TERBAYANGLAH semua peristiwa di dalam goa. Goa Iblis Neraka! Ketika dia menyelidiki goa itu, sebelum muncul Hui Song bersama Siang Hwa beserta dua orang kakek, dia melihat bayangan lima orang yang dengan amat cepatnya berkelebat memasuki goa. Kemudian dia melihat mereka keluar lagi sambil memikul sebuah peti yang nampaknya berat.
Ia teringat akan harta pusaka di dalam goa itu. Agaknya Hui Song bersama wanita cantik dan dua orang kakek itu memasuki goa untuk mencari harta pusaka, akan tetapi sudah kedahuluan oleh lima bayangan itu. Dan kini teringatlah dia bahwa pada dada mereka itu nampak gambar harimau, tersulam pada baju mereka.
"Subo, aku pernah mendengar tentang pusaka di Goa Iblis Neraka...," dia memancing.
Nenek itu membelalakkan matanya. "Aha! Engkau pun tahu akan hal itu? Kini tidak perlu kusembunyikan lagi. Memang kami sudah mendapatkan harta pusaka itu. Untung sekali, karena harta pusaka itu telah diincar oleh Raja dan Ratu Iblis!"
"Kalau begitu, subo mempunyai banyak anak buah? Kukira, tadinya subo hanya bertiga dengan aku dan Houw-cu ini..."
"Jangan bodoh. Kalau hanya sendirian saja mana mungkin aku mampu mempertahankan kedudukanku? Pernahkah engkau mendengar tentang Perkumpulan Harimau Terbang?"
Sui Cin menggelengkan kepala, hanya diam-diam menduga bahwa tentu lima orang yang memakai baju bersulam gambar harimau itu merupakan anggota-anggota Perkumpulan Harimau Terbang.
"Harimau Terbang adalah nama perkumpulan rahasia yang kudirikan di daerah Mongol ini. Sebetulnya pendirinya adalah nenek moyangku, semenjak Yelu Ce-tai dan merupakan perkumpulan yang para anggotanya terdiri dari orang-orang pandai. Dengan bantuan para anggota perkumpulan itu, aku dapat menguasai para kepala kelompok dan kepala suku sehingga sampai kini persatuan di antara mereka dapat kupertahankan."
Diam-diam Sui Cin merasa semakin kagum kepada nenek ini. Seorang nenek yang selain memiliki kepandaian tinggi, pandai sihir, juga cerdik bukan main, bahkan menjadi kepala dari sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya selalu bergerak secara rahasia pula dan disegani oleh semua kepala suku serta kepala kelompok yang liar di daerah Mongol dan Mancu.
Ia pun melihat betapa para pendekar akan sukar untuk dapat menentang Raja dan Ratu Iblis yang ternyata bukan hanya dibantu oleh kaum sesat, akan tetapi bahkan juga telah bersekutu dengan pasukan pemberontak yang besar jumlahnya dan kini bahkan mereka sudah berhasil merampas dan menduduki benteng pertama San-hai-koan.
Jika begini, untuk menghadapi mereka dibutuhkan pasukan yang kuat pula, bukan hanya sekedar beberapa puluh orang pendekar saja. Maka, dia pun mengambil keputusan untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Raja dan Ratu Ibils itu dengan cara membantu orang-orang Mongol ini. Bukan membantu untuk memberontak, tetapi membantu mereka untuk menentang pasukan pemberontak Raja Iblis.
"Subo sudah mempunyai banyak anggota Perkumpulan Harimau Terbang yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa subo masih membutuhkan bantuanku untuk menghadapi jagoan dari para kelompok itu?"
"Tidak, Sui Cin. Mereka itu lihai akan tetapi kelihaian mereka dalam hal ilmu silat jauh di bawah tingkatmu. Mereka itu hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari dariku saja, jadi tidak dapat terlalu diandalkan untuk menghadapi jagoan yang tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi kalau dengan ilmu silatmu yang tinggi engkau yang maju, dibantu oleh Houw-ji yang menjadi binatang tungganganmu, sambil kubantu pula dari belakang dengan kekuatan sihirku, maka aku yakin engkau pasti akan menang dan kemenanganmu akan membuat mereka semua tunduk padaku."
"Baiklah, subo. Aku akan membantu subo, bahkan aku akan membantu pula kalau subo menentang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Akan tetapi tak mungkin aku dapat membantu jika subo melawan pemerintah. Tentu subo tahu bahwa tak mungkin aku menjadi pemberontak."
Nenek itu mengangguk-angguk. "Aku bisa mengerti, Sui Cin. Kita sama-sama merupakan orang yang setia kepada negara dan bangsa, hanya sayang sekali kita terlahir sebagai bangsa yang berlainan."
Demikianlah, Sui Cin segera diberi petunjuk oleh Yelu Kim untuk dapat bertanding sambil menunggang harimau besar itu dan karena gadis ini memang memiliki ginkang dan ilmu silat yang hebat, ditambah lagi bahwa dia telah akrab dengan harimau itu, sebentar saja dia sudah mahir menunggang harimau itu sambil menggerakkan sebatang tongkat baja sebagai pengganti senjata payungnya.
Yelu Kim juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sayembara mengadu jagoan untuk memilih pimpinan perjuangan itu. Anak buahnya, yaitu para anggota Perkumpulan Harimau Terbang yang jumlahnya ada seratus orang telah disiapkan, akan tetapi seperti biasanya, mereka ini tidak muncul di depan umum melainkan bergerak secara rahasia, menyelinap di antara anggota-anggota kelompok berbagai suku bangsa itu, menutupi baju sulaman gambar harimau dengan jubah masing-masing kelompok.
Sejak pagi mereka sudah berkumpul di padang tandus itu. Sebuah tanah datar luas yang kering. Puluhan kelompok suku bangsa yang bermacam-macam, akan tetapi berasal dari tiga suku bangsa, yaitu Mongol, Mancu, dan Khin, sudah berkumpul di tempat itu. Mereka masing-masing mendirikan tenda besar dan dari dandanan pakaian dan bendera masing-masing dapat dibedakan antara mereka walau pun bentuk tubuh dan wajah mereka tidak banyak berbeda, bahkan banyak sekali yang serupa. Mereka itu adalah tukang berkelahi, orang-orang yang sejak kecil sudah terbiasa hidup di alam liar dan selalu menghadapi tantangan hidup yang keras dan sukar.
Kepala kelompok atau kepala suku mengenakan pakaian yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya serba indah dan gagah. Ada pula yang mengenakan pakaian seragam panglima, mungkin peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menjajah Tiongkok. Ada pula yang berkepala gundul berjubah pendeta, menunjukkan bahwa kepala kelompok ini seorang pendeta Buddha.
Para kepala kelompok yang jumlahnya sampai tiga puluh orang lebih karena banyak di antara mereka mempunyai wakil, berkumpul di tengah lapangan luas itu untuk berunding tentang pelaksanaan adu jago di antara mereka. Nampak Yelu Kim telah hadir pula dan kedudukan nenek ini jelas nampak karena kalau para kepala kelompok itu du-duk bersila di atas tanah yang membentuk sebuah lingkaran, adalah nenek Yelu Kim sendiri yang duduk di atas sebuah tandu. Ia tidak memimpin perundingan itu, namun bertindak sebagai penasehat dan selalu nenek inilah yang memecahkan persoalan yang mereka hadapi dan merupakan jalan buntu.
Setelah mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang nyaris saja menjadi perkelahian apa bila tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhirnya diambil keputusan bahwa masing-masing kelompok yang hadir hanya diperbolehkan mengajukan seorang jagoan saja.
Masing-masing jagoan hanya dipertandingkan dalam satu kali pertandingan saja, secara bebas, boleh naik kuda atau tidak, dan boleh mempergunakan senjata apa saja. Jagoan dianggap kalah apa bila dia menyatakan tidak berani melawan lagi atau kalau dia roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi di dalam pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh dendam atau membalas. Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan undian dan jagoan yang telah menang satu kali diperkenankan beristirahat, tidak diharuskan menghadapi lawan secara beruntun.
Peraturan pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa amat kagum dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki kegagahan dan sama sekali tidak mau menggunakan kecurangan dalam memperebutkan kedudukan itu. Tidak seorang pun mempedulikannya karena dia hanya dianggap sebagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di balik punggung nenek Yelu Kim.
Bagaimana pun juga, dia merasa ngeri juga. Pertandingan itu, walau pun dilaksanakan di antara sahabat-sahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing tak akan mau saling mengalah. Dan kalau melihat sikap serta watak mereka, agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya hendak mempertahankan nama serta kehormatan sampai saat terakhir! Pertandingan yang keras dan kejam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan menjadi merah oleh darah!
Tidak lama kemudian perundingan itu pun berakhir dan masing-masing kepala kelompok lalu mengajukan jagoan masing-masing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri karena dia tidak puas kalau diwakili orang lain yang dianggapnya kurang tangguh. Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran yang terpisah.
Ternyata tidak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula di antara mereka yang tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka hanya menjadi penonton saja. Mereka kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil. Karena itu, sesudah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja.
Di antara sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda, sedangkan enam orang yang lainnya menunggang seekor kuda yang besar dan tangkas. Memang salah satu di antara keahlian orang-orang utara ini adalah menunggang kuda.
Sui Cin hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal salah seorang di antara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang sangat gagah, dengan memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata sebatang tombak kong-ce yang bercabang dan bergagang panjang.
Pemuda ini nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang!
Mau apa putera Si Iblis Buta ini berada di situ, bahkan menjadi jagoan dari satu di antara kelompok suku dari utara? Biar pun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, namun bagaimana pun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis!
Mengapa pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada di situ? Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Cin lupa bahwa kehadirannya sendiri di tempat itu pun merupakan hal yang sangat aneh, mungkin lebih aneh dari pada kehadiran Ci Kang sendiri. Dia adalah dari golongan pendekar dan kini dia berada di situ sebagai pengawal atau murid Yelu Kim, orang yang kedudukannya paling tinggi di antara kepala suku yang sedang memilih pimpinan untuk memberontak!
Sui Cin tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya belum terlihat oleh Ci Kang, telah membuat seorang yang menyelinap di antara kelompok Suku Bangsa Mancu Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini adalah seorang pemuda yang mengenakan pakaian seperti kawan-kawannya, yakni pakaian orang Mancu Timur yang kehidupannya sebagai pemburu atau nelayan di pantai laut timur. Dia seorang pemuda tampan yang berwajah gembira.
Pada waktu pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya berteriak. Akan tetapi dia segera menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa heran bukan main melihat Sui Cin berada di situ, apa lagi setelah dia memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!
Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin di antara orang-orang liar dari utara ini. Dia pun merasa curiga, apa lagi sesudah mendengar bahwa nenek itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti oleh para kepala suku! Dan menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, Sui Cin adalah pengawal nenek itu! Sui Cin sudah menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang hendak mengadakan pemberontakan?
Memang merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu berada di situ, di antara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa Sui Cin dapat hadir di situ, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song dapat pula berada di situ dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi seorang di antara jagoan yang terpilih?
Seperti kita ketahui, Ci Kang telah terhindar dari mala petaka bersama Cia Sun pada saat mereka berdua terjebak oleh Siang Hwa ke dalam goa bawah tanah. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis. Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau lagi menuju ke Jeng-hwa-pang di mana dia pernah disambut dengan serangan oleh para pendekar.
Maka dia pun melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan berusaha mencari gurunya di antara para pendekar, karena hanya dengan perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.
Pada suatu hari sampailah dia di sebuah hutan, dan dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang kala suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan. Ci Kang yang masih bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat keadaan yang mengerikan.
Seorang anak lelaki yang berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor beruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin mengurung binatang itu sambil berteriak-teriak dalam usaha mereka menyerang beruang itu untuk menyelamatkan anak laki-laki itu.
Akan tetapi beruang itu sungguh kuat. Binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak kecil tadi dengan kaki depan kirinya yang bergerak seperti lengan orang, sedangkan tangan kanannya mencengkeram serta menangkis semua serangan tombak atau pedang yang ditusukkan kepadanya.
Karena anak itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itu pun sangat berhati-hati dalam penyerangan mereka, khawatir kalau-kalau senjata mereka mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan anak panah.
Melihat keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapakah adanya orang-orang itu dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan beruang itu dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena cengkeraman kuku kaki depan kanan beruang itu.
Ci Kang lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan suara melengking laksana binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya menotok pundak kiri beruang itu. Binatang itu mengeluarkan auman marah dan kesakitan, akan tetapi totokan yang tepat mengenai urat besar pada pundaknya itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.
Ci Kang cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang di antara para pemburu, dan dia sendiri cepat menghadapi beruang yang sekarang menjadi semakin marah. Beruang itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, dua kaki depan itu bergerak seperti lengan yang sangat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang.
Akan tetapi Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerakan yang amat gesit tubuhnya cepat menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia membalik dan tangan kanannya menyambar.
"Dukkk...!"
Betapa pun kuatnya kepala beruang itu, begitu terkena tamparan tangan kanan Ci Kang yang amat kuat, beruang itu mengeluarkan suara pekik hebat dan tubuhnya terpelanting lantas terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi binatang itu memang kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai pecah terpukul dan biar pun binatang itu menjadi pening karena guncangan hebat pada kepalanya, dia masih bisa meloncat bangun dan menerkam lagi, tapi kini gerakannya ngawur karena matanya masih berkunang.
Ci Kang meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini ia mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri beruang.
"Krakkk!"
Jelas sekali terdengar tulang-tulang patah pada saat tangan yang ampuh itu menghantam tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Beruang itu mengaum dan terjengkang. Ci Kang cepat meloncat mendekat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala beruang itu pun retak. Binatang itu pun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluarkan darah!
Terdengar sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang menari-nari mengelilingi bangkai beruang. Salah seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin rombongan kemudian memegang lengan Ci Kang dan mengguncang-guncangkan, lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.
"Orang muda, engkau telah menyelamatkan putera kepala suku kami," orang itu berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar. Agaknya orang ini adalah seorang bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.
Ci Kang melihat bahwa luka di pundak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak terancam bahaya. Dia lalu mengangguk. "Aku tidak peduli dia anak siapa, akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana.
Jawaban ini agaknya membuat semua orang bergembira dan kagum, lalu satu demi satu mereka menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah begitu biasa dengan sikap gagah dan jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka. Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.
"Orang muda, mari ikut bersama kami pergi menemui kepala suku kami," kata si brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.
Ci Kang memandang orang itu dan mengerutkan kedua alisnya. "Aku tidak butuh hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi dari situ. Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan mendahuluinya lalu menghadang di depannya.
"Engkau mau apa?!" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal membuatnya murung dan mudah marah.
Tiba-tiba orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut, "Orang muda, aku hanya minta agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."
Tentu saja Ci Kang menjadi heran dan terkejut. "Apa maksudmu?"
"Orang muda, anak yang kau selamatkan tadi adalah putera kepala suku kami. Apa bila engkau tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap memiliki dua kesalahan sehingga akan dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terluka dan kedua, aku membiarkan penolongnya pergi tanpa memperkenalkannya kepada kepala kami."
Ci Kang mengerutkan sepasang alisnya. Dia percaya bahwa orang-orang yang kasar ini, orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang sama dengannya, yaitu pemburu-pemburu binatang, tidak pernah berbohong, dan kebiasaan yang kasar dan keras dari kepala suku itu mungkin saja benar. Dan apa salahnya kalau dia berkenalan dengan orang-orang ini? Berada di antara orang-orang kasar dan jujur yang pekerjaannya memburu binatang ini dia merasa tidak asing.
"Jauhkah tempat kepala suku itu?"
"Tidak, orang muda, tak sampai seperempat hari perjalanan. Siang nanti kita sudah akan tiba di sana."
"Baiklah. Mari kita berangkat."
Ternyata orang brewok itu memang tidak berbohong. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di perkampungan Suku Bangsa Khin itu dan andai kata Ci Kang tidak ikut datang, tentu si brewok ini mengalami hukuman berat.
Kepala suku itu orangnya tinggi besar dan kasar, sepasang matanya yang lebar itu keras dan terbuka. Dia mendengarkan semua penuturan si brewok dengan alis berkerut. Akan tetapi setelah memeriksa pundak puteranya yang terluka dan mendapat kenyataan bahwa keadaan puteranya tidak berbahaya, apa lagi mendengar bahwa pemuda yang tak berbaju ini telah membunuh beruang hitam besar hanya dengan pukulan tangan kosong, dia lupa akan kemarahannya.
Sejenak dia memandang Ci Kang dengan sepasang mata penuh selidik dan agaknya dia tak percaya ketika mendengar penuturan si brewok dan kawan-kawannya bahwa Ci Kang telah membunuh beruang itu hanya dengan tiga kali pukulan saja! Kepala suku itu lantas menggelengkan kepala dan dia memandang kepada kedua lengannya yang berotot dan besar.
"Mana mungkin membunuh beruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan saja? Kedua tangan ini pun tidak sanggup menandingi kekuatan beruang hitam. Mungkin dalam suatu perkelahian mati-matian akhirnya aku akan dapat membunuhnya, akan tetapi dengan tiga kali pukulan? Tidak mungkin! Orang muda, benarkah engkau tadi telah membunuh seekor beruang hitam dewasa hanya dengan tiga kali pukulan saja?"
Ci Kang sudah menyukai sikap terbuka itu. Orang-orang ini mengagumkan, pikirnya dan cocok sekali dengan wataknya. Semenjak kecil dia suka sekali berburu binatang dan biar pun ayahnya dan rekan-rekan ayahnya suka mencemoohkannya, namun dia menganggap berburu binatang untuk dimakan dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya adalah pekerjaan yang gagah. Mencari makan dengan cara yang perkasa!
"Benar, dan kalau aku mau, aku dapat membunuh binatang itu dengan satu kali pukulan saja!" Ucapan Ci Kang ini timbul dari hati yang sejujurnya, bukan untuk menyombongkan diri.
Kepala suku itu mengerutkan kedua alisnya dan menganggap kata-kata ini sebagai tanda ketinggian hati. "Orang muda, jika engkau tidak dapat membuktikan ucapanmu itu, terus terang saja engkau mengecewakan hatiku dan aku menjadi tidak suka kepadamu walau pun engkau telah menolong puteraku."
"Aku tidak berbohong dan perlu apa aku membuktikan omonganku? Andai kata engkau mempunyai seekor beruang hitam di sini, aku pun tidak mau membunuhnya tanpa sebab, hanya untuk membuktikan omonganku."
"Orang muda, kekuatanku lima kali kekuatan seekor beruang hitam. Jika engkau mampu mengalahkan seekor beruang dengan satu kali pukulan saja, berarti bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dengan lima kali pukulan. Betapa tidak masuk di akal! Nah, aku akan melihat buktinya. Kalau engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, berarti omonganmu memang benar."
"Kalau tidak dapat?"
"Berarti engkau bohong dan perkenalan kita hanya sampai di sini saja. Nah, bersiaplah engkau, kecuali kalau engkau takut!"
Ucapan itu menyentuh harga diri Ci Kang. 鈥淎ku tidak butuh membuktikan kemampuanku, akan tetapi kalau engkau memaksaku, jangan dikira aku takut!"
Sepasang mata yang lebar itu berseri. "Bagus, nah, mari kita mulai, orang muda!"
Dia lalu mengajak Ci Kang keluar dari dalam rumahnya dan sekarang mereka telah saling berhadapan di depan rumah itu, di halaman yang luas di mana tumbuh rumput hijau yang subur. Di samping merupakan pemburu-pemburu yang ulung, orang-orang Khin ini juga beternak domba dan mereka menanam semacam rumput yang sangat gemuk dan baik sekali untuk makanan ternak mereka.
Kini dua orang laki-laki itu berdiri berhadapan. Banyak sekali orang Khin yang mendengar tentang kedatangan pemuda yang gagah perkasa penolong putera kepala suku mereka, sudah berada di situ dan kini dengan wajah berseri mereka melihat betapa kepala suku mereka akan menguji pemuda itu!
Melihat Ci Kang bertelanjang dada, ketua itu pun lalu menanggalkan baju atasnya dan Ci Kang melihat tubuh seorang laki-laki yang jantan dan amat tegap, kokoh dan kuat. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepala suku itu hanya memiliki tenaga otot yang sangat besar saja, dan dia tidak merasa gentar. Akan tetapi dia pun tak mau memandang rendah dan mengambil keputusan akan mengalahkan raksasa ini kurang dari sepuluh jurus sebab dia pun tidak ingin kehilangan persahabatan dengan orang-orang yang menyenangkan hatinya.
Bahkan orang-orang wanitanya yang berada di situ kelihatan gagah-gagah, sama sekali berbeda dengan wanita-wanita Han yang kebanyakan lemah. Tentu saja ada kecualinya, pikirnya, terutama sekali gadis-gadis seperti Sui Cin dan Hui Cu, puteri Ratu Iblis itu!
"Aku sudah siap!" katanya ketika melihat ketua itu melangkah maju dengan kedua lengan panjang itu tergantung ke sisi, dengan jari-jari tangan terbuka dan agak melengkung.
Sikap ini mirip sikap beruang hitam tadi, pikir Ci Kang, maka dia pun bersikap waspada. Dia dapat menduga bahwa orang ini tentu ahli dalam ilmu gulat dan karenanya berbahaya sekali apa bila kedua lengan panjang dengan jari-jari tangan sangat kuat itu sampai dapat menangkapnya. Akan tetapi ketika kepala suku itu menerjang dengan amat cepatnya, dia sudah mengambil keputusan untuk menunjukkan kepandaiannya kemudian menundukkan raksasa ini secepat mungkin.
Ci Kang mempergunakan perhitungan yang matang dan berani. Ketika dua tangan yang besar itu menyambar dari kanan kiri, dia sengaja berlaku lengah atau lambat, akan tetapi untuk menjaga kecepatan gerak tangannya, dia tidak membiarkan pundak atau lengannya tersentuh, apa lagi tertangkap. Dengan mengembangkan dua lengannya, dia membiarkan batang leher dan pangkal lengan kirinya kena dicengkeram, namun begitu merasa kedua tangan lawan menyentuhnya, secepat kilat jari tangan kanannya segera bergerak dua kali menotok ke arah jalan darah di kedua pundak lawan.
Saking cepatnya, gerakan ini sampai tidak kelihatan oleh kepala suku itu sendiri, namun tiba-tiba saja dia merasa betapa dua buah lengannya kehilangan tenaga sama sekali dan menjadi seperti lumpuh. Biar pun kelumpuhan itu hanya terjadi untuk beberapa detik saja lamanya, namun cukup bagi Ci Kang untuk menggerakkan kakinya dan ujung sepatunya menyentuh kedua lutut lawan. Sepasang kaki yang besar dan sangat kuat itu seketika kehilangan tenaga lalu tubuh itu pun terkulai dan roboh miring!
Kepala suku itu merasa kaget, heran dan penasaran sekali ketika mendapat kenyataan betapa dalam satu gebrakan saja dia sudah roboh dan kini kedua lengannya dicengkeram oleh lawan yang sudah berlutut di belakangnya. Dia mengerahkan tenaga raksasanya, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya mengejang, tenaganya pun hilang.
Setiap kali dia mengerahkan tenaga, rasa nyeri yang amat hebat langsung naik ke dalam dadanya dari kedua lengan yang dicengkeram Ci Kang. Selama hidupnya belum pernah kepala suku itu mengalami hal seperti ini. Cengkeraman rahasia dari lawan itu membuat dia menderita nyeri hebat setiap kali dia mengerahkan tenaga!
Melihat betapa kepala suku itu kini sama sekali tidak meronta lagi, Ci Kang melepaskan cengkeraman kedua lengannya kemudian meloncat bangun, berdiri dengan sikap tenang. Semua orang yang menonton pertandingan itu melongo, tak dapat percaya betapa kepala suku itu dibuat tidak berdaya dan dikalahkan hanya dalam satu gebrakan saja! Hal seperti ini mereka anggap sama sekali tidak mungkin! Kepala suku mereka itu memiliki kekuatan lebih dari sepuluh orang biasa!
Akan tetapi kepala suku bangsa Khin itu sendiri adalah seorang gagah yang tentu saja cerdik. Kalau tidak demikian, tidak mungkin dia bisa menjadi kepala suku bangsa yang kasar dan gagah berani, juga sukar diatur. Dia tahu apa bila dia kalah dan menghadapi orang-orang yang jauh lebih kuat darinya.
Oleh karena itu, dia pun bangkit, memijit-mijit kedua lengannya bergantian, memandang kepada Ci Kang dengan wajah berseri, lalu mengulurkan kedua tangannya dan merangkul Ci Kang! Pemuda ini sudah siap membela diri jika kepala suku itu akan bertindak curang, akan tetapi ternyata rangkulan itu adalah pelukan persahabatan biasa saja.
"Orang muda, sungguh engkau hebat sekali. Aku sendiri akan memukul orang yang tidak percaya bahwa engkau akan mampu merobohkan seekor beruang hitam dewasa dengan satu pukulan! Engkau sangat hebat dan aku, Moghu Khali, mengaku kalah!" Kepala suku itu tertawa gembira dan sikap ini semakin mengagumkan hati Ci Kang.
"Engkau mempunyai tenaga yang amat kuat!" Dia memuji dengan sejujurnya. "Aku tentu akan kalah melawanmu jika hanya mempergunakan tenaga badan saja..."
Kedudukan Moghu Khali yang paling tinggi di antara suku bangsanya itu sama sekali tidak membuat kepala suku ini menjadi sombong atau tinggi hati. Dia tertawa dan girang sekali mendengar ucapan yang jujur itu. "Orang muda, siapakah namamu?"
"Siangkoan Ci Kang."
"Saudara Siangkoan, kita sudah saling mengenal nama, juga saling mengenal tenaga dan kepandaian. Ilmu kepandaianmu dalam perkelahian memang hebat dan jika engkau suka mengajarku tentang cengkeraman rahasia yang membuat aku tidak mampu mengerahkan tenaga tadi, sungguh aku akan merasa gembira sekali."
Ci Kang memang merasa kagum dan suka sekali kepada kepala suku ini, maka dia pun mengangguk. "Baik, saudara Moghu, akan kuajarkan cara mencengkeram seperti tadi."
Moghu Khali gembira sekali dan sambil menggandeng tangan Ci Kang, dia lalu mengajak pemuda itu masuk ke dalam rumah. Sejak saat itu Ci Kang menjadi seorang tamu yang amat dihormati dan disuka.
Karena sikap ini, Ci Kang menjadi semakin akrab dengan mereka. Melihat betapa kepala suku itu mempunyai banyak bulu binatang liar yang bagus, dia pun lalu minta dibuatkan sebuah jubah bulu harimau yang menjadi kesukaannya. Kemudian, di dalam percakapan mereka, dia mendengar bahwa di antara kepala suku akan diadakan pemilihan ketua atau pimpinan.
"Di selatan sedang terjadi pergolakan dan pemberontakan," demikian antara lain Moghu Khali berkata. "Kota benteng San-hai-koan sudah diduduki pemberontak yang kabarnya telah didukung oleh orang-orang pandai. Kami, bangsa Mongol, Khin dan Mancu hendak bersatu untuk menghadapi pemberontak itu dan rencana kami adalah hendak merampas kota-kota yang telah mereka duduki untuk dijadikan benteng-benteng kami di perbatasan. Untuk itu kami akan mengadakan pemilihan pimpinan dan kalau engkau sudi membantu, dan suka menjadi jago kami, maka aku yakin bahwa tentu aku yang akan terpilih menjadi pimpinan."
"Menjadi jago? Apakah yang kau maksudkan, saudara Moghu Khali?" tanya Ci Kang, di dalam hatinya terkejut mendengar betapa para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis itu ternyata telah merampas dan menduduki benteng kota San-hai-koan.
Moghu Khali lantas menceritakan kepada pemuda itu tentang rencana para suku bangsa hendak mengadakan pemilihan pimpinan melalui adu jago, seperti yang sudah diusulkan oleh nenek Yelu Kim dan diterima oleh mereka semua.
Biar pun kepala suku itu tidak membuka semua rencana para suku bangsa utara, Ci Kang sudah dapat menduga bahwa tentu para suku bangsa itu bukan memusuhi pemberontak karena setia kawan kepada pemerintah Kerajaan Beng, melainkan karena mereka itu juga hendak membangun kembali kekuatan mereka yang kini sudah hancur berantakan akibat jatuhnya Kerajaan Mongol.
Akan tetapi baginya, yang penting sekarang adalah menghadapi para pemberontak. Dan kalau Raja Iblis sudah bersekutu dengan pasukan, bahkan telah merampas kota benteng San-hai-koan, sebaiknya kalau dia menggunakan suku bangsa Khin ini untuk menentang para pemberontak.
"Baik, saudara Moghu, aku akan membantumu dan aku bersedia menjadi jagoanmu untuk mengalahkan para jagoan lainnya. Tentu saja aku tidak sepenuhnya yakin akan menang karena suku-suku bangsa itu tentu akan mengajukan jago-jago yang tangguh."
"Ha-ha-ha! Kesanggupanmu sudah merupakan kemenangan, saudara Siangkoan. Andai kata nasib tidak mempertemukan aku dengan engkau, tentu aku sendiri yang maju. Akan tetapi walau pun tidak ada kulihat jagoan di utara yang dapat mudah mengalahkan aku, namun aku masih ragu-ragu karena memang banyak orang-orang kuat yang mempunyai tenaga besar dan ilmu gulat yang hebat di daerah ini. Akan tetapi, di antara mereka tidak mungkin ada yang akan dapat mengalahkanmu. Ha-ha-ha, aku sendiri kalah dalam satu gebrakan, siapa mampu mengalahkan seorang seperti engkau? Terima kasih, saudaraku. Kita harus mengadakan persiapan sekarang."
Demikiahlah, ketika sayembara adu jago untuk menentukan pemenang bagi calon pemimpin suku-suku di utara, Ci Kang muncul dengan gagahnya, mewakili Bangsa Khin, menunggang seekor kuda putih dan memegang sebatang tombak kong-ce.
Akan tetapi bagaimana Hui Song tiba-tiba dapat menyelinap di antara banyak orang, dan berpakaian sebagai seorang anggota rombongan Mancu Timur? Untuk dapat mengetahui jawabannya, mari kita ikuti perjalanan Hui Song, pemuda jenaka yang biasa bergembira dan yang sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi berkat gemblengan selama kurang lebih tiga tahun oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas.
Seperti sudah kita ketahui, Cia Hui Song hanya berhasil menyelamatkan Kok Hui Lian, anak perempuan berusia sepuluh tahun, puteri gubernur San-hai-koan yang sudah tewas bersama semua keluarganya itu. Pada saat melarikan anak perempuan itu, dia bertemu dengan sebagian dari Cap-sha-kui kemudian dikeroyok. Untung ketika anak perempuan itu terancam, muncul Ciang Su Kiat murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya itu dan orang ini lalu melarikan Hui Lian.
Karena San-hai-koan sudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak dan dia tidak mampu melakukan apa pun untuk menentang para pemberontak, Hui Song lantas pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar. Kini pertemuan itu menjadi semakin penting saja setelah Raja Iblis dan kawan-kawannya telah membuktikan pelaksanaan rencana mereka untuk memberontak dengan direbutnya San-hai-koan.
Di tempat ini dia bertemu dengan beberapa orang pendekar yang sudah datang terlebih dahulu. Akan tetapi karena memang hari yang ditentukan belum tiba, dia bersama para pendekar harus menanti di sekitar tempat itu. Tak disangkanya Siangkoan Ci Kang yang dianggap sebagai seorang tokoh muda kaum sesat yang amat berbahaya itu muncul di situ. Tentu saja Hui Song menjadi curiga.
Dia tahu benar siapa adanya pemuda ini dan betapa pun gagah pemuda itu, kenyataan bahwa dia adalah putera tunggal Si Iblis Buta tentu saja menimbulkan kecurigaan bahwa Ci Kang tentu datang untuk menjadi mata-mata kaum hitam. Itulah sebabnya maka tanpa ragu-ragu lagi Hui Song menyerangnya dan para pendekar juga menjadi marah kepada Siangkoan Ci Kang.
Pada hari itu juga, dengan girang Hui Song melihat kedatangan gurunya, yaitu Si Dewa Kipas. Murid dan guru ini kemudian bercakap-cakap dan ternyata kakek gendut itu pun sudah mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan ke tangan para pemberontak.
"Mereka telah benar-benar bergerak," kata kakek itu sambil menarik napas panjang. "Kini tak mungkin lagi bagi kita melawan mereka begitu saja. Raja dan Ratu Iblis bersama para datuk kaum sesat, betapa pun sakti mereka itu, dapat kita hadapi bersama. Kalau para pendekar bersatu, agaknya fihak kita tidak akan kalah kuat. Akan tetapi sesudah mereka itu mempunyai pasukan besar sebagai sekutu, tentu saja tak mungkin bagi kita melawan pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah berpencar dan membantu pasukan pemerintah kalau bertempur dengan mereka, di mana pun juga."
Hui Song lalu bercerita tentang putera Si Iblis Buta yang baru pagi tadi datang ke tempat itu dan melarikan diri setelah mereka serang. "Dia itu tentu mata-mata musuh, suhu. Tapi sayang kami tidak dapat menangkapnya. Dia sungguh lihai."
Kakek gendut itu mengerutkan alisnya. Kini kakek yang biasanya tertawa-tawa gembira itu kehilangan kegembiraannya melihat betapa para pemberontak telah bergerak sebelum mereka mampu mencegahnya.
"Aku tidak dapat menduga bagaimana sesungguhnya mereka itu. Aku tidak yakin apakah putera Iblis Buta itu juga bekerja untuk mereka."
"Tentu saja, suhu. Bagaimana tidak? Sejak dahulu dia itu merupakan tokoh jahat yang berbahaya sekali."
"Akan tetapi engkau harus ingat bahwa ayahnya dibunuh oleh Raja Iblis," bantah kakek gendut itu.
"Sekali jahat tetap jahat!" Hui Song berkata lagi. "Putera seorang datuk seperti Iblis Buta itu, tentu menjadi seorang tokoh sesat yang luar biasa. Biar pun ayahnya terbunuh oleh Raja dan Ratu Iblis, mana mungkin dia lantas berubah menjadi orang baik-baik, bahkan hendak mendekati kaum pendekar? Dia tentu mata-mata, suhu."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin ada perebutan kekuasaan di antara mereka, Hui Song. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi. Biar aku yang menghadiri pertemuan dan engkau kuberi tugas baru yang amat penting."
Girang rasa hati Hui Song. Dia gelisah memikirkan Sui Cin dan duduk menganggur sambil menanti hari pertemuan itu di bekas benteng Jeng-hwa-pang sungguh tak menyenangkan hatinya. "Tugas apakah itu, suhu?"
"Sesudah sekarang Raja Iblis bersekutu dengan pasukan pemberontak, kita hanya dapat membantu pasukan-pasukan pemerintah untuk menumpas mereka itu. Akan tetapi masih ada kekuatan lain yang mungkin dapat kita manfaatkan. Kekuatan itu adalah para suku bangsa di daerah ini. Apa bila mereka itu mau bergerak membantu dan menentang kaum pemberontak, tentu akan lebih mudah lagi menghancurkan para pemberontak berikut Raja Iblis dan kaki tangannya. Oleh karena itu, aku menguasakan kepadamu untuk melakukan penyelidikan terhadap suku-suku liar itu, Hui Song. Apa bila ada kemungkinan mengajak mereka itu untuk menentang para pemberontak, sungguh merupakan bantuan yang besar sekali kepada pemerintah."
"Akan tetapi, bukankah dulu suhu pernah mengatakan bahwa kita tidak akan mencampuri urusan pemerintah dan hanya semata-mata bangkit untuk menentang Raja Iblis dan para datuk sesat yang hendak mengacaukan negara?"
"Benar, akan tetapi sesudah mereka itu bergabung dengan pasukan pemberontak, tidak ada jalan bagi kita untuk membantu pemerintah menumpas mereka."
"Baiklah, suhu, akan kuselidiki keadaan para suku bangsa di daerah ini."
Hui Song lalu meninggalkan bekas benteng Jeng-hwa-pang dan menuju ke utara, mendaki bukit dan melintasi gurun pasir. Tanpa disadarinya dia tersesat jalan menuju ke timur dan pada suatu hari tibalah dia di sebuah dusun kecil. Hari sudah menjelang senja ketika dia memasuki pintu gerbang sederhana dusun itu, namun yang membuat dia merasa sangat heran adalah karena dusun itu sunyi senyap, tak nampak seorang manusia, bahkan tidak terdengar sesuatu.
Sebuah dusun kosong? Bukan, pikirnya. Masih ada asap mengepul dari sebuah rumah di antara rumah-rumah kecil yang agaknya dibangun secara darurat di dusun itu. Akan tetapi ke manakah perginya semua orang? Agaknya mereka bersembunyi, pikirnya. Bagaimana pun juga pendengarannya yang terlatih dan amat tajam bisa menangkap gerakan-gerakan dan dia merasa yakin bahwa dia telah dikurung secara sembunyi-sembunyi oleh banyak orang!
Karena dia merasa sebagai seorang tamu yang tidak diundang di dusun itu, maka Hui Song merasa tidak enak sekali dan dia pun berdiri di tengah-tengah lapangan di antara rumah-rumah itu, di mana dia melihat bekas-bekas api unggun yang agaknya baru saja dipadamkan secara tergesa-gesa. Di sini dia berdiri tegak, memandang ke empat penjuru, ke arah rumah-rumah yang sunyi itu, dan dia pun berkata dengan dengan suara lantang.
"Saya Cia Hui Song, seorang kelana yang kemalaman di jalan, mohon kebaikan hati para penghuni dusun untuk mengijinkan saya melewatkan malam di dusun ini!"
Sama sekali tidak ada jawaban. Sampai tiga kali dia mengulang kata-katanya akan tetapi hanya dijawab oleh ringkik kuda di kejauhan saja. Akan tetapi Hui Song dapat merasakan bahwa pengurungan tempat itu semakin rapat sehingga dia bersikap waspada.
Dan seperti yang telah diduganya, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan dalam bahasa yang tidak dimengertinya, kemudian tahu-tahu puluhan batang anak panah menyerbu dan menyerangnya dari semua penjuru!
"Aku bukan penjahat...!" Teriak Hui Song akan tetapi percuma saja karena anak panah yang amat banyak itu sudah meluncur ke arah dirinya.
Hui Song terpaksa menanggalkan jubahnya dan memutar jubahnya itu untuk melindungi tubuhnya. Semua anak panah runtuh dan tidak ada sebatang pun yang mengenai dirinya, akan tetapi jubahnya robek-robek, juga bajunya ada yang robek terkena anak panah.
Begitu anak panah itu berhasil diruntuhkannya semua, tiba-tiba saja nampak sinar hitam meluncur dan ia melihat bahwa itu adalah tali-tali hitam panjang yang ujungnya berbentuk laso. Dia tersenyum dan berdiri tegak tidak mengelak. Dan laso-laso itu ternyata dengan amat tepatnya telah mengalungi lehernya, malah kedua tangannya juga kena dibelenggu.
Harus diakuinya bahwa pelempar-pelempar laso itu amat mahir. Agaknya para penghuni dusun ini adalah peternak-peternak lembu karena hanya peternak-peternak lembu saja yang pandai menggunakan laso untuk menangkap lembu-lembu mereka yang binal atau kabur.
Sesudah tubuhnya terbelit-belit laso, terdengar sorak kegirangan dan kini muncul puluhan orang, laki-laki dan wanita, yang kesemuanya berpakaian indah, berwajah cantik-cantik dan tampan-tampan, akan tetapi yang pada saat itu memandang padanya dengan penuh kemarahan! Mereka muncul sambil mengacungkan senjata mereka yang berupa tombak, golok dan anak panah, semua diacungkan dan diangkat tinggi-tinggi. Agaknya mereka itu siap untuk mengeroyok dan menghancurkan tubuhnya.
Akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan mereka semua segera berhenti, lalu muncul seorang laki-laki muda yang tampan. Usia laki-laki ini sekitar tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya paling indah, dengan jubah dari bulu tebal.
Lelaki ini maju dan dia diiringi oleh belasan orang wanita yang semuanya muda-muda dan cantik-cantik, usia mereka mulai dari lima belas sampai dua puluh lima tahun! Laki-laki bermantel bulu dan bertopi lebar ini melangkah maju dan semua orang yang mengepung Hui Song hanya memandang, tetapi siap untuk mengeroyok Hui Song andai kata pemuda yang sudah terbelenggu banyak tali laso itu memberontak.
Kini laki-laki bertopi itu berdiri di depan Hui Song yang masih berpura-pura tidak berdaya dalam lilitan laso. Kalau dia mau, tentu saja sekali meronta semua tali laso akan putus dan dia dapat bergerak bebas. Akan tetapi dia hendak melihat dahulu perkembangannya, ingin tahu mengapa orang-orang yang tidak dikenalnya ini memusuhinya.
Kemunculan mereka saja sudah menarik perhatiannya karena mereka itu tidak nampak seperti orang-orang liar yang kasar, bahkan gerak-gerik mereka halus, pakaian mereka indah dan tubuh mereka terpelihara rapi dan bersih. Lelaki bertopi ini pun nampak tampan dan bersih, dan para wanita yang datang bersamanya juga cantik-cantik dan berpakaian rapi.
"Aha, ternyata engkau tampan juga!" kata laki-laki bertopi itu. "Dengan ketampanan dan kemudaanmu, apa sulitnya bagimu untuk menjatuhkan hati wanita-wanita cantik. Kenapa engkau harus mencari wanita dengan cara menculik dan memperkosanya?"
Tentu saja Hui Song melongo mendengar tuduhan-tuduhan ini. Seorang di antara para wanita itu, yang termuda dan paling manis, mendadak melangkah maju menghampirinya. Mata wanita ini merah oleh tangis.
"Kembalikan adikku...!" bentaknya dan tiba-tiba saja tangan yang kecil halus itu bergerak menampar.
"Plakk! Plakk!"
Dua kali pipi Hui Song ditamparnya tetapi laki-laki bertopi itu cepat menangkap lengannya dan melarangnya memukul lagi. Wanita itu pun mundur sambil terisak.
"Ia adalah kakak dari gadis yang kau culik semalam. Nah, tidak tergerakkah hatimu telah menyusahkan hati seorang gadis yang semanis dia? Padahal, jika engkau menjadi orang baik-baik, kiranya banyak gadis yang akan jatuh hati kepadamu, yang menyerahkan jiwa raga kepadamu tanpa kau paksa atau perkosa...!"
Biar pun pria itu bicara dengan halus, dengan bahasa yang teratur dan tidak kaku, bahkan halus dan sopan seperti bahasa orang terpelajar, namun Hui Song merasa tersinggung dan bingung sekali. Tamparan tadi tidak begitu dirasakannya, akan tetapi tuduhan bahwa dia menculik dan memperkosa wanita, sungguh keterlaluan.
Tahulah dia mengapa dia dimusuhi. Kiranya dia disangka penculik wanita yang agaknya sudah beberapa kali menculik wanita-wanita dari suku ini dan malam ini sengaja mereka berusaha menjebak dan menangkap si pencuri anak perawan!
"Aku bukan pencuri perawan! Untuk apa aku mencuri wanita...?" Dia berseru beberapa kali.
Akan tetapi yang dapat mengerti bahasanya agaknya hanyalah pria bertopi, gadis-gadis pengikutnya dan beberapa orang saja. Yang tidak mengerti lalu bertanya-tanya sehingga keadaan menjadi berisik.
Tiba-tiba saja terdengar jeritan wanita melengking nyaring. Semua orang terkejut. Jerit itu keluar dari rumah terbesar yang berada di tengah dusun.
"Adikku perempuan...!" Laki-laki bertopi itu berteriak gelisah.
Hui Song segera dapat mengerti apa yang sudah terjadi. Agaknya, selagi dia ditawan dan dituduh sebagai pencuri anak perawan, si pencuri yang asli sedang bekerja dan agaknya sekali ini yang dicurinya bukan perawan kepalang tanggung, melainkan adik dari orang bertopi yang agaknya menjadi pemimpin mereka itu!
Dan inilah kesempatan baik baginya untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah penculik perawan, juga kesempatan baik baginya untuk mencegah terjadinya perbuatan terkutuk sekalian membasmi penjahat pemetik bunga itu. Karena itu dia pun bergerak dan sekali meronta, terdengar suara keras dan semua tali laso itu pun putus. Orang-orang berteriak kaget dan Hui Song meloncat dengan gerakan seperti seekor burung terbang saja.
Wusssssss.....!
"Aku akan menangkap penjahat itu!" serunya kepada si kepala dusun.
Dan tanpa mempedulikan lagi teriakan-teriakan atau halangan-halangan dari mereka, dia berlompatan menuju ke arah suara jeritan wanita tadi. Gerakannya yang memang lincah sekali itu tidak terlambat. Dia melihat bayangan berkelebat keluar dari rumah itu, sedang memanggul tubuh seorang wanita yang kelihatan pingsan atau mungkin juga tertotok.
"Perlahan dulu, sobat!" Hui Song berkata dan dia sudah menerjang ke depan, jari tangan kirinya menotok ke arah pundak.
Orang itu nampak terkejut dan gerakannya ternyata juga amat cepat dan ringan. Dengan mudahnya dia menggerakkan pundak, mengelak lantas melanjutkan larinya. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tahu-tahu tangan yang tadi luput menotok itu dilanjutkan dengan totokan ke arah lambungnya sedangkan tangan lain menyambar ke atas, mencengkeram ke arah kepalanya. Dua gerakan ini mengandung hawa yang sangat kuat! Agaknya orang itu sama sekali tak pernah menyangka akan bertemu dengan orang sepandai ini di daerah liar itu, maka dia mengerahkan tenaga dan menangkis tangan yang mencengkeram ke arah kepalanya.
"Dukkk...!" dan orang yang tidak mengerahkan semua tenaganya itu terhuyung!
"Ehh, siapa kau...?!" bentaknya.
Dari suaranya Hui Song tahu jelas bahwa orang ini adalah seorang Han. Setelah orang itu melempar korbannya ke atas tanah dan menghadapinya, di dalam keremangan senja dia melihat bahwa dia adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan bertubuh tegap dan berpakaian pesolek.
Dia teringat akan putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta. Bukan, pemuda ini bukan putera datuk sesat itu, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang gerak-geriknya halus. Kalau di tempat seperti ini ada seorang penjahat bangsa Han, jelaslah bahwa penjahat itu tentu anggota dari para datuk sesat anak buah Raja Iblis!
"Aku adalah pembasmimu, jai-hwa-cat terkutuk!" Hui Song membentak dan dia pun telah menerjang kembali dengan tamparan-tamparan yang amat kuat karena dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang menghadapi penjahat yang dapat diduganya tentu lihai juga ini.
Tamparan-tamparan itu sangat hebat dan si penjahat agaknya dapat mengenal pukulan lihai, maka dia menggerakkan tangan, namun sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.
"Plakk! Dukkk...!"
Sekali ini, dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan seluruh tubuh mereka tergetar. Hui Song terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, orang-orang dusun sudah berdatangan dengan senjata di tangan. Mereka berteriak-teriak dan hendak maju mengeroyok, sebagian lagi, dipimpin pemuda bertopi, menolong gadis yang tadi dilemparkan ke atas tanah.
Melihat keadaan tidak menguntungkannya, penjahat pemetik bunga itu lalu mengeluarkan seruan panjang dan meloncat jauh, terus lari menghilang dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Hui Song tidak mengejar karena penjahat itu sudah melepas korbannya. Mengejar seorang musuh selihai itu di dalam gelap amatlah berbahaya, dan pula, tugasnya adalah menyelidiki suku-suku bangsa ini, bukan mengejar-ngejar jai-hwa-cat.
Si pria bertopi sekarang menghampiri dan merangkulnya. "Engkau sudah menyelamatkan adikku. Maafkan kecurigaan kami tadi. Kami mengira engkaulah penjahat itu, siapa tahu engkau malah penolong kami."
"Sudahlah, kesalah pahaman itu bisa kumengerti dan dapat kumaafkan. Betapa pun juga, penjahat itu telah menolongku."
"Menolongmu?" Pria bertopi itu berseru heran.
"Kalau dia tidak muncul mencuri adikmu, tentu aku masih terus didakwa sebagai pencuri anak perawan." Hui Song tertawa dan orang itu pun tertawa, juga belasan orang wanita cantik yang mengerti omongannya tertawa. Suasana berubah gembira sekali.
"Ha-ha, ternyata selain tampan dan lihai, engkau juga periang seperti kami. Saudara yang baik, siapakah namamu tadi? Engkau tadi pernah memperkenalkan nama ketika muncul untuk pertama kali, akan tetapi sayang aku tak begitu memperhatikan akibat terpengaruh kemarahan karena menyangka engkau penjahat."
"Namaku Cia Hui Song."
"Bagus sekali, Cia-taihiap, namaku Lam-nong, Aku adalah kepala suku bangsaku, bangsa Mancu Timur yang terpencil dan tidak besar jumlahnya. Kami hidup sebagai nelayan dan juga kadang kala berburu atau beternak, akan tetapi kami masih suka merantau seperti kebiasaan nenek moyang kami. Betapa pun juga, kami hidup bahagia. Lihat, kami selalu bergembira, bukan? Saudaraku yang baik dan gagah, engkau menjadi tamu kehormatan kami. Malam ini kami akan berpesta untuk menyatakan kegembiraan kami."
Dengan suara lantang kepala suku bernama Lam-nong itu lalu memerintahkan pembantu-pembantunya untuk menyembelih domba dan lembu lantas mempersiapkan pesta untuk menghormati Cia Hui Song.
Hui Song menerima dengan gembira. Sambil bergandeng tangan dengan Lam-nong yang diiringkan belasan orang wanita cantik, Hui Song diajak memasuki bangunan terbesar di dalam dusun itu.
"Dusun ini hanya menjadi tempat peristirahatan selama beberapa pekan saja, maka kami membangun pondok-pondok darurat saja." Lam-nong menerangkan ketika mereka sudah mengambil tempat duduk di atas lantai bertilamkan kulit domba. "Taihiap, orang seperti engkau ini tentunya seorang pendekar seperti yang pernah kudengar diceritakan orang tentang dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana seorang pendekar seperti engkau dapat tersesat ke sini?"
Hui Song tidak ingin bicara tentang pertemuan para pendekar dan dia pun teringat kepada Sui Cin. Tadi pun dia sudah cemas membayangkan Sui Cin yang kehilangan ingatan itu bertemu dengan jai-hwa-cat yang jahat seperti orang tadi.
"Aku... aku sedang mencari seorang kawanku..." Dia teringat betapa tadi dituduh pencuri anak perawan, maka dia cepat menahan lidahnya yang hendak bercerita tentang Sui Cin, seorang kawan perempuan! Dia tidak mau kalau nanti disangka seorang pencari wanita lagi. "Aku ingin mencari keterangan tentang Harimau Terbang..."
"Ahhh...! Maksudmu perkumpulan rahasia Harimau Terbang?"
"Ya, benar!" Hui Song berkata gembira.
Ia memang sedang melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang yang lencananya tertinggal di dalam Goa Iblis Neraka yang menunjukkan bahwa mereka itulah pencuri harta pusaka di dalam goa itu.
"Apakah di daerah ini terdapat perkumpulan bernama Harimau Terbang?"
Mendengar pertanyaan ini, wajah Lam-nong yang tadinya gembira dan tersenyum-senyum itu berubah agak pucat dan alisnya berkerut, bahkan dia segera menengok ke kanan kiri seolah-olah tidak ingin percakapan itu didengarkan orang lain. Melihat sikap ini, berdebar rasa hati Hui Song. Agaknya penyelidikannya tentang pencuri harta pusaka itu kini akan mendapatkan jejak.
"Harap jangan takut, saudara Lam-nong, kalau ada ancaman datang dari mereka, akulah yang akan menghadapi mereka!" katanya dengan suara tegas dan meyakinkan. Agaknya jaminan ini melegakan hati Lam-nong dan wajahnya berseri kembali, bibirnya tersenyum lagi.
"Cia-taihiap, bukannya kami takut, melainkan kami tidak suka berurusan dengan nenek iblis itu."
"Nenek iblis siapa yang kau maksudkan?"
"Namanya Yelu Kim. Menurut pengakuannya, dia adalah keturnan dari Menteri Yelu Ce-tai penasehat agung dari Jenghis Khan. Sekarang dia menjadi tokoh sesat di daerah utara dan dianggap sebagai penasehat para kepala suku."
"Dan apa hubungannya dengan Perkumpulan Harimau Terbang?"
"Hemm, biar pun dia tidak pernah mengaku dan tidak pernah terbukti karena perkumpulan itu merupakan rahasia yang bergerak secara rahasia pula, akan tetapi semua orang di sini tahu belaka bahwa nenek itulah pemimpin Perkumpulan Harimau Terbang."
"Di manakah sarang mereka? Di mana aku dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim itu?" Cia Hui Song bertanya dengan penuh semangat.
"Tinggallah bersama kami dan engkau akan bisa bertemu dengannya, Cia-taihiap. Besok lusa kami akan berangkat menuju ke padang pasir di mana para ketua suku mengadakan pertemuan dan pemilihan calon pemimpin. Aku yakin bahwa nenek Yelu Kim pasti akan hadir pula di sana."
"Semua suku bangsa di utara ini hendak melakukan pemilihan pemimpin? Untuk apa dan apakah yang terjadi?" Hui Song bertanya girang.
Tak disangka-sangkanya bahwa selain berita yang baik sekali mengenai Harimau Terbang yang diselidikinya, juga dia mendengar berita mengenai kepala-kepala suku. Justru inilah tugas yang diberikan gurunya kepadanya.
"Di perbatasan terjadi pergolakan yang mengguncangkan kehidupan tenteram para suku kami. Menurut berita yang kudengar, golongan hitam di selatan sudah bersekutu dengan para pemberontak, dan mereka bahkan sudah merampas kemudian menduduki benteng San-hai-koan. Kabarnya mereka akan terus bergerak meluaskan wilayah mereka sebelum menyerang ke selatan. Kami terancam, dan... menurut rekan-rekan yang berambisi, inilah saat yang paling baik bagi kami untuk bergerak, menegakkan kembali kekuasaan Mongol di selatan. Sebenarnya aku sendiri tidak menyukai ambisi itu, akan tetapi kalau memang ketenteraman kami terancam oleh para pemberontak kemudian diadakan persatuan untuk menghadapi mereka, tentu aku setuju. Nah, kini para kepala suku hendak mengadakan pemilihan pimpinan dan lusa kami akan berangkat."
Bukan main girangnya rasa hati Hui Song. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri dia segera menyatakan setuju untuk menemani Lam-nong dan anak buahnya yang akan berangkat ke tempat pertemuan itu.
Malam itu, dengan penuh kegembiraan Lam-nong mengadakan pesta untuk menghormati Hui Song. Seperti telah menjadi kebiasaan mereka, pesta itu dilakukan di luar rumah, di sebuah lapangan rumput di mana dibangun tenda besar dan dinyalakan api unggun.
Hui Song diberi pakaian orang Mancu dan mereka duduk di atas rumput. Daging-daging domba dan lembu dipanggang dengan bumbu-bumbu sedap sehingga asap dan uapnya memenuhi tempat itu, mengundang selera.
Lam-nong duduk di samping Hui Song, diapit belasan orang wanita cantik yang ternyata adalah selir-selirnya! Hui Song sampai melongo saat Lam-nong memperkenalkan mereka sebagai isteri-isterinya! Seorang dengan isteri demikian banyak, kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik!
"Kenapa engkau kelihatan heran, Cia-taihiap? Aku hanya mempunyai empat belas orang isteri, itu masih sangat sedikit sekali apa bila dibandingkan dengan yang dipunyai kepala-kepala suku bangsa lainnya. Ada seorang kawanku mempunyai empat puluh empat orang isteri, ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa bergelak melihat keheranan di wajah Hui Song.
Hui Song yang disuguhi arak istimewa buatan suku bangsa itu, arak yang sangat harum dan keras, tertawa lepas. Memang wataknya bebas gembira, maka kini ditambah hawa arak di benaknya, dia menjadi semakin gembira.
"Ha-ha-ha, saudara Lam-nong. Aku pernah melihat seekor ayam jantan dengan puluhan ekor ayam betina, hal itu masih dapat kupercaya dan kumengerti. Akan tetapi manusia? Seorang harus... dengan demikian banyak...?"
"Ha-ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa dan para selirnya yang rata-rata mengerti bahasa Han itu pun ikut tersenyum dan tersipu-sipu, menutupi mulut mereka dengan sapu tangan atau punggung tangan. "Bila perlu aku bisa lebih kuat dari pada seekor ayam jantan, ha-ha-ha! Cia-taihiap, memang manusia berbeda dengan ayam, karena itu dalam hal itu pun sangat berbeda, tidak sembarang saat seperti ayam."
Mereka pun tertawa-tawa dan suasana menjadi meriah ketika para selir yang mempunyai suara merdu itu bernyanyi-nyanyi diiringi suara gendang, tambur dan suling. Dan mulailah selir termuda dari Lam-nong, yang manis sekali dengan kedua pipi kemerahan bukan oleh pemerah muka melainkan merah karena sehat saking halusnya kulit pipi, bangkit dan atas isyarat Lam-nong, selir itu pun mulai menari.
Dan Hui Song pun memandang dengan terpesona. Sellr ini amat pandai menari, tubuhnya demikian lembut dan lemas meliuk-liuk di depannya, seakan-akan tubuh seekor ular saja. Suara gendang dan tambur menambah kuat gerakan pinggul dan leher itu.
"Sekarang permainan yang kami namakan Bulan Jatuh. Siapa yang kejatuhan bulan harus bangkit dan menari, siapa pun tidak boleh menolak karena menolak bulan yang jatuh ke pangkuannya berarti mengundang mala petaka dan tidak menghormati orang lain," kata Lam-nong kepada Hui Song. Tentu saja pemuda ini tidak mengerti apa artinya kata-kata itu dan dia tidak pernah mendengar tentang permainan ini.
Sambil tertawa gembira Lam-nong lantas menerangkan. Permainan itu seperti permainan kanak-kanak yang dikenal oleh Hui Song di selatan, akan tetapi sekarang dimainkan oleh orang-orang dewasa!
Selir yang menari tadi membuka permainan. Kedua matanya ditutup dengan sehelai sapu tangan yang diikatkan ke belakang kepalanya, kemudian oleh dua rekannya dia diputar-putar. Hal ini dimaksudkan supaya selir yang matanya tertutup itu akan lupa di mana dan siapa yang duduk di sekitarnya. Setelah itu barulah dilepas dan mulailah dia meraba-raba. Kalau dia telah berhasil menangkap salah seorang yang duduk berkeliling, maka dia akan meraba-raba muka orang itu dan mengatakan siapa dia. Setelah diperkenankan membuka penutup mata, jika dugaannya ternyata keliru, maka dia harus menari lagi, dan sesudah habis satu lagu, maka dia akan mencari sasaran lagi.
Bagaikan bulan meluncur di antara awan-awan, penari itu akan meraba-raba dan apa bila bulan itu jatuh kepada seseorang dan orang itu dapat ditebak siapa adanya, maka dia kejatuhan bulandan dialah yang harus menggantikan permainan itu dan menari. Demikian selanjutnya. Dengan adanya Hui Song di situ, tentu saja permainan itu menjadi lucu dan selain menegangkan hati Hui Song, juga membuatnya merasa malu-malu dan sungkan sekali.
Selir muda yang cantik itu telah diputar-putar dan dilepas. Sekarang dengan mata tertutup selir itu perlahan-lahan melangkah ke depan, kedua tangannya diluruskan ke depan untuk meraba-raba.
Ia teringat akan harta pusaka di dalam goa itu. Agaknya Hui Song bersama wanita cantik dan dua orang kakek itu memasuki goa untuk mencari harta pusaka, akan tetapi sudah kedahuluan oleh lima bayangan itu. Dan kini teringatlah dia bahwa pada dada mereka itu nampak gambar harimau, tersulam pada baju mereka.
"Subo, aku pernah mendengar tentang pusaka di Goa Iblis Neraka...," dia memancing.
Nenek itu membelalakkan matanya. "Aha! Engkau pun tahu akan hal itu? Kini tidak perlu kusembunyikan lagi. Memang kami sudah mendapatkan harta pusaka itu. Untung sekali, karena harta pusaka itu telah diincar oleh Raja dan Ratu Iblis!"
"Kalau begitu, subo mempunyai banyak anak buah? Kukira, tadinya subo hanya bertiga dengan aku dan Houw-cu ini..."
"Jangan bodoh. Kalau hanya sendirian saja mana mungkin aku mampu mempertahankan kedudukanku? Pernahkah engkau mendengar tentang Perkumpulan Harimau Terbang?"
Sui Cin menggelengkan kepala, hanya diam-diam menduga bahwa tentu lima orang yang memakai baju bersulam gambar harimau itu merupakan anggota-anggota Perkumpulan Harimau Terbang.
"Harimau Terbang adalah nama perkumpulan rahasia yang kudirikan di daerah Mongol ini. Sebetulnya pendirinya adalah nenek moyangku, semenjak Yelu Ce-tai dan merupakan perkumpulan yang para anggotanya terdiri dari orang-orang pandai. Dengan bantuan para anggota perkumpulan itu, aku dapat menguasai para kepala kelompok dan kepala suku sehingga sampai kini persatuan di antara mereka dapat kupertahankan."
Diam-diam Sui Cin merasa semakin kagum kepada nenek ini. Seorang nenek yang selain memiliki kepandaian tinggi, pandai sihir, juga cerdik bukan main, bahkan menjadi kepala dari sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya selalu bergerak secara rahasia pula dan disegani oleh semua kepala suku serta kepala kelompok yang liar di daerah Mongol dan Mancu.
Ia pun melihat betapa para pendekar akan sukar untuk dapat menentang Raja dan Ratu Iblis yang ternyata bukan hanya dibantu oleh kaum sesat, akan tetapi bahkan juga telah bersekutu dengan pasukan pemberontak yang besar jumlahnya dan kini bahkan mereka sudah berhasil merampas dan menduduki benteng pertama San-hai-koan.
Jika begini, untuk menghadapi mereka dibutuhkan pasukan yang kuat pula, bukan hanya sekedar beberapa puluh orang pendekar saja. Maka, dia pun mengambil keputusan untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Raja dan Ratu Ibils itu dengan cara membantu orang-orang Mongol ini. Bukan membantu untuk memberontak, tetapi membantu mereka untuk menentang pasukan pemberontak Raja Iblis.
"Subo sudah mempunyai banyak anggota Perkumpulan Harimau Terbang yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa subo masih membutuhkan bantuanku untuk menghadapi jagoan dari para kelompok itu?"
"Tidak, Sui Cin. Mereka itu lihai akan tetapi kelihaian mereka dalam hal ilmu silat jauh di bawah tingkatmu. Mereka itu hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari dariku saja, jadi tidak dapat terlalu diandalkan untuk menghadapi jagoan yang tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi kalau dengan ilmu silatmu yang tinggi engkau yang maju, dibantu oleh Houw-ji yang menjadi binatang tungganganmu, sambil kubantu pula dari belakang dengan kekuatan sihirku, maka aku yakin engkau pasti akan menang dan kemenanganmu akan membuat mereka semua tunduk padaku."
"Baiklah, subo. Aku akan membantu subo, bahkan aku akan membantu pula kalau subo menentang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Akan tetapi tak mungkin aku dapat membantu jika subo melawan pemerintah. Tentu subo tahu bahwa tak mungkin aku menjadi pemberontak."
Nenek itu mengangguk-angguk. "Aku bisa mengerti, Sui Cin. Kita sama-sama merupakan orang yang setia kepada negara dan bangsa, hanya sayang sekali kita terlahir sebagai bangsa yang berlainan."
Demikianlah, Sui Cin segera diberi petunjuk oleh Yelu Kim untuk dapat bertanding sambil menunggang harimau besar itu dan karena gadis ini memang memiliki ginkang dan ilmu silat yang hebat, ditambah lagi bahwa dia telah akrab dengan harimau itu, sebentar saja dia sudah mahir menunggang harimau itu sambil menggerakkan sebatang tongkat baja sebagai pengganti senjata payungnya.
Yelu Kim juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sayembara mengadu jagoan untuk memilih pimpinan perjuangan itu. Anak buahnya, yaitu para anggota Perkumpulan Harimau Terbang yang jumlahnya ada seratus orang telah disiapkan, akan tetapi seperti biasanya, mereka ini tidak muncul di depan umum melainkan bergerak secara rahasia, menyelinap di antara anggota-anggota kelompok berbagai suku bangsa itu, menutupi baju sulaman gambar harimau dengan jubah masing-masing kelompok.
********************
Sejak pagi mereka sudah berkumpul di padang tandus itu. Sebuah tanah datar luas yang kering. Puluhan kelompok suku bangsa yang bermacam-macam, akan tetapi berasal dari tiga suku bangsa, yaitu Mongol, Mancu, dan Khin, sudah berkumpul di tempat itu. Mereka masing-masing mendirikan tenda besar dan dari dandanan pakaian dan bendera masing-masing dapat dibedakan antara mereka walau pun bentuk tubuh dan wajah mereka tidak banyak berbeda, bahkan banyak sekali yang serupa. Mereka itu adalah tukang berkelahi, orang-orang yang sejak kecil sudah terbiasa hidup di alam liar dan selalu menghadapi tantangan hidup yang keras dan sukar.
Kepala kelompok atau kepala suku mengenakan pakaian yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya serba indah dan gagah. Ada pula yang mengenakan pakaian seragam panglima, mungkin peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menjajah Tiongkok. Ada pula yang berkepala gundul berjubah pendeta, menunjukkan bahwa kepala kelompok ini seorang pendeta Buddha.
Para kepala kelompok yang jumlahnya sampai tiga puluh orang lebih karena banyak di antara mereka mempunyai wakil, berkumpul di tengah lapangan luas itu untuk berunding tentang pelaksanaan adu jago di antara mereka. Nampak Yelu Kim telah hadir pula dan kedudukan nenek ini jelas nampak karena kalau para kepala kelompok itu du-duk bersila di atas tanah yang membentuk sebuah lingkaran, adalah nenek Yelu Kim sendiri yang duduk di atas sebuah tandu. Ia tidak memimpin perundingan itu, namun bertindak sebagai penasehat dan selalu nenek inilah yang memecahkan persoalan yang mereka hadapi dan merupakan jalan buntu.
Setelah mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang nyaris saja menjadi perkelahian apa bila tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhirnya diambil keputusan bahwa masing-masing kelompok yang hadir hanya diperbolehkan mengajukan seorang jagoan saja.
Masing-masing jagoan hanya dipertandingkan dalam satu kali pertandingan saja, secara bebas, boleh naik kuda atau tidak, dan boleh mempergunakan senjata apa saja. Jagoan dianggap kalah apa bila dia menyatakan tidak berani melawan lagi atau kalau dia roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi di dalam pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh dendam atau membalas. Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan undian dan jagoan yang telah menang satu kali diperkenankan beristirahat, tidak diharuskan menghadapi lawan secara beruntun.
Peraturan pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa amat kagum dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki kegagahan dan sama sekali tidak mau menggunakan kecurangan dalam memperebutkan kedudukan itu. Tidak seorang pun mempedulikannya karena dia hanya dianggap sebagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di balik punggung nenek Yelu Kim.
Bagaimana pun juga, dia merasa ngeri juga. Pertandingan itu, walau pun dilaksanakan di antara sahabat-sahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing tak akan mau saling mengalah. Dan kalau melihat sikap serta watak mereka, agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya hendak mempertahankan nama serta kehormatan sampai saat terakhir! Pertandingan yang keras dan kejam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan menjadi merah oleh darah!
Tidak lama kemudian perundingan itu pun berakhir dan masing-masing kepala kelompok lalu mengajukan jagoan masing-masing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri karena dia tidak puas kalau diwakili orang lain yang dianggapnya kurang tangguh. Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran yang terpisah.
Ternyata tidak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula di antara mereka yang tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka hanya menjadi penonton saja. Mereka kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil. Karena itu, sesudah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja.
Di antara sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda, sedangkan enam orang yang lainnya menunggang seekor kuda yang besar dan tangkas. Memang salah satu di antara keahlian orang-orang utara ini adalah menunggang kuda.
Sui Cin hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal salah seorang di antara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang sangat gagah, dengan memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata sebatang tombak kong-ce yang bercabang dan bergagang panjang.
Pemuda ini nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang!
Mau apa putera Si Iblis Buta ini berada di situ, bahkan menjadi jagoan dari satu di antara kelompok suku dari utara? Biar pun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, namun bagaimana pun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis!
Mengapa pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada di situ? Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Cin lupa bahwa kehadirannya sendiri di tempat itu pun merupakan hal yang sangat aneh, mungkin lebih aneh dari pada kehadiran Ci Kang sendiri. Dia adalah dari golongan pendekar dan kini dia berada di situ sebagai pengawal atau murid Yelu Kim, orang yang kedudukannya paling tinggi di antara kepala suku yang sedang memilih pimpinan untuk memberontak!
Sui Cin tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya belum terlihat oleh Ci Kang, telah membuat seorang yang menyelinap di antara kelompok Suku Bangsa Mancu Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini adalah seorang pemuda yang mengenakan pakaian seperti kawan-kawannya, yakni pakaian orang Mancu Timur yang kehidupannya sebagai pemburu atau nelayan di pantai laut timur. Dia seorang pemuda tampan yang berwajah gembira.
Pada waktu pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya berteriak. Akan tetapi dia segera menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa heran bukan main melihat Sui Cin berada di situ, apa lagi setelah dia memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!
Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin di antara orang-orang liar dari utara ini. Dia pun merasa curiga, apa lagi sesudah mendengar bahwa nenek itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti oleh para kepala suku! Dan menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, Sui Cin adalah pengawal nenek itu! Sui Cin sudah menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang hendak mengadakan pemberontakan?
Memang merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu berada di situ, di antara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa Sui Cin dapat hadir di situ, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song dapat pula berada di situ dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi seorang di antara jagoan yang terpilih?
Seperti kita ketahui, Ci Kang telah terhindar dari mala petaka bersama Cia Sun pada saat mereka berdua terjebak oleh Siang Hwa ke dalam goa bawah tanah. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis. Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau lagi menuju ke Jeng-hwa-pang di mana dia pernah disambut dengan serangan oleh para pendekar.
Maka dia pun melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan berusaha mencari gurunya di antara para pendekar, karena hanya dengan perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.
Pada suatu hari sampailah dia di sebuah hutan, dan dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang kala suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan. Ci Kang yang masih bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat keadaan yang mengerikan.
Seorang anak lelaki yang berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor beruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin mengurung binatang itu sambil berteriak-teriak dalam usaha mereka menyerang beruang itu untuk menyelamatkan anak laki-laki itu.
Akan tetapi beruang itu sungguh kuat. Binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak kecil tadi dengan kaki depan kirinya yang bergerak seperti lengan orang, sedangkan tangan kanannya mencengkeram serta menangkis semua serangan tombak atau pedang yang ditusukkan kepadanya.
Karena anak itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itu pun sangat berhati-hati dalam penyerangan mereka, khawatir kalau-kalau senjata mereka mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan anak panah.
Melihat keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapakah adanya orang-orang itu dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan beruang itu dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena cengkeraman kuku kaki depan kanan beruang itu.
Ci Kang lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan suara melengking laksana binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya menotok pundak kiri beruang itu. Binatang itu mengeluarkan auman marah dan kesakitan, akan tetapi totokan yang tepat mengenai urat besar pada pundaknya itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.
Ci Kang cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang di antara para pemburu, dan dia sendiri cepat menghadapi beruang yang sekarang menjadi semakin marah. Beruang itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, dua kaki depan itu bergerak seperti lengan yang sangat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang.
Akan tetapi Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerakan yang amat gesit tubuhnya cepat menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia membalik dan tangan kanannya menyambar.
"Dukkk...!"
Betapa pun kuatnya kepala beruang itu, begitu terkena tamparan tangan kanan Ci Kang yang amat kuat, beruang itu mengeluarkan suara pekik hebat dan tubuhnya terpelanting lantas terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi binatang itu memang kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai pecah terpukul dan biar pun binatang itu menjadi pening karena guncangan hebat pada kepalanya, dia masih bisa meloncat bangun dan menerkam lagi, tapi kini gerakannya ngawur karena matanya masih berkunang.
Ci Kang meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini ia mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri beruang.
"Krakkk!"
Jelas sekali terdengar tulang-tulang patah pada saat tangan yang ampuh itu menghantam tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Beruang itu mengaum dan terjengkang. Ci Kang cepat meloncat mendekat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala beruang itu pun retak. Binatang itu pun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluarkan darah!
Terdengar sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang menari-nari mengelilingi bangkai beruang. Salah seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin rombongan kemudian memegang lengan Ci Kang dan mengguncang-guncangkan, lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.
"Orang muda, engkau telah menyelamatkan putera kepala suku kami," orang itu berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar. Agaknya orang ini adalah seorang bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.
Ci Kang melihat bahwa luka di pundak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak terancam bahaya. Dia lalu mengangguk. "Aku tidak peduli dia anak siapa, akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana.
Jawaban ini agaknya membuat semua orang bergembira dan kagum, lalu satu demi satu mereka menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah begitu biasa dengan sikap gagah dan jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka. Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.
"Orang muda, mari ikut bersama kami pergi menemui kepala suku kami," kata si brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.
Ci Kang memandang orang itu dan mengerutkan kedua alisnya. "Aku tidak butuh hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi dari situ. Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan mendahuluinya lalu menghadang di depannya.
"Engkau mau apa?!" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal membuatnya murung dan mudah marah.
Tiba-tiba orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut, "Orang muda, aku hanya minta agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."
Tentu saja Ci Kang menjadi heran dan terkejut. "Apa maksudmu?"
"Orang muda, anak yang kau selamatkan tadi adalah putera kepala suku kami. Apa bila engkau tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap memiliki dua kesalahan sehingga akan dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terluka dan kedua, aku membiarkan penolongnya pergi tanpa memperkenalkannya kepada kepala kami."
Ci Kang mengerutkan sepasang alisnya. Dia percaya bahwa orang-orang yang kasar ini, orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang sama dengannya, yaitu pemburu-pemburu binatang, tidak pernah berbohong, dan kebiasaan yang kasar dan keras dari kepala suku itu mungkin saja benar. Dan apa salahnya kalau dia berkenalan dengan orang-orang ini? Berada di antara orang-orang kasar dan jujur yang pekerjaannya memburu binatang ini dia merasa tidak asing.
"Jauhkah tempat kepala suku itu?"
"Tidak, orang muda, tak sampai seperempat hari perjalanan. Siang nanti kita sudah akan tiba di sana."
"Baiklah. Mari kita berangkat."
Ternyata orang brewok itu memang tidak berbohong. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di perkampungan Suku Bangsa Khin itu dan andai kata Ci Kang tidak ikut datang, tentu si brewok ini mengalami hukuman berat.
Kepala suku itu orangnya tinggi besar dan kasar, sepasang matanya yang lebar itu keras dan terbuka. Dia mendengarkan semua penuturan si brewok dengan alis berkerut. Akan tetapi setelah memeriksa pundak puteranya yang terluka dan mendapat kenyataan bahwa keadaan puteranya tidak berbahaya, apa lagi mendengar bahwa pemuda yang tak berbaju ini telah membunuh beruang hitam besar hanya dengan pukulan tangan kosong, dia lupa akan kemarahannya.
Sejenak dia memandang Ci Kang dengan sepasang mata penuh selidik dan agaknya dia tak percaya ketika mendengar penuturan si brewok dan kawan-kawannya bahwa Ci Kang telah membunuh beruang itu hanya dengan tiga kali pukulan saja! Kepala suku itu lantas menggelengkan kepala dan dia memandang kepada kedua lengannya yang berotot dan besar.
"Mana mungkin membunuh beruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan saja? Kedua tangan ini pun tidak sanggup menandingi kekuatan beruang hitam. Mungkin dalam suatu perkelahian mati-matian akhirnya aku akan dapat membunuhnya, akan tetapi dengan tiga kali pukulan? Tidak mungkin! Orang muda, benarkah engkau tadi telah membunuh seekor beruang hitam dewasa hanya dengan tiga kali pukulan saja?"
Ci Kang sudah menyukai sikap terbuka itu. Orang-orang ini mengagumkan, pikirnya dan cocok sekali dengan wataknya. Semenjak kecil dia suka sekali berburu binatang dan biar pun ayahnya dan rekan-rekan ayahnya suka mencemoohkannya, namun dia menganggap berburu binatang untuk dimakan dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya adalah pekerjaan yang gagah. Mencari makan dengan cara yang perkasa!
"Benar, dan kalau aku mau, aku dapat membunuh binatang itu dengan satu kali pukulan saja!" Ucapan Ci Kang ini timbul dari hati yang sejujurnya, bukan untuk menyombongkan diri.
Kepala suku itu mengerutkan kedua alisnya dan menganggap kata-kata ini sebagai tanda ketinggian hati. "Orang muda, jika engkau tidak dapat membuktikan ucapanmu itu, terus terang saja engkau mengecewakan hatiku dan aku menjadi tidak suka kepadamu walau pun engkau telah menolong puteraku."
"Aku tidak berbohong dan perlu apa aku membuktikan omonganku? Andai kata engkau mempunyai seekor beruang hitam di sini, aku pun tidak mau membunuhnya tanpa sebab, hanya untuk membuktikan omonganku."
"Orang muda, kekuatanku lima kali kekuatan seekor beruang hitam. Jika engkau mampu mengalahkan seekor beruang dengan satu kali pukulan saja, berarti bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dengan lima kali pukulan. Betapa tidak masuk di akal! Nah, aku akan melihat buktinya. Kalau engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, berarti omonganmu memang benar."
"Kalau tidak dapat?"
"Berarti engkau bohong dan perkenalan kita hanya sampai di sini saja. Nah, bersiaplah engkau, kecuali kalau engkau takut!"
Ucapan itu menyentuh harga diri Ci Kang. 鈥淎ku tidak butuh membuktikan kemampuanku, akan tetapi kalau engkau memaksaku, jangan dikira aku takut!"
Sepasang mata yang lebar itu berseri. "Bagus, nah, mari kita mulai, orang muda!"
Dia lalu mengajak Ci Kang keluar dari dalam rumahnya dan sekarang mereka telah saling berhadapan di depan rumah itu, di halaman yang luas di mana tumbuh rumput hijau yang subur. Di samping merupakan pemburu-pemburu yang ulung, orang-orang Khin ini juga beternak domba dan mereka menanam semacam rumput yang sangat gemuk dan baik sekali untuk makanan ternak mereka.
Kini dua orang laki-laki itu berdiri berhadapan. Banyak sekali orang Khin yang mendengar tentang kedatangan pemuda yang gagah perkasa penolong putera kepala suku mereka, sudah berada di situ dan kini dengan wajah berseri mereka melihat betapa kepala suku mereka akan menguji pemuda itu!
Melihat Ci Kang bertelanjang dada, ketua itu pun lalu menanggalkan baju atasnya dan Ci Kang melihat tubuh seorang laki-laki yang jantan dan amat tegap, kokoh dan kuat. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepala suku itu hanya memiliki tenaga otot yang sangat besar saja, dan dia tidak merasa gentar. Akan tetapi dia pun tak mau memandang rendah dan mengambil keputusan akan mengalahkan raksasa ini kurang dari sepuluh jurus sebab dia pun tidak ingin kehilangan persahabatan dengan orang-orang yang menyenangkan hatinya.
Bahkan orang-orang wanitanya yang berada di situ kelihatan gagah-gagah, sama sekali berbeda dengan wanita-wanita Han yang kebanyakan lemah. Tentu saja ada kecualinya, pikirnya, terutama sekali gadis-gadis seperti Sui Cin dan Hui Cu, puteri Ratu Iblis itu!
"Aku sudah siap!" katanya ketika melihat ketua itu melangkah maju dengan kedua lengan panjang itu tergantung ke sisi, dengan jari-jari tangan terbuka dan agak melengkung.
Sikap ini mirip sikap beruang hitam tadi, pikir Ci Kang, maka dia pun bersikap waspada. Dia dapat menduga bahwa orang ini tentu ahli dalam ilmu gulat dan karenanya berbahaya sekali apa bila kedua lengan panjang dengan jari-jari tangan sangat kuat itu sampai dapat menangkapnya. Akan tetapi ketika kepala suku itu menerjang dengan amat cepatnya, dia sudah mengambil keputusan untuk menunjukkan kepandaiannya kemudian menundukkan raksasa ini secepat mungkin.
Ci Kang mempergunakan perhitungan yang matang dan berani. Ketika dua tangan yang besar itu menyambar dari kanan kiri, dia sengaja berlaku lengah atau lambat, akan tetapi untuk menjaga kecepatan gerak tangannya, dia tidak membiarkan pundak atau lengannya tersentuh, apa lagi tertangkap. Dengan mengembangkan dua lengannya, dia membiarkan batang leher dan pangkal lengan kirinya kena dicengkeram, namun begitu merasa kedua tangan lawan menyentuhnya, secepat kilat jari tangan kanannya segera bergerak dua kali menotok ke arah jalan darah di kedua pundak lawan.
Saking cepatnya, gerakan ini sampai tidak kelihatan oleh kepala suku itu sendiri, namun tiba-tiba saja dia merasa betapa dua buah lengannya kehilangan tenaga sama sekali dan menjadi seperti lumpuh. Biar pun kelumpuhan itu hanya terjadi untuk beberapa detik saja lamanya, namun cukup bagi Ci Kang untuk menggerakkan kakinya dan ujung sepatunya menyentuh kedua lutut lawan. Sepasang kaki yang besar dan sangat kuat itu seketika kehilangan tenaga lalu tubuh itu pun terkulai dan roboh miring!
Kepala suku itu merasa kaget, heran dan penasaran sekali ketika mendapat kenyataan betapa dalam satu gebrakan saja dia sudah roboh dan kini kedua lengannya dicengkeram oleh lawan yang sudah berlutut di belakangnya. Dia mengerahkan tenaga raksasanya, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya mengejang, tenaganya pun hilang.
Setiap kali dia mengerahkan tenaga, rasa nyeri yang amat hebat langsung naik ke dalam dadanya dari kedua lengan yang dicengkeram Ci Kang. Selama hidupnya belum pernah kepala suku itu mengalami hal seperti ini. Cengkeraman rahasia dari lawan itu membuat dia menderita nyeri hebat setiap kali dia mengerahkan tenaga!
Melihat betapa kepala suku itu kini sama sekali tidak meronta lagi, Ci Kang melepaskan cengkeraman kedua lengannya kemudian meloncat bangun, berdiri dengan sikap tenang. Semua orang yang menonton pertandingan itu melongo, tak dapat percaya betapa kepala suku itu dibuat tidak berdaya dan dikalahkan hanya dalam satu gebrakan saja! Hal seperti ini mereka anggap sama sekali tidak mungkin! Kepala suku mereka itu memiliki kekuatan lebih dari sepuluh orang biasa!
Akan tetapi kepala suku bangsa Khin itu sendiri adalah seorang gagah yang tentu saja cerdik. Kalau tidak demikian, tidak mungkin dia bisa menjadi kepala suku bangsa yang kasar dan gagah berani, juga sukar diatur. Dia tahu apa bila dia kalah dan menghadapi orang-orang yang jauh lebih kuat darinya.
Oleh karena itu, dia pun bangkit, memijit-mijit kedua lengannya bergantian, memandang kepada Ci Kang dengan wajah berseri, lalu mengulurkan kedua tangannya dan merangkul Ci Kang! Pemuda ini sudah siap membela diri jika kepala suku itu akan bertindak curang, akan tetapi ternyata rangkulan itu adalah pelukan persahabatan biasa saja.
"Orang muda, sungguh engkau hebat sekali. Aku sendiri akan memukul orang yang tidak percaya bahwa engkau akan mampu merobohkan seekor beruang hitam dewasa dengan satu pukulan! Engkau sangat hebat dan aku, Moghu Khali, mengaku kalah!" Kepala suku itu tertawa gembira dan sikap ini semakin mengagumkan hati Ci Kang.
"Engkau mempunyai tenaga yang amat kuat!" Dia memuji dengan sejujurnya. "Aku tentu akan kalah melawanmu jika hanya mempergunakan tenaga badan saja..."
Kedudukan Moghu Khali yang paling tinggi di antara suku bangsanya itu sama sekali tidak membuat kepala suku ini menjadi sombong atau tinggi hati. Dia tertawa dan girang sekali mendengar ucapan yang jujur itu. "Orang muda, siapakah namamu?"
"Siangkoan Ci Kang."
"Saudara Siangkoan, kita sudah saling mengenal nama, juga saling mengenal tenaga dan kepandaian. Ilmu kepandaianmu dalam perkelahian memang hebat dan jika engkau suka mengajarku tentang cengkeraman rahasia yang membuat aku tidak mampu mengerahkan tenaga tadi, sungguh aku akan merasa gembira sekali."
Ci Kang memang merasa kagum dan suka sekali kepada kepala suku ini, maka dia pun mengangguk. "Baik, saudara Moghu, akan kuajarkan cara mencengkeram seperti tadi."
Moghu Khali gembira sekali dan sambil menggandeng tangan Ci Kang, dia lalu mengajak pemuda itu masuk ke dalam rumah. Sejak saat itu Ci Kang menjadi seorang tamu yang amat dihormati dan disuka.
Karena sikap ini, Ci Kang menjadi semakin akrab dengan mereka. Melihat betapa kepala suku itu mempunyai banyak bulu binatang liar yang bagus, dia pun lalu minta dibuatkan sebuah jubah bulu harimau yang menjadi kesukaannya. Kemudian, di dalam percakapan mereka, dia mendengar bahwa di antara kepala suku akan diadakan pemilihan ketua atau pimpinan.
"Di selatan sedang terjadi pergolakan dan pemberontakan," demikian antara lain Moghu Khali berkata. "Kota benteng San-hai-koan sudah diduduki pemberontak yang kabarnya telah didukung oleh orang-orang pandai. Kami, bangsa Mongol, Khin dan Mancu hendak bersatu untuk menghadapi pemberontak itu dan rencana kami adalah hendak merampas kota-kota yang telah mereka duduki untuk dijadikan benteng-benteng kami di perbatasan. Untuk itu kami akan mengadakan pemilihan pimpinan dan kalau engkau sudi membantu, dan suka menjadi jago kami, maka aku yakin bahwa tentu aku yang akan terpilih menjadi pimpinan."
"Menjadi jago? Apakah yang kau maksudkan, saudara Moghu Khali?" tanya Ci Kang, di dalam hatinya terkejut mendengar betapa para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis itu ternyata telah merampas dan menduduki benteng kota San-hai-koan.
Moghu Khali lantas menceritakan kepada pemuda itu tentang rencana para suku bangsa hendak mengadakan pemilihan pimpinan melalui adu jago, seperti yang sudah diusulkan oleh nenek Yelu Kim dan diterima oleh mereka semua.
Biar pun kepala suku itu tidak membuka semua rencana para suku bangsa utara, Ci Kang sudah dapat menduga bahwa tentu para suku bangsa itu bukan memusuhi pemberontak karena setia kawan kepada pemerintah Kerajaan Beng, melainkan karena mereka itu juga hendak membangun kembali kekuatan mereka yang kini sudah hancur berantakan akibat jatuhnya Kerajaan Mongol.
Akan tetapi baginya, yang penting sekarang adalah menghadapi para pemberontak. Dan kalau Raja Iblis sudah bersekutu dengan pasukan, bahkan telah merampas kota benteng San-hai-koan, sebaiknya kalau dia menggunakan suku bangsa Khin ini untuk menentang para pemberontak.
"Baik, saudara Moghu, aku akan membantumu dan aku bersedia menjadi jagoanmu untuk mengalahkan para jagoan lainnya. Tentu saja aku tidak sepenuhnya yakin akan menang karena suku-suku bangsa itu tentu akan mengajukan jago-jago yang tangguh."
"Ha-ha-ha! Kesanggupanmu sudah merupakan kemenangan, saudara Siangkoan. Andai kata nasib tidak mempertemukan aku dengan engkau, tentu aku sendiri yang maju. Akan tetapi walau pun tidak ada kulihat jagoan di utara yang dapat mudah mengalahkan aku, namun aku masih ragu-ragu karena memang banyak orang-orang kuat yang mempunyai tenaga besar dan ilmu gulat yang hebat di daerah ini. Akan tetapi, di antara mereka tidak mungkin ada yang akan dapat mengalahkanmu. Ha-ha-ha, aku sendiri kalah dalam satu gebrakan, siapa mampu mengalahkan seorang seperti engkau? Terima kasih, saudaraku. Kita harus mengadakan persiapan sekarang."
Demikiahlah, ketika sayembara adu jago untuk menentukan pemenang bagi calon pemimpin suku-suku di utara, Ci Kang muncul dengan gagahnya, mewakili Bangsa Khin, menunggang seekor kuda putih dan memegang sebatang tombak kong-ce.
Akan tetapi bagaimana Hui Song tiba-tiba dapat menyelinap di antara banyak orang, dan berpakaian sebagai seorang anggota rombongan Mancu Timur? Untuk dapat mengetahui jawabannya, mari kita ikuti perjalanan Hui Song, pemuda jenaka yang biasa bergembira dan yang sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi berkat gemblengan selama kurang lebih tiga tahun oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas.
Seperti sudah kita ketahui, Cia Hui Song hanya berhasil menyelamatkan Kok Hui Lian, anak perempuan berusia sepuluh tahun, puteri gubernur San-hai-koan yang sudah tewas bersama semua keluarganya itu. Pada saat melarikan anak perempuan itu, dia bertemu dengan sebagian dari Cap-sha-kui kemudian dikeroyok. Untung ketika anak perempuan itu terancam, muncul Ciang Su Kiat murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya itu dan orang ini lalu melarikan Hui Lian.
Karena San-hai-koan sudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak dan dia tidak mampu melakukan apa pun untuk menentang para pemberontak, Hui Song lantas pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar. Kini pertemuan itu menjadi semakin penting saja setelah Raja Iblis dan kawan-kawannya telah membuktikan pelaksanaan rencana mereka untuk memberontak dengan direbutnya San-hai-koan.
Di tempat ini dia bertemu dengan beberapa orang pendekar yang sudah datang terlebih dahulu. Akan tetapi karena memang hari yang ditentukan belum tiba, dia bersama para pendekar harus menanti di sekitar tempat itu. Tak disangkanya Siangkoan Ci Kang yang dianggap sebagai seorang tokoh muda kaum sesat yang amat berbahaya itu muncul di situ. Tentu saja Hui Song menjadi curiga.
Dia tahu benar siapa adanya pemuda ini dan betapa pun gagah pemuda itu, kenyataan bahwa dia adalah putera tunggal Si Iblis Buta tentu saja menimbulkan kecurigaan bahwa Ci Kang tentu datang untuk menjadi mata-mata kaum hitam. Itulah sebabnya maka tanpa ragu-ragu lagi Hui Song menyerangnya dan para pendekar juga menjadi marah kepada Siangkoan Ci Kang.
Pada hari itu juga, dengan girang Hui Song melihat kedatangan gurunya, yaitu Si Dewa Kipas. Murid dan guru ini kemudian bercakap-cakap dan ternyata kakek gendut itu pun sudah mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan ke tangan para pemberontak.
"Mereka telah benar-benar bergerak," kata kakek itu sambil menarik napas panjang. "Kini tak mungkin lagi bagi kita melawan mereka begitu saja. Raja dan Ratu Iblis bersama para datuk kaum sesat, betapa pun sakti mereka itu, dapat kita hadapi bersama. Kalau para pendekar bersatu, agaknya fihak kita tidak akan kalah kuat. Akan tetapi sesudah mereka itu mempunyai pasukan besar sebagai sekutu, tentu saja tak mungkin bagi kita melawan pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah berpencar dan membantu pasukan pemerintah kalau bertempur dengan mereka, di mana pun juga."
Hui Song lalu bercerita tentang putera Si Iblis Buta yang baru pagi tadi datang ke tempat itu dan melarikan diri setelah mereka serang. "Dia itu tentu mata-mata musuh, suhu. Tapi sayang kami tidak dapat menangkapnya. Dia sungguh lihai."
Kakek gendut itu mengerutkan alisnya. Kini kakek yang biasanya tertawa-tawa gembira itu kehilangan kegembiraannya melihat betapa para pemberontak telah bergerak sebelum mereka mampu mencegahnya.
"Aku tidak dapat menduga bagaimana sesungguhnya mereka itu. Aku tidak yakin apakah putera Iblis Buta itu juga bekerja untuk mereka."
"Tentu saja, suhu. Bagaimana tidak? Sejak dahulu dia itu merupakan tokoh jahat yang berbahaya sekali."
"Akan tetapi engkau harus ingat bahwa ayahnya dibunuh oleh Raja Iblis," bantah kakek gendut itu.
"Sekali jahat tetap jahat!" Hui Song berkata lagi. "Putera seorang datuk seperti Iblis Buta itu, tentu menjadi seorang tokoh sesat yang luar biasa. Biar pun ayahnya terbunuh oleh Raja dan Ratu Iblis, mana mungkin dia lantas berubah menjadi orang baik-baik, bahkan hendak mendekati kaum pendekar? Dia tentu mata-mata, suhu."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin ada perebutan kekuasaan di antara mereka, Hui Song. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi. Biar aku yang menghadiri pertemuan dan engkau kuberi tugas baru yang amat penting."
Girang rasa hati Hui Song. Dia gelisah memikirkan Sui Cin dan duduk menganggur sambil menanti hari pertemuan itu di bekas benteng Jeng-hwa-pang sungguh tak menyenangkan hatinya. "Tugas apakah itu, suhu?"
"Sesudah sekarang Raja Iblis bersekutu dengan pasukan pemberontak, kita hanya dapat membantu pasukan-pasukan pemerintah untuk menumpas mereka itu. Akan tetapi masih ada kekuatan lain yang mungkin dapat kita manfaatkan. Kekuatan itu adalah para suku bangsa di daerah ini. Apa bila mereka itu mau bergerak membantu dan menentang kaum pemberontak, tentu akan lebih mudah lagi menghancurkan para pemberontak berikut Raja Iblis dan kaki tangannya. Oleh karena itu, aku menguasakan kepadamu untuk melakukan penyelidikan terhadap suku-suku liar itu, Hui Song. Apa bila ada kemungkinan mengajak mereka itu untuk menentang para pemberontak, sungguh merupakan bantuan yang besar sekali kepada pemerintah."
"Akan tetapi, bukankah dulu suhu pernah mengatakan bahwa kita tidak akan mencampuri urusan pemerintah dan hanya semata-mata bangkit untuk menentang Raja Iblis dan para datuk sesat yang hendak mengacaukan negara?"
"Benar, akan tetapi sesudah mereka itu bergabung dengan pasukan pemberontak, tidak ada jalan bagi kita untuk membantu pemerintah menumpas mereka."
"Baiklah, suhu, akan kuselidiki keadaan para suku bangsa di daerah ini."
Hui Song lalu meninggalkan bekas benteng Jeng-hwa-pang dan menuju ke utara, mendaki bukit dan melintasi gurun pasir. Tanpa disadarinya dia tersesat jalan menuju ke timur dan pada suatu hari tibalah dia di sebuah dusun kecil. Hari sudah menjelang senja ketika dia memasuki pintu gerbang sederhana dusun itu, namun yang membuat dia merasa sangat heran adalah karena dusun itu sunyi senyap, tak nampak seorang manusia, bahkan tidak terdengar sesuatu.
Sebuah dusun kosong? Bukan, pikirnya. Masih ada asap mengepul dari sebuah rumah di antara rumah-rumah kecil yang agaknya dibangun secara darurat di dusun itu. Akan tetapi ke manakah perginya semua orang? Agaknya mereka bersembunyi, pikirnya. Bagaimana pun juga pendengarannya yang terlatih dan amat tajam bisa menangkap gerakan-gerakan dan dia merasa yakin bahwa dia telah dikurung secara sembunyi-sembunyi oleh banyak orang!
Karena dia merasa sebagai seorang tamu yang tidak diundang di dusun itu, maka Hui Song merasa tidak enak sekali dan dia pun berdiri di tengah-tengah lapangan di antara rumah-rumah itu, di mana dia melihat bekas-bekas api unggun yang agaknya baru saja dipadamkan secara tergesa-gesa. Di sini dia berdiri tegak, memandang ke empat penjuru, ke arah rumah-rumah yang sunyi itu, dan dia pun berkata dengan dengan suara lantang.
"Saya Cia Hui Song, seorang kelana yang kemalaman di jalan, mohon kebaikan hati para penghuni dusun untuk mengijinkan saya melewatkan malam di dusun ini!"
Sama sekali tidak ada jawaban. Sampai tiga kali dia mengulang kata-katanya akan tetapi hanya dijawab oleh ringkik kuda di kejauhan saja. Akan tetapi Hui Song dapat merasakan bahwa pengurungan tempat itu semakin rapat sehingga dia bersikap waspada.
Dan seperti yang telah diduganya, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan dalam bahasa yang tidak dimengertinya, kemudian tahu-tahu puluhan batang anak panah menyerbu dan menyerangnya dari semua penjuru!
"Aku bukan penjahat...!" Teriak Hui Song akan tetapi percuma saja karena anak panah yang amat banyak itu sudah meluncur ke arah dirinya.
Hui Song terpaksa menanggalkan jubahnya dan memutar jubahnya itu untuk melindungi tubuhnya. Semua anak panah runtuh dan tidak ada sebatang pun yang mengenai dirinya, akan tetapi jubahnya robek-robek, juga bajunya ada yang robek terkena anak panah.
Begitu anak panah itu berhasil diruntuhkannya semua, tiba-tiba saja nampak sinar hitam meluncur dan ia melihat bahwa itu adalah tali-tali hitam panjang yang ujungnya berbentuk laso. Dia tersenyum dan berdiri tegak tidak mengelak. Dan laso-laso itu ternyata dengan amat tepatnya telah mengalungi lehernya, malah kedua tangannya juga kena dibelenggu.
Harus diakuinya bahwa pelempar-pelempar laso itu amat mahir. Agaknya para penghuni dusun ini adalah peternak-peternak lembu karena hanya peternak-peternak lembu saja yang pandai menggunakan laso untuk menangkap lembu-lembu mereka yang binal atau kabur.
Sesudah tubuhnya terbelit-belit laso, terdengar sorak kegirangan dan kini muncul puluhan orang, laki-laki dan wanita, yang kesemuanya berpakaian indah, berwajah cantik-cantik dan tampan-tampan, akan tetapi yang pada saat itu memandang padanya dengan penuh kemarahan! Mereka muncul sambil mengacungkan senjata mereka yang berupa tombak, golok dan anak panah, semua diacungkan dan diangkat tinggi-tinggi. Agaknya mereka itu siap untuk mengeroyok dan menghancurkan tubuhnya.
Akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan mereka semua segera berhenti, lalu muncul seorang laki-laki muda yang tampan. Usia laki-laki ini sekitar tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya paling indah, dengan jubah dari bulu tebal.
Lelaki ini maju dan dia diiringi oleh belasan orang wanita yang semuanya muda-muda dan cantik-cantik, usia mereka mulai dari lima belas sampai dua puluh lima tahun! Laki-laki bermantel bulu dan bertopi lebar ini melangkah maju dan semua orang yang mengepung Hui Song hanya memandang, tetapi siap untuk mengeroyok Hui Song andai kata pemuda yang sudah terbelenggu banyak tali laso itu memberontak.
Kini laki-laki bertopi itu berdiri di depan Hui Song yang masih berpura-pura tidak berdaya dalam lilitan laso. Kalau dia mau, tentu saja sekali meronta semua tali laso akan putus dan dia dapat bergerak bebas. Akan tetapi dia hendak melihat dahulu perkembangannya, ingin tahu mengapa orang-orang yang tidak dikenalnya ini memusuhinya.
Kemunculan mereka saja sudah menarik perhatiannya karena mereka itu tidak nampak seperti orang-orang liar yang kasar, bahkan gerak-gerik mereka halus, pakaian mereka indah dan tubuh mereka terpelihara rapi dan bersih. Lelaki bertopi ini pun nampak tampan dan bersih, dan para wanita yang datang bersamanya juga cantik-cantik dan berpakaian rapi.
"Aha, ternyata engkau tampan juga!" kata laki-laki bertopi itu. "Dengan ketampanan dan kemudaanmu, apa sulitnya bagimu untuk menjatuhkan hati wanita-wanita cantik. Kenapa engkau harus mencari wanita dengan cara menculik dan memperkosanya?"
Tentu saja Hui Song melongo mendengar tuduhan-tuduhan ini. Seorang di antara para wanita itu, yang termuda dan paling manis, mendadak melangkah maju menghampirinya. Mata wanita ini merah oleh tangis.
"Kembalikan adikku...!" bentaknya dan tiba-tiba saja tangan yang kecil halus itu bergerak menampar.
"Plakk! Plakk!"
Dua kali pipi Hui Song ditamparnya tetapi laki-laki bertopi itu cepat menangkap lengannya dan melarangnya memukul lagi. Wanita itu pun mundur sambil terisak.
"Ia adalah kakak dari gadis yang kau culik semalam. Nah, tidak tergerakkah hatimu telah menyusahkan hati seorang gadis yang semanis dia? Padahal, jika engkau menjadi orang baik-baik, kiranya banyak gadis yang akan jatuh hati kepadamu, yang menyerahkan jiwa raga kepadamu tanpa kau paksa atau perkosa...!"
Biar pun pria itu bicara dengan halus, dengan bahasa yang teratur dan tidak kaku, bahkan halus dan sopan seperti bahasa orang terpelajar, namun Hui Song merasa tersinggung dan bingung sekali. Tamparan tadi tidak begitu dirasakannya, akan tetapi tuduhan bahwa dia menculik dan memperkosa wanita, sungguh keterlaluan.
Tahulah dia mengapa dia dimusuhi. Kiranya dia disangka penculik wanita yang agaknya sudah beberapa kali menculik wanita-wanita dari suku ini dan malam ini sengaja mereka berusaha menjebak dan menangkap si pencuri anak perawan!
"Aku bukan pencuri perawan! Untuk apa aku mencuri wanita...?" Dia berseru beberapa kali.
Akan tetapi yang dapat mengerti bahasanya agaknya hanyalah pria bertopi, gadis-gadis pengikutnya dan beberapa orang saja. Yang tidak mengerti lalu bertanya-tanya sehingga keadaan menjadi berisik.
Tiba-tiba saja terdengar jeritan wanita melengking nyaring. Semua orang terkejut. Jerit itu keluar dari rumah terbesar yang berada di tengah dusun.
"Adikku perempuan...!" Laki-laki bertopi itu berteriak gelisah.
Hui Song segera dapat mengerti apa yang sudah terjadi. Agaknya, selagi dia ditawan dan dituduh sebagai pencuri anak perawan, si pencuri yang asli sedang bekerja dan agaknya sekali ini yang dicurinya bukan perawan kepalang tanggung, melainkan adik dari orang bertopi yang agaknya menjadi pemimpin mereka itu!
Dan inilah kesempatan baik baginya untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah penculik perawan, juga kesempatan baik baginya untuk mencegah terjadinya perbuatan terkutuk sekalian membasmi penjahat pemetik bunga itu. Karena itu dia pun bergerak dan sekali meronta, terdengar suara keras dan semua tali laso itu pun putus. Orang-orang berteriak kaget dan Hui Song meloncat dengan gerakan seperti seekor burung terbang saja.
Wusssssss.....!
"Aku akan menangkap penjahat itu!" serunya kepada si kepala dusun.
Dan tanpa mempedulikan lagi teriakan-teriakan atau halangan-halangan dari mereka, dia berlompatan menuju ke arah suara jeritan wanita tadi. Gerakannya yang memang lincah sekali itu tidak terlambat. Dia melihat bayangan berkelebat keluar dari rumah itu, sedang memanggul tubuh seorang wanita yang kelihatan pingsan atau mungkin juga tertotok.
"Perlahan dulu, sobat!" Hui Song berkata dan dia sudah menerjang ke depan, jari tangan kirinya menotok ke arah pundak.
Orang itu nampak terkejut dan gerakannya ternyata juga amat cepat dan ringan. Dengan mudahnya dia menggerakkan pundak, mengelak lantas melanjutkan larinya. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tahu-tahu tangan yang tadi luput menotok itu dilanjutkan dengan totokan ke arah lambungnya sedangkan tangan lain menyambar ke atas, mencengkeram ke arah kepalanya. Dua gerakan ini mengandung hawa yang sangat kuat! Agaknya orang itu sama sekali tak pernah menyangka akan bertemu dengan orang sepandai ini di daerah liar itu, maka dia mengerahkan tenaga dan menangkis tangan yang mencengkeram ke arah kepalanya.
"Dukkk...!" dan orang yang tidak mengerahkan semua tenaganya itu terhuyung!
"Ehh, siapa kau...?!" bentaknya.
Dari suaranya Hui Song tahu jelas bahwa orang ini adalah seorang Han. Setelah orang itu melempar korbannya ke atas tanah dan menghadapinya, di dalam keremangan senja dia melihat bahwa dia adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan bertubuh tegap dan berpakaian pesolek.
Dia teringat akan putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta. Bukan, pemuda ini bukan putera datuk sesat itu, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang gerak-geriknya halus. Kalau di tempat seperti ini ada seorang penjahat bangsa Han, jelaslah bahwa penjahat itu tentu anggota dari para datuk sesat anak buah Raja Iblis!
"Aku adalah pembasmimu, jai-hwa-cat terkutuk!" Hui Song membentak dan dia pun telah menerjang kembali dengan tamparan-tamparan yang amat kuat karena dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang menghadapi penjahat yang dapat diduganya tentu lihai juga ini.
Tamparan-tamparan itu sangat hebat dan si penjahat agaknya dapat mengenal pukulan lihai, maka dia menggerakkan tangan, namun sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.
"Plakk! Dukkk...!"
Sekali ini, dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan seluruh tubuh mereka tergetar. Hui Song terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, orang-orang dusun sudah berdatangan dengan senjata di tangan. Mereka berteriak-teriak dan hendak maju mengeroyok, sebagian lagi, dipimpin pemuda bertopi, menolong gadis yang tadi dilemparkan ke atas tanah.
Melihat keadaan tidak menguntungkannya, penjahat pemetik bunga itu lalu mengeluarkan seruan panjang dan meloncat jauh, terus lari menghilang dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Hui Song tidak mengejar karena penjahat itu sudah melepas korbannya. Mengejar seorang musuh selihai itu di dalam gelap amatlah berbahaya, dan pula, tugasnya adalah menyelidiki suku-suku bangsa ini, bukan mengejar-ngejar jai-hwa-cat.
Si pria bertopi sekarang menghampiri dan merangkulnya. "Engkau sudah menyelamatkan adikku. Maafkan kecurigaan kami tadi. Kami mengira engkaulah penjahat itu, siapa tahu engkau malah penolong kami."
"Sudahlah, kesalah pahaman itu bisa kumengerti dan dapat kumaafkan. Betapa pun juga, penjahat itu telah menolongku."
"Menolongmu?" Pria bertopi itu berseru heran.
"Kalau dia tidak muncul mencuri adikmu, tentu aku masih terus didakwa sebagai pencuri anak perawan." Hui Song tertawa dan orang itu pun tertawa, juga belasan orang wanita cantik yang mengerti omongannya tertawa. Suasana berubah gembira sekali.
"Ha-ha, ternyata selain tampan dan lihai, engkau juga periang seperti kami. Saudara yang baik, siapakah namamu tadi? Engkau tadi pernah memperkenalkan nama ketika muncul untuk pertama kali, akan tetapi sayang aku tak begitu memperhatikan akibat terpengaruh kemarahan karena menyangka engkau penjahat."
"Namaku Cia Hui Song."
"Bagus sekali, Cia-taihiap, namaku Lam-nong, Aku adalah kepala suku bangsaku, bangsa Mancu Timur yang terpencil dan tidak besar jumlahnya. Kami hidup sebagai nelayan dan juga kadang kala berburu atau beternak, akan tetapi kami masih suka merantau seperti kebiasaan nenek moyang kami. Betapa pun juga, kami hidup bahagia. Lihat, kami selalu bergembira, bukan? Saudaraku yang baik dan gagah, engkau menjadi tamu kehormatan kami. Malam ini kami akan berpesta untuk menyatakan kegembiraan kami."
Dengan suara lantang kepala suku bernama Lam-nong itu lalu memerintahkan pembantu-pembantunya untuk menyembelih domba dan lembu lantas mempersiapkan pesta untuk menghormati Cia Hui Song.
Hui Song menerima dengan gembira. Sambil bergandeng tangan dengan Lam-nong yang diiringkan belasan orang wanita cantik, Hui Song diajak memasuki bangunan terbesar di dalam dusun itu.
"Dusun ini hanya menjadi tempat peristirahatan selama beberapa pekan saja, maka kami membangun pondok-pondok darurat saja." Lam-nong menerangkan ketika mereka sudah mengambil tempat duduk di atas lantai bertilamkan kulit domba. "Taihiap, orang seperti engkau ini tentunya seorang pendekar seperti yang pernah kudengar diceritakan orang tentang dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana seorang pendekar seperti engkau dapat tersesat ke sini?"
Hui Song tidak ingin bicara tentang pertemuan para pendekar dan dia pun teringat kepada Sui Cin. Tadi pun dia sudah cemas membayangkan Sui Cin yang kehilangan ingatan itu bertemu dengan jai-hwa-cat yang jahat seperti orang tadi.
"Aku... aku sedang mencari seorang kawanku..." Dia teringat betapa tadi dituduh pencuri anak perawan, maka dia cepat menahan lidahnya yang hendak bercerita tentang Sui Cin, seorang kawan perempuan! Dia tidak mau kalau nanti disangka seorang pencari wanita lagi. "Aku ingin mencari keterangan tentang Harimau Terbang..."
"Ahhh...! Maksudmu perkumpulan rahasia Harimau Terbang?"
"Ya, benar!" Hui Song berkata gembira.
Ia memang sedang melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang yang lencananya tertinggal di dalam Goa Iblis Neraka yang menunjukkan bahwa mereka itulah pencuri harta pusaka di dalam goa itu.
"Apakah di daerah ini terdapat perkumpulan bernama Harimau Terbang?"
Mendengar pertanyaan ini, wajah Lam-nong yang tadinya gembira dan tersenyum-senyum itu berubah agak pucat dan alisnya berkerut, bahkan dia segera menengok ke kanan kiri seolah-olah tidak ingin percakapan itu didengarkan orang lain. Melihat sikap ini, berdebar rasa hati Hui Song. Agaknya penyelidikannya tentang pencuri harta pusaka itu kini akan mendapatkan jejak.
"Harap jangan takut, saudara Lam-nong, kalau ada ancaman datang dari mereka, akulah yang akan menghadapi mereka!" katanya dengan suara tegas dan meyakinkan. Agaknya jaminan ini melegakan hati Lam-nong dan wajahnya berseri kembali, bibirnya tersenyum lagi.
"Cia-taihiap, bukannya kami takut, melainkan kami tidak suka berurusan dengan nenek iblis itu."
"Nenek iblis siapa yang kau maksudkan?"
"Namanya Yelu Kim. Menurut pengakuannya, dia adalah keturnan dari Menteri Yelu Ce-tai penasehat agung dari Jenghis Khan. Sekarang dia menjadi tokoh sesat di daerah utara dan dianggap sebagai penasehat para kepala suku."
"Dan apa hubungannya dengan Perkumpulan Harimau Terbang?"
"Hemm, biar pun dia tidak pernah mengaku dan tidak pernah terbukti karena perkumpulan itu merupakan rahasia yang bergerak secara rahasia pula, akan tetapi semua orang di sini tahu belaka bahwa nenek itulah pemimpin Perkumpulan Harimau Terbang."
"Di manakah sarang mereka? Di mana aku dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim itu?" Cia Hui Song bertanya dengan penuh semangat.
"Tinggallah bersama kami dan engkau akan bisa bertemu dengannya, Cia-taihiap. Besok lusa kami akan berangkat menuju ke padang pasir di mana para ketua suku mengadakan pertemuan dan pemilihan calon pemimpin. Aku yakin bahwa nenek Yelu Kim pasti akan hadir pula di sana."
"Semua suku bangsa di utara ini hendak melakukan pemilihan pemimpin? Untuk apa dan apakah yang terjadi?" Hui Song bertanya girang.
Tak disangka-sangkanya bahwa selain berita yang baik sekali mengenai Harimau Terbang yang diselidikinya, juga dia mendengar berita mengenai kepala-kepala suku. Justru inilah tugas yang diberikan gurunya kepadanya.
"Di perbatasan terjadi pergolakan yang mengguncangkan kehidupan tenteram para suku kami. Menurut berita yang kudengar, golongan hitam di selatan sudah bersekutu dengan para pemberontak, dan mereka bahkan sudah merampas kemudian menduduki benteng San-hai-koan. Kabarnya mereka akan terus bergerak meluaskan wilayah mereka sebelum menyerang ke selatan. Kami terancam, dan... menurut rekan-rekan yang berambisi, inilah saat yang paling baik bagi kami untuk bergerak, menegakkan kembali kekuasaan Mongol di selatan. Sebenarnya aku sendiri tidak menyukai ambisi itu, akan tetapi kalau memang ketenteraman kami terancam oleh para pemberontak kemudian diadakan persatuan untuk menghadapi mereka, tentu aku setuju. Nah, kini para kepala suku hendak mengadakan pemilihan pimpinan dan lusa kami akan berangkat."
Bukan main girangnya rasa hati Hui Song. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri dia segera menyatakan setuju untuk menemani Lam-nong dan anak buahnya yang akan berangkat ke tempat pertemuan itu.
Malam itu, dengan penuh kegembiraan Lam-nong mengadakan pesta untuk menghormati Hui Song. Seperti telah menjadi kebiasaan mereka, pesta itu dilakukan di luar rumah, di sebuah lapangan rumput di mana dibangun tenda besar dan dinyalakan api unggun.
Hui Song diberi pakaian orang Mancu dan mereka duduk di atas rumput. Daging-daging domba dan lembu dipanggang dengan bumbu-bumbu sedap sehingga asap dan uapnya memenuhi tempat itu, mengundang selera.
Lam-nong duduk di samping Hui Song, diapit belasan orang wanita cantik yang ternyata adalah selir-selirnya! Hui Song sampai melongo saat Lam-nong memperkenalkan mereka sebagai isteri-isterinya! Seorang dengan isteri demikian banyak, kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik!
"Kenapa engkau kelihatan heran, Cia-taihiap? Aku hanya mempunyai empat belas orang isteri, itu masih sangat sedikit sekali apa bila dibandingkan dengan yang dipunyai kepala-kepala suku bangsa lainnya. Ada seorang kawanku mempunyai empat puluh empat orang isteri, ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa bergelak melihat keheranan di wajah Hui Song.
Hui Song yang disuguhi arak istimewa buatan suku bangsa itu, arak yang sangat harum dan keras, tertawa lepas. Memang wataknya bebas gembira, maka kini ditambah hawa arak di benaknya, dia menjadi semakin gembira.
"Ha-ha-ha, saudara Lam-nong. Aku pernah melihat seekor ayam jantan dengan puluhan ekor ayam betina, hal itu masih dapat kupercaya dan kumengerti. Akan tetapi manusia? Seorang harus... dengan demikian banyak...?"
"Ha-ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa dan para selirnya yang rata-rata mengerti bahasa Han itu pun ikut tersenyum dan tersipu-sipu, menutupi mulut mereka dengan sapu tangan atau punggung tangan. "Bila perlu aku bisa lebih kuat dari pada seekor ayam jantan, ha-ha-ha! Cia-taihiap, memang manusia berbeda dengan ayam, karena itu dalam hal itu pun sangat berbeda, tidak sembarang saat seperti ayam."
Mereka pun tertawa-tawa dan suasana menjadi meriah ketika para selir yang mempunyai suara merdu itu bernyanyi-nyanyi diiringi suara gendang, tambur dan suling. Dan mulailah selir termuda dari Lam-nong, yang manis sekali dengan kedua pipi kemerahan bukan oleh pemerah muka melainkan merah karena sehat saking halusnya kulit pipi, bangkit dan atas isyarat Lam-nong, selir itu pun mulai menari.
Dan Hui Song pun memandang dengan terpesona. Sellr ini amat pandai menari, tubuhnya demikian lembut dan lemas meliuk-liuk di depannya, seakan-akan tubuh seekor ular saja. Suara gendang dan tambur menambah kuat gerakan pinggul dan leher itu.
"Sekarang permainan yang kami namakan Bulan Jatuh. Siapa yang kejatuhan bulan harus bangkit dan menari, siapa pun tidak boleh menolak karena menolak bulan yang jatuh ke pangkuannya berarti mengundang mala petaka dan tidak menghormati orang lain," kata Lam-nong kepada Hui Song. Tentu saja pemuda ini tidak mengerti apa artinya kata-kata itu dan dia tidak pernah mendengar tentang permainan ini.
Sambil tertawa gembira Lam-nong lantas menerangkan. Permainan itu seperti permainan kanak-kanak yang dikenal oleh Hui Song di selatan, akan tetapi sekarang dimainkan oleh orang-orang dewasa!
Selir yang menari tadi membuka permainan. Kedua matanya ditutup dengan sehelai sapu tangan yang diikatkan ke belakang kepalanya, kemudian oleh dua rekannya dia diputar-putar. Hal ini dimaksudkan supaya selir yang matanya tertutup itu akan lupa di mana dan siapa yang duduk di sekitarnya. Setelah itu barulah dilepas dan mulailah dia meraba-raba. Kalau dia telah berhasil menangkap salah seorang yang duduk berkeliling, maka dia akan meraba-raba muka orang itu dan mengatakan siapa dia. Setelah diperkenankan membuka penutup mata, jika dugaannya ternyata keliru, maka dia harus menari lagi, dan sesudah habis satu lagu, maka dia akan mencari sasaran lagi.
Bagaikan bulan meluncur di antara awan-awan, penari itu akan meraba-raba dan apa bila bulan itu jatuh kepada seseorang dan orang itu dapat ditebak siapa adanya, maka dia kejatuhan bulandan dialah yang harus menggantikan permainan itu dan menari. Demikian selanjutnya. Dengan adanya Hui Song di situ, tentu saja permainan itu menjadi lucu dan selain menegangkan hati Hui Song, juga membuatnya merasa malu-malu dan sungkan sekali.
Selir muda yang cantik itu telah diputar-putar dan dilepas. Sekarang dengan mata tertutup selir itu perlahan-lahan melangkah ke depan, kedua tangannya diluruskan ke depan untuk meraba-raba.