KETIKA Hui Song dan Sui Cin tiba di depan kakek itu, si kakek katai yang tadinya seperti orang bersemedhi itu kini membuka kedua matanya dan begitu sepasang mata itu dibuka, mau tidak mau Sui Cin menahan ketawanya. Dari sepasang matanya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kakek ini adalah seorang aneh yang berwatak riang gembira, terbukti dari sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah yang berseri-seri lucu itu.
"Heh-heh-heh-heh!" Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli. "Apakah kalian ini sepasang pendekar muda yang hendak mencari penculik pengantin wanita? Heh-heh!"
Tentu saja Hui Song dan Sui Cin terkejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja bertanya seperti itu. Hui Song hanya dapat mengangguk ada pun Sui Cin melangkah maju dan dialah yang menjawab,
"Benar, kek. Engkau ini kakek pendek lucu, bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari penculik pengantin?"
Sejenak kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya semakin berseri "Heh-heh, nona manis, apa sukarnya? Kalian berlari-larian mendaki bukit dengan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti dua orang pendekar, berkeliaran ke sini mau apa lagi kalau bukan mencari penculik pengantin? Heh-heh-heh."
Kini Hui Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap hormat dan menjura. "Maaf jika kami menggangumu, locianpwe. Kami berdua bukanlah pendekar, akan tetapi benar dugaan locianpwe tadi bahwa kami berdua sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."
"Membantu apa?" kakek itu memotong.
"Hi-hi-hik, engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apakah engkau tahu di mana adanya pengantin wanita yang diculik itu," kata Sui Cin, tidak mau bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini.
Anehnya, ketika menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai kelihatan lebih senang dan dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Nona manis, engkau sungguh menyenangkan hati. Tentu saja aku tahu di mana adanya pengantin wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculik dia!"
"Uhhh...! Heiiiittt...!" Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung seperti itu sehingga dia pun telah meloncat ke belakang sambil memasang kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak menyerang.
Melihat ini, kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia pun tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk perut. "Hua-ha-ha, orang muda, apakah engkau hendak menari monyet? Ha-ha-ha!"
Wajah Hui Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan periang, juga suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya dan sebaliknya malah digoda dan menjadi bahan ejekan orang.
Akan tetapi Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu, segera mencela. "Wah, siapa yang percaya omonganmu, kek? Engkau tentu hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu melarikan seorang gadis pengantin? Dan pula, untuk apa bagimu? Engkau membual dan aku tidak percaya kentut itu!"
Kakek itu bangkit berdiri dan begitu melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke dadanya, Sui Cin merasa semakin geli. "Wah, kau ini anak kecil beruban ataukah kakek bertubuh kecil?" Ia menggoda.
"Kentut! Siapa yang kentut? Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang? Aku jantan, sedang engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau pula yang kentut berbau busuk!"
Mendengar omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin lantas terkekeh dan terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi.
"Ehh, nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya? Nah, lihat sendiri, itulah mempelai wanita yang sudah kuculik dari rumah lurah Coa. Hei, anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan penari monyet ini!"
Sui Cin dan Hui Song memandang ke dalam goa dan mereka pun terbelalak heran ketika melihat munculnya seorang dara manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga menunjukkan bekas-bekas cambukan.
Sui Cin yang tadinya menyangka kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah mempelai wanita yang dikabarkan hilang diculik orang itu? Dan kakek ini adalah penculiknya? Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda dusun atau petani itu?
"Eh, enci, benarkah engkau puteri lurah Coa yang akan menjadi pergantin lalu diculik oleh kakek ini? Dan siapa temanmu itu?" Sui Cin bertanya.
Gadis itu memang benar Coa Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama Lo Seng. Mendengar pertanyaan Sui Cin, dia lantas mengangguk.
"Aku adalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan memang aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku," katanya dengan tabah dan sikap menentang. Memang kini dia akan menentang siapa saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.
"Suamimu? Calon suamimu? Bagaimana pula ini? Kalau engkau mau dikawinkan dengan pemuda ini, kenapa engkau diculik ke sini dan bersama calon suamimu..." Sui Cin berkata bingung.
"Aku bukan akan dikawinkan dengan dia!" kata Lan Kim. "Aku hendak dikawinkan menjadi isteri ke lima seorang pembesar di Sin-yang, tetapi aku tidak mau. Dia ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."
"Ahhh, jadi engkau penculiknya!" Hui Song menudingkan jari telunjuknya kepada Lo Seng, "Engkau menculik pengantin untuk kau kawini sendiri? Sungguh berani dan..."
"Hushh, penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!" sekarang kakek katai turut bicara. "Dengarkan terlebih dahulu penuturan pengantin wanita dan jangan cerewet dulu seperti perempuan!"
"Wah, kek, jangan begitu! Tidak semua perempuan cerewet!" Sui Cin menegur, agak tak senang karena Hui Song dipermainkan oleh kakek itu.
"Aku tidak peduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka."
Lan Kim mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang jahat dan agaknya terjadi kesalah pahaman mengenai penculikannya, maka dia pun maju melangkah lagi sambil menggandeng tangan kekasihnya. "Harap ji-wi suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Semenjak dulu antara aku dan Lo Seng ini terjalin hubungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Apa lagi orang tuaku juga sudah setuju untuk mengambil Lo Seng sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama beberapa tahun. Namun pada suatu hari datanglah pinangan pembesar di kota Sin-yang terhadap diriku. Ayah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lantas dipecat, bahkan dicambuki. Nah, dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncullah locianpwe ini membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di goa ini."
Kini terdengar Lo Seng bercerita. "Aku sudah hampir putus asa dan mengambil keputusan hendak membunuh diri saja dari pada melihat kekasihku menikah dengan orang lain dan aku sendiri kehilangan pekerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul locianpwe ini menyelamatkan aku dan sesudah aku bercerita tentang keadaanku, locianpwe ini lalu membawaku ke sini, menyuruh aku menunggu di dalam goa ini dan tidak lama kemudian dia sudah kembali membawa Lan Kim. Kini kami berdua sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap ji-wi dapat mengerti keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."
Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Ternyata kakek katai itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budiman.
"Ahhh, ternyata engkau benar-benar seorang yang baik, kakek tua," kata Sui Cin gembira dan Hui Song segera menjura.
"Harap locianpwe maafkan kalau tadi kami telah menyangka buruk."
"Heh-heh-heh, orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah takabur dan ingin berlagak seperti pendekar-pendekar jagoan. Orang-orang muda, andai kata aku benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa yang akan kalian lakukan?"
"Tentu saja akan menentangnya!" kata Hui Song.
"Kau akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada orang tuanya, kek," sambung Sui Cin.
"Bagus, kalau begitu kalian majulah, hendak kulihat sampai di mana kelihaian kalian."
"Tapi locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah...!" Hui Song membantah.
"Hemm, andai kata aku penjahat, apakah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian. Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tak ingin diganggu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu melangkah maju dan begitu tangannya bergerak, tangan itu sudah menampar ke arah dada Hui Song.
"Eeiiitttt...!" Hui Song segera mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini mempergunakan tangan menangkis totokan.
"Dukkk!"
Tubuh Hui Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi dia hanya mempergunakan sebagian sinkang-nya, khawatir akan melukai kakek tua renta itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung-huyung dan lengannya tergetar hebat. Kiranya kakek ini memiliki sinkang yang hebat.
Akan tetapi, sambil terkekeh-kekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat bukan main. Tubuh yang kecil itu berkelebat seperti terbang saja dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.
"Lihat seranganku!" Mendadak terdengar Sui Cin membentak dari samping dan dia sudah menggerakkan tangan kirinya menotok ke arah iga bawah ketiak dari lengan kakek yang mencengkeram itu.
Totokan ini amat hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatalkan cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis sekalian menangkap pergelangan tangan gadis itu. Namun Sui Cin sudah menarik pulang tangan kirinya dan sekarang tangan kanannya menampar dan dari telapak tangan itu keluarlah uap putih tipis. Itulah Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu di antara ilmu-ilmu ampuh yang pernah diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.
"Ehh...!" Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu dia berkelebat, Sui Cin menjadi bengong karena orang yang baru diserangnya tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya, dan sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya. Sui Cin merasa adanya angin menyambar ini, maka dia pun mempergunakan ginkang-nya lantas tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak.
Akan tetapi, pada saat itu pula Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, telah menerjang ke depan tepat pada saat Sui Cin diserang sehingga andai kata Sui Cin tidak menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak sekali pun, maka serangan kakek itu akan dapat digagalkannya karena kini Hui Song juga tak sungkan-sungkan lagi. Begitu menyerang, pemuda ini sudah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga sakti Thian-te Sinkang!
Kembali kakek itu terkejut. Agaknya dia pun tidak menyangka bahwa dua orang muda itu benar-benar merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar muda tulen! Apa lagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang amat tinggi mutunya.
"Nantl dulu, tahan dulu...!" Tiba-tiba saja kakek itu berhenti dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.
"Kek, kami belum kalah, kenapa berhenti?" Sui Cin yang sudah merasa gembira dengan pertandingan itu, mencela.
Bagaimana pun juga, di dalam hatinya gadis ini merasa benar bahwa kakek itu bukanlah orang jahat dan pertandingan itu hanya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan selalu gembira.
"Heh-heh-heh, aku pun belum kalah. Aku hanya minta berhenti sebentar untuk berbicara. Agaknya kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, maka pantas saja kalian begitu takabur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum mampu mengalahkan kalian, anggap saja aku kalah dan aku akan menyebut kalian suhu dan subo!"
Sui Cin tertawa geli. "Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik, aku setuju!"
Diam-diam Hui Song merasa sangat terkejut. Begini takaburkah kakek ini? Dia tahu akan kemampuan diri sendiri dan dia pun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis puteri Pendekar Sadis itu. Menandingi mereka satu lawan satu saja jarang dapat ditemukan orangnya, dan kakek ini menantang mereka berdua maju mengeroyok dan bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.
"Baik, locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau ternyata kami berdua yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"
"Ha-ha-ha, orang muda yang berhati-hati, tentu engkau telah menduga buruk lagi padaku, ya? Dengarlah, kalau aku kalah, aku akan menyebut kalian suhu dan subo, namun kalau sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, maka kalian harus membantuku menolong pengantin ini."
"Menolong dengan cara bagaimana?" tanya Sui Cin.
"Kita harus menggagalkan pernikahan itu dan juga menghajar pembesar mata keranjang itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."
Tentu saja Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu saja taruhannya? Tanpa bertaruh sekali pun, bukankah mereka berdua sekarang juga sedang berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena menyangka diculik penjahat?
"Baik, baik, kami berjanji," kata mereka dengan gembira.
"Nah, bersiaplah. Jurus pertama!" kakek itu berseru, lalu tubuhnya bergerak secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin. Gerakannya selain aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan sehingga mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri.
Hui Song adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihainya bukan main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin sanggup mengalahkan dia dan Sui Cin, apa lagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh daya hanya untuk melindungi diri? Jika mereka membagi perhatian untuk menyerang, mungkin mereka akan terlengah sehingga dapat dikalahkan.
"Cin-moi, pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"
Gadis itu pun cerdik dan dia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga pemuda itu, dia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu tiada ubahnya dua buah benteng baja yang sangat kuat dan tidak ada bagian lemah yang akan dapat ditembus!
Sejenak kakek itu terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai macam serangan yang aneh-aneh. Tetapi semua serangannya ternyata kandas dan tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun itu.
"Wah, hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang amat hebat...!" Berkali-kali kakek itu berseru dengan suara mengeluh ketika ke mana pun juga dia menyerang, dia selalu gagal karena yang diserang itu pasti berhasil mengelak atau menangkis. Padahal dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi!
Dia termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek. "Hik-hik, kakek lucu, bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah lewat dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"
"He-heh-heh, siapa hendak mengurangi hitungan? Masih ada delapan jurus, cukup untuk mengalahkan kalian!" Tanpa menanti jawaban lagi, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring.
Dua orang muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khikang yang amat kuat, yang masuk melalui telinga lantas dengan tajam menusuk jantung. Cepat mereka memasang kuda-kuda sambil mengerahkan sinkang melindungi tubuh bagian dalam dari serangan suara penuh khikang ini. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh kakek itu melesat dan lenyap, kini yang tampak hanyalah bayangan berkelebatan mengitari mereka, makin lama semakin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas bayangannya, menjadi kabur!
Inilah berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang ternyata mempergunakan ginkang yang sukar dipercaya apa bila tidak melihat sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, tentu mereka tidak akan percaya kalau ada ginkang sehebat itu. Maka mereka pun bersikap waspada, tak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat.
Benar saja! Dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yang sangat kuat, mereka berdua mampu menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran, lantas menyerang lagi sampai empat jurus, akan tetapi semua serangannya gagal.
"Hi-hik, tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!" Sui Cin tak dapat menahan kegembiraan hatinya mengejek.
Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih lalu terciumlah bau arak wangi. Kiranya sambil berputaran semakin cepat tadi kakek itu sudah menyerang dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari berputar-putar itu.
Sui Cin dan Hui Song terkejut bukan kepalang. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka laksana jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas kehilangan tenaga dan betapa pun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka tertekuk sehingga keduanya roboh berlutut!
"Hoa-ha-ha-ha, tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tidak perlu berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan berlebihan ini, ha-ha-ha!"
Sui Cin dan Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cin cemberut.
"Kakek buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"
"Ha-ha-ha, anak manis, di dalam pertandingan memang diperlukan akal dan siasat. Siapa kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian telah kalah, maka sekarang kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari ini. Sore hari nanti pengantin wanita she Coa ini akan dijemput kemudian dibawa ke Sin-yang, yaitu ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama kalian?"
"Saya bernama Cia Hui Song, locian-pwe."
"Namaku Ceng Sui Cin."
"Hemm, she Cia mengingatkan aku kepada Cin-ling-pai dan she Ceng...? Apakah bocah nakal yang dijuluki Pendekar Sadis itu juga she Ceng?"
Karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang tokoh sakti yang selama ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang kakek katai ini, Hui Song merasa tak perlu menyembunyikan diri. "Pendekar Sadis adalah ayah kandung nona ini dan ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, locianpwe."
Kakek itu membelalakkan matanya, mengelus-elus jenggot panjangnya dan tertawa-tawa. "Hua-ha-ha, pantas, pantas...! Sekarang aku tidak penasaran lagi mengapa hanya untuk mengalahkan dua orang bocah ingusan macam kalian saja, aku tadi harus mengerahkan seluruh tenaga sampai dua puluh jurus. Kalau bukan kalian, ha-ha-ha, baru muncul saja aku sudah jatuh nama. Nah, Sui Cin dan Hui Song, kini kalian dengar baik-baik rencanaku untuk menolong gadis itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu. Sui Cin, sekarang engkau harus mengantar gadis Coa itu pulang ke rumahnya karena di situ telah disiapkan segala sesuatu untuk mengantar pengantin wanita ke Sin-yang sore nanti."
"Ehh, bagaimana ini? Bukankah gadis itu akan dipaksa kawin sedangkan engkau hendak mencegah terjadinya hal itu, kek?" tanya Sui Cin yang tetap menyebut 'kakek' dan tidak bersikap hormat seperti Hui Song.
"Ingat, kalian sudah kalah dan berjanji akan mentaati semua perintakku untuk menolong pengantin."
"Baiklah, kek, aku tidak membantah, hanya bertanya," kata Sui Cin bersungut-sungut.
Kakek itu tertawa, agaknya gembira dapat menggoda Sui Cin. "Engkau mengantar gadis Coa itu kembali karena engkau tadi telah berjanji untuk mencarinya. Katakan saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil merampasnya kembali, dan katakan pula bahwa engkau akan mengawal sendiri pengantin ini menuju ke Sin-yang agar jangan diganggu penjahat di tengah perjalanan. Mengerti?"
"Wah, kakek buruk, agaknya engkau sengaja ingin mengejekku, ya? Sudah jelas bahwa aku gagal merampas kembali pengantin yang kau culik!" Sui Cin mengomel.
"Dan apakah tugas saya, locianpwe?" tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan itu. "Sudahlah, Cin-moi, kita mentaati saja karena sudah kalah. Lagi pula kita pun tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat. Andai kata demikian, tentu kita tidak akan menurut begitu saja."
"Heh-heh, putera Cin-ling-pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk. Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang sangat tepat. Engkau akan kudandani, ingat, engkau harus taat kepadaku. Heiii, orang muda, kau bawa ke sini pakaian pengantin itu!" kata kakek itu kepada Lo Seng.
Lo Seng mengambil sebuah bungkusan di sudut goa kemudian menyerahkannya kepada si kakek yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pengantin berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang disangka lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hui Song terbelalak dan mukanya berubah merah.
"Locianpwe, apa maksudmu?"
Akan tetapi kakek itu telah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi 'Bahagia' itu. "Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai pakaian ini. Engkau harus menyamar sebagai pengantin wanita, menggantikannya kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."
"Wah...! Ini... ini..." Hui Song tergagap dan bingung.
"Hik-hik! Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati perintahnya." Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu memaksa Hui Song memakai jubah pengantin di luar pakaiannya sendiri.
Karena pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnya pun sedang saja, maka pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apa lagi sesudah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya. Apa lagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka yang ketololan, dia pun menjadi semakin geli.
"Wajahmu cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita yang halus putih," kakek itu berkata, lantas mengeluarkan bedak dan menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, hanya pasrah tanpa berani membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya tertawa gembira.
"Wah, sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, jadi harus dicukur bersih dan dibikin kecil," kakek itu tertawa-tawa.
"Wah, jangan, locianpwe...!" Hui Song berkata khawatir.
Melihat ini, Sui Cin cepat turun tangan. "Kakek nakal, biarkan aku saja yang mendandani Song-twako, ditanggung akan kelihatan lebih cantik menarik dari pada kalau engkau yang merusak mukanya."
Sui Cin memang ahli dalam melakukan penyamaran dan sesudah dia turun tangan, maka wajah Hui Song memang kelihatan cantik, walau pun tentu saja alisnya masih terlalu tebal dan juga tubuhnya sangat kaku. Kakek itu lalu menjelaskan siasatnya. Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin, dan selanjutnya mereka akan bergerak menukar pengantin lantas memberi hajaran kepada pembesar itu. Sementara itu pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam goa.
Maka berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Coa Lan Kim tidak merasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin, sebab gadis itu telah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan melepaskannya dari cengkeraman pembesar di Sin-yang agar dia dapat hidup bersama Lo Seng.
Lurah Coa dan orang-orangnya menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali. Dengan gayanya yang sangat menarik, Sui Cin menceritakan bahwa Lan Kim diculik oleh gerombolan penjahat yang berilmu tinggi, akan tetapi dia berhasil merampasnya kembali.
"Lanjutkanlah upacara pernikahan, dan aku sendiri yang akan mengawal enci Lan Kim ke kota Sin-yang agar dapat membasmi para penjahat yang hendak mencoba menghadang di tengah perjalanan."
Tentu saja keluarga Coa menjadi gembira sekali dan Sui Cin disambut dan dijamu seperti seorang tamu agung yang sangat dihormati. Kepada lurah Coa, Sui Cin memberi tahukan bahwa sekarang kawannya masih menyelidik gerombolan itu, membayangi mereka ketika mereka melarikan diri.
Lan Kim lalu didandani dan kini gadis itu tidak menolak lagi, tidak rewel sehingga ibunya merasa lega dan senang. Walau pun pakaian pengantin yang dikenakan nona pengantin itu dibuat tergesa-gesa dan tidak seindah pakaian pengantin yang hilang, namun Lam Kin nampak cantik dan anggun dalam pakaian pengantin.
Setelah saatnya tiba maka muncullah jemputan dari Sin-yang, utusan pengantin pria yang mengirim joli dan barang-barang hadiah. Pengantin pria sendiri tidak muncul. Bukankah dia seorang pejabat tinggi di Sin-yang dan Lan Kim hanya menjadi isteri ke lima?
Kedudukannya terlampau tinggi untuk merendahkan diri turun ke dusun menjemput sendiri calon isteri kelimanya. Para utusannya saja sudah cukup membuat keluarga Coa merasa terhormat sekali, apa lagi para utusan itu datang membawa hadiah-hadiah yang luar biasa banyaknya bagi keluarga lurah itu.
Setelah lurah Coa menceritakan kepada para utusan bahwa di dusun itu baru saja terjadi gangguan dari gerombolan penjahat, dan bahwa Sui Cin adalah seorang pendekar wanita yang akan mengawal pengantin, para pesuruh dari kota itu pun merasa gembira. Siapa tidak akan gembira melakukan perjalanan dikawal seorang pendekar wanita secantik itu?
Berangkatlah rombongan pengantin, diiringi suara musik dan petasan, juga suara tangisan ibu pengantin dan para keluarga wanita lainnya. Tangis para keluarga wanita mengantar pengantin ini sudah merupakan semacam kebiasaan dan tradisi yang tidak mungkin dapat ditinggalkan lagi. Sukar lagi membedakan mana tangis yang sungguh-sungguh dan mana tangis buatan, seperti juga ratap tangis yang terdengar pada peristiwa perkabungan.
Memang menyedihkan kalau kita benar-benar mau membuka mata dengan waspada dan melihat betapa kepalsuan-kepalsuan semakin tebal menghiasi kehidupan kita. Tawa kita, tangis kita, kebanyakan merupakan perbuatan yang palsu dan pura-pura untuk menutupi atau menyembunyikan keadaan yang sesungguhnya dari batin kita.
Dengan dalih demi sopan santun, demi tata susila dan lain sebagainya, banyak hati yang sedang berduka memaksa mulutnya supaya tersenyum atau sebaliknya, batin yang tidak sedang prihatin memaksa mata supaya menangis. Bahkan setiap hari kita selalu seperti terpaksa untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, bersikap atau pun berbuat yang berlawanan dengan batin!
Tidak adanya persamaan atau keserasian antara batin dan ucapan, antara batin, ucapan dan perbuatan, merupakan konflik-konflik yang setiap hari terjadi dalam diri kita. Semua itu bahkan seperti sudah menjadi suatu keharusan, suatu kebiasaan bagi kita.
Dapat kita selidiki pada diri sendiri. Kalau kita berhadapan dengan orang lain, kalau kita bersikap manis, tersenyum, menangis, benarkah semuanya itu sesuai dengan suara hati kita? Ataukah hanya pura-pura saja, sekedar memenuhi syarat umum supaya dianggap sopan, beradab dan sebagainya? Mengapa harus begini? Tidak dapatkah kita bersikap wajar dan selalu ada keserasian antara batin, ucapan dan perbuatan?
Rombongan pengantin itu hanya melewati sebuah hutan kecil karena jarak antara dusun Lok-cun dan kota Sin-yang juga tidak begitu jauh, hanya perjalanan kurang lebih dua jam saja. Sebab itu para pengawal atau utusan Su-tikoan (jaksa Su) sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan agak geli melihat betapa keluarga pengantin wanita sudah menyediakan seorang pendekar wanita untuk mengawal pengantin.
Sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi pencegatan oleh perampok atau penjahat lain di hutan itu. Tadi pun ketika mereka berangkat ke dusun membawa barang-barang hadiah pengantin yang berharga, sama sekali tak terjadi gangguan. Lagi pula, siapa yang berani mengganggu rombongan pengantin Su-tikoan? Mencari mati saja namanya!
Ketika mereka tiba di dalam hutan, sore telah larut dan senja mendatang, membuat cuaca di dalam hutan itu menjadi remang-remang karena cahaya matahari yang sudah condong ke barat itu terhalang daun pohon-pohon. Ketika mereka sedang enak berjalan, tiba-tiba saja dari samping kiri terdengar teriakan yang amat nyaring, teriakan yang menggetarkan jantung dan menusuk telinga mereka.
"Berhenti dan serahkan nona pengantin!"
Mendengar ini, wajah para utusan dan para pengawal yang jumlahnya belasan orang itu mendadak menjadi pucat dan mata mereka terbelalak. Akan tetapi dengan memberanikan hati mereka mencabut senjata masing-masing, dan mereka memandang kepada Sui Cin yang menurut keluarga mempelai sudah ditunjuk sebagai pengawal serta pelindung nona pengantin.
Sui Cin juga memperlihatkan sikap gugup. "Kalian semua bertahan di sini, biar aku yang menyelamatkan pengantin. Aku tunggu kalian di luar hutan ini!" Berkata demikian, Sui Cin lalu mengambil joli atau gerobak dorong itu lantas mendorongnya sendiri sambil berlari keluar dari hutan.
Tiba-tiba muncullah seorang yang melihat pendeknya tubuh tentu seorang remaja, akan tetapi dia memakai kedok lebar yang menutupi seluruh wajahnya, hanya memperlihatkan sepasang mata yang bersinar mencorong dari balik lubang-lubang kedok kayu itu. Sambil mementangkan kedua lengannya, orang yang bertubuh kecil pendek seperti anak-anak ini berkata,
"Hayo tinggalkan semua senjata dan pakaian kalian di sini kalau ingin selamat!"
Jika tadi semua orang itu merasa takut, kini mereka malah tersenyum mengejek. Kiranya yang menghadang mereka hanyalah seorang anak kecil saja, yang ingin menakut-nakuti mereka dengan kedok setan, seolah-olah mereka semua dianggap sebagai serombongan anak-anak penakut saja.
"Heh, bocah setan, apa kau sudah bosan hidup?" bentak kepala rombongan. "Hayo buka kedokmu dan cepat berlutut minta ampun karena telah mengejutkan hati kami!"
"Heh-heh-heh, rombongan tikus. Lekas lakukan perintahku tadi atau kalian harus berlutut delapan kali dan menyebut aku kong-couw!"
Tentu saja rombongan itu menjadi marah. Seorang di antara mereka melangkah maju dan mengayun tangan menampar ke arah muka anak bertopeng itu dengan keras. Orang ini tinggi besar dan tangannya pun lebar, ketika menampar seperti kipas saja mendatangkan angin.
"Plakkk!"
Sungguh aneh sekali. Anak pendek berkedok itu hanya mengangkat tangan menangkis, tepat mengenai lengan si tinggi besar, akan tetapi seketika si tinggi besar mengaduh dan berjingkrak sambil memegang lengan kanannya yang terasa panas dan sakit seperti tadi bertemu dengan tongkat baja saja. Melihat ini, semua orang menjadi marah dan dengan senjata di tangan mereka serentak menerjang.
"Heh-heh, kalian harus berlutut semua, berlutut semua!" Orang berkedok itu tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, disusul teriakan-teriakan lantas belasan orang itu roboh satu demi satu, roboh berlutut karena tiba-tiba saja mereka merasa kaki mereka seperti lumpuh.
Akan tetapi ketika mereka semua memandang, orang berkedok yang bertubuh pendek itu telah lenyap dari situ, entah ke mana dan agaknya orang itu tidak melakukan sesuatu lagi, buktinya barang-barang mereka masih utuh, juga mereka itu semua tidak terluka dan kini dapat berdiri lagi.
Tentu saja pengalaman aneh ini membuat mereka merasa amat ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan orang yang sehebat itu kepandaiannya, dan tanpa menanti perintah lagi mereka segera berlomba melarikan diri keluar hutan untuk menyusul larinya Sui Cin yang telah pergi lebih dahulu menyelamatkan nona pengantin itu.
Ketika mereka tiba di luar hutan, rombongan itu melihat Sui Cin berdiri menanti bersama joli dorong yang diselamatkannya tadi. Maka giranglah hati mereka karena ternyata gadis pendekar itu dalam keadaan selamat dan terutama sekali pengantin wanita ternyata tidak terganggu.
Sui Cin pura-pura heran melihat mereka berlari-lari dengan sikap ketakutan itu dan cepat menyongsong mereka dengan pertanyaan heran, "Ehh, mengapa kalian berlari-lari seperti orang ketakutan?"
Dengan suara mengandung ketegangan dan napas masih terengah-engah, mereka lantas menceritakan betapa mereka telah diserang oleh seorang penjahat bertubuh kecil seperti kanak-kanak yang memakai kedok. Tentu saja diam-diam Sui Cin merasa geli karena dia dapat menduga siapa adanya anak kecil berkedok yang lihai itu.
"Kalau begitu, mari kita cepat pergi dari sini menyelamatkan pengantin sebelum setan itu melakukan pengejaran," katanya.
Rombongan itu tentu saja setuju dengan ucapan ini dan dengan tergesa-gesa mereka lalu mendorong joli pengantin yang merupakan gerobak kecil beroda itu. Saking tegang hati mereka, para pendorong gerobak itu tak menyadari bahwa joli atau gerobak yang mereka dorong itu jauh lebih berat dari pada tadi.
Ketika rombongan yang menjemput nona pengantin sampai di gedung Su-tikoan, ternyata rumah itu tidak dirias dan penyambutan tidak semeriah upacara yang diadakan di rumah nona pengantin. Dan memang hal itu tidak mengherankan.
Menikahi seorang wanita untuk menjadi isteri ke lima, apa lagi kalau wanita itu hanyalah seorang gadis desa, tidak dianggap sebagai peristiwa yang patut dirayakan secara besar-besaran oleh pejabat tinggi itu. Bahkan dianggapnya sebagai suatu kesenian atau hiburan pribadi saja, maka di sana tidak terdapat pesta penyambutan, tidak banyak tamu kecuali beberapa belas orang anak buah pembesar itu.
Apa lagi ketika para penjemput itu dengan bermacam-macam gaya menceritakan tentang pencegatan orang aneh yang sangat lihai, Su-tikoan sendiri yang merasa khawatir lantas tergesa-gesa memerintahkan agar pengantin perempuan langsung saja bersama jolinya itu dibawa ke dalam gedung dan langsung ke dalam kamar pengantin!
Hanya empat orang yang memanggul joli dorong itu, dengan dikawal oleh Sui Cin. Ketika Su-tikoan mendengar bahwa gadis cantik jelita yang turut bersama rombongan itu adalah seorang pengawal yang melindungi nona pengantin, tentu saja dia mengijinkan pengawal cantik ini ikut masuk pula.
Hati pembesar bertubuh gendut yang mata keranjang itu segera tertarik kepada Sui Cin. Dia sudah pernah melihat Lan Kim dan kini dia melihat betapa wanita gagah itu jauh lebih cantik dari pada gadis desa yang telah diangkatnya menjadi isteri kelima, maka tentu saja matanya sudah melirak-lirik dan mulutnya tersenyum-senyum ceriwis. Apa lagi ketika dia melihat betapa wanita perkasa yang cantik jelita itu bersikap manis dan selalu tersenyum kepadanya.
Pembesar yang usianya telah enam puluh tahun ini memang terkenal mata keranjang dan agaknya dia beranggapan bahwa semua wanita besi dibeli dengan harta dan kedudukan. Baginya, wanita tentu akan tunduk dan mau kalau dipameri harta dan kedudukan tinggi, walau pun dia sudah tua dan wajahnya buruk, dengan muka kasar menghitam dan perut gendut seperti perut babi.
Maka, ketika joli tiba di depan kamar yang sudah dipilihnya sebagai kamar pengantin bagi calon isterinya yang ke lima, dia menyuruh empat orang pemikul joli itu pergi. Joli lantas diturunkan dan kini didorong oleh Sui Cin sendiri memasuki kamar atas isyarat pembesar itu. Lima orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik dengan suara ketawa ditahan yang genit turut pula memasuki kamar dan mereka ini segera mempersiapkan hidangan yang lezat dan mewah di atas meja dalam kamar.
"Nona tentu lelah dan baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Silakan duduk, nona," kata pembesar itu.
Tanpa banyak pura-pura lagi Sui Cin lalu duduk di atas kursi, menghadapi meja makan sampai semua hidangan diatur di atas meja dan pembesar itu menyuruh semua pelayan keluar dari dalam kamar.
"Tinggalkan kami dan jangan ganggu atau masuk kalau tidak dipanggil," kata pembesar gendut itu.
Sambil cekikikan para pelayan itu kemudian berlarian keluar. Tentu saja pembesar yang mata keranjang itu tidak pernah membiarkan wanita begitu saja dan semua pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik itu di samping bertugas sebagai pelayan, kadang kala juga memperoleh giliran menemaninya di dalam kamar. Karena itulah maka mereka bersikap genit dan berani.
Sesudah semua pelayan keluar dan daun pintu kamar itu ditutup dari luar, pembesar itu cengar-cengir mendekati Sui Cin. Kali ini dia memperhatikan wajah wanita gagah ini dan jantungnya berdebar tegang. Inilah wanita cantik, pikirnya. Belum pernah dia memperoleh seorang wanita secantik ini, apa lagi kalau wanita ini mempunyai kegagahan, seorang ahli silat pandai yang selain menjadi miliknya sebagai kekasih juga dapat bertugas menjadi seorang pengawal pribadi yang setia dan menyenangkan!
"Nona, siapakah namamu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi tidak memperlihatkan rasa jijik dan marahnya. Pembesar ini adalah seorang laki-laki tua yang buruk rupa juga buruk watak. Mana ada seorang pengantin pria yang sedang dipertemukan dengan calon isterinya dan belum juga melihat calon isteri yang masih dibiarkan di dalam joli, sudah main mata dan berusaha merayu seorang wanita lain yang baru dijumpainya? Benar-benar seorang buaya darat, seorang hidung belang yang mata keranjang! Akan tetapi dia pura-pura tersenyum manis dan melirik manja.
"Taijin, nona pengantin sedang menanti dalam joli."
"Ehh...? Ohh... ya, aku lupa..."
"Biarlah saya keluar dari kamar dan pulang, taijin."
"Ehh, jargan dulu... jangan dulu, kita makan minum dulu, bersama nona pengantin. Aihh, aku sampai lupa kepada nona pengantin. Nona pengantin, keluarlah dan mari kita makan minum!" katanya sambil tersenyum menyeringai dan membuka joli yang tertutup itu. Akan tetapi ketika nona pengantin itu keluar dari joli, Su-tikoan terbelalak, matanya yang besar itu melotot seperti meloncat keluar dari tempatnya.
"Ini... ini... bukan gadis anak lurah itu...! Ehh, siapa engaku, berani mati mempermainkan aku?" Dia membentak dan melotot ke arah Hui Song yang berdiri di hadapannya dalam pakaian pengantin wanita!
Hui Song yang memang berwatak jenaka dan suka menggoda orang itu kini berlenggak-lenggok genit menirukan lagak seorang perempuan, tentu saja dengan gayanya yang lucu dan kaku, menggigit bibir dan mengerling tajam. "Hayaa... mengapa pengantin pria calon suamiku marah-marah kepadaku pada malam pertama ini? Aihhh..., kakanda, aku adalah mempelai wanita, calon isterimu yang tercinta. Mari peluklah aku, pondonglah aku ke atas pembaringan itu... aihhh..."
Pembesar itu langsung menggigil karena jijik mendengar suara nona pengantin itu besar laksana suara pria dan kini nona pengantin itu melangkah menghampirinya dengan sikap merayu.
"Hiiihh...!" Su-tikoan terbelalak ngeri sambil mundur-mundur ketakutan bercampur marah. "Pergi engkau! Keparat, berani engkau mempermainkan aku? Pengawal...!"
Akan tetapi suara tikoan itu langsung terhenti karena tiba-tiba jari tangan Hui Song sudah menotoknya, tepat pada jalan darah di leher sehingga membuat tikoan itu tak mampu lagi mengeluarkan suara. Kemudian, sekali menggerakkan kakinya, Hui Song menendang dan tubuh yang gendut itu terlempar ke atas pembaringan.
Dengan muka ketakutan dan mata terbelalak pembesar itu memandang ke arah Sui Cin, mengharapkan bantuan pengawal ini. Akan tetapi wajahnya menjadi semakin pucat ketika dia melihat gadis itu tersenyum mengejek. Maka tahulah dia sekarang bahwa orang yang menyamar sebagai mempelai puteri ini tentunya sekutu gadis itu! Dan jantungnya hampir berhenti saking takutnya ketika dia melihat Hui Song menanggalkan pakaian pengantin, menghapus penyamarannya dan menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.
"Tua bangka mata keranjang, dengar baik-baik. Sekali engkau berteriak, maka aku akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Hui Song menepuk leher Su-tikoan hingga dia mampu lagi bicara.
"Ampunkan aku... kalian ini mau apa? Mengapa menyamar pengantin dan... dan di mana pengantinku...?"
"Keparat! Engkau hendak menggunakan harta dan kedudukanmu untuk memaksa gadis orang menjadi isteri ke lima. Nona Coa adalah milik kami dan akan pergi bersama kami. Kami melarikannya dari tangan orang tuanya yang mata duitan, supaya tidak terjatuh ke tangan serigala tua semacam engkau. Nah, cepat keluarkan uang saratus tail emas untuk bekal pengantin dan berjanji selamanya tidak akan melakukan paksaan mempergunakan harta dan kekuasaan!"
Tubuh pembesar itu menggigil. "Baik... baik...," katanya.
Akan tetapi dari pandangan matanya yang berkilat itu tahulah Hui Song bahwa orang ini merasa penasaran dan marah, hanya tunduk karena terpaksa saja. Sui Cin juga dapat menduga hal ini, maka gadis itu pun segera menghardik.
"Engkau adalah seorang pejabat tinggi, seorang pembesar yang seharusnya merupakan pelindung rakyat dan menjadi teladan bagi rakyat. Akan tetapi engkau lupa bahwa engkau pun seorang manusia biasa, seorang di antara rakyat. Setelah memegang jabatan tinggi, engkau lupa diri dan gila kekuasaan, mabok kemuliaan, sehingga engkau sering berbuat sewenang-wenang. Mengawini seorang gadis di luar kehendak gadis itu, mempergunakan harta dan kekuasaan untuk memaksa orang tua gadis itu. Orang seperti engkau ini layak dilenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi kami masih mengampuni asal engkau insyaf dan mulai sekarang menjadi seorang pemimpin rakyat sejati."
Pembesar itu menundukkan mukanya, seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.
"Hayo cepat keluarkan seratus tail emas!" bentak Hui Song.
"Baik... baik...!" Kakek gendut itu cepat menghampiri sebuah lemari yang berada di sudut kamar. Di dekat lemari itu terdapat sebuah jendela yang tertutup. Tiba-tiba saja pembesar itu membuka daun jendela kemudian berteriak, "Pengawal...! Toloonggg...!"
"Keparat!" Hui Song berseru sambil tangannya menyambar kursi lalu dilontarkan ke arah pembesar yang hendak melarikan diri keluar dari jendela itu.
"Brukkk...!" Kursi itu menghantam muka si pembesar yang mengeluh dan roboh dengan muka berlumuran darah karena hidungnya telah remuk kena hantaman kursi itu.
"Cepat, ambil uangnya!" kata Hui Song.
Sui Cin menghampiri lemari itu dan mendobrak daun pintu lemari. Akan tetapi isinya tidak begitu banyak, hanya sepuluh tail emas dan beberapa belas potong perak. Sui Cin cepat mengambil emas dan perak itu, lantas membungkusnya dengan kain sutera yang banyak terdapat di dalam lemari.
Pada saat itu pula terdengar suara ribut-ribut di luar. Hui Song yang sedang berjaga-jaga di pintu tidak melihat adanya pengawal datang dan di luar seperti terdengar suara orang berkelahi.
"Cin-moi, cepat kita keluar!" teriaknya dan mereka pun berloncatan keluar setelah Sui Cin menyimpan uang rampasan itu.
Kiranya di ruangan dalam yang menuju ke kamar itu sudah terjadi perkelahian yang seru. Kakek katai itu sambil tertawa-tawa sedang dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih pengawal dan penjaga yang tadi mendengar teriakan majikan mereka. Walau pun para pengepung itu menggunakan segala macam senjata, namun kakek katai yang bertangan kosong itu menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh.
Enak saja dia mengelak dan menangkis semua senjata yang datang kepadanya bagaikan hujan. Beberapa buah senjata bahkan beradu dengan sepasang lengan yang pendek dan kecil dari kakek itu. Akan tetapi jelas bahwa kakek itu tidak mau melukai orang, apa lagi membunuh, hanya mempermainkan mereka seperti seekor kucing yang mempermainkan segerombolan tikus.
Melihat kakek itu bermain-main, Sui Cin lalu berseru. "Kakek, jangan main-main, mari kita pergi!"
"Heh-heh-heh, kalian telah selesai?" Kata kakek itu dan tiba-tiba saja para pengeroyoknya mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba saja kakek yang mereka keroyok itu lenyap seperti berubah menjadi asap dan menghilang.
Gegerlah gedung pembesar Su itu, apa lagi ketika para penjaga itu memeriksa ke dalam mereka menemukan Su-tikoan pingsan dalam kamarnya dengan hidung remuk sehingga dari hidung yang rusak itu mengalir darah yang melumuri seluruh mukanya. Melihat muka berlumuran darah itu, semua orang terkejut dan merasa ngeri, mengira bahwa pembesar itu tentu sudah terluka parah pada mukanya. Akan tetapi, sesudah muka itu dibersihkan, ternyata hanya hidungnya saja yang remuk.
Walau pun demikian, akan tetapi selamanya Su-tikoan akan menjadi orang cacat karena hidungnya hanya akan dapat sembuh dari lukanya, tapi tidak dapat pulih kembali, menjadi hidung yang melesak sehingga membuat mukanya buruk menakutkan. Dan pengalaman itu ternyata membuat Su-tikoan menjadi ketakutan dan bertobat. Dia hanya mengerahkan pasukannya untuk mencari penjahat-penjahat yang melarikan gadis Coa itu.
Juga lurah Coa berusaha mencari puterinya, namun sia-sia karena puterinya telah pergi jauh sekali, ke propinsi lain bersama laki-laki yang dicintanya, yaitu Lo Seng dan membina rumah tangga yang berbahagia, dengan modal uang emas dan perak yang diberikan oleh Sui Cin kepadanya, uang emas dan perak yang dirampas dari dalam lemari Su-tikoan.
Sesudah melarikan diri dari gedung Su-tikoan, Hui Song, Sui Cin serta kakek itu berlari kembali ke dalam hutan di mana kini telah menunggu Lo Seng dan Lan Kim. Seperti bisa kita duga, ketika kakek itu menggoda para pengawal di hutan dan Sui Cin menyelamatkan pengantin wanita, Lan Kim keluar dari dalam joli dan digantikan oleh Hui Song dan kini Lo Seng bersama Lan Kim menanti di dalam kuil tua. Mereka berdua langsung menjatuhkan diri dan berlutut di depan tiga orang penyelamat mereka itu, dan akhirnya mereka berdua dinasehatkan untuk pergi jauh ke propinsi lain dan diberi bekal uang yang dirampas dari Su-tikoan.
Setelah dua sejoli itu pergi, kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, senang hatiku bahwa urusan ini berakhir dengan baik berkat pertolongan kalian berdua."
"Ahh, engkau terlampau merendahkan diri, kek. Untuk urusan sepele seperti ini saja, biar tanpa bantuan kami pun engkau tentu akan sanggup membereskannya sendiri." Sui Cin mencela.
"Heh-heh-heh, belum tentu! Mana aku mampu bergaya menjadi pengantin wanita seperti Hui Song ini? Ha-ha-ha, setidaknya aku dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian dua orang muda yang hebat, keturunan ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Locianpwe telah mengenal kami berdua, akan tetapi kami belum mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia."
"Benar, engkau harus memperkenalkan namamu kepada kami, kek."
"Namaku? Ha-ha, apa sih artinya nama? Hanya sebutan kosong saja. Nama sama sekali tidak menunjukkan isinya, dan kalau mau bicara tentang isi, sekarang perutku kosong dan lapar bukan main!"
"Jangan khawatir, kek. Aku akan memasakkan makanan untukmu, namun engkau harus memperkenalkan nama," kata Sui Cin sambil mengeluarkan bungkusan-bungkusan kecil dari buntalan pakaiannya. Bungkusan-bungkusan itu terisi bumbu-bumbu masakan.
"Kau bisa masak?"
Mendengar pertanyaan yang nadanya tidak percaya dan memandang rendah ini, Sui Cin bangkit berdiri kemudian bertolak pinggang. "Jangan memandang rendah orang sebelum engkau mengujinya, kek. Kalau tidak pandai masak, perlu apa aku membual? Ibuku telah mengajarkan masakan-masakan yang luar biasa, masakan model selatan yang pasti akan membuat lidahmu menari-nari!"
"Ibumu? Aihh..., bukankah isteri Pendekar Sadis itu datuk yang pernah berjuluk Lam-sin? Ha-ha-ha, jangan-jangan hanya namanya saja yang besar akan tetapi isinya melompong. Jangan-jangan kalau engkau masak, hasilnya hanya masakan gosong dan pahit!" Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, bocah sombong, tentang masak-memasak, kiranya engkau harus belajar dulu dari Wu-yi Lo-jin (Kakek dari Gunung Wu-yi)!"
"Hemm, dan siapa itu Kakek Gunung Wu-yi?"
"Siapa lagi kalau bukan ini orangnya!" Kakek itu menunjuk hidungnya sendiri dengan jari telunjuknya. "Aku bertapa selama puluhan tahun di puncak Gunung Wu-yi, dan sekarang aku menjadi seorang kakek, maka apa lagi namaku kalau bukan Wu-yi Lo-jin? Ha-ha-ha!"
"Huhh, ternyata engkau seorang pertapa, paling-paling bisanya makan rumput dan daun muda, mana bisa memasak? Mari kita bertaruh. Kalau masakanku kalah olehmu, biar aku mengangkatmu sebagai guru memasak. Akan tetapi kalau masakanku lebih enak, engkau harus memberi hadiah kepadaku."
"Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu mengelus jenggot yang panjangnya sampai ke perut itu, nampak gembira sekali. "Bagus, coba kau masak untukku, hendak kulihat apakah benar engkau pandai memasak ataukah hanya membual saja. Jika benar-benar masakanmu lebih enak dari pada masakanku, engkau boleh minta hadiah, sebut apa saja, tentu akan kuberikan padamu!"
"Benarkah itu? Apa saja yang kuminta akan kau berikan? Song-twako ini menjadi saksi hidup!"
"Tentu saja, selamanya aku tidak pernah bohong."
"Ahh, batal saja, aku tidak jadi masak." kata Sui Cin. "Orang seperti engkau ini banyak akalnya, tentu aku akan kalah karena engkau menggunakan akal."
"Akal begaimana?" Kakek yang mengaku bernama Wu-yi Lo-jin itu mendesak.
"Bagaimana pun enaknya, bisa saja engkau bilang tidak enak, tentu saja aku akan kalah!"
"Ahh, tidak mungkin. Perutku lapar begini, bila mana ada masakan enak, mana tega aku mengatakan tidak enak? Kalau aku terus makan, berarti enak, kalau tidak enak tentu tidak akan kumakan, padahal perutku lapar sekali."
"Baik, aku akan mencari bahan masakan!" Berkata demikian, Sui Cin meloncat dan sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap keluar goa.
Kakek itu mengangguk-angguk dan kini, setelah Sui Cin pergi, sikapnya yang tadi jenaka itu berubah serius. "Hui Song, ginkang gadis itu hebat bukan main. Kabarnya ibunya yang mempunyai ginkang istimewa dan ternyata memang benar. Dan dara itu... sungguh hebat. Aku pasti akan jatuh cinta kalau aku sebaya denganmu."
Wajah Hui Song berubah merah sekali. Tadi dia termenung dan diam-diam menganggap betapa bodohnya Sui Cin. Bertaruh melawan kakek ini apa gunanya? Andai kata menang, apa yang dapat diharapkan dari kakek yang hanya memiliki satu-satunya pakaian mewah yang menempel di badannya berikut guci arak besar itu?
Tak lama kemudian Sui Cin sudah datang lagi membawa sebuah rebung (bambu muda), seekor ayam hutan serta seekor kadal yang gemuk! Hui Song sudah pernah menikmati masakan Sui Cin ketika mereka melakukan perjalanan bersama dan dia tahu bahwa gadis itu memang pandai memasak, bahkan agaknya binatang apa saja dapat disulap menjadi masakan yang lezat olehnya. Biar pun dia belum pernah makan daging kadal, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itu tentu dapat memasak daging binatang itu menjadi santapan yang nikmat.
"Kakek, pernahkan engkau makan masak rebung campur hati dan daging naga ditambah kepala dan kaki burung Hong? Dan juga, panggang daging burung Hong muda?" Sui Cin bertanya kepada kakek itu sambil melempar rebung, ayam hutan dan kadal yang sudah mati itu ke atas lantai. Tanpa diperintah lagi Hui Song segera mencari kayu bakar lantas membuat api unggun.
Kakek itu memandang terbelalak sesudah mendengar nama masakan-masakan aneh itu, tidak mampu menjawab hanya menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menelan ludah dan bertanya, "Anak baik, bagaimana mungkin engkau akan memasak daging binatang-binatang suci itu? Mana naganya dan burung Hong-nya?"
Sui Cin tersenyum, lalu mengambil bangkai ayam dan kadal. "Inilah burung Hong dan ini naganya!"
"Kadal itu? Hihh, menjijikkan! Lebih baik masak daging ayam itu saja!"
Sui Cin cemberut dan melemparkan dua bangkai binatang itu ke atas lantai, lalu berkata dengan nada suara ngambek, "Sudahlah, kalau belum apa-apa dicela, lebih baik aku tidak jadi masak!"
"Wah, jangan begitu, aku sudah lapar sekali!" kata si kakek terkejut.
"Biar kau kelaparan, siapa peduli?"
"Aih, anak baik, jangan marah dulu. Masaklah, masaklah apa saja, hendak kulihat apakah engkau benar-benar pandai masak."
"Baik, akan tetapi engkau harus membantuku mencarikan kebutuhan masak yang saat ini kuperlukan."
"Boleh, boleh! Apa saja?"
Sui Cin menghitung-hitung dengan jarinya sambil mengerutkan kedua alisnya. "Pertama tentu saja adalah panci tanggung berisi air jernih, lalu fetsin, dua jari jahe, kulit jeruk serta bawang. Nah, itulah yang kuperlukan. Cepat, kek, aku pun ingin melihat apakah engkau benar-benar memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."
"Tunggu sebentar!" Suaranya masih bergema namun kakek itu sudah lenyap dari situ!
Sui Cin melongo, juga Hui Song yang sudah kembali membawa kayu bakar itu bengong.
"Song-ko, dia seperti bukan manusia, seperti iblis yang pandai merghilang saja!"
"Cin-moi, kenapa engkau mengadakan pertaruhan dengan dia seperti itu? Kalau engkau menang seperti yang kupercaya, lalu apa yang dapat kau minta darinya?"
Sui Cin tertawa. "Song-twako, ke mana larinya kecerdikanmu dan kenapa sejak bertemu dengan kakek itu engkau kehilangan rasa gembira dan kejenakaanmu? Aku dapat minta diajari ginkang-nya itu!"
Hui Song mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.
"Kenapa engkau nampak tidak gembira, twako? Engkau tidak seperti biasanya, kocak dan gembira?"
"Entahlah, Cin-moi, akan tetapi... sejak dia muncul" aku seperti merasa tak enak hati..."
Pemuda ini merasa bingung sendiri di dalam hatinya mengapa dia bisa merasa cemburu terhadap kakek tua renta itu! Melihat betapa Sui Cin bergembira dengan kakek itu, sikap Sui Cin yang demikian akrab, dia merasa cemburu! Padahal dia sendiri maklum bahwa Wu-yi Lo-jin adalah seorang kakek yang sakti dan tidak ada alasan sedikit juga baginya untuk merasa cemburu.
Pemuda ini tidak sadar bahwa yang dideritanya bukanlah sekedar cemburu, melainkan iri hati melihat betapa gadis yang dicintanya itu bersikap baik kepada orang lain, walau pun orang lain itu adalah seorang kakek tua renta! Dan hatinya merasa lebih tidak enak lagi mendengar bahwa Sui Cin akan minta diajari ginkang oleh kakek yang sakti itu. Kalau hal ini terjadi, berarti tidak lama lagi dirinya akan tertinggal jauh oleh Sui Cin dan dia khawatir bahwa kalau sampai terjadi demikian, gadis itu akan memandang rendah kepadanya.
Terdengar suara kakek itu. "Hah-hah, sudah dapat semua yang kau butuhkan!"
Dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri di situ, membawa sebuah panci yang terisi air penuh. Juga dia membawa semua bumbu-bumbu yang dibutuhkan Sui Cin tadi. Sungguh sangat mengherankan sekali betapa kakek ini dapat berlari cepat membawa panci terisi air penuh yang nampaknya sama sekali tidak tumpah karena air itu masih penuh sampai ke bibir panci.
Dengan girang Sui Cin menerima semua bumbu dan panci berisi air itu, lalu mulailah dara itu mempersiapkan masakannya, dibantu oleh Hui Song. Ada pun Wu-yi Lo-jin sendiri lalu duduk bersila menanti di sudut goa, memejamkan mata dan sebentar saja telah terdengar suara mendengkur!
Dari pernapasannya, kedua orang muda yang juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu merasa yakin bahwa kakek itu memang benar sudah tidur, maka kembali mereka kagum. Orang yang dapat tidur pulas secara seketika hanyalah orang yang batinnya sudah amat kuat, yang begitu mengosongkan batin segera tenggelam dalam kepulasan. Kepandaian seperti ini hanya dimiliki orang yang sudah mendalam latihannya dalam ilmu semedhi.
Sui Cin memang seorang dara yang ahli dalam hal memasak. Bukan hanya karena ibunya telah mengajarkan ilmu memasak kepadanya, akan tetapi karena memang dara ini gemar memasak sehingga selama dalam perantauan, dia selalu mempelajari ilmu ini dan terus memperdalamnya. Tiap kali mencicipi masakan yang lezat, umpamanya di dalam sebuah restoran, dia tentu segera menghubungi kokinya dan dia tak segan-segan mengeluarkan uang untuk membeli resep masakan atau mempelajarinya.
Dengan mengumpulkan berbagai cara masakan dari bermacam-macam daerah, akhirnya dia pandai sekali mencampur-campur bumbu sehingga menjadi masakan yang lezat, biar pun yang dimasaknya hanya sayur atau daging seadanya saja. Dia tahu betul bagaimana caranya menghilangkan bau amis pada daging, membuat daging yang alot menjadi lunak, melenyapkan rasa pahit pada beberapa macam sayur, bahkan membebaskan daging atau sayur dari pengaruh racun.
Dengan dibantu Hui Song yang memandang kagum melihat pandainya Sui Cin memasak, maka tak lama kemudian terciumlah bau sedap ketika masakan-masakan itu matang. Dan sungguh luar biasa sekali, kakek yang tadinya tidur nyenyak mendengkur itu tiba-tiba saja mengeluarkan suara!
"Wah, harumnya...! Sedap... sedap...!"
Dia langsung saja membuka matanya lalu bangkit berdiri, seperti orang yang tadinya tidak pernah tidur saja. Sambil mengucek mata kakek itu memandang lantas menghampiri Sui Cin, menelan ludah dan menjilati bibirnya sendiri.
"Nah, sudah matang, kek. Cobalah masakanku ini dan aku menantangmu apakah engkau berani mengatakan bahwa masakanmu lebih enak dari pada masakanku!"
Wu-yi Lo-jin segera duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari dalam jubahnya yang kedodoran itu dia mengeluarkan sebuah mangkok yang masih baru dan mengkilap serta sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang mahal! Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu.
Tidak lama kemudian nampak dia mengunyah makanan dengan mata meram-melek, jelas sekali nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tidak pernah berkedip dan kalamenjingnya turun naik. Dia sendiri sedang merasa lapar, maka melihat orang makan dengan sedemikian lahap dan enaknya, tentu saja seleranya timbul. Sui Cin juga memandang sambil tersenyum girang.
"Bagaimana, kek? Bagaimana pendapatmu? Bukankah masakanku enak sekali?" Sui Cin bertanya tak sabar lagi sesudah kedua macam masakan itu habis lenyap ke dalam perut kakek katai itu.
Sambil mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk-angguk, menunggu sampai dia menelan makanan itu baru menjawab, "Lumayan, akan tetapi aku belum yakin benar jika masakanmu lebih enak dari pada masakanku. Mana... masih ada lagikah?" Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.
"Hi-hi-hik, kakek curang, kau kira aku tidak tahu isi hatimu? Kau kira aku dapat kau bodohi begitu saja? Kalau tidak lezat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan engkau sikat semua sampai habis sehingga engkau lupa akan sopan santun, makan sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali? Cih, dan engkau masih tidak malu untuk menyangkal bahwa masakanku sangat lezat?"
Ditegur begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia pun menoleh kepada Hui Song, lalu terkekeh. "He-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada lagi? Jangan kau bohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang belum kau hidangkan!" Kakek itu mengusap bibirnya dengan sapu tangan sutera, kemudian membuka tutup guci arak dan minum arak dengan suara menggelogok.
Sui Cin tersenyum. "Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"
"Sudah, kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"
"Nanti dulu, kek. Kalau engkau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa saja yang kuminta seperti janji kita, bukan? Ataukah engkau juga tidak malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"
"He-heh-heh, anak nakal! Katakan, mau minta apa? Aku hanya punya guci arak ini, boleh kau minta setelah araknya habis kuminum nanti!"
"Aku tidak butuh guci arakmu, kek!"
"Apa...?!" Kakek itu membelalakkan matanya. "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini? Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan sebagai senjata, ampuhnya bukan main!"
"Biar pun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."
"Hemm, lalu apa yang kau minta? Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini? Ataukah pakaianku? Aihh..., kurasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas sandang panganku!"
"Bukan! Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan ginkang kepadaku sampai aku dapat bergerak secepat engkau, kek!"
Kini sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau percakapan mereka terdengar orang lain.
"Ahh, tidak bisa... tidak bisa...!"
"Nah, ketahuan sekarang belangmu!" Sui Cin berseru. "Sesudah menelan habis semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa dengan janji. Baru begitu saja sudah hendak mengingkari janji, apa lagi kalau janji-janji penting!"
"Wahh... berabe... sstttt. Jangan keras-keras...!" Dia lalu berbisik, "Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh menyebut guru kepadaku."
"Aku tidak peduli sebutan guru itu asal dapat mewarisi ilmu ginkang-mu."
"Baik, baik... aku bukan orang yang suka mengingkari janji, tapi hati-hati, jangan ketahuan orang lain. Sudah, kesinikan panggang daging itu."
"Kami sendiri pun belum makan, kek."
"Biarlah, Cin-moi, berikan saja kepada locianpwe. Aku masih mempunyai sisa roti kering," kata Hui Song, lalu mulai mengeluarkan roti kering dari buntalannya.
Sui Cin pun terpaksa memberikan daging ayam panggang kepada kakek itu yang segera makan lagi dengan lahapnya, matanya meram-melek keenakan tanpa merasa sungkan sedikit pun kepada dua orang muda yang kini makan roti kering untuk mengurangi rasa lapar.
Setelah semua daging panggang itu amblas, disusul belasan teguk arak, kakek itu tampak amat kekenyangan, menutup gucinya dan menggantung kembali guci itu di punggungnya, mengusap bibir dengan sapu tangannya yang indah. Mukanya merah segar dan wajahnya berseri memandang dua orang muda di depannya itu.
"Kalian anak-anak muda yang baik. Tidak rugi aku bertemu dengan kalian. Kalian menjadi sekutu yang baik sekali."
"Wu-yi Lo-jin, kau telah berjanji akan mengajarkan ginkang kepadaku." Sui Cin masih saja memperingatkan, khawatir kalau-kalau kakek yang wataknya ugal-ugalan ini akan kabur setelah makan kenyang. Siapa yang dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kakek aneh ini.
Kakek itu mengangguk-angguk sambil kembali melirik ke kanan dan ke kiri. Hal ini sangat mengherankan hati Sui Cin dan Hui Song.
"Kek, kenapa engkau kelihatan takut kalau aku bicara tentang belajar ilmu darimu. Siapa yang kau takuti?"
"Ssttt... mari kita keluar dari goa dan akan kuceritakan semua kepada kalian," kata kakek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari dalam ruangan goa itu. Sui Cin yang takut kakek itu kabur segera mengejar, diikuti pula oleh Hui Song. Ternyata Wu-yi Lo-jin sudah duduk di atas batu depan goa, sedang menanti mereka.
"Nah, di sini kita bicara agar tidak ada orang yang ikut mendengarkan tanpa kita ketahui. Anak-anak, ketahuilah bahwa kalau tidak ada terjadi sesuatu yang amat hebat, mau apa tua bangka seperti aku ini keluar ke dunia ramai? Tentu kalian tidak pernah mendengar apa lagi melihat aku yang hanya tinggal menanti datangnya kematian di dalam tempat pertapaanku di Wu-yi-san. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, telah terjadi sesuatu yang sangat hebat, yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia. Maka, bagaimana pun juga, terpaksa aku harus keluar dari tempat partapaanku hingga akhirnya di sini aku bertemu dengan kalian."
Hui Song dan Sui Cin terkejut bukan main. Keduanya saling pandang, kemudian kembali memandang kepada kakek katai ini. Miringkah otak kakek ini? Mereka tidak mengerti apa yang baru saja dimaksudkan oleh kakek itu, yang mereka anggap menceritakan hal yang bukan-bukan dan aneh-aneh saja.
"Apakah yang sudah terjadi, kek? Siapa yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia?"
Kakek itu memandang ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang. "Kalau diingat memang memalukan sekali. Terjadinya sudah puluhan tahun yang lalu. Kami, sekelompok delapan jagoan yang dulu menjadi datuk-datuk dunia persilatan, sebelum kemunculan datuk-datuk seperti See-thian-ong sebagai datuk barat, Tung-hai-sian sebagai datuk timur, Pak-san-kui sebagai datuk utara dan Lam-sin sebagai datuk selatan, kami delapan orang yang merajai delapan penjuru dunia. Pada waktu itu usiaku baru sekitar tiga puluh tahun. Akan tetapi, tiba-tiba muncullah pasangan Raja dan Ratu Iblis itu!"
Kembali kakek katai itu kelihatan gelisah dan memandang ke kanan kiri. Kalau seorang sakti seperti Wu-yi Lo-jin saja kelihatan ketakutan, tentu saja hal ini mendatangkan rasa seram di hati dua orang muda itu sehingga mereka ikut pula menoleh ke kanan kiri.
"Siapakah mereka itu, kek?" Sui Cin bertanya lirih.
"Raja Iblis itu seorang pangeran asli yang melarikan diri dari istana. Dia bersama isterinya lalu terjun ke dunia kang-ouw dan segera kami delapan orang jagoan yang menjadi datuk mereka kalahkan secara mutlak, termasuk juga aku. Kepandaian mereka memang hebat bukan main, mirip iblis-iblis saja mereka itu. Kami delapan orang datuk lalu bersumpah di depan suami isteri iblis itu untuk tidak muncul lagi di dunia kang-ouw, bahkan kami semua telah menyerahkan tanda takluk kami kepada mereka. Dengan tanda itu, selama hidup kami tidak akan berani melawan mereka lagi, dan kalau kami melanggar, maka kami akan dihukum mati menurut sumpah kami. Juga murid-murid kami secara otomatis terikat oleh sumpah itu. Kami semua terpaksa setuju karena itulah jalan satu-satunya untuk menebus nyawa kami yang sudah berada di tangan mereka."
Bukan main dahsyatnya cerita ini, membuat Sui Cin dan Hui Song melongo. Peristiwa itu tentu terjadi puluhan tahun yang lalu, mungkin ketika orang tua mereka masih kecil, akan tetapi kenapa mereka tidak pernah mendengar cerita itu dari orang tua mereka? Agaknya semua itu terjadi diam-diam dan tidak sampai menghebohkan dunia kang-ouw maka tidak terdengar oleh keluarga mereka. Memang dalam dunia persilatan terdapat banyak sekali orang-orang sakti yang lebih suka menyembunyikan diri.
"Jadi selama puluhan tahun ini locianpwe selalu bersembunyi dan bertapa?" tanya Hui Song, tertegun.
"Benar, aku tak pernah melihat dunia ramai lagi, bahkan jarang bertemu dengan manusia. Hanya bertemu manusia kalau ada pemburu tersesat sampai ke puncak Wu-yi-san."
"Akan tetapi sekarang engkau keluar dari pertapaan, kek."
"Itulah! Aku tidak dapat menahan diri lagi ketika aku mengetahui bahwa raja dan ratu iblis itu juga keluar! Semenjak mereka memaksa kami bersumpah, mereka pun turut bertapa dan kabarnya bahkan memperdalam ilmu kepandaian mereka yang sudah amat hebat itu. Kami mengira bahwa seperti kami, mereka itu akan mengundurkan diri sampai mati. Akan tetapi ternyata kini mereka keluar! Dan hal ini berbahaya sekali. Mereka menaruh dendam kepada istana, juga mereka merasa benci kepada semua pendekar. Jadi tentu dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka itu keluar. Mendengar mereka keluar, aku pun lalu meninggalkan pertapaanku. Biarlah, jika perlu aku berkorban nyawa, akan tetapi dalam usiaku yang lanjut ini, dalam hari-hari terakhirku, aku harus berusaha membendung kejahatan yang akan mereka lakukan."
"Sudah berapa lama locianpwe meninggalkan pertapaan?"
"Sudah tiga bulan. Selama ini aku menyelidiki jejak mereka, lalu mendengar berita yang amat mengejutkan. Kiranya mereka itu benar-benar telah mulai menghimpun datuk-datuk golongan sesat, bukan hanya untuk membasmi para pendekar akan tetapi bahkan untuk menyerbu istana!"
"Wahhh... gawat...!" Sui Cin berseru. "Di mana mereka itu, kek?"
"Gerakan mereka seperti iblis, mana dapat diketahui di mana mereka berada? Akan tetapi aku telah mendengar bahwa para datuk itu, juga termasuk Cap-sha-kui, pada akhir bulan depan akan menghadap mereka di sumber mata air Sungai Huai, di lereng Pegunungan Ta-pie-san, tak jauh dari sini. Karena itulah aku berada di sini dan kebetulan aku bertemu kalian ketika menyelamatkan nona pengantin. Sungguh girang hatiku sebab kalian adalah orang-orang muda perkasa keturunan pendekar-pendekar sakti yang patut menjadi sekutu kami menghadapi iblis-iblis itu. Karena itulah aku tidak dapat menerimamu sebagai murid walau pun aku akan mengajarkan ginkang kepadamu, Sui Cin. Apa bila aku menerimamu sebagai murid, berarti engkau akan terikat pula oleh sumpah kami kepada kedua iblis itu."
"Kalau memang sepasang iblis itu benar-benar mengancam keselamatan dunia, kami siap membantumu, locianpwe," kata Hui Song dengan sikap gagah.
"Benar, aku pun siap membantumu, kek. Sudah sepatutnya bila iblis-iblis itu dihadapi dan dibasmi. Mereka tentu jahat, apa lagi kalau sampai dapat memperalat Cap-sha-kui yang jahat."
Wu-yi Lo-jin tersenyum geli. "Meski pun aku bangga dan kagum terhadap sikap kalian dua orang muda, akan tetapi aku juga merasa geli. Kalian seperti anak-anak ayam mencoba untuk menantang serigala! Namun semangat kalian itulah yang kita perlukan. Bagaimana pun juga, kita memang harus bersatu menentang kejahatan. Kalau kalian memang sudah siap membantu, marilah kita pergi untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi kalian harus berhati-hati dan jangan bertindak sendiri-sendiri, harus selalu menurut petunjukku."
Maka berangkatlah tiga orang itu menuju ke lereng Ta-pie-san, mencari sumber air Sungai Huai di mana kabarnya akan dijadikan tempat pertemuan bagi datuk-datuk sesat untuk menghadap Raja dan Ratu Iblis.
"Heh-heh-heh-heh!" Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli. "Apakah kalian ini sepasang pendekar muda yang hendak mencari penculik pengantin wanita? Heh-heh!"
Tentu saja Hui Song dan Sui Cin terkejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja bertanya seperti itu. Hui Song hanya dapat mengangguk ada pun Sui Cin melangkah maju dan dialah yang menjawab,
"Benar, kek. Engkau ini kakek pendek lucu, bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari penculik pengantin?"
Sejenak kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya semakin berseri "Heh-heh, nona manis, apa sukarnya? Kalian berlari-larian mendaki bukit dengan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti dua orang pendekar, berkeliaran ke sini mau apa lagi kalau bukan mencari penculik pengantin? Heh-heh-heh."
Kini Hui Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap hormat dan menjura. "Maaf jika kami menggangumu, locianpwe. Kami berdua bukanlah pendekar, akan tetapi benar dugaan locianpwe tadi bahwa kami berdua sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."
"Membantu apa?" kakek itu memotong.
"Hi-hi-hik, engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apakah engkau tahu di mana adanya pengantin wanita yang diculik itu," kata Sui Cin, tidak mau bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini.
Anehnya, ketika menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai kelihatan lebih senang dan dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Nona manis, engkau sungguh menyenangkan hati. Tentu saja aku tahu di mana adanya pengantin wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculik dia!"
"Uhhh...! Heiiiittt...!" Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung seperti itu sehingga dia pun telah meloncat ke belakang sambil memasang kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak menyerang.
Melihat ini, kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia pun tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk perut. "Hua-ha-ha, orang muda, apakah engkau hendak menari monyet? Ha-ha-ha!"
Wajah Hui Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan periang, juga suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya dan sebaliknya malah digoda dan menjadi bahan ejekan orang.
Akan tetapi Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu, segera mencela. "Wah, siapa yang percaya omonganmu, kek? Engkau tentu hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu melarikan seorang gadis pengantin? Dan pula, untuk apa bagimu? Engkau membual dan aku tidak percaya kentut itu!"
Kakek itu bangkit berdiri dan begitu melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke dadanya, Sui Cin merasa semakin geli. "Wah, kau ini anak kecil beruban ataukah kakek bertubuh kecil?" Ia menggoda.
"Kentut! Siapa yang kentut? Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang? Aku jantan, sedang engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau pula yang kentut berbau busuk!"
Mendengar omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin lantas terkekeh dan terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi.
"Ehh, nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya? Nah, lihat sendiri, itulah mempelai wanita yang sudah kuculik dari rumah lurah Coa. Hei, anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan penari monyet ini!"
Sui Cin dan Hui Song memandang ke dalam goa dan mereka pun terbelalak heran ketika melihat munculnya seorang dara manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga menunjukkan bekas-bekas cambukan.
Sui Cin yang tadinya menyangka kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah mempelai wanita yang dikabarkan hilang diculik orang itu? Dan kakek ini adalah penculiknya? Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda dusun atau petani itu?
"Eh, enci, benarkah engkau puteri lurah Coa yang akan menjadi pergantin lalu diculik oleh kakek ini? Dan siapa temanmu itu?" Sui Cin bertanya.
Gadis itu memang benar Coa Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama Lo Seng. Mendengar pertanyaan Sui Cin, dia lantas mengangguk.
"Aku adalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan memang aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku," katanya dengan tabah dan sikap menentang. Memang kini dia akan menentang siapa saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.
"Suamimu? Calon suamimu? Bagaimana pula ini? Kalau engkau mau dikawinkan dengan pemuda ini, kenapa engkau diculik ke sini dan bersama calon suamimu..." Sui Cin berkata bingung.
"Aku bukan akan dikawinkan dengan dia!" kata Lan Kim. "Aku hendak dikawinkan menjadi isteri ke lima seorang pembesar di Sin-yang, tetapi aku tidak mau. Dia ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."
"Ahhh, jadi engkau penculiknya!" Hui Song menudingkan jari telunjuknya kepada Lo Seng, "Engkau menculik pengantin untuk kau kawini sendiri? Sungguh berani dan..."
"Hushh, penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!" sekarang kakek katai turut bicara. "Dengarkan terlebih dahulu penuturan pengantin wanita dan jangan cerewet dulu seperti perempuan!"
"Wah, kek, jangan begitu! Tidak semua perempuan cerewet!" Sui Cin menegur, agak tak senang karena Hui Song dipermainkan oleh kakek itu.
"Aku tidak peduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka."
Lan Kim mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang jahat dan agaknya terjadi kesalah pahaman mengenai penculikannya, maka dia pun maju melangkah lagi sambil menggandeng tangan kekasihnya. "Harap ji-wi suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Semenjak dulu antara aku dan Lo Seng ini terjalin hubungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Apa lagi orang tuaku juga sudah setuju untuk mengambil Lo Seng sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama beberapa tahun. Namun pada suatu hari datanglah pinangan pembesar di kota Sin-yang terhadap diriku. Ayah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lantas dipecat, bahkan dicambuki. Nah, dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncullah locianpwe ini membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di goa ini."
Kini terdengar Lo Seng bercerita. "Aku sudah hampir putus asa dan mengambil keputusan hendak membunuh diri saja dari pada melihat kekasihku menikah dengan orang lain dan aku sendiri kehilangan pekerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul locianpwe ini menyelamatkan aku dan sesudah aku bercerita tentang keadaanku, locianpwe ini lalu membawaku ke sini, menyuruh aku menunggu di dalam goa ini dan tidak lama kemudian dia sudah kembali membawa Lan Kim. Kini kami berdua sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap ji-wi dapat mengerti keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."
Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Ternyata kakek katai itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budiman.
"Ahhh, ternyata engkau benar-benar seorang yang baik, kakek tua," kata Sui Cin gembira dan Hui Song segera menjura.
"Harap locianpwe maafkan kalau tadi kami telah menyangka buruk."
"Heh-heh-heh, orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah takabur dan ingin berlagak seperti pendekar-pendekar jagoan. Orang-orang muda, andai kata aku benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa yang akan kalian lakukan?"
"Tentu saja akan menentangnya!" kata Hui Song.
"Kau akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada orang tuanya, kek," sambung Sui Cin.
"Bagus, kalau begitu kalian majulah, hendak kulihat sampai di mana kelihaian kalian."
"Tapi locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah...!" Hui Song membantah.
"Hemm, andai kata aku penjahat, apakah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian. Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tak ingin diganggu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu melangkah maju dan begitu tangannya bergerak, tangan itu sudah menampar ke arah dada Hui Song.
"Eeiiitttt...!" Hui Song segera mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini mempergunakan tangan menangkis totokan.
"Dukkk!"
Tubuh Hui Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi dia hanya mempergunakan sebagian sinkang-nya, khawatir akan melukai kakek tua renta itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung-huyung dan lengannya tergetar hebat. Kiranya kakek ini memiliki sinkang yang hebat.
Akan tetapi, sambil terkekeh-kekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat bukan main. Tubuh yang kecil itu berkelebat seperti terbang saja dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.
"Lihat seranganku!" Mendadak terdengar Sui Cin membentak dari samping dan dia sudah menggerakkan tangan kirinya menotok ke arah iga bawah ketiak dari lengan kakek yang mencengkeram itu.
Totokan ini amat hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatalkan cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis sekalian menangkap pergelangan tangan gadis itu. Namun Sui Cin sudah menarik pulang tangan kirinya dan sekarang tangan kanannya menampar dan dari telapak tangan itu keluarlah uap putih tipis. Itulah Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu di antara ilmu-ilmu ampuh yang pernah diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.
"Ehh...!" Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu dia berkelebat, Sui Cin menjadi bengong karena orang yang baru diserangnya tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya, dan sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya. Sui Cin merasa adanya angin menyambar ini, maka dia pun mempergunakan ginkang-nya lantas tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak.
Akan tetapi, pada saat itu pula Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, telah menerjang ke depan tepat pada saat Sui Cin diserang sehingga andai kata Sui Cin tidak menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak sekali pun, maka serangan kakek itu akan dapat digagalkannya karena kini Hui Song juga tak sungkan-sungkan lagi. Begitu menyerang, pemuda ini sudah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga sakti Thian-te Sinkang!
Kembali kakek itu terkejut. Agaknya dia pun tidak menyangka bahwa dua orang muda itu benar-benar merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar muda tulen! Apa lagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang amat tinggi mutunya.
"Nantl dulu, tahan dulu...!" Tiba-tiba saja kakek itu berhenti dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.
"Kek, kami belum kalah, kenapa berhenti?" Sui Cin yang sudah merasa gembira dengan pertandingan itu, mencela.
Bagaimana pun juga, di dalam hatinya gadis ini merasa benar bahwa kakek itu bukanlah orang jahat dan pertandingan itu hanya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan selalu gembira.
"Heh-heh-heh, aku pun belum kalah. Aku hanya minta berhenti sebentar untuk berbicara. Agaknya kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, maka pantas saja kalian begitu takabur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum mampu mengalahkan kalian, anggap saja aku kalah dan aku akan menyebut kalian suhu dan subo!"
Sui Cin tertawa geli. "Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik, aku setuju!"
Diam-diam Hui Song merasa sangat terkejut. Begini takaburkah kakek ini? Dia tahu akan kemampuan diri sendiri dan dia pun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis puteri Pendekar Sadis itu. Menandingi mereka satu lawan satu saja jarang dapat ditemukan orangnya, dan kakek ini menantang mereka berdua maju mengeroyok dan bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.
"Baik, locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau ternyata kami berdua yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"
"Ha-ha-ha, orang muda yang berhati-hati, tentu engkau telah menduga buruk lagi padaku, ya? Dengarlah, kalau aku kalah, aku akan menyebut kalian suhu dan subo, namun kalau sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, maka kalian harus membantuku menolong pengantin ini."
"Menolong dengan cara bagaimana?" tanya Sui Cin.
"Kita harus menggagalkan pernikahan itu dan juga menghajar pembesar mata keranjang itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."
Tentu saja Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu saja taruhannya? Tanpa bertaruh sekali pun, bukankah mereka berdua sekarang juga sedang berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena menyangka diculik penjahat?
"Baik, baik, kami berjanji," kata mereka dengan gembira.
"Nah, bersiaplah. Jurus pertama!" kakek itu berseru, lalu tubuhnya bergerak secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin. Gerakannya selain aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan sehingga mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri.
Hui Song adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihainya bukan main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin sanggup mengalahkan dia dan Sui Cin, apa lagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh daya hanya untuk melindungi diri? Jika mereka membagi perhatian untuk menyerang, mungkin mereka akan terlengah sehingga dapat dikalahkan.
"Cin-moi, pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"
Gadis itu pun cerdik dan dia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga pemuda itu, dia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu tiada ubahnya dua buah benteng baja yang sangat kuat dan tidak ada bagian lemah yang akan dapat ditembus!
Sejenak kakek itu terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai macam serangan yang aneh-aneh. Tetapi semua serangannya ternyata kandas dan tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun itu.
"Wah, hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang amat hebat...!" Berkali-kali kakek itu berseru dengan suara mengeluh ketika ke mana pun juga dia menyerang, dia selalu gagal karena yang diserang itu pasti berhasil mengelak atau menangkis. Padahal dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi!
Dia termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek. "Hik-hik, kakek lucu, bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah lewat dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"
"He-heh-heh, siapa hendak mengurangi hitungan? Masih ada delapan jurus, cukup untuk mengalahkan kalian!" Tanpa menanti jawaban lagi, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring.
Dua orang muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khikang yang amat kuat, yang masuk melalui telinga lantas dengan tajam menusuk jantung. Cepat mereka memasang kuda-kuda sambil mengerahkan sinkang melindungi tubuh bagian dalam dari serangan suara penuh khikang ini. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh kakek itu melesat dan lenyap, kini yang tampak hanyalah bayangan berkelebatan mengitari mereka, makin lama semakin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas bayangannya, menjadi kabur!
Inilah berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang ternyata mempergunakan ginkang yang sukar dipercaya apa bila tidak melihat sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, tentu mereka tidak akan percaya kalau ada ginkang sehebat itu. Maka mereka pun bersikap waspada, tak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat.
Benar saja! Dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yang sangat kuat, mereka berdua mampu menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran, lantas menyerang lagi sampai empat jurus, akan tetapi semua serangannya gagal.
"Hi-hik, tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!" Sui Cin tak dapat menahan kegembiraan hatinya mengejek.
Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih lalu terciumlah bau arak wangi. Kiranya sambil berputaran semakin cepat tadi kakek itu sudah menyerang dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari berputar-putar itu.
Sui Cin dan Hui Song terkejut bukan kepalang. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka laksana jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas kehilangan tenaga dan betapa pun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka tertekuk sehingga keduanya roboh berlutut!
"Hoa-ha-ha-ha, tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tidak perlu berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan berlebihan ini, ha-ha-ha!"
Sui Cin dan Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cin cemberut.
"Kakek buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"
"Ha-ha-ha, anak manis, di dalam pertandingan memang diperlukan akal dan siasat. Siapa kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian telah kalah, maka sekarang kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari ini. Sore hari nanti pengantin wanita she Coa ini akan dijemput kemudian dibawa ke Sin-yang, yaitu ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama kalian?"
"Saya bernama Cia Hui Song, locian-pwe."
"Namaku Ceng Sui Cin."
"Hemm, she Cia mengingatkan aku kepada Cin-ling-pai dan she Ceng...? Apakah bocah nakal yang dijuluki Pendekar Sadis itu juga she Ceng?"
Karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang tokoh sakti yang selama ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang kakek katai ini, Hui Song merasa tak perlu menyembunyikan diri. "Pendekar Sadis adalah ayah kandung nona ini dan ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, locianpwe."
Kakek itu membelalakkan matanya, mengelus-elus jenggot panjangnya dan tertawa-tawa. "Hua-ha-ha, pantas, pantas...! Sekarang aku tidak penasaran lagi mengapa hanya untuk mengalahkan dua orang bocah ingusan macam kalian saja, aku tadi harus mengerahkan seluruh tenaga sampai dua puluh jurus. Kalau bukan kalian, ha-ha-ha, baru muncul saja aku sudah jatuh nama. Nah, Sui Cin dan Hui Song, kini kalian dengar baik-baik rencanaku untuk menolong gadis itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu. Sui Cin, sekarang engkau harus mengantar gadis Coa itu pulang ke rumahnya karena di situ telah disiapkan segala sesuatu untuk mengantar pengantin wanita ke Sin-yang sore nanti."
"Ehh, bagaimana ini? Bukankah gadis itu akan dipaksa kawin sedangkan engkau hendak mencegah terjadinya hal itu, kek?" tanya Sui Cin yang tetap menyebut 'kakek' dan tidak bersikap hormat seperti Hui Song.
"Ingat, kalian sudah kalah dan berjanji akan mentaati semua perintakku untuk menolong pengantin."
"Baiklah, kek, aku tidak membantah, hanya bertanya," kata Sui Cin bersungut-sungut.
Kakek itu tertawa, agaknya gembira dapat menggoda Sui Cin. "Engkau mengantar gadis Coa itu kembali karena engkau tadi telah berjanji untuk mencarinya. Katakan saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil merampasnya kembali, dan katakan pula bahwa engkau akan mengawal sendiri pengantin ini menuju ke Sin-yang agar jangan diganggu penjahat di tengah perjalanan. Mengerti?"
"Wah, kakek buruk, agaknya engkau sengaja ingin mengejekku, ya? Sudah jelas bahwa aku gagal merampas kembali pengantin yang kau culik!" Sui Cin mengomel.
"Dan apakah tugas saya, locianpwe?" tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan itu. "Sudahlah, Cin-moi, kita mentaati saja karena sudah kalah. Lagi pula kita pun tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat. Andai kata demikian, tentu kita tidak akan menurut begitu saja."
"Heh-heh, putera Cin-ling-pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk. Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang sangat tepat. Engkau akan kudandani, ingat, engkau harus taat kepadaku. Heiii, orang muda, kau bawa ke sini pakaian pengantin itu!" kata kakek itu kepada Lo Seng.
Lo Seng mengambil sebuah bungkusan di sudut goa kemudian menyerahkannya kepada si kakek yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pengantin berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang disangka lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hui Song terbelalak dan mukanya berubah merah.
"Locianpwe, apa maksudmu?"
Akan tetapi kakek itu telah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi 'Bahagia' itu. "Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai pakaian ini. Engkau harus menyamar sebagai pengantin wanita, menggantikannya kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."
"Wah...! Ini... ini..." Hui Song tergagap dan bingung.
"Hik-hik! Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati perintahnya." Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu memaksa Hui Song memakai jubah pengantin di luar pakaiannya sendiri.
Karena pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnya pun sedang saja, maka pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apa lagi sesudah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya. Apa lagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka yang ketololan, dia pun menjadi semakin geli.
"Wajahmu cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita yang halus putih," kakek itu berkata, lantas mengeluarkan bedak dan menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, hanya pasrah tanpa berani membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya tertawa gembira.
"Wah, sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, jadi harus dicukur bersih dan dibikin kecil," kakek itu tertawa-tawa.
"Wah, jangan, locianpwe...!" Hui Song berkata khawatir.
Melihat ini, Sui Cin cepat turun tangan. "Kakek nakal, biarkan aku saja yang mendandani Song-twako, ditanggung akan kelihatan lebih cantik menarik dari pada kalau engkau yang merusak mukanya."
Sui Cin memang ahli dalam melakukan penyamaran dan sesudah dia turun tangan, maka wajah Hui Song memang kelihatan cantik, walau pun tentu saja alisnya masih terlalu tebal dan juga tubuhnya sangat kaku. Kakek itu lalu menjelaskan siasatnya. Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin, dan selanjutnya mereka akan bergerak menukar pengantin lantas memberi hajaran kepada pembesar itu. Sementara itu pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam goa.
Maka berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Coa Lan Kim tidak merasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin, sebab gadis itu telah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan melepaskannya dari cengkeraman pembesar di Sin-yang agar dia dapat hidup bersama Lo Seng.
Lurah Coa dan orang-orangnya menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali. Dengan gayanya yang sangat menarik, Sui Cin menceritakan bahwa Lan Kim diculik oleh gerombolan penjahat yang berilmu tinggi, akan tetapi dia berhasil merampasnya kembali.
"Lanjutkanlah upacara pernikahan, dan aku sendiri yang akan mengawal enci Lan Kim ke kota Sin-yang agar dapat membasmi para penjahat yang hendak mencoba menghadang di tengah perjalanan."
Tentu saja keluarga Coa menjadi gembira sekali dan Sui Cin disambut dan dijamu seperti seorang tamu agung yang sangat dihormati. Kepada lurah Coa, Sui Cin memberi tahukan bahwa sekarang kawannya masih menyelidik gerombolan itu, membayangi mereka ketika mereka melarikan diri.
Lan Kim lalu didandani dan kini gadis itu tidak menolak lagi, tidak rewel sehingga ibunya merasa lega dan senang. Walau pun pakaian pengantin yang dikenakan nona pengantin itu dibuat tergesa-gesa dan tidak seindah pakaian pengantin yang hilang, namun Lam Kin nampak cantik dan anggun dalam pakaian pengantin.
Setelah saatnya tiba maka muncullah jemputan dari Sin-yang, utusan pengantin pria yang mengirim joli dan barang-barang hadiah. Pengantin pria sendiri tidak muncul. Bukankah dia seorang pejabat tinggi di Sin-yang dan Lan Kim hanya menjadi isteri ke lima?
Kedudukannya terlampau tinggi untuk merendahkan diri turun ke dusun menjemput sendiri calon isteri kelimanya. Para utusannya saja sudah cukup membuat keluarga Coa merasa terhormat sekali, apa lagi para utusan itu datang membawa hadiah-hadiah yang luar biasa banyaknya bagi keluarga lurah itu.
Setelah lurah Coa menceritakan kepada para utusan bahwa di dusun itu baru saja terjadi gangguan dari gerombolan penjahat, dan bahwa Sui Cin adalah seorang pendekar wanita yang akan mengawal pengantin, para pesuruh dari kota itu pun merasa gembira. Siapa tidak akan gembira melakukan perjalanan dikawal seorang pendekar wanita secantik itu?
Berangkatlah rombongan pengantin, diiringi suara musik dan petasan, juga suara tangisan ibu pengantin dan para keluarga wanita lainnya. Tangis para keluarga wanita mengantar pengantin ini sudah merupakan semacam kebiasaan dan tradisi yang tidak mungkin dapat ditinggalkan lagi. Sukar lagi membedakan mana tangis yang sungguh-sungguh dan mana tangis buatan, seperti juga ratap tangis yang terdengar pada peristiwa perkabungan.
Memang menyedihkan kalau kita benar-benar mau membuka mata dengan waspada dan melihat betapa kepalsuan-kepalsuan semakin tebal menghiasi kehidupan kita. Tawa kita, tangis kita, kebanyakan merupakan perbuatan yang palsu dan pura-pura untuk menutupi atau menyembunyikan keadaan yang sesungguhnya dari batin kita.
Dengan dalih demi sopan santun, demi tata susila dan lain sebagainya, banyak hati yang sedang berduka memaksa mulutnya supaya tersenyum atau sebaliknya, batin yang tidak sedang prihatin memaksa mata supaya menangis. Bahkan setiap hari kita selalu seperti terpaksa untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, bersikap atau pun berbuat yang berlawanan dengan batin!
Tidak adanya persamaan atau keserasian antara batin dan ucapan, antara batin, ucapan dan perbuatan, merupakan konflik-konflik yang setiap hari terjadi dalam diri kita. Semua itu bahkan seperti sudah menjadi suatu keharusan, suatu kebiasaan bagi kita.
Dapat kita selidiki pada diri sendiri. Kalau kita berhadapan dengan orang lain, kalau kita bersikap manis, tersenyum, menangis, benarkah semuanya itu sesuai dengan suara hati kita? Ataukah hanya pura-pura saja, sekedar memenuhi syarat umum supaya dianggap sopan, beradab dan sebagainya? Mengapa harus begini? Tidak dapatkah kita bersikap wajar dan selalu ada keserasian antara batin, ucapan dan perbuatan?
********************
Rombongan pengantin itu hanya melewati sebuah hutan kecil karena jarak antara dusun Lok-cun dan kota Sin-yang juga tidak begitu jauh, hanya perjalanan kurang lebih dua jam saja. Sebab itu para pengawal atau utusan Su-tikoan (jaksa Su) sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan agak geli melihat betapa keluarga pengantin wanita sudah menyediakan seorang pendekar wanita untuk mengawal pengantin.
Sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi pencegatan oleh perampok atau penjahat lain di hutan itu. Tadi pun ketika mereka berangkat ke dusun membawa barang-barang hadiah pengantin yang berharga, sama sekali tak terjadi gangguan. Lagi pula, siapa yang berani mengganggu rombongan pengantin Su-tikoan? Mencari mati saja namanya!
Ketika mereka tiba di dalam hutan, sore telah larut dan senja mendatang, membuat cuaca di dalam hutan itu menjadi remang-remang karena cahaya matahari yang sudah condong ke barat itu terhalang daun pohon-pohon. Ketika mereka sedang enak berjalan, tiba-tiba saja dari samping kiri terdengar teriakan yang amat nyaring, teriakan yang menggetarkan jantung dan menusuk telinga mereka.
"Berhenti dan serahkan nona pengantin!"
Mendengar ini, wajah para utusan dan para pengawal yang jumlahnya belasan orang itu mendadak menjadi pucat dan mata mereka terbelalak. Akan tetapi dengan memberanikan hati mereka mencabut senjata masing-masing, dan mereka memandang kepada Sui Cin yang menurut keluarga mempelai sudah ditunjuk sebagai pengawal serta pelindung nona pengantin.
Sui Cin juga memperlihatkan sikap gugup. "Kalian semua bertahan di sini, biar aku yang menyelamatkan pengantin. Aku tunggu kalian di luar hutan ini!" Berkata demikian, Sui Cin lalu mengambil joli atau gerobak dorong itu lantas mendorongnya sendiri sambil berlari keluar dari hutan.
Tiba-tiba muncullah seorang yang melihat pendeknya tubuh tentu seorang remaja, akan tetapi dia memakai kedok lebar yang menutupi seluruh wajahnya, hanya memperlihatkan sepasang mata yang bersinar mencorong dari balik lubang-lubang kedok kayu itu. Sambil mementangkan kedua lengannya, orang yang bertubuh kecil pendek seperti anak-anak ini berkata,
"Hayo tinggalkan semua senjata dan pakaian kalian di sini kalau ingin selamat!"
Jika tadi semua orang itu merasa takut, kini mereka malah tersenyum mengejek. Kiranya yang menghadang mereka hanyalah seorang anak kecil saja, yang ingin menakut-nakuti mereka dengan kedok setan, seolah-olah mereka semua dianggap sebagai serombongan anak-anak penakut saja.
"Heh, bocah setan, apa kau sudah bosan hidup?" bentak kepala rombongan. "Hayo buka kedokmu dan cepat berlutut minta ampun karena telah mengejutkan hati kami!"
"Heh-heh-heh, rombongan tikus. Lekas lakukan perintahku tadi atau kalian harus berlutut delapan kali dan menyebut aku kong-couw!"
Tentu saja rombongan itu menjadi marah. Seorang di antara mereka melangkah maju dan mengayun tangan menampar ke arah muka anak bertopeng itu dengan keras. Orang ini tinggi besar dan tangannya pun lebar, ketika menampar seperti kipas saja mendatangkan angin.
"Plakkk!"
Sungguh aneh sekali. Anak pendek berkedok itu hanya mengangkat tangan menangkis, tepat mengenai lengan si tinggi besar, akan tetapi seketika si tinggi besar mengaduh dan berjingkrak sambil memegang lengan kanannya yang terasa panas dan sakit seperti tadi bertemu dengan tongkat baja saja. Melihat ini, semua orang menjadi marah dan dengan senjata di tangan mereka serentak menerjang.
"Heh-heh, kalian harus berlutut semua, berlutut semua!" Orang berkedok itu tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, disusul teriakan-teriakan lantas belasan orang itu roboh satu demi satu, roboh berlutut karena tiba-tiba saja mereka merasa kaki mereka seperti lumpuh.
Akan tetapi ketika mereka semua memandang, orang berkedok yang bertubuh pendek itu telah lenyap dari situ, entah ke mana dan agaknya orang itu tidak melakukan sesuatu lagi, buktinya barang-barang mereka masih utuh, juga mereka itu semua tidak terluka dan kini dapat berdiri lagi.
Tentu saja pengalaman aneh ini membuat mereka merasa amat ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan orang yang sehebat itu kepandaiannya, dan tanpa menanti perintah lagi mereka segera berlomba melarikan diri keluar hutan untuk menyusul larinya Sui Cin yang telah pergi lebih dahulu menyelamatkan nona pengantin itu.
Ketika mereka tiba di luar hutan, rombongan itu melihat Sui Cin berdiri menanti bersama joli dorong yang diselamatkannya tadi. Maka giranglah hati mereka karena ternyata gadis pendekar itu dalam keadaan selamat dan terutama sekali pengantin wanita ternyata tidak terganggu.
Sui Cin pura-pura heran melihat mereka berlari-lari dengan sikap ketakutan itu dan cepat menyongsong mereka dengan pertanyaan heran, "Ehh, mengapa kalian berlari-lari seperti orang ketakutan?"
Dengan suara mengandung ketegangan dan napas masih terengah-engah, mereka lantas menceritakan betapa mereka telah diserang oleh seorang penjahat bertubuh kecil seperti kanak-kanak yang memakai kedok. Tentu saja diam-diam Sui Cin merasa geli karena dia dapat menduga siapa adanya anak kecil berkedok yang lihai itu.
"Kalau begitu, mari kita cepat pergi dari sini menyelamatkan pengantin sebelum setan itu melakukan pengejaran," katanya.
Rombongan itu tentu saja setuju dengan ucapan ini dan dengan tergesa-gesa mereka lalu mendorong joli pengantin yang merupakan gerobak kecil beroda itu. Saking tegang hati mereka, para pendorong gerobak itu tak menyadari bahwa joli atau gerobak yang mereka dorong itu jauh lebih berat dari pada tadi.
Ketika rombongan yang menjemput nona pengantin sampai di gedung Su-tikoan, ternyata rumah itu tidak dirias dan penyambutan tidak semeriah upacara yang diadakan di rumah nona pengantin. Dan memang hal itu tidak mengherankan.
Menikahi seorang wanita untuk menjadi isteri ke lima, apa lagi kalau wanita itu hanyalah seorang gadis desa, tidak dianggap sebagai peristiwa yang patut dirayakan secara besar-besaran oleh pejabat tinggi itu. Bahkan dianggapnya sebagai suatu kesenian atau hiburan pribadi saja, maka di sana tidak terdapat pesta penyambutan, tidak banyak tamu kecuali beberapa belas orang anak buah pembesar itu.
Apa lagi ketika para penjemput itu dengan bermacam-macam gaya menceritakan tentang pencegatan orang aneh yang sangat lihai, Su-tikoan sendiri yang merasa khawatir lantas tergesa-gesa memerintahkan agar pengantin perempuan langsung saja bersama jolinya itu dibawa ke dalam gedung dan langsung ke dalam kamar pengantin!
Hanya empat orang yang memanggul joli dorong itu, dengan dikawal oleh Sui Cin. Ketika Su-tikoan mendengar bahwa gadis cantik jelita yang turut bersama rombongan itu adalah seorang pengawal yang melindungi nona pengantin, tentu saja dia mengijinkan pengawal cantik ini ikut masuk pula.
Hati pembesar bertubuh gendut yang mata keranjang itu segera tertarik kepada Sui Cin. Dia sudah pernah melihat Lan Kim dan kini dia melihat betapa wanita gagah itu jauh lebih cantik dari pada gadis desa yang telah diangkatnya menjadi isteri kelima, maka tentu saja matanya sudah melirak-lirik dan mulutnya tersenyum-senyum ceriwis. Apa lagi ketika dia melihat betapa wanita perkasa yang cantik jelita itu bersikap manis dan selalu tersenyum kepadanya.
Pembesar yang usianya telah enam puluh tahun ini memang terkenal mata keranjang dan agaknya dia beranggapan bahwa semua wanita besi dibeli dengan harta dan kedudukan. Baginya, wanita tentu akan tunduk dan mau kalau dipameri harta dan kedudukan tinggi, walau pun dia sudah tua dan wajahnya buruk, dengan muka kasar menghitam dan perut gendut seperti perut babi.
Maka, ketika joli tiba di depan kamar yang sudah dipilihnya sebagai kamar pengantin bagi calon isterinya yang ke lima, dia menyuruh empat orang pemikul joli itu pergi. Joli lantas diturunkan dan kini didorong oleh Sui Cin sendiri memasuki kamar atas isyarat pembesar itu. Lima orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik dengan suara ketawa ditahan yang genit turut pula memasuki kamar dan mereka ini segera mempersiapkan hidangan yang lezat dan mewah di atas meja dalam kamar.
"Nona tentu lelah dan baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Silakan duduk, nona," kata pembesar itu.
Tanpa banyak pura-pura lagi Sui Cin lalu duduk di atas kursi, menghadapi meja makan sampai semua hidangan diatur di atas meja dan pembesar itu menyuruh semua pelayan keluar dari dalam kamar.
"Tinggalkan kami dan jangan ganggu atau masuk kalau tidak dipanggil," kata pembesar gendut itu.
Sambil cekikikan para pelayan itu kemudian berlarian keluar. Tentu saja pembesar yang mata keranjang itu tidak pernah membiarkan wanita begitu saja dan semua pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik itu di samping bertugas sebagai pelayan, kadang kala juga memperoleh giliran menemaninya di dalam kamar. Karena itulah maka mereka bersikap genit dan berani.
Sesudah semua pelayan keluar dan daun pintu kamar itu ditutup dari luar, pembesar itu cengar-cengir mendekati Sui Cin. Kali ini dia memperhatikan wajah wanita gagah ini dan jantungnya berdebar tegang. Inilah wanita cantik, pikirnya. Belum pernah dia memperoleh seorang wanita secantik ini, apa lagi kalau wanita ini mempunyai kegagahan, seorang ahli silat pandai yang selain menjadi miliknya sebagai kekasih juga dapat bertugas menjadi seorang pengawal pribadi yang setia dan menyenangkan!
"Nona, siapakah namamu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi tidak memperlihatkan rasa jijik dan marahnya. Pembesar ini adalah seorang laki-laki tua yang buruk rupa juga buruk watak. Mana ada seorang pengantin pria yang sedang dipertemukan dengan calon isterinya dan belum juga melihat calon isteri yang masih dibiarkan di dalam joli, sudah main mata dan berusaha merayu seorang wanita lain yang baru dijumpainya? Benar-benar seorang buaya darat, seorang hidung belang yang mata keranjang! Akan tetapi dia pura-pura tersenyum manis dan melirik manja.
"Taijin, nona pengantin sedang menanti dalam joli."
"Ehh...? Ohh... ya, aku lupa..."
"Biarlah saya keluar dari kamar dan pulang, taijin."
"Ehh, jargan dulu... jangan dulu, kita makan minum dulu, bersama nona pengantin. Aihh, aku sampai lupa kepada nona pengantin. Nona pengantin, keluarlah dan mari kita makan minum!" katanya sambil tersenyum menyeringai dan membuka joli yang tertutup itu. Akan tetapi ketika nona pengantin itu keluar dari joli, Su-tikoan terbelalak, matanya yang besar itu melotot seperti meloncat keluar dari tempatnya.
"Ini... ini... bukan gadis anak lurah itu...! Ehh, siapa engaku, berani mati mempermainkan aku?" Dia membentak dan melotot ke arah Hui Song yang berdiri di hadapannya dalam pakaian pengantin wanita!
Hui Song yang memang berwatak jenaka dan suka menggoda orang itu kini berlenggak-lenggok genit menirukan lagak seorang perempuan, tentu saja dengan gayanya yang lucu dan kaku, menggigit bibir dan mengerling tajam. "Hayaa... mengapa pengantin pria calon suamiku marah-marah kepadaku pada malam pertama ini? Aihhh..., kakanda, aku adalah mempelai wanita, calon isterimu yang tercinta. Mari peluklah aku, pondonglah aku ke atas pembaringan itu... aihhh..."
Pembesar itu langsung menggigil karena jijik mendengar suara nona pengantin itu besar laksana suara pria dan kini nona pengantin itu melangkah menghampirinya dengan sikap merayu.
"Hiiihh...!" Su-tikoan terbelalak ngeri sambil mundur-mundur ketakutan bercampur marah. "Pergi engkau! Keparat, berani engkau mempermainkan aku? Pengawal...!"
Akan tetapi suara tikoan itu langsung terhenti karena tiba-tiba jari tangan Hui Song sudah menotoknya, tepat pada jalan darah di leher sehingga membuat tikoan itu tak mampu lagi mengeluarkan suara. Kemudian, sekali menggerakkan kakinya, Hui Song menendang dan tubuh yang gendut itu terlempar ke atas pembaringan.
Dengan muka ketakutan dan mata terbelalak pembesar itu memandang ke arah Sui Cin, mengharapkan bantuan pengawal ini. Akan tetapi wajahnya menjadi semakin pucat ketika dia melihat gadis itu tersenyum mengejek. Maka tahulah dia sekarang bahwa orang yang menyamar sebagai mempelai puteri ini tentunya sekutu gadis itu! Dan jantungnya hampir berhenti saking takutnya ketika dia melihat Hui Song menanggalkan pakaian pengantin, menghapus penyamarannya dan menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.
"Tua bangka mata keranjang, dengar baik-baik. Sekali engkau berteriak, maka aku akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Hui Song menepuk leher Su-tikoan hingga dia mampu lagi bicara.
"Ampunkan aku... kalian ini mau apa? Mengapa menyamar pengantin dan... dan di mana pengantinku...?"
"Keparat! Engkau hendak menggunakan harta dan kedudukanmu untuk memaksa gadis orang menjadi isteri ke lima. Nona Coa adalah milik kami dan akan pergi bersama kami. Kami melarikannya dari tangan orang tuanya yang mata duitan, supaya tidak terjatuh ke tangan serigala tua semacam engkau. Nah, cepat keluarkan uang saratus tail emas untuk bekal pengantin dan berjanji selamanya tidak akan melakukan paksaan mempergunakan harta dan kekuasaan!"
Tubuh pembesar itu menggigil. "Baik... baik...," katanya.
Akan tetapi dari pandangan matanya yang berkilat itu tahulah Hui Song bahwa orang ini merasa penasaran dan marah, hanya tunduk karena terpaksa saja. Sui Cin juga dapat menduga hal ini, maka gadis itu pun segera menghardik.
"Engkau adalah seorang pejabat tinggi, seorang pembesar yang seharusnya merupakan pelindung rakyat dan menjadi teladan bagi rakyat. Akan tetapi engkau lupa bahwa engkau pun seorang manusia biasa, seorang di antara rakyat. Setelah memegang jabatan tinggi, engkau lupa diri dan gila kekuasaan, mabok kemuliaan, sehingga engkau sering berbuat sewenang-wenang. Mengawini seorang gadis di luar kehendak gadis itu, mempergunakan harta dan kekuasaan untuk memaksa orang tua gadis itu. Orang seperti engkau ini layak dilenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi kami masih mengampuni asal engkau insyaf dan mulai sekarang menjadi seorang pemimpin rakyat sejati."
Pembesar itu menundukkan mukanya, seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.
"Hayo cepat keluarkan seratus tail emas!" bentak Hui Song.
"Baik... baik...!" Kakek gendut itu cepat menghampiri sebuah lemari yang berada di sudut kamar. Di dekat lemari itu terdapat sebuah jendela yang tertutup. Tiba-tiba saja pembesar itu membuka daun jendela kemudian berteriak, "Pengawal...! Toloonggg...!"
"Keparat!" Hui Song berseru sambil tangannya menyambar kursi lalu dilontarkan ke arah pembesar yang hendak melarikan diri keluar dari jendela itu.
"Brukkk...!" Kursi itu menghantam muka si pembesar yang mengeluh dan roboh dengan muka berlumuran darah karena hidungnya telah remuk kena hantaman kursi itu.
"Cepat, ambil uangnya!" kata Hui Song.
Sui Cin menghampiri lemari itu dan mendobrak daun pintu lemari. Akan tetapi isinya tidak begitu banyak, hanya sepuluh tail emas dan beberapa belas potong perak. Sui Cin cepat mengambil emas dan perak itu, lantas membungkusnya dengan kain sutera yang banyak terdapat di dalam lemari.
Pada saat itu pula terdengar suara ribut-ribut di luar. Hui Song yang sedang berjaga-jaga di pintu tidak melihat adanya pengawal datang dan di luar seperti terdengar suara orang berkelahi.
"Cin-moi, cepat kita keluar!" teriaknya dan mereka pun berloncatan keluar setelah Sui Cin menyimpan uang rampasan itu.
Kiranya di ruangan dalam yang menuju ke kamar itu sudah terjadi perkelahian yang seru. Kakek katai itu sambil tertawa-tawa sedang dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih pengawal dan penjaga yang tadi mendengar teriakan majikan mereka. Walau pun para pengepung itu menggunakan segala macam senjata, namun kakek katai yang bertangan kosong itu menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh.
Enak saja dia mengelak dan menangkis semua senjata yang datang kepadanya bagaikan hujan. Beberapa buah senjata bahkan beradu dengan sepasang lengan yang pendek dan kecil dari kakek itu. Akan tetapi jelas bahwa kakek itu tidak mau melukai orang, apa lagi membunuh, hanya mempermainkan mereka seperti seekor kucing yang mempermainkan segerombolan tikus.
Melihat kakek itu bermain-main, Sui Cin lalu berseru. "Kakek, jangan main-main, mari kita pergi!"
"Heh-heh-heh, kalian telah selesai?" Kata kakek itu dan tiba-tiba saja para pengeroyoknya mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba saja kakek yang mereka keroyok itu lenyap seperti berubah menjadi asap dan menghilang.
Gegerlah gedung pembesar Su itu, apa lagi ketika para penjaga itu memeriksa ke dalam mereka menemukan Su-tikoan pingsan dalam kamarnya dengan hidung remuk sehingga dari hidung yang rusak itu mengalir darah yang melumuri seluruh mukanya. Melihat muka berlumuran darah itu, semua orang terkejut dan merasa ngeri, mengira bahwa pembesar itu tentu sudah terluka parah pada mukanya. Akan tetapi, sesudah muka itu dibersihkan, ternyata hanya hidungnya saja yang remuk.
Walau pun demikian, akan tetapi selamanya Su-tikoan akan menjadi orang cacat karena hidungnya hanya akan dapat sembuh dari lukanya, tapi tidak dapat pulih kembali, menjadi hidung yang melesak sehingga membuat mukanya buruk menakutkan. Dan pengalaman itu ternyata membuat Su-tikoan menjadi ketakutan dan bertobat. Dia hanya mengerahkan pasukannya untuk mencari penjahat-penjahat yang melarikan gadis Coa itu.
Juga lurah Coa berusaha mencari puterinya, namun sia-sia karena puterinya telah pergi jauh sekali, ke propinsi lain bersama laki-laki yang dicintanya, yaitu Lo Seng dan membina rumah tangga yang berbahagia, dengan modal uang emas dan perak yang diberikan oleh Sui Cin kepadanya, uang emas dan perak yang dirampas dari dalam lemari Su-tikoan.
Sesudah melarikan diri dari gedung Su-tikoan, Hui Song, Sui Cin serta kakek itu berlari kembali ke dalam hutan di mana kini telah menunggu Lo Seng dan Lan Kim. Seperti bisa kita duga, ketika kakek itu menggoda para pengawal di hutan dan Sui Cin menyelamatkan pengantin wanita, Lan Kim keluar dari dalam joli dan digantikan oleh Hui Song dan kini Lo Seng bersama Lan Kim menanti di dalam kuil tua. Mereka berdua langsung menjatuhkan diri dan berlutut di depan tiga orang penyelamat mereka itu, dan akhirnya mereka berdua dinasehatkan untuk pergi jauh ke propinsi lain dan diberi bekal uang yang dirampas dari Su-tikoan.
Setelah dua sejoli itu pergi, kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, senang hatiku bahwa urusan ini berakhir dengan baik berkat pertolongan kalian berdua."
"Ahh, engkau terlampau merendahkan diri, kek. Untuk urusan sepele seperti ini saja, biar tanpa bantuan kami pun engkau tentu akan sanggup membereskannya sendiri." Sui Cin mencela.
"Heh-heh-heh, belum tentu! Mana aku mampu bergaya menjadi pengantin wanita seperti Hui Song ini? Ha-ha-ha, setidaknya aku dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian dua orang muda yang hebat, keturunan ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Locianpwe telah mengenal kami berdua, akan tetapi kami belum mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia."
"Benar, engkau harus memperkenalkan namamu kepada kami, kek."
"Namaku? Ha-ha, apa sih artinya nama? Hanya sebutan kosong saja. Nama sama sekali tidak menunjukkan isinya, dan kalau mau bicara tentang isi, sekarang perutku kosong dan lapar bukan main!"
"Jangan khawatir, kek. Aku akan memasakkan makanan untukmu, namun engkau harus memperkenalkan nama," kata Sui Cin sambil mengeluarkan bungkusan-bungkusan kecil dari buntalan pakaiannya. Bungkusan-bungkusan itu terisi bumbu-bumbu masakan.
"Kau bisa masak?"
Mendengar pertanyaan yang nadanya tidak percaya dan memandang rendah ini, Sui Cin bangkit berdiri kemudian bertolak pinggang. "Jangan memandang rendah orang sebelum engkau mengujinya, kek. Kalau tidak pandai masak, perlu apa aku membual? Ibuku telah mengajarkan masakan-masakan yang luar biasa, masakan model selatan yang pasti akan membuat lidahmu menari-nari!"
"Ibumu? Aihh..., bukankah isteri Pendekar Sadis itu datuk yang pernah berjuluk Lam-sin? Ha-ha-ha, jangan-jangan hanya namanya saja yang besar akan tetapi isinya melompong. Jangan-jangan kalau engkau masak, hasilnya hanya masakan gosong dan pahit!" Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, bocah sombong, tentang masak-memasak, kiranya engkau harus belajar dulu dari Wu-yi Lo-jin (Kakek dari Gunung Wu-yi)!"
"Hemm, dan siapa itu Kakek Gunung Wu-yi?"
"Siapa lagi kalau bukan ini orangnya!" Kakek itu menunjuk hidungnya sendiri dengan jari telunjuknya. "Aku bertapa selama puluhan tahun di puncak Gunung Wu-yi, dan sekarang aku menjadi seorang kakek, maka apa lagi namaku kalau bukan Wu-yi Lo-jin? Ha-ha-ha!"
"Huhh, ternyata engkau seorang pertapa, paling-paling bisanya makan rumput dan daun muda, mana bisa memasak? Mari kita bertaruh. Kalau masakanku kalah olehmu, biar aku mengangkatmu sebagai guru memasak. Akan tetapi kalau masakanku lebih enak, engkau harus memberi hadiah kepadaku."
"Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu mengelus jenggot yang panjangnya sampai ke perut itu, nampak gembira sekali. "Bagus, coba kau masak untukku, hendak kulihat apakah benar engkau pandai memasak ataukah hanya membual saja. Jika benar-benar masakanmu lebih enak dari pada masakanku, engkau boleh minta hadiah, sebut apa saja, tentu akan kuberikan padamu!"
"Benarkah itu? Apa saja yang kuminta akan kau berikan? Song-twako ini menjadi saksi hidup!"
"Tentu saja, selamanya aku tidak pernah bohong."
"Ahh, batal saja, aku tidak jadi masak." kata Sui Cin. "Orang seperti engkau ini banyak akalnya, tentu aku akan kalah karena engkau menggunakan akal."
"Akal begaimana?" Kakek yang mengaku bernama Wu-yi Lo-jin itu mendesak.
"Bagaimana pun enaknya, bisa saja engkau bilang tidak enak, tentu saja aku akan kalah!"
"Ahh, tidak mungkin. Perutku lapar begini, bila mana ada masakan enak, mana tega aku mengatakan tidak enak? Kalau aku terus makan, berarti enak, kalau tidak enak tentu tidak akan kumakan, padahal perutku lapar sekali."
"Baik, aku akan mencari bahan masakan!" Berkata demikian, Sui Cin meloncat dan sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap keluar goa.
Kakek itu mengangguk-angguk dan kini, setelah Sui Cin pergi, sikapnya yang tadi jenaka itu berubah serius. "Hui Song, ginkang gadis itu hebat bukan main. Kabarnya ibunya yang mempunyai ginkang istimewa dan ternyata memang benar. Dan dara itu... sungguh hebat. Aku pasti akan jatuh cinta kalau aku sebaya denganmu."
Wajah Hui Song berubah merah sekali. Tadi dia termenung dan diam-diam menganggap betapa bodohnya Sui Cin. Bertaruh melawan kakek ini apa gunanya? Andai kata menang, apa yang dapat diharapkan dari kakek yang hanya memiliki satu-satunya pakaian mewah yang menempel di badannya berikut guci arak besar itu?
Tak lama kemudian Sui Cin sudah datang lagi membawa sebuah rebung (bambu muda), seekor ayam hutan serta seekor kadal yang gemuk! Hui Song sudah pernah menikmati masakan Sui Cin ketika mereka melakukan perjalanan bersama dan dia tahu bahwa gadis itu memang pandai memasak, bahkan agaknya binatang apa saja dapat disulap menjadi masakan yang lezat olehnya. Biar pun dia belum pernah makan daging kadal, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itu tentu dapat memasak daging binatang itu menjadi santapan yang nikmat.
"Kakek, pernahkan engkau makan masak rebung campur hati dan daging naga ditambah kepala dan kaki burung Hong? Dan juga, panggang daging burung Hong muda?" Sui Cin bertanya kepada kakek itu sambil melempar rebung, ayam hutan dan kadal yang sudah mati itu ke atas lantai. Tanpa diperintah lagi Hui Song segera mencari kayu bakar lantas membuat api unggun.
Kakek itu memandang terbelalak sesudah mendengar nama masakan-masakan aneh itu, tidak mampu menjawab hanya menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menelan ludah dan bertanya, "Anak baik, bagaimana mungkin engkau akan memasak daging binatang-binatang suci itu? Mana naganya dan burung Hong-nya?"
Sui Cin tersenyum, lalu mengambil bangkai ayam dan kadal. "Inilah burung Hong dan ini naganya!"
"Kadal itu? Hihh, menjijikkan! Lebih baik masak daging ayam itu saja!"
Sui Cin cemberut dan melemparkan dua bangkai binatang itu ke atas lantai, lalu berkata dengan nada suara ngambek, "Sudahlah, kalau belum apa-apa dicela, lebih baik aku tidak jadi masak!"
"Wah, jangan begitu, aku sudah lapar sekali!" kata si kakek terkejut.
"Biar kau kelaparan, siapa peduli?"
"Aih, anak baik, jangan marah dulu. Masaklah, masaklah apa saja, hendak kulihat apakah engkau benar-benar pandai masak."
"Baik, akan tetapi engkau harus membantuku mencarikan kebutuhan masak yang saat ini kuperlukan."
"Boleh, boleh! Apa saja?"
Sui Cin menghitung-hitung dengan jarinya sambil mengerutkan kedua alisnya. "Pertama tentu saja adalah panci tanggung berisi air jernih, lalu fetsin, dua jari jahe, kulit jeruk serta bawang. Nah, itulah yang kuperlukan. Cepat, kek, aku pun ingin melihat apakah engkau benar-benar memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."
"Tunggu sebentar!" Suaranya masih bergema namun kakek itu sudah lenyap dari situ!
Sui Cin melongo, juga Hui Song yang sudah kembali membawa kayu bakar itu bengong.
"Song-ko, dia seperti bukan manusia, seperti iblis yang pandai merghilang saja!"
"Cin-moi, kenapa engkau mengadakan pertaruhan dengan dia seperti itu? Kalau engkau menang seperti yang kupercaya, lalu apa yang dapat kau minta darinya?"
Sui Cin tertawa. "Song-twako, ke mana larinya kecerdikanmu dan kenapa sejak bertemu dengan kakek itu engkau kehilangan rasa gembira dan kejenakaanmu? Aku dapat minta diajari ginkang-nya itu!"
Hui Song mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.
"Kenapa engkau nampak tidak gembira, twako? Engkau tidak seperti biasanya, kocak dan gembira?"
"Entahlah, Cin-moi, akan tetapi... sejak dia muncul" aku seperti merasa tak enak hati..."
Pemuda ini merasa bingung sendiri di dalam hatinya mengapa dia bisa merasa cemburu terhadap kakek tua renta itu! Melihat betapa Sui Cin bergembira dengan kakek itu, sikap Sui Cin yang demikian akrab, dia merasa cemburu! Padahal dia sendiri maklum bahwa Wu-yi Lo-jin adalah seorang kakek yang sakti dan tidak ada alasan sedikit juga baginya untuk merasa cemburu.
Pemuda ini tidak sadar bahwa yang dideritanya bukanlah sekedar cemburu, melainkan iri hati melihat betapa gadis yang dicintanya itu bersikap baik kepada orang lain, walau pun orang lain itu adalah seorang kakek tua renta! Dan hatinya merasa lebih tidak enak lagi mendengar bahwa Sui Cin akan minta diajari ginkang oleh kakek yang sakti itu. Kalau hal ini terjadi, berarti tidak lama lagi dirinya akan tertinggal jauh oleh Sui Cin dan dia khawatir bahwa kalau sampai terjadi demikian, gadis itu akan memandang rendah kepadanya.
Terdengar suara kakek itu. "Hah-hah, sudah dapat semua yang kau butuhkan!"
Dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri di situ, membawa sebuah panci yang terisi air penuh. Juga dia membawa semua bumbu-bumbu yang dibutuhkan Sui Cin tadi. Sungguh sangat mengherankan sekali betapa kakek ini dapat berlari cepat membawa panci terisi air penuh yang nampaknya sama sekali tidak tumpah karena air itu masih penuh sampai ke bibir panci.
Dengan girang Sui Cin menerima semua bumbu dan panci berisi air itu, lalu mulailah dara itu mempersiapkan masakannya, dibantu oleh Hui Song. Ada pun Wu-yi Lo-jin sendiri lalu duduk bersila menanti di sudut goa, memejamkan mata dan sebentar saja telah terdengar suara mendengkur!
Dari pernapasannya, kedua orang muda yang juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu merasa yakin bahwa kakek itu memang benar sudah tidur, maka kembali mereka kagum. Orang yang dapat tidur pulas secara seketika hanyalah orang yang batinnya sudah amat kuat, yang begitu mengosongkan batin segera tenggelam dalam kepulasan. Kepandaian seperti ini hanya dimiliki orang yang sudah mendalam latihannya dalam ilmu semedhi.
Sui Cin memang seorang dara yang ahli dalam hal memasak. Bukan hanya karena ibunya telah mengajarkan ilmu memasak kepadanya, akan tetapi karena memang dara ini gemar memasak sehingga selama dalam perantauan, dia selalu mempelajari ilmu ini dan terus memperdalamnya. Tiap kali mencicipi masakan yang lezat, umpamanya di dalam sebuah restoran, dia tentu segera menghubungi kokinya dan dia tak segan-segan mengeluarkan uang untuk membeli resep masakan atau mempelajarinya.
Dengan mengumpulkan berbagai cara masakan dari bermacam-macam daerah, akhirnya dia pandai sekali mencampur-campur bumbu sehingga menjadi masakan yang lezat, biar pun yang dimasaknya hanya sayur atau daging seadanya saja. Dia tahu betul bagaimana caranya menghilangkan bau amis pada daging, membuat daging yang alot menjadi lunak, melenyapkan rasa pahit pada beberapa macam sayur, bahkan membebaskan daging atau sayur dari pengaruh racun.
Dengan dibantu Hui Song yang memandang kagum melihat pandainya Sui Cin memasak, maka tak lama kemudian terciumlah bau sedap ketika masakan-masakan itu matang. Dan sungguh luar biasa sekali, kakek yang tadinya tidur nyenyak mendengkur itu tiba-tiba saja mengeluarkan suara!
"Wah, harumnya...! Sedap... sedap...!"
Dia langsung saja membuka matanya lalu bangkit berdiri, seperti orang yang tadinya tidak pernah tidur saja. Sambil mengucek mata kakek itu memandang lantas menghampiri Sui Cin, menelan ludah dan menjilati bibirnya sendiri.
"Nah, sudah matang, kek. Cobalah masakanku ini dan aku menantangmu apakah engkau berani mengatakan bahwa masakanmu lebih enak dari pada masakanku!"
Wu-yi Lo-jin segera duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari dalam jubahnya yang kedodoran itu dia mengeluarkan sebuah mangkok yang masih baru dan mengkilap serta sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang mahal! Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu.
Tidak lama kemudian nampak dia mengunyah makanan dengan mata meram-melek, jelas sekali nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tidak pernah berkedip dan kalamenjingnya turun naik. Dia sendiri sedang merasa lapar, maka melihat orang makan dengan sedemikian lahap dan enaknya, tentu saja seleranya timbul. Sui Cin juga memandang sambil tersenyum girang.
"Bagaimana, kek? Bagaimana pendapatmu? Bukankah masakanku enak sekali?" Sui Cin bertanya tak sabar lagi sesudah kedua macam masakan itu habis lenyap ke dalam perut kakek katai itu.
Sambil mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk-angguk, menunggu sampai dia menelan makanan itu baru menjawab, "Lumayan, akan tetapi aku belum yakin benar jika masakanmu lebih enak dari pada masakanku. Mana... masih ada lagikah?" Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.
"Hi-hi-hik, kakek curang, kau kira aku tidak tahu isi hatimu? Kau kira aku dapat kau bodohi begitu saja? Kalau tidak lezat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan engkau sikat semua sampai habis sehingga engkau lupa akan sopan santun, makan sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali? Cih, dan engkau masih tidak malu untuk menyangkal bahwa masakanku sangat lezat?"
Ditegur begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia pun menoleh kepada Hui Song, lalu terkekeh. "He-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada lagi? Jangan kau bohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang belum kau hidangkan!" Kakek itu mengusap bibirnya dengan sapu tangan sutera, kemudian membuka tutup guci arak dan minum arak dengan suara menggelogok.
Sui Cin tersenyum. "Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"
"Sudah, kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"
"Nanti dulu, kek. Kalau engkau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa saja yang kuminta seperti janji kita, bukan? Ataukah engkau juga tidak malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"
"He-heh-heh, anak nakal! Katakan, mau minta apa? Aku hanya punya guci arak ini, boleh kau minta setelah araknya habis kuminum nanti!"
"Aku tidak butuh guci arakmu, kek!"
"Apa...?!" Kakek itu membelalakkan matanya. "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini? Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan sebagai senjata, ampuhnya bukan main!"
"Biar pun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."
"Hemm, lalu apa yang kau minta? Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini? Ataukah pakaianku? Aihh..., kurasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas sandang panganku!"
"Bukan! Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan ginkang kepadaku sampai aku dapat bergerak secepat engkau, kek!"
Kini sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau percakapan mereka terdengar orang lain.
"Ahh, tidak bisa... tidak bisa...!"
"Nah, ketahuan sekarang belangmu!" Sui Cin berseru. "Sesudah menelan habis semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa dengan janji. Baru begitu saja sudah hendak mengingkari janji, apa lagi kalau janji-janji penting!"
"Wahh... berabe... sstttt. Jangan keras-keras...!" Dia lalu berbisik, "Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh menyebut guru kepadaku."
"Aku tidak peduli sebutan guru itu asal dapat mewarisi ilmu ginkang-mu."
"Baik, baik... aku bukan orang yang suka mengingkari janji, tapi hati-hati, jangan ketahuan orang lain. Sudah, kesinikan panggang daging itu."
"Kami sendiri pun belum makan, kek."
"Biarlah, Cin-moi, berikan saja kepada locianpwe. Aku masih mempunyai sisa roti kering," kata Hui Song, lalu mulai mengeluarkan roti kering dari buntalannya.
Sui Cin pun terpaksa memberikan daging ayam panggang kepada kakek itu yang segera makan lagi dengan lahapnya, matanya meram-melek keenakan tanpa merasa sungkan sedikit pun kepada dua orang muda yang kini makan roti kering untuk mengurangi rasa lapar.
Setelah semua daging panggang itu amblas, disusul belasan teguk arak, kakek itu tampak amat kekenyangan, menutup gucinya dan menggantung kembali guci itu di punggungnya, mengusap bibir dengan sapu tangannya yang indah. Mukanya merah segar dan wajahnya berseri memandang dua orang muda di depannya itu.
"Kalian anak-anak muda yang baik. Tidak rugi aku bertemu dengan kalian. Kalian menjadi sekutu yang baik sekali."
"Wu-yi Lo-jin, kau telah berjanji akan mengajarkan ginkang kepadaku." Sui Cin masih saja memperingatkan, khawatir kalau-kalau kakek yang wataknya ugal-ugalan ini akan kabur setelah makan kenyang. Siapa yang dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kakek aneh ini.
Kakek itu mengangguk-angguk sambil kembali melirik ke kanan dan ke kiri. Hal ini sangat mengherankan hati Sui Cin dan Hui Song.
"Kek, kenapa engkau kelihatan takut kalau aku bicara tentang belajar ilmu darimu. Siapa yang kau takuti?"
"Ssttt... mari kita keluar dari goa dan akan kuceritakan semua kepada kalian," kata kakek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari dalam ruangan goa itu. Sui Cin yang takut kakek itu kabur segera mengejar, diikuti pula oleh Hui Song. Ternyata Wu-yi Lo-jin sudah duduk di atas batu depan goa, sedang menanti mereka.
"Nah, di sini kita bicara agar tidak ada orang yang ikut mendengarkan tanpa kita ketahui. Anak-anak, ketahuilah bahwa kalau tidak ada terjadi sesuatu yang amat hebat, mau apa tua bangka seperti aku ini keluar ke dunia ramai? Tentu kalian tidak pernah mendengar apa lagi melihat aku yang hanya tinggal menanti datangnya kematian di dalam tempat pertapaanku di Wu-yi-san. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, telah terjadi sesuatu yang sangat hebat, yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia. Maka, bagaimana pun juga, terpaksa aku harus keluar dari tempat partapaanku hingga akhirnya di sini aku bertemu dengan kalian."
Hui Song dan Sui Cin terkejut bukan main. Keduanya saling pandang, kemudian kembali memandang kepada kakek katai ini. Miringkah otak kakek ini? Mereka tidak mengerti apa yang baru saja dimaksudkan oleh kakek itu, yang mereka anggap menceritakan hal yang bukan-bukan dan aneh-aneh saja.
"Apakah yang sudah terjadi, kek? Siapa yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia?"
Kakek itu memandang ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang. "Kalau diingat memang memalukan sekali. Terjadinya sudah puluhan tahun yang lalu. Kami, sekelompok delapan jagoan yang dulu menjadi datuk-datuk dunia persilatan, sebelum kemunculan datuk-datuk seperti See-thian-ong sebagai datuk barat, Tung-hai-sian sebagai datuk timur, Pak-san-kui sebagai datuk utara dan Lam-sin sebagai datuk selatan, kami delapan orang yang merajai delapan penjuru dunia. Pada waktu itu usiaku baru sekitar tiga puluh tahun. Akan tetapi, tiba-tiba muncullah pasangan Raja dan Ratu Iblis itu!"
Kembali kakek katai itu kelihatan gelisah dan memandang ke kanan kiri. Kalau seorang sakti seperti Wu-yi Lo-jin saja kelihatan ketakutan, tentu saja hal ini mendatangkan rasa seram di hati dua orang muda itu sehingga mereka ikut pula menoleh ke kanan kiri.
"Siapakah mereka itu, kek?" Sui Cin bertanya lirih.
"Raja Iblis itu seorang pangeran asli yang melarikan diri dari istana. Dia bersama isterinya lalu terjun ke dunia kang-ouw dan segera kami delapan orang jagoan yang menjadi datuk mereka kalahkan secara mutlak, termasuk juga aku. Kepandaian mereka memang hebat bukan main, mirip iblis-iblis saja mereka itu. Kami delapan orang datuk lalu bersumpah di depan suami isteri iblis itu untuk tidak muncul lagi di dunia kang-ouw, bahkan kami semua telah menyerahkan tanda takluk kami kepada mereka. Dengan tanda itu, selama hidup kami tidak akan berani melawan mereka lagi, dan kalau kami melanggar, maka kami akan dihukum mati menurut sumpah kami. Juga murid-murid kami secara otomatis terikat oleh sumpah itu. Kami semua terpaksa setuju karena itulah jalan satu-satunya untuk menebus nyawa kami yang sudah berada di tangan mereka."
Bukan main dahsyatnya cerita ini, membuat Sui Cin dan Hui Song melongo. Peristiwa itu tentu terjadi puluhan tahun yang lalu, mungkin ketika orang tua mereka masih kecil, akan tetapi kenapa mereka tidak pernah mendengar cerita itu dari orang tua mereka? Agaknya semua itu terjadi diam-diam dan tidak sampai menghebohkan dunia kang-ouw maka tidak terdengar oleh keluarga mereka. Memang dalam dunia persilatan terdapat banyak sekali orang-orang sakti yang lebih suka menyembunyikan diri.
"Jadi selama puluhan tahun ini locianpwe selalu bersembunyi dan bertapa?" tanya Hui Song, tertegun.
"Benar, aku tak pernah melihat dunia ramai lagi, bahkan jarang bertemu dengan manusia. Hanya bertemu manusia kalau ada pemburu tersesat sampai ke puncak Wu-yi-san."
"Akan tetapi sekarang engkau keluar dari pertapaan, kek."
"Itulah! Aku tidak dapat menahan diri lagi ketika aku mengetahui bahwa raja dan ratu iblis itu juga keluar! Semenjak mereka memaksa kami bersumpah, mereka pun turut bertapa dan kabarnya bahkan memperdalam ilmu kepandaian mereka yang sudah amat hebat itu. Kami mengira bahwa seperti kami, mereka itu akan mengundurkan diri sampai mati. Akan tetapi ternyata kini mereka keluar! Dan hal ini berbahaya sekali. Mereka menaruh dendam kepada istana, juga mereka merasa benci kepada semua pendekar. Jadi tentu dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka itu keluar. Mendengar mereka keluar, aku pun lalu meninggalkan pertapaanku. Biarlah, jika perlu aku berkorban nyawa, akan tetapi dalam usiaku yang lanjut ini, dalam hari-hari terakhirku, aku harus berusaha membendung kejahatan yang akan mereka lakukan."
"Sudah berapa lama locianpwe meninggalkan pertapaan?"
"Sudah tiga bulan. Selama ini aku menyelidiki jejak mereka, lalu mendengar berita yang amat mengejutkan. Kiranya mereka itu benar-benar telah mulai menghimpun datuk-datuk golongan sesat, bukan hanya untuk membasmi para pendekar akan tetapi bahkan untuk menyerbu istana!"
"Wahhh... gawat...!" Sui Cin berseru. "Di mana mereka itu, kek?"
"Gerakan mereka seperti iblis, mana dapat diketahui di mana mereka berada? Akan tetapi aku telah mendengar bahwa para datuk itu, juga termasuk Cap-sha-kui, pada akhir bulan depan akan menghadap mereka di sumber mata air Sungai Huai, di lereng Pegunungan Ta-pie-san, tak jauh dari sini. Karena itulah aku berada di sini dan kebetulan aku bertemu kalian ketika menyelamatkan nona pengantin. Sungguh girang hatiku sebab kalian adalah orang-orang muda perkasa keturunan pendekar-pendekar sakti yang patut menjadi sekutu kami menghadapi iblis-iblis itu. Karena itulah aku tidak dapat menerimamu sebagai murid walau pun aku akan mengajarkan ginkang kepadamu, Sui Cin. Apa bila aku menerimamu sebagai murid, berarti engkau akan terikat pula oleh sumpah kami kepada kedua iblis itu."
"Kalau memang sepasang iblis itu benar-benar mengancam keselamatan dunia, kami siap membantumu, locianpwe," kata Hui Song dengan sikap gagah.
"Benar, aku pun siap membantumu, kek. Sudah sepatutnya bila iblis-iblis itu dihadapi dan dibasmi. Mereka tentu jahat, apa lagi kalau sampai dapat memperalat Cap-sha-kui yang jahat."
Wu-yi Lo-jin tersenyum geli. "Meski pun aku bangga dan kagum terhadap sikap kalian dua orang muda, akan tetapi aku juga merasa geli. Kalian seperti anak-anak ayam mencoba untuk menantang serigala! Namun semangat kalian itulah yang kita perlukan. Bagaimana pun juga, kita memang harus bersatu menentang kejahatan. Kalau kalian memang sudah siap membantu, marilah kita pergi untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi kalian harus berhati-hati dan jangan bertindak sendiri-sendiri, harus selalu menurut petunjukku."
Maka berangkatlah tiga orang itu menuju ke lereng Ta-pie-san, mencari sumber air Sungai Huai di mana kabarnya akan dijadikan tempat pertemuan bagi datuk-datuk sesat untuk menghadap Raja dan Ratu Iblis.
********************