Asmara Berdarah Jilid 14

Serial Pedang Kayu Harum Episode Asmara Berdarah Jilid 14
DUSUN di kaki Pegunungan Ta-pie-san itu dinamakan dusun Kim-ciu-cung, sebuah dusun yang cukup besar karena dusun itu menjadi pusat pasar rempah-rempah yang ditanam oleh para penghuni dusun sekitarnya dan di dusun itulah semua hasil rempah-rempah itu dikumpulkan. Banyak orang-orang kota yang datang ke situ dan membeli rempah-rempah itu, kemudian dimuatkan gerobak untuk dibawa ke kota.

Sebuah kedai makan baru saja dibuka orang. Tak begitu menarik perhatian karena hanya warung kecil saja yang menyediakan empat buah meja dengan beberapa buah bangku saja. Akan tetapi sesudah melihat dua orang penjaganya, orang akan tertarik juga untuk sarapan atau makan siang di kedai ini.

Pelayannya hanya seorang saja, yaitu seorang pemuda yang berwajah tampan, biar pun agak kaku dalam pakaian pelayan itu. Kasirnya, yang juga kadang-kadang turun tangan sendiri membantu si pelayan muda kalau kedai itu dipenuhi tamu, lebih menarik lagi. Dia seorang gadis yang amat manis, meski pun dandanannya sederhana seperti orang dusun. Tukang masaknya seorang kakek gundul botak berjenggot panjang hingga ke perut. Tidak sukar menduga siapa adanya mereka. Pelayan muda itu adalah Hui Song, kasir wanita itu Sui Cin dan kakek Wu-yi Lo-jin menjadi tukang masaknya.

"Jangan kau yang menjadi tukang masak," kata kakek itu kepada Sui Cin. "Masakanmu terlalu aneh dan terlalu enak, bisa membuat orang terheran-heran dan ketagihan, kita jadi repot. Pula, kalau aku yang membantu di depan, orang-orang tentu akan merasa takut selain juga menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Biar masakanmu hanya aku saja yang menikmatinya."

Kakek itu mengajak Hui Song dan Sui Cin menyewa sebuah rumah pondok kecil untuk dijadikan warung nasi. Semuanya ini dilakukan dalam usahanya melakukan penyelidikan, hanya untuk sementara waktu saja menjelang datangnya hari di mana para datuk sesat akan menghadap Sepasang Iblis atau Raja Iblis dengan Ratunya.

Tentu saja kesal rasa hati mereka bertiga ketika pada hari-hari pertama, yang memenuhi warung mereka hanyalah pedagang-pedagang rempah-rempah. Terpaksa mereka harus melayani mereka yang datang makan, dan yang lebih memuakkan hati Sui Cin lagi adalah omongan-omongan mereka yang jorok setelah mereka melihat bahwa warung itu dilayani seorang gadis yang amat manis.

Mereka membuka warung bukannya hendak mencari keuntungan, maka semakin banyak orang-orang biasa berdatangan, makin gemas hati mereka karena semakin lelah mereka melayani. Bahkan saking jengkelnya kepada orang-orang biasa yang berdatangan makan, kakek nakal itu sengaja mencampurkan keringat pada masakannya, bahkan kadang kala dia memasak sembarangan saja. Akan tetapi anehnya, para pendatang itu tidak ada yang mengeluh, bahkan memuji-muji bahwa masakan warung itu enak dan pujian ini tentu saja diucapkan sambil melirik dan tersenyum penuh arti kepada Sui Cin!

"Wah, kek, kalau begini terus aku tidak kuat!" Pada suatu malam, sepekan kemudian Sui Cin mengeluh kepada kakek itu. "Apa bila aku tahu hanya akan dijadikan bahan sikap dan ucapan jorok melayani orang-orang kasar itu, aku tak sudi. Pula, katanya engkau hendak melatih ginkang kepadaku. Kalau setiap hari harus bekerja seperti ini, kapan kita latihan? Apakah engkau begitu mata duitan sehingga ingin mencari untung sebesarnya dari usaha buka warung ini dan menggunakan aku dan Song-twako sebagai tenaga suka rela tanpa bayaran?"

"Sabarlah, Sui Cin. Kita hanya bersandiwara saja dan selama beberapa hari ini permainan kita baik sekali sehingga kita sudah dianggap sebagai tukang-tukang warung yang wajar. Dengan cara begini, pada suatu hari pasti kita akan dapat mendengar mengenai mereka, tunggulah saja."

Benarlah apa yang diucapkan Wu-yi Lo-jin itu. Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, ketika warung masih sepi dan tiga orang itu baru membuat persiapan, masuklah seorang tamu yang aneh. Dia seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu telah enam puluh tahun lebih. Dan segala-galanya yang pada kakek ini nampak besar dan bulat.

Kepalanya besar bulat, botak licin di bagian atasnya, hanya tinggal sedikit rambut tersisa di bagian belakang kepala yang dikumpulkan menjadi gelung kecil di belakang. Anehnya, rambut pada kedua pelipisnya tumbuh panjang kecil seperti ekor tikus berjuntai ke bawah sampai ke dada. Dua telinganya mirip seperti telinga gajah. Mukanya yang seperti bentuk muka arca Ji-lai-hud itu selalu tersenyum ramah.

Bajunya yang berwarna biru dan kedodoran itu tak mampu menutupi dada dan perutnya. Dadanya penuh dengan buah dada seperti wanita, perutnya bulat besar sekali sehingga pusarnya mekar dan menjadi besar pula. Celananya lebar dan sepatunya dari kain putih kekuningan.

Ketika memasuki warung, kakek gendut ini tersenyum lebar dan membawa sebuah benda aneh. Benda itu adalah kipas yang bergagang besi baja. Agaknya benda ini mempunyai tugas ganda. Dapat dipergunakan untuk mengipas bila kegerahan, dan gagangnya dapat dipakai sebagai tongkat atau mungkin saja benda itu dapat digunakan sebagai semacam senjata toya.

Begitu memasuki warung, hidung kakek itu kembang kempis mencium-cium seperti lagak seekor anjing mencari jejak. "He-he-heh, sedap! Perutku lapar, bisakah aku mendapatkan sarapan di warung ini?" tanyanya kepada tiga orang yang memandang kepadanya.

Baru melihat begitu saja, Sui Cin dan Hui Song sudah dapat menduga bahwa tentu tamu ini bukan orang sembarangan, dan agaknya orang ini adalah seorang di antara para datuk yang hendak menghadap Raja dan Ratu Iblis. Maka mereka saling pandang dan bersikap hati-hati.

"Bisa, bisa...!" kata Hui Song sambil cepat menghampiri kakek itu dengan sikap seorang pelayan. "Kami ada bubur ayam, bakmi, daging, sayur..."

"Bubur ayam? Bagus, sediakan semangkok besar!" Dan melihat beberapa buah perabot dapur di atas meja karena baru saja dicuci, di antaranya ada sepasang sumpit besar yang biasa dipergunakan untuk masak, kakek gendut itu mengambil sepasang sumpit besar itu. "Heh-heh-heh, menggunakan sumpit ini untuk makan tentu lebih enak!"

Wu-yi Lo-jin sudah mempersiapkan bubur ayam satu mangkok besar dan Hui Song cepat membawa bubur ayam yang masih mengepul panas-panas itu kepada tamunya. Kakek gendut itu duduk di atas bangku, akan tetapi bangku itu terlalu kecil untuk tubuhnya yang gendut besar, maka dia lalu pindah duduk di atas meja kecil pendek, mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan duduk seperti orang duduk di atas lantai. Mangkok berisi bubur panas itu diterimanya, sepasang sumpit besar digerakkan, dan segera terdengarlah suara berseruputan seperti seekor babi kalau sedang makan.

"Hei, pelayan, tambah lagi buburnya. Tolong cepat sedikit! Dan bawa saja sekaligus dua mangkok agar makan ku tidak tertunda!" Kakek gendut itu berseru dan Hui Song terkejut.

Satu mangkok besar bubur tadi saja sudah cukup untuk dua orang, akan tetapi agaknya kakek gendut ini hanya menuangkannya sekaligus ke dalam perutnya. Dengan bergegas Hui Song menerima dua mangkok lagi dari Wu-yi Lo-jin, lalu mengantarnya kepada tamu aneh itu.

Akan tetapi, sebentar saja dua mangkok ini pun disikat habis dalam waktu singkat dan si kakek gendut telah berteriak-teriak minta tambah lagi. Maka sibuklah Hui Song berlari hilir mudik, sibuk pula Wu-yi Lo-jin yang harus melayani permintaan tamu aneh itu. Walau pun tamu mereka hanya seorang saja, akan tetapi karena cara makan tamu itu sangat cepat dan terus minta tambah, mereka menjadi sibuk seolah-olah melayani banyak tamu.

Setelah menghabiskan belasan mangkok bubur dan kakek gendut itu masih minta tambah lagi, maka mulailah Wu-yi Lo-jin mengerutkan alisnya. Juga Hui Song dan Sui Cin melirik dengan alis berkerut dan hati tidak senang. Akan tetapi, yang dilirik oleh ketiga orang itu enak-enak saja duduk sambil tersenyum ramah, mengulurkan tangan kiri memperlihatkan mangkok kosong sambil minta tambah lagi.

"Masih ada buburnya? Bung pelayan, tambah lagi buburnya lima mangkok, sekalian juga mi goreng dua kati, masak daging sekati campur sayuran yang masih segar. Dan araknya seguci!"

Mendengar pesanan ini, tentu saja tiga orang itu menjadi terkejut dan semakin heran. Si gendut itu makannya melebihi seekor kerbau!

"Hati-hati, tanyakan apa dia membawa uang," bisik Wu-yi Lo-jin kepada Hui Song ketika pemuda ini masuk ke dapur. "Kalau dia tidak bayar, bisa bangkrut kita!"

Akan tetapi, Hui Song yang merasa semakin yakin bahwa kakek gendut ini tentu bukan orang sembarangan, merasa sungkan untuk menanyakan hal itu. Tidak demikian dengan Sui Cin. Gadis ini setuju dengan pendapat Wu-yi Lo-jin, maka dari tempat duduknya dia lantas berseru,

"Kakek yang baik, pesanan mu makanan begitu banyak, harap suka bayar lebih dulu!"

Ucapan Sui Cin itu wajar dan tidak mengandung penghinaan melainkan jujur dan terbuka, maka kakek gendut itu pun tidak merasa tersinggung, melainkan tertawa, "Hah-hah-hah! Nona, apakah aku terlihat seperti orang yang biasa menyikat makanan tanpa membayar?"

"Aku tidak menuduh demikian, akan tetapi, karena pesananmu amat banyak sedangkan warung kami kecil saja..."

"Ya... ya, warung kecil di kaki gunung, pemiliknya seorang gadis cantik jelita, penjaganya seorang pemuda ganteng perkasa, tukang masaknya kakek aneh luar biasa! Ha-ha, inilah uangku, apa masih kurang?" Berkata demikian, kakek gendut itu mengeluarkan sepotong emas yang beratnya tentu tidak kurang dari satu tail. Tentu saja sepotong emas ini sudah lebih dari cukup untuk membayar makanan, berapa pun banyaknya.

Karena kehabisan air jernih, Hui Song lantas membawa tong air untuk mengambil air dari sumber di belakang warung. Ketika dia memikul air memasuki warung itu dan lewat dekat si gendut, tiba-tiba kakek gendut itu menggerak-gerakkan dan mengembang kempiskan hidungnya seperti tadi, seperti seekor anjing mencium sesuatu.

Dia menghentikan makannya, matanya mengikuti Hui Song yang kini menuangkan air ke dalam tong air besar yang berdiri di sudut dapur. Tiba-tiba kakek gendut itu menggerakkan tangannya dan nampak dua sinar putih ber-kelebat memasuki dapur.

"Prokk! Prakk!"

Dua batang sumpit besar yang tadi dipakai makan si gendut itu sekarang tahu-tahu sudah menancap dan membikin retak tong-tong air itu. Airnya tentu saja tumpah dan mengucur keluar melalui lubang-lubang retakan tong yang disambar sumpit. Melihat ini, tiga orang itu terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.

"Apa artinya ini? Mengapa engkau melakukan ini?" Sui Cin menegur dengan marah.

Kakek gendut itu kini telah menghampiri mereka di dalam dapur dan berdiri tegak, sambil memegang tongkat kipasnya dan memandang pada air yang menggenang di lantai dapur. Kemudian dia memandang kepada Wu-yi Lo-jin, dan tiba-tiba saja menudingkan kipasnya ke arah guci arak milik kakek katai itu sambil berkata,

"Bukankah guci itu guci emas dari Wu-yi-san? Coba kau kakek katai, pergunakan gucimu untuk menguji apakah air ini beracun seperti yang kusangka atau tidak!"

Wu-yi Lo-jin kaget buka main mendengar bahwa air itu beracun sehingga dia tidak terlalu memperhatikan betapa si gendut itu mengenal gucinya. Dia membuka tutup gucinya, akan tetapi nampak ragu-ragu.

"Wah, arakku masih setengah guci..."

Kakek gendut itu menyodorkan sebuah panci kosong dan tanpa banyak cakap lagi Wu-yi Lo-jin segera menuangkan arak dari gucinya ke dalam panci itu. Tercium bau harum dan sesudah guci itu kosong, Wu-yi Lo-jin segera menampung air yang tumpah itu ke dalam gucinya. Benar saja, air itu berubah menghitam, tanda bahwa air itu memang benar ada racunnya!

"Ihhh, air ini beracun!" katanya sambil membuang air itu dari gucinya. Dia mambalik untuk mengembalikan araknya, akan tetapi panci itu telah kosong, dan araknya telah habis.

"Lho, siapa yang minum arakku, hah?" Dia tak perlu terlalu sibuk menyelidiki sebab kakek gendut itu masih kelihatan mengusap bibirnya yang berlepotan arak dengan ujung lengan bajunya.

"Heh-heh, arak baik... arak baik...!"

"Kurang ajar si gendut laknat, kau mengbabiskan arakku, ya?" Wu-yi Lo-jin marah sekali dan mengambil sikap menyerang. Si gendut juga sudah melangkah mundur setindak dan bersikap hendak melawan.

Melihat kedua orang kakek itu hendak bersitegang hanya karena hilangnya arak, Sui Cin berkata, "Air beracun itu tentu ada yang membuat!"

"Benar!" kata Hui Song. "Tentu ada yang menaruh racun. Wah, tadi banyak orang yang mengambil air! Mari kita peringatkan mereka, jangan sampai ada yang menjadi korban!"

Dua orang muda itu segera berlari keluar dan dua orang kakek itu pun agaknya sadar lalu mengikuti dari belakang. Akan tetapi, ketika mereka sampai di luar warung, mereka lantas mendengar teriakan-teriakan, jeritan-jeritan dan tangis memenuhi dusun itu.

Dan tampaklah penglihatan yang mengerikan. Di sana-sini menggeletak orang-orang yang berkelojotan sambil memegangi perutnya, bahkan ada pula di antara mereka yang sudah tewas tak mampu bergerak lagi.

Hui Song cepat-cepat meloncat ke depan dan suaranya lantang ketika dia berteriak keras, "Saudara-saudara sekalian, dengarlah baik-baik! Air sumber itu mengandung racun! Maka sebaiknya jangan minum dahulu sebelum diperiksa teliti apakah air itu beracun atau tidak. Ingat, jangan ada yang minum dulu, air apa pun jangan diminum dulu!"

Suaranya yang amat lantang ini menolong banyak orang. Mereka yang telah mengangkat cangkir hendak minum, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya. Akan tetapi ketika diperiksa, jumlah yang telah menjadi korban dan roboh keracunan tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya!

Gegerlah dusun itu. Tanpa dapat dicegah lagi, para penghuni dusun itu segera mengungsi meninggalkan dusun yang dilanda mala petaka hebat itu. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tinggal dan bersama belasan orang ini, Hui Song, Sui Cin, dan dua orang kakek itu segera mengurus jenazah puluhan orang itu. Ternyata racun yang dicampurkan ke air itu amat jahat sehingga biar pun kedua orang kakek itu mencoba untuk mengobati mereka yang tadinya belum tewas, namun percuma saja.

"Huh, tanda-tanda ini seperti bekas tangan Setan Selaksa Racun," kata kakek gendut itu setelah memeriksa seorang korban.

"Siapakah Ban-tok-kwi (Setan Selaksa Racun) itu?" tanya Sui Cin.

"Seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)," jawab si kakek gendut.

"Kalau begitu mereka sudah muncul?" Wu-yi Lo-jin berseru. "Celaka, kita mengintai malah kebobolan."

"Heh-heh-heh, tua bangka katai dari Wu-yi-san memang selalu bertindak ceroboh!" kata si kakek gendut.

Kini Wu-yi Lo-jin memandang pada kakek gendut dengan alisnya yang panjang berkerut, wajahnya membayangkan kemarahan. "Heh, gendut! Engkau licik! Agaknya engkau telah mengenalku, telah mengenal guci wasiatku, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Siapa sih sebetulnya tua bangka gembul gendut ini dan bagaimana pula kau bisa mengenalku, dan juga apa kehendakmu datang ke tempat ini?"

"Ha-ha-ha-ha, setan pendek, apa benar engkau tak dapat mengenalku lagi hanya karena tubuhku sekarang sudah gendut? Hei, Ciu-sian (Dewa Arak), apakah engkau sudah lupa kepada kipasku?"

Wu-yi Lo-jin terbelalak, lantas menggunakan tangannya ke depan mukanya dan matanya kini mengincar ke arah wajah si gendut. Dari balik tangannya, dia tidak lagi dapat melihat tubuh si gendut dari leher ke bawah, hanya nampak kepalanya saja dan dia pun terkekeh.

"Heh-heh-heh-heh, kiranya San-sian (Dewa Kipas) benar-benar! Siapa bisa mengenalmu kalau kini tubuhmu rusak seperti itu? Dahulu engkau paling gagah dan tampan di antara Pat-sian (Delapan Dewa), akan tetapi sekarang engkau menjadi seperti kerbau bengkak sedang hamil! Ha-ha--ha-ha!"

Si Dewa kipas juga tertawa bergelak. "Dan engkau semakin pendek saja, apakah selama ini engkau tidak tumbuh tinggi melainkan bahkan mengeriput dan mengecil?"

"Mari kita bicara di dalam warung," kata kakek katai. "Dan biarkan semua orang pergi saja dari tempat ini. Tempat ini menjadi terlalu berbahaya bagi orang-orang biasa."

Mereka lalu menasehatkan kepada belasan orang yang masih tinggal di sana untuk pergi mengungsi pula, sebab mungkin sekali akan muncul banyak datuk-datuk sesat yang amat jahat dan kejam. Agaknya tempat itu memang telah diincar oleh para datuk untuk menjadi tempat mereka berkumpul, maka mereka sengaja melepas racun untuk mengusir semua penghuni dusun.

Empat orang itu lalu memasuki warung dan atas perintah Wu-yi Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin menutup semua pintu dan jendela.

"Sui Cin, engkau mengintai dari bagian belakang dan engkau Hui Song, engkau mengintai dari depan. Kalau nampak orang, cepat-cepat beri tahu kami."

Dua orang muda itu segera menuju ke pos masing-masing. Sui Cin berdiri mengintai dari balik jendela belakang, sedangkan Hui Song berdiri mengintai dari balik pintu depan yang direnggangkan sedikit. Dusun itu kini sunyi sama sekali. Tak ada seekor anjing atau ayam pun yang terlihat berkeliaran karena binatang-binatang itu sudah mati semua, yang masih hidup dibawa mengungsi oleh para penduduk.

Sementara itu, hari telah menjadi siang dan dusun yang kosong itu ditimpa sinar matahari yang cukup hangat. Akan tetapi, pemandangan yang nampak oleh Sui Cin dan Hui Song di luar warung itu amat menyeramkan. Sunyi sekali, tak ada sesuatu yang hidup. Karena itu, bergeraknya daun-daun yang tertiup angin saja sudah amat menarik perhatian. Dusun yang ramai itu kini berubah menjadi sunyi seperti tanah kuburan.

Dua orang kakek itu mulai bercakap-cakap dan biar pun biasanya mereka bersikap kocak bahkan ugal-ugalan, kini mereka terlibat dalam percakapan yang serius dan anehnya, dua orang kakek yang sudah jelas mempunyai kesaktian itu kini kelihatan seperti orang-orang yang ketakutan!

"San-sian, apa bila aku tidak keliru sangka, engkau yang selama ini juga bersembunyi dan bertapa, kini keluar tentu dengan alasan yang sama dengan aku, bukan?"

Si gendut mengangguk lantas mengangkat kedua jari kirinya, jari telunjuk dan jari tengah ke atas.

"Benar, mereka telah turun ke dunia, atau katakanlah keluar dari neraka dan tentu dunia akan menjadi rusak binasa. Apakah engkau juga mendengar apa yang kudengar di luaran bahwa para datuk sesat akan berkumpul menghadap mereka?"

Kembali si gendut mengangguk. "Sebab itulah aku tiba di dusun ini," katanya. "Ketika aku memasuki warung, aku sudah curiga, akan tetapi begitu melihatmu, aku tahu bahwa aku malah memperoleh teman. Aku makan sambil mempermainkan kalian, akan tetapi ketika pemuda itu membawa air, aku mencium hal yang tidak wajar."

"Wah, hidung anjingmu kiranya semakin tajam saja," kata si kakek katai.

"Apakah selama ini engkau tetap tinggal di Wu-yi-san dan tidak pernah keluar dari tempat pertapaanmu?" kakek gendut bertanya.

Kakek katai mengangguk. "Mau apa aku keluar? Hanya akan menderita penghinaan saja. Ketika secara kebetulan aku sedang keluar dan mendengar desas-desus bahwa mereka juga keluar dari tempat persembunyian mereka, hatiku lantas terasa panas sehingga aku pun nekat keluar. Dan engkau sendiri? Kabarnya tinggal di Lembah Sungai Harum?"

"Benar, aku tinggal di lembah Siang-kiang, tempat yang tersembunyi. Akan tetapi aku tak betah untuk terus menyendiri di tempat sunyi. Aku mulai sering keluar dan merantau, dan untung perutku sudah menjadi gendut sehingga tak mudah dikenali, apa lagi kipasku juga sudah berubah bentuk. Aku pun memakai nama Siang-kiang Lo-jin..."

"He-he-he, kenapa bisa sama? Aku tinggal di Wu-yi-san dan menggunakan nama Wu-yi Lo-jin, ternyata engkau pun mempergunakan nama Lo-jin pula. Apakah enam tua bangka yang lain juga menggunakan nama itu? Bagaimana dengan mereka?"

Si gendut yang memakai nama Siang-kiang Lo-jin (Kakek Sungai Harum) itu menggeleng kepalanya. "Aku tak pernah lagi mendengar tentang mereka. Akan tetapi aku mendengar betapa Si Iblis Buta memimpin beberapa orang Cap-sha-kui membantu pembesar korup yang kabarnya kini telah terbasmi. Akan tetapi dengan munculnya mereka berdua itu, apa bila para datuk sesat sampai dikuasai mereka berdua, tentu keamanan rakyat akan rusak binasa."

"Karena itu kita harus menyelidiki apa yang akan mereka lakukan. Dan ternyata mereka telah meninggalkan jejak, biar pun mereka telah membunuh puluhan orang di dusun ini."

"Kakek, apa sih maksud mereka membunuh orang-orang dusun dengan penyebaran racun di dalam air minum?" Sui Cin ikut bertanya sambil tetap melanjutkan penjagaannya sebab hatinya ingin sekali tahu. "Dan siapakah kiranya yang melakukan perbuatan keji itu?"

"Siapa lagi kalau bukan mereka? Ahh, perbuatan mereka sekali ini belum seberapa hebat. Mereka itu sanggup melakukan apa saja, bahkan yang jauh lebih kejam dari pada ini. Dan mereka membunuhi orang-orang dusun itu tentu ada maksudnya," kata kakek katai.

"Tetapi yang jelas tentu saja untuk membunuh kalian bertiga yang agaknya sudah mereka curigai," sambung kakek gendut Siang-kiang Lo-jin.

"Belum tentu!" kata kakek katai dengan muka berubah gelisah. "Jika mereka benar-benar menghendaki kami, kenapa yang mereka racuni adalah sumber air? Tidak, tentu mereka itu hendak membikin panik dan takut kepada penduduk sehingga semua penghuni dusun melarikan diri. Keadaan seperti sekarang inilah yang mereka kehendaki, untuk membuat keadaan di sekeliling sini menjadi sunyi agar mereka dapat melakukan pertemuan dengan aman dan tidak diketahui orang lain."

"Hayaaa, tua bangka Ciu-sian ternyata masih cerdik sekali. Agaknya hawa arak semakin mempertajam otakmu. Betul sekali dugaanmu itu. Akan tetapi tahukah engkau bagaimana kita akan mencari jejak mereka?"

"Aku tahu. Melalui air."

"Bagus! Aku pun berpikir demikian. Mari kita selidiki."

"Ssttt...!" Tiba-tiba saja Sui Cin memberi isyarat tanpa menoleh, matanya ditujukan keluar pondok warung. "Aku melihat berkelebatnya bayangan orang, mungkin lima atau enam orang, cepat sekali, di ujung dusun sebelah timur."

"Aku juga melihat bayangan tiga orang di ujung barat, menuju ke utara," bisik Hui Song.

"Benar," kata Sui Cin pula. "Bayangan-bayangan itu menuju ke utara."

Dua orang kakek itu bergerak cepat, mendekati tempat pengintaian dua orang muda itu, akan tetapi bayangan-bayangan yang bergerak cepat itu telah lenyap. Mereka menunggu sampai cukup lama, dan kini dua orang kakek itu ikut mengintai, akan tetapi dusun yang sudah kosong itu sunyi sekali, tidak nampak lagi adanya bayangan lewat di situ. Dan kini senja telah mendatang.

"Kita harus memberanikan diri mencari jejak mereka sekarang juga sebelum gelap. Siang tadi mereka sudah beraksi dan membunuh banyak orang, maka kurasa malam ini adalah waktu yang telah ditentukan bagi mereka berkumpul." Wu-yi Lo-jin yang bersikap sebagai pemimpin rombongan empat orang itu berkata dengan nada mengambil keputusan.

Agaknya Siang-kiang Lo-jin juga tak berkeberatan dan membiarkan rekannya mengambil sikap memimpin. Dia mengangguk dan mereka berempat lalu berloncatan keluar dengan hati-hati sekali. Sesudah mereka berempat mengadakan pemeriksaan dan merasa yakin bahwa di dusun itu memang tidak ada orang lain kecuali mereka berempat, mulailah dua orang kakek sakti itu mengadakan pemeriksaan. Semua saluran air mereka periksa dan ternyata di antara banyak saluran air, hanya ada satu saluran air yang tidak mengandung racun, yaitu yang mengalir ke utara!

"Hemm, kalau begitu tepatlah seperti yang tadi dilihat dua orang pembantu muda kita ini, mereka menuju ke utara dan air yang menuju ke sana saja yang bersih dari racun."

Dengan penuh semangat akan tetapi amat berhati-hati, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin mereka lalu bergerak menuju ke utara, menurutkan jalannya saluran air jernih itu. Saluran air itu berlika-liku sehingga akhirnya terjun ke dalam Sungai Huai yang baru saja meninggalkan sumbernya, jadi masih kecil dan jernih. Dan berhentilah mereka di lembah sungai yang datar, yang merupakan padang rumput yang luas.

Mereka melihat ada sebatang bambu tinggi yang puncaknya dipasangi sehelai bendera. Itulah bendera yang sangat dikenal oleh Wu-yi Lo-jin. Sebuah bendera yang melukiskan dua buah tengkorak disilang tulang-tulang yang menjadi gagang sepasang pedang. Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin nampak pucat dan gelisah.

Tentu saja Hui Song dan Sui Cin yang tidak mengenal bendera itu merasa heran. Akan tetapi ketika mereka hendak bertanya, dua orang kakek sakti itu sudah menaruh telunjuk di depan mulut, tanda bahwa dua orang kakek sakti itu amat gelisah, tak berani bergerak sembarangan, bahkan pernapasan mereka pun agaknya ditahan-tahan agar tidak sampai terdengar, tanda bahwa mereka berdua itu sungguh tidak ingin ketahuan orang!

Tentu saja hal ini membuat dua orang muda itu di samping merasa heran, juga merasa ngeri. Bila dua orang kakek seperti mereka itu sampai ketakutan, tentu ada hal yang amat gawat dan agaknya pemilik bendera itu betul-betul memiliki kesaktian seperti iblis sendiri!

Malam itu bulan bersinar terang, tidak dihalangi awan. Di angkasa memang ada beberapa gumpalan-gumpalan awan hitam, akan tetapi gumpalan-gumpalan awan itu terpisah-pisah dan hanya lewat sebentar saja, sejenak menutupi sinar bulan lalu pergi lagi, membentuk berbagai macam rupa yang menyeramkan.

Lapangan rumput itu pun nampak terang oleh sinar bulan yang lembut dan penuh rahasia. Namun yang tampak hanyalah tiang bendera dari bambu itu saja, dan bendera bergambar sepasang tengkorak yang kadang-kadang saja berkibar lembut tertiup angin malam yang halus.

Empat orang yang mengintai itu pun lalu berpencar, dengan hati-hati bersembunyi karena dua orang kakek itu tadi sudah memesan kepada Hui Song dan Sui Cin agar berhati-hati dan jangan sekali-kali sampai memperlihatkan diri.

"Mereka itu amat berbahaya, apa lagi kalau sedang berkumpul dalam jumlah banyak. Kita datang hanya untuk menyelidiki keadaan dan rencana mereka, bukan hendak melakukan penyerbuan." Demikianlah dua orang kakek itu berpesan kepada dua orang muda yang tentu saja dapat memaklumi pesanan itu sehingga tidak berani sembarangan bergerak.

Sesudah lebih satu jam mereka menunggu, tiba-tiba terdengar suara jerit tangis seorang anak kecil! Dalam sunyi menegangkan itu, tentu saja suara ini membuat suasana menjadi semakin menyeramkan. Suara anak menangis itu mengaduh-aduh ketakutan, membuat wajah Sui Cin menjadi pucat dan dia pun tidak dapat menahan perasaan hatinya lagi. Dia bergerak dan biar pun terdengar suara Hui Song mencegahnya, namun Sui Cin tidak mau diam lagi.

Tangis anak itu seperti menusuk-nusuk jantungnya. Mana mungkin dia tinggal diam saja bila ada seorang anak begitu ketakutan dan agaknya terancam bahaya maut? Bagaimana pun juga, dia harus menyelidikinya dan kalau perlu turun tangan menolongnya, apa pun yang akan menjadi resikonya.

Maka, dengan hati-hati sekali dia pun menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu besar, bergerak cepat menuju ke arah suara tangis anak itu. Melihat ini, Hui Song merasa khawatir sekali dan dia pun terpaksa bergerak mengejar. Ketika dia dapat menyusul, dia cepat menangkap lengan gadis itu.

"Hati-hati, Cin-moi..." bisiknya.

"Aku harus menolongnya, apa pun yang terjadi," bisik Sui Cin kembali.

"Hati-hati, siapa tahu ini jebakan mereka..."

Tapi Sui Cin terus saja melanjutkan usahanya mencari karena kini hanya terdengar tangis ketakutan lemah dari suara anak tadi. Dan ternyata suara itu membawa mereka menjauhi padang rumput hingga tiba di luar sebuah hutan. Tiba-tiba, tiba-tiba sekali sehingga amat mengejutkan hati Sui Cin dan Hui Song, terdengar jeritan yang menyayat hati kemudian diam!

Dua orang pendekar itu saling berpegangan tangan dan saling pandang di bawah cahaya bulan, keduanya terbelalak dan muka mereka pucat. Jeritan tadi jelas merupakan jeritan maut seorang anak yang sedang berada dalam puncak ketakutan atau kesakitan. Sui Cin kini bergegas lari menyusup di antara semak-semak, diikuti oleh Hui Song dan tidak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah goa, mengintai dari balik batu, pohon dan semak-semak.

Dan apa yang mereka lihat hampir membuat Sui Cin muntah, bahkan Hui Song sampai terbelalak dan tak mampu bergerak seperti telah berubah menjadi patung. Mereka berdua merasa ngeri, jijik, dan juga marah bukan main.

Pemandangan di depan goa itu sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Sangat mengerikan! Seorang lelaki yang nampak seperti raksasa sedang memangku tubuh seorang anak kecil telanjang yang menelungkup dan bagian bawah tubuh anak itu bermandi darah sehingga juga membasahi paha lelaki raksasa itu. Melihat tubuh kecil telanjang yang tertelungkup di atas pangkuan dalam keadaan mandi darah dan tidak bergerak lagi itu mudah diduga bahwa anak itu tentu sudah mati dan agaknya baru saja tewas.

Yang sangat menjijikkan adalah betapa raksasa itu sedang memegang sebuah kaki kecil yang agaknya kaki anak itu yang direnggut lepas begitu saja dari tubuhnya. Raksasa itu memegang kaki seperti memegang paha ayam atau paha kelinci, lalu mengganyangnya mentah-mentah. Daging paha kaki yang masih berdarah itu dilahapnya bagaikan seekor harimau sedang melahap paha domba.

Sui Cin menutupi mulutnya untuk mencegah muntah atau berteriak. Memang penglihatan itu amat mengerikan. Bahkan Hui Song hanya diam tertegun memandang kakek raksasa yang terus mengganyang paha anak kecil itu dengan lahapnya.

Sulit menaksir berapa usia kakek itu. Akan tetapi tubuhnya telanjang hanya mengenakan untaian daun-daun yang dipasang melingkar di pinggangnya. Tubuh kakek itu besar sekali dan kelihatan kuat. Pada pundak dan lengannya tumbuh rambut panjang seperti monyet. Di bawah tengkuknya terdapat punuk atau daging jadi. Sebuah gelang yang terbuat dari akar kayu hitam menghias lengan kirinya.

Kepala serta muka orang ini sungguh menyeramkan. Di dahinya juga tumbuh daging jadi dan hanya pada bagian belakang kepalanya saja yang ditumbuhi rambut pendek kaku. Mukanya tidak berjenggot atau berkumis, muka yang kasar dengan mata besar, hidung pesek dan mulut lebar dengan gigi-gigi menonjol. Di belakang raksasa ini terdapat tulang-tulang dan tengkorak manusia, agaknya raksasa ini sudah biasa makan daging manusia mentah-mentah.

Melihat kekejian yang tiada taranya ini, Sui Cin tak bisa menahan kemarahannya dan dia pun sudah bergerak siap menerjang keluar. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya ditekan orang dan tubuhnya menjadi lemas. Ketika dia menengok, ternyata yang menekan jalan darah di pundaknya itu adalah Wu-yi Lo-jin sendiri yang ternyata kini sudah berada di belakangnya bersama Siang-kiang Lo-jin!

Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi Wu-yi Lo-jin menggeleng kepala lantas memberi isyarat kepada dua orang muda itu untuk mengikutinya pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Setelah jauh dari raksasa itu, Wu-yi Lo-jin berkata,

"Sui Cin, hampir saja engkau menggagalkan semua usaha kita."

"Tetapi, kek, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja kekejian seperti yang dilakukan oleh iblis raksasa itu?"

Wu-yi Lo-jin tidak bergurau seperti biasa, akan tetapi memandang dengan wajah serius. "Sui Cin, kekejian seperti itu saja masih belum apa-apa dibandingkan dengan kejahatan yang dapat dilakukan oleh orang-orang dunia sesat. Anak itu telah tewas, jadi tidak dapat ditolong lagi. Dan belum waktunya bagimu untuk turun tangan menentang iblis itu, karena kalau hal itu tadi kau lakukan, maka mereka semua akan bermunculan dan tak mungkin kita dapat menyelamatkan diri lagi."

Sebelum Sui Cin dapat membantah, tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan dan hiruk pikuk di sebelah kiri, dari arah sebuah dusun yang berada di luar hutan. Mendengar suara ini, empat orang itu, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin, segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk berlari ke arah dusun itu.

Apakah yang terjadi di dusun kecil itu? Seorang kakek lainnya yang juga seperti raksasa, yang bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan membawa sebuah tongkat panjang, sedang mengamuk dan membunuhi para penduduk.

Seorang ayah yang melindungi anak isterinya mencoba melawan dengan golok di tangan. Akan tetapi ia bukanlah lawan kakek raksasa yang seperti iblis itu. Dengan sekali dorong saja petani itu segera roboh dan ujung tongkat menembus dadanya, sedangkan isterinya telah tewas di ambang pintu.

Anaknya yang tunggal, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menangis dan tidak mampu bergerak ketika lengan kanannya dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri yang besar dan panjang itu. Melihat betapa ayah dan ibunya dibunuh, anak itu menjadi nekat. Sambil menjerit-jerit dia lalu menggigit punggung tangan kakek yang mencengkeram lengannya.

"Huh! Keparat!" Kakek itu pun menghardik lalu sekali tangan kirinya bergerak, kepala anak itu langsung pecah dan tubuhnya terpelanting ke dekat mayat ayahnya dalam keadaan tewas seketika.

Begitu melihat kakek ini mengamuk, para penduduk dusun cepat melarikan diri ketakutan, meninggalkan belasan orang kawan yang sudah roboh dan tewas terlebih dahulu. Ketika Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin tiba di sana dan mengintai, semua penduduk yang masih hidup sudah lari mengungsi dan yang ada hanya kakek raksasa itu yang tertawa bergelak memegangi tongkatnya, di tengah-tengah dusun dan di sana-sini nampak mayat-mayat berserakan.

Kembali Wu-yi Lo-jin harus menahan Sui Cin yang mukanya sudah merah karena marah dan tangannya sudah gatal-gatal untuk keluar dan menyerang iblis itu.

"Sabarlah. Mereka memang sengaja membuat pembersihan agar semua dusun di sekitar tempat ini ditinggalkan kosong sehingga pertemuan mereka tak akan terganggu. Dengan berbuat demikian itu, selain berusaha mengusir semua penghuni penduduk, juga agaknya mereka hendak memancing keluarnya golongan musuh yang mungkin datang mengintai seperti yang kita lakukan. Jangan kita mudah terpancing keluar dan mati konyol. Mari kita bersembunyi dan mengintai lagi di padang rumput itu. Di sana adanya bendera itu, maka tentu di sana pula mereka akan datang berkumpul."

Empat orang itu berindap-indap serta menyusup-nyusup melalui belakang semak-semak dan batu-batu besar, kembali ke tempat tadi. Di sana masih sunyi, dan bendera itu pun masih berkibar di ujung tiang bendera dari bambu. Akan tetapi, dengan gerakan tangan Wu-yi Lo-jin menudingkan jari telunjuknya dan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk memperhatikan ke atas.

Sui Cin dan Hui Song memandang ke arah yang ditunjuk dan mereka terbelalak. Di sana, di atas puncak tiang bambu itu seperti ada dua ekor burung raksasa bermain-main. Yang seekor hinggap di atas puncak tiang bambu dan yang seekor lagi berjungkir balik di atas. Ketika yang berjungkir balik tadi melayang turun, yang hinggap di ujung bambu mencelat ke atas, berjungkir balik dan tempatnya kini dipakai oleh burung kedua.

Akan tetapi, sesudah dipandang dengan teliti, nampak oleh Sui Cin dan Hui Song bahwa dua bayangan yang bermain-main di puncak tiang bambu itu sama sekali bukan burung melainkan manusia! Dua orang manusia yang semuanya berambut panjang riap-riapan, berpakaian longgar dan dari jarak sejauh itu sukar dikenal wajahnya. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang seorang ramping, mudahlah diduga bahwa mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita.

Akan tetapi yang sangat mengagumkan adalah gerakan mereka. Sui Cin sendiri seorang ahli ginkang yang telah mewarisi ilmu ginkang ibunya yang juga sangat hebat. Akan tetapi melihat cara dua orang itu main-main di puncak tiang bambu yang lentur seperti dua ekor burung saja, diam-diam dia pun terkejut dan kagum bukan main. Tahulah dia bahwa dua orang itu memiliki ilmu ginkang yang sangat tinggi dan dia, seperti juga Hui Song, segera menduga-duga siapa adanya kedua orang lihai itu.

cerita silat online karya kho ping hoo

Ketika Sui Cin menoleh dan memandang kepada Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, dia melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas itu tampak pucat, terbelalak dan seperti orang ketakutan. Bahkan ketika Si Dewa Arak Wu-yi Lo-jin menoleh kepada Sui Cin dan melihat gadis ini seperti hendak membuka mulut, dia cepat memberi isyarat supaya gadis itu tidak mengeluarkan suara.

Sekarang nampak oleh empat orang pengintai itu betapa yang pria hinggap di atas ujung bambu dan yang wanita melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali kemudian turun, melayang ke arah pria yang berdiri dengan satu kaki di atas puncak bambu. Akan tetapi laki-laki itu tidak meninggalkan tempatnya dan si wanita dengan lunaknya lantas hinggap di atas kepala lelaki itu dengan kepalanya pula! Mereka beradu kepala dan kini si wanita berdiri jungkir balik, kepalanya menempel pada kepala pria yang masih berdiri tegak.

Sungguh pertunjukan yang amat mengagumkan dan kalau saja tidak ada tiga orang lain yang memperingatkannya, tentu Sui Cin sudah bertepuk tangan sambil bersorak memuji. Ginkang seperti yang diperlihatkan dua orang yang agaknya sedang berlath itu sungguh membuat hatinya kagum bukan main.

Akan tetapi, Wu-yi Lo-jin yang juga merupakan seorang ahli ginkang yang sangat hebat, kini memandang khawatir. Dia tahu bahwa menghadapi sepasang iblis itu, hanya dalam ginkang saja dia masih mampu mengungguli mereka, akan tetapi kini, melihat cara kedua orang itu berlatih, dia merasa sangsi apakah ilmu ginkang-nya akan mampu menandingi mereka sekarang!

Melihat kekhawatiran pada wajah kedua orang kakek sakti, Sui Cin lalu menyentuh lengan Wu-yi Lo-jin, kemudian dengan isyarat ia mengangkat ke atas dua jari tangannya, telunjuk dan jari tengah. Melihat isyarat ini, Wu-yi Lo-jin mengangguk dan tahulah Sui Cin bahwa kedua orang yang sedang berlatih itu benar adalah Raja Iblis dan Ratu Iblis seperti yang pernah diceritakan Dewa Arak yang katai itu kepadanya. Maka tentu saja dia pun menjadi gelisah dan tertarik, memandang dengan penuh perhatian.

Tiba-tiba para pengintai itu melihat berkelebatnya bayangan orang. Agaknya mereka yang sedang berlatih di puncak bambu juga melihatnya karena mereka berdua secara tiba-tiba melayang turun. Gerakan mereka ketika melayang sambil mengembangkan kedua lengan dan jubah mereka yang lebar berkibar benar-benar membuat mereka nampak seperti dua ekor burung besar.

Tanpa mengeluarkan sedikit pun suara, kedua orang itu turun lantas hinggap di atas dua buah batu besar yang agaknya seperti juga tiang bendera itu, sudah sengaja dipersiapkan lebih dulu di tempat itu. Dengan berdiri di atas batu yang besar setinggi manusia ini, maka kedua orang itu nampak nyata dari jarak jauh.

Sui Cin memandang penuh perhatian. Laki-laki itu bertubuh jangkung dan berperawakan sedang. Wajahnya sama sekali bukan seperti wajah iblis atau wajah tokoh-tokoh sesat lain yang biasanya menyeramkan. Orang-orang Cap-sha-kui juga berwajah menyeramkan, juga dua orang raksasa yang dilihatnya tadi jelas membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang sesat yang kejam sekali. Akan tetapi sungguh membuat hatinya penasaran kalau pria ini dinamakan Raja Iblis yang sangat ditakuti oleh dua orang kakek sakti yang berada di dekatnya.

Laki-laki itu sulit ditaksir berapa usianya karena meski pun wajahnya masih nampak muda dan tidak keriputan, akan tetapi rambutnya yang panjang dan riap-riapan itu sudah putih semuanya. Kumis dan jenggotnya dipotong pendek. Tak nampak sesuatu yang aneh atau menakutkan pada diri pria ini kecuali barang kali matanya. Sepasang matanya itu bersinar mencorong dan nampak kehijauan! Sungguh bukan seperti mata manusia biasa.

Orang kedua adalah seorang wanita yang bertubuh langsing, juga tidak terlihat aneh atau menakutkan. Tubuhnya masih langsing padat bagaikan tubuh seorang wanita muda, dan wajahnya pun belum berkeriput pula, akan tetapi rambutnya yang riap-riapan itu pun telah putih semua. Seperti pria itu, dia juga memiliki sepasang mata yang mencorong bersinar kehijauan.

Selain mata mereka yang mencorong kehijauan, juga sikap kedua orang ini amat dingin. Wajah mereka seperti topeng saja, seperti kulit mati dan hanya mata mereka yang hidup. Wajah itu tidak membayangkan perasaan apa-apa kecuali dingin dan mati, dengan kerut di dekat mata dan mulut yang menunjukkan kemarahan atau ejekan atau tidak pedulian. Pakaian mereka hanya dari dua macam warna, putih dan kuning, dan polos. Potongannya sangat sederhana, kebesaran dan longgar, akan tetapi kainnya terbuat dari sutera halus dan nampak bersih.

Bagaikan setan-setan yang berkeliaran, nampak bayangan-bayangan berkelebat dan kini di tempat itu telah berkumpul banyak orang. Tak kurang dari tiga puluh orang berdatangan dari segala penjuru.

Sui Cin yang mengintai, diam-diam bergidik melihat betapa sebagian besar dari puluhan orang ini memiliki bentuk wajah, tubuh atau pakaian yang aneh-aneh dan menyeramkan. Dua orang kakek raksasa yang dilihatnya tadi pun berada di situ. Anehnya, di antara tiga puluh orang lebih itu, sebagian berlutut menghadap kepada dua orang yang berdiri tegak di atas batu besar, akan tetapi sebagian lagi, kurang lebih setengahnya tetap berdiri dan menghadap dua orang itu dengan sikap yang jelas-jelas menyatakan bahwa mereka yang berdiri ini tidak mau tunduk! Dan dua orang kakek raksasa tadi termasuk di antara mereka yang berdiri dengan sikap angkuh.

Puluhan orang itu rata-rata sudah tua, di antara empat puluh tahun sampai ada yang sulit ditaksir berapa usianya. Dan Sui Cin melihat betapa hidung kakek gendut Dewa Kipas kini berkembang kempis tanda bahwa dia mencium sesuatu. Dia sendiri pun lapat-lapat dapat mencium bau yang bermacam-macam. Ada bau yang amis sekali, ada bau harum yang aneh.

Dia pun tahu bahwa di antara orang-orang yang berkumpul di situ tentu terdapat banyak datuk-datuk sesat yang selalu bergelimang dengan racun yang berbahaya. Pada saat dia membayangkan betapa di situ terdapat orang yang melepas racun ke dalam air sehingga telah membunuh puluhan orang, sungguh dia merasa ngeri dan bergidik. Agaknya mereka semua itu bukan manusia lagi, melainkan iblis-iblis jahat yang berhati kejam bukan main.

Laki-laki dan wanita yang berdiri di atas batu besar itu kini memandang ke bawah. Wajah mereka yang tertimpa sinar bulan itu nampak kehijauan, akan tetapi tidak memperlihatkan perasaan apa pun saat pandang mata mereka melihat betapa sebagian dari mereka yang muncul itu tidak berlutut.

Wanita berambut riap-riapan putih itu kini mengangkat tangan kanan ke atas, kemudian terdengar suaranya, suara yang lantang namun melengking halus, menusuk anak telinga. "Kawan-kawan yang sudah menunjukkan penghormatan kepada kami, kami menerimanya dan silakan kalian duduk dan berkumpul di sebelah kanan!" Jarinya menuding ke kanan.

Mereka yang berlutut itu, berjumlah belasan orang, lalu bangkit dan berkumpul di sebelah kanan, di mana mereka lalu duduk dengan santainya di atas rumput. Akan tetapi, dasar orang-orang kasar yang tak pernah mengindahkan kesopanan dan aturan, mereka duduk seenaknya, ada yang jongkok, ada yang mekangkang, ada pula yang setengah tiduran.

Tinggal belasan orang yang merupakan kelompok yang sejak tadi berdiri saja, tidak mau berlutut seperti yang lain. Dan di tengah-tengah mereka, kini bahkan berada paling depan, berdiri seorang kakek yang sudah dikenal oleh Sui Cin, yakni kakek buta yang terkenal dengan julukan Iblis Buta! Itulah Siangkoan Lo-jin, kakek yang berpakaian petani hitam sederhana, yang matanya buta hanya nampak putihnya saja dan melek terus, kakek yang menjadi datuk sesat dan yang pernah memimpin sebagian dari anggota Cap-sha-kui.

Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta itu kini berdiri tegak dengan tongkat kayu cendana hitam di tangannya. Sikapnya tegak dan angkuh berwibawa dan agaknya inilah yang membuat belasan orang datuk lainnya, termasuk pula mereka dari Cap-sha-kui, berani untuk berdiri di belakangnya menentang suami isteri yang merupakan raja dan ratu baru di kalangan sesat, akan tetapi yang belum pernah mereka rasakan sendiri kehebatan mereka itu.

Mereka semua adalah kaum sesat yang pernah mendengar nama Raja Iblis dan Ratu Iblis dari Goa Tengkorak, akan tetapi karena selama puluhan tahun suami isteri ini tidak pernah muncul, maka mereka pun tidak pernah bertemu dengan mereka dan kini mereka sangsi apakah benar suami isteri itu amat hebat dan lebih tangguh dari pada Si Iblis Buta!

Wanita itu kembali menghadapi mereka yang berdiri di bawah dan suaranya masih tetap terdengar melengking nyaring dan tidak ada bedanya dengan tadi, tidak memperlihatkan kemarahan, hanya terdengar lebih dingin.

"Dan kalian yang berani menentang kami dengan pandang mata dan sikap, kami masih memberi kesempatan untuk bicara dan mengemukakan alasan mengapa kalian tidak mau tunduk kepada kami, Raja dan Ratu kalian!"

Belasan orang yang tetap berdiri tegak dan tidak mau tunduk itu tampak ragu-ragu. Sikap wanita itu biar pun nampak halus namun sungguh mengandung suatu wibawa yang amat menyeramkan, dan lebih-lebih lagi sikap pria yang berdiri tegak di atas batu besar tanpa mengeluarkan sepatah kata itu, yang hanya melihat dengan matanya yang mengeluarkan sinar hijau laksana mata iblis. Agaknya Raja Iblis ini memang jarang bicara dan isterinya, Ratu iblis itu yang menjadi juru bicara untuknya.

Nama seseorang memang mempunyai pengaruh besar. Walau pun belum pernah melihat kelihaian Raja dan Ratu Iblis itu, namun tiga belas orang Cap-sha-kui yang kini berkumpul semua, bersama beberapa orang datuk sesat lainnya dan dipelopori oleh Iblis Buta, sudah pernah mendengar kesaktian suami isteri bangsawan yang kini menjadi manusia iblis itu. Maka, bagaimana pun juga, ada perasaan gentar di dalam lubuk hati mereka.

Hanya karena di situ terdapat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta yang menjadi pelopor, maka mereka masih berbesar hati karena mereka semua sudah melihat sendiri kesaktian Iblis Buta ini yang sudah mereka akui sebagai pemimpin, atau setidaknya beberapa orang di antara Cap-sha-kui telah mengakuinya. Kini, mendengar pertanyaan serta kata-kata Ratu Iblis, belasan orang itu lalu memandang ke arah Siangkoan Lo-jin, mengharapkan tokoh pemimpin ini yang akan menjawab.

Siangkoan Lo-jin yang buta itu maklum melalui pendengaran dan perasaan hatinya bahwa rekan-rekannya mengharapkan dirinya sebagai pemimpin untuk menghadapi suami isteri yang begitu muncul sudah menentukan dan mengangkat diri sendiri sebagai raja dan ratu para datuk. Dia menjadi marah.

"Tukk! Tukk! Tukk!" Tiga kali ujung tongkat kayu cendana yang berada di tangannya itu menotok, di atas sebongkah batu yang berada di depan kakinya.

Totokan-totokan itu nampaknya perlahan saja, akan tetapi sebongkah batu itu retak-retak dan ketika tongkat kakek buta mendorong, batu itu pecah menjadi empat potong! Betapa hebat tenaga sinkang kakek buta ini yang disalurkan melalui tongkatnya!

"Seorang pemimpin dinilai dari perbuatannya, bukan dari namanya atau pun omongannya! Kalian datang-datang mengangkat diri menjadi raja dan ratu dan minta agar kami tunduk dan taat. Kami bukan anak kecil yang bisa kalian takut-takuti begitu saja. Aku Siangkoan Lo-jin, minta bukti apakah kalian memang sudah pantas untuk memimpin kami!"

Melihat betapa pemimpin ini sudah berani maju menentang, tiba-tiba saja suami isteri dari Kui-kok-pang, yaitu Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo juga berloncatan ke depan dengan sikap menantang.

"Kami juga penasaran!" kata Kui-kok Lo-bo dengan suara melengking. "Melihat keadaan kalian, tidak lebih hebat dari pada aku dan suamiku. Mana mungkin kami berdua mau tunduk dan taat kepada kalian kalau kami belum tahu sampai di mana kesaktian kalian?"

Kui-kok Lo-bo memandang dengan mata terbelalak. Nenek ini sesungguhnya tidak kalah angkernya dibandingkan dengan nenek yang berdiri di atas batu besar. Dia dan suaminya memang merasa penasaran sekali. Mereka merupakan suami isteri yang terkenal sebagai sepasang iblis, ketua Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan merupakan dua tokoh Cap-sha-kui yang ditakuti.

Kini muncul suami isteri yang seolah-olah hendak menyaingi mereka, dan melihat betapa suami isteri yang baru muncul lantas mengangkat diri sendiri menjadi Raja Iblis dan Ratu Iblis, tentu saja Kui-kok Lo-bo merasa penasaran. Kakek nenek di atas batu itu nampak seperti orang-orang biasa saja.

Dan memang keadaan suami isteri Kui-san-kok ini lebih menyeramkan jika dibandingkan dengan Raja dan Ratu Iblis itu. Suami isteri ini berpakaian putih-putih dan muka mereka pun putih pucat, seperti muka mayat. Mata mereka mencorong mengerikan dan kekejian mereka sudah sangat terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Jauh lebih mengesankan dari pada suami isteri biasa sederhana yang kini berdiri di atas batu besar itu.

Sejenak nenek berambut putih itu memandang kepada suami isteri yang berdiri bertolak pinggang menentangnya di bawah batu itu tanpa perubahan air muka, hanya sepasang matanya berkedip-kedip dan sinar pandangan matanya menyambar ganas. Dengan suara tetap halus akan tetapi nadanya semakin dingin saja, akhirnya dia pun bertanya sambil memandang ke arah sekelompok orang yang berdiri di sebelah belakang Iblis Buta dan sepasang Iblis Kui-kok-pang itu,

"Masih ada lagikah yang merasa penasaran dan yang hendak menentang kami selain tiga ekor monyet ini?"

Sungguh pun di sana berkumpul datuk-datuk sesat yang amat kejam seperti sekumpulan Cap-sha-kui, namun selain ketiga orang itu ternyata tidak ada lagi yang berani menentang secara terang-terangan. Mereka merasa akan lebih aman apa bila menunggu dan melihat bagaimana kelanjutan dari sikap Iblis Buta dan suami isteri Kui-kok-pang itu.

Sementara itu, mendengar bahwa dirinya disebut 'Tiga ekor monyet', tentu saja Iblis Buta dan suami isteri Kui-kok-pang menjadi marah bukan main. Itulah penghinaan yang hebat! Sekali. Namun, merasa betapa derajatnya lebih tinggi, yaitu sebagai pemimpin sebagian dari tokoh Cap-sha-kui termasuk suami isteri Kui-kok-pang itu, Iblis Buta hanya diam saja, membiarkan bawahannya untuk bertindak lebih dahulu.

Lagi pula dia sendiri belum mengenal kelihaian lawan, maka kalau lawan telah bergebrak melawan suami isteri Kui-kok-pang, dia dapat menggunakan pendengarannya yang tajam untuk mengikuti gerakan mereka dan mengukur sampai di mana kelihaian dua orang itu.

"Kawan-kawan semua yang sudah datang memenuhi undangan kami, kami berdua ingin mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas perhatian kalian. Percayalah, kami berdua Raja dan Ratu kalian hendak mendatangkan suasana baru bagi kita semua, dan sudah waktunya bagi kita untuk menguasai dunia! Sekarang, kalau ada yang tidak setuju bahwa kami berdua yang menjadi Raja dan Ratu, dan bila ada yang hendak menentang, kami persilakan naik ke atas batu ini. Apa bila kami sampai dapat digusur turun dari atas batu ini, biarlah kami tidak akan banyak bicara lagi dan kembali ke tempat pertapaan kami lalu tinggal di sana sampai mati. Nah, hayo, siapa hendak naik? Tiga ekor monyet ini?"

Sikap dan ucapan nenek berambut putih itu sungguh menyakitkan hati Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Mereka melihat bahwa batu besar itu cukup luas, luasnya tidak kurang dari lima meter persegi. Memang kurang luas untuk menjadi tempat perkelahian, akan tetapi, mereka maju bersama dan mereka berdua sudah mempunyai ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh mereka berdua. Tempat yang sempit itu bahkan menguntungkan apa bila mereka maju bersama.

"Perempuan sombong, biarkan kami yang mencoba untuk menyeret kalian turun!" Bentak Kui-kok Lo-bo yang berwatak keras dan galak.

Dia mendahului suaminya meloncat dan tampaklah dua bayangan berkelebat cepat ketika suami isteri ini melayang naik ke atas batu dan dalam waktu sekejap mata saja mereka telah berdiri berdampingan, menghadapi nenek berambut putih yang menyambut mereka dengan sikap dingin dan mata mencorong penuh selidik.

Ada pun suaminya, yaitu kakek berambut putih riap-riapan itu, agaknya sama sekali tidak mempedulikan, bahkan kini dia mengundurkan diri dan duduk bersila di sudut permukaan batu, kemudian memejamkan kedua matanya seperti orang bersemedhi.

"Agaknya kalian berdua ini yang disebut Sepasang Iblis Kui-kok-pang, dua orang di antara Cap-sha-kui. Sayang, mulai sekarang Cap-sha-kui harus merasa puas dengan sebutan Cap-it-kui (Sebelas Iblis) saja," kata nenek berambut putih.

Mata suami isteri Kui-kok-pang itu mendelik. Penghinaan ini bahkan lebih hebat dari pada makian monyet tadi, karena ucapan itu sangat meremehkan mereka, memastikan bahwa mereka berdua tentu akan tewas sehingga jumlah Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya akan tinggal sebelas orang lagi saja.

"Perempuan sombong, engkaulah yang akan mampus di tangan kami!" bentak Kui-kok Lo-bo yang sudah menubruk ke depan. Kedua lengannya tadinya terkembang, kemudian menubruk dengan sepuluh jari tangan membentuk cakar setan. Gerakannya begitu cepat dan mengandung sinkang amat kuat sehingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan!

"Plakk! Plakk!"

Dua kali tangan nenek berambut putih menangkis dan tubuh Kui-kok Lo-bo terdorong dan hampir terjengkang. Tentu saja dia terkejut bukan main ketika merasa betapa dorongan tangan lawan itu lunak dan lembut, akan tetapi di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat yang tenang seperti air telaga sehingga tenaga sinkang-nya sendiri yang bersifat keras itu seperti tenggelam ke dalamnya!

Itulah semacam tenaga halus yang amat hebat, yang membuat telapak tangan wanita itu bagaikan kapas halusnya akan tetapi mengandung tenaga dahsyat yang sewaktu-waktu dapat dikeluarkan untuk mengirim serangan maut dari balik kelembutan.

Pada waktu isterinya terdorong mundur, Kui-kok Lo-mo yang sangat terkejut melihat cara lawan menangkis isterinya dan mampu membuat isterinya terhuyung, telah mengeluarkan teriakan nyaring lantas dia pun menerjang maju mengirim pukulan dengan tangan kanan terbuka ke arah dada lawan. Kali ini, angin yang berhembus lebih kuat dari pada gerakan Kui-kok Lo-bo dan tangan maut itu menyambar dahsyat, mengeluarkan suara berdesing.

Nenek rambut putih mengenal pukulan dahsyat, maka dia pun segera mengelak. Dengan gerakan yang gesit tubuhnya menyelinap ke samping, akan tetapi bukan hanya sekedar mengelak karena sambil mengelak kakinya melayang ke arah selangkang lawan.

"Wuuuttttt...!"

Kui-kok Lo-mo cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan yang amat berbahaya itu lewat di depan tubuhnya. Menggunakan kesempatan ini, Kui-kok Lo-bo sudah menerjang lagi dari belakang, mencengkeram ke arah tengkuk lawan, ada pun tangannya yang lain cepat menusuk ke arah lambung dengan jari-jari tangan ditegakkan. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya, dilakukan dari belakang tubuh lawan pula!

Akan tetapi nenek rambut putih itu sama sekali tidak kelihatan terkejut atau gugup dalam menghadapi serangan dari belakang ini. Cepat dia menarik tubuh atas ke belakang sambil memutar tubuh, menangkis tusukan ke arah lambungnya itu, sedangkan cengkeraman ke arah tengkuknya luput. Secepat kilat dia lalu menggerakkan kepala dan rambutnya yang putih dan riap-riapan itu tiba-tiba saja berubah kaku seperti kawat-kawat baja menyambar ke depan.

Bukan main hebatnya serangan ini! Di dunia persilatan ada ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata akan tetapi biasanya rambut itu dikuncir sehingga jika kepala digerakkan, kuncir yang tebal itu dapat menghantam seperti ujung toya.

Tapi ilmu mempergunakan rambut nenek ini lain lagi. Rambutnya tidak dikuncir melainkan riap-riapan sehingga menurut nalar, rambut yang riap-riapan ini tentu saja tidak memiliki daya kekuatan. Akan tetapi hebatnya, begitu nenek ini menggerakkan kepalanya, rambut putih yang riap-riapan dan beribu-ribu banyaknya itu menjadi tegang seperti kawat-kawat baja halus menyambar ke arah lawan.

Kui-kok Lo-bo terkejut bukan main ketika tubuhnya dari dada sampai kepala diserang oleh rambut-rambut putih yang menjadi kaku itu. Dia cepat melempar tubuh ke belakang, akan tetapi masih saja ada rambut yang menyentuh kulit lehernya sehingga kulit leher itu pun terluka berlubang-lubang seperti ditusuki jarum-jarum halus! Memang bagi wanita iblis ini tidak terlampau nyeri, akan tetapi cukup mengejutkan karena ternyata kekebalan kulitnya tidak dapat bertahan terhadap rambut-rambut putih halus itu.

Sementara itu, Kui-kok Lo-mo telah menyerang kembali dengan pukulan-pukulan dahsyat. Juga Lo-bo cepat membantu suaminya dan sebentar saja nenek berambut putih itu sudah dikeroyok dua oleh sepasang iblis dari Kui-kok-pang. Perlu diketahui bahwa suami isteri Kui-kok-pang itu sering kali melatih diri bersama, mempelajari berbagai ilmu pukulan yang ampuh-ampuh sehingga mereka berdua merupakan pasangan yang dapat bekerja sama dengan baik.

Akan tetapi, nenek yang keadaannya tidak mengesankan itu ternyata lincah bukan main dan dia seperti mempermainkan kedua orang pengeroyoknya! Gerakannya begitu mantap dan cepat sehingga ke mana pun kedua orang lawannya menyerang, dia telah siap untuk mengelak atau menangkis, bahkan hampir selalu dia membalas secara langsung setiap serangan dengan tak kalah dahsyatnya. Hebatnya, makin dahsyat serangan lawan, makin dahsyat pula dia membalas, seakan-akan kedahsyatan serangannya tergantung kepada serangan lawan.

Hui Song dan Sui Cin yang nonton dari tempat persembunyian mereka, terbelalak kagum. Mereka berdua sudah maklum akan kesaktian suami isteri Kui-kok-pang itu. Akan tetapi saat melihat betapa nenek rambut putih itu dapat mempermainkan pengeroyokan mereka, sungguh hal ini amat mengejutkan dan mengagumkan. Kini mengertilah mereka mengapa dua orang kakek sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Kipas itu nampak jeri terhadap Raja dan Ratu Iblis!

Perkelahian di atas batu itu menjadi makin seru. Bagaimana pun juga harus diakui bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah dua orang datuk sesat yang sudah mempunyai kedudukan tinggi sehingga mengalahkan pengeroyokan dua orang ini bukan merupakan hal yang mudah, biar pun bagi nenek berambut putih itu sekali pun.

Memang benar bahwa nenek itu menang segala-galanya, baik kekuatan sinkang mau pun kepandaian silat dan ketinggian ginkang. Namun berkat kerja sama yang sangat kompak, suami isteri iblis dari Kui-san-kok itu dapat bertahan dan menjaga diri.

Mereka berdua terdesak hebat dan kini bahkan sukar untuk membalas serangan nenek itu yang dibantu oleh rambutnya itu. Bagaikan gelombang samudera, nenek itu mengirim serangannya susul-menyusul, dengan kedua tangan, kedua kaki, sambil diselingi dengan gerakan rambutnya yang amat berbahaya.

Oleh karena merasa kewalahan, suami isteri dari Kui-kok-pang itu menjadi penasaran dan marah. Walau pun mereka bertangan kosong dan nenek rambut putih itu juga bertangan kosong, akan tetapi penggunaan rambut nenek itu malah lebih merepotkan dari pada bila lawan menggunakan senjata.

Maka mereka pun mengeluarkan bentakan nyaring, lantas nampaklah sinar berkelebat di bawah bayangan cahaya bulan yang kini bersinar terang. Tahu-tahu Kui-kok Lo-mo sudah memegang sebatang pedang panjang lemas yang tadinya dipakai sebagai ikat pinggang, ada pun isterinya sudah memegang dua buah pisau belati yang tajam mengkilat. Dengan senjata di tangan, mereka lalu mengamuk dan menyerang kalang kabut.

"Plakk! Plakk! Plakk!"

Hampir saja Sui Cin berseru saking kagumnya. Nenek rambut putih itu tidak hanya pandai mengelak, bahkan berani menangkis pedang dan pisau yang amat tajam itu dengan dua lengannya! Kulit lengannya menjadi lunak sekali sehingga ketika bertemu dengan senjata tajam, sama sekali tidak terluka akibat tenaga bacokan senjata-senjata itu lenyap disedot oleh kulit pembungkus daging yang lunak dan ulet seperti kapas di udara yang tidak akan rusak terbacok senjata tajam.

Betapa pun juga, nenek itu belum berani menerima senjata-senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan yang memiliki tenaga sinkang amat kuat itu dengan tubuhnya. Yang berani beradu dengan senjata-senjata tajam itu hanyalah kedua lengannya saja yang agaknya sudah terlatih dengan amat baiknya.

"Tringgg...! Crakkk...! Tranggg...!"

Bunga api berpijar ketika ujung pedang mencium permukaan batu, membuat debu batu bertaburan. Nenek itu harus melipat gandakan kecepatannya ketika dua kakinya diserang dengan babatan pedang sedangkan pada saat yang sama Kui-kok Lo-bo menggerakkan sepasang belatinya mengarah jalan-jalan darah yang berbahaya.

Sesudah suami isteri itu mempergunakan senjata, perkelahian menjadi semakin seru dan menegangkan. Semua orang yang hadir di sana, baik yang sekelompok dan kini duduk di sebelah kanan mau pun mereka yang masih berdiri di belakang Iblis Buta, nonton dengan perasaan tegang. Bagi mereka, yang berkelahi itu seolah-olah mewakili golongan masing-masing, yaitu golongan yang tunduk kepada Raja dan Ratu Iblis dengan golongan yang menentang.

Walau pun Sui Cin harus mengakui bahwa nenek berambut putih itu memang lihai sekali sehingga tidak sampai kalah meski dikeroyok suami isteri iblis dari Kui-kok-pang itu yang keduanya bersenjata tajam, akan tetapi dia masih merasa ragu-ragu apakah orang-orang seperti Dewa Arak atau Dewa Kipas harus takut menghadapinya. Menurut penilaiannya, tingkat kepandaian dua orang kakek itu belum tentu kalah oleh nenek berambut putih itu, akan tetapi mengapa mereka berdua nampak sedemikian takutnya menghadapi Raja dan Ratu Iblis? Dia menaksir bahwa kalau hanya dapat mengimbangi kepandaian dua orang suami isteri Kui-kok-pang itu saja, ayahnya atau ibunya belum tentu akan kalah!

Akan tetapi tiba-tiba kakek katai menyentuh lengannya dan menudingkan jari telunjuknya ke arah batu di mana perkelahian masih berlangsung dengan serunya. Dan Sui Cin yang tadinya termenung itu sekarang terbelalak. Kedua orang suami isteri Kui-kok-pang itu kini kelihatan terhuyung-huyung!

Yang membuat Sui Cin terheran-heran dan merasa ngeri adalah ketika dia melihat betapa kedua tangan suami isteri itu kini berubah menjadi hijau, juga muka mereka yang tadinya pucat seperti muka mayat itu tiba-tiba berubah menjadi kehijauan! Dan dia, sebagai puteri suami isteri pendekar sakti, dapat menduga apa artinya itu. Suami isteri Kui-kok-pang itu ternyata telah keracunan secara hebat sekali. Inilah sebabnya mengapa gerakan mereka menjadi kacau dan lemah.

Padahal nenek berambut putih itu sama sekali tak pernah kelihatan menggunakan racun! Dari mana datangnya racun yang menguasai suami isteri itu? Dan kedua suami isteri Iblis Kui-kok-san itu pun merupakan datuk-datuk sesat yang tidak asing dengan segala macam racun, bagaimana mungkin mereka dapat keracunan semudah itu?

Tiba-tiba saja nenek berambut panjang itu mengeluarkan suara bentakan melengking, lalu tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu sepasang pisau dan pedang itu telah terbang dari tangan para penyerangnya. Suami isteri itu nampak sangat terkejut, akan tetapi mereka menggunakan tangan kosong untuk melawan terus. Bahkan sekarang mereka mengamuk secara nekat, melihat betapa tubuh mereka telah dipengaruhi hawa racun hijau yang tidak menimbulkan rasa nyeri, akan tetapi membuat tubuh mereka makin lama semakin lemas.

"Hyaaattttt...!" tiba-tiba Kui-kok Lo-bo menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar setan.

Nenek ini sudah nekat karena merasa betapa sebetulnya dia dan suaminya dipermainkan, karena kalau dikehendaki, agaknya sejak tadi dia dan suaminya sudah dapat dikalahkan. Dia tadi sudah mencoba menggunakan pil anti racun untuk menyembuhkan keracunan itu dengan menelannya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali. Maka dia berlaku nekat, kalau perlu hendak mengadu nyawa dengan lawan.

Karena itu serangannya itu hebat bukan main, tidak mempedulikan daya pertahanan lagi, melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mencengkeram tubuh lawan. Tentu saja dia menyerang sambil mengerahkan tenaga sinkang yang membuat sepasang tangannya berubah hitam dan mengandung hawa beracun yang amat berbahaya.

Akan tetapi karena racun hijau itu mulai menguasai dirinya, gerakannya menjadi kurang cepat dan lawannya dengan mudah saja dapat mengelak, bahkan kini lawannya berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Kui-kok Lo-bo. Sebelum Lo-bo dapat mencegah, tahu-tahu ada sinar putih berkelebat lantas rambut-rambut putih yang riap-riapan itu telah bergerak menyerang mukanya!

Terdengar jerit mengerikan ketika rambut-rambut halus yang sudah berubah menjadi kaku meruncing itu menerkam muka dan leher Kui-kok Lo-bo. Ketika nenek berambut putih itu melepaskan pegangan sambil mendorong, tubuh Kui-kok Lo-bo terjengkang dan terlempar jauh dari atas batu, terbanting ke atas tanah dan di situ tubuhnya berkelojotan. Muka dan lehernya mandi darah, juga sepasang matanya rusak dan hancur karena tusukan-tusukan rambut-rambut itu!

Melihat isterinya roboh, Kui-kok Lo-mo menjadi marah dan mata gelap. Dia lupa bahwa sudah jelas dia bukan lawan nenek rambut putih, akan tetapi dia sudah nekat dan sambil berseru keras dia pun memukul dengan tangan kanannya ke arah kepala nenek berambut putih, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut.

Serangan kedua tangan ini hebat bukan main. Meski pun kakek ini juga sudah keracunan dan tenaganya banyak berkurang, namun pengerahan sinkang dalam keadaan marah ini melipat gandakan kekuatannya sehingga dua serangan itu sangat dahsyat dan berbahaya sekali.

Nenek rambut putih itu cepat menyambut cengkeraman itu dengan pukulan kedua tangan miring ke bawah, sedangkan tangan yang menghantam ke arah kepalanya itu dia sambut dengan rambutnya. Akan tetapi kali ini rambut di kepalanya tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan menjadi bergumpal sebesar lengan dan dengan kekuatan dahsyat menyambut pukulan tangan kanan Kui-kok Lo-mo dengan tangkisan dari atas ke bawah pula, seperti sebuah lengan atau sebatang toya baja menangkis.

"Krakkk...! Krekkk...!"

Kui-kok Lo-mo meloncat ke belakang dan mukanya yang pucat agak kehijauan menjadi semakin pucat. Kedua lengannya tergantung lemas dan tidak berdaya lagi karena tulang-tulang kedua lengannya patah-patah oleh tangkisan gumpalan rambut serta kedua tangan nenek itu! Dalam satu jurus saja, kedua lengannya menjadi tidak berdaya dan tidak dapat dipergunakan untuk menyerang lagi.

"Haiiiittt...!" Biar pun sepasang lengannya sudah lumpuh, Kui-kok Lo-mo masih tidak mau mundur. Sudah kepalang baginya.

Isterinya telah tewas dan betapa pun juga, tak mungkin dia mundur menelan penghinaan dan kekalahan begitu saja di depan begitu banyak orang. Akan dikemanakan mukanya? Namanya akan hancur dan menjadi buah tertawaan orang bila dia mundur dan mengaku kalah. Maka, sambil mengeluarkan pekik yang nyaring tadi, kedua kakinya bergerak dan tubuhnya melayang ke atas, lalu kedua kaki melakukan tendangan dahsyat sekali.

"Plakkk! Brukkk...!"

Tubuh Kui-kok Lo-mo terbanting keras di atas batu ketika nenek itu mengelak ke samping sambil menangkis dengan lengannya. Akan tetapi Kui-kok Lo-mo bangkit kembali dengan loncatan karena kedua tangannya tidak dapat dipergunakan untuk menyangga tubuhnya, lantas dengan nekat dia menendang lagi. Akan tetapi, empat kali dia menendang, empat kali pula tubuhnya terbanting sebab setiap tendangan dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, bahkan tangkisan keras lawan membuat tubuhnya terpelanting dan terbanting.

"Aaahhhh...!" Tiba-tiba Kui-kok Lo-mo mengambil posisi menunduk seperti seekor kerbau mengamuk dan hendak mempergunakan tanduk menyerang. Akan tetapi karena Kui-kok Lo-mo tidak bertanduk, pada saat dia lari menyeruduk ke depan, dia hanya menggunakan kepalanya yang menerjang dan menyeruduk ke arah perut nenek berambut putih itu.

Serangan semacam ini jangan dipandang ringan! Bukan hanya kaki tangan kakek itu yang terlatih dan dapat disaluri tenaga sinkang sehingga mampu menghancurkan batu karang. Akan tetapi kepalanya juga menjadi anggota badan yang dapat dipakai untuk menyerang. Serudukan kepala itu sangat berbahaya. Bahkan tembok tebal sekali pun akan jebol kalau diseruduk kepala yang penuh dengan tenaga sinkang ini.

Sui Cin dan Hui Song yang sejak tadi melihat semua peristiwa itu dengan mata jarang berkedip, kini memandang penuh perhatian. Mereka tahu bahwa nenek berambut putih itu tentu akan mengelak. Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka melihat bahwa nenek itu sama sekali tidak mau mengelak, bahkan dia menerima kepala yang menyeruduk ke arah perutnya yang kecil itu.

"Ceppp...!"

Terdengar suara nyaring ketika kepala itu membentur perut dan... kepala itu menancap ke dalam perut. Perut yang ramping itu laksana menjadi kosong dan kepala Kui-kok Lo-mo masuk ke dalam rongga perut, disedot sehingga tidak dapat dikeluarkan lagi!

Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main. Dari hidungnya ke atas, kepalanya sudah terbenam ke dalam perut wanita itu. Dia hanya mampu bernapas melalui mulutnya dan dia merasa betapa kepalanya menjadi panas sekali, seperti dimasukkan ke dalam perapian! Dan ada gencatan amat kuat yang seolah-olah akan meledakkan kepalanya.

Kedua lengannya telah lumpuh, tidak dapat dipakai untuk menyerang, dan kedua kakinya pun tidak dapat melakukan tendangan karena terlalu dekat dengan lawan. Kini dia hanya dapat mengerahkan tenaga seadanya untuk meronta serta berusaha melepaskan diri dari sedotan perut itu.

Akan tetapi semua usahanya itu sia-sia belaka dan kepalanya terasa semakin nyeri dan panas. Demikian hebat rasa nyeri yang dideritanya hingga kedua kakinya meronta-ronta, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terlempar dari atas batu karena wanita berambut putih itu secara tiba-tiba menggerakkan perutnya dan tenaga dari perut itu menendang kepala Kui-kok Lo-mo sehingga tubuhnya terpental ke bawah batu, tepat di sisi tubuh isterinya yang masih berkelojotan. Dari telinga, hidung dan mulutnya bercucuran darah dan mulutnya mengeluarkan suara ngorok seperti seekor babi disembelih.

Melihat tubuh kakek dan nenek itu berkelojotan dalam keadaan sekarat, Sui Cin merasa ngeri sekali. Betapa sadisnya nenek berambut putih itu, pikirnya. Biar pun dia ingat bahwa kakek dan nenek itu juga merupakan iblis-iblis berujud manusia, akan tetapi menyaksikan kekejaman sedemikian hebatnya terjadi di depan matanya, hampir dia tak dapat bertahan untuk meloncat keluar dan menyerang nenek iblis itu! Akan tetapi Dewa Arak yang berada di dekatnya agaknya tahu akan isi hati gadis ini, maka beberapa kali kakek itu menepuk pundak atau lengan Sui Cin untuk menyabarkannya.

Sementara itu Siangkoan Lo-jin kini menggerakkan kedua kakinya lalu tubuhnya mencelat ke atas batu besar, berhadapan dengan nenek berambut putih yang kini sudah bertolak pinggang menanti lawan itu. Biar pun buta, akan tetapi kakek berambut putih itu tadi dapat mengikuti jalannya perkelahian dengan baik, hanya menggunakan pendengarannya saja.

Bahkan lebih dari pada mereka yang mempunyai mata sehat, dia mampu mengenal dan meneliti gerakan-gerakan nenek berambut putih itu, dapat mengetahui di mana saja letak kekuatannya dan di mana pula letak kelemahannya. Kini, dengan tenang dia berhadapan dengan nenek itu, memegang tongkatnya dengan tangan kiri.

"Hemm, sobat. Agaknya kini tinggal aku seorang saja yang berani menentang kalian. Mari majulah dan kita akan selesaikan urusan ini dengan taruhan darah dan nyawa."

Melihat sikap kakek buta ini, nenek berambut putih nampak ragu-ragu. Biar pun buta tapi kakek ini tidak boleh dibuat main-main, tidak boleh dipandang ringan karena dia pun telah mendengar bahwa Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta ini telah berhasil menundukkan banyak tokoh sesat yang lihai, malah beberapa orang anggota Cap-sha-kui, termasuk pula suami isteri yang sudah dirobohkannya itu telah tunduk kepada Iblis Buta ini. Orang yang sudah dapat menundukkan mereka, apa lagi dalam keadaan buta, tentu mengandalkan ilmu silat yang luar biasa sehingga dia harus berhati-hati.

Agaknya sang suami maklum akan keraguan isterinya, karena suaminya itu tiba-tiba saja bangkit berdiri lantas melangkah maju. Tanpa bicara apa pun, si isteri agaknya maklum bahwa jika suaminya sudah maju sendiri, tak ada alasan baginya untuk mencampurinya. Maka dia pun mundur dan duduk bersila di sudut batu seperti yang dilakukan suaminya tadi. Kini kakek yang mukanya kehijauan itu berdiri berhadapan dengan Iblis Buta.

Siangkoan Lo-jin juga dapat mengikuti semua gerakan tadi, dan dia tahu bahwa nenek itu telah mundur, digantikan oleh seorang yang langkah kakinya perlahan namun getarannya terasa mempengaruhi batu besar itu hingga kakinya sendiri pun dapat merasakan getaran itu!

Diam-diam Siangkoan Lo-jin mengerutkan kedua alisnya dan maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia adalah pemimpin para datuk sesat, selama ini dia dianggap raja, maka tentu saja ia akan mempertahankan kedudukannya itu yang hendak dirampas oleh suami isteri yang menyebut diri Raja Iblis dan Ratu Iblis itu.

"Apakah kini aku berhadapan dengan pangeran yang dijuluki Raja Iblis?" Slangkoan Lo-jin bertanya, tongkatnya mengetuk-ngetuk permukaan batu besar untuk mengenal keadaan.

"Kami adalah Pangeran Toan Jit Ong," untuk pertama kalinya terdengar kakek berambut putih riap-riapan itu bicara, suaranya halus dan tenang berwibawa, bagai suara dan sikap seorang bangsawan tinggi. "Kamu tentu orang she Siangkoan itu. Menyerahlah dan kami akan mengampunimu, lalu mengangkatmu menjadi pembantu kami!"

"Manusia sombong! Aku baru mau menyerah kalau kalah olehmu dan aku lebih baik mati jika sampai kalah oleh orang lain!" Selesai berkata demikian, si buta telah menggerakkan tongkatnya.

"Wirrrr...! Siuuuuttt...!"

Nampak cahaya hitam bergulung-gulung lalu mencuat ke arah kakek berambut putih yang mengaku bernama Pangeran Toan Jit Ong itu. Serangan ini dahsyat sekali karena tongkat kayu cendana itu digerakkan dengan tenaga sinkang yang amat kuat.

Pangeran yang dijuluki Raja Iblis itu agaknya mengenal serangan ampuh, maka cepat dia menggerakkan tubuhnya. Yang amat mengagumkan adalah bahwa gerakan itu dilakukan seenaknya saja dan tidak tergesa-gesa, dan hanya menarik kaki menggeser tubuh maka serangan tongkat itu luput dan lewat di samping tubuhnya.

Akan tetapi kakek buta itu memang lihai bukan main. Biar pun matanya buta, akan tetapi pendengarannya dapat mengikuti semua gerakan lawan dan walau pun tongkatnya luput dalam serangan pertama, akan tetapi tongkat itu seperti hidup dan dapat mengejar lawan dengan susulan serangan yang lebih dahsyat lagi, kini menghantam dari atas ke bawah!

"Wuuuttt...! Tarrr...!"

Bunga api berpijar ketika tongkat itu menghantam batu dan debu berhamburan. Hebat bukan kepalang tenaga pukulan ini. Batu besar itu tergetar dan dapat dibayangkan kalau hantaman seperti itu mengenai kepala atau anggota badan lainnya.

Sampai lima kali pangeran yang kini menjadi datuk sesat itu mengelak, dengan gerakan seenaknya saja, kemudian tahu-tahu tubuhnya mencelat ke tempat tadi dalam keadaan duduk bersila.

"Kamu orang buta masih tidak berharga menjadi lawan kami!" katanya dan dia pun sudah memejamkan kedua matanya.

Agaknya sikap ini mudah dipahami oleh isterinya. Nenek yang tadinya juga duduk bersila itu telah meloncat ke depan, menyambut si buta yang menjadi marah dan mengejar lawan yang meninggalkannya. Ketika dia mendengar suara nenek itu bergerak menyambutnya, dia cepat menggerakkan tongkatnya menyapu dari samping.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.