Asmara Berdarah Jilid 25

Serial Pedang Kayu Harum episode Asmara Berdarah Jilid 25 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa
HUI SONG merasa betapa jantungnya berdebar tegang, apa lagi ketika dua kaki yang kecil itu agaknya hendak maju ke arah tempat dia duduk! Akan tetapi kedua kaki itu meragu dan membelok ke kiri, kemudian maju terus dan akhirnya berhenti karena kaki itu terantuk pada kaki seseorang yang duduk di situ. Selir itu terkekeh, kemudian berjongkok dan dua tangannya meraba-raba kepala dan muka orang itu.

“Ihhh...!” jeritnya kecil ketika dia meraba topi orang itu dan tahulah dia bahwa dia sudah menangkap atau ‘jatuh’ kepada seorang pemukul tambur atau gendang.

Terdengar suara ketawa dari para selir dan selir yang menjadi bulan itu segera membuka penutup matanya, cemberut secara main-main mencela kesialan dirinya. Kalau kebetulan menangkap seorang pemain musik, maka hal itu dianggap sial sebab itu berarti bahwa dia harus bermain lagi. Pemain musik tidak masuk hitungan karena kalau dia harus main, lalu siapa yang memukul gendang?

Kembali selir itu ditutup mukanya dengan sapu tangan dan diputar-putar. Akan tetapi selir tadi sudah melirik ke arah Hui Song dan tersenyum. Ketika dia dilepas, dia pun berjalan perlahan-lahan, berkeliling dan kedua kaki kecil tertutup sepatu baru itulah yang sekarang meraba-raba dan ketika kakinya menginjak bagian yang agak menonjol, dia pun berhenti lantas membalik dan kini kedua kakinya itu bergerak perlahan menuju ke arah Hui Song duduk!

Selir ini memang sudah menjatuhkan pilihannya pada Hui Song dan sebagai orang yang sudah biasa melakukan permainan Bulan Jatuh ini, tentu saja dia mengerti akan akal-akal yang digunakan orang dalam permainan ini. Tadi ketika dia membuka penutup matanya, dia sudah memperhatikan dan mempelajari tanah di depan Hui Song dan dia melihat ada tanah menonjol di hadapan pemuda itu dan inilah yang dapat menuntunnya kepada Hui Song.

Maka tadi ia berjalan keliling sampai kakinya mengijak tanah menonjol, baru ia menujukan langkahnya kepada Hui Song. Sengaja dia hendak memilih pemuda yang telah menolong adik suaminya ini untuk penghormatan dan bukan hanya selir ini, juga selir-selir yang lain dan mereka semua yang hadir di sana ingin sekali melihat Hui Song menjadi bulan dan menari-nari.

Dengan jantung berdebar-debar penuh ketegangan Hui Song melihat betapa selir itu kini menggerakkan dua buah kaki kecilnya menghampirinya. Dia tidak mungkin dapat lari, dan hanya tersenyum tegang. Dia pun tidak mampu mengelak ketika kaki kecil itu menumbuk kakinya dan ketika selir muda itu terkekeh kecil dan berjongkok di depannya.

Hui Song cepat memejamkan mata sebab hidungnya mencium bau yang amat harum dan melihat kulit muka yang demikian halusnya. Dia tetap memejamkan mata ketika wanita itu meraba-raba kepalanya, lalu mukanya, meraba-raba telinga, hidung, bibir dan dagunya. Hui Song merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus dan hangat itu merayap pada mukanya dan dia merasa betapa semua bulu di tubuhnya meremang.

“Hai... ini... ini Cia-taihiap...!” kata selir itu dan tebakannya disambut tepuk sorak memuji. Selir itu cepat membuka penutup matanya dan sambil tersenyum manis dia menjura dan mempersilakan.

“Silakan, taihiap, kami mohon taihiap menjadl bulan,” katanya merdu.

“Ha-ha-ha, nasibmu sungguh baik, Cia-taihiap. Kami ingin sekali menyaksikan keindahan tarianmu!” kata Lam-nong gembira.

Suling, tambur dan gendang dipukul gencar dan Hui Song yang mukanya menjadi merah itu terpaksa bangkit berdiri. Dia merasa tubuh dan kepalanya ringan akibat pengaruh arak. Hal ini membuat dia tidak malu-malu lagi dan karena dia tidak pandai menari, maka dia pun mencoba untuk menirukan gerakan selir tadi.

Maka tampaklah pemandangan yang amat lucu pada saat Hui Song melenggang-lenggok menggoyang pinggul mengikuti irama musik, berjoget dangdut! Karena dia memang ahli silat yang amat pandai, biar pun gerakannya lucu, namun juga lemas dan kadang-kadang bahkan diisi dengan gerak-gerak silat. Para selir tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan memuji, membuat Hui Song bertambah gembira sehingga tariannya pun menjadi semakin panas.

Ketika tiba giliran Hui Song untuk ditutup kedua matanya dengan sapu tangan, dengan mudah saja, mengandalkan ketajaman pendengarannya, ia menjatuhkan pilihannya pada Lam-nong! Biar pun Hui Song seorang pemuda romantis dan lincah jenaka dan gembira, akan tetapi dia belum cukup berani untuk menjatuhkan pilihannya kepada para selir itu, merasa tidak berani kalau harus meraba-raba muka seorang di antara mereka.

Hal ini mengecewakan hati para selir karena mereka ingin sekali kejatuhan bulan! Mereka merasa suka kepada pemuda yang lincah ini dan ingin mempererat persahabatan.

Lam-nong adalah seorang kepala suku. Tentu saja dia pun tahu bagaimana caranya untuk menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song sehingga terjadilah hal yang lucu, yaitu hanya dua orang itu saja yang silih berganti menari! Akhirnya Lam-nong menyuruh para selirnya menari bersama-sama dan suasana menjadi semakin gembira dan suara ketawa mereka riuh rendah ketika mereka menari bersama-sama. Hui Song merasa suka sekali kepada keluarga kepala suku ini dan mereka makan minum dan bernyanyi-nyanyi, menari-nari sampai hampir pagi.

Demikianlah, Hui Song ikut pula hadir bersama rombongan ini saat diadakan pertandingan antar jagoan di antara kepala-kepala suku. Lam-nong sendiri tak mengajukan jagoan. Dia bersama para pangikutnya datang hanya untuk menyaksikan saja siapa pimpinan yang terpilih.

Hui Song yang hendak melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang bersembunyi di antara orang-orang Mancu Timur itu. Dapatlah dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan herannya melihat Sui Cin bersama seorang nenek yang menurut keterangan Lam-nong adalah nenek Yelu Kim, kepala dari Perkumpulan Harimau Terbang yang dicari-carinya itu! Dia merasa curiga dan heran, lalu diam-diam dia memperhatikan sambil menyelinap di antara anak buah Lam-nong.

Demikianlah, tanpa disengaja, tiga orang muda itu ikut menghadiri pertemuan antara para suku di utara yang sedang mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara mereka yang berhak menjadi pimpinan para suku untuk memulai dengan gerakan mereka hendak menegakkan kembali kekuasaan Mongol yang sudah runtuh. Dan mereka bertiga terpisah-pisah dalam kelompok suku yang berlainan, dengan alasan yang berlainan pula.

Sui Cin berada di situ karena ia telah ditolong oleh nenek Yelu Kim yang menjadi gurunya dan kini dia membantu Yelu Kim sebagai balas budi. Siangkoan Ci Kang berada bersama suku Khin untuk membantu Moghu Khali, ketua suku Khin yang sekarang telah menjadi sahabatnya, bahkan dia mau diangkat menjadi jagoan suku itu. Ada pun Hui Song berada di tempat itu karena dia hendak menyelidiki Perkumpulan Harimau Terbang, juga untuk menyelidiki keadaan para suku bangsa di utara ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya, yaitu Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.

Kini pertandingan telah dimulai. Seperti telah diduga semula oleh setiap pengikut, jagoan-jagoan itu memang masing-masing mempunyai ketangguhan yang mengagumkan. Suku Mongol yang merupakan suku kedua terbesar setelah suku Mancuria, mengajukan jagoan seorang ahli gulat yang bertubuh raksasa dan jagoan ini tidak menunggang kuda, juga tidak memegang senjata apa pun.

Akan tetapi, ketika dia sudah maju karena menurut undian dia harus maju lebih dahulu, dia menghadapi lawan yang menunggang kuda secara mengagumkan dan mengerikan. Lawannya itu menggunakan sebatang golok dan menunggang seekor kuda.

Ketika lawan itu menerjangnya dengan golok diputar dan kaki depan kuda itu mengancam hendak menumbuknya, raksasa Mongol ini tertawa, menangkap dua kaki depan kuda itu dan sekali putar, kuda itu terpelanting dan kedua tulang kaki depan itu patah membuat kuda itu tidak mampu bangkit kembali. Akan tetapi lawannya cukup tangguh. Ketika kuda terpelanting, dia melompat turun dan kini dia menerjang si raksasa dengan goloknya.

“Plakkk!”

Raksasa Mongol itu tidak mengelak, bahkan menerima golok itu dengan tangan kosong begitu saja. Akan tetapi, bukan tangannya yang terluka, melainkan golok itu sendiri yang terlempar dan di lain saat, raksasa itu sudah menangkap pergelangan tangan lawan dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh lawan itu sudah terlempar jauh sekali dan terbanting dengan keras ke atas tanah sehingga jatuh pingsan dengan tulang remuk!

Sorak sorai yang riuh rendah menyambut kemenangan raksasa Mongol ini dan dia pun memperoleh waktu beristirahat menurut peraturan walau pun si raksasa Mongol itu masih menantang-nantang dengan congkaknya.

Menurut hasil undian, kini tiba giliran jagoan Mancu. Seperti juga jagoan Mongol, maka jago dari Mancu ini pun bertubuh tinggi besar dan terutama sekali sepasang kakinya amat panjang dan berotot kekar sekali. Kaki itu memakai sepatu panjang sampai ke lutut dan solnya dilapisi besi. Jago ini pun tidak menunggang kuda dan tidak memegang senjata.

Setelah dia melawan seorang jagoan lain, Hui Song yang nonton dari dalam kelompoknya melihat bahwa raksasa Mancu ini tak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan raksasa Mongol tadi. Kalau raksasa Mongol tadi kebal dan kuat sekali, juga ahli dalam ilmu gulat, maka raksasa Mancu yang lebih tinggi ini selain ahli dalam ilmu gulat campur silat, juga tangguh sekali dengan kedua kakinya!

Lawannya yang menunggang kuda dan memegang tombak itu dihadapi dengan tendangan kakinya yang panjang dan kuat, dan dalam satu gebrakan saja lawan itu terpelanting jauh! Lawannya berhasil melompat lantas menyerangnya dengan tombak. Akan tetapi, kembali kakinya bergerak dan tombak itu dihantam tangan yang amat kuat, membuat tombak itu patah menjadi tiga potong!

Lawannya masih penasaran dan menyerang dengan pukulan-pukulan, akan tetapi setiap pukulan ini ditangkis oleh tendangan secara sedemikian cepat dan tepatnya seolah-olah kedua kaki itu merupakan sepasang tangan yang lengannya panjang sekali, dan sebelum lawan itu mampu mengelak, tiba-tiba sebuah kaki melayang dan menghantam kepalanya dari samping. Orang itu terjengkang dan roboh pingsan, atau mungkin juga mati karena ketika digotong oleh kawan-kawannya, dia sama sekali tidak bergerak dan terkulai lemas!

Ketika Ci Kang menerima gillrannya, Hui Song memandang dengan alis berkerut. Sejak tadi dia sudah melihat pemuda ini dan dia merasa amat heran, bertanya-tanya dalam hati mengapa putera Si Iblis Buta itu berada di sini, bahkan menjadi seorang di antara jagoan suku utara! Akan tetapi karena pertandingan itu bukan urusannya, dia pun diam saja dan hanya menonton.

Dengan tombaknya, Ci Kang dengan mudah mengalahkan lawannya, akan tetapi berbeda dengan pemenang-pemenang terdahulu, lawannya dirobohkannya tanpa menderita luka apa pun, kecuall senjatanya runtuh dan lawan itu ditodong ujung tombak pada lehernya sehingga tidak mampu bergerak dan terpaksa mengaku kalah. Dan hal ini pun dilakukan sesudah dia membiarkan lawan menyerangnya sampai belasan jurus sehingga lawannya yang kalah itu tak sampai terlalu kehilangan muka seperti yang diderita mereka yang tadi kalah dalam satu gebrakan saja!

Sesudah semua jagoan dipertandingkan, akhirnya hanya tinggal satu orang yang belum kalah, yaitu raksasa Mongol, raksasa Mancu dan Ci Kang. Dua orang raksasa itu sudah memenangkan tiga kali pertandingan yang mereka selesaikan hanya lewat beberapa jurus saja, sedangkan Ci Kang memenangkan dua pertandingan.

Dan kini, menurut undian, dua orang raksasa itulah yang akan saling berhadapan. Tentu saja para penonton menjadi tertarik sekali karena sudah dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dua orang raksasa yang sama tangguhnya itu maju dan saling melawan!

Mereka berdua sudah melangkah maju, kakinya melangkah seperti kingkong, dengan dua lengan tegak terpentang, kedua kaki agak ditekuk, kepala ditundukkan dan mata mereka mengintai dari bawah alis mata yang tebal, mulut menyeringai seperti mulut orang hutan marah. Langkah mereka seperti menggetarkan bumi dan ketegangan semakin memuncak setelah akhirnya mereka saling berhadapan dalam jarak dua meter.

Agaknya mereka saling menilai dan menimbang keadaan lawan dengan pandangan mata mereka. Keduanya berdiri seperti patung yang menyeramkan, sedikit pun tidak bergerak. Tiba-tiba terdengar gerengan nyaring dan kaki bersepatu itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si raksasa Mongol. Demikian cepatnya kaki itu menyerang sehingga tak sempat dielakkan oleh raksasa Mongol yang lamban itu, tetapi raksasa itu memasang dadanya sambil mengerahkan tenaga sampai perutnya mengembung besar dan otot-otot menonjol di dadanya.

“Blukkk...!”

Hebat sekali benturan antara kaki dengan dada itu dan akibatnya, tubuh raksasa Mongol terdorong mundur hingga tiga langkah, akan tetapi tubuh si penendang itu pun terlempar ke belakang dalam jarak yang hampir sama!

Keduanya kini berdiri saling pandang dan tahulah mereka bahwa tenaga mereka sangat seimbang dan si raksasa Mancu juga tahu bahwa lawannya sungguh kebal, meski pun dia dapat menduga bahwa kekebalan itu hanyalah sebatas kulit saja dan tendangannya tadi setidaknya telah mengguncangkan isi dada lawan. Hal ini memang betul sebab si raksasa Mongol merasa betapa tendangan tadi menyesakkan napasnya, maka dia pun bersikap hati-hati sekali.

Ketika mereka maju kembali, si raksasa Mancu melancarkan serangan tendangan lagi. Akan tetapi kini lawannya menangkis bertubi-tubi dengan kedua lengan sehingga semua tendangannya gagal dan pada suatu saat, kaki kirinya berhasil dicengkeram oleh tangan kanan jagoan Mongol. Dengan tenaga yang besar, raksasa Mongol itu mengangkat tubuh lawan ke atas lalu diputar-putar dengan maksud akan dilemparkan atau dibantingkan.

Akan tetapi, dengan kaki kanannya jagoan Mancu itu berhasil menendang pundak kanan lawan sehingga cengkeramannya mengendur dan pada saat hampir dibanting itu, jagoan Mancu dapat melepaskan dirinya. Dia terbanting akan tetapi tidak terlalu keras sedangkan lawannya yang tertendang pundaknya juga terhuyung ke belakang. Sekarang keduanya terengah-engah dan berdiri saling pandang seperti dua ekor gajah yang sedang berlaga. Kemudian keduanya mengeluarkan teriakan-teriakan keras dan mereka saling menerjang ke depan dengan cepat.

“Bressss...!”

Keduanya bertumbukan, menggunakan kedua tangan dan kaki, juga dada untuk mengadu kekuatan dengan lawan. Kembali keduanya terjengkang! Mereka merangkak bangun dan melanjutkan pertandingan yang kini semakin seru bahkan mati-matian.

Jagoan Mancu masih mengandalkan tendangan-tendangan, yang disambut lawan dengan kekebalan dan kelincahannya sehingga setiap kali kena dicengkeram, dia selalu berhasil melepaskan diri, bahkan beberapa kali dia terbanting, akan tetapi dapat bangun kembali. Juga raksasa Mongol sudah beberapa kali kena terjangan sepasang kaki yang melakukan tendangan terbang, sampai terjengkang akan tetapi juga sanggup bangkit kembali. Sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah menyambut pertandingan yang hebat ini.

Pertandingan itu memang ramai sekali. Dua orang raksasa itu pukul-memukul, tendang-menendang, saling cengkeram dan berusaha merobohkan lawan mengandalkan kekuatan otot-otot tubuh yang melingkar-lingkar dan melindungi diri mereka masing-masing dengan kekebalan tubuh.

Mereka seperti dua ekor ayam jantan yang tak mengenal artinya menyerah. Dan agaknya mereka itu akan berkelahi terus sampai mati. Para penonton menjadi seperti binatang-binatang haus darah, ingin sekali melihat seorang di antara mereka roboh dan tewas!

Akan tetapi, pada waktu yang bersamaan tiba-tiba kepala suku Mongol dan kepala suku Mancu memasuki arena pertandingan dan masing-masing menyerukan kepada jagoan-jagoan itu untuk menghentikan perkelahian mereka. Dua orang raksasa itu mentaati dan mereka segera mundur, berdiri terengah-engah dan tubuh mereka yang kokoh itu basah oleh keringat.

“Kami sudah melihat cukup!” kepala suku Mongol berkata. “Kedua orang jagoan ini sama kuat dan kalau dilanjutkan, mungkin keduanya akan tewas. Hal ini tidak adil karena masih ada seorang jago lagi yang akan memperoleh kemenangan tanpa berkelahi kalau mereka berdua ini keduanya tewas.”

“Benar!” sambung kepala suku Mancu. “Biarlah jagoan ketiga maju dulu melawan seorang di antara mereka menurut undian, baru kemudian perkelahian antara dua orang jagoan ini dilanjutkan!” Agaknya kedua kepala suku itu merasa yakin bahwa jagoan ketiga itu tentu akan dapat dikalahkan dengan mudah.

Mendengar itu, Ci Kang sudah membisiki sahabatnya, Moghu Khali kepala suku Khin itu. Moghu Khali bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,

“Memang benar. yang tinggal hanya tiga orang jago. Agar adil, maka biarlah ketiga orang jago itu maju bersama, saling serang sampai tinggal seorang di antara mereka sebagai pemenang dan yang dua orang lagi roboh.”

Usul kepala suku Khin ini disetujui oleh semua orang. Tentu saja para penonton menjadi semakin gembira. Tadi mereka melihat orang muda berjubah kulit harimau itu pun cukup tangguh sehingga kalau tiga orang jagoan tangguh itu maju bersama dan saling serang, tentu mereka dapat menonton perkelahian yang sungguh menarik, seru dan mati-matian. Suasana menjadi semakin menegangkan.

Kini tiga orang jagoan itu telah maju ke tengah arena pertandingan. Ci Kang yang maklum akan kekuatan lawan dan juga kekebalan tubuh mereka, maju sambil menunggang kuda putihnya dan memegang tombak kong-ce yang bergagang panjang itu. Sikapnya tenang saja.

Sebenarnya dia tidak gentar apa bila harus menghadapi mereka dengan berjalan kaki dan bertangan kosong, akan tetapi dia tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya terlalu besar karena amatlah berbahaya kalau menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong, kecuali jika dia menggunakan ilmunya untuk membunuh mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Tetapi, justru dia sama sekali tidak ingin membunuh orang, apa lagi dalam suatu pertandingan adu kepandaian ini di mana dia hanya menjadi wakil kepala suku Khin yang menjadi sahabatnya.

Sementara itu, dua orang raksasa Mongol dan Mancu itu tadi telah menerima bisikan dari kepala suku masing-masing. Mereka memang cerdik. Mereka berdua itu maklum bahwa di antara mereka terdapat tingkat kekuatan yang seimbang dan meski pun masing-masing belum dapat menentukan kemenangan, akan tetapi setidaknya kesempatan mereka untuk menang adalah setengah bagian. Akan tetapi, apa bila seorang di antara mereka sampai dibantu oleh pemuda berbaju kulit harimau itu, maka yang dikeroyok akan celaka.

Karena itu, jalan satu-satunya bagi mereka adalah maju bersama mengeroyok pemuda berkuda itu dan sesudah pemuda itu roboh, hal yang mereka yakin akan dapat mereka lakukan dengan cepat bila mana mereka maju berdua, barulah mereka berdua akan dapat bertanding kembali untuk menentukan siapa yang lebih unggul.

Ci Kang sama sekali tak menyangka bahwa dia akan dikeroyok dan barulah dia tahu akan hal ini sesudah dua orang raksasa itu maju menghampirinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam dan wajah beringas. Ci Kang sama sekali tidak merasa gentar, akan tetapi diam-diam dia amat mengkhawatirkan kudanya, maka dia pun meloloskan kedua kakinya dari injakan agar kedua kakinya bebas.

Gerengan dari kanan kiri menandakan bahwa dua orang raksasa itu sekarang telah mulai menyerangnya. Raksasa Mongol itu menyerang dari kiri dengan kedua tangan menubruk seperti seekor harimau sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakinya telah mengirim tendangan ke arah perut Ci Kang.

Pemuda ini sudah siap siaga, menyambut tubrukan raksasa Mongol dengan tombaknya. Dia bukannya menusuk tubuh akan tetapi menggunakan ujung tombak yang dibalik, yaitu menggunakan gagang tombak, menusuk ke arah mata! Ini pun hanya gertakan saja, atau siasat untuk mencegah raksasa itu melanjutkan serangannya. Sementara itu, tendangan kaki raksaaa Mancu ke arah perutnya itu dia sambut dengan kaki kanannya.

“Dukkk...!”

Terdengar dua orang raksasa itu mengeluarkan seruan kaget bukan kepalang. Raksasa Mongol terkejut karena tiba-tiba saja ada ujung gagang tombak menyambar cepat ke arah matanya. Ia boleh mengandalkan kekebalannya, akan tetapi jika matanya dicolok dengan gagang tombak, tentu akibatnya celaka baginya. Maka tak ada jalan lain baginya kecuali membuang diri ke belakang dan bergulingan setelah mengeluarkan seruan kaget.

Ada pun raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakinya itu, begitu kakinya beradu dengan kaki pemuda itu, tubuhnya langsung terjengkang dan dia pun bergulingan sambil menahan rasa nyeri yang membuat tulang kering kakinya berdenyut-denyut panas!

Dua orang raksasa itu melompat bangun lagi dan suasana menjadi sunyi senyap karena semua penonton melongo ketika melihat betapa dalam gerakan pertama saja pemuda itu sudah berhasil membuat kedua orang raksasa yang mereka jagokan itu jatuh bergulingan! Bahkan orang-orang Khin sendiri yang mengajukan Ci Kang sebagai jagoan mereka, kini nampak terdiam dan melongo, terlalu heran dan kaget sehingga lupa untuk bersorak.

Bukan hanya karena ini saja, akan tetapi juga karena suku itu secara diam-diam merasa takut dan segan terhadap suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku-suku terbesar dan terkuat, maka melihat kepala suku mereka diam saja mereka pun tidak berani untuk bersorak sorai.

Sementara itu Ci Kang maklum bahwa jika dia menunggang kuda untuk menghadapi dua orang lawan yang ingin dia jatuhkan tanpa dibunuh, maka kudanya tentu akan terancam bahaya, dan agak sukarlah baginya untuk melindungi kuda itu. Maka begitu kedua orang itu melompat bangun, dia sudah meloncat dari atas kudanya.

Ci Kang sengaja meloncat dengan gaya lompatan ke atas, tinggi dan kemudian tubuhnya berjungkir balik beberapa kali di udara sebelum meluncur turun, didahului oleh tombaknya yang menancap di atas tanah kemudian Ci Kang berdiri tegak di atas tombak itu dengan sebelah kaki. Sedikit pun tubuhnya tidak bergoyang!

Tentu saja hal ini sangat mengagumkan para penonton dan orang-orang Khin tidak dapat lagi menahan kebanggaan dan kegembiraan hati mereka. Pada saat kepala suku mereka bertepuk tangan memuji, mereka pun lantas bersorak gembira sehingga suasana menjadi riuh kembali.

Nenek Yelu Kim terkejut sekali. Dia mendekati Sui Cin lantas berbisik, “Pemuda itu hebat sekali, apakah engkau sanggup menandinginya?”

Sui Cin juga melihat semua itu dan diam-diam kagum akan kelihaian Ci Kang. Akan tetapi kalau hanya ginkang seperti yang barusan dipertontonkan Ci Kang itu, dia masih sanggup menandinginya, bahkan mengatasinya.

“Harap subo jangan khawatir,” bisiknya kembali.

Sementara itu, Hui Song yang juga melihat Ci Kang bergaya, diam-diam merasa panas hatinya walau pun dia harus akui pula bahwa pemuda putera Iblis Buta itu agaknya telah mendapat kemajuan dan sekarang mungkin lebih lihai dari pada dahulu, hal yang sudah diduganya ketika Ci Kang muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ada timbul keinginan untuk mencoba kepandaian pemuda itu.

Namun hal itu tidak mungkin dilakukan di sini karena tentu akan mengacaukan pemilihan pimpinan itu dan dia tidak mau menyusahkan rombongan Lam-nong. Maka dia pun diam saja dan hanya menonton, sambil diam-diam sering kali melirik ke arah rombongan nenek Yelu Kim dan Sui Cin.

Dua orang raksasa itu sudah menjadi marah sekali karena dalam gebrakan pertama tadi mereka telah dibikin malu. Biar pun mereka tak terluka, akan tetapi mereka telah dipaksa roboh bergulingan. Maka kini, walau pun mereka juga terkejut melihat betapa pemuda itu memperlihatkan keringanan tubuh yang istimewa, mereka lalu berlari menerjang dengan marah.

Akan tetapi betapa kaget dan heran hati mereka ketika tiba-tiba saja pemuda itu lenyap bersama tombaknya dan mereka hanya menubruk tempat kosong, bahkan hampir saling pukul sendiri. Kalau saja mereka berdua itu tidak mempunyai siasat untuk terlebih dahulu merobohkan Ci Kang, tentu mereka sudah saling hantam sebab sekarang mereka saling berhadapan dekat sekali.

Akan tetapi keduanya sama sekali tidak melakukan hal ini, melainkan cepat membalik dan mencari Ci Kang. Ketika melihat pemuda itu berdiri tidak jauh di belakang mereka sambil melintangkan tombaknya, mereka pun cepat menyerbu lagi. Kini semua penonton maklum bahwa dua orang raksasa yang tadi saling banting-membanting itu tiba-tiba saja sudah bersatu untuk menghadapi dan mengeroyok pemuda berbaju kulit hatimau itu!

“Curang...!” Moghu Khali, kepala suku Khin itu mengomel akan tetapi tidak berani bicara keras.

Betapa pun juga, sesudah memasuki arena pertandingan, tiga orang itu bebas berkelahi dengan cara bagaimana pun juga. Dia hanya mengkhawatirkan keselamatan jagoannya sebab menghadapi pengeroyokan dua orang raksasa itu sungguh amat berbahaya sekali. Juga Sui Cin dan Hui Song menonton dengan hati tegang. Mereka juga dapat merasakan betapa berbahayanya keadaan Ci Kang sekarang.

Akan tetapi Ci Kang menghadapi mereka dengan sikap tenang-tenang saja. Pemuda ini pun bukan orang bodoh dan majunya ke tempat itu hanya untuk membantu Moghu Khali yang menjadi sahabatnya. Kalau dia mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, agaknya akan mudah baginya melawan dan menewaskan dua orang raksasa ini.

Akan tetapi dia tahu bahwa dengan melakukan hal ini tentu akan timbul iri dan penasaran dalam hati para kepala suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku yang terbesar dan kuat. Dan hal itu tentu akan membuat keadaan tak menguntungkan bagi Moghu Khali dan mungkin sekali akan dimusuhi.

Oleh karena itu dia mengambil keputusan untuk mencapai kemenangan setelah memberi muka kepada dua orang raksasa ini, yang berarti memberi muka pula kepada kepala suku masing-masing. Maka, ketika dua orang raksasa itu datang menyerbu kembali, dia hanya mengelak dan menangkis, mempergunakan kegesitannya untuk menghindarkan diri.

Terjadilah perkelahian yang kelihatannya saja seru dan menegangkan, akan tetapi bagi orang-orang pandai seperti Sui Cin dan Hui Song, nampak jelas bahwa Ci Kang sengaja mengalah dan belum pernah membalas. Dan mereka berdua ini pun setelah mengamati gerak-gerik kedua orang raksasa itu mendapat kenyataan bahwa dua jagoan tinggi besar itu hanya memiliki tenaga besar saja namun dalam hal ilmu berkelahi masih jauh kalah kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat Ci Kang.

Sesudah membiarkan dirinya dihujani serangan sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Ci Kang memutar-mutar tombaknya dan tombak itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar putih yang membungkus tubuhnya. Tubuh Ci Kang sendiri lenyap, hanya nampak kedua kakinya saja kadang-kadang menginjak tanah. Melihat ini, dua orang raksasa itu menjadi terkejut dan tentu saja merasa ragu-ragu karena mereka gentar untuk menerjang dinding yang terbuat dari gulungan sinar putih itu.

Ci Kang sama sekali tak berniat membunuh lawan. Dia memutar tombak itu hanya untuk menciptakan dinding sinar yang menutup tubuhnya, dan memang maksudnya adalah agar kedua orang lawan itu menghentikan serangan mereka.

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada saat kedua orang raksasa itu berdiri bimbang, tiba-tiba Ci Kang meloncat ke depan, menggunakan tombak yang dibalik untuk menotok kedua lutut raksasa Mancu yang ahli tendangan itu, dan berbareng tangan kirinya menampar ke arah tengkuk raksasa Mongol sambil mengerahkan tenaga sinkang.

Dua serangan yang dilakukukan Ci Kang ini sudah memakai perhitungan dan pemusatan tenaga, maka mengenai sasarannya secara tepat sekali. Dua orang raksasa itu langsung terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali!

Raksasa Mancu tertotok kedua lututnya dan kedua kakinya menjadi lumpuh, sedangkan raksasa Mongol yang tengkuknya kena dihantam dengan tangan kiri yang dimiringkan itu roboh pingsan. Ternyata kekebalannya tak mampu melindungi tengkuknya dari hantaman yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu.

Suasana kembali menjadi sunyi sebab untuk ke sekian kalinya semua orang tertegun dan melongo, hampir tidak percaya bahwa pemuda itu akan mampu mengalahkan dua orang jagoan raksasa yang mengeroyoknya itu dengan demikian mudahnya!

Ketika tadi Ci Kang memperlihatkan kepandaiannya, tidak pernah dapat dirobohkan oleh kedua orang penyerangnya, orang-orang mulai menjadi tegang dan mengira bahwa tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Akan tetapi siapa sangka pemuda itu akan mampu mengakhiri pertandingan itu sedemikian mudah dan cepat.

Akan tetapi Ci Kang tidak peduli dan dia sudah meloncat kembali ke atas punggung kuda putihnya sambil melintangkan tombaknya. Dengan gagah Ci Kang menjalankan kudanya berputaran di lapangan itu, tidak bersikap sombong melainkan menanti kalau-kalau masih ada jagoan lain yang akan maju menandinginya, sementara itu dua orang raksasa yang roboh telah digotong pergi oleh teman-temannya.

Setelah Moghu Khali mengangkat tangan bersorak, barulah anak buahnya berani bertepuk tangan dan bersorak kegirangan melihat betapa jagoan mereka mendapat kemenangan, dan tak lama kemudian hampir semua orang yang hadir di situ ikut bersorak menyambut kemenangan ini. Bagaimana pun juga, mereka itu adalah suku-suku bangsa yang selalu menghargai kegagahan dan melihat kehebatan Ci Kang, mereka merasa kagum sekali.

Melihat sikap semua orang ini, Moghu Khali berbesar hati untuk menuntut haknya, yaitu menjadi pimpinan karena jagoannya telah keluar sebagai pemenang. Dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangan ke atas, kemudian berseru dengan suara lantang.

“Seperti saudara sekalian menyaksikannya, jagoan yang kami ajukan telah menjadi juara dan mengalahkan semua jagoan lainnya, oleh karena itu...”

“Tunggu dulu...!” Suara nenek Yelu Kim melengking dan mengatasi semua suara sehingga semua orang menengok kepadanya.

Nenek ini telah bangkit berdiri pula, kemudian mengebut-ngebutkan hud-tim di tangannya. Karena nenek ini dikenal sebagai orang yang disegani bahkan ditakuti, dan juga nasehat-nasehatnya selalu ditaati oleh para suku bangsa di daerah utara karena nasehat-nasehat itu memang amat baik dan tepat, maka kini semua orang memandang dan menanti apa yang akan dikatakan oleh nenek itu.

“Saudara sekalian harap tenang dulu. Aku sendiri masih mempunyai seorang jagoan, dan aku berhak mengajukan jagoku, setidaknya untuk menguji sampai di mana kemampuan jagoan dari saudara-saudara suku Khin itu!”

Tiba-tiba terdengar suara auman harimau yang menggetarkan jantung dan dari belakang rombongan nenek Yelu Kim melompatlah keluar seekor harimau besar yang ditunggangi oleh seorang bertubuh kecil ramping yang muka dan kepalanya ditutupi dengan kain hitam sebagai kedok. Hanya sepasang matanya yang mencorong itu saja yang kelihatan dari lubang pada kain hitam itu. Orang ini menunggang harimau bagaikan menunggang kuda saja, tanpa pelana, dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki lebih.

“Harimau Terbang...!” Terdengar orang berbisik-bisik dengan mata terbelalak, dan mereka memandang dengan gentar.

Hui Song yang semenjak tadi memandang ke arah rombongan nenek Yelu Kim di mana terdapat pula Sui Cin, sekarang ikut terbelalak juga sebab tadi dia hanya melihat gadis itu menyelinap lenyap di antara rombongan nenek itu, lantas kini muncul orang menunggang harimau dan Sui Cin tidak nampak pula. Biar pun orang itu menyembunyikan kepala dan mukanya di balik kedok kain sutera hitam, akan tetapi dia mengenal perawakannya dan juga tadi Sui Cin memakai pakaian seperti yang kini dipakai penunggang harimau itu.

Saking herannya Hui Song hanya memandang saja. Apa artinya semua ini, pikirnya. Sui Cin maju sebagai jagoan dari nenek Yelu Kim pemimpin perkumpulan rahasia Harimau Terbang, bahkan kini Sui Cin memakai kedok dan menunggang harimau!

Ci Kang juga terkejut sekali melihat munculnya orang yang menunggang harimau itu. Dari Moghu Khali, dalam percakapan mereka, dia telah mendengar akan nenek Yelu Kim yang disegani itu, juga bahwa nenek itu memimpin sebuah perkumpulan rahasia yang bernama Harimau Terbang dan nenek itu bertindak sebagai penasehat dan pengawas para suku di utara.

Kini, melihat munculnya penunggang harimau itu, dia bersikap tenang tetapi waspada. Dia tahu bahwa penunggang harimau itu seorang wanita, dan kalau seorang wanita sudah mampu menunggang harimau dengan gerakan seperti itu, tentulah wanita itu lihai sekali.

Akan tetapi calon lawannya itu agaknya tak memberi banyak waktu baginya untuk berpikir dan melamun. Dengan lompatan-lompatan jauh, harimau itu sudah datang mendekat dan Ci Kang sudah siap siaga dengan tombaknya.

“Lihat serangan!” Mendadak penunggang harimau itu membentak dan harimau itu sudah melompat, menerkam ke arah Ci Kang beserta kudanya, sedangkan penunggangnya juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah mata Ci Kang!

Sungguh hebat bukan main serangan itu dan melihat kenyataan betapa orang ini memberi peringatan dulu sebelum menyerang, dalam bahasa Han yang tidak kaku, Ci Kang dapat menduga bahwa orang di balik kedok sutera hitam itu tentulah seorang pendekar wanita dari selatan! Menghadapi serangan maut itu, yang amat berbahaya bagi dirinya dan juga kuda yang ditungganginya, Ci Kang bergerak cepat. Tangan kirinya segera diangkat ke atas menangkis tusukan tongkat.

“Dukkk...!”

Tangan kirinya yang kuat itu bertemu dengan tongkat sehingga tongkat itu terpental, akan tetapi Ci Kang juga merasa betapa lengan kirinya tergetar. Pada saat itu dia pun harus menyelamatkan kudanya, maka dia menggerakkan tombaknya menangkis dua kaki depan harimau yang menerkam itu.

“Bressss...!”

Dua kaki harimau itu tertangkis dan tombaknya segera dilanjutkan menusuk dada harimau yang masih melompat itu.

“Dukkk...!”

Kini ujung tombaknya ditangkis dengan tendangan wanita penunggang harimau! Ci Kang terkejut sekali. Sungguh hebat gerakan wanita itu dan kini harimau itu sudah menyerang lagi dengan cepat setelah tadi meloncat turun, membalik dan mengaum.

Ci Kang terpaksa memutar tombaknya untuk melindungi dirinya sendiri dan juga kudanya. Dan binatang tunggangannya itu menjadi panik, mengangkat kaki depan ke atas sambil meringkik-ringkik ketakutan, juga meronta-ronta. Hal ini sungguh membahayakan dirinya dan hampir saja pundaknya terkena pukulan tongkat.

Jika dilanjutkan begini, menunggang seekor kuda yang ketakutan, tentu akhirnya dia akan celaka, pikirnya. Maka Ci Kang lalu meloncat turun dari atas kudanya dan begitu kuda itu merasa terbebas dari kendali, dia pun meringkik dan melarikan diri ketakutan!

Kini Ci Kang berdiri di atas tanah, bersiap dengan tombaknya. Dia merasa penasaran dan marah, apa lagi mendengar wanita itu tertawa lirih dari balik kedoknya. Engkau curang, pikirnya, mengandalkan harimau itu untuk membikin takut kuda. Maka, melihat harimau itu kembali menubruk, dia pun memapakinya dengan tusukan tombaknya yang panjang.

“Tranggg...!”

Ujung tombak tertangkis oleh tongkat baja dan keduanya merasa betapa masing-masing mempunyai tenaga sinkang yang sama kuat. Akan tetapi Ci Kang tidak mau memberi hati dan dia pun memutar tombaknya, mendesak dan ujung tombaknya melakukan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh harimau!

Maka repotlah penunggang harimau itu yang harus melindungi tubuh harimaunya dengan tangkisan-tangkisan, yang membuat tubuhnya kadang-kadang membungkuk ke sana-sini. Karena senjata di tangan Ci Kang jauh lebih panjang, maka mudah bagi pemuda itu untuk menghujankan serangan.

Apa bila dia menujukan serangannya kepada penunggang harimau itu, tentu lebih mudah bagi lawannya untuk melindungi dirinya dan harimau itu akan merupakan bahaya baginya. Akan tetapi karena dia menujukan serangan-sarangannya kepada tubuh harimau, maka sebaliknya penunggang harimau itu yang repot bukan main karena harus menyelamatkan binatang tunggangannya dari tusukan tombak.

Wanita penunggang harimau itu tentu saja Sui Cin orangnya. Seperti yang kita ketahui, ia telah dipilih oleh Yelu Kim untuk menjadi murid dan pembantunya. Sui Cin merasa hutang budi kepada nenek itu yang sudah menyembuhkannya, bukan saja dari pengaruh racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li kepadanya, melainkan nenek Yelu Kim itu juga sudah menyembuhkannya dari penyakit hilang ingatan. Dan kini, atas perintah Yelu Kim, ia maju menghadapi Ci Kang sambil menunggang harimau.

Memang benar bahwa harimau itu sudah merepotkan Ci Kang dan membuat pemuda itu terpaksa turun dari kudanya yang ketakutan. Akan tetapi setelah kini pemuda itu tidak lagi menunggang kuda dan menghadapinya di atas tanah dengan tombaknya, keadaannya kini menjadi terbalik.

Sui Cin kini menjadi kerepotan sekali, harus melindungi harimaunya. Ia merasa penasaran dan marah, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali lalu meluncur turun menyerang Ci Kang dari udara. Tongkat baja di tangannya diputar dan menghantam ke arah kepala pemuda itu.

Ci Kang terkejut dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Tongkat bertemu dengan tombak, nampak bunga api berpijar dan keduanya terdorong ke belakang. Sui Cin berjungkir balik lagi dan turun ke atas tanah.

“Houw-ji, mundurlah!” Ia berkata kepada harimau itu yang kemudian mengeluarkan suara menggereng, meringis memperlihatkan taringnya, akan tetapi agaknya binatang ini sudah mengenal dan mentaati suara Sui Cin. Dia pun mundur mendekat nenek Yelu Kim yang segera mengelus-elus kepalanya.

Kini Ci Kang berhadapan dengan Sui Cin. Keduanya berdiri tegak dan sama-sama tidak menunggang apa-apa lagi.

“Hemm, kini engkau tidak dapat mengandalkan kegalakan macan itu!” Ci Kang mengejek, diam-diam merasa kagum dan menduga-duga siapa adanya wanita perkasa bangsa Han yang menjadi kaki tangan nenek Yelu Kim ini.

“Lihat serangan!” Sui Cin membentak marah dan tidak melayani ejekan Ci Kang, tongkat di tangan menyambar ganas.

Akan tetapi sambil tersenyum Ci Kang menggerakkan tombaknya dan menangkis dengan mudah, lantas balas menyerang, menyapukan tombaknya ke arah kaki lawannya. Namun sapuan tombak itu pun dapat dielakkan dengan sangat mudahnya oleh Sui Cin, dengan cara meloncat ke atas.

Melihat gerakan loncatan ke atas lalu tongkat di tangan itu langsung menusuk dari atas, diam-diam Ci Kang merasa kagum juga. Bukan main wanita ini, pikirnya, memiliki ginkang yang amat hebat sehingga dia harus berhati-hati sekali karena ginkang sehebat ini dapat mendatangkan kesukaran baginya. Maka dia pun menggerakkan tombaknya, melindungi dirinya dengan amat kuat, terus memutar tombak itu sehingga membentuk lingkaran dari gulungan sinar.

Sui Cin yang mengenal Ci Kang dan mengetahui pula bahwa putera datuk sesat Si Iblis Buta ini memang lihai sekali, tidak merasa gentar dan dia pun mengandalkan ginkang-nya untuk mengimbangi kecepatan gerakan tombak. Segera terjadilah serang-menyerang dan pertandingan yang seru ini membuat semua penonton menjadi gembira.

Betapa pun juga, jago yang diajukan oleh suku Khin itu adalah orang Han, dan mereka pun tidak tahu siapa adanya jago Harimau Terbang yang diajukan oleh nenek Yelu Kim, maka mereka pun sukar menentukan siapakah yang mereka dukung. Akan tetapi melihat betapa kedua orang itu berkelahi dengan amat cepat, perkelahian dengan ilmu silat yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya, mereka menjadi kagum dan gembira sekali,.

Akan tetapi, setelah Ci Kang mengerahkan tenaga sinkang-nya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya, Sui Cin terkejut sekali. Tadinya dia merasa yakin akan sanggup mengatasi pemuda itu mengingat bahwa selama tiga tahun ini ia digembleng oleh Wu-yi Lo-jin. Akan tetapi siapa kira agaknya pemuda itu pun selama ini sudah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga kini dia sama sekali tidak mampu mendesaknya, apa lagi mengatasinya.

Bahkan dia mulai terdesak karena tenaganya kalah kuat biar pun dalam hal kecepatan dia masih lebih unggul. Akan tetapi keunggulan dalam ginkang ini pun dapat ditutup oleh Ci Kang dengan gerakan tombaknya yang luar biasa cepatnya. Tentu saja Sui Cin tidak tahu bahwa seperti juga ia sendiri, pemuda itu menerima gemblengan hebat selama tiga tahun oleh Cui-sian Lo-kai!

Nenek Yelu Kim juga melihat betapa murid atau pembantunya itu sama sekali tak mampu mendesak pemuda baju kulit harimau yang amat lihai itu, walau pun muridnya juga tidak dapat dibilang kalah karena keduanya agaknya mempunyai kepandaian yang seimbang.

Akan tetapi ia merasa khawatir kalau-kalau Sui Cin kalah. Ia tidak boleh kalah. Kekalahan muridnya itu berarti akan menghancurkan nama besar Harimau Terbang, sekaligus akan meruntuhkan namanya pula sebagai orang yang yang paling disegani di antara suku-suku di utara.

Terutama sekali, kekalahan Sui Cin berarti kegagalannya pula untuk memegang tampuk pimpinan di antara para suku yang akan berjuang untuk menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan! Maka, diam-diam nenek ini duduk bersila lantas mengerahkan semua tenaga batinnya, mulutnya berkemak-kemik dan dia mulai mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membantu Sui Cin.

Mendadak terjadilah perubahan dalam perkelahian itu. Beberapa kali Ci Kang terhuyung dan kelihatan betapa dia keheranan dan kebingungan, kadang-kadang mempergunakan tombaknya untuk menangkis ke kanan, kiri atau belakang, padahal dari ketiga jurusan itu tidak ada sesuatu yang menyerang dirinya. Memang dia merasa seperti ada angin-angin pukulan menyambar dari jurusan-jurusan ini sehingga dia cepat menangkis, namun selalu hanya menangkis angin kosong saja.

Karena itu, tentu saja Sui Cin memperoleh kesempatan untuk mendesaknya. Gadis ini merasa seolah-olah lawannya menghadapi pengeroyokan. Sejenak dia sendiri pun heran melihat perubahan pada lawannya.

Akan tetapi dia pun segera teringat kepada nenek Yelu Kim yang pandai sihir dan dapat menduga bahwa tentu nenek itu yang membantunya dengan kekuatan sihir. Hal ini malah membuat dia merasa jengkel dan marah. Dia belum lagi kalah dan tak akan kalah, maka sungguh memalukan kalau harus menghadapi Ci Kang dengan pengeroyokan.

Kemarahan ini yang membuat Sui Cin bertindak sambrono. Karena merasa marah, dia lalu menumpahkan kemarahannya kepada lawan di depannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking keras lantas tangan kirinya bergerak ke depan. Nampak cahaya merah disusul teriakan Ci Kang yang kaget dan kesakitan lalu tubuh pemuda itu pun terjengkang keras, roboh dan tidak bergerak lagi karena dia telah pingsan!

Kiranya, dalam kemarahannya itu Sui Cin telah mempergunakan senjata rahasianya yang ampuh, yang diajarkan ibunya kepadanya. Senjata rahasia itu berupa jarum-jarum halus berwarna merah harum dan beracun! Inilah senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh golongan hitam dan hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa ibu gadis itu, Toan Kim Hong, dahulunya selama bertahun-tahun pernah terkenal sebagai Lam-sin, seorang datuk sesat dari selatan!

Setelah melihat lawannya menggeletak dengan muka pucat dan pingsan, barulah Sui Cin memandang dengan mata terbelalak, merasa amat menyesal mengapa dia menggunakan senjata rahasia yang bahkan oleh ibunya sendiri dia sudah dilarang untuk sembarangan dipergunakan. Dan dalam penyesalannya ini, Sui Cin sampai berdiri terbelalak dan seperti orang kehilangan akal, diam saja ketika melihat beberapa orang Khin langsung maju dan menggotong tubuh Ci Kang yang masih pingsan.

Sorak-sorai gegap gempita menyambut kemenangan Sui Cin. Sekarang terdengar suara nenek Yelu Kim yang melengking nyaring mengatasi semua suara sehingga orang-orang menjadi tenang mendengarkan.

“Saudara-saudara sekalian yang tercinta. Para dewata sudah berkenan menentukan kami sebagai pemenang dan pimpinan. Para jagoan tadi merupakan tenaga-tenaga yang amat baik untuk membantu perjuangan kita, juga pemuda berbaju kulit harimau itu agar dirawat sebaiknya. Sekarang kita beristirahat dulu sambil mempersiapkan diri untuk malam nanti mengadakan pertemuan rapat besar. Jagoku sudah menang, berarti kami berhak menjadi pimpinan kalian yang akan membimbing kalian melakukan perjuangan dengan berhasil. Apakah ada yang tidak setuju dan ada yang masih hendak mengajukan jago baru?”

Semua orang menyatakan setuju. Kalau masih ada yang merasa penasaran, mereka pun tidak berani bicara terus terang, karena mereka semua merasa segan dan takut kepada nenek Yelu Kim. Apa lagi kini nenek itu mempunyai seorang jago yang demikian lihainya, sehingga melawan pun tidak akan menang.

Akan tetapi, di antara para kepala suku, ada pula beberapa yang diam-diam merasa tidak setuju jika perjuangan mereka itu dipimpin oleh seorang wanita, sudah nenek-nenek pula. Semenjak dahulu, perjuangan bangsa mereka itu dipimpin oleh orang laki-laki yang gagah perkasa, bukan oleh seorang nenek tua renta. Hal ini sungguh menyinggung rasa harga diri dan kejantanan mereka.

Akan tetapi, sedikit kepala suku itu, termasuk Lam-nong kepala suku Mancu Timur, tidak berani berterus terang, hanya mereka sudah merasa kehilangan gairah untuk melanjutkan perjuangan menyerbu ke selatan kalau dipimpin oleh seorang nenek tua. Dan diam-diam kelompok-kelompok yang tidak setuju ini pun lalu pergi meninggalkan tempat itu, tak ingin menghadiri rapat yang dipimpin oleh nenek itu. Juga Lam-nong mengajak rombongannya untuk kembali ke timur dan tidak mau mencampuri pemberontakan.

Sui Cin baru sadar ketika lengannya dipegang nenek Yelu Kim yang mengajaknya untuk mengundurkan diri. Melihat wajah muridnya yang nampak agak pucat dan penuh dengan penyesalan, nenek itu berbisik,

“Engkau kenapakah, Sui Cin? Engkau sudah menang, dan aku sangat berterima kasih kepadamu. Lawanmu itu sungguh lihai sekali. Akan tetapi kenapa engkau tidak kelihatan senang, sebaliknya kelihatan muram? Apakah kemenanganmu itu tidak menggembirakan hatimu?”

Sui Cin menggeleng kepala. “Tidak, sama sekali tidak menggembirakan hatiku.”

Mendengar ini, nenek Yelu Kim terkejut dan dia pun menggandeng tangan muridnya, lalu muridnya itu diajaknya memasuki tendanya yang sunyi menyendiri dan di sini dia bicara dengan wajah serius dengan gadis itu.

“Nah, anak yang baik, sekarang ceritakan mengapa engkau begini muram dan mengapa kemenangan itu tidak menggembirakan hatimu?”

“Subo, aku telah kesalahan tangan kepada Siangkoan Ci Kang...”

“Siangkoan Ci Kang? Siapakah itu?”

“Jagoan suku Khin tadi.”

“Ahh, jadi engkau sudah mengenalnya? Dia... sahabatmu?”

Sui Cin menggelengkan kepala. “Bukan, bahkan dapat dibilang musuh karena dia pernah menjadi tokoh golongan hitam. Akan tetapi, subo, dia pernah menolongku, aku berhutang budi kepadanya dan tadi, karena aku merasa penasaran, aku... aku telah merobohkannya dengan jarum merah beracun yang amat berbahaya...”

Nenek itu mengangguk-angguk. Sepasang matanya yang mencorong itu menatap wajah muridnya penuh selidik, dan mendadak dia memegang lengan gadis itu. “Sui Cin, apakah engkau... cinta padanya?”

Tiba-tiba saja wajah dara itu berubah merah sekali dan dia memandang nenek itu dengan mata terbelalak. “Tidak, subo, kenapa subo bertanya dan menduga demikian?”

Nenek itu menarik napas panjang lantas dia pun menundukkan mukanya. “Karena orang hidup harus ada cinta di hatinya, anak baik. Tiadanya cinta dalam hati berarti orang hidup dalam neraka, dalam kesengsaraan, dalam kesepian, seperti aku ini...”

Sui Cin semakin heran dan sekarang dia bengong memandang nenek itu yang tiba-tiba saja menangis! Tangisnya sungguh menyedihkan, kedua pundaknya terguncang-guncang, mukanya disembunyikan di balik jari-jari tangan itu, dan suara tangisnya terdengar sampai sesenggukan.

Sui Cin hampir tidak percaya melihat semua ini. Nenek Yelu Kim yang biasanya demikian penuh wibawa dan semangat, yang biasanya begitu tabah dan tegas, sekarang menangis seperti anak kecil! Sebagai seorang wanita yang biasanya amat peka dalam menghadapi kesedihan dan tangis wanita lain, Sui Cin menahan air matanya dari kedua mata yang sudah terasa panas itu dan dia pun memegang kedua lengan nenek itu.

“Subo, ada apakah? Kenapa subo menangis?”

Sampai lama nenek itu tidak dapat menjawab, hanya terisak-isak sambil kadang-kadang mengusap air matanya yang bercucuran. Akhirnya dapat juga dia menguasai dirinya dan tangisnya terhenti, hanya tinggal isak yang kadang-kadang saja. Ia mengeringkan semua bekas air mata dengan sehelai sapu tangan, lalu memandang wajah dara itu dengan mata yang merah bekas tangis.

“Maafkan aku, Sui Cin, baru sekarang aku mendapat kesempatan menumpahkan semua rasa duka di hatiku di depan seseorang. Ini merupakan yang pertama dan terakhir, walau pun kalau sedang sendirian, terutama sekali sebelum tidur, aku lebih sering menangis dari pada tidak.”

“Akan tetapi, mengapa demikian subo? Subo adalah seorang yang sakti, yang berwibawa dan berpengaruh, malah kini telah berhasil menjadi pimpinan para suku untuk melakukan gerakan perjuangan, akan tetapi mengapa subo berduka?”

“Karena aku takut!”

Jawaban ini makin mengherankan hati Sui Cin. “Takut? Subo...? Ah, bagaimana mungkin subo mengenal takut? Takut apakah?”

“Aku takut, Sui Cin. Sungguh, aku menggigil dan jantungku berdebar hampir copot kalau aku membayangkan. Aku takut... takut akan kematian...”

“Ehh? Takut akan kematian?”

“Aku takut, Sui Cin. Bagaimana nanti kalau aku sudah mati? Usiaku sudah amat tua dan hari kematianku tentu tidak lama lagi. Aku tahu bahwa kematian tidak dapat dihindarkan, bahwa semua manusia hidup pada suatu ketika pasti mati. Akan tetapi aku takut, karena bagaimana kalau aku tidak hidup lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kedudukanku? Ahh, kalau saja aku dapat melihat apa yang terjadi sesudah mati! Sudah banyak ilmu kupelajari, banyak tempat kujelajahi, namun aku belum berhasil memperoleh ilmu untuk menjenguk keadaan sesudah mati. Aku takut, Sui Cin... aku takut...”

Sui Cin duduk diam termenung, alisnya berkerut. Ia sendiri belum pernah berpikir tentang kematian, bahkan sampai saat ini pun dia tidak pernah peduli akan hal itu. Akan tetapi dia tidak pernah merasa takut sungguh pun dia sendiri juga tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Akan tetapi dia tidak takut!

Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, akan tetapi oleh kebanyakan dari kita, tidak peduli tua atau pun muda, kaya atau pun miskin, tinggi atau pun rendah kedudukannya. Bahkan rasa takut ini lebih banyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan dipuja.

Sesungguhnya, kenapa bisa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hilang apa bila kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati? Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka!

Bagaimana bisa kita takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan sesuatu yang sudah kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi. Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi, karena rasa takut sebenarnya merupakan akibat dari permainan pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum terjadi, pikiran yang mengada-ada.

Rasa takut muncul karena kita tidak mau kehilangan hal-hal yang dapat menyenangkan kita, hal-hal yang telah mengikat batin kita, seperti keluarga, kekayaan, kedudukan atau nama besar dan sebagainya. Kita takut kehilangan semua ini kalau kita mati, kita takut kelak akan merasa kesepian karena tidak adanya semua yang kita cinta itu, cinta yang mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin disenangkan.

Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu semua. Andai kata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itu pun tidak akan pernah ada!

Karena itu, dapatkah kita terbebas dari pada ikatan? Sehingga dengan bebas dari ikatan kita tidak akan tercekam oleh rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh perpisahan dan kehilangan, sehingga tak akan menderita kesengsaraan, kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup?

Kita semua tahu bahwa kematian tidak akan dapat dihindarkan. Berarti bahwa perpisahan dengan apa dan siapa pun juga tidak mungkin dapat dielakkan pula. Sekali waktu pasti perpisahan itu akan terjadi, entah kita yang ditinggalkan ataukah kita yang meninggalkan. Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini, maka jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut sebelum terjadi perpisahan adalah kebebasan. Bebas dari ikatan.

Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita akan pecah berdarah.

Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga serta harta milik, meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke pinggir laut yang sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya menyingkir di puncak gunung apa bila hati masih terikat? Hanya sengsara yang akan dirasakan!

Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah memang kita mempunyai isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda, kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri sendiri, tidak terikat oleh apa pun juga. Bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak mencinta.

Justru cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin senang, tentu saja kesenangan untuk diri sendiri. Karena ingin senang, maka segala yang dapat menyenangkan diri sendiri hendak dimiliki selamanya, sehingga timbullah ikatan.

Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-apa maka tidak akan kehilangan apa pun.

Orang yang berduka karena kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apa pun yang langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja, atau seperti juga barang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh Sang Pemilik Abadi.

Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan apa pun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini sudah menjadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih.

Tidak semua orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang dianggap dan merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu oleh ikatan-ikatan. Seperti juga nenek Yelu Kim, walau pun dia pandai dan berkedudukan tinggi, namun dia belum mampu membebaskan diri dari ikatan sehingga timbullah rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut kehilangan segala yang mengikatnya itu.

Sui Cin memandang wajah nenek itu yang kini menjadi agak pucat dan membayangkan kedukaan. “Subo, aku sendiri tidak takut terhadap kematian. Aku tidak mengerti tentang kematian, perlu apa aku takut? Biarlah kuserahkan hidup dan matiku kepada Thian yang Maha Kuasa.”

Nenek itu kini dapat tersenyum, lantas mengangguk. “Aku pun sudah berusaha berbuat demikian, akan tetapi hatiku selalu masih meragu, Sui Cin. Sudahlah, hatiku sudah mulai tenang, dan aku teringat kepada pemuda perkasa itu. Sui Cin, apakah engkau merasa menyesal setelah melukainya dan apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Aku bingung, subo. Jarum-jarum merah itu beracun dan berbahaya sekali, padahal aku sudah kehilangan bekal obat penawarnya. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat yang tepat, dan sampai tewas oleh jarum-jarumku, sungguh aku merasa menyesal bukan main. Di antara kami tidak ada permusuhan, bahkan aku berhutang nyawa kepadanya...”

Sui Cin tidak mau menceritakan bahwa pemuda itu menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih hebat dari pada nyawa, yaitu ketika dia hampir diperkosa oleh Sim Thian Bu, jai-hwa-cat yang menjadi saudara seperguruan sendiri dari Ci Kang.

Nenek itu tersenyum. “Jangan khawatir, muridku. Tidak percuma engkau menjadi murid Yelu Kim! Coba keluarkan jarum merahmu, setelah mengenal macam racunnya, kiranya aku akan dapat memberikan obat penawarnya.”

Giranglah hati Sui Cin dan dia cepat mengeluarkan beberapa batang jarum merah halus kepada nenek itu. Yelu Kini menerima jarum-jarum itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya untuk mempelajari racunnya tanpa gangguan. Tidak lama kemudian, nenek itu sudah keluar membawa obat penawarnya!

“Campur bubukan ini dengan secawan arak lalu minumkan padanya, maka dia pasti akan sembuh. Kalau dia masih lemah, masak akar ini dengan nasi lalu beri dia makan, tentu kesehatannya akan pulih sama sekali.”

Dengan hati kagum terhadap kelihaian nenek itu dan juga dengan girang Sui Cin segera menerima bungkusan dua macam obat itu. Akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan bertanya, “Subo, bagaimana aku dapat memberikan obat-obat ini kepadanya?”

Yelu Kim tersenyum lebar. “Anak bodoh, apa sukarnya hal itu? Ingat, aku sudah menjadi pemimpin mereka. Apa sukarnya bagimu untuk mengunjungi pemuda itu di perkemahan orang-orang Khin? Nah, kau bawalah ini dan perlihatkan apa bila ada yang menghalangi kunjunganmu,. Katakan bahwa aku yang mengutusmu untuk mengobati pemuda itu.”

Sui Cin lalu menerima sebuah lambang berupa seekor harimau terbang dari nenek itu. Ia memandang kagum. Ia sudah mengetahui bahwa gurunya adalah pemimpin Perkumpulan Herimau Terbang yang ditakuti oleh para suku utara, akan tetapi baru sekarang ia melihat lambang perkumpulan itu. Dia mengantongi obat-obat berikut lambang itu, lalu memberi hormat kepada Yelu Kim.

“Terima kasih atas bantuan subo sehingga aku mendapat kesempatan untuk membalas budi Siangkoan Ci Kang dan menebus kesalahanku telah melukainya.”

“Berangkatlah sekarang, perkemahan orang-orang Khin berada di ujung barat. Malam ini semua kepala suku berkumpul untuk mengadakan rapat seperti yang kuperintahkan tadi, jadi engkau mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengobati dan merawatnya tanpa banyak gangguan.”

Tepat seperti yang dikatakan nenek itu, ketika Sui Cin berkunjung ke perkemahan suku Khin, begitu dia dikenal sebagai murid nenek Yelu Kim yang dapat menunjukkan lambang Harimau Terbang, dia pun diterima dengan gembira dan penuh hormat. Apalagi ketika dia menyatakan maksud kunjungannya adalah untuk mengobati Siangkoan Ci Kang, Moghu Khali sendiri menyambutnya dan mengantarkannya ke dalam kamar Ci Kang.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.