HANYA kaum tua yang mewakili partai-partai besar itu saja yang mengenal empat orang ini lantas memperkenalkan mereka dengan sikap hormat kepada para pendekar. Mereka ini adalah Ciu-sian Lo-kai, Go-bi San-jin, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Seperti sudah kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai adalah guru Ci Kang, Go-bi San-jin menjadi guru Cia Sun. Wu-yi Lo-jin menjadi guru Sui Cin sedangkan Siang-kiang Lo-jin menjadi guru Hui Song.
Dan mereka berempat ini bukanlah asing satu sama lain. Puluhan tahun yang lalu mereka merupakan empat di antara tokoh penting di dunia persilatan yang sudah dikalahkan dan ditaklukkan oleh Raja Iblis, lalu mereka mengundurkan diri dari dunia ramai untuk bertapa dan memperdalam ilmu.
Dua orang di antara mereka sudah meninggal dunia dalam pertapaan mereka dan empat orang kakek ini pun tadinya sudah mengambil keputusan hendak mengasingkan diri dan tidak mencampuri urusan duniawi sampai mati. Akan tetapi, kini mereka semua terpaksa bangkit dan turun tangan sesudah mendengar betapa Raja Iblis telah muncul kembali ke dunia ramai, bahkan sedang merencanakan pemberontakan sesudah berhasil menguasai para datuk golongan hitam. Dan seperti yang kita ketahui, mereka telah mengambil murid pilihan masing-masing yang kemudian sengaja mereka gembleng dan mereka wariskan semua ilmu mereka kepada murid-murid itu untuk kelak dapat dipergunakan menghadapi Raja Iblis.
Puluhan tahun yang lalu pernah terjadi kelucuan antara Ciu-sian Lo-kai dan Wu-yi Lo-jin. Karena keduanya tukang minum arak, dan keduanya selalu membawa guci arak, ketika saling bertemu terjadilah keributan di antara mereka, yaitu saling memperebutkan julukan Ciu-sian (Dewa Arak). Untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai julukan Dewa Arak, keduanya lalu bertanding, bukan bertanding silat, melainkan bertanding minum arak dengan sewajarnya tanpa mempergunakan akal dan ilmu sinkang.
Dalam pertandingan ini, sesudah mereka berdua menghabiskan belasan guci besar arak yang kiranya bisa untuk menjamu dua ratus orang, akhirnya Wu-yi Lo-jin menyerah kalah! Dan mulai saat itu pula kakek berpakaian jembel berhak memakai julukan Ciu-sian Lo-kai, sedangkan kakek yang selalu berpakaian mewah memakai julukan Wu-yi Lo-jin, biar pun julukan Ciu-sian atau Dewa Arak masih menempel secara tidak resmi pada dirinya.
Pertemuan antara empat orang kakek itu menggembirakan mereka dan mereka merasa muda kembali dan penuh semangat perjuangan. Mereka berempat ini bersama beberapa orang kakek tokoh partai-partai persilatan yang besar berada di dalam lingkaran itu, dekat api unggun, dikelilingi oleh para pendekar dari berbagai aliran. Tanpa pemilihan dan tanpa diumumkan, empat orang ini lantas dipandang sebagai pimpinan, apa lagi karena mereka berempat itulah yang sudah mengenal Raja Iblis, juga kesaktiannya yang sangat tersohor dan menggemparkan dunia persilatan.
Wu-yi Lo-jin yang usianya sudah sangat lanjut, delapan puluh tahun lebih, masih nampak sehat dan gembira. Kepalanya gundul botak. Alis, kumis, jenggot dan sedikit rambut yang tersisa di belakang kepalanya sudah putih semua. Jenggotnya putih panjang sampai ke perut. Pakaiannya berkembang-kembang, dari kain yang baru dan indah.
Beberapa kali dia minum arak dari gucinya yang besar tanpa menawarkan kepada orang lain. Kini nampak dia menggerakkan tangan kiri ke atas dan berkata, "Mati pun aku tidak akan dapat memejamkan mataku bila mana Raja Iblis itu belum terbasmi habis sampai ke akar-akarnya!"
"Bicara memang enak dan mudah, akan tetapi pelaksanaannya yang amat sulit!" Ciu-sian Lo-kai yang selalu memiliki perasaan bersaing dengan Dewa Arak yang lain itu mencela. "Aku kira menentang Raja Iblis sekarang ini sama artinya dengan menentang puluhan ribu orang prajurit. Dia telah menguasai San-hai-koan dan sudah bergabung dengan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Ji Sun Ki. Mana mungkin kita mengandalkan kaki tangan biasa saja untuk menempuh dan melawan pasukan yang terdiri dari laksaan orang? Kita harus mencari cara yang lebih tepat."
"Betul, memang sekarang ini, dengan jumlah kita yang hanya seratus orang lebih, kiranya tidak mungkin melawan laksaan orang prajurit. Tadinya kita bermaksud untuk menentang Raja Iblis bersama antek-anteknya yang tentu jumlahnya tidaklah terlalu besar bagi kita. Hui Song, muridku, sudah kuperintah melakukan penyelidikan di antara para kepala suku karena di sana pun teriadi pergerakan-pergerakan. Hui Song, coba kau ceritakan semua yang kau ketahui," kata Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas kepada pemuda itu.
Dewa Kipas ini masih tetap gendut sekali perutnya. Kepalanya botak, dengan sedikit saja rambut pada belakang kepala. Jubahnya, seperti biasa, tidak dapat tertutup saking besar perutnya dan juga karena memang tidak suka hawa panas. Kipasnya yang amat lebar itu kini berkembang dan digerak-gerakkan ke arah perutnya. Kakek berusia tujuh puluh tahun lebih ini pun masih nampak sehat.
Hui Song lalu bangkit berdiri di antara mereka yang duduk membentuk lingkaran sehingga semua mata ditujukan kepadanya. Dia lalu menceritakan tentang segala yang dialaminya, mulai dari jatuhnya kota San-hai-koan sampai pada para kepala suku yang mengadakan pertemuan dan pemilihan pimpinan.
"Dengan adanya pemberontakan yang terjadi di kota San-hai-koan, para kepala suku liar itu telah mengambil keputusan hendak mempergunakan kesempatan untuk membonceng keadaan dan mulai gerakan mereka ke selatan untuk menghidupkan kembali kekuasaan bangsa utara. Pertama-tama mereka akan menyerang para pemberontak dan mengambil alih kota-kota yang telah diduduki oleh para pemberontak, kemudian menyusun kekuatan dan bergerak terus ke selatan." Demikian dia mengakhiri ceritanya.
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ahhh, kalau begitu, sama saja dengan kita melibatkan diri ke dalam urusan pemerintah dan pemberontakan. Padahal, bukan demikian maksud kita semula. Kita hanya bergerak untuk menentang Raja Iblis," kata Go-bi San-jin, kakek berjubah pendeta, jubahnya bersih dan baru, mukanya hitam dan matanya lebar menambah kegagahan kakek berusia tujuh puluh tahun yang tubuhnya tinggi besar ini. "Kalau saja kita bisa menyerbu Raja Iblis dan antek-anteknya selagi mereka semua berada di tempat persembunyian Raja Iblis, tentu kita tidak perlu berurusan dengan pasukan pemerintah mau pun pasukan pemberontak. Muridku sudah berhasil menemukan tempat persembunyian Raja Iblis itu. Cia Sun, lekas ceritakan pengalamanmu."
Cia Sun bangkit berdiri, kemudian dia bercerita tentang gedung kuno di lereng bukit yang menjadi tempat persembunyian dan pertapaan Raja dan Ratu Iblis. "Akan tetapi, agaknya akan sukar menemukan mereka di tempat itu," katanya sebagai penutup penuturannya. "Setelah kota San-hai-koan mereka rampas, tentu Raja Iblis dan para kaum sesat itu ikut memasuki kota untuk mempertahankan kota itu."
"Walau pun demikian," bantah Go-bi San-jin, "apa bila pasukan pemberontak itu sampai dipukul hancur, tentu tempat itu menjadi tempat pelarian Raja Iblis dan Cap-sha-kui. Nah, kalau mereka sudah lari ke sana, barulah kita dapat menyergap dan menyerang mereka tanpa adanya campur tangan pasukan."
"Semua itu tidak penting," Wu-yi Lo-jin berkata, "kini yang penting adalah bagaimana kita akan bertindak selanjutnya. Sayang bahwa muridku belum datang memberi laporan."
Tiba-tiba Hui Song bangkit berdiri dan berkata, "Locianpwe, saya sudah bertemu dengan nona Ceng Sui Cin. Dia sekarang membantu nenek Yelu Kim yang telah diangkat menjadi pemimpin para kepala suku. Dia berpendapat bahwa untuk menentang Raja Iblis yang sudah bergabung dengan pasukan pemberontak, harus dilakukan dengan menggunakan pasukan pula. Karena itu, dia akan membantu para suku liar kalau mereka menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutu Raja Iblis."
"Bagus sekali!" Wu-yi Lo-jin berkata girang. "Ahh, muridku memang cerdik sekali. Melihat keadaannya sekarang, tidak ada jalan lain bagi kita untuk menentang Raja Iblis kecuali dengan jalan membantu pasukan-pasukan yang menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutunya itu. Sebaiknya kita berpencar, masing-masing harus mengambil jalan dan cara sendiri, baik secara perseorangan mau pun bergabung dan membantu pasukan pemerintah atau pasukan mana saja yang menentang Raja Iblis dan sekutunya."
Semua orang merasa setuju dengan usul ini. Memang kebanyakan para pendekar lebih senang bekerja sendiri-sendiri secara bebas, tidak ditentukan oleh siasat suatu pimpinan, walau pun tujuan dari gerakan mereka mempunyai arah yang sama dan tertentu, yakni menentang kekuasaan Raja Iblis. Maka, mendengar ucapan para tokoh tua itu, mereka menerimanya dengan gembira.
Hanya Ciu-sian Lo-kai seorang yang tidak nampak gembira. Kemuraman tipis menyelimuti wajahnya yang biasanya gembira itu. Dia merasa kecewa karena muridnya, Siangkoan Ci Kang, tidak muncul di dalam pertemuan itu. Akan tetapi, dia tidak mau memperlihatkan kekecewaannya ini dan dia hanya menggunakan pandang matanya untuk melihat-lihat ke sekeliling tempat itu dengan harapan kemunculan Ci Kang yang amat dlharapkannya.
Tiba-tiba sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, bukan karena melihat Ci Kang, akan tetapi karena dia melihat gerakan orang-orang di luar tembok bekas benteng itu dan sebagai seorang pendekar yang sudah banyak memiliki pengalaman, dia dapat menduga apa artinya gerakan orang-orang ini.
Mendadak kakek ini meloncat ke depan dan menginjak-injak api unggun sambil berseru, "Semua berpencar! Kita dikepung!"
Mendengar ini dan melihat sepak terjang Ciu-sian Lo-kai, semua orang menjadi terkejut. Para tokoh tua yang melihat betapa orang seperti Ciu-sian Lo-kai terlihat amat gugup dan tegang, mengerti bahwa tentu keadaannya gawat, maka mereka pun cepat turun tangan membantu memadamkan api unggun.
"Berpencar dan bersembunyi!" teriak Go-bi San-jin.
"Lihat dulu siapa mereka! Kalau pasukan sekutu Raja Iblis, kita lawan mati-matian!" kata pula Wu-yi Lo-jin.
"Buka jalan darah dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing!" teriak Siang-kiang Lo-jin yang maklum bahwa kalau pasukan yang datang dalam jumlah yang amat banyak, melawan pun tidak akan menguntungkan.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi terompet disusul derap kaki banyak orang dan benar saja, tempat itu telah dikepung oleh sedikitnya seribu orang prajurit yang sekarang menyerbu ke dalam benteng kuno itu sambil bersorak-sorak. Dengan senjata golok atau pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri, pasukan besar itu menyerbu ke dalam benteng, dipimpin oleh beberapa orang yang amat lihai gerakannya.
Tentu saja para pendekar yang sudah siap itu lalu menyambut dengan perlawanan secara mati-matian dan terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam pekarangan luas itu, dalam cuaca yang remang-remang karena hanya disinari bulan purnama.
Pasukan yang menyerbu itu dipimpin oleh Gui Siang Hwa, lalu nampak orang-orang yang pakaiannya dan perawakannya aneh, namun mereka ini memiliki gerakan yang amat lihai. Mereka ini adalah orang-orang Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain. Kiranya Raja Iblis telah mengetahui adanya pertemuan para pendekar itu sebagai hasil penyelidikan Siang Hwa dan pembantunya.
Gadis murid Raja Iblis yang amat cerdik ini memang amat lincah dan pandai menyebar orang-orangnya. Mendengar adanya pertemuan para pendekar di daerah utara, Raja Iblis lalu mengirim pasukan dari San-hai-koan berjumlah seribu orang lebih yang dibantu dan dipimpin oleh Siang Hwa bersama para datuk Cap-sha-kui. Raja Iblis menghendaki agar semua pendekar yang berada di benteng tua Jeng-hwa-pang itu ditumpas habis.
Di sebelah Siang Hwa nampak seorang pemuda tampan yang gerakannya juga sangat gagah. Pemuda ini adalah Sim Thian Bu! Seperti kita ketahui, Sim Thian Bu adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta. Bagaimanakah murid itu malah membantu pasukan Raja Iblis, padahal gurunya tewas di tangan Ratu Iblis?
Agaknya Sim Thian Bu tidak menaruh dendam atas kematian gurunya. Dua hari yang lalu, pada suatu pagi, dia yang melakukan perjalanan seorang diri tiba di lereng sebuah bukit yang amat sunyi, di sebuah padang rumput. Tiba-tiba Thian Bu berpapasan dengan Siang Hwa yang menunggang kuda. Biar pun dia sedang berjalan kaki dan penunggang kuda itu membalapkan kuda dengan cepat sekali, namun Thian Bu yang mata keranjang itu dapat melihat bahwa penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda yang cantik sekali.
Sebaliknya, biar pun dia tengah sibuk dengan segala macam urusan pemberontakan yang dibantunya, namun melihat seorang pemuda gagah dan ganteng berada seorang diri di tempat sunyi itu, Siang Hwa segera merasa tertarik sekali. Ia menghentikan kudanya dan memutar kudanya, menjalankan kuda itu menghampiri Thian Bu.
Pemuda ini pun sudah merasa amat tertarik dan gembira sekali, maka setelah Siang Hwa menghentikan kudanya di hadapannya, dia memandang sambil tersenyum. Mereka saling pandang, saling memperhatikan, lantas keduanya tersenyum, terpesona oleh keanggunan masing-masing.
"Selamat pagi, nona!" Thian Bu yang memang jagoan dalam menghadapi dan mengambil hati wanita itu berkata dan memberi hormat dengan sikap sopan, wajahnya berseri penuh keramahan. "Sungguh mengejutkan sekali di tempat seperti ini bertemu dengan seorang wanita cantik jelita seperti nona. Sebuah kejutan yang sangat menggembirakan hati. Dari mana hendak ke manakah nona yang sendirian saja di tempat liar ini?"
Siang Hwa tersenyum, senyum manis yang penuh daya pikat. Dia senang sekali melihat sikap pemuda tampan itu. "Pertanyaan yang sama benar dengan yang berada di dalam hatiku. Siapakah engkau yang berada seorang diri di tempat sunyi ini?"
Thian Bu tertawa gembira. Seorang wanita yang selain cantik serta menggairahkan, juga tidak pemalu. Dan melihat pedang yang tergantung di punggung itu, dia dapat menduga bahwa wanita ini bukan orang lemah, apa lagi kenyataan bahwa seorang diri wanita ini berani berkeliaran di tempat liar penuh bahaya itu.
"Nona, namaku Sim Thian Bu. Senang sekali berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona dan bagaimana seorang gadis cantik jelita seperti nona dapat berada di tempat liar seperti ini?"
Siang Hwa tersenyum. Pemuda ini sungguh menarik hatinya. "Engkau sungguh tabah, berani berada seorang diri di tempat ini. Tidak takutkah kau bertemu dengan suku-suku liar? Ataukah engkau termasuk seorang pendekar yang akan menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang?"
"Ha-ha, seorang gadis muda cantik seperti nona tidak takut bersendirian di sini, apa lagi seorang laki-laki seperti aku."
"Akan tetapi aku dapat membela diri dengan baik, kaki tanganku berikut pedangku akan mampu menghalau semua bahaya yang mengancam diriku."
"Aku pun tidak takut akan bahaya, nona, dan selama ini kaki dan tanganku pun mampu melindungi diriku dari ancaman bahaya. Ehh, nona belum memperkenalkan diri. Siapakah nama nona yang cantik dan gagah?"
Siang Hwa semakin tertarik dan dia pun meloncat turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya makan rumput yang hijau subur dengan membuka kendali kudanya.
"Aihh, benarkah engkau ahli membela diri? Tentu ilmu silatmu tinggi sekali. Nah, mari kita bermain silat sebentar, kalau ternyata engkau mampu menandingi aku, barulah aku akan memperkenalkan namaku. Tapi kalau engkau ternyata hanya seorang pemuda biasa saja, tidak perlu aku memperkenalkan nama."
Melihat pemuda yang tampan, nampak gagah dan bersikap menarik serta pandai merayu itu, timbul gairah dan kegembiraan di dalam hati Siang Hwa. Dia sudah terlalu lama sibuk mengurus hal-hal yang serius, karena itu dia membutuhkan hiburan sebagai selingan dan pemuda ini, baik dari wajahnya, bentuk tubuhnya mau pun sikapnya menjanjikan hiburan manis yang menyenangkan.
Sebaliknya, Thian Bu adalah seorang mata keranjang yang selalu tertarik apa bila melihat wanita cantik, maka sikap Siang Hwa sungguh menggembirakan hatinya. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada bermain cinta dengan seorang wanita cantik, dan bermain silat dengan wanita cantik pun tidak kalah menggembirakannya. Karena itu dia pun cepat meloncat ke belakang mencari tempat yang lebih enak agak menjauhi kuda.
"Mari nona, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, aku tidak biasa bertanding tanpa taruhan. Oleh karena itu, mari kita bertaruh dalam pertandingan silat ini," ajaknya sambil bertolak pinggang dengan sikap gagah.
Siang Hwa tersenyum gembira lantas menggulung lengan bajunya. Nampaklah sepasang lengan yang berkulit putih bersih dan berbentuk bulat indah. Dia pun bertolak pinggang dengan sikap menantang, akan tetapi wajahnya berseri gembira.
"Baik, apa taruhannya?"
"Kalau aku sampai kalah olehmu, maka aku akan menurut segala permintaanmu," jawab Thian Bu.
"Akur! Apa pun yang kuperintahkan harus kau taati. Dan kalau aku kalah?"
"Tentu sama juga, semua permintaanku harus kau penuhi."
Keduanya saling pandang sambil tersenyum karena mereka sudah sama-sama tahu apa maksud yang tersembunyi di balik taruhan itu.
"Nah, mari kita mulai. Lihat seranganku!" Siang Hwa membentak dan dia pun menyerang dengan cepat, mengayun tangannya menyambar ke arah dada Thian Bu.
Pemuda itu melihat datangnya serangan yang sangat cepat dan didahului angin pukulan kuat, diam-diam terkejut karena dia tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata demikian cepat dan kuatnya. Dia pun menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukkk...!" Keduanya terpental akan tetapi Sim Thian Bu sampai terhuyung.
"Aihhhh...!" Kini dia benar-benar kaget dan Siang Hwa tertawa mengejek lalu menyerang lagi.
Karena maklum bahwa gadis itu ternyata jauh lebih lihai dari pada yang dikiranya, dia pun segera menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang seru dan ramai. Keduanya memang sudah saling tertarik maka tentu saja tidak suka saling melukai, namun bagaimana pun juga, keduanya sama-sama ingin keluar sebagai pemenang karena tentu akan lebih senang memerintah dari pada mentaati perintah.
Setelah perkelahian berlangsung selama lima puluh jurus, diam-diam Siang Hwa merasa gembira sekali. Pemuda ini bukan hanya ganteng, akan tetapi juga cukup lihai sehingga cukup berharga untuk dijadikan kekasih merangkap pembantunya!
Sebaliknya, Thian Bu mulai merasa khawatir ketika memperoleh kenyataan pahit bahwa dia tidak mampu mengatasi lawannya. Dia khawatir bahwa kalau sampai dia kalah, wanita ini mengajukan permintaan bukan seperti yang diharapkannya, namun yang malah akan memberatkan dirinya. Kalau dia menang, tentu dia tidak hanya akan minta supaya wanita itu mengakui namanya, akan tetapi juga akan minta agar wanita itu suka melayaninya dan menjadi kekasihnya untuk beberapa hari lamanya!
Maka dia pun mengeluarkan seluruh tenaganya dan mengerahkan semua kepandaiannya. Bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa dia kalah setingkat. Dia mulai terdesak dan tiba-tiba saja, dalam keadaan terdesak dan menghadapi serangan bertubi-tubi itu lututnya disentuh ujung sepatu Siang Hwa.
Thian Bu merasa betapa kaki kanannya kesemutan dan seperti lumpuh, maka pada saat tangan Siang Hwa mendorong dadanya, dia pun terjengkang dan terjatuh ke atas tanah yang bertilamkan rumput tebal. Sebelum dia dapat melompat bangun, Siang Hwa sudah menubruknya, menekan pundaknya dengan jari tangan mengancam ubun-ubun kepalanya dan wanita itu tersenyum menghardik,
"Engkau sudah kalah!"
Melihat sikap dan senyum itu, Thian Bu tersenyum pula. "Ya, aku sudah kalah. Aku sudah takluk dan akan mentaati permintaanmu."
"Bagus! Nah, kau peluklah aku, kau cintailah aku!"
Thian Bu terbelalak girang, langsung merangkul dan menarik wanita itu ke atas tubuhnya. "Ha-ha-ha, itulah yang akan kuminta kalau aku menang!"
"Kau kira aku tidak tahu?" Siang Hwa juga berkata dan balas merangkul.
Mereka berciuman dan bergumul di atas rumput tebal di tempat yang sunyi itu. Memang dua orang ini seperti lalat dengan sampah, cocok satu sama lain sehingga setelah saling bertemu, mereka seperti merasa memperoleh tandingan yang menyenangkan dan cocok sekali. Sampai matahari naik tinggi mereka masih lupa diri dan tenggelam dalam lautan kenikmatan mengumbar nafsu mereka sepuasnya.
Sesudah puas bermesraan dengan kekasih barunya itu, Siang Hwa mengajak Thian Bu duduk berteduh di bawah pohon. Sambil memegang tangan pemuda itu dan menatapnya dengan sinar mata mesra, dia berkata, "Sim Thian Bu, engkau adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin, bukan?"
Bagi Thian Bu, ucapan ini tidak mengejutkan. Nama gurunya memang sangat terkenal di dunia dan sejak tadi dia pun dapat menduga bahwa wanita yang sangat menyenangkan hatinya ini tentu dari golongan sesat. Yang membuat dia merasa tak enak adalah karena dia sendiri belum mengenal siapa adanya wanita ini, walau pun telah menjadi kekasihnya. Sejak tadi dia terus menduga-duga siapa gerangan wanita muda yang selain cantik, juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi ini.
"Benar, sayang. Dan engkau sendiri? Ilmu silatmu begitu hebat..."
"Nanti dulu. Aku mendengar bahwa gurumu itu tewas di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya. Benarkah?"
Thian Bu mengangguk, tidak mengerti apa maksud wanita ini bertanya tentang hal itu.
"Apakah engkau tidak menaruh dendam atas kematian gurumu itu?" Sepasang mata yang jeli namun genit itu memandang penuh selidik.
Thian Bu cukup cerdik untuk bersikap hati-hati. Kini dia mulai dapat menduga bahwa tentu wanita ini mempunyai hubungan dekat dengan Raja Iblis, maka dia pun menggelengkan kepala. "Mendiang suhu tewas karena dia menentang Toan Ong-ya, dan itu merupakan kesalahannya sendiri. Dia tidak tahu diri dan tidak mau menerima kehadiran orang yang jauh lebih kuat. Aku sendiri bahkan ingin membantu Toan Ong-ya, akan tetapi aku takut untuk menghadap karena tentu aku akan dicurigai sebagai murid mendiang suhu yang tewas di tangan beliau."
Giranglah hati Siang Hwa mendengar ini. Ia lalu merangkul dan mencium orang muda itu. "Kekasihku, jangan khawatir. Ada aku di sini yang akan menanggungmu bahwa engkau pasti akan diterima dengan hati girang oleh Toan Ong-ya."
"Engkau? Mengapa bisa begitu?"
"Karena aku adalah satu di antara muridnya yang paling dipercaya dan dikasihi."
"Ahh...!" Thian Bu benar-benar terkejut akan tetapi juga girang bahwa dia telah berhasil memikat hati murid terkasih Raja Iblis! "Pantas saja ilmu silatmu begitu hebat. Aku akan senang sekali kalau dapat membantu gurumu, yang berarti akan membantumu dan akan selalu berada di sampingmu."
"Jangan khawatir, mari kita pergi dan mulai saat ini, engkau tidak akan terpisah dariku."
Demikianiah, sejak saat itu juga Sim Thian Bu menjadi pembantu Siang Hwa yang paling boleh diandalkan, di samping juga menjadi kekasihnya yang melayaninya setiap saat dia menghendaki. Bahkan ketika dihadapkan kepada Raja dan Ratu Iblis, suhu dan subo-nya itu pun menerima Thian Bu dengan girang. Dan pada waktu penyerbuan terhadap para pendekar di dalam benteng Jeng-hwa-pang itu Thian Bu juga berada di samping Siang Hwa, membantu dan ikut menyerbu.
Kita kembali ke dalam bekas benteng Jeng-hwa-pang. Penyerbuan yang terjadi secara mendadak itu tentu saja amat mengejutkan dan membuat panik para pendekar. Namun mereka adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak mau menyerah begitu saja.
Begitu pasukan itu menyerbu masuk, mereka melakukan perlawanan dengan gigih. Dan karena rata-rata para pendekar memiliki ilmu silat tinggi, sebentar saja tempat itu penuh dengan tubuh anak buah pasukan yang berserakan dan tumpang tindih.
Akan tetapi jumlah pasukan itu jauh lebih besar, apa lagi di antara mereka terdapat pula orang-orang pandai Cap-sha-kui, juga Siang Hwa dan Thian Bu. Oleh karena itu, para pendekar terdesak dan banyak pula di antara mereka yang roboh setelah terlebih dahulu merobohkan beberapa orang prajurit. Para pendekar segera terhimpit dan cerai berai, dan terpaksa mencari jalan keluar berdarah untuk menyelamatkan diri.
Akhirnya hanya tokoh-tokoh besar yang mempunyai kepandaian tinggi saja di antara para pendekar yang mampu meloloskan diri. Sedikitnya lima puluh orang pendekar yang tewas dalam pertempuran itu dan selebihnya berhasil lolos. Akan tetapi, mayat-mayat anak buah pasukan pemberontak yang berserakan tewas di sana tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya!
Meski pun demikian, Siang Hwa merasa girang sekali dan membawa pulang pasukan ke San-hai-koan dengan gembira dan merasa telah memperoleh hasil baik dalam membasmi sebagian dari para pendekar yang menjadi musuh besar gurunya dan golongannya. Dan di San-hai-koan mereka disambut dengan girang dan pujian.
Dalam kesempatan ini Siang Hwa menonjolkan jasa Thian Bu sehingga Raja Iblis makin percaya pada pemuda ini. Bahkan panglima pemberontak Ji Sun Ki juga mempercayakan seribu orang prajurit untuk dipimpin oleh Sim Thian Bu, untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun di sekitar kota San-hai-koan untuk memperluas dan memperkuat kedudukan mereka di samping merampok bahan-bahan makanan dan ternak untuk ransum.
Kini San-hai-koan telah menjadi kota benteng pemberontak. Pintu gerbangnya dijaga oleh pengawal-pengawal pasukan pemberontak dan setiap orang yang memasuki kota itu tentu akan digeledah dan diperiksa. Penjagaan sangat ketat. Selain benteng San-hai-koan, juga dusun-dusun di sekitar daerah itu telah diduduki pasukan pemberontak.
Pada suatu pagi, San-hai-koan didatangi tiga orang tamu yang disambut dengan sangat hormat. Bahkan begitu tiba tiga orang itu diterima di dalam markas. Panglima Ji Sun Ki lalu mengadakan perjamuan kehormatan dan dalam kesempatan ini Raja dan Ratu Iblis sendiri ikut hadir!
Siapakah tamu-tamu yang amat dihormati itu? Mereka bertiga kini sudah berada di dalam sebuah ruangan yang luas, menghadapi meja besar panjang, berhadapan dengan Ji Sun Ki sendiri yang berpakaian panglima gemerlapan.
Pangeran Toan Jit Ong berpakaian agak pantas, berwarna kuning gading, tapi rambutnya yang putih itu tetap saja riap-riapan, mukanya yang kehijauan nampak serius dan hanya jenggot kumis yang pendek terpelihara rapi itu yang membuat dia nampak agak pantas. Isterinya juga hadir, pakaiannya juga warna putih dan kuning, kainnya baru dan bersih, akan tetapi rambutnya juga masih riap-riapan.
Suami isteri ini duduk dengan sikapnya yang angkuh di sebelah kanan Panglima Ji yang amat menghormati mereka. Di sebelah kiri panglima itu duduk pula lima orang panglima pembantu dan di deretan lain duduklah orang-orang aneh yang sikapnya menyeramkan. Mereka adalah orang-orang Cap-sha-kui yang kini sudah berkumpul semua dan menjadi pembantu-pembantu Raja Iblis.
Nampak Koai-pian Hek-mo, kakek berusia enam puluh lima tahun yang tinggi besar dan bermuka hitam, bermata bulat dan hidungnya besar, mulutnya lebar tertutup kumis dan jenggot yang brewok. Di punggungnya nampak sebatang cambuk baja yang panjang dan ujungnya dipasangi paku.
Di sebelah kakek ini duduk Hwa Hwa Kui-bo, nenek berusia lima puluh empat tahun yang mukanya memakai kedok hitam hingga yang nampak hanya mata, hidung dan bibir saja. Mulutnya besar dan buruk, tubuhnya ramping dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo ini adalah tokoh-tokoh muara Huang-ho dan merupakan tokoh Cap-sha-kui yang terkenal.
Kemudian nampak pula Tho-te-kwi (Setan Malaikat Bumi), kakek raksasa yang umurnya telah enam puluh tahun lebih. Kakek ini amat menyeramkan, tingginya satu setengah kali orang biasa dan perawakannya serba besar. Pakaiannya hijau agak utuh, tidak compang camping seperti biasanya, kaki tangannya memakai gelang emas yang besar dan berat. Kakek peranakan Nepal bekas pendeta Lama ini duduk melenggut, sikapnya tidak peduli.
Masih nampak lagi empat orang pria berusia antara lima puluhan tahun yang pakaiannya seragam seperti orang-orang dari satu pasukan. Semuanya berjumlah tujuh orang dan memang, Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) kini tinggal tujuh orang lagi, karena yang enam orang telah tewas.
Tiga orang tamu itu terdiri dari seorang kakek yang sudah amat tua, usianya tentu sudah delapan puluh tahun lebih, akan tetapi dia masih kelihatan segar dan penuh semangat. Tubuhnya pendek tegap dan kepalanya botak hampir gundul sama sekali, sikapnya dan bicaranya gagah sekali. Sebatang pedang panjang model samurai Jepang tergantung di punggungnya.
Kakek ini bukan orang sembarangan. Dulu namanya pernah terkenal di dunia persilatan karena dia pernah menjadi seorang datuk sesat yang sangat ditakuti di bagian timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur). Dia seorang berbangsa Jepang yang semenjak muda sudah tinggal di pantai timur. Nama aslinya Minamoto sudah berubah menjadi Bin Mo To.
Orang kedua adalah Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai yang menjadi mantu Bin Mo To. Ketua Cin-ling-pai ini telah berusia lima puluh empat tahun, namun masih nampak tampan dan gagah. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang terkenal, dia nampak berwibawa dan angkuh, seperti tidak memandang mata terhadap orang-orang aneh yang berada di depannya walau pun dia tahu bahwa Raja Iblis dan teman-temannya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Isterinya yang bernama Bin Biauw, peranakan Jepang Korea itu, duduk di sisinya. Wanita yang usianya hampir lima puluh tahun ini berpakaian sederhana, namun nampak gagah dengan pedang yang tergantung di punggungnya.
Seperti sudah kita ketahui, atas bujukan ayah mertuanya serta isterinya, akhirnya ketua Cin-ling-pai ini menyetujui untuk membantu para pemberontak yang ingin menggulingkan Kaisar Ceng Tek yang dianggapnya tidak cakap itu. Sebagai seorang pendekar, Cia Kong Liang membenci pemerintahan yang penuh dengan koruptor, penuh dengan pembesar-pembesar penindas rakyat dan semua ini adalah kesalahan kaisarnya, oleh karena itu, dia mau membantu mereka yang berusaha menggulingkan kaisar, supaya kerajaan dipimpin oleh kaisar lain yang lebih baik. Tentu saja tidak demikian pendapat ayah mertuanya.
Ketua Cin-ling-pai ini keras hati dan tindakannya hanya didasari pendapatnya sendiri yang memang tak menyeleweng dari pada jalan yang benar. Cia Kong Liang tidak mempunyai pamrih pribadi ketika dia mengunjungi San-hai-koan. Satu-satunya tujuan yang ada dalam batinnya hanyalah menggulingkan kaisar yang dianggapnya tidak becus agar diganti oleh kaisar lain sehingga kehidupan rakyat akan menjadi lebih baik. Sebaliknya, Bin Mo To dan anak perempuannya memiliki ambisi besar, yaitu agar ketua Cin-ling-pai itu memperoleh kedudukan tinggi apa bila gerakan itu berhasil!
Kedatangan tiga orang tamu ini tentu saja menggirangkan hati Panglima Ji dan juga Raja Iblis. Bantuan tiga orang ini amat penting, karena di belakang ketua Cin-ling-pai ini masih terdapat anggota-anggota Cin-ling-pai dan sekali Cin-ling-pai bergerak, besar harapannya akan diikuti pula oleh perkumpulan pendekar yang lain.
Dan yang hadir di dalam ruangan itu, selain tujuh orang Cap-sha-kui sebagai pembantu-pembantu Raja Iblis, masih terdapat pula beberapa orang tokoh-tokoh sesat dan terakhir di deretan belakang, sebagai kaum muda, nampak Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa!
Setelah berkenalan secara singkat, Cia Kong Liang menyatakan maksud kedatangannya, yaitu hendak membantu gerakan para pemberontak untuk menentang dan menggulingkan kekuasaan kaisar yang dianggap tidak mampu menjadi pemimpin rakyat itu. Ji Sun Ki mendengarkan dengan wajah berseri gembira dan setelah tamunya selesai berbicara, dia pun mengangguk-angguk.
"Alangkah bahagianya hati kami menerima kunjungan Cia Pangcu (Ketua Cia), apa lagi mendengar pernyataan pangcu. Memang benar, kaisar yang sekarang sedang berkuasa adalah kaisar lalim yang dikelilingi oleh menteri-menteri korup dan jahat. Kalau kekuasaan mereka yang sekarang duduk di tampuk pemerintahan tidak digulingkan, maka kehidupan rakyat akan menjadi makin sengsara. Sebaiknya kini kami mohon pendapat Toan Ong-ya untuk menyambut uluran bantuan Cia Pangcu itu," panglima itu berkata sambil menoleh dengan sikap hormat kepada Raja Iblis yang duduk di sebelah kanannya.
Pangeran Toan Jit Ong mengangguk, kemudian menoleh ke sebelah kanannya memberi isyarat kepada isterinya. Seperti biasa, Raja Iblis ini tidak pernah atau jarang sekali bicara sendiri dan isterinya menjadi wakil pembicara. Ratu Iblis mengangguk dan memandang kepada semua yang hadir, lalu menghentikan pandang matanya kepada tiga orang tamu itu.
"Perlu cu-wi ketahui bahwa selama puluhan tahun Toan Ong-ya bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan duniawi. Akan tetapi setelah beliau mendengar akan kelaliman kaisar yang masih terhitung cucu beliau sendiri, beliau merasa amat penasaran dan bertanggung jawab untuk turun tangan. Sungguh kebetulan sekali bahwa beliau dapat bekerja sama dengan Ji-ciangkun sehingga dengan bantuan orang-orang gagah, dapat diharapkan kita bersama akan bisa menyerbu ke selatan dan menggulingkan pemerintahan yang lalim dan lemah itu. Bantuan Cia Pangcu untuk bekerja sama dengan kami benar-benar merupakan hal yang sangat baik dan mudah-mudahan akan ditiru oleh semua orang gagah di dunia. Dengan persatuan di antara kita sambil melupakan urusan pribadi, maka perjuangan ini akan dapat berhasil lebih cepat lagi. Kemudian, mengenai rencana siasat pergerakan kita, harap Ji-ciangkun yang menjelaskan sesuai dengan rencana yang telah diambil bersama." Ratu Iblis lalu mengangguk dengan anggun dan berwibawa.
Cia Kong Liang yang semula merasa ragu-ragu melihat keadaan dan sikap pangeran itu dan anak buahnya yang kelihatan kasar-kasar, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam, setelah mendengar ucapan Ratu Iblis merasa tertarik. Dari kata-katanya jelas dapat diketahui bahwa nenek itu adalah seorang terpelajar dan berpengetahuan luas dan sikap Toan Jit Ong juga begitu penuh wibawa, seperti seorang raja besar layaknya.
Panglima Ji segera menjelaskan. "Kita sudah beruntung bisa menduduki San-hai-koan ini yang dapat kita pergunakan sebagai benteng pusat, juga kita sudah berhasil menduduki dusun-dusun di sekitar daerah San-hai-koan. Kini kedudukan kita sudah cukup kuat untuk melanjutkan penyerbuan ke selatan. Akan tetapi sungguh menggemaskan, di utara timbul pergerakan dari para suku bangsa Nomad yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan bangsa Mongol yang sudah hancur. Oleh karena itu, kita diancam bahaya dari utara. Dan untuk memperkokoh kedudukan, kita harus segera merampas kota benteng Ceng-tek. Dengan demikian kita memiliki dua benteng, San-hai-koan dapat kita gunakan untuk menahan serbuan para suku bangsa dari utara, sedangkan benteng Ceng-tek dapat kita pergunakan sebagai benteng pertahanan untuk bergerak ke selatan."
Mereka lalu mengadakan perundingan, mencari siasat bagaimana akan dapat merampas benteng Ceng-tek yang dijaga ketat oleh pasukan pemerintah itu. Dalam perundingan itu, ketua Cin-ling-pai bersama isteri dan ayah mertuanya juga diikut sertakan, yang menjadi tanda bukti bahwa mereka bertiga itu telah diterima sebagai sekutu!
"Untuk gerakan ini, Toan Ong-ya sudah lama membuat gambaran rencana penyerbuan dan siasat memancing mereka keluar dari sarang," kata Ratu Iblis yang menyampaikan segulung kertas. Ji-ciangkun menerima gulungan kertas itu kemudian membukanya dan menggantung kertas yang sudah dibuka itu agar semua yang hadir dapat melihat dengan jelas.
Melihat gambar siasat penyerbuan itu, Cia Kong Liang merasa sangat kagum. Di sana digambarkan siasat yang diatur oleh Pangeran Toan Jit Ong. Dengan gambar dan tulisan dijelaskan siasat itu.
Pertama-tama pasukan yang tidak besar jumlahnya harus dapat diselundupkan ke kota Ceng-tek untuk mengatur siasat dan bergerilya membantu pasukan mereka kalau saatnya penyerbuan tiba. Kemudian pasukan besar dari San-hai-koan akan meninggalkan benteng San-hai-koan dengan berpencaran dan membuat gerakan seolah-olah hendak meluaskan wilayah dan menyerangi dusun-dusun di empat penjuru.
Yang ditinggalkan di dalam benteng hanya seperempat saja dari jumlah pasukan mereka, karena benteng San-hai-koan sudah dibuat sedemikian kokohnya sehingga musuh yang jumlahnya jauh lebih besar sekali pun tidak akan mudah dapat menjatuhkan benteng itu. Sementara itu, tiga perempat dari pasukan itu yang tadinya meninggalkan benteng dan dipencar, diam-diam bersatu kembali dan menanti kesempatan baik.
Bila mana diketahui oleh para pemimpin pasukan pemerintah di Ceng-tek bahwa benteng San-hai-koan ditinggalkan oleh sebagian besar pasukan pemberontak, tentunya Ceng-tek akan mengirim pasukan untuk menggempur lantas merampas kembali benteng itu. Nah, di dalam kesempatan inilah pasukan yang tiga perempat jumlahnya dan telah bersatu itu segera mengadakan penyerbuan kilat ke Ceng-tek, dibantu oleh mata-mata yang sudah menyelundup ke dalam kota Ceng-tek.
"Sungguh rencana siasat yang bagus sekali!" Ji-ciangkun berkata gembira, "Dan untuk tugas penyelundupan ke Ceng-tek, kami mohon bantuan Cia-pangcu dan para pendekar Cin-ling-pai. Dapatkah pangcu membantu?"
"Tentu saja Cia-pangcu dapat membantu!" Bin Mo To yang cepat mendahului mantunya. "Memang para anggota Cin-ling-pai sudah siap di luar."
Memang ketua Cin-ling-pai itu sudah menyiapkan lima puluh orang anggota Cin-ling-pai untuk membantu gerakan pemberontakan itu dan mereka sudah siap menanti di luar kota benteng San-hai-koan. Segera mereka dihubungi dan pada malam hari itu juga pasukan istimewa Cin-ling-pai ini dijamu dengan penuh penghormatan.
Dan beberapa hari kemudian, siasat itu dijalankan dengan baiknya. Pasukan di Ceng-tek yang dipimpin oleh Bhe-ciangkun terpancing, ketika para penyelidik melaporkan adanya gerakan besar-besaran dari pasukan pemberontak yang meninggalkan benteng sehingga benteng di San-hai-koan hampir kosong.
Panglima Bhe yang sampai kini masih menanti keputusan dari kota raja atas laporannya bahwa Ji-ciangkun dari San-hai-koan memberontak dan menguasai San-hai-koan, melihat kesempatan baik untuk merebut kembali kota benteng itu. Maka dia cepat mengerahkan pasukannya untuk menyerang San-hai-koan. Akan tetapi benteng ini ternyata amat kuat walau pun hanya dijaga oleh pasukan pemberontak yang tidak begitu banyak jumlahnya.
Pada saat pasukan pemerintah sibuk berusaha merampas kembali San-hai-koan, diterima berita bahwa benteng Ceng-tek diserbu oleh pasukan pemberontak yang kuat sekali! Dan dalam waktu semalam saja benteng itu jebol lantas diduduki oleh pasukan pemberontak!
Tentu saja pasukan pemerintah menjadi kacau, terlebih lagi ketika sebagian dari pasukan yang merampas Ceng-tek itu lalu digunakan oleh Ji-ciangkun untuk menyerang pasukan pemerintah dari belakang. Maka terpaksa Bhe-ciangkun menarik mundur pasukannya dan melarikan diri ke selatan sampai di Tembok Besar dan cepat mengirim berita ke kota raja untuk minta bantuan.
Cin-ling-pai mempunyai jasa besar dalam penyerbuan kota Ceng-tek karena perkumpulan orang gagah yang dipimpin sendiri oleh Cia Kong Liang, isteri serta mertuanya inilah yang menyelundup ke dalam kota Ceng-tek. Saat terjadi penyerbuan, mereka telah membantu dari dalam, membakari tempat-tempat penting, menyerang pembesar-pembesar sehingga kekacauan ini menyebabkan pertahanan kota Ceng-tek menjadi amat lemah dan mudah ditundukkan dan dirampas.
Untuk menyenangkan hati para pendekar Cin-ling-pai, atas petunjuk Raja Iblis, Ji-ciangkun lalu mengangkat Cia Kong Liang sebagai pimpinan pasukan keamanan di kota itu, ada pun para anggota Cin-ling-pai diangkat menjadi perwira-perwira pasukan keamanan kota Ceng-tek. Mereka itu, mulai dari para murid sampai ketuanya, bertugas dengan penuh disiplin dan semangat tinggi, merasa bahwa mereka telah menjadi pejuang-pejuang yang menegakkan keadilan dan menentang pemerintah lalim demi kebaikan rakyat dan negara.
Hanya Bin Mo To dan puterinya yang diam-diam merasa gembira dengan pengangkatan itu. Hal ini merupakan permulaan yang baik bagi Cia Kong Liang untuk menuju ke tangga kedudukan yang kelak tentu akan jauh lebih tinggi kalau pemberontakan itu berhasil. Bin Mo To yang sebelumnya secara diam-diam sudah mengadakan kontak dengan Raja Iblis dapat menyimpan rahasianya dan ketika berjumpa di San-hai-koan, dia berpura-pura tak mengenal pangeran itu.
Semenjak puterinya menikah dengan Cia Kong Liang, kakek ini memang tak lagi terjun ke dalam dunia kejahatan, namun bagaimana pun juga dia tidak mampu melawan dorongan ambisinya yang ingin melihat anak mantunya menjadi seorang yang berkedudukan tinggi sehingga dia sendiri otomatis akan terangkat martabatnya.
Sesudah kota Ceng-tek jatuh ke tangan para pemberontak, kekuasaan para pemberontak menjadi semakin besar dan mereka semakin rajin menyerbu ke dusun-dusun. Yang paling rajin di antara para pembantu Ji-ciangkun adalah Sim Thian Bu. Orang ini selain menjadi kekasih Siang Hwa, juga menjadi kepercayaan Raja Iblis dan Ji-ciangkun karena memang sudah banyak jasanya.
Selama ini Sim Thian Bu memperlihatkan kesetiaannya dan kesungguhan hatinya dalam membantu pasukan pemberontak menaklukkan desa-desa dan melakukan perampokan-perampokan. Oleh karena itulah dia dipercaya memimpin pasukan besar sebanyak seribu orang, bahkan dia boleh menentukan sendiri gerakan-gerakan aksinya ke desa-desa.
Thian Bu tak mau secara sembarangan menyerang dusun-dusun yang miskin. Dia selalu menyelidiki lebih dahulu apakah terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi penyerbuan pasukannya. Apa bila di dusun itu terdapat harta kekayaan, atau setidaknya ternak atau bahan makanan, terutama sekali kalau terdapat wanita-wanitanya yang muda, tentu dia akan mengerahkan anak buahnya menyerbu.
Dan mereka berempat ini bukanlah asing satu sama lain. Puluhan tahun yang lalu mereka merupakan empat di antara tokoh penting di dunia persilatan yang sudah dikalahkan dan ditaklukkan oleh Raja Iblis, lalu mereka mengundurkan diri dari dunia ramai untuk bertapa dan memperdalam ilmu.
Dua orang di antara mereka sudah meninggal dunia dalam pertapaan mereka dan empat orang kakek ini pun tadinya sudah mengambil keputusan hendak mengasingkan diri dan tidak mencampuri urusan duniawi sampai mati. Akan tetapi, kini mereka semua terpaksa bangkit dan turun tangan sesudah mendengar betapa Raja Iblis telah muncul kembali ke dunia ramai, bahkan sedang merencanakan pemberontakan sesudah berhasil menguasai para datuk golongan hitam. Dan seperti yang kita ketahui, mereka telah mengambil murid pilihan masing-masing yang kemudian sengaja mereka gembleng dan mereka wariskan semua ilmu mereka kepada murid-murid itu untuk kelak dapat dipergunakan menghadapi Raja Iblis.
Puluhan tahun yang lalu pernah terjadi kelucuan antara Ciu-sian Lo-kai dan Wu-yi Lo-jin. Karena keduanya tukang minum arak, dan keduanya selalu membawa guci arak, ketika saling bertemu terjadilah keributan di antara mereka, yaitu saling memperebutkan julukan Ciu-sian (Dewa Arak). Untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai julukan Dewa Arak, keduanya lalu bertanding, bukan bertanding silat, melainkan bertanding minum arak dengan sewajarnya tanpa mempergunakan akal dan ilmu sinkang.
Dalam pertandingan ini, sesudah mereka berdua menghabiskan belasan guci besar arak yang kiranya bisa untuk menjamu dua ratus orang, akhirnya Wu-yi Lo-jin menyerah kalah! Dan mulai saat itu pula kakek berpakaian jembel berhak memakai julukan Ciu-sian Lo-kai, sedangkan kakek yang selalu berpakaian mewah memakai julukan Wu-yi Lo-jin, biar pun julukan Ciu-sian atau Dewa Arak masih menempel secara tidak resmi pada dirinya.
Pertemuan antara empat orang kakek itu menggembirakan mereka dan mereka merasa muda kembali dan penuh semangat perjuangan. Mereka berempat ini bersama beberapa orang kakek tokoh partai-partai persilatan yang besar berada di dalam lingkaran itu, dekat api unggun, dikelilingi oleh para pendekar dari berbagai aliran. Tanpa pemilihan dan tanpa diumumkan, empat orang ini lantas dipandang sebagai pimpinan, apa lagi karena mereka berempat itulah yang sudah mengenal Raja Iblis, juga kesaktiannya yang sangat tersohor dan menggemparkan dunia persilatan.
Wu-yi Lo-jin yang usianya sudah sangat lanjut, delapan puluh tahun lebih, masih nampak sehat dan gembira. Kepalanya gundul botak. Alis, kumis, jenggot dan sedikit rambut yang tersisa di belakang kepalanya sudah putih semua. Jenggotnya putih panjang sampai ke perut. Pakaiannya berkembang-kembang, dari kain yang baru dan indah.
Beberapa kali dia minum arak dari gucinya yang besar tanpa menawarkan kepada orang lain. Kini nampak dia menggerakkan tangan kiri ke atas dan berkata, "Mati pun aku tidak akan dapat memejamkan mataku bila mana Raja Iblis itu belum terbasmi habis sampai ke akar-akarnya!"
"Bicara memang enak dan mudah, akan tetapi pelaksanaannya yang amat sulit!" Ciu-sian Lo-kai yang selalu memiliki perasaan bersaing dengan Dewa Arak yang lain itu mencela. "Aku kira menentang Raja Iblis sekarang ini sama artinya dengan menentang puluhan ribu orang prajurit. Dia telah menguasai San-hai-koan dan sudah bergabung dengan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Ji Sun Ki. Mana mungkin kita mengandalkan kaki tangan biasa saja untuk menempuh dan melawan pasukan yang terdiri dari laksaan orang? Kita harus mencari cara yang lebih tepat."
"Betul, memang sekarang ini, dengan jumlah kita yang hanya seratus orang lebih, kiranya tidak mungkin melawan laksaan orang prajurit. Tadinya kita bermaksud untuk menentang Raja Iblis bersama antek-anteknya yang tentu jumlahnya tidaklah terlalu besar bagi kita. Hui Song, muridku, sudah kuperintah melakukan penyelidikan di antara para kepala suku karena di sana pun teriadi pergerakan-pergerakan. Hui Song, coba kau ceritakan semua yang kau ketahui," kata Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas kepada pemuda itu.
Dewa Kipas ini masih tetap gendut sekali perutnya. Kepalanya botak, dengan sedikit saja rambut pada belakang kepala. Jubahnya, seperti biasa, tidak dapat tertutup saking besar perutnya dan juga karena memang tidak suka hawa panas. Kipasnya yang amat lebar itu kini berkembang dan digerak-gerakkan ke arah perutnya. Kakek berusia tujuh puluh tahun lebih ini pun masih nampak sehat.
Hui Song lalu bangkit berdiri di antara mereka yang duduk membentuk lingkaran sehingga semua mata ditujukan kepadanya. Dia lalu menceritakan tentang segala yang dialaminya, mulai dari jatuhnya kota San-hai-koan sampai pada para kepala suku yang mengadakan pertemuan dan pemilihan pimpinan.
"Dengan adanya pemberontakan yang terjadi di kota San-hai-koan, para kepala suku liar itu telah mengambil keputusan hendak mempergunakan kesempatan untuk membonceng keadaan dan mulai gerakan mereka ke selatan untuk menghidupkan kembali kekuasaan bangsa utara. Pertama-tama mereka akan menyerang para pemberontak dan mengambil alih kota-kota yang telah diduduki oleh para pemberontak, kemudian menyusun kekuatan dan bergerak terus ke selatan." Demikian dia mengakhiri ceritanya.
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ahhh, kalau begitu, sama saja dengan kita melibatkan diri ke dalam urusan pemerintah dan pemberontakan. Padahal, bukan demikian maksud kita semula. Kita hanya bergerak untuk menentang Raja Iblis," kata Go-bi San-jin, kakek berjubah pendeta, jubahnya bersih dan baru, mukanya hitam dan matanya lebar menambah kegagahan kakek berusia tujuh puluh tahun yang tubuhnya tinggi besar ini. "Kalau saja kita bisa menyerbu Raja Iblis dan antek-anteknya selagi mereka semua berada di tempat persembunyian Raja Iblis, tentu kita tidak perlu berurusan dengan pasukan pemerintah mau pun pasukan pemberontak. Muridku sudah berhasil menemukan tempat persembunyian Raja Iblis itu. Cia Sun, lekas ceritakan pengalamanmu."
Cia Sun bangkit berdiri, kemudian dia bercerita tentang gedung kuno di lereng bukit yang menjadi tempat persembunyian dan pertapaan Raja dan Ratu Iblis. "Akan tetapi, agaknya akan sukar menemukan mereka di tempat itu," katanya sebagai penutup penuturannya. "Setelah kota San-hai-koan mereka rampas, tentu Raja Iblis dan para kaum sesat itu ikut memasuki kota untuk mempertahankan kota itu."
"Walau pun demikian," bantah Go-bi San-jin, "apa bila pasukan pemberontak itu sampai dipukul hancur, tentu tempat itu menjadi tempat pelarian Raja Iblis dan Cap-sha-kui. Nah, kalau mereka sudah lari ke sana, barulah kita dapat menyergap dan menyerang mereka tanpa adanya campur tangan pasukan."
"Semua itu tidak penting," Wu-yi Lo-jin berkata, "kini yang penting adalah bagaimana kita akan bertindak selanjutnya. Sayang bahwa muridku belum datang memberi laporan."
Tiba-tiba Hui Song bangkit berdiri dan berkata, "Locianpwe, saya sudah bertemu dengan nona Ceng Sui Cin. Dia sekarang membantu nenek Yelu Kim yang telah diangkat menjadi pemimpin para kepala suku. Dia berpendapat bahwa untuk menentang Raja Iblis yang sudah bergabung dengan pasukan pemberontak, harus dilakukan dengan menggunakan pasukan pula. Karena itu, dia akan membantu para suku liar kalau mereka menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutu Raja Iblis."
"Bagus sekali!" Wu-yi Lo-jin berkata girang. "Ahh, muridku memang cerdik sekali. Melihat keadaannya sekarang, tidak ada jalan lain bagi kita untuk menentang Raja Iblis kecuali dengan jalan membantu pasukan-pasukan yang menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutunya itu. Sebaiknya kita berpencar, masing-masing harus mengambil jalan dan cara sendiri, baik secara perseorangan mau pun bergabung dan membantu pasukan pemerintah atau pasukan mana saja yang menentang Raja Iblis dan sekutunya."
Semua orang merasa setuju dengan usul ini. Memang kebanyakan para pendekar lebih senang bekerja sendiri-sendiri secara bebas, tidak ditentukan oleh siasat suatu pimpinan, walau pun tujuan dari gerakan mereka mempunyai arah yang sama dan tertentu, yakni menentang kekuasaan Raja Iblis. Maka, mendengar ucapan para tokoh tua itu, mereka menerimanya dengan gembira.
Hanya Ciu-sian Lo-kai seorang yang tidak nampak gembira. Kemuraman tipis menyelimuti wajahnya yang biasanya gembira itu. Dia merasa kecewa karena muridnya, Siangkoan Ci Kang, tidak muncul di dalam pertemuan itu. Akan tetapi, dia tidak mau memperlihatkan kekecewaannya ini dan dia hanya menggunakan pandang matanya untuk melihat-lihat ke sekeliling tempat itu dengan harapan kemunculan Ci Kang yang amat dlharapkannya.
Tiba-tiba sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, bukan karena melihat Ci Kang, akan tetapi karena dia melihat gerakan orang-orang di luar tembok bekas benteng itu dan sebagai seorang pendekar yang sudah banyak memiliki pengalaman, dia dapat menduga apa artinya gerakan orang-orang ini.
Mendadak kakek ini meloncat ke depan dan menginjak-injak api unggun sambil berseru, "Semua berpencar! Kita dikepung!"
Mendengar ini dan melihat sepak terjang Ciu-sian Lo-kai, semua orang menjadi terkejut. Para tokoh tua yang melihat betapa orang seperti Ciu-sian Lo-kai terlihat amat gugup dan tegang, mengerti bahwa tentu keadaannya gawat, maka mereka pun cepat turun tangan membantu memadamkan api unggun.
"Berpencar dan bersembunyi!" teriak Go-bi San-jin.
"Lihat dulu siapa mereka! Kalau pasukan sekutu Raja Iblis, kita lawan mati-matian!" kata pula Wu-yi Lo-jin.
"Buka jalan darah dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing!" teriak Siang-kiang Lo-jin yang maklum bahwa kalau pasukan yang datang dalam jumlah yang amat banyak, melawan pun tidak akan menguntungkan.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi terompet disusul derap kaki banyak orang dan benar saja, tempat itu telah dikepung oleh sedikitnya seribu orang prajurit yang sekarang menyerbu ke dalam benteng kuno itu sambil bersorak-sorak. Dengan senjata golok atau pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri, pasukan besar itu menyerbu ke dalam benteng, dipimpin oleh beberapa orang yang amat lihai gerakannya.
Tentu saja para pendekar yang sudah siap itu lalu menyambut dengan perlawanan secara mati-matian dan terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam pekarangan luas itu, dalam cuaca yang remang-remang karena hanya disinari bulan purnama.
Pasukan yang menyerbu itu dipimpin oleh Gui Siang Hwa, lalu nampak orang-orang yang pakaiannya dan perawakannya aneh, namun mereka ini memiliki gerakan yang amat lihai. Mereka ini adalah orang-orang Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain. Kiranya Raja Iblis telah mengetahui adanya pertemuan para pendekar itu sebagai hasil penyelidikan Siang Hwa dan pembantunya.
Gadis murid Raja Iblis yang amat cerdik ini memang amat lincah dan pandai menyebar orang-orangnya. Mendengar adanya pertemuan para pendekar di daerah utara, Raja Iblis lalu mengirim pasukan dari San-hai-koan berjumlah seribu orang lebih yang dibantu dan dipimpin oleh Siang Hwa bersama para datuk Cap-sha-kui. Raja Iblis menghendaki agar semua pendekar yang berada di benteng tua Jeng-hwa-pang itu ditumpas habis.
Di sebelah Siang Hwa nampak seorang pemuda tampan yang gerakannya juga sangat gagah. Pemuda ini adalah Sim Thian Bu! Seperti kita ketahui, Sim Thian Bu adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta. Bagaimanakah murid itu malah membantu pasukan Raja Iblis, padahal gurunya tewas di tangan Ratu Iblis?
Agaknya Sim Thian Bu tidak menaruh dendam atas kematian gurunya. Dua hari yang lalu, pada suatu pagi, dia yang melakukan perjalanan seorang diri tiba di lereng sebuah bukit yang amat sunyi, di sebuah padang rumput. Tiba-tiba Thian Bu berpapasan dengan Siang Hwa yang menunggang kuda. Biar pun dia sedang berjalan kaki dan penunggang kuda itu membalapkan kuda dengan cepat sekali, namun Thian Bu yang mata keranjang itu dapat melihat bahwa penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda yang cantik sekali.
Sebaliknya, biar pun dia tengah sibuk dengan segala macam urusan pemberontakan yang dibantunya, namun melihat seorang pemuda gagah dan ganteng berada seorang diri di tempat sunyi itu, Siang Hwa segera merasa tertarik sekali. Ia menghentikan kudanya dan memutar kudanya, menjalankan kuda itu menghampiri Thian Bu.
Pemuda ini pun sudah merasa amat tertarik dan gembira sekali, maka setelah Siang Hwa menghentikan kudanya di hadapannya, dia memandang sambil tersenyum. Mereka saling pandang, saling memperhatikan, lantas keduanya tersenyum, terpesona oleh keanggunan masing-masing.
"Selamat pagi, nona!" Thian Bu yang memang jagoan dalam menghadapi dan mengambil hati wanita itu berkata dan memberi hormat dengan sikap sopan, wajahnya berseri penuh keramahan. "Sungguh mengejutkan sekali di tempat seperti ini bertemu dengan seorang wanita cantik jelita seperti nona. Sebuah kejutan yang sangat menggembirakan hati. Dari mana hendak ke manakah nona yang sendirian saja di tempat liar ini?"
Siang Hwa tersenyum, senyum manis yang penuh daya pikat. Dia senang sekali melihat sikap pemuda tampan itu. "Pertanyaan yang sama benar dengan yang berada di dalam hatiku. Siapakah engkau yang berada seorang diri di tempat sunyi ini?"
Thian Bu tertawa gembira. Seorang wanita yang selain cantik serta menggairahkan, juga tidak pemalu. Dan melihat pedang yang tergantung di punggung itu, dia dapat menduga bahwa wanita ini bukan orang lemah, apa lagi kenyataan bahwa seorang diri wanita ini berani berkeliaran di tempat liar penuh bahaya itu.
"Nona, namaku Sim Thian Bu. Senang sekali berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona dan bagaimana seorang gadis cantik jelita seperti nona dapat berada di tempat liar seperti ini?"
Siang Hwa tersenyum. Pemuda ini sungguh menarik hatinya. "Engkau sungguh tabah, berani berada seorang diri di tempat ini. Tidak takutkah kau bertemu dengan suku-suku liar? Ataukah engkau termasuk seorang pendekar yang akan menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang?"
"Ha-ha, seorang gadis muda cantik seperti nona tidak takut bersendirian di sini, apa lagi seorang laki-laki seperti aku."
"Akan tetapi aku dapat membela diri dengan baik, kaki tanganku berikut pedangku akan mampu menghalau semua bahaya yang mengancam diriku."
"Aku pun tidak takut akan bahaya, nona, dan selama ini kaki dan tanganku pun mampu melindungi diriku dari ancaman bahaya. Ehh, nona belum memperkenalkan diri. Siapakah nama nona yang cantik dan gagah?"
Siang Hwa semakin tertarik dan dia pun meloncat turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya makan rumput yang hijau subur dengan membuka kendali kudanya.
"Aihh, benarkah engkau ahli membela diri? Tentu ilmu silatmu tinggi sekali. Nah, mari kita bermain silat sebentar, kalau ternyata engkau mampu menandingi aku, barulah aku akan memperkenalkan namaku. Tapi kalau engkau ternyata hanya seorang pemuda biasa saja, tidak perlu aku memperkenalkan nama."
Melihat pemuda yang tampan, nampak gagah dan bersikap menarik serta pandai merayu itu, timbul gairah dan kegembiraan di dalam hati Siang Hwa. Dia sudah terlalu lama sibuk mengurus hal-hal yang serius, karena itu dia membutuhkan hiburan sebagai selingan dan pemuda ini, baik dari wajahnya, bentuk tubuhnya mau pun sikapnya menjanjikan hiburan manis yang menyenangkan.
Sebaliknya, Thian Bu adalah seorang mata keranjang yang selalu tertarik apa bila melihat wanita cantik, maka sikap Siang Hwa sungguh menggembirakan hatinya. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada bermain cinta dengan seorang wanita cantik, dan bermain silat dengan wanita cantik pun tidak kalah menggembirakannya. Karena itu dia pun cepat meloncat ke belakang mencari tempat yang lebih enak agak menjauhi kuda.
"Mari nona, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, aku tidak biasa bertanding tanpa taruhan. Oleh karena itu, mari kita bertaruh dalam pertandingan silat ini," ajaknya sambil bertolak pinggang dengan sikap gagah.
Siang Hwa tersenyum gembira lantas menggulung lengan bajunya. Nampaklah sepasang lengan yang berkulit putih bersih dan berbentuk bulat indah. Dia pun bertolak pinggang dengan sikap menantang, akan tetapi wajahnya berseri gembira.
"Baik, apa taruhannya?"
"Kalau aku sampai kalah olehmu, maka aku akan menurut segala permintaanmu," jawab Thian Bu.
"Akur! Apa pun yang kuperintahkan harus kau taati. Dan kalau aku kalah?"
"Tentu sama juga, semua permintaanku harus kau penuhi."
Keduanya saling pandang sambil tersenyum karena mereka sudah sama-sama tahu apa maksud yang tersembunyi di balik taruhan itu.
"Nah, mari kita mulai. Lihat seranganku!" Siang Hwa membentak dan dia pun menyerang dengan cepat, mengayun tangannya menyambar ke arah dada Thian Bu.
Pemuda itu melihat datangnya serangan yang sangat cepat dan didahului angin pukulan kuat, diam-diam terkejut karena dia tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata demikian cepat dan kuatnya. Dia pun menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukkk...!" Keduanya terpental akan tetapi Sim Thian Bu sampai terhuyung.
"Aihhhh...!" Kini dia benar-benar kaget dan Siang Hwa tertawa mengejek lalu menyerang lagi.
Karena maklum bahwa gadis itu ternyata jauh lebih lihai dari pada yang dikiranya, dia pun segera menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang seru dan ramai. Keduanya memang sudah saling tertarik maka tentu saja tidak suka saling melukai, namun bagaimana pun juga, keduanya sama-sama ingin keluar sebagai pemenang karena tentu akan lebih senang memerintah dari pada mentaati perintah.
Setelah perkelahian berlangsung selama lima puluh jurus, diam-diam Siang Hwa merasa gembira sekali. Pemuda ini bukan hanya ganteng, akan tetapi juga cukup lihai sehingga cukup berharga untuk dijadikan kekasih merangkap pembantunya!
Sebaliknya, Thian Bu mulai merasa khawatir ketika memperoleh kenyataan pahit bahwa dia tidak mampu mengatasi lawannya. Dia khawatir bahwa kalau sampai dia kalah, wanita ini mengajukan permintaan bukan seperti yang diharapkannya, namun yang malah akan memberatkan dirinya. Kalau dia menang, tentu dia tidak hanya akan minta supaya wanita itu mengakui namanya, akan tetapi juga akan minta agar wanita itu suka melayaninya dan menjadi kekasihnya untuk beberapa hari lamanya!
Maka dia pun mengeluarkan seluruh tenaganya dan mengerahkan semua kepandaiannya. Bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa dia kalah setingkat. Dia mulai terdesak dan tiba-tiba saja, dalam keadaan terdesak dan menghadapi serangan bertubi-tubi itu lututnya disentuh ujung sepatu Siang Hwa.
Thian Bu merasa betapa kaki kanannya kesemutan dan seperti lumpuh, maka pada saat tangan Siang Hwa mendorong dadanya, dia pun terjengkang dan terjatuh ke atas tanah yang bertilamkan rumput tebal. Sebelum dia dapat melompat bangun, Siang Hwa sudah menubruknya, menekan pundaknya dengan jari tangan mengancam ubun-ubun kepalanya dan wanita itu tersenyum menghardik,
"Engkau sudah kalah!"
Melihat sikap dan senyum itu, Thian Bu tersenyum pula. "Ya, aku sudah kalah. Aku sudah takluk dan akan mentaati permintaanmu."
"Bagus! Nah, kau peluklah aku, kau cintailah aku!"
Thian Bu terbelalak girang, langsung merangkul dan menarik wanita itu ke atas tubuhnya. "Ha-ha-ha, itulah yang akan kuminta kalau aku menang!"
"Kau kira aku tidak tahu?" Siang Hwa juga berkata dan balas merangkul.
Mereka berciuman dan bergumul di atas rumput tebal di tempat yang sunyi itu. Memang dua orang ini seperti lalat dengan sampah, cocok satu sama lain sehingga setelah saling bertemu, mereka seperti merasa memperoleh tandingan yang menyenangkan dan cocok sekali. Sampai matahari naik tinggi mereka masih lupa diri dan tenggelam dalam lautan kenikmatan mengumbar nafsu mereka sepuasnya.
Sesudah puas bermesraan dengan kekasih barunya itu, Siang Hwa mengajak Thian Bu duduk berteduh di bawah pohon. Sambil memegang tangan pemuda itu dan menatapnya dengan sinar mata mesra, dia berkata, "Sim Thian Bu, engkau adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin, bukan?"
Bagi Thian Bu, ucapan ini tidak mengejutkan. Nama gurunya memang sangat terkenal di dunia dan sejak tadi dia pun dapat menduga bahwa wanita yang sangat menyenangkan hatinya ini tentu dari golongan sesat. Yang membuat dia merasa tak enak adalah karena dia sendiri belum mengenal siapa adanya wanita ini, walau pun telah menjadi kekasihnya. Sejak tadi dia terus menduga-duga siapa gerangan wanita muda yang selain cantik, juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi ini.
"Benar, sayang. Dan engkau sendiri? Ilmu silatmu begitu hebat..."
"Nanti dulu. Aku mendengar bahwa gurumu itu tewas di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya. Benarkah?"
Thian Bu mengangguk, tidak mengerti apa maksud wanita ini bertanya tentang hal itu.
"Apakah engkau tidak menaruh dendam atas kematian gurumu itu?" Sepasang mata yang jeli namun genit itu memandang penuh selidik.
Thian Bu cukup cerdik untuk bersikap hati-hati. Kini dia mulai dapat menduga bahwa tentu wanita ini mempunyai hubungan dekat dengan Raja Iblis, maka dia pun menggelengkan kepala. "Mendiang suhu tewas karena dia menentang Toan Ong-ya, dan itu merupakan kesalahannya sendiri. Dia tidak tahu diri dan tidak mau menerima kehadiran orang yang jauh lebih kuat. Aku sendiri bahkan ingin membantu Toan Ong-ya, akan tetapi aku takut untuk menghadap karena tentu aku akan dicurigai sebagai murid mendiang suhu yang tewas di tangan beliau."
Giranglah hati Siang Hwa mendengar ini. Ia lalu merangkul dan mencium orang muda itu. "Kekasihku, jangan khawatir. Ada aku di sini yang akan menanggungmu bahwa engkau pasti akan diterima dengan hati girang oleh Toan Ong-ya."
"Engkau? Mengapa bisa begitu?"
"Karena aku adalah satu di antara muridnya yang paling dipercaya dan dikasihi."
"Ahh...!" Thian Bu benar-benar terkejut akan tetapi juga girang bahwa dia telah berhasil memikat hati murid terkasih Raja Iblis! "Pantas saja ilmu silatmu begitu hebat. Aku akan senang sekali kalau dapat membantu gurumu, yang berarti akan membantumu dan akan selalu berada di sampingmu."
"Jangan khawatir, mari kita pergi dan mulai saat ini, engkau tidak akan terpisah dariku."
Demikianiah, sejak saat itu juga Sim Thian Bu menjadi pembantu Siang Hwa yang paling boleh diandalkan, di samping juga menjadi kekasihnya yang melayaninya setiap saat dia menghendaki. Bahkan ketika dihadapkan kepada Raja dan Ratu Iblis, suhu dan subo-nya itu pun menerima Thian Bu dengan girang. Dan pada waktu penyerbuan terhadap para pendekar di dalam benteng Jeng-hwa-pang itu Thian Bu juga berada di samping Siang Hwa, membantu dan ikut menyerbu.
Kita kembali ke dalam bekas benteng Jeng-hwa-pang. Penyerbuan yang terjadi secara mendadak itu tentu saja amat mengejutkan dan membuat panik para pendekar. Namun mereka adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak mau menyerah begitu saja.
Begitu pasukan itu menyerbu masuk, mereka melakukan perlawanan dengan gigih. Dan karena rata-rata para pendekar memiliki ilmu silat tinggi, sebentar saja tempat itu penuh dengan tubuh anak buah pasukan yang berserakan dan tumpang tindih.
Akan tetapi jumlah pasukan itu jauh lebih besar, apa lagi di antara mereka terdapat pula orang-orang pandai Cap-sha-kui, juga Siang Hwa dan Thian Bu. Oleh karena itu, para pendekar terdesak dan banyak pula di antara mereka yang roboh setelah terlebih dahulu merobohkan beberapa orang prajurit. Para pendekar segera terhimpit dan cerai berai, dan terpaksa mencari jalan keluar berdarah untuk menyelamatkan diri.
Akhirnya hanya tokoh-tokoh besar yang mempunyai kepandaian tinggi saja di antara para pendekar yang mampu meloloskan diri. Sedikitnya lima puluh orang pendekar yang tewas dalam pertempuran itu dan selebihnya berhasil lolos. Akan tetapi, mayat-mayat anak buah pasukan pemberontak yang berserakan tewas di sana tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya!
Meski pun demikian, Siang Hwa merasa girang sekali dan membawa pulang pasukan ke San-hai-koan dengan gembira dan merasa telah memperoleh hasil baik dalam membasmi sebagian dari para pendekar yang menjadi musuh besar gurunya dan golongannya. Dan di San-hai-koan mereka disambut dengan girang dan pujian.
Dalam kesempatan ini Siang Hwa menonjolkan jasa Thian Bu sehingga Raja Iblis makin percaya pada pemuda ini. Bahkan panglima pemberontak Ji Sun Ki juga mempercayakan seribu orang prajurit untuk dipimpin oleh Sim Thian Bu, untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun di sekitar kota San-hai-koan untuk memperluas dan memperkuat kedudukan mereka di samping merampok bahan-bahan makanan dan ternak untuk ransum.
********************
Kini San-hai-koan telah menjadi kota benteng pemberontak. Pintu gerbangnya dijaga oleh pengawal-pengawal pasukan pemberontak dan setiap orang yang memasuki kota itu tentu akan digeledah dan diperiksa. Penjagaan sangat ketat. Selain benteng San-hai-koan, juga dusun-dusun di sekitar daerah itu telah diduduki pasukan pemberontak.
Pada suatu pagi, San-hai-koan didatangi tiga orang tamu yang disambut dengan sangat hormat. Bahkan begitu tiba tiga orang itu diterima di dalam markas. Panglima Ji Sun Ki lalu mengadakan perjamuan kehormatan dan dalam kesempatan ini Raja dan Ratu Iblis sendiri ikut hadir!
Siapakah tamu-tamu yang amat dihormati itu? Mereka bertiga kini sudah berada di dalam sebuah ruangan yang luas, menghadapi meja besar panjang, berhadapan dengan Ji Sun Ki sendiri yang berpakaian panglima gemerlapan.
Pangeran Toan Jit Ong berpakaian agak pantas, berwarna kuning gading, tapi rambutnya yang putih itu tetap saja riap-riapan, mukanya yang kehijauan nampak serius dan hanya jenggot kumis yang pendek terpelihara rapi itu yang membuat dia nampak agak pantas. Isterinya juga hadir, pakaiannya juga warna putih dan kuning, kainnya baru dan bersih, akan tetapi rambutnya juga masih riap-riapan.
Suami isteri ini duduk dengan sikapnya yang angkuh di sebelah kanan Panglima Ji yang amat menghormati mereka. Di sebelah kiri panglima itu duduk pula lima orang panglima pembantu dan di deretan lain duduklah orang-orang aneh yang sikapnya menyeramkan. Mereka adalah orang-orang Cap-sha-kui yang kini sudah berkumpul semua dan menjadi pembantu-pembantu Raja Iblis.
Nampak Koai-pian Hek-mo, kakek berusia enam puluh lima tahun yang tinggi besar dan bermuka hitam, bermata bulat dan hidungnya besar, mulutnya lebar tertutup kumis dan jenggot yang brewok. Di punggungnya nampak sebatang cambuk baja yang panjang dan ujungnya dipasangi paku.
Di sebelah kakek ini duduk Hwa Hwa Kui-bo, nenek berusia lima puluh empat tahun yang mukanya memakai kedok hitam hingga yang nampak hanya mata, hidung dan bibir saja. Mulutnya besar dan buruk, tubuhnya ramping dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo ini adalah tokoh-tokoh muara Huang-ho dan merupakan tokoh Cap-sha-kui yang terkenal.
Kemudian nampak pula Tho-te-kwi (Setan Malaikat Bumi), kakek raksasa yang umurnya telah enam puluh tahun lebih. Kakek ini amat menyeramkan, tingginya satu setengah kali orang biasa dan perawakannya serba besar. Pakaiannya hijau agak utuh, tidak compang camping seperti biasanya, kaki tangannya memakai gelang emas yang besar dan berat. Kakek peranakan Nepal bekas pendeta Lama ini duduk melenggut, sikapnya tidak peduli.
Masih nampak lagi empat orang pria berusia antara lima puluhan tahun yang pakaiannya seragam seperti orang-orang dari satu pasukan. Semuanya berjumlah tujuh orang dan memang, Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) kini tinggal tujuh orang lagi, karena yang enam orang telah tewas.
Tiga orang tamu itu terdiri dari seorang kakek yang sudah amat tua, usianya tentu sudah delapan puluh tahun lebih, akan tetapi dia masih kelihatan segar dan penuh semangat. Tubuhnya pendek tegap dan kepalanya botak hampir gundul sama sekali, sikapnya dan bicaranya gagah sekali. Sebatang pedang panjang model samurai Jepang tergantung di punggungnya.
Kakek ini bukan orang sembarangan. Dulu namanya pernah terkenal di dunia persilatan karena dia pernah menjadi seorang datuk sesat yang sangat ditakuti di bagian timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur). Dia seorang berbangsa Jepang yang semenjak muda sudah tinggal di pantai timur. Nama aslinya Minamoto sudah berubah menjadi Bin Mo To.
Orang kedua adalah Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai yang menjadi mantu Bin Mo To. Ketua Cin-ling-pai ini telah berusia lima puluh empat tahun, namun masih nampak tampan dan gagah. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang terkenal, dia nampak berwibawa dan angkuh, seperti tidak memandang mata terhadap orang-orang aneh yang berada di depannya walau pun dia tahu bahwa Raja Iblis dan teman-temannya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Isterinya yang bernama Bin Biauw, peranakan Jepang Korea itu, duduk di sisinya. Wanita yang usianya hampir lima puluh tahun ini berpakaian sederhana, namun nampak gagah dengan pedang yang tergantung di punggungnya.
Seperti sudah kita ketahui, atas bujukan ayah mertuanya serta isterinya, akhirnya ketua Cin-ling-pai ini menyetujui untuk membantu para pemberontak yang ingin menggulingkan Kaisar Ceng Tek yang dianggapnya tidak cakap itu. Sebagai seorang pendekar, Cia Kong Liang membenci pemerintahan yang penuh dengan koruptor, penuh dengan pembesar-pembesar penindas rakyat dan semua ini adalah kesalahan kaisarnya, oleh karena itu, dia mau membantu mereka yang berusaha menggulingkan kaisar, supaya kerajaan dipimpin oleh kaisar lain yang lebih baik. Tentu saja tidak demikian pendapat ayah mertuanya.
Ketua Cin-ling-pai ini keras hati dan tindakannya hanya didasari pendapatnya sendiri yang memang tak menyeleweng dari pada jalan yang benar. Cia Kong Liang tidak mempunyai pamrih pribadi ketika dia mengunjungi San-hai-koan. Satu-satunya tujuan yang ada dalam batinnya hanyalah menggulingkan kaisar yang dianggapnya tidak becus agar diganti oleh kaisar lain sehingga kehidupan rakyat akan menjadi lebih baik. Sebaliknya, Bin Mo To dan anak perempuannya memiliki ambisi besar, yaitu agar ketua Cin-ling-pai itu memperoleh kedudukan tinggi apa bila gerakan itu berhasil!
Kedatangan tiga orang tamu ini tentu saja menggirangkan hati Panglima Ji dan juga Raja Iblis. Bantuan tiga orang ini amat penting, karena di belakang ketua Cin-ling-pai ini masih terdapat anggota-anggota Cin-ling-pai dan sekali Cin-ling-pai bergerak, besar harapannya akan diikuti pula oleh perkumpulan pendekar yang lain.
Dan yang hadir di dalam ruangan itu, selain tujuh orang Cap-sha-kui sebagai pembantu-pembantu Raja Iblis, masih terdapat pula beberapa orang tokoh-tokoh sesat dan terakhir di deretan belakang, sebagai kaum muda, nampak Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa!
Setelah berkenalan secara singkat, Cia Kong Liang menyatakan maksud kedatangannya, yaitu hendak membantu gerakan para pemberontak untuk menentang dan menggulingkan kekuasaan kaisar yang dianggap tidak mampu menjadi pemimpin rakyat itu. Ji Sun Ki mendengarkan dengan wajah berseri gembira dan setelah tamunya selesai berbicara, dia pun mengangguk-angguk.
"Alangkah bahagianya hati kami menerima kunjungan Cia Pangcu (Ketua Cia), apa lagi mendengar pernyataan pangcu. Memang benar, kaisar yang sekarang sedang berkuasa adalah kaisar lalim yang dikelilingi oleh menteri-menteri korup dan jahat. Kalau kekuasaan mereka yang sekarang duduk di tampuk pemerintahan tidak digulingkan, maka kehidupan rakyat akan menjadi makin sengsara. Sebaiknya kini kami mohon pendapat Toan Ong-ya untuk menyambut uluran bantuan Cia Pangcu itu," panglima itu berkata sambil menoleh dengan sikap hormat kepada Raja Iblis yang duduk di sebelah kanannya.
Pangeran Toan Jit Ong mengangguk, kemudian menoleh ke sebelah kanannya memberi isyarat kepada isterinya. Seperti biasa, Raja Iblis ini tidak pernah atau jarang sekali bicara sendiri dan isterinya menjadi wakil pembicara. Ratu Iblis mengangguk dan memandang kepada semua yang hadir, lalu menghentikan pandang matanya kepada tiga orang tamu itu.
"Perlu cu-wi ketahui bahwa selama puluhan tahun Toan Ong-ya bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan duniawi. Akan tetapi setelah beliau mendengar akan kelaliman kaisar yang masih terhitung cucu beliau sendiri, beliau merasa amat penasaran dan bertanggung jawab untuk turun tangan. Sungguh kebetulan sekali bahwa beliau dapat bekerja sama dengan Ji-ciangkun sehingga dengan bantuan orang-orang gagah, dapat diharapkan kita bersama akan bisa menyerbu ke selatan dan menggulingkan pemerintahan yang lalim dan lemah itu. Bantuan Cia Pangcu untuk bekerja sama dengan kami benar-benar merupakan hal yang sangat baik dan mudah-mudahan akan ditiru oleh semua orang gagah di dunia. Dengan persatuan di antara kita sambil melupakan urusan pribadi, maka perjuangan ini akan dapat berhasil lebih cepat lagi. Kemudian, mengenai rencana siasat pergerakan kita, harap Ji-ciangkun yang menjelaskan sesuai dengan rencana yang telah diambil bersama." Ratu Iblis lalu mengangguk dengan anggun dan berwibawa.
Cia Kong Liang yang semula merasa ragu-ragu melihat keadaan dan sikap pangeran itu dan anak buahnya yang kelihatan kasar-kasar, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam, setelah mendengar ucapan Ratu Iblis merasa tertarik. Dari kata-katanya jelas dapat diketahui bahwa nenek itu adalah seorang terpelajar dan berpengetahuan luas dan sikap Toan Jit Ong juga begitu penuh wibawa, seperti seorang raja besar layaknya.
Panglima Ji segera menjelaskan. "Kita sudah beruntung bisa menduduki San-hai-koan ini yang dapat kita pergunakan sebagai benteng pusat, juga kita sudah berhasil menduduki dusun-dusun di sekitar daerah San-hai-koan. Kini kedudukan kita sudah cukup kuat untuk melanjutkan penyerbuan ke selatan. Akan tetapi sungguh menggemaskan, di utara timbul pergerakan dari para suku bangsa Nomad yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan bangsa Mongol yang sudah hancur. Oleh karena itu, kita diancam bahaya dari utara. Dan untuk memperkokoh kedudukan, kita harus segera merampas kota benteng Ceng-tek. Dengan demikian kita memiliki dua benteng, San-hai-koan dapat kita gunakan untuk menahan serbuan para suku bangsa dari utara, sedangkan benteng Ceng-tek dapat kita pergunakan sebagai benteng pertahanan untuk bergerak ke selatan."
Mereka lalu mengadakan perundingan, mencari siasat bagaimana akan dapat merampas benteng Ceng-tek yang dijaga ketat oleh pasukan pemerintah itu. Dalam perundingan itu, ketua Cin-ling-pai bersama isteri dan ayah mertuanya juga diikut sertakan, yang menjadi tanda bukti bahwa mereka bertiga itu telah diterima sebagai sekutu!
"Untuk gerakan ini, Toan Ong-ya sudah lama membuat gambaran rencana penyerbuan dan siasat memancing mereka keluar dari sarang," kata Ratu Iblis yang menyampaikan segulung kertas. Ji-ciangkun menerima gulungan kertas itu kemudian membukanya dan menggantung kertas yang sudah dibuka itu agar semua yang hadir dapat melihat dengan jelas.
Melihat gambar siasat penyerbuan itu, Cia Kong Liang merasa sangat kagum. Di sana digambarkan siasat yang diatur oleh Pangeran Toan Jit Ong. Dengan gambar dan tulisan dijelaskan siasat itu.
Pertama-tama pasukan yang tidak besar jumlahnya harus dapat diselundupkan ke kota Ceng-tek untuk mengatur siasat dan bergerilya membantu pasukan mereka kalau saatnya penyerbuan tiba. Kemudian pasukan besar dari San-hai-koan akan meninggalkan benteng San-hai-koan dengan berpencaran dan membuat gerakan seolah-olah hendak meluaskan wilayah dan menyerangi dusun-dusun di empat penjuru.
Yang ditinggalkan di dalam benteng hanya seperempat saja dari jumlah pasukan mereka, karena benteng San-hai-koan sudah dibuat sedemikian kokohnya sehingga musuh yang jumlahnya jauh lebih besar sekali pun tidak akan mudah dapat menjatuhkan benteng itu. Sementara itu, tiga perempat dari pasukan itu yang tadinya meninggalkan benteng dan dipencar, diam-diam bersatu kembali dan menanti kesempatan baik.
Bila mana diketahui oleh para pemimpin pasukan pemerintah di Ceng-tek bahwa benteng San-hai-koan ditinggalkan oleh sebagian besar pasukan pemberontak, tentunya Ceng-tek akan mengirim pasukan untuk menggempur lantas merampas kembali benteng itu. Nah, di dalam kesempatan inilah pasukan yang tiga perempat jumlahnya dan telah bersatu itu segera mengadakan penyerbuan kilat ke Ceng-tek, dibantu oleh mata-mata yang sudah menyelundup ke dalam kota Ceng-tek.
"Sungguh rencana siasat yang bagus sekali!" Ji-ciangkun berkata gembira, "Dan untuk tugas penyelundupan ke Ceng-tek, kami mohon bantuan Cia-pangcu dan para pendekar Cin-ling-pai. Dapatkah pangcu membantu?"
"Tentu saja Cia-pangcu dapat membantu!" Bin Mo To yang cepat mendahului mantunya. "Memang para anggota Cin-ling-pai sudah siap di luar."
Memang ketua Cin-ling-pai itu sudah menyiapkan lima puluh orang anggota Cin-ling-pai untuk membantu gerakan pemberontakan itu dan mereka sudah siap menanti di luar kota benteng San-hai-koan. Segera mereka dihubungi dan pada malam hari itu juga pasukan istimewa Cin-ling-pai ini dijamu dengan penuh penghormatan.
Dan beberapa hari kemudian, siasat itu dijalankan dengan baiknya. Pasukan di Ceng-tek yang dipimpin oleh Bhe-ciangkun terpancing, ketika para penyelidik melaporkan adanya gerakan besar-besaran dari pasukan pemberontak yang meninggalkan benteng sehingga benteng di San-hai-koan hampir kosong.
Panglima Bhe yang sampai kini masih menanti keputusan dari kota raja atas laporannya bahwa Ji-ciangkun dari San-hai-koan memberontak dan menguasai San-hai-koan, melihat kesempatan baik untuk merebut kembali kota benteng itu. Maka dia cepat mengerahkan pasukannya untuk menyerang San-hai-koan. Akan tetapi benteng ini ternyata amat kuat walau pun hanya dijaga oleh pasukan pemberontak yang tidak begitu banyak jumlahnya.
Pada saat pasukan pemerintah sibuk berusaha merampas kembali San-hai-koan, diterima berita bahwa benteng Ceng-tek diserbu oleh pasukan pemberontak yang kuat sekali! Dan dalam waktu semalam saja benteng itu jebol lantas diduduki oleh pasukan pemberontak!
Tentu saja pasukan pemerintah menjadi kacau, terlebih lagi ketika sebagian dari pasukan yang merampas Ceng-tek itu lalu digunakan oleh Ji-ciangkun untuk menyerang pasukan pemerintah dari belakang. Maka terpaksa Bhe-ciangkun menarik mundur pasukannya dan melarikan diri ke selatan sampai di Tembok Besar dan cepat mengirim berita ke kota raja untuk minta bantuan.
********************
Cin-ling-pai mempunyai jasa besar dalam penyerbuan kota Ceng-tek karena perkumpulan orang gagah yang dipimpin sendiri oleh Cia Kong Liang, isteri serta mertuanya inilah yang menyelundup ke dalam kota Ceng-tek. Saat terjadi penyerbuan, mereka telah membantu dari dalam, membakari tempat-tempat penting, menyerang pembesar-pembesar sehingga kekacauan ini menyebabkan pertahanan kota Ceng-tek menjadi amat lemah dan mudah ditundukkan dan dirampas.
Untuk menyenangkan hati para pendekar Cin-ling-pai, atas petunjuk Raja Iblis, Ji-ciangkun lalu mengangkat Cia Kong Liang sebagai pimpinan pasukan keamanan di kota itu, ada pun para anggota Cin-ling-pai diangkat menjadi perwira-perwira pasukan keamanan kota Ceng-tek. Mereka itu, mulai dari para murid sampai ketuanya, bertugas dengan penuh disiplin dan semangat tinggi, merasa bahwa mereka telah menjadi pejuang-pejuang yang menegakkan keadilan dan menentang pemerintah lalim demi kebaikan rakyat dan negara.
Hanya Bin Mo To dan puterinya yang diam-diam merasa gembira dengan pengangkatan itu. Hal ini merupakan permulaan yang baik bagi Cia Kong Liang untuk menuju ke tangga kedudukan yang kelak tentu akan jauh lebih tinggi kalau pemberontakan itu berhasil. Bin Mo To yang sebelumnya secara diam-diam sudah mengadakan kontak dengan Raja Iblis dapat menyimpan rahasianya dan ketika berjumpa di San-hai-koan, dia berpura-pura tak mengenal pangeran itu.
Semenjak puterinya menikah dengan Cia Kong Liang, kakek ini memang tak lagi terjun ke dalam dunia kejahatan, namun bagaimana pun juga dia tidak mampu melawan dorongan ambisinya yang ingin melihat anak mantunya menjadi seorang yang berkedudukan tinggi sehingga dia sendiri otomatis akan terangkat martabatnya.
********************
Sesudah kota Ceng-tek jatuh ke tangan para pemberontak, kekuasaan para pemberontak menjadi semakin besar dan mereka semakin rajin menyerbu ke dusun-dusun. Yang paling rajin di antara para pembantu Ji-ciangkun adalah Sim Thian Bu. Orang ini selain menjadi kekasih Siang Hwa, juga menjadi kepercayaan Raja Iblis dan Ji-ciangkun karena memang sudah banyak jasanya.
Selama ini Sim Thian Bu memperlihatkan kesetiaannya dan kesungguhan hatinya dalam membantu pasukan pemberontak menaklukkan desa-desa dan melakukan perampokan-perampokan. Oleh karena itulah dia dipercaya memimpin pasukan besar sebanyak seribu orang, bahkan dia boleh menentukan sendiri gerakan-gerakan aksinya ke desa-desa.
Thian Bu tak mau secara sembarangan menyerang dusun-dusun yang miskin. Dia selalu menyelidiki lebih dahulu apakah terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi penyerbuan pasukannya. Apa bila di dusun itu terdapat harta kekayaan, atau setidaknya ternak atau bahan makanan, terutama sekali kalau terdapat wanita-wanitanya yang muda, tentu dia akan mengerahkan anak buahnya menyerbu.