TIBA-TIBA semua orang menengok ketika melihat masuknya seorang laki-laki tinggi besar yang berjalan agak sempoyongan. Jelas bahwa lelaki tinggi besar ini sudah agak mabok, maka sungguh mengherankan sekali, kenapa orang yang sudah agak mabok, yang berarti sudah terlalu banyak minum arak, sekarang memasuki restoran? Seorang pelayan segera menyambutnya.
"Tuan hendak makan? Silakan, di sudut belakang masih ada meja kosong." Walau pun di ruangan depan juga masih tersisa beberapa buah meja yang kosong, akan tetapi pelayan yang cerdik ini sengaja memilihkan di sudut belakang agar orang tinggi besar yang sudah agak mabok dan kelihatannya kasar ini tidak mengganggu tamu-tamu lainnya.
Si tinggi besar yang usianya hampir empat puluh tahun itu melotot. Mukanya kasar dan kumis serta jenggotnya tidak terpelihara, pakaiannya juga kumal akan tetapi keseluruhan tubuhnya membayangkan kekuatan dan kekasaran. "Apa katamu? Di belakang? Tidak. Aku ingin duduk di meja ini!" Sambil berkata demikian, dia menunjuk ke arah meja yang sudah ditempati nona manis yang sedang makan itu.
Pelayan itu terkejut. "Harap tuan tidak membikin ribut, meja ini sudah ditempati oleh nona ini, apakah tuan tidak melihatnya?"
"Peduli apa? Yang dipakai hanya separuh meja juga tak ada, masih banyak bagian yang kosong! Dia hanya sendirian, ada pun meja ini untuk delapan orang! Masa mau diborong sendiri? Pula, tidak baik membiarkan wanita muda dan cantik seperti dia ini duduk makan sendirian saja! Boleh kan aku duduk di sini menemanimu, manis?"
Gadis itu berhenti makan, memandang dengan alis berkerut. "Hemmm, siapakah engkau? Tidak kenalkah engkau siapa aku maka berani kurang ajar?" gadis itu bertanya.
Si tinggi besar tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, karena belum kenal maka sekarang kita berkenalan! Aku Can Hoa, orang-orang menyebutku Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut), di kota Yen-tai namaku terkenal sekali. Nona siapakah?" Dan si tinggi besar ini mau duduk begitu saja di atas bangku dekat nona itu.
"Pergilah dan jangan ganggu aku!" Nona itu berseru dan tangannya menampar ke arah muka orang itu.
"Plakkk!"
Si tinggi besar itu menangkis dan akibatnya, nona cantik itu hampir saja terjatuh dari atas bangkunya! Kiranya si tinggi besar itu menggunakan tenaga keras.
"Ha-ha-ha-ha, nona manis, jangan terlalu galak Hai-pa-cu tidak biasa menghadapi wanita galak karena biasanya semua wanita jinak kepadaku, ha-ha-ha-ha!" Hai-pa-cu Can Hoa itu tertawa bergelak.
Nona itu terkejut akan tetapi tidak kelihatan takut, bahkan ia menjadi marah dan meloncat turun dari atas bangkunya, alisnya terangkat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Bangsat kurang ajar! Berani engkau mengganggu orang di tempat ini?" teriaknya dan ia pun sudah siap untuk menyerang si tinggi besar itu.
Dari gerak-geriknya, Thian Sin dan Kim Hong maklum bahwa gadis itu pun bukan orang sembarangan dan belum tentu kalah kalau hanya oleh penjahat kasar itu saja. Kalau tadi nona itu hampir terjatuh dari atas bangkunya ketika si penjahat menangkis, adalah karena nona itu tidak menyangka bahwa si penjahat akan menangkis dengan pengerahan tenaga besar.
Akan tetapi sebelum gadis itu bergerak, mendadak terdengar suara nyaring, "Maaf, nona. Saya kira sungguh tidak layak mempergunakan sebatang tongkat gading untuk memukul seekor anjing kudisan. Hanya akan mengotori tongkat indah itu saja."
Gadis itu memutar tubuh menengok ke kanan dan ternyata yang berbicara itu adalah si sastrawan muda yang sejak tadi makan seorang diri. Kini pemuda itu sudah bangkit dan meninggalkan mejanya, melangkah menghampiri nona muda yang cantik manis itu, lantas menjura dengan sikap sopan sekali.
Gadis itu memandang heran karena dia tidak pernah mengenal pemuda itu. Pula, dia pun tidak mengerti apa yang dimaksudkannya. "Apa maksudmu?" tanyanya ragu.
Pemuda itu tersenyum sehingga nampak betapa tampannya wajah itu, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Maksudku, nona. tidak sepatutnya jika menggunakan tangan nona untuk menghajar anjing ini. Biarkan aku yang mewakilimu untuk menghajar dia agar dia tahu sopan santun sedikit!"
Tanpa menanti jawaban nona itu, si sastrawan muda segera membalik dan menghadapi penjahat tinggi besar yang kini kelihatan agak ragu-ragu melihat ada orang berani campur tangan.
"Hai, kamu Hai-ci-cu (Tikus Laut), apakah kamu tidak pernah sekolah?"
Pertanyaan itu terdengar begitu wajar dan akrab sehingga si tinggi besar terbawa hanyut dan otomatis dia pun menggelengkan kepala. "Tidak..." Akan tetapi dia pun segera sadar dan mukanya menjadi merah, lalu mengepal tinju.
"Bocah lancang! Mau apa engkau mencampuri urusanku?" Ia pun melangkah maju sambil mengamangkan tinjunya yang besarnya hampir sama dengan besar kepala pemuda itu. "Apa kau ingin kepalamu pecah?"
Pemuda itu dengan lagak lucu meraba-raba kepalanya. "Kepala pecah? Wah, jangan ahh, kepala cuma satu dipecah, lalu ke mana aku harus mencari gantinya?"
"Pemuda gila, pergilah, jangan sampai aku marah!" Hai-pa-cu Can Hoa membentak lagi sambil mengamangkan tinjunya ke depan hidung pemuda itu. Si pemuda mengernyitkan hidungnya, lalu menggunakan dua jari tangannya untuk menutup lubang hidungnya sambil mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Huh, tanganmu bau! Tentu engkau tidak pernah mencuci tangan dan tak pernah mandi!" katanya.
Karena hidungnya sedang dijepit jari, maka suaranya menjadi lucu dan bindeng, membuat beberapa orang yang berada di situ tak dapat menahan ketawa mereka. Biar pun semua tamu maklum bahwa si tinggi besar itu adalah seorang penjahat, akan tetapi karena tidak ada yang mengenalnya, maka kesannya tak begitu menakutkan. Apa lagi mereka semua rata-rata mengenal siapa adanya gadis manis yang diganggu itu maka tentu saja mereka semua berpihak kepada si nona dan semua orang menganggap bahwa si tinggi besar itu sungguh mencari penyakit. Munculnya pemuda sastrawan yang juga tidak dikenal orang itu mendatangkan kegembiraan dan keinginan tahu.
Si Macan Tutul Laut menjadi marah bukan main. Tadi dia sudah dimaki Tikus Laut, dan sekarang dikatakan tangannya bau dan dia tidak pernah mandi. Mukanya yang berkulit kasar hitam itu menjadi semakin hitam.
"Bangsat bermulut lancang! Engkau benar-benar sudah bosan hidup!" Setelah berteriak demikian, si tinggi besar ini sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu bergerak ke depan mengirim serangan.
Memang serangannya itu cukup dahsyat, yang kanan menghantam ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah dada. Semua serangan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga yang besar sehingga membawa angin pukulan yang cukup kuat.
Akan tetapi, pemuda yang nampaknya lemah dan lucu itu sama sekali tidak merasa takut atau gentar, juga tidak nampak gugup sedikit pun juga. Menghadapi serangan seperti itu, dengan tenang saja dia melangkah mundur sambil menarik kepalanya ke belakang dan kedua tangan lawan yang menyerangnya itu hanya mampu mendekati saja akan tetapi sama sekali tidak sampai mengenai tubuhnya! Dan dia pun masih sempat menengok ke arah nona manis itu sambil tersenyum dan mengedipkan matanya, seakan-akan memberi isyarat, bahkan dia pun sempat berkata,
"Mari kita semua lihat, siapa yang bosan hidup. Anjing kudisan semacam dia ini berani mengganggu seorang siocia terhormat di tempat umum, sungguh dialah sebenarnya yang bosan hidup!"
Dia masih juga berkata-kata ketika serangan ke dua datang dengan hebatnya. Sekali ini, karena si tinggi besar sudah dapat menduga bahwa pemuda yang kelihatannya lemah itu sebenarnya bukan lawan yang boleh dipandang ringan, telah mengirim serangan dengan lebih dahsyat lagi, terdorong oleh rasa marahnya. Dan nona itu pun memandang dengan bingung.
Thian Sin dan Kim Hong yang sejak tadi duduk tenang sambil memperhatikan, melihat betapa nona itu nampak bingung melihat ada orang membantunya. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pandang mata mereka yang tajam dan mereka merasa alangkah anehnya sikap nona itu. Seolah-olah nona manis itu tidak menghendaki bantuan pemuda tampan itu.
Sementara itu, serangan yang ke dua itu pun dielakkan dengan amat mudahnya oleh si pemuda yang masih tersenyum-senyum. "Hati-hati, jangan kau membuat rusak perabot rumah makan ini, karena engkau harus menggantinya nanti!" Pemuda itu masih sempat memperingatkan kepada penyerangnya yang menjadi semakin marah.
Sesudah empat lima kali menyerang namun gagal dan selalu mengenai tempat kosong, akhirnya si tinggi besar itu mencabut senjatanya dari pinggangnya, yaitu sepotong rantai baja yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang atau sabuk. Rantai ini besar dan berat, terbuat dari pada baja, seperti rantai yang biasa dipergunakan oleh tukang perahu.
Sepasang matanya yang besar melotot dan kemerahan, mulutnya cemberut, sedangkan hidungnya kembang kempis pada waktu si tinggi besar itu melangkah maju menghampiri pemuda yang mengganggunya.
"Wah, apakah engkau tukang perahu? Ataukah biasa menjagal kerbau dan rantai itu biasa kau pakai untuk mengikat kerbau yang hendak kau sembelih? Hati-hati, rantai itu berat, jangan main-main, bisa-bisa menimpa kepalamu sendiri hingga benjol!" Pemuda itu terus memperolok dan semua orang yang kini sudah mulai percaya bahwa pemuda itu adalah seorang yang mempunyai kepandaian lihai tertawa, bahkan ada pula yang berteriak agar si pemuda menghajar orang kasar yang telah menghina gadis itu.
Si gadis itu sendiri tidak lagi duduk menghadapi mejanya, melainkan mundur-mundur dan mendekati meja Thian Sin dan Kim Hong. Ketika Thian Sin memandang dan gadis itu pun kebetulan memandang kepadanya, sepasang mata Thian Sin bertemu dengan sepasang mata yang bening dan jeli, yang mengeluarkan sinar lain dari pada tadi.
Apa bila tadi sepasang mata di dalam cermin itu seperti menantang dan merangsang, kini sepasang mata itu seperti mengirim suatu permohonan, yaitu agar Thian Sin membantu dirinya. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin! Akan tetapi karena penjahat kasar itu sudah dihadapi oleh si pemuda sastrawan dan dia mulai percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengatasinya, maka Thian Sin tidak bergerak dari tempat duduknya.
Kim Hong juga diam-diam merasa kagum terhadap pemuda sastrawan itu. Tak diduganya bahwa pemuda sastrawan yang tadi bersajak dengan lucu, selain memiliki watak gagah berani membela wanita yang diganggu orang, juga ternyata mempunyai kepandaian yang mengagumkan.
Cara pemuda itu mengelak, tanpa gerakan silat, seperti gerakan biasa saja, akan tetapi sedikit pun serangan-serangan si tinggi besar tak pernah mampu menyentuhnya, menjadi bukti bahwa pemuda itu memang mempunyai ilmu silat yang sudah mendarah daging dan tinggi sehingga setiap gerakannya otomatis mengandung gerakan silat. Juga pemuda itu mempunyai keberanian yang besar, terbukti saat melihat lawannya mengeluarkan senjata rantai baja yang berbahaya itu, dia masih dapat menghadapinya dengan olok-olok, sedikit pun tidak merasa gentar.
Padahal, Thian Sin dan Kim Hong dapat melihat bahwa penjahat itu bukan hanya kasar dan bertenaga besar, melainkan juga memiliki kepandaian yang tidak rendah dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Melihat gerakan orang kasar itu, Thian Sin dan Kim Hong dapat mengukur bahwa kepandaian si kasar ini sedikitnya tidak kalah oleh tingkat kepandaian seorang di antara Siang-to Ngo-houw! Jadi dia bukan penjahat sembarangan saja, melainkan seorang penjahat yang sudah boleh dianggap sebagai tokoh dalam dunia kaum sesat.
Dugaan Pendekar Sadis dan kekasihnya ini memang tidak keliru. Memang Hai-pa-cu Can Hoa sudah terkenal sekali di kota Yen-tai dan sekitarnya. Tentu saja dia tidak dikenal di kota raja dan dia belum cukup besar untuk berani beraksi di kota raja, di mana banyak terdapat penjahat besar dan orang-orang pandai.
Maka, sungguh merupakan suatu keanehan kalau sekarang penjahat ini berani beraksi di kota raja, apa lagi mengganggu seorang nona cantik yang sudah dikenal banyak orang di tempat umum. Seolah-olah penjahat dari Yen-tai itu memang sengaja mencari perkara!
"Wirrr... siuuuuttt...!"
Rantai baja yang panjangnya ada satu setengah meter itu menyambar ganas dari atas ke bawah, ke arah kepala si pemuda sastrawan.
"Uhhhh... luput!" Pada detik-detik terakhir pemuda itu meloncat ke kiri sehingga rantai itu menyambar tempat kosong.
Sebelum rantai itu menyentuh lantai, tangan yang kuat itu menyendalnya hingga rantai itu segera membalik dan kini dari bawah menyambar ke samping, ke arah kedua kaki lawan. Gerakan ini saja menunjukkan bahwa Hai-pa-cu memang sudah mahir sekali memainkan rantainya, dan juga tenaganya besar bukan main sehingga rantai itu seolah-olah hidup di tangannya.
"Eeiiittttt... tidak kena lagi!" Si pemuda mengejek sambil meloncat ke atas, membiarkan rantai itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Akan tetapi baru saja kakinya turun, rantai itu sudah menyambar lagi, kini dari atas ke bawah lagi, dengan gerakan menyerong ke kiri.
"Heiiittt...., luput lagi, sayang!" Lagi-lagi si pemuda mengelak dengan gerakan cepat bukan main, gerakannya seperti kacau balau, laksana monyet menari saja.
Akan tetapi di dalam pandangan Thian Sin dan Kim Hong, mereka melihat kematangan gerak yang amat mengagumkan sehingga mereka menduga bahwa pemuda itu agaknya adalah seorang ahli silat tinggi, tentu seorang pendekar yang menyamar. Maka tentu saja keduanya merasa tertarik sekali.
"Wuuuttt...! Prakkk...!"
Sambaran rantai yang luput mengenai tubuh si sastrawan muda untuk ke sekian kalinya, kini menimpa meja. Pecahlah meja itu dan mangkok piring pun pecah berhamburan.
"Wah-wah-wah, apa kukata? Engkau memecahkan meja dan mangkok yang tadi kupakai. Engkau harus menggantinya! Sialan, jangan-jangan aku yang disuruh mengganti. Engkau pantas dihajar!"
Hai-pa-cu menjadi semakin marah dan sekarang dia sudah menubruk kembali, rantainya menyambar dengan membuat gulungan sinar melengkung lebar dari samping. Si pemuda menyambutnya dengan tangan.
"Plakkk!" Dan ujung rantai itu membelit lengan si pemuda.
Wajah si tinggi besar itu menyeringai kegirangan dan mengira bahwa sekarang dia dapat membalas. Ditariknya rantai itu dengan pengerahan tenaga agar pemuda itu terbawa dan terpelanting. Namun, ternyata tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah seorang anak kecil menarik batu karang saja!
Dan pemuda itu pun tersenyum-senyum, lalu tiba-tiba saja kakinya bergerak menendang, mula-mula kaki kiri lantas disusul kaki kanan. Tendangan pertama mengenai pergelangan tangan si tinggi besar yang memegang gagang rantai. Tidak keras, namun karena ujung sepatunya dengan tepat mengenai jalan darah, Hai-pa-cu langsung mengeluarkan seruan kaget, lengannya seperti lumpuh sehingga tangannya tidak mampu lagi mempertahankan rantainya yang terampas.
Sebelum dia tahu apa yang sudah terjadi, tendangan ke dua datang. Kiranya pemuda itu menggunakan tendangan Soan-hong-twi, yaitu semacam tendangan berantai yang dapat dilakukan terus-menerus secara bergantian oleh kedua kaki.
"Desss...!"
Tendangan itu sangat keras dan tepat bersarang di dada Hai-pa-cu. Agaknya sekali ini si pemuda telah mengerahkan tenaga sinkang-nya karena tubuh lawan yang tinggi besar itu terlempar keras ke arah... meja Thian Sin dan Kim Hong!
Kalau tubuh tinggi besar yang terlempar itu terbanting dengan kerasnya ke atas meja, tentu meja itu akan remuk dan akan menimpa masakan-masakan di dalam mangkok yang tentu akan membuat kuah masakan memercik ke muka dan pakaian Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tentu saja tidak menghendaki hal ini terjadi, maka keduanya sudah bangkit berdiri dan mengulur lengan. Dengan berbareng tangan mereka menerima tubuh itu dan mendorongnya kembali ke arah si pemuda sastrawan!
Melihat ini, pemuda sasterawan itu berseru kagum. "Bagus sekali!"
Memang gerakan Thian Sin dan Kim Hong itu amat hebat dan hal ini hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dapat mendorong kembali tubuh yang sedang melayang deras itu membutuhkan tenaga sinkang yang lembut dan kuat. Bukan melawan tenaga luncuran tubuh yang melayang itu, akan tetapi memutarnya sedemikian rupa sehingga tenaga luncuran itu tidak patah justru ditambah oleh tenaga mereka berdua sehingga si tinggi besar itu kini melayang ke arah si sastrawan muda dengan lebih cepat dari pada tadi!
Hal ini memang disengaja oleh Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tahu bahwa pemuda itu sudah mengenal mereka, atau setidaknya sudah maklum akan kepandaian mereka, maka tadi si pemuda sengaja melontarkan Hai-pa-cu ke arah mereka. Tentu dengan niat untuk menguji, maka kini mereka pun ingin menguji pemuda sastrawan yang aneh itu.
Akan tetapi, agaknya pemuda sastrawan itu tidak berani menyambut lontaran yang kuat itu dengan tenaga sinkang, melainkan dia miringkan tubuhnya dan mencengkeram leher baju si tinggi besar itu, kemudian dengan bentakan nyaring dia langsung melemparkan tubuh itu ke arah pintu rumah makan sambil berseru,
"Pergilah!"
Tubuh Hai-pa-cu terbanting keluar rumah makan diiringi sorakan dan ejekan banyak orang. Si tinggi besar yang tadi bersikap sombong dan mengaku sebagai jagoan dari Yen-tai itu tidak berani banyak lagak lagi. Tanpa menoleh dia pun merangkak bangkit dan segera melarikan diri dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu.
Pemuda sastrawan itu kini menghampiri si gadis manis yang masih berdiri di dekat meja Thian Sin, menjura dengan senyum ramah. "Jangan khawatir, nona. Anjing itu telah kuusir dan persilakan nona melanjutkan menikmati hidangan nona."
Gadis itu yang tadinya sedang memandang kepada Thian Sin, kini menoleh dan terpaksa menghadapi pemuda itu, mengangguk dan tanpa berkata apa pun lantas kembali duduk menghadapi mejanya.
Tentu saja pemuda sastrawan itu melongo menghadapi sikap yang dingin ini. Bukankah dia telah menolongnya dan mengusir laki-laki yang kasar tadi? Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan terima kasih, bahkan ramah sedikit pun tidak! Dan pada saat itu, kepala pelayan sudah datang dan menghampirinya, menjura sambil berkata dengan suara lirih dan hati-hati.
"Maaf, kongcu. Meja dan perabot makan itu..."
Pemuda itu agaknya masih merasa mendongkol oleh sikap si gadis yang tidak mengenal budi, maka kini dia menoleh memandang meja yang pecah-pecah serta perabot makan yang hancur, lalu mengangkat pundaknya. "Kau tadi melihat sendiri, yang membikin rusak adalah anjing besar itu. Apakah aku yang harus menggantinya?"
"Tapi... maaf, orang tadi sudah pergi dan dia berkelahi di sini dengan kongcu...," Biar pun merasa segan, namun kepala pelayan itu terpaksa menuntut karena dia pun takut untuk mempertanggung jawabkan kerusakan dan kerugian itu kepada majikannya.
Dan apa yang dilakukannya itu, yaitu menuntut kepada si pemuda sastrawan, juga bukan merupakan hal yang tidak benar karena bukankah perkelahian itu terjadi antara si tinggi besar dan si pemuda sastrawan? Dan karena si tinggi besar sudah pergi, siapa lagi kalau bukan pemuda itu yang harus menggantinya? Apa lagi pemuda itu tidak kelihatan sebagai seorang miskin.
"Sudahlah, lopek. Masukkan semua kerugian itu ke dalam perhitunganku. Aku yang akan membayar ganti ruginya." Tiba-tiba gadis itu berkata, tanpa mengangkat muka dan terus melanjutkan makan seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Pemuda sastrawan itu tersenyum dan mendekati meja nona itu. "Ahh, sebenarnya tidak perlu begitu, nona. Biarlah aku saja yang mengganti semua kerugian."
"Biarlah, karena aku yang menjadi gara-gara semua itu, sungguh pun aku sama sekali tidak pernah minta atau mengharapkan bantuan darimu." Jawaban ini sungguh dingin dan anehnya, kembali nona itu melirik ke arah Thian Sin sehingga Kim Hong yang sejak tadi melihat ini, mengerutkan alisnya.
Pasti ada apa-apanya sikap gadis ini terhadap Thian Sin, pikirnya. Bagi Kim Hong, tidak heranlah melihat gadis-gadis tertarik kepada kekasihnya yang memang amat tampan dan ganteng, namun mengapa gadis ini begitu memperhatikan Thian Sin, padahal, bukankah yang telah membantunya adalah pemuda sastrawan itu dan pemuda itu pun sama sekali tidak dapat dibilang buruk, bahkan tampan dan menarik sekali! Hemm... pasti ada kutang di balik baju.
Akan tetapi, pemuda itu tidak nampak bingung atau kecewa mendengar ucapan itu. "Aku mengerti, nona. Aku tahu bahwa tanpa bantuanku sekali pun, anjing itu sama sekali tidak akan mampu mengganggumu. Hanya kupikir, tidak sepantasnya kalau nona sendiri yang turun tangan menghajar orang kasar macam dia. Padahal, andai kata tidak ada aku sekali pun di hadapan nona, terutama dengan hadirnya dua orang pendekar yang berilmu tinggi seperti kedua orang yang duduk di sebelah kiri itu, penjahat kecil semacam Hai-pa-cu itu akan mampu berbuat apakah?" Berkata demikian, pemuda itu menoleh kepada Thian Sin dan Kim Hong, lalu menjura ke arah mereka. Gadis itu pun menoleh, kemudian dia pun tersenyum manis kepada Thian Sin.
"Aku pun tahu dan merasa kagum sekali kepada mereka," lanjut pemuda itu.
Mendengar ini, Kim Hong tertawa dan berkata, "Ehh, sobat sastrawan yang hebat, setelah mejamu remuk, mengapa engkau tidak makan bersama kami sekalian belajar kenal?"
Thian Sin juga cepat bangkit dan menjura kepada gadis itu. "Agaknya kita semua saling mengagumi, bagaimana jika kita berempat makan semeja dan minta disediakan hidangan baru yang segar? Sudikah nona...?"
Tidak seperli ketika menghadapi pemuda sastrawan tadi, kini gadis ini tersenyum manis dan berkata, "Terima kasih, aku pun ingin sekali berkenalan dengan ji-wi..." Lalu gadis tu memanggil pelayan, menyuruh pelayan membersihkan meja baru dan mereka berempat pun lalu duduk di satu meja.
"Ha-ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasibku hari ini. Perkenalkanlah, aku she Bu bernama Kok Siang seorang pelancong dari Thian-cin. Sungguh berbahagia sekali hatiku karena dapat berkenalan dengan tiga orang yang lihai dan amat mengagumkan." Sambil berkata begini, pemuda itu bangkit dan menjura kepada mereka bertiga, satu demi satu, sikapnya akrab, ramah dan kocak sekali sehingga Kim Hong tersenyum dan merasa semakin suka kepada sastrawan yang berwatak lembut, tidak pemarah dan selalu gembira ini.
"Aku she Bouw, bernama In Bwee." kata gadis itu, lebih ditujukan kepada Thian Sin dari pada kepada dua orang yang lain karena ketika memperkenalkan dirinya, matanya tidak pernah melepaskan wajah Thian Sin.
"Nama yang amat indah!" kata Bu Kok Siang, sastrawan muda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun itu. "Dan aku pun pernah mendengar bahwa di kota raja ada seorang hartawan besar. Nama Bouw-wan-gwe (Hartawan Bouw) sudah sangat terkenal, bukan hanya karena kaya raya melainkan juga karena dermawan..."
"Ahhh, itu hanya berita yang dilebih-lebihkan. Bouw-wan-gwe adalah ayahku, dan jangan terlalu memuji...," kata Bouw In Bwee dan sekali ini mau tidak mau dipandangnya Kok Siang sambil tersenyum simpul.
"Aha, ternyata puteri Bouw-wan-gwe! Wah, dibandingkan dengan harta kekayaan orang tuamu, aku tidak lebih hanya seorang jembel saja, siocia!" kata pula Kok Siang.
"Hemm, saudara Bu terlalu merendahkan diri," tegur Kim Hong tersenyum.
"Eh, eh, sampai lupa. Ji-wi (kalian berdua) belum memperkenalkan diri," kata Kok Siang, dan sepasang pendekar itu melihat sinar aneh berkilat dari kedua mata pemuda itu, sinar kecerdasan sehingga mereka dapat menduga bahwa di balik sikap yang acuh tak acuh itu sebenarnya tersembunyi perhatian yang besar.
"Namaku Ceng Thian Sin dan dia adalah Toan Kim Hong." kata Thian Sin sambil lalu, tapi dia memperhatikan kalau-kalau kedua orang itu mengenal namanya. Akan tetapi gadis itu tidak kelihatan terkejut, dan pemuda itu pun hanya mengerutkan alisnya.
"Ceng Thian Sin...? Serasa pernah aku mendengar nama ini, seperti tidak asing bagiku, akan tetapi... baru sekarang aku berjumpa dengan taihiap..."
"Ahh, buang saja taihiap itu, engkau sendiri pun berkepandaian hebat, saudara Bu."
"Tidak ada sekuku hitam Ceng-taihiap dan juga Toan-lihiap... ahh, nama Toan Kim Hong sungguh indah sekali!"
Kim Hong tersenyum dan menatap wajah ganteng itu. "Hik-hik, agaknya saudara Bu Kok Siang ini selain pintar bersajak, pintar ilmu silat, juga memiliki kepandaian untuk merayu dan memuji-muji nama wanita. Sungguh mempunyai banyak macam kepandaian!"
Ucapan ini sebenarnya dapat dianggap sebagai tamparan, akan tetapi karena Kim Hong mengatakannya dengan nada sungguh-sungguh, bukan mengejek, dan sambil tersenyum manis, maka pemuda itu pun tertawa gembira.
Mereka segera makan minum sambil bercakap-cakap gembira. Thian Sin dan Kim Hong mendengar bahwa In Bwee selain menjadi puteri seorang hartawan yang kaya, juga sejak kecil dia mempelajari ilmu silat hingga mencapai tingkat yang cukup tinggi sehingga andai kata tadi Kok Siang tidak turun tangan, dia sendiri pun akan sanggup menghajar penjahat kasar itu.
Karena selain sebagai seorang gadis kaya, juga dia merupakan seorang gadis ahli silat, maka tidaklah mengherankan kalau In Bwee suka melakukan perjalanan seorang diri, dan malam itu memasuki restoran tanpa teman lagi, seperti biasanya seorang gadis kang-ouw yang bebas.
Ada pun Bu Kok Siang, menurut pengakuannya adalah seorang perantau yang bertempat tinggal di kota Thian-cin dan kebetulan sedang melancong ke kota raja. Baru tiga hari dia berada di kota raja. Semua nampaknya kebetulan saja, akan tetapi diam-diam pasangan pendekar ini menduga dengan penuh keyakinan bahwa kedua orang muda yang menjadi teman baru itu sama sekali bukan secara kebetulan saja bertemu dengan mereka. Malah kemunculan Hai-pa-cu tadi pun bukan tidak mungkin sudah direncanakan terlebih dahulu.
Akan tetapi, tentu saja mereka tidak mau menyinggung soal ini. Semakin cerdik keadaan lawan, makin menariklah permainan itu! Mereka sendiri mengaku sebagai dua orang yang melancong kota raja, datang dari utara tanpa memberi tahu mengenai hubungan mereka berdua. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka adalah teman-teman baik saja.
Mereka lalu berpisah sebagai kawan-kawan baru setelah saling berjanji akan berkunjung ke rumah Bouw In Bwee yang mengundang mereka. Akan tetapi yang terutama mendapat perhatian dan undangan khusus dari In Bwee adalah Thian Sin.
"Tidak salah lagi, mereka berdua itu tentu ada hubungannya dengan urusan ini," demikian kata Thian Sin setelah mereka tiba di kamar hotel mereka.
"Aku pun berpendapat begitu. Dan gadis itu memiliki she Bouw, sungguh kebetulan sekali she-nya sama dengan she dari kepala penjahat besar di kota raja yang pernah kita dengar dari Liong-kut-pian Ban Lok itu."
"Kau maksudkan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng?"
Kim Hong mengangguk. "Sikapnya sungguh mencurigakan sekali dan... dan... dia selalu memperhatikan engkau, juga kelihatan selalu hendak memikat..."
"Ehhh, kau cemburu?" Tentu saja sejak tadi Thian Sin sudah dapat mengetahui betapa In Bwee selalu memikatnya dan betapa Kim Hong melihat hal ini dengan perasaan cemburu yang disembunyikan.
"Siapa cemburu? Sastrawan itu pun ganteng dan menarik sekali!" jawab Kim Hong.
Thian Sin maklum bahwa kekasihnya itu sengaja menyebut-nyebut nama Kok Siang untuk membalasnya.
"Pemuda itu pun patut diperhatikan, dia tidak kalah menarik dan mencurigakan dari pada In Bwee. Karena itu, aku ingin agar engkau mencari dan menyelidikinya."
"Dan engkau sendiri akan menyelidiki In Bwee?"
"Tepat! Kita membagi tugas dan kurasa dari mereka itulah kita akan mengetahui tentang rahasia peta yang hilang."
"Hemm, tugas yang manis dan menyenangkan bagimu, ya?"
"Kim Hong, keadaan kita sama saja."
"Maksudmu?"
"Aku bisa tertarik kepada In Bwee yang manis, akan tetapi engkau pun bisa saja tertarik kepada Kok Siang yang ganteng. Bukan engkau saja yang bisa cemburu, aku pun bisa."
"Jadi..."
"Nah, kita uji diri serta batin sendiri. Sedikit main-main, apa salahnya? Dan yang paling penting adalah kita bukan mengejar asmara, namun mengejar rahasia peta. Ingat!" Thian Sin tersenyum.
Kim Hong membalas pandang mata itu, dan tersenyum pula. Keduanya pun mengerti, lalu saling rangkul dan keduanya roboh di atas pembaringan sambil tertawa-tawa dan mereka segera tenggelam di dalam lautan kemesraan dan pencurahan kasih sayang mereka satu sama lain.
Gadis yang sedang membaca kitab seorang diri di pondak mungil di tengah taman bunga itu sungguh nampak cantik manis di bawah sinar lampu merah. Dan pondok yang terbuka jendelanya itu dipenuhi dengan keharuman bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan juga bunga-bunga lain yang memenuhi taman.
Tidak ada seorang pun pelayan yang menemani Bouw In Bwee. Memang In Bwee ingin bersendirian membaca kitab dan dia telah mengusir semua pelayan dari pondok di taman bunga keluarganya yang kaya raya. Bulan di luar pondok amat cemerlang karena malam itu memang menjelang bulan purnama yang akan muncul dua malam lagi. Bulan sudah nampak bundar dan cerah.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di dalam pondok itu sudah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Sekali pria itu mengebutkan lengan bajunya, maka padamlah lampu yang terletak agak jauh, terletak di atas meja! Hal ini membuktikan betapa hebatnya tenaga sinkang dari pria itu. Keadaan dalam pondok mendadak menjadi gelap remang-remang karena kini hanya mendapatkan sedikit penerangan dari cahaya bulan.
Akan tetapi In Bwee tidak nampak terkejut. Memang semenjak tadi dia telah menanti. Dia hanya bangkit berdiri, menoleh ke arah pria itu.
"Paman...," katanya lirih sebagai sambutan.
"In Bwee, bagaimana hasilnya?"
"Aku telah berhasil menghubungi mereka, paman. Akan tetapi aku harus bertindak secara hati-hati sekali. Mereka berdua mempunyai ilmu yang amat tinggi, dan mengingat bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis, hatiku sungguh tidak tenang sekali."
"Hemmm..., sudah kukatakan bahwa engkau tak perlu mengandalkan ilmu silatmu. Untuk menghadapinya dalam hal itu, serahkan saja kepadaku kelak. Yang penting engkau harus dapat memikatnya, menarik perhatiannya sehingga dia dapat menceritakan dengan terus terang tentang kunci emas itu. Bagaimana hasilnya malam kemarin itu?"
"Sebetulnya, dengan bantuan Hai-pa-cu telah kuatur seperti yang paman kehendaki. Akan tetapi sialan benar, ada yang campur tangan dan sama sekali di luar rencana kita. Muncul seorang sastrawan muda dari Thian-cin bernama Bu Kok Siang yang memiliki kepandaian tinggi juga. Melihat gerakannya ketika dia mengalahkan Hai-pa-cu, tentu kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkatku."
"Hemm... jadi engkau gagal karena ulah sastrawan jahil itu?"
"Gagal sama sekali sih tidak, sebab aku berhasil berkenalan dengan mereka, juga dengan sastrawan itu tentu saja, dan aku sudah menjadi kenalan mereka, malah sudah kuundang dia untuk datang ke sini..."
"Bagus, kau atur saja dan jangan engkau main-main, In Bwee. Jika berhasil, maka selain akan mewarisi ilmu-ilmu simpananku, engkau juga akan memperoleh sebagian dari harta pusaka Jenghis Khan itu. Akan tetapi kalau engkau menolak dan mengkhianatiku, awas kau, aku tidak akan mengampunimu lagi. Ayah bundamu akan mendengar semuanya!"
"Paman..." Gadis itu terisak.
"Jangan khawatir, aku tidak akan sekejam itu, engkau adalah keponakanku sendiri. Akan tetapi engkau harus mentaati perintahku, hanya sekali ini. Mengerti?"
"Baik, paman."
"Nah, aku pergi dulu. Lakukan secepat mungkin dan harus berhasil!" Tiba-tiba orang tinggi besar itu berkelebat dan lenyap dari situ seperti setan saja.
In Bwee menyalakan lampu dengan jari-jari tangan gemetar. Wajahnya masih agak pucat dan jantungnya berdebar tegang. Setelah lampu menyala, barulah hatinya tenang, akan tetapi pikirannya mengenang keadaan dirinya dan tanpa dapat ditahan lagi gadis itu pun menangis sambil meletakkan kepala di atas kedua lengannya di atas meja. Entah berapa lamanya dia terhanyut dalam kedukaan ini, dia tidak ingat lagi.
"Nona In Bwee... kenapa kau menangis...?"
In Bwee terkejut bukan main dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat keluar dari kamar pondok itu lantas dia berhadapan dengan seorang pemuda yang tadi berdiri di luar jendela, pemuda yang bersikap tenang dan bukan lain adalah Bu Kok Siang!
"Ahh, kiranya engkau..." In Bwee berkata dengan hati lega ketika melihat siapa orangnya yang barusan menegurnya tadi. Akan tetapi segera dia teringat akan kedatangan orang pertama tadi, maka sambil berusaha menatap wajah di bawah sinar bulan yang sayu itu, dia pun bertanya, "Sudah lamakah engkau tiba di sini?"
Kok Siang mengangguk. "Lama juga, aku tadi berlindung di balik rumpun bunga di sana."
"Ahh...! Jadi... jadi kau tadi melihat...?"
Pemuda itu mengangguk.
"Ahh...!" In Bwee menjadi terkejut sekali dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya.
Sentuhan tangan pemuda pada pundaknya itu halus sekali, sama sekali tak mengandung kekurang ajaran dan suara itu tergetar penuh perasaan. "In Bwee... nona... tenangkanlah hatimu. Aku tidak sengaja melihat semua itu tadi, tapi... percayalah aku tak akan pernah mengatakannya kepada siapa pun juga. Aku bersumpah! Dan kau jangan khawatir, aku... aku siap untuk melindungimu dari ancaman apa pun juga, dengan taruhan nyawaku!"
Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan sampai lama dia memandang wajah pemuda itu, memandang dengan penuh keheranan dan keraguan. Kemudian dia berkata, "Marilah kita bicara di dalam. Di sini bisa terlihat orang lain."
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, In Bwee memasuki pondok itu diikuti oleh Kok Siang. Kemudian, sesudah menutupkan daun jendela, In Bwee bersikap agak tenang dan mencoba untuk menahan getaran suaranya yang masih terguncang.
"Bu-kongcu... ehh, saudara Kok Siang, kau duduklah."
Mereka duduk berhadapan dan kembali di bawah penerangan lampu kini mereka saling pandang dan sinar mata mereka bertaut sampai lama sekali. Gadis itu lalu menunduk dan menarik napas panjang.
"Jawab pertanyaan-pertanyaanku. Pertama, kenapa malam-malam begini engkau datang ke sini, bukan berkunjung sebagai tamu namun datang seperti ini, melalui taman seperti pencuri?"
Pertanyaan itu tak mengandung kemarahan, akan tetapi tatapan mata itu demikian tajam seakan-akan gadis itu hendak menjenguk isi hati pemuda itu. Kok Siang yang biasanya berjenaka itu, sekarang nampak serius.
"Entahlah... aku tidak dapat tidur... siang tadi aku ingin mengunjungimu akan tetapi selalu teringat akan perbedaan keadaan antara kita, membuat aku ragu-ragu. Tapi malam ini... aku begitu gelisah dan ingin sekali berjumpa denganmu, atau setidaknya melihatmu, atau paling tidak melihat rumahmu dan... di sinilah aku. Ketika lewat di rumahmu, aku semakin ingin melihatmu, maka dengan lancang aku telah meloncati tembok lalu ke taman ini dan sungguh kebetulan sekali aku melihatmu dan tadi..."
"Cukup. Kini pertanyaan ke dua. Apakah kau tadi mengenal orang itu?"
Pemuda itu menggeleng. "Terlalu gelap untuk dapat melihatnya dan gerakannya demikian cepat, seperti setan menghilang saja. Akan tetapi dia itu pamanmu, bukan?"
Kedua tangan gadis itu mencengkeram lengan pemuda itu, bukan serangan, melainkan cengkeraman karena terkejut. "Kau... kau tahu...?"
Kok Siang menggelengkan kepala. "Aku tadi lapat-lapat mendengar engkau menyebut dia paman, dan... aku... aku tidak sengaja mendengar ancamannya yang terakhir tadi, yaitu kata-kata ini: Nah, aku pergi, lakukan secepat mungkin dan harus berhasil."
"Ahhh...!" Entah apa artinya keluhan ini, mungkin juga perasaan lega karena pemuda itu tidak mengetahui semuanya, atau juga khawatir. Kok Siang tidak dapat menyelami hati gadis ini. Akan tetapi In Bwee melepaskan cengkeraman tangannya, lalu duduk kembali.
"Sekarang, jawablah sejujurnya, ahh, jangan sembunyikan rahasia, jawablah sejujurnya... kenapa engkau bersikap seperti ini kepadaku? Mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau hendak melindungi aku dari ancaman apa pun juga, dengan taruhan nyawamu?" Sekali ini, dengan terang-terangan In Bwee memandang wajah pemuda itu, sinar matanya seperti hendak menembus dan mengetahui isi hati pemuda itu.
Berdebar rasa jantung Kok Siang. Beberapa kali dia menelan ludah sebelum menjawab, kemudian dia pun berkata, suaranya lirih dan tergetar penuh perasaan, "Demi Tuhan, aku bersumpah bahwa apa yang hendak kukatakan ini adalah yang sejujurnya. Nona... ehhh, Bwee-moi, terus terang saja, selama hidupku belum pernah aku jatuh cinta. Akan tetapi sejak aku bertemu denganmu di restoran itu, melihat sikapmu menghadapi penjahat, aku sudah jatuh hati kepadamu dan aku telah mengambil keputusan bahwa engkaulah wanita satu-satunya yang kuingin agar menjadi jodohku. Akan tetapi... mendengar bahwa engkau adalah puteri seorang hartawan besar, timbul keraguanku karena aku tidak ingin dianggap pengejar harta dan hendak mengawini hartamu. Aku... aku cinta padamu, Bwee-moi. Nah, terus terang saja kukatakan ini, dari pada kusimpan-simpan hingga menjadi racun hatiku. Ketika melihat engkau menangis begitu sedih tadi... aku merasa bahwa akulah orangnya yang harus melindungimu dengan taruhan nyawaku."
"Ahh, tidak... tidak...!" Dan tiba-tiba In Bwee menutupi mukanya dan menangis lagi!
"Bwee-moi, jangan salah sangka. Aku sungguh tidak menginginkan hartamu. Aku sendiri bukanlah orang yang terlampau miskin, walau pun tidak sekaya ayahmu. Akan tetapi aku mempunyai cinta dan biar pun baru satu kali kita saling berjumpa, akan tetapi aku sudah yakin bahwa aku cinta padamu dan... aku bersedia menjadi jodohmu walau pun engkau tidak membawa harta secuwil pun."
Akan tetapi ucapan itu bahkan membuat In Bwee menangis semakin sedih.
"Bwee-moi, maafkan aku... ampunkanlah kalau aku menyinggung perasaanmu..."
In Bwee menggelengkan kepala. "Biarkan aku menangis... biarkan aku menangis..." dan dia pun mengguguk.
Kok Siang diam saja, hanya memandang dengan hati terharu dan dia tahu bahwa gadis itu bukan tersinggung melainkan sedang berduka, dan agaknya baru sekarang mendapat kesempatan untuk menumpahkan semua kedukaan hatinya melalui air matanya.
Setelah tangisnya mereda, akhirnya gadis itu mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu dengan wajah pucat dan mata merah. Sampai lama ia memandang, kemudian berkata lirih, "Aku percaya... sudah kurasakan sejak kemarin malam. Akan tetapi, aku... aku sungguh tidak berharga untuk menjadi isterimu atau isteri siapa pun juga." Kembali ia menangis.
Kok Siang terkejut dan cepat memegang tangan yang tergetar itu. "Ah, moi-moi... kenapa engkau bicara seperti itu? Engkau seribu kali lebih berharga dari pada aku!"
"Engkau tidak mengerti... ahh, baiklah, dengarkan akan kuceritakan kepadamu. Duduklah yang tenang, dan dengarkan ceritaku. Mala petaka itu terjadi tiga tahun yang lalu...! Kau tahu, semenjak kecil aku berlatih silat, dibimbing oleh pamanku yang ilmu silatnya amat tinggi. Aku berlatih bersama beberapa orang murid pamanku. Sesudah aku dewasa, tiga tahun yang lalu, aku berusia delapan belas tahun... dan keadaan pamanku itu, walau pun dia lihai tetapi... ahhh, dia bukan orang baik-baik... dia bergaul dengan orang-orang jahat, bahkan menjadi pemimpin mereka... begitu pula murid-muridnya... dan... ahh, aku terpikat oleh seorang suheng-ku... sampai... sampai pada suatu hari, dalam mabokku akibat kami minum arak, agaknya sudah disengaja oleh suheng-ku itu, aku... aku menyerahkan diriku padanya..." Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kemudian dia mengepal tinjunya dan mengangkat muka. "Nah, kini telah kau dengar baik-baik? Apakah engkau masih berani mengaku cinta padaku?"
Pengakuan itu bagaikan halilintar menyambar kepala pemuda itu. Dia menjadi nanar dan wajahnya pucat, matanya menjadi sayu dan merenung kosong. Akan tetapi, dia segera menggoyang kepalanya dan juga mengepal tinju.
"Bwee-moi, aku cinta padamu sekarang! Yang kucinta adalah engkau sekarang ini, bukan engkau dahulu-dahulu dan bukan pula keperawananmu! Nah, sudah dengarkah engkau?"
Ucapan yang keras itu mengejutkan In Bwee, juga mengherankannya. "Tapi... tapi..."
"Lanjutkan ceritamu!"
"Aku merasa menyesal sekali akan peristiwa itu dan aku... aku lalu membunuh suheng-ku itu! Aku tahu bahwa dia sengaja memikat dan melolohku dengan arak keras, dan akhirnya aku juga tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya dan bahwa dia pun hanya mau mempermainkan aku. Paman, yaitu suhu kami sudah tahu akan hal itu. Dia membantuku, merahasiakan hal itu. Kalau dia memberi tahu kepada ayah, tentu ayah akan marah sekali dan mungkin aku akan diusir, tidak akan menjadi ahli warisnya karena ayahku tidak suka anak perempuan. Nah, kemudian paman membantuku, menyimpan rahasia itu akan tetapi sebaliknya aku juga harus membantunya."
"Membantunya? Membantu apa?"
"Macam-macam, pokoknya yang mendatangkan uang. Malah aku sering disuruh mencuri barang-barang berharga milik ayah dan ibu untuknya, dan aku disuruh pula melakukan kejahatan bersama murid-murid dan anak buahnya..."
"Ahhh...!"
"Aku terpaksa... aku takut kalau sampai ayah dan ibu tahu bahwa aku sudah bukan gadis lagi... aku bahkan terus menerus menolak kalau mau dikawinkan... ahh, betapa aku telah menderita hebat... bukan hanya karena keadaanku ini, akan tetapi juga akibat penekanan paman..." Gadis itu menangis lagi, dan kini tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu melangkah maju, lantas memegang tangannya.
"Bwee-moi, pandanglah aku baik-baik. Nah, apakah sekarang engkau percaya bahwa aku cinta padamu? Mencinta dengan murni dan tulus, bukan hanya mencinta keperawananmu atau harta bendamu?"
Mereka saling pandang dan gadis itu mengangguk.
"Dengarkan baik-baik kalau engkau percaya dan engkau dapat membalas atau menerima cintaku. Engkau sudah bertindak keliru. Semestinya, engkau berterus terang kepada ayah bundamu dan menghadapi segala akibatnya. Dengan membiarkan dirimu diperalat oleh orang lain, maka berarti engkau semakin dalam terperosok. Sekarang, kau ceritakanlah semuanya kepadaku..."
"Tidak... aku tidak berani... engkau tidak tahu betapa lihainya pamanku," gadis itu berkata dengan muka pucat dan mata liar memandang ke kanan kiri. "Engkau pergilah, Siang-ko, pergilah dulu... dan biarkan aku berpikir dengan matang... kedatanganmu terlalu tiba-tiba. Besok... besok atau lusa kita bertemu lagi, di sini... malam-malam begini... sekarang kau pergilah..."
Kok Siang menghela napas, tidak berani memaksa. "Baiklah, akan tetapi ingatlah selalu bahwa di dunia ini ada Bu Kok Siang yang akan melindungimu dengan taruhan nyawa, yang akan tetap mencintamu dan tidak mempedulikan riwayatmu yang sudah lalu. Nah, selamat tinggal, sampai jumpa besok atau lusa malam."
"Baik, Siang-ko... kalau engkau melihat lampu merah di pondok ini, jendelanya terbuka, berarti aku menantimu di sini..."
Pemuda itu mengangguk, menggenggam kedua tangan itu, kemudian dia meloncat keluar dan lenyap dalam kegelapan malam. In Bwee memandang ke arah lenyapnya pemuda itu dengan mata sayu, kemudian termenung-menung dan akhirnya ia pun kembali menangis sendirian, menahan isaknya supaya tidak menimbulkan suara. Peristiwa yang baru saja terjadi itu terlalu hebat baginya. Dan ia sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang mendekatinya, kemudian terdengar suara orang di balik jendela.
"Hemmm..., diam-diam engkau telah punya pacar, ya? Baik, selesaikan tugasmu sampai berhasil dan engkau akan menikah dengan pacarmu itu, aku yang akan membujuk orang tuamu agar setuju. Akan tetapi kalau engkau mengkhianatiku, pacarmu itu akan kubunuh dan rahasiamu akan kuumumkan tidak hanya kepada ayah bundamu, akan tetapi kepada semua orang!"
"Paman...!" In Bwee berseru kaget sekali akan tetapi bayangan itu telah cepat berkelebat dan akhirnya lenyap.
In Bwee hanya dapat merenung dengan wajah pucat. Kemunculan guru atau pamannya yang lihai itu seketika langsung membuyarkan harapan serta khayalnya yang baru timbul bersama munculnya pemuda sastrawan itu. Sedikit harapan itu bagaikan awan tipis yang tersapu badai.
"Bu-kongcu...! Tunggu sebentar...!"
Bu Kok Siang yang sedang berjalan seorang diri pada pagi hari itu tentu saja mendengar teriakan suara wanita ini, maka ia pun cepat berhenti melangkah lalu menoleh. Wajahnya segera berseri dan bibirnya tersenyum ketika dia melihat siapakah gerangan wanita yang memanggilnya itu. Ternyata yang memanggilnya tadi adalah wanita cantik yang waktu itu telah dikenalnya di dalam rumah makan, yang bernama Toan Kim Hong!
Setelah wanita itu tiba di depannya, Kok Siang cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata, "Ahh, kusangka siapa, tak tahunya nona Toan. Dan harap jangan menyebutku kongcu (tuan muda), membuat aku menjadi malu saja."
"Selamat pagi, Bu... twako! Biar kusebut twako, biar pun mungkin aku lebih tua. Engkau tahu, wanita selalu ingin dianggap lebih muda," kata Kim Hong tersenyum.
Kok Siang tertawa. "Dan memang kelihatannya engkau jauh lebih muda dari pada aku, nona. Sepagi ini engkau hendak ke manakah? Dan mengapa nona sendirian saja? Mana saudara Ceng Thian Sin yang gagah perkasa itu?"
"Dia tinggal di kamarnya di hotel. Aku memang sengaja keluar hendak mencarimu."
Pemuda itu mengangkat dua alisnya dan memandang heran. "Lihiap... ehh, nona mencari aku? Ya nasib mujur! Sungguh beruntung sekali. Ada keperluan apakah gerangan...?"
Kim Hong tertawa, manis sekali. "Kita sudah saling berkenalan, apakah kalau tidak ada urusan penting tidak boleh mencari dan mengunjungi? Tadi aku lewat di depan hotelmu tapi engkau tidak ada, lalu kulihat engkau berjalan sendirian, seperti orang tergesa-gesa, maka kupanggil. Apakah aku mengganggumu? Kalau begitu biarlah aku pulang lagi saja."
"Ehh, ehhh... nanti dulu. Tentu saja aku girang dapat bertemu denganmu, nona. Aku pun belum sempat mengunjungi rumah penginapan kalian, dan kebetulan dapat berjumpa di sini. Nah, ke mana kita pergi sekarang untuk merayakan pertemuan ini?"
"Aku ingin bercakap-cakap denganmu, Bu-twako."
"Kalau begitu, mari kita pergi ke taman umum di tepi sungai, di sana indah dan sepi. Tidak enak bercakap-cakap di tepi jalan seperti ini."
Mereka lalu berjalan bersama menuju ke taman yang luas itu. Kota raja terkenal dengan taman-tamannya yang indah, akan tetapi hanya beberapa buah saja yang terbuka untuk umum, di antaranya taman di tepi sungai yang dikunjungi oleh dua orang muda itu.
Banyak orang yang bertemu dengan mereka di jalanan memandang pasangan ini dengan rasa kagum karena memang pasangan ini cocok sekali. Yang wanita cantik jelita, yang pria juga tampan dan ganteng. Dan keduanya tidak merasa canggung berjalan bersama, seolah-olah mereka memang telah menjadi sababat baik sejak dahulu.
Pada sepanjang perjalanan menuju ke taman bunga itu, Kim Hong mendapat kenyataan bahwa pemuda itu telah hafal akan keadaan kota raja, dapat menunjukkan tempat-tempat penting kepadanya, seperti seorang penunjuk jalan yang pandai dan ramah.
Pagi itu taman di pinggir sungai masih sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang sedang berkunjung dan berjalan-jalan di dalam taman, dan mereka itu tentu para pendatang dari luar kota. Ada pula yang pesiar naik perahu di pinggir sungai. Kim Hong dan Kok Siang memilih tempat duduk di tepi kolam ikan emas, di atas sebuah bangku panjang di mana mereka duduk berdampingan.
"Nah, sekarang kita berada di tempat sepi, berdua saja. Apakah yang hendak kau katakan kepadaku, nona?"
"Bu-twako, bukan aku yang ingin mengatakan sesuatu kepadamu, akan tetapi engkaulah yang sebaiknya mengatakan dengan terus terang kepadaku mengenai dirimu...," kata Kim Hong sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam dan penuh selidik.
Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Maksudmu?"
Kim Hong memutar tubuhnya sehingga sepenuhnya menghadapi pemuda itu dan pandang matanya mencorong, mengejutkan hati pemuda itu. "Bu-twako, kiranya engkau tidak perlu bersandiwara lagi. Kemunculanmu di restoran itu tentu bukan sebuah hal yang kebetulan saja. Engkau membawa suatu rahasia dan engkau tentu telah mengenal kami, setidaknya engkau mengetahui sesuatu tentang kami. Benarkah itu?"
Hening sejenak. Pemuda itu masih mengerutkan kedua alisnya dan kini pandang matanya juga serius, berkilat dan penuh semangat, tak lagi disembunyikan di balik kejenakaan dan kegembiraannya.
"Mengapa engkau dapat menduga seperti itu, nona? Adakah sesuatu yang mencurigakan dalam tindak tandukku selama ini?" Dia memancing karena masih meragukan kata-kata Kim Hong tadi yang dianggapnya hanya dugaan-dugaan belaka.
Kim Hong tersenyum, senyuman yang mengandung ejekan. "Kau kira kami begitu bodoh? Engkau adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi, tetapi engkau bersikap bodoh dan berkelakar. Kemudian secara sengaja engkau melemparkan Hai-pa-cu Can Hoa yang kau robohkan di restoran itu kepada kami. Ya, kami tahu bahwa dengan sengaja engkau melemparnya kepada kami, dan tentu saja ini berarti bahwa engkau hendak menguji kami dan berarti pula bahwa engkau sudah tahu atau menduga sesuatu mengenai kami. Nah, kuminta engkau bicara blak-blakan saja, kecuali kalau engkau hendak menganggap kami sebagai musuh."
Sejenak pemuda itu memandang kagum, lalu menarik napas panjang. "Aihh, sungguh aku sudah bertindak ceroboh sekali, tidak tahu menghadapi gunung Thai-san yang menjulang tinggi, tidak tahu bahwa nona amatlah cerdas dan pandai. Tentu sikapku waktu itu sudah memancing tawa dalam hati kalian. Maafkanlah. Terus terang saja aku mengetahui pada waktu kalian menghadapi Siang-to Ngo-houw, dan biar pun aku tidak mendengar sendiri percakapan antara kalian dengan mereka, akan tetapi aku dapat menduga kenapa kalian dicari oleh mereka itu. Tentu karena urusan... peta rahasia dan kunci emas, bukan?"
Kim Hong tidak terkejut, melainkan tersenyum. Memang dia dan Thian Sin telah menduga bahwa pemuda ini tentu ada kaitannya dengan urusan itu. "Bagus, ternyata engkau pun tersangkut. Tidak tahu engkau berdiri di pihak manakah?" katanya sambil melirik tajam.
Kok Siang menggelengkan kepala. "Tidak berdiri di pihak mana pun, melainkan di pihakku sendiri. Aku hendak menyelidiki siapa yang telah membunuh pamanku."
"Pamanmu?"
"Ya, Louw siucai adalah pamanku."
"Ahhh...!"
"Engkau tentu pernah mendengarnya."
Kim Hong mengangguk. "Sastrawan yang sudah membantu keluarga Ciang mengartikan peta kuno itu?"
"Benar, dia adalah pamanku. Paman membantu mereka menterjemahkan peta kuno dan beberapa hari kemudian dia terbunuh. Tentu pembunuhnya menghendaki agar dia tidak membocorkan rahasia tentang peta itu."
"Hemm, mungkin saja Su Tong Hak, paman Ciang Kim Su yang kurasa bukan merupakan orang baik-baik itu." kata Kim Hong.
"Aku pun tadinya menduga demikian. Akan tetapi aku ingin tahu secara pasti agar tidak salah tangan. Aku harus membalas kematian pamanku itu. Dia amat mencintaku dan dia sudah seperti ayahku sendiri. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda dan paman Louw itu kakak dari mendiang ibuku, bagiku merupakan pengganti orang tua. Dan dia dibunuh orang tanpa dosa!" Pemuda itu mengerutkan alis dan mengepal tinju.
Kim Hong merasa kasihan. "Jangan khawatir, Bu-twako, aku... kami akan membantumu. Kami pun sedang menyelidiki mereka, yaitu mereka yang merampas peta kuno itu. Kami adalah utusan dari petani Ciang Gun atau mendiang petani itu karena dia pun dibunuh orang. Kami sedang menyelidiki perkara ini. Menurut keterangan Su Tong Hak, Ciang Kim Su juga lenyap. Kami merasa curiga. Tentu ada permainan kotor dalam urusan ini dan dia pun bilang bahwa peta yang mereka bagi dua itu, yang berada di tangannya, juga dicuri orang. Kami sedang menyelidiki, di tangan siapa gerangan peta itu."
"Hemm, dan sekarang kunci emas itu berada di tangan kalian, bukan? Aku sudah tahu bahwa rahasia itu meliputi peta dan kunci emas."
"Ya, dan kami hendak mempergunakan kunci emas itu untuk menjadi umpan memancing datangnya ikan yang menguasai peta."
"Dan lihat, kurasa ada ikan-ikan yang datang!" tiba-tiba pemuda itu berkata sambil melirik ke arah kiri.
Kim Hong juga melirik ke kiri dan memang benar ada sekelompok orang, sepuluh orang jumlahnya, mendatangi taman itu namun mereka itu nampaknya bukan seperti pelancong biasa.
"Hemm, agaknya benar, mereka tentu anak buah yang dikirim ke sini," kata Kim Hong.
"Jangan khawatir, aku akan membereskan mereka kalau mereka berani mengganggumu!" Kok Siang berkata sambil bangkit berdiri.
Akan tetapi Kim Hong segera memegang lengannya dan menariknya agar duduk kembali. "Jangan, Bu-toako. Kalau mereka bergerak, tentu mereka itu berniat untuk menyerangku, ingin menangkap atau merampas kunci. Mereka datang untuk aku, sama sekali tidak ada hubungannya dengan engkau. Kau duduk sajalah dan biar aku menghajar mereka."
Ketika sepuluh orang itu tiba di sana, Kim Hong masih saling berpegang tangan dengan Kok Siang dengan maksud mencegah pemuda ini menghadapi orang-orang yang nampak kasar dan kuat-kuat itu. Salah seorang di antara mereka, yang rambutnya riap-riapan dan matanya agak juling, yang nampaknya sebagai pemimpin dari sepuluh orang itu, tertawa. Perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang.
"Ha-ha-ha, kiranya si manis ini mempunyai pacar di mana-mana, sering berganti pacar! Kawan-kawan, sekali ini kita tidak boleh gagal. Tangkap si manis ini dan bunuh saja pacar barunya!"
Kim Hong adalah seorang dara yang selama beberapa tahun pernah menyamar sebagai Lam-sin, hal ini berarti bahwa ia pun pernah berkecimpung di dunia sesat, kaum penjahat, maka ucapan itu sebetulnya tidak aneh atau asing baginya. Ia sudah terbiasa mendengar kata-kata kasar. Ucapan kasar tidak akan membuat dia menjadi marah.
Akan tetapi, tuduhan bahwa dia berganti-ganti pacar, bahwa Kok Siang adalah pacarnya yang baru, langsung membuat kedua pipinya berubah merah. Hanya biasanya, Kim Hong tak pernah memperlihatkan perasaan hatinya. Tidak ada seorang pun di dunia ini, kecuali Thian Sin tentunya, yang dapat menduga isi hatinya. Maka, walau pun pada saat itu dia sedang marah, namun wajahnya tetap berseri dan senyumnya bertambah manis.
Sepuluh orang itu telah mengepung bangku di mana Kim Hong dan Kok Siang tadi duduk dan dari gerakan kaki mereka tahulah Kim Hong bahwa biar pun orang-orang ini nampak kasar, akan tetapi mereka adalah ahli-ahli silat pilihan! Terutama sekali si mata juling itu ternyata mempunyai kepandaian yang tinggi, dengan gerakan yang demikian ringan tanda bahwa ginkang-nya sudah mencapai tingkat yang tinggi.
Maka diam-diam dia pun terkejut sekali. Melihat gerakan si mata juling ini, agaknya akan merupakan lawan yang berat dan amat berbahaya bagi Kok Siang, maka dia pun segera mengambil keputusan untuk menandingi sendiri pemimpin gerombolan ini. Maka, sebelum gerombolan itu menyerbu dan membahayakan Kok Siang, dia langsung melangkah maju dan mendekati pemimpin gerombolan itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang.
"Ehh, mata juling gendut yang bermulut busuk! Kalau engkau beserta anjing-anjingmu ini mampu menangkapku, biar aku berjanji akan memberi ciuman sepuluh kali kepadamu!"
Mendengar ucapan ini, si mata juling beserta teman-temannya tertawa. "Ha-ha-ha, nona manis, sungguhkah itu? Memberi ciuman dengan suka rela? Ha-ha-ha!"
"Tentu saja, aku tidak pernah berbohong!" jawab Kim Hong dan mendengar ini, Kok Siang mengerutkan alisnya. Kenapa wanita cantik dan gagah perkasa ini mau melayani segala macam orang kasar seperti mereka?
Akal Kim Hong ini berhasil. Tadinya, kepala gerombolan yang sudah mendengar betapa pemuda sastrawan itu pernah mengalahkan Hai-pa-cu, bermaksud untuk terlebih dahulu mengeroyok dan membunuh si pemuda, baru kemudian, menawan gadis itu seperti yang sudah diperintahkan kepadanya. Akan tetapi, mendengar ucapan Kim Hong dan melihat betapa manisnya gadis itu tersenyum kepadanya, dengan janji yang demikian mesra, dia pun tak mampu menahan gejolak hatinya lagi. Bagaimana pun juga, dia percaya kepada kepandaiannya sendiri dan juga kepada kekuatan anak buahnya yang sebenarnya adalah beberapa orang sute-nya dan murid-muridnya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Nona manis, engkau agaknya belum pernah mendengar nama Tiat-ciang Lui Cai Ko, maka berani menantangku. Bersiaplah engkau untuk menciumku sepuasnya, ha-ha-ha!" Setelah tertawa bergelak, dia memberi isyarat kepada dua orang sute-nya untuk membantunya, sedangkan kepada tujuh orang muridnya ia berkata tegas, "Bunuh kutu buku itu!"
Tujuh orang kasar itu adalah murid-murid pilihan dari Tiat-ciang Lui Cai Ko. Mendengar perintah suhu mereka, tujuh orang ini lalu mencabut pedang masing-masing dan dengan gerakan gagah mereka melintangkan pedang di depan dada, lalu memasang kuda-kuda yang nampak kokoh kuat.
Kuda-kuda mereka berbagai macam, ada yang memasang kuda-kuda dengan kedudukan kaki Jao-pian-se, Tu-li-se, Kung-se biasa atau Su-se, dengan kedudukan pedang yang bermacam-macam pula. Ada yang dilintangkan di depan dada, ada yang diangkat ke atas kepala, ada yang menuding ke bumi dan ada pula yang menjulang ke langit. Akan tetapi, rata-rata mereka itu memiliki kuda-kuda yang indah dan kuat, tanda bahwa mereka telah memiliki ilmu pedang yang bukan sembarangan.
Melihat ini, diam-diam Kok Siang terkejut sekali. Dia pernah mendengar nama Tiat-ciang (Tangan Besi) Lui Cai Ko itu, yaitu seorang begal atau perampok tunggal yang pernah membuat nama besar di sebelah utara kota raja. Maka dia pun sangat mengkhawatirkan keadaan Kim Hong dan karena dia dapat melihat dari gerakan para pengepungnya yang tujuh orang itu bahwa mereka adalah orang-orang yang merupakan lawan tangguh, maka Kok Siang tidak berani bersikap ceroboh.
Maka dia segera mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu Im-yang Siang-pit (Sepasang Tangkai Pena Im Yang), yang kiri terbuat dari pada perak sedangkan yang kanan terbuat dari pada emas. Dan sepasang pit ini memang benar-benar dapat juga digunakan untuk menulis di samping sebagai senjata.
Melihat betapa pemuda itu mengeluarkan senjata sepasang pit itu, tiba-tiba seorang di antara para pengepung itu berseru, "Kiranya engkau adalah Im-yang Siang-pit Bu Siucai!"
Memang, sebetulnya nama pemuda sastrawan itu telah banyak dikenal di dalam dunia kang-ouw. Yang membuat dia terkenal, pertama adalah gurunya dan yang ke dua adalah sepasang senjatanya itu. Gurunya adalah datuk kaum sesat di utara, yaitu Pak-san-kui, biar pun pemuda ini tidak menerima datuk itu sebagai guru langsung.
Pak-san-kui tertarik melihat bakat pemuda ini dan menurunkan beberapa macam ilmunya yang tinggi, sedangkan Bu Kok Siang juga hanya tertarik akan ilmu silat yang tinggi dari datuk itu, tetapi dia tidak senang melihat cara hidup gurunya sehingga sesudah menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, terutama ilmu Im-yang Siang-pit itu, dia pun melepaskan diri dan tak pernah lagi mau berdekatan atau mencampuri urusan suhu-nya yang terkenal sebagai seorang datuk sesat.
Dan di dunia kang-ouw, pemuda yang sudah memiliki titel siucai ini, yang menerima ilmu silat tinggi dari seorang datuk sesat sakti, mempergunakan senjatanya untuk menentang kejahatan itu sendiri. Maka nama julukannya adalah sepasang senjatanya itu yang lebih dikenal orang dari pada wajahnya. Apa bila dia tidak mengeluarkan senjatanya itu, jarang ada yang mengenal mukanya.
"Hemm, bagus kalian mengenal senjataku. Lui Cat Ko adalah seorang perampok tunggal yang jahat, maka anak buahnya tentulah bukan manusia baik-baik pula!" kata Kok Siang sambil memasang kuda-kuda dan mengangkat pit emas di atas kepalanya, menunjuk ke langit, sedangkan pit perak dipegang ke bawah, menuding ke bumi. Inilah kuda-kuda yang dinamakannya Seng-thian Jip-te (Naik ke Langit Masuk ke Tanah), pembukaan dari pada ilmu silat Im-yang Siang-pit.
Tujuh orang murid utama dari Tiat-ciang Lui Cai Ko itu menjadi marah mendengar ucapan ini, lantas dengan dahsyat mereka pun mulai menerjang dengan pedang mereka. Setiap gerakan mereka cukup dahsyat karena selain terkenal mempunyai sepasang tangan yang kuat dan keras seperti besi sehingga dia berjuluk Tiat-ciang, memang Tiat-ciang Lui Cat Ko, juga merupakan seorang ahli silat pedang yang tangguh.
Melihat datangnya serangan yang bertubi-tubi itu, yang membawa kilatan sinar pedang yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar ganas, Kok Siang cepat menggerakkan tubuhnya dan sekarang pemuda sastrawan ini baru memperlihatkan kepandaiannya.
Gerakannya cepat bukan main dan ternyata sepasang senjatanya itu mengandung tenaga yang berlawanan. Sepasang senjatanya diputar melindungi tubuhnya dan tiap kali pedang lawan bertemu dengan kim-pit (Pit emas) maka terdengar suara nyaring dan pedang itu tentu terpental keras, sebaliknya kalau bertemu dengan gin-pit (Pit perak) tidak terdengar suara, namun tenaga si pemegang pedang seperti lenyap, seakan-akan pedang mereka bertemu benda lunak atau seperti membacok atau menusuk air saja.
Di samping melindungi tubuh, sepasang pit itu juga mengirim serangan balasan berupa totokan-totokan ke arah jalan darah yang tak kalah dahsyatnya, membuat tujuh orang itu berputaran saling melindungi teman sendiri. Dan terjadilah pertandingan keroyokan yang amat seru, namun sedikit juga pemuda sastrawan yang dikeroyok tujuh itu tidak nampak kewalahan!
Di lain pihak, Kim Hong yang dihadapi oleh Tiat-ciang Lui Cai Ko dan dua orang sute-nya itu, menarik napas lega. Jika si juling yang diduganya paling lihai ini telah menghadapinya dan tidak ikut mengeroyok, maka dia tidak begitu mengkhawatirkan keadaan pemuda itu.
Terlebih lagi sesudah dia melihat cara Kok Siang memutar sepasang pitnya, membuat dia merasa yakin bahwa pemuda itu akan mampu mengatasi para pengeroyoknya, walau pun tujuh orang pengeroyok itu juga tidak boleh dipandang ringan sama sekali. Setelah dia tak lagi mengkhawatirkan pemuda keponakan mendiang Louw-siucai itu, dengan tersenyum tenang Kim Hong menghadapi tiga orang calon lawannya.
Tak seperti tujuh orang yang bertugas membunuh Kok Siang, si juling bersama dua orang sute-nya itu tidak mengeluarkan senjata. Mereka bertugas untuk menawan nona ini hidup-hidup, dan hal ini pun diketahui baik-baik oleh Kim Hong. Memang para penjahat itu tidak membutuhkan dirinya, melainkan kunci emas, oleh karena itu tentu saja mereka tak akan membunuhnya sebelum mereka menemukan kunci emas itu!
Tiat-ciang Lui Cai Ko juga telah mendengar bahwa nona ini pandai ilmu silat dan biar pun dia tidak merasa takut, akan tetapi dia juga tidak berani memandang rendah. Maka dia pun lalu menubruk ke depan sambil menampar dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah pundak nona itu. Tamparan tangan kirinya itu antep bukan main karena jagoan ini agaknya memang sudah mengerahkan tenaga dan mempergunakan tenaga sakti Tiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi) untuk menggertak.
Telapak tangan orang she Lui ini nampak hitam kehijauan. Selama belasan tahun ini dia melatih kedua tangannya itu, setiap hari mempergunakan telapak tangan untuk memukuli bubuk besi dan pada malam harinya merendam kedua tangan itu ke dalam adonan bubuk besi dengan racun yang membuat tangan itu selain kuat, juga beracun dan berbahaya sekali bagi lawan.
Demikian kuat dan kerasnya telapak tangan Lui Cai Ko ini sehingga kedua telapak tangan itu tidak hanya dapat memukul hancur batu karang seperti sepasang palu besi yang kuat, akan tetapi juga mampu menangkis senjata tajam tanpa khawatir terluka! Itulah sebabnya maka dia terkenal dengan julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi).
"Wuuuttt...! Plakk!"
Kim Hong mengelak dengan mudah dan membiarkan tamparan itu lewat, kemudian ketika cengkeraman tangan kanan itu sudah mendekati pundaknya, tangan kirinya menyambar dari bawah, bukan menangkis namun menampar dengan tangannya ke arah sambungan siku tangan kanan itu. Walau pun tamparan itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, namun sambungan siku bagian bawah yang seperti hanya diusap itu tiba-tiba saja terasa nyeri dan lengan kanan itu seperti menjadi lumpuh seketika!
Tentu saja Lui Cai Ko tak dapat melanjutkan cengkeramannya, bahkan lalu mengeluarkan seruan kaget dan cepat melompat ke belakang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa wanita itu sedemikian hebatnya, hanya dalam satu gebrakan saja membuat lengan kanannya terasa lumpuh! Hanya orang yang berilmu sangat tinggi sajalah yang demikian tenangnya menghadapi cengkeraman mautnya, bukan mengelak atau menangkis untuk menghadapinya, tetapi mendahului menyerang siku sehingga lengan itu menjadi lumpuh dan tentu saja serangan cengkeraman itu pun gagal.
Kim Hong hanya berdiri tenang sambil tersenyum. Ia maklum akan kelihaian Tiat-ciang Lui Cai Ko ini, akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar, yakin benar akan kelebihannya dibandingkan dengan tiga orang pengeroyoknya itu. Dua orang sute dari Si Tangan Besi segera menyerang dari kanan kiri, bukan menyerang untuk merobohkan, melainkan untuk membuat nona itu tidak berdaya dan dapat ditawan. Mereka pun, seperti suheng mereka, mendapat perintah untuk menawan si nona cantik ini.
Namun Kim Hong dapat menghindarkan diri dari tubrukan kanan kiri itu dengan langkah-langkah ajaibnya. Dengan enak saja kedua kakinya bergeser, melangkah mundur maju dan tubrukan-tubrukan mereka itu semua hanya mengenai tempat kosong saja walau pun tadinya nampak seolah-olah akan berhasil.
Kok Siang juga mengamuk dan sepasang pit-nya menyambar-nyambar seperti sepasang naga. Lewat tiga puluh jurus saja, dua orang di antara para pengeroyoknya sudah roboh tertotok sehingga lima orang sisa pengeroyoknya menjadi agak gentar. Di lain pihak, Kim Hong mempermainkan tiga orang pengeroyoknya dengan langkah-langkah ajaibnya yang membuat Tiat-ciang Lui Cai Ko beserta dua orang sute-nya kewalahan dan juga semakin penasaran.
Mereka lalu menubruk dan mencoba untuk menangkap, akan tetapi jangankan orangnya, ujung baju gadis itu pun tak pernah dapat tersentuh oleh tangan mereka. Hal ini membuat mereka menjadi penasaran dan marah sehingga kini mereka tidak hanya menubruk dan mencoba untuk menangkap saja, tetapi juga mulai menyerang dengan sungguh-sungguh untuk morobohkan nona yang amat lincah itu.
Betapa pun juga, makin ganas mereka bergerak, semakin cepat pula nona itu mengelak, sehingga pandang mata mereka seperti kabur dan kadang-kadang mereka tidak tahu ke mana nona itu mengelak atau bergerak.
"Duk-duk-duk-dukk...!"
Empat kali Lui Cai Ko terpaksa menangkis sambil mundur akibat terdesak hebat. Padahal, sejak menampar sikunya tadi, baru sekaranglah Kim Hong membalas serangan tiga orang lawannya yang bertubi-tubi sampai tiga puluh jurus itu! Tetapi sekali membalas, Kim Hong sudah dapat mendesak Si Tangan Besi dengan empat kali tamparan berturut-turut. Setiap tamparan mengandung tenaga sinkang yang membuat tubuh si gendut yang rambutnya riap-riapan itu terhuyung-huyung.
Melihat ini dua orang sute-nya cepat menubruk dari kanan kiri membantu, akan tetapi Kim Hong menunggu sampai keduanya menyerang dekat, lalu tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya terpentang ke kanan kiri. Itulah tendangan yang istimewa sekali, yang sekaligus menghantam dada kedua orang yang menyerang dari kanan dan kiri itu, mendahului serangan mereka dengan tangan yang belum sampai!
"Desss! Desss!"
Tubuh kedua orang itu terlempar ke kanan kiri. Mereka menyeringai karena dada mereka terasa sesak sekali dan napas mereka seperti berhenti. Sambil memegangi dada mereka bangkit dan mata mereka menjadi merah.
Juga Lui Cai Ko marah sekali. Tak disangkanya bahwa dia, jagoan yang terkenal, dibantu oleh dua orang sute-nya, bukan hanya tidak sanggup menawan gadis ini, bahkan mereka bertiga sudah mengalami malu karena terpukul dan tertendang oleh gadis itu. Akan tetapi, ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pada Lui Cai Ko yang membuat dia masih ingat akan perintah yang diberikan kepadanya.
Dia tetap tidak berani melanggar perintah itu hanya karena perasaan pribadi yang marah dan penasaran. Dia tidak berani mempergunakan senjata untuk menyerang, tidak berani melukai apa lagi sampai membunuh wanita ini karena hal itu berarti melawan perintah dan dia merasa ngeri untuk mempertanggung jawabkan hal itu. Maka, walau pun dia merasa marah serta mendongkol sekali, terpaksa dia lalu membuka mulut dan terdengarlah suara suitan panjang dan nyaring keluar dari mulut si gendut ini.
Kim Hong terkejut dan menduga-duga apa maksud tanda rahasia itu. Memanggil kawan? Dia tentu merasa kewalahan dan memanggil kawannya, pikir Kim Hong. Mungkinkah kini ia memperoleh kesempatan untuk berhadapan dengan kepala penjahat yang mendalangi ini semua dan yang menguasai peta? Jantungnya berdebar tegang dan dia pun menanti saja.
Ia mengerling ke arah Kok Siang dan melihat bahwa lawan pemuda itu kini tinggal empat orang lagi karena yang tiga sudah roboh oleh pena sastrawan yang lihai itu. Empat orang itu pun kini bergerak mundur sambil tetap mengepung sesudah mendengar guru mereka mengeluarkan suara bersuit tadi.
Tidak lama kemudian muncullah banyak orang yang langsung mengepung tempat itu dan Kim Hong benar-benar merasa heran dan terkejut begitu melihat bahwa yang mengepung tempat itu adalah pasukan pemerintah! Pasukan itu dipimpin oleh seorang perwira yang berpakaian indah dan gagah, berusia empat puluh lima tahun dan bertubuh tinggi besar. Cepat Kim Hong meloncat mendekati Kok Siang yang juga memandang dengan heran.
"Berhenti semua dan lepas senjata!" Bentak perwira itu dengan suara yang agaknya telah terbiasa mengeluarkan aba-aba atau perintah yang harus ditaati. "Yang berani bergerak dianggap pemberontak dan akan dihukum! Kalian berdua telah menimbulkan perkelahian dan kekacauan di tempat umum, semua harus menyerah dan ikut bersama kami ke kantor untuk dibawa ke pengadilan!"
Kim Hong dan Kok Siang saling pandang. Tiba-tiba saja Kok Siang berbisik halus sekali sehingga hanya gadis itulah yang mungkin dapat mendengarnya, "Aku tahu di mana peta yang asli."
Kim Hong terkejut sekali. Otaknya bekerja dengan cepat. Dia tidak meragukan kebenaran omongan pemuda ini dan tentu karena melihat bahaya maka pemuda sastrawan ini cepat membuka rahasia itu, atau karena sudah percaya penuh kepadanya.
Bagaimana pemuda ini dapat mengetahui di mana adanya peta yang asli? Kalau begitu, yang kini menguasai peta tentu hanya menguasai peta palsu! Bagaimana mungkin terjadi demikian? Bukankah Ciang Kim Su dan pamannya, Su Tong Hak, telah membagi peta itu menjadi dua bagian dan peta yang dibawa Ciang Kim Su itu adalah peta yang asli? Apa yang sesungguhnya telah terjadi?
Pikirannya yang amat cerdas segera mencari sebab-sebab dan dugaan-dugaan. Tentu ada hubungannya dengan mendiang Louw siucai! Di antara semua orang, yang pertama kali mengetahui akan rahasia peta itu adalah Liuw Siucai. Bahkan dialah orang pertama yang sudah dapat mengetahui akan isi peta sebenarnya, karena dialah yang menterjemahkan peta itu!
Akan tetapi, bagaimana siucai itu dapat menguasai peta aslinya? Apa yang sudah terjadi? Dia tidak sempat untuk bertanya, karena di sana terdapat banyak orang dan pasukan itu sudah mengepung ketat. Ketika dia melihat pasukan mengepungnya, timbul kemarahan di dalam hatinya. Akan tetapi Kok Siang bersikap lain.
"Ciangkun, kami berdua tak bersalah. Kami berdua sedang duduk bercakap-cakap di sini lalu gerombolan ini datang menyerang kami, agaknya mereka hendak merampok kami!" katanya membela diri.
"Bohong! Mana buktinya kami merampok?" Lui Cai Ko membentak marah.
"Cukup, tidak perlu cekcok!" Perwira itu menegur. "Aku tidak peduli siapa di antara kalian yang bersalah. Yang sudah jelas, kalian berkelahi di sini dan hal ini berarti mendatangkan kekacauan. Kalian semua harus menyerah untuk kami bawa ke pengadilan!"
Kim Hong mengerutkan alisnya hendak membantah, akan tetapi Kok Siang lalu berkata, sikapnya halus menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang terpelajar. "Baik, ciangkun. Kami percaya bahwa pengadilan tentu akan menyelidiki kemudian memberikan keputusan yang seadil-adilnya. Mari, adik Hong, kita ikut ke kantor pengadilan."
Kim Hong cukup cerdik untuk mengerti kenapa pemuda itu bersikap mengalah. Kok Siang adalah penduduk Thian-cin yang telah dikenal, maka sangatlah berbahaya baginya kalau sampai dia dianggap melawan pasukan dan memberontak. Berbeda dengan Kim Hong yang belum dikenal, apa lagi mengingat bahwa tempat tinggal wanita ini juga jarang ada yang mengetahuinya.
Untuk membiarkan Kok Siang ditangkap sendiri dan dia melarikan diri, Kim Hong merasa tidak tega. Apa lagi setelah ia tahu bahwa pemuda itu tahu di mana peta yang asli, maka pemuda itu menjadi amat penting baginya. Dia harus melindungi pemuda ini agar jangan sampai peta yang asli terjatuh pula ke tangan penjahat. Maka dia pun mengangguk dan menyetujui.
Sepuluh anggota gerombolan itu bersama Kim Hong dan Kok Siang lantas digiring oleh pasukan menuju ke kantor kejaksaan. Sepuluh orang itu langsung dimasukkan ke dalam kamar tahanan besar, sedangkan Kim Hong dan Kok Siang dibawa ke bagian belakang di mana terdapat beberapa buah kamar tahanan.
"Kalian berdua harus tinggal di dalam kamar tahanan ini dulu sambil menanti datangnya pembesar yang akan membuka sidang pengadilan," perwira itu berkata sambil membuka daun pintu kamar tahanan. Tentu saja Kim Hong merasa marah dan mengerutkan alisnya.
"Kami bukan penjahat, kenapa mesti dijebloskan dalam kamar tahanan?"
Akan tetapi, kembali Kok Siang yang berkata dengan sikap tenang dan suara halus. "Jika memang demikian peraturannya, kita tidak perlu membantah. Pula, kita sama sekali tidak bersalah, takut apa? Biarlah kita menunggu di sini." Dan pemuda itu pun lalu memasuki kamar tahanan.
Melihat sikap pemuda ini, terpaksa Kim Hong mengalah. Kemudian, sambil cemberut dan mukanya merah saking marahnya, dia pun terpaksa turut masuk. Pintu kamar sel yang terbuat dari pada besi itu lalu dikunci dari luar, ada pun perwira itu bersama pasukannya masih berjaga di situ.
"Tuan hendak makan? Silakan, di sudut belakang masih ada meja kosong." Walau pun di ruangan depan juga masih tersisa beberapa buah meja yang kosong, akan tetapi pelayan yang cerdik ini sengaja memilihkan di sudut belakang agar orang tinggi besar yang sudah agak mabok dan kelihatannya kasar ini tidak mengganggu tamu-tamu lainnya.
Si tinggi besar yang usianya hampir empat puluh tahun itu melotot. Mukanya kasar dan kumis serta jenggotnya tidak terpelihara, pakaiannya juga kumal akan tetapi keseluruhan tubuhnya membayangkan kekuatan dan kekasaran. "Apa katamu? Di belakang? Tidak. Aku ingin duduk di meja ini!" Sambil berkata demikian, dia menunjuk ke arah meja yang sudah ditempati nona manis yang sedang makan itu.
Pelayan itu terkejut. "Harap tuan tidak membikin ribut, meja ini sudah ditempati oleh nona ini, apakah tuan tidak melihatnya?"
"Peduli apa? Yang dipakai hanya separuh meja juga tak ada, masih banyak bagian yang kosong! Dia hanya sendirian, ada pun meja ini untuk delapan orang! Masa mau diborong sendiri? Pula, tidak baik membiarkan wanita muda dan cantik seperti dia ini duduk makan sendirian saja! Boleh kan aku duduk di sini menemanimu, manis?"
Gadis itu berhenti makan, memandang dengan alis berkerut. "Hemmm, siapakah engkau? Tidak kenalkah engkau siapa aku maka berani kurang ajar?" gadis itu bertanya.
Si tinggi besar tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, karena belum kenal maka sekarang kita berkenalan! Aku Can Hoa, orang-orang menyebutku Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut), di kota Yen-tai namaku terkenal sekali. Nona siapakah?" Dan si tinggi besar ini mau duduk begitu saja di atas bangku dekat nona itu.
"Pergilah dan jangan ganggu aku!" Nona itu berseru dan tangannya menampar ke arah muka orang itu.
"Plakkk!"
Si tinggi besar itu menangkis dan akibatnya, nona cantik itu hampir saja terjatuh dari atas bangkunya! Kiranya si tinggi besar itu menggunakan tenaga keras.
"Ha-ha-ha-ha, nona manis, jangan terlalu galak Hai-pa-cu tidak biasa menghadapi wanita galak karena biasanya semua wanita jinak kepadaku, ha-ha-ha-ha!" Hai-pa-cu Can Hoa itu tertawa bergelak.
Nona itu terkejut akan tetapi tidak kelihatan takut, bahkan ia menjadi marah dan meloncat turun dari atas bangkunya, alisnya terangkat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Bangsat kurang ajar! Berani engkau mengganggu orang di tempat ini?" teriaknya dan ia pun sudah siap untuk menyerang si tinggi besar itu.
Dari gerak-geriknya, Thian Sin dan Kim Hong maklum bahwa gadis itu pun bukan orang sembarangan dan belum tentu kalah kalau hanya oleh penjahat kasar itu saja. Kalau tadi nona itu hampir terjatuh dari atas bangkunya ketika si penjahat menangkis, adalah karena nona itu tidak menyangka bahwa si penjahat akan menangkis dengan pengerahan tenaga besar.
Akan tetapi sebelum gadis itu bergerak, mendadak terdengar suara nyaring, "Maaf, nona. Saya kira sungguh tidak layak mempergunakan sebatang tongkat gading untuk memukul seekor anjing kudisan. Hanya akan mengotori tongkat indah itu saja."
Gadis itu memutar tubuh menengok ke kanan dan ternyata yang berbicara itu adalah si sastrawan muda yang sejak tadi makan seorang diri. Kini pemuda itu sudah bangkit dan meninggalkan mejanya, melangkah menghampiri nona muda yang cantik manis itu, lantas menjura dengan sikap sopan sekali.
Gadis itu memandang heran karena dia tidak pernah mengenal pemuda itu. Pula, dia pun tidak mengerti apa yang dimaksudkannya. "Apa maksudmu?" tanyanya ragu.
Pemuda itu tersenyum sehingga nampak betapa tampannya wajah itu, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Maksudku, nona. tidak sepatutnya jika menggunakan tangan nona untuk menghajar anjing ini. Biarkan aku yang mewakilimu untuk menghajar dia agar dia tahu sopan santun sedikit!"
Tanpa menanti jawaban nona itu, si sastrawan muda segera membalik dan menghadapi penjahat tinggi besar yang kini kelihatan agak ragu-ragu melihat ada orang berani campur tangan.
"Hai, kamu Hai-ci-cu (Tikus Laut), apakah kamu tidak pernah sekolah?"
Pertanyaan itu terdengar begitu wajar dan akrab sehingga si tinggi besar terbawa hanyut dan otomatis dia pun menggelengkan kepala. "Tidak..." Akan tetapi dia pun segera sadar dan mukanya menjadi merah, lalu mengepal tinju.
"Bocah lancang! Mau apa engkau mencampuri urusanku?" Ia pun melangkah maju sambil mengamangkan tinjunya yang besarnya hampir sama dengan besar kepala pemuda itu. "Apa kau ingin kepalamu pecah?"
Pemuda itu dengan lagak lucu meraba-raba kepalanya. "Kepala pecah? Wah, jangan ahh, kepala cuma satu dipecah, lalu ke mana aku harus mencari gantinya?"
"Pemuda gila, pergilah, jangan sampai aku marah!" Hai-pa-cu Can Hoa membentak lagi sambil mengamangkan tinjunya ke depan hidung pemuda itu. Si pemuda mengernyitkan hidungnya, lalu menggunakan dua jari tangannya untuk menutup lubang hidungnya sambil mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Huh, tanganmu bau! Tentu engkau tidak pernah mencuci tangan dan tak pernah mandi!" katanya.
Karena hidungnya sedang dijepit jari, maka suaranya menjadi lucu dan bindeng, membuat beberapa orang yang berada di situ tak dapat menahan ketawa mereka. Biar pun semua tamu maklum bahwa si tinggi besar itu adalah seorang penjahat, akan tetapi karena tidak ada yang mengenalnya, maka kesannya tak begitu menakutkan. Apa lagi mereka semua rata-rata mengenal siapa adanya gadis manis yang diganggu itu maka tentu saja mereka semua berpihak kepada si nona dan semua orang menganggap bahwa si tinggi besar itu sungguh mencari penyakit. Munculnya pemuda sastrawan yang juga tidak dikenal orang itu mendatangkan kegembiraan dan keinginan tahu.
Si Macan Tutul Laut menjadi marah bukan main. Tadi dia sudah dimaki Tikus Laut, dan sekarang dikatakan tangannya bau dan dia tidak pernah mandi. Mukanya yang berkulit kasar hitam itu menjadi semakin hitam.
"Bangsat bermulut lancang! Engkau benar-benar sudah bosan hidup!" Setelah berteriak demikian, si tinggi besar ini sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu bergerak ke depan mengirim serangan.
Memang serangannya itu cukup dahsyat, yang kanan menghantam ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah dada. Semua serangan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga yang besar sehingga membawa angin pukulan yang cukup kuat.
Akan tetapi, pemuda yang nampaknya lemah dan lucu itu sama sekali tidak merasa takut atau gentar, juga tidak nampak gugup sedikit pun juga. Menghadapi serangan seperti itu, dengan tenang saja dia melangkah mundur sambil menarik kepalanya ke belakang dan kedua tangan lawan yang menyerangnya itu hanya mampu mendekati saja akan tetapi sama sekali tidak sampai mengenai tubuhnya! Dan dia pun masih sempat menengok ke arah nona manis itu sambil tersenyum dan mengedipkan matanya, seakan-akan memberi isyarat, bahkan dia pun sempat berkata,
"Mari kita semua lihat, siapa yang bosan hidup. Anjing kudisan semacam dia ini berani mengganggu seorang siocia terhormat di tempat umum, sungguh dialah sebenarnya yang bosan hidup!"
Dia masih juga berkata-kata ketika serangan ke dua datang dengan hebatnya. Sekali ini, karena si tinggi besar sudah dapat menduga bahwa pemuda yang kelihatannya lemah itu sebenarnya bukan lawan yang boleh dipandang ringan, telah mengirim serangan dengan lebih dahsyat lagi, terdorong oleh rasa marahnya. Dan nona itu pun memandang dengan bingung.
Thian Sin dan Kim Hong yang sejak tadi duduk tenang sambil memperhatikan, melihat betapa nona itu nampak bingung melihat ada orang membantunya. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pandang mata mereka yang tajam dan mereka merasa alangkah anehnya sikap nona itu. Seolah-olah nona manis itu tidak menghendaki bantuan pemuda tampan itu.
Sementara itu, serangan yang ke dua itu pun dielakkan dengan amat mudahnya oleh si pemuda yang masih tersenyum-senyum. "Hati-hati, jangan kau membuat rusak perabot rumah makan ini, karena engkau harus menggantinya nanti!" Pemuda itu masih sempat memperingatkan kepada penyerangnya yang menjadi semakin marah.
Sesudah empat lima kali menyerang namun gagal dan selalu mengenai tempat kosong, akhirnya si tinggi besar itu mencabut senjatanya dari pinggangnya, yaitu sepotong rantai baja yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang atau sabuk. Rantai ini besar dan berat, terbuat dari pada baja, seperti rantai yang biasa dipergunakan oleh tukang perahu.
Sepasang matanya yang besar melotot dan kemerahan, mulutnya cemberut, sedangkan hidungnya kembang kempis pada waktu si tinggi besar itu melangkah maju menghampiri pemuda yang mengganggunya.
"Wah, apakah engkau tukang perahu? Ataukah biasa menjagal kerbau dan rantai itu biasa kau pakai untuk mengikat kerbau yang hendak kau sembelih? Hati-hati, rantai itu berat, jangan main-main, bisa-bisa menimpa kepalamu sendiri hingga benjol!" Pemuda itu terus memperolok dan semua orang yang kini sudah mulai percaya bahwa pemuda itu adalah seorang yang mempunyai kepandaian lihai tertawa, bahkan ada pula yang berteriak agar si pemuda menghajar orang kasar yang telah menghina gadis itu.
Si gadis itu sendiri tidak lagi duduk menghadapi mejanya, melainkan mundur-mundur dan mendekati meja Thian Sin dan Kim Hong. Ketika Thian Sin memandang dan gadis itu pun kebetulan memandang kepadanya, sepasang mata Thian Sin bertemu dengan sepasang mata yang bening dan jeli, yang mengeluarkan sinar lain dari pada tadi.
Apa bila tadi sepasang mata di dalam cermin itu seperti menantang dan merangsang, kini sepasang mata itu seperti mengirim suatu permohonan, yaitu agar Thian Sin membantu dirinya. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin! Akan tetapi karena penjahat kasar itu sudah dihadapi oleh si pemuda sastrawan dan dia mulai percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengatasinya, maka Thian Sin tidak bergerak dari tempat duduknya.
Kim Hong juga diam-diam merasa kagum terhadap pemuda sastrawan itu. Tak diduganya bahwa pemuda sastrawan yang tadi bersajak dengan lucu, selain memiliki watak gagah berani membela wanita yang diganggu orang, juga ternyata mempunyai kepandaian yang mengagumkan.
Cara pemuda itu mengelak, tanpa gerakan silat, seperti gerakan biasa saja, akan tetapi sedikit pun serangan-serangan si tinggi besar tak pernah mampu menyentuhnya, menjadi bukti bahwa pemuda itu memang mempunyai ilmu silat yang sudah mendarah daging dan tinggi sehingga setiap gerakannya otomatis mengandung gerakan silat. Juga pemuda itu mempunyai keberanian yang besar, terbukti saat melihat lawannya mengeluarkan senjata rantai baja yang berbahaya itu, dia masih dapat menghadapinya dengan olok-olok, sedikit pun tidak merasa gentar.
Padahal, Thian Sin dan Kim Hong dapat melihat bahwa penjahat itu bukan hanya kasar dan bertenaga besar, melainkan juga memiliki kepandaian yang tidak rendah dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Melihat gerakan orang kasar itu, Thian Sin dan Kim Hong dapat mengukur bahwa kepandaian si kasar ini sedikitnya tidak kalah oleh tingkat kepandaian seorang di antara Siang-to Ngo-houw! Jadi dia bukan penjahat sembarangan saja, melainkan seorang penjahat yang sudah boleh dianggap sebagai tokoh dalam dunia kaum sesat.
Dugaan Pendekar Sadis dan kekasihnya ini memang tidak keliru. Memang Hai-pa-cu Can Hoa sudah terkenal sekali di kota Yen-tai dan sekitarnya. Tentu saja dia tidak dikenal di kota raja dan dia belum cukup besar untuk berani beraksi di kota raja, di mana banyak terdapat penjahat besar dan orang-orang pandai.
Maka, sungguh merupakan suatu keanehan kalau sekarang penjahat ini berani beraksi di kota raja, apa lagi mengganggu seorang nona cantik yang sudah dikenal banyak orang di tempat umum. Seolah-olah penjahat dari Yen-tai itu memang sengaja mencari perkara!
"Wirrr... siuuuuttt...!"
Rantai baja yang panjangnya ada satu setengah meter itu menyambar ganas dari atas ke bawah, ke arah kepala si pemuda sastrawan.
"Uhhhh... luput!" Pada detik-detik terakhir pemuda itu meloncat ke kiri sehingga rantai itu menyambar tempat kosong.
Sebelum rantai itu menyentuh lantai, tangan yang kuat itu menyendalnya hingga rantai itu segera membalik dan kini dari bawah menyambar ke samping, ke arah kedua kaki lawan. Gerakan ini saja menunjukkan bahwa Hai-pa-cu memang sudah mahir sekali memainkan rantainya, dan juga tenaganya besar bukan main sehingga rantai itu seolah-olah hidup di tangannya.
"Eeiiittttt... tidak kena lagi!" Si pemuda mengejek sambil meloncat ke atas, membiarkan rantai itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Akan tetapi baru saja kakinya turun, rantai itu sudah menyambar lagi, kini dari atas ke bawah lagi, dengan gerakan menyerong ke kiri.
"Heiiittt...., luput lagi, sayang!" Lagi-lagi si pemuda mengelak dengan gerakan cepat bukan main, gerakannya seperti kacau balau, laksana monyet menari saja.
Akan tetapi di dalam pandangan Thian Sin dan Kim Hong, mereka melihat kematangan gerak yang amat mengagumkan sehingga mereka menduga bahwa pemuda itu agaknya adalah seorang ahli silat tinggi, tentu seorang pendekar yang menyamar. Maka tentu saja keduanya merasa tertarik sekali.
"Wuuuttt...! Prakkk...!"
Sambaran rantai yang luput mengenai tubuh si sastrawan muda untuk ke sekian kalinya, kini menimpa meja. Pecahlah meja itu dan mangkok piring pun pecah berhamburan.
"Wah-wah-wah, apa kukata? Engkau memecahkan meja dan mangkok yang tadi kupakai. Engkau harus menggantinya! Sialan, jangan-jangan aku yang disuruh mengganti. Engkau pantas dihajar!"
Hai-pa-cu menjadi semakin marah dan sekarang dia sudah menubruk kembali, rantainya menyambar dengan membuat gulungan sinar melengkung lebar dari samping. Si pemuda menyambutnya dengan tangan.
"Plakkk!" Dan ujung rantai itu membelit lengan si pemuda.
Wajah si tinggi besar itu menyeringai kegirangan dan mengira bahwa sekarang dia dapat membalas. Ditariknya rantai itu dengan pengerahan tenaga agar pemuda itu terbawa dan terpelanting. Namun, ternyata tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah seorang anak kecil menarik batu karang saja!
Dan pemuda itu pun tersenyum-senyum, lalu tiba-tiba saja kakinya bergerak menendang, mula-mula kaki kiri lantas disusul kaki kanan. Tendangan pertama mengenai pergelangan tangan si tinggi besar yang memegang gagang rantai. Tidak keras, namun karena ujung sepatunya dengan tepat mengenai jalan darah, Hai-pa-cu langsung mengeluarkan seruan kaget, lengannya seperti lumpuh sehingga tangannya tidak mampu lagi mempertahankan rantainya yang terampas.
Sebelum dia tahu apa yang sudah terjadi, tendangan ke dua datang. Kiranya pemuda itu menggunakan tendangan Soan-hong-twi, yaitu semacam tendangan berantai yang dapat dilakukan terus-menerus secara bergantian oleh kedua kaki.
"Desss...!"
Tendangan itu sangat keras dan tepat bersarang di dada Hai-pa-cu. Agaknya sekali ini si pemuda telah mengerahkan tenaga sinkang-nya karena tubuh lawan yang tinggi besar itu terlempar keras ke arah... meja Thian Sin dan Kim Hong!
Kalau tubuh tinggi besar yang terlempar itu terbanting dengan kerasnya ke atas meja, tentu meja itu akan remuk dan akan menimpa masakan-masakan di dalam mangkok yang tentu akan membuat kuah masakan memercik ke muka dan pakaian Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tentu saja tidak menghendaki hal ini terjadi, maka keduanya sudah bangkit berdiri dan mengulur lengan. Dengan berbareng tangan mereka menerima tubuh itu dan mendorongnya kembali ke arah si pemuda sastrawan!
Melihat ini, pemuda sasterawan itu berseru kagum. "Bagus sekali!"
Memang gerakan Thian Sin dan Kim Hong itu amat hebat dan hal ini hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dapat mendorong kembali tubuh yang sedang melayang deras itu membutuhkan tenaga sinkang yang lembut dan kuat. Bukan melawan tenaga luncuran tubuh yang melayang itu, akan tetapi memutarnya sedemikian rupa sehingga tenaga luncuran itu tidak patah justru ditambah oleh tenaga mereka berdua sehingga si tinggi besar itu kini melayang ke arah si sastrawan muda dengan lebih cepat dari pada tadi!
Hal ini memang disengaja oleh Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tahu bahwa pemuda itu sudah mengenal mereka, atau setidaknya sudah maklum akan kepandaian mereka, maka tadi si pemuda sengaja melontarkan Hai-pa-cu ke arah mereka. Tentu dengan niat untuk menguji, maka kini mereka pun ingin menguji pemuda sastrawan yang aneh itu.
Akan tetapi, agaknya pemuda sastrawan itu tidak berani menyambut lontaran yang kuat itu dengan tenaga sinkang, melainkan dia miringkan tubuhnya dan mencengkeram leher baju si tinggi besar itu, kemudian dengan bentakan nyaring dia langsung melemparkan tubuh itu ke arah pintu rumah makan sambil berseru,
"Pergilah!"
Tubuh Hai-pa-cu terbanting keluar rumah makan diiringi sorakan dan ejekan banyak orang. Si tinggi besar yang tadi bersikap sombong dan mengaku sebagai jagoan dari Yen-tai itu tidak berani banyak lagak lagi. Tanpa menoleh dia pun merangkak bangkit dan segera melarikan diri dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu.
Pemuda sastrawan itu kini menghampiri si gadis manis yang masih berdiri di dekat meja Thian Sin, menjura dengan senyum ramah. "Jangan khawatir, nona. Anjing itu telah kuusir dan persilakan nona melanjutkan menikmati hidangan nona."
Gadis itu yang tadinya sedang memandang kepada Thian Sin, kini menoleh dan terpaksa menghadapi pemuda itu, mengangguk dan tanpa berkata apa pun lantas kembali duduk menghadapi mejanya.
Tentu saja pemuda sastrawan itu melongo menghadapi sikap yang dingin ini. Bukankah dia telah menolongnya dan mengusir laki-laki yang kasar tadi? Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan terima kasih, bahkan ramah sedikit pun tidak! Dan pada saat itu, kepala pelayan sudah datang dan menghampirinya, menjura sambil berkata dengan suara lirih dan hati-hati.
"Maaf, kongcu. Meja dan perabot makan itu..."
Pemuda itu agaknya masih merasa mendongkol oleh sikap si gadis yang tidak mengenal budi, maka kini dia menoleh memandang meja yang pecah-pecah serta perabot makan yang hancur, lalu mengangkat pundaknya. "Kau tadi melihat sendiri, yang membikin rusak adalah anjing besar itu. Apakah aku yang harus menggantinya?"
"Tapi... maaf, orang tadi sudah pergi dan dia berkelahi di sini dengan kongcu...," Biar pun merasa segan, namun kepala pelayan itu terpaksa menuntut karena dia pun takut untuk mempertanggung jawabkan kerusakan dan kerugian itu kepada majikannya.
Dan apa yang dilakukannya itu, yaitu menuntut kepada si pemuda sastrawan, juga bukan merupakan hal yang tidak benar karena bukankah perkelahian itu terjadi antara si tinggi besar dan si pemuda sastrawan? Dan karena si tinggi besar sudah pergi, siapa lagi kalau bukan pemuda itu yang harus menggantinya? Apa lagi pemuda itu tidak kelihatan sebagai seorang miskin.
"Sudahlah, lopek. Masukkan semua kerugian itu ke dalam perhitunganku. Aku yang akan membayar ganti ruginya." Tiba-tiba gadis itu berkata, tanpa mengangkat muka dan terus melanjutkan makan seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Pemuda sastrawan itu tersenyum dan mendekati meja nona itu. "Ahh, sebenarnya tidak perlu begitu, nona. Biarlah aku saja yang mengganti semua kerugian."
"Biarlah, karena aku yang menjadi gara-gara semua itu, sungguh pun aku sama sekali tidak pernah minta atau mengharapkan bantuan darimu." Jawaban ini sungguh dingin dan anehnya, kembali nona itu melirik ke arah Thian Sin sehingga Kim Hong yang sejak tadi melihat ini, mengerutkan alisnya.
Pasti ada apa-apanya sikap gadis ini terhadap Thian Sin, pikirnya. Bagi Kim Hong, tidak heranlah melihat gadis-gadis tertarik kepada kekasihnya yang memang amat tampan dan ganteng, namun mengapa gadis ini begitu memperhatikan Thian Sin, padahal, bukankah yang telah membantunya adalah pemuda sastrawan itu dan pemuda itu pun sama sekali tidak dapat dibilang buruk, bahkan tampan dan menarik sekali! Hemm... pasti ada kutang di balik baju.
Akan tetapi, pemuda itu tidak nampak bingung atau kecewa mendengar ucapan itu. "Aku mengerti, nona. Aku tahu bahwa tanpa bantuanku sekali pun, anjing itu sama sekali tidak akan mampu mengganggumu. Hanya kupikir, tidak sepantasnya kalau nona sendiri yang turun tangan menghajar orang kasar macam dia. Padahal, andai kata tidak ada aku sekali pun di hadapan nona, terutama dengan hadirnya dua orang pendekar yang berilmu tinggi seperti kedua orang yang duduk di sebelah kiri itu, penjahat kecil semacam Hai-pa-cu itu akan mampu berbuat apakah?" Berkata demikian, pemuda itu menoleh kepada Thian Sin dan Kim Hong, lalu menjura ke arah mereka. Gadis itu pun menoleh, kemudian dia pun tersenyum manis kepada Thian Sin.
"Aku pun tahu dan merasa kagum sekali kepada mereka," lanjut pemuda itu.
Mendengar ini, Kim Hong tertawa dan berkata, "Ehh, sobat sastrawan yang hebat, setelah mejamu remuk, mengapa engkau tidak makan bersama kami sekalian belajar kenal?"
Thian Sin juga cepat bangkit dan menjura kepada gadis itu. "Agaknya kita semua saling mengagumi, bagaimana jika kita berempat makan semeja dan minta disediakan hidangan baru yang segar? Sudikah nona...?"
Tidak seperli ketika menghadapi pemuda sastrawan tadi, kini gadis ini tersenyum manis dan berkata, "Terima kasih, aku pun ingin sekali berkenalan dengan ji-wi..." Lalu gadis tu memanggil pelayan, menyuruh pelayan membersihkan meja baru dan mereka berempat pun lalu duduk di satu meja.
"Ha-ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasibku hari ini. Perkenalkanlah, aku she Bu bernama Kok Siang seorang pelancong dari Thian-cin. Sungguh berbahagia sekali hatiku karena dapat berkenalan dengan tiga orang yang lihai dan amat mengagumkan." Sambil berkata begini, pemuda itu bangkit dan menjura kepada mereka bertiga, satu demi satu, sikapnya akrab, ramah dan kocak sekali sehingga Kim Hong tersenyum dan merasa semakin suka kepada sastrawan yang berwatak lembut, tidak pemarah dan selalu gembira ini.
"Aku she Bouw, bernama In Bwee." kata gadis itu, lebih ditujukan kepada Thian Sin dari pada kepada dua orang yang lain karena ketika memperkenalkan dirinya, matanya tidak pernah melepaskan wajah Thian Sin.
"Nama yang amat indah!" kata Bu Kok Siang, sastrawan muda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun itu. "Dan aku pun pernah mendengar bahwa di kota raja ada seorang hartawan besar. Nama Bouw-wan-gwe (Hartawan Bouw) sudah sangat terkenal, bukan hanya karena kaya raya melainkan juga karena dermawan..."
"Ahhh, itu hanya berita yang dilebih-lebihkan. Bouw-wan-gwe adalah ayahku, dan jangan terlalu memuji...," kata Bouw In Bwee dan sekali ini mau tidak mau dipandangnya Kok Siang sambil tersenyum simpul.
"Aha, ternyata puteri Bouw-wan-gwe! Wah, dibandingkan dengan harta kekayaan orang tuamu, aku tidak lebih hanya seorang jembel saja, siocia!" kata pula Kok Siang.
"Hemm, saudara Bu terlalu merendahkan diri," tegur Kim Hong tersenyum.
"Eh, eh, sampai lupa. Ji-wi (kalian berdua) belum memperkenalkan diri," kata Kok Siang, dan sepasang pendekar itu melihat sinar aneh berkilat dari kedua mata pemuda itu, sinar kecerdasan sehingga mereka dapat menduga bahwa di balik sikap yang acuh tak acuh itu sebenarnya tersembunyi perhatian yang besar.
"Namaku Ceng Thian Sin dan dia adalah Toan Kim Hong." kata Thian Sin sambil lalu, tapi dia memperhatikan kalau-kalau kedua orang itu mengenal namanya. Akan tetapi gadis itu tidak kelihatan terkejut, dan pemuda itu pun hanya mengerutkan alisnya.
"Ceng Thian Sin...? Serasa pernah aku mendengar nama ini, seperti tidak asing bagiku, akan tetapi... baru sekarang aku berjumpa dengan taihiap..."
"Ahh, buang saja taihiap itu, engkau sendiri pun berkepandaian hebat, saudara Bu."
"Tidak ada sekuku hitam Ceng-taihiap dan juga Toan-lihiap... ahh, nama Toan Kim Hong sungguh indah sekali!"
Kim Hong tersenyum dan menatap wajah ganteng itu. "Hik-hik, agaknya saudara Bu Kok Siang ini selain pintar bersajak, pintar ilmu silat, juga memiliki kepandaian untuk merayu dan memuji-muji nama wanita. Sungguh mempunyai banyak macam kepandaian!"
Ucapan ini sebenarnya dapat dianggap sebagai tamparan, akan tetapi karena Kim Hong mengatakannya dengan nada sungguh-sungguh, bukan mengejek, dan sambil tersenyum manis, maka pemuda itu pun tertawa gembira.
Mereka segera makan minum sambil bercakap-cakap gembira. Thian Sin dan Kim Hong mendengar bahwa In Bwee selain menjadi puteri seorang hartawan yang kaya, juga sejak kecil dia mempelajari ilmu silat hingga mencapai tingkat yang cukup tinggi sehingga andai kata tadi Kok Siang tidak turun tangan, dia sendiri pun akan sanggup menghajar penjahat kasar itu.
Karena selain sebagai seorang gadis kaya, juga dia merupakan seorang gadis ahli silat, maka tidaklah mengherankan kalau In Bwee suka melakukan perjalanan seorang diri, dan malam itu memasuki restoran tanpa teman lagi, seperti biasanya seorang gadis kang-ouw yang bebas.
Ada pun Bu Kok Siang, menurut pengakuannya adalah seorang perantau yang bertempat tinggal di kota Thian-cin dan kebetulan sedang melancong ke kota raja. Baru tiga hari dia berada di kota raja. Semua nampaknya kebetulan saja, akan tetapi diam-diam pasangan pendekar ini menduga dengan penuh keyakinan bahwa kedua orang muda yang menjadi teman baru itu sama sekali bukan secara kebetulan saja bertemu dengan mereka. Malah kemunculan Hai-pa-cu tadi pun bukan tidak mungkin sudah direncanakan terlebih dahulu.
Akan tetapi, tentu saja mereka tidak mau menyinggung soal ini. Semakin cerdik keadaan lawan, makin menariklah permainan itu! Mereka sendiri mengaku sebagai dua orang yang melancong kota raja, datang dari utara tanpa memberi tahu mengenai hubungan mereka berdua. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka adalah teman-teman baik saja.
Mereka lalu berpisah sebagai kawan-kawan baru setelah saling berjanji akan berkunjung ke rumah Bouw In Bwee yang mengundang mereka. Akan tetapi yang terutama mendapat perhatian dan undangan khusus dari In Bwee adalah Thian Sin.
"Tidak salah lagi, mereka berdua itu tentu ada hubungannya dengan urusan ini," demikian kata Thian Sin setelah mereka tiba di kamar hotel mereka.
"Aku pun berpendapat begitu. Dan gadis itu memiliki she Bouw, sungguh kebetulan sekali she-nya sama dengan she dari kepala penjahat besar di kota raja yang pernah kita dengar dari Liong-kut-pian Ban Lok itu."
"Kau maksudkan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng?"
Kim Hong mengangguk. "Sikapnya sungguh mencurigakan sekali dan... dan... dia selalu memperhatikan engkau, juga kelihatan selalu hendak memikat..."
"Ehhh, kau cemburu?" Tentu saja sejak tadi Thian Sin sudah dapat mengetahui betapa In Bwee selalu memikatnya dan betapa Kim Hong melihat hal ini dengan perasaan cemburu yang disembunyikan.
"Siapa cemburu? Sastrawan itu pun ganteng dan menarik sekali!" jawab Kim Hong.
Thian Sin maklum bahwa kekasihnya itu sengaja menyebut-nyebut nama Kok Siang untuk membalasnya.
"Pemuda itu pun patut diperhatikan, dia tidak kalah menarik dan mencurigakan dari pada In Bwee. Karena itu, aku ingin agar engkau mencari dan menyelidikinya."
"Dan engkau sendiri akan menyelidiki In Bwee?"
"Tepat! Kita membagi tugas dan kurasa dari mereka itulah kita akan mengetahui tentang rahasia peta yang hilang."
"Hemm, tugas yang manis dan menyenangkan bagimu, ya?"
"Kim Hong, keadaan kita sama saja."
"Maksudmu?"
"Aku bisa tertarik kepada In Bwee yang manis, akan tetapi engkau pun bisa saja tertarik kepada Kok Siang yang ganteng. Bukan engkau saja yang bisa cemburu, aku pun bisa."
"Jadi..."
"Nah, kita uji diri serta batin sendiri. Sedikit main-main, apa salahnya? Dan yang paling penting adalah kita bukan mengejar asmara, namun mengejar rahasia peta. Ingat!" Thian Sin tersenyum.
Kim Hong membalas pandang mata itu, dan tersenyum pula. Keduanya pun mengerti, lalu saling rangkul dan keduanya roboh di atas pembaringan sambil tertawa-tawa dan mereka segera tenggelam di dalam lautan kemesraan dan pencurahan kasih sayang mereka satu sama lain.
********************
Gadis yang sedang membaca kitab seorang diri di pondak mungil di tengah taman bunga itu sungguh nampak cantik manis di bawah sinar lampu merah. Dan pondok yang terbuka jendelanya itu dipenuhi dengan keharuman bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan juga bunga-bunga lain yang memenuhi taman.
Tidak ada seorang pun pelayan yang menemani Bouw In Bwee. Memang In Bwee ingin bersendirian membaca kitab dan dia telah mengusir semua pelayan dari pondok di taman bunga keluarganya yang kaya raya. Bulan di luar pondok amat cemerlang karena malam itu memang menjelang bulan purnama yang akan muncul dua malam lagi. Bulan sudah nampak bundar dan cerah.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di dalam pondok itu sudah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Sekali pria itu mengebutkan lengan bajunya, maka padamlah lampu yang terletak agak jauh, terletak di atas meja! Hal ini membuktikan betapa hebatnya tenaga sinkang dari pria itu. Keadaan dalam pondok mendadak menjadi gelap remang-remang karena kini hanya mendapatkan sedikit penerangan dari cahaya bulan.
Akan tetapi In Bwee tidak nampak terkejut. Memang semenjak tadi dia telah menanti. Dia hanya bangkit berdiri, menoleh ke arah pria itu.
"Paman...," katanya lirih sebagai sambutan.
"In Bwee, bagaimana hasilnya?"
"Aku telah berhasil menghubungi mereka, paman. Akan tetapi aku harus bertindak secara hati-hati sekali. Mereka berdua mempunyai ilmu yang amat tinggi, dan mengingat bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis, hatiku sungguh tidak tenang sekali."
"Hemmm..., sudah kukatakan bahwa engkau tak perlu mengandalkan ilmu silatmu. Untuk menghadapinya dalam hal itu, serahkan saja kepadaku kelak. Yang penting engkau harus dapat memikatnya, menarik perhatiannya sehingga dia dapat menceritakan dengan terus terang tentang kunci emas itu. Bagaimana hasilnya malam kemarin itu?"
"Sebetulnya, dengan bantuan Hai-pa-cu telah kuatur seperti yang paman kehendaki. Akan tetapi sialan benar, ada yang campur tangan dan sama sekali di luar rencana kita. Muncul seorang sastrawan muda dari Thian-cin bernama Bu Kok Siang yang memiliki kepandaian tinggi juga. Melihat gerakannya ketika dia mengalahkan Hai-pa-cu, tentu kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkatku."
"Hemm... jadi engkau gagal karena ulah sastrawan jahil itu?"
"Gagal sama sekali sih tidak, sebab aku berhasil berkenalan dengan mereka, juga dengan sastrawan itu tentu saja, dan aku sudah menjadi kenalan mereka, malah sudah kuundang dia untuk datang ke sini..."
"Bagus, kau atur saja dan jangan engkau main-main, In Bwee. Jika berhasil, maka selain akan mewarisi ilmu-ilmu simpananku, engkau juga akan memperoleh sebagian dari harta pusaka Jenghis Khan itu. Akan tetapi kalau engkau menolak dan mengkhianatiku, awas kau, aku tidak akan mengampunimu lagi. Ayah bundamu akan mendengar semuanya!"
"Paman..." Gadis itu terisak.
"Jangan khawatir, aku tidak akan sekejam itu, engkau adalah keponakanku sendiri. Akan tetapi engkau harus mentaati perintahku, hanya sekali ini. Mengerti?"
"Baik, paman."
"Nah, aku pergi dulu. Lakukan secepat mungkin dan harus berhasil!" Tiba-tiba orang tinggi besar itu berkelebat dan lenyap dari situ seperti setan saja.
In Bwee menyalakan lampu dengan jari-jari tangan gemetar. Wajahnya masih agak pucat dan jantungnya berdebar tegang. Setelah lampu menyala, barulah hatinya tenang, akan tetapi pikirannya mengenang keadaan dirinya dan tanpa dapat ditahan lagi gadis itu pun menangis sambil meletakkan kepala di atas kedua lengannya di atas meja. Entah berapa lamanya dia terhanyut dalam kedukaan ini, dia tidak ingat lagi.
"Nona In Bwee... kenapa kau menangis...?"
In Bwee terkejut bukan main dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat keluar dari kamar pondok itu lantas dia berhadapan dengan seorang pemuda yang tadi berdiri di luar jendela, pemuda yang bersikap tenang dan bukan lain adalah Bu Kok Siang!
"Ahh, kiranya engkau..." In Bwee berkata dengan hati lega ketika melihat siapa orangnya yang barusan menegurnya tadi. Akan tetapi segera dia teringat akan kedatangan orang pertama tadi, maka sambil berusaha menatap wajah di bawah sinar bulan yang sayu itu, dia pun bertanya, "Sudah lamakah engkau tiba di sini?"
Kok Siang mengangguk. "Lama juga, aku tadi berlindung di balik rumpun bunga di sana."
"Ahh...! Jadi... jadi kau tadi melihat...?"
Pemuda itu mengangguk.
"Ahh...!" In Bwee menjadi terkejut sekali dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya.
Sentuhan tangan pemuda pada pundaknya itu halus sekali, sama sekali tak mengandung kekurang ajaran dan suara itu tergetar penuh perasaan. "In Bwee... nona... tenangkanlah hatimu. Aku tidak sengaja melihat semua itu tadi, tapi... percayalah aku tak akan pernah mengatakannya kepada siapa pun juga. Aku bersumpah! Dan kau jangan khawatir, aku... aku siap untuk melindungimu dari ancaman apa pun juga, dengan taruhan nyawaku!"
Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan sampai lama dia memandang wajah pemuda itu, memandang dengan penuh keheranan dan keraguan. Kemudian dia berkata, "Marilah kita bicara di dalam. Di sini bisa terlihat orang lain."
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, In Bwee memasuki pondok itu diikuti oleh Kok Siang. Kemudian, sesudah menutupkan daun jendela, In Bwee bersikap agak tenang dan mencoba untuk menahan getaran suaranya yang masih terguncang.
"Bu-kongcu... ehh, saudara Kok Siang, kau duduklah."
Mereka duduk berhadapan dan kembali di bawah penerangan lampu kini mereka saling pandang dan sinar mata mereka bertaut sampai lama sekali. Gadis itu lalu menunduk dan menarik napas panjang.
"Jawab pertanyaan-pertanyaanku. Pertama, kenapa malam-malam begini engkau datang ke sini, bukan berkunjung sebagai tamu namun datang seperti ini, melalui taman seperti pencuri?"
Pertanyaan itu tak mengandung kemarahan, akan tetapi tatapan mata itu demikian tajam seakan-akan gadis itu hendak menjenguk isi hati pemuda itu. Kok Siang yang biasanya berjenaka itu, sekarang nampak serius.
"Entahlah... aku tidak dapat tidur... siang tadi aku ingin mengunjungimu akan tetapi selalu teringat akan perbedaan keadaan antara kita, membuat aku ragu-ragu. Tapi malam ini... aku begitu gelisah dan ingin sekali berjumpa denganmu, atau setidaknya melihatmu, atau paling tidak melihat rumahmu dan... di sinilah aku. Ketika lewat di rumahmu, aku semakin ingin melihatmu, maka dengan lancang aku telah meloncati tembok lalu ke taman ini dan sungguh kebetulan sekali aku melihatmu dan tadi..."
"Cukup. Kini pertanyaan ke dua. Apakah kau tadi mengenal orang itu?"
Pemuda itu menggeleng. "Terlalu gelap untuk dapat melihatnya dan gerakannya demikian cepat, seperti setan menghilang saja. Akan tetapi dia itu pamanmu, bukan?"
Kedua tangan gadis itu mencengkeram lengan pemuda itu, bukan serangan, melainkan cengkeraman karena terkejut. "Kau... kau tahu...?"
Kok Siang menggelengkan kepala. "Aku tadi lapat-lapat mendengar engkau menyebut dia paman, dan... aku... aku tidak sengaja mendengar ancamannya yang terakhir tadi, yaitu kata-kata ini: Nah, aku pergi, lakukan secepat mungkin dan harus berhasil."
"Ahhh...!" Entah apa artinya keluhan ini, mungkin juga perasaan lega karena pemuda itu tidak mengetahui semuanya, atau juga khawatir. Kok Siang tidak dapat menyelami hati gadis ini. Akan tetapi In Bwee melepaskan cengkeraman tangannya, lalu duduk kembali.
"Sekarang, jawablah sejujurnya, ahh, jangan sembunyikan rahasia, jawablah sejujurnya... kenapa engkau bersikap seperti ini kepadaku? Mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau hendak melindungi aku dari ancaman apa pun juga, dengan taruhan nyawamu?" Sekali ini, dengan terang-terangan In Bwee memandang wajah pemuda itu, sinar matanya seperti hendak menembus dan mengetahui isi hati pemuda itu.
Berdebar rasa jantung Kok Siang. Beberapa kali dia menelan ludah sebelum menjawab, kemudian dia pun berkata, suaranya lirih dan tergetar penuh perasaan, "Demi Tuhan, aku bersumpah bahwa apa yang hendak kukatakan ini adalah yang sejujurnya. Nona... ehhh, Bwee-moi, terus terang saja, selama hidupku belum pernah aku jatuh cinta. Akan tetapi sejak aku bertemu denganmu di restoran itu, melihat sikapmu menghadapi penjahat, aku sudah jatuh hati kepadamu dan aku telah mengambil keputusan bahwa engkaulah wanita satu-satunya yang kuingin agar menjadi jodohku. Akan tetapi... mendengar bahwa engkau adalah puteri seorang hartawan besar, timbul keraguanku karena aku tidak ingin dianggap pengejar harta dan hendak mengawini hartamu. Aku... aku cinta padamu, Bwee-moi. Nah, terus terang saja kukatakan ini, dari pada kusimpan-simpan hingga menjadi racun hatiku. Ketika melihat engkau menangis begitu sedih tadi... aku merasa bahwa akulah orangnya yang harus melindungimu dengan taruhan nyawaku."
"Ahh, tidak... tidak...!" Dan tiba-tiba In Bwee menutupi mukanya dan menangis lagi!
"Bwee-moi, jangan salah sangka. Aku sungguh tidak menginginkan hartamu. Aku sendiri bukanlah orang yang terlampau miskin, walau pun tidak sekaya ayahmu. Akan tetapi aku mempunyai cinta dan biar pun baru satu kali kita saling berjumpa, akan tetapi aku sudah yakin bahwa aku cinta padamu dan... aku bersedia menjadi jodohmu walau pun engkau tidak membawa harta secuwil pun."
Akan tetapi ucapan itu bahkan membuat In Bwee menangis semakin sedih.
"Bwee-moi, maafkan aku... ampunkanlah kalau aku menyinggung perasaanmu..."
In Bwee menggelengkan kepala. "Biarkan aku menangis... biarkan aku menangis..." dan dia pun mengguguk.
Kok Siang diam saja, hanya memandang dengan hati terharu dan dia tahu bahwa gadis itu bukan tersinggung melainkan sedang berduka, dan agaknya baru sekarang mendapat kesempatan untuk menumpahkan semua kedukaan hatinya melalui air matanya.
Setelah tangisnya mereda, akhirnya gadis itu mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu dengan wajah pucat dan mata merah. Sampai lama ia memandang, kemudian berkata lirih, "Aku percaya... sudah kurasakan sejak kemarin malam. Akan tetapi, aku... aku sungguh tidak berharga untuk menjadi isterimu atau isteri siapa pun juga." Kembali ia menangis.
Kok Siang terkejut dan cepat memegang tangan yang tergetar itu. "Ah, moi-moi... kenapa engkau bicara seperti itu? Engkau seribu kali lebih berharga dari pada aku!"
"Engkau tidak mengerti... ahh, baiklah, dengarkan akan kuceritakan kepadamu. Duduklah yang tenang, dan dengarkan ceritaku. Mala petaka itu terjadi tiga tahun yang lalu...! Kau tahu, semenjak kecil aku berlatih silat, dibimbing oleh pamanku yang ilmu silatnya amat tinggi. Aku berlatih bersama beberapa orang murid pamanku. Sesudah aku dewasa, tiga tahun yang lalu, aku berusia delapan belas tahun... dan keadaan pamanku itu, walau pun dia lihai tetapi... ahhh, dia bukan orang baik-baik... dia bergaul dengan orang-orang jahat, bahkan menjadi pemimpin mereka... begitu pula murid-muridnya... dan... ahh, aku terpikat oleh seorang suheng-ku... sampai... sampai pada suatu hari, dalam mabokku akibat kami minum arak, agaknya sudah disengaja oleh suheng-ku itu, aku... aku menyerahkan diriku padanya..." Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kemudian dia mengepal tinjunya dan mengangkat muka. "Nah, kini telah kau dengar baik-baik? Apakah engkau masih berani mengaku cinta padaku?"
Pengakuan itu bagaikan halilintar menyambar kepala pemuda itu. Dia menjadi nanar dan wajahnya pucat, matanya menjadi sayu dan merenung kosong. Akan tetapi, dia segera menggoyang kepalanya dan juga mengepal tinju.
"Bwee-moi, aku cinta padamu sekarang! Yang kucinta adalah engkau sekarang ini, bukan engkau dahulu-dahulu dan bukan pula keperawananmu! Nah, sudah dengarkah engkau?"
Ucapan yang keras itu mengejutkan In Bwee, juga mengherankannya. "Tapi... tapi..."
"Lanjutkan ceritamu!"
"Aku merasa menyesal sekali akan peristiwa itu dan aku... aku lalu membunuh suheng-ku itu! Aku tahu bahwa dia sengaja memikat dan melolohku dengan arak keras, dan akhirnya aku juga tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya dan bahwa dia pun hanya mau mempermainkan aku. Paman, yaitu suhu kami sudah tahu akan hal itu. Dia membantuku, merahasiakan hal itu. Kalau dia memberi tahu kepada ayah, tentu ayah akan marah sekali dan mungkin aku akan diusir, tidak akan menjadi ahli warisnya karena ayahku tidak suka anak perempuan. Nah, kemudian paman membantuku, menyimpan rahasia itu akan tetapi sebaliknya aku juga harus membantunya."
"Membantunya? Membantu apa?"
"Macam-macam, pokoknya yang mendatangkan uang. Malah aku sering disuruh mencuri barang-barang berharga milik ayah dan ibu untuknya, dan aku disuruh pula melakukan kejahatan bersama murid-murid dan anak buahnya..."
"Ahhh...!"
"Aku terpaksa... aku takut kalau sampai ayah dan ibu tahu bahwa aku sudah bukan gadis lagi... aku bahkan terus menerus menolak kalau mau dikawinkan... ahh, betapa aku telah menderita hebat... bukan hanya karena keadaanku ini, akan tetapi juga akibat penekanan paman..." Gadis itu menangis lagi, dan kini tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu melangkah maju, lantas memegang tangannya.
"Bwee-moi, pandanglah aku baik-baik. Nah, apakah sekarang engkau percaya bahwa aku cinta padamu? Mencinta dengan murni dan tulus, bukan hanya mencinta keperawananmu atau harta bendamu?"
Mereka saling pandang dan gadis itu mengangguk.
"Dengarkan baik-baik kalau engkau percaya dan engkau dapat membalas atau menerima cintaku. Engkau sudah bertindak keliru. Semestinya, engkau berterus terang kepada ayah bundamu dan menghadapi segala akibatnya. Dengan membiarkan dirimu diperalat oleh orang lain, maka berarti engkau semakin dalam terperosok. Sekarang, kau ceritakanlah semuanya kepadaku..."
"Tidak... aku tidak berani... engkau tidak tahu betapa lihainya pamanku," gadis itu berkata dengan muka pucat dan mata liar memandang ke kanan kiri. "Engkau pergilah, Siang-ko, pergilah dulu... dan biarkan aku berpikir dengan matang... kedatanganmu terlalu tiba-tiba. Besok... besok atau lusa kita bertemu lagi, di sini... malam-malam begini... sekarang kau pergilah..."
Kok Siang menghela napas, tidak berani memaksa. "Baiklah, akan tetapi ingatlah selalu bahwa di dunia ini ada Bu Kok Siang yang akan melindungimu dengan taruhan nyawa, yang akan tetap mencintamu dan tidak mempedulikan riwayatmu yang sudah lalu. Nah, selamat tinggal, sampai jumpa besok atau lusa malam."
"Baik, Siang-ko... kalau engkau melihat lampu merah di pondok ini, jendelanya terbuka, berarti aku menantimu di sini..."
Pemuda itu mengangguk, menggenggam kedua tangan itu, kemudian dia meloncat keluar dan lenyap dalam kegelapan malam. In Bwee memandang ke arah lenyapnya pemuda itu dengan mata sayu, kemudian termenung-menung dan akhirnya ia pun kembali menangis sendirian, menahan isaknya supaya tidak menimbulkan suara. Peristiwa yang baru saja terjadi itu terlalu hebat baginya. Dan ia sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang mendekatinya, kemudian terdengar suara orang di balik jendela.
"Hemmm..., diam-diam engkau telah punya pacar, ya? Baik, selesaikan tugasmu sampai berhasil dan engkau akan menikah dengan pacarmu itu, aku yang akan membujuk orang tuamu agar setuju. Akan tetapi kalau engkau mengkhianatiku, pacarmu itu akan kubunuh dan rahasiamu akan kuumumkan tidak hanya kepada ayah bundamu, akan tetapi kepada semua orang!"
"Paman...!" In Bwee berseru kaget sekali akan tetapi bayangan itu telah cepat berkelebat dan akhirnya lenyap.
In Bwee hanya dapat merenung dengan wajah pucat. Kemunculan guru atau pamannya yang lihai itu seketika langsung membuyarkan harapan serta khayalnya yang baru timbul bersama munculnya pemuda sastrawan itu. Sedikit harapan itu bagaikan awan tipis yang tersapu badai.
********************
"Bu-kongcu...! Tunggu sebentar...!"
Bu Kok Siang yang sedang berjalan seorang diri pada pagi hari itu tentu saja mendengar teriakan suara wanita ini, maka ia pun cepat berhenti melangkah lalu menoleh. Wajahnya segera berseri dan bibirnya tersenyum ketika dia melihat siapakah gerangan wanita yang memanggilnya itu. Ternyata yang memanggilnya tadi adalah wanita cantik yang waktu itu telah dikenalnya di dalam rumah makan, yang bernama Toan Kim Hong!
Setelah wanita itu tiba di depannya, Kok Siang cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata, "Ahh, kusangka siapa, tak tahunya nona Toan. Dan harap jangan menyebutku kongcu (tuan muda), membuat aku menjadi malu saja."
"Selamat pagi, Bu... twako! Biar kusebut twako, biar pun mungkin aku lebih tua. Engkau tahu, wanita selalu ingin dianggap lebih muda," kata Kim Hong tersenyum.
Kok Siang tertawa. "Dan memang kelihatannya engkau jauh lebih muda dari pada aku, nona. Sepagi ini engkau hendak ke manakah? Dan mengapa nona sendirian saja? Mana saudara Ceng Thian Sin yang gagah perkasa itu?"
"Dia tinggal di kamarnya di hotel. Aku memang sengaja keluar hendak mencarimu."
Pemuda itu mengangkat dua alisnya dan memandang heran. "Lihiap... ehh, nona mencari aku? Ya nasib mujur! Sungguh beruntung sekali. Ada keperluan apakah gerangan...?"
Kim Hong tertawa, manis sekali. "Kita sudah saling berkenalan, apakah kalau tidak ada urusan penting tidak boleh mencari dan mengunjungi? Tadi aku lewat di depan hotelmu tapi engkau tidak ada, lalu kulihat engkau berjalan sendirian, seperti orang tergesa-gesa, maka kupanggil. Apakah aku mengganggumu? Kalau begitu biarlah aku pulang lagi saja."
"Ehh, ehhh... nanti dulu. Tentu saja aku girang dapat bertemu denganmu, nona. Aku pun belum sempat mengunjungi rumah penginapan kalian, dan kebetulan dapat berjumpa di sini. Nah, ke mana kita pergi sekarang untuk merayakan pertemuan ini?"
"Aku ingin bercakap-cakap denganmu, Bu-twako."
"Kalau begitu, mari kita pergi ke taman umum di tepi sungai, di sana indah dan sepi. Tidak enak bercakap-cakap di tepi jalan seperti ini."
Mereka lalu berjalan bersama menuju ke taman yang luas itu. Kota raja terkenal dengan taman-tamannya yang indah, akan tetapi hanya beberapa buah saja yang terbuka untuk umum, di antaranya taman di tepi sungai yang dikunjungi oleh dua orang muda itu.
Banyak orang yang bertemu dengan mereka di jalanan memandang pasangan ini dengan rasa kagum karena memang pasangan ini cocok sekali. Yang wanita cantik jelita, yang pria juga tampan dan ganteng. Dan keduanya tidak merasa canggung berjalan bersama, seolah-olah mereka memang telah menjadi sababat baik sejak dahulu.
Pada sepanjang perjalanan menuju ke taman bunga itu, Kim Hong mendapat kenyataan bahwa pemuda itu telah hafal akan keadaan kota raja, dapat menunjukkan tempat-tempat penting kepadanya, seperti seorang penunjuk jalan yang pandai dan ramah.
Pagi itu taman di pinggir sungai masih sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang sedang berkunjung dan berjalan-jalan di dalam taman, dan mereka itu tentu para pendatang dari luar kota. Ada pula yang pesiar naik perahu di pinggir sungai. Kim Hong dan Kok Siang memilih tempat duduk di tepi kolam ikan emas, di atas sebuah bangku panjang di mana mereka duduk berdampingan.
"Nah, sekarang kita berada di tempat sepi, berdua saja. Apakah yang hendak kau katakan kepadaku, nona?"
"Bu-twako, bukan aku yang ingin mengatakan sesuatu kepadamu, akan tetapi engkaulah yang sebaiknya mengatakan dengan terus terang kepadaku mengenai dirimu...," kata Kim Hong sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam dan penuh selidik.
Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Maksudmu?"
Kim Hong memutar tubuhnya sehingga sepenuhnya menghadapi pemuda itu dan pandang matanya mencorong, mengejutkan hati pemuda itu. "Bu-twako, kiranya engkau tidak perlu bersandiwara lagi. Kemunculanmu di restoran itu tentu bukan sebuah hal yang kebetulan saja. Engkau membawa suatu rahasia dan engkau tentu telah mengenal kami, setidaknya engkau mengetahui sesuatu tentang kami. Benarkah itu?"
Hening sejenak. Pemuda itu masih mengerutkan kedua alisnya dan kini pandang matanya juga serius, berkilat dan penuh semangat, tak lagi disembunyikan di balik kejenakaan dan kegembiraannya.
"Mengapa engkau dapat menduga seperti itu, nona? Adakah sesuatu yang mencurigakan dalam tindak tandukku selama ini?" Dia memancing karena masih meragukan kata-kata Kim Hong tadi yang dianggapnya hanya dugaan-dugaan belaka.
Kim Hong tersenyum, senyuman yang mengandung ejekan. "Kau kira kami begitu bodoh? Engkau adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi, tetapi engkau bersikap bodoh dan berkelakar. Kemudian secara sengaja engkau melemparkan Hai-pa-cu Can Hoa yang kau robohkan di restoran itu kepada kami. Ya, kami tahu bahwa dengan sengaja engkau melemparnya kepada kami, dan tentu saja ini berarti bahwa engkau hendak menguji kami dan berarti pula bahwa engkau sudah tahu atau menduga sesuatu mengenai kami. Nah, kuminta engkau bicara blak-blakan saja, kecuali kalau engkau hendak menganggap kami sebagai musuh."
Sejenak pemuda itu memandang kagum, lalu menarik napas panjang. "Aihh, sungguh aku sudah bertindak ceroboh sekali, tidak tahu menghadapi gunung Thai-san yang menjulang tinggi, tidak tahu bahwa nona amatlah cerdas dan pandai. Tentu sikapku waktu itu sudah memancing tawa dalam hati kalian. Maafkanlah. Terus terang saja aku mengetahui pada waktu kalian menghadapi Siang-to Ngo-houw, dan biar pun aku tidak mendengar sendiri percakapan antara kalian dengan mereka, akan tetapi aku dapat menduga kenapa kalian dicari oleh mereka itu. Tentu karena urusan... peta rahasia dan kunci emas, bukan?"
Kim Hong tidak terkejut, melainkan tersenyum. Memang dia dan Thian Sin telah menduga bahwa pemuda ini tentu ada kaitannya dengan urusan itu. "Bagus, ternyata engkau pun tersangkut. Tidak tahu engkau berdiri di pihak manakah?" katanya sambil melirik tajam.
Kok Siang menggelengkan kepala. "Tidak berdiri di pihak mana pun, melainkan di pihakku sendiri. Aku hendak menyelidiki siapa yang telah membunuh pamanku."
"Pamanmu?"
"Ya, Louw siucai adalah pamanku."
"Ahhh...!"
"Engkau tentu pernah mendengarnya."
Kim Hong mengangguk. "Sastrawan yang sudah membantu keluarga Ciang mengartikan peta kuno itu?"
"Benar, dia adalah pamanku. Paman membantu mereka menterjemahkan peta kuno dan beberapa hari kemudian dia terbunuh. Tentu pembunuhnya menghendaki agar dia tidak membocorkan rahasia tentang peta itu."
"Hemm, mungkin saja Su Tong Hak, paman Ciang Kim Su yang kurasa bukan merupakan orang baik-baik itu." kata Kim Hong.
"Aku pun tadinya menduga demikian. Akan tetapi aku ingin tahu secara pasti agar tidak salah tangan. Aku harus membalas kematian pamanku itu. Dia amat mencintaku dan dia sudah seperti ayahku sendiri. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda dan paman Louw itu kakak dari mendiang ibuku, bagiku merupakan pengganti orang tua. Dan dia dibunuh orang tanpa dosa!" Pemuda itu mengerutkan alis dan mengepal tinju.
Kim Hong merasa kasihan. "Jangan khawatir, Bu-twako, aku... kami akan membantumu. Kami pun sedang menyelidiki mereka, yaitu mereka yang merampas peta kuno itu. Kami adalah utusan dari petani Ciang Gun atau mendiang petani itu karena dia pun dibunuh orang. Kami sedang menyelidiki perkara ini. Menurut keterangan Su Tong Hak, Ciang Kim Su juga lenyap. Kami merasa curiga. Tentu ada permainan kotor dalam urusan ini dan dia pun bilang bahwa peta yang mereka bagi dua itu, yang berada di tangannya, juga dicuri orang. Kami sedang menyelidiki, di tangan siapa gerangan peta itu."
"Hemm, dan sekarang kunci emas itu berada di tangan kalian, bukan? Aku sudah tahu bahwa rahasia itu meliputi peta dan kunci emas."
"Ya, dan kami hendak mempergunakan kunci emas itu untuk menjadi umpan memancing datangnya ikan yang menguasai peta."
"Dan lihat, kurasa ada ikan-ikan yang datang!" tiba-tiba pemuda itu berkata sambil melirik ke arah kiri.
Kim Hong juga melirik ke kiri dan memang benar ada sekelompok orang, sepuluh orang jumlahnya, mendatangi taman itu namun mereka itu nampaknya bukan seperti pelancong biasa.
"Hemm, agaknya benar, mereka tentu anak buah yang dikirim ke sini," kata Kim Hong.
"Jangan khawatir, aku akan membereskan mereka kalau mereka berani mengganggumu!" Kok Siang berkata sambil bangkit berdiri.
Akan tetapi Kim Hong segera memegang lengannya dan menariknya agar duduk kembali. "Jangan, Bu-toako. Kalau mereka bergerak, tentu mereka itu berniat untuk menyerangku, ingin menangkap atau merampas kunci. Mereka datang untuk aku, sama sekali tidak ada hubungannya dengan engkau. Kau duduk sajalah dan biar aku menghajar mereka."
Ketika sepuluh orang itu tiba di sana, Kim Hong masih saling berpegang tangan dengan Kok Siang dengan maksud mencegah pemuda ini menghadapi orang-orang yang nampak kasar dan kuat-kuat itu. Salah seorang di antara mereka, yang rambutnya riap-riapan dan matanya agak juling, yang nampaknya sebagai pemimpin dari sepuluh orang itu, tertawa. Perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang.
"Ha-ha-ha, kiranya si manis ini mempunyai pacar di mana-mana, sering berganti pacar! Kawan-kawan, sekali ini kita tidak boleh gagal. Tangkap si manis ini dan bunuh saja pacar barunya!"
Kim Hong adalah seorang dara yang selama beberapa tahun pernah menyamar sebagai Lam-sin, hal ini berarti bahwa ia pun pernah berkecimpung di dunia sesat, kaum penjahat, maka ucapan itu sebetulnya tidak aneh atau asing baginya. Ia sudah terbiasa mendengar kata-kata kasar. Ucapan kasar tidak akan membuat dia menjadi marah.
Akan tetapi, tuduhan bahwa dia berganti-ganti pacar, bahwa Kok Siang adalah pacarnya yang baru, langsung membuat kedua pipinya berubah merah. Hanya biasanya, Kim Hong tak pernah memperlihatkan perasaan hatinya. Tidak ada seorang pun di dunia ini, kecuali Thian Sin tentunya, yang dapat menduga isi hatinya. Maka, walau pun pada saat itu dia sedang marah, namun wajahnya tetap berseri dan senyumnya bertambah manis.
Sepuluh orang itu telah mengepung bangku di mana Kim Hong dan Kok Siang tadi duduk dan dari gerakan kaki mereka tahulah Kim Hong bahwa biar pun orang-orang ini nampak kasar, akan tetapi mereka adalah ahli-ahli silat pilihan! Terutama sekali si mata juling itu ternyata mempunyai kepandaian yang tinggi, dengan gerakan yang demikian ringan tanda bahwa ginkang-nya sudah mencapai tingkat yang tinggi.
Maka diam-diam dia pun terkejut sekali. Melihat gerakan si mata juling ini, agaknya akan merupakan lawan yang berat dan amat berbahaya bagi Kok Siang, maka dia pun segera mengambil keputusan untuk menandingi sendiri pemimpin gerombolan ini. Maka, sebelum gerombolan itu menyerbu dan membahayakan Kok Siang, dia langsung melangkah maju dan mendekati pemimpin gerombolan itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang.
"Ehh, mata juling gendut yang bermulut busuk! Kalau engkau beserta anjing-anjingmu ini mampu menangkapku, biar aku berjanji akan memberi ciuman sepuluh kali kepadamu!"
Mendengar ucapan ini, si mata juling beserta teman-temannya tertawa. "Ha-ha-ha, nona manis, sungguhkah itu? Memberi ciuman dengan suka rela? Ha-ha-ha!"
"Tentu saja, aku tidak pernah berbohong!" jawab Kim Hong dan mendengar ini, Kok Siang mengerutkan alisnya. Kenapa wanita cantik dan gagah perkasa ini mau melayani segala macam orang kasar seperti mereka?
Akal Kim Hong ini berhasil. Tadinya, kepala gerombolan yang sudah mendengar betapa pemuda sastrawan itu pernah mengalahkan Hai-pa-cu, bermaksud untuk terlebih dahulu mengeroyok dan membunuh si pemuda, baru kemudian, menawan gadis itu seperti yang sudah diperintahkan kepadanya. Akan tetapi, mendengar ucapan Kim Hong dan melihat betapa manisnya gadis itu tersenyum kepadanya, dengan janji yang demikian mesra, dia pun tak mampu menahan gejolak hatinya lagi. Bagaimana pun juga, dia percaya kepada kepandaiannya sendiri dan juga kepada kekuatan anak buahnya yang sebenarnya adalah beberapa orang sute-nya dan murid-muridnya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Nona manis, engkau agaknya belum pernah mendengar nama Tiat-ciang Lui Cai Ko, maka berani menantangku. Bersiaplah engkau untuk menciumku sepuasnya, ha-ha-ha!" Setelah tertawa bergelak, dia memberi isyarat kepada dua orang sute-nya untuk membantunya, sedangkan kepada tujuh orang muridnya ia berkata tegas, "Bunuh kutu buku itu!"
Tujuh orang kasar itu adalah murid-murid pilihan dari Tiat-ciang Lui Cai Ko. Mendengar perintah suhu mereka, tujuh orang ini lalu mencabut pedang masing-masing dan dengan gerakan gagah mereka melintangkan pedang di depan dada, lalu memasang kuda-kuda yang nampak kokoh kuat.
Kuda-kuda mereka berbagai macam, ada yang memasang kuda-kuda dengan kedudukan kaki Jao-pian-se, Tu-li-se, Kung-se biasa atau Su-se, dengan kedudukan pedang yang bermacam-macam pula. Ada yang dilintangkan di depan dada, ada yang diangkat ke atas kepala, ada yang menuding ke bumi dan ada pula yang menjulang ke langit. Akan tetapi, rata-rata mereka itu memiliki kuda-kuda yang indah dan kuat, tanda bahwa mereka telah memiliki ilmu pedang yang bukan sembarangan.
Melihat ini, diam-diam Kok Siang terkejut sekali. Dia pernah mendengar nama Tiat-ciang (Tangan Besi) Lui Cai Ko itu, yaitu seorang begal atau perampok tunggal yang pernah membuat nama besar di sebelah utara kota raja. Maka dia pun sangat mengkhawatirkan keadaan Kim Hong dan karena dia dapat melihat dari gerakan para pengepungnya yang tujuh orang itu bahwa mereka adalah orang-orang yang merupakan lawan tangguh, maka Kok Siang tidak berani bersikap ceroboh.
Maka dia segera mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu Im-yang Siang-pit (Sepasang Tangkai Pena Im Yang), yang kiri terbuat dari pada perak sedangkan yang kanan terbuat dari pada emas. Dan sepasang pit ini memang benar-benar dapat juga digunakan untuk menulis di samping sebagai senjata.
Melihat betapa pemuda itu mengeluarkan senjata sepasang pit itu, tiba-tiba seorang di antara para pengepung itu berseru, "Kiranya engkau adalah Im-yang Siang-pit Bu Siucai!"
Memang, sebetulnya nama pemuda sastrawan itu telah banyak dikenal di dalam dunia kang-ouw. Yang membuat dia terkenal, pertama adalah gurunya dan yang ke dua adalah sepasang senjatanya itu. Gurunya adalah datuk kaum sesat di utara, yaitu Pak-san-kui, biar pun pemuda ini tidak menerima datuk itu sebagai guru langsung.
Pak-san-kui tertarik melihat bakat pemuda ini dan menurunkan beberapa macam ilmunya yang tinggi, sedangkan Bu Kok Siang juga hanya tertarik akan ilmu silat yang tinggi dari datuk itu, tetapi dia tidak senang melihat cara hidup gurunya sehingga sesudah menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, terutama ilmu Im-yang Siang-pit itu, dia pun melepaskan diri dan tak pernah lagi mau berdekatan atau mencampuri urusan suhu-nya yang terkenal sebagai seorang datuk sesat.
Dan di dunia kang-ouw, pemuda yang sudah memiliki titel siucai ini, yang menerima ilmu silat tinggi dari seorang datuk sesat sakti, mempergunakan senjatanya untuk menentang kejahatan itu sendiri. Maka nama julukannya adalah sepasang senjatanya itu yang lebih dikenal orang dari pada wajahnya. Apa bila dia tidak mengeluarkan senjatanya itu, jarang ada yang mengenal mukanya.
"Hemm, bagus kalian mengenal senjataku. Lui Cat Ko adalah seorang perampok tunggal yang jahat, maka anak buahnya tentulah bukan manusia baik-baik pula!" kata Kok Siang sambil memasang kuda-kuda dan mengangkat pit emas di atas kepalanya, menunjuk ke langit, sedangkan pit perak dipegang ke bawah, menuding ke bumi. Inilah kuda-kuda yang dinamakannya Seng-thian Jip-te (Naik ke Langit Masuk ke Tanah), pembukaan dari pada ilmu silat Im-yang Siang-pit.
Tujuh orang murid utama dari Tiat-ciang Lui Cai Ko itu menjadi marah mendengar ucapan ini, lantas dengan dahsyat mereka pun mulai menerjang dengan pedang mereka. Setiap gerakan mereka cukup dahsyat karena selain terkenal mempunyai sepasang tangan yang kuat dan keras seperti besi sehingga dia berjuluk Tiat-ciang, memang Tiat-ciang Lui Cat Ko, juga merupakan seorang ahli silat pedang yang tangguh.
Melihat datangnya serangan yang bertubi-tubi itu, yang membawa kilatan sinar pedang yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar ganas, Kok Siang cepat menggerakkan tubuhnya dan sekarang pemuda sastrawan ini baru memperlihatkan kepandaiannya.
Gerakannya cepat bukan main dan ternyata sepasang senjatanya itu mengandung tenaga yang berlawanan. Sepasang senjatanya diputar melindungi tubuhnya dan tiap kali pedang lawan bertemu dengan kim-pit (Pit emas) maka terdengar suara nyaring dan pedang itu tentu terpental keras, sebaliknya kalau bertemu dengan gin-pit (Pit perak) tidak terdengar suara, namun tenaga si pemegang pedang seperti lenyap, seakan-akan pedang mereka bertemu benda lunak atau seperti membacok atau menusuk air saja.
Di samping melindungi tubuh, sepasang pit itu juga mengirim serangan balasan berupa totokan-totokan ke arah jalan darah yang tak kalah dahsyatnya, membuat tujuh orang itu berputaran saling melindungi teman sendiri. Dan terjadilah pertandingan keroyokan yang amat seru, namun sedikit juga pemuda sastrawan yang dikeroyok tujuh itu tidak nampak kewalahan!
Di lain pihak, Kim Hong yang dihadapi oleh Tiat-ciang Lui Cai Ko dan dua orang sute-nya itu, menarik napas lega. Jika si juling yang diduganya paling lihai ini telah menghadapinya dan tidak ikut mengeroyok, maka dia tidak begitu mengkhawatirkan keadaan pemuda itu.
Terlebih lagi sesudah dia melihat cara Kok Siang memutar sepasang pitnya, membuat dia merasa yakin bahwa pemuda itu akan mampu mengatasi para pengeroyoknya, walau pun tujuh orang pengeroyok itu juga tidak boleh dipandang ringan sama sekali. Setelah dia tak lagi mengkhawatirkan pemuda keponakan mendiang Louw-siucai itu, dengan tersenyum tenang Kim Hong menghadapi tiga orang calon lawannya.
Tak seperti tujuh orang yang bertugas membunuh Kok Siang, si juling bersama dua orang sute-nya itu tidak mengeluarkan senjata. Mereka bertugas untuk menawan nona ini hidup-hidup, dan hal ini pun diketahui baik-baik oleh Kim Hong. Memang para penjahat itu tidak membutuhkan dirinya, melainkan kunci emas, oleh karena itu tentu saja mereka tak akan membunuhnya sebelum mereka menemukan kunci emas itu!
Tiat-ciang Lui Cai Ko juga telah mendengar bahwa nona ini pandai ilmu silat dan biar pun dia tidak merasa takut, akan tetapi dia juga tidak berani memandang rendah. Maka dia pun lalu menubruk ke depan sambil menampar dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah pundak nona itu. Tamparan tangan kirinya itu antep bukan main karena jagoan ini agaknya memang sudah mengerahkan tenaga dan mempergunakan tenaga sakti Tiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi) untuk menggertak.
Telapak tangan orang she Lui ini nampak hitam kehijauan. Selama belasan tahun ini dia melatih kedua tangannya itu, setiap hari mempergunakan telapak tangan untuk memukuli bubuk besi dan pada malam harinya merendam kedua tangan itu ke dalam adonan bubuk besi dengan racun yang membuat tangan itu selain kuat, juga beracun dan berbahaya sekali bagi lawan.
Demikian kuat dan kerasnya telapak tangan Lui Cai Ko ini sehingga kedua telapak tangan itu tidak hanya dapat memukul hancur batu karang seperti sepasang palu besi yang kuat, akan tetapi juga mampu menangkis senjata tajam tanpa khawatir terluka! Itulah sebabnya maka dia terkenal dengan julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi).
"Wuuuttt...! Plakk!"
Kim Hong mengelak dengan mudah dan membiarkan tamparan itu lewat, kemudian ketika cengkeraman tangan kanan itu sudah mendekati pundaknya, tangan kirinya menyambar dari bawah, bukan menangkis namun menampar dengan tangannya ke arah sambungan siku tangan kanan itu. Walau pun tamparan itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, namun sambungan siku bagian bawah yang seperti hanya diusap itu tiba-tiba saja terasa nyeri dan lengan kanan itu seperti menjadi lumpuh seketika!
Tentu saja Lui Cai Ko tak dapat melanjutkan cengkeramannya, bahkan lalu mengeluarkan seruan kaget dan cepat melompat ke belakang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa wanita itu sedemikian hebatnya, hanya dalam satu gebrakan saja membuat lengan kanannya terasa lumpuh! Hanya orang yang berilmu sangat tinggi sajalah yang demikian tenangnya menghadapi cengkeraman mautnya, bukan mengelak atau menangkis untuk menghadapinya, tetapi mendahului menyerang siku sehingga lengan itu menjadi lumpuh dan tentu saja serangan cengkeraman itu pun gagal.
Kim Hong hanya berdiri tenang sambil tersenyum. Ia maklum akan kelihaian Tiat-ciang Lui Cai Ko ini, akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar, yakin benar akan kelebihannya dibandingkan dengan tiga orang pengeroyoknya itu. Dua orang sute dari Si Tangan Besi segera menyerang dari kanan kiri, bukan menyerang untuk merobohkan, melainkan untuk membuat nona itu tidak berdaya dan dapat ditawan. Mereka pun, seperti suheng mereka, mendapat perintah untuk menawan si nona cantik ini.
Namun Kim Hong dapat menghindarkan diri dari tubrukan kanan kiri itu dengan langkah-langkah ajaibnya. Dengan enak saja kedua kakinya bergeser, melangkah mundur maju dan tubrukan-tubrukan mereka itu semua hanya mengenai tempat kosong saja walau pun tadinya nampak seolah-olah akan berhasil.
Kok Siang juga mengamuk dan sepasang pit-nya menyambar-nyambar seperti sepasang naga. Lewat tiga puluh jurus saja, dua orang di antara para pengeroyoknya sudah roboh tertotok sehingga lima orang sisa pengeroyoknya menjadi agak gentar. Di lain pihak, Kim Hong mempermainkan tiga orang pengeroyoknya dengan langkah-langkah ajaibnya yang membuat Tiat-ciang Lui Cai Ko beserta dua orang sute-nya kewalahan dan juga semakin penasaran.
Mereka lalu menubruk dan mencoba untuk menangkap, akan tetapi jangankan orangnya, ujung baju gadis itu pun tak pernah dapat tersentuh oleh tangan mereka. Hal ini membuat mereka menjadi penasaran dan marah sehingga kini mereka tidak hanya menubruk dan mencoba untuk menangkap saja, tetapi juga mulai menyerang dengan sungguh-sungguh untuk morobohkan nona yang amat lincah itu.
Betapa pun juga, makin ganas mereka bergerak, semakin cepat pula nona itu mengelak, sehingga pandang mata mereka seperti kabur dan kadang-kadang mereka tidak tahu ke mana nona itu mengelak atau bergerak.
"Duk-duk-duk-dukk...!"
Empat kali Lui Cai Ko terpaksa menangkis sambil mundur akibat terdesak hebat. Padahal, sejak menampar sikunya tadi, baru sekaranglah Kim Hong membalas serangan tiga orang lawannya yang bertubi-tubi sampai tiga puluh jurus itu! Tetapi sekali membalas, Kim Hong sudah dapat mendesak Si Tangan Besi dengan empat kali tamparan berturut-turut. Setiap tamparan mengandung tenaga sinkang yang membuat tubuh si gendut yang rambutnya riap-riapan itu terhuyung-huyung.
Melihat ini dua orang sute-nya cepat menubruk dari kanan kiri membantu, akan tetapi Kim Hong menunggu sampai keduanya menyerang dekat, lalu tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya terpentang ke kanan kiri. Itulah tendangan yang istimewa sekali, yang sekaligus menghantam dada kedua orang yang menyerang dari kanan dan kiri itu, mendahului serangan mereka dengan tangan yang belum sampai!
"Desss! Desss!"
Tubuh kedua orang itu terlempar ke kanan kiri. Mereka menyeringai karena dada mereka terasa sesak sekali dan napas mereka seperti berhenti. Sambil memegangi dada mereka bangkit dan mata mereka menjadi merah.
Juga Lui Cai Ko marah sekali. Tak disangkanya bahwa dia, jagoan yang terkenal, dibantu oleh dua orang sute-nya, bukan hanya tidak sanggup menawan gadis ini, bahkan mereka bertiga sudah mengalami malu karena terpukul dan tertendang oleh gadis itu. Akan tetapi, ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pada Lui Cai Ko yang membuat dia masih ingat akan perintah yang diberikan kepadanya.
Dia tetap tidak berani melanggar perintah itu hanya karena perasaan pribadi yang marah dan penasaran. Dia tidak berani mempergunakan senjata untuk menyerang, tidak berani melukai apa lagi sampai membunuh wanita ini karena hal itu berarti melawan perintah dan dia merasa ngeri untuk mempertanggung jawabkan hal itu. Maka, walau pun dia merasa marah serta mendongkol sekali, terpaksa dia lalu membuka mulut dan terdengarlah suara suitan panjang dan nyaring keluar dari mulut si gendut ini.
Kim Hong terkejut dan menduga-duga apa maksud tanda rahasia itu. Memanggil kawan? Dia tentu merasa kewalahan dan memanggil kawannya, pikir Kim Hong. Mungkinkah kini ia memperoleh kesempatan untuk berhadapan dengan kepala penjahat yang mendalangi ini semua dan yang menguasai peta? Jantungnya berdebar tegang dan dia pun menanti saja.
Ia mengerling ke arah Kok Siang dan melihat bahwa lawan pemuda itu kini tinggal empat orang lagi karena yang tiga sudah roboh oleh pena sastrawan yang lihai itu. Empat orang itu pun kini bergerak mundur sambil tetap mengepung sesudah mendengar guru mereka mengeluarkan suara bersuit tadi.
Tidak lama kemudian muncullah banyak orang yang langsung mengepung tempat itu dan Kim Hong benar-benar merasa heran dan terkejut begitu melihat bahwa yang mengepung tempat itu adalah pasukan pemerintah! Pasukan itu dipimpin oleh seorang perwira yang berpakaian indah dan gagah, berusia empat puluh lima tahun dan bertubuh tinggi besar. Cepat Kim Hong meloncat mendekati Kok Siang yang juga memandang dengan heran.
"Berhenti semua dan lepas senjata!" Bentak perwira itu dengan suara yang agaknya telah terbiasa mengeluarkan aba-aba atau perintah yang harus ditaati. "Yang berani bergerak dianggap pemberontak dan akan dihukum! Kalian berdua telah menimbulkan perkelahian dan kekacauan di tempat umum, semua harus menyerah dan ikut bersama kami ke kantor untuk dibawa ke pengadilan!"
Kim Hong dan Kok Siang saling pandang. Tiba-tiba saja Kok Siang berbisik halus sekali sehingga hanya gadis itulah yang mungkin dapat mendengarnya, "Aku tahu di mana peta yang asli."
Kim Hong terkejut sekali. Otaknya bekerja dengan cepat. Dia tidak meragukan kebenaran omongan pemuda ini dan tentu karena melihat bahaya maka pemuda sastrawan ini cepat membuka rahasia itu, atau karena sudah percaya penuh kepadanya.
Bagaimana pemuda ini dapat mengetahui di mana adanya peta yang asli? Kalau begitu, yang kini menguasai peta tentu hanya menguasai peta palsu! Bagaimana mungkin terjadi demikian? Bukankah Ciang Kim Su dan pamannya, Su Tong Hak, telah membagi peta itu menjadi dua bagian dan peta yang dibawa Ciang Kim Su itu adalah peta yang asli? Apa yang sesungguhnya telah terjadi?
Pikirannya yang amat cerdas segera mencari sebab-sebab dan dugaan-dugaan. Tentu ada hubungannya dengan mendiang Louw siucai! Di antara semua orang, yang pertama kali mengetahui akan rahasia peta itu adalah Liuw Siucai. Bahkan dialah orang pertama yang sudah dapat mengetahui akan isi peta sebenarnya, karena dialah yang menterjemahkan peta itu!
Akan tetapi, bagaimana siucai itu dapat menguasai peta aslinya? Apa yang sudah terjadi? Dia tidak sempat untuk bertanya, karena di sana terdapat banyak orang dan pasukan itu sudah mengepung ketat. Ketika dia melihat pasukan mengepungnya, timbul kemarahan di dalam hatinya. Akan tetapi Kok Siang bersikap lain.
"Ciangkun, kami berdua tak bersalah. Kami berdua sedang duduk bercakap-cakap di sini lalu gerombolan ini datang menyerang kami, agaknya mereka hendak merampok kami!" katanya membela diri.
"Bohong! Mana buktinya kami merampok?" Lui Cai Ko membentak marah.
"Cukup, tidak perlu cekcok!" Perwira itu menegur. "Aku tidak peduli siapa di antara kalian yang bersalah. Yang sudah jelas, kalian berkelahi di sini dan hal ini berarti mendatangkan kekacauan. Kalian semua harus menyerah untuk kami bawa ke pengadilan!"
Kim Hong mengerutkan alisnya hendak membantah, akan tetapi Kok Siang lalu berkata, sikapnya halus menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang terpelajar. "Baik, ciangkun. Kami percaya bahwa pengadilan tentu akan menyelidiki kemudian memberikan keputusan yang seadil-adilnya. Mari, adik Hong, kita ikut ke kantor pengadilan."
Kim Hong cukup cerdik untuk mengerti kenapa pemuda itu bersikap mengalah. Kok Siang adalah penduduk Thian-cin yang telah dikenal, maka sangatlah berbahaya baginya kalau sampai dia dianggap melawan pasukan dan memberontak. Berbeda dengan Kim Hong yang belum dikenal, apa lagi mengingat bahwa tempat tinggal wanita ini juga jarang ada yang mengetahuinya.
Untuk membiarkan Kok Siang ditangkap sendiri dan dia melarikan diri, Kim Hong merasa tidak tega. Apa lagi setelah ia tahu bahwa pemuda itu tahu di mana peta yang asli, maka pemuda itu menjadi amat penting baginya. Dia harus melindungi pemuda ini agar jangan sampai peta yang asli terjatuh pula ke tangan penjahat. Maka dia pun mengangguk dan menyetujui.
Sepuluh anggota gerombolan itu bersama Kim Hong dan Kok Siang lantas digiring oleh pasukan menuju ke kantor kejaksaan. Sepuluh orang itu langsung dimasukkan ke dalam kamar tahanan besar, sedangkan Kim Hong dan Kok Siang dibawa ke bagian belakang di mana terdapat beberapa buah kamar tahanan.
"Kalian berdua harus tinggal di dalam kamar tahanan ini dulu sambil menanti datangnya pembesar yang akan membuka sidang pengadilan," perwira itu berkata sambil membuka daun pintu kamar tahanan. Tentu saja Kim Hong merasa marah dan mengerutkan alisnya.
"Kami bukan penjahat, kenapa mesti dijebloskan dalam kamar tahanan?"
Akan tetapi, kembali Kok Siang yang berkata dengan sikap tenang dan suara halus. "Jika memang demikian peraturannya, kita tidak perlu membantah. Pula, kita sama sekali tidak bersalah, takut apa? Biarlah kita menunggu di sini." Dan pemuda itu pun lalu memasuki kamar tahanan.
Melihat sikap pemuda ini, terpaksa Kim Hong mengalah. Kemudian, sambil cemberut dan mukanya merah saking marahnya, dia pun terpaksa turut masuk. Pintu kamar sel yang terbuat dari pada besi itu lalu dikunci dari luar, ada pun perwira itu bersama pasukannya masih berjaga di situ.