KETIKA pada pagi hari itu dia berjalan seorang diri di luar Tembok Besar di wilayah yang dahulu pernah dikuasai oleh Jeng-hwa-pang, tempat itu masih nampak sunyi. Pemuda ini tidak tahu bahwa dia datang terlalu pagi. Waktu yang ditentukan oleh para pendekar untuk mengadakan pertemuan di tempat itu masih satu bulan lagi.
Namun akhirnya dia tiba juga di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang tembok-temboknya masih kokoh kuat akan tetapi kini hanya merupakan sebuah dusun kecil yang dihuni oleh orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan sebagai pemburu dan juga menjadi tempat persinggahan bagi para pedagang atau mereka yang sering berlalu lalang melalui Tembok Besar.
Hatinya agak tegang dan berdebar karena dia merasa gembira. Biar pun dahulu dia selalu bergaul dengan para datuk sesat, akan tetapi dia selalu menentang perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik dan dia merasa tidak pernah suka bergaul dengan mereka.
Akan tetapi kini dia datang ke tempat itu sebagai seorang pendekar yang akan menghadiri pertemuan antara kaum pendekar! Hatinya terasa gembira sekali sebab dia akan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang gagah yang menurut gurunya hendak berkumpul di tempat ini dan di antara mereka terdapat orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Sungguh merupakan pertemuan yang akan membuka matanya dan menambah pengalaman serta meluaskan pengetahuannya.
Ketika dia tiba di tempat itu, pertama-tama dia melihat serombongan orang gagah terdiri dari tujuh orang, lima pria dan dua wanita. Usia mereka antara dua puluh lima hingga tiga puluh lima tahun dan sikap mereka kelihatan gagah sekali dengan pedang di punggung mereka. Karena dari sikap mereka saja Ci Kang sudah dapat menduga bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang datang untuk menghadiri pertemuan pula, maka dia pun menghampiri mereka.
Mereka bertujuh sedang duduk di bawah pohon, di luar bekas benteng itu dan tujuh ekor kuda yang baik ditambatkan di batang pohon itu. Di atas sebuah di antara sela-sela kuda, dia melihat berkibarnya sebuah bendera kecil berwarna kuning yang bertuliskan tiga buah huruf Hoa-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Bunga) dan ada gambar sepasang pedang melintang.
Ci Kang belum pernah mendengar tentang nama perkumpulan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ini adalah nama sebuah perkumpulan pendekar pedang yang amat tangguh. Dia semakin gembira dan cepat menjura kepada mereka dengan sikap hormat dan wajah ramah.
"Selamat bertemu, cu-wi-enghiong (para pendekar sekalian)! Cu-wi tentu tokoh-tokoh dari Hoa-kiam-pang yang terkenal."
Seorang di antara mereka, seorang laki-laki jangkung yang kurus dan paling tua di antara mereka, agaknya menjadi pemimpin rombongan, bersama yang lain kemudian membalas penghormatan itu dan si jangkung kurus menjawab,
"Selamat berjumpa, sobat. Kami hanyalah murid-murid Hoa-kiam-pang yang diutus oleh para pemimpin kami untuk melihat-lihat keadaan. Selamat berkenalan! Dan bolehkah kami mengenal siapa adanya sobat yang gagah ini?"
Ci Kang tersenyum ramah. "Saya bernama Siangkoan Ci Kang dan saya diutus oleh suhu untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang akan diadakan di tempat ini. Bukankah cu-wi juga datang untuk keperluan itu?"
Si jangkung kurus menatap tajam. "Pertemuan itu akan diadakan satu bulan lagi. Engkau datang terlalu pagi, sobat. Kami sendiri datang hanya untuk melihat-lihat keadaan, apakah tempat ini aman untuk pertemuan itu dan selain kami, ada pula belasan orang sahabat dari berbagai perkumpulan pendekar yang juga datang untuk melihat keadaan."
"Benarkah? Ahh, saya ingin sekali belajar kenal dengan para pendekar itu."
"Sekarang mereka berkumpul di sebelah dalam bekas benteng, di sebuah kedai arak kecil yang dibuka oleh penduduk tempat ini. Mari kita ke sana, saudara Siangkoan Ci Kang, nanti kita perkenalkan."
Tujuh orang itu mengajak Siangkoan Ci Kang memasuki bekas benteng Jeng-hwa-pang dan pada saat mereka menghampiri sebuah kedai arak, beberapa orang yang nampaknya gagah-gagah dan yang duduk minum arak di kedai itu memandang penuh perhatian.
"Cu-wi-enghiong!" kata murid Hoa-kiam-pang yang jangkung kurus itu memperkenalkan, "Ini seorang pendatang baru, seorang pendekar muda bernama Siangkoan Ci Kang...!"
"Dia adalah tokoh sesat!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan seorang pemuda tampan gagah meloncat keluar kedai lantas menghadapi Ci Kang dengan mata mencorong penuh kemarahan.
Ci Kang terkejut lantas memandang. Dia tidak lupa. Pemuda ini adalah seorang di antara para pendekar yang dulu membela Jenderal Ciang di dalam perayaan pasta ulang tahun Ang-kauwsu di kota Pao-fan! Dulu pemuda ini selalu bersama Ceng Sui Cin, gadis cantik gagah puteri Pendekar Sadis itu. Ahh, benar. Pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai seperti yang diketahuihya dari para tokoh Cap-sha-kui!
Tentu saja seruan yang dikeluarkan oleh Hui Song ini mengejutkan semua pendekar yang berkumpul di sana. Seperti kita ketahui, Hui Song tidak dapat kembali ke San-hai-koan yang sudah diduduki oleh pemberontak. Maka dia pun pergi ke benteng Jeng-hwa-pang di mana dia bertemu dengan beberapa orang pendekar, lantas dia bercerita tentang gerakan para pemberontak kepada mereka. Ketika tujuh orang murid Hoa-kiam-pang itu muncul bersama Ci Kang, dia segera mengenal pemuda berbaju kulit harimau ini dan tentu saja dia menjadi marah.
"Dia ini tokoh pemberontak sesat, tentu datang untuk memata-matai kita!" seru Hui Song lagi sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
Ci Kang menjura dengan sikap hormat dan gagah, akan tetapi juga tenang, sungguh pun ucapan putera ketua Cin-ling-pai itu seperti pedang menusuk jantung. "Maaf, saya datang sebagai utusan suhu yang berjuluk Ciu-sian Lo-kai, harap cu-wi tidak salah sangka."
Nama Ciu-sian Lo-kai tidak terkenal di dunia kang-ouw karena memang kakek ini, seperti juga kakek-kakek sakti lain yang baru bermunculan setelah dunia kang-ouw dikacau oleh Cap-sha-kui dan terutama sekali karena munculnya Raja dan Ratu Iblis. Oleh karena itu, nama ini tidak mendatangkan kesan di hati pendekar muda yang berkumpul di situ.
Akan tetapi Hui Song juga bukan seorang pemuda sembrono dan dia mau yakin dahulu apakah benar pemuda ini yang beberapa tahun yang lampau pernah dilihatnya membantu Cap-sha-kui lolos dari kepungan.
"Hemm, namamu Siangkoan Ci Kang, engkau putera tunggal dari datuk sesat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta, bukan?"
"Benar, akan tetapi saya tidak pernah mencampuri semua perbuatan jahat dunia sesat," jawab Ci Kang dengan jujur dan gagah.
"Hemm, bukankah engkau pernah beberapa kali mempergunakan anak panah membantu para tokoh Cap-sha-kui lolos dari tangkapan?" Hui Song mendesak lagi.
Siangkoan Ci Kang terlalu jujur dan gagah untuk menyangkal. Dia lalu mengangguk.
"Benar..."
"Nah, mau bicara apa lagi? Engkau mata-mata kaum sesat, terimalah ini!"
Hui Song menerjang sambil mengirim tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Tamparannya itu mendatangkan angin bersiut menyambar ke arah muka Siangkoan Ci Kang. Pemuda ini tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membantah dan melihat betapa serangan Hui Song sedemikian hebatnya, dia pun menggerakkan lengan menangkis.
"Dukkk...!"
Keduanya mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan dua lengan itu membuat kedua orang pemuda itu terdorong ke belakang seolah-olah bertemu dengan gelombang tenaga yang amat kuat. Mereka saling tatap dan tahulah mereka bahwa keduanya menemukan lawan yang amat tangguh.
Sementara itu, semua pendekar yang berada di sana sudah mengenal Hui Song sebagai putera ketua Cin-ling-pai yang berkepandaian tinggi, jadi tentu saja mereka lebih percaya kepada Hui Song. Apa lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu sudah mengaku sebagai putera Si Iblis Buta. Hal ini saja sudah cukup membuat mereka semua memusuhinya, dan serentak mereka lalu mencabut senjata dan menerjang maju.
Dihujani dengan senjata, Ci Kang cepat berloncatan dengan amat gesitnya mengelak ke sana sini. Dia tahu bahwa percuma saja membantah dan berbicara untuk membersihkan dirinya, tetapi tidak baik kalau sampai dia bentrok dengan para pendekar ini. Maka sambil mengeluh panjang dia lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.
"Aku datang hendak membantu kalian menentang kejahatan, sayang kalian tak percaya!" teriaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sekali meninggalkan benteng itu.
Hui Song tidak melakukan pengejaran, juga para pendekar itu pun tidak karena mereka sudah maklum betapa lihainya putera Si Iblis Buta itu. Hui Song sendiri tentu saja dapat mengimbangi kecepatan gerakan Ci Kang dan dapat melakukan pengejaran jika dia mau, akan tetapi dia lantas teringat bahwa bagaimana pun juga Siangkoan Ci Kang itu pernah menyelamatkan Sui Cin dan biarlah kini dia berlaku murah untuk membalas budi Ci Kang terhadap gadis pujaan hatinya itu.
Ci Kang berlari cepat sekali dengan hati murung. Dia lari ke barat dan tidak tahu harus pergi ke mana. Dia sudah datang terlalu pagi dan dia tidak dapat menghadiri pertemuan para pendekar itu tanpa adanya gurunya. Kalau ada Ciu-sian Lo-kai di situ, baru dia akan dapat hadir karena tentu gurunya yang akan dapat memberi kesaksian akan kebersihan dirinya.
Ia tidak menyalahkan Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai itu, melainkan hanya merasa mendongkol sekali. Bagaimana pun juga, memang pemuda Cin-ling-pai itu pernah melihat dia dan ayahnya membantu dan menyelamatkan orang-orang Cap-sha-kui. Sudah tentu saja Hui Song curiga kepadanya. Dan satu-satunya orang yang akan dapat menanggung dirinya agar dipercaya oleh para pendekar hanyalah gurunya, Ciu-sian Lo-kai yang belum nampak berada di tempat itu.
Hatinya murung sekali dan ketika memasuki sebuah desa kecil di mana terdapat sebuah kedai arak, dia pun memasuki kedai itu. Kedai yang cukup besar, bahkan terlalu besar untuk sebuah dusun yang penghuninya sedikit dan agaknya hanya terdiri dari crang-orang miskin atau pemburu-pemburu.
Agaknya kedai ini belum terlampau lama dibuka orang dan agaknya dibuka untuk menjadi pemberhentian orang-orang yang sedang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu. Bagaimana pun juga, bau arak yang sedap itu menarik perhatian Ci Kang dan dia yang diganggu rasa mendongkol perlu beristirahat untuk menenangkan hatinya.
Ci Kang mengambil tempat duduk pada kursi yang kasar buatannya, menghadapi sebuah meja yang kasar pula. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan dengan membungkuk-bungkuk penuh senyum menjilat pelayan itu menyapanya.
"Selamat siang, tuan. Tuan hendak makan dan minum apakah?"
"Bawakan aku seguci besar arak!" kata Ci Kang.
Sesudah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai, pemuda ini mewarisi kebiasaan gurunya, senang minum arak. Tentu saja dia tidak minum terlalu banyak walau pun banyaknya arak dapat dilawannya dengan kepandaiannya sehingga dia tidak akan terpengaruh, akan tetapi saat itu hatinya sedang mendongkol dan dia hendak minum sebanyaknya!
"Seguci besar...? Apakah tuan menunggu datangnya banyak teman?"
"Tidak, aku hanya seorang diri..."
"Tapi, arak seguci besar cukup untuk sepuluh orang..."
"Jangan cerewet! Bawalah arak itu dan aku akan membayarnya!" bentak Ci Kang marah. Hatinya yang sedang kesal itu tidak sabar lagi mendengar kerewelan si pelayan.
Pelayan itu pergi dengan tubuh membungkuk-bungkuk, dan Ci Kang mendengar pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya dalam bahasa sandi yang mengejutkan hatinya. Bahasa rahasia seperti itu hanya dipergunakan oleh orang-orang dari golongan hitam! Dan pelayan itu berkata kepada teman-temannya agar berhati-hati karena tamu yang datang ini tentulah seorang pendekar.
Ci Kang melirik sambil lalu dan dia dapat melihat bahwa pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya. Jumlah mereka semua ada enam orang! Heran dan curigalah hatinya. Sebuah kedai arak begini besar di dalam sebuah dusun miskin kecil! Dan dibukanya tentu masih baru pula. Lebih lagi, dilayani oleh enam orang! Dan tadi mereka menggunakan kata-kata sandi, bahasa rahasia dari golongan hitam.
Ci Kang duduk dengan wajah muram. Kenyataan bahwa dia duduk di warung golongan hitam membuat hatinya makin kesal. Keadaan dirinya membuat dia merasa mendongkol dan juga murung dan sedih.
Dia dilahirkan di tengah keluarga sesat, sungguh pun mendiang ayahnya dahulu bukanlah orang jahat. Dia dibesarkan di antara para datuk sesat. Dia tidak menyukai cara hidup demikian sehingga dia menentang ayahnya sendiri, malah hampir dibunuh ayahnya akibat tidak menuruti kehendak ayahnya.
Dia tak dapat hidup dan dimusuhi di dunia golongan kotor. Kemudian, setelah digembleng selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai dan dia mulai kehidupan baru, di antara golongan bersih, dia pun dihina dan diserang, tidak diterima! Hati siapa takkan merasa murung?
Pada saat itu muncul tiga orang berpakaian seperti orang dusun. Tubuh mereka bertiga kurus-kurus dan melihat pakaian mereka yang kotor, mudahlah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang kekurangan makan kekurangan pakaian. Begitu melihat mereka, pemilik atau kuasa kedai yang bertubuh gendut dan bermuka ramah itu segera menghampiri dan menyambut ke depan pintu.
"Ehh, kalian bertiga ada keperluan apakah?" tegur pemilik kedai dengan ramah.
"Maaf, twako, kami datang mengganggu lagi...," kata seorang di antara mereka.
"Kalian butuh apa lagi? Bukankah kemarin dulu kami sudah menyumbangkan tiga karung beras untuk dibagi-bagikan di antara kalian penduduk dusun ini? Apakah beras itu sudah habis?"
"Belum, twako, dan terima kasih atas segala pertolongan twako yang dilimpahkan kepada kami para penduduk dusun selama ini. Akan tetapi, kami pun bukan orang-orang yang hanya mengandalkan hidup dari minta-minta saja. Kami ingin bercocok tanam, akan tetapi tanah itu perlu digarap dan kami tidak mempunyai alat-alatnya. Jika twako sudi menolong kami untuk sekali ini hingga kami dapat mengerjakan tanah, selanjutnya tentu kami akan mampu mencukupi diri sendiri..."
Si gendut itu meraba jenggotnya yang agaknya baru beberapa pekan ini dicukur dan kini mulai tumbuh dengan liar. Dia mengangguk-angguk dan melirik ke arah para tamu yang kebetulan sedang duduk minum arak dan makan di kedai itu, seakan-akan dia ingin agar semua percakapan itu dapat didengarkan oleh mereka. Dan memang, percakapan yang cukup keras itu didengarkan oleh mereka, juga Ci Kang ikut memperhatikan.
"Baik, kami akan membantu dan membelikan alat-alat pertanian untuk kalian. Kini kalian pulanglah dulu, dan malam nanti saja akan kita rundingkan kembali kalau kedaiku sedang sepi."
"Baik, twako, dan terima kasih, twako, sungguh engkau merupakan tuan penolong kami." Dan tiga orang itu memberi hormat sampai hampir berlutut, kemudian pergi dengan wajah berseri-seri.
Dari percakapan dan melihat sikap para penduduk dusun miskin itu saja mudah diketahui bahwa pemilik kedai ini adalah seorang yang dermawan dan baik hati. Akan tetapi sikap ini justru membuat Ci Kang mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas golongan hitam yang menggunakan kata-kata sandi, akan tetapi kenapa kini mereka bersikap begitu dermawan terhadap para penduduk miskin? Benar-benar suatu keadaan yang sangat aneh dan tidak sewajarnya!
Ketika pesanannya tiba, yaitu seguci besar arak, yang menggotongnya dua orang pelayan diantar pula oleh si kuasa kedai yang gendut dan ramah itu. Si gendut ini membungkuk-bungkuk dengan ramah, akan tetapi matanya yang tajam itu memandang wajah Ci Kang penuh perhatian, tersenyum-senyum dan berkata,
"Harap sicu sudi memaafkan bahwa pelayan kami agak terlambat karena gangguan para petani tadi. Kasihan sekali mereka itu, memang perlu dibantu dan dibimbing."
Jelas bagi Ci Kang bahwa si gendut kuasa kedai ini memang sengaja hendak memancing percakapan dengan dia. Dia tidak bisa menduga apa maunya, akan tetapi karena hatinya sedang kesal, maka dia tidak mau menanggapi, bahkan sama sekali tidak mengacuhkan dan segera menyambar guci arak dan minum langsung dari bibir guci tanpa cawan atau mangkok lagi. Dia mau minum sepuasnya, walau pun dia bukan seorang pecandu arak, akan tetapi sekali ini dia ingin minum sampai mabok untuk mengusir kekesalan hatinya!
Mengingat betapa dia dituduh mata-mata oleh para pendekar dan hampir saja dikeroyok, hatinya merasa panas dan penasaran sekali. Kini dia menjadi orang setengah matang, kepalang tanggung, masuk golongan hitam dimusuhi karena dia menentang mereka, tapi masuk golongan putih dimusuhi pula karena tidak dipercaya.
"Sialan! Manusia tiada guna!" gerutunya dalam hati sambil menenggak lagi araknya.
Melihat pemuda tinggi besar yang bertubuh tegap dan berpakaian mirip seperti seorang pemburu dengan jubah kulit harimau, dan juga melihat caranya minum arak, semua orang yang berada di dalam kedai itu memandang dan mereka semua dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang yang gagah perkasa.
"Saya berani bertaruh apa saja bahwa sicu tentulah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amal terkenal." Kembali terdengar suara si gendut.
Ci Kang merasa semakin kesal dan baru dia melihat bahwa si gendut itu masih berdiri di dekat mejanya. Dia hanya mengerling dengan alis berkerut tanpa menjawab atau berkata sesuatu. Kalau melihat kerut di antara alisnya, sepatutnya si gendut itu mengerti bahwa pemuda itu tidak suka diajak ngobrol. Akan tetapi agaknya dia tidaklah secerdik itu.
"Tentu tidak salah lagi bahwa sicu adalah seorang di antara para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan, bukan? Sicu, kapankah pertemuan itu diadakan dan di mana? Saya ingin sekali mengetahui agar dapat membuat persiapan dagangan saya. Pada hari itu tentu akan banyak para pendekar lewat di sini dan..."
"Plakk!"
Tangan Ci Kang menyambar ke arah muka orang gendut itu. Si gendut ternyata memiliki gerakan cepat untuk ukurannya dan berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu langsung mengejarnya dan akhirnya mengenai pipinya tanpa dia dapat menghindarkannya lagi.
"Aduhh...!" Si gendut terhuyung dan meraba pipinya yang menjadi merah sekali.
"Ehh, kenapa kau memukul orang...?" Dua orang pelayan cepat-cepat menghampiri untuk melerai.
Akan tetapi, tanpa bangkit dari kursinya, tangan kanan dan kaki Ci Kang cepat bergerak menyambut dua orang pelayan itu. Terdengar mereka mengaduh dan dua orang itu pun terpelanting roboh.
Kini si gendut menjadi marah dan dengan suara menggereng bagaikan harimau, dia pun menubruk dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, menyerang ke arah kepala dan dada pemuda yang kini sudah menggerakkan tubuh memutar kursinya hingga meja yang tadi berada di depannya kini berada di sebelah kirinya.
"Wuuuttt...!"
Serangan si gendut itu cukup kuat, mendatangkan angin dan hal ini membuktikan bahwa dugaan Ci Kang memang benar. Si gendut itu yang nampaknya seorang pengurus kedai arak yang ramah dan murah hati, namun ternyata memiliki kepandaian silat yang cukup lihai. Akan tetapi mendadak Ci Kang mengangkat tangan kirinya menangkis, menyambut kedua lengan itu, dan...
"Krekkk...!"
Terdengar suara dan lengan kanan si gendut itu pun patah. Sebelum si gendut sempat menghindar, secepat kilat kaki Ci Kang menendang lutut dan si gendut itu mengaduh, lalu jatuh berlutut. Tangan kanan Ci Kang lalu mencengkeram rambut orang itu dan menekan kepala itu ke bawah.
Dua orang pelayan yang tadi dirobohkan, menjadi terkejut bukan kepalang melihat kepala mereka sudah dikalahkan, dan mereka berdua itu dalam keadaan berlutut hanya mampu memandang penuh kekbawatiran. Juga tiga orang lain yang menjadi pengurus kedai itu hanya bisa berdiri berkelompok di dekat pintu menuju dapur dengan muka ketakutan.
Tiba-tiba saja seorang di antara para tamu yang sedang duduk menghadapi hidangannya, menggebrak meja dan bangkit berdiri. Orang ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana tetapi bersih dan gerak-geriknya halus, wajahnya tampan dan semenjak tadi dia duduk menghadapi hidangan di depan mejanya, makan dan minum sendirian saja. Pakaiannya serba putih dan dia lebih pantas menjadi seorang sasterawan dari pada seorang ahli silat.
Akan tetapi ketika dia menggebrak meja, mangkok piring di atas mejanya itu mencelat ke atas kemudian menimbulkan suara berisik ketika jatuh kembali ke atas mejanya. Pemuda berpakaian putih ini bangkit dan menoleh, memandang kepada Ci Kang yang masih saja menjambak rambut si gendut yang hanya bisa mengeluh panjang pendek. Dengan tangan kanan menekan sandaran kursi, pemuda baju putih itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
"Manusia sombong dan kasar! Berani kau menghina orang dengan mengandalkan sedikit kepandaian?"
Sepasang alis hitam tebal yang mirip sayap burung garuda terbentang itu bergerak-gerak, ada pun sepasang mata yang tajam itu mengeluarkan sinar berapi. Hati Ci Kang menjadi semakin panas. Orang berpakaian putih ini tentu kawan golongan hitam yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai ini, pikirnya.
"Habis, kau mau apa?" Dia pun membentak sebagai jawaban ucapan pemuda baju putih itu.
Pemuda baju putih itu memandang tajam dan suaranya penuh wibawa. "Hayo lepaskan paman itu dan kau harus mohon maaf atas sikapmu yang kasar dan sombong, baru aku akan melupakan kesombonganmu!"
Ci Kang adalah seorang yang sejak kecil dididik dalam kekerasan. Dasar wataknya jujur dan keras, dan karena semenjak kecil hidup di tengah golongan sesat, dia sudah terbiasa dengan sikap dan perbuatan keras dan kasar.
Akan tetapi dia selalu menentang kejahatan, dan sesudah digembleng selama beberapa tahun oleh Ciu-sian Lo-kai, dia kini sudah dapat mengatasi kekerasan hatinya. Dia selalu bersikap mengalah dansabar, sesuai dengan pelajaran yang diterimanya dari kakek Dewa Arak itu. Akan tetapi penolakan dan penentangan para pendekar kepada dirinya membuat hatinya kesal dan murung sehingga dia menjadi mudah marah.
Sekarang, melihat sikap pemuda baju putih yang menentangnya, pemuda baju putih yang dianggapnya tentulah kawan dari gerombolan penjahat yang membuka kedai arak ini, dia pun tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Gerombolan penjahat ini harus dihajarnya, demikian dia mengambil keputusan.
"Kau mau membelanya? Nih, terimalah!" Dengan gerakan tangannya yang kuat, Ci Kang bangkit dan melontarkan tubuh gendut yang dicengkeram rambutnya itu ke depan.
Tubuh gendut itu terlempar melayang ke arah pemuda baju putih! Apa bila mengenai dan menubruk pemuda baju putih itu, tentu dia akan ikut terpelanting pula.
Akan tetapi, pemuda baju putih itu dengan sikap tenang menyambut tubuh itu dengan dua tangannya dan dia sudah berhasil menangkap tubuh itu pada lengan dan pundaknya, lalu menurunkan tubuh gendut itu sehingga tidak sampai jatuh terbanting. Ketika dia kembali memandang, ternyata Ci Kang sudah duduk lagi menghadapi meja dan mengangkat guci arak, menuangkan isinya ke mulut menggunakan tangan kiri, sedangkan lengan kanannya terletak di atas meja.
"Engkau sungguh manusia sombong yang patut dihajar!" Si baju putih itu dengan cepat melangkah maju lantas menggerakkan tangannya menotok ke arah leher Ci Kang yang sedang minum araknya.
Mendadak Ci Kang menurunkan gucinya dan tanpa bangkit dari kursinya, dia kemudian menggerakkan tangan kanannya ke atas untuk menangkis tangan lawannya. Gerakannya cepat mengandung tenaga amat kuat sebab dia memang telah mengerahkan sinkang-nya untuk menangkis dengan harapan sekali tangkis akan dapat mengalahkan lawan, paling tidak mematahkan tulang lengan lawan.
"Dukkk...!"
Benturan dua lengan itu membuat keduanya berbareng mengeluarkan teriakan tertahan saking kagetnya. Tubuh pemuda berbaju putih itu terdorong ke belakang sampai empat langkah, sedangkan sebaliknya, biar pun tubuh Ci Kang tidak terlempar karena dia tengah duduk, namun kursi yang didudukinya pecah berantakan!
Kini Ci Kang sudah meloncat bangun dan alisnya berkerut semakin dalam. Kecurigaannya makin kuat. Orang ini tentu seorang tokoh sesat walau pun belum pernah dia melihatnya. Seorang tokoh muda yang entah datang dari mana, namun agaknya diam-diam menjadi pelindung gerombolan penjahat yang menyamar menjadi pengusaha kedai arak.
Teringatlah dia betapa si gendut tadi telah berusaha memancingnya agar dia suka bicara tentang pertemuan para pendekar dan kini dia pun menduga bahwa tentu tokoh sesat ini bertugas menyelidiki pertemuan itu!
"Bagus, kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian juga. Sayang, kepandaian itu kau pergunakan untuk kejahatan!" Setelah berkata demikian, Ci Kang melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan tangannya yang kuat.
Orang berbaju putih itu sudah mengenal kekuatan tangan lawan, maka dia pun bersikap hati-hati sekali. Dengan mudah dia mengelak dari serangan Ci Kang kemudian membalas dengan tendangan.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat di dalam restoran itu antara Ci Kang dan pemuda baju putih. Dan para tamu cepat meninggalkan meja masing-masing, pergi menjauh akan tetapi tetap menonton perkelahian itu. Dari sikap mereka, hampir semua berpihak kepada pemuda baju putih!
"Pemburu dari mana dia?" terdengar orang bertanya-tanya.
"Entah, dia baru datang, akan tetapi dia jahat sekali!"
"Dia telah memukuli Cou-twako, pengurus kedai yang baik hati!"
"Tentu dia penjahat!"
Demikianlah percakapan antara mereka yang sedang menonton perkelahian itu. Ci Kang menjadi semakin heran mendengar semuanya ini. Kenapa semua orang menganggapnya jahat? Akan tetapi dia tidak peduli karena dia maklum bahwa tentu semua orang sudah tertipu oleh sikap para penjahat yang menyamar menjadi pemilik kedai arak ini. Hanya dia yang tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang golongan hitam. Maka dia pun merasa penasaran sekali.
Pemuda baju putih ini hebat bukan main! Bukan hanya dalam kegesitan dan tenaga saja si baju putih ini bisa menandinginya, juga dalam ilmu silat agaknya pemuda ini dapat pula mengimbanginya. Gerakannya demikian kuat dan tenang, dan semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik.
Ci Kang yang sedang murung itu masih dapat menenangkan hatinya dan menahan hawa amarahnya, dan ini adalah berkat gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai selama ini. Sebelum menjadi murid Si Dewa Arak, mungkin saja tadi dia telah membunuh para pengurus kedai itu, dan mungkin kini dia akan mengeluarkan serangan-serangan maut untuk membunuh pemuda baju putih yang disangkanya tentu juga seorang tokoh sesat yang membela para penjahat yang menyamar menjadi pengurus kedai.
"Manusia jahat! Terimalah ini...!" Mendadak si baju putih itu membalas dengan serangan yang amat mengejutkan hati Ci Kang.
Pemuda itu menyerangnya dengan pukulan aneh, dengan dua tangan disilangkan lantas didorongkan sambil merendahkan tubuhnya. Tetapi dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan panas yang amat dahsyat, yang menyambar deras kepadanya bagai badai mengamuk!
Tahulah Ci Kang bahwa pemuda itu ternyata memiliki pukulan sakti yang amat berbahaya dan kini telah menyerangnya dengan ganas sekali. Maka dia pun langsung mengerahkan sinkang-nya dan mendorongkan kedua tangannya dengan telapakan terbuka ke depan.
Kembali dua tenaga raksasa saling membentur dan sekali ini sebelum dua pasang tangan bertemu, terlebih dahulu hawa pukulan itulah yang saling beradu. Dan sekali ini, Ci Kang merasakan betapa tubuhnya tergetar hebat oleh hawa panas itu dan meski pun dia tidak sampai terhuyung ke belakang, namun pasangan kuda-kuda kakinya tergeser.
Terkejutlah dia. Tak disangkanya sama sekali bahwa lawannya sehebat itu. Dan dia yang sudah memiliki banyak pengalaman tentang ilmu-ilmu kaum sesat, tidak dapat mengenal ilmu pukulan apa yang baru saja digunakan pemuda baju putih ini. Maka mulailah timbul keraguannya.
Jangan-jangan pemuda baju putih ini bukan seorang tokoh sesat, tapi seorang pendekar yang juga sudah tertipu oleh para pengurus kedai dan menganggap para pengurus kedai itu orang baik-baik dan dermawan, dan mengira bahwa dialah yang jahat!
Pemuda baju putih itu agaknya juga terkejut saat melihat betapa pukulannya yang ampuh tadi sanggup ditahan oleh Ci Kang dan hanya membuat pemuda berpakaian pemburu itu bergeser sedikit saja kakinya.
"Seorang pemuda yang berilmu tinggi, akan tetapi mempergunakannya untuk kekejaman dan kejahatan! Orang macam engkau ini harus dibasmi agar tidak menyebar kekejaman lagi!" Pemuda baju putih itu berseru marah.
Kini dia menyerang semakin hebat, dengan gerakan-gerakan aneh yang setiap gerakan mengandung daya serang mematikan! Ci Kang terkejut mendengar ucapan itu, lebih lagi melihat serangan bertubi-tubi yang sangat hebatnya dan mendengar pula kata-kata para penonton yang jelas berpihak kepada si pemuda baju putih. Agaknya semua orang sudah menganggap dialah yang jahat!
Cepat dia mengelak beberapa kali, lantas meloncat ke belakang sambil berteriak, "Kalian semua seperti orang buta saja! Tidak tahukah kalian siapa enam orang pengurus kedai ini? Mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, kaum sesat atau penjahat-penjahat yang menyamar! Mereka hanya berpura-pura saja dermawan, akan tetapi mereka adalah penjahat-penjahat keji yang memusuhi para pendekar!"
Pemuda berbaju putih itu agaknya tidak percaya, bahkan semakin marah. "Sudah busuk perbuatannya, busuk pula mulutnya melontarkan fitnah keji!" Dan dia pun menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan.
"Wuuuttt...! Dukkk!"
Kembali Ci Kang menangkis dan keduanya tergetar hingga terpaksa melangkah mundur beberapa tindak.
"Sobat, engkau masih belum percaya? Lihat, ke manakah mereka itu? Mereka sudah lari setelah aku membuka kedok mereka!" Ci Kang berseru dan pemuda baju putih itu cepat menengok tetapi dia juga tidak melihat seorang pun di antara enam pengurus kedai tadi.
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
"Pembunuhan...! Rampok...! Rampok...!"
Di luar kedai terdengar suara gaduh dan tiba-tiba saja di bagian belakang kedai itu pun dimakan api. Asap telah masuk ke dalam ruangan itu dan semua orang sudah cerai-berai dalam keadaan panik dan sebentar saja yang tertinggal di dalam kedai hanyalah Ci Kang dan si pemuda baju putih. Akan tetapi keduanya segera sadar bahwa di luar tentu terjadi hal-hal yang membutuhkan pertolongan mereka, maka bagaikan orang sedang berlomba, kedua orang muda itu cepat-cepat meloncat keluar kedai.
Memang keadaan di dusun kecil itu sangat kacau balau. Kebakaran-kebakaran terjadi di sana-sini dan orang-orang berlarian simpang siur dengan panik. Ci Kang melihat betapa keenam orang pengurus kedai tadi, bersama belasan orang lainnya yang jelas terdiri dari golongan sesat, sedang membakari rumah dan merampoki barang-barang yang mereka angkut keluar.
Tentu saja Ci Kang menjadi marah bukan main. Akan tetapi dia sudah keduluan pemuda baju putih yang telah meloncat dan menerjang orang-orang yang membakar rumah-rumah dan merampoki barang-barang itu. Di beberapa tempat terdapat mayat bergelimpangan, agaknya mayat dari mereka yang hendak melawan keganasan para perampok.
Ci Kang menerjang segerombolan orang yang sedang melakukan pembakaran rumah. Empat orang penjahat yang bertubuh tinggi besar serta berwajah kejam mengeroyoknya dengan senjata golok mereka. Akan tetapi dengan mudah Ci Kang menyambut serangan mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat empat orang itu kocar-kacir dan jatuh bangun.
Mereka merasa penasaran dan hendak melawan terus, akan tetapi hanya dalam beberapa gebrakan saja Ci Kang membuat mereka tidak berdaya, mematahkan tulang lengan atau kaki mereka dan akhirnya empat orang penjahat itu lari tunggang-langgang, yang patah tulang kakinya menyeret kaki itu terpincang-pincang.
Ci Kang tidak mengejar mereka. Gurunya, Si Dewa Arak, selalu menekankan kepadanya alangkah tidak baiknya melakukan pembunuhan-pembunuhan. Bahkan sedapat mungkin jangan melakukan kekerasan, kata gurunya itu. Andai kata terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap penjahat, cukup kalau menundukkan dan sekedar memberi hukuman saja supaya mereka tidak berani melanjutkan kejahatan mereka, akan tetapi sama sekali tidak boleh dibunuh.
Ajaran Si Dewa Arak ini sungguh berlawanan sekali dengan kebiasaan hidup di kalangan kaum sesat, akan tetapi Ci Kang menerimanya dengan hati senang dan patuh karena hal ini memang cocok sekali dengan pendiriannya sendiri yang tidak suka dengan kejahatan dan kekerasan karena dia telah muak hidup di lingkungan yang penuh dengan kekerasan.
Tiba-tiba saja Ci Kang dikejutkan oleh suara teriakan-teriakan yang mengerikan. Dia cepat menoleh dan wajahnya berubah merah. Dia melihat pemuda baju putih itu mengamuk dan sepak terjangnya menggiriskan sekali.
Sudah ada tujuh atau delapan orang penjahat, termasuk si gendut dari kedai arak dan anak buahnya, berserakan menjadi mayat. Pemuda itu menurunkan tangan mautnya dan tak memberi ampun kepada para penjahat. Kini masih ada beberapa orang penjahat yang mengeroyoknya, akan tetapi Ci Kang maklum bahwa mereka semua itu tentu akan tewas di tangan si pemuda baju putih kalau dia tidak mencegahnya.
Cepat ia meloncat dan ketika tangan pemuda baju putih itu menyambar dengan serangan maut kepada seorang penjahat yang goloknya sudah terlempar, dia segera menubruk dan menangkis.
"Dukkk...!"
Untuk ke sekian kalinya, kembali dua lengan yang mengandung tenaga sangat kuat itu saling beradu, menggetarkan tubuh kedua pihak. Pemuda baju putih itu mengerutkan alis dan matanya memandang terbelalak kepada Ci Kang.
"Gilakah kau?" bentak pemuda itu kepada Ci Kang. "Tadi engkau menyerang mereka dan aku yang tidak mengenal siapa mereka membela mereka. Sekarang, setelah mengetahui bahwa mereka ini adalah penjahat-penjahat terkutuk dan hendak membasmi mereka, kau malah muncul melindungi mereka!" Pemuda baju putih itu benar-benar terkejut, heran dan penasaran melihat tingkah Ci Kang yang dianggapnya aneh sekali itu.
"Sobat, engkau memang gagah perkasa, akan tetapi terlalu kejam! Memang telah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan, akan tetapi bukan membunuh!"
Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Kau peduli apa?"
Dia pun sudah menerjang lagi ke depan, merobohkan seorang penjahat dengan tamparan tangan kirinya yang amat ampuh. Sekali terkena tamparan itu, golok yang menangkisnya terlempar dan orang itu tidak mampu menghindarkan dirinya lagi, dadanya kena dihantam kemudian terdengar tulang-tulang iga yang patah-patah dan orang itu menjerit lalu roboh berkelojotan.
"Kau kejam...!" Ci Kang menghardik dan ketika orang baju putih itu hendak mengejar para penjahat yang menjadi gentar dan melarikan diri, Ci Kang sudah menghadangnya.
"Kau kini hendak membela mereka? Gila dan biar kubasmi sekalian!" Orang berbaju putih itu membentak dan menyerang Ci Kang.
Tentu saja Ci Kang cepat mengelak dan untuk mencegah orang itu menyebar maut lebih banyak lagi, dia pun membalas dan kini mereka kembali berkelahi dengan amat serunya. Kerena kini masing-masing telah yakin akan kelihaian lawan, maka mereka pun berkelahi lebih seru dan lebih hebat dari pada tadi, karena masing-masing mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang paling hebat.
Kini para penjahat sudah lari semua dan juga para penghuni dusun sudah semenjak tadi melarikan diri. Sebagian besar dari rumah-rumah dusun itu terbakar. Namun, dua orang muda itu agaknya lupa dengan keadaan sekeliling karena mereka itu asyik berkelahi dan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatian, mempergunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga kalau tidak mau kalah! Dan kepandaian keduanya memang hebat, setingkat dan seimbang.
Entah berapa lama lagi perkelahian itu akan berlangsung sampai ada yang kalah. Hampir seratus jurus sudah berlalu tetapi keduanya masih terus saling hantam dengan gigihnya. Tiba-tiba terdengar suara jerit minta tolong. Suara wanita yang ketakutan!
Mendengar suara ini, seketika kedua orang muda itu melupakan perkelahian mereka dan meloncat lalu berlari ke arah suara itu seperti orang berlomba. Jerit tangis itu kini semakin jelas, keluar dari sebuah rumah yang bagian belakangnya sudah terbakar.
"Tolong...! Toloonggg... ahh, tolonglah aku...!" Demikianlah suara itu terdengar dari dalam rumah yang sedang terbakar.
"Brakkkkk...!"
Dua tempat pada dinding rumah itu jebol ketika si pemuda baju putih dan Ci Kang secara berbareng menerjang tembok. Keduanya berlari memasuki rumah itu dan melihat seorang gadis yang kedua tangannya terbelenggu pada tiang rumah sedang meronta-ronta akibat ketakutan melihat api mulai membakar dinding kamar itu!
Seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian sederhana tetapi justru pakaian sederhana itulah yang membuat kecantikannya makin menonjol. Karena kedua lengannya ditelikung ke belakang dan dia terus meronta-ronta, maka lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan pada tubuhnya nampak jelas dan amat menggairahkan! Melihat munculnya dua orang muda itu, sepasang mata yang jeli itu terbelalak ketakutan, akan tetapi agaknya dia dapat menduga bahwa mereka adalah orang orang yang hendak menolongnya, bukan orang-orang jahat yang menyerang dusun itu.
"Ahh, tolonglah saya...!" Dia memohon.
Pada saat itu, dinding di bagian belakang kamar itu yang mulai terbakar, runtuh ke bawah dan mengancam gadis itu yang tentu akan tertimpa runtuhan dinding tembok! Dua orang muda yang gagah perkasa itu bergerak cepat sekali. Pemuda baju putih sudah meloncat dan sekali sambar dia sudah merenggut putus tali yang mengikat gadis itu dengan tiang, lantas meloncat sambil memondong tubuh itu, sedangkan Ci Kang meloncat menggempur dinding yang runtuh itu dengan kedua tangannya.
"Braaakkkk...!"
Runtuhan dinding itu pecah berantakan dan dia pun cepat meloncat keluar menyusul. Di luar rumah yang terbakar itu dia melihat pemuda baju putih sudah menutunkan gadis tadi yang kini berdiri kebingungan dan masih menangis. Ketika Ci Kang tiba pula di situ, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang pemuda itu sambil menangis.
"Sudahlah, jangan menangis dan ceritakan apa yang sudah terjadi," kata Ci Kang sambil memandang kepada pemuda baju putih yang berdiri tenang dan menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.
Gadis itu menyusut air matanya. Usianya tidak sangat muda lagi, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi usia ini bagi seorang wanita merupakan usia yang sedang masak-masaknya, seperti setangkai bunga sedang mekarnya. Pakaiannya sederhana akan tetapi rapi, wajahnya cantik dan terutama sekali mulutnya manis sekali.
"Saya menghaturkan terima kasih kepada ji-wi taihiap... yang telah menyelamatkan nyawa saya yang tidak berharga..."
"Sudahlah," kata pemuda baju putih. "Tak perlu bicara tentang itu. Yang penting sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka kau bisa berada di dalam rumah terbakar itu dalam keadaan terbelenggu."
Pada waktu itu dusun kecil yang terbakar ini sudah ditinggalkan orang dan agaknya hanya mereka bertiga saja yang masih berada di situ, kecuali mayat-mayat yang menggeletak di sana-sini, korban kekejaman para perampok.
"Saya bernama Ji Hwa dan tinggal bersama ayah serta ibu di luar dusun, di lereng bukit sana itu... saya berada di sini karena sedang mengunjungi paman dan bibi saya, pemilik rumah ini. Ketika tadi para penjahat datang, paman melawan dan bibi entah lari ke mana, dan saya... perampok ganas itu menawan saya, hendak dibawa pergi. Tapi ketika paman melawan, perampok itu mengikat saya di tiang tadi dan dia lalu berkelahi dengan paman di luar rumah... selanjutnya... saya tidak tahu apa yang terjadi, rumah terbakar dan saya ketakutan sekali..."
Dia menengok ke kiri di mana terdapat mayat-mayat bergelimpangan, membuat gadis itu bergidik ngeri.
"Siapakah pemimpin perampok-perampok itu, nona?" Ci Kang bertanya. "Apakah engkau mengenal para pengurus kedai arak itu?" Dia menunjuk ke arah kedai arak yang sudah habis terbakar.
Gadis itu menggeleng kepala dan kelihatan ketakutan. "Saya tidak tahu... akan tetapi... saya merasa yakin bahwa ayah saya tahu tentang semua itu. Pernah dia berkata kepada saya bahwa dusun ini sedang terancam kekuasaan para penjahat..."
"Hemm, kalau begitu mari kuantar kau pulang, nona. Aku ingin bicara dengan ayahmu," kata Ci Kang.
"Aku pun ingin bertemu dengan ayahmu, nona," kata pula pemuda baju putih itu.
Ci Kang memandang pemuda itu sambil tersenyum mengejek. "Agaknya dalam segala hal engkau tidak mau kalah, sobat. Perlu apa engkau ikut pula dengan kami?"
Pemuda itu tersenyum pahit. "Aku belum tahu benar siapa engkau dan orang macam apa adanya dirimu. Melihat engkau pergi berdua dengan seorang gadis yang tak berdaya ini, sungguh hatiku merasa tidak enak. Aku baru lega apa bila melihat dia sudah berkumpul kembali dengan orang tuanya."
"Sialan!" Ci Kang membentak. "Engkau masih belum percaya kepadaku? Nah, mari kita saling mengenal. Namaku Ci Kang."
"She-mu?" tanya pemuda itu, ingin tahu nama keluarga Ci Kang.
"Tidak perlu kuperkenalkan." Ci Kang memang tak ingin memperkenalkan nama keluarga ayahnya yang terkenal sebagai Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta.
"Namaku Sun," kata pemuda baju putih itu, juga tidak mau menyebutkan she-nya melihat betapa Ci Kang menyembunyikan shenya pula.
Pemuda ini sesungguhnya she Cia. Ya, dia adalah Cia Sun, putera dari Cia Han Tiong yang tinggal di Lembah Naga! Seperti sudah kita ketahui, pemuda ini merasa penasaran sekali akan sikap ayahnya. Ibunya tewas di tangan musuh, namun ayahnya mengampuni musuh-musuh itu.
Dalam keadaan penasaran serta penuh duka dan dendam ini, dia berjumpa dan diambil murid oleh Go-bi San-jin lantas digembleng selama tiga tahun. Oleh gurunya ini, di dalam batinnya ditanam jiwa kependekaran yang tegas dan keras supaya menentang kejahatan. Gemblengan ini, ditambah pula oleh rasa dendam akibat kematian ibunya, membuat Cia Sun menjadi seorang pendekar yang tidak mau mengampuni orang-orang jahat, dan dia menganggap adalah tugas dan kewajibannya untuk menentang kejahatan dan membasmi para penjahat, membunuh mereka tanpa mengenal ampun lagi!
Seperti juga Ci Kang yang disuruh gurunya, Ciu-sian Lo-kai, untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan dengan para pendekar, juga Cia Sun sudah diutus oleh Go-bi San-jin untuk pergi ke tempat itu pula. Munculnya Raja dan Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui serta para datuk kaum sesat membuat orang-orang sakti dan para pendekar berusaha menentangnya sehingga mereka hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Sesudah memperkenalkan nama masing-masing tanpa menyebut nama keturunan, kedua orang muda itu lalu mengawal gadis yang bernama Ji Hwa itu pulang. Mereka keluar dari dusun kecil yang sudah sunyi itu dan menuju ke utara di mana terdapat sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon rindang.
"Jauhkah rumah ayahmu dari sini, nona?" tanya Cia Sun yang masih belum percaya betul kepada gadis ini dan selalu tidak meninggalkan kewaspadaannya.
"Tidak jauh, di lereng bukit itu, taihiap. Akan tetapi harap jangan menyebut nona padaku, namaku Hwa dan biasa disebut Hwa Hwa saja."
Cia Sun mengerutkan alis dan tidak menjawab. Gadis ini baru saja mengalami peristiwa yang amat menakutkan dan mengejutkan, baru saja terlepas dari maut dan nyaris terbakar hidup-hidup dalam rumah tadi. Akan tetapi sekarang sudah bicara sambil senyum-senyum dan kerling mata gadis ini membuat hatinya terasa tidak enak. Meski pun sampai saat itu Cia Sun belum pernah bergaul rapat dengan wanita, namun dia mengenal kerling yang tajam memikat, kerling yang membayangkan kegenitan yang disembunyikan, sikap yang agaknya tidak wajar dan berpura-pura.
Rumah itu besar dan kuno sekali, terletak di lereng bukit. Rumah yang besar dan kuno, terpencil sendiri dan dari jauh tidak nampak karena tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar. Karena kuno, besar dan sudah rusak tak terpelihara, bangunan itu nampak menyeramkan, pantasnya hanya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis saja.
"Di sinikah engkau dan orang tuamu tinggal?" tanya Ci Kang ketika mereka tiba di depan rumah. "Bekerja apakah orang tuamu?" Ternyata seperti Cia Sun, dia pun mulai merasa heran dan curiga melihat betapa gadis itu bersama orang tuanya tinggal di tempat yang seram seperti ini.
Gadis yang minta disebut Hwa Hwa itu tersenyum memandang Ci Kang. "Kalau melihat pakaian taihiap, agaknya pekerjaan ayah tidak asing bagi taihiap. Dia seorang pemburu dan karena itu kami memilih tempat di bukit dekat hutan-hutan ini." Dengan sikap ramah dan lincah gadis itu mempersilakan dua orang pemuda itu untuk memasuki gedung kuno. "Marilah, harap ji-wi taihiap sudi masuk dan menemui ayah dan ibu yang berada di dalam. Saya merasa yakin bahwa ayah akan dapat bercerita banyak tentang penjahat-penjahat yang tadi mengacau dusun."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang sejenak. Biar pun mereka masih merasa penasaran dan ada rasa tidak suka satu kepada yang lain, akan tetapi kini mereka berada di dalam sebuah perahu yang sama. Maka, walau pun hanya sedikit, terdapat suatu kepentingan bersama di antara mereka dan sesudah saling pandang, tahulah mereka bahwa masing-masing tidak akan mau kalah dan merasa malu kalau mundur.
Mereka lalu mengikuti gadis itu memasuki bangunan dan ternyata memang bangunan itu kuno dan tak terawat. Banyak bagian-bagian yang telah rusak, akan tetapi sebagian besar masih kokoh kuat karena memang bangunan kuno itu kuat buatannya.
"Mari silakan, ji-wi taihiap. Saya kira ayah dengan ibu sedang bersemedhi di dalam kamar semedhi," kata gadis itu sambil mengajak mereka menuju ke sebuah ruang yang pintunya kecil.
Mendengar ini, kembali Cia Sun dan Ci Kang melirik. Kalau mereka sedang bersemedhi, tentu orang tua gadis ini termasuk orang-orang yang pandai ilmu silat, atau kalau tidak tentu orang-orang yang sangat saleh.
Mereka melewati pintu kecil itu, lantas memasuki sebuah ruangan yang bentuknya aneh. Kamar itu tidak berjendela dan bentuknya bundar. Lantainya tertutup permadani tipis yang sudah lapuk dan tidak terdapat perabot rumah, akan tetapi keadaannya cukup bersih.
Di dekat dinding nampak seorang kakek dan seorang nenek sedang duduk bersila dalam keadaan bersemedhi. Begitu melihat keadaan dua orang kakek dan nenek ini, dua orang pemuda itu merasa heran dan terkejut sekali!
Pakaian kakek itu serba polos putih kuning, seluruh rambutnya putih riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek terpelihara baik-baik, tubuhnya cukup jangkung dan wajahnya aneh menyeramkan. Wajah itu memang bagus bentuknya, membayangkan ketampanan, akan tetapi wajah itu terlihat begitu dingin, kulitnya agak kehijauan dan matanya terpejam. Sulit ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih.
Ada pun nenek itu juga memiliki keadaan yang sama, baik pakaiannya yang sederhana kedodoran mau pun rambutnya yang juga sudah putih semua dan riap-riapan. Rambutnya masih lebih panjang ketimbang rambut kakek itu, dan bentuk atau raut wajah wanita ini pun menunjukkan bekas kecantikan, hanya nampak begitu dingin seperti topeng.
"Silakan duduk, ji-wi taihiap dan maaf, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa kita duduk di atas lantai," kata Hwa Hwa dengan ramahnya.
Cia Sun dan Ci Kang yang sudah terlanjur masuk, lalu duduk di atas lantai berbabut itu, bersila dengan sikap hormat karena mereka berdua meragu orang-orang macam apakah adanya kakek dan nenek ini. Yang jelas, bukan orang-orang sembarangan saja, demikian mereka berpikir.
Setelah dua orang pemuda itu duduk, Hwa Hwa lalu keluar dari dalam kamar itu. Sampai di ambang pintu dia menoleh dan berkata sambil tersenyum,
"Maafkan, saya akan mempersiapkan minuman untuk ji-wi..."
Sebelum dua orang muda itu menolak, pintu yang sempit itu tiba-tiba sudah ditutup dari luar oleh Hwa Hwa dan baru nampak oleh dua orang muda itu bahwa pintu itu terbuat dari pada besi yang kokoh kuat! Akan tetapi karena di dalam ruangan itu masih terdapat kakek dan nenek tadi, Cia Sun dan Ci Kang bersikap tenang saja dan sekarang mereka berdua memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba kakek dan nenek itu membuka matanya, maka terkejutlah dua orang pendekar muda itu melihat betapa dua pasang mata itu amat tajam, mencorong seperti bukan mata manusia biasa! Mata kakek dan nenek itu mencorong dan kehijauan! Terkejutlah Cia Sun dan Ci Kang, tahu bahwa mereka berdua ternyata bukan orang sembarangan, melainkan orang-orang yang memiliki tenaga sinkang amat kuat, kalau tidak demikian, tak mungkin mereka memiliki sinar mata seperti itu.
Akan tetapi keduanya tetap tenang saja dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya, tentu saja dengan penuh kewaspadaan karena kini mereka mulai dapat menduga bahwa sikap gadis yang bernama Hwa Hwa tadi hanya pura-pura saja.
Tiba-tiba saja terdengar suara kakek itu yang berbicara seolah-olah tanpa menggerakkan bibir. "Berlutut...!"
Dua orang pemuda itu terkejut dan heran, akan tetapi biar pun mereka menduga bahwa kakek itu menyuruh mereka berlutut, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan perintah itu. Mereka hanya menatap tajam, menentang dua pasang mata hijau yang mencorong itu. Sekarang nenek itulah yang bicara, suaranya lirih akan tetapi mendesis dan menusuk jantung.
"Kalau murid kami sudah membawa kalian ke sini, tentu kalian bukan orang-orang biasa sehingga ada harganya untuk menjadi pembantu-pembantu kami. Nah, orang-orang muda, berilah hormat kepada Ong-ya!"
Dua orang muda itu kini terkejut bukan main. Mereka berdua sudah mendengar dari guru masing-masing tentang Raja dan Ratu Iblis yang menganggap dirinya raja dan ratu, dan betapa semua tokoh sesat yang takluk kepada mereka menyebut Raja Iblis itu Ong-ya karena memang dia dahulunya seorang pangeran bernama Toan Jit Ong.
Kini Cia Sun dan Ci Kang memandang penuh perhatian. Mereka pun baru sadar bahwa mereka sebenarnya berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis yang amat ditakuti itu, yang kini kabarnya sedang menggerakkan para datuk kaum sesat termasuk Cap-sha-kui untuk menguasai dunia! Bahkan karena adanya gerakan mereka inilah maka para pendekar dan orang-orang sakti hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk merencanakan langkah-langkah untuk menentang gerakan berbahaya itu.
Dan kini, tanpa mereka sangka-sangka, mereka telah dipancing oleh seorang gadis cantik yang ternyata murid iblis-iblis ini, dan telah berhadapan dengan mereka, berada di sebuah ruangan tertutup!
"Apakah ji-wi yang berjuluk Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang bertanya dengan hati tabah, suaranya sedikit pun tidak gentar.
Nenek itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa, walau pun mulutnya tidak tertawa. "Kalau kalian sudah tahu, cepat memberi hormat!" katanya.
Akan tetapi, seperti dikomando saja, Cia Sun dan Ci Kang telah meloncat berdiri. Mereka berdua sudah banyak mendengar mengenai suami isteri iblis ini, dan mereka tahu bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk menentang dua orang ini. Mereka sama sekali tidak merasa takut, walau pun mereka telah mendengar betapa lihainya kakek dan nenek ini.
"Inilah penghormatanku!" kata Cia Sun yang sudah menyerang kakek yang duduk bersila itu.
"Dan ini bagianku!" bentak Ci Kang, secepat kilat dia pun menyerang ke arah si nenek.
Serangan dua orang muda itu hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat karena mereka berdua yang maklum dengan kelihaian kakek dan nenek itu sudah mengerahkan sinkang dan menyerang sekuat tenaga. Kakek dan nenek itu mendengus dan mengulur tangan menyambut. Mereka hanya mendorong tangan mereka ke depan dan segumpal uap menyambar dan menyambut serangan Cia Sun dan Ci Kang.
"Bresss...!"
Tubuh dua orang muda itu terdorong ke belakang dan tanpa dapat mereka cegah lagi, keduanya terbanting pada dinding di belakang lalu terguling ke atas lantai!
Pada saat itu, lantai tertutup babut itu terbuka dan tentu saja dua orang pemuda yang baru saja terguling, cepat meloncat ke depan. Hanya bagian di mana kakek dan nenek itu duduk saja yang tidak terjeblos sehingga jalan satu-satunya yang ada hanyalah mencoba untuk menyerang lagi kakek dan nenek yang masih duduk bersila di atas lantai, di bagian yang tidak terbuka.
"Desss...!"
Sekarang empat pasang tangan itu beradu langsung secara dahsyat sekali dan akibatnya, kakek serta nenek itu mengeluarkan seruan kaget bukan main. Benturan tangan mereka dengan tangan kedua pemuda itu membuat tubuh mereka tergetar dan terguncang hebat! Akan tetapi karena mereka duduk di atas lantai, sedangkan tubuh Cia Sun dan Ci Kang melayang, tentu saja kedua orang pemuda itu yang tidak mempunyai landasan, terdorong mundur dan tanpa bisa dihindarkan lagi tubuh mereka terjatuh ke dalam lubang di bawah mereka.
Mereka menggunakan ginkang sehingga tak sampai terbanting, juga mereka tiba di dasar lubang itu dengan kaki lebih dahulu, dalam keadaan berdiri. Akan tetapi tiba-tiba tempat di mana mereka terjatuh itu menjadi gelap gulita karena lantai dari kamar di atas tadi telah tertutup kembali!
Tiba-tiba saja terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau harum yang menyengat hidung.
"Asap beracun...!" Cia Sun berseru.
Keduanya segera menahan napas sambil meraba-raba mencari jalan keluar. Akan tetapi kamar di mana mereka tersekap itu ternyata terbuat dari besi baja dan tidak ada pintunya! Mereka lalu meloncat ke atas dan menghantam ke arah lantai kamar atas yang sekarang menjadi langit-langit bagi mereka itu.
"Bress...! Bress...!"
Akan tetapi lantai itu terlampau kuat dan tubuh mereka terlempar lagi ke bawah. Mereka seperti dua ekor tikus memasuki perangkap dan kini kamar itu mulai penuh dengan asap wangi beracun. Mereka menahan napas sekuat mungkin, akan tetapi tentu saja kekuatan ini ada batasnya. Betapa pun saktinya kedua orang muda itu, jantung mereka harus terus berdenyut dan untuk ini, jantung membutuhkan hawa murni melalui pernapasan.
Akhirnya Cia Sun dan Ci Kang tak kuat bertahan lagi dan mereka pun terpaksa menyedot asap itu. Tubuh mereka lalu terguling dan mereka pingsan oleh asap pembius. Sebelum mereka kehilangen kesadaran, mereka mendengar suara ketawa merdu, suara dari Hwa Hwa yang sebetulnya adalah Gui Siang Hwa, murid terkasih dari Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong.
Ketika Cia Sun dan Ci Kang siuman kembali, mereka telah saling berpisah. Cia Sun yang mulai siuman mendapatkan dirinya sedang tergeletak di atas pembaringan sebuah kamar dalam keadaan terbelenggu dan tertotok jalan darahnya! Dia lalu berusaha membebaskan jalan darahnya, namun usaha ini terpaksa dihentikannya karena ada langkah kaki orang memasuki kamar. Kiranya yang masuk adalah gadis cantik yang sudah menjebaknya itu! Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali dan memandang dengan mata melotot.
"Hemm, perempuan hina! Kiranya engkau adalah seorang penjahat betina yang sengaja menjebak kami! Engkau tentu kaki tangan perampok yang mengacau di dusun itu!" Cia Sun membentak.
Siang Hwa tersenyum manis dan menghampiri, kemudian duduk di tepi pembaringan dan membelai pundak yang kelihatan karena baju pada bagian pundak Cia Sun robek ketika dia meloncat dan mendobrak lantai atas. Cia Sun merasa betapa seluruh bulu tubuhnya meremang pada saat jari-jari tangan yang berkulit halus itu menelusuri pundaknya dengan belaian sayang. Dia lalu menggerakkan pundaknya untuk menolak, akan tetapi karena dia berada dalam keadaan tertotok, pundaknya hanya bergerak sedikit saja, membuat Siang Hwa tertawa geli.
"Hi-hik-hik, pemuda yang gagah dan tampan. Sun-koko, dugaanmu itu terbalik. Bukan aku yang menjadi kaki tangan mereka, tetapi mereka adalah kaki tanganku, para pembantuku. Sun-koko, tahukah engkau mengapa suhu dan subo tidak langsung saja membunuhmu? Akulah yang memintakan ampun. Nyaris aku dibunuh karena mintakan ampun untukmu, koko. Akan tetapi, aku menangis dan meratap minta agar engkau tidak dibunuh..."
"Hemm, apa maksudmu?" tanya Cia Sun, merasa heran mendengar bahwa murid kedua iblis itu mintakan ampun untuknya.
Tiba-tiba Siang Hwa merangkul leher pemuda yang masih rebah terlentang karena belum dapat bangun itu. Tentu saja Cia Sun terkejut bukan main, akan tetapi dia tidak mampu meronta atau mengelak, apa lagi memukul. Kedua tangannya ditelikung ke belakang, juga kedua kakinya terikat dan selain itu, kaki tangannya lumpuh oleh totokan.
"Sun-koko, apakah engkau tidak bisa menebak? Aku cinta padamu...! Aku cinta padamu, karena itu mati-matian aku mempertahankan nyawamu. Apa bila engkau mau membalas cintaku, maka kita akan hidup bahagia dan menjadi pembantu-pembantu suhu yang amat dipercaya. Ahh, koko, marilah kau hidup bahagia bersamaku..."
Siang Hwa mendekatkan mukanya dan siap untuk mencium dengan sikap yang sangat memikat. Bau harum semerbak keluar dari rambut dan leher gadis itu, akan tetapi hal ini sama sekali bukan membuat Cia Sun terpikat atau terangsang, sebaliknya mengingatkan dia akan bau harum asap beracun yang membuat dia dan Ci Kang terbius.
"Ci Kang... di mana dia?"
Gadis itu tersenyum manis. Karena mukanya sangat dekat, Cia Sun dapat melihat rongga mulut yang merah, lidah yang meruncing merah dan deretan gigi yang putih bersih. Mulut yang penuh daya pikat, akan tetapi yang mendatangkan rasa jijik dan marah kepadanya karena maklum bahwa di balik kecantikan ini tersembunyi kejahatan yang mengerikan.
"Sun-koko, temanmu itu sudah dibunuh, dan kalau tidak ada aku, engkau tentu dibunuh pula. Karena itu marilah kita mengecap kebahagiaan, mari kita menikmati hidup berdua..." Gadis itu kini menunduk dan mencium bibir Cia Sun. Akan tetapi dia lantas terkejut dan mengeluh. "Aihh...!" Dia merasa betapa bibir itu kaku dan dingin, betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas perasaan cintanya, bahkan pemuda itu kini memandang marah.
"Iblis betina, perempuan tidak tahu malu, jahanam busuk! Jangan harap aku akan dapat terbujuk olehmu. Bujuk rayumu tiada gunanya dan kalau mau membunuh aku, bunuhlah! Lebih baik seribu kali mati dari pada harus tunduk kepada ular betina seperti kamu ini!"
Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan memandang dengan alis berkerut. Pandangan matanya membayangkan kekecewaan besar. "Sun-koko, kau pikirlah baik-baik... engkau masih muda, gagah perkasa, apakah harus mati konyol begitu saja? Sun-koko, aku cinta padamu dan aku dapat membahagiakanmu..."
"Sudahlah! Sampai mati pun aku tidak mungkin dapat berbaik dengan iblis-iblis berwajah manusia macam engkau dan Raja Iblis! Kalau aku tidak dijatuhkan dengan kelicikan dan kecurangan, apa bila aku bebas, pertama-tama yang akan kulakukan adalah mencekikmu sampai mampus baru kucari kakek dan nenek iblis untuk kubunuh! Jadi tak perlu engkau membujuk rayu seperti itu. Bunuh saja kalau mau bunuh!"
Tiba-tiba saja terdengar suara lirih, terdengar dari jauh akan tetapi jelas sekali. "Nah, apa kubilang, Siang Hwa. Bocah dari Lembah Naga itu mana mau diajak kerja sama? Bunuh saja, akan tetapi siksa dulu!"
Itulah suara Ratu Iblis yang agaknya secara diam-diam mengikuti usaha muridnya yang sedang membujuk Cia Sun agar suka menjadi pembantu mereka dengan menggunakan kecantikan gadis itu.
"Baik, subo," kata Siang Hwa dengan suara gemas dan kini pandang matanya kepada Cia Sun berubah kelam, "Akan kusiksa mereka, kubikin mereka mati tenggelam, mati secara perlahan-lahan!"
Setelah berkata demikian, kedua tangan gadis yang tadi membelai-belai Cia Sun dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, sekarang mencengkeram pundak pemuda itu dan menariknya turun dari pembaringan, lalu menyeretnya keluar kamar itu.
Cia Sun yang tidak berdaya itu melihat bahwa dirinya diseret keluar dari dalam bangunan induk menuju ke bangunan belakang yang berada di tempat yang agak tinggi. Akan tetapi setelah gadis itu menyeretnya naik dan memasuki bangunan itu, ternyata di bagian dalam bangunan itu terdapat sebuah anak tangga yang menurun.
Kemudian, setibanya di sebuah kamar sempit, Siang Hwa melepaskan cengkeramannya dan dengan pengerahan tenaga dia memutar sebuah roda besi di sudut. Terdengar suara berkerotokan dan dua buah batu besar persegi empat yang berada di atas lantai bergerak terbuka ke kanan kiri, memperlihatkan sebuah lubang.
"Nah, mampuslah kau di situ!" kata Siang Hwa sambil menendang tubuh Cia Sun yang tak mampu melawan.
Tubuh pemuda itu terlempar masuk ke dalam sebuah kolam atau sumur yang sempit. Dia hanya mengangkat kepala supaya tidak sampai terbanting menimpa dasar sumur. Untung bahwa yang menimpa dasar itu adalah pinggulnya lebih dulu.
"Bukkk!"
Rasanya agak nyeri akan tetapi dia tidak terluka. Ternyata sumur itu tidak terlalu dalam, kurang lebih hanya dua meter dan kejatuhannya itu disusul dengan menutupnya kembali dua buah batu persegi yang mengeluarkan suara gaduh.
"Ahh, kau juga?" Tiba-tiba terdengar suara teguran.
Cia Sun terkejut dan cepat menengok. Matanya sudah agak terbiasa dengan keremangan tempat itu dan dia melihat bahwa Ci Kang sudah berada di tempat itu pula, duduk di sudut bersandarkan dinding batu! Cia Sun tidak mempedulikan orang ini. Bagaimana pun juga, dia masih merasa mendongkol dan penasaran.
Harus diakuinya bahwa rasa bersaing dengan pemuda inilah yang memaksa dia mengikuti Siang Hwa. Andai kata tidak ada perasaan itu, mungkin dia akan menolak ajakan Siang Hwa. Dia bangkit berdiri dan dengan kedua tangannya yang masih ditelikung ke belakang, dia kemudian meraba-raba dinding melakukan penyelidikan, dengan kedua kaki yang juga terbelenggu itu meloncat-loncat.
"Sobat, tiada gunanya kau mencari jalan keluar. Sudah semenjak tadi aku menyelidiki dan ternyata semua dinding ini terbuat dari besi kuat, dan lantai ini batu-batu gunung. Jalan keluar satu-satunya hanyalah batu penutup lubang di atas itu, akan tetapi sudah kucoba pula dan kuatnya bukan main."
Cia Sun menghentikan usahanya dan duduk di sudut, memandang pemuda di depannya itu. Agaknya Ci Kang telah kehilangan bajunya karena hanya tubuh bagian bawah sajalah yang tertutup celana. Tubuhnya yang kokoh kuat dengan otot yang melingkar-lingkar itu nampak besar dan menyeramkan. Dia sendiri masih untung, pikir Cia Sun, bajunya hanya robek saja, akan tetapi orang itu malah setengah telanjang!
"Kenapa mereka ingin membunuhmu juga?" akhirnya Ci Kang bertanya.
Cia Sun mengerutkan alisnya. "Karena mereka mengenalku."
"Hemm, lalu kenapa engkau tidak tinggal di atas saja, hidup bahagia dengan perempuan cabul itu dan menjadi pembantu Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang mengejek.
"Aha, ternyata engkau juga sudah dibujuk rayu oleh perempuan itu!" Cia Sun mengejek. "Agaknya lebih parah, sampai baju atasmu ditanggalkan. Mengapa engkau tidak memilih hidup enak di sana? Dan mengapa mereka juga ingin membunuhmu?"
"Karena mereka pun mengenalku, mengenal keadaanku."
"Mengenal ayahmu?" Cia Sun mendesak.
Ci Kang mengangguk dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram. "Mereka... telah membunuh ayahku! Dan untuk itu aku harus tetap hidup, aku harus hidup untuk membuktikan kepada mendiang ayah bahwa aku bukan seperti mereka!" kata Ci Kang dengan suara gemetar penuh perasaan.
Cia Sun menjadi tertarik. "Sobat, kita senasib. Agaknya nasib yang mempertemukan kita dimulai dari kesalah pahaman. Dan ternyata akulah yang salah. Aku tertipu oleh penjahat-penjahat yang menyamar menjadi para pengurus kedai itu. Sobat, aku she Cia. Namaku Cia Sun dan ayahku tinggal di Lembah Naga, itulah yang menyebabkan mereka hendak membunuhku. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?"
"Aku she Siangkoan, ayahku... ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin..."
"Ahhhh...!" Cia Sun terkejut bukan kepalang sampai memandang dengan mata terbelalak. "Maksudmu... maksudmu... yang dijuluki Iblis Buta...?"
Ci Kang mengangguk dan menarik napas panjang. "Benar, ayahku dijuluki Iblis Buta dan memang ayahku buta..."
"Tapi... tapi... bukankah ayahmu memimpin para penjahat, malah para datuk Cap-sha-kui juga menjadi sekutunya? Kenapa engkau dimusuhi Raja dan Ratu Iblis?"
"Ayah mereka bunuh akibat menentang mereka, baru kuketahui tadi setelah aku menolak perempuan hina itu dan menghinanya."
"Hemmm, jadi karena ayahmu dibunuh maka kini engkau memusuhi mereka? Akan tetapi mengapa di kedai arak itu engkau memusuhi pula para penjahat yang menyamar?" Kini tahulah Cia Sun mengapa pemuda ini mengenal penjahat yang menyamar sedangkan dia sama sekali tidak mengenal mereka. Ternyata pemuda ini adalah putera seorang datuk penjahat!
"Sejak lama aku berpisah dari ayahku karena aku tidak cocok dengan cara hidupnya. Aku menentang kejahatan dan karenanya aku dibenci golongan sesat, akan tetapi golongan bersih juga menghina dan menentangku karena aku putera Siangkoan Lo-jin..."
"Apabila ada pendekar menentangmu karena engkau putera Siongkoan Lo-jin, maka dia itu sembrono, Ci Kang. Orang ditentang karena perbuatannya yang jahat, bukan karena keturunannya!"
Ci Kang mengangkat mukanya. Di dalam keadaan remang-remang itu sepasang matanya mencorong ketika memandang wajah Cia Sun penuh selidik. "Orang she Cia, benarkah semua omonganmu itu? Baru saja aku dikecewakan oleh para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ketika aku tiba di sana dan dikenal sebagai putera ayah, aku nyaris saja celaka karena dikeroyok mereka."
"Ah, mereka itu sembrono. Jadi itukah sebabnya kenapa engkau murung dan mengamuk di kedai arak itu ketika engkau melihat bahwa mereka itu adalah penjahat-penjahat yang menyamar?"
Ci Kang mengangguk dan secara diam-diam timbul rasa sukanya kepada Cia Sun, walau pun masih ada rasa tidak puas karena dia belum mampu mengalahkan pemuda gagah perkasa ini.
Mendadak terdengar suara mengejek, suara ketawa Siang Hwa. "Hi-hi-hik, kalian ini dua orang laki-laki yang tak tahu diri, berlagak alim dan gagah. Rasakan kini pembalasanku. Kalian akan mampus sebagai dua ekor tikus tenggelam, hi-hik!" Tiba-tiba terdengar suara gemercik air, lantas dari atas, dari celah-celah batu yang menutupi lubang itu turunlah air dengan derasnya!
"Kita harus bisa keluar dari sini!" kata Cia Sun yang segera mencoba untuk mengerahkan tenaga agar ikatan kaki tangannya bisa dipatahkan. Akan tetapi totokan pada jalan darah di tubuhnya masih menguasainya dan dia tidak mempunyai tenaga otot yang cukup besar untuk dapat melawan kuatnya tali pengikat itu.
Ci Kang juga berusaha. Dia sendiri pun baru saja dapat membebaskan totokannya karena memang dia lebih dahulu dilempar ke dalam lubang ini setelah dengan mati-matian Siang Hwa mencoba merayunya tanpa hasil! Kini ia mengerahkan tenaga sehingga putuslah tali yang membelenggu kaki tangannya!
Dia lalu bangkit berdiri dan berusaha mendorong batu yang menutupi lubang dengan dua tangannya. Otot-otot perut, dada, pundak serta kedua lengannya menggembung besar, akan tetapi ternyata batu penutup itu demikian kuatnya sehingga semua usahanya untuk membukanya dari bawah sia-sia belaka!
Apa lagi batu penutup itu terlampau tinggi sehingga dia tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga. Andai kata agak rendah tentu tenaganya akan lebih besar. Sementara itu, dengan cepat air mulai menggenangi lubang itu, dan Cia Sun melihat betapa air sudah mencapai setinggi paha dan terus naik dengan cepatnya.
"Ci Kang, cepat kau lepaskan tali pengikat tanganku agar aku dapat membantumu!" kata Cia Sun sambil menoleh kepada Ci Kang yang ketika itu masih berusaha sekuat tenaga untuk membuka batu penutup lubang.
Akan tetapi Ci Kang tidak menjawab, menengok pun tidak, seolah-olah tak peduli kepada Cia Sun dan masih terus berusaha menggunakan tenaganya untuk mendorong membuka batu penutup lubang jebakan itu ke atas. Namun, agaknya batu itu terlalu berat baginya dan air terus naik dengan cepatnya. Dua pendekar muda itu terancam maut dan keadaan mereka amat gawat!
Seperti telah kita ketahui, sudah beberapa pekan lamanya Raja dan Ratu Iblis berada di daerah utara. Daerah ini sama sekali bukan merupakan daerah asing bagi mereka. Sama sekali tidak. Bahkan pada waktu Raja Iblis masih menjadi Pangeran Toan Jit Ong, dalam pelariannya dari kota raja, dia bersembunyi di utara.
Gedung itu adalah sebuah istana kuno yang dulu dipergunakan kaisar untuk melepaskan lelah dan bermalam jika mengadakan perjalanan ke utara, yang amat jarang terjadi. Dan kaisar yang masih teringat akan pertalian kekeluargaan dengan Pangeran Toan Jit Ong, diam-diam mengutus orang untuk menyerahkan istana kuno itu kepada Pangeran Toan Jit Ong. Maka pangeran pelarian itu pun tinggal di dalam istana tua itu.
Di samping kokoh kuat, istana itu juga mempunyai beberapa tempat untuk tahanan sebab para pengawal kaisar selalu bersiap terhadap mereka yang menentang kaisar, mata-mata musuh atau pun pengacau-pengacau. Tempat-tempat ini oleh Pangeran Toan Jit Ong lalu diperbaiki dan disempurnakan sehingga menjadi tempat-tempat jebakan yang berbahaya.
Pada saat dia meninggalkan kota raja sebagai buronan, Toan Jit Ong sudah berusia tiga puluh tahun lebih, memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Dan ketika dia merantau ke utara dan tinggal di dalam istana kuno itu, dia lalu memperdalam ilmu-ilmunya dengan menghubungi para pertapa dan orang-orang pandai. Pangeran ini pintar sekali mengambil hati orang-orang pandai sehingga dia berhasil mengumpulkan ilmu-ilmu kesaktian yang aneh-aneh.
Di dalam perantauan inilah dia bertemu dengan seorang gadis puteri seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, gadis she Thio yang kini menjadi Ratu Iblis. Selain cantik gadis itu juga memiliki kepandaian tinggi dan setelah mereka menjadi suami isteri, mereka lalu mengadakan perjalanan ke seluruh negeri. Dengan kepandaian mereka yang amat tinggi, mereka mencoba dan menandingi semua datuk sesat dan tak ada seorang pun di antara para datuk itu yang mampu mengalahkannya!
Nama Raja dan Ratu Iblis, demikian mereka dijuluki oleh para datuk sesat, menjadi amat terkenal dan ditakuti di kalangan kaum sesat. Akan tetapi pangeran ini tinggi hati dan tidak mau merendahkan dirinya untuk bergaul dengan kalangan sesat walau pun dia membenci pemerintah dan kaum pendekar pula. Dia dan isterinya hidup terasing, hanya bertapa dan memperdalam ilmu kepandaian mereka selama dalam perantauan mereka sampai jauh ke barat.
Dalam usia setengah tua, Raja dan Ratu Iblis ini baru kembali ke istana di utara itu dan tinggal di sana. Mungkin karena kini merasakan ketenteraman hati setelah tidak merantau lagi, Ratu Iblis yang setengah tua itu mengandung! Hal ini menggirangkan hati Raja Iblis yang kini hidup bagaikan raja kecil di tempat sunyi, dilayani belasan orang taklukan yang juga rata-rata berkepandaian tinggi.
Akan tetapi dasar watak Pangeran Toan Jit Ong yang aneh dan jahat seperti iblis, bahkan mendekati kegilaan. Dia mengatakan kepada isterinya bahwa dia ingin anak laki-laki.
"Awas kalau engkau melahirkan anak perempuan," katanya mengancam, "akan kubunuh anak itu, atau kalau tidak, akan kuambil dia sebagai selirku!"
Biar pun dia sendiri sudah biasa melakukan hal-hal yang menyeramkan dan juga memiliki dasar watak yang liar dan jahat, namun hati wanita itu khawatir sekali mendengar ucapan suaminya. Dan dia tahu benar bahwa suaminya itu bukan hanya mengancam kosong belaka, akan tetapi tentu akan melaksanakan apa yang diancamkannya. Kalau dia gagal melahirkan seorang putera, kalau yang terlahir itu seorang anak perempuan, tentu akan dibunuh suaminya atau lebih menyakitkan hati lagi, kelak akan menjadi selir suaminya!
Akan tetapi Ratu Iblis bukanlah seorang bodoh. Sebaliknya, dia cerdik sekali dan dalam keadaan terancam itu, jauh hari sebelumnya dia telah mengatur siasat dan merencanakan penyelamatan bayinya andai kata bayinya itu terlahir perempuan. Dia sudah memperoleh seorang pembantu yang akan melaksanakan segala rencananya itu andai kata bayinya terlahir perempuan.
Saat yang dinanti-nantikan itu pun tibalah. Dan untung bagi Ratu Iblis, kelahiran itu terjadi pada tengah malam sehingga sangat memudahkan pelaksanaan siasatnya. Siasat yang amat keji karena pembantunya itu langsung menyingkirkan bayinya yang ternyata terlahir perempuan dan menaruhkan seorang bayi lain, juga bayi perempuan yang diperolehnya dari dalam dusun yang berdekatan. Menculik bayi itu dan menukarnya dengan bayi yang baru dilahirkan oleh Ratu Iblis! Dan ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Raja Iblis datang menjenguk, dia hanya mendapatkan seorang bayi perempuan yang sudah mati!
"Dia lahir perempuan dan... mati?" tanyanya.
"Ya, aku membunuhnya. Lebih baik mati di tanganku dari pada di tanganmu," jawab Ratu Iblis sederhana.
Beberapa hari kemudian, sesudah kesehatan Ratu Iblis pulih kembali, pada suatu malam secara aneh pembantu itu pun tewas. Tentu saja yang membunuhnya adalah Ratu Iblis yang merasa khawatir kalau-kalau rahasianya terbongkar. Setelah dia menyelidiki di mana adanya anak yang ditukarkan itu, dia lalu membunuh si pembantu sehingga rahasia itu hanya diketahui oleh dirinya sendiri saja.
Demikian besarlah 'aku'-nya Ratu Iblis yang selalu mementingkan diri sendiri saja. Demi menyelamatkan nyawa bayinya, dia tidak segan-segan untuk membunuh lain bayi secara kejam sekali! Akan tetapi, penyakit seperti yang mencengkeram batin Ratu Iblis ini pun agaknya diderita oleh kita semua pada umumnya.
KeAKUan yang amat kuat selalu mencengkeram batin kita masing-masing sehingga demi kepentingan sang aku, kita tidak segan-segan melakukan apa saja, bila perlu merugikan orang lain. Kalau dengan mati-matian, dengan mempertaruhkan nyawa, orang membela negara, agama, keluarga, harta atau apa pun juga, maka yang dibela dan dipentingkan itu sesungguhnya adalah AKU-nya.
Negara-Ku yang kubela, agama-Ku yang kubela, keluarga-Ku, harta-Ku dan selanjutnya. Bukan negara yang penting, bukan agamanya dan sebagainya, tetapi AKU-nya. Negara orang lain? Masa bodoh bila mau dijajah orang lain! Masa bodoh bila mau dihina, asal jangan agama-Ku. Demikian selanjutnya, yang menunjukkan bahwa semua itu hanyalah merupakan perluasan dari pada si AKU belaka. Si AKU yang penting. Milik-KU!
Demikian pula dengan Ratu Iblis itu. Dia melindungi bayi, bukan bayi pada umumnya, melainkan bayi-NYA, dengan cara membunuh bayi lain! Demikian pula terjadi di seluruh dunia. Untuk membela agama-NYA, orang rela menyerang agama lain. Untuk membela bangsa-NYA, orang rela membunuhi bangsa lain. Untuk membela keluarga-NYA, orang rela menghancurkan keluarga lain.
Namun akhirnya dia tiba juga di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang tembok-temboknya masih kokoh kuat akan tetapi kini hanya merupakan sebuah dusun kecil yang dihuni oleh orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan sebagai pemburu dan juga menjadi tempat persinggahan bagi para pedagang atau mereka yang sering berlalu lalang melalui Tembok Besar.
Hatinya agak tegang dan berdebar karena dia merasa gembira. Biar pun dahulu dia selalu bergaul dengan para datuk sesat, akan tetapi dia selalu menentang perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik dan dia merasa tidak pernah suka bergaul dengan mereka.
Akan tetapi kini dia datang ke tempat itu sebagai seorang pendekar yang akan menghadiri pertemuan antara kaum pendekar! Hatinya terasa gembira sekali sebab dia akan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang gagah yang menurut gurunya hendak berkumpul di tempat ini dan di antara mereka terdapat orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Sungguh merupakan pertemuan yang akan membuka matanya dan menambah pengalaman serta meluaskan pengetahuannya.
Ketika dia tiba di tempat itu, pertama-tama dia melihat serombongan orang gagah terdiri dari tujuh orang, lima pria dan dua wanita. Usia mereka antara dua puluh lima hingga tiga puluh lima tahun dan sikap mereka kelihatan gagah sekali dengan pedang di punggung mereka. Karena dari sikap mereka saja Ci Kang sudah dapat menduga bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang datang untuk menghadiri pertemuan pula, maka dia pun menghampiri mereka.
Mereka bertujuh sedang duduk di bawah pohon, di luar bekas benteng itu dan tujuh ekor kuda yang baik ditambatkan di batang pohon itu. Di atas sebuah di antara sela-sela kuda, dia melihat berkibarnya sebuah bendera kecil berwarna kuning yang bertuliskan tiga buah huruf Hoa-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Bunga) dan ada gambar sepasang pedang melintang.
Ci Kang belum pernah mendengar tentang nama perkumpulan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ini adalah nama sebuah perkumpulan pendekar pedang yang amat tangguh. Dia semakin gembira dan cepat menjura kepada mereka dengan sikap hormat dan wajah ramah.
"Selamat bertemu, cu-wi-enghiong (para pendekar sekalian)! Cu-wi tentu tokoh-tokoh dari Hoa-kiam-pang yang terkenal."
Seorang di antara mereka, seorang laki-laki jangkung yang kurus dan paling tua di antara mereka, agaknya menjadi pemimpin rombongan, bersama yang lain kemudian membalas penghormatan itu dan si jangkung kurus menjawab,
"Selamat berjumpa, sobat. Kami hanyalah murid-murid Hoa-kiam-pang yang diutus oleh para pemimpin kami untuk melihat-lihat keadaan. Selamat berkenalan! Dan bolehkah kami mengenal siapa adanya sobat yang gagah ini?"
Ci Kang tersenyum ramah. "Saya bernama Siangkoan Ci Kang dan saya diutus oleh suhu untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang akan diadakan di tempat ini. Bukankah cu-wi juga datang untuk keperluan itu?"
Si jangkung kurus menatap tajam. "Pertemuan itu akan diadakan satu bulan lagi. Engkau datang terlalu pagi, sobat. Kami sendiri datang hanya untuk melihat-lihat keadaan, apakah tempat ini aman untuk pertemuan itu dan selain kami, ada pula belasan orang sahabat dari berbagai perkumpulan pendekar yang juga datang untuk melihat keadaan."
"Benarkah? Ahh, saya ingin sekali belajar kenal dengan para pendekar itu."
"Sekarang mereka berkumpul di sebelah dalam bekas benteng, di sebuah kedai arak kecil yang dibuka oleh penduduk tempat ini. Mari kita ke sana, saudara Siangkoan Ci Kang, nanti kita perkenalkan."
Tujuh orang itu mengajak Siangkoan Ci Kang memasuki bekas benteng Jeng-hwa-pang dan pada saat mereka menghampiri sebuah kedai arak, beberapa orang yang nampaknya gagah-gagah dan yang duduk minum arak di kedai itu memandang penuh perhatian.
"Cu-wi-enghiong!" kata murid Hoa-kiam-pang yang jangkung kurus itu memperkenalkan, "Ini seorang pendatang baru, seorang pendekar muda bernama Siangkoan Ci Kang...!"
"Dia adalah tokoh sesat!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan seorang pemuda tampan gagah meloncat keluar kedai lantas menghadapi Ci Kang dengan mata mencorong penuh kemarahan.
Ci Kang terkejut lantas memandang. Dia tidak lupa. Pemuda ini adalah seorang di antara para pendekar yang dulu membela Jenderal Ciang di dalam perayaan pasta ulang tahun Ang-kauwsu di kota Pao-fan! Dulu pemuda ini selalu bersama Ceng Sui Cin, gadis cantik gagah puteri Pendekar Sadis itu. Ahh, benar. Pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai seperti yang diketahuihya dari para tokoh Cap-sha-kui!
Tentu saja seruan yang dikeluarkan oleh Hui Song ini mengejutkan semua pendekar yang berkumpul di sana. Seperti kita ketahui, Hui Song tidak dapat kembali ke San-hai-koan yang sudah diduduki oleh pemberontak. Maka dia pun pergi ke benteng Jeng-hwa-pang di mana dia bertemu dengan beberapa orang pendekar, lantas dia bercerita tentang gerakan para pemberontak kepada mereka. Ketika tujuh orang murid Hoa-kiam-pang itu muncul bersama Ci Kang, dia segera mengenal pemuda berbaju kulit harimau ini dan tentu saja dia menjadi marah.
"Dia ini tokoh pemberontak sesat, tentu datang untuk memata-matai kita!" seru Hui Song lagi sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
Ci Kang menjura dengan sikap hormat dan gagah, akan tetapi juga tenang, sungguh pun ucapan putera ketua Cin-ling-pai itu seperti pedang menusuk jantung. "Maaf, saya datang sebagai utusan suhu yang berjuluk Ciu-sian Lo-kai, harap cu-wi tidak salah sangka."
Nama Ciu-sian Lo-kai tidak terkenal di dunia kang-ouw karena memang kakek ini, seperti juga kakek-kakek sakti lain yang baru bermunculan setelah dunia kang-ouw dikacau oleh Cap-sha-kui dan terutama sekali karena munculnya Raja dan Ratu Iblis. Oleh karena itu, nama ini tidak mendatangkan kesan di hati pendekar muda yang berkumpul di situ.
Akan tetapi Hui Song juga bukan seorang pemuda sembrono dan dia mau yakin dahulu apakah benar pemuda ini yang beberapa tahun yang lampau pernah dilihatnya membantu Cap-sha-kui lolos dari kepungan.
"Hemm, namamu Siangkoan Ci Kang, engkau putera tunggal dari datuk sesat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta, bukan?"
"Benar, akan tetapi saya tidak pernah mencampuri semua perbuatan jahat dunia sesat," jawab Ci Kang dengan jujur dan gagah.
"Hemm, bukankah engkau pernah beberapa kali mempergunakan anak panah membantu para tokoh Cap-sha-kui lolos dari tangkapan?" Hui Song mendesak lagi.
Siangkoan Ci Kang terlalu jujur dan gagah untuk menyangkal. Dia lalu mengangguk.
"Benar..."
"Nah, mau bicara apa lagi? Engkau mata-mata kaum sesat, terimalah ini!"
Hui Song menerjang sambil mengirim tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Tamparannya itu mendatangkan angin bersiut menyambar ke arah muka Siangkoan Ci Kang. Pemuda ini tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membantah dan melihat betapa serangan Hui Song sedemikian hebatnya, dia pun menggerakkan lengan menangkis.
"Dukkk...!"
Keduanya mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan dua lengan itu membuat kedua orang pemuda itu terdorong ke belakang seolah-olah bertemu dengan gelombang tenaga yang amat kuat. Mereka saling tatap dan tahulah mereka bahwa keduanya menemukan lawan yang amat tangguh.
Sementara itu, semua pendekar yang berada di sana sudah mengenal Hui Song sebagai putera ketua Cin-ling-pai yang berkepandaian tinggi, jadi tentu saja mereka lebih percaya kepada Hui Song. Apa lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu sudah mengaku sebagai putera Si Iblis Buta. Hal ini saja sudah cukup membuat mereka semua memusuhinya, dan serentak mereka lalu mencabut senjata dan menerjang maju.
Dihujani dengan senjata, Ci Kang cepat berloncatan dengan amat gesitnya mengelak ke sana sini. Dia tahu bahwa percuma saja membantah dan berbicara untuk membersihkan dirinya, tetapi tidak baik kalau sampai dia bentrok dengan para pendekar ini. Maka sambil mengeluh panjang dia lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.
"Aku datang hendak membantu kalian menentang kejahatan, sayang kalian tak percaya!" teriaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sekali meninggalkan benteng itu.
Hui Song tidak melakukan pengejaran, juga para pendekar itu pun tidak karena mereka sudah maklum betapa lihainya putera Si Iblis Buta itu. Hui Song sendiri tentu saja dapat mengimbangi kecepatan gerakan Ci Kang dan dapat melakukan pengejaran jika dia mau, akan tetapi dia lantas teringat bahwa bagaimana pun juga Siangkoan Ci Kang itu pernah menyelamatkan Sui Cin dan biarlah kini dia berlaku murah untuk membalas budi Ci Kang terhadap gadis pujaan hatinya itu.
Ci Kang berlari cepat sekali dengan hati murung. Dia lari ke barat dan tidak tahu harus pergi ke mana. Dia sudah datang terlalu pagi dan dia tidak dapat menghadiri pertemuan para pendekar itu tanpa adanya gurunya. Kalau ada Ciu-sian Lo-kai di situ, baru dia akan dapat hadir karena tentu gurunya yang akan dapat memberi kesaksian akan kebersihan dirinya.
Ia tidak menyalahkan Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai itu, melainkan hanya merasa mendongkol sekali. Bagaimana pun juga, memang pemuda Cin-ling-pai itu pernah melihat dia dan ayahnya membantu dan menyelamatkan orang-orang Cap-sha-kui. Sudah tentu saja Hui Song curiga kepadanya. Dan satu-satunya orang yang akan dapat menanggung dirinya agar dipercaya oleh para pendekar hanyalah gurunya, Ciu-sian Lo-kai yang belum nampak berada di tempat itu.
Hatinya murung sekali dan ketika memasuki sebuah desa kecil di mana terdapat sebuah kedai arak, dia pun memasuki kedai itu. Kedai yang cukup besar, bahkan terlalu besar untuk sebuah dusun yang penghuninya sedikit dan agaknya hanya terdiri dari crang-orang miskin atau pemburu-pemburu.
Agaknya kedai ini belum terlampau lama dibuka orang dan agaknya dibuka untuk menjadi pemberhentian orang-orang yang sedang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu. Bagaimana pun juga, bau arak yang sedap itu menarik perhatian Ci Kang dan dia yang diganggu rasa mendongkol perlu beristirahat untuk menenangkan hatinya.
Ci Kang mengambil tempat duduk pada kursi yang kasar buatannya, menghadapi sebuah meja yang kasar pula. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan dengan membungkuk-bungkuk penuh senyum menjilat pelayan itu menyapanya.
"Selamat siang, tuan. Tuan hendak makan dan minum apakah?"
"Bawakan aku seguci besar arak!" kata Ci Kang.
Sesudah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai, pemuda ini mewarisi kebiasaan gurunya, senang minum arak. Tentu saja dia tidak minum terlalu banyak walau pun banyaknya arak dapat dilawannya dengan kepandaiannya sehingga dia tidak akan terpengaruh, akan tetapi saat itu hatinya sedang mendongkol dan dia hendak minum sebanyaknya!
"Seguci besar...? Apakah tuan menunggu datangnya banyak teman?"
"Tidak, aku hanya seorang diri..."
"Tapi, arak seguci besar cukup untuk sepuluh orang..."
"Jangan cerewet! Bawalah arak itu dan aku akan membayarnya!" bentak Ci Kang marah. Hatinya yang sedang kesal itu tidak sabar lagi mendengar kerewelan si pelayan.
Pelayan itu pergi dengan tubuh membungkuk-bungkuk, dan Ci Kang mendengar pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya dalam bahasa sandi yang mengejutkan hatinya. Bahasa rahasia seperti itu hanya dipergunakan oleh orang-orang dari golongan hitam! Dan pelayan itu berkata kepada teman-temannya agar berhati-hati karena tamu yang datang ini tentulah seorang pendekar.
Ci Kang melirik sambil lalu dan dia dapat melihat bahwa pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya. Jumlah mereka semua ada enam orang! Heran dan curigalah hatinya. Sebuah kedai arak begini besar di dalam sebuah dusun miskin kecil! Dan dibukanya tentu masih baru pula. Lebih lagi, dilayani oleh enam orang! Dan tadi mereka menggunakan kata-kata sandi, bahasa rahasia dari golongan hitam.
Ci Kang duduk dengan wajah muram. Kenyataan bahwa dia duduk di warung golongan hitam membuat hatinya makin kesal. Keadaan dirinya membuat dia merasa mendongkol dan juga murung dan sedih.
Dia dilahirkan di tengah keluarga sesat, sungguh pun mendiang ayahnya dahulu bukanlah orang jahat. Dia dibesarkan di antara para datuk sesat. Dia tidak menyukai cara hidup demikian sehingga dia menentang ayahnya sendiri, malah hampir dibunuh ayahnya akibat tidak menuruti kehendak ayahnya.
Dia tak dapat hidup dan dimusuhi di dunia golongan kotor. Kemudian, setelah digembleng selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai dan dia mulai kehidupan baru, di antara golongan bersih, dia pun dihina dan diserang, tidak diterima! Hati siapa takkan merasa murung?
Pada saat itu muncul tiga orang berpakaian seperti orang dusun. Tubuh mereka bertiga kurus-kurus dan melihat pakaian mereka yang kotor, mudahlah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang kekurangan makan kekurangan pakaian. Begitu melihat mereka, pemilik atau kuasa kedai yang bertubuh gendut dan bermuka ramah itu segera menghampiri dan menyambut ke depan pintu.
"Ehh, kalian bertiga ada keperluan apakah?" tegur pemilik kedai dengan ramah.
"Maaf, twako, kami datang mengganggu lagi...," kata seorang di antara mereka.
"Kalian butuh apa lagi? Bukankah kemarin dulu kami sudah menyumbangkan tiga karung beras untuk dibagi-bagikan di antara kalian penduduk dusun ini? Apakah beras itu sudah habis?"
"Belum, twako, dan terima kasih atas segala pertolongan twako yang dilimpahkan kepada kami para penduduk dusun selama ini. Akan tetapi, kami pun bukan orang-orang yang hanya mengandalkan hidup dari minta-minta saja. Kami ingin bercocok tanam, akan tetapi tanah itu perlu digarap dan kami tidak mempunyai alat-alatnya. Jika twako sudi menolong kami untuk sekali ini hingga kami dapat mengerjakan tanah, selanjutnya tentu kami akan mampu mencukupi diri sendiri..."
Si gendut itu meraba jenggotnya yang agaknya baru beberapa pekan ini dicukur dan kini mulai tumbuh dengan liar. Dia mengangguk-angguk dan melirik ke arah para tamu yang kebetulan sedang duduk minum arak dan makan di kedai itu, seakan-akan dia ingin agar semua percakapan itu dapat didengarkan oleh mereka. Dan memang, percakapan yang cukup keras itu didengarkan oleh mereka, juga Ci Kang ikut memperhatikan.
"Baik, kami akan membantu dan membelikan alat-alat pertanian untuk kalian. Kini kalian pulanglah dulu, dan malam nanti saja akan kita rundingkan kembali kalau kedaiku sedang sepi."
"Baik, twako, dan terima kasih, twako, sungguh engkau merupakan tuan penolong kami." Dan tiga orang itu memberi hormat sampai hampir berlutut, kemudian pergi dengan wajah berseri-seri.
Dari percakapan dan melihat sikap para penduduk dusun miskin itu saja mudah diketahui bahwa pemilik kedai ini adalah seorang yang dermawan dan baik hati. Akan tetapi sikap ini justru membuat Ci Kang mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas golongan hitam yang menggunakan kata-kata sandi, akan tetapi kenapa kini mereka bersikap begitu dermawan terhadap para penduduk miskin? Benar-benar suatu keadaan yang sangat aneh dan tidak sewajarnya!
Ketika pesanannya tiba, yaitu seguci besar arak, yang menggotongnya dua orang pelayan diantar pula oleh si kuasa kedai yang gendut dan ramah itu. Si gendut ini membungkuk-bungkuk dengan ramah, akan tetapi matanya yang tajam itu memandang wajah Ci Kang penuh perhatian, tersenyum-senyum dan berkata,
"Harap sicu sudi memaafkan bahwa pelayan kami agak terlambat karena gangguan para petani tadi. Kasihan sekali mereka itu, memang perlu dibantu dan dibimbing."
Jelas bagi Ci Kang bahwa si gendut kuasa kedai ini memang sengaja hendak memancing percakapan dengan dia. Dia tidak bisa menduga apa maunya, akan tetapi karena hatinya sedang kesal, maka dia tidak mau menanggapi, bahkan sama sekali tidak mengacuhkan dan segera menyambar guci arak dan minum langsung dari bibir guci tanpa cawan atau mangkok lagi. Dia mau minum sepuasnya, walau pun dia bukan seorang pecandu arak, akan tetapi sekali ini dia ingin minum sampai mabok untuk mengusir kekesalan hatinya!
Mengingat betapa dia dituduh mata-mata oleh para pendekar dan hampir saja dikeroyok, hatinya merasa panas dan penasaran sekali. Kini dia menjadi orang setengah matang, kepalang tanggung, masuk golongan hitam dimusuhi karena dia menentang mereka, tapi masuk golongan putih dimusuhi pula karena tidak dipercaya.
"Sialan! Manusia tiada guna!" gerutunya dalam hati sambil menenggak lagi araknya.
Melihat pemuda tinggi besar yang bertubuh tegap dan berpakaian mirip seperti seorang pemburu dengan jubah kulit harimau, dan juga melihat caranya minum arak, semua orang yang berada di dalam kedai itu memandang dan mereka semua dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang yang gagah perkasa.
"Saya berani bertaruh apa saja bahwa sicu tentulah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amal terkenal." Kembali terdengar suara si gendut.
Ci Kang merasa semakin kesal dan baru dia melihat bahwa si gendut itu masih berdiri di dekat mejanya. Dia hanya mengerling dengan alis berkerut tanpa menjawab atau berkata sesuatu. Kalau melihat kerut di antara alisnya, sepatutnya si gendut itu mengerti bahwa pemuda itu tidak suka diajak ngobrol. Akan tetapi agaknya dia tidaklah secerdik itu.
"Tentu tidak salah lagi bahwa sicu adalah seorang di antara para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan, bukan? Sicu, kapankah pertemuan itu diadakan dan di mana? Saya ingin sekali mengetahui agar dapat membuat persiapan dagangan saya. Pada hari itu tentu akan banyak para pendekar lewat di sini dan..."
"Plakk!"
Tangan Ci Kang menyambar ke arah muka orang gendut itu. Si gendut ternyata memiliki gerakan cepat untuk ukurannya dan berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu langsung mengejarnya dan akhirnya mengenai pipinya tanpa dia dapat menghindarkannya lagi.
"Aduhh...!" Si gendut terhuyung dan meraba pipinya yang menjadi merah sekali.
"Ehh, kenapa kau memukul orang...?" Dua orang pelayan cepat-cepat menghampiri untuk melerai.
Akan tetapi, tanpa bangkit dari kursinya, tangan kanan dan kaki Ci Kang cepat bergerak menyambut dua orang pelayan itu. Terdengar mereka mengaduh dan dua orang itu pun terpelanting roboh.
Kini si gendut menjadi marah dan dengan suara menggereng bagaikan harimau, dia pun menubruk dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, menyerang ke arah kepala dan dada pemuda yang kini sudah menggerakkan tubuh memutar kursinya hingga meja yang tadi berada di depannya kini berada di sebelah kirinya.
"Wuuuttt...!"
Serangan si gendut itu cukup kuat, mendatangkan angin dan hal ini membuktikan bahwa dugaan Ci Kang memang benar. Si gendut itu yang nampaknya seorang pengurus kedai arak yang ramah dan murah hati, namun ternyata memiliki kepandaian silat yang cukup lihai. Akan tetapi mendadak Ci Kang mengangkat tangan kirinya menangkis, menyambut kedua lengan itu, dan...
"Krekkk...!"
Terdengar suara dan lengan kanan si gendut itu pun patah. Sebelum si gendut sempat menghindar, secepat kilat kaki Ci Kang menendang lutut dan si gendut itu mengaduh, lalu jatuh berlutut. Tangan kanan Ci Kang lalu mencengkeram rambut orang itu dan menekan kepala itu ke bawah.
Dua orang pelayan yang tadi dirobohkan, menjadi terkejut bukan kepalang melihat kepala mereka sudah dikalahkan, dan mereka berdua itu dalam keadaan berlutut hanya mampu memandang penuh kekbawatiran. Juga tiga orang lain yang menjadi pengurus kedai itu hanya bisa berdiri berkelompok di dekat pintu menuju dapur dengan muka ketakutan.
Tiba-tiba saja seorang di antara para tamu yang sedang duduk menghadapi hidangannya, menggebrak meja dan bangkit berdiri. Orang ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana tetapi bersih dan gerak-geriknya halus, wajahnya tampan dan semenjak tadi dia duduk menghadapi hidangan di depan mejanya, makan dan minum sendirian saja. Pakaiannya serba putih dan dia lebih pantas menjadi seorang sasterawan dari pada seorang ahli silat.
Akan tetapi ketika dia menggebrak meja, mangkok piring di atas mejanya itu mencelat ke atas kemudian menimbulkan suara berisik ketika jatuh kembali ke atas mejanya. Pemuda berpakaian putih ini bangkit dan menoleh, memandang kepada Ci Kang yang masih saja menjambak rambut si gendut yang hanya bisa mengeluh panjang pendek. Dengan tangan kanan menekan sandaran kursi, pemuda baju putih itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
"Manusia sombong dan kasar! Berani kau menghina orang dengan mengandalkan sedikit kepandaian?"
Sepasang alis hitam tebal yang mirip sayap burung garuda terbentang itu bergerak-gerak, ada pun sepasang mata yang tajam itu mengeluarkan sinar berapi. Hati Ci Kang menjadi semakin panas. Orang berpakaian putih ini tentu kawan golongan hitam yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai ini, pikirnya.
"Habis, kau mau apa?" Dia pun membentak sebagai jawaban ucapan pemuda baju putih itu.
Pemuda baju putih itu memandang tajam dan suaranya penuh wibawa. "Hayo lepaskan paman itu dan kau harus mohon maaf atas sikapmu yang kasar dan sombong, baru aku akan melupakan kesombonganmu!"
Ci Kang adalah seorang yang sejak kecil dididik dalam kekerasan. Dasar wataknya jujur dan keras, dan karena semenjak kecil hidup di tengah golongan sesat, dia sudah terbiasa dengan sikap dan perbuatan keras dan kasar.
Akan tetapi dia selalu menentang kejahatan, dan sesudah digembleng selama beberapa tahun oleh Ciu-sian Lo-kai, dia kini sudah dapat mengatasi kekerasan hatinya. Dia selalu bersikap mengalah dansabar, sesuai dengan pelajaran yang diterimanya dari kakek Dewa Arak itu. Akan tetapi penolakan dan penentangan para pendekar kepada dirinya membuat hatinya kesal dan murung sehingga dia menjadi mudah marah.
Sekarang, melihat sikap pemuda baju putih yang menentangnya, pemuda baju putih yang dianggapnya tentulah kawan dari gerombolan penjahat yang membuka kedai arak ini, dia pun tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Gerombolan penjahat ini harus dihajarnya, demikian dia mengambil keputusan.
"Kau mau membelanya? Nih, terimalah!" Dengan gerakan tangannya yang kuat, Ci Kang bangkit dan melontarkan tubuh gendut yang dicengkeram rambutnya itu ke depan.
Tubuh gendut itu terlempar melayang ke arah pemuda baju putih! Apa bila mengenai dan menubruk pemuda baju putih itu, tentu dia akan ikut terpelanting pula.
Akan tetapi, pemuda baju putih itu dengan sikap tenang menyambut tubuh itu dengan dua tangannya dan dia sudah berhasil menangkap tubuh itu pada lengan dan pundaknya, lalu menurunkan tubuh gendut itu sehingga tidak sampai jatuh terbanting. Ketika dia kembali memandang, ternyata Ci Kang sudah duduk lagi menghadapi meja dan mengangkat guci arak, menuangkan isinya ke mulut menggunakan tangan kiri, sedangkan lengan kanannya terletak di atas meja.
"Engkau sungguh manusia sombong yang patut dihajar!" Si baju putih itu dengan cepat melangkah maju lantas menggerakkan tangannya menotok ke arah leher Ci Kang yang sedang minum araknya.
Mendadak Ci Kang menurunkan gucinya dan tanpa bangkit dari kursinya, dia kemudian menggerakkan tangan kanannya ke atas untuk menangkis tangan lawannya. Gerakannya cepat mengandung tenaga amat kuat sebab dia memang telah mengerahkan sinkang-nya untuk menangkis dengan harapan sekali tangkis akan dapat mengalahkan lawan, paling tidak mematahkan tulang lengan lawan.
"Dukkk...!"
Benturan dua lengan itu membuat keduanya berbareng mengeluarkan teriakan tertahan saking kagetnya. Tubuh pemuda berbaju putih itu terdorong ke belakang sampai empat langkah, sedangkan sebaliknya, biar pun tubuh Ci Kang tidak terlempar karena dia tengah duduk, namun kursi yang didudukinya pecah berantakan!
Kini Ci Kang sudah meloncat bangun dan alisnya berkerut semakin dalam. Kecurigaannya makin kuat. Orang ini tentu seorang tokoh sesat walau pun belum pernah dia melihatnya. Seorang tokoh muda yang entah datang dari mana, namun agaknya diam-diam menjadi pelindung gerombolan penjahat yang menyamar menjadi pengusaha kedai arak.
Teringatlah dia betapa si gendut tadi telah berusaha memancingnya agar dia suka bicara tentang pertemuan para pendekar dan kini dia pun menduga bahwa tentu tokoh sesat ini bertugas menyelidiki pertemuan itu!
"Bagus, kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian juga. Sayang, kepandaian itu kau pergunakan untuk kejahatan!" Setelah berkata demikian, Ci Kang melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan tangannya yang kuat.
Orang berbaju putih itu sudah mengenal kekuatan tangan lawan, maka dia pun bersikap hati-hati sekali. Dengan mudah dia mengelak dari serangan Ci Kang kemudian membalas dengan tendangan.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat di dalam restoran itu antara Ci Kang dan pemuda baju putih. Dan para tamu cepat meninggalkan meja masing-masing, pergi menjauh akan tetapi tetap menonton perkelahian itu. Dari sikap mereka, hampir semua berpihak kepada pemuda baju putih!
"Pemburu dari mana dia?" terdengar orang bertanya-tanya.
"Entah, dia baru datang, akan tetapi dia jahat sekali!"
"Dia telah memukuli Cou-twako, pengurus kedai yang baik hati!"
"Tentu dia penjahat!"
Demikianlah percakapan antara mereka yang sedang menonton perkelahian itu. Ci Kang menjadi semakin heran mendengar semuanya ini. Kenapa semua orang menganggapnya jahat? Akan tetapi dia tidak peduli karena dia maklum bahwa tentu semua orang sudah tertipu oleh sikap para penjahat yang menyamar menjadi pemilik kedai arak ini. Hanya dia yang tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang golongan hitam. Maka dia pun merasa penasaran sekali.
Pemuda baju putih ini hebat bukan main! Bukan hanya dalam kegesitan dan tenaga saja si baju putih ini bisa menandinginya, juga dalam ilmu silat agaknya pemuda ini dapat pula mengimbanginya. Gerakannya demikian kuat dan tenang, dan semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik.
Ci Kang yang sedang murung itu masih dapat menenangkan hatinya dan menahan hawa amarahnya, dan ini adalah berkat gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai selama ini. Sebelum menjadi murid Si Dewa Arak, mungkin saja tadi dia telah membunuh para pengurus kedai itu, dan mungkin kini dia akan mengeluarkan serangan-serangan maut untuk membunuh pemuda baju putih yang disangkanya tentu juga seorang tokoh sesat yang membela para penjahat yang menyamar menjadi pengurus kedai.
"Manusia jahat! Terimalah ini...!" Mendadak si baju putih itu membalas dengan serangan yang amat mengejutkan hati Ci Kang.
Pemuda itu menyerangnya dengan pukulan aneh, dengan dua tangan disilangkan lantas didorongkan sambil merendahkan tubuhnya. Tetapi dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan panas yang amat dahsyat, yang menyambar deras kepadanya bagai badai mengamuk!
Tahulah Ci Kang bahwa pemuda itu ternyata memiliki pukulan sakti yang amat berbahaya dan kini telah menyerangnya dengan ganas sekali. Maka dia pun langsung mengerahkan sinkang-nya dan mendorongkan kedua tangannya dengan telapakan terbuka ke depan.
Kembali dua tenaga raksasa saling membentur dan sekali ini sebelum dua pasang tangan bertemu, terlebih dahulu hawa pukulan itulah yang saling beradu. Dan sekali ini, Ci Kang merasakan betapa tubuhnya tergetar hebat oleh hawa panas itu dan meski pun dia tidak sampai terhuyung ke belakang, namun pasangan kuda-kuda kakinya tergeser.
Terkejutlah dia. Tak disangkanya sama sekali bahwa lawannya sehebat itu. Dan dia yang sudah memiliki banyak pengalaman tentang ilmu-ilmu kaum sesat, tidak dapat mengenal ilmu pukulan apa yang baru saja digunakan pemuda baju putih ini. Maka mulailah timbul keraguannya.
Jangan-jangan pemuda baju putih ini bukan seorang tokoh sesat, tapi seorang pendekar yang juga sudah tertipu oleh para pengurus kedai dan menganggap para pengurus kedai itu orang baik-baik dan dermawan, dan mengira bahwa dialah yang jahat!
Pemuda baju putih itu agaknya juga terkejut saat melihat betapa pukulannya yang ampuh tadi sanggup ditahan oleh Ci Kang dan hanya membuat pemuda berpakaian pemburu itu bergeser sedikit saja kakinya.
"Seorang pemuda yang berilmu tinggi, akan tetapi mempergunakannya untuk kekejaman dan kejahatan! Orang macam engkau ini harus dibasmi agar tidak menyebar kekejaman lagi!" Pemuda baju putih itu berseru marah.
Kini dia menyerang semakin hebat, dengan gerakan-gerakan aneh yang setiap gerakan mengandung daya serang mematikan! Ci Kang terkejut mendengar ucapan itu, lebih lagi melihat serangan bertubi-tubi yang sangat hebatnya dan mendengar pula kata-kata para penonton yang jelas berpihak kepada si pemuda baju putih. Agaknya semua orang sudah menganggap dialah yang jahat!
Cepat dia mengelak beberapa kali, lantas meloncat ke belakang sambil berteriak, "Kalian semua seperti orang buta saja! Tidak tahukah kalian siapa enam orang pengurus kedai ini? Mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, kaum sesat atau penjahat-penjahat yang menyamar! Mereka hanya berpura-pura saja dermawan, akan tetapi mereka adalah penjahat-penjahat keji yang memusuhi para pendekar!"
Pemuda berbaju putih itu agaknya tidak percaya, bahkan semakin marah. "Sudah busuk perbuatannya, busuk pula mulutnya melontarkan fitnah keji!" Dan dia pun menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan.
"Wuuuttt...! Dukkk!"
Kembali Ci Kang menangkis dan keduanya tergetar hingga terpaksa melangkah mundur beberapa tindak.
"Sobat, engkau masih belum percaya? Lihat, ke manakah mereka itu? Mereka sudah lari setelah aku membuka kedok mereka!" Ci Kang berseru dan pemuda baju putih itu cepat menengok tetapi dia juga tidak melihat seorang pun di antara enam pengurus kedai tadi.
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
"Pembunuhan...! Rampok...! Rampok...!"
Di luar kedai terdengar suara gaduh dan tiba-tiba saja di bagian belakang kedai itu pun dimakan api. Asap telah masuk ke dalam ruangan itu dan semua orang sudah cerai-berai dalam keadaan panik dan sebentar saja yang tertinggal di dalam kedai hanyalah Ci Kang dan si pemuda baju putih. Akan tetapi keduanya segera sadar bahwa di luar tentu terjadi hal-hal yang membutuhkan pertolongan mereka, maka bagaikan orang sedang berlomba, kedua orang muda itu cepat-cepat meloncat keluar kedai.
Memang keadaan di dusun kecil itu sangat kacau balau. Kebakaran-kebakaran terjadi di sana-sini dan orang-orang berlarian simpang siur dengan panik. Ci Kang melihat betapa keenam orang pengurus kedai tadi, bersama belasan orang lainnya yang jelas terdiri dari golongan sesat, sedang membakari rumah dan merampoki barang-barang yang mereka angkut keluar.
Tentu saja Ci Kang menjadi marah bukan main. Akan tetapi dia sudah keduluan pemuda baju putih yang telah meloncat dan menerjang orang-orang yang membakar rumah-rumah dan merampoki barang-barang itu. Di beberapa tempat terdapat mayat bergelimpangan, agaknya mayat dari mereka yang hendak melawan keganasan para perampok.
Ci Kang menerjang segerombolan orang yang sedang melakukan pembakaran rumah. Empat orang penjahat yang bertubuh tinggi besar serta berwajah kejam mengeroyoknya dengan senjata golok mereka. Akan tetapi dengan mudah Ci Kang menyambut serangan mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat empat orang itu kocar-kacir dan jatuh bangun.
Mereka merasa penasaran dan hendak melawan terus, akan tetapi hanya dalam beberapa gebrakan saja Ci Kang membuat mereka tidak berdaya, mematahkan tulang lengan atau kaki mereka dan akhirnya empat orang penjahat itu lari tunggang-langgang, yang patah tulang kakinya menyeret kaki itu terpincang-pincang.
Ci Kang tidak mengejar mereka. Gurunya, Si Dewa Arak, selalu menekankan kepadanya alangkah tidak baiknya melakukan pembunuhan-pembunuhan. Bahkan sedapat mungkin jangan melakukan kekerasan, kata gurunya itu. Andai kata terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap penjahat, cukup kalau menundukkan dan sekedar memberi hukuman saja supaya mereka tidak berani melanjutkan kejahatan mereka, akan tetapi sama sekali tidak boleh dibunuh.
Ajaran Si Dewa Arak ini sungguh berlawanan sekali dengan kebiasaan hidup di kalangan kaum sesat, akan tetapi Ci Kang menerimanya dengan hati senang dan patuh karena hal ini memang cocok sekali dengan pendiriannya sendiri yang tidak suka dengan kejahatan dan kekerasan karena dia telah muak hidup di lingkungan yang penuh dengan kekerasan.
Tiba-tiba saja Ci Kang dikejutkan oleh suara teriakan-teriakan yang mengerikan. Dia cepat menoleh dan wajahnya berubah merah. Dia melihat pemuda baju putih itu mengamuk dan sepak terjangnya menggiriskan sekali.
Sudah ada tujuh atau delapan orang penjahat, termasuk si gendut dari kedai arak dan anak buahnya, berserakan menjadi mayat. Pemuda itu menurunkan tangan mautnya dan tak memberi ampun kepada para penjahat. Kini masih ada beberapa orang penjahat yang mengeroyoknya, akan tetapi Ci Kang maklum bahwa mereka semua itu tentu akan tewas di tangan si pemuda baju putih kalau dia tidak mencegahnya.
Cepat ia meloncat dan ketika tangan pemuda baju putih itu menyambar dengan serangan maut kepada seorang penjahat yang goloknya sudah terlempar, dia segera menubruk dan menangkis.
"Dukkk...!"
Untuk ke sekian kalinya, kembali dua lengan yang mengandung tenaga sangat kuat itu saling beradu, menggetarkan tubuh kedua pihak. Pemuda baju putih itu mengerutkan alis dan matanya memandang terbelalak kepada Ci Kang.
"Gilakah kau?" bentak pemuda itu kepada Ci Kang. "Tadi engkau menyerang mereka dan aku yang tidak mengenal siapa mereka membela mereka. Sekarang, setelah mengetahui bahwa mereka ini adalah penjahat-penjahat terkutuk dan hendak membasmi mereka, kau malah muncul melindungi mereka!" Pemuda baju putih itu benar-benar terkejut, heran dan penasaran melihat tingkah Ci Kang yang dianggapnya aneh sekali itu.
"Sobat, engkau memang gagah perkasa, akan tetapi terlalu kejam! Memang telah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan, akan tetapi bukan membunuh!"
Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Kau peduli apa?"
Dia pun sudah menerjang lagi ke depan, merobohkan seorang penjahat dengan tamparan tangan kirinya yang amat ampuh. Sekali terkena tamparan itu, golok yang menangkisnya terlempar dan orang itu tidak mampu menghindarkan dirinya lagi, dadanya kena dihantam kemudian terdengar tulang-tulang iga yang patah-patah dan orang itu menjerit lalu roboh berkelojotan.
"Kau kejam...!" Ci Kang menghardik dan ketika orang baju putih itu hendak mengejar para penjahat yang menjadi gentar dan melarikan diri, Ci Kang sudah menghadangnya.
"Kau kini hendak membela mereka? Gila dan biar kubasmi sekalian!" Orang berbaju putih itu membentak dan menyerang Ci Kang.
Tentu saja Ci Kang cepat mengelak dan untuk mencegah orang itu menyebar maut lebih banyak lagi, dia pun membalas dan kini mereka kembali berkelahi dengan amat serunya. Kerena kini masing-masing telah yakin akan kelihaian lawan, maka mereka pun berkelahi lebih seru dan lebih hebat dari pada tadi, karena masing-masing mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang paling hebat.
Kini para penjahat sudah lari semua dan juga para penghuni dusun sudah semenjak tadi melarikan diri. Sebagian besar dari rumah-rumah dusun itu terbakar. Namun, dua orang muda itu agaknya lupa dengan keadaan sekeliling karena mereka itu asyik berkelahi dan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatian, mempergunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga kalau tidak mau kalah! Dan kepandaian keduanya memang hebat, setingkat dan seimbang.
Entah berapa lama lagi perkelahian itu akan berlangsung sampai ada yang kalah. Hampir seratus jurus sudah berlalu tetapi keduanya masih terus saling hantam dengan gigihnya. Tiba-tiba terdengar suara jerit minta tolong. Suara wanita yang ketakutan!
Mendengar suara ini, seketika kedua orang muda itu melupakan perkelahian mereka dan meloncat lalu berlari ke arah suara itu seperti orang berlomba. Jerit tangis itu kini semakin jelas, keluar dari sebuah rumah yang bagian belakangnya sudah terbakar.
"Tolong...! Toloonggg... ahh, tolonglah aku...!" Demikianlah suara itu terdengar dari dalam rumah yang sedang terbakar.
"Brakkkkk...!"
Dua tempat pada dinding rumah itu jebol ketika si pemuda baju putih dan Ci Kang secara berbareng menerjang tembok. Keduanya berlari memasuki rumah itu dan melihat seorang gadis yang kedua tangannya terbelenggu pada tiang rumah sedang meronta-ronta akibat ketakutan melihat api mulai membakar dinding kamar itu!
Seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian sederhana tetapi justru pakaian sederhana itulah yang membuat kecantikannya makin menonjol. Karena kedua lengannya ditelikung ke belakang dan dia terus meronta-ronta, maka lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan pada tubuhnya nampak jelas dan amat menggairahkan! Melihat munculnya dua orang muda itu, sepasang mata yang jeli itu terbelalak ketakutan, akan tetapi agaknya dia dapat menduga bahwa mereka adalah orang orang yang hendak menolongnya, bukan orang-orang jahat yang menyerang dusun itu.
"Ahh, tolonglah saya...!" Dia memohon.
Pada saat itu, dinding di bagian belakang kamar itu yang mulai terbakar, runtuh ke bawah dan mengancam gadis itu yang tentu akan tertimpa runtuhan dinding tembok! Dua orang muda yang gagah perkasa itu bergerak cepat sekali. Pemuda baju putih sudah meloncat dan sekali sambar dia sudah merenggut putus tali yang mengikat gadis itu dengan tiang, lantas meloncat sambil memondong tubuh itu, sedangkan Ci Kang meloncat menggempur dinding yang runtuh itu dengan kedua tangannya.
"Braaakkkk...!"
Runtuhan dinding itu pecah berantakan dan dia pun cepat meloncat keluar menyusul. Di luar rumah yang terbakar itu dia melihat pemuda baju putih sudah menutunkan gadis tadi yang kini berdiri kebingungan dan masih menangis. Ketika Ci Kang tiba pula di situ, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang pemuda itu sambil menangis.
"Sudahlah, jangan menangis dan ceritakan apa yang sudah terjadi," kata Ci Kang sambil memandang kepada pemuda baju putih yang berdiri tenang dan menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.
Gadis itu menyusut air matanya. Usianya tidak sangat muda lagi, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi usia ini bagi seorang wanita merupakan usia yang sedang masak-masaknya, seperti setangkai bunga sedang mekarnya. Pakaiannya sederhana akan tetapi rapi, wajahnya cantik dan terutama sekali mulutnya manis sekali.
"Saya menghaturkan terima kasih kepada ji-wi taihiap... yang telah menyelamatkan nyawa saya yang tidak berharga..."
"Sudahlah," kata pemuda baju putih. "Tak perlu bicara tentang itu. Yang penting sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka kau bisa berada di dalam rumah terbakar itu dalam keadaan terbelenggu."
Pada waktu itu dusun kecil yang terbakar ini sudah ditinggalkan orang dan agaknya hanya mereka bertiga saja yang masih berada di situ, kecuali mayat-mayat yang menggeletak di sana-sini, korban kekejaman para perampok.
"Saya bernama Ji Hwa dan tinggal bersama ayah serta ibu di luar dusun, di lereng bukit sana itu... saya berada di sini karena sedang mengunjungi paman dan bibi saya, pemilik rumah ini. Ketika tadi para penjahat datang, paman melawan dan bibi entah lari ke mana, dan saya... perampok ganas itu menawan saya, hendak dibawa pergi. Tapi ketika paman melawan, perampok itu mengikat saya di tiang tadi dan dia lalu berkelahi dengan paman di luar rumah... selanjutnya... saya tidak tahu apa yang terjadi, rumah terbakar dan saya ketakutan sekali..."
Dia menengok ke kiri di mana terdapat mayat-mayat bergelimpangan, membuat gadis itu bergidik ngeri.
"Siapakah pemimpin perampok-perampok itu, nona?" Ci Kang bertanya. "Apakah engkau mengenal para pengurus kedai arak itu?" Dia menunjuk ke arah kedai arak yang sudah habis terbakar.
Gadis itu menggeleng kepala dan kelihatan ketakutan. "Saya tidak tahu... akan tetapi... saya merasa yakin bahwa ayah saya tahu tentang semua itu. Pernah dia berkata kepada saya bahwa dusun ini sedang terancam kekuasaan para penjahat..."
"Hemm, kalau begitu mari kuantar kau pulang, nona. Aku ingin bicara dengan ayahmu," kata Ci Kang.
"Aku pun ingin bertemu dengan ayahmu, nona," kata pula pemuda baju putih itu.
Ci Kang memandang pemuda itu sambil tersenyum mengejek. "Agaknya dalam segala hal engkau tidak mau kalah, sobat. Perlu apa engkau ikut pula dengan kami?"
Pemuda itu tersenyum pahit. "Aku belum tahu benar siapa engkau dan orang macam apa adanya dirimu. Melihat engkau pergi berdua dengan seorang gadis yang tak berdaya ini, sungguh hatiku merasa tidak enak. Aku baru lega apa bila melihat dia sudah berkumpul kembali dengan orang tuanya."
"Sialan!" Ci Kang membentak. "Engkau masih belum percaya kepadaku? Nah, mari kita saling mengenal. Namaku Ci Kang."
"She-mu?" tanya pemuda itu, ingin tahu nama keluarga Ci Kang.
"Tidak perlu kuperkenalkan." Ci Kang memang tak ingin memperkenalkan nama keluarga ayahnya yang terkenal sebagai Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta.
"Namaku Sun," kata pemuda baju putih itu, juga tidak mau menyebutkan she-nya melihat betapa Ci Kang menyembunyikan shenya pula.
Pemuda ini sesungguhnya she Cia. Ya, dia adalah Cia Sun, putera dari Cia Han Tiong yang tinggal di Lembah Naga! Seperti sudah kita ketahui, pemuda ini merasa penasaran sekali akan sikap ayahnya. Ibunya tewas di tangan musuh, namun ayahnya mengampuni musuh-musuh itu.
Dalam keadaan penasaran serta penuh duka dan dendam ini, dia berjumpa dan diambil murid oleh Go-bi San-jin lantas digembleng selama tiga tahun. Oleh gurunya ini, di dalam batinnya ditanam jiwa kependekaran yang tegas dan keras supaya menentang kejahatan. Gemblengan ini, ditambah pula oleh rasa dendam akibat kematian ibunya, membuat Cia Sun menjadi seorang pendekar yang tidak mau mengampuni orang-orang jahat, dan dia menganggap adalah tugas dan kewajibannya untuk menentang kejahatan dan membasmi para penjahat, membunuh mereka tanpa mengenal ampun lagi!
Seperti juga Ci Kang yang disuruh gurunya, Ciu-sian Lo-kai, untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan dengan para pendekar, juga Cia Sun sudah diutus oleh Go-bi San-jin untuk pergi ke tempat itu pula. Munculnya Raja dan Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui serta para datuk kaum sesat membuat orang-orang sakti dan para pendekar berusaha menentangnya sehingga mereka hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Sesudah memperkenalkan nama masing-masing tanpa menyebut nama keturunan, kedua orang muda itu lalu mengawal gadis yang bernama Ji Hwa itu pulang. Mereka keluar dari dusun kecil yang sudah sunyi itu dan menuju ke utara di mana terdapat sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon rindang.
"Jauhkah rumah ayahmu dari sini, nona?" tanya Cia Sun yang masih belum percaya betul kepada gadis ini dan selalu tidak meninggalkan kewaspadaannya.
"Tidak jauh, di lereng bukit itu, taihiap. Akan tetapi harap jangan menyebut nona padaku, namaku Hwa dan biasa disebut Hwa Hwa saja."
Cia Sun mengerutkan alis dan tidak menjawab. Gadis ini baru saja mengalami peristiwa yang amat menakutkan dan mengejutkan, baru saja terlepas dari maut dan nyaris terbakar hidup-hidup dalam rumah tadi. Akan tetapi sekarang sudah bicara sambil senyum-senyum dan kerling mata gadis ini membuat hatinya terasa tidak enak. Meski pun sampai saat itu Cia Sun belum pernah bergaul rapat dengan wanita, namun dia mengenal kerling yang tajam memikat, kerling yang membayangkan kegenitan yang disembunyikan, sikap yang agaknya tidak wajar dan berpura-pura.
Rumah itu besar dan kuno sekali, terletak di lereng bukit. Rumah yang besar dan kuno, terpencil sendiri dan dari jauh tidak nampak karena tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar. Karena kuno, besar dan sudah rusak tak terpelihara, bangunan itu nampak menyeramkan, pantasnya hanya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis saja.
"Di sinikah engkau dan orang tuamu tinggal?" tanya Ci Kang ketika mereka tiba di depan rumah. "Bekerja apakah orang tuamu?" Ternyata seperti Cia Sun, dia pun mulai merasa heran dan curiga melihat betapa gadis itu bersama orang tuanya tinggal di tempat yang seram seperti ini.
Gadis yang minta disebut Hwa Hwa itu tersenyum memandang Ci Kang. "Kalau melihat pakaian taihiap, agaknya pekerjaan ayah tidak asing bagi taihiap. Dia seorang pemburu dan karena itu kami memilih tempat di bukit dekat hutan-hutan ini." Dengan sikap ramah dan lincah gadis itu mempersilakan dua orang pemuda itu untuk memasuki gedung kuno. "Marilah, harap ji-wi taihiap sudi masuk dan menemui ayah dan ibu yang berada di dalam. Saya merasa yakin bahwa ayah akan dapat bercerita banyak tentang penjahat-penjahat yang tadi mengacau dusun."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang sejenak. Biar pun mereka masih merasa penasaran dan ada rasa tidak suka satu kepada yang lain, akan tetapi kini mereka berada di dalam sebuah perahu yang sama. Maka, walau pun hanya sedikit, terdapat suatu kepentingan bersama di antara mereka dan sesudah saling pandang, tahulah mereka bahwa masing-masing tidak akan mau kalah dan merasa malu kalau mundur.
Mereka lalu mengikuti gadis itu memasuki bangunan dan ternyata memang bangunan itu kuno dan tak terawat. Banyak bagian-bagian yang telah rusak, akan tetapi sebagian besar masih kokoh kuat karena memang bangunan kuno itu kuat buatannya.
"Mari silakan, ji-wi taihiap. Saya kira ayah dengan ibu sedang bersemedhi di dalam kamar semedhi," kata gadis itu sambil mengajak mereka menuju ke sebuah ruang yang pintunya kecil.
Mendengar ini, kembali Cia Sun dan Ci Kang melirik. Kalau mereka sedang bersemedhi, tentu orang tua gadis ini termasuk orang-orang yang pandai ilmu silat, atau kalau tidak tentu orang-orang yang sangat saleh.
Mereka melewati pintu kecil itu, lantas memasuki sebuah ruangan yang bentuknya aneh. Kamar itu tidak berjendela dan bentuknya bundar. Lantainya tertutup permadani tipis yang sudah lapuk dan tidak terdapat perabot rumah, akan tetapi keadaannya cukup bersih.
Di dekat dinding nampak seorang kakek dan seorang nenek sedang duduk bersila dalam keadaan bersemedhi. Begitu melihat keadaan dua orang kakek dan nenek ini, dua orang pemuda itu merasa heran dan terkejut sekali!
Pakaian kakek itu serba polos putih kuning, seluruh rambutnya putih riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek terpelihara baik-baik, tubuhnya cukup jangkung dan wajahnya aneh menyeramkan. Wajah itu memang bagus bentuknya, membayangkan ketampanan, akan tetapi wajah itu terlihat begitu dingin, kulitnya agak kehijauan dan matanya terpejam. Sulit ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih.
Ada pun nenek itu juga memiliki keadaan yang sama, baik pakaiannya yang sederhana kedodoran mau pun rambutnya yang juga sudah putih semua dan riap-riapan. Rambutnya masih lebih panjang ketimbang rambut kakek itu, dan bentuk atau raut wajah wanita ini pun menunjukkan bekas kecantikan, hanya nampak begitu dingin seperti topeng.
"Silakan duduk, ji-wi taihiap dan maaf, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa kita duduk di atas lantai," kata Hwa Hwa dengan ramahnya.
Cia Sun dan Ci Kang yang sudah terlanjur masuk, lalu duduk di atas lantai berbabut itu, bersila dengan sikap hormat karena mereka berdua meragu orang-orang macam apakah adanya kakek dan nenek ini. Yang jelas, bukan orang-orang sembarangan saja, demikian mereka berpikir.
Setelah dua orang pemuda itu duduk, Hwa Hwa lalu keluar dari dalam kamar itu. Sampai di ambang pintu dia menoleh dan berkata sambil tersenyum,
"Maafkan, saya akan mempersiapkan minuman untuk ji-wi..."
Sebelum dua orang muda itu menolak, pintu yang sempit itu tiba-tiba sudah ditutup dari luar oleh Hwa Hwa dan baru nampak oleh dua orang muda itu bahwa pintu itu terbuat dari pada besi yang kokoh kuat! Akan tetapi karena di dalam ruangan itu masih terdapat kakek dan nenek tadi, Cia Sun dan Ci Kang bersikap tenang saja dan sekarang mereka berdua memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba kakek dan nenek itu membuka matanya, maka terkejutlah dua orang pendekar muda itu melihat betapa dua pasang mata itu amat tajam, mencorong seperti bukan mata manusia biasa! Mata kakek dan nenek itu mencorong dan kehijauan! Terkejutlah Cia Sun dan Ci Kang, tahu bahwa mereka berdua ternyata bukan orang sembarangan, melainkan orang-orang yang memiliki tenaga sinkang amat kuat, kalau tidak demikian, tak mungkin mereka memiliki sinar mata seperti itu.
Akan tetapi keduanya tetap tenang saja dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya, tentu saja dengan penuh kewaspadaan karena kini mereka mulai dapat menduga bahwa sikap gadis yang bernama Hwa Hwa tadi hanya pura-pura saja.
Tiba-tiba saja terdengar suara kakek itu yang berbicara seolah-olah tanpa menggerakkan bibir. "Berlutut...!"
Dua orang pemuda itu terkejut dan heran, akan tetapi biar pun mereka menduga bahwa kakek itu menyuruh mereka berlutut, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan perintah itu. Mereka hanya menatap tajam, menentang dua pasang mata hijau yang mencorong itu. Sekarang nenek itulah yang bicara, suaranya lirih akan tetapi mendesis dan menusuk jantung.
"Kalau murid kami sudah membawa kalian ke sini, tentu kalian bukan orang-orang biasa sehingga ada harganya untuk menjadi pembantu-pembantu kami. Nah, orang-orang muda, berilah hormat kepada Ong-ya!"
Dua orang muda itu kini terkejut bukan main. Mereka berdua sudah mendengar dari guru masing-masing tentang Raja dan Ratu Iblis yang menganggap dirinya raja dan ratu, dan betapa semua tokoh sesat yang takluk kepada mereka menyebut Raja Iblis itu Ong-ya karena memang dia dahulunya seorang pangeran bernama Toan Jit Ong.
Kini Cia Sun dan Ci Kang memandang penuh perhatian. Mereka pun baru sadar bahwa mereka sebenarnya berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis yang amat ditakuti itu, yang kini kabarnya sedang menggerakkan para datuk kaum sesat termasuk Cap-sha-kui untuk menguasai dunia! Bahkan karena adanya gerakan mereka inilah maka para pendekar dan orang-orang sakti hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk merencanakan langkah-langkah untuk menentang gerakan berbahaya itu.
Dan kini, tanpa mereka sangka-sangka, mereka telah dipancing oleh seorang gadis cantik yang ternyata murid iblis-iblis ini, dan telah berhadapan dengan mereka, berada di sebuah ruangan tertutup!
"Apakah ji-wi yang berjuluk Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang bertanya dengan hati tabah, suaranya sedikit pun tidak gentar.
Nenek itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa, walau pun mulutnya tidak tertawa. "Kalau kalian sudah tahu, cepat memberi hormat!" katanya.
Akan tetapi, seperti dikomando saja, Cia Sun dan Ci Kang telah meloncat berdiri. Mereka berdua sudah banyak mendengar mengenai suami isteri iblis ini, dan mereka tahu bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk menentang dua orang ini. Mereka sama sekali tidak merasa takut, walau pun mereka telah mendengar betapa lihainya kakek dan nenek ini.
"Inilah penghormatanku!" kata Cia Sun yang sudah menyerang kakek yang duduk bersila itu.
"Dan ini bagianku!" bentak Ci Kang, secepat kilat dia pun menyerang ke arah si nenek.
Serangan dua orang muda itu hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat karena mereka berdua yang maklum dengan kelihaian kakek dan nenek itu sudah mengerahkan sinkang dan menyerang sekuat tenaga. Kakek dan nenek itu mendengus dan mengulur tangan menyambut. Mereka hanya mendorong tangan mereka ke depan dan segumpal uap menyambar dan menyambut serangan Cia Sun dan Ci Kang.
"Bresss...!"
Tubuh dua orang muda itu terdorong ke belakang dan tanpa dapat mereka cegah lagi, keduanya terbanting pada dinding di belakang lalu terguling ke atas lantai!
Pada saat itu, lantai tertutup babut itu terbuka dan tentu saja dua orang pemuda yang baru saja terguling, cepat meloncat ke depan. Hanya bagian di mana kakek dan nenek itu duduk saja yang tidak terjeblos sehingga jalan satu-satunya yang ada hanyalah mencoba untuk menyerang lagi kakek dan nenek yang masih duduk bersila di atas lantai, di bagian yang tidak terbuka.
"Desss...!"
Sekarang empat pasang tangan itu beradu langsung secara dahsyat sekali dan akibatnya, kakek serta nenek itu mengeluarkan seruan kaget bukan main. Benturan tangan mereka dengan tangan kedua pemuda itu membuat tubuh mereka tergetar dan terguncang hebat! Akan tetapi karena mereka duduk di atas lantai, sedangkan tubuh Cia Sun dan Ci Kang melayang, tentu saja kedua orang pemuda itu yang tidak mempunyai landasan, terdorong mundur dan tanpa bisa dihindarkan lagi tubuh mereka terjatuh ke dalam lubang di bawah mereka.
Mereka menggunakan ginkang sehingga tak sampai terbanting, juga mereka tiba di dasar lubang itu dengan kaki lebih dahulu, dalam keadaan berdiri. Akan tetapi tiba-tiba tempat di mana mereka terjatuh itu menjadi gelap gulita karena lantai dari kamar di atas tadi telah tertutup kembali!
Tiba-tiba saja terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau harum yang menyengat hidung.
"Asap beracun...!" Cia Sun berseru.
Keduanya segera menahan napas sambil meraba-raba mencari jalan keluar. Akan tetapi kamar di mana mereka tersekap itu ternyata terbuat dari besi baja dan tidak ada pintunya! Mereka lalu meloncat ke atas dan menghantam ke arah lantai kamar atas yang sekarang menjadi langit-langit bagi mereka itu.
"Bress...! Bress...!"
Akan tetapi lantai itu terlampau kuat dan tubuh mereka terlempar lagi ke bawah. Mereka seperti dua ekor tikus memasuki perangkap dan kini kamar itu mulai penuh dengan asap wangi beracun. Mereka menahan napas sekuat mungkin, akan tetapi tentu saja kekuatan ini ada batasnya. Betapa pun saktinya kedua orang muda itu, jantung mereka harus terus berdenyut dan untuk ini, jantung membutuhkan hawa murni melalui pernapasan.
Akhirnya Cia Sun dan Ci Kang tak kuat bertahan lagi dan mereka pun terpaksa menyedot asap itu. Tubuh mereka lalu terguling dan mereka pingsan oleh asap pembius. Sebelum mereka kehilangen kesadaran, mereka mendengar suara ketawa merdu, suara dari Hwa Hwa yang sebetulnya adalah Gui Siang Hwa, murid terkasih dari Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong.
Ketika Cia Sun dan Ci Kang siuman kembali, mereka telah saling berpisah. Cia Sun yang mulai siuman mendapatkan dirinya sedang tergeletak di atas pembaringan sebuah kamar dalam keadaan terbelenggu dan tertotok jalan darahnya! Dia lalu berusaha membebaskan jalan darahnya, namun usaha ini terpaksa dihentikannya karena ada langkah kaki orang memasuki kamar. Kiranya yang masuk adalah gadis cantik yang sudah menjebaknya itu! Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali dan memandang dengan mata melotot.
"Hemm, perempuan hina! Kiranya engkau adalah seorang penjahat betina yang sengaja menjebak kami! Engkau tentu kaki tangan perampok yang mengacau di dusun itu!" Cia Sun membentak.
Siang Hwa tersenyum manis dan menghampiri, kemudian duduk di tepi pembaringan dan membelai pundak yang kelihatan karena baju pada bagian pundak Cia Sun robek ketika dia meloncat dan mendobrak lantai atas. Cia Sun merasa betapa seluruh bulu tubuhnya meremang pada saat jari-jari tangan yang berkulit halus itu menelusuri pundaknya dengan belaian sayang. Dia lalu menggerakkan pundaknya untuk menolak, akan tetapi karena dia berada dalam keadaan tertotok, pundaknya hanya bergerak sedikit saja, membuat Siang Hwa tertawa geli.
"Hi-hik-hik, pemuda yang gagah dan tampan. Sun-koko, dugaanmu itu terbalik. Bukan aku yang menjadi kaki tangan mereka, tetapi mereka adalah kaki tanganku, para pembantuku. Sun-koko, tahukah engkau mengapa suhu dan subo tidak langsung saja membunuhmu? Akulah yang memintakan ampun. Nyaris aku dibunuh karena mintakan ampun untukmu, koko. Akan tetapi, aku menangis dan meratap minta agar engkau tidak dibunuh..."
"Hemm, apa maksudmu?" tanya Cia Sun, merasa heran mendengar bahwa murid kedua iblis itu mintakan ampun untuknya.
Tiba-tiba Siang Hwa merangkul leher pemuda yang masih rebah terlentang karena belum dapat bangun itu. Tentu saja Cia Sun terkejut bukan main, akan tetapi dia tidak mampu meronta atau mengelak, apa lagi memukul. Kedua tangannya ditelikung ke belakang, juga kedua kakinya terikat dan selain itu, kaki tangannya lumpuh oleh totokan.
"Sun-koko, apakah engkau tidak bisa menebak? Aku cinta padamu...! Aku cinta padamu, karena itu mati-matian aku mempertahankan nyawamu. Apa bila engkau mau membalas cintaku, maka kita akan hidup bahagia dan menjadi pembantu-pembantu suhu yang amat dipercaya. Ahh, koko, marilah kau hidup bahagia bersamaku..."
Siang Hwa mendekatkan mukanya dan siap untuk mencium dengan sikap yang sangat memikat. Bau harum semerbak keluar dari rambut dan leher gadis itu, akan tetapi hal ini sama sekali bukan membuat Cia Sun terpikat atau terangsang, sebaliknya mengingatkan dia akan bau harum asap beracun yang membuat dia dan Ci Kang terbius.
"Ci Kang... di mana dia?"
Gadis itu tersenyum manis. Karena mukanya sangat dekat, Cia Sun dapat melihat rongga mulut yang merah, lidah yang meruncing merah dan deretan gigi yang putih bersih. Mulut yang penuh daya pikat, akan tetapi yang mendatangkan rasa jijik dan marah kepadanya karena maklum bahwa di balik kecantikan ini tersembunyi kejahatan yang mengerikan.
"Sun-koko, temanmu itu sudah dibunuh, dan kalau tidak ada aku, engkau tentu dibunuh pula. Karena itu marilah kita mengecap kebahagiaan, mari kita menikmati hidup berdua..." Gadis itu kini menunduk dan mencium bibir Cia Sun. Akan tetapi dia lantas terkejut dan mengeluh. "Aihh...!" Dia merasa betapa bibir itu kaku dan dingin, betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas perasaan cintanya, bahkan pemuda itu kini memandang marah.
"Iblis betina, perempuan tidak tahu malu, jahanam busuk! Jangan harap aku akan dapat terbujuk olehmu. Bujuk rayumu tiada gunanya dan kalau mau membunuh aku, bunuhlah! Lebih baik seribu kali mati dari pada harus tunduk kepada ular betina seperti kamu ini!"
Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan memandang dengan alis berkerut. Pandangan matanya membayangkan kekecewaan besar. "Sun-koko, kau pikirlah baik-baik... engkau masih muda, gagah perkasa, apakah harus mati konyol begitu saja? Sun-koko, aku cinta padamu dan aku dapat membahagiakanmu..."
"Sudahlah! Sampai mati pun aku tidak mungkin dapat berbaik dengan iblis-iblis berwajah manusia macam engkau dan Raja Iblis! Kalau aku tidak dijatuhkan dengan kelicikan dan kecurangan, apa bila aku bebas, pertama-tama yang akan kulakukan adalah mencekikmu sampai mampus baru kucari kakek dan nenek iblis untuk kubunuh! Jadi tak perlu engkau membujuk rayu seperti itu. Bunuh saja kalau mau bunuh!"
Tiba-tiba saja terdengar suara lirih, terdengar dari jauh akan tetapi jelas sekali. "Nah, apa kubilang, Siang Hwa. Bocah dari Lembah Naga itu mana mau diajak kerja sama? Bunuh saja, akan tetapi siksa dulu!"
Itulah suara Ratu Iblis yang agaknya secara diam-diam mengikuti usaha muridnya yang sedang membujuk Cia Sun agar suka menjadi pembantu mereka dengan menggunakan kecantikan gadis itu.
"Baik, subo," kata Siang Hwa dengan suara gemas dan kini pandang matanya kepada Cia Sun berubah kelam, "Akan kusiksa mereka, kubikin mereka mati tenggelam, mati secara perlahan-lahan!"
Setelah berkata demikian, kedua tangan gadis yang tadi membelai-belai Cia Sun dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, sekarang mencengkeram pundak pemuda itu dan menariknya turun dari pembaringan, lalu menyeretnya keluar kamar itu.
Cia Sun yang tidak berdaya itu melihat bahwa dirinya diseret keluar dari dalam bangunan induk menuju ke bangunan belakang yang berada di tempat yang agak tinggi. Akan tetapi setelah gadis itu menyeretnya naik dan memasuki bangunan itu, ternyata di bagian dalam bangunan itu terdapat sebuah anak tangga yang menurun.
Kemudian, setibanya di sebuah kamar sempit, Siang Hwa melepaskan cengkeramannya dan dengan pengerahan tenaga dia memutar sebuah roda besi di sudut. Terdengar suara berkerotokan dan dua buah batu besar persegi empat yang berada di atas lantai bergerak terbuka ke kanan kiri, memperlihatkan sebuah lubang.
"Nah, mampuslah kau di situ!" kata Siang Hwa sambil menendang tubuh Cia Sun yang tak mampu melawan.
Tubuh pemuda itu terlempar masuk ke dalam sebuah kolam atau sumur yang sempit. Dia hanya mengangkat kepala supaya tidak sampai terbanting menimpa dasar sumur. Untung bahwa yang menimpa dasar itu adalah pinggulnya lebih dulu.
"Bukkk!"
Rasanya agak nyeri akan tetapi dia tidak terluka. Ternyata sumur itu tidak terlalu dalam, kurang lebih hanya dua meter dan kejatuhannya itu disusul dengan menutupnya kembali dua buah batu persegi yang mengeluarkan suara gaduh.
"Ahh, kau juga?" Tiba-tiba terdengar suara teguran.
Cia Sun terkejut dan cepat menengok. Matanya sudah agak terbiasa dengan keremangan tempat itu dan dia melihat bahwa Ci Kang sudah berada di tempat itu pula, duduk di sudut bersandarkan dinding batu! Cia Sun tidak mempedulikan orang ini. Bagaimana pun juga, dia masih merasa mendongkol dan penasaran.
Harus diakuinya bahwa rasa bersaing dengan pemuda inilah yang memaksa dia mengikuti Siang Hwa. Andai kata tidak ada perasaan itu, mungkin dia akan menolak ajakan Siang Hwa. Dia bangkit berdiri dan dengan kedua tangannya yang masih ditelikung ke belakang, dia kemudian meraba-raba dinding melakukan penyelidikan, dengan kedua kaki yang juga terbelenggu itu meloncat-loncat.
"Sobat, tiada gunanya kau mencari jalan keluar. Sudah semenjak tadi aku menyelidiki dan ternyata semua dinding ini terbuat dari besi kuat, dan lantai ini batu-batu gunung. Jalan keluar satu-satunya hanyalah batu penutup lubang di atas itu, akan tetapi sudah kucoba pula dan kuatnya bukan main."
Cia Sun menghentikan usahanya dan duduk di sudut, memandang pemuda di depannya itu. Agaknya Ci Kang telah kehilangan bajunya karena hanya tubuh bagian bawah sajalah yang tertutup celana. Tubuhnya yang kokoh kuat dengan otot yang melingkar-lingkar itu nampak besar dan menyeramkan. Dia sendiri masih untung, pikir Cia Sun, bajunya hanya robek saja, akan tetapi orang itu malah setengah telanjang!
"Kenapa mereka ingin membunuhmu juga?" akhirnya Ci Kang bertanya.
Cia Sun mengerutkan alisnya. "Karena mereka mengenalku."
"Hemm, lalu kenapa engkau tidak tinggal di atas saja, hidup bahagia dengan perempuan cabul itu dan menjadi pembantu Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang mengejek.
"Aha, ternyata engkau juga sudah dibujuk rayu oleh perempuan itu!" Cia Sun mengejek. "Agaknya lebih parah, sampai baju atasmu ditanggalkan. Mengapa engkau tidak memilih hidup enak di sana? Dan mengapa mereka juga ingin membunuhmu?"
"Karena mereka pun mengenalku, mengenal keadaanku."
"Mengenal ayahmu?" Cia Sun mendesak.
Ci Kang mengangguk dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram. "Mereka... telah membunuh ayahku! Dan untuk itu aku harus tetap hidup, aku harus hidup untuk membuktikan kepada mendiang ayah bahwa aku bukan seperti mereka!" kata Ci Kang dengan suara gemetar penuh perasaan.
Cia Sun menjadi tertarik. "Sobat, kita senasib. Agaknya nasib yang mempertemukan kita dimulai dari kesalah pahaman. Dan ternyata akulah yang salah. Aku tertipu oleh penjahat-penjahat yang menyamar menjadi para pengurus kedai itu. Sobat, aku she Cia. Namaku Cia Sun dan ayahku tinggal di Lembah Naga, itulah yang menyebabkan mereka hendak membunuhku. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?"
"Aku she Siangkoan, ayahku... ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin..."
"Ahhhh...!" Cia Sun terkejut bukan kepalang sampai memandang dengan mata terbelalak. "Maksudmu... maksudmu... yang dijuluki Iblis Buta...?"
Ci Kang mengangguk dan menarik napas panjang. "Benar, ayahku dijuluki Iblis Buta dan memang ayahku buta..."
"Tapi... tapi... bukankah ayahmu memimpin para penjahat, malah para datuk Cap-sha-kui juga menjadi sekutunya? Kenapa engkau dimusuhi Raja dan Ratu Iblis?"
"Ayah mereka bunuh akibat menentang mereka, baru kuketahui tadi setelah aku menolak perempuan hina itu dan menghinanya."
"Hemmm, jadi karena ayahmu dibunuh maka kini engkau memusuhi mereka? Akan tetapi mengapa di kedai arak itu engkau memusuhi pula para penjahat yang menyamar?" Kini tahulah Cia Sun mengapa pemuda ini mengenal penjahat yang menyamar sedangkan dia sama sekali tidak mengenal mereka. Ternyata pemuda ini adalah putera seorang datuk penjahat!
"Sejak lama aku berpisah dari ayahku karena aku tidak cocok dengan cara hidupnya. Aku menentang kejahatan dan karenanya aku dibenci golongan sesat, akan tetapi golongan bersih juga menghina dan menentangku karena aku putera Siangkoan Lo-jin..."
"Apabila ada pendekar menentangmu karena engkau putera Siongkoan Lo-jin, maka dia itu sembrono, Ci Kang. Orang ditentang karena perbuatannya yang jahat, bukan karena keturunannya!"
Ci Kang mengangkat mukanya. Di dalam keadaan remang-remang itu sepasang matanya mencorong ketika memandang wajah Cia Sun penuh selidik. "Orang she Cia, benarkah semua omonganmu itu? Baru saja aku dikecewakan oleh para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ketika aku tiba di sana dan dikenal sebagai putera ayah, aku nyaris saja celaka karena dikeroyok mereka."
"Ah, mereka itu sembrono. Jadi itukah sebabnya kenapa engkau murung dan mengamuk di kedai arak itu ketika engkau melihat bahwa mereka itu adalah penjahat-penjahat yang menyamar?"
Ci Kang mengangguk dan secara diam-diam timbul rasa sukanya kepada Cia Sun, walau pun masih ada rasa tidak puas karena dia belum mampu mengalahkan pemuda gagah perkasa ini.
Mendadak terdengar suara mengejek, suara ketawa Siang Hwa. "Hi-hi-hik, kalian ini dua orang laki-laki yang tak tahu diri, berlagak alim dan gagah. Rasakan kini pembalasanku. Kalian akan mampus sebagai dua ekor tikus tenggelam, hi-hik!" Tiba-tiba terdengar suara gemercik air, lantas dari atas, dari celah-celah batu yang menutupi lubang itu turunlah air dengan derasnya!
"Kita harus bisa keluar dari sini!" kata Cia Sun yang segera mencoba untuk mengerahkan tenaga agar ikatan kaki tangannya bisa dipatahkan. Akan tetapi totokan pada jalan darah di tubuhnya masih menguasainya dan dia tidak mempunyai tenaga otot yang cukup besar untuk dapat melawan kuatnya tali pengikat itu.
Ci Kang juga berusaha. Dia sendiri pun baru saja dapat membebaskan totokannya karena memang dia lebih dahulu dilempar ke dalam lubang ini setelah dengan mati-matian Siang Hwa mencoba merayunya tanpa hasil! Kini ia mengerahkan tenaga sehingga putuslah tali yang membelenggu kaki tangannya!
Dia lalu bangkit berdiri dan berusaha mendorong batu yang menutupi lubang dengan dua tangannya. Otot-otot perut, dada, pundak serta kedua lengannya menggembung besar, akan tetapi ternyata batu penutup itu demikian kuatnya sehingga semua usahanya untuk membukanya dari bawah sia-sia belaka!
Apa lagi batu penutup itu terlampau tinggi sehingga dia tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga. Andai kata agak rendah tentu tenaganya akan lebih besar. Sementara itu, dengan cepat air mulai menggenangi lubang itu, dan Cia Sun melihat betapa air sudah mencapai setinggi paha dan terus naik dengan cepatnya.
"Ci Kang, cepat kau lepaskan tali pengikat tanganku agar aku dapat membantumu!" kata Cia Sun sambil menoleh kepada Ci Kang yang ketika itu masih berusaha sekuat tenaga untuk membuka batu penutup lubang.
Akan tetapi Ci Kang tidak menjawab, menengok pun tidak, seolah-olah tak peduli kepada Cia Sun dan masih terus berusaha menggunakan tenaganya untuk mendorong membuka batu penutup lubang jebakan itu ke atas. Namun, agaknya batu itu terlalu berat baginya dan air terus naik dengan cepatnya. Dua pendekar muda itu terancam maut dan keadaan mereka amat gawat!
********************
Seperti telah kita ketahui, sudah beberapa pekan lamanya Raja dan Ratu Iblis berada di daerah utara. Daerah ini sama sekali bukan merupakan daerah asing bagi mereka. Sama sekali tidak. Bahkan pada waktu Raja Iblis masih menjadi Pangeran Toan Jit Ong, dalam pelariannya dari kota raja, dia bersembunyi di utara.
Gedung itu adalah sebuah istana kuno yang dulu dipergunakan kaisar untuk melepaskan lelah dan bermalam jika mengadakan perjalanan ke utara, yang amat jarang terjadi. Dan kaisar yang masih teringat akan pertalian kekeluargaan dengan Pangeran Toan Jit Ong, diam-diam mengutus orang untuk menyerahkan istana kuno itu kepada Pangeran Toan Jit Ong. Maka pangeran pelarian itu pun tinggal di dalam istana tua itu.
Di samping kokoh kuat, istana itu juga mempunyai beberapa tempat untuk tahanan sebab para pengawal kaisar selalu bersiap terhadap mereka yang menentang kaisar, mata-mata musuh atau pun pengacau-pengacau. Tempat-tempat ini oleh Pangeran Toan Jit Ong lalu diperbaiki dan disempurnakan sehingga menjadi tempat-tempat jebakan yang berbahaya.
Pada saat dia meninggalkan kota raja sebagai buronan, Toan Jit Ong sudah berusia tiga puluh tahun lebih, memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Dan ketika dia merantau ke utara dan tinggal di dalam istana kuno itu, dia lalu memperdalam ilmu-ilmunya dengan menghubungi para pertapa dan orang-orang pandai. Pangeran ini pintar sekali mengambil hati orang-orang pandai sehingga dia berhasil mengumpulkan ilmu-ilmu kesaktian yang aneh-aneh.
Di dalam perantauan inilah dia bertemu dengan seorang gadis puteri seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, gadis she Thio yang kini menjadi Ratu Iblis. Selain cantik gadis itu juga memiliki kepandaian tinggi dan setelah mereka menjadi suami isteri, mereka lalu mengadakan perjalanan ke seluruh negeri. Dengan kepandaian mereka yang amat tinggi, mereka mencoba dan menandingi semua datuk sesat dan tak ada seorang pun di antara para datuk itu yang mampu mengalahkannya!
Nama Raja dan Ratu Iblis, demikian mereka dijuluki oleh para datuk sesat, menjadi amat terkenal dan ditakuti di kalangan kaum sesat. Akan tetapi pangeran ini tinggi hati dan tidak mau merendahkan dirinya untuk bergaul dengan kalangan sesat walau pun dia membenci pemerintah dan kaum pendekar pula. Dia dan isterinya hidup terasing, hanya bertapa dan memperdalam ilmu kepandaian mereka selama dalam perantauan mereka sampai jauh ke barat.
Dalam usia setengah tua, Raja dan Ratu Iblis ini baru kembali ke istana di utara itu dan tinggal di sana. Mungkin karena kini merasakan ketenteraman hati setelah tidak merantau lagi, Ratu Iblis yang setengah tua itu mengandung! Hal ini menggirangkan hati Raja Iblis yang kini hidup bagaikan raja kecil di tempat sunyi, dilayani belasan orang taklukan yang juga rata-rata berkepandaian tinggi.
Akan tetapi dasar watak Pangeran Toan Jit Ong yang aneh dan jahat seperti iblis, bahkan mendekati kegilaan. Dia mengatakan kepada isterinya bahwa dia ingin anak laki-laki.
"Awas kalau engkau melahirkan anak perempuan," katanya mengancam, "akan kubunuh anak itu, atau kalau tidak, akan kuambil dia sebagai selirku!"
Biar pun dia sendiri sudah biasa melakukan hal-hal yang menyeramkan dan juga memiliki dasar watak yang liar dan jahat, namun hati wanita itu khawatir sekali mendengar ucapan suaminya. Dan dia tahu benar bahwa suaminya itu bukan hanya mengancam kosong belaka, akan tetapi tentu akan melaksanakan apa yang diancamkannya. Kalau dia gagal melahirkan seorang putera, kalau yang terlahir itu seorang anak perempuan, tentu akan dibunuh suaminya atau lebih menyakitkan hati lagi, kelak akan menjadi selir suaminya!
Akan tetapi Ratu Iblis bukanlah seorang bodoh. Sebaliknya, dia cerdik sekali dan dalam keadaan terancam itu, jauh hari sebelumnya dia telah mengatur siasat dan merencanakan penyelamatan bayinya andai kata bayinya itu terlahir perempuan. Dia sudah memperoleh seorang pembantu yang akan melaksanakan segala rencananya itu andai kata bayinya terlahir perempuan.
Saat yang dinanti-nantikan itu pun tibalah. Dan untung bagi Ratu Iblis, kelahiran itu terjadi pada tengah malam sehingga sangat memudahkan pelaksanaan siasatnya. Siasat yang amat keji karena pembantunya itu langsung menyingkirkan bayinya yang ternyata terlahir perempuan dan menaruhkan seorang bayi lain, juga bayi perempuan yang diperolehnya dari dalam dusun yang berdekatan. Menculik bayi itu dan menukarnya dengan bayi yang baru dilahirkan oleh Ratu Iblis! Dan ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Raja Iblis datang menjenguk, dia hanya mendapatkan seorang bayi perempuan yang sudah mati!
"Dia lahir perempuan dan... mati?" tanyanya.
"Ya, aku membunuhnya. Lebih baik mati di tanganku dari pada di tanganmu," jawab Ratu Iblis sederhana.
Beberapa hari kemudian, sesudah kesehatan Ratu Iblis pulih kembali, pada suatu malam secara aneh pembantu itu pun tewas. Tentu saja yang membunuhnya adalah Ratu Iblis yang merasa khawatir kalau-kalau rahasianya terbongkar. Setelah dia menyelidiki di mana adanya anak yang ditukarkan itu, dia lalu membunuh si pembantu sehingga rahasia itu hanya diketahui oleh dirinya sendiri saja.
Demikian besarlah 'aku'-nya Ratu Iblis yang selalu mementingkan diri sendiri saja. Demi menyelamatkan nyawa bayinya, dia tidak segan-segan untuk membunuh lain bayi secara kejam sekali! Akan tetapi, penyakit seperti yang mencengkeram batin Ratu Iblis ini pun agaknya diderita oleh kita semua pada umumnya.
KeAKUan yang amat kuat selalu mencengkeram batin kita masing-masing sehingga demi kepentingan sang aku, kita tidak segan-segan melakukan apa saja, bila perlu merugikan orang lain. Kalau dengan mati-matian, dengan mempertaruhkan nyawa, orang membela negara, agama, keluarga, harta atau apa pun juga, maka yang dibela dan dipentingkan itu sesungguhnya adalah AKU-nya.
Negara-Ku yang kubela, agama-Ku yang kubela, keluarga-Ku, harta-Ku dan selanjutnya. Bukan negara yang penting, bukan agamanya dan sebagainya, tetapi AKU-nya. Negara orang lain? Masa bodoh bila mau dijajah orang lain! Masa bodoh bila mau dihina, asal jangan agama-Ku. Demikian selanjutnya, yang menunjukkan bahwa semua itu hanyalah merupakan perluasan dari pada si AKU belaka. Si AKU yang penting. Milik-KU!
Demikian pula dengan Ratu Iblis itu. Dia melindungi bayi, bukan bayi pada umumnya, melainkan bayi-NYA, dengan cara membunuh bayi lain! Demikian pula terjadi di seluruh dunia. Untuk membela agama-NYA, orang rela menyerang agama lain. Untuk membela bangsa-NYA, orang rela membunuhi bangsa lain. Untuk membela keluarga-NYA, orang rela menghancurkan keluarga lain.