Asmara Berdarah Jilid 12

Serial Pedang Kayu Harum Episode Asmara Berdarah Jilid 12 karya Kho Ping Hoo
PADA saat itu pula, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di belakang Ci Kang berdiri seorang kakek tinggi kurus. Kakek ini bajunya tambal-tambalan, tangan kanan memegang sebatang tongkat bambu kuning dan di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak). Kakek yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun ini memperhatikan perkelahian sambil mengelus jenggotnya, lalu mengomel,

"Terlalu, terlalu...! Suami isteri tua bangka mengeroyok seorang bocah ingusan. Sungguh terlalu...!"

Kemudian, tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya sambil terus berbicara, "Nah, anak baik, bagus begitu! Lawanlah dan jangan mau kalah terhadap sepasang mayat itu. Pukul, nah, bagus, begitu haittt... begini... bagus!"

Seperti orang gila, kakek jembel ini lalu meniru-niru gerakan Ci Kang bersilat. Akan tetapi karena tangannya memegang tongkat, maka tongkatnya bergerak pula dengan lucunya. Dia bukan mengajari Ci Kang, melainkan menirukan gerakan Ci Kang yang berloncatan ke sana-sini mengelak dari serangan suami isteri itu.

Dan terjadilah hal yang luar biasa sekali. Tiba-tiba saja suami isteri itu merasa betapa tangkisan tangan Ci Kang menjadi sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka nyeri kemudian tubuh mereka terpelanting! Ada angin pukulan dahsyat keluar dari kedua tangan Ci Kang. Pemuda ini sendiri merasa heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek jembel aneh itu telah membantunya dengan tenaga sakti yang luar biasa.

Empat orang tokoh Cap-sha-kui yang lainnya bukan orang-orang tolol. Kemunculan kakek jembel yang aneh ini dan terdesaknya suami isteri Kui-kok-san tentu ada hubungannya, pikir mereka. Karena itu, tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu maju menyerang kakek jembel yang masih mencak-mencak menirukan gerakan Ci Kang karena kini suami isteri itu sudah menyerang lagi.

Hwa-hwa Kui-bo menyerang dengan pedangnya yang beracun, ditemani Koai-pian Hek-mo yang menggerakkan senjatanya, yaitu seutas pecut baja yang ujungnya berpaku. Kiu-bwe Coa-li meledakkan cambuk hitam berekor sembilan, menyerang dari arah depan bersama Thio-tee-kui yang menggerakkan kedua lengannya sehingga dua buah gelang emas yang berat di kedua lengannya itu saling beradu mengeluarkan bunyi nyaring. Dikepung empat orang tokoh sesat yang lihai ini, kakek jembel itu malah tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus!" Dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah berkelebatan di antara sinar senjata empat orang pengeroyoknya yang bergulung-gulung itu.

Tentu saja empat orang pengeroyok itu terkejut bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa kakek jembel itu sedemikian lihainya dan seperti pandai menghilang saja saking cepatnya dan ringannya gerakan tubuhnya.

Ternyata kakek ini bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata ampuh itu, bahkan dengan gerakan-gerakannya seperti tadi masih dapat pula membantu Ci Kang sehingga kini pemuda itu dapat membalas serangan kedua orang pengeroyoknya karena setiap serangan kedua suami isteri itu selalu tertumbuk pada tenaga yang tidak nampak akan tetapi memiliki kekuatan yang besar sekali.

"Ha-ha-ha, sungguh menggembirakan sekali!" kakek itu menari-nari ketika senjata-senjata lawan berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar.

"Tar-tar-tarrr...!" Senjata cambuk hitam ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak, diselingi ledakan satu-satu dan nyaring dari cambuk baja di tangan Koai-pian Hek-mo.

"Singg...! Tring-tringgg...!" Suara pedang di tangan Hwa-hwa Kui-bo dan sepasang gelang emas di lengan Tho-tee-kui juga terdengar nyaring membuat kakek jembel yang dikeroyok itu menjadi semakin girang seperti seorang anak kecil melihat permainan yang menarik.

"Tar-tarr-tarrrr...!" Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak di atas kepala kakek itu. Sembilan ekor cambuk itu seperti hidup, seperti sembilan ekor ular yang menyambar-nyambar turun.

Akan tetapi kakek itu mempergunakan jari tangannya menyentil setiap kali ujung cambuk menyambar. Tiga kali dia menggunakan telunjuk tangannya menyentil maka ekor cambuk itu menyeleweng dan melesat amat cepatnya ke arah tiga orang pengeroyok lain.

Hal ini sama sekali tidak diduga-duga dan tahu-tahu Hwa-hwa Kui-bo, Koai-pian Hek-mo, dan Tho-tee-kwi berteriak kaget kemudian tubuh mereka terpelanting berturut-turut karena tahu-tahu tubuh mereka telah tertotok oleh ujung cambuk Kiu-bwe Coa-li yang tadi disentil sehingga menyeleweng. Melihat robohnya tiga orang itu, kakek jembel tertawa kemudian mengangkat kedua tangan di depan dada, menjura ke arah Kiu-bwe Coa-li.

"Terima kasih, engkau baik sekali telah menolongku dengan cambukmu!"

Saking kagetnya, Kiu-bwe Coa-li terbelalak ketika melihat betapa ujung cambuknya malah menotok dan merobohkan tiga orang kawannya sendiri. Dan pada saat kakek itu menjura, tiba-tiba saja dia merasa ada sambaran angin dari arah depan. Dengan cepat dia hendak mengelak, akan tetapi tidak keburu dan ketika dia mengerahkan tenaga untuk melawan, segera tubuhnya terjengkang dan dadanya terasa sesak, seperti baru saja dipukul orang dengan keras!

Empat orang itu merangkak bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui, bagaimana mungkin dapat dirobohkan semudah itu oleh kakek jembel ini? Si kakek jembel tertawa-tawa.

"Ha-ha-ha-ha, kalian memang sangat baik hati, pantas kalau kusuguhi arak!" Dan dia pun menurunkan guci araknya, mendekatkan bibir guci itu ke mulutnya dan minum beberapa teguk, lalu dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah empat orang bekas lawan.

Empat orang datuk itu terkejut dan berusaha menghindar, akan tetapi masih terasa oleh mereka betapa kulit tubuh mereka yang terkena percikan arak yang disemburkan terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan percikan arak itu menembus baju mereka dan mengenai kulit.

Sementara itu, sesudah memperoleh bantuan rahasia dari kakek aneh, sekarang Ci Kang mulai mendesak kedua lawannya dan akhirnya dialah yang berada di pihak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara kakek itu,

"Tendang pantat mereka! Tendang pantat mereka!"

Aneh sekali, dalam suara itu seperti terkandung tenaga mukjijat yang membuat Ci Kang tak dapat menahan diri lagi lalu kakinya pun menyambar dan menendang berturut-turut ke arah pinggul dua orang lawannya. Hebatnya, dua orang suami isteri itu tidak kuasa untuk mengelak seolah-olah tubuh mereka terhalang sesuatu.

"Bukk! Bukk!"

Dua kali kaki Ci Kang menendang lantas dua orang suami isteri itu pun terbanting ke atas tanah. Mereka berloncatan bangun sambil meringis dan sesudah saling pandang dengan rekan-rekannya, mereka lalu melarikan diri tanpa berani mengeluarkan kata-kata lagi.

Peristiwa tadi terlalu hebat bagi mereka. Belum pernah selama hidup mereka dikalahkan orang secara ini. Akan tetapi, ketika kakek tadi menyembur dengan arak, wajah mereka pucat karena mereka teringat akan nama seorang yang selama ini dikabarkan sudah mati atau telah menjadi dewa, yaitu Ciu-sian Lo-kai (Jembel Tua Dewa Arak).

Memang orang sakti ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, akan tetapi ada beberapa orang tokoh kang-ouw pernah melihat kesaktiannya sehingga namanya dikenal sebagai seorang di antara tokoh-tokoh rahasia yang amat sakti. Maka, enam orang datuk sesat itu segera mengambil langkah seribu. Biar pun mereka itu telah menjadi datuk yang memiliki kedudukan tinggi, akan tetapi karena mereka adalah golongan sesat, maka melarikan diri bukanlah hal yang dipantang oleh mereka.

Ci Kang berdiri memandang sambil bertolak pinggang, sama sekali tidak bergerak untuk melakukan pengejaran.

"Orang muda, kenapa engkau tidak mengejar mereka?"

Ci Kang menoleh kepada kakek jembel itu. "Mengapa aku harus mengejar mereka?" dia balas bertanya sambil memandang tajam kepada kakek jembel yang sakti itu, yang entah mengapa telah mencampuri urusannya dan membantunya. Namun harus diakuinya dalam hati bahwa kakek ini telah menyelamatkan jiwanya dari ancaman maut akibat dikeroyok orang-orang Cap-sha-kui tadi.

"Loh! Bukankah mereka tadi mati-matian hendak membunuhmu?"

"Benar, akan tetapi aku tidak ingin membunuh mereka."

Kakek jembel itu bertindak mendekat dan memandang sambil tersenyum lebar, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. "Orang muda, apakah engkau tidak menaruh dendam kepada mereka yang hendak membunuhmu?"

"Tidak, mereka suka kekerasan dan suka membunuh, tetapi aku tidak."

"Bagus! Andai kata mereka itu membunuh ayahmu, apakah engkau juga tidak sakit hati dan mendendam?"

Ci Kang teringat akan ayahnya yang hidup sebagai datuk sesat. Kalau ayahnya terbunuh orang, hal itu hanya terjadi karena kesalahan ayahnya sendiri. Orang yang suka bermain dengan api seperti ayahnya, kalau sekali waktu terbakar, tidak perlu penasaran lagi. Maka dia pun menggelengkan kepalanya.

Kakek jembel itu kelihatan semakin girang. "Wah, inilah orangnya yang kucari selama ini. Orang muda, engkau bernama Siangkoan Ci Kang, bukan? Engkau adalah putera tunggal Siangkoan Lo-jin?"

Pemuda itu menjadi semakin heran, akan tetapi dia mengangguk.

"He-he-heh, bagus! Ayahnya menjadi pimpinan kaum sesat mengumbar nafsu, puteranya malah bebas dari nafau dendam. Siangkoan Ci Kang, kalau tadi tidak ada aku, engkau tentu sudah mati di tangan badut-badut itu. Nah, untuk membalas budi itu, apa yang ingin kau lakukan untukku?"

Ci Kang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Locianpwe, walau pun locianpwe sudah mengusir orang-orang yang mengeroyokku dan menyelamatkan diriku, hendaknya locianpwe ingat bahwa aku tidak pernah minta tolong kepadamu. Jadi aku tidak berhutang budi atau apa pun kepada locianpwe."

Orang lain tentu akan merasa penasaran serta marah sekali mendengar jawaban orang yang pernah diselamatkan nyawanya seperti itu, akan tetapi sungguh kakek itu berwatak aneh. Dia malah tertawa senang!

"Ha-ha-ha-ha, cocok! Bagus! Tidak pernah hutang budi dan tidak pernah menghutangkan budi, berarti tidak pernah mendendam pula. Ha-ha-ha, orang muda, engkaulah orang yang kucari-cari!"

Ci Kang merasa semakin heran. Kakek ini benar-benar luar biasa, tidak saja mengetahui keadaannya, akan tetapi juga omongannya aneh dan sikapnya luar biasa.

"Mengapa locianpwe berkata demikian? Mengapa locianpwe mencari-cari aku?"

"Aku sedang mencari murid dan engkaulah orangnya yang paling cocok. Orang muda, tak kusangkal bahwa engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan jarang ada orang dapat menandingimu. Akan tetapi sayang, ilmu-ilmumu masih amat mentah. Tadi pun andai kata ilmumu sudah matang, tanpa kubantu sekali pun tentu engkau akan menang menghadapi para pengeroyokmu."

Ci Kang menggeleng kepala. "Tidak mungkin, locianpwe. Mereka itu adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang berilmu tinggi. Bahkan ayah sendiri pun agaknya tidak akan kuat kalau harus menghadapi pengeroyokan mereka."

"Ha-ha-ha, engkau tadi sudah melihat betapa dengan mudahnya aku menghadapi mereka. Siangkoan Ci Kang, mari kau ikut bersamaku setahun saja dan aku akan mamatangkan ilmumu."

Ci Kang mengerutkan alisnya, mempertimbangkan. Dia yang sejak kecil belajar silat, tentu saja merasa gembira kalau sampai dapat menjadi murid kakek yang dia tahu mempunyai kepandaian hebat ini. Akan tetapi dia pun memiliki watak yang bebas, tidak mau terikat.

"Apakah locianpwe hendak mengambil murid kepadaku sebagai balas budi?"

"Ha-ha-ha, seperti engkau, aku pun seorang yang suka bebas dari pada segala macam hutang budi. Aku ingin mengambil engkau sebagai murid karena kulihat engkau berbakat sekali, dan karena aku merasa cocok dengan watakmu."

Giranglah rasa hati Ci Kang mendengar ucapan ini. Tanpa ragu-ragu lagi dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. "Baiklah, suhu, teecu terima dengan gembira sekali."

Kakek itu juga merasa gembira bukan main. Sambil tertawa-tawa dia lalu menarik tangan Ci Kang dan diajaklah pemuda itu pergi dari situ untuk mulai menggemblengnya sebagai murid. Kakek itu adalah Ciu-sian Lo-kai, tokoh sakti aneh yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan yang pernah mengunjungi Lembah Naga tempo hari.

Seperti kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai berbeda pendapat hingga berbantahan dengan Go-bi San-jin tentang sikap Pendekar Cia Han Tiong mengenai dendam dan ikatan. Dan karena mereka merasa sudah terlalu tua untuk saling gempur, keduanya kemudian berjanji untuk mencari murid dan mendidik murid itu menurut pandangan hidup mereka masing-masing, tentu saja dengan maksud untuk kemudian diuji siapa yang lebih berhasil. Go-bi San-jin lalu berhasil membujuk Cia Sun yang sedang dicekam dendam karena kematian ibu dan para suheng-nya, sedangkan Ci Kang yang jemu dengan dunia hitam dan kejahatan, kini menjadi murid kakek jembel itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pulau Teratai Merah adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil yang terdapat di Lautan Tiongkok Timur, beberapa li jauhnya dari pantai. Kalau dilihat dari pantai, hanya nampak beberapa bintik kecil di sebelah timur yang tidak menarik perhatian. Bahkan para nelayan hanya mengenal pulau-pulau kecil itu sebagai pulau-pulau kosong yang sebagian besar hanya berupa pulau-pulau batu karang yang tak ada gunanya karena tidak memiliki tanah subur dan tidak memiliki air tawar. Akan tetapi ada beberapa buah pulau yang ditumbuhi pohon-pohon liar dan di antara pulau-pulau inilah yang dinamakan Pulau Teratai Merah.

Pulau ini mempunyai tanah yang cukup subur, bahkan ada sumber airnya, dan ada bukit kecilnya. Dulu, puluhan tahun yang lalu, pulau ini pun selalu hanya dilewati saja oleh para nelayan karena hanya berisikan pohon-pohon liar dan binatang-binatang berbahaya.

Akan tetapi pulau ini sudah dipilih oleh Pangeran Toan Su Ong, pangeran pelarian yang meninggalkan kota raja, seorang bangsawan yang menentang keluarga kaisar sendiri, dan seorang ahli silat yang amat pandai. Di pulau inilah Pangeran Toan Su Ong bersembunyi, hidup bersama isterinya yang tercinta, yang bernama Ouwyang Ci.

Isterinya itu memiliki kitab pusaka peninggalan Panglima The Hoo yang terkenal dan di tempat sunyi ini, Pangeran Toan Su Ong dan Ouwyang Ci yang menjadi isterinya, tekun memperdalam ilmu silat, bahkan berhasil menciptakan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang hebat. Di tempat itu pula mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Toan Kim Hong yang kemudian menjadi datuk selatan Lam-sin dan akhirnya kini menjadi isteri Pendekar Sadis.

Pangeran bersama isterinya itu membabat hutan di pulau itu, menanami tanah pulau itu dengan pohon-pohon yang ada gunanya, sayur-sayuran, bahkan akhirnya mereka berdua juga menanam bunga-bunga, membuat telaga kecil dari air sumber yang dialirkan ke situ dan sebentar saja mereka dapat memperkembang biakkan bunga teratai merah. Pulau itu berubah menjadi tempat yang indah dan subur dan mereka memberi nama Pulau Teratai Merah. Demikianlah riwayat singkat Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah) itu yang sekarang menjadi tempat tinggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Lam-sin Toan Kim Hong.

Sesudah Pendekar Sadis bersama isterinya yang memang ahli waris pulau itu tinggal di situ, pulau itu menjadi makin indah dan terawat baik. Apa lagi karena pendekar ini sudah mempergunakan belasan orang pelayan untuk merawat pulau, tempat itu menjadi sebuah pulau yang mewah.

Ceng Thian Sin telah menjadi seorang yang kaya raya, memiliki sebuah bangunan gedung laksana istana di atas pulau. Para pembaca cerita serial Pendekar Sadis tentu maklum, betapa suami isteri pendekar ini sudah memperoleh harta karun Jenghis Khan yang amat besar nilainya dan yang membuat suami isteri itu menjadi kaya raya.

Biar pun sudah lama suami isteri pendekar ini tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, melainkan hidup makmur dan tenteram di Pulau Teratai Merah, akan tetapi hal ini bukan berarti mereka mengasingkan diri dari pergaulan. Sama sekali tidak!

Keluarga Ceng ini mengadakan hubungan dengan kota Ning-po, kota pelabuhan terbesar di daratan yang terdekat dengan Pulau Teratai Merah. Para penghuni kota Ning-po, mulai dari pembesar sampai kepada para pelayannya, tahu belaka di mana letaknya pulau itu dan siapa keluarga yang tinggal di sana. Bahkan Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Propinsi Ce-kiang dan daerah selatan, berkenan datang berkunjung beberapa hari ke pulau indah itu dan menjadi tamu kehormatan keluarga Ceng.

Terjalin persahabatan antara keluarga Ceng dan keluarga Can, apa lagi setelah pangeran yang masih berdarah keluarga kaisar di kota raja itu mengetahui bahwa isteri Pendekar Sadis adalah keturunan Pangeran Toan Su Ong yang sangat terkenal itu. Bagaimana pun juga, biar pun jauh, antara keluarga Can Seng Ong dan isteri Pendekar Sadis masih ada hubungan keluarga. Di samping itu, telah beberapa kali suami isteri majikan Pulau Teratai Merah itu berjasa dengan beberapa kali mengusir dan membasmi penjahat-penjahat yang berani merajalela di kota Ning-po dan sekitarnya, yang tak dapat ditanggulangi oleh para petugas keamanan.

Pada suatu siang yang panas, sebuah perahu kecil meluncur meninggalkan Pantai kota Ning-po menuju ke timur, ke arah pulau-pulau kecil yang terlihat seperti titik-titik hitam itu. Perahu itu didayung oleh gadis berpakaian sederhana dan setelah agak ke tengah, gadis itu lalu mengembangkan layar yang segera menangkap angin dan meluncurlah perahu itu dengan lajunya, dikemudikan tangan-tangan kecil halus dengan sikap cekatan.

Jelaslah bahwa gadis ini tidak asing dengan lautan dan perahu. Hal ini tidaklah aneh bila diketahui bahwa gadis itu lahir dan dibesarkan di Pulau Teratai Merah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!

Setelah selesai membongkar rahasia Liu-thaikam di istana kemudian pembesar korup itu ditangkap dan dihukum mati, Sui Cin bersama Cia Hui Song pergi meninggalkan kota raja. Tadinya Hui Song hendak mengantarkan Sui Cin sampai ke Pulau Teratai Merah karena pemuda yang sudah jatuh cinta ini selain ingin memperpanjang perjalanannya bersama dara itu, juga ingin berkunjung ke pulau itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan isterinya yang sudah lama dia kagumi namanya itu. Akan tetapi Sui Cin mencegahnya.

"Twako, harap kau jangan dulu berkunjung ke rumah kami. Ayah ibuku tentu akan marah kepadaku kalau membawa teman tanpa memberi tahu lebih dahulu. Tidak begitu mudah untuk mendatangi Pulau Teratai Merah tanpa mendapat perkenan dari ayah ibu. Aku telah lama pergi merantau meninggalkan mereka. Bila aku pulang membawa teman tanpa lebih dahulu mendapat ijin, aku tentu akan kena marah. Lain kali saja engkau datang kalau aku sudah menceritakan tentang dirimu kepada mereka."

Hui Song merasa kecewa akan tetapi tidak berani memaksa. "Cin-moi, aku pun tidak akan berani lancang mengunjungi Pulau Teratai Merah tanpa ijin kedua orang tuamu. Biarlah aku mengantarmu sampai ke pantai dan engkau lebih dahulu menyeberang ke pulau dan melaporkan kepada orang tuamu. Kalau mereka sudah setuju, baru aku akan ke sana. Bagaimana?"

Tentu saja tidak ada alasan bagi Sui Cin untuk menolak. Apa lagi dara ini memang suka kepada pemuda yang jenaka dan lincah akan tetapi gagah perkasa dan berbudi ini. Dia tahu benar bahwa Hui Song mencintanya dan hal ini mendatangkan rasa senang di dalam hatinya, walau pun dia sendiri tidak tahu pasti apakah dia pun mencinta pemuda ini.

Dia suka kepada Hui Song, sebagai seorang sahabat, hal ini sudah jelas. Senang bekerja sama dengan pemuda yang gagah perkasa itu, melakukan perjalanan bersama, bersenda gurau dan bicara tentang ilmu silat. Dan bagaimana pun juga harus diakuinya bahwa cinta pemuda itu kepadanya mendatangkan semacam rasa bangga dalam hatinya.

Mereka lalu melakukan perjalanan ke selatan dan setelah mereka sampai di kota Ning-po, Sui Cin berkata, "Song-twako, harap engkau suka menanti di kota ini lebih dahulu. Paling lambat tiga hari aku pasti akan memberi kabar kepadamu, entah aku datang sendiri atau menyuruh pelayan, mengabarkan kepadamu apakah engkau sudah boleh menyeberang ke pulau ataukah tidak."

"Baik, Cin-moi. Aku menanti di penginapan ini, mudah-mudahan orang tuamu berkenan menerima kunjunganku. Selamat jalan, Cin-moi."

鈥淪elamat tinggal, sampai jumpa kembali."

Sui Cin lalu meninggalkan pemuda itu dan berlayar seorang diri menuju ke Pulau Teratai Merah. Wajahnya gembira sekali, berseri-seri dengan senyum menghias bibirnya. Hatinya terasa nyaman dan gembira sebab begitu dia berlayar menuju ke pulaunya, barulah terasa betapa sesungguhnya dia merasa sangat rindu kepada ayah bundanya, kepada pulaunya, bahkan rindu kepada air laut di mana semenjak kecil dia biasa bermain-main.

Sekarang, sesudah dia mengemudikan perahunya yang melaju kencang menuju ke timur, hatinya riang sekali. Dalam keriangannya itu teringatlah dia akan sajak yang dibuat ibunya dan yang dihafalnya ketika dia masih kecil. Kini, tanpa terasa lagi bibirnya bergerak lantas terdengar alunan suaranya yang nyaring merdu di antara suara percikan air pecah karena dibelah ujung perahunya.

Laut! Hidupmu penuh rahasia airmu luas tak terjangkau mata bergerak berubah tiada hentinya tak berdaya namun penuh kuasa! Kadang marah liar mengganas kadang lembut halus dan lemas kadang riang gembira penuh tawa kadang meraung menangis penuh duka! Laut! Penuh segala kemungkinan rahasia cermin batin setiap manusia!

Dahulu, di waktu dia masih kecil, meski pun dia hafal akan kata-kata nyanyian itu, namun dia tidak mengerti apa yang termaksud dalam sajak itu. Memang penggambaran lautan itu dapat dimengerti. Lautan selalu berubah. Kalau sedang tenang halus, amat mentakjubkan karena indahnya, bagaikan sutera biru terhampar, atau bagai padang rumput segar tertiup angin, seolah-olah melambai mengajak orang menikmati keindahannya.

Akan tetapi ada kalanya laut membuat dia berlari menjauh, bersembunyi aman di dalam rumah karena laut mengamuk, mengganas, mengeluarkan suara yang mengerikan sekali, gelombang menderu meraung-raung dan kadang menangis mendesis-desis, menggelegar menghantam batu karang di pantai, demikian perkasa dan menyeramkan.

Akan tetapi hanya sampai di situ saja batas kemampuannya untuk menyelami arti sajak buatan ibunya itu. Malah setahun yang lalu ketika dia meninggalkan pulau, dia masih tak peduli dengan isi sajak itu, tidak berminat untuk menyelami artinya lebih mendalam. Akan tetapi sekarang, pada waktu dia bernyanyi, artinya meresap ke dalam kalbu sehingga dia pun mengerti sepenuhnya akan isi kalimat terakhir dari sajak itu.

'Laut! Penuh segala kemungkinan rahasia, cermin batin setiap manusia!'

Memang ada gerakan tiada hentinya dalam batin manusia, seperti lautan. Kadang-kadang manusia dapat bersikap lembut, kadang kala ganas dan kejam, dan selama ini dia sudah melihat alangkah banyaknya manusia melakukan kekejaman-kekejaman serta kebuasan yang lebih mengerikan dari pada kebuasan lautan!


Baru saja Sui Cin menghentikan nyanyiannya, perhatiannya tertarik oleh beberapa buah perahu yang agaknya baru saja pergi meninggalkan Pulau Teratai Merah. Sebuah perahu besar mewah dikawal oleh empat buah perahu kecil.

Begitu melihat perahu besar itu, Sui Cin pun tersenyum. Tentu saja dia mengenal perahu mewah yang berbendera besar itu. Perahu siapa lagi kalau bukan perahu Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur atau Raja Muda dan mempunyai rumah di Ning-po itu!

Dia mengenal keluarga itu, juga mengenal putera tunggal raja muda itu, seorang pemuda yang usianya lima enam tahun lebih tua dari pada usianya dan yang tak disukainya sebab pemuda bangsawan yang bernama Can Koan Ti itu wataknya ceriwis, suka menggodanya dengan sikap yang kurang ajar! Akan tetapi di dalam pergaulan biasa, tentu saja dia tidak menyatakan sikap tidak senang itu, karena dia pun maklum bahwa orang tuanya adalah sahabat baik keluarga Can.

Agaknya yang membuat dia tidak suka adalah kemewahan yang terlampau berlebihan itu. Ibunya sendiri seorang wanita cantik jelita yang pesolek dan suka mengenakan pakaian-pakaian indah, demikian pula ayahnya. Dan keluarga Can itu seolah-olah berlomba dalam menonjolkan kekayaan mereka. Hal-hal inilah yang tidak disukai Sui Cin.

Entah bagaimana dia tidak suka bersolek, tidak suka menonjolkan kekayaan, dan ketika dia kecil, kadang-kadang dia ngambek kalau oleh ibunya dipaksa mengenakan pakaian-pakaian indah. Dia lebih mengutamakan keenakan pakaian yang menempel di tubuh dari pada keindahannya. Karena inilah maka Sui Cin sering memakai pakaian yang aneh-aneh dan nyentrik, semata-mata dilakukan bukan untuk menarik perhatian, melainkan karena dia mengutamakan keenakan pada pakaian yang dipakainya itu.

"Haiii... Ceng Siocia...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari perahu besar dan seorang laki-laki menjenguk dari atas pagar besi di tepi geladak perahu.

Orang itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Wajahnya tidak berapa tampan akan tetapi karena dia seorang pesolek, dengan kulit muka biasa dibedaki, rambut tersisir rapi dan mengkilat karena minyak, juga pakaiannya mewah sekali, maka dia nampak sebagai seorang pria yang ganteng.

Sui Cin langsung mengenalnya karena pemuda itu bukan lain adalah Can Koan Ti, putera tunggal Raja Muda Can Seng Ong atau gubernur Ce-kiang itu. Berjumpa dengan orang yang sudah dikenalnya setelah lebih dari setahun berpisah mendatangkan kegembiraan. Sui Cin segera melupakan sifat-sifat yang tidak disukanya pada diri putera pembesar itu dan dia pun melambaikan tangan.

"Heiii, Cong-kongcu... selamat berjumpa!" teriaknya riang.

Pemuda itu melambaikan tangan dengan gembira, lantas terdengar suaranya nyaring dan sengaja dinyaringkan karena perahu mereka sudah meluncur berpapasan, "Haiii... engkau semakin cantik saja..."

Sui Cin cemberut. Kiranya penyakit laki-laki itu belum sembuh juga, pikirnya. Dia hendak memaki dan telah mengerahkan khikang untuk berteriak agar terdengar sampai ke perahu besar yang sudah jauh, akan tetapi pada saat itu, banyak kepala nongol di tepi perahu itu sehingga dia melirihkan suaranya supaya tidak terdengar oleh banyak orang, "Engkau... ceriwis dan brengsek...!"

Karena gadis itu tidak mempergunakan khikang ketika berteriak, tentu saja suaranya tidak dapat mencapai perahu besar yang sudah lewat agak jauh. Can Koan Ti merasa sangat penasaran tidak mendengar apa yang diucapkan dara jelita itu, maka dia pun berteriak,

"Apaaaa...?! Kau bicara apa, nona...?!"

Akan tetapi Sui Cin hanya memoncongkan mulut dan mencibirkan bibir saja. Melihat ini, pemuda bangsawan itu menjadi gemas. Awas kau, pikirnya, kalau sudah menjadi milikku, akan kugigit bibirmu itu!

Sui Cin tertawa-tawa kecil, senang hatinya sudah dapat menggoda pemuda bangsawan itu. Aneh, mengapa aku menjadi marah karena dipuji cantik? Ahh, bukan pujiannya yang membuatnya marah, melainkan sikap pemuda itu, dan mungkin juga tergantung dari siapa yang memujinya.

Kalau hati memang sudah tidak suka, biar dipuji pun mungkin saja dianggap melakukan kekurang ajaran. Sebaliknya jika hati suka, biar dikurang ajari sekali pun mungkin akan dianggap sebagai pujian yang menyenangkan!

Sui Cin sengaja memutar perahunya, lantas menghampiri Pulau Teratai Merah dari arah selatan karena pada bagian selatan dari pulau itu terdapat sebuah taman laut yang amat indah. Di waktu air laut sedang tenang, dari atas perahu dapat nampak ikan-ikan di bawah permukaan air yang tidak terlampau dalam dan dasar laut itu pun penuh dengan batu dan bunga karang yang amat indah dan beraneka warna.

Ketika tiba di tempat ini, Sui Cin tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk menikmati tempat itu. Dia menoleh ke kanan kiri. Sunyi. Memang tidak ada nelayan berani mendekat Pulau Teratai Merah tanpa seijin orang tuanya, dan ayah bundanya telah melarang para nelayan mendatangi taman laut itu.

Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain, Sui Cin lalu membuang jangkar, menggulung layar, menanggalkan pakaian luarnya dan kemudian juga pakaian dalamnya. Dengan bertelanjang bulat dia mengikat rambutnya di atas kepala lantas terjunlah dia ke dalam air.

Dia menyelam dan segera dia memasuki keadaan yang hanya dapat dibayangkan dalam impian. Sebuah alam yang sangat indah, beraneka warna, ada bintang-bintang berwarna, ada bunga-bunga raksasa dengan warna-warni menyolok, ada ikan-ikan yang warnanya berkilauan dan bentuknya beraneka macam, ada yang teramat aneh dan menyeramkan.

Sui Cin menyelam, hanya sesekali timbul untuk berganti napas dan menyedot hawa murni sebanyaknya, menyelam lagi dan tanpa dirasakan sudah satu jam lebih dia bermain-main di tempat itu, suatu kebiasaan yang dahulu menjadi kesukaannya sebelum dia merantau.

Setelah dia merasa lelah dan puas, baru dia naik ke perahunya, mengeringkan tubuh dan rambut, lantas mengenakan pakaiannya kembali. Dan hatinya kini menjadi semakin riang, wajahnya semakin cerah ketika dia mengemudikan perahunya menuju ke Pulau Teratai Merah.

Biar pun Pulau Teratai Merah tidak pernah dijaga ketat karena keluarga Ceng tidak takut akan ancaman bahaya, namun para pelayan mereka yang rata-rata memiliki kepandaian silat lumayan itu selalu bersikap waspada. Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila mereka sudah tahu akan kedatangan nona mereka dan hal ini segera mereka laporkan kepada majikan mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin muncul di ruangan depan rumah gedung keluarganya, ayah ibunya telah berdiri menyambut dengan senyum gembira.

"Ayah...!" Sui Cin berlari dan memeluk ayahnya, sejenak menempelkan mukanya di dada yang bidang itu.

Jari-jari tangan ayahnya mengelus rambutnya, mendatangkan rasa senang dan tenteram di hati. Ia lalu mengangkat mukanya, memandang wajah ayahnya yang masih ganteng itu sambil tersenyum.

"Engkau baik saja, bukan?" Ayahnya bertanya halus.

Sui Cin mengangguk, lalu melepaskan diri dan menghampiri ibunya, terus merangkulnya, "Ibu...!"

Toan Kim Hong memeluk anaknya dan menciumi pipinya. "Anak bengal, terlalu lama kau pergi, membuat kami merasa rindu sekali."

Sui Cin juga menciumi muka ibunya yang amat cantik itu.

"Ihh, rembutmu basah! Bau air laut pula! Dan pakaianmu ini... hemm, mengapa engkau memakai pakaian seperti... seperti jembel...!" Wanita itu menegur dan alisnya berkerut.

Sebagai seorang ibu yang senang akan pakaian indah, tentu saja hati nyonya ini merasa kecewa saat melihat puteri tunggalnya berpakaian yang dianggapnya jorok dan terlampau sederhana, pantasnya pakaian wanita petani miskin.

Sui Cin melepaskan rangkulannya, melangkah mundur tiga tindak dan memandang ayah ibunya. Baru sekarang dia melihat betapa pakaian orang tuanya amat mewah, lebih indah dari pada biasanya dan teringatlah dia bahwa tentu ayah ibunya belum berganti pakaian setelah tadi menerima tamu agung, yaitu keluarga Raja Muda Can itu. Timbul rasa tidak senangnya akan kemewahan ayah bundanya dan dia berkata dengan nada mengejek dan senyum dibuat-buat.

"Wah, pakaian ibu dan ayah indah bukan main, baru dan mewah seperti pakaian kaum bangsawan saja!"

Memang pakaian yang dikenakan suami isteri itu indah dan mewah. Ceng Thian Sin yang telah berusia empat puluh enam tahun itu masih terlihat muda dan gagah, tubuhnya tegap dan sehat, wajahnya berseri dan kepalanya memakai sebuah topi yang indah, dihias bulu. Pakaiannya dari sutera halus biru dan putih, rapi dan mewah bagaikan pakaian seorang hartawan asli, sepatunya mengkilap dan baru.

Toan Kim Hong lebih mewah lagi. Rambutnya disanggul di atas, dihias emas dan permata berbentuk sebuah mainan naga kecil, kedua telinganya dihias anting-anting mutiara besar, juga kalung batu-batu permata bergantungan di luar bajunya yang sangat indah. Gaun itu disulam dengan gambar seekor burung hong dari benang emas, sesuai dengan namanya 'Kim Hong' yang berarti burung hong emas!

Wajah wanita yang sebetulnya dua tahun lebih tua dari pada suaminya ini masih nampak bagaikan wanita tiga puluh tahunan saja, cantik manis dan kulitnya putih halus. Sungguh sukar dipercaya bahwa wanita yang demikian cantik jelita pernah menjadi Lam-sin, datuk selatan yang ditakuti semua golongan hitam.

Toan Kim Hong merasakan nada suara mengandung ejekan itu. Sepasang alisnya yang indah berkerut ketika dia berkata, "Sui Cin! Tidak pantas engkau mengejek orang tuamu! Tidak pantas pula jika engkau mengenakan pakaian macam ini! Engkau tentu tahu siapa ayahmu, dan dari mana asalnya nama keluarga Ceng. Ayahmu masih berdarah keluarga kaisar! Kakek ayahmu adalah mendiang Kaisar Ceng Tung, maka memang sudah pantas jika keluarga kita termasuk keluarga bangsawan. Apa lagi ayahku sendiri adalah seorang pangeran yang tidak rendah kedudukannya. Keluarga Toan adalah keluarga bangsawan pula. Maka, tidak perlu engkau mengejek."

Thian Sin memegang lengan isterinya dan merangkul pundak puterinya. "Sudahlah, masa anak baru datang sudah dimarahi. Dan engkau, Cin, tidak baik bersikap seperti itu kepada ibumu. Mari kita berbicara di dalam. Kami ingin menyampaikan berita yang penting sekali mengenai dirimu."

Mereka bertiga lalu berjalan masuk, ada pun suasana antara ibu dan anak itu sudah pulih kembali. Mereka masuk ke ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang berani masuk tanpa dipanggil kemudian duduklah keluarga yang terdiri dari tiga orang itu.

"Dalam perjalanan pulang tadi, di tengah lautan aku bertemu dengan perahu Raja Muda Can. Agaknya dia berkunjung ke sini, benarkah, ayah?" Sui Cin bertanya, teringat akan perjalanannya tadi.

"Benar," jawab ayahnya. "Memang keluarga Can tadi berkunjung ke sini dan justru urusan dengan mereka itu yang ingin kami ceritakan kepadamu!"

Sui Cin mengerutkan alis. "Tadi ayah bilang akan menyampaikan berita penting mengenai diriku...?"

"Ada hubungannya dengan kunjungan keluarga Raja Muda Can...," kata ibunya.

Sui Cin memandang kepada ayah ibunya, akan tetapi mereka kelihatan ragu-ragu untuk bicara. "Apakah yang terjadi? Apa hubunganku dengan keluarga Can? Ayah, katakanlah!"

Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata itu tahulah Pendekar Sadis bahwa isterinya sedang dalam keadaan terharu dan menghendaki supaya dia yang menyampaikan berita itu kepada anak mereka.

"Anakku, tahukah engkau berapa usiamu tahun ini?" tanyanya, ingin menyampaikan berita itu secara halus dan memutar.

"Usiaku?" Sui Cin memandang heran. "Ayah tentu tahu, kini usiaku hampir enam belas tahun..."

"Hemm, sekarang anakku sudah dewasa," Toan Kim Hong berkata.

"Apa hubungannya aku dan usiaku dengan keluarga Raja Muda Can? Ahhh... aku tahu... ahh, si keparat, agaknya mereka datang untuk meminang aku, begitukah ayah dan ibu?"

"Sui Cin, hati-hati dengan mulutmu itu!" Ibunya segera menghardik. "Keluarga Can adalah keluarga bangsawan dan pembesar yang terhormat, maka merupakan suatu kehormatan yang sangat besar bagi kita jika mereka datang meminangmu. Bagaimana engkau berani mengeluarkan kata makian?"

"Sui Cin, bersikaplah tenang dan hadapi segalanya dengan pikiran yang matang, jangan terlalu mudah menurutkan perasaan suka atau tidak suka dan dengarkan kata-kata kami," suara Pendekar Sadis terdengar tegas dan Sui Cin menunduk.

"Maafkan, ayah." Dia pun insyaf bahwa sikapnya memang tidak sepatutnya. Kini dia telah dewasa, bukan anak kecil lagi maka dia harus dapat menghadapi segala sesuatu dengan tenang seperti yang dimaksudkan ayahnya.

"Sui Cin, keluarga Can memang tadi datang berkunjung untuk mengajukan pinangan atas dirimu. Engkau tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga yang terhormat, seorang wakil kaisar untuk daerah selatan, seorang pangeran yang menjadi raja muda, selain berdarah bangsawan tinggi, juga kaya raya dan kedudukannya tinggi terhormat. Dan puteranya itu, Can-kongcu, adalah seorang pemuda yang terpelajar dan halus budi. Tentu aku tak perlu bercerita banyak karena engkau pun sudah mengenalnya."

"Dan ayah ibu sudah menerimanya?" tanya Sui Cin, jantungnya berdebar tegang.

"Kami menyambutnya dengan baik dan biar pun di dalam hati kami merasa setuju sekali, namun kami ingin menanti sampai engkau pulang, jadi kami belum mengambil keputusan menerimanya. Keluarga Can yang bijaksana mengerti akan keadaan kami karena engkau tidak berada di rumah dan mereka bersedia menanti sampai engkau pulang."

"Terima kasih, ayah dan ibu, dan memang pinangan itu tidak perlu diterima karena aku tidak mau."

"Apa?" Ceng Thian Sin bangkit berdiri. "Engkau tidak mau? Mengapa?"

Sui Cin menentang pandang mata ayahnya yang kelihatan tidak senang. "Tidak apa-apa, hanya aku tidak suka dan tidak disuka menjadi isteri Can Koan Ti yang ceriwis itu!"

"Sui Cin, engkau jangan sesombong itu!" Kini ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah. "Can-kongcu orangnya baik hati dan ramah, dan engkau malah memakinya ceriwis! Kami hendak mengangkatmu menjadi seorang yang terhormat dan mulia, akan tetapi engkau menolaknya mentah-mentah! Apakah engkau ingin menjadi perawan tua? Apakah engkau hendak membikin malu orang tuamu dengan penolakan ini, padahal kami sudah bersikap menerima dan setuju terhadap mereka?"

Melihat ayah ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah, Sui Cin juga bangkit berdiri dan menghadapi mereka. Hatinya terasa panas karena dia merasa dipojokkan. "Ibu sekarang sudah berusia empat puluh tahun lebih dan aku baru enam belas tahun, berarti bahwa ibu pun tentu bukan berusia muda ketika menikah dengan ayah. Mengapa hendak memaksa aku menikah dalam usia enam belas tahun dan khawatir aku menjadi perawan tua?"

"Jangan bawa-bawa masa muda ibumu!" Kini Toan Kim Hong menudingkan telunjuknya dengan sikap marah. "Memang aku telah berusia dua puluh tiga tahun pada saat menjadi isteri ayahmu, akan tetapi justru kami tidak ingin melihat engkau seperti kami pada masa muda. Kami ingin melihat engkau kembali kepada kedudukan yang wajar dan pantas bagi seorang keturunan bangsawan seperti engkau, menjadi orang yang terhormat dan mulia. Dan menjadi menantu Raja Muda Can merupakan kedudukan yang paling baik yang akan pernah dapat kau miliki, kecuali jika engkau dapat menjadi menantu kaisar yang tak akan mungkin terjadi!"

Sui Cin menjadi semakin tak senang. Perut dan dadanya terasa panas hingga darahnya bergolak. Dia pun bertolak pinggang sambil kedua alisnya berkerut ketika dia memandang ayah ibunya. "Jadi... ayah dan ibu hendak memaksaku?"

Melihat ketegangan makin memuncak, Thian Sin cepat melerai. "Bukan sekali-kali kami hendak memaksamu, anakku. Kami hanya minta agar engkau suka memikirkan secara mendalam semua kata-kataku dan kata-kata ibumu. Tentunya engkau tahu betapa besar cinta kami terhadap dirimu, dan kami hanya berusaha untuk membuatmu berbahagia," kata-katanya halus menghibur, membuat Sui Cin rasanya ingin menangis.

"Kalau ayah dan ibu ingin melihat aku berbahagia, janganlah memaksaku kawin dengan siapa pun juga. Tunggu sampai aku berusia dua puluh tahun lebih, seperti ibu dahulu. Aku tidak suka, ayah, aku tidak mau menikah dengan orang she Can itu. Pendeknya, aku tak suka menikah dengan orang bangsawan."

"Ehhh...?!" Toan Kim Hong berseru marah.

Dia sendiri adalah puteri dari seorang pangeran, walau pun pangeran pengasingan atau buangan, dan sejak kecil dia sudah merindukan kemuliaan itu yang kini hampir tercapai kalau puterinya menjadi mantu Raja Muda Can. Tapi kini puterinya itu malah mengatakan tidak suka menikah dengan orang bangsawan!

"Mengapa engkau tidak suka menikah dengan orang bangsawan? Mengapa? Hayo jawab, tentu ada alasannya."

"Karena aku benci! Aku benci pada orang-orang bangsawan. Mereka itu sombong, tinggi hati dan korup! Aku benci kepada pembesar-pembesar yang korup semacam Liu-thaikam sehingga aku membantu para penentangnya sampai akhirnya dia jatuh."

"Hemmm, jadi engkaukah satu di antara mereka yang berhasil menjatuhkan orang she Liu itu?" Toan Kim Hong yang tadinya marah-marah kini berkata lunak karena hatinya merasa girang dan bangga sekali.

Berita mengenai kejatuhan Liu-thai-kam ini sudah mereka dengar dari keluarga Can yang memuji-muji para pendekar yang membantu pemerintah membongkar persekutuan jahat yang dipimpin oleh Liu-thaikam dan kini ternyata bahwa satu di antara orang-orang gagah itu adalah Sui Cin.

"Sui Cin, tidak semua bangsawan berwatak tinggi hati dan sombong. Engkau tidak boleh menilai orang dari keadaan atau kedudukannya, karena keadaan apa pun juga tentu ada kecualinya. Banyak pula bangsawan tinggi yang rendah hati dan orang-orang biasa yang tinggi hati. Juga banyak orang-orang hartawan yang berwatak pendekar tetapi sebaliknya orang-orang miskin yang berwatak penjahat. Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi. Engkau baru saja pulang dari kepergianmu yang setahun lebih itu."

"Ayahmu benar, Cin. Mari kita beristirahat dahulu dan berganti pakaian, lalu engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, terutama perjuanganmu meruntuhkan Liu-thaikam yang sangat menggemparkan itu," kata Toan Kim Hong yang kini sudah memperoleh kembali kesabarannya, merangkul puterinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar.

Sui Cin lalu menuturkan semua pengalamannya kepada ayah ibunya, juga pertemuannya dengan tokoh-tokoh sesat Cap-sha-kui, dengan Cia Sun dan Cia Hui Song. Semuanya itu diceritakan dengan jelas kecuali bahwa saat ini Hui Song sedang menanti di kota Ning-po, menanti 'lampu hijau' darinya agar pemuda itu diperbolehkan mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk berkenalan dengan orang tuanya.

Pada saat Sui Cin bercerita tentang murid Cin-ling-pai yang bernama Tan Siang Wi yang tinggi hati, angkuh dan galak, ibunya segera mengerutkan alis. "Ahh, ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Kong Liang dan memang wataknya angkuh dan memandang rendah semua orang. Pantas jika dia mempunyai seorang murid seperti itu. Terus terang saja, aku tidak suka kepada Cin-ling-pai!"

"Memang wataknya agak tinggi hati, akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Cin-ling-pai adalah keluarga gagah perkasa yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Bagaimana pun juga, aku sendiri pun terhitung murid Cin-ling-pai."

"Memang benar ayah," kata Sui Cin. "Meski pun Tan Siang Wi itu berwatak angkuh, akan tetapi Cia Hui Song, putera ketua Cin-ling-pai itu sama sekali tidak sombong, bahkan dia ramah dan baik sekali di samping ilmu silatnya yang tinggi. Dialah yang berkeras untuk menentang kelaliman Liu-thaikam dan aku membantunya."

Sui Cin lalu menceritakan semua mengenai pemuda itu, tentu saja sambil mencari jalan untuk menyampaikan keinginan pemuda itu yang kini masih menanti di kota Ning-po.

"Cia Hui Song juga menyatakan kekagumannya terhadap ayah dan dia ingin sekali datang ke sini menghadap dan berkenalan dengan ayah dan ibu." Akhirnya dia memancing.

"Hemm, tidak usah ke sini... aku sudah merasa tidak suka kepada keluarga itu, lebih baik tidak ada hubungan sama sekali," kata Kim Hong dan mendengar ucapan ibunya itu, tentu saja Sui Cin tidak berani lagi mendesak.

Munculnya urusan dengan keluarga Can tentu saja merupakan halangan besar baginya untuk memperkenalkan Hui Song. Dia menolak pinangan keluarga Can dan hal itu tentu mengesalkan hati ayah ibunya yang telah setuju menerima, maka jika dia membawa Hui Song ke pulau tentu hanya akan makin menjengkelkan hati orang tuanya. Tidak, saatnya tidak tepat bagi Hui Song untuk datang berkunjung dan dia harus segera memberi tahu kepada pemuda itu agar tidak menunggu dengan sia-sia di Ning-po.

Pada keesokan harinya, selagi Sui Cin termenung di taman belakang gedung dan masih bingung memikirkan tentang Hui Song yang menantinya di seberang sana, ibunya datang menghampiri, memeluk dan duduk di sampingnya, di atas sebuah bangku batu di taman itu.

"Anakku, maafkan sikap ibu kemarin. Aku sudah marah-marah kepadamu, aku menyesal sekali menyambut pulangmu yang sudah sangat kurindukan dengan kemarahan." Ibu itu dengan sikap lembut dan sayang mencium pipi anaknya.

Sui Cin balas mencium dan merangkul ibunya. "Tidak, ibu. Akulah yang minta maaf sebab sesudah lama pergi meninggalkan ibu, aku malah pulang tidak membawa oleh-oleh yang menyenangkan, hanya mendatangkan kejengkelan di hati ibu dan ayah saja. Kalau saja aku tahu begini, aku tidak akan pulang dulu dan melanjutkan perantauanku."

"Hushhh, sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa kemarin dan mari kita bicara dengan hati terbuka. Sui Cin, sekarang katakanlah terus terang, engkau menolak keras lamaran dari putera Raja Muda Can, apakah dalam perantauanmu itu engkau bertemu dengan pemuda yang telah menjatuhkan hatimu?"

Dara itu memandang wajah ibunya dengan mata terbelalak. Kim Hong menatap sepasang mata yang bening itu penuh selidik, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu pada sepasang mata itu dan memang anaknya ini benar-benar heran dan terkejut, tidak menyembunyikan sesuatu. Kim Hong adalah seorang wanita yang amat tinggi ilmunya, luas pengalamannya dan sangat cerdik, maka andai kata Sui Cin menyembunyikan sesuatu perasaan tertentu sudah pasti ibunya akan dapat mengetahuinya atau setidaknya mencurigainya.

"Ibu, apa yang kau maksudkan? Menjatuhkan hatiku?" Pertanyaan yang polos dan jujur karena memang Sui Cin belum paham akan lika-liku dan istilah tentang cinta.

"Maksudku, apakah ada pemuda yang menarik hatimu dan kau suka?"

Sui Cin masih bersikap biasa saja. Keheranan pada pandang matanya lenyap setelah dia paham bahwa pengertian yang tadinya tidak diketahuinya itu ternyata keliru.

"Ahh, kiranya itukah yang ibu maksudkan? Tentu saja ada dan banyak. Banyak kujumpai orang-orang pandai dan lihai, gagah perkasa dan sangat menyenangkan. Terutama sekali Cia Sun dan Cia Hui Song. Mereka adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang sangat mengagumkan."

"Bukan begitu maksudku."

"Lalu bagaimana?" Kembali keheranan membayang di mata dara itu.

"Maksudku, apakah ada pemuda yang... ehhh, kepada siapa engkau jatuh cinta?"

"Ohh...!" Wajah Sui Cin berubah merah dan sejenak dia termangu-mangu, akan tetapi dia segera menggelengkan kepala. "Aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan. Aku... aku tidak tahu apakah aku mencinta seseorang, tetapi kurasa aku hanya suka saja, ibu, suka bersahabat, terutama kepada... Cia Hui Song."

"Hemm, terutama kepada putera ketua Cin-ling-pai itu? Hati-hati, Sui Cin, jangan sampai engkau jatuh cinta kepadanya. Aku tidak suka mempunyai mantu putera Cin-ling-pai!"

Sudah menjadi watak Sui Cin tidak bisa dikerasi. Kalau dihadapi dengan kekerasan, maka dia akan menentang. Maka kini mendengar ucapan ibunya, dia berkata, "Ibu, terus terang saja, aku suka kepada Hui Song, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mencintanya. Andai kata aku mencinta, siapa pun juga tidak akan dapat melarangku!"

Wajah ibunya berubah dan matanya terbelalak, akan tetapi melihat sikap puterinya yang demikian tegas dan keras, tiba-tiba nyonya ini tersenyum, teringat akan kekerasan hatinya sendiri. Ia mengangguk dan merangkul puterinya. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak cinta kepadanya, bukan?"

Sui Cin menggeleng kepala. "Aku suka kepadanya karena dia gagah perkasa, ramah dan baik budi, ibu. Akan tetapi aku... aku tidak tahu apakah aku cinta kepadanya atau kepada siapa pun juga. Kini aku masih suka hidup bersama ayah dan ibu, atau hidup seorang diri, pergi merantau dan memperluas pengalaman. Aku tidak ingin terikat oleh pernikahan dan menggantungkan hidupku pada seseorang, mengurung diri dalam sebuah rumah tangga. Ngeri aku apa bila membayangkan betapa aku menjadl nyonya rumah yang tidak pernah meninggalkan rumahnya, bagaikan seekor anjing yang dirantai di dalam kandangnya. Aku masih ingin bebas, ibu, seperti burung di udara..."

Ibunya mengangguk. "Aku mengerti perasaanmu, Cin-ji. Agaknya jiwa petualangan ayah ibu menurun kepadamu. Akan tetapi ingat, anakku. Usiamu sudah enam belas tahun dan sudah sepatutnya engkau mempunyai ikatan dengan seseorang yang kelak akan menjadi suamimu. Kulihat Can-kongcu merupakan calon yang paling baik dan tepat bagimu. Kelak dia tentu akan menduduki pangkat yang tinggi sehingga hidupmu akan terhormat, mulia, terjamin dan bahagia. Soal pernikahan bisa saja diundur, akan tetapi asal engkau setuju, ikatan perjodohan dapat diadakan lebih dulu."

"Tidak, ibu, aku tidak mau! Aku tidak cinta kepada orang itu, aku tidak suka, bahkan aku benci padanya!"

Wajah Toan Kim Hong menjadi keruh, kemudian dia bangkit berdiri. "Ahh, engkau hanya mengecewakan hati orang tua saja, Sui Cin."

Ibu yang kecewa ini lantas meninggalkan anaknya yang duduk termenung dengan muka berubah merah dan hampir menangis. Akan tetapi Sui Cin tidak menangis, walau pun dia ingin melepaskan kemarahan dan kejengkelan hatinya melalui tumpahan air mata. Tidak, dia tidak akan menangis.

Dia akan menentang kalau harus dijodohkan dengan pemuda bangsawan she Can yang ceriwis itu! Dia sudah bisa membayangkan kalau menjadi isteri bangsawan. Mengenakan pakaian indah-indah dan tebal yang tidak nyaman dipakai, harus bersikap agung-agungan menerima penghormatan orang, harus bersopan-sopan dan berpatut-patut di depan orang banyak, kemudian akan merenungi nasib sendiri di dalam kamar karena suaminya sang bangsawan pergi ke kamar selir-selir yang tak terhitung banyaknya!

Tidak, dia tidak mau. Kalau dia menjadi isteri bangsawan, tentu kelak dia akan menjadi pembunuh, membunuh suaminya beserta selir-selir suaminya. Dia ingin bebas, meski pun bersuami, akan tetapi bebas menjelajahi hutan dan gunung bersama suaminya, tak hanya menjadi boneka-boneka hidup di dalam gedung besar dan pengap!

Dia langsung teringat akan kesenangan ketika melakukan perjalanan bersama Hui Song. Menentang orang-orang jahat, menggoda dan menumpas mereka, menghadapi bahaya-bahaya yang menegangkan, mengatasi banyak ancaman bahaya maut, dan tidur di alam terbuka. Bebas! Betapa senangnya. Itulah hidup dan itulah kehidupan yang disenanginya. Bukan menjadi boneka hidup di samping seorang bangsawan yang menjadi suaminya, dan sekaligus juga majikannya.

Hui Song! Dia masih menanti di Ning-po. Sui Cin cepat bangkit berdiri dan meninggalkan taman itu, menuju ke pantai dan tidak lama kemudian dia pun sudah melayarkan perahu kecil itu menuju ke seberang, ke daratan besar.

Hari telah senja ketika dia meninggalkan pulau tanpa setahu ayah ibunya dan pada waktu perahunya mendarat di pantai, cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi ketika dia meloncat ke daratan dan menarik perahunya, tiba-tiba saja muncul sesosok bayangan hitam yang menghampirinya.

"Cin-moi...! Ahh, betapa girang hatiku melihatmu!"

"Song-twako, engkau di sini?" tanya Sui Cin ketika mendengar suara pemuda itu.

"Aku tidak pernah meninggalkan pantai ini sejak kita saling berpisah..."

"Ehh? Engkau... tidak kembali ke penginapan?"

Pemuda itu membantunya menarik perahu ke darat dan mengikatkan tali pada tonggak. Wajahnya berseri dan nampaknya gembira bukan main dapat melihat kembali gadis itu. "Tidak, Cin-moi. Aku... aku tidak berani meninggalkan pantai ini, takut kalau-kalau tidak melihat engkau kembali."

Sui Cin menahan tawanya. "Ihhh, engkau ini aneh sekali, twako. Seperti anak kecil. Masa aku tidak kembali? Bukankah aku sudah berjanji akan memberi kabar kepadamu?"

"Lalu bagaimana, Cin-moi? Bolehkah aku menyeberang? Apakah engkau datang ini untuk mengabarkan bahwa aku boleh menghadap orang tuamu?"

Wajah yang cantik manis itu berubah muram dan dia menggelengkan kepala.

"Ahh, orang tuamu... menolak kunjunganku?"

Sui Cin merasa rikuh dan serba salah. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil biasa bersikap terbuka dan jujur. Akan tetapi kini dia merasa serba salah untuk mengaku bahwa ayah ibunya tidak suka kepada Cin-ling-pai, dan bukan hanya keberatan menerima putera ketua Cin-ling-pai datang berkunjung, bahkan tidak suka jika dia bergaul dengan pemuda itu.

"Maafkan, twako. Pada saat ini ayah dan ibu tidak suka menerima tamu, jadi... lebih baik lain kali saja kalau engkau ingin berkenalan dengan mereka."

"Ahh, sayang sekali..." Pemuda itu kelihatan kecewa bukan main.

Sebenarnya dia ingin sekali berkenalan dengan orang tua gadis ini, Pendekar Sadis yang namanya sudah dia dengar sejak kecil itu. Bukan hanya sekedar berkenalan biasa, akan tetapi dia sudah yakin akan cintanya terhadap Sui Cin dan pada suatu hari dia tentu akan datang bersama orang tuanya untuk meminang gadis itu. Maka alangkah baiknya kalau sebelumnya dia sudah berkenalan dengan orang tua Sui Cin.

Melihat betapa Hui Song nampak kecewa bukan main, Sui Cin merasa kasihan dan cepat dia berkata, "Bagaimana pun juga, aku sendiri tidak akan kembali ke sana, twako."

Tentu saja perkataan ini mengherankan hati Hui Song. "Apa? Apa maksudmu? Engkau tidak akan pulang?"

Sui Cin menggeleng. "Tidak, aku akan pergi merantau lagi."

Hui Song mengerutkan alisnya. "Ehh, mengapa begitu, Cin-moi? Bukankah engkau baru saja pulang dari perantauan? Baru dua hari pulang, masa hendak pergi lagi? Tentu orang tuamu akan melarangmu."

"Aku tidak perlu minta ijin mereka, aku memang hendak pergi tanpa pamit!" kata Sui Cin dengan nada suara tak senang.

Hui Song memandang khawatir. "Cin-moi... maaf, bukan aku hendak mencampuri urusan keluargamu, akan tetapi apakah yang telah terjadi? Engkau nampaknya tidak senang dan marah. Jika hanya karena aku tidak boleh menyeberang, hal itu tak ada artinya, Cin-moi, jadi tidak perlu membuatmu marah, apa lagi kepada orang tuamu sendiri."

"Bukan hanya karena itu, twako. Yang membuat hatiku kesal dan mendorongku pergi lagi meninggalkan rumah adalah karena aku... mau dijodohkan dengan putera gubernur!"

Hati Hui Song berdebar sesudah terasa nyeri seperti tertusuk. Dia memaksa senyum dan menjura. "Wah, selamat, Cin-moi."

"Selamat hidungmu itu!" Sui Cin membentak jengkel. "Engkau malah hendak menambah kejengkelan hatiku? Aku tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi isteri bangsawan ceriwis itu!"

Hui Song merasa betapa ada kelegaan dan kegembiraan luar biasa menyelinap di hatinya mendengar kata-kata setengah teriakan dari gadis itu. Akan tetapi dia pura-pura terkejut dan bersikap serius. "Ahhh, kalau begitu maafkan aku, Cin-moi. Akan tetapi... mengapa engkau begitu marah dan menolak? Bukankah putera seorang gubernur itu merupakan calon suami yang amat baik, terpelajar, kaya raya dan berkedudukan tinggi? Hemm, aku tahu, Cin-moi. Aku tahu mengapa engkau menolaknya."

Sui Cin memang mudah marah, namun mudah bergembira. Orang seperti dia tidak dapat marah terlalu lama. Sifanya terlampau lincah gembira untuk dapat bertahan marah terlalu lama. Kini dia memandang pemuda itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.

"Hemm, engkau seperti peramal saja, twako. Coba ingin kudengar tebakanmu sekarang, kalau memang engkau tahu mengapa aku menolaknya."

"Apa lagi kalau bukan karena engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri? Engkau tentu sudah mempunyai seorang calon dalam hatimu."

Wajah yang manis itu menjadi merah, akan tetapi bibirnya berjebi mengejek. "Ihh, engkau hanya ngawur saja! Tidak, aku tidak memiliki calon seperti yang kau terka itu. Sedikit pun aku belum memikirkan tentang itu. Cih, memalukan saja! Aku menolak karena memang aku tidak suka kepada pemuda bangsawan yang ceriwis itu, dan juga karena aku sama sekali belum mau terikat menjadi isteri orang. Aku masih ingin bebas seperti burung di udara, merdeka beterbangan ke mana pun yang ku kehendaki."

Sui Cin tidak menyadari betapa Hui Song telah memancing untuk mengetahui isi hatinya dan tentu saja pemuda ini merasa girang sekali karena sekarang dia tahu bahwa gadis ini masih kosong hatinya dan dia mengharapkan untuk mengisinya.

"Kalau engkau tidak mau pulang, lalu engkau hendak pergi ke mana, Cin-moi?"

"Ke mana saja asal tidak pulang, asal tidak mendengarkan bujukan orang tuaku supaya menerima tikus itu sebagai calon suamiku!"

"Jika begitu, marilah engkau ikut bersamaku, Cin-moi. Aku hendak pulang ke Cin-ling-pai dan mari kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku."

Sui Cin mengangguk. "Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, boleh saja kalau pergi ke sana. Sudah lama aku mendengar tentang Cin-ling-pai dan aku pun ingin berkunjung ke Pegunungan Cin-ling-san yang katanya amat indah. Akan tetapi jangan mengambil jalan darat. Lebih baik mempergunakan perahu menyusuri pantai ke utara lalu mendarat di kota Hang-couw, baru kita melanjutkan perjalanan melalui daratan."

"Kenapa begitu?"

"Engkau tidak tahu kelihaian orang tuaku. Sesudah mereka tahu aku pergi, tentu mereka akan melakukan pengejaran dan kalau aku mengambil jalan darat, jangan harap dapat lolos dari kejaran mereka. Akan tetapi kalau dari sini kita mengambil jalan laut, tentu tidak meninggalkan jejak dan betapa pun lihainya ayah, tentu dia tidak akan mampu mengikuti kepergianku."

Dengan kagum Hui Song menyetujui dan tak lama kemudian mereka pun sudah berlayar lagi menempuh gelombang menuju ke utara. Sementara itu, malam sudah tiba sehingga pelayaran mereka hanya diterangi bintang-bintang di langit.

"Song-twako, sekali ini aku benar-benar menjadi seorang kelana miskin. Aku pergi tanpa pamit, tanpa membawa bekal pakaian, apa lagi uang. Perantauanku yang dahulu direstui orang tuaku, karena itu aku membawa bekal banyak emas. Akan tetapi sekarang... aku benar-benar miskin."

"Kita bukan orang-orang hartawan yang sedang pelesir, Cin-moi. Perlu apa bekal uang banyak? Asal engkau tidak menyebar dan membagi-bagikan uang kepada para jembel di pasar, aku masih mempunyai bekal cukup kalau hanya untuk biaya di perjalanan saja."

"Kalau hanya untuk biaya perjalanan, apa sih sukarnya? Kalau memang kita memerlukan, mudah saja mengambil dari peti-peti uang orang lain!"

"Wah, engkau hendak mencuri? Dari para hartawan?"

Sui Cin menggelengkan kepala. "Ayah dan ibu akan marah kalau aku mencuri milik siapa pun. Akan tetapi kalau aku mengambilnya dari tempat judi misalnya, mereka tentu tidak akan marah." Keduanya tersenyum dan perahu meluncur dengan laju.

Indah bukan main pemandangan pada malam hari itu. Bintang-bintang bagai bercermin di permukaan air laut sehingga kadang-kadang orang akan terlupa dan menyangka bahwa benda-benda bercahaya yang jutaan banyaknya itu bukan berada di atas kepala, namun di bawah, jauh tak berdasar.

********************

Dusun Lok-cun di luar kota Sin-yang di tepi Sungai Huai pada pagi hari itu nampak ramai dan gembira. Para penghuni dusun yang tak berapa besar itu nampak sedang merayakan sesuatu dan sejak pagi tadi nampak sibuk sekali. Memang, pada hari itu mereka semua merayakan pernikahan anak perempuan dari kepala dusun mereka.

Seperti di dusun-dusun lainnya pada masa itu, seorang kepala dusun merupakan seorang raja kecil yang amat dihormati oleh para penghuni dusun yang menjadi rakyatnya. Maka, ketika kepala dusun Coa dari dusun Lok-cun itu merayakan pernikahan puterinya, seluruh penghuni dusun itu sibuk merayakannya.

Lurah Coa hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan yang kini sedang dirayakan hari pernikahannya. Seluruh keluarga Coa nampak gembira ria. Mereka merasa terhormat sekali karena puteri lurah itu akan menikah dengan jaksa di kota Sin-yang!

Walau pun jaksa itu usianya sudah hampir enam puluh tahun dan gadis itu menjadi isteri ke lima, akan tetapi semua orang tahu bahwa jaksa itu memiliki kekuasaan yang sangat besar di kota Sin-yang, bahkan juga mempunyai pengaruh dan kawan-kawan di kota raja. Maka, kalau gadis itu menjadi isterinya, biar pun isteri kelima, bukan hanya gadis itu akan terjamin hidupnya dan menjadi nyonya jaksa yang terhormat, akan tetapi kepala dusun itu juga akan naik derajatnya dan mungkin akan mudah naik pangkat!

Akan tetapi, kalau semua orang bergembira, sebaliknya Coa Lan Kim, gadis puteri kepala dusun itu sendiri, sejak beberapa hari yang lalu hanya menangis saja di dalam kamarnya. Dara ini setiap saat membayangkan seorang pemuda sederhana yang selama ini menjadi kekasihnya, seorang pemuda petani yang dahulu menjadi pembantu ayahnya, mengurus sawah ladang ayahnya.

Pemuda ini bahkan sudah disetujui oleh keluarga lurah Coa sendiri untuk menjadi calon menantu karena memang pemuda itu cukup tampan, rajin bekerja serta berbadan sehat. Akan tetapi, begitu datang lamaran dari jaksa itu, si pemuda langsung dilupakan, bahkan didepak keluar oleh lurah Coa.

Bagaimana hati Lan Kim tidak akan berduka apa bila dia memikirkan nasibnya dan nasib kekasihnya yang bernama Lo Seng itu? Kini dia dipaksa untuk menjadi isteri orang lain, padahal semenjak dahulu dia telah membayangkan kehidupan yang berbahagia bersama pemuda itu.

Sekarang dia harus menurut untuk dibawa pergi dari rumahnya, tidak akan dapat bertemu kembali dengan Lo Seng. Yang membuat dia amat berduka adalah karena dia mendengar bahwa selain dipecat, juga Lo Seng dipukuli karena hendak menentang pernikahannya dengan jaksa itu. Dan kini dia tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kekasihnya itu.

Pagi hari itu, selagi semua penghuni dusun sibuk membantu keluarga lurah Coa, Lan Kim menangis dalam kamarnya, tak mau mendengarkan bujukan-bujukan dan hiburan-hiburan ibunya serta beberapa orang wanita yang bertugas menemaninya.

"Sudahlah, Lan Kim. Kenapa engkau menangis terus? Nasibmu baik sekali, engkau akan menjadi nyonya jaksa yang dihormati orang banyak, bergelimang kemewahan, mengapa menangis? Nanti matamu akan bengkak-bengkak dan amat memalukan kalau pengantin matanya bengkak-bengkak. Pula, sebentar lagi engkau harus mulai dirias dengan pakaian pengantin dan nanti menjelang sore engkau akan dijemput lalu dibawa ke kota Sin-yang," demikian antara lain ibunya membujuk.

"Ibu, aku tidak suka... aku tidak mau..."

"Ahhhh... engkau memang keras kepala, Lan Kim! Apakah engkau ingin ayahmu marah? Aku tahu, engkau menolak hanya karena di sana ada Lo Seng, bukan?"

"Ibu... bagaimana dengan dia? Ibu, kasihan dia..."

"Hemm, sikapmu ini sama sekali tak akan menolongnya, bahkan akan mencelakakan Lo Seng karena engkau tetap bersikap keras seperti ini. Kau tahu, kalau ayahmu mengetahui bahwa engkau menolak karena Lo Seng, banyak kemungkinan Lo Seng akan dijebloskan ke dalam penjara atau dibunuh!"

"Ibu...!"

"Karena itu, engkau menurut saja. Dan kalau engkau sudah menjadi isteri jaksa, aku akan membujuk ayahmu supaya Lo Seng dipekerjakan lagi. Bukankah dengan demikian berarti engkau menolong dan menyelamatkannya?" demikian sang ibu membujuk puterinya yang kini hanya terisak perlahan. "Ambil pakaian pengantin itu, akan kucobakan dahulu, kalau ada yang kurang pas masih ada waktu untuk dibetulkan," sambung nyonya Coa.

Akan tetapi terdengar jeritan kaget, dan tukang rias itu kini datang membawa sebuah peti dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Nyonya... celaka... pakaiannya hilang...!"

Wanita itu terkejut bukan main dan bangkit sambil membelalakkan matanya. "Apa? Hilang bagaimana maksudmu?"

"Hilang, nyonya. Peti tempat pakaian pengantin ini kosong!"

Keadaan menjadi geger. Pada waktu lurah Coa diberi tahu, dia marah-marah dan segera mengerahkan semua orangnya untuk mencari siapa pencuri pakaian pengantin itu. Tetapi isterinya lebih cerdik. Dia cepat-cepat memanggil tukang jahit untuk secara kilat membuat pakaian pengantin baru, walau pun pakaian yang dibuat tergesa-gesa ini tentu saja tidak akan seindah pakaian pengantin yang hilang.

Ketika keadaan menjadi kacau dan tidak seorang pun memperhatikan pengantin wanita, mendadak terjadi keributan lain yang lebih menggegerkan lagi. Tiba-tiba saja, seperti juga hilangnya pakaian pengantin tadi, kini Coa Lan Kim juga lenyap begitu saja dari dalam kamarnya!

Tak ada seorang pun yang melihat bagaimana lenyapnya, juga tak ada yang mendengar sesuatu. Tentu saja kini keadaan menjadi benar-benar kalut. Lurah Coa semakin marah dan seluruh pasukan keamanan segera dikerahkan, bahkan semua penduduk menjadi ikut gelisah dan ikut mencari-cari ke mana perginya pengantin wanita.

Kegembiraan yang lantas berganti menjadi kegelisahan dan kekacauan itu amat menarik perhatian Sui Cin dan Hui Song yang pada pagi hari itu kebetulan sekali tiba di tempat itu, memasuki dusun Lok-cun di dalam perjalanan mereka menuju ke barat, ke Pegunungan Cin-ling-san.

Tentu saja hati mereka merasa tertarik melihat betapa penduduk nampak begitu gelisah ketakutan, orang-orang mencari-cari sesuatu ke sana-sini sedangkan rumah kepala dusun terhias indah, akan tetapi kini tidak ada lagi orang yang melanjutkan pekerjaan menghias rumah yang belum selesai sepenuhnya itu. Juga adanya para penjaga berkeliaran dengan sikap cemas itu menarik sekali. Rasa heran mereka bertambah ketika tiba-tiba saja ada belasan orang penjaga keamanan mengepung mereka dengan senjata tajam di tangan.

"Hemm, kalian ini mau apakah mengepung kami?" Sui Cin bertanya dengan alis berkerut.

"Kalian adalah orang-orang asing yang baru memasuki dusun kami. Menyerahlah. Karena kami yakin bahwa kalian inilah yang kami cari-cari. Siapa lagi yang mengacau dusun kami kecuali dua orang asing?" bentak seorang yang bermata lebar dan bersikap bengis.

"Sabar dulu, sobat," kata Hui Song, mencoba untuk tersenyum ramah. "Apa yang terjadi dan kenapa kalian menuduh kami secara membabi-buta? Kami tidak tahu apa-apa. Kami baru saja tiba di dusun ini dan melihat kekacauan ini, malah kami bertanya-tanya kenapa kalian begini gelisah dan apa yang terjadi...?"

"Cukup! Ikut kami menghadap kepala dusun, tidak perlu membela diri di sini!" bentak si muka bengis dan dia sudah maju untuk menangkap lengan Sui Cin. Akan tetapi gadis itu menarik tangannya dan sekali kakinya bergerak, ujung sepatunya mencium lutut si mata lebar sehingga orang ini mengaduh dan jatuh berlutut.

"Nah, bagus! Minta ampun dahulu baru kita bicara," Sui Cin mengejek.

Melihat betapa seorang kawan mereka roboh oleh gadis itu, kecurigaan mereka semakin kuat bahwa tentu dua orang muda mudi inilah yang sudah mengacaukan dusun mereka. Maka serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka.

Hui Song dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu dan orang-orang dusun ini salah duga. Tentu mereka akan semakin curiga lagi jika sikap Sui Cin dilanjutkan. Maka dia pun cepat menggunakan kepandaiannya, menyambut serangan itu dengan merampas semua golok dan pedang.

Gerakannya memang cepat bukan main sebab dia menggunakan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) sehingga para pengeroyok itu tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja senjata mereka terlepas dan terampas. Kiranya pemuda itu sudah merampas semua senjata mereka dan kini golok dan pedang itu telah ditumpuk di depan kaki si pemuda tampan.

"Tenanglah saudara-saudara. Kami bukan orang jahat dan beri tahukanlah kami jika ada urusan. Siapa tahu kami dapat membantu kalian," kata Hui Song.

Pada saat itu lurah Coa sudah tiba di situ, dan lurah ini pun tadi melihat betapa dengan mudahnya pemuda tampan itu merampas senjata orang-orangnya. Dia pun bisa menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar, maka dia pun cepat maju menjura.

"Harap taihiap sudi memaafkan orang-orang kami yang kurang ajar. Dusun kami sedang dilanda kekacauan karena munculnya iblis yang mencuri calon pengantin wanita..."

"Ehh? Ada pengantin dicuri?" Sui Cin berseru kaget dan tertarik sekali.

"Pengantin itu adalah anak saya sendiri. Dia baru saja lenyap tanpa bekas sesudah lebih dahulu pakaian pengantin yang lenyap."

Lurah Coa kemudian menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi. Hui Song dan Sui Cin mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Kami akan mencoba untuk mencari penculiknya," kata Hui Song. "Mudah-mudahan kami dapat menemukan kembali puterimu itu."

Setelah mendengarkan penuturan itu, Hui Song dan Sui Cin mempergunakan kepandaian mereka berloncatan pergi meninggalkan dusun itu. Mereka mengambil keputusan hendak mencari penculik gadis itu dan tentu saja mereka tidak berharap akan dapat menemukan penculik itu di dalam dusun. Mereka mencari keluar dusun, mengelilingi dusun itu hingga akhirnya mereka mendaki sebuah bukit tidak jauh dari dusun itu karena bukit itu penuh dengan hutan, tempat yang baik sekali bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri.

Dengan cepat sekali mereka mendaki bukit dan tibalah mereka di deerah berbatu di luar hutan, dan dari jauh mereka sudah melihat seorang kakek duduk bersila di depan sebuah goa yang besar. Tentu saja mereka menjadi curiga dan tertarik sekali karena keadaan kakek itu saja sudah amat mengherankan hati.

Seorang kakek tua renta yang kepalanya gundul tak ditumbuhi rambut lagi, alisnya amat lebat dan panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya yang semuanya sudah berwarna putih. Sukar ditaksir berapa usia kakek ini, mungkin sudah seratus tahun.

Akan tetapi tubuh kakek itu pendek dan kecil, seorang kakek katai yang pakaiannya juga aneh. Kakek katai berjenggot panjang sampai ke perut ini memakai jubah yang mewah sekali! Jubah yang sepatutnya dipakai seorang pembesar atau seorang hartawan! Dan di punggungnya tergantung guci arak yang besar, sebesar kepalanya yang gundul, diikatkan dengan tali ke pundaknya. Sepatunya dari kulit, juga bagus dan masih baru.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.