajalela dan merajai dunia persilatan, kini harus tunduk kepada seorang kakek buta! Lihat, di antara kita tiga belas orang, hanya kita berenam saja yang tolol sehingga mau diperkuda olehnya. Kalau kita tempo hari merendahkan diri dan mau membantunya, hal itu adalah karena harapan imbalannya yang amat besar, selain harta benda juga mungkin kedudukan tinggi yang akan kita terima dari Liu-thaikam. Namun sekarang? Liu-thaikam sudah tidak ada, untuk apa kita masih terus merendahkan diri di bawah kekuasaan kakek buta itu lagi?"
"Nah, jika begitu, kenapa sekarang kita masih harus mentaati perintahnya untuk menyeret pemuda itu ke depan kakinya?" Hwa-hwa Kui-bo bertanya heran.
"Kakek buta itu tentu takkan mengampuni kita jika mendengar bahwa kita menentangnya. Dan kakek itu sendiri sesungguhnya hanya seorang tua bangka buta, betapa pun lihainya. Yang membuat dia kuat adalah puteranya itu. Kalau dia dan puteranya itu maju bersama, sungguh sukar untuk ditundukkan. Sekarang mereka itu saling bentrok, maka kita harus dapat mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk menghancurkan kekuatan ayah dan anak itu. Kalau kita sudah berhasil membunuh anaknya, apa sukarnya bagi kita untuk menghadapi tua bangka buta itu? Dia sudah menyeret kita semua ke dalam persekutuan, berarti sudah merugikan kita, dan sudah cukup lama dia meremehkan dan merendahkan kita sebagai pembantu-pembantunya. Sekarang tibalah saat pembalasan kita!"
Memang kehidupan para kaum sesat selalu dipengaruhi oleh nafsu angkara murka serta dendam kebencian, maka pendapat Kui-kok Lo-mo ini segera mendapatkan persetujuan seluruh rekannya dan berangkatlah mereka bergegas untuk mencari jejak Siangkoan Ci Kang dan melakukan pengejaran.
Tidaklah mengherankan kalau pada keesokan harinya, selagi Ci Kang berjalan sendirian di luar sebuah dusun yang sunyi, di bawah terik matahari, tiba-tiba saja dia mendengar orang-orang berteriak memanggil namanya dan ketika dia berhenti, dia langsung tersusul oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kini sudah berdiri di hadapannya dan setengah mengepungnya.
Ci Kang memandang heran sambil mengerutkan alisnya. Sejak pertama kali orang-orang ini membantu ayahnya, dia memang sudah tidak suka kepada mereka. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo amat menjemukan hatinya karena kedua orang kakek dan nenek ini seolah-olah berlomba untuk memikat dirinya. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang nenek kejam yang mengerikan dengan tubuh serta wajahnya yang buruk, ditambah lagi nenek ini suka bermain-main dengan ular, menjijikkan. Suami isteri dari Kui-kok-san itu pun menimbulkan rasa muak karena mereka berdua itu seperti mayat hidup saja. Ada pun Tho-tee-kwi yang suka makan daging manusia itu memang menjemukan hatinya.
"Ada keperluan apakah cu-wi memanggil-manggil dan menyusulku?" tanyanya singkat.
Yang menjawab adalah Kui-kok Lo-mo, dia mewakili rekan-rekannya, "Siangkoan Ci Kang, kami disuruh ayahmu untuk membawamu pulang."
Ci Kang mengangkat muka dan memandang kakek itu. Dia tahu akan adanya perubahan sebab kakek itu biasanya tidak memanggil namanya begitu saja. Biasanya mereka semua menyebutnya Siangkoan kongcu atau Siangkoan sicu dengan sikap dan nada yang amat menghormat.
"Kalau aku tidak mau?" tanyanya sebagai jawaban.
"Kami sudah diberi wewenang untuk memaksamu dan membawamu pulang, hidup atau mati. Kalau engkau menolak maka kami akan menggunakan kekerasan!"
Tanpa menanti jawaban Ci Kang, begitu Kui-kok Lo-mo berkata demikian, isterinya sudah menerjang pemuda itu dengan tamparan tangannya. Serangan ini dilakukan oleh Kui-kok Lo-bo dari samping kiri dan tangan kanannya yang mengandung hawa panas menyambar ke arah pelipis kiri Ci Kang.
Pemuda ini maklum betapa ampuhnya tamparan nenek itu, maka dia pun cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang dan menarik tubuh atasnya ke belakang. Tamparan itu luput dan lewat di depannya sehingga terasa hawa panas menyambar mukanya. Pada saat itu, Kui-kok Lo-mo yang melihat isterinya sudah mulai menyerang, juga menerjang ke depan dan melakukan serangan yang tak kalah ampuhnya. Ci Kang cepat menangkis dan segera pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri dari Kui-kok-san itu. Maka terjadilah perkelahian yang amat seru.
Tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda remaja yang istimewa. Bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia sudah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan suami isteri itu, tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, atau ilmu silatnya kalah matang.
Mengingat bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang tinggi ilmunya, tentu saja Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat ketika dikeroyok dua. Andai kata suami isteri itu maju satu demi satu, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang.
Akan tetapi begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat bekerja sama secara baik sekali di dalam serangan-serangan mereka, maka Ci Kang terdesak hebat dan lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mampu mengelak ke sana-sini sambil kadang kala menangkis, tanpa mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan tubuhnya telah menerima beberapa hantaman dan tendangan, akan tetapi berkat kekebalannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan.
Ci Kang yang keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari? Di sana terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga lari pun, dalam keadaan terluka-luka, akan percuma saja. Dan dia pun tahu bahwa tidak ada harapan baginya untuk lolos. Baru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apa lagi kalau empat orang tokoh lain itu ikut maju mengeroyok.
Melihat cara kedua orang suami isteri itu menyerang dengan pukulan-pukulan maut, maka tahulah Ci Kang bahwa mereka menghendaki kematiannya. Karena itu dia pun membela diri sebaik mungkin, segera mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya.
Hebat bukan main sepak terjang pemuda ini. Meski pun terdesak hebat, akan tetapi tidak mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja maka pemuda itu akan membalas dengan serangan maut yang berbahaya.
"Hentikan tangismu, hapus air matamu. Tidak pantas membiarkan perasaan dipengaruhi pikiran sehingga menimbulkan kelemahan. Tidak ada gunanya semua itu."
Pemuda itu berhenti terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, lalu dia memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh tanya dan penasaran. Pemuda itu adalah Cia Sun, sedangkan yang bersila di depannya adalah ayahnya, Cia Han Tiong.
Baru saja Cia Sun pulang ke Lembah Naga sesudah melakukan perantauan ke selatan. Ketika pagi hari itu dia sampai di lembah, dia merasa heran mengapa keadaan demikian sunyinya dan mengapa pula pandangan mata para petani gunung kepadanya demikian ganjil dan penuh rasa iba. Hetinya merasa tidak enak dan dia menghampiri seorang kakek petani lalu bertanya mengapa mereka memandangnya seperti itu.
"Kakek Phoa, aku adalah Cia Sun, apakah kakek beserta saudara sekalian sudah lupa? Ha-ha, baru saja aku pergi merantau selama satu tahun dan kalian memandangku seperti aku ini orang asing bagi kalian."
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat beberapa orang petani wanita menangis dan pergi meninggalkannya. Juga kakek itu memandang kepadanya dengan mata basah oleh air mata.
"Kakek Phoa, apakah yang sudah terjadi?" Dia memegang lengan kakek itu dan bertanya dengan mata terbelalak, hatinya gelisah sekali.
Dan kakek itulah yang bercerita. Betapa orang tuanya didatangi penjahat, betapa banyak murid Pek-liong-pai tewas oleh para penjahat, juga ibunya turut tewas. Ibunya! Tewas di tangan orang jahat! Mendengar ibunya tewas, Cia Sun tidak menunggu sampai kakek itu melanjutkan ceritanya. Dia sudah meloncat dan lari menuju ke pondok orang tuanya.
Didapatkannya rumah itu sunyi dan kotor. Sesudah dia masuk, nampak ayahnya sedang duduk bersila di dalam kamar. Ayahnya nampak menjadi sangat tua dan kurus. Maka dia langsung menjatuhkan diri berlutut dan menangis sampai ayahnya menyuruhnya berhenti menangis.
“Ayah, siapakah yang membunuh ibu?" Hanya itu yang dapat dikatakan setelah tangisnya dihentikannya.
Ayahnya tidak menjawab, hanya memandang padanya. Sejenak ayah dan anak ini saling pandang.
"Anakku, apakah maksudmu dengan pertanyaan itu? Hanya sekedar ingin tahu, apakah di baliknya tersembunyi dendam sakit hati?"
Cia Sun sudah mengenal watak ayahnya, bahkan sejak kecil dia bukan hanya digembleng ilmu silat dan sastera, akan tetapi juga tentang filsafat kehidupan. Akan tetapi pada waktu itu hatinya terlampau sakit dan sedih mendengar bahwa ibunya tewas oleh musuh, maka dia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya.
"Akan tetapi, ayah. Sebagai seorang anak, aku mendengar bahwa ibuku dibunuh orang. Apakah aku harus diam saja menerima nasib? Lalu menjadi anak macam apakah aku ini? Mana kebaktianku terhadap ibu kandungku, ayah?"
"Hemm, dengan lain kata-kata, engkau hendak menanyakan pembunuh ibumu agar dapat mencarinya lalu membalas dendam, membunuhnya untuk membalas sakit hatimu?"
"Bukankah hal itu sudah wajar saja, ayah? Sebagai anak ibu, apa bila aku tidak mencari pembunuhnya kemudian membalaskan sakit hatinya, apakah ibu tak akan menjadi setan penasaran?"
"Cia Sun!" Ayahnya membentak dan di dalam suara pendekar ini terkandung wibawa yang kuat. Nadanya bukan kemarahan, namun memperingatkan dan tegas sekali. "Dengarlah baik-baik, buang dulu semua nafsu yang memenuhi batinmu. Cia Sun, bukalah mata dan lihatlah. Apakah engkau mengira bahwa ibumu yang sudah meninggal dunia itu sekarang menjadi setan penasaran yang haus darah, yang akan menyeringai kegirangan melihat anak kandungnya menjadi pembunuh? Serendah itukah engkau menilai ibumu?"
Tentu saja Cia Sun terkejut sekali dan dia mengangkat muka memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak. "Tidak...! Tentu saja tidak! Bukan begitu maksudku, ayah!"
"Kalau bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat membunuh orang! Apa yang hendak kau lakukan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan ibumu, akan tetapi keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."
Getaran dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu timbul akibat ia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan rasa senang di hatinya.
"Baiklah, ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan tadi. Akan tetapi apakah yang telah terjadi? Apakah kesalahan ibu maka dia sampai dibunuh orang?"
Cia Han Tiong lalu menarik napas panjang. "Dendam... dendam... balas membalas, baik membalas budi mau pun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang karena dendam terhadap keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, lalu ibumu serta belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu mengenai mereka itu, anakku? Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian di hati mereka saja dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal?"
Cia Sun mengepal tinju dan mengangguk. "Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.
"Bagus!" kata ayahnya. "Dan sekarang engkau pun ingin menjadi seperti mereka, hendak mencari orang-orang yang tak kau kenal untuk kau bunuh hanya untuk memuaskan nafsu kebencianmu?"
Cia Sun terkejut, tak menyangka bahwa ke situ maksud ayahnya. "Tapi, ibu telah mereka bunuh, juga para suheng!"
"Rasa penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam dan bunuh membunuh, lalu menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu, terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas membalas tiada akhirnya? Mata rantai itu sekarang berada di tanganmu, mau kau patahkan ataukah mau kau sambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau mendendam, lantas mencari pembunuh ibu dan para suheng-mu, kemudian engkau membunuh mereka. Apakah kau kira sudah selesai sampai di sana saja? Kalau murid atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, pasti mereka pun akan mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau keturunanmu. Terus menerus begitu, tak ada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan menghapus dendam sekarang juga maka rantai belenggu itu pun patah."
Cia Sun termenung, lalu menarik napas panjang. "Ayah, dari ajaran ayah yang lalu, aku dapat mengerti tentang penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimana pun juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu saja?"
"Andai kata engkau berada di sini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela ibumu serta suheng-suheng-mu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah wajar. Akan tetapi, menanam kebencian di dalam hati merupakan racun bagi batin sendiri, anakku."
"Biarkan aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal mulanya."
"Mereka yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka adalah cucu murid dari mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua jauh-jauh datang dari negeri Sailan hendak mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas dendam. Akan tetapi karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku sekeluarga. Dan di dalam perkelahian itu, para suheng-mu dan ibumu jatuh sebagai korban dan tewas."
"Dan kedua iblis itu?"
"Mereka telah pergi dalam keadaan luka."
"Tapi kenapa mereka tidak membunuh ayah? Bukankah ayah merupakan musuh utama, sebagai putera kongkong? Kenapa mereka hanya membunuh ibu dan para suheng, dan melepaskan ayah?"
Cia Han Tiong menghela napas. "Mereka tidak mampu melakukan hal itu karena mereka terluka olehku dan tidak mampu melawan lagi."
Cia Sun memandang dengan mata terbelalak. "Ayah telah mengalahkan mereka?"
Ayahnya mengangguk. "Memang mereka itu lihai bukan main, akan tetapi aku berhasil mengalahkan mereka."
"Dan melukai mereka? Kalau mereka kalah dan terluka... bagaimana mereka dapat lolos dan pergi dari sini?"
"Aku telah melepaskan mereka dan membiarkan mereka pergi."
"Apa?" Cia Sun terlonjak berdiri, memandang kepada ayahnya dengan muka pucat. "Ayah berhasil mengalahkan dan melukai mereka, akan tetapi ayah... membiarkan mereka pergi begitu saja selagi jenazah ibu dan para suheng masih menggeletak di depan kaki ayah?"
Ayahnya mengangguk. "Aku sendiri pun hanya seorang manusia biasa, anakku, dan aku pun tak luput dari pada nafsu amarah dan sakit hati. Akan tetapi aku melihat dengan jelas betapa aku sekeluarga akan terperosok semakin dalam kalau aku hanya menuruti nafsu kebencian, maka aku sengaja membiarkan mereka pergi."
"Dan dengan perbuatan itu ayah merasa yakin bahwa ikatan dendam itu akan terputus? Bagaimana kalau dua iblis itu masih penasaran karena ayah dan aku masih belum tewas dan mereka masih berusaha untuk membunuh kita? Apakah kita pun harus diam saja dan menyerahkan nyawa untuk dibunuh?" Di dalam pertanyaan pemuda ini masih terkandung rasa penasaran yang amat besar.
Mendengar pertanyaan puteranya itu, Cia Han Tiong menahan senyum, menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku percaya bahwa mereka pun sudah insyaf akan kebodohan mereka dan merasa amat menyesal. Dan andai kata benar seperti yang kau katakan tadi, andai kata mereka itu pada suatu hari datang kembali dan berusaha untuk menyerang dan membunuh kita, tentu saja kita akan melawan mereka."
"Hemmm, bukankah hal itu sama saja namanya, ayah? Kita pun akan mempergunakan kekerasan apa bila diserang dan kalau mereka itu sangat lihai, berarti mereka atau kita yang akan tewas di dalam perkelahian itu?"
"Tidak, anakku. Hal itu sudah menjadi berbeda dan lain lagi. Apa bila kita diserang orang, berarti kita terancam bahaya dan sudah menjadi hak dan kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri, berusaha melepaskan diri dari ancaman bahaya. Dalam pembelaan diri ini tidak terkandung kebencian."
Han Tiong menatap tajam wajah puteranya dan merasa prihatin karena dia dapat melihat betapa rasa penasaran yang sangat besar mencekam hati puteranya dan bahwa dendam masih meracuni hati puteranya.
"Ingat, anakku. Kegagahan sejati berarti bisa mengalahkan cengkeraman hawa nafsu diri sendiri yang meracuni batin. Tak ada orang lain yang akan dapat membersihkan batinnya sendiri dari cengkeraman racun nafsu dendam kalau bukan kewaspadaan dan kesadaran sendiri."
Cia Sun tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa amat penasaran dan untuk melapangkan hatinya, dia segera berpamit dan meninggalkan ayahnya untuk menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya tariknya baginya itu. Dia pergi ke kuburan ibunya dan di hadapan kuburan yang masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya. Menangislah pemuda yang biasanya tabah ini tersedu-sedu.
Mengingat betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun yang lalu dan kini tiba-tiba sudah tiada, apa lagi mengingat betapa ibunya yang dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan dendam pun semakin tumbuh dalam hatinya.
Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin apa bila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan. Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalah gunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, maka takkan ada kebencian.
Sampai hari berganti malam, Cia Sun belum juga meninggalkan makam ibunya dan para suheng-nya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam. Makin dia membayangkan kehidupan yang silam di samping ibunya, dan makin dia mengingat-ingat akan kematian orang yang disayangnya, maka semakin besar pula penderitaan batinnya.
Dia tidak tahu bahwa sore tadi ayahnya sempat menjenguknya dan memandangnya dari jauh tanpa mengganggunya. Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu, kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya di mana dia lantas duduk bersemedhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi perang batin dalam diri puteranya.
Malam itu langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di hadapan makam ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat akan Sui Cin, gadis yang sudah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya.
Ketika dia melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan meminta nasehat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis.
Dia percaya bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta dilamarkan Sui Cin. Bukankah di antara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat pertalian batin yang amat erat? Teringat akan semua itu, hatinya menjadi hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.
Selagi Cia Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya, "Uhh-uhhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya, tidak dapat diharapkan lagi!"
Cia Sun melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Seorang kakek yang sangat menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar, wajahnya hitam penuh dengan cambang bauk dan sepasang matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap.
Diam-diam Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya ini tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya tengah dipenuhi kemarahan dan rasa dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya langsung membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.
"Iblis dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?!" bentaknya marah.
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu. Siapa mengganggu ketenteramanmu? Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau engkau menangis seperti itu maka yang mati akan dapat bangkit kembali? Biar engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekali pun, ibumu tetap saja akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali, ha-ha-ha!"
Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali mendengar kata-kata yang kasar dan nadanya mengejek ini. Andai kata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebencian, kata-kata ini tentu masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.
"Orang asing, cepat pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan urusan kematian ibuku?"
"Ha-ha-ha, engkau belum tahu siapa pembunuh ibumu, hanya mendengar namanya saja. Siapa tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha-ha!"
Cia Sun terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya adalah dua orang yang berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. "Apakah engkau berjuluk Hek-hiat Lo-mo?" tanyanya dengan suara membentak.
"Ha-ha-ha, boleh saja aku disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku mempunyai Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan lebih dahulu. Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah putera seorang pendekar yang berhati lemah, yang tak memiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak oleh orang lain. Engkau pun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat diharapkan."
"Iblis tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.
"Ha-ha, engkau hendak menyerangku? Engkau memiliki keberanian itu? Cobalah, orang muda, memang aku ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan keturunan Pendekar Lembah Naga!"
Mendengar ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga.
Maka, dengan kemarahan meluap Cia Sun segera menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali, maka dia pun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang kemudian begitu tangannya meluncur dia sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama pada bagian depan tubuh lawan. Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu sungguh amat dahsyat!
Biar pun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan, "Ah, inikah yang disebut totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)? Hebat, akan tetapi masih mentah!" Dan ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat saja dan tidak satu pun dapat mengenai tubuh kakek itu.
Diam-diam Cia Sun terkejut bukan main. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat luar biasa! Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat sehingga kalau bukan orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri semudah itu dari serangkaian totokannya.
Dia juga merasa penasaran sehingga kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Inilah ilmu dari ayahnya yang paling dirahasiakan. Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar biasa dan mukjijat. Biar pun hanya tiga belas jurus, akan tetapi setiap jurus mengandung kehebatan yang sulit ditahan atau ditandingi lawan.
Apa bila tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong sendiri pun jarang menggunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tak pernah menggunakannya dalam perkelahian. Tetapi kali ini Cia Sun yang berada dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan telah mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya.
"Wuuuttt...! Singgg...!" Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdengar ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan.
Kakek itu mengeluarkan suara kaget dan tak berani main-main lagi, segera mengerahkan tenaga kemudian menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambut pukulan dahsyat itu.
"Plakk! Plakk!"
Tubuh Cia Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam air sehingga hilang kekuatannya.
Namun, di balik kelembutan itu ternyata ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya sehingga justru tubuhnyalah yang malah terdorong ke belakang. Dan begitu dia berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar dan terasa lemas sehingga dia hampir terguling. Sebaliknya, kakek itu pun membelalakkan sepasang matanya yang melotot lebar.
"Ihh, ilmu setan apakah itu? Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu sesat macam itu tadi?" Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju hingga jubahnya yang lebar itu berkembang.
Cia Sun merasa seakan-akan dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang dan menyambar ke arahnya. Kedua kakinya masih terasa lemas, maka kini terpaksa dia pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan dari samping sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Desss...!"
Sekali ini, pertemuan antara lengan mereka bahkan membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang sangat lihai itu sudah menubruk dengan cengkeraman kedua tangannya ke arah kepala dan dada Cia Sun.
"Hehh!" Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar dan panjang menyambar dengan cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya untuk mengelak lalu meloncat bangun.
Dua tangan kakek itu ternyata masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau ditangkis!
"Bagus!" Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!"
Sungguh pun mulutnya memuji, akan tetapi kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia Sun menjadi amat repot dibuatnya. Pemuda ini segera merubah gerakannya, berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang sudah dipelajarinya. Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah mengejek!
"Ha-ha-ha, ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi I-beng? Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"
Cia Sun kini merasa yakin bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai dan telah mengenal ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa gugup dan ketika kakek itu menerjangnya dengan tendangan-tendangan berputar yang amat dahsyat, pahanya kena tendangan dan dia pun terguling lagi. Dan sekali ini, sebelum dia sempat bangkit berdiri, tahu-tahu kakek itu sudah menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya!
Cia Sun memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa jika kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya, maka dia tak akan tertolong lagi. Akan tetapi jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya sehingga dia pun membuka mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya, akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.
"Iblis busuk, apa bila engkau hendak membasmi kelurga kami, lakukanlah. Bunuhlah, aku tidak takut mati!"
"Ha-ha-ha!" kakek itu menarik tangannya lantas melangkah mundur. "Orang muda, kalau aku ini Hek-hiat Lo-mo, apa kau kira engkau masih hidup sekarang ini?"
Sadarlah Cia Sun bahwa kakek ini sebenarnya bukanlah musuh, melainkan seorang aneh yang agaknya tadi sengaja hendak menguji ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa banyak sekali orang pandai di dunia ini yang berwatak aneh dan agaknya kakek ini pun seorang di antara orang-orang aneh itu yang tidak dikenalnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu bangkit duduk dan berlutut menghadap kakek itu.
"Maaf kalau saya sudah keliru menilai orang. Siapakah locianpwe sebenarnya?" tanyanya dengan sikap hormat.
"Orang muda, siapa adanya aku tidaklah begitu penting dan baru akan kujawab sesudah engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
Kini hilang sudah rasa marah dalam hati Cia Sun terhadap orang aneh yang dia percaya adalah seorang sakti ini. "Silakan bertanya, locianpwe."
"Engkau adalah putera dari keluarga gagah perkasa yang selalu mengutamakan kebaikan. Ibumu adalah seorang wanita gagah yang berhati mulia, dan murid-murid Pek-liong-pai pun adalah pendekar-pendekar yang baik hati. Akan tetapi, pada suatu hari malapetaka datang menimpa. Dua orang manusia berhati iblis datang menyebar maut, menewaskan ibumu dan para suheng-mu yang sama sekali tidak bersalah terhadap dua orang itu. Nah, kini aku hendak bertanya padamu. Apakah engkau ingin membiarkan saja kejahatan itu, sama sekali tidak mendendam dan tidak ingin mencari lantas membunuh kedua orang itu untuk membalas dan juga untuk membasmi orang-orang yang demikian jahatnya?"
Cia Sun mengepal tinju, hatinya terasa seperti api disiram minyak, semangatnya semakin berkobar. "Tentu saja, locianpwe! Saya akan berusaha mencari dan membunuh kedua iblis jahat itu!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Benarkah itu? Bukankah ayahmu, ketua Pek-liong-pai yang berhati mulia dan suka mengalah itu tidak menghendaki demikian?"
Diam-diam Cia Sun terkejut. Orang aneh ini agaknya tahu segala-galanya, bukan hanya yang menimpa keluarganya saja, akan tetapi juga tahu akan watak ayahnya. Tentu saja hatinya memberontak karena dia ingin mempertahankan kehormatan dan nama ayahnya, ingin membenarkan dan membela pendirian ayahnya. Akan tetapi pada saat itu batinnya sudah terlalu panas oleh dendam sehingga pertanyaan itu bahkan membuat dia melihat lebih jelas lagi akan kesalahan dalam pendapat ayahnya itu.
"Mungkin ayah berpendapat demikian, akan tetapi saya tidak! Saya tidak ingin menjadi orang selemah itu dan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa memberi hukuman dan tanpa membalas!"
"Jadi engkau ingin membelas dendam? Tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"
"Mereka adalah Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo."
"Tahukah pula engkau di mana adanya mereka?"
Cia Sun memandang bingung dan menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, locianpwe, tetapi saya akan mencari mereka sampai dapat!"
"Orang muda, semangatmu cukup besar, akan tetapi jangan mengira bahwa akan mudah saja mencari mereka. Mereka itu adalah pendatang dari Sailan dan kini menyembunyikan diri. Pula, andai kata dapat bertemu, belum tentu engkau sanggup mengalahkan mereka. Sekarang begini. Aku tertarik kepadamu, kagum akan kelihaian dan kegagahanmu. Ilmu silatmu sudah hebat dan jarang ada yang akan dapat menandingimu kalau ilmu-ilmu yang kau miliki itu sudah dapat kau kuasai sampai matang. Ibarat buah engkau ini masih belum matang benar, dan ibarat batu giok engkau belum lagi digosok. Maukah engkau menjadi muridku dan membiarkan aku membimbingmu selama satu tahun kemudian kutunjukkan kepadamu di mana adanya dua orang musuh besarmu itu?"
Bukan main girangnya hati Cia Sun. Tanpa banyak sangsi lagi dia cepat memberi hormat sambil berlutut dan menjawab. "Saya bersedia dan saya mau, locianpwe!"
"Nah, kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah Go-bi San-jin, seorang pertapa usil yang tak terkenal dan mulai sekarang engkau harus ikut bersamaku tanpa memberi tahu pada ayahmu."
"Baik, suhu. Teecu mentaati perintah suhu," kata Cia Sun.
Dan malam hari itu juga, dari makam ibunya dia langsung saja pergi mengikuti gurunya tanpa memberi tahukan ayahnya! Dendamnya sudah sedemikian besarnya sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat membalas kematian ibunya dan para suheng-nya.
********************
Rumah besar di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu. Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik seorang hartawan kaya raya ber-she (marga) Siangkoan.
Akan tetapi hartawan yang kabarnya usianya telah lanjut sekali dan sakit-sakitan itu amat jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang sempat melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah, entah pergi ke mana.
Pendeknya, pemilik rumah besar itu dikenal orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan Siangkoan) yang sudah tidak terlihat aktip berdagang lagi, agaknya hanya seorang kakek pensiunan yang sedang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta kekayaannya. Namun kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan menyaksikan apa yang sering kali terjadi di dalam rumah itu, orang itu akan terheran-heran dan terkejut bukan main.
Kiranya kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk kaum sesat yang ditakuti oleh hampir semua anggota dunia hitam. Juga para pendekar di dunia kang-ouw merasa seram kalau mendengar namanya. Dia adalah Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis Buta!
Dengan menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan Lo-jin dapat terbebas dari gangguan. Dia pun lolos dari pengamatan para pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri.
Siangkoan Lo-jin diketahui sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui lain yang menjadi para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain.
********************
Pada suatu malam sesudah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota Ta-tung yang dekat dengan kota raja, pada sebelah dalam rumah besar itu terjadi kesibukan. Kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu maka para komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri.
Kiranya pada malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, laksana iblis-iblis gentayangan, berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam yang memasuki rumah besar itu. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam, yang kini datang untuk memenuhi panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam persekutuan itu.
Menjelang tengah malam, pada waktu kota Ta-tung menjadi sunyi karena sebagian besar penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah sudah para tamu aneh yang berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Dan di dalam ruangan belakang, di sebuah ruangan yang luas, mereka duduk berkumpul mengelilingi sebuah meja besar panjang.
Para pelayan Siangkoan Lo-jin yang sebetulnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat walau pun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tak pernah dicurigai orang. Ruang itu cukup luas dan terang sekali sehingga tampak jelas wajah mereka yang duduk mengelilingi meja besar panjang.
Di kepala meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana, pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dengan pakaian hartawan yang dikenakannya bila mana dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah. Kini pakaian hitamnya sangat sederhana dan longgar.
Kedua matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tidak pernah berkedip. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi alat bantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang amat ampuh.
Sebetulnya kakek buta ini memiliki sebuah rumah di kota Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam, terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, di mana dia dikenal sebagai seorang hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.
Di sebelah kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci Kang tak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, pada saat masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah ibunya yang tewas ketika dia masih kecil.
Dia hidup bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta namun harus diakuinya bahwa ayahnya amat mencintanya, biar pun dengan caranya sendiri yang aneh. Seluruh ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat berbakat, biar pun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, akan tetapi dia telah dapat mewarisi kepandaian itu.
Siangkoan Ci Kang duduk diam bagai arca, ada pun wajahnya membayangkan hati yang dingin dan tidak pedulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, malah jubahnya terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, tetapi tubuhnya tinggi tegap.
Pada waktu itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sejak semula dia sudah tidak setuju ketika mendengar ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar korup Liu-thaikam.
Memang dia tidak setuju, namun betapa pun juga, sebagai seorang anak yang mencinta ayahnya, dia selalu turun tangan membantu ayahnya, walau pun bantuan itu lebih berupa perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu bila mana kawan-kawan ayahnya melakukan kejahatan.
Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi dia juga tahu, bahkan merasa yakin, bahwa sebenarnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang yang diracuni dendam sesudah kedua matanya menjadi buta. Ayahnya hanya ingin menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat.
Dia merasa kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu ternyata masih dapat menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.
Berturut-turut mereka datang dan kini sudah berkumpul di sana dengan lengkap. Semua tokoh Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama membantu Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin.
Sebenarnya Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat, tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Oleh karena nama sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seakan-akan ada sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia kawan di dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari mereka tidak merasa tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.
Mereka tengah bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan mereka dan juga hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk kelak dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan penasaran sekali.
"Brakkkk…!" Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar dari gerakannya.
"Sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang pejabat saja sampai gagal, dan bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati pula. Kegagalan itu sendiri tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam lumpur. Masakah kita yang sudah dikenal seluruh dunia sebagai tokoh-tokoh utama sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"
Kui-kok Lo-mo yang mewakili kawan-kawannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa dia pun jeri terhadap kakek buta itu. "Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur sebaik-baiknya, bahkan kami juga dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi pemuda Cin-ling-pai itu benar-benar menjemukan! Kini dia pula yang menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan ia pula yang menyelamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kauwsu. Dan ternyata bahwa pesta itu pun agaknya sudah diatur oleh pemuda itu untuk menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah berhasil dengan baik semua."
“Pemuda keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan suara lantang dan marah.
"Bukan hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!" Suara Kiu-bwe Coa-li melengking ketika dia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang terkejut.
"Anak Pendekar Sadis? Yang mana?" Kui-kok Lo-bo bertanya, terkejut ketika mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya nampak kaget.
"Hi-hik, sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dan tidak mengenal dia. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Dia adalah puteri atau anak tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang dia memakai pakaian wanita biasa, tapi kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu kepandaiannya sangat tinggi, agaknya sudah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu belum tahu akan rahasia itu sehingga dia yang sudah tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik dari pada mereka.
"Aihhh, perempuan setan itukah yang kau maksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget. "Apakah dia yang pernah kita jumpai di kuil Dewi Laut di kota Ceng-tao?" Ia memandang kepada Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan rekannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri.
Kakek iblis ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu kemudian bertanding melawan seorang gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah. Kiranya gadis itu adalah puteri Pendekar Sadis! Memang demikian, di antara para tokoh sesat yang dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini mempunyai tingkat kepandaian yang paling rendah maka biar pun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi Sui Cin.
"Brakkk!" kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja.
Diam-diam dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biar pun dia lihai akan tetapi dia tak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal kedua orang muda yang sudah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah dihukum mati dan semua hartanya telah disita, ini berarti bahwa usaha yang dipupuknya selama ini berantakan sama sekali.
"Sungguh amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha kita gagal. Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi dua orang muda itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.
Sejak tadi Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan ayahnya, dia pun menarik napas panjang. "Aku sudah pernah bertemu dengan mereka dan menurut penglihatanku, sungguh pun mereka itu merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar biasa!"
"Kalau begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.
"Karena mereka berada pada pihak yang benar dan di belakang mereka terdapat pasukan pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.
"Keparat! Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"
Enam orang tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi tiba-tiba Tho-tee-kwi yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Biar pun kasar dan liar, akan tetapi raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu setengah kali orang biasa ini amat cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia tak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.
“Heh, bukan aku takut menghadapi mereka, akan tetapi jika memusuhi ketua Cin-ling-pai dan terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol?" Suaranya itu segera membuat para rekannya saling pandang dengan muka berubah agak pucat.
Memang, bagaimana pun juga mereka sudah mendengar tentang kehebatan tokoh-tokoh yang hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis yang membuat mereka harus berhitung sampai seratus kali sebelum benar-benar turun tangan memusuhinya.
"Dalam hal ini, nama Cap-sha-kui ikut tersangkut. Jika kalian semua sebanyak tiga belas orang maju bersama, apakah masih takut juga? Dan aku sendiri pun tidak akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Tidak, ayah, aku tidak mau!"
Ucapan Ci Kang ini membuat semua orang sangat terkejut hingga para tokoh Cap-sha-kui memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.
"Apa...? Apa kau bilang tadi, Ci Kang?" Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin, lirih dan lambat, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
Siangkoan Ci Kang tetap tenang saja walau pun dia tahu bahwa ayahnya beserta sekutu ayahnya itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya. "Aku tidak mau mewakili ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."
Terdengar suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang sudah berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu.
Melihat betapa tongkat itu menyambar cepat hingga sulit diikuti pandang mata dan betapa besar bahaya maut mengancam apa bila diserang oleh kakek buta itu, diam-diam enam orang Cap-sha-kui itu bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walau pun mereka juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apa lagi kalau lengkap tiga belas orang, kakek buta itu pun belum tentu akan mampu melawan mereka.
"Ci Kang, apa artinya ucapanmu itu? Apakah engkau hendak menjadi anak durhaka dan mengkhianati ayahmu sendiri?"
"Tidak, ayah. Akan tetapi semenjak dulu pun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya. Kegagalan yang lalu sudah semestinya menjadi peringatan supaya ayah menghentikan semua kegiatan yang tidak sehat itu. Aku tidak senang melihat ayah melakukan kejahatan dan mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."
"Brakkk!"
Ujung tepi meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.
"Ci Kang, aku sudah tua dan aku telah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam. Engkau harus lebih berhasil dari pada aku, anakku, dan..."
"Maaf, ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan dalam bentuk apa pun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."
"Tutup mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak dari hasil pekerjaan ayahmu? Kau kira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..." Kakek itu cepat menahan diri karena baru dia teringat bahwa di situ terdapat orang-orang lain yang turut mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka semua rahasia keluarganya.
"Ayah, aku tidak menghendaki semua harta itu. Jauh lebih baik aku hidup miskin dan tidak mempunyai apa-apa dari pada harus mendapatkan harta kekayaan melalui kejahatan."
"Sombong engkau! Katakan saja bahwa engkau jeri dan takut terhadap Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, engkau takut menghadapi manusia-manusia sombong yang menamakan diri mereka kaum bersih, golongan putih atau para pendekar. Engkau memang pengecut, penakut..."
"Aku tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para pendekar itu jauh lebih bersih dari pada penghidupan kaum sesat..."
"Anak durhaka...!" Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat.
Akan tetapi pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia telah meloncat bangun dan berdiri kembali. Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena serangannya gagal, segera menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan serangan yang lebih hebat lagi.
Biar pun buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam dari pada orang lain sehingga dalam menghadapi lawan, dia sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan serta mengetahui di mana lawan berada! Melihat ayahnya telah nekat dan menyerangnya secara mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan meloncat agak jauh ke dekat pintu.
"Ayah!" teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan karena dibikin buta, ayah kemudian berubah dan menjadi pemimpin para datuk sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah membikin buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"
"Keparat, kalau begitu aku akan membunuhmu!" Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan menjadi marah sekali itu sudah meloncat ke arah puteranya, kemudian menusukkan tongkatnya.
Akan tetapi Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka dia pun tahu akan kehebatan serangan itu. Tiba-tiba saja tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke atas lantai, kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi. Pemuda ini sudah mempergunakan ginkang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan di situ dia berdiri tegak, sama sekali tak bergerak, bahkan pernapasannya pun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi.
Dia tahu akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran. Maka kini, sesudah dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu ke mana perginya Ci Kang!
"Anak durhaka, jangan lari kau! Di mana engkau? Kurang ajar! Heii, apakah kalian sudah berubah menjadi patung semua? Hayo bantu aku untuk menangkap dan membunuh anak durhaka itu!" Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan melihat bentrokan antara ayah dan anak itu.
Kini, mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, dan selalu mereka segan kepada pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pendiam dan tidak banyak cakap itu. Sekarang pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju, kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan mati konyol.
"Lo-jin, puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok Lo-mo berseru sehingga teman-temannya menjadi lega.
Memang mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu sebelum mereka turun tangan membantu Siangkoan Lo-jin. Begitu mendengar ucapan ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin melompat ke kanan, dengan kecepatan luar biasa tongkatnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya. Ketika Siangkoan Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala puteranya.
Sebuah serangan yang sangat berbahaya dan cepat, mengandung maut! Sungguh amat berbahaya bila mengelak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari jurusan lain, maka jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang. Sebenarnya dia tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang mencengkeram, terpaksa dia harus mengerahkan tenaganya menangkis.
"Dukkk!"
Dua tenaga besar itu bertemu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin berusaha melompat ke belakang untuk mematahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, ada pun Ci Kang sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu!
Melihat betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang Cap-sha-kui itu menjadi berani dan mereka pun melakukan pengejaran keluar ruangan.
"Orang muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya. Angin keras menyambar disertai uap tipis putih keluar dari sepasang telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini ketika dia menyerang ke arah Ci Kang.
"Jangan kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan dia pun mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.
"Desss...!"
Keduanya terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat suaminya sampai terpental. Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang mempunyai tingkat lebih rendah, menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar rumah kemudian melarikan diri.....
Marahlah hati Siangkoan Lo-jin ketika mendapatkan kenyataan bahwa puteranya berhasil lolos. "Kalian ini sungguh sekelompok orang yang tidak berguna. Kalian membiarkan anak durhaka itu lolos begitu saja, tanpa mengejar?"
“Jangan salah mengerti, Lo-jin. Kami masih ragu-ragu untuk mengejar, karena betapa pun juga dia adalah putera tunggalmu, kami masih belum yakin benar apakah engkau hendak melihat dia terbunuh oleh kami," kata Kui-kok Lo-mo dengan cerdik.
"Bodoh! Siapa main-main?! Dari pada melihat anakku sendiri durhaka dan menentangku, lebih baik melihat dia mampus. Sekarang kuperintahkan kepada kalian, semua anggota Cap-sha-kui, untuk selain memusuhi Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, juga mencari dan menyeret anak durhaka itu ke depan kakiku agar aku dapat menghukumnya sendiri! Nah, pergilah kalian, aku tak ingin diganggu lagi!"
Enam orang itu lalu berkelebatan pergi sehingga kakek buta itu kini berada seorang diri di dalam ruangan. Dia berdiri seperti patung, termenung, dan dia membayangkan puteranya sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan selalu menentang kejahatan sehingga namanya dipuja serta dikagumi semua pendekar di dunia kang-ouw.
Tanpa terasa lagi, bibirnya yang kering itu tersenyum. Teringatlah dia akan dirinya sendiri. Menjadi seorang gagah yang dikagumi oleh seluruh dunia adalah cita-citanya, dan karena cita-cita itu tidak dapat terlaksana melalui kebaikan, dia hendak mengejar nama besar itu melalui kejahatan dengan memimpin kaum sesat dan menjadi orang jahat nomor satu di dunia! Kalau puteranya bisa menjadi orang yang paling menonjol dan terkenal, tak peduli sebagai penjahat nomor satu atau pendekar nomor satu, dia akan merasa bangga!
Akan tetapi dia sudah memerintahkan Cap-sha-kui untuk memusuhi anaknya! Tidak apa, memang seharusnya begitu. Jika anakku itu ingin menjadi pendekar nomor satu di dunia, maka dia harus sanggup menghadapi Cap-sha-kui, bahkan dia harus mampu membasmi Cap-sha-kui! Apa bila anaknya yang tidak mau menjadi penjahat nomor satu itu tidak bisa menjadi pendekar nomor satu, biarlah anaknya mati saja dari pada menjadi manusia yang tidak terkenal sama sekali!
Pemikiran seperti yang berada dalam batin Siangkoan Lo-jin itu mungkin akan kita anggap gila dan tidak lumrah. Akan tetapi, kalau kita mau membuka mata mengamati kehidupan di sekeliling kita, akan kita temui bahwa hampir setiap orang tidak jauh bedanya dengan Siangkoan Lo-jin ini.
Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak ini telah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menuturkan betapa kakeknya dulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan nomor satu, seorang penjudi paling hebat dan sebagainya? Mereka ini bercerita dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan betapa kakek mereka dulunya seorang yang paling terhormat, paling kaya atau tertinggi kedudukannya.
Juga hampir semua orang bercerita dengan bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang bercerita dengan suara malu-malu dan rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling patuh, paling pintar dan sebagainya. Kita sudah berwatak ingin menonjolkan diri, baik diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang dapat menjadi anakku, keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.
Membayangkan betapa puteranya akan menjadi seorang yang sangat terkenal, kakek itu terkenang akan keadaan dirinya sendiri yang serba gagal. Dia lalu meraba-raba dengan tongkatnya, menemukan sebuah kursi, menjatuhkan dirinya di atas kursi itu dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua tetes air mata yang jatuh ke atas pipi.
********************
Restoran itu cukup ramai dan besar, dan malam hari itu restoran ini dikunjungi banyak tamu. Restoran Ban Lok memang merupakan sebuah restoran yang terkenal mempunyai masakan enak, paling terkenal di seluruh kota Cin-an. Ketika Ci Kang memasuki restoran itu, untung baginya dia masih kebagian meja yang paling sudut.
Dia memasuki restoran, tidak peduli akan pandangan orang kepadanya. Memang pakaian pemuda ini agak menyolok, tidak mewah seperti pakaian para tamu lain. Pakaian Ci Kang yang amat sederhana, dengan jubah kulit harimau, membuatnya tampak sebagai seorang pemburu, tidak ada keduanya di restoran itu.
Ketika dia melewati serombongan orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar, ada empat pasang mata yang memandangnya dengan senyum mengejek dan hidung sering dikembang-kempiskan seperti orang sedang mencium bau busuk, akan tetapi ada pula dua pasang mata halus yang memandang kepadanya, ke arah wajahnya, dengan pandang mata kagum.
Empat pasang mata yang terutama memandang kepada bajunya itu adalah mata empat orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian mewah, akan tetapi dengan sekali pandang saja tahulah Ci Kang bahwa mereka adalah orang-orang yang tergolong penjahat yang suka melakukan hal-hal yang tidak baik untuk mencari uang.
Ada pun dua pasang mata halus itu adalah mata dua orang wanita yang juga berpakaian mewah. Mereka itu adalah dua orang wanita muda yang usianya antara dua puluh tahun, cantik manis akan tetapi melihat sikap mereka yang genit dengan gaya yang dibuat-buat untuk memikat hati orang, Ci Kang juga mengenal sifat berandalan pada dua orang wanita itu sehingga bisa menduga bahwa mereka tentu pelacur-pelacur yang dibawa ke restoran untuk pesta oleh empat orang itu yang agaknya baru saja memperoleh hasil banyak dari pekerjaan kotor mereka.
Akan tetapi Ci Kang tak peduli, kemudian duduk memesan nasi, sayur dan air teh panas. Sudah menjadi wataknya untuk tidak mencampuri urusan orang dan tidak memperhatikan orang lain. Dengan sekali pandang saja dia sudah dapat melihat keadaan. Kalau tadi dia memandang ke arah enam orang itu hanyalah karena kewaspadaan saja, bukan karena ingin tahu.
Setelah hidangan yang dipesannya datang, diantar oleh seorang pelayan, ketika Ci Kang mengangkat muka untuk menerima hidangan itu, kembali dia melihat betapa dua orang wanita cantik yang genit-genit itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum dan melemparkan kerling. Bahkan keduanya cekikikan sambil saling berbisik dan memandang kepadanya, jelas sekali mereka itu sedang membicarakan dirinya.
Melihat ini, Ci Kang segera menundukkan muka dan menghindarkan pertemuan pandang mata dengan mereka. Hatinya sedang murung, ada pun sikap dua orang wanita cantik itu menambah kemurungan hatinya. Dia masih belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi di dalam pertemuan antara ayahnya dengan para tokoh Cap-sha-kui itu.
Dia benar-benar menyesali sikap ayahnya yang demikian keras dan kejam, bahkan tega hendak membunuhnya. Dia yakin benar akan nafsu membunuh ayahnya ketika ayahnya menyerang dalam keadaan marah dan hal ini sungguh amat menyakitkan hatinya.
Dia merasa benar betapa ayahnya amat mencintanya, amat sayang kepadanya dan telah mencurahkan kasih sayangnya itu sejak dia masih kecil. Akan tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya mengejar ambisi, dan untuk itu ayahnya bisa bersikap dan berbuat kejam seperti yang telah ditunjukkannya, yaitu dengan cara hendak membunuhnya, putera kandungnya sendiri.
"Heii, kalian melihat siapa sih? Kenapa lirak-lirik dan senyam-senyum saja kepada orang itu?" terdengar seorang di antara empat pria itu menegur.
Ci Kang mendengar ini dan sudah dapat menduga bahwa yang ditegur tentulah dua orang pelacur itu dan yang dimaksudkan dengan ‘orang itu’ tentulah dia sendiri. Akan tetapi dia terus makan minum dan tidak peduli.
"Percuma kami keluarkan banyak uang kalau kalian main mata dengan pria lain!" tegur suara orang ke dua.
"Apakah pelacur-pelacur masih mata keranjang melihat orang muda dan tampan?" orang ke tiga berkata.
"Uhhh, biar muda dan tampan, kalau kotor seperti itu, sungguh menjijikkan. Agaknya tak pernah berganti pakaian dan siapa tahu makanan itu tak akan dibayarnya!" ejek orang ke empat dan mereka berempat tertawa-tawa. Dua orang pelacur itu pun ikut tertawa walau pun suara ketawa mereka itu paksaan atau terdorong oleh kegenitan mereka.
Tentu saja Ci Kang mendengar semua itu dan tahu bahwa mereka molontarkan hinaan-hinaan kepada dirinya, bahkan mendengar suara mereka meludah-ludah ketika orang ke empat mengatakan bahwa dia kotor dan menjijikkan. Akan tetapi di dalam batin Ci Kang tersenyum, mentertawakan orang-orang itu karena dari sikap mereka itu, mereka seperti memperlihatkan kepada umum orang-orang macam apa adanya mereka.
Dia tidak mau melayani dan melanjutkan makan nasi dan sayur dengan cepat, lalu minum sedikit arak dan teh. Setelah semuanya selesai, dia pun cepat membayar harga makanan dan hendak meninggalkan restoran yang masih banyak pengunjungnya itu.
Empat orang itu memang jagoan-jagoan yang terkenal bengis dan ditakuti orang di kota Cin-an. Karena itu, biar pun semua orang juga mendengar ucapan-ucapan mereka yang menghina orang, tapi tidak ada yang mau mencampuri karena mencampuri urusan empat orang itu berarti mencari penyakit. Sedangkan empat orang jagoan itu memang sengaja melontarkan kata-kata tadi untuk menghina dan memancing kemarahan Ci Kang.
Pemuda itu makan di restoran ini tanpa mengganggu siapa pun juga, bahkan tidak pernah menoleh kepada mereka, maka tak ada alasan bagi mereka untuk mengganggu Ci Kang. Maka, karena hati mereka panas melihat betapa dua orang pelacur yang mereka bawa itu nampaknya tertarik kepada Ci Kang, mereka lantas melontarkan kata-kata hinaan untuk memancing supaya pemuda itu marah-marah sehingga mereka mempunyai alasan untuk menghajarnya. Siapa sangka pemuda itu sama sekali tidak mau menyambut atau saking tolol atau takutnya tidak berani menjawab.
Melihat betapa pemuda itu sudah bangkit dan hendak pergi, dan kini dua orang pelacur itu mendapat kesempatan untuk menatap wajah pemuda itu dengan pandang kagum, empat orang itu tidak dapat menahan kemarahan dan iri hati mereka. Sesudah saling pandang dan mengangguk, mereka lantas bangkit dari kursi mereka dan berloncatan menghadang Ci Kang yang hendak keluar dari restoran.
Melihat hal ini, para tamu yang telah mengenal empat orang jagoan itu menjadi ketakutan sehingga sebagian di antara mereka cepat menyingkir ke tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati khawatir.
Melihat empat orang itu berdiri menghadangnya, Ci Kang mengerutkan alisnya. Jelaslah bahwa empat orang yang menyeringai ini sengaja mencari keributan. Dia masih mencoba untuk menghindar dan mencari jalan keluar lain, akan tetapi gerakan ini oleh empat orang itu dianggap sebagai tanda takut, maka mereka segera mengurungnya sambil tersenyum lebar. Ci Kang kehabisan jalan, dan terpaksa dia mengangkat muka memandang mereka satu demi satu.
Empat orang itu amat terkejut melihat sinar mata yang mencorong itu, akan tetapi karena sejak tadi sikap pemuda itu yang tidak pernah memperlihatkan perlawanan, membuat hati mereka menjadi besar. Mereka sengaja hendak berlagak di depan dua orang pelacur itu dan ingin membikin malu kepada pemuda yang agaknya sudah menarik hati dan dikagumi oleh dua orang pelecur yang mereka sewa.
"Ha-ha-ha, bocah petani busuk, bersihkan dulu sepatu kami baru engkau boleh pergi dari sini!" kata seorang di antara mereka yang kumisnya lebat. Tiga orang temannya tertawa sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan memandang rendah.
Ci Kang tidak marah, hanya merasa muak dengan sikap mereka. Tanpa mempedulikan mereka, dia lalu melangkah maju dan ketika si kumis tebal yang berada di hadapannya itu mengangkat tangan ingin memukul, dia tidak mempedulikan dan melangkah terus hendak menabrak tubuh si kumis tebal.
Tentu saja si kumis tebal menjadi marah dan melanjutkan pukulannya ke arah kepala Ci Kang dan melihat ini, tiga orang kawannya juga sudah menggerakkan tangan menyerang Ci Kang dari kanan kiri dan belakang. Sekaligus, pemuda remaja itu diserang oleh empat orang dari empat jurusan, akan dipukuli begitu saja tanpa salah apa-apa.
Sejenak empat orang itu mengira bahwa pemuda itu tak akan melawan dan akan mandah saja mereka pukuli karena tubuh Ci Kang sama sekali tak nampak bergerak atau bersiap melawan. Akan tetapi, ketika tangan empat orang itu sudah tiba dekat tubuhnya, tiba-tiba saja Ci Kang menggerakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan sambil memutar tubuh menggeser kaki lantas terdengarlah suara tulang patah berturut-turut dan empat orang itu mengaduh-aduh sambil terpelanting ke belakang, jatuh dan memegangi tangan yang tadi dipakai menyerang karena lengan tangan itu telah patah-patah tulangnya ketika disambar tangan pemuda itu.
Ci Kang sama sekali tidak mempedulikan mereka lagi. Seperti tak pernah terjadi sesuatu, dengan wajah dingin dan langkah tenang pemuda ini lalu meninggalkan restoran itu, diikuti pandang mata semua orang yang terbelalak penuh keheranan dan kekaguman.
Empat orang itu bagaikan empat orang anak kecil, yang karena tololnya memukul benda keras sehingga tangan mereka sakit sendiri. Akan tetapi mereka langsung maklum bahwa pemuda berwajah dingin yang tadinya hendak mereka jadikan korban penghinaan mereka itu ternyata adalah seorang pemuda yang sakti, maka akhirnya mereka pun hanya berani memandang dengan muka pucat karena gentar dan karena menahan rasa nyeri dan tidak berani mengejar.
Peristiwa di dalam restoran itu tentu saja menjadi buah bibir para tamu sesudah mereka meninggalkan restoran. Akan tetapi, karena Ci Kang tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan di dalam peristiwa itu tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata, orang-orang hanya dapat menduga-duga siapa gerangan pemuda remaja berwajah dingin tetapi amat lihai itu.
Sementara itu Ci Kang terus melanjutkan perjalanannya, meninggalkan kota Cin-an pada malam hari itu juga karena dia tidak ingin dirinya terlibat lagi dalam keributan lain sebagai lanjutan dari peristiwa di dalam restoran tadi. Sebagai putera seorang datuk sesat yang sudah banyak mengenal watak para penjahat, Ci Kang pun mengerti bahwa orang-orang macam penjahat-penjahat kecil seperti yang beraksi di restoran tadi tentu memiliki kepala atau pemimpin.
Orang-orang semacam itu tidak pernah mau mengenal kelemahan sendiri. Mereka tentu tidak mau sudah begitu saja, melapor kepada kepala mereka atau mengumpulkan semua kawan mereka kemudian mencarinya untuk melakukan pembalasan. Orang-orang seperti itu tidak mempunyai kejantanan sedikit pun juga, dan mereka tidak akan malu-malu untuk mengandalkan pengeroyokan serta kecurangan lain.
Oleh karena dia tak ingin direpotkan oleh urusan tetek bengek macam itu, maka lebih baik malam itu juga dia pergi meninggalkan kota Cin-an, bukan karena takut melainkan karena segan berurusan dengan penjahat-penjahat kecil itu.
Ci Kang tidak pernah menyangka bahwa urusan kecil di rumah makan itu memang tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan mendatangkan akibat yang amat besar. Peristiwa itu menjadi buah bibir orang di kota Cin-an karena disebar oleh para tamu restoran yang menyaksikan keributan itu sehingga terdengar pula oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang pada keesokan harinya kebetulan tiba di kota itu.
"Heh, tak salah lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu tentulah Siangkoan Ci Kang," kata Kiu-bwe Coa-li.
"Benar, dan kita harus cepat mengejarnya!" kata Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa? Apa perlunya kita mengejarnya?" tanya Tho-tee-kwi dengan suara tak acuh.
Yang lain-lain juga segera memandang kepada kakek jubah putih itu. Di samping tingkat kepandaiannya paling tinggi, juga Kui-kok Lo-mo selalu tampil bersama dengan isterinya yang juga amat lihai sehingga suami isteri ini dianggap sebagai pemuka oleh empat orang rekannya.
"Apa perlunya? Tentu saja untuk menangkapnya lantas menyeretnya kepada Siangkoan Lo-jin, hidup atau mati." jawab Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa kita harus mencampuri urusan ayah dan anak itu?"
Kembali yang bertanya itu adalah Tho-tee-kwi. Di antara empat orang rekan suami isteri dari Kui-kok-san itu, hanya raksasa inilah yang kelihatan tidak gentar menentangnya dan sikapnya selalu kasar, liar dan tak acuh. Tiga orang rekan yang lain menunggu jawaban pertanyaan ini yang mereka anggap mampu mewakili keraguan hati mereka sendiri untuk mencampuri urusan keluarga Siangkoan.
"Begitu bodohkah engkau maka hal demikian saja engkau tidak mengerti? Apakah kalian merasa senang kalau selalu diperkuda oleh Siangkoan Lo-jin? Cap-sha-kui yang selama ini merajalela dan merajai dunia persilatan, kini harus tunduk kepada seorang kakek buta! Lihat, di antara kita tiga belas orang, hanya kita berenam saja yang tolol sehingga mau diperkuda olehnya. Kalau kita tempo hari merendahkan diri dan mau membantunya, hal itu adalah karena harapan imbalannya yang amat besar, selain harta benda juga mungkin kedudukan tinggi yang akan kita terima dari Liu-thaikam. Namun sekarang? Liu-thaikam sudah tidak ada, untuk apa kita masih terus merendahkan diri di bawah kekuasaan kakek buta itu lagi?"
"Nah, jika begitu, kenapa sekarang kita masih harus mentaati perintahnya untuk menyeret pemuda itu ke depan kakinya?" Hwa-hwa Kui-bo bertanya heran.
"Kakek buta itu tentu takkan mengampuni kita jika mendengar bahwa kita menentangnya. Dan kakek itu sendiri sesungguhnya hanya seorang tua bangka buta, betapa pun lihainya. Yang membuat dia kuat adalah puteranya itu. Kalau dia dan puteranya itu maju bersama, sungguh sukar untuk ditundukkan. Sekarang mereka itu saling bentrok, maka kita harus dapat mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk menghancurkan kekuatan ayah dan anak itu. Kalau kita sudah berhasil membunuh anaknya, apa sukarnya bagi kita untuk menghadapi tua bangka buta itu? Dia sudah menyeret kita semua ke dalam persekutuan, berarti sudah merugikan kita, dan sudah cukup lama dia meremehkan dan merendahkan kita sebagai pembantu-pembantunya. Sekarang tibalah saat pembalasan kita!"
Memang kehidupan para kaum sesat selalu dipengaruhi oleh nafsu angkara murka serta dendam kebencian, maka pendapat Kui-kok Lo-mo ini segera mendapatkan persetujuan seluruh rekannya dan berangkatlah mereka bergegas untuk mencari jejak Siangkoan Ci Kang dan melakukan pengejaran.
Tidaklah mengherankan kalau pada keesokan harinya, selagi Ci Kang berjalan sendirian di luar sebuah dusun yang sunyi, di bawah terik matahari, tiba-tiba saja dia mendengar orang-orang berteriak memanggil namanya dan ketika dia berhenti, dia langsung tersusul oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kini sudah berdiri di hadapannya dan setengah mengepungnya.
Ci Kang memandang heran sambil mengerutkan alisnya. Sejak pertama kali orang-orang ini membantu ayahnya, dia memang sudah tidak suka kepada mereka. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo amat menjemukan hatinya karena kedua orang kakek dan nenek ini seolah-olah berlomba untuk memikat dirinya. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang nenek kejam yang mengerikan dengan tubuh serta wajahnya yang buruk, ditambah lagi nenek ini suka bermain-main dengan ular, menjijikkan. Suami isteri dari Kui-kok-san itu pun menimbulkan rasa muak karena mereka berdua itu seperti mayat hidup saja. Ada pun Tho-tee-kwi yang suka makan daging manusia itu memang menjemukan hatinya.
"Ada keperluan apakah cu-wi memanggil-manggil dan menyusulku?" tanyanya singkat.
Yang menjawab adalah Kui-kok Lo-mo, dia mewakili rekan-rekannya, "Siangkoan Ci Kang, kami disuruh ayahmu untuk membawamu pulang."
Ci Kang mengangkat muka dan memandang kakek itu. Dia tahu akan adanya perubahan sebab kakek itu biasanya tidak memanggil namanya begitu saja. Biasanya mereka semua menyebutnya Siangkoan kongcu atau Siangkoan sicu dengan sikap dan nada yang amat menghormat.
"Kalau aku tidak mau?" tanyanya sebagai jawaban.
"Kami sudah diberi wewenang untuk memaksamu dan membawamu pulang, hidup atau mati. Kalau engkau menolak maka kami akan menggunakan kekerasan!"
Tanpa menanti jawaban Ci Kang, begitu Kui-kok Lo-mo berkata demikian, isterinya sudah menerjang pemuda itu dengan tamparan tangannya. Serangan ini dilakukan oleh Kui-kok Lo-bo dari samping kiri dan tangan kanannya yang mengandung hawa panas menyambar ke arah pelipis kiri Ci Kang.
Pemuda ini maklum betapa ampuhnya tamparan nenek itu, maka dia pun cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang dan menarik tubuh atasnya ke belakang. Tamparan itu luput dan lewat di depannya sehingga terasa hawa panas menyambar mukanya. Pada saat itu, Kui-kok Lo-mo yang melihat isterinya sudah mulai menyerang, juga menerjang ke depan dan melakukan serangan yang tak kalah ampuhnya. Ci Kang cepat menangkis dan segera pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri dari Kui-kok-san itu. Maka terjadilah perkelahian yang amat seru.
Tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda remaja yang istimewa. Bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia sudah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan suami isteri itu, tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, atau ilmu silatnya kalah matang.
Mengingat bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang tinggi ilmunya, tentu saja Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat ketika dikeroyok dua. Andai kata suami isteri itu maju satu demi satu, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang.
Akan tetapi begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat bekerja sama secara baik sekali di dalam serangan-serangan mereka, maka Ci Kang terdesak hebat dan lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mampu mengelak ke sana-sini sambil kadang kala menangkis, tanpa mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan tubuhnya telah menerima beberapa hantaman dan tendangan, akan tetapi berkat kekebalannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan.
Ci Kang yang keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari? Di sana terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga lari pun, dalam keadaan terluka-luka, akan percuma saja. Dan dia pun tahu bahwa tidak ada harapan baginya untuk lolos. Baru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apa lagi kalau empat orang tokoh lain itu ikut maju mengeroyok.
Melihat cara kedua orang suami isteri itu menyerang dengan pukulan-pukulan maut, maka tahulah Ci Kang bahwa mereka menghendaki kematiannya. Karena itu dia pun membela diri sebaik mungkin, segera mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya.
Hebat bukan main sepak terjang pemuda ini. Meski pun terdesak hebat, akan tetapi tidak mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja maka pemuda itu akan membalas dengan serangan maut yang berbahaya.