Pendekar Mata Keranjang Jilid 08

Cersil Karya Kho Ping Hoo Serial Pedang Kayu Harul Episode Pendekar Mata Keranjang Jilid 08
Sonny Ogawa
DAHULU nama Pat-sian (Delapan Dewa) pernah terkenal sekali di daerah selatan dan barat sebagai nama dari delapan orang yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan. Memang nama mereka tidak pernah muncul di dalam kisah Asmara Berdarah, karena pada saat itu mereka memang sudah lama mengasingkan diri dan tidak pernah berkecimpung di dunia persilatan lagi sehingga ketika di dunia persilatan muncul tokoh-tokoh sakti seperti Raja Iblis dan Ratu Iblis, mereka itu tidak mencampurinya. Padahal, dalam ilmu kepandaian, tingkat Pat-sian tidak berada di sebelah bawah tingkat Raja Iblis.

Kini, setelah usia mereka tua, yang muncul di dunia hanya Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama. keduanya seperti terdorong keluar dari tempat pertapaan mereka karena adanya urusan Sin-tong atau Anak Ajaib yang diperebutkan dan dicari oleh para pendeta Lama.

Di antara delapan datuk yang terkenal dengan nama Delapan Dewa, agaknya hanya dua orang kakek ini yang agaknya masih hidup. Dua yang lainnya adalah In Liong Ni-nio dan Sian-eng-cu The Kok, yang seperti kita ketahui telah mati dan kerangka mereka, bersama ilmu-ilmu mereka, secara kebetulan ditemukan oleh Su Kiat dan Hui Lian di dalam goa yang amat sulit untuk didatangi manusia itu. Empat orang lainnya tidak diketahui ke mana perginya, tidak ada pula yang tahu apakah mereka itu masih hidup ataukah sudah mati.

Berbeda dengan See-thian Lama yang tidak mau bergabung dengan para Lama di Tibet dan malah hidup mengasingkan diri di kaki Pegunungan Himalaya, Ciu-sian Sin-kai yang kelihatan sebagai seorang kakek pengemis itu sebetulnya sama sekali bukanlah seorang miskin. Bahkan dia pun tidak hidup menyendiri.

Ciu-sian Sin-kai adalah seorang tocu (majikan pulau) yang berkuasa atas Pulau Hiu yang berada di lautan Po-hai, tidak kelihatan dari pantai karena pulau itu kecil saja, akan tetapi orang akan merasa kagum setelah berada di pulau itu karena pulau yang luasnya hanya kurang dari sepuluh hektar itu ternyata memiliki tanah yang amat subur.

Pulau itu dikelilingi oleh batu-batu karang yang menonjol di sana-sini sehingga merupakan daerah yang amat berbahaya untuk pelayaran karena perahu terancam kandas pada batu karang yang mengintai sedikit di bawah permukaan laut. Bukan hanya batu-batu karang ini yang membuat para pelayan menjauhkan diri dari pulau itu, melainkan juga banyaknya ikan hiu ganas yang berkeliaran di sekeliling pulau itu. Dengan demikian, pulau itu seperti terasing dan ini bahkan menguntungkan para penghuninya karena tak pernah mengalami gangguan dari luar.

Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau itu secara tak sengaja. Di dalam petualangannya, dia mendengar tentang banyaknya bajak laut yang mengganggu kapal-kapal dagang dan perahu-perahu nelayan. Hatinya tergerak dan dengan menggunakan sebuah perahu kecil, seorang diri dia membikin pembersihan, menyerbu setiap perahu bajak.

Dengan kepandaiannya yang hebat, seorang di antara Delapan Dewa ini menghancurkan banyak perahu bajak laut serta menewaskan banyak pula kepala bajak laut, menangkapi anak buahnya lantas menyeret mereka ke darat untuk diadili.

Ketika pada suatu hari dia mengejar-ngejar sebuah perahu bajak yang besar, perahu itu tiba-tiba lenyap. Hal ini membuat dia penasaran dan semalam suntuk dia mencari terus. Akhirnya dia menemukan perahu itu di antara batu-batu karang di pulau terpencil. Dengan nekat dia pun memasuki daerah berbahaya itu lalu berhasil mendarat dengan selamat dan kiranya pulau yang kemudian dinamakan Pulau Hiu itu merupakan tempat persembunyian dan juga gudang barang-barang bajakan.

Dia menyerbu kemudian membasmi para bajak yang melakukan perlawanan dengan gigih hingga akhirnya sisa para bajak itu menakluk. Ciu-sian Sin-kai lalu mengusir anak buah bajak dengan memberi pembagian harta yang terdapat di pulau itu. Namun sebelumnya dia memilih belasan orang yang dianggapnya baik dan ada harapan untuk bertobat, dilihat dari keadaan sikap dan wajahnya, juga dia memilih mereka yang masih muda-muda.

Sisa harta simpanan para bajak masih sangat banyak dan Ciu-sian Sin-kai mulai menjadi majikan pulau yang kaya raya. Dia mendirikan sebuah bangunan seperti istana untuknya, dan bangunan-bangunan untuk tempat tinggal bekas anak buah bajak yang kini menjadi anak buahnya. Hiduplah dia sebagai seorang raja kecil di pulau Hiu.

Benar saja, para bekas bajak itu dapat merubah kehidupan mereka menjadi orang-orang yang taat dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan membajak. Bahkan mereka kemudian berkeluarga sehingga pulau kecil itu kini menjadi ramai dengan keluarga belasan orang itu.

Anak buah Ciu-sian Sin-kai menjadi semakin banyak, yaitu anak buah para bekas bajak yang digemblengnya menjadi anak buah yang baik dan cukup pandai ilmu silat. Pulau itu menjadi makin angker dan disegani para nelayan, bahkan kini jarang ada bajak laut yang berani muncul di perairan itu. Nama Ciu-sian Sin-kai masih membuat mereka ketakutan dan merasa lebih aman untuk memilih daerah operasi pada bagian lain, di laut utara atau selatan, akan tetapi tidak berani di sekitar Pulau Hiu.

Kini anak-anak dari para bekas bajak sudah berumur belasan tahun dan mereka semua menjadi anak buah Ciu-sian Sin-kai dengan taat serta penuh disiplin, menganggap kakek pengemis itu sebagai guru, majikan atau ketua yang harus ditaati sepenuhnya. Demikian taatnya para anak buah itu sehingga kalau kakek pengemis itu pergi sampai lama sekali pun, dalam salah satu di antara perantauannya, mereka akan menjaga pulau itu dengan tertib, seperti kalau Sin-kai berada di pulau.

Segala keperluan hidup para penghuni pulau sudah terpenuhi. Mereka menanam sayur-sayuran, pohon-pohon buah, dan bila membutuhkan ikan, mereka hanya tinggal berlayar meninggalkan daerah hiu untuk mengail atau menjala, ada pun keperluan-keperluan lain dapat mereka peroleh dengan membeli ke daratan.

Akan tetapi kepergian Ciu-sian Sin-kai sekali ini agak terlampau lama. Hampir satu tahun kakek itu pergi dan belum kembali, sedangkan para anak buahnya di Pulau Hiu tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Dan agaknya kepergian yang lama ini selain merisaukan hati para penghuni Pulau Hiu juga diketahui oleh pihak lain yang hendak mempergunakan kesempatan itu untuk membalas dendam sambil mencari keuntungan.

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, nampak ada lima buah perahu besar hitam yang memasuki daerah batu-batu karang itu, didahului oleh sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh pendek dan perutnya gendut. Perahu kecil itulah yang menjadi petunjuk jalan, membelok ke kanan kiri, lantas menyusup antara pagar batu karang dan akhirnya membawa lima buah perahu besar itu mencapai pulau dengan selamat.

Dari lima buah perahu besar itu, dengan amat sigapnya berloncatan turun masing-masing sepuluh orang sehingga jumlah mereka semua menjadi lima puluh orang. Ada pun orang gendut pendek yang tadi memimpin perahu-perahu itu sudah menyelinap pergi di antara pohon-pohon buah yang ditanam di sepanjang pantai. Sambil menghunus senjata tajam, dengan dipimpin oleh seorang kakek raksasa bermuka hitam, lima puluh orang itu segera menyerbu ke tengah pulau.

Tentu saja gerakan lima puluh orang ini langsung diketahui oleh penghuni pulau sehingga terdengarlah kentungan dipukul bertalu-talu dan segera para penghuni terlihat berkumpul dengan senjata di tangan. Laki perempuan berkumpul, dan jumlah mereka yang dulunya hanya belasan orang itu kini bersama isteri dan anak-anak mereka telah mencapai jumlah kurang lebih lima puluh orang. Mereka lalu berlari keluar menyambut kedatangan musuh.

Tidak perlu lagi diadakan pertanyaan atau percakapan di antara mereka. Para bajak laut yang sengaja datang untuk membalas dendam kepada Ciu-sian Sin-kai sambil merampok harta karun yang banyak terdapat di situ pada saat kakek yang ditakuti itu tidak berada di pulau, di bawah pimpinan kakek raksasa muka hitam sudah menyerbu dan menyerang para penghuni pulau.

Maka terjadilah pertempuran yang seru. Kurang lebih dua puluh orang laki-laki dan wanita muda usia yang terlahir di pulau itu dan pernah menerima gemblengan dasar ilmu silat dari Ciu-sian Sin-kai, melakukan perlawanan dengan gigih dan mereka kini rata-rata amat gesit dan tangguh.

Akan tetapi kakek raksasa muka hitam itu lihai sekali. Senjata rantai baja yang panjang di tangannya sulit dilawan sehingga banyak yang telah roboh olehnya. Di samping itu, anak buahnya terdiri dari bajak-bajak laut yang kejam dan perkelahian merupakan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka itu menang pengalaman dan menang nekat sehingga di pihak penghuni pulau mulai jatuh korban dan keadaan mereka menjadi terdesak.

Agaknya para penghuni itu tentu akan roboh atau terbasmi semua kalau saja pada saat itu tidak muncul dua orang yang bukan lain adalah Ciu-sian Sin-kai sendiri dan Hay Hay! Mereka baru saja sampai dan ketika dari jauh kakek itu melihat adanya lima buah perahu besar hitam berlabuh di dekat pulaunya, dia terkejut dan mendayung perahu secepatnya.

Perahunya lantas meluncur seperti terbang saja, apa lagi di situ ada Hay Hay yang juga membantunya. Dan ketika mereka berlompatan ke daratan pulau, mereka melihat betapa para penghuni pulau sedang bertempur melawan puluhan orang kasar yang dipimpin oleh seorang kakek raksasa muka hitam.

Melihat betapa anak buahnya banyak yang telah roboh terluka dan betapa para bajak laut itu mengamuk dengan kejam, terlebih lagi kakek raksasa muka hitam itu, Ciu-sian Sin-kai menjadi marah. Dia tidak mengenal siapa adanya raksasa muka hitam itu namun dapat menduga bahwa dia tentulah seorang kepala bajak laut yang menggunakan kesempatan selagi dia tidak berada di pulau untuk datang membalas dendam dan merampok.

"Bajak-bajak tidak tahu diri!" bentak kakek itu dan bersama Hay Hay dia lalu menyerbu ke dalam arena pertempuran.

Melihat munculnya Ciu-sian Sin-kai, para penghuni pulau bersorak gembira dan semangat mereka tumbuh bagaikan api yang tadinya telah mulai meredup, kini disiram minyak bakar dan berkobar lagi dengan ganas.

Hay Hay juga tidak tinggal diam. Tubuh anak laki-laki remaja ini bergerak cepat dan ke mana pun tubuhnya bergerak, seorang bajak tentu akan terjungkal roboh, entah terkena tendangannya, pukulannya atau tamparan tangannya yang kecil namun ampuh itu

Kepala bajak yang bertubuh raksasa bermuka hitam itu amat terkejut. Maklum siapa yang muncul, dia pun cepat memapaki Ciu-sian Sin-kai dengan rantai bajanya yang berat dan panjang, yang diayun menyambut dengan sebuah sambaran pada muka kakek bertubuh kurus itu.

Akan tetapi kakek itu tidak mengelak, namun menyambut dengan tangannya dan berhasil menangkap ujung rantai. Si Raksasa muka hitam terkejut, langsung mengerahkan tenaga pada kedua lengannya yang besar dan kuat untuk menarik rantainya. Akan tetapi rantai itu seperti telah melekat dengan tangan Ciu-sian Sin-kai!

Walau pun kakek tua ini kurus dan berdiri seenaknya, sedangkan Si Raksasa muka hitam memasang kuda-kuda dan menarik sekuat tenaga, tetap saja rantai itu tak dapat terlepas dari pegangan kakek berpakaian pengemis.

"Hemm, siapakah kau yang berani membawa anak buah lalu mengacau ke sini?" Ciu-sian Sin-kai bertanya, matanya mencorong ditujukan kepada wajah raksasa muka hitam itu.

Tadinya raksasa muka hitam itu amat terkejut dan juga gentar, akan tetapi karena merasa bahwa dia tidak akan menang, maka dia pun menjadi nekat. "Aku Hek-bin Hai-liong (Naga Laut Muka Hitam), hendak membalas dendam atas kekalahan rekanku!"

Ciu-sian sin-kai tertawa mengejek, lalu tangan kirinya mengambil ciu-ouw (guci arak) yang selalu tergantung pada pinggangnya dan minum arak dengan tangan kirinya, langsung dari guci itu. Melihat ini, Si Muka Hitam kembali mengerahkan tenaganya dan menarik dengan sentakan kuat.

Akan tetapi, tetap saja rantai itu tidak dapat dirampasnya dan dia merasa amat terkejut. Orangyang sedang mengerahkan sinkang, mana mungkin mempertahankan kekuatannya itu selagi minum dan menelan arak? Akan tetapi, meski pun sedang minum, kakek jembel itu tetap saja amat kuat.

"Menjemukan kau!" Tiba-tiba Ciu-sian Sin-kai menyemburkan arak dari mulutnya.

Arak memercik ke muka yang hitam itu dan biar pun Si Muka Hitam sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mengebalkan muka, tak urung dia menjerit, kemudian melepaskan rantai dan mempergunakan kedua tangan untuk mendekap mukanya sendiri. Semburan arak itu dirasakan olehnya seperti ribuan jarum halus yang menusuki mukanya.

Ciu-sian Sin-kai melangkah maju dan sekali tangannya menotok, tubuh kakek tinggi besar itu pun terkulai dan lemas tak mampu bergerak pula. Anak buah bajak menjadi panik dan mereka mencoba untuk melarikan diri. Namun mereka telah dikepung oleh para penghuni pulau yang dibantu oleh Hay Hay yang mengamuk bagai seekor harimau kecil yang galak.

Ciu-sian Sin-kai juga menyepak ke kanan kiri dan tak lama kemudian, seluruh bajak dapat dirobohkan dan tidak ada yang melawan lagi! Di antara mereka yang tewas, ada banyak yang terluka parah dan sisanya terluka ringan namun mendekam saja di atas tanah, tidak berani berkutik, malah ada pula yang berpura-pura mati!

Dengan pandangan matanya, Ciu-sian Sin-kai melihat keadaan anak buahnya. Ada tujuh orang anak buahnya tewas, belasan orang luka-luka. Hal ini membuat dia marah sekali.

"Kumpulkan mereka semua dan masukkan dalam perahu-perahu mereka!" perintahnya.

Dengan senang hati para penghuni pulau itu melaksanakan perintah ini. Biar pun ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dan belasan orang luka-luka, namun mereka boleh mengucap syukur bahwa guru atau majikan mereka sudah pulang tepat pada waktunya karena kalau tidak, tentu mereka sudah terbasmi habis!

Dengan perasaan marah mereka menyeret tubuh-tubuh itu, baik yang telah tak bernyawa, yang luka berat mau pun ringan, menuju ke pantai, tidak peduli akan rintihan mereka yang mengaduh-aduh karena pada waktu diseret, tentu saja luka-luka mereka menjadi semakin parah.

Pada saat itu nampak dua orang anak buah pulau datang sambil menyeret seorang yang bertubuh pendek berperut gendut. Melihat bahwa yang diseret itu adalah salah seorang di antara anak buahnya sendiri, Ciu-sian Sin-kai bertanya heran.

"Apa artinya ini?" tanyanya menegur kedua orang anak buah lain yang menyeret Kai Ti, Si Gendut Pendek itu.

"Tocu, dia inilah yang menjadi pengkhianat, menjadi penunjuk jalan sehingga lima perahu bajak itu dapat memasuki daerah kita dan mendarat di pulau."

Mendengar laporan ini, Ciu-sian Sin-kai memandang kepada Kai Ti dengan alis berkerut. Teringatlah dia bahwa Kai Ti ini adalah orang yang pernah melakukan pelanggaran, yaitu berusaha untuk memperkosa seorang wanita isteri temannya di pulau. Saat itu dia sudah memaafkan Kai Ti karena pada waktu itu Kai Ti sedang mabok keras.

Akan tetapi Kai Ti terkenal kejam kepada isterinya, suka marah-marah dan memukuli. Dan ketika isterinya sakit berat, Kai Ti bahkan berusaha untuk meminang seorang gadis puteri temannya sendiri yang kemudian ditolak sehingga menimbulkan pertengkaran.

Tahulah dia kini mengapa Kai Ti menjadi pengkhianat. Dia pernah memarahi Kai Ti dan mengancam bahwa kalau Kai Ti tidak mau mengubah tabiatnya, maka Si Gendut itu akan diusir dari pulau.

"Kai Ti, benarkah engkau melakukan perbuatan keji itu?"

"Ti... tidak..., Tocu...," kata Kai Ti dengan tubuh gemetar.

"Tadi pagi, ketika semua orang menyambut penyerbuan bajak laut, saya tidak melihat dia. Tentu saja saya menaruh curiga dan ketika saya mencarinya, dia sedang berusaha untuk membongkar kamar pusaka!" kata seorang di antara kedua orang penangkapnya. "Kami menjadi curiga dan setelah pertempuran selesai, kami lalu mencarinya dan menyeretnya ke sini, Tocu."

"Kai Ti, engkau tahu bahwa aku bisa saja menyiksamu dan memaksamu untuk mengaku. Apakah engkau menantangku untuk menyiksamu lebih dahulu?" Ciu-sian Sin-kai berkata, suaranya dingin sekali, berbeda dengan sikapnya yang biasanya senyum-senyum ramah.

Tiba-tiba Kai Ti menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, mengangguk-angguk laksana ayam sedang mematuk padi. "Ampunkan saya, Tocu... saya... saya dipaksa oleh Hek-bin Hai-liong..., saya dipaksa mengantarkan, kalau saya tidak mau akan dibunuh..."

Ciu-sian Sin-kai mengerti bahwa ucapan itu pun hanya sebagai mencari alasan saja untuk membersihkan diri. "Baiklah, karena engkau bersekutu dengan mereka, engkau harus ikut pula dengan mereka. Lempar dia ke perahu kepala bajak itu."

"Ampunnn... jangan...! Saya... saya akan dibunuhnya...!" teriaknya.

Akan tetapi, karena Ciu-sian Sin-kai sudah memberi perintah dan memang para penghuni pulau tidak suka kepada orang yang curang ini, Kai Ti lalu ditangkap dan diseret seperti seekor babi yang menguik-nguik, lalu dilempar pula ke dalam perahu. Perahu-perahu itu kemudian didorong ke tengah dan layar-layar dikembangkan.

Tentu saja para bajak itu tidak ingin membiarkan perahu-perahu mereka meluncur tanpa kemudi. Mereka yang luka ringan lalu cepat-cepat mencoba untuk mengemudikan perahu-perahu mereka agar jangan sampai menabrak batu karang.

Bersama seluruh penghuni Pulau Hiu, Hay Hay melihat lima buah perahu itu bergerak dan menghindar dari batu-batu karang. Dia juga melihat betapa kepala bajak yang berjuluk Hek-bin Hai-liong itu sekarang telah sadar dan dia memaki-maki Kai Ti yang dianggapnya menjadi biang keladi malapetaka itu karena memberi keterangan yang tidak benar.

Kalau benar Ciu-sian Sin-kai berada di pulau, tentu dia tak akan berani membawa teman-temannya menyerbu. Tetapi menurut keterangan Kai Ti, majikan pulau tidak akan pulang dalam waktu satu dua bulan lagi.

"Kai Ti, anjing keparat! Engkau telah menjerumuskan kami!" bentak kepala bajak bermuka hitam itu.

"Tidak... tidak... aku tidak tahu bahwa hari ini Tocu akan pulang...," Kai Ti berkata dengan muka pucat dan kepala digeleng-gelengkan dengan keras.

"Keparat, engkau menjadi sebab kami semua celaka. Lempar dia keluar perahu!"

"Tidak, jangan!" Kai Ti menjadi semakin ketakutan.

Kemudian, melihat beberapa orang anak buah bajak yang luka ringan sudah bangkit dan menghampirinya, dia menyambar sebatang tombak yang menggeletak tidak jauh dari situ, lalu menodongkan senjata itu sambil mengancam.

"Kubunuh siapa yang hendak menjamahku!"

Akan tetapi tujuh orang anak buah bajak itu pun sudah marah sekali kepadanya. Apa lagi mereka juga memandang rendah Si Gendut Pendek ini, maka mereka pun maju terus dan mengepungnya.

Orang yang ketakutan dapat menjadi orang yang paling nekat dan kejam, maka demikian pula dengan keadaan Kai Ti. Sebagai bekas anak buah Pulau Hiu, tentu saja dia pandai ilmu silat dan ketika melihat betapa para anak buah bajak itu tetap mengancamnya, dia segera mengeluarkan teriakan panjang lantas tubuhnya menubruk ke depan, tombaknya cepat digerakkan.

"Crappp...!"

Tombak itu menancap di perut seorang di antara anak buah bajak laut sampai menembus ke punggungnya. Namun sayang baginya! Saking takutnya, dia tadi menusuk terlampau kuat sehingga tombak itu menembus jauh dan ketika dia berusaha mencabutnya kembali, mata tombak itu terkait dan tidak dapat dicabutnya.

Dia berusaha lagi dan berkutetan, akan tetapi tetap saja tombak itu sulit dicabut dan pada saat itu pula, enam orang anak buah bajak sudah menyerangnya dan membuatnya tidak berdaya. Hujan pukulan diterimanya dan dia pun diseret lalu dilemparkan keluar perahu. Ikan-ikan hiu segera muncul dan menyergapnya.

Hay Hay melihat betapa orang itu terbelalak lebar dan berusaha berenang cepat menjauhi ikan-ikan hiu yang langsung mengejarnya. Akan tetapi dari depan, kanan dan kiri muncul lagi puluhan ekor ikan hiu yang berukuran besar. Kemudian terdengar Kai Ti menjerit-jerit bagai babi disembelih, akan tetapi ikan-ikan itu memperebutkannya, menyambar-nyambar dan darah pun membasahi air laut ketika tubuhnya yang cabik-cabik itu diseret ke bawah permukaan air.

"Lemparkan semua mayat keluar!" kembali kepala bajak muka hitam memberi perintah.

Anak buahnya yang terluka ringan memenuhi perintah ini dan mayat-mayat teman mereka segera dilemparkan keluar dari perahu. Kembali ikan-ikan hiu memperebutkan mangsa itu, badan mayat-mayat itu dicabik-cabik akan tetapi sekali ini tidak ada darah keluar. Hanya dalam waktu singkat saja, semua mayat telah lenyap dari permukaan air.

Agaknya ikan-ikan hiu itu masih merasa kelaparan dan pesta pora itu menarik perhatian teman-teman mereka karena tempat itu kini menjadi penuh dengan ikan hiu besar-besar yang ratusan banyaknya, meluncur cepat di sekeliling lima buah perahu hitam. Melihat itu, Hay Hay bergidik penuh kengerian. Sukar baginya untuk menilai siapa yang lebih ganas dan kejam antara manusia dan ikan-ikan hiu itu.

"Krakkkk...!" terdengar suara keras seperti ledakan.

Tiba-tiba saja perahu pertama yang paling besar tergetar keras, kemudian perahu itu pun roboh miring! Ternyata perahu pertama itu melanggar batu karang dan pecah. Air masuk dengan cepat dan perahu itu pun terancam tenggelam!

Anak buah bajak menjadi panik dan kembali terjadi perkelahian di antara mereka sendiri karena berebutan untuk menggunakan satu-satunya perahu dayung kecil yang berada di atas perahu yang sedang tenggelam itu. Karena diperebutkan, banyak di antara mereka yang roboh di dalam perkelahian ini dan akhirnya perahu kecil itu terlepas lalu jatuh ke air tanpa seorang pun yang berhasil menjadi penumpang.

Akhirnya perahu besar itu tenggelam dan para anak buah bajak berlompatan ke air sambil berteriak ketakutan dan berusaha berenang menghindarkan diri dari jangkauan ikan-ikan hiu. Akan tetapi apa artinya kemampuan renang seorang manusia dibandingkan dengan kecepatan ikan hiu? Dalam sekejap saja, di bawah pekik-pekik mengerikan, ikan-ikan hiu itu berpesta dan kembali air menjadi merah, lebih merah dari pada ketika Kai Ti menjadi mangsa pertama tadi.

Kembali terdengar suara keras dan kini perahu ke dua yang terguling, disusul perahu ke tiga, kemudian terjadi kepanikan dan perkelahian yang mengerikan. Akan tetapi sekarang dua perahu lainnya juga dilanda kepanikan, maka Hek-bin Hai-liong cepat berteriak.

"Mana penunjuk jalan? Suruh dia menunjukkan jalan yang aman bagi perahu-perahu kita!"

Dalam kepanikannya, kepala bajak ini sampai lupa bahwa tadi dia sendiri yang menyuruh penunjuk jalan satu-satunya, yaitu Kai Ti, dilempar keluar. Sesudah Kai Ti tidak ada lagi, siapakah yang akan mampu menunjukkan jalan aman?

Berturut-turut dua perahu lainnya juga melanggar karang. Maka terjadilah peristiwa yang sangat mengerikan, yang membuat Hay Hay sendiri kadang-kadang harus menutup kedua matanya saking merasa ngeri melihat betapa orang-orang yang sudah terluka itu menjadi mangsa ikan-ikan hiu yang agaknya tidak mengenal puas dan kenyang itu.

Teriakan paling keras terdengar ketika Hek-bin Hai-liong yang terpaksa harus meloncat ke air karena perahunya tenggelam, mencoba untuk mengamuk. Sebagai kepala bajak tentu saja dia pandai berenang, lantas dengan tenaganya yang kuat dia berhasil memukul dua tiga ekor ikan hiu. Akan tetapi jumlah ikan hiu amat banyak dan sesudah sebelah kakinya kena disambar ikan lantas tubuhnya diseret ke bawah, perlawanan terhenti dan tubuhnya dicabik-cabik oleh ikan-ikan yang memperebutkannya

Penglihatan yang mengerikan ini terjadi dengan cepat, tidak sampai dua jam dan habislah sudah seluruh bajak, baik yang sudah mati mau pun yang tadi terluka. Lima puluh orang lebih habis dilumat oleh ikan-ikan hiu yang masih terlihat berenang hilir-mudik seolah-olah mengharapkan tambahan. Dan tak ada sepotong pun daging yang tersisa dari lima puluh lebih orang-orang tadi. Habis berikut pakaian dan sepatu mereka!

Hay Hay terpaksa berlari ke balik semak-semak dan membiarkan isi perutnya keluar. Dia muntah-muntah. Bukan hanya dia seorang, akan tetapi banyak pula di antara anak buah Pulau Hiu, terutama anak-anak perempuannya, muntah-muntah saking ngeri dan tegang, juga jijik menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan itu.

Tujuh orang anak buah Pulau Hiu yang tewas dalam penyerbuan itu lantas diperabukan, Ciu-sian Sin-kai melarang mereka dikubur. "Pulau kita begini kecil, jika kita membiasakan diri mengubur orang-orang kita yang mati, sebentar saja pulau ini akan menjadi kuburan dan tidak ada sisanya lagi untuk kita yang masih hidup." Demikian katanya dan memang ucapan ini mengandung kebenaran, maka mayat-mayat itu pun dibakar dengan upacara sederhana.

"Suhu, kenapa Suhu demikian kejam terhadap para bajak itu?" Hay Hay yang sudah biasa bersikap terbuka kepada Ciu-sian Sin-kai, bertanya dengan nada suara mencela.

Kakek itu tertawa. "Heh-heh-heh, kejam? Hay Hay, apakah engkau dapat membayangkan bagaimana andai kata kita datang terlambat beberapa jam saja? Seluruh anak buahku ini akan habis dibantai, dan yang perempuan akan mereka larikan dan dipermainkan, seluruh kekayaan yang berada di sini akan habis mereka bawa, dan segala yang terdapat di pulau ini, yang tidak dapat mereka bawa, pasti akan mereka bakar! Mereka itu jahat dan ganas melebihi binatang buas."

"Akan tetapi, haruskah mereka itu dihukum secara demikian kejam, Suhu?" kembali Hay Hay membantah. Dia masih bergidik membayangkan betapa orang-orang itu dipermainkan ikan-ikan hiu.

Kembali kakek itu tersenyum. "Menghadapi orang-orang jahat memang ada kalanya tidak boleh mengenal belas kasihan. Engkau belum tahu mengenai kekejaman. Pendekar yang paling kejam terhadap orang-orang jahat, yang tak mengenal ampun dan bertangan baja menghukum dan membasmi orang-orang jahat, dijuluki orang Pendekar Sadis."

"Pendekar Sadis?"

"Ya, dan engkau akan bergidik jika melihat betapa dia menyiksa orang-orang jahat. Akan tetapi ia adalah seorang pendekar budiman dan berkepandaian tinggi sekali. Memang aku tidak pernah bertemu dengan dia, karena sudah lama sekali aku tidak pernah mencampuri urusan dunia dan dulu pun aku bergerak di sekitar pantai saja. Hanya pada waktu terjadi gelombang pemberontakan di daerah selatan, aku dengan rekan-rekan lainnya, termasuk See-thian Lama, turut mencampuri kemudian nama kami dikenal orang sebagai Pat-sian. Menurut kabar, isteri dari Pendekar Sadis juga pernah menjadi datuk selatan yang sangat terkenal. Kelak, apa bila engkau sudah memiliki ilmu yang cukup, engkau boleh merantau dan berkenalan dengan para pendekar, termasuk Pendekar Sadis."

Ketika Hay Hay diajak masuk ke dalam gedung yang dibangun oleh kakek itu di tengah pulau, anak ini terbelalak kagum. Gedung itu seperti istana saja! Ternyata gurunya yang baru ini adalah seorang yang kaya-raya dan hidup sebagai seorang raja saja di pulau ini. Pantaslah kalau gerombolan bajak laut itu berusaha untuk merampok tempat ini.

cerita silat online karya kho ping hoo

Mulai hari itu juga Hay Hay menjadi salah seorang di antara para penghuni Pulau Hiu. Dia mempelajari rahasia jalan masuk menuju pulau itu, dan selain mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari Ciu-sian Sin-kai, juga mematangkan ilmu-ilmu pukulan yang diperoleh dengan jalan 'mengadu' Ciu-sian Sin-kai dengan See-thian Lama secara tidak langsung. Dia pun mempelajari ilmu-ilmu dalam air dari para penghuni Pulau Hiu yang rata-rata mempunyai kepandaian bermain di air itu.

Sebentar saja Hay Hay menjadi pemuda yang paling terkenal di pulau itu. Bukan hanya karena dia dianggap murid terkasih dari Tocu, akan tetapi karena memang dia cerdas dan lihai bukan main. Di antara para gadis-gadis kelahiran pulau itu, yang sebaya dengan Hay Hay, bahkan yang lebih tua sekali pun, dia sangat terkenal karena dia berwajah tampan, bertubuh tegap, juga lincah jenaka dan ramah, serta pandai merayu dan menyenangkan hati para gadis.

Tiga tahun kemudian, setelah Hay Hay berusia lima belas tahun, dia pun menjadi rebutan di antara para gadis dan wanita di pulau itu. Setiap orang gadis jatuh cinta kepadanya dan ingin menjadi kawan dekatnya.

Dan Hay Hay ternyata memiliki bakat untuk menyenangkan hati para gadis itu. Dia selalu bersikap manis dan ramah pada setiap orang gadis sehingga mulailah dia dikenal sebagai seorang pemuda perayu wanita. Para pemuda lain yang merasa iri kepadanya, menyebut dia pemuda mata keranjang yang seolah-olah hendak menggandeng semua wanita yang berada di situ. Tentu saja sebutan mata keranjang ini mereka lontarkan di belakang Hay Hay karena kalau berhadapan, mereka tidak berani terhadap murid Tocu yang paling lihai ini.

Tentu saja perkembangan ini tidak terlepas dari pengamatan Ciu-sian Sin-kai. Ketika Hay Hay berusia lima belas tahun dan melihat pemuda ini senang sekali bergaul secara akrab dengan para gadis di pulau itu hingga menimbulkan iri hati para pemuda lain, pada suatu malam kakek itu memanggilnya dan mengajaknya bicara di dalam kamar.

"Hay Hay, berapakah usiamu sekarang?"

"Seingat teecu, ketika teecu mengikuti Suhu, menurut keterangan Suhu See-thian Lama teecu sudah berusia dua belas tahun. Sampai sekarang, teecu sudah tiga tahun ikut Suhu sehingga kalau tidak salah, usia teecu kini sudah lima belas tahun."

"Lima belas tahun, ya?" kakek itu mengelus-elus jenggotnya sambil memandang tajam, mengamati muridnya itu.

Memang Hay Hay berwajah tampan. Sepasang matanya tajam, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan kegagahan akan tetapi juga manis, sikapnya periang dan lincah sekali, wajahnya cerah dan pertumbuhan badannya sangat baik sehingga dalam usia lima belas tahun dia sudah nampak dewasa.

"Engkau sudah hampir dewasa, muridku dan melihat ketekunanmu berlatih, aku tak perlu merasa heran kalau engkau memperoleh kemajuan begini pesat dalam ilmu silatmu."

"Berkat bimbingan Suhu yang bijaksana, mudah-mudahan teecu akan selalu dapat belajar dengan tekun."

Selain tampan dan ramah, anak ini pun amat pandai membawa diri, pandai mengeluarkan kata-kata yang menyenangkan hati orang, pikir Ciu-sian Sin-kai. Tidak mengherankan jika para gadis suka padanya. Wanita memang paling suka kepada pria yang pandai merayu dan bersikap manis, apa lagi kalau rayuan serta sikap manis itu bukan palsu, melainkan keluar dari watak yang ramah seperti Hay Hay ini.

"Hay Hay, engkau tahu bahwa seorang gagah akan selalu berterus terang dan tidak perlu menyembunyikan segala hal seperti seorang pengecut."

"Teecu mengerti, Suhu," kata Hay Hay, tetapi hatinya merasa agak tidak enak karena dia dapat menduga bahwa tentu suhu-nya akan membicarakan sesuatu mengenai dirinya dan dia diharapkan untuk bicara terus terang.

"Hay Hay, aku mendengar dan melihat sendiri betapa engkau bergaul akrab sekali dengan semua gadis yang berada di pulau ini. Sampai sejauh manakah pergaulanmu itu?"

Hay Hay tersenyum, agak malu-malu akan tetapi hatinya lega karena kiranya hal itu yang ditanyakan gurunya. "Salahkah itu, suhu? Teecu bergaul dengan mereka karena bukankah mereka itu masih terhitung satu keluarga di pulau ini? Pergaulan teecu hanya akrab saja, bermain-main dengan mereka di pinggir pantai, menggoda ikan-ikan hiu, memancing ikan, bekerja di ladang dan kadang-kadang pada saat bulan purnama, teecu membantu mereka berlatih silat di pantai berpasir sambil main-main."

Ciu-sian Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum. Hal seperti itu adalah kesenangan sehat. "Apakah hanya seperti itu saja? Apakah tidak pernah engkau melakukan hubungan yang lebih mesra lagi? Merangkul dan mencium seorang gadis misalnya?"

Kembali Hay Hay tersenyum malu-malu, bahkan kini kulit mukanya berubah menjadi agak kemerahan.

"Aihhh, Suhu, apakah hal itu juga salah? Kalau sedang main-main, kadang-kadang kami saling rangkul dan..., eh, ada kalanya... eh, kami saling cium karena dorongan rasa suka, apakah itu... maksud teecu, melanggar kesusilaan seperti yang pernah teecu pelajari dari kitab-kitab yang diberikan oleh Suhu See-thian Lama?"

Ciu-sian Sin-kai tertawa. "Ha-ha-ha, pelanggaran susila bukan ditentukan oleh pandangan umum terhadap suatu perbuatan. Jadi, kau pernah saling rangkul dan saling cium dengan seorang gadis? Apakah ada gadis tertentu di sini yang melakukan hal itu denganmu?"

Hay Hay menggelengkan kepala dengan sungguh-sungguh. "Tak hanya seorang tertentu, Suhu, akan tetapi... sebagian besar dari mereka. Hampir semua!"

"Dan kau layani mereka semua itu?" suhu-nya bertanya, kini memandang dengan mata terbelalak walau pun mulutnya mengulum senyum geli.

Hay Hay mengangguk. "Kami melakukannya karena merasa gembira dan senang, Suhu. Apakah hal itu salah dan dilarang? Kalau Suhu melarangnya, tentu teecu tidak berani lagi melakukannya."

"Tidak, muridku, aku tidak melarangnya. Akan tetapi, kenapa kemesraan itu kau lakukan dengan semua wanita yang berada di sini?"

"Tidak semua, Suhu," kata Hay Hay sejujurnya, "hanya... mereka yang suka saja dan juga mereka yang teecu sukai..."

"Kau maksudkan, mereka yang suka padamu dan mereka yang kau sukai karena mereka itu cantik? Jadi mereka yang cantik-cantik saja?"

Hay Hay mengangguk dan meledaklah suara ketawa Ciu-sian Sin-kai. "Ha-ha-ha, kau ini kecil-kecil sudah mata keranjang!"

"Apakah hal itu tidak baik dan tidak boleh, Suhu?"

Dengan senyum lebar kakek itu berkata. "Semua laki-laki adalah mata keranjang! Tidak ada seorang pun pria di dunia ini yang tidak suka melihat wanita cantik, kecuali kalau dia sakit dan ada kelainan. Apabila kebanyakan pria hanya menyembunyikan rasa sukanya, maka engkau menunjukkannya dengan terus terang. Engkau jujur, akan tetapi sifat mata keranjang ini juga ada bahayanya bagimu sendiri, muridku."

"Bagaimana bahayanya, Suhu?"

"Engkau belum cukup dewasa untuk mengetahuinya dan kelak engkau akan tahu sendiri. Jika engkau tidak hati-hati, engkau akan menjadi hamba nafsumu sendiri, dan yang jelas, engkau akan mendatangkan rasa iri di dalam hati banyak pria. Sekarang pun di pulau ini para pemuda sudah merasa iri hati padamu karena engkau paling disuka oleh para gadis di sini. Para pemuda lainnya merasa tersisihkan!"

"Akan tetapi teecu tidak pernah merebut gadis orang, Suhu. Para gadis itu sendiri juga suka bermain-main dengan teecu. Kenapa mereka tak mau seperti teecu, menyenangkan hati para gadis itu?"

"Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi, kebanyakan kaum pria merahasiakan rasa suka mereka terhadap gadis-gadis cantik. Ada yang demi harga diri, ada yang karena malu, atau demi kesopanan dan sebagainya. Sekarang dengarkan baik-baik, Hay Hay. Engkau boleh saja bergaul dengan mereka, akan tetapi... ehh, urusan peluk cium itu sedapat mungkin harus kau jauhi, atau setidaknya harus kau kurangi."

"Kenapa, Suhu? Jahatkah itu, salahkah dan kalau salah, kenapa? Kami sama-sama suka melakukannya dan tidak ada yang memaksa, tidak ada yang merugikan orang lain..."

"Husshh, kau belum mengerti. Permainan seperti itu berbahaya sekali. Wanita dan pria ibarat api dengan minyak, kalau terlalu berdekatan dapat saja terbakar habis-habisan."

"Teecu tidak mengerti, Suhu."

"Sudahlah, kelak engkau pun akan mengerti sendiri. Asal engkau selalu ingat saja semua percakapan kita ini, juga ingatlah selalu bahwa bermain-main yang terlalu akrab itu dapat mengobarkan api yang membakar, dapat menimbulkan nafsu dan amat membahayakan. Hanya lelaki dan perempuan yang sudah menjadi suami isteri saja yang patut melakukan kemesraan itu karena di antara mereka tak ada batas-batas susila dan larangan-larangan, juga tidak terdapat bahaya, misalnya jika si wanita menjadi hamil akibat hubungan dengan pria yang menjadi suaminya."

Hati Hay Hay tertarik sekali. Belum pernah dia mendengar pelajaran tentang itu, dan yang diketahuinya secara sedikit-sedikit hanya kalau dia bercakap-cakap dengan para pemuda di pulau itu. Dia hanya tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis bila mana sudah menikah akan mempunyai anak.

Biar pun dengan malu-malu, para pemuda pernah pula menyentuh urusan hubungan sex di dalam percakapan mereka, akan tetapi percakapan itu sifatnya hanya kelakar saja dan dilakukan dengan malu-malu sehingga hanya berupa pengertian samar-samar saja. Dan harus diakui bahwa kalau ada seorang gadis manja yang suka bersentuhan dengannya, bahkan dia dan gadis itu saling rangkul leher atau pinggang, dan saling mencium dengan hidung menyentuh pipi, dagu atau leher, timbul gairah yang membuat dia kadang-kadang tergetar hebat.

Akan tetapi dia tidak berani melakukan yang lebih dari itu, karena ada pengertian bahwa satu hal itu sama sekali merupakan pantangan yang tidak boleh dilanggar, karena dapat menyeret mereka ke dalam bahaya, yaitu kehamilan gadis itu!

"Suhu, teecu ingin sekali mengetahui dengan jelas akan hubungan antara pria dan wanita, mohon petunjuk Suhu agar teecu tahu apa yang boleh dan tidak boleh teecu lakukan, di mana letak bahaya-bahayanya."

Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Memang sudah tiba saatnya muridnya itu tahu akan segala urusan itu. Bagaimana pun juga, seorang manusia, tak peduli dia itu pria ataukah wanita, apa bila sudah tiba waktunya tentu akan memasuki masa akil balik, usia dewasa di mana tubuh mereka menuntut kebutuhan sex.

Kalau seseorang memasuki masa itu dengan mata terbuka, mengerti akan keadaan masa itu, maka dia tidak akan sesat jalan. Sebaliknya, kalau dibiarkan mendapatkan pengertian tentang hal itu secara liar di luaran, salah-salah bisa saja mendapat pengertian yang tidak sebagaimana mestinya.

"Hay Hay, coba kau pergi ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) kemudian bawalah ke sini gambar tubuh manusia laki-laki dan perempuan yang menggambarkan jalan-jalan darah untuk latihan tiam-hiat-hoat (ilmu menotok jalan darah) itu."

Hay Hay segera pergi lantas kembali ke kamar suhu-nya sambil membawa dua gulungan gambar yang melukiskan tubuh seorang pria dan seorang wanita dengan garis-garis jalan darah masing-masing yang memiliki sedikit perbedaan. Dia sudah hapal akan jalan-jalan darah pria dan wanita itu, akan tetapi kini perasaannya membisikkan bahwa yang hendak diajarkan suhu-nya sama sekali bukan mengenai jalan darah!

Ciu-sian Sin-kai menggantungkan dua gambar itu berdampingan pada dinding, kemudian mulailah dia menjelaskan tentang keadaan tubuh pria dan wanita dalam kaitannya dengan sex. Dengan jelas, tanpa malu-malu, tanpa ragu-ragu dia menceritakan semua, mulai dari hubungan kelamin, sampai terjadinya benih yang tumbuh menjadi seorang anak di dalam rahim si wanita. Dengan perlahan-lahan dia memberi penjelasan sehingga Hay Hay dapat memperoleh gambaran yang amat jelas tanpa menjadi terangsang.

"Nah, sekarang engkau tentu sudah mengerti betul. Adalah suatu hal yang wajar apa bila pria tertarik kepada wanita cantik dan sebaliknya, muridku. Daya tarik dari masing-masing pihak itulah yang merupakan syarat utama sehingga pria dan wanita saling mendekati dan melakukan hubungan badan sehingga terlahirlah manusia-manusia baru, seperti juga yang terjadi pada semua binatang dan semua tumbuh-tumbuhan. Yang berbeda hanyalah cara melakukan hubungan itu saja. Tanpa pertemuannya dua zat Im dan Yang, takkan terjadi pertumbuhan kehidupan baru."

Hay Hay mengangguk-angguk tanpa menjawab, hanya sepasang matanya kadang-kadang memandang wajah suhu-nya, kadang-kadang memandang kedua gambar tubuh manusia di dinding itu.

"Karena itu berhati-hatilah mengendalikan rasa sukamu terhadap wanita. Pergaulan akrab boleh saja, kenapa tidak? Hanya saja, engkau harus berhati-hati. Hubungan kelamin yang dapat membuahkan manusia baru, hanya tepat dilakukan oleh dua orang pria dan wanita yang saling mencinta, yang sadar bahwa hubungan mereka bisa menghasilkan anak, dan keduanya sudah siap untuk menerima kehadiran anak itu untuk dibesarkan serta dididik. Hubungan yang berdasarkan nafsu dan iseng belaka, kalau sampai membuahkan anak, tentu akan mereka terima sebagai suatu malapetaka dan hal ini tentu saja sangat tidak baik."

"Terima kasih atas segala petunjuk Suhu yang amat berharga," kata Hay Hay dengan hati lega.

Sebegitu jauh, belum pernah dia melakukan pelanggaran dan memang dia merasa sangat ngeri kalau membayangkan bahwa dia akan lupa diri bersama seorang gadis, melakukan hubungan, kemudian mendapat kenyataan bahwa gadis itu mengandung dan melahirkan seorang anak! Tidak, dia belum siap untuk menjadi ayah! Belum siap untuk menikah. Dia akan selalu ingat akan bahaya ini.

"Nah, sekarang engkau sudah tahu. Orang-orang muda di pulau ini mempunyai ayah dan bunda, tentu mereka akan mengetahui hal itu dari orang tua mereka. Engkau boleh saja mengajak mereka bicara tentang ini, juga boleh engkau memberi tahu kepada para gadis itu supaya mereka berhati-hati. Wanitalah yang menanggung akibat jauh lebih hebat dari pada pria dalam hubungan di luar nikah ini, karena wanitalah yang akan mengandung dan melahirkan anak! Jadi wanita yang terutama sekali harus mengekang diri dan berhati-hati. Masih bagus kalau si pria bertanggung jawab dan mencintanya dengan sungguh-sungguh sehingga bersedia menjadi suaminya, menjadi ayah dari anaknya. Tapi bagaimana kalau mendapatkan pria yang hanya main-main karena terdorong napsu belaka, setelah wanita itu mengandung lalu meninggalkannya begitu saja?"

Sejak menerima petunjuk dan nasehat gurunya, Hay Hay bersikap lebih hati-hati. Bukan berarti dia menjauhi wanita, sama sekali tidak. Dia memang suka sekali bergaul dengan gadis-gadis, apa lagi gadis yang cantik manis dan manja. Dia senang mengamati wajah mereka yang manis, rambut mereka yang halus dan kulit tubuh mereka yang putih mulus. Dia suka mencium bau sedap tubuh mereka, suka mendengar suara mereka yang halus merdu dan manja, menyentuh kulit yang hangat dan halus. Betapa pun juga, dia kini lebih berhati-hati!

Masalah sex dan hubungan antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, sejak dahulu menjadi bahan perdebatan, pergunjingan, penulisan yang tak kunjung habis, dan membikin pusing kebanyakan orang tua, terutama yang mempunyai anak gadis. Ada yang condong untuk menggunakan tangan besi berupa pelajaran-pelajaran tentang dosa, tentang kesusilaan, dan sebagainya untuk mengekang anak-anak mereka supaya jangan sampai tergelincir oleh godaan nafsu dalam diri sendiri, nafsu yang mulai bangkit sejak tubuh mereka menjadi dewasa. Ada pula yang acuh saja, bahkan kurang perhatian dan bersikap masa bodoh. Akan tetapi kedua-duanya, jika sampai terjadi anak gadis mereka mengandung sebelum menikah, menjadi kelabakan, berduka, menyesal, marah-marah dan sebagainya lagi karena dorongan emosi yang timbul oleh perasaan dirugikan.

Kini bukan jamannya lagi untuk mengekang dengan jalan kekerasan seperti mengurung seorang gadis dalam kamarnya atau dalam rumah saja. Akan tetapi bukan suatu sikap yang baik dari orang tua jika membiarkan seorang gadis begitu saja dalam kebebasan dalam keadaan yang kurang kuat sehingga dia mudah tergoda dan tergelincir. Lalu apa yang harus dilakukan orang tua menghadapi pergaulan yang makin modern dan bebas dari anak-anaknya?

Orang tua yang mempunyai anak laki-laki khawatir kalau-kalau anak mereka menghamili seorang gadis sehingga terpaksa mereka harus mengambil gadis itu sebagai mantu, cocok ataukah tidak, sudah waktunya anak mereka menikah ataukah belum.

Sebaliknya, orang tua yang mempunyai anak gadis selalu khawatir kalau-kalau anaknya itu tergoda lantas tergelincir menjadi hamil. Seribu satu usaha dilakukan orang-orang tua setelah gadis itu hamil, di antaranya cara yang tidak terpuji, yaitu dengan mencoba untuk menggugurkan kandungan itu!

Setiap anak mempunyai dunianya masing-masing, kehidupannya sendiri, selera dan jalan pikiran, pandang hidupnya masing-masing. Tapi semua ini tidak terpisah sama sekali dari pengaruh lingkungan, terutama lingkungan keluarganya. Sudah sepatutnya jika anak yang lahir di dunia karena ulah ayah bundanya, memperoleh cinta kasih yang murni dari ayah bundanya, karena hanya kasih sayang inilah merupakan pendidikan yang paling benar.

Dengan adanya kasih sayang, hubungan antara anak dan orang tua menjadi akrab, dan keakraban ini yang membuat si anak menjadikan orang tuanya sebagai sumber segala pertanyaan, sumber segala perlindungan. Dengan dasar cinta kasih, anak akan menerima keterangan-keterangan mengenai kehidupan dari orang tuanya sehingga sejak kecil akan memiliki dasar yang kuat, tidak pernah merasa terkekang dan merasa bebas, dan selalu bertanggung jawab akan segala perbuatan yang dilakukannya sendiri.

Rasa tanggung jawab ini akan meniadakan penyesalan atas segala suatu perbuatan yang dilakukannya. Apa lagi kalau tidak ada tuntutan dari orang tua yang merasa dirugikan, merasa dicemarkan namanya, dan sebagainya lagi, tuntutan-tuntutan dan kemarahan-kemarahan atau kedukaan-kedukaan orang tua yang kesemuanya hanya bersumber dari rasa keakuan si orang tua yang merasa terganggu dan dirugikan!

Namun kasih sayang melenyapkan sifat-sifat seperti itu. Kalau sejak kecil seorang anak mendapat cinta kasih, maka anak akan memasuki kehidupan dalam masa apa pun juga dengan mata terbuka dan jiwa bebas. Jiwanya tidak terkekang, tidak tertekan, terbuka dan tidak dihantui kesalahan ini dan itu yang membuatnya menjadi pengecut dan tidak berani mempertanggung jawabkan segala akibat dari pada perbuatannya sendiri.

Orang tua yang sungguh-sungguh mencintai anak-anaknya, tidak pernah merasa khawatir anaknya akan melakukan hal-hal yang dianggapnya tidak patut tentu saja dasarnya takut kalau si anak mencemarkan nama dan kehormatan orang tua. Dengan dasar cinta kasih murni, maka tiada persoalan yang tak dapat diatasi atau dipecahkan, tak ada persoalan yang menimbulkan amarah, duka atau pun penyesalan. Cinta kasih bersinar terang dan cahayanya mengusir segala kegelapan pikiran, mencuci segala yang tadinya dianggap kotor.


Sejak memperoleh keterangan suhu-nya, Hay Hay menjadi lebih dewasa dalam sikapnya, biar pun kesukaannya terhadap gadis-gadis cantik tak pernah berkurang, bahkan semakin hebat, seperti juga kesukaannya terhadap bunga-bunga, terhadap segala sesuatu yang indah, makin meningkat.

Anak ini memang berjiwa romantis, karena itu tidaklah aneh kalau pemuda di Pulau Hiu menjulukinya Pendekar Mata Keranjang! Julukan pendekar karena memang ilmu silatnya makin meningkat dan semakin hebat, dan mata keranjang karena setiap kali dia bertemu dengan seorang wanita cantik maka sepasang matanya selalu bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum-senyum, wajahnya menjadi semakin cerah.

Ciu-sian Sin-kai yang hanya memiliki waktu lima tahun, sengaja mengajarkan semua ilmu simpanan yang paling tinggi sehingga walau pun pemuda itu hanya belajar selama lima tahun lamanya, boleh dibilang sudah mewarisi seluruh ilmunya, karena telah menyelami dasar-dasar dan melatih ilmu-ilmu yang paling tinggi dan pilihan. Bahkan Hay Hay belajar pula meniup suling dengan pengerahan khikang untuk menyerang lawan, di samping juga memainkan suling itu sebagai sebatang pedang.

Memang waktu memiliki kekuasaan secara mutlak atas diri kita manusia. Hampir seluruh hidup ini kita isi dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan waktu, atau yang dikuasai waktu. Kita memisah-misahkan waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu mendatang, dan dengan pemisahan-pemisahan inilah maka timbul segala macam persoalan di dalam kehidupan kita.

Hampir seluruh perasaan yang menguasai batin dan menimbulkan emosi, lahir dari waktu yang mengisi seluruh ingatan kita. Perasaan duka timbul dari waktu, karena pikiran kita mengingat-ingat hal yang telah lalu, kemudian membandingkannya dengan waktu kini dan membayangkan keadaan waktu mendatang.

Karena pikiran mengunyah-ngunyah hal yang telah lampau, mengingat-ingatnya kembali, timbullah duka. Karena pikiran membayang-bayangkan hal yang mungkin terjadi di masa depan, timbullah rasa takut, harapan-harapan yang kemudian menimbulkan kekecewaan-kekecewaan atau kepuasan-kepuasan sejenak.

Karena pikiran membayangkan hal-hal yang menimpa diri sendiri, yang merasa dirugikan lahir atau batin oleh orang lain, timbullah rasa marah, dendam dan kebencian. Batin kita diombang-ambingkan antara masa lampau, masa kini dan masa mendatang, setiap saat dicengkeram oleh waktu!

Melihat kenyataan-kenyataan yang dapat kita rasakan sendiri betapa hal ini merupakan suatu kenyataan yang tak terpisahkan dari kehidupan kita masing-masing, timbullah satu pertanyaan yang amat penting: Dapatkah kita hidup terlepas dari cengkeraman waktu?

Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah kehidupan batiniah. Kehidupan lahiriah tentu saja tak dapat dipisahkan dari waktu. Masuk sekolah, kantor, naik kendaraan umum, dan sebagainya memang harus menurutkan jadwal waktu. Akan tetapi dapatkah batin bebas dari cengkeraman waktu, bebas dari pengenangan kembali hal-hal yang lalu, bebas dari harapan-harapan di masa mendatang, dan hidup saat demi saat, detik demi detik, hidup SEKARANG ini? Apabila dapat, jelas bahwa kita akan bebas pula dari duka, kebencian, ketakutan.

Mungkinkah bagi kita untuk dapat memutuskan ikatan dengan masa lalu? Menghabiskan sampai di sini saja segala urusan yang telah lampau? Dan tidak membayang-bayangkan, tidak mengharapkan, hal-hal yang belum terjadi? Hidup dan menikmati hidup saat demi saat, menghadapi dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran akan segala yang terjadi saat demi saat, seperti apa adanya? Ini merupakan suatu seni hidup yang amat tinggi dan indah.

Mari kita coba saja! Bukan dihalangi oleh tanggapan-tanggapan bahwa hal itu amat sukar, tak mungkin dan sebagainya. Kita lakukan saja sekarang kemudian kita lihat bagaimana perkembangannya!

Kalau kita tidak memperhatikannya, maka waktu melesat melebihi anak panah cepatnya dan sebaliknya seakan merayap seperti keong kalau kita perhatikan. Tanpa disadari, telah delapan tahun lamanya semenjak Hay Hay berpisah dari See-thian Lama! Delapan tahun hanya merupakan waktu sekilat kalau tidak kita perhatikan lewatnya.


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.