Hui Song kini membungkuk, menyambar sebuah lengan dan kaki, lalu mengangkat tubuh raksasa itu ke atas, memutar-mutarnya cepat lalu melemparkannya ke bawah panggung. Tubuh itu melayang dan jatuh terbanting ke atas tanah, di luar kepungan para penonton! Sorak-sorai laksana meledak dan seperti akan meruntuhkan panggung itu sendiri. Semua penonton mengangkat kedua tangan, bahkan ada pula yang berjingkrak-jingkrak menari kegirangan.
Akan tetapi semua penonton kini berdiam dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kekhawatiran setelah melihat betapa Ji-ciangkun bersama belasan orang pengawalnya sudah berdiri di atas panggung sambil mengurung pemuda yang baru saja memperoleh kemenangan secara mutlak itu.
"Cepat tangkap keparat ini!" bentak Ji-ciangkun kepada para prajuritnya yang kelihatan ragu-ragu.
Tentu saja Hui Song juga berdiri dengan mata terbelalak heran karena dia pun merasa penasaran sekali. "Ciangkun, apa sebabnya aku akan ditangkap?" bantahnya.
"Orang muda, engkau masih belum mengakui kesalahan-kesalahanmu? Pertama, engkau sudah memadamkan hio yang terbakar, dan kedua, engkau sudah melukai penguji yang menjadi jagoan kami. Berarti engkau menyalahi peraturan dan tidak memandang kepada kami, berani mempermainkan dan melukai orang kami, dan itu berarti bahwa engkau telah memberontak, berani melawan pejabat tinggi!"
Akan tetapi pada waktu itu Kok-taijin muncul pula, kemudian terdengar pembesar sipil ini berkata, "Tidak, dia jangan ditangkap, ciangkun. Biarlah aku mengampunkan kesalahan-kesalahannya dan aku akan mengambil dia menjadi seorang pengawal pribadiku. Orang she Cia, maukah engkau menjadi seorang pengawal pribadiku?"
Hui Song merasa semakin heran. Agaknya terdapat pertentangan secara rahasia antara kedua pejabat itu dan dia pun menjura kepada gubemur itu, "Saya bersedia, taijin."
Ji-ciangkun nampak marah, akan tetapi karena Kok-taijin merupakan wakil dari kerajaan yang merupakan penguasa tertinggi di daerah itu, maka dia pun tidak berani menentang secara terang-terangan sehingga dia pun memberi isyarat kepada para prajuritnya untuk mundur dan meninggalkan panggung. Kok-taijin mengajak Hui Song mengikutinya pulang ke dalam gedungnya dan pemilihan calon perwira itu pun dibubarkan.
Setelah tiba di dalam gedungnya, Kok-taijin mengajak Hui Song memasuki sebuah kamar untuk berbicara empat mata. Pembesar yang berwibawa itu menyuruh Hui Song duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia terhalang sebuah meja kecil dan setelah dia menyuruh seorang pelayan menghidangkan minuman serta menyuruh pelayan lain mempersiapkan sebuah kamar untuk pengawal pribadi baru ini, dia lantas mengajak Hui Song bercakap-cakap.
"Cia-sicu, aku sudah terlalu banyak mengenal para pendekar gagah maka begitu engkau muncul tadi, walau pun engkau bersikap ketolol-tololan, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentu seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Dan timbul keheranan dalam hatiku, karena terasa janggal dan anehlah jika seorang pendekar berilmu seperti engkau ini hendak masuk menjadi seorang perwira. Sebetulnya, apakah yang mendorongmu naik ke panggung dan melawan Moghul?"
Diam-diam Hui Song memuji kecerdikan pembesar ini yang ternyata memiliki pandangan tajam sekali. Dan dia pun tidak perlu lagi bersembunyi karena dia tahu bahwa pembesar ini boleh dipercaya, tidak seperti Ji-ciangkun yang sikapnya mencurigakan itu.
"Harap taijin suka memaafkan saya. Sesungguhnya ada dua hal yang mendorong saya untuk memasuki sayembara itu. Pertama karena saya merasa jengkel melihat kekejaman Moghul yang menyiksa para pengikut sayembara yang kalah, oleh karena itu saya ingin membalaskan mereka itu dan menghukumnya. Kedua, saya merasa heran sekali karena kalau pemerintah benar membutuhkan perwira-perwira baru, dengan mengajukan Moghul sebagai penguji justru seolah-olah pemerintah daerah ingin menghalangi adanya perwira-perwira baru. Sukarlah dicari orang yang akan mampu mengalahkan raksasa itu. Maka saya ingin sekali menyelidiki kejanggalan ini."
Pembesar ini mengangguk-angguk. "Tepat seperti yang sudah kuduga, Cia-sicu. Karena itulah maka aku turun tangan dan mengangkatmu menjadi pengawal pribadi. Sebenarnya sudah lama aku merasa curiga terhadap gerak-gerik Ji-ciangkun yang berubah semenjak beberapa bulan yang lampau ini. Dahulu dia pun merupakan seorang panglima yang setia terhadap pemerintah, akan tetapi entah mengapa, semenjak beberapa bulan ini terjadi perubahan pada sikapnya dan Moghul itu pun pilihan dia. Dialah yang tadinya tidak setuju pada waktu aku mengusulkan untuk menerima prajurit serta perwira baru karena adanya desas-desus pemberontakan. Cia-sicu, aku yakin bahwa tentu engkau sudah mendengar pula tentang desas-desus itu, bukan?"
Hui Song mengangguk. "Itu bukan berita bohong, taijin. Memang ada datuk-datuk kaum sesat yang sedang menghimpun tenaga untuk mengadakan pemberontakan, dan terus terang saja, saya sampai ke daerah ini pun adalah untuk menyelidiki tentang hal itu."
"Bagus kalau begitu, sicu. Bagaimana kalau engkau tinggal di sini, pura-pura saja menjadi pengawal pribadiku, akan tetapi tugas yang sebenarnya bagimu adalah untuk menyelidiki Ji-ciangkun? Siapa tahu kalau dia mempunyai hubungan dengan para tokoh yang hendak memberontak itu."
"Baik, taijin. Saya masih memiliki waktu kira-kira sebulan untuk melakukan penyelidikan di sini."
Demikianlah, mulai hari itu Hui Song berpakaian pengawal dan menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Tentu saja hal ini hanya untuk menyembunyikan tugasnya yang sesungguhnya, yaitu menyelidiki Ji-ciangkun. Hanya dia sendiri beserta Gubernur Kok yang tahu, bahkan keluarga gubernur itu sendiri pun tidak mengetahuinya.
Gubernur Kok tinggal dengan seorang isterinya, beberapa orang selir dan hanya memiliki seorang anak, yaitu seorang anak perempuan yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun. Sebagai seorang pengawal pribadi, Hui Song mengenal baik semua keluarga Kok-taijin dan dengan pakaian pengawal, tidak begitu sukar baginya untuk melakukan penyelidikan karena tidak akan dicurigai.
Pada suatu malam, beberapa hari kemudian, dua bayangan yang amat gesit gerakannya berlompatan memasuki benteng dengan melewati tembok benteng yang tinggi. Anehnya, ketika para penjaga melihat dua orang ini, mereka diam saja, bahkan ada perwira yang memberi hormat kepada mereka, kemudian perwira ini melapor kepada Ji-ciangkun yang berada di sebelah dalam gedungnya.
"Ciangkun, dua orang tamu yang ditunggu sudah datang," perwira itu melaporkan.
"Baik. Persilakan mereka untuk menanti di dalam kamar tunggu dan suruh para pengawal menjaga di luar. Juga jangan menerima tamu dari luar pada malam hari ini, aku tidak mau diganggu."
Perwira itu memberi hormat lantas keluar, menanti di pekarangan gedung atasannya itu. Tak lama kemudian ada dua sosok bayangan berlompatan turun dan mereka itu ternyata adalah seorang tosu tinggi kurus dan seorang hwesio gendut yang tidak lain adalah Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui yang bersama-sama Siang-to Sian-li Gui Siang Hwa murid Raja Iblis pernah memikat Hui Song ke Goa Iblis Neraka tempo hari!
Sang perwira menyambut mereka dengan hormat, lalu mempersilakan mereka menunggu Ji-ciangkun di dalam ruangan tamu yang luas. Tiga orang ini memasuki pintu ruang tamu, sama sekali tidak tahu bahwa salah seorang prajurit pengawal yang berdiri di situ dengan tombak di tangan sama sekali bukanlah prajurit benteng itu, melainkan Hui Song yang telah menyamar!
Dengan bantuan Kok-taijin, tidak sukar bagi Hui Song untuk menyamar dengan pakaian prajurit benteng kemudian menyelundup masuk untuk melakukan penyelidikan. Malam itu, tanpa disangka-sangkanya dia melihat dua orang tamu dari Ji-ciangkun, yang bukan lain adalah kenalan lamanya, yaitu Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo yang pernah nyaris menewaskannya di Goa Iblis Neraka.
Terkejut, heran dan juga giranglah hati Hui Song bahwa kecurigaannya pada Ji-ciangkun ternyata sekarang terbukti kebenarannya. Jelaslah bahwa Ji-ciangkun tentu bersekongkol dengan kaum sesat yang hendak memberontak, karena dua orang kakek iblis itu adalah para pembantu Raja dan Ratu Iblis dan tentu kini menjadi semacam utusan dari Raja Iblis untuk bersekongkol dengan Ji-ciangkun. Maka, setelah keadaan sunyi dan dia mendapat kesempatan, Hui Song lalu melakukan pengintaian ke dalam ruangan tamu.
Tidak salah penglihatannya tadi, yang duduk di dalam ruangan itu adalah Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo, bersama Ji-ciangkun dan Moghul! Agaknya orang Mongol jago gulat itu memang kuat sekali. Meski pun tulang kedua kaki tangannya patah, akan tetapi kini, dengan bantuan kursi roda, dia dapat turut menghadiri pertemuan itu dengan kaki tangan dibalut kuat. Tentu dia menggunakan obat yang amat manjur, pikir Hui Song kagum juga. Dia sudah mendengar betapa Bangsa Mongol mempunyai obat-obat yang sangat mujarab untuk luka-luka atau patah tulang.
Dan kini semakin mengertilah dia. Kiranya Moghul yang dijadikan jagoan penguji itu pun merupakan salah seorang di antara tokoh persekutuan pemberontak itu! Dari percakapan di antara empat orang itu, tahulah dia bahwa Moghul bukanlah orang biasa. Dia mengaku sebagai keturunan para Raja Mongol yang dulu pernah memerintah di Tiongkok dan kini dia berusaha untuk membangun kembali kekuasaan bangsanya yang sudah jatuh.
Jadi di tempat ini terdapat persekutuan antara tiga unsur. Yang pertama adalah seorang panglima pemerintah sendiri yang berambisi untuk memberontak, yakni Panglima Ji Sun Ki. Kedua adalah Moghul yang mewakili orang-orang Mongol yang menjadi anak buahnya. Dan ketiga adalah rombongan kaum sesat yang diketuai Raja Iblis! Suatu persekutuan yang amat berbahaya, pikir Hui Song yang mengintai dan mendengarkan dengan hati-hati.
"Pemuda itu...?" kata Kang-thouw Lo-mo sambil menenggak araknya saat dia mendengar Ji-ciangkun bercerita tentang pemuda yang bisa mengalahkan Moghul dalam sayembara pemilihan perwira baru. "Ahh, dialah orang she Cia, putera ketua Cin-ling-pai itu! Pantas saja kalau saudara Moghul kalah karena dia memang lihai bukan main."
"Dan sekarang dia telah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin?" Hui-to Cin-jin menyambung. "Wah, berbahaya sekali itu. Dia harus disingkirkan lebih dahulu!"
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. Dia terkejut bukan kepalang mendengar bahwa pemuda yang sikapnya ketolol-tololan itu, yang sudah mengalahkan Moghul, ternyata bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar!
"Tidak mudah begitu saja menyingkirkannya, bukan hanya karena dia lihai, akan tetapi karena dia sudah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Kita harus bertindak hati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan di dalam hati Kok-taijin sebelum gerakan kita itu dilakukan. Jelaslah bahwa Kok-taijin tidak dapat dibujuk dan dia akan menjadi penghalang terbesar. Maka, biarlah aku mengerahkan orang-orangku untuk mengamati orang she Cia itu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa dia adalah seorang pendekar, maka aku tidak menaruh curiga."
Mendengar ini, Hui Song merasa sudah cukup. Apa bila kini Ji-ciangkun sudah mengerti siapa dirinya, tentu dia akan selalu diawasi sehingga hal itu membuat dia tak akan leluasa bergerak. Maka secara hati-hati dia lalu meninggalkan tempat itu dan malam itu juga dia menghadap Kok-taijin yang menjadi terkejut karena pembesar ini tadinya sudah mengaso dan bahkan hampir tidur pulas ketika dibangunkan.
"Cia-sicu, ada apakah...?" tanyanya kaget.
"Taijin, mari kita bicara di dalam. Ada hal penting sekali," jawab Hui Song. Mereka lalu memasuki ruangan dalam dan di situ Hui Song menceritakan apa yang baru saja dilihat serta didengarnya.
Diceritakannya kepada pembesar itu bahwa Ji-ciangkun betul-betul bersekongkol dengan orang-orang yang akan memberontak, betapa menurut pengakuannya sebetulnya Moghul adalah keturunan Jenghis Khan dari Raja-raja Mongol yang hendak membangkitkan lagi kekuasaan bangsanya, kemudian diceritakannya mengenai dua orang tokoh Cap-sha-kui yang menjadi para pembantu Raja Iblis yang memimpin para datuk sesat yang hendak memberontak.
Mendengar penuturan itu, Kok-taijin terkejut bukan main. Pembesar ini lalu mengerutkan alisnya. "Ah, tak kusangka sudah sejauh itu! Dan biar pun di San-hai-koan ini aku menjadi penguasa tertinggi, akan tetapi untuk menangkap Ji-ciangkun, aku kekurangan kekuatan. Di sini aku hanya mempunyai pasukan pengawal dan penjaga keamanan yang jumlahnya tidak ada seribu orang sedangkan Ji-ciangkun menguasai pasukan yang beribu-ribu orang banyaknya. Kita harus bertindak hati-hati dan tidak ada jalan bagiku kecuali melaporkan ke kota raja. Akan tetapi hal itu membutuhkan waktu lama dan melaporkan kepada kaisar harus disertai bukti-bukti sedangkan bukti itu belum ada. Maka, sicu, aku hendak minta bantuanmu. Sampaikan suratku kepada komandan benteng Ceng-tek. Komandan itu ialah seorang panglima yang setia dan jika dia menerima suratku, tentu dia akan percaya dan dia akan mengirimkan pasukan yang besar ke sini untuk membantuku. Tidak ada orang lain yang dapat kupercaya untuk melakukan tugas ini, sicu. Berangkatlah malam ini juga."
Hui Song tidak dapat menolak karena dia sendiri pun maklum akan gawatnya keadaan. Agaknya pihak pemberontak itu akan menduduki San-hai-koan lebih dulu untuk menjadi markas dan basis pemberontakan mereka. Maka, malam itu juga, dia diberi seekor kuda yang paling baik, membawa surat dari Kok-taijin dan berangkatlah dia meninggalkan kota San-hai-koan.
Dugaan Hui Song memang tidak banyak selisihnya dengan kenyataan yang sebenarnya. Kedatangan Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo ke markas San-hai-koan itu di samping untuk berunding di mana kedua orang kakek itu membongkar keadaan diri Cia Hui Song, juga dua orang kakek itu diutus oleh Raja Iblis untuk mengundang Ji-ciangkun agar pada malam itu juga datang menemui Raja Iblis pada suatu tempat tersembunyi tidak jauh dari San-hai-koan!
Setelah dia memanggil para perwira pembantu dan kepercayaannya, lantas memberi tahu kepada mereka agar mulai saat itu juga mereka semua mengamat-amati semua gerakan gubernur itu, Ji-ciangkun lalu berangkat naik kuda bersama dua orang tamunya. Dia tidak membawa pengawal karena memang tidak boleh sembarang orang datang menghadap Raja Iblis.
Sebenarnya tadinya Moghul juga diundang. Akan tetapi mengingat bahwa orang Mongol itu sedang dalam keadaan terluka dan tak dapat berjalan, maka yang berangkat hanyalah Ji-ciangkun saja bersama dua orang tokoh Cap-sha-kui itu.
Malam itu terang bulan dan tiga orang yang menunggang kuda itu berhenti pada sebuah lereng bukit. Dua orang kakek itu kemudian memberi isyarat kepada Ji-ciangkun supaya menghentikan kuda masing-masing, lantas menambatkan kuda mereka itu pada batang pohon.
"Dari sini kita harus berjalan kaki dan jangan sekali-kali mengeluarkan suara," kata Hui-to Cin-jin berbisik.
"Lihat saja isyarat tangan kami. Kalau berbicara sebelum ditanya, dapat mengakibatkan bencana," kata pula Kang-thouw Lo-mo.
Mendengar ucapan kedua orang kakek itu dan melihat sikap mereka seperti orang yang sangat takut, diam-diam Ji-ciangkun bergidik. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Raja dan Ratu Iblis, dan dia hanya mendengar bahwa Raja Iblis adalah seorang pangeran yang bernama Toan Jit Ong dan bahwa tokoh ini mempunyai ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia dan mempunyai watak yang amat aneh dengan wibawa melebihi kaisar sendiri!
Sesudah mereka berjalan kurang lebih setengah jam lamanya, menyusup-nyusup melalui semak-semak belukar, akhirnya mereka sampai di sebuah lereng terbuka dan dari jauh, di bawah sinar bulan purnama, nampaklah tembok-tembok nisan kuburan berjajar-jajar. Dua orang kakek itu berhenti memandang ke arah tanah kuburan itu dan ketika Ji-ciangkun memandang kepada mereka, dua orang itu tanpa bicara menuding ke arah tanah kuburan itu.
"Di sanakah...?" Ji-ciangkun berbisik.
"Sssstt!" Hui-to Cin-jin menegur dan menaruh telunjuk ke depan mulut, lalu mengangguk membenarkan. Mereka lalu maju lagi, berjalan perlahan-lahan menghampiri tanah kuburan yang sudah nampak dari jauh itu.
Pada saat mereka tiba di luar tanah pekuburan, tiba-tiba dua orang kakek itu memegang lengan Ji-ciangkun dan memberi isyarat agar diam dan tak mengeluarkan suara, mereka hanya memandang ke depan. Panglima itu lalu ikut memandang dan matanya terbelalak, wajahnya berubah pucat.
Memang amat mengerikan apa yang terlihat olehnya di tengah kuburan itu. Biar pun sinar bulan redup, namun lambat laun matanya sudah terbiasa dan dia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di tengah kuburan itu.
Di antara kuburan-kuburan yang nampak sudah kuno dan tak terawat, nampak dua orang yang sedang berlatih ilmu kesaktian yang sangat luar biasa. Seorang di antara mereka adalah seorang pria yang rambutnya sudah putih semua, awut-awutan dan riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek, tubuhnya jangkung dan wajah yang tertimpa sinar bulan itu nampak seperti topeng saja, agak kehijauan dan dingin bagaikan muka mayat.
Sepasang matanya yang kehijauan mencorong laksana mata harimau. Pakaiannya yang berwarna putih dan kuning itu longgar sehingga kedodoran. Usianya sukar ditaksir berapa karena biar pun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajah seperti topeng itu sukar ditaksir usianya, mungkin saja empat puluh atau mungkin juga enam puluh tahun lebih.
Dan orang ini sedang duduk di atas tumpukan tengkorak-tengkorak manusia! Sedikitnya ada lima puluh buah tengkorak yang ditumpuk berbentuk kerucut itu dan dia kini duduk bersila di atas tumpukan tengkorak itu. Baru duduk di atas tumpukan tengkorak itu saja sudah merupakan hal yang sukar dilakukan, karena tengkorak yang hanya bertumpuk-tumpuk itu tentu akan runtuh apa bila di puncaknya diduduki orang. Akan tetapi kakek itu dapat duduk dengan tegak, bersila dan matanya memandang tajam ke depan.
Di hadapannya, terpisah kurang lebih tiga tombak, terdapat tumpukan tengkorak lain mirip seperti yang didudukinya. Dan di atas tumpukan tengkorak kedua berdiri seorang wanita, akan tetapi berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki lurus ke atas!
Wanita ini pun rambutnya putih riap-riapan. Pakaian serta wajahnya sama dengan yang pria, mukanya yang ada garis-garis cantik itu nampak dingin dan kaku. Dan pakaiannya juga longgar dan kedodoran sehingga karena dia berdiri jungkir balik di atas tumpukan tengkorak, jubahnya tersingkap ke bawah dan nampak celananya yang berwarna putih.
"Sudah slap?" terdengar suara yang halus akan tetapi mengandung getaran kuat dari pria yang duduk bersila itu.
"Siap," jawab wanita itu dengan tubuh yang jungkir balik itu sama sekali tidak bergoyang.
"Mulai...!" kata pula yang pria.
Dua orang itu kini meggerakkan sepasang tangan ke depan, dengan gerakan mendorong, dengan jari-jari tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan.
"Tarrrr...!"
Terdengar suara ledakan di tengah udara antara keduanya seolah-olah ada suatu tenaga tak nampak yang saling bertemu dan beradu di udara! Dan mereka berdua melakukan adu tenaga ini berulang kali. Setiap kali tentu terdengar suara ledakan itu, akan tetapi kini setiap ledakan makin mendekati si wanita, seolah-olah tenaga yang bertemu itu kini tidak seimbang lagi dan tenaga si wanita terpukul mundur.
"Jagalah ini...!" Tiba-tiba si pria berseru dan kembali mereka saling dorong.
"Tarr...! Brukkkkk...!"
Tubuh wanita itu jungkir balik meloncat ke atas dan tumpukan tengkorak yang tadi terinjak kepalanya itu berantakan, dan ada beberapa buah tengkorak yang pecah berhamburan seperti diterjang tenaga yang luar biasa dahsyatnya!
"Tenagaku masih kurang kuat...!" Wanita itu menarik napas sesudah dia turun dan berdiri tak jauh dari pria yang masih duduk bersila itu.
"Siapa bilang? Engkau sudah kuat sekali dan hampir aku tidak tahan. Lihat ini!"
Dia pun melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan begitu menendang, tumpukan tengkorak itu berantakan dan ada empat buah tengkorak yang berada paling atas, remuk menjadi debu!
Melihat pertunjukan yang seperti sulap atau sihir itu, diam-diam Ji-ciangkun menjadi amat terkejut, ngeri dan juga gentar hatinya. Apa lagi ketika tiba-tiba dua orang berambut putih itu menoleh ke arah mereka.
"Majulah kalian!" Wanita itu berseru sambil menggapai dengan jari-jari tangannya yang berkuku runcing.
Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo segera maju, sedangkan Ji-ciangkun mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Iblis, dan panglima itu yang merasa bahwa dia hanyalah sekutu, bukan anak buah sepasang iblis itu, hanya menjura dengan hormat.
"Inikah Ji-ciangkun dari San-hai-koan?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Ratu Iblis. Seperti biasa, dialah yang menjadi juru bicara suaminya, ada pun Raja Iblis hanya berdiri memandang dengan sepasang matanya yang mencorong kehijauan.
"Benar, toanio, saya adalah Ji Sun Ki, panglima di San-hai-koan. Saya datang memenuhi undangan Ong-ya melalui Cin-jin dan Lo-mo."
Raja Iblis memberi isyarat kepada mereka semua untuk duduk di atas tanah, ada pun dia sendiri duduk di atas tumpukan kecil tengkorak. Isterinya duduk pula di atas tumpukan kecil tengkorak, sedangkan dua orang kakek pembantu mereka itu pun masing-masing mengambil sebuah tengkorak untuk dijadikan tempat duduk. Ji-ciangkun sendiri merasa ngeri kalau duduk di atas tengkorak manusia itu, maka dia hanya menduduki sebuah batu nisan.
"Ji-ciangkun," terdengar suara Raja Iblis. Jarang sekali dia bicara, akan tetapi agaknya sekarang dia merasa betapa pentingnya merangkul panglima ini untuk mulai menyalakan api pemberontakan. "Apakah sewaktu-waktu benteng itu dapat kita kuasai?"
Agak lega rasa hati Ji-ciangkun mendengar suara Raja Iblis. Ternyata suaranya halus dan bahasanya rapi seperti biasa dipergunakan para bangsawan atau orang terpelajar.
"Semuanya sudah saya persiapkan, Ong-ya. Sepuluh ribu prajurit yang tergabung dalam pasukan di benteng San-hai-koan, sebagian besar dikuasai oleh para perwira pembantu saya. Yang mungkin akan menentang tidak lebih dari dua tiga ribu prajurit saja yang akan mudah diatasi. Akan tetapi Kok-taijin sulit diajak berdamai dan tak mungkin mau bekerja sama. Dari dialah mungkin datangnya tentangan dan halangan."
"Kekuatannya?" tanya Raja Iblis itu tenang.
"Lumayan. Ada seribu orang pasukan pengawal yang akan selalu membelanya. Apa lagi baru-baru ini dia memperoleh seorang pengawal pribadi yang lihai..." Ji-ciangkun berhenti karena pada saat itu Hui-to Cin-jin yang melihat keraguannya menyambung.
"Ong-ya, orang yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu sudah mengalahkan Moghul dan dia bukan lain adalah putera ketua Cin-ling-pai!"
Raja Iblis mengerutkan kedua alisnya sambil mengelus jenggotnya yang pendek. "Hemm, bukankah Bin Mo To dari Ceng-tao itu sudah memberikan janjinya akan membantu, dan juga menantunya, ketua Cin-ling-pai akan membantu pula apa bila waktunya sudah tiba? Apakah keluarga itu akan melanggar janji?"
"Hamba tidak tahu, Ong-ya. Akan tetapi kita memang tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang seperti ketua Cin-ling-pai itu. Apa lagi Bin Mo To yang sudah lama mencuci tangan, tidak seperti dahulu ketika dia masih berjuluk Tung-hai-sian."
"Pemuda itu harus dibunuh dulu, juga kalau mungkin, secepatnya Kok-taijin yang menjadi penghalang itu harus dibunuh!" kata Raja Iblis kepada Ji-ciangkun.
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Maaf, Ong-ya. Saya sudah menyuruh anak buah untuk mengawasi pemuda she Cia itu. Dan kalau perlu, kiranya tidak begitu sulit membunuhnya dengan pengeroyokan. Akan tetapi saya kira tidak bijaksana kalau membunuh Kok-taijin, bahkan akibatnya bisa amat merugikan."
"Mengapa?"
"Seperti yang telah saya katakan tadi, Kok-taijin mempunyai pasukan pengawal yang setia kepadanya, kurang lebih seribu orang. Kalau saya menyerangnya secara berterang, tentu seribu orang pengawal itu akan memberontak dan melawan. Kalau sampai terjadi demikian, tentu dua tiga ribu orang pasukan yang belum dapat saya tundukkan itu akan bergabung. Hal ini akan menimbulkan perang sendiri dalam benteng dan biar pun kita dapat menang, namun tentu akan mengalami kerugian banyak pasukan. Jauh lebih baik kalau dapat kita pergunakan akal agar benteng jatuh ke tangan kita tanpa banyak korban, dan lebih baik lagi kalau kita dapat memaksa Kok-taijin menakluk kepada kita."
"Caranya? Dengan menawannya dan memaksanya?" Raja Iblis bertanya.
Ji-ciangkun menggeleng kepala. "Biar pun dia seorang sipil, namun Kok-taijin memiliki hati yang keras. Andai kata dia ditangkap dan disiksa sekali pun, jangan harap dia akan mau menakluk. Akan tetapi, dia hanya mempunyai seorangi anak, yaitu anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. Kalau kita menculik anak itu, besar kemungkinan dia mau tunduk dan menurut, demi keselamatan anaknya yang amat disayangnya."
"Bagus! Lakukanlah hal itu, Ji-ciangkun. Ingat, kami tidak akan mau bergabung denganmu sebelum kau berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Setelah berhasil, barulah engkau secara resmi akan menjadi panglima besar seluruh pasukan kita dan kelak engkau tentu akan tetap menjadi panglima kerajaan baru kita."
Wajah Ji-ciangkun berseri gembira, membayangkan kedudukan yang kelak diperolehnya jika gerakan mereka berhasil. Dan dia yakin akan berhasil setelah bertemu dengan bekas pangeran yang sakti luar biasa ini. Setelah mengadakan perundingan dengan matang dan Raja Iblis menyatakan siap membantu kalau terdapat kesukaran dalam pengambil alihan kekuasaan di San-hai-koan itu, Ji-ciangkun segera kembali ke San-hai-koan, dikawal oleh dua orang kakek iblis.
Sementara itu, Hui Song yang keluar dari kota San-hai-koan dengan berkuda, ketika baru meninggalkan benteng itu kurang lebih sejauh sepuluh li, dia mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Pemuda ini bisa menduga bahwa derap kaki banyak kuda itu tentulah pasukan dan ke mana lagi malam-malam begitu ada pasukan membalapkan kuda mereka kalau bukan untuk mengejar dirinya?
Dia sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi karena dia sedang membawa tugas yang amat penting, dia tak mau menunda perjalanan itu dengan perkelahian melawan pasukan yang mengejarnya. Maka dia pun segera berhenti, mengumpulkan bekalnya dan diikatnya buntalan itu pada punggungnya, kemudian dia mencambuk kuda itu, diusir dan dikejarnya agar kuda itu lari ke lain jurusan, bukan ke jurusan Ceng-tek, melainkan ke timur.
Kuda itu ketakutan dan berlari cepat. Dia masih mengejarnya dengan lemparan-lemparan batu kecil sehingga kuda itu lari tunggang-langgang. Setelah itu, Hui Song meloncat naik ke atas dahan pohon dan bersembunyi di balik daun-daun lebat.
Tak lama kemudian muncullah serombongan pasukan itu dan ternyata jumlah mereka ada seratus orang! Akan sulit juga bila dia harus melawan orang sedemikian banyaknya, dan juga akan membuang-buang waktu saja. Pasukan itu berhenti, memeriksa tanah dengan obor-obor lalu akhirnya mereka membelok ke kiri dan mengejar kuda yang meninggalkan jejak di atas tanah itu.
Setelah pasukan itu membalapkan kuda ke timur, barulah Hui Song meloncat turun dari atas pohon, lalu mempergunakan ilmu lari cepat, lari ke selatan lalu ke barat, menuju ke Ceng-tek. Jarak yang ditempuhnya akan makan waktu sehari semalam, dan pada besok malam baru dia akan tiba di Ceng-tek.
Kota Ceng-tek adalah kota yang cukup besar dan ramai. Kota ini merupakan semacam benteng pertahanan pula atau merupakan pintu menuju ke kota raja Peking, karena itu di kota ini terdapat benteng yang cukup besar dan kuat. Yang menjadi komandan pasukan di Ceng-tek adalah seorang jenderal bernama Lui Siong Tek, seorang laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa, berusia empat puluh lima tahun.
Dia menguasai selaksa pasukan tetap, namun dengan mudah dia akan melipat gandakan pasukannya itu dengan pasukan-pasukan lain yang berada di sekeliling daerah itu, yang berupa mata rantai pertahanan di utara di sebelah dalam Tembok Besar untuk melindungi kota raja dari serbuan-serbuan yang mungkin datang dari bangsa-bangsa liar di utara.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa seorang pembesar yang mempunyai kekuasaan penuh pada suatu daerah, akan merasa yang paling berkuasa, seakan-akan menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya. Pembesar itu akan lupa bahwa dia hanya seorang petugas yang bekerja untuk atasan di kota raja. Dan seorang pembesar militer seperti Lui-goanswe ini, pada waktu negara sedang aman dan tidak ada perang, akan menjadi malas dan lengah, membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan-kesenangan yang mudah saja didapatkan karena kekuasaan dan kekayaannya.
Demikian pula dengan Lui Siong Tek. Karena wilayahnya dalam keadaan aman tenteram, dia pun membiarkan dirinya hanyut dalam kesenangannya yang sudah memperbudaknya sejak dia masih amat muda, yaitu bersenang-senang dengan wanita cantik.
Pada waktu Hui Song tiba di Ceng-tek, sebelum dia mengunjungi pembesar itu, dia lebih dahulu menyelidiki dan mencari keterangan perihal komandan yang menjadi panglima di benteng kota itu. Dan dia mendengar bahwa komandan itu adalah seorang yang gagah perkasa, yang pandai mengatur pasukan dan sudah amat terkenal, namun juga memiliki kelemahan, yaitu suka mengumpulkan wanita-wanita cantik dan mempunyai banyak selir yang tak terhitung banyaknya. Bahkan ada kabar angin bahwa pembesar itu kini memiliki seorang selir baru dan setiap hari bersenang-senang dengan selir barunya itu.
Sesudah mendapat keterangan di mana adanya pembesar itu, malam itu juga Hui Song segera memasuki benteng melalui tembok benteng yang tidak dijaga terlalu ketat. Kalau pemimpinnya malas, anak buahnya pun tentu saja malas, dan kalau pemimpinnya lengah, anak buahnya pun lengah, maka penjagaan di sekitar benteng itu pun tidak ketat.
Para penjaga hanya bergerombol di sekitar pintu gerbang, mengobrol atau bermain kartu sehingga dengan mudahnya Hui Song dapat melompati tembok dan meloncat ke sebelah dalam, menyelinap di antara bangunan-bangunan besar di dalam benteng itu lalu dengan mudah saja dia bisa memasuki sebuah gedung terbesar di tengah benteng. Itulah gedung tempat tinggal Lui-goanswe yang nampak sunyi saja, tanpa penjagaan di sekitar gedung, dan agaknya semua penghuninya telah tidur.
Hui Song cepat menyelinap masuk ke dalam gedung itu. Tidak lama kemudlan dia sudah mengintai ke dalam sebuah ruangan yang terang di mana dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Ketika dia mengintai ke dalam, dia melihat seorang laki-laki tinggi besar dan berwajah gagah, mukanya dihias jenggot dan kumis lebat, berusia empat puluh tahun lebih, sedang makan minum dilayani oleh dua orang pelayan wanita muda. Di depannya duduk pula seorang wanita cantik.
Saat melihat wanita itu, jantung Hui Song segera berdebar keras. Dia kaget sekali karena dia mengenal baik wanita cantik ini yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa, wanita yang pernah memperdayainya dan nyaris membunuhnya, murid dari Raja Iblis itu!
Dan ternyata bahwa pada waktu dia mengintai, mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba wanita cantik itu bangkit berdiri dan berkata kepada dua orang pelayan wanita, "Bersihkan meja!" lalu dia menggandeng tangan pria itu dan dengan sikap manja menariknya bangkit dari kursinya.
Pria itu hanya tersenyum dan Hui Song melihat bahwa keduanya hanya memakai pakaian tidur yang tipis dan longgar saja. Hui Song merasa terheran-heran melihat hadirnya gadis iblis itu di tempat itu. Karena dia tahu betapa lihainya Gui Siang Hwa, cepat dia meloncat dan menyelinap ke dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan ruangan itu karena dia melihat kamar itu terbuka daun pintunya dan kosong.
Kamar itu adalah tempat yang paling baik untuk bersembunyi. Sebelum dia menghadap Lui-goanswe, dia harus lebih dahulu menyelidiki apa artinya murid Raja Iblis itu berada di tempat ini.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia mendengar suara langkah kaki dan percakapan dua orang itu menuju ke kamar di mana dia sedang bersembunyi. Celaka, pikirnya. Agaknya dia sudah salah masuk dan yang dimasukinya agaknya malah kamar tidur mereka! Tidak ada waktu lagi untuk keluar dari situ, maka jalan satu-satunya bagi Hui Song hanyalah bersembunyi dan dia pun cepat menyusup ke bawah tempat tidur.
Tepat seperti yang diduganya, langkah kaki itu menuju ke kamar dan dari bawah tempat tidur, di bawah kain tilam tempat tidur itu, dia dapat melihat dua pasang kaki memasuki kamar itu, lalu daun pintu ditutup dan sambil tertawa-tawa mereka berdua langsung saja menuju ke tempat tidur! Tempat tidur itu berderit ketika tertimpa pinggul wanita itu yang sudah merangkul sang pria dan ditariknya duduk di sampingnya.
"Aihh, manis, mengapa engkau begini tergesa-gesa? Baru saja kita habis makan...!" pria yang bukan lain adalah Jenderal Lui Siong Tek itu berkata sambil tertawa saat menerima cumbuan wanita cantik yang bertubuh menggiurkan itu.
"Hemm, siapa sih yang kepingin? Apa kau kira aku tergesa-gesa mengajakmu tidur? Tak tahu malu...!" Dengan sikap genit wanita itu mencela.
"Ha-ha-ha, engkau menarikku dari meja makan, lalu kini menarik-narikku ke atas tempat tidur, mau apa lagi kalau bukan..."
"Pikiranmu memang penuh dengan urusan itu-itu saja!" Siang Hwa terkekeh manja dan merangkul leher pria itu. "Aku tidak mau berbicara di hadapan para pelayan, sebab itu aku tergesa-gesa mengajakmu masuk kamar. Bukan untuk itu, melainkan untuk bicara."
"Bicara apakah, Siang Hwa? Engkau minta apakah?"
"Lui-ciangkun, benarkah... benarkah engkau cinta padaku...?"
Jenderal itu merangkul dan menciumnya. "Aihhh, Siang Hwa, apakah engkau masih tidak yakin akan cintaku? Semenjak kita berjumpa di hutan itu, ketika aku berburu dan engkau berjalan sendirian, aku sudah menyangka engkau seorang bidadari dan aku sudah jatuh cinta kepadamu."
"Ciangkun, sudah satu pekan lebih aku berada di sini, melayanimu dengan sepenuh hati, tetapi kenapa engkau belum juga mau memenuhi permintaanku, tidak mau membalaskan dendam sakit hatiku?"
"Aaahh... urusan itu...?" Tiba-tiba saja jenderal itu kehilangan kegembiraan dan gairahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur.
Hui Song cepat-cepat menyusup ke dalam kolong lagi, menarik kepalanya yang tadinya dia keluarkan agar dia dapat mendengar dan melihat lebih jelas, karena setelah jenderal itu duduk di tepi tempat tidur, dia akan dapat kelihatan kalau menjulurkan kepalanya.
"Ciangkun, sejak kita saling jumpa dan saling mencinta, tidak ada permintaan lebih dariku kecuali yang satu itu. Lui-ciangkun, aku sudah menyerahkan segala-galanya kepadamu, hanya untuk itu..."
Jenderal itu mengerutkan alisnya dan kelihatan berduka. "Sayangku, mengapa justru itu yang kau minta? Mintalah yang lain. Apa pun pasti akan kupenuhi, kecuali itu. Aku adalah seorang panglima yang setia, yang semenjak jaman nenek moyangku selalu menjunjung tinggi nama serta kehormatan, mana mungkin engkau memintaku agar aku memberontak terhadap pemerintah?"
Hui Song kaget bukan main mendengar ini. Ahh, dia mengerti sekarang. Tentu gadis iblis ini sedang melakukan tugasnya, dan tugas itu adalah menggoda dan membujuk panglima benteng Ceng-tek ini untuk bersekutu dengan para pemberontak!
Kiranya Raja Iblis sudah mendengar akan kelemahan jenderal ini terhadap wanita cantik, maka menyuruh muridnya sendiri yang selain lihai juga cantik manis itu untuk menjebak sang jenderal dan kini Siang Hwa sedang menjalankan peranannya dengan amat baik.
Mendengar ucapan sang jenderal, Siang Hwa membujuk-bujuk lagi. "Ciangkun, di dalam hidupku ini tiada hal lain lagi yang kuinginkan kecuali membalas dendam. Ayah bundaku, saudara-saudaraku semuanya tewas oleh pemerintah, sekeluargaku difitnah dan dihukum mati! Aku harus membalas dendam, dan satu-satunya jalan hanya memberontak terhadap pemerintah! Ciangkun, engkau memegang kekuasaan atas puluhan ribu tentara, betapa akan mudahnya kalau engkau mau memenuhi permintaanku itu..."
"Hushhh... diamlah dan jangan bicara lagi tentang hal itu, sayang. Mudah saja kau bicara begitu. Apa bila bukan engkau yang bicara, tentu sudah kutangkap atau kubunuh karena kata-katamu itu berarti pemberontakan. Dan mudah saja melawan pemerintah, ya? Apa artinya bala tentara puluhan ribu kalau menghadapi bala tentara pemerintah yang ratusan ribu? Sudahlah, jangan melamun yang bukan-bukan dan anggap saja mala petaka yang menimpa keluargamu itu memang sudah menjadi nasibmu yang ditentukan takdir."
"Ciangkun, kiraku bukan aku saja yang mendendam terhadap pemerintah. Di dalam hal ini engkau bisa mencari kawan-kawan, dan aku sanggup mencarikan teman-teman sehaluan. Lui-ciangkun, aku... aku akan mencintamu sampai mati apa bila engkau mau memenuhi permintaanku ini..." Dan wanita itu merangkul dan menciumi. Akan tetapi tiba-tiba jenderal itu menghardik.
"Siang Hwa, cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang hal itu! Kau dengar baik-baik, aku adalah seorang panglima yang setia, kehormatan dan kesetiaanku lebih berat dari pada dirimu, bahkan lebih berat dari pada nyawaku sendiri, mengerti?!"
Diam-diam Hui Song merasa kagum juga kepada jenderal ini. Boleh jadi dia mempunyai kelemahan terhadap wanita, mata keraniang dan menjadi hamba nafsu kelamin, namun harus diakui bahwa dia adalah seorang laki-laki yang gagah dan teguh pendiriannya.
"Bagus! Begitukah, ciangkun? Setelah selama satu pekan ini kuserahkan segala-galanya kepadamu, menyenangkan hatimu, menahan kemuakan hatiku sendiri, semua itu hanya untuk sia-sia belaka? Jika begitu, ketahuilah bahwa aku adalah murid dari Pangeran Toan Jit Ong yang akan memimpin pemberontakan, dan karena penampikanmu, engkau tidak boleh hidup lebih lama lagi!"
Hui Song terkejut bukan main dan seperti kilat cepatnya dia sudah menerobos keluar dari dalam kolong tempat tidur. Namun terlambat. Dia mendengar jenderal itu memekik keras dan tubuh yang tinggi besar itu lalu terguling roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi karena jari-jari tangan gadis iblis itu telah menusuk pelipisnya!
Gui Siang Hwa sudah menyambar segulung kertas dari atas meja, akan tetapi gadis itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda dari kolong tempat tidur, apa lagi ketika di bawah sinar lampu dia melihat dan mengenal wajah pemuda itu.
"Kau... kau... Cia Hui Song...!" Serunya dengan suara gemetar dan muka berubah pucat.
"Perempuan jahat!" Hui Song memaki marah karena melihat betapa dia muncul terlambat sehingga jenderal itu tidak dapat ditolong lagi. Maka dia pun segera langsung menyerang ke arah wanita itu dengan maksud untuk merobohkannya dan menangkapnya, apa lagi dia melihat bahwa Siong Hwa mengambil gulungan kertas yang menurut dugaannya tentu merupakan benda penting.
Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar hijau yang berbau harum menyambar ke arah muka Hui Song. Pemuda ini sudah mengenal kelicikan serta kelihaian wanita itu, maka dia pun mengelak dengan lemparan diri ke kiri. Kesempatan itu dipergunakan oleh Siang Hwa untuk melompat keluar dari dalam kamar terus melarikan diri dalam keadaan masih mengenakan pakaian dalam dan kedua kakinya telanjang tanpa sepatu.
"Mau lari ke mana kau?!" bentak Hui Song sambil mengejar.
Akan tetapi suara ribut-ribut itu sudah memancing datangnya serombongan penjaga dan Hui Song mendengar Siang Hwa berkata, "Tolong, pengawal...! Penjahat itu membunuh Lui-ciangkun...!"
Karena para pengawal mengenal Siang Hwa sebagai kekasih baru Jenderal Lui, mereka percaya dan serta merta mereka menghadang dan menyerang Hui Song dengan senjata mereka!
"Perempuan itulah pembunuhnya! Dia siluman jahat...!" Hui Song berseru.
Akan tetapi mana mungkin para penjaga percaya kepadanya? Mereka tak mengenalnya, sebaliknya, wanita itu sudah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka. Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan melanjutkan pengejarannya.
Akan tetapi, serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song membanting-banting kaki dan dia pun tidak mau melanjutkan pengejarannya. Keadaan sudah sangat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimana pun juga, Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada wakil dari jenderal itu.
Dengan hati tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata dengan suara nyaring,
"Sobat-sobat harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari San-hai-koan, membawa pesan dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi kebetulan sekali kedatanganku tepat melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu...!"
"Bohang! Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."
"Tenang dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Di mana adanya perempuan itu sekarang? Kalau memang dia orang baik-baik, mengapa dia melarikan diri? Karena kalian menghadangku, maka aku pun tak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah dibunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh pemberontak!"
Akan tetapi para penjaga tidak mau percaya begitu saja walau pun ada di antara mereka yang kemudian mencari-cari tetapi tidak dapat menemukan Siang Hwa. Di dalam gedung Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.
"Sebaliknya kalian bawa aku menghadap wakil Lui-ciangkun. Biar dia yang menentukan apakah aku bersalah atau tidak!"
Usul ini bisa diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring masuk ke dalam benteng untuk dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil dari Lui-ciangkun. Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah sangat berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia bisa menduga bahwa yang dibawa menghadap kepadanya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah, sama sekali tidak terbayang watak yang jahat.
Dengan jujur Hui Song membuat laporan di depan panglima itu. "Harap ciangkun maafkan bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan pribadi dari Kok-taijin di kota San-hai-koan, membawa surat untuk Lui-goanswe. Karena tak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung memasuki benteng hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi saya melihat seorang wanita yang saya kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Dia adalah murid Raja Iblis yang sedang menghimpun para datuk sesat dan hendak memberontak, karena itu kehadirannya di Ceng-tek tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saat saya melakukan pengintaian di kamar Lui-goanswe, tanpa saya sangka-sangka iblis perempuan itu membunuh Lui-goanswe saat rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu supaya ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dia lalu pergi sambil membawa gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga dia dibiarkan pergi dan saya malah yang dikeroyok."
Dengan tenang Bhe-ciangkun mendengarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa ternyata wanita bernama Gui Siang Hwa itu memang telah lenyap dan wanita itu pergi dalam keadaan setengah telanjang.
Bhe-ciangkun menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat itu, wajahnya berubah dan dia segera mengajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru mereka tahu bahwa mereka tadi telah salah tangkap.
Sementara itu, sesudah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciang-kun lantas berkata, "Ahh, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan pemberontak?"
Hui Song mengangguk. "Malah dia dengan para pemberontak telah merencanakan untuk membujuk Kok-taijin, akan tetapi tidak berhasil. Agaknya mereka hendak menguasai kota San-hai-koan untuk dijadikan basis gerakan pemberontakan mereka. Sebab itu Kok-taijin mengharapkan bantuan pasukan dari sini, ciangkun." Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan betapa dia memasuki sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.
"Hemm, agaknya para tokoh pemberontak itu berusaha keras untuk mempengaruhi pula Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan mempersiapkan pasukan besar untuk sewaktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun kalau ternyata dia benar-benar berani memberontak."
"Terima kasih, ciangkun. Tugas saya di sini sudah selesai. Saya amat mengkhawatirkan keadaan di San-hai-koan, maka saya akan kembali ke sana secepatnya."
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke kota San-hai-koan dan Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan anak panah yang memang diminta oleh Hui Song sekedar untuk penjagaan diri karena dia maklum bahwa setelah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak mungkin gadis itu lalu menyiapkan teman-temannya untuk menghadangnya bila dia kembali ke San-hai-koan.
Kekhawatiran Hui Song itu sama sekali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Siang Hwa beserta kawan-kawannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng San-hai-koan! Hal ini terjadi di luar dugaan dan perhitungan Hui Song. Tidak disangkanya bahwa Ji-ciangkun akan bergerak secepat itu untuk merampas dan menguasai benteng untuk kaum pemberontak.
Pengambil alihan benteng San-hai-koan dipercepat oleh para pemberontak karena hal ini ada hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar Lui-ciangkun di Ceng-tek itu. Setelah bertemu dengan Hui Song dia menyampaikan berita ini secepatnya kepada gurunya, maka Raja Iblis segera minta kepada Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga!
Raja Iblis telah dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Ceng-tek itu tentu ada hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur San-hai-koan untuk minta bantuan kepada benteng Ceng-tek!
Karena desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk. Dia belum melaksanakan rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena desakan Raja Iblis, sekarang mau tidak mau dia harus mempergunakan kekerasan.
Demikianlah, pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Kok-taijin. Gubernur ini yang sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan, segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat.
Ji-ciangkun masih hendak mempergunakan bujukan. Setelah gedung dikepung, lebih dulu dia mengirimkan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur menyerah saja dari pada harus diserbu dengan kekerasan. Namun Gubernur Kok malah membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk melindunginya.
Maka terjadilah penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal cepat melakukan perlawanan dengan gagah perkasa sehingga jatuhlah banyak korban di antara kedua pihak. Sampai seharian lamanya gedung Kok-taijin masih dapat dipertahankan oleh para pengawal meski pun jumlah mereka telah banyak berkurang dan gedung itu masih tetap dikurung.
Dalam keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni San-hai-koan yang lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara pasukan Ji-ciangkun dengan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka dia pun membalapkan kudanya dan pada saat dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau.
Hui Song tidak peduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia menerjang semua prajurit yang berani menghalanginya. Ketika para pengawal Gubernur Kok mengenalnya, mereka lalu membukakan pintu dan membiarkan Hui Song memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat.
Sedih juga hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah gedung itu. Melihat perbandingan jumlah kedua pasukan, jelas bahwa tak mungkin pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Dia cepat menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya. Keluarga gubernur itu telah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubernur yang masih bersikap tenang dan tabah, walau pun wajahnya juga pucat sekali.
"Cia-sicu...!" Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya. "Ah, engkau dapat datang juga? Bagaimana dengan tugasmu?"
Dengan singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya, bahwa Bhe-ciangkun di Ceng-tek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan bahwa dia dan mereka yang berada di kota Ceng-tek sama sekali tidak menduga bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak sedemikian cepatnya, sehingga tentu saja bantuan dari Ceng-tek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini.
Mendengar ini, sang gubemur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan lemas. Para keluarga wanita semakin keras menangis ketika mendengar bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.
"Diam! Jangan menangis lagi!" bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata, "Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku sendiri akan memimpin semua pengawalku dan melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"
"Taijin, saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari kota San-hai-koan? Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri, dibantu oleh pasukan pengawal."
Gubernur itu menggelengkan kepalanya. "Hal itu tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin menyelamatkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat? Dan engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Lagi pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri ketakutan seperti anjing mau disembelih? Tidak, aku akan tetap bersama keluargaku di sini, akan kuhadapi semuanya dengan tabah. Masih jauh lebih baik aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir dari pada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu, sicu. Kau selamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini." Dan gubernur itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.
Hui Song yang baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal wataknya yang gagah dan teguh, maka dia pun tahu bahwa berbantahan tidak akan ada gunanya. Selain itu, dia pun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya akan berhasil jika hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya sebab pihak musuh terlalu banyak. Jika kereta yang membawa gubernur itu dihujani anak panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka?
Berbeda halnya bila hanya menyelamatkan satu orang saja, apa lagi yang bertubuh kecil seperti anak perempuan ini. Dan dia pun tahu akan hati seorang ayah seperti Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat dari pada dirinya sendiri.
"Baik, taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini," katanya sambil memegang tangan anak perempuan itu.
Anak itu tak nampak ketakutan karena agaknya dia belum mengerti benar apa sebetulnya yang sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya, seperti sepasang sayap burung saja dan dia memakai pita merah. Dia tersenyum saat tangannya digandeng Hui Song yang biar pun belum dikenalnya benar, akan tetapi agaknya dia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya.
Akan tetapi, ketika Hui Song menggandengnya dan mengajaknya keluar dari ruangan itu, anak itu menangis.
"Ayah...! Ibu...! Aku ikut ayah dan ibu...!"
Ibunya menangis, akan tetapi Kok-taijin memberi isyarat kepada Hui Song agar membawa anak itu keluar. Hui Song lalu mengangkat dan memondongnya. Anak itu meronta-ronta, akan tetapi tidak berdaya dalam pondongan Hui Song.
"Diamlah, adik yang manis, kita pergi keluar untuk menyelamatkanmu. Marilah!" Hui Song membujuk dengan halus. Dia lalu berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya. "Adik yang manis, kau rangkullah leherku, akan kugendong di belakangku. Jangan takut, aku akan menyelamatkanmu," katanya.
Dia pun telah mengambil busur dan menyiapkan anak panahnya, lalu membedal kudanya keluar. Para pengawal telah tahu bahwa pemuda ini bertugas menyelamatkan puteri sang gubernur, maka mereka melindunginya dengan anak-anak panah yang mereka luncurkan ke depan.
Pertempuran sudah terjadi lagi dan sekarang Hui Song membalapkan kudanya di antara pertempuran. Dia dihujani anak panah, akan tetapi semua itu dapat dia runtuhkan dengan busurnya dan kadang-kadang dia pun melepas anak panah merobohkan beberapa orang prajurit musuh yang berani menghadang. Ada kalanya pula dia menggunakan tangan atau tendangan kakinya merobohkan musuh yang berani mendekat.
Kebakaran-kebakaran terjadi ketika para prajurit Ji-ciangkun menghujankan panah api ke arah gedung. Hui Song meloncati pagar-pagar yang terbakar dengan kudanya. Ketika ada beberapa batang anak panah menyambar dari atas, dia segera membalas dengan anak panahnya, maka robohlah dua orang prajurit yang menyerangnya dari atas benteng. Dan para petajurit agaknya gentar juga menyaksikan sepak terjangnya, karena siapa pun yang menghalang di depannya, kalau tidak terpelanting ditabrak kuda pendekar itu, tentu roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya.
Walau pun dengan susah payah, akhirnya Hui Song berhasil membawa anak perempuan itu keluar dari pintu gerbang San-hai-koan. Legalah hatinya dan dia terus membalapkan kudanya memasuki sebuah hutan. Akan tetapi tiba-tiba ada benda-benda berkilauan yang menyambarnya dengan kecepatan luar biasa.
Hui Song terkejut sekali, dan sambil memondong tubuh Hui Lian, dia meloncat turun dari atas punggung kudanya. Kuda itu ketakutan. Memang sejak tadi kuda itu sudah panik di antara pertempuran yang terjadi di San-hai-koan. Maka, sesudah dia terbebas dari beban penunggangnya, dia langsung membalap melarikan diri.
Setelah meloncat turun dan menengok ke kanan, dari arah mana pisau-pisau terbang tadi datang menyambar, tahulah dia siapa yang tadi menyerangnya. Si pisau terbang Hui-to Cin-jin sudah berdiri di sana, bersama Kang-thouw Lo-mo si gendut dan tidak ketinggalan pula Gui Siang Hwa! Mereka bertiga berdiri di sana dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek.
"Hemm, kembali si tampan gagah putera ketua Cin-ling-pai mencampuri urusan kita," kata Siang Hwa. Biar pun suaranya mengandung nada ejekan, akan tetapi sinar matanya tidak bisa menyembunyikan perasaan kagum dan sukanya kepada pendekar yang tampan dan gagah itu.
"Ha-ha-ha-ha, sekali ini kita tidak boleh membiarkan tikus ini terlepas!" Kang-thouw Lo-mo tertawa. Hui-to Cin-jin yang merasa penasaran karena serangan pisau-pisau terbangnya tadi pun gagal, sekarang sudah mencabut sepasang belatinya dan siap untuk menyerang dengan sikap mengancam.
Hui Lian yang berada dalam gendongan Hui Song menjadi ketakutan dan menangis. Anak itu mulai memanggil-manggil ayah ibunya dan kembali Siang Hwa tertawa.
"Hi-hi-hik, kiranya Cia Hui Song yang gagah perkasa itu kini menjadi seorang pangasuh anak-anak." Dan kini wanita itu mengeluarkan sebatang pedang yang tadi terselip pada punggungnya dan suaranya menjadi kereng dan ganas ketika dia berkata, "Tidak, sekali ini dia tidak boleh lolos. Pekerjaanku di kota Ceng-tek hampir saja gagal karena campur tangannya."
Kang-thouw Lo-mo juga sudah mengambil guci araknya dan membuka tutup guci, minum araknya sambil menyeringai. Hui Song maklum bahwa dia kini menghadapi tiga orang musuh besarnya yang pernah hampir menewaskannya di dalam Goa Iblis Neraka. Selain maklum akan kelihaian dan kecurangan mereka, juga dia ingin sekali membalas kelicikan mereka ketika di dalam goa dahulu itu.
Kali ini dia harus dapat membasmi tiga orang iblis ini, karena kalau tidak, mereka bertiga ini hanya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan saja di dalam dunia. Maka dia segera menurunkan anak perempuan itu, melepaskannya di bawah sebatang pohon tak jauh dari situ.
"Adik yang baik, kau duduklah di sini dulu, dan jangan pergi ke mana pun," katanya.
Anak itu berhenti menangis, kemudian duduk sambil memeluk batang pohon, seolah-olah hendak mencari perlindungan pada sebatang pohon yang nampak kokoh kuat itu. Setelah melepaskan anak itu, Hui Song merasa lega sekali. Dengan senyum di bibir, sikap yang tenang dan tabah sekali, dia kemudian menghampiri tiga orang musuh yang sudah siap mengeroyoknya itu.
"Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo dan Gui Siang Hwa, kalian adalah tiga orang manusia berhati iblis, jangan harap akan dapat melakukan kecurangan lagi padaku. Sekali ini aku akan menghajar dan menghukum kalian yang sudah terlalu banyak melakukan dosa!"
Pendekar ini memang tak pernah membawa pedang dan sudah biasa menghadapi lawan yang tangguh dengan tangan kosong saja. Bagi seorang pendekar seperti Hui Song yang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bertangan kosong pun tidak kurang berbahayanya dari pada kalau dia bersenjata dan setiap benda bisa saja menjadi senjata baginya.
Melihat Hui Song melangkah maju tanpa senjata, tiga orang lawan yang telah memegang senjata andalan mereka masing-masing itu diam-diam merasa gentar juga. Orang yang sudah berani maju bertangan kosong, apa lagi dengan sikap sedemikian tenangnya, tentu memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Dan mereka pun sudah pernah menguji kehebatan ilmu silat pemuda ini, maka kini mereka bertiga bersikap hati-hati dan diam-diam mereka mempersiapkan senjata rahasia masing-masing.
Namun gerakan mereka itu sudah diketahui oleh Hui Song. Apa lagi pemuda ini sudah mengenal kecurangan mereka. Bila mana dia teringat kepada Sui Cin, gadis yang menjadi pujaan hatinya, yang sekarang entah berada di mana, yang mengalami gegar otak hingga kehilangan ingatannya, bahkan nyaris tewas saat terkena sambitan batu yang dilontarkan oleh Kang-thouw Lo-mo, pemuda ini merasa sakit hati sekali. Sekali ini dia harus mampu membalaskan penderitaan Sui Cin dan dia sendiri, juga melenyapkan tiga orang manusia jahat ini dari permukaan bumi berarti akan mengurangi terjadinya kejahatan yang timbul dari perbuatan mereka.
"Bocah sombong, bersiaplah untuk mampus!" Tiba-tiba Hui-to Cin-jin menyerang dengan kedua pisaunya.
Gerakannya memang cepat dan lengannya yang panjang itu bergerak dari atas bawah dan kanan kiri, ujung pisaunya yang runcing tajam menyambar-nyambar seperti patukan maut. Tapi dengan lincahnya Hui Song mengelak dan menangkis hantaman Kang-thouw Lo-mo yang sudah menyusul pula dengan serangan hantaman ciu-ouw di tangannya.
"Desss...!"
Tangkisan Hui Song membuat tubuh gendut itu terhuyung dan pada saat itu pula nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan Siang Hwa sudah menyambar ke arah leher Hui Song.
"Mampuslah kau!" bentak Siang Hwa.
Pedangnya mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar lewat sebab dengan mudah saja Hui Song dapat mengelak dengan cara merendahkan dirinya, sedangkan kaki kanan pemuda itu segera meluncur ke kanan, menghantam ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo. Kakek ini terkejut dan menangkis dengan tangan kirinya yang dimiringkan sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk...!" Kembali kakek itu terhuyung.
Maka terkejutlah kakek gendut ini. Dia adalah seorang tokoh Cap-sha-kui, yang terkenal memiliki tenaga besar, akan tetapi hanya dalam beberapa gebrakan saja sudah dua kali dia terhuyung karena terdorong oleh kekuatan besar sekali dalam pertemuan tenaga itu.
Hal ini tidaklah mengherankan. Hui Song sudah mewarisi tenaga sakti Thian-te Sin-ciang dari ayahnya dan ketika dia digembleng selama tiga tahun oleh Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, tenaganya itu semakin bertambah kuat saja.
Terjadilah perkelahian yang amat seru antara Hui Song dengan tiga orang pengeroyoknya. Biar pun tiga orang lawannya menggunakan senjata, Hui Song sama sekali tidak nampak terdesak. Dengan mudahnya dia dapat mengelak dari semua serangan, bahkan kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kuatnya jika dibandingkan dengan senjata lawan. Bahkan jari-jari tangan pemuda ini berani menangkis pedang di tangan Siang Hwa, membuat gadis itu terpekik kagum dan kaget karena jari-jari tangan pemuda itu kalau menangkis pedang, langsung membuat pedangnya terpental dan mengeluarkan suara berdencing seolah-olah pedangnya bertemu dengan baja.
Hui Song sama sekali tidak terdesak, bahkan dia pun dapat membagi-bagi pukulan atau tendangan sebagai balasan. Badan pemuda itu kadang-kadang dilindungi ilmu kekebalan yang luar biasa kuatnya, yaitu ilmu kebal Tiat-po-san yang membuat kulitnya tidak dapat ditembus oleh bacokan senjata tajam.
Oleh karena ini, biar pun beberapa kali pisau atau pedang mengenai tubuhnya karena dia memang tidak merasa perlu untuk menghindarkan diri, senjata-senjata tajam itu bertemu dengan kulit dan membalik. Hanya baju pemuda itu saja yang robek oleh senjata-senjata tajam itu.
Dan permainan ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun yang mempunyai daya tahan sangat kuat itu membingungkan tiga orang lawannya, membuat mereka sukar sekali mencari tempat lowong, seolah-olah seluruh tubuh pemuda itu telah dilindungi oleh bayangan lengan yang merupakan benteng yang kokoh kuat.
Hui-to Cin-jin menjadi penasaran dan tidak sabar. Dia mengeluarkan pekik nyaring, lantas ada tiga sinar berkelebat terbang ke arah Hui Song. Itulah tiga batang pisau terbang yang dilepasnya kepada pemuda itu.
"Tring-tring-tringg...!"
Jari-jari tangan Hui Song menyambut dengan sentilan-sentilan, lantas tiga batang pisau terbang itu membalik ke arah pemlliknya! Nyaris saja leher Hui-to Cin-jin terkena pisaunya sendiri kalau dia tidak cepat merendahkan tubuhnya.
Akan tetapi pada saat dia merendahkan tubuh, tiba-tiba tubuh Hui Song telah berkelebat datang dan sebuah tendangan kaki kiri pendekar muda itu tidak mampu dihindarkan oleh si kakek yang berpakaian tosu itu, biar pun dia mencoba mengelak dengan memiringkan tubuhnya.
"Desss...!"
Pinggulnya disambar kaki Hui Song sehingga kakek ini terlempar dan terbanting jatuh. Dia menyeringai karena merasa pinggulnya nyeri bukan main, dan ketika dia bangkit bangun kemudian berjalan, langkahnya pun terpincang-pincang. Hanya kemarahan dan rasa malu yang membuat dia nekat menyerang lagi dengan sepasang pisaunya.
Guci arak di tangan si gendut Kang-thouw Lo-mo menyambar ke arah dada Hui Song. Pemuda ini tidak ingin berkelahi terlalu lama karena kalau dia tidak segera merobohkan mereka ini mungkin kawan-kawan mereka akan datang atau andai pun tidak, dia akan berada dalam ancaman bahaya apa bila sampai ada pengejaran dari pasukan anak buah Ji-ciangkun.
Maka, melihat datangnya guci arak yang menyambar ke dadanya, dia cepat mengerahkan tenaga Tiat-po-san melindungi dadanya. Pada waktu guci itu menghantam dadanya, dia membarengi tamparan tangan kanannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah perut gendut itu.
"Bunggg...!" Terdengar perut itu berdengung ketika terkena hantaman dan tubuh si gendut itu terjengkang dan terguling-guling sampai jauh.
Akan tetapi bukan hanya kepala hwesio itu saja yang memiliki kekebalan, melainkan juga pada perutnya. Perutnya itu kuat seperti bola karet yang penuh hawa, maka ketika kena hantaman Thian-te Sin-ciang, isi perut itu sama sekali tidak terluka, hanya tubuhnya saja yang terlempar, juga hanya terasa nyeri saja karena babak-belur terguling-guling. Kakek berbaju hwesio ini segera bangkit dan mukanya berubah merah karena malu dan marah. Dia tertatih-tatih maju lagi mengayun-ayun guci araknya di atas kepala.
Sementara itu, sesudah melihat betapa dua orang pembantunya sempat dirobohkan Hui Song, Siang Hwa menjadi marah. Gerakan pedangnya semakin gencar dan dia menerjang ke depan bagaikan kesetanan, lalu tiba-tiba saja tangan kirinya mengebutkan sapu tangan merah yang mengandung racun pembius itu.
Akan tetapi kali ini Hui Song sudah bersiap-siap. Dia menahan napas dan meniup ke arah debu yang mengepul dari sapu tangan, maka buyarlah debu itu bahkan membalik ke arah Siang Hwa sendiri.
"Keparat!" Siang Hwa berteriak marah.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring Hui-to Cin-jin, "Cia Hui Song, segera hentikan perlawananmu atau anak ini akan kusembelih!"
Hui Song terkejut bukan main. Dia cepat meloncat mundur dan ketika menengok ke arah suara itu, mukanya berubah pucat. Kiranya Hui-to Cin-jin sudah menjambak rambut anak perempuan itu dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya yang memegang pisau tajam berkilauan itu ditempelkan di leher anak kecil yang mulai menangis ketakutan itu!
"Jahanam busuk! Lepaskan anak itu dan mari kita bertanding sampai satu di antara kita roboh tewas!" Hui Song membentak marah akan tetapi tosu itu menyeringai.
"Kau menyerah atau anak ini kusembelih lebih dulu... aihhhh...!" Tiba-tiba tosu itu menjerit dan terhuyung, dari lambungnya bercucuran darah segar dan dia pun terguling roboh dan berkelojotan.
Ternyata diam-diam muncul seorang pria yang menggunakan pedang menusuk lambung kakek berpakaian tosu itu. Gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tosu itu tidak sempat mengelak lagi dan kini dia menyelipkan pedangnya di sarung pedang, kemudian menyambar tubuh Kok Hui Lian dengan lengan kanannya lalu dia melompat pergi dari situ tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
"Ciang-suheng...!" Hui Song berseru, kaget dan juga girang.
Dia mengenal orang yang lengan kirinya buntung itu karena orang itu adalah Ciang Su Kiat, bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kiri sendiri karena dipersalahkan oleh ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi lelaki buntung sebelah lengannya itu tidak menjawab, bahkan menoleh pun tidak, melainkan berlari makin cepat. Larinya cepat sekali sehingga mengagetkan hati Hui Song yang dapat menduga bahwa bekas suheng-nya itu kini sudah memiliki kepandaian tinggi.
Tentu saja Kang-thouw Lo-mo dan Siang Hwa terkejut bukan main melihat betapa kawan mereka tewas secara tak terduga-duga, hanya karena serangan satu kali saja dari orang buntung tadi. Akan tetapi mendengar Hui Song menyebut suheng kepada orang itu, tentu saja mereka terkejut dan gentar. Baru Hui Song sudah begini lihai, apa lagi suheng-nya! Orang-orang yang berwatak kejam biasanya berjiwa pengecut. Tanpa banyak kata lagi, dua orang itu lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan lari!
Melihat ini, Hui Song mengejar, "Keparat, kalian hendak lari ke mana?" bentaknya dan dia pun mengerahkan ginkang-nya melakukan pengejaran.
Semenjak berlatih di bawah bimbingan Si Dewa Kipas, ilmu meringankan tubuh pemuda ini memang meningkat dengan sangat hebat. Belum lama dia mengejar, dia sudah dapat menyusul Kang-thouw Lo-mo yang larinya tidak secepat Siang Hwa.
"Iblis tua, engkau hendak lari ke mana?!" Hui Song membentak.
Karena maklum bahwa lari pun tidak ada gunanya, Kang-thouw Lo-mo menjadi nekat. Dia segera membalik sambil menghantamkan guci araknya ke arah muka Hui Song. Pemuda yang sudah marah ini tidak mengelak, bahkan menggunakan tangan kanan yang terbuka memapaki pukulan itu dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Prokkk...!"
Guci arak itu pecah berantakan dan isinya, setengahnya masih berisi arak, berhamburan memercik ke mana-mana sehingga terciumlah bau arak yang sangat menyengat hidung. Melihat senjatanya yang sangat disayangnya itu pecah, Kang-thouw Lo-mo marah bukan main. Dia cepat melangkah mundur dan menundukkan kepalanya, tubuhnya direndahkan dan seperti seekor kerbau mengamuk, dia lantas lari ke depan, menggunakan kepalanya yang botak itu untuk menyeruduk ke arah perut Hui Song!
Hebat bukan main serangan ini dan agaknya kakek yang sudah putus harapan dan nekat ini mempergunakan senjatanya yang terakhir, yaitu kepalanya. Kepalanya memang telah terlatih, dapat membentur pecah batu karang, kuat bukan main.
Hui Song belum tahu sampai di mana kekuatan yang berada dalam kepala itu, maka dia pun tidak mau sembrono menerima serudukan itu begitu saja. Dia cepat-cepat miringkan tubuhnya dan ketika kepala botak itu meluncur lewat dekat perutnya, dia menggerakkan tangan kanan, mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan tangan kanannya itu seperti sebatang golok atau sebuah palu godam yang menyambar turun dari atas, tepat ke arah tengkuk di belakang kepala botak besar itu.
"Ngekkk...!"
Tengkuk itu besar dan kuat seperti tengkuk kerbau, akan tetapi kekuatan yang berada di tangan Hui Song amat hebat. Maka sekali pukul saja kakek itu mengeluh dan terpelanting roboh dengan dua matanya mendelik, nyawanya putus bersama dengan patahnya tulang tengkuknya! Tewaslah Kang-thouw Lo-mo.
Hui Song sejenak meragu. Siapakah yang harus dikejarnya? Siang Hwa ataukah bekas suheng-nya? Siang Hwa sudah tidak nampak lagi dan dia tahu betapa lihainya wanita itu. Kalau sampai wanita itu mendahuluinya mencapai guru-gurunya, maka dia akan celaka. Bagaimana pun lihainya, dia masih ragu-ragu apakah dia akan mampu menandingi Raja dan Ratu Iblis yang dia tahu sakti bukan main itu.
Dan dia pun amat mengkhawatirkan keselamatan puteri gubernur, maka dia mengejar ke arah larinya Ciang Su Kiat. Akan tetapi, ia pun kehilangan jejak bekas suheng-nya ini dan akhirnya dia menghibur hatinya sendiri bahwa puteri gubernur itu tentu selamat berada di tangan Ciang Su Kiat yang dia yakin memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa.
Maka dia pun lalu kembali ke San-hai-koan untuk melihat bagaimana perkembangan di kota benteng itu. Akan tetapi, dia tidak dapat masuk. San-hai-koan sudah jatuh ke tangan pasukan Ji-ciangkun yang memberontak! Dan pintu gerbangnya dijaga ketat. Juga di atas tembok-tembok benteng terdapat barisan anak panah yang siap menyerang siapa saja yang berani naik.
Apa gunanya lagi memasuki San-hai-koan, pikirnya. Keluarga gubernur telah terbasmi dan dari para pengungsi dia mendengar bahwa gubernur serta keluarganya telah tewas dalam gedungnya yang telah terbakar habis. Sebagian dari pasukan pengawal menyerah kepada pasukan Ji-ciangkun, ada pun pembersihan masih terus dilakukan. Siapa pun juga yang mencurigakan ditangkap, dan yang condong memihak Kok-taijin dibunuh.
Kekacauan terjadi di kota San-hai-koan dan karena dia sudah dikenal sebagai pengawal pribadi Kok-taijin, tentu saja Hui Song tidak begitu bodoh untuk memasuki kota itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Ceng-tek dan mengabarkan tentang jatuhnya benteng San-hai-koan ke tangan pemberontak itu kepada Bhe-ciangkun yang sekarang menjadi komandan sementara di Ceng-tek menggantikan kepalanya yang telah tewas.
Mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan itu, Bhe-ciangkun tidak berani sembarangan turun tangan dan segera mengutus anak buahnya untuk cepat menunggang kuda ke kota raja dan mengirimkan berita ke kota raja, menanti keputusan dan perintah selanjutnya dari pusat pemerintahan mengenai pemberontakan Ji-ciangkun itu.
Pemuda yang berjalan seorang diri di luar Tembok Besar itu amatlah gagahnya. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tenang serius sehingga dia nampak jauh lebih dewasa dari pada usianya yang sebenarnya. Rambutnya yang hitam dan lebat itu dikuncir tebal dan panjang, dikalungkan ke lehernya yang nampak kokoh kuat itu.
Pakaiannya amat sederhana, terbuat dari kain kasar saja, namun bersih dan di sebelah luarnya dia mengenakan jubah pendek terbuat dari kulit harimau. Dandanan sederhana dan gagah ini memberi kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang gagah, seorang pendekar muda atau setidaknya seorang pemburu, atau orang yang sudah biasa hidup menghadapi kesukaran dan kekerasan. Sinar matanya tajam mencorong dan di dalamnya membayangkan kekerasan hati, walau pun terdapat kelembutan dan kejujuran, terutama pada bentuk dagu dan tarikan mulutnya.
Pemuda tinggi tegap yang gagah perkasa ini adalah Siangkoan Ci Kang yang pada waktu itu sudah berusia dua puluh satu tahun. Seperti sudah kita ketahui, pemuda ini adalah putera tunggal dari mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Iblis Buta yang merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Akan tetapi datuk sesat ini tewas di tangan Ratu Iblis.
Dan sebelumnya, seperti telah diceritakan pada bagian depan, Ci Kang melarikan diri dari ayahnya setelah antara anak dan ayah ini terdapat bentrokan paham, bahkan oleh para tokoh Cap-sha-kui pemuda itu dianggap musuh yang harus ditangkap atau pun dibunuh. Kemudian pemuda ini bertemu dengan Ciu-sian Lo-kai, yaitu tokoh sakti yang berpakaian pengemis itu, dan digembleng sebagai muridnya.
Di bawah bimbingan Ciu-sian Lo-kai, bakat dan watak yang baik dan gagah pemuda ini terus berkembang. Antara Ciu-sian Lo-kai dengan Go-bi San-jin telah diadakan perjanjian dan perlombaan untuk mendidik murid, maka Dewa Arak telah menanamkan pandangan hidup Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, kepada muridnya itu.
Karena itu, biar pun terlahir di kalangan sesat dan sejak kecil bergaul dengan datuk-datuk sesat, melihat segala macam tindakan yang kejam, ganas dan curang, kini Ci Kang dapat melihat dengan jelas betapa buruknya kehidupan di antara teman-teman ayahnya itu.
Jiwa kependekarannya semakin bangkit dan meski pun dia tetap ingin menentang segala bentuk kejahatan, namun dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang sesat, dan bukannya mematahkannya atau membunuhnya, sesuai dengan pesan-pesan Ciu-sian Lo-kai yang mentrapkan pandangan hidup Cia Han Tiong kepada muridnya ini.
Sesudah lewat tiga tahun, Ciu-sian Lo-kai lalu menyuruh muridnya untuk pergi ke Benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Gurunya ini telah memberi tahu kepadanya bahwa di tempat itu hendak diadakan pertemuan para pendekar untuk membicarakan mengenai kebangkitan para datuk kaum sesat yang akan mengadakan gerakan pemberontakan dan pemuda itu ditugaskan oleh gurunya untuk ikut pula menentang usaha para datuk sesat.
Maka berangkatlah Ci Kang meninggalkan gurunya. Akan tetapi, bagaimana pun juga dia teringat akan ayahnya yang sudah tua dan buta. Biar pun ayahnya menjadi seorang datuk sesat, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang anak terhadap ayahnya membuat Ci Kang lebih dahulu pergi mengunjungi ayahnya di Po-hai, Shen-si, sebelum dia melakukan perjalanan keluar Tembok Besar di utara.
Akan tetapi dia tidak bisa bertemu dengan ayahnya, bahkan dia mendengar berita bahwa ayahnya telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis, datuk sesat baru yang kini menguasai seluruh datuk sesat pada saat terjadi pertemuan antara para datuk di lereng Pegunungan Tapie-san. Dia hanya menarik napas panjang, sadar bahwa kematian ayahnya di tangan datuk sesat itu hanyalah akibat dari pada sikap dan perbuatan ayahnya sendiri.
Dia akan menentang para datuk sesat, terutama Raja Iblis, akan tetapi bukan disebabkan dendam akibat kematian ayahnya, melainkan karena memang menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan. Andai kata ayahnya masih hidup sekali pun, tetap saja dia akan menentang kejahatan yang dilakukan ayahnya dan anak buahnya.
Akan tetapi semua penonton kini berdiam dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kekhawatiran setelah melihat betapa Ji-ciangkun bersama belasan orang pengawalnya sudah berdiri di atas panggung sambil mengurung pemuda yang baru saja memperoleh kemenangan secara mutlak itu.
"Cepat tangkap keparat ini!" bentak Ji-ciangkun kepada para prajuritnya yang kelihatan ragu-ragu.
Tentu saja Hui Song juga berdiri dengan mata terbelalak heran karena dia pun merasa penasaran sekali. "Ciangkun, apa sebabnya aku akan ditangkap?" bantahnya.
"Orang muda, engkau masih belum mengakui kesalahan-kesalahanmu? Pertama, engkau sudah memadamkan hio yang terbakar, dan kedua, engkau sudah melukai penguji yang menjadi jagoan kami. Berarti engkau menyalahi peraturan dan tidak memandang kepada kami, berani mempermainkan dan melukai orang kami, dan itu berarti bahwa engkau telah memberontak, berani melawan pejabat tinggi!"
Akan tetapi pada waktu itu Kok-taijin muncul pula, kemudian terdengar pembesar sipil ini berkata, "Tidak, dia jangan ditangkap, ciangkun. Biarlah aku mengampunkan kesalahan-kesalahannya dan aku akan mengambil dia menjadi seorang pengawal pribadiku. Orang she Cia, maukah engkau menjadi seorang pengawal pribadiku?"
Hui Song merasa semakin heran. Agaknya terdapat pertentangan secara rahasia antara kedua pejabat itu dan dia pun menjura kepada gubemur itu, "Saya bersedia, taijin."
Ji-ciangkun nampak marah, akan tetapi karena Kok-taijin merupakan wakil dari kerajaan yang merupakan penguasa tertinggi di daerah itu, maka dia pun tidak berani menentang secara terang-terangan sehingga dia pun memberi isyarat kepada para prajuritnya untuk mundur dan meninggalkan panggung. Kok-taijin mengajak Hui Song mengikutinya pulang ke dalam gedungnya dan pemilihan calon perwira itu pun dibubarkan.
Setelah tiba di dalam gedungnya, Kok-taijin mengajak Hui Song memasuki sebuah kamar untuk berbicara empat mata. Pembesar yang berwibawa itu menyuruh Hui Song duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia terhalang sebuah meja kecil dan setelah dia menyuruh seorang pelayan menghidangkan minuman serta menyuruh pelayan lain mempersiapkan sebuah kamar untuk pengawal pribadi baru ini, dia lantas mengajak Hui Song bercakap-cakap.
"Cia-sicu, aku sudah terlalu banyak mengenal para pendekar gagah maka begitu engkau muncul tadi, walau pun engkau bersikap ketolol-tololan, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentu seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Dan timbul keheranan dalam hatiku, karena terasa janggal dan anehlah jika seorang pendekar berilmu seperti engkau ini hendak masuk menjadi seorang perwira. Sebetulnya, apakah yang mendorongmu naik ke panggung dan melawan Moghul?"
Diam-diam Hui Song memuji kecerdikan pembesar ini yang ternyata memiliki pandangan tajam sekali. Dan dia pun tidak perlu lagi bersembunyi karena dia tahu bahwa pembesar ini boleh dipercaya, tidak seperti Ji-ciangkun yang sikapnya mencurigakan itu.
"Harap taijin suka memaafkan saya. Sesungguhnya ada dua hal yang mendorong saya untuk memasuki sayembara itu. Pertama karena saya merasa jengkel melihat kekejaman Moghul yang menyiksa para pengikut sayembara yang kalah, oleh karena itu saya ingin membalaskan mereka itu dan menghukumnya. Kedua, saya merasa heran sekali karena kalau pemerintah benar membutuhkan perwira-perwira baru, dengan mengajukan Moghul sebagai penguji justru seolah-olah pemerintah daerah ingin menghalangi adanya perwira-perwira baru. Sukarlah dicari orang yang akan mampu mengalahkan raksasa itu. Maka saya ingin sekali menyelidiki kejanggalan ini."
Pembesar ini mengangguk-angguk. "Tepat seperti yang sudah kuduga, Cia-sicu. Karena itulah maka aku turun tangan dan mengangkatmu menjadi pengawal pribadi. Sebenarnya sudah lama aku merasa curiga terhadap gerak-gerik Ji-ciangkun yang berubah semenjak beberapa bulan yang lampau ini. Dahulu dia pun merupakan seorang panglima yang setia terhadap pemerintah, akan tetapi entah mengapa, semenjak beberapa bulan ini terjadi perubahan pada sikapnya dan Moghul itu pun pilihan dia. Dialah yang tadinya tidak setuju pada waktu aku mengusulkan untuk menerima prajurit serta perwira baru karena adanya desas-desus pemberontakan. Cia-sicu, aku yakin bahwa tentu engkau sudah mendengar pula tentang desas-desus itu, bukan?"
Hui Song mengangguk. "Itu bukan berita bohong, taijin. Memang ada datuk-datuk kaum sesat yang sedang menghimpun tenaga untuk mengadakan pemberontakan, dan terus terang saja, saya sampai ke daerah ini pun adalah untuk menyelidiki tentang hal itu."
"Bagus kalau begitu, sicu. Bagaimana kalau engkau tinggal di sini, pura-pura saja menjadi pengawal pribadiku, akan tetapi tugas yang sebenarnya bagimu adalah untuk menyelidiki Ji-ciangkun? Siapa tahu kalau dia mempunyai hubungan dengan para tokoh yang hendak memberontak itu."
"Baik, taijin. Saya masih memiliki waktu kira-kira sebulan untuk melakukan penyelidikan di sini."
Demikianlah, mulai hari itu Hui Song berpakaian pengawal dan menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Tentu saja hal ini hanya untuk menyembunyikan tugasnya yang sesungguhnya, yaitu menyelidiki Ji-ciangkun. Hanya dia sendiri beserta Gubernur Kok yang tahu, bahkan keluarga gubernur itu sendiri pun tidak mengetahuinya.
Gubernur Kok tinggal dengan seorang isterinya, beberapa orang selir dan hanya memiliki seorang anak, yaitu seorang anak perempuan yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun. Sebagai seorang pengawal pribadi, Hui Song mengenal baik semua keluarga Kok-taijin dan dengan pakaian pengawal, tidak begitu sukar baginya untuk melakukan penyelidikan karena tidak akan dicurigai.
Pada suatu malam, beberapa hari kemudian, dua bayangan yang amat gesit gerakannya berlompatan memasuki benteng dengan melewati tembok benteng yang tinggi. Anehnya, ketika para penjaga melihat dua orang ini, mereka diam saja, bahkan ada perwira yang memberi hormat kepada mereka, kemudian perwira ini melapor kepada Ji-ciangkun yang berada di sebelah dalam gedungnya.
"Ciangkun, dua orang tamu yang ditunggu sudah datang," perwira itu melaporkan.
"Baik. Persilakan mereka untuk menanti di dalam kamar tunggu dan suruh para pengawal menjaga di luar. Juga jangan menerima tamu dari luar pada malam hari ini, aku tidak mau diganggu."
Perwira itu memberi hormat lantas keluar, menanti di pekarangan gedung atasannya itu. Tak lama kemudian ada dua sosok bayangan berlompatan turun dan mereka itu ternyata adalah seorang tosu tinggi kurus dan seorang hwesio gendut yang tidak lain adalah Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui yang bersama-sama Siang-to Sian-li Gui Siang Hwa murid Raja Iblis pernah memikat Hui Song ke Goa Iblis Neraka tempo hari!
Sang perwira menyambut mereka dengan hormat, lalu mempersilakan mereka menunggu Ji-ciangkun di dalam ruangan tamu yang luas. Tiga orang ini memasuki pintu ruang tamu, sama sekali tidak tahu bahwa salah seorang prajurit pengawal yang berdiri di situ dengan tombak di tangan sama sekali bukanlah prajurit benteng itu, melainkan Hui Song yang telah menyamar!
Dengan bantuan Kok-taijin, tidak sukar bagi Hui Song untuk menyamar dengan pakaian prajurit benteng kemudian menyelundup masuk untuk melakukan penyelidikan. Malam itu, tanpa disangka-sangkanya dia melihat dua orang tamu dari Ji-ciangkun, yang bukan lain adalah kenalan lamanya, yaitu Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo yang pernah nyaris menewaskannya di Goa Iblis Neraka.
Terkejut, heran dan juga giranglah hati Hui Song bahwa kecurigaannya pada Ji-ciangkun ternyata sekarang terbukti kebenarannya. Jelaslah bahwa Ji-ciangkun tentu bersekongkol dengan kaum sesat yang hendak memberontak, karena dua orang kakek iblis itu adalah para pembantu Raja dan Ratu Iblis dan tentu kini menjadi semacam utusan dari Raja Iblis untuk bersekongkol dengan Ji-ciangkun. Maka, setelah keadaan sunyi dan dia mendapat kesempatan, Hui Song lalu melakukan pengintaian ke dalam ruangan tamu.
Tidak salah penglihatannya tadi, yang duduk di dalam ruangan itu adalah Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo, bersama Ji-ciangkun dan Moghul! Agaknya orang Mongol jago gulat itu memang kuat sekali. Meski pun tulang kedua kaki tangannya patah, akan tetapi kini, dengan bantuan kursi roda, dia dapat turut menghadiri pertemuan itu dengan kaki tangan dibalut kuat. Tentu dia menggunakan obat yang amat manjur, pikir Hui Song kagum juga. Dia sudah mendengar betapa Bangsa Mongol mempunyai obat-obat yang sangat mujarab untuk luka-luka atau patah tulang.
Dan kini semakin mengertilah dia. Kiranya Moghul yang dijadikan jagoan penguji itu pun merupakan salah seorang di antara tokoh persekutuan pemberontak itu! Dari percakapan di antara empat orang itu, tahulah dia bahwa Moghul bukanlah orang biasa. Dia mengaku sebagai keturunan para Raja Mongol yang dulu pernah memerintah di Tiongkok dan kini dia berusaha untuk membangun kembali kekuasaan bangsanya yang sudah jatuh.
Jadi di tempat ini terdapat persekutuan antara tiga unsur. Yang pertama adalah seorang panglima pemerintah sendiri yang berambisi untuk memberontak, yakni Panglima Ji Sun Ki. Kedua adalah Moghul yang mewakili orang-orang Mongol yang menjadi anak buahnya. Dan ketiga adalah rombongan kaum sesat yang diketuai Raja Iblis! Suatu persekutuan yang amat berbahaya, pikir Hui Song yang mengintai dan mendengarkan dengan hati-hati.
"Pemuda itu...?" kata Kang-thouw Lo-mo sambil menenggak araknya saat dia mendengar Ji-ciangkun bercerita tentang pemuda yang bisa mengalahkan Moghul dalam sayembara pemilihan perwira baru. "Ahh, dialah orang she Cia, putera ketua Cin-ling-pai itu! Pantas saja kalau saudara Moghul kalah karena dia memang lihai bukan main."
"Dan sekarang dia telah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin?" Hui-to Cin-jin menyambung. "Wah, berbahaya sekali itu. Dia harus disingkirkan lebih dahulu!"
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. Dia terkejut bukan kepalang mendengar bahwa pemuda yang sikapnya ketolol-tololan itu, yang sudah mengalahkan Moghul, ternyata bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar!
"Tidak mudah begitu saja menyingkirkannya, bukan hanya karena dia lihai, akan tetapi karena dia sudah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Kita harus bertindak hati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan di dalam hati Kok-taijin sebelum gerakan kita itu dilakukan. Jelaslah bahwa Kok-taijin tidak dapat dibujuk dan dia akan menjadi penghalang terbesar. Maka, biarlah aku mengerahkan orang-orangku untuk mengamati orang she Cia itu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa dia adalah seorang pendekar, maka aku tidak menaruh curiga."
Mendengar ini, Hui Song merasa sudah cukup. Apa bila kini Ji-ciangkun sudah mengerti siapa dirinya, tentu dia akan selalu diawasi sehingga hal itu membuat dia tak akan leluasa bergerak. Maka secara hati-hati dia lalu meninggalkan tempat itu dan malam itu juga dia menghadap Kok-taijin yang menjadi terkejut karena pembesar ini tadinya sudah mengaso dan bahkan hampir tidur pulas ketika dibangunkan.
"Cia-sicu, ada apakah...?" tanyanya kaget.
"Taijin, mari kita bicara di dalam. Ada hal penting sekali," jawab Hui Song. Mereka lalu memasuki ruangan dalam dan di situ Hui Song menceritakan apa yang baru saja dilihat serta didengarnya.
Diceritakannya kepada pembesar itu bahwa Ji-ciangkun betul-betul bersekongkol dengan orang-orang yang akan memberontak, betapa menurut pengakuannya sebetulnya Moghul adalah keturunan Jenghis Khan dari Raja-raja Mongol yang hendak membangkitkan lagi kekuasaan bangsanya, kemudian diceritakannya mengenai dua orang tokoh Cap-sha-kui yang menjadi para pembantu Raja Iblis yang memimpin para datuk sesat yang hendak memberontak.
Mendengar penuturan itu, Kok-taijin terkejut bukan main. Pembesar ini lalu mengerutkan alisnya. "Ah, tak kusangka sudah sejauh itu! Dan biar pun di San-hai-koan ini aku menjadi penguasa tertinggi, akan tetapi untuk menangkap Ji-ciangkun, aku kekurangan kekuatan. Di sini aku hanya mempunyai pasukan pengawal dan penjaga keamanan yang jumlahnya tidak ada seribu orang sedangkan Ji-ciangkun menguasai pasukan yang beribu-ribu orang banyaknya. Kita harus bertindak hati-hati dan tidak ada jalan bagiku kecuali melaporkan ke kota raja. Akan tetapi hal itu membutuhkan waktu lama dan melaporkan kepada kaisar harus disertai bukti-bukti sedangkan bukti itu belum ada. Maka, sicu, aku hendak minta bantuanmu. Sampaikan suratku kepada komandan benteng Ceng-tek. Komandan itu ialah seorang panglima yang setia dan jika dia menerima suratku, tentu dia akan percaya dan dia akan mengirimkan pasukan yang besar ke sini untuk membantuku. Tidak ada orang lain yang dapat kupercaya untuk melakukan tugas ini, sicu. Berangkatlah malam ini juga."
Hui Song tidak dapat menolak karena dia sendiri pun maklum akan gawatnya keadaan. Agaknya pihak pemberontak itu akan menduduki San-hai-koan lebih dulu untuk menjadi markas dan basis pemberontakan mereka. Maka, malam itu juga, dia diberi seekor kuda yang paling baik, membawa surat dari Kok-taijin dan berangkatlah dia meninggalkan kota San-hai-koan.
********************
Dugaan Hui Song memang tidak banyak selisihnya dengan kenyataan yang sebenarnya. Kedatangan Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo ke markas San-hai-koan itu di samping untuk berunding di mana kedua orang kakek itu membongkar keadaan diri Cia Hui Song, juga dua orang kakek itu diutus oleh Raja Iblis untuk mengundang Ji-ciangkun agar pada malam itu juga datang menemui Raja Iblis pada suatu tempat tersembunyi tidak jauh dari San-hai-koan!
Setelah dia memanggil para perwira pembantu dan kepercayaannya, lantas memberi tahu kepada mereka agar mulai saat itu juga mereka semua mengamat-amati semua gerakan gubernur itu, Ji-ciangkun lalu berangkat naik kuda bersama dua orang tamunya. Dia tidak membawa pengawal karena memang tidak boleh sembarang orang datang menghadap Raja Iblis.
Sebenarnya tadinya Moghul juga diundang. Akan tetapi mengingat bahwa orang Mongol itu sedang dalam keadaan terluka dan tak dapat berjalan, maka yang berangkat hanyalah Ji-ciangkun saja bersama dua orang tokoh Cap-sha-kui itu.
Malam itu terang bulan dan tiga orang yang menunggang kuda itu berhenti pada sebuah lereng bukit. Dua orang kakek itu kemudian memberi isyarat kepada Ji-ciangkun supaya menghentikan kuda masing-masing, lantas menambatkan kuda mereka itu pada batang pohon.
"Dari sini kita harus berjalan kaki dan jangan sekali-kali mengeluarkan suara," kata Hui-to Cin-jin berbisik.
"Lihat saja isyarat tangan kami. Kalau berbicara sebelum ditanya, dapat mengakibatkan bencana," kata pula Kang-thouw Lo-mo.
Mendengar ucapan kedua orang kakek itu dan melihat sikap mereka seperti orang yang sangat takut, diam-diam Ji-ciangkun bergidik. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Raja dan Ratu Iblis, dan dia hanya mendengar bahwa Raja Iblis adalah seorang pangeran yang bernama Toan Jit Ong dan bahwa tokoh ini mempunyai ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia dan mempunyai watak yang amat aneh dengan wibawa melebihi kaisar sendiri!
Sesudah mereka berjalan kurang lebih setengah jam lamanya, menyusup-nyusup melalui semak-semak belukar, akhirnya mereka sampai di sebuah lereng terbuka dan dari jauh, di bawah sinar bulan purnama, nampaklah tembok-tembok nisan kuburan berjajar-jajar. Dua orang kakek itu berhenti memandang ke arah tanah kuburan itu dan ketika Ji-ciangkun memandang kepada mereka, dua orang itu tanpa bicara menuding ke arah tanah kuburan itu.
"Di sanakah...?" Ji-ciangkun berbisik.
"Sssstt!" Hui-to Cin-jin menegur dan menaruh telunjuk ke depan mulut, lalu mengangguk membenarkan. Mereka lalu maju lagi, berjalan perlahan-lahan menghampiri tanah kuburan yang sudah nampak dari jauh itu.
Pada saat mereka tiba di luar tanah pekuburan, tiba-tiba dua orang kakek itu memegang lengan Ji-ciangkun dan memberi isyarat agar diam dan tak mengeluarkan suara, mereka hanya memandang ke depan. Panglima itu lalu ikut memandang dan matanya terbelalak, wajahnya berubah pucat.
Memang amat mengerikan apa yang terlihat olehnya di tengah kuburan itu. Biar pun sinar bulan redup, namun lambat laun matanya sudah terbiasa dan dia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di tengah kuburan itu.
Di antara kuburan-kuburan yang nampak sudah kuno dan tak terawat, nampak dua orang yang sedang berlatih ilmu kesaktian yang sangat luar biasa. Seorang di antara mereka adalah seorang pria yang rambutnya sudah putih semua, awut-awutan dan riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek, tubuhnya jangkung dan wajah yang tertimpa sinar bulan itu nampak seperti topeng saja, agak kehijauan dan dingin bagaikan muka mayat.
Sepasang matanya yang kehijauan mencorong laksana mata harimau. Pakaiannya yang berwarna putih dan kuning itu longgar sehingga kedodoran. Usianya sukar ditaksir berapa karena biar pun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajah seperti topeng itu sukar ditaksir usianya, mungkin saja empat puluh atau mungkin juga enam puluh tahun lebih.
Dan orang ini sedang duduk di atas tumpukan tengkorak-tengkorak manusia! Sedikitnya ada lima puluh buah tengkorak yang ditumpuk berbentuk kerucut itu dan dia kini duduk bersila di atas tumpukan tengkorak itu. Baru duduk di atas tumpukan tengkorak itu saja sudah merupakan hal yang sukar dilakukan, karena tengkorak yang hanya bertumpuk-tumpuk itu tentu akan runtuh apa bila di puncaknya diduduki orang. Akan tetapi kakek itu dapat duduk dengan tegak, bersila dan matanya memandang tajam ke depan.
Di hadapannya, terpisah kurang lebih tiga tombak, terdapat tumpukan tengkorak lain mirip seperti yang didudukinya. Dan di atas tumpukan tengkorak kedua berdiri seorang wanita, akan tetapi berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki lurus ke atas!
Wanita ini pun rambutnya putih riap-riapan. Pakaian serta wajahnya sama dengan yang pria, mukanya yang ada garis-garis cantik itu nampak dingin dan kaku. Dan pakaiannya juga longgar dan kedodoran sehingga karena dia berdiri jungkir balik di atas tumpukan tengkorak, jubahnya tersingkap ke bawah dan nampak celananya yang berwarna putih.
"Sudah slap?" terdengar suara yang halus akan tetapi mengandung getaran kuat dari pria yang duduk bersila itu.
"Siap," jawab wanita itu dengan tubuh yang jungkir balik itu sama sekali tidak bergoyang.
"Mulai...!" kata pula yang pria.
Dua orang itu kini meggerakkan sepasang tangan ke depan, dengan gerakan mendorong, dengan jari-jari tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan.
"Tarrrr...!"
Terdengar suara ledakan di tengah udara antara keduanya seolah-olah ada suatu tenaga tak nampak yang saling bertemu dan beradu di udara! Dan mereka berdua melakukan adu tenaga ini berulang kali. Setiap kali tentu terdengar suara ledakan itu, akan tetapi kini setiap ledakan makin mendekati si wanita, seolah-olah tenaga yang bertemu itu kini tidak seimbang lagi dan tenaga si wanita terpukul mundur.
"Jagalah ini...!" Tiba-tiba si pria berseru dan kembali mereka saling dorong.
"Tarr...! Brukkkkk...!"
Tubuh wanita itu jungkir balik meloncat ke atas dan tumpukan tengkorak yang tadi terinjak kepalanya itu berantakan, dan ada beberapa buah tengkorak yang pecah berhamburan seperti diterjang tenaga yang luar biasa dahsyatnya!
"Tenagaku masih kurang kuat...!" Wanita itu menarik napas sesudah dia turun dan berdiri tak jauh dari pria yang masih duduk bersila itu.
"Siapa bilang? Engkau sudah kuat sekali dan hampir aku tidak tahan. Lihat ini!"
Dia pun melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan begitu menendang, tumpukan tengkorak itu berantakan dan ada empat buah tengkorak yang berada paling atas, remuk menjadi debu!
Melihat pertunjukan yang seperti sulap atau sihir itu, diam-diam Ji-ciangkun menjadi amat terkejut, ngeri dan juga gentar hatinya. Apa lagi ketika tiba-tiba dua orang berambut putih itu menoleh ke arah mereka.
"Majulah kalian!" Wanita itu berseru sambil menggapai dengan jari-jari tangannya yang berkuku runcing.
Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo segera maju, sedangkan Ji-ciangkun mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Iblis, dan panglima itu yang merasa bahwa dia hanyalah sekutu, bukan anak buah sepasang iblis itu, hanya menjura dengan hormat.
"Inikah Ji-ciangkun dari San-hai-koan?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Ratu Iblis. Seperti biasa, dialah yang menjadi juru bicara suaminya, ada pun Raja Iblis hanya berdiri memandang dengan sepasang matanya yang mencorong kehijauan.
"Benar, toanio, saya adalah Ji Sun Ki, panglima di San-hai-koan. Saya datang memenuhi undangan Ong-ya melalui Cin-jin dan Lo-mo."
Raja Iblis memberi isyarat kepada mereka semua untuk duduk di atas tanah, ada pun dia sendiri duduk di atas tumpukan kecil tengkorak. Isterinya duduk pula di atas tumpukan kecil tengkorak, sedangkan dua orang kakek pembantu mereka itu pun masing-masing mengambil sebuah tengkorak untuk dijadikan tempat duduk. Ji-ciangkun sendiri merasa ngeri kalau duduk di atas tengkorak manusia itu, maka dia hanya menduduki sebuah batu nisan.
"Ji-ciangkun," terdengar suara Raja Iblis. Jarang sekali dia bicara, akan tetapi agaknya sekarang dia merasa betapa pentingnya merangkul panglima ini untuk mulai menyalakan api pemberontakan. "Apakah sewaktu-waktu benteng itu dapat kita kuasai?"
Agak lega rasa hati Ji-ciangkun mendengar suara Raja Iblis. Ternyata suaranya halus dan bahasanya rapi seperti biasa dipergunakan para bangsawan atau orang terpelajar.
"Semuanya sudah saya persiapkan, Ong-ya. Sepuluh ribu prajurit yang tergabung dalam pasukan di benteng San-hai-koan, sebagian besar dikuasai oleh para perwira pembantu saya. Yang mungkin akan menentang tidak lebih dari dua tiga ribu prajurit saja yang akan mudah diatasi. Akan tetapi Kok-taijin sulit diajak berdamai dan tak mungkin mau bekerja sama. Dari dialah mungkin datangnya tentangan dan halangan."
"Kekuatannya?" tanya Raja Iblis itu tenang.
"Lumayan. Ada seribu orang pasukan pengawal yang akan selalu membelanya. Apa lagi baru-baru ini dia memperoleh seorang pengawal pribadi yang lihai..." Ji-ciangkun berhenti karena pada saat itu Hui-to Cin-jin yang melihat keraguannya menyambung.
"Ong-ya, orang yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu sudah mengalahkan Moghul dan dia bukan lain adalah putera ketua Cin-ling-pai!"
Raja Iblis mengerutkan kedua alisnya sambil mengelus jenggotnya yang pendek. "Hemm, bukankah Bin Mo To dari Ceng-tao itu sudah memberikan janjinya akan membantu, dan juga menantunya, ketua Cin-ling-pai akan membantu pula apa bila waktunya sudah tiba? Apakah keluarga itu akan melanggar janji?"
"Hamba tidak tahu, Ong-ya. Akan tetapi kita memang tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang seperti ketua Cin-ling-pai itu. Apa lagi Bin Mo To yang sudah lama mencuci tangan, tidak seperti dahulu ketika dia masih berjuluk Tung-hai-sian."
"Pemuda itu harus dibunuh dulu, juga kalau mungkin, secepatnya Kok-taijin yang menjadi penghalang itu harus dibunuh!" kata Raja Iblis kepada Ji-ciangkun.
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Maaf, Ong-ya. Saya sudah menyuruh anak buah untuk mengawasi pemuda she Cia itu. Dan kalau perlu, kiranya tidak begitu sulit membunuhnya dengan pengeroyokan. Akan tetapi saya kira tidak bijaksana kalau membunuh Kok-taijin, bahkan akibatnya bisa amat merugikan."
"Mengapa?"
"Seperti yang telah saya katakan tadi, Kok-taijin mempunyai pasukan pengawal yang setia kepadanya, kurang lebih seribu orang. Kalau saya menyerangnya secara berterang, tentu seribu orang pengawal itu akan memberontak dan melawan. Kalau sampai terjadi demikian, tentu dua tiga ribu orang pasukan yang belum dapat saya tundukkan itu akan bergabung. Hal ini akan menimbulkan perang sendiri dalam benteng dan biar pun kita dapat menang, namun tentu akan mengalami kerugian banyak pasukan. Jauh lebih baik kalau dapat kita pergunakan akal agar benteng jatuh ke tangan kita tanpa banyak korban, dan lebih baik lagi kalau kita dapat memaksa Kok-taijin menakluk kepada kita."
"Caranya? Dengan menawannya dan memaksanya?" Raja Iblis bertanya.
Ji-ciangkun menggeleng kepala. "Biar pun dia seorang sipil, namun Kok-taijin memiliki hati yang keras. Andai kata dia ditangkap dan disiksa sekali pun, jangan harap dia akan mau menakluk. Akan tetapi, dia hanya mempunyai seorangi anak, yaitu anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. Kalau kita menculik anak itu, besar kemungkinan dia mau tunduk dan menurut, demi keselamatan anaknya yang amat disayangnya."
"Bagus! Lakukanlah hal itu, Ji-ciangkun. Ingat, kami tidak akan mau bergabung denganmu sebelum kau berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Setelah berhasil, barulah engkau secara resmi akan menjadi panglima besar seluruh pasukan kita dan kelak engkau tentu akan tetap menjadi panglima kerajaan baru kita."
Wajah Ji-ciangkun berseri gembira, membayangkan kedudukan yang kelak diperolehnya jika gerakan mereka berhasil. Dan dia yakin akan berhasil setelah bertemu dengan bekas pangeran yang sakti luar biasa ini. Setelah mengadakan perundingan dengan matang dan Raja Iblis menyatakan siap membantu kalau terdapat kesukaran dalam pengambil alihan kekuasaan di San-hai-koan itu, Ji-ciangkun segera kembali ke San-hai-koan, dikawal oleh dua orang kakek iblis.
********************
Sementara itu, Hui Song yang keluar dari kota San-hai-koan dengan berkuda, ketika baru meninggalkan benteng itu kurang lebih sejauh sepuluh li, dia mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Pemuda ini bisa menduga bahwa derap kaki banyak kuda itu tentulah pasukan dan ke mana lagi malam-malam begitu ada pasukan membalapkan kuda mereka kalau bukan untuk mengejar dirinya?
Dia sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi karena dia sedang membawa tugas yang amat penting, dia tak mau menunda perjalanan itu dengan perkelahian melawan pasukan yang mengejarnya. Maka dia pun segera berhenti, mengumpulkan bekalnya dan diikatnya buntalan itu pada punggungnya, kemudian dia mencambuk kuda itu, diusir dan dikejarnya agar kuda itu lari ke lain jurusan, bukan ke jurusan Ceng-tek, melainkan ke timur.
Kuda itu ketakutan dan berlari cepat. Dia masih mengejarnya dengan lemparan-lemparan batu kecil sehingga kuda itu lari tunggang-langgang. Setelah itu, Hui Song meloncat naik ke atas dahan pohon dan bersembunyi di balik daun-daun lebat.
Tak lama kemudian muncullah serombongan pasukan itu dan ternyata jumlah mereka ada seratus orang! Akan sulit juga bila dia harus melawan orang sedemikian banyaknya, dan juga akan membuang-buang waktu saja. Pasukan itu berhenti, memeriksa tanah dengan obor-obor lalu akhirnya mereka membelok ke kiri dan mengejar kuda yang meninggalkan jejak di atas tanah itu.
Setelah pasukan itu membalapkan kuda ke timur, barulah Hui Song meloncat turun dari atas pohon, lalu mempergunakan ilmu lari cepat, lari ke selatan lalu ke barat, menuju ke Ceng-tek. Jarak yang ditempuhnya akan makan waktu sehari semalam, dan pada besok malam baru dia akan tiba di Ceng-tek.
********************
Kota Ceng-tek adalah kota yang cukup besar dan ramai. Kota ini merupakan semacam benteng pertahanan pula atau merupakan pintu menuju ke kota raja Peking, karena itu di kota ini terdapat benteng yang cukup besar dan kuat. Yang menjadi komandan pasukan di Ceng-tek adalah seorang jenderal bernama Lui Siong Tek, seorang laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa, berusia empat puluh lima tahun.
Dia menguasai selaksa pasukan tetap, namun dengan mudah dia akan melipat gandakan pasukannya itu dengan pasukan-pasukan lain yang berada di sekeliling daerah itu, yang berupa mata rantai pertahanan di utara di sebelah dalam Tembok Besar untuk melindungi kota raja dari serbuan-serbuan yang mungkin datang dari bangsa-bangsa liar di utara.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa seorang pembesar yang mempunyai kekuasaan penuh pada suatu daerah, akan merasa yang paling berkuasa, seakan-akan menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya. Pembesar itu akan lupa bahwa dia hanya seorang petugas yang bekerja untuk atasan di kota raja. Dan seorang pembesar militer seperti Lui-goanswe ini, pada waktu negara sedang aman dan tidak ada perang, akan menjadi malas dan lengah, membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan-kesenangan yang mudah saja didapatkan karena kekuasaan dan kekayaannya.
Demikian pula dengan Lui Siong Tek. Karena wilayahnya dalam keadaan aman tenteram, dia pun membiarkan dirinya hanyut dalam kesenangannya yang sudah memperbudaknya sejak dia masih amat muda, yaitu bersenang-senang dengan wanita cantik.
Pada waktu Hui Song tiba di Ceng-tek, sebelum dia mengunjungi pembesar itu, dia lebih dahulu menyelidiki dan mencari keterangan perihal komandan yang menjadi panglima di benteng kota itu. Dan dia mendengar bahwa komandan itu adalah seorang yang gagah perkasa, yang pandai mengatur pasukan dan sudah amat terkenal, namun juga memiliki kelemahan, yaitu suka mengumpulkan wanita-wanita cantik dan mempunyai banyak selir yang tak terhitung banyaknya. Bahkan ada kabar angin bahwa pembesar itu kini memiliki seorang selir baru dan setiap hari bersenang-senang dengan selir barunya itu.
Sesudah mendapat keterangan di mana adanya pembesar itu, malam itu juga Hui Song segera memasuki benteng melalui tembok benteng yang tidak dijaga terlalu ketat. Kalau pemimpinnya malas, anak buahnya pun tentu saja malas, dan kalau pemimpinnya lengah, anak buahnya pun lengah, maka penjagaan di sekitar benteng itu pun tidak ketat.
Para penjaga hanya bergerombol di sekitar pintu gerbang, mengobrol atau bermain kartu sehingga dengan mudahnya Hui Song dapat melompati tembok dan meloncat ke sebelah dalam, menyelinap di antara bangunan-bangunan besar di dalam benteng itu lalu dengan mudah saja dia bisa memasuki sebuah gedung terbesar di tengah benteng. Itulah gedung tempat tinggal Lui-goanswe yang nampak sunyi saja, tanpa penjagaan di sekitar gedung, dan agaknya semua penghuninya telah tidur.
Hui Song cepat menyelinap masuk ke dalam gedung itu. Tidak lama kemudlan dia sudah mengintai ke dalam sebuah ruangan yang terang di mana dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Ketika dia mengintai ke dalam, dia melihat seorang laki-laki tinggi besar dan berwajah gagah, mukanya dihias jenggot dan kumis lebat, berusia empat puluh tahun lebih, sedang makan minum dilayani oleh dua orang pelayan wanita muda. Di depannya duduk pula seorang wanita cantik.
Saat melihat wanita itu, jantung Hui Song segera berdebar keras. Dia kaget sekali karena dia mengenal baik wanita cantik ini yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa, wanita yang pernah memperdayainya dan nyaris membunuhnya, murid dari Raja Iblis itu!
Dan ternyata bahwa pada waktu dia mengintai, mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba wanita cantik itu bangkit berdiri dan berkata kepada dua orang pelayan wanita, "Bersihkan meja!" lalu dia menggandeng tangan pria itu dan dengan sikap manja menariknya bangkit dari kursinya.
Pria itu hanya tersenyum dan Hui Song melihat bahwa keduanya hanya memakai pakaian tidur yang tipis dan longgar saja. Hui Song merasa terheran-heran melihat hadirnya gadis iblis itu di tempat itu. Karena dia tahu betapa lihainya Gui Siang Hwa, cepat dia meloncat dan menyelinap ke dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan ruangan itu karena dia melihat kamar itu terbuka daun pintunya dan kosong.
Kamar itu adalah tempat yang paling baik untuk bersembunyi. Sebelum dia menghadap Lui-goanswe, dia harus lebih dahulu menyelidiki apa artinya murid Raja Iblis itu berada di tempat ini.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia mendengar suara langkah kaki dan percakapan dua orang itu menuju ke kamar di mana dia sedang bersembunyi. Celaka, pikirnya. Agaknya dia sudah salah masuk dan yang dimasukinya agaknya malah kamar tidur mereka! Tidak ada waktu lagi untuk keluar dari situ, maka jalan satu-satunya bagi Hui Song hanyalah bersembunyi dan dia pun cepat menyusup ke bawah tempat tidur.
Tepat seperti yang diduganya, langkah kaki itu menuju ke kamar dan dari bawah tempat tidur, di bawah kain tilam tempat tidur itu, dia dapat melihat dua pasang kaki memasuki kamar itu, lalu daun pintu ditutup dan sambil tertawa-tawa mereka berdua langsung saja menuju ke tempat tidur! Tempat tidur itu berderit ketika tertimpa pinggul wanita itu yang sudah merangkul sang pria dan ditariknya duduk di sampingnya.
"Aihh, manis, mengapa engkau begini tergesa-gesa? Baru saja kita habis makan...!" pria yang bukan lain adalah Jenderal Lui Siong Tek itu berkata sambil tertawa saat menerima cumbuan wanita cantik yang bertubuh menggiurkan itu.
"Hemm, siapa sih yang kepingin? Apa kau kira aku tergesa-gesa mengajakmu tidur? Tak tahu malu...!" Dengan sikap genit wanita itu mencela.
"Ha-ha-ha, engkau menarikku dari meja makan, lalu kini menarik-narikku ke atas tempat tidur, mau apa lagi kalau bukan..."
"Pikiranmu memang penuh dengan urusan itu-itu saja!" Siang Hwa terkekeh manja dan merangkul leher pria itu. "Aku tidak mau berbicara di hadapan para pelayan, sebab itu aku tergesa-gesa mengajakmu masuk kamar. Bukan untuk itu, melainkan untuk bicara."
"Bicara apakah, Siang Hwa? Engkau minta apakah?"
"Lui-ciangkun, benarkah... benarkah engkau cinta padaku...?"
Jenderal itu merangkul dan menciumnya. "Aihhh, Siang Hwa, apakah engkau masih tidak yakin akan cintaku? Semenjak kita berjumpa di hutan itu, ketika aku berburu dan engkau berjalan sendirian, aku sudah menyangka engkau seorang bidadari dan aku sudah jatuh cinta kepadamu."
"Ciangkun, sudah satu pekan lebih aku berada di sini, melayanimu dengan sepenuh hati, tetapi kenapa engkau belum juga mau memenuhi permintaanku, tidak mau membalaskan dendam sakit hatiku?"
"Aaahh... urusan itu...?" Tiba-tiba saja jenderal itu kehilangan kegembiraan dan gairahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur.
Hui Song cepat-cepat menyusup ke dalam kolong lagi, menarik kepalanya yang tadinya dia keluarkan agar dia dapat mendengar dan melihat lebih jelas, karena setelah jenderal itu duduk di tepi tempat tidur, dia akan dapat kelihatan kalau menjulurkan kepalanya.
"Ciangkun, sejak kita saling jumpa dan saling mencinta, tidak ada permintaan lebih dariku kecuali yang satu itu. Lui-ciangkun, aku sudah menyerahkan segala-galanya kepadamu, hanya untuk itu..."
Jenderal itu mengerutkan alisnya dan kelihatan berduka. "Sayangku, mengapa justru itu yang kau minta? Mintalah yang lain. Apa pun pasti akan kupenuhi, kecuali itu. Aku adalah seorang panglima yang setia, yang semenjak jaman nenek moyangku selalu menjunjung tinggi nama serta kehormatan, mana mungkin engkau memintaku agar aku memberontak terhadap pemerintah?"
Hui Song kaget bukan main mendengar ini. Ahh, dia mengerti sekarang. Tentu gadis iblis ini sedang melakukan tugasnya, dan tugas itu adalah menggoda dan membujuk panglima benteng Ceng-tek ini untuk bersekutu dengan para pemberontak!
Kiranya Raja Iblis sudah mendengar akan kelemahan jenderal ini terhadap wanita cantik, maka menyuruh muridnya sendiri yang selain lihai juga cantik manis itu untuk menjebak sang jenderal dan kini Siang Hwa sedang menjalankan peranannya dengan amat baik.
Mendengar ucapan sang jenderal, Siang Hwa membujuk-bujuk lagi. "Ciangkun, di dalam hidupku ini tiada hal lain lagi yang kuinginkan kecuali membalas dendam. Ayah bundaku, saudara-saudaraku semuanya tewas oleh pemerintah, sekeluargaku difitnah dan dihukum mati! Aku harus membalas dendam, dan satu-satunya jalan hanya memberontak terhadap pemerintah! Ciangkun, engkau memegang kekuasaan atas puluhan ribu tentara, betapa akan mudahnya kalau engkau mau memenuhi permintaanku itu..."
"Hushhh... diamlah dan jangan bicara lagi tentang hal itu, sayang. Mudah saja kau bicara begitu. Apa bila bukan engkau yang bicara, tentu sudah kutangkap atau kubunuh karena kata-katamu itu berarti pemberontakan. Dan mudah saja melawan pemerintah, ya? Apa artinya bala tentara puluhan ribu kalau menghadapi bala tentara pemerintah yang ratusan ribu? Sudahlah, jangan melamun yang bukan-bukan dan anggap saja mala petaka yang menimpa keluargamu itu memang sudah menjadi nasibmu yang ditentukan takdir."
"Ciangkun, kiraku bukan aku saja yang mendendam terhadap pemerintah. Di dalam hal ini engkau bisa mencari kawan-kawan, dan aku sanggup mencarikan teman-teman sehaluan. Lui-ciangkun, aku... aku akan mencintamu sampai mati apa bila engkau mau memenuhi permintaanku ini..." Dan wanita itu merangkul dan menciumi. Akan tetapi tiba-tiba jenderal itu menghardik.
"Siang Hwa, cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang hal itu! Kau dengar baik-baik, aku adalah seorang panglima yang setia, kehormatan dan kesetiaanku lebih berat dari pada dirimu, bahkan lebih berat dari pada nyawaku sendiri, mengerti?!"
Diam-diam Hui Song merasa kagum juga kepada jenderal ini. Boleh jadi dia mempunyai kelemahan terhadap wanita, mata keraniang dan menjadi hamba nafsu kelamin, namun harus diakui bahwa dia adalah seorang laki-laki yang gagah dan teguh pendiriannya.
"Bagus! Begitukah, ciangkun? Setelah selama satu pekan ini kuserahkan segala-galanya kepadamu, menyenangkan hatimu, menahan kemuakan hatiku sendiri, semua itu hanya untuk sia-sia belaka? Jika begitu, ketahuilah bahwa aku adalah murid dari Pangeran Toan Jit Ong yang akan memimpin pemberontakan, dan karena penampikanmu, engkau tidak boleh hidup lebih lama lagi!"
Hui Song terkejut bukan main dan seperti kilat cepatnya dia sudah menerobos keluar dari dalam kolong tempat tidur. Namun terlambat. Dia mendengar jenderal itu memekik keras dan tubuh yang tinggi besar itu lalu terguling roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi karena jari-jari tangan gadis iblis itu telah menusuk pelipisnya!
Gui Siang Hwa sudah menyambar segulung kertas dari atas meja, akan tetapi gadis itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda dari kolong tempat tidur, apa lagi ketika di bawah sinar lampu dia melihat dan mengenal wajah pemuda itu.
"Kau... kau... Cia Hui Song...!" Serunya dengan suara gemetar dan muka berubah pucat.
"Perempuan jahat!" Hui Song memaki marah karena melihat betapa dia muncul terlambat sehingga jenderal itu tidak dapat ditolong lagi. Maka dia pun segera langsung menyerang ke arah wanita itu dengan maksud untuk merobohkannya dan menangkapnya, apa lagi dia melihat bahwa Siong Hwa mengambil gulungan kertas yang menurut dugaannya tentu merupakan benda penting.
Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar hijau yang berbau harum menyambar ke arah muka Hui Song. Pemuda ini sudah mengenal kelicikan serta kelihaian wanita itu, maka dia pun mengelak dengan lemparan diri ke kiri. Kesempatan itu dipergunakan oleh Siang Hwa untuk melompat keluar dari dalam kamar terus melarikan diri dalam keadaan masih mengenakan pakaian dalam dan kedua kakinya telanjang tanpa sepatu.
"Mau lari ke mana kau?!" bentak Hui Song sambil mengejar.
Akan tetapi suara ribut-ribut itu sudah memancing datangnya serombongan penjaga dan Hui Song mendengar Siang Hwa berkata, "Tolong, pengawal...! Penjahat itu membunuh Lui-ciangkun...!"
Karena para pengawal mengenal Siang Hwa sebagai kekasih baru Jenderal Lui, mereka percaya dan serta merta mereka menghadang dan menyerang Hui Song dengan senjata mereka!
"Perempuan itulah pembunuhnya! Dia siluman jahat...!" Hui Song berseru.
Akan tetapi mana mungkin para penjaga percaya kepadanya? Mereka tak mengenalnya, sebaliknya, wanita itu sudah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka. Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan melanjutkan pengejarannya.
Akan tetapi, serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song membanting-banting kaki dan dia pun tidak mau melanjutkan pengejarannya. Keadaan sudah sangat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimana pun juga, Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada wakil dari jenderal itu.
Dengan hati tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata dengan suara nyaring,
"Sobat-sobat harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari San-hai-koan, membawa pesan dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi kebetulan sekali kedatanganku tepat melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu...!"
"Bohang! Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."
"Tenang dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Di mana adanya perempuan itu sekarang? Kalau memang dia orang baik-baik, mengapa dia melarikan diri? Karena kalian menghadangku, maka aku pun tak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah dibunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh pemberontak!"
Akan tetapi para penjaga tidak mau percaya begitu saja walau pun ada di antara mereka yang kemudian mencari-cari tetapi tidak dapat menemukan Siang Hwa. Di dalam gedung Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.
"Sebaliknya kalian bawa aku menghadap wakil Lui-ciangkun. Biar dia yang menentukan apakah aku bersalah atau tidak!"
Usul ini bisa diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring masuk ke dalam benteng untuk dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil dari Lui-ciangkun. Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah sangat berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia bisa menduga bahwa yang dibawa menghadap kepadanya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah, sama sekali tidak terbayang watak yang jahat.
Dengan jujur Hui Song membuat laporan di depan panglima itu. "Harap ciangkun maafkan bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan pribadi dari Kok-taijin di kota San-hai-koan, membawa surat untuk Lui-goanswe. Karena tak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung memasuki benteng hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi saya melihat seorang wanita yang saya kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Dia adalah murid Raja Iblis yang sedang menghimpun para datuk sesat dan hendak memberontak, karena itu kehadirannya di Ceng-tek tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saat saya melakukan pengintaian di kamar Lui-goanswe, tanpa saya sangka-sangka iblis perempuan itu membunuh Lui-goanswe saat rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu supaya ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dia lalu pergi sambil membawa gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga dia dibiarkan pergi dan saya malah yang dikeroyok."
Dengan tenang Bhe-ciangkun mendengarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa ternyata wanita bernama Gui Siang Hwa itu memang telah lenyap dan wanita itu pergi dalam keadaan setengah telanjang.
Bhe-ciangkun menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat itu, wajahnya berubah dan dia segera mengajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru mereka tahu bahwa mereka tadi telah salah tangkap.
Sementara itu, sesudah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciang-kun lantas berkata, "Ahh, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan pemberontak?"
Hui Song mengangguk. "Malah dia dengan para pemberontak telah merencanakan untuk membujuk Kok-taijin, akan tetapi tidak berhasil. Agaknya mereka hendak menguasai kota San-hai-koan untuk dijadikan basis gerakan pemberontakan mereka. Sebab itu Kok-taijin mengharapkan bantuan pasukan dari sini, ciangkun." Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan betapa dia memasuki sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.
"Hemm, agaknya para tokoh pemberontak itu berusaha keras untuk mempengaruhi pula Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan mempersiapkan pasukan besar untuk sewaktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun kalau ternyata dia benar-benar berani memberontak."
"Terima kasih, ciangkun. Tugas saya di sini sudah selesai. Saya amat mengkhawatirkan keadaan di San-hai-koan, maka saya akan kembali ke sana secepatnya."
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke kota San-hai-koan dan Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan anak panah yang memang diminta oleh Hui Song sekedar untuk penjagaan diri karena dia maklum bahwa setelah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak mungkin gadis itu lalu menyiapkan teman-temannya untuk menghadangnya bila dia kembali ke San-hai-koan.
Kekhawatiran Hui Song itu sama sekali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Siang Hwa beserta kawan-kawannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng San-hai-koan! Hal ini terjadi di luar dugaan dan perhitungan Hui Song. Tidak disangkanya bahwa Ji-ciangkun akan bergerak secepat itu untuk merampas dan menguasai benteng untuk kaum pemberontak.
Pengambil alihan benteng San-hai-koan dipercepat oleh para pemberontak karena hal ini ada hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar Lui-ciangkun di Ceng-tek itu. Setelah bertemu dengan Hui Song dia menyampaikan berita ini secepatnya kepada gurunya, maka Raja Iblis segera minta kepada Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga!
Raja Iblis telah dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Ceng-tek itu tentu ada hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur San-hai-koan untuk minta bantuan kepada benteng Ceng-tek!
Karena desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk. Dia belum melaksanakan rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena desakan Raja Iblis, sekarang mau tidak mau dia harus mempergunakan kekerasan.
Demikianlah, pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Kok-taijin. Gubernur ini yang sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan, segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat.
Ji-ciangkun masih hendak mempergunakan bujukan. Setelah gedung dikepung, lebih dulu dia mengirimkan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur menyerah saja dari pada harus diserbu dengan kekerasan. Namun Gubernur Kok malah membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk melindunginya.
Maka terjadilah penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal cepat melakukan perlawanan dengan gagah perkasa sehingga jatuhlah banyak korban di antara kedua pihak. Sampai seharian lamanya gedung Kok-taijin masih dapat dipertahankan oleh para pengawal meski pun jumlah mereka telah banyak berkurang dan gedung itu masih tetap dikurung.
Dalam keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni San-hai-koan yang lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara pasukan Ji-ciangkun dengan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka dia pun membalapkan kudanya dan pada saat dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau.
Hui Song tidak peduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia menerjang semua prajurit yang berani menghalanginya. Ketika para pengawal Gubernur Kok mengenalnya, mereka lalu membukakan pintu dan membiarkan Hui Song memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat.
Sedih juga hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah gedung itu. Melihat perbandingan jumlah kedua pasukan, jelas bahwa tak mungkin pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Dia cepat menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya. Keluarga gubernur itu telah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubernur yang masih bersikap tenang dan tabah, walau pun wajahnya juga pucat sekali.
"Cia-sicu...!" Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya. "Ah, engkau dapat datang juga? Bagaimana dengan tugasmu?"
Dengan singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya, bahwa Bhe-ciangkun di Ceng-tek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan bahwa dia dan mereka yang berada di kota Ceng-tek sama sekali tidak menduga bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak sedemikian cepatnya, sehingga tentu saja bantuan dari Ceng-tek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini.
Mendengar ini, sang gubemur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan lemas. Para keluarga wanita semakin keras menangis ketika mendengar bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.
"Diam! Jangan menangis lagi!" bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata, "Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku sendiri akan memimpin semua pengawalku dan melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"
"Taijin, saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari kota San-hai-koan? Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri, dibantu oleh pasukan pengawal."
Gubernur itu menggelengkan kepalanya. "Hal itu tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin menyelamatkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat? Dan engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Lagi pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri ketakutan seperti anjing mau disembelih? Tidak, aku akan tetap bersama keluargaku di sini, akan kuhadapi semuanya dengan tabah. Masih jauh lebih baik aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir dari pada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu, sicu. Kau selamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini." Dan gubernur itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.
Hui Song yang baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal wataknya yang gagah dan teguh, maka dia pun tahu bahwa berbantahan tidak akan ada gunanya. Selain itu, dia pun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya akan berhasil jika hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya sebab pihak musuh terlalu banyak. Jika kereta yang membawa gubernur itu dihujani anak panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka?
Berbeda halnya bila hanya menyelamatkan satu orang saja, apa lagi yang bertubuh kecil seperti anak perempuan ini. Dan dia pun tahu akan hati seorang ayah seperti Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat dari pada dirinya sendiri.
"Baik, taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini," katanya sambil memegang tangan anak perempuan itu.
Anak itu tak nampak ketakutan karena agaknya dia belum mengerti benar apa sebetulnya yang sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya, seperti sepasang sayap burung saja dan dia memakai pita merah. Dia tersenyum saat tangannya digandeng Hui Song yang biar pun belum dikenalnya benar, akan tetapi agaknya dia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya.
Akan tetapi, ketika Hui Song menggandengnya dan mengajaknya keluar dari ruangan itu, anak itu menangis.
"Ayah...! Ibu...! Aku ikut ayah dan ibu...!"
Ibunya menangis, akan tetapi Kok-taijin memberi isyarat kepada Hui Song agar membawa anak itu keluar. Hui Song lalu mengangkat dan memondongnya. Anak itu meronta-ronta, akan tetapi tidak berdaya dalam pondongan Hui Song.
"Diamlah, adik yang manis, kita pergi keluar untuk menyelamatkanmu. Marilah!" Hui Song membujuk dengan halus. Dia lalu berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya. "Adik yang manis, kau rangkullah leherku, akan kugendong di belakangku. Jangan takut, aku akan menyelamatkanmu," katanya.
Dia pun telah mengambil busur dan menyiapkan anak panahnya, lalu membedal kudanya keluar. Para pengawal telah tahu bahwa pemuda ini bertugas menyelamatkan puteri sang gubernur, maka mereka melindunginya dengan anak-anak panah yang mereka luncurkan ke depan.
Pertempuran sudah terjadi lagi dan sekarang Hui Song membalapkan kudanya di antara pertempuran. Dia dihujani anak panah, akan tetapi semua itu dapat dia runtuhkan dengan busurnya dan kadang-kadang dia pun melepas anak panah merobohkan beberapa orang prajurit musuh yang berani menghadang. Ada kalanya pula dia menggunakan tangan atau tendangan kakinya merobohkan musuh yang berani mendekat.
Kebakaran-kebakaran terjadi ketika para prajurit Ji-ciangkun menghujankan panah api ke arah gedung. Hui Song meloncati pagar-pagar yang terbakar dengan kudanya. Ketika ada beberapa batang anak panah menyambar dari atas, dia segera membalas dengan anak panahnya, maka robohlah dua orang prajurit yang menyerangnya dari atas benteng. Dan para petajurit agaknya gentar juga menyaksikan sepak terjangnya, karena siapa pun yang menghalang di depannya, kalau tidak terpelanting ditabrak kuda pendekar itu, tentu roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya.
Walau pun dengan susah payah, akhirnya Hui Song berhasil membawa anak perempuan itu keluar dari pintu gerbang San-hai-koan. Legalah hatinya dan dia terus membalapkan kudanya memasuki sebuah hutan. Akan tetapi tiba-tiba ada benda-benda berkilauan yang menyambarnya dengan kecepatan luar biasa.
Hui Song terkejut sekali, dan sambil memondong tubuh Hui Lian, dia meloncat turun dari atas punggung kudanya. Kuda itu ketakutan. Memang sejak tadi kuda itu sudah panik di antara pertempuran yang terjadi di San-hai-koan. Maka, sesudah dia terbebas dari beban penunggangnya, dia langsung membalap melarikan diri.
Setelah meloncat turun dan menengok ke kanan, dari arah mana pisau-pisau terbang tadi datang menyambar, tahulah dia siapa yang tadi menyerangnya. Si pisau terbang Hui-to Cin-jin sudah berdiri di sana, bersama Kang-thouw Lo-mo si gendut dan tidak ketinggalan pula Gui Siang Hwa! Mereka bertiga berdiri di sana dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek.
"Hemm, kembali si tampan gagah putera ketua Cin-ling-pai mencampuri urusan kita," kata Siang Hwa. Biar pun suaranya mengandung nada ejekan, akan tetapi sinar matanya tidak bisa menyembunyikan perasaan kagum dan sukanya kepada pendekar yang tampan dan gagah itu.
"Ha-ha-ha-ha, sekali ini kita tidak boleh membiarkan tikus ini terlepas!" Kang-thouw Lo-mo tertawa. Hui-to Cin-jin yang merasa penasaran karena serangan pisau-pisau terbangnya tadi pun gagal, sekarang sudah mencabut sepasang belatinya dan siap untuk menyerang dengan sikap mengancam.
Hui Lian yang berada dalam gendongan Hui Song menjadi ketakutan dan menangis. Anak itu mulai memanggil-manggil ayah ibunya dan kembali Siang Hwa tertawa.
"Hi-hi-hik, kiranya Cia Hui Song yang gagah perkasa itu kini menjadi seorang pangasuh anak-anak." Dan kini wanita itu mengeluarkan sebatang pedang yang tadi terselip pada punggungnya dan suaranya menjadi kereng dan ganas ketika dia berkata, "Tidak, sekali ini dia tidak boleh lolos. Pekerjaanku di kota Ceng-tek hampir saja gagal karena campur tangannya."
Kang-thouw Lo-mo juga sudah mengambil guci araknya dan membuka tutup guci, minum araknya sambil menyeringai. Hui Song maklum bahwa dia kini menghadapi tiga orang musuh besarnya yang pernah hampir menewaskannya di dalam Goa Iblis Neraka. Selain maklum akan kelihaian dan kecurangan mereka, juga dia ingin sekali membalas kelicikan mereka ketika di dalam goa dahulu itu.
Kali ini dia harus dapat membasmi tiga orang iblis ini, karena kalau tidak, mereka bertiga ini hanya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan saja di dalam dunia. Maka dia segera menurunkan anak perempuan itu, melepaskannya di bawah sebatang pohon tak jauh dari situ.
"Adik yang baik, kau duduklah di sini dulu, dan jangan pergi ke mana pun," katanya.
Anak itu berhenti menangis, kemudian duduk sambil memeluk batang pohon, seolah-olah hendak mencari perlindungan pada sebatang pohon yang nampak kokoh kuat itu. Setelah melepaskan anak itu, Hui Song merasa lega sekali. Dengan senyum di bibir, sikap yang tenang dan tabah sekali, dia kemudian menghampiri tiga orang musuh yang sudah siap mengeroyoknya itu.
"Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo dan Gui Siang Hwa, kalian adalah tiga orang manusia berhati iblis, jangan harap akan dapat melakukan kecurangan lagi padaku. Sekali ini aku akan menghajar dan menghukum kalian yang sudah terlalu banyak melakukan dosa!"
Pendekar ini memang tak pernah membawa pedang dan sudah biasa menghadapi lawan yang tangguh dengan tangan kosong saja. Bagi seorang pendekar seperti Hui Song yang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bertangan kosong pun tidak kurang berbahayanya dari pada kalau dia bersenjata dan setiap benda bisa saja menjadi senjata baginya.
Melihat Hui Song melangkah maju tanpa senjata, tiga orang lawan yang telah memegang senjata andalan mereka masing-masing itu diam-diam merasa gentar juga. Orang yang sudah berani maju bertangan kosong, apa lagi dengan sikap sedemikian tenangnya, tentu memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Dan mereka pun sudah pernah menguji kehebatan ilmu silat pemuda ini, maka kini mereka bertiga bersikap hati-hati dan diam-diam mereka mempersiapkan senjata rahasia masing-masing.
Namun gerakan mereka itu sudah diketahui oleh Hui Song. Apa lagi pemuda ini sudah mengenal kecurangan mereka. Bila mana dia teringat kepada Sui Cin, gadis yang menjadi pujaan hatinya, yang sekarang entah berada di mana, yang mengalami gegar otak hingga kehilangan ingatannya, bahkan nyaris tewas saat terkena sambitan batu yang dilontarkan oleh Kang-thouw Lo-mo, pemuda ini merasa sakit hati sekali. Sekali ini dia harus mampu membalaskan penderitaan Sui Cin dan dia sendiri, juga melenyapkan tiga orang manusia jahat ini dari permukaan bumi berarti akan mengurangi terjadinya kejahatan yang timbul dari perbuatan mereka.
"Bocah sombong, bersiaplah untuk mampus!" Tiba-tiba Hui-to Cin-jin menyerang dengan kedua pisaunya.
Gerakannya memang cepat dan lengannya yang panjang itu bergerak dari atas bawah dan kanan kiri, ujung pisaunya yang runcing tajam menyambar-nyambar seperti patukan maut. Tapi dengan lincahnya Hui Song mengelak dan menangkis hantaman Kang-thouw Lo-mo yang sudah menyusul pula dengan serangan hantaman ciu-ouw di tangannya.
"Desss...!"
Tangkisan Hui Song membuat tubuh gendut itu terhuyung dan pada saat itu pula nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan Siang Hwa sudah menyambar ke arah leher Hui Song.
"Mampuslah kau!" bentak Siang Hwa.
Pedangnya mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar lewat sebab dengan mudah saja Hui Song dapat mengelak dengan cara merendahkan dirinya, sedangkan kaki kanan pemuda itu segera meluncur ke kanan, menghantam ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo. Kakek ini terkejut dan menangkis dengan tangan kirinya yang dimiringkan sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk...!" Kembali kakek itu terhuyung.
Maka terkejutlah kakek gendut ini. Dia adalah seorang tokoh Cap-sha-kui, yang terkenal memiliki tenaga besar, akan tetapi hanya dalam beberapa gebrakan saja sudah dua kali dia terhuyung karena terdorong oleh kekuatan besar sekali dalam pertemuan tenaga itu.
Hal ini tidaklah mengherankan. Hui Song sudah mewarisi tenaga sakti Thian-te Sin-ciang dari ayahnya dan ketika dia digembleng selama tiga tahun oleh Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, tenaganya itu semakin bertambah kuat saja.
Terjadilah perkelahian yang amat seru antara Hui Song dengan tiga orang pengeroyoknya. Biar pun tiga orang lawannya menggunakan senjata, Hui Song sama sekali tidak nampak terdesak. Dengan mudahnya dia dapat mengelak dari semua serangan, bahkan kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kuatnya jika dibandingkan dengan senjata lawan. Bahkan jari-jari tangan pemuda ini berani menangkis pedang di tangan Siang Hwa, membuat gadis itu terpekik kagum dan kaget karena jari-jari tangan pemuda itu kalau menangkis pedang, langsung membuat pedangnya terpental dan mengeluarkan suara berdencing seolah-olah pedangnya bertemu dengan baja.
Hui Song sama sekali tidak terdesak, bahkan dia pun dapat membagi-bagi pukulan atau tendangan sebagai balasan. Badan pemuda itu kadang-kadang dilindungi ilmu kekebalan yang luar biasa kuatnya, yaitu ilmu kebal Tiat-po-san yang membuat kulitnya tidak dapat ditembus oleh bacokan senjata tajam.
Oleh karena ini, biar pun beberapa kali pisau atau pedang mengenai tubuhnya karena dia memang tidak merasa perlu untuk menghindarkan diri, senjata-senjata tajam itu bertemu dengan kulit dan membalik. Hanya baju pemuda itu saja yang robek oleh senjata-senjata tajam itu.
Dan permainan ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun yang mempunyai daya tahan sangat kuat itu membingungkan tiga orang lawannya, membuat mereka sukar sekali mencari tempat lowong, seolah-olah seluruh tubuh pemuda itu telah dilindungi oleh bayangan lengan yang merupakan benteng yang kokoh kuat.
Hui-to Cin-jin menjadi penasaran dan tidak sabar. Dia mengeluarkan pekik nyaring, lantas ada tiga sinar berkelebat terbang ke arah Hui Song. Itulah tiga batang pisau terbang yang dilepasnya kepada pemuda itu.
"Tring-tring-tringg...!"
Jari-jari tangan Hui Song menyambut dengan sentilan-sentilan, lantas tiga batang pisau terbang itu membalik ke arah pemlliknya! Nyaris saja leher Hui-to Cin-jin terkena pisaunya sendiri kalau dia tidak cepat merendahkan tubuhnya.
Akan tetapi pada saat dia merendahkan tubuh, tiba-tiba tubuh Hui Song telah berkelebat datang dan sebuah tendangan kaki kiri pendekar muda itu tidak mampu dihindarkan oleh si kakek yang berpakaian tosu itu, biar pun dia mencoba mengelak dengan memiringkan tubuhnya.
"Desss...!"
Pinggulnya disambar kaki Hui Song sehingga kakek ini terlempar dan terbanting jatuh. Dia menyeringai karena merasa pinggulnya nyeri bukan main, dan ketika dia bangkit bangun kemudian berjalan, langkahnya pun terpincang-pincang. Hanya kemarahan dan rasa malu yang membuat dia nekat menyerang lagi dengan sepasang pisaunya.
Guci arak di tangan si gendut Kang-thouw Lo-mo menyambar ke arah dada Hui Song. Pemuda ini tidak ingin berkelahi terlalu lama karena kalau dia tidak segera merobohkan mereka ini mungkin kawan-kawan mereka akan datang atau andai pun tidak, dia akan berada dalam ancaman bahaya apa bila sampai ada pengejaran dari pasukan anak buah Ji-ciangkun.
Maka, melihat datangnya guci arak yang menyambar ke dadanya, dia cepat mengerahkan tenaga Tiat-po-san melindungi dadanya. Pada waktu guci itu menghantam dadanya, dia membarengi tamparan tangan kanannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah perut gendut itu.
"Bunggg...!" Terdengar perut itu berdengung ketika terkena hantaman dan tubuh si gendut itu terjengkang dan terguling-guling sampai jauh.
Akan tetapi bukan hanya kepala hwesio itu saja yang memiliki kekebalan, melainkan juga pada perutnya. Perutnya itu kuat seperti bola karet yang penuh hawa, maka ketika kena hantaman Thian-te Sin-ciang, isi perut itu sama sekali tidak terluka, hanya tubuhnya saja yang terlempar, juga hanya terasa nyeri saja karena babak-belur terguling-guling. Kakek berbaju hwesio ini segera bangkit dan mukanya berubah merah karena malu dan marah. Dia tertatih-tatih maju lagi mengayun-ayun guci araknya di atas kepala.
Sementara itu, sesudah melihat betapa dua orang pembantunya sempat dirobohkan Hui Song, Siang Hwa menjadi marah. Gerakan pedangnya semakin gencar dan dia menerjang ke depan bagaikan kesetanan, lalu tiba-tiba saja tangan kirinya mengebutkan sapu tangan merah yang mengandung racun pembius itu.
Akan tetapi kali ini Hui Song sudah bersiap-siap. Dia menahan napas dan meniup ke arah debu yang mengepul dari sapu tangan, maka buyarlah debu itu bahkan membalik ke arah Siang Hwa sendiri.
"Keparat!" Siang Hwa berteriak marah.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring Hui-to Cin-jin, "Cia Hui Song, segera hentikan perlawananmu atau anak ini akan kusembelih!"
Hui Song terkejut bukan main. Dia cepat meloncat mundur dan ketika menengok ke arah suara itu, mukanya berubah pucat. Kiranya Hui-to Cin-jin sudah menjambak rambut anak perempuan itu dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya yang memegang pisau tajam berkilauan itu ditempelkan di leher anak kecil yang mulai menangis ketakutan itu!
"Jahanam busuk! Lepaskan anak itu dan mari kita bertanding sampai satu di antara kita roboh tewas!" Hui Song membentak marah akan tetapi tosu itu menyeringai.
"Kau menyerah atau anak ini kusembelih lebih dulu... aihhhh...!" Tiba-tiba tosu itu menjerit dan terhuyung, dari lambungnya bercucuran darah segar dan dia pun terguling roboh dan berkelojotan.
Ternyata diam-diam muncul seorang pria yang menggunakan pedang menusuk lambung kakek berpakaian tosu itu. Gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tosu itu tidak sempat mengelak lagi dan kini dia menyelipkan pedangnya di sarung pedang, kemudian menyambar tubuh Kok Hui Lian dengan lengan kanannya lalu dia melompat pergi dari situ tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
"Ciang-suheng...!" Hui Song berseru, kaget dan juga girang.
Dia mengenal orang yang lengan kirinya buntung itu karena orang itu adalah Ciang Su Kiat, bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kiri sendiri karena dipersalahkan oleh ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi lelaki buntung sebelah lengannya itu tidak menjawab, bahkan menoleh pun tidak, melainkan berlari makin cepat. Larinya cepat sekali sehingga mengagetkan hati Hui Song yang dapat menduga bahwa bekas suheng-nya itu kini sudah memiliki kepandaian tinggi.
Tentu saja Kang-thouw Lo-mo dan Siang Hwa terkejut bukan main melihat betapa kawan mereka tewas secara tak terduga-duga, hanya karena serangan satu kali saja dari orang buntung tadi. Akan tetapi mendengar Hui Song menyebut suheng kepada orang itu, tentu saja mereka terkejut dan gentar. Baru Hui Song sudah begini lihai, apa lagi suheng-nya! Orang-orang yang berwatak kejam biasanya berjiwa pengecut. Tanpa banyak kata lagi, dua orang itu lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan lari!
Melihat ini, Hui Song mengejar, "Keparat, kalian hendak lari ke mana?" bentaknya dan dia pun mengerahkan ginkang-nya melakukan pengejaran.
Semenjak berlatih di bawah bimbingan Si Dewa Kipas, ilmu meringankan tubuh pemuda ini memang meningkat dengan sangat hebat. Belum lama dia mengejar, dia sudah dapat menyusul Kang-thouw Lo-mo yang larinya tidak secepat Siang Hwa.
"Iblis tua, engkau hendak lari ke mana?!" Hui Song membentak.
Karena maklum bahwa lari pun tidak ada gunanya, Kang-thouw Lo-mo menjadi nekat. Dia segera membalik sambil menghantamkan guci araknya ke arah muka Hui Song. Pemuda yang sudah marah ini tidak mengelak, bahkan menggunakan tangan kanan yang terbuka memapaki pukulan itu dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Prokkk...!"
Guci arak itu pecah berantakan dan isinya, setengahnya masih berisi arak, berhamburan memercik ke mana-mana sehingga terciumlah bau arak yang sangat menyengat hidung. Melihat senjatanya yang sangat disayangnya itu pecah, Kang-thouw Lo-mo marah bukan main. Dia cepat melangkah mundur dan menundukkan kepalanya, tubuhnya direndahkan dan seperti seekor kerbau mengamuk, dia lantas lari ke depan, menggunakan kepalanya yang botak itu untuk menyeruduk ke arah perut Hui Song!
Hebat bukan main serangan ini dan agaknya kakek yang sudah putus harapan dan nekat ini mempergunakan senjatanya yang terakhir, yaitu kepalanya. Kepalanya memang telah terlatih, dapat membentur pecah batu karang, kuat bukan main.
Hui Song belum tahu sampai di mana kekuatan yang berada dalam kepala itu, maka dia pun tidak mau sembrono menerima serudukan itu begitu saja. Dia cepat-cepat miringkan tubuhnya dan ketika kepala botak itu meluncur lewat dekat perutnya, dia menggerakkan tangan kanan, mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan tangan kanannya itu seperti sebatang golok atau sebuah palu godam yang menyambar turun dari atas, tepat ke arah tengkuk di belakang kepala botak besar itu.
"Ngekkk...!"
Tengkuk itu besar dan kuat seperti tengkuk kerbau, akan tetapi kekuatan yang berada di tangan Hui Song amat hebat. Maka sekali pukul saja kakek itu mengeluh dan terpelanting roboh dengan dua matanya mendelik, nyawanya putus bersama dengan patahnya tulang tengkuknya! Tewaslah Kang-thouw Lo-mo.
Hui Song sejenak meragu. Siapakah yang harus dikejarnya? Siang Hwa ataukah bekas suheng-nya? Siang Hwa sudah tidak nampak lagi dan dia tahu betapa lihainya wanita itu. Kalau sampai wanita itu mendahuluinya mencapai guru-gurunya, maka dia akan celaka. Bagaimana pun lihainya, dia masih ragu-ragu apakah dia akan mampu menandingi Raja dan Ratu Iblis yang dia tahu sakti bukan main itu.
Dan dia pun amat mengkhawatirkan keselamatan puteri gubernur, maka dia mengejar ke arah larinya Ciang Su Kiat. Akan tetapi, ia pun kehilangan jejak bekas suheng-nya ini dan akhirnya dia menghibur hatinya sendiri bahwa puteri gubernur itu tentu selamat berada di tangan Ciang Su Kiat yang dia yakin memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa.
Maka dia pun lalu kembali ke San-hai-koan untuk melihat bagaimana perkembangan di kota benteng itu. Akan tetapi, dia tidak dapat masuk. San-hai-koan sudah jatuh ke tangan pasukan Ji-ciangkun yang memberontak! Dan pintu gerbangnya dijaga ketat. Juga di atas tembok-tembok benteng terdapat barisan anak panah yang siap menyerang siapa saja yang berani naik.
Apa gunanya lagi memasuki San-hai-koan, pikirnya. Keluarga gubernur telah terbasmi dan dari para pengungsi dia mendengar bahwa gubernur serta keluarganya telah tewas dalam gedungnya yang telah terbakar habis. Sebagian dari pasukan pengawal menyerah kepada pasukan Ji-ciangkun, ada pun pembersihan masih terus dilakukan. Siapa pun juga yang mencurigakan ditangkap, dan yang condong memihak Kok-taijin dibunuh.
Kekacauan terjadi di kota San-hai-koan dan karena dia sudah dikenal sebagai pengawal pribadi Kok-taijin, tentu saja Hui Song tidak begitu bodoh untuk memasuki kota itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Ceng-tek dan mengabarkan tentang jatuhnya benteng San-hai-koan ke tangan pemberontak itu kepada Bhe-ciangkun yang sekarang menjadi komandan sementara di Ceng-tek menggantikan kepalanya yang telah tewas.
Mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan itu, Bhe-ciangkun tidak berani sembarangan turun tangan dan segera mengutus anak buahnya untuk cepat menunggang kuda ke kota raja dan mengirimkan berita ke kota raja, menanti keputusan dan perintah selanjutnya dari pusat pemerintahan mengenai pemberontakan Ji-ciangkun itu.
********************
Pemuda yang berjalan seorang diri di luar Tembok Besar itu amatlah gagahnya. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tenang serius sehingga dia nampak jauh lebih dewasa dari pada usianya yang sebenarnya. Rambutnya yang hitam dan lebat itu dikuncir tebal dan panjang, dikalungkan ke lehernya yang nampak kokoh kuat itu.
Pakaiannya amat sederhana, terbuat dari kain kasar saja, namun bersih dan di sebelah luarnya dia mengenakan jubah pendek terbuat dari kulit harimau. Dandanan sederhana dan gagah ini memberi kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang gagah, seorang pendekar muda atau setidaknya seorang pemburu, atau orang yang sudah biasa hidup menghadapi kesukaran dan kekerasan. Sinar matanya tajam mencorong dan di dalamnya membayangkan kekerasan hati, walau pun terdapat kelembutan dan kejujuran, terutama pada bentuk dagu dan tarikan mulutnya.
Pemuda tinggi tegap yang gagah perkasa ini adalah Siangkoan Ci Kang yang pada waktu itu sudah berusia dua puluh satu tahun. Seperti sudah kita ketahui, pemuda ini adalah putera tunggal dari mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Iblis Buta yang merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Akan tetapi datuk sesat ini tewas di tangan Ratu Iblis.
Dan sebelumnya, seperti telah diceritakan pada bagian depan, Ci Kang melarikan diri dari ayahnya setelah antara anak dan ayah ini terdapat bentrokan paham, bahkan oleh para tokoh Cap-sha-kui pemuda itu dianggap musuh yang harus ditangkap atau pun dibunuh. Kemudian pemuda ini bertemu dengan Ciu-sian Lo-kai, yaitu tokoh sakti yang berpakaian pengemis itu, dan digembleng sebagai muridnya.
Di bawah bimbingan Ciu-sian Lo-kai, bakat dan watak yang baik dan gagah pemuda ini terus berkembang. Antara Ciu-sian Lo-kai dengan Go-bi San-jin telah diadakan perjanjian dan perlombaan untuk mendidik murid, maka Dewa Arak telah menanamkan pandangan hidup Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, kepada muridnya itu.
Karena itu, biar pun terlahir di kalangan sesat dan sejak kecil bergaul dengan datuk-datuk sesat, melihat segala macam tindakan yang kejam, ganas dan curang, kini Ci Kang dapat melihat dengan jelas betapa buruknya kehidupan di antara teman-teman ayahnya itu.
Jiwa kependekarannya semakin bangkit dan meski pun dia tetap ingin menentang segala bentuk kejahatan, namun dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang sesat, dan bukannya mematahkannya atau membunuhnya, sesuai dengan pesan-pesan Ciu-sian Lo-kai yang mentrapkan pandangan hidup Cia Han Tiong kepada muridnya ini.
Sesudah lewat tiga tahun, Ciu-sian Lo-kai lalu menyuruh muridnya untuk pergi ke Benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Gurunya ini telah memberi tahu kepadanya bahwa di tempat itu hendak diadakan pertemuan para pendekar untuk membicarakan mengenai kebangkitan para datuk kaum sesat yang akan mengadakan gerakan pemberontakan dan pemuda itu ditugaskan oleh gurunya untuk ikut pula menentang usaha para datuk sesat.
Maka berangkatlah Ci Kang meninggalkan gurunya. Akan tetapi, bagaimana pun juga dia teringat akan ayahnya yang sudah tua dan buta. Biar pun ayahnya menjadi seorang datuk sesat, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang anak terhadap ayahnya membuat Ci Kang lebih dahulu pergi mengunjungi ayahnya di Po-hai, Shen-si, sebelum dia melakukan perjalanan keluar Tembok Besar di utara.
Akan tetapi dia tidak bisa bertemu dengan ayahnya, bahkan dia mendengar berita bahwa ayahnya telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis, datuk sesat baru yang kini menguasai seluruh datuk sesat pada saat terjadi pertemuan antara para datuk di lereng Pegunungan Tapie-san. Dia hanya menarik napas panjang, sadar bahwa kematian ayahnya di tangan datuk sesat itu hanyalah akibat dari pada sikap dan perbuatan ayahnya sendiri.
Dia akan menentang para datuk sesat, terutama Raja Iblis, akan tetapi bukan disebabkan dendam akibat kematian ayahnya, melainkan karena memang menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan. Andai kata ayahnya masih hidup sekali pun, tetap saja dia akan menentang kejahatan yang dilakukan ayahnya dan anak buahnya.