SETAN ALAM KUBUR
SATU
PEMUDA itu terus berlari sambil tersaruk-saruk. Dari sekujur tubuhnya menetes darah. Luka-luka bekas bacokan senjata tajam terlihat jelas dari balik bajunya yang robek di sana-sini. Sesekali terlihat dia menoleh ke belakang seperti ingin memastikan bahwa jarak mereka terpaut jauh. Walaupun terlihat tak seorang pun yang mengejar di belakangnya, namun dari teriakan-teriakan mengancam yang sempat mengiang di telinganya, membuat langkahnya seperti tak mau berhenti.
"Oh, Jagad Dewa Batara... selamatkanlah diriku dari kejaran mereka..." keluhnya diantara nafasnya yang tersengal.
Tak terasa langkah pemuda itu mendaki sebuah bebukitan di pinggir sebuah hutan yang gersang. Namun menuju lebih jauh ke dalam, pepohonan semakin lebat dan cahaya matahari senja itu seperti tak mampu menerobos ke dalam. Suasana mulai terasa suram dan gelap mewarnai isi hutan. Menuju ke sebuah lembah, pemuda itu semakin tak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Padahal tempat itu terlihat seram dan seperti tak dihuni manusia.
"Aduh!"
"Bruk!"
Sebuah batu kerikil menyandung kaki membuat tubuhnya terhempas di atas sebuah gundukan tanah. Nafasnya terengah, dan tak terlihat dia berusaha bangkit. Pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu seperti hendak melepaskan lelah dalam keadaan tengkurap. Darah yang mengucur dari luka di tubuhnya masih menetes dan membasahi gundukan tanah yang kering, langsung merembes ke dalam seperti terhisap.
"Oooh... tempat apakah ini? He...?!" Pemuda itu baru menyadari adanya sebatang tonggak kayu di ujung gundukan tanah yang ditidurinya. "Sebuah nisan? Jadi... jadi...."
Keheranannya segera berlanjut dengan keanehan yang mulai dirasakan. Pelan-pelan gundukan tanah yang ditidurinya bergerak ke atas dan terbelah. Bukan main kagetnya pemuda itu. Buru-buru dia bangkit dengan mulut terganga dan sepasang matanya terbelalak. Gundukan tanah yang tak lain dari sebuah makam itu betul-betul terbongkar. Sebuah tangan menyembul. Wajah pemuda itu semakin tegang. Jantungnya berdetak lebih kencang dengan bulu kuduk semakin tegak berdiri.
"Bruak!"
"Astaga...!"
"Ha ha ha ha...! Bebas... kini bebaslah aku dari segala kematian yang telah membelenggu selama berabad-abad lamanya! Kini tak seorang pun boleh membuat aku kembali mati! Tak seorang pun kubiarkan membuatku mati...! ha ha ha ha...!"
Suara tawa itu menggelegar dan memekakan telinga dari sesosok tubuh yang tiba-tiba melompat dari dalam makam itu. Wajahnya hitam dan dekil, serta tubuhnya kurus bagai kulit pembalut tulang saja. Sepasang matanya tampak cekung dengan sorot yang menakutkan. Hidungnya nyaris rata dengan wajah meninggalkan dua buah lubang. Kepalanya gundul dengan rambut yang menjuntai beberapa helai. Sementara tubuhnya dibungkus oleh baju longgar yang telah tercabik-cabik di sana-sini. Dari kesepuluh jari tangan dan kakinya terlihat kuku-kuku yang runcing dan tajam.
Setelah selesai tertawa sepuas hatinya, dia mengeram buas sambil berpaling pada sesosok tubuh yang tergeletak diam tak bergerak di dekatnya. Di periksanya tubuh itu, kemudian setelah yakin bahwa orang tersebut tak bernyawa, diangkatnya kemudian dia jebloskannya ke dalam liang kubur tempatnya tadi berada.
"Terima kasih, Kisanak. Kau telah menolongku dengan menyumbangkan darah bagi kehidupanku, kalau tidak karenamu, tentu aku belum bangkit saat ini...."
Ditimbunnya kembali lubang itu hingga menjadi gundukan, kemudian sebelum berlalu dari tempat itu, sempat dia mengeram dengan suara nyaring.
"Ha ha ha ha...! Kulihat tubuhmu penuh luka, dan darahmu terlalu banyak tumpah. Kurasakan pula peluh dari hela nafasmu yang memburu. Kau seperti sedang dikejar sesuatu yang menakutkan. Aku tak biasa berbuat kebaikan untuk orang lain. Tapi karena kau telah menolongku, biarlah kubantu kau membalaskan sakit hatimu pada mereka yang telah menyakitimu."
Setelah berkata begitu, orang tersebut langsung melesat meninggalkan tempat itu dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Apa yang terjadi sebenarnya dengan pemuda itu?
Pada saat tubuhnya tiba di tempat ini, kekuatannya telah lemah karena darah yang mengucur di tubuhnya terlalu banyak keluar akibat luka yang di deritanya. Kemudian ketika menyaksikan pemandangan yang mengerikan di depan matanya, tak ayal lagi. Keterkejutan bercampur dengan rasa takut yang hebat bukan saja membuat dia tak sadarkan diri, tapi lebih jauh dari itu membuat jantungnya berhenti berdenyut yang berakibat nyawanya terhenti seketika.
Lebih dari lima belas orang yang mengenakan ikat kepala bergambar tengkorak tampak menghentikan langkah. Seseorang yang bertubuh besar memegang sebuah golok besar di tangan. Wajahnya tampak beringas dan sadis.
"Setan! Kemana dia melarikan diri?!" umpatnya sambil duduk di sebuah batu.
"Di telan setan penghuni hutan itu barangkali!" tunjuk salah seorang yang berada di dekatnya sambil mendengus geram.
"Bagaimana sekarang, Jolo Kerot? Apakah akan kita cari dia sampai ketemu?" tanya salah seorang yang bertubuh kurus pada temannya yang bertubuh besar itu.
Jolo Kerot membuang ludah sambil menyarungkan goloknya di punggung. Sepasang matanya tajam menatap ke dalam hutan di dekat mereka, sebelum menjawab.
"Puih! Sebelum keparat itu ditemukan, jangan harap kita bisa pulang dengan selamat. Percuma saja. Jala Tunda pasti tak akan mengampuni jiwa kita."
"Tapi kemana lagi harus kita cari?"
"Kita akan masuk ke dalam!"
"Apa?!"
Beberapa orang yang mendengar kata-kata Jolo Kerot terbelalak kaget. Wajah mereka tampak pucat, dan rona kekhawatiran mulai membayang.
"Kenapa? Kalian takut?!" suara Jolo Kerot tampak marah.
"Bukan begitu. Tapi Hutan Alas Dandaka terkenal seram dan menakutkan. Tak pernah seorang pun yang keluar selamat dari tempat itu," sahut salah seorang yang bernama Pari Kelor.
"Pari Kelor, kau laki-laki dan juga anggota Tengkorak Merah. Tahu akibatnya kalau Jala Tunda mengetahui kita tak membawa pulang si penghianat itu hidup atau mati?!"
Pari Kelor bergidik ngeri. Jala Tunda adalah Ketua Perguruan Tengkorak Merah yang terkenal kejam. Sekali dia memberi perintah, maka hal itu harus di kerjakan sampai tuntas. Sedikit saja gagal, hukuman yang berat akan menimpa mereka. Bahkan tak jarang Jala Tunda memenggal kepala anak buahnya sendiri. Tak heran bila mereka begitu khawatir saat Jolo Kerot mengingalkan hal itu.
"Mari kita berangkat sekarang!" ajak Jolo Kerot sambil bangkit berdiri.
Teman-temannya segera mengikuti dari belakang dengan langkah lesu. Baru berjalan beberapa langkah, sekonyong-konyong melesat sesosok bayangan di depan mereka. Serentak semuanya terkejut dan langsung mencabut goloknya masing-masing.
"Ha ha ha ha ...! Cecurut-cecurut busuk berkeliaran tak tentu rimba. Apa yang kalian cari disini?!"
"Siapa kau?!" bentak Jolo Kerot.
Di depan mereka telah berdiri sesosok tubuh yang amat mengerikan seperti mayat hidup. Tubuhnya kurus kering berwarna hitam legam. Kepalanya botak dengan beberapa helai rambut. Sepasang matanya tampak cekung dengan hidung rata meninggalkan dua buah lubang. Bibirnya seperti tak terlihat seperti kulit yang robek saja. Pakaiannya compang-camping tak berbentuk.
"Tikus buduk. Ditanya malah balik bertanya!" bentak sesosok tubuh itu marah.
"Kurang ajar!" Jolo Kerot langsung mencabut goloknya dengan wajah berang.
"Ha ha ha ha...! Kau mencabut senjatamu untuk apa? Mau membunuhku? bagus... bagus! Ayo, bacoklah aku sepuas hatimu sebelum kalian kukirim ke akherat!" sahut sesosok tubuh itu sambil terbahak-bahak menganggap enteng.
"Bedebah!" Salah seorang dari anggota Perguruan Tengkorak Merah langsung menyerang dengan wajah geram.
"Ha ha ha ha...! Satu orang ingin mampus di tangan Setan Alam Kubur, kenapa tidak semuanya saja?"
"Tap!" "Trak!" "Jross!" "Aaaa...!"
Orang yang menamakan dirinya sebagai Setan Alam Kubur itu tenang-tenang saja begitu melihat dirinya diserang dengan golok terhunus. Tanpa berkelit, dua jari tangan kanannya menangkap mata golok lawan dan dengan mudah dipatahkannya. Sementara bersamaan dengan itu dua jari tangan kirinya bergerak cepat menyambar dahi lawan. Tak ampun lagi. Kedua jarinya yang memiliki kuku-kuku yang tajam dan runcing menembus dahi lawan. Orang itu terpekik kesakitan. Setan Alam Kubur langsung mengayunkan kaki menendang dadanya.
"Hei?!" Jolo Kerot terkejut. Begitu juga dengan teman-temannya yang lain ketika mengetahui tubuh teman-temannya telah tak bernyawa begitu menyentuh tanah.
"Siapa kau sebenarnya dan kenapa begitu kejam turun tangan pada teman kami?!" tanya Jolo Kerot garang.
"Siapa kalian dan cari apa di sini?" bentak Setan Alam Kubur. Tak kalah garang.
"Setan...!" Pari Kelor sudah mulai panas dan mencabut golok untuk menyerang. Tapi Jolo Kerot mencegahnya. Meski hatinya pun geram bukan main tapi sebagai pimpinan rombongan ini dia harus mampu menahan sabar. Dua kali Setan Alam Kubur itu ditanya, tapi saat itu juga dia malah balik bertanya. Melihat cara dia membuat tewas salah seorang teman mereka, pastilah dia memiliki ilmu olah kanuragan yang tak bisa dibuat sembarangan.
"Kami dari Perguruan Tengkorak Merah, dan aku Jolo Kerot yang memimpin rombongan ini. Kehadiran kami ke sini adalah untuk mencari salah seorang murid Tengkorak Merah yang telah berkhianat. Ki Jala Tunda, guru besar kami memerintahkan untuk menghukum mati orang itu dan membawa pulang mayatnya sebagai bukti," sahut Jolo Kerot menjelaskan.
"Pemuda yang seluruh tubuhnya penuh luka?" selidik Setan Alam Kubur dengan suara khasnya yang parau.
"Heh? Apakah kau mengetahui di mana dia?" lanya Jolo kerol bersemangat.
"Ha ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba. Ini dia rupanya manusia-manusia yang mesti kubuat mampus!" Setan Alam Kubur tertawa terbahak-bahak dengan suara yang memekakan telinga.
Jolo Kerot tersentak kaget. Dia telah berusaha untuk bersikap manis. Tapi yang mereka terima justru kata-kata yang mengancam dan menganggap remeh. Maka karena pada dasarnya dia memang pemarah, Jolo Kerot langsung membentak garang.
"Manusia bangkai tak tahu diri. Di perlakukan baik kau malah mengancam, kau pikir kami takut denganmu!" Satu hal yang membuat mereka tadi terkejut dengan kehadiran Setan Alam Kubur adalah bau busuk yang menyertai tubuhnya. Hal itu baru terasa setelah orang-orang itu hilang dari keterkejutannya menyaksikan wajah yang menyeramkan dan tawa yang membuat jantung berdetak lebih kencang.
"Heh! Mata Setan Alam Kubur melotot garang.
"Setan!" maki Jolo Kerot. "Seraaang...!" Pari Kelor langsung memberi aba-aba. "Yeaaah...!"
"Ha ha ha ha...! Ketahuilah, orang yang kalian cari itu telah mampus. Tapi kematiannya justru menolongku hadir di muka bumi ini kembali. Paling tidak dia telah menanam budi dan aku ingin membalasnya dengan membalaskan sakit hatinya pada kalian!" sahut Setan Alam Kubur sambil bergerak cepat menghindari serangan lawan. Tubuhnya mengapung seperti sehelai bulu tertiup angin, kemudian melesat cepat bagai anak panah menyambar sasaran.
"Prak!" "Crass!" "Aaaa...!"
"Ha ha ha ha...! Mampuslah kalian... mampus! Setan Alam Kubur kembali berpesta dengan setiap cucuran darah yang mengalir di tubuhmu!"
Apa yang dilakukan Setan Alam Kubur terhadap murid-murid Perguruan Tengkorak Merah sangat mengagumkan, sekaligus mengerikan. Kesepuluh jari-jari tangan dan ditambah dengan jari-jari kakinya menyambar-nyambar leher, dahi, dan jantung lawan. Dalam sekejap saja pekik kematian memecahkan tepi hutan yang tadi sepi. Darah mulai membanjir dan sepuluh orang tewas dengan tubuh mengerikan seperti tercabik-cabik kawanan serigala.
"Keparat!" Jolo Kerot memaki saat dua orang temannya kembali tewas, dan Setan Alam Kubur masih saja tertawa-tawa.
"Jangan memaki kau, Tikus buduk! Sini makan bagianmu!" bentak Setan Alam Kubur sambil menyambar tubuh Jolo Kerot.
"Trak!" "Cras!"
"Aaaa...!" Jolo Kerot memekik nyaring. Seperti tak percaya bahwa lawan mampu bergerak secepat itu. Begitu goloknya melesat, Setan Alam Kubur hanya menjentikkan kukunya yang panjang. Golok di tangannya bergetar membuatnya tersentak kaget. Saat itu pula kuku-kuku jari tangan kiri lawan menyambar tenggorokannya. Jolo Kerot cuma mampu menjerit tertahan. Kepalanya terkulai ketika lehernya robek lebar. Tubuhnya menggelepar-gelepar di tanah seperti ayam di sembelih sebelum akhirnya diam tak bergerak seiring dengan nafasnya yang terhenti untuk selama-lamanya.
"Ha ha ha ha...!" Setan Alam Kubur tertawa lebar.
"Keparat! Kita serang dia bersama-sama!" maki Pari Kelor sambil mengajak kedua temannya yang masih tersisa.
Dua orang menyerang, tapi temannya yang seorang lagi agaknya mulai ciut nyalinya. Tanpa memperdulikan temannya, dia melarikan diri. Pari Kelor cuma bisa menyumpah-nyumpah.
"Ha ha ha ha...! Tak apa dia kabur, tapi kalian berdua jangan harap bisa lepas dari cengkeramanku. Yeaaa...!" Tubuh Setan Alam Kubur melesat cepat bagai anak panah sambil menyebarkan bau busuk. Pari Kelor dan temannya bersiap sambil mengayunkan golok.
"Bret! Bret!" "Aaaa...!"
Dengan lincah tubuh Setan Alam Kubur menghindari sabetan golok lawan. Tubuhnya menggelinjang dan cakar tangannya merobek perut Pari Kelor, sedang cakar kakinya merobek leher lawan yang satu lagi. Keduanya terpekik kesakitan sambil terhuyung-huyung dan kemudian ambruk ke tanah. Setelah menggelepar-gelepar sesaat, keduanya meregang nyawa. Tapi saat itu pula tubuh Setan Alam Kubur telah hilang sambil meninggalkan tawa menyeramkan dan bau busuk yang menyengat.
"Ha ha ha ha...!"
********************
DUA
Di pesisir Pantai Utara ini nama Perguruan Tengkorak Merah amat dikenal. Murid-muridnya banyak dan rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan yang dapat diandalkan. Namun sayang, di antara mereka banyak yang menyimpang dari jalan kebenaran. Banyak di antara mereka yang bekerja pada tuan tanah-tuan tanah yang sering memeras rakyat. Juga tak jarang yang melakukan perbuatan-perbuatan tak terpuji seperti merampok dan memperkosa anak isteri orang.
Jala Tunda yang merupakan Ketua dari Perguruan itu seperti mendiamkan saja perbuatan-perbuatan muridnya itu. Bila saja banyak tokoh yang menudingnya, dia langsung bisa mengelak karena kebanyakan murid-muridnya yang berbuat kejahatan tak pernah membawa-bawa nama Perguruan. Satu-satunya yang menandakan bahwa mereka adalah murid-murid Perguruan Tengkorak merah adalah gagang golok mereka yang berbentuk tengkorak.
Pagi yang cerah di Desa Kedung halang, dipecahkan oleh segerombolan orang-orang bersenjata yang turun ke sawah ketika para petani bermaksud memanen padi mereka. Para petani mulai gelisah mengetahui kehadiran mereka, bahkan banyak di antara mereka yang mencoba pulang kembali ke rumahnya masing-masing.
"Eit, mau kemana kalian? Ayo, kembali bekerja dan potong padi-padi itu!" bentak salah seorang sambil mengacungkan golok.
"Belum menguning betul, Juragan. Mungkin dua atau tiga hari lagi, kalau dipotong sekarang hasilnya tak akan menguntungkan...." jawab salah seorang petani di antara beberapa orang yang berusaha kembali pulang.
"Jangan banyak bicara! kau pikir mataku buta?! Padi-padi itu telah siap dipanen dan hari ini langsung harus kalian antar pada Juragan Jala Tunda!"
"Tapi, Juragan...."
"Plak!"
Orang bersenjata golok dengan hulu berbentuk tengkorak itu langsung menampar muka si petani hingga berdarah. Si petani mengeluh kesakitan. Ujung bibirnya terlihat pecah ketika dirabanya. Beberapa orang temannya terkejut dan menunjukkan wajah tak senang.
"Apa?! Kalian mau melawan? Ayo kemari kalau mau kuhajar!" bentak orang bergolok itu garang.
Tak seorang pun yang berani bersuara. Petani-petani itu menyadari tak ada gunanya mereka melawan. Orang-orang ini kejam tak kenal perikemanusiaan, maka dengan langkah pelan mereka kembali bubar menuju sawah.
Orang itu menyarungkan goloknya sambil mendengus pelan. "Dasar kerbau-kerbau dungu, mau bertingkah lagi. Huh...!"
Petani itu sebenarnya masih untung hanya mendapat tamparan, karena pada saat yang hampir bersamaan, salah seorang temannya terlihat dihajar habis-habisan oleh salah seorang yang bergolok dengan hulu tengkorak juga. Tubuhnya jatuh bangun berkubang dalam, lumpur.
"Ayo bangun! Sini kau biar kuberi pelajaran lagi. Berani-beraninya kau berkata begitu. Ingat! Kalian telah berhutang budi pada Juragan Jala Tunda. Sudah sepatutnya kalian menjual semua hasil padi ini dengan harga murah."
"Tapi, Den... Juragan Jala Tunda membayar dengan harga yang amat murah sekali. Kami hanya ingin...."
"Duk!"
"Akh...!" Seorang petani yang ingin bicara langsung terkena tendangan orang itu. Tubuhnya terjerembab dalam lumpur sambil mengeluh kesakitan.
"Siapa lagi yang mau membantah ketentuan yang telah di tetapkan Juragan Jala Tunda?!" bentak orang bergolok itu sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Wajahnya mendengus sinis sambil bertolak pinggang dengan pongah.
Tak seorang pun di antara petani-petani itu yang berani buka mulut. Nyali mereka ciut melihat beberapa orang temannya di hajar orang-orang bergolok itu.
"Nah, kalau begitu kembali bekerja sekarang! jangan sampai golokku menebas batang leher kalian!" bentaknya lagi.
"Den... kami petani kecil yang hidup serba kekurangan. Betul Juragan Jala Tunda telah membantu banyak, tapi sangat tak seimbang bila kami mendapat sedikit sekali dari hasil kerja keras selama berbulan-bulan..." sahut satu suara dengan nada memelas.
"Heh?!" Sepasang alis orang itu naik tinggi ketika dia menoleh pada seorang pemuda kurus yang baru saja buka suara. "Hm, besar juga nyalimu bicara begitu..." dengusnya sambil mendekati pemuda kurus yang sedang memegang arit di tangannya.
"Maaf, Den... saya tak bermaksud bicara kasar. Tapi mohon kemurahan hati Juragan Jala Tunda untuk membeli hasil padi kami dengan harga yang pantas...."
"Pantas Bapak Moyangmu...!"
"Uts!" Petani bertubuh kurus itu rupanya memiliki sedikit ilmu kepandaian olah kanuragan, karena begitu mendekat, orang bergolok itu langsung mengirim satu sodokan ke dadanya, tapi dengan mudah dielakkan.
"Pantas kau berani buka mulut besar. Berisi juga kau rupanya..." ejek orang bergolok itu yang tak lain dari murid Perguruan Tengkorak Merah.
"Maaf, Den. Saya tetap seorang petani, tapi berhak pula membela diri kalau Aden hendak berbuat kasar..." sahut petani muda itu merendah.
"Kendil Lapis, sudahlah. Jangan membuat keruh keadaan..." ucap salah seorang petani berusia tua mengingatkan.
"Tidak apa, Pak. Mata mereka harus dibuka agar tak seenaknya menurunkan tangan kasar pada kita...."
"Tapi kau akan celaka sendiri."
Pemuda itu tak menyahut. Dia telah bergerak cepat menghindar dari serangan orang bergolok itu yang dengan bernafsu menyerangnya kembali sambil mencabut golok.
"Mampus kau!"
"Uts!" "Plak!" "Des!"
"Akhhh...!" Orang bergolok itu menjerit keras. Golok di tangannya terlepas ditangkis pemuda kurus itudan satu depakan keras bersarang di perut membuat tubuhnya yang gendut mulai limbung dan terjerembab di kubangan lumpur sawah.
Beberapa orang petani tak kuat menahan geli, ada yang tertawa tertahan. Karena orang itu jatuh bukan hanya mengotori tubuhnya saja, tapi dalam keadaan muka terbenam di lumpur. Sehingga ketika dia bangkit jadi kelihatan lucu bagi para petani itu.
"Diam! Berani kau berbuat begitu. Mampuslah bagianmu, bocah keparat!" bentak salah seorang yang merupakan teman orang-orang bergolok itu.
Si pemuda itu bersiap ketika salah seorang mendekatinya dengan wajah garang. Tubuhnya besar dengan kumis tebal. Pada bagian dadanya terbuka hingga terlihat bulu dadanya yang rimbun dan lebat. Di pergelangan tangan kanannya melingkar sebuah gelang bahar yang berukuran besar. Sepasang matanya tampak merah dan menakutkan ketika dia memandang pemuda petani itu.
Para petani yang lain mulai khawatir ketika orang itu mendekati si pemuda, sebab siapapun kenal siapa orang itu sebenarnya. Dia tak lain dari Wiryo Keduro, salah seorang anak buah Jala Tunda yang kejam dan berilmu tinggi. Orang itu tak segan-segan mencabut nyawa siapa saja yang tak disukainya. Dan kebetulan dalam rombongan Tengkorak Merah yang berjumlah lebih dari sepuluh orang ini, dia menjadi pimpinan. Melihat salah seorang anak buahnya dipecundangi begitu, sudah cukup membuatnya tersinggung dan marah.
"Siapa kau? Agaknya kau orang baru di sini?!" bentak Wiryo Keduro sambil menyipitkan mata dengan wajah sinis.
"Namaku Kendil Lapis. Betul aku memang orang baru di sini, tapi tak berarti bisa berdiam diri melihat kekasaran kalian yang tak berperikemanusiaan," sahut Kendil Lapis tenang.
"Hm, pantas! Tapi bocah, kau keterlaluan, berani mencampuri urusan Juragan Jala Tunda. Bahkan mempermainkan salah seorang anak buahku. Kau tak punya kesempatan lain untuk memperbaiki kesalahanmu karena siapa pun yang berani berbuat begitu harus mampus!" Kata-kata Wiryo Keduro enteng saja. Tapi begitu selesai berbicara, tubuhnya langsung bergerak mengayunkan telapak tangan ke kepala Kendil Lapis.
"Yeaaa...!" "Uts!" "Plak!"
Wiryo Keduro menyadari bahwa lawan memiliki kepandaian yang cukup lumayan. Itulah sebabnya dia tak mau gegabah menyerang dengan sembarangan. Gerak tipunya berhasil dihindari pemuda itu dengan baik, bahkan ketika menangkis tadi terasa bahwa pemuda bertubuh kurus itu memiliki tenaga dalam yang dapat diandalkan.
Kendil Lapis sendiri sebenarnya memang terlalu gegabah bertindak tanpa memikirkan akibatnya. Dia belum mengetahui banyak tentang orang-orang Perguruan Tengkorak Merah selain dari cerita-cerita para petani saja. Lalu ketika berhasil menjatuhkan seorang dari mereka, keyakinannya semakin bertambah. Dengan kemampuan yang di milikinya saat ini tentu tak sukar untuk menghadapi yang lain. Begitu dia berpikir.
Tapi yang terjadi saat ini sungguh mengejutkan. Serangan yang dilakukan Wiryo Keduro berat dan ganas. Bahkan dalam beberapa kali benturan tangan terasa bahwa tenaga dalam lawan berada di atasnya, masih untung dia memiliki ilmu peringan tubuh yang dapat diandalkan, kalau tidak tentu sejak awal tubuhnya babak belur di hajar lawan. Bahkan tak mustahil akan merenggut nyawanya!
"Bagus! kau bisa bertahan dari dua jurus seranganku pertanda bahwa kau memiliki kepandaian yang bisa diandalkan. Cukuplah sudah karena kini saat kematianmu telah tiba. Yeaaa...!"
Selesai berkata begitu Wiryo Keduro langsung merubah serangan. Kendil Lapis sendiri bukannya tak merasakan hal itu. Tubuhnya pontang-panting menghindari serangan lawan yang bertenaga kuat itu. Bahkan dalam satu kesempatan, arit yang sejak tadi diselipkannya di pinggang terpaksa digunakan untuk melindungi selembar nyawanya. Tapi hal itu sudah membuat geram Wiryo Keduro. Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung mencabut golok dan menghajar senjata di tangan pemuda kurus itu.
"Trak!" "Breeet!" "Des!"
"Aaaakh...!" Seperti selembar daun kering tertiup angin, tubuh Kendil Lapis terhempas jauh terkena tendangan lawan sambil mengeluarkan jeritan kesakitan. Ketika senjata mereka beradu, golok lawan berhasil membuat arit di tangannya patah. Kendil Lapis terkejut. Tangannya perih bukan main. Belum lagi dia memperbaiki keadaan, ujung golok Wiryo Keduro langsung menghajar dada. Masih untung dia sempat bergerak mundur sehingga dadanya cuma tergores saja. Tapi Wiryo Keduro tak berhenti sampai di situ. Kaki kanannya melayang sebagai serangan susulan dan tak dapat dielakan oleh Kendil Lapis.
"Mampus!" bentak Wiryo Keduro sambil melompat mengejar tubuh Kendil Lapis yang terhempas di kubangan lumpur. Bisa dipastikan dalam sesaat saja tubuh kurus itu akan tewas disabet golok Wiryo Keduro yang tak kenal ampun. Para petani yang lain sudah menarik nafas. Mereka cuma bisa berdoa agar hal itu tak terjadi, namun harapan itu rasanya amat tipis sebab tak pernah sekalipun Wiryo Keduro mengampuni orang yang sedang berurusan dengannya.
"Trak!"
"Heh?!" Wiryo Keduro tersentak kaget. Sebuah kerikil sebesar kepalan anak kecil melesat menghantam mata goloknya hingga bergetar dan tertahan lajunya meski tak terlepas. Wajahnya langsung merah padam menahan geram. Buru-buru dia menoleh dari arah datangnya kerikil itu dan melihat seorang pemuda berambut memakai baju rompi putih. Sebatang pedang berhulu kepala burung tampak tersembul di punggungnya.
"Siapa kau berani mencampuri urusanku?!" bentak Wiryo Keduro garang.
"Ki sanak, aku cuma seorang pengembara. Kulihat anak muda itu sudah tak berdaya. Apakah kesalahannya hingga kau bermaksud merenggut nyawanya?" tanya pemuda itu sopan dengan suara ramah bersahabat.
"Puih! Bocah kesasar! Apa urusannya kau mencampuri persoalanku? Pergilah kau dari sini dan teruskan perjalananmu sebelum kemarahanku berpindah padamu!"
Pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum kecil. "Kisanak, sudilah kau mengampuninya. Dia sudah betul-betul tak berdaya, Setelah itu barulah aku akan melanjutkan perjalananku tanpa ada ganjalan memikirkan seorang anak manusia yang tak berdaya terhimpit kematian." sahut Rangga enteng.
"Keparat! jadi kau bermaksud mencampuri urusanku?" mata wiryo Keduro mendelik garang.
"Sama sekali tidak, Ki sanak. Aku cuma memohon belas kasihanmu untuk mengampuni selembar nyawanya...."
"Itu sama saja dengan mencampuri urusanku tahu! Kau tahu akibatnya jika ikut campur? Cuma ada satu, yaitu kematian!" lanjut Wiryo Keduro menggertak.
Rangga mendecah sambil menggelengkan kepala. "Ah, berat sekali akibatnya. Tapi tak apalah kalau kau menuduhku begitu. Aku sudah siap dengan akibatnya karena tahu betul bahwa nyawa manusia bukan berada di tanganmu."
"Bedebah! Omonganmu betul-betul membuatku ingin muntah. Rupanya kau sudah merasa hebat bisa menangkis golokku? Baik, Kau rasakan ini. Yeaaa...!"
Wiryo Keduro agaknya tak bisa lagi menahan amarahnya. Sambil berteriak nyaring diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh nafsu. Goloknya berkelebat dengan cepat menyerang titik kelemahan di tubuh lawan. Melihat dari caranya memainkan senjata itu, terlihat bahwa Wiryo Keduro sangat ahli dan amat menguasai permainan golok. Bahkan bisa tergolong dalam tokoh yang disegani, sebab tak sembarangan tokoh bisa melakukan apa yang dilakukannya saat ini ketika menyerang lawan.
Kalau pun dia mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyerang lawan hanya karena pertama tadi dia telah dibuat malu di depan anak buahnya. Maka karena tak mau kejadian itu sampai terulang lagi, dia tak mau gegabah menyerang pemuda berbaju rompi putih itu dengan setengah hati.
"Uts!" Rangga dapat merasakan serangan-serangan lawan yang dahsyat dan berbahaya. Tak membuang waktu lagi dia langsung meladeni dengan jurus Sembilan Langkah Ajaib untuk menghindari serangan lawan yang gencar dan bertubi-tubi.
"Hm, pantas kau bertingkah. Rupanya kau pun memiliki kepandaian yang lumayan. Tapi percuma kau pamerkan di depan hidungku karena nasibmu tak jauh berbeda dengan petani sok jago itu!" dengus Wiryo Keduro sangat yakin kalau dia sebentar lagi akan menjatuhkan pemuda itu.
"Bisa jadi begitu, Ki sanak. Tapi biarlah kali ini aku mengalah agar tak sama nasibku dengan petani itu. Mudah-mudahan kali ini peruntunganku sedang baik." sahut Rangga santai.
"Huh...!"
"Hiyaaat...!" Sambil berteriak nyaring Rangga mulai membalas dengan membuka jurus Rajawali Sakti tingkat pertama.
"Uts!" "Plak!" "Duk!" "Akh!"
Sekali kepalanya berkelit dari tebasan golok lawan, kepalan tangan kanannya langsung menyodok ke dada Wiryo Keduro ketika tangan kirinya menyambar pergelangan tangan lawan yang menggenggam golok. Wiryo Keduro menjerit kesakitan sambil mendekap dada ketika tubuhnya bergerak limbung. Golok di tangannya terlepas dan pada saat yang bersamaan dadanya terasa nyeri terkena suatu hantaman yang keras bukan main.
"Keparat!" Wiryo Keduro memaki. Beberapa orang anak buahnya berusaha mengepung Rangga, tapi dengan cepat di cegahnya.
"Diam kalian di tempat! Aku masih mampu menghajar bocah ini dan membuatnya mampus!" Terpaksa anak buahnya menyurutkan langkah dan memperhatikan Wiryo Keduro berusaha bangkit dengan cepat dan menatap Rangga dengan wajah garang.
"Bocah, sebutkan kau punya nama agar Wiryo Keduro tak lupa menuliskan nama di nisanmu nanti!" kata Wiryo Keduro sambil menggeram.
"Dasar kantong nasi tak berguna! Apakah kau tak mengenali Pendekar Rajawali Sakti di depanmu!"
"Heh?!" Wiryo Keduro tersentak kaget. Suatu suara menimpali dan sekaligus menjawab pertanyaannya. Ketika dia melirik ke arah orang yang mengeluarkan suara tadi, buru-buru dia beserta seluruh anak buahnya memberi hormat.
"Ah, kukira siapa. Tak tahunya kau, Ki Soko Menggolo. Terimalah salam hormat kami...."
TIGA
"He he he he...! Kudengar ramai di tempat ini sehingga membuatku tergelitik untuk melihat. Kupikir pula kau di pecundangi oleh petani-petani goblok itu, tapi siapa nyana ternyata Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu ikut campur pula dalam urusan ini," sahut orang yang baru tiba sambil menyindir.
Rangga menoleh dan melihat seorang lelaki berbaju bagus dengan tubuh sedikit kurus. Melihat dari caranya hadir di tempat ini tanpa ada seorang pun yang mengetahui pastilah orang ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Keris di pinggang kirinya pun terlihat bukan seperti keris sembarangan. Paling tidak orang yang dipanggil Ki Soko Menggolo ini memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup diandalkan. Apalagi Wiryo Keduro dan anak buahnya tampak menghormatinya.
"Ki sanak, maaf. Aku sama sekali tak bermaksud mencampuri urusan mereka. Tapi hatiku merasa tak tega melihat orang-orang ini menyiksa beberapa orang petani hingga tak berdaya," sahut Rangga membalas sindiran Ki Soko Menggolo.
"Ah, kenapa sungkan-sungkan? Bukankah Pendekar Rajawali Sakti terkenal welas asih dan suka membantu orang yang lemah? barangkali telah digariskan bahwa kehadiranmu di sini untuk menolong mereka."
Pendekar Rajawali Sakti mengerutkan alis. Dia tak mengerti apa maksud orang itu berkata demikian. Sementara itu Wiryo Keduro dan teman-temannya terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda yang tadi berhadapan dengannya adalah Pendekar terkenal yang namanya menggetarkan rimba persilatan belakangan ini. Pantas saja dia dapat dijatuhkan dengan mudah. Tapi mengetahui kehadiran Ki Soko Menggolo hatinya sedikit tenang.
Siapa sebenarnya laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahun dan dipanggil Soko Menggolo itu? Dia tak lain tangan kanan Jala Tunda yang termasuk dalam jajaran orang-orang dekatnya. Ilmu olah kanuragannya hebat bukan main, dan orang-orang persilatan mengenalnya dengan gelar Malaikat Hitam Bermuka Dua.
"Ki sanak, aku tak mengerti maksud kata-katamu itu...." sahut Rangga pelan.
"Kenapa tak paham? Bukankah itu soal mudah. Ada kebaikan dan kejahatan. Keduanya tak pernah sejalan karena masing-masing memiliki jalurnya sendiri. Nah, kau yang mengaku berjalan pada hal kebaikan tentu saja tak sejalan dengan kami yang dianggap berjalan pada hal yang jahat...."
"Lalu?"
"Hm... aku tak perduli dengan keadaan itu. Tapi mengusik anggota Perguruan Tengkorak Merah, tentu saja aku perduli, bahkan merasa di usik, dan tak mungkin mendiamkannya begitu saja!"
Sampai disitu mengertilah Rangga apa yang dimaksud orang itu. Rangga menggelengkan kepala sambil mendecah pelan. "Ki sanak aku tak suka keributan. Kalau ada penyelesaian yang baik dengan jalan musyawarah tentu aku akan lebih senang melakukannya. Ini soal yang amat jelas, kenapa malah membuat kalian merasa tak suka dan marah?"
"Pendekar Rajawali Sakti, mudah kau berkata begitu tapi tak mudah bagi kami menerimanya. Aku si Malaikat Hitam Bermuka Dua memang tak sepadan dibandingkan denganmu. Tapi mana bisa berdiam diri melihat kau menghajar anak buahku!" sahut Ki Soko Menggolo masih dengan sikap tenang.
Tak heran dia bisa bersikap begitu mengingat gelarnya sebagai Malaikat Hitam Bermuka Dua. Walau di hatinya amarah telah berkobar, namun wajahnya masih tetap tenang bahkan bisa tersenyum dengan suara yang tetap datar.
"Jadi apa yang kau inginkan, Ki sanak?"
"Huh! Inilah yang kuinginkan!" sambut Ki Soko Menggolo sambil mencelat ke arah Rangga dengan mengirim serangan hebat.
Pendekar Rajawali Sakti telah memperkirakan hal itu, namun tak menyangka bahwa lawan bisa bergerak secepat yang tak di duganya. Tak percuma Ki Soko Menggolo dihormati oleh anggota Perguruan Tengkorak Merah, karena kepandaiannya memang jauh di atas rata-rata murid yang lainnya.
"Hup!"
"Hiyaaat...!"
"Plak!"
Serangan pertama itu dapat dielakkannya dengan mulus, dan dalam suatu kesempatan bahkan dia berusaha menangkis siku tangan lawan. Ki Soko Menggolo menggeliat bagai belut menghantam telapak tangan ke dada kiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Jebol igamu!"
"Uts!" Rangga menghindar dengan gesit sambil mengayunkan kaki kanan menghantam dagu lawan. Tubuh Ki Soko Menggolo melompat ke belakang membuat gerakan salto yang indah. Rangga mengejar dengan sodokan kepalan tangan.
"Tap!"
"Yeaaa...!"
Gerakan yang dibuat Ki Soko Menggolo sungguh indah seperti orang menari. Bertumpu dengan telapak tangan lawan, tubuhnya kembali bersalto terus ke belakang bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Heh!"
"Plak!"
Tapi dengan gerakan yang tak kalah gesit Rangga terus bergerak menghantamkan kaki kirinya yang di tangkis oleh telapak tangan kiri Ki Soko Menggolo yang menyilang di dada. Orang itu terkejut merasakan telapak tangannya perih. Tapi Rangga telah jumpalitan ke arahnya sambil kembali menyodok kepalan tangan kanan ke dadanya
"Duk!"
"Akh!" Ki Soko Menggolo mengeluh kesakitan. Walau dia berusaha mengelak namun tak urung bahu kirinya sempat terkena hajaran lawan. Tulang engsel lengannya serasa mau copot menerima pukulan itu. Meski Rangga tak melanjutkan serangan, tubuh Ki Soko Menggolo telah melesat ke belakang untuk menghindari kemungkinan lawan meneruskan serangan susulan.
"Hebat kau, Ki sanak! Nah, sekarang mari kita lanjutkan permainan dengan adu senjata!"
"Sriiing!"
Ki Soko Menggolo telah mencabut kerisnya yang berlekuk sembilan. Bagian tengah badan keris itu terlihat ukiran lidah api dan memancarkan hawa maut yang menakutkan. Rangga masih diam tak memberikan reaksi. Dia cuma bersiap jika lawan bermaksud menyerang dengan senjata itu.
"Kenapa ragu? Ayo, cabutlah pedangmu yang terkenal itu dan hadapi kerisku ini! ucap Ki Soko Menggolo tak puas dan merasa di remehkan melihat lawan tak meladeni keinginannya.
"Ki sanak, apakah tak sebaiknya kita sudahi urusan sampai di sini? Di antara kita tak ada saling permusuhan, kenapa kau memaksa untuk menggunakan senjata...."
"He he he he...! Apakah kau mulai takut, Pendekar Rajawali Sakti? Kaulah yang memulai urusan maka kau pun harus menyelesaikannya secara tuntas!"
"Menyelesaian tuntas bagaimana yang kau maksudmu?"
"Pertarungan yang membuat salah seorang di antara kita harus mengakui kehebatan yang lainnya!"
"Maksudmu bila salah seorang kalah maka dia harus menyudahi urusan dan tak ikut campur?"
Ki Soko Menggolo terkekeh pelan, "Betul, bahkan lebih dari itu dia tak bisa lagi mencampuri urusan mana pun...."
Alis Rangga berkerut mencerna kata-kata orang itu. Tapi dia tak berpikir panjang ketika Ki Soko Menggolo melanjutkan ucapannya.
"Sampai salah seorang di antara kita mampus!"
"Heh?!"
"Kenapa? Mulai takut? Apakah Pendekar Rajawali Sakti yang ke sohor itu mengenal rasa takut juga?" ejek Ki Soko Menggolo.
"Ki sanak, itu sudah keterlaluan...."
"Bagi orang-orang Tengkorak Merah tak ada hal yang keterlaluan, berani mencampuri urusan kami maka harus berani pula menanggung akibatnya!" sahut Ki Soko Menggolo tegas.
Rangga menghela nafas dan berpikir beberapa lama kemudian.
"Bagaimana Ki sanak, apakah kau berani menanggung akibatnya?"
"Baiklah... tapi harus ada tambahannya. Bila aku yang tewas, tak ada urusan lagi. Tapi kalau kau yang tewas maka perintahkan anak buahmu sebelumnya untuk tidak mengganggu para petani ini dan urusan selesai. Bagaimana?" Rangga merasa tak ada jalan lain untuk mengelak tantangan orang itu, dan terpaksa menyambutnya.
Sebaliknya Ki Soko Menggolo begitu yakin bahwa dia mampu mengalahkan lawan, langsung berteriak pada anak buahnya, "Kalian dengar itu? Aku yang mewakili Jala Tunda memerintahkan pada kalian untuk tidakmencampuri urusan petani-petani ini jika aku kalah dalam pertarungan melawan Pendekar Rajawali Sakti. Kalian pulang dan melupakan persoalan ini, dan tak seorangpun boleh mengusik petani-petani ini. Siapa yang melanggar sama artinya melanggar aturan yang dibuat Jala Tunda!"
"Tapi, Ki...."
"Kau mau membantah, Wiryo?"
Wiryo Keduro diam menundukkan wajah sambil menggelengkan kepala. "Eh, ti... tidak, Ki...."
Ki Soko Menggolo mendengus sinis. Kemudian mengalihkan pandangan ke Rangga. "Nah, kau dengar, Ki sanak? Kini bersiaplah kau menahan seranganku!"
Murid-murid Perguruan Tengkorak Merah mengetahui bahwa ilmu olah kanuragan Ki Soko Menggolo memang hebat, bahkan sedikit berada di bawah Guru Besar mereka, Ki Jala Tunda. Wiryo Keduro juga mengetahui bahwa banyak kata-kata Ki Soko Menggolo yang di setujui oleh Ki Jala Tunda.
Tapi melupakan soal hasil panen padi ini dan melaporkan hasil itu pada Ki Jala Tunda adalah perbuatan bunuh diri. Membantah perintah yang dikeluarkan Ki Soko Menggolo pun termasuk hal yang sama. Mereka memang tak punya pilihan selain pasrah dan berharap bahwa Ki Soko Menggolo mampu mengungguli lawannya.
Tidak demikian halnya dengan para petani itu. Mereka yang tadi bersiap-siap memetik padi, kini naik ke tegalan dan berkumpul rapi dengan wajah cemas. Seorang yang tak dikenal begitu rela bertaruh nyawa demi mereka adalah perbuatan yang nekat dan berani, sekaligus perbuatan bunuh diri. Sebab, siapa yang tak kenal Perguruan Tengkorak Merah? Murid-muridnya banyak dan rata-rata berilmu tinggi. Mereka bisa membumi hanguskan sebuah desa dalam sekejap, dan menewaskan banyak tokoh yang memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup lumayan.
Dan kini seorang pemuda tak dikenal tiba-tiba saja berani menantang salah seorang pentolan Tengkorak Merah. Pastilah kalau tidak gila dia seorang yang putus asa dan berniat mati secepatnya. Memang, orang-orang itu hanya petani biasa yang tak mengerti apa-apa tentang dunia persilatan berikut tokoh-tokoh yang berkecimpung di dalamnya. Meski mengetahui bahwa pemuda berbaju rompi putih itu adalah Pendekar Rajawali Sakti, tapi nama itu seperti tak berarti apa-apa dibandingkan dengan sepak terjang orang-orang Perguruan Tengkorak Merah yang telah mereka lihat dan alami sendiri.
Sementara itu perlahan-lahan Rangga mencabut pedang di punggungnya. Seberkas sinar biru keluar dari batang pedang itu seperti menerangi tempat itu sesaat. Semuanya terkagum takjub menyaksikan pamor pedang yang luar biasa itu. Termasuk juga Ki Soko Menggolo. Hatinya bergetar hebat dan tak terasa sedikit kegentaran mulai muncul dalam benaknya.
"Aku telah siap. Silahkan dimulai, Ki sanak...!" sahut Rangga pelan.
"Yeaaah...!" Dengan satu teriakan menggelegar Ki Soko Menggolo mulai menyerang lawan dengan keris di tangan. Kali ini dia mengeluarkan jurus terhebatnya yang diberi nama Malaikat Maut Menjarah Darah, dan bersamaan dengan itu kepalan tangan kirinya terlihat hitam legam bagai arang menandakan bahwa dia telah bersiap menggunakan pukulan sakti yang di beri nama Gagak Hitam Menerkam.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti sendiri menyadari hal itu dan tak mau menganggap remeh lawan. Dia telah bersiap mengeluarkan jurus Ilmu Pedang Pemecah Sukma, dan tangan kirinya mulai membara pertanda dia siap menggunakan Pukulan Maut Paruh Rajawali.
"Hiyaaa...!"
"Glaaar!" "Tras!"
"Aaaa...!" Terdengar pekik kematian halus. Tubuh KiSoko Menggolo terlempar sejauh lima tombak dengan tubuh biru. Dan telah tak bernyawa ketika tiba di tanah. Kejadian itu amat cepat dan mengejutkan semua yang melihat. Begitu keduanya melompat dan saling menyerang, kecepatan mereka sulit diikuti oleh mata biasa. Bahkan Wiryo Keduro sendiri tak mengetahui selain dari kedua pukulan mereka yang beradu. Dari telapak kiri Ki Soko Menggolo keluar sinar hitam menghantam lawan.
Sementara dari telapak tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti melesat sinar merah. Keduanya beradu dan menimbulkan percikan bunga api dan ledakan keras. Asap hitam mengepul, namun saat itu tubuh Ki Soko Menggolo telah limbung ke belakang sambil mendekap dada. Saat itulah tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesat sambil mengayunkan pedang. Wiryo Keduro, tak melihat bagaimana keris Ki Soko Menggolo patah ketika berusaha menangkis, dan pedang lawan terus menghantam dadanya tanpa menimbulkan suara berderak ketika tulang iganya putus.
Perlahan-lahan sinar biru di tubuh Ki Soko Menggolo hilang seiring Pendekar Rajawali Sakti menyarungkan kembali pedangnya. Wajah Pendekar Rajawali Sakti yang tadi seram dan menakutkan, perlahan-perlahan kembali memudar dan wajar seperti semula.
"Ki Soko Menggolo...!" teriak Wiryo Keduro dan anak buahnya sambil mengerubungi mayat Ki Soko Menggolo.
Mereka seperti tak percaya bahwa tangan kanan Ki Jala Tunda tewas dalam beberapa gebrakan saja di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Semula beberapa anak buah Wiryo Keduro bermaksud menyerang pemuda itu, tapi dia mengingatkan janji yang telah dibuat Ki Soko Menggolo sebelumnya.
"Ki sanak, aku sebagai orang yang dipercaya oleh Ki Soko Menggolo akan memegang janjinya demi kehormatan Perguruan Tengkorak Merah. Tapi ingat! Guru kami, Ki Jala Tunda, tentu saja tak akan membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Kau harus hati-hati, sebab bisa jadi giliranmu nanti yang menyusul Ki Soko Menggolo!" ujar Wiryo Keduro sambil membopong mayat Ki Soko Menggolo.
"Sebaliknya Ki sanak, aku lebih suka kau sampaikan pesan pada Guru Besarmu agar menyudahi persoalan ini sampai di sini. Kematian temanmu itu bukan salahku karena kalian sendiri menjadi saksi bahwa dia sangat memaksa mengadakan pertarungan denganku," sahut Rangga enteng.
"Bukan aku yang memutuskan soal urusan yang menyangkut Perguruan Tengkorak Merah. Itu adalah urusan Ki Jala Tunda. Tak seorang pun di antara kami yang berhak membantah!" Wiryo Keduro mengingatkan sebelum dia dan anak buahnya meninggalkan tempat itu.
Pendekar Rajawali Sakti diam mematung dengan mata nyaris tak berkedip menatap rombongan itu yang menghilang di balik perbukitan yang menjulang tinggi di ujung sana.
"Ki sanak, terima kasih atas pertolonganmu...." Rangga menoleh dan melihat pemuda bertubuh kurus yang tadi di hajar Wiryo Keduro telah berada di dekatnya beserta para petani yang tadi akan memanen hasil sawah mereka. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum kecil.
"Ah, sudahlah. Itu soal biasa...."
"Tapi Ki sanak...."
"Panggil saja namaku Rangga...."
"Aku Kendil Lapis...."
"Nak Rangga, mereka tentu tak akan tinggal diam atas peristiwa ini. Kau tentu mengalami nasib naas kalau sampai Ki Jala Tunda sendiri yang datang. Sebaiknya cepat-cepat tinggalkan desa ini demi keselamatan dirimu sendiri!" ujar salah seorang petani berusia lanjut dengan wajah cemas.
"Siapakah Jala Tunda itu? Kenapa dia begitu berkuasa? Apakah dia orang kepercayaan Raja hingga kalian mesti takut kepadanya?"
"Dia bukan saja orang kepercayaan, tapi Raja di wilayah ini. Den!" sahut salah seorang petani yang lain.
"Betul, Den. Anak buahnya banyak dan sering berbuat sesuka hatinya pada rakyat desa..." timpal yang lainnya lagi.
Rangga mengangguk-angguk mendengar penuturan-penuturan itu.
"Itulah, Den... sebaiknya buru-buru saja meninggalkan desa ini agar Aden bisa selamat. Bukan kami tak mau menerima Aden, tapi juga demi keselamatan Aden sendiri!" kata yang lainnya.
"Ki sanak semua, terima kasih atas perhatian kalian. Tapi biarlah aku berada di sini untuk beberapa hari kalau kalian berkenan. Aku yang memulai semua ini mana bisa kutinggalkan kalian untuk menanggung akibatnya! Kecuali kalau kalian tak suka dengan kehadiranku dan ingin mengusirku dari desa ini...."
Para petani yang mendengar kata-kata Rangga itu jadi salah tingkah dan saling pandang.
"Bagaimana? Apakah kalian tak suka aku tinggal di sini beberapa hari saja?"
"Ah, bagaimana kami bisa menolak orang sebaikmu, tapi...."
"Tak usah ragu dan cemas. Biar segala akibatnya akan kutanggung. Anggap saja persoalan tadi menjadi tanggung jawabku, dan aku tak mau kalian yang terkena getahnya dari perbuatanku. Kalau memang Ki Jala Tunda marah, biarlah kutunggu dia di sini untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya..."
"Tapi, Den, Ki Jala Tunda tak akan bisa mengerti. Orang itu tak perduli benar atau salah. Kau pasti dibunuhnya!" ujar salah seorang petani.
"Kalau memang begitu, biarlah kutanggung akibatnya."
Para petani tak bisa lagi mencegah kemauan pemuda itu. Akhirnya mereka menyerahkan persoalan pada pemuda itu. Apalagi ketika pemuda itu sudah langsung terjun ke sawah membantu mereka memanen padi. Para petani itu cuma menggelengkan kepala sambil menghela nafas. Di satu sisi mereka senang melihat kehadiran pemuda itu di tengah-tengah mereka, tapi di sisi lain ancaman maut mungkin akan menanti pemuda itu. Bukan mustahil nyawanya besok melayang saat Ki Jala Tunda turun tangan sendiri!
********************
EMPAT
Jala Tunda tampak duduk di kursinya sebagaimana layaknya seorang raja. Dua orang murid wanitanya berdiri di sisi kiri dan kanan mengipasinya dengan masing-masing kipas yang cukup besar. Sementara di depannya berjejer murid-murid utamanya dalam posisi saling berhadapan. Ruangan itu sendiri cukup luas dan mampu memuat lebih kurang lima puluh orang. Meskipun yang hadir di dalam ruangan itu tak sampai dua puluh lima orang. Selain dari murid-murid utamanya, hadir pula beberapa tokoh persilatan golongan hitam yang selama ini bekerja padanya.
Hari ini mereka berkumpul mengadakan rapat darurat sehubungan dengan laporan seorang murid yang di tugaskan untuk menangkap penghianat di Perguruan mereka sendiri. Seperti yang banyak di ketahui murid-murid utama Perguruan itu, Ki Jala Tunda berhasrat untuk melebarkan sayap pengaruhnya dengan menyerang pihak kerajaan. Belum lagi hal itu dilaksanakan, salah seorang murid utamanya agaknya tergelitik untuk menceritakan hal itu pada salah seorang pejabat kerajaan.
Masih untung Ki Jala Tunda dapat berkelit dan menghindar dari segala tuduhan itu ketika pihak kerajaan memberi peringatan padanya. Dan sebagai hukuman dia memerintahkan murid-muridnya untuk menghukum mati muridnya yang berkhianat dan sempat melarikan diri. Tapi hal itu tentu saja mengejutkan ketika mereka mendengar laporan salah seorang murid yang ditugaskan menghukum mati murid yang telah berkhianat itu, karena secara kebetulan mereka bertemu dengan seorang tokoh aneh yang membantai murid-muridnya yang lain dengan sadis. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan Ki Jala Tunda.
"Jadi apa yang harus kita lakukan saat ini, Ki...?" tanya sala seorang kaki tangannya.
"Hm, aku heran, belum pernah kudengar dia. Ciri-ciri yang di berikan muridku sama sekali tak kukenali. Siapa tokoh itu sebenarnya?" sahut Jala Tunda dengan wajah heran.
"Apakah dia bukan musuhmu?"
"Siapa tokoh yang tak kukenal saat ini. Tapi orang yang satu ini agaknya luput dari perhatianku. Dengan caranya menjatuhkan Jolo Kerot dengan mudah, tentulah dia bukan orang sembarangan...."
"Tapi dia terlalu gegabah berani mencampuri urusan kita, Ki. Dan orang itu tak boleh diberi ampun!" dengus Kala Pati yang merupakan murid tertua Ki Jala Tunda.
"Betul, Ki! Orang seperti dia harus diberi pelajaran agar dia tak sembarangan bertindak terhadap Perguruan Tengkorak Merah!" sahut salah seorang kaki tangannya yang bernama Kebo Lantungan.
Orang ini dalam dunia persilatan dikenal sebagai Bandul Sakti Bertangan Darah. Senjatanya memang berupa bandul besi yang di permukaannya terdapat paku-paku yang tajam dan kuat. Sementara kedua belah tangannya selalu tampak merah sehingga dia mendapat julukan seperti itu.
Jala Tunda mendengus geram. Wajahnya yang bulat jadi tampak lucu. Tapi tak seorang pun yang berani menertawakannya. Apalagi kalau dia melotot garang. Sepasang kelopak matanya yang menyipit sulit sekali terbelalak.
"Huh! Orang itu mesti mampus hari ini!" dengus Jala Tunda.
"Biar aku saja yang akan mengurusnya, Ki!" sahut Ki Selo Gemulung cepat. Ki Selo Gemulung adalah juga salah seorang kaki tangan Ki Jala Tunda yang dapat dipercaya. Kepandaiannya pun tak rendah, dan keberaniannya dapat dijagokan.
Tapi Ki Jala Tunda berpikir lain. Dibandingkan dengan Jolo Kerot, ilmu olah kanuragan Ki Selo Gemulung berada satu tingkat di atasnya. Kalau saja Jolo Kerot dapat dengan mudah dikalahkan, tentu Ki Selo Gemulung pun dapat dikalahkan juga tanpa menemui kesulitan berarti.
"Ki Selo Gemulung, bukan aku meremehkan kesediaanmu, tapi seperti diketahui setiap anggota mempunyai tugas masing-masing. Aku beranggapan bahwa tugas ini lebih cocok dilakukan oleh Ki Soko Menggolo. Ada pun halnya dengan kalian, aku mempunyai tugas lain yang telah kurencanakan," sahut Ki Jala Tunda.
Meski hati Ki Selo Gemulung agak kecewa dengan penolakan itu, dia berusaha untuk menunjukkan kebesaran hatinya sambil tersenyum.
"Tak apalah kalau memang begitu. Tapi kalau Ki Soko Menggolo memerlukan bantuan, aku akan berada di barisan paling depan. Itu pun kalau Ki Jala Tunda tak memberi tugas lain...."
"Syukurlah. Saat ini kita sedang menunggu Ki Soko Menggolo yang belum hadir. Mudah-mudahan kalau tak ada halangan dia akan tiba sesaat lagi," sahut Ki Jala Tunda.
Selesai Ki Jala Tunda berkata begitu, tiba-tiba hadir salah seorang muridnya yang bernama Wiryo Keduro di ruangan itu. Melihat bajunya yang kotor berkubang lumpur, Ki Jala Tunda mengerutkan dahi. Lebih-lebih lagi melihat wajah Wiryo Keduro yang kuyu dan ketakutan.
"Kenapa kau, Wiryo?!" sentak Ki Jala Tunda.
"Ampun, Ki. Kami... kami,..."
"Bicara yang betul kau!"
"Eh... ketiwasan, Ki. Ki Soko Menggolo tewas...."
"Apa?!" sentak Ki Jala Tunda kaget sampai bangkit dari kursinya.
"Ki Soko Menggolo tewas di tangan seorang yang menamakan dirinya sebagai Pendekar Rajawali Sakti..." sahut Wiryo Keduro dengan wajah takut-takut.
"Pendekar Rajawali Sakti?!" untuk yang kedua kalinya Ki Jala Tunda tersentak kaget. Ruangan itu sepi sesaat begitu Ki Jala Tunda menyebut nama itu.
"Hm... kalau dia mau ikut campur, apakah ini bukan pertanda bahwa urusan akan semakin berantakan, Ki...?" tanya Kala Pati.
"Diam kau Kala Pati! Segala Pendekar Rajawali Sakti kau buat takut. Siapa yang pernah mengajarkan rasa takut padamu?!" bentak Ki Jala Tunda garang.
"A... ampun, Ki. Aku tak bermaksud begitu..." sahut Kala Pati dengan suara tergagap.
"Kala Pati, tak seharusnya kau berkata begitu. Gurumu orang hebat, dan tak sembarangan orang bisa mengalahkannya. Kenapa mesti mengkhawatirkan segala anak ingusan yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" timpal Ki Kebo Lantungan.
"Betul, kepandaian Ki Jala Tunda tak seorang pun yang bisa menandingi. Apakah artinya seorang Pendekar Rajawali Sakti. Dengan mudah orang itu akan kita singkirkan," sahut Ki Selo Gemulung.
Kala Pati semakin diam saja menundukkan kepala mendengar mereka berkata begitu. Dalam hatinya mengutuk dan memaki bahwa kedua kaki tangan Gurunya itu berkata seperti penjilat.
"Wiryo, kemari kau! Ceritakan persoalan itu hingga tuntas!" panggil Ki Jala Tunda dengan suara keras. Wiryo Keduro maju ke depan dengan takut.
"Ayo cepat...!"
"Ba... baik..." sahut Wiryo Keduro semakin ketakutan.
Dia pun menceritakan peristiwa yang tadi lihatnya di persawahan itu dari awal sampai tewasnya Ki Soko Menggolo. Semua yang hadir di ruangan itu seperti tak percaya ketika mengetahui bahwa Ki Soko Menggolo tewas dalara beberapa gebrakan saja.
"Barangkali ceritamu hanya dibesar-besarkan saja, Wiryo. Padahal Pendekar Rajawali Sakti tak sehebat apa yang kau ceritakan tadi," kala Ki Selo Gemulung sinis.
"Ki Selo Gemulung, yang menyaksikan itu bukan hanya aku seorang, tapi beberapa murid Perguruan Tengkorak Merah juga ada. Ki sanak boleh tanyakah pada mereka kebenaran ceritaku!" sahut Wiryo Keduro dengan wajah tak senang.
"Sudahlah. Biarkan orang itu menjadi urusanku...."
"Maaf", Ki. Kenapa mesti turun tangan sendiri? Biarlah bocah itu aku yang mengurusnya!" Sela Ki Selo Gemulung menawarkan diri ketika melihat kesempatan itu.
Ki Jala Tunda berpikir sesaat sebelum meng-anggukkan kepala. "Baiklah, Ki Selo Gemulung. Kalau kau merasa mampu menangani Pendekar Rajawali Sakti, silahkan kau urus dia."
"Sekarang juga aku akan ke sana dan membawa kepala bocah itu padamu!" sahut Ki Selo Gemulung cepat sambil bangkit dari duduknya. Tapi belum lagi dia melangkah, seorang murid Perguruan Tengkorak Merah masuk dan tergopoh-gopoh melapor.
"Ketiwasan, Ki Guru. Seorang tokoh tak dikenal mengamuk di gerbang depan...!"
"Bedebah siapa orang itu?!"
"Dia menyebut dirinya sebagai Setan Alam Kubur...."
Ki Jala Tunda menggeram buas ketika mendengar nama itu. Dengan langkah panjang dia langsung keluar diikuti oleh semua orang yang hadir di ruangan itu. Baru saja mereka berada di depan rumahnya yang megah itu, tercium bau busuk menyengat. Beberapa murid Perguruan Tengkorak Merah malah terbatuk-batuk merasakan tenggorokannya seperti tercekik.
"Ha ha ha ha...! Inikah Perguruan Tengkorak Merah yang menjagokan diri di sepanjang Pesisir Utara? Ha ha ha ha...! Ternyata tak lebih dari sekumpulan kerbau-kerbau dungu yang tak becus apa-apa!"
Di tempat itu, tepatnya di halaman depan Perguruan yang luas itu, tegak berdiri sesosok tubuh yang amat menyeramkan. Tubuhnya yang kurus tinggal kulit pembalut tulang, tampak legam dan dekil. Kepalanya gundul hanya ditumbuhi beberapa helai rambut saja. Sepasang matanya cekung ke dalam seperti tak memiliki biji mata. Mereka juga melihat beberapa murid Perguruan tewas dengan tubuh yang mengerikan seperti di cabik-cabik binatang buas. Semua yang berada di situ segera memperhatikan kuku-kuku kaki dan tangan sesosok tubuh itu yang panjang dan runcing. Bajunya sudah tak bisa disebut baju sebab telah banyak terkoyak-koyak di sana-sini.
"Ki sanak, siapa kau sebenarnya? Datang membuat kekacauan, agaknya kau sudah bosan hidup!" bentak Ki Selo Gemulung mewakili Ki Jala Tunda.
"Siapa pula kau? Berani mampus berkata begitu padaku!" balas sesosok tubuh itu ketus.
"Sial...!"
"Bocah kurang ajar! Kemari kau kalau mau mampus!" bentak orang bertubuh kurus itu
"Ki Jala Tunda, biarlah ku wakili kau untuk menghajar orang tak tahu diri ini!" ujar Ki Selo Gemulung meminta ijin.
Ki Jala Tunda mengangguk pelan.
"Mayat hidup keparat! mampuslah kau! Yeaaa...!"
Saat itu pula Ki Selo Gemulung langsung melompat sambil mengirim satu pukulan telak ke batok kepala lawan, namun dengan gerakan ringan lawannya berkelit menghindar. Tangan kanannya terkibas memapaki lengan Ki Selo Gemulung.
"Plak!" "Prak!"
"Aaaa...!" "Heh?!" "Aaaa...!"
Tubuh Ki Selo Gemulung ambruk ke tanah dengan kepala pecah. Tubuhnya menggelepar bagai ayam disembelih, kemudian diam tak berkutik ketika nyawanya lepas.
Kejadian itu begitu cepat sekali terjadi. Bahkan mereka yang melihat seperti tak percaya. Ki Selo Gemulung bukanlan orang sembarangan. Tapi dengan sekali hajar, dia tewas tanpa perlawanan. Begitu tangannya menangkis, telapak tangan lawan langsung bergerak menghantam batok kepala Ki Selo Gemulung.
"Jahanam!" maki Ki Kebo Lantungan geram.
"Ki Kebo, apakah kau bermaksud menghadapi orang itu?" tanya Ki Jala Tunda dingin.
"Biarlah kubuat mampus orang gila kesasar ini, Ki!" sahut Ki Kebo Lantungan sambil melompat cepat dan mengeluarkan senjata andalannya.
"Ha ha ha ha...! Kebo buduk, apakah kau hendak menjalaku dengan mainanmu itu? Ha ha ha ha...! Sini biar kuletakkan di kepalamu agar dapat merasakan betapa bagusnya kepalamu di letakkan paku-paku itu!" ujar sesosok tubuh kurus itu sambil tertawa kegirangan.
Bukan main geramnya Ki Kebo Lantungan diejek demikian. Tapi dia berusaha menguasai diri. Tewasnya Ki Selo Gemulung membuktikan bahwa dia tak boleh lengah sedikit pun, kalau tidak nasibnya akan sama dengan temannya
"Setan kesasar, mampuslah kau! Yeaaa...!"
"Uts...!"
"Sial...!"
"Kenapa memaki? Ayo, serang lagi aku sepuasmu dengan benda mainanmu itu sebelum kepalamu kubenturkan ke situ!"
"Keparat! Hiyaaat...!"
"Wuut!"
"Lepas...!" Dengan jari telunjuknya, orang yang mengaku bernama Setan Alam Kubur itu menangkap tali penghubung antara bandul besi berpaku itu dan pangkalnya yang berada di tangan Kebo Lantungan. Tali itu terbuat dari bahan yang alot dan keras, namun dengan mudahnya Setan Alam Kubur membuat bandul besi itu berputar seiring dengan sentakan tangannya. Kebo Lantungan berusaha menahan, tapi dia menjerit kesakitan ketika telapak tangannya terkelupas menahan sentakan lawan yang kuat luar biasa.
"Mampus!"
"Uts!" Bandul Ki Kebo Lantungan telah berpindah ketangan kanan Setan Alam Kubur, sementara bersamaan dengan itu telapak tangan kirinya tersorong menghantam lawan. Serangkum angin kuat yang berbau busuk nyaris membuat tubuh Kebo Lantungan hancur berantakan kalau saja dia tak buru-buru menghindar. Tapi hal itu ternyata hanya taktik lawan belaka karena serangan yang sesungguhnya adalah bandul besi itu sendiri yang melesat cepat menghantam batok kepala Kebo Lantungan.
"Modar!"
"Crap!"
"Aaaa...!"
Tak ayal lagi. Bandul besi itu bukan saja menancap di batok kepala Kebo Lantungan, tapi juga membuat kepalanya retak. Orang itu memekik kesakitan sambil berlari ke sana kemari tak karuan, namun langkahnya semakin lama semakin limbung untuk selanjutnya ambruk ketika dengan tiba-tiba Ki Jala Tunda menghantam dengan pukulan jarak jauhnya. Setan Alam Kubur yang melihat Kebo Lantungan bertingkah tak karuan begitu langsung tertawa-tawa kegirangan. Namun terhenti ketika melihat apa yang diperbuat Ki Jala Tunda.
"Sial! mau mampus mencampuri urusanku, heh?!" bentak Setan Alam Kubur berang.
"Ki sanak, kaukah yang menamakan diri sebagai Setan Alam Kubur? Aku Jala Tunda, Ketua Perguruan Tengkorak Merah, kau telah mencampuri urusanku dengan membantai anak buahku, dan kini malah dalang ke sini membuat keonaran. Apa yang kau inginkan dari kami? Atau kau sekedar ingin mampus? suara Ki Jala Tunda terdengar dingin menusuk dengan nada mengancam.
"Peduli dengan segala ocehanmu! Aku memang Setan Alam Kubur. Aku melakukan apa saja yang kusuka. Kudengar pula bahwa kau menjagoi Pesisir Utara ini, dan ingin kubuktikan sampai di mana kehebatan kalian. Puiih! Ternyata cuma bakul-bakul nasi semua!" sahut Setan Alam Kubur dengan nada kesal sambil membuang ludah.
"Ki sanak, kau sudah keterlaluan menghina orang. Tadinya aku masih berpikir untuk menghormatimu. Tapi dengan caramu itu, tak ada pilihan lain. Kau harus mampus!" desis Ki Jala Tunda geram. Bersama dengan selesainya kata-katanya itu, belasan murid-murid Perguruan Tengkorak Merah langsung mengurung dan menyerang Setan Alam Kubur dengan ketat.
"Yeaaat...!"
"Setan! Kau pikir punya hak apa meremehkan aku begitu rupa? Kemari kau biar kupecahkan batok kepalamu!" bentak Setan Alam Kubur kalap sambil melompat ke arah Ki Jala Tunda.
Tapi dengan segera murid-murid Tengkorak Merah bergerak menghalangi. Akibat yang mereka alami sungguh tragis. Sekali tangan Setan Alam Kubur terkibas, saat itu pula bau busuk menyebar membuat para pengeroyoknya sulit bernafas. Dengan sekali bergerak, kuku-kuku tangan dan kakinya bergerak merobek tenggorokan lawan-lawannya. Bukan hanya itu, namun meski golok-golok penyerangnya mampu mengenai sasaran, hal yang mengejutkan justru kulit tubuh Setan Alam Kubur kebal terhadap senjata tajam. Ki Jala Tunda sendiri terkejut karena dengan tiba-tiba menderu serangkum angin berbau busuk menghajarnya. Buru-buru dia bergerak menghindar...
"Praaaakk...!"
"Bangsat!" makinya geram.
Bangunan tembok di belakangnya hancur berantakan terkena pukulan lawan yang tadi berhasil dihindarinya. Ki Jala Tunda tak sempat memaki lebih lanjut karena dengan tiba-tiba tubuh Selan Alam Kubur telah melesat cepat menyerangnya dengan gencar sambil menyebarkan bau busuk di sekitar tempat itu. Melihat Guru mereka diserang lawan, murid-muridnya yang lain jadi bingung dan salah tingkah. Selama ini menjadi pantangan kalau Ki Jala Tunda sedang bertarung dibantu oleh murid-muridnya. Siapa yang melanggar larangan itu pasti akan kena hukuman berat. Agaknya Ki Jala Tunda memang senang memamerkan dan memperlihatkan kehebatannya di depan murid-muridnya sendiri.
Tapi dalam hubungannya saat ini bukan dia segan atau takut berhadapan dengan Setan Alam Kubur. Semata-mata karena perutnya terasa mual mencium bau busuk yang menyebar di mana-mana setiap kali tubuh lawan bergerak. Maka Ki Jala Tunda tak ayal lagi langsung mengeluarkan jurus andalan serta pukulan saktinya untuk membinasakan lawan secepatnya.
"He he he he...! Jurus apa yang kau pergunakan seperti cacing kepanasan ini? Walah... walah! Pukulan apa itu? Warna merah seperti darah kerbau. Oh, rupanya kau ingin sekali bermain-main darah denganku. Baiklah, akan kutunjukkan bagaimana caranya," ejek Setan Alam Kubur menyaksikan jurus dan pukulan yang di keluarkan Ki Jala Tunda.
LIMA
Sesaat kemudian kedua telapak Setan Alam Kubur dirangkapkan. Wajahnya menyeringai sadis. Dari tangannya mengepul asap kelabu yang perlahan-lahan berganti hitam. Bersamaan dengan itu bau busuk yang menyengat seperti tak tertahankan oleh murid-murid Perguruan Tengkorak Merah. Banyak di antara mereka yang terbatuk-batuk karena tak tahan oleh bau busuk dengan tubuh terkapar di tanah.
Sementara yang lainnya melarikan diri karena tak mampu berbuat apa-apa. Ki Jala Tunda bukannya tak mengadakan perlawanan. Dengan Mengerahkan tenaga dalamnya, dia menghantamkan satu pukulan jarak jauh yang mampu menimbulkan angin kencang untuk menghalau asap yang mulai memenuhi seluruh tempat itu.
"Hiyaaat...!" "Yeaaa...!" "Glaaar!"
"Aaaa...!" Ki Jala Tunda hanya sempat terpekik sesaat ketika dengan berani dia menyambut pukulan jarak jauh yang dilontarkan Setan Alam Kubur dengan pukulan Udan Kembang miliknya yang berhawa dingin. Letupan nyaring terjadi. Pukulan Setan Alam Kubur yang mengeluarkan sinar hitam berbau anyir menderu tanpa terbendung menghantam tubuh Ki Jala Tunda hingga hancur seperti terkena ledakan dahsyat.
"Ha ha ha ha...! Siapa yang mampu di dunia ini menahan pukulan Setan Hitam milikku. Mampuslah bagianmu! Ha ha ha ha...!"
Setan Alam Kubur tertawa tergelak dengan suara nyaring memekakkan telinga. Kelihatan dia begitu gembira sekali seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. Kedua tangannya bertolak pinggang dan sesekali dia meludah ke tanah dengan wajah pongah, barulah beberapa saat kemudian dia menyadari bahwa tempat itu telah sepi.
"Eh, kemana kerbau-kerbau dungu itu? Kurang ajar! Mereka malah kabur, sial! Aku jadi tak mempunyai permainan lagi. Tapi tak apalah. Dasar kerbau-kerbau tolol! Mereka sama sekali tak berarti apa-apa, baiknya aku mencari kerbau lain yang lebih cerdik dan kuat," dengus Setan Alam Kubur kesal.
Baru saja dia akan pergi meninggalkan tempat itu, telinganya yang tajam mendengar derap langkah yang mendekati. Tanpa membuang waktu lagi dia langsung menghampiri. Tiga sosok tubuh bergerak cepat mendekati bebukitan yang menuju tempat kediaman Ki Jala Tunda ini. Seorang di antara mereka berusia lanjut mengenakan baju serba hitam dan rambut yang panjang digulung ke atas. Sementara dua orang lagi, pemuda dan pemudi berusia sekitar delapan atau sembilan belas tahun.
"Berhenti!"
Ketiga orang itu tersentak kaget ketika seseorang berwajah buruk menghentikan langkah mereka dengan suara nyaring yang seakan menghantam gendang telinga. Yang paling tua di antara mereka bertiga langsung bersiaga dengan sorot mata penuh waspada.
"Siapa kau, Ki sanak? Kenapa kau menghentikan langkah kami?" tanya si orang tua dengan nada datar.
"Siapa pula kau tidak mengenal Setan Alam Kubur?!" bentak orang yang tiba-tiba muncul itu yang tak lain dari Setan Alam Kubur sendiri.
"Hm, jadi Setan Alam Kubur? Namamu baru kukenal hari ini. Maafkan kealpaanku, Ki sanak. Apakah kedatanganmu ke sini karena undangan Ki Jala Tunda seperti halnya aku?"
"Kurang ajar! Bukannya menjawab pertanyaanku malah balik bertanya. Apakah kau ingin mampus?!"
Mendengar kata-kata itu si orang tua tampaknya kurang senang. Pemuda di sebelahnya malah berbisik geram.
"Sudahlah, Eyang. Kenapa mesti meladeni orang gila sepertinya. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan."
"Bocah sial! Apa katamu? kau bilang aku gila? Ingin cepat mampus kau rupanya!" mata Setan Alam Kubur melotot garang.
"Mayat hidup sial! Kau pikir aku takut...."
"Permana! Sudahlah...." Si Orang tua yang agaknya guru dari kedua muda-mudi itu berusaha untuk mencegah mulut lancang yang di panggilnya Permana.
Tapi Setan Alam Kubur tampaknya sudah marah mendengar ocehan pemuda itu, sebab dengan tiba-tiba saja tubuhnya bergerak ringan ke arahnya.
"Permana, awas!"
"Plak!"
"Akh!" Orang tua itu bermaksud melindungi muridnya dengan mendorong Permana. Tangan kanannya berusaha menangkis lengan Setan Alam Kubur yang bermaksud menghantam batok kepala Permana. Tapi bukan main terkejut hatinya karena merasakan tangannya terasa perih dan sakit bukan main.
"He he he he...! bagus, kau mau mewakili bocah itu? Nyawanya telah berada di tanganku, karena kau mencoba menghalangi, maka kau boleh mampus lebih dulu!" dengus Setan Alam Kubur geram.
"Ki sanak, barangkali ini hanya soal salah paham belaka. Ada baiknya kita selesaikan secara baik-baik. Maafkanlah muridku. Dia memang tak tahu apa-apa soal sopan-santun. Apalagi kita sesama teman sendiri yang merupakan tamu di sini. Tak baik rasanya bermusuhan...."
"Siapa yang jadi tamu? Keparat kau! kau pikir aku serendah derajatmu?! Jala Tunda yang kau sebutkan, sudah mampus di tanganku!"
"Apa...?"
"Kerbau budek! Aku tuan rumah di sini. Kau harus menuruti apa kata-kataku. Ayo, bersujud tiga kali!" sentak Setan Alam Kubur sambil menuding ke bawah telapak kakinya.
"He he he..."
"Sial! mau membantah kau rupanya?!"
"Ki sanak, kau ternyata sudah keterlaluan sekali. Biarpun nama Iblis Pedang Delapan tak di kenal di mana-mana, tapi siapa sudi kau hina begitu rupa!" sahut orang tua itu yang menyebut dirinya sebagai Iblis Pedang Delapan mulai tak senang.
"Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus!"
"Hup!"
"Yeaaa...!"
Tiba-tiba saja tubuh Setan Alam Kubur langsung mencelat menyerang si orang tua bergelar Iblis Pedang Delapan dengan kedua tangan terpentang membentuk cakar. Iblis Pedang Delapan melompat bagai harimau menerkam, kemudian menjatuhkan diri ketanah dengan kedua kaki terangkat bermaksud menghantam perut lawan.
"Crak!"
"Uts!"
"Heh!" Iblis Pedang Delapan terkejut ketika kaki lawan tertekuk dan kuku-kuku yang tajam menyambar permukaan telapak kakinya. Buru-buru dia menarik pulang serangan. Namun tak urung kulit kakinya tergores meski sedikit. Belum lagi dia menguasai diri untuk bergulingan dan bermaksud bangkit, dari arah belakang, Setan Alam Kubur kembali menyambar dengan cepat kearah tengkuknya.
"Yeaaa...!"
"Wuuut!"
"Hiiih...!" Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori Iblis Pedang Delapan, belum pernah sebelumnya dia menemui lawan segila ini. Gerakannya cepat bukan main dan ganas seperti ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan. Dan yang paling penting dari semua itu, adalah bau busuk menyengat setiap kali dia bergerak. Berkali-kali Iblis Pedang Delapan terpaksa menutup jalan nafas setiap kali mereka bertarung pada jarak dekat.
Kalau tidak, bukan saja perutnya yang mual, tapi bau busuk itu pun seperti menyumbat tenggorokannya. Iblis Pedang Delapan jadi serba salah. Bertarung dengan jarak dekat dia mengambil resiko parah, sebaliknya bertarung dengan jarak jauh tak kurang celakanya karena serangan lawan yang cepat seperti tak terduga dari mana datangnya. Hanya karena kelincahannya bergerak dan ilmu peringan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sempurna, hingga dia bisa lolos dari serangan maut Setan Alam Kubur. Tapi hal itu pun rasanya tak bisa berlangsung lama. Dalam dua jurus di muka pasti dia akan kehabisan nafas diserang secara beruntun begitu
"Sriiing!"
"Ha ha ha ha...! Kenapa tidak sejak tadi kau gunakan penggebuk lalat itu? Ayo kemari biar kutunjukkan bagaimana caranya menggebuk lalat!" ejek Setan Alam Kubur.
"Maaf, Ki sanak. Kau terlalu memaksa. Aku tak pilihan selain membela diri dan menyelamatkan selembar nyawaku!" sahut Iblis Pedang Delapan.
"Aaaah... kenapa banyak omong segala! Dasar kerbau budek pengecut! Meski kau menggunakan senjata apa pun, mana bisa Setan Alam Kubur kau takut-takuti!"
"Huh! Terimalah jurus Pedang Bersayap Delapan!" sentak Iblis Pedang Delapan sambil memainkan suatu jurus pedangnya. Orang tua itu menyadari bahwa lawan menyerangnya dengan sunguh-sungguh dan menginginkannya nyawanya. Dan merasakan bahwa serangannya berat dan berhawa maut, Iblis Pedang Delapan tak bisa berlaku ayal-ayalan kalau tak ingin nyawanya melayang. Tak heran bila akhirnya dia langsung mengeluarkan jurus andalannya.
"He he he he...! Bagus! Cukup hebat, tapi tak cukup untuk membuat gembira!" ejek Setan Alam Kubur sambil melejit ke sana ke mari menghindari serangan lawan yang bertubi-tubi.
Sungguh gila apa yang dilakukan orang berwajah buruk itu. Jurus Ilmu pedang lawan sungguh dahsyat dan mematikan, tapi dengan seenaknya dia menghindari sambil tertawa-tawa mengejek.
"Bangsat!" maki Iblis Pedang Delapan sambil menghantamkan pukulan yang mengeluarkan sinar ungu dari telapak tangan kirinya ke arah lawan.
"Uts! Keparat! mau main api rupanya kau! Baik. Kau yang memulai maka kau pula yang harus menanggung akibatnya!" geram Setan Alam Kubur sambil menggosokkan kedua telapak tangan. Dari situ keluar asap kelabu mengepul yang dengan cepat berganti menjadi hitam.
"Yeaaa...!" Tubuhnya mencelat dengan kedua tangan membentuk cakar menyerang Iblis Pedang Delapan. Saat itu pula si orang tua menangkis sambil menyabetkan pedang.
"Uts!"
"Trak!"
"Heh!"
"Yeaaa...!"
"Glaaar!"
Tubuh Setan Alam Kubur meliuk menghindari sabetan pedang lawan. Tapi kuku-kuku tangan kirinya yang runcing, tajam, dan kuat menghantam tubuh pedang hingga patah menjadi dua bagian. Iblis Pedang Delapan terkejut bukan main. Senjatanya bukanlah sembarangan. Tapi warisan leluhur dari guru-gurunya terdahulu dan telah dibuktikan kehebatannya sampai sekarang.
Tapi dengan mudah Setan Alam Kubur mematahkannya dengan kuku-kuku tangan. Dalam keterkejutannya itulah Setan Alam Kubur langsung menghantamkan pukulan dahsyatnya yang bernama Setan Hitam dan tak mampu di elakkan oleh Iblis Pedang Delapan. Iblis Pedang Delapan tak mampu berteriak sedikit pun. Tubuhnya hancur seperti terkena ledakan dahsyat.
"Eyang Guru...!" teriak kedua muda-mudi itu berseru kaget sambil memburu tubuh si orang tua yang hancur berantakan.
"Ha ha ha ha...! Kerbau-kerbau dungu yang merasa dirinya hebat tiada tertandingi akan mampus di tangan Setan Alam Kubur! ha ha ha ha...! Kalian semua akan mampus di tangan Setan Alam Kubur?" teriak orang berwajah buruk itu dengan suara nyaring.
"Setan keparat! kau harus mampus untuk menebus kematian Guruku!" bentak Permana sambil berbalik dan menatap wajah orang itu dengan garang.
"Eit! Bocah celaka! Rupanya kau ingin buru-buru menyusul Gurumu? Ke sini biar kupecahkan kepalamu!"
"Sriiing!"
"Mampus!"
"Uts! Masih mentah, bocah. Kau perlu belajar satu abad lagi untuk bisa menandingiku!"
"Kakang, aku akan membantumu membinasakan iblis keparat ini! Yeaaa...!"
"Dewi, jangan. Pergilah kau dari sini. Dia bukan lawanmu!" cegah Permana khawatir melihat adik seperguruannya itu telah mencabut pedang dan ikut-ikutan menyerang Setan Alam Kubur. Permana mengetahui kalau saja Gurunya binasa di tangan tokoh ini, maka perlawanannya pun akan sia-sia. Tapi itu masih di pandangnya bagus ketimbang menjadi seorang pengecut dan hidup membawa beban melihat Gurunya tewas tanpa terbalas. Meski nyawanya jadi taruhan.
"Tidak, Kakang! Si Keparat ini harus mampus di tangan kita berdua!" sahut Dewi berkeras.
"Pergilah kau dari secepatnya. Iblis ini bukan tandinganmu. Kau akan mengorbankan nyawa sia-sia. Biar aku yang menghadapinya!" bentak Permana.
Tapi gadis itu sudah tak memperdulikan lagi kata-kata saudara seperguruannya. Dia terus menempur Setan Alam Kubur dengan gencar.
"He he he he...! Kalian pikir bisa membuatku binasa dengan menari-nari begini? Huh! Jangan harap. Seratus orang seperti kalian belum tentu mampu menjatuhkan Setan Alam Kubur!" dengus Setan Alam Kubur dengan sikap pongah.
"Setan Alam Kubur, kau pikir hanya kau sendiri yang jago di atas dunia ini?! Huh! Aku pun mampu membuatmu mampus!" sentak Permana ketus.
"Sial! Bocah sepertimu memang tak seharusnya dibiarkan hidup lebih lama, mampuslah kau sekarang! Hiiih...!"
"Wuuut!"
"Trak!"
"Heh!"
"Breeet!"
"Aaaa...!"
"Kakang Permana...!" teriak Dewi memekik nyaring melihat leher saudara seperguruannya robek dan mengucurkan darah dengan deras. Ketika cakar tangan kiri Setan Alam Kubur bergerak menyambar dada Permana, saat itu pula pedang Dewi menyambar lehernya. Setan Alam Kubur berbalik dan menangkis hingga pedang itu patah. Permana terkejut, saat itulah cakar kanan lawan menyambar.
"Hi hi hi hi...! Bocah dungu yang sok jago. Kau pikir bacotmu bisa membuktikan kehebatanmu? Puiiih...!" Setan Alam Kubur tertawa keras sambil meludah berkali-kali.
Gadis itu bersujud sambil tak henti menitikkan air mata melihat keadaan tubuh Permana yang seperti diterkam binatang buas. Masih sempat dia menyaksikan Permana menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih sebelum akhirnya diam tak bergerak untuk selamanya.
"Eyang Guru... Kakang Permana. Tenanglah kalian dialam sana. Aku bersumpah akan membalaskan sakit hati dan dendam ini!" geram gadis itu sambil memungut pedang Permana yang tergeletak tak jauh darinya.
"Ha ha ha ha...! Betina tolol. Kau pikir bisa berbuat apa padaku? Ke sinilah cepat kalau kau pun ingin menyusul mereka!"
Perlahan-lahan Dewi berbalik dan menatap tajam ke arah Setan Alam Kubur. Sinar matanya menunjukkan kebencian dan dendam yang menyala-nyala. Dengan pedang menyilang di dada dia mendesis sinis.
"Setan Alam Kubur, kau harus mampus ditanganku!"
"Ha ha ha ha...!"
"Yeaaa...!"
"Hup! Sial...!"
"Trak!"
"Bret!"
Suara tawa Setan Alam Kubur berhenti seketika ketika ujung pedang si gadis menyambar tenggorokannya. Sambil memiringkan kepala, tangan kanannya bergerak menyambar pedang lawan dan dengan sekali sentil pedang itu patah menjadi dua. Tapi si gadis seperti tak memperdulikan keadaan lagi. Kepalan tangannya sudah langsung melayang ke wajah lawan diiringi pengerahan tenaga dalam kuat. Setan Alam Kubur berkelit dan kuku-kuku kirinya menyambar dada gadis itu hingga bajunya robek menampakkan belahan dadanya yang membusung lebar dan sempat menggurat kulit tubuhnya hingga mengeluarkan darah.
"Hi hi hi hi...! Gadis perawan yang malang. Sayang mataku terbelalak melihat kemolekan tubuhmu, tapi nafsuku tak berhasrat lagi untuk itu selain ingin melihat darah membanjir di tubuhmu!" kata Setan Alam Kubur kemudian menggeram buas.
"Yeaaa...! Mampuslah kau jahanam!"
"Plak!"
"Hiyaaat...! Heh!"
Gadis itu mengeluh kesakitan ketika kepalan tangannya di tangkis lawan. Saat itu pula telapak tangan kanan Selan Alam Kubur telah siap untuk menghancurkan batok kepala si gadis. Tiba-tiba langit menjadi gelap dan saat itu pula menyambar angin kencang menderu ke arah keduanya. Setan Alam Kubur terkejut dan memaki tak karuan ketika tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah.
"Bajingan keparat! Perbuatan siapa ini?! Ayo, tunjukkan dirimu!" bentaknya sambil membalas dan menghantamkan pukulan maut Setan Hitam yang dahsyat dan menyemburkan bau busuk yang menusuk hidung.
"Khraaaghk...!"
"Heh?!" Setan Alam Kubur terkejut ketika melihat seekor burung Rajawali berukuran raksasa terbang membumbung ke angkasa sambil mengibaskan sayap menghalau pukulannya. Tapi pukulan itu hanya tertahan sesaat, dan burung yang terlihat cerdik itu dengan cepat menguncupkan sayap hingga pukulan lawan lewat beberapa inci dari sayapnya, untuk kemudian terus membumbung tinggi dengan kedua kaki mencengkeram sesosok tubuh.
"Keparat! Awas kau kalau bertemu sekali lagi! Binatang celaka, kau akan mampus di tanganku!" bentak Setan Alam Kubur memaki tak karuan mengumpat sumpah serapah.
Masih sempat dua kali dia melepaskan pukulan Setan Hitam. Yang pertama dapat dielakkan burung Rajawali raksasa ilu dengan terus bergerak cepat dan membumbung tinggi. Dan yang kedua, pukulan itu terhenti pada jarak tertentu karena tak mampu menjangkau ketinggian burung itu terbang. Sampai burung itu lenyap dari pandangan, Setan Alam Kubur masih terus memaki-maki sambil berteriak-teriak marah.
********************
ENAM
Setelah selesai memanen sawah, Rangga mengikuti para petani itu ke pondok mereka. Sampai menjelang sore hari, tak terlihat tanda-tanda Perguruan Tengkorak Merah mengirim utusan untuk membuat perhitungan dengannya. Rangga mulai tak betah sementara orang-orang desa mulai sibuk mengangkut hasil padi, dia meninggalkan desa sesaat untuk berjalan-jalan mengitari desa itu.
Jarak desa ini dengan Pesisir Utara tak begitu jauh hanya di batasi oleh beberapa bukit kecil membuat bentuk pantainya tak semua landai. Nun jauh di atas sebuah bukit yang agak menjulang, bertengger Perguruan Tengkorak Merah yang selama ini membuat kekacauan di mana-mana. Ada keinginan Rangga untuk langsung menyatroni ke sana, tapi tak ada alasan khusus yang menyurutkan niatnya kesana. Sambil menghela nafas, dia meneruskan langkah mendaki sebuah bukit kecil yang tak begitu jauh dari desa itu.
Tiba di ujungnya, bukit itu buntu. Jurang di bawahnya adalah batu karang dan ombak yang terus menghantam dasar bukit ini. Angin bertiup semilir melambai-lambaikan rambutnya yang panjang. Hewan malam mulai keluar satu persatu. Sementara di permukaan laut terlihat burung camar dan kelelawar beterbangan saling berkejaran.
"Hmm, sudah lama sekali aku tak bertemu dengan sobatku. Tentu dia pun rindu padaku," gumam Rangga.
Pemuda itu kemudian mendongakkan wajah ke angkasa sambil memperhatikan kesekeliling tempat itu.
"Mudah-mudahan dia bisa mendengar isyaratku..." lanjutnya kembali sambil memasukkan dua jari tangan ke mulut.
"Suiiit...!" Terdengar suitan panjang dari mululnya. Rangga menunggu beberapa saat. Kemudian kembali meluncur dari mulutnya suitan panjang yang melengking untuk kedua kalinya. Dan kali ini mulai terlihat bintik hitam di angkasa yang sedikit demi sedikit melebar dan menunjukkan rupa seekor Rajawali raksasa.
"Krakh...!"
"Eh, siapa yang kau bawa ini?!" tanya Rangga kaget ketika melihat sesosok tubuh wanita dalam cengkeraman Rajawali raksasa itu. Buru-buru dia menangkap tubuh itu sebelum burung Rajawali tersebut menjejakkan kakinya. Diperiksanya sesaat dan melihat luka cakar dibagian dada gadis itu. Rangga merasa sedikit jengah melihat pemandangan di depan matanya itu. Tapi gadis ini harus cepat ditolong karena sekujur tubuhnya mulai menghitam.
"Gadis itu terkena racun ganas. Masih untung kau cepat menolongnya. Kalau tidak nyawanya pasti tak akan tertolong lagi," desis Rangga sambil membaringkan tubuh gadis yang sedang tak sadarkan diri itu. Rangga merapatkan kedua belah telapak tangannya beberapa saat hingga terlihat perlahan-lahan memerah sambil mengepulkan asap tipis.
"Hup!"
"Plak!"
Ditempelkannya sebelah telapak tangannya kebagian dada si gadis persis di atas luka bekas cakaran itu. Wajahnya tampak berkerut seiring dengan hela nafasnya yang semakin kencang. Butir-bulir keringat mulai keluar dari pori-porinya. Tapi usahanya tak sia-sia karena sedikit demi sedikit bagian menghitam di dada gadis itu sirna, dan....
"Yeaaa...!"
"Glaaar!"
Rangga menarik telapak tangannya sambil berteriak keras dan menghantam sebuah batu karang hingga hancur berkeping-keping. Bersamaan dengan itu si gadis sadar dan memuntahkan darah kental yang bergumpal-gumpal sebesar jempol tangan berwarna kehitam-hitaman.
"Ayo, terus muntahkan sisa-sisa racun di tubuhmu!" ujar Rangga sambil menyandar si gadis pada sebuah batu dan mengusap punggungnya dari bawah ke atas.
"Hoeeekh...!" Gadis itu menyemburkan sisa-sisa racun terakhir yang mengendap di tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal. Rangga masih mengurut-urut punggungnya hingga pernafasan gadis itu perlahan-lahan membaik.
"Heh, siapa kau?!" sentak gadis itu sambil menutupi bagian dadanya yang terbuka begitu menyadari bahwa seorang pemuda yang tak dikenalnya mengusap-usap punggungnya. Wajahnya yang masih pucat tampak garang dan menunjukkan ketidaksenangannya atas perbuatan yang dilakukan pemuda itu. Tapi begitu melihat darah kental berceceran di sekitar tempat itu, sikapnya berubah lain. Lebih-lebih ketika melihat seekor burung raksasa bertengger tak jauh dari situ. Mengertilah dia apa yang telah terjadi. Dengan wajah malu-malu ditundukkannya kepala.
"Ni sanak, maaf kalau kau tak suka dengan caraku. Melihat kau terluka parah aku bermaksud menyelamatkan kau dari kematian. Syukurlah sobatku itu buru-buru membawamu kesini..." ujar Rangga pelan.
"Ng.... terima kasih atas pertolonganmu...."
"Nisanak, maaf kalau kau tak suka dengan caraku. Melihat kau terluka parah, aku hanya bermaksud menyelamatkan kau dari kematian. Syukurlah sobatku ini buru-buru membawamu kemari...," ujar Rangga menjelaskan.
"Ng.... terima kasih atas pertolonganmu..." sahut gadis yang tampak masih lemah itu.
"Sudahlah. Bukankah itu hal biasa sesama manusia saling tolong menolong. Kalau tak keberatan, bolehkah aku mengetahui kenapa kau bisa sampai begitu? Agaknya kau baru saja bertarung dengan tokoh yang amat kejam...."
Gadis itu tak buru-buru menyahut setelah mengangguk perlahan. Bola matanya menerawang jauh ke ujung permukaan laut yang bertaut dengan batas cakrawala. Wajahnya terlihat murung. Rangga menyadari bahwa gadis ini tentu lelah mengalami peristiwa hebat yang membuat batinnya terguncang. Maka dia tak terlalu memaksa, dan hanya diam sambil sesekali memperhatikan dan mengelus-elus bulu leher Rajawali raksasa yang merupakan teman dekatnya itu.
"Guru dan Kakak seperguruanku tewas olehnya...."
"Tewas oleh siapa...?"
"Manusia berwajah buruk dan berbau busuk yang menamakan diri sebagai Setan Alam Kubur...."
"Setan Alam Kubur? Baru kudengar nama itu. Siapa gerangan gurumu hingga bisa tewas ditangannya? Apakah kalian mempunyai urusan dendam dengannya?"
"Tidak. Bahkan tak ada urusan sama sekali. Guruku bergelar Iblis Pedang Delapan. Kami bermaksud untuk mengunjungi Ki Jala Tunda karena beliau mengundang. Guruku tadi menyangka bahwa Setan Alam Kubur adalah juga salah seorang tokoh yang diundang oleh Ki Jala Tunda. Tapi ternyata tidak. Bahkan dia mengaku telah membunuh Ki Jala Tunda..." kata gadis itu menjelaskan.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita gadis itu. Hatinya sedikit tak enak karena dia telah menolong murid salah seorang tokoh golongan hitam, bahkan sekutu Ki Jala Tunda yang sudah jelas perbuatannya sangat merugikan rakyat. Tapi hati kecilnya yang lain seolah menghibur dan mengingatkan bahwa menolong manusia tak boleh pandang siapa orangnya.
"Jadi sekarang apa yang akan kau lakukan?" Tanya Rangga hati-hati.
"Iblis itu harus mati di tanganku!" dengus gadis itu sambil mengepalkan tangan.
Rangga tak memberikan reaksi mendengar tekad gadis itu. Dalam hatinya cuma merasa yakin bahwa tindakan gadis itu hanya sia-sia belaka. Sebab kalau saja gurunya dapat dikalahkan bahkan tewas di tangan tokoh yang bernama Setan Alam Kubur, mana mungkin dia mampu membalaskan dendam dengan kepandaian yang dimilikinya saat ini.
Ada hal yang membuat pemuda itu tak habis pikir. Siapa sebenarnya Setan Alam Kubur itu? Apakah dia salah seorang tokoh pembela kebenaran yang muak dengan sepak terjang Ki Jala Tunda beserta murid-muridnya selama ini? Ataukah tokoh golongan hitam dan bermaksud membantai mereka satu persatu?
Seribu satu pertanyaan menggantung di benak pemuda yang dikenal dengan gelar Pendekar Rajawali Sakti itu. Dalam keadaan demikian tiba-tiba Rangga tersentak kaget melihat asap hitam mengepul ke angkasa dari arah desa yang tadi ditinggalkannya.
"Heh...? Desa itu kebakaran. Apa yang terjadi?"
Buru-buru dia naik ke punggung Rajawali itu dan bermaksud untuk meninggalkan puncak bukit itu secepatnya ketika burung Rajawali itu berteriak kecil mengingatkan.
"Astaga, hampir lupa! Nisanak, apakah kau ingin tinggal di sini atau ikut denganku?" tanyanya pada si gadis.
Gadis itu menoleh dengan pandangan lesu dan belum memberikan jawaban.
"Ayolah! Aku tak bisa berlama-lama membiarkan keadaan desa itu. Di sana pasti ada kekacauan."
"Na... naik ke punggung burung itu...?" tanyanya ragu.
"Kenapa? Takut? Bukankah tadi kau malah dicengkeramnya? Ayo, cepat naik!"
Rangga terpaksa turun dari leher Rajawali itu dan menarik lengan gadis itu yang masih ragu-ragu beranjak dari tempatnya semula. Meski dengan hati gamang, tapi akhirnya gadis itu pun menurut dengan hati-hati sekali. Ketika Rajawali itu melesat ke angkasa, rasa takutnya tak terbendung lagi. Dengan cepat di peluknya tubuh Rangga dari belakang seperti tak hendak dilepaskannya.
"Berpegang erat-erat ya? Awas! kalau lepas kau pasti akan jatuh. Dan tahu sendiri akibatnya kalau jatuh dari ketinggian saat ini. Tentu tubuhmu tak akan berbentuk lagi begitu tiba di bawah!" teriak Rangga sambil tersenyum dalam hati.
Gadis itu cuma diam tak banyak bicara. Meski wajahnya jengah dan perasaan hatinya tak karuan, tapi pelukan di punggung pemuda itu tak dilepaskannya. Meski... Rangga merasakan bukit kembar gadis itu seperti membuat detak jantungnya lebih kencang berbunyi!
Burung Rajawali raksasa itu melesat cepat dan berputar-putar sesaat di atas rumah-rumah di desa itu yang hancur berantakan di amuk api. Kemudian menukik perlahan dan turun di tanah yang agak luas. Rangga dan gadis itu cepat melompat turun dan melihat mayat-mayat bergelimpangan di mana- mana.
"Astaga! Apa yang telah terjadi di sini?!" serunya kaget. Dia memeriksa satu-persatu mayat-mayat itu. Tampak di antara mereka bekas bacokan-bacokan senjata tajam di tubuh, dan luka-luka bekas cakaran. Rangga terkejut ketika melihat beberapa buah golok berhulu kepala Tengkorak tergeletak di sana.
"Hm, agaknya ketika aku ke atas sana orang-orang Tengkorak Merah datang dan mengacau di sini. Tapi... kenapa mereka pun tewas seperti tercakar hewan buas?" tanya Rangga semakin bingung.
Tiba-tiba dia teringat luka cakar yang dialami gadis yang bersamanya. Buru-buru dia menoleh, tapi gadis itu sudah tak ada di belakangnya.
"Sial! Kemana dia?"
"Kenapa kau menggerutu sendiri?"
"Heh?!" Rangga melihat gadis itu keluar dari salah satu rumah dan berganti pakaian. Mengertilah ia apa yang tadi dikerjakan gadis itu.
"Tak ada pakaian yang bagus. Tapi yang ini tak apalah, meski terlihat sebagai gadis desa..." kata gadis itu sambil melangkah ke dekat Rangga.
"Ni sanak, luka di tubuh orang-orang Tengkorak Merah ini sama dengan luka yang kau derita. Tahukah kau kira-kira kemana orang itu pergi?"
"Apakah Setan Alam Kubur yang kau maksud?"
Rangga mengangguk. Gadis ilu dilihatnya mengangkat bahu. "Mana kutahu dia pergi ke mana!"
Rangga menghela nafas pendek sambil menatap ke sekeliling.
"Oooh...!"
"Heh!" Rangga buru-buru melompat ke arah datangnya keluhan pelan yang sempat di dengarnya. Gadis itu pun mengikuti dari belakang. Seorang warga desa tampak terluka parah dengan nafas satu-satu. Rangga menyandarkannya ke tiang rumah, meski wajah laki-laki berusia lanjut itu terkulai layu.
"Kuatkan dirimu, Ki sanak! Katakan padaku, siapa yang melakukan semua ini?"
"Orang-orang Tengkorak Merah... tapi kemudian seorang yang mengaku bernama Setan Alam Kubur menghabisi semuanya," sahut orang tua itu lemah.
Setelah berkata demikian nafasnya terhenti untuk selamanya. Nyawa orang itu tak tertolong lagi. Rangga menghela nafas sesak sambil melepaskan pangkuannya pada orang tua itu. Dia berdiri dengan wajah garang.
"Biadab! Orang-orang itu ternyata tak kapok-kapoknya!"
"Siapa yang kau maksud? Apakah orang-orang Perguruan Tengkorak Merah?" tanya gadis di dekatnya.
Rangga cuma mendengus pelan. Kemudian katanya. "Ya, kenapa? Kau ingin membela perbuatan-perbuatan mereka yang terkutuk?!"
Setelah berkata begitu Rangga langsung keluar dan berdiri di dekat burung Rajawali raksasa itu dan menatap ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan dengan hati geram. Gadis itu sendiri melangkah pelan mendekatinya.
"Maaf, aku tak punya maksud menyinggung perasaanmu. Apakah kau berpikir bahwa orang-orang itu merupakan teman-temanku...?" tanya gadis itu lirih
"Kalau Gurumu berteman dengan mereka, lalu apa namanya kalau kau tak berteman dengan mereka juga?"
"Ki sanak, kita belum saling mengenal, kenapa kau menuduhku begitu?"
Rangga diam tak menjawab. Gadis itu pun membisu beberapa saat lamanya. "Memang benar Guruku tokoh golongan hitam, tapi tak berarti bahwa aku pun sering berbuat keonaran di mana-mana. Aku bahkan tak tahu apa yang dilakukan Guruku selama ini. Beliau baru saja kali ini mengajak kami untuk turun gunung...." kata gadis itu bercerita lirih.
Rangga hanya menoleh sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangan.
"Aku tak memaksamu untuk percaya dengan ceritaku. Sejak kecil aku dipungut Guruku dan tak pernah tahu siapa kedua orangtuaku. Beliaulah yang selama ini mengasuhku. Tapi apakah berarti bahwa dosa beliau harus di pikul olehku..." lanjut gadis itu.
"Maafkanlah, aku tak bermaksud menuduhmu begitu..." akhirnya keluar juga kata-kata penyesalan dari mulut Rangga.
"Tak apa. Aku bisa mengerti kalau kau curiga begitu mengetahui siapa Guruku. Dengan begitu aku bisa mengetahui siapa kau sebenarnya. Kalau bukan musuh Guruku tentu kau adalah seorang pendekar yang selalu membela kebenaran...."
"Aku cuma pengembara biasa...."
Gadis itu tersenyum kecil. "Guruku pernah bercerita tentang tokoh-tokoh rimba persilatan. Baik mereka yang termasuk golongan hitam mau pun putih. Juga tentang seorang tokoh persilatan yang belakangan ini namanya amat menggemparkan dunia persilatan. Orang itu memiliki burung Rajawali raksasa dan mempunyai ciri-ciri khusus yang kau miliki saat ini. Hanya saja tadi aku belum sempat memperhatikan. Ki sanak, apakah kau yang memiliki gelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanya gadis itu sambil menatap Rangga dalam-dalam.
Rangga cuma tersenyum kecil. "Tak salah. Matamu sungguh jeli. Tapi kalau dikatakan aku menggemparkan rimba persilatan, pastilah itu karena kebodohanku yang tak becus apa-apa..." sahut Rangga merendah.
"Satu hal pula yang ku dengar memang tak salah dengan kenyataan yang saat ini kulihat."
"Apa?"
"Pendekar Rajawali Sakti memang suka merendahkan diri...."
"Sudahlah, Ni sanak. Kau terlalu banyak memuji orang. Tapi itu tak adil. Kau tahu aku sedangkan aku tak tahu siapa kau."
"Kenapa tak adil? Kau justru lebih tahu siapa kau, dan kau yang belakangan tahu siapa kau."
Rangga kembali tersenyum kecil. "Namaku Rangga..." katanya pelan.
"Panggil saja aku Dewi, atau Dewi Komalasari."
"Nah, Dewi. Kurasa cukuplah pertemuan kita sampai disini. Kau bisa melanjutkan perjalananmu," lanjut Rangga bersiap naik ke leher Rajawali raksasa itu.
Dewi Komalasari tampak diam tak berusaha beranjak. Pandangannya lirih menatap langit senja yang mulai tampak. "Aku tak tahu harus kemana membawa langkah kakiku ini. Kalau ada satu urusan yang harus kukerjakan adalah membalaskan sakit hati Guru dan Saudara seperguruanku..." sahut Dewi perlahan dengan nada lirih.
Rangga jadi bingung mendengar kata-kata Dewi Komalasari. Tak mungkin rasanya dia terus-terusan membawanya kemana-mana.
"Kau sendiri akan ke mana?" tanya Dewi sambil menatap Rangga.
"Aku akan mencari orang yang menamakan dirinya Setan Alam Kubur."
Wajah Dewi Komalasari tampak berseri. Buru-buru dia bangkit dan mendekati Rangga. "Rangga, tak keberatankah bila aku ikut menyertaimu? Paling tidak kau bersedia mengantarkanku pada orang itu."
"Siapa? Setan Alam Kubur?"
Dewi Komalasari mengangguk. Rangga menghela nafas. Gadis itu seperti mengerti melihat reaksi Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tahu kau pasti meremehkanku. Tapi apa artinya aku hidup bila tak bisa membalas budi pada orang yang selama ini telah mengasuhku sedari kecil. Walaupun kau tak sudi mengajakku, aku akan tetap mencari orang itu dan membuat perhitungan dengannya meskipun nyawaku menjadi taruhannya...."
Mendengar tekad gadis itu yang tak bisa dihalangi lagi, Rangga tak punya pilihan selain mengajaknya. Begitu mendengar pemuda itu menganggukkan kepala, gadis itu cepat melompat ke leher burung Rajawali raksasa sambil berseru girang.
"Terima kasih, Rangga. Paling tidak aku bisa merasakan kembali enaknya melayang di angkasa di atas leher sobatmu ini. Tapi ingat! Jangan lagi kau gunakan akal bulusmu untuk mencuri kesempatan di saat aku dalam kesempitan!"
Rangga terkekeh dan melompat di depan gadis itu, Sesaat saja Rajawali raksasa itu telah membumbung tinggi di angkasa yang semakin lama menjadi sebuah tilik di angkasa nan luas.
********************
TUJUH
Kalau saja di Pesisir Utara ini memiliki perguruan silat beraliran hitam yang amat terkenal, yaitu Perguruan Tengkorak Merah. Maka sebaliknya juga terdapat banyak perguruan silat yang beraliran putih. Satu di antaranya yang paling berpengaruh adalah Perguruan Merpati Putih dengan Ki Sempang Arga sebagai Ketuanya. Di bandingkan dengan Perguruan Tengkorak Merah, memang jumlah murid-murid Perguruan Merpati Putih tak separuh jumlah mereka.
Tapi bukan berarti ilmu olah kanuragan Ki Sempang Arga kalah jauh dengan Ki Jala Tunda. Bahkan selama ini Ketua Perguruan Tengkorak Merah itu amat segan padanya. Tapi karena Ki Sempang Arga tak pernah mengusik-usik segala tindak tanduk Ki Jala Tunda, maka Ketua Perguruan Tengkorak Merah cuma mendiamkannya saja.
Tapi sebenarnya tidak demikian. Ki Sempang Arga pun memiliki perasaan kesal dan geram dengan segala kelakuan Ki Jala Tunda dan murid-muridnya yang selalu sewenang-wenang. Namunsebagai orang tua yang selama ini selalu berusaha bersikap arif dan adil, dia tak bisa langsung menuduh dan menyerang orang begitu saja tanpa alasan yang jelas.
Bukti bahwa beliau amat memperhatikan dan memprihatinkan segala tindak-tanduk yang dilakukan Perguruan Tengkorak Merah adalah dengan mengundang semua ketua tokoh perguruan putih di daerah Pesisir Utara ini. Di antaranya yang hadir adalah Ki Saba Lolo, Ketua Perguruan Bulan Sabit dan Ki Jenjang Pipit, Ketua Perguruan Toya Sembilan serta Ki Anusa Gengger dari Perguruan Teratai Perak. Juga terlihat hadir Ki Cadas Welus yang suka angin-anginan dari Perguruan Ular Terbang dan Ki Ageng Selar dari Perguruan Tapak Nenggala.
Kehadiran tokoh-tokoh itu atas undangan Ki Sempang Arga. Tak lain untuk mencari jalan mengatasi sepak terjang Ki Jala Tunda yang mulai melebarkan pengaruh dan kekuasaannya di daerah-daerah yang dekat dengan mereka. Belum sampai menganggu keamanan di mana Perguruan-perguruan itu berada, tapi pengaruhnya seperti mengusik kehadiran mereka yang tak bisa didiamkan begitu saja.
"Kenapa mesti pusing segala. Kita datang saja Perguruan Tengkorak Merah dan minta pertang-gungjawaban Ki Jala Tunda atas segala kelakuan murid-muridnya selama ini!" kata Ki Ageng Selar yang terkenal berangasan.
"Tak bisa begitu, Ki Ageng Selar. Kita harus pasti bahwa hal ini perbuatan murid-murid Perguruan Tengkorak Merah. Soalnya mereka sering menyamar seolah-olah itu perbuatan perampok-perampok liar," sela Ki Anusa Gengger.
"Betul apa yang di katakan Ki Anusa Gengger. Sebaiknya toh kita mencari cara bagaimana membuktikan bahwa perbuatan-perbuatan bejat yang sering melanda desa-desa di wilayah Pesisir Utara ini adalah perbuatan murid-murid Tengkorak Merah," sahut Ki Jenjang Pipit.
"Tapi itulah sulitnya. Selain mereka memiliki kepandaian yang tinggi, orang-orang itu pun amat licin ditangkap!" geram Ki Saba Lolo.
"Alaaah...! Kenapa sih memikirkan sopan santun segala?"
"Aku setuju dengan pendapat Ki Ageng Selar. Untuk apa periksa dan bukti segala. Langsung saja kita ke Perguruan Tengkorak Merah dan minta pertanggungjawaban Ki Jala Tunda. Kalau dia mengelak berarti dia pantas mendapat hukuman!" ujar Ki Cadas Welus sengit.
Ki Sempang Arga langsung angkat bicara ketika perselisihan pendapat terjadi di antara mereka. "Ki sanak semua, kehadiran kita di sini untuk mencari cara bagaimana menanggulangi keresahan-keresahan yang selama ini terjadi di daerah kita masing-masing. Kesimpulan memang ada bahwa hal itu terjadi karena didalangi oleh seseorang, tapi belum bisa dipastikan hal itu di lakukan oleh orang-orang Tengkorak Merah. Kita harus hati-hati dalam hal ini. Jangan sampai tuduhan ini berlanjut menjadi fitnah yang tak berbukti. Karena itu bagaimana cara kita mencari bukti bahwa hal ini didalangi oleh orang-orang tertentu...."
"Ki Sempang Arga, maaf... bukan aku tak setuju dengan pendapatmu. Berbuat sabar dan bersikap demikian itu baik sekali pada keadaan yang benar. Tapi soal ini lain. Kita tak perlu menutupi diri dan mencoba berbuat seperti malaikat dengan menarik garis lurus antara hal yang nyata dan tidak. Ini soal nyata, dan beberapa orang di antara murid-muridku pernah memergoki bahwa mereka adalah murid-murid Tengkorak Merah!" sela Ki Cadas Welus tegas.
"Bagaimana mereka membuktikannya?" tanya Ki Saba Lolo.
"Ya, bagaimana murid-muridmu membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang Tengkorak Merah?" timpal Ki Jenjang Pipit.
"Itu soal mudah. Selama ini yang diketahui hanya orang-orang Tengkorak Merah yang memiliki ciri khas senjata golok yang berhulu kepala tengkorak. Tapi ketika mereka melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk, senjata mereka diganti. Begitu juga dengan lambang Perguruan mereka yang lain. Tapi satu hal yang mereka tak bisa rubah begitu saja adalah tato tengkorak di tiap-tiap dada murid Tengkorak Merah. Bentuknya kecil dan berada di dada sebelah kanan, dan tertutup oleh baju. Tapi ketika bentrok dengan beberapa orang murid-muridku sempat tersibak," jelas Ki Cadas Welus.
"Hm, kalau begitu buat apa ditunda lebih lama lagi. Sudah jelas sekarang siapa pelaku di balik semua kejahatan-kejahatan yang terjadi belakangan ini!" timpal Ki Ageng Selar.
Yang lain berdiam diri seolah meyakini cerita yang di paparkan Ki Cadas Welus. Orang tua itu memang sering bersikap angin-anginan dan mau menang sendiri. Tapi kalau urusan berbohong dia boleh di bilang hampir tak pernah. Maka tak heran bila mereka mempercayai kata-katanya. Tapi belum lagi Ki Sempang Arga mengeluarkan suara, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari arah luar yang disusul suara ketawa melengking yang memekakkan telinga. Tak lama kemudian tercium bau busuk yang menyebar di tempat itu. Serentak mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi.
"Ha ha ha ha...! Ayo maju semua kerbau-kerbau dungu! kemari kalau kalian ingin mampus! Ha ha ha ha...!"
Prak! Breeet!
"Aaaa...! Beberapa orang murid Perguruan Merpati Putih yang mencoba menahan amukan seorang bertubuh kurus dan berwajah buruk, tewas dengan kepala pecah dan leher robek seperti di cakar binatang buas. Pekik kematian dan bau anyir darah serta mayat-mayat bergelimpangan mewarnai pagi yang tadi terlihat cerah.
"Ha ha ha ha...! Dasar orang-orang tak berguna! Kalian pikir bisa menghalangi Setan Alam Kubur untuk mencabut nyawa busuk kalian semua?! hiiih...!"
Breeet!
"Aaaa...!" Dua orang kembali tewas dengan leher robek dicakar kuku-kuku orang yang menamakan diri Setan Alam Kubur itu.
"Hentikan!" bentak Ki Sempang Arga dengan suara menggeledek. Mendengar itu murid-muridnya langsung menghentikan penyerangan terhadap orang asing itu. Ki Sempang Arga beserta tokoh-tokoh yang lain turun ke lapangan dan melihat sesosok tubuh bagai mayat hidup dengan wajah buruk dan tubuh menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung.
"Ki sanak, siapakah kau dan mengapa datang tiba-tiba langsung mengamuk? Rasanya di antara kita tak ada perselisihan apa-apa, atau mungkin ada yang terlupa. Tapi kenapa tak kita bicarakan baik-baik?" sapa Ki Sempang Arga halus.
"Kutu kupret! Sial, agaknya kau tak mengenal nama Setan Alam Kubur. Apa kau mau kubuat mampus seperti mereka?!"
Ki Sempang Arga dan tokoh-tokoh yang lain menarik nafas mendengar jawaban itu. Tapi Ketua Perguruan Merpati Putih itu masih bisa menahan sabar.
"Hm... jadi Ki sanak bernama Setan Alam Kubur. Ada keperluan apakah hingga mengamuk dan membuat keonaran di tempatku ini?"
"Puiih! Tak perlu berbasa-basi. Siapa kau dan punya hak apa bertanya-tanya padaku? Aku melakukan apa saja yang kusuka. Kalau kau merasa tak suka, kau boleh mampus atau minggat dari sini setelah mencium telapak kakiku!" sentak Setan Alam Kubur dengan sikap sombong.
"Ki Sempang Arga, kenapa kau malah berdebat omong dengan manusia tak berguna ini? Kalau kau meladeninya berbicara samalah gilanya kau dengannya!" sindir Ki Cadas Welus mulai kesal melihat lagak orang itu.
"Apa katamu?! Keparat! Rupanya kau yang ingin lebih dulu mampus!" bentak Setan Alam Kubur melotot garang sambil melesat cepat ke arah Ki Cadas Welus dan mengirim serangan dahsyat.
Hup!
"Modar!"
"Modar bapak moyangmu! Aku masih hidup, monyet kesasar!" sahut Ki Cadas Welus sambil bergerak cepat menghindari serangan lawan.
Dalam serangan pertama memang dia mampu menghindari serangan lawan. Tapi pada serangan berikutnya, orang tua yang suka berbaju penuh tambalan itu di buat terkejut dengan angin serangan lawan yang bukan saja berbau busuk tapi penuh tekanan yang berhawa maut.
"Bangsat!" dengus Ki Cadas Welus ketika ujung kuku lawan nyaris merobek punggungnya.
Cara bertarung lawan memang tak kenal batas. Dia menyerang di mana saja sesukanya. Tak perduli dari belakang, membokong, atau berbuat curang. Sehingga kalau Ki Cadas Welus tak hati-hati menghadapinya. Nyawanya pasti melayang terkena hajaran lawan.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Jebol igamu!"
Breeet!
Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori orang tua yang suka ugal-ugalan ini. Gerakan lawan cepat bukan main dan sulit di duga ke mana arah serangannya yang utama. Ketika Ki Cadas Welus bergerak ke kiri, maka kuku kaki kanan lawan menyambar perutnya dengan tiada terduga karena Ki Cadas Welus mengkhawatirkan tangan kanan lawan yang siap menyodok dadanya.
Orang tua itu mengeluh kesakitan. Luka bekas cakaran itu terasa perih dan berdenyut cepat ke seluruh tubuh. Gerakan selanjutnya terasa lambat seperti otot-ototnya kaku. "Celaka! Kukunya beracun!" desis Ki Cadas Welus.
"Hiyaaat...! Setan Alam Kubur, terima seranganku!"
Plak!
Breeet!
"Aaaa...!" Ki Cadas Welus memekik kesakitan. Pada saat-saat terakhir ketika lawan menyerang, tiba-tiba Ki Ageng Selar berkelebat cepat bermaksud membantu menyerang Setan Alam Kubur.
Namun tanpa menoleh tubuh Setan Alam Kubur bergulung dua kali di udara dan melanjutkan serangan dengan merobek leher Ki Cadas Welus serta menangkis sodokan Ki Ageng Selar dengan kedua telapak kakinya. Kedua-tokoh itu mengalami nasib yang berbeda meski tak jauh. Tubuh Ki Cadas Welus tergeletak di tanah. Menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih menanti ajal.
Sementara Ki Ageng Selar sendiri terpental ke belakang mendapat hantaman kedua kaki lawan. Masih untung dia mampu bersalto dan mendarat mulus dengan kedua kakinya. Tapi tak urung dia terkejut karena merasakan telapak tangannya sakit bukan main akibat benturan tadi. Padahal dia telah mengerahkan segala tenaga dalamnya untuk membendung serangan lawan.
"Hi hi hi hi...! Cuma segitukah kepandaian kerbau-kerbau tolol ini?!" ejek Setan Alam Kubur sambil bertolak pinggang.
"Ki sanak, apa sebenarnya yang kau cari dalam hal ini?" tanya Ki Sempang Arga mulai kurang senang.
"Mungkin dia utusan orang-orang Tengkorak Merah..." kata Ki Ageng Selar.
"Betul. Bukankah Ki Jala Tunda memilik banyak kaki tangan?" timpal Ki Saba Lolo.
"Kerbau-kerbau dungu sialan! Apa yang kalian bicarakan? Puiih! Jangan coba-coba merendahkan derajatku. Orang-orang Tengkorak Merah kocar-kacir ku obrak-abrik, dan yang bernama Jala Tunda ku buat mampus. Sekarang giliran kalian!" bentak Setan Alam Kubur berang.
"Apa? Ki Jala Tunda tewas di tanganmu?" tanya Ki Sempang Arga seperti tak percaya.
"Sial! Apa gunanya aku berbantahan denganmu? mau percaya atau tidak, bukan urusanku!"
"Lalu urusan apa sampai kau mengamuk di sini?" tanya Ki Sempang Arga kembali.
"Dasar kerbau budek! Aku berbuat sesuatu yang kusuka. Tak peduli apa pun! kalau kalian tak suka boleh maju dan menyerangku beramai-ramai!"
"Dasar orang sinting!" maki Ki Ageng Selar.
"Monyet buduk! Mampuslah kau...!"
"Hup!"
Plak!
"Akh!" Setan Alam Kubur tampaknya memang berangasan dan pantang tersinggung. Mendengar Ki Ageng Selar memakinya, dia sudah langsung berkelebat menyerang orang itu.
Ki Sempang Arga dan yang lainnya tak bisa berbuat apa-apa. Dalam gebrakan dengan Ki Cadas Welus yang telah tewas, mereka dapat memperkirakan bahwa Setan Alam Kubur memiliki kepandaian yang tinggi dan sulit diukur. Ki Cadas Welus sendiri selama ini dikenal memiliki kepandaian yang tak rendah. Bahkan tak sembarangan orang mampu mengalahkannya. Kini dapat dijatuhkan dengan mudah oleh tokoh satu ini.
Sementara itu terlihat Ki Ageng Selar mengeluh kesakitan ketika berusaha menangkis pergelangan tangan lawan. Belum lagi dia sempat menguasai diri, ujung kuku tangan lawan nyaris merobek wajahnya kalau saja dia tak buru-buru melompat ke belakang sambil bersalto.
"Yeaaa...!"
Plak!
Breeet!
"Aaaakh...! Untuk kedua kalinya Ki Ageng Selar mengeluh kesakitan. Pada saat tubuhnya melompat ke belakang, Setan Alam Kubur terus bergerak mengikuti dan menyambar punggung. Namun dengan cepat Ki Ageng Selar mengibaskan tangan untuk menangkis. Tapi saat itu juga lawan terus berguling dan menyambar Ki Ageng Selar dengan kesepuluh kuku-kuku jarinya.
Ki Ageng Selar merasakan punggungnya terasa perih bukan main. Bahkan rasa sakit itu terus menjalar di seluruh bagian tubuhnya. Dia sadar bahwa cakar lawan yang mengenai tubuhnya mengandung racun hebat. Dengan segera dia mengempos hawa murni untuk mengusir racun yang mulai menjalar di sekujur tubuh dengan menarik nafas panjang. Tapi saat itu pula Setan Alam Kubur kembali menyerang tanpa memberi kesempatan sedikit pun pada lawan untuk memperbaiki keadaan.
"Yeaaa...!"
Plak!
Breeet!
"Aaaa...!" Ki Ageng Selar terpekik ketika perutnya robek di sambar cakar kaki lawan, hingga terlihat isi bagian dalam perutnya terburai keluar. Orang itu melolong kesakitan.
Meski dia sempat mengelak dan berusaha menepis serangan yang di lancarkan kedua belah tangan lawan. Namun dengan gesit tubuh Setan Alam Kubur berputar dan mengayunkan sebelah kakinya.
"Biadab!" maki Ki Sempang Arga geram.
"Setan Alam Kubur, mari bermain-main denganku!" seru Ki Saba Lolo sudah langsung menyerang dengan amarah yang meluap.
********************
DELAPAN
"He he he he...! kau lagi, kodok buduk? mari ke sini kalau ingin menyusul kedua temanmu!" ejek Setan Alam Kubur sambil terkekeh.
Ki Saba Lolo yang memang bertubuh gemuk pendek sudah tak menghiraukan ejekan lawan lagi. Dia langsung menyerang Setan Alam Kubur dengan jurus ampuhnya yang diberi nama Merobek Langit Mendung. Jurus ini memang sangat ampuh. Apalagi dimainkan dengan senjata andalannya berupa tongkat sepanjang lengan dengan ujung runcing berbentuk bulan sabit.
"Yeaaa...!" teriak Ki Saba Lolo sambil menyorongkan telapak tangan kirinya ke arah lawan. Dari situ menderu angin kencang bercampur hawa panas yang mampu menghanguskan seekor kambing.
"He he he he...!" Kenapa pukulan seperti itu yang kau pamerkan padaku? Sepuluh kali lipat pun belum tentu bisa mengalahkanku!" Setan Alam Kubur berkelit dengan mudah sambil mengejek lawan.
"Jangan sombong kau, Ki sanak. Pukulan Pasir Merahku memang tak hebat, tapi kalau terkena tubuhmu boleh kau rasakan akibatnya!" dengus Ki Saba Lolo gusar.
Setelah berkata begitu dia langsung bergerak cepat menyerang lawan habis-habisan. Tubuh Ki Saba Lolo sulit diikuti oleh mata biasa, dan serangannya berbau maut. Apalagi senjata di tangan kanannya menyambar-nyambar seperti mengejar ke mana saja tubuh lawan bergerak. Berpindah dari tangan kanan ke tangan kiri secara bergantian.
Tapi tubuh Setan Alam Kubur meliuk-liuk dengan ringan dan gesit. Bahkan dia masih sempat terkekeh-kekeh mengejek setiap serangan yang dilancarkan Ki Saba Lolo.
"Kodok buduk, ingin ku lihat bagaimana jurusmu menandingi jurus Merampas Bukit Menggoreng Gunung milikku ini!" bentak Setan Alam Kubur sambil merubah jurusnya. Setelah berkata begitu, Setan Alam Kubur merubah gerakannya menjadi tak teratur dan sulit diterka ke mana serangannya tiba.
"Yeaaa...!"
Wuuut!
"Uts!"
Trak!
"Heh!" Ki Saba Lolo terkejut. Ketika sebelah cakar lawan menyambar ke arahnya, dengan cepat dia menyambut dengan mengibaskan senjatanya.
Tapi Setan Alam Kubur menekuk tubuhnya untuk menghindari ujung senjata lawan yang runcing, kemudian tangan kirinya menangkap batang tongkat lawan. Dengan sekali mendengus sinis tongkat lawan di tekan ke bawah hingga patah. Tentu saja ini amat mengejutkan karena batang tongkat Ki Saba Lolo terbuat dari baja pilihan. Kalau saja kayu biasa mungkin dia tak akan seterkejut itu.
"Yeaaa...!" Breeet! "Akh!" Ki Saba Lolo menjerit pelan. Cakar lawan menyambar bagian dadanya dan sempat merobek kulit tubuhnya hingga berdarah. Buru-buru dia bersalto ke belakang untuk menghindari serangan berikut sambil menghantamkan pukulan Pasir Merahnya dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Glaaar!
"Heh!"
"Keparat!"
Semua tokoh yang berada di situ tersentak kaget dengan wajah geram. Tubuh Ki Saba Lolo hancur menjadi beberapa potong ketika Setan Alam Kubur menangkis pukulan lawan dengan pukulan Setan Hitam miliknya. Terjadi ledakan dahsyat dan asap hitam mengepul di tempat itu. Bukan saja pukulan Pasir Merah milik Ki Saba Lolo tak berhasil melukai lawan, tapi pukulan Setan Hitam yang dilepaskan Setan Alam Kubur membuyarkan dan terus menghantam tubuhnya tanpa bisa di cegah lagi.
"He he he he...! Kau pikir pukulan bututmu itu bisa mengalahkan dan mencelakakanku? Hi hi hi hi...! Kau bermimpi bisa menjatuhkan Setan Alam Kubur!" teriak orang berwajah buruk itu sambil tertawa kegirangan dengan sikap angkuh.
"Ki sanak, tindakanmu sungguh kejam. Aku tak bisa mendiamkanya begitu saja!" seru Ki Sempang Arga sambil melompat cepat bersiap menghadapi lawan.
"He he he he...! Kenapa kau sendiri yang melawanku? Ayo, ajak dua orang temanmu itu, atau seluruh kecoa-kecoa busuk yang ada di sini. Biar sekalian kukirim kalian ke akherat!"
"Apakah kau takut menghadapiku seorang diri?" tanya Ki Sempang Arga memancing.
"Keparat! kau pikir kepandaianmu sudah hebat berani bicara begitu? Sepuluh orang sepertimu tak ada artinya bagiku. Tapi menghadapiku seorang diri kau terlalu meremehkan, dan aku paling tak suka!" bentak Setan Alam Kubur garang.
Selesai berkata begitu dia langsung merapatkan kedua belah telapak tangan. Dari situ keluar asap kelabu yang dengan cepat berubah hitam dan menyebarkan bau busuk yang tiada terkira. Kemudian dengan membentak keras dia melancarkan pukulan jarak jauh kepada tiga tokoh itu sekaligus.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Bruaaak!
Ketiganya cepat melompat menghindari diri, dan pukulan Setan Hitam yang dilontarkan Setan Alam Kubur terus menderu menghantam pondokan Ki Sempang Arga hingga hancur berantakan menjadi puing-puing kecil. Bukan main terkejutnya ketiga tokoh itu menyaksikan kedahsyatan pukulan lawan. Tapi mereka tak sempat terpaku lama sebab dengan satu bentakan keras, Setan Alam Kubur sudah bergerak cepat menyerang ketiganya lagi.
"Sial!" maki Ki Anusa Gengger nyaris disambar cakar lawan. Orang tua itu langsung melempar senjata rahasia berupa bunga-bunga teratai berwarna perak yang runcing dan tajam.
Sementara pada saat yang bersamaan toya di tangan Ki Jenjang Pipit menderu-deru dahsyat ke seluruh tubuh lawan yang jungkir balik menghindari senjata rahasia. Ki Sempang Arga pun tak mau ketinggalan. Sambil berteriak keras dia melancarkan pukulan mautnya yang diberi nama Angin Putih. Kelihatannya redup seperti awan, namun mampu menghancurkan sebatang pohon besar.
"Hiyaaat...!"
Tap!
"Lepas!"
Tak!
Setan Alam Kubur berteriak nyaring sambil menyambar toya di tangan Ki Jenjang Pipit dan menariknya dengan tenaga penuh. Hampir saja tubuh orang tua itu terbanting kalau dia tak buru-buru melepaskan senjatanya dari cekalan lawan. Telapak tangannya terkelupas akibat kedahsyatan tarikan lawan. Meski begitu dua buah senjata rahasianya sempat menghantam tepat ke bahu kiri dan pinggang lawan. Tapi bukan main terkejutnya dia karena senjata rahasianya jatuh begitu saja tanpa melukai lawan sedikit pun.
Pukulan Angin Putih yang dilancarkan Ki Sempang Arga dapat dihindari Setan Alam Kubur dengan tubuh meliuk-liuk mendekati kedua lawannya yang lain.
Plak!
Breeet!
"Aaaa...!"
"Mampus!"
Cakar kirinya menyambar leher Ki Jenjang Pipit, namun dapat ditangkis oleh orang tua itu. Tapi cakar kaki kanan Setan Alam Kubur berputar dengan tak terduga dan menyambar dada Ki Anusa Gengger dan Ki Jenjang Pipit bersamaan. Serangan selanjutnya di lancarkan Setan Alam Kubur dengan mengayunkan toya Ki Jenjang Pipit yang telah berada di tangannya ke arah batok kepala Ki Sempang Arga.
Wuuut!
Breeet!"
"Akh!" Ki Sempang Arga sempat berkelit, tapi serangan itu ternyata hanya tipuan belaka sebab Setan Alam Kubur telah menyiapkan serangan sungguhan ke arah lawan menghindar dengan cakar tangan kanannya dan merobek perut orang tua itu agak dalam.
Ketiga tokoh tua itu sempoyongan sambil menjerit kesakitan. Saat itu juga Setan Alam Kubur telah siap kembali melancarkan serangan mematikan ke arah ketiganya. Beberapa orang murid Merpati Putih yang masih tersisa mencoba menahan laju serangan orang berwajah buruk dan berbau busuk itu, tapi mereka malah tewas dengan sia-sia. Sekujur tubuhnya robek seperti di terkam binatang buas.
"Khraghk...!"
"Heh?!" Setan Alam Kubur menghentikan amukannya ketika merasakan kehadiran sesosok bayangan besar menderu ke arahnya dan membuat bayangan hitam yang besar. Bersamaan dengan itu angin kencang menghantam arena pertarungan itu hingga membuat beberapa orang murid Merpati Putih terpelanting.
"Bagus! Kau datang menjemput kematianmu!" dengus Setan Alam Kubur bermaksud menyerang seekor Rajawali raksasa yang terbang rendah di dekat mereka. Tapi dia tak melanjutkan niatnya ketika melihat dua sosok tubuh meloncat turun dari leher burung Rajawali itu.
Yang seorang adalah pemuda berwajah tampan berambut panjang terurai, memakai baju rompi putih. Pedang berhulu kepala burung tampak tersembul di balik punggungnya. Sedang seorang lagi adalah gadis remaja berusia sekitar delapan belas lahun dengan wajah cantik memakai baju seperti wanita desa kebanyakan. Tapi melihat gerak-geriknya, dia bukanlah gadis desa sembarangan.
"Dewi, ingat pesanku. Kau tak boleh turun tangan apa pun yang terjadi padaku. Kecuali aku tewas di tangannya. Mengerti?" kata si pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti mengingatkan.
"Tapi Rangga...."
"Tak ada tetapi! Ini sudah perjanjian kita!"
"Bocah-bocah sial! Apa yang kalian ributkan?" bentak Setan Alam Kubur berang.
Rangga tak mengacuhkan bentakan orang itu melainkan mendekati orang itu dan bertanya dengan suara menyelidik. "Kaukah yang bernama Setan Alam Kubur?"
"Keparat! Satu orang lagi yang tak mengenal namaku harus mampus!" bentak Setan Alam Kubur langsung menyerang pemuda itu dengan ganas.
"Uts!" Rangga tersentak kaget. Bukan saja serangan lawan kuat dan dahsyat, tapi juga dari sekujur tubuhnya menyebar bau busuk yang menganggu pernafasannya.
"Hati-hati, Ki sanak! Kuku-kukunya amat beracun!" teriak sajah seorang murid Merpati Putih memperingatkan.
Rangga memperhatikan dengan seksama. Serangan yang dilakukan lawan lebih banyak mengandalkan cakar kaki dan tangannya. Dan dia pun sudah mencium hawa beracun dari situ. Maka Rangga terpaksa harus berhati-hati sekali menghadapinya.
"Sial! Ternyata kau berisi juga rupanya. Tapi sebentar lagi kau akan mampus di tangan Setan Alam Kubur!"
"Ki sanak, nyawa seseorang itu bukan kau yang menentukan. Jadi jangan harap aku takut dengan gertakmu itu!"
"Kurang ajar! kau pikir bisa bertingkah di depan Selan Alam Kubur! Yeaaa...!"
"Heh!"
Glaaar!
Rangga tersentak kaget. Tiba-tiba saja dari telapak tangan Selan Alam Kubur menderu seberkas angin hitam bergumpal dan menimbulkan ledakan dahsyat ketika menghantam beberapa batang pohon yang langsung tumbang menjadi serpihan kecil. Udara di sekitar tempat itu langsung terasa pengap seperti mengandung racun hebat. Rangga langsung menyuruh Rajawali raksasa itu untuk terbang sambil mengibas-ngibaskan sayapnya menghalau kabut hitam itu.
"Sial! Mampus kau! Mampus...!" bentaknya kesal sambil menghamburkan pukulan Setan Hitam berkali-kali ke arah Rangga dan burung Rajawali raksasa itu."
Rangga terkejut kaget. Dia saja agak kewalahan menghindari pukulan maut lawan, bagaimana jadinya jika mengenai Rajawali yang tak mampu bergerak cepat untuk menghindar? Berpikir begitu dia langsung mengeluarkan pedang pusakanya. Saat itulah seberkas sinar biru menerangi tempat itu sesaat. Rangga mengelus batang pedang dengan tangan kiri, kemudian berteriak nyaring sambil menghantamkan pukulan yang mengeluarkan sinar biru untuk memapaki pukulan lawan.
"Aji CAkra Buana Sukma!"
Glaaar!
"Heh!" Setan Alam Kubur terkejut bukan main. Selama ini pukulannya belum pernah ada yang menandingi. Tapi sinar biru yang keluar dari pukulan pemuda itu mampu membuyarkannya dengan menimbulkan suara menggelegar dan asap hitam yang mengepul ke atas.
"Yeaaa...!" Setan Alam Kubur sudah langsung menyerang pemuda itu dengan hati penasaran. Tapi Rangga alias Pendekar Rajawali Sakli pun telah bersiap menyambutnya. Wajah pemuda ilu tampak kelam dan sadis membayang hawa maut yang tak kenal ampun. Begitu pedangnya berkelebat, terasa hawa panas yang mengiringi suara menggaung dahsyat.
Tras! Tap! Sreeet!
"Akh!" Ketika cakar tangan lawan bermaksud menyambar tenggorokannya Rangga langsung memapas kuku-kuku beracun itu hingga putus. Begitu juga ketika tubuh Setan Alam Kubur berbalik dan bermaksud menipu lawan dengan menyerang bagian perut Pendekar Rajawali Sakti dengan sambaran kuku-kuku kakinya. Tapi lagi-lagi dibabat putus oleh pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti.
Setan Alam Kubur bukan main kagetnya. Meski cakarnya terlihat biasa, tapi pengerahan tenaga dalamnya terpusat di situ. Tak heran bila kuku-kukunya menjadi senjata yang mematikan. Dengan berani dia berusaha menangkap pedang lawan dan bermaksud mematahkannya. Tapi akhirnya dia sendiri yang terpekik kaget ketika Rangga menariknya dengan keras hingga telapak tangannya terkelupas. Tapi anehnya telapak tangannya tak mengeluarkan setetes darah pun!
"Yeaaa...!"
Hiyaaa...!"
Glaaar!
Pada saat itu juga dari telapak kaki kiri Setan Alam Kubur melesat sinar hitam pada jarak dekat menghantam. Pendekar Rajawali Sakti tak punya pilihan selain memapaki dengan Aji Cakra Buana Sukma dengan pengerahan tenaga penuh. Ledakan dahsyat terjadi. Kedua tubuh itu terlempar jauh. Tapi tubuh Setan Alam Kubur hancur seperti dihantam ledakan dahsyat menjadi beberapa potong dengan keadaan rusak tak bisa dikenali lagi.
Sementara Rangga sendiri nafasnya megap-megap dengan darah kental menetes di sudut bibirnya. Rangga berusaha tegak berdiri, tapi kedua kakinya terasa goyah dan bergetar sebelum akhirnya dia ambruk dalam keadaan bersila di tanah.
"Rangga...!" Dewi Komalasari memburunya sambil menjerit lirih dengan wajah cemas.
"Tenanglah Dewi, aku tak apa-apa. Pengerahan tenaga dalam sepenuhnya membuatku lemas seperti tak bertenaga. Tapi sebentar lagi tentu akan pulih..." sahut Rangga lirih sekali.
Pedang pusaka di tangannya seperti tak kuat lagi di genggamnya. Dewi memasukkan benda itu ke dalam warangkanya dan mengurut-urut beberapa bagian tuhuh Pendekar Rajawali Sakti sambil menyalurkan hawa murni. Perlahan-lahan wajah Rangga yang sebelumnya pucat, kini mulai segar meski rasa nyeri di dadanya belum hilang betul. Tapi dia sudah bisa bangkit dan menepuk-nepuk pundak gadis itu.
"Terima kasih, Dewi...."
"Tak selayaknya kau berkata begitu. Kaupun pernah menolongku...."
Rangga tersenyum kecil. Kemudian dia teringat pada ketiga tokoh yang tadi bertarung dengan Setan Alam Kubur, Buru-buru keduanya menghampiri. Dua orang diantara mereka yang tadi bersemadi tampak lesu ketika memandang salah seorang teman mereka yang nyawanya sudah tak tertolong lagi.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kisanak. Siapakah Kisanak sebenarnya?" Tanya Ki Anusa Gengger sambil bangkit menatap pemuda berbaju rompi putih itu lekat-lekat.
"Namaku, Rangga! Tapi orang-orang lebih mengenalku dengan gelar Pendekar Rajawali Sakli...."
"Ah. Tak pelak lagi dugaanku! Melihat burung Rajawali raksasa itu dugaanku pastilah kau orangnya. Sayang. Ki Sempang Arga telah tiada. Kalau tidak dia pasti senang sekali melihat kehadiranmu di sini."
Rangga cuma bisa tersenyum kecut sambil memandang sesosok tubuh Ketua Perguruan Merpati Putih yang nyawanya tak tertolong karena racun yang mengendap di tubuhnya telah menjalar sampai ke jantung.
"Ki sanak, kulihat kalian pun belum berhasil mengeluarkan racun di tubuh. Aku ingin membantu, tapi saat ini tenagaku habis terkuras...."
"Ah, tidak perlu. Tak lama lagi kami tentu akan berhasil mengeluarkan racun ini." sahut Ki Anusa Gengger
"Kalau begitu, syukurlah. Karena tak ada urusan lagi, maka kami permisi dulu" kata Rangga
Mereka bermaksud menahan pemuda itu agak lama, tapi dengan halus Rangga menolak dengan alasan akan melanjutkan berjalan lagi. Keduanya meninggalkan tempat itu dengan menaiki burung Rajawali raksasa. Dewi Komalasari lebih berjanji untuk merawat pemuda itu sampai sembuh.
Semula Rangga menolak. Tapi karena gadis itu memaksa, maka dia pun menyetujuinya. Mereka berdiam sementara di pondok tempat gadis itu dibesarkan selama ini oleh Gurunya. Itu pun setelah si gadis menyetujui bahwa begitu luka dalam yang diderita Pendekar Rajawali Sakti sembuh, maka saat itu pula perpisahan mereka terjadi.
S E L E S A I
EPISODE BERIKUTNYA: GADIS SRIGALA