KITA tinggalkan dahulu Hui Song yang dengan hati sangat gembira melakukan perjalanan cepat menuju ke utara itu, dan mari kita mengikuti kakek Wu-yi Lo-jin, menuju ke tempat pertapaan kakek itu di Wu-yi-san.
Dalam perjalanan hari pertama saja, kakek Wu-yi Lo-jin sudah mulai menguji ilmu ginkang dara itu. "Mari kau ikuti lariku secepatnya!" katanya dan belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ.
Sui Cin maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka dia pun cepat mengejar dan mengerahkan seluruh tenaganya serta ilmu ginkang-nya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali. Betapa pun dia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja dia tertinggal dalam jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti tidak berjalan, melainkan seperti orang melayang saja dan kelihatan seenaknya, berbeda dengan dia yang mengerahkan tenaga. Sampai dia terengah-engah, kakek itu masih terus berlari.
Akhirnya, sesudah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti lantas berteriak memanggil. "Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi...!"
Mulai hari itu juga, Wu-yi Lo-jin memberi kuliah tentang teori-teori ilmu ginkang-nya yang oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri. Setelah tiba di Wu-yi-san, Sui Cin kagum sekali melihat keadaan puncak di mana kakek itu mengasingkan diri selama puluhan tahun.
Tidak sembarang orang dapat mencapai ke puncak ini karena tidak ada jalan umum dari bawah, jalan setapak pun tidak ada. Yang ada hanyalah jurang-jurang yang mengelilingi puncak, dan mereka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang curam dan tebing-tebing yang terjal. Kiranya hanya orang-orang yang memiliki ginkang tinggi sajalah yang akan mampu mencapai puncak Wu-yi-san di bagian yang didiami kakek Wu-yi Lo-jin itu.
Semenjak hari itu, mulailah kakek Wu-yi Lo-jin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersemedhi serta melatih sinkang dan khikang, dia pun mengajarkan ilmu silat yang semuanya digerakkan dengan tenaga dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga di dalam melatih ilmu silat ini berarti juga melatih dan menyempurnakan ginkang.
Kurang lebih tiga tahun kemudian, dengan latihan yang sangat tekun di bawah bimbingan serta pengawasan Wu-yi Lo-jin yang ketat dan keras, tanpa disadarinya sendiri Sui Cin sudah memperoleh kemajuan hebat. Pada suatu hari, kakek itu membawanya ke sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang yang amat curam.
Ketika menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sampai tidak nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah depan, terpisah oleh celah yang sangat mengerikan itu, terdapat dataran yang merupakan tepi jurang di seberang.
Wu-yi Lo-jin mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot serta kulit binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya, kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang tadi disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu dengan hati heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh Wu-yi Lo-jin.
"Sui Cin, mulai hari ini engkau akan kuberi latihan-latihan terakhir yang selain melatih silat dan ginkang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?" Dia menuding ke tebing di depan yang pinggirnya agak lebih rendah dari pada pinggiran tebing sebelah sini.
Sui Cin memandang terbelalak, lebih heran dari pada takut. "Meloncat ke seberang sana? Ahh, perlukah itu, kek? Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat ke sana, akan tetapi apa gunanya menantang bahaya maut padahal untuk latihan melompat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"
Kakek itu tertawa. "He-heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang menjadi tempat aku berlatih ginkang. Sudahlah, engkau saja yang memasang tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biarlah aku yang memasang di sebelah sana. Kau lihat lubang-lubang di pinggir tebing ini? Ada sebelas lubang. Nah, pasanglah tonggak-tonggak besi ini ke dalam lubang, masukkan yang dalam dan kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana."
Kakek itu membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biar pun dia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak urung hatinya merasa ngeri dan dia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba di seberang sana.
Melihat kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, dia pun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk dengan pas sampai hanya tersisa satu kaki yang kelihatan di atas permukaan batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata kakek itu pun sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sui Cin!" teriak kakek itu dari seberang. "Sekarang ambillah tali-tali itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada setiap tonggak dan lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu tergantung pada tali-tali ini!"
Terkejutlah hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan dia menduga-duga apa yang diajarkan kakek itu kepadanya. Akan tetapi, dia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan ujung tali-tali itu dengan sangat kuatnya pada tonggak-tonggak itu lalu melemparkan ujung yang lain ke seberang. Kakek itu menangkap ujung yang lain itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya.
Sekarang terbentanglah tali-tali itu, menjadi jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu sehingga pada saat dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang berbeda-beda, seperti tali-tali yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda, makin ke kanan nadanya makin tinggi. Setelah selesai, dia pun berkata kepada Sui Cin dari seberang.
"Mulai hari ini, engkau harus selalu berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kau kuasai di atas tali-tali ini, baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"
Kakek itu kemudian memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula hati Sui Cin memang merasa ngeri ketika dia harus berjalan, melangkah, berlari-lari, dan berloncatan di atas tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa seperti ia sedang melayang di langit dan setiap saat jika tali yang diinjaknya putus, maka tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak nampak dari atas.
Akan tetapi, sesudah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya. Setiap hari dia berlatih dengan tekun, dari pagi sampai sore, kadang kala di malam hari dan kini kedua kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan bermain-main seolah dia berada di atas tanah datar saja.
Pada suatu pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama nada yang teratur seperti bunyi yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur atau kuatnya tali-tali itu, lembut atau kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui Cin menciptakan getaran-getaran berbeda pada tali-tali itu.
Kakek Wu-yi Lo-jin berdiri tegak di pinggir jurang itu, memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Sesudah dara itu selesai bersilat dan meloncat ke tepi, kakek itu lalu mengangguk-angguk.
"Heh-heh-heh, bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sialah jerih payah kita selama hampir tiga tahun ini. Kini engkau sudah mempunyai ginkang yang setingkat denganku, dan aku yakin engkau sudah dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Dan sekarang telah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jit Ong itu, Sui Cin. Masih ada waktu setengah tahun lagi bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."
"Engkau juga akan pergi ke sana, kek?" tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak peradatan. Wu-yi Lo-jin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala macam peraturan.
"Tentu saja! Juga Siang-kiang Lo-jin dan kawanmu itu, dan kalau memang masih hidup, enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul di sana."
Ucapan ini segera mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang telah bertahun-tahun tak pernah dijumpainya itu. Hatinya merasa gembira, juga jantungnya berdegup aneh karena begitu teringat kepada Hui Song, dia pun segera teringat akan ucapan terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah. Pengakuan cinta pemuda itu terhadap dirinya!
Kini dia bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil baliq sudah lewat dan dia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Walau pun belum memiliki pengalaman tentang cinta, tapi perasaan wanitanya membuat dia sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda yang amat disukanya itu. Namun tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah dia pun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu cocok dengan wataknya.
"Kek, karena waktunya masih cukup lama, maka aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai Merah. Sudah terlampau lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu merasa gelisah sekali."
"Heh-heh, Pendekar Sadis dan Lam-sin, ya? Sui Cin, ayah bundamu adalah orang-orang hebat, jadi alangkah baiknya jika mereka dapat mengulurkan tangan membantu kita untuk menentang persekutuan pemberontak itu!"
"Akan kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jit Ong itu masih paman dari ibu."
Demikianlah, pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wu-yi-san, kemudian melakukan perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ning-po untuk menyeberang ke Pulau Teratai Merah. Dara yang kini melakukan perjalanan turun Gunung Wu-yi-san ini sungguh jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu bersama kakek katai.
Kini Sui Cin bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik dan manis. Dia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi dalam sikapnya terdapat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.
Dengan kepandaiannya yang amat tinggi, Sui Cin melakukan perjalanan cepat dan tanpa sesuatu halangan, tibalah dia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi betapa kecewa hatinya setelah dia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Dia hanya disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat munculnya nona mereka itu. Bahkan di antara mereka yang sudah tua dan yang pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan gembiranya.
"Aihhh, nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat. Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah dan ibu nona selalu bingung dan entah telah berapa kali pergi meninggalkan pulau untuk mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi sebulan yang lalu, entah kapan pulangnya."
Baru Sui Cin merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah bundanya. Mereka hanya mempunyai anak dia seorang dan dia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Ayah ibunya kebingungan, kemudian mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak dapat menemukan dirinya karena dia bersembunyi di Wu-yi-san dan tidak pernah meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi, tentu untuk mencarinya lagi, entah ke mana.
Padahal dia pun tidak dapat lama-lama menanti kambali mereka di Pulau Teratai Merah sebab dia mempunyai tugas berat untuk membantu para pendekar yang akan menentang persekutuan pemberontak di luar tembok besar. Maka ia pun lalu membuat surat panjang lebar kepada ayah bundanya dan menceritakan tentang semua pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wu-yi Lo-jin, tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan.
Kemudian di dalam surat itu dia menceritakan kepada ayah ibunya bahwa dia berangkat keluar Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama pendekar-pendekar lain. Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan dalam surat itu ia tidak lupa menulis bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jit Ong yang mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Su Ong!
Setelah meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan pulau itu lagi dan mulailah dia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang sangat jauh, namun dia memiliki banyak waktu dan dia pun dapat mengandalkan ilmunya berlari cepat.
Ruangan itu sangat luas dan terhias indah, juga hiasannya menggambarkan kegagahan. Pilar besar yang berada di ruangan itu diukir dengan gambar dua naga berebut mustika. Ukirannya kuat dan indah, dengan warna yang mengkilap dan hidup. Meja kursi yang ada di situ juga merupakan perabot-perabot yang kuno dan terawat baik.
Pada dinding ruangan itu nampak tergantung lukisan-lukisan yang amat indah pula, yaitu lukisan keindahan alam dengan sajak-sajaknya yang berisi dan berbobot. Tulisan-tulisan indah juga menghiasi dinding ruangan itu. Sungguh sebuah ruangan yang menimbulkan kesan kagum dan hormat bagi orang luar.
Akan tetapi pada sore hari itu, di dalam ruangan indah ini terjadi ketegangan. Tiga orang lelaki gagah yang usianya sekitar tiga puluh tahun, nampak sedang berlutut di atas lantai, menghadap seorang laki-laki dan seorang wanita yang duduk berdampingan. Sikap ketiga orang yang berlutut itu tegang dan gelisah, bahkan takut-takut, terutama sekali laki-laki yang berlutut di tengah-tengah. Laki-laki ini membawa sebatang pedang di punggungnya, mukanya pucat dan membayangkan duka, kepalanya masih diikat kain putih tanda bahwa dia sedang berkabung!
Pria yang duduk di atas kursi itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi rambutnya yang dikuncir ke belakang itu masih lebat dan hitam, begitu pula jenggotnya yang pendek itu pun masih hitam. Wajahnya tampan dan sikapnya gagah, alisnya tebal, akan tetapi pada pandang mata dan bibirnya membayangkan kekerasan hati yang penuh wibawa.
Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal yang bersih. Duduknya tegap berwibawa dan sepasang matanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa pada saat itu hati pria ini sedang tidak senang.
Wanita yang duduk di sebelah kanannya itu usianya pun sudah hampir lima puluh tahun, namun masih nampak cantik dengan mukanya yang putih halus belum dimakan keriput. Tubuhnya sedkit pendek dan dari dandanannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang keturunan Jepang.
Pria itu adalah ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar Cia Kong Liang dan wanita itu adalah isterinya yang bernama Bin Biauw, puteri dari seorang bekas datuk timur yang bernama Bin Mo To atau Minamoto dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur). Pada siang hari itu, dia dan isterinya sedang berada di ruangan dalam rumahnya yang besar, yang merupakan rumah perguruan Cin-ling-pai yang terkenal itu, dihadap tiga orang muridnya.
Hawa Pegunungan Cin-ling-san yang memasuki ruangan itu melalui jendela-jendela yang terbuka lebar, tidak melenyapkan ketegangan yang terasa oleh mereka. Selain mereka berlima, masih ada lagi dua puluh orang lebih murid Cin-ling-pai yang juga berlutut di luar ruangan itu dan mereka semua memandang dengan muka tegang karena mereka tahu bahwa ketua mereka sedang marah dan bahwa ada murid Cin-ling-pai yang bersalah dan sedang diadili. Ketua atau guru mereka itu terkenal dengan kekerasan hatinya yang tidak mengenal maaf dalam menghukum murid Cin-ling-pai yang bersalah.
"Su Kiat, engkau telah melanggar pantangan Cin-ling-pal, menodai nama baik Cin-ling-pai dengan perbuatanmu. Nah, sekarang ceritakan semuanya!" terdengar ketua Cin-ling-pai berkata, suaranya datar dan bengis, pandang matanya berkilat.
Laki-laki yang berada di tengah itu kini bangkit dalam keadaan masih berlutut. Mukanya muram, akan tetapi sepasang matanya penuh semangat. "Suhu, teecu sudah melakukan pelanggaran dan bersedia menerima hukuman suhu."
"Hemmm, Koan Tek, ceritakan bagaimana kalian dapat membawanya ke sini. Apakah dia melakukan perlawanan?" ketua itu lalu bertanya kepada laki-laki yang berlutut di pinggir kanan.
"Ciang Su Kiat suheng sedikit pun tidak melakukan perlawanan, suhu. Teecu berdua bisa menemukan tempat dia bersembunyi dan membujuknya untuk memenuhi panggilan suhu. Dia hanya mengatakan bahwa dia siap menerima hukuman walau pun dia menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras."
Wajah ketua Cin-ling-pai menjadi merah sekali. "Su Kiat, benarkah engkau mengatakan demikian?"
"Benar, suhu dan memang teecu tetap beranggapan bahwa teecu tidak bersalah sungguh pun teecu telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi teecu juga siap menerima hukuman karena teecu adalah murid Cin-ling-pai yang setia dan taat."
"Ceritakan semua yang terjadi!"
"Harap suhu dan subo ketahui bahwa ayah teecu yang sudah tua bekerja sebagai tukang kebun di gedung Coan Ti-hu. Ayah teecu bekerja semenjak dia masih muda dan dianggap sebagai seorang pembantu yang setia. Akan tetapi Coan Ti-hu terkenal sangat pelit dan tidak dapat menghargai jasa para pembantunya. Ketika ibu dan adik bungsu teecu sakit, ayah hamba minta bantuan majikannya, akan tetapi malah dibentak dan dihina. Karena terpaksa dan tidak berdaya lagi, ayah teecu melakukan penyelewengan, mencuri sebuah perhiasan emas yang dijualnya untuk biaya pengobatan ibu dan adik teecu. Perbuatan itu diketahui dan ayah lantas dihukum. Kalau hanya hukuman yang wajar saja, tentu teecu bisa menerimanya karena bagaimana pun juga alasannya, ayah teecu telah mencuri dan wajarlah kalau dipersalahkan dan dihukum yang pantas. Tetapi ayah telah dihajar, disiksa sampai setengah mati, bahkan setelah ayah pulang, dalam waktu tiga hari kemudian ayah meninggal dunia karena luka-lukanya!" Laki-laki itu berhenti sebentar dan menghapus dua titik air mata yang membasahi matanya.
"Aku mendengar bahwa ayahmu melawan dan mengeluarkan kata-kata makian terhadap Coan-taijin," kata ketua Cin-ling-pai.
"Mungkin saja ayah menegur karena semenjak muda ayah telah menghambakan diri akan tetapi dalam keadaan terpepet ayah tidak dapat mengharapkan bantuan. Bagaimana pun juga, teecu menganggap perbuatan pembesar itu keterlaluan. Ayah dibunuh hanya untuk perbuatan mencuri yang dilakukan untuk mengobati isteri dan anaknya. Karena itu, dalam keadaan berkabung dan berduka, teecu lupa diri dan mengamuk di gedung Coan Ti-hu. Sayang teecu tidak berhasil membunuh pembesar yang sewenang-wenang itu."
"Dan sekarang engkau menjadi buronan pemerintah! Su Kiat, perbuatanmu itu tidak hanya menyangkut dirimu sendiri, akan tetapi juga menyeret nama baik Cin-ling-pai. Coan Ti-hu menuntut kepada Cin-ling-pai, menyalahkan kami sebab engkau adalah murid Cin-ling-pai. Kalau kami tidak dapat menangkapmu, maka kami akan diadukan dan dianggap sebagai pemberontak karena anak murid perguruan Cin-ling-pai sudah berani menyerang seorang pembesar pemerintah! Nah, apa yang hendak kau katakan sekarang?"
"Suhu, bagaimana pun juga, teecu tidak merasa bersalah terhadap pembesar itu, bahkan dia masih berhutang nyawa kepada teecu. Tetapi teecu memang merasa telah melakukan pelanggaran terhadap Cin-ling-pai."
"Dan mengapa engkau berani menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras?"
"Benar, memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan menemukan tempat persembunyian teecu!" jawab Su Kiat dengan gagah. "Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan, dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan kenapa perbuatan pelanggaran itu dilakukan. Akan tetapi bukan berarti bahwa teecu akan mengingkari sumpah, teecu siap menerima hukuman."
"Kesalahanmu pada Cin-ling-pai sudah sangat jelas. Engkau telah mencoreng nama baik Cin-ling-pai, bahkan menghadapkan Cin-ling-pai pada pemerintah sehingga perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu amat jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Coan Ti-hu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai."
"Tidak...! Teecu... teecu bersedia menerima hukuman Cin-ling-pai, akan tetapi teecu tidak mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama Cin-ling-pai, hal itu merupakan pelanggaran dari peraturan nomor tiga. Nah, biarlah teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!" Secepat kilat Su Kiat mencabut pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.
"Crakkk...!"
Lengan kiri Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sute-nya yang berlutut di sebelah kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap gagah dan sedikit pun tidak mengeluh walau pun lengan kirinya buntung dan rasa nyeri menusuk jantung.
Wajah ketua Cin-ling-pai dan isterinya juga sedikit pun tidak membayangkan perasaan hati mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-ling-pai itu terbayang penyesalan dan dengan sikap dingin dia berkata, "Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu sendiri. Bagaimana pun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepada Coan Ti-hu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-ling-pai!"
"Tidak...! Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..." Si buntung itu terkejut memandang ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi dengan wajah dingin ketua Cin-ling-pai itu menganggukkan kepala seperti hendak menegaskan pendiriannya.
"Kalau begitu... lebih baik teecu mati...!" Berkata demikian, Su Kiat menggunakan pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.
"Wuuuttt...! Plakkk...! Trangggg...!"
Gerakan ketua Cin-ling-pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk tiba-tiba meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring.
Su Kiat terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak ketua Cin-ling-pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.
"Siapa bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak peduli apa pun alasannya!" kata ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dan sikap keras.
Wajah Su Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot. "Mulai saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-ling-pai lagi, dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, apa bila saya mau membunuh diri, siapa yang akan dapat menghalangi saya!" Berkata demikian, laki-laki yang sudah putus asa dan marah ini lalu menggerakkan tubuhnya hendak membenturkan kepalanya ke atas lantai!
"Jangan...!"
Berbareng dengan seruan ini, mendadak nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang buntung yang sudah mengambil keputusan tetap hendak membunuh diri itu.
"Hui Song...!" Teriak isteri ketua Cin-ling-pai, wajahnya cantik dan yang sejak tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya mengeluarkan sinar. Dia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada dalam kedukaan besar karena selama ini dia sudah meragukan apakah puteranya itu masih hidup.
Hui Song cepat memberi hormat kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, maafkan, aku akan membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut."
Dia segera menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari seorang saudara seperguruan, lalu mengobati luka itu dan membalutnya.
"Ambillah lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan tanpa Cin-ling-pai. Seorang gagah, berani berbuat juga harus berani bertanggung jawab!" Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah memungut lengan buntungnya, lantas sekali berkelebat dia pun lenyap dari tempat itu bersama suheng-nya yang sudah buntung lengannya.
"Hui Song, apa yang hendak kau lakukan?" Ayahnya membentak, cepat meloncat untuk mengejar. Akan tetapi pemuda itu sudah berada jauh di luar rumah dan hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat telinga ketua Cin-ling-pai itu.
"Ayah, aku akan membantu Ciang-suheng untuk menyelesaikan urusannya tanpa campur tangan Cin-ling-pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-ling-pai lagi."
Ketua Cin-ling-pai itu terkejut. Puteranya sudah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu kepandaiannya. Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah demikian hebat, terdengar lirih akan tetapi jelas sekali di dekat telinganya, tanda bahwa sekarang Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh secara hebat sekali, lebih hebat dari pada kalau dia sendiri yang melakukannya.
Lagi pula dia pun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan bahwa dirinya bukan lagi murid Cin-ling-pai. Jika memang Su Kiat hendak menyelesaikan sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia bukan lagi murid Cin-ling-pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi merupakan tanggung jawab Cin-ling-pai. Bagaimana pun juga, pihak Cin-ling-pai sudah melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah.
Secara diam-diam dia pun merasa kagum melihat sikap tegas puteranya yang hendak membantu Su Kiat menyelesaikan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia kemudian membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan diri ke dalam kamar bersama isterinya, dengan hati tak sabar menunggu kembalinya Hui Song yang sudah amat lama mereka rindukan itu.
Sore sudah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Sekeliling gedung itu dijaga ketat oleh pasukan penjaga, tetapi mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang sangat cepat bagaikan burung malam beterbangan itu.
Suasana sunyi di gedung besar itu tiba-tiba menjadi ribut ketika terdengar teriakan suara nyaring dari atas genteng.
"Coan Ti-hu, buka telingamu dan dengar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"
Tentu saja para pengawal segera berlarian datang, namun mereka menjadi panik sendiri. Sesudah ada pengawal yang melihat dua bayangan yang berdiri tegak di atas wuwungan rumah, mereka lalu berteriak-teriak sehingga sebentar saja bangunan itu telah dikurung.
Tentu saja Coan Ti-hu sendiri juga mendengar teriakan-teriakan itu, akan tetapi dia tidak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya tetap menjaganya di dalam kamar, lalu dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.
"Diam di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengarkan kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau sudah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dendam sudah dihukum oleh Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanku ini adalah urusan sendiri, sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pihak Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!" Sesudah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan perasaan jijik dan ngeri.
"Serang dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamanan dan belasan orang prajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu. Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suheng-nya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia lalu meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suheng-nya kemudian dilarikannya suheng-nya keluar kota Han-cung.
Di simpang jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suheng-nya. "Ciang-suheng, di sini kita harus berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, tak seharusnya engkau naik ke Cin-ling-san lagi, juga jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."
Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia. "Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Sekarang aku pun mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu silat hingga tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku? Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute...!" Dan orang buntung itu pun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song.
Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa, suheng-nya itu, Ciang Su Kiat. Dia takkan merasa heran jika suheng-nya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.
"Kasihan Ciang-suheng...!" Tanpa terasa lagi kata-kata ini meluncur keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.
"Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"
Mendengar suara orang yang secara tiba-tiba menyambut ucapannya itu, Hui Song cepat membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.
"Sumoi...!" tegurnya, kaget dan juga girang setelah mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya.
Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoi-nya itu dalam perantauannya, yaitu pada waktu dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat pesta itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat.
Ternyata kini Siang Wi telah berada di hadapannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah cahaya bulan yang baru saja muncul, wajahnya tampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.
"Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.
"Sumoi, bagaimana engkau bisa berada di sini?" Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.
"Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ahhh... alangkah hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."
Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum. "Kau terlalu memuji, sumoi. Engkau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa sekarang engkau bertambah lihai saja. Tak kusangka bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."
"Habis, di mana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?" tanya Siang Wi heran.
Hui Song tertawa. "Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."
Di bawah sinar bulan remang-remang pemuda itu tidak dapat melihat betapa wajah gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena kecewa, marah dan penasaran.
"Suheng! Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"
Mendengar suara yang bernada keras itu, Hui Song merasa heran. "Aihh, sumoi, kenapa marah? Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah? Usiamu hanya lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh empat, maka sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"
"Bukan itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu? Lupakah engkau akan janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng? Suhu dan subo juga sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati rindu..."
Hui Song terbelalak, terkejut dan langsung mundur tiga langkah ketika melihat sumoi-nya membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia lalu teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali.
Dahulu, ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada saat itu tentu saja dia tidak pernah bermimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoi-nya ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoi-nya yang berwatak galak, angkuh dan serius ini.
"Tapi... janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."
"Suheng...! Apa maksud kata-katamu itu? Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu? Suhu dan subo sudah yakin pula akan hal ini!"
Hui Song terkejut sekali. Tak disangkanya sudah sejauh itu urusan yang tadinya dianggap hanya permainan kanak-kanak itu. Selama ini, mungkin semenjak anak-anak, sumoi-nya mencintanya dan merasa yakin bahwa dia pun mencinta gadis ini, dan ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Hal ini bukan urusan kecil dan main-main lagi!
"Sumoi, sekarang kita jangan bicarakan hal itu di tempat ini. Aku sendiri belum pernah berpikir tentang perjodohan. Marilah kita pulang!" Dan tanpa menanti jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ.
Siang Wi juga meloncat dan segera mengejar, akan tetapi dia tertinggal jauh. Gadis itu mengerahkan tenaga dan ilmu ginkang-nya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah dia dan baru dia tahu bahwa ketika dia tadi membayangi Hui Song, dia dapat mengejar dan menyusul karena pemuda itu belum mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap, membuat dia menjadi semakin kagum.
Ketika sampai di rumahnya, Hui Song langsung disambut oleh ayah ibunya yang ternyata masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira akibat melihat putera tunggal mereka itu pulang sesudah merantau selama bertahun-tahun, dan gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.
"Apa yang kau lakukan bersama Su Kiat?" ketua Cin-ling-pai bertanya kepada puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.
"Aih, biarkan dia beristirahat dulu!" isterinya mencela, kemudian wanita itu merangkul Hui Song, menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di sebelahnya. Sambil terus memegangi tangan puteranya dan sepasang matanya yang basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu melanjutkan, "Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama bertahun-tahun! Ke mana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"
"Maaf, ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu dengan seorang sakti dan mempelajari ilmu selama tiga tahun."
"Hui Song," potong ayahnya, "tentang perantauanmu itu dapat kau ceritakan besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kau lakukan bersama Su Kiat."
"Ayah, Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras di atas gedung Coan Ti-hu bahwa perbuatannya itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai, bahwa dia bukan murid Cin-ling-pai."
"Hemmm, engkau mencampurinya dan turut mengacau gedung pembesar itu?" ayahnya bertanya dengan alis berkerut.
"Tidak, ayah. Aku hanya mengantarkan dan melindungi Ciang-suheng sampai di situ. Dan sesudah dia melemparkan potongan lengannya dan meneriakkan kata-katanya, kami pun segera pergi."
Pada saat itu masuklah Siang Wi. Dia baru saja dapat menyusul Hui Song dan dia masih dapat mendengar keterangan pemuda itu.
"Benar, suhu," katanya cepat. "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat saat dia dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan mengebutkan dua tangannya, dan pada saat dia mengerahkan ginkang-nya, teecu sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!"
Tentu saja Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu dan isterinya, merasa girang dan bangga sekali. Akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata, "Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih tidak berubah sejak dulu dan setiap hari kusuruh bersihkan."
Ketika rebah di atas pembaringannya, di dalam kamar yang sangat dikenalnya itu, secara diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung ketika berada di kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa bermimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar sekali.
Hari itu, setelah mereka semua makan pagi, ketua Cin-ling-pai serta isteri dan puteranya, dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang telah dianggap sebagai keluarga sendiri, berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap. Di dalam kesempatan ini, Hui Song menuturkan semua pengalamannya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoi-nya.
Ketika dia bercerita tentang Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang menjadi temannya dalam menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya terasa tidak enak mendengar betapa puteranya bergaul dengan puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu terkandung rasa suka dan kagum. Dia merasa tidak suka terhadap Pendekar Sadis yang dianggapnya sebagai seorang pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki puteranya bergaul dengan keluarga itu.
Memang sebelumnya ketua Cin-ling-pai dan isterinya itu sudah mendengar dari Siang Wi yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sadis. Pada waktu itu mereka sudah merasa tidak senang, tetapi baru sekarang mereka mendengar pengakuan langsung dari Hui Song.
Ketika Hui Song bercerita mengenai kakek sakti Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, ayahnya segera merasa tertarik sekali. Dia belum pernah mendengar nama itu, juga belum pernah mendengar kakek sakti yang berjuluk Dewa Arak Wu-yi Lo-jin. Dia merasa gembira sekali mendengar bahwa puteranya telah mendapatkan gemblengan ilmu selama tiga tahun dari kakek sakti Dewa Kipas.
Akan tetapi, ketika Hui Song bercerita tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk untuk kelak melakukan pemberontakan, dan mendengar pula betapa oleh gurunya itu Hui Song ditugaskan untuk membantu para pendekar menentang gerakan para calon pemberontak, ketua Cin-ling-pai lantas mengerutkan alisnya.
"Hui Song, aku tidak setuju kalau engkau mencampuri urusan pemerintah! Semenjak dulu Cin-ling-pai adalah perkumpulan para pendekar dan kita hanya bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, bukan bertindak menjadi pembela kaisar atau sebaliknya! Biar urusan pemerintahan dibereskan oleh para pejabat, itu adalah kewajiban dan urusan mereka sendiri, kita tidak perlu mencampurinya."
"Akan tetapi, ayah! Mana mungkin kita berdiam diri apa bila melihat ada komplotan busuk merencanakan pemberontakan terhadap kaisar?" Hui Song membantah.
"Hemm, mana kita tahu siapa sebenarnya yang busuk? Apakah engkau tidak mendengar betapa kaisar yang muda itu hanya mengutamakan kesenangan dan beliau dikelilingi oleh pembantu-pembantu yang amat busuk dan korup? Sudahlah, tidak perlu kita mencampuri urusan ini dan serahkan saja kepada mereka, baik para pejabat mau pun mereka yang tak puas dan ingin memberontak. Kita tidak perlu mencampuri, dan aku tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pemerintahan dan pemberontakan!"
"Akan tetapi, ayah, bukankah sudah menjadi tugas serta kewajiban para pendekar untuk menentang semua kejahatan yang akan mengacaukan kehidupan rakyat, menjaga agar masyarakat dapat hidup tenteram?"
"Benar, oleh karena itu kita tidak boleh mencampuri urusan pemberontakan dan urusan pemerintahan."
"Akan tetapi, mana mungkin ada ketenteraman kalau terjadi pemberontakan?"
"Pemerintah sudah memiliki pasukan yang kuat. Apa gunanya pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk membentuk bala tentara? Apa bila terjadi pemberontakan, pemerintah tentu akan menumpasnya dengan kekuatan tentaranya."
"Justru itulah, ayah. Sebelum terjadi perang yang hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat bukankah lebih baik kalau para pendekar turun tangan menentang komplotan yang hendak memberontak itu?"
"Hemmm, bagaimana kalau kaisarnya yang tidak baik? Bagaimana kalau pemerintahnya yang ternyata tidak baik?" Ketua Cin-ling-pai itu membantah. "Dengan campur tanganmu itu, bukankah berarti engkau akan membantu pihak yang tidak benar? Sudah, kita jangan mencampuri urusan pemerintah, itu bukan tugas kita sebagai pendekar!"
"Ayahmu benar, Hui Song. Pemerintah belum tentu selamanya betul, dan kalau ada yang memberontak, itu tentu disebabkan karena pemerintah yang tidak benar. Kalau kita selalu membela pemerirtah, berarti kita tersesat kalau membantu pemerintah yang tidak benar," sambung ibunya.
"Ayah dan ibu, harap maafkan apa bila aku terpaksa membantah. Pemerintah terdiri dari orang-orang juga, manusia-manusia biasa yang tidak akan bebas dari pada kesalahan-kesalahan. Akan tetapi pemerintah tidak terlepas dari kita. Kita adalah warga negara yang membentuk masyarakat dan bangsa. Tanpa ada warga negara, tak akan ada pemerintah karena para pejabat juga warga negara yang sudah dipilih untuk mengurus negara. Kalau pemerintahnya tidak baik, akibatnya rakyat pula yang akan menanggung, sebaliknya jika pemerintahan dipegang oleh orang-orang bijaksana dan berjalan dengan baik, rakyat pula yang akan makmur. Jika pemerintahan tidak benar, dan orang-orang yang mengemudikan jalannya pemerintahan menyeleweng, maka hal itu menjadi tugas para warga negara pula untuk mengawasi, mengeritik dan memprotesnya. Tanpa adanya pengawasan dan kritik, mana mungkin orang-orang pemerintah akan menyadari kekeliruan-kekeliruannya? Kalau pemerintah bersalah, bukan cara yang baik pula untuk menimbulkan pemberontakan dan merebut kekuasaan, karena yang merebut kekuasaan itu pun belum tentu benar, hanya kelihatannya saja benar karena kebetulan pemerintah yang dihadapinya dalam keadaan tidak benar! Jadi, baik atau pun buruk keadaan pemerintah, tetap saja kita, terutama para pendekar, mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dari gangguan luar yang berupa pemberontakan."
Hui Song yang kini sudah banyak mendengar dari Dewa Kipas mengenai kepatriotan dan kependekaran, bicara penuh semangat. Akan tetapi ayahnya melambaikan tangan dengan tidak sabar, seolah-olah mendengarkan ocehan seorang anak kecil saja.
"Hayaaa, Hui Song. Perlu apa engkau memusingkan pikiran dan merepotkan diri sendiri? Aku juga sudah banyak mendengar tentang kaisar yang masih seperti kanak-kanak itu! Kabarnya dia hanya mabok kesenangan dan roda pemerintahan diserahkan kepada para thaikam yang lalim. Dengan demikian, para pembesar korup merajalela, memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hanya menggendutkan perut sendiri tanpa peduli akan keadaan rakyat yang sengsara. Maka kalau ada yang hendak memberontak, hal itu sudah wajar saja. Tidak perlu kita membantu pemerintahan yang buruk seperti itu, karena hal itu berarti kita membantu tegaknya kelaliman yang menggencet rakyat!"
"Tidak ayah, aku tidak setuju! Pemerintah dalam bahaya, terancam gerombolan penjahat yang hendak memberontak. Inilah yang terpenting. Aku harus membantu para pendekar menghalau bahaya ini lebih dulu, barulah kemudian kita bertindak mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah. Bukankah aku juga pernah membantu sehingga pembesar korup Liu-thaikam terbongkar rahasianya dan tertangkap? Kalau kelak pemerintah sudah aman dari ancaman pemberontakan, baru kita mengadakan perbaikan-perbaikan dengan jalan menentang para pembesar korup. Apa lagi kalau diingat bahwa pemberontakan sekali ini dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang sudah mengumpulkan para datuk sesat, sisa-sisa dari Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya."
"Cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang pemberontakan dan..." Pada saat itu terdengar ketukan pintu dan ketua Cin-ling-pai itu menghentikan ucapannya lantas menyuruh murid yang mengetuk pintu itu masuk. Seorang murid masuk memberi tahu bahwa di luar ada tamu.
"Bin-locianpwe datang berkunjung," katanya.
Mendengar bahwa ayahnya datang berkunjung, Bin Biauw isteri ketua Cin-ling-pai itu lalu meloncat bangun dengan wajah gembira. Mereka semua cepat menyongsong keluar dan dengan gembira kakek itu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam.
Keluarga ketua Cin-ling-pai itu kembali berkumpul di dalam ruangan, dengan ditemani oleh Tan Siang Wi dan kali ini ditambah lagi dengan ayah mertua sang ketua.
Kakek itu sudah tua sekali, usianya sudah delapan puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih nampak sehat berisi. Bentuk tubuhnya pendek tegap, kepalanya botak dan hampir gundul. Sedikit rambut yang menghias di belakang kepalanya telahberwarna putih semua. Inilah tokoh persilatan yang dahulu pernah merajai lautan timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur), yaitu seorang berbangsa Jepang yang tadinya bernama Minamoto kemudian berubah menjadi Bin Mo To.
Kakek ini dahulu merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal, menguasai wilayah timur di sepanjang pantai laulan. Akan tetapi sesudah puterinya, Bin Biauw yang merupakan anak tunggalnya, berjodoh dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai, dia mencuci tangan dan meninggalkan julukannya, bahkan membubarkan perkumpulan Mo-kiam-pang yang dipimpinnya. Pada saat itu dia sudah cukup kaya sehingga walau pun meninggalkan segala macam pekerjaan haram, dia masih dapat hidup berkecukupan, di kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung.
Begitu melihat Hui Song, kakek itu merangkulnya, lalu memegang kedua pundak pemuda itu, mendorongnya supaya dia dapat melihat lebih jelas, lalu dia tertawa bergelak dengan gembira sekali.
"Ha-ha-ha, engkau cucuku Hui Song! Ahh, engkau sudah menjadi seorang laki-laki jantan yang amat gagah. Bagus, bagus, aku bangga bukan main. Berapa usiamu sekarang, Hui Song?"
"Dua puluh empat tahun, kek."
Kakek itu menggerakkan alisnya yang putih. "Apa? Dua puluh empat tahun dan engkau belum kawin?" Dia menoleh kepada Siang Wi, lalu menuding. "Apakah dia ini...?"
Wajah Hui Song menjadi merah. "Tidak, kek, aku belum menikah."
"Aihh, bagaimana ini?" Kakek itu menoleh kepada anaknya dan menantunya. "Sudah dua puluh empat tahun dan belum menikah? Aku sudah ingin melihat cucu buyutku."
"Mana ada waktu lagi untuk memikirkan pernikahan?" Bin Biauw mengomel. "Waktunya dihabiskan untuk merantau dan bertualang saja, ayah. Kemarin dia baru saja pulang dari perantauannya yang memakan waktu hampir empat tahun!"
"Ha-ha-ha, merantau dan bertualang sangat baik bagi seorang pemuda untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Akan tetapi, menikah juga perlu sekali untuk menyambung keturunan," kata kakek itu.
"Aku juga berpikir begitu, ayah, bahkan muridku ini merupakan calon mantu yang sangat baik."
Bin Mo To memandang wajah gadis yang manis itu, yang kini menunduk malu-malu dan dia mengangguk-angguk. "Engkau tentu lebih pandai memilih...," katanya.
"Aku belum memikirkan tentang pernikahan!" Hui Song berkata, nada suaranya jengkel.
"Nah, itulah ayah, cucumu ini yang keras kepala. Kalau diajak bicara tentang pernikahan, dia selalu terlihat tidak senang, dan senangnya hanya bicara tentang pemberontakan dan petualangan saja," kata Bin Biauw.
"Pemberontakan? Apa yang kau maksudkan dengan pemberontakan? Siapa yang hendak memberontak?" Kakek itu bertanya dengan penuh perhatian, agaknya dia tertarik sekali.
"Entahlah, katanya para tokoh hitam ingin melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan dia berkeras hendak menentang komplotan itu."
Kakek itu menarik napas panjang. "Ah... sungguh berbahaya sekali...!" kakek itu berkata, memandang kepada menantunya dengan mata penuh tanda tanya.
"Saya sudah melarangnya, ayah. Selama ini Cin-ling-pai tidak pernah mencampuri urusan pemerintah," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang kepada Hui Song yang masih diam saja. "Hui Song, benarkah bahwa engkau bermaksud membantu kaisar dan menentang mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"
Pemuda itu mengangguk, mengharap bantuan kakeknya dalam hal ini untuk menghadapi kekakuan ayahnya. "Kongkong, dalam perantauanku aku melihat dan mendengar sendiri bahwa para datuk kaum sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis sedang mengatur dan merencanakan pemberontakan terhadap kaisar. Tidak benarkah kalau aku membantu pihak yang akan melindungi kerajaan dan menentang usaha pemberontakan itu?"
"Ha-ha-ha, tentu saja, cucuku. Engkau benar, dan seorang pendekar memang sepatutnya kalau berjiwa pahlawan, membela negara nusa dan bangsa. Akan tetapi hal ini harus pula memperhitungkan dan melihat kenyataan bagaimana sifat kaisar atau pemerintahan yang dipimpinnya, bagaimana keadaan orang-orang yang sedang memegang tampuk pimpinan itu! Kalau mereka itu lalim, kalau mereka itu menjadi penindas rakyat, apakah sebagai pendekar dan pahlawan kita juga harus membela kelaliman?"
"Nah, kau dengarkan ucapan kongkong-mu itu Hui Song!" kata Cia Kong Liang. "Terdapat kebijaksanaan dalam kata-kata itu!"
"Akan tetapi, mereka yang hendak memberontak itu adalah datuk-datuk sesat yang amat jahat, kongkong!" Hui Song membantah.
Kakek itu tersenyum sabar. "Cucuku, engkau harus bisa membagi-bagi antara pejuangan para pahlawan dan perjuangan para pendekar. Pendekar adalah pembela kebenaran dan keadilan perorangan saja, karena itu dia memang harus memilih mana yang baik mana yang jahat, agar dapat membela yang baik dan menentang yang jahat. Akan tetapi dalam perjuangan para pahlawan berbeda lagi. Dalam perjuangan itu, untuk sementara sifat-sifat pribadi perorangan tidak masuk hitungan lagi, yang penting adalah membela nusa bangsa dan kepentingan rakyat banyak."
"Jadi... dengan kata lain, kongkong membenarkan tindakan para datuk sesat yang hendak memberontak itu?"
Kakek itu tetap tersenyum ramah. "Sudah kukatakan tadi bahwa dalam hal ini kita harus memejamkan mata untuk sementara terhadap sifat-sifat pribadi karena hal itu mengenai urusan negara. Yang penting kita harus melihat keadaan mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Bagaimanakah keadaannya? Sepanjang pendengaranku, meski pun sekarang Liu-thaikam sudah tertangkap dan tewas, namun keadaan kerajaan masih penuh dengan kotoran. Hanya terdapat beberapa orang menteri serta beberapa orang jenderal saja yang merupakan pejabat-pejabat bersih. Lainnya bertangan kotor dan semua ini tidak terlepas dari tanggung jawab kaisar. Sri baginda kaisar masih terlalu muda dan terlalu membiarkan dirinya dimabok kesenangan, tak peduli dengan pemerintahan. Bila keadaan ini dibiarkan terus berlarut-larut, maka rakyatlah yang akan menderita. Oleh karena itu, apa bila terjadi pemberontakan, hal itu kuanggap wajar, sebagai akibat dari tidak baiknya pemerintahan. Bukan berarti bahwa aku membenarkan sikap para pemberontak, akan tetapi jelas bahwa pemerintahan seperti keadaannya sekarang tidak patut mendapat bantuan para pendekar yang berjiwa patriot!"
"Akan tetapi, kongkong, bukankah semenjak jaman dahulu yang disebut orang gagah dan patriot itu adalah orang-orang yang selalu setia kepada kerajaan dan membela pemerintah mati-matian? Bukankah orang orang seperti itu akan selalu menentang pemberontakan?"
"Hui Song, engkau belum mengerti!" ayahnya membentak. "Seorang patriot adalah orang gagah yang membela rakyat, membela nusa dan bangsa! Apa bila pemerintahannya baik dan mengangkat nasib rakyat jelata, maka patriot tentu akan membela pemerintah secara mati-matian karena berarti membela rakyat pula. Sebaliknya, apa bila pemerintahnya lalim tetapi dia membantu pemerintah, berarti dia membantu kelaliman dan ikut pula menindas rakyat. Yang seperti ini namanya bukan pahlawan, bukan patriot, melainkan antek-antek pembesar lalim!"
"Akan tetapi, ayah, bukankah semenjak dulu yang namanya pemberontak itu dikutuk dan dianggap pengkhianat dan jahat?"
"Belum tentu! Tidak semua pemberontak itu jahat. Jika ada orang memberontak terhadap pemerintah yang baik, maka jelas bahwa dia jahat dan pamrihnya hanya hendak mencari keuntungan. Akan tetapi kalau dia memberontak terhadap pemerintah yang lalim, maka dia tidak dapat dinamakan jahat."
"Tetapi pemberontak mengobarkan api perang saudara dan mengorbankan banyak harta milik dan nyawa rakyat jelata!"
"Itu pengorbanan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik!" Kakek Bin Mo To menjawab cepat. "Untuk dapat membangun sesuatu yang lebih baik, kita harus berani membongkar yang lama dan buruk dan hal ini selalu memerlukan pengorbanan. Cucuku, ingat bahwa dalam setiap pergantian kekuasaan, calon kaisar yang setelah menjadi kaisar melakukan perbaikan-perbaikan dan bertindak bijaksana, tadinya adalah seorang pemberontak pula terhadap kekuasaan lama yang lalim."
Hui Song termenung. Kewalahan juga dia dikeroyok oleh ayah dan kongkong-nya, dan kini timbul keraguan dalam hatinya. Gerombolan yang hendak memberontak itu dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang dia ketahui jahat hanya dari pendengaran saja. Akan tetapi Raja Iblis itu adalah seorang bekas pangeran, jadi bukan tidak mungkin jika pemberontakannya itu didorong oleh jiwa patriot untuk menghalau kaisar dan antek-anteknya yang tak pernah mempedulikan nasib rakyat. Dia menjadi bingung, bimbang dan ragu, lalu mengundurkan diri dan menyendiri di dalam kamarnya.
Pahlawan! Patriot! Dari mana lahirnya sebutan ini dan apakah sebenarnya arti sebutan itu? Pada umumnya pengertian kata pahlawan adalah orang yang berjasa terhadap nusa dan bangsa, namanya diagungkan dan dihormati, dicatat dalam sejarah bahkan kadang-kadang diperingati, walau pun hanya sekali setahun dan hanya makan waktu beberapa menit saja.
Namun benarkah demikian? Benarkah bahwa seorang pahlawan itu dianggap pahlawan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa? Atau hanya oleh satu golongan saja, satu kelompok saja karena orang yang berjasa itu menguntungkan atau membantu golongannya, kelompoknya?
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai pahlawan hanyalah mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang pada saat itu kebetulan menjadi pemenang saja, kebetulan memegang kekuasaan saja. Lalu bagaimana dengan mereka yang dahulu dianggap berjasa kepada nusa dan bangsa oleh golongan lain yang dikalahkan oleh golongan yang kini berkuasa? Mereka ini sama sekali tidak dinamakan pahlawan, bahkan sebaliknya, dicap sebagai pengkhianat! Inilah kenyataan pahit yang harus dapat kita hadapi dengan mata terbuka.
Lihatlah keadaan di seluruh dunia. Bukankah demikian pula? Tokoh-tokoh yang tadinya dianggap pahlawan dan patriot terbesar sekali pun, kalau sekali waktu yang memegang kekuasaan adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh ini lalu dicap pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang kala ada pula yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya!
Dan ini bukan terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara satu bangsa yang berlainan golongan, berlainan corak pendapat dan gagasannya. Yang tadinya oleh satu golongan diagungkan sebagai pahlawan, akan dicap pengkhianat dan jahat oleh golongan lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan dari golongan pertama. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya dicap sebagai pengkhianat dan pemberontak, akan dipuja sebagai pahlawan, patriot dan sebagainya setelah golongan orang itu menang.
Jelaslah bahwa manusia sudah menjadi boneka dari permainan gagasan mereka sendiri, saling bertentangan, bermusuhan, bunuh-membunuh. Dan seperti biasa, hanya beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi semuanya itu, mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di waktu mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak lawan yang sedang berkuasa, demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat.
Para pejuang dari golongan mana pun, jika sedang berusaha menumbangkan kekuasaan yang dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai perisai dan senjata untuk mencapai kemenangan. Demi rakyat, untuk rakyat, begitu semboyan usang yang selalu diulang-ulang sepanjang sejarah. Rakyat pun terbujuk, terpukau, tergugah semangatnya membantu para patriot yang berjuang demi keadilan dan kebenaran, demi rakyat itu.
Akan tetapi bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai? Lagu lama! Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para pembantunya, yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan berkuasa dan membagi-bagi kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan di antara mereka.
Lalu bagaimana dengan rakyat? Rakyat yang paling menderita, berkorban menyerahkan harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu? Lagu lama pula! Rakyat hanya menerima janji-janji, sedangkan yang gugur akan diperingati setahun sekali untuk beberapa menit saja.
Tapi apa yang bisa dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa? Di mana-mana yang berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tak mau kalah, apa lagi mengalah. Yang menentang, biar pun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan dicap pengacau dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam sejarah.
Rakyat tertekan lagi. Lantas muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang sekarang berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan semboyan usang demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, akan kembali terulang lagi!
Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang sungguh-sungguh berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.
Malam itu Hui Song tak dapat tidur, gelisah dicekam keraguan dan kebingungan. Sebagai seorang muda, dia merasa penasaran dan hendak menyelidiki sendiri. Ingin dia melihat sendiri siapakah yang benar. Pendapat ayah ibu dan kakeknya, ataukah pendapat Dewa Kipas dan golongannya? Dia harus pergi, sekarang juga, untuk melakukan penyelidikan sendiri.
Pada keesokan harinya, ketua Cin-ling-pai dan isterinya hanya menemukan satu sampul surat di dalam kamar Hui Song. Dalam surat itu Hui Song mohon maaf dari ayah ibunya dan bilang bahwa dia ingin melakukan penyelidikan tentang usaha pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat itu.
'Saya akan menyelidiki dengan seksama sebelum mengambil keputusan apa yang akan saya lakukan terhadap pemberontakan itu.' Demikian Hui Song mengakhiri suratnya.
"Anak bandel!" Cia Kong Liang mengepal tinju dengan marah, ada pun isterinya langsung menangis. Anak tunggal yang baru saja tiba setelah pergi selama bertahun-tahun, hanya satu malam saja tinggal di rumah lalu pergi lagi tanpa pamit, entah ke mana.
"Ah, sudahlah. Tidak ada yang aneh jika putera kalian haus akan petualangan. Bukankah kematangan seorang pendekar juga hanya bisa didapat melalui pengalaman? Biarkan Hui Song memperdalam pengetahuannya dalam perantauan," kata Bin Mo To menghibur.
"Tetapi, ayah. Aku ingin melihat dia menikah atau setidaknya bertunangan dahulu dengan muridku Siang Wi. Eh, mana Siang Wi...?" Isteri ketua Cin-ling-pai itu memanggil-manggil muridnya, akan tetapi tidak nampak bayangan Siang Wi. Ketika para murid Cin-ling-pai ditanya, mereka mengatakan bahwa semenjak pagi mereka tak pernah melihat Hui Song mau pun Siang Wi.
"Jangan-jangan muridmu itu pergi bersama puteramu," kata Bin Mo To.
"Entahlah... akan tetapi baik sekali kalau memang begitu. Aku senang sekali bila mereka pergi berdua meluaskan pengalaman. Kuharap saja dugaanmu itu benar, ayah," kata Bin Biauw.
Selanjutnya, dalam percakapan di antara mereka, dengan perlahan-lahan kakek Bin Mo To membujuk mantunya untuk mendukung setiap perjuangan menentang kaisar.
"Setiap usaha untuk menentang pemerintah yang buruk patut didukung oleh orang-orang gagah. Dan perjuangan menentang kelaliman, siapa pun juga yang memimpin perjuangan itu, adalah usaha yang benar dan baik," antara lain Bin Mo To berkata dengan nada suara serius.
Mendengar ucapan ayahnya, juga melihat sikap ayahnya sejak kemarin jelas mendukung pemberontakan terhadap kaisar, Bin Biauw mengerutkan kedua alisnya dan memandang ayahnya dengan heran.
"Ayah, ada apa pulakah ini? Bukankah sejak puluhan tahun, semenjak aku menikah, ayah telah mencuci tangan dan tidak ingin mencampuri lagi segala urusan dunia? Kenapa kini tiba-tiba saja ayah begitu menaruh perhatian terhadap usaha pemberontakan itu dan ingin mendukungnya?"
Bin Mo To tersenyum. Anaknya ini memang cerdik bukan main dan agaknya sudah amat mengenal gerak-geriknya. Memang tepat sekali apa yang diduga dan ditanyakan oleh Bin Biauw tadi. Dia memang menaruh perhatian besar, bahkan mendukung gerakan itu.
Kiranya, gerakan yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, sesudah diadakan pertemuan antara para datuk sesat, telah mengguncangkan dunia kaum sesat. Berita itu disambut dengan ramai dan di daerah Ceng-tao juga terguncang oleh berita itu.
Biar pun Bin Mo To sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, akan tetapi dia tetap saja dikenal dan disegani oleh para tokoh hitam di wilayah pantai timur. Dan bekas teman-teman kakek itu lalu datang berkunjung, kemudian urusan gerakan pemberontakan itu mereka bicarakan.
Mendengar bahwa gerakan itu dipimpin oleh Raja Iblis yang sesungguhnya juga seorang pangeran bernama Toan Jit Ong, dan memperoleh dukungan Cap-sha-kui serta sebagian besar para datuk dan tokoh sesat, Bin Mo To tertarik sekali. Dia sendiri sudah tua, akan tetapi dia ingat akan mantunya.
Dia sama sekali tidak ingin menentang kerajaan atas dasar bujukan atau karena paksaan, namun ada suatu hal yang mendorongnya. Dia sudah merasa muak akan kekayaan yang dirasakannya tidak mampu mendatangkan kabahagiaan. Kini dia ingin melihat mantunya, sebagai suami anaknya, dapat meraih kedudukan.
Kalau orang seperti mantunya, ketua Cin-ling-pai, dapat turut membantu perjuangan, dan kelak kalau pemberontakan itu berhasil, tentu mantunya akan memperoleh pangkat tinggi. Dan anaknya akan terangkat dalam kemuliaan, juga dia sebagai mertua akan ikut pula naik derajatnya! Inilah sebabnya mengapa Bin Mo To datang mengunjungi mantunya dan kebetulan sekali cucu dan mantunya bicara tentang pemberontakan. Kini dia memperoleh jalan untuk membujuk mantunya.
"Anakku, ayahmu ini sudah tua, mana ada tenaga lagi untuk turut berjuang? Perjuangan adalah untuk yang muda-muda. Akan tetapi, aku hanya dapat mendukung di dalam batin. Dan siapa yang takkan mendukung perjuangan menumbangkan kekuasaan lalim karena hal itu berarti membebaskan rakyat dari kelaliman pemerintah?" demikian dia menjawab pertanyaan-pertanyaan puterinya tadi.
"Akan tetapi, sepanjang pendengaran saya, Kaisar Ceng Tek bukan seorang kaisar lalim, hanya masih terlalu muda sehingga dia lemah dan mudah dipermainkan oleh para pejabat tinggi yang membantunya," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin benar, akan tetapi kalau dia lemah dan hanya membiarkan para pejabat merajalela dengan kelaliman mereka, apa bedanya? Tetap saja rakyatlah yang tertindas, dan hal itu berarti bahwa kaisar yang bersalah karena dia harus bertanggung jawab atas kelaliman para pembantunya."
Bin Mo To terus membujuk menantunya, dibantu oleh Bin Biauw yang memihak ayahnya. Akhirnya Cia Kong Liang tertarik juga dan berjanji akan membantu kelak kalau saatnya telah tiba.
Hati Hui Song masih diliputi oleh rasa penasaran sehingga dia nampak termenung ketika berjalan seorang diri melalui jalan raya yang kasar dan sunyi itu. Hari itu amat panas dan perutnya terasa amat lapar. Tengah hari sudah lewat dan dusun di depan sudah nampak genteng-gentengnya.
Sudah tiga hari dia meninggalkan Cin-ling-san dan sekarang Gunung Cin-ling-san sudah tertinggal jauh di belakang, hanya nampak puncaknya saja dari situ. Dia merasa sangat penasaran dan gelisah. Benarkah ayahnya dan kakeknya, dan salahkah gurunya Si Dewa Kipas, juga Dewa Arak yang menjadi guru Sui Cin? Benarkah ayah dan kakeknya bahwa pemerintah tidak baik dan sudah sepatutnya kalau ditumpas?
Akan tetapi... membantu gerakan gerombolan seperti Cap-sha-kui itu? Ahh, tidak mungkin dapat dia lakukan! Orang-orang seperti mereka itu jahat bukan main dan perjuangan murni bagaimana pun yang menjadi alasannya, dia tidak sudi bekerja sama dengan kaum sesat itu. Dan dia pun yakin bahwa Sui Cin juga tidak mungkin sudi membantu para datuk hitam itu.
Bagaimana pun juga dia tak boleh sembrono, tidak boleh secara membuta membenarkan satu pihak saja tanpa penyelidikan sendiri. Dia tahu bahwa kaisar memang dikelilingi oleh pembesar-pembesar lalim dan korupsi merajalela di seluruh negeri. Setiap orang pejabat disangsikan kejujurannya karena terlampau banyak pejabat yang menggunakan hak dan kekuasaannya untuk menindas dan untuk mengeruk kekayaan bagi diri sendiri.
Pada jaman itu sulit ditemukan pejabat yang jujur dan benar-benar merupakan pelindung rakyat. Dan memang telah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang semua kebobrokan ini, akan tetapi dia sangsi apakah tepat kalau dia membantu pemberontakan para datuk sesat, walau pun pemberontakan itu berdalih mengenyahkan pemerintah lalim. Sukar dia membayangkan sebuah pemerintahan baru yang lebih baik apa bila kekuasaan itu berada di tangan para datuk sesat!
Dia sudah mendekati dusun di depan ketika dari arah belakangnya terdengar derap kaki kuda. Hui Song cepat minggir karena jalan itu amat sempit, memberi kesempatan kepada si penunggang kuda untuk lewat lebih dulu. Dan ternyata kuda itu lewat dengan cepat di sampingnya, seekor kuda yang besar dan baik.
Hui Song dapat mengenal kuda yang baik, akan tetapi begitu penunggang kuda lewat di sampingnya, hidungnya mencium bau yang harum sekali, membuat dia memperhatikan si penunggang kuda. Seorang wanita muda yang berwajah cantik, bertubuh ramping dengan pakaian yang potongannya sederhana namun bersih dan masih baru, dan minyak wangi yang dipergunakan wanita itu sungguh harum.
Wajah gadis ini mengingatkan Hui Song kepada Sui Cin karena memiliki ciri kecantikan yang sama. Rambutnya hitam panjang, berjuntai di punggungnya dan diikat pita merah. Bagian atasnya yang tidak tertutup menjadi kusut karena tiupan angin, namun kekusutan itu tidak mengurangi kecantikannya, bahkan menambah manis.
Sebatang bunga putih menghias di atas telinga kirinya. Telinganya memakai anting-anting emas dan selain itu tidak ada perhiasan menempel di tubuhnya. Yang membuat gadis itu nampak lebih manis adalah sebuah tahi lalat hitam yang menghias di atas dagu sebelah kiri, agak di bawah mulut. Dan ketika gadis itu mengerling ketika lewat, Hui Song merasa jantungnya berdebar.
Lirikan itu sungguh tajam dan mengandung banyak arti, lirikan yang dapat dikatakan genit memikat! Lirikan yang dihiasi senyum membayang pada bibir yang tipis merah membasah itu. Dan ketika kuda itu sudah lewat, dari belakang Hui Song dapat melihat betapa gadis itu memiliki pinggang yang sangat ramping dan pinggulnya menari-nari di atas punggung kudanya ketika kuda itu berlari congklang.
Agak sukar menduga orang macam apa adanya gadis itu. Usianya tentu tidak kurang dari dua puluh empat tahun. Jika melihat pakaiannya yang cukup sederhana, dengan baju luar berkembang, dia seperti seorang gadis dusun biasa saja. Akan tetapi perawatan mukanya menunjukkan bahwa dia seorang gadis kota.
Dia tidak membawa senjata, seperti seorang gadis lemah biasa saja, akan tetapi melihat cara dia menguasai kudanya, menunjukkan bahwa dia bukan seorang gadis yang begitu lemah, dan terutama sekali jelas bahwa dia menguasai ilmu menunggang kuda dengan cukup baik. Kuda beserta penunggangnya itu bersembunyi di balik debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda, kemudian akhirnya menghilang di balik pagar tembok dusun, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar.
Hui Song sudah melupakan gadis itu pada saat dia memasuki dusun, sebuah dusun yang cukup besar dan hatinya girang melihat bahwa di dalam dusun Lok-cun itu terdapat rumah penginapan dan juga ada sebuah restoran yang cukup besar. Sesudah memesan sebuah kamar di rumah penginapan sederhana itu, dia lalu keluar memasuki kedai makan yang cukup besar dan ramai dikunjungi tamu.
Ada belasan meja di sana dan lebih dari setengahnya diduduki tamu yang makan sore. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan melihat sikap mereka yang bebas itu, mudahlah diduga bahwa mereka adalah langganan-langganan restoran itu. Akan tetapi di sudut yang terpisah Hui Song melihat dua orang kakek duduk berhadapan dan keadaan kakek itu menarik perhatiannya sehingga dia pun memilih meja yang tidak berjauhan dari dua orang tamu itu, hanya terpisah oleh dua meja kosong.
Dua orang kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus dan tubuh itu terlihat menjadi semakin jangkung sebab dia memakai sebuah topi hitam yang tinggi, topi seperti yang biasa dipakai oleh para tosu atau kepala agama atau pertapa.
Jubahnya juga lebar dan kedodoran hingga menutupi semua tubuhnya mulai leher sampai kaki yang mengenakan sepatu kulit setinggi betis. Rambutnya panjang dibiarkan terurai di depan dan belakang, mencapai dadanya. Tubuh yang kurus itu laksana tulang dibungkus kulit, seperti tengkorak yang berkulit, dengan sepasang mata kecil yang dalam. Kumis dan jenggotnya membentuk lingkaran hitam di sekeliling mulutnya.
Orang ke dua juga tidak kalah anehnya. Orang ini tubuhnya besar dan perutnya gendut, dan perutnya itu dibiarkan terlihat karena bajunya terbuka tanpa kancing, atau kancingnya agaknya sudah putus semua karena besarnya perut, atau memang baju itu kurang lebar untuk dapat menutupi perutnya. Perut gendut dan dadanya terbuka. Jubahnya juga lebar dan panjang pada bagian belakang, sampai hampir menyentuh tanah. Sebuah guci arak tergantung pada pinggang kanannya.
Kepalanya yang bundar itu dicukur gundul, kecuali di tengah-tengah. Di atas ubun-ubun terdapat segumpal rambut yang diikat dengan tali kasa. Kakek ini nampak seperti hwesio akan tetapi bukan hwesio, sedangkan temannya itu seperti tosu akan tetapi bukan tosu. Pada jaman itu banyak para pendeta dan pertapa yang meninggalkan pantangan makan daging dan berkeliaran memasuki rumah-rumah makan, maka kehadiran dua orang itu pun tidak menimbulkan perhatian orang.
Namun tidak demikian bagi Hui Song. Pemuda ini sangat tertarik dan menaruh perhatian karena sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dari sinar mata, gerak-gerik dan sikap dua orang kakek itu, dia dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan.
Tiba-tiba percakapan di sebelah kirinya, di antara empat orang muda yang telah setengah mabok, menarik perhatian Hui Song. Pesanan makanannya telah dihidangkan dan sambil makan dia pun memasang telinga untuk mendengarkan percakapan yang terdengar cukup lantang, dan jelas dapat dikenal sebagai suara orang setengah mabok.
"Huh, pada jaman seperti sekarang ini, mana ada orang benar?" terdengar suara lantang seorang pemuda yang bermuka hitam. Dengan kepala bergoyang-goyang dan mulut yang menyeringai tanda kemabokannya, dia lantas melanjutkan. "Sekarang ini jamannya pagar makan tanaman, mereka yang menjadi pelindung malah mengganyang yang seharusnya dilindungi sendiri. Sekarang ini tidak ada orang dapat dipercaya!"
"Benar, benar! Jamannya sudah berubah, penjahat-penjahat kabarnya berjiwa patriot, dan sebaliknya orang-orang yang menjadi pendeta melakukan hal-hal memalukan. Lihat saja, di mana-mana terdapat pendeta-pendeta yang lahap makan daging dan mabok-mabokan minum arak, huh!"
Mudah saja diketahui bahwa orang kedua yang mukanya kekuningan ini dalam maboknya sudah menyindir dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan hwesio itu. Empat orang pemuda itu pun melirik ke arah dua orang kakek itu penuh ejekan, sedangkan Hui Song juga mengamati dari sudut kerlingnya.
Dalam perjalanan hari pertama saja, kakek Wu-yi Lo-jin sudah mulai menguji ilmu ginkang dara itu. "Mari kau ikuti lariku secepatnya!" katanya dan belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ.
Sui Cin maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka dia pun cepat mengejar dan mengerahkan seluruh tenaganya serta ilmu ginkang-nya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali. Betapa pun dia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja dia tertinggal dalam jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti tidak berjalan, melainkan seperti orang melayang saja dan kelihatan seenaknya, berbeda dengan dia yang mengerahkan tenaga. Sampai dia terengah-engah, kakek itu masih terus berlari.
Akhirnya, sesudah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti lantas berteriak memanggil. "Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi...!"
Mulai hari itu juga, Wu-yi Lo-jin memberi kuliah tentang teori-teori ilmu ginkang-nya yang oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri. Setelah tiba di Wu-yi-san, Sui Cin kagum sekali melihat keadaan puncak di mana kakek itu mengasingkan diri selama puluhan tahun.
Tidak sembarang orang dapat mencapai ke puncak ini karena tidak ada jalan umum dari bawah, jalan setapak pun tidak ada. Yang ada hanyalah jurang-jurang yang mengelilingi puncak, dan mereka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang curam dan tebing-tebing yang terjal. Kiranya hanya orang-orang yang memiliki ginkang tinggi sajalah yang akan mampu mencapai puncak Wu-yi-san di bagian yang didiami kakek Wu-yi Lo-jin itu.
Semenjak hari itu, mulailah kakek Wu-yi Lo-jin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersemedhi serta melatih sinkang dan khikang, dia pun mengajarkan ilmu silat yang semuanya digerakkan dengan tenaga dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga di dalam melatih ilmu silat ini berarti juga melatih dan menyempurnakan ginkang.
Kurang lebih tiga tahun kemudian, dengan latihan yang sangat tekun di bawah bimbingan serta pengawasan Wu-yi Lo-jin yang ketat dan keras, tanpa disadarinya sendiri Sui Cin sudah memperoleh kemajuan hebat. Pada suatu hari, kakek itu membawanya ke sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang yang amat curam.
Ketika menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sampai tidak nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah depan, terpisah oleh celah yang sangat mengerikan itu, terdapat dataran yang merupakan tepi jurang di seberang.
Wu-yi Lo-jin mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot serta kulit binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya, kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang tadi disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu dengan hati heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh Wu-yi Lo-jin.
"Sui Cin, mulai hari ini engkau akan kuberi latihan-latihan terakhir yang selain melatih silat dan ginkang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?" Dia menuding ke tebing di depan yang pinggirnya agak lebih rendah dari pada pinggiran tebing sebelah sini.
Sui Cin memandang terbelalak, lebih heran dari pada takut. "Meloncat ke seberang sana? Ahh, perlukah itu, kek? Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat ke sana, akan tetapi apa gunanya menantang bahaya maut padahal untuk latihan melompat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"
Kakek itu tertawa. "He-heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang menjadi tempat aku berlatih ginkang. Sudahlah, engkau saja yang memasang tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biarlah aku yang memasang di sebelah sana. Kau lihat lubang-lubang di pinggir tebing ini? Ada sebelas lubang. Nah, pasanglah tonggak-tonggak besi ini ke dalam lubang, masukkan yang dalam dan kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana."
Kakek itu membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biar pun dia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak urung hatinya merasa ngeri dan dia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba di seberang sana.
Melihat kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, dia pun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk dengan pas sampai hanya tersisa satu kaki yang kelihatan di atas permukaan batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata kakek itu pun sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sui Cin!" teriak kakek itu dari seberang. "Sekarang ambillah tali-tali itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada setiap tonggak dan lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu tergantung pada tali-tali ini!"
Terkejutlah hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan dia menduga-duga apa yang diajarkan kakek itu kepadanya. Akan tetapi, dia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan ujung tali-tali itu dengan sangat kuatnya pada tonggak-tonggak itu lalu melemparkan ujung yang lain ke seberang. Kakek itu menangkap ujung yang lain itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya.
Sekarang terbentanglah tali-tali itu, menjadi jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu sehingga pada saat dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang berbeda-beda, seperti tali-tali yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda, makin ke kanan nadanya makin tinggi. Setelah selesai, dia pun berkata kepada Sui Cin dari seberang.
"Mulai hari ini, engkau harus selalu berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kau kuasai di atas tali-tali ini, baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"
Kakek itu kemudian memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula hati Sui Cin memang merasa ngeri ketika dia harus berjalan, melangkah, berlari-lari, dan berloncatan di atas tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa seperti ia sedang melayang di langit dan setiap saat jika tali yang diinjaknya putus, maka tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak nampak dari atas.
Akan tetapi, sesudah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya. Setiap hari dia berlatih dengan tekun, dari pagi sampai sore, kadang kala di malam hari dan kini kedua kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan bermain-main seolah dia berada di atas tanah datar saja.
Pada suatu pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama nada yang teratur seperti bunyi yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur atau kuatnya tali-tali itu, lembut atau kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui Cin menciptakan getaran-getaran berbeda pada tali-tali itu.
Kakek Wu-yi Lo-jin berdiri tegak di pinggir jurang itu, memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Sesudah dara itu selesai bersilat dan meloncat ke tepi, kakek itu lalu mengangguk-angguk.
"Heh-heh-heh, bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sialah jerih payah kita selama hampir tiga tahun ini. Kini engkau sudah mempunyai ginkang yang setingkat denganku, dan aku yakin engkau sudah dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Dan sekarang telah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jit Ong itu, Sui Cin. Masih ada waktu setengah tahun lagi bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."
"Engkau juga akan pergi ke sana, kek?" tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak peradatan. Wu-yi Lo-jin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala macam peraturan.
"Tentu saja! Juga Siang-kiang Lo-jin dan kawanmu itu, dan kalau memang masih hidup, enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul di sana."
Ucapan ini segera mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang telah bertahun-tahun tak pernah dijumpainya itu. Hatinya merasa gembira, juga jantungnya berdegup aneh karena begitu teringat kepada Hui Song, dia pun segera teringat akan ucapan terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah. Pengakuan cinta pemuda itu terhadap dirinya!
Kini dia bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil baliq sudah lewat dan dia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Walau pun belum memiliki pengalaman tentang cinta, tapi perasaan wanitanya membuat dia sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda yang amat disukanya itu. Namun tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah dia pun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu cocok dengan wataknya.
"Kek, karena waktunya masih cukup lama, maka aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai Merah. Sudah terlampau lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu merasa gelisah sekali."
"Heh-heh, Pendekar Sadis dan Lam-sin, ya? Sui Cin, ayah bundamu adalah orang-orang hebat, jadi alangkah baiknya jika mereka dapat mengulurkan tangan membantu kita untuk menentang persekutuan pemberontak itu!"
"Akan kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jit Ong itu masih paman dari ibu."
Demikianlah, pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wu-yi-san, kemudian melakukan perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ning-po untuk menyeberang ke Pulau Teratai Merah. Dara yang kini melakukan perjalanan turun Gunung Wu-yi-san ini sungguh jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu bersama kakek katai.
Kini Sui Cin bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik dan manis. Dia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi dalam sikapnya terdapat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.
Dengan kepandaiannya yang amat tinggi, Sui Cin melakukan perjalanan cepat dan tanpa sesuatu halangan, tibalah dia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi betapa kecewa hatinya setelah dia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Dia hanya disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat munculnya nona mereka itu. Bahkan di antara mereka yang sudah tua dan yang pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan gembiranya.
"Aihhh, nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat. Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah dan ibu nona selalu bingung dan entah telah berapa kali pergi meninggalkan pulau untuk mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi sebulan yang lalu, entah kapan pulangnya."
Baru Sui Cin merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah bundanya. Mereka hanya mempunyai anak dia seorang dan dia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Ayah ibunya kebingungan, kemudian mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak dapat menemukan dirinya karena dia bersembunyi di Wu-yi-san dan tidak pernah meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi, tentu untuk mencarinya lagi, entah ke mana.
Padahal dia pun tidak dapat lama-lama menanti kambali mereka di Pulau Teratai Merah sebab dia mempunyai tugas berat untuk membantu para pendekar yang akan menentang persekutuan pemberontak di luar tembok besar. Maka ia pun lalu membuat surat panjang lebar kepada ayah bundanya dan menceritakan tentang semua pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wu-yi Lo-jin, tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan.
Kemudian di dalam surat itu dia menceritakan kepada ayah ibunya bahwa dia berangkat keluar Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama pendekar-pendekar lain. Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan dalam surat itu ia tidak lupa menulis bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jit Ong yang mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Su Ong!
Setelah meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan pulau itu lagi dan mulailah dia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang sangat jauh, namun dia memiliki banyak waktu dan dia pun dapat mengandalkan ilmunya berlari cepat.
********************
Ruangan itu sangat luas dan terhias indah, juga hiasannya menggambarkan kegagahan. Pilar besar yang berada di ruangan itu diukir dengan gambar dua naga berebut mustika. Ukirannya kuat dan indah, dengan warna yang mengkilap dan hidup. Meja kursi yang ada di situ juga merupakan perabot-perabot yang kuno dan terawat baik.
Pada dinding ruangan itu nampak tergantung lukisan-lukisan yang amat indah pula, yaitu lukisan keindahan alam dengan sajak-sajaknya yang berisi dan berbobot. Tulisan-tulisan indah juga menghiasi dinding ruangan itu. Sungguh sebuah ruangan yang menimbulkan kesan kagum dan hormat bagi orang luar.
Akan tetapi pada sore hari itu, di dalam ruangan indah ini terjadi ketegangan. Tiga orang lelaki gagah yang usianya sekitar tiga puluh tahun, nampak sedang berlutut di atas lantai, menghadap seorang laki-laki dan seorang wanita yang duduk berdampingan. Sikap ketiga orang yang berlutut itu tegang dan gelisah, bahkan takut-takut, terutama sekali laki-laki yang berlutut di tengah-tengah. Laki-laki ini membawa sebatang pedang di punggungnya, mukanya pucat dan membayangkan duka, kepalanya masih diikat kain putih tanda bahwa dia sedang berkabung!
Pria yang duduk di atas kursi itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi rambutnya yang dikuncir ke belakang itu masih lebat dan hitam, begitu pula jenggotnya yang pendek itu pun masih hitam. Wajahnya tampan dan sikapnya gagah, alisnya tebal, akan tetapi pada pandang mata dan bibirnya membayangkan kekerasan hati yang penuh wibawa.
Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal yang bersih. Duduknya tegap berwibawa dan sepasang matanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa pada saat itu hati pria ini sedang tidak senang.
Wanita yang duduk di sebelah kanannya itu usianya pun sudah hampir lima puluh tahun, namun masih nampak cantik dengan mukanya yang putih halus belum dimakan keriput. Tubuhnya sedkit pendek dan dari dandanannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang keturunan Jepang.
Pria itu adalah ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar Cia Kong Liang dan wanita itu adalah isterinya yang bernama Bin Biauw, puteri dari seorang bekas datuk timur yang bernama Bin Mo To atau Minamoto dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur). Pada siang hari itu, dia dan isterinya sedang berada di ruangan dalam rumahnya yang besar, yang merupakan rumah perguruan Cin-ling-pai yang terkenal itu, dihadap tiga orang muridnya.
Hawa Pegunungan Cin-ling-san yang memasuki ruangan itu melalui jendela-jendela yang terbuka lebar, tidak melenyapkan ketegangan yang terasa oleh mereka. Selain mereka berlima, masih ada lagi dua puluh orang lebih murid Cin-ling-pai yang juga berlutut di luar ruangan itu dan mereka semua memandang dengan muka tegang karena mereka tahu bahwa ketua mereka sedang marah dan bahwa ada murid Cin-ling-pai yang bersalah dan sedang diadili. Ketua atau guru mereka itu terkenal dengan kekerasan hatinya yang tidak mengenal maaf dalam menghukum murid Cin-ling-pai yang bersalah.
"Su Kiat, engkau telah melanggar pantangan Cin-ling-pal, menodai nama baik Cin-ling-pai dengan perbuatanmu. Nah, sekarang ceritakan semuanya!" terdengar ketua Cin-ling-pai berkata, suaranya datar dan bengis, pandang matanya berkilat.
Laki-laki yang berada di tengah itu kini bangkit dalam keadaan masih berlutut. Mukanya muram, akan tetapi sepasang matanya penuh semangat. "Suhu, teecu sudah melakukan pelanggaran dan bersedia menerima hukuman suhu."
"Hemmm, Koan Tek, ceritakan bagaimana kalian dapat membawanya ke sini. Apakah dia melakukan perlawanan?" ketua itu lalu bertanya kepada laki-laki yang berlutut di pinggir kanan.
"Ciang Su Kiat suheng sedikit pun tidak melakukan perlawanan, suhu. Teecu berdua bisa menemukan tempat dia bersembunyi dan membujuknya untuk memenuhi panggilan suhu. Dia hanya mengatakan bahwa dia siap menerima hukuman walau pun dia menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras."
Wajah ketua Cin-ling-pai menjadi merah sekali. "Su Kiat, benarkah engkau mengatakan demikian?"
"Benar, suhu dan memang teecu tetap beranggapan bahwa teecu tidak bersalah sungguh pun teecu telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi teecu juga siap menerima hukuman karena teecu adalah murid Cin-ling-pai yang setia dan taat."
"Ceritakan semua yang terjadi!"
"Harap suhu dan subo ketahui bahwa ayah teecu yang sudah tua bekerja sebagai tukang kebun di gedung Coan Ti-hu. Ayah teecu bekerja semenjak dia masih muda dan dianggap sebagai seorang pembantu yang setia. Akan tetapi Coan Ti-hu terkenal sangat pelit dan tidak dapat menghargai jasa para pembantunya. Ketika ibu dan adik bungsu teecu sakit, ayah hamba minta bantuan majikannya, akan tetapi malah dibentak dan dihina. Karena terpaksa dan tidak berdaya lagi, ayah teecu melakukan penyelewengan, mencuri sebuah perhiasan emas yang dijualnya untuk biaya pengobatan ibu dan adik teecu. Perbuatan itu diketahui dan ayah lantas dihukum. Kalau hanya hukuman yang wajar saja, tentu teecu bisa menerimanya karena bagaimana pun juga alasannya, ayah teecu telah mencuri dan wajarlah kalau dipersalahkan dan dihukum yang pantas. Tetapi ayah telah dihajar, disiksa sampai setengah mati, bahkan setelah ayah pulang, dalam waktu tiga hari kemudian ayah meninggal dunia karena luka-lukanya!" Laki-laki itu berhenti sebentar dan menghapus dua titik air mata yang membasahi matanya.
"Aku mendengar bahwa ayahmu melawan dan mengeluarkan kata-kata makian terhadap Coan-taijin," kata ketua Cin-ling-pai.
"Mungkin saja ayah menegur karena semenjak muda ayah telah menghambakan diri akan tetapi dalam keadaan terpepet ayah tidak dapat mengharapkan bantuan. Bagaimana pun juga, teecu menganggap perbuatan pembesar itu keterlaluan. Ayah dibunuh hanya untuk perbuatan mencuri yang dilakukan untuk mengobati isteri dan anaknya. Karena itu, dalam keadaan berkabung dan berduka, teecu lupa diri dan mengamuk di gedung Coan Ti-hu. Sayang teecu tidak berhasil membunuh pembesar yang sewenang-wenang itu."
"Dan sekarang engkau menjadi buronan pemerintah! Su Kiat, perbuatanmu itu tidak hanya menyangkut dirimu sendiri, akan tetapi juga menyeret nama baik Cin-ling-pai. Coan Ti-hu menuntut kepada Cin-ling-pai, menyalahkan kami sebab engkau adalah murid Cin-ling-pai. Kalau kami tidak dapat menangkapmu, maka kami akan diadukan dan dianggap sebagai pemberontak karena anak murid perguruan Cin-ling-pai sudah berani menyerang seorang pembesar pemerintah! Nah, apa yang hendak kau katakan sekarang?"
"Suhu, bagaimana pun juga, teecu tidak merasa bersalah terhadap pembesar itu, bahkan dia masih berhutang nyawa kepada teecu. Tetapi teecu memang merasa telah melakukan pelanggaran terhadap Cin-ling-pai."
"Dan mengapa engkau berani menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras?"
"Benar, memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan menemukan tempat persembunyian teecu!" jawab Su Kiat dengan gagah. "Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan, dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan kenapa perbuatan pelanggaran itu dilakukan. Akan tetapi bukan berarti bahwa teecu akan mengingkari sumpah, teecu siap menerima hukuman."
"Kesalahanmu pada Cin-ling-pai sudah sangat jelas. Engkau telah mencoreng nama baik Cin-ling-pai, bahkan menghadapkan Cin-ling-pai pada pemerintah sehingga perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu amat jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Coan Ti-hu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai."
"Tidak...! Teecu... teecu bersedia menerima hukuman Cin-ling-pai, akan tetapi teecu tidak mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama Cin-ling-pai, hal itu merupakan pelanggaran dari peraturan nomor tiga. Nah, biarlah teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!" Secepat kilat Su Kiat mencabut pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.
"Crakkk...!"
Lengan kiri Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sute-nya yang berlutut di sebelah kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap gagah dan sedikit pun tidak mengeluh walau pun lengan kirinya buntung dan rasa nyeri menusuk jantung.
Wajah ketua Cin-ling-pai dan isterinya juga sedikit pun tidak membayangkan perasaan hati mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-ling-pai itu terbayang penyesalan dan dengan sikap dingin dia berkata, "Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu sendiri. Bagaimana pun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepada Coan Ti-hu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-ling-pai!"
"Tidak...! Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..." Si buntung itu terkejut memandang ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi dengan wajah dingin ketua Cin-ling-pai itu menganggukkan kepala seperti hendak menegaskan pendiriannya.
"Kalau begitu... lebih baik teecu mati...!" Berkata demikian, Su Kiat menggunakan pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.
"Wuuuttt...! Plakkk...! Trangggg...!"
Gerakan ketua Cin-ling-pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk tiba-tiba meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring.
Su Kiat terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak ketua Cin-ling-pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.
"Siapa bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak peduli apa pun alasannya!" kata ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dan sikap keras.
Wajah Su Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot. "Mulai saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-ling-pai lagi, dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, apa bila saya mau membunuh diri, siapa yang akan dapat menghalangi saya!" Berkata demikian, laki-laki yang sudah putus asa dan marah ini lalu menggerakkan tubuhnya hendak membenturkan kepalanya ke atas lantai!
"Jangan...!"
Berbareng dengan seruan ini, mendadak nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang buntung yang sudah mengambil keputusan tetap hendak membunuh diri itu.
"Hui Song...!" Teriak isteri ketua Cin-ling-pai, wajahnya cantik dan yang sejak tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya mengeluarkan sinar. Dia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada dalam kedukaan besar karena selama ini dia sudah meragukan apakah puteranya itu masih hidup.
Hui Song cepat memberi hormat kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, maafkan, aku akan membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut."
Dia segera menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari seorang saudara seperguruan, lalu mengobati luka itu dan membalutnya.
"Ambillah lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan tanpa Cin-ling-pai. Seorang gagah, berani berbuat juga harus berani bertanggung jawab!" Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah memungut lengan buntungnya, lantas sekali berkelebat dia pun lenyap dari tempat itu bersama suheng-nya yang sudah buntung lengannya.
"Hui Song, apa yang hendak kau lakukan?" Ayahnya membentak, cepat meloncat untuk mengejar. Akan tetapi pemuda itu sudah berada jauh di luar rumah dan hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat telinga ketua Cin-ling-pai itu.
"Ayah, aku akan membantu Ciang-suheng untuk menyelesaikan urusannya tanpa campur tangan Cin-ling-pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-ling-pai lagi."
Ketua Cin-ling-pai itu terkejut. Puteranya sudah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu kepandaiannya. Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah demikian hebat, terdengar lirih akan tetapi jelas sekali di dekat telinganya, tanda bahwa sekarang Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh secara hebat sekali, lebih hebat dari pada kalau dia sendiri yang melakukannya.
Lagi pula dia pun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan bahwa dirinya bukan lagi murid Cin-ling-pai. Jika memang Su Kiat hendak menyelesaikan sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia bukan lagi murid Cin-ling-pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi merupakan tanggung jawab Cin-ling-pai. Bagaimana pun juga, pihak Cin-ling-pai sudah melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah.
Secara diam-diam dia pun merasa kagum melihat sikap tegas puteranya yang hendak membantu Su Kiat menyelesaikan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia kemudian membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan diri ke dalam kamar bersama isterinya, dengan hati tak sabar menunggu kembalinya Hui Song yang sudah amat lama mereka rindukan itu.
********************
Sore sudah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Sekeliling gedung itu dijaga ketat oleh pasukan penjaga, tetapi mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang sangat cepat bagaikan burung malam beterbangan itu.
Suasana sunyi di gedung besar itu tiba-tiba menjadi ribut ketika terdengar teriakan suara nyaring dari atas genteng.
"Coan Ti-hu, buka telingamu dan dengar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"
Tentu saja para pengawal segera berlarian datang, namun mereka menjadi panik sendiri. Sesudah ada pengawal yang melihat dua bayangan yang berdiri tegak di atas wuwungan rumah, mereka lalu berteriak-teriak sehingga sebentar saja bangunan itu telah dikurung.
Tentu saja Coan Ti-hu sendiri juga mendengar teriakan-teriakan itu, akan tetapi dia tidak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya tetap menjaganya di dalam kamar, lalu dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.
"Diam di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengarkan kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau sudah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dendam sudah dihukum oleh Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanku ini adalah urusan sendiri, sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pihak Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!" Sesudah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan perasaan jijik dan ngeri.
"Serang dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamanan dan belasan orang prajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu. Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suheng-nya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia lalu meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suheng-nya kemudian dilarikannya suheng-nya keluar kota Han-cung.
Di simpang jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suheng-nya. "Ciang-suheng, di sini kita harus berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, tak seharusnya engkau naik ke Cin-ling-san lagi, juga jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."
Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia. "Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Sekarang aku pun mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu silat hingga tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku? Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute...!" Dan orang buntung itu pun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song.
Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa, suheng-nya itu, Ciang Su Kiat. Dia takkan merasa heran jika suheng-nya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.
"Kasihan Ciang-suheng...!" Tanpa terasa lagi kata-kata ini meluncur keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.
"Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"
Mendengar suara orang yang secara tiba-tiba menyambut ucapannya itu, Hui Song cepat membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.
"Sumoi...!" tegurnya, kaget dan juga girang setelah mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya.
Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoi-nya itu dalam perantauannya, yaitu pada waktu dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat pesta itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat.
Ternyata kini Siang Wi telah berada di hadapannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah cahaya bulan yang baru saja muncul, wajahnya tampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.
"Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.
"Sumoi, bagaimana engkau bisa berada di sini?" Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.
"Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ahhh... alangkah hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."
Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum. "Kau terlalu memuji, sumoi. Engkau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa sekarang engkau bertambah lihai saja. Tak kusangka bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."
"Habis, di mana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?" tanya Siang Wi heran.
Hui Song tertawa. "Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."
Di bawah sinar bulan remang-remang pemuda itu tidak dapat melihat betapa wajah gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena kecewa, marah dan penasaran.
"Suheng! Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"
Mendengar suara yang bernada keras itu, Hui Song merasa heran. "Aihh, sumoi, kenapa marah? Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah? Usiamu hanya lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh empat, maka sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"
"Bukan itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu? Lupakah engkau akan janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng? Suhu dan subo juga sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati rindu..."
Hui Song terbelalak, terkejut dan langsung mundur tiga langkah ketika melihat sumoi-nya membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia lalu teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali.
Dahulu, ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada saat itu tentu saja dia tidak pernah bermimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoi-nya ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoi-nya yang berwatak galak, angkuh dan serius ini.
"Tapi... janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."
"Suheng...! Apa maksud kata-katamu itu? Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu? Suhu dan subo sudah yakin pula akan hal ini!"
Hui Song terkejut sekali. Tak disangkanya sudah sejauh itu urusan yang tadinya dianggap hanya permainan kanak-kanak itu. Selama ini, mungkin semenjak anak-anak, sumoi-nya mencintanya dan merasa yakin bahwa dia pun mencinta gadis ini, dan ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Hal ini bukan urusan kecil dan main-main lagi!
"Sumoi, sekarang kita jangan bicarakan hal itu di tempat ini. Aku sendiri belum pernah berpikir tentang perjodohan. Marilah kita pulang!" Dan tanpa menanti jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ.
Siang Wi juga meloncat dan segera mengejar, akan tetapi dia tertinggal jauh. Gadis itu mengerahkan tenaga dan ilmu ginkang-nya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah dia dan baru dia tahu bahwa ketika dia tadi membayangi Hui Song, dia dapat mengejar dan menyusul karena pemuda itu belum mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap, membuat dia menjadi semakin kagum.
Ketika sampai di rumahnya, Hui Song langsung disambut oleh ayah ibunya yang ternyata masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira akibat melihat putera tunggal mereka itu pulang sesudah merantau selama bertahun-tahun, dan gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.
"Apa yang kau lakukan bersama Su Kiat?" ketua Cin-ling-pai bertanya kepada puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.
"Aih, biarkan dia beristirahat dulu!" isterinya mencela, kemudian wanita itu merangkul Hui Song, menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di sebelahnya. Sambil terus memegangi tangan puteranya dan sepasang matanya yang basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu melanjutkan, "Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama bertahun-tahun! Ke mana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"
"Maaf, ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu dengan seorang sakti dan mempelajari ilmu selama tiga tahun."
"Hui Song," potong ayahnya, "tentang perantauanmu itu dapat kau ceritakan besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kau lakukan bersama Su Kiat."
"Ayah, Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras di atas gedung Coan Ti-hu bahwa perbuatannya itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai, bahwa dia bukan murid Cin-ling-pai."
"Hemmm, engkau mencampurinya dan turut mengacau gedung pembesar itu?" ayahnya bertanya dengan alis berkerut.
"Tidak, ayah. Aku hanya mengantarkan dan melindungi Ciang-suheng sampai di situ. Dan sesudah dia melemparkan potongan lengannya dan meneriakkan kata-katanya, kami pun segera pergi."
Pada saat itu masuklah Siang Wi. Dia baru saja dapat menyusul Hui Song dan dia masih dapat mendengar keterangan pemuda itu.
"Benar, suhu," katanya cepat. "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat saat dia dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan mengebutkan dua tangannya, dan pada saat dia mengerahkan ginkang-nya, teecu sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!"
Tentu saja Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu dan isterinya, merasa girang dan bangga sekali. Akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata, "Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih tidak berubah sejak dulu dan setiap hari kusuruh bersihkan."
Ketika rebah di atas pembaringannya, di dalam kamar yang sangat dikenalnya itu, secara diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung ketika berada di kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa bermimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar sekali.
Hari itu, setelah mereka semua makan pagi, ketua Cin-ling-pai serta isteri dan puteranya, dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang telah dianggap sebagai keluarga sendiri, berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap. Di dalam kesempatan ini, Hui Song menuturkan semua pengalamannya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoi-nya.
Ketika dia bercerita tentang Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang menjadi temannya dalam menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya terasa tidak enak mendengar betapa puteranya bergaul dengan puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu terkandung rasa suka dan kagum. Dia merasa tidak suka terhadap Pendekar Sadis yang dianggapnya sebagai seorang pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki puteranya bergaul dengan keluarga itu.
Memang sebelumnya ketua Cin-ling-pai dan isterinya itu sudah mendengar dari Siang Wi yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sadis. Pada waktu itu mereka sudah merasa tidak senang, tetapi baru sekarang mereka mendengar pengakuan langsung dari Hui Song.
Ketika Hui Song bercerita mengenai kakek sakti Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, ayahnya segera merasa tertarik sekali. Dia belum pernah mendengar nama itu, juga belum pernah mendengar kakek sakti yang berjuluk Dewa Arak Wu-yi Lo-jin. Dia merasa gembira sekali mendengar bahwa puteranya telah mendapatkan gemblengan ilmu selama tiga tahun dari kakek sakti Dewa Kipas.
Akan tetapi, ketika Hui Song bercerita tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk untuk kelak melakukan pemberontakan, dan mendengar pula betapa oleh gurunya itu Hui Song ditugaskan untuk membantu para pendekar menentang gerakan para calon pemberontak, ketua Cin-ling-pai lantas mengerutkan alisnya.
"Hui Song, aku tidak setuju kalau engkau mencampuri urusan pemerintah! Semenjak dulu Cin-ling-pai adalah perkumpulan para pendekar dan kita hanya bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, bukan bertindak menjadi pembela kaisar atau sebaliknya! Biar urusan pemerintahan dibereskan oleh para pejabat, itu adalah kewajiban dan urusan mereka sendiri, kita tidak perlu mencampurinya."
"Akan tetapi, ayah! Mana mungkin kita berdiam diri apa bila melihat ada komplotan busuk merencanakan pemberontakan terhadap kaisar?" Hui Song membantah.
"Hemm, mana kita tahu siapa sebenarnya yang busuk? Apakah engkau tidak mendengar betapa kaisar yang muda itu hanya mengutamakan kesenangan dan beliau dikelilingi oleh pembantu-pembantu yang amat busuk dan korup? Sudahlah, tidak perlu kita mencampuri urusan ini dan serahkan saja kepada mereka, baik para pejabat mau pun mereka yang tak puas dan ingin memberontak. Kita tidak perlu mencampuri, dan aku tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pemerintahan dan pemberontakan!"
"Akan tetapi, ayah, bukankah sudah menjadi tugas serta kewajiban para pendekar untuk menentang semua kejahatan yang akan mengacaukan kehidupan rakyat, menjaga agar masyarakat dapat hidup tenteram?"
"Benar, oleh karena itu kita tidak boleh mencampuri urusan pemberontakan dan urusan pemerintahan."
"Akan tetapi, mana mungkin ada ketenteraman kalau terjadi pemberontakan?"
"Pemerintah sudah memiliki pasukan yang kuat. Apa gunanya pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk membentuk bala tentara? Apa bila terjadi pemberontakan, pemerintah tentu akan menumpasnya dengan kekuatan tentaranya."
"Justru itulah, ayah. Sebelum terjadi perang yang hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat bukankah lebih baik kalau para pendekar turun tangan menentang komplotan yang hendak memberontak itu?"
"Hemmm, bagaimana kalau kaisarnya yang tidak baik? Bagaimana kalau pemerintahnya yang ternyata tidak baik?" Ketua Cin-ling-pai itu membantah. "Dengan campur tanganmu itu, bukankah berarti engkau akan membantu pihak yang tidak benar? Sudah, kita jangan mencampuri urusan pemerintah, itu bukan tugas kita sebagai pendekar!"
"Ayahmu benar, Hui Song. Pemerintah belum tentu selamanya betul, dan kalau ada yang memberontak, itu tentu disebabkan karena pemerintah yang tidak benar. Kalau kita selalu membela pemerirtah, berarti kita tersesat kalau membantu pemerintah yang tidak benar," sambung ibunya.
"Ayah dan ibu, harap maafkan apa bila aku terpaksa membantah. Pemerintah terdiri dari orang-orang juga, manusia-manusia biasa yang tidak akan bebas dari pada kesalahan-kesalahan. Akan tetapi pemerintah tidak terlepas dari kita. Kita adalah warga negara yang membentuk masyarakat dan bangsa. Tanpa ada warga negara, tak akan ada pemerintah karena para pejabat juga warga negara yang sudah dipilih untuk mengurus negara. Kalau pemerintahnya tidak baik, akibatnya rakyat pula yang akan menanggung, sebaliknya jika pemerintahan dipegang oleh orang-orang bijaksana dan berjalan dengan baik, rakyat pula yang akan makmur. Jika pemerintahan tidak benar, dan orang-orang yang mengemudikan jalannya pemerintahan menyeleweng, maka hal itu menjadi tugas para warga negara pula untuk mengawasi, mengeritik dan memprotesnya. Tanpa adanya pengawasan dan kritik, mana mungkin orang-orang pemerintah akan menyadari kekeliruan-kekeliruannya? Kalau pemerintah bersalah, bukan cara yang baik pula untuk menimbulkan pemberontakan dan merebut kekuasaan, karena yang merebut kekuasaan itu pun belum tentu benar, hanya kelihatannya saja benar karena kebetulan pemerintah yang dihadapinya dalam keadaan tidak benar! Jadi, baik atau pun buruk keadaan pemerintah, tetap saja kita, terutama para pendekar, mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dari gangguan luar yang berupa pemberontakan."
Hui Song yang kini sudah banyak mendengar dari Dewa Kipas mengenai kepatriotan dan kependekaran, bicara penuh semangat. Akan tetapi ayahnya melambaikan tangan dengan tidak sabar, seolah-olah mendengarkan ocehan seorang anak kecil saja.
"Hayaaa, Hui Song. Perlu apa engkau memusingkan pikiran dan merepotkan diri sendiri? Aku juga sudah banyak mendengar tentang kaisar yang masih seperti kanak-kanak itu! Kabarnya dia hanya mabok kesenangan dan roda pemerintahan diserahkan kepada para thaikam yang lalim. Dengan demikian, para pembesar korup merajalela, memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hanya menggendutkan perut sendiri tanpa peduli akan keadaan rakyat yang sengsara. Maka kalau ada yang hendak memberontak, hal itu sudah wajar saja. Tidak perlu kita membantu pemerintahan yang buruk seperti itu, karena hal itu berarti kita membantu tegaknya kelaliman yang menggencet rakyat!"
"Tidak ayah, aku tidak setuju! Pemerintah dalam bahaya, terancam gerombolan penjahat yang hendak memberontak. Inilah yang terpenting. Aku harus membantu para pendekar menghalau bahaya ini lebih dulu, barulah kemudian kita bertindak mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah. Bukankah aku juga pernah membantu sehingga pembesar korup Liu-thaikam terbongkar rahasianya dan tertangkap? Kalau kelak pemerintah sudah aman dari ancaman pemberontakan, baru kita mengadakan perbaikan-perbaikan dengan jalan menentang para pembesar korup. Apa lagi kalau diingat bahwa pemberontakan sekali ini dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang sudah mengumpulkan para datuk sesat, sisa-sisa dari Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya."
"Cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang pemberontakan dan..." Pada saat itu terdengar ketukan pintu dan ketua Cin-ling-pai itu menghentikan ucapannya lantas menyuruh murid yang mengetuk pintu itu masuk. Seorang murid masuk memberi tahu bahwa di luar ada tamu.
"Bin-locianpwe datang berkunjung," katanya.
Mendengar bahwa ayahnya datang berkunjung, Bin Biauw isteri ketua Cin-ling-pai itu lalu meloncat bangun dengan wajah gembira. Mereka semua cepat menyongsong keluar dan dengan gembira kakek itu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam.
Keluarga ketua Cin-ling-pai itu kembali berkumpul di dalam ruangan, dengan ditemani oleh Tan Siang Wi dan kali ini ditambah lagi dengan ayah mertua sang ketua.
Kakek itu sudah tua sekali, usianya sudah delapan puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih nampak sehat berisi. Bentuk tubuhnya pendek tegap, kepalanya botak dan hampir gundul. Sedikit rambut yang menghias di belakang kepalanya telahberwarna putih semua. Inilah tokoh persilatan yang dahulu pernah merajai lautan timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur), yaitu seorang berbangsa Jepang yang tadinya bernama Minamoto kemudian berubah menjadi Bin Mo To.
Kakek ini dahulu merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal, menguasai wilayah timur di sepanjang pantai laulan. Akan tetapi sesudah puterinya, Bin Biauw yang merupakan anak tunggalnya, berjodoh dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai, dia mencuci tangan dan meninggalkan julukannya, bahkan membubarkan perkumpulan Mo-kiam-pang yang dipimpinnya. Pada saat itu dia sudah cukup kaya sehingga walau pun meninggalkan segala macam pekerjaan haram, dia masih dapat hidup berkecukupan, di kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung.
Begitu melihat Hui Song, kakek itu merangkulnya, lalu memegang kedua pundak pemuda itu, mendorongnya supaya dia dapat melihat lebih jelas, lalu dia tertawa bergelak dengan gembira sekali.
"Ha-ha-ha, engkau cucuku Hui Song! Ahh, engkau sudah menjadi seorang laki-laki jantan yang amat gagah. Bagus, bagus, aku bangga bukan main. Berapa usiamu sekarang, Hui Song?"
"Dua puluh empat tahun, kek."
Kakek itu menggerakkan alisnya yang putih. "Apa? Dua puluh empat tahun dan engkau belum kawin?" Dia menoleh kepada Siang Wi, lalu menuding. "Apakah dia ini...?"
Wajah Hui Song menjadi merah. "Tidak, kek, aku belum menikah."
"Aihh, bagaimana ini?" Kakek itu menoleh kepada anaknya dan menantunya. "Sudah dua puluh empat tahun dan belum menikah? Aku sudah ingin melihat cucu buyutku."
"Mana ada waktu lagi untuk memikirkan pernikahan?" Bin Biauw mengomel. "Waktunya dihabiskan untuk merantau dan bertualang saja, ayah. Kemarin dia baru saja pulang dari perantauannya yang memakan waktu hampir empat tahun!"
"Ha-ha-ha, merantau dan bertualang sangat baik bagi seorang pemuda untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Akan tetapi, menikah juga perlu sekali untuk menyambung keturunan," kata kakek itu.
"Aku juga berpikir begitu, ayah, bahkan muridku ini merupakan calon mantu yang sangat baik."
Bin Mo To memandang wajah gadis yang manis itu, yang kini menunduk malu-malu dan dia mengangguk-angguk. "Engkau tentu lebih pandai memilih...," katanya.
"Aku belum memikirkan tentang pernikahan!" Hui Song berkata, nada suaranya jengkel.
"Nah, itulah ayah, cucumu ini yang keras kepala. Kalau diajak bicara tentang pernikahan, dia selalu terlihat tidak senang, dan senangnya hanya bicara tentang pemberontakan dan petualangan saja," kata Bin Biauw.
"Pemberontakan? Apa yang kau maksudkan dengan pemberontakan? Siapa yang hendak memberontak?" Kakek itu bertanya dengan penuh perhatian, agaknya dia tertarik sekali.
"Entahlah, katanya para tokoh hitam ingin melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan dia berkeras hendak menentang komplotan itu."
Kakek itu menarik napas panjang. "Ah... sungguh berbahaya sekali...!" kakek itu berkata, memandang kepada menantunya dengan mata penuh tanda tanya.
"Saya sudah melarangnya, ayah. Selama ini Cin-ling-pai tidak pernah mencampuri urusan pemerintah," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang kepada Hui Song yang masih diam saja. "Hui Song, benarkah bahwa engkau bermaksud membantu kaisar dan menentang mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"
Pemuda itu mengangguk, mengharap bantuan kakeknya dalam hal ini untuk menghadapi kekakuan ayahnya. "Kongkong, dalam perantauanku aku melihat dan mendengar sendiri bahwa para datuk kaum sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis sedang mengatur dan merencanakan pemberontakan terhadap kaisar. Tidak benarkah kalau aku membantu pihak yang akan melindungi kerajaan dan menentang usaha pemberontakan itu?"
"Ha-ha-ha, tentu saja, cucuku. Engkau benar, dan seorang pendekar memang sepatutnya kalau berjiwa pahlawan, membela negara nusa dan bangsa. Akan tetapi hal ini harus pula memperhitungkan dan melihat kenyataan bagaimana sifat kaisar atau pemerintahan yang dipimpinnya, bagaimana keadaan orang-orang yang sedang memegang tampuk pimpinan itu! Kalau mereka itu lalim, kalau mereka itu menjadi penindas rakyat, apakah sebagai pendekar dan pahlawan kita juga harus membela kelaliman?"
"Nah, kau dengarkan ucapan kongkong-mu itu Hui Song!" kata Cia Kong Liang. "Terdapat kebijaksanaan dalam kata-kata itu!"
"Akan tetapi, mereka yang hendak memberontak itu adalah datuk-datuk sesat yang amat jahat, kongkong!" Hui Song membantah.
Kakek itu tersenyum sabar. "Cucuku, engkau harus bisa membagi-bagi antara pejuangan para pahlawan dan perjuangan para pendekar. Pendekar adalah pembela kebenaran dan keadilan perorangan saja, karena itu dia memang harus memilih mana yang baik mana yang jahat, agar dapat membela yang baik dan menentang yang jahat. Akan tetapi dalam perjuangan para pahlawan berbeda lagi. Dalam perjuangan itu, untuk sementara sifat-sifat pribadi perorangan tidak masuk hitungan lagi, yang penting adalah membela nusa bangsa dan kepentingan rakyat banyak."
"Jadi... dengan kata lain, kongkong membenarkan tindakan para datuk sesat yang hendak memberontak itu?"
Kakek itu tetap tersenyum ramah. "Sudah kukatakan tadi bahwa dalam hal ini kita harus memejamkan mata untuk sementara terhadap sifat-sifat pribadi karena hal itu mengenai urusan negara. Yang penting kita harus melihat keadaan mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Bagaimanakah keadaannya? Sepanjang pendengaranku, meski pun sekarang Liu-thaikam sudah tertangkap dan tewas, namun keadaan kerajaan masih penuh dengan kotoran. Hanya terdapat beberapa orang menteri serta beberapa orang jenderal saja yang merupakan pejabat-pejabat bersih. Lainnya bertangan kotor dan semua ini tidak terlepas dari tanggung jawab kaisar. Sri baginda kaisar masih terlalu muda dan terlalu membiarkan dirinya dimabok kesenangan, tak peduli dengan pemerintahan. Bila keadaan ini dibiarkan terus berlarut-larut, maka rakyatlah yang akan menderita. Oleh karena itu, apa bila terjadi pemberontakan, hal itu kuanggap wajar, sebagai akibat dari tidak baiknya pemerintahan. Bukan berarti bahwa aku membenarkan sikap para pemberontak, akan tetapi jelas bahwa pemerintahan seperti keadaannya sekarang tidak patut mendapat bantuan para pendekar yang berjiwa patriot!"
"Akan tetapi, kongkong, bukankah semenjak jaman dahulu yang disebut orang gagah dan patriot itu adalah orang-orang yang selalu setia kepada kerajaan dan membela pemerintah mati-matian? Bukankah orang orang seperti itu akan selalu menentang pemberontakan?"
"Hui Song, engkau belum mengerti!" ayahnya membentak. "Seorang patriot adalah orang gagah yang membela rakyat, membela nusa dan bangsa! Apa bila pemerintahannya baik dan mengangkat nasib rakyat jelata, maka patriot tentu akan membela pemerintah secara mati-matian karena berarti membela rakyat pula. Sebaliknya, apa bila pemerintahnya lalim tetapi dia membantu pemerintah, berarti dia membantu kelaliman dan ikut pula menindas rakyat. Yang seperti ini namanya bukan pahlawan, bukan patriot, melainkan antek-antek pembesar lalim!"
"Akan tetapi, ayah, bukankah semenjak dulu yang namanya pemberontak itu dikutuk dan dianggap pengkhianat dan jahat?"
"Belum tentu! Tidak semua pemberontak itu jahat. Jika ada orang memberontak terhadap pemerintah yang baik, maka jelas bahwa dia jahat dan pamrihnya hanya hendak mencari keuntungan. Akan tetapi kalau dia memberontak terhadap pemerintah yang lalim, maka dia tidak dapat dinamakan jahat."
"Tetapi pemberontak mengobarkan api perang saudara dan mengorbankan banyak harta milik dan nyawa rakyat jelata!"
"Itu pengorbanan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik!" Kakek Bin Mo To menjawab cepat. "Untuk dapat membangun sesuatu yang lebih baik, kita harus berani membongkar yang lama dan buruk dan hal ini selalu memerlukan pengorbanan. Cucuku, ingat bahwa dalam setiap pergantian kekuasaan, calon kaisar yang setelah menjadi kaisar melakukan perbaikan-perbaikan dan bertindak bijaksana, tadinya adalah seorang pemberontak pula terhadap kekuasaan lama yang lalim."
Hui Song termenung. Kewalahan juga dia dikeroyok oleh ayah dan kongkong-nya, dan kini timbul keraguan dalam hatinya. Gerombolan yang hendak memberontak itu dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang dia ketahui jahat hanya dari pendengaran saja. Akan tetapi Raja Iblis itu adalah seorang bekas pangeran, jadi bukan tidak mungkin jika pemberontakannya itu didorong oleh jiwa patriot untuk menghalau kaisar dan antek-anteknya yang tak pernah mempedulikan nasib rakyat. Dia menjadi bingung, bimbang dan ragu, lalu mengundurkan diri dan menyendiri di dalam kamarnya.
Pahlawan! Patriot! Dari mana lahirnya sebutan ini dan apakah sebenarnya arti sebutan itu? Pada umumnya pengertian kata pahlawan adalah orang yang berjasa terhadap nusa dan bangsa, namanya diagungkan dan dihormati, dicatat dalam sejarah bahkan kadang-kadang diperingati, walau pun hanya sekali setahun dan hanya makan waktu beberapa menit saja.
Namun benarkah demikian? Benarkah bahwa seorang pahlawan itu dianggap pahlawan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa? Atau hanya oleh satu golongan saja, satu kelompok saja karena orang yang berjasa itu menguntungkan atau membantu golongannya, kelompoknya?
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai pahlawan hanyalah mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang pada saat itu kebetulan menjadi pemenang saja, kebetulan memegang kekuasaan saja. Lalu bagaimana dengan mereka yang dahulu dianggap berjasa kepada nusa dan bangsa oleh golongan lain yang dikalahkan oleh golongan yang kini berkuasa? Mereka ini sama sekali tidak dinamakan pahlawan, bahkan sebaliknya, dicap sebagai pengkhianat! Inilah kenyataan pahit yang harus dapat kita hadapi dengan mata terbuka.
Lihatlah keadaan di seluruh dunia. Bukankah demikian pula? Tokoh-tokoh yang tadinya dianggap pahlawan dan patriot terbesar sekali pun, kalau sekali waktu yang memegang kekuasaan adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh ini lalu dicap pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang kala ada pula yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya!
Dan ini bukan terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara satu bangsa yang berlainan golongan, berlainan corak pendapat dan gagasannya. Yang tadinya oleh satu golongan diagungkan sebagai pahlawan, akan dicap pengkhianat dan jahat oleh golongan lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan dari golongan pertama. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya dicap sebagai pengkhianat dan pemberontak, akan dipuja sebagai pahlawan, patriot dan sebagainya setelah golongan orang itu menang.
Jelaslah bahwa manusia sudah menjadi boneka dari permainan gagasan mereka sendiri, saling bertentangan, bermusuhan, bunuh-membunuh. Dan seperti biasa, hanya beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi semuanya itu, mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di waktu mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak lawan yang sedang berkuasa, demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat.
Para pejuang dari golongan mana pun, jika sedang berusaha menumbangkan kekuasaan yang dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai perisai dan senjata untuk mencapai kemenangan. Demi rakyat, untuk rakyat, begitu semboyan usang yang selalu diulang-ulang sepanjang sejarah. Rakyat pun terbujuk, terpukau, tergugah semangatnya membantu para patriot yang berjuang demi keadilan dan kebenaran, demi rakyat itu.
Akan tetapi bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai? Lagu lama! Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para pembantunya, yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan berkuasa dan membagi-bagi kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan di antara mereka.
Lalu bagaimana dengan rakyat? Rakyat yang paling menderita, berkorban menyerahkan harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu? Lagu lama pula! Rakyat hanya menerima janji-janji, sedangkan yang gugur akan diperingati setahun sekali untuk beberapa menit saja.
Tapi apa yang bisa dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa? Di mana-mana yang berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tak mau kalah, apa lagi mengalah. Yang menentang, biar pun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan dicap pengacau dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam sejarah.
Rakyat tertekan lagi. Lantas muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang sekarang berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan semboyan usang demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, akan kembali terulang lagi!
Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang sungguh-sungguh berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.
Malam itu Hui Song tak dapat tidur, gelisah dicekam keraguan dan kebingungan. Sebagai seorang muda, dia merasa penasaran dan hendak menyelidiki sendiri. Ingin dia melihat sendiri siapakah yang benar. Pendapat ayah ibu dan kakeknya, ataukah pendapat Dewa Kipas dan golongannya? Dia harus pergi, sekarang juga, untuk melakukan penyelidikan sendiri.
Pada keesokan harinya, ketua Cin-ling-pai dan isterinya hanya menemukan satu sampul surat di dalam kamar Hui Song. Dalam surat itu Hui Song mohon maaf dari ayah ibunya dan bilang bahwa dia ingin melakukan penyelidikan tentang usaha pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat itu.
'Saya akan menyelidiki dengan seksama sebelum mengambil keputusan apa yang akan saya lakukan terhadap pemberontakan itu.' Demikian Hui Song mengakhiri suratnya.
"Anak bandel!" Cia Kong Liang mengepal tinju dengan marah, ada pun isterinya langsung menangis. Anak tunggal yang baru saja tiba setelah pergi selama bertahun-tahun, hanya satu malam saja tinggal di rumah lalu pergi lagi tanpa pamit, entah ke mana.
"Ah, sudahlah. Tidak ada yang aneh jika putera kalian haus akan petualangan. Bukankah kematangan seorang pendekar juga hanya bisa didapat melalui pengalaman? Biarkan Hui Song memperdalam pengetahuannya dalam perantauan," kata Bin Mo To menghibur.
"Tetapi, ayah. Aku ingin melihat dia menikah atau setidaknya bertunangan dahulu dengan muridku Siang Wi. Eh, mana Siang Wi...?" Isteri ketua Cin-ling-pai itu memanggil-manggil muridnya, akan tetapi tidak nampak bayangan Siang Wi. Ketika para murid Cin-ling-pai ditanya, mereka mengatakan bahwa semenjak pagi mereka tak pernah melihat Hui Song mau pun Siang Wi.
"Jangan-jangan muridmu itu pergi bersama puteramu," kata Bin Mo To.
"Entahlah... akan tetapi baik sekali kalau memang begitu. Aku senang sekali bila mereka pergi berdua meluaskan pengalaman. Kuharap saja dugaanmu itu benar, ayah," kata Bin Biauw.
Selanjutnya, dalam percakapan di antara mereka, dengan perlahan-lahan kakek Bin Mo To membujuk mantunya untuk mendukung setiap perjuangan menentang kaisar.
"Setiap usaha untuk menentang pemerintah yang buruk patut didukung oleh orang-orang gagah. Dan perjuangan menentang kelaliman, siapa pun juga yang memimpin perjuangan itu, adalah usaha yang benar dan baik," antara lain Bin Mo To berkata dengan nada suara serius.
Mendengar ucapan ayahnya, juga melihat sikap ayahnya sejak kemarin jelas mendukung pemberontakan terhadap kaisar, Bin Biauw mengerutkan kedua alisnya dan memandang ayahnya dengan heran.
"Ayah, ada apa pulakah ini? Bukankah sejak puluhan tahun, semenjak aku menikah, ayah telah mencuci tangan dan tidak ingin mencampuri lagi segala urusan dunia? Kenapa kini tiba-tiba saja ayah begitu menaruh perhatian terhadap usaha pemberontakan itu dan ingin mendukungnya?"
Bin Mo To tersenyum. Anaknya ini memang cerdik bukan main dan agaknya sudah amat mengenal gerak-geriknya. Memang tepat sekali apa yang diduga dan ditanyakan oleh Bin Biauw tadi. Dia memang menaruh perhatian besar, bahkan mendukung gerakan itu.
Kiranya, gerakan yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, sesudah diadakan pertemuan antara para datuk sesat, telah mengguncangkan dunia kaum sesat. Berita itu disambut dengan ramai dan di daerah Ceng-tao juga terguncang oleh berita itu.
Biar pun Bin Mo To sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, akan tetapi dia tetap saja dikenal dan disegani oleh para tokoh hitam di wilayah pantai timur. Dan bekas teman-teman kakek itu lalu datang berkunjung, kemudian urusan gerakan pemberontakan itu mereka bicarakan.
Mendengar bahwa gerakan itu dipimpin oleh Raja Iblis yang sesungguhnya juga seorang pangeran bernama Toan Jit Ong, dan memperoleh dukungan Cap-sha-kui serta sebagian besar para datuk dan tokoh sesat, Bin Mo To tertarik sekali. Dia sendiri sudah tua, akan tetapi dia ingat akan mantunya.
Dia sama sekali tidak ingin menentang kerajaan atas dasar bujukan atau karena paksaan, namun ada suatu hal yang mendorongnya. Dia sudah merasa muak akan kekayaan yang dirasakannya tidak mampu mendatangkan kabahagiaan. Kini dia ingin melihat mantunya, sebagai suami anaknya, dapat meraih kedudukan.
Kalau orang seperti mantunya, ketua Cin-ling-pai, dapat turut membantu perjuangan, dan kelak kalau pemberontakan itu berhasil, tentu mantunya akan memperoleh pangkat tinggi. Dan anaknya akan terangkat dalam kemuliaan, juga dia sebagai mertua akan ikut pula naik derajatnya! Inilah sebabnya mengapa Bin Mo To datang mengunjungi mantunya dan kebetulan sekali cucu dan mantunya bicara tentang pemberontakan. Kini dia memperoleh jalan untuk membujuk mantunya.
"Anakku, ayahmu ini sudah tua, mana ada tenaga lagi untuk turut berjuang? Perjuangan adalah untuk yang muda-muda. Akan tetapi, aku hanya dapat mendukung di dalam batin. Dan siapa yang takkan mendukung perjuangan menumbangkan kekuasaan lalim karena hal itu berarti membebaskan rakyat dari kelaliman pemerintah?" demikian dia menjawab pertanyaan-pertanyaan puterinya tadi.
"Akan tetapi, sepanjang pendengaran saya, Kaisar Ceng Tek bukan seorang kaisar lalim, hanya masih terlalu muda sehingga dia lemah dan mudah dipermainkan oleh para pejabat tinggi yang membantunya," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin benar, akan tetapi kalau dia lemah dan hanya membiarkan para pejabat merajalela dengan kelaliman mereka, apa bedanya? Tetap saja rakyatlah yang tertindas, dan hal itu berarti bahwa kaisar yang bersalah karena dia harus bertanggung jawab atas kelaliman para pembantunya."
Bin Mo To terus membujuk menantunya, dibantu oleh Bin Biauw yang memihak ayahnya. Akhirnya Cia Kong Liang tertarik juga dan berjanji akan membantu kelak kalau saatnya telah tiba.
********************
Hati Hui Song masih diliputi oleh rasa penasaran sehingga dia nampak termenung ketika berjalan seorang diri melalui jalan raya yang kasar dan sunyi itu. Hari itu amat panas dan perutnya terasa amat lapar. Tengah hari sudah lewat dan dusun di depan sudah nampak genteng-gentengnya.
Sudah tiga hari dia meninggalkan Cin-ling-san dan sekarang Gunung Cin-ling-san sudah tertinggal jauh di belakang, hanya nampak puncaknya saja dari situ. Dia merasa sangat penasaran dan gelisah. Benarkah ayahnya dan kakeknya, dan salahkah gurunya Si Dewa Kipas, juga Dewa Arak yang menjadi guru Sui Cin? Benarkah ayah dan kakeknya bahwa pemerintah tidak baik dan sudah sepatutnya kalau ditumpas?
Akan tetapi... membantu gerakan gerombolan seperti Cap-sha-kui itu? Ahh, tidak mungkin dapat dia lakukan! Orang-orang seperti mereka itu jahat bukan main dan perjuangan murni bagaimana pun yang menjadi alasannya, dia tidak sudi bekerja sama dengan kaum sesat itu. Dan dia pun yakin bahwa Sui Cin juga tidak mungkin sudi membantu para datuk hitam itu.
Bagaimana pun juga dia tak boleh sembrono, tidak boleh secara membuta membenarkan satu pihak saja tanpa penyelidikan sendiri. Dia tahu bahwa kaisar memang dikelilingi oleh pembesar-pembesar lalim dan korupsi merajalela di seluruh negeri. Setiap orang pejabat disangsikan kejujurannya karena terlampau banyak pejabat yang menggunakan hak dan kekuasaannya untuk menindas dan untuk mengeruk kekayaan bagi diri sendiri.
Pada jaman itu sulit ditemukan pejabat yang jujur dan benar-benar merupakan pelindung rakyat. Dan memang telah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang semua kebobrokan ini, akan tetapi dia sangsi apakah tepat kalau dia membantu pemberontakan para datuk sesat, walau pun pemberontakan itu berdalih mengenyahkan pemerintah lalim. Sukar dia membayangkan sebuah pemerintahan baru yang lebih baik apa bila kekuasaan itu berada di tangan para datuk sesat!
Dia sudah mendekati dusun di depan ketika dari arah belakangnya terdengar derap kaki kuda. Hui Song cepat minggir karena jalan itu amat sempit, memberi kesempatan kepada si penunggang kuda untuk lewat lebih dulu. Dan ternyata kuda itu lewat dengan cepat di sampingnya, seekor kuda yang besar dan baik.
Hui Song dapat mengenal kuda yang baik, akan tetapi begitu penunggang kuda lewat di sampingnya, hidungnya mencium bau yang harum sekali, membuat dia memperhatikan si penunggang kuda. Seorang wanita muda yang berwajah cantik, bertubuh ramping dengan pakaian yang potongannya sederhana namun bersih dan masih baru, dan minyak wangi yang dipergunakan wanita itu sungguh harum.
Wajah gadis ini mengingatkan Hui Song kepada Sui Cin karena memiliki ciri kecantikan yang sama. Rambutnya hitam panjang, berjuntai di punggungnya dan diikat pita merah. Bagian atasnya yang tidak tertutup menjadi kusut karena tiupan angin, namun kekusutan itu tidak mengurangi kecantikannya, bahkan menambah manis.
Sebatang bunga putih menghias di atas telinga kirinya. Telinganya memakai anting-anting emas dan selain itu tidak ada perhiasan menempel di tubuhnya. Yang membuat gadis itu nampak lebih manis adalah sebuah tahi lalat hitam yang menghias di atas dagu sebelah kiri, agak di bawah mulut. Dan ketika gadis itu mengerling ketika lewat, Hui Song merasa jantungnya berdebar.
Lirikan itu sungguh tajam dan mengandung banyak arti, lirikan yang dapat dikatakan genit memikat! Lirikan yang dihiasi senyum membayang pada bibir yang tipis merah membasah itu. Dan ketika kuda itu sudah lewat, dari belakang Hui Song dapat melihat betapa gadis itu memiliki pinggang yang sangat ramping dan pinggulnya menari-nari di atas punggung kudanya ketika kuda itu berlari congklang.
Agak sukar menduga orang macam apa adanya gadis itu. Usianya tentu tidak kurang dari dua puluh empat tahun. Jika melihat pakaiannya yang cukup sederhana, dengan baju luar berkembang, dia seperti seorang gadis dusun biasa saja. Akan tetapi perawatan mukanya menunjukkan bahwa dia seorang gadis kota.
Dia tidak membawa senjata, seperti seorang gadis lemah biasa saja, akan tetapi melihat cara dia menguasai kudanya, menunjukkan bahwa dia bukan seorang gadis yang begitu lemah, dan terutama sekali jelas bahwa dia menguasai ilmu menunggang kuda dengan cukup baik. Kuda beserta penunggangnya itu bersembunyi di balik debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda, kemudian akhirnya menghilang di balik pagar tembok dusun, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar.
Hui Song sudah melupakan gadis itu pada saat dia memasuki dusun, sebuah dusun yang cukup besar dan hatinya girang melihat bahwa di dalam dusun Lok-cun itu terdapat rumah penginapan dan juga ada sebuah restoran yang cukup besar. Sesudah memesan sebuah kamar di rumah penginapan sederhana itu, dia lalu keluar memasuki kedai makan yang cukup besar dan ramai dikunjungi tamu.
Ada belasan meja di sana dan lebih dari setengahnya diduduki tamu yang makan sore. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan melihat sikap mereka yang bebas itu, mudahlah diduga bahwa mereka adalah langganan-langganan restoran itu. Akan tetapi di sudut yang terpisah Hui Song melihat dua orang kakek duduk berhadapan dan keadaan kakek itu menarik perhatiannya sehingga dia pun memilih meja yang tidak berjauhan dari dua orang tamu itu, hanya terpisah oleh dua meja kosong.
Dua orang kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus dan tubuh itu terlihat menjadi semakin jangkung sebab dia memakai sebuah topi hitam yang tinggi, topi seperti yang biasa dipakai oleh para tosu atau kepala agama atau pertapa.
Jubahnya juga lebar dan kedodoran hingga menutupi semua tubuhnya mulai leher sampai kaki yang mengenakan sepatu kulit setinggi betis. Rambutnya panjang dibiarkan terurai di depan dan belakang, mencapai dadanya. Tubuh yang kurus itu laksana tulang dibungkus kulit, seperti tengkorak yang berkulit, dengan sepasang mata kecil yang dalam. Kumis dan jenggotnya membentuk lingkaran hitam di sekeliling mulutnya.
Orang ke dua juga tidak kalah anehnya. Orang ini tubuhnya besar dan perutnya gendut, dan perutnya itu dibiarkan terlihat karena bajunya terbuka tanpa kancing, atau kancingnya agaknya sudah putus semua karena besarnya perut, atau memang baju itu kurang lebar untuk dapat menutupi perutnya. Perut gendut dan dadanya terbuka. Jubahnya juga lebar dan panjang pada bagian belakang, sampai hampir menyentuh tanah. Sebuah guci arak tergantung pada pinggang kanannya.
Kepalanya yang bundar itu dicukur gundul, kecuali di tengah-tengah. Di atas ubun-ubun terdapat segumpal rambut yang diikat dengan tali kasa. Kakek ini nampak seperti hwesio akan tetapi bukan hwesio, sedangkan temannya itu seperti tosu akan tetapi bukan tosu. Pada jaman itu banyak para pendeta dan pertapa yang meninggalkan pantangan makan daging dan berkeliaran memasuki rumah-rumah makan, maka kehadiran dua orang itu pun tidak menimbulkan perhatian orang.
Namun tidak demikian bagi Hui Song. Pemuda ini sangat tertarik dan menaruh perhatian karena sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dari sinar mata, gerak-gerik dan sikap dua orang kakek itu, dia dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan.
Tiba-tiba percakapan di sebelah kirinya, di antara empat orang muda yang telah setengah mabok, menarik perhatian Hui Song. Pesanan makanannya telah dihidangkan dan sambil makan dia pun memasang telinga untuk mendengarkan percakapan yang terdengar cukup lantang, dan jelas dapat dikenal sebagai suara orang setengah mabok.
"Huh, pada jaman seperti sekarang ini, mana ada orang benar?" terdengar suara lantang seorang pemuda yang bermuka hitam. Dengan kepala bergoyang-goyang dan mulut yang menyeringai tanda kemabokannya, dia lantas melanjutkan. "Sekarang ini jamannya pagar makan tanaman, mereka yang menjadi pelindung malah mengganyang yang seharusnya dilindungi sendiri. Sekarang ini tidak ada orang dapat dipercaya!"
"Benar, benar! Jamannya sudah berubah, penjahat-penjahat kabarnya berjiwa patriot, dan sebaliknya orang-orang yang menjadi pendeta melakukan hal-hal memalukan. Lihat saja, di mana-mana terdapat pendeta-pendeta yang lahap makan daging dan mabok-mabokan minum arak, huh!"
Mudah saja diketahui bahwa orang kedua yang mukanya kekuningan ini dalam maboknya sudah menyindir dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan hwesio itu. Empat orang pemuda itu pun melirik ke arah dua orang kakek itu penuh ejekan, sedangkan Hui Song juga mengamati dari sudut kerlingnya.