Pendekar Mata Keranjang Jilid 02

Sonny Ogawa
SEMENJAK dia diculik dari dekat peti-peti jenazah itu, dia merasa terkejut dan juga secara diam-diam marah sekali. Apa lagi ketika dia melihat betapa dua buah peti mati itu setelah diraba oleh Si Jangkung lantas mengeluarkan darah. Dia merasa ngeri dan tak mengerti. Jika ayah ibunya memang sudah mati, kenapa dari kedua petinya keluar darah menetes-netes?

Ketika dia dilarikan dalam keadaan tidak mampu bergerak mau pun bersuara. Hay Hay membayangkan semua peristiwa yang dialaminya, sejak malam yang sangat mengerikan itu. Ketika ayah ibunya menjenguknya malam-malam itu, dia merasa curiga dan menduga bahwa melihat wajah ayah bundanya yang tegang, tentu sudah terjadi sesuatu yang luar biasa.

Dia seorang anak pemberani. Maka, sesudah ayah ibunya keluar lagi, diam-diam dia pun lalu cepat meninggalkan kamarnya dan berindap-indap menuju ke belakang rumah. Dan dia pun melihat apa yang sudah ditemukan ayah ibunya, bangkai-bangkai binatang serta mayat-mayat bergelimpangan di dalam rumah keluarganya!

Dia lalu berlari pula mencari-cari sehingga akhirnya dia melihat ayah ibunya berhadapan dengan laki-laki dan perempuan yang keadaannya mengerikan, laksana dua sosok mayat hidup. Akan tetapi yang sangat menarik perhatiannya adalah percakapan yang terjadi di antara ayah ibunya dan dua orang aneh itu. Dua orang itu agaknya memperebutkan dia!

Walau pun dia tidak dapat mengerti sepenuhnya akan maksud perbantahan empat orang itu, akan tetapi dia mendengar betapa laki-laki dan perempuan berpakaian serba hitam itu mengaku dia sebagai anak mereka! Seminggu lagi mereka akan datang untuk mengambil dirinya dan sebulan kemudian akan membunuh ayah ibunya!

Melihat bangkai-bangkai dan mayat-mayat tadi sudah mengguncang perasaan Hay Hay, kini mendengar perbantahan itu, dia menjadi semakin bingung. Benarkah dia bukan anak kandung ayah ibunya, melainkan anak kandung sepasang manusia seperti mayat hidup ini? Dia merasa semakin ngeri dan bingung. Mereka datang untuk mengambilnya! Ingatan ini saja yang mengejarnya dan anak ini pun lari meninggalkan rumahnya.

Sebagai seorang anak laki-laki yang lincah dan senang berkeliaran. Hay Hay mengenal tempat-tempat yang sangat tersembunyi dan ketika ayah ibunya mencari-carinya, dia pun bersembunyi di bawah jembatan kecil.

Dia sering kali datang ke sini untuk memancing ikan dan mencari belut. Tempatnya amat tersembunyi dan kalau tidak merangkak ke tepi sungai kecil itu, maka orang takkan dapat memasukinya, bahkan tidak nampak sama sekali dari luar karena tertutup dengan semak-semak.

Maka tidak mengherankan apa bila orang-orang lihai seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li tidak berhasil menemukan putera mereka itu. Siapa yang menyangka bahwa anak itu akan bersembunyi di bawah jembatan itu, yang pantasnya hanya ditempati oleh katak dan belut-belut? Lagi pula Siangkoan Leng dan isterinya menduga bahwa anak mereka diculik orang, bukan melarikan diri.

Hay Hay tinggal di bawah jembatan sampai tiga hari. Hanya kalau perutnya merasa amat lapar saja dia keluar pada waktu malam gelap lantas mendatangi kawan-kawannya untuk meminta makanan. Dan teman-teman itu pun, seperti biasanya anak-anak kecil yang suka akan petualangan, merahasiakan tempat sembunyinya dan setia kawan padanya.

Pada hari ke empat, pada saat dia masih tidur nyenyak, salah seorang kawannya datang menjenguknya dan mengguncang-guncang tubuhnya, membangunkannya dengan berita, bahwa ayah ibunya sudah meninggal dunia dan kini telah dilayat orang! Mendengar berita hebat itu, Hay Hay lupa akan segala kengerian dan dia pun berlari pulang.

Dapat dibayangkan betapa sedih dan bingungnya ketika dia melihat dua buah peti mati di ruangan depan. Apa lagi ketika ada seorang tetangga yang mengenalnya ketika dia baru memasuki pekarangan. Tetangga itu segera merangkulnya dan mengeluh.

"Kasihan kau, Hay Hay. Masih begini kecil ditinggal mati ayah ibu secara mendadak..."

Hay Hay tidak ragu-ragu lagi. Ayah ibunya telah mati dan telah dimasukkan peti mati! Dia lantas menghampiri, berlutut di depan kedua peti dan menangislah dia dengan hati sedih dan bingung. Diam-diam dia merasa menyesal bukan main kenapa dia telah melarikan diri sehingga dia tidak tahu mengapa ayah ibunya mati dan apa yang menyebabkan kematian mereka.

Kemudian muncul dua orang yang membuatnya merasa seram itu dan dia pun dibuat tak dapat bergerak mau pun bersuara sehingga ketika dia dipondong dan dibawa pergi, dia tidak mampu melawan sama sekali. Sehari semalam dia dibawa pergi dan mereka hanya berhenti untuk makan minum. Akan tetapi Hay Hay tidak pernah mau makan dan minum.

Tiap kali dibebaskan dari totokan, dia segera bertanya apa yang telah terjadi dengan ayah ibunya kepada orang-orang itu. Akan tetapi mereka tak pernah mau bicara dan memaksa kalau dia tidak mau makan. Dia hanya ditotok lagi dan dibawa pergi lagi.

Betapa pun juga, suami isteri yang seperti mayat hidup atau iblis itu tak pernah bertindak kasar terhadap dirinya. Sebaliknya malah, mereka selalu mencoba membujuknya dengan kata-kata manis agar dia mau makan atau minum. Namun selalu ditolaknya.

Ketika pagi hari itu mereka berhenti di puncak bukit dan dia diturunkan lantas dibebaskan dari totokan, Hay Hay langsung bangkit berdiri kemudian memandang kepada suami isteri itu dengan mata terbelalak penuh penasaran, kemarahan dan keberanian.

"Sebetulnya, apakah yang telah kalian lakukan? Di mana ayah ibuku, dan apa yang telah terjadi dengan mereka?"

Dua orang itu saling memandang dan agaknya dalam bertukar pandang itu mereka juga bertukar pikiran karena Kwee Siong segera mengangguk dan membiarkan isterinya yang bicara dengan anak itu.

"Sin-tong..."

"Namaku bukan Sin-tong, namaku Siangkoan Hay dan biasa disebut Hay Hay!" kata Hay Hay dengan sikap angkuh karena hatinya penuh kemengkalan terhadap mereka.

Wanita itu tersenyum. Memang wajahnya manis sekali bila sedang tersenyum walau pun usianya telah mendekati setengah abad. Akan tetapi karena muka itu pucat seperti mayat dan hanya kedua matanya saja yang nampak hidup dan indah, maka kemanisan wajah itu mengandung keseraman.

"Anak baik, namamu sekarang ini adalah palsu. Engkau disebut Sin-tong (Anak Ajaib) dan belum diberi nama, sebab itu kusebut Sin-tong padamu. Ketahuilah bahwa yang bernama Siangkoan Leng itu bukan ayahmu, dan Ma Kim Li itu bukan ibumu!"

Hal ini sudah didengarnya malam itu, pada waktu dua orang ini berbantahan dengan ayah ibunya. Tentu saja dia tidak mau percaya begitu mudah. Dia adalah seorang anak cerdik yang biasanya berwatak lincah jenaka, dan walau pun ketika itu dia merasa berduka dan bingung, akan tetapi dia tak kehilangan kecerdikan dan keberaniannya yang memang luar biasa.

"Bukan anak kandung mereka akan tetapi anak kalian, begitukah? Hemmm, jangan harap aku dapat mempercayai keterangan itu. Kalau aku bukan anak mereka, bagaimana sejak bayi aku berada bersama mereka?"

"Karena pada saat engkau berusia dua bulan engkau sudah diculik oleh mereka, mereka datang membawa bayi mereka yang berpenyakitan, lalu menukarkan bayi mereka dengan engkau, membunuh dua orang, tiga dengan bayi mereka sendiri dan melarikan engkau ke utara, ke kota Nan-king."

Hay Hay mengerutkan alisnya. "Membunuh bayi mereka sendiri kemudian menukar bayi itu dengan aku? Tidak mungkin Ayah dan Ibu melakukan perbuatan seperti itu!"

"Anak baik, tentu engkau belum mengenal benar siapa adanya orang-orang yang selama ini kau anggap sebagai ayah dan ibu kandungmu itu."

"Tentu saja aku mengenal mereka! Ayahku bernama Siangkoan Leng dan ibuku bernama Ma Kim Li. Mereka adalah ahli-ahli pengobatan dan berdagang obat-obatan, dan mereka adalah orang-orang baik yang suka menolong orang, mengobati banyak orang, bila perlu mengobati orang-orang miskin tanpa bayar."

"Ha-ha-ha-ha!" Si Tangan Maut Kwee Siong tertawa.

Hay Hay memandang pada wajah orang itu dengan dua mata terbelalak dan hati merasa ngeri. Orang itu benar-benar memiliki muka seperti kedok. Ketika tertawa hanya mulutnya saja ternganga dan mengeluarkan suara bergelak itu, akan tetapi bagian lain dari muka itu sama sekali tidak ikut tertawa.

"Sin-tong, ketahuilah bahwa ayah dan ibumu itu bukanlah orang tua kandungmu. Mereka adalah tokoh-tokoh yang terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Pada tujuh tahun yang lampau mereka menukarkan anak kandung mereka yang berpenyakitan denganmu, membunuh dua orang yang mengasuhmu dan juga membunuh anak mereka sendiri untuk menghilangkan jejak. Mereka lantas membawamu lari ke kota Nan-king dan mereka pura-pura berdagang obat untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi akhirnya kami bisa menemukan mereka dan telah menghukum mereka. Sekarang mereka telah tewas, ha-ha-ha...!"

Diam-diam anak itu sangat terkejut dan masih ragu-ragu, sukar untuk dapat mempercayai keterangan dua orang yang nampak seperti mayat hidup itu, tetapi juga mulai meragukan keaslian ayah bundanya. "Kalau benar aku ini anak kalian, kenapa kalian membiarkan aku diculik orang?"

"Ketika mereka datang lalu membawamu, kami sedang pergi dan engkau hanya bersama dengan seorang pengasuh yang ditemani seorang nikouw dan..."

Tiba-tiba saja Kwee Siong berhenti bicara dan telah meloncat berdiri diikuti isterinya. Juga Hay Hay kaget bukan main ketika secara tiba-tiba saja datang angin besar yang membuat daun-daun kering yang berserakan di bawah pohon itu beterbangan!

Dan tiba-tiba saja, ketika daun-daun yang tadinya beterbangan dan menutupi pandangan mata itu turun kembali ke atas tanah bersama debu yang tadi mengepul tinggi, terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ, hanya beberapa meter saja dari mereka, telah berdiri seorang kakek berkepala botak!

Kakek itu tubuhnya bundar seperti bola karet, kepalanya bundar, perutnya bundar bahkan kaki dan tangannya itu pun seperti bundar-bundar saking gemuknya. Matanya, hidungnya, mulutnya, telinganya, semuanya berbentuk bundar. Karena gemuk dan berkulit kuning, dia nampak seperti seekor babi raksasa yang sedang berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan memakai pakaian!

Pakaiannya kedodoran, celananya lebar dengan jubah yang terbuka di bagian depannya hingga nampak dada dan perut yang penuh daging, kulit yang kuning mulus tanpa rambut seperti tubuh seorang bayi. Sukar menaksir berapa usia kakek ini, dan melihat mukanya yang selalu menyeringai serta matanya yang lebar itu selalu bercahaya, mukanya selalu berseri, orang akan menduga bahwa kakek ini seorang yang peramah dan baik hati.

"Heh-heh-heh-heh, ada orang-orang yang tidak tahu diri, berani sekali mengotori tempat ini." Kakek itu memandang kepada Kwee Siong, Tong Ci Ki dan Hay Hay bergantian, lalu melanjutkan. "Hayo kalian bersihkan tempat ini, sapu bersih daun-daun ini dan setelah itu cepat pergi tinggalkan tempat ini!"

Semua ini diucapkan dengan wajah masih berseri dan ramah sehingga amat berlawanan. Wajahnya saja kelihatan tersenyum menyeringai dan ramah, akan tetapi isi kata-katanya memerintah dan bahkan mengandung nada mengancam.

Pasangan suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan ini adalah dua orang tokoh hitam yang amat terkenal di daerah pantai laut selatan. Mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan dan sudah biasa pula dihormati dan ditakuti orang. Hal ini mendatangkan suatu watak sombong dan memandang rendah orang lain.

Oleh karena itu, biar pun kemunculan kakek bulat tadi sempat mengejutkan hati mereka, sesudah melihat bahwa kakek itu nampaknya tidak mengesankan dan tidak menakutkan, apa lagi mendengar ucapannya yang mereka anggap sebagai penghinaan, suami isteri itu menjadi marah sekali.

"Tua bangka bermulut tancang! Engkau telah bosan hidup rupanya!" Si Jarum Sakti Tong Ci Ki membentak marah lantas sekali tangan kirinya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah dada dan perut yang tidak terlindung itu.

Kakek gendut itu agaknya tidak tahu akan serangan itu, atau memang tidak sempat untuk mengelak atau menangkis. Selain sambitan jarum itu amat cepat dan jarak mereka tidak terlampau jauh, juga kakek gendut itu tentu saja sangat lamban gerakannya, mengingat tubuhnya yang amat gendut itu.

Jelas nampak betapa belasan batang jarum halus berwarna hitam itu menyambar deras lantas mengenai leher, dada dan perut yang tak terlindung baju itu. Nampak jelas betapa jarum-jarum hitam itu menancap pada kulit leher, dada dan perut, akan tetapi kakek botak gendut yang sedang tersenyum itu seperti tidak pernah merasakan dan senyumnya tidak pernah putus, bahkan berkedip pun tidak!

Tentu saja Tong Ci Ki terbelalak dan mulutnya ternganga, tidak percaya akan penglihatan matanya sendiri. Jarum-jarum hitam itu adalah senjata rahasia yang ampuh, mengandung racun yang seketika dapat mencabut nyawa lawan yang terkena jarum itu. Akan tetapi, kini jarum-jarumnya menancap di tubuh itu seperti menancap batang pohon saja!

Kwee Siong yang juga sangat marah, menyusul serangan isterinya itu dengan terjangan dahsyat. Dia tadi juga terkejut melihat betapa jarum-jarum yang dilepas isterinya itu tepat mengenai tubuh lawan akan tetapi kakek gendut itu tidak roboh, maka dia pun langsung mempercepat serangannya dan tangannya yang kanan menyambar ke arah kepala kakek botak itu.

Kembali kakek itu tidak mengelak atau pun menangkis, hanya memandang dengan mulut tersenyum menyeringai saja, bahkan matanya berkedip-kedip lucu. Akan tetapi pada saat tangan yang menampar itu, tangan yang mengandung tenaga sinkang amat kuatnya telah menyambar dekat, tinggal beberapa senti lagi dari kepala botak itu, tiba-tiba saja tangan itu menyeleweng bagai terpeleset oleh sesuatu yang amat licin sehingga sama sekali tak mengenai kepala itu, hanya menyerong ke samping lantas lewat beberapa senti jauhnya dari kepala itu.

Selain terkejut dan heran, suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan itu juga merasa penasaran dan marah sekali. Orang-orang seperti mereka selalu memandang diri sendiri terlalu tinggi dan tidak menghargai orang lain, maka setiap kali mereka gagal, tentu hal ini dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa penasaran dan kemarahan.

Tiba-tiba saja mereka cepat menjatuhkan diri bertiarap di atas tanah, lalu bergulingan dari dua jurusan menuju ke arah kakek gendut dan sesudah dekat, keduanya menggerakkan tubuh, serentak menyerang dari bawah dengan pukulan yang dahsyat luar biasa. Pukulan mereka itu datang dari kanan kiri dan menghantam ke arah tubuh gendut kakek itu yang masih saja tersenyum-senyum seperti seorang dewasa menghadapi kenakalan dua orang anak kecil.

Suami isteri yang tadinya bergulingan dan bertiarap itu, pada saat memukul tubuh kakek itu, mereka tiba-tiba meloncat ke atas sehingga tenaga pukulan yang bertolak dari tanah itu amatlah kuatnya.

"Desss...! Desss...!"

Dua pukulan itu laksana berlomba mengenai tubuh kakek gendut dari kanan kiri. Seperti juga tadi, kakek itu sama sekali tak mengelak, hanya berdiri tegak dengan kedua kakinya terpentang lebar dan agaknya membiarkan saja dua pukulan dari kanan kiri itu mengenai tubuhnya. Hanya ketika pukulan itu tiba, dia mengembangkan dua lengannya, kemudian setelah pukulan mengenai tubuhnya, dia mengibaskan kedua tangannya yang jari-jarinya juga bulat-bulat itu ke bawah, seperti orang mengusir dua ekor lalat yang mengganggu saja layaknya.

Dan akibatnya, tubuh yang menerima pukulan itu tidak bergoyang sedikit pun, sebaliknya, dua tubuh yang sedang meloncat sambil memukul dari bawah tadi, kini terpelanting lantas berguling-guling di atas tanah. Suami isteri itu merasa tubuh mereka amat panas seperti baru saja disambar petir.

Ketika mereka mampu menguasai tubuh dan hendak meloncat bangun, kakek gendut itu menggerakkan tangannya lantas angin yang kuat menyambar, membuat dua orang suami isteri itu roboh kembali setiap kali mereka mau bangkit! Tentu saja dua orang itu terkejut setengah mati.

Setelah mengerahkan seluruh tenaga dan mencoba untuk bangkit dengan segala cara dan akal namun selalu dirobohkan kembali oleh pukulan jarak jauh dari kakek itu, akhirnya keduanya baru yakin benar bahwa sesungguhnya mereka berdua itu berhadapan dengan seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa, yang tingkat kepandaiannya beberapa kali lebih tinggi dari pada tingkat mereka.

Maklumlah mereka bahwa bagaimana pun juga, mereka tidak akan sanggup menandingi kakek itu dan jika kakek itu menghendaki, agaknya dengan mudah kakek itu akan dapat membunuh mereka. Oleh karena ini, Si Tangan Maut Kwee Siong langsung berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu, diturut oleh isterinya walau pun dengan hati segan.

"Kami berdua seperti buta, tidak mengenal Locianpwe yang sangat sakti sehingga berbuat kurang ajar, harap Locianpwe sudi memaafkan kami," kata Kwee Siong tanpa malu-malu lagi karena selain di situ tak ada orang yang menyaksikan kekalahan mereka kecuali Hay Hay yang hanya berdiri dan menonton dengan mata terbelalak kagum, juga mereka harus mengubah sikap untuk mencari keselamatan diri.

Kakek itu hanya tertawa dan pada saat itu, kembali pasangan suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan itu terkejut karena tiba-tiba saja ada angin yang menyambar kuat. Nampak bayangan orang berkelebat lalu bayangan itu membuat gerakan berputar, lantas timbullah angin berpusing, angin puyuh yang menerbangkan daun-daun pepohonan. Semakin lama angin itu berpusing, maka semakin cepat dan makin banyak pula daun-daun beterbangan ikut dalam pusingan yang kuat itu.

Setelah angin puyuh itu mereda dan daun-daun juga sudah turun kembali, di situ nampak seorang kakek tinggi besar yang berkulit hitam. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan kokoh kekar, nampak makin kuat karena kulit muka, leher dan tangannya yang hitam kasar.

Wajah kakek hitam ini penuh dengan alis tebal, kumis dan jenggot lebat hitam dan muka itu membayangkan kegalakan serta kekejaman yang amat keras. Pakaiannya sederhana namun kuat dan ringkas, sepatunya dari kulit tebal dan di bagian bawahnya berlapis besi. Sungguh keadaan kakek ini menjadi kebalikan dari keadaan kakek gendut yang nampak halus dan ramah itu.

Tiba-tiba kakek hitam itu melangkah lebar ke arah semak-semak belukar yang agak jauh dari situ. Tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li suami isteri yang yang semenjak tadi melakukan pengintaian sambil menanti kesempatan baik untuk merampas kembali anak mereka, menjadi terkejut sekali ketika melihat kakek tinggi besar itu melangkah lebar dan tahu-tahu berada di depan mereka yang sedang bersembunyi.

Celaka, pikir mereka. Sepasang suami isteri Goa Iblis itu saja tadi seperti anak-anak kecil yang tidak berdaya terhadap kakek gendut, dan kini muncul lagi kakek tinggi besar yang aneh ini. Agaknya, dengan adanya mereka, merampas kembali anak mereka merupakan hal yang kecil sekali kemungkinannya. Paling perlu menyelamatkan diri lebih dahulu, pikir mereka. Karena itu, tanpa banyak cakap lagi Siangkoan Leng memegang tangan isterinya untuk diajak meloncat pergi dari tempat berbahaya itu.

Akan tetapi, begitu mereka meloncat, keduanya segera terpelanting dan roboh terbanting, seolah-olah ada tenaga tidak nampak yang menarik mereka dari samping. Padahal, ketika terjatuh Siangkoan Leng masih dapat melihat bahwa kakek tinggi besar itu hanya sedikit menggerakkan tangan kirinya saja, dari mana tenaga yang membuat mereka terpelanting tadi.

Karena panik, Siangkoan Leng pun menjadi nekat. Dia membuat gerakan meloncat sambil melengking, langsung diikuti oleh isterinya. Itulah ilmu yang mereka andalkan dan karena mereka melakukan serangan berbareng, maka daya serang mereka berdua menjadi hebat bukan main. Dari atas, kanan kiri, mereka menerkam ke arah kakek hitam dengan kedua tangan terbuka dan membentuk cakar, dari mana keluar tenaga yang amat kuat.

Kakek tinggi besar hitam berdiri tegak tanpa mengeluarkan suara apa-apa, lantas tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan menyambut. Dua tangan yang besar itu hanya mengibas saja ke arah kedua orang lawannya dan tubuh dua orang suami isteri itu pun terjengkang lalu terbanting keras ke atas tanah!

Sebelum Siangkoan Leng dan Ma Kim Li sempat bergerak, tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah tiba di dekat mereka. Dua tangan yang besar itu menyambar tengkuk, kemudian bagaikan dua ekor kelinci saja, dua orang itu sudah diangkat oleh Si Kakek Hitam yang melangkah lebar mendekati kakek gendut lalu melemparkan Siangkoan Leng dan Ma Kim Li ke atas tanah!

"Pak-kwi-ong, engkau dimata-matai orang sampai tidak tahu. Sungguh ceroboh!" Si Tinggi Besar muka hitam mengomel. Sejak tadi Kakek gendut yang disebut Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) itu tersenyum menyeringai saja dan kini dia tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, Setan Hitam, kedatanganmu pun aku sudah tahu sebelumnya, apa lagi dua ekor tikus itu!"

Sementara itu, Ma Kim Li yang merasa sudah terlanjur memasuki tempat berbahaya itu, segera menghampiri Hay Hay dan berkata. "Hay Hay, Anakku...! Mari ikut Ibu, Nak."

Akan tetapi, Hay Hay yang sedang mengalami pukulan-pukulan batin dan kebingungan itu mendadak saja merasa asing terhadap ibunya sendiri dan ketika ibunya memanggilnya, dia malah melangkah mundur sambil memandang dengan wajah agak pucat. Melihat ini, Ma Kim Li lalu menghampirinya.

Akan tetapi Tong Ci Ki yang tadinya berlutut di depan kakek gendut, tiba-tiba saja bangkit berdiri dan menerjang ke arah Ma Kim Li sambil membentak, "Jangan ambil lagi anak itu!"

Ma Kim Li marah dan menyambut dengan serangan. Pukulannya meluncur ke arah dada Tong Ci Ki. Wanita baju hitam ini mengelak lantas membalas dengan tendangan kakinya yang berhasil dielakkan pula oleh lawan. Melihat isteri mereka berkelahi, Siangkoan Leng dan Kwee Siong tidak tinggal diam. Mereka segera menyerbu dan keduanya juga sudah berkelahi dengan sengit.

Melihat empat orang itu berkelahi, dua orang kakek itu saling pandang. Si Kakek Hitam hanya mengerutkan alisnya, akan tetapi Si Kakek Gendut tertawa-tawa.

"Wah, bocah-bocah kurang ajar ini memang terlalu sekali! Di hadapan kakek-kakek buyut mereka masih berani berkelahi tanpa minta ijin lebih dulu." Dia mengomel, kemudian dia mengeluarkan suara memerintah, "Hayo kalian berempat berlutut semua!"

Kemudian dua tangannya bergerak-gerak seperti orang menggapai namun akibatnya luar biasa. Empat orang yang sedang berkelahi itu tiba-tiba saja roboh terguling.

Mereka terkejut bukan kepalang. Mereka itu, baik suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan, mau pun Lam-hai Siang-mo, keempatnya sudah memperoleh julukan 'iblis' yang menunjukkan bahwa mereka sudah berada pada tingkat puncak dari dunia hitam, menjadi datuk-datuk golongan sesat yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi kenapa sekarang mereka seperti anak-anak kecil yang tidak bisa apa-apa dan amat lemah saja? Dan yang lebih mengejutkan lagi, kakek gendut itu tak pernah menyentuh mereka, hanya dengan hawa pukulan saja mampu merobohkan mereka!

Karena maklum bahwa mereka semua sama sekali tidak akan mampu menandingi kedua orang kakek itu, maka mereka segera menjatuhkan dirinya berlutut. Mereka memiliki jalan pikiran yang sama. Kini mereka berhadapan dengan dua orang yang tingkatnya jauh lebih tinggi, maka sebaiknya tidak melawan dan bahkan minta pertimbangan mereka!

"Harap Locianpwe maafkan kami..." Demikian terdengar suara lirih dari mulut mereka.

Melihat betapa dua orang yang tadinya dianggap ayah bundanya, juga musuh mereka, yaitu suami isteri yang menculiknya, sekarang nampak tak berdaya sama sekali, seperti orang-orang yang lemah saja, kehilangan kegalakan mereka terhadap dua orang kakek aneh ini, tiba-tiba saja Hay Hay mendapat pikiran untuk mengorek rahasia tentang dirinya dari mereka berempat. Kalau saja dua orang kakek itu mau membantunya!

Maka dia pun cepat berlari menghampiri dua orang kakek itu yang sekarang sudah duduk berdampingan sambil bersila di atas batu-batu di puncak itu, lantas dia berkata dengan suara lantang.

"Ji-wi Locianpwe yang baik. Karena aku masih kecil dan tidak mampu bertindak sendiri, maka aku mengharap Ji-wi suka membantuku untuk mencari rahasia tentang diriku. Akan tetapi kalau Ji-wi menolak, berarti aku salah menilai orang."

Kedua orang kakek itu kembali saling pandang dan kakek hitam memancarkan sinar mata berkilat tanda marah kepada anak kecil itu, ada pun kakek gendut masih tersenyum lebar, akan tetapi alisnya berkerut juga ketika dia mendengar ucapan anak itu.

"Salah menilai bagaimana ?" tanya kakek gendut.

"Aku menilai bahwa Ji-wi tentu merupakan datuk-datuk persilatan yang sudah mempunyai kedudukan tinggi sekali, penuh wibawa dan adil, maka tentu Ji-wi akan mau membantuku. Jika tidak berarti penilaianku salah dan ternyata Ji-wi juga hanya dua orang kakek usil dan suka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa itu untuk mengganggu orang yang lebih lemah saja."

Hay Hay memang pandai bicara, lincah dan cerdik. Akan tetapi sikap serta ucapannya sekarang ini malah membuat suami isteri yang selama ini mengaku orang tuanya menjadi khawatir bukan main.

"Kepandaian yang tidak seberapa katamu?!" bentak kakek hitam tinggi besar.

Selama hidupnya belum pernah ada orang yang berani memandang rendah kepadanya, tetapi kini seorang anak kecil berusia tujuh tahun berani mengatakan dia dan Pak-kwi-ong sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa.

"Ya, tidak seberapa. Coba Ji-wi lihat. Sebatang pohon yang tidak mampu bergerak dapat menghasilkan daun hijau, bunga indah dan buah. Apakah Ji-wi mampu membuat semua itu? Kalau tidak dapat berarti Ji-wi kalah oleh sebatang pohon saja. Dan lihat kupu-kupu itu. Apa Ji-wi dapat terbang seperti mereka? Berarti Ji-wi kalah oleh kupu-kupu kecil saja. Apakah semua ini bukan membuktikan bahwa kepandaian Ji-wi tidak seberapa? Apabila dipakai menolongku masih ada gunanya, tapi sebaliknya jika hanya untuk main sombong-sombongan, apa gunanya?"

Dua orang kakek itu bangkit berdiri dan memandang kepada anak kecil itu dengan mata terbelalak. Mereka seolah-olah mendengar suara seorang yang lebih tinggi kedudukannya dan kepandaiannya dari pada mereka!

"Kau siapa?!" bentak kakek hitam.

Hay Hay menggeleng kepalanya. "Aku sendiri pun amat bingung, Locianpwe. Menurut dua orang yang memeliharaku semenjak kecil ini, yang mengaku sebagai ayah ibuku, namaku adalah Siangkoan Hay, anak mereka. Tapi menurut mereka berdua itu, yang menculikku, katanya aku bukan anak mereka dan namaku itu palsu, bahwa aku adalah Sin-tong..."

"Sin-tong...? Ha-ha, sungguh menarik!" Kakek gendut terkekeh dan memandang dengan penuh perhatian kepada Hay Hay.

Akan tetapi kakek hitam yang berjuluk Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur) itu tidak banyak bicara lagi. Dengan matanya yang mencorong aneh itu, tiba-tiba dia memandang suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan.

"Coba ceritakan tentang anak ini. Kalau membohong tebusannya nyawa kalian!"

Biar pun merasa terhina dan rendah sekali diperlakukan seperti itu, namun suami isteri ini mengenal orang yang jauh melebihi mereka, maka sikap yang menghina itu pun mereka telan saja. Bahkan mereka mengharapkan untuk mendapat bantuan dan dukungan kakek sakti itu untuk dapat mempertahankan Hay Hay yang sudah mereka rampas dari tangan Siangkoan Leng dan isterinya.

"Heh-heh, kalian juga harus menceritakan yang sebenarnya tentang anak ini!" kata pula Pak-kwi-ong kepada Lam-hai Siang-mo.

"Anak itu memang anak tunggal kami, Locianpwe, dan namanya Siangkoan Hay...," kata Siangkoan Leng.

"Bohong! Dia berbohong, Locianpwe!" bantah Kwee Siong.

"Kalian tidak perlu cekcok, kau ceritakan lebih dahulu yang sebenarnya." kini kakek hitam Tung-hek-kwi berkata kereng. "Yang lain diam saja!"

Si Tangan Maut Kwee Siong lalu bercerita dan merasa dirinya remeh sekali terhadap dua orang kakek sakti itu. "Tujuh tahun yang lalu, suami isteri pendekar Pek melarikan diri dari Tibet ketika isteri pendekar itu mengandung tua. Mereka terpaksa melarikan diri karena di antara para pimpinan Lama ada ramalan yang menyatakan bahwa anak yang dikandung itu adalah calon Dalai Lama, calon seorang suci, maka setelah terlahir tentu akan diambil dan dibawa ke dalam kuil untuk dididik..."

"Nanti dulu!" bentak Tung-hek-kwi. "Kau maksudkan pendekar Pek yang mana? Apakah pendiri dari Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di barat?"

"Kalau tidak keliru, muridnya atau puteranya, Locianpwe. Tapi mungkin puteranya karena dia terkenal dengan nama marga Pek."

Teruskan!"

"Berita itu segera tersiar luas dan terkenallah bahwa ada Sin-tong yang akan terlahir. Hal ini tentu saja amat menarik perhatian. Dan pada suatu malam, saat suami isteri pendekar itu menyembunyikan diri dalam kuil setelah anak mereka terlahir, baru berusia dua bulan, datanglah Lam-hai Siang-mo ini dan mereka pun mempunyai seorang anak yang sebaya. Anak mereka itu berpenyakitan dan agaknya, mendengar berita tentang Sin-tong, mereka lalu membunuh seorang nikouw dan pengasuh anak itu, kemudian menculik Sin-tong dan meninggalkan anak mereka sendiri sebagai gantinya setelah mereka membunuh anak itu dan merusak mukanya supaya tidak dikenal orang dan disangka Sin-tong yang terbunuh. Kami tiba di tempat kejadian itu dan setelah memeriksa luka dan jarum-jarum yang ada di tubuh para korban, kami segera dapat menduga bahwa pembunuhnya tentulah Lam-hai Siang-mo. Kami lantas melakukan pencarian dan setelah tujuh tahun, baru kami berhasil menemukan mereka. Kami lalu merampas kembali Sin-tong dan kami bawa lari sampai di sini dengan maksud untuk mengembalikannya kepada orang tuanya yang sebenarnya..."

"Benarkah cerita itu?!" bentak Tung-hek-kwi bengis kepada Lam-hai Siang-mo.

Suami isteri ini tidak berani menyangkal lagi karena memang cerita itu benar. "Memang benar, akan tetapi mereka itu berbohong jika mengatakan bahwa mereka akan membawa Hay Hay kepada pendekar Pek. Mereka jelas berbohong! Yang benar, mereka tentu akan membawa Hay Hay kepada para pendeta Lama untuk memperoleh ganjaran!" Ma Kim Li berhenti sebentar kemudian memandang kepada Tong Ci Ki dan suaminya penuh geram. "Mereka berdua adalah penghuni-penghuni Goa Iblis Pantai Selatan, mana mungkin mau membantu pendekar Pek?"

Mendengar percakapan mereka itu, sejak tadi Hay Hay memandang kepada orang tuanya dengan mata terbelalak dan tanpa disadarinya lagi, kedua matanya itu basah. Akan tetapi dia tak menangis. Tidak, dia malah mengepal kedua tinjunya dan menekan perasaannya yang terguncang.

Ternyata benar bahwa dia bukan anak Siangkoan Leng dan Ma Kim Li! Dia bukan she (nama keturunan) Siangkoan, melainkan she Pek! Putera pendekar Pek! Dengan tabah dia lalu melangkah maju menghadapi suami isteri yang tadinya dianggap ayah bundanya. Mereka tidak pernah memperlihatkan sikap sayang mereka kepadanya, akan tetapi harus diakuinya pula bahwa mereka pun tak pernah bersikap kasar. Mereka itu menyayangnya dengan cara mereka sendiri!

"Benarkah bahwa aku bukan anak kandung kalian dan bukan she Siangkoan, melainkan she Pek?" Dia bertanya kepada suami isteri itu tanpa menyebut ayah atau ibu.

Ma Kim Li mengangguk. "Benar, Hay Hay, akan tetapi kami menyayangimu seperti anak kandung kami sendiri. Hal ini tentu kau tahu."

Hay Hay adalah seorang anak yang selain cerdik, juga amat keras hati sehingga dia pun bukan anak cengeng dan tidak mudah dikuasai perasaannya. Sekarang dia memandang kepada wanita yang biasa dipanggil ibu itu dengan sinar mata dingin.

"Anak kandung sendiri kalian bunuh dan mukanya dirusak untuk ditukarkan dengan aku, anak orang lain. Apa sebabnya kalian sampai hati melakukan hal itu?"

Lam-hai Siang-mo tidak menjawab.

"Apa sebabnya?" Anak itu mendesak.

Kedua orang itu tetap tidak mengeluarkan suara jawaban. Dengan tiga langkah lebar saja Tung-hek-kwi sudah menghampiri mereka dan kedua tangannya menyambar. Suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) itu berusaha mengelak atau menangkis, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu mereka kehilangan tenaga dan tengkuk mereka sudah dicengkeram, tubuh mereka diangkat dan kakek tinggi besar hitam itu membanting.

"Bresss...!" Tubuh suami isteri itu terbanting keras sampai mereka terguling-guling.

"Masih juga tidak mau menjawab pertanyaan Sin-tong?!" bentak kakek itu.

Siangkoan Leng dan isterinya terkejut sekali dan kesakitan, mereka mengangguk-angguk dan cepat Ma Kim Li berkata kepada anak yang biasanya dianggap sebagai anak sendiri yang disayangnya. "Anak kandung kami... berpenyakitan, jadi kami ingin menukarkan dia dengan anak yang sehat, kami bunuh dua orang itu supaya tidak membuka rahasia kami dan kami rusak muka anak kandung kami agar tidak dikenal lagi."

"Bohong!" Tiba-tiba terdengar Tong Ci Ki berseru "Apa bila hanya ingin memperoleh anak sehat, kenapa yang dipilihnya justru Sin-tong, putera keluarga pendekar Pek yang banyak dibicarakan orang itu? Mereka tentu mempunyai keinginan yang sama dengan kami, yaitu ingin mendapatkan pahala dengan menyerahkan anak itu kepada para pendeta Lama di Tibet."

Mendengar kata-kata ini, Hay Hay kembali mendesak wanita yang pernah menjadi ibunya. "Betulkah begitu?"

Sambil melirik ke arah kakek tinggi besar yang galak dan sakti itu, Ma Kim Li menjawab. "Benar, Hay Hay. Pada mulanya memang kami hendak menukarkan engkau kepada para pimpinan pendeta Lama di Tibet yang mempunyai banyak benda-benda indah yang tidak ternilai harganya, akan tetapi kami lalu merasa suka kepadamu dan menganggap engkau sebagai anak kandung kami sendiri."

Sekarang Hay Hay memandang kepada empat orang itu bergantian. Di dalam hatinya dia merasa sangat heran dan juga ngeri membayangkan betapa empat orang ini merupakan orang-orang yang jahat luar biasa. Tak disangkanya ada orang-orang demikian jahatnya, terutama sekali dua orang di antara mereka adalah orang-orang yang selama ini dianggap sebagai ayah ibunya! Diam-diam dia merasa lega dan bersyukur bahwa dua orang yang demikian jahatnya itu bukan ayah dan ibu kandungnya.

"Kalian adalah orang-orang yang amat jahat!" Akhirnya dia berkata. "Kalian yang menjadi penghuni Goa Iblis Pantai Selatan sudah membunuh semua binatang peliharaan dan juga empat orang pelayan keluarga Siangkoan, kemudian kalian membunuh pula dua orang di dalam peti mati yang menggantikan mereka ini!" Berkata demikian, dia menuding ke arah Kwee Siong dan Tong Ci Ki penuh teguran.

Suami isteri itu hanya menundukkan muka saja tidak berani menjawab, takut kalau harus berurusan dengan kakek hitam tinggi besar atau kakek gendut yang luar biasa lihainya itu. Kini Hay Hay memandang kepada suami isteri yang pernah menjadi orang tuanya.

"Dan kalian pun tak kalah jahatnya, pantas sekali berjuluk Lam-hai Siang-mo. Kalian telah membunuh dua orang wanita yang tak berdosa, bahkan sudah membunuh anak kandung sendiri! Betapa kejinya itu. Dan tentu kalian pula yang memasukkan tubuh dua orang tidak berdosa ke dalam peti mati itu menggantikan tubuh kalian, sehingga mereka yang tewas menggantikan kalian."

Semenjak tadi Siangkoan Leng sudah kehilangan rasa sayangnya kepada Hay Hay yang bersikap memusuhinya itu. Dia tersenyum sinis dan menjawab, "Memang benar, bahkan kami juga membunuh empat orang murid kami yang bertugas menjaga peti. Semuanya itu kami lakukan agar mereka tidak dapat membuka rahasia kami. Hay Hay, itu bukan kejam atau jahat, melainkan cerdik sekali!"

"Kalian berempat ini orang-orang jahat dan kalau sekiranya aku memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu kalian sudah kubasmi habis!" kembali Hay Hay berkata dengan nada suara gemas.

"Heh-heh-heh-heh, Sin-tong. Apakah engkau ingin agar empat orang ini dibunuh? Dengan mudah saja aku akan melakukannya untukmu! Memang empat ekor tikus ini sudah patut sekali dibunuh!" kata kakek gendut yang berjuluk Pak-kwi-ong itu sambil tertawa-tawa.

Empat orang itu bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah datuk-datuk kaum sesat di daerah pantai selatan. Mereka belum pernah berjumpa dengan orang-orang seperti dua orang kakek ajaib itu, namun mereka sudah maklum akan kehebatan dua orang kakek itu yang tidak akan dapat mereka tandingi. Akan tetapi dibunuh begitu saja? Mereka tentu akan melawan sekuat tenaga dan akan melindungi nyawa sendiri selama mereka masih hidup!

Dan agaknya mereka berempat memang memiliki kecerdikan atau kelicikan yang sama, karena kini begitu mereka mendengar ucapan kakek gendut, mereka lalu bangkit berdiri dan seperti dikomando saja, empat orang itu langsung menyerbu ke arah Hay Hay untuk menangkap anak itu!

Ditubruk oleh empat orang yang sangat lihai itu dari semua jurusan, tentu saja Hay Hay tidak mampu menghindarkan diri. Bahkan dua orang kakek sakti itu pun sama sekali tidak menyangka bahwa empat orang itu akan melakukan hal itu, maka anak itu sudah berhasil ditangkap oleh Kwee Siong dan Siangkoan Leng. Dan anehnya, dalam sekejap mata saja, empat orang yang tadi yang bermusuhan karena memperebutkan Hay Hay itu, kini dalam keadaan terancam oleh pihak yang lebih kuat, mereka mendadak dapat bersatu!

"Heh-heh-heh, tikus-tikus pecomberan! Berani kalian melakukan itu? Hayo cepat lepaskan atau harus kuhancurkan dahulu kepala kalian yang tidak berharga itu?!" bentak si gendut Pak-kwi-ong, masih sambil tersenyum namun sinar matanya mencorong penuh ancaman maut.

"Ji-wi Locianpwe, jangan bergerak! Sekali bergerak atau melakukan hal-hal yang membuat kami curiga, maka lebih dahulu kami akan membunuh anak ini sebelum membela diri dan melawan mati-matian sebelum kami semuanya mati!" bentak Siangkoan Leng yang sudah menaruh telapak tangannya menempel di ubun-ubun kepala Hay Hay.

Hay Hay sama sekali tidak merasa takut, hanya marah dan juga semakin heran melihat betapa orang yang selama ini dianggap ayahnya itu kini mengancam hendak membunuh dirinya! Timbul rasa penasaran di dalam hatinya dan dia pun berteriak, tidak peduli bahwa dia telah dicengkeram dan diancam oleh empat orang lihai itu.

"Ji-wi Locianpwe, jangan dengarkan gertak sambal mereka! Biar mereka membunuhku, aku tidak takut. Akan tetapi Ji-wi hajarlah mereka sampai mereka itu lenyap dari muka bumi. Mereka ini orang-orang jahat yang perlu dibasmi!"

Akan tetapi dua orang kakek itu kini nampak ragu-ragu dan saling pandang. Tung-hek-kwi yang memandang kakek gendut itu bertanya. "Kau... tidak turun tangan?"

Si Kakek Gendut masih menyeringai, akan tetapi dia menggelengkan kepala. "Mana bisa? Dia... dia itu Sin-tong, sayang kalau terbunuh." Lalu dia memandang kepada empat orang yang masih siap siaga sambil mengancam Hay Hay itu. "Ehh, sebenarnya apa kehendak kalian?"

"Kami ingin pergi membawa anak ini. Sedikit saja Ji-wi membuat gerakan mencurigakan, kami akan bunuh anak ini lebih dahulu." kata Kwee Siong dan mereka berempat itu tanpa menanti jawaban sudah mulai menggiring dan menyeret Hay Hay meninggalkan puncak bukit itu.

Dua orang kakek itu, yang memiliki kesaktian jauh lebih tinggi dibandingkan empat orang itu, hanya saling pandang tetapi tidak mampu berbuat sesuatu. Tentu saja dengan sekali gerakan tangan mereka itu akan mampu membunuh empat orang itu, akan tetapi mereka juga maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mencegah empat orang itu lebih dahulu membunuh Hay Hay, dan karena inilah keduanya menjadi ragu-ragu, bahkan tak berdaya melakukan sesuatu ketika empat orang itu hendak meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi, baru saja empat orang itu pergi beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba terdengar suara melengking yang mengandung getaran amat kuat sehingga seolah-olah menusuk telinga dan menggetarkan jantung.

Hay Hay yang mula-mula roboh tidak sadarkan diri, sedangkan wajah empat orang yang mengepungnya itu pun tiba-tiba menjadi pucat dan mereka berempat itu maklum bahwa suara itu merupakan serangan melalui tenaga khikang yang amat dahsyat. Mereka cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang mereka untuk melindungi diri mereka.

Karena adanya serangan tiba-tiba melalui suara itu, sejenak keempat orang ini lupa akan pengamatan mereka terhadap Hay Hay. Dan pada beberapa detik itu, mendadak nampak sesosok bayangan seperti seekor burung raksasa menyambar ke arah mereka.

Tadi keempat orang itu hanya melakukan pengamatan terhadap gerak-gerik Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi saja, dan mereka pun sedang mengalami kekagetan karena datangnya serangan suara yang bukan datang dari dua orang kakek sakti itu. Oleh karena itu, begitu ada bayangan yang seperti burung raksasa menyambar ke arah mereka ini, empat orang itu terkejut bukan main.

Mereka sedang melawan pengaruh suara melengking, namun kini disambar oleh burung raksasa yang mendatangkan angin sambaran sangat dahsyat, Tentu saja mereka terkejut bukan kepalang dan berusaha untuk membela diri. Akan tetapi sambaran angin dari sayap 'burung raksasa' itu sedemikian kuatnya sehingga mereka itu terdorong ke belakang dan pada saat itu pula makhluk itu telah menyambar turun dan tahu-tahu tubuh Hay Hay telah dipondongnya dan dibawa melompat agak jauh dari situ.

Ketika empat orang yang hendak melarikan Hay Hay itu kini terbebas dari pengaruh suara melengking yang tiba-tiba sudah terhenti dan mereka memandang, ternyata di sana telah muncul dua orang aneh lainnya.

Salah seorang di antara mereka ialah kakek berpakaian pengemis dengan baju kembang-kembang dan bertambal-tambal akan tetapi bersih. Tubuhnya kurus dan tingginya sedang saja, kakinya memakai sepatu butut, rambutnya kusut dan awut-awutan, demikian pula kumis dan jenggotnya, akan tetapi sepasang matanya tajam bukan main.

Di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak) yang berpinggang, dan di tangannya tampak sebatang suling yang panjangnya ada tiga kaki, terbuat dari kayu hitam. Kakek ini muncul seperti dari dalam bumi saja, dan begitu muncul dia tersenyum menyeringai, dan wajahnya selalu berseri-seri gembira seperti orang yang selalu merasa geli akan keadaan sekelilingnya.

Dan tidak jauh dari sana, sudah muncul pula seorang kakek tinggi besar yang berkepala gundul. Kakek inilah yang tadi disangka burung raksasa oleh Siangkoan Leng dan Kwee Siong serta isteri mereka. Kakek yang memakai jubah seorang pendeta Lama, jubahnya lebar berkotak-kotak merah dan kuning dan tadi saat kakek itu meloncat seperti terbang, jubahnya ini berkembang seperti sepasang sayap.

Kakek pendeta Lama ini berwajah alim. Alisnya tebal namun pandangan matanya lembut, mukanya bulat dan sepasang telinganya amat panjang. Kini tangan kirinya menggandeng tangan Hay Hay sedangkan tangan kanannya memegang seuntai tasbeh, mulutnya terus berkemak-kemik seperti orang membaca doa.

Tentu saja Siangkoan Leng, Ma Kim Li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki terkejut dan merasa gentar bukan main. Baru saja mereka bertemu dengan dua orang kakek yang luar biasa lihainya, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dan sekarang muncul lagi dua orang kakek yang juga mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian mereka sendiri.

Dengan suara sulingnya kakek berpakaian pengemis itu telah membuat mereka kerepotan dan mereka segera maklum betapa saktinya kakek yang dapat mengeluarkan suara yang memiliki daya serang demikian kuatnya. Juga pendeta raksasa itu jelas mempunyai ilmu kepandaian luar biasa, karena sekali gebrakan saja sudah dapat merampas Hay Hay dari tangan mereka. Kini anak itu yang sudah terbebas pula dari pengaruh suara suling, sudah berdiri digandeng kakek pendeta Lama itu, memandang kagum kepada penolongnya.

Karena maklum bahwa berdiam di tempat itu lebih lama merupakan bahaya besar bagi mereka, sepasang suami isteri Goa Iblis dan sepasang suami isteri Laut Selatan segera menggerakkan tubuh mereka berlompatan dan melarikan diri turun dari atas puncak itu.

Empat orang kakek aneh yang berkumpul di puncak bukit itu kini agaknya sudah tidak mempedulikan lagi kepada mereka yang melarikan diri. Walau pun Siangkoan Leng dan Kwee Siong beserta isteri mereka itu merupakan tokoh-tokoh besar di antara kaum sesat, namun agaknya bagi empat kakek sakti itu mereka tidak lebih hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tak ada artinya dan karena itu, begitu mereka melarikan diri, mereka pun tidak mempedulikan sama sekali, bahkan telah melupakan mereka karena mereka lebih tertarik akan pertemuan antara mereka berempat itu.

Sungguh aneh bukan main. Siangkoan Leng bersama isterinya dan Kwee Siong bersama isterinya, empat orang yang tadinya saling bermusuhan itu, kini bersama-sama melarikan diri turun dari bukit secepatnya bagaikan orang-orang yang dikejar setan saja. Dan ketika mereka sudah berada jauh dari bukit itu, mereka berhenti di sebuah hutan dan lenyaplah semua permusuhan yang tadinya berada di dalam batin mereka.

Agaknya peristiwa di puncak bukit tadi, bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih lihai, membuka mata mereka bahwa mereka itu sebenarnya bukan apa-apa. Apa lagi karena Hay Hay yang menjadi perebutan di antara mereka itu kini terjatuh ke tangan orang yang jauh lebih lihai, maka mereka kini agaknya telah melupakan semua permusuhan di antara mereka!

"Bukan main... sungguh gila mereka itu! Belum pernah aku bertemu dengan orang-orang selihai mereka!" Kwee Siong berkata sambil mengusap keringat dari leher dan mukanya, menggunakan sehelai sapu tangan hitam. Wajah isterinya yang biasanya memang sudah amat pucat seperti mayat itu, kini nampak kehijauan.

"Tentu mereka itu bukan manusia lagi...," kata pula isterinya yang masih merasa tegang dan gentar.

Siangkoan Leng menarik napas panjang. "Ahh, setelah bertemu dengan mereka, baru aku tahu bahwa apa yang kita miliki ini tidak ada artinya sama sekali. Kita masih harus belajar banyak! Dan kita saling gempur sendiri...hemm, betapa bodohnya..."

"Engkau benar, Siangkoan Leng. Sekarang tidak ada artinya lagi bagi kita apa bila saling bermusuhan. Bahkan dengan bersatu pun kita masih tak mampu menandingi mereka, apa lagi kalau kita saling bermusuhan sendiri. Lalu apa yang mampu kita lakukan supaya bisa merampas kembali Sin-tong?"

Siangkoan Leng menggerakkan kedua pundaknya. "Apa lagi yang bisa kita lakukan? Kita tidak mengenal mereka, kecuali dua orang kakek pertama yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Entah siapakah jembel tua yang amat lihai dengan suara sulingnya itu. Dan aku pun tidak mengenal siapa adanya pendeta yang merampas Hay Hay itu."

"Pendeta itu terang seorang pendeta Lama dari Tibet. Entah dia mewakili para pimpinan Dalai Lama atau tidak, kita tidak tahu. Dan pengemis Jembel itu... hemmm, jangan-jangan dia itulah yang dikenal seperti tokoh dongeng dari Pulau Hiu!" kata Kwee Siong.

"Apa?! Majikan Pulau Hiu yang berjuluk Ciu-sian Sin-kai (Pengemis Sakti Dewa Arak)? Benarkah tokoh dongeng itu masih hidup?" kata Ma Kim Li dengan mata terbelalak.

"Wah, jika benar dia, berarti tokoh-tokoh dongeng yang kabarnya mempunyai kepandaian seperti dewa itu, kini bermunculan di dunia ramai!" kata Tong Ci Ki. "Bukankah Pengemis Sakti itu termasuk kelompok tokoh yang dinamakan Pat Sian (Delapan Dewa)?"

"Kabarnya begitu." jawab suaminya. "Akan tetapi karena mereka disebut sebagai tokoh dongeng karena tidak pernah keluar sejak puluhan tahun, tidak ada yang memperhatikan lagi. Dan sekarang agaknya salah seorang di antara mereka muncul, dan mungkin yang tiga orang itu pun termasuk kelompok Delapan Dewa. Kalau benar demikian, benar-benar kita berempat ini mengalami kesialan luar biasa. Ahh, semua gagal. Apa yang dapat kita lakukan sekarang?"

"Satu-satunya jalan bagi kita agar bisa membalas semua penghinaan ini adalah mengadu domba di antara mereka. Sebaiknya kita kabarkan kepada para pimpinan Dalai Lama di Tibet tentang Hay Hay... maksudku Sin-tong. Mereka tentu tidak akan tinggal diam kalau menemukan jejak Sin-tong. Juga kita kabarkan kepada keluarga pendekar Pek. Mereka pun tentu tidak akan tinggal diam. Harus kita ketahui bahwa keluarga Pek yang menjadi pendiri dan pimpinan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) tak boleh dibuat main-main. Kita adu dombakan mereka." kata Siangkoan Leng.

"Baik sekali itu. Mari kita membagi-bagi tugas," kata Kwee Siong.

Dan mereka pun segera berunding seperti empat orang sahabat baik. Sungguh lucu dan aneh sekali. Baru beberapa waktu yang lalu, dengan segala senang hati mereka hendak saling serang dan saling membunuh, dengan kebencian luar biasa. Akan tetapi sekarang mereka berunding seperti empat orang sahabat baik.

Memang demikianlah watak kita manusia pada umumnya. Dalam keadaan biasa, masing-masing hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, masing-masing mengejar kesenangan bagi diri sendiri, sehingga dalam pengejaran kesenangan itu, siapa pun yang dianggap sebagai penghalang akan diterjang dan disingkirkan dan dalam pengejaran kesenangan ini, selalu tentu akan terdapat halangan-halangan yang menimbulkan permusuhan.

Dan sebaliknya, dalam keadaan sengsara, dalam keadaan terancam, maka orang akan condong untuk menghindarkan diri, untuk mencari kawan, berharap bantuan dari orang lain. Kecondongan inilah yang mendorong kita untuk berbaik dengan orang lain, terutama dengan orang yang senasib sependeritaan seperti yang terjadi pada empat orang yang biasanya dianggap jahat dan kejam seperti iblis itu.


********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Matahari memandikan permukaan puncak bukit itu dengan cahayanya yang keemasan. Masih jelas terlihat sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada kelopak-kelopak bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa kesejukan pagi yang amat menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun bercampur dengan aroma daun-daun kering membusuk, mendatangkan bau yang khas. Suara desir angin pagi di antara daun-daun pohon, diseling kicau burung. Matahari sudah naik agak tinggi, akan tetapi kesegaran pagi masih belum terbakar siang, sinar matahari masih lembut hangat dan ramah.

Di bawah puncak nampak segala pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur malam tadi, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi. Di angkasa nampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-aneh, dengan latar belakang langit biru yang makin lama warnanya menjadi makin muda menuju keputihan.

Keindahan terdapat di mana-mana, akan tetapi hanya bisa dinikmati, hanya dapat dilihat oleh batin yang tidak disibukkan atau dipenuhi kebisingan pikiran yang resah. Di dalam batin yang terbebas dari kesibukan pikiran, pintu-pintu hati akan terbuka sehingga dapat menampung cahaya cinta kasih, seperti kamar yang dibuka daun pintu dan jendelanya, dapat menampung cahaya matahari sehingga menjadi terang. Hanya batin yang bebas saja yang disinari cahaya cinta kasih sehingga dapat menikmati keindahan yang nampak di mana pun juga!

Keindahan nampak jelas, terdapat di setiap ujung daun dan bunga. Keindahan terletak pada kewajaran, di mana hati tidak dicampuri oleh segala kecondongan dan seleranya. Keindahan terdapat pada sehelai daun kering yang melayang turun dari pohonnya, yang menari-nari lepas dengan lenggang-lenggok bebas, terdapat dalam kicau burung yang mengeluarkan bunyi yang tak terikat oleh nada dan irama tertentu, bunyi yang bebas dan wajar, tidak dibuat-buat.

Sayang sekali bahwa keindahan jarang nampak oleh kita. Kepekaan batin kita sudah menjadi tumpul karena setiap saat dibebani masalah-masalah kehidupan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri.

Sumber keindahan terdapat pada keadaan batin kita. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih akan melihat keindahan, keindahan itu yang berada di mana pun juga. Sebaliknya batin yang penuh ikatan, batin yang penuh dengan segala masalah, penuh dengan emosi, kebencian, kekecewaan, batin semacam itu membuat mata, telinga, hidung dan semua panca indra, buta dan tumpul akan segala keindahan, bahkan yang nampak hanya yang kita anggap tidak menyenangkan saja. Segala sesuatu akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan bagi batin seperti ini.

Tidak ada cara-cara yang tertentu untuk membebaskan batin. Latihan-latihan hanya akan menciptakan ikatan-ikatan baru saja dan menjadi beban baru bagi batin. Akan tetapi kita dapat mengurangi beban batin dengan menghabiskan segala sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga! Menyelesaikan persoalan yang timbul pada saat itu juga, tanpa menampungnya ke dalam batin.

Hal ini mengurangi beban batin, walau pun tidak dapat dikatakan bahwa dengan demikian batin ini telah menjadi bebas. Menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita sebagai mana adanya, sebagai suatu kewajaran saja, tanpa keluhan, dengan penuh perhatian dan penuh pengamatan, kemudian menghabiskannya pada waktu itu juga, tanpa menyimpan. Mungkinkah kita melakukan ini setiap saat, selama hidup kita?


Orang yang berada di atas puncak bukit itu, andai kata dia sendirian dan tidak sedang menghadapi persoalan, sedikit banyak tentu akan terbawa oleh suasana yang hening dan penuh damai. Akan tetapi sayang, mereka yang kini berada di puncak itu, tidak mampu menikmati segala keindahan itu karena mereka saling berhadapan, bahkan dengan sinar mata saling menentang.

"He-he-heh-heh, Tung-hek-kwi, apakah engkau yang mengundang jembel tua ini datang ke sini untuk menjadi saksi, ataukah malah untuk membantumu?" terdengar Pak-kwi-ong berkata dengan nada suara mengejek kepada Si Raksasa Hitam ketika Siangkoan Leng dan isterinya, serta Kwee Siong dan isterinya, sudah melarikan diri meninggalkan puncak bukit itu.

"Huh, siapa mengundang jembel tua yang usilan ini? Aku tidak butuh bantuannya untuk menandingimu, Pak-kwi-ong! Sebaliknya, engkau malah mengajak pendeta Lama gundul ini ke sini untuk membantumu!" jawab Tung-hek-kwi.

"Siapa sudi mengekor kepada seorang pendeta palsu?" Pak-kwi-ong mengejek.

"Ha-ha-ha-ha, See-thian Lama, lihatlah dua orang ini. Ternyata mereka ini yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Setan Empat Penjuru Dunia! Dan memang mereka ini kurang ajar, berani mati, dan sombong seperti nama mereka. Kiranya masih ada sisa mereka, tadinya kukira bahwa Empat Setan itu sudah kembali ke neraka semua, ha-ha-ha!"

Pendeta Lama yang tinggi besar itu, yang lebih tinggi besar dibandingkan Tung-hek-kwi, menarik napas panjang dan jari-jari tangan kanannya memutar-mutar biji tasbeh, ada pun tangan kiri mengelus kepala Hay Hay.

"Omitohud...! Tak pernah pinceng mengira bahwa mereka ini masih ada, seperti juga tidak pernah pinceng bermimpi akan bertemu denganmu di sini, Ciu-sian Sin-kai!"

Kini dua orang datuk sesat itulah yang terkejut bukan main. Akan tetapi mereka itu sama sekali tidak kelihatan kaget. biar pun jantung mereka mengalami guncangan. Pak-kwi-ong malah terkekeh gembira.

"He-he-heh-heh! Mimpikah aku?" Dia mencubit lengannya sendiri. "Hayaaa, bukan mimpi akan tetapi bahkan lebih aneh dari pada mimpi! Tung-hek-kwi, kita berdua berjanji akan mengadakan pertemuan di sini, dan siapa tahu di sini kita bertemu dengan Sin-tong, dan juga bertemu dengan dua orang dari Delapan Dewa! Heh-heh-heh, aku tidak tahu apakah ini merupakan suatu keberuntungan ataukah kesialan."

"Omitohud... semoga diberkahi seluruh umat di dunia ini!" See-thian Lama berkata dengan kaget dan gembira. "Ji-wi tadi bicara tentang Sin-tong? Siancai... apakah anak ini adalah Sin-tong, putera pendekar Pek?"

"Wah? Sin-tong yang dahulu pernah diributkan dan pernah menggegerkan para Lama di Tibet itu? Beberapa tahun yang lalu aku juga pernah mendengar tentang itu!" kata pula Ciu-sian Sin-kai.

Pak-kwi-ong terkekeh. "Begitulah menurut keterangan empat ekor tikus tadi. Akan tetapi benar tidaknya, mana aku tahu? Kalian adalah dua di antara Delapan Dewa, dan kabarnya menurut dongeng, para dewa itu tahu segala, kenapa tanya aku?"

Tentu saja maksud kakek gendut ini bukan untuk berkelakar saja seperti memang sudah menjadi wataknya yang suka berkelakar, akan tetapi juga untuk mengejek, menunjukkan sikap tidak takut dan tidak tunduk biar pun dia pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Delapan Dewa amatlah hebatnya.

"Omitohud, tidak ada yang lebih tahu dari pada anak ini sendiri. Anak baik鈥?," katanya sambil mengelus kepala Hay Hay, "benarkah engkau ini anak pendekar Pek yang pernah melarikan diri dari Tibet ketika engkau masih dalam kandungan ibumu?"

Hay Hay mengerutkan alisnya. Baru saja dia terlepas dari tangan empat orang jahat yang memperebutkannya, dan sekarang agaknya dia kembali jatuh ke tangan orang-orang yang lebih sakti lagi, akan tetapi yang juga agaknya tertarik oleh keturunannya dan kini hendak menyelidiki asal-usulnya. Hal ini membuatnya merasa sebal.

"Tak tahulah, Lo-suhu. Aku ini entah anak pendekar Pek ataukah anak setan. Yang jelas, aku mengenal namaku sebagai Hay Hay dan semenjak kecil aku ikut Siangkoan Leng dan isterinya yang ternyata adalah Lam-hai Siang-mo. Menurut keterangan empat orang yang memperebutkan diriku tadi, memang katanya aku ini anak pendekar Pek, akan tetapi aku sendiri mana tahu?"

Kembali pendeta Lama itu mengelus-elus kepala Hay Hay, dan sekarang Hay Hay tahu bahwa kakek itu bukan mengelus sembarangan saja, melainkan meraba-raba kepalanya seperti ingin mengukur atau melihat bentuk kepala itu.

"Pinceng dapat menentukan apakah engkau memang Sin-tong atau bukan."

Tiba-tiba saja Hay Hay merasa betapa seluruh pakaiannya terlepas dari tubuhnya. Dia tak melihat bagaimana pendeta itu melakukannya, akan tetapi tiba-tiba saja, dengan sangat cepat sehingga tidak ada waktu baginya untuk menolak atau menegur, semua pakaiannya itu terlepas dari tubuhnya.

Kini dia berdiri dengan tubuh telanjang bulat di tengah-tengah, ada pun empat orang kakek itu berdiri di sekelilingnya. Mereka mengamati seluruh tubuhnya, menaksir-naksir seperti empat orang pedagang sapi di pasar sedang menaksir seekor sapi sebelum menentukan harganya.

"Omitohud, pinceng tidak melihat tanda merah di punggungnya yang telah ditentukan oleh ramalan di Tibet bahwa Sin-tong itu ada tanda merah pada bagian punggungnya. Anak ini bukan Sin-tong!" Akhirnya See-thian Lama berkata.

Tiga orang sakti itu mengangguk-angguk percaya. Nama See-thian Lama sebagai seorang di antara Delapan Dewa tentu saja menjadi jaminan akan kebenaran keterangannya itu.

"Biar pun demikian, aku melihat bakat yang baik bersinar dari matanya! See-thian Lama, berikan saja dia kepadaku untuk menjadi muridku. Sudah lama aku mencari seorang anak yang cocok untuk kuberikan peninggalan semua ilmuku, he-he-he!" kata Ciu-sian Sin-kai dengan girang.

"Omitohud, penglihatanmu masih awas sekali, Sin-kai!" See-thian Lama memuji. "Akan tetapi sebelum engkau melihatnya, sejak tadi pinceng telah mengetahui bakat terpendam anak ini dari bentuk kepalanya sehingga sejak tadi pinceng sudah mengambil keputusan bahwa apa bila anak ini bukan Sin-tong yang harus diserahkan kepada para Dalai Lama, maka pinceng akan mengambilnya sebagai murid pinceng."'

"Wah-wah-wah, engkau telah menjadi pendeta harus mau mengalah kepadaku, See-thian Lama. Apakah engkau tidak merasa kasihan kepadaku kalau aku membawa mati ilmuku tanpa kusalurkan kepada murid yang berbakat?"

"Heiii, nanti dulu!" Mendadak Tunghek-kwi membentak marah. "Kalian ini enak saja bicara tentang anak itu seakan-akan kami tidak mempunyai hak. Sebelum kalian datang, kami yang berhak atas diri anak ini dan bicara tentang murid, kami juga belum punya murid dan merasa bahwa kami yang mempunyai hak pertama untuk menjadi gurunya." Sebenarnya Tung-hek-kwi atau pun Pak-kwi-ong tidak ingin mengambil murid Hay Hay, hanya karena merasa dikesampingkan, maka Tung-hek-kwi menegur dan merasa penasaran.

"Benar! Sejak dahulu kami sudah mendengar nama Delapan Dewa sebagai orang-orang yang tinggi hati dan tidak memandang sebelah mata kepada golongan lain," Pak-kwi-ong menyambung. "Aku pun ingin mengambil anak ini sebagai murid!"

"Wah-wah-wah, berabe sekarang!" Ciu-sian Sin-kai berkata sambil tertawa gembira. Bagi dia keadaan yang berabe itu malah menggelikan dan menggembirakan. "See-thian Lama, bagaimana sekarang? Dua orang dari Empat Setan ini pun ternyata menghendaki anak itu. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau rela menyerahkan anak ini agar kelak menjadi calon datuk sesat yang hanya akan mengeruhkan dunia? Dosamu besar sekali kalau kau berikan dia kepada mereka, ha-ha-ha!"

"Omitohud, segala bentuk kekerasan tiada gunanya dan hanya merusak. Memaksa anak ini menjadi muridku pun akan merusaknya. Karena anak ini yang akan menjadi murid dan begini banyaknya orang yang ingin mengambilnya sebagai murid, maka biarlah pinceng serahkan kepada anak itu sendiri, siapa yang akan diangkat menjadi gurunya. Anak baik, kau tentukanlah pilihanmu."

Semenjak tadi Hay Hay telah mendengarkan semua perkataan mereka itu dan diam-diam dia pun merasa gembira bukan main. Agaknya empat orang ini, yang dia tahu merupakan orang-orang yang luar biasa, memiliki niat yang berbeda kalau dibandingkan dengan dua pasang suami isteri tadi. Mereka ini agaknya memperebutkan dia untuk diambil murid!

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.