AKAN tetapi, setelah isterinya melahirkan seorang anak perempuan yang lalu dibunuhnya sendiri, Raja Iblis menjadi semakin menggila. Dia ingin sekali mendapatkan keturunan, terutama seorang putera.
"Kalau kelak aku menjadi kaisar, lalu siapa yang akan menggantikan aku? Aku tidak rela kalau digantikan oleh orang lain!"
Maka mulailah dia mengambil selir-selir, bahkan Siang Hwa yang menjadi muridnya juga tidak terlepas dari gangguannya, dengan harapan agar dia dapat memperoleh keturunan, terutama keturunan laki-laki dari para selirnya itu. Akan tetapi, Ratu Iblis yang merasa betapa kedudukannya sebagai 'permaisuri' akan terancam jika ada selir yang melahirkan seorang anak laki-laki, diam-diam telah mengancam mereka agar mereka itu suka makan ramuan obat yang dibuatnya khusus untuk mencegah kehamilan, dengan ancaman akan membunuh mereka kalau tidak menurut.
Juga Siang Hwa diancam dan dipaksa minum obat itu. Sebagai balas jasa, juga sebagai penyimpan rahasia ini, Siang Hwa selalu dilindungi oleh Ratu Iblis, bahkan dilindungi dan diperbolehkan pula murid itu berbuat cabul dengan pria mana saja yang disukainya.
Seperti sudah kita ketahui, Siang Hwa gagal membujuk Lui Siong Tek, komandan kota Ceng-tek sehingga dia membunuh komandan itu dan melarikan dokumen penting tentang keadaan benteng Ceng-tek. Dia melarikan diri untuk menemui gurunya dan sementara itu tentara Ji-ciangkun yang dibantu oleh para tokoh sesat telah berhasil menguasai benteng San-hai-koan.
Siang Hwa melaporkan kejadian di kota Ceng-tek dan Raja Iblis girang mendengar bahwa komandan kota Ceng-tek yang setia terhadap pemerintah itu telah tewas. Siang Hwa lalu diberi tugas untuk melakukan penyelidikan mengenai berita bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Gadis yang cerdik ini lalu memasang banyak pembantunya untuk menjadi mata-mata, di antara mereka adalah enam orang yang membuka kedai arak itu. Dan ketika muncul Cia Sun dan Ci Kang yang lihai, hati Siang Hwa menjadi tertarik sekali. Dengan cepat gadis ini dapat menyelidiki siapa adanya dua orang muda yang tampan dan gagah perkasa itu.
Terkejutlah dia mendengar bahwa mereka itu adalah putera penghuni Lembah Naga dan putera mendiang Iblis Buta. Timbul niatnya untuk menaklukkan kedua orang pemuda itu agar suka menjadi pembantu-pembantu gurunya, dan terutama sekali tentu saja, menarik dua orang pemuda itu menjadi kekasihnya!
Maka diaturlah siasat yang sangat kejam, mengorbankan penghuni dusun yang dirampok dan dibunuh hanya untuk membuat dua orang itu mudah percaya kepadanya. Akhirnya ia pun berhasil menjebak Cia Sun dan Ci Kang sehingga dua orang muda itu terperangkap dan karena mereka berdua menolak bujuk rayu Siang Hwa, sekarang gadis itu mencari kesenangan dengan jalan menghukum dan menyiksa mereka berdua sampai mati.
Dia merasa yakin bahwa kedua orang pemuda itu sudah pasti akan menemui kematian bagaikan dua ekor tikus yang tenggelam karena dia tahu bahwa tidak mudah membuka batu-batu penutup lubang yang digerakkan dengan alat rahasia, dan tidak mungkin pula membobol dinding yang terbuat dari besi yang melapisi batu gunung!
Direbutnya San-hai-koan juga mengharuskan Raja dan Ratu Iblis, bersama murid mereka itu, untuk cepat-cepat memasuki San-hai-koan kemudian menyusun kekuatan di benteng pertama yang berhasil direbut itu. Oleh karena itu, yakin bahwa dua orang muda itu tentu akan tewas tenggelam dalam lubang yang dialiri air, kakek dan nenek itu bersama Siang Hwa lalu bergegas pergi meninggalkan istana kuno itu yang hanya disuruh jaga beberapa orang anak buah. Mereka pergi menuju ke San-hai-koan.
Ada kekuasaan rahasia yang mukjijat, yang mengatur segala sesuatu di alam mayapada ini. Kekuasaan mutlak yang tidak dapat dilawan oleh siapa pun atau oleh apa pun juga. Kekuasaan tertinggi yang meliputi seluruh jagat raya. Kekuasaan ini tidak dapat dipercaya atau tidak dipercaya lagi, karena terjadi dan dapat kita dengar, cium, lihat, dan rasakan sendiri, menjadi kenyataan yang terjadi di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita.
Kekuasaan yang mengatur seluruh alam semesta, mengatur peredaran bintang-bintang, arah angin, kekuasaan yang memberi kehidupan di angkasa, di atas bumi, di dalam air, dari makhluk-makhluk hidup bergerak mulai yang paling kecil sehingga tidak dapat dilihat mata sampai pada makhluk yang paling besar.
Kekuasaan yang menciptakan ketertiban dalam kehidupan di bagian tanah paling dalam, di dasar laut yang paling dalam, atau pun di angkasa yang paling tinggi. Kekuasaan yang membuat jantung kita berdenyut di luar kemampuan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang membuat setiap helai rambut dan kuku tumbuh di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang menciptakan kelahiran dan kematian!
Satu di antara hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh kita adalah kematian. Bila memang sudah tiba waktunya, mau ke mana pun juga kita bersembunyi, maut tentu akan datang menjemput. Sebaliknya, apa bila memang belum semestinya kita mati, seribu ancaman maut pun akan luput.
Siapa pun adanya Dia yang mengatur semua itu, disebut dengan apa pun juga menurut istilah dan kebiasaan dari bangsa, bahasa, mau pun agama masing-masing, namun kita manusia tidak mungkin dapat menyangkal akan adanya kenyataan itu, bahwa kekuasaan rahasia yang mukjijat itu memang ada terjadi di sekitar kita, di alam dan bahkan di dalam diri kita sendiri.
Pikiran kita terlalu dangkal untuk bisa menyelidiki tentang ada atau tidaknya Pengatur itu yang terlalu agung dan tinggi bagi kita, namun, pikiran dan tubuh kita dengan jelas dapat merasakan adanya kenyataan akan kekuasaan yang mukjijat itu. Di sini tak ada masalah percaya atau tidak percaya, sebab kita bisa melihatnya, merasakannya, segalanya terjadi pada diri kita sendiri masing-masing.
Agaknya memang belum tiba saatnya bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk mati sebagai dua ekor tikus yang tenggelam. Dua kali sudah Cia Sun yang masih terbelenggu itu meminta kepada Ci Kang untuk melepaskan belenggunya.
"Bantulah aku melepaskan diri dulu, Ci Kang, agar aku dapat membantumu membongkar penutup lubang itu!" untuk ketiga kalinya Cia Sun berteriak setelah air sudah mencapai dada.
"Hemm, melepaskan diri dari belenggu sendiri saja tidak mampu, apa artinya bantuanmu mendorong batu ini?" Ci Kang berkata dengan pandang mata merendahkan dan hatinya menjadi semakin penasaran. Dia belum dapat mengalahkan pemuda yang begini lemah, yang tidak mampu membikin putus belenggu macam itu saja!
Cia Sun menjadi tidak sabar lagi. Pemuda itu sungguh terlalu memandang rendah dirinya.
"Ci Kang, apakah kau sudah siap mati seperti tikus tenggelam?!" bentaknya. "Kalau kau tidak mau melepaskan belengguku, tolong kau bebaskan totokanku. Jangan disangka aku tidak sanggup membebaskan diri kalau pengaruh totokan sudah punah. Kau lebih banyak memiliki waktu untuk membebaskan totokanmu dari pada aku, maka jangan kau takabur dan sombong!"
Ci Kang menoleh dan baru dia teringat bahwa adanya Cia Sun tidak mampu melepaskan belenggu itu adalah karena jalan darahnya tertotok. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menghampiri Cia Sun dan menotok kedua pundak pemuda itu. Cia Sun memperoleh lagi tenaga sinkang-nya setelah jalan darahnya lancar.
"Mari kita cepat menyatukan tenaga!" katanya karena air sudah mencapal leher. Sebentar lagi mereka akan mati tenggelam kalau tidak cepat memperoleh jalan keluar.
"Mari!" kata Ci Kang.
Kini mereka berdua berdiri dengan kaki kokoh kuat di atas lantai dan dua lengan mereka menyangga batu penutup lubang, lalu mereka mengerahkan sinkang sekuat tenaga untuk mendorong batu ke atas. Hebat bukan main tenaga dua orang pemuda itu. Batu itu bukan hanya amat berat, akan tetapi juga diikat oleh rantai baja yang dihubungkan dengan alat rahasia yang menggerakkannya.
Akan tetapi kekuatan dua orang pemuda itu membuat batu itu mulai bergerak terangkat! Namun, ketika batu itu terangkat sedikit, air yang masuk dari celah-celah batu semakin banyak sehingga sebentar saja air sudah sampai ke mulut mereka! Mereka mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
"Brakkkk...!"
Bukan batu di atas itu yang terangkat, namun lantai yang menjadi landasan kaki mereka yang kini jebol ke bawah, tentu karena tertekan dengan hebatnya ke bawah! Dan kedua orang muda itu lalu terjatuh ke dalam lubang baru yang timbul karena jebolnya lantai yang mereka injak, terbawa bersama air yang membanjir ke bawah. Mereka pun cepat-cepat mengerahkan ginkang dan menyalurkan tenaga ke kulit mereka untuk melindungi diri.
Mereka terjatuh kemudian terbanting ke atas batu lantai yang jebol tadi, dan kalau bukan mereka berdua yang mempunyai kekebalan serta ilmu yang tinggi, tentu setidaknya akan menderita patah tulang atau babak belur. Mereka cepat berloncatan, bergerak menjauhi air yang masih terjun ke bawah itu.
Dengan tubuh basah kuyup keduanya kini berdiri di dalam ruangan yang sangat luas itu, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka saling pandang dan tidak mengherankan kalau ada rasa haru di lubuk hati mereka. Terharu karena baru saja mereka terlepas dari cengkeraman maut. Tadi air telah mencapai mulut sehingga terlambat satu menit lagi saja maka mereka akan tewas.
"Siangkoan Ci Kang, kita masih hidup?" seru Cia Sun.
Ci Kang mengangguk. Kalau dia tadi tidak cepat-cepat membebaskan totokan pada tubuh Cia Sun, belum tentu sekarang mereka masih hidup.
"Cia Sun, engkau hebat!" Dia memuji karena bagaimana pun juga, tanpa bantuan tenaga Cia Sun, tak mungkin lantai itu dapat jebol.
"Sudahlah, tak perlu kita saling memuji. Mari kita selidiki tempat ini!" kata Cia Sun sambil memeras air dari rambut dan bajunya. Mereka lantas menjauhi tempat yang jebol bagian atasnya itu dan melihat bahwa tempat itu merupakan ruangan batu yang luas sekali.
"Ssttt... lihat...!" Tiba-tiba Ci Kang berbisik.
Cia Sun cepat membalikkan tubuhnya dan matanya segera terbelalak. Tak jauh dari situ dia melihat orang yang jika dilihat dari pakaian dan tata rambutnya adalah seorang tosu, duduk bersila di atas sebuah batu datar tinggi yang mepet pada dinding batu. Bila dilihat dari tempat mereka, tosu yang nampak dari sisi itu berambut panjang, telah putih semua, pakaiannya juga serba putih dan dia memegang sebuah kebutan berbulu putih pula.
Tentu saja dua orang muda itu segera bersiap siaga karena di tempat seperti ini, mereka bisa menduga bahwa tentu tosu itu pun merupakan sekutu dari Raja Iblis dan merupakan lawan yang sangat berbahaya. Dengan hati-hati keduanya lalu melangkah menghampiri batu datar itu dan ketika mereka tiba di depan tosu itu, mereka memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Ternyata tosu itu sudah menjadi tulang-tulang manusia yang masih duduk bersila, masih berpakaian lengkap! Mukanya merupakan tengkorak yang menyeramkan, juga sepasang tangannya yang terjulur keluar dari lengan baju itu merupakan tulang-tulang rangka yang panjang-panjang dengan kuku panjang pula. Akan tetapi rambut putih panjang itu masih utuh, begitu pula pakaian putih dan kebutan berbulu putih! Menyeramkan sekali keadaan kerangka manusia berpakaian lengkap itu.
"Ahhh, hanya kerangka...," kata Cia Sun dan suaranya hanya bisikan yang agak gemetar karena dia masih dipengaruhi rasa kaget dan heran, juga seram.
"Ssst, lihat...!" Ci Kang berbisik dan suaranya juga gemetar.
Keduanya terbelalak dengan muka berubah agak pucat pada saat melihat betapa tiba-tiba saja kebutan berbulu putih itu bergerak-gerak ke atas! Ini tandanya bahwa kerangka itu masih hidup dan dapat menggerakkan kebutan! Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba terdengar suara keluar dari dalam tengkorak itu, suara yang melengking tinggi dan terdengar sangat menyeramkan penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan luas itu.
"Kalian ini orang-orang lancang dari mana berani mati memasuki dan mengotori tempat ini?"
Cia Sun dan Ci Kang yang kaget setengah mati itu sejenak saling pandang dengan muka masih pucat. Mereka sungguh hampir tidak dapat percaya kepada telinga sendiri. Jelaslah bahwa kerangka manusia itu bukan topeng, tetapi benar-benar kerangka yang terbungkus oleh pakaian. Akan tetapi mengapa kerangka itu dapat menggerakkan kebutan dan dapat mengeluarkan suara seperti masih hidup?
Karena suara ini jelas adalah suara wanita, mereka lalu menduga bahwa pendeta yang telah menjadi kerangka ini dulunya adalah seorang pendeta wanita. Maka Cia Sun segera menjura dengan sikap hormat.
"Harap locianpwe sudi memaafkan karena tanpa sengaja kami berdua sudah memasuki tempat ini..."
"Tiada maaf! Cepat kalian pergi dari sini, kalau tidak maka nyawa kalian akan kucabut!" kerangka itu memotong dan suaranya terdengar galak sekali.
"Heeii!" Tiba-tiba Ci Kang berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah kerangka itu. "Lihat, mulutnya tidak bergerak dan gagang kebutan itu tidak dipegang oleh tangannya!"
Sesudah berkata demikian, dengan cekatan Ci Kang melompat naik melalui lantai tangga yang menuju ke atas batu datar tinggi di mana tengkorak berpakaian itu duduk. Kiranya selagi Cia Sun tadi bicara kepada kerangka itu, diam-diam Ci Kang memperhatikan dan pandang matanya yang tajam melihat kejanggalan-kejanggalan itu yang lalu membuatnya berteriak dan cepat meloncat ke atas untuk mendekati kerangka itu.
Pada saat itu pula, dari belakang kerangka itu berkelebatan bayangan putih yang melesat dengan cepatnya sehingga sukar bagi pandang mata untuk mengikutinya. Akan tetapi Cia Sun dan Ci Kang adalah dua orang muda yang terlatih sejak kecil. Dengan pandang mata mereka yang sangat terlatih, mereka dapat melihat bahwa yang berkelebat dari belakang kerangka itu adalah seorang dara muda yang gerakannya lincah bukan kepalang. Mereka lantas teringat akan Siang Hwa yang telah memperdayakan mereka, maka dengan marah mereka lalu mengejar dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya.
Gadis yang berpakaian serba putih itu menyelinap ke sudut ruangan yang luas itu, cepat bersembunyi di balik batu yang menonjol. Ketika dia melihat betapa dua orang pemuda itu melakukan pengejaran dengan gerakan yang cepat sekali, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring.
"Laki-laki kurang ajar dan tidak sopan, jangan dekati aku!"
Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang tidak takut oleh gertakan ini. Mereka menduga bahwa wanita itu Siang Hwa, maka dengan marah mereka mengejar terus hendak menghadapi wanita jahat yang mencelakakan mereka itu. Akan tetapi, begitu mereka tiba di situ, gadis itu meloncat keluar dari balik batu menonjol dan sinar putih yang amat cepat menyambar ke arah leher Cia Sun dan Ci Kang.
Dua orang pemuda itu terkejut bukan main. Serangan ini sungguh amat cepat dan tidak terduga sehingga nyaris leher mereka kena totokan ujung kebutan putih yang bertubi-tubi menyerang ke arah leher mereka bergantian. Untung keduanya cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan ketika mereka turun lagi ke atas lantai, mereka berhadapan dengan seorang gadis yang ternyata sama sekali bukan Siang Hwa!
Dara itu bertubuh kecil ramping, wajahnya sedikit pucat seperti wajah orang yang kurang memperoleh sinar matahari, akan tetapi sepasang mata itu amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau, agaknya mata yang terlatih dalam gelap. Rambutnya hitam panjang digelung sederhana, wajahnya manis sekali, terutama mulutnya yang kecil dengan bibir yang kelihatan amat merah dengan latar belakang kulit mukanya yang putih agak pucat. Pakaiannya putih bersih namun potongannya sederhana, mirip pakaian pertapa saja, juga bulu kebutan yang dipegangnya putih bersih, seperti kebutan yang berada di pangkuan kerangka berpakaian itu.
Kalau melihat wajah yang manis itu, agaknya dara ini paling banyak delapan belas tahun usianya, masih amat muda dan bahkan sikapnya masih kekanak-kanakan saat dia berdiri menghadapi dua orang pemuda itu dengan mata terbelalak, marah tetapi juga takut atau ngeri melihat tubuh Ci Kang yang telanjang dada itu, suatu penglihatan yang sebelumnya tak pernah dialaminya. Ia tidak berani memandang dada itu lama-lama dan menundukkan muka, akan tetapi sepasang matanya mengerling penuh kewaspadaan, memperhatikan gerak-gerik dua orang pemuda itu.
Ci Kang dan Cia Sun berdiri memandang, sejenak seperti kehilangan akal karena mereka sungguh tak mengira bahwa wanita itu bukan Siang Hwa, melainkan seorang gadis muda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi, karena gadis ini berada di tempat yang mereka anggap sebagai sarang milik Raja Iblis, tentu saja mereka lantas menaruh curiga pada gadis ini. Apa lagi setelah mereka mengalami mala petaka dan nyaris tewas akibat seorang gadis cantik pula. Dan gadis ini pun tadi telah menyerang mereka dengan amat hebatnya, serangan maut yang jika tidak cepat mereka elakkan, mungkin bisa membunuh mereka.
Betapa pun juga, karena yang mereka hadapi hanyalah seorang gadis remaja yang kini nampak kebingungan dan ketakutan bagaikan seekor harimau yang terkurung, maka dua orang pemuda itu sendiri pun tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja mereka tidak sudi menyerang gadis yang tidak mereka kenal ini.
"Nona, kenapa tadi engkau menakut-nakuti kami dan kemudian menyerang kami dengan kebutanmu itu?" tanya Cia Sun.
"Karena demikian pesan ibuku...," jawab gadis itu, suaranya merdu akan tetapi agak kaku seperti orang yang jarang sekali bicara.
"Pesan ibumu? Untuk membunuh kami?"
"Ya, kalian atau siapa saja yang berani masuk ke sini, terutama laki-laki. Aku... aku tadi tidak tega untuk menyerang kalian, maka hendak mengusir kalian dengan jalan menakut-nakuti, akan tetapi kalian tidak takut..."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang. Mereka mengerutken alis. Gadis ini masih seperti anak-anak saja. Akan tetapi bagaimana pun juga, ketika mengatakan bahwa ia tidak tega menyerang mereka, menunjukkan bahwa gadis ini tidaklah sejahat Siang Hwa.
"Siapakah ibumu, nona?"
"Ibuku... ya, ibuku, satu-satunya orang yang sangat baik kepadaku, yang kadang-kadang mengunjungi dan yang melatih ilmu silat, mengajarku membaca dan menulis. Sayang, kini ibu hanya jarang saja dapat mengunjungiku..."
"Akan tetapi, mengapa engkau berada di tempat ini? Dan bagaimana dapat keluar dari sini?" Cia Sun mendesak.
"Aku berada di sini sejak kecil, aku sudah lupa lagi berapa lamanya... semenjak kecil, dan yang menemani aku hanyalah kerangka itu... juga ibu yang kadang-kadang datang untuk menjengukku."
"Engkau tidak pernah keluar dari sini?" tanya Ci Kang yang juga terheran-heran.
Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak diperkenankan ibu. Katanya, kalau aku keluar, aku tentu akan dibunuh orang. Aku hanya dapat mandi cahaya matahari selama beberapa jam saja setiap hari saat sinar matahari memasuki ruangan belakang melalui sebuah lubang."
"Bagaimana engkau makan? Minum? Dan mandi atau mencuci pakaian?" tanya Cia Sun yang merasa heran dan kasihan.
"Aku masak sendiri, bahan makanan diberi ibu, banyak sekali."
Gadis itu lalu berjalan perlahan, diikuti oleh kedua orang pemuda itu. Dia memperlihatkan tumpukan bahan makanan di sebuah ruangan lain dan juga adanya sebuah sumber air. Ada beras, ada daging kering berikut bumbu-bumbunya. Cukup untuk dimakan berbulan-bulan lamanya.
"Akan tetapi, kenapa engkau dikurung di sini? Siapa yang akan membunuhmu kalau kau keluar?"
"Entahlah, ibu hanya bilang bahwa aku tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Apa bila ada laki-laki masuk ke sini, aku harus membunuhnya. Akan tetapi aku tidak suka membunuh, dan aku sekarang merasa girang sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu..." Gadis itu memandang wajah Cia Sun dengan mata bersinar-sinar. "Aku girang tadi tidak sampai membunuhmu!"
"Hemm, jangan dikira mudah membunuh dia atau aku, nona," kata Ci Kang.
"Aku tentu dapat kalau aku mau!" gadis itu berkata. "Kebutanku ini lihai sekali, bahkan ibu sendiri bilang kebutanku akan sulit dilawan olehnya. Lihat...!" Gadis itu menggerakkan kebutannya.
"Tarr-tarrr...!"
Ujung batu pada langit-langit ruangan itu terkena sambaran ujung kebutan, lantas hancur menjadi debu! Diam-diam dua orang pemuda itu kaget dan kagum sekali. Gadis ini tidak main-main karena ilmu mempergunakan kebutan itu lihai dan berbahaya sekali.
"Siapa yang mengajarmu memainkan kebutan selihai itu?" Cia Sun bertanya.
Apa bila ibu gadis itu sendiri yang katanya mengajarnya silat sampai menyatakan tidak sanggup menandingi kebutan itu, berarti tentu bukan ibu gadis itu yang membimbingnya dalam ilmu menggunakan kebutan itu.
"Guruku dalam ilmu kebutan adalah dia!" Gadis itu menuding ke arah kerangka manusia berpakaian tosu itu.
Dua orang pemuda itu terkejut, dan kini mereka semua kembali menghampiri kerangka yang masih duduk bersila. Sekarang mereka berdua bisa membayangkan betapa lihainya orang ini dahulu ketika masih hidup. Jelas bahwa orang itu mati dalam keadaan sedang bersemedhi. Dan hebatnya, biar pun seluruh kulit serta dagingnya sudah habis dimakan waktu dan hanya tinggal kerangkanya saja, akan ketapi kerangka itu tetap dalam keadaan duduk bersila dan tidak runtuh.
"Siapakah locianpwe ini...?" tanya Ci Kang dengan hati kagum.
"Dia adalah kakek guruku, dia adalah guru terakhir dari ibu dan ayahku," jawab gadis itu tanpa ragu-ragu dan dengan suara mengandung kebanggaan. Agaknya gadis itu merasa bangga sekali kepada kerangka itu yang di samping menjadi kakek gurunya, juga menjadi temannya hidup di dalam goa bawah tanah ini.
"Akan tetapi dia... mana bisa mengajarmu? Dia sudah mati lama sekali," kata Cia Sun.
Dara itu tertawa dan wajahnya yang agak pucat itu tampak manis bukan main. Sepasang matanya memandang wajah Cia Sun dan berseri-seri. Agaknya ia dapat mendengar atau merasakan betapa di dalam suara pemuda itu terkandung perasaan iba dan kagum dan hal ini amat manyenangkan hatinya.
"Tentu saja tidak secara langsung. Dia sudah menjadi kerangka ketika aku dibawa ke sini untuk pertama kalinya. Akan tetapi atas petunjuk ibuku, aku mempelajari catatan-catatan dan gambar-gambar yang terukir di atas batu yang berada di belakangnya. Kata ibu, ilmu itu merupakan ilmu rahasia yang selamanya belum pernah diajarkan kepada siapa pun, juga tidak kepada ibu, sehingga kini menjadi milikku sendiri."
Dua orang pemuda itu sekarang dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang jahat, dan agaknya tidak ada hubungannya dengan Raja Iblis, Ratu Iblis, mau pun Siang Hwa. Akan tetapi Ci Kang masih belum puas.
"Apakah engkau mengenal seorang perempuan bernama Siang Hwa?" tanyanya sambil memandang wajah dara remaja itu. Yang ditanya kemudian mengerutkan alisnya seperti orang mengingat-ingat, lalu menggelengkan kepala.
"Tentu engkau mengenal Raja Iblis atau Ratu Iblis!" Ci Kang menyambung tiba-tiba dan pandang matanya penuh selidik mengamati wajah cantik manis itu. Akan tetapi gadis itu kelihatan geli dan menggeleng kepalanya lagi.
"Kau kira aku ini siapakah mengenal segala iblis? Aku hanya mengenal iblis dan setan dalam dongeng-dongeng ibuku atau cerita-cerita dalam buku-buku yang ditinggalkan ibu untukku."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang, kini merasa yakin bahwa gadis ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga iblis itu.
"Siapakah nama ibumu dan ayahmu, nona?" Cia Sun bertanya, sikapnya halus dan sopan walau pun dia dapat menduga bahwa gadis ini sejak kecil tidak pernah bergaul dengan manusia lain.
Gadis itu memandang Cia Sun dan seperti tadi, wajahnya berseri dan jelas nampak dari pandang matanya bahwa dia suka dan kagum kepada pemuda itu. Lalu dia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, aku tidak pernah berjumpa dengan ayah, dan ibuku tidak pernah memberi tahukan nama. Tapi aku... aku benci ayah!"
Cia Sun mengerutkan alisnya. Seorang gadis yang begini manis dan yang keadaannya amat aneh, menarik perhatian dan rasa ibanya, tidak layak kalau mengeluarkan kata-kata keji seperti itu, kata-kata yang hanya patut keluar dari mulut seorang anak durhaka.
"Nona, tidak baik membenci ayah sendiri," dia menegur.
Mendengar nada suara teguran ini, dan melihat betapa pandang mata Cia Sun demikian marah dan tidak senang, tiba-tiba saja gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menangis! Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Cia Sun yang merasa bersalah telah menegur orang padahal urusan pribadi nona itu sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan dia, segera maju dan berkata dengan suara menyesal,
"Maafkan aku, nona. Bukan maksudku untuk menegurmu dan menyinggung hatimu, tetapi aku tadi hanya merasa heran bagaimana seorang gadis seperti engkau ini bisa membenci ayah sendiri. Mengapa engkau membencinya? Kalau sampai engkau membencinya, tentu dia seorang ayah yang tidak baik!"
Gadis itu menurunkan dua tangannya dan sejenak Cia Sun terpesona. Setelah menangis, ada warna merah pada kedua pipi gadis itu dan kini dia nampak cantik manis sekali, amat menarik hati! Gadis itu mengusap air mata dari kedua pipinya dengan ujung lengan baju, kemudian memandang Cia Sun.
"Dia... dia mau membunuhku!"
"Apa...?!" Cia Sun benar-benar terkejut mendengar ini. "Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Aku tak pernah bertemu dengan dia, akan tetapi ibu selalu menekankan kepadaku bahwa aku tidak boleh bertemu dengan orang lain, terutama dengan lelaki dan lebih-lebih lagi dengan ayahku karena ayahku pasti akan membunuhku apa bila bertemu denganku. Karena itulah maka aku dikurung di sini."
Hati Cia Sun tertarik sekali. Ayah dan ibu gadis ini sungguh merupakan manusia-manusia aneh. Ibu gadis ini barang kali gila, ataukah ayahnya yang gila? Ataukah gadis ini sendiri yang miring otaknya?
"Engkau tidak tahu siapa nama ayahmu atau ibumu?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Dan namamu sendiri? Siapakah namamu?"
"Ibu memanggil aku Hui Cu."
"She-mu...?"
"Apa itu she?"
"Nama keluargamu? Siapakah nama keluarga ayahmu?"
"Aku tidak tahu, tahuku hanya bahwa ibu memanggil aku Hui Cu dan kata ibu sekarang usiaku sudah hampir delapan belas tahun."
Sementara itu, Ci Kang kelihatan tidak sabar melihat betapa Cia Sun asyik bicara dengan gadis ini. Dia tahu bahwa Cia Sun hanya tertarik oleh riwayat gadis yang sangat aneh itu, akan tetapi baginya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.
"Sudahlah, mari kita cepat keluar dari sini. Nona, tunjukkanlah jalan keluar dari tempat ini untuk kami," katanya.
Baru Cia Sun teringat bahwa mereka sedang terkurung di dalam goa bawah tanah. Maka dia pun mengangguk kepada gadis bernama Hui Cu itu sambil berkata, "Benar, kami perlu cepat keluar dari sini, adik Hui Cu. Tolonglah kami keluar dari sini!"
Hui Cu kelihatan girang sekali dipanggil adik oleh Cia Sun. Dia tersenyum dan nampaklah giginya berderet putih. Agaknya ibu gadis ini tidak lupa untuk memberi pelajaran cara-cara merawat dan membersihkan diri kepada gadis yang hidupnya terkurung dalam goa bawah tanah ini.
"Kau... siapakah namamu?" tiba-tiba dia bertanya kepada Cia Sun.
"Namaku Cia Sun dan dia bernama Siangkoan Ci Kang. Nah, adik Hui Cu, tunjukkanlah jalan keluar itu."
"Cia Sun... Cia Sun... kakak Sun, kenapa engkau mau keluar? Kenapa tidak tinggal saja di sini menemani aku?"
Keharuan menyelinap dalam hati Cia Sun. Sungguh patut dikasihani anak ini, pikirnya.
"Tidak mungkin, siauw-moi (adik kecil), tak mungkin aku tinggal di sini. Aku harus keluar dari sini. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Nah, tunjukkanlah jalan keluar bagi kami."
Gadis itu menggigit bibir, agaknya terjadi pertentangan di dalam hatinya, akan tetapi dia mengangguk lalu melangkah menuju ke lorong samping, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang dari belakang. Akhirnya gadis itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi dan dicat warna hitam.
"Hanya dari sini sajalah jalan keluarnya, dan ini merupakan rahasia. Jika bukan untukmu, Sun-ko, aku tidak akan suka membuka rahasia ini. Kalau sampai diketahui ibu, tentu aku akan mendapat kemarahan besar sekali." Berkata demikian, dara itu meraba dinding batu dekat pintu lantas terdengar suara berderit ketika pintu besi itu bergerak masuk ke dalam dinding.
Seketika Cia Sun dan Ci Kang memicingkan mata dan melindungi mata dengan tangan karena mereka menjadi silau ketika tiba-tiba berbareng dengan terbukanya daun pintu itu, nampak sinar matahari yang amat terang dari balik pintu. Mereka melewati ambang pintu dan berdiri di dalam cahaya matahari.
"Di sinilah aku setiap pagi berjemur diri seperti yang diajarkan ibu. Kalau pintu ini terbuka, maka penutup sumur ini di bagian atas terbuka pula. Kalau pintu tertutup, penutup di atas itu pun turut tertutup sehingga tempat ini tidak pernah dapat diketahui orang dari atas," kata Hui Cu.
Dua orang pemuda itu memandang ke atas. Tempat itu merupakan dasar sebuah sumur yang sangat dalam, agaknya tidak kurang dari seratus kaki dalamnya!
"Adik Hui Cu," kata Cia Sun memancing. "Apakah engkau pernah keluar dari lubang ini?"
Gadis itu mengangguk. "Beberapa kali aku keluar, biasanya pada waktu malam saja kalau suasana sepi karena aku takut... kalau sampai ketahuan orang yang akan membunuhku. Aku juga pernah beberapa kali keluar pada siang hari bersama ibu, akan tetapi tidak lama dan sebelum bertemu orang lain aku sudah harus masuk lagi."
"Dan bagaimana caranya engkau keluar dari sini?"
Hui Cu memandang ke atas, lalu nampak kaget. "Aihh, kenapa aku tidak ingat? Aku bisa naik dengan mudah, akan tetapi engkau, Sun-ko, kalian... mana bisa memanjat naik?"
"Kenapa tidak bisa?" Ci Kang berkata.
Dan pemuda ini sudah cepat mengerahkan sinkang dan menggunakan kedua tangan dan kakinya untuk memanjat naik. Dengan menggunakan dua tangan mencengkeram dinding sumur itu, dia dapat terus merayap naik seperti seekor cecak.
Hui Cu memandang dengan mata terbelalak. "Wah, dia lebih pandai dari pada aku!" Lalu dia membalikkan tubuhnya menghadapi Cia Sun. "Sun-ko, jangan kau pergi...!"
"Mana bisa? Tak mungkin aku tinggal terus di sini, adik Hui Cu."
"Sun-ko, jangan tinggalkan aku, Sun-ko. Maukah engkau menemani aku barang beberapa hari saja? Aku amat kesepian, Sun-ko, hampir tak tertahankan lagi... dan begitu bertemu denganmu, aku ingin lebih lama berkenalan denganmu, bercakap-cakap denganmu..."
Cia Sun memandang dengan hati terharu. Dara ini masih seperti kanak-kanak saja, polos dan bersih, dan menderita. "Adik Hui Cu, tidak mungkin aku tinggal di sini. Engkau saja yang minta kepada ibumu, kalau betul dia mencintamu, supaya engkau dibawa keluar dari tempat ini. Kulihat kepandaianmu hebat, kiranya engkau akan dapat pergi jauh dari orang yang hendak membunuhmu itu dan andai kata bertemu dengan aku, aku tentu akan siap melindungimu dari ancaman orang yang hendak membunuhmu."
Tiba-tiba saja Hui Cu memegang kedua tangan pemuda itu. Dengan kedua mata basah dia memandang wajah Cia Sun. "Benarkah, koko? Benarkah bahwa engkau akan suka melindungi aku? Menurut ibu, ayahku itu memiliki kepandaian tinggi, sulit dikalahkan oleh siapa pun juga..."
"Tentu, siauw-moi, tentu aku akan melindungimu. Nah, sekarang selamat tinggal. Lihat, kawanku sudah hampir sampai di atas!"
Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar Ci Kang mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya melayang turun ke bawah! Cia Sun terkejut bukan main dan cepat dis menyambut tubuh kawannya itu dengan sepasang lengannya. Untung Ci Kang masih sempat mengerahkan ginkang-nya sehingga dibantu oleh Cia Sun, dia dapat sampai di dasar sumur itu dengan selamat.
"Ibu...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru nyaring dan tubuhnya melesat ke atas.
Cia Sun kagum sekali melihat kehebatan ginkang gadis itu. Sebentar saja tubuhnya telah merayap naik dengan cepat sekali. Dari bawah, dia melihat bayangan orang di atas dan maklumlah dia bahwa yang berada di atas itu adalah ibu Hui Cu!
"Dia menyerangku dengan angin pukulan dahsyat!" kata Ci Kang dengan marah.
"Mari kita susul Hui Cu!" Cia Sun berkata.
Dengan cerdik dia hendak mempergunakan Hui Cu sebagai pelindung atau perisai. Kalau mereka merayap di bawah Hui Cu, tentu ibu gadis itu tidak dapat menyerang mereka dan ibu itu kiranya tidak akan mau mencelakai anak sendiri. Ci Kang mengerti apa maksud kawannya, maka dia pun cepat merayap kembali bersama Cia Sun mengejar Hui Cu yang sudah merayap lebih dulu.
Benar saja, nenek yang berada di luar sumur itu menjenguk ke bawah dan mengeluarkan teriakan-teriakan yang tidak jelas, agaknya menyuruh puterinya itu supaya turun kembali. Akan tetapi Hui Cu tak peduli dan terus merayap naik. Ketika gadis itu akhirnya meloncat keluar sumur, ibunya hendak menyerang Cia Sun dan Ci Kang yang masih belum tiba di atas.
"Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru lantas menubruk ibunya, memeluk pinggang ibunya untuk menahan ibunya yang hendak mendekati sumur.
"Lepaskan aku, biar kubunuh mereka...!" Nenek itu berseru dan meronta-ronta.
Akan tetapi Hui Cu tetap tak mau melepaskan rangkulannya dari pinggang ibunya hingga kedua orang ini bersitegang. Keributan itu memberi cukup waktu bagi Cia Sun serta Ci Kang untuk berloncatan keluar dari sumur dan sekarang mereka berdiri terbelalak. Kiranya nenek yang kini berusaha melepaskan rangkulan Hui Cu adalah seorang nenek berambut dan berpakaian putih, dan mereka berdua segera mengenalnya sebagai Ratu Iblis!
Nenek itu pun kini mengenal Ci Kang dan Cia Sun. Sejenak matanya yang kehijauan itu terbelalak, seolah-olah tak percaya pada pandang matanya sendiri dan dia nampak kaget seperti melihat orang-orang yang sudah mati hidup kembali!
Akan tetapi otaknya yang amat cerdik itu segera dapat membuat perhitungan dan dia pun menjadi kagum bukan main. Dia dapat menduga bahwa tentu dua orang muda itu berhasil menjebol lantai kamar jebakan yang dialiri air dari atas itu! Dua orang pemuda ini, yang menjadi musuh besar keluarganya, telah mengetahui rahasianya, rahasia puterinya!
Gadis itu, Toan Hui Cu, adalah puteri Ratu Iblis yang ketika lahir dahulu ditukar dengan bayi seorang penghuni dusun. Puteri inilah yang diselamatkan itu dengan mengorbankan nyawa bayi puteri penghuni dusun yang sama sekali tidak berdosa. Ratu Iblis membunuh seorang bayi untuk menyelamatkan puterinya dari ancaman suaminya.
Kemudian, sesudah anak itu berusia lima enam tahun, dia menculiknya dari suami isteri penghuni dusun itu lantas mengurung anak yang diberi nama Hui Cu, Toan Hui Cu itu, ke dalam goa bawah tanah yang merupakan tempat rahasia yang hanya diketahuinya sendiri.
Raja Iblis tentu saja tahu akan tempat ini, akan tetapi tempat ini merupakan kuburan atau tempat terakhir dari seorang gurunya dan menjadi tempat keramat, maka dia sendiri pun tidak pernah dan tidak mau menjenguk tempat itu. Sama sekali dia tidak mengira bahwa isterinya mempunyai rahasia, bahwa tempat itu menjadi tempat persembunyian puterinya sendiri!
Ratu iblis merahasiakan segalanya dan bersikap hati-hati sekali. Bahkan dia tidak pernah memperkenalkan namanya sendiri atau nama suaminya kepada Hui Cu, serta menakut-nakuti gadis itu supaya membunuh setiap orang yang berani masuk, juga memberi tahu bahwa ayah gadis itu tentu akan membunuhnya kalau sampai melihatnya.
Hal ini membuat Hui Cu ketakutan dan dia mentaati pesan ibunya, sampai belasan tahun lamanya dia menjadi penghuni goa bawah tanah itu sehingga akhirnya, tanpa tersangka-sangka, nasib mempertemukan dia dengan Cia Sun dan Ci Kang!
Ketika Ratu Iblis mengenal dua orang pemuda itu, selain amat terkejut dan heran, dia juga marah dan khawatir sekali. Dua orang muda ini harus dibunuhnya, kalau tidak, rahasianya tidak akan dapat dipertahankannya lagi dan suaminya tentu akan marah jika tahu bahwa dia mempunyai seorang puteri yang disembunyikan hingga belasan tahun lamanya. Entah apa yang akan diperbuat suaminya terhadap dirinya dan terhadap Hui Cu, dia tak mampu membayangkan.
"Lepaskan, aku harus bunuh mereka!" Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya dengan kuat hingga Hui Cu terpelanting jauh. Melihat puterinya terpelanting jatuh, Ratu Iblis tidak jadi menyerang dua orang pemuda itu melainkan mendekati puterinya, lalu merangkulnya dan bertanya dengan suara penuh kasih sayang, "Anakku, engkau tidak terluka...?"
Diam-diam dua orang pemuda yang memperhatikan gerak-gerik Ratu Iblis merasa heran. Kini lenyaplah sifat liar serta ganas dari nenek itu, terganti sifat yang menimbulkan rasa haru, karena sikapnya ketika merangkul dan mengelus rambut Hui Cu, dan juga suaranya menggetarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!
"Ibu, jangan bunuh mereka... jangan serang Sun-koko...!"
Nenek itu melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alianya. "Sun-koko...? Siapa itu?"
"Seorang dari mereka... mereka tidak sengaja memasuki goa bawah tanah, ibu, jangan serang mereka, mereka itu orang-orang yang amat baik..."
"Setan! Mereka adalah musuh-musuh kita, jika tidak dibunuh hanya akan mendatangkan bencana di kemudian hari!" Dan tiba-tiba saja sikap nenek itu berubah lagi dan tubuhnya melesat ke depan, kedua tangannya sudah mendorong ke arah Cia Sun dan Ci Kang.
Akan tetapi kini dua orang pemuda itu sudah siap menghadapi serangan lawan. Mereka berdua tahu bahwa nenek itu lihai bukan kepalang. Serangannya tadi saja mengeluarkan hawa yang amat kuat dan panas dan sebelum tangan itu menyentuh mereka, sudah ada angin pukulan dahsyat yang menyerang. Mereka cepat mengelak lantas balas menyerang sambil mengerahkan tenaga mereka.
Ratu Iblis menggereng marah melihat betapa semua tamparannya mampu dielakkan oleh dua orang lawan itu, bahkan kini mereka membalas dengan pukulan-pukulan yang keras. Dia masih memandang rendah mereka, kemudian menggunakan kedua lengannya untuk menangkis, dengan maksud tangkisan itu akan dilanjutkan dengan sebuah cengkeraman untuk menangkap lengan mereka.
"Dukk! Dukk...!"
Nenek itu kembali mengeluarkan suara geraman aneh ketika dia merasa betapa benturan lengan itu telah membuat tubuhnya tergetar hebat. Jangankan merubah tangkisan menjadi cengkeraman, bahkan dia terhuyung ke belakang oleh benturan-benturan itu. Sedangkan Cia Sun dan Ci Kang juga terhuyung ke belakang karena nenek itu memang mempunyai tenaga kuat yang aneh sekali.
Mulailah nenek itu memandang mereka dengan mata lain, tidak lagi berani memandang rendah. Dan dia pun mulai mengerti bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian hebat.
Tadinya memang Siang Hwa melaporkan bahwa mereka itu lihai, akan tetapi dia masih belum percaya. Sekarang barulah dia tahu bahwa memang tingkat kepandaian mereka ini lebih lihai dari pada tingkat Siang Hwa. Pantas saja muridnya itu terpaksa menggunakan siasat untuk menjebak mereka.
Karena tidak memandang rendah lagi, nenek itu menggerakkan tangan kanannya hingga nampaklah cahaya berkilat ketika dia tahu-tahu sudah mencabut pedangnya. Dicabutnya pedang ini membuktikan bahwa Ratu Iblis benar-benar tidak memandang rendah lawan. Jarang dia mempergunakan pedangnya ketika bertanding karena jarang pula ada orang mampu menandinginya walau pun dia tidak mencabut pedang.
Ci Kang maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun cepat mematahkan sebuah cabang pohon yang sebesar lengannya dan panjangnya satu tombak. Untuk menghadapi pedang seorang datuk sesat seperti nenek itu dia harus berhati-hati.
Cia Sun juga berhati-hati dan untung bahwa suling yang terselip di pinggangnya, di balik bajunya, masih ada, maka ia pun mencabut sulingnya itu. Benda ini telah menjadi senjata yang ampuh semenjak dia di digembleng oleh Go-bi San-jin. Bukan hanya suling ini saja, bahkan kini dia pandai mempergunakan ujung lengan baju atau benda apa saja sebagai senjata.
Dengan cerdiknya, kedua orang pemuda itu segera berpencar, menghadapi nenek itu dari kanan dan kiri. Mereka bersikap hati-hati dan hanya menanti dengan waspada, tidak mau menyerang lebih dulu.
Sejenak tiga orang itu berdiri tegak seperti patung, hanya mata nenek itu yang melirik ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan dua orang lawannya. Pedang di tangan kanannya itu diangkat tinggi-tinggi dan melintang di atas kepala, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka diletakkan di depan dada, rambutnya yang putih panjang itu tergantung di depan.
"Ibu, jangan serang mereka...! Sun-ko, jangan berkelahi dengan ibuku..."
Akan tetapi nenek itu tentu saja tak mempedulikan teriakan puterinya, malah membentak marah, "Diam kau...!"
"Siauw-moi, aku hanya membela diri...!" Cia Sun menjawab. Akan tetapi begitu dia bicara, nenek itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan sangat hebatnya. Pedang itu menyambar dari atas seperti halilintar dan mengeluarkan hawa dingin.
Cia Sun cepat mengelak. Pedang menyambar lewat tetapi cepat membalik dan meluncur turun, jika tadi membacok kini berbalik menusuk! Demikian cepatnya datangnya serangan lanjutan itu sehingga Cia Sun terpaksa harus mengangkat sulingnya menangkis.
"Trakkk...!"
Kembali keduanya mendapat kenyataan bahwa lawan memang memiliki tenaga sinkang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Pada saat itu, Ci Kang sudah menyerang dengan tongkatnya yang dibuat secara darurat, yaitu kayu cabang pohon tadi. Serangannya sangat hebat, sampai mengeluarkan angin dan suara bersuitan. Tongkat itu menyambar ke arah kepala Ratu Iblis yang ketika itu sedang menyerang Cia Sun.
Ratu Iblis itu sungguh lihai bukan main. Menghadapi serahgan tongkat yang datang dari samping agak belakang ini, ia bersikap tenang saja. kepalanya digerakkan mengelak dan tiba-tiba saja gumpalan rambut putihnya menyambar lantas menangkis batang kayu itu. Hebatnya, kini gumpalan rambut itu tiba-tiba saja berubah menjadi kaku dan keras seperti besi.
"Takkk...!"
Tongkat di tangan Ci Kang tertangkis dan mendadak tangan kiri nenek itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang sangat hebat menyambar dada Ci Kang sebagai balasan serangannya.
"Ehhhhh...!" Ci Kang berseru kaget dan terpaksa dia meloncat jauh ke belakang karena serangan itu sungguh amat berbahaya.
Dua orang muda itu kini bersikap hati-hati sekali. Mereka semakin tahu betapa hebatnya lawan mereka yang memiliki tiga macam senjata ampuh itu, yaitu pedangnya, rambutnya, dan tangan kirinya. Belum lagi diperhitungkan kedua kakinya kalau mengirim tendangan karena mereka melihat betapa sepatu nenek itu berlapis baja!
Nenek itu sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah dia menghadapi lawan yang begini tangguhnya. Andai kata kedua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya dia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi pemuda itu maju bersama dan sesudah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga dia segera terdesak hebat! Juga pertemuan-pertemuan tenaga antara dia dan dua orang muda itu membuat dia lelah sebab harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.
"Anakku, cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!" Akhirnya, setelah terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang semenjak tadi hanya nonton saja dengan sepasang mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini, mendengar seruan ibunya, dia menjadi semakin bingung.
"Tidak, ibu! Kata ibu semua orang jahat, terutama laki-laki. Akan tetapi mereka ini tidak jahat, jadi aku tidak dapat menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi mereka!" Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.
"Desss...!"
Tubuh nenek itu terhuyung, akan tetapi dia bisa menguasai dirinya dan tak sampai roboh walau pun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya tadi kuat bukan main.
Karena puterinya tidak mau membantunya dan dia maklum bahwa kedua orang lawannya itu benar-benar merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya, Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara itu. Kesempatan itu cepat dipergunakan oleh nenek itu untuk meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil menarik Hui Cu bersamanya.
"Kurasa tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya...!" Cia Sun berkata ketika melihat temannya hendak mengejar.
Mendengar suara Cia Sun, Ci Kang langsung menahan kakinya dan melangkah kembali menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya. Ternyata kulit tangan itu telah berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke pergelangan.
"Cia Sun, engkau keracunan!" kata Ci Kang mendekat.
"Nenek itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Karena itulah maka aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku tidak dapat membantumu dan jika sampai dia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau akan terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk membersihkan racun ini."
"Tak perlu begitu lama, Cia Sun. Dulu aku pernah mempelajari ilmu membersihkan hawa beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."
Tidak lama kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk bersila, mengerahkan sinkang dan dengan hawa murni dia mendorongkan tenaga ke arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendirian saja, tentu akan memakan waktu sedikitnya satu pekan baru hawa beracun di dalam tangan kirinya itu dapat terusir bersih.
Akan tetapi kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya pada siku serta pundak kirinya, dan teman ini membantunya dengan mengerahkan sinkang. Hawa panas segera memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah mereka bisa mengusir racun dari tangan kiri. Tidak lama kemudian, kulit tangan itu berubah warnanya. Warna hitam kehijauan itu perlahan-lahan surut hingga akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.
"Terima kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku," kata Cia Sun dengan hati girang dan kagum.
Ci Kang menggelengkan kepala. "Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkau pun telah menolongku. Sikapmu yang baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."
"Ci Kang, sampai sekarang aku masih merasa heran mengingat bahwa engkau, sesuai pengakuanmu sendiri, adalah putera Siangkoan Lo-jin! Dan engkau memusuhi para datuk sesat! Mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi sahabat senasib sependeritaan, kalau aku boleh bertanya, sebetulnya apakah yang kau cari di sini?"
"Sama saja dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ke sini untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak bangkit untuk menentang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"
Cia Sun mengangguk lalu bertanya, "Apa maksudmu ingin menghadiri pertemuan itu?"
Ci Kang tersenyum pahit. "Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. Ayahku adalah seorang datuk sesat, bagaimana mungkin aku diterima di antara para pendekar? Tadinya kusangka..."
Melihat Ci Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun memegang lengan yang kokoh kuat itu. "Sahabatku, jangan kau persalahkan sikap para pendekar. Andai kata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu bersamamu dan sudah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang menentang para datuk sesat, mungkin aku pun akan curiga kepadamu. Bayangkan saja. Engkau, putera Siangkoan Lo-jin, berkeliaran di tempat ini, padahal para pendekar hendak mengadakan pertemuan di sini untuk menentang golongan sesat! Orang yang tidak mengenal keadaan dirimu tentu saja akan menyangka engkau memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku di sini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu, apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"
"Aku hendak menyumbangkan tenagaku menentang para datuk yang hendak melakukan pemberontakan."
"Bagus! Kalau begitu kita satu haluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menemui para pendekar, Ci Kang."
Akan tetapi pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala. "Cia Sun, sejak kecil aku selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apa pun yang kuhadapi tak akan memuaskan hatiku apa bila berhasil hanya karena bantuan orang lain,. Biarlah, aku akan hadapi sendiri para pendekar, apa pun akibatnya. Aku gembira sekali sudah dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!"
Setelah berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian yang dapat menandinginya. Dia pun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu.
Semenjak Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terbasmi atau terusir sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara lagi, maka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang lemah. Lenyap sudah kebesarannya seperti saat mereka masih menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu.
Kini sisa bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin. Jumlah suku bangsa mereka sangat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai agama, aliran dan tradisi. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar, dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang selalu berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah.
Karena terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini menjadi lemah. Di antara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan tanah, air dan sebagainya. Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan kesulitan yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak menguntungkan manusia.
Masing-masing suku atau kelompok memiliki kepala sendiri dan seperti biasa terjadi di seluruh dunia ini di antara manusia, kepala-kepala inilah yang menimbulkan permusuhan dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau pengikut mereka ke dalam permusuhan. Tidak pernah lagi lahir seorang Jenghis Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya untuk bisa menundukkan semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.
Nenek Yelu Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh di antara suku bangsa utara ini. Akan tetapi peran nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit semangat mereka, namun sebagai penengah. Nenek ini memang ditakuti karena memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi nenek Yelu Kim tidak pernah bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan bila mana terjadi pertempuran-pertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api permusuhan di antara mereka.
Akan tetapi pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di San-hai-koan, telah menimbulkan guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan sesuatu di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekuasaan yang sudah hilang di selatan.
Juga Yelu Kim bagaikan baru terbangun dari tidurnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya. Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa dia tidak bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang itu untuk mencoba membangkitkan lagi kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya, meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mongol?
Akan tetapi, api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan lagi di antara mereka sendiri. Masing-masing ingin menjadi pemimpin jika mereka sampai dapat bersatu dan melakukan penyerbuan ke selatan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan.
Masing-masing ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka kelak berhasil, maka sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke anak cucu keturunannya! Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati nenek Yelu Kim sampai dia berjumpa dengan Sui Cin. Di dalam diri gadis ini dia melihat bakat dan kepandaian yang dapat dia pergunakan untuk mencapai hasil baik dalam rencananya menghadapi pertikaian baru di antara para kepala suku itu.
Nenek itu berhasil membawa pergi Sui Cin dengan bantuan harimau peliharaannya, lalu mengobati Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coa-li dan minum racun pembius. Namun di samping keracunan, nenek itu juga mendapat kenyataan bahwa gadis itu pun kehilangan ingatannya, maka dia pun berusaha dengan sepenuh perhatian dan kepandaiannya untuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama sekali, termasuk dari penyakit kehilangan ingatan itu.
Nenek Yelu Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya dia berhasil mengobati Sui Cin hingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali kepadanya ketika pada suatu pagi dia terbangun kemudian melihat nenek itu sudah duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum emas dan agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya pada waktu dia sedang tidur dan berhasil membuka kembali ingatannya.
"Aihhhh...!" Sui Cin meloncat lantas bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja...! Tapi aku tidak bermimpi!" Ia menengok ke arah pintu kamar itu dan memanggil girang ketika melihat seekor harimau besar menjenguk ke dalam. "Houw-cu, engkau pun kenyataan, bukan mimpi! Dan nenek Yelu Kim, yang telah menolongku!"
Nenek itu tersenyum dan wajahnya nampak cantik pada saat dia tersenyum. "Anak baik, engkau sudah ingat semua, juga akan keadaan dirimu? Tadinya engkau lupa sama sekali akan keadaan dirimu dan asal-usulmu."
Sui Cin membelalakkan matanya. "Benarkah itu? Ah, ya, teringat olehku sekarang. Tentu timpukan batu yang mengenai belakang kepalaku itulah yang membuatku lupa segalanya. Dan bagaimana nasib Hui Song...?"
Nenek itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Apakah dia pemuda yang menolongmu dari Kiu-bwe Coa-li itu?"
"Bukan! Pemuda itu adalah Cia Sun-twako. Ahh, tentu locianpwe tidak tahu. Betapa hebat dan mengerikan semua pengalamanku selama ini dan akhirnya locianpwe yang berhasil menyembuhkanku. Sungguh besar sekali budi locianpwe kepadaku."
"Hush, sudahlah. Di antara guru dan murid mana ada budi? Ingat, sesuai dengan janjimu, engkau sudah menjadi murid juga pembantuku. Sekarang lekas ceritakan keadaan dirimu dengan singkat."
"Namaku Ceng Sui Cin dan ayahku..." Sui Cin langsung teringat bahwa dia tidak boleh membawa-bawa nama orang tuanya, maka dia meragu. Bagaimana pun juga, dia belum mengenal benar siapa sesungguhnya nenek Yelu Kim yang telah menolongnya ini.
Akan tetapi nenek itu kemudian tersenyum setelah tadinya sepasang matanya terbelalak mendengar gadis itu memperkenalkan diri. Lalu tangannya yang kurus memegang lengan Sui Cin dan matanya yang tajam itu menatap wajah gadis itu, mulutnya tersenyum ramah.
"Sungguh para dewa sudah mempertemukan kita! Tepat suara hatiku bahwa engkaulah yang akan dapat membantuku dan menolong bangsa dan golongan kita. Kiranya engkau adalah keturunan Puteri Khamila, engkau masih berdarah bangsa kami, anak baik!"
Sui Cin amat terkejut dan merasa heran. Benarkah nenek ini dapat mengenal keluarganya hanya dengan namanya? Padahal, sebelum ini belum pernah dia mengenal nenek Yelu Kim.
"Apa maksud locianpwe?" tanyanya sambil memandang tajam.
Senyum nenek ini semakin melebar. "Tidak sulit mengenalmu, Sui Cin. Ilmu silatmu amat lihai dan selama engkau berada di sini, dalam latihan engkau memainkan beberapa ilmu silat yang kukenal bersumber pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Tadinya kukira engkau adalah murid Cin-ling-pai, akan tetapi setelah kini aku tahu bahwa engkau she Ceng, mudah saja menduga siapa adanya dirimu. Bukankah ayahmu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"
Sui Cin mengangguk. "Locianpwe sungguh cerdik sekali." Dia memuji.
"Dan ayahmu itu adalah putera Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai. Kakekmu itu adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung dan Puteri Khamila, dengan sendirinya antara engkau dan aku masih ada hubungan yang dekat sekali, Sui Cin." Kemudian kata-kata itu diakhiri dengan suara ketawa girang bukan main dari nenek itu.
Sui Cin memandang bengong ketika melihat nenek itu tiba-tiba bangkit dan menari-nari di dalam kamar itu, menari-nari sambil bernyanyi lagu Mongol dan bertepuk tangan! Harus diakuinya bahwa meski pun di situ tidak ada iringan musik, akan tetapi tarian itu sangat indah dan suara nyanyian nenek itu pun merdu sekali.
"Locianpwe..."
"Aku sudah menjadi gurumu dan kau masih menyebutku locianpwe?" Nenek yang sudah selesai menari itu menegur.
"Subo," akhirnya Sui Cin berkata dengan nada agak terpaksa.
Sesungguhnya, apa bila dia berada dalam keadaan sadar, dia tidak akan mau begitu saja berjanji menjadi murid dan pembantu nenek itu tanpa lebih dahulu mengenal keadaannya. Akan tetapi dia telah berjanji dan dia tak akan menarik kembali apa yang telah dijanjikan.
"Subo, hubungan dekat apakah yang ada antara kita?"
"Tidak dapatkah engkau menduganya? Nama keturunanku Yelu! Tidak tahukah engkau apa artinya nama itu?"
Sui Cin menggeleng kepala dan menyesal mengapa dia tidak tahu akan hal itu karena dia melihat betapa wajah nenek itu nampak kecewa sekali.
"Aihh, agaknya Ceng Thian Sin tidak pernah menceritakan kepadamu tentang kebesaran bangsa kita di utara."
"Ayah memang tidak suka menceritakan riwayat nenek moyang kami," kata Sui Cin.
"Sayang sekali. Nah, dengarkan baik-baik. Ketika Kaisar Jenghis Khan, raja terbesar di seluruh dunia, masih bertahta dan menguasai seluruh daratan sampai ke lautan selatan, beliau mempunyai seorang pembantu dan penasehat yang amat arif bijaksana, bernama Yelu Ce-tai. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama besar Yelu Ce-tai di samping nama besar Jenghis Khan? Yelu Ce-tai inilah pengatur semua siasat sehingga membuat pemerintahan Jenghis Khan berhasil dengan baik."
"Dan subo tentulah keturunan Yelu Ce-tai itu," kata Sui Cin karena memang mudah saja menduganya sekarang.
Nenek itu mengangguk dan wajahnya yang agung itu terlihat diangkat penuh kebanggaan. "Dan beliau tidak malu memiliki keturunan seperti aku! Kerajaan Mongol yang menguasai seluruh daratan selatan sudah hancur, dan keturunan Jenghis Khan yang besar itu telah lenyap tidak ada sisanya lagi, akan tetapi kebesaran Yelu Ce-tai masih belum kabur! Lihat aku ini, aku keturunannya, walau pun aku hanya seorang wanita, akan tetapi aku masih dipandang dan juga diakui oleh semua kelompok suku bangsa di utara sebagai penasehat agung yang selalu mereka segani dan taati!"
Kini mengertilah Sui Cin mengapa nenek ini nampak begitu agung dan penuh bangga diri. Kiranya memiliki kedudukan tinggi di antara suku bangsa utara.
"Subo telah menyelamatkan aku dan aku telah berjanji untuk membantu subo, sebetulnya bantuan apakah yang dapat aku lakukan? Bukankah sebagai seorang penasehat agung, subo memiliki banyak pembantu dan tidak membutuhkan lagi bantuanku?"
"Engkau tidak tahu betapa aku mengalami banyak kepusingan karena sifat liar dan keras dari orang-orang suku utara ini. Terutama sekali suku Khin yang amat ganas. Mereka itu menghormati aku, akan tetapi kadang kala menunjukkan kekerasan mereka dan agaknya mereka semua akan mudah sekali memberontak. Baiknya selama ini aku masih mampu mengendalikan mereka. Sekarang timbul keguncangan di kalangan kami karena adanya pergerakan kaum sesat di selatan yang hendak memberontak."
Sui Cin terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang gerakan para datuk sesat yang hendak memberontak pun dapat diketahuinya!
"Apakah yang subo ketahui tentang hal itu?"
Nenek itu tersenyum bangga. "Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Mungkin orang-orang kasar itu sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku tidak! Aku selalu memperhatikan perubahan serta pergolakan di selatan. Aku tahu bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang berusaha untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan dengan panglima di San-hai-koan dan merampas benteng itu!"
"Selain itu?" Sui Cin mendesak.
"Tidak cukupkah itu? Kami melihat kesempatan yang sangat baik untuk bergerak selagi keadaan pemerintah Beng-tiauw kacau. Sudah tiba saatnya bagi kami untuk bergerak ke selatan, menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan. Tetapi orang-orang kasar itu, orang-orang liar itu, mereka bahkan saling berebut, saling bertentangan sendiri memperebutkan kedudukan pimpinan seperti anjing memperebutkan bungkusan kosong! Sungguh memuakkan!"
Nenek itu mengepal tinju dan kelihatan marah sekali. Sui Cin menduga bahwa nenek itu agaknya belum tahu akan gerakan para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
"Lalu apa hubungannya semua itu dengan bantuan yang subo harapkan dariku?"
"Orang-orang gila itu makin menjadi-jadi saja dalam nafsu mereka untuk memperebutkan kedudukan sebagai pemimpin gerakan kami. Bahkan setiap kelompok sudah mengajukan usul agar masing-masing mengeluarkan jagoan dan diadakan pertandingan-pertandingan. Siapa yang jagonya menang berarti berhak menjadi pemimpin gerakan ke selatan. Aku ingin engkau membantuku, mewakili aku maju sebagai penghukum yang menaklukkan semua jagoan itu, atau menundukkan jagoan yang paling kuat dan yang keluar sebagai pemenang."
"Ahh...!" Sui Cin terkejut. "Mengingat betapa kepandaian subo sendiri sudah amat tinggi, tentu di antara kelompok itu terdapat orang-orang pandai pula. Lalu bagaimana aku akan dapat mengalahkan jagoan yang paling pandai? Jangan-jangan subo akan menyesal dan kecelik, aku malah yang akan kalah oleh jagoan itu sehingga nama serta wibawa subo akan menjadi turun."
"Tidak, tidak mungkin! Mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang hanya menggunakan kekuatan dan kelincahan menunggang kuda disertai keberanian. Mana mungkin ada yang mampu mengalahkanmu? Sui Cin, aku sudah tahu kelihaianmu. Di dalam ilmu berkelahi, aku sendiri tidak akan menang melawanmu. Pula, jika engkau maju sambil menunggang Houw-cu, siapa yang akan mampu mengalahkan engkau? Di samping itu masih ada lagi orang yang membantumu dari belakang dengan kekuatan sihir. Kami pasti menang dan kemenanganmu akan membuat semua orang tunduk akan keputusanku!"
"Aihh, jadi subo juga bercita-cita untuk turut memperebutkan kedudukan pemimpin itu?"
"Jangan salah duga! Seorang nenek setua aku ini sudah tidak butuh lagi kedudukan dan kemuliaan, akan tetapi aku ingin melihat bangsaku mendapatkan kembali kekuasaannya sebelum aku mati, apa lagi kalau kekuasaan itu diperoleh karena bantuan dan jasaku! Aku ingin kelak kalau mati, aku dapat menghadap nenek moyang Yelu Ce-tai dengan hati bangga. Biar semua orang melihat bahwa sampai kini Yelu Kim tetap menjadi orang yang menurunkan keluarga yang bahkan lebih besar dari pada keturunan Jenghis Khan sendiri! Aku harus memimpin kelompok-kelompok liar itu supaya berhasil menyerbu ke selatan. Kemudian, untuk pemilihan kaisar, harus dilakukan dengan bijaksana dan adil, di bawah bimbinganku pula!"
Sui Cin merasa heran dan diam-diam merasa khawatir kalau-kalau orang yang menjadi gurunya ini bukan hanya orang yang memiliki cita-cita besar, akan tetapi juga merupakan orang yang miring otaknya!
"Kalau aku sudah melakukan tugasku mengalahkan jagoan itu, lalu bagaimana dengan aku, subo?"
"Janjimu itu hanya terikat oleh bantuanmu memenangkan sayembara itu. Selanjutnya aku serahkan kepadamu. Kalau engkau mau membantu kami dalam perjuangan kami, tentu saja aku akan merasa gembira dan bersyukur sekali. Andai kata tidak dan engkau ingin meninggalkan aku, silakan."
Tentu saja, sesudah kini semua ingatannya pulih, diam-diam Sui Cin merasa tidak setuju dengan rencana nenek yang sudah menjadi gurunya ini. Nenek ini bersama bangsa dan kelompoknya sedang merencanakan pemberontakan! Padahal, sudah menjadi tugasnya untuk menentang pemberontak, untuk membela negara dan mencegah terjadinya perang agar rakyat tidak akan menderita.
Bahkan ia kini teringat bahwa ia berada di utara adalah karena ditugaskan oleh gurunya, Wu-yi Lo-jin, untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak menentang Raja dan Ratu Iblis yang akan mengerahkan kaum sesat untuk memberontak. Mana mungkin kini dia harus membantu pemberontakan nenek ini terhadap pemerintah?
Tetapi dia pun tahu bahwa nenek ini bukan orang jahat, bahkan telah menyelamatkannya dan menolongnya dari keadaan yang sangat menyedihkan, yaitu kehilangan ingatannya. Bagi nenek ini tentu saja gerakan memberontak itu merupakan suatu perjuangan untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya, Bangsa Mongol yang dulu pernah menjajah Tiongkok.
"Subo, apa subo kira mudah saja melakukan pemberontakan? Mana mungkin kelompok-kelompok suku di sini akan mampu menandingi kekuatan bala tentara kerajaan? Sebelum dapat berbuat banyak, tentu subo dan kawan-kawan subo sudah akan dihancurkan oleh kekuatan bala tentara kerajaan yang jumlahnya amat banyak dan kuat sekali."
Nenek itu tersenyum. "Ucapanmu memang benar. Akan tetapi seperti sudah kukatakan tadi, kini tiba saatnya yang sangat baik, terbuka kesempatan besar karena kaum sesat telah bergerak. Biarlah mereka yang akan menandingi bala tentara pemerintah dan kami akan memukul mereka dari belakang lantas merampas semua kota yang sudah mereka duduki. Dengan menghadapi perlawanan pasukan pemerintah dari depan, tentu mereka akan lemah sehingga tak akan mampu bertahan kalau kami pukul dari belakang. Mereka itulah yang akan menjadi pelopor kami dan kami tinggal merampas hasil-hasil mereka dari belakang saja."
Diam-diam Sui Cin terkejut juga. Nenek ini sungguh cerdik dan kalau semua siasat nenek itu berhasil, maka keadaannya betul-betul berbahaya bagi pemerintah. Berarti pemerintah harus menghadapi dua gelombang serangan musuh, dan menurut sejarah yang pernah dibacanya, suku Bangsa Mongol di utara adalah orang-orang yang amat gagah perkasa, berani mati dan tangkas dalam pertempuran.
"Akan tetapi, subo, hal itu akan menyalakan api peperangan besar, dan membutuhkan biaya yang sangat besar untuk menggerakkan banyak orang bertempur,. Kalau subo tidak mempunyai harta benda yang banyak untuk itu..."
"Jangan kau khawatir. Aku selalu membiasakan diri berpikir sampai matang dan membuat persiapan selengkapnya sebelum bergerak. Jika aku tidak mempunyai harta pusaka yang amat besar jumlahnya, mana berani aku merencanakan gerakan perjuangan?"
Tiba-tiba saja terdengar suara mengaum, dan harimau besar itu mendekati Sui Cin lalu mengelus-elus punggung gadis itu dengan kepalanya. Itulah tandanya bahwa si harimau itu mengajaknya bermain-main.
"Houw-cu, bersabarlah, nanti kita main-main," katanya dan melihat harimau ini, mendadak Sui Cin teringat akan sesuatu.
"Kalau kelak aku menjadi kaisar, lalu siapa yang akan menggantikan aku? Aku tidak rela kalau digantikan oleh orang lain!"
Maka mulailah dia mengambil selir-selir, bahkan Siang Hwa yang menjadi muridnya juga tidak terlepas dari gangguannya, dengan harapan agar dia dapat memperoleh keturunan, terutama keturunan laki-laki dari para selirnya itu. Akan tetapi, Ratu Iblis yang merasa betapa kedudukannya sebagai 'permaisuri' akan terancam jika ada selir yang melahirkan seorang anak laki-laki, diam-diam telah mengancam mereka agar mereka itu suka makan ramuan obat yang dibuatnya khusus untuk mencegah kehamilan, dengan ancaman akan membunuh mereka kalau tidak menurut.
Juga Siang Hwa diancam dan dipaksa minum obat itu. Sebagai balas jasa, juga sebagai penyimpan rahasia ini, Siang Hwa selalu dilindungi oleh Ratu Iblis, bahkan dilindungi dan diperbolehkan pula murid itu berbuat cabul dengan pria mana saja yang disukainya.
Seperti sudah kita ketahui, Siang Hwa gagal membujuk Lui Siong Tek, komandan kota Ceng-tek sehingga dia membunuh komandan itu dan melarikan dokumen penting tentang keadaan benteng Ceng-tek. Dia melarikan diri untuk menemui gurunya dan sementara itu tentara Ji-ciangkun yang dibantu oleh para tokoh sesat telah berhasil menguasai benteng San-hai-koan.
Siang Hwa melaporkan kejadian di kota Ceng-tek dan Raja Iblis girang mendengar bahwa komandan kota Ceng-tek yang setia terhadap pemerintah itu telah tewas. Siang Hwa lalu diberi tugas untuk melakukan penyelidikan mengenai berita bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Gadis yang cerdik ini lalu memasang banyak pembantunya untuk menjadi mata-mata, di antara mereka adalah enam orang yang membuka kedai arak itu. Dan ketika muncul Cia Sun dan Ci Kang yang lihai, hati Siang Hwa menjadi tertarik sekali. Dengan cepat gadis ini dapat menyelidiki siapa adanya dua orang muda yang tampan dan gagah perkasa itu.
Terkejutlah dia mendengar bahwa mereka itu adalah putera penghuni Lembah Naga dan putera mendiang Iblis Buta. Timbul niatnya untuk menaklukkan kedua orang pemuda itu agar suka menjadi pembantu-pembantu gurunya, dan terutama sekali tentu saja, menarik dua orang pemuda itu menjadi kekasihnya!
Maka diaturlah siasat yang sangat kejam, mengorbankan penghuni dusun yang dirampok dan dibunuh hanya untuk membuat dua orang itu mudah percaya kepadanya. Akhirnya ia pun berhasil menjebak Cia Sun dan Ci Kang sehingga dua orang muda itu terperangkap dan karena mereka berdua menolak bujuk rayu Siang Hwa, sekarang gadis itu mencari kesenangan dengan jalan menghukum dan menyiksa mereka berdua sampai mati.
Dia merasa yakin bahwa kedua orang pemuda itu sudah pasti akan menemui kematian bagaikan dua ekor tikus yang tenggelam karena dia tahu bahwa tidak mudah membuka batu-batu penutup lubang yang digerakkan dengan alat rahasia, dan tidak mungkin pula membobol dinding yang terbuat dari besi yang melapisi batu gunung!
Direbutnya San-hai-koan juga mengharuskan Raja dan Ratu Iblis, bersama murid mereka itu, untuk cepat-cepat memasuki San-hai-koan kemudian menyusun kekuatan di benteng pertama yang berhasil direbut itu. Oleh karena itu, yakin bahwa dua orang muda itu tentu akan tewas tenggelam dalam lubang yang dialiri air, kakek dan nenek itu bersama Siang Hwa lalu bergegas pergi meninggalkan istana kuno itu yang hanya disuruh jaga beberapa orang anak buah. Mereka pergi menuju ke San-hai-koan.
********************
Ada kekuasaan rahasia yang mukjijat, yang mengatur segala sesuatu di alam mayapada ini. Kekuasaan mutlak yang tidak dapat dilawan oleh siapa pun atau oleh apa pun juga. Kekuasaan tertinggi yang meliputi seluruh jagat raya. Kekuasaan ini tidak dapat dipercaya atau tidak dipercaya lagi, karena terjadi dan dapat kita dengar, cium, lihat, dan rasakan sendiri, menjadi kenyataan yang terjadi di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita.
Kekuasaan yang mengatur seluruh alam semesta, mengatur peredaran bintang-bintang, arah angin, kekuasaan yang memberi kehidupan di angkasa, di atas bumi, di dalam air, dari makhluk-makhluk hidup bergerak mulai yang paling kecil sehingga tidak dapat dilihat mata sampai pada makhluk yang paling besar.
Kekuasaan yang menciptakan ketertiban dalam kehidupan di bagian tanah paling dalam, di dasar laut yang paling dalam, atau pun di angkasa yang paling tinggi. Kekuasaan yang membuat jantung kita berdenyut di luar kemampuan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang membuat setiap helai rambut dan kuku tumbuh di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang menciptakan kelahiran dan kematian!
Satu di antara hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh kita adalah kematian. Bila memang sudah tiba waktunya, mau ke mana pun juga kita bersembunyi, maut tentu akan datang menjemput. Sebaliknya, apa bila memang belum semestinya kita mati, seribu ancaman maut pun akan luput.
Siapa pun adanya Dia yang mengatur semua itu, disebut dengan apa pun juga menurut istilah dan kebiasaan dari bangsa, bahasa, mau pun agama masing-masing, namun kita manusia tidak mungkin dapat menyangkal akan adanya kenyataan itu, bahwa kekuasaan rahasia yang mukjijat itu memang ada terjadi di sekitar kita, di alam dan bahkan di dalam diri kita sendiri.
Pikiran kita terlalu dangkal untuk bisa menyelidiki tentang ada atau tidaknya Pengatur itu yang terlalu agung dan tinggi bagi kita, namun, pikiran dan tubuh kita dengan jelas dapat merasakan adanya kenyataan akan kekuasaan yang mukjijat itu. Di sini tak ada masalah percaya atau tidak percaya, sebab kita bisa melihatnya, merasakannya, segalanya terjadi pada diri kita sendiri masing-masing.
Agaknya memang belum tiba saatnya bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk mati sebagai dua ekor tikus yang tenggelam. Dua kali sudah Cia Sun yang masih terbelenggu itu meminta kepada Ci Kang untuk melepaskan belenggunya.
"Bantulah aku melepaskan diri dulu, Ci Kang, agar aku dapat membantumu membongkar penutup lubang itu!" untuk ketiga kalinya Cia Sun berteriak setelah air sudah mencapai dada.
"Hemm, melepaskan diri dari belenggu sendiri saja tidak mampu, apa artinya bantuanmu mendorong batu ini?" Ci Kang berkata dengan pandang mata merendahkan dan hatinya menjadi semakin penasaran. Dia belum dapat mengalahkan pemuda yang begini lemah, yang tidak mampu membikin putus belenggu macam itu saja!
Cia Sun menjadi tidak sabar lagi. Pemuda itu sungguh terlalu memandang rendah dirinya.
"Ci Kang, apakah kau sudah siap mati seperti tikus tenggelam?!" bentaknya. "Kalau kau tidak mau melepaskan belengguku, tolong kau bebaskan totokanku. Jangan disangka aku tidak sanggup membebaskan diri kalau pengaruh totokan sudah punah. Kau lebih banyak memiliki waktu untuk membebaskan totokanmu dari pada aku, maka jangan kau takabur dan sombong!"
Ci Kang menoleh dan baru dia teringat bahwa adanya Cia Sun tidak mampu melepaskan belenggu itu adalah karena jalan darahnya tertotok. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menghampiri Cia Sun dan menotok kedua pundak pemuda itu. Cia Sun memperoleh lagi tenaga sinkang-nya setelah jalan darahnya lancar.
"Mari kita cepat menyatukan tenaga!" katanya karena air sudah mencapal leher. Sebentar lagi mereka akan mati tenggelam kalau tidak cepat memperoleh jalan keluar.
"Mari!" kata Ci Kang.
Kini mereka berdua berdiri dengan kaki kokoh kuat di atas lantai dan dua lengan mereka menyangga batu penutup lubang, lalu mereka mengerahkan sinkang sekuat tenaga untuk mendorong batu ke atas. Hebat bukan main tenaga dua orang pemuda itu. Batu itu bukan hanya amat berat, akan tetapi juga diikat oleh rantai baja yang dihubungkan dengan alat rahasia yang menggerakkannya.
Akan tetapi kekuatan dua orang pemuda itu membuat batu itu mulai bergerak terangkat! Namun, ketika batu itu terangkat sedikit, air yang masuk dari celah-celah batu semakin banyak sehingga sebentar saja air sudah sampai ke mulut mereka! Mereka mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
"Brakkkk...!"
Bukan batu di atas itu yang terangkat, namun lantai yang menjadi landasan kaki mereka yang kini jebol ke bawah, tentu karena tertekan dengan hebatnya ke bawah! Dan kedua orang muda itu lalu terjatuh ke dalam lubang baru yang timbul karena jebolnya lantai yang mereka injak, terbawa bersama air yang membanjir ke bawah. Mereka pun cepat-cepat mengerahkan ginkang dan menyalurkan tenaga ke kulit mereka untuk melindungi diri.
Mereka terjatuh kemudian terbanting ke atas batu lantai yang jebol tadi, dan kalau bukan mereka berdua yang mempunyai kekebalan serta ilmu yang tinggi, tentu setidaknya akan menderita patah tulang atau babak belur. Mereka cepat berloncatan, bergerak menjauhi air yang masih terjun ke bawah itu.
Dengan tubuh basah kuyup keduanya kini berdiri di dalam ruangan yang sangat luas itu, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka saling pandang dan tidak mengherankan kalau ada rasa haru di lubuk hati mereka. Terharu karena baru saja mereka terlepas dari cengkeraman maut. Tadi air telah mencapai mulut sehingga terlambat satu menit lagi saja maka mereka akan tewas.
"Siangkoan Ci Kang, kita masih hidup?" seru Cia Sun.
Ci Kang mengangguk. Kalau dia tadi tidak cepat-cepat membebaskan totokan pada tubuh Cia Sun, belum tentu sekarang mereka masih hidup.
"Cia Sun, engkau hebat!" Dia memuji karena bagaimana pun juga, tanpa bantuan tenaga Cia Sun, tak mungkin lantai itu dapat jebol.
"Sudahlah, tak perlu kita saling memuji. Mari kita selidiki tempat ini!" kata Cia Sun sambil memeras air dari rambut dan bajunya. Mereka lantas menjauhi tempat yang jebol bagian atasnya itu dan melihat bahwa tempat itu merupakan ruangan batu yang luas sekali.
"Ssttt... lihat...!" Tiba-tiba Ci Kang berbisik.
Cia Sun cepat membalikkan tubuhnya dan matanya segera terbelalak. Tak jauh dari situ dia melihat orang yang jika dilihat dari pakaian dan tata rambutnya adalah seorang tosu, duduk bersila di atas sebuah batu datar tinggi yang mepet pada dinding batu. Bila dilihat dari tempat mereka, tosu yang nampak dari sisi itu berambut panjang, telah putih semua, pakaiannya juga serba putih dan dia memegang sebuah kebutan berbulu putih pula.
Tentu saja dua orang muda itu segera bersiap siaga karena di tempat seperti ini, mereka bisa menduga bahwa tentu tosu itu pun merupakan sekutu dari Raja Iblis dan merupakan lawan yang sangat berbahaya. Dengan hati-hati keduanya lalu melangkah menghampiri batu datar itu dan ketika mereka tiba di depan tosu itu, mereka memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Ternyata tosu itu sudah menjadi tulang-tulang manusia yang masih duduk bersila, masih berpakaian lengkap! Mukanya merupakan tengkorak yang menyeramkan, juga sepasang tangannya yang terjulur keluar dari lengan baju itu merupakan tulang-tulang rangka yang panjang-panjang dengan kuku panjang pula. Akan tetapi rambut putih panjang itu masih utuh, begitu pula pakaian putih dan kebutan berbulu putih! Menyeramkan sekali keadaan kerangka manusia berpakaian lengkap itu.
"Ahhh, hanya kerangka...," kata Cia Sun dan suaranya hanya bisikan yang agak gemetar karena dia masih dipengaruhi rasa kaget dan heran, juga seram.
"Ssst, lihat...!" Ci Kang berbisik dan suaranya juga gemetar.
Keduanya terbelalak dengan muka berubah agak pucat pada saat melihat betapa tiba-tiba saja kebutan berbulu putih itu bergerak-gerak ke atas! Ini tandanya bahwa kerangka itu masih hidup dan dapat menggerakkan kebutan! Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba terdengar suara keluar dari dalam tengkorak itu, suara yang melengking tinggi dan terdengar sangat menyeramkan penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan luas itu.
"Kalian ini orang-orang lancang dari mana berani mati memasuki dan mengotori tempat ini?"
Cia Sun dan Ci Kang yang kaget setengah mati itu sejenak saling pandang dengan muka masih pucat. Mereka sungguh hampir tidak dapat percaya kepada telinga sendiri. Jelaslah bahwa kerangka manusia itu bukan topeng, tetapi benar-benar kerangka yang terbungkus oleh pakaian. Akan tetapi mengapa kerangka itu dapat menggerakkan kebutan dan dapat mengeluarkan suara seperti masih hidup?
Karena suara ini jelas adalah suara wanita, mereka lalu menduga bahwa pendeta yang telah menjadi kerangka ini dulunya adalah seorang pendeta wanita. Maka Cia Sun segera menjura dengan sikap hormat.
"Harap locianpwe sudi memaafkan karena tanpa sengaja kami berdua sudah memasuki tempat ini..."
"Tiada maaf! Cepat kalian pergi dari sini, kalau tidak maka nyawa kalian akan kucabut!" kerangka itu memotong dan suaranya terdengar galak sekali.
"Heeii!" Tiba-tiba Ci Kang berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah kerangka itu. "Lihat, mulutnya tidak bergerak dan gagang kebutan itu tidak dipegang oleh tangannya!"
Sesudah berkata demikian, dengan cekatan Ci Kang melompat naik melalui lantai tangga yang menuju ke atas batu datar tinggi di mana tengkorak berpakaian itu duduk. Kiranya selagi Cia Sun tadi bicara kepada kerangka itu, diam-diam Ci Kang memperhatikan dan pandang matanya yang tajam melihat kejanggalan-kejanggalan itu yang lalu membuatnya berteriak dan cepat meloncat ke atas untuk mendekati kerangka itu.
Pada saat itu pula, dari belakang kerangka itu berkelebatan bayangan putih yang melesat dengan cepatnya sehingga sukar bagi pandang mata untuk mengikutinya. Akan tetapi Cia Sun dan Ci Kang adalah dua orang muda yang terlatih sejak kecil. Dengan pandang mata mereka yang sangat terlatih, mereka dapat melihat bahwa yang berkelebat dari belakang kerangka itu adalah seorang dara muda yang gerakannya lincah bukan kepalang. Mereka lantas teringat akan Siang Hwa yang telah memperdayakan mereka, maka dengan marah mereka lalu mengejar dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya.
Gadis yang berpakaian serba putih itu menyelinap ke sudut ruangan yang luas itu, cepat bersembunyi di balik batu yang menonjol. Ketika dia melihat betapa dua orang pemuda itu melakukan pengejaran dengan gerakan yang cepat sekali, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring.
"Laki-laki kurang ajar dan tidak sopan, jangan dekati aku!"
Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang tidak takut oleh gertakan ini. Mereka menduga bahwa wanita itu Siang Hwa, maka dengan marah mereka mengejar terus hendak menghadapi wanita jahat yang mencelakakan mereka itu. Akan tetapi, begitu mereka tiba di situ, gadis itu meloncat keluar dari balik batu menonjol dan sinar putih yang amat cepat menyambar ke arah leher Cia Sun dan Ci Kang.
Dua orang pemuda itu terkejut bukan main. Serangan ini sungguh amat cepat dan tidak terduga sehingga nyaris leher mereka kena totokan ujung kebutan putih yang bertubi-tubi menyerang ke arah leher mereka bergantian. Untung keduanya cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan ketika mereka turun lagi ke atas lantai, mereka berhadapan dengan seorang gadis yang ternyata sama sekali bukan Siang Hwa!
Dara itu bertubuh kecil ramping, wajahnya sedikit pucat seperti wajah orang yang kurang memperoleh sinar matahari, akan tetapi sepasang mata itu amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau, agaknya mata yang terlatih dalam gelap. Rambutnya hitam panjang digelung sederhana, wajahnya manis sekali, terutama mulutnya yang kecil dengan bibir yang kelihatan amat merah dengan latar belakang kulit mukanya yang putih agak pucat. Pakaiannya putih bersih namun potongannya sederhana, mirip pakaian pertapa saja, juga bulu kebutan yang dipegangnya putih bersih, seperti kebutan yang berada di pangkuan kerangka berpakaian itu.
Kalau melihat wajah yang manis itu, agaknya dara ini paling banyak delapan belas tahun usianya, masih amat muda dan bahkan sikapnya masih kekanak-kanakan saat dia berdiri menghadapi dua orang pemuda itu dengan mata terbelalak, marah tetapi juga takut atau ngeri melihat tubuh Ci Kang yang telanjang dada itu, suatu penglihatan yang sebelumnya tak pernah dialaminya. Ia tidak berani memandang dada itu lama-lama dan menundukkan muka, akan tetapi sepasang matanya mengerling penuh kewaspadaan, memperhatikan gerak-gerik dua orang pemuda itu.
Ci Kang dan Cia Sun berdiri memandang, sejenak seperti kehilangan akal karena mereka sungguh tak mengira bahwa wanita itu bukan Siang Hwa, melainkan seorang gadis muda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi, karena gadis ini berada di tempat yang mereka anggap sebagai sarang milik Raja Iblis, tentu saja mereka lantas menaruh curiga pada gadis ini. Apa lagi setelah mereka mengalami mala petaka dan nyaris tewas akibat seorang gadis cantik pula. Dan gadis ini pun tadi telah menyerang mereka dengan amat hebatnya, serangan maut yang jika tidak cepat mereka elakkan, mungkin bisa membunuh mereka.
Betapa pun juga, karena yang mereka hadapi hanyalah seorang gadis remaja yang kini nampak kebingungan dan ketakutan bagaikan seekor harimau yang terkurung, maka dua orang pemuda itu sendiri pun tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja mereka tidak sudi menyerang gadis yang tidak mereka kenal ini.
"Nona, kenapa tadi engkau menakut-nakuti kami dan kemudian menyerang kami dengan kebutanmu itu?" tanya Cia Sun.
"Karena demikian pesan ibuku...," jawab gadis itu, suaranya merdu akan tetapi agak kaku seperti orang yang jarang sekali bicara.
"Pesan ibumu? Untuk membunuh kami?"
"Ya, kalian atau siapa saja yang berani masuk ke sini, terutama laki-laki. Aku... aku tadi tidak tega untuk menyerang kalian, maka hendak mengusir kalian dengan jalan menakut-nakuti, akan tetapi kalian tidak takut..."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang. Mereka mengerutken alis. Gadis ini masih seperti anak-anak saja. Akan tetapi bagaimana pun juga, ketika mengatakan bahwa ia tidak tega menyerang mereka, menunjukkan bahwa gadis ini tidaklah sejahat Siang Hwa.
"Siapakah ibumu, nona?"
"Ibuku... ya, ibuku, satu-satunya orang yang sangat baik kepadaku, yang kadang-kadang mengunjungi dan yang melatih ilmu silat, mengajarku membaca dan menulis. Sayang, kini ibu hanya jarang saja dapat mengunjungiku..."
"Akan tetapi, mengapa engkau berada di tempat ini? Dan bagaimana dapat keluar dari sini?" Cia Sun mendesak.
"Aku berada di sini sejak kecil, aku sudah lupa lagi berapa lamanya... semenjak kecil, dan yang menemani aku hanyalah kerangka itu... juga ibu yang kadang-kadang datang untuk menjengukku."
"Engkau tidak pernah keluar dari sini?" tanya Ci Kang yang juga terheran-heran.
Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak diperkenankan ibu. Katanya, kalau aku keluar, aku tentu akan dibunuh orang. Aku hanya dapat mandi cahaya matahari selama beberapa jam saja setiap hari saat sinar matahari memasuki ruangan belakang melalui sebuah lubang."
"Bagaimana engkau makan? Minum? Dan mandi atau mencuci pakaian?" tanya Cia Sun yang merasa heran dan kasihan.
"Aku masak sendiri, bahan makanan diberi ibu, banyak sekali."
Gadis itu lalu berjalan perlahan, diikuti oleh kedua orang pemuda itu. Dia memperlihatkan tumpukan bahan makanan di sebuah ruangan lain dan juga adanya sebuah sumber air. Ada beras, ada daging kering berikut bumbu-bumbunya. Cukup untuk dimakan berbulan-bulan lamanya.
"Akan tetapi, kenapa engkau dikurung di sini? Siapa yang akan membunuhmu kalau kau keluar?"
"Entahlah, ibu hanya bilang bahwa aku tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Apa bila ada laki-laki masuk ke sini, aku harus membunuhnya. Akan tetapi aku tidak suka membunuh, dan aku sekarang merasa girang sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu..." Gadis itu memandang wajah Cia Sun dengan mata bersinar-sinar. "Aku girang tadi tidak sampai membunuhmu!"
"Hemm, jangan dikira mudah membunuh dia atau aku, nona," kata Ci Kang.
"Aku tentu dapat kalau aku mau!" gadis itu berkata. "Kebutanku ini lihai sekali, bahkan ibu sendiri bilang kebutanku akan sulit dilawan olehnya. Lihat...!" Gadis itu menggerakkan kebutannya.
"Tarr-tarrr...!"
Ujung batu pada langit-langit ruangan itu terkena sambaran ujung kebutan, lantas hancur menjadi debu! Diam-diam dua orang pemuda itu kaget dan kagum sekali. Gadis ini tidak main-main karena ilmu mempergunakan kebutan itu lihai dan berbahaya sekali.
"Siapa yang mengajarmu memainkan kebutan selihai itu?" Cia Sun bertanya.
Apa bila ibu gadis itu sendiri yang katanya mengajarnya silat sampai menyatakan tidak sanggup menandingi kebutan itu, berarti tentu bukan ibu gadis itu yang membimbingnya dalam ilmu menggunakan kebutan itu.
"Guruku dalam ilmu kebutan adalah dia!" Gadis itu menuding ke arah kerangka manusia berpakaian tosu itu.
Dua orang pemuda itu terkejut, dan kini mereka semua kembali menghampiri kerangka yang masih duduk bersila. Sekarang mereka berdua bisa membayangkan betapa lihainya orang ini dahulu ketika masih hidup. Jelas bahwa orang itu mati dalam keadaan sedang bersemedhi. Dan hebatnya, biar pun seluruh kulit serta dagingnya sudah habis dimakan waktu dan hanya tinggal kerangkanya saja, akan ketapi kerangka itu tetap dalam keadaan duduk bersila dan tidak runtuh.
"Siapakah locianpwe ini...?" tanya Ci Kang dengan hati kagum.
"Dia adalah kakek guruku, dia adalah guru terakhir dari ibu dan ayahku," jawab gadis itu tanpa ragu-ragu dan dengan suara mengandung kebanggaan. Agaknya gadis itu merasa bangga sekali kepada kerangka itu yang di samping menjadi kakek gurunya, juga menjadi temannya hidup di dalam goa bawah tanah ini.
"Akan tetapi dia... mana bisa mengajarmu? Dia sudah mati lama sekali," kata Cia Sun.
Dara itu tertawa dan wajahnya yang agak pucat itu tampak manis bukan main. Sepasang matanya memandang wajah Cia Sun dan berseri-seri. Agaknya ia dapat mendengar atau merasakan betapa di dalam suara pemuda itu terkandung perasaan iba dan kagum dan hal ini amat manyenangkan hatinya.
"Tentu saja tidak secara langsung. Dia sudah menjadi kerangka ketika aku dibawa ke sini untuk pertama kalinya. Akan tetapi atas petunjuk ibuku, aku mempelajari catatan-catatan dan gambar-gambar yang terukir di atas batu yang berada di belakangnya. Kata ibu, ilmu itu merupakan ilmu rahasia yang selamanya belum pernah diajarkan kepada siapa pun, juga tidak kepada ibu, sehingga kini menjadi milikku sendiri."
Dua orang pemuda itu sekarang dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang jahat, dan agaknya tidak ada hubungannya dengan Raja Iblis, Ratu Iblis, mau pun Siang Hwa. Akan tetapi Ci Kang masih belum puas.
"Apakah engkau mengenal seorang perempuan bernama Siang Hwa?" tanyanya sambil memandang wajah dara remaja itu. Yang ditanya kemudian mengerutkan alisnya seperti orang mengingat-ingat, lalu menggelengkan kepala.
"Tentu engkau mengenal Raja Iblis atau Ratu Iblis!" Ci Kang menyambung tiba-tiba dan pandang matanya penuh selidik mengamati wajah cantik manis itu. Akan tetapi gadis itu kelihatan geli dan menggeleng kepalanya lagi.
"Kau kira aku ini siapakah mengenal segala iblis? Aku hanya mengenal iblis dan setan dalam dongeng-dongeng ibuku atau cerita-cerita dalam buku-buku yang ditinggalkan ibu untukku."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang, kini merasa yakin bahwa gadis ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga iblis itu.
"Siapakah nama ibumu dan ayahmu, nona?" Cia Sun bertanya, sikapnya halus dan sopan walau pun dia dapat menduga bahwa gadis ini sejak kecil tidak pernah bergaul dengan manusia lain.
Gadis itu memandang Cia Sun dan seperti tadi, wajahnya berseri dan jelas nampak dari pandang matanya bahwa dia suka dan kagum kepada pemuda itu. Lalu dia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, aku tidak pernah berjumpa dengan ayah, dan ibuku tidak pernah memberi tahukan nama. Tapi aku... aku benci ayah!"
Cia Sun mengerutkan alisnya. Seorang gadis yang begini manis dan yang keadaannya amat aneh, menarik perhatian dan rasa ibanya, tidak layak kalau mengeluarkan kata-kata keji seperti itu, kata-kata yang hanya patut keluar dari mulut seorang anak durhaka.
"Nona, tidak baik membenci ayah sendiri," dia menegur.
Mendengar nada suara teguran ini, dan melihat betapa pandang mata Cia Sun demikian marah dan tidak senang, tiba-tiba saja gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menangis! Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Cia Sun yang merasa bersalah telah menegur orang padahal urusan pribadi nona itu sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan dia, segera maju dan berkata dengan suara menyesal,
"Maafkan aku, nona. Bukan maksudku untuk menegurmu dan menyinggung hatimu, tetapi aku tadi hanya merasa heran bagaimana seorang gadis seperti engkau ini bisa membenci ayah sendiri. Mengapa engkau membencinya? Kalau sampai engkau membencinya, tentu dia seorang ayah yang tidak baik!"
Gadis itu menurunkan dua tangannya dan sejenak Cia Sun terpesona. Setelah menangis, ada warna merah pada kedua pipi gadis itu dan kini dia nampak cantik manis sekali, amat menarik hati! Gadis itu mengusap air mata dari kedua pipinya dengan ujung lengan baju, kemudian memandang Cia Sun.
"Dia... dia mau membunuhku!"
"Apa...?!" Cia Sun benar-benar terkejut mendengar ini. "Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Aku tak pernah bertemu dengan dia, akan tetapi ibu selalu menekankan kepadaku bahwa aku tidak boleh bertemu dengan orang lain, terutama dengan lelaki dan lebih-lebih lagi dengan ayahku karena ayahku pasti akan membunuhku apa bila bertemu denganku. Karena itulah maka aku dikurung di sini."
Hati Cia Sun tertarik sekali. Ayah dan ibu gadis ini sungguh merupakan manusia-manusia aneh. Ibu gadis ini barang kali gila, ataukah ayahnya yang gila? Ataukah gadis ini sendiri yang miring otaknya?
"Engkau tidak tahu siapa nama ayahmu atau ibumu?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Dan namamu sendiri? Siapakah namamu?"
"Ibu memanggil aku Hui Cu."
"She-mu...?"
"Apa itu she?"
"Nama keluargamu? Siapakah nama keluarga ayahmu?"
"Aku tidak tahu, tahuku hanya bahwa ibu memanggil aku Hui Cu dan kata ibu sekarang usiaku sudah hampir delapan belas tahun."
Sementara itu, Ci Kang kelihatan tidak sabar melihat betapa Cia Sun asyik bicara dengan gadis ini. Dia tahu bahwa Cia Sun hanya tertarik oleh riwayat gadis yang sangat aneh itu, akan tetapi baginya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.
"Sudahlah, mari kita cepat keluar dari sini. Nona, tunjukkanlah jalan keluar dari tempat ini untuk kami," katanya.
Baru Cia Sun teringat bahwa mereka sedang terkurung di dalam goa bawah tanah. Maka dia pun mengangguk kepada gadis bernama Hui Cu itu sambil berkata, "Benar, kami perlu cepat keluar dari sini, adik Hui Cu. Tolonglah kami keluar dari sini!"
Hui Cu kelihatan girang sekali dipanggil adik oleh Cia Sun. Dia tersenyum dan nampaklah giginya berderet putih. Agaknya ibu gadis ini tidak lupa untuk memberi pelajaran cara-cara merawat dan membersihkan diri kepada gadis yang hidupnya terkurung dalam goa bawah tanah ini.
"Kau... siapakah namamu?" tiba-tiba dia bertanya kepada Cia Sun.
"Namaku Cia Sun dan dia bernama Siangkoan Ci Kang. Nah, adik Hui Cu, tunjukkanlah jalan keluar itu."
"Cia Sun... Cia Sun... kakak Sun, kenapa engkau mau keluar? Kenapa tidak tinggal saja di sini menemani aku?"
Keharuan menyelinap dalam hati Cia Sun. Sungguh patut dikasihani anak ini, pikirnya.
"Tidak mungkin, siauw-moi (adik kecil), tak mungkin aku tinggal di sini. Aku harus keluar dari sini. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Nah, tunjukkanlah jalan keluar bagi kami."
Gadis itu menggigit bibir, agaknya terjadi pertentangan di dalam hatinya, akan tetapi dia mengangguk lalu melangkah menuju ke lorong samping, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang dari belakang. Akhirnya gadis itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi dan dicat warna hitam.
"Hanya dari sini sajalah jalan keluarnya, dan ini merupakan rahasia. Jika bukan untukmu, Sun-ko, aku tidak akan suka membuka rahasia ini. Kalau sampai diketahui ibu, tentu aku akan mendapat kemarahan besar sekali." Berkata demikian, dara itu meraba dinding batu dekat pintu lantas terdengar suara berderit ketika pintu besi itu bergerak masuk ke dalam dinding.
Seketika Cia Sun dan Ci Kang memicingkan mata dan melindungi mata dengan tangan karena mereka menjadi silau ketika tiba-tiba berbareng dengan terbukanya daun pintu itu, nampak sinar matahari yang amat terang dari balik pintu. Mereka melewati ambang pintu dan berdiri di dalam cahaya matahari.
"Di sinilah aku setiap pagi berjemur diri seperti yang diajarkan ibu. Kalau pintu ini terbuka, maka penutup sumur ini di bagian atas terbuka pula. Kalau pintu tertutup, penutup di atas itu pun turut tertutup sehingga tempat ini tidak pernah dapat diketahui orang dari atas," kata Hui Cu.
Dua orang pemuda itu memandang ke atas. Tempat itu merupakan dasar sebuah sumur yang sangat dalam, agaknya tidak kurang dari seratus kaki dalamnya!
"Adik Hui Cu," kata Cia Sun memancing. "Apakah engkau pernah keluar dari lubang ini?"
Gadis itu mengangguk. "Beberapa kali aku keluar, biasanya pada waktu malam saja kalau suasana sepi karena aku takut... kalau sampai ketahuan orang yang akan membunuhku. Aku juga pernah beberapa kali keluar pada siang hari bersama ibu, akan tetapi tidak lama dan sebelum bertemu orang lain aku sudah harus masuk lagi."
"Dan bagaimana caranya engkau keluar dari sini?"
Hui Cu memandang ke atas, lalu nampak kaget. "Aihh, kenapa aku tidak ingat? Aku bisa naik dengan mudah, akan tetapi engkau, Sun-ko, kalian... mana bisa memanjat naik?"
"Kenapa tidak bisa?" Ci Kang berkata.
Dan pemuda ini sudah cepat mengerahkan sinkang dan menggunakan kedua tangan dan kakinya untuk memanjat naik. Dengan menggunakan dua tangan mencengkeram dinding sumur itu, dia dapat terus merayap naik seperti seekor cecak.
Hui Cu memandang dengan mata terbelalak. "Wah, dia lebih pandai dari pada aku!" Lalu dia membalikkan tubuhnya menghadapi Cia Sun. "Sun-ko, jangan kau pergi...!"
"Mana bisa? Tak mungkin aku tinggal terus di sini, adik Hui Cu."
"Sun-ko, jangan tinggalkan aku, Sun-ko. Maukah engkau menemani aku barang beberapa hari saja? Aku amat kesepian, Sun-ko, hampir tak tertahankan lagi... dan begitu bertemu denganmu, aku ingin lebih lama berkenalan denganmu, bercakap-cakap denganmu..."
Cia Sun memandang dengan hati terharu. Dara ini masih seperti kanak-kanak saja, polos dan bersih, dan menderita. "Adik Hui Cu, tidak mungkin aku tinggal di sini. Engkau saja yang minta kepada ibumu, kalau betul dia mencintamu, supaya engkau dibawa keluar dari tempat ini. Kulihat kepandaianmu hebat, kiranya engkau akan dapat pergi jauh dari orang yang hendak membunuhmu itu dan andai kata bertemu dengan aku, aku tentu akan siap melindungimu dari ancaman orang yang hendak membunuhmu."
Tiba-tiba saja Hui Cu memegang kedua tangan pemuda itu. Dengan kedua mata basah dia memandang wajah Cia Sun. "Benarkah, koko? Benarkah bahwa engkau akan suka melindungi aku? Menurut ibu, ayahku itu memiliki kepandaian tinggi, sulit dikalahkan oleh siapa pun juga..."
"Tentu, siauw-moi, tentu aku akan melindungimu. Nah, sekarang selamat tinggal. Lihat, kawanku sudah hampir sampai di atas!"
Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar Ci Kang mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya melayang turun ke bawah! Cia Sun terkejut bukan main dan cepat dis menyambut tubuh kawannya itu dengan sepasang lengannya. Untung Ci Kang masih sempat mengerahkan ginkang-nya sehingga dibantu oleh Cia Sun, dia dapat sampai di dasar sumur itu dengan selamat.
"Ibu...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru nyaring dan tubuhnya melesat ke atas.
Cia Sun kagum sekali melihat kehebatan ginkang gadis itu. Sebentar saja tubuhnya telah merayap naik dengan cepat sekali. Dari bawah, dia melihat bayangan orang di atas dan maklumlah dia bahwa yang berada di atas itu adalah ibu Hui Cu!
"Dia menyerangku dengan angin pukulan dahsyat!" kata Ci Kang dengan marah.
"Mari kita susul Hui Cu!" Cia Sun berkata.
Dengan cerdik dia hendak mempergunakan Hui Cu sebagai pelindung atau perisai. Kalau mereka merayap di bawah Hui Cu, tentu ibu gadis itu tidak dapat menyerang mereka dan ibu itu kiranya tidak akan mau mencelakai anak sendiri. Ci Kang mengerti apa maksud kawannya, maka dia pun cepat merayap kembali bersama Cia Sun mengejar Hui Cu yang sudah merayap lebih dulu.
Benar saja, nenek yang berada di luar sumur itu menjenguk ke bawah dan mengeluarkan teriakan-teriakan yang tidak jelas, agaknya menyuruh puterinya itu supaya turun kembali. Akan tetapi Hui Cu tak peduli dan terus merayap naik. Ketika gadis itu akhirnya meloncat keluar sumur, ibunya hendak menyerang Cia Sun dan Ci Kang yang masih belum tiba di atas.
"Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru lantas menubruk ibunya, memeluk pinggang ibunya untuk menahan ibunya yang hendak mendekati sumur.
"Lepaskan aku, biar kubunuh mereka...!" Nenek itu berseru dan meronta-ronta.
Akan tetapi Hui Cu tetap tak mau melepaskan rangkulannya dari pinggang ibunya hingga kedua orang ini bersitegang. Keributan itu memberi cukup waktu bagi Cia Sun serta Ci Kang untuk berloncatan keluar dari sumur dan sekarang mereka berdiri terbelalak. Kiranya nenek yang kini berusaha melepaskan rangkulan Hui Cu adalah seorang nenek berambut dan berpakaian putih, dan mereka berdua segera mengenalnya sebagai Ratu Iblis!
Nenek itu pun kini mengenal Ci Kang dan Cia Sun. Sejenak matanya yang kehijauan itu terbelalak, seolah-olah tak percaya pada pandang matanya sendiri dan dia nampak kaget seperti melihat orang-orang yang sudah mati hidup kembali!
Akan tetapi otaknya yang amat cerdik itu segera dapat membuat perhitungan dan dia pun menjadi kagum bukan main. Dia dapat menduga bahwa tentu dua orang muda itu berhasil menjebol lantai kamar jebakan yang dialiri air dari atas itu! Dua orang pemuda ini, yang menjadi musuh besar keluarganya, telah mengetahui rahasianya, rahasia puterinya!
Gadis itu, Toan Hui Cu, adalah puteri Ratu Iblis yang ketika lahir dahulu ditukar dengan bayi seorang penghuni dusun. Puteri inilah yang diselamatkan itu dengan mengorbankan nyawa bayi puteri penghuni dusun yang sama sekali tidak berdosa. Ratu Iblis membunuh seorang bayi untuk menyelamatkan puterinya dari ancaman suaminya.
Kemudian, sesudah anak itu berusia lima enam tahun, dia menculiknya dari suami isteri penghuni dusun itu lantas mengurung anak yang diberi nama Hui Cu, Toan Hui Cu itu, ke dalam goa bawah tanah yang merupakan tempat rahasia yang hanya diketahuinya sendiri.
Raja Iblis tentu saja tahu akan tempat ini, akan tetapi tempat ini merupakan kuburan atau tempat terakhir dari seorang gurunya dan menjadi tempat keramat, maka dia sendiri pun tidak pernah dan tidak mau menjenguk tempat itu. Sama sekali dia tidak mengira bahwa isterinya mempunyai rahasia, bahwa tempat itu menjadi tempat persembunyian puterinya sendiri!
Ratu iblis merahasiakan segalanya dan bersikap hati-hati sekali. Bahkan dia tidak pernah memperkenalkan namanya sendiri atau nama suaminya kepada Hui Cu, serta menakut-nakuti gadis itu supaya membunuh setiap orang yang berani masuk, juga memberi tahu bahwa ayah gadis itu tentu akan membunuhnya kalau sampai melihatnya.
Hal ini membuat Hui Cu ketakutan dan dia mentaati pesan ibunya, sampai belasan tahun lamanya dia menjadi penghuni goa bawah tanah itu sehingga akhirnya, tanpa tersangka-sangka, nasib mempertemukan dia dengan Cia Sun dan Ci Kang!
Ketika Ratu Iblis mengenal dua orang pemuda itu, selain amat terkejut dan heran, dia juga marah dan khawatir sekali. Dua orang muda ini harus dibunuhnya, kalau tidak, rahasianya tidak akan dapat dipertahankannya lagi dan suaminya tentu akan marah jika tahu bahwa dia mempunyai seorang puteri yang disembunyikan hingga belasan tahun lamanya. Entah apa yang akan diperbuat suaminya terhadap dirinya dan terhadap Hui Cu, dia tak mampu membayangkan.
"Lepaskan, aku harus bunuh mereka!" Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya dengan kuat hingga Hui Cu terpelanting jauh. Melihat puterinya terpelanting jatuh, Ratu Iblis tidak jadi menyerang dua orang pemuda itu melainkan mendekati puterinya, lalu merangkulnya dan bertanya dengan suara penuh kasih sayang, "Anakku, engkau tidak terluka...?"
Diam-diam dua orang pemuda yang memperhatikan gerak-gerik Ratu Iblis merasa heran. Kini lenyaplah sifat liar serta ganas dari nenek itu, terganti sifat yang menimbulkan rasa haru, karena sikapnya ketika merangkul dan mengelus rambut Hui Cu, dan juga suaranya menggetarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!
"Ibu, jangan bunuh mereka... jangan serang Sun-koko...!"
Nenek itu melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alianya. "Sun-koko...? Siapa itu?"
"Seorang dari mereka... mereka tidak sengaja memasuki goa bawah tanah, ibu, jangan serang mereka, mereka itu orang-orang yang amat baik..."
"Setan! Mereka adalah musuh-musuh kita, jika tidak dibunuh hanya akan mendatangkan bencana di kemudian hari!" Dan tiba-tiba saja sikap nenek itu berubah lagi dan tubuhnya melesat ke depan, kedua tangannya sudah mendorong ke arah Cia Sun dan Ci Kang.
Akan tetapi kini dua orang pemuda itu sudah siap menghadapi serangan lawan. Mereka berdua tahu bahwa nenek itu lihai bukan kepalang. Serangannya tadi saja mengeluarkan hawa yang amat kuat dan panas dan sebelum tangan itu menyentuh mereka, sudah ada angin pukulan dahsyat yang menyerang. Mereka cepat mengelak lantas balas menyerang sambil mengerahkan tenaga mereka.
Ratu Iblis menggereng marah melihat betapa semua tamparannya mampu dielakkan oleh dua orang lawan itu, bahkan kini mereka membalas dengan pukulan-pukulan yang keras. Dia masih memandang rendah mereka, kemudian menggunakan kedua lengannya untuk menangkis, dengan maksud tangkisan itu akan dilanjutkan dengan sebuah cengkeraman untuk menangkap lengan mereka.
"Dukk! Dukk...!"
Nenek itu kembali mengeluarkan suara geraman aneh ketika dia merasa betapa benturan lengan itu telah membuat tubuhnya tergetar hebat. Jangankan merubah tangkisan menjadi cengkeraman, bahkan dia terhuyung ke belakang oleh benturan-benturan itu. Sedangkan Cia Sun dan Ci Kang juga terhuyung ke belakang karena nenek itu memang mempunyai tenaga kuat yang aneh sekali.
Mulailah nenek itu memandang mereka dengan mata lain, tidak lagi berani memandang rendah. Dan dia pun mulai mengerti bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian hebat.
Tadinya memang Siang Hwa melaporkan bahwa mereka itu lihai, akan tetapi dia masih belum percaya. Sekarang barulah dia tahu bahwa memang tingkat kepandaian mereka ini lebih lihai dari pada tingkat Siang Hwa. Pantas saja muridnya itu terpaksa menggunakan siasat untuk menjebak mereka.
Karena tidak memandang rendah lagi, nenek itu menggerakkan tangan kanannya hingga nampaklah cahaya berkilat ketika dia tahu-tahu sudah mencabut pedangnya. Dicabutnya pedang ini membuktikan bahwa Ratu Iblis benar-benar tidak memandang rendah lawan. Jarang dia mempergunakan pedangnya ketika bertanding karena jarang pula ada orang mampu menandinginya walau pun dia tidak mencabut pedang.
Ci Kang maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun cepat mematahkan sebuah cabang pohon yang sebesar lengannya dan panjangnya satu tombak. Untuk menghadapi pedang seorang datuk sesat seperti nenek itu dia harus berhati-hati.
Cia Sun juga berhati-hati dan untung bahwa suling yang terselip di pinggangnya, di balik bajunya, masih ada, maka ia pun mencabut sulingnya itu. Benda ini telah menjadi senjata yang ampuh semenjak dia di digembleng oleh Go-bi San-jin. Bukan hanya suling ini saja, bahkan kini dia pandai mempergunakan ujung lengan baju atau benda apa saja sebagai senjata.
Dengan cerdiknya, kedua orang pemuda itu segera berpencar, menghadapi nenek itu dari kanan dan kiri. Mereka bersikap hati-hati dan hanya menanti dengan waspada, tidak mau menyerang lebih dulu.
Sejenak tiga orang itu berdiri tegak seperti patung, hanya mata nenek itu yang melirik ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan dua orang lawannya. Pedang di tangan kanannya itu diangkat tinggi-tinggi dan melintang di atas kepala, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka diletakkan di depan dada, rambutnya yang putih panjang itu tergantung di depan.
"Ibu, jangan serang mereka...! Sun-ko, jangan berkelahi dengan ibuku..."
Akan tetapi nenek itu tentu saja tak mempedulikan teriakan puterinya, malah membentak marah, "Diam kau...!"
"Siauw-moi, aku hanya membela diri...!" Cia Sun menjawab. Akan tetapi begitu dia bicara, nenek itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan sangat hebatnya. Pedang itu menyambar dari atas seperti halilintar dan mengeluarkan hawa dingin.
Cia Sun cepat mengelak. Pedang menyambar lewat tetapi cepat membalik dan meluncur turun, jika tadi membacok kini berbalik menusuk! Demikian cepatnya datangnya serangan lanjutan itu sehingga Cia Sun terpaksa harus mengangkat sulingnya menangkis.
"Trakkk...!"
Kembali keduanya mendapat kenyataan bahwa lawan memang memiliki tenaga sinkang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Pada saat itu, Ci Kang sudah menyerang dengan tongkatnya yang dibuat secara darurat, yaitu kayu cabang pohon tadi. Serangannya sangat hebat, sampai mengeluarkan angin dan suara bersuitan. Tongkat itu menyambar ke arah kepala Ratu Iblis yang ketika itu sedang menyerang Cia Sun.
Ratu Iblis itu sungguh lihai bukan main. Menghadapi serahgan tongkat yang datang dari samping agak belakang ini, ia bersikap tenang saja. kepalanya digerakkan mengelak dan tiba-tiba saja gumpalan rambut putihnya menyambar lantas menangkis batang kayu itu. Hebatnya, kini gumpalan rambut itu tiba-tiba saja berubah menjadi kaku dan keras seperti besi.
"Takkk...!"
Tongkat di tangan Ci Kang tertangkis dan mendadak tangan kiri nenek itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang sangat hebat menyambar dada Ci Kang sebagai balasan serangannya.
"Ehhhhh...!" Ci Kang berseru kaget dan terpaksa dia meloncat jauh ke belakang karena serangan itu sungguh amat berbahaya.
Dua orang muda itu kini bersikap hati-hati sekali. Mereka semakin tahu betapa hebatnya lawan mereka yang memiliki tiga macam senjata ampuh itu, yaitu pedangnya, rambutnya, dan tangan kirinya. Belum lagi diperhitungkan kedua kakinya kalau mengirim tendangan karena mereka melihat betapa sepatu nenek itu berlapis baja!
Nenek itu sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah dia menghadapi lawan yang begini tangguhnya. Andai kata kedua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya dia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi pemuda itu maju bersama dan sesudah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga dia segera terdesak hebat! Juga pertemuan-pertemuan tenaga antara dia dan dua orang muda itu membuat dia lelah sebab harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.
"Anakku, cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!" Akhirnya, setelah terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang semenjak tadi hanya nonton saja dengan sepasang mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini, mendengar seruan ibunya, dia menjadi semakin bingung.
"Tidak, ibu! Kata ibu semua orang jahat, terutama laki-laki. Akan tetapi mereka ini tidak jahat, jadi aku tidak dapat menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi mereka!" Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.
"Desss...!"
Tubuh nenek itu terhuyung, akan tetapi dia bisa menguasai dirinya dan tak sampai roboh walau pun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya tadi kuat bukan main.
Karena puterinya tidak mau membantunya dan dia maklum bahwa kedua orang lawannya itu benar-benar merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya, Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara itu. Kesempatan itu cepat dipergunakan oleh nenek itu untuk meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil menarik Hui Cu bersamanya.
"Kurasa tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya...!" Cia Sun berkata ketika melihat temannya hendak mengejar.
Mendengar suara Cia Sun, Ci Kang langsung menahan kakinya dan melangkah kembali menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya. Ternyata kulit tangan itu telah berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke pergelangan.
"Cia Sun, engkau keracunan!" kata Ci Kang mendekat.
"Nenek itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Karena itulah maka aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku tidak dapat membantumu dan jika sampai dia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau akan terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk membersihkan racun ini."
"Tak perlu begitu lama, Cia Sun. Dulu aku pernah mempelajari ilmu membersihkan hawa beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."
Tidak lama kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk bersila, mengerahkan sinkang dan dengan hawa murni dia mendorongkan tenaga ke arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendirian saja, tentu akan memakan waktu sedikitnya satu pekan baru hawa beracun di dalam tangan kirinya itu dapat terusir bersih.
Akan tetapi kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya pada siku serta pundak kirinya, dan teman ini membantunya dengan mengerahkan sinkang. Hawa panas segera memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah mereka bisa mengusir racun dari tangan kiri. Tidak lama kemudian, kulit tangan itu berubah warnanya. Warna hitam kehijauan itu perlahan-lahan surut hingga akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.
"Terima kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku," kata Cia Sun dengan hati girang dan kagum.
Ci Kang menggelengkan kepala. "Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkau pun telah menolongku. Sikapmu yang baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."
"Ci Kang, sampai sekarang aku masih merasa heran mengingat bahwa engkau, sesuai pengakuanmu sendiri, adalah putera Siangkoan Lo-jin! Dan engkau memusuhi para datuk sesat! Mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi sahabat senasib sependeritaan, kalau aku boleh bertanya, sebetulnya apakah yang kau cari di sini?"
"Sama saja dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ke sini untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak bangkit untuk menentang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"
Cia Sun mengangguk lalu bertanya, "Apa maksudmu ingin menghadiri pertemuan itu?"
Ci Kang tersenyum pahit. "Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. Ayahku adalah seorang datuk sesat, bagaimana mungkin aku diterima di antara para pendekar? Tadinya kusangka..."
Melihat Ci Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun memegang lengan yang kokoh kuat itu. "Sahabatku, jangan kau persalahkan sikap para pendekar. Andai kata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu bersamamu dan sudah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang menentang para datuk sesat, mungkin aku pun akan curiga kepadamu. Bayangkan saja. Engkau, putera Siangkoan Lo-jin, berkeliaran di tempat ini, padahal para pendekar hendak mengadakan pertemuan di sini untuk menentang golongan sesat! Orang yang tidak mengenal keadaan dirimu tentu saja akan menyangka engkau memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku di sini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu, apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"
"Aku hendak menyumbangkan tenagaku menentang para datuk yang hendak melakukan pemberontakan."
"Bagus! Kalau begitu kita satu haluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menemui para pendekar, Ci Kang."
Akan tetapi pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala. "Cia Sun, sejak kecil aku selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apa pun yang kuhadapi tak akan memuaskan hatiku apa bila berhasil hanya karena bantuan orang lain,. Biarlah, aku akan hadapi sendiri para pendekar, apa pun akibatnya. Aku gembira sekali sudah dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!"
Setelah berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian yang dapat menandinginya. Dia pun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu.
********************
Semenjak Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terbasmi atau terusir sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara lagi, maka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang lemah. Lenyap sudah kebesarannya seperti saat mereka masih menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu.
Kini sisa bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin. Jumlah suku bangsa mereka sangat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai agama, aliran dan tradisi. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar, dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang selalu berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah.
Karena terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini menjadi lemah. Di antara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan tanah, air dan sebagainya. Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan kesulitan yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak menguntungkan manusia.
Masing-masing suku atau kelompok memiliki kepala sendiri dan seperti biasa terjadi di seluruh dunia ini di antara manusia, kepala-kepala inilah yang menimbulkan permusuhan dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau pengikut mereka ke dalam permusuhan. Tidak pernah lagi lahir seorang Jenghis Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya untuk bisa menundukkan semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.
Nenek Yelu Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh di antara suku bangsa utara ini. Akan tetapi peran nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit semangat mereka, namun sebagai penengah. Nenek ini memang ditakuti karena memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi nenek Yelu Kim tidak pernah bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan bila mana terjadi pertempuran-pertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api permusuhan di antara mereka.
Akan tetapi pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di San-hai-koan, telah menimbulkan guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan sesuatu di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekuasaan yang sudah hilang di selatan.
Juga Yelu Kim bagaikan baru terbangun dari tidurnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya. Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa dia tidak bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang itu untuk mencoba membangkitkan lagi kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya, meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mongol?
Akan tetapi, api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan lagi di antara mereka sendiri. Masing-masing ingin menjadi pemimpin jika mereka sampai dapat bersatu dan melakukan penyerbuan ke selatan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan.
Masing-masing ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka kelak berhasil, maka sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke anak cucu keturunannya! Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati nenek Yelu Kim sampai dia berjumpa dengan Sui Cin. Di dalam diri gadis ini dia melihat bakat dan kepandaian yang dapat dia pergunakan untuk mencapai hasil baik dalam rencananya menghadapi pertikaian baru di antara para kepala suku itu.
Nenek itu berhasil membawa pergi Sui Cin dengan bantuan harimau peliharaannya, lalu mengobati Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coa-li dan minum racun pembius. Namun di samping keracunan, nenek itu juga mendapat kenyataan bahwa gadis itu pun kehilangan ingatannya, maka dia pun berusaha dengan sepenuh perhatian dan kepandaiannya untuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama sekali, termasuk dari penyakit kehilangan ingatan itu.
Nenek Yelu Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya dia berhasil mengobati Sui Cin hingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali kepadanya ketika pada suatu pagi dia terbangun kemudian melihat nenek itu sudah duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum emas dan agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya pada waktu dia sedang tidur dan berhasil membuka kembali ingatannya.
"Aihhhh...!" Sui Cin meloncat lantas bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja...! Tapi aku tidak bermimpi!" Ia menengok ke arah pintu kamar itu dan memanggil girang ketika melihat seekor harimau besar menjenguk ke dalam. "Houw-cu, engkau pun kenyataan, bukan mimpi! Dan nenek Yelu Kim, yang telah menolongku!"
Nenek itu tersenyum dan wajahnya nampak cantik pada saat dia tersenyum. "Anak baik, engkau sudah ingat semua, juga akan keadaan dirimu? Tadinya engkau lupa sama sekali akan keadaan dirimu dan asal-usulmu."
Sui Cin membelalakkan matanya. "Benarkah itu? Ah, ya, teringat olehku sekarang. Tentu timpukan batu yang mengenai belakang kepalaku itulah yang membuatku lupa segalanya. Dan bagaimana nasib Hui Song...?"
Nenek itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Apakah dia pemuda yang menolongmu dari Kiu-bwe Coa-li itu?"
"Bukan! Pemuda itu adalah Cia Sun-twako. Ahh, tentu locianpwe tidak tahu. Betapa hebat dan mengerikan semua pengalamanku selama ini dan akhirnya locianpwe yang berhasil menyembuhkanku. Sungguh besar sekali budi locianpwe kepadaku."
"Hush, sudahlah. Di antara guru dan murid mana ada budi? Ingat, sesuai dengan janjimu, engkau sudah menjadi murid juga pembantuku. Sekarang lekas ceritakan keadaan dirimu dengan singkat."
"Namaku Ceng Sui Cin dan ayahku..." Sui Cin langsung teringat bahwa dia tidak boleh membawa-bawa nama orang tuanya, maka dia meragu. Bagaimana pun juga, dia belum mengenal benar siapa sesungguhnya nenek Yelu Kim yang telah menolongnya ini.
Akan tetapi nenek itu kemudian tersenyum setelah tadinya sepasang matanya terbelalak mendengar gadis itu memperkenalkan diri. Lalu tangannya yang kurus memegang lengan Sui Cin dan matanya yang tajam itu menatap wajah gadis itu, mulutnya tersenyum ramah.
"Sungguh para dewa sudah mempertemukan kita! Tepat suara hatiku bahwa engkaulah yang akan dapat membantuku dan menolong bangsa dan golongan kita. Kiranya engkau adalah keturunan Puteri Khamila, engkau masih berdarah bangsa kami, anak baik!"
Sui Cin amat terkejut dan merasa heran. Benarkah nenek ini dapat mengenal keluarganya hanya dengan namanya? Padahal, sebelum ini belum pernah dia mengenal nenek Yelu Kim.
"Apa maksud locianpwe?" tanyanya sambil memandang tajam.
Senyum nenek ini semakin melebar. "Tidak sulit mengenalmu, Sui Cin. Ilmu silatmu amat lihai dan selama engkau berada di sini, dalam latihan engkau memainkan beberapa ilmu silat yang kukenal bersumber pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Tadinya kukira engkau adalah murid Cin-ling-pai, akan tetapi setelah kini aku tahu bahwa engkau she Ceng, mudah saja menduga siapa adanya dirimu. Bukankah ayahmu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"
Sui Cin mengangguk. "Locianpwe sungguh cerdik sekali." Dia memuji.
"Dan ayahmu itu adalah putera Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai. Kakekmu itu adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung dan Puteri Khamila, dengan sendirinya antara engkau dan aku masih ada hubungan yang dekat sekali, Sui Cin." Kemudian kata-kata itu diakhiri dengan suara ketawa girang bukan main dari nenek itu.
Sui Cin memandang bengong ketika melihat nenek itu tiba-tiba bangkit dan menari-nari di dalam kamar itu, menari-nari sambil bernyanyi lagu Mongol dan bertepuk tangan! Harus diakuinya bahwa meski pun di situ tidak ada iringan musik, akan tetapi tarian itu sangat indah dan suara nyanyian nenek itu pun merdu sekali.
"Locianpwe..."
"Aku sudah menjadi gurumu dan kau masih menyebutku locianpwe?" Nenek yang sudah selesai menari itu menegur.
"Subo," akhirnya Sui Cin berkata dengan nada agak terpaksa.
Sesungguhnya, apa bila dia berada dalam keadaan sadar, dia tidak akan mau begitu saja berjanji menjadi murid dan pembantu nenek itu tanpa lebih dahulu mengenal keadaannya. Akan tetapi dia telah berjanji dan dia tak akan menarik kembali apa yang telah dijanjikan.
"Subo, hubungan dekat apakah yang ada antara kita?"
"Tidak dapatkah engkau menduganya? Nama keturunanku Yelu! Tidak tahukah engkau apa artinya nama itu?"
Sui Cin menggeleng kepala dan menyesal mengapa dia tidak tahu akan hal itu karena dia melihat betapa wajah nenek itu nampak kecewa sekali.
"Aihh, agaknya Ceng Thian Sin tidak pernah menceritakan kepadamu tentang kebesaran bangsa kita di utara."
"Ayah memang tidak suka menceritakan riwayat nenek moyang kami," kata Sui Cin.
"Sayang sekali. Nah, dengarkan baik-baik. Ketika Kaisar Jenghis Khan, raja terbesar di seluruh dunia, masih bertahta dan menguasai seluruh daratan sampai ke lautan selatan, beliau mempunyai seorang pembantu dan penasehat yang amat arif bijaksana, bernama Yelu Ce-tai. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama besar Yelu Ce-tai di samping nama besar Jenghis Khan? Yelu Ce-tai inilah pengatur semua siasat sehingga membuat pemerintahan Jenghis Khan berhasil dengan baik."
"Dan subo tentulah keturunan Yelu Ce-tai itu," kata Sui Cin karena memang mudah saja menduganya sekarang.
Nenek itu mengangguk dan wajahnya yang agung itu terlihat diangkat penuh kebanggaan. "Dan beliau tidak malu memiliki keturunan seperti aku! Kerajaan Mongol yang menguasai seluruh daratan selatan sudah hancur, dan keturunan Jenghis Khan yang besar itu telah lenyap tidak ada sisanya lagi, akan tetapi kebesaran Yelu Ce-tai masih belum kabur! Lihat aku ini, aku keturunannya, walau pun aku hanya seorang wanita, akan tetapi aku masih dipandang dan juga diakui oleh semua kelompok suku bangsa di utara sebagai penasehat agung yang selalu mereka segani dan taati!"
Kini mengertilah Sui Cin mengapa nenek ini nampak begitu agung dan penuh bangga diri. Kiranya memiliki kedudukan tinggi di antara suku bangsa utara.
"Subo telah menyelamatkan aku dan aku telah berjanji untuk membantu subo, sebetulnya bantuan apakah yang dapat aku lakukan? Bukankah sebagai seorang penasehat agung, subo memiliki banyak pembantu dan tidak membutuhkan lagi bantuanku?"
"Engkau tidak tahu betapa aku mengalami banyak kepusingan karena sifat liar dan keras dari orang-orang suku utara ini. Terutama sekali suku Khin yang amat ganas. Mereka itu menghormati aku, akan tetapi kadang kala menunjukkan kekerasan mereka dan agaknya mereka semua akan mudah sekali memberontak. Baiknya selama ini aku masih mampu mengendalikan mereka. Sekarang timbul keguncangan di kalangan kami karena adanya pergerakan kaum sesat di selatan yang hendak memberontak."
Sui Cin terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang gerakan para datuk sesat yang hendak memberontak pun dapat diketahuinya!
"Apakah yang subo ketahui tentang hal itu?"
Nenek itu tersenyum bangga. "Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Mungkin orang-orang kasar itu sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku tidak! Aku selalu memperhatikan perubahan serta pergolakan di selatan. Aku tahu bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang berusaha untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan dengan panglima di San-hai-koan dan merampas benteng itu!"
"Selain itu?" Sui Cin mendesak.
"Tidak cukupkah itu? Kami melihat kesempatan yang sangat baik untuk bergerak selagi keadaan pemerintah Beng-tiauw kacau. Sudah tiba saatnya bagi kami untuk bergerak ke selatan, menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan. Tetapi orang-orang kasar itu, orang-orang liar itu, mereka bahkan saling berebut, saling bertentangan sendiri memperebutkan kedudukan pimpinan seperti anjing memperebutkan bungkusan kosong! Sungguh memuakkan!"
Nenek itu mengepal tinju dan kelihatan marah sekali. Sui Cin menduga bahwa nenek itu agaknya belum tahu akan gerakan para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
"Lalu apa hubungannya semua itu dengan bantuan yang subo harapkan dariku?"
"Orang-orang gila itu makin menjadi-jadi saja dalam nafsu mereka untuk memperebutkan kedudukan sebagai pemimpin gerakan kami. Bahkan setiap kelompok sudah mengajukan usul agar masing-masing mengeluarkan jagoan dan diadakan pertandingan-pertandingan. Siapa yang jagonya menang berarti berhak menjadi pemimpin gerakan ke selatan. Aku ingin engkau membantuku, mewakili aku maju sebagai penghukum yang menaklukkan semua jagoan itu, atau menundukkan jagoan yang paling kuat dan yang keluar sebagai pemenang."
"Ahh...!" Sui Cin terkejut. "Mengingat betapa kepandaian subo sendiri sudah amat tinggi, tentu di antara kelompok itu terdapat orang-orang pandai pula. Lalu bagaimana aku akan dapat mengalahkan jagoan yang paling pandai? Jangan-jangan subo akan menyesal dan kecelik, aku malah yang akan kalah oleh jagoan itu sehingga nama serta wibawa subo akan menjadi turun."
"Tidak, tidak mungkin! Mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang hanya menggunakan kekuatan dan kelincahan menunggang kuda disertai keberanian. Mana mungkin ada yang mampu mengalahkanmu? Sui Cin, aku sudah tahu kelihaianmu. Di dalam ilmu berkelahi, aku sendiri tidak akan menang melawanmu. Pula, jika engkau maju sambil menunggang Houw-cu, siapa yang akan mampu mengalahkan engkau? Di samping itu masih ada lagi orang yang membantumu dari belakang dengan kekuatan sihir. Kami pasti menang dan kemenanganmu akan membuat semua orang tunduk akan keputusanku!"
"Aihh, jadi subo juga bercita-cita untuk turut memperebutkan kedudukan pemimpin itu?"
"Jangan salah duga! Seorang nenek setua aku ini sudah tidak butuh lagi kedudukan dan kemuliaan, akan tetapi aku ingin melihat bangsaku mendapatkan kembali kekuasaannya sebelum aku mati, apa lagi kalau kekuasaan itu diperoleh karena bantuan dan jasaku! Aku ingin kelak kalau mati, aku dapat menghadap nenek moyang Yelu Ce-tai dengan hati bangga. Biar semua orang melihat bahwa sampai kini Yelu Kim tetap menjadi orang yang menurunkan keluarga yang bahkan lebih besar dari pada keturunan Jenghis Khan sendiri! Aku harus memimpin kelompok-kelompok liar itu supaya berhasil menyerbu ke selatan. Kemudian, untuk pemilihan kaisar, harus dilakukan dengan bijaksana dan adil, di bawah bimbinganku pula!"
Sui Cin merasa heran dan diam-diam merasa khawatir kalau-kalau orang yang menjadi gurunya ini bukan hanya orang yang memiliki cita-cita besar, akan tetapi juga merupakan orang yang miring otaknya!
"Kalau aku sudah melakukan tugasku mengalahkan jagoan itu, lalu bagaimana dengan aku, subo?"
"Janjimu itu hanya terikat oleh bantuanmu memenangkan sayembara itu. Selanjutnya aku serahkan kepadamu. Kalau engkau mau membantu kami dalam perjuangan kami, tentu saja aku akan merasa gembira dan bersyukur sekali. Andai kata tidak dan engkau ingin meninggalkan aku, silakan."
Tentu saja, sesudah kini semua ingatannya pulih, diam-diam Sui Cin merasa tidak setuju dengan rencana nenek yang sudah menjadi gurunya ini. Nenek ini bersama bangsa dan kelompoknya sedang merencanakan pemberontakan! Padahal, sudah menjadi tugasnya untuk menentang pemberontak, untuk membela negara dan mencegah terjadinya perang agar rakyat tidak akan menderita.
Bahkan ia kini teringat bahwa ia berada di utara adalah karena ditugaskan oleh gurunya, Wu-yi Lo-jin, untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak menentang Raja dan Ratu Iblis yang akan mengerahkan kaum sesat untuk memberontak. Mana mungkin kini dia harus membantu pemberontakan nenek ini terhadap pemerintah?
Tetapi dia pun tahu bahwa nenek ini bukan orang jahat, bahkan telah menyelamatkannya dan menolongnya dari keadaan yang sangat menyedihkan, yaitu kehilangan ingatannya. Bagi nenek ini tentu saja gerakan memberontak itu merupakan suatu perjuangan untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya, Bangsa Mongol yang dulu pernah menjajah Tiongkok.
"Subo, apa subo kira mudah saja melakukan pemberontakan? Mana mungkin kelompok-kelompok suku di sini akan mampu menandingi kekuatan bala tentara kerajaan? Sebelum dapat berbuat banyak, tentu subo dan kawan-kawan subo sudah akan dihancurkan oleh kekuatan bala tentara kerajaan yang jumlahnya amat banyak dan kuat sekali."
Nenek itu tersenyum. "Ucapanmu memang benar. Akan tetapi seperti sudah kukatakan tadi, kini tiba saatnya yang sangat baik, terbuka kesempatan besar karena kaum sesat telah bergerak. Biarlah mereka yang akan menandingi bala tentara pemerintah dan kami akan memukul mereka dari belakang lantas merampas semua kota yang sudah mereka duduki. Dengan menghadapi perlawanan pasukan pemerintah dari depan, tentu mereka akan lemah sehingga tak akan mampu bertahan kalau kami pukul dari belakang. Mereka itulah yang akan menjadi pelopor kami dan kami tinggal merampas hasil-hasil mereka dari belakang saja."
Diam-diam Sui Cin terkejut juga. Nenek ini sungguh cerdik dan kalau semua siasat nenek itu berhasil, maka keadaannya betul-betul berbahaya bagi pemerintah. Berarti pemerintah harus menghadapi dua gelombang serangan musuh, dan menurut sejarah yang pernah dibacanya, suku Bangsa Mongol di utara adalah orang-orang yang amat gagah perkasa, berani mati dan tangkas dalam pertempuran.
"Akan tetapi, subo, hal itu akan menyalakan api peperangan besar, dan membutuhkan biaya yang sangat besar untuk menggerakkan banyak orang bertempur,. Kalau subo tidak mempunyai harta benda yang banyak untuk itu..."
"Jangan kau khawatir. Aku selalu membiasakan diri berpikir sampai matang dan membuat persiapan selengkapnya sebelum bergerak. Jika aku tidak mempunyai harta pusaka yang amat besar jumlahnya, mana berani aku merencanakan gerakan perjuangan?"
Tiba-tiba saja terdengar suara mengaum, dan harimau besar itu mendekati Sui Cin lalu mengelus-elus punggung gadis itu dengan kepalanya. Itulah tandanya bahwa si harimau itu mengajaknya bermain-main.
"Houw-cu, bersabarlah, nanti kita main-main," katanya dan melihat harimau ini, mendadak Sui Cin teringat akan sesuatu.