RATU Iblis mendengar desir angin dari arah belakang, membalikkan kepala dan rambutnya menyambut tangan Cia Sun yang menotok, bermaksud menangkap pergelangan tangan itu dengan rambutnya. Tapi Cia Sun yang menyerang hanya untuk membantu sahabatnya dan mengurangi penekanan terhadap Ci Kang, langsung mengelak dengan cara menarik kembali tangannya.
"Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru dan dia sudah meloncat ke depan, menghadang di depan ibunya.
Sejenak ibu dan anak saling berpandangan. Nenek itu masih memegang pedangnya dan dia menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang riap-riapan panjang itu kini dari depan pindah ke belakang.
"Hui Cu, dulu engkau membela dua orang ini dan sekarang masih kau ulangi lagi sikapmu itu. Akan tetapi tidak, sekali ini mereka harus mampus! Tempat ini merupakan rahasia kita sendiri, tidak boleh ada orang lain yang tahu. Yang tahu harus kubunuh!" Ia sudah hendak menyerang lagi, akan tetapi dengan berani Hui Cu memegang lengan ibunya.
"Tidak boleh, ibu! Ketahuilah, mereka inilah yang telah membebaskan aku dari kurungan, dari belenggu dan ancaman iblis tua itu! Kalau tidak ada mereka, tentu aku telah celaka. Mereka telah melepas budi kebaikan kepadaku, maka mereka harus kubela."
"Budi tahi kucing!" Nenek itu membentak marah. "Bicara tentang budi adalah kebohongan besar. Tak ada budi di dunia ini. Semua orang yang melakukan sesuatu untuk membantu orang lain tentu mengandung pamrih!"
"Ibu jangan menyamakan orang lain seperti teman-teman ibu sendiri! Teman-teman ibu memang orang-orang yang tidak mengenal budi dan semua perbuatannya mengandung pamrih kotor. Akan tetapi, dua orang pendekar ini menolong tanpa pamrih dan aku pun tidak mau menjadi orang yang tidak mengenal budi. Mereka sengaja kuajak ke sini untuk bersembunyi dan siapa pun yang akan mengganggu mereka, akan kulawan. Juga ibu!"
Sejenak nenek itu menjadi ragu-ragu, akan tetapi dia kemudian menghela napas panjang dan menyarungkan lagi pedangnya. Dia terlampau mencinta puterinya dan demi cintanya kepada puterinya dia bahkan berani menentang suaminya, walau pun secara diam-diam.
"Baiklah, aku ampunkan mereka ini. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk merahasiakan tempat ini!"
"Baik, kami berjanji," kata Ci Kang yang tidak ingin ribut-ribut di tempat itu karena biar pun dia tidak takut menghadapi nenek ini, akan tetapi dia merasa tidak enak terhadap Hui Cu kalau harus menentang ibu kandung gadis itu di depannya.
"Dan kalian harus berjanji pula untuk melindungi anakku!" kata pula nenek itu.
Diam-diam kedua orang pendekar muda itu mendongkol. Nenek ini memang keterlaluan, bersikap seolah-olah sebagai seorang pemenang yang memberi ampun dan mengajukan syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan. Padahal, mereka berdua tidak pernah kalah dan juga tidak takut menghadapi nenek ini. Akan tetapi, karena memang di dalam hatinya Cia Sun merasa suka kepada Hui Cu, tanpa ragu-ragu dia pun berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Baik, kami berjanji!"
Sesudah kedua orang pemuda itu berjanji untuk merahasiakan tempat itu dan melindungi puterinya, barulah nenek itu merasa puas.
"Hui Cu, jangan kau tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu," pesannya kepada puterinya dan nenek ini pun lalu berkelebat pergi, keluar dari tempat rahasia itu.
Sesudah ibunya pergi, Hui Cu menghadapi dua orang pendekar itu, "Harap kalian suka maafkan ibuku tadi."
Cia Sun tersenyum. "Hui Cu, aku benar-benar merasa heran sekali melihat betapa suami isteri seperti Raja dan Ratu Iblis bisa mempunyai seorang puteri seperti engkau. Sungguh seperti bumi dan langit bedanya!"
Wajah gadis itu menjadi agak cerah mendengar pujian Cia Sun ini walau pun pandangan matanya masih suram, lantas dia pun mulai mempersiapkan bahan-bahan masakan yang banyak terdapat di tempat itu untuk membuatkan makanan. Ada mi kering, daging kering dan gandum, juga beras sehingga sebentar saja, mereka bertiga sudah makan bersama untuk mengisi perut mereka yang sudah amat lapar.
Pada malam harinya, Ci Kang dan Cia Sun meninggalkan Hui Cu yang tidak dapat lagi menahan mereka. "Engkau tinggallah di sini, Hui Cu. Kami berdua harus menolong ketua Cin-ling-pai yang juga menjadi tawanan di sini. Kalau kami berhasil, mungkin kami akan membawanya ke sini juga untuk bersembunyi. Andai kata kami gagal, kami tentu akan kembali ke sini malam ini juga."
Terpaksa Hui Cu membiarkan mereka pergi dan dua orang pemuda itu lalu menyusup-nyusup lagi dalam penyamaran mereka sebagai dua orang prajurit. Mereka bersikap amat berhati-hati karena mereka tahu bahwa setelah Hui-thian Su-kwi melaporkan pengalaman tadi, tentu sekarang para pemberontak sudah tahu bahwa ada dua orang musuh yang menyamar sebagai prajurit pasukan mereka.
Untung bagi mereka bahwa pada malam itu keadaan di kota San-hai-koan tidak seperti hari-hari yang lalu. Nampak para prajurit hilir mudik dalam keadaan panik dan sebentar saja mereka berdua mendengar bahwa kota ini telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Inilah sebabnya maka para prajurit di dalam kota benteng itu menjadi gelisah dan mereka telah membuat persiapan pertempuran sehingga tak begitu memperhatikan berita tentang dua orang mata-mata musuh yang menyelundup itu. Dan dengan sendirinya, mudah saja bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup di antara banyak prajurit yang berseliweran itu.
Mendengar bahwa benteng itu telah dikepung pasukan pemerintah, Cia Sun dan Ci Kang merasa girang, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus cepat-cepat membebaskan Cia Kong Liang sebelum terlambat. Jika Raja Iblis menganggap bahwa ketua Cin-ling-pai itu sudah tak ada gunanya lagi sebagai tawanan, tentu akan dibunuhnya. Dan mengingat bahwa pasukan pemerintah sudah bergerak mengurung kota San-hai-koan, bukan tidak mungkin ketua Cin-ling-pai itu kini terancam bahaya besar.
Kesibukan-kesibukan luar biasa terjadi di mana-mana, juga di penjara. Pasukan-pasukan hilir-mudik dan nampak gelisah dan tegang. Kesempatan ini digunakan oleh Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup memasuki penjara. Tiba-tiba, sesudah sampai di pintu gerbang sebelah dalam, seorang perwira penjaga melintangkan pedangnya di depan mereka dan memandang tajam.
"Mau apa kalian? Kalian bukan anggota pasukan penjaga di tempat ini!" bentak perwira itu dengan sikap curiga.
"Ciangkun, apa kau mencurigai kami? Jangan mengira kami adalah dua orang mata-mata yang hendak membikin kacau itu. Ketahuilah, kami diutus oleh Toan Ong-ya sendiri!" kata Ci Kang.
Perwira itu terkejut dan sikapnya segera berubah. Kalau benar dua orang ini utusan Toan Ong-ya, sungguh dia tidak boleh bersikap lancang atau kurang hormat karena hal itu bisa berarti hukuman berat baginya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu.
"Kalau benar kalian adalah utusan dari Toan Ong-ya, mana surat perintahnya atau tanda pengenalnya?"
Ci Kang mengerutkan alisnya, bersikap pura-pura marah. "Apa?! Kau tidak mempercayai kami sebagai utusan Toan Ong-ya? Apakah kami tidak boleh melaksanakan perintah itu? Baiklah, kami akan kembali dan melaporkan kepada Toan Ong-ya bahwa seorang perwira berani melarang kami dan membangkang terhadap perintah Toan Ong-ya!"
Wajah perwira itu menjadi pucat. "Ahh, bukan begitu maksudku! Saudara berdua harus paham bahwa kita harus bersikap waspada dan aku bersikap begini karena berhati-hati. Baiklah, sekarang secara persahabatan saja, benarkah kalian ini utusan Toan Ong-ya? Dan bagaimana aku dapat yakin akan kebenaran pengakuan kalian itu?"
"Ciangkun, dalam keadaan benteng dikepung musuh serta terancam bahaya ini, apakah Toan Ong-ya sempat memberi tanda pengenal segala macam? Kami adalah kepercayaan beliau dan kami diutus untuk menemui Cia Kong Liang..."
"Ketua Cin-ling-pai? Wah, ini gawat! Kami diperintahken untuk menjaganya baik-baik agar dia jangan sampai lolos dan perintah itu kami terima sendiri dari Toang Ong-ya."
"Jadi kau tetap tidak percaya kepada kami?" Ci Kang bertanya dengan suara menantang.
Sikap ini kembali membuat perwira itu ketakutan. "Tidak, tidak demikian. Akan tetapi aku harus berhati-hati karena aku pun mempunyai tanggung jawab besar. Kalau kalian hanya ingin mengunjungi saja tidak mengapa, akan tetapi kalau hendak membawa pergi ketua Cin-ling-pai itu maka terpaksa kami menentang. Aku sendiri menerima perintah dari Toan Ong-ya dengan pesan bahwa kecuali Toan Ong-ya sendiri, siapa pun tak boleh membawa tawanan itu!"
Ci Kang bertukar pandang dengan Cia Sun dan tiba-tiba Cia Sun yang berkata, suaranya halus membujuk. "Ciangkun, harap tidak usah khawatir. Justru kami diutus Toan Ong-ya untuk membunuh ketua Cin-ling-pai itu, dengan tangan kami sendiri!"
Diam-diam Ci Kang terkejut sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya sehingga wajahnya biasa saja biar pun sinar matanya memandang Cia Sun penuh selidik. Perwira itu sendiri nampak lega.
"Ahh, kalau untuk membunuhnya tentu saja aku setuju sekali. Lebih cepat dibunuh lebih baik agar tidak menjadi beban penjagaan saja. Mari kuantar sendiri kalian ke sana!"
Diam-diam Cia Sun memberi isyarat dengan pandangan mata kepada Ci Kang sehingga pemuda ini yakin bahwa Cia Sun sedang menggunakan siasat ketika mengatakan hendak membunuh ketua Cin-ling-pai, maka dia pun diam saja. Berkat pengawalan perwira itu, tidak lama kemudian mereka dapat dengan mudah tiba di depan kamar tahanan dan dari balik jeruji jendela kamar tahanan mereka melihat ketua Cin-ling-pai dengan kaki tangan diborgol masih duduk bersila seperti arca.
"Nah, itu dia," kata sang perwira.
Belasan orang penjaga yang mendengar bahwa dua orang prajurit muda yang datang itu adalah utusan Toan Ong-ya untuk membunuh ketua Cin-ling-pai, merasa tertarik sehingga mereka pun datang bergerombol untuk menonton, lantas berdiri di depan kamar tahanan. Melihat ini, Cia Sun lalu berkata kepada sang perwira.
"Ciangkun, karena kami berdua tidak membawa pedang, tolong pinjamkan pedangmu itu untuk kupakai memenggal lehernya!"
Wajah perwira itu berseri-seri dan dia segera mencabut pedangnya lalu menyerahkannya kepada Cia Sun. "Ah, sungguh pedangku mendapat kehormatan besar untuk memenggal leher ketua Cin-ling-pai, ha-ha-ha! Kelak akan menjadi kebanggaanku!"
Sementara itu, Cia Kong Liang membuka matanya dan mendengar semua percakapan itu. Diam-diam dia terkejut mendengar ucapan Cia Sun, akan tetapi ketika dia melihat Ci Kang, dia bisa mengenalnya dan hatinya menjadi tenang, apa lagi ketika dia menangkap isyarat mata Ci Kang kepadanya.
Dengan gembira perwira itu membuka pintu penjara dan semua prajurit penjaga penjara cepat berdatangan untuk menonton pelaksanaan hukuman mati dari ketua Cin-ling-pai itu. Tanpa ragu-ragu lagi Cia Sun berkata,
"Ciangkun, seret dia keluar dari dalam kamar tahanan. Aku hendak melakukan hukuman mati itu di lapangan penjara agar semua prajurit dapat melihatnya."
Ucapan ini merupakan siasat Cia Sun yang ingin mengetahui kekuatan penjagaan di situ. Jika semua berkumpul, agaknya akan lebih mudah baginya dan Ci Kang untuk membawa ketua Cin-ling-pai melarikan diri.
Perwira itu menjadi semakin girang dan bangga. "Hayo bangun dan ikut kami!" bentaknya sembil memegang lengan Cia Kong Liang dan dengan kasar menariknya bangkit berdiri.
Cia Kong Liang bersikap tenang, bangkit berdiri dan dengan kaki tangan terbelenggu dia pun diseret keluar dari dalam kamar tahanan. Pengikat kaki tangan ketua Cin-ling-pai ini tidak terbuat dari besi. Raja Iblis maklum bahwa ketua ini memiliki tenaga sinkang yang besar sehingga belenggu besi akan dapat dipatahkannya. Maka untuk membuatnya tidak berdaya, kaki tangannya diikat pada pergelangannya dengan tali sutera yang sangat ulet dan lentur sehingga tenaga sinkang tak akan mampu membikin putus karena tali itu kalau direntangkan dapat mulur akan tetapi tidak dapat putus saking uletnya.
Inilah sebabnya mengapa Cia Sun minta meminjam pedang. Kalau belenggu itu dari besi, tangannya akan mampu mematahkannya. Akan tetapi, tali sutera seperti itu hanya akan dapat dibikin putus dengan menggunakan senjata tajam. Lagi pula, ketua Cin-ling-pai itu mungkin membutuhkannya, tidak seperti dia dan Ci Kang yang cukup bertangan kosong saja.
Dia minta supaya tawanan dibawa ke lapangan karena di tempat ini mereka akan lebih leluasa bergerak kalau dikeroyok, tidak seperti di dalam kamar tahanan yang sempit. Kini Ci Kang dapat menebak apa yang direncanakan oleh sahabatnya yang cerdik itu, maka dia pun sudah bersiap-siap.
Kini Cia Kong Liang sudah berada di tengah-tengah lapangan, dikelilingi oleh para prajurit penjaga yang hendak melihat pelaksanaan hukuman mati itu. Ketua Cin-ling-pai itu tetap berdiri dengan sikap gagah. Cia Sun menghampirinya dengan pedang di tangan dan hati para penonton menjadi tegang.
"Pangcu, aku sudah menerima perintah dari Toan Ong-ya untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu. Maka kuminta agar engkau suka menyerahkan nyawa dengan ikhlas dan memasang dirimu agar pedang ini dapat melaksanakan tugas sebaiknya!"
Cia Kong Liang memandang wajah pemuda itu, lantas dia pun menjawab dengan suara yang lantang dan gagah, "Aku akan menghadapi kematian dengan berdiri!" Dan dia pun segera menjulurkan kedua lengannya yang diikat menjadi satu, juga kedua kakinya agak direntangkan.
"Baik, bersiaplah!" Cia Sun berkata.
Kini dengan terbelalak semua mata memandang ke arah pedang yang sudah diangkat ke atas kepala oleh Cia Sun. Tiba-tiba pedang itu berkelebat ke bawah dua kali dan putuslah tali sutera pengikat lengan dan kaki Cia Kong Liang sehingga ketua itu menjadi bebas!
"Heiii...!" Perwira itu berteriak akan tetapi teriakannya terhenti di tengah jalan karena dia sudah roboh dan pingsan oleh tamparan Ci Kang yang mengenai tengkuknya.
Gegerlah keadaan di sana! Pedang yang tadi membikin putus belenggu kaki tangan Cia Kong Liang, kini sudah berada di tangan ketua itu dan bersama Cia Sun dan Ci Kang, dia lalu mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok yang masih panik akibat perubahan keadaan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu.
"Locianpwe, mari kita segera pergi!" Ci Kang berkata sambil mendekati Cia Kong Liang yang mengamuk dengan pedangnya itu.
"Baik!" kata ketua Cin-ling-pai karena dia pun tahu bahwa mereka bertiga saja, betapa pun lihainya, tak mungkin akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak sekali prajurit, apa lagi mereka berada di dalam benteng musuh.
Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, pasukan pemerintah yang mengepung benteng itu mulai bergerak dan pertempuran mulai terjadi di sepanjang tembok benteng sehingga pada waktu ketiganya melarikan diri, keadaan di luar penjara cukup kacau balau sehingga sukarlah bagi para pengejar mereka untuk dapat mengikuti jejak mereka. Lagi pula para pengejar itu pun merasa gentar sesudah menyaksikan kelihaian tiga orang itu yang dalam waktu singkat saja sudah merobohkan puluhan orang pengeroyok.
Setelah menyusup-nyusup, akhirnya dua orang pendekar muda itu berhasil mengajak Cia Kong Liang memasuki goa rahasia di bawah tanah dan mereka disambut dengan girang oleh Hui Cu. Melihat gadis ini, Cia Kong Liang merasa heran dan dia segera bertanya.
"Siapakah nona ini?" Bagaimana pun juga, tentu saja ia pun ingin mengenal semua orang yang berada di situ, mengingat bahwa mereka semua masih berada di tempat yang amat berbahaya.
"Locianpwe, nona ini adalah Toan Hui Cu, puteri dari... Pangeran Toan Jit Ong," Ci Kang hampir saja menyebut nama Raja Iblis, akan tetapi diubahnya ketika dia teringat bahwa gadis itu tentu akan merasa tersinggung dan tidak enak kalau ayahnya disebut Raja Iblis.
Akan tetapi, mendengar bahwa gadis itu puteri Pangeran Toan Jit Ong, berarti puteri Raja Iblis, mata ketua Cin-ling-pai itu terbelalak dan mukanya berubah merah. Tangannya yang masih memegang pedang tadi segera bergerak dan dia sudah menyerang Hui Cu dengan pedangnya! Akan tetapi dia terkejut sekali karena tiba-tiba saja tubuh gadis itu lenyap dan ternyata dengan gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya, gadis itu telah melompat jauh ke belakang sambil mengerutkan alisnya.
"Toako, kenapa kalian membawa orang sejahat itu ke sini?" teriak Hui Cu penasaran.
Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang cepat melerai dan berkata. "Harap locianpwe suka menyimpan kembali pedang itu. Biar pun dia puteri Pangeran Toan, akan tetapi dia sama sekali tak boleh disamakan dengan ayahnya atau ibunya. Dia menentang kejahatan orang tuanya dan dia pernah menyelamatkan nyawa kami, bahkan sekarang pun jika tidak ada dia yang menunjukkan tempat rahasia ini, kita bertiga jangan harap dapat lolos dari kota San-hai-koan."
Cia Kong Liang menarik napas panjang dan dia pun melepaskan pedangnya yang jatuh berdenting ke atas lantai. Dia lantas teringat akan isterinya. Bukankah isterinya juga puteri seorang datuk sesat? Isterinya juga tidak dapat dikatakan berwatak penjahat, walau pun dia tahu bahwa ayah mertuanya, yang sudah lama mencuci tangan, kini agaknya kumat lagi dan bersekutu dengan pemberontak yang dipimpin datuk-datuk sesat.
"Maafkan aku," katanya lirih kepada Hui Cu yang kini berani mendekat lagi.
"Nona Toan Hui Cu ini bahkan dimusuhi oleh ayahnya sendiri," Ci Kang menambahkan.
Cia Kong Liang menggeleng-geleng kepala keheranan, lalu memandang kepada Ci Kang dengan sinar mata mengandung rasa kagum dan terima kasih. "Dan sekarang baru kita sempat bicara, orang muda. Siapakah engkau dan mengapa engkau dengan berani mati telah menolongku?"
Ci Kang tersenyum pahit dan dia pun menjawab, "Locianpwe, keadaan saya tidak banyak bedanya dengan keadaan nona Hui Cu. Nama saya Siangkoan Ci Kang sedangkan ayah saya adalah mendiang Siangkoan Lo-jin..."
"Ahhh...!" Kembali Cia Kong Liang terkejut sekali.
Dia tahu siapa adanya Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta itu! Seorang datuk sesat yang terkenal jahat, yang mengepalai para datuk sesat untuk mengeruhkan dunia kang-ouw. Dan pemuda yang amat disukanya dan dikaguminya ini, pemuda yang telah menolongnya secara cerdik dan berani, adalah putera datuk sesat itu!
"Saudara Siangkoan Ci Kang ini, biar pun orang tuanya menjadi datuk sesat, akan tetapi dia sendiri berjiwa pendekar sejati yang selalu menentang kejahatan, dan memang benar bahwa agaknya keadaannya tidak berbeda dengan nona Toan Hui Cu." Cia Sun segera menerangkan.
Cia Kong Liang menghela napas panjang beberapa kali sambil mengangguk-angguk dan memandang kepada Ci Kang. "Siangkoan Ci Kang," akhirnya dia berkata, "kalau melihat putera seorang pendekar menjadi orang gagah, hal itu tidaklah aneh sehingga tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi putera seorang raja datuk sesat menjadi seorang pendekar budiman, sungguh hal ini merupakan sesuatu yang luar biasa dan amat mengagumkan." Kemudian dia memandang kepada Cia Sun. "Dan engkau sendiri, orang muda. Siapakah kau?"
Cia Sun menjura dengan hormat. "Harap locianpwe suka memaafkan kalau saya bersikap kurang pantas. Sebenarnya saya adalah cucu keponakan locianpwe sendiri. Nama saya Cia Sun dan ayah bernama Cia Han Tiong."
Sepasang mata ketua Cin-ling-pai itu terbelalak dan wajahnya berseri ketika dia mengulur tangan dan memegang lengan pemuda itu. "Ahh...! Ternyata engkau adalah putera Cia Han Tiong? Pantas... Cia Sun, bagaimana kabarnya dengan ayah serta ibumu? Apakah masih tinggal di Lembah Naga?"
"Terima kasih, ayah baik-baik saja dan kini masih berada di Lembah Naga, akan tetapi ibu telah tewas akibat terbunuh orang jahat." Cia Sun lalu menceritakan keadaan keluarganya dengan singkat dan percakapan lalu menjurus ke arah pemberontakan itu sendiri.
"Aku telah tertipu! Aku telah khilaf karena kesembronoanku sendiri!" Ketua Cin-ling-pai itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. "Tanpa penyelidikan lebih dahulu aku telah membawa keluarga beserta murid-murid Cin-ling-pai untuk membantu pasukan para pemberontak. Tadinya kukira bahwa pemberontakan Ji-ciangkun adalah suatu perjuangan yang menentang pemerintah lalim, tetapi siapa kira Ji-ciangkun sendiri diperalat oleh para datuk sesat yang hendak mencari kedudukan. Aku memberontak terhadap mereka lantas ditawan, dan entah bagaimana nasib keluarga dan para muridku di Ceng-tek."
Mendadak terdengar suara keras dan gaduh di sebelah atas. "Ahh, di atas sedang terjadi pertempuran besar!" kata Hui Cu ketika mereka semua terkejut mendengar kegaduhan itu.
"Kota ini sudah dikepung oleh pasukan besar pemerintah dan mungkin sekali kini sedang terjadi pertempuran," kata Ci Kang.
"Bagus!" Cia Kong Liang bangkit berdiri dan mengambil pedang yang tadinya dilemparkan ke atas lantai. "Inilah kesempatan baik bagiku untuk menebus dosa. Kini aku harus keluar membantu pasukan pemerintah dan menyerang para pemberontak laknat itu!"
"Tetapi kita harus bertindak hati-hati, locianpwe. Sebelum benteng ini bobol, kita bertiga saja mana mungkin dapat menghadapi pasukan besar," Ci Kang membantah.
"Tentu saja kita harus melihat keadaan," kata Cia Kong Liang yang sudah bangkit kembali semangatnya. "Mari kita keluar, kita melakukan pembakaran-pembakaran dan perusakan-perusakan untuk menimbulkan kekacauan dari dalam."
Cia Sun memandang kagum. Ketua Cin-ling-pai ini memang gagah perkasa serta penuh semangat, sayang sekali tadinya agak ceroboh sehingga mudah tertipu.
"Memang sebaiknya kalau kita keluar melakukan penyelidikan dari pada menduga-duga di tempat ini dan tidak berbuat apa-apa."
"Harap kalian jangan pergi meninggalkan aku lagi!" kata Hui Cu. "Atau bila memang kalian terpaksa pergi juga, aku akan ikut!"
"Hui Cu, kami keluar untuk melawan anak buah orang tuamu, sebaiknya engkau tinggal saja di sini menunggu kedatangan ibumu. Tak mungkin engkau melawan ayahmu sendiri," kata Ci Kang. Mendengar ini, wajah yang cantik dan agak pucat itu menjadi murung dan gadis itu hampir saja menangis, kini memandang pada Cia Sun dengan sinar mata penuh permohonan.
Cia Sun merasa kasihan dan memegang tangan gadis itu. "Hui Cu, kami terpaksa harus meninggalkanmu di sini. Tinggallah kau di sini. Jika engkau ikut dan terlihat oleh ayahmu, tentu engkau terancam bahaya besar, padahal kami sudah berjanji kepada ibumu untuk menjagamu. Tinggallah di sini dan aku berjanji bahwa kalau pertempuran sudah selesai, maka aku pasti menjemputmu di sini."
Akhirnya Hui Cu tidak membantah lagi, akan tetapi tak lama setelah tiga orang itu keluar, Hui Cu tidak tahan untuk berada di tempat itu seorang diri saja sehingga dia pun segera menyelinap keluar.
Hati Sui Cin girang sekali bahwa dia sudah berhasil mengantar Hui Song, Siang Wi serta para murid Cin-ling-pai keluar dari dalam benteng Ceng-tek dengan selamat. Dia berpisah dari mereka dan kembali ke Ceng-tek untuk membantu pasukan suku bangsa utara, yang dipimpin Yelu Kim menyerbu Ceng-tek. Dia bergerak di antara para prajurit dan mencari gurunya.
Pasukan para suku bangsa utara itu telah memperoleh kemajuan, sudah dapat menyerbu ke dalam dan kini terjadi pertempuran-pertempuran sengit di sebelah dalam kota benteng Ceng-tek di mana pihak penyerbu mulai mendesak pasukan pemberontak yang bertahan.
Akhirnya Sui Cin menemukan gurunya, nenek Yelu Kim yang sedang memimpin pasukan pengawal di depan sebuah gedung. Yelu Kim juga girang melihat muridnya. Tadi dia telah merasa khawatir karena belum juga melihat gadis itu yang bertugas sebagai penyelundup untuk mengacau sebelah dalam benteng musuh.
Tiba-tiba saja dari dalam gedung itu muncul serombongan orang yang segera menyerbu pasukan pengawal Yelu Kim. Ada tiga belas orang yang keluar menerjang itu dan ternyata mereka semua memiliki gerakan yang amat cepat dan kuat, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai ilmu silat tinggi. Beberapa orang prajurit pengawal Yelu Kim langsung roboh dalam segebrakan saja.
Ketika Sui Cin memandang, ternyata mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang oleh Raja Iblis tadinya diperbantukan di kota Ceng-tek. Tiga belas orang itu dipimpin oleh Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo dan Tho-tee-kwi, tiga orang dari Cap-sha-kui yang lihai!
"Hati-hati, subo, tiga orang itu adalah orang-orang Cap-sha-kui yang sangat lihai!" katanya memperingatkan gurunya.
Dia sendiri telah menerjang maju dengan cepatnya. Gerakannya yang lincah ini disambut oleh Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo. Koai-pian Hek-mo langsung menggerakkan pecut bajanya yang panjang dilecutkan ke arah kepala Sui Cin, ada pun Hwa Hwa Kui-bo juga sudah menyambut dengan tusukan pedang.
"Wuuuuttt...!"
Secara luar biasa sekali tubuh Sui Cin yang masih melayang di udara itu menukik lantas mengelak bagaikan seekor burung walet saja gesitnya, dan serangan dua orang itu luput. Kini Sui Cin sudah turun dan berhadapan dengan mereka, sambil tersenyum-senyum dia bertolak pinggang. Dia mentertawakan dua orang musuh besarnya ini dan teringat betapa kurang lebih empat tahun lalu dia sudah pernah bertanding menghadapi dua orang tokoh Cap-sha-kui ini.
"Hi-hi-hik, kiranya dua orang tua bangka Cap-sha-kui yang sudah bosan hidup! Beberapa tahun yang lalu pun kalian tidak bisa menang melawanku, apa lagi sekarang. Kalian telah menjadi semakin tua, sedangkan kepandaianku semakin maju!"
Tadinya dua orang tokoh Cap-sha-kui itu tidak mengenal Sui Cin, akan tetapi sesudah gadis itu berbicara dan tertawa, mereka teringat dan keduanya merasa kaget dan marah sekali. Sepasang mata di balik kedok hitam dari Hwa Hwa Kui-bo itu mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya yang lebar dengan gigi besar-besar putih itu terbuka.
"Ternyata engkau bocah setan! Sekarang aku tidak akan mengampuni kamu lagi!" Dan secepat kilat tangan kirinya bergerak dan dua sinar hitam menyambar ke arah tubuh Sui Cin.
Gadis ini telah maklum bahwa nenek ini pandai sekali menggunakan jarum-jarum beracun sebagai senjata rahasia, maka dia sudah siap siaga dan sekali dia mengebutkan tangan kirinya, ada angin menyambar kuat sekali lantas jarum-jarum itu pun runtuh, bahkan ada sebagian yang menyambar kembali ke arah muka berkedok itu!
Hwa Hwa Kuibo terkejut, mengeluarkan teriakan dan mengelak, lalu pedangnya bergerak melakukan serangan ganas. Gerakannya ini diikuti pula dengan menyambarnya paku di ujung pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo. Dua orang tokoh muara Sungai Huang-ho ini lalu mengamuk dengan buasnya mengeroyok Sui Cin.
Akan tetapi gadis ini mengeluarkan suara ketawa mengejek, kemudian tubuhnya segera berkelebatan di antara gulungan sinar senjata lawan, dengan enaknya ia mempermainkan sehingga semua sambaran senjata lawan selalu luput, sebaliknya dia pun membagi-bagi tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya, bahkan yang membuat dua orang itu merasa gentar dan terdesak mundur.
Tho-tee-kwi (Setan Bumi), kakek raksasa yang amat menyeramkan itu, yang mempunyai kebiasaan mengerikan, yakni makan daging anak-anak, seorang tokoh Cap-sha-kui yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo, kini ditandingi oleh Yelu Kim yang dibantu oleh perwira-perwira pengawal yang lihai pula. Ada pun para datuk lain dikeroyok oleh pasukan pengawal.
Kini terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Akan tetapi karena pihak pasukan pengawal jauh lebih banyak jumlahnya, sekarang para datuk itu segera terdesak hebat.
Tadinya Sui Cin ingin sekali mempermainkan dua orang musuh lama itu, sesuai dengan wataknya yang memang nakal. Akan tetapi dia pun tahu betapa lihainya Tho-tee-kwi dan dia harus dapat cepat membantu gurunya menghadapi kakek raksasa itu. Maka dia pun mempercepat gerakannya.
"Singggg...!"
Tiba-tiba saja Hwa Hwa Kuibo yang licik itu menyerangnya dengan merendahkan diri dan pedang itu membabat ke arah kedua kaki Sui Cin. Serangan ini berbahaya sekali karena ketika itu Sui Cin sedang menghadapi serangan paku di ujung cambuk Koai-pian Hek-mo yang menyambar ke arah matanya.
"Tingggg...!"
Sui Cin menggunakan jari tangannya menyentil ke arah paku sehingga paku pada ujung cambuk itu mencelat lantas membalik, menyambar ke arah muka pemiliknya sedangkan tubuh gadis itu meloncat ke atas untuk menghindarkan babatan pedang nenek Hwa Hwa Kui-bo. Gerakannya cepat dan kuat.
Koai-pian Hek-mo terkejut melihat pakunya membalik dan menyambar ke arah mukanya. Akan tetapi sekali menggerakkan gagang cambuk, paku itu berhenti menyambar dan kini cambuknya yang panjang ia gerakkan ke arah tubuh Sui Cin yang masih meloncat ke atas ketika menghindarkan babatan pedang tadi.
Sui Cin mengulur tangan menangkap ujung cambuk! Gerakan ini terlalu berani akan tetapi gadis itu telah membuat perhitungan yang matang. Pada saat jari-jari tangannya berhasil menangkap paku di ujung cambuk, secepat kilat dia meminjam tenaga gerakan cambuk, melontarkan paku itu ke arah Hwa Hwa Kui-bo.
Paku pada ujung cambuk itu meluncur bersama cambuk panjang itu ke arah kepala Hwa Hwa Kui-bo. Nenek ini sama sekali tidak pernah menyangka dan tahu-tahu ujung cambuk kawannya sendiri telah melayang ke arah kepalanya. Ia tidak keburu mengelak lagi.
"Cappp...! Aiiiiihhh...!" Nenek itu menjerit, paku menancap pada batok kepalanya.
Melihat ini, Koai-pian Hek-mo terkejut setengah mati. Ditariknya cambuknya dan paku itu tercabut keluar, diikuti muncratnya darah dari kepala nenek itu. Dengan mata mendelik yang memandang dari belakang kedoknya, Hwa Hwa Kui-bo segera menubruk ke depan dan tahu-tahu pedangnya telah menembus dada Koai-pian Hek-mo!
Dasar orang sesat! Karena paku di ujung cambuk kawannya mengenai kepalanya, Hwa Hwa Kui-bo sudah menjadi marah kepada temannya sendiri dan menyerangnya dengan tiba-tiba. Koai-pian Hek-mo berteriak dan terjengkang roboh, darah muncrat dari dadanya. Hwa Hwa Kui-bo tertawa bergelak akan tetapi segera terjengkang juga dan berkelojotan, tewas dalam waktu hampir berbareng dengan temannya.
Sui Cin sudah tak peduli lagi pada mereka. Segera saja dia terjun ke dalam pertempuran membantu nenek Yelu Kim yang dibantu oleh beberapa orang perwira pengawal sedang mengepung Tho-tee-kwi yang lihai.
Majunya Sui Cin membawa perubahan. Kalau tadinya Tho-tee-kwi masih kelihatan gagah perkasa dan agaknya sukar bagi Yelu Kim untuk dapat merobohkan raksasa ini walau pun dia sudah dibantu oleh para perwira pasukan pengawal, sekarang sesudah Sui Cin maju dan menghujankan pukulan dan tamparan ampuh kepada Tho-tee-kwi, kakek itu terdesak hebat! Bahkan sebuah tamparan yang amat kuat dari tangan kiri Sui Cin tepat mengenai pundak kakek itu yang membuatnya terhuyung ke belakang.
Kesempatan ini langsung digunakan oleh Yelu Kim untuk menggerakkan kebutannya yang berwarna putih. Ujung kebutan itu menjadi kaku dan menotok ke arah tiga jalan darah di tubuh kakek raksasa.
Tho-tee-kwi masih sempat menangkis dua totokan, akan tetapi totokan ketiga mengenai tengkuknya dan tubuhnya seketika menjadi kejang. Saat ini kekebalannya pun lenyap dan ketika dua orang perwira pengawal menusukkan pedangnya, pedang itu langsung amblas memasuki lambung dan dadanya. Padahal tadi, sebelum terkena totokan, pedang para perwira itu tidak mampu menembus kekebalan kulitnya!
Robohnya Tho-tee-kwi berarti berakhirnya perlawanan gigih para datuk sesat. Tiga orang Cap-sha-kui yang menjadi pimpinan mereka sudah roboh dan tewas, tentu saja semangat mereka menjadi kecil lantas dengan mudah mereka pun dapat dirobohkan. Habislah tiga belas orang datuk sesat itu, semua tewas di tangan rombongan Yelu Kim walau pun pihak Yelu Kim juga menderita kematian belasan orang pasukan pengawal.
Sesudah bertempur semalaman suntuk, akhirnya Ceng-tek jatuh ke tangan pasukan Yelu Kim. Namun kini datanglah bala bantuan dari San-hai-koan, yakni pasukan pemberontak sehingga kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit lagi. Akan tetapi kali ini pihak Yelu Kim yang mempertahankan benteng Ceng-tek, ada pun pihak pasukan pemberontak yang menjadi penyerang dari luar.
Hebat sekali pertempuran ini. Pihak pasukan Yelu Kim sudah lelah setelah mengerahkan tenaga merebut benteng Ceng-tek, sedangkan pasukan pemberontak dari San-hai-koan masih segar bugar dan jumlah mereka pun lebih banyak. Akan tetapi, dengan pandainya Yelu Kim dapat menyusun kekuatan dan pintu-pintu benteng Ceng-tek yang rusak sudah diperbaiki. Sekarang benteng itu menjadi kokoh kuat sehingga tidak mudah bagi pasukan pemberontak untuk merebut kembali benteng itu.
Sampai lima hari lamanya pasukan pemberontak terus mengepung Ceng-tek dan setiap hari terjadi penyerbuan, namun tetap saja benteng itu dapat dipertahankan oleh pasukan Yelu Kim. Bagaimana pun juga, nenek itu mulai merasa gelisah. Kalau pengepungan itu dilanjutkan, paling lama sebulan saja pasukannya akan kehabisan ransum dan ini berarti mereka akan menderita kekalahan dan terpaksa melepaskan kembali kota Ceng-tek yang telah mereka kuasai.
Bagaimana pun juga, nenek itu mengambil keputusan hendak mempertahankan Ceng-tek sampai kekuatan terakhir, karena sekali mereka meninggalkan benteng itu, akan sukarlah bagi mereka untuk memperoleh benteng baru di mana mereka dapat menyusun kekuatan untuk melakukan penyerangan ke selatan.
Sui Cin masih tinggal di Ceng-tek mendampingi gurunya. Gadis ini telah bertekad hendak membantu pasukan Yelu Kim selama pasukan ini bertempur melawan para pemberontak. Dia pun ikut prihatin melihat betapa pasukan gurunya terkurung di Ceng-tek dan benteng itu sudah dikepung oleh pasukan pemberontak yang jumlahnya lebih besar.
"Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru dan dia sudah meloncat ke depan, menghadang di depan ibunya.
Sejenak ibu dan anak saling berpandangan. Nenek itu masih memegang pedangnya dan dia menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang riap-riapan panjang itu kini dari depan pindah ke belakang.
"Hui Cu, dulu engkau membela dua orang ini dan sekarang masih kau ulangi lagi sikapmu itu. Akan tetapi tidak, sekali ini mereka harus mampus! Tempat ini merupakan rahasia kita sendiri, tidak boleh ada orang lain yang tahu. Yang tahu harus kubunuh!" Ia sudah hendak menyerang lagi, akan tetapi dengan berani Hui Cu memegang lengan ibunya.
"Tidak boleh, ibu! Ketahuilah, mereka inilah yang telah membebaskan aku dari kurungan, dari belenggu dan ancaman iblis tua itu! Kalau tidak ada mereka, tentu aku telah celaka. Mereka telah melepas budi kebaikan kepadaku, maka mereka harus kubela."
"Budi tahi kucing!" Nenek itu membentak marah. "Bicara tentang budi adalah kebohongan besar. Tak ada budi di dunia ini. Semua orang yang melakukan sesuatu untuk membantu orang lain tentu mengandung pamrih!"
"Ibu jangan menyamakan orang lain seperti teman-teman ibu sendiri! Teman-teman ibu memang orang-orang yang tidak mengenal budi dan semua perbuatannya mengandung pamrih kotor. Akan tetapi, dua orang pendekar ini menolong tanpa pamrih dan aku pun tidak mau menjadi orang yang tidak mengenal budi. Mereka sengaja kuajak ke sini untuk bersembunyi dan siapa pun yang akan mengganggu mereka, akan kulawan. Juga ibu!"
Sejenak nenek itu menjadi ragu-ragu, akan tetapi dia kemudian menghela napas panjang dan menyarungkan lagi pedangnya. Dia terlampau mencinta puterinya dan demi cintanya kepada puterinya dia bahkan berani menentang suaminya, walau pun secara diam-diam.
"Baiklah, aku ampunkan mereka ini. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk merahasiakan tempat ini!"
"Baik, kami berjanji," kata Ci Kang yang tidak ingin ribut-ribut di tempat itu karena biar pun dia tidak takut menghadapi nenek ini, akan tetapi dia merasa tidak enak terhadap Hui Cu kalau harus menentang ibu kandung gadis itu di depannya.
"Dan kalian harus berjanji pula untuk melindungi anakku!" kata pula nenek itu.
Diam-diam kedua orang pendekar muda itu mendongkol. Nenek ini memang keterlaluan, bersikap seolah-olah sebagai seorang pemenang yang memberi ampun dan mengajukan syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan. Padahal, mereka berdua tidak pernah kalah dan juga tidak takut menghadapi nenek ini. Akan tetapi, karena memang di dalam hatinya Cia Sun merasa suka kepada Hui Cu, tanpa ragu-ragu dia pun berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Baik, kami berjanji!"
Sesudah kedua orang pemuda itu berjanji untuk merahasiakan tempat itu dan melindungi puterinya, barulah nenek itu merasa puas.
"Hui Cu, jangan kau tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu," pesannya kepada puterinya dan nenek ini pun lalu berkelebat pergi, keluar dari tempat rahasia itu.
Sesudah ibunya pergi, Hui Cu menghadapi dua orang pendekar itu, "Harap kalian suka maafkan ibuku tadi."
Cia Sun tersenyum. "Hui Cu, aku benar-benar merasa heran sekali melihat betapa suami isteri seperti Raja dan Ratu Iblis bisa mempunyai seorang puteri seperti engkau. Sungguh seperti bumi dan langit bedanya!"
Wajah gadis itu menjadi agak cerah mendengar pujian Cia Sun ini walau pun pandangan matanya masih suram, lantas dia pun mulai mempersiapkan bahan-bahan masakan yang banyak terdapat di tempat itu untuk membuatkan makanan. Ada mi kering, daging kering dan gandum, juga beras sehingga sebentar saja, mereka bertiga sudah makan bersama untuk mengisi perut mereka yang sudah amat lapar.
Pada malam harinya, Ci Kang dan Cia Sun meninggalkan Hui Cu yang tidak dapat lagi menahan mereka. "Engkau tinggallah di sini, Hui Cu. Kami berdua harus menolong ketua Cin-ling-pai yang juga menjadi tawanan di sini. Kalau kami berhasil, mungkin kami akan membawanya ke sini juga untuk bersembunyi. Andai kata kami gagal, kami tentu akan kembali ke sini malam ini juga."
Terpaksa Hui Cu membiarkan mereka pergi dan dua orang pemuda itu lalu menyusup-nyusup lagi dalam penyamaran mereka sebagai dua orang prajurit. Mereka bersikap amat berhati-hati karena mereka tahu bahwa setelah Hui-thian Su-kwi melaporkan pengalaman tadi, tentu sekarang para pemberontak sudah tahu bahwa ada dua orang musuh yang menyamar sebagai prajurit pasukan mereka.
Untung bagi mereka bahwa pada malam itu keadaan di kota San-hai-koan tidak seperti hari-hari yang lalu. Nampak para prajurit hilir mudik dalam keadaan panik dan sebentar saja mereka berdua mendengar bahwa kota ini telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Inilah sebabnya maka para prajurit di dalam kota benteng itu menjadi gelisah dan mereka telah membuat persiapan pertempuran sehingga tak begitu memperhatikan berita tentang dua orang mata-mata musuh yang menyelundup itu. Dan dengan sendirinya, mudah saja bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup di antara banyak prajurit yang berseliweran itu.
Mendengar bahwa benteng itu telah dikepung pasukan pemerintah, Cia Sun dan Ci Kang merasa girang, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus cepat-cepat membebaskan Cia Kong Liang sebelum terlambat. Jika Raja Iblis menganggap bahwa ketua Cin-ling-pai itu sudah tak ada gunanya lagi sebagai tawanan, tentu akan dibunuhnya. Dan mengingat bahwa pasukan pemerintah sudah bergerak mengurung kota San-hai-koan, bukan tidak mungkin ketua Cin-ling-pai itu kini terancam bahaya besar.
Kesibukan-kesibukan luar biasa terjadi di mana-mana, juga di penjara. Pasukan-pasukan hilir-mudik dan nampak gelisah dan tegang. Kesempatan ini digunakan oleh Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup memasuki penjara. Tiba-tiba, sesudah sampai di pintu gerbang sebelah dalam, seorang perwira penjaga melintangkan pedangnya di depan mereka dan memandang tajam.
"Mau apa kalian? Kalian bukan anggota pasukan penjaga di tempat ini!" bentak perwira itu dengan sikap curiga.
"Ciangkun, apa kau mencurigai kami? Jangan mengira kami adalah dua orang mata-mata yang hendak membikin kacau itu. Ketahuilah, kami diutus oleh Toan Ong-ya sendiri!" kata Ci Kang.
Perwira itu terkejut dan sikapnya segera berubah. Kalau benar dua orang ini utusan Toan Ong-ya, sungguh dia tidak boleh bersikap lancang atau kurang hormat karena hal itu bisa berarti hukuman berat baginya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu.
"Kalau benar kalian adalah utusan dari Toan Ong-ya, mana surat perintahnya atau tanda pengenalnya?"
Ci Kang mengerutkan alisnya, bersikap pura-pura marah. "Apa?! Kau tidak mempercayai kami sebagai utusan Toan Ong-ya? Apakah kami tidak boleh melaksanakan perintah itu? Baiklah, kami akan kembali dan melaporkan kepada Toan Ong-ya bahwa seorang perwira berani melarang kami dan membangkang terhadap perintah Toan Ong-ya!"
Wajah perwira itu menjadi pucat. "Ahh, bukan begitu maksudku! Saudara berdua harus paham bahwa kita harus bersikap waspada dan aku bersikap begini karena berhati-hati. Baiklah, sekarang secara persahabatan saja, benarkah kalian ini utusan Toan Ong-ya? Dan bagaimana aku dapat yakin akan kebenaran pengakuan kalian itu?"
"Ciangkun, dalam keadaan benteng dikepung musuh serta terancam bahaya ini, apakah Toan Ong-ya sempat memberi tanda pengenal segala macam? Kami adalah kepercayaan beliau dan kami diutus untuk menemui Cia Kong Liang..."
"Ketua Cin-ling-pai? Wah, ini gawat! Kami diperintahken untuk menjaganya baik-baik agar dia jangan sampai lolos dan perintah itu kami terima sendiri dari Toang Ong-ya."
"Jadi kau tetap tidak percaya kepada kami?" Ci Kang bertanya dengan suara menantang.
Sikap ini kembali membuat perwira itu ketakutan. "Tidak, tidak demikian. Akan tetapi aku harus berhati-hati karena aku pun mempunyai tanggung jawab besar. Kalau kalian hanya ingin mengunjungi saja tidak mengapa, akan tetapi kalau hendak membawa pergi ketua Cin-ling-pai itu maka terpaksa kami menentang. Aku sendiri menerima perintah dari Toan Ong-ya dengan pesan bahwa kecuali Toan Ong-ya sendiri, siapa pun tak boleh membawa tawanan itu!"
Ci Kang bertukar pandang dengan Cia Sun dan tiba-tiba Cia Sun yang berkata, suaranya halus membujuk. "Ciangkun, harap tidak usah khawatir. Justru kami diutus Toan Ong-ya untuk membunuh ketua Cin-ling-pai itu, dengan tangan kami sendiri!"
Diam-diam Ci Kang terkejut sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya sehingga wajahnya biasa saja biar pun sinar matanya memandang Cia Sun penuh selidik. Perwira itu sendiri nampak lega.
"Ahh, kalau untuk membunuhnya tentu saja aku setuju sekali. Lebih cepat dibunuh lebih baik agar tidak menjadi beban penjagaan saja. Mari kuantar sendiri kalian ke sana!"
Diam-diam Cia Sun memberi isyarat dengan pandangan mata kepada Ci Kang sehingga pemuda ini yakin bahwa Cia Sun sedang menggunakan siasat ketika mengatakan hendak membunuh ketua Cin-ling-pai, maka dia pun diam saja. Berkat pengawalan perwira itu, tidak lama kemudian mereka dapat dengan mudah tiba di depan kamar tahanan dan dari balik jeruji jendela kamar tahanan mereka melihat ketua Cin-ling-pai dengan kaki tangan diborgol masih duduk bersila seperti arca.
"Nah, itu dia," kata sang perwira.
Belasan orang penjaga yang mendengar bahwa dua orang prajurit muda yang datang itu adalah utusan Toan Ong-ya untuk membunuh ketua Cin-ling-pai, merasa tertarik sehingga mereka pun datang bergerombol untuk menonton, lantas berdiri di depan kamar tahanan. Melihat ini, Cia Sun lalu berkata kepada sang perwira.
"Ciangkun, karena kami berdua tidak membawa pedang, tolong pinjamkan pedangmu itu untuk kupakai memenggal lehernya!"
Wajah perwira itu berseri-seri dan dia segera mencabut pedangnya lalu menyerahkannya kepada Cia Sun. "Ah, sungguh pedangku mendapat kehormatan besar untuk memenggal leher ketua Cin-ling-pai, ha-ha-ha! Kelak akan menjadi kebanggaanku!"
Sementara itu, Cia Kong Liang membuka matanya dan mendengar semua percakapan itu. Diam-diam dia terkejut mendengar ucapan Cia Sun, akan tetapi ketika dia melihat Ci Kang, dia bisa mengenalnya dan hatinya menjadi tenang, apa lagi ketika dia menangkap isyarat mata Ci Kang kepadanya.
Dengan gembira perwira itu membuka pintu penjara dan semua prajurit penjaga penjara cepat berdatangan untuk menonton pelaksanaan hukuman mati dari ketua Cin-ling-pai itu. Tanpa ragu-ragu lagi Cia Sun berkata,
"Ciangkun, seret dia keluar dari dalam kamar tahanan. Aku hendak melakukan hukuman mati itu di lapangan penjara agar semua prajurit dapat melihatnya."
Ucapan ini merupakan siasat Cia Sun yang ingin mengetahui kekuatan penjagaan di situ. Jika semua berkumpul, agaknya akan lebih mudah baginya dan Ci Kang untuk membawa ketua Cin-ling-pai melarikan diri.
Perwira itu menjadi semakin girang dan bangga. "Hayo bangun dan ikut kami!" bentaknya sembil memegang lengan Cia Kong Liang dan dengan kasar menariknya bangkit berdiri.
Cia Kong Liang bersikap tenang, bangkit berdiri dan dengan kaki tangan terbelenggu dia pun diseret keluar dari dalam kamar tahanan. Pengikat kaki tangan ketua Cin-ling-pai ini tidak terbuat dari besi. Raja Iblis maklum bahwa ketua ini memiliki tenaga sinkang yang besar sehingga belenggu besi akan dapat dipatahkannya. Maka untuk membuatnya tidak berdaya, kaki tangannya diikat pada pergelangannya dengan tali sutera yang sangat ulet dan lentur sehingga tenaga sinkang tak akan mampu membikin putus karena tali itu kalau direntangkan dapat mulur akan tetapi tidak dapat putus saking uletnya.
Inilah sebabnya mengapa Cia Sun minta meminjam pedang. Kalau belenggu itu dari besi, tangannya akan mampu mematahkannya. Akan tetapi, tali sutera seperti itu hanya akan dapat dibikin putus dengan menggunakan senjata tajam. Lagi pula, ketua Cin-ling-pai itu mungkin membutuhkannya, tidak seperti dia dan Ci Kang yang cukup bertangan kosong saja.
Dia minta supaya tawanan dibawa ke lapangan karena di tempat ini mereka akan lebih leluasa bergerak kalau dikeroyok, tidak seperti di dalam kamar tahanan yang sempit. Kini Ci Kang dapat menebak apa yang direncanakan oleh sahabatnya yang cerdik itu, maka dia pun sudah bersiap-siap.
Kini Cia Kong Liang sudah berada di tengah-tengah lapangan, dikelilingi oleh para prajurit penjaga yang hendak melihat pelaksanaan hukuman mati itu. Ketua Cin-ling-pai itu tetap berdiri dengan sikap gagah. Cia Sun menghampirinya dengan pedang di tangan dan hati para penonton menjadi tegang.
"Pangcu, aku sudah menerima perintah dari Toan Ong-ya untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu. Maka kuminta agar engkau suka menyerahkan nyawa dengan ikhlas dan memasang dirimu agar pedang ini dapat melaksanakan tugas sebaiknya!"
Cia Kong Liang memandang wajah pemuda itu, lantas dia pun menjawab dengan suara yang lantang dan gagah, "Aku akan menghadapi kematian dengan berdiri!" Dan dia pun segera menjulurkan kedua lengannya yang diikat menjadi satu, juga kedua kakinya agak direntangkan.
"Baik, bersiaplah!" Cia Sun berkata.
Kini dengan terbelalak semua mata memandang ke arah pedang yang sudah diangkat ke atas kepala oleh Cia Sun. Tiba-tiba pedang itu berkelebat ke bawah dua kali dan putuslah tali sutera pengikat lengan dan kaki Cia Kong Liang sehingga ketua itu menjadi bebas!
"Heiii...!" Perwira itu berteriak akan tetapi teriakannya terhenti di tengah jalan karena dia sudah roboh dan pingsan oleh tamparan Ci Kang yang mengenai tengkuknya.
Gegerlah keadaan di sana! Pedang yang tadi membikin putus belenggu kaki tangan Cia Kong Liang, kini sudah berada di tangan ketua itu dan bersama Cia Sun dan Ci Kang, dia lalu mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok yang masih panik akibat perubahan keadaan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu.
"Locianpwe, mari kita segera pergi!" Ci Kang berkata sambil mendekati Cia Kong Liang yang mengamuk dengan pedangnya itu.
"Baik!" kata ketua Cin-ling-pai karena dia pun tahu bahwa mereka bertiga saja, betapa pun lihainya, tak mungkin akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak sekali prajurit, apa lagi mereka berada di dalam benteng musuh.
Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, pasukan pemerintah yang mengepung benteng itu mulai bergerak dan pertempuran mulai terjadi di sepanjang tembok benteng sehingga pada waktu ketiganya melarikan diri, keadaan di luar penjara cukup kacau balau sehingga sukarlah bagi para pengejar mereka untuk dapat mengikuti jejak mereka. Lagi pula para pengejar itu pun merasa gentar sesudah menyaksikan kelihaian tiga orang itu yang dalam waktu singkat saja sudah merobohkan puluhan orang pengeroyok.
Setelah menyusup-nyusup, akhirnya dua orang pendekar muda itu berhasil mengajak Cia Kong Liang memasuki goa rahasia di bawah tanah dan mereka disambut dengan girang oleh Hui Cu. Melihat gadis ini, Cia Kong Liang merasa heran dan dia segera bertanya.
"Siapakah nona ini?" Bagaimana pun juga, tentu saja ia pun ingin mengenal semua orang yang berada di situ, mengingat bahwa mereka semua masih berada di tempat yang amat berbahaya.
"Locianpwe, nona ini adalah Toan Hui Cu, puteri dari... Pangeran Toan Jit Ong," Ci Kang hampir saja menyebut nama Raja Iblis, akan tetapi diubahnya ketika dia teringat bahwa gadis itu tentu akan merasa tersinggung dan tidak enak kalau ayahnya disebut Raja Iblis.
Akan tetapi, mendengar bahwa gadis itu puteri Pangeran Toan Jit Ong, berarti puteri Raja Iblis, mata ketua Cin-ling-pai itu terbelalak dan mukanya berubah merah. Tangannya yang masih memegang pedang tadi segera bergerak dan dia sudah menyerang Hui Cu dengan pedangnya! Akan tetapi dia terkejut sekali karena tiba-tiba saja tubuh gadis itu lenyap dan ternyata dengan gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya, gadis itu telah melompat jauh ke belakang sambil mengerutkan alisnya.
"Toako, kenapa kalian membawa orang sejahat itu ke sini?" teriak Hui Cu penasaran.
Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang cepat melerai dan berkata. "Harap locianpwe suka menyimpan kembali pedang itu. Biar pun dia puteri Pangeran Toan, akan tetapi dia sama sekali tak boleh disamakan dengan ayahnya atau ibunya. Dia menentang kejahatan orang tuanya dan dia pernah menyelamatkan nyawa kami, bahkan sekarang pun jika tidak ada dia yang menunjukkan tempat rahasia ini, kita bertiga jangan harap dapat lolos dari kota San-hai-koan."
Cia Kong Liang menarik napas panjang dan dia pun melepaskan pedangnya yang jatuh berdenting ke atas lantai. Dia lantas teringat akan isterinya. Bukankah isterinya juga puteri seorang datuk sesat? Isterinya juga tidak dapat dikatakan berwatak penjahat, walau pun dia tahu bahwa ayah mertuanya, yang sudah lama mencuci tangan, kini agaknya kumat lagi dan bersekutu dengan pemberontak yang dipimpin datuk-datuk sesat.
"Maafkan aku," katanya lirih kepada Hui Cu yang kini berani mendekat lagi.
"Nona Toan Hui Cu ini bahkan dimusuhi oleh ayahnya sendiri," Ci Kang menambahkan.
Cia Kong Liang menggeleng-geleng kepala keheranan, lalu memandang kepada Ci Kang dengan sinar mata mengandung rasa kagum dan terima kasih. "Dan sekarang baru kita sempat bicara, orang muda. Siapakah engkau dan mengapa engkau dengan berani mati telah menolongku?"
Ci Kang tersenyum pahit dan dia pun menjawab, "Locianpwe, keadaan saya tidak banyak bedanya dengan keadaan nona Hui Cu. Nama saya Siangkoan Ci Kang sedangkan ayah saya adalah mendiang Siangkoan Lo-jin..."
"Ahhh...!" Kembali Cia Kong Liang terkejut sekali.
Dia tahu siapa adanya Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta itu! Seorang datuk sesat yang terkenal jahat, yang mengepalai para datuk sesat untuk mengeruhkan dunia kang-ouw. Dan pemuda yang amat disukanya dan dikaguminya ini, pemuda yang telah menolongnya secara cerdik dan berani, adalah putera datuk sesat itu!
"Saudara Siangkoan Ci Kang ini, biar pun orang tuanya menjadi datuk sesat, akan tetapi dia sendiri berjiwa pendekar sejati yang selalu menentang kejahatan, dan memang benar bahwa agaknya keadaannya tidak berbeda dengan nona Toan Hui Cu." Cia Sun segera menerangkan.
Cia Kong Liang menghela napas panjang beberapa kali sambil mengangguk-angguk dan memandang kepada Ci Kang. "Siangkoan Ci Kang," akhirnya dia berkata, "kalau melihat putera seorang pendekar menjadi orang gagah, hal itu tidaklah aneh sehingga tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi putera seorang raja datuk sesat menjadi seorang pendekar budiman, sungguh hal ini merupakan sesuatu yang luar biasa dan amat mengagumkan." Kemudian dia memandang kepada Cia Sun. "Dan engkau sendiri, orang muda. Siapakah kau?"
Cia Sun menjura dengan hormat. "Harap locianpwe suka memaafkan kalau saya bersikap kurang pantas. Sebenarnya saya adalah cucu keponakan locianpwe sendiri. Nama saya Cia Sun dan ayah bernama Cia Han Tiong."
Sepasang mata ketua Cin-ling-pai itu terbelalak dan wajahnya berseri ketika dia mengulur tangan dan memegang lengan pemuda itu. "Ahh...! Ternyata engkau adalah putera Cia Han Tiong? Pantas... Cia Sun, bagaimana kabarnya dengan ayah serta ibumu? Apakah masih tinggal di Lembah Naga?"
"Terima kasih, ayah baik-baik saja dan kini masih berada di Lembah Naga, akan tetapi ibu telah tewas akibat terbunuh orang jahat." Cia Sun lalu menceritakan keadaan keluarganya dengan singkat dan percakapan lalu menjurus ke arah pemberontakan itu sendiri.
"Aku telah tertipu! Aku telah khilaf karena kesembronoanku sendiri!" Ketua Cin-ling-pai itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. "Tanpa penyelidikan lebih dahulu aku telah membawa keluarga beserta murid-murid Cin-ling-pai untuk membantu pasukan para pemberontak. Tadinya kukira bahwa pemberontakan Ji-ciangkun adalah suatu perjuangan yang menentang pemerintah lalim, tetapi siapa kira Ji-ciangkun sendiri diperalat oleh para datuk sesat yang hendak mencari kedudukan. Aku memberontak terhadap mereka lantas ditawan, dan entah bagaimana nasib keluarga dan para muridku di Ceng-tek."
Mendadak terdengar suara keras dan gaduh di sebelah atas. "Ahh, di atas sedang terjadi pertempuran besar!" kata Hui Cu ketika mereka semua terkejut mendengar kegaduhan itu.
"Kota ini sudah dikepung oleh pasukan besar pemerintah dan mungkin sekali kini sedang terjadi pertempuran," kata Ci Kang.
"Bagus!" Cia Kong Liang bangkit berdiri dan mengambil pedang yang tadinya dilemparkan ke atas lantai. "Inilah kesempatan baik bagiku untuk menebus dosa. Kini aku harus keluar membantu pasukan pemerintah dan menyerang para pemberontak laknat itu!"
"Tetapi kita harus bertindak hati-hati, locianpwe. Sebelum benteng ini bobol, kita bertiga saja mana mungkin dapat menghadapi pasukan besar," Ci Kang membantah.
"Tentu saja kita harus melihat keadaan," kata Cia Kong Liang yang sudah bangkit kembali semangatnya. "Mari kita keluar, kita melakukan pembakaran-pembakaran dan perusakan-perusakan untuk menimbulkan kekacauan dari dalam."
Cia Sun memandang kagum. Ketua Cin-ling-pai ini memang gagah perkasa serta penuh semangat, sayang sekali tadinya agak ceroboh sehingga mudah tertipu.
"Memang sebaiknya kalau kita keluar melakukan penyelidikan dari pada menduga-duga di tempat ini dan tidak berbuat apa-apa."
"Harap kalian jangan pergi meninggalkan aku lagi!" kata Hui Cu. "Atau bila memang kalian terpaksa pergi juga, aku akan ikut!"
"Hui Cu, kami keluar untuk melawan anak buah orang tuamu, sebaiknya engkau tinggal saja di sini menunggu kedatangan ibumu. Tak mungkin engkau melawan ayahmu sendiri," kata Ci Kang. Mendengar ini, wajah yang cantik dan agak pucat itu menjadi murung dan gadis itu hampir saja menangis, kini memandang pada Cia Sun dengan sinar mata penuh permohonan.
Cia Sun merasa kasihan dan memegang tangan gadis itu. "Hui Cu, kami terpaksa harus meninggalkanmu di sini. Tinggallah kau di sini. Jika engkau ikut dan terlihat oleh ayahmu, tentu engkau terancam bahaya besar, padahal kami sudah berjanji kepada ibumu untuk menjagamu. Tinggallah di sini dan aku berjanji bahwa kalau pertempuran sudah selesai, maka aku pasti menjemputmu di sini."
Akhirnya Hui Cu tidak membantah lagi, akan tetapi tak lama setelah tiga orang itu keluar, Hui Cu tidak tahan untuk berada di tempat itu seorang diri saja sehingga dia pun segera menyelinap keluar.
********************
Hati Sui Cin girang sekali bahwa dia sudah berhasil mengantar Hui Song, Siang Wi serta para murid Cin-ling-pai keluar dari dalam benteng Ceng-tek dengan selamat. Dia berpisah dari mereka dan kembali ke Ceng-tek untuk membantu pasukan suku bangsa utara, yang dipimpin Yelu Kim menyerbu Ceng-tek. Dia bergerak di antara para prajurit dan mencari gurunya.
Pasukan para suku bangsa utara itu telah memperoleh kemajuan, sudah dapat menyerbu ke dalam dan kini terjadi pertempuran-pertempuran sengit di sebelah dalam kota benteng Ceng-tek di mana pihak penyerbu mulai mendesak pasukan pemberontak yang bertahan.
Akhirnya Sui Cin menemukan gurunya, nenek Yelu Kim yang sedang memimpin pasukan pengawal di depan sebuah gedung. Yelu Kim juga girang melihat muridnya. Tadi dia telah merasa khawatir karena belum juga melihat gadis itu yang bertugas sebagai penyelundup untuk mengacau sebelah dalam benteng musuh.
Tiba-tiba saja dari dalam gedung itu muncul serombongan orang yang segera menyerbu pasukan pengawal Yelu Kim. Ada tiga belas orang yang keluar menerjang itu dan ternyata mereka semua memiliki gerakan yang amat cepat dan kuat, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai ilmu silat tinggi. Beberapa orang prajurit pengawal Yelu Kim langsung roboh dalam segebrakan saja.
Ketika Sui Cin memandang, ternyata mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang oleh Raja Iblis tadinya diperbantukan di kota Ceng-tek. Tiga belas orang itu dipimpin oleh Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo dan Tho-tee-kwi, tiga orang dari Cap-sha-kui yang lihai!
"Hati-hati, subo, tiga orang itu adalah orang-orang Cap-sha-kui yang sangat lihai!" katanya memperingatkan gurunya.
Dia sendiri telah menerjang maju dengan cepatnya. Gerakannya yang lincah ini disambut oleh Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo. Koai-pian Hek-mo langsung menggerakkan pecut bajanya yang panjang dilecutkan ke arah kepala Sui Cin, ada pun Hwa Hwa Kui-bo juga sudah menyambut dengan tusukan pedang.
"Wuuuuttt...!"
Secara luar biasa sekali tubuh Sui Cin yang masih melayang di udara itu menukik lantas mengelak bagaikan seekor burung walet saja gesitnya, dan serangan dua orang itu luput. Kini Sui Cin sudah turun dan berhadapan dengan mereka, sambil tersenyum-senyum dia bertolak pinggang. Dia mentertawakan dua orang musuh besarnya ini dan teringat betapa kurang lebih empat tahun lalu dia sudah pernah bertanding menghadapi dua orang tokoh Cap-sha-kui ini.
"Hi-hi-hik, kiranya dua orang tua bangka Cap-sha-kui yang sudah bosan hidup! Beberapa tahun yang lalu pun kalian tidak bisa menang melawanku, apa lagi sekarang. Kalian telah menjadi semakin tua, sedangkan kepandaianku semakin maju!"
Tadinya dua orang tokoh Cap-sha-kui itu tidak mengenal Sui Cin, akan tetapi sesudah gadis itu berbicara dan tertawa, mereka teringat dan keduanya merasa kaget dan marah sekali. Sepasang mata di balik kedok hitam dari Hwa Hwa Kui-bo itu mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya yang lebar dengan gigi besar-besar putih itu terbuka.
"Ternyata engkau bocah setan! Sekarang aku tidak akan mengampuni kamu lagi!" Dan secepat kilat tangan kirinya bergerak dan dua sinar hitam menyambar ke arah tubuh Sui Cin.
Gadis ini telah maklum bahwa nenek ini pandai sekali menggunakan jarum-jarum beracun sebagai senjata rahasia, maka dia sudah siap siaga dan sekali dia mengebutkan tangan kirinya, ada angin menyambar kuat sekali lantas jarum-jarum itu pun runtuh, bahkan ada sebagian yang menyambar kembali ke arah muka berkedok itu!
Hwa Hwa Kuibo terkejut, mengeluarkan teriakan dan mengelak, lalu pedangnya bergerak melakukan serangan ganas. Gerakannya ini diikuti pula dengan menyambarnya paku di ujung pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo. Dua orang tokoh muara Sungai Huang-ho ini lalu mengamuk dengan buasnya mengeroyok Sui Cin.
Akan tetapi gadis ini mengeluarkan suara ketawa mengejek, kemudian tubuhnya segera berkelebatan di antara gulungan sinar senjata lawan, dengan enaknya ia mempermainkan sehingga semua sambaran senjata lawan selalu luput, sebaliknya dia pun membagi-bagi tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya, bahkan yang membuat dua orang itu merasa gentar dan terdesak mundur.
Tho-tee-kwi (Setan Bumi), kakek raksasa yang amat menyeramkan itu, yang mempunyai kebiasaan mengerikan, yakni makan daging anak-anak, seorang tokoh Cap-sha-kui yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo, kini ditandingi oleh Yelu Kim yang dibantu oleh perwira-perwira pengawal yang lihai pula. Ada pun para datuk lain dikeroyok oleh pasukan pengawal.
Kini terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Akan tetapi karena pihak pasukan pengawal jauh lebih banyak jumlahnya, sekarang para datuk itu segera terdesak hebat.
Tadinya Sui Cin ingin sekali mempermainkan dua orang musuh lama itu, sesuai dengan wataknya yang memang nakal. Akan tetapi dia pun tahu betapa lihainya Tho-tee-kwi dan dia harus dapat cepat membantu gurunya menghadapi kakek raksasa itu. Maka dia pun mempercepat gerakannya.
"Singggg...!"
Tiba-tiba saja Hwa Hwa Kuibo yang licik itu menyerangnya dengan merendahkan diri dan pedang itu membabat ke arah kedua kaki Sui Cin. Serangan ini berbahaya sekali karena ketika itu Sui Cin sedang menghadapi serangan paku di ujung cambuk Koai-pian Hek-mo yang menyambar ke arah matanya.
"Tingggg...!"
Sui Cin menggunakan jari tangannya menyentil ke arah paku sehingga paku pada ujung cambuk itu mencelat lantas membalik, menyambar ke arah muka pemiliknya sedangkan tubuh gadis itu meloncat ke atas untuk menghindarkan babatan pedang nenek Hwa Hwa Kui-bo. Gerakannya cepat dan kuat.
Koai-pian Hek-mo terkejut melihat pakunya membalik dan menyambar ke arah mukanya. Akan tetapi sekali menggerakkan gagang cambuk, paku itu berhenti menyambar dan kini cambuknya yang panjang ia gerakkan ke arah tubuh Sui Cin yang masih meloncat ke atas ketika menghindarkan babatan pedang tadi.
Sui Cin mengulur tangan menangkap ujung cambuk! Gerakan ini terlalu berani akan tetapi gadis itu telah membuat perhitungan yang matang. Pada saat jari-jari tangannya berhasil menangkap paku di ujung cambuk, secepat kilat dia meminjam tenaga gerakan cambuk, melontarkan paku itu ke arah Hwa Hwa Kui-bo.
Paku pada ujung cambuk itu meluncur bersama cambuk panjang itu ke arah kepala Hwa Hwa Kui-bo. Nenek ini sama sekali tidak pernah menyangka dan tahu-tahu ujung cambuk kawannya sendiri telah melayang ke arah kepalanya. Ia tidak keburu mengelak lagi.
"Cappp...! Aiiiiihhh...!" Nenek itu menjerit, paku menancap pada batok kepalanya.
Melihat ini, Koai-pian Hek-mo terkejut setengah mati. Ditariknya cambuknya dan paku itu tercabut keluar, diikuti muncratnya darah dari kepala nenek itu. Dengan mata mendelik yang memandang dari belakang kedoknya, Hwa Hwa Kui-bo segera menubruk ke depan dan tahu-tahu pedangnya telah menembus dada Koai-pian Hek-mo!
Dasar orang sesat! Karena paku di ujung cambuk kawannya mengenai kepalanya, Hwa Hwa Kui-bo sudah menjadi marah kepada temannya sendiri dan menyerangnya dengan tiba-tiba. Koai-pian Hek-mo berteriak dan terjengkang roboh, darah muncrat dari dadanya. Hwa Hwa Kui-bo tertawa bergelak akan tetapi segera terjengkang juga dan berkelojotan, tewas dalam waktu hampir berbareng dengan temannya.
Sui Cin sudah tak peduli lagi pada mereka. Segera saja dia terjun ke dalam pertempuran membantu nenek Yelu Kim yang dibantu oleh beberapa orang perwira pengawal sedang mengepung Tho-tee-kwi yang lihai.
Majunya Sui Cin membawa perubahan. Kalau tadinya Tho-tee-kwi masih kelihatan gagah perkasa dan agaknya sukar bagi Yelu Kim untuk dapat merobohkan raksasa ini walau pun dia sudah dibantu oleh para perwira pasukan pengawal, sekarang sesudah Sui Cin maju dan menghujankan pukulan dan tamparan ampuh kepada Tho-tee-kwi, kakek itu terdesak hebat! Bahkan sebuah tamparan yang amat kuat dari tangan kiri Sui Cin tepat mengenai pundak kakek itu yang membuatnya terhuyung ke belakang.
Kesempatan ini langsung digunakan oleh Yelu Kim untuk menggerakkan kebutannya yang berwarna putih. Ujung kebutan itu menjadi kaku dan menotok ke arah tiga jalan darah di tubuh kakek raksasa.
Tho-tee-kwi masih sempat menangkis dua totokan, akan tetapi totokan ketiga mengenai tengkuknya dan tubuhnya seketika menjadi kejang. Saat ini kekebalannya pun lenyap dan ketika dua orang perwira pengawal menusukkan pedangnya, pedang itu langsung amblas memasuki lambung dan dadanya. Padahal tadi, sebelum terkena totokan, pedang para perwira itu tidak mampu menembus kekebalan kulitnya!
Robohnya Tho-tee-kwi berarti berakhirnya perlawanan gigih para datuk sesat. Tiga orang Cap-sha-kui yang menjadi pimpinan mereka sudah roboh dan tewas, tentu saja semangat mereka menjadi kecil lantas dengan mudah mereka pun dapat dirobohkan. Habislah tiga belas orang datuk sesat itu, semua tewas di tangan rombongan Yelu Kim walau pun pihak Yelu Kim juga menderita kematian belasan orang pasukan pengawal.
Sesudah bertempur semalaman suntuk, akhirnya Ceng-tek jatuh ke tangan pasukan Yelu Kim. Namun kini datanglah bala bantuan dari San-hai-koan, yakni pasukan pemberontak sehingga kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit lagi. Akan tetapi kali ini pihak Yelu Kim yang mempertahankan benteng Ceng-tek, ada pun pihak pasukan pemberontak yang menjadi penyerang dari luar.
Hebat sekali pertempuran ini. Pihak pasukan Yelu Kim sudah lelah setelah mengerahkan tenaga merebut benteng Ceng-tek, sedangkan pasukan pemberontak dari San-hai-koan masih segar bugar dan jumlah mereka pun lebih banyak. Akan tetapi, dengan pandainya Yelu Kim dapat menyusun kekuatan dan pintu-pintu benteng Ceng-tek yang rusak sudah diperbaiki. Sekarang benteng itu menjadi kokoh kuat sehingga tidak mudah bagi pasukan pemberontak untuk merebut kembali benteng itu.
Sampai lima hari lamanya pasukan pemberontak terus mengepung Ceng-tek dan setiap hari terjadi penyerbuan, namun tetap saja benteng itu dapat dipertahankan oleh pasukan Yelu Kim. Bagaimana pun juga, nenek itu mulai merasa gelisah. Kalau pengepungan itu dilanjutkan, paling lama sebulan saja pasukannya akan kehabisan ransum dan ini berarti mereka akan menderita kekalahan dan terpaksa melepaskan kembali kota Ceng-tek yang telah mereka kuasai.
Bagaimana pun juga, nenek itu mengambil keputusan hendak mempertahankan Ceng-tek sampai kekuatan terakhir, karena sekali mereka meninggalkan benteng itu, akan sukarlah bagi mereka untuk memperoleh benteng baru di mana mereka dapat menyusun kekuatan untuk melakukan penyerangan ke selatan.
Sui Cin masih tinggal di Ceng-tek mendampingi gurunya. Gadis ini telah bertekad hendak membantu pasukan Yelu Kim selama pasukan ini bertempur melawan para pemberontak. Dia pun ikut prihatin melihat betapa pasukan gurunya terkurung di Ceng-tek dan benteng itu sudah dikepung oleh pasukan pemberontak yang jumlahnya lebih besar.
********************