MENDENGAR ucapan ini, Hui Song merasa betapa mukanya panas kemerahan. Dia seperti baru diingatkan bahwa dia tidak berhak marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang. Bagaimana pun juga, walau dia amat mencinta Sui Cin, akan tetapi secara resmi gadis itu bukan apa-apanya, malah kekasihnya pun bukan karena selama ini dara itu belum pernah menyatakan membalas cintanya! Kalau Sui Cin yang dihina itu tidak apa-apa, mengapa dia yang ribut-ribut?
"Hemmm, sekarang memang tidak dapat kubuktikan bahwa nona Ceng mendendam dan marah, akan tetapi kalau kelak dia mencarimu untuk membuat perhitungan, maka aku akan membantunya dan kami akan membunuhmu!" katanya menahan kemarahan.
"Sudahlah, paman Hui Song. Kita semua sedang menghadapi keadaan yang amat gawat. Para pemberontak sudah merebut Ceng-tek dan semakin merajalela saja. Kalau di antara kita ribut sendiri, bagaimana kita bisa menentang mereka? Seperti yang telah diputuskan dalam pertemuan itu, kita harus bergerak secara sendiri-sendiri untuk membantu pasukan pemerintah yang tentu akan segera menyerbu mereka dari selatan. Sekarang kita harus bersiap-siap dan kalau mungkin, sebelumnya kita melakukan gangguan-gangguan untuk melemahkan mereka, atau setidak-tidaknya menyelidiki kekuatan mereka, memata-matai mereka agar kita dapat memberi pelaporan kepada pasukan pemerintah kelak."
"Benar, suheng," Siang Wi menyambung. "Urusan pribadi lebih baik dikesampingkan saja dulu, lebih baik kita cepat-cepat pergi ke Ceng-tek."
"Ke Ceng-tek? Ada apa? Bukankah kota itu sudah diduduki musuh?" tanya Hui Song.
"Kita harus cepat pergi ke sana, suheng, karena..." Tiba-tiba saja Siang Wi menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Ci Kang.
Melihat ini, Cia Sun menoleh kepada Ci Kang, "Ci Kang, mari kita pergi."
Ci Kang mengangguk. "Memang aku sedang mencari nona Hui Cu..."
"Hui Cu? Ada apa dengannya?"
"Dia telah tertawan oleh Raja Iblis..."
"Ahhh...!" Cia Sun merasa terkejut bukan main.
"Cia Sun, kita sudah berhutang budi kepadanya, marilah kau bantu aku mencarinya dan menyelamatkan dia." Cia Sun mengangguk dan mereka lalu berpamit kepada Siang Wi dan Hui Song.
Setelah dua orang muda itu pergi, Siang Wi berkata, "Suheng, apakah engkau tidak tahu? Suhu dan subo kini berada di Ceng-tek, juga semua saudara anggota Cin-ling-pai."
Sepasang mata Hui Song terbelalak. Dia teringat akan kata-kata Sim Thian Bu mengenai orang tuanya. "Ada... ada apakah sehingga mereka berada di Ceng-tek?" tanyanya gagap dan gelisah.
Siang Wi dapat menduga bahwa suheng-nya belum mendengar tentang hal yang sangat mengejutkan mengenai gurunya itu. "Suheng, suhu, subo, dan sukong bersama dengan para murid Cin-ling-pai telah berada di kota Ceng-tek karena mereka semua membantu pemberontak..."
"Tak mungkin!" Hui Song berteriak. "Sumoi, dari siapa engkau mendengar berita bohong itu?"
"Suheng, ketika pertama kali mendengarnya, aku pun terkejut dan tidak percaya, bahkan ingin marah. Akan tetapi... yang memberi tahu kepadaku adalah toako Cia Sun sendiri."
"Ahhhh...!" Jantung Hui Song berdebar keras. Jadi, benarkah apa yang didengarnya dari Sim Thian Bu? "Bagaimana mungkin itu? Apakah Cia Sun tidak keliru ketika bercerita kepadamu?"
"Suheng, kalau saja yang berterita itu orang lain, tentu sudah kuserang dia! Akan tetapi Cia-toako, kiranya tak mungkin dia berbohong dan aku khawatir sekali suheng. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan subo dan untuk membuktikan kebenaran berita itu."
"Mari kita cepat ke Ceng-tek. Berita itu harus kita selidiki dan kalau memang benar terjadi hal yang luar biasa itu, aku harus menegur dan mengingatkan ayah dan ibu!"
Dengan hati gundah dan gelisah Hui Song dan Siang Wi meninggalkan tempat itu menuju ke Ceng-tek. Mereka berdua mengambil keputusan bahwa kalau memang benar ketua Cin-ling-pai dan para anggotanya membantu pemberontak, mereka akan menegur dan menyadarkan sedapat mungkin.
"Suhu, teecu merasa sangsi apakah tindakan kita membantu para pemberontak ini sudah tepat," seorang di antara lima pria gagah itu berkata kepada Cia Kong Liang yang duduk bersanding dengan isterinya.
Sejak pasukan pemberontak, dengan bantuan orang-orang Cin-ling-pai yang lebih dahulu menyelundup ke dalam, berhasil menduduki Ceng-tek, ketua Cin-ling-pai itu diangkat oleh Panglima Ji Sun Ki menjadi komandan pasukan penjaga keamanan kota benteng itu. Dia sekeluarga berikut puluhan orang murid Cin-ling-pai mendapat pelayanan yang mewah dan dihormati oleh pasukan pemberontak serta dianggap berjasa besar.
Pada pagi hari itu, ketua Cin-ling-pai duduk dalam ruangan belakang bersama isterinya, di dalam gedungnya yang amat megah, menerima lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang menghadap sebagai wakil dari semua murid. Mendengar ucapan seorang di antara murid kepala itu, Cia Kong Liang memandang tajam.
Pada hari-hari terakhir ini dia sendiri merasa tidak tenang dan dalam keraguan karena dia melihat betapa pasukan Ji-ciangkun dibantu oleh rombongan orang-orang aneh yang dari sikap mereka menunjukkan kekerasan dan kekejaman golongan hitam. Maka, mendengar ucapan muridnya yang biasanya tentu akan membuatnya marah itu, dia merasa tertarik sekali.
"Kenapa tidak tepat? Kita bukan sekedar memberontak memperebutkan kedudukan! Kita berjuang menentang pemerintah yang lalim. Ini adalah tugas para pendekar dan patriot, menyelamatkan rakyat dari penindasan pemerintah lalim," katanya memancing pendapat.
"Akan tetapi, suhu," kata pula murid kedua, "Pasukan pemberontak ini dibantu oleh kaum sesat! Teecu melihat sendiri betapa mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap penduduk dusun yang diserbu, juga menculik dan memperkosa wanita-wanita, merampok harta benda bahkan hasil sawah ladang dan binatang ternak petani! Apakah benar kalau kita membantu orang-orang seperti itu, suhu?"
Cia Kong Liang meraba jenggotnya dan mengerutkan alisnya. "Hemmm, benarkah semua itu? Apa lagi yang kalian dengar atau lihat?"
"Teecu tidak berbohong, suhu!" kata orang ketiga. "Selama perantauan teecu dalam dunia kang-ouw, teecu telah beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh sesat yang kini nampak berada dalam rombongan mereka yang membantu pasukan dan yang sekarang berdiam di San-hai-koan. Akan tetapi kadang-kadang ada utusan mereka datang ke Ceng-tek ini dan apa bila bertemu dengan teecu, mereka pura-pura tidak mengenal teecu. Teecu yakin, mereka itu adalah dari golongan hitam, kaum penjahat yang kejam!"
"Bukan itu saja, suhu," kata orang keempat, "teecu dahulu pernah bertemu dengan Hwa Hwa Kui-bo, nenek iblis yang menjadi seorang tokoh dari Cap-sha-kui, dan teecu melihat pula nenek iblis itu dalam rombongan mereka! Teecu dapat menduga bahwa rombongan itu tentu dipimpin oleh iblis-iblis dari Cap-sha-kui!"
Mendengar ini, Cia Kong Liang menjadi terkejut sekali. "Cap-sha-kui...?"
Pernah dia mendengar nama Tiga Belas Iblis ini walau pun dia belum pernah berjumpa dengan mereka. Ia mendengar bahwa Cap-sha-kui pernah merajalela di dunia kang-ouw, dikepalai oleh Si Iblis Buta. Dan kalau benar Cap-sha-kui sekarang membantu pasukan pemberontak, ini merupakan hal yang amat mencurigakan!
"Apa lagi yang kalian ketahui?" tanyanya.
"Satu hal lagi yang sangat mengejutkan, suhu," kata seorang murid lain. "Teecu... teceu takut mengatakan..." Murid ini memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan mata membayangkan ketakutan.
"Kau takut apa? Tidak usah takut, siapa yang akan mendengar keteranganmu kecuali kita sendiri, dan andai kata ada orang lain mendengar, takut apa? Aku berada di sini!"
Mendengar ucapan guru atau ketuanya itu, murid Cin-ling-pai ini menjadi besar hati tetapi walau pun demikian, suaranya masih lirih ketika dia melanjutkan keterangannya, "Suhu, teecu mendengar bahwa Pangeran Toan itu, yang memimpin pemberontakan bersama Ji-ciangkun, adalah rajanya kaum sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis...!"
"Ahhh...!" Untuk kesekian kalinya Cia Kong Liang terkejut akan tetapi yang terakhir lebih hebat lagi sehingga kedua matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Benarkah itu? Tidak kelirukah penyelidikanmu?"
"Hati-hatilah kau, jangan sembarangan karena kalau keteranganmu itu tidak benar, amat berbahaya dan engkau telah menjatuhkan fitnah!" kata Bin Biauw yang juga terkejut bukan main mendengar berita yang sama sekali tidak disangkanya ini.
Wanita ini maklum bahwa ayahnya membujuk suaminya membantu pemberontak supaya suaminya kelak bisa memperoleh kedudukan tinggi, akan tetapi dasar pemberontakan itu adalah perjuangan menentang pemerintahan kaisar sekarang yang dianggap lalim. Akan tetapi sedikit pun dia tak pernah menyangka bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh raja kaum sesat!
Seperti juga suaminya, biar pun tidak jelas benar, namun dia pernah mendengar tentang Cap-sha-kui dan Raja Iblis. Meski pun puteri bekas datuk sesat, sejak muda nyonya ketua Cin-ling-pai ini tidak suka dengan kejahatan dan apa lagi sesudah dia menjadi isteri ketua Cin-ling-pai, jiwa kependekarannya semakin menebal.
"Suhu dan subo, teecu mana berani menyampaikan berita ini kepada suhu berdua kalau teecu tidak lebih dahulu melakukan penyelidikan dengan seksama? Teecu telah berbicara dengan beberapa orang anggota pasukan pemberotak yang sedang mabok dan agaknya mereka tidak dapat menyimpan rahasia lagi. Hal itu mungkin karena mereka menganggap teecu sebagai teman atau rekan satu pasukan. Bahkan menurut mereka, ada pasukan inti yang biasanya menyerang ke dusun-dusun, dipimpin oleh seorang tokoh hitam bernama Sim Thian Bu, murid mendiang Iblis Buta. Juga Gui Siang Hwa, wanita cantik yang suka berkeliaran dan memimpin pasukan pengawal itu adalah murid Raja dan Ratu Iblis."
"Sssttttt...!" Tiba-tiba saja Cia Kong Liang memberi isyarat kepada muridnya agar jangan melanjutkan kata-katanya karena dia mendengar sesuatu di luar.
Cepat tubuhnya berkelebat dan ketua Cin-ling-pai ini sudah melompat keluar, kemudian terus meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi tidak terdapat seorang pun di sana. Betapa pun juga, dia yakin bahwa tadi ada seorang yang mengintai atau mendengarkan percakapan mereka.
Sesudah merasa yakin bahwa tidak ada orang di situ, ketua Cin-ling-pai segera meloncat turun lagi dan memasuki ruangan, disambut oleh isterinya dan lima orang muridnya yang sudah berdiri dan memandang dengan wajah tegang. Cia Kong Liang menggeleng kepala sebagai jawaban pertanyaan yang terbayang dalam pandang mata mereka, lalu berkata lirih.
"Mulai sekarang kalian harus lebih berhati-hati dan melakukan penyelidikan lebih teliti lagi. Bisiki semua kawan-kawanmu agar siap siaga dan menanti perintahku selanjutnya. Nah, masih ada lagi yang hendak kalian laporkan?"
"Ada satu hal lagi, suhu," kata murid yang menjadi pembicara pertama, "teecu mendengar bahwa satu rombongan pendekar yang sedang mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang, telah disergap oleh pasukan pemberontak dan banyak di antara mereka yang tewas."
Suami isteri itu saling pandang dengan muka pucat dan tahulah mereka bahwa pada saat itu mereka berdua mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu bahwa mungkin sekali putera mereka berada di antara para pendekar yang disergap itu! Cia Kong Liang mengangguk lalu memberi isyarat kepada lima orang murid itu agar mengundurkan diri.
Setelah lima orang murid itu meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu, Cia Kong Liang berkata kepada isterinya. "Sungguh mengejutkan dan menggelisahkan apa yang kita dengar dari para murid tadi. Jika benar demikian, kenapa gak-hu (ayah mertua) diam saja dan tidak memberi tahu kepadaku? Apakah engkau tidak diberi tahu oleh ayahmu?"
Isterinya lalu menggeleng. "Aku juga hanya mengenal pangeran dan isterinya itu sebagai Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya, dan mereka hendak menolong negaranya dengan menggulingkan kaisar yang sekarang dianggap lalim. Dan aku pun tidak pernah bertemu lagi dengan mereka sesudah kita bicara dengan Ji-ciangkun tempo hari. Mereka berada di San-hai-koan dan kita berada di sini, mana aku tahu?"
"Sebaiknya ayahmu segera diberi tahu dan diajak bicara. Panggil dia ke sini, sebaiknya sekarang juga kita bicarakan hal yang sangat penting ini. Hatiku merasa khawatir sekali kalau-kalau kita telah keliru membantu kaum sesat yang ingin memberontak bukan untuk mengenyahkan kaisar lalim, melainkan untuk merebut kedudukan."
"Baik, akan kucari dia dalam kamarnya," kata isterinya.
Ketika tiba di luar kamar, Bin Biauw melihat berkelebatnya orang di atas genteng. Sebagai seorang isteri ketua Cin-ling-pai yang juga mempunyai ilmu silat tinggi, nyonya ini cepat melakukan pengejaran, meloncat ke atas genteng. Akan tetapi setibanya di atas genteng, dia tidak melihat seorang pun dan dia terkejut sekali.
Orang tadi benar-benar mempunyai ginkang yang amat hebat, jauh lebih tinggi dari pada ginkang-nya sendiri. Setelah celingukan dan tidak melihat lagi bayangan itu, maka dia pun turun kembali dan tak lama kemudian dia mengetuk daun pintu ayahnya.
Ayahnya belum tidur dan pada saat itu sedang membaca buku. Ketika daun pintu dibuka, puterinya segera memberi tahu bahwa putera mantunya minta agar dia suka memasuki ruang belakang untuk diajak merundingkan sesuatu yang amat penting. Bin Mo To cepat berpakaian yang pantas lalu bersama puterinya pergi ke dalam ruangan itu.
"Ada keperluan apa sih malam-malam begini suamimu memanggilku?" ayah itu bertanya dengan sikap heran.
"Ada urusan penting sekali, ayah. Nanti saja kita bicarakan di dalam," jawab puterinya dan melihat sikap puterinya yang serius itu kakek itu pun tidak bertanya-tanya lagi.
Begitu berhadapan dan dipersilakan duduk, kakek itu lalu bertanya. "Ada urusan penting apakah...?" Akan tetapi kata-katanya terhenti karena Bin Biauw yang merasa tegang itu langsung memotongnya dengan menceritakan kepada suaminya bahwa ketika keluar dari kamar tadi dia melihat bayangan orang.
"Tidak kau kejar?" tanya suaminya.
"Sudah, akan tetapi orang itu mempunyai ginkang yang amat hebat. Begitu berkelebat ke atas genteng dan kukejar, dia sudah lenyap dan tidak nampak lagi bayangannya."
"Hemm, makin mencurigakan lagi..." gumam Cia Kong Liang.
"Aihh, apakah artinya semua ini? Apa yang telah terjadi?" kakek Bin Mo To bertanya.
Cia Kong Liang memandang wajah ayah mertuanya dengan tajam penuh selidik, lalu dia pun berkata, "Maafkan kami, ayah, kalau kami mengganggu dan mengejutkan ayah dari istirahat. Saya ingin bertanya, apakah ayah mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong?"
Ditanya demikian dan dipandang dengan penuh selidik, kakek Bin Mo To maklum bahwa mantunya ini agaknya mulai tahu akan kenyataan yang sebenarnya, akan tetapi ia masih berpura-pura tidak mengerti. "Tentu saja aku mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong. Ada apakah?"
"Maksud saya, apakah sebelum kita datang ke sini ayah sudah mengenalnya?"
Terpaksa kakek itu membohong dan dia menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya tahu bahwa komandan pasukan yang hendak memberontak terhadap kekuasaan kaisar lalim adalah Panglima Ji Sun Ki dan setelah tiba di sini baru kita mendengar bahwa pangeran itu adalah pemimpin kedua setelah dia atau sekutunya."
"Bukan urusan itu, ayah. Akan tetapi pernahkah ayah mendengar bahwa Pangeran Toan itu adalah raja golongan hitam yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis?"
Kini yakinlah hati kakek itu bahwa mantunya sudah tahu akan rahasia itu. Dengan wajah polos dia berkata, "Benarkah itu? Aku tidak tahu..."
Bin Biauw yang sudah mengenal watak ayahnya itu, yang demikian pandainya menguasai dirinya sehingga apa yang berada dalam hatinya tidak pernah terbayang pada wajahnya, langsung berkata, "Harap ayah tidak berpura-pura lagi karena kita bicara antar keluarga. Ayah, aku tidak dapat percaya kalau ayah tidak mengetahui semua ini. Bagaimana pun juga, belasan tahun yang lalu ayah pernah menjadi seorang datuk di timur. Tentu ayah mengenal semua tokoh dalam dunia hitam. Kalau sekarang tokoh-tokoh besar semacam Cap-sha-kui membantu Raja dan Ratu Iblis memimpin pemberontakan ini, mustahil kalau ayah tidak tahu sama sekali!"
Kakek itu menarik napas panjang, merasa tiada gunanya lagi mengelak karena anak dan menantunya ini agaknya telah mengetahui segalanya. "Baiklah, memang aku mengetahui bahwa mereka membantu pemberontak..."
"Kalau ayah tahu, mengapa menyeret kami ke sini?" puterinya berseru kaget dan marah.
"Ayah, mengapa ayah mengajak kami membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk kaum sesat? Ini adalah penyelewengan besar sekali bagi seorang pendekar!" kata pula Cia Kong Liang, terkejut bahwa ayah mertuanya sejak belasan tahun telah mencuci tangan dan tak mau lagi berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, akan tetapi mengapa kini kakek itu malah menyeret keluarganya membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk sesat?
Kembali kakek itu menghela napas, lalu memandang menantu dan anaknya dengan sinar mata tajam. "Apakah artinya para datuk sesat itu tanpa adanya pasukan besar? Mereka itu pun hanya menjadi pembantu-pembantu pasukan yang dipimpin Ji-ciangkun. Berarti kita membantu Ji-ciangkun dan bukan membantu mereka."
"Akan tetapi hal itu hanya sedikit bedanya. Bagaimana pun juga, berarti kita bekerja sama atau bersekutu dengan para datuk sesat," bantah Cia Kong Liang.
"Apa salahnya?" Mertuanya menjawab. "Kini bekerja sama untuk menentang kaisar lalim. Jika kelak perjuangan telah berhasil dan kita memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya untuk berbalik menentang mereka kalau mereka itu melakukan kejahatan?"
"TIdak! Tidak mungkin!" Cia Kong Liang bangkit berdiri. "Ternyata aku sudah melakukan penyelewengan, bersekutu dengan kaum sesat. Ah, perbuatanku ini menyeret nama baik keluargaku, menyeret nama Cin-ling-pai ke lembah kehinaan. Aku harus cepat bertindak!" Berkata demikian, pendekar ini melangkah maju ke pintu.
"Apa yang akan kau lakukan? Kau hendak pergi ke mana?" Isterinya tiba-tiba memegang lengannya dan memandang dengan wajah khawatir.
Cia Kong Liang berhenti lantas menepuk-nepuk pundak isterinya. "Sekarang aku harus melakukan penyelidikan sendiri ke San-hai-koan dan menemui Ji-ciangkun. Ini merupakan urusan besar yang menyangkut nama baik keluarga kita, lebih penting dari pada sekedar keselamatan nyawa."
"Aku ikut!" kata isterinya sambil memegang lengan suaminya kuat-kuat.
Suaminya menggelengkan kepala. "Kita harus membagi tugas, isteriku. Semua anggota Cin-ling-pai berada di sini. Aku menyelidiki ke San-hai-koan dan engkau mengumpulkan semua murid lalu mengajak mereka diam-diam melarikan diri keluar dari Ceng-tek. Kita akan kembali ke Cin-ling-san! Akan tetapi aku harus yakin dulu dan karena itu aku akan menemui Ji-ciangkun!"
Isterinya mengenal kekerasan hati suaminya dan membantah pun tak ada gunanya. Apa lagi karena apa yang dikatakan suaminya itu memang tepat. Kalau mereka berdua pergi, lalu siapa yang akan memimpin para murid yang berkumpul di Ceng-tek. Maka dia pun mengangguk lemah, menyembunyikan kekhawatirannya terhadap keselamatan suaminya. Sesudah sekali lagi menepuk pundak isterinya dengan perasaan kasih sayang besar, Cia Kong Liang kemudian meloncat keluar dan sebentar saja sudah lenyap dalam kegelapan malam.
"Ayah, semua ini adalah kesalahan ayah!" Bin Biauw menghadapi ayahnya dan menegur marah. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Anakku, jangan kau marah-marah dulu. Semua ini kulakukan demi kebahagianmu!"
"Demi kebahagiaanku, ayah? Engkau menyeret aku dan suamiku ke dalam persekutuan kotor ini yang mengancam kebersihan nama baik suamiku beserta keluarganya, dan kau masih mengatakan bahwa engkau melakukannya demi kebahagiaanku? Apa kau sangka kebahagiaanku terletak pada kehancuran nama dan kehormatan suamiku?"
"Tenanglah dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Aku melakukan semua ini bukan lain hanya dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada suamimu agar kelak suamimu mendapatkan sebuah kedudukan yang tinggi. Apa bila pemberontakan ini berhasil, tentu suamimu akan memperoleh kedudukan. Sekarang pun sudah nampak hasilnya. Suamimu diangkat menjadi komandan pasukan keamanan di Ceng-tek. Ini baru permulaan. Kelak, jika gerakan ini berhasil, tentu sedikitnya suamimu akan menjadi seorang panglima besar, memiliki kedudukan tinggi dan mulia, dihormati oleh semua orang dan bukankah dengan demikian maka nama dan kehormatan suamimu akan terangkat tinggi? Nah, siapa bilang aku hendak menghancurkan nama dan kehormatan mantuku sendiri?"
"Tetapi ayah sudah menggunakan cara yang sangat kotor, bersekutu dengan orang-orang jahat dari dunia hitam!" bantah puterinya.
Kakek itu tertawa. "Apa artinya cara? Yang penting dan menentukan adalah tujuannya! Tujuanku sangat baik, yaitu mengangkat derajat mantuku sendiri, dengan cara apa pun asal untuk tujuan baik, apa salahnya?"
Mendengar bantahan ayahnya, Bin Biauw termenung dan bimbang. Benarkah pendapat ayahnya itu? Selama ini ayahnya sudah mencuci tangan, tidak pernah lagi berkecimpung dalam dunia kejahatan, dan ayahnya selalu kelihatan bangga sekali terhadap mantunya, dan ia tahu bahwa ayahnya amat suka kepada suaminya.
Mungkinkah ayahnya mencelakakan keluarga mereka? Agaknya tidak mungkin dan kalau yang dilakukan ayahnya itu demi kebahagiaan keluarganya, bukankah itu benar? Wanita ini menjadi bimbang dan hanya duduk dengan alis berkerut, hatinya gelisah.
"Percayalah, anakku. Ayahmu ini sudah tua, tidak ingin apa-apa lagi. Segala yang ayah lakukan hanya demi kebahagiaanmu dan suamimu. Kalau suamimu kelak berkedudukan tinggi, bukankah kalian berdua menjadi bahagia? Menjadi orang-orang terhormat, mulia dan kaya raya?"
Bin Biauw semakin bingung. Hampir semua orang tua, baik disadari mau pun tidak, sering melakukan hal yang sama seperti dilakukan Bin Mo To itu.
Orang-orang tua selalu hendak mengatur anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai anak-anaknya dalam hal apa saja, mulai dari pendidikan sampai kepada perjodohan dan pekerjaan. Mereka, orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini, menganggap bahwa apa yang baik baginya tentu akan baik pula bagi anaknya. Apa yang dianggapnya menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula.
Karena ini maka banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama, malah calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian saja, bahkan kalau perlu orang-orang tua ini menggunakan kekuasaannya sebagai orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka. Tentu saja dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan benar!
Mereka, orang-orang tua kurang pikir ini, hampir tak pernah memperhatikan selera anak mereka, pilihan anak mereka, lalu mencari kesalahan-kesalahan pada pilihan anak-anak mereka dan menonjolkan kebaikan-kebaikan mereka sendiri, membujuk si anak, baik dengan halus mau pun keras.
Akibatnya, si anak yang terpaksa mentaati karena takut, karena tergantung, diam-diam merasa sangat tersiksa karena harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak disukai, menganut agama-agama yang tidak cocok dengan hati nuraninya, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dengan dirinya, bahkan harus hidup bersama dengan jodoh yang sama sekali tidak dicintanya.
Demi orang tua! Dan siapa yang senang dan lega? Orang tua itulah! Dengan demikian, sebenarnya orang-orang tua ini hanya mencari kesenangan diri sendiri belaka, mencari kepuasan diri sendiri belaka, dengan melalui anak-anak mereka!
Orang-orang tua yang bijaksana tak akan memperhitungkan selera diri sendiri, melainkan mementingkan selera anak-anaknya, tentu saja bukan berarti melepaskan pengawasan dan pengarahan, melainkan dengan dasar membahagiakan si anak, bukan si diri sendiri! Bukan tidak mungkin selera anaknya bertolak belakang dengan selera diri sendiri, tetapi demi cinta kasih terhadap anaknya, harus berani mengesampingkan selera dan pendapat diri pribadi.
Pendapat Bin Mo To mengenai mementingkan tujuan merupakan penyakit yang banyak menghinggapi batin kita. Cara apa pun yang dilakukan, dianggap baik kalau saja cara itu dipergunakan untuk TUJUAN BAIK. Betapa kita terlalu sering ditipu oleh istilah tujuan baik ini sehingga kita terjebak dalam perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak baik atau bersih, dengan alasan bahwa perbuatan itu merupakan cara untuk mencapai tujuan baik tadi! Bagi orang yang dihinggapi penyakit ini, maka pegangannya hanyalah: Tujuan menghalalkan segala cara!
Sepintas lalu kita mudah sekali terbujuk dan tertipu oleh tujuan baik, cita-cita mulia, dan sebagainya lagi. Maka terjadilah di dunia ini sebuah perang yang dianggap sebagai cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang, sebuah perang yang dianggap cara terbaik untuk mencapai perdamaian dan sebagainya lagi. Betapa menyesatkan!
Apakah mungkin kita dapat hidup damai bersama seseorang dengan cara memukuli dan menaklukkan orang itu? Mungkin saja menjadi perdamaian bagi satu pihak, yaitu pihak yang menang, akan tetapi yang dipukul dan ditaklukkan itu hanya mau berdamai karena terpaksa, karena kalah, karena takut. Tetapi berilah yang kalah itu sebuah kesempatan, maka suatu ketika dia akan memberontak dan membalas dendam!
Tujuan baik sama sekali tidak mungkin dicapai dengan cara yang buruk! Kalau caranya kotor, maka yang tercapai tentulah kotor pula. Tujuan hanya suatu gambaran yang kita buat, jadi bukan kenyataan dan sama sekali tidak ada sangkut paut atau hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan.
Yang terpenting sekali adalah CARA itulah! Cara ini menentukan segalanya, karena cara berarti perbuatan kita sekarang ini, saat ini! Kalau cara ini didikte oleh tujuan, maka cara ini menjadi palsu! Akan tetapi kalau cara atau perbuatan ini tanpa tujuan dan didasari cinta kasih, maka itulah cara hidup yang benar! Tanpa tujuan tertentu, berarti TANPA PAMRIH. Dan hanya cinta kasih sajalah yang menciptakan perbuatan tanpa tujuan, tanpa pamrih.
Mungkin tanpa disadarinya lagi, sebenarnya Bin Mo To mementingkan diri sendiri ketika dia menyeret anak dan mantunya untuk bersekutu dengan gerombolan Raja Iblis. Dan hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa tujuannya adalah baik, yaitu mengangkat derajat mantunya sehingga kelak dia boleh membonceng kemuliaan dan kehormatan.
"Aku harus mengumpulkan para murid..."
"Nanti dulu, hal itu belum perlu!" Ayahnya mencegah. "Pula, kalau kita memanggil mereka semuanya ke sini, tentu akan menimbulkan kecurigaan saja. Sebaiknya kalau memanggil beberapa orang di antara mereka, sebaiknya para murid kepala..."
Tiba-tiba ada dua orang murid Cin-ling-pai masuk dengan tergesa-gesa ke dalam ruangan itu. Wajah mereka pucat sekali sehingga Bin Biauw yang tadinya hendak marah melihat mereka berani masuk tanpa dipanggil, berbalik bertanya,
"Ada apakah? Mengapa kalian kelihatan begitu takut?"
"Subo... celaka, subo... celaka...!" kata seorang di antara mereka dan agaknya lidahnya menjadi kaku sehingga sukar baginya untuk bicara.
"Tenanglah! Ada apa? Apa yang terjadi?" Bin Mo To membentak tak sabar.
"Celaka... lima orang suheng... mereka... mereka telah tewas...!"
"Apa?!" Bin Biauw dan ayahnya berteriak kaget sekali. "Hayo ceritakan apa yang terjadi dengan mereka!"
Dengan suara patah-patah kedua orang murid itu menceritakan betapa lima orang murid kepala itu telah tewas semua, yang tiga orang tewas di dalam kamar masing-masing dan dua orang lagi tewas di luar rumah jaga. Namun tidak ada orang mendengar mereka itu berkelahi.
"Di mana mereka sekarang?"
"Jenazah mereka... kami kumpulkan di ruangan besar markas kami..."
Tanpa membuang waktu lagi, Bin Biauw dan Bin Mo To lari bersama dua orang murid itu menuju ke markas yang menjadi tempat tinggal para anggota Cin-ling-pai yang dianggap oleh pasukan pemberontak sebagai pasukan istimewa yang sudah berjasa dan menjadi tamu terhormat.
"Hemmm, sekarang memang tidak dapat kubuktikan bahwa nona Ceng mendendam dan marah, akan tetapi kalau kelak dia mencarimu untuk membuat perhitungan, maka aku akan membantunya dan kami akan membunuhmu!" katanya menahan kemarahan.
"Sudahlah, paman Hui Song. Kita semua sedang menghadapi keadaan yang amat gawat. Para pemberontak sudah merebut Ceng-tek dan semakin merajalela saja. Kalau di antara kita ribut sendiri, bagaimana kita bisa menentang mereka? Seperti yang telah diputuskan dalam pertemuan itu, kita harus bergerak secara sendiri-sendiri untuk membantu pasukan pemerintah yang tentu akan segera menyerbu mereka dari selatan. Sekarang kita harus bersiap-siap dan kalau mungkin, sebelumnya kita melakukan gangguan-gangguan untuk melemahkan mereka, atau setidak-tidaknya menyelidiki kekuatan mereka, memata-matai mereka agar kita dapat memberi pelaporan kepada pasukan pemerintah kelak."
"Benar, suheng," Siang Wi menyambung. "Urusan pribadi lebih baik dikesampingkan saja dulu, lebih baik kita cepat-cepat pergi ke Ceng-tek."
"Ke Ceng-tek? Ada apa? Bukankah kota itu sudah diduduki musuh?" tanya Hui Song.
"Kita harus cepat pergi ke sana, suheng, karena..." Tiba-tiba saja Siang Wi menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Ci Kang.
Melihat ini, Cia Sun menoleh kepada Ci Kang, "Ci Kang, mari kita pergi."
Ci Kang mengangguk. "Memang aku sedang mencari nona Hui Cu..."
"Hui Cu? Ada apa dengannya?"
"Dia telah tertawan oleh Raja Iblis..."
"Ahhh...!" Cia Sun merasa terkejut bukan main.
"Cia Sun, kita sudah berhutang budi kepadanya, marilah kau bantu aku mencarinya dan menyelamatkan dia." Cia Sun mengangguk dan mereka lalu berpamit kepada Siang Wi dan Hui Song.
Setelah dua orang muda itu pergi, Siang Wi berkata, "Suheng, apakah engkau tidak tahu? Suhu dan subo kini berada di Ceng-tek, juga semua saudara anggota Cin-ling-pai."
Sepasang mata Hui Song terbelalak. Dia teringat akan kata-kata Sim Thian Bu mengenai orang tuanya. "Ada... ada apakah sehingga mereka berada di Ceng-tek?" tanyanya gagap dan gelisah.
Siang Wi dapat menduga bahwa suheng-nya belum mendengar tentang hal yang sangat mengejutkan mengenai gurunya itu. "Suheng, suhu, subo, dan sukong bersama dengan para murid Cin-ling-pai telah berada di kota Ceng-tek karena mereka semua membantu pemberontak..."
"Tak mungkin!" Hui Song berteriak. "Sumoi, dari siapa engkau mendengar berita bohong itu?"
"Suheng, ketika pertama kali mendengarnya, aku pun terkejut dan tidak percaya, bahkan ingin marah. Akan tetapi... yang memberi tahu kepadaku adalah toako Cia Sun sendiri."
"Ahhhh...!" Jantung Hui Song berdebar keras. Jadi, benarkah apa yang didengarnya dari Sim Thian Bu? "Bagaimana mungkin itu? Apakah Cia Sun tidak keliru ketika bercerita kepadamu?"
"Suheng, kalau saja yang berterita itu orang lain, tentu sudah kuserang dia! Akan tetapi Cia-toako, kiranya tak mungkin dia berbohong dan aku khawatir sekali suheng. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan subo dan untuk membuktikan kebenaran berita itu."
"Mari kita cepat ke Ceng-tek. Berita itu harus kita selidiki dan kalau memang benar terjadi hal yang luar biasa itu, aku harus menegur dan mengingatkan ayah dan ibu!"
Dengan hati gundah dan gelisah Hui Song dan Siang Wi meninggalkan tempat itu menuju ke Ceng-tek. Mereka berdua mengambil keputusan bahwa kalau memang benar ketua Cin-ling-pai dan para anggotanya membantu pemberontak, mereka akan menegur dan menyadarkan sedapat mungkin.
********************
"Suhu, teecu merasa sangsi apakah tindakan kita membantu para pemberontak ini sudah tepat," seorang di antara lima pria gagah itu berkata kepada Cia Kong Liang yang duduk bersanding dengan isterinya.
Sejak pasukan pemberontak, dengan bantuan orang-orang Cin-ling-pai yang lebih dahulu menyelundup ke dalam, berhasil menduduki Ceng-tek, ketua Cin-ling-pai itu diangkat oleh Panglima Ji Sun Ki menjadi komandan pasukan penjaga keamanan kota benteng itu. Dia sekeluarga berikut puluhan orang murid Cin-ling-pai mendapat pelayanan yang mewah dan dihormati oleh pasukan pemberontak serta dianggap berjasa besar.
Pada pagi hari itu, ketua Cin-ling-pai duduk dalam ruangan belakang bersama isterinya, di dalam gedungnya yang amat megah, menerima lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang menghadap sebagai wakil dari semua murid. Mendengar ucapan seorang di antara murid kepala itu, Cia Kong Liang memandang tajam.
Pada hari-hari terakhir ini dia sendiri merasa tidak tenang dan dalam keraguan karena dia melihat betapa pasukan Ji-ciangkun dibantu oleh rombongan orang-orang aneh yang dari sikap mereka menunjukkan kekerasan dan kekejaman golongan hitam. Maka, mendengar ucapan muridnya yang biasanya tentu akan membuatnya marah itu, dia merasa tertarik sekali.
"Kenapa tidak tepat? Kita bukan sekedar memberontak memperebutkan kedudukan! Kita berjuang menentang pemerintah yang lalim. Ini adalah tugas para pendekar dan patriot, menyelamatkan rakyat dari penindasan pemerintah lalim," katanya memancing pendapat.
"Akan tetapi, suhu," kata pula murid kedua, "Pasukan pemberontak ini dibantu oleh kaum sesat! Teecu melihat sendiri betapa mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap penduduk dusun yang diserbu, juga menculik dan memperkosa wanita-wanita, merampok harta benda bahkan hasil sawah ladang dan binatang ternak petani! Apakah benar kalau kita membantu orang-orang seperti itu, suhu?"
Cia Kong Liang meraba jenggotnya dan mengerutkan alisnya. "Hemmm, benarkah semua itu? Apa lagi yang kalian dengar atau lihat?"
"Teecu tidak berbohong, suhu!" kata orang ketiga. "Selama perantauan teecu dalam dunia kang-ouw, teecu telah beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh sesat yang kini nampak berada dalam rombongan mereka yang membantu pasukan dan yang sekarang berdiam di San-hai-koan. Akan tetapi kadang-kadang ada utusan mereka datang ke Ceng-tek ini dan apa bila bertemu dengan teecu, mereka pura-pura tidak mengenal teecu. Teecu yakin, mereka itu adalah dari golongan hitam, kaum penjahat yang kejam!"
"Bukan itu saja, suhu," kata orang keempat, "teecu dahulu pernah bertemu dengan Hwa Hwa Kui-bo, nenek iblis yang menjadi seorang tokoh dari Cap-sha-kui, dan teecu melihat pula nenek iblis itu dalam rombongan mereka! Teecu dapat menduga bahwa rombongan itu tentu dipimpin oleh iblis-iblis dari Cap-sha-kui!"
Mendengar ini, Cia Kong Liang menjadi terkejut sekali. "Cap-sha-kui...?"
Pernah dia mendengar nama Tiga Belas Iblis ini walau pun dia belum pernah berjumpa dengan mereka. Ia mendengar bahwa Cap-sha-kui pernah merajalela di dunia kang-ouw, dikepalai oleh Si Iblis Buta. Dan kalau benar Cap-sha-kui sekarang membantu pasukan pemberontak, ini merupakan hal yang amat mencurigakan!
"Apa lagi yang kalian ketahui?" tanyanya.
"Satu hal lagi yang sangat mengejutkan, suhu," kata seorang murid lain. "Teecu... teceu takut mengatakan..." Murid ini memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan mata membayangkan ketakutan.
"Kau takut apa? Tidak usah takut, siapa yang akan mendengar keteranganmu kecuali kita sendiri, dan andai kata ada orang lain mendengar, takut apa? Aku berada di sini!"
Mendengar ucapan guru atau ketuanya itu, murid Cin-ling-pai ini menjadi besar hati tetapi walau pun demikian, suaranya masih lirih ketika dia melanjutkan keterangannya, "Suhu, teecu mendengar bahwa Pangeran Toan itu, yang memimpin pemberontakan bersama Ji-ciangkun, adalah rajanya kaum sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis...!"
"Ahhh...!" Untuk kesekian kalinya Cia Kong Liang terkejut akan tetapi yang terakhir lebih hebat lagi sehingga kedua matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Benarkah itu? Tidak kelirukah penyelidikanmu?"
"Hati-hatilah kau, jangan sembarangan karena kalau keteranganmu itu tidak benar, amat berbahaya dan engkau telah menjatuhkan fitnah!" kata Bin Biauw yang juga terkejut bukan main mendengar berita yang sama sekali tidak disangkanya ini.
Wanita ini maklum bahwa ayahnya membujuk suaminya membantu pemberontak supaya suaminya kelak bisa memperoleh kedudukan tinggi, akan tetapi dasar pemberontakan itu adalah perjuangan menentang pemerintahan kaisar sekarang yang dianggap lalim. Akan tetapi sedikit pun dia tak pernah menyangka bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh raja kaum sesat!
Seperti juga suaminya, biar pun tidak jelas benar, namun dia pernah mendengar tentang Cap-sha-kui dan Raja Iblis. Meski pun puteri bekas datuk sesat, sejak muda nyonya ketua Cin-ling-pai ini tidak suka dengan kejahatan dan apa lagi sesudah dia menjadi isteri ketua Cin-ling-pai, jiwa kependekarannya semakin menebal.
"Suhu dan subo, teecu mana berani menyampaikan berita ini kepada suhu berdua kalau teecu tidak lebih dahulu melakukan penyelidikan dengan seksama? Teecu telah berbicara dengan beberapa orang anggota pasukan pemberotak yang sedang mabok dan agaknya mereka tidak dapat menyimpan rahasia lagi. Hal itu mungkin karena mereka menganggap teecu sebagai teman atau rekan satu pasukan. Bahkan menurut mereka, ada pasukan inti yang biasanya menyerang ke dusun-dusun, dipimpin oleh seorang tokoh hitam bernama Sim Thian Bu, murid mendiang Iblis Buta. Juga Gui Siang Hwa, wanita cantik yang suka berkeliaran dan memimpin pasukan pengawal itu adalah murid Raja dan Ratu Iblis."
"Sssttttt...!" Tiba-tiba saja Cia Kong Liang memberi isyarat kepada muridnya agar jangan melanjutkan kata-katanya karena dia mendengar sesuatu di luar.
Cepat tubuhnya berkelebat dan ketua Cin-ling-pai ini sudah melompat keluar, kemudian terus meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi tidak terdapat seorang pun di sana. Betapa pun juga, dia yakin bahwa tadi ada seorang yang mengintai atau mendengarkan percakapan mereka.
Sesudah merasa yakin bahwa tidak ada orang di situ, ketua Cin-ling-pai segera meloncat turun lagi dan memasuki ruangan, disambut oleh isterinya dan lima orang muridnya yang sudah berdiri dan memandang dengan wajah tegang. Cia Kong Liang menggeleng kepala sebagai jawaban pertanyaan yang terbayang dalam pandang mata mereka, lalu berkata lirih.
"Mulai sekarang kalian harus lebih berhati-hati dan melakukan penyelidikan lebih teliti lagi. Bisiki semua kawan-kawanmu agar siap siaga dan menanti perintahku selanjutnya. Nah, masih ada lagi yang hendak kalian laporkan?"
"Ada satu hal lagi, suhu," kata murid yang menjadi pembicara pertama, "teecu mendengar bahwa satu rombongan pendekar yang sedang mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang, telah disergap oleh pasukan pemberontak dan banyak di antara mereka yang tewas."
Suami isteri itu saling pandang dengan muka pucat dan tahulah mereka bahwa pada saat itu mereka berdua mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu bahwa mungkin sekali putera mereka berada di antara para pendekar yang disergap itu! Cia Kong Liang mengangguk lalu memberi isyarat kepada lima orang murid itu agar mengundurkan diri.
Setelah lima orang murid itu meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu, Cia Kong Liang berkata kepada isterinya. "Sungguh mengejutkan dan menggelisahkan apa yang kita dengar dari para murid tadi. Jika benar demikian, kenapa gak-hu (ayah mertua) diam saja dan tidak memberi tahu kepadaku? Apakah engkau tidak diberi tahu oleh ayahmu?"
Isterinya lalu menggeleng. "Aku juga hanya mengenal pangeran dan isterinya itu sebagai Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya, dan mereka hendak menolong negaranya dengan menggulingkan kaisar yang sekarang dianggap lalim. Dan aku pun tidak pernah bertemu lagi dengan mereka sesudah kita bicara dengan Ji-ciangkun tempo hari. Mereka berada di San-hai-koan dan kita berada di sini, mana aku tahu?"
"Sebaiknya ayahmu segera diberi tahu dan diajak bicara. Panggil dia ke sini, sebaiknya sekarang juga kita bicarakan hal yang sangat penting ini. Hatiku merasa khawatir sekali kalau-kalau kita telah keliru membantu kaum sesat yang ingin memberontak bukan untuk mengenyahkan kaisar lalim, melainkan untuk merebut kedudukan."
"Baik, akan kucari dia dalam kamarnya," kata isterinya.
Ketika tiba di luar kamar, Bin Biauw melihat berkelebatnya orang di atas genteng. Sebagai seorang isteri ketua Cin-ling-pai yang juga mempunyai ilmu silat tinggi, nyonya ini cepat melakukan pengejaran, meloncat ke atas genteng. Akan tetapi setibanya di atas genteng, dia tidak melihat seorang pun dan dia terkejut sekali.
Orang tadi benar-benar mempunyai ginkang yang amat hebat, jauh lebih tinggi dari pada ginkang-nya sendiri. Setelah celingukan dan tidak melihat lagi bayangan itu, maka dia pun turun kembali dan tak lama kemudian dia mengetuk daun pintu ayahnya.
Ayahnya belum tidur dan pada saat itu sedang membaca buku. Ketika daun pintu dibuka, puterinya segera memberi tahu bahwa putera mantunya minta agar dia suka memasuki ruang belakang untuk diajak merundingkan sesuatu yang amat penting. Bin Mo To cepat berpakaian yang pantas lalu bersama puterinya pergi ke dalam ruangan itu.
"Ada keperluan apa sih malam-malam begini suamimu memanggilku?" ayah itu bertanya dengan sikap heran.
"Ada urusan penting sekali, ayah. Nanti saja kita bicarakan di dalam," jawab puterinya dan melihat sikap puterinya yang serius itu kakek itu pun tidak bertanya-tanya lagi.
Begitu berhadapan dan dipersilakan duduk, kakek itu lalu bertanya. "Ada urusan penting apakah...?" Akan tetapi kata-katanya terhenti karena Bin Biauw yang merasa tegang itu langsung memotongnya dengan menceritakan kepada suaminya bahwa ketika keluar dari kamar tadi dia melihat bayangan orang.
"Tidak kau kejar?" tanya suaminya.
"Sudah, akan tetapi orang itu mempunyai ginkang yang amat hebat. Begitu berkelebat ke atas genteng dan kukejar, dia sudah lenyap dan tidak nampak lagi bayangannya."
"Hemm, makin mencurigakan lagi..." gumam Cia Kong Liang.
"Aihh, apakah artinya semua ini? Apa yang telah terjadi?" kakek Bin Mo To bertanya.
Cia Kong Liang memandang wajah ayah mertuanya dengan tajam penuh selidik, lalu dia pun berkata, "Maafkan kami, ayah, kalau kami mengganggu dan mengejutkan ayah dari istirahat. Saya ingin bertanya, apakah ayah mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong?"
Ditanya demikian dan dipandang dengan penuh selidik, kakek Bin Mo To maklum bahwa mantunya ini agaknya mulai tahu akan kenyataan yang sebenarnya, akan tetapi ia masih berpura-pura tidak mengerti. "Tentu saja aku mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong. Ada apakah?"
"Maksud saya, apakah sebelum kita datang ke sini ayah sudah mengenalnya?"
Terpaksa kakek itu membohong dan dia menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya tahu bahwa komandan pasukan yang hendak memberontak terhadap kekuasaan kaisar lalim adalah Panglima Ji Sun Ki dan setelah tiba di sini baru kita mendengar bahwa pangeran itu adalah pemimpin kedua setelah dia atau sekutunya."
"Bukan urusan itu, ayah. Akan tetapi pernahkah ayah mendengar bahwa Pangeran Toan itu adalah raja golongan hitam yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis?"
Kini yakinlah hati kakek itu bahwa mantunya sudah tahu akan rahasia itu. Dengan wajah polos dia berkata, "Benarkah itu? Aku tidak tahu..."
Bin Biauw yang sudah mengenal watak ayahnya itu, yang demikian pandainya menguasai dirinya sehingga apa yang berada dalam hatinya tidak pernah terbayang pada wajahnya, langsung berkata, "Harap ayah tidak berpura-pura lagi karena kita bicara antar keluarga. Ayah, aku tidak dapat percaya kalau ayah tidak mengetahui semua ini. Bagaimana pun juga, belasan tahun yang lalu ayah pernah menjadi seorang datuk di timur. Tentu ayah mengenal semua tokoh dalam dunia hitam. Kalau sekarang tokoh-tokoh besar semacam Cap-sha-kui membantu Raja dan Ratu Iblis memimpin pemberontakan ini, mustahil kalau ayah tidak tahu sama sekali!"
Kakek itu menarik napas panjang, merasa tiada gunanya lagi mengelak karena anak dan menantunya ini agaknya telah mengetahui segalanya. "Baiklah, memang aku mengetahui bahwa mereka membantu pemberontak..."
"Kalau ayah tahu, mengapa menyeret kami ke sini?" puterinya berseru kaget dan marah.
"Ayah, mengapa ayah mengajak kami membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk kaum sesat? Ini adalah penyelewengan besar sekali bagi seorang pendekar!" kata pula Cia Kong Liang, terkejut bahwa ayah mertuanya sejak belasan tahun telah mencuci tangan dan tak mau lagi berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, akan tetapi mengapa kini kakek itu malah menyeret keluarganya membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk sesat?
Kembali kakek itu menghela napas, lalu memandang menantu dan anaknya dengan sinar mata tajam. "Apakah artinya para datuk sesat itu tanpa adanya pasukan besar? Mereka itu pun hanya menjadi pembantu-pembantu pasukan yang dipimpin Ji-ciangkun. Berarti kita membantu Ji-ciangkun dan bukan membantu mereka."
"Akan tetapi hal itu hanya sedikit bedanya. Bagaimana pun juga, berarti kita bekerja sama atau bersekutu dengan para datuk sesat," bantah Cia Kong Liang.
"Apa salahnya?" Mertuanya menjawab. "Kini bekerja sama untuk menentang kaisar lalim. Jika kelak perjuangan telah berhasil dan kita memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya untuk berbalik menentang mereka kalau mereka itu melakukan kejahatan?"
"TIdak! Tidak mungkin!" Cia Kong Liang bangkit berdiri. "Ternyata aku sudah melakukan penyelewengan, bersekutu dengan kaum sesat. Ah, perbuatanku ini menyeret nama baik keluargaku, menyeret nama Cin-ling-pai ke lembah kehinaan. Aku harus cepat bertindak!" Berkata demikian, pendekar ini melangkah maju ke pintu.
"Apa yang akan kau lakukan? Kau hendak pergi ke mana?" Isterinya tiba-tiba memegang lengannya dan memandang dengan wajah khawatir.
Cia Kong Liang berhenti lantas menepuk-nepuk pundak isterinya. "Sekarang aku harus melakukan penyelidikan sendiri ke San-hai-koan dan menemui Ji-ciangkun. Ini merupakan urusan besar yang menyangkut nama baik keluarga kita, lebih penting dari pada sekedar keselamatan nyawa."
"Aku ikut!" kata isterinya sambil memegang lengan suaminya kuat-kuat.
Suaminya menggelengkan kepala. "Kita harus membagi tugas, isteriku. Semua anggota Cin-ling-pai berada di sini. Aku menyelidiki ke San-hai-koan dan engkau mengumpulkan semua murid lalu mengajak mereka diam-diam melarikan diri keluar dari Ceng-tek. Kita akan kembali ke Cin-ling-san! Akan tetapi aku harus yakin dulu dan karena itu aku akan menemui Ji-ciangkun!"
Isterinya mengenal kekerasan hati suaminya dan membantah pun tak ada gunanya. Apa lagi karena apa yang dikatakan suaminya itu memang tepat. Kalau mereka berdua pergi, lalu siapa yang akan memimpin para murid yang berkumpul di Ceng-tek. Maka dia pun mengangguk lemah, menyembunyikan kekhawatirannya terhadap keselamatan suaminya. Sesudah sekali lagi menepuk pundak isterinya dengan perasaan kasih sayang besar, Cia Kong Liang kemudian meloncat keluar dan sebentar saja sudah lenyap dalam kegelapan malam.
"Ayah, semua ini adalah kesalahan ayah!" Bin Biauw menghadapi ayahnya dan menegur marah. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Anakku, jangan kau marah-marah dulu. Semua ini kulakukan demi kebahagianmu!"
"Demi kebahagiaanku, ayah? Engkau menyeret aku dan suamiku ke dalam persekutuan kotor ini yang mengancam kebersihan nama baik suamiku beserta keluarganya, dan kau masih mengatakan bahwa engkau melakukannya demi kebahagiaanku? Apa kau sangka kebahagiaanku terletak pada kehancuran nama dan kehormatan suamiku?"
"Tenanglah dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Aku melakukan semua ini bukan lain hanya dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada suamimu agar kelak suamimu mendapatkan sebuah kedudukan yang tinggi. Apa bila pemberontakan ini berhasil, tentu suamimu akan memperoleh kedudukan. Sekarang pun sudah nampak hasilnya. Suamimu diangkat menjadi komandan pasukan keamanan di Ceng-tek. Ini baru permulaan. Kelak, jika gerakan ini berhasil, tentu sedikitnya suamimu akan menjadi seorang panglima besar, memiliki kedudukan tinggi dan mulia, dihormati oleh semua orang dan bukankah dengan demikian maka nama dan kehormatan suamimu akan terangkat tinggi? Nah, siapa bilang aku hendak menghancurkan nama dan kehormatan mantuku sendiri?"
"Tetapi ayah sudah menggunakan cara yang sangat kotor, bersekutu dengan orang-orang jahat dari dunia hitam!" bantah puterinya.
Kakek itu tertawa. "Apa artinya cara? Yang penting dan menentukan adalah tujuannya! Tujuanku sangat baik, yaitu mengangkat derajat mantuku sendiri, dengan cara apa pun asal untuk tujuan baik, apa salahnya?"
Mendengar bantahan ayahnya, Bin Biauw termenung dan bimbang. Benarkah pendapat ayahnya itu? Selama ini ayahnya sudah mencuci tangan, tidak pernah lagi berkecimpung dalam dunia kejahatan, dan ayahnya selalu kelihatan bangga sekali terhadap mantunya, dan ia tahu bahwa ayahnya amat suka kepada suaminya.
Mungkinkah ayahnya mencelakakan keluarga mereka? Agaknya tidak mungkin dan kalau yang dilakukan ayahnya itu demi kebahagiaan keluarganya, bukankah itu benar? Wanita ini menjadi bimbang dan hanya duduk dengan alis berkerut, hatinya gelisah.
"Percayalah, anakku. Ayahmu ini sudah tua, tidak ingin apa-apa lagi. Segala yang ayah lakukan hanya demi kebahagiaanmu dan suamimu. Kalau suamimu kelak berkedudukan tinggi, bukankah kalian berdua menjadi bahagia? Menjadi orang-orang terhormat, mulia dan kaya raya?"
Bin Biauw semakin bingung. Hampir semua orang tua, baik disadari mau pun tidak, sering melakukan hal yang sama seperti dilakukan Bin Mo To itu.
Orang-orang tua selalu hendak mengatur anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai anak-anaknya dalam hal apa saja, mulai dari pendidikan sampai kepada perjodohan dan pekerjaan. Mereka, orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini, menganggap bahwa apa yang baik baginya tentu akan baik pula bagi anaknya. Apa yang dianggapnya menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula.
Karena ini maka banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama, malah calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian saja, bahkan kalau perlu orang-orang tua ini menggunakan kekuasaannya sebagai orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka. Tentu saja dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan benar!
Mereka, orang-orang tua kurang pikir ini, hampir tak pernah memperhatikan selera anak mereka, pilihan anak mereka, lalu mencari kesalahan-kesalahan pada pilihan anak-anak mereka dan menonjolkan kebaikan-kebaikan mereka sendiri, membujuk si anak, baik dengan halus mau pun keras.
Akibatnya, si anak yang terpaksa mentaati karena takut, karena tergantung, diam-diam merasa sangat tersiksa karena harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak disukai, menganut agama-agama yang tidak cocok dengan hati nuraninya, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dengan dirinya, bahkan harus hidup bersama dengan jodoh yang sama sekali tidak dicintanya.
Demi orang tua! Dan siapa yang senang dan lega? Orang tua itulah! Dengan demikian, sebenarnya orang-orang tua ini hanya mencari kesenangan diri sendiri belaka, mencari kepuasan diri sendiri belaka, dengan melalui anak-anak mereka!
Orang-orang tua yang bijaksana tak akan memperhitungkan selera diri sendiri, melainkan mementingkan selera anak-anaknya, tentu saja bukan berarti melepaskan pengawasan dan pengarahan, melainkan dengan dasar membahagiakan si anak, bukan si diri sendiri! Bukan tidak mungkin selera anaknya bertolak belakang dengan selera diri sendiri, tetapi demi cinta kasih terhadap anaknya, harus berani mengesampingkan selera dan pendapat diri pribadi.
Pendapat Bin Mo To mengenai mementingkan tujuan merupakan penyakit yang banyak menghinggapi batin kita. Cara apa pun yang dilakukan, dianggap baik kalau saja cara itu dipergunakan untuk TUJUAN BAIK. Betapa kita terlalu sering ditipu oleh istilah tujuan baik ini sehingga kita terjebak dalam perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak baik atau bersih, dengan alasan bahwa perbuatan itu merupakan cara untuk mencapai tujuan baik tadi! Bagi orang yang dihinggapi penyakit ini, maka pegangannya hanyalah: Tujuan menghalalkan segala cara!
Sepintas lalu kita mudah sekali terbujuk dan tertipu oleh tujuan baik, cita-cita mulia, dan sebagainya lagi. Maka terjadilah di dunia ini sebuah perang yang dianggap sebagai cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang, sebuah perang yang dianggap cara terbaik untuk mencapai perdamaian dan sebagainya lagi. Betapa menyesatkan!
Apakah mungkin kita dapat hidup damai bersama seseorang dengan cara memukuli dan menaklukkan orang itu? Mungkin saja menjadi perdamaian bagi satu pihak, yaitu pihak yang menang, akan tetapi yang dipukul dan ditaklukkan itu hanya mau berdamai karena terpaksa, karena kalah, karena takut. Tetapi berilah yang kalah itu sebuah kesempatan, maka suatu ketika dia akan memberontak dan membalas dendam!
Tujuan baik sama sekali tidak mungkin dicapai dengan cara yang buruk! Kalau caranya kotor, maka yang tercapai tentulah kotor pula. Tujuan hanya suatu gambaran yang kita buat, jadi bukan kenyataan dan sama sekali tidak ada sangkut paut atau hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan.
Yang terpenting sekali adalah CARA itulah! Cara ini menentukan segalanya, karena cara berarti perbuatan kita sekarang ini, saat ini! Kalau cara ini didikte oleh tujuan, maka cara ini menjadi palsu! Akan tetapi kalau cara atau perbuatan ini tanpa tujuan dan didasari cinta kasih, maka itulah cara hidup yang benar! Tanpa tujuan tertentu, berarti TANPA PAMRIH. Dan hanya cinta kasih sajalah yang menciptakan perbuatan tanpa tujuan, tanpa pamrih.
Mungkin tanpa disadarinya lagi, sebenarnya Bin Mo To mementingkan diri sendiri ketika dia menyeret anak dan mantunya untuk bersekutu dengan gerombolan Raja Iblis. Dan hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa tujuannya adalah baik, yaitu mengangkat derajat mantunya sehingga kelak dia boleh membonceng kemuliaan dan kehormatan.
"Aku harus mengumpulkan para murid..."
"Nanti dulu, hal itu belum perlu!" Ayahnya mencegah. "Pula, kalau kita memanggil mereka semuanya ke sini, tentu akan menimbulkan kecurigaan saja. Sebaiknya kalau memanggil beberapa orang di antara mereka, sebaiknya para murid kepala..."
Tiba-tiba ada dua orang murid Cin-ling-pai masuk dengan tergesa-gesa ke dalam ruangan itu. Wajah mereka pucat sekali sehingga Bin Biauw yang tadinya hendak marah melihat mereka berani masuk tanpa dipanggil, berbalik bertanya,
"Ada apakah? Mengapa kalian kelihatan begitu takut?"
"Subo... celaka, subo... celaka...!" kata seorang di antara mereka dan agaknya lidahnya menjadi kaku sehingga sukar baginya untuk bicara.
"Tenanglah! Ada apa? Apa yang terjadi?" Bin Mo To membentak tak sabar.
"Celaka... lima orang suheng... mereka... mereka telah tewas...!"
"Apa?!" Bin Biauw dan ayahnya berteriak kaget sekali. "Hayo ceritakan apa yang terjadi dengan mereka!"
Dengan suara patah-patah kedua orang murid itu menceritakan betapa lima orang murid kepala itu telah tewas semua, yang tiga orang tewas di dalam kamar masing-masing dan dua orang lagi tewas di luar rumah jaga. Namun tidak ada orang mendengar mereka itu berkelahi.
"Di mana mereka sekarang?"
"Jenazah mereka... kami kumpulkan di ruangan besar markas kami..."
Tanpa membuang waktu lagi, Bin Biauw dan Bin Mo To lari bersama dua orang murid itu menuju ke markas yang menjadi tempat tinggal para anggota Cin-ling-pai yang dianggap oleh pasukan pemberontak sebagai pasukan istimewa yang sudah berjasa dan menjadi tamu terhormat.