KEKASIH SANG PENDEKAR
SATU
Pendekar Rajawali Sakti tegak berdiri di atas bukit yang memiliki tanah menghampar luas. Kepalanya menengadah lurus ke angkasa. Langit berwarna merah jelaga ketika sang surya mulai rebah tenggelam di ufuk barat. Angin bertiup semilir mempermainkan rambutnya, membawa udara tandus yang mengeringkan hati. Bola matanya tajam laksana seekor rajawali mencari mangsa.
"Aku bersumpah! Ke lubang semut sekali pun, akan kucari kalian!" desis Rangga. "Aku harus berhasil membebaskan Pandan Wangi!" Rangga menghela napas sejenak. Kemudian dua buah jari tangannya dimasukkan ke mulut. Lalu....
"Suiittt...!" Terdengar suitan nyaring, menggema ke seluruh pelosok terbawa oleh tiupan angin. Langit mulai gelap. Rangga terpaksa mengerahkan aji 'Tatar Netra' yang saat menatap ke angkasa mampu menembus kegelapan malam lewat sorot matanya. Bahkan dalam jarak yang jauh sekali pun.
Dan Rangga pun tersenyum ketika melihat titik putih di angkasa yang semakin membesar laksana payung raksasa. Semakin lama semakin terlihat jelas kalau yang tengah meluncur turun itu adalah seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan.
"Kraaagkh...!" Diiringi teriakan parau yang menggema, burung rajawali raksasa ini mendarat di tanah menghampar setelah didahului hempasan angin kencang yang menerbangkan bebatuan.
Rangga mendekati burung raksasa itu, langsung mengelus-elus lehernya penuh kasih sayang. "Rajawali Putih! Telah lama kita tak bertemu. Mudah-mudahan kau tak kurang suatu apa pun..!" desah Pendekar Rajawali Sakti.
Memang, baginya burung yang sering dipanggil Rajawali Putih sudah dianggap sebagai orang tua kedua, setelah ayah dan ibunya yang telah meninggal dunia. Betapa tidak? Sejak kecil Rangga diasuh, dididik, dan diberi pelajaran ilmu olah kanuragan secara tidak langsung, oleh Rajawali Putih di Lembah Bangkai.
Burung itu menggetarkan bulu-bulu sayapnya. Dan dengan penuh kemanjaan, kepalanya mengusap-usap ke wajah Rangga.
"Krrrkkk...!"
"Ada yang mesti kita kerjakan, Sahabatku. Pandan Wangi dilarikan seseorang. Kita akan mencari mereka. Barangkali kau tahu, itu lebih baik...!" kata Rangga ketika Rajawali Putih mengkirik perlahan, seolah dia tahu apa yang diucapkan burung itu.
Dengan gerakan ringan, Rangga melompat ke punggung Rajawali Putih dan menepuk-nepuknya sebentar. "Ayo, Rajawali Putih! Kita berangkat sekarang!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Kraaagkh...!"
Didahului teriakan keras menggelegar, burung raksasa itu mengepakkan kedua sayapnya. Saat itu juga angin dahsyat menghempas tempat itu ketika rajawali raksasa itu membubung ke angkasa. Sebentar saja mereka telah bergerak cepat mengarungi bawah langit yang mulai kelam. Cahaya kemerahan sang surya mulai kabur ditelan batas cakrawala. Dan bersamaan dengan itu, Rajawali Putih dan Pendekar Rajawali Sakti telah terbang jauh.
Entah sudah berapa lama mereka mengangkasa. Sementara malam semakin dingin. Untuk sementara ini, Pendekar Rajawali Sakti belum dapat petunjuk apa-apa tentang apa yang dicarinya. Yakni, Gandasari dan anak buahnya yang membawa lari Pandan Wangi. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Pangeran Impian)
"Sebaiknya kita istirahat dulu, Putih” kata Rangga keras, berusaha mengalahkan suara deru angin kencang di angkasa.
"Kreaaagkh...!"
Pendekar Rajawali Sakti dan Rajawali Putih telah mendarat di pinggiran sebuah hutan yang memiliki tanah lapang yang agak luas. Tempat ini sepi, jauh dari keramaian. Jarak terdekat ke sebuah desa sekitar dua ratus tombak. Suasana malam menjelang pagi seperti ini, rasanya jarang digunakan para penduduk untuk keluar dari rumah. Dengan begitu, Rangga merasa aman mengajak Rajawali Putih untuk menghangatkan tubuh di dekatnya.
Sejak tadi pemuda berbaju rompi putih itu telah membuat api unggun dari ranting-ranting kering. Sambil duduk memandang lidah api yang bergerak-gerak naik silih berganti. Rangga merenungi nasib Pandan Wangi yang entah berada di mana. Sesekali dilemparkannya ranting kering yang tadi dipungutinya.
"Krrrrk...!" Rajawali Putih menggetarkan bulu-bulunya seraya mengkirik halus. Sementara Rangga menggumam perlahan dengan pendengaran dipasang baik-baik. Namun sebelum pemuda ini merasakan sesuatu.
Wuuusss....!
Sekali mengepakkan sayapnya yang begitu cepat, Rajawali Putih telah membubung ke angkasa. Menimbulkan angin kencang yang menerbangkan debu-debu dan kerikil serta menggoyang-goyangkan batang pohon. Api unggun di depan Rangga kontan padam. Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya memandang sekilas, tak berusaha mencegah kepergian sahabatnya.
Tak lama kemudian telinga Pendekar Rajawali Sakti menangkap gerakan halus mendekati. Namun sikap pemuda ini terlihat tenang- tenang saja, berkesan tak peduli. Kembali dinyalakannya api dengan batu pemantik api yang diambil dari batik ikat pinggangnya. Api pun menyala. Cahayanya menjilati wajah Pendekar Rajawali Sakti. Kembali dipasangnya pendengaran tajam-tajam.
"Kisanak ataupun Nisanak! Kalau berniat baik kau boleh bergabung denganku. Tapi kalau berniat jahat, tak perlu menqendap-endap seperti maling" seru Rangga tanpa menoleh, ketika telinganya yang tajam mendengar desah napas halus dari belakangnya.
Tidak terdengar sahutan apa pun. Hanya suara langkah kaki mendekati tempat itu. Tidak lama telah berdiri di depan Pendekar Rajawali Sakti satu sosok tubuh. Namun, pemuda itu tak berniat mengangkat wajahnya untuk memastikan siapa yang datang.
"Hei! Apakah kau melihat sesuatu?! Sebuah bayangan hitam besar, mendadak terbang ke angkasa seperti hantu dan menimbulkan badai topan seketika?!" tegur sosok itu dengan suara cempreng. Jelas suara seorang wanita.
Rangga diam membisu. Dalam hati dia yakin kalau yang dilihat gadis itu pasti sahabatnya, Rajawali Putih. Matanya terpaku ke nyala api, sama sekali tak mempedulikan pertanyaan sosok di depannya.
"Hei, aku bertanya padamu!" tegur sosok itu lagi.
"Aku tak bersemangat untuk menjawab," sahut Rangga dengan suara tak bergairah.
"Huh, sombong!"
Pendekar Rajawali Sakti tak merubah sikap duduknya. Sementara sosok itu telah mengambil tempat di seberang Rangga, dibatasi api unggun. Diamat-amatinya wajah pemuda itu sampai memiringkan tubuh segala.
"Kenapa kau ini? Patah hati? Diusir orang tua? Atau..., hartamu dirampok?" tegur sosok ramping yang ternyata seorang gadis berbaju ketat warna hijau penuh tambalan bagai seorang pengemis.
"Aku tak ingin diganggu. Kalau tak ada urusan, pergilah," usir Pendekar Rajawali Sakti, perlahan.
"Aku sendirian di sini...," kata gadis ini, seakan minta perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Rangga terdiam. "Aku takut Mungkin di sini banyak setan atau..., binatang buas. Apakah..., apakah kau tak keberatan kalau aku dekat-dekat denganmu?" lanjut gadis berambut panjang dikuncir ekor kuda.
"Terserah mu. Tapi, jangan ganggu aku!" sahut Rangga, datar.
"Aku tak berniat mengganggumu."
"Hemmm...!"
Gadis berambut dikuncir ini bertubuh kurus, bagai kurang makan. Wajahnya kumal dan kulitnya dekil. Untuk sesaat, dia duduk diam-diam sambil mengamat-amati pemuda di depannya. "Namaku Genduk. Namamu siapa?" usik gadis bernama Genduk. Rangga tak menjawab. "Kau manusia seperti aku juga, kan? Aku khawatir kalau kau ini... hantu," lanjut Genduk. Wajah gadis itu gelisah melihat pemuda di depannya tak juga menggubris kata-katanya.
"Jawablah. Dan, jangan membuatku takut," pinta Genduk, memelas.
"Aku manusia. Tapi, bisa juga jadi hantu...!" sahut Rangga, datar.
"Benarkah?"
"Sebaiknya kau percaya."
Wajah gadis itu semakin bergidik ngeri. Tubuh kerempengnya sedikit gemetar. Namun begitu dia tak berniat untuk segera pergi. "Hantu kok bersedih? Biasanya hantu selalu gembira dan suka mengganggu...," usik Genduk lagi.
"Kau mau kuganggu?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Nah, nah.... Ternyata kau bisa bersuara juga! Hi hi hi...! Pemuda sepertimu tak ada tampang pengganggu!" Genduk tertawa geli seraya menambahkan ranting kering pada api unggun. Seketika terdengar suara gemeretak begitu ranting terbakar.
Rangga nyengir sedikit. Tawa renyah dan sikap kekanak-kanakan gadis ini sedikit menghiburnya.
"Begitu lebih baik!" kata Genduk.
Wajah Rangga kembali seperti semula ketika ayam jantan berkokok di kejauhan. Baru disadari kalau saat ini hari telah pagi. Namun suasana masih gelap. Rangga bangkit berdiri. Tubuhnya menggeliat sebentar, sebelum melangkah pergi.
"Hei, mau ke mana?!" tanya Genduk bergegas mengikuti.
"Aku lapar. Kau?" sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Sama!" sahut Genduk, dengan wajah berseri. Langkahnya menjajari langkah Pendekar Rajawali Sakti. "Kau ingin cari makanan?" Rangga mengangguk sambil melangkah. "Baik. Kita bisa mencari sisa-sisa makanan di dekat rumah makan yang ada di desa sebelah sana!" tunjuk Genduk.
Rangga menoleh ke arah yang ditunjuk Genduk. Lalu matanya beralih memandang lucu pada gadis ini. Sepasang alisnya jadi terangkat.
"Kenapa? Ah, aku ingat! Maaf, kau tentu tak terbiasa dengan makanan para pengemis," ucap gadis ini.
"Kita cari makanan di kedai..." ajak Rangga
"Tapi aku tak punya uang," kata gadis ini, lirih dan memelas.
"Aku yang akan membayarnya."
"Sungguhkah?!" sentak Genduk, gembira. "Ah, kau baik sekali! Seumur hidup baru sekarang ada orang sebaikmu yang mau membayariku makanan. Orang sebaikmu mestinya jadi saudaraku. Maukah kau mau menjadi saudaraku?!"
Namun seketika kegembiraan itu sirna ketika gadis ini menyadari satu hal. Dia merasa pemuda itu tidak setaraf dengannya. "Maaf, kadang-kadang aku suka bicara sembarangan...," ucap Genduk, jadi tidak enak hati.
"Aku suka jadi saudaramu," sambut Rangga polos.
"Betulkah?!" Wajah Genduk kembali cerah. Dan tak disadari dipeluknya pemuda ini untuk meluapkan kegembiraan. Tapi lagi-lagi disadari, siapa dirinya. Buru-buru dia melepaskan pelukan.
"Maaf..., ah! Aku..., aku keterlaluan, ya? Ah! Dengan sikapku seperti ini, orang-orang tak akan suka dan membenciku," ucap Genduk tergagap, buru-buru membuang pandangan ke arah lain.
"Sudahlah, tak apa…" ujar Rangga halus.
"Benar, tak apa-apa?!" sentak Genduk, langsung menatap kembali ke arah Rangga. Rangga mengangguk. "Kau tak membenciku?" tanya gadis ini. Pemuda itu menggeleng.
"Terima kasih! Terima kasih! Tapi..., sebagai saudara, aku mesti memanggilmu apa?" Genduk berpikir sebentar. Dan tiba-tiba dia menepuk jidatnya sendiri. "Ah, dasar tolol! Usiamu lebih tua dariku. Maka, aku mestinya memanggilmu Kakang. Tapi..., Kakang apa? Aku tak tahu namamu, Kakang...?"
"Namaku Rangga," sebut Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga! Ya, Kakang Rangga...! Ah, nama yang bagus! Bagus sekali seperti orangnya!" puji Genduk.
"Terima kasih. Simpan dulu pujianmu."
"Aku senang punya saudara sepertimu! Kakang Rangga! Apakah kau senang punya saudara sepertiku?!" tanya gadis kurus itu dengan wajah berseri. "Ah, kau pasti malu, kan? Aku jelek, dekil, dan..., seorang pengemis hina...."
Rangga tak menanggapi, terus melangkah. Sementara Genduk terus menjajarinya.
********************
Hanya ada seorang pengunjung ketika Rangga dan Genduk memasuki kedai di Desa Gading Wetan. Menurut pemilik kedai, orang itu menginap semalam. Sikapnya tenang menyantap hidangan. Sama sekali tak dipedulikannya Rangga dan Genduk yang telah duduk di pojok kedai.
"Pesan apa, Tuan?" tanya pemilik kedai.
"Aku pesan ayam panggang, nasi, dan sayur-sayuran yang lezat!" Genduk lebih dulu menyahut.
Rangga tersenyum, namun tak menoleh ketika gadis itu meliriknya.
"Eh, kalau Tuan...?!" tanya pemilik kedai pada Rangga.
"Samakan saja!" kembali Genduk yang menyahut.
"Tapi...."
"Kenapa? Apa kau kira aku tak pantas menyantap makanan lezat?! Ayo, cepat buatkan!" sentak Genduk dengan mata melotot.
Pemilik kedai itu melirik pada Pendekar Rajawali Sakti. Meski pemuda itu mengangguk, tetap saja kurang yakin. Namun begitu, dia tetap melangkah kebelakang untuk menyediakan hidangan yang dipesan.
Memang tampak menyolok sekali antara Rangga dan Genduk. Yang pemuda tampan dan bersih. Sedangkan gadis di depannya jorok dan kumal. Siapa yang sinting? Pemuda itu yang mau berkawan dengan pengemis, atau pengemis dekil ini yang menggunakan kesempatan berkawan dengan pemuda itu?
"Kakang...!" bisik Genduk seraya melirik ke arah pengunjung yang tadi seperti tak peduli dengan kedatangan mereka.
"Kenapa rupanya?" tanya Rangga, pelan.
"Dia orang jahat. Namanya..., kalau tak salah...." Gadis itu tak sempat melanjutkan kata-katanya ketika yang mereka bicarakan bangkit dari duduknya.
Orang itu seorang laki-laki bertubuh kurus dengan kulit hitam dekil. Wajahnya tirus seperti tikus. Tangannya membawa tongkat yang dipangkalnya dihiasi tengkorak manusia serta dua buah rantai yang memanjang hingga ke lantai. Rambutnya panjang tak terurus.
Perlahan-lahan, laki-laki itu menghampiri meja Pendekar Rajawali Sakti dan Genduk. Sepasang matanya liar memandang mereka. Pandangannya tak lekang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?!" tanya laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Suaranya serak dan keluar dari tenggorokan tanpa melewati bibir.
"Hmmmm...!” Rangga menggumam tanpa menoleh.
Sedangkan wajah Genduk mulai pucat. Gadis itu salah tingkah. Dipandangnya orang itu dan Rangga bergantian. "Kakang...!" panggil Genduk.
"Aku bicara padamu, Budek...!" bentak laki-laki ini. Suaranya kali ini terdengar menggelegar.
"Genduk! Apakah kau dengar sesuatu? Sepertinya ada yang mengembik, tapi tak kulihat seekor kambing pun di sini?" sindir Rangga, kalem.
Genduk tak berani menjawab. Wajahnya semakin pucat melihat laki-laki di depan Rangga menggeram buas seraya mengangkat tongkat.
"Setan! Hiih...!"
"Kakang, awas...!"
"Hup!"
Lelaki itu menyabetkan tongkatnya, namun secepat kilat Rangga bergeser ke samping sambil menyambar Genduk yang berteriak ketakutan.
Bruaaak...! Tongkat itu menghantam meja hingga hancur berantakan.
"Aduuuh...! Walah, walah...! Rusak kedaiku! Rusak segalanya!" teriak pemilik kedai, bingung, "Tuan, tolonglah. Kalau ingin berkelahi, sebaiknya di luar. Tuan.... Aku mohon pada kalian...!" Laki-laki pemilik kedai langsung menyembah-nyembah di depan laki-laki berwajah tirus itu.
"Hup!"
Tubuh pemilik kedai gemetar ketakutan dengan muka pucat bagai mayat ketika laki-laki itu mencengkeram leher bajunya dan mengangkat tubuhnya. Seketika dilemparkannya tubuh pemilik kedai.
"Aaa...!" Jeritan melolong seperti anjing digebuk terdengar ketika tubuh pemilik kedai melayang, langsung membentur dinding kedai sampai hancur berantakan.
"Manusia terkutuk! Kenapa beraninya hanya pada orang tua lemah tak berdaya?!" bentak Genduk, garang. Melihat sikap laki-laki yang kejam, mendadak rasa takut gadis ini lantas sirna. Yang ada di hatinya hanya kebencian dan muak melihat ulah laki-laki itu.
"Pengemis busuk! Jangan ikut campur urusan orang! Atau barangkali kau sudah bosan hidup, hah?!" balas laki-laki berwajah tirus.
"Huh!" Genduk mendengus seraya merapatkan tubuh di belakang Rangga. Melihat gerakan ketika menghindari hantaman tongkat tadi, gadis ini yakin kalau Rangga bukan orang sembarangan. Mungkin itu yang membuat keberaniannya timbul. Tapi mendengar gertakan tadi, mau tak mau nyalinya mengkeret juga. Apalagi laki-laki itu memperlihatkan wajah seram menggiriskan.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau akan mampus di tanganku!" desis laki-laki berwajah tirus, garang sambil menyeringai buas.
"Siapa kau ini. Dan, kenapa menginginkan nyawaku?" tanya Rangga masih bersikap tenang.
"Setan Tombak Maut!"
"O...!" Pendekar Rajawali Sakti mengangguk mengerti. "Aku maklum, setan memang bisanya mengganggu orang."
********************
"Kurang ajar! Kuremukkan kepalamu!" desis laki-laki berwajah tirus yang temyata berjuluk Setan Tombak Maut, seraya mengebutkan tongkatnya.
Wuutttt!
"Menepi, Genduk...!" teriak Rangga seraya mendorong Genduk agar menjauh. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti sendiri langsung cepat berkelebat keluar, sebelum tongkat itu menghantamnya. Pendekar Rajawali Sakti mendarat ringan di depan kedai. Dalam tenggang waktu yang amat singkat, Setan Tombak Maut langsung mengebut tongkatnya kembali, begitu cepat laksana kilat.
"Mampus kau! Mampus! Hiih...!"
Wuuuttt...!
"Belum, Kisanak! Kau mesti banyak berlatih, paling tidak sepuluh tahun lagi! Gerakanmu masih terlihat kaku dan lamban," sahut Rangga, seraya meliuk-liukan tubuhnya dalam jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Sehingga tak satu serangan pun yang mendarat di tubuhnya. Dan hal ini membuat Setan Tombak Maut menggeram marah.
“Setan!”
"Tidak perlu memaki! Itu tak membantu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Jahanam...!" Saat itu juga, Setan Tombak Maut meningkatkan serangannya. Tenaga dalamnya dilipatgandakan, menimbulkan suara menderu-deru.
Sementara Rangga tak mungkin menghindar terus. Maka ketika tongkat Setan Tombak Maut menderu ke kepalanya, tubuhnya cepat merunduk dengan tangan mengibas, memapak tangan Setan Tombak Maut.
Plaak!
"Uhh..!" Laki-laki berwajah tirus itu mengeluh tertahan. Wajahnya berkerut menahan nyeri pada tangannya yang tadi berbenturan. Terasa tenaga dalam pemuda itu menghimpit dengan kuat. Belum sempat dia berbuat sesuatu, tangan Pendekar Rajawali Sakti telah kembali mengibas cepat ke dada.
Desssss...!
"Aaakh...!" Kembali Setan Tombak Maut mengeluh kesakitan ketika dadanya mendapat gedoran keras. Bahkan tubuhnya sempat terjengkang ke tanah dengan mulut mengeluarkan darah segar.
"Hi hi hi...! Bagus, Kakang! Bagus! Orang seperti dia mesti diberi pelajaran!" teriak Genduk sambil tepuk tangan kegirangan di depan pintu kedai.
"Setan!" laki-laki bermuka tirus itu menggeram. Secepatnya dia bangkit, secepat itu pula lompat menyerang Genduk. "Mampus kau, Gembel Busuk!"
"Eee...!" Karuan saja Genduk jadi ketakutan setengah mati. Buru-buru tubuhnya menyelinap di balik pintu sambil jongkok. Matanya terkatup rapat dengan tubuh gemetar. "Aduh, mati aku...!" desah Genduk.
"Yeaaa...!" Namun sebelum Setan Tombak Maut sampai di depan pintu kedai, Pendekar Rajawali Sakti sudah berkelebat cepat memapak.
Plaaaaakk!
Laki-laki berwajah tirus itu kontan terjajar beberapa langkah ke belakang. Namun secepat itu pula dia meluruk menyerang Rangga dengan tongkatnya.
"Hiih!"
Tombak Setan Tombak Maut menyambar cepat. Namun Ranqqa cepat mengayunkan tendangan tepat ke tangan sambil mengegos.
Plak!
"Heh?!" Setan Tombak Maut terkejut ketika tongkatnya terlepas dari tangan. Dan Rangga tak memberi kesempatan. Secepat kilat tubuhnya meliuk seraya melepas hantaman tangan ke dada berkali-kali.
Desss! Dessss...!
"Aaaaaakh...!"
Begitu lawan terhuyung-huyung kebelakang, Rangga berkelebat, menangkap tangan Setan Tombak Maut. Seketika ditelingkungnya tangan laki-laki itu. Sementara tangan yang satu lagi siap mematahkan leher.
"Katakan! Apa maksudmu hendak membunuhku?!" desis Pendekar Rajawali Sakti. Suara Pendekar Rajawali Sakti tegas penuh ancaman. Seperti malaikat maut yang siap menjemput. Sesaat Setan Tombak Maut bergidik ngeri. Namun secepatnya disadari kalau dia tak pantas bersikap lemah.
"Puiih! Aku tak perlu alasan untuk mencabut nyawamu!" kata Setan Tombak Maut, sengit.
"Telah sekian banyak nyawa binasa di tanganku. Dan kini akan tambah seorang lagi, kecuali...”
"Huh! Pergilah ke... ne..., aaaakh...!" Makian Setan Tombak Maut berganti jeritan panjang ketika pergelangan tangannya terasa mau putus dipelintir Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebaiknya jawab. Atau, kupatahkan kedua lenganmu!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.
"Aaakh...!" Setan Tombak Maut menjerit. Namun Rangga belum juga melepaskan pelintirannya.
"Baiklah, baik.... Aku akan mengaku...! Lepaskan dulu tanganku!"
"Katakan! Dan, baru kulepaskan tanganmu!"
"Seorang gadis. Katanya dia menyukaiku. Lalu dia memintaku untuk membunuhmu sebagai mas kawinnya!"
"Siapa dia?!" kejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tak tahu...," sahut Setan Tombak Maut, sambil meringis menahan sakit.
"Namanya? Bentuk mukanya? Usianya?! Lekas katakan! Kesabaranku mulai hilang! Ceritakan semua tentangnya!" bentak Rangga seraya menghempas tubuh Setan Tombak Maut.
Setan Tombak Maut bernapas lega, tangannya yang terasa linu digerak-gerakkan.
"Kakang, aku punya usul!" seru Genduk sebelum Setan Tombak Maut menjawab. "Kenapa tidak kau paksa saja dia untuk membawa kita pada gadis itu?"
"Bagus, Nduk! Usulmu hebat!" puji Rangga. Pendekar Rajawali Sakti berpaling pada laki-laki bermuka tirus itu. "Kau dengar, Tikus Busuk? Bawa kami pada gadis itu. Dan, jangan macam-macam. Atau..., kuremukkan kepalamu!" gertak Rangga.
"Baiklah.... Tapi kalian harus berjanji untuk tidak membunuhnya. Dia..., dia, eh! Maksudku, hanya dia yang kucintai seumur hidupku ini. Dan dia pun mencintaiku...."
"Cepaaat...!" bentak Rangga, garang. Suaranya menggelegar dan menggidikkan bulu roma.
Semangat Genduk seperti mau terbang. Demikian pula Setan Tombak Maut. Buru-buru diajak Rangga dan Genduk.
********************
“Ratmi...! Ratmi, Kakang pulang...! Di mana kau? Keluarlah! Kita kedatangan tamu...!" teriak Setan Tombak Maut berulang-ulang seraya membuka pintu depan. Rangga dan Genduk mengikutinya dari belakang.
"Kau periksa belakang!" perintah Rangga pada Genduk.
"Untuk apa?" tanya Genduk.
"Aku khawatir gadis itu kabur."
"O, iya, iya!" Genduk bergerak lincah. Dia memutar ke samping, sementara Rangga mengikuti Setan Tombak Maut.
"Mana dia?!" tanya Rangga, begitu berada di dalam pondok yang menurut Setan Tombak Maut milik gadis yang dipanggil Ratmi.
"Dia di sini! Tapi..., ah! Ke mana dia? Tak mungkin pergi begitu saja tanpa pamit!" kata laki-laki berwajah tirus.
"Di mana dia sekarang?!" desis Rangga, garang.
"Aku tak tahu! Sudah kucari-cari ke semua kamar. Tapi, dia tak ada. Juga ibunya," kilah Setan Tombak Maut.
"Apa yang kau maksud dengan ibunya?"
"Dia tinggal di sini bersama ibunya. Seorang wanita tua renta yang sudah pikun. Tapi, sekarang mereka entah ke mana...."
"Hemmm...!"
"Kau boleh bunuh aku. Tapi, aku bersumpah berkata yang sebenamya!"
"Siapa percaya sumpah bajingan sepertimu?!"
"Baik, baik...! Kau boleh bunuh aku sekarang! Ayo, bunuhlah! Kau tak percaya padaku, kan? Nah, bunuhlah! Ayo, bunuh...!"
Mendadak Rangga mengibaskan tangannya. Sementara mata Setan Tombak Maut telah terpejam dengan napas seakan terhenti. Dia pasrah menunggu maut. Dan....
Prakkk!
Sebatang tiang pondok ini hancur berantakan terhantam tangan Rangga. Setan Tombak Maut perlahan-lahan membuka matanya. Namun ketika menyadari kepalanya masih utuh, dia menghela napas. Lega!
"Ceritakan semuanya tentang perempuan itu! Semuanya...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti.
"Baik, baik...! Akan kuceritakan semua," ujar Setan Tombak Maut, mengkelap hatinya.
Rangga mendengarkan dengan seksama. Matanya seperti tak mau berkedip memandang laki-laki itu. Begitu Setan Tombak Maut selesai bercerita, Genduk muncul dari depan.
"Tak ada siapa-siapa, Kakang...!" kata gaais ini seraya melangkah menghampiri.
"Hmmm..."
"Bagaimana dengan dia, kakang?" tanya Genduk, sambil melirik Setan Tombak Maut.
Rangga tak mengacuhkan pertanyaan Genduk. Sementara matanya memandang tajam pada laki-laki bermuka tirus itu. "Kalau kelak kutahu kau berdusta, akan kukejar kau meski ke lubang semut sekali pun!" ancam Rangga.
Setan Tombak Maut mendengus geram ketika pemuda itu berbalik. Terbersit niat untuk membokong Rangga dari belakang. Namun setelah memikirkannya, niatnya diurungkan.
"Orang seperti dia mestinya dihabisi!" gerutu Genduk ketika mereka telah meninggalkan gubuk. "Lagi pula, kenapa Kakang percaya begitu saja omongannya? Orang seperti dia tak bisa dibedakan antara berdusta atau tidak!”
Rangga tersenyum. “Berapa usiamu sekarang?”
"Lho? Kok, tiba-tiba tanya usiaku?!" tukas Genduk.
“Berapa?” desak Rangga.
"Hm, aku tak tahu pasti. Mungkin tujuh atau..., delapan belas tahun. Memangnya kenapa?" Genduk balik bertanya.
"Usiaku seratus tahun! Jadi bisa membedakan, orang yang berdusta dan tidak," kata Rangga berdusta.
"O, begitu!" Genduk mengangguk dan tersenyum-senyum kecut. "Jadi kau yakin kalau dia berkata jujur?"
"Tidak juga," sahut Rangga pendek.
"Lho?!"
"Tapi bukan berarti dia tidak bohong."
"Apa maksudnya, sih?!"
"Maksudnya, aku akan mengawasinya."
"Aku ikut!"
"Kau tunggu saja di kedai tadi."
"Pokoknya aku ikut..!" desak Genduk merajuk
"Kau menyusahkan aku! Pergilah ke sana. Dan tunggu aku!" ujar. Rangga, agak keras.
"Kakang pasti tak akan kembali. Pokoknya aku ikut! Kalau tidak, aku akan menangis sambil berguling-guling!"
"Eee, mau main ancam, ya?"
"Akan berteriak-teriak” ancam Genduk dengan suara mulai keras.
"Sial!" maki Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti menatap dalam-dalam, tepat menghujam kedua bola mata Genduk.
"Kau akan menyulitkan aku. Dan dia keburu tahu kalau aku tengah mengintainya. Kalau sampai tahu, rencanaku berantakan!" tandas Rangga.
"Rencana apa?" tanya Genduk, penasaran.
"Ya, mengintai dia!"
"Apakah itu begitu penting?"
"Kau tak tahu, betapa amat pentingnya hal ini bagiku. Jadi, tolonglah! Jangan ganggu aku sementara ini!" tandas Rangga lagi. Wajahnya kelihatan bersungguh-sungguh.
Genduk memandanginya sesaat lamanya. "Gadis itukah? Maksudku, gadis itukah yang Kakang inginkan?" tanya Genduk.
"Ya," sahut Rangga pendek.
"Aku bisa membantu mencarikannya."
Rangga tersenyum sambil menggeleng perlahan.
"Aku bersungguh-sungguh! Biar kucarikan gadis itu untukmu, Kakang," tegas Genduk.
"Kau akan sangat membantu kalau segera angkat kaki! Dan, jangan membuntutiku."
Genduk terdiam. Dipandanginya pemuda itu sekilas.
"Jadi Kakang akan mengawasinya?" tanya gadis ini, seakan apa yang dijelaskan Rangga hanya keluar begitu saja dari benaknya.
"Sudah, jangan banyak tanya lagi! Pergilah!"
"Baiklah kalau memang itu yang Kakang inginkan...," desah Genduk lirih, seraya berbalik dan melangkah pelan.
Rangga mendesah, lalu menghela napas panjang. Dipandanginya gadis itu sejurus lamanya. Ada rasa iba di hati telah memperlakukan Genduk sekasar itu. Tapi dia mengeraskan hati demi tujuannya. Kalau Genduk mengikuti, bisa-bisa urusannya tambah kacau.
Hampir seharian Pendekar Rajawali Sakti mengawasi Setan Tombak Maut tanpa diketahui. Dia berharap, laki-laki bermuka tirus itu membawa Ratmi. Namun harapannya sia-sia. Sebab sejak tadi, Setan Tombak Maut hanya berdiam diri saja di pondok tadi, tanpa melakukan apa pun.
"Sial! Jangan-jangan, benar apa yang dikatakannya. Gadis itu meninggalkannya. Dan..., dia patah hati!" gumam Rangga.
Meski kesal, tapi Rangga tetap terus mengawasi. Matahari telah tergelincir dari atas ubun-ubunnya. Dan panas menyengat mulai sirna. Kini langit berganti kelabu, disusul awan hitam.
"Huh! Sebentar lagi hujan. Dan dia belum juga menunjukkan tanda-tanda!" gerutu Rangga.
"Sssttt...."
"Eh?!" Rangga tersentak ketika terdengar suara mendesis di dekatnya. Dan secepatnya dia menoleh. Wajahnya langsung ditekuk ketika tahu siapa yang muncul. "Genduk?!" sebut Rangga.
Gadis berbaju hijau penuh tambalan itu tersenyum-senyum mendekatinya.
"Kenapa kau ke sini lagi?! Ayo, lekas pergi! Sudah kukatakan, kau tak boleh mengganggu pekerjaanku!" hardik Rangga mendesak.
"Aku tidak mengganggu. Malah membantumu...," kilah Genduk.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga.
"Maukah ikut aku sebentar?" Genduk malah bertanya.
"Kau tahu aku tengah mengawasi pondok itu, kan? Mana mungkin kutinggalkan meski sebentar," sergah pemuda tampan ini.
"Soal gadis itu!"
"Apa maksudmu?"
"Kakang menginginkan gadis itu. Dan aku membawanya untukmu!"
"Jangan main-main, Genduk!" ingat Rangga.
"Aku bersungguh-sungguh! Kalau bohong, kau tak usah menganggapku sebagai saudaramu lagi," tegas Genduk.
"Mana dia?"
"Ada di suatu tempat. Kuikat dengan rapi. Dan tak mungkin dia bisa lolos!" Wajah Genduk tampak berseri melihat Rangga tersenyum dan tak marah padanya.
"Ayo, kita lihat dia!" ajak gadis ini.
Meski agak ragu dan sesekali menoleh ke pondok, Rangga mengikuti juga langkah Genduk.
********************
Apa yang dikatakan Genduk mungkin benar. Seorang gadis manis berkulit sawo matang tampak terikat di sebatang pohon. Kedua tangan di belakang dan kaki merapat. Mulutnya disumbat kain. Matanya melotot lebar, hendak meluapkan amarah melihat kehadiran Genduk dan Rangga.
"Simpan amarahmu untuk menghemat tenaga! Yang kuinginkan sekarang, jawab pertanyaan Kakangku!" bentak Genduk.
Tapi begitu sumpal di mulut gadis itu dibuka...."Pengemis busuk! Kurang ajar! Lepaskan aku! Lepaskaaan! Kalau tidak kubunuh kau...! Dasar gembel keparat...!" maki gadis yang terikat ini.
Mendapat makian seperti itu, Genduk jadi berang. Cepat tangannya melayang.
Plak! Plak!
"Aaakh...!" Gadis itu terpekik, mendapat tamparan di pipi beberapa kali. Dan makiannya pun langsung terhenti.
"Sekali lagi kau berani memaki, kurontokkan gigi-gigimu!" ancam Genduk dengan wajah menyeringai galak.
Gadis itu memandangnya ngeri. Namun masih terlihat kebenciannya. Meski begitu, agaknya dia kapok untuk kembali memaki.
"Bagus! Begitu lebih baik. Sekarang, jawab! Kenapa kau menginginkan nyawa Kakangku?!" dengus Genduk sambil berkacak pinggang. "Jawab yang benar! Atau, kau akan menerima tamparanku lagi!" desak Genduk.
"Aku tak tahu apa yang kau maksudkan...," sahut gadis itu lirih.
Kembali tangan Genduk melayang ke pipi gadis itu.
Plak!
"Aaahh...!"
"Jawab yang benar!" bentak Genduk semakin garang.
"Genduk! Hentikan! Kau telah menyiksanya!" hardik Rangga.
"Kenapa, Kakang? Kau tak suka caraku? Baik! Gunakan caramu jika kau anggap bagus! Tanyakan padanya. Tapi, jangan terpengaruh oleh wajah sedihnya!" ujar Genduk, ketus.
"Maksudku bukan begitu. Tapi, kau bisa saja salah, eh...! Mungkin bukan dia yang kita cari," kilah Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau begitu serahkan saja dia pada Setan Tombak Maut. Maka riwayatnya pasti akan tamat. Keparat itu pasti sakit hati karena ditipu. Dan dia akan melampiaskannya pada perempuan rendah ini!"
"Eh! Ja..., jangan! Jangan bawa aku padanya!" seru gadis yang tengah terikat dengan nada memohon.
"Nah! Apa kau masih belum percaya kalau dia yang kita cari?" cibir Genduk.
"Baiklah, aku percaya...." Rangga menarik napas panjang. Lalu kepalanya menoleh pada gadis itu. Ditatapnya mata gadis ini dalam-dalam. "Kenapa kau inginkan kematianku? Jawab!" tanya Rangga penuh perbawa.
"Aku..., eh! Aku hanya disuruh seseorang...," sahut gadis itu lirih.
"Siapa?!" bentak Rangga, membuat gadis yang ditanyainya tercekat.
"Aku tak tahu namanya. Dia wanita muda, cantik, dan... seperti terpelajar. Bajunya merah, dan membawa pedang di punggung. Dia memberiku uang banyak sebagai imbalan. Aku..., aku bahkan tak sempat menanyakan namanya...," tutur gadis ini, terbata-bata.
"Jangan coba-coba bohong!"
"Aku berkata yang sejujurnya!"
"Baik! Untuk sementara aku percaya padamu."
"Kakang, kalau kau mau..., aku akan carikan gadis itu untukmu!" kata Genduk menawarkan diri.
********************
Mendengar hal ini Rangga jadi curiga. Dia berbalik, langsung menatap curiga pada gadis berpakaian penuh tambalan itu. "Di mana kau temukan dia? Begitu mudah dan cepat..," desis Rangga.
"Kakang! Kau..., kau mencurigaiku?!" sentak Genduk, kontan mengkeret hatinya.
"Aku mencurigai siapa saja yang coba membunuhku!"
"Tapi...."
"Di mana kau temukan dia?" potong Rangga cepat. "Atau barangkali kau kawannya dan ingin menjebakku?! Begitu, hah?!"
"Kakang, percayalah. Aku sama sekali tak bermaksud begitu...," tandas Genduk.
"Aku tak percaya padamu, Genduk.... Atau, siapa pun namamu! Sebaiknya, katakan padaku! Siapa yang hendak membunuhku sebelum kemarahanku meluap?!"
Sebelum Genduk menjawab, mendadak saja....
Set! Set!
Saat itu juga melesat beberapa sinar putih keperakan ke arah mereka bertiga.
"Awasss...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, langsung mendorong Genduk hingga terjerembab. Sementara dia sendiri melenting ke atas. Namun....
Cras!
"Aaakh...!"
"Hup! Kurang ajar...!" Rangga yang baru saja mendarat, melihat gadis yang terikat menjerit menyayat. Tampak dadanya tertembus benda putih keperakan yang ternyata sebilah pisau.
Baru saja Rangga hendak mengempos tenaganya ke arah asal pisau-pisau tadi, mendadak dari berbagai arah muncul beberapa sosok bayangan yang langsung mengepung.
"Siapa kalian?!" tanya Rangga mendesis.
"Bukankah kau ingin tahu, siapa orang yang menginginkan kematianmu?" sahut salah seorang pengepung.
"Sial!" dengus Rangga.
"Serang...!"
Begitu mendengar aba-aba, lebih kurang enam orang langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Rata-rata mereka bersenjata pedang.
"Keparat! Kalian terlalu memaksaku...! Baik...!" desis Pendekar Rajawali Sakti.
Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat bagaikan kilat. Begitu keluar dari kepungan, tubuhnya berkelebat mengitari orang-orang itu dengan jurus 'Rajawali Seribu' saat ini Pendekar Rajawali Sakti bagaikan berubah menjadi banyak, mengitari enam orang bersenjata pedang yang hanya terlongong bengong.
"Heaaa...!"
Des! Des! Des...!
"Aaa...!"
Sambil memutari, Pendekar Rajawali Sakti menghadiahkan hantaman tangan bertenaga dalam tinggi, disertai jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Satu persatu orang-orang itu ambruk tak bangun-bangun lagi, dengan dada melesak ke dalam.
"Kalian yang menginginkan kematian kalian sendiri. Jangan salahkan aku...," desah Rangga, seakan menyesali tindakannya.
Hatinya saat itu memang diliputi kegeraman amat sangat, setelah hilangnya Pandan Wangi. Tak heran kalau kemudian bila ada orang yang mengusiknya, Rangga bagaikan harimau tidur yang dicabut kumisnya. Satu persatu, Pendekar Rajawali Sakti mencoba mengenali wajah-wajah enam orang yang telah menjadi mayat itu.
"Hm.... Kalau tak salah..., mereka adalah murid si Katak Terbang. Ada urusan apa orang itu bermusuhan denganku?" gumam Rangga.
Belum juga pertanyaan Rangga terjawab, dari belakang terdengar suara langkah kaki hadir. Cepat Pendekar Rajawali Sakti menoleh. Dan wajahnya semakin tak sedap dipandang ketika seorang gadis, berpakaian tambalan mendekati dengan kepala tertunduk dan raut wajah takut-takut.
"Kakang! Kau..., kau tak apa-apa?" tanya gadis yang tak lain Genduk.
"Pergilah. Tolong jangan usik aku dulu...," ujar Rangga dingin.
"Kakang..., gadis tadi telah tewas. Namun sebelumnya dia sempat menjelaskan ciri-ciri wanita yang memberi uang. Serta..., di mana wanita itu bisa dijumpai," jelas Genduk.
"Di mana bisa kujumpai dia?" tanya Rangga dingin seperti tak tertarik dengan kata-kata Genduk.
Gadis itu diam membisu. Wajahnya tampak kecewa melihat sikap pemuda itu.
"Katakan! Atau persaudaraan kita putus!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.
"Di kuil kuno yang sudah tak digunakan lagi."
"Di mana tempat itu?"
"Sebelah selatan desa yang tadi kita lewati...."
"Hemmm..." Rangga bergumam tak jelas. Kepalanya mengangguk-angguk. Lalu ditinggalkannya Genduk begitu saja tanpa berkata sepatah pun.
"Kakang, aku ikut!" seru Genduk.
"Sudah kukatakan, jangan ikuti aku lagi! Atau, di antara kita tak ada hubungan apa-apa?!" bentak Rangga, langsung berkelebat cepat.
Genduk memandangi dengan wajah kesal. Namun dia tak berusaha untuk mencegahnya. "Sombong! Keras kepala...! Huh!" dengus Genduk dengan wajah cemberut.
Namun setelah Pendekar Rajawali Sakti menghilang dari pandangan, gadis ini pun segera mengikuti jejaknya. Entah dengan tujuan sama atau tidak.
Rangga memang bertekad untuk sementara menjauhi gadis itu karena alasan keamanan. Dan karena disadari kalau Genduk berwatak keras serta berkemauan kuat, terpaksa Rangga mesti mengecohnya. Meski tak menoleh ke belakang, diketahui betul kalau gadis itu mengikuti dari jarak jauh. Maka dia perlu sembunyi di tempat yang aman. Menunggu sampai gadis itu lewat.
Genduk mengira pasti Pendekar Rajawali Sakti akan ke kuil itu. Rangga sengaja bertanya agar pikiran gadis itu tertuju ke sana. Padahal, sebenarnya itu hanya tipuan belaka. Dia memang tertarik untuk menyelidiki kuil itu, namun tidak sekarang. Sebab, dia punya tujuan lain yang tak kalah penting. Menyambangi si Katak Terbang!
********************
Menjelang sore, Pendekar Rajawali Sakti tiba di tempat kediaman si Katak Terbang yang berpagar tembok setinggi setengah tombak. Suasana kelihatan sepi. Namun, Rangga tak peduli. Dia masuk terang-terangan lewat pintu gerbang.
Kriieett...!
"Hm...!" gumam Rangga dengan dahi berkernyit. Matanya tajam memandang ke sekeliling. "Sepi. Apakah dia telah tahu kedatanganku?"
Perlahan-lahan dengan sikap waspada, Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke arah pintu masuk rumah agak besar itu. "Katak Terbang, apakah kau tak menghormati tamu?!" teriak Rangga lantang, tepat ketika berhenti pada jarak tiga tombak dari pintu.
Begitu gema suaranya menghilang, sejurus kemudian Pendekar Rajawali Sakti melihat sesosok tubuh keluar dari pintu. Seorang laki-laki setengah baya berperawakan besar dengan perut buncit. Tingginya kira-kira di bawah ketiak Rangga. Wajahnya bulat, penuh bintik-bintik. Tangan kanannya menenteng sebatang tombak berujung sebilah mata golok besar.
"Ha ha ha...! Kukira siapa berkaok-kaok di tempat kediamanku. Ternyata pendekar kesohor. Sobat! Ada apa gerangan yang membuatmu datang ke tempat kediamanku ini?!" sambut laki-laki yang memang si Katak Terbang.
"Katak Terbang! Aku ingin tahu, apa yang menyebabkan kau membenci aku hingga mengirim enam muridmu untuk membunuhku?!" tegur Rangga langsung.
"Membunuhmu? Ha ha ha...! Mustahil, Pendekar Rajawali Sakti. Mana mungkin aku bermaksud membunuhmu?! Sobat! Ini salah paham. Kalau kau tak keberatan, bagaimana kalau kita berbincang-bincang di dalam sambil minum teh?"
"Katak Terbang! Tak perlu kau bermanis-manis di hadapanku. Persoalan ini mesti dibuat terang!"
"Ha ha ha...! Kenapa mesti menyelesaikan persoalan dengan kepala panas? Sabarlah, Sobat. Aku mengerti persoalanmu. Dan bila mereka kembali, akan kuancam dengan hukuman berat. Seperti yang kukatakan, ini hanya salah paham," kilah si Katak Terbang.
"Kau tak perlu menunggu, sebab mereka tak akan kembali ke sini. Kecuali, kau hendak menjemputnya ke neraka!" tandas Rangga.
"Apa maksudmu?!" bola mata si Katak Terbang terbelalak lebar.
"Mereka terlalu memaksaku...," sahut Rangga. "Dan aku hanya mempertahankan nyawaku sendiri...."
"Hah?! Keparat! Pendekar Rajawali Sakti! Kau harus membayar mahal nyawa keenam muridku!" sentak si Katak Terbang.
"Suiitt...!" Si Katak Terbang seketika bersiul nyaring, hingga menggema di tempat itu. Jelas, siulannya dikerahkan dengan tenaga dalam.
"Heh?!"
Dari belakang bangunan agak besar tempat tinggal si Katak Terbang beriompatan tiga sosok tubuh langsung mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan satu persatu sosok-sosok yang telah mengurungnya. Paling kanan, berdiri seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya gemuk pendek. Senjatanya berupa sebilah golok besar di pinggang. Di sebelahnya, berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun. Pakaiannya rapi, berwarna kuning gading. Sedang laki-laki terakhir bertubuh tinggi besar.
"Kalau tak salah, kalian adalah Ki Jambrang yang berjuluk Golok Setan, Ki Sedati yang bergelar si Ruyung Maut, dan Ki Waringin yang berjuluk si Tinju Geledek," tebak Rangga, yang agaknya telah mengenal betul kawan-kawan si Katak Terbang.
"Hhh, Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah mengenal siapa mereka! Dan kau akan menyesal karena berani cari urusan denganku!" ancam si Katak Terbang, mendesis.
"Aku tak kaget dengan kehadiran mereka. Sudah kuperhitungkan kalau kau seorang pengecut, karenanya perlu tiga ekor kunyuk membantumu!" sahut Rangga, kalem.
"Anjing buduk! Jangan bertingkah di depanku! Kau akan mampus hari ini!" bentak lelaki bertubuh tinggi besar yang bernama Ki Waringin.
"Katak Terbang!! Buat apa dibuat lama-lama? Kita bereskan dia sekarang juga!" timpal laki-laki pendek yang bernama Ki Jambrang alias si Golok Setan.
"Huh! Tanganku sudah gatal-gatal membeset mulutnya yang sombong!" dengus Ki Sedati alias si Ruyung Maut.
"Pendekar Rajawali Sakti! Terima kematianmu! Hiih!" Begitu habis kata-katanya, si Katak Terbang lompat menyerang. Ujung tombaknya yang bermata golok besar menyambar.
"Hup!" Rangga mengempos tenaganya untuk melenting ke atas. Namun pada saat yang sama, Ki Sedati ikut mengejar dengan ujung ruyung mengancam.
Pendekar Rajawali Sakti tak mau bertindak sembrono. Meski berhasil mengelak, dua lawan lainnya pasti akan langsung menyerang selagi dia lengah. Kalau saja mereka orang-orang biasa, tak sulit baginya untuk menghindar dengan tangan kosong. Tapi, keempat orang itu dikenal di rimba persilatan dengan kepandaian hebat. Maka saat itu juga langsung mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Sring!
"Heaaa...!" Begitu cahaya biru berkilau memancar dari batang pedang, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengebutkannya.
Swing...!
"Heh?!" Ki Sedati terperangah. Cepat serangannya ditarik, lalu membuang diri ke samping.
Pada saat yang sama, si Katak Terbang coba menyergap dengan ujung tombak. Memapas ke leher. Dan bersamaan dengan itu, ruyung Ki Sedati mengincar jantung.
"Hiih...!" Rangga meliuk-liuk sambil mengebutkan pedangnya, memapaki senjata-senjata mereka.
Tras!
"Sial! Kurang ajar...!" umpat Ki Sedati, ketika ruyungnya putus dibabat pedang Rangga.
Untung bagi si Katak Terbang, karena cepat melompat ke belakang. Sehingga senjatanya terhindar dari sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa...!" Ki Waringin menggunakan kesempatan itu untuk menyergap dari belakang. Kepalan tangannya siap menghantam ke punggung.
"Hmm...!" Rangga bergumam tak jelas ketika merasakan angin sambaran dari belakang. Seketika tubuhnya sedikit membungkuk, lalu bergerak ke samping. Dan mendadak, tangan kirinya mengibas.
Plak!
"Uhh...!" Ki Waringin tergetar mundur ke belakang disertai keluhan tertahan. Kesempatan itu tak disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya berkelebat seraya melepas hantaman lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat tinggi serta dengan tenaga dalam tinggi.
Prakkk!
"Aaakh...!" Ki Waringin tak kuasa lagi menghindari ketika kepalanya pecah terhantam kepalan kiri Pendekar Rajawali Sakti yang membentuk paruh rajawali. Tubuhnya ambruk, tak bergerak-gerak lagi.
"Keparat! Kau harus balas dengan nyawa busukmu!" bentak Ki Jambrang.
Bersama si Katak Terbang dan Ki Sedati, si Golok Setan menyerang. Maka pertarungan sengit tingkat tinggi pun tak terelakkan lagi.
********************
Si Katak Terbang meluruk deras dari depan. Ujung senjatanya yang bermata golok besar bergerak cepat menyambar ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga segera mengempos tenaganya. Tubuhnya melenting ke atas, sambil mengibaskan pedangnya. Si Katak Terbang terkejut. Cepat tombaknya dikibaskan menyamping.
Tras...!
"Heh?!" Si Katak Terbang bertambah terkejut melihat senjatanya putus menjadi dua bagian. Dan sebelum dia berbuat sesuatu, Pedang Pusaka Rajawali Sakti telah berkelebat kembali ke lehernya. Maka...
Crasss...!
"Aaa...!"
"Heh?!" Ki Jambrang dan Ki Sedati terkejut melihat si Katak Terbang menggeliat roboh setelah melolong panjang. Begitu terhempas ke tanah, darah membanjir di sekelilingnya. Orang itu diam tak berkutik dengan mata membelalak lebar. Kepalanya nyaris terpisah dari lehernya.
"Hiyaaa...!" Begitu mendarat di tanah, Rangga berkelebat menyerang dua lawannya selagi mereka belum siap. Gerakannya benar-benar mengagetkan, sehingga Ki Jambrang dan Ki Sedati menghindar sejadi-jadinya.
Begitu telah dapat memisahkan kedua lawannya, kini Pendekar Rajawali Sakti berkelebat mengincar si Ruyung Maut. Pedangnya yang bersinar biru berkilau meliuk-liuk bagaikan sambaran kilat.
"Hup!" Ki Sedati terkejut, namun cepat melenting ke belakang. Pada saat yang sama, Ki Jambrang maju membantu, menyerang dari samping.
"Hiih...!"
Terpaksa Rangga menarik serangannya. Tubuhnya seketika melesat ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Beberapa kali dia berputaran, dan tiba-tiba meluruk ke arah si Golok Setan dengan kibasan pedangnya.
"Heh?!" Ki Jambrang alias si Golok Setan terkesiap. Dia sudah telanjur menyerang dengan ujung golok terjulur ke depan. Akibatnya...
Tras...!
Golok Ki Jambrang langsung putus hingga tinggal gagangnya saja. Belum sempat keterkejutannya hilang, pedang Pendekar Rajawali Sakti telah kembali berkelebat amat cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Lalu...
Cras...! Bluk...!
Tak ada jeritan apa-apa. Yang ada hanya suara benda jatuh ke tanah. Kepala Ki Jambrang kontan menggelinding dengan darah memancur dari lehernya. Tepat ketika Rangga mendarat, tubuh si Golok Setan telah ambruk, langsung menggelinjang-gelinjang melepas nyawa sesatnya.
"Ohh...!" Nyali Ki Sedati alias si Ruyung Maut langsung susut. Dia mengeluh dalam hati melihat kawan-kawannya berjatuhan tewas secara mengerikan. Kini dia sendirian menghadapi Pendekar Rajawali Sakti dengan ruyung yang sebagian telah putus.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Ki?" kata Rangga, dingin menggetarkan.
Ki Sedati bergidik juga hatinya. Apalagi saat menatap Rangga yang matanya memancarkan sinar menggetarkan. Tanpa sadar, kakinya mundur beberapa langkah.
"Sebenarnya di antara kita tak ada saling permusuhan, Pendekar Rajawali Sakti...," kata Ki Sedati, tersengal.
"Tapi kau telah membuat permusuhan di antara kita...!" sergah Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku..., aku hanya termakan bujuk rayu si Katak Terbang untuk memusuhimu...."
"Aku tak perlu alasanmu!"
"Kalau begitu bunuh saja aku. Ayo, bunuhlah aku!" teriak Ki Sedati, mendadak keberaniannya timbul. Dia sudah merasa pasrah.
"Orang telengas sepertimu terlalu enak mati buru-buru...," gertak Rangga.
"Setan! Kau tak akan dapat apa-apa dariku!" maki Ki Sedati alias si Ruyung Maut.
"Aku masih memberimu ampun, Ki. Tapi coba jelaskan, atas suruhan siapa kalian hendak membunuhku?!" desak Rangga.
"Kau akan menyesal kalau tahu siapa yang menyuruh kami!" desis Ki Sedati.
"Katakan saja. Dan aku akan memaafkanmu...!"
"Dia... dia kekasihmu sendiri!" sahut si Ruyung Maut.
"Tahu apa kau tentang persoalan pribadiku?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa yang tak kenal si Kipas Maut? Dia yang menyuruh kami membunuhmu!" tegas laki-laki ber-senjata ruyung itu.
"Hm...," gumam Rangga, terpaku sejenak.
"Aku tak peduli kau percaya atau tidak. Tapi nyatanya memang begitu!"
"Di mana kau temui dia?"
"Dia mendatangi kami satu persatu, dan memberi imbalan uang emas."
"Baiklah! Untuk sementara, aku mempercayaimu. Tapi bila suatu saat kau bertindak macam-macam lagi, aku tak akan mengampunimu. Camkan itu baik-baik!" tandas Rangga. Begitu habis kata-katanya, Rangga telah berkelebat cepat meninggalkan tempat itu menuju ke timur.
Menjelang sore hari Pendekar Rajawali Sakti tiba di kuil kuno yang dikenal bernama Kuil Pintu Nirwana. Matanya langsung beredar ke sekeliling. Kuil itu tampak terasa sepi dan lengang.
"Hmm...!" Rangga bergumam ketika melihat sebuah pohon besar tak jauh dari kuil. Dengan gerakan ringan dia lompat ke salah satu dahan pohon. Dari situ dia bisa mengawasi keadaan di sekitarnya dengan leluasa.
"Kelihatan sepi dan tak ada siapa-siapa...," gumam Pendekar Rajawali Sakti. Entah berapa lama Rangga menunggu di sana. Tapi, pemuda itu tetap sabar hingga malam tiba.
"Hm.... Tak ada siapa-siapa di sana. Apakah Genduk berdusta padaku...?" tanya Rangga dalam hati. Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak turun, mendadak terlihat cahaya obor di kejauhan. Rangga menghitung.
"Ada lima! Hei?! Di sebelah sana pun ada cahaya obor yang mendekat. Satu orang! Aku yakin, mereka hendak mengadakan pertemuan," gumam Rangga lagi.
Apa yang dipikirkannya memang benar. Lima pembawa obor dan seorang dari arah lain bertemu di kuil kuno itu. Mereka bercakap-cakap barang sebentar, sebelum masuk ke dalam.
"Hup!" Dengan mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' indah sekali Rangga melompat ke pohon yang paling dekat dengan kuil. Dan dia terus melompat ke cabang pohon lainnya hingga berjarak sekitar sembilan tombak.
Saat itu juga Rangga mengerahkan aji 'Pembeda Gerak Dan Suara' pada taraf yang paling tinggi. Sehingga dia dengan mudah dapat mencuri dengar pembicaraan dari dalam kuil.
"Bagaimana tugas kalian?" Terdengar oleh Rangga percakapan seseorang. Suaranya agak berat. Namun jenisnya jelas dimiliki wanita. Mungkin berusia sekitar enam puluh tahun.
"Kami belum berhasil membunuhnya, Guru...."
"Kenapa begitu lama? Tuan Putri hanya memberi waktu singkat pada kita."
"Dia cukup tangguh, Guru," sahut seseorang. "Sejak tadi sudah banyak korban yang jatuh di tangannya."
"Apa maksudmu?"
"Enam murid si Katak Terbang tewas. Dan si Katak Terbang sendiri bersama. dua kawannya binasa. Seorang lagi yang masih hidup, yaitu si Ruyung Maut terpaksa kami bunuh untuk menghilangkan jejak."
"Tolol! Kenapa kalian gunakan mereka? Orang-orang itu tak punya kebisaan apa-apa!"
"Lalu kami harus menggunakan tangan siapa lagi, Guru?"
"Kalian bisa gunakan tangan si Ular Sakti, Resi Gila, atau si Kelabang Ireng. Mereka termasuk tokoh-tokoh hebat. Kalau bersatu, niscaya dalam segebrakan Pendekar Rajawali Sakti bakal kojor!"
"Guru, mereka adalah sahabat-sahabatmu. Bagaimana mungkin kami mendekati mereka dengan cara...
"Tolol! Siapa suruh kalian merayunya?! Mereka orang-orang tamak, serakah, rakus! Gunakan uang yang kuberikan pada kalian untuk membujuknya!"
"Tapi jumlahnya tidak mencukupi, setelah digunakan untuk membayar si Katak Terbang dan kawan-kawannya...."
"Tolol! Gunakan otak kalian! Tidakkah kalian bisa mengakali mereka?"
"Baiklah, Guru...!"
"Satu hal lagi yang perlu kalian ingat! Ada seorang pengemis muda yang mengawasi gerak-gerik kita. Kalian awasi kawan-kawannya, jangan sampai mengganggu urusan ini!"
"Apa maksudnya, Guru?"
"Pengemis muda itu kutangkap siang tadi, ketika tengah mengawasi kuil ini. Aku tak yakin dia kerja sendiri. Karena, dia putri si Raja Pengemis," jelas wanita yang dipanggil Guru.
"Putri si Raja Pengemis? Apa urusannya dia berani mencampuri urusan kita?"
"Tidak usah banyak tanya! Tugas kalian adalah mengawasi anggota-anggota Partai Pengemis. Aku tidak ingin mereka ikut campur!"
"Baik, Guru!"
"Nah, aku pergi dulu! Besok malam hasil kerja kalian harus sudah ada!"
Setelah berkata begitu, orang yang dipanggil guru segera berbalik dan keluar lebih dulu dari pintu depan. Namun baru saja hendak berkelebat, langkahnya terhenti. Karena....
"Pendekar Rajawali Sakti...?!" desis wanita setengah baya itu, kaget.
Sosok yang berdiri di depan Kuil Pintu Nirwana memang seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Di punggungnya, tampak sebilah pedang bergagang kepala burung rajawali. Siapa lagi kalau bukan Rangga?
Pendekar Rajawali Sakti kini menatap tajam pada perempuan setengah baya yang tadi dipanggil Guru. Wanita itu berambut hitam dikonde. Masih kelihatan cantik, walaupun usianya telah setengah baya. Di pinggangnya melilit sehelai selendang hitam.
"Peri Konde Hitam! Sering kudengar namamu yang kondang hingga ke seantero jagat. Beruntung aku bertemu denganmu di sini," kata Rangga terdengar dingin.
Sementara itu lima murid wanita setengah baya yang ternyata berjuluk Peri Konde Hitam telah keluar juga. Mereka yang semuanya gadis-gadis cantik langsung bersiaga dengan sikap mengepung.
"Guru! Bukankah dia..., dia..., Pendekar Rajawali Sakti?!" desis salah seorang gadis.
"Hm, hebat! Guru dan murid sepakat melenyapkan nyawaku. Aku telah berada di sini. Dan kalian tak perlu repot-repot menggunakan tangan orang lain!" gumam Rangga enteng.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau salah sangka. Kami sama sekali tak bermaksud...."
"Cukup!" Kata-kata wanita setengah baya itu terhenti ketika Pendekar Rajawali Sakti membentak garang. Begitu keras suaranya sehingga membuat wanita itu dan murid-muridnya tersentak mundur.
"Peri Konde Hitam, silakan! Aku telah siap!"
Wanita setengah baya itu tertegun sebentar, sebelum meloloskan selendang yang melilit pinggangnya. Senjata aneh itu panjangnya kurang lebih dua tombak, terbuat dari serat tumbuhan langka yang amat alot dan kuat.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau yang menginginkannya, maka kau akan mendapatkannya!" desis Peri Konde Hitam mendesis.
"Heaaa...!" Diiringi bentakan keras, Peri Konde Hitam mengebutkan selendangnya ke arah dada Rangga.
"Uts...!" Rangga melenting ke belakang, ke arah halaman kuil. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti mendarat, tangan kiri Peri Konde Hitam telah menghentak disertai tenaga dalam tinggi.
"Hiih!"
Wuusss...! Selarik cahaya kuning melesat menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga yang sudah bisa membaca serangan secepatnya melompat ke samping, dan langsung bergulingan. Begitu bangkit tangannya langsung mencabut pedang di punggungnya.
Sring!
"Heh...?!" Peri Konde Hitam bergetar hatinya melihat perbawa Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilau. Baru kali ini dia melihat pedang yang membuatnya harus terperangah. Namun saat itu juga semangatnya dikempos. Kembali selendang hitamnya dikebutkan.
Bet!
Ujung selendang wanita itu bergerak cepat ke arah pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Slap!
Namun ketika Pendekar Rajawali Sakti hendak menyentak, pedang Rangga keburu berputar-putar memapas selendangnya.
Jres! Jres!
"Hah?!" Peri Konde Hitam terkejut. Dalam sekejap selendangnya putus sepanjang empat jengkal. Sebelum keterkejutannya habis, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat dengan pedang mengarah ke perut. Secepatnya, Peri Konde Hitam hendak melenting ke belakang. Namun....
Cras...!
"Aaakh...!" Ternyata ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti masih sempat menggores paha perempuan itu. Begitu mendarat, mulutnya meringis menahan perih di pahanya yang mengucurkan darah.
"Guru, kau tak apa-apa?!" seru salah seorang gadis.
Sementara dua murid Peri Konde Hitam langsung lompat menyerang. "Heaaa...!"
Set! Set!
Salah seorang mengibaskan tangannya, melempar senjata rahasia berupa konde beracun ber-warna hitam mengkilap. Sedangkan seorang lagi menghantam lewat pukulan jarak jauh.
"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, untuk menghindari dua serangan yang datang. Begitu mendarat, tubuhnya langsung berkelebat cepat setelah menyimpan pedangnya di warangka. Langsung dikerahkannya tenaga dalam tinggi saat melancarkan serangan bertubi-tubi. Dua orang gadis langsung menghadang dengan sabetan pedang. Namun...
Tak! Tak!
"Heh...?!" Kedua gadis itu tersentak kaget, karena pedangnya patah terhantam tangan Pendekar Rajawali Sakti yang berisi tenaga dalam tinggi. Dan se-belum Rangga melepas serangan, empat orang gadis telah maju dibantu Peri Konde Hitam.
"Hup...!" Rangga cepat melompat lima langkah ke belakang. Begitu menjejakkan kakinya, kedua tangannya menghentak ke depan disertai tenaga dalam tinggi "Aji 'Bayu Bajra'! Heaaa...!"
Segulung angin topan langsung meluruk dari tangan Pendekar Rajawali Sakti, membuat gadis-gadis yang menyerangnya terhumbalang ke belakang. Sementara Peri Konde Hitam masih mampu bertahan, setelah memantek kakinya di tanah dengan tenaga dalamnya. Namun tak urung, tubuhnya sempat bergeser ke belakang. Sebelum wanita itu mampu menguasai diri, Pendekar Rajawali Sakti cepat berkelebat ke arahnya.
"Hah?! Keparat!" Wanita itu cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan melepas pukulan jarak jauh.
LIMA
Angin berhawa hitam meluruk bergulung-gulung ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat yang sama, Rangga pun telah siap dengan kuda-kuda kokoh. Lalu....
"Aji 'Guntur Geni! Heaaa...!"
Seketika dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti melesat sinar merah, memapaki angin hitam. Dan....
Blarrr...!
"Uhh...!" Terdengar ledakan dahsyat begitu dua pukulan berisi tenaga dalam tinggi bertemu di ritik tengah. Tampak Peri Konde Hitam terjungkal ke belakang sambil memuntahkan darah segar. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti terjajar dua langkah.
"Guru...!" seru dua murid Peri Konde Hitam yang tersisa. Segera mereka menghampiri wanita setengah baya itu.
Tapi belum lagi tiba di dekat tubuh Peri Konde Hitam yang terkapar, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat menghadang. "Tak akan kubiarkan kalian mempermainkanku! Jika itu terjadi maka kematian yang kalian peroleh!" gertak Rangga.
"Hah?!" Dua murid Peri Konde Hitam itu melengak kaget. Namun yang seorang mendadak menyerang Rangga.
"Bajingan keparat! Kubunuh kau...! Kubunuh kauuu...!"
"Hm...!" Rangga menggumam pelan tanpa bergerak dari tempatnya. Tapi begitu serangan hampir tiba, tubuhnya mengegos. Seketika dilepaskannya satu sodokan bertenaga dalam tinggi.
Desss...!
"Aaakh...!" Gadis itu kontan terjengkang disertai keluhan tertahan. Tulang rusuknya kontan patah, dan langsung menghujam jantung. Akibatnya dia langsung tewas.
"Siapa lagi yang akan menyusul?" desis Rangga.
Satu murid Peri Konde Hitam yang tersisa bergidik ngeri. Guru yang diharapkan bisa melindungi, kini sekarat dengan mulut terus menerus mengeluarkan darah.
"Kau akan kuampuni jika mengatakan di mana orang itu berada...," kata Rangga, dingin.
"Orang siapa yang kau maksudkan?" sahut gadis itu.
"Tidak usah pura-pura! Kalian tahu apa yang kumaksudkan!"
Gadis ini tercekat. Mulutnya seakan terkunci. Sementara Pendekar Rajawali Sakti menunggu dengan tatapan tajam.
"Cepat putuskan!" bentak Rangga.
"Baiklah.... Dia bergelar si Kipas...."
Crab! Crab!
"Aaa...!" Belum lagi habis kata-katanya, mendadak dua bilah pisau kecil melesat dari belakang, menancap tepat di punggung gadis itu hingga terjungkal ke depan.
"Kurang ajar!" Rangga memaki geram. Tubuhnya baru saja hendak mengejar, namun telah melompat satu sosok ramping di depannya. Seorang gadis cantik berbaju biru dengan kipas baja putih. Tampak pula sebilah pedang bergagang kepala naga di pinggang.
"Pandan Wangi...!" seru Rangga dengan wajah berseri-seri. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menghampiri. Namun selangkah lagi mendekat, secepat kilat gadis itu mencabut senjata kipas dan mengebutkannya.
Srak! Bret!
"Aaahh...!" Bukan main kagetnya Rangga. Di luar dugaan ujung kipas gadis itu menggores dadanya. Bahkan dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Kalau dia tak cepat melompat ke belakang mungkin senjata itu akan merobek dalam dadanya!
"Pandan! Apa yang kau lakukan...?!" seru Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah pucat dan mata terbelalak tak mengerti.
Wuuttt...!
Si Kipas Maut menjawab dengan kelebatan kipasnya. Mau tak mau terpaksa Rangga menghindar. Dan gadis itu terus mengejar.
"Pandan, hentikan seranganmu!" teriak Rangga
"Heaaat!" Jawaban gadis itu tetap sama. Serangan dahsyat yang mematikan!
"Pandan, apa-apaan kau ini?! Hentikan seranganmu!" bentak Rangga serba salah.
Gadis berbaju biru itu tak peduli. Permainan senjata kipasnya semakin gencar, mengincar titik-titik kelemahan di tubuh Rangga. Dan Rangga meladeninya dengan pikiran bingung. Tak mungkin dia balas menyerang, karena sama saja akan mencelakai kekasihnya sendiri. Namun kalau tak balas menyerang, lama-lama tentu akan celaka.
"Pandan, sadarlah! Apakah kau tak mengenaliku lagi? Aku Rangga! Apakah kau tak kenal wajahku?! Hentikan seranganmu! Ini bukan saatnya bermain-main!" cegah Rangga.
"Tutup mulutmu! Kau harus mati, Keparat!" bentak Pandan Wangi.
"Kau tak kenal aku lagi?" Suara Rangga mengambang. Dahinya berkerut. Sedikit pun dia tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya saat ini. Pandan Wangi menyerang penuh kebencian. Seolah-olah Rangga musuh besar yang mesti dilenyapkan seketika.
"Siapa yang tak kenal! Kau adalah musuh besarku dan mesti kulenyapkan!" sahut Pandan Wangi, terus saja mencecar Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi..., tapi kau tahu siapa aku, kan?" tukas Rangga, terus berkelit.
"Kau..., Pendekar Rajawali Sakti! Kenapa aku mesti tak tahu?!"
"Pandan! Kau pun tahu apa hubungan kita, kan?"
"Ya, kau kekasihku."
"Oh, syukurlah! Kalau begitu kau tak hilang ingatan," sahut Rangga.
"Tapi bukan berarti aku tak bermaksud membunuhmu!" desis Pandan Wangi, kembali melancarkan serangan dahsyat.
"Pandan...?!"
"Yeaaa...!"
"Brengsek!" Rangga benar-benar tak habis mengerti. Kekesalannya jadi membludak. Dikiranya dengan jawaban ini, Pandan Wangi akan hentikan serangan, lalu membuka kedoknya kalau tengah bersandiwara. Tapi dugaannya keliru. Dan gadis itu tetap menyerang seperti tadi. Bahkan semakin gila. Bahkan tangan kirinya telah meloloskan Pedang Naga Geni. Maka dengan kipas di tangan kanan dan pedang di tangan kiri, Rangga semakin dibuat repot.
"Ayo, keluarkan semua kemampuanmu! Kudengar kau pendekar hebat! Pendekar ternama! Tapi yang kulihat sekarang hanya seekor monyet yang mampu lompat ke sana kemari!" ejek Pandan Wangi.
"Pandan! Kau minum apa?! Apa kebanyakan minum arak? Kubilang apa? Kalau minum jangan lantas dibawa berjalan. Kau bisa menyusahkan orang. Seperti sekarang ini, misalnya," ujar Rangga.
"Tutup mulutmu! Heaaa...!" Disertai teriakan keras, si Kipas Maut mengebut-ngebutkan kipas dan Pedang Naga Geni.
Bet! Bet!
"Uhh...!" Rangga mengeluh berkali-kali. Sambil terus menghindar, diamatinya dengan cermat jurus yang dipakai Pandan Wangi.
"Gila! Jurus apa yang digunakannya? Aku belum pernah melihat sebelum itu! Apakah gadis celaka itu mengajarinya?!" rutuk Rangga.
"Yeaaa! Kenapa diam saja?! Ayo, lawan aku! Monyet sinting! Kau akan mampus sia-sia!" bentak si Kipas Maut.
"Siapa sebenarnya kau?!" kali ini Rangga balas membentak.
"Jangan berlagak pilon! Kau tahu siapa aku! Aku akan membunuhmu. Bersiaplah!" Bersamaan dengan itu Pandan Wangi meningkatkan serangannya yang tidak bisa dianggap main-main. Jelas, tujuannya untuk membunuh.
"Hup! Yeaaa!" Dengan kalang kabut Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang menghindar sambil jungkir balik. Namun hal itu tidak banyak menolong. Begitu baru saja mendarat, tanpa disadari dua buah sinar kuning melesat ke arahnya. Datangnya dari belakang. Dan....
Des! Des!
"Aaakh...!" Dua hantaman berturut-turut, membuat pemuda itu menjerit tertahan. Tubuhnya terlempar ke depan. Rangga berusaha menguasai diri dengan menggulingkan tubuhnya. Namun baru saja menjejakkan kaki, serangan Pandan Wangi datang.
"Uts...!" Cepat Pendekar Rajawali Sakti membungkuk menghindar tebasan Pedang Naga Geni. Seketika tubuhnya bergulingan ke samping, lalu melenting ke sebuah pohon yang tak jauh dari situ.
Tap...! Mantap sekali kaki Pendekar Rajawali Sakti hinggap di salah satu cabang pohon. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling, mencari sumber serangan gelap yang tadi menghantamnya.
"Aku tahu siapa kau, Keparat!" desis Pendekar Rajawali Sakti geram, setelah mengerahkan aji 'Pembeda Gerak Dan Suara'.
"Hi hi hi...! Kau tahu? Baguslah kalau begitu!" Terdengar sahutan tanpa wujud.
"Siluman hina! Kali ini akan kubuat perhitungan denganmu!" desis Rangga, geram.
"Hi hi hi...! Kau terkena pukulan 'Jagat Kelana'. Pukulan itu hanya dimiliki kaum kami. Tak ada pemunahnya selain di tanganku. Tahu akibatnya? Tulang-tulangmu akan remuk dalam tempo dua belas hari sejak sekarang!" sahut suara tanpa wujud.
"Bedebah! Kau kira aku takut mati, he?!"
"Itulah yang kukagumi darimu. Kau hebat, tak takut mati, dan garang. Hi hi hi...! Tapi semua itu akan sirna ketika maut menjemput. Dua belas hari waktu yang lama. Cukup bagimu untuk berubah pikiran."
"Apa maksudmu?!"
"Tawaranku masih sama. Kau bersedia menjadi calon suamiku. Tidak sulit, bukan? Bahkan kurasa setiap pemuda menginginkannya. Dan lagi, wajahku tak terlalu buruk, kan?" tandas suara yang diyakini Rangga adalah suara Gandasari.
"Hentikan tawamu! Aku tak tertarik sedikit pun!"
"O, jadi kau pilih mati?" tukas Gandasari.
"Siapa sudi beristri wanita sinting sepertimu? Kau mempermainkan orang seenaknya!" tegas Rangga.
"Apakah kau kira dirimu bersih? Tidak sinting? Berapa orang yang kau bunuh hingga saat ini? Sepuluh? Seratus..., atau seribu? Atau..., tak terhitung? Siapa sebenarnya kau ini? Tukang jagal? Malaikat maut? Atau..., orang gila yang mengumbar nafsu?!"
"Maaf, aku membunuh karena mereka terlalu memaksa...!" sahut Rangga.
Rangga hendak melayang turun ketika dari balik pohon berjalan dengan langkah gemulai seorang gadis cantik. Wajahnya ditutupi cadar. Baru saja Pendekar Rajawali Sakti mengempos semangatnya....
"Oh...!"
"Itu gejala awal. Jantungmu seperti ditusuk-tusuk jarum-jarum halus. Kemudian kepala pusing. Dan selanjutnya perut terasa mual. Lalu, hi hi hi...! Gejala itu akan terus terasa semakin hebat sampai dua belas hari lamanya. Dan saat itu, malaikat maut datang menjemputmu. Hi hi hi...!" cibir Gandasari. "Tapi kalau kau menyetujui syaratku untuk menjadi suamiku, mungkin nasibmu akan berubah...."
"Siluman keparat! Kau salah bila mengira aku bisa kau takut-takuti. Mungkin aku beruntung akan mati dua belas hari lagi. Tapi kau akan mati lebih dulu!" desis Rangga seraya meluruk turun, langsung menuju tempat Gandasari berdiri.
"Hi hi hi...! Kau kira bisa membunuhku dengan mudah? Kau keliru, Pendekar Malang!" ejek gadis itu.
"Hiih!"
Gadis itu sama sekali tidak berusaha menghindar. Dan serangan sisi telapak Rangga yang menebas leher tak membawa pengaruh yang berarti. Tak ada darah, atau kepala yang menggelinding!
"Hah?!" Rangga tercekat, karena justru kepala yang terpotong itu melayang-layang ke atas sejenak, lalu bersatu di leher kembali. Kepala itu bergoyang ke kiri dan kanan, dan ajaib! Bekas luka tebasan itu hilang tak berbekas.
"Hi hi hi...! Kau ingin pilih yang mana? Leher? Tangan? Kaki? Atau semuanya? Ayo, boleh kau coba untuk membunuhku!" ejek Gandasari.
Rangga mendengus kasar. Disadari kalau gadis ini tak bisa dilawan dengan kekerasan. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti memikirkan cara yang terbaik, Gandasari telah menuntun Pandan Wangi meninggalkan tempat ini.
"Pandan! Sadarlah, Pandan! Ingatlah, siapa aku?!" teriak Rangga, seolah-olah terpaku.
"Pandan Wangi ada dalam pengaruhku, Rangga. Aku bisa menyuruhnya membunuh. Percayalah, dia akan membunuhmu!" sahut Gandasari, terus melangkah.
"Keparat busuk! Kenapa tidak kau bunuh saja aku?!"
"Membunuhmu? Hi hi hi...! Itu pekerjaan mudah. Semudah membalikkan telapak tangan."
"Kalau begitu aku yang akan membunuhmu!" Rangga berkelebat mencelat. Namun Gandasari telah begitu cepat menghilang.
"Hi hi hi...! Kutunggu jawabanmu selama dua belas hari ini, Rangga. Kalau tidak, ajalmu datang secara menyakitkan. Hi hi hi...!" Terdengar suara Gandasari dari kejauhan.
"Keparat! Aku tak peduli ancamanmu! Ayo, perlihatkan lagi tampang busukmu!" Tak terdengar jawaban selain tawa nyaring yang perlahan-lahan sirna seperti tiupan angin yang menjauh.
ENAM
Rangga tertunduk lesu sambil berlutut. Angin malam berhembus mengibar-ngibarkan rambutnya. Beberapa saat lamanya dia dalam sikap seperti itu, sebelum akhirnya bangkit dan melangkah pelan menembus kegelapan malam.
"Pandan.... Di mana aku mencarimu?" keluhnya lirih.
Angin bertiup membawa embun malam dan terasa dingin hingga menusuk tulang sumsum. Batang-batang pohon bergoyang keras. Suara gemerisik daun-daun menimbulkan bunyi yang menggidikkan. Apalagi saat ini malam telah begitu larut. Dan di sekeliling belum terlihat rumah barang satu pun!
"Ke mana dia harus kucari? Pandan..., mudah-mudahan saat ini keadaanmu baik-baik saja. Aku tak tahu, apakah kita masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali atau tidak...," gumam Rangga di hati sambil terus melangkah.
Sebentar-sebentar Rangga berhenti merasakan nyeri di dada sebelah kiri, seperti ratusan jarum halus yang menusuk-nusuk jantung. Sementara kepalanya terasa nyeri bukan main.
"Aaakh...!" Pemuda itu berteriak-teriak kesakitan dan sempoyongan ke sana kemari. Tubuhnya seolah melayang, dan kakinya tak menapak ke tanah.
"Siluman terkutuk! Suatu saat akan kubunuh kau!" rutuk Pendekar Rajawali Sakti geram. Makian Rangga terhenti ketika rasa sakit di jantungnya semakin menjadi-jadi, dibarengi sakit kepala yang luar biasa hebat.
"Aaakh...!" Teriakan pemuda ini berbaur dengan angin kencang dan gemersik dedaunan. Tubuhnya sempoyongan ke sana kemari. Dan rasa dingin mulai meresap ke dalam tubuhnya, ketika gerimis turun satu persatu.
"Keparat! Pukulan siluman terkutuk itu agaknya mulai merasuk dan merusak tulang-tulangku," keluh Rangga dengan wajah berkerut.
Glarrr...!
"Aaakh...!" Tepat ketika kilat membelah angkasa, pemuda itu pun menjerit kesakitan. Tubuhnya sempoyongan dan ambruk. Berkubang dalam tanah becek. Namun sekuat tenaga, dia bangkit dan terus berjalan menerpa hujan yang turun seperti langit bocor.
"Ohh.... Pandan! Pandaaan! Di mana kau? Di mana kau?!" teriak Rangga dengan sekujur tubuh gemetar. Bukan saja menahan nyeri di kepala dan jantungnya, tapi juga rasa dingin menyengat. Alam menyambut dengan suara geledek menggelegar dan curah hujan deras.
"Pandan? Jawablah, di mana kau?! Di mana kau...?!" Rangga kembali berteriak dengan mengerahkan segenap tenaga. andasari keparat! Kubunuh kau, siluman terkutuk! Kubunuh kau! Kucincang dagingmu hingga jadi serpihan yang sulit dikenali! Oh, tidak. Itu terlalu enak. Dagingmu akan..., kuberikan pada anjing-anjing buduk! Ya, khusus anjing-anjing buduk karena hatimu sama dengan rupa mereka. Ha ha ha...!"
Glaaarrr...!
"Weit, apa itu?!" Rangga melompat ke samping ketika cahaya kilat seperti menyambarnya.
"Kau berani padaku? Aku pendekar besar tak terkalahkan! Ayo, tunjukkan dirimu! Kau pun akan kucincang seperti Gandasari! Ayo, keluar...!"
Entah apa yang terjadi terhadap Pendekar Rajawali Sakti. Yang jelas, dia sudah tak tahu lagi siapa diriya. Kewarasannya lenyap entah ke mana. Yang ada kini hanya seorang pemuda edan dengan pandangan kosong!
"Keluar kau! Atau kubeset kulitmu?! Ayo, keluar...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti setelah mencabut pedangnya sambil memandang ke sekeliling dengan sorot liar.
Dengan pedang terhunus, Rangga berputar-putar mencurigai rerimbunan semak yang berada di sekelilingnya.
"Bagus! Rupanya kau takut padaku, he?! Ha ha ha...! Aku pendekar sakti. Dan semua mesti takut padaku! Hi hi hi...!"
Pendekar Rajawali Sakti yang telah berubah gila itu terkekeh-kekeh sambil mengibas-ngibaskan pedangnya ke atas memapas air hujan.
"Aaakh...!" Tapi seketika pemuda ini menjerit. Dia terduduk bersujud, lalu bergulingan ketika rasa sakit di jantung dan kepalanya kembali kambuh.
Sekian lama tubuh Rangga bergulingan sambil berteriak-teriak kesakitan. Sekujur tubuh dari ujung rambut hingga ke kaki, basah oleh air hujan bercampur lumpur. Dan kemudian terdiam seperti seonggok kayu basah mati. Tak lama kemudian Pendekar Rajawali Sakti kembali bangkit. Matanya memandang tajam ke sekeliling tempat. Pedang di tangannya tetap terhunus.
"Ayo, di mana kau? Tunjukkan dirimu?!" bentak Rangga.
Rangga menunggu sesaat lamanya. Namun tak seorang pun di tempat itu. Dia kembali terkekeh sambil menyarungkan pedang. "He he he...! Kau takut padaku? Makanya jangan coba-coa kalau tak ingin celaka. Ha ha ha...! Sudah kukatakan berkali-kali padamu. Aku pendekar sakti yang tak terkalahkan. Kalau mau mampus, ayo lawan aku! Nah! Karena sudah tak ada yang berani lagi melawanku, maka sebaiknya aku tidur dulu. Kalian tak boleh membangunkan. Ingat! Siapa yang berani membangunkan, akan kugantung dengan kepala di bawah!"
Pemuda itu mencari kobakan cetek lalu mencebur diri seperti bocah yang kegirangan mandi di sungai. Sesaat dia mengais-ngais air dengan kedua tangan dan kaki. Kemudian diam tak bergerak. Dan air hujan terus menyergapnya.
********************
Hujan yang turun semalam memang kelewat lebat. Air sungai yang melewati Desa Ranea Barang sampai meluap dan tumpah ke dalam desa, sehingga mengakibatkan banjir. Sawah-sawah yang mulai ditanami, hancur binasa dihajar luapan banjir.
Namun pagi ini matahari bersinar cerah, membangkitkan semangat bagi siapa saja yang masih malas-malasan di tempat tidurnya. Mereka buru-buru bangun dan membenahi barang-barang yang centang-perentang, Sementara para petani yang kembali dari sawah, bermuka masam. Langkah mereka lesu tak bersemangat ketika mengabarkan bahwa sawah masing-masing rusak.
Dari kejauhan terlihat sorak-sorai bocah mengiringi seorang pemuda berbaju rompi putih yang telah dipenuhi lumpur tengah berjalan gontai. Di punggungnya tampak sebilah pedang bergagang kepala burung. Tatapannya kosong, tak memancarkan cahaya kehidupan.
"Orang gila! Horeee...! Ada orang gila...!"
"Orang gila belum mandi! Badannya bau penuh lumpur!"
"Hush! Hush...! Ayo, mandi dulu!"
"Lempar! Lempar batu biar dia mau mandi!" teriak seorang bocah bertelanjang dada memberi usul.
Seorang bocah melempar pemuda itu dengan kerikil dan kabur ke belakang sambil ketawa cekikikan. Yang lainnya mengikuti sambil tertawa-tawa lebar. Namun pemuda itu tetap melangkah satu-satu seperti sebuah patung berjalan.
Trak...!
"Hhh...!" Pemuda yang tak lain Rangga menoleh ketika tubuhnya terhantam baru sebesar kepalan tangan. Sorot matanya kelihatan sayu tak bergairah. Namun rahangnya bergemelutuk menahan amarah.
Sorak-sorai para bocah terhenti. Dan satu persatu mereka beringsut ke belakang dengan wajah curiga. Apalagi yang melempar batu tadi. Seorang bocah berusia sekitar dua belas tahun bertubuh tambun dengan muka dipenuhi bintik-bintik. Wajahnya agak pucat. Dan pelan-pelan dia kabur paling dulu.
"Hhh!" Pendekar Rajawali Sakti yang telah gila itu melompat, membuat bocah-bocah ternganga kaget. Pasalnya Rangga mampu melompati kepala mereka seperti terbang. Dan tahu-tahu telah menghadang di depan bocah berusia dua belas tahun itu.
"Aaah...!" Bocah itu terkejut. Wajahnya langsung pucat. Darahnya seperti berhenti mengalir ketika larinya tiba-tiba berhenti. Bahkan ketika Rangga mengayunkan tangannya, dia tak mampu bergerak sedikit pun.
Jrot....!
"Aaakh...!" Bocah itu kontan terjengkang ke belakang dengan hidung patah dan gigi rontok. Jeritannya mengundang orang-orang desa mengerubungi tempat itu.
"Tole...!" seru seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun. Dia beriari, langsung menyambar bocah usia dua belas tahun itu. Sesaat dia coba menghentikan darah yang mengucur deras dari hidung dan mulut bocah bernama Tole. Sementara para penduduk desa telah mulai mengurung Rangga.
"Orang sinting celaka! Dia berbahaya! Kita mesti mengusirnya pergi!" teriak seorang penduduk.
"Pukuli dia biar kapok!" teriak yang lain.
"Hajar...! Gebuk...!"
Teriakan itu terus bersambut, menyulut kemarahan mereka semakin menjadi-jadi. Beberapa orang langsung menghunus golok dan cangkul. Yang lain meraih balok kayu, atau apa saja yang bisa dijadikan alat penggebuk.
Melihat itu, Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram. Matanya mendelik garang. Dan ketika seorang penduduk yang kelewat geram tak mampu menahan amarah menyerang dengan golok terhunus, kepalanya hanya dimiringkan sedikit. Dengan tangan kiri, ditangkapnya pergelangan tangan itu. Sementara telapak tangannya menampar ke dada.
Plaaaakkk...!
"Aaakh...!" Orang itu terpental ke belakang sambil muntahkan darah segar. Goloknya sendiri telah berpindah ke tangan Rangga. Kini dengan senjata di tangannya, dia membuat yang lainnya bergidik ngeri. Namun beberapa pemuda yang punya nyali besar tak mempedulikannya. Mereka langsung mengeroyok.
"Orang sinting, rasakan hajaran ini!"
"Hiih!" Rangga mendengus geram. Matanya yang kosong mengawasi tak berkedip. Sedikit lagi senjata mereka sampai, golok di tangannya berkelebat.
Traaakk! Breeettt!
"Aaa...!" Pekik kematian berkumandang ketika lima pemuda tadi terjungkal roboh dengan perut robek. Senjata mereka terpental, dihajar golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Gila! Orang ini betul-berul sinting. Kita hanya cari mati mengusiknya!" seru beberapa orang, langsung kabur.
Jejak orang itu diikuti yang lain. Hingga tempat itu dalam sekejap menjadi sepi. Yang tersisa hanya lima bangkai penduduk desa itu. Sedang yang lain mengunci diri ke dalam rumah masing-masing.
Rangga mendesah pelan. Tak dipedulikan keadaan sekelilingnya. Golok yang tadi makan korban, dilemparkan begitu saja. Lalu, ditinggalkannya desa ini.
Sepeninggal Rangga, orang-orang desa baru berani menolong kelima pemuda tadi. Yang lainnya mengendap-endap mengikuti Pendekar Rajawali Sakti, namun hanya sampai di batas desa. Selanjutnya, mereka kembali ke tengah desa mengabarkan kalau keadaan telah aman.
********************
Saat ini matahari belum lagi sampai ke atas ubun-ubun, namun panasnya telah menyengat. Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan gontai membelah jalan utama. Desa Sekupang yang ramai dengan orang lalu lalang. Dan kehadirannya tentu saja cepat menarik perhatian.
"Hei, coba lihat! Makanan baru!" seru seorang pemuda bertubuh tegap pada kawan-kawannya saat melihat Rangga melintas.
"Asyik! Jadi ada kerjaan!" kata seorang pemuda yang berhabuh kerempeng.
Mereka lantas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. "Hei?! Mau bergabung dengan kami, Sobat?" tegur pemuda bertubuh tegap.
Rangga menghentikan langkahnya. Matanya yang kosong memandang dengan tampang tolol.
"He he he...! Namaku Jaladra! Dan ini kawan-kawanku. Sekarang dia menjadi kawanmu juga. Nah, di sana ada lagi! Ayo, bergabung!" ajak pemuda tegap bernama Jaladra.
Aneh! Pendekar Rajawali Sakti menurut saja digiring ke tempat yang dimaksud Jaladra. Setiba di sana, dia memperhatikan satu persatu kawan Jaladra. Jumlah mereka sekitar tiga belas orang. Rata-rata penduduk desa yang sehari-hari suka mengganggu orang.
"Kasihan... Anak muda itu pasti jadi sasaran keisengan mereka," keluh seorang penduduk, melihat kejadian itu.
"Entah apa lagi yang akan mereka perbuat...," timpal yang lain.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti yang penuh lumpur duduk tenang-tenang dikelilingi kawan-kawan barunya.
"Siapa namamu?" tanya Jaladra yang agaknya menjadi pemimpin.
"Namaku...? Siapa namaku...?" sahut Rangga polos, lupa pada diri sendiri.
"Dia lupa namanya! Bagaimana kalau kita beri nama saja? Nama yang cocok Untuknya.... ng..., Dejor! Alias dekil, jorok, dan kotor!" teriak yang lain.
"Ha ha ha...! Nama yang bagus. Kau mau nama itu?" sambut Jaladra cepat menyahuti.
"Dejor? Ha ha ha...! Iya, nama yang bagus! Aku suka! Dejor. Dekil, jorok, dan kotor!"
Pemuda kotor berbau lumpur itu malah tertawa kegirangan menimpali tawa yang lainnya. Salah seorang yang tadi ke belakang, telah kembali bersama sebuah guci yang biasa digunakan untuk tempat arak atau tuak.
"Dejor! Aku punya arak wangi luar biasa! Kau harus meminumnya demi persahabatan kita!" kata pemuda itu seraya menyodorkan guci pada Rangga.
"Arak wangi? Benarkah?!" Rangga buru-buru menyambar guci dengan muka berseri-seri dan menciumi mulut guci. Tapi kegembiraannya seketika berubah. Senyumnya hilang, berganti raut wajah garang. Dan tiba-tiba....
Praaaakk...!
"Namaku bukan Dejor! Dan kalian bukan kawan-kawanku...!" bentak Rangga dengan wajah merah menahan marah.
"Ha ha ha...! Kalian lihat? Dia marah-marah pada kita!" kata salah seorang pemuda.
"Hi hi hi...!" . "Sekarang apa lagi?!"
"Giliran air kencingku!" teriak seorang pemuda bertubuh gendut. Begitu kata-katanya habis, mendadak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantami ke perut pemuda gendut itu.
Deeeesss....!
"Aaakh...!" Pemuda gendut yang tengah duduk di bangku itu kontan terjungkal ke belakang sambil menjerit kesakitan. Dari mulutnya muncrat darah segar. Untuk sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong, lalu diam tak berkutik.
"Bugel...!" seru Jaladra. Pemuda gendut itu memang kawan karib Jaladra. Maka tak heran kalau dia merasa cemas. Yang lainnya pun bersikap sama. Tawa mereka kontan berganti seringai ganas.
"Si Gila ini membunuh Bugel!" desis Jaladra kalap. Amarah pemuda tegap itu meluap. Dan tanpa pikir panjang, goloknya dicabut. Langsung ditebasnya leher Rangga.
"Mampus kau! Hiiih!"
Wuutut...!
Rangga memiringkan kepalanya sedikit, lalu ditangkapnya pergelangan tangan Jaladra. Dan mendadak sikut kanan Pendekar Rajawali Sakti langsung menyodok ke dada setelah tangan kirinya menyentak pergelangan tangan Jaladra.
Desss...!
"Aaakkh...!" Jaladra menjerit kesakitan Dua tulang rusuknya patah. Hal ini mengejutkan kawan-kawannya. Sesaat mereka hanya terpaku. Tapi ketika Rangga hendak beranjak barulah mereka menyadari keadaan.
"Dia membunuh Bugel dan melukai Jaladra! Orang ini tak bisa dibiarkan begitu saja! Dia harus mendapat balasan setimpal!" teriak pemuda lain.
"Biar kubereskan dia!" Salah seorang pemuda maju ke depan, langsung menghunus golok.
"Mati kau!" dengus pemuda itu, langsung mengibaskan goloknya.
Wuutut...!
"Lariii...!"
"Hei, hei...! Mau ke mana?! Ayo, ke sini kalau berani! He he he...! Dasar pengecut! Mereka semua kabur ketakutan karena tak mungkin mengalahkanku!" Rangga terkekeh sendiri, dan kembali menyarungkan pedang.
TUJUH
Seperti tak ada kejadian apa-apa, Pendekar Rajawali Sakti kembali melenggang. Diikuti pandangan orang-orang desa yang bertanya-tanya tak mengerti. Mungkin mereka tengah berpikir, orang sinting dari mana yang punya pedang sehebat itu? Namun begitu tak ada seorang pun yang berani mengusiknya. Kecuali..., beberapa orang yang segera keluar dari dalam sebuah kedai setelah mendengar keributan tadi!
Jumlah mereka empat orang, berbaju serba hitam dan bersenjata pedang panjang. Rambut mereka panjang dikuncir ke atas. Dari cara berpakaiannya, mereka tampak beda dengan orang-orang di tanah Jawa ini. Gerakan mereka ringan. Dan tahu-tahu, telah berdiri di depan Rangga dengan sikap menghadang.
"Berhenti kau!" bentak salah seorang.
Dengan tatapan kosong Pendekar Rajawali Sakti berhenti. Dia balas memandang sambil terkekeh-kekeh. Pendekar Rajawali Sakti membungkuk sambil berputar. Sebelah kakinya langsung menghajar dada.
Desss...!
"Aaakh...!" Pemuda yang menyerang kontan terpental beberapa langkah ke belakang. Terdengar pekik kesakitan. Dan orang itu menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong.
"He he he...! Kalian mau coba-coba padaku? Aku adalah pendekar sakti tak terkalahkan! Siapa yang ingin mampus, ayo cepat ke sini!" teriak Rangga berkaok-kaok sambil mencabut pedang.
Sring!
"Hah?!" Begitu melihat batang pedang pemuda itu bercahaya biru kemilau, tahulah mereka kalau saat ini tengah berhadapan dengan seorang tokoh hebat.
"Kita bisa dihabisinya semua! Ayo, lari! Selamatkan diri kalian!"
"Mau apa kau?!" tegur Rangga, menggetarkan.
"Hmm!" Orang yang membentak tadi tidak langsung menjawab. Tapi diperhatikannya pemuda itu dengan teliti.
"Siapa kau sebenarnya?" lanjutnya.
"Siapa aku? He he he...! Aku orang sakti yang tak terkalahkan. Kalian mau apa?!"
"Kami mencari seseorang yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Ciri-ciri orang itu mirip denganmu. Tapi, dia terlihat resik. Bahkan memiliki pedang hebat. Kulihat kau memiliki pedang hebat. Siapa kau sebenarnya? Apa kau Pendekar Rajawali Sakti?"
"Pendekar Rajawali Sakti? He he he...! Nama yang bagus. Aku suka nama itu. Rajawali artinya burung besar yang paling besar. Dan sakti...? Sakti, ya sakti! Orang sakti. Aku orang sakti yang tak terkalahkan. Ha ha ha...! Terima kasih! Aku terima nama itu!" oceh Rangga, ngawur.
Keempat orang asing itu saling berpandang satu sama lain. Dahi mereka berkernyit "Ini orang sinting! Bukan dia yang kita cari!" kata laki-laki yang berdiri paling kanan.
"Tapi ciri-ciri yang kita ketahui sama dengannya...!" kata kawannya yang memiliki codet di dahi.
"Memang, Tapi yang ini kumal, kotor, dan bicaranya tak karuan. Dia orang sinting!" sambung yang berkumis tipis.
"Lalu apa yang mesti kita lakukan?" tanya yang berkepala botak.
"Tak perlu diladeni! Mari kita pergi!" sahut laki-laki berkumis tipis.
"Baiklah."
"Hei, mau ke mana kalian?!" teriak Rangga.
Namun tak seorang pun yang menoleh. Dan Pendekar Rajawali Sakti terkekeh kegirangan. "He he he...! Dasar pengecut! Kalian semua takut padaku, bukan? Hi hi hi...! Dasar empat tikus buduk!"
Tapi keempat orang asing itu tak mengacuhkannya lagi. Mereka menaiki kuda-kuda yang tertambat di depan kedai, dan secepatnya meninggalkan desa ini.
Pendekar Rajawali Sakti masih tertawa kegirangan ketika seorang gadis kurus berpakaian hijau penuh tambalan menghampirinya. Wajahnya tampak berkerut dengan perasaan heran.
"Kakang Rangga...? Kaukah itu?" tanya gadis ini hati-hati.
"Weit, siapa kau?" desis Rangga.
"Aku..., aku Genduk. Apakah kau tak ingat?" sahut gadis yang tak lain Genduk.
"Genduk? Genduk..., eh, gendut, gendul, gendus, atau..., ha ha ha...! Namamu jelek. Mau apa kau ke sini?" tukas Rangga, ngawur.
"Kakang! Aku Genduk, adik angkatmu. Apakah kau tak ingat lagi?!" sentak Genduk.
"Genduk? Adik angkatku?!" Rangga mengernyitkan dahi, coba mengingat-ingat. Namun tak ada satu pun yang melintas di benaknya. "Benarkah?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah bodoh. Matanya kosong memandang gadis itu.
Genduk buru-buru mengangguk "Kakang, kita perlu bicara banyak..," ujar Genduk.
"Bicara apa? Kenapa mesti banyak-banyak? Saat ini aku lapar dan perlu makan banyak " sahut Rangga, seenaknya.
"Aku punya makanan banyak"
"Benarkah?! Mana?"
"Tidak di sini. Kusimpan di satu tempat. Kalau suka, kita ke sana mengambilnya."
"Baiklah. Ayo!"
Genduk buru-buru menggamit lengan pemuda itu. Dan dengan setengah berlari, mereka keluar desa.
Entah apa yang hendak dikatakan Genduk saat ini. Hatinya sedih. Dan pikirannya bertanya-tanya, kenapa Rangga sampai demikian? Pemuda itu keadaannya kini malah lebih buruk Kumal, kotor, dan hilang ingatan! Namun cara makannya tetap menunjukkan kalau dia berasal dari kalangan terhormat.
"Kakang...?" panggil Genduk.
"Apa?" tanya Rangga, tak acuh sambil menguliti singkong bakar.
"Apa yang terjadi setelah pertemuan kita terakhir...?" tanya Genduk.
"Kita pernah bertemu?" tukas Rangga.
"Tentu saja! Apakah Kakang tak ingat?!" seru gadis ini kesal.
Sudah sejak tadi Genduk berusaha mengembalikan ingatan Rangga, tapi sia-sia saja. Pemuda itu seperti tak tahu apa-apa. Bahkan namanya sendiri pun lupa kalau tak diingatkan gadis itu.
"Tidak! Aku tak ingat kalau kita pernah bertemu sebelumnya," jawab Rangga yakin.
"Saat itu aku akan memberitahumu kalau orang yang kita curigai berada di kuil...," lanjut Genduk.
"Kuil?" ulang Rangga.
"Ya! Kakang ingat?!" seru Genduk. Wajah gadis ini ceria karena merasa Rangga ingat sesuatu. Tapi segera berubah kecewa ketika pemuda itu menggeleng lemah.
"Aku ke sana...." Kata-kata Genduk terdengar ragu-ragu. Suaranya lirih.
"Untuk apa kulanjutkan? Toh, dia tak bakal ingat," gumam gadis ini. Namun kemudian berpikir. "Mungkin saja ada gunanya!"
"Ke kuil itu?" tanya Rangga.
"Ya. Namun sebelum mendapatkan sesuatu, seseorang keburu memergoki dan menangkapku. Tapi belakangan kuketahui kalau orang itu tewas. Dan kaulah penyebabnya," jelas Genduk.
"Aku?!" Rangga menunjuk dirinya.
"Ya. Kau, Kakang. Kau telah menyelamatkan aku. Kalau tidak, Peri Konde Hitam akan membunuhku" tegas Genduk, gembira.
"Peri Konde Hitam?" ulang Rangga.
"Ya, orang yang menangkapku itu," jelas Genduk lagi. Rangga mengangguk. "Kakang! Apakah kau benar-benar tak ingat sesuatu?" desak Genduk.
"Tidak...."
Genduk menghela napas panjang. Tersirat nada kekecewaan dalam hela napasnya. "Kakang! Aku tak tahu ada persoalan apa. Tapi beberapa orang berusaha membunuhmu...," lanjut Genduk.
"Membunuhku? He he he...! Tidak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diri. Lagi pula, kalau mereka bermaksud membunuhku, aku akan balik membunuh mereka juga. Tidak sulit, kan? He he he...! Karena itu jangan terlalu khawatir," jawab Rangga, seenaknya.
"Tapi, Kakang.... Mereka orang-orang yang kejam serta berilmu tinggi!" sergah Genduk.
"Eee, kau meragukan kemampuanku?!" Rangga melotot marah. "Aku pendekar sakti yang tak terkalahkan. Siapa berani cari urusan denganku, akan mati!"
Genduk tak mau melanjutkan adu mulut ini. Apalagi dalam keadaan seperti ini. "Maaf, Kakang.... Aku lupa kalau kau seorang pendekar sakti tak terkalahkan..,," ucap Genduk.
"Ha ha ha...! Tidak apa. Tapi lain kali jangan lupa, ya?!"
Gadis itu mengangguk sambil membuang muka. Dibiarkannya pemuda itu kembali menggerogoti singkong bakar dan menenggak air putih dalam kendi yang tadi disediakannya.
"Wuaaah, kenyang aku...!" kata Rangga.
"Kakang mau tambah lagi? Aku bisa carikan daging kelinci atau ayam untukmu," tawar Genduk.
"Ah, tidak! Tidak usah! Aku mau minum. Mulutku sepet!"
"Kakang! Air di dalam kendi ini masih banyak!" Genduk mengguncang-guncangkan isi kenci.
"Bukan itu. Aku ingin sesuatu yang bisa sedikit menyergarkan!" jawab Rangga seraya bangkit berdiri.
"Kakang, kau mau ke mana?" tanya Genduk, khawatir.
"Ya, cari air itu!"
"Ke mana?"
"Ke mana saja!"
"He he he...! Kenapa mesti jauh-jauh? Aku punya arak wangi yang mungkin kau butuhkan, Sobat" Mendadak terdengar suara dari atas dahan sebatang pohon tinggi yang ada di depan mereka.
"Hah?!" Kedua orang itu melengak dan mendongak ke atas. Tampak seorang kakek berambut putih tengah menguncang-uncangkan kaki. Sesekali ditenggaknya isi guci dalam pelukannya. Baunya harum dan tercium oleh mereka.
"Nah, aku mau itu!" seru Rangga. Dan tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas, hendak merampas. Laki-laki tua yang tak lain Ki Demong alias Pemabuk Dari Gunung Kidul terkekeh dan buru-buru lompat ke bawah.
"Hei, jangan lari! Awas kau...!" bentak Rangga geram seraya melompat kembali ke bawah.
"He he he...! Mana mungkin aku lari, Sobat Kalau mau arak ini, kau akan mendapatkannya," jawab Pemabuk Dari Gunung Kidul seraya mengangsurkan gucinya begitu mendarat.
Rangga yang sudah mendarat pula di depan Ki Demong hendak menyambar guci arak. Tapi, Genduk buru-buru menahan.
unggu! Kau tak bisa memberikannya seenak perutmu. Bagaimana kalau ini racun? Kau bisa mcncelakainya!" bentak Genduk dengan mata menyiratkan kecurigaan.
"Racun? Mana mungkin! Dia sahabatku. Dan kau pikir, aku akan meracuninya? He he he...! Gadis kumal! Buang jauh-jauh prasangka burukmu itu!" tukas Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Kakang! Benarkah dia sahabatmu?" tanya Genduk, menatap pada Rangga.
"He he he...! Dia pasti akan mengatakannya. Hei, Sobat! Aku kawanmu, kan?" timpal Ki Demong.
"Iya, iya...! Dia kawanku. Nah! Sekarang berikan guci itu!" sahut Rangga datar. Dan tak menunggu waktu lagi langsung disambarnya guci dalam pelukan Ki Demong.
"Kakang, jangan...!" teriak Genduk menghalangi.
Tak ada waktu lagi bagi gadis itu untuk mencegah Pendekar Rajawali Sakti, selain dengan ayunan tendangan.
Wuuuttt....!
Namun tendangan Genduk meleset. Bukan karena tak terarah, melainkan karena Rangga bergeser demikian cepat. Gadis itu tak kalah gesit. Dia berbalik, melepas tendangan berikut.
Wuuuttt...! Bettt...!
Yang menjadi sasarannya adalah guci di tangan Rangga. Tindakan Genduk tak mudah, karena Rangga telah kembali bergerak cepat menghindari. Bahkan masih sempat menenggak isi guci ke dalam mulutnya.
"Kakang, hentikan! Kau tak tahu apakah itu racun atau tidak! Hentikan!" bentak Genduk. Gadis ini kembali melesat dengan tendangan-tendangan maut.
Kalau saja pikiran Rangga saat itu waras, tentu akan tahu kalau Genduk menyerangnya dengan jurus-jurus tendangan hebat. Itu membuktikan kalau gadis pengemis itu memiliki kepandaian tidak rendah. Namun menghadapi Rangga, gadis ini sama sekali tak berdaya. Meski berkali-kali coba memecahkan guci, tapi tetap saja tak berhasil. Dan itu membuat Ki Demong tertawa geli.
"He he he...! Kalian mau main kucing-kucingan atau apa?!" ledek Ki Demong.
"Diam mulutmu, Tua Bangka!" bentak Genduk.
"Orang tua jelek! Minumanmu enak sekali. Tak apa kalau kuhabiskan?!" teriak Rangga.
"Eeh?!" Ki Demong baru menyadari kalau sejak tadi Rangga terus menenggak isi gucinya. Bisa-bisa dia tidak kebagian.
"Eh, Sobat...! Bagaimana kalau kau tinggalkan barang sedikit untukku?!" kata Ki Demong.
"Aku tinggalkan sedikit. Tapi ampasnya! Kau mau?!" jawab Rangga keras. Pendekar Rajawali Sakti menunggingkan guci itu sehingga bagian yang terbuka menghadap ke bawah. Dan...., tak setetes pun yang tersisa.
Ki Demong menggeleng lesu. "Brengsek! Dasar brengsek! Sudah cukup aku saja yang sinting, eh, dia malah ikut-ikutan," rutuk laki-laki tua ini.
"He he he....! Enak sekaliii...!" seru Rangga sambil mencampakkan guci ke dekat Ki Demong.
"Eee, sial!" umpat laki-laki tua itu sambil bergulingan menangkap gucinya. Diperiksanya isi guci, lalu kembali mengumpat kesal.
Sementara itu Genduk telah menghentikan serangan. Dia merasa tak ada gunanya lagi. Toh, isi guci yang dicurigainya telah pindah ke perut Rangga.
"Kakang! Kau tak tahu apa akibatnya bagimu...," kata Genduk, mengingatkan.
"Akibatnya?" Dahi pemuda itu berkerut. Wajahnya berubah tegang. Tapi tiba-riba berubah cepat. Dan bibirnya tersenyum lebar. "Ya, akibatnya..., aku kekenyangan! Ha. ha ha...!"
"Kakang! Kenapa kau percaya begitu saja pada orang yang tidak dikenal?" tegur Genduk lagi.
"Aku kenal! Aku kenal dengannya!" sahut Rangga seenaknya.
"Kakang sungguh-sungguh kenal dengannya?!"
"Dia bilang begitu waktu tadi, kan? Aku ini sobatnya. Berarti aku pernah kenal dengannya. Sudahlah, kau tak perlu khawatir!" ujar Rangga.
"Hei, gadis kerempeng! Kau takut aku meracuninya?!" teriak Ki Demong.
"Siapa sebenarnya kau?" desis Genduk, bertanya.
"Aku Ki Demong.... Pemabuk Dari Gunung Kidul," jawab laki-laki tua itu. "Kau tak kenal nama itu? Bocah! Mestinya ayahmu memberitahukannya. Bukankah kau putri si Raja Pengemis?"
"Dari mana kau tahu?" tukas Genduk.
"He he he...! Apa yang tidak diketahui Ki Demong? Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Aku sahabat Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus mempercayainya."
"Nah! Betul kataku, kan? Dia sahabatku. Kau tak boleh mencurigainya!" seru Rangga.
"Kau tahu, kenapa dia sampai begitu?" tanya Ki Demong.
Genduk menggeleng lesu. "Entah, siapa yang melakukannya. Tapi belakangan ini banyak tokoh persilatan yang mengejarnya. Mereka diperintah seseorang, atau..., ah! Aku tidak begitu tahu. Apakah ada seorang musuhnya yang begitu membencinya, atau mereka berkelompok menggalang kekuatan untuk memusuhinya? Yang jelas orang-orang itu menginginkan kematiannya," jelas Genduk dengan wajah masygul.
"Aku tahu!" kata Ki Demong.
"Apa yang kau tahu, Ki Demong?" tanya Genduk.
"Orang yang hendak membunuhnya itu. Dia bukan tokoh sembarangan...."
"Heh, jangan bicara macam-macam! Kalian pikir aku tak mampu mengalahkannya?!" bentak Rangga, garang. Matanya melotot lebar penuh kemarahan.
"He he he...! Tentu saja, Sobat! Tentu saja. Siapa yang bisa mengalahkanmu? Kau adalah pendekar sakti yang tak terkalahkan," sahut Ki Demong mengalah.
"Ha ha ha...! Bagus! Ternyata kau mengerti." Pemuda itu langsung terkekeh. Namun wajahnya kembali berubah ketika....
"Pendekar busuk! Kau boleh berhadapan denganku kalau berani!"
"Eee...!"
Terdengar bentakan dari belakang, membuat Rangga berbalik. Demikian pula Ki Demong dan Genduk. Di tempat itu telah muncul seorang gadis cantik berbaju ketat warna biru. Sebilah kipas baja putih tergenggam di tangan kanan. Di pinggangnya masih terselip sebilah pedang bergagang kepala naga.
Dahi pemuda itu berkerut, coba mengingat-ingat siapa gadis di depannya. Hanya samar-samar yang terlintas di otaknya. Dan Ki Demong agaknya telah lebih dulu menebak.
"Kipas Maut! Syukurlah kau di sini. Sesuatu telah terjadi menimpa Rangga...." Belum lagi habis kata-kata Ki Demong....
"Kau..., kau yang coba membunuhku! Kubunuh kau lebih dulu...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti.
DELAPAN
Gadis yang baru muncul memang Pandan Wangi yang berjuluk si Kipas Maut. Yang sekaligus kekasih si Pendekar Rajawali Sakti. Namun sikapnya sungguh aneh. Dia seperti tak mengenali mereka. Bahkan seolah mencari permusuhan. Maka ketika Rangga lompat menerkam, tanpa canggung lagi kipas mautnya dikebutkan.
Bet! Bet!
Tapi si Pendekar Rajawali Sakti pun tak bodoh. Tubuhnya berputar. Dan tiba-tiba, satu tendangan menyapu ke perut. Pandan Wangi lompat ke belakang, sementara Rangga mengejar.
"Heaaa...!"
Wuuttt...!
Gadis itu mengibas kipas bersilang. Namun secepat ikan melenting di darat, Pendekar Rajawali Sakti mencelat. Tahu-tahu sebelah kakinya menghantam ke wajah.
"Uts!" Pandan Wangi coba memiringkan kepala dengan sedikit membungkuk, sehingga tendangan Rangga luput. Namun begitu mendarat Rangga menyusuli serangannya dengan tendangan ke belakang.
Deeesss....!
"Aaakh!" Pandan Wangi mengeluh tertahan ketika punggungnya terhajar. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan.
Rangga terkekeh sambil berkacak pinggang. "He he he...! Orang sepertimu hendak mengalahkanku?!" ejek Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh!" Pandan Wangi cepat berbalik. Raut wajahnya saat ini tak sedap dipandang.
"Heaaa...!" Sambil membentak keras, Pandan Wangi berkelebat dengan kibasan kipasnya.
Bet! Bet!
Serangan kipas Pandan Wangi menjadi lebih ganas. Menebas ke leher, berputar-putar ke bawah seperti ular meliuk-liuk. Namun Pendekar Rajawali Sakti bergerak-gerak lincah. Beberapa kali dia bergulingan, lalu berputar menyambar kaki. Si Kipas Maut terkejut, lalu mencelat ke atas. Begitu meluruk dia menyerang dari atas.
"Hiih!" Rangga tak kalah sigap. Tangannya mengibas-ngibaskan ke atas sehingga mengagetkan si Kipas Maut. Pandan Wangi buru-buru menghindar dengan melenting ke belakang. Namun begitu mendarat, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengejar disertai tendangan menggeledek.
Desss...! Dess...!
"Aaakh...!" Pandan Wangi menjerit kesakitan ketika dua tendangan Rangga menggebuk dada dan perutnya. Kali ini, Pendekar Rajawali Sakti tak memberi kesempatan. Begitu lawan belum bangkit, tubuhnya telah mencelat dan terus menyerang.
"Hiih!"
"Uhh...!" Pandan Wangi bergulingan menghadapi tendangan Rangga yang beruntun. Sesekali kipasnya dikibaskan, membuat Rangga harus menghindar.
"Hup!" Ketika ada kesempatan, Pandan Wangi buru-buru melompat ke belakang mengambil jarak. Namun itu hanya siasat Rangga, karena berikutnya tu-buhnya berkelebat cepat. Baru saja Pandan Wangi memasang kuda-kuda, pukulan Pendekar Rajawali Sakti telah bersarang di dadanya dua kali berturut-turut.
Dessss...! Dessss...!
"Aaakh...!" Pandan Wangi terjajar ke belakang. Dari mulutnya mengucur darah segar. Wajahnya meringis menahan nyeri di dada. Tapi belum lagi terhempas ke tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah menyerang lagi.
"Yeaaa...!"
"Sobat, tahan..;!" bentak Ki Demong seraya berkelebat menangkis tendangan Pendekar Rajawali Sakti.
Plaaakk...!
"Jangan ikut campur! Dia menghinaku. Orang itu mesti mati!" bentak Rangga, karena niatnya terpenggal.
"Sabar dulu, Sobat! Sabar...! Kau tahu siapa dia?" ujar Ki Demong, membujuk.
"Dia orang yang mesti mampus!" dengus Rangga dengan wajah geram.
"Sobat, dia adalah kekasihmu. Dia tak mungkin menyerang kalau tidak dalam pengaruh seseorang"
"Kekasihku? Pengaruh seseorang...?" Rangga tertegun memandangi Pandan Wangi yang masih tergeletak megap-megap. Beberapa kali gadis ini muntahkan darah segar.
"Kau tak boleh membunuhnya, karena dia kekasihmu!" ingat Ki Demong. "Bukan dia musuhmu. Tapi, seseorang yang begitu kejam telah mempengaruhinya. Dia menyuruh kalian saling berkelahi satu sama lain."
"Siapa?" tanya Rangga.
"Aku tak tahu. Kau yang tahu sergah Ki Demong.
"Aku?"
"Ya, coba ingat-ingat! Siapa yang inginkan kematianmu!"
"Aku..., aku...." Wajah Pendekar Rajawali Sakti kelihatan bingung. Keningnya berkerut memikirkan sesuatu.
"Ayo, coba ingat-ingat!" desak Ki Demong.
"Aku..., aku. Aku tak ingat! Aku tak ingat apa-apa! Jangan paksa aku! Atau, kubunuh kau!" teriak pemuda itu garang.
Kemudian tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti mencengkeram leher baju Ki Demong, Sebelum orang tua itu menyadari, tubuhnya telah terhempas beberapa langkah ke belakang. Namun dengan ringan dia cepat mengatur keseimbangan, sehingga menjejakkan kaki dengan mulus. Sementara Rangga berteriak-teriak sambil berlari ke satu arah.
"Sobat, tunggu...!" teriak Ki Demong.
Pemabuk Dari Gunung Kidul menghehtikan kejarannya ketika seorang gadis bercadar dan berbaju serba kuning menghadang langkah Pendekar Rajawali Sakti dengan satu pukulan jarak jauh.
Desss...!
"Aaah!" Pendekar Rajawali Sakti menjerit kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Tapi, itu membuat amarahnya semakin menggelegak. Dan tanpa berpikir panjang tubuhnya langsung meluruk, balas menyerang.
"Heaaa...!" Gadis yang tak lain Gandasari mundur selangkah, terus menangkis serangan Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum dingin.
Plak! Plak!
"Hi hi hi...! Entah apa yang terjadi padamu. Tapi, mestinya kau tidak jadi seperti ini. Bagaimana sakit di jantung dan di kepalamu?"
Pendekar Rajawali Sakti menjawab lewat tendangan kaki ke muka. Gadis itu kembali mundur, mendadak tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar sambil melayangkan tendangan selanjutnya. Gandasari menepis dengan tangan kiri. Tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik kakinya. Dan tahu-tahu kaki yang satu lagi telah menyodok perut.
Dessss...!
"Uhh...!" Gandasari terhuyung-huyung ke belakang, namun masih sempat tersenyum. "Hi hi hi...! Kau marah padaku, Sayang? Kau tentu ingat denganku, bukan? Kekasihmu tercinta..., Gandasari!"
Wajah Pendekar Rajawali Sakti menggeram. Dalam benaknya, ucapan gadis itu sangat bertentangan. Ketika Gandasari mengatakan tentang jantung dan kepala yang sakit, entah kenapa Rangga merasa kalau gadis inilah yang menyebabkan kesengsaraannya. Otaknya seketika menyimpulkan kalau gadis ini hendak membunuhnya. Atau setidak-tidaknya, bermaksud membunuhnya. Maka gadis itu dianggapnya sebagai musuh besar yang mesti dilenyapkan.
"Heaaa...!" Dengan garang Pendekar Rajawali Sakti meluruk menyerang dengan hantaman tangan bertubi-tubi. Pada saat yang sama, Gandasari telah menghentakkan tangannya kedepan. Seketika melesat sinar kuning keemasan mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga, awaaas...!" teriak Ki Demong dengan wajah kaget.
Demikian pula Genduk. Dan yang amat istimewa, Pandan Wangi pun kelihatan khawatir meski tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Hup...!" Rangga melenting ke atas menghindairi. Tanpa disadari, tangannya telah mengalir tenaga dalam tinggi. Begitu serangan Gandasari lewat di bawah kakinya, kedua tangan Rangga menghentak ke depan dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Siuut...! Selarik cahaya merah dari telapak tangan Rangga melesat bagaikan kilat ke arah Gandasari. Gadis itu terkesiap. Dia berusaha menghindar de-ngan melompat ke samping, namun terlambat.
Jdasss... !
"Aaakh...!" Gandasari terpental ke belakang disertai pekik kesakitan, ketika sinar merah itu menghantam dadanya. Gadis itu menyangka, pukulan Pendekar Rajawali Sakti tak akan berpengaruh padanya. Sehingga, dia tetap tenang-tenang di tempat. Barulah ketika pukulan itu menghantam, dia mulai menyadari kehebatannya. Belum sempat Gandasari bangkit, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat seraya mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Sring!
"Huh! Kau kira bisa membunuhku, he?!" Gandasari mendengus geram, dan tahu-tahu....
Plas....! Pedang Rangga hanya menebas angin kosong. Untuk mematahkan luncuran tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti bersalto beberapa kali.
"Hei, ke mana dia?!" seru Ki Demong kaget ketika tiba-tiba saja Gandasari lenyap dari pandangan.
"Menghilang!" desis Genduk. "Ki Demong! Apakah kau pikir gadis tadi seorang manusia biasa?"
"Kenapa kau pikir begitu?" tanya Ki Demong.
"Menghilang seperti itu apakah mungkin?"
"Mungkin mataku sudah lamur."
"Tapi aku tidak, Ki!"
"Itu urusanmu!"
"Hati-hati bicara, Ki! Gini-gini aku putri Raja Pengemis! Kau tahu, kan?!"
"Apa hebatnya Raja Pengemis?" tukas Ki Demong!
"Huh!" cibir Genduk.
Ki Demong terkekeh geli. Mereka kembali menyaksikan pertarungan aneh. Walaupuri lawannya menghilang, tapi Rangga masih terus mencak-mencak sambil menyabetkan pedang ke sana kemari.
"Kasihan. Dia jadi betul-betul sinting...," desah Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Jangan salah, Ki! Siapa tahu dia betul-betul menyerang lawannya!" bela Genduk.
"Apa? Angin, atau kentutmu?!" tukas Ki Demong.
"Dasar kakek jelek! Bau!" rutuk Genduk.
"Kau lebih jelek! Lebih bau, Wueee...!" balas Ki Demong.
Genduk kembali cemberut. Apa yang dikatakan Genduk memang tak salah. Mereka bisa saja tak melihat Gandasari yang sebenarnya adalah siluman. Tapi, pemuda itu melihatnya dengan jelas.
Gandasari tak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti selama di negeri Siluman bertemu peristiwa-peristiwa aneh. Salah satunya, bertemu dengan Ning Setya Larang, yang mampu membuat Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat hal-hal yang gaib. Kini, Gandasari harus pontang-panting menghindari sambaran pedang Rangga.
Keadaannya kini betul-betul terdesak hebat. Dan tak satu pun yang bisa mencegah kemarahan pemuda itu. Bahkan ilmu-ilmu gaib lainnya yang dikeluarkan tidak sedikit pun mempengaruhi Rangga. Pada satu kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menyarangkan tendangan ke dada Gandasari yang hanya bisa bermain mundur.
Dessss...!
"Aaakh...!" Gadis itu memekik kesakitan. Luka di dadanya terkuak lebar. Dan darah pun mengucur deras. Dan belum dia sempat bangkit, Pendekar Rajawali Sakti telah kembali berkelebat dengan tebasan pedangnya.
Bras...! Brues...!
"Aaakh...!" Gandasari bergulingan. Beberapa batu dan semak-semak berterbangan diterabas pedang Pendekar Rajawali Sakti. Wajah gadis itu tampak pucat. Nyalinya pun terbang sejak tadi.
"Rangga! Kau tak boleh membunuhku! Kau tak boleh membunuhku!" teriak Gandasari ketakutan.
"Apa peduliku?! Huh! Kau harus mampus! Hiyaaa...!"
Gandasari tersudut di tempat yang terjaga pohon dan batu besar. Pemuda itu siap menghabisi dengan pedangnya. Namun,...
"Rangga, hentikan...!"
"Eh...!" Pemuda itu tertegun ketika terdengar suara dari belakang. Ayunan pedangnya dihentikan, lalu berbalik. Tampak di depannya berdiri dua gadis cantik.
"Kau tak kenal kami? Aku Sekartaji. Dan ini Kakak Harum Sari."
"Sekartaji...? Harum Sari...?" Pemuda itu mengulang nama-nama yang didengarnya. Sementara itu, Harum Sari segera mendekati Gandasari seolah-olah hendak menolongnya. Namun....
Tuk! Tuk!
"Uhh...!" Gandasari terkulai lemah saat Harum Sari menotoknya. Sedangkan kini Sekartaji perlahan-lahan mendekati Rangga.
"Maaf, ada kotoran di keningmu!" kata Sekartaji tiba-tiba. Telapak tangan kanan gadis itu hendak ditempelkan ke kening Rangga. Tanpa diduga, gadis itu melepas totokan, setelah membelokkan tangannya ke dada.
Tuk! Tuk!
Rangga tersentak, namun tak bisa berbuat apa-apa begitu mendapat dua buah totokan. "Kurang ajar! Apa yang hendak kau lakukan?! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" teriak Rangga, garang.
"Maaf.,.. Aku terpaksa berbuat begini untuk menyembuhkan kegilaanmu...," sahut Sekartaji, kembali menempelkan tangan kanan ke kening, dan tangan kiri ke ubun-ubun.
Tapi Rangga tak peduli. Dia terus saja berteriak-teriak. Dan perlahan-lahan, teriakannya melemah seiring hawa hangat yang mengalir dari keningnya. Sementara hawa dingin terasa mengalir ke telapak tangan kiri Sekartaji. Cukup lama Sekartaji mengobati, sampai Rangga megap-megap seperti kehabisan napas, dan akhirnya terkulai lesu.
Tuk...!
Sekartaji melepaskan totokan. Dan Rangga ambruk seperti tak bertulang.
"Kakak! Kita harus segera pergi, sebelum dia siuman!" ajak Sekartaji.
Sementara itu, Harum Sari telah menggendong tubuh Gandasari yang telah ditotoknya. "Mari...!"
Namun Sekartaji masih tegak berdiri memandangi Rangga yang masih terkulai tak berdaya. Ki Demong, Genduk, dan Pandan Wangi tidak bisa melihat kehadiran kedua gadis bangsa siluman itu. Mereka menggoyang-goyang tubuh Rangga.
"Apa lagi yang kau pikirkan? Sudahlah. Sebentar lagi dia akan siuman. Kau masih memikirkannya terus dan berharap dia mencintaimu? Sadarlah, Sekartaji! Dia telah mempunyai kekasih. Gadis berbaju biru ini. Kau lihat? Dia sudah terbebas dari pengaruh sihir Gandasari. Dan sekarang, meratapi Rangga...," bujuk Harum Sari.
Sekartaji mengangguk.
"Ayo, kita pergi sekarang!"
"Aku tak akan rela pergi sebelum kalian menjelaskan sesuatu!" teriak Gandasari.
"Apa lagi yang perlu dijelaskan? Kakak sudah cukup membuat keonaran di alam mereka. Dan Ibunda mengutus kami untuk membawamu pulang untuk menerima hukuman!"
"Aku tak menyesal meski dihukum! Tapi, apa yang terjadi pada Rangga?"
"Apa yang terjadi? Mestinya kau tahu, Gandasari!" dengus Harum Sari. "Kau telah memukulnya dengan pukulan 'Jagat Kelana'. Pukulan itu sebenarnya tak mempengaruhinya. Namun dia termakan ocehanmu sehingga terpengaruh. Akibatnya pukulan itu bekerja. Namun cuma sebentar karena tubuhnya menolak. Pukulan itu lari ke kepala, mengganggu syaraf-syaraf otaknya. Dan Sekartaji telah memperbaiki syaraf-syaraf..."
(Untuk mengetahui Sekartaji, Harum Sari, dan Gandasari baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Titah Sang Ratu dan Asmara Gila di Lokananta)
"Kenapa dia tak terpengaruh? Mestinya dia akan terus lemah dan tak bertenaga, karena kekuatannya digerogoti pukulanku itu. Dan..., mengapa ilmu-ilmu gaibku tak mempan padanya?"
"Rangga telah bertemu Ning Setya Larang di sumur tua yang ada di Lokananta. Dia mampu membinasakan siluman sakti sekalipun. Hanya saja saat ini belum diketahuinya," jelas Sekartaji.
"Dia bertemu dengan Ning Setya Larang? Astaga!" wajah Gandasari terkejut. "Pantas saja! Tapi kenapa sebelumnya dia terpengaruh oleh ilmu gaibku?"
"Hanya sementara saja. Dan itu justru menjadi senjata makan tuan buatmu. Karena pikirannya tertuju pada satu titik, yaitu membunuhmu," jawab Harum Sari.
"Jangan banyak tanya lagi!" Sekartaji memberi isyarat. Dan mereka segera berlari kencang meninggalkan tempat itu.
Tak berapa lama sepeninggal mereka, Rangga siuman. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit di kepala. Tapi perlahan-lahan pikirannya mulai jernih, langsung mengenali tiga orang yang ada di dekatnya.
"Ki Demong..., Genduk, dan.... Pandan Wangi?!" Rangga tertegun, memandangi gadis itu sejurus lamanya. Ada darah menetes di sudut bibir merah Pandan Wangi. Gadis itu agaknya terluka dalam.
"Pandan, oh! Apa yang terjadi pada dirimu?!" seru Rangga seraya menghampiri dan memeluknya erat-erat.
"Kakang Rangga...! Aku pun tak mengerti, mengapa tahu-tahu telah berada di sini.... Yang kuingat, waktu itu aku mencarimu, dan bertemu gadis berbaju kuning. Aku bertarung dan kalah. Lalu, tak ingat apa-apa lagi...," jelas Pandan Wangi.
"Huuh, dasar bocah sinting! Tadi kalian saling berkelahi, dan mau bunuh-bunuhan. Sekarang enak-enakan peluk-pelukan di depan orang tua. Dasar tak punya malu!" umpat Ki Demong seraya ngeloyor pergi mengikuti jejak Genduk yang telah lebih dulu melangkah.
Kedua insan itu asyik sekali tenggelam dalam kerinduan masing-masing, sampai tak menghiraukan kedua kawan mereka yang telah jauh meninggalkan tempat itu.
"Eh, kemana mereka?" tanya Pandan Wangi, ketika melepaskan pelukan.
"Mungkin pergi.... Pandan, kau terluka. Biar kuobati!" kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak usah repot-repot dulu, Kakang. Keadaanmu masih belum sehat betul," tolak Pandan Wangi, halus.
"Aku punya usul. Mungkin kau setuju," cetus Rangga.
"Hm.... apa?" tanya Pandan Wangi.
"Kita ke Karang Setra untuk istirahat!"
"Aku senang sekali mendengarnya, Kakang!"
"Kita berangkat sekarang. Eh, ke mana tiga gadis itu?!" sentak Rangga.
"Gadis yang mana, Kakang? Aku tidak melihatnya?" tanya Pandan Wangi heran.
"Gadis-gadis itu...." Rangga tertegun sebentar, tapi buru-buru menepiskan tangan. "Ah, sudahlah! Buat apa dipikirkan?" kata Rangga.
Sementara itu, angin senja pun membelai-belai tubuh mereka. Sekaligus, menenteramkan hati masing-masing dalam jiwa yang bersatu. Sepasang insan berjalan berangkulan, penuh kerinduan mendalam...
S E L E S A I
EPISODE BERIKUTNYA: ANCAMAN DARI UTARA