KETIKA memeriksa keadaan lima jenazah itu, hati Bin Biauw menjadi terharu, akan tetapi juga terkejut. Lima orang murid itu adalah murid-murid kepala yang sore tadi masih bicara dengan dia dan suaminya. Dan kini dia merasa yakin bahwa mereka itu dibunuh karena tadi telah melaporkan kepada guru mereka tentang Raja dan Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui.
Sudah pasti inilah sebabnya, dan pembunuhnya tentulah bayangan yang telah dikejarnya dan lenyap tadi, juga yang menimbulkan suara sehingga suaminya mencoba pula untuk mengejar akan tetapi tidak melihat siapa pun di atas genteng. Bayangan itu lihai dan lima orang murid ini pun tewas oleh orang yang lihai sekali.
Lima orang itu adalah murid-murid kepala, tentu saja tingkat kepandaian mereka sudah lumayan tingginya. Namun mereka tewas tanpa mengeluarkan teriakan dan tubuh mereka tidak terluka parah, hanya pada kepala mereka ada bekas telapak jari tangan menghitam!
Mereka itu terbunuh dengan tiba-tiba atau lebih dahulu dirobohkan dengan pukulan atau benda beracun. Ini memperkuat dugaannya bahwa musuh yang membunuh lima orang murid ini tentulah mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan jelas merupakan seorang tokoh kaum sesat yang biasa mempergunakan racun.
Bin Mo To juga ikut memeriksa dengan teliti dan kakek ini mengerutkan alisnya. "Hemm, benarkah mereka akan melanggar janji?" gumamnya pada diri sendiri. "Benarkah mereka mengingkari janji kerja sama dan tak akan mengganggu anak-anak buah Cin-ling-pai? Kita sudah berjasa besar dan mereka masih tega membunuh lima orang murid kepala secara ini?" Kakek itu menjadi marah, mengepal tinju dan mukanya berubah merah.
Melihat sikap ayahnya ini, Bin Biauw lalu berbisik, "Hemm, ternyata ayah memang sudah bersekutu dengan mereka?"
"Anakku, aku bukan ingin berbaik dengan mereka, hanya kulihat kesempatan baik untuk meraih kedudukan bagi suamimu, maka biarlah persekutuan ini dijadikan jembatan untuk mencari kedudukan. Namun tak kusangka mereka sekeji ini..."
Para anggota Cin-ling-pai sudah mendengar tentang adanya kaum sesat yang membantu pemberontakan Ji-ciangkun dan mereka itu yang sejak dahulu digembleng dengan keras oleh Cia Kong Liang untuk menjadi pendekar-pendekar sejati, merasa penasaran sekali. Apa lagi melihat tewasnya lima orang saudara tua mereka ini, mereka merasa marah dan ingin mengamuk.
"Subo, apa yang harus kami lakukan?"
"Subo, di mana suhu?"
"Subo, haruskah kita berdiam diri saja?"
Lontaran-lontaran penasaran ini membuat Bin Biauw semakin bingung. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya kepada ayahnya.
Kakek itu pun merasa bingung dan gelisah. Sekarang barulah dia merasa menyesal telah bermain api, telah menyeret anak beserta menantunya, bahkan sebagian besar anggota Cin-ling-pai yang pada waktu itu berhasil dihubungi, untuk bersekutu dengan orang-orang macam Cap-sha-kui dan para datuk yang membantu Raja dan Ratu Iblis.
Kesetiaan orang-orang semacam mereka itu memang sama sekali tidak boleh dipercaya. Andai kata pemberontakan berhasil sekali pun, belum tentu mantunya akan memperoleh kedudukan dan kemuliaan tanpa adanya pengkhianatan-pengkhianatan dari orang-orang golongan hitam itu.
"Tidak ada lain jalan kecuali menanti kembalinya suamimu." Jawaban ini cocok dengan pendapat Bin Biauw, maka wanita ini lalu berkata kepada para murid Cin-ling-pai.
"Kuminta kalian jangan bertindak sendiri-sendiri secara ceroboh. Kita harus sabar menanti sampai suhu kalian pulang, baru kita akan berunding tindakan apa yang selanjutkan akan kita lakukan."
"Akan tetapi, subo. Apa bila kita terlambat, mungkin kita semua akan mereka bunuh selagi kita berada di sini."
"Subo, ke manakah perginya suhu?" Kembali suara-suara terdengar di antara para murid Cin-ling-pai yang marah itu.
"Suhu kalian sedang melakukan penyelidikan ke San-hai-koan..."
"...dan menjadi tawanan di sana!" tiba-tiba terdengar suara wanita memotong, "dan kalian orang-orang Cin-ling-pai yang hendak berkhianat, menyerahlah dari pada harus kubasmi semua!"
Bin Biauw serta Bin Mo To cepat membalikkan tubuh, dan mereka melihat betapa yang berbicara tadi adalah Gui Siang Hwa dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki tampan pesolek, yaitu Sim Thian Bu!
"Kalian sudah dikepung, melawan pun percuma saja!" kata Sim Thian Bu dengan suara mengejek.
Wajah Bin Mo To menjadi merah sekali. "Apa maksud kalian?" bentaknya dengan kedua tangan dikepal. "Kami adalah orang-orang yang telah berjasa dalam menduduki Ceng-tek! Kami bukan pengkhianat melainkan pejuang-pejuang gagah berani!"
Sim Thian Bu tertawa. "Ha-ha-ha, Tung-hai-sian, mungkin engkau memang satu golongan dengan kami, tetapi orang-orang Cin-ling-pai itu jelas bukan! Karena engkau bergabung dengan Cin-ling-pai, maka engkau pun harus menyerah juga!"
Tung-hai-sian yang kini bernama Bin Mo To dan sudah lama membuang nama julukan ketika dia masih menjadi datuk sesat itu menjadi marah sekali. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya bicara dengan mereka. Dia merasa menyesal sekali mengapa rencananya menjadi berantakan begini. Dan semua ini adalah karena ulahnya.
Mantunya yang pergi menyelidiki ke San-hai-koan sudah diketahui musuh dan tentu telah terjebak. Cin-ling-pai juga sudah dikepung dan menghadapi bahaya besar. Semua ini dia yang menjadi biang keladinya. Oleh karena itu dia pula yang kini harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan orang-orang Cin-ling-pai.
"Serbu keluar! Berpencar dan mencari jalan keluar sendiri-sendiri! Kita semua kembali ke Cin-ling-san!" teriaknya dengan penuh geram, suaranya nyaring melengking.
Dan para anggota Cin-ling-pai yang maklum pula akan adanya bahaya yang mengancam lalu tumbuh semangat, dan mereka pun bergerak mencabut senjata masing-masing lalu menyerbu keluar! Bin Mo To dan Bin Biauw sendiri sudah mencabut pedang mereka dan menerjang Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu.
Siang Hwa dan Thian Bu mengelak, dan wanita itu berteriak memberi komando kepada pasukan yang mengepung tempat itu untuk menyergap. Dia sendiri pun sudah mencabut pedangnya dan menangkis kuat-kuat ketika Bin Biauw kembali menyerang.
"Cringgg...!"
Bin Biauw terkejut bukan main karena merasa betapa lengannya yang memegang pedang tergetar dan pedangnya terpental. Siang Hwa tertawa mengejek lantas balas menyerang. Bin Biauw memutar pedangnya melindungi diri dan sebentar saja ia telah terdesak hebat.
Betapa pun juga, dia adalah isteri ketua Cin-ling-pai dan sedikit banyak sudah menerima banyak petunjuk suaminya dalam ilmu silat. Maka biar pun tingkat ilmu pedangnya kalah tinggi dan tenaganya kalah kuat dibandingkan Siang Hwa, dia membela diri mati-matian sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru.
Sementara itu, Bin Mo To yang sudah tua sekali itu pun mengamuk, akan tetapi amukan pedangnya ditahan oleh pedang di tangan Sim Thian Bu. Bin Mo To pernah menjadi datuk timur yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya dan ilmunya di dalam air. Akan tetapi sudah dua puluh tahun lebih dia tidak pernah mencabut pedang, tidak pernah berkelahi dan ketika pasukan menyerbu Ceng-tek, dia pun hanya memberi petunjuk saja dan tidak ikut terjun ke dalam pertempuran.
Akan tetapi kali ini dia terpaksa bertanding mati-matian, ada pun lawannya adalah murid terkasih mendiang Iblis Buta, maka tentu saja dia merasa kewalahan dan repot sekali. Bukan hanya gerakannya kurang tangkas lagi, juga napasnya pendek sehingga lewat tiga puluh jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Keadaannya tidak lebih baik dari pada puterinya yang juga sudah terkurung oleh gulungan sinar pedang di tangan Siang Hwa.
Maklum bahwa keadaannya terhimpit dan sukar untuk meloloskan diri, Bin Biauw berseru keras sekali, "Anak-anak, pergilah kalian dan selamatkan diri! Cepat...!" Suaranya kandas dan tubuhnya terhuyung, pedangnya terlepas lantas kedua tangannya mendekap dada di mana terdapat luka yang mencucurkan darah karena ketika dia berteriak tadi, pedang di tangan Siang Hwa telah menembus jantungnya.
"Ayah... lari...!" Bin Biauw masih sempat berteriak sebelum tubuhnya terguling kemudian tidak bergerak lagi.
Bin Mo To terkejut bukan main dan rasa kaget ini melemahkan dan membuatnya lengah sehingga dengan mudah saja pedang di tangan Sim Thian Bu menyambar lalu mengenai batang lehernya! Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi kakek itu terpelanting dan roboh dengan darah bercucuran dari lehernya. Kakek itu tewas hanya berselang beberapa detik saja sesudah puterinya tewas.
Sementara itu, sejak tadi para murid Cin-ling-pai sudah menerjang keluar dan terjadilah pertempuran yang seru namun berat sebelah, antara puluhan orang Cin-ling-pai melawan ratusan orang prajurit pemberontak, pasukan yang dipimpin oleh Gui Siang Hwa, pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.
Biar pun para anak murid Cin-ling-pai melawan dengan gagah berani, tetapi jumlah lawan terlampau banyak. Setiap anggota Cin-ling-pai harus menghadapi pengeroyokan belasan orang lawan, maka tentu saja mereka terdesak hebat.
Pada saat Bin Biauw berteriak menyuruh mereka lari, ada beberapa orang yang berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri, dikejar-kejar oleh para prajurit. Keadaan kacau yang timbul dari kejar-kejaran ini kemudian memberi kesempatan pada para murid Cin-ling-pai untuk berusaha meloloskan diri. Namun demikian, banyak di antara mereka yang gagal dan roboh sebelum berhasil keluar dari kota.
Ada belasan orang saja yang akhirnya berhasil lolos dari dalam kota, melarikan diri sambil membawa luka-luka pada tubuh mereka, sedangkan puluhan orang lainnya tewas. Hanya seperempat bagian saja dari orang-orang Cin-ling-pai itu selamat dari pembantaian yang terjadi di Ceng-tek!
Bagaimana dengan nasib Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu? Ejekan yang keluar dari mulut Siang Hwa bukan hanya kosong belaka. Memang kedatangan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu oleh Raja Iblis! Apa yang terjadi di Ceng-tek sudah didengarkan oleh Siang Hwa dan Thian Bu, bayangan-bayangan yang terlihat oleh Bin Biauw dan terdengar oleh Cia Kong Liang.
Mendengar percakapan itu, Siang Hwa yang memang selalu memata-matai orang-orang Cin-ling-pai, cepat-cepat mengirim utusan ke San-hai-koan memberi tahu kepada gurunya sehingga tentu saja kunjungan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan telah diketahui lebih dahulu dan kedatangannya itu sudah ditunggu-tunggu!
Setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tanpa pernah berhenti, pada esok harinya Cia Kong Liang yang mempunyai watak keras dan gagah perkasa itu memasuki benteng San-hai-koan. Dia langsung masuk saja dan karena dia sudah dikenal oleh para penjaga pintu gerbang, dia diperbolehkan masuk dengan sikap hormat.
Meski pun hari masih sangat pagi dan belum pantas untuk sebuah kunjungan, Cia Kong Liang tidak peduli. Kemarahan yang bergejolak di hatinya hampir tidak dapat ditahannya lagi dan dia pun langsung mengunjungi gedung Panglima Ji Sun Ki yang dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Mereka ini pun mengenal Cia Kong Liang dan menyambutnya dengan hormat.
"Aku hendak bertemu dengan Ji-ciangkun," katanya dengan tenang. "Katakan ada urusan yang penting sekali dan kuharap dia akan suka menerimaku sekarang juga!"
Sesudah dilaporkan ke dalam, ketua Cin-ling-pai itu segera dipersilakan masuk ke dalam ruangan tamu yang luas dan ketika dia masuk, di sana telah duduk Panglima Ji Sun Ki seorang diri. Begitu melihat ketua Cin-ling-pai, panglima itu mengangkat tangan kanan sebagai salam dan mempersilakannya duduk.
"Silakan duduk, Cia-pangcu. Pagi-pagi sekali pangcu telah mencariku, ada urusan penting apakah?" tanyanya ramah akan tetapi tegas.
Dengan tenang Cia Kong Liang mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang sebuah meja besar. Setelah duduk, dia memandang sejenak penuh selidik, barulah dia berkata, "Ji-ciangkun, maafkan kalau kedatanganku ini mengganggumu. Akan tetapi ada satu hal yang teramat penting hingga memaksaku malam-malam meninggalkan kota Ceng-tek dan langsung mengunjungi ciangkun pada pagi hari ini."
Sambil tersenyum ramah panglima itu berkata, "Ahh, kalau begitu tentu urusan itu penting sekali. Katakanlah, pangcu, urusan apakah itu?"
Cia Kong Liang menatap tajam, lalu melontarkan pertanyaannya, "Ciangkun, sebenarnya siapakah Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya itu?"
Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Sungguh mengejutkan sekali pertanyaan pangcu ini sehingga aku tidak mengerti apa yang pangcu maksudkan dengan pertanyaan aneh itu. Pangeran Toan Jit Ong adalah seorang pangeran keluarga kaisar yang telah puluhan tahun meninggalkan kota raja dan hidup bertapa. Akan tetapi, melihat keadaan pemerintah yang demikian lalim, sekarang beliau turun gunung."
"Akan tetapi dia adalah datuk sesat yang berjuluk Raja Iblis, sedangkan isterinya adalah Ratu Iblis! Benarkah itu?"
Ji-ciangkun mengangkat kedua pundaknya. "Aku tidak memperhatikan mengenai perkara itu, pangcu, dan andai kata benar pun, apa bedanya?"
"Apa bedanya?" Cia Kong Liang berseru marah, "dia adalah seorang raja datuk sesat dan dia dibantu oleh Cap-sha-kui serta para datuk sesat lain dari golongan hitam! Tak tahukah ciangkun akan hal ini?"
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Aku tahu atau memang bisa menduganya. Akan tetapi apa salahnya? Yang penting adalah menggulingkan pemerintah yang dipimpin oleh kaisar lemah bersama pembesar-pembesar lalim, dan Pangeran Toan adalah seorang pangeran asli..."
"Ji-ciangkun! Aku... kami dari Cin-ling-pai tidak sudi bekerja sama dengan golongan hitam! Para penjahat itu hanya akan mengotori perjuangan kita. Ji-ciangkun, engkau tidak boleh bersekutu dengan orang-orang jahat dari kaum sesat itu!"
Panglima Ji menatap dengan alis berkerut dan sinar matanya dingin sekali. "Cia-pangcu, sikap dan kata-katamu sungguh aneh sekali. Lalu apa yang akan kau lakukan karena aku bersekutu dengan mereka?"
"Ji-ciangkun, engkau harus mengusir mereka semua dan tak boleh menggunakan tenaga mereka untuk perjuangan!"
Wajah panglima itu menjadi merah, sedangkan sinar matanya mengandung kemarahan. "Cia-pangcu, bicaramu sungguh aneh dan lancang. Ada hak apakah maka engkau hendak melarang dan mengatur apa yang akan kulakukan? Kalau aku tetap bekerja sama dengan mereka, engkau mau apa?"
"Brakkk...!"
Cia Kong Liang bangkit berdiri dan tangannya menampar meja di hadapannya sehingga empat kaki meja itu menancap dan masuk ke dalam lantai hampir sejengkal dalamnya!
"Ji-ciangkun, engkau tinggal memilih saja. Mereka yang pergi atau kami yang pergi!"
Panglima itu pun bangkit berdiri dan memandang marah. "Orang she Cia, engkau adalah manusia yang sombong dan angkuh! Apa sih artinya puluhan orang Cin-ling-pai bagiku? Kalian datang tanpa kuundang dan kalau mau pergi, tidak semudah itu. Kami tidak mau kalian keluar membawa rahasia-rahasia pertahanan kami!"
Tiba-tiba saja terdengar suara dengusan dan disusul suara wanita, "Ketua Cin-ling-pai ini memang besar kepala dan patut menerima hukuman!"
Cia Kong Liang membalikkan tubuhnya dan dia melihat Raja Iblis bersama Ratu Iblis telah berdiri di ambang pintu ruangan itu dengan sikap yang menakutkan, wajah mereka yang kehijauan laksana dua mayat hidup saja. Dan di belakang mereka nampak puluhan orang prajurit pengawal yang siap dengan tombak dan golok mereka.
Sekilas pandang saja tahulah ketua Cin-ling-pai itu bahwa dia sudah terkepung dan tidak mungkin dapat meloloskan diri kecuali harus melawan mereka. Dia pun dapat menduga bahwa Raja dan Ratu Iblis ini tentu lihai sekali, apa lagi ditambah puluhan orang pasukan pengawal. Mana mungkin dia yang hanya seorang diri dapat melawan musuh yang sekian banyaknya itu?
Pikirannya bekerja cepat dan tiba-tiba saja tubuhnya membalik lantas melompat ke arah Ji-ciangkun! Panglima ini terkejut bukan main, dapat menduga bahwa ketua Cin-ling-pai itu menyerangnya, maka dia segera menyambutnya dengan pukulan tangan kanan yang keras ke arah dada Cia Kong Liang!
Akan tetapi dengan amat mudahnya ketua Cin-ling-pai itu menangkap pergelangan lengan kanan lawan kemudian sekali menggerakkan jari tangan kanan menotok, tubuh panglima itu menjadi lemas tidak mampu melawan lagi! Cia Kong Liang menelikung lengan itu ke belakang tubuh dan sambil mengancam dengan pedangnya.
Ketika dia mencabut Hong-cu-kiam, nampak berkelebat sinar emas. Itulah pedang pusaka Hong-cu-kiam yang tipis dan dapat digulung menjadi ikat pinggang! Sambil menempelkan pedangnya di batang leher Ji-ciangkun, dia menghardik ke depan,
"Kalau ada yang menyerangku, maka panglima ini akan kubunuh lebih dahulu!"
Akan tetapi mendadak terdengar suara Ratu Iblis mengejek. "Heh-heh, pangcu, kau boleh membunuh panglima tujuh kali dan kami masih dapat mengangkat yang lain delapan kali. Apa artinya seorang panglima bagi kami? Setiap waktu kami dapat mengangkat panglima lain sebagai penggantinya. Bunuhlah kalau mau bunuh dia, akan tetapi engkau tetap tidak akan mampu lolos dari kami!"
Cia Kong Liang bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa apa yang dikatakan Ratu Iblis itu memang benar. Sekarang baru dia menyadari bahwa orang pertama dalam barisan kaum pemberontak itu bukanlah Ji-ciangkun, melainkan Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis yang berdiri diam saja di samping isterinya yang menjadi juru bicara itu.
Menyandera Ji-ciangkun tidak ada artinya dan membunuhnya pun juga tidak ada artinya. Bahkan kalau mungkin lebih baik dia memanaskan hati Ji-ciangkun. Maka dia pun segera membebaskan totokannya dari tubuh panglima itu.
"Nah, ciangkun, harap jangan bertindak bodoh. Lihat sikap dan ucapan mereka! Apakah engkau masih sudi bersekutu dengan iblis-iblis jahat dan palsu macam mereka?"
Setelah dibebaskan dari totokan, Ji Sun Ki mundur-mundur dan wajahnya nampak merah sekali tanda kemarahannya. "Cia-pangcu, engkau sungguh bodoh! Tanpa bimbingan dari Toan Ong-ya, mana mungkin kita berhasil? Menyerahlah saja!"
Tentu saja Cia Kong Liang menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa Raja Iblis telah menguasai Ji-ciangkun seperti itu. Tahulah dia bahwa sekarang harapan untuk lolos tidak ada lagi, dan dia menjadi nekat. "Baiklah Raja Iblis, kalau begitu aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Cia Kong Liang meloncat lantas pedangnya berkelebat menjadi sinar emas yang panjang dan cepat menyambar ke arah Raja Iblis. Akan tetapi, mendadak Ratu Iblis mengeluarkan lengkingan panjang dan pedangnya telah berada di tangan, bergerak menangkis serangan ketua Cin-ling-pai itu.
"Tranggg...!"
Keduanya meloncat ke belakang dan langsung memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan kedua batang pedang itu tadi telah membuat tangan mereka tergetar. Setelah melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, Cia Kong Liang cepat menyerang lagi dengan dahsyatnya, langsung disambut oleh Ratu Iblis yang memutar pedangnya dengan cepat. Serang menyerang terjadi akan tetapi semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis.
Lewat belasan jurus kemudian, tiba-tiba saja Ratu Iblis membentak nyaring dan kini bukan hanya pedangnya yang menusuk ke arah lambung lawan, namun rambutnya juga sudah berubah menjadi senjata ampuh menyambar ke arah tenggorokan Cia Kong Liang.
Pendekar ini terkejut bukan kepalang. Dia maklum bahwa serangan rambut itu tidak kalah ampuh dari serangan-serangan pedang, maka sambil menangkis pedang yang menusuk lambung, dia pun mengerahkan tenaga pada telapak tangan kirinya dan sekarang tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuatnya menyambar ke arah gumpalan rambut itu.
Rambut itu membuyar dan hilang tenaganya pada waktu bertemu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, membuat nenek itu terkejut bukan kepalang. Dia dapat menduga bahwa orang yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai tentu lihai sekali, akan tetapi tak disangkanya selihai itu! Dengan sendirinya dia kini tidak berani memandang rendah lawan.
Maka dia pun mengeluarkan suara memekik nyaring dan kini pedangnya bergerak-gerak aneh dan liar, sedangkan tangan kirinya diputar-putar lalu menyambar-nyambar ke depan dengan telapak tangan terbuka. Terdengar desir angin ketika tangan kiri itu didorongkan ke depan.
Cia Kong Liang merasa betapa angin pukulan yang panas dan kuat menyambar ke arah tubuhnya. Cepat dia pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan melawan pukulan-pukulan itu dengan dorongan telapak tangan kirinya, sedangkan pedangnya masih terus berupa gulungan sinar emas yang kuat. Pertandingan itu berlangsung semakin seru dan ternyata kedua pihak memiliki tingkat kepandaian dan kekuatan yang seimbang.
Cia Kong Liang merasa penasaran bukan main melihat kenyataan bahwa sampai puluhan jurus dia belum mampu mengalahkan nenek itu. Baru melawan nenek itu saja dia tidak sanggup mengalahkan, apa lagi kalau Raja Iblis sendiri yang maju! Dia membentak dan kini gerakan pedangnya berubah sama sekali karena dia sudah memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang amat aneh dan hebat. Pedangnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu pedang itu menghujam ke arah dada lawan.
Nenek itu cepat menangkis, namun ketika kedua pedang bertemu, pedang Hong-cu-kiam itu membuat gerakan memutar dan tiba-tiba terdengar suara keras saat pedang di tangan nenek itu patah menjadi dua potong! Memang jurus Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut itu sangat hebat dan pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu adalah sebatang pedang pusaka yang lebih ampuh dari pada pedang si nenek.
Akan tetapi, pada saat itu pula rambut nenek itu sudah menyambar dan menotok ke arah pergelangan tangan kanan lawan, sedangkan dua tangan nenek itu sudah menubruk dan mencengkeram. Gerakan ini dilakukan dengan lengking nyaring mengejutkan.
Biar pun Cia Kong Liang telah mengerahkan Tiat-po-san, semacam ilmu kekebalan, tetap saja lengannya agak kesemutan ketika terkena totokan rambut dan pada saat pedangnya hampir terampas itu, tiba-tiba dari samping menyambar angin pukulan yang sangat hebat dan tahu-tahu pedangnya telah terbang meninggalkan tangannya.
Cia Kong Liang cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tubrukan Ratu Iblis, dan ketika dia mengangkat muka, ternyata pedangnya telah berada di tangan Raja Iblis yang sedang menimang-nimangnya dan memeriksanya tanpa mempedulikan dirinya. Cara Raja Iblis merampas pedang saja sudah membuktikan betapa saktinya iblis itu.
Akan tetapi Cia Kong Liang tidak menjadi gentar, bahkan merasa penasaran dan marah sekali. Sambil mengerahkan tenaga dia pun segera meloncat ke depan, menyerang Raja Iblis sambil membentak, "Kembalikan pedangku!"
Akan tetapi Ratu Iblis yang juga telah kehilangan pedang cepat meloncat lalu menyambut serangan ketua Cin-ling-pai yang ditujukan kepada suaminya. Dua tubuh itu bertemu di udara dan dua pasang tangan saling bersilang dan berbenturan.
"Desss...!"
Tubuh keduanya terlempar ke belakang, akan tetapi tubuh Ratu Iblis terlempar lebih jauh dan dia agak terhuyung ketika kedua kakinya menyentuh tanah, ada pun tubuh pendekar itu tetap tegak.
"Ji-ciangkun, tangkap dia!" tiba-tiba terdengar suara Raja Iblis memerintah dan terdengar Ji Sun Ki memberi aba-aba kepada anak buahnya.
"Kepung dan tangkap pengkhianat ini!" bentaknya.
Mendengar bentakan Ji-ciangkun ini, Cia Kong Liang menjadi amat marah dan tahulah dia bahwa panglima itu sudah menjadi antek Raja Iblis. Bukan Panglima Ji yang memimpin pemberontakan itu, melainkan Raja Iblis! Alangkah bodohnya! Dia telah membawa nama Cin-ling-pai ke dalam lumpur, menyeret Cin-ling-pai menjadi antek-antek Raja Iblis!
"Majulah jangan dikira aku takut!" bentaknya dan dia pun mengamuk ketika dikepung oleh banyak sekali prajurit pengawal.
Akan tetapi jumlah mereka banyak sekali dan tiba-tiba lengannya dapat tertangkap oleh seorang prajurit. Dia hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba prajurit itu berbisik, suaranya terdengar dekat sekali di telinganya, tanda bahwa prajurit itu menggunakan ilmu mengirim suara yang amat kuat.
"Percuma melawan, menyerah saja untuk saat ini!" Dalam suara itu terkandung nasehat dan juga bujukan, dan Cia Kong Liang dapat menduga bahwa prajurit ini tentu bermaksud baik, maka dia pun berhenti meronta dan membiarkan dirinya ditelikung dan dibelenggu.
"Bunuh saja dia!" Terdengar Ji-ciangkun berkata. "Jika tidak tentu dia akan menyusahkan saja di kemudian hari."
"Tidak, masukkan saja ke dalam tahanan dan jaga keras jangan sampai lolos. Lain waktu kita bisa membutuhkan dia," terdengar Raja Iblis berkata dan tubuh ketua Cin-ling-pai lalu diseret oleh beberapa orang prajurit pengawal, dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat dan dijaga oleh selosin orang prajurit pengawal.
Cia Kong Liang mencari-cari dengan pandang matanya, namun prajurit yang tadi berbisik kepadanya sudah lenyap menyelinap di antara banyak prajurit di situ.
Gerakan para pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, tentu saja amat mengejutkan pemerintah di kota raja. Panglima Ji dikenal sebagai seorang Panglima golongan tua yang sejak dahulu selalu setia terhadap pemerintah. Oleh karena itu, ketika mula-mula terdengar berita bahwa kota San-hai-koan sudah diduduki oleh panglima yang memberontak ini, pemerintah di kota raja masih merasa ragu-ragu untuk dapat percaya.
Mungkin terjadi pertikaian pendapat antara pimpinan pasukan Ceng-tek dengan pimpinan pasukan San-hai-koan yang dipimpin Ji-ciangkun, demikian para menteri di istana kaisar berpendapat. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penyelidikan terlebih dahulu, tidak perlu dikirim pasukan besar dari kota raja, karena jaraknya cukup jauh.
Penyelidikan segera dilakukan dan terkejutlah kaisar serta para pembantunya pada waktu mendengar bahwa bukan hanya San-hai-koan yang diduduki, bahkan kota Ceng-tek juga telah diduduki oleh pasukan pemberontak yang kini terus memperluas kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke dusun-dusun.
Setelah mengadakan perundingan dengan para menteri, Panglima Yang Ting Houw, yaitu seorang panglima muda yang sangat cerdik berkata, "Menurut penyelidikan dan laporan beberapa orang pendekar yang baru kembali dari utara, pergerakan kaum pemberontak yang dipimpin Ji Sun Ki itu dibantu oleh golongan hitam di dunia kang-ouw. Pergerakan itu diikuti pula oleh para suku bangsa liar di daerah utara yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan mereka di selatan. Oleh karena itu, menurut pendapat hamba, lebih baik kalau membiarkan dua pihak itu, pasukan pemberontak dan pasukan suku liar, saling hantam sendiri. Sesudah mereka saling hantam dan menderita sehingga menjadi lemah, barulah kita turun tangan membasmi keduanya dan mengerahkan pasukan besar yang sudah kita persiapkan secara rahasia."
Kaisar serta para pembesar menyatakan setuju, maka diaturlah pasukan yang berjumlah dua puluh lima ribu orang, dipimpin oleh panglima-panglima yang berpengalaman, untuk menuju ke utara secara diam-diam dan dengan cara berpencar.
Sementara itu, Yelu Kim yang kini sudah menjadi pimpinan para kepala suku bangsa di utara, sudah mempersiapkan diri pula. Dibentuknya pasukan sangat kuat yang terdiri dari berbagai suku bangsa utara itu dan dilatihnya mereka supaya mengenal tanda-tanda dan isyarat-isyarat barisan.
Mereka itu tak perlu lagi dilatih untuk bertempur karena setiap anggota pasukan dari suku bangsa di utara itu merupakan orang yang sudah biasa bertempur, terbiasa menghadapi kesukaran, pendeknya orang yang sudah digembleng oleh keadaan hidup yang sukar dan keras. Mereka adalah penunggang-penunggang kuda yang sangat mahir, juga pemanah-pemanah yang terlatih sekali dan orang-orang yang berani mati.
Karena nampaknya pihak pemerintah di selatan belum juga mengirim pasukan besar dan yang menentang gerakan para pemberontak itu hanyalah pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan yang tidak seberapa kuat, Yelu Kim kemudian merencanakan penyerbuan ke Ceng-tek. Apa lagi setelah dia mendengar akan pemberontakan di dalam benteng itu oleh orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya membantu pemberontak.
Dia menganggap sudah tiba saatnya yang baik untuk bergerak karena benteng Ceng-tek itu tidaklah sekuat San-hai-koan yang menjadi pusat pemberontak di mana tinggal para pimpinan pemberontak dengan pasukannya yang besar dan kuat. Kekuatan kota Ceng-tek hanya beberapa ribu orang pasukan dan sesudah mengumpulkan kurang lebih tujuh ribu orang, Yelu Kim kemudian mengatur siasat untuk melakukan penyerbuan terhadap para pemberontak yang menduduki Ceng-tek.
Kota itu akan diserbu dari delapan penjuru angin! Dan para pembantunya yang pandai akan menimbulkan kekacauan pada empat pintu gerbang, kemudian, jauh hari sebelum penyerbuan dilakukan, sebanyak mungkin pembantunya yang pandai akan diselundupkan memasuki kota benteng itu dan pada waktu para pembantu menimbulkan kekacauan di keempat pintu gerbang, mereka yang menyelundup ini serentak melakukan pengrusakan dengan cara membakar tempat-tempat penting.
Kebakaran inilah yang akan menjadi tanda bagi pasukan Yelu Kim untuk menyerbu dari delapan penjuru. Yang empat bagian menyerbu langsung ke pintu gerbang yang sedang kacau, dan yang empat bagian lain menyerbu dengan menghujankan anak panah melalui tembok benteng dan menyerbu dengan menggunakan tangga dan tali.
Demikian rapinya Yelu Kim mengatur siasat sehingga sudah puluhan orang mata-mata diselundupkannya ke Ceng-tek tanpa ada yang mengetahuinya. Para komandan di kota Ceng-tek masih tenang saja, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kota mereka diam-diam telah terkepung oleh banyak prajurit pasukan suku bangsa utara!
Sesudah Cin-ling-pai dihancurkan, kota Ceng-tek ini dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, dibantu oleh para perwira pasukan pemberontak. Di antara beberapa orang datuk sesat yang membantu kedua orang ini melakukan penjagaan di Ceng-tek terdapat Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo, dan Tho-tee-kwi, tiga di antara Cap-sha-kui yang tinggal tujuh orang itu. Empat orang tokoh lainnya tak pernah berpisah dari Raja dan Ratu Iblis karena mereka yang berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit) ini dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi Raja dan Ratu Iblis!
Kaum pemberontak itu bukan pejuang-pejuang sejati, melainkan gerombolan orang-orang yang selalu mengejar kesenangan. Bahkan pemberontakan itu pun mereka lakukan demi mengejar kesenangan. Oleh karena itu, sesudah Cin-ling-pai dibasmi, penjagaan di kota benteng itu tidaklah seketat semula.
Para pimpinan itu kerjanya hanya bersenang-senang saja, makan minum, pesta pora dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka sepuasnya karena di kota benteng itu merekalah yang berkuasa. Memang mereka tidak merasa khawatir. Benteng mereka itu amat kuat, terjaga oleh ribuan orang, ada lima ribu lebih orang tentara. Apa lagi tidak nampak tanda-tanda datangnya pasukan pemerintah dari selatan. Apa yang perlu ditakutkan?
Pada senja hari itu, seperti biasa, para penjaga pintu gerbang menjaga sambil bersenang-senang. Ada yang bermain kartu, ada yang minum-minum dan setiap ada wanita muda lewat di pintu gerbang, tentu mereka akan mengganggunya, baik dengan ucapan-ucapan atau pun dengan sentuhan-sentuhan. Karena kebiasaan yang amat buruk ini, jarang ada wanita muda berani melewati pintu gerbang.
Akan tetapi pada senja hari itu, di pintu gerbang sebelah timur, nampak seorang wanita muda mendorong sebuah gerobak, datang dari luar pintu gerbang. Wanita ini masih muda, pakaiannya seperti wanita petani biasa, akan tetapi wajahnya amat cantik, berkulit halus dan matanya indah bersinar-sinar.
Senja itu jarang ada orang lewat di pintu gerbang dan keadaannya sudah sunyi, membuat para penjaga menjadi semakin jemu dan membutuhkan hiburan. Sebentar lagi, bila mana sudah ada tanda genta dibunyikan, pintu gerbang akan ditutup dan mereka dapat berjaga sambil tidur.
Ketika melihat wanita yang mendorong gerobak itu datang dari jauh, segera penjaga yang melihatnya mengeluarkan seruan girang. "Si cantik datang mengunjungi kita!" serunya.
Para penjaga yang jumlahnya selosin orang itu pun keluar semua. Yang sedang berjudi menghentikan permainan mereka, yang sedang minum-minumpun keluar dan semua kini berdiri menghadang di pintu gerbang, memandang kepada wanita muda yang mendorong gerobak itu dengan mulut menyeringai.
Wanita muda itu agaknya tidak peduli dan terus saja datang menghampiri pintu gerbang. Gerobak dorong itu tidak besar, muatannya penuh dengan jerami. Agaknya ia baru pulang mengumpulkan jerami untuk makanan ternaknya. Tentu perempuan ini tadi keluar melalui pintu gerbang lain, pikir para penjaga itu karena mereka tidak melihat wanita itu keluar.
"Aih, manis, perlahan dulu...!" kata kepala jaga sambil melintangkan tombak panjangnya ketika wanita itu hendak lewat.
Wanita muda itu terpaksa menghentikan gerobaknya dan memandang tajam kepada dua belas orang penjaga itu. Alisnya berkerut dan matanya bersinar-sinar, akan tetapi bibirnya tersenyum. Memang cantik jelita sekali gadis ini, maka walau pun dia berpakaian wanita dusun, kecantikannya menonjol dan membuat dua belas orang penjaga itu mengilar. Tak mereka sangka bahwa hari itu, sebelum tutup pintu gerbang, mereka memiliki nasib begini baik bertemu dengan seorang wanita secantik ini.
"Kalian mau apa? Biarkan aku lewat!" kata gadis itu sambil mencibirkan bibirnya yang merah basah.
"Aihh, kenapa terburu-buru amat?"
"Berhenti dulu, kita bicara-bicara nona manis. Masih banyak waktu untuk pulang."
"Siapa sih namamu, manis?"
"Berapa usiamu?"
"Di mana rumahmu? Aku belum pernah melihat seorang gadis secantikmu!"
Dengan sikap amat ceriwis para penjaga itu mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda dan merayu, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja.
"Harap jangan menahanku, aku tergesa-gesa, sapiku sudah lapar," katanya membujuk.
"Ha-ha-ha-ha, perlahan dulu, nona. Engkau tidak boleh lewat sebelum membayar pajak!" kepala jaga berkata sambil tertawa-tawa dan mengamang-amangkan tombaknya seperti orang mengancam dan menakut-nakuti.
"Pajak? Pajak apa?" tanya gadis itu.
"Orang lain harus membayar dengan uang, akan tetapi tetapi engkau cukup membayar... ehm... tentu engkau tahu sendiri, nona."
"Hemm, membayar apakah? Harap dijelaskan," gadis itu mendesak.
Kepala jaga itu menyeringai lebar. "Bukan sapimu saja yang lapar, akan tetapi kami juga lapar, bukan lapar karena makanan, melainkan lapar akan wanita cantik. Engkau harus menemani kami tidur, baru boleh lewat."
"Ihhh!" Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan cahaya berapi. "Sudah kukira! Kalian hanyalah babi-babi yang kurang ajar dan suka mengganggu wanita! Mau makan? Nih, makanlah ini...!"
Dan tiba-tiba saja gadis itu mendorong gerobaknya menabrak si kepala jaga.
"Bresss...!"
Kepala jaga itu terjengkang dan menimpa seorang kawannya yang berdiri di belakangnya. Dia mengaduh-aduh sambil menyumpah-nyumpah karena tulang betisnya yang tertabrak muka gerobak itu terasa nyeri bukan main, kiut-miut rasanya dan dia takut kalau-kalau tulang itu patah.
"Perempuan keparat! Tangkap dia...!"
Namun gadis itu sudah mendorong kembali gerobaknya dengan kuat menabrak seorang penjaga lain yang sudah mencabut golok. Penjaga itu terpelanting, goloknya terlepas dan dia pun mengaduh-aduh kesakitan.
Kini semua penjaga menjadi sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak memusuhi mereka. Mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan mengepung. Akan tetapi si kepala jaga berteriak,
"Simpan senjata kalian, tolol! Tangkap dia hidup-hidup lalu kita permainkan dia sepuasnya sebelum membunuhnya. Jahanam betina ini harus dihajar sampai kita puas!"
Kepala jaga dan kawan-kawannya itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
Seperti telah kita ketahui, gadis ini menjadi pembantu Yelu Kim, karena dia melihat bahwa dengan membantu para suku bangsa di utara, maka dia dapat pula ikut menentang para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Maka, ketika Yelu Kim mengatur siasat dan merencanakan penyerbuan Ceng-tek, dia mengajukan diri untuk bertugas mengacau satu di antara empat pintu gerbang pada waktu penyerbuan hendak dilakukan. Dan gurunya, Yelu Kim, yang percaya akan kelihaian Sui Cin, menyetujui lalu menugaskan muridnya itu untuk mengacau di pintu gerbang bagian timur itu.
Andai kata para penjaga itu telah mengenal Sui Cin, tentu dia akan mengerahkan semua kekuatan kawan-kawannya, mempergunakan senjata untuk menyerang dan mengeroyok gadis pendekar itu. Bahkan, andai kata mereka mempergunakan senjata tajam sekali pun, mereka bukanlah lawan pendekar wanita perkasa ini.
Maka kini, karena mereka maju dengan tangan kosong, enak dan mudah saja bagi Sui Cin untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua hanya dengan gerobaknya yang didorong ke sana-sini!
Mereka yang roboh tidak mampu bangkit kembali karena tulang mereka sudah patah atau retak-retak dihantam kayu melintang di depan gerobak. Setelah mereka semua roboh dan mereka berteriak-teriak minta tolong, Sui Cin cepat menyalakan api membakar jerami di dalam gerobaknya, kemudian mendorong gerobak yang berkobar-kobar itu sampai masuk ke dalam pondok penjagaan sampai pondok itu terbakar pula.
Dia melihat datangnya puluhan orang prajurit dari dalam. Cepat Sui Cin menyambar dua batang golok dari atas tanah dan berlari menghampiri alat pemutar pintu gerbang. Pintu gerbang yang berat itu dibuka atau ditutup dengan menggunakan alat putaran yang kuat, kini Sui Cin menghajar rantai besar itu dengan sepasang goloknya, membacoki rantai itu hingga sepasang goloknya rompal akan tetapi rantai itu pun putus! Sekarang daun pintu gerbang tidak dapat ditutup kembali setelah rantai itu putus.
Ketika puluhan orang prajurit datang menyerbu dan mengeroyoknya, Sui Cin mengamuk, menggunakan sepasang goloknya yang sudah rompal. Dia sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya bergerak.
Memang, pada saat yang sama di tiga pintu gerbang lainnya terjadi pula kekacauan yang ditimbulkan oleh pembantu-pembantu Yelu Kim yang mempunyai kepandaian tinggi. Akan tetapi mereka itu datang sedikitnya berlima, tidak seperti Sui Cin yang bekerja seorang diri saja.
Tiba-tiba saat yang dinanti-nanti oleh Sui Cin sambil mengamuk itu pun tiba. Terdengar suara teriakan-teriakan riuh rendah di sebelah dalam kota, kemudian tampak api berkobar tinggi. Ternyata kawan-kawan yang menyelundup ke dalam itu kini sudah mulai dengan aksi mereka membakari tempat-tempat penting. Tentu saja ada di antara mereka yang kepergok dan dikeroyok sehingga mulailah terjadi pertempuran-pertempuran antara para mata-mata dengan para petugas keamanan.
Melihat ini Sui Cin tidak mau melayani para pengeroyoknya. Cuaca mulai menjadi gelap dan dia pun menggunakan ilmu ginkang-nya untuk melompat dan melarikan diri memasuki kota Ceng-tek, meloncat ke atas wuwungan rumah-rumah orang lalu lenyap dari kejaran para penjaga. Keadaan menjadi kacau ketika para penjaga melihat bahwa pintu gerbang tidak dapat ditutup dan betapa di dalam kota sudah terjadi pembakaran-pembakaran dan pertempuran-pertempuran.
Dan pada saat itulah terdengar ledakan-ledakan disusul bunyi terompet dan tambur, lalu pasukan-pasukan Yelu Kim menyerbu dari delapan penjuru. Kacau balaulah pertahanan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Siang Hwa. Begitu mereka mencurahkan perhatian untuk menahan serbuan musuh ke empat pintu gerbang, datang serbuan melalui tembok-tembok benteng dan datang pula hujan panah dari luar tembok.
Serbuan pada waktu malam gelap ini sungguh telah diperhitungkan dengan masak-masak oleh Yelu Kim. Pasukannya memiliki sasaran yang jelas, yaitu benteng itu. Dan di dalam kota benteng itu terdapat penerangan yang cukup sehingga mereka mampu melihat jelas keadaan musuh.
Sebaliknya, pasukan pemberontak yang berada di dalam benteng menjadi bingung sebab pihak musuh datang dari tempat gelap, tidak tahu dari arah mana yang tepat, dan pihak musuh ini sama sekali tidak membawa obor. Mereka bahkan tidak tahu siapakah musuh mereka dan berapa jumlahnya. Maka tanpa banyak susah payah, pada menjelang tengah malam pasukan-pasukan Yelu Kim mulai berhasil mendesak masuk melalui pintu gerbang dan melalui tembok-tembok benteng!
Tidak dapat disangkal bahwa Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu adalah dua orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi dalam hal ilmu perang, mereka bukan ahli dan tidak berpengalaman, maka ketika menghadapi penyerbuan yang dilakukan dengan taktik yang matang dari Yelu Kim ini, mereka menjadi bingung.
Dan seperti ahli-ahli silat umumnya, mereka hanya mengandalkan kepandaian silat untuk bertahan, lupa bahwa perang antara pasukan tidak dapat disamakan dengan perkelahian antar perorangan di mana ilmu silat memegang peranan yang menentukan kalah menang. Karena pasukan mereka kalah banyak, juga karena mereka diserbu secara tiba-tiba dan tak terduga-duga, maka pertahanan mereka akhirnya bobol dan terjadilah pertempuran di dalam kota benteng itu antara pasukan pemberontak dan suku bangsa utara yang berani mati.
Sebelum melakukan penyerbuan, Sui Cin sudah mendengar dari para mata-mata Mancu bahwa perkumpulan Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya sendiri juga ikut membantu pemberontakan Raja Iblis, bahkan ketika pasukan pemberontak menyerbu kota Ceng-tek dan akhirnya menguasainya, orang-orang Cin-ling-pai sudah berjasa besar. Kemudian dia pun mendengar bahwa orang-orang Cin-ling-pai kini bertugas sebagai perwira-perwira dan kepala-kepala pasukan penjaga untuk menjaga keamanan Ceng-tek.
Oleh karena itu, ketika dia berhasil mengacau pintu gerbang timur dan teman-temannya, baik yang berada di dalam mau pun di luar sudah mulai bergerak, dia lalu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain, mencari-cari. Ketika dia mendengar akan hal Cin-ling-pai, dia hampir tidak percaya dan merasa prihatin sekali.
Betulkah orang-orang Cin-ling-pai ikut memberontak, bersekutu dengan Raja Iblis? Malah dipimpin sendiri oleh ketuanya, ayah Hui Song? Sulit untuk dipercaya. Bukankah Hui Song sendiri seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman?
Meski pun ayah bundanya nampaknya tidak suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap angkuh dan sombong, akan tetapi mereka pun mengakui bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar yang sangat lihai dan gagah perkasa. Bagaimana mungkin kini pendekar itu beserta murid-muridnya malah bersekutu dengan Raja Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui?
"Tidak mungkin...!" katanya pada diri sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba Sui Cin mendekam di atas wuwungan saat dia melihat berkelebatnya dua orang dari dalam sebuah gedung di bawah. Ketika kedua orang itu berdiri di bawah penerangan, dia segera mengenal mereka yang tidak lain adalah Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu!
Melihat dua orang musuh besar yang sangat dibencinya itu, Sui Cin lupa diri, lupa bahwa dua orang itu amat lihai dan terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi mereka berdua itu sendirian saja. Akan tetapi kemarahan sudah membuat dia melompat ke bawah sambil berseru marah,
"Jahanam-jahanam busuk hendak lari ke mana kalian?!"
Agaknya dua orang itu memang telah bersiap-siap untuk lari. Mereka membawa buntalan yang kelihatan berat di punggung masing-masing dan agaknya mereka hendak melarikan diri sambil membawa barang-barang berharga dari dalam kota benteng itu.
Siang Hwa dan Thian Bu terkejut sekali. Keduanya segera mencabut pedang dan ketika mengenal Sui Cin, mereka pun marah lalu tanpa banyak cakap lagi keduanya menyerang Sui Cin.
Gadis ini cepat mengelak. Akan tetapi, dua orang itu yang melihat betapa gadis ini hanya bertangan kosong dan sendirian saja, lalu mempercepat serangan mereka, dengan penuh nafsu melancarkan serangan-serangan maut untuk membunuh Sui Cin.
Akan tetapi Sui Cin sudah menguasai Ilmu Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, gerakannya cepat laksana beterbangan saja sehingga dua pedang di tangan Siang Hwa dan Thian Bu tidak dapat menyentuhnya. Dua orang lawan itu terkejut melihat kecepatan gerak Sui Cin dan mereka terus mendesak. Sungguh pun Sui Cin mampu mengelak dan berloncatan ke sana-sini, namun dia tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.
Untung baginya bahwa dua orang lawannya itu kelihatan gugup. Kini pertempuran sudah mulai memasuki kota sehingga mereka harus bergegas melarikan diri. Munculnya Sui Cin menimbulkan bahaya bagi mereka, bahaya terlambat untuk melarikan diri. Maka mereka lantas menyerang terus kalang kabut membuat Sui Cin terpaksa harus mengerahkan ilmu ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari libatan dua gulung sinar pedang itu.
Tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di sana telah nampak Hui Song dan Siang Wi! Siang Wi sudah mempergunakan sepasang pedangnya menyerang Siang Hwa sedangkan Hui Song juga membantu Sui Cin menghadapi Thian Bu.
Munculnya dua orang muda ini tentu saja sangat mengejutkan hati Siang Hwa dan Thian Bu. Apa lagi sesudah melihat betapa hebatnya gerakan Hui Song dan betapa sepasang pedang dari Siang Wi itu pun tidak boleh dipandang rendah.
"Lari...!" Thian Bu berseru sambil memutar pedangnya, mendesak mundur Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong itu. Keduanya lalu meloncat dan lari ke dalam gelap.
Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi tidak mengejar. Sui Cin dan Hui Song merasa gembira sekali dapat bertemu di situ.
"Cin-moi, engkau selamat, aku gembira sekali bertemu denganmu di sini!" kata Hui Song sambil memegang tangan gadis itu.
Untuk sejenak Sui Cin hanya membiarkan saja tangannya digenggam oleh pemuda itu, kemudian sambil melirik kepada Siang Wi dia melepaskan tangannya. "Song-ko, mari kita bantu pasukan suku bangsa utara menyerang pasukan pemberontak!"
"Nanti dulu, kami hendak menyelidiki apakah benar ayah dan ibu berada di sini," kata Hui Song, suaranya mengandung rasa penasaran.
Sui Cin menatap wajah pemuda itu dengan hati tegang. Agaknya pemuda ini pun sudah mendengar tentang Cin-ling-pai yang kabarnya membantu Raja Iblis!
"Sejak tadi aku pun mencari-cari apakah benar ada anggota Cin-ling-pai yang..."
"Jadi engkau sudah tahu pula tentang hal itu, Cin-moi?" Hui Song bertanya kaget. "Jadi... benarkah berita tentang..."
"Aku sudah mendengar beritanya dan aku tidak percaya, Song-ko. Aku pun tidak melihat adanya orang Cin-ling-pai... akan tetapi mungkin mereka memakai pakaian seragam dan aku tidak mengenal mereka..."
"Tunggu...!" Tubuh Hui Song berkelebat.
Dan tidak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil mengempit tubuh seorang prajurit pemberontak yang menggigil ketakutan akan tetapi tidak mampu bergerak itu. Hui Song melemparkan tubuh orang itu ke atas tanah lantas meminjam sebatang pedang dari Siang Wi dan menodongkan senjata itu ke dada tawanannya.
"Hayo ceritakan di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai!" bentak Hui Song.
Orang itu sudah sangat ketakutan karena tadi secara tiba-tiba saja tubuhnya tidak dapat digerakkan lalu 鈥榙iterbangkan鈥� orang tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Akan tetapi melihat sikap Hui Song yang agaknya bukan sahabat orang-orang Cin-ling-pai, dia mengira bahwa pemuda ini sedang mencari musuh-musuhnya, maka dengan memberanikan hati dia pun menjawab.
"Orang-orang Cin-ling-pai telah dibasmi, banyak yang tewas dan sebagian sudah ditahan dalam penjara. Pengkhianat-pengkhianat itu..." Dia tidak mampu melanjutkan karena Hui Song telah menendangnya sehingga prajurit itu jatuh pingsan.
"Bagus!" Hui Song berseru gembira.
"Biar pun ayah mengajak saudara-saudara Cin-ling-pai ke sini, tapi ternyata bukan untuk menjadi sekutu, melainkan untuk melawan. Mari kita cari di dalam penjara!"
Sui Cin ikut pula bersama kakak beradik seperguruan itu dan mereka pun berloncatan ke atas genteng. Akhirnya mereka dapat menemukan tempat para tahanan yang merupakan penjara di dalam kota benteng itu.
Penjara itu hanya dijaga oleh belasan orang saja, karena sebagian besar para penjaga sudah menjadi panik dengan datangnya penyerbuan musuh dan sekarang mereka sudah ikut membantu pasukan pemberontak untuk mempertahankan kota Ceng-tek dari serbuan pasukan-pasukan suku bangsa utara.
Karena hanya nampak belasan orang penjaga di situ, Sui Cin dan Siang Wi berdua saja sudah cukup untuk melayang turun dan menghadapi mereka, sedangkan Hui Song tanpa membuang banyak waktu lagi sudah memaksa pintu penjara terbuka. Dia membebaskan semua tawanan dan akhirnya dia melihat murid-murid Cin-ling-pai yang diborgol di dalam sebuah kamar tahanan besar.
Para murid Cin-ling-pai gembira bukan main melihat kemunculan Hui Song, dan mereka segera merangkulnya sambil menangis. Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Hui Song, karena dia tahu bahwa murid-murid ayahnya sangat gagah dan bukan merupakan orang-orang cengeng.
"Aih, kenapa kalian malah menangis setelah aku datang membebaskan kalian?" tanyanya dengan alis berkerut.
"Sute... ahhh, sute... kami sudah mengalami mala petaka! Sedikitnya empat puluh orang saudara Cin-ling-pai sudah tewas..."
"Hemm, itu sudah menjadi resiko perjuangan! Perjuangan selalu menuntut pengorbanan, mengapa kalian menangis?" Hui Song mencela karena hatinya merasa tidak puas melihat sikap cengeng saudara-saudara seperguruannya.
"Aihh, sute... subo... subo dan sukong... mereka juga tewas..."
"Apa...?!" Wajah Hui Song pucat dan matanya terbelalak mendengar bahwa kedua orang tua itu, terutama sekali ibunya, sudah tewas pula sehingga beberapa lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Siang Wi sudah langsung menangis terisak-isak mendengar subo-nya tewas.
Beginilah keadaan batin kita pada umumnya. Kalau orang lain yang terkena musibah, pandai-pandai kita menghibur dan menasehatinya dengan kata-kata yang indah. Hal ini lumrah karena kita sendiri tidak merasakan kedukaan akibat musibah yang menimpa itu. Akan tetapi kalau kita sendiri yang terkena, entah ke mana perginya segala nasehat kita tadi, sudah terlupa sama sekali dan kita tenggelam ke dalam kedukaan dan kemarahan.
Ketika tadi melihat saudara-saudara seperguruan itu menangis serta mendengar mereka melaporkan bahwa banyak saudara yang tewas, Hui Song masih mampu menghibur dan mengatakan bahwa perjuangan mereka memerlukan pengorbanan. Akan tetapi pada saat mendengar ibu kandungnya sendiri tewas, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Muka yang amat pucat tadi perlahan-lahan berubah merah akibat dendam.
"Siapa yang membunuh mereka?" pertanyaan ini keluar dengan datar.
"Sukong tewas oleh Sim Thian Bu dan subo tewas di tangan Gui Siang Hwa," jawab murid Cin-ling-pai itu yang sudah mengenal murid Iblis Buta dan murid Raja Iblis yang menjadi tokoh-tokoh besar dalam pemberontakan itu.
Mendengar siapa pembunuh ibu dan kakeknya itu, kemarahan Hui Song memuncak. Dia mengepal tinju. "Jahanam keparat mereka itu! Aku harus bunuh mereka...!"
Tiba-tiba ada tangan menyentuh lengannya, tangan yang berkulit halus dengan sentuhan hangat akan tetapi dengan cengkeraman yang mengandung teguran. "Song-ko, mereka itu korban-korban perjuangan." Lirih saja ucapan ini, akan tetapi langsung terasa oleh hati Hui Song.
Dan dia pun menoleh, memandang kepada Sui Cin lalu menggunakan punggung tangan untuk menghapus dua titik air mata yang tergantung pada pelupuk matanya. Dia menarik napas panjang dan mengangguk.
"Engkau benar, Cin-moi," bisiknya kembali. Sesaat kemudian pemuda perkasa ini sudah bisa menguasai dirinya, lalu memandang kepada saudara-saudara seperguruannya yang masih merubungnya.
"Semuanya ini adalah pengorbanan demi perjuangan, mereka gugur sebagai orang-orang gagah yang menentang golongan jahat. Nah, sekarang ceritakan tanpa ragu-ragu, di mana ayahku?"
"Sebelum kami disergap oleh pasukan pemberontak itu, suhu sudah pergi meninggalkan kota Ceng-tek untuk melakukan penyelidikan ke San-hai-koan, dan sejak itu tidak pernah kembali."
Hui Song mengerutkan alisnya. Pertempuran di luar penjara masih terdengar ramai sekali dan semua tahanan, kecuali anak buah Cin-ling-pai, sudah berlarian keluar untuk mencari kebebasan atau ada pula yang lari untuk ikut bertempur, tentu saja memihak kepada para penyerbu. Atau ada pula tahanan orang-orang jahat yang lari keluar untuk mengail di air keruh, mencari keuntungan selagi keadaan kacau oleh pertempuran.
"Sebetulnya, apakah yang sudah terjadi? Mengapa kalian berada di sini? Mengapa ayah berada di sini? Lekas ceritakan dengan singkat!"
"Suhu telah terbujuk dan membawa kami ke sini untuk membantu pemberontak. Tadinya suhu mengira bahwa pasukan pemberontak yang dipimpin Ji-ciangkun mempunyai tujuan perjuangan yang murni untuk menggulingkan pemerintahan lalim. Tapi kemudian ternyata bahwa para pemberontak bersekutu, bahkan dipimpin oleh datuk sesat Raja Iblis. Setelah mengetahui hal ini, suhu marah sekali lalu suhu pergi ke San-hai-koan untuk menyelidik. Agaknya hal ini diketahui oleh pihak kaum sesat, maka mereka telah bertindak lebih dulu, kami diserbu dan kami melakukan perlawanan sedapat mungkin. Akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan dalam pertempuran ini, subo dan sukong, juga banyak saudara kita tewas. Kemudian kami ditangkap karena telah roboh dan tidak mampu melawan lagi."
"Kalau begitu mari kita keluar lalu mengamuk dan membasmi para pemberontak keparat yang ditunggangi golongan hitam itu!" Hui Song mengangkat tangan kanan dengan tinju terkepal, disambut sorak sorai para saudara seperguruannya.
"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru. "Kurasa tidak benar kalau kita terjun ke dalam pertempuran..."
"Kami hendak berjuang dan untuk itu kami tidak takut kehilangan nyawa, kenapa engkau mengatakan tidak benar?" tiba-tiba Siang Wi berkata dengan alis berkerut.
Dia tahu bahwa ada hubungan kasih antara suheng-nya dan Sui Cin, dan bagaimana pun juga hal ini menimbulkan rasa tidak suka dalam hatinya terhadap gadis yang dianggapnya telah merebut hati pria yang sejak kecil dicintanya itu.
"Cin-moi, apa maksudmu menyalahkan maksud kami menyerbu keluar?" Hui Song juga bertanya dan memandang heran.
"Song-ko, menyerbu keluar dan ikut bertempur sama saja dengan bunuh diri..."
"Kami tidak takut mati!" Siang Wi membentak. Semenjak tadi gadis ini sudah mencabut sepasang pedangnya dan mukanya masih basah air mata ketika dia menangisi kematian subo-nya tadi.
Sudah pasti inilah sebabnya, dan pembunuhnya tentulah bayangan yang telah dikejarnya dan lenyap tadi, juga yang menimbulkan suara sehingga suaminya mencoba pula untuk mengejar akan tetapi tidak melihat siapa pun di atas genteng. Bayangan itu lihai dan lima orang murid ini pun tewas oleh orang yang lihai sekali.
Lima orang itu adalah murid-murid kepala, tentu saja tingkat kepandaian mereka sudah lumayan tingginya. Namun mereka tewas tanpa mengeluarkan teriakan dan tubuh mereka tidak terluka parah, hanya pada kepala mereka ada bekas telapak jari tangan menghitam!
Mereka itu terbunuh dengan tiba-tiba atau lebih dahulu dirobohkan dengan pukulan atau benda beracun. Ini memperkuat dugaannya bahwa musuh yang membunuh lima orang murid ini tentulah mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan jelas merupakan seorang tokoh kaum sesat yang biasa mempergunakan racun.
Bin Mo To juga ikut memeriksa dengan teliti dan kakek ini mengerutkan alisnya. "Hemm, benarkah mereka akan melanggar janji?" gumamnya pada diri sendiri. "Benarkah mereka mengingkari janji kerja sama dan tak akan mengganggu anak-anak buah Cin-ling-pai? Kita sudah berjasa besar dan mereka masih tega membunuh lima orang murid kepala secara ini?" Kakek itu menjadi marah, mengepal tinju dan mukanya berubah merah.
Melihat sikap ayahnya ini, Bin Biauw lalu berbisik, "Hemm, ternyata ayah memang sudah bersekutu dengan mereka?"
"Anakku, aku bukan ingin berbaik dengan mereka, hanya kulihat kesempatan baik untuk meraih kedudukan bagi suamimu, maka biarlah persekutuan ini dijadikan jembatan untuk mencari kedudukan. Namun tak kusangka mereka sekeji ini..."
Para anggota Cin-ling-pai sudah mendengar tentang adanya kaum sesat yang membantu pemberontakan Ji-ciangkun dan mereka itu yang sejak dahulu digembleng dengan keras oleh Cia Kong Liang untuk menjadi pendekar-pendekar sejati, merasa penasaran sekali. Apa lagi melihat tewasnya lima orang saudara tua mereka ini, mereka merasa marah dan ingin mengamuk.
"Subo, apa yang harus kami lakukan?"
"Subo, di mana suhu?"
"Subo, haruskah kita berdiam diri saja?"
Lontaran-lontaran penasaran ini membuat Bin Biauw semakin bingung. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya kepada ayahnya.
Kakek itu pun merasa bingung dan gelisah. Sekarang barulah dia merasa menyesal telah bermain api, telah menyeret anak beserta menantunya, bahkan sebagian besar anggota Cin-ling-pai yang pada waktu itu berhasil dihubungi, untuk bersekutu dengan orang-orang macam Cap-sha-kui dan para datuk yang membantu Raja dan Ratu Iblis.
Kesetiaan orang-orang semacam mereka itu memang sama sekali tidak boleh dipercaya. Andai kata pemberontakan berhasil sekali pun, belum tentu mantunya akan memperoleh kedudukan dan kemuliaan tanpa adanya pengkhianatan-pengkhianatan dari orang-orang golongan hitam itu.
"Tidak ada lain jalan kecuali menanti kembalinya suamimu." Jawaban ini cocok dengan pendapat Bin Biauw, maka wanita ini lalu berkata kepada para murid Cin-ling-pai.
"Kuminta kalian jangan bertindak sendiri-sendiri secara ceroboh. Kita harus sabar menanti sampai suhu kalian pulang, baru kita akan berunding tindakan apa yang selanjutkan akan kita lakukan."
"Akan tetapi, subo. Apa bila kita terlambat, mungkin kita semua akan mereka bunuh selagi kita berada di sini."
"Subo, ke manakah perginya suhu?" Kembali suara-suara terdengar di antara para murid Cin-ling-pai yang marah itu.
"Suhu kalian sedang melakukan penyelidikan ke San-hai-koan..."
"...dan menjadi tawanan di sana!" tiba-tiba terdengar suara wanita memotong, "dan kalian orang-orang Cin-ling-pai yang hendak berkhianat, menyerahlah dari pada harus kubasmi semua!"
Bin Biauw serta Bin Mo To cepat membalikkan tubuh, dan mereka melihat betapa yang berbicara tadi adalah Gui Siang Hwa dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki tampan pesolek, yaitu Sim Thian Bu!
"Kalian sudah dikepung, melawan pun percuma saja!" kata Sim Thian Bu dengan suara mengejek.
Wajah Bin Mo To menjadi merah sekali. "Apa maksud kalian?" bentaknya dengan kedua tangan dikepal. "Kami adalah orang-orang yang telah berjasa dalam menduduki Ceng-tek! Kami bukan pengkhianat melainkan pejuang-pejuang gagah berani!"
Sim Thian Bu tertawa. "Ha-ha-ha, Tung-hai-sian, mungkin engkau memang satu golongan dengan kami, tetapi orang-orang Cin-ling-pai itu jelas bukan! Karena engkau bergabung dengan Cin-ling-pai, maka engkau pun harus menyerah juga!"
Tung-hai-sian yang kini bernama Bin Mo To dan sudah lama membuang nama julukan ketika dia masih menjadi datuk sesat itu menjadi marah sekali. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya bicara dengan mereka. Dia merasa menyesal sekali mengapa rencananya menjadi berantakan begini. Dan semua ini adalah karena ulahnya.
Mantunya yang pergi menyelidiki ke San-hai-koan sudah diketahui musuh dan tentu telah terjebak. Cin-ling-pai juga sudah dikepung dan menghadapi bahaya besar. Semua ini dia yang menjadi biang keladinya. Oleh karena itu dia pula yang kini harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan orang-orang Cin-ling-pai.
"Serbu keluar! Berpencar dan mencari jalan keluar sendiri-sendiri! Kita semua kembali ke Cin-ling-san!" teriaknya dengan penuh geram, suaranya nyaring melengking.
Dan para anggota Cin-ling-pai yang maklum pula akan adanya bahaya yang mengancam lalu tumbuh semangat, dan mereka pun bergerak mencabut senjata masing-masing lalu menyerbu keluar! Bin Mo To dan Bin Biauw sendiri sudah mencabut pedang mereka dan menerjang Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu.
Siang Hwa dan Thian Bu mengelak, dan wanita itu berteriak memberi komando kepada pasukan yang mengepung tempat itu untuk menyergap. Dia sendiri pun sudah mencabut pedangnya dan menangkis kuat-kuat ketika Bin Biauw kembali menyerang.
"Cringgg...!"
Bin Biauw terkejut bukan main karena merasa betapa lengannya yang memegang pedang tergetar dan pedangnya terpental. Siang Hwa tertawa mengejek lantas balas menyerang. Bin Biauw memutar pedangnya melindungi diri dan sebentar saja ia telah terdesak hebat.
Betapa pun juga, dia adalah isteri ketua Cin-ling-pai dan sedikit banyak sudah menerima banyak petunjuk suaminya dalam ilmu silat. Maka biar pun tingkat ilmu pedangnya kalah tinggi dan tenaganya kalah kuat dibandingkan Siang Hwa, dia membela diri mati-matian sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru.
Sementara itu, Bin Mo To yang sudah tua sekali itu pun mengamuk, akan tetapi amukan pedangnya ditahan oleh pedang di tangan Sim Thian Bu. Bin Mo To pernah menjadi datuk timur yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya dan ilmunya di dalam air. Akan tetapi sudah dua puluh tahun lebih dia tidak pernah mencabut pedang, tidak pernah berkelahi dan ketika pasukan menyerbu Ceng-tek, dia pun hanya memberi petunjuk saja dan tidak ikut terjun ke dalam pertempuran.
Akan tetapi kali ini dia terpaksa bertanding mati-matian, ada pun lawannya adalah murid terkasih mendiang Iblis Buta, maka tentu saja dia merasa kewalahan dan repot sekali. Bukan hanya gerakannya kurang tangkas lagi, juga napasnya pendek sehingga lewat tiga puluh jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Keadaannya tidak lebih baik dari pada puterinya yang juga sudah terkurung oleh gulungan sinar pedang di tangan Siang Hwa.
Maklum bahwa keadaannya terhimpit dan sukar untuk meloloskan diri, Bin Biauw berseru keras sekali, "Anak-anak, pergilah kalian dan selamatkan diri! Cepat...!" Suaranya kandas dan tubuhnya terhuyung, pedangnya terlepas lantas kedua tangannya mendekap dada di mana terdapat luka yang mencucurkan darah karena ketika dia berteriak tadi, pedang di tangan Siang Hwa telah menembus jantungnya.
"Ayah... lari...!" Bin Biauw masih sempat berteriak sebelum tubuhnya terguling kemudian tidak bergerak lagi.
Bin Mo To terkejut bukan main dan rasa kaget ini melemahkan dan membuatnya lengah sehingga dengan mudah saja pedang di tangan Sim Thian Bu menyambar lalu mengenai batang lehernya! Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi kakek itu terpelanting dan roboh dengan darah bercucuran dari lehernya. Kakek itu tewas hanya berselang beberapa detik saja sesudah puterinya tewas.
Sementara itu, sejak tadi para murid Cin-ling-pai sudah menerjang keluar dan terjadilah pertempuran yang seru namun berat sebelah, antara puluhan orang Cin-ling-pai melawan ratusan orang prajurit pemberontak, pasukan yang dipimpin oleh Gui Siang Hwa, pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.
Biar pun para anak murid Cin-ling-pai melawan dengan gagah berani, tetapi jumlah lawan terlampau banyak. Setiap anggota Cin-ling-pai harus menghadapi pengeroyokan belasan orang lawan, maka tentu saja mereka terdesak hebat.
Pada saat Bin Biauw berteriak menyuruh mereka lari, ada beberapa orang yang berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri, dikejar-kejar oleh para prajurit. Keadaan kacau yang timbul dari kejar-kejaran ini kemudian memberi kesempatan pada para murid Cin-ling-pai untuk berusaha meloloskan diri. Namun demikian, banyak di antara mereka yang gagal dan roboh sebelum berhasil keluar dari kota.
Ada belasan orang saja yang akhirnya berhasil lolos dari dalam kota, melarikan diri sambil membawa luka-luka pada tubuh mereka, sedangkan puluhan orang lainnya tewas. Hanya seperempat bagian saja dari orang-orang Cin-ling-pai itu selamat dari pembantaian yang terjadi di Ceng-tek!
Bagaimana dengan nasib Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu? Ejekan yang keluar dari mulut Siang Hwa bukan hanya kosong belaka. Memang kedatangan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu oleh Raja Iblis! Apa yang terjadi di Ceng-tek sudah didengarkan oleh Siang Hwa dan Thian Bu, bayangan-bayangan yang terlihat oleh Bin Biauw dan terdengar oleh Cia Kong Liang.
Mendengar percakapan itu, Siang Hwa yang memang selalu memata-matai orang-orang Cin-ling-pai, cepat-cepat mengirim utusan ke San-hai-koan memberi tahu kepada gurunya sehingga tentu saja kunjungan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan telah diketahui lebih dahulu dan kedatangannya itu sudah ditunggu-tunggu!
Setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tanpa pernah berhenti, pada esok harinya Cia Kong Liang yang mempunyai watak keras dan gagah perkasa itu memasuki benteng San-hai-koan. Dia langsung masuk saja dan karena dia sudah dikenal oleh para penjaga pintu gerbang, dia diperbolehkan masuk dengan sikap hormat.
Meski pun hari masih sangat pagi dan belum pantas untuk sebuah kunjungan, Cia Kong Liang tidak peduli. Kemarahan yang bergejolak di hatinya hampir tidak dapat ditahannya lagi dan dia pun langsung mengunjungi gedung Panglima Ji Sun Ki yang dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Mereka ini pun mengenal Cia Kong Liang dan menyambutnya dengan hormat.
"Aku hendak bertemu dengan Ji-ciangkun," katanya dengan tenang. "Katakan ada urusan yang penting sekali dan kuharap dia akan suka menerimaku sekarang juga!"
Sesudah dilaporkan ke dalam, ketua Cin-ling-pai itu segera dipersilakan masuk ke dalam ruangan tamu yang luas dan ketika dia masuk, di sana telah duduk Panglima Ji Sun Ki seorang diri. Begitu melihat ketua Cin-ling-pai, panglima itu mengangkat tangan kanan sebagai salam dan mempersilakannya duduk.
"Silakan duduk, Cia-pangcu. Pagi-pagi sekali pangcu telah mencariku, ada urusan penting apakah?" tanyanya ramah akan tetapi tegas.
Dengan tenang Cia Kong Liang mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang sebuah meja besar. Setelah duduk, dia memandang sejenak penuh selidik, barulah dia berkata, "Ji-ciangkun, maafkan kalau kedatanganku ini mengganggumu. Akan tetapi ada satu hal yang teramat penting hingga memaksaku malam-malam meninggalkan kota Ceng-tek dan langsung mengunjungi ciangkun pada pagi hari ini."
Sambil tersenyum ramah panglima itu berkata, "Ahh, kalau begitu tentu urusan itu penting sekali. Katakanlah, pangcu, urusan apakah itu?"
Cia Kong Liang menatap tajam, lalu melontarkan pertanyaannya, "Ciangkun, sebenarnya siapakah Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya itu?"
Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Sungguh mengejutkan sekali pertanyaan pangcu ini sehingga aku tidak mengerti apa yang pangcu maksudkan dengan pertanyaan aneh itu. Pangeran Toan Jit Ong adalah seorang pangeran keluarga kaisar yang telah puluhan tahun meninggalkan kota raja dan hidup bertapa. Akan tetapi, melihat keadaan pemerintah yang demikian lalim, sekarang beliau turun gunung."
"Akan tetapi dia adalah datuk sesat yang berjuluk Raja Iblis, sedangkan isterinya adalah Ratu Iblis! Benarkah itu?"
Ji-ciangkun mengangkat kedua pundaknya. "Aku tidak memperhatikan mengenai perkara itu, pangcu, dan andai kata benar pun, apa bedanya?"
"Apa bedanya?" Cia Kong Liang berseru marah, "dia adalah seorang raja datuk sesat dan dia dibantu oleh Cap-sha-kui serta para datuk sesat lain dari golongan hitam! Tak tahukah ciangkun akan hal ini?"
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Aku tahu atau memang bisa menduganya. Akan tetapi apa salahnya? Yang penting adalah menggulingkan pemerintah yang dipimpin oleh kaisar lemah bersama pembesar-pembesar lalim, dan Pangeran Toan adalah seorang pangeran asli..."
"Ji-ciangkun! Aku... kami dari Cin-ling-pai tidak sudi bekerja sama dengan golongan hitam! Para penjahat itu hanya akan mengotori perjuangan kita. Ji-ciangkun, engkau tidak boleh bersekutu dengan orang-orang jahat dari kaum sesat itu!"
Panglima Ji menatap dengan alis berkerut dan sinar matanya dingin sekali. "Cia-pangcu, sikap dan kata-katamu sungguh aneh sekali. Lalu apa yang akan kau lakukan karena aku bersekutu dengan mereka?"
"Ji-ciangkun, engkau harus mengusir mereka semua dan tak boleh menggunakan tenaga mereka untuk perjuangan!"
Wajah panglima itu menjadi merah, sedangkan sinar matanya mengandung kemarahan. "Cia-pangcu, bicaramu sungguh aneh dan lancang. Ada hak apakah maka engkau hendak melarang dan mengatur apa yang akan kulakukan? Kalau aku tetap bekerja sama dengan mereka, engkau mau apa?"
"Brakkk...!"
Cia Kong Liang bangkit berdiri dan tangannya menampar meja di hadapannya sehingga empat kaki meja itu menancap dan masuk ke dalam lantai hampir sejengkal dalamnya!
"Ji-ciangkun, engkau tinggal memilih saja. Mereka yang pergi atau kami yang pergi!"
Panglima itu pun bangkit berdiri dan memandang marah. "Orang she Cia, engkau adalah manusia yang sombong dan angkuh! Apa sih artinya puluhan orang Cin-ling-pai bagiku? Kalian datang tanpa kuundang dan kalau mau pergi, tidak semudah itu. Kami tidak mau kalian keluar membawa rahasia-rahasia pertahanan kami!"
Tiba-tiba saja terdengar suara dengusan dan disusul suara wanita, "Ketua Cin-ling-pai ini memang besar kepala dan patut menerima hukuman!"
Cia Kong Liang membalikkan tubuhnya dan dia melihat Raja Iblis bersama Ratu Iblis telah berdiri di ambang pintu ruangan itu dengan sikap yang menakutkan, wajah mereka yang kehijauan laksana dua mayat hidup saja. Dan di belakang mereka nampak puluhan orang prajurit pengawal yang siap dengan tombak dan golok mereka.
Sekilas pandang saja tahulah ketua Cin-ling-pai itu bahwa dia sudah terkepung dan tidak mungkin dapat meloloskan diri kecuali harus melawan mereka. Dia pun dapat menduga bahwa Raja dan Ratu Iblis ini tentu lihai sekali, apa lagi ditambah puluhan orang pasukan pengawal. Mana mungkin dia yang hanya seorang diri dapat melawan musuh yang sekian banyaknya itu?
Pikirannya bekerja cepat dan tiba-tiba saja tubuhnya membalik lantas melompat ke arah Ji-ciangkun! Panglima ini terkejut bukan main, dapat menduga bahwa ketua Cin-ling-pai itu menyerangnya, maka dia segera menyambutnya dengan pukulan tangan kanan yang keras ke arah dada Cia Kong Liang!
Akan tetapi dengan amat mudahnya ketua Cin-ling-pai itu menangkap pergelangan lengan kanan lawan kemudian sekali menggerakkan jari tangan kanan menotok, tubuh panglima itu menjadi lemas tidak mampu melawan lagi! Cia Kong Liang menelikung lengan itu ke belakang tubuh dan sambil mengancam dengan pedangnya.
Ketika dia mencabut Hong-cu-kiam, nampak berkelebat sinar emas. Itulah pedang pusaka Hong-cu-kiam yang tipis dan dapat digulung menjadi ikat pinggang! Sambil menempelkan pedangnya di batang leher Ji-ciangkun, dia menghardik ke depan,
"Kalau ada yang menyerangku, maka panglima ini akan kubunuh lebih dahulu!"
Akan tetapi mendadak terdengar suara Ratu Iblis mengejek. "Heh-heh, pangcu, kau boleh membunuh panglima tujuh kali dan kami masih dapat mengangkat yang lain delapan kali. Apa artinya seorang panglima bagi kami? Setiap waktu kami dapat mengangkat panglima lain sebagai penggantinya. Bunuhlah kalau mau bunuh dia, akan tetapi engkau tetap tidak akan mampu lolos dari kami!"
Cia Kong Liang bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa apa yang dikatakan Ratu Iblis itu memang benar. Sekarang baru dia menyadari bahwa orang pertama dalam barisan kaum pemberontak itu bukanlah Ji-ciangkun, melainkan Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis yang berdiri diam saja di samping isterinya yang menjadi juru bicara itu.
Menyandera Ji-ciangkun tidak ada artinya dan membunuhnya pun juga tidak ada artinya. Bahkan kalau mungkin lebih baik dia memanaskan hati Ji-ciangkun. Maka dia pun segera membebaskan totokannya dari tubuh panglima itu.
"Nah, ciangkun, harap jangan bertindak bodoh. Lihat sikap dan ucapan mereka! Apakah engkau masih sudi bersekutu dengan iblis-iblis jahat dan palsu macam mereka?"
Setelah dibebaskan dari totokan, Ji Sun Ki mundur-mundur dan wajahnya nampak merah sekali tanda kemarahannya. "Cia-pangcu, engkau sungguh bodoh! Tanpa bimbingan dari Toan Ong-ya, mana mungkin kita berhasil? Menyerahlah saja!"
Tentu saja Cia Kong Liang menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa Raja Iblis telah menguasai Ji-ciangkun seperti itu. Tahulah dia bahwa sekarang harapan untuk lolos tidak ada lagi, dan dia menjadi nekat. "Baiklah Raja Iblis, kalau begitu aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Cia Kong Liang meloncat lantas pedangnya berkelebat menjadi sinar emas yang panjang dan cepat menyambar ke arah Raja Iblis. Akan tetapi, mendadak Ratu Iblis mengeluarkan lengkingan panjang dan pedangnya telah berada di tangan, bergerak menangkis serangan ketua Cin-ling-pai itu.
"Tranggg...!"
Keduanya meloncat ke belakang dan langsung memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan kedua batang pedang itu tadi telah membuat tangan mereka tergetar. Setelah melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, Cia Kong Liang cepat menyerang lagi dengan dahsyatnya, langsung disambut oleh Ratu Iblis yang memutar pedangnya dengan cepat. Serang menyerang terjadi akan tetapi semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis.
Lewat belasan jurus kemudian, tiba-tiba saja Ratu Iblis membentak nyaring dan kini bukan hanya pedangnya yang menusuk ke arah lambung lawan, namun rambutnya juga sudah berubah menjadi senjata ampuh menyambar ke arah tenggorokan Cia Kong Liang.
Pendekar ini terkejut bukan kepalang. Dia maklum bahwa serangan rambut itu tidak kalah ampuh dari serangan-serangan pedang, maka sambil menangkis pedang yang menusuk lambung, dia pun mengerahkan tenaga pada telapak tangan kirinya dan sekarang tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuatnya menyambar ke arah gumpalan rambut itu.
Rambut itu membuyar dan hilang tenaganya pada waktu bertemu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, membuat nenek itu terkejut bukan kepalang. Dia dapat menduga bahwa orang yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai tentu lihai sekali, akan tetapi tak disangkanya selihai itu! Dengan sendirinya dia kini tidak berani memandang rendah lawan.
Maka dia pun mengeluarkan suara memekik nyaring dan kini pedangnya bergerak-gerak aneh dan liar, sedangkan tangan kirinya diputar-putar lalu menyambar-nyambar ke depan dengan telapak tangan terbuka. Terdengar desir angin ketika tangan kiri itu didorongkan ke depan.
Cia Kong Liang merasa betapa angin pukulan yang panas dan kuat menyambar ke arah tubuhnya. Cepat dia pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan melawan pukulan-pukulan itu dengan dorongan telapak tangan kirinya, sedangkan pedangnya masih terus berupa gulungan sinar emas yang kuat. Pertandingan itu berlangsung semakin seru dan ternyata kedua pihak memiliki tingkat kepandaian dan kekuatan yang seimbang.
Cia Kong Liang merasa penasaran bukan main melihat kenyataan bahwa sampai puluhan jurus dia belum mampu mengalahkan nenek itu. Baru melawan nenek itu saja dia tidak sanggup mengalahkan, apa lagi kalau Raja Iblis sendiri yang maju! Dia membentak dan kini gerakan pedangnya berubah sama sekali karena dia sudah memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang amat aneh dan hebat. Pedangnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu pedang itu menghujam ke arah dada lawan.
Nenek itu cepat menangkis, namun ketika kedua pedang bertemu, pedang Hong-cu-kiam itu membuat gerakan memutar dan tiba-tiba terdengar suara keras saat pedang di tangan nenek itu patah menjadi dua potong! Memang jurus Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut itu sangat hebat dan pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu adalah sebatang pedang pusaka yang lebih ampuh dari pada pedang si nenek.
Akan tetapi, pada saat itu pula rambut nenek itu sudah menyambar dan menotok ke arah pergelangan tangan kanan lawan, sedangkan dua tangan nenek itu sudah menubruk dan mencengkeram. Gerakan ini dilakukan dengan lengking nyaring mengejutkan.
Biar pun Cia Kong Liang telah mengerahkan Tiat-po-san, semacam ilmu kekebalan, tetap saja lengannya agak kesemutan ketika terkena totokan rambut dan pada saat pedangnya hampir terampas itu, tiba-tiba dari samping menyambar angin pukulan yang sangat hebat dan tahu-tahu pedangnya telah terbang meninggalkan tangannya.
Cia Kong Liang cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tubrukan Ratu Iblis, dan ketika dia mengangkat muka, ternyata pedangnya telah berada di tangan Raja Iblis yang sedang menimang-nimangnya dan memeriksanya tanpa mempedulikan dirinya. Cara Raja Iblis merampas pedang saja sudah membuktikan betapa saktinya iblis itu.
Akan tetapi Cia Kong Liang tidak menjadi gentar, bahkan merasa penasaran dan marah sekali. Sambil mengerahkan tenaga dia pun segera meloncat ke depan, menyerang Raja Iblis sambil membentak, "Kembalikan pedangku!"
Akan tetapi Ratu Iblis yang juga telah kehilangan pedang cepat meloncat lalu menyambut serangan ketua Cin-ling-pai yang ditujukan kepada suaminya. Dua tubuh itu bertemu di udara dan dua pasang tangan saling bersilang dan berbenturan.
"Desss...!"
Tubuh keduanya terlempar ke belakang, akan tetapi tubuh Ratu Iblis terlempar lebih jauh dan dia agak terhuyung ketika kedua kakinya menyentuh tanah, ada pun tubuh pendekar itu tetap tegak.
"Ji-ciangkun, tangkap dia!" tiba-tiba terdengar suara Raja Iblis memerintah dan terdengar Ji Sun Ki memberi aba-aba kepada anak buahnya.
"Kepung dan tangkap pengkhianat ini!" bentaknya.
Mendengar bentakan Ji-ciangkun ini, Cia Kong Liang menjadi amat marah dan tahulah dia bahwa panglima itu sudah menjadi antek Raja Iblis. Bukan Panglima Ji yang memimpin pemberontakan itu, melainkan Raja Iblis! Alangkah bodohnya! Dia telah membawa nama Cin-ling-pai ke dalam lumpur, menyeret Cin-ling-pai menjadi antek-antek Raja Iblis!
"Majulah jangan dikira aku takut!" bentaknya dan dia pun mengamuk ketika dikepung oleh banyak sekali prajurit pengawal.
Akan tetapi jumlah mereka banyak sekali dan tiba-tiba lengannya dapat tertangkap oleh seorang prajurit. Dia hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba prajurit itu berbisik, suaranya terdengar dekat sekali di telinganya, tanda bahwa prajurit itu menggunakan ilmu mengirim suara yang amat kuat.
"Percuma melawan, menyerah saja untuk saat ini!" Dalam suara itu terkandung nasehat dan juga bujukan, dan Cia Kong Liang dapat menduga bahwa prajurit ini tentu bermaksud baik, maka dia pun berhenti meronta dan membiarkan dirinya ditelikung dan dibelenggu.
"Bunuh saja dia!" Terdengar Ji-ciangkun berkata. "Jika tidak tentu dia akan menyusahkan saja di kemudian hari."
"Tidak, masukkan saja ke dalam tahanan dan jaga keras jangan sampai lolos. Lain waktu kita bisa membutuhkan dia," terdengar Raja Iblis berkata dan tubuh ketua Cin-ling-pai lalu diseret oleh beberapa orang prajurit pengawal, dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat dan dijaga oleh selosin orang prajurit pengawal.
Cia Kong Liang mencari-cari dengan pandang matanya, namun prajurit yang tadi berbisik kepadanya sudah lenyap menyelinap di antara banyak prajurit di situ.
********************
Gerakan para pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, tentu saja amat mengejutkan pemerintah di kota raja. Panglima Ji dikenal sebagai seorang Panglima golongan tua yang sejak dahulu selalu setia terhadap pemerintah. Oleh karena itu, ketika mula-mula terdengar berita bahwa kota San-hai-koan sudah diduduki oleh panglima yang memberontak ini, pemerintah di kota raja masih merasa ragu-ragu untuk dapat percaya.
Mungkin terjadi pertikaian pendapat antara pimpinan pasukan Ceng-tek dengan pimpinan pasukan San-hai-koan yang dipimpin Ji-ciangkun, demikian para menteri di istana kaisar berpendapat. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penyelidikan terlebih dahulu, tidak perlu dikirim pasukan besar dari kota raja, karena jaraknya cukup jauh.
Penyelidikan segera dilakukan dan terkejutlah kaisar serta para pembantunya pada waktu mendengar bahwa bukan hanya San-hai-koan yang diduduki, bahkan kota Ceng-tek juga telah diduduki oleh pasukan pemberontak yang kini terus memperluas kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke dusun-dusun.
Setelah mengadakan perundingan dengan para menteri, Panglima Yang Ting Houw, yaitu seorang panglima muda yang sangat cerdik berkata, "Menurut penyelidikan dan laporan beberapa orang pendekar yang baru kembali dari utara, pergerakan kaum pemberontak yang dipimpin Ji Sun Ki itu dibantu oleh golongan hitam di dunia kang-ouw. Pergerakan itu diikuti pula oleh para suku bangsa liar di daerah utara yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan mereka di selatan. Oleh karena itu, menurut pendapat hamba, lebih baik kalau membiarkan dua pihak itu, pasukan pemberontak dan pasukan suku liar, saling hantam sendiri. Sesudah mereka saling hantam dan menderita sehingga menjadi lemah, barulah kita turun tangan membasmi keduanya dan mengerahkan pasukan besar yang sudah kita persiapkan secara rahasia."
Kaisar serta para pembesar menyatakan setuju, maka diaturlah pasukan yang berjumlah dua puluh lima ribu orang, dipimpin oleh panglima-panglima yang berpengalaman, untuk menuju ke utara secara diam-diam dan dengan cara berpencar.
Sementara itu, Yelu Kim yang kini sudah menjadi pimpinan para kepala suku bangsa di utara, sudah mempersiapkan diri pula. Dibentuknya pasukan sangat kuat yang terdiri dari berbagai suku bangsa utara itu dan dilatihnya mereka supaya mengenal tanda-tanda dan isyarat-isyarat barisan.
Mereka itu tak perlu lagi dilatih untuk bertempur karena setiap anggota pasukan dari suku bangsa di utara itu merupakan orang yang sudah biasa bertempur, terbiasa menghadapi kesukaran, pendeknya orang yang sudah digembleng oleh keadaan hidup yang sukar dan keras. Mereka adalah penunggang-penunggang kuda yang sangat mahir, juga pemanah-pemanah yang terlatih sekali dan orang-orang yang berani mati.
Karena nampaknya pihak pemerintah di selatan belum juga mengirim pasukan besar dan yang menentang gerakan para pemberontak itu hanyalah pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan yang tidak seberapa kuat, Yelu Kim kemudian merencanakan penyerbuan ke Ceng-tek. Apa lagi setelah dia mendengar akan pemberontakan di dalam benteng itu oleh orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya membantu pemberontak.
Dia menganggap sudah tiba saatnya yang baik untuk bergerak karena benteng Ceng-tek itu tidaklah sekuat San-hai-koan yang menjadi pusat pemberontak di mana tinggal para pimpinan pemberontak dengan pasukannya yang besar dan kuat. Kekuatan kota Ceng-tek hanya beberapa ribu orang pasukan dan sesudah mengumpulkan kurang lebih tujuh ribu orang, Yelu Kim kemudian mengatur siasat untuk melakukan penyerbuan terhadap para pemberontak yang menduduki Ceng-tek.
Kota itu akan diserbu dari delapan penjuru angin! Dan para pembantunya yang pandai akan menimbulkan kekacauan pada empat pintu gerbang, kemudian, jauh hari sebelum penyerbuan dilakukan, sebanyak mungkin pembantunya yang pandai akan diselundupkan memasuki kota benteng itu dan pada waktu para pembantu menimbulkan kekacauan di keempat pintu gerbang, mereka yang menyelundup ini serentak melakukan pengrusakan dengan cara membakar tempat-tempat penting.
Kebakaran inilah yang akan menjadi tanda bagi pasukan Yelu Kim untuk menyerbu dari delapan penjuru. Yang empat bagian menyerbu langsung ke pintu gerbang yang sedang kacau, dan yang empat bagian lain menyerbu dengan menghujankan anak panah melalui tembok benteng dan menyerbu dengan menggunakan tangga dan tali.
Demikian rapinya Yelu Kim mengatur siasat sehingga sudah puluhan orang mata-mata diselundupkannya ke Ceng-tek tanpa ada yang mengetahuinya. Para komandan di kota Ceng-tek masih tenang saja, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kota mereka diam-diam telah terkepung oleh banyak prajurit pasukan suku bangsa utara!
Sesudah Cin-ling-pai dihancurkan, kota Ceng-tek ini dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, dibantu oleh para perwira pasukan pemberontak. Di antara beberapa orang datuk sesat yang membantu kedua orang ini melakukan penjagaan di Ceng-tek terdapat Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo, dan Tho-tee-kwi, tiga di antara Cap-sha-kui yang tinggal tujuh orang itu. Empat orang tokoh lainnya tak pernah berpisah dari Raja dan Ratu Iblis karena mereka yang berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit) ini dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi Raja dan Ratu Iblis!
Kaum pemberontak itu bukan pejuang-pejuang sejati, melainkan gerombolan orang-orang yang selalu mengejar kesenangan. Bahkan pemberontakan itu pun mereka lakukan demi mengejar kesenangan. Oleh karena itu, sesudah Cin-ling-pai dibasmi, penjagaan di kota benteng itu tidaklah seketat semula.
Para pimpinan itu kerjanya hanya bersenang-senang saja, makan minum, pesta pora dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka sepuasnya karena di kota benteng itu merekalah yang berkuasa. Memang mereka tidak merasa khawatir. Benteng mereka itu amat kuat, terjaga oleh ribuan orang, ada lima ribu lebih orang tentara. Apa lagi tidak nampak tanda-tanda datangnya pasukan pemerintah dari selatan. Apa yang perlu ditakutkan?
Pada senja hari itu, seperti biasa, para penjaga pintu gerbang menjaga sambil bersenang-senang. Ada yang bermain kartu, ada yang minum-minum dan setiap ada wanita muda lewat di pintu gerbang, tentu mereka akan mengganggunya, baik dengan ucapan-ucapan atau pun dengan sentuhan-sentuhan. Karena kebiasaan yang amat buruk ini, jarang ada wanita muda berani melewati pintu gerbang.
Akan tetapi pada senja hari itu, di pintu gerbang sebelah timur, nampak seorang wanita muda mendorong sebuah gerobak, datang dari luar pintu gerbang. Wanita ini masih muda, pakaiannya seperti wanita petani biasa, akan tetapi wajahnya amat cantik, berkulit halus dan matanya indah bersinar-sinar.
Senja itu jarang ada orang lewat di pintu gerbang dan keadaannya sudah sunyi, membuat para penjaga menjadi semakin jemu dan membutuhkan hiburan. Sebentar lagi, bila mana sudah ada tanda genta dibunyikan, pintu gerbang akan ditutup dan mereka dapat berjaga sambil tidur.
Ketika melihat wanita yang mendorong gerobak itu datang dari jauh, segera penjaga yang melihatnya mengeluarkan seruan girang. "Si cantik datang mengunjungi kita!" serunya.
Para penjaga yang jumlahnya selosin orang itu pun keluar semua. Yang sedang berjudi menghentikan permainan mereka, yang sedang minum-minumpun keluar dan semua kini berdiri menghadang di pintu gerbang, memandang kepada wanita muda yang mendorong gerobak itu dengan mulut menyeringai.
Wanita muda itu agaknya tidak peduli dan terus saja datang menghampiri pintu gerbang. Gerobak dorong itu tidak besar, muatannya penuh dengan jerami. Agaknya ia baru pulang mengumpulkan jerami untuk makanan ternaknya. Tentu perempuan ini tadi keluar melalui pintu gerbang lain, pikir para penjaga itu karena mereka tidak melihat wanita itu keluar.
"Aih, manis, perlahan dulu...!" kata kepala jaga sambil melintangkan tombak panjangnya ketika wanita itu hendak lewat.
Wanita muda itu terpaksa menghentikan gerobaknya dan memandang tajam kepada dua belas orang penjaga itu. Alisnya berkerut dan matanya bersinar-sinar, akan tetapi bibirnya tersenyum. Memang cantik jelita sekali gadis ini, maka walau pun dia berpakaian wanita dusun, kecantikannya menonjol dan membuat dua belas orang penjaga itu mengilar. Tak mereka sangka bahwa hari itu, sebelum tutup pintu gerbang, mereka memiliki nasib begini baik bertemu dengan seorang wanita secantik ini.
"Kalian mau apa? Biarkan aku lewat!" kata gadis itu sambil mencibirkan bibirnya yang merah basah.
"Aihh, kenapa terburu-buru amat?"
"Berhenti dulu, kita bicara-bicara nona manis. Masih banyak waktu untuk pulang."
"Siapa sih namamu, manis?"
"Berapa usiamu?"
"Di mana rumahmu? Aku belum pernah melihat seorang gadis secantikmu!"
Dengan sikap amat ceriwis para penjaga itu mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda dan merayu, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja.
"Harap jangan menahanku, aku tergesa-gesa, sapiku sudah lapar," katanya membujuk.
"Ha-ha-ha-ha, perlahan dulu, nona. Engkau tidak boleh lewat sebelum membayar pajak!" kepala jaga berkata sambil tertawa-tawa dan mengamang-amangkan tombaknya seperti orang mengancam dan menakut-nakuti.
"Pajak? Pajak apa?" tanya gadis itu.
"Orang lain harus membayar dengan uang, akan tetapi tetapi engkau cukup membayar... ehm... tentu engkau tahu sendiri, nona."
"Hemm, membayar apakah? Harap dijelaskan," gadis itu mendesak.
Kepala jaga itu menyeringai lebar. "Bukan sapimu saja yang lapar, akan tetapi kami juga lapar, bukan lapar karena makanan, melainkan lapar akan wanita cantik. Engkau harus menemani kami tidur, baru boleh lewat."
"Ihhh!" Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan cahaya berapi. "Sudah kukira! Kalian hanyalah babi-babi yang kurang ajar dan suka mengganggu wanita! Mau makan? Nih, makanlah ini...!"
Dan tiba-tiba saja gadis itu mendorong gerobaknya menabrak si kepala jaga.
"Bresss...!"
Kepala jaga itu terjengkang dan menimpa seorang kawannya yang berdiri di belakangnya. Dia mengaduh-aduh sambil menyumpah-nyumpah karena tulang betisnya yang tertabrak muka gerobak itu terasa nyeri bukan main, kiut-miut rasanya dan dia takut kalau-kalau tulang itu patah.
"Perempuan keparat! Tangkap dia...!"
Namun gadis itu sudah mendorong kembali gerobaknya dengan kuat menabrak seorang penjaga lain yang sudah mencabut golok. Penjaga itu terpelanting, goloknya terlepas dan dia pun mengaduh-aduh kesakitan.
Kini semua penjaga menjadi sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak memusuhi mereka. Mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan mengepung. Akan tetapi si kepala jaga berteriak,
"Simpan senjata kalian, tolol! Tangkap dia hidup-hidup lalu kita permainkan dia sepuasnya sebelum membunuhnya. Jahanam betina ini harus dihajar sampai kita puas!"
Kepala jaga dan kawan-kawannya itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
Seperti telah kita ketahui, gadis ini menjadi pembantu Yelu Kim, karena dia melihat bahwa dengan membantu para suku bangsa di utara, maka dia dapat pula ikut menentang para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Maka, ketika Yelu Kim mengatur siasat dan merencanakan penyerbuan Ceng-tek, dia mengajukan diri untuk bertugas mengacau satu di antara empat pintu gerbang pada waktu penyerbuan hendak dilakukan. Dan gurunya, Yelu Kim, yang percaya akan kelihaian Sui Cin, menyetujui lalu menugaskan muridnya itu untuk mengacau di pintu gerbang bagian timur itu.
Andai kata para penjaga itu telah mengenal Sui Cin, tentu dia akan mengerahkan semua kekuatan kawan-kawannya, mempergunakan senjata untuk menyerang dan mengeroyok gadis pendekar itu. Bahkan, andai kata mereka mempergunakan senjata tajam sekali pun, mereka bukanlah lawan pendekar wanita perkasa ini.
Maka kini, karena mereka maju dengan tangan kosong, enak dan mudah saja bagi Sui Cin untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua hanya dengan gerobaknya yang didorong ke sana-sini!
Mereka yang roboh tidak mampu bangkit kembali karena tulang mereka sudah patah atau retak-retak dihantam kayu melintang di depan gerobak. Setelah mereka semua roboh dan mereka berteriak-teriak minta tolong, Sui Cin cepat menyalakan api membakar jerami di dalam gerobaknya, kemudian mendorong gerobak yang berkobar-kobar itu sampai masuk ke dalam pondok penjagaan sampai pondok itu terbakar pula.
Dia melihat datangnya puluhan orang prajurit dari dalam. Cepat Sui Cin menyambar dua batang golok dari atas tanah dan berlari menghampiri alat pemutar pintu gerbang. Pintu gerbang yang berat itu dibuka atau ditutup dengan menggunakan alat putaran yang kuat, kini Sui Cin menghajar rantai besar itu dengan sepasang goloknya, membacoki rantai itu hingga sepasang goloknya rompal akan tetapi rantai itu pun putus! Sekarang daun pintu gerbang tidak dapat ditutup kembali setelah rantai itu putus.
Ketika puluhan orang prajurit datang menyerbu dan mengeroyoknya, Sui Cin mengamuk, menggunakan sepasang goloknya yang sudah rompal. Dia sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya bergerak.
Memang, pada saat yang sama di tiga pintu gerbang lainnya terjadi pula kekacauan yang ditimbulkan oleh pembantu-pembantu Yelu Kim yang mempunyai kepandaian tinggi. Akan tetapi mereka itu datang sedikitnya berlima, tidak seperti Sui Cin yang bekerja seorang diri saja.
Tiba-tiba saat yang dinanti-nanti oleh Sui Cin sambil mengamuk itu pun tiba. Terdengar suara teriakan-teriakan riuh rendah di sebelah dalam kota, kemudian tampak api berkobar tinggi. Ternyata kawan-kawan yang menyelundup ke dalam itu kini sudah mulai dengan aksi mereka membakari tempat-tempat penting. Tentu saja ada di antara mereka yang kepergok dan dikeroyok sehingga mulailah terjadi pertempuran-pertempuran antara para mata-mata dengan para petugas keamanan.
Melihat ini Sui Cin tidak mau melayani para pengeroyoknya. Cuaca mulai menjadi gelap dan dia pun menggunakan ilmu ginkang-nya untuk melompat dan melarikan diri memasuki kota Ceng-tek, meloncat ke atas wuwungan rumah-rumah orang lalu lenyap dari kejaran para penjaga. Keadaan menjadi kacau ketika para penjaga melihat bahwa pintu gerbang tidak dapat ditutup dan betapa di dalam kota sudah terjadi pembakaran-pembakaran dan pertempuran-pertempuran.
Dan pada saat itulah terdengar ledakan-ledakan disusul bunyi terompet dan tambur, lalu pasukan-pasukan Yelu Kim menyerbu dari delapan penjuru. Kacau balaulah pertahanan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Siang Hwa. Begitu mereka mencurahkan perhatian untuk menahan serbuan musuh ke empat pintu gerbang, datang serbuan melalui tembok-tembok benteng dan datang pula hujan panah dari luar tembok.
Serbuan pada waktu malam gelap ini sungguh telah diperhitungkan dengan masak-masak oleh Yelu Kim. Pasukannya memiliki sasaran yang jelas, yaitu benteng itu. Dan di dalam kota benteng itu terdapat penerangan yang cukup sehingga mereka mampu melihat jelas keadaan musuh.
Sebaliknya, pasukan pemberontak yang berada di dalam benteng menjadi bingung sebab pihak musuh datang dari tempat gelap, tidak tahu dari arah mana yang tepat, dan pihak musuh ini sama sekali tidak membawa obor. Mereka bahkan tidak tahu siapakah musuh mereka dan berapa jumlahnya. Maka tanpa banyak susah payah, pada menjelang tengah malam pasukan-pasukan Yelu Kim mulai berhasil mendesak masuk melalui pintu gerbang dan melalui tembok-tembok benteng!
Tidak dapat disangkal bahwa Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu adalah dua orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi dalam hal ilmu perang, mereka bukan ahli dan tidak berpengalaman, maka ketika menghadapi penyerbuan yang dilakukan dengan taktik yang matang dari Yelu Kim ini, mereka menjadi bingung.
Dan seperti ahli-ahli silat umumnya, mereka hanya mengandalkan kepandaian silat untuk bertahan, lupa bahwa perang antara pasukan tidak dapat disamakan dengan perkelahian antar perorangan di mana ilmu silat memegang peranan yang menentukan kalah menang. Karena pasukan mereka kalah banyak, juga karena mereka diserbu secara tiba-tiba dan tak terduga-duga, maka pertahanan mereka akhirnya bobol dan terjadilah pertempuran di dalam kota benteng itu antara pasukan pemberontak dan suku bangsa utara yang berani mati.
Sebelum melakukan penyerbuan, Sui Cin sudah mendengar dari para mata-mata Mancu bahwa perkumpulan Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya sendiri juga ikut membantu pemberontakan Raja Iblis, bahkan ketika pasukan pemberontak menyerbu kota Ceng-tek dan akhirnya menguasainya, orang-orang Cin-ling-pai sudah berjasa besar. Kemudian dia pun mendengar bahwa orang-orang Cin-ling-pai kini bertugas sebagai perwira-perwira dan kepala-kepala pasukan penjaga untuk menjaga keamanan Ceng-tek.
Oleh karena itu, ketika dia berhasil mengacau pintu gerbang timur dan teman-temannya, baik yang berada di dalam mau pun di luar sudah mulai bergerak, dia lalu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain, mencari-cari. Ketika dia mendengar akan hal Cin-ling-pai, dia hampir tidak percaya dan merasa prihatin sekali.
Betulkah orang-orang Cin-ling-pai ikut memberontak, bersekutu dengan Raja Iblis? Malah dipimpin sendiri oleh ketuanya, ayah Hui Song? Sulit untuk dipercaya. Bukankah Hui Song sendiri seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman?
Meski pun ayah bundanya nampaknya tidak suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap angkuh dan sombong, akan tetapi mereka pun mengakui bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar yang sangat lihai dan gagah perkasa. Bagaimana mungkin kini pendekar itu beserta murid-muridnya malah bersekutu dengan Raja Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui?
"Tidak mungkin...!" katanya pada diri sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba Sui Cin mendekam di atas wuwungan saat dia melihat berkelebatnya dua orang dari dalam sebuah gedung di bawah. Ketika kedua orang itu berdiri di bawah penerangan, dia segera mengenal mereka yang tidak lain adalah Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu!
Melihat dua orang musuh besar yang sangat dibencinya itu, Sui Cin lupa diri, lupa bahwa dua orang itu amat lihai dan terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi mereka berdua itu sendirian saja. Akan tetapi kemarahan sudah membuat dia melompat ke bawah sambil berseru marah,
"Jahanam-jahanam busuk hendak lari ke mana kalian?!"
Agaknya dua orang itu memang telah bersiap-siap untuk lari. Mereka membawa buntalan yang kelihatan berat di punggung masing-masing dan agaknya mereka hendak melarikan diri sambil membawa barang-barang berharga dari dalam kota benteng itu.
Siang Hwa dan Thian Bu terkejut sekali. Keduanya segera mencabut pedang dan ketika mengenal Sui Cin, mereka pun marah lalu tanpa banyak cakap lagi keduanya menyerang Sui Cin.
Gadis ini cepat mengelak. Akan tetapi, dua orang itu yang melihat betapa gadis ini hanya bertangan kosong dan sendirian saja, lalu mempercepat serangan mereka, dengan penuh nafsu melancarkan serangan-serangan maut untuk membunuh Sui Cin.
Akan tetapi Sui Cin sudah menguasai Ilmu Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, gerakannya cepat laksana beterbangan saja sehingga dua pedang di tangan Siang Hwa dan Thian Bu tidak dapat menyentuhnya. Dua orang lawan itu terkejut melihat kecepatan gerak Sui Cin dan mereka terus mendesak. Sungguh pun Sui Cin mampu mengelak dan berloncatan ke sana-sini, namun dia tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.
Untung baginya bahwa dua orang lawannya itu kelihatan gugup. Kini pertempuran sudah mulai memasuki kota sehingga mereka harus bergegas melarikan diri. Munculnya Sui Cin menimbulkan bahaya bagi mereka, bahaya terlambat untuk melarikan diri. Maka mereka lantas menyerang terus kalang kabut membuat Sui Cin terpaksa harus mengerahkan ilmu ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari libatan dua gulung sinar pedang itu.
Tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di sana telah nampak Hui Song dan Siang Wi! Siang Wi sudah mempergunakan sepasang pedangnya menyerang Siang Hwa sedangkan Hui Song juga membantu Sui Cin menghadapi Thian Bu.
Munculnya dua orang muda ini tentu saja sangat mengejutkan hati Siang Hwa dan Thian Bu. Apa lagi sesudah melihat betapa hebatnya gerakan Hui Song dan betapa sepasang pedang dari Siang Wi itu pun tidak boleh dipandang rendah.
"Lari...!" Thian Bu berseru sambil memutar pedangnya, mendesak mundur Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong itu. Keduanya lalu meloncat dan lari ke dalam gelap.
Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi tidak mengejar. Sui Cin dan Hui Song merasa gembira sekali dapat bertemu di situ.
"Cin-moi, engkau selamat, aku gembira sekali bertemu denganmu di sini!" kata Hui Song sambil memegang tangan gadis itu.
Untuk sejenak Sui Cin hanya membiarkan saja tangannya digenggam oleh pemuda itu, kemudian sambil melirik kepada Siang Wi dia melepaskan tangannya. "Song-ko, mari kita bantu pasukan suku bangsa utara menyerang pasukan pemberontak!"
"Nanti dulu, kami hendak menyelidiki apakah benar ayah dan ibu berada di sini," kata Hui Song, suaranya mengandung rasa penasaran.
Sui Cin menatap wajah pemuda itu dengan hati tegang. Agaknya pemuda ini pun sudah mendengar tentang Cin-ling-pai yang kabarnya membantu Raja Iblis!
"Sejak tadi aku pun mencari-cari apakah benar ada anggota Cin-ling-pai yang..."
"Jadi engkau sudah tahu pula tentang hal itu, Cin-moi?" Hui Song bertanya kaget. "Jadi... benarkah berita tentang..."
"Aku sudah mendengar beritanya dan aku tidak percaya, Song-ko. Aku pun tidak melihat adanya orang Cin-ling-pai... akan tetapi mungkin mereka memakai pakaian seragam dan aku tidak mengenal mereka..."
"Tunggu...!" Tubuh Hui Song berkelebat.
Dan tidak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil mengempit tubuh seorang prajurit pemberontak yang menggigil ketakutan akan tetapi tidak mampu bergerak itu. Hui Song melemparkan tubuh orang itu ke atas tanah lantas meminjam sebatang pedang dari Siang Wi dan menodongkan senjata itu ke dada tawanannya.
"Hayo ceritakan di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai!" bentak Hui Song.
Orang itu sudah sangat ketakutan karena tadi secara tiba-tiba saja tubuhnya tidak dapat digerakkan lalu 鈥榙iterbangkan鈥� orang tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Akan tetapi melihat sikap Hui Song yang agaknya bukan sahabat orang-orang Cin-ling-pai, dia mengira bahwa pemuda ini sedang mencari musuh-musuhnya, maka dengan memberanikan hati dia pun menjawab.
"Orang-orang Cin-ling-pai telah dibasmi, banyak yang tewas dan sebagian sudah ditahan dalam penjara. Pengkhianat-pengkhianat itu..." Dia tidak mampu melanjutkan karena Hui Song telah menendangnya sehingga prajurit itu jatuh pingsan.
"Bagus!" Hui Song berseru gembira.
"Biar pun ayah mengajak saudara-saudara Cin-ling-pai ke sini, tapi ternyata bukan untuk menjadi sekutu, melainkan untuk melawan. Mari kita cari di dalam penjara!"
Sui Cin ikut pula bersama kakak beradik seperguruan itu dan mereka pun berloncatan ke atas genteng. Akhirnya mereka dapat menemukan tempat para tahanan yang merupakan penjara di dalam kota benteng itu.
Penjara itu hanya dijaga oleh belasan orang saja, karena sebagian besar para penjaga sudah menjadi panik dengan datangnya penyerbuan musuh dan sekarang mereka sudah ikut membantu pasukan pemberontak untuk mempertahankan kota Ceng-tek dari serbuan pasukan-pasukan suku bangsa utara.
Karena hanya nampak belasan orang penjaga di situ, Sui Cin dan Siang Wi berdua saja sudah cukup untuk melayang turun dan menghadapi mereka, sedangkan Hui Song tanpa membuang banyak waktu lagi sudah memaksa pintu penjara terbuka. Dia membebaskan semua tawanan dan akhirnya dia melihat murid-murid Cin-ling-pai yang diborgol di dalam sebuah kamar tahanan besar.
Para murid Cin-ling-pai gembira bukan main melihat kemunculan Hui Song, dan mereka segera merangkulnya sambil menangis. Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Hui Song, karena dia tahu bahwa murid-murid ayahnya sangat gagah dan bukan merupakan orang-orang cengeng.
"Aih, kenapa kalian malah menangis setelah aku datang membebaskan kalian?" tanyanya dengan alis berkerut.
"Sute... ahhh, sute... kami sudah mengalami mala petaka! Sedikitnya empat puluh orang saudara Cin-ling-pai sudah tewas..."
"Hemm, itu sudah menjadi resiko perjuangan! Perjuangan selalu menuntut pengorbanan, mengapa kalian menangis?" Hui Song mencela karena hatinya merasa tidak puas melihat sikap cengeng saudara-saudara seperguruannya.
"Aihh, sute... subo... subo dan sukong... mereka juga tewas..."
"Apa...?!" Wajah Hui Song pucat dan matanya terbelalak mendengar bahwa kedua orang tua itu, terutama sekali ibunya, sudah tewas pula sehingga beberapa lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Siang Wi sudah langsung menangis terisak-isak mendengar subo-nya tewas.
Beginilah keadaan batin kita pada umumnya. Kalau orang lain yang terkena musibah, pandai-pandai kita menghibur dan menasehatinya dengan kata-kata yang indah. Hal ini lumrah karena kita sendiri tidak merasakan kedukaan akibat musibah yang menimpa itu. Akan tetapi kalau kita sendiri yang terkena, entah ke mana perginya segala nasehat kita tadi, sudah terlupa sama sekali dan kita tenggelam ke dalam kedukaan dan kemarahan.
Ketika tadi melihat saudara-saudara seperguruan itu menangis serta mendengar mereka melaporkan bahwa banyak saudara yang tewas, Hui Song masih mampu menghibur dan mengatakan bahwa perjuangan mereka memerlukan pengorbanan. Akan tetapi pada saat mendengar ibu kandungnya sendiri tewas, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Muka yang amat pucat tadi perlahan-lahan berubah merah akibat dendam.
"Siapa yang membunuh mereka?" pertanyaan ini keluar dengan datar.
"Sukong tewas oleh Sim Thian Bu dan subo tewas di tangan Gui Siang Hwa," jawab murid Cin-ling-pai itu yang sudah mengenal murid Iblis Buta dan murid Raja Iblis yang menjadi tokoh-tokoh besar dalam pemberontakan itu.
Mendengar siapa pembunuh ibu dan kakeknya itu, kemarahan Hui Song memuncak. Dia mengepal tinju. "Jahanam keparat mereka itu! Aku harus bunuh mereka...!"
Tiba-tiba ada tangan menyentuh lengannya, tangan yang berkulit halus dengan sentuhan hangat akan tetapi dengan cengkeraman yang mengandung teguran. "Song-ko, mereka itu korban-korban perjuangan." Lirih saja ucapan ini, akan tetapi langsung terasa oleh hati Hui Song.
Dan dia pun menoleh, memandang kepada Sui Cin lalu menggunakan punggung tangan untuk menghapus dua titik air mata yang tergantung pada pelupuk matanya. Dia menarik napas panjang dan mengangguk.
"Engkau benar, Cin-moi," bisiknya kembali. Sesaat kemudian pemuda perkasa ini sudah bisa menguasai dirinya, lalu memandang kepada saudara-saudara seperguruannya yang masih merubungnya.
"Semuanya ini adalah pengorbanan demi perjuangan, mereka gugur sebagai orang-orang gagah yang menentang golongan jahat. Nah, sekarang ceritakan tanpa ragu-ragu, di mana ayahku?"
"Sebelum kami disergap oleh pasukan pemberontak itu, suhu sudah pergi meninggalkan kota Ceng-tek untuk melakukan penyelidikan ke San-hai-koan, dan sejak itu tidak pernah kembali."
Hui Song mengerutkan alisnya. Pertempuran di luar penjara masih terdengar ramai sekali dan semua tahanan, kecuali anak buah Cin-ling-pai, sudah berlarian keluar untuk mencari kebebasan atau ada pula yang lari untuk ikut bertempur, tentu saja memihak kepada para penyerbu. Atau ada pula tahanan orang-orang jahat yang lari keluar untuk mengail di air keruh, mencari keuntungan selagi keadaan kacau oleh pertempuran.
"Sebetulnya, apakah yang sudah terjadi? Mengapa kalian berada di sini? Mengapa ayah berada di sini? Lekas ceritakan dengan singkat!"
"Suhu telah terbujuk dan membawa kami ke sini untuk membantu pemberontak. Tadinya suhu mengira bahwa pasukan pemberontak yang dipimpin Ji-ciangkun mempunyai tujuan perjuangan yang murni untuk menggulingkan pemerintahan lalim. Tapi kemudian ternyata bahwa para pemberontak bersekutu, bahkan dipimpin oleh datuk sesat Raja Iblis. Setelah mengetahui hal ini, suhu marah sekali lalu suhu pergi ke San-hai-koan untuk menyelidik. Agaknya hal ini diketahui oleh pihak kaum sesat, maka mereka telah bertindak lebih dulu, kami diserbu dan kami melakukan perlawanan sedapat mungkin. Akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan dalam pertempuran ini, subo dan sukong, juga banyak saudara kita tewas. Kemudian kami ditangkap karena telah roboh dan tidak mampu melawan lagi."
"Kalau begitu mari kita keluar lalu mengamuk dan membasmi para pemberontak keparat yang ditunggangi golongan hitam itu!" Hui Song mengangkat tangan kanan dengan tinju terkepal, disambut sorak sorai para saudara seperguruannya.
"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru. "Kurasa tidak benar kalau kita terjun ke dalam pertempuran..."
"Kami hendak berjuang dan untuk itu kami tidak takut kehilangan nyawa, kenapa engkau mengatakan tidak benar?" tiba-tiba Siang Wi berkata dengan alis berkerut.
Dia tahu bahwa ada hubungan kasih antara suheng-nya dan Sui Cin, dan bagaimana pun juga hal ini menimbulkan rasa tidak suka dalam hatinya terhadap gadis yang dianggapnya telah merebut hati pria yang sejak kecil dicintanya itu.
"Cin-moi, apa maksudmu menyalahkan maksud kami menyerbu keluar?" Hui Song juga bertanya dan memandang heran.
"Song-ko, menyerbu keluar dan ikut bertempur sama saja dengan bunuh diri..."
"Kami tidak takut mati!" Siang Wi membentak. Semenjak tadi gadis ini sudah mencabut sepasang pedangnya dan mukanya masih basah air mata ketika dia menangisi kematian subo-nya tadi.