KEADAAN Ci Kang amat menyedihkan. Pemuda itu sedang rebah terlentang di atas sebuah pembaringan, hanya memakai sepatu dan celananya saja. Tubuh atasnya telanjang, tapi tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya terpejam dan dia masih pingsan.
“Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?” tanya kepala suku itu dengan khawatir.
Sui Cin tersenyum. “Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya.”
Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan suara ragu-ragu. “Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?”
Sui Cin tidak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk.
“Ahhh...!” Seru Moghu Khali dengan takjub.
Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali dia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang tadi telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini.
“Sungguh beruntung hari ini aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona,” katanya sambil memberi hormat.
Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.
“Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya.”
“Baiklah, silakan nona,” Moghu Khali memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu.
Kepada pelayan yang dapat pula berbahasa Han biar pun tidak lancar itu, Sui Cin minta disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam kamar itu. Sesudah semua ini tersedia, dia pun menyuruh pelayan wanita meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamar menjadi segar.
Sui Cin memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah, tanpa disadarinya dia melihat dan meraba dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Belum pernah dia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan agak menghitam.
Dikeluarkannya obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, lalu dicampurnya obat itu dengan secawan arak. Dengan hati-hati dia menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda itu dan sesudah mulut terbuka, perlahan-lahan dia menuangkan arak obat itu ke dalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.
Sesudah semua arak obat di dalam cawan itu pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sinkang untuk menyedot racun. Lambat laun dia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin panas sehingga dia hampir tidak tahan.
Akan tetapi Sui Cin bertahan terus mengerahkan sinkang-nya sampai akhirnya ia merasa betapa telapak tangannya yang menempel pada di Ci Kang itu menjadi basah dan ketika dia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah. Kiranya darah sudah dapat disedot dari luka-luka kecil itu dan dia tahu bahwa ini bukan hanya karena tenaga sinkang-nya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar racun yang kini mulai bekerja dengan cepatnya.
“Uhhhh...!” Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak-gerak dan pemuda ini mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak tangannya dari dada pemuda itu.
Sepasang mata itu kini perlahan-lahan terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas. Akan tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandangan matanya bertemu dengan wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak, mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang bermimpi. Apa lagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu.
Inilah puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya, dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri pada dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik hatinya itu!
Dan sekarang gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar dari sepasang telapak tangan itu dia pun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha untuk menyembuhkannya! Dia pun lantas teringat bahwa dia roboh karena menjadi korban serangan jarum halus yang harum dan merah.
“Kau... kau nona Ceng... kau... mengobati aku...?” tanyanya dengan suara berbisik dan dia merasa betapa tubuhnya lemah sekali.
“Diamlah, jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!”
Sui Cin melepaskan sepasang tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah kehitaman pada kedua telapak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin lalu mencuci kedua tangannya. Obat dari nenek itu telah bekerja dan dia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.
“Tapi... mengapa... bagaimana engkau dapat berada di sini, nona? Dan mengapa engkau bersusah payah mengobati orang macam aku?” Ada rasa haru menyelinap di dalam hati Ci Kang. Sama sekali dia tidak pernah bermimpi bahwa seorang nona seperti Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.
“Ci Kang, apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah dahulu engkau pernah pula menolongku? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan aku gembira sekali sudah berhasil. Racun jarum itu sungguh berbahaya sekali dan tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu.”
“Engkau benar-benar lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih mempunyai keahlian mengobati luka beracun.”
“Ahh, tak perlu kau memuji,” kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan mempergunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang. “Aku dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya jarum-jarumku sendiri.”
Pemuda itu terkejut sekali. “Kau...? Jadi engkaukah penunggang harimau itu, nona? Ahh, sungguh tak kusangka sama sekali. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada di sini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!”
“Aku sendiri pun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Dahulul aku pernah diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Pada waktu melihat engkau juga menjadi jagoon, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk maju dan menghadapimu.”
“Dan aku roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona.”
“Sudahlah, pujianmu bahkan membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan jarum-jarum itu sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkaulah yang lihai sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini, tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi jagoan-jagoan mereka.”
Ci Kang menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan merasa berduka. “Ahhh, semua ini adalah gara-gara ayahku. Kalau tidak karena ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini, bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini.” Suara Ci Kang mengandung penuh penyesalan.
“Ahh, kenapa engkau menyalahkan ayahmu?” Sui Cin bertanya heran.
Kembali pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran kenapa tubuhnya menjadi semakin lemas saja.
“Ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin, dan celakanya lagi dikenal sebagai Iblis Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu bahkan membuat ayahku marah sehingga menyebabkan aku terpaksa melarikan diri dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk turut menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku lalu berkeliaran sampai di sini dan bersahabat dengan kepala suku Khin hingga akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk lebih dalam lagi. Apa bila kuingat keadaanku, lebih baik kalau jarum-jarum itu menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah kematian terhormat karena engkau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis...!”
“Sudahlah, Ci Kang. Tidak perlu menyesali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah kandung sendiri yang sudah tidak ada, apa lagi bagaimana pun juga ayahmu meninggal dengan gagah perkasa, berani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang sekali bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis...”
“Apa...?” Sepasang mata Ci Kang terbelalak. “Kematian ayahku karena kecurangan Raja Iblis? Apa maksudmu?”
Baru Sui Cin mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya meninggal. Ia memandang dengan hati kasihan. Walau pun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi sudah meninggalkan kesan baik di dalam hatinya dalam pertemuan yang pertama, ketika pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang tadi diceritakan Ci Kang bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai dimusuhi, membuat hatinya merasa semakin kasihan dan suka.
“Aku melihat sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lantas diserang oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam dia dibantu Raja Iblis yang curang dan ayahmu tewas.”
“Ayah!” Ci Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal. “Akhirnya! Akhirnya engkau juga menentang mereka, malah mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku bangga, ayah, aku bangga...!” Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya lalu terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan sekarang mukanya menjadi pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.
“Ehh, Ci Kang, engkau kenapakah...?”
Sui Cin bertanya kaget setelah tadi dia terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu kini menjadi layu kembali.
“Tidak tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing...”
Tiba-tiba saja Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang bila tubuhnya terasa lemah dan lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh dari obat penawar tadi, pikirnya.
“Jangan khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu.” Ia memasang bantal pada punggung dan kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak.
Lalu sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang telah disediakan oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit, diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata terpejam itu.
“Ci Kang, obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali,” katanya.
Ci Kang membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena kedua tangannya juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.
“Ahh, engkau benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang.” Sui Cin lalu menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.
“Sungguh engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku berterima kasih sekali...,” kata Ci Kang yang merasa sungkan.
“Aihh, engkau sedang sakit, sudahlah, jangan banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu. Makanlah ini.” kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan sayur-mayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima kasih.
Ci Kang sedang menderita sakit, ada pun Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang memiliki ilmu tinggi dan biasanya sangat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela ada sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari balik jendela.
Bayangan orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu, Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah! Hati siapa yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu, gadis pujaan hati yang diam-diam sangat dicintanya, kini duduk di tepi pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang! Begitu mesra nampaknya.
Hui Song bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia juga tahu bahwa Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau ribut-ribut.
Akan tetapi, justru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?
Hati Sui Cin merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti oleh warna kemerahan. Akan tetapi, semakin banyak pemuda itu menelan nasi dan obat, mukanya menjadi makin merah pula dan pandang matanya yang juga kemerahan itu kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah baru sekarang dia mengenal gadis itu!
Sui Cin masih terus menyuapkan makanan, secara diam-diam merasa heran dan juga agak khawatir. Agaknya kesehatan pemuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah?
Dan yang sangat menggelisahkan hatinya adalah pandangan mata Ci Kang itu. Pandang mata itu seperti merayap-rayap dan seakan-akan terasa olehnya betapa pandang mata itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya, bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam dia bergidik dan jantungnya berdebar keras dan tegang.
Hui Song yang diam-diam mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini bukan hanya kebetulan saja.
Rombongan suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lam-nong secara diam-diam sudah pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim, akan tetapi juga tidak berani menentang dengan terang-terangan. Lam-nong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga.
Hui Song masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya sudah mencuri serta melarikan harta pusaka di Goa Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim.
Akan tetapi dia tak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan penyelidikan. Akhirnya dia pun melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa Khin untuk mencari keterangan tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera datuk sesat ini dapat menjadi jagoan orang-orang Khin. Hal ini sehubungan dengan tugas yang telah diberikan gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke selatan.
Dan tanpa disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu, lantas melihat Sui Cin sedang merawat Ci Kang yang sakit, sedang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta itu dengan sikap demikian mesra yang membuat perutnya terasa panas.
Sementara itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan napasnya makin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip. Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu sudah hampir habis dan ia meletakkan mangkok di atas pembaringan.
Sui Cin lalu meraba dahi Ci Kang dengan telapak tangan kirinya. Terkejutlah dia merasa betapa dahi itu panas sekali dan kulit tubuh pemuda itu mulai dari kepala sampai ke dada nampak merah!
Semenjak tadi Ci Kang sendiri gelisah bukan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat, tenaganya pulih kembali dengan cepat, namun bersama kembalinya tenaganya, datang pula suatu perasaan yang sangat aneh. Tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat kuat, makin lama semakin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul dan bemesraan dengan Sui Cin.
Namun, dengan kekuatan batinnya Ci Kang terus mempertahankan diri, tidak mau tunduk kepada rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan birahi yang tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat.
Pada waktu Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar yang disiramkan kepada nafsu birahi yang sedang bernyala sehingga menjadi makin berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat lagi.
“Nona...!” serunya.
Tiba-tiba saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu birahi. Karena dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali.
Sejenak Sui Cin terbelalak dan tak dapat bergerak saking kagetnya, akan tetapi ciuman-ciuman yang panas pada pipinya, bibirnya, lehernya, membuat dia tiba-tiba menjerit dan meronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi pelukan Ci Kang itu kuat sekali sehingga terjadilah pergulatan. Karena keduanya menggunakan tenaga, maka terdengarlah suara.
“Brettt...!” Kain baju bagian leher dan sebagian dada yang menutupi tubuh Sui Cin terobek! Melihat kulit leher dan dada bagian atas ini, Ci Kang seperti menjadi buas dan dia pun menciumi bagian itu seperti orang gila.
“Lepaskan...! Ah, lepaskan...!” Sui Cin meronta sekuat tenaga dan pada saat itu terdengar suara keras disusul jebolnya tirai serta papan di atas jendela ketika Hui Song menerjang masuk.
Sui Cin telah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ci Kang lalu ia meloncat turun dari pembaringan dan menjauhi pemuda itu. Ci Kang sendiri terkejut mendengar suara gaduh itu dan dia pun meloncat turun kemudian berdiri dalam keadaan siap siaga.
Pada saat itu pula Hui Song meloncat sambil menyerbu ke arah Ci Kang, menggerakkan sebatang tongkat kayu yang disambarnya dari luar tadi dan menyerang Ci Kang. Tongkat kayu itu menghantam ke arah kepala Ci Kang dan terdengar suara Hui Song memaki.
“Jahanam busuk, kuhancurkan kepalamu!”
Melihat datangnya serangan potongan kayu sebesar lengan yang menyambar kepalanya dengan dahsyat itu, Ci Kang cepat-cepat melemparkan selimut yang masih menempel di tubuhnya, kemudian dia mengelak sambil melompat ke belakang.
Hui Song yang sudah marah sekali terus menerjang kembali dengan hebatnya. Ketika dia melihat Sui Cin merawat Ci Kang yang sakit, biar pun hatinya terasa panas, namun dia masih mampu mengendalikan dirinya. Namun ketika dia melihat Ci Kang tiba-tiba bangkit duduk dan merangkul Sui Cin, lalu menciumi gadis itu dan melihat Sui Cin meronta-ronta, darah di dalam tubuh Hui Song mendidih.
Dia menyambar sepotong kayu dari dekatnya dan menerjang ke dalam kamar, langsung saja menyerang Ci Kang tanpa bertanya-tanya lagi. Apalagi yang perlu ditanyakan kalau sudah jelas betapa Ci Kang berbuat kurang ajar terhadap Sui Cin dan gadis itu meronta dan menolak? Agaknya Ci Kang hendak memperkosa Sui Cin dan untuk perbuatan itu, Ci Kang harus dibunuhnya!
“Hyaatttttt...!” Kembali tongkat itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Ci Kang yang masih berdiri kaget dan bingung. Pemuda ini masih kebingungan karena semua peristiwa yang terjadi ini sungguh berada di luar kemampuannya untuk menguasainya. Tadi pun pada waktu dia merangkul dan menciumi Sui Cin, hal itu dilakukannya dengan keadaan perang di dalam batinnya, satu pihak didorong oleh nafsu birahi yang berkobar, tetapi di pihak lain batinnya menentang keras.
Ketika Hui Song muncul, dia merasa terkejut, malu dan bingung, tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Betapa pun juga, tenaganya sudah pulih kembali dan melihat sambaran tongkat, maklumlah dia bahwa Hui Song yang marah itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sinkang dan dia tahu betapa bahayanya jika sampai kepalanya terkena hantaman kayu yang mengandung tenaga sinkang amat kuatnya itu.
“Ihhhhh...!” Ci Kang terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis, karena sungguh berbahaya sekali apa bila mengelak dari sambaran tongkat seperti itu di ruangan yang sempit ini.
“Dukkk...!” Keras sekali pertemuan antara tongkat dan lengan tangan itu.
Ci Kang merasa betapa lengannya tergetar hebat, akan tetapi tongkat kayu itu pun pecah berantakan! Hui Song membuang sisa tongkat itu yang tadi digunakan hanya karena dia sudah hampir lupa diri saking marahnya. Padahal menggunakan kedua tangannya malah lebih dahsyat dan lebih berbahaya dari pada tongkat yang mati itu.
Ci Kang yang merasa bahwa telah melakukan hal yang amat memalukan, merasa bahwa dia bersalah, tidak berniat melawan, dan dia bahkan merasa malu sekali kepada Sui Cin. Dilihatnya Sui Cin berdiri di sudut kamar itu dengan mata dan muka pucat, kedua tangan berusaha menyatukan lagi baju yang terobek.
Ci Kang merasa jantungnya bagai ditusuk melihat baju yang robek itu, suatu bukti bahwa hal tadi memang benar-benar sudah terjadi, bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang sangat memalukan. Bahkan sekarang pun darahnya tersirap dan mukanya terasa panas melihat kecantikan Sui Cin. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya menerangkan segalanya, tidak ada gunanya membela diri.
“Nona, maafkan aku...!” katanya dengan suara gemetar lantas tubuhnya melayang keluar dari dalam kamar itu.
“Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau? Dosamu harus kau tebus dengan nyawamu!” Hui Song membentak dan melakukan pengejaran dengan loncatan jauh keluar dari dalam kamar itu.
Sui Cin yang semenjak tadi tercengang dan masih terpengaruh oleh peristiwa yang amat mengejutkan dan membingungkan hatinya itu, kini baru tersadar lantas dia pun turut pula meloncat dan melakukan pengejaran, tangan kirinya memegang dan merapatkan bagian baju yang terobek tadi.
Akan tetapi, pada waktu mereka tiba di luar, ternyata oleh mereka bahwa Ci Kang sudah tak nampak lagi bayangannya. Pemuda itu masih dalam keadaan bingung dan menyadari kesalahannya, agaknya tidak mau melayani mereka, bahkan merasa malu untuk bertemu muka dengan Sui Cin, maka dengan cepat sekali dia sudah melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam yang mulai menyelimuti tempat itu.
“Jahanam, jangan lari kau!” Hui Song membentak dan mencari-cari, akan tetapi dia tidak tahu ke jurusan mana Ci Kang melarikan diri dan pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut karena suara gaduh mereka tadi sudah menarik perhatian para penjaga dan kini banyak pengawal Bangsa Khin mulai berdatangan.
“Song-ko, mari kita pergi dari sini!” Sui Cin berkata. Dia telah mengikat baju yang robek dengan sapu tangan. “Tak perlu dicari lagi!”
Suara Sui Cin ini membuat jantung Hui Song berdebar keras saking girangnya. Sui Cin telah mengenalnya! Hal ini berarti bahwa gadis itu telah memperoleh kembali ingatannya! Akan tetapi di samping rasa girangnya, dia masih merasa terbakar oleh kemarahan.
“Tidak, aku harus mencarinya sampai dapat dan membunuhnya!” bentaknya marah.
Sui Cin mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak marah kepada Ci Kang, tapi hanya merasa heran. Tak biasanya Ci Kang bersikap seperti tadi. Dia tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar, apa lagi berani melakukan hal seperti tadi. Bukankah dahulu Ci Kang bahkan pernah mati-matian menentang Sim Thian Bu ketika saudara seperguruannya itu hendak memperkosanya?
Akan tetapi, kenapa secara tiba-tiba saja Ci Kang melakukan hal itu? Dan sikap itu timbul sesudah pemuda itu makan nasi dengan akar obat. Mula-mula mukanya menjadi merah, juga matanya, lantas tubuhnya panas sekali. Apakah tidak ada apa-apa di balik itu? Kini, melihat Hui Song marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang tanpa dipertimbangkan lebih dahulu persoalannya, dia pun merasa tidak senang.
"Kalau begitu kau carilah sendiri!" Dan Sui Cin lalu membalikkan tubuhnya dan melompat pergi.
"Cin-moi...!" Hui Song gelagapan melihat gadis itu melarikan diri dan dia cepat mengejar, takut kehilangan bayangan Sui Cin dalam kegelapan malam itu.
Sui Cin tidak menjawab malah terus melarikan diri. Mereka berkejaran dan meninggalkan perkemahan itu, melalui padang pasir yang halus dan sunyi. Bintang-bintang bertaburan di langit, merupakan kumpulan titik-titik terang yang membuat cuaca remang-remang, sejuk dan indah.
Akhirnya, di sebuah lapangan yang penuh batu-batu gunung, Sui Cin berhenti dan duduk. Hui Song menyusulnya, kemudian pemuda ini berdiri di hadapan gadis itu. Sampai lama mereka saling berpandangan tanpa berkata-kata, masing-masing mengatur pernapasan yang agak memburu karena berlari cepat tadi.
"Cin-moi... ahh, engkau telah sembuh dan mendapatkan ingatanmu kembali! Girang sekali hatiku. Dan jahanam itu! Siangkoan Ci Kang, sekali waktu aku akan membunuhnya! Akan tetapi kenapa engkau malah merawatnya, padahal bukankah siang tadi engkau pula yang merobohkannya? Engkau maju sebagai penunggang harimau itu, bukan? Cin-moi, kenapa engkau berada di daerah ini, bahkan lebih aneh lagi, mengapa engkau menjadi jagoan yang membantu nenek iblis itu?"
Dihujani pertanyaan bertubi-tubi itu, Sui Cin diam saja. Sesudah Hui Song selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya, barulah dara ini menjawab, "Song-ko, ceritaku panjang sekali. Kuharap engkau yang lebih dahulu bercerita kepadaku sejak kita berpisah dan mengapa pula engkau dapat berkeliaran di tempat ini?"
Batin Sui Cin masih terguncang karena peristiwa dengan Ci Kang tadi, maka dia belum sempat memperoleh kembali kegembiraannya dan sekarang bersikap serius. Hal ini pun dipengaruhi oleh sikap Hui Song yang agaknya sangat membenci Ci Kang, padahal dia sendiri, walau pun sikap Ci Kang tadi amat mengejutkan dan membuatnya sangat marah, masih belum merasa bahwa dia membenci pemuda putera datuk sesat itu.
Melihat sikap serius gadis itu, Hui Song juga bersikap tenang dan dia pun mencari tempat duduk di depan Sui Cin. Sejenak mereka saling berpandangan lagi dan keduanya merasa seolah-olah mereka tak pernah berpisah, apa lagi saling berpisah hingga tiga tahun lebih.
"Aaihh, alangkah cepatnya waktu berkelebat," akhirnya Hui Song berkata. "Ingatkah kau bahwa kita telah saling berpisah selama tiga tahun lebih? Akan tetapi, ketika berhadapan denganmu seperti sekarang ini, aku merasa seolah-olah kita tidak pernah saling berpisah, atau baru kemarin saja."
Sui Cin mengangguk karena memang demikian pula perasaan hatinya. "Song-ko, terlebih dahulu ceritakanlah segala pengalamanmu. Aku ingin sekali tahu mengapa engkau dapat bekerja sama dengan murid Raja Iblis di Goa Iblis Neraka itu, dan bagaimana sekarang engkau tiba-tiba berada di daerah ini pula."
"Ceritaku juga panjang, akan tetapi baiklah akan kupersingkat saja. Tiga tahun lebih yang lalu, kita saling berpisah. Engkau diajak pergi oleh locianpwe Wu-yi Lo-jin, sedangkan aku pergi mengikuti Siang-kiang Lo-jin untuk mempelajari ilmu. Nah, selama tiga tahun itu aku belajar ilmu dari suhu Siang-kiang Lo-jin. Sesudah tiga tahun, suhu menyuruh aku untuk menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng milik Jeng-hwa-pang sehubungan dengan tekad para pendekar untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Di dalam perjalanan itu aku bertemu dengan iblis betina itu. Dia menipuku, mengaku sebagai pejuang yang menentang Raja Iblis, karena itu aku membantunya mencari harta karun yang tersembunyi di dalam Goa Iblis Neraka itu. Akan tetapi harta itu lebih dahulu sudah diambil orang lain yang meninggalkan lencana Harimau Terbang di daerah utara. Dan aku terjebak, tentu telah tewas kalau tidak ada engkau yang muncul menolongku. Akan tetapi, engkau sendiri malah tertimpa bencana saat menolongku, kepalamu terluka oleh pukulan batu musuh sehingga engkau kehilangan ingatan, bahkan kemudian menyerangku. Nah, pertemuan yang hanya sebentar itu pun berakhir dan kita saling berpisah kembali. Aku lalu pergi menyelidiki ke utara dan aku sempat terlibat dalam pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan." Hui Song lalu menceritakan pengalamannya dt kota benteng itu.
"Nah, karena tak mungkin lagi menyelamatkan San-hai-koan, aku pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, bertemu dengan suhu yang menyuruhku melakukan penyelidikan kepada para suku bangsa di sini. Aku bertemu dan berkenalan dengan Lam-nong, kepala suku Mancu Timur, lantas ikut bersama rombongannya ke tempat pertemuan para suku untuk memilih pimpinan. Aku ingin menyelidiki Yelu Kim yang kabarnya adalah ketua Harimau Terbang, menyelidiki tentang harta karun dan juga tentang pergerakan para suku di sini, kemudian aku melihat engkau! Melihat pula Ci Kang, jahanam busuk itu..."
"Sekarang dengarkanlah pengalamanku," Sui Cin memotong cepat ketika mendengar Hui Song mulai hendak memaki-maki Ci Kang lagi. "Seperti juga engkau, aku mengikuti suhu Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun untuk menerima gemblengan ilmu. Lantas aku pun disuruh oleh suhu untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Di tengah jalan aku melihat kuil tempat tinggal murid Raja Iblis itu dan kaki tangannya. Aku merasa curiga dan menyelidiki mereka. Aku mendengar percakapan mereka tentang harta pusaka di Goa Iblis Neraka, maka aku melakukan penyelidikan ke situ. Aku lalu melihat engkau bersama iblis-iblis itu dan selanjutnya engkau tahu. Aku terluka, kehilangan ingatan. Dalam keadaan seperti itu, aku hampir celaka oleh Kiu-bwe Coa-li. Untung ada saudara Cia Sun yang menolongku. Akan tetapi, pada saat itu juga muncul nenek Yelu Kim yang lalu mengobati aku sampai sembuh sama sekali dari racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li, juga sembuh sama sekali dari kehilangan ingatan. Karena budinya ini, aku lalu diangkat menjadi muridnya dan menjadi pembantunya. Aku berjanji membantunya memperoleh kedudukan pimpinan dalam pemilihan jago dan aku berhasil."
"Akan tetapi, kenapa setelah engkau merobohkan Ci Kang, engkau lalu..."
Sui Cin menggerakkan tangan dengan kesal. "Dengarkanlah dulu! Engkau tahu bahwa Ci Kang pernah menyelamatkan aku dan pertandingan antara kami itu bukan urusan pribadi. Dan aku telah merobohkannya dengan menggunakan jarum merah beracun. Aku merasa sangat menyesal karena kalau tidak kuobati, mungkin dia akan celaka. Aku akan merasa menyesal bukan main kalau sampai dia mati dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pribadi kami itu. Maka aku lalu mengobatinya. Sungguh tidak kusangka sama sekali dia... dia akan melakukan hal itu..."
"Dasar orang jahat, anak seorang datuk sesat seperti Iblis Buta, mana bisa baik?"
"Aku tidak yakin, Song-ko, perbuatannya itu seperti tidak sewajarnya..."
"Ah, dia itu putera datuk sesat, tentu seorang yang jiwanya sudah kotor. Kalau dahulu dia menolongmu, bukan karena kebaikan hatinya, akan tetapi karena dia tidak ingin engkau diganggu orang lain itulah!"
"Sudahlah, Song-ko, aku tak mau membicarakan soal itu lagi. Anehnya, aku sendiri tidak mendendam atas peristiwa itu dan masih ragu-ragu, akan tetapi mengapa engkau malah ribut-ribut?"
"Kenapa tidak, Cin-moi? Melihat engkau hendak dipaksa, hatiku sudah terbakar dan tentu aku sudah menghancurkan kepalanya kalau saja dia tidak lari. Siapa yang tidak cemburu melihat itu...?"
"Cemburu...?"
"Cin-moi, masih haruskah kujelaskan lagi? Perlukah kuulangi lagi? Sui Cin, sejak dahulu sampai sekarang aku tetap mencintamu tetapi sampai saat ini pun engkau belum pernah memberi jawaban yang pasti. Sui Cin, aku cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku dan aku hampir merasa yakin bahwa cintaku tidak bertepuk tangan sebelah, bahwa engkau pun cinta padaku. Cin-moi, jawablah..." Sekarang sikap Hui Song yang biasanya gembira jenaka itu berubah menjadi serius, bahkan di dalam suaranya terdengar nada memelas dan memohon.
Hingga lama sekali Sui Cin menatap wajah pemuda itu. Hatinya diliputi kebimbangan yang membuat dia bingung sehingga sejenak tidak mampu menjawab. Harus diakuinya bahwa dia merasa amat suka, mungkin mencinta kepada pemuda ini.
Hui Song adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, budiman, dan mempunyai watak yang cocok dengannya, riang jenaka dan gembira. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa ayah ibunya tidak suka kepada orang tua pemuda ini, dan dia pun belum tahu apakah orang tua pemuda ini, ketua Cin-ling-pai, suka pula kepada ayah bundanya. Apa lagi baik dia sendiri mau pun Hui Song adalah anak-anak tunggal!
"Cin-moi..."
"Song-ko, maafkan aku. Bagaimana mungkin kita bicara tentang hal itu kalau kita berdua masih sibuk dengan urusan perjuangan yang amat penting? Raja Iblis bersama sekutunya telah menduduki San-hai-koan, dan kekuatan mereka makin membahayakan keselamatan negara. Lebih baik kita selesaikan tugas-tugas kita lebih dulu. Setelah urusan ini selesai, barulah kita sempat berpikir tentang urusan pribadi. Kalau saatnya tiba, sudah sepatutnya kalau orang-orang tua kita yang berunding mengenai hal itu, bukan kita sendiri. Bukankah begitu, Song-ko?"
Wajah Hui Song berubah merah. Dia seperti menerima teguran sehingga merasa tidak enak sendiri. Orang-orang gagah sedunia sedang sibuk bersiap-siap menanggulangi para datuk yang hendak memberontak, dan dia sendiri ribut-ribut bicara tentang cinta!
"Ahh, maafkan aku, Cin-moi. Bukan maksudku hendak melupakan perjuangan, hanya aku ingin sekali tahu dan merasa pasti tentang cinta kita. Ahh… sudahlah, engkau benar. Biar nasib kita saja yang menentukan kelak. Kalau sudah selesai perjuangan, kita akan bicara lagi dan aku tentu akan minta orang tuaku pergi kepada orang tuamu untuk meminang. Nah, sekarang marilah kita bicara tentang perjuangan. Bagaimana pendapatmu tentang usaha kita untuk menentang Raja Iblis dan kaki tangannya?"
"Aku tidak tahu, Song-ko. Aku menjadi bingung setelah mendengar bahwa Raja Ibils dan para datuk sudah bergabung dengan pasukan pemberontak di San-hai-koan dan bahkan sudah menduduki kota benteng itu. Dengan demikian tentu tidak mungkin bagi kita untuk menentang pasukan besar secara begitu saja. Kurasa akan lebih besar hasilnya apa bila aku melanjutkan perjuangan di sini, membantu nenek Yelu Kim yang akan menggerakkan para suku utara untuk menghantam pasukan pemberontak. Dengan demikian berarti aku secara tidak langsung menentang kekuasaan Raja Iblis, melawan pasukan pemberontak dengan mengandalkan pasukan suku utara."
"Tetapi para kepala suku itu pun bermaksud memberontak dan menyerang ke selatan!" Hui Song berseru.
"Itu adalah soal nanti. Kini yang terpenting adalah menentang para pemberontak, bukan? Apa bila pemberontak sudah dapat dihancurkan dan kalau para suku utara masih hendak melanjutkan gerakan mereka menyerang ke selatan, masih belum terlambat bagiku untuk meninggalkan mereka. Dengan adanya gerakan dari para suku di utara yang menyerang mereka, disertai pasukan pemerintah yang menyerang dari selatan, berarti Raja Iblis dan sekutunya akan tergencet dari utara dan selatan."
Hui Song mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat kebenaran pendapatmu tadi, Cin-moi. Baiklah, kini aku akan pergi menghadiri pertemuan para pendekar untuk melihat apa yang akan dibicarakan dan keputusan apa yang akan diambil."
"Song-ko, kalau bertemu dengan suhu, ceritakan keadaanku dan rencanaku menghadapi para pemberontak."
Mereka lalu berpisah. Sui Cin kembali ke perkemahan nenek Yelu Kim sedangkan Hui Song pergi menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Betapa pun gembira hatinya telah dapat bertemu kembali dengan Sui Cin dan melihat gadis itu telah sehat kembali, namun ada sedikit kekecewaan di dalam hati Hui Song mendengar jawaban Sui Cin mengenai cintanya, jawaban yang sama sekali masih belum meyakinkan hatinya bahwa dara itu pun mencintanya.
Cinta asmara memang lebih banyak mendatangkan rasa kekecewaan dan sengsara di dalam hati. Asmara selalu menuntut balasan! Asmara selalu mengandung cemburu, dan asmara yang tidak dibalas merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan.
Asmara adalah nafsu birahi yang menciptakan ikatan. Tapi asmara amat mengasyikkan, membuai batin setiap orang manusia sehingga manusia seperti dengan rela menentang semua kesengsaraan itu demi mencicipi madu asmara, walau pun sedikit.
Hal ini adalah manusiawi, karena semenjak lahir nafsu birahi terbawa oleh badan. Yang lebih penting adalah menyadarinya, mengenalnya sebagai satu di antara sifat-sifat badan sehingga kita tak sampai terseret dan menjadi hambanya, terikat kuat sehingga akhirnya menjadi permainan nafsu.
Pemuda itu menangis seorang diri! Nampaknya amat lucu, akan tetapi juga mengharukan melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar, yang gagah perkasa seperti Siangkoan Ci Kang itu menangis!
Akan tetapi, tangis tak terlepas dari pada kehidupan setiap orang manusia, karena hidup ini memang merupakan tempat bagi tawa dan tangis untuk silih berganti mengisi batin manusia. Tangis merupakan alat pelepas semua ganjalan dalam batin, pelepas semua kedukaan dan kekecewaan. Orang yang tidak bisa menangis, yang tidak memiliki tangis sebagai pelepasan duka, tentu kesehatannya akan terganggu.
Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda yang semenjak kecil hidup dalam lingkungan yang keras dan boleh dibilang tidak pernah mengenal tangis. Semenjak kecil hampir tidak pernah dia menangis. Segala derita batin diterimanya dengan gigitan bibir. Namun, hal itu bukan berarti dia tidak pernah menangis di dalam batinnya. Hanya karena kerasnya hati maka tangis tidak sampai tersalur keluar dari mulut.
Akan tetapi sekarang, menghadapi pengalaman yang bertubi-tubi yang amat menyakitkan hatinya, sesudah berada seorang diri di tempat yang sunyi itu, Ci Kang tidak kuasa lagi membendung air matanya lantas dia pun menangis tersedu-sedu sambil berlutut di atas tanah dan menutupi muka dengan kedua tangannya!
Dan begitu air matanya mengucur, bagaikan air yang sudah lama terbendung dan sudah terlalu penuh, tangisnya pun menjadi-jadi. Terbayanglah segala pengalaman yang sangat menyedihkan dan mengecewakan hatinya dan dia pun membiarkan semua rasa duka itu mengalir keluar melalui air matanya.
Tangis timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan iba diri ini timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua pengalaman yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati.
Pikiran mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan hal ini kemudian menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seakan-akan berubah menjadi tangan yang mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri hingga air mata pun bercucuran keluar. Jika sudah begitu, maka kesadaran akan kenyataan pun menjadi kabur dan pikiran yang menguasai perasaan itu pun membayangkan bahwa dirinya merupakan orang yang paling sengsara, paling menderita di dalam dunia ini.
Dengan demikian, maka nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul akibat pikiran yang mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tak menyenangkan. Andai kata pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua yang telah terjadi itu, adakah duka?
Hal ini hanya dapat kita ketahui dengan mempelajari dan mengamati diri sendiri. Tidak akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak akan ada rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan masa depan.
Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini tentu bersebab. Akan tetapi pikiran kita yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan membuat kita sering kali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab dari pada peristiwa yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan perbuatan kita sendiri sebelum peristiwa itu terjadi.
Mungkinkah bagi kita manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita tak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya lagi sebagai sesuatu yang menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju kepada saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada masa lalu atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang?
Terikat kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut. Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Betapa indahnya, betapa bahagianya! Bukan berarti tak peduli, bukan berarti masa bodoh, melainkan justru waspada karena bukankah hidup adalah SEKARANG INI? Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup. Masa lalu sudah lewat, sudah mati. Masa depan hanya khayal, belum ada.
Ketika menangis amat sedihnya itu, pikiran Ci Kang penuh dengan kenangan-kenangan yang mengecewakan hatinya. Teringat dia akan semua nasibnya, sejak dia dimusuhi oleh ayahnya sendiri sehingga hampir saja dia dibunuh oleh ayahnya. Betapa senangnya dia menentang kejahatan yang dilakukan oleh ayahnya bersama teman-teman ayahnya, akan tetapi hal ini membuat dia dibenci oleh golongan sesat.
Kemudian, dalam usahanya menjadi orang baik, lalu menggabungkan diri dalam golongan pendekar, dia tidak dipercaya, bahkan dimusuhi oleh para pendekar, dianggap sebagai putera datuk sesat yang tentu jahat pula. Dan berita tentang kematian ayahnya di tangan Raja Iblis, sungguh pun dia merasa bangga bahwa pada saat terakhir hidupnya, ayahnya menentang raja datuk sesat itu, bahkan mengorbankan nyawanya, akan tetapi tetap saja kenangan akan ayah kandungnya yang tak pernah akrab dengannya itu menghancurkan perasaannya pula.
Kemudian sekali, pengalaman yang baru-baru ini dialami bersama Sui Cin! Dia tahu betul bahwa semenjak pertemuannya pertama dengan gadis pendekar itu, ketika dia menolong Sui Cin dari ancaman tangan kotor Sim Thian Bu, dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali, bahkan dalam pertemuannya tadi, ketika dia diobati gadis itu, dia merasakan benar betapa sejak dahulu dia telah jatuh cinta kepada nona itu!
Dan teringatlah dia akan ulahnya terhadap Sui Cin. Gadis itu mengobatinya, merawatnya, menyuapkan nasi ke mulutnya! Bukan main kenyataan ini! Akan tetapi apa yang sudah dilakukannya tadi? Dia sudah membalas kebaikan hati gadis itu dengan perbuatan yang tak senonoh! Dia telah menghina gadis itu! Makin dibayangkan perbuatannya tadi, makin hancurlah hatinya dan dia merintih-rintih.
"Ya Tuhan... apa yang telah kulakukan tadi...?" Dia mengeluh dan menjatuhkan dirinya di atas tanah, rebah menelungkup sambil menangis!
Batin yang kemasukan satu di antara perasaan girang, susah, takut dan sebagainya akan kehilangan kepekaannya dan biar pun Ci Kang seorang pemuda terlatih yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, namun dalam keadaan menangis dan tenggelam di dalam lautan kedukaan itu dia menjadi lengah. Sama sekali dia tidak tahu ketika ada bayangan orang berkelebat dengan gerakan yang amat cepat dan ringan.
Bayangan itu tahu-tahu telah berada dekat sekali dengan Ci Kang. Ketika sekali tangan kanannya bergerak, tubuh Ci Kang mengejang lalu lemas dan tidak mampu bergerak lagi, karena jalan darahnya telah tertotok secara amat lihai!
"Hi-hik-hik, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku, manusia sombong!" Bayangan yang ternyata seorang wanita itu tertawa mengejek, kemudian menggunakan kaki kirinya untuk membalikkan tubuh Ci Kang yang sudah lemas itu sehingga terlentang.
Ci Kang yang tiba-tiba saja merasa tubuhnya lemas dan lumpuh memandang wanita itu. Seorang wanita cantik, bajunya kembang-kembang, perawakannya ramping, pakaiannya sederhana dengan hiasan rambut setangkai kembang. Akan tetapi alis Ci Kang berkerut melihat wanita muda yang cantik ini karena dia mengenalnya sebagai seorang iblis betina yang amat lihai dan berbahaya, juga amat kejam. Gadis ini bukan lain adalah Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi), murid Raja Iblis!
Tahulah Ci Kang bahwa dia sedang berada dalam ancaman bahaya maut. Iblis ini tentu tidak akan mau melepaskan dirinya, dan dia merasa heran mengapa totokan tadi bukan merupakan serangan maut, karena kalau hal itu dilakukan, tentu kini dia sudah tewas.
Kemudian teringat olehnya akan watak cabul wanita ini yang dulu pernah membujuk rayu padanya. Teringat akan ini, dia maklum bahwa tentu sekarang pun, sebelum membunuh dirinya, wanita cabul ini akan mengulangi lagi usaha dan bujuk rayunya. Dia merasa sebal dan merasa lebih baik mati saja, apa lagi hatinya sedang berduka seperti itu. Memang kematian lebih baik baginya, sebagai hukuman atas perbuatannya terhadap Sui Cin tadi.
"Iblis betina, engkau sudah merobohkan aku dengan curang seperti seorang pengecut. Nah, tidak perlu lagi engkau mengulangi perbuatanmu yang hina dan tak tahu malu, tidak perlu lagi engkau merayuku. Kalau engkau memang gagah, bebaskan aku kemudian kita bertanding sampai mati, atau kalau memang engkau seorang pengecut hina seperti yang kuduga, lekas bunuh saja aku!" katanya sambil memandang dengan mata melotot penuh tantangan.
Akan tetapi, Siang Hwa yang dimaki-maki itu hanya tersenyum mengejek, sama sekali tidak memperlihatkan sikap marah. Dengan lagak genit dia menggunakan telunjuk tangan kirinya mengelus dagu Ci Kang. "Ehm, tampan! Jangan dikira bahwa hanya engkau saja laki-laki tampan di dunia ini. Kalau engkau menolak melayaniku, masih ratusan orang pria tampan yang siap untuk menyenangkan hatiku. Dan tentang membunuhmu, tentu saja aku akan membunuhmu, akan tetapi jangan mengira engkau akan mati dengan nyaman. Hi-hik, tidak, tampan, karena engkau menyakitkan hatiku dengan penolakanmu, engkau akan mati perlahan-lahan dan dengan sengsara sekali. Aku akan menyayat-nyayat semua kulit badanmu sampai penuh darah, lantas kutinggalkan engkau di sini dalam keadaan seperti itu biar engkau dikeroyok semut dan dipatuk burung-burung sampai engkau mati dengan siksaan hebat. Nah, menarik sekali, bukan?"
Akan tetapi, sebaliknya Ci Kang juga tak nampak gentar sama sekali. Dia sudah bertekad untuk menghadapi kematian dengan tabah. "Perempuan iblis busuk, pengecut jahanam, tak perlu banyak mengeluarkan omongan busuk lagi, bunuhlah kalau mau bunuh, dengan cara apa pun juga, aku tidak takut mati!" Dan Ci Kang lalu memejamkan mata seperti orang yang merasa muak dan hendak tidur, tidak lagi mau mempedulikan gadis itu.
Sesungguhnya perbuatan ini dilakukan untuk menyembunyikan rasa sesal dan malunya. Dia memaki-maki wanita iblis ini sebagai wanita yang hina dan busuk, wanita yang cabul. Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Apa yang sudah dilakukannya terhadap Sui Cin hampir tidak ada bedanya dengan kecabulan yang dilakukan wanita ini. Memaksakan hasrat dan gejolak birahi kepada orang lain.
Gui Siang Hwa telah mengenal watak seorang pendekar muda seperti Ci Kang yang amat keras hati ini. Dia tahu bahwa percuma saja membujuk pemuda ini, baik untuk menjadi kekasihnya atau menjadi pembantu gurunya.
Dan orang yang tidak mau bekerja sama berarti musuh, apa lagi orang yang mempunyai kelihaian seperti pemuda ini. Sungguh bisa berbahaya sekali. Maka, jalan terbaik adalah membunuhnya!
Ia kemudian mencabut pedangnya dan siap untuk melaksanakan ancamannya tadi, yaitu merobek-robek kulit tubuh pemuda itu dan membiarkannya tergolek di situ dalam keadaan lumpuh dan penuh luka supaya dia mati perlahan-lahan kehabisan darah dan dikeroyok binatang-binatang kecil yang tentu akan tertarik oleh bau darah.
"Hi-hik, lebih dulu aku akan membikin putus otot-otot kaki tanganmu agar sesudah bebas dari totokan engkau tidak akan mampu bergerak lagi!" kata Gui Siang Hwa.
Pedangnya diangkat ke atas, lalu berkelebat ke arah lutut kiri Ci Kang.
Akan tetapi, tiba-tiba pedang itu berhenti di udara, tertahan oleh sesuatu yang amat kuat. Siang Hwa terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa pedangnya itu telah terlibat oleh bulu-bulu panjang sebuah kebutan berwarna putih yang gagangnya dipegang oleh seorang gadis remaja yang berdiri sambil memandang kepadanya dengan sepasang mata berapi penuh teguran!
Gadis ini paling banyak delapan belas tahun usianya. Wajahnya agak pucat, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar mencorong! Pakaiannya amat sederhana, rambutnya pun dibiarkan riap-riapan ke belakang.
"Engkau orang jahat!" Gadis ini menegur Siang Hwa dengan suara halus. "Engkau mau membunuh orang begitu saja, orang yang sudah tidak sanggup melawan sama sekali. Sungguh jahat!"
Akan tetapi Siang Hwa marah bukan main. Gadis muda ini cukup cantik dan mengingat bahwa Ci Kang selalu menolaknya, kemudian muncul gadis ini yang membela Ci Kang, mudah diduga bahwa gadis ini tentulah merupakan kekasih Ci Kang. Dia merasa betapa libatan bulu kebutan itu mengendur, maka ia pun lalu menarik pedangnya dan menghadapi gadis itu dengan senyum mengejek. Tentu saja dia memandang rendah gadis bertampang pucat seperti orang berpenyakitan ini.
"Hi-hik, engkau hendak menemaninya mampus? Baik, akan kukirim engkau lebih dulu ke neraka!" Berkata demikian, pedangnya menyambar ganas ke arah leher gadis itu.
Akan tetapi Siang Hwa kecelik kalau mengira bahwa pedangnya akan mudah merobohkan lawan hanya dengan sekali serang saja. Dia tadi mengeluarkan jurus yang penuh tipuan, pedangnya meluncur menusuk ke arah tenggorokan, akan tetapi sebenarnya pedang itu hanya menggertak saja karena secara tiba-tiba pedang yang meluncur itu berubah arah dan membacok ke bawah, ke arah perut!
Hebatnya, gadis bermuka pucat itu agaknya sudah mengenal gerak serangan ini, karena dia sama sekali tidak melindungi lehernya, melainkan menangkis ke depan dada dengan gagang kebutannya sehingga secara tepat sekali dia menggagalkan serangannya ke arah perut.
"Tranggg...!"
Dan Siang Hwa mundur dua langkah dengan kaget karena tangkisan gagang kebutan itu membuat lengannya tergetar, juga gerakan menangkis tadi amat dikenalnya. Dengan penasaran Siang Hwa lantas menyerang lagi sambil memutar pedangnya dengan amat cepat. Dia menerima pelajaran ilmu pedang dari Raja dan Ratu Iblis, tentu saja ilmu pedangnya sangat ganas dan berbahaya. Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ganas ke arah lawan.
Akan tetapi, keheranan hati Siang Hwa semakin menjadi-jadi ketika lawannya itu mampu mengelak atau menangkis, menghindarkan semua serangannya dengan amat mudah dan seolah-olah semua gerakan serangannya itu telah diduga lebih dahulu. Dia terkejut bukan main saat lawannya membalas dengan serangan ujung kebutan sehingga terpaksa Siang Hwa harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mempertahankan diri karena serangan balasan lawannya itu benar-benar sangat hebat. Ujung kebutan itu terus menyambar-nyambar dan setiap helai bulu kebutan seperti hidup, kadang-kadang berubah kaku seperti kawat-kawat baja tapi kadang-kadang lemas sekali dan dapat menyerang ke arah jalan darah.
Ci Kang tidak merasa heran melihat betapa dara muda yang baru saja datang ini mampu menandingi Siang Hwa. Begitu membuka matanya memandang, dia langsung mengenali gadis itu yang bukan lain adalah Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis yang tinggal di dalam goa bawah tanah itu.
“Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?” tanya kepala suku itu dengan khawatir.
Sui Cin tersenyum. “Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya.”
Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan suara ragu-ragu. “Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?”
Sui Cin tidak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk.
“Ahhh...!” Seru Moghu Khali dengan takjub.
Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali dia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang tadi telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini.
“Sungguh beruntung hari ini aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona,” katanya sambil memberi hormat.
Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.
“Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya.”
“Baiklah, silakan nona,” Moghu Khali memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu.
Kepada pelayan yang dapat pula berbahasa Han biar pun tidak lancar itu, Sui Cin minta disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam kamar itu. Sesudah semua ini tersedia, dia pun menyuruh pelayan wanita meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamar menjadi segar.
Sui Cin memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah, tanpa disadarinya dia melihat dan meraba dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Belum pernah dia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan agak menghitam.
Dikeluarkannya obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, lalu dicampurnya obat itu dengan secawan arak. Dengan hati-hati dia menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda itu dan sesudah mulut terbuka, perlahan-lahan dia menuangkan arak obat itu ke dalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.
Sesudah semua arak obat di dalam cawan itu pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sinkang untuk menyedot racun. Lambat laun dia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin panas sehingga dia hampir tidak tahan.
Akan tetapi Sui Cin bertahan terus mengerahkan sinkang-nya sampai akhirnya ia merasa betapa telapak tangannya yang menempel pada di Ci Kang itu menjadi basah dan ketika dia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah. Kiranya darah sudah dapat disedot dari luka-luka kecil itu dan dia tahu bahwa ini bukan hanya karena tenaga sinkang-nya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar racun yang kini mulai bekerja dengan cepatnya.
“Uhhhh...!” Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak-gerak dan pemuda ini mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak tangannya dari dada pemuda itu.
Sepasang mata itu kini perlahan-lahan terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas. Akan tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandangan matanya bertemu dengan wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak, mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang bermimpi. Apa lagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu.
Inilah puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya, dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri pada dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik hatinya itu!
Dan sekarang gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar dari sepasang telapak tangan itu dia pun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha untuk menyembuhkannya! Dia pun lantas teringat bahwa dia roboh karena menjadi korban serangan jarum halus yang harum dan merah.
“Kau... kau nona Ceng... kau... mengobati aku...?” tanyanya dengan suara berbisik dan dia merasa betapa tubuhnya lemah sekali.
“Diamlah, jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!”
Sui Cin melepaskan sepasang tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah kehitaman pada kedua telapak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin lalu mencuci kedua tangannya. Obat dari nenek itu telah bekerja dan dia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.
“Tapi... mengapa... bagaimana engkau dapat berada di sini, nona? Dan mengapa engkau bersusah payah mengobati orang macam aku?” Ada rasa haru menyelinap di dalam hati Ci Kang. Sama sekali dia tidak pernah bermimpi bahwa seorang nona seperti Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.
“Ci Kang, apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah dahulu engkau pernah pula menolongku? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan aku gembira sekali sudah berhasil. Racun jarum itu sungguh berbahaya sekali dan tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu.”
“Engkau benar-benar lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih mempunyai keahlian mengobati luka beracun.”
“Ahh, tak perlu kau memuji,” kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan mempergunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang. “Aku dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya jarum-jarumku sendiri.”
Pemuda itu terkejut sekali. “Kau...? Jadi engkaukah penunggang harimau itu, nona? Ahh, sungguh tak kusangka sama sekali. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada di sini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!”
“Aku sendiri pun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Dahulul aku pernah diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Pada waktu melihat engkau juga menjadi jagoon, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk maju dan menghadapimu.”
“Dan aku roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona.”
“Sudahlah, pujianmu bahkan membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan jarum-jarum itu sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkaulah yang lihai sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini, tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi jagoan-jagoan mereka.”
Ci Kang menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan merasa berduka. “Ahhh, semua ini adalah gara-gara ayahku. Kalau tidak karena ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini, bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini.” Suara Ci Kang mengandung penuh penyesalan.
“Ahh, kenapa engkau menyalahkan ayahmu?” Sui Cin bertanya heran.
Kembali pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran kenapa tubuhnya menjadi semakin lemas saja.
“Ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin, dan celakanya lagi dikenal sebagai Iblis Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu bahkan membuat ayahku marah sehingga menyebabkan aku terpaksa melarikan diri dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk turut menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku lalu berkeliaran sampai di sini dan bersahabat dengan kepala suku Khin hingga akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk lebih dalam lagi. Apa bila kuingat keadaanku, lebih baik kalau jarum-jarum itu menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah kematian terhormat karena engkau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis...!”
“Sudahlah, Ci Kang. Tidak perlu menyesali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah kandung sendiri yang sudah tidak ada, apa lagi bagaimana pun juga ayahmu meninggal dengan gagah perkasa, berani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang sekali bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis...”
“Apa...?” Sepasang mata Ci Kang terbelalak. “Kematian ayahku karena kecurangan Raja Iblis? Apa maksudmu?”
Baru Sui Cin mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya meninggal. Ia memandang dengan hati kasihan. Walau pun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi sudah meninggalkan kesan baik di dalam hatinya dalam pertemuan yang pertama, ketika pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang tadi diceritakan Ci Kang bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai dimusuhi, membuat hatinya merasa semakin kasihan dan suka.
“Aku melihat sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lantas diserang oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam dia dibantu Raja Iblis yang curang dan ayahmu tewas.”
“Ayah!” Ci Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal. “Akhirnya! Akhirnya engkau juga menentang mereka, malah mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku bangga, ayah, aku bangga...!” Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya lalu terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan sekarang mukanya menjadi pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.
“Ehh, Ci Kang, engkau kenapakah...?”
Sui Cin bertanya kaget setelah tadi dia terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu kini menjadi layu kembali.
“Tidak tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing...”
Tiba-tiba saja Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang bila tubuhnya terasa lemah dan lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh dari obat penawar tadi, pikirnya.
“Jangan khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu.” Ia memasang bantal pada punggung dan kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak.
Lalu sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang telah disediakan oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit, diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata terpejam itu.
“Ci Kang, obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali,” katanya.
Ci Kang membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena kedua tangannya juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.
“Ahh, engkau benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang.” Sui Cin lalu menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.
“Sungguh engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku berterima kasih sekali...,” kata Ci Kang yang merasa sungkan.
“Aihh, engkau sedang sakit, sudahlah, jangan banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu. Makanlah ini.” kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan sayur-mayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima kasih.
Ci Kang sedang menderita sakit, ada pun Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang memiliki ilmu tinggi dan biasanya sangat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela ada sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari balik jendela.
Bayangan orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu, Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah! Hati siapa yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu, gadis pujaan hati yang diam-diam sangat dicintanya, kini duduk di tepi pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang! Begitu mesra nampaknya.
Hui Song bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia juga tahu bahwa Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau ribut-ribut.
Akan tetapi, justru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?
Hati Sui Cin merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti oleh warna kemerahan. Akan tetapi, semakin banyak pemuda itu menelan nasi dan obat, mukanya menjadi makin merah pula dan pandang matanya yang juga kemerahan itu kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah baru sekarang dia mengenal gadis itu!
Sui Cin masih terus menyuapkan makanan, secara diam-diam merasa heran dan juga agak khawatir. Agaknya kesehatan pemuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah?
Dan yang sangat menggelisahkan hatinya adalah pandangan mata Ci Kang itu. Pandang mata itu seperti merayap-rayap dan seakan-akan terasa olehnya betapa pandang mata itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya, bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam dia bergidik dan jantungnya berdebar keras dan tegang.
Hui Song yang diam-diam mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini bukan hanya kebetulan saja.
Rombongan suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lam-nong secara diam-diam sudah pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim, akan tetapi juga tidak berani menentang dengan terang-terangan. Lam-nong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga.
Hui Song masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya sudah mencuri serta melarikan harta pusaka di Goa Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim.
Akan tetapi dia tak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan penyelidikan. Akhirnya dia pun melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa Khin untuk mencari keterangan tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera datuk sesat ini dapat menjadi jagoan orang-orang Khin. Hal ini sehubungan dengan tugas yang telah diberikan gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke selatan.
Dan tanpa disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu, lantas melihat Sui Cin sedang merawat Ci Kang yang sakit, sedang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta itu dengan sikap demikian mesra yang membuat perutnya terasa panas.
Sementara itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan napasnya makin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip. Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu sudah hampir habis dan ia meletakkan mangkok di atas pembaringan.
Sui Cin lalu meraba dahi Ci Kang dengan telapak tangan kirinya. Terkejutlah dia merasa betapa dahi itu panas sekali dan kulit tubuh pemuda itu mulai dari kepala sampai ke dada nampak merah!
Semenjak tadi Ci Kang sendiri gelisah bukan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat, tenaganya pulih kembali dengan cepat, namun bersama kembalinya tenaganya, datang pula suatu perasaan yang sangat aneh. Tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat kuat, makin lama semakin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul dan bemesraan dengan Sui Cin.
Namun, dengan kekuatan batinnya Ci Kang terus mempertahankan diri, tidak mau tunduk kepada rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan birahi yang tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat.
Pada waktu Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar yang disiramkan kepada nafsu birahi yang sedang bernyala sehingga menjadi makin berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat lagi.
“Nona...!” serunya.
Tiba-tiba saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu birahi. Karena dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali.
Sejenak Sui Cin terbelalak dan tak dapat bergerak saking kagetnya, akan tetapi ciuman-ciuman yang panas pada pipinya, bibirnya, lehernya, membuat dia tiba-tiba menjerit dan meronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi pelukan Ci Kang itu kuat sekali sehingga terjadilah pergulatan. Karena keduanya menggunakan tenaga, maka terdengarlah suara.
“Brettt...!” Kain baju bagian leher dan sebagian dada yang menutupi tubuh Sui Cin terobek! Melihat kulit leher dan dada bagian atas ini, Ci Kang seperti menjadi buas dan dia pun menciumi bagian itu seperti orang gila.
“Lepaskan...! Ah, lepaskan...!” Sui Cin meronta sekuat tenaga dan pada saat itu terdengar suara keras disusul jebolnya tirai serta papan di atas jendela ketika Hui Song menerjang masuk.
Sui Cin telah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ci Kang lalu ia meloncat turun dari pembaringan dan menjauhi pemuda itu. Ci Kang sendiri terkejut mendengar suara gaduh itu dan dia pun meloncat turun kemudian berdiri dalam keadaan siap siaga.
Pada saat itu pula Hui Song meloncat sambil menyerbu ke arah Ci Kang, menggerakkan sebatang tongkat kayu yang disambarnya dari luar tadi dan menyerang Ci Kang. Tongkat kayu itu menghantam ke arah kepala Ci Kang dan terdengar suara Hui Song memaki.
“Jahanam busuk, kuhancurkan kepalamu!”
Melihat datangnya serangan potongan kayu sebesar lengan yang menyambar kepalanya dengan dahsyat itu, Ci Kang cepat-cepat melemparkan selimut yang masih menempel di tubuhnya, kemudian dia mengelak sambil melompat ke belakang.
Hui Song yang sudah marah sekali terus menerjang kembali dengan hebatnya. Ketika dia melihat Sui Cin merawat Ci Kang yang sakit, biar pun hatinya terasa panas, namun dia masih mampu mengendalikan dirinya. Namun ketika dia melihat Ci Kang tiba-tiba bangkit duduk dan merangkul Sui Cin, lalu menciumi gadis itu dan melihat Sui Cin meronta-ronta, darah di dalam tubuh Hui Song mendidih.
Dia menyambar sepotong kayu dari dekatnya dan menerjang ke dalam kamar, langsung saja menyerang Ci Kang tanpa bertanya-tanya lagi. Apalagi yang perlu ditanyakan kalau sudah jelas betapa Ci Kang berbuat kurang ajar terhadap Sui Cin dan gadis itu meronta dan menolak? Agaknya Ci Kang hendak memperkosa Sui Cin dan untuk perbuatan itu, Ci Kang harus dibunuhnya!
“Hyaatttttt...!” Kembali tongkat itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Ci Kang yang masih berdiri kaget dan bingung. Pemuda ini masih kebingungan karena semua peristiwa yang terjadi ini sungguh berada di luar kemampuannya untuk menguasainya. Tadi pun pada waktu dia merangkul dan menciumi Sui Cin, hal itu dilakukannya dengan keadaan perang di dalam batinnya, satu pihak didorong oleh nafsu birahi yang berkobar, tetapi di pihak lain batinnya menentang keras.
Ketika Hui Song muncul, dia merasa terkejut, malu dan bingung, tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Betapa pun juga, tenaganya sudah pulih kembali dan melihat sambaran tongkat, maklumlah dia bahwa Hui Song yang marah itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sinkang dan dia tahu betapa bahayanya jika sampai kepalanya terkena hantaman kayu yang mengandung tenaga sinkang amat kuatnya itu.
“Ihhhhh...!” Ci Kang terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis, karena sungguh berbahaya sekali apa bila mengelak dari sambaran tongkat seperti itu di ruangan yang sempit ini.
“Dukkk...!” Keras sekali pertemuan antara tongkat dan lengan tangan itu.
Ci Kang merasa betapa lengannya tergetar hebat, akan tetapi tongkat kayu itu pun pecah berantakan! Hui Song membuang sisa tongkat itu yang tadi digunakan hanya karena dia sudah hampir lupa diri saking marahnya. Padahal menggunakan kedua tangannya malah lebih dahsyat dan lebih berbahaya dari pada tongkat yang mati itu.
Ci Kang yang merasa bahwa telah melakukan hal yang amat memalukan, merasa bahwa dia bersalah, tidak berniat melawan, dan dia bahkan merasa malu sekali kepada Sui Cin. Dilihatnya Sui Cin berdiri di sudut kamar itu dengan mata dan muka pucat, kedua tangan berusaha menyatukan lagi baju yang terobek.
Ci Kang merasa jantungnya bagai ditusuk melihat baju yang robek itu, suatu bukti bahwa hal tadi memang benar-benar sudah terjadi, bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang sangat memalukan. Bahkan sekarang pun darahnya tersirap dan mukanya terasa panas melihat kecantikan Sui Cin. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya menerangkan segalanya, tidak ada gunanya membela diri.
“Nona, maafkan aku...!” katanya dengan suara gemetar lantas tubuhnya melayang keluar dari dalam kamar itu.
“Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau? Dosamu harus kau tebus dengan nyawamu!” Hui Song membentak dan melakukan pengejaran dengan loncatan jauh keluar dari dalam kamar itu.
Sui Cin yang semenjak tadi tercengang dan masih terpengaruh oleh peristiwa yang amat mengejutkan dan membingungkan hatinya itu, kini baru tersadar lantas dia pun turut pula meloncat dan melakukan pengejaran, tangan kirinya memegang dan merapatkan bagian baju yang terobek tadi.
Akan tetapi, pada waktu mereka tiba di luar, ternyata oleh mereka bahwa Ci Kang sudah tak nampak lagi bayangannya. Pemuda itu masih dalam keadaan bingung dan menyadari kesalahannya, agaknya tidak mau melayani mereka, bahkan merasa malu untuk bertemu muka dengan Sui Cin, maka dengan cepat sekali dia sudah melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam yang mulai menyelimuti tempat itu.
“Jahanam, jangan lari kau!” Hui Song membentak dan mencari-cari, akan tetapi dia tidak tahu ke jurusan mana Ci Kang melarikan diri dan pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut karena suara gaduh mereka tadi sudah menarik perhatian para penjaga dan kini banyak pengawal Bangsa Khin mulai berdatangan.
“Song-ko, mari kita pergi dari sini!” Sui Cin berkata. Dia telah mengikat baju yang robek dengan sapu tangan. “Tak perlu dicari lagi!”
Suara Sui Cin ini membuat jantung Hui Song berdebar keras saking girangnya. Sui Cin telah mengenalnya! Hal ini berarti bahwa gadis itu telah memperoleh kembali ingatannya! Akan tetapi di samping rasa girangnya, dia masih merasa terbakar oleh kemarahan.
“Tidak, aku harus mencarinya sampai dapat dan membunuhnya!” bentaknya marah.
Sui Cin mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak marah kepada Ci Kang, tapi hanya merasa heran. Tak biasanya Ci Kang bersikap seperti tadi. Dia tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar, apa lagi berani melakukan hal seperti tadi. Bukankah dahulu Ci Kang bahkan pernah mati-matian menentang Sim Thian Bu ketika saudara seperguruannya itu hendak memperkosanya?
Akan tetapi, kenapa secara tiba-tiba saja Ci Kang melakukan hal itu? Dan sikap itu timbul sesudah pemuda itu makan nasi dengan akar obat. Mula-mula mukanya menjadi merah, juga matanya, lantas tubuhnya panas sekali. Apakah tidak ada apa-apa di balik itu? Kini, melihat Hui Song marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang tanpa dipertimbangkan lebih dahulu persoalannya, dia pun merasa tidak senang.
"Kalau begitu kau carilah sendiri!" Dan Sui Cin lalu membalikkan tubuhnya dan melompat pergi.
"Cin-moi...!" Hui Song gelagapan melihat gadis itu melarikan diri dan dia cepat mengejar, takut kehilangan bayangan Sui Cin dalam kegelapan malam itu.
Sui Cin tidak menjawab malah terus melarikan diri. Mereka berkejaran dan meninggalkan perkemahan itu, melalui padang pasir yang halus dan sunyi. Bintang-bintang bertaburan di langit, merupakan kumpulan titik-titik terang yang membuat cuaca remang-remang, sejuk dan indah.
Akhirnya, di sebuah lapangan yang penuh batu-batu gunung, Sui Cin berhenti dan duduk. Hui Song menyusulnya, kemudian pemuda ini berdiri di hadapan gadis itu. Sampai lama mereka saling berpandangan tanpa berkata-kata, masing-masing mengatur pernapasan yang agak memburu karena berlari cepat tadi.
"Cin-moi... ahh, engkau telah sembuh dan mendapatkan ingatanmu kembali! Girang sekali hatiku. Dan jahanam itu! Siangkoan Ci Kang, sekali waktu aku akan membunuhnya! Akan tetapi kenapa engkau malah merawatnya, padahal bukankah siang tadi engkau pula yang merobohkannya? Engkau maju sebagai penunggang harimau itu, bukan? Cin-moi, kenapa engkau berada di daerah ini, bahkan lebih aneh lagi, mengapa engkau menjadi jagoan yang membantu nenek iblis itu?"
Dihujani pertanyaan bertubi-tubi itu, Sui Cin diam saja. Sesudah Hui Song selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya, barulah dara ini menjawab, "Song-ko, ceritaku panjang sekali. Kuharap engkau yang lebih dahulu bercerita kepadaku sejak kita berpisah dan mengapa pula engkau dapat berkeliaran di tempat ini?"
Batin Sui Cin masih terguncang karena peristiwa dengan Ci Kang tadi, maka dia belum sempat memperoleh kembali kegembiraannya dan sekarang bersikap serius. Hal ini pun dipengaruhi oleh sikap Hui Song yang agaknya sangat membenci Ci Kang, padahal dia sendiri, walau pun sikap Ci Kang tadi amat mengejutkan dan membuatnya sangat marah, masih belum merasa bahwa dia membenci pemuda putera datuk sesat itu.
Melihat sikap serius gadis itu, Hui Song juga bersikap tenang dan dia pun mencari tempat duduk di depan Sui Cin. Sejenak mereka saling berpandangan lagi dan keduanya merasa seolah-olah mereka tak pernah berpisah, apa lagi saling berpisah hingga tiga tahun lebih.
"Aaihh, alangkah cepatnya waktu berkelebat," akhirnya Hui Song berkata. "Ingatkah kau bahwa kita telah saling berpisah selama tiga tahun lebih? Akan tetapi, ketika berhadapan denganmu seperti sekarang ini, aku merasa seolah-olah kita tidak pernah saling berpisah, atau baru kemarin saja."
Sui Cin mengangguk karena memang demikian pula perasaan hatinya. "Song-ko, terlebih dahulu ceritakanlah segala pengalamanmu. Aku ingin sekali tahu mengapa engkau dapat bekerja sama dengan murid Raja Iblis di Goa Iblis Neraka itu, dan bagaimana sekarang engkau tiba-tiba berada di daerah ini pula."
"Ceritaku juga panjang, akan tetapi baiklah akan kupersingkat saja. Tiga tahun lebih yang lalu, kita saling berpisah. Engkau diajak pergi oleh locianpwe Wu-yi Lo-jin, sedangkan aku pergi mengikuti Siang-kiang Lo-jin untuk mempelajari ilmu. Nah, selama tiga tahun itu aku belajar ilmu dari suhu Siang-kiang Lo-jin. Sesudah tiga tahun, suhu menyuruh aku untuk menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng milik Jeng-hwa-pang sehubungan dengan tekad para pendekar untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Di dalam perjalanan itu aku bertemu dengan iblis betina itu. Dia menipuku, mengaku sebagai pejuang yang menentang Raja Iblis, karena itu aku membantunya mencari harta karun yang tersembunyi di dalam Goa Iblis Neraka itu. Akan tetapi harta itu lebih dahulu sudah diambil orang lain yang meninggalkan lencana Harimau Terbang di daerah utara. Dan aku terjebak, tentu telah tewas kalau tidak ada engkau yang muncul menolongku. Akan tetapi, engkau sendiri malah tertimpa bencana saat menolongku, kepalamu terluka oleh pukulan batu musuh sehingga engkau kehilangan ingatan, bahkan kemudian menyerangku. Nah, pertemuan yang hanya sebentar itu pun berakhir dan kita saling berpisah kembali. Aku lalu pergi menyelidiki ke utara dan aku sempat terlibat dalam pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan." Hui Song lalu menceritakan pengalamannya dt kota benteng itu.
"Nah, karena tak mungkin lagi menyelamatkan San-hai-koan, aku pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, bertemu dengan suhu yang menyuruhku melakukan penyelidikan kepada para suku bangsa di sini. Aku bertemu dan berkenalan dengan Lam-nong, kepala suku Mancu Timur, lantas ikut bersama rombongannya ke tempat pertemuan para suku untuk memilih pimpinan. Aku ingin menyelidiki Yelu Kim yang kabarnya adalah ketua Harimau Terbang, menyelidiki tentang harta karun dan juga tentang pergerakan para suku di sini, kemudian aku melihat engkau! Melihat pula Ci Kang, jahanam busuk itu..."
"Sekarang dengarkanlah pengalamanku," Sui Cin memotong cepat ketika mendengar Hui Song mulai hendak memaki-maki Ci Kang lagi. "Seperti juga engkau, aku mengikuti suhu Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun untuk menerima gemblengan ilmu. Lantas aku pun disuruh oleh suhu untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Di tengah jalan aku melihat kuil tempat tinggal murid Raja Iblis itu dan kaki tangannya. Aku merasa curiga dan menyelidiki mereka. Aku mendengar percakapan mereka tentang harta pusaka di Goa Iblis Neraka, maka aku melakukan penyelidikan ke situ. Aku lalu melihat engkau bersama iblis-iblis itu dan selanjutnya engkau tahu. Aku terluka, kehilangan ingatan. Dalam keadaan seperti itu, aku hampir celaka oleh Kiu-bwe Coa-li. Untung ada saudara Cia Sun yang menolongku. Akan tetapi, pada saat itu juga muncul nenek Yelu Kim yang lalu mengobati aku sampai sembuh sama sekali dari racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li, juga sembuh sama sekali dari kehilangan ingatan. Karena budinya ini, aku lalu diangkat menjadi muridnya dan menjadi pembantunya. Aku berjanji membantunya memperoleh kedudukan pimpinan dalam pemilihan jago dan aku berhasil."
"Akan tetapi, kenapa setelah engkau merobohkan Ci Kang, engkau lalu..."
Sui Cin menggerakkan tangan dengan kesal. "Dengarkanlah dulu! Engkau tahu bahwa Ci Kang pernah menyelamatkan aku dan pertandingan antara kami itu bukan urusan pribadi. Dan aku telah merobohkannya dengan menggunakan jarum merah beracun. Aku merasa sangat menyesal karena kalau tidak kuobati, mungkin dia akan celaka. Aku akan merasa menyesal bukan main kalau sampai dia mati dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pribadi kami itu. Maka aku lalu mengobatinya. Sungguh tidak kusangka sama sekali dia... dia akan melakukan hal itu..."
"Dasar orang jahat, anak seorang datuk sesat seperti Iblis Buta, mana bisa baik?"
"Aku tidak yakin, Song-ko, perbuatannya itu seperti tidak sewajarnya..."
"Ah, dia itu putera datuk sesat, tentu seorang yang jiwanya sudah kotor. Kalau dahulu dia menolongmu, bukan karena kebaikan hatinya, akan tetapi karena dia tidak ingin engkau diganggu orang lain itulah!"
"Sudahlah, Song-ko, aku tak mau membicarakan soal itu lagi. Anehnya, aku sendiri tidak mendendam atas peristiwa itu dan masih ragu-ragu, akan tetapi mengapa engkau malah ribut-ribut?"
"Kenapa tidak, Cin-moi? Melihat engkau hendak dipaksa, hatiku sudah terbakar dan tentu aku sudah menghancurkan kepalanya kalau saja dia tidak lari. Siapa yang tidak cemburu melihat itu...?"
"Cemburu...?"
"Cin-moi, masih haruskah kujelaskan lagi? Perlukah kuulangi lagi? Sui Cin, sejak dahulu sampai sekarang aku tetap mencintamu tetapi sampai saat ini pun engkau belum pernah memberi jawaban yang pasti. Sui Cin, aku cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku dan aku hampir merasa yakin bahwa cintaku tidak bertepuk tangan sebelah, bahwa engkau pun cinta padaku. Cin-moi, jawablah..." Sekarang sikap Hui Song yang biasanya gembira jenaka itu berubah menjadi serius, bahkan di dalam suaranya terdengar nada memelas dan memohon.
Hingga lama sekali Sui Cin menatap wajah pemuda itu. Hatinya diliputi kebimbangan yang membuat dia bingung sehingga sejenak tidak mampu menjawab. Harus diakuinya bahwa dia merasa amat suka, mungkin mencinta kepada pemuda ini.
Hui Song adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, budiman, dan mempunyai watak yang cocok dengannya, riang jenaka dan gembira. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa ayah ibunya tidak suka kepada orang tua pemuda ini, dan dia pun belum tahu apakah orang tua pemuda ini, ketua Cin-ling-pai, suka pula kepada ayah bundanya. Apa lagi baik dia sendiri mau pun Hui Song adalah anak-anak tunggal!
"Cin-moi..."
"Song-ko, maafkan aku. Bagaimana mungkin kita bicara tentang hal itu kalau kita berdua masih sibuk dengan urusan perjuangan yang amat penting? Raja Iblis bersama sekutunya telah menduduki San-hai-koan, dan kekuatan mereka makin membahayakan keselamatan negara. Lebih baik kita selesaikan tugas-tugas kita lebih dulu. Setelah urusan ini selesai, barulah kita sempat berpikir tentang urusan pribadi. Kalau saatnya tiba, sudah sepatutnya kalau orang-orang tua kita yang berunding mengenai hal itu, bukan kita sendiri. Bukankah begitu, Song-ko?"
Wajah Hui Song berubah merah. Dia seperti menerima teguran sehingga merasa tidak enak sendiri. Orang-orang gagah sedunia sedang sibuk bersiap-siap menanggulangi para datuk yang hendak memberontak, dan dia sendiri ribut-ribut bicara tentang cinta!
"Ahh, maafkan aku, Cin-moi. Bukan maksudku hendak melupakan perjuangan, hanya aku ingin sekali tahu dan merasa pasti tentang cinta kita. Ahh… sudahlah, engkau benar. Biar nasib kita saja yang menentukan kelak. Kalau sudah selesai perjuangan, kita akan bicara lagi dan aku tentu akan minta orang tuaku pergi kepada orang tuamu untuk meminang. Nah, sekarang marilah kita bicara tentang perjuangan. Bagaimana pendapatmu tentang usaha kita untuk menentang Raja Iblis dan kaki tangannya?"
"Aku tidak tahu, Song-ko. Aku menjadi bingung setelah mendengar bahwa Raja Ibils dan para datuk sudah bergabung dengan pasukan pemberontak di San-hai-koan dan bahkan sudah menduduki kota benteng itu. Dengan demikian tentu tidak mungkin bagi kita untuk menentang pasukan besar secara begitu saja. Kurasa akan lebih besar hasilnya apa bila aku melanjutkan perjuangan di sini, membantu nenek Yelu Kim yang akan menggerakkan para suku utara untuk menghantam pasukan pemberontak. Dengan demikian berarti aku secara tidak langsung menentang kekuasaan Raja Iblis, melawan pasukan pemberontak dengan mengandalkan pasukan suku utara."
"Tetapi para kepala suku itu pun bermaksud memberontak dan menyerang ke selatan!" Hui Song berseru.
"Itu adalah soal nanti. Kini yang terpenting adalah menentang para pemberontak, bukan? Apa bila pemberontak sudah dapat dihancurkan dan kalau para suku utara masih hendak melanjutkan gerakan mereka menyerang ke selatan, masih belum terlambat bagiku untuk meninggalkan mereka. Dengan adanya gerakan dari para suku di utara yang menyerang mereka, disertai pasukan pemerintah yang menyerang dari selatan, berarti Raja Iblis dan sekutunya akan tergencet dari utara dan selatan."
Hui Song mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat kebenaran pendapatmu tadi, Cin-moi. Baiklah, kini aku akan pergi menghadiri pertemuan para pendekar untuk melihat apa yang akan dibicarakan dan keputusan apa yang akan diambil."
"Song-ko, kalau bertemu dengan suhu, ceritakan keadaanku dan rencanaku menghadapi para pemberontak."
Mereka lalu berpisah. Sui Cin kembali ke perkemahan nenek Yelu Kim sedangkan Hui Song pergi menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Betapa pun gembira hatinya telah dapat bertemu kembali dengan Sui Cin dan melihat gadis itu telah sehat kembali, namun ada sedikit kekecewaan di dalam hati Hui Song mendengar jawaban Sui Cin mengenai cintanya, jawaban yang sama sekali masih belum meyakinkan hatinya bahwa dara itu pun mencintanya.
Cinta asmara memang lebih banyak mendatangkan rasa kekecewaan dan sengsara di dalam hati. Asmara selalu menuntut balasan! Asmara selalu mengandung cemburu, dan asmara yang tidak dibalas merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan.
Asmara adalah nafsu birahi yang menciptakan ikatan. Tapi asmara amat mengasyikkan, membuai batin setiap orang manusia sehingga manusia seperti dengan rela menentang semua kesengsaraan itu demi mencicipi madu asmara, walau pun sedikit.
Hal ini adalah manusiawi, karena semenjak lahir nafsu birahi terbawa oleh badan. Yang lebih penting adalah menyadarinya, mengenalnya sebagai satu di antara sifat-sifat badan sehingga kita tak sampai terseret dan menjadi hambanya, terikat kuat sehingga akhirnya menjadi permainan nafsu.
********************
Pemuda itu menangis seorang diri! Nampaknya amat lucu, akan tetapi juga mengharukan melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar, yang gagah perkasa seperti Siangkoan Ci Kang itu menangis!
Akan tetapi, tangis tak terlepas dari pada kehidupan setiap orang manusia, karena hidup ini memang merupakan tempat bagi tawa dan tangis untuk silih berganti mengisi batin manusia. Tangis merupakan alat pelepas semua ganjalan dalam batin, pelepas semua kedukaan dan kekecewaan. Orang yang tidak bisa menangis, yang tidak memiliki tangis sebagai pelepasan duka, tentu kesehatannya akan terganggu.
Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda yang semenjak kecil hidup dalam lingkungan yang keras dan boleh dibilang tidak pernah mengenal tangis. Semenjak kecil hampir tidak pernah dia menangis. Segala derita batin diterimanya dengan gigitan bibir. Namun, hal itu bukan berarti dia tidak pernah menangis di dalam batinnya. Hanya karena kerasnya hati maka tangis tidak sampai tersalur keluar dari mulut.
Akan tetapi sekarang, menghadapi pengalaman yang bertubi-tubi yang amat menyakitkan hatinya, sesudah berada seorang diri di tempat yang sunyi itu, Ci Kang tidak kuasa lagi membendung air matanya lantas dia pun menangis tersedu-sedu sambil berlutut di atas tanah dan menutupi muka dengan kedua tangannya!
Dan begitu air matanya mengucur, bagaikan air yang sudah lama terbendung dan sudah terlalu penuh, tangisnya pun menjadi-jadi. Terbayanglah segala pengalaman yang sangat menyedihkan dan mengecewakan hatinya dan dia pun membiarkan semua rasa duka itu mengalir keluar melalui air matanya.
Tangis timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan iba diri ini timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua pengalaman yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati.
Pikiran mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan hal ini kemudian menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seakan-akan berubah menjadi tangan yang mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri hingga air mata pun bercucuran keluar. Jika sudah begitu, maka kesadaran akan kenyataan pun menjadi kabur dan pikiran yang menguasai perasaan itu pun membayangkan bahwa dirinya merupakan orang yang paling sengsara, paling menderita di dalam dunia ini.
Dengan demikian, maka nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul akibat pikiran yang mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tak menyenangkan. Andai kata pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua yang telah terjadi itu, adakah duka?
Hal ini hanya dapat kita ketahui dengan mempelajari dan mengamati diri sendiri. Tidak akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak akan ada rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan masa depan.
Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini tentu bersebab. Akan tetapi pikiran kita yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan membuat kita sering kali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab dari pada peristiwa yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan perbuatan kita sendiri sebelum peristiwa itu terjadi.
Mungkinkah bagi kita manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita tak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya lagi sebagai sesuatu yang menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju kepada saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada masa lalu atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang?
Terikat kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut. Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Betapa indahnya, betapa bahagianya! Bukan berarti tak peduli, bukan berarti masa bodoh, melainkan justru waspada karena bukankah hidup adalah SEKARANG INI? Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup. Masa lalu sudah lewat, sudah mati. Masa depan hanya khayal, belum ada.
Ketika menangis amat sedihnya itu, pikiran Ci Kang penuh dengan kenangan-kenangan yang mengecewakan hatinya. Teringat dia akan semua nasibnya, sejak dia dimusuhi oleh ayahnya sendiri sehingga hampir saja dia dibunuh oleh ayahnya. Betapa senangnya dia menentang kejahatan yang dilakukan oleh ayahnya bersama teman-teman ayahnya, akan tetapi hal ini membuat dia dibenci oleh golongan sesat.
Kemudian, dalam usahanya menjadi orang baik, lalu menggabungkan diri dalam golongan pendekar, dia tidak dipercaya, bahkan dimusuhi oleh para pendekar, dianggap sebagai putera datuk sesat yang tentu jahat pula. Dan berita tentang kematian ayahnya di tangan Raja Iblis, sungguh pun dia merasa bangga bahwa pada saat terakhir hidupnya, ayahnya menentang raja datuk sesat itu, bahkan mengorbankan nyawanya, akan tetapi tetap saja kenangan akan ayah kandungnya yang tak pernah akrab dengannya itu menghancurkan perasaannya pula.
Kemudian sekali, pengalaman yang baru-baru ini dialami bersama Sui Cin! Dia tahu betul bahwa semenjak pertemuannya pertama dengan gadis pendekar itu, ketika dia menolong Sui Cin dari ancaman tangan kotor Sim Thian Bu, dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali, bahkan dalam pertemuannya tadi, ketika dia diobati gadis itu, dia merasakan benar betapa sejak dahulu dia telah jatuh cinta kepada nona itu!
Dan teringatlah dia akan ulahnya terhadap Sui Cin. Gadis itu mengobatinya, merawatnya, menyuapkan nasi ke mulutnya! Bukan main kenyataan ini! Akan tetapi apa yang sudah dilakukannya tadi? Dia sudah membalas kebaikan hati gadis itu dengan perbuatan yang tak senonoh! Dia telah menghina gadis itu! Makin dibayangkan perbuatannya tadi, makin hancurlah hatinya dan dia merintih-rintih.
"Ya Tuhan... apa yang telah kulakukan tadi...?" Dia mengeluh dan menjatuhkan dirinya di atas tanah, rebah menelungkup sambil menangis!
Batin yang kemasukan satu di antara perasaan girang, susah, takut dan sebagainya akan kehilangan kepekaannya dan biar pun Ci Kang seorang pemuda terlatih yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, namun dalam keadaan menangis dan tenggelam di dalam lautan kedukaan itu dia menjadi lengah. Sama sekali dia tidak tahu ketika ada bayangan orang berkelebat dengan gerakan yang amat cepat dan ringan.
Bayangan itu tahu-tahu telah berada dekat sekali dengan Ci Kang. Ketika sekali tangan kanannya bergerak, tubuh Ci Kang mengejang lalu lemas dan tidak mampu bergerak lagi, karena jalan darahnya telah tertotok secara amat lihai!
"Hi-hik-hik, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku, manusia sombong!" Bayangan yang ternyata seorang wanita itu tertawa mengejek, kemudian menggunakan kaki kirinya untuk membalikkan tubuh Ci Kang yang sudah lemas itu sehingga terlentang.
Ci Kang yang tiba-tiba saja merasa tubuhnya lemas dan lumpuh memandang wanita itu. Seorang wanita cantik, bajunya kembang-kembang, perawakannya ramping, pakaiannya sederhana dengan hiasan rambut setangkai kembang. Akan tetapi alis Ci Kang berkerut melihat wanita muda yang cantik ini karena dia mengenalnya sebagai seorang iblis betina yang amat lihai dan berbahaya, juga amat kejam. Gadis ini bukan lain adalah Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi), murid Raja Iblis!
Tahulah Ci Kang bahwa dia sedang berada dalam ancaman bahaya maut. Iblis ini tentu tidak akan mau melepaskan dirinya, dan dia merasa heran mengapa totokan tadi bukan merupakan serangan maut, karena kalau hal itu dilakukan, tentu kini dia sudah tewas.
Kemudian teringat olehnya akan watak cabul wanita ini yang dulu pernah membujuk rayu padanya. Teringat akan ini, dia maklum bahwa tentu sekarang pun, sebelum membunuh dirinya, wanita cabul ini akan mengulangi lagi usaha dan bujuk rayunya. Dia merasa sebal dan merasa lebih baik mati saja, apa lagi hatinya sedang berduka seperti itu. Memang kematian lebih baik baginya, sebagai hukuman atas perbuatannya terhadap Sui Cin tadi.
"Iblis betina, engkau sudah merobohkan aku dengan curang seperti seorang pengecut. Nah, tidak perlu lagi engkau mengulangi perbuatanmu yang hina dan tak tahu malu, tidak perlu lagi engkau merayuku. Kalau engkau memang gagah, bebaskan aku kemudian kita bertanding sampai mati, atau kalau memang engkau seorang pengecut hina seperti yang kuduga, lekas bunuh saja aku!" katanya sambil memandang dengan mata melotot penuh tantangan.
Akan tetapi, Siang Hwa yang dimaki-maki itu hanya tersenyum mengejek, sama sekali tidak memperlihatkan sikap marah. Dengan lagak genit dia menggunakan telunjuk tangan kirinya mengelus dagu Ci Kang. "Ehm, tampan! Jangan dikira bahwa hanya engkau saja laki-laki tampan di dunia ini. Kalau engkau menolak melayaniku, masih ratusan orang pria tampan yang siap untuk menyenangkan hatiku. Dan tentang membunuhmu, tentu saja aku akan membunuhmu, akan tetapi jangan mengira engkau akan mati dengan nyaman. Hi-hik, tidak, tampan, karena engkau menyakitkan hatiku dengan penolakanmu, engkau akan mati perlahan-lahan dan dengan sengsara sekali. Aku akan menyayat-nyayat semua kulit badanmu sampai penuh darah, lantas kutinggalkan engkau di sini dalam keadaan seperti itu biar engkau dikeroyok semut dan dipatuk burung-burung sampai engkau mati dengan siksaan hebat. Nah, menarik sekali, bukan?"
Akan tetapi, sebaliknya Ci Kang juga tak nampak gentar sama sekali. Dia sudah bertekad untuk menghadapi kematian dengan tabah. "Perempuan iblis busuk, pengecut jahanam, tak perlu banyak mengeluarkan omongan busuk lagi, bunuhlah kalau mau bunuh, dengan cara apa pun juga, aku tidak takut mati!" Dan Ci Kang lalu memejamkan mata seperti orang yang merasa muak dan hendak tidur, tidak lagi mau mempedulikan gadis itu.
Sesungguhnya perbuatan ini dilakukan untuk menyembunyikan rasa sesal dan malunya. Dia memaki-maki wanita iblis ini sebagai wanita yang hina dan busuk, wanita yang cabul. Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Apa yang sudah dilakukannya terhadap Sui Cin hampir tidak ada bedanya dengan kecabulan yang dilakukan wanita ini. Memaksakan hasrat dan gejolak birahi kepada orang lain.
Gui Siang Hwa telah mengenal watak seorang pendekar muda seperti Ci Kang yang amat keras hati ini. Dia tahu bahwa percuma saja membujuk pemuda ini, baik untuk menjadi kekasihnya atau menjadi pembantu gurunya.
Dan orang yang tidak mau bekerja sama berarti musuh, apa lagi orang yang mempunyai kelihaian seperti pemuda ini. Sungguh bisa berbahaya sekali. Maka, jalan terbaik adalah membunuhnya!
Ia kemudian mencabut pedangnya dan siap untuk melaksanakan ancamannya tadi, yaitu merobek-robek kulit tubuh pemuda itu dan membiarkannya tergolek di situ dalam keadaan lumpuh dan penuh luka supaya dia mati perlahan-lahan kehabisan darah dan dikeroyok binatang-binatang kecil yang tentu akan tertarik oleh bau darah.
"Hi-hik, lebih dulu aku akan membikin putus otot-otot kaki tanganmu agar sesudah bebas dari totokan engkau tidak akan mampu bergerak lagi!" kata Gui Siang Hwa.
Pedangnya diangkat ke atas, lalu berkelebat ke arah lutut kiri Ci Kang.
Akan tetapi, tiba-tiba pedang itu berhenti di udara, tertahan oleh sesuatu yang amat kuat. Siang Hwa terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa pedangnya itu telah terlibat oleh bulu-bulu panjang sebuah kebutan berwarna putih yang gagangnya dipegang oleh seorang gadis remaja yang berdiri sambil memandang kepadanya dengan sepasang mata berapi penuh teguran!
Gadis ini paling banyak delapan belas tahun usianya. Wajahnya agak pucat, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar mencorong! Pakaiannya amat sederhana, rambutnya pun dibiarkan riap-riapan ke belakang.
"Engkau orang jahat!" Gadis ini menegur Siang Hwa dengan suara halus. "Engkau mau membunuh orang begitu saja, orang yang sudah tidak sanggup melawan sama sekali. Sungguh jahat!"
Akan tetapi Siang Hwa marah bukan main. Gadis muda ini cukup cantik dan mengingat bahwa Ci Kang selalu menolaknya, kemudian muncul gadis ini yang membela Ci Kang, mudah diduga bahwa gadis ini tentulah merupakan kekasih Ci Kang. Dia merasa betapa libatan bulu kebutan itu mengendur, maka ia pun lalu menarik pedangnya dan menghadapi gadis itu dengan senyum mengejek. Tentu saja dia memandang rendah gadis bertampang pucat seperti orang berpenyakitan ini.
"Hi-hik, engkau hendak menemaninya mampus? Baik, akan kukirim engkau lebih dulu ke neraka!" Berkata demikian, pedangnya menyambar ganas ke arah leher gadis itu.
Akan tetapi Siang Hwa kecelik kalau mengira bahwa pedangnya akan mudah merobohkan lawan hanya dengan sekali serang saja. Dia tadi mengeluarkan jurus yang penuh tipuan, pedangnya meluncur menusuk ke arah tenggorokan, akan tetapi sebenarnya pedang itu hanya menggertak saja karena secara tiba-tiba pedang yang meluncur itu berubah arah dan membacok ke bawah, ke arah perut!
Hebatnya, gadis bermuka pucat itu agaknya sudah mengenal gerak serangan ini, karena dia sama sekali tidak melindungi lehernya, melainkan menangkis ke depan dada dengan gagang kebutannya sehingga secara tepat sekali dia menggagalkan serangannya ke arah perut.
"Tranggg...!"
Dan Siang Hwa mundur dua langkah dengan kaget karena tangkisan gagang kebutan itu membuat lengannya tergetar, juga gerakan menangkis tadi amat dikenalnya. Dengan penasaran Siang Hwa lantas menyerang lagi sambil memutar pedangnya dengan amat cepat. Dia menerima pelajaran ilmu pedang dari Raja dan Ratu Iblis, tentu saja ilmu pedangnya sangat ganas dan berbahaya. Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ganas ke arah lawan.
Akan tetapi, keheranan hati Siang Hwa semakin menjadi-jadi ketika lawannya itu mampu mengelak atau menangkis, menghindarkan semua serangannya dengan amat mudah dan seolah-olah semua gerakan serangannya itu telah diduga lebih dahulu. Dia terkejut bukan main saat lawannya membalas dengan serangan ujung kebutan sehingga terpaksa Siang Hwa harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mempertahankan diri karena serangan balasan lawannya itu benar-benar sangat hebat. Ujung kebutan itu terus menyambar-nyambar dan setiap helai bulu kebutan seperti hidup, kadang-kadang berubah kaku seperti kawat-kawat baja tapi kadang-kadang lemas sekali dan dapat menyerang ke arah jalan darah.
Ci Kang tidak merasa heran melihat betapa dara muda yang baru saja datang ini mampu menandingi Siang Hwa. Begitu membuka matanya memandang, dia langsung mengenali gadis itu yang bukan lain adalah Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis yang tinggal di dalam goa bawah tanah itu.