Pendekar Mata Keranjang Jilid 06

Cersil Kho Ping Hoo Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Mata Keranjang Jilid 06
Sonny Ogawa
DEMIKIANLAH, dengan adanya Bi Lian yang cerdik dan lincah jenaka, juga dengan adanya dua buah kitab pelajaran ilmu silat itu, Ci Kang dan Hui Cu tidak terlalu berat menjalani hukuman yang dijatuhkan terhadap mereka. Apa lagi mereka saling memiliki dan mereka saling mencinta. Hari demi hari mereka lewatkan dengan tenang, memperdalam ilmu silat dan memperkuat sinkang dengan jalan bersemedhi.

Akan tetapi, kurang lebih satu tahun yang silam, ketika pada suatu malam mereka pergi berkunjung ke dusun hendak menengok puteri mereka, mereka melihat dusun itu porak-poranda dan rusak binasa. Mereka terkejut sekali dan dari beberapa orang yang selamat dari kebinasaan, mereka mendengar berita yang sangat mengejutkan, yaitu bahwa dusun itu kedatangan iblis-iblis yang mengamuk dan saling berkelahi dengan hebat.

Banyak di antara penghuni dusun yang tewas karena amukan yang membabi buta, dan di antara mereka yang tewas adalah Cu Pak Sun beserta isterinya. Sementara itu, Bi Lian lenyap tanpa meninggalkan bekas!

Tentu saja Ci Kang dan Hui Cu langsung melakukan penyelidikan. Mereka terkejut sekali melihat betapa mayat-mayat yang masih berada di dalam peti mati, karena peristiwa itu baru terjadi kemarin, ternyata menunjukkan bahwa mereka tewas akibat pukulan-pukulan sakti!

Mereka berusaha mencari ke sana sini, namun tanpa hasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan bekas, tidak tahu pergi ke mana atau dibawa oleh siapa! Hui Cu menangis dan tentu akan nekat meninggalkan tempat hukuman kalau tidak dihibur dan dibujuk oleh Ci Kang.

"Tidak ada gunanya." demikian antara lain Ci Kang menghibur. "Kita tidak tahu ke mana perginya Bi Lian dan tidak tahu pula siapa yang membawanya pergi. Ke mana kita harus mencari? Kita pun tak mungkin meninggalkan hukuman yang telah kita lalui setengahnya. Ingat, bukankah sejak dulu kita memang sengaja hendak menebus dosa orang tua kita? Percayalah, keprihatinan kita selama ini bukan tidak ada gunanya dan Bi Lian tentu akan selamat sehingga kelak bisa berjumpa kembali dengan kita. Anak itu tidak dibunuh orang, melainkan mungkin melarikan diri atau diculik. Dan kalau diculik, berarti penculiknya tidak bermaksud membunuhnya."

Akhirnya Hui Cu berhasil dibujuk dan dia semakin giat berlatih sampai perhatian mereka tertarik kepada Han Siong yang setiap hari menyapu halaman dan lantai di depan kamar tahanan. Mereka berdua melihat bahwa anak itu mempunyai bakat yang amat baik! Dan usianya sebaya atau sedikit saja lebih tua dari Bi Lian. Timbul niat di hati mereka untuk mengambil Han Siong sebagai murid.

Mereka lalu melayangkan surat kepada ketua kuil, mempergunakan kepandaian mereka di waktu malam. Ketua kuil menerima surat itu dan karena itulah dia menyuruh Han Siong untuk memanggil dua orang tahanan itu agar menghadap dan itulah pertama kalinya Han Siong bertemu muka dengan mereka.

"Demikianlah, muridku. Kami sedang kehilangan anak kami yang tercinta dan permintaan kami untuk mengambil engkau sebagai murid juga ditolak. Kemudian terjadilah peristiwa dengan Lam-hai Giam-lo sehingga akhirnya engkau dapat juga menjadi murid kami walau pun engkau harus pula meninggalkan jubah hwesio. Dan dapatkah engkau menduga, apa sebabnya kami ingin sekali mengangkatmu menjadi murid selain melihat bahwa engkau amat berbakat?"

Han Siong adalah seorang anak yang sangat cerdik. Mendengar penuturan suhu-nya dia dapat menghubungkan sebuah peristiwa dengan peristiwa lainnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab, "Setelah memperoleh ilmu dari Suhu dan Subo sehingga teecu cukup kuat, teecu akan pergi mencari adik Bi Lian sampai dapat!"

Mendengar ucapan ini, Ci Kang tersenyum dan merangkul pundak muridnya yang duduk di hadapannya. Dia merasa girang, juga bangga dan kagum. "Ahh, sudah kuduga bahwa engkau memang cerdik sekali, Han Siong. Memang itulah yang kami harapkan! Sesudah kami menganggap engkau cukup kuat, kami minta supaya engkau pergi mencari Bi Lian sampai dapat dan menyerahkan dua buah kitab pusaka kami kepadanya, kemudian juga membimbing dia untuk mempelajari kitab-kitab Dewi Kwan Im itu. Kami sendiri baru bisa mempelajarinya dengan susah payah karena kami belajar tanpa ada pembimbing. Kalau dibimbing, tentu orang dapat menguasainya lebih cepat lagi."

Demikianlah, mulai hari itu Han Siong membiarkan rambut di kepalanya tumbuh, memakai pakaian biasa, akan tetapi masih bekerja biasa. Hanya sekarang dia tidak diperbolehkan membersihkan bagian yang dianggap suci dan hanya menyapu di pekarangan dan kebun, memikul air dan pekerjaan lain. Dia tidak boleh lagi mempelajari kitab-kitab agama walau pun dia masih boleh membaca kitab-kitab kuno yang berisi cerita dan filsafat dari ruang perpustakaan.

Setiap malam dengan amat giatnya dia berlatih ilmu silat di bawah pengawasan suhu dan subo-nya. Kedua orang gurunya dengan penuh semangat melatihnya karena dua orang ini mengharapkan agar Han Siong bisa cepat menguasai ilmu silat yang tinggi agar dapat diharapkan untuk mencari dan menemukan puteri mereka yang hilang.

Tentu saja Ci Kang dan Hui Cu tidak langsung mengajarkan ilmu silat dari dua kitab Kwan Im, karena masih terlalu tinggi bagi Han Siong. Pemuda ini dilatih dengan ilmu-ilmu silat mereka yang juga amat tinggi sebagai dasar untuk kelak dapat menerima kedua ilmu silat yang luar biasa itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kakek itu sudah tua sekali, usianya tentu sudah mendekati delapan puluh tahun. Seorang kakek raksasa yang tubuhnya amat tinggi besar, kepalanya gundul, jubahnya kotak-kotak berwarna merah dan kuning, tangan kirinya memegang tasbeh yang seakan-akan sudah menjadi bagian dari tangannya karena tidak pernah dilepasnya.

Biar pun dia sudah tua sekali, akan tetapi pada wajahnya nampak kesegaran usia muda, bahkan sepasang matanya masih memiliki sinar yang gembira dan cerah. Semenjak tadi kakek itu duduk bersila di atas sebuah batu besar di bawah pohon raksasa, tubuhnya tak bergerak dan tegak, hanya jari-jari tangan kirinya saja yang terus memutar-mutar tasbeh. Agaknya dia sedang berdoa.

Setelah selesai berdoa, kakek pendeta gundul itu membuka sepasang matanya kemudian memandang ke kanan kiri seperti mencari-cari. Karena tidak melihat apa yang dicarinya, dia lalu turun dari tempat dia bersila, dan dengan langkah lembut dia lalu mencari ke arah anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ.

Anak itu suka sekali bermain di tepi sungai, pikirnya sambil menahan senyum. Akhirnya dia pun melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun sedang duduk termenung di pinggir sungai yang airnya amat jernih itu. Kakek pendeta itu mengintai dari balik semak-semak.

Anak laki-laki itu berwajah tampan dan cerah, sepasang matanya bersinar tajam, bibirnya selalu menyungging senyum dan wajahnya berseri gembira. Pada saat itu, dia berdongak memandang ke arah pohon tak jauh dari situ, di antara daun-daun yang lebat dan seperti terpesona.

Kakek itu menjadi tertarik dan ikut memandang, mencari-cari dengan pandangan matanya dan ketika dia melihat apa yang sedang dipandang oleh anak itu, dia lalu tersenyum lebar, akan tetapi wajahnya seperti tersipu malu. Kiranya yang dipandang oleh anak laki-laki itu adalah sepasang burung yang sedang berkasih-kasihan dan bermain cinta. Paruh mereka saling bersentuhan seperti biasanya orang bercumbu dan berciuman, dan berulang-ulang burung gereja jantan itu naik ke atas punggung burung betina yang mendekam pasrah.

Dan agaknya anak itu demikian terpesona, mengikuti setiap gerakan kedua ekor burung itu. Akhirnya sepasang burung gereja itu terbang pergi dan barulah anak itu seperti sadar dari dalam pesona yang amat menarik hatinya.

Alam menjadi guru, demikian kakek itu berpikir. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba anak itu memandang ke arah tepi sungai hingga dia sendiri pun tertarik. Kebetulan sekali, pada saat itu muncul sepasang kijang mendekati tepi sungai, jelas bahwa sepasang kijang itu hendak minum air yang jernih.

Mereka minum dengan lahap, kemudian nampaknya si Jantan timbul gairah dan mereka pun berkejaran sebentar di tepi sungai. Yang betina nampaknya saja melarikan diri, akan tetapi hanya berputaran di sekitar tepi sungai itu saja, di mana tumbuh rumput hijau yang gemuk dan sikapnya seperti mempermainkan si Jantan. Akhirnya dia pun menyerah dan mereka berdua bermain cinta di tepi sungai.

Kakek tua renta itu melihat betapa anak laki-laki itu kini bangkit, lalu memandang dengan muka menjadi kemerahan dan mulut sedikit terbuka, napasnya agak terengah-engah. Dia pun mengerti bahwa alam sedang memperlihatkan kekuasaannya. Tanda-tanda peralihan dari masa kanak-kanak menjadi remaja mendekati dewasa mulai nampak pada diri anak laki-laki itu.

Kakek itu pun tidak mau mengganggu. Biarkan anak itu mempelajari kenyataan hidup dari alam sekitarnya, pikirnya. Dia sendiri lalu duduk bersila, memejamkan sepasang matanya sehingga semua penglihatan itu lenyap dari bayangan dalam benaknya.

Akhirnya sepasang kijang itu pergi dari situ dan anak itu pun lalu duduk kembali dengan dahi dan leher basah oleh keringat. Ia masih tenggelam dalam renungan, membayangkan kembali segala yang dilihatnya tadi ketika terdengar suara halus memanggilnya.

"Hay Hay...!"

Anak itu terkejut karena seperti terseret keluar dari alam lamunannya, akan tetapi hanya sebentar saja karena wajahnya langsung berubah cerah ketika dia menoleh dan melihat kakek itu berdiri tak jauh di belakangnya.

"Suhu!" serunya gembira. Dia cepat meloncat bangun dan berlari menghampiri kakek itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Sepagi ini Suhu sudah berada di sini!"

Biasanya kakek itu tentu masih duduk bersemedhi di depan pondok sambil mandi cahaya matahari. Setiap pagi kakek itu memang selalu bersila dengan dada telanjang menghadap matahari, maka kehadiran gurunya di tepi anak sungai itu amat mengherankan hatinya.

Anak itu adalah Hay Hay yang tadinya menjadi anak angkat Lam-hai Siang-mo. Seperti sudah diceritakan di bagian depan. Hay Hay akhirnya tahu akan rahasia kedua orang tua yang tadinya dianggap sebagai orang tua kandung itu, tahu bahwa mereka itu sebetulnya adalah penjahat-penjahat besar yang menculiknya dari tangan kedua orang tuanya yang asli, yaitu keluarga Pek.

Akan tetapi hal ini pun masih meragukannya karena sesudah dia menjadi murid See-thian Lama, yaitu kakek gundul itu, dan dibawa ke Pegunungan Himalaya, dia mendengar dari gurunya bahwa yang dimaksudkan dengan sebutan Sin-tong adalah putera keluarga Pek dari Pek-sim-pang, yaitu anak yang terlahir dengan tanda merah di punggung.

Akan tetapi dia tidak mempunyai tanda merah itu, maka biar pun Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yaitu suami isteri Lam-hai Siang-mo sudah mengaku bahwa mereka menculiknya dan menukar dengan anak mereka sendiri dari keluarga Pek, masih diragukan apakah dia benar-benar putera keluarga Pek.

"Sebab itulah pinceng nasehatkan agar engkau jangan tergesa-gesa menggunakan nama keturunan Pek, Hay Hay. Kelak kalau engkau sudah besar dan mempunyai kepandaian, engkau boleh menyelidiki sendiri tentang asal-usulmu itu."

Selama lima tahun Hay Hay diajak bertapa oleh See-thian lama, dibawa ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang airnya jernih itu, di tengah hutan di kaki Pegunungan Himalaya. Setiap hari kakek itu menggemblengnya, mengajarkan dasar-dasar ilmu silat tinggi sambil mengajarkan ilmu baca tulis pula.

Karena kakek itu adalah salah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) yang berilmu tinggi, maka tentu saja di bawah bimbingannya, Hay Hay menjadi seorang anak yang luar biasa. Ditambah lagi bakat yang amat baik pada dirinya, maka biar pun usianya baru dua belas tahun dan dia baru mempelajari ilmu silat selama lima tahun, kepandaiannya sudah sangat hebat, jauh melampaui tingkat orang-orang dewasa yang belajar ilmu silat selama belasan tahun.

Akan tetapi, waktu selama lima tahun itu sebagian dihabiskan untuk latihan-latihan dasar sehingga tidaklah mungkin bagi Hay Hay untuk mempelajari semua ilmu silat tinggi dari See-thian Lama. Oleh karena itu, See-thian Lama hanya mengajarkan teori-teori gerakan ilmu-ilmu silat yang pilihan, untuk dihafal di luar kepala oleh Hay Hay.

"Semua ilmu ini membutuhkan latihan yang matang, Hay Hay. Akan tetapi pinceng kalah cerdik dari Ciu-sian Sin-kai. Pinceng melatihmu lebih dulu, sama saja dengan memberimu dasar-dasar yang kuat sehingga lima tahun berikutnya, Si Jembel itu akan menerimamu dalam keadaan telah siap untuk menerima segala macam ilmu silat tinggi. Sedangkan kini engkau hanya dapat menghapal ilmu-ilmu silat dariku. Akan tetapi, kelak, kalau tubuhmu sudah kuat, engkau akan dapat melatih ilmu-ilmu yang sekarang kau hapal di luar kepala ini."

Hay Hay dapat mengerti apa yang dikemukakan suhu-nya, maka dia pun lalu mentaatinya dan menghapalkan ilmu-ilmu itu dengan sungguh-sungguh. Dari See-thian Lama, terutama sekali dia mendapat ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali, yaitu Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan), juga ilmu langkah yang luar biasa bernama Jiauw-pouw Poan-soan (Langkah Ajaib Berputar-putar).

Ketika See-thian Lama mendengar ucapan muridnya yang merasa heran mengapa sepagi itu dia sudah menyusul muridnya di tepi anak sungai, dia lalu tertawa. "Omitohud, betapa cepatnya sang waktu berjalan, Hay Hay. Kalau kita mengenangkan masa-masa lalu kita, seakan-akan baru terjadi kemarin saja. Tanpa terasa pinceng pun kini sudah begini tua! Dan tahukah engkau bahwa kita telah berada di sini selama hampir lima tahun?"

Mendengar ucapan itu, Hay Hay tak dapat menyembunyikan kagetnya. "Tetapi... tetapi... teecu masih ingin belajar terus dari Suhu!"

Kakek itu tertawa. Anak ini memang cerdik bukan main, jika bicara langsung saja kepada sasarannya.

"Hay Hay, satu di antara nilai seorang manusia yang perlu dijaga adalah mulut yang harus bisa dipercaya. Sekali berjanji, seorang gagah akan mempertahankan dan memenuhinya dengan taruhan apa pun juga. Dulu pinceng telah berjanji kepada Ciu-sian Sin-kai bahwa pinceng akan mendidikmu selama lima tahun saja, kemudian akan menyerahkan engkau kepadanya untuk dididik lima tahun lamanya."

Hay Hay bukannya tak suka berguru kepada Ciu-sian Sin-kai, kakek pengemis yang juga sangat lihai itu, namun dia belum merasa puas berguru kepada pendeta Lama ini. Tetapi dia tahu pula bahwa orang-orang gagah seperti gurunya ini tentu tak akan mau melanggar janjinya, maka membantah pun tidak akan ada gunanya.

"Akan tetapi, Suhu. Di manakah tempat tinggal Suhu Ciu-sian Sin-kai itu? Ke mana kita harus mencarinya?"

"Ha-ha-ha, kau kira dia seorang jembel miskin yang berkeliaran ke mana-mana mencari sisa nasi? Ha-ha, jangan salah sangka, muridku. Sin-kai adalah seorang yang kaya raya, dia majikan Pulau Hiu yang selain kaya raya, juga memiliki banyak anak buah dan hidup sebagai raja di pulau itu. Dalam beberapa hari ini dia pasti akan muncul untuk menjemput engkau."

Secara diam-diam Hay Hay merasa terkejut juga. Hal ini sungguh tak pernah diduganya. Orang-orang yang menjadi guru-gurunya ini memang aneh. See-thian Lama yang menjadi pendeta Lama, sepatutnya hidup di dalam biara yang besar di Tibet, atau setidaknya tentu memiliki kuil yang besar di mana dia menjadi ketuanya. Akan tetapi kenyataannya sama sekali tak begitu. Pendeta ini membawanya ke tempat sunyi itu dan mereka hanya tinggal pada sebuah pondok darurat yang mereka bangun. Sebaliknya, orang berpakaian tambal-tambalan seperti pengemis itu, Ciu-sian Sin-kai, malah hidup sebagai raja yang kaya-raya di sebuah pulau.

Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara, tiba-tiba saja See-thian Lama memegang lengannya sambil berbisik, " Ada orang-orang datang ke sini!"

Baru saja dia selesai bicara, nampak berkelebat tiga bayangan orang dan tahu-tahu di situ sudah muncul tiga orang pendeta Lama. Sikap mereka kereng akan tetapi mereka tetap menghormati See-thian Lama, bahkan mereka langsung merangkap kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan dan ketiganya menyebut, "Susiok!"

See-thian Lama menatap wajah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka itu rata-rata berusia lima puluh sampai enam puluh tahun, dan dari sikap serta bentuk tubuh mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. See-thian lama tidak mengenal semua pendeta Lama di Tibet, akan tetapi dari sebutan mereka tadi, dia tahu bahwa mereka ini adalah pendeta-pendeta tingkat dua di Tibet, satu generasi lebih muda darinya.

"Kalian berlima dari manakah dan ada keperluan apa datang berkunjung ke sini?" tanya See-thian Lama dengan sikap dan suara yang lembut.

Salah seorang di antara tiga pendeta lama itu, yang bertubuh jangkung kurus berjenggot panjang, melangkah maju mewakili dua orang temannya. Pendeta ini bersikap halus, akan tetapi suaranya terdengar tegas dan keras.

"Susiok, maafkan kalau kami bertiga mengganggu Susiok. Akan tetapi kami mendukung tugas yang diberikan oleh para Suhu di Tibet untuk mencari Sin-tong." Dia menghentikan kata-katanya dan mengerling ke arah Hay Hay yang mendengarkan dengan hati tertarik, apa lagi ketika pendeta itu menyebut Sin-tong yang mempunyai hubungan erat dengan dirinya.

See-thian Lama tetap tersenyum walau pun sinar matanya kini menjadi berkilat. "Mencari Sin-tong kenapa datang ke sini?"

"Karena kami merasa yakin bahwa anak yang berada bersama Susiok ini adalah Sin-tong dan kami harus mengajaknya kembali ke Tibet."

"Hemmm, apa alasanmu mengatakan bahwa muridku ini Sin-tong?"

"Kami merasa sangat yakin, Susiok, berdasarkan penyelidikan kami yang bertahun-tahun lamanya. Mula-mula Lam-hai Siang-mo datang ke Tibet dan memberi tahu kepada para suhu bahwa Pak-kwi-ong bersama Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan, telah merampas Sin-tong dari tangan mereka. Para suhu lantas mengutus kami bertiga untuk pergi mencari kedua orang tokoh iblis itu. Bertahun-tahun kami merantau dengan susah payah dan setelah kami berhasil menemukan dua orang itu, mereka mengatakan bahwa Sin-tong telah terampas pula dari tangan mereka oleh Susiok dan Ciu-sian Sin-kai. Oleh karena itu, kami segera mencari Susiok di sini dan melihat anak ini..."

See-thian Lama tersenyum. Ternyata dua pasang iblis itu sudah mencari jalan lain untuk membalas kekalahan mereka, yaitu dengan melapor kepada para pendeta Lama di Tibet!

"Akan tetapi, muridku ini sama sekali bukan Sin-tong!" katanya.

"Maaf, Susiok. Bukankah dia ini adalah anak yang dahulu pernah diperebutkan di antara Lam-hai Siang-mo, Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi? Bukankah anak ini yang tadinya telah dibawa oleh sepasang suami isteri itu untuk diserahkan ke Tibet?"

See-thian Lama mengerti bahwa tentu saja suami isteri iblis itu berbohong dan memutar balikkan kenyataan tentang diri Hay Hay, dan mengatakan bahwa mereka berdua tadinya berniat menyerahkan Hay Hay ke Tibet! Akan tetapi yang diperebutkan itu memang Hay Hay, maka dia pun mengangguk.

"Benar, memang anak ini yang diperebutkan, akan tetapi dia bukan Sin-tong."

Sejenak tiga orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian Si Jangkung berjenggot itu berkata, "Harap Susiok maafkan. Bukan maksud kami ingin berbantah dengan Susiok, akan tetapi telah bertahun-tahun kami mencari dengan susah payah dan setelah sekarang bertemu, terpaksa kami tidak akan membiarkannya terlepas begitu saja."

"Maksud kalian?"

"Dengan atau tanpa perkenan Susiok, kami harus membawa anak ini ke Tibet kemudian menghaturkannya kepada Suhu di Tibet"

"See-thian Lama tertawa. "Omitohud, kau mendengar itu, Hay Hay? Nah, sekarang tiba saatnya pinceng menguji latihan-latihanmu selama ini. Coba pinceng ingin melihat apakah engkau sanggup menghindarkan diri dari tangkapan tiga orang pendeta Lama ini selama sepuluh jurus!" Dan kepada tiga orang murid keponakan itu, dia pun berkata, "Nah, kalian kuberi kesempatan untuk menangkapnya, tapi hanya selama sepuluh jurus."

Tiga orang pendeta itu kembali saling pandang. Tentu saja mereka sudah tahu kelihaian See-thian Lama yang amat terkenal di Tibet, karena itu mereka memperlihatkan sikap jeri. Akan tetapi, tentu saja mereka memandang ringan bocah yang usianya baru dua belas tahun itu. Mereka bertiga menangkap selama sepuluh jurus? Dalam satu dua jurus saja tentu seorang di antara mereka akan berhasil menangkapnya, apa lagi maju bertiga!

"Baik, Susiok, kami hendak mencobanya!" Dan mereka bertiga lalu menghampiri Hay Hay yang tidak beranjak dari tempatnya.

Anak ini memang cerdik. Melihat betapa di kanan kirinya terdapat banyak pohon-pohon besar, dia menganggap bahwa tempat itu sangat baik untuk dipakai kucing-kucingan dan menghindarkan diri dari penangkapan tiga orang pendeta itu.

Meski pun dia sudah menguasai Jiauw-pouw Poan-soan dan Yan-cu Coan-in, akan tetapi sungguh berbahaya kalau membiarkan dirinya disergap di tempat terbuka oleh tiga orang pendeta yang tentunya memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Kalau berada di antara pohon-pohon, maka dia dapat memanfaatkan batang-batang pohon itu untuk membantunya.

Sekarang tiga orang pendeta Lama itu sudah tiba dekat, lantas tiba-tiba saja Si Jangkung berjenggot panjang menubruk ke arah Hay Hay tanpa banyak cakap lagi. Tangan kirinya menyambar ke arah tengkuk dan tangan kanan menyambar lengan kiri Hay Hay.

Sambaran itu amat cepatnya akan tetapi bagi Hay Hay nampak lambat sehingga dengan mudah saja dia mendahului mengelak dengan satu lompatan ke belakang dan miringkan tubuhnya. Melihat ini, dua orang pendeta lainnya menyergapnya dari kanan kiri.

Gerakan mereka juga cepat sekali. Bagaikan dua ekor beruang mereka menubruk dengan kedua lengan terpentang lebar dan dua tangan membentuk cakar untuk mencengkeram. Namun, dengan menggerakkan kedua kakinya secara aneh dan lincah sekali, miringkan tubuh ke sana sini, Hay Hay sudah menyelinap di antara batang-batang pohon sehingga tubrukan dua orang pendeta itu pun luput!

Tiga orang pendeta Lama itu terkejut. Sungguh tak mereka sangka bahwa anak itu dapat demikian mudahnya menghindarkan diri dari tubrukan-tubrukan mereka. Padahal mereka adalah pendeta-pendeta Tibet tingkat dua yang tentu saja telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, tenaga sinkang dan khikang yang kuat, juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah hebat.

Tentu saja mereka merasa penasaran dan mulailah mereka melakukan penyergapan dari kanan kiri, mengejar ke mana saja anak itu bergerak dan mengelak. Akan tetapi, untuk ke sekian kalinya mereka hanya menangkap angin dan menubruk tempat kosong saja.

Makin cepat mereka bergerak, makin cepat pula Hay Hay mengelak sambil menyelinap di antara pohon-pohon sehingga ketika hwesio Lama yang agak gendut menubruknya terlalu cepat dan telah begitu yakin akan berhasil, tahu-tahu yang ditangkapnya adalah sebatang pohon sehingga hidungnya membentur batang pohon dan berdarah!

Kini barulah tiga orang pendeta itu sadar bahwa anak itu benar-benar tak boleh dipandang ringan! Mereka sudah berusaha menangkap selama lima jurus, namun tanpa hasil sedikit pun juga. Jangan kata menangkap, bahkan menyentuh lengan atau baju anak itu pun tak pernah dapat mereka lakukan!

Melihat betapa muridnya main kucing-kucingan di antara pohon-pohon besar, See-thian Lama merasa tidak puas. Dia ingin menguji kepandaian muridnya, bukan kecerdikan dan akalnya. Kini tinggal tersisa lima jurus lagi untuk mengujinya.

"Hay Hay, engkau bukan kucing. Keluarlah ke tempat terbuka!" teriaknya.

Hay Hay terkejut setengah mati. Suhu-nya malah menyuruh dia keluar ke tempat terbuka, padahal dia tahu benar betapa lihainya tiga orang itu. Gerakan mereka sangat cepat dan dari gerakan tangan mereka itu keluar angin yang kuat sekali. Bagaimana kalau mereka menyerangnya dan dia roboh terluka? Tentu akan mudah dapat tertangkap!

Akan tetapi dia tidak berani membantah perintah suhu-nya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah mencelat keluar dari balik pohon dan kini dia berdiri tegak di tengah-tengah bagian yang terbuka, di atas padang rumput, siap untuk mainkan Jiauw-pouw Poan-soan karena itulah satu-satunya ilmu yang dapat dipergunakannya untuk mengelak dari semua usaha penangkapan. Juga dia siap mengerahkan ilmu meringankan tubuh Yan-cu Coan-in agar mudah meloncat dengan ringan kalau-kalau terancam oleh tangan tiga orang itu.

Melihat betapa anak itu sekarang sudah berdiri di tempat terbuka, tiga orang pendeta itu menjadi girang sekali. Kini kesempatan bagi mereka terbuka untuk dapat menyergap dan menangkap anak itu. Mereka lalu berloncatan mengepung anak itu di tempat terbuka. Kini tidak lagi terdapat batang pohon di mana anak itu dapat menyelinap dan berlindung dari penyergapan.

Hampir saja mereka tertawa saking girang rasa hati mereka. Telah bertahun-tahun mereka melakukan perjalanan yang amat jauh dan sukar, dan baru sekarang mereka memperoleh harapan besar untuk akhirnya berhasil membawa Sin-tong ke Tibet dan menerima berkah dan anugerah dari para pimpinan Lama di Tibet.

Hay Hay lalu menggerakkan kakinya, digeser sedikit demi sedikit mengikuti gerakan tiga orang pengepungnya, mencari posisi yang baik dan menguntungkan sesuai dengan ilmu langkah Jiauw-pouw Poan-soan. Tubuhnya ikut terbawa gerakan kaki, berputar perlahan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya dalam keadaan siap siaga.

Tiba-tiba pendeta Lama jangkung berjenggot panjang mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menubruk ke depan, disusul dua orang temannya yang menubruk pula dari kanan kiri. Tidak ada tempat bagi Hay Hay untuk mengelak, demikian perkiraan tiga orang pendeta itu.

Akan tetapi, sungguh luar biasa sekali. Tubuh anak itu bergerak ke sana-sini, dekat sekali dengan jangkauan tangan mereka, akan tetapi buktinya, tubrukan mereka itu sedikit pun tidak berhasil! Sambaran tangan mereka hanya meluncur di dekat tubuh anak itu! Gerakan tangan mereka yang mendorong tubuh anak itu seolah-olah nampak seperti orang hendak menangkap bulu sutera halus yang amat ringan.

Tentu saja mereka hampir tidak dapat percaya dengan apa yang mereka alami. Dengan penasaran mereka berusaha menangkap lagi dan memperketat pengepungan. Melihat ini, Hay Hay maklum bahwa amatlah berbahaya kalau mengandalkan Jiauw-pouw Poan-soan saja, maka dia pun mulai menambah langkah-langkah ajaibnya dengan loncatan-loncatan menggunakan ilmu Yan-cu Coan-in.

Ilmu ini meniru gerakan burung walet yang amat gesit, yang dalam keadaan terbang dapat membalik ke sana-sini, bahkan dalam keadaan terbang berkelompok dan bersimpang-siur, mereka tidak pernah saling bertabrakan.

Dan kini tiga orang pendeta Lama itu kembali dibikin tertegun sebab ke mana pun mereka menubruk dan mengulur tangan, sama sekali mereka tidak mampu menyentuh tubuh Hay Hay. Tanpa terasa, sepuluh jurus telah lewat.

Mereka tidak menghitung jurus lagi dan kini dengan penasaran, mereka mulai menyerang dengan tamparan-tamparan. Mereka telah memperhitungkan bahwa sekali anak itu roboh tertampar, biar pun dalam keadaan terluka, tentu akan dapat mereka tangkap dan mereka bawa ke Tibet.

"Omitohud, kalian tidak boleh bertindak curang!"

Tiba-tiba See-thian Lama berkelebat dan tahu-tahu tiga orang pendeta itu merasa tubuh mereka lemas ketika ada bayangan berkelebatan di atas kepala mereka. Kiranya dengan ujung jubahnya yang panjang dan lebar itu, See-thian Lama telah berhasil menotok jalan darah di pundak mereka, tidak terlalu keras untuk merobohkan mereka, akan tetapi cukup untuk membuat mereka lemas hingga mereka terpaksa melangkah mundur menghentikan serangan mereka terhadap Hay Hay.

"Susiok, kami adalah utusan dari Tibet! Apakah Susiok berniat hendak mengkhianati Tibet dan para Suhu di sana?" pendeta jangkung berjenggot kini bertanya, suaranya tegas dan penuh teguran.

"Omitohud, percuma saja kalian berlatih puluhan tahun lamanya kalau tetap tidak mampu menguasai perasaan sendiri. Pinceng tidak ingin berbantahan dengan kalian, akan tetapi apa bila para pimpinan dari Tibet datang sendiri, baru pinceng akan membuktikan bahwa murid pinceng ini bukan Sin-tong!"

Melihat sikap See-thian Lama dan mendengar ucapan itu, tiga orang pendeta Lama saling pandang dengan hati kecewa sekali. Segala susah payah mereka selama bertahun-tahun ini hanya akan membawa hasil laporan bahwa mereka menemukan Sin-tong akan tetapi tidak mampu membawanya ke Tibet!

Akan tetapi karena maklum bahwa tidak ada gunanya mempergunakan kekerasan kalau menghadapi See-thian Lama, karena mereka akan kalah, tiga orang pendeta itu terpaksa memberi hormat dan Si Jangkung berjenggot lantas berkata, nada suaranya mengandung rasa penasaran dan ancaman.

"Apa yang terjadi pagi ini di sini tentu akan kami laporkan kepada para suhu di Tibet!" Setelah berkata demikian, tiga orang itu menjura lantas membalikkan tubuh dan berjalan pergi dari situ tanpa menoleh lagi.

Sesudah mereka pergi jauh, barulah See-thian Lama menarik napas panjang. "Omitohud, dirimu dikepung rahasia dan bahaya, Hay Hay. Pinceng tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi dengan Sin-tong yang sesungguhnya dan di mana sekarang dia berada. Ataukah... memang benar engkau ini putera keluarga Pek akan tetapi terlahir tanpa tanda merah di punggung sehingga ramalan para pimpinan Lama itu sekali ini meleset?"

Akan tetapi Hay Hay tidak mempedulikan semua itu. Dia masih merasa tegang dan girang karena tadi mendapatkan kesempatan untuk memainkan ilmu yang selama ini dilatihnya secara tekun. "Suhu, bagaimana dengan semua gerakan teecu tadi? Apakah masih ada yang keliru dan mengecewakan?"

See-thian Lama tersenyum. "Sudah cukup baik, akan tetapi kalau besok atau lusa datang rombongan Lama yang lain, engkau sama sekali tidak boleh menunjukkan kepandaianmu lagi. Yang akan datang ke sini adalah orang-orang yang amat lihai, dan biarkan pinceng yang akan menghadapi mereka."

"Suhu, siapakah yang akan datang lagi ke sini?" tanya Hay Hay, terkejut juga mendengar bahwa akan datang lagi rombongan Lama yang lebih lihai.

"Guru-guru mereka atau pimpinan Lama yang tingkatnya sama dengan pinceng."

"Akan tetapi, bukankah kini mereka berada di Tibet? Jaraknya tentu jauh dan bagaimana mereka akan dapat datang demikian cepat, besok atau lusa?"

"He-he-heh, engkau masih belum tahu, Hay Hay. Para pendeta Lama memiliki ilmu yang luar biasa, bukan hanya ilmu silat dan ilmu sihir. Mereka juga dapat melakukan hubungan batin dari jarak jauh. Tiga orang pendeta tadi akan mampu mengundang guru-guru mereka melalui kekuatan batin saja sehingga yang berada di Tibet akan mengetahui dan cepat datang ke sini. Dan mereka yang akan datang itu rata-rata mempunyai ilmu berlari cepat yang hebat, biar pun mungkin belum dapat menandingi Yan-cu Coan-in, akan tetapi sudah amat cepat sehingga dalam waktu satu dua hari saja akan dapat tiba di sini."

Hay Hay tertegun. Demikian banyaknya orang sakti di dunia ini, pikirnya. Hal ini semakin menebalkan keyakinannya bahwa dia harus belajar penuh semangat dan sama sekali tak boleh menilai kepandaian sendiri terlalu tinggi sehingga menjadi besar kepala dan tinggi hati karena di dunia ini banyak sekali orang pandai yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya.

Apa yang dikatakan See-thian Lama memang terbukti. Dua hari kemudian, pada suatu pagi, selagi Hay Hay dan See-thian Lama berlatih semedhi di dalam pondok seperti yang diajarkan oleh pendeta itu, terdengar suara di luar pondok itu.

"See-thian Lama, keluarlah! Kami ingin bicara!"

See-thian Lama membuka matanya dan berkata kepada Hay Hay. "Nah, mereka sudah tiba. Mari kita keluar, Hay Hay dan jangan kau melakukan sesuatu, serahkan saja kepada pinceng." Dia pun turun dan menggandeng tangan Hay Hay diajak keluar dari pondok.

Pada saat mereka tiba di luar pondok, di situ telah berdiri dua orang pendeta Lama yang sudah tua sekali. Usia mereka sebaya dengan See-thian Lama, yang seorang bertubuh pendek kecil akan tetapi sinar matanya mencorong penuh wibawa, sedangkan orang ke dua gemuk dan gendut seperti Ji-lai-hud dan mulutnya selalu tersenyum lebar.

Melihat bahwa yang muncul adalah dua orang pimpinan Lama yang kekuasaannya cukup besar di Tibet, yaitu Bai Long Lama, pendeta kecil pendek yang masih terhitung sebagai suheng-nya sendiri, bersama Bai Hang Lama, Si Gendut yang masih terhitung sute-nya, maka See-thian Lama cepat-cepat maju dan memberi hormat.

"Selamat datang di gubukku, Suheng dan Sute!" katanya.

"Omitohud... engkau masih belum menghilangkan kesukaanmu menyendiri dan menyepi, Sute," kata Bai Long Lama, cukup lembut dan ramah, akan tetapi pandang matanya tetap saja kereng berwibawa. Sebaliknya, Bai Hang Lama yang memang selalu tersenyum lebar itu kini tertawa.

"Ha-ha-ha, engkau kelihatan semakin sehat saja, Suheng!"

"Terima kasih, Sute. Engkau pun semakin gendut."

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Si Gendut itu tertawa bergelak sehingga perutnya yang penuh gajih itu bergoyang-goyang seperti hidup.

"Suheng dan Sute, kalian berdua ini datang untuk berkunjung saja ataukah ada keperluan lain yang penting?" See-thian Lama bertanya. Sementara itu, dua orang pendeta Lama sudah menatap wajah Hay Hay dengan penuh perhatian.

"Sute See-thian Lama, perlukah engkau berpura-pura lagi? Kami datang untuk mengambil anak ini!" Tiba-tiba suara pendeta Lama yang pendek kecil itu berubah penuh wibawa dan ketegasan, bahkan sinar matanya yang mencorong itu mengandung tantangan.

Tentu saja See-thian Lama sudah tahu akan maksud kedatangan mereka, karena itu dia pun tersenyum ramah penuh kesabaran. "Suheng, dengan alasan apakah Suheng hendak mengambil anak yang menjadi muridku ini?"

"Karena dia Sin-tong! Engkau pun tahu sendiri bahwa calon Dalai Lama harus berada di biara untuk dididik," kata pula Bai Long Lama.

"Kalau dia adalah Sin-tong, memang benarlah apa yang kau katakan tadi, Suheng. Akan tetapi bagaimana kalau dia bukan Sin-tong? Dan pinceng dapat memastikan bahwa dia ini hanyalah muridku, sama sekali bukan Sin-tong."

"Hemm, hal itu harus kami selidiki dahulu. Apa buktinya bahwa anak ini bukan Sin-tong? Bukankah engkau merampasnya dari Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi yang sebelumnya merampas anak ini dari Lam-hai Siang-mo?"

"Benar, tetapi Lam-hai Siang-mo mungkin juga tidak tahu bahwa anak ini bukan Sin-tong. Lihatlah baik-baik, Suheng dan Sute!" Berkata demikian, See-thian Lama segera menarik baju Hay Hay hingga merosot turun dan memperlihatkan punggungnya yang putih bersih, sedikit pun tidak ada tanda merah di situ. "Bukankah Sin-tong sudah diramalkan memiliki tanda merah di punggungnya? Anak ini tidak memiliki tanda merah. Kalau dia mempunyai tanda itu tentu sudah dulu-dulu kubawa ke Tibet untuk diserahkan kepada para pimpinan Lama, Suheng."

Melihat punggung yang kulitnya putih halus dan di situ sama sekali tak nampak ada tanda merahnya itu, Bai Long Lama dan Bai Hang Lama saling pandang dan merasa terkejut, juga terheran-heran. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya semula. Mereka masih merasa penasaran karena mereka tahu bahwa See-thian Lama adalah seorang pandai luar biasa. Bukan tak mungkin dengan satu dan lain cara, See-thian Lama sudah berhasil menghapus tanda merah itu dari punggung Sin-tong!

"Omitohud... pinceng sungguh merasa heran melihat kenyataan ini, Sute See-thian Lama. Akan tetapi pinceng tidak dapat memberi keputusan begitu saja, anak ini harus dibawa ke Tibet untuk dilakukan pemeriksaan dengan teliti apakah dia benar Sin-tong yang kami cari ataukah bukan."

Mendengar ucapan ini, maka terkejutlah hati See-thian Lama. Dikiranya bahwa kenyataan tidak adanya tanda merah di punggung Hay Hay sudah cukup membuktikan bahwa anak itu bukan Sin-tong.

Pada saat itu pula terdengar suara ketawa bergelak yang datangnya dari jauh sehingga terdengar sayup sampai saja, akan tetapi makin lama suara ketawa itu menjadi semakin keras dan jelas. Semua orang merasa amat terkejut karena maklum bahwa suara ketawa itu adalah suara yang mengandung tenaga khikang yang kuat sekali.

Akan tetapi See-thian Lama dapat mengenal suara itu setelah terdengar dekat, maka dia pun cepat mengerahkan khikang-nya sambil berkata. "Omitohud, Ciu-sian Sin-kai, jangan kau main-main seperti ini! Tidak tahukah dengan siapa pinceng bercakap-cakap?"

Kembali terdengar suara ketawa dan tiba-tiba saja muncullah seorang kakek yang masih tertawa bergelak. Kakek ini usianya sebaya dengan mereka, sudah mendekati delapan puluh tahun juga.

Tubuhnya agak kurus, pakaiannya penuh dengan tambal-tambalan berkembang-kembang akan tetapi bersih, sepatunya butut berlubang, rambut, kumis dan jenggotnya yang sudah banyak putihnya itu kusut akan tetapi juga bersih, sepasang matanya bersinar tajam dan bergerak-gerak cepat membayangkan kecerdikan. Di pinggang kirinya terselip sebatang suling yang panjangnya tiga kaki.

"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Justru karena yang bercakap-cakap adalah tiga orang pendeta Lama tingkat tertinggi, maka terdengar amat lucu sekali. Ha-ha-ha!"

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap kakek jembel itu, Bai Long Lama menjadi marah atau setidak-tidaknya hatinya merasa tidak senang karena dia merasa dipermainkan dan ditertawakan. Dia pun mengenal siapa adanya kakek jembel itu, salah seorang di antara Delapan Dewa, rekan dari sute-nya, See-thian Lama.

"Siancai... Ciu-sian Sin-kai majikan Pulau Hui, sungguh tidak memandang sebelah mata kepada orang-orang Tibet. Sin-kai, kami yang tadi bercakap-cakap, kalau kau anggap lucu menggelikan, apanya yang lucu?" Meski pun suaranya masih lunak, namun mengandung kekerasan dan tantangan.

"Ha-ha-ha-ha!" kembali kakek pengemis itu tertawa dan seperti bicara kepada diri sendiri dia berkata, "Sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, jauh lebih sehat tertawa dari pada menangis, jauh lebih baik bergembira dari pada berduka! Para Lama yang mulia, sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah ucapan Dalai Lama yang terkenal angker dan mengandung kebenaran, pernah salah? Apakah ramalan yang keluar dari kamar suci Dalai Lama di Tibet, pernah bohong dan tidak cocok dengan kenyataan?"

"Tentu saja belum pernah!" kata Bai Long Lama dengan marah.

"Heh-heh-heh-heh, pinceng juga senang ketawa seperti engkau, jembel tua. Akan tetapi pinceng tidak berani main-main dengan kesucian Dalai Lama. Tentu saja segala ucapan yang keluar dari kamar suci, yang diramalkan dari sana, semuanya pasti benar dan sama sekali tidak pernah bohong!" Sambung Bai Hang Lama yang bertubuh gendut.

"Nah, nah, itulah yang lucu!" Kakek jembel itu kembali tertawa. "Aku mendengar sendiri berita itu di dunia kang-ouw bahwa calon Dalai Lama yang akan datang adalah seorang anak laki-laki yang terlahir dengan tanda warna merah pada kulit punggungnya! Dan anak bernama Hay Hay ini kulit punggungnya putih bersih, sedikit pun tak ada merahnya. Akan tetapi tetap saja kalian tidak percaya! Bukankah ini lucu sekali? Dua orang Lama tingkat tinggi tidak mempercayai ramalan dari kamar suci Dalai Lama. Aneh dan lucu!"

Wajah kedua orang pendeta Lama itu menjadi agak merah. "Bukan tidak percaya, engkau salah sangka, Sin-kai. Sudah pasti di punggung calon itu ada tanda merahnya. Yang kami kurang percaya adalah, Sin-tong ini memang tidak mempunyai tanda itu, tetapi siapa tahu tanda itu hilang atau bahkan sengaja dihilangkan. Karena itu kami akan membawanya ke Tibet agar para pimpinan mengadakan pemeriksaan dan menentukan benar tidaknya dia Sin-tong yang kami cari!"

"Ha-ha-ha, itu lebih lucu lagi namanya! Siapa tidak mengenal See-thian Lama seorang di antara Delapan Dewa? Pernahkah ada tokoh Delapan Dewa berbohong? Dan siapa pula yang tidak mengenal Ciu-sian Sin-kai? Meski pengemis, aku selamanya tidak pernah mau berbohong. Kami berdua yang menemukan anak ini, kami berdua yang memeriksa lantas mendapat kenyataan bahwa anak ini sama sekali bukan Sin-tong seperti yang dikabarkan orang. Kalau dia memang Sin-tong, untuk apa kami mengambilnya sebagai murid? Tentu telah kami kembalikan ke Tibet. Hemm, aku menjadi curiga. Pernah aku mendengar kabar angin bahwa karena semenjak kecil tidak boleh berdekatan dengan wanita, banyak kaum pendeta yang memelihara remaja-remaja pria! Benarkah hal itu? Jangan-jangan murid kita akan dijadikan peliharaan semacam itu, See-thian Lama!"

Ucapan terakhir ini betul-betul menyentuh kelemahan dua orang pendeta Lama itu. Muka mereka lantas menjadi merah. Harus diakui bahwa mereka berdua bukan termasuk para pendeta yang suka menyembunyikan anak laki-laki yang menjadi kekasih mereka dengan berkedok sebagai kacung, akan tetapi mereka melihat kenyataan yang amat memalukan seperti itu.

"Sudahlah, mungkin pinceng yang keliru. Kalau engkau juga menjadi saksi bahwa anak ini sejak awal memang tidak memiliki tanda merah di punggung, berarti dia bukan Sin-tong, kami percaya. Biarlah kami akan kembali ke Tibet untuk melaporkan hal ini kepada para pimpinan dan terserah kebijaksanaan mereka nanti. Sute, selamat tinggal," kata pendeta Lama yang kecil pendek itu.

"Suheng, selamat tinggal. Mari, Sin-kai!" kata pula pendeta ke dua, Bai Hang Lama yang gendut dan suka tertawa.

"Selamat jalan, Suheng dan Sute," balas See-thian Lama.

"Terima kasih, kalian ternyata Lama-Lama yang mau mengerti dan bijaksana, ha-ha-ha!" Ciu-sian Sin-kai juga berkata.

Dua orang pendeta Lama itu lalu pergi dan cara mereka pergi juga mengejutkan hati dan mengagumkan hati Hay Hay karena begitu berkelebatan mereka telah nampak jauh sekali sehingga sebentar saja mereka hanya nampak sebagai titik-titik hitam yang cepat sekali menghilang.

Setelah mereka pergi, Ciu-sian Sin-kai lalu memandang kepada Hay Hay dan tersenyum simpul. "Wah, engkau sudah besar sekarang, Hay Hay. Nah, cepat kau serang aku untuk dapat kulihat sampai di mana kemampuanmu sesudah lima tahun digembleng oleh Lama pemakan rumput ini!"

Ciu-sian Sin-kai memang selalu mengejek kaum pendeta yang tidak suka makan barang berjiwa sebagai 'pemakan rumput'. Bukannya mengejek untuk mencemooh atau mencela, bahkan dia merasa kagum sekali dan membenarkan mereka karena pernah dikatakannya bahwa pemakan rumput adalah makhluk-makhluk yang paling besar dan kuat di dunia ini. Lihat saja, katanya, binatang-binatang pemakan rumput adalah yang terkuat, di antaranya gajah, onta, kuda, sapi, kerbau dan lain-lainnya. Sedangkan binatang pemakan bangkai hanya menjadi ganas saja, seperti harimau, serigala dan sebagainya.

Tentu saja Hay Hay meragu ketika disuruh menyerang kakek berpakaian pengemis itu. Dia memang masih ingat pada Ciu-sian Sin-kai, akan tetapi karena sudah lima tahun tidak jumpa, tentu saja dia merasa sungkan kalau datang-datang disuruh menyerangnya! Akan tetapi See-thian Lama tertawa dan berkedip kepadanya.

"Hay Hay, gurumu Ciu-sian Sin-kai sudah mulai hendak memberikan petunjuk, mengapa engkau malu dan sungkan? Seranglah dan habiskan kepandaianmu!"

Mendengar perintah ini, baru Hay Hay teringat bahwa watak kakek pengemis tua itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan See-thian Lama, maka dia pun segera melompat ke depan kakek itu. Sejenak mereka saling pandang dan Sin-kai girang melihat remaja yang wajahnya cerah dan sepasang matanya yang mengandung kecerdikan itu.

Sebaliknya, Hay Hay juga senang melihat wajah kakek jembel itu yang membayangkan gairah dan kebahagiaan hidup, selalu gembira. Bertolak belakang dengan sikap See-thian Lama yang selalu lembut dan tenang bagai air danau yang dalam, sebaliknya sikap kakek jembel ini bagai anak sungai yang airnya selalu berdendang dan gemericik terus menerus, mengalir cepat di antara batu-batu sungai. Mendadak timbul niatnya untuk menguji, siapa yang lebih unggul di antara kedua orang kakek itu dan dia sudah memperoleh cara untuk melakukannya.

"Suhu Ciu-sian Sin-kai, teecu mulai menyerang. Awas!" bentaknya.

Dan dia pun segera menerjang dengan pukulan keras sambil memainkan langkah-langkah ajaibnya, yaitu Jiauw-pouw Poan-soan dan menggunakan ginkang Yan-cu Coan-in yang membuat tubuhnya ringan dan gerakannya cepat bukan main.

Kakek jembel itu terkekeh sesudah melihat betapa anak itu bergerak luar biasa cepatnya. Pukulan ke arah perutnya itu cepat dielakkan kemudian dari samping dia mengulur tangan hendak menangkap pundak Hay Hay. Akan tetapi ternyata tangkapannya mengenai angin kosong belaka karena pada waktu yang tepat, pundak itu lenyap ketika Hay Hay kembali menyerang, sekali ini menotok ke arah punggung.

"Ehhh...?" Ciu-sian Sin-kai berseru kagum, cepat meloncat ke depan lantas membalikkan tubuhnya.

Tanpa ragu-ragu lagi dia pun melayangkan kakinya menendang ke arah kedua lutut Hay Hay. Gerakan kaki kiri kakek ini hebat sekali karena sekali bergerak, ujung kaki kirinya sudah membuat gerakan menendang dua kali mengarah kedua lutut. Cepat sekali. Akan tetapi dengan langkah ajaibnya kembali Hay Hay bisa menghindarkan kedua lututnya dari serangan kakek itu.

"Bagus! Engkau sudah menguasai Jiauw-pouw Poan-soan dengan baik!" Sin-kai memuji.

Dia terus menghujani anak itu dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan dari segala arah. Namun, dalam hal mempergunakan langkah-langkah ajaib, memang anak ini telah digembleng oleh See-thian Lama sehingga sangat menguasainya. Dengan langkah-langkahnya itu dia bahkan sanggup menghindarkan diri dari sergapan tiga orang pendeta Lama.

"Suhu, coba hendak teecu lihat bagaimana Suhu akan mampu merobohkan teecu kalau teecu menggunakan Jiauw-pouw Poan-soan dan Yan-cu Coan-in!" tiba-tiba saja Hay Hay berseru gembira.

Hampir saja See-thian Lama menegur muridnya karena ucapan itu dianggapnya takabur sekali. Juga Cui-sian Sin-kai mengerutkan alisnya.

"Kau kira aku tak mampu?" sambil berkata demikian tiba-tiba saja kakek itu merendahkan tubuhnya dan kedua kakinya secara bergantian membuat gerakan menyapu dari kanan dan kiri.

Dibabat dari kanan kiri seperti itu, langkah-langkah kaki Hay Hay menjadi agak kacau dan ketika anak itu mengerahkan ilmu ginkang Yan-cu Coan-in untuk berloncatan menghindar, tahu-tahu ujung kaki Sin-kai sudah mencium belakang lutut kirinya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Hay Hay terjatuh berlutut!

Memang Hay Hay sengaja memancing agar dirobohkan kakek jembel itu. Begitu roboh, dia segera menghadap See-thian Lama.. "Harap suhu ampunkan teecu bila teecu kurang pandai memainkan ilmu Suhu, ataukah... memang ilmu Suhu Ciu-sian Sin-kai yang lebih lihai maka teecu mudah saja dijatuhkan?"

"Husshhh...! Hay Hay, jangan bicara begitu!" Ciu-sian Sin-kai berseru kaget. Akan tetapi terlambat. Api yang disulutkan oleh Hay Hay itu sudah membakar dan menyentuh harga diri See-thian Lama.

"Hay Hay, engkau tadi roboh karena salahmu sendiri. Kalau engkau sudah mahir benar, menghadapi segala macam serampangan seperti tadi tentu engkau berbalik akan berada di pihak pemenang, dan tidak mungkin dapat dirobohkan."

Hay Hay merasa mendapat jalan dengan kata-kata itu. Dia lalu berkata kepada Ciu-sian Sin-kai, "Suhu, teecu ingin sekali mempelajari ilmu membabat dengan dua kaki tadi, yang telah dapat merobohkan teecu dan membuat langkah ajaib teecu tidak berdaya."

Ciu-sian Sin-kai tertawa. "Ha-ha, boleh saja, muridku. Ilmu itu hanya sebagian kecil saja dari apa yang akan kuajarkan kepadamu. Nah, perhatikan baik-baik. Jurus ini adalah jurus Kaki Gunting dari Ilmu Tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Berantai). Lihat bagaimana engkau menggerakkan tubuh dan kedua kakimu." Kakek itu memberi petunjuk dan karena Hay Hay memang berbakat dan pula sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka dilatih sebentar saja dia sudah mampu memainkan tendangan jurus Kaki Gunting itu.

"Nah, Suhu, marilah kita berlatih. Suhu menggunakan Jiauw-pouw Poan-soan sedangkan teecu akan mencoba jurus Kaki Gunting ini!" kata Hay Hay dengan gembira sekali sambil menghampiri See-thian Lama.

Kakek ini tersenyum dengan pandang mata mengejek. "Hemm, jurus kaki gunting tumpul seperti itu saja, apa artinya? Nah, kau boleh menyerangku!"

Karena memang ini yang dikehendaki Hay Hay, dia lalu memainkan jurus tendangannya itu dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan tenaga. Dia menerjang ke depan, agak merendahkan tubuhnya lalu dua kakinya membuat gerakan menyapu seperti menggunting dari kanan kiri dengan cepat, kadang-kadang bergantian, kadang kala berbareng sambil menahan tubuh menggunakan kedua tangan.

Akan tetapi sambil tersenyum-senyum See-thian Lama menggerakkan sepasang kakinya melakukan langkah-langkah mundur, dan kedua tangannya bergerak melakukan totokan-totokan atau tamparan-tamparan ke arah kepala Hay Hay. Karena kedua kaki pendeta itu selalu melangkah mundur, tentu saja sabetan kedua kaki dari kanan kiri itu tidak pernah mengenai sasaran, sebaliknya serangan ke arah bagian atas tubuh itu membuat Hay Hay menjadi amat kerepotan.

Hay Hay mencoba menangkis, akan tetapi sukar untuk mengelak karena kedua kakinya digunakan untuk melakukan tendangan bertubi-tubi sehingga akhirnya pundaknya terkena totokan. Walau pun See-thian Lama tidak menggunakan tenaga besar, namun tetap saja Hay Hay terduduk lemas untuk beberapa detik lamanya.

"Selama ini suhu tidak pernah mengajarkan jurus itu kepada teecu!" kata Hay Hay kepada See-thian Lama setelah dia dapat bangkit berdiri.

"Itulah Jurus Burung Mematuk Ular untuk menghadapi Kaki Gunting tadi."

"Harap Suhu suka mengajarkan kepada teecu."

See-thian Lama yang sedikit banyak merasa bangga karena secara tidak langsung sudah dapat membalas Ciu-sian Sin-kai, mengalahkan jurus Kaki Gunting itu, tentu saja dengan senang hati mengajarkan jurus Burung Mematuk Ular kepada muridnya. Hanya sebentar saja Hay Hay sudah dapat memainkan jurus itu dengan baik, menggunakan Jiauw-pouw Poan-soan melangkah mundur sambil dua tangannya mematuk-matuk ke depan dari atas ke bawah. Setelah dia menguasai jurus itu, dia pun menghadap Ciu-sian Sin-kai.

"Suhu, sekarang teecu sudah dapat mengalahkan jurus Kaki Gunting."

"Ha-ha-ha, akan tetapi jurus Burung Mematuk Ular itu pun mudah pula dipunahkan," kata Ciu-sian Sin-kai.

Kakek ini lantas mengajarkan jurus baru untuk mengatasi dan mengalahkan jurus Burung Mematuk Ular itu. Sesudah menguasai jurus itu, Hay Hay lalu diberi pelajaran jurus baru dari See-thian Lama untuk mengalahkan jurus dari Cui-sian Sin-kai. Demikianlah, dengan cerdiknya, Hay Hay berhasil 'mengadu' kedua orang gurunya itu.

Dua orang kakek sakti itu 'saling menyerang dan saling mengalahkan jurus lawan' secara tidak langsung, melainkan melalui murid mereka. Dan karena ingin saling mengalahkan, tentu saja makin lama mereka mengeluarkan jurus-jurus yang semakin tinggi dan pilihan! Maka semakin sukarlah bagi Hay Hay untuk mempelajari setiap jurus baru yang semakin rumit. Karena itu adu ilmu secara tak langsung ini telah berlangsung lebih dari tiga bulan!

Nampaknya saja keduanya melatih Hay Hay dengan jurus-jurus ampuh dan pilihan, akan tetapi sesungguhnya, keduanya saling tidak mau mengalah untuk menonjolkan kehebatan ilmu masing-masing. Tentu saja yang untung adalah Hay Hay. Walau pun tentu saja dia tidak atau belum bisa menguasai semua jurus itu secara sempurna karena kurang latihan, akan tetapi setidaknya dia telah mengenal dan menguasai teorinya sehingga kelak tinggal mematangkan saja dengan latihan. Lambat laun kedua kakek itu pun maklum bahwa mereka berdua sudah diadu oleh murid mereka. Secara diam-diam mereka merasa geli akan kebodohan diri sendiri dan kagum akan kecerdikan murid mereka, akan tetapi mereka juga maklum betapa pentingnya cara mengajarkan ilmu seperti itu kepada Hay Hay. Mereka melanjutkan 'adu ilmu' ini sampai seratus hari lamanya. "Omitohud, sudah cukuplah, Hay Hay. Hari ini pinceng merasa kalah dan harus mengaku kelebihan Ciu-sian Sin-kai. Engkau ikutlah dengan dia dan belajarlah secara rajin selama lima tahun," kata See-thian Lama setelah Hay Hay memperlihatkan jurus baru dari kakek pengemis itu. "Ha-ha-ha, See-thian Lama terlampau merendah. Ketahuilah, Hay Hay. Bagi orang-orang yang sudah betul-betul menguasai ilmu silat, tidak ada jurus yang tak akan dapat dihadapi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, seperti juga tidak ada benda yang paling besar atau tempat yang paling tinggi di alam ini, tidak ada pula orang yang tidak dapat terkalahkan. Sepandai-pandainya orang, tetap takkan mampu menandingi serangan usia sendiri yang menggerogoti dari dalam. Karena itu, belajarlah yang giat dan lenyapkan sikap takabur. Selama masih hidup, engkau juga masih sempat mempelajari hal-hal yang baru."

Hay Hay berlutut di depan kedua orang gurunya itu sambil menghaturkan ucapan terima kasihnya. Dan pada hari itu juga, Hay Hay pergi meninggalkan See-thian Lama, mengikuti gurunya yang baru, Ciu-sian Sin-kai yang membawanya pulang ke Pulau Hiu.

********************

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.