KETIKA semua orang memandang, ternyata di sana sudah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul dan jubahnya yang lebar itu berkotak-kotak warna merah kuning, di tangan kirinya memegang seuntai tasbeh. Begitu melihat pendeta Lama tinggi besar dan berwajah lembut ini, lima orang pendeta Lama yang tadi berkelahi, terbelalak kaget dan cepat-cepat mereka itu menjura dengan sikap hormat!
"Mohon Kakek Guru sudi memaafkan, teecu sekalian berkelahi bukan karena terdorong nafsu ingin menggunakan kekerasan, melainkan karena berselisih pendapat dengan pihak Pek-sim-pang. Teecu diutus oleh pimpinan Dalai Lama di Lha-sa untuk mencari kembali ayah dan ibu calon Sin-tong yang sudah melarikan diri dengan diam-diam." Demikianlah seorang di antara mereka melapor.
Tentu saja mereka itu terkejut dan takut karena pendeta Lama raksasa ini masih terhitung kakek guru mereka. Para pimpinan di Lha-sa masih terhitung murid-murid keponakannya dan pendeta ini adalah See-thian Lama, seorang di antara Pat Sian (Delapan Dewa)!
Karena selama puluhan tahun pendeta ini tak pernah keluar dan sama sekali tidak dikenal orang luar, maka Pek Ki Bu sendiri pun tidak mengenalnya. Akan tetapi, melihat betapa hwesio Lama yang amat sakti itu disebut guru oleh pendeta Lama yang amat lihai itu, dia tahu bahwa pendeta Lama ini tentu memiliki kedudukan tinggi dan juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Maka dia pun cepat memberi hormat.
"Harap Lo-suhu sudi mengampuni kami. Sejak ayah kami mendirikan Pek-sim-pang, kami selalu menjadi sahabat-sahabat baik dari para pendeta Lama di Lha-sa dan kami pun tak pernah melakukan pelanggaran. Akan tetapi kali ini para pendeta Lama hendak menekan kami dalam urusan keluarga kami. Anak kami Pek Kong dan isterinya yang mengandung tua sedang pergi untuk berkunjung kepada keluarga mereka di kampung halaman karena isterinya ingin melahirkan di antara keluarganya di timur sana. Akan tetapi, para Lo-suhu di Lha-sa menghendaki agar mereka itu kembali dan bahkan hendak memaksa mereka kembali. Bukankah itu berarti bahwa para pendeta Lama di Lha-sa hendak memperkosa hak kebebasan keluarga kami? Mohon pertimbangan Lo-suhu yang seadil-adilnya."
See-thian Lama tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Pek-pangcu, pinceng kira tak perlu pinceng jelaskan lagi bahwa setiap orang manusia yang hidup di dunia ramai tidak akan dapat terbebas dari pada peraturan-peraturan yang diadakan oleh para penguasa setempat. Sudah menjadi peraturan dan kebiasaan di Tibet mengenai pemilihan Sin-tong, anak ajaib yang sudah ditentukan untuk kelak menjadi Dalai Lama. Dan kebetulan sekali yang terpilih adalah calon cucu Pangcu. Karena keluarga Pek bertempat tinggal di daerah Tibet, tentu saja Pangcu juga tidak terbebas dari pada peraturan itu. Nah, tentu saja para pimpinan Lama tidak dapat dianggap sewenang-wenang jika mereka itu ingin melindungi mantu Pangcu yang akan melahirkan Sin-tong, karena itu merupakan hak dan kewajiban mereka. Jika Pangcu menentang, berarti Pangcu menentang peraturan dan kepercayaan serta kebiasaan yang sudah berjalan sejak ratusan tahun yang lalu."
Pek Ki Bu dapat mengerti akan pendapat pendeta Lama yang tua ini dan dia pun tidak dapat membantah. Diam-diam dia mencari akal dan dia pun tahu bahwa ayahnya sudah mengatur rencana jangka panjang untuk menyelamatkan cucunya.
"Pendapat Lo-suhu memang tepat dan benar, dapat kami mengerti. Akan tetapi, anak dan mantu kami itu tak bermaksud melarikan diri, melainkan ingin melahirkan anak mereka di lingkungan keluarga di timur. Kami memang belum percaya benar bahwa mantuku akan melahirkan seorang Sin-tong yang memiliki tanda merah pada punggungnya. Bagaimana kalau kelak dia melahirkan anak yang tidak mempunyai tanda itu?"
"Tidak mungkin...!" kata seorang di antara lima pendeta Lama itu penuh semangat.
"Biasanya, perhitungan dan ramalan para pimpinan Lama tidak akan keliru, Pangcu. Akan tetapi kalau anak itu benar-benar terlahir tanpa tanda itu, berarti ada kekeliruan di dalam perhitungan itu dan tentu saja anak itu bukan Sin-tong."
"Bagus, kalau begitu kami berjanji. Apabila anak itu nanti terlahir dengan tanda merah di punggungnya, maka kami akan mengantarkannya ke Lha-sa. Akan tetapi kalau tidak ada tandanya, kami minta agar cucuku itu dibebaskan."
"Biar kami yang menyaksikan apakah dia terlahir dengan tanda itu atau tidak. Kami harus mengetahui di mana mantumu itu supaya kami dapat mengamatinya dan melindunginya," seorang pendeta Lama berkeras.
"Kalau begitu, biar pun kami semua dibunuh, kami tidak akan mau memberi tahu di mana adanya anak dan mantuku!" Pek Ki Bu berkeras.
Kedua pihak sudah saling melotot lagi dan tentu akan terjadi perkelahian kelanjutan yang lebih mati-matian. Akan tetapi See-thian Lama mengangkat tangan ke atas, maka semua orang pun terdiam. Memang kepada pendeta Lama raksasa inilah kedua pihak agaknya minta pertimbangan dan keputusan.
"Omitohud... kekerasan tidak akan pernah dapat menciptakan perdamaian. Kalau urusan Sin-tong dicemari oleh kekerasan, perkelahian, apa lagi sampai bunuh-membunuh, maka kesucian yang diciptakan dengan lahirnya seorang Sin-tong akan ternoda. Ada peraturan di Lha-sa bahwa pimpinan Lama mempunyai hak untuk menentukan segala sesuatu yang berkenaan dengan penduduk di Tibet. Bila seorang Sin-tong akan terlahir di dalam wilayah Tibet, maka para pimpinan Lama boleh mengambil tindakan apa saja untuk mengambil anak itu. Akan tetapi kalau kebetulan Sin-tong dilahirkan di luar wilayah Tibet, ini adalah suatu hal yang sering pula terjadi, maka para Lama tidak berhak memaksa keluarga yang bersangkutan karena mereka bukan warga negaranya, meski pun tentu saja mereka juga akan berusaha sebisa-bisanya untuk menarik Sin-tong ke dalam biara. Nah, Pek-pangcu, kalau keluargamu dan seluruh anggota Pek-sim-pang tidak menjadi penghuni di Tibet lagi, maka tentu saja para pimpinan Lama di Lha-sa takkan memaksamu. Dengan kepindahan kalian dari sini, berarti kalian tidak harus tunduk terhadap peraturan, dan semua pertikaian mengenai anak itu akan habis sampai di sini saja."
Andai kata yang mengeluarkan pendapat ini bukan See-thian Lama, seorang yang amat dihormati oleh para pendeta Lama, mungkin sekali bisa menimbulkan kemarahan di pihak para pendeta karena nadanya seperti melindungi dan menasehati keluarga Pek dan anak buahnya. Sebaliknya, mungkin saja pihak Pek-sim-pang akan merasa terhina atau seolah diusir. Akan tetapi para pendeta Lama itu diam saja dan hanya memandang kepada Pek Ki Bu dan anak buahnya.
Pek Ki Bu bukanlah seorang yang berpikiran pendek atau keras kepala. Dia pun maklum bahwa dengan adanya urusan cucunya itu, kalau dia sekeluarga dan Pek-sim-pang tidak pergi dari Nam-co, tentu selalu akan dimusuhi oleh para pendeta Lama. Hal ini sama saja dengan dimusuhi oleh penguasa setempat sehingga tentu saja kehidupan mereka menjadi tidak aman lagi.
Demikianlah, tanpa banyak membantah lagi Pek Ki Bu kemudian membawa keluarga dan anggota perkumpulannya untuk boyongan dan pergi meninggalkan kota Nam-co, menuju ke timur. Memang ada beberapa orang murid yang tidak ikut karena mereka lebih suka tetap tinggal di Nam-co bersama keluarga mereka. Karena kini Pek-sim-pang sudah tidak berada lagi di Nam-co dan para murid itu tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan pertikaian yang disebabkan oleh Sin-tong, maka murid-murid yang masih tinggal di Nam-co itu tidak merasa khawatir akan mengalami gangguan.
Dan di tengah perjalanan, di luar batas negeri Tibet, rombongan keluarga Pek ini bertemu dengan Pek Kong dan isterinya. Tentu saja pertemuan itu menggembirakan akan tetapi juga menyedihkan dan mengharukan. Masing-masing menceritakan pengalaman mereka.
Saat mendengar bahwa secara rahasia cucunya telah dibawa pergi oleh ayahnya sendiri, Pek Ki Bu merasa amat lega. Dia pun merasa ngeri mendengar akan peristiwa maut yang menewaskan pengasuh, nikouw dan seorang anak kecil yang ditukarkan.
"Kong-ji (Anak Kong)," kata Pek Ki Bu. "Kita tidak boleh melupakan anak laki-laki yang diculik penjahat itu. Betapa pun juga, anak itu telah menyelamatkan cucuku dan sungguh kasihan dia, masih begitu kecil sudah kehilangan ibunya dan tak pernah dipedulikan ayah kandungnya, dan kini berpindah tangan lagi diculik penjahat. Kelak engkau harus mencari anak itu dan menyelamatkannya."
Pek Kong mengangguk. "Kongkong sudah meninggalkan sebuah benda perhiasan yang menurut Kongkong adalah milik ayah kandung anak itu yang mempunyai nama keturunan Tang."
Dia lalu menceritakan apa yang didengarnya dari kakek Pek Khun. Kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke daerah Kong-goan, sebuah kota besar di Propinsi Se-cuan dari mana keluarga Pek berasal.
Anak laki-laki yang dilahirkan oleh isteri Pek Kong dan kemudian dibawa pergi oleh kakek buyutnya itu diberi nama Pek Han Siong, sebuah nama yang dipilih oleh Pek Kong serta isterinya untuk putera mereka. Dapat dibayangkan betapa sukarnya bagi seorang kakek tua seperti Pek Khun, harus membawa seorang bayi yang baru berusia beberapa hari dan melakukan perjalanan yang jauh dan sukar!
Akan tetapi kakek Pek Khun adalah seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga dia adalah seorang ahli pengobatan sehingga dia bisa merawat anak itu di sepanjang perjalanan, tidak malu-malu atau segan-segan untuk meminta tolong kepada ibu-ibu yang masih menyusui untuk membantu sedikit air susu untuk bayi Han Siong, di setiap dusun yang dilaluinya. Dengan demikian, akhirnya dia dapat membawa bayi itu ke Pegunungan Kun-Iun dengan selamat.
Mula-mula dia tinggal di sebuah dusun pada kaki Pegunungan Kun-Iun sambil membayar seorang ibu muda untuk menyusui Han Siong. Setengah tahun kemudian, dia membawa anak itu naik ke tempat pertapaannya yang tersembunyi kemudian merawat sendiri anak itu dengan susu binatang keledai.
Sejak bayi anak itu diasuh oleh kakek Pek Khun. Sesudah anak itu berusia empat tahun, dia mulai membimbingnya untuk berlatih langkah-langkah dasar ilmu silat, menggembleng tubuh anak itu dengan ramuan obat-obatan untuk menguatkannya, juga dia mengajarkan ilmu membaca dan menulis setelah anak itu berusia lima tahun.
Akan tetapi kakek itu mulai merasa kasihan kepada cucu buyutnya. Sangat tidak baik jika anak itu dibiarkan tumbuh dewasa di tempat terpencil itu. Han Siong kurang sekali bergaul dengan anak lain. Hanya sebulan sekali dia mengajak anak itu untuk turun dari puncak, mengunjungi dusun-dusun di lereng puncak dan berjumpa dengan manusia-manusia lain. Dia khawatir kalau-kalau kekurangan pergaulan ini akan membuat anak itu kelak menjadi manusia canggung, pemalu dan mempunyai kelainan-kelainan jiwa.
Lagi pula dia sendiri telah menjadi semakin tua untuk dapat terus menerus melindungi diri anak itu. Bagaimana kalau sewaktu-waktu muncul pendeta-pendeta Lama yang lihai dan merampas anak itu dari tangannya? Belum tentu dia akan mampu mempertahankan dan melindungi anak itu. Maka dia mulai mencari akal bagaimana untuk bertindak agar cucu buyutnya itu terbebas dari pada ancaman bahaya dari Tibet.
Akhirnya kakek Pek Khun mengambil keputusan untuk membawa saja cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si dan menjadikan anak itu seorang calon hwesio! Dengan demikian, akan selamatlah Han Siong! Pada suatu hari, ketika Han Siong sudah berusia tujuh tahun, kakek Pek Khun membawa cucu buyut itu turun dari pegunungan Kun-Iun.
Bukan main girang rasa hati Han Siong pada saat kakeknya menyatakan bahwa dia akan dibawa ke timur, untuk belajar ilmu di dalam kuil Siauw-lim-si. Kakek buyutnya ini sudah sering bercerita mengenai kuil Siauw-lim-si di mana tinggal banyak hwesio yang suci dan juga sakti, memiliki ilmu yang luar biasa tingginya.
Bukan hanya karena akan mempelajari ilmu silat saja yang menggembirakan hati Han Siong, tapi terutama sekali karena dia akan meninggalkan puncak yang amat dingin dan amat sunyi itu. Dia butuh pergaulan dengan manusia lain! Dan dia dapat membayangkan bahwa hidup di dalam biara Siauw-Iim-si berarti akan hidup bersama banyak orang lain, yaitu para hwesio yang menjadi penghuni biara! Alangkah akan senangnya!
Kakek Pek Khun sendiri adalah seorang murid Siauw-lim-pai, karena itu kunjungannya ke kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-nan di Propinsi Cing-hai, diterima baik oleh ketua kuil itu bersama para hwesio pimpinan lainnya, setelah Pek Khun memperkenalkan dirinya.
Kuil itu cukup besar dan terletak di sebuah tempat yang indah, di pinggir Sungai Cin-sha yang mengalir ke selatan, di antara Pegunungan Heng-tuan-san. Biar pun terletak di tepi sungai besar dan di daerah pegunungan yang sunyi dan nyaman, akan tetapi kuil itu tidak terlalu terpencil.
Kota Yu-shu tidak begitu jauh dari kuil itu, hanya beberapa li jauhnya. Dalam perjalanan satu jam maka orang akan sampai ke kota itu. Dan kuil itu pun banyak dikunjungi para penduduk kota Yu-shu dan dusun di sekitarnya untuk bersembahyang.
Ketua kuil itu berjuluk Ceng Hok Hwesio. Setelah bercakap-cakap, maka tahulah mereka bahwa antara Ceng Hok Hwesio dan kakek Pek Khun masih ada hubungan seperguruan, dan kakek Pek Khun memiliki kedudukan satu tingkat lebih tinggi dari ketua kuil itu yang segera menyebut Susiok (Paman Guru) kepada Pek Khun.
"Sungguh menyenangkan kenyataan ini." kata Pek Khun. "Anak ini adalah cucu buyutku, berarti juga cucumu sendiri. Namanya Pek Han Siong. Karena semenjak kecil dia turut aku, dan aku merasa sudah terlampau tua untuk mendidiknya, juga dia harus memperluas pergaulannya, maka aku mohon dengan sangat dapatlah dia diterima di kuil ini sebagai murid dan calon hwesio."
Mendengar permintaan yang dianggap agak aneh ini, Ceng Hok Hwesio lalu mengerutkan alisnya. "Omitohud..., Susiok tentu maklum bahwa Siauw-lim-si selalu membuka tangan untuk menolong siapa saja, apa lagi terhadap Pek-susiok yang juga masih seorang murid Siauw-lim-pai. Berarti kita adalah sekeluarga sendiri. Akan tetapi Pek-susiok tentu maklum pula bahwa Siauw-lim-pai memiliki peraturan yang sangat ketat dan keras. Tidak mungkin menerima murid begitu saja, harus diketahui mengapa anak ini dimasukkan ke biara kami untuk menjadi murid, dan bagaimana pula pendapat ayah dan ibu anak ini. Maaf, hal ini bukan berarti kami tidak percaya kepada Pek-susiok, melainkan karena aneh sekali kalau Susiok mengajak cucu buyut Susiok ke sini. Bukankah kalau Susiok merasa sudah terlalu tua untuk mendidiknya, masih ada kakeknya dan ayahnya?"
Kakek Pek Khun mengangguk-angguk, maklum akan isi hati Ketua Siauw-lim-si itu. Dia menoleh kepada Han Siong. "Han Siong, engkau keluar dan bermain-mainlah di kebun itu, biarkan aku bicara dengan Suhu ini."
"Baik, aku memang ingin sekali bermain-main di kebun yang penuh bunga indah itu!" kata Han Siong yang menjadi girang sekali.
Tadi dia merasa canggung dan tidak betah harus duduk bersama kakeknya di ruangan itu mendengarkan percakapan yang tak begitu dimengerti olehnya dan dia sudah ingin sekali memasuki kebun indah yang nampak dari jendela ruangan itu.
Sesudah Han Siong keluar meninggalkan ruangan itu dan dari jendela nampak anak itu berjalan-jalan di antara rumpun bunga-bunga, kakek Pek Khun kemudian menarik napas panjang dan berkata,
"Sesungguhnya keluarga kami memang sengaja hendak menyembunyikan anak itu dari pengejaran para pendeta Lama di Tibet."
"'Omitohud...!" Ceng Hok Hwesio membelalakkan kedua matanya. "Ada urusan apakah maka para saudara pendeta Lama di Tibet mengejarnya?"
"Sejak dari dalam kandungan Han Siong ini telah diramalkan menjadi calon Dalai Lama..."
"Sin-tong? Omitohud...!" Ceng Hok Hwesio menyembah dengan kedua tangan di depan dadanya.
"Ini rahasia di antara kita saja, Ceng Hok Hwesio." kata pula kakek Pek Khun. "Rahasia ini jangan dibocorkan. Bukan hanya para pendeta Lama yang mencarinya, akan tetapi juga tokoh-tokoh di dunia kang-ouw. Ada banyak tokoh kaum sesat yang dengan mati-matian mencari Han Siong, mungkin untuk dijadikan murid atau semacam jimat atau juga hendak diserahkan kepada para pendeta Lama dengan mengharapkan pahala. Kami sekeluarga menentang keras. Kami tidak percaya dengan segala ketahyulan para pendeta Lama dan kami tidak ingin anak itu dijadikan patung hidup seperti kehidupan Dalai Lama. Karena itu sejak bayi dia sudah kubawa pergi dan kusembunyikan. Sekarang aku harap kuil ini suka menerimanya sebagai murid dan calon hwesio. Biarlah dia menjadi hwesio yang baik saja untuk mengabdi kepada agama dan rakyat dari pada harus menjadi Dalai Lama di Tibet."
"Siancai, siancai, siancai...! Pendapat Susiok memang tepat sekali. Dan pinceng merasa gembira sekali untuk mendidik serta membimbing Pek Han Siong, semoga Sang Buddha akan memberi petunjuk kepada pinceng."
"Rahasia ini perlu disimpan rapat-rapat, karena kalau hal itu sampai tersiar ke luar kuil, tentu akan mendatangkan bahaya, baik bagi Siauw-lim-pai dan terutama sekali bagi Han Siong sendiri. Ada tanda merah di punggung anak itu yang dijadikan pegangan oleh para pendeta Lama dan antek-anteknya. Tanda merah itu harus disembunyikan pula."
"Omitohud... kalau begitu, anak itu memang luar biasa sekali. Semenjak lahir sudah diberi tanda, benar-benar seorang Sin-tong (anak ajaib)," kata Ceng Hok Hwesio.
"Aahhh, semua itu omong kosong dan tahyul belaka," cela kakek Pek Khun. "Setiap anak sama saja, merupakan kitab bersih dan kosong. Baik buruknya kitab itu kelak ditentukan oleh para pengisinya, yaitu para pendidiknya. Sebab itulah maka hatiku akan merasa lega sekali kalau dia dapat diterima sebagai murid di sini."
"Pinceng merasa terhormat sekali untuk mendidiknya, Pek-susiok."
Pek Khun lalu memanggil Han Siong. Ketika dia menjenguk dari jendela, dilihatnya Han Siong sedang bercakap-cakap dengan empat orang anak lain, anak-anak yang kepalanya gundul, calon-calon hwesio yang menjadi murid dan juga pembantu-pembantu pekerja di kuil itu.
Ketika dia memanggilnya, Han Siong cepat bangkit berdiri dan berlari memasuki ruangan. Kakek Pek Khun girang sekali karena kehidupan di kuil ini akan merubah cara hidup Han Siong yang tentu tidak akan kesepian lagi. Di situ terdapat pula banyak calon hwesio yang sejak kecil digembleng untuk menjadi manusia-manusia yang baik.
Setelah Han Siong datang menghadap, kakek Pek Khun lalu berkata, "Han Siong, seperti yang telah kuberi tahukan kepadamu, mulai hari ini engkau akan menjadi murid di kuil ini. Ceng Hok Hwesio ini adalah ketua kuil ini dan menurut tingkat, dia masih kakek gurumu sendiri. Akan tetapi karena mulai hari ini engkau akan menjadi muridnya, maka engkau harus memberi hormat kepadanya sebagai gurumu."
Han Siong memandang kepada Ceng Hok Hwesio, kemudian memandang kepada kakek buyutnya. "Apakah Kakek hendak meninggalkan aku di sini?"
"Benar, aku sudah terlampau tua untuk mendidikmu sedangkan engkau perlu memperoleh pengalaman hidup yang lain dan pergaulan yang tepat. Di sini terdapat banyak anak-anak yang menjadi murid, maka engkau dapat bergaul dengan mereka."
"Baik, Kek," kata Han Siong dan dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Hok Hwesio, memberi hormat delapan kali, sambil menyebut, "Suhu!"
Dengan wajah berseri-seri Ceng Hok Hwesio menyentuh pundak anak itu. "Bangkitlah, Han Siong, dan mulai sekarang engkau harus mentaati segala peraturan di kuil ini. Untuk sementara engkau menjadi murid dalam ilmu silat, juga mempelajari agama namun belum menjadi calon hwesio karena untuk hal itu diperlukan bakat dan pinceng ingin melihat dulu apakah engkau berbakat untuk menjadi calon hwesio."
"Baik, Suhu. Teecu hanya mentaati perintah Suhu." kata Han Siong.
Diam-diam hwesio itu kagum sekali. Anak ini baru berusia tujuh tahun, sejak kecil hidup di dalam pertapaan bersama kakek buyutnya, namun anak ini sudah pandai membawa diri.
"Han Siong, engkau harus selalu ingat bahwa engkau keturunan keluarga Pek yang turun-temurun menjadi pimpinan dari perkumpulan Pek-sim-pang. Nama perkumpulan ini berarti Hati Putih dan hati putih adalah hati yang bersih, tidak ternoda oleh perbuatan-perbuatan yang sesat dan jahat. Karena itu aku hanya mengharapkan agar kelak engkau akan dapat melanjutkan pimpinan Pek-sim-pang dengan baik, dan untuk itu, terimalah kitab ini. Kitab ini adalah tulisanku sendiri, merupakan inti dari ilmu silat Pek-sim-kun, telah kusaring dan kupadatkan sehingga menjadi tiga belas jurus saja. Untuk dapat mempelajari ini, engkau harus sudah mencapai tingkat ilmu silat yang cukup tinggi, karena itu rajin-rajinlah belajar di Siauw-lim-si." Kakek itu menyerahkan sebuah kitab yang diterima dengan sikap hormat oleh Han Siong.
"Pesan Kakek akan selalu kuperhatikan baik-baik dan akan kulaksanakan dengan patuh," jawabnya.
Setelah meninggalkan pesan-pesan kepada cucu buyutnya, pada hari itu juga kakek Pek Khun meninggalkan kuil Siauw-lim-si itu untuk kembali ke Kun-lun-san di mana dia akan bertapa sampai akhir hayatnya.
Demikianlah, mulai hari itu juga Han Siong tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid yang setiap hari membantu pekerjaan para hwesio tua muda di kuil itu. Setelah dia dapat menyesuaikan diri, barulah Ceng Hok Hwesio mulai memberikan pelajaran ilmu silat, juga ilmu baca tulis dan membaca kitab-kitab agama. Ternyata anak itu cerdik sekali sehingga segala macam mata pelajaran yang diajarkan kepadanya, dengan cepat dapat dimengerti dan diresapi.
Di Siauw-lim-si ini dia menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga dia memiliki dasar yang kuat dan asli dari Siauw-lim-pai. Berbeda dengan kakek Pek Khun yang biar pun tokoh Siauw-lim-pai akan tetapi tidak mempunyai cukup waktu untuk menggembleng seperti yang dilakukan di perguruan Siauw-lim-si.
Di kuil ini Han Siong benar-benar harus mengulang kembali semua pelajaran yang pernah diajarkan oleh kakek Pek Khun, dan belajar lagi mulai dari tingkat yang terendah. Untuk memperkuat dan menyempurnakan kuda-kuda kedua kakinya saja, setiap hari dia harus berlatih dengan memikul air melewati jalan tanjakan yang licin dan berliku-liku, dan harus terus berlatih selama dua tahun! Sesudah itu dia harus melatih kaki dan tangannya untuk memperkuat otot-ototnya dengan menggantungi kaki tangan dengan gantungan besi yang cukup berat. Belajar pula menghimpun tenaga untuk dasar ilmu meringankan tubuh.
Setelah lima tahun digembleng, meski pun belum pernah diajarkan ilmu silat yang berarti, tubuh Han Siong yang berusia dua belas tahun itu menjadi kuat sekali. Otot-ototnya kuat dan lentur sehingga dia dapat bergerak dengan gesit seperti tubuh seekor kijang dan kuat seperti seekor harimau.
Bukan hanya otot-otot tubuhnya yang dilatih sehingga menjadi kuat, juga panca inderanya dilatih sehingga memiliki pandangan yang tajam, pendengaran dan penciuman yang peka pula. Pendeknya, selama lima tahun dia terus digembleng sehingga memiliki dasar-dasar bagi seorang calon ahli silat yang lihai.
Di antara tugas-tugas pekerjaannya, Han Siong setiap pagi dan sore menyapu lantai, baik pekarangan depan mau pun pekarangan belakang. Sesudah lima tahun tinggal di dalam kuil, kadang kala dia merasa kesepian dan rindu kepada kakek buyutnya. Sejak kecil dia biasa hidup di alam terbuka, dan di Pegunungan Kun-lun-san setiap hari dia menjelajah hutan-hutan dan alam bebas. Akan tetapi sekarang dia tidak boleh keluar dari dalam kuil sehingga dia mulai merasa terkurung dan tidak leluasa.
Di bagian belakang bangunan kuil itu terdapat dua buah bangunan kecil, di ujung kanan dan di ujung kiri, dekat kebun yang luas. Dari para hwesio kecil lainnya, dia mendengar bahwa dua bangunan kecil ini merupakan tempat-tempat hukuman. Yang sebelah kanan terdapat seorang hwesio yang menjalani hukuman kurungan, sedangkan yang sebelah kiri terdapat seorang nikouw (pendeta perempuan) yang menjalani hukuman yang sama.
Sesudah lima tahun berada di situ, sekarang Han Siong juga telah menjadi seorang calon hwesio. Kepalanya sudah digundul dan dia mengenakan pakaian seperti hwesio. Dia juga sudah pandai membaca kitab-kitab agama, pandai berliam-keng (berdoa) dan di samping berlatih ilmu silat, kesukaannya adalah membaca kitab-kitab suci sampai jauh malam.
Malam itu amat sunyi. Semua hwesio sudah tidur. Bahkan hwesio tua yang tadi membaca liam-keng dengan suara yang parau sudah berhenti sehingga suasananya menjadi makin sunyi. Akan tetapi, seperti biasa, Han Siong yang senang menyendiri itu belum memasuki kamarnya. Dia masih duduk melamun di sudut pekarangan belakang, di tepi kebun sambil menikmati langit yang amat indah, penuh dengan bintang-bintang cemerlang.
Di Pegunungan Kun-lun-san, semenjak kecil Han Siong suka sekali menerawang ke langit mengagumi kebesaran alam. Karena sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka dia banyak mengenal bintang-bintang di langit. Dari kakek buyutnya, dia banyak mendapat pelajaran dan keterangan tentang perbintangan sehingga niatnya untuk mempelajari ilmu itu menjadi semakin besar.
Sekarang, sesudah dia menjadi calon hwesio di kuil Siauw-lim-si dan memperdalam ilmu membaca kitab agama, secara kebetulan dia berhasil menemukan sebuah kitab tentang perbintangan di perpustakaan. Dia sudah selesai membaca kitab itu, maka kini dia dapat menikmati bintang-bintang di langit dengan perasaan lebih tertarik karena dia sudah mulai mengenal peredaran dan pergerakan bintang-bintang itu.
Tiba-tiba Han Siong merasa terkejut dan cepat dia menyelinap di belakang batang pohon di sebelah kirinya untuk bersembunyi. Dia melihat berkelebatnya orang yang melompat turun dari luar pagar tembok kebun! Lalu ada bayangan ke dua yang juga berkelebat cepat sekali. Bagaikan terbang saja dua bayangan itu kemudian berlari menuju kedua pondok belakang di sudut kanan kiri kebun dan lenyap di situ.
Han Siong merasa jantungnya berdebar-debar. Demikian cepatnya gerakan dua orang itu sehingga dia tidak mampu melihat muka mereka dengan jelas. Selagi dia menduga-duga, tiba-tiba berkelebat bayangan ke tiga dari luar.
Bayangan ini berbeda dengan dua bayangan terdahulu karena begitu dia melompat turun, bayangan ini lalu celingukan seperti orang menyelidik. Ketika orang itu agak mendongak sehingga mukanya tertimpa sinar bintang, Han Siong menjadi terkejut sekali.
Dia mengenal muka itu sebagai muka seorang hwesio tua yang bekerja sebagai tukang sapu di dalam kuil, seorang hwesio tua yang tuli dan gagu. Dia ditemukan kelaparan dan hampir mati di pekarangan depan kuil, maka oleh Ceng Hok Hwesio lalu ditolong, dirawat dan diberi pekerjaan sebagai tukang sapu di situ.
Setelah celingukan dengan sepasang matanya yang tampak mencorong ditujukan ke arah kedua pondok di mana dua bayangan pertama tadi menghilang, hwesio tua ini pun lantas meloncat dan menghilang di bagian belakang bangunan di mana terdapat kamar hwesio tua tuli gagu itu.
Han Siong mengerutkan alisnya, berpikir dengan hati tegang. Biar pun tidak jelas, tapi dia dapat menduga bahwa dua bayangan pertama tadi tentulah dua orang terhukum itu. Hal ini saja sudah amat aneh. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah hwesio tua tuli dan gagu itu. Melihat gerakannya tadi, jelaslah bahwa hwesio tua ini lihai bukan main.
Sudah lama dia menaruh perasaan curiga terhadap hwesio gagu tukang sapu ini. Sering kali dia melihat betapa kalau dia sedang tidak diperhatikan orang, hwesio tua itu memiliki sinar mata yang mencorong dan berkilat, penuh kekerasan. Akan tetapi di hadapan para hwesio, sinar matanya dapat berubah menjadi demikian lembut dan mendatangkan rasa iba.
Selain ini, yang membuat Han Siong semakin curiga adalah ketika beberapa kali, dalam perjalanannya keliling bila sedang bergadang, ketika dia lewat di depan kamar hwesio tua ini dan mendengar suara hwesio tua ini mengigau! Hal ini tentu saja sangat mengejutkan hatinya karena mana mungkin seorang gagu dapat mengigau dan bicara, biar pun dalam tidur! Dia semakin curiga akan tetapi masih menyembunyikan hal itu sebagai rahasianya sendiri.
Dan malam ini secara kebetulan sekali dia dapat memergoki hwesio tua itu yang agaknya tadi membayangi dua orang hukuman yang berkeliaran keluar dari kuil, dan dia mendapat kenyataan bahwa hwesio tua gagu ini adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Pada keesokan harinya, Han Siong masih menyembunyikan rahasia yang dilihatnya tadi malam. Jantungnya kadang-kadang berdebar tegang dan bagi pemuda remaja seperti dia, mengetahui sebuah rahasia bagi dirinya sendiri seolah-olah tengah menggenggam sebutir mutiara yang belum diketahui orang lain. Menimbulkan ketegangan yang menggembirakan sekali!
Pada pagi hari itu, pada saat Han Siong sedang menyapu lantai pekarangan dengan sinar mata berseri karena kegembiraan menyimpan rahasia semalam, tiba-tiba terdengar suara Ceng Hok Hwesio memanggilnya dari ruangan depan.
"Han Siong... ke sinilah sebentar!"
Han Siong menyandarkan sapunya pada dinding lalu memasuki ruangan depan itu. Dia melihat suhu-nya duduk bersila di atas lantai bertilamkan kasur kecil dan hwesio tua itu menatap kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Hal ini amat mengherankan hati Han Siong karena belum pernah gurunya bersikap seperti itu. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap gurunya.
"Suhu memanggil teecu hendak memerintah apakah?" tanyanya dengan sikap sopan.
Ceng Hok Hwesio tidak segera menjawab, melainkan mengamati anak itu dengan penuh perhatian. "Han Siong, tahukah engkau siapa yang berada di dalam dua buah kamar di sudut belakang dekat kebun itu?" tiba-tiba dia bertanya dan pandang matanya amat tajam menatap wajah anak itu.
Han Siong sampai terkejut melihat sinar mata gurunya itu dan dia menjadi semakin heran. "Suhu maksudkan, dua kamar yang bernama Kamar Renungan Dosa itu?"
"Benar! Bukankah setiap hari engkau menyapu lantai di depan dua kamar itu? Tahukah engkau siapa yang berada disana?"
Dengan pandangan mata yang polos Han Siong lalu menjawab sejujurnya. "Teecu pernah mendengar penuturan beberapa orang suheng bahwa di dalam kamar yang sebelah barat terdapat seorang hwesio tua yang bertapa dan menjalani hukuman, sedangkan di kamar yang sebelah timur terdapat seorang nikouw tua. Hanya itulah yang pernah teecu dengar dari pembicaraan para Suheng."
"Hemm, apa yang engkau dengar itu memang benar adanya. Pernahkah engkau bertemu atau melihat mereka atau seorang di antara mereka berdua itu?" Kembali sepasang mata Ceng Hok Hwesio menatap tajam penuh selidik.
Sejenak Han Siong tertegun. Tadi malam dia melihat dua bayangan orang yang lenyap di dalam kedua kamar itu, akan tetapi dia tidak melihat wajah kedua orang itu dan dia pun tak berani merasa yakin bahwa dua bayangan orang itu adalah Si Hwesio dan Si Nikouw yang dibicarakan. Maka dia lantas menggelengkan kepala. "Teecu belum pernah bertemu dengan mereka, Suhu."
"Dan engkau juga tidak pernah bicara atau mendengar suara mereka? Ingat, engkau tidak boleh membohong."
"Suhu, bagaimana teecu berani membohong kepada Suhu atau kepada siapa pun juga? Teecu tahu bahwa membohong merupakan sebuah dosa. Tidak, Suhu, teecu benar-benar tidak membohong kepada Suhu."
"Baiklah, pinceng percaya padamu. Akan tetapi sekarang engkau pergilah kepada kedua orang itu, ketuk pintu kamar mereka dan sampaikan bahwa pinceng memanggil mereka agar sekarang juga menghadap ke sini."
Han Siong terkejut dan juga hatinya merasa tegang. Tentu saja dia merasa girang bahwa dia yang diserahi tugas ini karena memang sudah lama ingin sekali melihat kedua orang hukuman itu.
Secara diam-diam dia merasa amat kasihan sebab menurut percakapan para hwesio kecil di kuil itu, kedua orang hukuman itu kabarnya sudah menjalani hukuman selama sepuluh tahun lebih dan masih harus meringkuk di situ selama sepuluh tahun lagi karena mereka masing-masing dihukum dua puluh tahun! Tidak ada seorang pun hwesio kecil di situ tahu apa yang menjadi kesalahan kedua orang itu maka dihukum selama dua puluh tahun.
"Ba... baik, Suhu...," katanya agak gagap saking tegang hatinya. Dia cepat bangkit lantas berlari menuju kebelakang.
Pertama-tama Han Siong menuju ke rumah pondok yang sebelah barat, rumah pondok yang hanya terdiri dari satu kamar yang menjadi kamar hukuman dengan nama Kamar Renungan Dosa itu. Jantungnya berdebar kencang penuh ketegangan, karena bukankah selama bertahun-tahun ini dia menganggap kamar ini penuh rahasia, merupakan tempat yang terlarang untuk dikunjungi?
Dia hanya boleh menyapu lantai pekarangannya saja, sama sekali tidak boleh mendekati pintu, apa lagi menyentuhnya. Dan kini dia harus mengetuk pintu itu, dan bicara dengan penghuninya yang selama ini menjadi tokoh penuh rahasia.
"Tok-tok-tok...!"
Tiga kali Han Siong mengetuk daun pintu yang ternyata terbuat dari papan yang tebal itu. Dia menanti sambil memasang telinga mendengarkan suara yang keluar dari dalam. Akan tetapi tidak ada jawaban.
"Heiii, Sute, apa yang kau lakukan itu?" Tiba-tiba saja terdengar bentakan seorang hwesio muda karena dia terkejut bukan kepalang melihat betapa hwesio kecil itu berani mengetuk daun pintu kamar larangan itu!
"Sssttt, Suheng, baru saja aku diperintah Suhu untuk mengetuk pintu ini dan memanggil penghuninya agar menghadap Suhu!"
Mendengar jawaban ini, hwesio itu nampak terkejut, lalu mengangguk-angguk dan pergi dari situ karena dia tidak berani mencampuri sutenya yang sedang melaksanakan tugas penting itu.
"Tok-tok-tok..!"
"Siapa di luar yang mengetuk pintu?" tiba-tiba terdengar pertanyaan dari dalam, suaranya lembut namun nyaring dan mengejutkan Han Siong walau pun tadinya dia mengharapkan memperoleh jawaban.
"Aku... eh, teecu...diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang... Lo-suhu agar suka datang menghadap Lo-suhu..."
Hening sejenak, lalu suara itu bertanya lagi. "Siapa namamu?"
"Teecu... Han Siong...," jawabnya tanpa berani menyebutkan she (nama keluarga) yang oleh kakek buyutnya telah dipesan agar dia tidak memperkenalkan she-nya kepada siapa pun juga.
"Engkau adalah anak yang suka menyapu pekarangan di luar pondok ini?" kembali suara itu terdengar.
Tentu saja Han Siong merasa heran. Orang ini tidak pernah keluar, bagaimana bisa tahu bahwa dia suka menyapu pekarangan di luar rumah itu?
"Benar, Lo-suhu...!"
Daun pintu berderit dan Han Siong cepat melangkah mundur. Ketika daun pintu terbuka, muncullah seorang laki-laki dan Han Siong memandang dengan mata terbelalak, tertegun karena kagum dan heran. Sama sekali tidak seperti yang diduganya.
Tadinya dia membayangkan bahwa hwesio tua yang dihukum itu tentulah seorang hwesio yang sudah tua, pucat dan kurus kering, karena hwesio itu tidak pernah tersentuh sinar matahari, makan pun hanya dari makanan yang diantar khusus oleh hwesio tua di dapur. Namun yang muncul ini ternyata adalah seorang laki-laki bertubuh tegap yang rambutnya panjang awut-awutan, biar pun jubahnya masih jubah hwesio. Agaknya karena lama tidak bercukur, maka rambut telah tumbuh dengan subur di kepalanya yang tadinya gundul.
Mukanya sebagian tertutup kumis dan jenggot, akan tetapi dapat dilihat bahwa muka itu sangat tampan, gagah dan tidak terlalu tua. Sekitar tiga puluh tahun lebih! Sinar matanya mencorong akan tetapi penuh kelembutan dan kegagahan. Walau pun pakaiannya adalah pakaian hwesio yang lusuh, namun tidak menyembunyikan tubuhnya yang tegap.
Anehnya, lengan kiri pria itu buntung sebatas siku sehingga lengan bajunya tergantung lemas dan kosong. Makin iba rasa hati Han Siong melihat bahwa orang yang terhukum ini adalah seorang penderita cacat.
Sejenak keduanya saling pandang dan pria itu tersenyum melihat keheranan membayang di mata anak itu. "Kau... kau... masih muda dan... bukan hwesio...," kata Han Siong agak tergagap.
"Anak baik, pada waktu memasuki kamar ini, aku adalah seorang hwesio." Dia meraba kepalanya yang penuh dengan rambut yang subur, lalu tersenyum. "Sekarang bukan lagi."
Ingin sekali Han Siong bertanya mengapa pria itu dihukum, akan tetapi tentu saja dia tidak berani karena hal itu dianggapnya tidak sopan. Akan tetapi hatinya telah demikian tertarik kepada pria ini, kagum dan juga kasihan.
Teringatlah dia akan hwesio tua gagu yang menjadi tukang sapu itu, yang semalam dia lihat seperti membayangi dua bayangan orang terdahulu. Jangan-jangan hwesio tua gagu itu mempunyai niat buruk, pikirnya. Tentu berniat buruk karena dia sendiri tidak percaya bahwa hwesio itu benar-benar gagu. Dan orang yang pura-pura gagu, tentu mengandung niat tidak baik.
"Lo-suhu... eh, Paman... aku mempunyai berita yang menarik sekali untuk Paman..." Han Siong celingukan ke kanan kiri dan melihat bahwa di sana tidak ada orang lain, dia baru melanjutkan sambil berbisik, "semalam, dengan tidak sengaja aku melihat dua bayangan orang berloncatan masuk dari luar pagar tembok, akan tetapi tidak lama kemudian muncul pula seorang lain yang agaknya membayangi dua orang terdahulu..."
Pria itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm... siapakah orang terakhir itu?"
Kembali Han Siong celingukan. "Dia adalah hwesio tua gagu yang menjadi tukang sapu di sini, akan tetapi aku curiga padanya, Paman. Dia baru setahun ditolong karena kedapatan kelaparan, lalu dijadikan tukang sapu di sini, dan dia itu mengaku gagu, akan tetapi sudah beberapa kali aku mendengar dia mengigau dan bicara dalam tidurnya."
"Ehhh...?" Pria itu semakin tertarik. "Anak baik, coba ceritakan bagaimana bentuk wajah dan tubuh orang yang mengaku gagu itu."
"Usianya sekitar lima puluh tahun. Wajahnya panjang meruncing ke depan seperti muka kuda, mulutnya lebar dengan gigi atas menjorok ke depan dan menonjol keluar, sepasang matanya sipit dan dua telinganya lebar. Tubuhnya tinggi kurus dan dua kakinya timpang."
Pria itu kembali mengerutkan kedua alisnya kemudian mengangguk-angguk. "Anak baik, keteranganmu ini penting sekali. Apakah engkau juga diutus untuk memanggil... penghuni di kamar timur?"
Han Siong mengangguk.
"Kalau begitu, kau pergilah ke sana, Han Siong. Selain menyampaikan panggilan ketua, juga kau ceritakan semua yang kau lihat semalam kepadanya. Hal ini amat penting untuk diketahuinya."
Girang rasa hati Han Siong. Pria yang menimbulkan perasaan kagum di dalam hatinya ini percaya kepadanya!
"Baik, Paman!" Dan dia pun berlari menuju ke pondok terpencil di ujung timur itu. Ketika dia mengetuk beberapa kali, dia pun mendengar suara wanita dari dalam.
"Siapa yang mengetuk pintu?" Suara ini begitu halus dan merdu, juga seperti suara pria tadi, mengandung penuh kesabaran sehingga menyenangkan hati Han Siong.
"Teecu Han Siong, diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang Locianpwe agar menghadap suhu sekarang juga."
Hening sejenak, kemudian suara halus itu bertanya, "Engkau anak yang biasa menyapu pekarangan depan pondok ini?"
Kembali Han Siong terkejut. Sebelum dia menjawab, daun pintu sudah terbuka dan untuk kedua kalinya dia merasa tertegun. Wanita yang nampak sesudah daun pintu dibuka itu sama sekali jauh dari pada perkiraan yang dibayangkannya. Bukan seorang nikouw tua, melainkan seorang wanita yang amat cantik dan perkasa!
Seperti juga pria tadi, wanita ini usianya sekitar tiga puluhan dan pakaiannya juga seperti pakaian seorang pendeta. Dari keadaannya ini Han Siong bisa menduga bahwa agaknya wanita ini pun dahulunya seorang nikouw yang gundul kepalanya, akan tetapi rambutnya sudah tumbuh dengan subur selama bertahun-tahun dalam tahanan.
Dia merasa kagum bukan main, akan tetapi juga kasihan. Dua orang itu ternyata masih muda, dan mereka tentu lebih muda lagi ketika pertama kali masuk ke kamar hukuman itu. Mengapa? Apa kesalahan mereka?
Seperti yang sudah dipesankan oleh pria di kamar sebelah barat tadi, Han Siong segera menceritakan tentang apa yang dilihatnya semalam. Wanita itu nampak lebih terkejut lagi.
"Hemm... jahanam itu berani memata-matai kami!" Demikian dia menggumam akan tetapi agaknya dia bisa menguasai kemarahannya dan berkata, "Han Siong, sampaikan kepada ketua kuil bahwa sebentar lagi aku datang menghadap."
"Baik... Bibi!" kata Han Siong.
Wanita itu tersenyum manis sekali, mendengar betapa kini anak itu sudah cepat merubah sebutan sesudah melihatnya. Tadi menyebut Locianpwe, sebutan menghormat dari kaum muda kepada kaum tua yang dianggap gagah perkasa dan mempunyai kepandaian tinggi, akan tetapi kini menyebut Bibi saja. Dan agaknya dia lebih senang dengan sebutan ini.
Han Siong lalu berlari ke ruangan depan di mana Ceng Hok Hwesio masih duduk bersila. Dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek hwesio itu, lalu berkata, "Suhu, teecu sudah menyampaikan undangan Suhu kepada kedua orang Paman dan Bibi yang berada di dalam Kamar Renungan Dosa itu."
"Bagus, sekarang kau boleh pergi dan melanjutkan pekerjaanmu lagi," kata ketua kuil itu sambil memandang keluar.
Han Siong bangkit berdiri lantas keluar dari ruangan itu. Dia melihat apa yang dipandang oleh gurunya, yaitu pria dan wanita yang ditemuinya tadi. Mereka berdua sedang berjalan perlahan, berdampingan, dengan sikap dan wajah tenang sekali.
Han Siong mengambil sapunya lagi dan menyapu lantai, melanjutkan pekerjaannya tadi. Ketika pria dan wanita itu lewat di depannya, mereka berhenti melangkah dan tersenyum kepadanya. Han Siong membalas senyum mereka dan melanjutkan pekerjaannya ketika mereka kembali berjalan meninggalkannya untuk memasuki ruangan depan di mana Ceng Hok Hwesio sudah menanti.
"Han Siong...!"
Suara ini demikian dekat terdengar olehnya, seperti diserukan orang di dekat telinganya saja, mengejutkan Han Siong yang sore hari itu duduk mengaso di bawah pohon di kebun sesudah selesai bekerja. Dia menoleh ke kanan kiri akan tetapi tidak melihat seorang pun manusia.
"Han Siong ke sinilah engkau...!" kembali terdengar suara itu.
Dan Han Siong segera mengenal suara lembut itu. Suara pria yang berada dalam kamar tahanan di pondok sebelah barat! Maka dia lalu bergegas bangkit dan melangkah cepat menuju ke Kamar Renungan Dosa sebelah barat. Dia menghampiri pintu namun tiba-tiba terdengar suara yang jelas sekali, keluar dari kamar itu.
"Han Siong, kau pergilah menghadap gurumu dan katakan kepadanya bahwa hwesio gagu tukang sapu itu adalah seorang tokoh sesat bernama Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong seorang di antara Empat Setan. Kedatangannya ke sini dengan menyamar sebagai seorang hwesio gagu tentu mengandung maksud yang tidak baik!"
Han Siong merasa terkejut sekali. Sudah diduganya bahwa kakek gagu itu tentu seorang yang mempunyai niat jahat. Akan tetapi tak disangkanya bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki julukan demikian mengerikan. Lam-hai Giam-lo (Malaikat Pencabut Nyawa Laut Selatan)!
"Baik..., baik, Paman...!" katanya dan dia pun berlari-lari mencari suhu-nya.
Pada saat itu Ceng Hok Hwesio sedang duduk di dalam ruangan semedhi, akan tetapi dia tidak sedang bersemedhi karena sudah selesai membaca kitab suci. Melihat munculnya Han Siong di ambang pintu, dia kemudian menggapai. Han Siong memasuki ruangan dan menjatuhkan diri berlutut.
"Harap Suhu sudi memaafkan kalau teecu datang mengganggu."
Ketua kuil itu tersenyum. Dia seorang yang berwatak keras dan memegang teguh disiplin dan peraturan kuil, akan tetapi setiap kali habis berliam-keng dan bersemedhi, kekerasan itu seperti luntur dan dia menjadi lebih ramah.
"Tidak mengapa Han Siong. Pinceng sudah selesai bersemedhi. Ada keperluan apakah maka engkau agaknya mencari pinceng?"
"Benar, Suhu. Tadi... paman yang berada di dalam Kamar Renungan Dosa sebelah barat memanggil teecu dan minta agar teecu menyampaikan pesanan penting kepada Suhu."
Hwesio tua itu mengerutkan alisnya dan sekarang mulailah kelihatan kekerasan hatinya. Agaknya dia tidak suka mendengar ini. "Han Siong, engkau tentu sudah tahu apa artinya Kamar Renungan Dosa itu. Orang yang dihukum di dalam kamar itu harus merenungkan dosa-dosa yang telah diperbuatnya."
Ingin Han Siong bertanya dosa apa gerangan yang sudah dilakukan oleh pria dan wanita itu. Akan tetapi dia tahu akan kegalakan suhu-nya, maka dia menahan keinginannya dan mengangguk.
"Teecu mengerti, Suhu."
"Nah, oleh karena itu engkau jangan terlampau berdekatan dengan mereka yang sedang menjalani hukuman di dalam Kamar Renungan Dosa, karena dosa itu sifatnya menular seperti sebuah penyakit, muridku."
"Baik, Suhu."
"Nah, sekarang pesan penting apakah yang harus kau sampaikan kepada pinceng?"
"Begini, Suhu..." Han Siong memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau kakek tukang sapu itu berada di dekat situ. Mendengar bahwa kakek itu adalah seorang penjahat besar, seorang tokoh sesat, dia telah merasa ngeri. "Tadi paman di sana itu mengatakan bahwa hwesio tua tukang sapu yang gagu itu sebenarnya adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid dari mendiang Lam-kwi-ong salah seorang di antara Empat Setan."
"Plakk!" Ketua kuil Slauw-lim-si itu menepuk pahanya sendiri dengan tidak sabar. "Jangan bicara sembarangan!"
"Teecu hanya menyampaikan pesan paman itu..."
"Dia bohong! Mana pinceng bisa percaya pada omongan seorang yang berdosa? Sudah setengah tahun dia di sini dan dia benar-benar seorang tua yang patut dikasihani, kenapa difitnah demikian kejam?"
"Akan tetapi, Suhu, teecu percaya akan keterangan Paman di Kamar Perenungan Dosa itu."
Ceng Hok Hwesio membelalakkan kedua matanya yang lebar, menatap Han Siong lantas alisnya berkerut. "Han Siong, bagaimana engkau bisa mempercayai keterangan seorang yang berdosa? Engkau ikut berdosa kalau menjatuhkan fitnah kepada orang lain!"
"Teecu tidak mengucapkan fitnah, Suhu, akan tetapi keadaan kakek itu memang sangat mencurigakan. Beberapa kali di waktu malam teecu lewat di depan kamarnya, dan teecu mendengar dia ngelindur dan mengigau. Suhu, seorang gagu mana dapat bicara walau pun hanya dalam ngelindur?"
Ceng Hok Hwesio nampak terkejut. "Benarkah apa yang kau katakan itu?"
"Demi nama Sang Buddha, teecu tidak berbohong, Suhu."
"Omitohud, jangan kau bawa-bawa nama Sang Buddha dalam hal ini. Akan tetapi pinceng masih belum yakin benar." Dia lalu bertepuk tangan beberapa kali, kemudian muncullah lima orang hwesio yang menjadi murid-murid kepala di dalam kuil itu. Mereka datang dan memandang kepada guru mereka dan Han Siong dengan heran.
"Panggil hwesio tua yang tuli gagu itu ke sini!" perintah Ceng Hok Hwesio. "Dan kalian berlima tetap berdiam di sini pula menjadi saksi."
Salah seorang dia antara lima murid itu lalu pergi memanggil tukang sapu tua yang gagu tuli itu, sedangkan empat orang murid lainnya duduk bersila. Tak lama kemudian, seorang kakek hwesio yang wajahnya sangat menyeramkan, mirip seekor kuda, dengan mata sipit dan telinga lebar, masuk bersama hwesio murid kepala tadi dengan langkah terpincang-pincang.
Memang jelas hwesio tua ini tidak kelihatan sebagai seorang jahat, apa lagi yang memiliki kepandaian tinggi. Dia lebih pantas menjadi seorang hwesio cacat yang lemah dan patut dikasihani.
Hwesio tua itu cepat memberi hormat dan duduk bersila pula, memandang kepada ketua kuil dengan sikap bodoh. Lima orang murid kepala pun memandang guru mereka, karena mereka belum tahu apa maksud guru mereka memanggil mereka dan memanggil hwesio gagu itu pula.
"Pinceng mendengar bahwa kau Hwesio (Gagu) ini dapat berbicara, karena itu pinceng ingin menguji apakah berita itu benar ataukah tidak," kata Ceng Hok Hwesio.
Mendengar ucapan ini, lima orang murid itu menjadi terkejut dan memandang kepada Si Gagu yang kelihatan tenang-tenang saja karena agaknya dia tidak mendengar dan tidak mengerti apa yang dibicarakan. Akan tetapi dalam hatinya, Han Siong merasa menyesal. Dia menganggap bahwa keterus terangan suhu-nya itu merupakan kebodohan.
Apa bila persangkaannya benar bahwa Si Gagu ini tidak gagu dan benar pula keterangan orang hukuman itu bahwa kakek yang pura-pura gagu ini seorang tokoh sesat yang lihai, bukankah ucapan suhu-nya itu sama saja dengan membuka rahasia sehingga kakek gagu tuli itu dapat menjadi berhati-hati dan dapat menjaga diri sebelumnya?
Ceng Hok Hwesio lalu menggapai dan memberi isyarat agar Si Gagu mendekat. Si Gagu menggeser duduknya, menghadap semakin dekat dengan pandangan mata bodoh. Ceng Hok Hwesio lalu menggunakan bahasa isyarat dengan tangan, bertanya apakah Si Gagu dapat bicara.
Hwesio tua yang gagu tuli ini menggeleng kepala keras-keras, mengeluarkan suara ah-ah uh-uh, memberi isyarat dengan tangan bahwa. mulutnya tidak dapat bicara dan telinganya tidak dapat mendengar. Sampai beberapa kali Ceng Hok Hwesio mendesaknya, dibantu oleh lima orang muridnya, akan tetapi tukang sapu gagu itu tetap menggelengkan kepala keras-keras, menyangkal bahwa dia dapat bicara atau mendengar.
"Omitohud...semoga Sang Buddha memaafkan pinceng jika dia ini memang benar-benar gagu dan tuli. Memang sukar membuktikan bahwa dia ini benar-benar gagu atau tidak, namun pinceng punya akal untuk membuktikan apakah dia benar-benar tuli ataukah tidak. Kalian berlima harus menutup telinga dengan rapat dan mengerahkan sinkang melindungi pendengaran kalian. Dan engkau, Han Siong, keluarlah dan pergi agak jauh dari ruangan ini, dan bila masih ada suara getaran menyerangmu, cepat tutup kedua telingamu dengan tangan. Beri tahu kepada para suheng-mu agar melakukan hal yang sama."
Lima orang murid kepala itu mengerti apa yang hendak dilakukan oleh Ceng Hok Hwesio, maka mereka pun cepat-cepat menggunakan kedua telapak tangan menutupi telinga, dan mengerahkan tenaga sinkang mereka. Sementara itu, Han Siong juga sudah pergi keluar dari ruangan itu.
Ceng Hok Hwesio segera mengerahkan sinkang dan tidak lama kemudian keluarlah suara melengking tinggi dari dalam dada kakek ketua kuil Siauw-lim-si ini. Suara itu makin lama semakin tinggi, menggetarkan hingga lima orang murid kepala yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu pun terpaksa harus memejamkan mata dan mengerahkan sinkang sekuatnya untuk melindungi telinga dan jantung mereka. Han Siong yang sudah berada di kebun, biar pun sudah menutupi kedua telinga dengan tangan, masih merasakan getaran hebat.
Akan tetapi kakek gagu tuli itu hanya duduk bersila diam saja, menundukkan muka dan sama sekali tak terpengaruh oleh suara yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu! Dari sikap ini saja tahulah ketua kuil itu bahwa kakek tukang sapu yang berada di depannya memang benar-benar tuli! Hanya orang tuli yang akan mampu duduk diam tak terpengaruh sama sekali oleh lengkingannya. Maka kemudian dia pun menghentikan ujian itu dan lima orang murid kepala kini baru berani membuka mata.
"Ternyata Aekau Hwesio ini betul-betul gagu dan tuli. Apa yang pinceng dengar hanyalah berita bohong belaka. Sudahlah, ajak dia keluar lagi agar dia bekerja seperti biasa, akan tetapi amat-amati gerak-geriknya," pesannya kepada para murid. Mereka semua keluar dan memberi isyarat kepada hwesio gagu itu untuk keluar pula.
Sesudah hwesio gagu itu keluar. Ceng Hok Hwesio lalu memanggil Han Siong kembali ke dalam ruangan itu. "Han Siong, mulai sekarang engkau tidak perlu mendengarkan fitnah yang diucapkan oleh dua orang hukuman itu. Kau melihat sendiri, hwesio tukang sapu itu memang tuli dan gagu, pinceng yakin akan hal ini, karena kalau tidak tuli, tentu dia tadi sudah roboh pingsan. Nah, sekarang terbukti bahwa dua orang hukuman itu sama sekali tidak boleh dipercaya. Dasar orang-orang berdosa, mana mungkin ucapan mereka dapat dipercaya?"
Han Siong diam saja. Dia hanya menundukkan mukanya dan tidak menjawab, melainkan mengangguk-angguk saja. Kemudian dia pun pergi keluar dan melanjutkan pekerjaannya kembali. Hatinya merasa penasaran sekali.
Benarkah dua orang itu sudah berbohong? Akan tetapi, kalau melihat wajah mereka yang menimbulkan rasa suka dan iba di dalam hatinya, Han Siong tidak percaya bahwa mereka itu tukang fitnah dan pembohong yang jahat. Sebaliknya, tentu kakek gagu itu yang pintar membohong dan bersandiwara.
Dan melihat betapa gerakannya amat cepat ketika malam itu dia melihatnya membayangi dua orang yang berkelebat lenyap di dalam pondok hukuman, bukan tak mungkin Si Gagu yang palsu itu mampu pula bertahan terhadap ujian suara melengking ketua kuil.
Karena merasa sangat penasaran, malam itu Han Siong tidak tidur melainkan keluar dari tempat tidur dan kamarnya, kemudian bersembunyi tak jauh dari kamar hwesio gagu yang berada di samping kanan bangunan, di kamar yang sunyi menyendiri karena dia belum diterima sebagai anggota kuil, melainkan seorang pembantu.
Sesudah lewat tengah malam, kesabaran Han Siong baru mendapatkan hasil. Mula-mula dia mendengar suara mendengkur dari dalam kamar itu. Tahu bahwa penghuninya sudah tidur nyenyak, diam-diam dia lalu menyelinap dan sambil berindap-indap mendekati kamar itu. Tidak lama kemudian barulah dia mendengar suara orang mengigau, suaranya parau, pecah seperti ringkik kuda! Akan tetapi jelas bahwa igauan itu mengandung kata-kata.
Han Siong cepat meninggalkan tempat itu dan berlari menuju ke kamar suhu-nya. Hatinya lega karena melihat hwesio itu masih belum tidur, masih duduk bersila sambil membaca kitab agama.
"Suhu...! Suhu...!" katanya dengan napas agak memburu dan suara berbisik.
Ceng Hok Hwesio mengerutkan kedua alisnya, merasa terganggu dengan kemunculan Han Siong. "Ada apa lagi engkau sekali ini?" tanyanya tidak sabar.
"Suhu... Si Gagu itu mengigau lagi..."
"Han Siong! Jangan bicara sembarangan saja!"
"Tidak, Suhu. Teecu tidak berbohong, silakan Suhu membuktikannya sendiri."
Ceng Hok Hwesio menatap wajah anak itu dengan pandangan tajam penuh selidik. Wajah anak itu serius dan tegang. Hatinya tertarik dan dia menarik napas panjang. "Omitohud... engkau ini ada-ada saja. Han Siong, hanya mengganggu ketenteraman pinceng..." Akan tetapi karena hatinya merasa amat tertarik, dia pun turun dari tempat dia bersila kemudian bergegas mengikuti Han Siong menuju ke bagian belakang.
Sesudah mereka tiba di luar kamar kakek gagu, benar saja di dalam kamar itu terdengar suara bergumam orang ngelindur! Ceng Hok Hwesio merasa penasaran sekali dan cepat dia menempelkan telinganya pada daun jendela. Terdengar suara parau, pecah dan serak yang menginggatkan orang akan ringkik kuda! Dan memang benar suara itu merupakan igauan yang mengandung kata-kata!
"...kalau tidak diberikan kepadaku... kubunuh kalian..."
Ceng Hok Hwesio terkejut sekali mendengar suara yang mengerikan itu. Sekarang mau tidak mau dia harus percaya karena telinganya sudah mendengar sendiri ucapan kakek itu. Jelaslah bahwa Si Gagu itu sebenarnya dapat bicara!
Hati Ceng Hok Hwesio yang memang keras sekali itu menjadi marah. Dia telah ditipu dan dikelabui oleh hwesio tukang sapu itu. Kalau begini, maka jelaslah bahwa dulu dia hanya pura-pura saja sakit dan kelaparan, supaya memperoleh kesempatan masuk ke kuil tanpa dicurigai. Akan tetapi mengapa hal itu dilakukannya? Apa pun niatnya, tentu niat itu tidak baik dan jahat sekali!
"Manusia palsu, penipu yang jahat!" Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke arah daun pintu kamar itu.
"Braaakkk...!" Daun pintu itu pecah dan jebol dan Ceng Hok Hwesio langsung meloncat ke dalam.
Kaget oleh suara itu, hwesio tua tukang sapu sudah terbangun dan kini nampak dia duduk di atas pembaringannya. Dua matanya yang sipit memandang dengan marah dan tampak mencorong di bawah sinar lampu gantung yang menyorot masuk dari pintu yang kini tidak berdaun lagi itu. Ceng Hok Hwesio semakin terkejut melihat sinar mata itu, sungguh jauh bedanya dengan sinar mata yang biasa dilihatnya pada sepasang mata sipit itu.
"Penipu jahat! Berlutut dan menyerahlah!" kata Ceng Hok Hwesio dengan suara kereng berwibawa.
Akan tetapi, orang yang dibentak itu tiba-tiba tertawa dan Han Siong yang berada di luar bergidik mendengar suara ketawa yang tidak patut menjadi suara manusia itu.
"Ha-ha-ha, Ceng Hok Hwesio, engkau jangan berlagak di depanku!"
Ketua kuil itu sampai terbelalak saking terkejut dan herannya. Kini sikap orang bermuka kuda itu benar-benar berubah sama sekali. Biasanya, sebagai seorang gagu dia selalu tunduk dan taat, akan tetapi sekarang, begitu bicara berani bersikap demikian angkuhnya sehingga memandang rendah kepadanya!
"Siapakah engkau?!" bentak Ceng Hok Hwesio, kemudian laporan yang disampaikan oleh Han Siong beberapa hari yang lalu teringat olehnya. "Benarkah engkau berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong?"
Kembali kakek itu tertawa hingga kamar itu seolah-olah hendak runtuh oleh getaran suara ketawanya, "Hah-hah-hah, Ceng Hok Hwesio! Kalau sudah tahu, mengapa engkau tidak lekas berlutut di depan kakiku?"
Dapat dibayangkan betapa marahnya Ceng Hok Hwesio mendengar kata-kata yang amat menghinanya itu. "Omitohud, manusia jahat seperti engkau patut dihajar!"
Dia pun segera menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau menyerang kakek yang masih duduk di atas pembaringan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja bayangan kakek itu berkelebat lantas terdengar bunyi kain robek dan kapuk berhamburan pada saat kedua cakar tangan Ceng Hok Hwesio mengenai kasur yang tadi diduduki kakek muka kuda itu!
Mendengar suara ketawa di belakangnya, Ceng Hok Hwesio cepat memutar tubuh sambil menyerang kembali, kali ini serangannya lebih hebat. Ketua kuil ini memang seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang selain memiliki tenaga kuat, juga menguasai ilmu-ilmu silat yang sifatnya keras dari Siauw-lim-pai.
Membalik sambil menggunakan kedua tangan untuk menyerang dengan bentuk cakar ini luar biasa kuatnya dan kalau mengenai tubuh lawan, tentu kulit dan daging akan terkoyak oleh jari-jari tangan yang seperti berubah menjadi kaitan baja itu, tulang pun akan remuk.
Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara laksana kuda meringkik, kakek gundul bermuka kuda itu sama sekali tidak kelihatan jeri, bahkan menggunakan lengan kirinya menangkis dari samping dengan memutar siku.
"Desss...!"
Pertemuan antara kedua lengan Ceng Hok Hwesio yang ditangkis oleh lengan kiri kakek yang di kuil itu dikenal sebagai Aekau Hwesio itu hebat bukan main karena begitu beradu, tubuh Ceng Hok Hwesio langsung terpental seperti terdorong oleh angin yang amat kuat! Padahal, gerakan kakek gagu itu nampak lambat dan tidak bertenaga.
"Aihhh...!" Ceng Hok Hwesio berseru kaget dan sudah berjungkir balik sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting.
Dia kaget sekali dan maklum bahwa lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, maka dia bersikap hati-hati dan maju perlahan-lahan sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Karena maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan tangguh, Ceng Hok Hwesio lalu berkata dengan sikap kereng.
"Lam-hai Giam-lo, selamanya pinceng dan Siauw-lim-pai tak pernah ada urusan dengan dirimu, maka apa maksudmu menyamar dan menyelundup ke kuil kami?"
"Ha-ha-hah-hah, Ceng Hok Hwesio. Sudah setahun aku berada di sini. Apa sebabnya aku berada di sini adalah urusanku sendiri. Tidakkah selama ini aku selalu bekerja baik-baik dan tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai? Jangan campuri urusanku dan aku pun tak akan mengganggumu!"
"Omitohud, kuil kami bukanlah tempat persembunyian segala macam penjahat! Engkau pergilah dengan aman dari sini dan jangan kembali lagi!" Kini nada suara kakek ketua kuil itu tidak tinggi hati seperti tadi, tidak minta agar Lam-hai Giam-lo berlutut dan menyerah, melainkan minta kepadanya agar pergi dengan aman!
"Ha-ha-ha, engkaulah yang harus pergi dari sini! Aku datang atau pergi sesuka hatiku."
"Keparat! Engkau memang jahat!" Dan Ceng Hok Hwesio sudah menyerang lagi dengan lebih dahsyat karena merasa bahwa wewenang dan kekuasaannya dilanggar.
Tapi dengan mudah pukulan dengan tangan terbuka itu ditangkis oleh lawannya sehingga dia kembali terhuyung. Pada saat itu pula lima orang murid kepala Siauw-lim-pai bersama belasan murid lain sudah tiba di tempat itu dan Lam-hai Giam-lo lalu dikepung.
"Dia ini Lam-hai Giam-lo, penjahat besar yang hendak mengacaukan kuil kita. Lekas usir dia!" teriak Ceng Hok Hwesio yang dari dua gebrakan tadi saja langsung maklum bahwa lawannya ini lihai bukan main dan untuk mengusirnya dibutuhkan bantuan para muridnya.
Para hwesio itu tua muda lalu bergerak mengepung dengan sikap mengancam, biar pun dengan pandang mata penuh keheranan sebab mereka sama sekali tak mengira sehingga hampir tidak dapat percaya bahwa hwesio gagu tukang sapu tua ini kini disebut Lam-hai Giam-Io, seorang penjahat besar!
"Ha-ha-ha-hiyeehhhh...!" Suara tawa yang makin mirip dengan ringkik kuda itu terdengar berbareng dengan penyerbuan para hwesio Siauw-lim-si, disusul pekik kesakitan.
Dua orang murid Siauw-lim-pai segera roboh saat Lam-hai Giam-lo menggerakkan kedua tangannya. Lengannya dipentang lebar dan tubuhnya bagai berputar. Dengan gerakan ini dia sudah menangkis semua pukulan yang datang dari empat penjuru sambil merobohkan dua orang pengeroyok dengan amat mudahnya
Melihat kehebatan kakek itu, Han Siong yang menonton dari luar diam-diam menyelinap pergi. Tak lama kemudian dia telah mengetuk daun pintu Kamar Renungan Dosa di mana ditahan laki-laki berlengan buntung itu.
"Paman...! Paman...! Bukalah pintu!" teriaknya, lupa akan larangan ketua kuil bahwa dia tidak boleh berhubungan dengan orang hukuman itu.
"Anak baik, apakah yang terjadi?" terdengar suara pria itu dan daun pintu pun terbuka.
"Paman... terjadi keributan. Kakek gagu palsu itu kini mengamuk, dikeroyok para suheng dan suhu, tapi... agaknya dia lihai sekali."
"Ahhh! Sudah kuduga akan begini jadinya!" laki-laki itu segera berkelebat.
"Mohon Kakek Guru sudi memaafkan, teecu sekalian berkelahi bukan karena terdorong nafsu ingin menggunakan kekerasan, melainkan karena berselisih pendapat dengan pihak Pek-sim-pang. Teecu diutus oleh pimpinan Dalai Lama di Lha-sa untuk mencari kembali ayah dan ibu calon Sin-tong yang sudah melarikan diri dengan diam-diam." Demikianlah seorang di antara mereka melapor.
Tentu saja mereka itu terkejut dan takut karena pendeta Lama raksasa ini masih terhitung kakek guru mereka. Para pimpinan di Lha-sa masih terhitung murid-murid keponakannya dan pendeta ini adalah See-thian Lama, seorang di antara Pat Sian (Delapan Dewa)!
Karena selama puluhan tahun pendeta ini tak pernah keluar dan sama sekali tidak dikenal orang luar, maka Pek Ki Bu sendiri pun tidak mengenalnya. Akan tetapi, melihat betapa hwesio Lama yang amat sakti itu disebut guru oleh pendeta Lama yang amat lihai itu, dia tahu bahwa pendeta Lama ini tentu memiliki kedudukan tinggi dan juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Maka dia pun cepat memberi hormat.
"Harap Lo-suhu sudi mengampuni kami. Sejak ayah kami mendirikan Pek-sim-pang, kami selalu menjadi sahabat-sahabat baik dari para pendeta Lama di Lha-sa dan kami pun tak pernah melakukan pelanggaran. Akan tetapi kali ini para pendeta Lama hendak menekan kami dalam urusan keluarga kami. Anak kami Pek Kong dan isterinya yang mengandung tua sedang pergi untuk berkunjung kepada keluarga mereka di kampung halaman karena isterinya ingin melahirkan di antara keluarganya di timur sana. Akan tetapi, para Lo-suhu di Lha-sa menghendaki agar mereka itu kembali dan bahkan hendak memaksa mereka kembali. Bukankah itu berarti bahwa para pendeta Lama di Lha-sa hendak memperkosa hak kebebasan keluarga kami? Mohon pertimbangan Lo-suhu yang seadil-adilnya."
See-thian Lama tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Pek-pangcu, pinceng kira tak perlu pinceng jelaskan lagi bahwa setiap orang manusia yang hidup di dunia ramai tidak akan dapat terbebas dari pada peraturan-peraturan yang diadakan oleh para penguasa setempat. Sudah menjadi peraturan dan kebiasaan di Tibet mengenai pemilihan Sin-tong, anak ajaib yang sudah ditentukan untuk kelak menjadi Dalai Lama. Dan kebetulan sekali yang terpilih adalah calon cucu Pangcu. Karena keluarga Pek bertempat tinggal di daerah Tibet, tentu saja Pangcu juga tidak terbebas dari pada peraturan itu. Nah, tentu saja para pimpinan Lama tidak dapat dianggap sewenang-wenang jika mereka itu ingin melindungi mantu Pangcu yang akan melahirkan Sin-tong, karena itu merupakan hak dan kewajiban mereka. Jika Pangcu menentang, berarti Pangcu menentang peraturan dan kepercayaan serta kebiasaan yang sudah berjalan sejak ratusan tahun yang lalu."
Pek Ki Bu dapat mengerti akan pendapat pendeta Lama yang tua ini dan dia pun tidak dapat membantah. Diam-diam dia mencari akal dan dia pun tahu bahwa ayahnya sudah mengatur rencana jangka panjang untuk menyelamatkan cucunya.
"Pendapat Lo-suhu memang tepat dan benar, dapat kami mengerti. Akan tetapi, anak dan mantu kami itu tak bermaksud melarikan diri, melainkan ingin melahirkan anak mereka di lingkungan keluarga di timur. Kami memang belum percaya benar bahwa mantuku akan melahirkan seorang Sin-tong yang memiliki tanda merah pada punggungnya. Bagaimana kalau kelak dia melahirkan anak yang tidak mempunyai tanda itu?"
"Tidak mungkin...!" kata seorang di antara lima pendeta Lama itu penuh semangat.
"Biasanya, perhitungan dan ramalan para pimpinan Lama tidak akan keliru, Pangcu. Akan tetapi kalau anak itu benar-benar terlahir tanpa tanda itu, berarti ada kekeliruan di dalam perhitungan itu dan tentu saja anak itu bukan Sin-tong."
"Bagus, kalau begitu kami berjanji. Apabila anak itu nanti terlahir dengan tanda merah di punggungnya, maka kami akan mengantarkannya ke Lha-sa. Akan tetapi kalau tidak ada tandanya, kami minta agar cucuku itu dibebaskan."
"Biar kami yang menyaksikan apakah dia terlahir dengan tanda itu atau tidak. Kami harus mengetahui di mana mantumu itu supaya kami dapat mengamatinya dan melindunginya," seorang pendeta Lama berkeras.
"Kalau begitu, biar pun kami semua dibunuh, kami tidak akan mau memberi tahu di mana adanya anak dan mantuku!" Pek Ki Bu berkeras.
Kedua pihak sudah saling melotot lagi dan tentu akan terjadi perkelahian kelanjutan yang lebih mati-matian. Akan tetapi See-thian Lama mengangkat tangan ke atas, maka semua orang pun terdiam. Memang kepada pendeta Lama raksasa inilah kedua pihak agaknya minta pertimbangan dan keputusan.
"Omitohud... kekerasan tidak akan pernah dapat menciptakan perdamaian. Kalau urusan Sin-tong dicemari oleh kekerasan, perkelahian, apa lagi sampai bunuh-membunuh, maka kesucian yang diciptakan dengan lahirnya seorang Sin-tong akan ternoda. Ada peraturan di Lha-sa bahwa pimpinan Lama mempunyai hak untuk menentukan segala sesuatu yang berkenaan dengan penduduk di Tibet. Bila seorang Sin-tong akan terlahir di dalam wilayah Tibet, maka para pimpinan Lama boleh mengambil tindakan apa saja untuk mengambil anak itu. Akan tetapi kalau kebetulan Sin-tong dilahirkan di luar wilayah Tibet, ini adalah suatu hal yang sering pula terjadi, maka para Lama tidak berhak memaksa keluarga yang bersangkutan karena mereka bukan warga negaranya, meski pun tentu saja mereka juga akan berusaha sebisa-bisanya untuk menarik Sin-tong ke dalam biara. Nah, Pek-pangcu, kalau keluargamu dan seluruh anggota Pek-sim-pang tidak menjadi penghuni di Tibet lagi, maka tentu saja para pimpinan Lama di Lha-sa takkan memaksamu. Dengan kepindahan kalian dari sini, berarti kalian tidak harus tunduk terhadap peraturan, dan semua pertikaian mengenai anak itu akan habis sampai di sini saja."
Andai kata yang mengeluarkan pendapat ini bukan See-thian Lama, seorang yang amat dihormati oleh para pendeta Lama, mungkin sekali bisa menimbulkan kemarahan di pihak para pendeta karena nadanya seperti melindungi dan menasehati keluarga Pek dan anak buahnya. Sebaliknya, mungkin saja pihak Pek-sim-pang akan merasa terhina atau seolah diusir. Akan tetapi para pendeta Lama itu diam saja dan hanya memandang kepada Pek Ki Bu dan anak buahnya.
Pek Ki Bu bukanlah seorang yang berpikiran pendek atau keras kepala. Dia pun maklum bahwa dengan adanya urusan cucunya itu, kalau dia sekeluarga dan Pek-sim-pang tidak pergi dari Nam-co, tentu selalu akan dimusuhi oleh para pendeta Lama. Hal ini sama saja dengan dimusuhi oleh penguasa setempat sehingga tentu saja kehidupan mereka menjadi tidak aman lagi.
Demikianlah, tanpa banyak membantah lagi Pek Ki Bu kemudian membawa keluarga dan anggota perkumpulannya untuk boyongan dan pergi meninggalkan kota Nam-co, menuju ke timur. Memang ada beberapa orang murid yang tidak ikut karena mereka lebih suka tetap tinggal di Nam-co bersama keluarga mereka. Karena kini Pek-sim-pang sudah tidak berada lagi di Nam-co dan para murid itu tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan pertikaian yang disebabkan oleh Sin-tong, maka murid-murid yang masih tinggal di Nam-co itu tidak merasa khawatir akan mengalami gangguan.
Dan di tengah perjalanan, di luar batas negeri Tibet, rombongan keluarga Pek ini bertemu dengan Pek Kong dan isterinya. Tentu saja pertemuan itu menggembirakan akan tetapi juga menyedihkan dan mengharukan. Masing-masing menceritakan pengalaman mereka.
Saat mendengar bahwa secara rahasia cucunya telah dibawa pergi oleh ayahnya sendiri, Pek Ki Bu merasa amat lega. Dia pun merasa ngeri mendengar akan peristiwa maut yang menewaskan pengasuh, nikouw dan seorang anak kecil yang ditukarkan.
"Kong-ji (Anak Kong)," kata Pek Ki Bu. "Kita tidak boleh melupakan anak laki-laki yang diculik penjahat itu. Betapa pun juga, anak itu telah menyelamatkan cucuku dan sungguh kasihan dia, masih begitu kecil sudah kehilangan ibunya dan tak pernah dipedulikan ayah kandungnya, dan kini berpindah tangan lagi diculik penjahat. Kelak engkau harus mencari anak itu dan menyelamatkannya."
Pek Kong mengangguk. "Kongkong sudah meninggalkan sebuah benda perhiasan yang menurut Kongkong adalah milik ayah kandung anak itu yang mempunyai nama keturunan Tang."
Dia lalu menceritakan apa yang didengarnya dari kakek Pek Khun. Kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke daerah Kong-goan, sebuah kota besar di Propinsi Se-cuan dari mana keluarga Pek berasal.
********************
Anak laki-laki yang dilahirkan oleh isteri Pek Kong dan kemudian dibawa pergi oleh kakek buyutnya itu diberi nama Pek Han Siong, sebuah nama yang dipilih oleh Pek Kong serta isterinya untuk putera mereka. Dapat dibayangkan betapa sukarnya bagi seorang kakek tua seperti Pek Khun, harus membawa seorang bayi yang baru berusia beberapa hari dan melakukan perjalanan yang jauh dan sukar!
Akan tetapi kakek Pek Khun adalah seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga dia adalah seorang ahli pengobatan sehingga dia bisa merawat anak itu di sepanjang perjalanan, tidak malu-malu atau segan-segan untuk meminta tolong kepada ibu-ibu yang masih menyusui untuk membantu sedikit air susu untuk bayi Han Siong, di setiap dusun yang dilaluinya. Dengan demikian, akhirnya dia dapat membawa bayi itu ke Pegunungan Kun-Iun dengan selamat.
Mula-mula dia tinggal di sebuah dusun pada kaki Pegunungan Kun-Iun sambil membayar seorang ibu muda untuk menyusui Han Siong. Setengah tahun kemudian, dia membawa anak itu naik ke tempat pertapaannya yang tersembunyi kemudian merawat sendiri anak itu dengan susu binatang keledai.
Sejak bayi anak itu diasuh oleh kakek Pek Khun. Sesudah anak itu berusia empat tahun, dia mulai membimbingnya untuk berlatih langkah-langkah dasar ilmu silat, menggembleng tubuh anak itu dengan ramuan obat-obatan untuk menguatkannya, juga dia mengajarkan ilmu membaca dan menulis setelah anak itu berusia lima tahun.
Akan tetapi kakek itu mulai merasa kasihan kepada cucu buyutnya. Sangat tidak baik jika anak itu dibiarkan tumbuh dewasa di tempat terpencil itu. Han Siong kurang sekali bergaul dengan anak lain. Hanya sebulan sekali dia mengajak anak itu untuk turun dari puncak, mengunjungi dusun-dusun di lereng puncak dan berjumpa dengan manusia-manusia lain. Dia khawatir kalau-kalau kekurangan pergaulan ini akan membuat anak itu kelak menjadi manusia canggung, pemalu dan mempunyai kelainan-kelainan jiwa.
Lagi pula dia sendiri telah menjadi semakin tua untuk dapat terus menerus melindungi diri anak itu. Bagaimana kalau sewaktu-waktu muncul pendeta-pendeta Lama yang lihai dan merampas anak itu dari tangannya? Belum tentu dia akan mampu mempertahankan dan melindungi anak itu. Maka dia mulai mencari akal bagaimana untuk bertindak agar cucu buyutnya itu terbebas dari pada ancaman bahaya dari Tibet.
Akhirnya kakek Pek Khun mengambil keputusan untuk membawa saja cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si dan menjadikan anak itu seorang calon hwesio! Dengan demikian, akan selamatlah Han Siong! Pada suatu hari, ketika Han Siong sudah berusia tujuh tahun, kakek Pek Khun membawa cucu buyut itu turun dari pegunungan Kun-Iun.
Bukan main girang rasa hati Han Siong pada saat kakeknya menyatakan bahwa dia akan dibawa ke timur, untuk belajar ilmu di dalam kuil Siauw-lim-si. Kakek buyutnya ini sudah sering bercerita mengenai kuil Siauw-lim-si di mana tinggal banyak hwesio yang suci dan juga sakti, memiliki ilmu yang luar biasa tingginya.
Bukan hanya karena akan mempelajari ilmu silat saja yang menggembirakan hati Han Siong, tapi terutama sekali karena dia akan meninggalkan puncak yang amat dingin dan amat sunyi itu. Dia butuh pergaulan dengan manusia lain! Dan dia dapat membayangkan bahwa hidup di dalam biara Siauw-Iim-si berarti akan hidup bersama banyak orang lain, yaitu para hwesio yang menjadi penghuni biara! Alangkah akan senangnya!
Kakek Pek Khun sendiri adalah seorang murid Siauw-lim-pai, karena itu kunjungannya ke kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-nan di Propinsi Cing-hai, diterima baik oleh ketua kuil itu bersama para hwesio pimpinan lainnya, setelah Pek Khun memperkenalkan dirinya.
Kuil itu cukup besar dan terletak di sebuah tempat yang indah, di pinggir Sungai Cin-sha yang mengalir ke selatan, di antara Pegunungan Heng-tuan-san. Biar pun terletak di tepi sungai besar dan di daerah pegunungan yang sunyi dan nyaman, akan tetapi kuil itu tidak terlalu terpencil.
Kota Yu-shu tidak begitu jauh dari kuil itu, hanya beberapa li jauhnya. Dalam perjalanan satu jam maka orang akan sampai ke kota itu. Dan kuil itu pun banyak dikunjungi para penduduk kota Yu-shu dan dusun di sekitarnya untuk bersembahyang.
Ketua kuil itu berjuluk Ceng Hok Hwesio. Setelah bercakap-cakap, maka tahulah mereka bahwa antara Ceng Hok Hwesio dan kakek Pek Khun masih ada hubungan seperguruan, dan kakek Pek Khun memiliki kedudukan satu tingkat lebih tinggi dari ketua kuil itu yang segera menyebut Susiok (Paman Guru) kepada Pek Khun.
"Sungguh menyenangkan kenyataan ini." kata Pek Khun. "Anak ini adalah cucu buyutku, berarti juga cucumu sendiri. Namanya Pek Han Siong. Karena semenjak kecil dia turut aku, dan aku merasa sudah terlampau tua untuk mendidiknya, juga dia harus memperluas pergaulannya, maka aku mohon dengan sangat dapatlah dia diterima di kuil ini sebagai murid dan calon hwesio."
Mendengar permintaan yang dianggap agak aneh ini, Ceng Hok Hwesio lalu mengerutkan alisnya. "Omitohud..., Susiok tentu maklum bahwa Siauw-lim-si selalu membuka tangan untuk menolong siapa saja, apa lagi terhadap Pek-susiok yang juga masih seorang murid Siauw-lim-pai. Berarti kita adalah sekeluarga sendiri. Akan tetapi Pek-susiok tentu maklum pula bahwa Siauw-lim-pai memiliki peraturan yang sangat ketat dan keras. Tidak mungkin menerima murid begitu saja, harus diketahui mengapa anak ini dimasukkan ke biara kami untuk menjadi murid, dan bagaimana pula pendapat ayah dan ibu anak ini. Maaf, hal ini bukan berarti kami tidak percaya kepada Pek-susiok, melainkan karena aneh sekali kalau Susiok mengajak cucu buyut Susiok ke sini. Bukankah kalau Susiok merasa sudah terlalu tua untuk mendidiknya, masih ada kakeknya dan ayahnya?"
Kakek Pek Khun mengangguk-angguk, maklum akan isi hati Ketua Siauw-lim-si itu. Dia menoleh kepada Han Siong. "Han Siong, engkau keluar dan bermain-mainlah di kebun itu, biarkan aku bicara dengan Suhu ini."
"Baik, aku memang ingin sekali bermain-main di kebun yang penuh bunga indah itu!" kata Han Siong yang menjadi girang sekali.
Tadi dia merasa canggung dan tidak betah harus duduk bersama kakeknya di ruangan itu mendengarkan percakapan yang tak begitu dimengerti olehnya dan dia sudah ingin sekali memasuki kebun indah yang nampak dari jendela ruangan itu.
Sesudah Han Siong keluar meninggalkan ruangan itu dan dari jendela nampak anak itu berjalan-jalan di antara rumpun bunga-bunga, kakek Pek Khun kemudian menarik napas panjang dan berkata,
"Sesungguhnya keluarga kami memang sengaja hendak menyembunyikan anak itu dari pengejaran para pendeta Lama di Tibet."
"'Omitohud...!" Ceng Hok Hwesio membelalakkan kedua matanya. "Ada urusan apakah maka para saudara pendeta Lama di Tibet mengejarnya?"
"Sejak dari dalam kandungan Han Siong ini telah diramalkan menjadi calon Dalai Lama..."
"Sin-tong? Omitohud...!" Ceng Hok Hwesio menyembah dengan kedua tangan di depan dadanya.
"Ini rahasia di antara kita saja, Ceng Hok Hwesio." kata pula kakek Pek Khun. "Rahasia ini jangan dibocorkan. Bukan hanya para pendeta Lama yang mencarinya, akan tetapi juga tokoh-tokoh di dunia kang-ouw. Ada banyak tokoh kaum sesat yang dengan mati-matian mencari Han Siong, mungkin untuk dijadikan murid atau semacam jimat atau juga hendak diserahkan kepada para pendeta Lama dengan mengharapkan pahala. Kami sekeluarga menentang keras. Kami tidak percaya dengan segala ketahyulan para pendeta Lama dan kami tidak ingin anak itu dijadikan patung hidup seperti kehidupan Dalai Lama. Karena itu sejak bayi dia sudah kubawa pergi dan kusembunyikan. Sekarang aku harap kuil ini suka menerimanya sebagai murid dan calon hwesio. Biarlah dia menjadi hwesio yang baik saja untuk mengabdi kepada agama dan rakyat dari pada harus menjadi Dalai Lama di Tibet."
"Siancai, siancai, siancai...! Pendapat Susiok memang tepat sekali. Dan pinceng merasa gembira sekali untuk mendidik serta membimbing Pek Han Siong, semoga Sang Buddha akan memberi petunjuk kepada pinceng."
"Rahasia ini perlu disimpan rapat-rapat, karena kalau hal itu sampai tersiar ke luar kuil, tentu akan mendatangkan bahaya, baik bagi Siauw-lim-pai dan terutama sekali bagi Han Siong sendiri. Ada tanda merah di punggung anak itu yang dijadikan pegangan oleh para pendeta Lama dan antek-anteknya. Tanda merah itu harus disembunyikan pula."
"Omitohud... kalau begitu, anak itu memang luar biasa sekali. Semenjak lahir sudah diberi tanda, benar-benar seorang Sin-tong (anak ajaib)," kata Ceng Hok Hwesio.
"Aahhh, semua itu omong kosong dan tahyul belaka," cela kakek Pek Khun. "Setiap anak sama saja, merupakan kitab bersih dan kosong. Baik buruknya kitab itu kelak ditentukan oleh para pengisinya, yaitu para pendidiknya. Sebab itulah maka hatiku akan merasa lega sekali kalau dia dapat diterima sebagai murid di sini."
"Pinceng merasa terhormat sekali untuk mendidiknya, Pek-susiok."
Pek Khun lalu memanggil Han Siong. Ketika dia menjenguk dari jendela, dilihatnya Han Siong sedang bercakap-cakap dengan empat orang anak lain, anak-anak yang kepalanya gundul, calon-calon hwesio yang menjadi murid dan juga pembantu-pembantu pekerja di kuil itu.
Ketika dia memanggilnya, Han Siong cepat bangkit berdiri dan berlari memasuki ruangan. Kakek Pek Khun girang sekali karena kehidupan di kuil ini akan merubah cara hidup Han Siong yang tentu tidak akan kesepian lagi. Di situ terdapat pula banyak calon hwesio yang sejak kecil digembleng untuk menjadi manusia-manusia yang baik.
Setelah Han Siong datang menghadap, kakek Pek Khun lalu berkata, "Han Siong, seperti yang telah kuberi tahukan kepadamu, mulai hari ini engkau akan menjadi murid di kuil ini. Ceng Hok Hwesio ini adalah ketua kuil ini dan menurut tingkat, dia masih kakek gurumu sendiri. Akan tetapi karena mulai hari ini engkau akan menjadi muridnya, maka engkau harus memberi hormat kepadanya sebagai gurumu."
Han Siong memandang kepada Ceng Hok Hwesio, kemudian memandang kepada kakek buyutnya. "Apakah Kakek hendak meninggalkan aku di sini?"
"Benar, aku sudah terlampau tua untuk mendidikmu sedangkan engkau perlu memperoleh pengalaman hidup yang lain dan pergaulan yang tepat. Di sini terdapat banyak anak-anak yang menjadi murid, maka engkau dapat bergaul dengan mereka."
"Baik, Kek," kata Han Siong dan dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Hok Hwesio, memberi hormat delapan kali, sambil menyebut, "Suhu!"
Dengan wajah berseri-seri Ceng Hok Hwesio menyentuh pundak anak itu. "Bangkitlah, Han Siong, dan mulai sekarang engkau harus mentaati segala peraturan di kuil ini. Untuk sementara engkau menjadi murid dalam ilmu silat, juga mempelajari agama namun belum menjadi calon hwesio karena untuk hal itu diperlukan bakat dan pinceng ingin melihat dulu apakah engkau berbakat untuk menjadi calon hwesio."
"Baik, Suhu. Teecu hanya mentaati perintah Suhu." kata Han Siong.
Diam-diam hwesio itu kagum sekali. Anak ini baru berusia tujuh tahun, sejak kecil hidup di dalam pertapaan bersama kakek buyutnya, namun anak ini sudah pandai membawa diri.
"Han Siong, engkau harus selalu ingat bahwa engkau keturunan keluarga Pek yang turun-temurun menjadi pimpinan dari perkumpulan Pek-sim-pang. Nama perkumpulan ini berarti Hati Putih dan hati putih adalah hati yang bersih, tidak ternoda oleh perbuatan-perbuatan yang sesat dan jahat. Karena itu aku hanya mengharapkan agar kelak engkau akan dapat melanjutkan pimpinan Pek-sim-pang dengan baik, dan untuk itu, terimalah kitab ini. Kitab ini adalah tulisanku sendiri, merupakan inti dari ilmu silat Pek-sim-kun, telah kusaring dan kupadatkan sehingga menjadi tiga belas jurus saja. Untuk dapat mempelajari ini, engkau harus sudah mencapai tingkat ilmu silat yang cukup tinggi, karena itu rajin-rajinlah belajar di Siauw-lim-si." Kakek itu menyerahkan sebuah kitab yang diterima dengan sikap hormat oleh Han Siong.
"Pesan Kakek akan selalu kuperhatikan baik-baik dan akan kulaksanakan dengan patuh," jawabnya.
Setelah meninggalkan pesan-pesan kepada cucu buyutnya, pada hari itu juga kakek Pek Khun meninggalkan kuil Siauw-lim-si itu untuk kembali ke Kun-lun-san di mana dia akan bertapa sampai akhir hayatnya.
Demikianlah, mulai hari itu juga Han Siong tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid yang setiap hari membantu pekerjaan para hwesio tua muda di kuil itu. Setelah dia dapat menyesuaikan diri, barulah Ceng Hok Hwesio mulai memberikan pelajaran ilmu silat, juga ilmu baca tulis dan membaca kitab-kitab agama. Ternyata anak itu cerdik sekali sehingga segala macam mata pelajaran yang diajarkan kepadanya, dengan cepat dapat dimengerti dan diresapi.
Di Siauw-lim-si ini dia menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga dia memiliki dasar yang kuat dan asli dari Siauw-lim-pai. Berbeda dengan kakek Pek Khun yang biar pun tokoh Siauw-lim-pai akan tetapi tidak mempunyai cukup waktu untuk menggembleng seperti yang dilakukan di perguruan Siauw-lim-si.
Di kuil ini Han Siong benar-benar harus mengulang kembali semua pelajaran yang pernah diajarkan oleh kakek Pek Khun, dan belajar lagi mulai dari tingkat yang terendah. Untuk memperkuat dan menyempurnakan kuda-kuda kedua kakinya saja, setiap hari dia harus berlatih dengan memikul air melewati jalan tanjakan yang licin dan berliku-liku, dan harus terus berlatih selama dua tahun! Sesudah itu dia harus melatih kaki dan tangannya untuk memperkuat otot-ototnya dengan menggantungi kaki tangan dengan gantungan besi yang cukup berat. Belajar pula menghimpun tenaga untuk dasar ilmu meringankan tubuh.
Setelah lima tahun digembleng, meski pun belum pernah diajarkan ilmu silat yang berarti, tubuh Han Siong yang berusia dua belas tahun itu menjadi kuat sekali. Otot-ototnya kuat dan lentur sehingga dia dapat bergerak dengan gesit seperti tubuh seekor kijang dan kuat seperti seekor harimau.
Bukan hanya otot-otot tubuhnya yang dilatih sehingga menjadi kuat, juga panca inderanya dilatih sehingga memiliki pandangan yang tajam, pendengaran dan penciuman yang peka pula. Pendeknya, selama lima tahun dia terus digembleng sehingga memiliki dasar-dasar bagi seorang calon ahli silat yang lihai.
Di antara tugas-tugas pekerjaannya, Han Siong setiap pagi dan sore menyapu lantai, baik pekarangan depan mau pun pekarangan belakang. Sesudah lima tahun tinggal di dalam kuil, kadang kala dia merasa kesepian dan rindu kepada kakek buyutnya. Sejak kecil dia biasa hidup di alam terbuka, dan di Pegunungan Kun-lun-san setiap hari dia menjelajah hutan-hutan dan alam bebas. Akan tetapi sekarang dia tidak boleh keluar dari dalam kuil sehingga dia mulai merasa terkurung dan tidak leluasa.
Di bagian belakang bangunan kuil itu terdapat dua buah bangunan kecil, di ujung kanan dan di ujung kiri, dekat kebun yang luas. Dari para hwesio kecil lainnya, dia mendengar bahwa dua bangunan kecil ini merupakan tempat-tempat hukuman. Yang sebelah kanan terdapat seorang hwesio yang menjalani hukuman kurungan, sedangkan yang sebelah kiri terdapat seorang nikouw (pendeta perempuan) yang menjalani hukuman yang sama.
Sesudah lima tahun berada di situ, sekarang Han Siong juga telah menjadi seorang calon hwesio. Kepalanya sudah digundul dan dia mengenakan pakaian seperti hwesio. Dia juga sudah pandai membaca kitab-kitab agama, pandai berliam-keng (berdoa) dan di samping berlatih ilmu silat, kesukaannya adalah membaca kitab-kitab suci sampai jauh malam.
Malam itu amat sunyi. Semua hwesio sudah tidur. Bahkan hwesio tua yang tadi membaca liam-keng dengan suara yang parau sudah berhenti sehingga suasananya menjadi makin sunyi. Akan tetapi, seperti biasa, Han Siong yang senang menyendiri itu belum memasuki kamarnya. Dia masih duduk melamun di sudut pekarangan belakang, di tepi kebun sambil menikmati langit yang amat indah, penuh dengan bintang-bintang cemerlang.
Di Pegunungan Kun-lun-san, semenjak kecil Han Siong suka sekali menerawang ke langit mengagumi kebesaran alam. Karena sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka dia banyak mengenal bintang-bintang di langit. Dari kakek buyutnya, dia banyak mendapat pelajaran dan keterangan tentang perbintangan sehingga niatnya untuk mempelajari ilmu itu menjadi semakin besar.
Sekarang, sesudah dia menjadi calon hwesio di kuil Siauw-lim-si dan memperdalam ilmu membaca kitab agama, secara kebetulan dia berhasil menemukan sebuah kitab tentang perbintangan di perpustakaan. Dia sudah selesai membaca kitab itu, maka kini dia dapat menikmati bintang-bintang di langit dengan perasaan lebih tertarik karena dia sudah mulai mengenal peredaran dan pergerakan bintang-bintang itu.
Tiba-tiba Han Siong merasa terkejut dan cepat dia menyelinap di belakang batang pohon di sebelah kirinya untuk bersembunyi. Dia melihat berkelebatnya orang yang melompat turun dari luar pagar tembok kebun! Lalu ada bayangan ke dua yang juga berkelebat cepat sekali. Bagaikan terbang saja dua bayangan itu kemudian berlari menuju kedua pondok belakang di sudut kanan kiri kebun dan lenyap di situ.
Han Siong merasa jantungnya berdebar-debar. Demikian cepatnya gerakan dua orang itu sehingga dia tidak mampu melihat muka mereka dengan jelas. Selagi dia menduga-duga, tiba-tiba berkelebat bayangan ke tiga dari luar.
Bayangan ini berbeda dengan dua bayangan terdahulu karena begitu dia melompat turun, bayangan ini lalu celingukan seperti orang menyelidik. Ketika orang itu agak mendongak sehingga mukanya tertimpa sinar bintang, Han Siong menjadi terkejut sekali.
Dia mengenal muka itu sebagai muka seorang hwesio tua yang bekerja sebagai tukang sapu di dalam kuil, seorang hwesio tua yang tuli dan gagu. Dia ditemukan kelaparan dan hampir mati di pekarangan depan kuil, maka oleh Ceng Hok Hwesio lalu ditolong, dirawat dan diberi pekerjaan sebagai tukang sapu di situ.
Setelah celingukan dengan sepasang matanya yang tampak mencorong ditujukan ke arah kedua pondok di mana dua bayangan pertama tadi menghilang, hwesio tua ini pun lantas meloncat dan menghilang di bagian belakang bangunan di mana terdapat kamar hwesio tua tuli gagu itu.
Han Siong mengerutkan alisnya, berpikir dengan hati tegang. Biar pun tidak jelas, tapi dia dapat menduga bahwa dua bayangan pertama tadi tentulah dua orang terhukum itu. Hal ini saja sudah amat aneh. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah hwesio tua tuli dan gagu itu. Melihat gerakannya tadi, jelaslah bahwa hwesio tua ini lihai bukan main.
Sudah lama dia menaruh perasaan curiga terhadap hwesio gagu tukang sapu ini. Sering kali dia melihat betapa kalau dia sedang tidak diperhatikan orang, hwesio tua itu memiliki sinar mata yang mencorong dan berkilat, penuh kekerasan. Akan tetapi di hadapan para hwesio, sinar matanya dapat berubah menjadi demikian lembut dan mendatangkan rasa iba.
Selain ini, yang membuat Han Siong semakin curiga adalah ketika beberapa kali, dalam perjalanannya keliling bila sedang bergadang, ketika dia lewat di depan kamar hwesio tua ini dan mendengar suara hwesio tua ini mengigau! Hal ini tentu saja sangat mengejutkan hatinya karena mana mungkin seorang gagu dapat mengigau dan bicara, biar pun dalam tidur! Dia semakin curiga akan tetapi masih menyembunyikan hal itu sebagai rahasianya sendiri.
Dan malam ini secara kebetulan sekali dia dapat memergoki hwesio tua itu yang agaknya tadi membayangi dua orang hukuman yang berkeliaran keluar dari kuil, dan dia mendapat kenyataan bahwa hwesio tua gagu ini adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Pada keesokan harinya, Han Siong masih menyembunyikan rahasia yang dilihatnya tadi malam. Jantungnya kadang-kadang berdebar tegang dan bagi pemuda remaja seperti dia, mengetahui sebuah rahasia bagi dirinya sendiri seolah-olah tengah menggenggam sebutir mutiara yang belum diketahui orang lain. Menimbulkan ketegangan yang menggembirakan sekali!
Pada pagi hari itu, pada saat Han Siong sedang menyapu lantai pekarangan dengan sinar mata berseri karena kegembiraan menyimpan rahasia semalam, tiba-tiba terdengar suara Ceng Hok Hwesio memanggilnya dari ruangan depan.
"Han Siong... ke sinilah sebentar!"
Han Siong menyandarkan sapunya pada dinding lalu memasuki ruangan depan itu. Dia melihat suhu-nya duduk bersila di atas lantai bertilamkan kasur kecil dan hwesio tua itu menatap kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Hal ini amat mengherankan hati Han Siong karena belum pernah gurunya bersikap seperti itu. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap gurunya.
"Suhu memanggil teecu hendak memerintah apakah?" tanyanya dengan sikap sopan.
Ceng Hok Hwesio tidak segera menjawab, melainkan mengamati anak itu dengan penuh perhatian. "Han Siong, tahukah engkau siapa yang berada di dalam dua buah kamar di sudut belakang dekat kebun itu?" tiba-tiba dia bertanya dan pandang matanya amat tajam menatap wajah anak itu.
Han Siong sampai terkejut melihat sinar mata gurunya itu dan dia menjadi semakin heran. "Suhu maksudkan, dua kamar yang bernama Kamar Renungan Dosa itu?"
"Benar! Bukankah setiap hari engkau menyapu lantai di depan dua kamar itu? Tahukah engkau siapa yang berada disana?"
Dengan pandangan mata yang polos Han Siong lalu menjawab sejujurnya. "Teecu pernah mendengar penuturan beberapa orang suheng bahwa di dalam kamar yang sebelah barat terdapat seorang hwesio tua yang bertapa dan menjalani hukuman, sedangkan di kamar yang sebelah timur terdapat seorang nikouw tua. Hanya itulah yang pernah teecu dengar dari pembicaraan para Suheng."
"Hemm, apa yang engkau dengar itu memang benar adanya. Pernahkah engkau bertemu atau melihat mereka atau seorang di antara mereka berdua itu?" Kembali sepasang mata Ceng Hok Hwesio menatap tajam penuh selidik.
Sejenak Han Siong tertegun. Tadi malam dia melihat dua bayangan orang yang lenyap di dalam kedua kamar itu, akan tetapi dia tidak melihat wajah kedua orang itu dan dia pun tak berani merasa yakin bahwa dua bayangan orang itu adalah Si Hwesio dan Si Nikouw yang dibicarakan. Maka dia lantas menggelengkan kepala. "Teecu belum pernah bertemu dengan mereka, Suhu."
"Dan engkau juga tidak pernah bicara atau mendengar suara mereka? Ingat, engkau tidak boleh membohong."
"Suhu, bagaimana teecu berani membohong kepada Suhu atau kepada siapa pun juga? Teecu tahu bahwa membohong merupakan sebuah dosa. Tidak, Suhu, teecu benar-benar tidak membohong kepada Suhu."
"Baiklah, pinceng percaya padamu. Akan tetapi sekarang engkau pergilah kepada kedua orang itu, ketuk pintu kamar mereka dan sampaikan bahwa pinceng memanggil mereka agar sekarang juga menghadap ke sini."
Han Siong terkejut dan juga hatinya merasa tegang. Tentu saja dia merasa girang bahwa dia yang diserahi tugas ini karena memang sudah lama ingin sekali melihat kedua orang hukuman itu.
Secara diam-diam dia merasa amat kasihan sebab menurut percakapan para hwesio kecil di kuil itu, kedua orang hukuman itu kabarnya sudah menjalani hukuman selama sepuluh tahun lebih dan masih harus meringkuk di situ selama sepuluh tahun lagi karena mereka masing-masing dihukum dua puluh tahun! Tidak ada seorang pun hwesio kecil di situ tahu apa yang menjadi kesalahan kedua orang itu maka dihukum selama dua puluh tahun.
"Ba... baik, Suhu...," katanya agak gagap saking tegang hatinya. Dia cepat bangkit lantas berlari menuju kebelakang.
Pertama-tama Han Siong menuju ke rumah pondok yang sebelah barat, rumah pondok yang hanya terdiri dari satu kamar yang menjadi kamar hukuman dengan nama Kamar Renungan Dosa itu. Jantungnya berdebar kencang penuh ketegangan, karena bukankah selama bertahun-tahun ini dia menganggap kamar ini penuh rahasia, merupakan tempat yang terlarang untuk dikunjungi?
Dia hanya boleh menyapu lantai pekarangannya saja, sama sekali tidak boleh mendekati pintu, apa lagi menyentuhnya. Dan kini dia harus mengetuk pintu itu, dan bicara dengan penghuninya yang selama ini menjadi tokoh penuh rahasia.
"Tok-tok-tok...!"
Tiga kali Han Siong mengetuk daun pintu yang ternyata terbuat dari papan yang tebal itu. Dia menanti sambil memasang telinga mendengarkan suara yang keluar dari dalam. Akan tetapi tidak ada jawaban.
"Heiii, Sute, apa yang kau lakukan itu?" Tiba-tiba saja terdengar bentakan seorang hwesio muda karena dia terkejut bukan kepalang melihat betapa hwesio kecil itu berani mengetuk daun pintu kamar larangan itu!
"Sssttt, Suheng, baru saja aku diperintah Suhu untuk mengetuk pintu ini dan memanggil penghuninya agar menghadap Suhu!"
Mendengar jawaban ini, hwesio itu nampak terkejut, lalu mengangguk-angguk dan pergi dari situ karena dia tidak berani mencampuri sutenya yang sedang melaksanakan tugas penting itu.
"Tok-tok-tok..!"
"Siapa di luar yang mengetuk pintu?" tiba-tiba terdengar pertanyaan dari dalam, suaranya lembut namun nyaring dan mengejutkan Han Siong walau pun tadinya dia mengharapkan memperoleh jawaban.
"Aku... eh, teecu...diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang... Lo-suhu agar suka datang menghadap Lo-suhu..."
Hening sejenak, lalu suara itu bertanya lagi. "Siapa namamu?"
"Teecu... Han Siong...," jawabnya tanpa berani menyebutkan she (nama keluarga) yang oleh kakek buyutnya telah dipesan agar dia tidak memperkenalkan she-nya kepada siapa pun juga.
"Engkau adalah anak yang suka menyapu pekarangan di luar pondok ini?" kembali suara itu terdengar.
Tentu saja Han Siong merasa heran. Orang ini tidak pernah keluar, bagaimana bisa tahu bahwa dia suka menyapu pekarangan di luar rumah itu?
"Benar, Lo-suhu...!"
Daun pintu berderit dan Han Siong cepat melangkah mundur. Ketika daun pintu terbuka, muncullah seorang laki-laki dan Han Siong memandang dengan mata terbelalak, tertegun karena kagum dan heran. Sama sekali tidak seperti yang diduganya.
Tadinya dia membayangkan bahwa hwesio tua yang dihukum itu tentulah seorang hwesio yang sudah tua, pucat dan kurus kering, karena hwesio itu tidak pernah tersentuh sinar matahari, makan pun hanya dari makanan yang diantar khusus oleh hwesio tua di dapur. Namun yang muncul ini ternyata adalah seorang laki-laki bertubuh tegap yang rambutnya panjang awut-awutan, biar pun jubahnya masih jubah hwesio. Agaknya karena lama tidak bercukur, maka rambut telah tumbuh dengan subur di kepalanya yang tadinya gundul.
Mukanya sebagian tertutup kumis dan jenggot, akan tetapi dapat dilihat bahwa muka itu sangat tampan, gagah dan tidak terlalu tua. Sekitar tiga puluh tahun lebih! Sinar matanya mencorong akan tetapi penuh kelembutan dan kegagahan. Walau pun pakaiannya adalah pakaian hwesio yang lusuh, namun tidak menyembunyikan tubuhnya yang tegap.
Anehnya, lengan kiri pria itu buntung sebatas siku sehingga lengan bajunya tergantung lemas dan kosong. Makin iba rasa hati Han Siong melihat bahwa orang yang terhukum ini adalah seorang penderita cacat.
Sejenak keduanya saling pandang dan pria itu tersenyum melihat keheranan membayang di mata anak itu. "Kau... kau... masih muda dan... bukan hwesio...," kata Han Siong agak tergagap.
"Anak baik, pada waktu memasuki kamar ini, aku adalah seorang hwesio." Dia meraba kepalanya yang penuh dengan rambut yang subur, lalu tersenyum. "Sekarang bukan lagi."
Ingin sekali Han Siong bertanya mengapa pria itu dihukum, akan tetapi tentu saja dia tidak berani karena hal itu dianggapnya tidak sopan. Akan tetapi hatinya telah demikian tertarik kepada pria ini, kagum dan juga kasihan.
Teringatlah dia akan hwesio tua gagu yang menjadi tukang sapu itu, yang semalam dia lihat seperti membayangi dua bayangan orang terdahulu. Jangan-jangan hwesio tua gagu itu mempunyai niat buruk, pikirnya. Tentu berniat buruk karena dia sendiri tidak percaya bahwa hwesio itu benar-benar gagu. Dan orang yang pura-pura gagu, tentu mengandung niat tidak baik.
"Lo-suhu... eh, Paman... aku mempunyai berita yang menarik sekali untuk Paman..." Han Siong celingukan ke kanan kiri dan melihat bahwa di sana tidak ada orang lain, dia baru melanjutkan sambil berbisik, "semalam, dengan tidak sengaja aku melihat dua bayangan orang berloncatan masuk dari luar pagar tembok, akan tetapi tidak lama kemudian muncul pula seorang lain yang agaknya membayangi dua orang terdahulu..."
Pria itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm... siapakah orang terakhir itu?"
Kembali Han Siong celingukan. "Dia adalah hwesio tua gagu yang menjadi tukang sapu di sini, akan tetapi aku curiga padanya, Paman. Dia baru setahun ditolong karena kedapatan kelaparan, lalu dijadikan tukang sapu di sini, dan dia itu mengaku gagu, akan tetapi sudah beberapa kali aku mendengar dia mengigau dan bicara dalam tidurnya."
"Ehhh...?" Pria itu semakin tertarik. "Anak baik, coba ceritakan bagaimana bentuk wajah dan tubuh orang yang mengaku gagu itu."
"Usianya sekitar lima puluh tahun. Wajahnya panjang meruncing ke depan seperti muka kuda, mulutnya lebar dengan gigi atas menjorok ke depan dan menonjol keluar, sepasang matanya sipit dan dua telinganya lebar. Tubuhnya tinggi kurus dan dua kakinya timpang."
Pria itu kembali mengerutkan kedua alisnya kemudian mengangguk-angguk. "Anak baik, keteranganmu ini penting sekali. Apakah engkau juga diutus untuk memanggil... penghuni di kamar timur?"
Han Siong mengangguk.
"Kalau begitu, kau pergilah ke sana, Han Siong. Selain menyampaikan panggilan ketua, juga kau ceritakan semua yang kau lihat semalam kepadanya. Hal ini amat penting untuk diketahuinya."
Girang rasa hati Han Siong. Pria yang menimbulkan perasaan kagum di dalam hatinya ini percaya kepadanya!
"Baik, Paman!" Dan dia pun berlari menuju ke pondok terpencil di ujung timur itu. Ketika dia mengetuk beberapa kali, dia pun mendengar suara wanita dari dalam.
"Siapa yang mengetuk pintu?" Suara ini begitu halus dan merdu, juga seperti suara pria tadi, mengandung penuh kesabaran sehingga menyenangkan hati Han Siong.
"Teecu Han Siong, diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang Locianpwe agar menghadap suhu sekarang juga."
Hening sejenak, kemudian suara halus itu bertanya, "Engkau anak yang biasa menyapu pekarangan depan pondok ini?"
Kembali Han Siong terkejut. Sebelum dia menjawab, daun pintu sudah terbuka dan untuk kedua kalinya dia merasa tertegun. Wanita yang nampak sesudah daun pintu dibuka itu sama sekali jauh dari pada perkiraan yang dibayangkannya. Bukan seorang nikouw tua, melainkan seorang wanita yang amat cantik dan perkasa!
Seperti juga pria tadi, wanita ini usianya sekitar tiga puluhan dan pakaiannya juga seperti pakaian seorang pendeta. Dari keadaannya ini Han Siong bisa menduga bahwa agaknya wanita ini pun dahulunya seorang nikouw yang gundul kepalanya, akan tetapi rambutnya sudah tumbuh dengan subur selama bertahun-tahun dalam tahanan.
Dia merasa kagum bukan main, akan tetapi juga kasihan. Dua orang itu ternyata masih muda, dan mereka tentu lebih muda lagi ketika pertama kali masuk ke kamar hukuman itu. Mengapa? Apa kesalahan mereka?
Seperti yang sudah dipesankan oleh pria di kamar sebelah barat tadi, Han Siong segera menceritakan tentang apa yang dilihatnya semalam. Wanita itu nampak lebih terkejut lagi.
"Hemm... jahanam itu berani memata-matai kami!" Demikian dia menggumam akan tetapi agaknya dia bisa menguasai kemarahannya dan berkata, "Han Siong, sampaikan kepada ketua kuil bahwa sebentar lagi aku datang menghadap."
"Baik... Bibi!" kata Han Siong.
Wanita itu tersenyum manis sekali, mendengar betapa kini anak itu sudah cepat merubah sebutan sesudah melihatnya. Tadi menyebut Locianpwe, sebutan menghormat dari kaum muda kepada kaum tua yang dianggap gagah perkasa dan mempunyai kepandaian tinggi, akan tetapi kini menyebut Bibi saja. Dan agaknya dia lebih senang dengan sebutan ini.
Han Siong lalu berlari ke ruangan depan di mana Ceng Hok Hwesio masih duduk bersila. Dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek hwesio itu, lalu berkata, "Suhu, teecu sudah menyampaikan undangan Suhu kepada kedua orang Paman dan Bibi yang berada di dalam Kamar Renungan Dosa itu."
"Bagus, sekarang kau boleh pergi dan melanjutkan pekerjaanmu lagi," kata ketua kuil itu sambil memandang keluar.
Han Siong bangkit berdiri lantas keluar dari ruangan itu. Dia melihat apa yang dipandang oleh gurunya, yaitu pria dan wanita yang ditemuinya tadi. Mereka berdua sedang berjalan perlahan, berdampingan, dengan sikap dan wajah tenang sekali.
Han Siong mengambil sapunya lagi dan menyapu lantai, melanjutkan pekerjaannya tadi. Ketika pria dan wanita itu lewat di depannya, mereka berhenti melangkah dan tersenyum kepadanya. Han Siong membalas senyum mereka dan melanjutkan pekerjaannya ketika mereka kembali berjalan meninggalkannya untuk memasuki ruangan depan di mana Ceng Hok Hwesio sudah menanti.
********************
"Han Siong...!"
Suara ini demikian dekat terdengar olehnya, seperti diserukan orang di dekat telinganya saja, mengejutkan Han Siong yang sore hari itu duduk mengaso di bawah pohon di kebun sesudah selesai bekerja. Dia menoleh ke kanan kiri akan tetapi tidak melihat seorang pun manusia.
"Han Siong ke sinilah engkau...!" kembali terdengar suara itu.
Dan Han Siong segera mengenal suara lembut itu. Suara pria yang berada dalam kamar tahanan di pondok sebelah barat! Maka dia lalu bergegas bangkit dan melangkah cepat menuju ke Kamar Renungan Dosa sebelah barat. Dia menghampiri pintu namun tiba-tiba terdengar suara yang jelas sekali, keluar dari kamar itu.
"Han Siong, kau pergilah menghadap gurumu dan katakan kepadanya bahwa hwesio gagu tukang sapu itu adalah seorang tokoh sesat bernama Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong seorang di antara Empat Setan. Kedatangannya ke sini dengan menyamar sebagai seorang hwesio gagu tentu mengandung maksud yang tidak baik!"
Han Siong merasa terkejut sekali. Sudah diduganya bahwa kakek gagu itu tentu seorang yang mempunyai niat jahat. Akan tetapi tak disangkanya bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki julukan demikian mengerikan. Lam-hai Giam-lo (Malaikat Pencabut Nyawa Laut Selatan)!
"Baik..., baik, Paman...!" katanya dan dia pun berlari-lari mencari suhu-nya.
Pada saat itu Ceng Hok Hwesio sedang duduk di dalam ruangan semedhi, akan tetapi dia tidak sedang bersemedhi karena sudah selesai membaca kitab suci. Melihat munculnya Han Siong di ambang pintu, dia kemudian menggapai. Han Siong memasuki ruangan dan menjatuhkan diri berlutut.
"Harap Suhu sudi memaafkan kalau teecu datang mengganggu."
Ketua kuil itu tersenyum. Dia seorang yang berwatak keras dan memegang teguh disiplin dan peraturan kuil, akan tetapi setiap kali habis berliam-keng dan bersemedhi, kekerasan itu seperti luntur dan dia menjadi lebih ramah.
"Tidak mengapa Han Siong. Pinceng sudah selesai bersemedhi. Ada keperluan apakah maka engkau agaknya mencari pinceng?"
"Benar, Suhu. Tadi... paman yang berada di dalam Kamar Renungan Dosa sebelah barat memanggil teecu dan minta agar teecu menyampaikan pesanan penting kepada Suhu."
Hwesio tua itu mengerutkan alisnya dan sekarang mulailah kelihatan kekerasan hatinya. Agaknya dia tidak suka mendengar ini. "Han Siong, engkau tentu sudah tahu apa artinya Kamar Renungan Dosa itu. Orang yang dihukum di dalam kamar itu harus merenungkan dosa-dosa yang telah diperbuatnya."
Ingin Han Siong bertanya dosa apa gerangan yang sudah dilakukan oleh pria dan wanita itu. Akan tetapi dia tahu akan kegalakan suhu-nya, maka dia menahan keinginannya dan mengangguk.
"Teecu mengerti, Suhu."
"Nah, oleh karena itu engkau jangan terlampau berdekatan dengan mereka yang sedang menjalani hukuman di dalam Kamar Renungan Dosa, karena dosa itu sifatnya menular seperti sebuah penyakit, muridku."
"Baik, Suhu."
"Nah, sekarang pesan penting apakah yang harus kau sampaikan kepada pinceng?"
"Begini, Suhu..." Han Siong memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau kakek tukang sapu itu berada di dekat situ. Mendengar bahwa kakek itu adalah seorang penjahat besar, seorang tokoh sesat, dia telah merasa ngeri. "Tadi paman di sana itu mengatakan bahwa hwesio tua tukang sapu yang gagu itu sebenarnya adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid dari mendiang Lam-kwi-ong salah seorang di antara Empat Setan."
"Plakk!" Ketua kuil Slauw-lim-si itu menepuk pahanya sendiri dengan tidak sabar. "Jangan bicara sembarangan!"
"Teecu hanya menyampaikan pesan paman itu..."
"Dia bohong! Mana pinceng bisa percaya pada omongan seorang yang berdosa? Sudah setengah tahun dia di sini dan dia benar-benar seorang tua yang patut dikasihani, kenapa difitnah demikian kejam?"
"Akan tetapi, Suhu, teecu percaya akan keterangan Paman di Kamar Perenungan Dosa itu."
Ceng Hok Hwesio membelalakkan kedua matanya yang lebar, menatap Han Siong lantas alisnya berkerut. "Han Siong, bagaimana engkau bisa mempercayai keterangan seorang yang berdosa? Engkau ikut berdosa kalau menjatuhkan fitnah kepada orang lain!"
"Teecu tidak mengucapkan fitnah, Suhu, akan tetapi keadaan kakek itu memang sangat mencurigakan. Beberapa kali di waktu malam teecu lewat di depan kamarnya, dan teecu mendengar dia ngelindur dan mengigau. Suhu, seorang gagu mana dapat bicara walau pun hanya dalam ngelindur?"
Ceng Hok Hwesio nampak terkejut. "Benarkah apa yang kau katakan itu?"
"Demi nama Sang Buddha, teecu tidak berbohong, Suhu."
"Omitohud, jangan kau bawa-bawa nama Sang Buddha dalam hal ini. Akan tetapi pinceng masih belum yakin benar." Dia lalu bertepuk tangan beberapa kali, kemudian muncullah lima orang hwesio yang menjadi murid-murid kepala di dalam kuil itu. Mereka datang dan memandang kepada guru mereka dan Han Siong dengan heran.
"Panggil hwesio tua yang tuli gagu itu ke sini!" perintah Ceng Hok Hwesio. "Dan kalian berlima tetap berdiam di sini pula menjadi saksi."
Salah seorang dia antara lima murid itu lalu pergi memanggil tukang sapu tua yang gagu tuli itu, sedangkan empat orang murid lainnya duduk bersila. Tak lama kemudian, seorang kakek hwesio yang wajahnya sangat menyeramkan, mirip seekor kuda, dengan mata sipit dan telinga lebar, masuk bersama hwesio murid kepala tadi dengan langkah terpincang-pincang.
Memang jelas hwesio tua ini tidak kelihatan sebagai seorang jahat, apa lagi yang memiliki kepandaian tinggi. Dia lebih pantas menjadi seorang hwesio cacat yang lemah dan patut dikasihani.
Hwesio tua itu cepat memberi hormat dan duduk bersila pula, memandang kepada ketua kuil dengan sikap bodoh. Lima orang murid kepala pun memandang guru mereka, karena mereka belum tahu apa maksud guru mereka memanggil mereka dan memanggil hwesio gagu itu pula.
"Pinceng mendengar bahwa kau Hwesio (Gagu) ini dapat berbicara, karena itu pinceng ingin menguji apakah berita itu benar ataukah tidak," kata Ceng Hok Hwesio.
Mendengar ucapan ini, lima orang murid itu menjadi terkejut dan memandang kepada Si Gagu yang kelihatan tenang-tenang saja karena agaknya dia tidak mendengar dan tidak mengerti apa yang dibicarakan. Akan tetapi dalam hatinya, Han Siong merasa menyesal. Dia menganggap bahwa keterus terangan suhu-nya itu merupakan kebodohan.
Apa bila persangkaannya benar bahwa Si Gagu ini tidak gagu dan benar pula keterangan orang hukuman itu bahwa kakek yang pura-pura gagu ini seorang tokoh sesat yang lihai, bukankah ucapan suhu-nya itu sama saja dengan membuka rahasia sehingga kakek gagu tuli itu dapat menjadi berhati-hati dan dapat menjaga diri sebelumnya?
Ceng Hok Hwesio lalu menggapai dan memberi isyarat agar Si Gagu mendekat. Si Gagu menggeser duduknya, menghadap semakin dekat dengan pandangan mata bodoh. Ceng Hok Hwesio lalu menggunakan bahasa isyarat dengan tangan, bertanya apakah Si Gagu dapat bicara.
Hwesio tua yang gagu tuli ini menggeleng kepala keras-keras, mengeluarkan suara ah-ah uh-uh, memberi isyarat dengan tangan bahwa. mulutnya tidak dapat bicara dan telinganya tidak dapat mendengar. Sampai beberapa kali Ceng Hok Hwesio mendesaknya, dibantu oleh lima orang muridnya, akan tetapi tukang sapu gagu itu tetap menggelengkan kepala keras-keras, menyangkal bahwa dia dapat bicara atau mendengar.
"Omitohud...semoga Sang Buddha memaafkan pinceng jika dia ini memang benar-benar gagu dan tuli. Memang sukar membuktikan bahwa dia ini benar-benar gagu atau tidak, namun pinceng punya akal untuk membuktikan apakah dia benar-benar tuli ataukah tidak. Kalian berlima harus menutup telinga dengan rapat dan mengerahkan sinkang melindungi pendengaran kalian. Dan engkau, Han Siong, keluarlah dan pergi agak jauh dari ruangan ini, dan bila masih ada suara getaran menyerangmu, cepat tutup kedua telingamu dengan tangan. Beri tahu kepada para suheng-mu agar melakukan hal yang sama."
Lima orang murid kepala itu mengerti apa yang hendak dilakukan oleh Ceng Hok Hwesio, maka mereka pun cepat-cepat menggunakan kedua telapak tangan menutupi telinga, dan mengerahkan tenaga sinkang mereka. Sementara itu, Han Siong juga sudah pergi keluar dari ruangan itu.
Ceng Hok Hwesio segera mengerahkan sinkang dan tidak lama kemudian keluarlah suara melengking tinggi dari dalam dada kakek ketua kuil Siauw-lim-si ini. Suara itu makin lama semakin tinggi, menggetarkan hingga lima orang murid kepala yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu pun terpaksa harus memejamkan mata dan mengerahkan sinkang sekuatnya untuk melindungi telinga dan jantung mereka. Han Siong yang sudah berada di kebun, biar pun sudah menutupi kedua telinga dengan tangan, masih merasakan getaran hebat.
Akan tetapi kakek gagu tuli itu hanya duduk bersila diam saja, menundukkan muka dan sama sekali tak terpengaruh oleh suara yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu! Dari sikap ini saja tahulah ketua kuil itu bahwa kakek tukang sapu yang berada di depannya memang benar-benar tuli! Hanya orang tuli yang akan mampu duduk diam tak terpengaruh sama sekali oleh lengkingannya. Maka kemudian dia pun menghentikan ujian itu dan lima orang murid kepala kini baru berani membuka mata.
"Ternyata Aekau Hwesio ini betul-betul gagu dan tuli. Apa yang pinceng dengar hanyalah berita bohong belaka. Sudahlah, ajak dia keluar lagi agar dia bekerja seperti biasa, akan tetapi amat-amati gerak-geriknya," pesannya kepada para murid. Mereka semua keluar dan memberi isyarat kepada hwesio gagu itu untuk keluar pula.
Sesudah hwesio gagu itu keluar. Ceng Hok Hwesio lalu memanggil Han Siong kembali ke dalam ruangan itu. "Han Siong, mulai sekarang engkau tidak perlu mendengarkan fitnah yang diucapkan oleh dua orang hukuman itu. Kau melihat sendiri, hwesio tukang sapu itu memang tuli dan gagu, pinceng yakin akan hal ini, karena kalau tidak tuli, tentu dia tadi sudah roboh pingsan. Nah, sekarang terbukti bahwa dua orang hukuman itu sama sekali tidak boleh dipercaya. Dasar orang-orang berdosa, mana mungkin ucapan mereka dapat dipercaya?"
Han Siong diam saja. Dia hanya menundukkan mukanya dan tidak menjawab, melainkan mengangguk-angguk saja. Kemudian dia pun pergi keluar dan melanjutkan pekerjaannya kembali. Hatinya merasa penasaran sekali.
Benarkah dua orang itu sudah berbohong? Akan tetapi, kalau melihat wajah mereka yang menimbulkan rasa suka dan iba di dalam hatinya, Han Siong tidak percaya bahwa mereka itu tukang fitnah dan pembohong yang jahat. Sebaliknya, tentu kakek gagu itu yang pintar membohong dan bersandiwara.
Dan melihat betapa gerakannya amat cepat ketika malam itu dia melihatnya membayangi dua orang yang berkelebat lenyap di dalam pondok hukuman, bukan tak mungkin Si Gagu yang palsu itu mampu pula bertahan terhadap ujian suara melengking ketua kuil.
Karena merasa sangat penasaran, malam itu Han Siong tidak tidur melainkan keluar dari tempat tidur dan kamarnya, kemudian bersembunyi tak jauh dari kamar hwesio gagu yang berada di samping kanan bangunan, di kamar yang sunyi menyendiri karena dia belum diterima sebagai anggota kuil, melainkan seorang pembantu.
Sesudah lewat tengah malam, kesabaran Han Siong baru mendapatkan hasil. Mula-mula dia mendengar suara mendengkur dari dalam kamar itu. Tahu bahwa penghuninya sudah tidur nyenyak, diam-diam dia lalu menyelinap dan sambil berindap-indap mendekati kamar itu. Tidak lama kemudian barulah dia mendengar suara orang mengigau, suaranya parau, pecah seperti ringkik kuda! Akan tetapi jelas bahwa igauan itu mengandung kata-kata.
Han Siong cepat meninggalkan tempat itu dan berlari menuju ke kamar suhu-nya. Hatinya lega karena melihat hwesio itu masih belum tidur, masih duduk bersila sambil membaca kitab agama.
"Suhu...! Suhu...!" katanya dengan napas agak memburu dan suara berbisik.
Ceng Hok Hwesio mengerutkan kedua alisnya, merasa terganggu dengan kemunculan Han Siong. "Ada apa lagi engkau sekali ini?" tanyanya tidak sabar.
"Suhu... Si Gagu itu mengigau lagi..."
"Han Siong! Jangan bicara sembarangan saja!"
"Tidak, Suhu. Teecu tidak berbohong, silakan Suhu membuktikannya sendiri."
Ceng Hok Hwesio menatap wajah anak itu dengan pandangan tajam penuh selidik. Wajah anak itu serius dan tegang. Hatinya tertarik dan dia menarik napas panjang. "Omitohud... engkau ini ada-ada saja. Han Siong, hanya mengganggu ketenteraman pinceng..." Akan tetapi karena hatinya merasa amat tertarik, dia pun turun dari tempat dia bersila kemudian bergegas mengikuti Han Siong menuju ke bagian belakang.
Sesudah mereka tiba di luar kamar kakek gagu, benar saja di dalam kamar itu terdengar suara bergumam orang ngelindur! Ceng Hok Hwesio merasa penasaran sekali dan cepat dia menempelkan telinganya pada daun jendela. Terdengar suara parau, pecah dan serak yang menginggatkan orang akan ringkik kuda! Dan memang benar suara itu merupakan igauan yang mengandung kata-kata!
"...kalau tidak diberikan kepadaku... kubunuh kalian..."
Ceng Hok Hwesio terkejut sekali mendengar suara yang mengerikan itu. Sekarang mau tidak mau dia harus percaya karena telinganya sudah mendengar sendiri ucapan kakek itu. Jelaslah bahwa Si Gagu itu sebenarnya dapat bicara!
Hati Ceng Hok Hwesio yang memang keras sekali itu menjadi marah. Dia telah ditipu dan dikelabui oleh hwesio tukang sapu itu. Kalau begini, maka jelaslah bahwa dulu dia hanya pura-pura saja sakit dan kelaparan, supaya memperoleh kesempatan masuk ke kuil tanpa dicurigai. Akan tetapi mengapa hal itu dilakukannya? Apa pun niatnya, tentu niat itu tidak baik dan jahat sekali!
"Manusia palsu, penipu yang jahat!" Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke arah daun pintu kamar itu.
"Braaakkk...!" Daun pintu itu pecah dan jebol dan Ceng Hok Hwesio langsung meloncat ke dalam.
Kaget oleh suara itu, hwesio tua tukang sapu sudah terbangun dan kini nampak dia duduk di atas pembaringannya. Dua matanya yang sipit memandang dengan marah dan tampak mencorong di bawah sinar lampu gantung yang menyorot masuk dari pintu yang kini tidak berdaun lagi itu. Ceng Hok Hwesio semakin terkejut melihat sinar mata itu, sungguh jauh bedanya dengan sinar mata yang biasa dilihatnya pada sepasang mata sipit itu.
"Penipu jahat! Berlutut dan menyerahlah!" kata Ceng Hok Hwesio dengan suara kereng berwibawa.
Akan tetapi, orang yang dibentak itu tiba-tiba tertawa dan Han Siong yang berada di luar bergidik mendengar suara ketawa yang tidak patut menjadi suara manusia itu.
"Ha-ha-ha, Ceng Hok Hwesio, engkau jangan berlagak di depanku!"
Ketua kuil itu sampai terbelalak saking terkejut dan herannya. Kini sikap orang bermuka kuda itu benar-benar berubah sama sekali. Biasanya, sebagai seorang gagu dia selalu tunduk dan taat, akan tetapi sekarang, begitu bicara berani bersikap demikian angkuhnya sehingga memandang rendah kepadanya!
"Siapakah engkau?!" bentak Ceng Hok Hwesio, kemudian laporan yang disampaikan oleh Han Siong beberapa hari yang lalu teringat olehnya. "Benarkah engkau berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong?"
Kembali kakek itu tertawa hingga kamar itu seolah-olah hendak runtuh oleh getaran suara ketawanya, "Hah-hah-hah, Ceng Hok Hwesio! Kalau sudah tahu, mengapa engkau tidak lekas berlutut di depan kakiku?"
Dapat dibayangkan betapa marahnya Ceng Hok Hwesio mendengar kata-kata yang amat menghinanya itu. "Omitohud, manusia jahat seperti engkau patut dihajar!"
Dia pun segera menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau menyerang kakek yang masih duduk di atas pembaringan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja bayangan kakek itu berkelebat lantas terdengar bunyi kain robek dan kapuk berhamburan pada saat kedua cakar tangan Ceng Hok Hwesio mengenai kasur yang tadi diduduki kakek muka kuda itu!
Mendengar suara ketawa di belakangnya, Ceng Hok Hwesio cepat memutar tubuh sambil menyerang kembali, kali ini serangannya lebih hebat. Ketua kuil ini memang seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang selain memiliki tenaga kuat, juga menguasai ilmu-ilmu silat yang sifatnya keras dari Siauw-lim-pai.
Membalik sambil menggunakan kedua tangan untuk menyerang dengan bentuk cakar ini luar biasa kuatnya dan kalau mengenai tubuh lawan, tentu kulit dan daging akan terkoyak oleh jari-jari tangan yang seperti berubah menjadi kaitan baja itu, tulang pun akan remuk.
Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara laksana kuda meringkik, kakek gundul bermuka kuda itu sama sekali tidak kelihatan jeri, bahkan menggunakan lengan kirinya menangkis dari samping dengan memutar siku.
"Desss...!"
Pertemuan antara kedua lengan Ceng Hok Hwesio yang ditangkis oleh lengan kiri kakek yang di kuil itu dikenal sebagai Aekau Hwesio itu hebat bukan main karena begitu beradu, tubuh Ceng Hok Hwesio langsung terpental seperti terdorong oleh angin yang amat kuat! Padahal, gerakan kakek gagu itu nampak lambat dan tidak bertenaga.
"Aihhh...!" Ceng Hok Hwesio berseru kaget dan sudah berjungkir balik sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting.
Dia kaget sekali dan maklum bahwa lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, maka dia bersikap hati-hati dan maju perlahan-lahan sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Karena maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan tangguh, Ceng Hok Hwesio lalu berkata dengan sikap kereng.
"Lam-hai Giam-lo, selamanya pinceng dan Siauw-lim-pai tak pernah ada urusan dengan dirimu, maka apa maksudmu menyamar dan menyelundup ke kuil kami?"
"Ha-ha-hah-hah, Ceng Hok Hwesio. Sudah setahun aku berada di sini. Apa sebabnya aku berada di sini adalah urusanku sendiri. Tidakkah selama ini aku selalu bekerja baik-baik dan tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai? Jangan campuri urusanku dan aku pun tak akan mengganggumu!"
"Omitohud, kuil kami bukanlah tempat persembunyian segala macam penjahat! Engkau pergilah dengan aman dari sini dan jangan kembali lagi!" Kini nada suara kakek ketua kuil itu tidak tinggi hati seperti tadi, tidak minta agar Lam-hai Giam-lo berlutut dan menyerah, melainkan minta kepadanya agar pergi dengan aman!
"Ha-ha-ha, engkaulah yang harus pergi dari sini! Aku datang atau pergi sesuka hatiku."
"Keparat! Engkau memang jahat!" Dan Ceng Hok Hwesio sudah menyerang lagi dengan lebih dahsyat karena merasa bahwa wewenang dan kekuasaannya dilanggar.
Tapi dengan mudah pukulan dengan tangan terbuka itu ditangkis oleh lawannya sehingga dia kembali terhuyung. Pada saat itu pula lima orang murid kepala Siauw-lim-pai bersama belasan murid lain sudah tiba di tempat itu dan Lam-hai Giam-lo lalu dikepung.
"Dia ini Lam-hai Giam-lo, penjahat besar yang hendak mengacaukan kuil kita. Lekas usir dia!" teriak Ceng Hok Hwesio yang dari dua gebrakan tadi saja langsung maklum bahwa lawannya ini lihai bukan main dan untuk mengusirnya dibutuhkan bantuan para muridnya.
Para hwesio itu tua muda lalu bergerak mengepung dengan sikap mengancam, biar pun dengan pandang mata penuh keheranan sebab mereka sama sekali tak mengira sehingga hampir tidak dapat percaya bahwa hwesio gagu tukang sapu tua ini kini disebut Lam-hai Giam-Io, seorang penjahat besar!
"Ha-ha-ha-hiyeehhhh...!" Suara tawa yang makin mirip dengan ringkik kuda itu terdengar berbareng dengan penyerbuan para hwesio Siauw-lim-si, disusul pekik kesakitan.
Dua orang murid Siauw-lim-pai segera roboh saat Lam-hai Giam-lo menggerakkan kedua tangannya. Lengannya dipentang lebar dan tubuhnya bagai berputar. Dengan gerakan ini dia sudah menangkis semua pukulan yang datang dari empat penjuru sambil merobohkan dua orang pengeroyok dengan amat mudahnya
Melihat kehebatan kakek itu, Han Siong yang menonton dari luar diam-diam menyelinap pergi. Tak lama kemudian dia telah mengetuk daun pintu Kamar Renungan Dosa di mana ditahan laki-laki berlengan buntung itu.
"Paman...! Paman...! Bukalah pintu!" teriaknya, lupa akan larangan ketua kuil bahwa dia tidak boleh berhubungan dengan orang hukuman itu.
"Anak baik, apakah yang terjadi?" terdengar suara pria itu dan daun pintu pun terbuka.
"Paman... terjadi keributan. Kakek gagu palsu itu kini mengamuk, dikeroyok para suheng dan suhu, tapi... agaknya dia lihai sekali."
"Ahhh! Sudah kuduga akan begini jadinya!" laki-laki itu segera berkelebat.