Pendekar Mata Keranjang Jilid 07

Cersil Kho Ping Hoo Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Mata Keranjang Jilid 07
Sonny Ogawa
KITA tinggalkan dulu Hay Hay yang mulai berguru kepada Ciu-sian Sin-kai dan mengikuti gurunya itu pergi ke Pulau Hiu, dan kini marilah kita mengikuti keadaan Lam-hai Giam-lo, kakek muka kuda yang penuh rahasia itu.

Mengapa kakek yang memiliki kepandaian sangat tinggi itu sampai rela merendahkan diri, menjadi tukang kebun dan bahkan pura-pura gagu tuli di kuil Siauw-lim-si yang sunyi itu? Dia menyamar sebagai seorang hwesio tuli gagu, seolah-olah dia ingin menyembunyikan diri karena ketakutan.

Memang kakek iblis muka kuda ini tengah dilanda ketakutan! Ada dua orang musuh besar yang selalu mengejarnya dan walau pun dia amat lihai, akan tetapi dalam beberapa kali perkelahian melawan mereka, dia selalu kalah dan bahkan nyaris tewas.

Akhirnya, karena terus dikejar-kejar, dalam keadaan terluka dalam dia melarikan diri dan menggunduli rambut, menyamar sebagai hwesio dan dengan bermain sandiwara sebagai seorang hwesio terlantar kelaparan, dia kemudian ditolong oleh para hwesio kuil itu dan diterima bekerja sebagai tukang sapu.

Siapakah dua orang yang ditakuti seorang seperti Lam-hai Giam-lo ini dan mengapa dia bermusuhan dengan mereka? Awal mula permusuhan itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu Lam-hai Giam-lo yang baru saja kehilangan gurunya, yaitu Lam-kwi-ong, salah seorang di antara Empat Setan Dunia.

Dia seolah-olah menggantikan kedudukan mendiang gurunya, kemudian dia merajalela di dunia persilatan, di bagian selatan hingga jauh ke barat. Karena sejak muda dia memang berkeliaran di pantai selatan sehingga memperoleh julukan Lam-hai Giam-lo (Raja Akhirat Laut Selatan), maka namanya sangat ditakuti di daerah selatan. Ketika itu usianya baru sekitar empat puluh tahun.

Salah satu di antara kejahatan yang biasa dia lakukan adalah menculik dan memperkosa wanita yang menarik hatinya. Demikianlah, pada suatu hari dia melarikan seorang gadis cantik dari kota Swat-ouw, yang dilarikannya menuju ke pantai yang amat curam karena pantai ini merupakan bagian pegunungan tepi laut selatan.

Gadis itu baru berusia tujuh belas tahun dan dia selalu menangis, meronta dan menolak untuk melayani orang yang mukanya mengerikan seperti muka kuda itu. Hal ini membuat Lam-hai Giam-lo marah sekali. Dia ingin gadis ini mau menyerahkan diri dengan suka rela karena dia tidak merasa puas kalau harus memperkosa dengan kekerasan.

Di tempat yang sunyi itu, di tebing jurang yang amat curam itu, dia marah-marah karena kembali gadis itu menolak, bahkan memaki-maki sambil menangis. Dijambaknya rambut gadis itu yang panjang dan terurai lepas dari sanggulnya, dan dibawanya gadis itu ke tepi tebing. Dengan satu tangan, dia menggantung gadis itu pada rambut yang dijambaknya.

"Nah, lihatlah ke bawah! Apakah engkau lebih suka kulempar ke bawah sana? Hayo pilih, engkau memenuhi permintaanku dengan manis atau kulempar ke bawah sana?"

Gadis itu tergantung di udara. Dengan muka pucat dan mata terbelalak dia memandang ke bawah. Jauh di sana nampak air laut dan batu-batu besar, amat jauh di bawah. Air laut yang kalau didekati bergelombang besar namun dari tempat setinggi ini kelihatan tenang dan indah.

Akan tetapi sungguh sangat mengerikan membayangkan dirinya dilepas dan meluncur ke bawah. Batu-batu yang seperti bentuk-bentuk binatang purba itu tentu akan menyambut tubuhnya menjadi hancur lebur, kemudian ombak-ombak laut akan melenyapkan sisa-sisa tubuhnya. Tinggi tebing itu tidak kurang dari seribu kaki!

"Tidak... tidak... lebih baik bunuh saja aku! Lebih baik aku mati dari pada harus memenuhi permintaanmu yang keji!" Gadis itu sudah nekat dan dia memejamkan mata, menanti saat dia dilemparkan ke bawah.

Dapat dibayangkan betapa marahnya rasa hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat suka kepada gadis ini, suka dengan kecantikannya, kesegaran tubuhnya, dan keberaniannya. Dia ingin memiliki gadis ini dengan suka rela, tidak memperkosa seperti yang biasa dilakukannya terhadap wanita yang tidak mau melayaninya dengan suka rela. Penolakan yang sangat keras dari gadis itu membuat rasa sukanya lalu berbalik menjadi rasa benci yang besar.

"Baik, jika begitu engkau akan kuperkosa sampai puas, baru akan kulemparkan ke bawah sana!" katanya penuh geram.

Mendengar ancaman ini, yang baginya terasa lebih mengerikan dari pada maut, gadis itu menjerit sekuat tenaga, lantas terkulai pingsan! Agaknya jeritan itu menarik perhatian dua orang yang berada tidak jauh dari tempat itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih bersama seorang gadis kecil berusia dua belas tahun lalu datang berlari-lari.

Laki-laki itu buntung lengan kirinya, sebatas siku, tubuhnya tinggi besar dan di wajahnya terbayang sikap yang gagah perkasa. Ada pun gadis cilik itu cantik mungil, dengan tubuh yang tangkas terlatih. Ketika laki-laki buntung lengan kirinya itu sampai di situ dan melihat seorang lelaki bermuka kuda sedang menjambak rambut seorang gadis yang tergantung di tepi tebing, dia terkejut bukan main kemudian membentak nyaring.

"Lepaskan gadis itu!"

Melihat munculnya seorang laki-laki yang buntung sebelah lengannya, dan seorang gadis remaja yang cantik manis, Lam-hai Giam-lo menatap tajam ke arah wajah gadis remaja itu. Kejengkelan hatinya segera memuncak melihat ada orang berani membentaknya dan mencampuri urusannya, akan tetapi dia pun tertarik melihat gadis remaja itu.

"Ha-ha-ha! Baik, akan kulepaskan gadis ini tetapi gadis remaja itu menjadi penggantinya, ha-ha-ha-ha!" Dan dia benar-benar melepaskan jambakan rambutnya sehingga tentu saja tubuh gadis yang sudah pingsan itu meluncur ke bawah.

Melihat ini, gadis remaja itu terbelalak dan berlari ke tepi tebing, kemudian menjenguk ke bawah. Mukanya berubah pucat sesudah melihat betapa tingginya tebing itu, sedangkan tubuh yang meluncur ke bawah itu sudah tidak kelihatan lagi. Tentu sudah hancur lebur terbanting pada batu-batu karang di bawah sana!

Laki-laki tinggi besar berlengan buntung sebelah itu marah bukan main. "Keparat, engkau ini iblis jahat, bukan manusia!" Sambil membentak demikian, dia melangkah maju.

Lam-hai Giam-lo kembali tertawa. "Tepat, memang aku bukan manusia, melainkan Raja Akhirat Laut Selatan. Aku tadi memberi korban kepada laut selatan, ha-ha-ha!"

"Lam-hai Giam-lo...?!" Sekarang mata laki-laki berlengan buntung sebelah itu terbelalak dan mukanya berubah.

Tentu saja dia sudah mendengar tentang nama tokoh sesat ini ketika dia mulai memasuki daerah pantai selatan. Tak disangkanya bahwa dia akan menyaksikan iblis itu membunuh seorang wanita secara begitu kejam. Biar pun dia sudah mendengar bahwa iblis itu amat sakti, tetapi melihat kekejamannya dia melupakan hal ini dan mengambil keputusan untuk menentangnya.

"Ha-ha-ha, engkau sudah mendengar namaku? Lekas berlutut dan serahkan gadis remaja itu kepadaku sebagai pengganti korban tadi."

Laki-laki berlengan buntung itu memandang marah. Mukanya yang gagah dan keras itu berubah merah dan dia mengepal tangan kanannya.

"Iblis seperti engkau ini harus dibasmi!" bentaknya dan dia pun langsung menerjang maju dengan marah, menyerang dengan tangan kanannya, menghantam ke arah dada Lam-hai Giam-lo.

Melihat datangnya pukulan yang mengandung angin pukulan keras itu, Lam-hai Giam-lo hanya tersenyum mengejek. Dia tidak berani menerima pukulan yang cukup ampuh itu, melainkan mengelak ke samping lantas kakinya mencuat dalam sebuah tendangan kilat mengarah lambung lawan.

Akan tetapi lelaki buntung lengan kirinya ini dapat meloncat ke samping, menghindarkan tendangan dan kembali tangan kanannya menyambar lagi dengan totokan ke arah lener. Lam-hai Giam-lo menangkis sambil mengerahkan tenaga pada lengan kirinya.

"Dukkk!"

Tangan laki-laki buntung itu terpental, akan tetapi tidak membuat lengan itu patah, bahkan kembali tangan kanan lelaki itu menyerang lagi dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala Lam-hai Giam-lo. Iblis ini menyeringai, maklum bahwa bagaimana pun juga, pria buntung sebelah lengannya ini mempunyai sedikit kepandaian. Dan melihat gerakan serta geseran kakinya, dia maklum bahwa lawannya memiliki dasar ilmu silat yang cukup tinggi.

Maka dia pun mengeluarkan kepandaian simpanannya dan dengan gerakan dahsyat dia menubruk ke depan, mengembangkan kedua tangannya dan membentak dengan nyaring sekali. Suara bentakannya melengking dan mengejutkan laki-laki itu yang berusaha untuk menghindar sambil menggerakkan tangan kanan menangkis.

Akan tetapi serangan itu terlampau hebat. Angin pukulan yang keras menyambar hingga lelaki itu terpelanting sampai bergulingan dan sebuah tendangan susulan yang mengenai pinggulnya membuat tubuhnya terjungkal ke dalam jurang, ke bawah tebing yang amat curam tadi!

"Ha-ha-ha-ha, kau susullah gadis keras kepala tadi. Dan kau, anak manis, ke sinilah, mari ikut bersamaku untuk bersenang-senang!" Dia melangkah menghampiri gadis remaja yang masih berada di tepi tebing.

Tadi dara itu masih merasa ngeri melihat betapa tubuh wanita itu tadi dilempar ke bawah. Kini, melihat pria buntung lengan kirinya juga terpelanting ke bawah tebing, dia menahan jeritnya dan memandang dengan mata terbelalak ke bawah tebing. Pada waktu Lam-hai Giam-lo yang mukanya amat menyeramkan itu menghampirinya, gadis cilik itu tak dapat menahan rasa ngerinya maka dengan nekat dia pun meloncat ke bawah tebing menyusul gurunya sambil berteriak memanggil.

"Suhuuuuu...!"

Lam-hai Giam-lo tertegun. Mukanya berubah merah lantas dia mengepal tinju kanannya, mengamang-amangkan tinjunya ke bawah tebing.

"Keparat, kau melahap semuanya!" bentaknya seakan-akan marah terhadap tebing yang telah menelan dua calon korbannya.

Kini dia tidak kebagian apa-apa dan kalau saja di sana terdapat orang lain, tentu akan menjadi korban kemarahannya. Dia menendang sebuah batu besar sehingga batu itu pun menggelinding ke bawah tebing, lantas mendorong roboh sebatang pohon besar dengan sepasang tangannya, menendangi batu-batu kecil seperti orang kesurupan setan. Setelah melampiaskan kemarahannya, Lam-hai Giam-lo lalu berlari dari tempat itu.

Menurut akal sehat, sungguh tidak mungkin sekali kalau orang yang terjungkal ke bawah tebing securam itu, seribu kaki tingginya, akan tetapi selamat. Tubuh tentu akan hancur lebur apa bila menimpa batu-batu karang, dan akan lebih remuk lagi kalau ditangkap dan dihempaskan ombak laut yang besar itu kepada batu dan dinding karang yang runcing, tajam dan keras.

Akan tetapi, kenyataan kadang-kadang lebih aneh dari pada perhitungan akal. Terdapat keajaiban di mana-mana yang oleh kita dinamakan kebetulan. Lebih lagi urusan nyawa, sungguh di luar perhitungan akal dan kita sama sekali tidak dapat menguasai mati hidup kita sendiri.

Apa bila memang sudah tiba saatnya nyawa harus meninggalkan raga, walau pun kita bersembunyi ke dalam lubang semut pun, tetap saja maut akan datang menjemput, tepat pada saatnya dan dengan cara yang bagaimana aneh pun. Sebaliknya, kalau memang belum saatnya kita mati, meski pun sudah terancam seribu satu bahaya maut, ada saja seribu satu macam kebetulan yang akan membuat kita terluput dari pada kematian.

Seorang prajurit yang sejak mudanya menjadi prajurit, hidup di medan perang dan setiap saat terancam bahaya maut, bisa keluar tanpa lecet sedikit pun sampai hari pensiunnya. Akan tetapi begitu dia pulang ke kampung, baru saja dia terkena penyakit dan dalam satu dua hari saja meninggal dunia!

Banyak pula orang yang sudah menderita sakit yang berat, sampai bertahun-tahun tidak juga mati walau pun dia sudah merasa bosan dengan penderitaan penyakitnya dan minta mati. Namun sebaliknya, ada pula orang yang hari ini masih nampak segar bugar dan tertawa-tawa, besok secara tiba-tiba saja meninggal dunia!

Karena itu, biar pun nampaknya ajaib dan luar biasa aneh, kalau mengingat akan hal-hal di atas, maka tidaklah aneh jika laki-laki buntung lengan kirinya tadi, yang terjungkal dari tempat setinggi seribu kaki, tidak menjadi mati karena memang belum waktunya. Hanya perkataan belum waktunya itulah yang mampu kita keluarkan karena kita memang tidak dapat menembus rahasia di balik itu semua.


Ketika meluncur turun, laki-laki gagah ini tidak menjadi pingsan, bahkan tidak kehilangan ketenangannya. Dia tahu bahwa tubuhnya tentu akan hancur terbanting pada batu-batu karang bawah sana.

Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuhnya tertahan lantas dia merasa punggungnya perih dan ketika dengan cekatan tangan kanannya meraih ke belakang, kiranya secara kebetulan sekali tubuhnya tertahan oleh sebuah pohon yang secara kebetulan pula tumbuh miring pada dinding tebing curam itu! Agaknya jubahnya yang berkembang karena luncuran tadi, tertangkap dan terkait dahan pohon yang kebetulan tidak patah sehingga tubuhnya bisa tertahan.

Pada saat itu pula dia mendengar jeritan muridnya. Cepat dia bergantung dengan kedua kakinya pada dahan pohon yang terbesar, lalu memandang ke atas dan dilihatnya tubuh kecil muridnya melayang turun!

Laki-laki itu memang hebat sekali, memiliki kekuatan batin yang luar biasa sehingga dalam keadaan seperti itu dia masih sadar dan dapat membuat perhitungan dengan tepat. Ketika tubuh gadis remaja itu sudah meluncur di dekatnya, cepat dia menyambar dengan tangan kanannya dan berhasil menangkap lengan anak perempuan itu!

Anak perempuan itu mengaduh. Dia sendiri harus menahan keluhannya karena belakang lutut kedua kakinya yang bergantung terasa nyeri sekali, juga pangkal lengan kanannya terbetot keras. Akan tetapi dia dapat bertahan dan dia girang bahwa anak perempuan itu pun masih dalam keadaan sadar.

"Cepat, Hui Lian, kau tangkap dahan pohon depanmu itu," katanya sambil menarik tubuh anak itu ke atas.

Anak yang bernama Hui Lian itu lalu menangkap dahan pohon, kemudian dia mendekam di situ, tubuhnya agak gemetar dan dia kembali menutup matanya ketika memandang ke bawah. Dia merasa ngeri bukan main!

"Tenangkan hatimu, jangan memandang ke atas atau ke bawah. Bersukurlah bahwa kita masih dalam keadaan selamat."

"Baik, Suhu!" Dalam suara anak itu kini sudah terdengar keriangan, tanda bahwa hatinya sudah tenang dan dia pun berusaha bersikap riang untuk membesarkan hati gurunya.

Laki-laki itu lalu memandang ke bawah dan ke atas, mengukur dengan pandang matanya. Kiranya letak pohon itu berada di tengah-tengah tebing, ke atas masih lima ratus kaki, ke bawah masih lima ratus kaki! Tidak mungkin mendaki tebing itu karena tegak lurus serta permukaannya rata dan licin.

Setelah melihat secara teliti, dia mendapat kenyataan bahwa pohon itu keluar dari sebuah goa. Burung-burung walet beterbangan keluar masuk goa yang garis tengahnya tak lebih dari satu meter itu. Hal ini menandakan bahwa walau pun bagian luarnya hanya bergaris tengah satu meter, akan tetapi goa itu tentu cukup lebar di sebelah dalamnya. Kalau tidak demikian, burung-burung itu tidak akan memilih tempat itu sebagai sarang mereka.

"Hui Lian, engkau berpegang erat-erat pada dahan itu, aku mau menyelidiki keadaan goa itu."

Dengan hanya sebelah tangan dan dua kaki, laki-laki itu lalu merayap melalui dahan dan batang pohon hingga akhirnya berhasil sampai ke mulut goa. Dia menjenguk dan hampir berteriak kegirangan. Benar seperti yang diduga dan diharapkannya. Goa itu amat besar di bagian dalamnya dan memperoleh sinar yang cukup dari pintu yang satu meter garis tengahnya itu.

"Hui Lian, mari ikuti aku, merayap ke sini. Hati-hati...!" katanya.

Dengan hati-hati sekali Hui Lian lalu merayap melalui dahan dan batang pohon, mengikuti gurunya dan masuk ke dalam goa itu melalui batang pohon. Ketika mereka tiba di dalam goa kemudian turun, berdiri di lantai goa, keduanya girang bukan main. Barulah laki-laki itu sadar bahwa mereka berdua baru saja lolos dari lubang maut dan dia pun merangkul muridnya.

"Hui Lian, kita harus berterima kasih kepada Thian yang telah menyelamatkan kita secara ajaib!" Dan dia pun mengajak muridnya berlutut untuk menghaturkan terima kasih kepada Bumi dan Langit.

Setelah bersembahyang keduanya bangkit berdiri dan mulai memeriksa keadaan goa itu. Sebuah goa yang besar dan dalam, dan di sana terdapat terowongan menuju ke dalam. Mereka belum memasuki terowongan itu, karena hati mereka masih tegang dan mereka perlu beristirahat.

Laki-laki itu mengajak muridnya duduk bersila di bagian depan goa itu yang merupakan ruangan yang panjangnya tak kurang dari sepuluh meter dan lebarnya lima meter, dengan pintu lubang bergaris tengah satu meter tadi. Lantainya rata dan licin, seperti lantai rumah saja.

"Suhu, bagaimana kita dapat naik lagi?"

"Hui Lian, kini belum saatnya kita memikirkan hal itu. Sekarang bergembiralah karena kita telah mendapatkan sebuah tempat yang untuk sementara dapat kita tinggali."

"Tapi... tapi... bagaimana kita dapat minum, makan dan keluar dari tempat ini...?"

Gurunya memegang kepalanya dengan tangan kanan, mengelus rambutnya dan berkata, suaranya amat halus. "Hui Lian, baru saja kita terlepas dari cengkeraman maut, perlu apa kehilangan akal untuk urusan lain? Semua itu nanti dapat kita selidiki perlahan-lahan, dan sekarang, yang terpenting kita semedhi untuk memulihkan tenaga dan ketenangan batin. Marilah." Hui Lian mengangguk, tidak membantah lagi dan tidak lama kemudian, guru dan murid itu sudah duduk bersila dengan tubuh tegak lurus, tenggelam ke dalam semedhi.

Siapakah guru dan murid ini? Laki-laki berlengan kiri buntung itu bernama Ciang Su Kiat dan muridnya, yaitu gadis cilik itu, bernama Kok Hui Lian. Para pembaca kisah Asmara Berdarah mungkin belum lupa akan nama Ciang Su Kiat.

Dia adalah bekas murid Cin-ling-pai yang dulu membuntungi lengan kirinya sendiri karena dianggap bersalah terhadap Cin-ling-pai oleh Ketua Cin-ling-pai yang ketika itu menjadi gurunya, ialah Cia Kong Liang yang berwatak keras dan tegas itu. Setelah membuntungi lengan kirinya sendiri, Ciang Su Kiat keluar dari Cin-ling-pai, tidak lagi menjadi anggota Cin-ling-pai dan selanjutnya orang tidak tahu ke mana dia pergi menyembunyikan dirinya.

Akan tetapi, dengan hati yang prihatin Ciang Su Kiat bukan bersembunyi untuk merenungi nasibnya, melainkan dengan mati-matian dia lalu menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu silat yang lebih mendalam sehingga meski pun dia kehilangan lengan kiri sebatas siku, di lain pihak dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat.

Beberapa tahun kemudian, ketika San-hai-koan dilanda perang, secara tiba-tiba barulah dia muncul. Dengan kepandaiannya yang sudah maju pesat, dia berhasil menyelamatkan puteri tunggal keluarga Kok-taijin, yaitu gubernur San-hai-koan yang anggota keluarganya habis terbasmi, lalu membawa puteri yang baru berumur sepuluh tahun itu meninggalkan San-hai-koan. Puteri itu bukan lain adalah Kok Hui Lian yang kemudian menjadi muridnya, sekaligus juga anak angkatnya karena Hui Lian telah kehilangan ayah bunda dan seluruh keluarganya.

Sebenarnya, yang tadinya menyelamatkan Hui Lian dari rumah Gubernur Kok adalah Cia Hui Song, putera dari ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena ketika itu dia dikeroyok oleh banyak orang pandai, terpaksa dia melepaskan Hui Lian dan hampir saja Hui Lian celaka tertawan musuh bila saja tidak muncul Ciang Su Kiat yang kemudian menyelamatkannya dan membawanya lari.

Sampai dua jam lamanya Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian duduk bersemedhi di ruangan depan goa itu. Setelah mereka merasa bahwa kekuatan mereka pulih kembali dan batin mereka menjadi tenang, barulah mereka bangkit dan Ciang Su Kiat mengajak muridnya untuk melakukan pemeriksaan ke dalam goa.

Mula-mula mereka menjenguk ke luar dan sekali lagi mereka mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka keluar dari tempat itu. Tidaklah mungkin untuk merayap turun atau naik. Jarak naik atau pun turun sejauh lima ratus kaki, sementara dinding tebing itu amat terjal, tegak lurus dan licin sekali. Bahkan seekor monyet sekali pun kiranya tak mungkin mampu merayap sampai ke permukaan laut di bawah atau naik sampai ke atas. Hanya burung-burung walet itulah yang mampu keluar dari tempat itu.

Setelah merasa yakin bahwa mereka tidak mungkin keluar dari situ melalui dinding di luar goa, mereka lalu masuk kembali dan memeriksa keadaan ruangan dalam. Goa itu adalah goa alam, semua lantai dan dindingnya dari batu karang yang amat kuat. Hanya anehnya, lantainya begitu rata dan licin seolah-olah ada orang yang melicinkannya. Ketika meraba dinding dan merasa betapa dinding itu lembab dan basah, Su Kiat berkata girang,

"Ahh, setidaknya, kebutuhan kita akan air dapat terpenuhi!"

"Di mana ada air, Suhu?"

"Di dalam dinding ini. Lihatlah, dinding ini basah dan lembab, dan di sana-sini nampak air menetes. Kalau kita melubangi dinding ini membentuk mangkok, sebentar saja tentu akan penuh dengan air jernih dan segar!"

Keduanya lalu menggunakan pecahan-pecahan batu untuk memukuli bagian dinding yang paling basah dan karena Ciang Su Kiat memiliki tenaga yang besar, tidak lama kemudian dia berhasil membuat lubang sebesar kepala orang yang mencekung seperti mangkok di dinding itu. Benar saja, nampak air menetes-netes dan walau pun hanya satu tetes demi satu tetes, karena deras dan tiada hentinya, tempat itu pun penuh dengan air jernih yang ketika mereka minum, terasa manis dan segar.

Mereka memeriksa terus dan mulai memasuki terowongan. Baiknya sinar matahari yang memasuki tempat itu melalui lubang goa, amat terang sehingga cahayanya sempat pula masuk ke terowongan. Biar pun keadaannya remang-remang, mereka masih bisa melihat dengan jelas keadaan terowongan.

Terowongan itu setinggi manusia. Su Kiat harus agak menunduk dan panjangnya hanya sepuluh meter. Burung-burung walet menyambar-nyambar dan ternyata burung-burung itu membuat sarang mereka di atas atap terowongan, juga di bagian belakang terowongan yang tingginya dua meter setengah. Akan tetapi, yang mengherankan hati mereka adalah ketika mereka menemukan dua buah ruangan di kanan kiri terowongan, seperti dua buah kamar saja walau pun tanpa daun pintu.

"Iihhhh...!"

Su Kiat terkejut sekali dan cepat melompat ke dekat muridnya yang menjerit tadi. Dia tadi memeriksa kamar di kiri sedangkan muridnya agaknya masuk ke kamar sebelah kanan. Kini dia pun dapat melihat apa yang menyebabkan muridnya menjerit tadi.

Di dalam kamar sebelah kanan itu terdapat dua rangka manusia yang masih lengkap dan utuh, keduanya duduk bersila sambil bersandar pada dinding. Di hadapan dua rangka itu terdapat dua buah kitab yang masih terbuka! Mereka segera memeriksanya. Agaknya dua orang yang kini telah menjadi rangka itu, dahulunya mati dalam keadaan bersila di kamar itu.

Ketika Su Kiat memeriksa dua buah kitab yang berada di depan rangka, ternyata bahwa dua kitab itu adalah kitab-kitab pelajaran ilmu silat, lengkap dengan gambar-gambar serta huruf-hurufnya. Jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi dua buah kitab itu sama sekali tidak dijamahnya dan setelah memeriksa keadaan kamar itu lebih teliti, dia lalu mengajak muridnya memeriksa kamar di sebelah kiri.

Di dalam kamar ini Su Kiat menemukan sebatang pedang pendek dengan sarung pedang berukirkan kembang seruni. Ketika dia mencabutnya, dia terkejut sekali karena pedang itu ternyata bukan sebatang pedang biasa, namun sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya, dengan sinar putih kebiruan! Dia meletakkan kembali pedang pusaka itu di tempatnya semula.

Penemuan-penemuan itu hanya mendatangkan sedikit kegembiraan saja sebab pada saat itu yang terpenting adalah mempertahankan hidup sambil mencari jalan keluar. Tanpa ada makanan mereka tak mungkin hidup dari air saja, dan tanpa dapat keluar dari tempat itu, apa gunanya kitab pelajaran ilmu silat dan pusaka?

Akan tetapi, setelah tinggal di situ tiga hari lamanya, setelah mereka kehilangan harapan untuk dapat keluar dari situ, sesudah mereka tidak mengharapkan lagi untuk dapat keluar, batin mereka bahkan menjadi tenang. Mereka dapat menerima kenyataan yang ada dan hal ini menenangkan batin, dan kalau batin tenang, kecerdasan pun timbul.

Mereka mulai menemukan banyak hal baru. Telur-telur dan sarang burung dapat menjadi makanan mereka setiap hari, bahkan kalau perlu mereka dapat pula menangkap burung kecil-kecil itu untuk dijadikan makanan tanpa mengurangi jumlah burung yang banyaknya ribuan itu. Juga di bagian belakang terowongan mereka menemukan semacam lumut atau jamur-jamur kecil berwarna putih yang ternyata enak dimakan, sesudah dimasak rasanya seperti daging ayam saja.

Untuk membuat api bukan merupakan hal yang sulit karena di tempat itu terdapat banyak batu-batu keras yang jika digosokkan akan keluar bunga api dan mencari daun kering dan kayu kering juga banyak terdapat di luar goa. Pohon yang tumbuh di dalam mulut goa itu mungkin dahulunya merupakan biji yang dibawa burung dan terjatuh ke mulut goa. Karena di situ lembab banyak air dan mendapat sinar matahari biji itu lalu tumbuh menjadi pohon besar yang keluar dari dalam melalui mulut goa.

Hal yang amat aneh akan tetapi juga menggirangkan hati didapatkan oleh guru dan murid itu. Sesudah setiap hari makan telur dan sarang burung walet, ditambah jamur kecil atau lumut itu, mereka merasa betapa tubuh mereka menjadi lebih segar seperti memperoleh kekuatan baru! Giranglah hati Su Kiat yang dapat menduga bahwa di dalam makanan itu tentu terkandung gizi yang luar biasa, terkandung obat yang menguatkan tubuh.

Karena merasa sehat dan segar, mulailah Su Kiat memperhatikan dua buah kitab itu dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa dua buah kitab itu merupakan kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa anehnya, juga di dalam kitab itu terdapat pelajaran untuk menghimpun tenaga sakti, pelajaran untuk memperkuat sinkang mereka.

Tentu saja mereka berdua semakin bersemangat mempelajari isi kitab itu dan di bawah bimbingan Su Kiat, mulailah Hui Lian mempelajari serta melatih diri dengan ilmu silat dari dua buah kitab itu. Kitab yang pertama berisi pelajaran ilmu silat tangan kosong dan pada kulitnya tertulis nama kitab itu, yaitu Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), ada pun kitab yang ke dua bernama In-Iiong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan).

Su Kiat sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia dan muridnya telah menerima warisan ilmu yang sangat dahsyat, merupakan ilmu inti dari dua orang tokoh besar, yaitu In Liong Nio-nio dan Sian-eng-cu The Kok, dua di antara Delapan Dewa! Dua kerangka manusia itu adalah kerangka dua orang sakti itulah, yang meninggal dunia di dalam goa itu dengan meninggalkan kitab pelalaran inti ilmu silat mereka.

Sungguh sukar mencapai tempat itu dan kalau bukan bodoh, sudah pasti tidak akan ada yang dapat menemukan dua buah kitab itu. Dan kalau dibiarkan terus, tentu dalam waktu puluhan tahun kitab itu akan hancur dan lenyap pula.

Dua macam ilmu itu ternyata amat rumit dan sulit sekali dipelajari, bahkan tidak mungkin dapat dikuasai sebelum orang yang mempelajarinya melatih diri dengan ilmu-ilmu sinkang yang khas untuk kedua ilmu itu seperti yang dijelaskan pada lembaran-lembaran pertama. Oleh karena itu Su Kiat memimpin muridnya untuk lebih dulu mempelajari penghimpunan tenaga sakti menurut petunjuk dua kitab itu.

Karena pada saat masuk ke dalam goa itu usia Hui Lian baru dua belas tahun, sedangkan untuk berlatih menghimpun tenaga sakti itu saja membutuhkan waktu empat tahun, maka dara ini baru melatih diri dengan ilmu itu bersama-sama gurunya setelah dia berusia enam belas tahun!

Ada satu hal yang aneh lagi terjadi pada diri Hui Lian. Setelah dia mulai dewasa dan dari anak-anak berubah menjadi seorang gadis, bau keringat tubuhnya menjadi harum! Hal ini tidak terjadi pada diri Su Kiat dan pria gagah itu pun dapat menduga bahwa keharuman keringat ini tentu timbul karena terjadinya proses di dalam tubuh muridnya sebagai akibat makanan yang hanya terdiri dari telur burung, sarang burung, dan jamur-jamur kecil putih itu! Jika dia sendiri tidak mendapatkan keharuman pada keringatnya, hal itu tentu karena ada perbedaan antara dia dan muridnya. Dia seorang pria dan muridnya seorang wanita.

Di waktu malam kadang-kadang Su Kiat bersembahyang dan merasa bersyukur kepada Tuhan bahwa di dalam hatinya telah tumbuh rasa sayang pada Hui Lian sebagai seorang ayah terhadap anak kandungnya sendiri! Tanpa rasa sayang seperti ini, dia tahu amatlah berbahaya bagi dia sebagai seorang pria yang hidup berdua saja dengan seorang wanita seperti Hui Lian, apa lagi setelah Hui Lian kini bukan kanak-kanak lagi namun makin lama semakin nampak menjadi seorang gadis yang luar biasa cantiknya.

Mereka hanya hidup berdua di tempat terkurung seperti itu, dengan pakaian yang makin lama semakin tidak lengkap. Mereka sudah berusaha untuk menghemat pakaian, dengan memotong pakaian mereka agar menjadi beberapa potong baju dan celana pendek. Akan tetapi tahun demi tahun, pakaian itu semakin tua dan rusak sehingga setiap hari dia harus melihat muridnya itu hanya mengenakan pakaian sekedar penutup dada dan bawah pusar saja. Dia sendiri hanya memakai celana pendek tanpa baju! Untung Hui Lian mendapat akal, menggunakan kulit batang pohon untuk dijadikan semacam penutup tubuh yang biar pun kasar sekali akan tetapi awet.

Cintanya terhadap Hui Lian seperti cinta seorang ayah, yang ada hanya rasa sayang dan iba. Perasaan cinta seperti ini meniadakan nafsu birahi, akan tetapi kalau malam tiba, dia harus banyak melakukan siu-lian (semedhi) sehingga dapat juga dia selalu memadamkan api birahi yang kadang-kadang timbul juga sebagai suatu kewajaran.

Dengan daya tahan yang luar biasa, kedua orang itu dapat melewati waktu sepuluh tahun! Sekarang Su Kiat telah menjadi seorang lelaki berusia empat puluh tahun, sedangkan Hui Lian menjadi seorang gadis yang cantik jelita berusia dua puluh dua tahun. Dan mereka sudah menamatkan seluruh isi kedua kitab itu.

Pagi itu Hui Lian keluar dari goa lantas nongkrong di atas dahan pohon. Seekor burung yang agak besar melayang dan hendak hinggap di pohon itu. Melihat burung yang besar ini Hui Lian merasa gembira sekali. Ingin dia menangkapnya. Daging burung ini tentu enak sekali. Tak seperti burung walet yang kecil-kecil dan lebih banyak tulangnya dan bulunya dari pada dagingnya.

Begitu burung itu hinggap, cepat Hui Lian menyambar. Kini gadis itu tak boleh disamakan dengan sepuluh tahun yang lalu. Berkat latihan ilmu-ilmu yang luar biasa itu, dia memiliki kecepatan seperti kilat dan angin. Burung itu hanya sempat terkejut, akan tetapi tahu-tahu lehernya sudah ditangkap.

Akan tetapi, karena gembiranya, Hui Lian sampai lupa diri, lupa bahwa dia berada di atas pohon, bukan di atas tanah. Gerakannya tadi menggunakan tenaga terlalu besar.

"Krekkkk...!"

Dahan itu patah lantas tubuhnya terjatuh ke bawah! Hui Lian melepaskan burung itu dan cepat dia menggunakan tenaga dalam pada tubuhnya untuk meraih ke samping. Kedua tangannya secara otomatis mencengkeram dan mengenai dinding tebing.

"Crepp!" Jari-jari kedua tangannya menancap pada dinding itu seperti dua cakar harimau mencengkeram daging kijang saja! Dan tubuhnya terhenti.

"Hui Lian...!" Gurunya menjenguk dari atas dan guru ini terheran-heran dan khawatir sekali melihat muridnya bergantung di dinding tebing yang demikian curamnya.

"Suhu, kedua tanganku dapat mencengkeram dinding tebing!" teriak Hui Lian dari bawah, kurang lebih sepuluh meter dari goa. "Teecu akan merayap ke atas!"

Kini dengan kedua tangannya, dibantu oleh kakinya yang menekan tebing, kedua tangan itu bergantian mencengkeram ke atas, Hui Lian perlahan-lahan merayap naik hingga dia akhirnya dapat mencapai goa dengan selamat. Begitu meloncat ke dalam goa, Hui Lian langsung merangkul gurunya dan menangis.

"Ehh...! Anak gila, kenapa kau malah menangis? Engkau sudah selamat, sepatutnya kau bersyukur..."

"Suhu, apakah Suhu tidak melihatnya? Aku dapat merayap naik dengan kedua tanganku!"

Suhu-nya tersenyum. "Habis mau apa? Apakah aku harus bertepuk tangan memuji? Nah, aku bertepuk tangan." Dia pun bertepuk tangan seperti orang memuji dan mengagumi.

"Ihhh..., Suhu ini bagaimana sih? Makin tua malah semakin bodoh!" Hui Lian mengomel.

Selama tinggal di dalam goa memang Su Kiat bergaul dengan muridnya seperti dua orang sahabat saja, tidak pernah menekankan sikap hormat bagi muridnya sehingga pergaulan mereka akrab dan hanya kalau teringat saja maka Hui Lian lalu bersikap hormat.

"Wah, engkau ini murid macam apa? Berani memaki gurunya bodoh!" Su Kiat menegur, akan tetapi dengan sikap berkelakar.

"Maaf, Suhu. Saking gembira hatiku maka aku sampai lupa diri. Suhu, kalau aku mampu merayap dengan kedua tangan, berarti Suhu juga akan mampu melakukannya!"

"Untuk apa? Jangan-jangan kuku jari-jari tanganku akan copot!"

"Untuk apa? Bagaimana sih Suhu ini? Tentu saja untuk merayap naik keluar dari neraka ini!"

Sepasang mata itu terbelalak. "Keluar dari sini...? Ahh... ahh, mungkinkah itu...?"

"Suhu, tentu saja mungkin! Mari kita coba!"

Bagaikan baru sadar dari mimpi, Su Kiat segera melompat keluar dari dalam mulut goa, menginjak batang pohon lantas mencoba dengan kedua tangannya untuk mencengkeram dinding tebing. Ternyata kelima jari tangannya juga dapat menancap dan mencengkeram batu padas itu dan tanpa banyak kesukaran dia kemudian merayap naik sampai beberapa meter tingginya.

"Suhu, tunggu dulu! Kita harus berpamit dan berterima kasih kepada dua orang Locianpwe di dalam!" kembali Hui Lian memperingatkan gurunya, biar pun dia gembira bukan main.

Su Kiat teringat akan hal ini dan dia pun merayap turun lagi, meloncat ke dalam goa dan merangkul muridnya, seperti yang dilakukan oleh Hui Lian tadi. Gadis itu merasa terharu melihat betapa kedua mata suhu-nya basah oleh air mata.

Suhu-nya juga menangis saking haru dan girangnya! Baru dara ini sadar betapa secara diam-diam suhu-nya, biar pun sama sekali tidak memperlihatkannya tapi ternyata teramat rindu untuk dapat keluar dari tempat itu. Keduanya lalu masuk ke dalam, menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kerangka manusia itu.

"Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas warisan ilmu-ilmu dan pedang. Tanpa petunjuk Ji-wi, tidak mungkin kami akan dapat keluar dari tempat ini."

Mereka kemudian membawa dua buah kitab yang oleh Su Kiat diikatkan di punggungnya, dibungkus oleh sisa kain dan diikat dengan tali terbuat dari kulit batang pohon, sedangkan pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) yang oleh Su Kiat sudah diberikan kepada muridnya, tergantung pula di punggung Hui Lian.

Keduanya lalu mulai merayap naik, perlahan-lahan dan hati-hati sekali, Su Kiat di sebelah atas dan Hui Lian mengikutinya dari bawah. Dengan tenaga sinkang mereka yang sudah amat tinggi, jari-jari tangan mereka yang mencengkeram itu menjadi keras laksana cakar baja dan dengan hati berdebar penuh ketegangan, harapan disertai kegembiraan, mereka merayap terus pada dinding tebing yang tingginya tidak kurang dari seratus lima puluh meter itu!

Akhirnya, sesudah merayap perlahan-lahan selama hampir setengah jam, tibalah mereka di daratan atas. Saking girangnya, Su Kiat lalu berlutut diikuti oleh Hui Lian yang berlutut di sebelahnya. Sampai lama sekali kedua orang guru dan murid itu hanya mendekam di situ, tanpa kata, dengan hati penuh rasa bersyukur dan terima kasih karena mereka sama sekali tak pernah menyangka bahwa mereka akan dapat keluar dari tempat kurungan itu! Setelah sepuluh tahun!

Maka tidaklah mengherankan kalau Su Kiat dan Hui Lian merasa penuh dendam terhadap Lam-hai Giam-lo. Orang bermuka kuda itulah yang membuat mereka menderita selama sepuluh tahun di tempat terasing itu.

"Suhu, jika aku tidak bisa membekuk jahanam itu, hatiku akan selalu merasa penasaran. Aku ingin membekuknya, menyeretnya ke sini lantas melemparkannya ke bawah tebing!" demikian Hui Lian berkata dengan suara yang membuat gurunya merasa bulu tengkuknya meremang karena dalam suara itu terkandung kedinginan dari hati yang penuh dendam. "Setelah itu aku hendak pergi mengunjungi Cin-ling-pai, aku ingin melihat sampai di mana kelihaian Cin-ling-pai maka mereka berani menghina Suhu!"

Selama sepuluh tahun hidup berdua dengan suhu-nya di dalam goa itu, Hui Lian banyak mendengar tentang riwayat gurunya dan tentang Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya yang berwatak keras dan angkuh, tentang para pendekar di dunia kang-ouw yang pernah dikenal oleh suhu-nya. Juga dara ini mendengar tentang dirinya yang sudah tidak memiliki keluarga lagi. Sebab itu, di samping mendendam kepada Lam-hai Giam-lo yang membuat mereka berdua sangat menderita, diam-diam dia pun merasa penasaran terhadap ketua Cin-ling-pai.

Ciang Su Kiat menarik napas panjang. "Muridku yang baik, tenangkan hatimu. Menentang orang-orang jahat memang sudah menjadi tugasmu karena aku juga ingin melihat engkau menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa. Tetapi ingatlah baik-baik bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Aku sendiri pun harus membalas atas kejahatan Lam-hai Giam-lo dulu, akan tetapi ada hal yang lebih penting dari itu."

"Apakah hal yang lebih penting itu, Suhu?"

"Pertama-tama kita harus mencari pakaian yang pantas untukmu!" Ciang Su Kiat berkata sambil tersenyum melihat keadaan muridnya.

Kini muridnya itu telah menjadi seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, dengan wajah yang sangat cantik manis, tubuh yang padat berisi dan sudah masak sehingga tentu akan menggegerkan orang kalau muncul di hadapan umum dengan pakaian seperti itu! Hanya sebuah celana sebatas lutut dan baju yang hanya menutupi dadanya saja. Mana mungkin mampu menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya dengan tonjolan-tonjolan yang sangat menggairahkan itu!

"Pakaian?" Hui Lian menundukkan muka memandang ke arah pakaiannya dan wajahnya menjadi kemerahan, akan tetapi hanya sebentar saja. Dia sudah tidak merasa canggung sama sekali berpakaian seperti itu di depan suhu-nya, karena sudah terbiasa, dan karena memang tak ada tatapan mata yang menimbulkan rasa canggung atau malu dari gurunya. "Ahh, ke mana kita harus mencari pakaian, Suhu?"

Suhu-nya bangkit berdiri lantas memandang ke kanan kiri. Dia mengingat-ingat kemudian teringatlah dia bahwa tidak jauh dari situ, kurang lebih sepuluh li saja, terdapat sebuah dusun nelayan di tepi pantai.

"Kita pergi ke dusun sana dan mencuri pakaian untukmu."

"Mencuri...?" Hui Lian menatap wajah gurunya dengan mata terbelalak.

Su Kiat memandang dengan kagum. Muridnya ini cantik bukan main, memiliki sepasang mata yang demikian lebar, jeli dan indah.

"Suhu sendiri yang berkali-kali mengatakan bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik dan hanya dilakukan oleh orang-orang jahat."

"Memang benar, muridku. Apa bila kita mencuri karena kita menginginkan barang-barang mahal dan indah, apa bila mencuri karena keinginan, hal itu amatlah jahat, apa lagi kalau perbuatan kita itu mendatangkan duka dan kesengsaraan pada yang kita curi. Akan tetapi dalam hal keadaan kita ini, kita mencuri karena terpaksa, dan kita hanya akan mencuri pakaian di rumah seorang yang kaya sehingga tidak ada artinya bagi yang kecurian. Apa artinya beberapa potong pakaian bagi keluarga kaya? Mari kita pergi."

Hui Lian mengikuti gurunya melangkah pergi, setelah mereka untuk yang terakhir kalinya menjenguk ke bawah tebing. "Akan tetapi, Suhu, aku tetap tidak ingin mencuri. Aku mau terang-terangan mendatangi orang kaya dan minta pakaian untuk aku dan untuk Suhu."

Hampir saja Su Kiat tidak dapat menahan ketawanya. Hui Lian hendak mendatangi orang kemudian minta pakaian dalam keadaan setengah telanjang seperti itu? Akan tetapi dia menahan kegelian hatinya. Bagaimana pun juga, belum tentu yang dimintai oleh muridnya itu orang-orang tidak sopan, mungkin saja orang budiman yang mau menolong. Andai kata Hui Lian akan menemui kekurang ajaran seperti yang disangkanya, biarlah gadis itu belajar tentang hidup dan watak manusia pada umumnya, dari pengalaman langsung.

Dia merasa kasihan kepada muridnya. Semenjak berusia dua belas tahun sudah terasing, hanya berdua saja dengan dia selama sepuluh tahun, tak pernah mengenal manusia lain sehingga mungkin saja gadis itu menganggap bahwa semua orang seperti dia, tidak akan bersikap kurang ajar.

Memang Hui Lian masih merasa dirinya seperti kanak-kanak, tak tahu bahwa dirinya telah menjadi seorang gadis yang masak, yang mempunyai wajah dan tubuh menggiurkan, apa lagi dengan pakaian setengah telanjang seperti itu.

"Baiklah, engkau boleh mencobanya dan aku akan menanti di luar dusun," katanya.

Pada waktu mereka tiba di luar dusun yang dimaksudkan, hari sudah menjelang sore dan matahari mulai condong ke barat, sinarnya mulai redup. Seorang diri Hui Lian melangkah dan memasuki dusun itu. Tentu saja kemunculannya membuat semua orang terbelalak.

Mula-mula orang mengira bahwa dia adalah seorang perempuan gila. Akan tetapi ketika mata mereka, terutama mata laki-laki, melihat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, tubuh yang berkulit kuning halus dan mulus, hampir tidak tertutup pakaian, semua orang memandang kagum dan terheran-heran.

Tanpa mempedulikan sikap orang-orang itu, juga beberapa orang laki-laki yang mengikuti di belakangnya. Hui Lian melangkah terus hingga akhirnya dia berhenti di depan sebuah rumah yang paling besar dan megah di dusun itu. Inilah rumah orang kaya, pikirnya.

Pada masa kecilnya dia sendiri adalah puteri gubernur. Sudah banyak rumah-rumah besar dan indah dilihatnya di kota. Rumah yang kini dipandangnya itu, kalau di kota tentu belum termasuk rumah orang kaya. Akan tetapi di dusun ini, rumah itu amat menonjol di antara rumah-rumah gubuk yang sederhana.

Kebetulan sekali pada saat itu nampak keluar dari rumah itu seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang melihat pakaiannya tentu seorang yang kaya, diiringi oleh empat orang pengawalnya. Tentu saja dia bersama empat orang kawannya, yang rata-rata berusia tiga puluh tahun dan berpakaian seperti tukang-tukang pukul, menjadi tertegun ketika melihat seorang gadis hampir telanjang masuk dari pintu pekarangan. Gadis yang sangat cantik, dengan bentuk tubuh yang aduhai!

Hui Lian sudah melangkah mendekat lantas menjura, "Apakah engkau pemilik rumah ini?" tanyanya, cara bicaranya sederhana sekali.

Pria itu masih melongo karena dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang gadis seperti ini. Gadis itu hampir telanjang, sepasang bukit payudaranya kelihatan, perutnya juga kelihatan, kulitnya begitu putih mulus, akan tetapi gadis itu sama sekali tak nampak malu-malu atau canggung!

"Benar, Lui-kongcu ini adalah tuan rumah," salah seorang di antara pengawalnya yang menjawab sambil menyeringai.

Melihat pandang mata lima orang laki-laki itu, Hui Lian sudah mengerutkan kedua alisnya. Pandang mata mereka itu bukan hanya mengandung keheranan, melainkan mengandung sesuatu yang kurang ajar. Pandang mata itu seperti dapat dia rasakan meraba-raba ke seluruh kulit tubuhnya.

"Aku datang untuk minta pertolongan," katanya pula.

"Ahh, tentu saja, Nona. Aku akan senang sekali menolong Nona. Silakan masuk, Nona," laki-laki yang disebut Lui-kongcu itu mempersilakannya dengan sikap manis.

Hui Lian menggelengkan kepala. "Aku hanya datang untuk minta agar diberi satu pasang pakaian untuk aku dan untuk guruku. Kami kehabisan pakaian dan membutuhkannya."

Lui-kongcu tersenyum dan kembali matanya menjelajahi seluruh tubuh gadis itu dengan penuh kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Dia mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat bahwa engkau memang membutuhkan pakaian, Nona. Marilah, mari masuk dan engkau boleh tinggal di sini dan akan kuberi pakaian sebanyak-banyaknya. Pakaian yang indah-indah, perhiasan dan apa saja yang kau butuhkan."

"Berilah sepasang saja untukku dan sepasang untuk guruku, dan aku akan pergi dengan berterima kasih."

"Aihhh, mengapa tergesa-gesa, Nona? Seorang gadis cantik seperti engkau tidak pantas berkeliaran dalam keadaan setengah telanjang. Masuklah, aku akan memberi segalanya asal saja engkau mau..."

"Mau apa ?" tanya Hui Lian yang tidak mengerti maksud orang.

"Heh-heh-heh...!" Lui-kongcu tertawa dan empat orang pengawalnya ikut pula tertawa.

"Masa engkau tidak tahu, Nona. Asal engkau mau menjadi kekasihku tentu saja. Engkau cantik dan aku suka sekali..."

"Plakkk!" Tiba-tiba saja tangan Hui Lian sudah menamparnya.

"Aughh...!" Lui-kongcu langsung terpelanting. Beberapa buah giginya copot dan mulutnya berdarah, bibirnya pecah dan pipinya membengkak hitam. Dia pun mengaduh-aduh sambil mengusap pipinya yang ditampar tadi.

Melihat ini, tentu saja empat orang pengawal atau tukang pukulnya menjadi marah sekali. Tanpa dikomando lagi mereka berempat sudah menubruk maju, bermaksud menangkap gadis itu dan menyerahkannya kepada Lui-kongcu.

Akan tetapi Hui Lian yang sudah marah menyambut terkaman mereka itu dengan gerakan kaki tangannya. Empat orang itu tidak tahu apa yang telah terjadi atas diri mereka, tetapi tiba-tiba saja mereka terpelanting ke kanan kiri dengan kepala pening dan tidak mampu bangun kembali. Ketika mereka mulai sadar dan mampu bangkit, ternyata gadis setengah telanjang itu telah lenyap dari situ.

Dengan muka merah Hui Lian menghadap suhu-nya. Dara ini masih marah dan mulutnya cemberut. Su Kiat yang melihat keadaan muridnya segera bertanya apa yang terjadi. Hui Lian menceritakan pengalamannya dan gurunya itu tertawa.

"Ha-ha-ha, sudah kuduga akan terjadi demikian, muridku. Tadi memang aku membiarkan engkau menghadapinya agar engkau tahu sendiri dari pengalaman. Bukankah aku sudah menyarankan agar kita mencuri saja?"

"Suhu, apakah semua laki-laki seperti mereka itu?" Dia teringat akan sikap gurunya lalu menambahkan. "Apakah tidak ada laki-laki lain yang sikapnya seperti Suhu?"

"Tentu saja ada dan banyak, muridku. Akan tetapi, sebagian besar laki-laki memang mata keranjang dan kurang ajar terhadap wanita. Mereka itu sudah terlanjur menganggap kaum perempuan sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang bisa mereka permainkan, sesuatu untuk menghibur dan menyenangkan hati mereka. Karena itu, melihat keadaanmu seperti ini, setengah telanjang, tentu saja kekurang ajaran mereka timbul secara menyolok."

Hui Lian mengepal tinju. "Hemmm, lain kali kalau ada yang kurang ajar seperti itu, pasti akan kubunuh dia!"

Su Kiat mengerutkan alis. "Sabarlah, muridku. Tidak baik sembarangan membunuh orang hanya karena kesalahan yang sedikit saja. Laki-laki memang suka menggoda wanita dan belum dapat dinamakan jahat kalau dia hanya sekedar menggoda dengan pandang mata dan kata-kata saja. Laki-laki menggoda wanita itu biasanya karena dia menyukainya atau mengaguminya. Tidak ada laki-laki yang menggoda wanita yang dianggapnya buruk dan tak menarik. Karena tertarik, seorang laki-laki lalu menggoda untuk menarik perhatian dan kalau wanita yang digodanya menanggapinya, maka mereka pun tentu saja akan menjadi akrab. Jadi, mereka itu tidak dapat dinamakan jahat, walau pun tidak sopan atau kurang ajar, karena sikap itu sudah menjadi melemahkan semua pria, tentu saja ada kecualinya. Jika seorang laki-laki sudah melakukan paksaan atau perkosaan terhadap wanita, barulah dia itu seorang jai-hwa-cat yang berbahaya dan jahat sehingga perlu diberantas."

Pada malam itu juga dua bayangan berkelebat dengan cepatnya di atas wuwungan rumah hartawan Lui. Pada keesokan harinya, keluarga itu menjadi gempar lagi ketika mendapat kenyataan bahwa ada beberapa potong pakaian berikut sepatu yang lenyap, bahkan juga sejumlah uang.

Biar pun tak seorang pun yang melihat bayangan Su Kiat dan Hui Lian, namun Lui-kongcu bisa menduga bahwa kehilangan barang-barang itu tentu ada hubungannya dengan gadis manis setengah telanjang yang menghajar dia dan empat orang tukang pukulnya. Karena itu dia pun tak mau membuat ribut, takut kalau-kalau gadis yang lihai dan galak itu datang kembali.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sesudah memperoleh pakaian yang rapi, maka mulailah Su Kiat dan Hui Lian melakukan penyelidikan dan mencari-cari musuh besar mereka. Tidak sukar mencari seorang seperti Lam-hai Giam-lo yang amat tersohor itu.

Pada suatu hari, pada saat Lam-hai Giam-lo berada di pondoknya yang dibangun secara darurat di tepi Laut Selatan, masih tidur karena semalam bergadang, terdengar namanya dipanggil orang dari luar. Lam-hai Giam-lo terbangun dan mendengarkan suara itu.

"Lam-hai Giam-lo, jahanam busuk, keluarlah engkau!"

Tentu saja kakek yang kini sudah berusia lima puluh tahun itu menjadi marah mendengar makian orang, apa lagi suara itu adalah suara seorang wanita! Wanita mana di dunia ini yang berani meremehkannya, bahkan memakinya? Sesudah menggosok kedua matanya dan sadar benar, dia lalu melangkah keluar dari pondoknya.

Seorang dara berusia dua puluh tahun lebih, berpakaian sutera putih, berwajah cantik dan bertubuh ramping padat, berdiri di depan pondoknya bersama seorang pria berusia empat puluh tahun lebih. Gadis itu tidak dikenalnya, demikian juga pria tinggi besar yang lengan kirinya buntung ini tidak dikenalnya. Karena itu Lam-hai Giam-lo memandang dengan alis berkerut dan menduga-duga siapa adanya dua orang pengunjung yang agaknya bersikap memusuhinya itu.

Sepuluh tahun yang silam, Su Kiat adalah lawan yang amat lunak bagi Lam-hai Giam-lo, maka peristiwa itu sama sekali tidak meninggalkan kesan di hatinya dan dia benar-benar sudah lupa sama sekali terhadap pria berlengan buntung sebelah itu. Apa lagi kepada Hui Lian yang ketika itu masih merupakan seorang anak perempuan belum dewasa.

Sebaliknya Su Kiat dan Hui Lian ingat benar kepada laki-laki muka kuda ini, maka mereka sudah memandang dengan sinar mata mencorong penuh kemarahan.

"Lam-hai Giam-lo, kami datang untuk membalas dendam atas kejahatanmu sepuluh tahun yang lalu!" kata Ciang Su Kiat.

"Siapakah kalian?!" Lam-hai Giam-lo membentak marah karena dua orang itu nampaknya memandang rendah padanya, padahal di daerah selatan ini dia dapat menamakan dirinya sebagai tokoh sesat nomor satu.

"Lam-hai Giam-lo, lupakah engkau akan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, ketika engkau melempar seorang gadis tak berdosa ke bawah tebing yang curam, kemudian menendang aku ke bawah tebing pula?" kata Su Kiat sambil menatap tajam.

"Kemudian aku meloncat ke bawah untuk menyusul Suhu!" Hui Lian membantu suhu-nya mengingatkan kepada musuh itu.

Kini Lam-hai Giam-lo teringat dan dia pun tertawa bergelak. Suara ketawanya lebih mirip lagi dengan ringkik kuda dari pada suaranya yang sudah parau dan serak itu.

"Hieeeh-heh-heh...! Jadi kalian adalah mereka itu? Ha-ha-ha!" Tiba-tiba dia menghentikan suara tawanya lantas memandang dengan mata sipit yang coba untuk dilebarkannya itu. "Tapi... tapi kalian sudah jatuh ke bawah tebing...bagaimana sekarang bisa muncul lagi?"

"Lam-hai Giam-lo, betapa pun jahat dan kejammu, tetapi engkau bukan Giam-lo-ong yang sesungguhnya sehingga tidak berhak mencabut nyawa orang sebelum kematian orang itu dikehendaki oleh Thian! Dan kini kami datang untuk membalas kejahatanmu yang sudah melampaui takaran itu."

Kembali kakek muka kuda itu tertawa meringkik. "Heh-heh-heh, kalau sepuluh tahun yang lalu aku gagal, sekarang tentu aku tidak akan gagal mencabut nyawamu, lengan buntung. Dan anak perempuan yang dulu itu kini sudah menjadi seorang gadis yang cantik, hemm, sekarang harus melayaniku beberapa hari lamanya...!"

"Jahanam bermulut busuk!" Hui Lian memaki.

Dara ini telah mencabut pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dari punggungnya, lalu menyerang dengan satu tusukan kilat ke arah perut lawan. Melihat sinar pedang yang meluncur cepat dan sinarnya berkilauan menyambar itu, Lam-hai Giam-lo sama sekali tak berani memandang rendah, maka dia pun mengelak dengan melangkah ke belakang dan miringkan tubuhnya. Akan tetapi pedang yang meluncur lewat itu ternyata tahu-tahu telah membalik secara aneh dan cepat sekali, tahu-tahu telah membabat ke arah lehernya dari samping!

"Ehhh...!" Lam-hai Giam-lo terpaksa melempar tubuh ke belakang dan meloncat mundur, sambil mengirim tendangan yang dapat dielakkan pula oleh Hui Lian.

"Tahan dulu! Aku tidak ingin membunuh orang-orang yang tak bernama. Siapakah kalian?" bentak Lam-hai Giam-lo.

Hui Lian mewakili gurunya menjawab, suaranya dingin seperti pandang matanya sehingga Lam-hai Giam-lo merasa ngeri juga. "Aku bernama Kok Hui Lian dan ini adalah guruku Ciang Su Kiat." Dara itu lalu mengelebatkan pedangnya. "Lam-hai Giam-lo, kini bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!"

Pedangnya lalu menyambar dan diputar dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedang itu, berubah menjadi segulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sementara itu, Su Kiat juga tidak tinggal diam saja. Dia melihat betapa muridnya sudah memainkan In-liong Kiam-sut, maka dia pun mengimbanginya dengan permainan silat sakti Sian-eng Sin-kun.

Melihat betapa gulungan sinar pedang itu menyambar seperti ombak hendak menggulung tubuhnya, dan gerakan tangan kanan Su Kiat mengandung hawa pukulan bagaikan badai menderu, diam-diam Lam-hai Giam-lo menjadi amat terkejut. Tak disangkanya bahwa dua orang yang telah jatuh ke bawah tebing curam itu masih hidup dan lebih tak disangkanya lagi bahwa dalam waktu sepuluh tahun, kedua orang ini sudah memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat.

Maka dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuhnya diputar dengan cepat sekali, berpusing seperti gasing dan dari putaran itu, kedua lengannya yang dapat mulur panjang itu mencuat dan kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba. Beberapa kali dia berusaha menangkap sebelah tangan Su Kiat atau pergelangan tangan Hui Lian yang memegang pedang, namun tak pernah berhasil karena kedua orang itu dapat bergerak dengan cepat, dibarengi langkah-langkah kaki yang aneh.

Lam-hai Giam-lo nyaris tak percaya akan hal yang dialaminya sendiri. Dia adalah seorang tokoh besar dan dalam hal ilmu silat, dia sudah mewarisi hampir semua ilmu kepandaian gurunya, mendiang Lam-kwi-ong sehingga tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dibandingkan dengan mendiang gurunya. Tetapi sekarang, menghadapi pengeroyokan dua orang yang pada sepuluh tahun yang lampau belum apa-apa, kini dia terdesak hebat dan repot melayani sinar pedang dan tangan yang hanya sebelah kanan itu.

Yang amat berbahaya justru lengan baju kiri yang buntung itu sebab secara tak disangka-sangka sekali, kadang-kadang ujung lengan baju itu menyambar dan melakukan totokan-totokan yang ampuh. Harus diakui bahwa ilmu silat yang dimainkan lelaki buntung lengan kirinya ini hebat luar biasa, aneh dan mengandung tenaga dahsyat.

Akan tetapi, pedang yang dimainkan oleh gadis itu pun ampuh sekali. Selain pedangnya merupakan pusaka yang ampuh, juga ilmu pedang itu membingungkan Lam-hai Giam-lo. Sudah banyak dia berkelahi melawan ilmu-ilmu pedang di dunia persilatan, akan tetapi belum pernah dia menghadapi ilmu pedang yang begini tangkas.

Pedang yang berubah menjadi segulungan sinar putih itu bagai seekor naga yang sedang mengamuk! Akan tetapi gerakannya juga indah sekali dan nampak begitu lembut, seperti seorang gadis cantik yang menari-nari saja, hanya tarian itu mengandung ancaman maut pada setiap gerak serangannya!

Su Kiat dan Hui Lian harus mengakui bahwa mereka sedang berhadapan dengan lawan yang amat tangguh. Su Kiat pernah menjadi murid Cin-ling-pai dan bagaimana pun juga, dia sudah memiliki pengalaman berkelahi yang cukup banyak. Sebaliknya, Hui Lian belum pernah berkelahi dan semua ilmu yang dikuasainya diperoleh dari latihan-latihannya yang amat rajin, dibantu oleh bimbingan gurunya yang sungguh-sungguh.

Oleh karena itu permainan pedang Hui Lian juga amat hebatnya. Bahkan Su Kiat sendiri harus mengakui bahwa dalam hal memainkan ilmu pedang In-liong Kiam-sut, dia sendiri masih kalah oleh muridnya sendiri. Bukan hanya karena lengan kirinya buntung sehingga kurang keseimbangan apa bila dia yang memainkan pedang dengan ilmu itu, akan tetapi terutama sekali karena Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut itu memang bersifat lembut seperti wanita, dan gerakannya halus indah, lebih tepat digerakkan oleh tubuh wanita yang lentur dan lemah gemulai.

Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang In-liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Karena penciptanya adalah wanita dan untuk dimainkan sendiri, tentu saja memiliki ciri khas permainan wanita yang halus.

Perkelahian itu makin seru dan hebat mati-matian. Makin lama Lam-hai Giam-lo menjadi semakin marah dan penasaran. Dia bukan hanya mempertahankan diri, melainkan juga merasa bahwa dia mempertahankan nama serta kedudukannya. Masih untung baginya bahwa pada saat itu, tidak ada saksi yang akan melihat betapa dia, Lam-hai Giam-lo, kini terdesak oleh seorang laki-laki buntung sebelah tangannya dan seorang gadis muda.

Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmunya, akan tetapi tetap saja dia terdesak terus. Sampai seratus jurus dia mampu bertahan, akan tetapi akhirnya pundaknya terkena totokan ujung lengan baju kiri yang buntung dari Su Kiat.

Lam-hai Giam-lo tidak roboh melainkan merasa kesemutan dan dalam beberapa detik dia terhuyung. Kesempatan yang sekejap saja ini sudah cukup bagi Hui Lian untuk mendesak dengan pedangnya. Pedang itu berkelebat menuju ke arah leher lawan.

Lam-hai Giam-lo terkejut bukan main. Untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi, maka terpaksa dia harus berlaku nekat, menggunakan tangan kirinya yang diisi tenaga sinkang sepenuhnya untuk menangkis.

"Plakkk!"

Pedang itu berhasil ditangkis, akan tetapi kulit lengannya terobek sedikit sehingga terluka dan berdarah. Pada saat itu pula sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat tepat mengenai punggungnya.

"Bukkk!"

Lam-hai Giam-lo terpelanting terus bergulingan dan muntahkan darah segar. Maklumlah dia bahwa apa bila dilanjutkan, berarti dia bunuh diri, maka tanpa malu-malu lagi dia lalu meloncat dan melarikan diri.

"Pengecut, hendak lari ke mana kau?!" Su Kiat membentak dan mengejar.

"Ke neraka pun akan kukejar kau! Keparat jahanam, jangan lari!" Hui Lian juga berteriak mengejar.

Keringat dingin membasahi dahi serta leher Lam-hai Giam-lo, karena ketika dia menoleh, dia melihat betapa guru dan murid itu dapat berlari amat cepatnya sehingga sulit baginya untuk meloloskan diri. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan semua ilmu ginkang-nya untuk mempercepat larinya, akan tetapi bayangan kedua orang itu tetap saja mengejar di belakangnya, hanya dalam jarak seratus meter lebih!

Dia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, jika dilanjutkan pengerahan sinkang seperti ini, maka akhirnya dia akan roboh sendiri. Untuk berhenti dan melawan, dia tidak sanggup lagi karena maklum bahwa dia tidak akan menang.

Dengan napas terengah-engah akibat harus berlari cepat terus-menerus, akhirnya sebuah sungai yang cukup lebar menghalang di depannya. Lam-hai Giam-lo hampir saja bersorak ketika dia berhasil mencapai tepi sungai ini. Memang sungai itu yang ditujunya dan sungai itu satu-satunya harapannya untuk menyelamatkan diri. Begitu tiba di tepi sungai, dia lalu meloncat ke air dan menyelam. Memang satu di antara keahlian Lam-hai Giam-lo adalah permainan di dalam air.

Melihat buruan mereka meloncat ke dalam air dan lenyap, Su Kiat dan Hui Lian tertegun berdiri di tepi sungai. Mereka hanya mampu mencari-cari dengan pandang mata mereka dan akhirnya mereka melihat buruan itu sudah mendarat di seberang, akan tetapi di hulu yang agak jauh. Terpaksa guru dan murid ini cepat mencari perahu terlebih dahulu untuk digunakan menyeberang. Ketika akhirnya mereka dapat menumpang perahu nelayan dan menyeberang, buruan mereka telah lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Su Kiat dan Hui Lian merasa kecewa sekali, akan tetapi mereka tidak putus asa dan tetap melanjutkan penyelidikan dan pencarian mereka. Mereka terus menyelidiki jejak Lam-hai Giam-lo sambil bertanya-tanya. Untung bagi mereka bahwa selain tersohor, juga Lam-hai Giam-lo mempunyai wajah yang amat mengesankan sehingga semua orang yang pernah melihatnya tidak akan mudah melupakan wajah yang seperti kuda dan suara yang serak parau seperti ringkik kuda itu pula.

Mereka bisa mengikuti jejak musuh mereka dan akhirnya, kurang lebih sebulan kemudian, mereka berdua berhasil menemukan tempat persembunyian Lam-hai Giam-lo di luar kota Swat-ouw. Su Kiat dan Hui Lian cepat menyerbu rumah di luar kota itu dan memang benar Lam-hai Giam-lo berada di sana bersama lima orang kawannya yang juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Lam-hai Giam-lo sudah sembuh dari lukanya dan kini dia mengandalkan lima orang temannya yang merupakan penjahat-penjahat besar di Swat-ouw untuk mengeroyok.

Namun Su Kiat dan Hui Lian mengamuk sehingga membuat lima orang kawan Si Muka Kuda itu roboh semua oleh sinar pedang Hui Lian. Terpaksa Lam-hai Giam-lo melawan lagi sampai lebih dari seratus jurus. Akan tetapi akhirnya sebuah tendangan kaki Hui Lian mengenai perutnya dan sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat juga kembali membuatnya muntah darah. Untuk kedua kalinya kakek muka kuda itu melarikan diri, dan untuk kedua kalinya dua orang musuhnya melakukan pengejaran pula!

Akan tetapi kali ini Lam-hai Giam-lo sudah membuat persiapan. Dia memang cerdik sekali sehingga saat dia bersembunyi di luar kota Swat-ouw, dia telah memperhitungkan bahwa kalau sampai dia dapat dikejar musuh, dia sudah memiliki tempat untuk menyelamatkan diri. Dia berlari ke utara dan tidak lama kemudian tibalah dia di tepi sungai yang mengalir dari pegunungan Tai-yun-san. Sekali meloncat dia pun lenyap di bawah permukaan air.

Kembali guru dan murid itu harus mencari perahu untuk menyeberang dan untuk kedua kalinya, mereka melakukan penyelidikan dan pencarian. Lam-hai Giam-lo yang melarikan diri ke barat menjadi semakin panik melihat betapa dua orang musuhnya itu dengan nekat terus melakukan pengejaran terhadap dirinya. Diam-diam dia merasa penasaran dan juga jengkel sekali, akan tetapi untuk menghadapi mereka, dia merasa tidak akan menang.

Kini untuk kedua kalinya dia terluka, bahkan lebih parah dari pada yang pertama. Untuk minta bantuan orang lain, dia merasa malu. Mau ditaruh ke mana mukanya kalau dunia persilatan tahu bahwa dia lari ketakutan dari dua orang yang sama sekali tidak terkenal, apa lagi kalau minta bantuan orang lain?

Lima orang yang bersama dia dan membantunya itu pun tidak dia mintai bantuan. Mereka adalah penjahat-penjahat yang termasuk bawahannya sehingga bantuan mereka tak akan ada artinya bagi dua orang lawan yang amat lihai itu.

Demikianlah, kejar mengejar terjadi hingga akhirnya Lam-hai Giam-lo menggunduli rambut dan menyamar sebagai seorang hwesio. Kemudian dia menggunakan akal dan berhasil masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi seorang tukang sapu yang gagu dan tuli. Dan di tempat itulah dia berhasil bersembunyi.

Tentu saja Su Kiat dan Hui Lian sama sekali tidak berani mencari ke dalam kuil Siauw-lim-si. Apa lagi guru dan murid ini merasa yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu tidak akan sudi menyembunyikan seorang datuk sesat seperti Lam-hai Giam-lo! Dan inilah sebabnya kenapa Lam-hai Giam-lo berhasil tinggal di kuil itu sampai selama satu tahun.

Akan tetapi memang dasar seorang jahat. Ketika dia melihat bahwa dua orang hukuman itu mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, dia ingin sekali memiliki ilmu-ilmu itu maka dia pun mulai melakukan pengintaian-pengintaian ketika dua orang hukuman itu, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengadakan latihan-latihan di dalam kuil pada waktu malam. Akhirnya dia bentrok dengan mereka dan dikalahkan, lantas terusir keluar dari kuil karena dia harus melarikan diri, tidak sanggup melawan dua orang hukuman yang ternyata luar biasa tangguhnya itu.

Demikianlah, Lam-hai Giam-lo berhasil lolos dari pengejaran musuh-musuhnya. Sekarang dia tidak berani lagi merajalela di daerah selatan, takut kalau-kalau dua orang yang selalu mengejarnya itu datang lagi ke sana. Dia bahkan lebih banyak menyembunyikan diri dan memperdalam ilmu-ilmunya karena di dalam hatinya dia masih merasa penasaran bahwa dia dapat dikalahkan oleh seorang yang berlengan buntung dan seorang gadis cantik.

********************


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.