SUI CIN melakukan pemeriksaan dari atas genteng kuil dan akhirnya dia dapat melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam kuil itu! Dia tersenyum. Bukan setan bukan iblis, tapi seorang gadis cantik bersama dua orang kakek yang sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan di dalam ruangan kuil itu, ruangan yang amat buruk dan temboknya sudah banyak yang retak-retak.
"Dua orang dusun tadi tidak curiga?" tanya si gadis cantik.
"Ha-ha-ha, seperti biasa, orang-orang dusun itu percaya tahyul. Mereka menyangka kami adalah setan lantas lari tunggang langgang," jawab kakek gendut sambil tertawa.
"Bagus! Biarkan mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini ada hantunya. Kita tidak ingin diganggu," kata pula si gadis cantik. "Malam ini aku lelah sekali, besok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Goa Iblis Neraka."
"Kurasa percuma saja," kata kakek kurus, "batu besar itu mana bisa kita buka? Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan namun tetap gagal. Apakah tidak lebih baik jika kita melapor saja kepada Ong-ya?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan sukar mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa kutinggalkan begitu saja sebelum berhasil? Besok pagi-pagi kita harus mencoba lagi, kalau gagal, biar aku akan mencari bantuan lagi."
Agaknya dua orang kakek itu adalah pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu, sedangkan si gadis cantik memasuki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar tidurnya di dalam kuil itu.
Yang tengah diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk Siang-tok Sian-li beserta dua orang pembantunya, yaitu Hui-to Cin-jin si kakek kurus dan Kang-thouw Lo-mo si kakek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui. Dia tak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini dapat menduga bahwa tiga orang yang berada di dalam kuil itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Percakapan mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali tentang Goa Iblis Neraka itu. Ingin sekali dia tahu siapa adanya mereka dan tempat macam apakah goa itu. Karena dia ingin sekali tahu, maka malam itu dia kembali ke penginapan namun pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah bersembunyi di balik pohon dekat kuil.
Pagi-pagi sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat keluar dan berlari cepat meninggalkan kuil. Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi dalam hal ilmu berlari cepat, dia adalah ahlinya maka tanpa kesukaran sama sekali dia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui.
Ketika tiga orang yang dibayangi itu sampai di Goa Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik sekali. Dia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu besar yang menutupi goa di sebelah dalam.
Dari percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka itu sedang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu saja hatinya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak meneari bantuan.
Ketika mereka pergi, Sui Cin tetap tinggal di situ dan dia sendiri pun kemudian melakukan penyelidikan. Akan tetapi dia sendiri juga tidak mampu membuka batu besar penutup goa, dan karena dia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu di mana letaknya yang tepat, dia pun lalu menanti kembalinya gadis cantik yang akan membawa pembantu-pembantu itu.
Dia mulai curiga setelah mendengar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan melihat sikap gadis yang genit. Biar pun belum merasa yakin benar karena belum ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat perkembangan lebih jauh dan dia tinggal di dalam goa itu seorang diri sampai beberapa hari lamanya.
Akhirnya, pada suatu hari dia melihat munculnya ketiga orang itu, sekali ini ditemani oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat dia bersembunyi di dalam pohon di atas goa dan melihat pemuda gagah itu, hampir dia berteriak saking girang dan kagetnya. Tentu saja dia mengenal Hui Song!
Akan tetapi karena masih menaruh hati curiga kepada tiga orang itu, dia menahan diri dan merasa heran sekali bagaimana Hui Song dapat bergaul dengan mereka dalam keadaan yang demikian akrab. Apa lagi melihat sikap gadis cantik itu yang demikian memikat dan dalam sikap serta gerak-geriknya nampak jelas sekali bahwa gadis itu mencinta Hui Song, mendatangkan perasaan tidak enak dalam hati Sui Cin.
Dia membayangi terus dan terheran-heran ketika melihat betapa kini Hui Song bersama gadis itu menyeberangi jembatan batu pedang sedangkan kedua orang kakek itu berhenti dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup maju lagi. Padahal dia pernah melihat dua orang kakek itu menyeberangi jembatan batu pedang ini bersama si gadis cantik, dan biar pun dengan agak sukar, tapi dua orang itu mampu menyeberangi. Mengapa kini mereka berpura-pura tidak dapat menyeberang?
Dia merasa makin curiga, apa lagi ketika melihat betapa setelah menanti beberapa lama dan Hui Song sudah lenyap bersama gadis itu, kedua orang kakek ini lalu berindap-indap menyeberangi batu pedang! Mulailah Sui Cin mencium sesuatu yang tidak beres dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Hui Song di tangan tiga orang ini, maka dia pun cepat membayangi dua orang kakek itu masuk ke begian dalam.
Demikianlah, keinginan tahu Sui Cin menyelidiki tiga orang itu serta rahasia di dalam Goa Iblis Neraka sudah menyelamatkan Hui Song. Ketika pemuda ini dikeroyok tiga, Sui Cin muncul membantu dan menyelamatkannya karena pada saat itu Hui Song memang amat terancam bahaya. Akan tetapi, dalam usaha mereka berdua untuk melarikan diri, Sui Cin terkena lontaran batu Kang-thouw Lo-mo yang mengakibatkan bagian dalam kepalanya terguncang sehingga dia kehilangan ingatannya!
Ketika dia siuman, dia lupa segala dan melihat Hui Song, dia lalu menyerangnya. Hal ini adalah karena yang masuk ke dalam ingatannya pada saat terakhir adalah orang-orang jahat yang dilawannya. Maka begitu melihat Hui Song sebagai orang pertama pada saat dia siuman, dia pun menganggap bahwa Hui Song adalah orang jahat maka diserangnya pemuda itu mati-matian. Akan tetapi pemuda itu ternyata merupakan lawan yang sangat kuat dan dia merasa kepalanya pusing maka dia pun melarikan diri, mempergunakan ilmu lari cepat Bu-eng Hui-teng yang membuat pemuda itu tidak mampu mengejarnya.
Sui Cin sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang diingatnya hanyalah bahwa dia tadi bertemu dengan seorang lawan, seorang pemuda jahat dan curang yang sangat lihai, yang sudah menyambitkan benda keras sehingga mengenal kepalanya sebab kepala itu masih terasa sakit, dan yang tidak dapat dia kalahkan tadi.
Dia hanya tahu bahwa lawan itu mengejarnya, dan karena kepalanya pening, apa lagi dia tidak mampu mengalahkan, maka akan sangat berbahayalah kalau sampai pria itu dapat mengejarnya. Maka Sui Cin lalu mengerahkan tenaganya dan berlari dengan cepat sekali.
Wusssss...!
Sehari lamanya dia berlari terus, hanya kadang-kadang lambat dan mengaso apa bila dia sudah merasa lelah sekali. Setelah malam tiba, baru dia berhenti dan beristirahat di dalam sebuah hutan. Gadis ini sudah lupa sama sekali dengan masa lalunya. Bahkan namanya sendiri pun dia lupa! Dia juga tidak mempunyai apa-apa lagi karena semua pakaiannya tertinggal di tempat persembunyian di dekat Goa Iblis Neraka.
Malam itu dia menangkap seekor kelinci dan setelah memanggang dagingnya lalu makan daging panggang. Dia lalu duduk melamun di depan api unggun, mengerahkan pikirannya untuk mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak tahu apa-apa. Yang diketahuinya hanyalah bahwa dia sedang dikejar-kejar oleh seorang lawan yang tangguh, dan bahwa dia harus pergi ke utara, jauh melewati Tembok Besar.
Entah bagaimana, mungkin karena urusan menghadapi pemberontakan para datuk sesat itu sangat terkesan di dalam batinnya, maka hal inilah yang teringat olehnya, yaitu bahwa dia harus pergi ke utara, keluar Tembok Besar!
Biar pun sudah kehilangan ingatannya tentang masa lalu, namun Sui Cin tidak kehilangan semangat dan kelincahannya. Dia tetap kelihatan segar dan wajahnya selalu berseri-seri, melakukan perjalanan dengap cepat, terus menuju ke utara. Sama sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa dia tengah menderita luka dan guncangan yang membuat dia kehilangan ingatannya. Hanya kalau sedang duduk seorang diri sambil melamun dan mencoba untuk mengingat-ingat keadaan dirinya, siapa dirinya dan bagaimana asal usulnya, dia nampak bengong dan bingung.
Karena dia tidak sadar betul ke mana dia harus pergi, sesudah melewati Tembok Besar, Sui Cin memasuki daerah Mongol tanpa dia ketahui di mana dia berada dan ke mana dia harus pergi. Ia merasa gembira melihat daerah yang sama sekali asing baginya ini. Akan tetapi dia merasa bingung ketika bertemu dengan serombongan orang Mongol, dia sama sekali tidak mengerti bahasa mereka!
Setelah rombongan itu pergi dia melamun. Untuk apa dia datang ke tempat asing ini? Dia hanya merasa betapa ada dorongan dalam hatinya bahwa dia harus pergi keluar Tembok Besar, akan tetapi ke mana dan untuk apa dia tidak tahu!
Dia mengambil keputusan untuk merantau selama beberapa hari. Apa bila selama itu dia tidak juga dapat teringat untuk keperluan apa dia berada di tempat ini, dia akan kembali ke selatan, ke daerah di mana bahasa orang-orangnya dapat dia mengerti artinya.
Pada suatu hari, dalam keadaan kesepian, dia melihat satu rombongan orang Mongol lagi dan sekali ini di antara mereka terdapat beberapa orang wanita Mongol yang memakai pakaian wanita Han. Sui Cin segera teringat akan pakaiannya sendiri. Pakaiannya sudah kotor dan banyak yang robek-robek.
Hanya beberapa kali saja, di tempat sunyi di mana tidak terdapat orang lain, dia mencuci pakaiannya dan menjemur pakaian itu. Ia sendiri bertelanjang bulat, karena tidak memiliki pakaian cadangan. Dan kini pakaiannya sudah kotor lagi, bahkan sudah robek-robek.
Ia bukan seorang gadis pesolek, bahkan biasanya ia pun memakai pakaian seadanya dan seenaknya saja, bahkan kadang kala nampak nyentrik. Meski pun Sui Cin adalah seorang gadis puteri Pendekar Sadis yang kaya raya, namun sejak kecil ia lebih suka berpakaian sederhana.
Dalam keadaan kehilangan ingatan ini pun ia tidak berubah. Hanya ia sejak kecil memang suka akan kebersihan sehingga meski pun pakaiannya buruk dan lama, akan tetapi harus selalu bersih. Dan kini, dengan pakaian hanya satu-satunya sehingga tidak dapat diganti dan sudah kotor, ia merasa tersiksa sekali.
Karena itulah ketika melihat beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus-bagus dan bersih itu, dia menjadi kepingin sekali. Akan tetapi, di saku bajunya sama sekali tidak ada apa-apanya, apa lagi uang untuk membeli pakaian.
Dengan hati amat kepingin akan tetapi tak berdaya membeli dan juga merasa malu untuk mencoba-coba minta, diam-diam Sui Cin mengikuti rombongan yang terdiri dari belasan orang itu. Mereka membawa dua buah kereta untuk para wanita dan anak-anak, ada pun para prianya berjalan sambil berjaga-jaga.
Malam itu, ketika rombongan berhenti dan bermalam pada sebuah dusun, Sui Cin beraksi dan pada esok harinya, keluarga itu ribut-ribut karena sudah kehilangan dua stel pakaian wanita yang masih baru. Dua stel pakaian itu menghilang tanpa bekas!
Dan pada pagi hari itu, Sui Cin dengan pakaian baru tersenyum-senyum gembira. Ia telah berganti pakaian dan merasa dirinya segar sehabis mandi di luar dusun dan mengenakan pakaian baru dan bersih, bahkan sekarang masih ada satu stel yang dibuntalnya dengan pakaian lamanya.
Hanya satu hal yang masih membuatnya tidak senang, yaitu bahwa ia sama sekali tidak dapat berhubungan dengan orang-orang itu karena tidak mengerti bahasanya. Dan ia pun tak ingin pakaian yang dipakainya itu dikenal oleh rombongan semalam, maka ia pun lalu melanjutkan perjalanannya, kini membelok ke timur.
Pada keesokan harinya, selagi berjalan seorang diri sambil menimbang-nimbang apakah tidak sebaiknya kalau dia kembali ke selatan, tiba-tiba dia melihat seorang nenek sedang menangis di tepi sebuah hutan. Nenek itu berjongkok sambil menangisi seekor ular yang mati dan melingkar di atas tanah.
Nenek itu jelek sekali. Mukanya penuh dengan keriput dan terlihat buruk, tubuhnya kurus, punggungnya bongkok melengkung, rambutnya yang putih riap-riapan. Pakaiannya jubah kedodoran dan ketika Sui Cin mendekat, dia mencium bau yang tidak enak. Akan tetapi, biar pun demikian, tetap saja hati gadis itu merasa gembira dan dia terus menghampiri.
Yang membuatnya bergembira adalah karena dia dapat mengerti kata-kata tangisan atau keluhan nenek itu! Nenek itu mempergunakan bahasa Han dari selatan, walau pun agak kaku, namun dia dapat mengerti dengan jelas.
"Aduhhh, anakku yang baik... ahhh, kenapa engkau mati dan kenapa engkau tega sekali meninggalkan aku seorang diri... hu-hu-hu-huhh... ke mana aku harus mencari pengganti sepertimu, yang setia, patuh dan tangguh? Hu-hu-huuhhh...!"
Dalam keadaan biasa, tentu Sui Cin akan merasa ngeri mendekati nenek itu. Wajahnya demikian buruk menakutkan, dan sikapnya itu bagaikan orang gila. Mana ada orang yang menangisi kematian seekor ular besar? Akan tetapi, karena sesudah berhari-hari baru kini dia mendengar kata-kata yang dapat dimengertinya, maka hatinya gembira sekali dan dia merasa kasihan kepada nenek ini.
Memang bukan hanya gadis itu yang mempunyai perasaan demikian. Semua orang pun, kalau berada di tempat asing, atau lebih tepat lagi, kalau berada di negara asing, di antara bangsa asing yang berbahasa asing pula, akan merasa gembira sekali apa bila berjumpa dengan orang sebangsa, atau setidak-tidaknya sebahasa! Seakan-akan bertemu dengan seorang saudara di antara orang-orang asing.
"Nenek yang baik, mengapa engkau begini bersedih? Engkau sedang kematian binatang peliharaanmu? Mengapa ular ini bisa mati, nek?"
Nenek itu menghentikan tangisnya dengan tiba-tiba, lalu menoleh. Matanya yang melotot lebar itu amat mengerikan, akan tetapi Sui Cin tersenyum manis padanya, dengan sikap menghibur.
Nenek ini seperti anak kecil saja, pikirnya, menangisi binatang peliharaannya yang mati. Kalau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kuda atau ternak lainnya, bahkan burung kesayangan, masih wajar. Akan tetapi yang ditangisi kematiannya ini adalah seekor ular besar yang mengerikan!
"Siapa kau...?" Nenek itu tiba-tiba bertanya, seakan-akan merasa heran ada orang yang menegurnya, apa lagi di dalam bahasa Han, lantas matanya terbelalak dan mengeluarkan sinar berkilat. "Eh, engkau... engkau gadis she Ceng itu...!" nenek itu berseru dan bangkit berdiri. Setelah dia berdiri, bongkoknya nampak sekali.
Sui Cin juga bangkit berdiri, memandang kepada nenek itu dengan wajah berseri. "Nenek yang baik, engkau mengenalku? Engkau tahu benar bahwa aku she Ceng? Sebenarnya, nek, aku sudah lupa segala tentang diriku, maka... tolonglah kau beri tahu siapa diriku ini, nek..."
Nenek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh lirih, ada pun mata yang lebar itu berkilauan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, juga kekejaman luar biasa. Kalau saja Sui Cin tidak kehilangan ingatannya, tentu dia akan kaget setengah mati berjumpa dengan nenek ini, karena nenek ini adalah seorang musuh lamanya, yaitu Kiu-bwe Coa-li (Nenek Ular Ekor Sembilan), seorang di antara Cap-sha-kui yang kejam dan lihai! Dan agaknya nenek yang menjadi datuk kaum sesat ini tidak melupakan Sui Cin, maka dia nampak terkejut sekali. Akan tetapi begitu melihat sikap Sui Cin yang lupa akan keadaan dirinya, nenek itu terkekeh girang.
"Ah, bagaimana engkau bisa lupa akan dirimu sendiri, nona?" tanyanya, sikapnya terlihat ramah sehingga wajahnya yang amat buruk itu tidak begitu menakutkan lagi.
"Entahlah, nek, aku lupa segalanya. Seingatku ada yang menghantam kepalaku, mungkin batu yang dilontarkan oleh seorang musuhku kepadaku dan mengenai belakang kepalaku. Akan tetapi aku menjadi pening dan sampai sekarang aku lupa segalanya tentang diriku. Bahkan engkau yang ternyata sudah mengenal aku pun sama sekali aku tidak ingat lagi. Siapakah aku ini, nek? Tolonglah bantu aku agar kembali ingatanku. Siapakah aku ini?"
"Anak baik, siapakah musuhmu yang menyerangmu dengan lontaran batu itu?"
Sui Cin menggelengkan kepalanya. "Aku pun tidak tahu, nek. Hanya setahuku, dia adalah seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, dan aku tidak akan melupakan wajahnya karena sekali waktu aku harus membalas perbuatannya itu!" Sui Cin lalu mengepal tinju dengan gemas.
"He-he-heh-heh, anak baik, engkau bukan orang lain, masih terhitung cucu keponakanku sendiri."
Sui Cin terbelalak, terkejut, heran dan sekaligus girang. "Aih, benarkah itu, nek? Siapakah engkau dan siapa pula namaku, siapa pula orang tuaku?"
"Engkau benar-benar tidak ingat kepadaku? Lihat ini, apakah engkau lupa kepada benda ini?" Kui-bwe Coa-li mengeluarkan senjatanya, yaitu cambuk ekor sembilan yang ampuh dan menyeramkan itu. Akan tetapi Sui Cin memandang biasa saja kemudian menggeleng kepalanya.
"Tidak, nek, aku tidak mengenal cambuk itu."
Dan legalah hati Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis ini memang benar-benar telah kehilangan ingatannya dan tidak ingat lagi akan segala hal yang dikenalnya pada masa lalu. Bagus, pikirnya, memudahkan dia untuk melumpuhkan gadis ini!
"Namamu... Bi Hwa, Ceng Bi Hwa, ayah ibumu sudah tidak ada, engkau yatim piatu dan dulu engkau pernah ikut belajar silat kepadaku selama beberapa tahun. Mendiang ayahmu adalah keponakanku, jadi engkau adalah cucu keponakanku. Aku dijuluki orang sesuai dengan senjataku ini, ialah Kiu-bwe Coa-li." Nenek itu memegang cambuk ekor sembilan di tangan kanannya dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk menyerang, kalau gadis itu teringat kembali akan nama julukannya.
Akan tetapi Sui Cin sama sekali tidak ingat, hanya mengulang namanya dengan dua alis berkerut, "Bi... Ceng Bi Hwa... ahh, aku sama sekali tidak ingat lagi namaku sendiri, nek, Harap maafkan aku..." Kemudian dia memberi hormat pada nenek itu. "Terimalah hormat dariku, nek."
Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk sambil terkekeh girang. "Bagus, bagus... jangan kau khawatir, cucuku. Sesudah engkau bertemu dengan nenekmu ini, kujamin engkau segera akan menemukan kembali ingatanmu, heh-heh."
"Aih, benarkah, nek? Benarkah engkau hendak mengobatiku? Ah, aku akan girang sekali kalau aku dapat mengingat semua keadaan diriku."
"Tentu saja! Bukankah engkau ini cucu keponakanku yang tersayang? Jangan khawatir, dengan mudah saja aku akan dapat menyembuhkanmu dan mengembalikan ingatanmu. Akan tetapi sebelum itu, aku ingin sekali menyelidiki dulu bagaimana keadaan orang yang kehilangan ingatannya. Perlu bagiku untuk pengobatan. Bi Hwa, apakah engkau lupa pula dengan semua ilmu silatmu yang pernah kuajarkan kepadamu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Aku lupa bahwa engkau yang mengajarkan ilmu silat kepadaku, nek, dan lupa lagi ilmu silat apa adanya itu. Akan tetapi gerakan ilmu silat itu sudah mendarah daging di tubuhku, menjadi gerakan otomatis kaki dan tanganku sehingga aku bergerak tanpa mengingat lagi. Agaknya... agaknya aku tidak melupakan ilmu silat itu, nek."
"Hemm... aneh, aneh. Akan tetapi sebaiknya bila kucoba untuk membuktikan kebenaran omonganmu. Nah, kau bergeraklah menurut nalurimu, aku akan mencoba menyerangmu dengan cambukku. Sesudah ujian ini, baru nanti aku akan mengobatimu sampai sembuh, cucuku tersayang."
Nenek itu menggerakkan cambuknya ke atas, dan terdengar bunyi meledak-ledak ketika sembilan ekor cambuknya itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak-gerak bagai sembilan ekor ular hidup! Dan tiba-tiba cambuk itu menyambar ke arah Sui Cin.
"Tar-tarr-tarrrr...!"
Sui Cin terkejut melihat gerakan cambuk yang hebat ini. Tidak disangkanya bahwa nenek yang aneh seperti orang gila atau seperti anak kecil ini, yang menangisi kematian seekor ular, dan yang ternyata adalah bibi dari ayahnya seperti yang dikatakan nenek itu, kiranya memiliki kepandaian hebat dan serangan cambuk itu benar-benar amat berbahaya.
Sembilan ekor ujung cambuk itu bergerak laksana ular-ular hidup dan masing-masing kini menyerang secara bertubi ke arah sembilan jalan darah di tubuhnya! Tentu saja dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan lenyap!
Maka kagelah Kiu-bwe Coa-li. Seingatnya, gadis yang dia ketahui adalah puteri Pendekar Sadis ini, walau pun memang lihai, akan tetapi tidak sehebat ini kelihaiannya. Gadis yang berada di depannya ini mempunyai ginkang yang mentakjubkan! Dia menjadi penasaran sekali, akan tetapi mulutnya terkekeh.
"He-heh-heh, bagus, engkau masih memiliki kegesitanmu. Nah, bersiaplah, kini aku akan menyerang sungguh-sungguh!"
Dan cambuk itu lalu diputar, mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan kini nenek itu menyerang dengan amat hebatnya. Dahsyat dan buas serangannya, ujung cambuk yang sembilan itu mematuk-matuk dan menotok-notok, mencari jalan darah di tubuh Sui Cin.
Secara otomatis gadis ini menggerakkan tubuhnya. Dengan ginkang yang baru-baru ini dipelajarinya dari Wu-yi Lo-jin, tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang yang cepat sekali menyambar-nyambar di antara gulungan sinar-sinar hitam dari cambuk nenek itu. Tentu saja dia tidak membalas kerena dia menganggap bahwa nenek itu hanya sekedar menguji apakah dia tidak melupakan ilmu silatnya yang menurut nenek itu diajarkan oleh nenek itu kepadanya!
Tentu saja niat yang terkandung di dalam hati Kiu-bwe Coa-li tidaklah demikian. Ia hanya ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis ini. Jika mungkin, tentu lebih mudah baginya membunuh gadis puteri Pendekar Sadis itu secara langsung saja dengan cambuknya ini. Akan tetapi, kalau ternyata gadis itu terlalu lihai, dalam keadaan hilang ingatan, dia akan dapat mempergunakan akal lain yang lebih halus untuk menjerat dan melumpuhkannya.
Nenek itu terkejut melihat gerakan Sui Cin yang demikian hebatnya ketika berkelebatan mengelak dari sambaran cambuknya,. Tidak dikiranya gadis itu kini sedemikian hebatnya, memperoleh kemajuan yang demikian pesat, jauh lebih hebat dibandingkan dulu. Maka ia pun maklum bahwa dengan cambuknya, ia tidak akan mampu membunuh gadis ini, dan ia pun lalu melompat ke belakang menghentikan serangannya.
"Bagus, bagus... heh-heh, engkau masih belum lupa akan ilmumu. Baiklah, sekarang aku akan memberi obat kepadamu agar engkau dapat pulih kembali, supaya ingatanmu sehat kembali."
Hati Sui Cin merasa lega dan girang sekali. Tadi ia sudah merasa khawatir melihat betapa nenek itu menyerangnya secara dahsyat dan berbahaya. "Terima kasih, nek."
Nenek itu lalu duduk bersila di atas tanah. Sui Cin juga berjongkok di depannya, melihat nenek itu mengeluarkan satu guci arak, sebuah cawan dan sebuah botol kecil dari balik jubah yang lebar itu. Dia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan, hanya setengah cawan, lantas menuangkan bubuk kehijauan dari botol kecil ke dalam cawan yang berisi arak setengahnya itu. Sambil terkekeh dia lalu mengocok arak itu sehingga bubukan hijau bercampur ke dalam arak.
"Nah, ini obat mujarab sekali, cucuku. Sekali minum engkau akan merasa mengantuk lalu tertidur dan sesudah engkau bangun dari tidur, ingatanmu akan pulih kembali," katanya sambil menyodorkan minuman itu.
Sui Cin menerimanya dan langsung membawa cawan itu ke bibirnya. Akan tetapi begitu cawan itu menempel di bibirnya, dia tidak jadi minum dan memandang nenek itu dengan alis berkerut.
"Ehh, ada apakah, cucuku? Hayo minum obat itu dan engkau akan sembuh."
"Akan tetapi, nek. Aku tidak tahu apa isi obat ini, hanya perasaanku melarang aku untuk meminumnya karena mengandung bau amis beracun!"
"Heh-heh-heh, tentu saja, memang obat itu mengandung racun dari ular sendok merah! Memang obat itu racun, racun itu obat, asal kita tahu cara mempergunakannya saja. Eh, Bi Hwa, apakah engkau tidak percaya kepada nenekmu sendiri, kepada orang yang dulu menimang-nimangmu di waktu engkau masih kecil, kepada orang yang telah mengajarkan semua ilmu itu kepadamu? Apa kau sangka aku akan meracunimu? Pikiranmu telah jadi hilang ingatan, akan tetapi tentu belum begitu gila untuk mengira bahwa aku, nenekmu yang menyayangmu, akan meracunimu!"
Merah wajah Sui Cin. Tentu saja ia merasa tidak enak sekali. Ia tidak tahu pasti apakah minuman itu akan mencelakakannya, akan tetapi nenek ini mengenalnya, dan nenek ini tadi sudah mengujinya dan kini hendak menyembuhkannya. Mengapa ia ragu-ragu?
Ia mendekatkan lagi cawan itu, sambil memejamkan mata ia pun menuangkan arak itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Ia menahan diri untuk tidak muntah oleh bau amis itu! Begitu arak itu memasuki perutnya, ia merasa ada hawa panas yang berputaran di dalam perutnya.
Itulah hawa sinkang dari pusar yang otomatis memberontak dan hendak melawan ketika perut itu dimasuki benda berbahaya. Akan tetapi racun itu sudah terlanjur bekerja dan Sui Cin merasa betapa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.
"Heh-heh-heh, engkau sudah mulai mengantuk, bukan? Nah, tidurlah dan setelah bangun nanti engkau pasti sudah sembuh sama sekali. Kini tidurlah, cucuku yang baik, tidurlah." Nenek itu sambil tersenyum melihat Sui Cin yang lemas itu merebahkan tubuhnya di atas tanah, dan Sui Cin mendengar nenek itu bersenandung, seperti sedang menina bobokkan cucunya!
Suara itu aneh sekali dan tidak enak didengar, akan tetapi karena rasa kantuk yang tidak tertahankan lagi, maka dia pun tertidurlah.
Sui Cin tidak tahu berapa lama dia tertidur pulas, akan tetapi ketika dia tersadar kembali, matahari sudah naik tinggi dan dia berada dalam keadaan terikat pada sebatang pohon! Tentu saja dia terkejut sekali sehingga otomatis dia mencoba untuk meronta. Akan tetapi usahanya sia-sia belaka karena dia mendapat kenyataan yang sangat mengejutkan, yaitu bahwa kaki tangannya lemas tidak bertenaga! Ia teringat akan nenek itu dan tahulah dia bahwa dia telah tertipu!
"Nenek iblis jahanam!" Dia memaki.
Terdengar suara terkekeh di belakangnya. Lalu muncullah nenek itu, yang tadinya tertidur pula di atas rumput, agaknya menanti sampai korbannya terbangun. Sekarang nenek itu menyeringai dan berdiri di hadapan Sui Cin, mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena tanah.
"He-heh-heh, nona yang tolol, he-heh-heh!" Ia terkekeh-kekeh girang melihat korbannya.
Sebagai salah seorang di antara Cap-sha-kui, nenek ini memang memiliki hati yang kejam sekali dan kepuasan hatinya adalah kalau dia dapat menyiksa korbannya. Maka, sesudah kini dapat menawan nona yang menjadi musuhnya itu dalam keadaan tak berdaya, tentu saja hatinya girang bukan main.
"Nenek iblis, kiranya engkau telah menipuku! Jika memang engkau gagah, hayo lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati!" Sui Cin berteriak memaki.
"Heh-heh-heh, andai kata kulepaskan juga, engkau tak akan mampu bertahan lebih dari satu dua jurus. Dan aku tidak menipu, karena memang aku adalah Kiu-bwe Coa-li, musuh besarmu, ha-ha-ha!"
Diam-diam Sui Cin terkejut. Kiranya hilangnya ingatannya telah berakibat demikian hebat sampai musuh lamanya tidak dia kenal dan akibatnya dia mudah terjebak.
"Jadi kalau begitu... namaku itu... bukan... bukan Ceng Bi Hwa..."
"Heh-heh-heh, namamu Ceng Sui Cin, engkau puteri Pendekar Sadis, heh-heh-heh, dan sekarang jatuh ke tanganku. Aku ingin menikmati kematianmu yang akan terjadi perlahan-lahan... ha-ha-ha! Ehh, nona manis, apa engkau suka dengan ular?"
"Ular...?" Sui Cin yang merasa bingung itu bertanya.
"Ya, ular... heh-heh, engkau tahu, aku adalah Kiu-bwe Coa-li, Ratu Ular!"
Dan nenek itu lalu membunyikan cambuknya berkali-kali. Terdengar suara meledak-ledak dan suara ledakan ini seperti bergema sampai jauh. Tak lama kemudian, terbelalak mata Sui Cin melihat datangnya banyak ular dari empat penjuru, bagaikan tertarik oleh suara cambuk yang masih meledak-ledak itu, dan juga suara mendesis yang keluar dari mulut ompong Kiu-bwe Coa-li.
Ular-ular itu menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumputan bergerak-gerak lantas terdengar suara mereka mendesis-desis. Lidah mereka itu keluar masuk dan kini mereka semua sudah berkumpul mengelilingi tempat itu.
"Bagus, bagus, heh-heh-heh, anak-anakku, kalian sudah datang..."
Sui Cin bergidik. Teringat dia akan nenek itu yang menangisi kematian seekor ular yang juga disebut anaknya. Nenek ini gila atau lebih dari itu, jahat dan keji bagaikan iblis. Kini nenek itu membuat suara dengan mulutnya, suara mendesis dibarengi ledakan pecutnya hingga beberapa ekor ular yang besar mengembangkan lehernya. Itulah ular-ular sendok yang sangat berbahaya karena amat kuat. Sekali saja digigit oleh ular seperti ini, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak memperoleh obat penawarnya yang ampuh, orang itu tentu akan mati!
Sui Cin yang kehilangan ingatannya itu tidak mengenal ular seperti itu, akan tetapi ia tahu bahwa ular-ular ini tentu sangat berbahaya. Tiga ekor ular sendok yang paling besar lalu berjoget di depannya, dengan lidah merah menjilat-jilat keluar, mata yang tak berkedip itu memandang kepadanya, kepalanya berlenggang-lenggok laksana sedang menggoda dan hendak mempermainkan Sui Cin.
"Heh-heh-heh, mereka bertiga ini yang kupilih untuk menggerogoti dagingmu, sedikit demi sedikit, ha-ha-ha!" kata nenek itu dan makin gencar cambuknya berbunyi, semakin lincah pula tiga ekor ular itu menari-nari di depan Sui Cin, makin lama semakin mendekati gadis yang terikat kaki tangan dan pinggangnya pada batang pohon itu.
Sui Cin memandang tak berkedip kepada tiga ekor ular ini, menahan hatinya agar jangan sampai dia menjerit kengerian. Sementara itu, puluhan ekor ular lainnya yang mengurung tempat itu ikut pula bergerak-gerak seperti menari, akan tetapi tidak ada di antara mereka yang berani mendekati tiga ekor ular sendok itu.
"Heh-heh-heh, Ceng Sui Cin, engkau baru tahu bahwa aku ini adalah ratu ular, ya? Aku dapat memerintah ular-ular ini menurut sekehendakku. Namun pertama-tama, aku hendak memerintahkan mereka itu menyusup ke dalam pekaianmu, menelusuri seluruh tubuhmu hingga kau hampir mati akibat geli dan ngeri. Kemudian aku akan memerintahkan mereka untuk merobek-robek semua pakaianmu sampai kau bertelanjang bulat. Nah, sesudah itu mulailah pesta untuk mereka. Gigit sana-sini, betis, paha, lengan dan bagian-bagian yang tidak berbahaya, menjilati darah dari luka-luka itu. Kemudian mukamu, pipimu yang halus itu, hidungmu yang mancung, bibirmu yang merah, akan digerogoti perlahan-perlahan. Engkau takkan mudah mati, akan kusiksa dulu sampai puas, sebagai hukuman ayahmu, Si Pendekar Sadis, ha-ha-ha!"
Cambuknya meledak-ledak, lantas tiga ekor ular itu mulai kelihatan beringas. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara suling yang ditiup dengan indah dan kuatnya, dan suara itu lalu menyelinap di antara ledakan-ledakan cambuk dan akibatnya sungguh aneh.
Ular-ular yang mengelilingi tempat itu nampak gelisah dan ketakutan, lalu perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu! Kini yang masih bertahan hanya tinggal tiga ekor ular sendok itu saja, menari-nari di depan Sui Cin. Akan tetapi suara suling terdengar semakin kuat dan tiga ekor ular itu kelihatan ragu-ragu dan bingung, kacau akibat suara ledakan-ledakan cambuk yang kini bercampur dengan suara suling yang agaknya lebih terasa dan lebih mempengaruhi mereka!
"Eh, keparat jahanam kurang ajar!" Nenek Kiu-bwe Coa-li memaki dan menoleh. Matanya terbelalak marah saat dia melihat seorang pemuda datang sambil meniup suling, sikapnya tenang dan gagah.
Sui Cin juga melihat datangnya pemuda ini dan ia pun merasa girang karena ia mengerti bahwa suara suling pemuda itu telah mengusir ular-ular yang tadinya mengurung tempat itu, dan kini suara suling itu membuat ketiga ekor ular itu menjadi bimbang dan bingung, seperti kehilangan pegangan. Dia dapat menduga bahwa suara suling itu menghancurkan pengaruh nenek iblis terhadap ular-ularnya dan timbullah harapannya biar pun dia sendiri masih lemas dan tak mampu meloloskan diri dari belenggu. Pemuda yang mampu meniup suling seperti itu tentu memiliki kepandaian tinggi, dia menduga.
Sementara itu, Kiu-bwe Coa-li yang menengok dan telah memandang pemuda itu, segera mengenalnya dan wajahnya agak berubah, kemarahannya memuncak. "Kau...! Keparat, kau putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga itu?"
Nenek itu menggerakkan cambuknya dan mengeluarkan suara mendesis. Karena semua ularnya sudah pergi terusir oleh suara suling tadi, kini tinggal tiga ekor ular sendok yang hendak dikerahkan untuk menyerang pemuda itu.
Akan tetapi, dengan tenang pemuda itu melangkah maju pada saat tiga ekor ular sendok menerjangnya dengan semburan-semburan uap hitam dari mulut mereka. Tiba-tiba saja, pemuda yang bukan lain adalah Cia Sun itu, meniup sulingnya dengan kuat. Terdengarlah suara melengking yang membuat Sui Cin sendiri terpaksa harus berusaha mematikan rasa menulikan telinga karena suara melengking itu sangat tinggi dan dahsyat, menusuk telinga menikam jantung.
Akan tetapi agaknya suara itu memang sengaja ditujukan hanya untuk menyerang atau menyambut tiga ekor ular itu. Mendengar suara ini, tiga ekor ular yang sudah mengangkat kepala tinggi-tinggi itu tiba-tiba saja terkulai kemudian berkelojotan seperti dalam keadaan kesakitan hebat.
Cia Sun melangkah maju dan tiga kali kakinya menginjak, pecahlah kepala tiga ekor ular itu. Tubuh mereka masih berkelojotan, akan tetapi karena kepala mereka sudah hancur terinjak kaki yang kuat itu, maka mereka berkelojotan dalam keadaan sekarat!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Kiu-bwe Coa-li melihat tiga ekor ular andalannya itu mati. Sambil mengeluarkan suara melengking dia lantas menerjang ke depan, cambuknya meledak-ledak di atas kepalanya sedangkan tangan kirinya yang berkuku panjang itu pun dipergunakan untuk menyerang dengan cakaran-cakaran dan cengkeraman-cengkeraman maut karena kuku-kuku panjang tangan kiri itu mengandung racun.
Akan tetapi, dengan amat tenangnya, Cia Sun mengelak mundur dua langkah kemudian sekali tangan kirinya bergerak mendorong ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar bagaikan hawa berapi, panas dan kuat. Kiu-bwe Coa-li menyambut dengan cambuk dan tangan kirinya, namun akibatnya dia langsung terpental ke belakang!
"Ehhh...!" Nenek itu berseru kaget bukan main.
Apa bila tadi dia dikejutkan oleh kecepatan gerakan Sui Cin, kini dia dikejutkan pula oleh kekuatan sinkang yang menyambar keluar dari tangan kiri pemuda ini. Ia pernah melawan pemuda ini, bahkan dengan bantuan ular-ularnya dia pernah hampir merobohkan Cia Sun beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, pada waktu itu, biar pun pemuda ini sudah amat lihai, tenaga sinkang-nya tidaklah sehebat sekarang ini.
Tentu saja nenek ini tidak tahu bahwa Cia Sun tiga tahun yang lalu tidak dapat disamakan dengan Cia Sun sekarang. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diajak pergi oleh seorang kakek sakti yang hanya memperkenalkan diri sebagai Go-bi San-jin dan di antara puncak-puncak Pegunungan Go-bi-san yang sunyi, pemuda ini sudah digembleng dengan hebat. Setelah oleh gurunya yang baru itu dia dinyatakan sudah cukup menerima ilmu, gurunya menyuruhnya pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar, tidak begitu jauh dari Lembah Naga, untuk menghadiri pertemuan para pendekar.
"Dunia telah berubah," demikian Go-bi San-jin yang gendut itu berkata, "para datuk sesat, seperti iblis-iblis, keluar dari neraka dan siap mengacau dunia. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka itu dan para pendekar telah bersepakat untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Pergilah ke sana. Akan tetapi jangan lupa, engkau mempunyai semacam tugas lain. Kalau engkau bertemu dengan seorang murid dari Ciu-sian Lo-kai, nah, dia itu lawanmu. Bukan musuh, melainkan lawan dan antara aku dan Ciu-sian Lo-kai telah saling berjanji untuk mengadu murid kami masing-masing. Engkau tidak boleh kalah karena hal itu akan membuatku malu."
Tugas pertama diterima dengan gembira oleh Cia Sun, akan tetapi tugas yang kedua ini sebetulnya tidak berkenan di dalam hatinya. Bagaimana dia harus melawan dan berkelahi dengan seseorang yang tidak dikenalnya, tanpa sebab, bahkan bukan musuh, melainkan hanya karena perjanjian antara guru mereka untuk saling mengadu murid-murid mereka? Seperti ayam aduan atau jangkerik saja.
Akan tetapi perintah guru tak mungkin diabaikan dan dia pun menyanggupi. Demikianlah, pemuda dari Lembah Naga ini meninggalkan gurunya dan di dalam perjalanan menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, di daerah Mongol ini, secara kebetulan saja dia melihat ada seorang gadis yang akan dikorbankan kepada ular-ular berbisa oleh seorang nenek mengerikan.
Cia Sun langsung mengenali nenek itu sebagai Kiu-bwe Coa-li, salah seorang di antara Cap-sha-kui, akan tetapi hampir saja dia berteriak ketika dia mengenal pula Sui Cin! Dara yang dibelenggu dan sedang menghadapi ancaman mengerikan dari ular-ular sendok itu adalah Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang selama ini tidak pernah dia lupakan.
Akan tetapi Cia Sun adalah seorang pemuda yang tenang. Melihat keadaan Sui Cin, dia tidak tergesa-gesa bertindak sembrono untuk menyelematkannya dengan jalan kekerasan begitu saja. Dia tahu betapa lihainya nenek itu dan tiga ekor ular sendok itu sudah siap mematuk, apa-lagi tempat itu dikelilingi oleh puluhan ekor ular.
Karena itu, sambil bersembunyi dia kemudian meniup sulingnya yang selalu dibawanya, dan mengerahkan khikang untuk mengusir ular-ular itu. Barulah dia muncul dan dia masih terus menggunakan sulingnya untuk mengalihkan perhatian tiga ekor ular sendok itu dari Sui Cin kepada dirinya. Kemudian, sesudah ular-ular itu menyerangnya, barulah dia turun tangan membunuh binatang-binatang itu.
Melihat betapa nenek iblis itu menyerangnya secara ganas, Cia Sun tak mau tinggal diam menahan diri begitu saja. Nenek ini adalah seorang di antara Cap-sha-kui, datuk-datuk sesat yang amat jahat dan karenanya haruslah dibasmi. Dulu dia pernah hampir celaka diserang nenek ini bersama pengeroyokan ular-ularnya dan pada waktu itu untung muncul Sui Cin yang membantunya. Kini Sui Cin yang menjadi korban kejahatan nenek itu, dan untung dia yang tanpa disengaja tiba di tempat itu sehingga dapat menyelamatkan Sui Cin.
Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat Sui Cin kelihatan begitu lemah, tidak mampu membebaskan diri dari belenggu yang tidak begitu kuat itu. Apa yang telah terjadi dengan gadis itu? Dan mengapa Sui Cin memandangnya dengan sinar mata keheranan seperti itu, sama sekali tak nampak bahwa gadis itu mengenalnya? Apakah Sui Cin telah pangling kepadanya?
Sesudah mengelak dari sambaran cambuk ekor sembilan, Cia Sun lalu membalas dengan serangan tamparan tangan kirinya, disusul dengan totokan suling yang tadi digunakannya untuk mengusir ular. Nenek itu mengelak kemudian menggerakkan lagi cambuknya yang mengeluarkan suara meledak-ledak. Terjadilah perkelahian yang seru, serang-menyerang dengan dahsyatnya.
Akan tetapi segera nenek itu mendapatkan kenyataan pahit bahwa lawannya ini luar biasa kuatnya, terlampau tangguh bagi dirinya. Semua serangannya gagal, bukan hanya gagal, akan tetapi setiap kali terjadi benturan tenaga, dia tentu terdorong dan terhuyung. Hatinya mulai terasa jeri. Akan tetapi Cia Sun yang telah mengambil keputusan untuk membunuh nenek jahat ini, mendesak terus dengan pukulan-pukulannya yang ampuh.
Pada suatu saat nenek itu terdesak dan terhuyung ke belakang. Dengan gerakan aneh tangan kanan Cia Sun menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dengan sebuah cengkeraman maut yang dahsyat. Nenek itu terkejut, segera menggerakkan cambuknya menangkis dan langsung melibat lengan kanan lawan, kemudian kepalanya bergerak dan rambutnya yang riap-riapan itu menyambar ke arah leher Cia Sun hendak menotok jalan darah maut.
Pemuda itu tidak menjadi gugup. Tangan kirinya menyambar untuk menangkap bulu-bulu cambuk, kemudian kaki kiri Cia Sun melayang ke depan dan mengirim tendangan yang mengarah leher lawan. Hebat sekali tendangan ini dan dilakukan pada saat kedua tangan mereka tidak bebas. Kiu-bwe Coa-li terkejut sekali dan cepat mengelak dengan miringkan kepala, akan tetapi tetap saja ujung sepatu kaki Cia Sun mengenai pundaknya.
"Dukkk...!"
Tubuh nenek itu terpelanting dan ujung bulu cambuknya rontok karena sebagian putus oleh cengkeraman tangan Cia Sun, sedangkan rambut kepalanya juga banyak yang jebol. Ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan serangah susulan, akan tetapi pemuda itu tidak mau mendesak lawan yang telah roboh, hanya bersiap-siap melanjutkan perkelahian itu.
Kiu-bwe Coa-li tidak terluka berat, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu akhirnya dia akan kalah karena pemuda itu sungguh lihai bukan main. Ia khawatir bahwa jika ia melarikan diri, pemuda itu tentu akan mengejarnya, maka ia pun mempergunakan akal. Sambil menudingkan cambuknya yang sudah bodol itu ke arah Sui Cin yang masih terbelenggu, ia pun berkata,
"Kau membelanya? Biarlah dia mampus sekarang juga!" Dari tengah gagang cambuknya meluncur jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat di gagang cambuk.
Cia Sun terkejut bukan kepalang. Tangannya cepat membuat gerakan memukul ke arah depan gadis itu hingga jarum-jarum halus beracun itu pun runtuh semua! Kiu-bwe Coa-li makin kaget saja. Pemuda ini benar-benar hebat, pikirnya dan hatinya menjadi semakin gentar. Kini cambuknya menuding ke arah pemuda itu dan kembali ada belasan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun.
"Nenek iblis yang jahat!" Cia Sun membentak dan begitu ia mengebutkan lengan bajunya, maka jarum-jarum itu bukan hanya runtuh, namun membalik ke arah nenek itu! Kiu-bwe Coa-li mengebutkan cambuknya dan jarum-jarum itu pun runtuh.
"Heh-heh-heh, orang muda, kau boleh juga. Akan tetapi temanmu itu jangan harap akan dapat hidup lagi, ia telah keracunan. Lihat, wajahnya sudah mulai kehilangan cahayanya!"
Cia Sun terkejut lantas menoleh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiu-bwe Coa-li untuk meloncat dan melarikan diri. Cia Sun tidak mau mengejar karena dia mengkhawatirkan keadaan Sui Cin. Dia tahu bahwa nenek itu tidak membohong.
Keadaan Sui Cin memang nampaknya tidak wajar. Gadis yang dahulu dikenalnya sebagai seorang pendekar wanita yang hebat, puteri tunggal Pendekar Sadis, kini demikian lemah dan tidak berdaya sehingga terbelenggu seperti itu pun tidak mampu membebaskan diri. Tentu gadis itu sudah terluka, atau keracunan seperti yang dikatakan nenek itu. Dia pun cepat meloncat dekat dan melepaskan ikatan kaki tangan dan pinggang gadis itu.
Semenjak tadi Sui Cin menjadi saksi perkelahian itu dan dia pun merasa kagum kepada pemuda berpakaian serba putih sederhana yang lihai itu. Setelah semua belenggu yang mengikat kaki tangannya putus dan ia menjadi bebas, ia segera merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata,
"Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan nenek iblis itu."
Cia Sun membalas penghormatan itu sambil tersenyum. "Adik Sui Cin, mengapa engkau begini sungkan? Di antara kita mana ada sebutan pertolongan?"
Sui Cin memandang dengan mata terbelalak dan jelas nampak oleh Cia Sun betapa gadis ini sekarang menjadi semakin cantik menarik.
"Saudara yang gagah perkasa, apa maksudmu...?"
Kini Cia Sun yang melongo. "Cin-moi... lupakah engkau kepadaku? Aku Cia Sun..."
Akan tetapi gadis itu memandang bingung. "Cia Sun...? Aku... aku tidak mengenal nama itu..."
"Ehh...? Bagaimana ini? Bukankah engkau... adik Ceng Sui Cin?"
Sui Cin menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak tahu... aku tidak tahu..."
Cia Sun merasa amat khawatir dan memandang tajam. "Apa maksudmu? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau bukan adik Ceng Sui Cin?"
"Aku tidak tahu apakah namaku Ceng Sui Cin ataukah Ceng Bi Hwa..."
"Apa pula ini? Bagaimana engkau tidak yakin akan nama sendiri?"
"Aku tidak tahu, aku sudah lupa segalanya... dan nama Ceng Sui Cin atau Ceng Bi Hwa itu pun kudengar dari nenek itu..."
"Engkau adalah adik Ceng Sui Cin, tak salah lagi! Coba ingat-ingat baik-baik, aku adalah Cia Sun, dari Lembah Naga. Lupakah engkau kepada nama itu? Antara ayahmu dengan ayahku terdapat hubungan yang amat erat... bukankah ayahmu adalah paman Ceng Thian Sin yang berjuluk Pendekar Sadis?"
Dengan sedih Sui Cin menggeleng kepala. "Aku lupa semua, aku tidak tahu apa-apa, aku lupa siapa sesungguhnya diriku. Aku hanya ingat bahwa aku terkena lemparan batu pada kepalaku, dan aku dikejar-kejar oleh seorang musuh lihai. Kemudian aku bertemu dengan nenek itu, namun dia sudah menipuku, memberi minum ramuan yang katanya obat untuk mengembalikan ingatanku. Akan tetapi ternyata obat itu adalah racun, aku menjadi lemas dan dibelenggunya seperti tadi... dan dia mengaku bernama Kiu-bwe Coa-li, katanya dia adalah musuh besarku..."
"Tentu saja! Dia adalah seorang di antara Cap-sha-kui yang jahat. Lupakah engkau?"
"Aku tidak ingat lagi siapa itu Cap-sha-kui..."
"Aihh, Cin-moi. Beberapa tahun yang lalu aku pernah hampir celaka di tangan nenek ini, dan engkaulah yang muncul menolongku. Apakah engkau tidak ingat?"
Sui Cin menggelengkan kepala. "Aku lupa segalanya... kepalaku pening, ahhh... batu itu menghantam kepalaku amat kerasnya..." Dara itu duduk kembali dan memejamkan mata untuk berusaha mengumpulkan tenaganya, akan tetapi dia mengeluh. Tenaganya hilang. "Aku lemas sekali, seluruh tenagaku lenyap... ini tentu akibat racun yang diberikan nenek iblis itu kepadaku..."
"Cin-moi, kalau begitu aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah kehilangan ingatanmu, entah kenapa, mungkin seperti yang kau ingat itu, terkena lemparan batu hingga otakmu terguncang dan ingatanmu hilang atau kabur. Kemudian, dalam keadaan hilang ingatan itu engkau bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan nenek iblis yang curang itu lalu menipumu, menggunakan keadaan dirimu yang lupa ingatan, kemudian meracunimu. Engkau sedang menderita keracunan, Cin-moi. Inilah yang harus lebih dahulu disembuhkan. Mari kubantu engkau..." Cia Sun lalu duduk bersila di belakang Sui Cin, akan tetapi gadis itu meloncat bangun dan memandang dengan sinar mata meragu.
"Adikku yang baik, apakah engkau tidak percaya kepadaku?"
"Aku tidak kenal denganmu..."
"Cin-moi, dalam keadaan hilang ingatan, aku tidak merasa heran kalau engkau tidak lagi mengenal aku, bahkan namamu sendiri pun engkau lupa, juga siapa orang tuamu. Akan tetapi, biar pun aku sekarang menjadi seorang kenalan baru, apakah engkau tetap tidak percaya padaku setelah tadi melihat betapa aku mati-matian membantumu dari ancaman nenek iblis itu?"
Boleh jadi Sui Cin sedang kehilangan ingatannya tentang masa lalu, akan tetapi dia tidak kehilangan kegagahan dan keadilannya. Dia mengangguk. "Baiklah, aku yang salah. Lalu, apa yang hendak kau lakukan dalam usahamu mengobatiku?"
"Aku tidak tahu racun apa yang diminumkan nenek itu kepadamu, Cin-moi, maka tentu saja aku pun tak tahu apa obat penawarnya. Akan tetapi setidaknya, dengan pengerahan sinkang, barang kali aku akan dapat memulihkan tenagamu, atau paling tidak aku akan dapat mencegah racun itu menjalar dan membahayakan keselamatan nyawamu."
Kembali Sui Cin mengangguk. "Baiklah, saudara..."
"Cin-moi, dulu engkau selalu menyebut twako kepadaku, dan namaku Cia Sun...," kata pemuda itu dengan halus.
"Baiklah, Sun-twako, silakan dan sebelumnya aku menghaturkan terima kasih." Gadis itu duduk bersila kembali. Cia Sun duduk di belakangnya lantas menempelkan kedua telapak tangannya di punggung gadis itu.
Segera Sui Cin merasa betapa ada hawa panas menjalar ke dalam tubuhnya melalui dua telapak tangan yang menempel punggung itu dan dia bergidik. Ia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai, akan tetapi mengerti juga bahwa nyawanya seolah-olah berada di telapak tangan pemuda itu. Ia menyerah dengan ikhlas dan memejamkan kedua matanya.
Kiu-bwe Coa-li lari sambil memaki-maki. "Keparat! Anjing monyet tikus sialan!"
Dia merasa betapa nasibnya amatlah buruknya. Sudah baik-baik bertemu dengan puteri Pendekar Sadis, malah dia sudah berhasil meringkus tanpa banyak susah dan selagi dia menikmati kepuasan hatinya menyiksa gadis itu sebelum membunuhnya, tiba-tiba muncul pemuda lihai itu, putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga!
Dan nyaris dia celaka, mungkin tewas di tangan pemuda itu! Hanya dengan susah payah dan berkat kecerdikannya dia mampu lolos dari ancaman maut, walau pun cambuk ekor sembilan dan rambutnya rontok dan bodol!
"Sialan...!" gerutunya. Mungkin ia kurang perhitungan ketika melakukan perjalanan, keliru memilih hari baik!
Memang menggelikan sekali ulah nenek iblis itu. Akan tetapi, apa bila kita mau membuka mata dan melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bahwa kenyataan hidup sehari-hari di antara kita tidaklah banyak bedanya dengan sikap nenek Kiu-bwe Coa-li itu.
Sejak kecil kita pun sudah terbiasa untuk menggantungkan diri kepada nasib! Dan setiap ada peristiwa merugikan menimpa diri kita, kita lantas menyalahkan kepada nasib. Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan sebagainya kita lontarkan sebagai ungkapan kekecewaan hati. Marilah kita sama membuka mata dan mengamati kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan kita sehari-hari?
Kita selalu mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua kesalahan keluar diri kita dan mencari-cari alasan dari luar, lalu, apa bila tidak menemukan lain orang atau barang sebagai penyebab datangnya kegagalan atau kerugian, kita akan melontarkan sebabnya kepada nasib!
Seorang yang gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan gurunya yang dikatakan tidak adil, menyalahkan sistem pelajarannya, menyalahkan teman-teman dan apa bila tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang lain lalu melontarkannya kepada nasib. Nasib buruk katanya!
Seorang yang gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari alasan di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan sangat buruk, licin dan sebagainya, menyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak memenuhi syarat dan sebagainya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan kesehatannya dan akhirnya juga melontarkannya kepada nasib!
Seorang yang dagangannya tidak laku dan gagal di dalam usahanya akan selalu mencari kesalahan pada tempatnya berjualan, para pembelinya, atau juga kepada nasib. Seorang pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakannya tolol dan bodoh tidak mengenal karangan yang bermutu dan yang baik, atau juga melontarkannya kepada nasib.
Bukankah semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan yang tak lucu dan konyol? Bukankah sikap seperti itu merupakan sebuah kebodohan dan menjadi penghalang besar dari pada kemajuan diri pribadi? Jika saja mereka itu mau menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan itu dalam diri sendiri, pasti akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan semua itu. Sebabnya terletak dalam diri sendiri!
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berputar pada sebuah sumber yang terdapat di dalam diri sendiri. Dan sikap mau mencari segala sebab pada diri sendiri adalah sebuah kebijaksanaan yang sangat besar dan sangat berguna bagi kehidupan manusia, karena dengan cara begini, kita masing-masing akan dapat melihat dan menemukan kesalahan-kesalahan serta kekurangan-kekurangan pada diri kita sendiri dan hanya bila kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan pada diri sendiri inilah maka baru akan bisa dilakukan perbaikan-perbaikan dan pembetulan-pembetulan. Nasib berada di dalam telapak tangan kita sendiri karena segala sebab dan semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.
Bukan hanya kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogyanya ditelusuri dari dalam diri sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi marah, kita membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri sedemikian tingginya. "Mengapa dia benci kepadaku? Kurang bagaimanakah aku? Aku selalu baik, selalu ramah, selalu memberi, tetapi mengapa dia benci kepadaku? Dasar dia orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh pikiran yang selalu mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.
Dengan cara membiarkan pikiran berceloteh macam itu maka kita akan mandeg, bahkan mundur, dan kita tak akan mampu melihat kenyataan, melihat kesalahan sendiri dan kita hanya akan menambah kebencian di antara manusia. Akan tetapi, bila mana kita selalu waspada terhadap diri sendiri, mengamati diri sendiri tanpa menilai, tanpa mencela atau memuji, akan nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi kita kenapa ada orang yang membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini, pengamatan ini, sekaligus akan menimbulkan kesadaran yang kemudian melahirkan tindakan nyata pula, mendatangkan keberanian untuk merubah kesalahan sendiri.
Kiu-bwe Coa-li bersungut-sungut dan marah-marah, menyalahkan nasibnya. Akan tetapi semua kegagalan yang menimpa dirinya tak lain merupakan buah yang dipetik dari pohon yang ditanamnya sendiri! Ia bersungut-sungut dan karena ia berjalan amat cepat sambil melamun, hampir saja ia menabrak seorang yang sedang berjalan perlahan dari depan.
Orang itu menyerongkan langkah, memiringkan tubuh hingga tabrakan terhindar. Kiu-bwe Coa-li hanya merasakan angin berseliwer halus ketika orang itu lewat di sampingnya dan baru dia sadar bahwa hampir saja ia bertubrukan dengan orang lain. Hatinya yang sedang murung itu menjadi panas dan marah, apa lagi ketika dia mengangkat muka dan melihat bahwa yang hampir bertubrukan dengan dirinya itu juga seorang nenek yang pakaiannya indah dan bersih.
Nenek ini pun sudah tua, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, malah lebih tua dari nenek Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi jelas nampak perbedaan antara kedua orang nenek itu. Kalau Kiu-bwe Coa-li berwajah buruk sekali, sebaliknya nenek ini menunjukkan bahwa di waktu mudanya dia tentu seorang wanita yang amat cantik jelita. Akan tetapi bukan kecantikan seorang wanita Han, melainkan kecantikan asing, dengan matanya yang lebar, hidungnya yang terlalu mancung dan dagunya yang panjang meruncing itu. Juga dandanannya jauh berbeda dengan wanita Han, bahkan juga berbeda dengan pakaian wanita-wanita Mongol pada umumnya.
Rambutnya yang sudah putih itu dikuncir dua, bukan dikuncir melainkan dibagi dua dan diikat dengan kain lebar. Telinganya yang lebar memakai anting-anting gelang yang besar pula. Lehernya memakai kalung dari untaian batu-batu putih bundar seperti tasbeh.
Jubahnya berwarna putih bersih dengan rangkapan berwarna biru dan kuning yang indah. Tangannya memegang sebatang kebutan yang juga berbulu putih mirip rambutnya. Nenek ini nampak agung dan berwibawa, juga gerak-geriknya halus laksana wanita bangsawan. Mulutnya tersenyum dan membayangkan kebesaran hati ketika dia memandang kepada Kiu-bwe Coa-li.
Sejenak Kiu-bwe Coa-li mempergunakan sepasang matanya yang sedikit juling itu untuk memandang dan hatinya menjadi semakin panas. Nenek itu dianggapnya terlalu sombong dan genit! Sudah tua masih berdandan begitu rapinya, memakai kalung dan anting-anting pula, dan pakaiannya bagus-bagus!
"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya sambil menggoyang-goyangkan cambuknya. "Di mana kau taruh matamu maka engkau berani hampir menubruk aku?"
Nenek berjubah putih-putih itu tersenyum. "Sobat, jangan marah-marah dulu dan ingatlah baik-baik, siapakah yang hendak menubruk tadi? Engkau berjalan setengah berlari sambil melamun sehingga tidak melihat ke depan dan kalau aku kurang cepat menyingkir tentu telah kau tabrak."
Suaranya halus dan dari suara serta kata-katanya jelas bahwa dia adalah seorang wanita Mongol yang pandai pula berbahasa Han. Kata-katanya menunjukkan bahwa ia terpelajar, karena ia menggunakan bahasa yang halus, lebih halus dari pada kata-kata yang keluar dari mulut Kiu-bwe Coa-li, seorang nenek berbangsa Han asli.
Kata-kata yang halus serta sikap yang tenang itu menambah kemarahan Kiu-bwe Coa-li, karena ia merasa seolah-olah diejek. Ia menudingkan cambuknya ke arah muka nenek itu sambil membentak, "Perempuan tua bangka Mongol yang bosan hidup! Buka mata dan telingamu baik-baik. Engkau sedang berhadapan dengan Kiu-bwe Coa-li dan jika engkau tidak lekas berlutut minta ampun, maka cambukku akan mencabut nyawamu!"
"Ck-ck-ck..." Nenek itu menggelengkan kepala perlahan sehingga anting-antingnya yang seperti gelang itu bergoyang-goyang, akan tetapi mulutnya tetap saja tersenyum. "Kiranya Kiu-bwe Coa-li, salah seorang dari Cap-sha-kui yang namanya menggelapkan angkasa di selatan? Wah, hebat sekali. Kiu-bwe Coa-li, aku sudah tua, nyawaku ini tidak akan dapat kupertahankan selamanya dan sekali hendak pergi meninggalkan badan, siapa yang bisa menangguhkannya? Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku berlutut sebab aku tidak mempunyai kesalahan apa pun kepadamu."
"Keparat! Berani engkau membantah dan menantangku? Apakah kau bosan hidup?"
Pada saat itu pula terdengar auman yang keras dan menggetarkan bumi. Kiu-bwe Coa-li terkejut bukan main ketika tiba-tiba seekor harimau yang amat besar muncul dan berlari menghampiri nenek berjubah putih itu. Harimau itu kemudian memandang kepadanya dan menggereng marah, dua matanya mencorong dan bibir atasnya mendesis-desis, meringis memperlihatkan gigi dan taring yang amat kuat.
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li merasa ngeri dan jeri juga. Biar pun dia lihai, akan tetapi untuk menghadapi seekor harimau yang begitu besarnya, dia maklum betapa besar bahayanya melawan binatang seperti ini.
"Houw-cu... diamlah dan jangan ribut," kata nenek itu dengan suara membujuk. Harimau itu lalu mendekam di samping si nenek berjubah putih.
"Huh, biar pun engkau mempunyai peliharaan kucing itu, jangan dikira aku takut!" Kiu-bwe Coa-li menantang.
Nenek itu tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan cahaya mencorong, seperti mata binatang peliharaannya. "Kiu-bwe Coa-li, mengherankan sekali bahwa orang dengan watak seperti engkau ini dapat hidup sampai usia tua. Aku bukanlah orang yang suka mempergunakan kekerasan, tidak suka berkelahi, akan tetapi juga bukan orang yang takut akan ancaman-ancaman dan gertak-gertak kosong belaka!"
"Akan tetapi yang suka mengandalkan perlindungan binatang buas!" ejek Kiu-bwe Coa-li.
Dia masih merasa ragu-ragu untuk turun tangan mengingat adanya harimau yang nampak buas sekali itu. Jika hanya harimau biasa saja, ia tidak akan gentar. Akan tetapi harimau ini sungguh luar biasa besarnya dan nampaknya kuat bukan main.
"Begitukah? Aku tidak minta perlindungan Houw-cu, dia hanya marah karena hidungnya dapat mencium bau busuk. Eh, Houw-cu, pergilah bersembunyi sebentar agar perempuan kejam ini tidak menjadi ketakutan."
Seperti seekor binatang jinak yang mengenal perintah majikannya, harimau itu lalu pergi setelah beberapa kali menoleh ke arah Kiu-bwe Coa-li sambil menggereng seperti merasa curiga dan marah. Kemudian dia menghilang di balik pohon-pohonan dan tidak terdengar lagi suaranya.
"Nah, dia sudah pergi, Kiu-bwe Coa-li. Sekarang engkau mau apa?"
"Mau membunuhmu!" bentak Kiu-bwe Coa-li marah.
Nenek ini langsung melakukan serangan dengan cambuknya. Cambuk itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan meski pun sudah ada dua ekornya yang putus pada waktu dia menghadapi Cia Sun tadi, akan tetapi masih ada sisa tujuh ekor yang kini menyambar dan melakukan totokan-totokan yang dahsyat.
"Hemmm...!" Nenek jubah putih itu berseru kaget ketika menyaksikan kehebatan gerakan serangan Kiu-bwe Coa-li dan ia pun melompat ke belakang sambil mengebutkan kebutan putih di tangannya.
"Pratt-pratt-prattt...!"
Beberapa kali cambuk itu bertemu dengan kebutan hingga membuat nenek berjubah putih itu terhuyung ke belakang.
"Heh-heh-heh, kematian sudah di depan mata, bersiaplah engkau, tua bangka!" Kiu-bwe Coa-li mengejek dan kembali menyerang lagi. Dia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada nenek itu sehingga bertanya nama pun tidak.
Demikianlah watak orang-orang Cap-sha-kui yang rata-rata sombong dan kejam itu. Dan itulah kesalahannya. Andai kata dia tadi bertanya dan dia tahu dengan siapa dia sedang berhadapan, tentu dia akan bersikap hati-hati dan mungkin dia akan pergi tanpa berani mengganggu nenek berjubah putih itu. Akan tetapi dia terlalu sombong dan pada saat itu hatinya sedang marah karena kekalahannya terhadap Cia Sun.
Didesak oleh serangan-serangan yang sangat dahsyat ini, nenek jubah putih itu mengelak sambil berloncatan dan anehnya, dia sama sekali tidak pernah membalas. Akan tetapi dia pun terkejut memperoleh kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan-serangan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li itu, maka begitu melompat ke belakang dia langsung menudingkan kebutannya sambil berkata halus,
"Kiu-bwe Coa-li, membenci orang lain beranti membenci diri sendiri. Engkau menyerang orang lain sama saja dengan menyerang diri sendiri!"
Kiu-bwe Coa-li tidak peduli sungguh pun kata-kata nenek itu seperti menembus ke dalam dadanya. Dengan ganas dia menubruk dengan cambuknya.
"Tar-tarr-tarrr...!"
Cambuk meledak-ledak, lantas menerjang ke arah nenek itu. Akan tetapi entah kekuatan apa yang terdapat dalam kebutan berbulu putih, tiba-tiba saja cambuk itu membalik dan memukul muka Kiu-bwe Coa-li sendiri!
"Ihhhhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak keras dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja tiga ekor cambuk itu mengenai muka dan lehernya sehingga nampaklah jalur-jalur merah berdarah di muka dan lehernya. Dia terbelalak, akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan merasa semakin marah.
"Kubunuh kau... kau harus mampus!" Ia berteriak marah sekali dan kembali ia meloncat ke depan.
Nenek itu mengacungkan kebutannya ke atas, lantas membanting kebutan itu ke bawah. Dan aneh sekali, mendadak tubuh Kiu-bwe Coa-li yang sedang meloncat itu tiba-tiba saja terbanting ke bawah oleh tenaga yang tidak nampak.
"Brukkk...!"
Kiu-uwe Coa-li terbelalak dan menjadi semakin marah karena bantingan itu sama sekali tidak melukainya, biar pun membuat napasnya agak sesak dan jalannya menjadi pincang. Pada waktu dia mengangkat mukanya, nenek itu sedang berjalan pergi sambil membawa kebutannya, seolah-olah tak mau mempedulikannya lagi! Kemarahannya pun memuncak. Dilihatnya nenek itu menuruni sebuah lereng yang curam.
"Tunggu, ke mana engkau hendak lari, keparat?" Dia mengejar dan menuruni lereng yang diapit-apit jurang yang curam itu.
Nenek berjubah putih itu lantas menengok. "Kiu-bwe Coa-li, aku melihat ada awan hitam yang mempengaruhimu. Mundurlah sebelum terlambat!" Ucapannya itu halus dan bernada serius. Namun orang macam Kiu-bwe Coa-li mana mau mengalah dan mundur sebelum kalah?
Setelah mengejar sampai jarak empat meter, tiba-tiba saja Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya lantas meluncurlah belasan jarum halus menyerang ke arah tubuh belakang nenek itu. Akan tetapi nenek itu lalu membalikkan tubuhnya dan kembali mengacungkan kebutannya, dan anehnya, belasan batang jarum halus yang sedang meluncur itu tiba-tiba saja membalik ke arah Kiu-bwe Coa-li sendiri!
Mata nenek buruk itu terbelalak, terkejut bukan main karena kembalinya belasan batang jarumnya itu amat cepatnya, lebih cepat dari pada ketika dia pakai menyerang. Dia tidak mau kalau senjatanya makan tuan. Untuk menangkis tidak sempat lagi saking cepatnya jarum-jarum itu meluncur, maka dia pun langsung meloncat ke kiri untuk mengelak dan... terdengarlah jeritan menyayat hati ketika tubuhnya meluncur ke bawah, ke dalam jurang yang amat curam!
Dalam kemarahannya tadi, nenek ini sudah menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan sehingga lupa bahwa di kanan kiri tempat itu terdapat jurang-jurang yang curam sehingga ketika dia mengelak dan melompat ke kiri, dia telah melompat ke dalam jurang.
Jeritan itu berhenti dan nenek berjubah putih menjenguk dari tepi jurang, memandang ke bawah. Masih nampak olehnya tubuh Kiu-bwe Coa-li yang dari atas nampak kecil seperti boneka menggelinding ke bawah, terlempar-lempar saat menimpa batu-batu dan akhirnya terbanting ke dasar jurang dan diam tak bergerak lagi.
"Ck-ck-ckk...!" Nenek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu bertepuk tangan.
Tepukan tangan itu terdengar amat nyaring dan agaknya merupakan isyarat bagi harimau peliharaannya karena kini muncullah harimau besar itu, berlari-lari mendatangi. Nenek itu lalu naik ke punggung harimau, menggerakkan kebutannya dan harimau itu pun berlari ke arah dari mana Kiu-bwe Coa-li tadi datang.
Tak lama kemudian tibalah nenek dan harimaunya itu di tempat di mana Cia Sun sedang berusaha untuk mengobati Sui Cin. Dari jauh nenek itu sudah melihat mereka dan ia pun menyuruh harimaunya berhenti. Ia mengintai dan sampai lama dia mengamati dua orang muda itu. Berulang kali dia menarik napas panjang dan menggumam seorang diri. "Ahh, agaknya anak perempuan itu keracunan dan tentu perbuatan Kiu-bwe Coa-li itu. Kasihan, aku melihat cahaya gelap menyelubungi wajahnya."
Nenek ini bukan orang sembarangan. Kalau tadi Kiu-bwe Coa-li tidak begitu sombong dan mau bertanya nama, agaknya ia belum tentu akan tewas, mati konyol karena terjatuh ke dalam jurang karena nama nenek itu tentu akan membuatnya merasa jeri dan tidak berani sembarangan menyerang. Nenek itu terkenal sekali di daerah utara, di luar Tembok Besar dan bahkan seluruh penduduk Mongol dan Mancu amat takut kepadanya.
Di Mongol, ia dikenal sebagai seorang dukun wanita yang terkenal sakti dan ampuh. Apa lagi, selain menjadi dukun yang diakui mempunyai banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga ia merupakan keturunan dari Yelu Ce-tai, seorang arif bijaksana yang dahulu menjadi penasehat Raja Jenghis Khan!
Biar pun sudah lama Kerajaan Goan, yaitu penjajah Mongol, terjatuh dan sisa-sisa orang Mongol kembali ke utara di luar Tembok Besar, namun nama keluarga Yelu Ce-tai masih dikenal orang. Bahkan ratusan tahun kemudian, sebagai keturunan keluarga Yelu, nenek itu masih dihormati oleh orang-orang Mongol, apa lagi karena dia memang seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu sihirnya.
Bahkan para kepala suku yang banyak terdapat di daerah itu semua menghormatinya. Ia menjadi tempat bertanya nasehat para pimpinan suku, dan bahkan pertikaian-pertikaian yang timbul di antara mereka sering kali baru dapat didamaikan kalau Yelu Kim, demikian nama nenek itu, sudah turun tangan melerai. Di kalangan orang Mongol yang masih amat percaya dengan hal-hal mukjijat dan ketahyulan, nenek itu dikabarkan sakti seperti dewa, dapat menghidupkan orang mati dan mematikan orang hidup!
Sebetulnya, dahulu Yelu Ce-tai adalah seorang bangsawan Khitan akan tetapi ahli dalam kebudayaan bangsa pribumi Han sehingga dia pun dianggap sebagai seorang berbangsa pribumi. Keturunannya banyak yang menikah campuran sehingga darah Yelu Kim adalah darah campuran, bahkan ada pula darah Bangsa India di barat. Itulah sebabnya mengapa wajahnya memiliki kecantikan yang asing dan aneh.
Namanya terkenal sekali, bahkan tokoh-tokoh besar di pedalaman yang sering menjelajah ke utara, pernah mendengar akan kehebatan nama ini. Maka sayanglah bahwa Kiu-bwe Coa-li tidak menanyakan namanya sehingga nenek iblis itu harus tewas tanpa mengetahui bahwa lawannya adalah orang yang paling terkenal di Mongol.
Sebagai seorang yang dihormati, Yelu Kim yang berdarah bangsawan itu bersikap agung dan ramah, akan tetapi di balik kehalusan sikapnya itu tersembunyi kekuatan yang amat menakutkan. Memang nenek ini ada kalanya memiliki sikap yang aneh dan mengejutkan orang, kadang-kadang dia murah hati sekali dan mudah mengampuni, tetapi ada kalanya dia bersikap amat keras hati dan amat kejam. Padahal, pada dasarnya Yelu Kim bukanlah orang yang berwatak kejam, namun orang yang bijaksana dan adil, dan pandangannya sedemikian jauh sehingga banyak orang tidak mengerti dan menganggap dia kejam.
Nenek yang sudah beberapa kali menikah ini tidak pernah mengecap kebahagiaan hidup keluarganya, dan dia tidak pernah mempunyai anak sehingga kini hidup kesepian dalam usia tua. Dan sebagai seorang janda tua yang hidup kesepan, dia suka dengan binatang peliharaannya. Akan tetapi jika para janda itu suka memelihara kucing atau anjing, maka nenek ini memelihara seekor harimau yang amat besar dan menakutkan.
Harimau ini bukan hanya menjadi binatang peliharaan dan kesayangan, malah dapat juga menjadi binatang tunggangan dan binatang yang menjaga serta melindungi keselamatan Yelu Kim. Melihat binatang ini saja membuat orang yang tadinya berniat buruk terhadap Yelu Kim harus berpikir panjang lebih dulu karena harimau itu nampak amat menyayang dan setia kepada majikannya. Demikianlah sedikit kisah tentang nenek aneh itu yang kini mengintai Cia Sun dan Sui Cin yang sedang duduk bersila.
"Dua orang dusun tadi tidak curiga?" tanya si gadis cantik.
"Ha-ha-ha, seperti biasa, orang-orang dusun itu percaya tahyul. Mereka menyangka kami adalah setan lantas lari tunggang langgang," jawab kakek gendut sambil tertawa.
"Bagus! Biarkan mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini ada hantunya. Kita tidak ingin diganggu," kata pula si gadis cantik. "Malam ini aku lelah sekali, besok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Goa Iblis Neraka."
"Kurasa percuma saja," kata kakek kurus, "batu besar itu mana bisa kita buka? Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan namun tetap gagal. Apakah tidak lebih baik jika kita melapor saja kepada Ong-ya?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan sukar mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa kutinggalkan begitu saja sebelum berhasil? Besok pagi-pagi kita harus mencoba lagi, kalau gagal, biar aku akan mencari bantuan lagi."
Agaknya dua orang kakek itu adalah pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu, sedangkan si gadis cantik memasuki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar tidurnya di dalam kuil itu.
Yang tengah diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk Siang-tok Sian-li beserta dua orang pembantunya, yaitu Hui-to Cin-jin si kakek kurus dan Kang-thouw Lo-mo si kakek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui. Dia tak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini dapat menduga bahwa tiga orang yang berada di dalam kuil itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Percakapan mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali tentang Goa Iblis Neraka itu. Ingin sekali dia tahu siapa adanya mereka dan tempat macam apakah goa itu. Karena dia ingin sekali tahu, maka malam itu dia kembali ke penginapan namun pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah bersembunyi di balik pohon dekat kuil.
Pagi-pagi sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat keluar dan berlari cepat meninggalkan kuil. Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi dalam hal ilmu berlari cepat, dia adalah ahlinya maka tanpa kesukaran sama sekali dia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui.
Ketika tiga orang yang dibayangi itu sampai di Goa Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik sekali. Dia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu besar yang menutupi goa di sebelah dalam.
Dari percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka itu sedang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu saja hatinya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak meneari bantuan.
Ketika mereka pergi, Sui Cin tetap tinggal di situ dan dia sendiri pun kemudian melakukan penyelidikan. Akan tetapi dia sendiri juga tidak mampu membuka batu besar penutup goa, dan karena dia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu di mana letaknya yang tepat, dia pun lalu menanti kembalinya gadis cantik yang akan membawa pembantu-pembantu itu.
Dia mulai curiga setelah mendengar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan melihat sikap gadis yang genit. Biar pun belum merasa yakin benar karena belum ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat perkembangan lebih jauh dan dia tinggal di dalam goa itu seorang diri sampai beberapa hari lamanya.
Akhirnya, pada suatu hari dia melihat munculnya ketiga orang itu, sekali ini ditemani oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat dia bersembunyi di dalam pohon di atas goa dan melihat pemuda gagah itu, hampir dia berteriak saking girang dan kagetnya. Tentu saja dia mengenal Hui Song!
Akan tetapi karena masih menaruh hati curiga kepada tiga orang itu, dia menahan diri dan merasa heran sekali bagaimana Hui Song dapat bergaul dengan mereka dalam keadaan yang demikian akrab. Apa lagi melihat sikap gadis cantik itu yang demikian memikat dan dalam sikap serta gerak-geriknya nampak jelas sekali bahwa gadis itu mencinta Hui Song, mendatangkan perasaan tidak enak dalam hati Sui Cin.
Dia membayangi terus dan terheran-heran ketika melihat betapa kini Hui Song bersama gadis itu menyeberangi jembatan batu pedang sedangkan kedua orang kakek itu berhenti dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup maju lagi. Padahal dia pernah melihat dua orang kakek itu menyeberangi jembatan batu pedang ini bersama si gadis cantik, dan biar pun dengan agak sukar, tapi dua orang itu mampu menyeberangi. Mengapa kini mereka berpura-pura tidak dapat menyeberang?
Dia merasa makin curiga, apa lagi ketika melihat betapa setelah menanti beberapa lama dan Hui Song sudah lenyap bersama gadis itu, kedua orang kakek ini lalu berindap-indap menyeberangi batu pedang! Mulailah Sui Cin mencium sesuatu yang tidak beres dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Hui Song di tangan tiga orang ini, maka dia pun cepat membayangi dua orang kakek itu masuk ke begian dalam.
Demikianlah, keinginan tahu Sui Cin menyelidiki tiga orang itu serta rahasia di dalam Goa Iblis Neraka sudah menyelamatkan Hui Song. Ketika pemuda ini dikeroyok tiga, Sui Cin muncul membantu dan menyelamatkannya karena pada saat itu Hui Song memang amat terancam bahaya. Akan tetapi, dalam usaha mereka berdua untuk melarikan diri, Sui Cin terkena lontaran batu Kang-thouw Lo-mo yang mengakibatkan bagian dalam kepalanya terguncang sehingga dia kehilangan ingatannya!
Ketika dia siuman, dia lupa segala dan melihat Hui Song, dia lalu menyerangnya. Hal ini adalah karena yang masuk ke dalam ingatannya pada saat terakhir adalah orang-orang jahat yang dilawannya. Maka begitu melihat Hui Song sebagai orang pertama pada saat dia siuman, dia pun menganggap bahwa Hui Song adalah orang jahat maka diserangnya pemuda itu mati-matian. Akan tetapi pemuda itu ternyata merupakan lawan yang sangat kuat dan dia merasa kepalanya pusing maka dia pun melarikan diri, mempergunakan ilmu lari cepat Bu-eng Hui-teng yang membuat pemuda itu tidak mampu mengejarnya.
Sui Cin sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang diingatnya hanyalah bahwa dia tadi bertemu dengan seorang lawan, seorang pemuda jahat dan curang yang sangat lihai, yang sudah menyambitkan benda keras sehingga mengenal kepalanya sebab kepala itu masih terasa sakit, dan yang tidak dapat dia kalahkan tadi.
Dia hanya tahu bahwa lawan itu mengejarnya, dan karena kepalanya pening, apa lagi dia tidak mampu mengalahkan, maka akan sangat berbahayalah kalau sampai pria itu dapat mengejarnya. Maka Sui Cin lalu mengerahkan tenaganya dan berlari dengan cepat sekali.
Wusssss...!
Sehari lamanya dia berlari terus, hanya kadang-kadang lambat dan mengaso apa bila dia sudah merasa lelah sekali. Setelah malam tiba, baru dia berhenti dan beristirahat di dalam sebuah hutan. Gadis ini sudah lupa sama sekali dengan masa lalunya. Bahkan namanya sendiri pun dia lupa! Dia juga tidak mempunyai apa-apa lagi karena semua pakaiannya tertinggal di tempat persembunyian di dekat Goa Iblis Neraka.
Malam itu dia menangkap seekor kelinci dan setelah memanggang dagingnya lalu makan daging panggang. Dia lalu duduk melamun di depan api unggun, mengerahkan pikirannya untuk mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak tahu apa-apa. Yang diketahuinya hanyalah bahwa dia sedang dikejar-kejar oleh seorang lawan yang tangguh, dan bahwa dia harus pergi ke utara, jauh melewati Tembok Besar.
Entah bagaimana, mungkin karena urusan menghadapi pemberontakan para datuk sesat itu sangat terkesan di dalam batinnya, maka hal inilah yang teringat olehnya, yaitu bahwa dia harus pergi ke utara, keluar Tembok Besar!
Biar pun sudah kehilangan ingatannya tentang masa lalu, namun Sui Cin tidak kehilangan semangat dan kelincahannya. Dia tetap kelihatan segar dan wajahnya selalu berseri-seri, melakukan perjalanan dengap cepat, terus menuju ke utara. Sama sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa dia tengah menderita luka dan guncangan yang membuat dia kehilangan ingatannya. Hanya kalau sedang duduk seorang diri sambil melamun dan mencoba untuk mengingat-ingat keadaan dirinya, siapa dirinya dan bagaimana asal usulnya, dia nampak bengong dan bingung.
Karena dia tidak sadar betul ke mana dia harus pergi, sesudah melewati Tembok Besar, Sui Cin memasuki daerah Mongol tanpa dia ketahui di mana dia berada dan ke mana dia harus pergi. Ia merasa gembira melihat daerah yang sama sekali asing baginya ini. Akan tetapi dia merasa bingung ketika bertemu dengan serombongan orang Mongol, dia sama sekali tidak mengerti bahasa mereka!
Setelah rombongan itu pergi dia melamun. Untuk apa dia datang ke tempat asing ini? Dia hanya merasa betapa ada dorongan dalam hatinya bahwa dia harus pergi keluar Tembok Besar, akan tetapi ke mana dan untuk apa dia tidak tahu!
Dia mengambil keputusan untuk merantau selama beberapa hari. Apa bila selama itu dia tidak juga dapat teringat untuk keperluan apa dia berada di tempat ini, dia akan kembali ke selatan, ke daerah di mana bahasa orang-orangnya dapat dia mengerti artinya.
Pada suatu hari, dalam keadaan kesepian, dia melihat satu rombongan orang Mongol lagi dan sekali ini di antara mereka terdapat beberapa orang wanita Mongol yang memakai pakaian wanita Han. Sui Cin segera teringat akan pakaiannya sendiri. Pakaiannya sudah kotor dan banyak yang robek-robek.
Hanya beberapa kali saja, di tempat sunyi di mana tidak terdapat orang lain, dia mencuci pakaiannya dan menjemur pakaian itu. Ia sendiri bertelanjang bulat, karena tidak memiliki pakaian cadangan. Dan kini pakaiannya sudah kotor lagi, bahkan sudah robek-robek.
Ia bukan seorang gadis pesolek, bahkan biasanya ia pun memakai pakaian seadanya dan seenaknya saja, bahkan kadang kala nampak nyentrik. Meski pun Sui Cin adalah seorang gadis puteri Pendekar Sadis yang kaya raya, namun sejak kecil ia lebih suka berpakaian sederhana.
Dalam keadaan kehilangan ingatan ini pun ia tidak berubah. Hanya ia sejak kecil memang suka akan kebersihan sehingga meski pun pakaiannya buruk dan lama, akan tetapi harus selalu bersih. Dan kini, dengan pakaian hanya satu-satunya sehingga tidak dapat diganti dan sudah kotor, ia merasa tersiksa sekali.
Karena itulah ketika melihat beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus-bagus dan bersih itu, dia menjadi kepingin sekali. Akan tetapi, di saku bajunya sama sekali tidak ada apa-apanya, apa lagi uang untuk membeli pakaian.
Dengan hati amat kepingin akan tetapi tak berdaya membeli dan juga merasa malu untuk mencoba-coba minta, diam-diam Sui Cin mengikuti rombongan yang terdiri dari belasan orang itu. Mereka membawa dua buah kereta untuk para wanita dan anak-anak, ada pun para prianya berjalan sambil berjaga-jaga.
Malam itu, ketika rombongan berhenti dan bermalam pada sebuah dusun, Sui Cin beraksi dan pada esok harinya, keluarga itu ribut-ribut karena sudah kehilangan dua stel pakaian wanita yang masih baru. Dua stel pakaian itu menghilang tanpa bekas!
Dan pada pagi hari itu, Sui Cin dengan pakaian baru tersenyum-senyum gembira. Ia telah berganti pakaian dan merasa dirinya segar sehabis mandi di luar dusun dan mengenakan pakaian baru dan bersih, bahkan sekarang masih ada satu stel yang dibuntalnya dengan pakaian lamanya.
Hanya satu hal yang masih membuatnya tidak senang, yaitu bahwa ia sama sekali tidak dapat berhubungan dengan orang-orang itu karena tidak mengerti bahasanya. Dan ia pun tak ingin pakaian yang dipakainya itu dikenal oleh rombongan semalam, maka ia pun lalu melanjutkan perjalanannya, kini membelok ke timur.
Pada keesokan harinya, selagi berjalan seorang diri sambil menimbang-nimbang apakah tidak sebaiknya kalau dia kembali ke selatan, tiba-tiba dia melihat seorang nenek sedang menangis di tepi sebuah hutan. Nenek itu berjongkok sambil menangisi seekor ular yang mati dan melingkar di atas tanah.
Nenek itu jelek sekali. Mukanya penuh dengan keriput dan terlihat buruk, tubuhnya kurus, punggungnya bongkok melengkung, rambutnya yang putih riap-riapan. Pakaiannya jubah kedodoran dan ketika Sui Cin mendekat, dia mencium bau yang tidak enak. Akan tetapi, biar pun demikian, tetap saja hati gadis itu merasa gembira dan dia terus menghampiri.
Yang membuatnya bergembira adalah karena dia dapat mengerti kata-kata tangisan atau keluhan nenek itu! Nenek itu mempergunakan bahasa Han dari selatan, walau pun agak kaku, namun dia dapat mengerti dengan jelas.
"Aduhhh, anakku yang baik... ahhh, kenapa engkau mati dan kenapa engkau tega sekali meninggalkan aku seorang diri... hu-hu-hu-huhh... ke mana aku harus mencari pengganti sepertimu, yang setia, patuh dan tangguh? Hu-hu-huuhhh...!"
Dalam keadaan biasa, tentu Sui Cin akan merasa ngeri mendekati nenek itu. Wajahnya demikian buruk menakutkan, dan sikapnya itu bagaikan orang gila. Mana ada orang yang menangisi kematian seekor ular besar? Akan tetapi, karena sesudah berhari-hari baru kini dia mendengar kata-kata yang dapat dimengertinya, maka hatinya gembira sekali dan dia merasa kasihan kepada nenek ini.
Memang bukan hanya gadis itu yang mempunyai perasaan demikian. Semua orang pun, kalau berada di tempat asing, atau lebih tepat lagi, kalau berada di negara asing, di antara bangsa asing yang berbahasa asing pula, akan merasa gembira sekali apa bila berjumpa dengan orang sebangsa, atau setidak-tidaknya sebahasa! Seakan-akan bertemu dengan seorang saudara di antara orang-orang asing.
"Nenek yang baik, mengapa engkau begini bersedih? Engkau sedang kematian binatang peliharaanmu? Mengapa ular ini bisa mati, nek?"
Nenek itu menghentikan tangisnya dengan tiba-tiba, lalu menoleh. Matanya yang melotot lebar itu amat mengerikan, akan tetapi Sui Cin tersenyum manis padanya, dengan sikap menghibur.
Nenek ini seperti anak kecil saja, pikirnya, menangisi binatang peliharaannya yang mati. Kalau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kuda atau ternak lainnya, bahkan burung kesayangan, masih wajar. Akan tetapi yang ditangisi kematiannya ini adalah seekor ular besar yang mengerikan!
"Siapa kau...?" Nenek itu tiba-tiba bertanya, seakan-akan merasa heran ada orang yang menegurnya, apa lagi di dalam bahasa Han, lantas matanya terbelalak dan mengeluarkan sinar berkilat. "Eh, engkau... engkau gadis she Ceng itu...!" nenek itu berseru dan bangkit berdiri. Setelah dia berdiri, bongkoknya nampak sekali.
Sui Cin juga bangkit berdiri, memandang kepada nenek itu dengan wajah berseri. "Nenek yang baik, engkau mengenalku? Engkau tahu benar bahwa aku she Ceng? Sebenarnya, nek, aku sudah lupa segala tentang diriku, maka... tolonglah kau beri tahu siapa diriku ini, nek..."
Nenek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh lirih, ada pun mata yang lebar itu berkilauan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, juga kekejaman luar biasa. Kalau saja Sui Cin tidak kehilangan ingatannya, tentu dia akan kaget setengah mati berjumpa dengan nenek ini, karena nenek ini adalah seorang musuh lamanya, yaitu Kiu-bwe Coa-li (Nenek Ular Ekor Sembilan), seorang di antara Cap-sha-kui yang kejam dan lihai! Dan agaknya nenek yang menjadi datuk kaum sesat ini tidak melupakan Sui Cin, maka dia nampak terkejut sekali. Akan tetapi begitu melihat sikap Sui Cin yang lupa akan keadaan dirinya, nenek itu terkekeh girang.
"Ah, bagaimana engkau bisa lupa akan dirimu sendiri, nona?" tanyanya, sikapnya terlihat ramah sehingga wajahnya yang amat buruk itu tidak begitu menakutkan lagi.
"Entahlah, nek, aku lupa segalanya. Seingatku ada yang menghantam kepalaku, mungkin batu yang dilontarkan oleh seorang musuhku kepadaku dan mengenai belakang kepalaku. Akan tetapi aku menjadi pening dan sampai sekarang aku lupa segalanya tentang diriku. Bahkan engkau yang ternyata sudah mengenal aku pun sama sekali aku tidak ingat lagi. Siapakah aku ini, nek? Tolonglah bantu aku agar kembali ingatanku. Siapakah aku ini?"
"Anak baik, siapakah musuhmu yang menyerangmu dengan lontaran batu itu?"
Sui Cin menggelengkan kepalanya. "Aku pun tidak tahu, nek. Hanya setahuku, dia adalah seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, dan aku tidak akan melupakan wajahnya karena sekali waktu aku harus membalas perbuatannya itu!" Sui Cin lalu mengepal tinju dengan gemas.
"He-he-heh-heh, anak baik, engkau bukan orang lain, masih terhitung cucu keponakanku sendiri."
Sui Cin terbelalak, terkejut, heran dan sekaligus girang. "Aih, benarkah itu, nek? Siapakah engkau dan siapa pula namaku, siapa pula orang tuaku?"
"Engkau benar-benar tidak ingat kepadaku? Lihat ini, apakah engkau lupa kepada benda ini?" Kui-bwe Coa-li mengeluarkan senjatanya, yaitu cambuk ekor sembilan yang ampuh dan menyeramkan itu. Akan tetapi Sui Cin memandang biasa saja kemudian menggeleng kepalanya.
"Tidak, nek, aku tidak mengenal cambuk itu."
Dan legalah hati Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis ini memang benar-benar telah kehilangan ingatannya dan tidak ingat lagi akan segala hal yang dikenalnya pada masa lalu. Bagus, pikirnya, memudahkan dia untuk melumpuhkan gadis ini!
"Namamu... Bi Hwa, Ceng Bi Hwa, ayah ibumu sudah tidak ada, engkau yatim piatu dan dulu engkau pernah ikut belajar silat kepadaku selama beberapa tahun. Mendiang ayahmu adalah keponakanku, jadi engkau adalah cucu keponakanku. Aku dijuluki orang sesuai dengan senjataku ini, ialah Kiu-bwe Coa-li." Nenek itu memegang cambuk ekor sembilan di tangan kanannya dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk menyerang, kalau gadis itu teringat kembali akan nama julukannya.
Akan tetapi Sui Cin sama sekali tidak ingat, hanya mengulang namanya dengan dua alis berkerut, "Bi... Ceng Bi Hwa... ahh, aku sama sekali tidak ingat lagi namaku sendiri, nek, Harap maafkan aku..." Kemudian dia memberi hormat pada nenek itu. "Terimalah hormat dariku, nek."
Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk sambil terkekeh girang. "Bagus, bagus... jangan kau khawatir, cucuku. Sesudah engkau bertemu dengan nenekmu ini, kujamin engkau segera akan menemukan kembali ingatanmu, heh-heh."
"Aih, benarkah, nek? Benarkah engkau hendak mengobatiku? Ah, aku akan girang sekali kalau aku dapat mengingat semua keadaan diriku."
"Tentu saja! Bukankah engkau ini cucu keponakanku yang tersayang? Jangan khawatir, dengan mudah saja aku akan dapat menyembuhkanmu dan mengembalikan ingatanmu. Akan tetapi sebelum itu, aku ingin sekali menyelidiki dulu bagaimana keadaan orang yang kehilangan ingatannya. Perlu bagiku untuk pengobatan. Bi Hwa, apakah engkau lupa pula dengan semua ilmu silatmu yang pernah kuajarkan kepadamu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Aku lupa bahwa engkau yang mengajarkan ilmu silat kepadaku, nek, dan lupa lagi ilmu silat apa adanya itu. Akan tetapi gerakan ilmu silat itu sudah mendarah daging di tubuhku, menjadi gerakan otomatis kaki dan tanganku sehingga aku bergerak tanpa mengingat lagi. Agaknya... agaknya aku tidak melupakan ilmu silat itu, nek."
"Hemm... aneh, aneh. Akan tetapi sebaiknya bila kucoba untuk membuktikan kebenaran omonganmu. Nah, kau bergeraklah menurut nalurimu, aku akan mencoba menyerangmu dengan cambukku. Sesudah ujian ini, baru nanti aku akan mengobatimu sampai sembuh, cucuku tersayang."
Nenek itu menggerakkan cambuknya ke atas, dan terdengar bunyi meledak-ledak ketika sembilan ekor cambuknya itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak-gerak bagai sembilan ekor ular hidup! Dan tiba-tiba cambuk itu menyambar ke arah Sui Cin.
"Tar-tarr-tarrrr...!"
Sui Cin terkejut melihat gerakan cambuk yang hebat ini. Tidak disangkanya bahwa nenek yang aneh seperti orang gila atau seperti anak kecil ini, yang menangisi kematian seekor ular, dan yang ternyata adalah bibi dari ayahnya seperti yang dikatakan nenek itu, kiranya memiliki kepandaian hebat dan serangan cambuk itu benar-benar amat berbahaya.
Sembilan ekor ujung cambuk itu bergerak laksana ular-ular hidup dan masing-masing kini menyerang secara bertubi ke arah sembilan jalan darah di tubuhnya! Tentu saja dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan lenyap!
Maka kagelah Kiu-bwe Coa-li. Seingatnya, gadis yang dia ketahui adalah puteri Pendekar Sadis ini, walau pun memang lihai, akan tetapi tidak sehebat ini kelihaiannya. Gadis yang berada di depannya ini mempunyai ginkang yang mentakjubkan! Dia menjadi penasaran sekali, akan tetapi mulutnya terkekeh.
"He-heh-heh, bagus, engkau masih memiliki kegesitanmu. Nah, bersiaplah, kini aku akan menyerang sungguh-sungguh!"
Dan cambuk itu lalu diputar, mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan kini nenek itu menyerang dengan amat hebatnya. Dahsyat dan buas serangannya, ujung cambuk yang sembilan itu mematuk-matuk dan menotok-notok, mencari jalan darah di tubuh Sui Cin.
Secara otomatis gadis ini menggerakkan tubuhnya. Dengan ginkang yang baru-baru ini dipelajarinya dari Wu-yi Lo-jin, tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang yang cepat sekali menyambar-nyambar di antara gulungan sinar-sinar hitam dari cambuk nenek itu. Tentu saja dia tidak membalas kerena dia menganggap bahwa nenek itu hanya sekedar menguji apakah dia tidak melupakan ilmu silatnya yang menurut nenek itu diajarkan oleh nenek itu kepadanya!
Tentu saja niat yang terkandung di dalam hati Kiu-bwe Coa-li tidaklah demikian. Ia hanya ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis ini. Jika mungkin, tentu lebih mudah baginya membunuh gadis puteri Pendekar Sadis itu secara langsung saja dengan cambuknya ini. Akan tetapi, kalau ternyata gadis itu terlalu lihai, dalam keadaan hilang ingatan, dia akan dapat mempergunakan akal lain yang lebih halus untuk menjerat dan melumpuhkannya.
Nenek itu terkejut melihat gerakan Sui Cin yang demikian hebatnya ketika berkelebatan mengelak dari sambaran cambuknya,. Tidak dikiranya gadis itu kini sedemikian hebatnya, memperoleh kemajuan yang demikian pesat, jauh lebih hebat dibandingkan dulu. Maka ia pun maklum bahwa dengan cambuknya, ia tidak akan mampu membunuh gadis ini, dan ia pun lalu melompat ke belakang menghentikan serangannya.
"Bagus, bagus... heh-heh, engkau masih belum lupa akan ilmumu. Baiklah, sekarang aku akan memberi obat kepadamu agar engkau dapat pulih kembali, supaya ingatanmu sehat kembali."
Hati Sui Cin merasa lega dan girang sekali. Tadi ia sudah merasa khawatir melihat betapa nenek itu menyerangnya secara dahsyat dan berbahaya. "Terima kasih, nek."
Nenek itu lalu duduk bersila di atas tanah. Sui Cin juga berjongkok di depannya, melihat nenek itu mengeluarkan satu guci arak, sebuah cawan dan sebuah botol kecil dari balik jubah yang lebar itu. Dia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan, hanya setengah cawan, lantas menuangkan bubuk kehijauan dari botol kecil ke dalam cawan yang berisi arak setengahnya itu. Sambil terkekeh dia lalu mengocok arak itu sehingga bubukan hijau bercampur ke dalam arak.
"Nah, ini obat mujarab sekali, cucuku. Sekali minum engkau akan merasa mengantuk lalu tertidur dan sesudah engkau bangun dari tidur, ingatanmu akan pulih kembali," katanya sambil menyodorkan minuman itu.
Sui Cin menerimanya dan langsung membawa cawan itu ke bibirnya. Akan tetapi begitu cawan itu menempel di bibirnya, dia tidak jadi minum dan memandang nenek itu dengan alis berkerut.
"Ehh, ada apakah, cucuku? Hayo minum obat itu dan engkau akan sembuh."
"Akan tetapi, nek. Aku tidak tahu apa isi obat ini, hanya perasaanku melarang aku untuk meminumnya karena mengandung bau amis beracun!"
"Heh-heh-heh, tentu saja, memang obat itu mengandung racun dari ular sendok merah! Memang obat itu racun, racun itu obat, asal kita tahu cara mempergunakannya saja. Eh, Bi Hwa, apakah engkau tidak percaya kepada nenekmu sendiri, kepada orang yang dulu menimang-nimangmu di waktu engkau masih kecil, kepada orang yang telah mengajarkan semua ilmu itu kepadamu? Apa kau sangka aku akan meracunimu? Pikiranmu telah jadi hilang ingatan, akan tetapi tentu belum begitu gila untuk mengira bahwa aku, nenekmu yang menyayangmu, akan meracunimu!"
Merah wajah Sui Cin. Tentu saja ia merasa tidak enak sekali. Ia tidak tahu pasti apakah minuman itu akan mencelakakannya, akan tetapi nenek ini mengenalnya, dan nenek ini tadi sudah mengujinya dan kini hendak menyembuhkannya. Mengapa ia ragu-ragu?
Ia mendekatkan lagi cawan itu, sambil memejamkan mata ia pun menuangkan arak itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Ia menahan diri untuk tidak muntah oleh bau amis itu! Begitu arak itu memasuki perutnya, ia merasa ada hawa panas yang berputaran di dalam perutnya.
Itulah hawa sinkang dari pusar yang otomatis memberontak dan hendak melawan ketika perut itu dimasuki benda berbahaya. Akan tetapi racun itu sudah terlanjur bekerja dan Sui Cin merasa betapa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.
"Heh-heh-heh, engkau sudah mulai mengantuk, bukan? Nah, tidurlah dan setelah bangun nanti engkau pasti sudah sembuh sama sekali. Kini tidurlah, cucuku yang baik, tidurlah." Nenek itu sambil tersenyum melihat Sui Cin yang lemas itu merebahkan tubuhnya di atas tanah, dan Sui Cin mendengar nenek itu bersenandung, seperti sedang menina bobokkan cucunya!
Suara itu aneh sekali dan tidak enak didengar, akan tetapi karena rasa kantuk yang tidak tertahankan lagi, maka dia pun tertidurlah.
Sui Cin tidak tahu berapa lama dia tertidur pulas, akan tetapi ketika dia tersadar kembali, matahari sudah naik tinggi dan dia berada dalam keadaan terikat pada sebatang pohon! Tentu saja dia terkejut sekali sehingga otomatis dia mencoba untuk meronta. Akan tetapi usahanya sia-sia belaka karena dia mendapat kenyataan yang sangat mengejutkan, yaitu bahwa kaki tangannya lemas tidak bertenaga! Ia teringat akan nenek itu dan tahulah dia bahwa dia telah tertipu!
"Nenek iblis jahanam!" Dia memaki.
Terdengar suara terkekeh di belakangnya. Lalu muncullah nenek itu, yang tadinya tertidur pula di atas rumput, agaknya menanti sampai korbannya terbangun. Sekarang nenek itu menyeringai dan berdiri di hadapan Sui Cin, mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena tanah.
"He-heh-heh, nona yang tolol, he-heh-heh!" Ia terkekeh-kekeh girang melihat korbannya.
Sebagai salah seorang di antara Cap-sha-kui, nenek ini memang memiliki hati yang kejam sekali dan kepuasan hatinya adalah kalau dia dapat menyiksa korbannya. Maka, sesudah kini dapat menawan nona yang menjadi musuhnya itu dalam keadaan tak berdaya, tentu saja hatinya girang bukan main.
"Nenek iblis, kiranya engkau telah menipuku! Jika memang engkau gagah, hayo lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati!" Sui Cin berteriak memaki.
"Heh-heh-heh, andai kata kulepaskan juga, engkau tak akan mampu bertahan lebih dari satu dua jurus. Dan aku tidak menipu, karena memang aku adalah Kiu-bwe Coa-li, musuh besarmu, ha-ha-ha!"
Diam-diam Sui Cin terkejut. Kiranya hilangnya ingatannya telah berakibat demikian hebat sampai musuh lamanya tidak dia kenal dan akibatnya dia mudah terjebak.
"Jadi kalau begitu... namaku itu... bukan... bukan Ceng Bi Hwa..."
"Heh-heh-heh, namamu Ceng Sui Cin, engkau puteri Pendekar Sadis, heh-heh-heh, dan sekarang jatuh ke tanganku. Aku ingin menikmati kematianmu yang akan terjadi perlahan-lahan... ha-ha-ha! Ehh, nona manis, apa engkau suka dengan ular?"
"Ular...?" Sui Cin yang merasa bingung itu bertanya.
"Ya, ular... heh-heh, engkau tahu, aku adalah Kiu-bwe Coa-li, Ratu Ular!"
Dan nenek itu lalu membunyikan cambuknya berkali-kali. Terdengar suara meledak-ledak dan suara ledakan ini seperti bergema sampai jauh. Tak lama kemudian, terbelalak mata Sui Cin melihat datangnya banyak ular dari empat penjuru, bagaikan tertarik oleh suara cambuk yang masih meledak-ledak itu, dan juga suara mendesis yang keluar dari mulut ompong Kiu-bwe Coa-li.
Ular-ular itu menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumputan bergerak-gerak lantas terdengar suara mereka mendesis-desis. Lidah mereka itu keluar masuk dan kini mereka semua sudah berkumpul mengelilingi tempat itu.
"Bagus, bagus, heh-heh-heh, anak-anakku, kalian sudah datang..."
Sui Cin bergidik. Teringat dia akan nenek itu yang menangisi kematian seekor ular yang juga disebut anaknya. Nenek ini gila atau lebih dari itu, jahat dan keji bagaikan iblis. Kini nenek itu membuat suara dengan mulutnya, suara mendesis dibarengi ledakan pecutnya hingga beberapa ekor ular yang besar mengembangkan lehernya. Itulah ular-ular sendok yang sangat berbahaya karena amat kuat. Sekali saja digigit oleh ular seperti ini, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak memperoleh obat penawarnya yang ampuh, orang itu tentu akan mati!
Sui Cin yang kehilangan ingatannya itu tidak mengenal ular seperti itu, akan tetapi ia tahu bahwa ular-ular ini tentu sangat berbahaya. Tiga ekor ular sendok yang paling besar lalu berjoget di depannya, dengan lidah merah menjilat-jilat keluar, mata yang tak berkedip itu memandang kepadanya, kepalanya berlenggang-lenggok laksana sedang menggoda dan hendak mempermainkan Sui Cin.
"Heh-heh-heh, mereka bertiga ini yang kupilih untuk menggerogoti dagingmu, sedikit demi sedikit, ha-ha-ha!" kata nenek itu dan makin gencar cambuknya berbunyi, semakin lincah pula tiga ekor ular itu menari-nari di depan Sui Cin, makin lama semakin mendekati gadis yang terikat kaki tangan dan pinggangnya pada batang pohon itu.
Sui Cin memandang tak berkedip kepada tiga ekor ular ini, menahan hatinya agar jangan sampai dia menjerit kengerian. Sementara itu, puluhan ekor ular lainnya yang mengurung tempat itu ikut pula bergerak-gerak seperti menari, akan tetapi tidak ada di antara mereka yang berani mendekati tiga ekor ular sendok itu.
"Heh-heh-heh, Ceng Sui Cin, engkau baru tahu bahwa aku ini adalah ratu ular, ya? Aku dapat memerintah ular-ular ini menurut sekehendakku. Namun pertama-tama, aku hendak memerintahkan mereka itu menyusup ke dalam pekaianmu, menelusuri seluruh tubuhmu hingga kau hampir mati akibat geli dan ngeri. Kemudian aku akan memerintahkan mereka untuk merobek-robek semua pakaianmu sampai kau bertelanjang bulat. Nah, sesudah itu mulailah pesta untuk mereka. Gigit sana-sini, betis, paha, lengan dan bagian-bagian yang tidak berbahaya, menjilati darah dari luka-luka itu. Kemudian mukamu, pipimu yang halus itu, hidungmu yang mancung, bibirmu yang merah, akan digerogoti perlahan-perlahan. Engkau takkan mudah mati, akan kusiksa dulu sampai puas, sebagai hukuman ayahmu, Si Pendekar Sadis, ha-ha-ha!"
Cambuknya meledak-ledak, lantas tiga ekor ular itu mulai kelihatan beringas. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara suling yang ditiup dengan indah dan kuatnya, dan suara itu lalu menyelinap di antara ledakan-ledakan cambuk dan akibatnya sungguh aneh.
Ular-ular yang mengelilingi tempat itu nampak gelisah dan ketakutan, lalu perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu! Kini yang masih bertahan hanya tinggal tiga ekor ular sendok itu saja, menari-nari di depan Sui Cin. Akan tetapi suara suling terdengar semakin kuat dan tiga ekor ular itu kelihatan ragu-ragu dan bingung, kacau akibat suara ledakan-ledakan cambuk yang kini bercampur dengan suara suling yang agaknya lebih terasa dan lebih mempengaruhi mereka!
"Eh, keparat jahanam kurang ajar!" Nenek Kiu-bwe Coa-li memaki dan menoleh. Matanya terbelalak marah saat dia melihat seorang pemuda datang sambil meniup suling, sikapnya tenang dan gagah.
Sui Cin juga melihat datangnya pemuda ini dan ia pun merasa girang karena ia mengerti bahwa suara suling pemuda itu telah mengusir ular-ular yang tadinya mengurung tempat itu, dan kini suara suling itu membuat ketiga ekor ular itu menjadi bimbang dan bingung, seperti kehilangan pegangan. Dia dapat menduga bahwa suara suling itu menghancurkan pengaruh nenek iblis terhadap ular-ularnya dan timbullah harapannya biar pun dia sendiri masih lemas dan tak mampu meloloskan diri dari belenggu. Pemuda yang mampu meniup suling seperti itu tentu memiliki kepandaian tinggi, dia menduga.
Sementara itu, Kiu-bwe Coa-li yang menengok dan telah memandang pemuda itu, segera mengenalnya dan wajahnya agak berubah, kemarahannya memuncak. "Kau...! Keparat, kau putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga itu?"
Nenek itu menggerakkan cambuknya dan mengeluarkan suara mendesis. Karena semua ularnya sudah pergi terusir oleh suara suling tadi, kini tinggal tiga ekor ular sendok yang hendak dikerahkan untuk menyerang pemuda itu.
Akan tetapi, dengan tenang pemuda itu melangkah maju pada saat tiga ekor ular sendok menerjangnya dengan semburan-semburan uap hitam dari mulut mereka. Tiba-tiba saja, pemuda yang bukan lain adalah Cia Sun itu, meniup sulingnya dengan kuat. Terdengarlah suara melengking yang membuat Sui Cin sendiri terpaksa harus berusaha mematikan rasa menulikan telinga karena suara melengking itu sangat tinggi dan dahsyat, menusuk telinga menikam jantung.
Akan tetapi agaknya suara itu memang sengaja ditujukan hanya untuk menyerang atau menyambut tiga ekor ular itu. Mendengar suara ini, tiga ekor ular yang sudah mengangkat kepala tinggi-tinggi itu tiba-tiba saja terkulai kemudian berkelojotan seperti dalam keadaan kesakitan hebat.
Cia Sun melangkah maju dan tiga kali kakinya menginjak, pecahlah kepala tiga ekor ular itu. Tubuh mereka masih berkelojotan, akan tetapi karena kepala mereka sudah hancur terinjak kaki yang kuat itu, maka mereka berkelojotan dalam keadaan sekarat!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Kiu-bwe Coa-li melihat tiga ekor ular andalannya itu mati. Sambil mengeluarkan suara melengking dia lantas menerjang ke depan, cambuknya meledak-ledak di atas kepalanya sedangkan tangan kirinya yang berkuku panjang itu pun dipergunakan untuk menyerang dengan cakaran-cakaran dan cengkeraman-cengkeraman maut karena kuku-kuku panjang tangan kiri itu mengandung racun.
Akan tetapi, dengan amat tenangnya, Cia Sun mengelak mundur dua langkah kemudian sekali tangan kirinya bergerak mendorong ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar bagaikan hawa berapi, panas dan kuat. Kiu-bwe Coa-li menyambut dengan cambuk dan tangan kirinya, namun akibatnya dia langsung terpental ke belakang!
"Ehhh...!" Nenek itu berseru kaget bukan main.
Apa bila tadi dia dikejutkan oleh kecepatan gerakan Sui Cin, kini dia dikejutkan pula oleh kekuatan sinkang yang menyambar keluar dari tangan kiri pemuda ini. Ia pernah melawan pemuda ini, bahkan dengan bantuan ular-ularnya dia pernah hampir merobohkan Cia Sun beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, pada waktu itu, biar pun pemuda ini sudah amat lihai, tenaga sinkang-nya tidaklah sehebat sekarang ini.
Tentu saja nenek ini tidak tahu bahwa Cia Sun tiga tahun yang lalu tidak dapat disamakan dengan Cia Sun sekarang. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diajak pergi oleh seorang kakek sakti yang hanya memperkenalkan diri sebagai Go-bi San-jin dan di antara puncak-puncak Pegunungan Go-bi-san yang sunyi, pemuda ini sudah digembleng dengan hebat. Setelah oleh gurunya yang baru itu dia dinyatakan sudah cukup menerima ilmu, gurunya menyuruhnya pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar, tidak begitu jauh dari Lembah Naga, untuk menghadiri pertemuan para pendekar.
"Dunia telah berubah," demikian Go-bi San-jin yang gendut itu berkata, "para datuk sesat, seperti iblis-iblis, keluar dari neraka dan siap mengacau dunia. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka itu dan para pendekar telah bersepakat untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Pergilah ke sana. Akan tetapi jangan lupa, engkau mempunyai semacam tugas lain. Kalau engkau bertemu dengan seorang murid dari Ciu-sian Lo-kai, nah, dia itu lawanmu. Bukan musuh, melainkan lawan dan antara aku dan Ciu-sian Lo-kai telah saling berjanji untuk mengadu murid kami masing-masing. Engkau tidak boleh kalah karena hal itu akan membuatku malu."
Tugas pertama diterima dengan gembira oleh Cia Sun, akan tetapi tugas yang kedua ini sebetulnya tidak berkenan di dalam hatinya. Bagaimana dia harus melawan dan berkelahi dengan seseorang yang tidak dikenalnya, tanpa sebab, bahkan bukan musuh, melainkan hanya karena perjanjian antara guru mereka untuk saling mengadu murid-murid mereka? Seperti ayam aduan atau jangkerik saja.
Akan tetapi perintah guru tak mungkin diabaikan dan dia pun menyanggupi. Demikianlah, pemuda dari Lembah Naga ini meninggalkan gurunya dan di dalam perjalanan menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, di daerah Mongol ini, secara kebetulan saja dia melihat ada seorang gadis yang akan dikorbankan kepada ular-ular berbisa oleh seorang nenek mengerikan.
Cia Sun langsung mengenali nenek itu sebagai Kiu-bwe Coa-li, salah seorang di antara Cap-sha-kui, akan tetapi hampir saja dia berteriak ketika dia mengenal pula Sui Cin! Dara yang dibelenggu dan sedang menghadapi ancaman mengerikan dari ular-ular sendok itu adalah Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang selama ini tidak pernah dia lupakan.
Akan tetapi Cia Sun adalah seorang pemuda yang tenang. Melihat keadaan Sui Cin, dia tidak tergesa-gesa bertindak sembrono untuk menyelematkannya dengan jalan kekerasan begitu saja. Dia tahu betapa lihainya nenek itu dan tiga ekor ular sendok itu sudah siap mematuk, apa-lagi tempat itu dikelilingi oleh puluhan ekor ular.
Karena itu, sambil bersembunyi dia kemudian meniup sulingnya yang selalu dibawanya, dan mengerahkan khikang untuk mengusir ular-ular itu. Barulah dia muncul dan dia masih terus menggunakan sulingnya untuk mengalihkan perhatian tiga ekor ular sendok itu dari Sui Cin kepada dirinya. Kemudian, sesudah ular-ular itu menyerangnya, barulah dia turun tangan membunuh binatang-binatang itu.
Melihat betapa nenek iblis itu menyerangnya secara ganas, Cia Sun tak mau tinggal diam menahan diri begitu saja. Nenek ini adalah seorang di antara Cap-sha-kui, datuk-datuk sesat yang amat jahat dan karenanya haruslah dibasmi. Dulu dia pernah hampir celaka diserang nenek ini bersama pengeroyokan ular-ularnya dan pada waktu itu untung muncul Sui Cin yang membantunya. Kini Sui Cin yang menjadi korban kejahatan nenek itu, dan untung dia yang tanpa disengaja tiba di tempat itu sehingga dapat menyelamatkan Sui Cin.
Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat Sui Cin kelihatan begitu lemah, tidak mampu membebaskan diri dari belenggu yang tidak begitu kuat itu. Apa yang telah terjadi dengan gadis itu? Dan mengapa Sui Cin memandangnya dengan sinar mata keheranan seperti itu, sama sekali tak nampak bahwa gadis itu mengenalnya? Apakah Sui Cin telah pangling kepadanya?
Sesudah mengelak dari sambaran cambuk ekor sembilan, Cia Sun lalu membalas dengan serangan tamparan tangan kirinya, disusul dengan totokan suling yang tadi digunakannya untuk mengusir ular. Nenek itu mengelak kemudian menggerakkan lagi cambuknya yang mengeluarkan suara meledak-ledak. Terjadilah perkelahian yang seru, serang-menyerang dengan dahsyatnya.
Akan tetapi segera nenek itu mendapatkan kenyataan pahit bahwa lawannya ini luar biasa kuatnya, terlampau tangguh bagi dirinya. Semua serangannya gagal, bukan hanya gagal, akan tetapi setiap kali terjadi benturan tenaga, dia tentu terdorong dan terhuyung. Hatinya mulai terasa jeri. Akan tetapi Cia Sun yang telah mengambil keputusan untuk membunuh nenek jahat ini, mendesak terus dengan pukulan-pukulannya yang ampuh.
Pada suatu saat nenek itu terdesak dan terhuyung ke belakang. Dengan gerakan aneh tangan kanan Cia Sun menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dengan sebuah cengkeraman maut yang dahsyat. Nenek itu terkejut, segera menggerakkan cambuknya menangkis dan langsung melibat lengan kanan lawan, kemudian kepalanya bergerak dan rambutnya yang riap-riapan itu menyambar ke arah leher Cia Sun hendak menotok jalan darah maut.
Pemuda itu tidak menjadi gugup. Tangan kirinya menyambar untuk menangkap bulu-bulu cambuk, kemudian kaki kiri Cia Sun melayang ke depan dan mengirim tendangan yang mengarah leher lawan. Hebat sekali tendangan ini dan dilakukan pada saat kedua tangan mereka tidak bebas. Kiu-bwe Coa-li terkejut sekali dan cepat mengelak dengan miringkan kepala, akan tetapi tetap saja ujung sepatu kaki Cia Sun mengenai pundaknya.
"Dukkk...!"
Tubuh nenek itu terpelanting dan ujung bulu cambuknya rontok karena sebagian putus oleh cengkeraman tangan Cia Sun, sedangkan rambut kepalanya juga banyak yang jebol. Ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan serangah susulan, akan tetapi pemuda itu tidak mau mendesak lawan yang telah roboh, hanya bersiap-siap melanjutkan perkelahian itu.
Kiu-bwe Coa-li tidak terluka berat, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu akhirnya dia akan kalah karena pemuda itu sungguh lihai bukan main. Ia khawatir bahwa jika ia melarikan diri, pemuda itu tentu akan mengejarnya, maka ia pun mempergunakan akal. Sambil menudingkan cambuknya yang sudah bodol itu ke arah Sui Cin yang masih terbelenggu, ia pun berkata,
"Kau membelanya? Biarlah dia mampus sekarang juga!" Dari tengah gagang cambuknya meluncur jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat di gagang cambuk.
Cia Sun terkejut bukan kepalang. Tangannya cepat membuat gerakan memukul ke arah depan gadis itu hingga jarum-jarum halus beracun itu pun runtuh semua! Kiu-bwe Coa-li makin kaget saja. Pemuda ini benar-benar hebat, pikirnya dan hatinya menjadi semakin gentar. Kini cambuknya menuding ke arah pemuda itu dan kembali ada belasan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun.
"Nenek iblis yang jahat!" Cia Sun membentak dan begitu ia mengebutkan lengan bajunya, maka jarum-jarum itu bukan hanya runtuh, namun membalik ke arah nenek itu! Kiu-bwe Coa-li mengebutkan cambuknya dan jarum-jarum itu pun runtuh.
"Heh-heh-heh, orang muda, kau boleh juga. Akan tetapi temanmu itu jangan harap akan dapat hidup lagi, ia telah keracunan. Lihat, wajahnya sudah mulai kehilangan cahayanya!"
Cia Sun terkejut lantas menoleh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiu-bwe Coa-li untuk meloncat dan melarikan diri. Cia Sun tidak mau mengejar karena dia mengkhawatirkan keadaan Sui Cin. Dia tahu bahwa nenek itu tidak membohong.
Keadaan Sui Cin memang nampaknya tidak wajar. Gadis yang dahulu dikenalnya sebagai seorang pendekar wanita yang hebat, puteri tunggal Pendekar Sadis, kini demikian lemah dan tidak berdaya sehingga terbelenggu seperti itu pun tidak mampu membebaskan diri. Tentu gadis itu sudah terluka, atau keracunan seperti yang dikatakan nenek itu. Dia pun cepat meloncat dekat dan melepaskan ikatan kaki tangan dan pinggang gadis itu.
Semenjak tadi Sui Cin menjadi saksi perkelahian itu dan dia pun merasa kagum kepada pemuda berpakaian serba putih sederhana yang lihai itu. Setelah semua belenggu yang mengikat kaki tangannya putus dan ia menjadi bebas, ia segera merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata,
"Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan nenek iblis itu."
Cia Sun membalas penghormatan itu sambil tersenyum. "Adik Sui Cin, mengapa engkau begini sungkan? Di antara kita mana ada sebutan pertolongan?"
Sui Cin memandang dengan mata terbelalak dan jelas nampak oleh Cia Sun betapa gadis ini sekarang menjadi semakin cantik menarik.
"Saudara yang gagah perkasa, apa maksudmu...?"
Kini Cia Sun yang melongo. "Cin-moi... lupakah engkau kepadaku? Aku Cia Sun..."
Akan tetapi gadis itu memandang bingung. "Cia Sun...? Aku... aku tidak mengenal nama itu..."
"Ehh...? Bagaimana ini? Bukankah engkau... adik Ceng Sui Cin?"
Sui Cin menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak tahu... aku tidak tahu..."
Cia Sun merasa amat khawatir dan memandang tajam. "Apa maksudmu? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau bukan adik Ceng Sui Cin?"
"Aku tidak tahu apakah namaku Ceng Sui Cin ataukah Ceng Bi Hwa..."
"Apa pula ini? Bagaimana engkau tidak yakin akan nama sendiri?"
"Aku tidak tahu, aku sudah lupa segalanya... dan nama Ceng Sui Cin atau Ceng Bi Hwa itu pun kudengar dari nenek itu..."
"Engkau adalah adik Ceng Sui Cin, tak salah lagi! Coba ingat-ingat baik-baik, aku adalah Cia Sun, dari Lembah Naga. Lupakah engkau kepada nama itu? Antara ayahmu dengan ayahku terdapat hubungan yang amat erat... bukankah ayahmu adalah paman Ceng Thian Sin yang berjuluk Pendekar Sadis?"
Dengan sedih Sui Cin menggeleng kepala. "Aku lupa semua, aku tidak tahu apa-apa, aku lupa siapa sesungguhnya diriku. Aku hanya ingat bahwa aku terkena lemparan batu pada kepalaku, dan aku dikejar-kejar oleh seorang musuh lihai. Kemudian aku bertemu dengan nenek itu, namun dia sudah menipuku, memberi minum ramuan yang katanya obat untuk mengembalikan ingatanku. Akan tetapi ternyata obat itu adalah racun, aku menjadi lemas dan dibelenggunya seperti tadi... dan dia mengaku bernama Kiu-bwe Coa-li, katanya dia adalah musuh besarku..."
"Tentu saja! Dia adalah seorang di antara Cap-sha-kui yang jahat. Lupakah engkau?"
"Aku tidak ingat lagi siapa itu Cap-sha-kui..."
"Aihh, Cin-moi. Beberapa tahun yang lalu aku pernah hampir celaka di tangan nenek ini, dan engkaulah yang muncul menolongku. Apakah engkau tidak ingat?"
Sui Cin menggelengkan kepala. "Aku lupa segalanya... kepalaku pening, ahhh... batu itu menghantam kepalaku amat kerasnya..." Dara itu duduk kembali dan memejamkan mata untuk berusaha mengumpulkan tenaganya, akan tetapi dia mengeluh. Tenaganya hilang. "Aku lemas sekali, seluruh tenagaku lenyap... ini tentu akibat racun yang diberikan nenek iblis itu kepadaku..."
"Cin-moi, kalau begitu aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah kehilangan ingatanmu, entah kenapa, mungkin seperti yang kau ingat itu, terkena lemparan batu hingga otakmu terguncang dan ingatanmu hilang atau kabur. Kemudian, dalam keadaan hilang ingatan itu engkau bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan nenek iblis yang curang itu lalu menipumu, menggunakan keadaan dirimu yang lupa ingatan, kemudian meracunimu. Engkau sedang menderita keracunan, Cin-moi. Inilah yang harus lebih dahulu disembuhkan. Mari kubantu engkau..." Cia Sun lalu duduk bersila di belakang Sui Cin, akan tetapi gadis itu meloncat bangun dan memandang dengan sinar mata meragu.
"Adikku yang baik, apakah engkau tidak percaya kepadaku?"
"Aku tidak kenal denganmu..."
"Cin-moi, dalam keadaan hilang ingatan, aku tidak merasa heran kalau engkau tidak lagi mengenal aku, bahkan namamu sendiri pun engkau lupa, juga siapa orang tuamu. Akan tetapi, biar pun aku sekarang menjadi seorang kenalan baru, apakah engkau tetap tidak percaya padaku setelah tadi melihat betapa aku mati-matian membantumu dari ancaman nenek iblis itu?"
Boleh jadi Sui Cin sedang kehilangan ingatannya tentang masa lalu, akan tetapi dia tidak kehilangan kegagahan dan keadilannya. Dia mengangguk. "Baiklah, aku yang salah. Lalu, apa yang hendak kau lakukan dalam usahamu mengobatiku?"
"Aku tidak tahu racun apa yang diminumkan nenek itu kepadamu, Cin-moi, maka tentu saja aku pun tak tahu apa obat penawarnya. Akan tetapi setidaknya, dengan pengerahan sinkang, barang kali aku akan dapat memulihkan tenagamu, atau paling tidak aku akan dapat mencegah racun itu menjalar dan membahayakan keselamatan nyawamu."
Kembali Sui Cin mengangguk. "Baiklah, saudara..."
"Cin-moi, dulu engkau selalu menyebut twako kepadaku, dan namaku Cia Sun...," kata pemuda itu dengan halus.
"Baiklah, Sun-twako, silakan dan sebelumnya aku menghaturkan terima kasih." Gadis itu duduk bersila kembali. Cia Sun duduk di belakangnya lantas menempelkan kedua telapak tangannya di punggung gadis itu.
Segera Sui Cin merasa betapa ada hawa panas menjalar ke dalam tubuhnya melalui dua telapak tangan yang menempel punggung itu dan dia bergidik. Ia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai, akan tetapi mengerti juga bahwa nyawanya seolah-olah berada di telapak tangan pemuda itu. Ia menyerah dengan ikhlas dan memejamkan kedua matanya.
********************
Kiu-bwe Coa-li lari sambil memaki-maki. "Keparat! Anjing monyet tikus sialan!"
Dia merasa betapa nasibnya amatlah buruknya. Sudah baik-baik bertemu dengan puteri Pendekar Sadis, malah dia sudah berhasil meringkus tanpa banyak susah dan selagi dia menikmati kepuasan hatinya menyiksa gadis itu sebelum membunuhnya, tiba-tiba muncul pemuda lihai itu, putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga!
Dan nyaris dia celaka, mungkin tewas di tangan pemuda itu! Hanya dengan susah payah dan berkat kecerdikannya dia mampu lolos dari ancaman maut, walau pun cambuk ekor sembilan dan rambutnya rontok dan bodol!
"Sialan...!" gerutunya. Mungkin ia kurang perhitungan ketika melakukan perjalanan, keliru memilih hari baik!
Memang menggelikan sekali ulah nenek iblis itu. Akan tetapi, apa bila kita mau membuka mata dan melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bahwa kenyataan hidup sehari-hari di antara kita tidaklah banyak bedanya dengan sikap nenek Kiu-bwe Coa-li itu.
Sejak kecil kita pun sudah terbiasa untuk menggantungkan diri kepada nasib! Dan setiap ada peristiwa merugikan menimpa diri kita, kita lantas menyalahkan kepada nasib. Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan sebagainya kita lontarkan sebagai ungkapan kekecewaan hati. Marilah kita sama membuka mata dan mengamati kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan kita sehari-hari?
Kita selalu mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua kesalahan keluar diri kita dan mencari-cari alasan dari luar, lalu, apa bila tidak menemukan lain orang atau barang sebagai penyebab datangnya kegagalan atau kerugian, kita akan melontarkan sebabnya kepada nasib!
Seorang yang gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan gurunya yang dikatakan tidak adil, menyalahkan sistem pelajarannya, menyalahkan teman-teman dan apa bila tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang lain lalu melontarkannya kepada nasib. Nasib buruk katanya!
Seorang yang gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari alasan di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan sangat buruk, licin dan sebagainya, menyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak memenuhi syarat dan sebagainya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan kesehatannya dan akhirnya juga melontarkannya kepada nasib!
Seorang yang dagangannya tidak laku dan gagal di dalam usahanya akan selalu mencari kesalahan pada tempatnya berjualan, para pembelinya, atau juga kepada nasib. Seorang pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakannya tolol dan bodoh tidak mengenal karangan yang bermutu dan yang baik, atau juga melontarkannya kepada nasib.
Bukankah semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan yang tak lucu dan konyol? Bukankah sikap seperti itu merupakan sebuah kebodohan dan menjadi penghalang besar dari pada kemajuan diri pribadi? Jika saja mereka itu mau menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan itu dalam diri sendiri, pasti akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan semua itu. Sebabnya terletak dalam diri sendiri!
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berputar pada sebuah sumber yang terdapat di dalam diri sendiri. Dan sikap mau mencari segala sebab pada diri sendiri adalah sebuah kebijaksanaan yang sangat besar dan sangat berguna bagi kehidupan manusia, karena dengan cara begini, kita masing-masing akan dapat melihat dan menemukan kesalahan-kesalahan serta kekurangan-kekurangan pada diri kita sendiri dan hanya bila kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan pada diri sendiri inilah maka baru akan bisa dilakukan perbaikan-perbaikan dan pembetulan-pembetulan. Nasib berada di dalam telapak tangan kita sendiri karena segala sebab dan semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.
Bukan hanya kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogyanya ditelusuri dari dalam diri sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi marah, kita membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri sedemikian tingginya. "Mengapa dia benci kepadaku? Kurang bagaimanakah aku? Aku selalu baik, selalu ramah, selalu memberi, tetapi mengapa dia benci kepadaku? Dasar dia orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh pikiran yang selalu mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.
Dengan cara membiarkan pikiran berceloteh macam itu maka kita akan mandeg, bahkan mundur, dan kita tak akan mampu melihat kenyataan, melihat kesalahan sendiri dan kita hanya akan menambah kebencian di antara manusia. Akan tetapi, bila mana kita selalu waspada terhadap diri sendiri, mengamati diri sendiri tanpa menilai, tanpa mencela atau memuji, akan nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi kita kenapa ada orang yang membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini, pengamatan ini, sekaligus akan menimbulkan kesadaran yang kemudian melahirkan tindakan nyata pula, mendatangkan keberanian untuk merubah kesalahan sendiri.
Kiu-bwe Coa-li bersungut-sungut dan marah-marah, menyalahkan nasibnya. Akan tetapi semua kegagalan yang menimpa dirinya tak lain merupakan buah yang dipetik dari pohon yang ditanamnya sendiri! Ia bersungut-sungut dan karena ia berjalan amat cepat sambil melamun, hampir saja ia menabrak seorang yang sedang berjalan perlahan dari depan.
Orang itu menyerongkan langkah, memiringkan tubuh hingga tabrakan terhindar. Kiu-bwe Coa-li hanya merasakan angin berseliwer halus ketika orang itu lewat di sampingnya dan baru dia sadar bahwa hampir saja ia bertubrukan dengan orang lain. Hatinya yang sedang murung itu menjadi panas dan marah, apa lagi ketika dia mengangkat muka dan melihat bahwa yang hampir bertubrukan dengan dirinya itu juga seorang nenek yang pakaiannya indah dan bersih.
Nenek ini pun sudah tua, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, malah lebih tua dari nenek Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi jelas nampak perbedaan antara kedua orang nenek itu. Kalau Kiu-bwe Coa-li berwajah buruk sekali, sebaliknya nenek ini menunjukkan bahwa di waktu mudanya dia tentu seorang wanita yang amat cantik jelita. Akan tetapi bukan kecantikan seorang wanita Han, melainkan kecantikan asing, dengan matanya yang lebar, hidungnya yang terlalu mancung dan dagunya yang panjang meruncing itu. Juga dandanannya jauh berbeda dengan wanita Han, bahkan juga berbeda dengan pakaian wanita-wanita Mongol pada umumnya.
Rambutnya yang sudah putih itu dikuncir dua, bukan dikuncir melainkan dibagi dua dan diikat dengan kain lebar. Telinganya yang lebar memakai anting-anting gelang yang besar pula. Lehernya memakai kalung dari untaian batu-batu putih bundar seperti tasbeh.
Jubahnya berwarna putih bersih dengan rangkapan berwarna biru dan kuning yang indah. Tangannya memegang sebatang kebutan yang juga berbulu putih mirip rambutnya. Nenek ini nampak agung dan berwibawa, juga gerak-geriknya halus laksana wanita bangsawan. Mulutnya tersenyum dan membayangkan kebesaran hati ketika dia memandang kepada Kiu-bwe Coa-li.
Sejenak Kiu-bwe Coa-li mempergunakan sepasang matanya yang sedikit juling itu untuk memandang dan hatinya menjadi semakin panas. Nenek itu dianggapnya terlalu sombong dan genit! Sudah tua masih berdandan begitu rapinya, memakai kalung dan anting-anting pula, dan pakaiannya bagus-bagus!
"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya sambil menggoyang-goyangkan cambuknya. "Di mana kau taruh matamu maka engkau berani hampir menubruk aku?"
Nenek berjubah putih-putih itu tersenyum. "Sobat, jangan marah-marah dulu dan ingatlah baik-baik, siapakah yang hendak menubruk tadi? Engkau berjalan setengah berlari sambil melamun sehingga tidak melihat ke depan dan kalau aku kurang cepat menyingkir tentu telah kau tabrak."
Suaranya halus dan dari suara serta kata-katanya jelas bahwa dia adalah seorang wanita Mongol yang pandai pula berbahasa Han. Kata-katanya menunjukkan bahwa ia terpelajar, karena ia menggunakan bahasa yang halus, lebih halus dari pada kata-kata yang keluar dari mulut Kiu-bwe Coa-li, seorang nenek berbangsa Han asli.
Kata-kata yang halus serta sikap yang tenang itu menambah kemarahan Kiu-bwe Coa-li, karena ia merasa seolah-olah diejek. Ia menudingkan cambuknya ke arah muka nenek itu sambil membentak, "Perempuan tua bangka Mongol yang bosan hidup! Buka mata dan telingamu baik-baik. Engkau sedang berhadapan dengan Kiu-bwe Coa-li dan jika engkau tidak lekas berlutut minta ampun, maka cambukku akan mencabut nyawamu!"
"Ck-ck-ck..." Nenek itu menggelengkan kepala perlahan sehingga anting-antingnya yang seperti gelang itu bergoyang-goyang, akan tetapi mulutnya tetap saja tersenyum. "Kiranya Kiu-bwe Coa-li, salah seorang dari Cap-sha-kui yang namanya menggelapkan angkasa di selatan? Wah, hebat sekali. Kiu-bwe Coa-li, aku sudah tua, nyawaku ini tidak akan dapat kupertahankan selamanya dan sekali hendak pergi meninggalkan badan, siapa yang bisa menangguhkannya? Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku berlutut sebab aku tidak mempunyai kesalahan apa pun kepadamu."
"Keparat! Berani engkau membantah dan menantangku? Apakah kau bosan hidup?"
Pada saat itu pula terdengar auman yang keras dan menggetarkan bumi. Kiu-bwe Coa-li terkejut bukan main ketika tiba-tiba seekor harimau yang amat besar muncul dan berlari menghampiri nenek berjubah putih itu. Harimau itu kemudian memandang kepadanya dan menggereng marah, dua matanya mencorong dan bibir atasnya mendesis-desis, meringis memperlihatkan gigi dan taring yang amat kuat.
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li merasa ngeri dan jeri juga. Biar pun dia lihai, akan tetapi untuk menghadapi seekor harimau yang begitu besarnya, dia maklum betapa besar bahayanya melawan binatang seperti ini.
"Houw-cu... diamlah dan jangan ribut," kata nenek itu dengan suara membujuk. Harimau itu lalu mendekam di samping si nenek berjubah putih.
"Huh, biar pun engkau mempunyai peliharaan kucing itu, jangan dikira aku takut!" Kiu-bwe Coa-li menantang.
Nenek itu tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan cahaya mencorong, seperti mata binatang peliharaannya. "Kiu-bwe Coa-li, mengherankan sekali bahwa orang dengan watak seperti engkau ini dapat hidup sampai usia tua. Aku bukanlah orang yang suka mempergunakan kekerasan, tidak suka berkelahi, akan tetapi juga bukan orang yang takut akan ancaman-ancaman dan gertak-gertak kosong belaka!"
"Akan tetapi yang suka mengandalkan perlindungan binatang buas!" ejek Kiu-bwe Coa-li.
Dia masih merasa ragu-ragu untuk turun tangan mengingat adanya harimau yang nampak buas sekali itu. Jika hanya harimau biasa saja, ia tidak akan gentar. Akan tetapi harimau ini sungguh luar biasa besarnya dan nampaknya kuat bukan main.
"Begitukah? Aku tidak minta perlindungan Houw-cu, dia hanya marah karena hidungnya dapat mencium bau busuk. Eh, Houw-cu, pergilah bersembunyi sebentar agar perempuan kejam ini tidak menjadi ketakutan."
Seperti seekor binatang jinak yang mengenal perintah majikannya, harimau itu lalu pergi setelah beberapa kali menoleh ke arah Kiu-bwe Coa-li sambil menggereng seperti merasa curiga dan marah. Kemudian dia menghilang di balik pohon-pohonan dan tidak terdengar lagi suaranya.
"Nah, dia sudah pergi, Kiu-bwe Coa-li. Sekarang engkau mau apa?"
"Mau membunuhmu!" bentak Kiu-bwe Coa-li marah.
Nenek ini langsung melakukan serangan dengan cambuknya. Cambuk itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan meski pun sudah ada dua ekornya yang putus pada waktu dia menghadapi Cia Sun tadi, akan tetapi masih ada sisa tujuh ekor yang kini menyambar dan melakukan totokan-totokan yang dahsyat.
"Hemmm...!" Nenek jubah putih itu berseru kaget ketika menyaksikan kehebatan gerakan serangan Kiu-bwe Coa-li dan ia pun melompat ke belakang sambil mengebutkan kebutan putih di tangannya.
"Pratt-pratt-prattt...!"
Beberapa kali cambuk itu bertemu dengan kebutan hingga membuat nenek berjubah putih itu terhuyung ke belakang.
"Heh-heh-heh, kematian sudah di depan mata, bersiaplah engkau, tua bangka!" Kiu-bwe Coa-li mengejek dan kembali menyerang lagi. Dia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada nenek itu sehingga bertanya nama pun tidak.
Demikianlah watak orang-orang Cap-sha-kui yang rata-rata sombong dan kejam itu. Dan itulah kesalahannya. Andai kata dia tadi bertanya dan dia tahu dengan siapa dia sedang berhadapan, tentu dia akan bersikap hati-hati dan mungkin dia akan pergi tanpa berani mengganggu nenek berjubah putih itu. Akan tetapi dia terlalu sombong dan pada saat itu hatinya sedang marah karena kekalahannya terhadap Cia Sun.
Didesak oleh serangan-serangan yang sangat dahsyat ini, nenek jubah putih itu mengelak sambil berloncatan dan anehnya, dia sama sekali tidak pernah membalas. Akan tetapi dia pun terkejut memperoleh kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan-serangan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li itu, maka begitu melompat ke belakang dia langsung menudingkan kebutannya sambil berkata halus,
"Kiu-bwe Coa-li, membenci orang lain beranti membenci diri sendiri. Engkau menyerang orang lain sama saja dengan menyerang diri sendiri!"
Kiu-bwe Coa-li tidak peduli sungguh pun kata-kata nenek itu seperti menembus ke dalam dadanya. Dengan ganas dia menubruk dengan cambuknya.
"Tar-tarr-tarrr...!"
Cambuk meledak-ledak, lantas menerjang ke arah nenek itu. Akan tetapi entah kekuatan apa yang terdapat dalam kebutan berbulu putih, tiba-tiba saja cambuk itu membalik dan memukul muka Kiu-bwe Coa-li sendiri!
"Ihhhhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak keras dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja tiga ekor cambuk itu mengenai muka dan lehernya sehingga nampaklah jalur-jalur merah berdarah di muka dan lehernya. Dia terbelalak, akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan merasa semakin marah.
"Kubunuh kau... kau harus mampus!" Ia berteriak marah sekali dan kembali ia meloncat ke depan.
Nenek itu mengacungkan kebutannya ke atas, lantas membanting kebutan itu ke bawah. Dan aneh sekali, mendadak tubuh Kiu-bwe Coa-li yang sedang meloncat itu tiba-tiba saja terbanting ke bawah oleh tenaga yang tidak nampak.
"Brukkk...!"
Kiu-uwe Coa-li terbelalak dan menjadi semakin marah karena bantingan itu sama sekali tidak melukainya, biar pun membuat napasnya agak sesak dan jalannya menjadi pincang. Pada waktu dia mengangkat mukanya, nenek itu sedang berjalan pergi sambil membawa kebutannya, seolah-olah tak mau mempedulikannya lagi! Kemarahannya pun memuncak. Dilihatnya nenek itu menuruni sebuah lereng yang curam.
"Tunggu, ke mana engkau hendak lari, keparat?" Dia mengejar dan menuruni lereng yang diapit-apit jurang yang curam itu.
Nenek berjubah putih itu lantas menengok. "Kiu-bwe Coa-li, aku melihat ada awan hitam yang mempengaruhimu. Mundurlah sebelum terlambat!" Ucapannya itu halus dan bernada serius. Namun orang macam Kiu-bwe Coa-li mana mau mengalah dan mundur sebelum kalah?
Setelah mengejar sampai jarak empat meter, tiba-tiba saja Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya lantas meluncurlah belasan jarum halus menyerang ke arah tubuh belakang nenek itu. Akan tetapi nenek itu lalu membalikkan tubuhnya dan kembali mengacungkan kebutannya, dan anehnya, belasan batang jarum halus yang sedang meluncur itu tiba-tiba saja membalik ke arah Kiu-bwe Coa-li sendiri!
Mata nenek buruk itu terbelalak, terkejut bukan main karena kembalinya belasan batang jarumnya itu amat cepatnya, lebih cepat dari pada ketika dia pakai menyerang. Dia tidak mau kalau senjatanya makan tuan. Untuk menangkis tidak sempat lagi saking cepatnya jarum-jarum itu meluncur, maka dia pun langsung meloncat ke kiri untuk mengelak dan... terdengarlah jeritan menyayat hati ketika tubuhnya meluncur ke bawah, ke dalam jurang yang amat curam!
Dalam kemarahannya tadi, nenek ini sudah menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan sehingga lupa bahwa di kanan kiri tempat itu terdapat jurang-jurang yang curam sehingga ketika dia mengelak dan melompat ke kiri, dia telah melompat ke dalam jurang.
Jeritan itu berhenti dan nenek berjubah putih menjenguk dari tepi jurang, memandang ke bawah. Masih nampak olehnya tubuh Kiu-bwe Coa-li yang dari atas nampak kecil seperti boneka menggelinding ke bawah, terlempar-lempar saat menimpa batu-batu dan akhirnya terbanting ke dasar jurang dan diam tak bergerak lagi.
"Ck-ck-ckk...!" Nenek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu bertepuk tangan.
Tepukan tangan itu terdengar amat nyaring dan agaknya merupakan isyarat bagi harimau peliharaannya karena kini muncullah harimau besar itu, berlari-lari mendatangi. Nenek itu lalu naik ke punggung harimau, menggerakkan kebutannya dan harimau itu pun berlari ke arah dari mana Kiu-bwe Coa-li tadi datang.
Tak lama kemudian tibalah nenek dan harimaunya itu di tempat di mana Cia Sun sedang berusaha untuk mengobati Sui Cin. Dari jauh nenek itu sudah melihat mereka dan ia pun menyuruh harimaunya berhenti. Ia mengintai dan sampai lama dia mengamati dua orang muda itu. Berulang kali dia menarik napas panjang dan menggumam seorang diri. "Ahh, agaknya anak perempuan itu keracunan dan tentu perbuatan Kiu-bwe Coa-li itu. Kasihan, aku melihat cahaya gelap menyelubungi wajahnya."
Nenek ini bukan orang sembarangan. Kalau tadi Kiu-bwe Coa-li tidak begitu sombong dan mau bertanya nama, agaknya ia belum tentu akan tewas, mati konyol karena terjatuh ke dalam jurang karena nama nenek itu tentu akan membuatnya merasa jeri dan tidak berani sembarangan menyerang. Nenek itu terkenal sekali di daerah utara, di luar Tembok Besar dan bahkan seluruh penduduk Mongol dan Mancu amat takut kepadanya.
Di Mongol, ia dikenal sebagai seorang dukun wanita yang terkenal sakti dan ampuh. Apa lagi, selain menjadi dukun yang diakui mempunyai banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga ia merupakan keturunan dari Yelu Ce-tai, seorang arif bijaksana yang dahulu menjadi penasehat Raja Jenghis Khan!
Biar pun sudah lama Kerajaan Goan, yaitu penjajah Mongol, terjatuh dan sisa-sisa orang Mongol kembali ke utara di luar Tembok Besar, namun nama keluarga Yelu Ce-tai masih dikenal orang. Bahkan ratusan tahun kemudian, sebagai keturunan keluarga Yelu, nenek itu masih dihormati oleh orang-orang Mongol, apa lagi karena dia memang seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu sihirnya.
Bahkan para kepala suku yang banyak terdapat di daerah itu semua menghormatinya. Ia menjadi tempat bertanya nasehat para pimpinan suku, dan bahkan pertikaian-pertikaian yang timbul di antara mereka sering kali baru dapat didamaikan kalau Yelu Kim, demikian nama nenek itu, sudah turun tangan melerai. Di kalangan orang Mongol yang masih amat percaya dengan hal-hal mukjijat dan ketahyulan, nenek itu dikabarkan sakti seperti dewa, dapat menghidupkan orang mati dan mematikan orang hidup!
Sebetulnya, dahulu Yelu Ce-tai adalah seorang bangsawan Khitan akan tetapi ahli dalam kebudayaan bangsa pribumi Han sehingga dia pun dianggap sebagai seorang berbangsa pribumi. Keturunannya banyak yang menikah campuran sehingga darah Yelu Kim adalah darah campuran, bahkan ada pula darah Bangsa India di barat. Itulah sebabnya mengapa wajahnya memiliki kecantikan yang asing dan aneh.
Namanya terkenal sekali, bahkan tokoh-tokoh besar di pedalaman yang sering menjelajah ke utara, pernah mendengar akan kehebatan nama ini. Maka sayanglah bahwa Kiu-bwe Coa-li tidak menanyakan namanya sehingga nenek iblis itu harus tewas tanpa mengetahui bahwa lawannya adalah orang yang paling terkenal di Mongol.
Sebagai seorang yang dihormati, Yelu Kim yang berdarah bangsawan itu bersikap agung dan ramah, akan tetapi di balik kehalusan sikapnya itu tersembunyi kekuatan yang amat menakutkan. Memang nenek ini ada kalanya memiliki sikap yang aneh dan mengejutkan orang, kadang-kadang dia murah hati sekali dan mudah mengampuni, tetapi ada kalanya dia bersikap amat keras hati dan amat kejam. Padahal, pada dasarnya Yelu Kim bukanlah orang yang berwatak kejam, namun orang yang bijaksana dan adil, dan pandangannya sedemikian jauh sehingga banyak orang tidak mengerti dan menganggap dia kejam.
Nenek yang sudah beberapa kali menikah ini tidak pernah mengecap kebahagiaan hidup keluarganya, dan dia tidak pernah mempunyai anak sehingga kini hidup kesepian dalam usia tua. Dan sebagai seorang janda tua yang hidup kesepan, dia suka dengan binatang peliharaannya. Akan tetapi jika para janda itu suka memelihara kucing atau anjing, maka nenek ini memelihara seekor harimau yang amat besar dan menakutkan.
Harimau ini bukan hanya menjadi binatang peliharaan dan kesayangan, malah dapat juga menjadi binatang tunggangan dan binatang yang menjaga serta melindungi keselamatan Yelu Kim. Melihat binatang ini saja membuat orang yang tadinya berniat buruk terhadap Yelu Kim harus berpikir panjang lebih dulu karena harimau itu nampak amat menyayang dan setia kepada majikannya. Demikianlah sedikit kisah tentang nenek aneh itu yang kini mengintai Cia Sun dan Sui Cin yang sedang duduk bersila.