Thian Sin merasa lega dan gembira, merasa bahwa dia telah berhasil mengelabui ketua Jit-sian-kauw. Tetapi pendekar ini sama sekali tidak tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu, Sian-su tersenyum-senyum dan mentertawakannya. Dia tidak tahu bahwa ada kejutan yang amat tidak menyenangkan baginya.
Biar pun dia melihat sendiri betapa Pendekar Sadis telah mengusir lima orang musuh itu dan melukai empat orang murid Bu-tong-pai dengan cara yang amat mengagumkan dan menggiriskan hatinya, yaitu hanya dengan menggunakan daun, tetapi ketua Jit-sian-kauw itu belum yakin begitu saja. Dia masih belum mau percaya begitu saja. Dia masih belum yakin benar akan kesetiaan Thian Sin. Oleh karena itu, dia masih mempersiapkan suatu ujian yang amat berat bagi pemuda itu.
Malam hari itu, ketika Thian Sin sudah merebahkan diri dan mencari akal untuk mendapat kesempatan, tiba-tiba dia terbangun dengan kaget. Ada suara di telinganya, dekat sekali di telinganya, yang berbisik dengan suara mengandung kekuatan mukjijat.
"Ceng Thian Sin, engkau telah berada dalam kekuasaan Sian-su. Engkau harus mentaati semua kehendaknya agar hatimu dapat merasa tenang dan tenteram! Nah kau rebahlah, kau tidurlah, tidur yang nyenyak...!"
Thian Sin yang sudah bangkit duduk itu perlahan-lahan merebahkan dirinya kembali. Dia memejamkan matanya, lalu dia mengatur pernapasannya seperti orang tertidur. Tak lama kemudian, suara itu terdengar lagi.
"Ceng Thian Sin, bangkitlah dan turunlah dari tempat tidurmu."
Bagaikan patung hidup, Thian Sin lalu turun dari pembaringan.
"Pergilah ke pintu kamar, bukakan daun pintu dan biarkan seorang sahabat masuk!"
Thian Sin berjalan ke pintu lantas membuka daun pintu. Di depan pintu itu sudah berdiri seseorang yang bertopeng tengkorak dan berjubah putih, pakaian seragam para anggota Jit-sian-kauw, yang membawa sebuah baki terisi cawan arak. Thian Sin tidak tahu apakah orang ini sang ketua sendiri ataukah orang lain, akan tetapi dia percaya bahwa ketua itu tidak begitu ceroboh untuk membiarkan dirinya dekat dengan dia tanpa terlindung. Tentu ini hanya seorang anggota biasa saja.
"Taihiap, harap suka minum arak di dalam cawan ini," kata orang itu sambil menyerahkan cawan arak.
Thian Sin hendak menolaknya, akan tetapi dia segera teringat bahwa dia sedang berada dalam keadaan ‘tersihir’, karena itu dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata kosong dan berdiri seperti patung. Suara itu lalu terdengar lagi, kini nadanya mengandung kelegaan hati.
"Ceng Thian Sin, ambil cawan itu dan minum araknya sampai habis!"
Kini Thian Sin mengambil cawan itu dan menempelkannya ke bibirnya. Dari baunya saja dia maklum bahwa arak itu dicampuri obat bius, akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menuangkan araknya ke dalam mulut sampai habis.
Akan tetapi lebih dulu dia menggunakan kekuatan sihir dalam pandang matanya kepada dua bola mata di balik topeng itu dan melihat mata itu sejenak tercengang lalu melembut, tanda bahwa dia telah berhasil menguasai orang itu yang kiranya hanya seorang anggota biasa saja. Dengan kekuatan sihirnya dia lalu membisikkan bahwa orang itu telah melihat dia minum arak itu sampai habis ditelannya. Padahal arak itu hanya disimpan di mulutnya saja.
"Sekarang kembalilah ke tempat tidur dan rebahkan dirimu," bisik suara dekat telinganya yang dia tahu adalah suara Sian-su yang mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh menggunakan tenaga khikang yang amat kuat.
Anggota itu pun lantas membawa pergi cawan kosong dan menutupkan pintu kamar. Ada pun Thian Sin merebahkan dirinya ke atas pembaringan, diam-diam membuang arak di mulutnya yang dimuntahkan ke dalam tangannya lalu dibuang di atas lantai di belakang pembaringan. Hal ini dilakukannya dengan cepat, dan dia merasa yakin bahwa tidak ada mata orang lain yang mengikuti gerak-geriknya.
"Ceng Thian Sin, mulai saat ini engkau akan selalu percaya sepenuhnya, taat, hormat dan tunduk padaku, kepada Sian-su, yaitu ketua dari Jit-sian-kauw yang akan mendatangkan kesenangan dunia dan akhirat untukmu! Camkan ini, harus selalu setia dan taat kepada Sian-su!"
Kalimat terakhir itu diulangi terus sampai belasan kali dengan kekuatan yang amat hebat sehingga Thian Sin harus mengerahkan tenaga sinkang pula untuk melawannya supaya jangan sampai terpengaruh. Tentu saja peristiwa itu membuat Thian Sin tidak dapat tidur pulas. Dia harus bertindak cepat karena kalau terlampau lama, keadaannya bisa semakin berbahaya.
Dia tidak tahu bahwa pada malam itu, Sian-su sudah mempersiapkan percobaan terakhir kepadanya, sebuah percobaan yang teramat berat dan di sini Sian-su hendak mengambil kepastian apakah pendekar itu akan dianggap kawan ataukah lawan.
Setelah merasa yakin bahwa dia tidak diamati, Thian Sin lalu turun dari pembaringannya dan dengan langkah bagaikan langkah kucing, sama sekali tidak menimbulkan suara, dia mendekati jendela lalu pintu kamarnya untuk mengintai keluar. Ada dua orang penjaga di luar, seorang di luar jendela dan seorang lagi di luar pintu. Dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Anggota Jit-sian-kauw itu memandang dan Thian Sin menggapai, berkata lirih,
"Twako, ke sinilah, aku mau bicara penting..."
Karena ketika memandang dan menggapai, juga ketika mengeluarkan kata-kata Thian Sin sudah mempergunakan kekuatan sihir melalui mata, gerakan tangan dan suaranya, maka biar pun ragu-ragu, penjaga itu tidak mampu menahan kakinya melangkah dan memasuki kamar. Secepat kilat tangan kanan Thian Sin bergerak dan tanpa mampu mengeluarkan suara atau melawan, penjaga itu terkulai lemas karena dia telah pingsan tertotok.
Dengan amat hati-hati Thian Sin merebahkan orang itu di atas lantai kamarnya, kemudian dengan berindap-indap dia keluar dari pintu kamar, memutar dan meyergap penjaga yang duduk di luar jendela.
"Apa...? Uhhh...!" Penjaga itu tadinya terkejut dan hendak melawan, tetapi dalam keadaan seperti itu Thian Sin telah menggunakan kepandaiannya, maka mana mungkin penjaga itu mampu melawannya. Dia pun roboh pingsan sebelum sempat berteriak.
Thian Sin cepat memondong tubuh orang itu dan membawanya masuk ke dalam kamar, melepaskannya di atas lantai bersama penjaga pertama. Kemudian, dengan cepat Thian Sin menelikung kedua orang itu lantas diikatnya dengan tali ikat pinggang mereka sendiri, dijadikan satu dan mulut mereka pun disumbat dengan kain baju mereka sendiri.
Karena dia tahu bahwa kedua orang itu mempunyai kepandaian yang lumayan, maka dia mengikat kaki tangan mereka kuat-kuat, juga menyumbat mulut mereka dan menalikan kain sumbatan itu melilit kepala, juga menambahkan totokan pada beberapa bagian tubuh mereka. Dia merasa sangat yakin bahwa sebelum pagi hari, mereka tidak akan siuman dan andai kata sudah siuman sekali pun, mereka takkan mampu bergerak dan tidak dapat mengeluarkan suara.
Sesudah melakukan ini, dia lalu mendorong tubuh yang sudah menjadi satu itu ke bawah pembaringannya sehingga tidak nampak dari luar. Dia lalu bersiap-siap untuk melakukan penyelidikan sendiri, kemudian dengan gesit dia menyelinap keluar dari dalam kamarnya, menutupkan daun pintu kamar dan keluar.
Dia sudah tahu di mana adanya kamar-kamar para wanita penari. Dia bermaksud hendak mencari isteri mendiang Cia Kok Heng dan ingin menyelidiki keadaan wanita itu sebab dia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang memaksa wanita itu berbohong kepadanya ketika ditanyainya. Dan dia akan menggunakan kekuatan sihirnya untuk membuyarkan kekuatan sihir yang mencengkeram para wanita penari itu lalu mengorek rahasia kejahatan Siluman Goa Tengkorak dari mereka.
Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kamarnya, terdengar suara canang bertalu-talu dan disusul suara hiruk-pikuk kaki orang-orang berlarian. Than Sin terkejut sekali dan segera dia kembali ke dalam kamarnya, menyangka bahwa tentu perbuatannya ketahuan dan dia harus bersiap siaga menghadapi pengeroyokan kalau perlu.
Dia mengintai dari balik jendela dan melihat para anggota perkumpulan itu berlari-lari dari segala jurusan menuju ke bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Sian-su. Tak lama kemudian, suara canang itu pun berhenti dan nampaklah Sian-su bersama serombongan anggotanya melangkah lebar menuju ke kamarnya!
Thian Sin menanti dengan jantung berdebar. Jelas bahwa perbuatannya sudah ketahuan! Akan tetapi dia pura-pura tidur miring di atas pembaringannya, dengan seluruh urat ayaraf menegang, siap menerjang keluar, menghadap ke pintu dan menutupi mukanya dengan lengan tangan, mengintai dari bawah lengan.
Dapat dibayangkan betapa tegangnya hati pendekar itu saat pintu kamarnya pelan-pelan terbuka dari luar! Dia sampai merasa seolah-olah jantungnya hendak meloncat keluar dan suara detak jantungnya seperti suara tambur. Akan tetapi, suara Sian-su tidak terdengar marah, bahkan ramah sekali ketika berkata,
"Ceng-taihiap, bangunlah!"
Thian Sin sudah merasakan perubahan dalam suara itu, suara yang sifatnya memerintah. Akan tetapi dia pura-pura tidak merasakan hal ini, dan dia pun menurunkan lengannya, dan membuka mata. Dilihatnya bahwa mata itu tidak memancarkan kekuatan sihir, maka dia pun mengerti bahwa sekali ini Sian-su hendak menghadapi dia dalam keadaan sadar. Bukankah semalam suara Sian-su telah menanamkan pesan kepadanya bahwa dia harus setia dan taat? Baiklah, dia akan bersikap taat.
"Ahh, Sian-su, malam-malam begini ada apakah? Tadi aku mendengar suara canang dan mendengar suara kaki berlari-lari, setelah suara canang berhenti aku pun tidur lagi."
"Canang itu dipukul untuk mengumpulkan para anggota karena ada laporan dari pengamat di luar bahwa ada serombongan orang yang menyerbu tempat kita."
Reaksi Thian Sin cepat dan wajar, kewajaran sikap seorang yang amat setia! Dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan mengepal tinju. "Kita harus basmi mereka!"
Dilihatnya betapa sepasang mata di balik topeng itu memancarkan sinar puas dan girang ketika melihat sikapnya ini, lalu Sian-su berkata, "Tidak perlu tergesa-gesa. Mereka itu tak akan mampu menemukan tempat kita, taihiap."
"Siapakah mereka?"
"Ha-ha-ha-ha, mereka itu adalah orang-orang dari Hong-kiam-pai yang dipimpin oleh Im Yang Tosu."
Diam-diam Thian Sin terkejut. Dia mengenal Im Yang Tosu, tokoh dari Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi.
"Apakah taihiap belum mengenal Hong-kiam-pang?" Thian Sin menggeleng kepalanya.
"Hong-kiam-pang atau Hong-kiam-pai adalah perkumpulan silat yang mengutamakan ilmu pedang mereka, berpusat di kuil Thian-hong-bio di lembah Fen-ho di luar kota Tai-goan. Mereka dipimpin oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin. Ha-ha, mereka berani memusuhi kita, akan tetapi biarlah, tidak mungkin mereka dapat menemukan tempat kita ini. Cukup dengan beberapa orang pengamat saja untuk mengamati seluruh gerak-gerik mereka di luar tebing Goa Tengkorak, ada pun kita akan melanjutkan pesta pengangkatan seorang anggota atau murid baru."
Thian Sin merasa tidak senang, akan tetapi tidak diperlihatkannya di wajahnya yang tetap tenang. Cahaya matanya ketika memandang kepada Sian-su penuh dengan kekaguman, kehormatan dan kesetiaan, sesuai seperti apa yang dikehendaki oleh pendeta siluman itu.
"Murid baru wanita?"
Pendeta siluman itu tertawa. "Benar, seorang murid baru yang istimewa, taihiap, dan terus terang saja, belum pernah kita mempunyai anggota wanita seperti ini."
Thian Sin merasa agak heran dan juga timbul kecurigaannya. Ada perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Dia mencoba untuk menduga-duga, akan tetapi tidak berhasil memecahkan teka-teki ini. Siapakah wanita yang dimaksudkan oleh pendeta siluman ini?
Hampir dia menduga bahwa jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Kim Hong. Tetapi dia membantah sendiri dugaannya ini. Kim Hong terlampau cerdik untuk dapat terjebak. Memang besar kemungkinan kalau Kim Hong menyelidiki dan memasuki sarang ini untuk mencari serta menolongnya, akan tetapi Kim Hong tentu maklum akan besarnya bahaya apa bila membiarkan dirinya terjebak. Tidak, Kim Hong tidak mungkin membiarkan dirinya dijebak seperti dirinya.
"Marilah, taihiap, mari kita menemani mereka yang sudah sejak tadi mulai dengan pesta malam ini. Ada seorang pengikut baru, yaitu seorang pembesar yang memiliki kedudukan penting di kota raja. Dari dialah kita dapat mengharapkan sumbangan yang besar untuk menyelesaikan bangunan pondok suci bagi ketujuh dewa yang mulia. Untuk menghormati kehadirannya dan untuk meresmikan pengangkatan anggota baru yang juga akan menjadi pilihanku sebagai murid terbaik dan tersayang, taihiap."
Thian Sin mengikuti pendeta siluman itu naik ke dataran di puncak bukit di mana sudah berkumpul para pengikut yang kemarin malam sudah pernah dilihat oleh Thian Sin. Dan di antara mereka sekarang terdapat seorang pria berpakaian mewah yang bermuka merah, usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi sikapnya masih genit.
Ada tiga orang pelayan wanita yang bergaun tipis melayani orang ini dan Thian Sin dapat menduga bahwa orang inilah yang disebut oleh Sian-su tadi sebagai pengikut baru yang terhormat, seorang bangsawan tinggi dari kota raja.
Seperti juga kemarin malam, para penari wanita melakukan upacara dan Lu Sui Hwa atau isteri Cia Kok Heng kini ikut pula di antara para penari, nampak cantik dan agung, paling menarik di antara mereka walau pun mukanya agak pucat dan matanya sayu.
Thian Sin masih menghadapi semua ini dengan tenang. Akan tetapi ketika sampai giliran anggota atau murid baru itu mendaki anak tangga menuju ke dataran itu, tiba-tiba Thian Sin mengepal tinjunya dan wajahnya berubah pucat. Dia mengenal Kim Hong yang kini menghampiri Sian-su, Kim Hong yang mengenakan pakaian gaun tipis warna putih.....!
Dengan mata terbelalak Thian Sin melihat betapa Kim Hong melangkah laksana boneka berjalan menghampiri Sian-su. Dia masih meragu, apakah Kim Hong tidak bersandiwara? Akan tetapi kemudian dia teringat bahwa walau pun Kim Hong memiliki kepandaian ilmu silat yang tak mungkin kalah dibandingkan dengan pendeta siluman itu, akan tetapi kalau pendeta siluman itu menggunakan ilmu sihir, tentu Kim Hong akan celaka. Dan agaknya kini gadis itu sudah berada di bawah pengaruh sihir.
Untuk upacara ini, agaknya ketua Jit-sian-kauw itu menggunakan cara lain. Mungkin saja karena dia tadi telah mengatakan hendak mengangkat anggota baru itu menjadi pilihannya sebagai murid tersayang, maka kini upacaranya pun berbeda dengan yang sudah-sudah.
Sesudah Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di hadapan ketua agama itu, Sian-su lantas memberkahi gadis itu dengan dua tangannya di atas kepala Kim Hong, kemudian dengan gerakan halus membangunkan dara itu, memegang tangannya dan menuntunnya ke dekat pondok-pondok emas kecil. Akan tetapi di situ sekarang telah dihamparkan sebuah kasur dan kini Sian-su membimbingnya dan menyuruhnya terlentang di atas kasur.
Kim Hong melakukannya tanpa ragu sedikit pun dan tubuh yang menggairahkan itu, yang hanya terbungkus gaun tipis sekali, kini sudah terlentang di atas kasur dengan kedua kaki lurus dan kedua lengan disilangkan di depan perut. Tujuh orang wanita yang membawa kelinci, pisau dan lain-lain sudah maju berlutut dan Sian-su kini dengan gerakan perlahan seakan-akan hendak memperlihatkan pertunjukan yang sangat menarik, mulai membukai kancing depan gaun itu!
Dan memang pertunjukan itu amat menarik karena para tamu yang hadir segera behenti minum kemudian memandang dengan mata melotot dan pandang mata penuh nafsu! Jika pada murid biasa, darah kelinci hanya dikucurkan di atas kepala, maka pada murid pilihan ini, darah kelinci akan dikucurkan di atas badan yang telanjang!
Ketika kancing bagian atas membuka gaun dan memperlihatkan dada kekasihnya, Thian Sin sudah tidak sanggup menahan dirinya lagi. Dengan teriakan melengking panjang dia meloncat ke tempat itu, lalu mengeluarkan bentakan yang penuh dengan kekuatan sihir untuk membuyarkan pengaruh sihir atas diri Kim Hong,
"Kim Hong sadarlah! Engkau berada di tangan musuh-musuh kita!"
Teriakan ini memang hebat bukan main dan seketika itu Kim Hong terbelalak dan sadar. Akan tetapi dia masih bingung dan kepalanya terasa pening sehingga ketika pada saat itu pula Sian-su menggerakkan tangan menotoknya dari jarak yang dekat, dia tidak mampu mengelak. Kim Hong yang telah bangkit duduk itu roboh kembali dalam keadaan tertotok.
Sementara itu, para anak buah Jit-sian-kauw telah menerjang Thian Sin. Memang semua perlakuan terhadap Kim Hong tadi disengaja oleh Sian-su dalam usahanya unuk menguji kesetiaan Thian Sin. Ujian terakkir yang tentu saja amat berat bagi Thain Sin dan pendeta siluman yang amat cerdik itu tahu bahwa andai kata Pendekar Sadis berpura-pura, maka kepura-puraannya itu tentu akan terbongkar kalau menghadapi kekasihnya terancam.
Bagaimana pun juga, ketua Jit-sian-kauw ini masih sangsi dan merasa ragu-ragu apakah benar Pendekar Sadis dapat ditundukkannya dengan kekuatan sihir karena dia pun sudah mendengar bahwa selain memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, juga pendekar itu kabarnya memiliki kepandaian ilmu sihir pula.
Apa bila pendekar itu tetap taat dan setia kepadanya ketika melihat keadaan Kim Hong, maka dia bisa merasa yakin bahwa dia telah benar-benar dapat menguasai Thian Sin dan dapat menarik pendekar itu menjadi pembantunya yang amat menguntungkan. Tapi kalau pendekar itu hanya pura-pura, maka tentu rahasianya akan tebongkar, dan untuk itu dia telah mempersiapkan anak buahnya yang semenjak tadi telah berjaga di situ, mengamati gerak-gerik Pendekar Sadis.
Dan itulah sebabnya, begitu Thian Sin mengeluarkan suara melengking dan membentak, belasan anak buah Jit-sian-kauw sudah menghadang dan mengoroyoknya, didahului oleh sambaran beberapa batang anak panah dari arah samping. Lima batang anak panah yang dilepas oleh pasukan anak panah dari samping itu disusul pula oleh lima batang yang lain.
Tetapi lima batang anak panah pertama itu runtuh semua ketika Thian Sin menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan sinkang sehingga ada hawa pukulan menyambar dan meruntuhkan lima batang anak panah itu sebelum senjata itu dapat menyentuh tubuhnya. Kemudian, sambil meloncat ke depan dia memapaki lima batang yang lainnya dan kedua tangannya menangkapi lima batang anak panah ini dan langsung melontarkannya ke arah lima orang anggota pasukan panah itu.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika tiga orang di antara mereka itu roboh dengan dada tertusuk anak panah mereka sendiri, sedangkan dua orang yang lain masih mampu menghindarkan diri dengan elakan. Akan tetapi, belum lagi Thian Sin sempat menerjang ke arah Sian-su, dia sudah dikepung dan segera dikeroyok oleh belasan orang anak buah Jit-sian-kauw yang bertopeng tengkorak.
Mereka semua telah mengeluarkan berbagai macam senjata dan menyerang dari semua jurusan dengan niat membunuh karena Sian-su sudah memberi isyarat untuk membunuh lawan yang sangat tangguh ini, yang ternyata sama sekali tidak pernah terpengaruh oleh sihirnya dan yang ternyata hanya pura-pura saja menyerah itu.
Kini Thian Sin benar-benar mengamuk! Melihat kekasihnya terancam penghinaan seperti itu, kemarahannya memuncak dan Pendekar Sadis segera memperlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mau mengeluarkan pedangnya, melainkan menyambut hujan senjata itu dengan kedua tangan kosong saja. Akan tetapi tangan kosong yang hebat bukan kepalang!
Kedua tangan Thian Sin itu bagai sepasang naga mengamuk saja ketika dia menghadapi pengeroyokan anak buah Jit-sian-kauw. Dia mengeluarkan semua ilmu yang dikuasainya untuk menghajar para anggota Jit-sian-kauw itu. Meski mereka itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun di tangan Pendekar Sadis mereka itu tak ada bedanya seperti segerombolan anak-anak kecil saja.
Seorang anggota yang agaknya mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, menggunakan sebatang toya. Ilmu toya Siauw-lim-pai terkenal kuat bukan main, didasari oleh gerakan yang mengandung tenaga lweekang sehingga ujung toya itu tergetar dan terlihat menjadi banyak.
Dengan gerakan mantap serta penuh tenaga, pemegang toya ini menusukkan toyanya ke arah dada Thian Sin sambil membentak keras. Akan tetapi karena ujung toya itu tergetar, maka sukarlah untuk diduga apakah benar dada yang diserang itu, ataukah tenggorokan atau pusar, atau juga lambung kanan kiri. Ada semua kemungkinan itu dan inilah lihainya permainan toya itu.
Namun Thian Sin menghadapinya dengan tenang saja, bahkan dia menanti sampai toya itu mencium tubuhnya dan ternyata ujung toya itu mendarat pada lambungnya yang kiri. Begitu ujung toya mencium bajunya di lambung, Thian Sin menggerakkan tangan kirinya yang dimiringkan dan mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu, membacok ke bawah ke arah toya.
"Krakkk!"
Dan toya itu patah-patah menjadi tiga potong, kemudian sebelum pemegang toya yang merasa betapa telapak tangannya berdarah dan terkupas kulitnya itu sempat menguasai keadaannya, kaki Thian Sin telah menendang sehingga orang itu langsung terlempar dan terbanting roboh, tidak mampu bangkit kembali.
Thian Sin masih ingat bahwa besar sekali kemungkinannya para anggota Jit-sian-kauw ini bergerak di bawah pengaruh sihir atau setidaknya juga kepercayaan yang membabi buta terhadap Sian-su sehingga mereka itu tidak sadar bahwa mereka telah membantu orang yang amat jahat. Mungkin sekali para anggota ini sebetulnya adalah orang baik-baik yang telah terseret karena pandainya Sian-su mengambil hati dan menundukkan mereka.
Karena itu, maka Pendekar Sadis ini masih merasa kasihan untuk membunuh mereka dan tendangannya tadi pun terarah dan terkendalikan sehingga biar pun orang itu tidak mampu bangkit lagi, namun tidak menderita luka yang dapat merenggut nyawanya, hanya patah tulang dan salah urat saja.
Anggota yang memegang toya itu terkenal di antara kawan-kawannya sebagai salah satu di antara lima murid utama dari Sian-su, maka melihat dia dalam segebrakan saja roboh, para pengeroyok itu menjadi gentar. Akan tetapi mereka pun kembali menyerbu dengan berbareng, tidak lagi berani maju satu-satu.
Thian Sin mengerling dengan ujung matanya. Ia melihat betapa Sian-su masih berdiri dan hanya menonton pertempuran itu, sedangkan Kim Hong sudah rebah miring tak bergerak dalam keadaan tertotok. Hatinya menjadi gelisah sekali. Ingin dia cepat-cepat menyerang Sian-su dan menyelamatkan Kim Hong, apa pun juga yang akan terjadi. Hal ini membuat dia menjadi semakin marah kepada para anggota yang mengepungnya.
Pada saat dia melihat tosu penghuni kuil yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan muka, kemarahannya makin memuncak. Dia tidak memperhatikan serangan yang datang bagaikan hujan itu, melainkan memutar tubuhnya lantas melesat ke arah tosu itu sambil membentak,
"Tosu palsu keparat!"
Tubuhnya disambut oleh banyak senjata, akan tetapi gerakan tangannya yang mendorong dengan ilmu mukjijat Hok-liong Sin-ciang itu demikian hebatnya sehingga lima orang yang senjatanya langsung bertemu dengannya itu terjengkang seperti dilanda angin ribut.
Tosu yang memakai topeng setan itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Thian Sin. Akan tetapi sebelum ujung pedangnya sempat mengenai dada lawan, angin pukulan dari Hok-liong Sin-ciang sudah lebih dulu menyambutnya dan tosu ini mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terjengkang lantas terbanting sedemikian kerasnya sehingga dia pun tidak berkutik, pingsan dan hampir mati kalau saja tadi Thian Sin tidak menahan tenaganya!
Gegerlah keadaan di ruangan atas itu. Beberapa orang tamu yang memiliki kepandaian silat langsung melangkah maju hendak membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Sian-su cepat memberi isyarat sehingga mereka itu hanya berkumpul di belakang Sian-su, dengan senjata di tangan.
Sikap mereka sudah jelas hendak melindungi dan membantu Sian-su jika Pendekar Sadis berusaha menyerang ketua agama ini! Mereka itu rata-rata telah bersumpah setia kepada Sian-su, tentu saja dengan keyakinan penuh bahwa mereka akan menikmati kesenangan dunia akhirat!
Pengeroyokan semakin ketat, akan tetapi Thian Sin kini sudah menjadi marah betul. Dia ingin segera menyerang Sian-su dan membebaskan Kim Hong, namun ulah para anggota Jit-sian-kauw yang menghalanginya ini amat mengganggunya.
Maka tiba-tiba dia mengeluarkan pekik nyaring dan membiarkan dirinya menjadi sasaran banyak senjata. Akan tetapi, bukan dia yang terluka atau berteriak kesakitan, sebaliknya malah belasan orang itu kini terbelalak dan berteriak-teriak minta dilepaskan.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!"
"Lepaskan... aaahhh...!"
Belasan orang itu membetot-betot senjata mereka yang menempel pada tubuh Pendekar Sadis, akan tetapi makin kuat mereka membetot, semakin kuat pula senjata itu melekat! Thian Sin telah menggunakan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng, yaitu ilmu sinkang yang sudah sampai di puncak kekuatannya sehingga dapat menyedot tenaga sinkang lawan melalui senjata atau tangan yang menempel pada tubuhnya. Tenaga dalam mereka itu membanjir keluar melalui gagang senjata masing-masing dan terasa disedot oleh kekuatan yang luar biasa besarnya!
Melihat keanehan ini, Sian-su dan para pengikutnya memandang dengan mata terbelalak dan pendeta siluman itu merasa tengkuknya meremang. Belum pernah selama hidupnya dia berhadapan dengan seorang yang seperti itu lihainya. Dia pernah mendengar tentang ilmu menyedot tenaga lawan ini, akan tetapi menganggap bahwa ilmu itu hanya dibesar-besarkan saja dan semacam dongeng.
Akan tetapi sekarang, biar pun tidak mengalaminya sendiri, dia telah menyaksikan betapa anak buahnya menjadi korban ilmu mukjijat itu. Dia sendiri mengerti bagaimana sebaiknya menghadapi ilmu menyedot yang berbahaya itu, akan tetapi dia sudah melihat keadaan yang lebih mudah dari pada harus mati-matian mencoba untuk menundukkan Pendekar Sadis dengan kekerasan.
"Hyaaaattt...!" tiba-tiba Pendekar Sadis memekik.
Belasan orang yang tenaganya tersedot olehnya, yang mukanya mulai pucat dan gerakan mereka untuk meronta makin lemah, segera terlempar ke kanan kiri dan jatuh terbanting di atas lantai, mengeluh dan tidak kuat untuk berdiri lagi. Mereka ini harus mengumpulkan tenaga dan hawa murni lebih dulu untuk memulihkan kekuatan.
Dengan mata mencorong seperti mata seekor naga sakti, Thian Sin kini melangkah maju perlahan-lahan. Para anggota Jit-sian-kauw yang belum roboh masih mengepungnya dan ikut bergerak melangkah, akan tetapi tidak berani terlalu dekat. Muka mereka pucat dan jelas terbayang di wajah mereka betapa hati mereka jeri menghadapi pendekar yang luar biasa ini.
"Berhenti, Ceng Thian Sin!" Tiba-tiba Sian-su membentak.
Thian Sin tersenyum mengejek. "Tak perlu menggertakku dengan ilmu sihirmu yang tidak manjur itu, siluman!"
"Berhenti atau pedangku akan menembus jantungnya!" Tiba-tiba Sian-su menggerakkan sebatang pedang dengan ujung pedang itu sudah menempel pada kulit putih di dada Kim Hong yang terbuka, tepat di antara kedua bukit dadanya.
Melihat hal ini, seketika Thian Sin menghentikan langkahnya dan matanya mengeluarkan cahaya kilat. Topeng tengkorak itu tersenyum lebar, penuh ejekan.
"Hemm, kau lihat, aku masih menguasaimu, Pendekar Sadis. Memang engkau hebat dan gagah perkasa, akan tetapi belum tentu aku kalah olehmu."
"Pendeta jahanam! Kalau memang engkau seorang lelaki sejati dan jantan tulen, jangan mengancam orang yang sudah tidak berdaya karena kecuranganmu! Hayo lawanlah aku sebagai laki-laki, atau kau bebaskan Kim Hong lalu melawannya tanpa kecurangan!"
"Ha-ha-ha, menggunakan tenaga sesedikit mungkin untuk mencapai kemenangan adalah sikap cerdik dan bijaksana. Kalau engkau berkeras, aku akan bunuh wanita ini lebih dulu, berarti aku sudah menang separuh. Kecuali kalau engkau menyerah..."
"Hemmm, engkau hendak memaksaku dengan mengancam nyawa Kim Hong. Baik, kalau aku menyerah lalu apa yang hendak kau lakukan? Tidak urung engkau akan membunuh kami berdua juga!" Thian Sin mengepal tinjunya. "Dari pada aku melakukan kebodohan itu, menyerahkan diri untuk akhirnya kau bunuh juga bersama Kim Hong, lebih baik aku membiarkan kau membunuh Kim Hong lalu engkau... hemm.. Pendekar Sadis akan hidup kembali, akan menjadi paling sadis di antara semua kesadisan yang pernah dilakukannya untuk menyiksamu!"
Tanpa disadarinya, pendeta siluman itu merasa betapa tengkuknya langsung meremang dan jantungnya berdebar-debar. Sungguh mengerikan mendengar kata-kata dari pemuda tampan itu dan dia dapat merasakan bahwa ucapan itu bukanlah ancaman belaka. Orang ini harus dienyahkan, harus dibasmi. Kalau tidak, selama hidupnya dia akan terancam.
"Aku bukan orang bodoh, Pendekar Sadis. Aku berjanji, kalau engkau menyerahkan diri tanpa melawan, aku tidak akan membunuh kalian."
"Lekas katakan, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami kalau aku tidak melawanmu dengan kekerasan!"
"Apa yang hendak kami lakukan adalah urusan kami. Akan tetapi kalau engkau menyerah tanpa kekerasan, atas nama Jit-sian-kauw, atas nama Dewa Kematian, aku bersumpah untuk tidak membunuh Toan Kim Hong dan Ceng Thian Sin!"
Diam-diam Thian Sin mengerti bahwa apa bila dia menyerah, berarti dia mempertaruhkan nyawanya dan nyawa Kim Hong. Akan tetapi, dia percaya bahwa pendeta siluman itu tak mungkin akan berani melanggar sumpahnya setelah bersumpah demi nama Jit-sian-kauw dan Dewa Kematian, apa lagi disaksikan oleh semua pengikutnya.
"Sumpahmu disaksikan oleh para tamu yang hadir saat ini!" kata Thian Sin menekan.
"Benar, disaksikan oleh para tamu terhormat. Kami bukan golongan pengecut yang suka melanggar janji!" kata Sian-su dengan suara dibikin gagah.
"Baiklah, aku menyerah." Thian Sin berpendapat bahwa yang paling penting untuk saat itu adalah keselamatan dan keamanan mereka berdua. Soal nanti selanjutnya, biarlah, tentu akan ada jalan lain. "Akan tetapi, engkau harus menyingkirkan Kim Hong dari sini dahulu. Biarkan dia mengaso dan jangan mengganggunya selama sehari semalam! Kalau engkau tidak mau berjanji seperti itu, sampai mati aku tidak akan mau menyerah dan kita lihat saja, siapa yang akan binasa dalam pertempuran di antara kita!"
Ketua Jit-sian-kauw itu mengerti bahwa kalau pemuda itu mau menyerah, semata-mata adalah karena pemuda itu tidak ingin melihat Kim Hong mati. Dan dia sendiri pun tidak berniat untuk membunuh Kim Hong. Sama sekali tidak. Dia mempunyai rencana sendiri terhadap diri Kim Hong.
Dia sudah mendengar bahwa dara itu memiliki ilmu silat yang tidak kalah lihainya kalau dibandingkan dengan Pendekar Sadis. Oleh karena itu, biarlah dia kehilangan Pendekar Sadis sebagai pembantu, asalkan berhasil membuat gadis lihai itu menjadi pembantunya, juga kekasihnya yang baru. Kecantikan Kim Hong telah menarik hatinya dan dia pun bisa menguasai gadis itu dengan ilmu sihir, tidak seperti Pendekar Sadis yang kebal ilmu sihir.
"Baiklah, Pendekar Sadis. Aku berjanji bahwa selain aku tidak akan membunuh kalian berdua, juga nona Toan Kim Hong akan dirawat baik-baik, dibiarkan beristirahat dan tidak akan mengganggunya selama sehari semalam. Nah, aku berjanji, disaksikan semua tamu terhormat!"
Thian Sin melihat betapa tubuh Kim Hong yang masih lemas tertotok itu diangkut pergi oleh empat orang penari wanita setelah pendeta siluman itu memberikan perintahnya. Dia pun lalu melemaskan tubuhnya.
"Aku menyerah."
"Kami masih sangsi akan ketulusanmu, maka dengan terpaksa kami akan membelenggu kaki tanganmu," kata Sian-su.
Thian Sin mengangguk. Dia pun tidak memberontak dan mandah saja ketika dua orang anggota Jit-sian-kauw mendekatinya lantas membelenggu kedua tangannya ke belakang, juga kedua kakinya. Tiba-tiba saja sehelai sapu tangan ditutupkan ke mukanya. Thian Sin mencium bau keras dan dia pun tak sadarkan diri oleh obat bius yang amat kuat.
Orang-orang Hong-kiam-pang merasa marah dan sakit hati sekali pada waktu mendengar bahwa dua orang murid mereka yang terkenal, yaitu Cia Kok Heng dan Kwee Siu, tewas di dalam tangan Siluman Goa Tengkorak. Mereka langsung mengadakan rapat darurat, memanggil semua tokoh murid mereka. Rapat itu dipimpin oleh dua orang pemimpinnya yaitu Im Yang Tosu yang menjadi ketuanya dan Bu Beng Tojin yang menjadi pembantu utama atau wakil ketuanya.
Im Yang Tosu adalah seorang tosu berusia hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus dan pendek, akan tetapi wajahnya masih nampak segar dan gerakannya juga masih lincah. Tosu ini adalah tokoh Kun-lun-pai, maka tentu saja dia paling berhak untuk menjadi ketua Hong-kiam-pang yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai. Ilmu kepandaiannya tinggi dan wataknya keras walau pun telah berpuluh tahun dia menjadi pendeta Agama To.
Wakilnya yang berjuluk Bu Beng Tojin adalah seorang pendeta pula, yang bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam. Dia bersikap lemah lembut dan berwatak pendiam. Akan tetapi dia merupakan seorang pembantu yang amat baik, bahkan hampir semua urusan luar dari Hong-kiam-pang berada di dalam pengawasannya.
Seperti juga Im Yang Tosu, tentu saja Bu Beng Tojin ini sangat mahir dalam memainkan Ilmu Pedang Hong-kiam-sut. Akan tetapi berbeda dengan Im Yang Tosu yang memang merupakan murid yang pandai dari Kun-lun-pai, sebaliknya Bu Beng Tojin ini bukan murid Kun-lun-pai, melainkan ahli dalam pelbagai cabang ilmu silat berbagai aliran.
Akan tetapi, sesudah diuji oleh Im Yang Tosu sendiri, ternyata kepandaian Bu Beng Tojin ini amat lihai, bahkan hanya sedikit di bawah tingkat Im Yang Tosu. Oleh karena itu maka dia dipercaya dan diangkat sebagai pembantu utama atau boleh dibilang juga wakil ketua.
Dalam banyak urusan, usul-usulnya selalu baik dan dapat diterima. Di dalam menghadapi Siluman Goa Tengkorak sekali pun, Im Yang Tosu sudah menyerahkan kepada wakilnya untuk mengatur bagaimana baiknya untuk membalas kematian dua orang murid mereka.
"Sesungguhnya memang serba susah," kata Bu Beng Tojin dalam rapat itu ketika ditanyai pendapatnya. "Perkumpulan kita selalu berusaha menjauhkan diri dari permusuhan. Akan tetapi dua orang murid kita tewas dan tentu saja kita tidak dapat membiarkan kematian itu lewat tanpa terbalas. Cuma ada satu hal yang harus diselidiki dengan teliti, apakah benar kedua orang murid kita itu tewas di tangan orang yang berjuluk Siliman Goa Tengkorak itu."
Suheng-nya, Im Yang Tosu, menarik napas panjang. "Siancai...! Sebenarnya pinto sendiri tidak menghendaki adanya permusuhan antara Hong-kiam-pang dengan pihak mana pun juga. Dan di dunia ini banyak terdapat orang jahat yang memenuhi pemukaan bumi, tidak mungkin kalau Hong-kiam-pang lantas harus memusuhi dan berusaha membasmi semua penjahat itu. Maka kita pun tidak pernah ikut mencampuri urusan Siluman Goa Tengkorak selama dia juga tidak mengganggu kita. Akan tetapi, Tujuh Pendekar Tai-goan adalah murid-murid kita, dan terutama sekali Cia Kok Heng dan Kwee Siu yang langsung adalah murid-murid pinto sendiri. Tidak dapat disangkal lagi bahwa tentu Siluman Goa Tengkorak yang membunuh mereka. Bukankah isteri Kok Heng juga telah diculiknya?"
Bu Beng Tojin segera menarik napas panjang. "Tidak ada akibat tanpa sebab, dan itulah hukum alam! Mungkin isteri Kok Heng terlalu cantik maka dia diculik, dan dua orang murid kita itu tewas karena mereka menggunakan kekerasan. Lalu sekarang apa yang suheng kehendaki dalam menghadapi urusan ini?"
"Bukan hanya demi nafsu mendendam, sute, akan tetapi juga untuk membersihkan nama kita sekalian membersihkan dunia dari gangguan siluman itu. Kita harus menyerbu Goa Tengkorak dan membasmi siluman itu. Untuk ini, pinto serahkan siasatnya kepadamu."
Bu Beng Tojin mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, suheng. Aku akan membawa anak murid kita dan menyelidiki keadaan Goa Tengkorak. Suheng tenang-tenang sajalah di sini menanti berita dari kami."
Demikianlah, pada malam hari bulan purnama itu, Bu Beng Tojin membawa para anak murid Hong-kiam-pang yang terkumpul sebanyak dua puluh lima orang menuju ke daerah Goa Tengkorak lantas melakukan penyelidikan. Semua goa dimasuki dan diobrak-abrik. Akan tetapi mereka tak menemukan sesuatu apa pun kecuali goa-goa kosong yang sunyi dan menyeramkan.
"Kalian semua menjaga di depan goa, dan sebagian lagi melakukan penyelidikan sambil meronda. Pinto sendiri diam-diam akan menyelinap ke belakang bukit, siapa tahu siluman itu akan melarikan diri dari jalan rahasia di belakang bukit. Kalian tak boleh meninggalkan tempat ini sebelum pinto datang kembali." Demikian Bu Beng Tojin berpesan kepada para murid Hong-kiam-pang, agaknya hendak mempergunakan siasat menggeprak dari depan dan membiarkan musuh lari lewat pintu belakang tetapi dia sudah menanti di sana untuk menyergapnya!
Dengan pedang telanjang di tangan, para murid Hong-kiam-pang itu berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Mereka percaya akan kelihaian ji-suhu mereka, akan tetapi betapa pun juga mereka merasa ngeri pula di tempat yang sunyi menyeramkan ini. Apa lagi kalau mereka ingat betapa Tai-goan Jit-hiap, Tujuh Pendekar Tai-goan yang kesemuanya amat lihai itu tewas di tangan siluman ini! Dan ji-suhu mereka itu pergi begitu lamanya.
Sampai lewat tengah malam belum juga kakek itu kembali dan mereka tidak berani pergi meninggalkan tempat itu seperti yang sudah dipesan oleh ji-suhu mereka. Padahal, selagi berjaga tadi, mereka mendengar suara-suara aneh, seperti dengung suara musik suling, yang-kim dan canang dipukul, dari tempat jauh sekali, kadang-kadang seperti terdengar keluar dari jurang-jurang terbawa angin.
Padahal mereka tahu pasti bahwa di sekitar tempat itu tidak ada dusun, dan suara musik itu juga bukan musik dusun, melainkan musik halus yang biasanya hanya terdapat di kota besar. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin ngeri sebab suara itu agaknya datang dari alam lain yang didatangkan oleh siluman-siluman!
Tentu saja para anak murid Hong-kiam-pang ini tak pernah menduga sama sekali bahwa suara musik itu memang keluar dari jurang karena jurang-jurang itu merupakan ‘jendela’ dari tempat rahasia yang berada di balik bukit goa-goa itu, di dalam bukit yang bertebing tinggi itu.
Mereka tidak pernah menyangka bahwa di balik goa-goa itu sedang dilangsungkan pesta gila-gilaan, pesta yang penuh kecabulan di mana nafsu birahi diumbar dan dilampiaskan begitu saja secara liar tanpa mengenal malu-malu lagi. Juga pada malam hari itulah Thian Sin terpaksa menyerahkan diri karena hendak menyelamatkan Kim Hong. Akan tetapi dia lengah dan tidak memperhitungkan kecerdikan ketua Jit-sian-kauw itu.
Ketika dia membiarkan dirinya dibelenggu, merasa yakin bahwa tidak ada belenggu yang akan dapat menahannya, dan selagi dia mencurahkan perhatiannya kepada orang-orang yang membelenggunya, tanpa disangka-sangka dia sudah diserang oleh Sian-su dengan mempergunakan sapu tangan yang mengandung obat bius yang amat kuat sehingga dia pingsan.
Malam itu semakin larut dan suasana menjadi makin sunyi. Di luar daerah Goa Tengkorak itu terasa makin sunyi melengang, sedangkan di dalam tempat rahasia milik perkumpulan Jit-sian-kauw itu pun sudah mulai sunyi karena semua tamunya sudah mulai membawa pasangan mereka, masing-masing ke tempat menyendiri supaya dapat berasyik-masyuk tanpa terganggu.
Lampu-lampu telah dipadamkan dan diganti dengan lampu-lampu yang dibungkus dengan kain berwarna-warni sehingga suasana menjadi amat romantis dan cocok sekali bagi para pasangan itu untuk melampiaskan nafsu birahi masing-masing sesuka hati mereka. Ganti-berganti pasangan pun terjadilah dan pesta gila itu akan berlangsung sampai matahari terbit pada esok harinya, setelah tubuh mereka tidak mengijinkan lagi untuk melanjutkan pesta-pora pelampiasan nafsu itu.
Teriakan yang sangat mengejutkan para murid Hong-kiam-pang itu terjadi lewat tengah malam. Mereka mengenal suara ji-suhu mereka dari balik bukit.
"Anak-anak... ke sinilah dan cepat bantu pinto!" Demikian ji-suhu mereka itu berteriak-teriak dan mereka mendengar suara desir angin pukulan, tanda bahwa ji-suhu mereka itu sedang berkelahi.
Dan kalau ji-suhu mereka itu sampai berteriak minta bantuan, hal itu tentu berarti bahwa lawannya sungguh seorang yang luar biasa lihainya. Berbondong-bondong dua puluh lima orang itu segera berlari ke arah tempat itu.
Dan di bawah sinar bulan purnama yang sudah mulai condong ke langit barat itu mereka melihat bahwa ji-suhu mereka benar-benar sedang bertanding melawan seorang laki-laki yang memakai topeng tengkorak serta berpakaian serba putih dengan lukisan tengkorak darah pada bagian dada. Siluman Goa Tengkorak! Mereka melihat betapa ji-suhu mereka kini sedang mengadu tenaga sinkang dengan siluman itu, dua pasang tangan mereka itu saling lekat dan saling dorong!
Para murid itu berhenti dan memandang dengan bingung. Mereka semua maklum bahwa bila ji-suhu mereka sedang mengadu sinkang seperti itu, mereka tak boleh mengganggu. Selain tenaga sinkang mereka masih belum mencapai tingkat setinggi tingkat suhu-nya, juga campur tangan mereka dapat membahayakan keselamatan ji-suhu mereka sendiri. Maka mereka hanya mendekat dan mengepung saja, siap-siap dengan pedang di tangan untuk membantu kalau keadaan mengijinkan.
Tiba-tiba terdengar Bu Beng Tojin mengeluarkan bentakan nyaring. Dia mendorong dan... lawannya itu roboh terpental dan terpelanting. Melihat hal ini, para murid Hong-kiam-pang segera menubruk ke depan dan hendak menggerakkan pedang mereka untuk menyerang tubuh orang bertopeng yang sudah roboh itu.
"Tahan! Biarkan pinto menangkapnya!" teriak Bu Beng Tojin mencegah para murid itu dan kakek ini lalu menubruk ke depan, monotok beberapa jalan darah lawannya yang seketika menjadi lemas dan lumpuh. "Keluarkan belenggu dan belenggu kaki tangannya. Jangan sakiti atau bunuh dia, biar kita membawanya menghadap suheng!"
Bukan main girangnya hati para murid Hong-kiam-pang melihat betapa orang bertopeng tengkorak itu sudah roboh pingsan. Mereka lalu membelenggu dan menelikungnya seperti seekor babi hendak disembelih, dan beramai-ramai mereka menggotong orang tawanan ini turun dari tebing. Bu Beng Tojin melarang mereka membuka topeng yang menutupi muka orang itu.
"Inikah orang yang dinamakan Siluman Goa Tengkorak, ji-suhu?" tanya mereka kepada Bu Beng Tojin ketika mereka beramai pulang dengan hati gmbira karena kemenangan itu.
"Siapa lagi kalau bukan dia ini? Dia lihai sekali, hampir pinto kewalahan menghadapinya. Untung pada saat terakhir kalian datang sehingga perhatiannya tertarik dan sedikit banyak dia merasa terkejut dan khawatir. Hal itu telah mengurangi tenaga sinkang-nya sehingga memungkinkan pinto untuk mengalahkannya. Pantas dia dapat merajalela dan mengacau karena memang ilmu kepandaiannya luar biasa lihainya."
"Susiok, kenapa kita tidak bunuh saja iblis ini agar arwah toa-suheng dan ji-suheng dapat menjadi tenang?" seorang pemuda berkata dengan sikap penasaran. Pemuda ini adalah murid Im Yang Tosu ketua Hong-kiam-pang.
Ketua ini mempunyai lima orang murid, dan murid pertama dan ke dua adalah mendiang Cia Kok Heng dan Kwee Siu. Pemuda itu adalah murid ke tiga, maka dia menyebut susiok kepada Bu Beng Tojin.
"Bersabarlah, kita tunggu saja keputusan dari gurumu," jawab Bu Beng Tojin.
Malam sudah hampir terganti pagi ketika mereka tiba di kuil mereka, disambut oleh para murid lain yang menjadi tegang dan gembira, juga ingin tahu sekali ketika mendengar bahwa Bu Beng Tojin telah berhasil menawan Siluman Goa Tengkorak!
Bu Beng Tojin melemparkan tubuh siluman itu ke atas lantai ruangan depan. Para murid Hong-kiam-pang mengepung tempat itu dan sebagian lagi melapor ke dalam. Karena Im Yang Tosu sedang semedhi, maka mereka tidak berani mengganggu dan menanti sampai tosu tua itu selesai dengan semedhinya, sementara itu mereka mendengarkan Bu Beng Tojin menceritakan pengalamannya.
"Memang malam tadi menggelisahkan sekali ketika menunggu, sendirian di balik bukit itu. Tetapi pinto yakin bahwa penjahat itu tentu akan keluar juga. Kita telah mempergunakan siasat mengancam di depan pintu dan membiarkan harimau lolos dari belakang. Apa bila pinto membawa semua murid ke belakang, tentu dia tak akan berani keluar. Pinto sendiri bersembunyi dan membiarkan dia menyangka bahwa semua orang menyerbu dari depan. Dan akhirnya dia pun berkelebat keluar dari balik semak-semak yang pinto kira tentulah merupakan jalan rahasianya. Nah, pinto lalu menyergapnya, tetapi pinto sama sekali tidak menyangka bahwa dia memang lihai bukan main sehingga pinto tidak segera memangil kalian. Akan tetapi masih untung bahwa akhirnya pinto berhasil..." Tiba-tiba Bu Beng Tojin menghentikan kata-katanya dan menoleh ke luar dengan sikap kaget sekali.
Semua orang cepat menoleh dan juga terkejut karena tiba-tiba saja bagaikan munculnya setan, di pekarangan depan itu sudah berdiri seorang yang berpakaian putih-putih dengan sulaman tengkorak darah di dadanya, dan mukanya juga mengenakan topeng tongkorak! Keadaan orang itu persis dengan siluman yang sudah ditelikung dan kini rebah miring di atas lantai, hanya orang yang baru datang ini tubuhnya agak lebih kecil.
Dengan kecepatan kilat yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tiba-tiba siluman yang baru datang ini menyambitkan sesuatu ke arah siluman yang terbelenggu.
"Takk! Takk!"
Dua buah benda hitam menyambar lantas mengenai punggung serta leher siluman yang terbelenggu itu. Siluman ini nampak berkelojotan sedikit lalu diam dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Bu Beng Tojin beserta para murid Hong-kiam-pang ketika melihat bahwa siluman tawanan itu agaknya telah tewas karena mukanya mendadak pucat sekali dan napasnya pun terhenti! Bu Beng Tojin marah bukan main.
"Keparat jahanam engkau!" Dan tosu yang bertubuh tinggi kurus ini sekali bergerak sudah meloncat ke depan, dan langsung menyerang siluman yang bertubuh kecil itu.
Akan tetapi bisa dibayangkan betapa kagetnya ketika siluman itu berkelebat dan sejenak lenyap dari pandang matanya, lalu tiba-tiba saja siluman itu yang telah berada di sebelah kirinya mengirim tamparan ke arah lehernya.
"Plakkk!"
Bu Beng Tojin menangkis dan dia merasa lebih kaget lagi. Tubuhnya terdorong mundur oleh tangkisan itu dan kembali siluman itu telah menyerang dengan tendangan kilat yang memaksa tosu itu untuk meloncat mundur.
Sekarang para murid Hong-kiam-pang sudah berloncatan datang, lantas serentak mereka menggunakan pedang untuk menyerang. Tadinya mereka memang merasa bingung dan hanya termangu-mangu melihat kemunculan seorang siluman lain lagi itu, akan tetapi kini mereka sadar bahwa yang disebut Siluman Goa Tengkorak tentu merupakan gerombolan yang memiliki banyak anggota dan semuanya mengenakan pakaian dan topeng seperti itu. Maka mereka pun sudah menerjang dengan marah.
Akan tetapi siluman itu memang lincah bukan main dan memiliki ginkang yang luar biasa. Tubuhnya cepat berkelebat ke sana-sini seolah-olah dapat menyelinap di antara sambaran pedang-pedang itu. Dia sama sekali tidak gugup biar pun dikeroyok banyak orang, bahkan ketika Bu Beng Tojin sendiri juga sudah terjun dan menyerangnya.
"Siancai... kiranya siluman ini berani pula mengacau di tempat pinto!" Terdengar bentakan halus yang disusul dengan suara mencicit seperti tikus terjepit, lalu ada sinar menyambar amat dahsyatnya.
"Ehhh...!" Siluman itu mengeluarkan seruan kaget.
Akan tetapi biar pun pedang yang digerakkan oleh Im Yang Tosu itu amat hebat, ia masih sempat melempar tubuhnya ke belakang dan dengan cara membuat poksai (salto) hingga lima kali, dia berhasil menghindarkan diri dari serangan sinar pedang yang bertubi-tubi itu. Akan tetapi kakek tua itu sungguh lihai bukan main permainan pedangnya, karena sinar pedang itu bergulung-gulung dan dapat mengirimkan serangan secara terus-menerus dan sambung-menyambung.
Diam-diam ketua Hong-kiam-pang itu terkejut bukan main. Baru sekarang ini permainan pedangnya selalu gagal walau pun dia sudah mengeluarkan jurus-jurus pilihan. Siluman itu gesit bukan main dan gerakannya lebih cepat dari pada sambaran sinar pedangnya!
Sementara itu, Bu Beng Tojin sudah meloncat mendekati siluman yang terbelenggu dan dengan sekali renggut dia telah melepaskan topeng tengkorak yang dipakai oleh siluman itu. Nampaklah wajah yang tampan dari Ceng Thian Sin!
"Pendekar Sadis...!" teriak Bu Beng Tojin dengan suara terkejut dan heran. "Dia adalah Ceng Thian Sin, Pendekar Sadis...!" Sambil berkata demikian, dia meloncat ke belakang.
Semua orang menjadi terkejut. Para anak buah Hong-kiam-pang telah mendengar tentang Pendekar Sadis dan tentu saja mereka kaget bukan main mendengar bahwa orang yang menyamar sebagai Siluman Goa Tengkorak itu adalah Pendekar Sadis!
Bahkan Im Yang Tosu sendiri kaget bukan kepalang mendengar seruan pembantunya itu sehingga serangannya terhadap siluman kedua yang tadinya gencar menjadi berkurang. Kesempatan ini digunakan oleh siluman ke dua itu untuk meloncat ke samping, menjauh dan terdengar seruannya nyaring.
"Thian Sin, mari pergi!"
Para anak buah Hong-kiam-pang yang ingin sekali menyaksikan sendiri wajah siluman yang oleh Bu Beng Tojin dikatakan sebagai Pendekar Sadis itu, mendekati dan merubung Thian Sin yang sudah mulai menggerakkan kedua matanya.
Sambitan dua buah kerikil hitam yang mengenai jalan darahnya tadi sudah membebaskan dirinya dari totokan, akan tetapi karena pengaruh obat bius itu masih membuatnya nanar, maka baru sekarang dia mulai sadar benar-benar. Begitu mendengar suara yang sangat dikenalnya itu, yang mengajaknya pergi, dia merasa seakan-akan kepalanya baru disiram air dingin sehingga seketika dia menjadi sadar sepenuhnya.
Dalam satu detik saja tahulah dia bahwa dia dalam bahaya, bahwa kedua kaki tangannya terbelenggu. Cepat dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam kedua kaki dan tangannya, lantas sekali dia mengerahkan tenaga itu dan menggerakkan kaki tangannya, maka terdengarlah suara keras dan semua belenggu itu pun patah-patah!
Para anak buah Hong-kiam-pang terkejut dan mereka pun jadi ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan setelah melihat kenyataan bahwa yang menjadi Siluman Goa Tengkorak adalah Pendekar Sadis!
"Siancai...! Pendekar Sadis telah menjadi Siluman Goa Tengkorak dan membunuhi murid Hong-kiam-pang? Pinto harus membuat perhitungan!" Im Yang Tosu berseru marah.
Dan kakek ini sudah menerjang lagi ke arah siluman ke dua dengan dahsyat, dibantu oleh murid-muridnya, ada pun Bu Beng Tojin juga sudah mencabut pedangnya dan menyerang Thian Sin.
"Totiang, telah terjadi kesalah pahaman besar..." Thian Sin yang sudah meloncat bangun dan cepat mengelak ketika pedang di tangan Bu Beng Tojin menyambar, mencoba untuk membantah dan menjelaskan.
"Siluman busuk, tutup mulutmu!" bentak Bu Beng Tojin yang juga sudah marah sekali lalu dia mempercepat permainan pedangnya, dibantu pula oleh para murid Hong-kiam-pang.
"Thian Sin, tidak perlu berbantahan lagi. Lari...!" Siluman ke dua itu kembali berteriak dan dengan gerakan kilat dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan tendangannya, kemudian dia meloncat dan pergi meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Thian Sin.
"Kejar! Tangkap...!" Bu Beng Tojin berteriak.
Semua orang Hong-kiam-pang yang merasa marah dan penasaran itu segera melakukan pengejaran, namun mereka tidak mampu menyusul Thian Sin dan temannya yang sudah mengerahkan ginkang mereka dan melarikan diri secepatnya. Setelah para pengejar tidak nampak lagi, barulah mereka berdua berhenti kemudian siluman tengkorak yang bertubuh ramping itu membuka topengya.
"Kim Hong...!"
"Thian Sin...!"
Segera mereka berdua saling rangkul dan saling cium dengan hati penuh kerinduan dan kegembiraan melihat bahwa keduanya akhirnya dapat bertemu dalam keadaan selamat. Setelah puas melampiaskan rasa rindu dan gembira di hati masing-masing, Thian Sin lalu menggandeng tangan Kim Hong dan mengajaknya duduk di atas batu besar.
"Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau tiba-tiba dapat muncul di sini dan menyamar sebagai Siluman Goa Tengkorak pula," kata Thian Sin sambil mengelus punggung tangan kekasihnya.
Kim Hong lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak dia pergi mencari jejak dan menyusul Thian Sin ke daerah Goa Tengkorak sampai dia terjebak dan tertawan karena terpengaruh oleh kekuatan sihir dari Sian-su atau ketua dari perkumpulan Jit-sian-kauw atau Siluman Goa Tengkorak.
Seperti kita ketahui, dara ini berada dalam keadaan tidak sadar sesudah dia tersihir dan hendak dijadikan anggota baru dalam upacara pengangkatan anggota baru, bahkan dia terpilih sebagai calon jodoh dari Sian-su sendiri! Ketika dia bertemu dengan Thian Sin di dalam sarang Siluman Goa Tengkorak, dia sama sekali tidak dapat mengenali Thian Sin karena dia berada di dalam keadaan tersihir, bahkan ketika Thian Sin mengamuk, dia pun tidak tahu dan hanya memandang dengan bingung saja.
Akan tetapi, ketika Kim Hong hendak dibawa pergi, diam-diam Thian Sin mengerahkan segala kekuatan batinnya, menggunakan kepandaian sihirnya untuk membebaskan dara itu dari pengaruh sihir dan meski pun secara perlahan-lahan, Kim Hong mulai sadar ketika dia dibawa pergi!
"Aku tidak tahu apa yang terjadi dan ketika aku sadar, aku telah berada di dalam sebuah kamar yang amat indah, dilayani oleh tiga orang gadis cantik sebagai dayang. Ketika aku teringat bahwa aku sudah terjebak dan tertawan, aku bangkit dan melihat bahwa di luar kamar itu terdapat beberapa orang pria yang memakai pakaian dan topeng Siluman Goa Tengkorak. Aku hendak mengamuk, akan tetapi pada saat itu pintu kamar terbuka dan di luar kamar nampak laki-laki tinggi yang agaknya menjadi kepala gerombolan itu..."
"Itulah ketua Jit-sian-kauw atau yang disebut dengan sebutan Sian-su!" kata Thian Sin.
"Iblis itu menunjuk kepadamu yang kulihat dalam keadaan pingsan, sambil menodongkan pedangnya ke lehermu. Dia mengancam bahwa kalau aku memberontak, maka lebih dulu dia akan membunuhmu, dan dia pun mengatakan bahwa dia sudah mengancammu kalau engkau memberontak, maka lebih dahulu dia akan membunuhku. Karena engkau sedang tidak berdaya dan dia berjanji bahwa dia tidak akan membunuh kita berdua, aku bersabar diri dan engkau pun dibawa pergi. Aku terus menjaga kesehatanku dengan makan setelah yakin bahwa makanan itu tidak dicampuri obat bius. Aku mulai percaya bahwa agaknya Sian-su itu tidak berniat buruk dan benar-benar hendak bersahabat dengan kita."
"Hemm, dia menipumu. Dia menghendaki engkau menjadi isteri dan pembantunya," kata Thian Sin gemas.
"Aku pun baru malam tadi mendengar tentang hal itu. Seorang wanita berlari-lari masuk ke kamarku sambil menangis, tetapi beberapa orang penjaga bertopeng tengkorak yang berada di luar kamar hendak menangkapnya. Aku segera melompat dan menghardiknya. Agaknya mereka itu takut padaku, lalu membiarkan wanita itu berlutut di depan kakiku."
Cerita Kim Hong ini semakin menarik hati Thian Sin yang tidak dapat menahan keinginan tahunya sehingga dia pun bertanya, "Apakah dia itu isteri mendiang Cia Kok Heng?"
Kim Hong mengangguk membenarkan, lalu gadis ini melanjutkan ceritanya. Wanita cantik yang usianya dua puluh tujuh tahun itu pada mulanya hanya menangis mengguguk sambil merangkul kedua kaki Kim Hong. Kim Hong mula-mula merasa heran dan mengira bahwa ini tentu akal bulus dari perkumpulan gerombolan iblis itu untuk menjebak atau menipu dirinya.
"Enci, siapakah engkau dan mengapa engkau menangis?" akhirnya Kim Hong bertanya, memegang kedua pundak wanita itu dan menariknya bangkit duduk.
Dia sengaja menekan pundak itu dan mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak pandai ilmu silat. Hal ini membuat hatinya lega karena setidaknya dia yakin bahwa wanita ini tak akan mampu menyerangnya secara menggelap.
Wanita itu menyusut air matanya sambil berusaha menahan isak tangisnya. "Lihiap... aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia ini..." Kembali dia menangis.
Kim Hong lalu mengerutkan alisnya. "Enci, bagaimana engkau tiba-tiba saja menyebutku lihiap? Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang ahli silat, seorang pendekar wanita?"
Wanita itu memandang keluar, ke arah orang-orang bertopeng tengkorak itu kemudian dia berbisik. "Mereka itu bercerita tentang Pendekar Sadis yang tertawan, juga tentang dirimu yang katanya merupakan sahabat pendekar itu dan lihai sekali, maka aku sengaja nekat lari ke sini... aku ingin memberi tahukan hal yang penting sekali..."
"Nanti dulu, enci. Siapakah engkau dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat seperti ini?"
"Aku adalah salah satu di antara wanita-wanita yang berada di sini, seperti mereka ini." Ia menunjuk ke arah gadis-gadis cantik yang menjadi dayang dan yang memandang heran dan tidak mengerti. "Namaku Lu Sui Hwa dan seperti juga mereka ini, aku adalah wanita yang diculik. Ada yang datang ke sini karena bujukan, karena dibeli, karena diculik, dan aku telah diculik. Mereka semua ini terbius dan tersihir, tidak tahu lagi apa yang mereka lakukan. Akan tetapi aku tidak dibius lagi, tidak disihir lagi sesudah aku dibebaskan dari pengaruh sihir oleh Pendekar Sadis, tetapi... tetapi aku pun terpaksa mentaati kehendak mereka, melayani mereka... diperkosa, dipermainkah... ahhh..." Wanita itu lalu mendekap mukanya dan air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya.
"Tapi, kalau engkau sadar dan tidak terbius, mengapa engkau mau menurut saja, enci?" Kim Hong menegur dan mengerutkan alisnya.
"Apa dayaku? Suamiku telah mereka bunuh, dan mereka juga sudah menculik dua orang anak-anakku. Mereka mengancam bahwa selama aku menurut, anak-anakku tidak akan dibunuh... maka aku... demi kedua anakku, aku terpaksa menyerah... hu-hu-huhhh..."
"Apakah engkau nyonya Cia Kok Heng, ibu kandung Cia Liong dan Cia Ling?" Mendadak Kim Hong bertanya.
Wanita itu menurunkan kedua tangannya, memandang pada pendekar itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Mulutnya ternganga dan sejenak dia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh harapan. Akhirnya dia dapat juga membuka mulut dan bicara.
"Benar... benar... mana mereka? Bagaimana mereka...?"
"Tenangkan hatimu. Aku menyelamatkan mereka dari tangan iblis-iblis itu dan kini mereka berada di tangan yang aman."
Tiba-tiba wanita itu berlutut dan mencium kaki Kim Hong. "Terima kasih... ah, terima kasih kepada Thian... terima kasih, lihiap..."
Empat orang anggota Siluman Goa Tengkorak kini berloncatan masuk ke dalam kamar itu dan hendak menyeret pergi Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng.
"Pergi engkau dari sini, perempuan bandel!"
Akan tetapi, kini Kim Hong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Tubuhnya berkelebat dan kaki tangannya bergerak, kemudian terdengar suara orang mengaduh berturut-turut diikuti tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri. Mereka roboh tanpa dapat bangkit kembali karena mereka sudah tewas oleh pukulan serta tendangan Kim Hong yang tadi dilakukan dengan kemarahan meluap.
"Enci, ceritakan apa yang hendak kau katakan tadi? Pemberi tahuan penting apa?" Kim Hong mendesak cepat.
"Pendekar Sadis... dia dibawa oleh mereka... menurut pembicaraan mereka yang dapat kudengar, Pendekar Sadis yang pingsan itu diberi pakaian dan topeng Siluman Tengkorak kemudian hendak diserahkan kepada pihak Hong-kiam-pang agar diadili dan dibunuh oleh perkumpulan yang mendendam terhadap Siluman Goa Tengkorak. Aku dapat mendengar segalanya karena waktu itu aku tidak dibius dan mereka percaya bahwa aku tidak akan berani membocorkan rahasia..."
"Perempuan keparat!" Terdengar bentakan-bentakan dan lima orang bertopeng masuk.
Akan tetapi Kim Hong segera menyambut mereka dan melayani serbuan lima orang yang menggunakan senjata tajam itu. Kini Kim Hong tidak ragu-ragu lagi karena tahu bahwa Thian Sin tidak berada di situ dan bahwa janji Siluman Goa Tengkorak sama sekali tidak dapat dipercaya.
Begitu kaki tangannya bergerak, gadis cantik yang dulu pernah menjadi datuk kaum sesat di selatan dengan julukan nenek Lam-sin ini, dalam belasan jurus saja sudah membunuh empat orang lawan dan dia sudah menotok seorang anggota gerombolan yang tubuhnya kecil, kemudian dia melompat keluar kamar sambil membawa tawanannya.
"Enci, aku akan pergi menolong Thian Sin..."
Akan tetapi pada saat itu pula dia mendengar suara keras disusul jeritan mengerikan. Dia cepat menengok dan terkejutlah dia. Kiranya Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, ibu dari kedua orang anak itu, sudah roboh dengan kepala pecah di dekat tembok. Ternyata ibu muda yang putus asa karena selain suaminya terbunuh juga dirinya telah ternoda itu membunuh diri. Kim Hong memandang dan menggigit bibirnya.
"Enci, pergilah dengan tenang. Aku akan menghancurkan gerombolan iblis ini dan akan menyelamatkan anak-anakmu." Dia berbisik, kemudian menerjang keluar.
Belasan orang anak buah perkumpulan itu mencoba untuk menghadangnya, akan tetapi dengan tamparan tangan serta tendangan kakinya, Kim Hong berhasil membuat mereka semua tercerai-berai dan membawa tawanannya meloncat ke atas genteng.
"Hayo tunjukkan jalan keluar kalau engkau tidak ingin kucokel keluar matamu!" desis Kim Hong sambil meraba mata orang dengan telunjuknya.
"Jangan... lihiap... baiklah… akan kutunjukkan..." Tawanannya itu mengeluh dengan suara gemetar dan tubuh menggigil ketika merasa betapa biji matanya diraba-raba jari! "Harap turun ke dekat menara itu, di sana ada jalan rahasia..."
Kim Hong membawa tawanannya melompat turun ke dekat menara. Dua orang anggota gerombolan yang berjaga di sana menyerangnya dengan golok dan pedang, akan tetapi hanya dalam dua gebrakan saja Kim Hong telah membuat mereka terpelanting dan roboh pingsan. Atas petunjuk tawanan itu dia berhasil memasuki terowongan rahasia sehingga akhirnya dia bisa keluar dari jalan rahasia itu sampai di balik tebing. Jalan ini adalah jalan yang diambil oleh Thian Sin ketika sebagai ‘utusan’ Sian-su dia mengusir lima orang dari Bu-tong-pai.
"Tunjukkan di mana adanya tempat orang-orang Hong-kiam-pang itu!" kembali Kim Hong membentak dan orang itu kelihatan semakin ketakutan.
"Tidak...saya... tidak berani..."
"Engkau lebih berani membangkang terhadap perintahku?" Kim Hong membentak. Sekali jari tangannya menotok orang itu lalu bergulingan di atas tanah sambil mengaduh-aduh.
Dalam kegelisahannya akan nasib Thian Sin dan kemarahannya terhadap gerombolan itu, apa lagi setelah melihat Lu Sui Hwa membunuh diri, Kim Hong pada saat itu seperti telah berubah menjadi nenek Lam-sin lagi. Jalan darah yang ditotoknya tadi adalah jalan darah yang membuat orang menderita rasa nyeri yang amat hebat sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya bagian dalam dikeroyok ribuan semut api yang menggerogoti dagingnya!
"Ampun... ampunkan saya...!" Orang itu terengah-engah dan bergulingan.
"Kau mau menunjukkan tempat itu?" Dengan suara dingin Kim Hong bertanya.
Orang itu menangis saking nyerinya, kemudian mengangguk-angguk. Melihat ini, barulah Kim Hong membebaskannya dari totokan yang menyiksa itu kemudian berkata, "Hayo cepat tunjukkan!"
Dengan sangat terpaksa orang itu menunjukkan kuil yang menjadi markas perkumpulan Hong-kiam-pang. Kim Hong yang menyeret tubuh orang itu lalu berlari bagaikan terbang cepatnya karena dia tidak ingin terlambat.
Ketika dia sampai di luar pekarangan kuil, dia merasa lega melihat Thian Sin masih dalam keadaan selamat dan banyak anggota Hong-kiam-pang berkumpul di ruangan depan. Dia cepat-cepat melucuti pakaian luar dan topeng orang itu, kemudian tergesa-gesa memakai pakaian itu dan juga mengenakan topeng Siluman Tengkorak.
"Demikianlah, Thian Sin," Kim Hong mengakhiri ceritanya. "Aku berhasil membuat mereka terkejut kemudian membebaskan totokanmu dengan dua sambitan batu kerikil yang telah kupersiapkan sebelumnya. Sekarang ceritakan pengalamanmu."
"Terima kasih, Kim Hong. Kembali engkau telah menyelamatkan nyawaku," berkata Thian Sin sambil mencium kekasihnya. “Tentang pengalamanku, sebaiknya kuceritakan dalam perjalanan saja. Sekarang yang penting kita harus cepat-cepat menyerbu Goa Tengkorak untuk membasmi mereka sebelum mereka sempat melarikan diri atau membunuh wanita itu."
Kim Hong menyetujui dan sepasang pendekar sakti ini lalu mengerahkan ginkang mereka untuk berlari menuju ke Goa Tengkorak. Di sepanjang perjalanan, Thian Sin menceritakan pengalamannya dengan singkat.
"Kiranya Sian-su keparat itu memang benar-benar hendak memegang janjinya, yaitu tidak akan membunuh kita berdua, akan tetapi dia hendak meminjam tangan orang-orang dari Hong-kiam-pang untuk membunuhku, kemudian dengan ilmu sihir dan obat biusnya tentu dia akan berusaha untuk menguasai dirimu supaya engkau suka membantu pekerjaannya yang terkutuk itu!" kata Thian Sin mengakhiri penuturannya.
"Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di tangan orang-orang Hong-kiam-pang yang haus darah itu?"
"Hushh, jangan kau sebut haus darah. Mereka sudah kehilangan tujuh orang murid, tidak aneh kalau mereka mendendam kepada Siluman Goa Tengkorak. Apa lagi kalau mereka ketahui bahwa gerombolan Siluman Goa Tengkorak memang amat jahat dan keji, sebagai pendekar-pendekar tentu mereka itu akan menentang secara mati-matian. Dan aku yang berpakaian dan bertopeng seperti ini, tentu tak akan mereka ampuni."
"Akan tetapi bagaimana engkau sampai terjatuh ke tangan mereka?"
"Sudah kukatakan tadi, aku dalam keadaan pingsan akibat obat bius. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku dan tahu-tahu aku sudah berada di sana sampai kau datang. Tentu ini adalah siasat Sian-su yang menyerahkan aku kepada Hiong-kiam-pang sebagai seorang Siluman Goa Tengkorak, dengan maksud agar orang-orang Hong-kiam-pang itu membunuhku."
"Sian-su keparat itu sungguh licik, curang, keji dan amat jahat. Jika bertemu dengannya, aku pasti tidak akan memberi ampun kepadanya!" Kim Hong berkata dengan nada suara marah.
"Akan tetapi engkau harus berhati-hati, karena dia memiliki ilmu sihir yang cukup kuat. Jangan lengah dan pergunakan semua ilmu penolak sihir seperti yang pernah kuajarkan kepadamu kalau dia mempergunakannya," pesan Thian Sin dan Kim Hong mengangguk.
Dia memang pernah mempelajari cara-cara penolakan sihir dari kekasihnya itu dan kalau dia sampai pernah jatuh dalam pengaruh sihir dari ketua Siluman Goa Tengkorak, adalah karena dia tak menyangka sama sekali, tertipu oleh tosu kuil itu dan juga karena memang siluman itu memiliki kekuatan sihir yang amat kuat.
Di dalam tempat rahasia ini perkumpulan Jit-sian-kauw itu, Sian-su mengumpulkan semua anak buah dan juga para tamunya. Sepasang mata di balik topeng itu nampak gelisah.
"Para anggota dan juga para saudara sekepercayaan yang mulia! Tempat pemujaan kita terancam bahaya besar! Pendekar Sadis serta pembantunya sudah berkhianat dan tentu mereka itu akan datang mengacau di sini. Oleh karena itu aku perintahkan kepada semua anggota supaya bersikap waspada, menjaga semua jalan masuk dan memasang semua jebakan. Dan kepada semua saudara sekepercayaan, saya harap sukalah mengeluarkan sedikit tenaga membantu mempertahankan tempat pemujaan kita yang keramat."
Dengan cekatan Sian-su lalu membagi-bagi tugas di antara anak buahnya yang jumlahnya tinggal tiga puluh orang lebih itu, memerintahkan para wanita itu bersembunyi di ruangan dalam dan tidak memperbolehkan mereka keluar. Dengan pakaian Siluman Tengkorak, Tosu Siok Cin Cu yang menjadi pembantu utamanya, mewakilinya untuk mengatur para anak buah dalam melakukan penjagaan.
Kemudian Sian-su membujuk para tamunya yang berkepandaian untuk turut melakukan penjagaan. Di antara para tamunya itu terdapat sepuluh orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan mereka ini yang merasa betapa pusat kepercayaan mereka terancam oleh musuh, dengan senang hati mau membantu Sian-su.
Kepercayaan yang membuta sering kali menyesatkan orang dan membuat manusia lupa bahwa segala macam agama atau kepercayaan diciptakan untuk manusia. Agama atau kepercayaan lain diadakan untuk menuntun manusia ke jalan yang dianggap benar dan baik. Sebab itu jelaslah bahwa manusianya yang penting dan kepercayaan itu merupakan pelengkap dalam kehidupan, sebagai alat penerangan dan penuntun.
Namun, betapa banyaknya kepercayaan yang membuta membuat para pemeluknya lupa bahwa manusianya yang penting dan mereka itu bahkan lebih mementingkan agama atau kepercayaannya, ada pun manusianya sendiri lalu menjadi alat belaka yang mudah saja dikorbankan demi kepercayaan atau agama itu.
Dan yang memegang peran di dalam hal ini adalah para pemimpinnya, para pendetanya yang mempergunakan nama agama untuk memenuhi ambisi pribadinya. Para pemeluk itu mau saja diseret ke dalam kancah permusuhan dan kebencian, bunuh-membunuh, rela berkorban untuk membunuh atau pun terbunuh, semua dilakukan demi mempertahankan agama atau kepercayaan seperti yang digembar gemborkan oleh para pemimpinnya. Dan terjadilah keadaan yang sama sekali terbalik. Bukan lagi agama untuk manusia namun manusia untuk agama, bukan lagi agama sebagai alat manusia tetapi manusia menjadi alat agama.
Demikian pula dengan para tamu dari ketua Jit-sian-kauw ini. Mereka pun menyerahkan kepercayaan secara membuta dan di dalam penyerahan kepercayaan ini memang selalu terdapat hal-hal yang dianggap menguntungkan atau menyenangkan sebagai pendorong.
Mereka, para pemeluk agama Jit-sin-kauw ini, tidak hanya sudah menikmati kesenangan jasmani berupa pesta pora pemuasan nafsu-nafsu birahi, akan tetapi juga kesenangan batiniah yang berupa harapan bahwa kelak apa bila sudah mati mereka akan memperoleh kesenangan karena sudah disediakan sebuah tempat yang baik untuk mereka oleh Dewa Kematian yang telah mereka puja-puja dan beri korban. Kini, mereka rela untuk membela kepercayaan mereka, bahkan jika perlu mereka rela untuk mati, dengan keyakinan bahwa kematian itu akan berakhir dengan kesenangan bagi mereka.
Para tamu ini sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu mereka ikut berjaga dengan sibuk untuk menjaga dan mempertahankan ‘tempat pemujaan keramat’ itu, pada sebelah dalam kamar rahasianya, Sian-su yang dibantu oleh orang kepercayaannya, yaitu Siok Cin Cu, tengah sibuk sendiri membenahi barang-barang berharga yang amat berharga, semuanya dimasukkan ke dalam dua buah peti sampai penuh!
"Siok Cin Cu, kita harus dapat menyelamatkan dua peti ini lebih dahulu. Pendekar Sadis dan wanita itu tak boleh dipandang ringan. Engkau tahu ke mana harus menyembunyikan peti-peti ini kalau keadaan memaksa."
"Baik, Sian-su, jangan khawatir. Akan tetapi sudah demikian berbahayakah keadaannya sehingga Sian-su perlu berkemas dan berkhawatir?" tanya tosu Siok Cin Cu itu di balik topengnya.
"Berbahaya sekali sih belum, akan tetapi kita perlu waspada. Para anak buah dan para tamu dengan bantuan jebakan-jebakan mungkin akan sanggup menahan Pendekar Sadis dan temannya. Akan tetapi aku khawatir bahwa Hong-kiam-pang tidak akan mau sudah, kemudian mereka akan berusaha untuk menemukan tempat kita. Im Yang Tosu agaknya berkeras hati benar untuk menggempur kita."
Siok Cin Cu menarik napas panjang. "Agaknya kita telah salah tangan membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu, Sian-su, sehingga masalah menjadi berlarut-larut dan memancing permusuhan dengan Hong-kiam-pang."
"Tidak salah tangan sama sekali. Pertama, mereka menentang kita. Ke dua, ada gejala-gejala bahwa di antara mereka itu sudah mengetahui rahasiaku. Mereka memang perlu dibinasakan untuk mencegah datangnya bahaya yang lebih besar."
Percakapan mereka terhenti pada saat terdengar suara hiruk pikuk di luar. Mereka saling pandang dan dua pasang mata di balik topeng itu nampak gelisah. Akan tetapi Sian-su menenangkan diri dan berkata, "Siok Cin Cu, engkau membawa peti ini sebuah dan aku sebuah. Engkau mengambil jalan kiri dan aku ke kanan. Engkau tahu di mana kita dapat bertemu di luar tempat ini."
"Sian-su... hendak meninggalkan tempat ini? Apakah tidak menahan musuh dulu?"
"Sstttt, diamlah. Yang penting adalah menyelamatkan dua peti ini, baru kita pikirkan untuk menghantam musuh yang berani masuk ke sini. Mari, cepat!" kata Sian-su menyerahkan sebuah di antara dua peti hitam itu kepada Siok Cin Cu.
Tosu ini menerima peti, mengangguk dan segera meloncat pergi dari kamar rahasia itu, bersimpang jalan dengan ketuanya. Memang di tempat itu telah terjadi pertempuran, mulai di terowongan.
Seperti kita ketahui, Thian Sin dan Kim Hong menuju ke belakang tebing untuk menyerbu sarang Jit-sian-kauw itu dari belakang, melalui jalan rahasia yang sudah mereka berdua ketahui. Akan tetapi sebelum menuju ke sana, Thian Sin mengajak Kim Hong untuk lebih dulu memasuki sebuah hutan kecil yang tak jauh dari situ.
"Ehh, kita ke mana?" tanya Kim Hong yang seperti juga kekasihnya telah menanggalkan pakaian dan topeng tengkorak.
"Sudah kuceritakan kepadamu bahwa aku pernah terpaksa mengusir lima orang tokoh Bu-tong-pai dan aku berhasil memberi tahu mereka tentang keadaanku lalu minta kepada mereka untuk menanti di hutan ini. Nah, itu mereka!" kata Thian Sin ketika melihat Liang Hi Tojin keluar dari sebuah gubuk kecil bersama empat orang murid Bu-tong-pai.
Cepat Thian Sin dan Kim Hong menghampiri mereka.
"Siancai, siancai... sungguh tidak sabar kami menanti-nanti berita darimu, Ceng-taihiap," kata Liang Hi Tojin sambil menjura ke arah dua pendekar itu. "Dan Toan-lihiap juga sudah datang, sungguh membesarkan hati!"
Thian Sin dan Kim Hong yang sudah mengenal tokoh ke dua dari Bu-tong-pai ini segera membalas penghormatan mereka berlima. "Saya menunggu saat dan kesempatan yang baik, totiang. Dan sekaranglah saat yang baik itu tiba."
"Kita menyerbu Goa Tengkorak? Tapi... kami tidak pernah menemui jalan masuk."
"Jangan khawatir, kami telah tahu jalannya," kata Kim Hong. "Mari ngo-wi (kalian berlima) ikuti kami."
Berbondong-bondong mereka kemudian berangkat dengan penuh semangat. Orang-orang Bu-tong-pai ini bukan hanya ingin membalas kematian Louw Ciang Su murid Bu-tong-pai, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, akan tetapi juga mereka merasa bertugas untuk membasmi gerombolan Siluman Goa Tengkorak yang telah melakukan pengacauan dan kejahatan-kejahatan kejam itu.
Sesudah menemukan jalan masuk rahasia melalui terowongan itu, Thian Sin masuk lebih dahulu, diikuti oleh Kim Hong. Di belakang dua orang pendekar ini, barulah Liang Hi Tojin beserta empat orang murid keponakannya berjalan masuk dengan pedang siap di tangan mereka.
Sebagai orang yang pernah diperdaya oleh Sian-su, Thian Sin pernah melalui terowongan ini dan rahasia jebakan terowongan ini tidak disembunyikan darinya, maka sedikit banyak dia tahu di mana adanya jebakan-jebakan itu. Sebaliknya, pada waktu melarikan diri dari tempat itu, Kim Hong membawa seorang tawanan yang sudah memberi tahu kepadanya adanya jebakan-jebakan sehingga dia bersikap hati-hati sekali, dan juga dalam keributan itu, terowongan tidak terjaga dan tidak ada anggota gerombolan yang menggerakkan alat rahasia jebakan.
Ketika tiba di sebuah tikungan terowongan, tiba-tiba saja Thian Sin berseru, "Awas anak panah!"
Dan hampir berbareng dengan ucapannya, dari depan dan belakang menyambar puluhan batang anak panah ke arah mereka! Akan tetapi, orang-orang Bu-tong-pai itu sudah siap dengan pedang mereka dan dengan memutar pedang, anak panah yang menyambar itu runtuh ke atas tanah.
Kim Hong dan Thian Sin menggunakan gerakan tangan mereka untuk menangkis hingga ada dua batang anak panah berhasil ditangkap oleh Thian Sin yang cepat menggerakkan tangan. Dua batang anak panah itu meluncur ke atas, lantas terdengarlah jeritan orang yang disusul jatuhnya sesosok tubuh yang tadinya bersembunyi pada bagian atas sambil menggerakkan alat-alat yang meluncurkan anak-anak panah itu. Orang itu tewas dengan leher dan dada tertembus dua batang anak panah yang dilemparkan oleh Thian Sin tadi.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati tanpa mempedulikan orang yang sudah tewas itu. Mereka melangkahi mayat itu dan dengan hati-hati Thian Sin terus melangkah maju, diikuti oleh yang lainnya. Terowongan itu tidak begitu gelap, sedikit remang-remang karena ada cahaya matahari yang masuk melalui beberapa celah-celah yang berada di langit-langit torowongan.
"Berhenti...!" Tiba-tiba Thian Sin berbisik sehingga semua orang berhenti.
Tidak nampak sesuatu yang mencurigakan di situ, akan tetapi mereka melihat Pendekar Sadis memberi isyarat agar mereka berhenti, sedangkan dia sendiri melangkah ke depan sambil melirik ke sana-sini dengan penuh kewaspadan. Tiba-tiba terdengar bunyi berderit lantas lantai yang diinjaknya itu terbuka, sedangkan di dalam sumur itu nampak batu-batu meruncing menanti di bawah!
Akan tetapi, Thian Sin sudah mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat ke kanan, ke arah batu karang besar dan sekali tangannya menyambar, dia telah menangkap seorang lelaki bertopeng tengkorak lantas tubuh orang itu pun dilemparkannya ke dalam sumur, sedangkan dia sendiri sudah meloncat kembali ke tempat semula di mana teman-temannya berdiri memandang dengan mata terbelalak ke dalam sumur.
Orang yang terlempar itu mengeluarkan suara pekik mengerikan, lalu tubuhnya disambut oleh batu-batu karang yang seperti golok itu dan tewas seketika. Lantai itu masih terbuka dan terpaksa mereka bertujuh harus melompati sumur itu dan melanjutkan perjalanan lagi ke depan.
Tidak ada lagi jebakan yang menghadang perjalanan mereka. Akan tetapi begitu keluar dari pintu rahasia, mereka segera diserbu oleh para anak buah Siluman Goa Tengkorak yang dibantu oleh sepuluh orang tamu pemeluk kepercayaan baru itu sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru.
Liang Hi Tojin mengamuk, sementara empat orang murid keponakannya juga memainkan pedang mereka, dikeroyok oleh para anggota gerombolan Jit-sian-kauw yang dibantu oleh sepuluh orang tamu. Melihat betapa sepak terjang Liang Hi Tojin dan empat orang murid Bu-tong-pai itu cukup tangkas dan kuat, Thian Sin dan Kim Hong kemudian sama-sama meloncat ke arah dalam.
"Engkau dari kiri, aku dari kanan!" kata Thian Sin dan nona itu mengangguk, mengerti apa yang dikehendaki kekasihnya.
Mereka berdua sudah tahu di mana adanya kamar Sian-su, dan memang ada dua jalan yang menuju ke kamar itu, sebuah kamar yang mewah dan di mana hampir setiap malam terjadi kecabulan.
Pada saat itu tampak seorang yang berpakaian dan bertopeng Siluman Tengkorak tengah bergegas melarikan diri keluar dari lorong sambil membawa sebuah peti hitam. Orang ini bukan lain adalah Siok Cin Cu, yaitu tosu pembantu utama Sian-su yang bertugas untuk menyelamatkan sebuah peti berisi barang perhiasan itu.
Diam-diam tosu ini merasa heran sekali, kenapa Sian-su tidak lebih dulu menyambut dan menahan serbuan lawan akan tetapi lebih mementingkan untuk menyelamatkan barang-barang berharga itu. Akan tetapi, karena dia sendiri maklum betapa lihainya Pendekar Sadis, tugas ini tentu saja menggembirakan hatinya. Dia tidak perlu menghadapi lawan yang mengerikan itu dan lebih enak menyelamatkan diri sambil membawa peti perhiasan yang dia tahu amat berharga ini. Andai kata Sian-su gagal, dia sendiri masih mempunyai satu peti yang akan cukup untuk dimakan selama tujuh turunan dalam keadaan mewah!
Ketika dia berlari melewati lorong itu, tiba-tiba dia melihat seorang wanita cantik berdiri di depan. Dia menduga bahwa tentu seorang di antara para gadis dayang dan penari yang keluar dari tempat mereka dikurung. Melihat wanita cantik ini, Siok Cin Cu tersenyum di balik topengnya. Bagaimana kalau dia membawa wanita cantik itu bersamanya? Selain untuk teman di perjalanan juga untuk menghibur hatinya!
"Hei, berani engkau keluar dari ruangan itu? Hayo kau ke sini dan ikut bersamaku....!"
Akan tetapi tiba-tiba Siok Cin Cu menghentikan kata-katanya. Ternyata, sesudah datang mendekat, dia mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Toan Kim Hong!
Kim Hong berdiri dengan senyum manis dikulum. Ucapan yang keluar dari balik topeng itu dikenalnya dengan baik dan senyumnya semakin melebar menghias bibirnya yang merah basah dan manis ini. Ia lalu bertolak pinggang menghadang di tengah lorong.
"Aihh, kiranya si pertapa Siok Cin Cu yang sangat suci itu pun memiliki jubah dan topeng tengkorak? Totiong, tentu engkau belum lupa kepadaku, bukan? Aku tidak pernah dapat melupakanmu sebab budi totiang saat membawaku ke susiok totiang itu sampai sekarang belum juga sempat kubalas!" Kim Hong berkata dengan nada manis dan ramah, namun sepasang matanya yang mencorong itu mengeluarkan cahaya dingin yang membuat Siok Cin Cu merasa bulu tengkuknya meremang.
Akan tetapi dia bukan seorang yang lemah. Dia adalah pembantu utama dari Sian-su dan dia sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Karena maklum bahwa bicara banyak juga tiada gunanya, dan bahwa wanita ini adalah teman dari Pendekar Sadis, maka dia harus dapat merobohkan wanita ini sebelum pendekar itu sendiri muncul.
Maka dia lantas mengeluarkan bentakan nyaring dan dia langsung menggerakkan tangan kanannya untuk mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dari pinggangnya, lalu dia menubruk ke depan dengan serangan kilatnya! Tangan kirinya masih memeluk peti hitam di dekat dadanya.
"Singgg...! Wuuuutt...!"
Tusukan pedang itu luput ketika Kim Hong mengelak dengan gerakan seenaknya, namun tusukan itu langsung dilanjutkan dengan sabetan sebagai serangan selanjutnya. Gerakan tosu ini memang cukup cepat. Namun, tentu saja dia hanya merupakan lawan yang lunak dari Kim Hong yang pernah menjadi datuk berjuluk nenek Lam-sin ini.
Sambil tersenyum mengejek, Kim Hong kembali mengelak. Dia tidak segera turun tangan terhadap tosu ini karena perhatiannya tertarik kepada peti hitam yang dipeluk si kakek. Tentu berisi benda penting maka hendak dilarikan oleh tosu ini, pikirnya. Oleh karena itu, timbul niat di hatinya untuk merampas peti ini dan memeriksa apa isinya, baru dia akan menghajar tosu palsu ini.
"Hyaaaatt...!"
Kembali Siok Cin Cu menyerang dengan gerakan pedangnya yang berkelebat seperti kilat menyambar itu. Kim Hong cepat mengelak ke kiri dan ketika pedang itu menusuk ke arah matanya, dia miringkan kepala dan menggunakan tangan kiri untuk menjepit ujung pedang itu dengan ibu jari, telunjuk dan jari tengah, sedangkan kaki kanannya menendang ke arah muka lawan dengan gerakan kilat.
"Brettttt…!"
Tosu itu berteriak kaget, bukan hanya karena pedangnya seperti terjepit baja dan topeng tengkoraknya robek terkena ujung sepatu gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena pada saat itu tangan kanan gadis itu sudah bergerak dan merampas peti hitamnya!
Sesudah berhasil merobek topeng sehingga nampak wajah Siok Cin Cu yang agak pucat dan berhasil pula merampas peti hitam itu, Kim Hong tertawa dan dengan tubuh membuat jungkir balik tiga kali, dia meloncat ke belakang lantas duduk sembarangan di atas lantai, membuka peti hitam itu. Wajahnya berseri, matanya terbelalak dan mulutnya tersenyum girang ketika dia melihat isi peti yang berkilauan itu, terdiri dari perhiasan-perhiasan emas perak penuh batu permata yang mahal-mahal itu.
Dengan wajah pucat Siok Cin Cu memandang. Dia tahu bahwa nona itu lihai bukan main dan jika berkelahi secara berhadapan, belum tentu dia akan menang. Karena itu, melihat betapa gadis itu kini terpesona oleh perhiasan di dalam peti bagaikan seorang anak kecil tertarik oleh mainan yang bagus, diam-diam dia lalu mengambil jalan memutar, mengitari gadis dalam ruangan itu dengan pedang siap di tangan.
Setelah tiba di belakang Kim Hong, tiba-tiba dia meloncat, menubruk dan menggerakkan pedangnya untuk melakukan serangan maut yang kiranya tak akan mungkin dihindarkan oleh gadis yang sedang duduk di lantai dan tertarik oleh perhiasan-perhiasan itu. Akan tetapi, tanpa menoleh Kim Hong menggerakkan tangan yang sedang memegang tusuk konde kumala tadi ke belakang dan gerakan tosu itu tiba-tiba terhenti di tengah udara!
Tubuh yang sedang mengangkat pedang hendak membacok itu tiba-tiba terhenti, seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat. Pedangnya terhenti di atas kepala lalu terlepas dan jatuh ke atas lantai. Kedua lututnya terkulai dan tertekuk lantas tubuhnya jatuh berlutut, kedua tangan mendekap dada di mana tusuk konde itu amblas dan memasuki dadanya tepat menusuk jantung. Dia pun roboh dan hanya berkelojotan sebentar. Tewaslah Siok Cin Cu tanpa bisa bersambat lagi, matanya terbuka memandang kosong ke arah peti hitam yang terbuka di depan Kim Hong.
Kim Hong meloncat bangun dan menutupkan kembali peti hitam, lalu membawa peti itu dan berloncatan menuju ke kamar pusat di mana dia mengharapkan akan dapat bertemu dengan orang yang sangat dibencinya, yaitu Sian-su atau Siluman Goa Tengkorak, ketua dari Jit-siankauw. Akan tetapi dia telah kalah dulu oleh Thian Sin.
Seperti juga halnya tosu Siok Cin Cu, Sian-su atau Siluman Goa Tengkorak itu melarikan diri membawa sebuah peti hitam yang dipeluknya. Akan tetapi baru saja dia meninggalkan kamarnya dan tiba di ruangan sembahyang, tiba-tiba dia berhenti berlari dan memandang ke depan dengan mata terbelalak.
Biar pun dia melihat sendiri betapa Pendekar Sadis telah mengusir lima orang musuh itu dan melukai empat orang murid Bu-tong-pai dengan cara yang amat mengagumkan dan menggiriskan hatinya, yaitu hanya dengan menggunakan daun, tetapi ketua Jit-sian-kauw itu belum yakin begitu saja. Dia masih belum mau percaya begitu saja. Dia masih belum yakin benar akan kesetiaan Thian Sin. Oleh karena itu, dia masih mempersiapkan suatu ujian yang amat berat bagi pemuda itu.
Malam hari itu, ketika Thian Sin sudah merebahkan diri dan mencari akal untuk mendapat kesempatan, tiba-tiba dia terbangun dengan kaget. Ada suara di telinganya, dekat sekali di telinganya, yang berbisik dengan suara mengandung kekuatan mukjijat.
"Ceng Thian Sin, engkau telah berada dalam kekuasaan Sian-su. Engkau harus mentaati semua kehendaknya agar hatimu dapat merasa tenang dan tenteram! Nah kau rebahlah, kau tidurlah, tidur yang nyenyak...!"
Thian Sin yang sudah bangkit duduk itu perlahan-lahan merebahkan dirinya kembali. Dia memejamkan matanya, lalu dia mengatur pernapasannya seperti orang tertidur. Tak lama kemudian, suara itu terdengar lagi.
"Ceng Thian Sin, bangkitlah dan turunlah dari tempat tidurmu."
Bagaikan patung hidup, Thian Sin lalu turun dari pembaringan.
"Pergilah ke pintu kamar, bukakan daun pintu dan biarkan seorang sahabat masuk!"
Thian Sin berjalan ke pintu lantas membuka daun pintu. Di depan pintu itu sudah berdiri seseorang yang bertopeng tengkorak dan berjubah putih, pakaian seragam para anggota Jit-sian-kauw, yang membawa sebuah baki terisi cawan arak. Thian Sin tidak tahu apakah orang ini sang ketua sendiri ataukah orang lain, akan tetapi dia percaya bahwa ketua itu tidak begitu ceroboh untuk membiarkan dirinya dekat dengan dia tanpa terlindung. Tentu ini hanya seorang anggota biasa saja.
"Taihiap, harap suka minum arak di dalam cawan ini," kata orang itu sambil menyerahkan cawan arak.
Thian Sin hendak menolaknya, akan tetapi dia segera teringat bahwa dia sedang berada dalam keadaan ‘tersihir’, karena itu dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata kosong dan berdiri seperti patung. Suara itu lalu terdengar lagi, kini nadanya mengandung kelegaan hati.
"Ceng Thian Sin, ambil cawan itu dan minum araknya sampai habis!"
Kini Thian Sin mengambil cawan itu dan menempelkannya ke bibirnya. Dari baunya saja dia maklum bahwa arak itu dicampuri obat bius, akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menuangkan araknya ke dalam mulut sampai habis.
Akan tetapi lebih dulu dia menggunakan kekuatan sihir dalam pandang matanya kepada dua bola mata di balik topeng itu dan melihat mata itu sejenak tercengang lalu melembut, tanda bahwa dia telah berhasil menguasai orang itu yang kiranya hanya seorang anggota biasa saja. Dengan kekuatan sihirnya dia lalu membisikkan bahwa orang itu telah melihat dia minum arak itu sampai habis ditelannya. Padahal arak itu hanya disimpan di mulutnya saja.
"Sekarang kembalilah ke tempat tidur dan rebahkan dirimu," bisik suara dekat telinganya yang dia tahu adalah suara Sian-su yang mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh menggunakan tenaga khikang yang amat kuat.
Anggota itu pun lantas membawa pergi cawan kosong dan menutupkan pintu kamar. Ada pun Thian Sin merebahkan dirinya ke atas pembaringan, diam-diam membuang arak di mulutnya yang dimuntahkan ke dalam tangannya lalu dibuang di atas lantai di belakang pembaringan. Hal ini dilakukannya dengan cepat, dan dia merasa yakin bahwa tidak ada mata orang lain yang mengikuti gerak-geriknya.
"Ceng Thian Sin, mulai saat ini engkau akan selalu percaya sepenuhnya, taat, hormat dan tunduk padaku, kepada Sian-su, yaitu ketua dari Jit-sian-kauw yang akan mendatangkan kesenangan dunia dan akhirat untukmu! Camkan ini, harus selalu setia dan taat kepada Sian-su!"
Kalimat terakhir itu diulangi terus sampai belasan kali dengan kekuatan yang amat hebat sehingga Thian Sin harus mengerahkan tenaga sinkang pula untuk melawannya supaya jangan sampai terpengaruh. Tentu saja peristiwa itu membuat Thian Sin tidak dapat tidur pulas. Dia harus bertindak cepat karena kalau terlampau lama, keadaannya bisa semakin berbahaya.
Dia tidak tahu bahwa pada malam itu, Sian-su sudah mempersiapkan percobaan terakhir kepadanya, sebuah percobaan yang teramat berat dan di sini Sian-su hendak mengambil kepastian apakah pendekar itu akan dianggap kawan ataukah lawan.
Setelah merasa yakin bahwa dia tidak diamati, Thian Sin lalu turun dari pembaringannya dan dengan langkah bagaikan langkah kucing, sama sekali tidak menimbulkan suara, dia mendekati jendela lalu pintu kamarnya untuk mengintai keluar. Ada dua orang penjaga di luar, seorang di luar jendela dan seorang lagi di luar pintu. Dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Anggota Jit-sian-kauw itu memandang dan Thian Sin menggapai, berkata lirih,
"Twako, ke sinilah, aku mau bicara penting..."
Karena ketika memandang dan menggapai, juga ketika mengeluarkan kata-kata Thian Sin sudah mempergunakan kekuatan sihir melalui mata, gerakan tangan dan suaranya, maka biar pun ragu-ragu, penjaga itu tidak mampu menahan kakinya melangkah dan memasuki kamar. Secepat kilat tangan kanan Thian Sin bergerak dan tanpa mampu mengeluarkan suara atau melawan, penjaga itu terkulai lemas karena dia telah pingsan tertotok.
Dengan amat hati-hati Thian Sin merebahkan orang itu di atas lantai kamarnya, kemudian dengan berindap-indap dia keluar dari pintu kamar, memutar dan meyergap penjaga yang duduk di luar jendela.
"Apa...? Uhhh...!" Penjaga itu tadinya terkejut dan hendak melawan, tetapi dalam keadaan seperti itu Thian Sin telah menggunakan kepandaiannya, maka mana mungkin penjaga itu mampu melawannya. Dia pun roboh pingsan sebelum sempat berteriak.
Thian Sin cepat memondong tubuh orang itu dan membawanya masuk ke dalam kamar, melepaskannya di atas lantai bersama penjaga pertama. Kemudian, dengan cepat Thian Sin menelikung kedua orang itu lantas diikatnya dengan tali ikat pinggang mereka sendiri, dijadikan satu dan mulut mereka pun disumbat dengan kain baju mereka sendiri.
Karena dia tahu bahwa kedua orang itu mempunyai kepandaian yang lumayan, maka dia mengikat kaki tangan mereka kuat-kuat, juga menyumbat mulut mereka dan menalikan kain sumbatan itu melilit kepala, juga menambahkan totokan pada beberapa bagian tubuh mereka. Dia merasa sangat yakin bahwa sebelum pagi hari, mereka tidak akan siuman dan andai kata sudah siuman sekali pun, mereka takkan mampu bergerak dan tidak dapat mengeluarkan suara.
Sesudah melakukan ini, dia lalu mendorong tubuh yang sudah menjadi satu itu ke bawah pembaringannya sehingga tidak nampak dari luar. Dia lalu bersiap-siap untuk melakukan penyelidikan sendiri, kemudian dengan gesit dia menyelinap keluar dari dalam kamarnya, menutupkan daun pintu kamar dan keluar.
Dia sudah tahu di mana adanya kamar-kamar para wanita penari. Dia bermaksud hendak mencari isteri mendiang Cia Kok Heng dan ingin menyelidiki keadaan wanita itu sebab dia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang memaksa wanita itu berbohong kepadanya ketika ditanyainya. Dan dia akan menggunakan kekuatan sihirnya untuk membuyarkan kekuatan sihir yang mencengkeram para wanita penari itu lalu mengorek rahasia kejahatan Siluman Goa Tengkorak dari mereka.
Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kamarnya, terdengar suara canang bertalu-talu dan disusul suara hiruk-pikuk kaki orang-orang berlarian. Than Sin terkejut sekali dan segera dia kembali ke dalam kamarnya, menyangka bahwa tentu perbuatannya ketahuan dan dia harus bersiap siaga menghadapi pengeroyokan kalau perlu.
Dia mengintai dari balik jendela dan melihat para anggota perkumpulan itu berlari-lari dari segala jurusan menuju ke bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Sian-su. Tak lama kemudian, suara canang itu pun berhenti dan nampaklah Sian-su bersama serombongan anggotanya melangkah lebar menuju ke kamarnya!
Thian Sin menanti dengan jantung berdebar. Jelas bahwa perbuatannya sudah ketahuan! Akan tetapi dia pura-pura tidur miring di atas pembaringannya, dengan seluruh urat ayaraf menegang, siap menerjang keluar, menghadap ke pintu dan menutupi mukanya dengan lengan tangan, mengintai dari bawah lengan.
Dapat dibayangkan betapa tegangnya hati pendekar itu saat pintu kamarnya pelan-pelan terbuka dari luar! Dia sampai merasa seolah-olah jantungnya hendak meloncat keluar dan suara detak jantungnya seperti suara tambur. Akan tetapi, suara Sian-su tidak terdengar marah, bahkan ramah sekali ketika berkata,
"Ceng-taihiap, bangunlah!"
Thian Sin sudah merasakan perubahan dalam suara itu, suara yang sifatnya memerintah. Akan tetapi dia pura-pura tidak merasakan hal ini, dan dia pun menurunkan lengannya, dan membuka mata. Dilihatnya bahwa mata itu tidak memancarkan kekuatan sihir, maka dia pun mengerti bahwa sekali ini Sian-su hendak menghadapi dia dalam keadaan sadar. Bukankah semalam suara Sian-su telah menanamkan pesan kepadanya bahwa dia harus setia dan taat? Baiklah, dia akan bersikap taat.
"Ahh, Sian-su, malam-malam begini ada apakah? Tadi aku mendengar suara canang dan mendengar suara kaki berlari-lari, setelah suara canang berhenti aku pun tidur lagi."
"Canang itu dipukul untuk mengumpulkan para anggota karena ada laporan dari pengamat di luar bahwa ada serombongan orang yang menyerbu tempat kita."
Reaksi Thian Sin cepat dan wajar, kewajaran sikap seorang yang amat setia! Dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan mengepal tinju. "Kita harus basmi mereka!"
Dilihatnya betapa sepasang mata di balik topeng itu memancarkan sinar puas dan girang ketika melihat sikapnya ini, lalu Sian-su berkata, "Tidak perlu tergesa-gesa. Mereka itu tak akan mampu menemukan tempat kita, taihiap."
"Siapakah mereka?"
"Ha-ha-ha-ha, mereka itu adalah orang-orang dari Hong-kiam-pai yang dipimpin oleh Im Yang Tosu."
Diam-diam Thian Sin terkejut. Dia mengenal Im Yang Tosu, tokoh dari Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi.
"Apakah taihiap belum mengenal Hong-kiam-pang?" Thian Sin menggeleng kepalanya.
"Hong-kiam-pang atau Hong-kiam-pai adalah perkumpulan silat yang mengutamakan ilmu pedang mereka, berpusat di kuil Thian-hong-bio di lembah Fen-ho di luar kota Tai-goan. Mereka dipimpin oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin. Ha-ha, mereka berani memusuhi kita, akan tetapi biarlah, tidak mungkin mereka dapat menemukan tempat kita ini. Cukup dengan beberapa orang pengamat saja untuk mengamati seluruh gerak-gerik mereka di luar tebing Goa Tengkorak, ada pun kita akan melanjutkan pesta pengangkatan seorang anggota atau murid baru."
Thian Sin merasa tidak senang, akan tetapi tidak diperlihatkannya di wajahnya yang tetap tenang. Cahaya matanya ketika memandang kepada Sian-su penuh dengan kekaguman, kehormatan dan kesetiaan, sesuai seperti apa yang dikehendaki oleh pendeta siluman itu.
"Murid baru wanita?"
Pendeta siluman itu tertawa. "Benar, seorang murid baru yang istimewa, taihiap, dan terus terang saja, belum pernah kita mempunyai anggota wanita seperti ini."
Thian Sin merasa agak heran dan juga timbul kecurigaannya. Ada perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Dia mencoba untuk menduga-duga, akan tetapi tidak berhasil memecahkan teka-teki ini. Siapakah wanita yang dimaksudkan oleh pendeta siluman ini?
Hampir dia menduga bahwa jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Kim Hong. Tetapi dia membantah sendiri dugaannya ini. Kim Hong terlampau cerdik untuk dapat terjebak. Memang besar kemungkinan kalau Kim Hong menyelidiki dan memasuki sarang ini untuk mencari serta menolongnya, akan tetapi Kim Hong tentu maklum akan besarnya bahaya apa bila membiarkan dirinya terjebak. Tidak, Kim Hong tidak mungkin membiarkan dirinya dijebak seperti dirinya.
"Marilah, taihiap, mari kita menemani mereka yang sudah sejak tadi mulai dengan pesta malam ini. Ada seorang pengikut baru, yaitu seorang pembesar yang memiliki kedudukan penting di kota raja. Dari dialah kita dapat mengharapkan sumbangan yang besar untuk menyelesaikan bangunan pondok suci bagi ketujuh dewa yang mulia. Untuk menghormati kehadirannya dan untuk meresmikan pengangkatan anggota baru yang juga akan menjadi pilihanku sebagai murid terbaik dan tersayang, taihiap."
Thian Sin mengikuti pendeta siluman itu naik ke dataran di puncak bukit di mana sudah berkumpul para pengikut yang kemarin malam sudah pernah dilihat oleh Thian Sin. Dan di antara mereka sekarang terdapat seorang pria berpakaian mewah yang bermuka merah, usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi sikapnya masih genit.
Ada tiga orang pelayan wanita yang bergaun tipis melayani orang ini dan Thian Sin dapat menduga bahwa orang inilah yang disebut oleh Sian-su tadi sebagai pengikut baru yang terhormat, seorang bangsawan tinggi dari kota raja.
Seperti juga kemarin malam, para penari wanita melakukan upacara dan Lu Sui Hwa atau isteri Cia Kok Heng kini ikut pula di antara para penari, nampak cantik dan agung, paling menarik di antara mereka walau pun mukanya agak pucat dan matanya sayu.
Thian Sin masih menghadapi semua ini dengan tenang. Akan tetapi ketika sampai giliran anggota atau murid baru itu mendaki anak tangga menuju ke dataran itu, tiba-tiba Thian Sin mengepal tinjunya dan wajahnya berubah pucat. Dia mengenal Kim Hong yang kini menghampiri Sian-su, Kim Hong yang mengenakan pakaian gaun tipis warna putih.....!
Dengan mata terbelalak Thian Sin melihat betapa Kim Hong melangkah laksana boneka berjalan menghampiri Sian-su. Dia masih meragu, apakah Kim Hong tidak bersandiwara? Akan tetapi kemudian dia teringat bahwa walau pun Kim Hong memiliki kepandaian ilmu silat yang tak mungkin kalah dibandingkan dengan pendeta siluman itu, akan tetapi kalau pendeta siluman itu menggunakan ilmu sihir, tentu Kim Hong akan celaka. Dan agaknya kini gadis itu sudah berada di bawah pengaruh sihir.
Untuk upacara ini, agaknya ketua Jit-sian-kauw itu menggunakan cara lain. Mungkin saja karena dia tadi telah mengatakan hendak mengangkat anggota baru itu menjadi pilihannya sebagai murid tersayang, maka kini upacaranya pun berbeda dengan yang sudah-sudah.
Sesudah Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di hadapan ketua agama itu, Sian-su lantas memberkahi gadis itu dengan dua tangannya di atas kepala Kim Hong, kemudian dengan gerakan halus membangunkan dara itu, memegang tangannya dan menuntunnya ke dekat pondok-pondok emas kecil. Akan tetapi di situ sekarang telah dihamparkan sebuah kasur dan kini Sian-su membimbingnya dan menyuruhnya terlentang di atas kasur.
Kim Hong melakukannya tanpa ragu sedikit pun dan tubuh yang menggairahkan itu, yang hanya terbungkus gaun tipis sekali, kini sudah terlentang di atas kasur dengan kedua kaki lurus dan kedua lengan disilangkan di depan perut. Tujuh orang wanita yang membawa kelinci, pisau dan lain-lain sudah maju berlutut dan Sian-su kini dengan gerakan perlahan seakan-akan hendak memperlihatkan pertunjukan yang sangat menarik, mulai membukai kancing depan gaun itu!
Dan memang pertunjukan itu amat menarik karena para tamu yang hadir segera behenti minum kemudian memandang dengan mata melotot dan pandang mata penuh nafsu! Jika pada murid biasa, darah kelinci hanya dikucurkan di atas kepala, maka pada murid pilihan ini, darah kelinci akan dikucurkan di atas badan yang telanjang!
Ketika kancing bagian atas membuka gaun dan memperlihatkan dada kekasihnya, Thian Sin sudah tidak sanggup menahan dirinya lagi. Dengan teriakan melengking panjang dia meloncat ke tempat itu, lalu mengeluarkan bentakan yang penuh dengan kekuatan sihir untuk membuyarkan pengaruh sihir atas diri Kim Hong,
"Kim Hong sadarlah! Engkau berada di tangan musuh-musuh kita!"
Teriakan ini memang hebat bukan main dan seketika itu Kim Hong terbelalak dan sadar. Akan tetapi dia masih bingung dan kepalanya terasa pening sehingga ketika pada saat itu pula Sian-su menggerakkan tangan menotoknya dari jarak yang dekat, dia tidak mampu mengelak. Kim Hong yang telah bangkit duduk itu roboh kembali dalam keadaan tertotok.
Sementara itu, para anak buah Jit-sian-kauw telah menerjang Thian Sin. Memang semua perlakuan terhadap Kim Hong tadi disengaja oleh Sian-su dalam usahanya unuk menguji kesetiaan Thian Sin. Ujian terakkir yang tentu saja amat berat bagi Thain Sin dan pendeta siluman yang amat cerdik itu tahu bahwa andai kata Pendekar Sadis berpura-pura, maka kepura-puraannya itu tentu akan terbongkar kalau menghadapi kekasihnya terancam.
Bagaimana pun juga, ketua Jit-sian-kauw ini masih sangsi dan merasa ragu-ragu apakah benar Pendekar Sadis dapat ditundukkannya dengan kekuatan sihir karena dia pun sudah mendengar bahwa selain memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, juga pendekar itu kabarnya memiliki kepandaian ilmu sihir pula.
Apa bila pendekar itu tetap taat dan setia kepadanya ketika melihat keadaan Kim Hong, maka dia bisa merasa yakin bahwa dia telah benar-benar dapat menguasai Thian Sin dan dapat menarik pendekar itu menjadi pembantunya yang amat menguntungkan. Tapi kalau pendekar itu hanya pura-pura, maka tentu rahasianya akan tebongkar, dan untuk itu dia telah mempersiapkan anak buahnya yang semenjak tadi telah berjaga di situ, mengamati gerak-gerik Pendekar Sadis.
Dan itulah sebabnya, begitu Thian Sin mengeluarkan suara melengking dan membentak, belasan anak buah Jit-sian-kauw sudah menghadang dan mengoroyoknya, didahului oleh sambaran beberapa batang anak panah dari arah samping. Lima batang anak panah yang dilepas oleh pasukan anak panah dari samping itu disusul pula oleh lima batang yang lain.
Tetapi lima batang anak panah pertama itu runtuh semua ketika Thian Sin menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan sinkang sehingga ada hawa pukulan menyambar dan meruntuhkan lima batang anak panah itu sebelum senjata itu dapat menyentuh tubuhnya. Kemudian, sambil meloncat ke depan dia memapaki lima batang yang lainnya dan kedua tangannya menangkapi lima batang anak panah ini dan langsung melontarkannya ke arah lima orang anggota pasukan panah itu.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika tiga orang di antara mereka itu roboh dengan dada tertusuk anak panah mereka sendiri, sedangkan dua orang yang lain masih mampu menghindarkan diri dengan elakan. Akan tetapi, belum lagi Thian Sin sempat menerjang ke arah Sian-su, dia sudah dikepung dan segera dikeroyok oleh belasan orang anak buah Jit-sian-kauw yang bertopeng tengkorak.
Mereka semua telah mengeluarkan berbagai macam senjata dan menyerang dari semua jurusan dengan niat membunuh karena Sian-su sudah memberi isyarat untuk membunuh lawan yang sangat tangguh ini, yang ternyata sama sekali tidak pernah terpengaruh oleh sihirnya dan yang ternyata hanya pura-pura saja menyerah itu.
Kini Thian Sin benar-benar mengamuk! Melihat kekasihnya terancam penghinaan seperti itu, kemarahannya memuncak dan Pendekar Sadis segera memperlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mau mengeluarkan pedangnya, melainkan menyambut hujan senjata itu dengan kedua tangan kosong saja. Akan tetapi tangan kosong yang hebat bukan kepalang!
Kedua tangan Thian Sin itu bagai sepasang naga mengamuk saja ketika dia menghadapi pengeroyokan anak buah Jit-sian-kauw. Dia mengeluarkan semua ilmu yang dikuasainya untuk menghajar para anggota Jit-sian-kauw itu. Meski mereka itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun di tangan Pendekar Sadis mereka itu tak ada bedanya seperti segerombolan anak-anak kecil saja.
Seorang anggota yang agaknya mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, menggunakan sebatang toya. Ilmu toya Siauw-lim-pai terkenal kuat bukan main, didasari oleh gerakan yang mengandung tenaga lweekang sehingga ujung toya itu tergetar dan terlihat menjadi banyak.
Dengan gerakan mantap serta penuh tenaga, pemegang toya ini menusukkan toyanya ke arah dada Thian Sin sambil membentak keras. Akan tetapi karena ujung toya itu tergetar, maka sukarlah untuk diduga apakah benar dada yang diserang itu, ataukah tenggorokan atau pusar, atau juga lambung kanan kiri. Ada semua kemungkinan itu dan inilah lihainya permainan toya itu.
Namun Thian Sin menghadapinya dengan tenang saja, bahkan dia menanti sampai toya itu mencium tubuhnya dan ternyata ujung toya itu mendarat pada lambungnya yang kiri. Begitu ujung toya mencium bajunya di lambung, Thian Sin menggerakkan tangan kirinya yang dimiringkan dan mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu, membacok ke bawah ke arah toya.
"Krakkk!"
Dan toya itu patah-patah menjadi tiga potong, kemudian sebelum pemegang toya yang merasa betapa telapak tangannya berdarah dan terkupas kulitnya itu sempat menguasai keadaannya, kaki Thian Sin telah menendang sehingga orang itu langsung terlempar dan terbanting roboh, tidak mampu bangkit kembali.
Thian Sin masih ingat bahwa besar sekali kemungkinannya para anggota Jit-sian-kauw ini bergerak di bawah pengaruh sihir atau setidaknya juga kepercayaan yang membabi buta terhadap Sian-su sehingga mereka itu tidak sadar bahwa mereka telah membantu orang yang amat jahat. Mungkin sekali para anggota ini sebetulnya adalah orang baik-baik yang telah terseret karena pandainya Sian-su mengambil hati dan menundukkan mereka.
Karena itu, maka Pendekar Sadis ini masih merasa kasihan untuk membunuh mereka dan tendangannya tadi pun terarah dan terkendalikan sehingga biar pun orang itu tidak mampu bangkit lagi, namun tidak menderita luka yang dapat merenggut nyawanya, hanya patah tulang dan salah urat saja.
Anggota yang memegang toya itu terkenal di antara kawan-kawannya sebagai salah satu di antara lima murid utama dari Sian-su, maka melihat dia dalam segebrakan saja roboh, para pengeroyok itu menjadi gentar. Akan tetapi mereka pun kembali menyerbu dengan berbareng, tidak lagi berani maju satu-satu.
Thian Sin mengerling dengan ujung matanya. Ia melihat betapa Sian-su masih berdiri dan hanya menonton pertempuran itu, sedangkan Kim Hong sudah rebah miring tak bergerak dalam keadaan tertotok. Hatinya menjadi gelisah sekali. Ingin dia cepat-cepat menyerang Sian-su dan menyelamatkan Kim Hong, apa pun juga yang akan terjadi. Hal ini membuat dia menjadi semakin marah kepada para anggota yang mengepungnya.
Pada saat dia melihat tosu penghuni kuil yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan muka, kemarahannya makin memuncak. Dia tidak memperhatikan serangan yang datang bagaikan hujan itu, melainkan memutar tubuhnya lantas melesat ke arah tosu itu sambil membentak,
"Tosu palsu keparat!"
Tubuhnya disambut oleh banyak senjata, akan tetapi gerakan tangannya yang mendorong dengan ilmu mukjijat Hok-liong Sin-ciang itu demikian hebatnya sehingga lima orang yang senjatanya langsung bertemu dengannya itu terjengkang seperti dilanda angin ribut.
Tosu yang memakai topeng setan itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Thian Sin. Akan tetapi sebelum ujung pedangnya sempat mengenai dada lawan, angin pukulan dari Hok-liong Sin-ciang sudah lebih dulu menyambutnya dan tosu ini mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terjengkang lantas terbanting sedemikian kerasnya sehingga dia pun tidak berkutik, pingsan dan hampir mati kalau saja tadi Thian Sin tidak menahan tenaganya!
Gegerlah keadaan di ruangan atas itu. Beberapa orang tamu yang memiliki kepandaian silat langsung melangkah maju hendak membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Sian-su cepat memberi isyarat sehingga mereka itu hanya berkumpul di belakang Sian-su, dengan senjata di tangan.
Sikap mereka sudah jelas hendak melindungi dan membantu Sian-su jika Pendekar Sadis berusaha menyerang ketua agama ini! Mereka itu rata-rata telah bersumpah setia kepada Sian-su, tentu saja dengan keyakinan penuh bahwa mereka akan menikmati kesenangan dunia akhirat!
Pengeroyokan semakin ketat, akan tetapi Thian Sin kini sudah menjadi marah betul. Dia ingin segera menyerang Sian-su dan membebaskan Kim Hong, namun ulah para anggota Jit-sian-kauw yang menghalanginya ini amat mengganggunya.
Maka tiba-tiba dia mengeluarkan pekik nyaring dan membiarkan dirinya menjadi sasaran banyak senjata. Akan tetapi, bukan dia yang terluka atau berteriak kesakitan, sebaliknya malah belasan orang itu kini terbelalak dan berteriak-teriak minta dilepaskan.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!"
"Lepaskan... aaahhh...!"
Belasan orang itu membetot-betot senjata mereka yang menempel pada tubuh Pendekar Sadis, akan tetapi makin kuat mereka membetot, semakin kuat pula senjata itu melekat! Thian Sin telah menggunakan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng, yaitu ilmu sinkang yang sudah sampai di puncak kekuatannya sehingga dapat menyedot tenaga sinkang lawan melalui senjata atau tangan yang menempel pada tubuhnya. Tenaga dalam mereka itu membanjir keluar melalui gagang senjata masing-masing dan terasa disedot oleh kekuatan yang luar biasa besarnya!
Melihat keanehan ini, Sian-su dan para pengikutnya memandang dengan mata terbelalak dan pendeta siluman itu merasa tengkuknya meremang. Belum pernah selama hidupnya dia berhadapan dengan seorang yang seperti itu lihainya. Dia pernah mendengar tentang ilmu menyedot tenaga lawan ini, akan tetapi menganggap bahwa ilmu itu hanya dibesar-besarkan saja dan semacam dongeng.
Akan tetapi sekarang, biar pun tidak mengalaminya sendiri, dia telah menyaksikan betapa anak buahnya menjadi korban ilmu mukjijat itu. Dia sendiri mengerti bagaimana sebaiknya menghadapi ilmu menyedot yang berbahaya itu, akan tetapi dia sudah melihat keadaan yang lebih mudah dari pada harus mati-matian mencoba untuk menundukkan Pendekar Sadis dengan kekerasan.
"Hyaaaattt...!" tiba-tiba Pendekar Sadis memekik.
Belasan orang yang tenaganya tersedot olehnya, yang mukanya mulai pucat dan gerakan mereka untuk meronta makin lemah, segera terlempar ke kanan kiri dan jatuh terbanting di atas lantai, mengeluh dan tidak kuat untuk berdiri lagi. Mereka ini harus mengumpulkan tenaga dan hawa murni lebih dulu untuk memulihkan kekuatan.
Dengan mata mencorong seperti mata seekor naga sakti, Thian Sin kini melangkah maju perlahan-lahan. Para anggota Jit-sian-kauw yang belum roboh masih mengepungnya dan ikut bergerak melangkah, akan tetapi tidak berani terlalu dekat. Muka mereka pucat dan jelas terbayang di wajah mereka betapa hati mereka jeri menghadapi pendekar yang luar biasa ini.
"Berhenti, Ceng Thian Sin!" Tiba-tiba Sian-su membentak.
Thian Sin tersenyum mengejek. "Tak perlu menggertakku dengan ilmu sihirmu yang tidak manjur itu, siluman!"
"Berhenti atau pedangku akan menembus jantungnya!" Tiba-tiba Sian-su menggerakkan sebatang pedang dengan ujung pedang itu sudah menempel pada kulit putih di dada Kim Hong yang terbuka, tepat di antara kedua bukit dadanya.
Melihat hal ini, seketika Thian Sin menghentikan langkahnya dan matanya mengeluarkan cahaya kilat. Topeng tengkorak itu tersenyum lebar, penuh ejekan.
"Hemm, kau lihat, aku masih menguasaimu, Pendekar Sadis. Memang engkau hebat dan gagah perkasa, akan tetapi belum tentu aku kalah olehmu."
"Pendeta jahanam! Kalau memang engkau seorang lelaki sejati dan jantan tulen, jangan mengancam orang yang sudah tidak berdaya karena kecuranganmu! Hayo lawanlah aku sebagai laki-laki, atau kau bebaskan Kim Hong lalu melawannya tanpa kecurangan!"
"Ha-ha-ha, menggunakan tenaga sesedikit mungkin untuk mencapai kemenangan adalah sikap cerdik dan bijaksana. Kalau engkau berkeras, aku akan bunuh wanita ini lebih dulu, berarti aku sudah menang separuh. Kecuali kalau engkau menyerah..."
"Hemmm, engkau hendak memaksaku dengan mengancam nyawa Kim Hong. Baik, kalau aku menyerah lalu apa yang hendak kau lakukan? Tidak urung engkau akan membunuh kami berdua juga!" Thian Sin mengepal tinjunya. "Dari pada aku melakukan kebodohan itu, menyerahkan diri untuk akhirnya kau bunuh juga bersama Kim Hong, lebih baik aku membiarkan kau membunuh Kim Hong lalu engkau... hemm.. Pendekar Sadis akan hidup kembali, akan menjadi paling sadis di antara semua kesadisan yang pernah dilakukannya untuk menyiksamu!"
Tanpa disadarinya, pendeta siluman itu merasa betapa tengkuknya langsung meremang dan jantungnya berdebar-debar. Sungguh mengerikan mendengar kata-kata dari pemuda tampan itu dan dia dapat merasakan bahwa ucapan itu bukanlah ancaman belaka. Orang ini harus dienyahkan, harus dibasmi. Kalau tidak, selama hidupnya dia akan terancam.
"Aku bukan orang bodoh, Pendekar Sadis. Aku berjanji, kalau engkau menyerahkan diri tanpa melawan, aku tidak akan membunuh kalian."
"Lekas katakan, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami kalau aku tidak melawanmu dengan kekerasan!"
"Apa yang hendak kami lakukan adalah urusan kami. Akan tetapi kalau engkau menyerah tanpa kekerasan, atas nama Jit-sian-kauw, atas nama Dewa Kematian, aku bersumpah untuk tidak membunuh Toan Kim Hong dan Ceng Thian Sin!"
Diam-diam Thian Sin mengerti bahwa apa bila dia menyerah, berarti dia mempertaruhkan nyawanya dan nyawa Kim Hong. Akan tetapi, dia percaya bahwa pendeta siluman itu tak mungkin akan berani melanggar sumpahnya setelah bersumpah demi nama Jit-sian-kauw dan Dewa Kematian, apa lagi disaksikan oleh semua pengikutnya.
"Sumpahmu disaksikan oleh para tamu yang hadir saat ini!" kata Thian Sin menekan.
"Benar, disaksikan oleh para tamu terhormat. Kami bukan golongan pengecut yang suka melanggar janji!" kata Sian-su dengan suara dibikin gagah.
"Baiklah, aku menyerah." Thian Sin berpendapat bahwa yang paling penting untuk saat itu adalah keselamatan dan keamanan mereka berdua. Soal nanti selanjutnya, biarlah, tentu akan ada jalan lain. "Akan tetapi, engkau harus menyingkirkan Kim Hong dari sini dahulu. Biarkan dia mengaso dan jangan mengganggunya selama sehari semalam! Kalau engkau tidak mau berjanji seperti itu, sampai mati aku tidak akan mau menyerah dan kita lihat saja, siapa yang akan binasa dalam pertempuran di antara kita!"
Ketua Jit-sian-kauw itu mengerti bahwa kalau pemuda itu mau menyerah, semata-mata adalah karena pemuda itu tidak ingin melihat Kim Hong mati. Dan dia sendiri pun tidak berniat untuk membunuh Kim Hong. Sama sekali tidak. Dia mempunyai rencana sendiri terhadap diri Kim Hong.
Dia sudah mendengar bahwa dara itu memiliki ilmu silat yang tidak kalah lihainya kalau dibandingkan dengan Pendekar Sadis. Oleh karena itu, biarlah dia kehilangan Pendekar Sadis sebagai pembantu, asalkan berhasil membuat gadis lihai itu menjadi pembantunya, juga kekasihnya yang baru. Kecantikan Kim Hong telah menarik hatinya dan dia pun bisa menguasai gadis itu dengan ilmu sihir, tidak seperti Pendekar Sadis yang kebal ilmu sihir.
"Baiklah, Pendekar Sadis. Aku berjanji bahwa selain aku tidak akan membunuh kalian berdua, juga nona Toan Kim Hong akan dirawat baik-baik, dibiarkan beristirahat dan tidak akan mengganggunya selama sehari semalam. Nah, aku berjanji, disaksikan semua tamu terhormat!"
Thian Sin melihat betapa tubuh Kim Hong yang masih lemas tertotok itu diangkut pergi oleh empat orang penari wanita setelah pendeta siluman itu memberikan perintahnya. Dia pun lalu melemaskan tubuhnya.
"Aku menyerah."
"Kami masih sangsi akan ketulusanmu, maka dengan terpaksa kami akan membelenggu kaki tanganmu," kata Sian-su.
Thian Sin mengangguk. Dia pun tidak memberontak dan mandah saja ketika dua orang anggota Jit-sian-kauw mendekatinya lantas membelenggu kedua tangannya ke belakang, juga kedua kakinya. Tiba-tiba saja sehelai sapu tangan ditutupkan ke mukanya. Thian Sin mencium bau keras dan dia pun tak sadarkan diri oleh obat bius yang amat kuat.
********************
Orang-orang Hong-kiam-pang merasa marah dan sakit hati sekali pada waktu mendengar bahwa dua orang murid mereka yang terkenal, yaitu Cia Kok Heng dan Kwee Siu, tewas di dalam tangan Siluman Goa Tengkorak. Mereka langsung mengadakan rapat darurat, memanggil semua tokoh murid mereka. Rapat itu dipimpin oleh dua orang pemimpinnya yaitu Im Yang Tosu yang menjadi ketuanya dan Bu Beng Tojin yang menjadi pembantu utama atau wakil ketuanya.
Im Yang Tosu adalah seorang tosu berusia hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus dan pendek, akan tetapi wajahnya masih nampak segar dan gerakannya juga masih lincah. Tosu ini adalah tokoh Kun-lun-pai, maka tentu saja dia paling berhak untuk menjadi ketua Hong-kiam-pang yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai. Ilmu kepandaiannya tinggi dan wataknya keras walau pun telah berpuluh tahun dia menjadi pendeta Agama To.
Wakilnya yang berjuluk Bu Beng Tojin adalah seorang pendeta pula, yang bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam. Dia bersikap lemah lembut dan berwatak pendiam. Akan tetapi dia merupakan seorang pembantu yang amat baik, bahkan hampir semua urusan luar dari Hong-kiam-pang berada di dalam pengawasannya.
Seperti juga Im Yang Tosu, tentu saja Bu Beng Tojin ini sangat mahir dalam memainkan Ilmu Pedang Hong-kiam-sut. Akan tetapi berbeda dengan Im Yang Tosu yang memang merupakan murid yang pandai dari Kun-lun-pai, sebaliknya Bu Beng Tojin ini bukan murid Kun-lun-pai, melainkan ahli dalam pelbagai cabang ilmu silat berbagai aliran.
Akan tetapi, sesudah diuji oleh Im Yang Tosu sendiri, ternyata kepandaian Bu Beng Tojin ini amat lihai, bahkan hanya sedikit di bawah tingkat Im Yang Tosu. Oleh karena itu maka dia dipercaya dan diangkat sebagai pembantu utama atau boleh dibilang juga wakil ketua.
Dalam banyak urusan, usul-usulnya selalu baik dan dapat diterima. Di dalam menghadapi Siluman Goa Tengkorak sekali pun, Im Yang Tosu sudah menyerahkan kepada wakilnya untuk mengatur bagaimana baiknya untuk membalas kematian dua orang murid mereka.
"Sesungguhnya memang serba susah," kata Bu Beng Tojin dalam rapat itu ketika ditanyai pendapatnya. "Perkumpulan kita selalu berusaha menjauhkan diri dari permusuhan. Akan tetapi dua orang murid kita tewas dan tentu saja kita tidak dapat membiarkan kematian itu lewat tanpa terbalas. Cuma ada satu hal yang harus diselidiki dengan teliti, apakah benar kedua orang murid kita itu tewas di tangan orang yang berjuluk Siliman Goa Tengkorak itu."
Suheng-nya, Im Yang Tosu, menarik napas panjang. "Siancai...! Sebenarnya pinto sendiri tidak menghendaki adanya permusuhan antara Hong-kiam-pang dengan pihak mana pun juga. Dan di dunia ini banyak terdapat orang jahat yang memenuhi pemukaan bumi, tidak mungkin kalau Hong-kiam-pang lantas harus memusuhi dan berusaha membasmi semua penjahat itu. Maka kita pun tidak pernah ikut mencampuri urusan Siluman Goa Tengkorak selama dia juga tidak mengganggu kita. Akan tetapi, Tujuh Pendekar Tai-goan adalah murid-murid kita, dan terutama sekali Cia Kok Heng dan Kwee Siu yang langsung adalah murid-murid pinto sendiri. Tidak dapat disangkal lagi bahwa tentu Siluman Goa Tengkorak yang membunuh mereka. Bukankah isteri Kok Heng juga telah diculiknya?"
Bu Beng Tojin segera menarik napas panjang. "Tidak ada akibat tanpa sebab, dan itulah hukum alam! Mungkin isteri Kok Heng terlalu cantik maka dia diculik, dan dua orang murid kita itu tewas karena mereka menggunakan kekerasan. Lalu sekarang apa yang suheng kehendaki dalam menghadapi urusan ini?"
"Bukan hanya demi nafsu mendendam, sute, akan tetapi juga untuk membersihkan nama kita sekalian membersihkan dunia dari gangguan siluman itu. Kita harus menyerbu Goa Tengkorak dan membasmi siluman itu. Untuk ini, pinto serahkan siasatnya kepadamu."
Bu Beng Tojin mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, suheng. Aku akan membawa anak murid kita dan menyelidiki keadaan Goa Tengkorak. Suheng tenang-tenang sajalah di sini menanti berita dari kami."
Demikianlah, pada malam hari bulan purnama itu, Bu Beng Tojin membawa para anak murid Hong-kiam-pang yang terkumpul sebanyak dua puluh lima orang menuju ke daerah Goa Tengkorak lantas melakukan penyelidikan. Semua goa dimasuki dan diobrak-abrik. Akan tetapi mereka tak menemukan sesuatu apa pun kecuali goa-goa kosong yang sunyi dan menyeramkan.
"Kalian semua menjaga di depan goa, dan sebagian lagi melakukan penyelidikan sambil meronda. Pinto sendiri diam-diam akan menyelinap ke belakang bukit, siapa tahu siluman itu akan melarikan diri dari jalan rahasia di belakang bukit. Kalian tak boleh meninggalkan tempat ini sebelum pinto datang kembali." Demikian Bu Beng Tojin berpesan kepada para murid Hong-kiam-pang, agaknya hendak mempergunakan siasat menggeprak dari depan dan membiarkan musuh lari lewat pintu belakang tetapi dia sudah menanti di sana untuk menyergapnya!
Dengan pedang telanjang di tangan, para murid Hong-kiam-pang itu berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Mereka percaya akan kelihaian ji-suhu mereka, akan tetapi betapa pun juga mereka merasa ngeri pula di tempat yang sunyi menyeramkan ini. Apa lagi kalau mereka ingat betapa Tai-goan Jit-hiap, Tujuh Pendekar Tai-goan yang kesemuanya amat lihai itu tewas di tangan siluman ini! Dan ji-suhu mereka itu pergi begitu lamanya.
Sampai lewat tengah malam belum juga kakek itu kembali dan mereka tidak berani pergi meninggalkan tempat itu seperti yang sudah dipesan oleh ji-suhu mereka. Padahal, selagi berjaga tadi, mereka mendengar suara-suara aneh, seperti dengung suara musik suling, yang-kim dan canang dipukul, dari tempat jauh sekali, kadang-kadang seperti terdengar keluar dari jurang-jurang terbawa angin.
Padahal mereka tahu pasti bahwa di sekitar tempat itu tidak ada dusun, dan suara musik itu juga bukan musik dusun, melainkan musik halus yang biasanya hanya terdapat di kota besar. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin ngeri sebab suara itu agaknya datang dari alam lain yang didatangkan oleh siluman-siluman!
Tentu saja para anak murid Hong-kiam-pang ini tak pernah menduga sama sekali bahwa suara musik itu memang keluar dari jurang karena jurang-jurang itu merupakan ‘jendela’ dari tempat rahasia yang berada di balik bukit goa-goa itu, di dalam bukit yang bertebing tinggi itu.
Mereka tidak pernah menyangka bahwa di balik goa-goa itu sedang dilangsungkan pesta gila-gilaan, pesta yang penuh kecabulan di mana nafsu birahi diumbar dan dilampiaskan begitu saja secara liar tanpa mengenal malu-malu lagi. Juga pada malam hari itulah Thian Sin terpaksa menyerahkan diri karena hendak menyelamatkan Kim Hong. Akan tetapi dia lengah dan tidak memperhitungkan kecerdikan ketua Jit-sian-kauw itu.
Ketika dia membiarkan dirinya dibelenggu, merasa yakin bahwa tidak ada belenggu yang akan dapat menahannya, dan selagi dia mencurahkan perhatiannya kepada orang-orang yang membelenggunya, tanpa disangka-sangka dia sudah diserang oleh Sian-su dengan mempergunakan sapu tangan yang mengandung obat bius yang amat kuat sehingga dia pingsan.
Malam itu semakin larut dan suasana menjadi makin sunyi. Di luar daerah Goa Tengkorak itu terasa makin sunyi melengang, sedangkan di dalam tempat rahasia milik perkumpulan Jit-sian-kauw itu pun sudah mulai sunyi karena semua tamunya sudah mulai membawa pasangan mereka, masing-masing ke tempat menyendiri supaya dapat berasyik-masyuk tanpa terganggu.
Lampu-lampu telah dipadamkan dan diganti dengan lampu-lampu yang dibungkus dengan kain berwarna-warni sehingga suasana menjadi amat romantis dan cocok sekali bagi para pasangan itu untuk melampiaskan nafsu birahi masing-masing sesuka hati mereka. Ganti-berganti pasangan pun terjadilah dan pesta gila itu akan berlangsung sampai matahari terbit pada esok harinya, setelah tubuh mereka tidak mengijinkan lagi untuk melanjutkan pesta-pora pelampiasan nafsu itu.
Teriakan yang sangat mengejutkan para murid Hong-kiam-pang itu terjadi lewat tengah malam. Mereka mengenal suara ji-suhu mereka dari balik bukit.
"Anak-anak... ke sinilah dan cepat bantu pinto!" Demikian ji-suhu mereka itu berteriak-teriak dan mereka mendengar suara desir angin pukulan, tanda bahwa ji-suhu mereka itu sedang berkelahi.
Dan kalau ji-suhu mereka itu sampai berteriak minta bantuan, hal itu tentu berarti bahwa lawannya sungguh seorang yang luar biasa lihainya. Berbondong-bondong dua puluh lima orang itu segera berlari ke arah tempat itu.
Dan di bawah sinar bulan purnama yang sudah mulai condong ke langit barat itu mereka melihat bahwa ji-suhu mereka benar-benar sedang bertanding melawan seorang laki-laki yang memakai topeng tengkorak serta berpakaian serba putih dengan lukisan tengkorak darah pada bagian dada. Siluman Goa Tengkorak! Mereka melihat betapa ji-suhu mereka kini sedang mengadu tenaga sinkang dengan siluman itu, dua pasang tangan mereka itu saling lekat dan saling dorong!
Para murid itu berhenti dan memandang dengan bingung. Mereka semua maklum bahwa bila ji-suhu mereka sedang mengadu sinkang seperti itu, mereka tak boleh mengganggu. Selain tenaga sinkang mereka masih belum mencapai tingkat setinggi tingkat suhu-nya, juga campur tangan mereka dapat membahayakan keselamatan ji-suhu mereka sendiri. Maka mereka hanya mendekat dan mengepung saja, siap-siap dengan pedang di tangan untuk membantu kalau keadaan mengijinkan.
Tiba-tiba terdengar Bu Beng Tojin mengeluarkan bentakan nyaring. Dia mendorong dan... lawannya itu roboh terpental dan terpelanting. Melihat hal ini, para murid Hong-kiam-pang segera menubruk ke depan dan hendak menggerakkan pedang mereka untuk menyerang tubuh orang bertopeng yang sudah roboh itu.
"Tahan! Biarkan pinto menangkapnya!" teriak Bu Beng Tojin mencegah para murid itu dan kakek ini lalu menubruk ke depan, monotok beberapa jalan darah lawannya yang seketika menjadi lemas dan lumpuh. "Keluarkan belenggu dan belenggu kaki tangannya. Jangan sakiti atau bunuh dia, biar kita membawanya menghadap suheng!"
Bukan main girangnya hati para murid Hong-kiam-pang melihat betapa orang bertopeng tengkorak itu sudah roboh pingsan. Mereka lalu membelenggu dan menelikungnya seperti seekor babi hendak disembelih, dan beramai-ramai mereka menggotong orang tawanan ini turun dari tebing. Bu Beng Tojin melarang mereka membuka topeng yang menutupi muka orang itu.
"Inikah orang yang dinamakan Siluman Goa Tengkorak, ji-suhu?" tanya mereka kepada Bu Beng Tojin ketika mereka beramai pulang dengan hati gmbira karena kemenangan itu.
"Siapa lagi kalau bukan dia ini? Dia lihai sekali, hampir pinto kewalahan menghadapinya. Untung pada saat terakhir kalian datang sehingga perhatiannya tertarik dan sedikit banyak dia merasa terkejut dan khawatir. Hal itu telah mengurangi tenaga sinkang-nya sehingga memungkinkan pinto untuk mengalahkannya. Pantas dia dapat merajalela dan mengacau karena memang ilmu kepandaiannya luar biasa lihainya."
"Susiok, kenapa kita tidak bunuh saja iblis ini agar arwah toa-suheng dan ji-suheng dapat menjadi tenang?" seorang pemuda berkata dengan sikap penasaran. Pemuda ini adalah murid Im Yang Tosu ketua Hong-kiam-pang.
Ketua ini mempunyai lima orang murid, dan murid pertama dan ke dua adalah mendiang Cia Kok Heng dan Kwee Siu. Pemuda itu adalah murid ke tiga, maka dia menyebut susiok kepada Bu Beng Tojin.
"Bersabarlah, kita tunggu saja keputusan dari gurumu," jawab Bu Beng Tojin.
Malam sudah hampir terganti pagi ketika mereka tiba di kuil mereka, disambut oleh para murid lain yang menjadi tegang dan gembira, juga ingin tahu sekali ketika mendengar bahwa Bu Beng Tojin telah berhasil menawan Siluman Goa Tengkorak!
Bu Beng Tojin melemparkan tubuh siluman itu ke atas lantai ruangan depan. Para murid Hong-kiam-pang mengepung tempat itu dan sebagian lagi melapor ke dalam. Karena Im Yang Tosu sedang semedhi, maka mereka tidak berani mengganggu dan menanti sampai tosu tua itu selesai dengan semedhinya, sementara itu mereka mendengarkan Bu Beng Tojin menceritakan pengalamannya.
"Memang malam tadi menggelisahkan sekali ketika menunggu, sendirian di balik bukit itu. Tetapi pinto yakin bahwa penjahat itu tentu akan keluar juga. Kita telah mempergunakan siasat mengancam di depan pintu dan membiarkan harimau lolos dari belakang. Apa bila pinto membawa semua murid ke belakang, tentu dia tak akan berani keluar. Pinto sendiri bersembunyi dan membiarkan dia menyangka bahwa semua orang menyerbu dari depan. Dan akhirnya dia pun berkelebat keluar dari balik semak-semak yang pinto kira tentulah merupakan jalan rahasianya. Nah, pinto lalu menyergapnya, tetapi pinto sama sekali tidak menyangka bahwa dia memang lihai bukan main sehingga pinto tidak segera memangil kalian. Akan tetapi masih untung bahwa akhirnya pinto berhasil..." Tiba-tiba Bu Beng Tojin menghentikan kata-katanya dan menoleh ke luar dengan sikap kaget sekali.
Semua orang cepat menoleh dan juga terkejut karena tiba-tiba saja bagaikan munculnya setan, di pekarangan depan itu sudah berdiri seorang yang berpakaian putih-putih dengan sulaman tengkorak darah di dadanya, dan mukanya juga mengenakan topeng tongkorak! Keadaan orang itu persis dengan siluman yang sudah ditelikung dan kini rebah miring di atas lantai, hanya orang yang baru datang ini tubuhnya agak lebih kecil.
Dengan kecepatan kilat yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tiba-tiba siluman yang baru datang ini menyambitkan sesuatu ke arah siluman yang terbelenggu.
"Takk! Takk!"
Dua buah benda hitam menyambar lantas mengenai punggung serta leher siluman yang terbelenggu itu. Siluman ini nampak berkelojotan sedikit lalu diam dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Bu Beng Tojin beserta para murid Hong-kiam-pang ketika melihat bahwa siluman tawanan itu agaknya telah tewas karena mukanya mendadak pucat sekali dan napasnya pun terhenti! Bu Beng Tojin marah bukan main.
"Keparat jahanam engkau!" Dan tosu yang bertubuh tinggi kurus ini sekali bergerak sudah meloncat ke depan, dan langsung menyerang siluman yang bertubuh kecil itu.
Akan tetapi bisa dibayangkan betapa kagetnya ketika siluman itu berkelebat dan sejenak lenyap dari pandang matanya, lalu tiba-tiba saja siluman itu yang telah berada di sebelah kirinya mengirim tamparan ke arah lehernya.
"Plakkk!"
Bu Beng Tojin menangkis dan dia merasa lebih kaget lagi. Tubuhnya terdorong mundur oleh tangkisan itu dan kembali siluman itu telah menyerang dengan tendangan kilat yang memaksa tosu itu untuk meloncat mundur.
Sekarang para murid Hong-kiam-pang sudah berloncatan datang, lantas serentak mereka menggunakan pedang untuk menyerang. Tadinya mereka memang merasa bingung dan hanya termangu-mangu melihat kemunculan seorang siluman lain lagi itu, akan tetapi kini mereka sadar bahwa yang disebut Siluman Goa Tengkorak tentu merupakan gerombolan yang memiliki banyak anggota dan semuanya mengenakan pakaian dan topeng seperti itu. Maka mereka pun sudah menerjang dengan marah.
Akan tetapi siluman itu memang lincah bukan main dan memiliki ginkang yang luar biasa. Tubuhnya cepat berkelebat ke sana-sini seolah-olah dapat menyelinap di antara sambaran pedang-pedang itu. Dia sama sekali tidak gugup biar pun dikeroyok banyak orang, bahkan ketika Bu Beng Tojin sendiri juga sudah terjun dan menyerangnya.
"Siancai... kiranya siluman ini berani pula mengacau di tempat pinto!" Terdengar bentakan halus yang disusul dengan suara mencicit seperti tikus terjepit, lalu ada sinar menyambar amat dahsyatnya.
"Ehhh...!" Siluman itu mengeluarkan seruan kaget.
Akan tetapi biar pun pedang yang digerakkan oleh Im Yang Tosu itu amat hebat, ia masih sempat melempar tubuhnya ke belakang dan dengan cara membuat poksai (salto) hingga lima kali, dia berhasil menghindarkan diri dari serangan sinar pedang yang bertubi-tubi itu. Akan tetapi kakek tua itu sungguh lihai bukan main permainan pedangnya, karena sinar pedang itu bergulung-gulung dan dapat mengirimkan serangan secara terus-menerus dan sambung-menyambung.
Diam-diam ketua Hong-kiam-pang itu terkejut bukan main. Baru sekarang ini permainan pedangnya selalu gagal walau pun dia sudah mengeluarkan jurus-jurus pilihan. Siluman itu gesit bukan main dan gerakannya lebih cepat dari pada sambaran sinar pedangnya!
Sementara itu, Bu Beng Tojin sudah meloncat mendekati siluman yang terbelenggu dan dengan sekali renggut dia telah melepaskan topeng tengkorak yang dipakai oleh siluman itu. Nampaklah wajah yang tampan dari Ceng Thian Sin!
"Pendekar Sadis...!" teriak Bu Beng Tojin dengan suara terkejut dan heran. "Dia adalah Ceng Thian Sin, Pendekar Sadis...!" Sambil berkata demikian, dia meloncat ke belakang.
Semua orang menjadi terkejut. Para anak buah Hong-kiam-pang telah mendengar tentang Pendekar Sadis dan tentu saja mereka kaget bukan main mendengar bahwa orang yang menyamar sebagai Siluman Goa Tengkorak itu adalah Pendekar Sadis!
Bahkan Im Yang Tosu sendiri kaget bukan kepalang mendengar seruan pembantunya itu sehingga serangannya terhadap siluman kedua yang tadinya gencar menjadi berkurang. Kesempatan ini digunakan oleh siluman ke dua itu untuk meloncat ke samping, menjauh dan terdengar seruannya nyaring.
"Thian Sin, mari pergi!"
Para anak buah Hong-kiam-pang yang ingin sekali menyaksikan sendiri wajah siluman yang oleh Bu Beng Tojin dikatakan sebagai Pendekar Sadis itu, mendekati dan merubung Thian Sin yang sudah mulai menggerakkan kedua matanya.
Sambitan dua buah kerikil hitam yang mengenai jalan darahnya tadi sudah membebaskan dirinya dari totokan, akan tetapi karena pengaruh obat bius itu masih membuatnya nanar, maka baru sekarang dia mulai sadar benar-benar. Begitu mendengar suara yang sangat dikenalnya itu, yang mengajaknya pergi, dia merasa seakan-akan kepalanya baru disiram air dingin sehingga seketika dia menjadi sadar sepenuhnya.
Dalam satu detik saja tahulah dia bahwa dia dalam bahaya, bahwa kedua kaki tangannya terbelenggu. Cepat dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam kedua kaki dan tangannya, lantas sekali dia mengerahkan tenaga itu dan menggerakkan kaki tangannya, maka terdengarlah suara keras dan semua belenggu itu pun patah-patah!
Para anak buah Hong-kiam-pang terkejut dan mereka pun jadi ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan setelah melihat kenyataan bahwa yang menjadi Siluman Goa Tengkorak adalah Pendekar Sadis!
"Siancai...! Pendekar Sadis telah menjadi Siluman Goa Tengkorak dan membunuhi murid Hong-kiam-pang? Pinto harus membuat perhitungan!" Im Yang Tosu berseru marah.
Dan kakek ini sudah menerjang lagi ke arah siluman ke dua dengan dahsyat, dibantu oleh murid-muridnya, ada pun Bu Beng Tojin juga sudah mencabut pedangnya dan menyerang Thian Sin.
"Totiang, telah terjadi kesalah pahaman besar..." Thian Sin yang sudah meloncat bangun dan cepat mengelak ketika pedang di tangan Bu Beng Tojin menyambar, mencoba untuk membantah dan menjelaskan.
"Siluman busuk, tutup mulutmu!" bentak Bu Beng Tojin yang juga sudah marah sekali lalu dia mempercepat permainan pedangnya, dibantu pula oleh para murid Hong-kiam-pang.
"Thian Sin, tidak perlu berbantahan lagi. Lari...!" Siluman ke dua itu kembali berteriak dan dengan gerakan kilat dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan tendangannya, kemudian dia meloncat dan pergi meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Thian Sin.
"Kejar! Tangkap...!" Bu Beng Tojin berteriak.
Semua orang Hong-kiam-pang yang merasa marah dan penasaran itu segera melakukan pengejaran, namun mereka tidak mampu menyusul Thian Sin dan temannya yang sudah mengerahkan ginkang mereka dan melarikan diri secepatnya. Setelah para pengejar tidak nampak lagi, barulah mereka berdua berhenti kemudian siluman tengkorak yang bertubuh ramping itu membuka topengya.
"Kim Hong...!"
"Thian Sin...!"
Segera mereka berdua saling rangkul dan saling cium dengan hati penuh kerinduan dan kegembiraan melihat bahwa keduanya akhirnya dapat bertemu dalam keadaan selamat. Setelah puas melampiaskan rasa rindu dan gembira di hati masing-masing, Thian Sin lalu menggandeng tangan Kim Hong dan mengajaknya duduk di atas batu besar.
"Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau tiba-tiba dapat muncul di sini dan menyamar sebagai Siluman Goa Tengkorak pula," kata Thian Sin sambil mengelus punggung tangan kekasihnya.
Kim Hong lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak dia pergi mencari jejak dan menyusul Thian Sin ke daerah Goa Tengkorak sampai dia terjebak dan tertawan karena terpengaruh oleh kekuatan sihir dari Sian-su atau ketua dari perkumpulan Jit-sian-kauw atau Siluman Goa Tengkorak.
Seperti kita ketahui, dara ini berada dalam keadaan tidak sadar sesudah dia tersihir dan hendak dijadikan anggota baru dalam upacara pengangkatan anggota baru, bahkan dia terpilih sebagai calon jodoh dari Sian-su sendiri! Ketika dia bertemu dengan Thian Sin di dalam sarang Siluman Goa Tengkorak, dia sama sekali tidak dapat mengenali Thian Sin karena dia berada di dalam keadaan tersihir, bahkan ketika Thian Sin mengamuk, dia pun tidak tahu dan hanya memandang dengan bingung saja.
Akan tetapi, ketika Kim Hong hendak dibawa pergi, diam-diam Thian Sin mengerahkan segala kekuatan batinnya, menggunakan kepandaian sihirnya untuk membebaskan dara itu dari pengaruh sihir dan meski pun secara perlahan-lahan, Kim Hong mulai sadar ketika dia dibawa pergi!
"Aku tidak tahu apa yang terjadi dan ketika aku sadar, aku telah berada di dalam sebuah kamar yang amat indah, dilayani oleh tiga orang gadis cantik sebagai dayang. Ketika aku teringat bahwa aku sudah terjebak dan tertawan, aku bangkit dan melihat bahwa di luar kamar itu terdapat beberapa orang pria yang memakai pakaian dan topeng Siluman Goa Tengkorak. Aku hendak mengamuk, akan tetapi pada saat itu pintu kamar terbuka dan di luar kamar nampak laki-laki tinggi yang agaknya menjadi kepala gerombolan itu..."
"Itulah ketua Jit-sian-kauw atau yang disebut dengan sebutan Sian-su!" kata Thian Sin.
"Iblis itu menunjuk kepadamu yang kulihat dalam keadaan pingsan, sambil menodongkan pedangnya ke lehermu. Dia mengancam bahwa kalau aku memberontak, maka lebih dulu dia akan membunuhmu, dan dia pun mengatakan bahwa dia sudah mengancammu kalau engkau memberontak, maka lebih dahulu dia akan membunuhku. Karena engkau sedang tidak berdaya dan dia berjanji bahwa dia tidak akan membunuh kita berdua, aku bersabar diri dan engkau pun dibawa pergi. Aku terus menjaga kesehatanku dengan makan setelah yakin bahwa makanan itu tidak dicampuri obat bius. Aku mulai percaya bahwa agaknya Sian-su itu tidak berniat buruk dan benar-benar hendak bersahabat dengan kita."
"Hemm, dia menipumu. Dia menghendaki engkau menjadi isteri dan pembantunya," kata Thian Sin gemas.
"Aku pun baru malam tadi mendengar tentang hal itu. Seorang wanita berlari-lari masuk ke kamarku sambil menangis, tetapi beberapa orang penjaga bertopeng tengkorak yang berada di luar kamar hendak menangkapnya. Aku segera melompat dan menghardiknya. Agaknya mereka itu takut padaku, lalu membiarkan wanita itu berlutut di depan kakiku."
Cerita Kim Hong ini semakin menarik hati Thian Sin yang tidak dapat menahan keinginan tahunya sehingga dia pun bertanya, "Apakah dia itu isteri mendiang Cia Kok Heng?"
Kim Hong mengangguk membenarkan, lalu gadis ini melanjutkan ceritanya. Wanita cantik yang usianya dua puluh tujuh tahun itu pada mulanya hanya menangis mengguguk sambil merangkul kedua kaki Kim Hong. Kim Hong mula-mula merasa heran dan mengira bahwa ini tentu akal bulus dari perkumpulan gerombolan iblis itu untuk menjebak atau menipu dirinya.
"Enci, siapakah engkau dan mengapa engkau menangis?" akhirnya Kim Hong bertanya, memegang kedua pundak wanita itu dan menariknya bangkit duduk.
Dia sengaja menekan pundak itu dan mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak pandai ilmu silat. Hal ini membuat hatinya lega karena setidaknya dia yakin bahwa wanita ini tak akan mampu menyerangnya secara menggelap.
Wanita itu menyusut air matanya sambil berusaha menahan isak tangisnya. "Lihiap... aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia ini..." Kembali dia menangis.
Kim Hong lalu mengerutkan alisnya. "Enci, bagaimana engkau tiba-tiba saja menyebutku lihiap? Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang ahli silat, seorang pendekar wanita?"
Wanita itu memandang keluar, ke arah orang-orang bertopeng tengkorak itu kemudian dia berbisik. "Mereka itu bercerita tentang Pendekar Sadis yang tertawan, juga tentang dirimu yang katanya merupakan sahabat pendekar itu dan lihai sekali, maka aku sengaja nekat lari ke sini... aku ingin memberi tahukan hal yang penting sekali..."
"Nanti dulu, enci. Siapakah engkau dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat seperti ini?"
"Aku adalah salah satu di antara wanita-wanita yang berada di sini, seperti mereka ini." Ia menunjuk ke arah gadis-gadis cantik yang menjadi dayang dan yang memandang heran dan tidak mengerti. "Namaku Lu Sui Hwa dan seperti juga mereka ini, aku adalah wanita yang diculik. Ada yang datang ke sini karena bujukan, karena dibeli, karena diculik, dan aku telah diculik. Mereka semua ini terbius dan tersihir, tidak tahu lagi apa yang mereka lakukan. Akan tetapi aku tidak dibius lagi, tidak disihir lagi sesudah aku dibebaskan dari pengaruh sihir oleh Pendekar Sadis, tetapi... tetapi aku pun terpaksa mentaati kehendak mereka, melayani mereka... diperkosa, dipermainkah... ahhh..." Wanita itu lalu mendekap mukanya dan air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya.
"Tapi, kalau engkau sadar dan tidak terbius, mengapa engkau mau menurut saja, enci?" Kim Hong menegur dan mengerutkan alisnya.
"Apa dayaku? Suamiku telah mereka bunuh, dan mereka juga sudah menculik dua orang anak-anakku. Mereka mengancam bahwa selama aku menurut, anak-anakku tidak akan dibunuh... maka aku... demi kedua anakku, aku terpaksa menyerah... hu-hu-huhhh..."
"Apakah engkau nyonya Cia Kok Heng, ibu kandung Cia Liong dan Cia Ling?" Mendadak Kim Hong bertanya.
Wanita itu menurunkan kedua tangannya, memandang pada pendekar itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Mulutnya ternganga dan sejenak dia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh harapan. Akhirnya dia dapat juga membuka mulut dan bicara.
"Benar... benar... mana mereka? Bagaimana mereka...?"
"Tenangkan hatimu. Aku menyelamatkan mereka dari tangan iblis-iblis itu dan kini mereka berada di tangan yang aman."
Tiba-tiba wanita itu berlutut dan mencium kaki Kim Hong. "Terima kasih... ah, terima kasih kepada Thian... terima kasih, lihiap..."
Empat orang anggota Siluman Goa Tengkorak kini berloncatan masuk ke dalam kamar itu dan hendak menyeret pergi Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng.
"Pergi engkau dari sini, perempuan bandel!"
Akan tetapi, kini Kim Hong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Tubuhnya berkelebat dan kaki tangannya bergerak, kemudian terdengar suara orang mengaduh berturut-turut diikuti tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri. Mereka roboh tanpa dapat bangkit kembali karena mereka sudah tewas oleh pukulan serta tendangan Kim Hong yang tadi dilakukan dengan kemarahan meluap.
"Enci, ceritakan apa yang hendak kau katakan tadi? Pemberi tahuan penting apa?" Kim Hong mendesak cepat.
"Pendekar Sadis... dia dibawa oleh mereka... menurut pembicaraan mereka yang dapat kudengar, Pendekar Sadis yang pingsan itu diberi pakaian dan topeng Siluman Tengkorak kemudian hendak diserahkan kepada pihak Hong-kiam-pang agar diadili dan dibunuh oleh perkumpulan yang mendendam terhadap Siluman Goa Tengkorak. Aku dapat mendengar segalanya karena waktu itu aku tidak dibius dan mereka percaya bahwa aku tidak akan berani membocorkan rahasia..."
"Perempuan keparat!" Terdengar bentakan-bentakan dan lima orang bertopeng masuk.
Akan tetapi Kim Hong segera menyambut mereka dan melayani serbuan lima orang yang menggunakan senjata tajam itu. Kini Kim Hong tidak ragu-ragu lagi karena tahu bahwa Thian Sin tidak berada di situ dan bahwa janji Siluman Goa Tengkorak sama sekali tidak dapat dipercaya.
Begitu kaki tangannya bergerak, gadis cantik yang dulu pernah menjadi datuk kaum sesat di selatan dengan julukan nenek Lam-sin ini, dalam belasan jurus saja sudah membunuh empat orang lawan dan dia sudah menotok seorang anggota gerombolan yang tubuhnya kecil, kemudian dia melompat keluar kamar sambil membawa tawanannya.
"Enci, aku akan pergi menolong Thian Sin..."
Akan tetapi pada saat itu pula dia mendengar suara keras disusul jeritan mengerikan. Dia cepat menengok dan terkejutlah dia. Kiranya Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, ibu dari kedua orang anak itu, sudah roboh dengan kepala pecah di dekat tembok. Ternyata ibu muda yang putus asa karena selain suaminya terbunuh juga dirinya telah ternoda itu membunuh diri. Kim Hong memandang dan menggigit bibirnya.
"Enci, pergilah dengan tenang. Aku akan menghancurkan gerombolan iblis ini dan akan menyelamatkan anak-anakmu." Dia berbisik, kemudian menerjang keluar.
Belasan orang anak buah perkumpulan itu mencoba untuk menghadangnya, akan tetapi dengan tamparan tangan serta tendangan kakinya, Kim Hong berhasil membuat mereka semua tercerai-berai dan membawa tawanannya meloncat ke atas genteng.
"Hayo tunjukkan jalan keluar kalau engkau tidak ingin kucokel keluar matamu!" desis Kim Hong sambil meraba mata orang dengan telunjuknya.
"Jangan... lihiap... baiklah… akan kutunjukkan..." Tawanannya itu mengeluh dengan suara gemetar dan tubuh menggigil ketika merasa betapa biji matanya diraba-raba jari! "Harap turun ke dekat menara itu, di sana ada jalan rahasia..."
Kim Hong membawa tawanannya melompat turun ke dekat menara. Dua orang anggota gerombolan yang berjaga di sana menyerangnya dengan golok dan pedang, akan tetapi hanya dalam dua gebrakan saja Kim Hong telah membuat mereka terpelanting dan roboh pingsan. Atas petunjuk tawanan itu dia berhasil memasuki terowongan rahasia sehingga akhirnya dia bisa keluar dari jalan rahasia itu sampai di balik tebing. Jalan ini adalah jalan yang diambil oleh Thian Sin ketika sebagai ‘utusan’ Sian-su dia mengusir lima orang dari Bu-tong-pai.
"Tunjukkan di mana adanya tempat orang-orang Hong-kiam-pang itu!" kembali Kim Hong membentak dan orang itu kelihatan semakin ketakutan.
"Tidak...saya... tidak berani..."
"Engkau lebih berani membangkang terhadap perintahku?" Kim Hong membentak. Sekali jari tangannya menotok orang itu lalu bergulingan di atas tanah sambil mengaduh-aduh.
Dalam kegelisahannya akan nasib Thian Sin dan kemarahannya terhadap gerombolan itu, apa lagi setelah melihat Lu Sui Hwa membunuh diri, Kim Hong pada saat itu seperti telah berubah menjadi nenek Lam-sin lagi. Jalan darah yang ditotoknya tadi adalah jalan darah yang membuat orang menderita rasa nyeri yang amat hebat sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya bagian dalam dikeroyok ribuan semut api yang menggerogoti dagingnya!
"Ampun... ampunkan saya...!" Orang itu terengah-engah dan bergulingan.
"Kau mau menunjukkan tempat itu?" Dengan suara dingin Kim Hong bertanya.
Orang itu menangis saking nyerinya, kemudian mengangguk-angguk. Melihat ini, barulah Kim Hong membebaskannya dari totokan yang menyiksa itu kemudian berkata, "Hayo cepat tunjukkan!"
Dengan sangat terpaksa orang itu menunjukkan kuil yang menjadi markas perkumpulan Hong-kiam-pang. Kim Hong yang menyeret tubuh orang itu lalu berlari bagaikan terbang cepatnya karena dia tidak ingin terlambat.
Ketika dia sampai di luar pekarangan kuil, dia merasa lega melihat Thian Sin masih dalam keadaan selamat dan banyak anggota Hong-kiam-pang berkumpul di ruangan depan. Dia cepat-cepat melucuti pakaian luar dan topeng orang itu, kemudian tergesa-gesa memakai pakaian itu dan juga mengenakan topeng Siluman Tengkorak.
"Demikianlah, Thian Sin," Kim Hong mengakhiri ceritanya. "Aku berhasil membuat mereka terkejut kemudian membebaskan totokanmu dengan dua sambitan batu kerikil yang telah kupersiapkan sebelumnya. Sekarang ceritakan pengalamanmu."
"Terima kasih, Kim Hong. Kembali engkau telah menyelamatkan nyawaku," berkata Thian Sin sambil mencium kekasihnya. “Tentang pengalamanku, sebaiknya kuceritakan dalam perjalanan saja. Sekarang yang penting kita harus cepat-cepat menyerbu Goa Tengkorak untuk membasmi mereka sebelum mereka sempat melarikan diri atau membunuh wanita itu."
Kim Hong menyetujui dan sepasang pendekar sakti ini lalu mengerahkan ginkang mereka untuk berlari menuju ke Goa Tengkorak. Di sepanjang perjalanan, Thian Sin menceritakan pengalamannya dengan singkat.
"Kiranya Sian-su keparat itu memang benar-benar hendak memegang janjinya, yaitu tidak akan membunuh kita berdua, akan tetapi dia hendak meminjam tangan orang-orang dari Hong-kiam-pang untuk membunuhku, kemudian dengan ilmu sihir dan obat biusnya tentu dia akan berusaha untuk menguasai dirimu supaya engkau suka membantu pekerjaannya yang terkutuk itu!" kata Thian Sin mengakhiri penuturannya.
"Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di tangan orang-orang Hong-kiam-pang yang haus darah itu?"
"Hushh, jangan kau sebut haus darah. Mereka sudah kehilangan tujuh orang murid, tidak aneh kalau mereka mendendam kepada Siluman Goa Tengkorak. Apa lagi kalau mereka ketahui bahwa gerombolan Siluman Goa Tengkorak memang amat jahat dan keji, sebagai pendekar-pendekar tentu mereka itu akan menentang secara mati-matian. Dan aku yang berpakaian dan bertopeng seperti ini, tentu tak akan mereka ampuni."
"Akan tetapi bagaimana engkau sampai terjatuh ke tangan mereka?"
"Sudah kukatakan tadi, aku dalam keadaan pingsan akibat obat bius. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku dan tahu-tahu aku sudah berada di sana sampai kau datang. Tentu ini adalah siasat Sian-su yang menyerahkan aku kepada Hiong-kiam-pang sebagai seorang Siluman Goa Tengkorak, dengan maksud agar orang-orang Hong-kiam-pang itu membunuhku."
"Sian-su keparat itu sungguh licik, curang, keji dan amat jahat. Jika bertemu dengannya, aku pasti tidak akan memberi ampun kepadanya!" Kim Hong berkata dengan nada suara marah.
"Akan tetapi engkau harus berhati-hati, karena dia memiliki ilmu sihir yang cukup kuat. Jangan lengah dan pergunakan semua ilmu penolak sihir seperti yang pernah kuajarkan kepadamu kalau dia mempergunakannya," pesan Thian Sin dan Kim Hong mengangguk.
Dia memang pernah mempelajari cara-cara penolakan sihir dari kekasihnya itu dan kalau dia sampai pernah jatuh dalam pengaruh sihir dari ketua Siluman Goa Tengkorak, adalah karena dia tak menyangka sama sekali, tertipu oleh tosu kuil itu dan juga karena memang siluman itu memiliki kekuatan sihir yang amat kuat.
********************
Di dalam tempat rahasia ini perkumpulan Jit-sian-kauw itu, Sian-su mengumpulkan semua anak buah dan juga para tamunya. Sepasang mata di balik topeng itu nampak gelisah.
"Para anggota dan juga para saudara sekepercayaan yang mulia! Tempat pemujaan kita terancam bahaya besar! Pendekar Sadis serta pembantunya sudah berkhianat dan tentu mereka itu akan datang mengacau di sini. Oleh karena itu aku perintahkan kepada semua anggota supaya bersikap waspada, menjaga semua jalan masuk dan memasang semua jebakan. Dan kepada semua saudara sekepercayaan, saya harap sukalah mengeluarkan sedikit tenaga membantu mempertahankan tempat pemujaan kita yang keramat."
Dengan cekatan Sian-su lalu membagi-bagi tugas di antara anak buahnya yang jumlahnya tinggal tiga puluh orang lebih itu, memerintahkan para wanita itu bersembunyi di ruangan dalam dan tidak memperbolehkan mereka keluar. Dengan pakaian Siluman Tengkorak, Tosu Siok Cin Cu yang menjadi pembantu utamanya, mewakilinya untuk mengatur para anak buah dalam melakukan penjagaan.
Kemudian Sian-su membujuk para tamunya yang berkepandaian untuk turut melakukan penjagaan. Di antara para tamunya itu terdapat sepuluh orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan mereka ini yang merasa betapa pusat kepercayaan mereka terancam oleh musuh, dengan senang hati mau membantu Sian-su.
Kepercayaan yang membuta sering kali menyesatkan orang dan membuat manusia lupa bahwa segala macam agama atau kepercayaan diciptakan untuk manusia. Agama atau kepercayaan lain diadakan untuk menuntun manusia ke jalan yang dianggap benar dan baik. Sebab itu jelaslah bahwa manusianya yang penting dan kepercayaan itu merupakan pelengkap dalam kehidupan, sebagai alat penerangan dan penuntun.
Namun, betapa banyaknya kepercayaan yang membuta membuat para pemeluknya lupa bahwa manusianya yang penting dan mereka itu bahkan lebih mementingkan agama atau kepercayaannya, ada pun manusianya sendiri lalu menjadi alat belaka yang mudah saja dikorbankan demi kepercayaan atau agama itu.
Dan yang memegang peran di dalam hal ini adalah para pemimpinnya, para pendetanya yang mempergunakan nama agama untuk memenuhi ambisi pribadinya. Para pemeluk itu mau saja diseret ke dalam kancah permusuhan dan kebencian, bunuh-membunuh, rela berkorban untuk membunuh atau pun terbunuh, semua dilakukan demi mempertahankan agama atau kepercayaan seperti yang digembar gemborkan oleh para pemimpinnya. Dan terjadilah keadaan yang sama sekali terbalik. Bukan lagi agama untuk manusia namun manusia untuk agama, bukan lagi agama sebagai alat manusia tetapi manusia menjadi alat agama.
Demikian pula dengan para tamu dari ketua Jit-sian-kauw ini. Mereka pun menyerahkan kepercayaan secara membuta dan di dalam penyerahan kepercayaan ini memang selalu terdapat hal-hal yang dianggap menguntungkan atau menyenangkan sebagai pendorong.
Mereka, para pemeluk agama Jit-sin-kauw ini, tidak hanya sudah menikmati kesenangan jasmani berupa pesta pora pemuasan nafsu-nafsu birahi, akan tetapi juga kesenangan batiniah yang berupa harapan bahwa kelak apa bila sudah mati mereka akan memperoleh kesenangan karena sudah disediakan sebuah tempat yang baik untuk mereka oleh Dewa Kematian yang telah mereka puja-puja dan beri korban. Kini, mereka rela untuk membela kepercayaan mereka, bahkan jika perlu mereka rela untuk mati, dengan keyakinan bahwa kematian itu akan berakhir dengan kesenangan bagi mereka.
Para tamu ini sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu mereka ikut berjaga dengan sibuk untuk menjaga dan mempertahankan ‘tempat pemujaan keramat’ itu, pada sebelah dalam kamar rahasianya, Sian-su yang dibantu oleh orang kepercayaannya, yaitu Siok Cin Cu, tengah sibuk sendiri membenahi barang-barang berharga yang amat berharga, semuanya dimasukkan ke dalam dua buah peti sampai penuh!
"Siok Cin Cu, kita harus dapat menyelamatkan dua peti ini lebih dahulu. Pendekar Sadis dan wanita itu tak boleh dipandang ringan. Engkau tahu ke mana harus menyembunyikan peti-peti ini kalau keadaan memaksa."
"Baik, Sian-su, jangan khawatir. Akan tetapi sudah demikian berbahayakah keadaannya sehingga Sian-su perlu berkemas dan berkhawatir?" tanya tosu Siok Cin Cu itu di balik topengnya.
"Berbahaya sekali sih belum, akan tetapi kita perlu waspada. Para anak buah dan para tamu dengan bantuan jebakan-jebakan mungkin akan sanggup menahan Pendekar Sadis dan temannya. Akan tetapi aku khawatir bahwa Hong-kiam-pang tidak akan mau sudah, kemudian mereka akan berusaha untuk menemukan tempat kita. Im Yang Tosu agaknya berkeras hati benar untuk menggempur kita."
Siok Cin Cu menarik napas panjang. "Agaknya kita telah salah tangan membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu, Sian-su, sehingga masalah menjadi berlarut-larut dan memancing permusuhan dengan Hong-kiam-pang."
"Tidak salah tangan sama sekali. Pertama, mereka menentang kita. Ke dua, ada gejala-gejala bahwa di antara mereka itu sudah mengetahui rahasiaku. Mereka memang perlu dibinasakan untuk mencegah datangnya bahaya yang lebih besar."
Percakapan mereka terhenti pada saat terdengar suara hiruk pikuk di luar. Mereka saling pandang dan dua pasang mata di balik topeng itu nampak gelisah. Akan tetapi Sian-su menenangkan diri dan berkata, "Siok Cin Cu, engkau membawa peti ini sebuah dan aku sebuah. Engkau mengambil jalan kiri dan aku ke kanan. Engkau tahu di mana kita dapat bertemu di luar tempat ini."
"Sian-su... hendak meninggalkan tempat ini? Apakah tidak menahan musuh dulu?"
"Sstttt, diamlah. Yang penting adalah menyelamatkan dua peti ini, baru kita pikirkan untuk menghantam musuh yang berani masuk ke sini. Mari, cepat!" kata Sian-su menyerahkan sebuah di antara dua peti hitam itu kepada Siok Cin Cu.
Tosu ini menerima peti, mengangguk dan segera meloncat pergi dari kamar rahasia itu, bersimpang jalan dengan ketuanya. Memang di tempat itu telah terjadi pertempuran, mulai di terowongan.
Seperti kita ketahui, Thian Sin dan Kim Hong menuju ke belakang tebing untuk menyerbu sarang Jit-sian-kauw itu dari belakang, melalui jalan rahasia yang sudah mereka berdua ketahui. Akan tetapi sebelum menuju ke sana, Thian Sin mengajak Kim Hong untuk lebih dulu memasuki sebuah hutan kecil yang tak jauh dari situ.
"Ehh, kita ke mana?" tanya Kim Hong yang seperti juga kekasihnya telah menanggalkan pakaian dan topeng tengkorak.
"Sudah kuceritakan kepadamu bahwa aku pernah terpaksa mengusir lima orang tokoh Bu-tong-pai dan aku berhasil memberi tahu mereka tentang keadaanku lalu minta kepada mereka untuk menanti di hutan ini. Nah, itu mereka!" kata Thian Sin ketika melihat Liang Hi Tojin keluar dari sebuah gubuk kecil bersama empat orang murid Bu-tong-pai.
Cepat Thian Sin dan Kim Hong menghampiri mereka.
"Siancai, siancai... sungguh tidak sabar kami menanti-nanti berita darimu, Ceng-taihiap," kata Liang Hi Tojin sambil menjura ke arah dua pendekar itu. "Dan Toan-lihiap juga sudah datang, sungguh membesarkan hati!"
Thian Sin dan Kim Hong yang sudah mengenal tokoh ke dua dari Bu-tong-pai ini segera membalas penghormatan mereka berlima. "Saya menunggu saat dan kesempatan yang baik, totiang. Dan sekaranglah saat yang baik itu tiba."
"Kita menyerbu Goa Tengkorak? Tapi... kami tidak pernah menemui jalan masuk."
"Jangan khawatir, kami telah tahu jalannya," kata Kim Hong. "Mari ngo-wi (kalian berlima) ikuti kami."
Berbondong-bondong mereka kemudian berangkat dengan penuh semangat. Orang-orang Bu-tong-pai ini bukan hanya ingin membalas kematian Louw Ciang Su murid Bu-tong-pai, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, akan tetapi juga mereka merasa bertugas untuk membasmi gerombolan Siluman Goa Tengkorak yang telah melakukan pengacauan dan kejahatan-kejahatan kejam itu.
Sesudah menemukan jalan masuk rahasia melalui terowongan itu, Thian Sin masuk lebih dahulu, diikuti oleh Kim Hong. Di belakang dua orang pendekar ini, barulah Liang Hi Tojin beserta empat orang murid keponakannya berjalan masuk dengan pedang siap di tangan mereka.
Sebagai orang yang pernah diperdaya oleh Sian-su, Thian Sin pernah melalui terowongan ini dan rahasia jebakan terowongan ini tidak disembunyikan darinya, maka sedikit banyak dia tahu di mana adanya jebakan-jebakan itu. Sebaliknya, pada waktu melarikan diri dari tempat itu, Kim Hong membawa seorang tawanan yang sudah memberi tahu kepadanya adanya jebakan-jebakan sehingga dia bersikap hati-hati sekali, dan juga dalam keributan itu, terowongan tidak terjaga dan tidak ada anggota gerombolan yang menggerakkan alat rahasia jebakan.
Ketika tiba di sebuah tikungan terowongan, tiba-tiba saja Thian Sin berseru, "Awas anak panah!"
Dan hampir berbareng dengan ucapannya, dari depan dan belakang menyambar puluhan batang anak panah ke arah mereka! Akan tetapi, orang-orang Bu-tong-pai itu sudah siap dengan pedang mereka dan dengan memutar pedang, anak panah yang menyambar itu runtuh ke atas tanah.
Kim Hong dan Thian Sin menggunakan gerakan tangan mereka untuk menangkis hingga ada dua batang anak panah berhasil ditangkap oleh Thian Sin yang cepat menggerakkan tangan. Dua batang anak panah itu meluncur ke atas, lantas terdengarlah jeritan orang yang disusul jatuhnya sesosok tubuh yang tadinya bersembunyi pada bagian atas sambil menggerakkan alat-alat yang meluncurkan anak-anak panah itu. Orang itu tewas dengan leher dan dada tertembus dua batang anak panah yang dilemparkan oleh Thian Sin tadi.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati tanpa mempedulikan orang yang sudah tewas itu. Mereka melangkahi mayat itu dan dengan hati-hati Thian Sin terus melangkah maju, diikuti oleh yang lainnya. Terowongan itu tidak begitu gelap, sedikit remang-remang karena ada cahaya matahari yang masuk melalui beberapa celah-celah yang berada di langit-langit torowongan.
"Berhenti...!" Tiba-tiba Thian Sin berbisik sehingga semua orang berhenti.
Tidak nampak sesuatu yang mencurigakan di situ, akan tetapi mereka melihat Pendekar Sadis memberi isyarat agar mereka berhenti, sedangkan dia sendiri melangkah ke depan sambil melirik ke sana-sini dengan penuh kewaspadan. Tiba-tiba terdengar bunyi berderit lantas lantai yang diinjaknya itu terbuka, sedangkan di dalam sumur itu nampak batu-batu meruncing menanti di bawah!
Akan tetapi, Thian Sin sudah mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat ke kanan, ke arah batu karang besar dan sekali tangannya menyambar, dia telah menangkap seorang lelaki bertopeng tengkorak lantas tubuh orang itu pun dilemparkannya ke dalam sumur, sedangkan dia sendiri sudah meloncat kembali ke tempat semula di mana teman-temannya berdiri memandang dengan mata terbelalak ke dalam sumur.
Orang yang terlempar itu mengeluarkan suara pekik mengerikan, lalu tubuhnya disambut oleh batu-batu karang yang seperti golok itu dan tewas seketika. Lantai itu masih terbuka dan terpaksa mereka bertujuh harus melompati sumur itu dan melanjutkan perjalanan lagi ke depan.
Tidak ada lagi jebakan yang menghadang perjalanan mereka. Akan tetapi begitu keluar dari pintu rahasia, mereka segera diserbu oleh para anak buah Siluman Goa Tengkorak yang dibantu oleh sepuluh orang tamu pemeluk kepercayaan baru itu sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru.
Liang Hi Tojin mengamuk, sementara empat orang murid keponakannya juga memainkan pedang mereka, dikeroyok oleh para anggota gerombolan Jit-sian-kauw yang dibantu oleh sepuluh orang tamu. Melihat betapa sepak terjang Liang Hi Tojin dan empat orang murid Bu-tong-pai itu cukup tangkas dan kuat, Thian Sin dan Kim Hong kemudian sama-sama meloncat ke arah dalam.
"Engkau dari kiri, aku dari kanan!" kata Thian Sin dan nona itu mengangguk, mengerti apa yang dikehendaki kekasihnya.
Mereka berdua sudah tahu di mana adanya kamar Sian-su, dan memang ada dua jalan yang menuju ke kamar itu, sebuah kamar yang mewah dan di mana hampir setiap malam terjadi kecabulan.
Pada saat itu tampak seorang yang berpakaian dan bertopeng Siluman Tengkorak tengah bergegas melarikan diri keluar dari lorong sambil membawa sebuah peti hitam. Orang ini bukan lain adalah Siok Cin Cu, yaitu tosu pembantu utama Sian-su yang bertugas untuk menyelamatkan sebuah peti berisi barang perhiasan itu.
Diam-diam tosu ini merasa heran sekali, kenapa Sian-su tidak lebih dulu menyambut dan menahan serbuan lawan akan tetapi lebih mementingkan untuk menyelamatkan barang-barang berharga itu. Akan tetapi, karena dia sendiri maklum betapa lihainya Pendekar Sadis, tugas ini tentu saja menggembirakan hatinya. Dia tidak perlu menghadapi lawan yang mengerikan itu dan lebih enak menyelamatkan diri sambil membawa peti perhiasan yang dia tahu amat berharga ini. Andai kata Sian-su gagal, dia sendiri masih mempunyai satu peti yang akan cukup untuk dimakan selama tujuh turunan dalam keadaan mewah!
Ketika dia berlari melewati lorong itu, tiba-tiba dia melihat seorang wanita cantik berdiri di depan. Dia menduga bahwa tentu seorang di antara para gadis dayang dan penari yang keluar dari tempat mereka dikurung. Melihat wanita cantik ini, Siok Cin Cu tersenyum di balik topengnya. Bagaimana kalau dia membawa wanita cantik itu bersamanya? Selain untuk teman di perjalanan juga untuk menghibur hatinya!
"Hei, berani engkau keluar dari ruangan itu? Hayo kau ke sini dan ikut bersamaku....!"
Akan tetapi tiba-tiba Siok Cin Cu menghentikan kata-katanya. Ternyata, sesudah datang mendekat, dia mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Toan Kim Hong!
Kim Hong berdiri dengan senyum manis dikulum. Ucapan yang keluar dari balik topeng itu dikenalnya dengan baik dan senyumnya semakin melebar menghias bibirnya yang merah basah dan manis ini. Ia lalu bertolak pinggang menghadang di tengah lorong.
"Aihh, kiranya si pertapa Siok Cin Cu yang sangat suci itu pun memiliki jubah dan topeng tengkorak? Totiong, tentu engkau belum lupa kepadaku, bukan? Aku tidak pernah dapat melupakanmu sebab budi totiang saat membawaku ke susiok totiang itu sampai sekarang belum juga sempat kubalas!" Kim Hong berkata dengan nada manis dan ramah, namun sepasang matanya yang mencorong itu mengeluarkan cahaya dingin yang membuat Siok Cin Cu merasa bulu tengkuknya meremang.
Akan tetapi dia bukan seorang yang lemah. Dia adalah pembantu utama dari Sian-su dan dia sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Karena maklum bahwa bicara banyak juga tiada gunanya, dan bahwa wanita ini adalah teman dari Pendekar Sadis, maka dia harus dapat merobohkan wanita ini sebelum pendekar itu sendiri muncul.
Maka dia lantas mengeluarkan bentakan nyaring dan dia langsung menggerakkan tangan kanannya untuk mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dari pinggangnya, lalu dia menubruk ke depan dengan serangan kilatnya! Tangan kirinya masih memeluk peti hitam di dekat dadanya.
"Singgg...! Wuuuutt...!"
Tusukan pedang itu luput ketika Kim Hong mengelak dengan gerakan seenaknya, namun tusukan itu langsung dilanjutkan dengan sabetan sebagai serangan selanjutnya. Gerakan tosu ini memang cukup cepat. Namun, tentu saja dia hanya merupakan lawan yang lunak dari Kim Hong yang pernah menjadi datuk berjuluk nenek Lam-sin ini.
Sambil tersenyum mengejek, Kim Hong kembali mengelak. Dia tidak segera turun tangan terhadap tosu ini karena perhatiannya tertarik kepada peti hitam yang dipeluk si kakek. Tentu berisi benda penting maka hendak dilarikan oleh tosu ini, pikirnya. Oleh karena itu, timbul niat di hatinya untuk merampas peti ini dan memeriksa apa isinya, baru dia akan menghajar tosu palsu ini.
"Hyaaaatt...!"
Kembali Siok Cin Cu menyerang dengan gerakan pedangnya yang berkelebat seperti kilat menyambar itu. Kim Hong cepat mengelak ke kiri dan ketika pedang itu menusuk ke arah matanya, dia miringkan kepala dan menggunakan tangan kiri untuk menjepit ujung pedang itu dengan ibu jari, telunjuk dan jari tengah, sedangkan kaki kanannya menendang ke arah muka lawan dengan gerakan kilat.
"Brettttt…!"
Tosu itu berteriak kaget, bukan hanya karena pedangnya seperti terjepit baja dan topeng tengkoraknya robek terkena ujung sepatu gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena pada saat itu tangan kanan gadis itu sudah bergerak dan merampas peti hitamnya!
Sesudah berhasil merobek topeng sehingga nampak wajah Siok Cin Cu yang agak pucat dan berhasil pula merampas peti hitam itu, Kim Hong tertawa dan dengan tubuh membuat jungkir balik tiga kali, dia meloncat ke belakang lantas duduk sembarangan di atas lantai, membuka peti hitam itu. Wajahnya berseri, matanya terbelalak dan mulutnya tersenyum girang ketika dia melihat isi peti yang berkilauan itu, terdiri dari perhiasan-perhiasan emas perak penuh batu permata yang mahal-mahal itu.
Dengan wajah pucat Siok Cin Cu memandang. Dia tahu bahwa nona itu lihai bukan main dan jika berkelahi secara berhadapan, belum tentu dia akan menang. Karena itu, melihat betapa gadis itu kini terpesona oleh perhiasan di dalam peti bagaikan seorang anak kecil tertarik oleh mainan yang bagus, diam-diam dia lalu mengambil jalan memutar, mengitari gadis dalam ruangan itu dengan pedang siap di tangan.
Setelah tiba di belakang Kim Hong, tiba-tiba dia meloncat, menubruk dan menggerakkan pedangnya untuk melakukan serangan maut yang kiranya tak akan mungkin dihindarkan oleh gadis yang sedang duduk di lantai dan tertarik oleh perhiasan-perhiasan itu. Akan tetapi, tanpa menoleh Kim Hong menggerakkan tangan yang sedang memegang tusuk konde kumala tadi ke belakang dan gerakan tosu itu tiba-tiba terhenti di tengah udara!
Tubuh yang sedang mengangkat pedang hendak membacok itu tiba-tiba terhenti, seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat. Pedangnya terhenti di atas kepala lalu terlepas dan jatuh ke atas lantai. Kedua lututnya terkulai dan tertekuk lantas tubuhnya jatuh berlutut, kedua tangan mendekap dada di mana tusuk konde itu amblas dan memasuki dadanya tepat menusuk jantung. Dia pun roboh dan hanya berkelojotan sebentar. Tewaslah Siok Cin Cu tanpa bisa bersambat lagi, matanya terbuka memandang kosong ke arah peti hitam yang terbuka di depan Kim Hong.
Kim Hong meloncat bangun dan menutupkan kembali peti hitam, lalu membawa peti itu dan berloncatan menuju ke kamar pusat di mana dia mengharapkan akan dapat bertemu dengan orang yang sangat dibencinya, yaitu Sian-su atau Siluman Goa Tengkorak, ketua dari Jit-siankauw. Akan tetapi dia telah kalah dulu oleh Thian Sin.
Seperti juga halnya tosu Siok Cin Cu, Sian-su atau Siluman Goa Tengkorak itu melarikan diri membawa sebuah peti hitam yang dipeluknya. Akan tetapi baru saja dia meninggalkan kamarnya dan tiba di ruangan sembahyang, tiba-tiba dia berhenti berlari dan memandang ke depan dengan mata terbelalak.