PADA waktu itu berita mengenai peristiwa yang mengerikan itu sudah tersiar luas dan para penghuni dusun yang tak seberapa banyak jumlahnya, hanya sekitar lima puluh keluarga itu, bersama kepala dusunnya telah berkumpul dan nonton dari jarak jauh. Hanya laki-laki dewasa saja yang berani nonton, anak-anak dan para wanita tak ada yang berani keluar!
Biar pun mereka berjumlah banyak dan marah bukan kepalang melihat betapa dua orang kakek itu membunuh dua ekor anjing dan kini minum darah anjing dan makan dagingnya mentah-mentah, Kepala Dusun dan para anak buahnya tidak berani turun tangan. Mereka melihat sendiri betapa dengan sekali bergerak saja kakek tinggi besar itu telah membunuh dua ekor anjing, bahkan merobek tubuh anjing gemuk itu hanya dengan sepasang tangan saja seolah-olah hal itu merupakan pekerjaan yang sangat ringan. Ini sudah membuktikan bahwa kakek tinggi besar itu kuat sekali sehingga mereka merasa jeri.
"Bagaimana hasilnya, Pak-kwi-ong?" akhirnya Tung-hek-kwi bertanya.
"Engkau dulu bagaimana?" Pak-kwi-ong berbalik bertanya.
"Anak itu ikut dengan See-thian Lama ke Himalaya, dan agaknya memang dia tidak akan diserahkan kepada Dalai Lama. Sudah jelas bukan Sin-tong," jawab Tung-hek-kwi singkat mengenai tugasnya menyelidik anak yang disangka Sin-tong dan dirampas oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai dari tangan mereka itu. "Dan bagaimana dengan engkau?"
"Aku sudah bertemu dengan keluarga Pek. Mereka berterus terang bahwa anak mereka memang diculik oleh Lam-hai Siang-mo yang kemudian meninggalkan bayi mati sebagai penggantinya. Jadi anak itu memang anak keluarga Pek," jawab Pak-kwi-ong.
"Hemm, anak keluarga Pek akan tetapi bukan Sin-tong...," kata Tung-hek-kwi.
"Berita tentang Sin-tong itu yang bohong, atau memang kita sudah dipermainkan orang," kata Pak-kwi-ong.
Tiba-tiba dia bangkit, juga Tung-hek-kwi ikut bangkit, ada pun potongan anjing itu masih digerogoti. Ternyata pendengaran mereka tajam bukan main walau pun usia mereka telah mendekati delapan puluh tahun. Ternyata mereka bangkit karena mendengar suara kaki orang.
Dan kini, dalam keremangan senja muncullah sedikitnya dua puluh orang yang rata-rata tampak gagah perkasa, semua memegang senjata, dipimpin oleh dua pasang suami isteri yang bukan lain adalah Lam-hai Siang-mo yang terdiri dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, serta suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tong Ci Ki.
Seperti yang sudah kita ketahui, dua pasang suami isteri yang namanya amat terkenal di kalangan dunia sesat ini pernah saling bermusuhan untuk memperebutkan Hay Hay, akan tetapi mereka terpaksa melarikan diri ketika muncul dua orang dari Empat Setan dan dua orang lagi dari Delapan Dewa. Mereka lalu membagi tugas.
Yang dua orang pergi ke Tibet, melapor kepada para pendeta Lama bahwa Sin-tong telah dirampas oleh empat orang tokoh besar itu dan akibatnya, para pendeta Lama mencoba untuk merampas Hay Hay dari tangan See-thian Lama. Yang dua orang lainnya melapor kepada keluarga Pek yang agaknya menerima berita itu dengan sikap dingin saja, bahkan keluarga itu mengatakan bahwa Sin-tong, keturunan mereka, telah tewas beberapa tahun yang lalu akibat dibunuh orang jahat!
Bagaimana pun juga, dua pasang suami isteri ini masih merasa penasaran dan terutama sekali merasa sakit hati terhadap Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang datuk sesat yang mereka anggap sudah menggagalkan rencana mereka untuk menguasai anak yang mereka yakin adalah Sin-tong itu.
Mereka juga tidak tahu bahwa anak itu telah dibawa pergi oleh See-thian Lama, mengira bahwa kedua orang kakek iblis dari Empat Setan itulah yang menguasai Sin-tong. Maka, ketika mereka melihat Pak-kwi-ong, mereka berempat cepat mengumpulkan teman-teman dari dunia hitam untuk membayangi kakek gendut itu yang ternyata hendak mengadakan pertemuan dengan Tung-hek-kwi di dusun itu.
Melihat betapa dua orang itu makan daging anjing mentah, dua pasang suami isteri ini segera mengepung bersama teman-teman mereka. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh empat orang, terdiri dari jagoan-jagoan kalangan hitam yang menjadi teman-teman akrab dua pasang suami isteri itu.
Dapat dibayangkan betapa kuatnya kedudukan mereka. Dua pasang suami isteri itu saja sudah merupakan datuk-datuk sesat yang sangat lihai, apa lagi ditambah dua puluh orang teman yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan berwatak garang dan kejam.
Akan tetapi dua pasang suami isteri itu juga sudah mengenal kesaktian Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, maka mereka pun tak mau bertindak secara sembrono dan setelah mereka semua mengepung dua orang kakek itu, Siangkoan Leng berseru dengan suara lantang.
"Ji-wi Locianpwe telah terkepung dan lihat, kedudukan kami kuat sekali. Akan tetapi kami tidak akan mengeroyok Ji-wi kalau Sin-tong dikembalikan kepada kami!"
Tentu saja kedua orang kakek itu mendongkol bukan kepalang mendengar tuntutan ini. Mereka berdua dikalahkan oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, dua orang di antara Delapan Dewa dan sekarang tikus-tikus itu datang untuk merampas Sin-tong dari tangan mereka.
Akan tetapi mereka berdua adalah raja-raja datuk sesat, tentu saja merasa malu untuk mengakui kekalahan mereka terhadap dua orang dari Delapan Dewa. Kini mereka bahkan duduk lagi lantas melanjutkan makan daging anjing mentah seolah-olah tidak memandang mata kepada dua puluh empat orang yang mengepung mereka dengan senjata-senjata di tangan.
"Wahh, Tung-hek-kwi! Engkau Setan Hitam membikin gara-gara. Engkau membunuh dua ekor anjing dan lihat akibatnya! Sekarang ada dua puluh empat ekor anjing yang lainnya datang menggonggong dan hendak menggigit kita, ha-ha-ha!" Pak-kwi-ong berkata sambil tertawa bergelak, lalu menggerogoti sedikit daging yang masih menempel di tulang paha anjing itu.
"Apa kau masih haus? Kita minum darah anjing-anjing ini!" teriak Tung-hek-kwi.
"Ha-ha-ha, engkau benar. Biar pun sudah agak tua tentu dua ekor anjing betina itu lebih lunak dagingnya dan lebih hangat darahnya!" kata Pak-kwi-ong dan tiba-tiba saja, kedua tangannya mematahkan tulang kaki anjing dan melemparkan dua potongan tulang itu ke arah Ma Kim Li dan Tong Ci Ki, isteri-isteri dua orang pemimpin gerombolan itu.
Bukan main kuatnya lemparan ini. Dua batang tulang itu dengan kecepatan kilat segera menyambar ke arah dua orang wanita, tepat mengarah muka mereka. Apa bila mengenai sasaran, biar pun dua orang wanita itu memiliki kekebalan, tentu akan menderita cidera.
Akan tetapi, dua orang wanita yang diserang itu bukan wanita-wanita lemah. Melihat sinar menyambar, mereka cepat mengelak dan dua batang tulang itu pun lewat dan tentu akan mengenai orang-orang di belakang mereka kalau saja anak buah mereka yang rata-rata juga lihai itu tidak cepat mengelak pula.
Sebagai dua orang wanita iblis yang mahir menggunakan jarum-jarum beracun, terutama sekali Tong Ci Ki yang memang berjuluk Si Jarum Sakti, dua orang itu lalu melemparkan jarum-jarum beracun mereka ke arah Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi.
"Sing-sing-singgg...!"
Dua sinar kecil menyambar ke arah dua orang kakek itu, mengeluarkan suara berdesing nyaring, terutama sekali jarum-jarum yang dilepas oleh Tong Ci Ki ke arah Tung-hek-kwi, yang lebih kuat dari pada jarum-jarum Ma Kim Li yang menyambar ke arah Pak-kwi-ong.
Akan tetapi dua orang kakek itu sama sekali tak mengelak atau menangkis. Jarum-jarum yang mengenai kulit tubuh mereka rontok semua, kemudian sambil tersenyum mengejek mereka menyapu rontok jarum-jarum yang menancap di pakaian mereka.
Tentu saja dua orang wanita itu terkejut bukan kepalang. Melihat ini, Siangkoan Leng dan Kwee Siong sudah memberi aba-aba dan dua puluh orang pembantu mereka itu langsung menerjang maju, menggerakkan senjata mereka mengeroyok dua orang kakek tua renta itu.
Terdengar Pak-kwi-ong tertawa-tawa lantas kedua orang kakek itu pun bangkit berdiri dan menyambut pengeroyokan itu. Sepak terjang dua orang kakek itu hebat bukan kepalang. Mereka tidak memegang senjata, hanya menggunakan kedua lengan mereka dan kedua kaki mereka, menghadapi keroyokan orang-orang yang bersenjata tajam.
Namun, karena kedua lengan dan kaki mereka itu kebal dan sanggup menangkis senjata-senjata lawan, bahkan bila mana tubuh mereka terkena tusukan maka senjata tajam yang datang bagaikan hujan senjata itu segera mental bahkan ada yang patah, maka terjadilah kepanikan di antara para pengeroyok.
Dua orang kakek itu hanya mengelak kalau dua pasang suami isteri itu yang menyerang, baik dengan senjata mau pun dengan tangan mereka karena dua pasang suami isteri ini merupakan orang-orang yang serangannya amat berbahaya.
Para penduduk dusun yang tidak tahu apa-apa, sekarang ada pula yang ikut mengeroyok. Mereka tidak mengenal orang-orang yang berkelahi, akan tetapi melihat betapa dua orang kakek tua itu tadi selain membunuh dua ekor anjing mereka, juga minum darah anjing dan makan dagingnya secara mentah-mentah, tentu saja mereka lalu condong untuk berpihak kepada dua puluh empat orang yang mengeroyok dua orang kakek itu.
Mereka menganggap bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan iblis-iblis jahat, ada pun dua puluh empat orang itu adalah orang-orang gagah yang menentang kejahatan. Maka, tanpa diminta, ada beberapa orang penduduk yang merasa kuat cepat mengambil senjata dan ikut pula mengeroyok!
Melihat betapa semua pengeroyoknya berkelahi secara mati-matian, mengeroyok mereka bagaikan segerombolan anjing-anjing serigala kelaparan, dua orang datuk kaum sesat itu menjadi marah sekali.
Pak-kwi-ong mengeluarkan suara tawa bergelak dan tahu-tahu dia sudah menangkap dua orang pengeroyok dan membanting mereka. Terdengar bunyi keras dan kepala dua orang itu pecah berantakan, darah berhamburan bersama otak mereka.
Juga Tung-hek-kwi mengeluarkan suara menggereng laksana seekor binatang buas dan seperti yang dilakukan Pak-kwi-ong, dia pun berhasil menangkap dua orang pengeroyok dan membanting mereka sehingga tubuh mereka remuk!
Melihat ini, dua pasangan suami isteri itu menjadi marah sekali. Dengan aba-aba mereka memberi semangat, bahkan mereka mempergunakan pedang untuk melakukan serangan dengan gencar, dibantu oleh para teman mereka.
Tetapi dua orang kakek itu memang memiliki kesaktian yang jauh melampaui kepandaian mereka. Mereka berdua mengamuk dan dalam waktu singkat saja, masing-masing sudah menewaskan dua orang anak buah gerombolan dan dua orang penduduk yang ikut-ikutan mengeroyok.
Melihat ini, kembali dua pasangan suami isteri itu mengeluarkan aba-aba untuk memberi semangat. Akan tetapi sia-sia saja, sekarang teman-teman mereka sudah menjadi gentar menghadapi dua orang kakek sakti itu. Apa lagi sesudah Siangkoan Leng terhuyung oleh tendangan Pak-kwi-ong, ada pun tulang lengan kiri Tong Ci Ki patah ketika ditangkis oleh Tung-hek-kwi, mereka semua menjadi semakin panik dan akhirnya, sisa para pengeroyok itu melarikan diri tanpa dapat dicegah lagi!
Mereka meninggalkan paling sedikit mayat enam orang kawan mereka. Yang terluka ikut pula melarikan diri. Terpaksa dua pasang suami isteri itu pun harus melarikan diri apa bila mereka tidak ingin tewas di tangan dua orang raja datuk sesat itu!
Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi mengamuk terus. Karena dua pasang suami isteri beserta teman-teman mereka telah melarikan diri ke dalam gelap, dua orang kakek itu mengamuk kepada orang-orang dusun yang mereka anggap telah membantu musuh-musuh mereka! Celakalah para penghuni dusun yang tidak sempat melarikan diri. Mereka diseret keluar lantas dibanting remuk, tidak peduli laki-laki perempuan atau kanak-kanak.
Juga dua orang kakek itu tidak melewatkan rumah keluarga Cu Pak Sun. Dengan sebuah tendangan mereka menjebol daun pintu dan sambil tertawa-tawa, Pak-kwi-ong memasuki rumah itu, diikuti oleh Tung-hek-kwi. Kedua lengan tangan mereka telah penuh berlepotan darah!
Ketika itu Cu Pak Sun dan isterinya sedang memeluk Bi Lian yang baru berusia kurang lebih sembilan tahun. Suami isteri ini menggigil ketakutan mendengar suara perkelahian di luar itu, mendengar jeritan-jeritan kematian mereka yang menjadi korban.
Akan tetapi Bi Lian tidak terlihat takut, bahkan merasa penasaran sekali. Tadi dia hendak menonton keluar, akan tetapi segera dipeluk dengan erat oleh ayah dan ibunya yang tidak memperkenankan dia keluar. Kini mereka sudah bersembunyi di dalam kamar dan malah dia dipeluk oleh dua orang, dipegangi agar jangan keluar.
"Aku harus melihat keluar...!" kata Bi Lian berkali-kali.
"Jangan... jangan... ada orang-orang jahat seperti iblis sedang mengamuk di luar, mereka membunuhi orang-orang dusun!" Cu Pak Sun berkata dengan suara gemetar dan isterinya menangis dengan menahan suara tangisnya.
"Kalau begitu aku justru harus keluar, membantu orang-orang untuk melawan penjahat-penjahat itu!"
Memang Bi Lian memiliki watak yang keras dan berani, tabah karena gemblengan suhu dan subo-nya. Malam itu kebetulan suhu dan subo-nya tidak datang karena baru kemarin malam mereka datang dan melatihnya ilmu silat sampai hampir pagi.
"Jangan, engkau akan celaka...!" kata Cu Pak Sun.
"Jangan, Bi Lian, aku takut... engkau jangan keluar, di sini saja menemaniku...," Nyonya Cun mengganduli dan merangkul Bi Lian sambil menangis.
Ketika dua orang kakek iblis itu menjebol pintu, tentu saja Cu Pak Sun dan isterinya yang bersembunyi di dalam kamar menjadi semakin ketakutan. Apa lagi ketika dua orang kakek itu laksana iblis sendiri muncul di ambang pintu kamar, seketika isteri Cu Pak Sun jatuh pingsan. Cu Pak Sun sendiri segera berlutut di atas lantai dan minta-minta ampun dengan suara gemetar.
Melihat ini, Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi tertawa. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lian meloncat berdiri, menghadapi dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam seperti sepasang mata seekor anak harimau.
"Kalian sungguh kakek-kakek yang jahat sekali! Jangan ganggu ayah ibuku dan keluarlah kalian dari sini!" Bi Lian membentak, seperti mengusir dua ekor anjing saja, sedikit pun tak merasa takut dan sepasang matanya yang tajam itu terbelalak penuh kemarahan.
Dua orang datuk sesat itu amat terkejut dan terheran sampai bengong sejenak, kemudian saling pandang dan Pak-kwi-ong tertawa bergelak. Tentu saja mereka terkejut dan heran sekali melihat ada seorang anak perempuan berusia paling banyak sepuluh tahun berani menghardik mereka, padahal banyak laki-laki dewasa lari ketakutan melihat mereka!
"Ha-ha-ha, Setan Hitam, aku mendadak merasa seperti menjadi seekor anjing kecil yang ketakutan, ha-ha-ha-ha!"
"Huh, anak setan!" Tung-hek-kwi menggereng lantas lengan tangannya yang panjang itu meluncur ke depan, ke arah Bi Lian dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau hendak mencengkeram seekor kelinci kecil. "Dagingnya tentu lunak!"
"Wuuuttt...!"
"Ahhhh...?!" Tung-hek-kwi berseru kaget karena terkaman tangannya tadi luput!
Dengan gerakan lincah dan langkah kaki yang amat aneh, Bi Lian mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu dengan cara menyelinap bahkan mendekati Tung-hek-kwi yang menyerangnya, dan dengan cepat sekali tangannya bergerak menghantam ke arah perut Si Iblis Hitam dari Timur itu!
"Bukkk!"
Lambung Tung-hek-kwi kena terpukul dan akibatnya tubuh Bi Lian terlempar ke belakang. Akan tetapi anak ini berjungkir balik dan membuat poksai (salto) yang indah sekali!
"Ha-ha-ha, yang kau sangka kelinci berdaging lunak itu ternyata anak naga!" Pak-kwi-ong berseru kagum dan dia pun sudah mengulur tangan menerkam.
Kembali Bi Lian memperlihatkan keringanan tubuhnya dan langkahnya yang ajaib, karena seperti juga terkaman Tung-hek-kwi, kini cengkeraman tangan Pak-kwi-ong juga luput!
"Ehhh...!" Pak-kwi-ong lupa tertawa saking kaget dan herannya. Dia mengerahkan tenaga sinkang-nya mendorong dan tubuh Bi Lian tentu saja tak kuat bertahan sehingga anak itu pun roboh terguling, disambut tangan Pak-kwi-ong yang menangkap kedua kakinya lantas mengangkat tubuh itu ke atas!
Dengan kedua kaki tergantung, kepala di bawah, Bi Lian tidak menjerit ketakutan, bahkan dia mengamuk dan berusaha untuk memukul dengan kedua tangannya, terus menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri sambil memaki-maki.
"Kakek setan! Kakek iblis! Lepaskan aku dan mari kita berkelahi sampai seribu jurus kalau kau memang gagah!"
Melihat sikap anak perempuan itu, juga mendengar tantangannya, kembali Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi melongo.
"Ha-ha-ha! Setan Hitam, apa yang kita temukan di sini? Agaknya dia memiliki bakat yang lebih baik dari pada Sin-tong agaknya!"
"Serahkan kepadaku, Pak-kwi-ong! Aku ingin mendidik anak ini!" kata Tung-hek-kwi yang tiba-tiba merasa suka pula kepada anak itu karena dia dapat melihat sendiri betapa anak itu memiliki keberanian luar biasa, juga memiliki gerakan cepat dan aneh, sepasang mata tajam mencorong dan seluruh keadaannya menunjukkan bakat yang luar biasa.
"Ha-ha-ha, enak saja! Aku yang menangkapnya lebih dulu!" berkata Pak-kwi-ong lantas kakinya menendang ke depan ketika Cu Pak Sun merangkak hendak menolong anaknya yang digantung dengan kepala di bawah itu.
"Desss...!" Tubuh Cu Pak Sun terlempar dan dia tewas seketika oleh tendangan itu.
"Ouhhh...!" melihat suaminya ditendang, nyonya Cu Pak Sun yang kebetulan baru siuman bangkit dan hendak menubruk. Di saat itu pula, Tung-hek-kwi yang merasa marah kepada Pak-kwi-ong yang dianggap merebut anak itu darinya, segera menggerakkan kakinya ke arah wanita itu.
"Dessss...!" Sekarang giliran wanita itu yang tewas seketika dan tubuhnya terlempar lalu terbanting menindih mayat suaminya.
"Kalian pembunuh-pembunuh jahat!" berkali-kali Bi Lian berteriak dan meronta-ronta.
Akan tetapi Pak-kwi-ong hanya tertawa dan tiba-tiba kakek ini meloncat keluar dari rumah itu sambil membawa tubuh Bi Lian dengan cara seperti tadi yaitu memegangi kedua kaki anak itu dengan tangan kirinya seperti orang membawa seekor ayam saja. Pak-kwi-ong bukan sembarangan meloncat, melainkan mengelak karena pada waktu itu Tung-hek-kwi sudah menubruk untuk merampas tubuh Bi Lian dari tangannya.
Begitu tiba di luar dusun, Pak-kwi-ong langsung melarikan diri dengan cepat, dikejar oleh Tung-hek-kwi! Kejar-kejaran itu terus berlangsung selama semalam suntuk bahkan hingga keesokan harinya pagi-pagi sekali Pak-kwi-ong masih dikejar-kejar oleh Tung-hek-kwi.
Kini mereka telah tiba di daerah pegunungan yang jauh sekali dari dusun di mana mereka menyebar maut semalam itu. Dan Bi Lian masih dibawa oleh Pak-kwi-ong dalam keadaan tergantung! Dapat dibayangkan penderitaan anak ini, akan tetapi, bukan main rasa kagum di dalam hati Pak-kwi-ong karena anak itu satu kali pun tidak pernah terdengar berteriak ketakutan atau pun menangis! Benar-benar seorang anak perempuan dengan hati keras melebihi besi!
Pak-kwi-ong terpaksa melarikan diri karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian dirinya sangat berimbang dengan Tung-hek-kwi. Apa bila dia harus melawan rekannya itu sambil melindungi anak perempuan itu, tentu dia akan kalah. Akan tetapi dia pun tidak rela untuk menyerahkannya.
Akhirnya dia memperoleh akal maka dia pun berhenti. Keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya dan napasnya agak terengah-engah. Biar pun dia seorang yang sakti, dia harus mengaku kalah oleh usianya. Usia tua telah membuat kekuatannya tak sehebat dulu lagi. Ketika Tung-hek-kwi berhenti di depannya, keadaan kakek raksasa ini sama saja, mandi peluh dan napasnya memburu.
"Setan Hitam, engkau nekat mengejarku?" tegur Pak-kwi-ong, kini membalikkan tubuh Bi Lian dan mengempit di bawah lengannya, membuat Bi Lian tidak mampu berkutik.
Kini anak itu tidak begitu tersiksa seperti ketika dijungkir balikkan tadi. Hanya bau ketiak penuh keringat yang berada di dekat hidungnya itu saja membuat dia ingin muntah. Akan tetapi untuk muntah pun dia sudah kehilangan kekuatan. Tubuhnya lemas dan setengah pingsan oleh penderitaannya semalam, dilarikan dalam keadaan tergantung jungkir balik.
"Lari ke neraka pun akan kukejar. Anak itu harus menjadi muridku," jawab Tung-hek-kwi, makin kagum kepada Bi Lian karena anak itu sama sekali tidak menangis atau kelihatan ketakutan atau berduka. Selama hidupnya belum pernah dia melihat anak seperti ini, apa lagi anak perempuan.
"Aku pun ingin menjadi gurunya," kata Pak-kwi-ong.
"Aku tetap akan merampasnya dari tanganmu," Tung-hek-kwi menjawab kukuh.
"Kalau aku melawan sambil membawa anak ini, tentu aku kalah. Akan tetapi jika anak ini berhasil kau rampas lantas aku menyerangmu, tentu engkau pun akan kalah. Perkelahian antara kita untuk memperebutkan anak ini hanya akan berakhir dengan tewasnya anak ini akibat terkena pukulan kita, Setan Hitam!"
"Tidak peduli, dia harus menjadi muridku atau mati!" kata Tung-hek-kwi.
"Aihh, kita berebutan seperti anak kecil. Anak ini luar biasa, sebaiknya kita tanyakan dia, siapa di antara kita yang dia pilih sebagai guru!" kata Pak-kwi-ong dan dia melepaskan Bi Lian dari kempitannya.
Anak itu berdiri agak terhuyung karena lemas dan pusing, akan tetapi dengan angkuh dia cepat mengangkat kepalanya dan berusaha untuk berdiri tegak dan tidak memperlihatkan kelemahannya. Sepasang matanya masih berkilat menyambar kepada dua orang kakek itu penuh kemarahan.
"Anak baik, kami berdua sama-sama ingin sekali mengambil engkau sebagai murid. Coba kau pilih, siapa di antara kami yang kau kehendaki untuk menjadi gurumu?" Pak-kwi-ong berkata dengan suara ramah dan muka penuh senyum.
Akan tetapi dengan alis berkerut Bi Lian memandang kedua orang kakek itu, lalu dengan penuh kebencian dia pun menjawab, suaranya amat ketus. "Memilih kalian untuk menjadi guru? Hemm, aku memilih kalian berdua untuk menjadi musuh besarku yang kelak harus kubunuh untuk membalas dendam atas kematian ayah dan ibuku dan orang-orang dusun kami!" Jawaban itu berapi-api, penuh perasaan dan bersungguh-sungguh.
"Wah, anak ini sangat berbahaya, sebaiknya dibunuh saja!" Tung-hek-kwi berseru sambil mengangkat tangan. Akan tetapi Pak-kwi-ong mencegahnya malah dia pun mengedipkan mata kepadanya.
"Bunuhlah! Aku tidak takut mati! Kelak kalian akan kubunuh!" Anak itu tetap membentak sambil matanya mencorong menatap wajah Tung-hek-kwi yang menyeramkan itu, sedikit pun tidak mengenal takut. Sikapnya ini tidak memarahkan hati Tung-hek-kwi, sebaliknya malah membuat dia kagum dan merasa semakin suka.
"Anak baik, engkau salah paham. Kami bukan pembunuh ayah ibumu. Bukan kami yang membunuh mereka..."
"Bohong! Aku melihat dengan mataku sendiri betapa engkau membunuh ayahku, kakek gendut dan engkau yang membunuh ibu, kakek hitam!" Bi Lian menudingkan telunjuknya bergantian kepada mereka. "Kelak aku akan menuntut balas!"
"Ah-ah, engkau tidak mengerti. Memang tangan kami... "
鈥淜aki kalian yang membunuh mereka!" teriak Bi Lian, teringat betapa dua orang kakek itu menendang mati ayah dan ibunya.
"Betul, memang kaki kami yang melakukan pembunuhan, akan tetapi itu hanya akibatnya saja. Kami sama sekali tidak bermusuhan dengan ayah ibumu, bahkan mengenal mereka pun tidak! Mereka tewas sebagai akibat perkelahian, ada pun yang menjadi biang keladi adalah dua pasang suami isteri. Merekalah yang sesungguhnya membunuh orang tuamu, menjadi sebab kematian ayah ibumu!"
"Benar, Pak-kwi-ong berkata benar dan dia bukan pembohong!" kata pula Tung-hek-kwi, mengangguk-angguk.
Bi Lian menjadi bingung dan mengerutkan sepasang alisnya. "Apa maksudmu? Jangan memutar-balik, kalian menendang mati ayah ibuku, bagaimana menyalahkan orang lain?"
"Tahu akibat juga harus tahu sebabnya!" kata pula Pak-kwi-ong. "Aku dan Tung-hek-kwi sedang berada di dusun itu, kemudian datang dua pasang suami isteri Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) bersama suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan. Mereka itu membawa dua puluh orang bahkan mengerahkan penduduk dusun itu untuk mengeroyok kami berdua. Terjadilah perkelahian sehingga banyak yang jatuh dan tewas, di antaranya ayah dan ibumu yang menjadi korban karena dihasut dan dipaksa oleh dua pasang suami isteri itu untuk memusuhi kami. Kami sama sekali tak mengenal ayah ibumu. Nah, kalau begitu bukankah yang bersalah itu dua pasang suami isteri tadi? Andai kata mereka tidak mengajak orang-orang dusun mengeroyok kami, perlu apa kami membunuhi orang-orang dusun termasuk ayah dan ibumu?"
Bi Lian adalah seorang gadis cilik yang amat cerdik. Sejak tadi dia sudah maklum bahwa dua orang kakek ini mempunyai kesaktian yang amat hebat, mungkin tak kalah oleh suhu dan subo-nya. Ketika mendengar keterangan dari Pak-kwi-ong itu, dia pun dapat melihat kebenarannya. Jelas, yang menyebabkan kematian ayah dan ibunya adalah dua pasang suami isteri itu!
"Jadi, kalau engkau hendak membalas dendam, balaslah kepada dua pasang suami isteri itu, dan hal itu pasti akan terlaksana kalau engkau menjadi murid seorang di antara kami," kata pula Tung-hek-kwi yang biasanya tidak banyak cakap.
Hati Bi Lian menjadi bimbang. Ia tidak tahu siapa di antara dua orang kakek ini yang lebih lihai dan tiba-tiba dia mendapatkan akal yang amat baik. "Aku hanya mau menjadi murid kalian berdua, bukan salah seorang di antara kalian. Jika kalian berdua mau mengajarku sehingga kelak aku dapat membalas dendam kepada dua pasang suami isteri itu, biarlah aku suka menjadi murid kalian," katanya.
Dua orang kakek itu saling pandang. Anak ini benar-benar mengagumkan hati mereka dan syarat itu pun dapat mereka terima.
"Kita kerja sama...? Ha-ha-ha!" Pak-kwi-ong tertawa dan Tung-hek-kwi mengangguk.
"Kita sudah tua, usia kita takkan lama lagi. Apa salahnya kita bekerja sama membentuk anak ini agar kelak dapat mengangkat nama kita?" kata Tung-hek-kwi.
Demikianlah, mulai saat itu Cu Bi Lian menjadi murid Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Dua orang dari Empat Setan ini amat sayang kepada Bi Lian karena anak itu memperlihatkan watak yang cocok dengan mereka. Keras, ganas dan berani, juga cerdik bukan main.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa murid mereka itu adalah keturunan dari datuk-datuk sesat yang namanya tak kalah besar dari pada mereka sendiri, yaitu cucu dari mendiang Siangkoan Lojin Si Iblis Buta, dan cucu luar dari Raja dan Ratu Iblis yang dahulu pernah mengguncangkan seluruh dunia kang-ouw!
Agaknya Bi Lian menuruni watak para kakek dan nenek moyangnya sehingga dia menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis, tapi juga ganas keras dan penuh keberanian. Dan karena dua orang kakek datuk sesat itu amat sayang kepadanya, mereka pun tanpa ragu-ragu dan sama sekali tidak pelit untuk menurunkan seluruh kepandaian yang mereka miliki kepada murid tunggal mereka. Mereka mengharapkan agar murid mereka itu, walau pun seorang wanita, kelak akan menjadi jagoan nomor satu atau setidaknya akan dapat mengangkat nama besar mereka yang menjadi gurunya.
Demikianlah riwayat Cu Bi Lian atau yang sesungguhnya she Siangkoan itu karena dia di luar tahunya adalah anak kandung suhu dan subo-nya yang pertama, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Selama kurang lebih sepuluh tahun dia digembleng oleh kedua orang gurunya sehingga Bi Lian menjadi seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa.
Tentu saja watak yang seperti iblis dari dua orang gurunya itu sedikit banyak berpengaruh dalam membentuk watak Bi Lian sehingga ketika dia meninggalkan kedua orang gurunya yang kini sudah amat tua itu, dia telah menjadi seorang gadis yang selain amat tinggi ilmu silatnya, juga memiliki watak yang aneh dan kadang-kadang ganas sekali.
Pertemuan tanpa sengaja antara dia dengan Hay Hay membuat hatinya terganggu. Pada mulanya dia merasa muak dan membenci pemuda itu yang dianggapnya mata keranjang. Akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan dan tidak mengganggu gadis-gadis itu, dia pun tak peduli lagi. Juga karena pemuda itu tidak melawannya ketika dia usir dari dalam ruangan kuil tua.
Dia pun lalu mencoba untuk melupakan pemuda tampan yang suka bergurau dan pandai merayu itu. Peduli setan, pikirnya dan Bi Lian tidak peduli lagi di mana pemuda itu akan melewatkan malam, asal tidak di dalam kuil tua. Malam ini dia harus beristirahat dengan enak dan tidak terganggu supaya besok seluruh tenaganya pulih kembali karena dia akan melanjutkan perjalanannya yang sukar, yakni mencari musuh-musuh besarnya. Mereka adalah dua pasang suami isteri yang namanya terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Lam-hai Siang-mo dan suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan.
Sementara itu, Hay Hay sendiri juga merasa penasaran bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan agaknya mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, namun wataknya begitu galak dan ganas. Terpaksa dia menjauhi kuil tua itu dan akhirnya dia pun memilih tempat di dekat sungai kecil yang airnya jernih dan mengalir di luar dusun. Dia kembali ke tempat itu dan duduk di atas batu besar di mana dia bertemu dengan para gadis dusun pagi tadi.
Pada waktu dia mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun sebentar malam, tiba-tiba saja dia mendengar suara tawa tertahan. Cepat dia menoleh dan ternyata yang datang adalah gadis bertahi lalat di dagunya dan gadis hitam manis yang matanya indah.
"Aihhh..., kalian lagi gadis-gadis manis. Hendak ke manakah sore-sore begini, Nona-nona manis?" tegur Hay Hay dan dua orang gadis itu tersenyum gembira, akan tetapi mereka menoleh ke kanan kiri seperti orang merasa ketakutan kalau-kalau ada orang lain melihat pertemuan mereka dengan pemuda itu.
"Ssstttt...!" kata gadis bertahi lalat sambil menaruh telunjuk di depan mulut, lalu bersama temannya dia menghampiri Hay Hay. "Hay-ko (Kakak Hay), jangan keras-keras, takut ada yang mendengar. Engkau tadi... tidak apa-apakah?"
Hay Hay tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Tadi kami merasa khawatir sekali, Hay-ko," kata gadis manis bermata indah. "Kemudian kami mendengar bahwa sore ini engkau kembali lagi ke sini, agaknya hendak bermalam di tempat terbuka ini."
Hay Hay menggerakkan pundaknya. "Yah, begitulah. Habis bagaimana lagi kalau semua penduduk dusun tidak ada yang sudi menerima diriku untuk bermalam?"
"Kami mendengarnya dan merasa kasihan, Hay-ko. Nih, aku membawa selimut untukmu. Kau pakailah supaya malam ini engkau tak kedinginan dan tidak diganggu nyamuk," kata gadis bertahi lalat sambil mengeluarkan sehelai selimut tebal yang dilipat rapi dan tadinya disembunyikan di dalam keranjang sayurnya.
"Dan ini aku membawa daging panggang untukmu, Hay-ko. Ini untuk sekedar penambah makan malammu, Hay-ko," kata gadis hitam manis.
Hay Hay yang tadinya tersenyum gembira itu, kini memandang dengan mata mengandung keharuan. Ingin dia merangkul dan mencium dua orang gadis ini untuk menyatakan rasa syukur dan terima kasihnya. Akan tetapi tentu saja pemuda ini tidak berani melakukan hal itu karena takut akan akibatnya yang tentu tidak baik bagi mereka berdua.
"Ahh, kalian sungguh baik sekali!" serunya terharu. "Kenapa kalian harus bersusah payah untukku? Kalian tahu, jika sampai terlihat oleh kepala dusun atau penduduk dusun, tentu kalian akan mendapat marah."
"Biar saja mereka marah!" Gadis bertahi lalat berkata penasaran. "Si A-Iiong itu hanya iri hati dan cemburu. Huh, tak tahu malu!"
Hay Hay tersenyum. "A-liong siapakah yang kau maksudkan? Pemuda tinggi besar yang hendak menghajarku itu?"
Gadis hitam manis mengangguk. "Benar, dia mencinta Siauw Lan..."
"Akan tetapi aku tidak sudi padanya!" Siauw Lan gadis bertahi lalat di dagunya itu cepat memotong. "Lagi pula, apa salahnya kalau kami berkenalan denganmu, Hay-ko? Engkau seorang pemuda yang baik dan menyenangkan, tidak seperti mereka. Aku... kami... suka padamu..."
Hay Hay semakin terharu, lantas dipegangnya tangan dua orang gadis itu dengan kedua tangannya. Tangan-tangan hangat yang halus lembut. "Kalian memang adik-adikku yang cantik manis dan berhati baik. Aku berterima kasih kepadamu. Percayalah, aku pun suka sekali kepada kalian dan selamanya aku takkan melupakan gadis-gadis di dusun ini yang manis-manis. Akan tetapi, sekarang sebaiknya kalian pulang saja sebelum hari menjadi malam. Sungguh tidak enak bagi kalian apa bila sampai kelihatan orang lain bahwa kalian datang menjengukku, apa lagi membawakan selimut dan makanan."
Dua orang gadis itu pun merasa terharu sungguh pun mereka girang sekali dapat saling berpegang tangan dengan pemuda yang mereka kagumi itu. "Hay-ko, engkau tentu akan lama tinggal di sini, bukan?" tanya Si Gadis Bertahi Lalat.
"Betul, jangan tergesa-gesa pergi, Hay-ko, kami ingin menjadi sahabat-sahabatmu. Besok pagi-pagi kami akan datang lagi, mungkin dengan teman-teman lainnya. Setiap pagi kami mencuci pakaian dan mandi di sini, dan kami dapat menjengukmu...," kata gadis kedua.
Hay Hay menggeleng kepala dan sebagai gantinya mencium pipi atau bibir mereka, dia membungkuk dua kali dan mencium punggung tangan mereka, lalu melepaskan kembali tangan mereka. "Besok pagi sekali aku harus melanjutkan perjalanan. Nah, pulanglah dan selamat berpisah, Nona-nona manis."
Dua orang gadis itu pun tersipu dengan jantung berdebar ketika punggung tangan mereka tersentuh hidung dan bibir pemuda itu, dan biar pun mereka merasa ogah dan tidak tega meninggalkan pemuda itu, karena cuaca mulai gelap, terpaksa mereka lalu berpamit dan meninggalkan tempat itu dengan dua pasang mata yang basah.
Mereka merasa sedih sekali mengingat betapa pemuda ini besok sudah tak akan berada lagi di tempat itu. Mereka tahu bahwa ada sesuatu yang lenyap dari dalam hati mereka, meninggalkan kenangan indah yang hanya akan mendatangkan duka.
"Selamat tinggal, Hay-ko."
"Semoga kita bertemu kembali kelak, suatu waktu...!"
Hay Hay tersenyum dan melambaikan tangan, sengaja tidak mengeluarkan sepatah kata pun agar keharuan tidak semakin menenggelamkan mereka bertiga. Setelah kedua orang gadis itu pergi, Hay Hay lantas mempersiapkan tempat beristirahat di dekat batu besar itu. Hay Hay menyalakan api unggun dan sesudah hari menjadi gelap, dia pun duduk bersila, menyelimuti tubuhnya dengan selimut pemberian gadis manis bertahi lalat pada dagunya. Selimut yang tebal dan hangat.
Akan tetapi Hay Hay sudah cepat melupakan lagi dua orang gadis itu. Demikianlah watak pemuda ini, tak mau mengikatkan diri dengan segala sesuatu, bahkan dengan kenangan pun tidak! Segala peristiwa yang terjadi lewat saja tanpa bekas di hatinya, dan dengan cara hidup demikian itu, dia selalu bergembira.
Dan kini dia pun sudah duduk bersila dengan wajah tenang gembira, sedikit pun tidak ada bekas-bekas kejadian masa lampau yang mengganggu hatinya, baik yang menyenangkan sehingga menimbulkan keinginan untuk mengulanginya mau pun yang tak menyenangkan sehingga menimbulkan kegelisahan atau duka.
Malam itu bulan bersinar dengan terang. Hawa amat sejuk dan sinar bulan menciptakan suasana yang sangat indah pada malam itu, indah dan kelihatan tenang tenteram penuh damai. Akan tetapi, agaknya tidak demikian keadaan di dusun kecil itu.
Ketika itu semua penduduk laki-laki berkumpul di rumah kepala dusun dan wajah mereka nampak tegang. Ada dua orang gadis yang hilang pada malam itu! Orang tuanya bingung mencari sebab mereka berdua, gadis bertahi lalat di dagu dan gadis hitam manis bermata cerah tidak pamit ketika pergi.
"Mereka berdua tentu pergi mengunjungi pemuda itu!" tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berkata. "Aku tadi melihat dia berada di batu besar dekat sungai!"
"Hemmm, orang asing kurang ajar itu berani kembali ke sana?" kata kepala dusun sambil mengerutkan alisnya.
"Mari kita cari dua gadis itu ke luar dusun sekalian mengusir pemuda itu. Aku yang akan menghajarnya!" kata A-liong, pemuda tinggi besar yang menaruh hati kepada Siauw Lan, gadis bertahi lalat.
Kepala dusun menyetujui, kemudian berangkatlah sekitar dua puluh orang laki-laki sambil membawa obor mencari keluar dusun. Sudah terlalu lama dua orang gadis itu pergi dan memang menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan. Berbondong-bondong mereka pergi menuju ke sungai kecil yang berada agak jauh di luar dusun.
Akan tetapi, ketika rombongan itu tiba di sebuah lapangan rumput di luar dusun, ada yang berteriak dan semua orang langsung menghampiri. Dan mereka melihat dua orang gadis yang mereka cari-cari itu menggeletak di atas lapangan rumput dalam keadaan telanjang bulat. Pakaian mereka berserakan di sekitar tempat itu.
Yang sangat mengerikan, ternyata gadis hitam manis itu telah tewas dengan leher terluka menganga lebar hingga hampir putus, sedangkan gadis bertahi lalat pada dagunya masih hidup, akan tetapi merintih-rintih bagaikan orang yang menderita ketakutan hebat. Begitu melihat banyak orang datang menghampirinya, gadis bertahi lalat itu merangkak menjauh, mulutnya merintih-rintih menyebut nama Hay Hay.
"Hay-ko... tolong... tolonglah aku...!"
Mudah saja bagi orang-orang ini untuk menduga apa yang sudah terjadi. Dua orang gadis ini telah diperkosa orang! Bahkan yang berkulit hitam manis dibunuh! Masih nampak jelas betapa mereka bertelanjang bulat.
Kepala dusun cepat menubruk keponakannya, gadis bertahi lalat, segera menyelimutinya dengan mantelnya. Gadis itu menangis terisak-isak, tidak takut lagi karena agaknya telah sadar.
"Keparat! Semua ini tentu perbuatannya! Mari kita kejar ke sana!" teriak kepala dusun dan semua orang lalu mengikutinya menuju ke sungai kecil dengan cepat.
Hanya pemuda tinggi besar itu yang tinggal di sana, merangkul gadis bertahi lalat sambil menghiburnya. Akan tetapi Siauw Lan, gadis itu, sekarang sudah mulai sadar dan dia pun menjadi histeris dalam rangkulan pemuda itu. Dia meronta-ronta minta supaya dilepaskan sambil menangis tersedu-sedu.
"Lepaskan aku...! Ahh, lepaskan aku, biarkan aku mati saja...!"
Akan tetapi A-Liong, demikian nama panggilan pemuda tinggi besar itu, malah merangkul semakin kuat mendengar ucapan ini. Dia sudah banyak mendengar mengenai gadis yang bunuh diri karena aib, dan gadis yang dicintanya ini bukan tidak mungkin akan bunuh diri karena diperkosa laki-laki keparat itu. Dia harus dapat menghiburnya. Diambilnya pakaian gadis itu yang bertebaran di mana-mana.
"Siauw Lan, kau pakailah dulu pakaianmu... jangan berduka, ada aku di sini. Dan maukah engkau bercerita apa yang telah terjadi?"
Gadis itu sadar bahwa dia masih telanjang bulat, bahwa tubuhnya hanya tertutup mantel milik pamannya, kepala daerah itu. Dia melirik ke kanan dan melihat tubuh telanjang dari temannya yang masih menggeletak mandi darah, maka dia pun menggigil, lalu menangis lagi, akan tetapi dipakainya pakaiannya.
"Apakah yang telah terjadi? Apakah dia telah menyerang kalian berdua?"
Siauw Lan mengangguk-angguk, masih terisak. "Kami berjalan berdua... dan tiba-tiba saja orang itu menyergap. Aku merasa pundakku dipukul lalu aku pun tidak mampu bergerak lagi. Dari jalan itu dia menyeret kami ke sini dan melemparku ke atas rumput. Aku tidak dapat menggerakkan kaki dan tanganku, hanya dapat melihat betapa dia... dia kemudian menanggalkan pakaian A-kiu dan mereka lalu bergumul. A-kiu menjerit-jerit dan meludahi mukanya, lalu... lalu... ahhh hu-hu-hu-huuuh...!"
Kembali A-liong merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya, "Tenanglah, semua sudah berlalu. Kini ada aku di sini menjaga dan melindungimu." Gadis itu merasa aman dalam rangkulan A-liong, dan dia menangis di pundak pemuda itu. Sesudah tangisnya mereda, barulah dia melanjutkan.
"Tiba-tiba orang itu marah dan menampar A-kiu, lalu... lalu pedangnya berkelebat dan... ahh, mengerikan...!" Dia menengok ke arah mayat kawannya dan menangis lagi.
"Keparat itu membunuhnya karena A-kiu menjerit dan meludahinya?"
Siauw Lan mengangguk. "Ya... lalu dia menghampiri aku yang tidak mampu bergerak dan pundakku ditepuknya sehingga mendadak aku dapat bergerak lagi. Dia lalu menunjuk ke arah tubuh A-kiu yang masih berkelojotan dengan darah menyembur keluar, dan berkata bahwa kalau aku melawan maka aku pun akan disembelih... hu-huuuuh! Dia... dia... lalu memaksaku, memperkosaku...u-hu-hu-huuuhhh...!"
A-liong mendekap mukanya di dada. "Tenanglah, engkau tidak bersalah ..."
"Aku mau mati saja! A-liong, biarkan aku mati saja! Untuk apa hidup dalam aib dan akan terhina selamanya?" Gadis itu meronta-ronta dan menangis.
"Tenanglah, Siauw Lan, ada aku di sini. Aku... aku cinta padamu, dan akulah yang akan menutupi aibmu itu. Aku akan mengawinimu..."
Gadis itu mengangkat muka, dan melalui air matanya dia memandang wajah pemuda itu, matanya terbelalak. "Kau...? Mau mengawini aku yang telah ternoda...?"
A-liong mengangguk penuh kepastian. "Aku bersumpah, aku akan mengawinimu dan aku tetap menganggap engkau seorang gadis yang suci dan paling baik di dunia ini. Mengenai perkosaan itu, hal itu bukanlah salahmu, lupakan saja. Sekarang pemuda bermulut manis dan perayu itu tentu sedang dikeroyok dan dihajar sampai mampus! Dan kelak kalau ada orang yang menghinamu karena peristiwa ini, akulah yang akan menghajarnya..."
Tiba-tiba Siauw Lan mencengkeram lengan A-liong. "A-liong, siapa yang kau maksudkan? Siapa yang dikeroyok dan dipukuli, yang kau maksudkan perayu bermanis mulut itu tadi?"
A-liong memandang wajah gadis itu dengan alis berkerut. "Siapa lagi kalau bukan pemuda asing yang pagi tadi mencoba untuk mengganggu kalian? Pemuda yang berada di batu besar dekat sungai itu?"
"Hay-ko...? Ahh...tidak, tidaaaakkk...!" teriaknya sambil meronta dan pemuda itu menjadi kaget.
"Siauw Lan, bukankah dia yang telah membunuh A-kiu dan... memperkosamu?"
"Tidak! Bukan dia! Ahhh, A-liong, kalau engkau benar cinta kepadaku, lepaskan aku, aku harus pergi ke sana, mencegah mereka mengeroyoknya. Dia sama sekali tidak berdosa!"
"Bukan dia...?" pemuda itu terkejut dan merasa heran.
"Bukan! Bukan dia. Penjahat itu jauh lebih tua dan ini... ini..." Siauw Lan meraba-raba ke kanan kiri di atas rumput hingga akhirnya menemukan apa yang dicarinya, sebuah benda kecil yang berkilauan. "Ini... dia meninggalkan ini untukku... katanya, jika kelak aku ingin mencari dia, inilah tandanya..."
A-liong mengambil benda itu dari tangan Siauw Lan dan mengamatinya di bawah cahaya bulan. Ternyata sebuah perhiasan berupa tawon merah yang terbuat dari emas dan batu merah.
"A-liong, kita harus cepat ke sana untuk mencegah mereka mengeroyok orang yang tidak bersalah!"
A-liong adalah seorang pemuda petani yang kasar tetapi jujur. Mendengar pengakuan ini, dia pun segera menggandeng tangan Siauw Lan lantas diajaknya melakukan pengejaran. Akan tetapi Siauw Lan merintih, tubuhnya terasa nyeri sehingga sukar baginya untuk jalan cepat.
"Biarlah engkau kupondong agar cepat!" kata A-Iiong.
Gadis itu tidak menolak, karena dia ingin agar mereka dapat cepat sampai di tempat itu, untuk mencegah orang-orang dusun mengeroyok pemuda yang sama sekali tak berdosa itu.
Kembali kita menengok keadaan Hay Hay. Dia belum tidur pada saat orang-orang dusun datang berbondong-bondong ke tempat dia beristirahat. Dia sedang duduk bersila di atas tanah yang telah dia beri alas daun-daun kering, berkalung selimut pemberian Siauw Lan sampai ke lehernya untuk melindungi tubuhnya dari serangan nyamuk yang masih banyak berdatangan walau pun dia telah membuat api unggun.
Ketika dia mendengar suara banyak orang datang, ada yang membawa obor, dia bersikap tenang saja. Memang Hay Hay selalu bersikap tenang.
Ketenangan terdapat pada diri orang yang tidak pernah mengkhawatirkan sesuatu. Rasa khawatir timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang menyusahkan, hal-hal yang belum terjadi dan yang diperkirakan mungkin terjadi menimpa dirinya. Orang hanya dapat merasa takut dan khawatir akan hal-hal yang belum atau tidak ada.
Bukan berarti orang yang tidak membayangkan hal-hal yang belum ada itu lalu menjadi lengah dan acuh. Sama sekali bukan. Kewaspadaan akan saat ini membuat orang selalu dalam keadaan waspada, tanpa rasa takut dan khawatir.
Demikian pula keadaan Hay Hay. Dia merasa heran melihat banyak orang berdatangan membawa obor, akan tetapi karena tidak membayangkan sesuatu yang tidak enak maka dia pun tenang-tenang saja duduk bersila dan memandang ke arah mereka.
Kewaspadaannya membuat dia maklum bahwa mereka yang sekarang berdiri membentuk setengah lingkaran di depannya itu memiliki niat buruk. Kemarahan dan kebencian jelas terbayang dalam pandangan mata mereka.
Hay Hay merasa heran dan bersiap siaga, lalu bangkit berdiri melihat bahwa rombongan orang dusun itu dipimpin sendiri oleh kepala dusunnya yang tadi pagi juga sudah datang menegurnya. Kini, dua puluh orang lebih itu memandang kepadanya dengan kemarahan meluap-luap, seolah-olah mereka tidak sabar lagi dan ingin segera menghajarnya.
"Selamat malam, Chung-cu," kata Hay Hay. "Ada urusan apakah maka di malam-malam begini cuwi beramai-ramai datang ke sini?"
Orang-orang itu tidak segera menjawab, melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan, kebencian dan selidik.
"Lihat, itu selimut Siauw Lan!" seorang laki-laki, kakak Siauw Lan, tiba-tiba saja berteriak sambil menuding ke arah selimut yang masih mengalungi leher Hay Hay itu. Semua orang memandang dan kemarahan mereka semakin memuncak.
Hay Hay meraba selimut itu. "Benar, memang Nona Siauw Lan yang tadi datang bersama seorang temannya, memberi selimut serta makanan kepadaku. Mereka adalah dua orang nona yang amat baik hati dan aku berterima kasih sekali kepada mereka..."
"Berterima kasih dengan memperkosa dan membunuh!" bentak kakak Siauw Lan dan dia sudah menggerakkan toya kayu di tangannya untuk menghantam ke arah Hay Hay.
Pada saat itu pula, seorang lain maju juga untuk membacokkan parangnya ke arah dada pemuda itu dengan penuh kebencian. Semua orang teringat akan nasib dua orang gadis itu dan kini mereka serentak maju mengeroyok!
Dalam keadaan seperti itu Hay Hay tidak dapat menyembunyikan kepandaiannya lagi. Dia harus melindungi dirinya, akan tetapi dia pun maklum bahwa sekelompok orang dusun ini adalah orang-orang jujur yang tidak pandai ilmu silat dan mempunyai tenaga biasa saja. Mereka bukanlah lawannya dan dia tak ingin melukai orang-orang ini yang dia tahu tentu tidak berdosa dan yang kini sedang salah paham terhadap dirinya.
Maka dia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat tubuhnya kebal, menggerakkan kedua tangan hanya untuk menangkis senjata yang menuju ke kepala dan mukanya.
"Bak-bik-buk!" terdengar suara ketika belasan buah senjata keras dan tajam menghujani tubuh Hay Hay.
Hampir berbareng dengan suara itu, terdengar pula teriakan-teriakan kaget dan beberapa orang bahkan terpelanting karena tenaga mereka sendiri yang membalik. Pemuda yang mereka keroyok itu masih berdiri tegak, ada pun bekas serangan itu hanya nampak pada selimut dan baju yang robek-robek, namun kulit tubuh itu sedikit pun tidak lecet, bahkan semua senjata terpental dan tenaga mereka membalik sehingga telapak tangan mereka terasa nyeri.
"Dia lihai...!"
"Dia kebal...!"
"Punya ilmu setan...!"
"Saudara-saudara sekalian, apakah yang sudah terjadi? Aku tidak bersalah apa-apa dan sejak tadi aku berada di sini. Siauw Lan bersama temannya hanya berkunjung sebentar dan tidak terjadi apa-apa yang tak semestinya di sini. Apa kesalahanku maka cuwi (anda sekalian) marah-marah kepadaku?"
"Bohong! Dia memang lelaki mata keranjang. Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pantas dihajar!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan merdu.
Semua orang menengok, juga Hay Hay, dan dia terkejut melihat munculnya gadis cantik jelita yang sore tadi telah dijumpainya di kuil. Gadis itu memang Bi Lian.
Dari kuil di mana dia beristirahat, malam itu dia mendengar suara berisik. Dia lalu keluar dan dari depan kuil, tempat yang tinggi, dia dapat melihat banyak orang berlarian sambil membawa obor. Tentu saja dia tertarik sekali karena orang-orang itu keluar dari dusun di bawah itu.
Tentu telah terjadi hal yang hebat maka orang-orang itu keluar sambil membawa obor. Bi Lian lalu menggunakan kepandaiannya, dengan cepat seperti terbang dia menuruni bukit menuju padang rumput di mana orang-orang itu berkumpul dan nampak mereka sedang melihat sesuatu.
Karena menuruni bukit itu bagaikan terbang cepatnya, dia tiba di padang rumput itu pada saat orang-orang dusun itu baru saja meninggalkan tempat itu untuk menyerbu ke tempat peristirahatan Hay Hay. Sebagai orang yang berpengalaman, sekali pandang saja kepada Siauw Lan yang menangis dihibur A-liong, dan juga melihat keadaan A-kiu yang telanjang bulat dan hampir putus lehernya, Bi Lian tahu apa yang telah terjadi. Dua orang gadis itu sudah menjadi korban seorang jai-hwa-cat, penjahat pemetik bunga atau seorang tukang memperkosa wanita!
Kemarahannya timbul dan dia pun tahu bahwa jelas pelakunya tentulah pemuda tampan perayu wanita yang mata keranjang itu! Cepat dia pun lari dari situ tanpa diketahui Siauw Lan atau pun A-liong, dan ketika semua penduduk sedang terkejut melihat betapa senjata mereka tidak mempan terhadap Hay Hay, Bi Lian muncul dan memaki Hay Hay.
Hay Hay mengerutkan alisnya. Gadis galak ini begitu muncul lantas memakinya sebagai seorang penjahat pemetik bunga. Sungguh keterlaluan!
"Nanti dulu!" dia membantah. "Aku tak pernah melakukan perbuatan terkutuk seperti yang kalian tuduhkan itu!"
"Jangan percaya, laki-laki perayu bermulut manis mana bisa dipercaya omongannya? Biar aku yang akan menghajar dan sekalian menangkapnya untuk kalian!" berkata demikian, Bi Lian sudah menerjang maju.
Gadis ini tadi melihat betapa semua senjata mental dari tubuh Hay Hay. Tadi dia terkejut bukan main, juga terheran-heran, merasa kecele dan mukanya berubah merah. Ternyata pemuda ini memiliki kepandaian tinggi. Jadi sikapnya yang pura-pura tolol di kuil itu hanya main-main saja dan dia merasa dipermainkan.
Maka, begitu menerjang dia sudah mengirim tamparan dengan tangan kiri ke arah kepala Hay Hay, sebuah serangan pancingan saja karena tangan kanannya dengan cepat sekali mengirim serangan susulan menotok ke arah pundak pemuda itu untuk merobohkannya!
Melihat datangnya serangan gadis itu, walau pun hanya dengan tangan kosong, Hay Hay terkejut bukan main. Dia mengenal serangan ampuh, juga mengenal tangan ampuh yang memiliki tenaga sinkang yang amat hebat. Dan pukulan-pukulan itu sendiri sangat ganas.
Tamparan ke arah kepalanya itu mengandung hawa pukulan yang panas sehingga kalau mengenai sasaran tentu akan menewaskannya dan tangan kanan gadis itu membayangi gerakan tangan kiri, sukar diduga hendak menyerang ke mana sebagai susulan! Dia tahu bahwa tamparan tangan kiri itu hanya gertakan, namun gertakan yang berbahaya karena merupakan pukulan maut, dan yang lebih berbahaya lagi adalah tangan kanan gadis itu yang siap mengirim serangan susulan.
"Plakkk!"
Hay Hay mengangkat tangan kanan, menangkis tamparan sambil mengerahkan tenaga sinkang pula, sedangkan matanya dengan waspada mengikuti gerakan tangan kanan Bi Lian. Ketika tangan itu menotok ke arah pundaknya untuk merobohkannya, dia pun cepat meloncat ke belakang sambil menangkis dengan tangan kirinya.
"Dukkkk!"
Dua kali kedua tangan mereka saling bertemu dan keduanya diam-diam terkejut, maklum akan kekuatan masing-masing. Karena serangannya berhasil dihindarkan lawan, Bi Lian pun menjadi semakin penasaran.
"Jai-hwa-cat memiliki juga sedikit kepandaian!" katanya penuh ejekan.
Dan kini dia menyerang lagi, akan tetapi sekali ini dia tidak main-main maka serangannya begitu kuat dan cepatnya, bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh dan ganas bukan main sehingga Hay Hay terpaksa berloncatan mundur dan terdesak hebat! Ketika serangannya yang bertubi-tubi itu tidak pernah mengenai sasaran, Bi Lian menjadi semakin sengit.
Dia maklum bahwa lawannya ini benar-benar pandai maka berubahlah niatnya. Kalau tadi dia hanya ingin menangkapnya untuk kemudian diserahkan kepada para penduduk yang akan menghukumnya, kini melihat kelihaian lawan, dia bermaksud untuk merobohkannya, hidup atau mati!
Perubahan ini tentu saja mengubah pula gerakannya yang menjadi semakin kuat hingga setiap pukulan merupakan serangan maut! Ketika gadis itu menggosok kedua tangannya, saling menggosok telapak tangan, nampak asap mengepul dari kedua telapak tangannya, dan serangan-serangannya kini mengandung hawa yang panas sekali.
"Ehhh...!" Hay Hay berkali-kali berseru kaget.
Selain mengelak kini ia pun terpaksa melakukan tangkisan-tangkisan disertai pengerahan tenaga sinkang-nya. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, dia merasa betapa kulit lengan itu sangat kuat dan mengandung hawa panas! Kalau saja sinkang-nya tidak cukup kuat untuk melindungi kulitnya, tentu kulit tangannya akan terluka hangus saat bersentuhan dengan lengan gadis itu.
Melihat seorang gadis gagah perkasa muncul lantas menyerang pemuda mata keranjang itu secara kalang-kabut, para penduduk tidak tinggal diam. Mereka berbesar hati melihat ada seorang gadis yang agaknya lihai sekali dan mampu mengjmbangi kelihaian penjahat itu, maka mereka pun kini segera bergerak mengurung dan setiap kali ada kesempatan, mereka menggerakkan senjata mereka untuk menyerang.
Hay Hay menghadapi pengeroyokan! Baginya orang-orang dusun itu lebih berbahaya dari pada Si Gadis lihai! Soalnya, kalau gadis itu dapat dia hadapi dengan sinkang dan ilmu silat, sebaliknya dia harus berhati-hati sekali bila menangkis serangan orang-orang dusun, karena kalau dia kesalahan tangan dan terlampau kuat menggunakan sinkang, maka ada bahayanya dia akan benar-benar menjadi pembunuh!
Terpaksa Hay Hay lalu memainkan satu di antara ilmunya yang hebat, yaitu Jiauw-pouw Poan-soan, ilmu langkah kaki berputaran yang membuat tubuhnya dapat menghindarkan semua serangan, termasuk pula pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh gadis itu. Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu pemberian See-thian Lama.
Diam-diam Bi Lian kagum bukan main. Semenjak meninggalkan perguruan baru sekali ini dia bertemu dengan lawan yang bisa menghindarkan semua serangannya, padahal sudah lebih dari dua puluh jurus dia menyerang tanpa pemuda itu membalas sekali pun, bahkan di sampingnya masih ada orang-orang dusun yang turut mengeroyok, walau pun bantuan mereka itu sama sekali tidak menguntungkannya, bahkan mengganggu gerakannya saja.
Tiba-tiba saja terdengar jeritan wanita. "Berhenti...! Ahhhh, jangan keroyok dia! Dia tidak bersalah... jangan keroyok dia...!"
Semua orang terkejut, menghentikan serangan mereka, bahkan Bi Lian juga meloncat ke belakang lantas memutar tubuh memandang. Yang berteriak itu adalah Siauw Lan yang digandeng oleh A-liong.
"Apa maksudmu, Siauw Lan?" bentak kepala dusun kepada keponakannya.
"Paman, bukan dia yang memperkosa aku dan membunuh A-kiu! Dia tidak bersalah..."
Hay Hay membelalakkan mata memandang kepada Siauw Lan. "Nona, engkau diperkosa dan temanmu itu dibunuh orang...?"
Siauw Lan menangis, memandang kepada Hay Hay dan mengangguk-angguk. "Hay-ko... ahh... Hay-ko...!"
A-liong mengeluarkan benda yang diterimanya dari Siauw Lan tadi dan berkata lantang, "Kawan-kawan, kita memang sudah salah sangka. Penjahat itu adalah seorang yang lebih tua dan dia meninggalkan tanda ini!"
Tiba-tiba saja Bi Lian menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu benda yang dipegang oleh A-liong itu sudah pindah ke tangannya. A-liong terkejut dan terbelalak. Bi Lian mengamati benda itu dan mengangguk-angguk.
"Hemmm... Ang-hong-cu (Si Tawon Merah)...! Aku pernah mendengar namanya. Seorang jai-hwa-cat yang keji!"
Dia mengembalikan benda itu kepada A-liong, kemudian memandang kepada Hay Hay. Sejenak pandang mereka bertemu dan Bi Lian merasa kikuk sekali. Dia memutar tubuh menghadapi kepala dusun lalu berkata,
"Kita sudah salah sangka. Kini aku akan mencari penjahat itu!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat gadis itu sudah lenyap dari situ, membuat orang-orang dusun itu terkejut dan melongo. Hanya siluman saja yang dapat menghilang seperti itu, pikir mereka.
"Bagaimana sekarang? Apakah cuwi masih juga menuduh aku yang melakukan perbuatan terkutuk itu?" Hay Hay bertanya sambil tersenyum.
Dia tidak marah terhadap orang-orang dusun ini. Dia marah kepada si jai-hwa-cat. Gadis bertahi lalat ini diperkosanya! Dan gadis hitam manis itu malah dibunuhnya.
Si Kepala Dusun menjura ke arah Hay Hay. "Maafkan kami. Kami salah sangka terhadap Kongcu."
"Sudahlah, kalau aku boleh pergi, sekarang juga aku akan mencoba untuk mengejar dan mencari si keparat itu." Kemudian dia memandang kepada Siauw Lan dan berkata, "Adik manis, nasibmu memang buruk sekali. Akan tetapi peristiwa itu telah lalu dan aku melihat ada orang yang mencintamu dan tentu mau melindungimu. Jika aku berhasil menemukan penjahat Ang-hong-cu itu, tentu akan kuhajar dia, kubalaskan sakit hatimu."
Siauw Lan masih menangis, hanya mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan. "Terima kasih, Hay-ko..."
Hay Hay mengambil buntalan pakaiannya, membuang selimut serta bajunya yang sudah robek-robek, kemudian dia pun tak lagi menyembunyikan kepandaiannya sehingga sekali berkelebat, seperti yang dilakukan Bi Lian tadi, dia sudah lenyap pula dari situ.
Untuk kedua kalinya para penduduk dusun itu melongo dan menggeleng-geleng kepala, merasa malu akan kebodohan mereka sendiri. Mereka telah menuduh yang bukan-bukan terhadap pemuda itu, padahal pemuda itu demikian lihainya sehingga kalau dikehendaki, tentu pemuda itu berbalik akan mampu merobohkan mereka semua satu demi satu!
Mereka kemudian kembali ke dusun, mengambil dan mengurus jenazah A-kiu, sedangkan Siauw Lan terus diantar dan dihibur oleh A-liong sehingga dia pun merasa terhibur dan tidak lagi mempunyai niat untuk membunuh diri mencuci aib.
Biar pun mereka berjumlah banyak dan marah bukan kepalang melihat betapa dua orang kakek itu membunuh dua ekor anjing dan kini minum darah anjing dan makan dagingnya mentah-mentah, Kepala Dusun dan para anak buahnya tidak berani turun tangan. Mereka melihat sendiri betapa dengan sekali bergerak saja kakek tinggi besar itu telah membunuh dua ekor anjing, bahkan merobek tubuh anjing gemuk itu hanya dengan sepasang tangan saja seolah-olah hal itu merupakan pekerjaan yang sangat ringan. Ini sudah membuktikan bahwa kakek tinggi besar itu kuat sekali sehingga mereka merasa jeri.
"Bagaimana hasilnya, Pak-kwi-ong?" akhirnya Tung-hek-kwi bertanya.
"Engkau dulu bagaimana?" Pak-kwi-ong berbalik bertanya.
"Anak itu ikut dengan See-thian Lama ke Himalaya, dan agaknya memang dia tidak akan diserahkan kepada Dalai Lama. Sudah jelas bukan Sin-tong," jawab Tung-hek-kwi singkat mengenai tugasnya menyelidik anak yang disangka Sin-tong dan dirampas oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai dari tangan mereka itu. "Dan bagaimana dengan engkau?"
"Aku sudah bertemu dengan keluarga Pek. Mereka berterus terang bahwa anak mereka memang diculik oleh Lam-hai Siang-mo yang kemudian meninggalkan bayi mati sebagai penggantinya. Jadi anak itu memang anak keluarga Pek," jawab Pak-kwi-ong.
"Hemm, anak keluarga Pek akan tetapi bukan Sin-tong...," kata Tung-hek-kwi.
"Berita tentang Sin-tong itu yang bohong, atau memang kita sudah dipermainkan orang," kata Pak-kwi-ong.
Tiba-tiba dia bangkit, juga Tung-hek-kwi ikut bangkit, ada pun potongan anjing itu masih digerogoti. Ternyata pendengaran mereka tajam bukan main walau pun usia mereka telah mendekati delapan puluh tahun. Ternyata mereka bangkit karena mendengar suara kaki orang.
Dan kini, dalam keremangan senja muncullah sedikitnya dua puluh orang yang rata-rata tampak gagah perkasa, semua memegang senjata, dipimpin oleh dua pasang suami isteri yang bukan lain adalah Lam-hai Siang-mo yang terdiri dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, serta suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tong Ci Ki.
Seperti yang sudah kita ketahui, dua pasang suami isteri yang namanya amat terkenal di kalangan dunia sesat ini pernah saling bermusuhan untuk memperebutkan Hay Hay, akan tetapi mereka terpaksa melarikan diri ketika muncul dua orang dari Empat Setan dan dua orang lagi dari Delapan Dewa. Mereka lalu membagi tugas.
Yang dua orang pergi ke Tibet, melapor kepada para pendeta Lama bahwa Sin-tong telah dirampas oleh empat orang tokoh besar itu dan akibatnya, para pendeta Lama mencoba untuk merampas Hay Hay dari tangan See-thian Lama. Yang dua orang lainnya melapor kepada keluarga Pek yang agaknya menerima berita itu dengan sikap dingin saja, bahkan keluarga itu mengatakan bahwa Sin-tong, keturunan mereka, telah tewas beberapa tahun yang lalu akibat dibunuh orang jahat!
Bagaimana pun juga, dua pasang suami isteri ini masih merasa penasaran dan terutama sekali merasa sakit hati terhadap Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang datuk sesat yang mereka anggap sudah menggagalkan rencana mereka untuk menguasai anak yang mereka yakin adalah Sin-tong itu.
Mereka juga tidak tahu bahwa anak itu telah dibawa pergi oleh See-thian Lama, mengira bahwa kedua orang kakek iblis dari Empat Setan itulah yang menguasai Sin-tong. Maka, ketika mereka melihat Pak-kwi-ong, mereka berempat cepat mengumpulkan teman-teman dari dunia hitam untuk membayangi kakek gendut itu yang ternyata hendak mengadakan pertemuan dengan Tung-hek-kwi di dusun itu.
Melihat betapa dua orang itu makan daging anjing mentah, dua pasang suami isteri ini segera mengepung bersama teman-teman mereka. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh empat orang, terdiri dari jagoan-jagoan kalangan hitam yang menjadi teman-teman akrab dua pasang suami isteri itu.
Dapat dibayangkan betapa kuatnya kedudukan mereka. Dua pasang suami isteri itu saja sudah merupakan datuk-datuk sesat yang sangat lihai, apa lagi ditambah dua puluh orang teman yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan berwatak garang dan kejam.
Akan tetapi dua pasang suami isteri itu juga sudah mengenal kesaktian Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, maka mereka pun tak mau bertindak secara sembrono dan setelah mereka semua mengepung dua orang kakek itu, Siangkoan Leng berseru dengan suara lantang.
"Ji-wi Locianpwe telah terkepung dan lihat, kedudukan kami kuat sekali. Akan tetapi kami tidak akan mengeroyok Ji-wi kalau Sin-tong dikembalikan kepada kami!"
Tentu saja kedua orang kakek itu mendongkol bukan kepalang mendengar tuntutan ini. Mereka berdua dikalahkan oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, dua orang di antara Delapan Dewa dan sekarang tikus-tikus itu datang untuk merampas Sin-tong dari tangan mereka.
Akan tetapi mereka berdua adalah raja-raja datuk sesat, tentu saja merasa malu untuk mengakui kekalahan mereka terhadap dua orang dari Delapan Dewa. Kini mereka bahkan duduk lagi lantas melanjutkan makan daging anjing mentah seolah-olah tidak memandang mata kepada dua puluh empat orang yang mengepung mereka dengan senjata-senjata di tangan.
"Wahh, Tung-hek-kwi! Engkau Setan Hitam membikin gara-gara. Engkau membunuh dua ekor anjing dan lihat akibatnya! Sekarang ada dua puluh empat ekor anjing yang lainnya datang menggonggong dan hendak menggigit kita, ha-ha-ha!" Pak-kwi-ong berkata sambil tertawa bergelak, lalu menggerogoti sedikit daging yang masih menempel di tulang paha anjing itu.
"Apa kau masih haus? Kita minum darah anjing-anjing ini!" teriak Tung-hek-kwi.
"Ha-ha-ha, engkau benar. Biar pun sudah agak tua tentu dua ekor anjing betina itu lebih lunak dagingnya dan lebih hangat darahnya!" kata Pak-kwi-ong dan tiba-tiba saja, kedua tangannya mematahkan tulang kaki anjing dan melemparkan dua potongan tulang itu ke arah Ma Kim Li dan Tong Ci Ki, isteri-isteri dua orang pemimpin gerombolan itu.
Bukan main kuatnya lemparan ini. Dua batang tulang itu dengan kecepatan kilat segera menyambar ke arah dua orang wanita, tepat mengarah muka mereka. Apa bila mengenai sasaran, biar pun dua orang wanita itu memiliki kekebalan, tentu akan menderita cidera.
Akan tetapi, dua orang wanita yang diserang itu bukan wanita-wanita lemah. Melihat sinar menyambar, mereka cepat mengelak dan dua batang tulang itu pun lewat dan tentu akan mengenai orang-orang di belakang mereka kalau saja anak buah mereka yang rata-rata juga lihai itu tidak cepat mengelak pula.
Sebagai dua orang wanita iblis yang mahir menggunakan jarum-jarum beracun, terutama sekali Tong Ci Ki yang memang berjuluk Si Jarum Sakti, dua orang itu lalu melemparkan jarum-jarum beracun mereka ke arah Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi.
"Sing-sing-singgg...!"
Dua sinar kecil menyambar ke arah dua orang kakek itu, mengeluarkan suara berdesing nyaring, terutama sekali jarum-jarum yang dilepas oleh Tong Ci Ki ke arah Tung-hek-kwi, yang lebih kuat dari pada jarum-jarum Ma Kim Li yang menyambar ke arah Pak-kwi-ong.
Akan tetapi dua orang kakek itu sama sekali tak mengelak atau menangkis. Jarum-jarum yang mengenai kulit tubuh mereka rontok semua, kemudian sambil tersenyum mengejek mereka menyapu rontok jarum-jarum yang menancap di pakaian mereka.
Tentu saja dua orang wanita itu terkejut bukan kepalang. Melihat ini, Siangkoan Leng dan Kwee Siong sudah memberi aba-aba dan dua puluh orang pembantu mereka itu langsung menerjang maju, menggerakkan senjata mereka mengeroyok dua orang kakek tua renta itu.
Terdengar Pak-kwi-ong tertawa-tawa lantas kedua orang kakek itu pun bangkit berdiri dan menyambut pengeroyokan itu. Sepak terjang dua orang kakek itu hebat bukan kepalang. Mereka tidak memegang senjata, hanya menggunakan kedua lengan mereka dan kedua kaki mereka, menghadapi keroyokan orang-orang yang bersenjata tajam.
Namun, karena kedua lengan dan kaki mereka itu kebal dan sanggup menangkis senjata-senjata lawan, bahkan bila mana tubuh mereka terkena tusukan maka senjata tajam yang datang bagaikan hujan senjata itu segera mental bahkan ada yang patah, maka terjadilah kepanikan di antara para pengeroyok.
Dua orang kakek itu hanya mengelak kalau dua pasang suami isteri itu yang menyerang, baik dengan senjata mau pun dengan tangan mereka karena dua pasang suami isteri ini merupakan orang-orang yang serangannya amat berbahaya.
Para penduduk dusun yang tidak tahu apa-apa, sekarang ada pula yang ikut mengeroyok. Mereka tidak mengenal orang-orang yang berkelahi, akan tetapi melihat betapa dua orang kakek tua itu tadi selain membunuh dua ekor anjing mereka, juga minum darah anjing dan makan dagingnya secara mentah-mentah, tentu saja mereka lalu condong untuk berpihak kepada dua puluh empat orang yang mengeroyok dua orang kakek itu.
Mereka menganggap bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan iblis-iblis jahat, ada pun dua puluh empat orang itu adalah orang-orang gagah yang menentang kejahatan. Maka, tanpa diminta, ada beberapa orang penduduk yang merasa kuat cepat mengambil senjata dan ikut pula mengeroyok!
Melihat betapa semua pengeroyoknya berkelahi secara mati-matian, mengeroyok mereka bagaikan segerombolan anjing-anjing serigala kelaparan, dua orang datuk kaum sesat itu menjadi marah sekali.
Pak-kwi-ong mengeluarkan suara tawa bergelak dan tahu-tahu dia sudah menangkap dua orang pengeroyok dan membanting mereka. Terdengar bunyi keras dan kepala dua orang itu pecah berantakan, darah berhamburan bersama otak mereka.
Juga Tung-hek-kwi mengeluarkan suara menggereng laksana seekor binatang buas dan seperti yang dilakukan Pak-kwi-ong, dia pun berhasil menangkap dua orang pengeroyok dan membanting mereka sehingga tubuh mereka remuk!
Melihat ini, dua pasangan suami isteri itu menjadi marah sekali. Dengan aba-aba mereka memberi semangat, bahkan mereka mempergunakan pedang untuk melakukan serangan dengan gencar, dibantu oleh para teman mereka.
Tetapi dua orang kakek itu memang memiliki kesaktian yang jauh melampaui kepandaian mereka. Mereka berdua mengamuk dan dalam waktu singkat saja, masing-masing sudah menewaskan dua orang anak buah gerombolan dan dua orang penduduk yang ikut-ikutan mengeroyok.
Melihat ini, kembali dua pasangan suami isteri itu mengeluarkan aba-aba untuk memberi semangat. Akan tetapi sia-sia saja, sekarang teman-teman mereka sudah menjadi gentar menghadapi dua orang kakek sakti itu. Apa lagi sesudah Siangkoan Leng terhuyung oleh tendangan Pak-kwi-ong, ada pun tulang lengan kiri Tong Ci Ki patah ketika ditangkis oleh Tung-hek-kwi, mereka semua menjadi semakin panik dan akhirnya, sisa para pengeroyok itu melarikan diri tanpa dapat dicegah lagi!
Mereka meninggalkan paling sedikit mayat enam orang kawan mereka. Yang terluka ikut pula melarikan diri. Terpaksa dua pasang suami isteri itu pun harus melarikan diri apa bila mereka tidak ingin tewas di tangan dua orang raja datuk sesat itu!
Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi mengamuk terus. Karena dua pasang suami isteri beserta teman-teman mereka telah melarikan diri ke dalam gelap, dua orang kakek itu mengamuk kepada orang-orang dusun yang mereka anggap telah membantu musuh-musuh mereka! Celakalah para penghuni dusun yang tidak sempat melarikan diri. Mereka diseret keluar lantas dibanting remuk, tidak peduli laki-laki perempuan atau kanak-kanak.
Juga dua orang kakek itu tidak melewatkan rumah keluarga Cu Pak Sun. Dengan sebuah tendangan mereka menjebol daun pintu dan sambil tertawa-tawa, Pak-kwi-ong memasuki rumah itu, diikuti oleh Tung-hek-kwi. Kedua lengan tangan mereka telah penuh berlepotan darah!
Ketika itu Cu Pak Sun dan isterinya sedang memeluk Bi Lian yang baru berusia kurang lebih sembilan tahun. Suami isteri ini menggigil ketakutan mendengar suara perkelahian di luar itu, mendengar jeritan-jeritan kematian mereka yang menjadi korban.
Akan tetapi Bi Lian tidak terlihat takut, bahkan merasa penasaran sekali. Tadi dia hendak menonton keluar, akan tetapi segera dipeluk dengan erat oleh ayah dan ibunya yang tidak memperkenankan dia keluar. Kini mereka sudah bersembunyi di dalam kamar dan malah dia dipeluk oleh dua orang, dipegangi agar jangan keluar.
"Aku harus melihat keluar...!" kata Bi Lian berkali-kali.
"Jangan... jangan... ada orang-orang jahat seperti iblis sedang mengamuk di luar, mereka membunuhi orang-orang dusun!" Cu Pak Sun berkata dengan suara gemetar dan isterinya menangis dengan menahan suara tangisnya.
"Kalau begitu aku justru harus keluar, membantu orang-orang untuk melawan penjahat-penjahat itu!"
Memang Bi Lian memiliki watak yang keras dan berani, tabah karena gemblengan suhu dan subo-nya. Malam itu kebetulan suhu dan subo-nya tidak datang karena baru kemarin malam mereka datang dan melatihnya ilmu silat sampai hampir pagi.
"Jangan, engkau akan celaka...!" kata Cu Pak Sun.
"Jangan, Bi Lian, aku takut... engkau jangan keluar, di sini saja menemaniku...," Nyonya Cun mengganduli dan merangkul Bi Lian sambil menangis.
Ketika dua orang kakek iblis itu menjebol pintu, tentu saja Cu Pak Sun dan isterinya yang bersembunyi di dalam kamar menjadi semakin ketakutan. Apa lagi ketika dua orang kakek itu laksana iblis sendiri muncul di ambang pintu kamar, seketika isteri Cu Pak Sun jatuh pingsan. Cu Pak Sun sendiri segera berlutut di atas lantai dan minta-minta ampun dengan suara gemetar.
Melihat ini, Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi tertawa. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lian meloncat berdiri, menghadapi dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam seperti sepasang mata seekor anak harimau.
"Kalian sungguh kakek-kakek yang jahat sekali! Jangan ganggu ayah ibuku dan keluarlah kalian dari sini!" Bi Lian membentak, seperti mengusir dua ekor anjing saja, sedikit pun tak merasa takut dan sepasang matanya yang tajam itu terbelalak penuh kemarahan.
Dua orang datuk sesat itu amat terkejut dan terheran sampai bengong sejenak, kemudian saling pandang dan Pak-kwi-ong tertawa bergelak. Tentu saja mereka terkejut dan heran sekali melihat ada seorang anak perempuan berusia paling banyak sepuluh tahun berani menghardik mereka, padahal banyak laki-laki dewasa lari ketakutan melihat mereka!
"Ha-ha-ha, Setan Hitam, aku mendadak merasa seperti menjadi seekor anjing kecil yang ketakutan, ha-ha-ha-ha!"
"Huh, anak setan!" Tung-hek-kwi menggereng lantas lengan tangannya yang panjang itu meluncur ke depan, ke arah Bi Lian dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau hendak mencengkeram seekor kelinci kecil. "Dagingnya tentu lunak!"
"Wuuuttt...!"
"Ahhhh...?!" Tung-hek-kwi berseru kaget karena terkaman tangannya tadi luput!
Dengan gerakan lincah dan langkah kaki yang amat aneh, Bi Lian mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu dengan cara menyelinap bahkan mendekati Tung-hek-kwi yang menyerangnya, dan dengan cepat sekali tangannya bergerak menghantam ke arah perut Si Iblis Hitam dari Timur itu!
"Bukkk!"
Lambung Tung-hek-kwi kena terpukul dan akibatnya tubuh Bi Lian terlempar ke belakang. Akan tetapi anak ini berjungkir balik dan membuat poksai (salto) yang indah sekali!
"Ha-ha-ha, yang kau sangka kelinci berdaging lunak itu ternyata anak naga!" Pak-kwi-ong berseru kagum dan dia pun sudah mengulur tangan menerkam.
Kembali Bi Lian memperlihatkan keringanan tubuhnya dan langkahnya yang ajaib, karena seperti juga terkaman Tung-hek-kwi, kini cengkeraman tangan Pak-kwi-ong juga luput!
"Ehhh...!" Pak-kwi-ong lupa tertawa saking kaget dan herannya. Dia mengerahkan tenaga sinkang-nya mendorong dan tubuh Bi Lian tentu saja tak kuat bertahan sehingga anak itu pun roboh terguling, disambut tangan Pak-kwi-ong yang menangkap kedua kakinya lantas mengangkat tubuh itu ke atas!
Dengan kedua kaki tergantung, kepala di bawah, Bi Lian tidak menjerit ketakutan, bahkan dia mengamuk dan berusaha untuk memukul dengan kedua tangannya, terus menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri sambil memaki-maki.
"Kakek setan! Kakek iblis! Lepaskan aku dan mari kita berkelahi sampai seribu jurus kalau kau memang gagah!"
Melihat sikap anak perempuan itu, juga mendengar tantangannya, kembali Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi melongo.
"Ha-ha-ha! Setan Hitam, apa yang kita temukan di sini? Agaknya dia memiliki bakat yang lebih baik dari pada Sin-tong agaknya!"
"Serahkan kepadaku, Pak-kwi-ong! Aku ingin mendidik anak ini!" kata Tung-hek-kwi yang tiba-tiba merasa suka pula kepada anak itu karena dia dapat melihat sendiri betapa anak itu memiliki keberanian luar biasa, juga memiliki gerakan cepat dan aneh, sepasang mata tajam mencorong dan seluruh keadaannya menunjukkan bakat yang luar biasa.
"Ha-ha-ha, enak saja! Aku yang menangkapnya lebih dulu!" berkata Pak-kwi-ong lantas kakinya menendang ke depan ketika Cu Pak Sun merangkak hendak menolong anaknya yang digantung dengan kepala di bawah itu.
"Desss...!" Tubuh Cu Pak Sun terlempar dan dia tewas seketika oleh tendangan itu.
"Ouhhh...!" melihat suaminya ditendang, nyonya Cu Pak Sun yang kebetulan baru siuman bangkit dan hendak menubruk. Di saat itu pula, Tung-hek-kwi yang merasa marah kepada Pak-kwi-ong yang dianggap merebut anak itu darinya, segera menggerakkan kakinya ke arah wanita itu.
"Dessss...!" Sekarang giliran wanita itu yang tewas seketika dan tubuhnya terlempar lalu terbanting menindih mayat suaminya.
"Kalian pembunuh-pembunuh jahat!" berkali-kali Bi Lian berteriak dan meronta-ronta.
Akan tetapi Pak-kwi-ong hanya tertawa dan tiba-tiba kakek ini meloncat keluar dari rumah itu sambil membawa tubuh Bi Lian dengan cara seperti tadi yaitu memegangi kedua kaki anak itu dengan tangan kirinya seperti orang membawa seekor ayam saja. Pak-kwi-ong bukan sembarangan meloncat, melainkan mengelak karena pada waktu itu Tung-hek-kwi sudah menubruk untuk merampas tubuh Bi Lian dari tangannya.
Begitu tiba di luar dusun, Pak-kwi-ong langsung melarikan diri dengan cepat, dikejar oleh Tung-hek-kwi! Kejar-kejaran itu terus berlangsung selama semalam suntuk bahkan hingga keesokan harinya pagi-pagi sekali Pak-kwi-ong masih dikejar-kejar oleh Tung-hek-kwi.
Kini mereka telah tiba di daerah pegunungan yang jauh sekali dari dusun di mana mereka menyebar maut semalam itu. Dan Bi Lian masih dibawa oleh Pak-kwi-ong dalam keadaan tergantung! Dapat dibayangkan penderitaan anak ini, akan tetapi, bukan main rasa kagum di dalam hati Pak-kwi-ong karena anak itu satu kali pun tidak pernah terdengar berteriak ketakutan atau pun menangis! Benar-benar seorang anak perempuan dengan hati keras melebihi besi!
Pak-kwi-ong terpaksa melarikan diri karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian dirinya sangat berimbang dengan Tung-hek-kwi. Apa bila dia harus melawan rekannya itu sambil melindungi anak perempuan itu, tentu dia akan kalah. Akan tetapi dia pun tidak rela untuk menyerahkannya.
Akhirnya dia memperoleh akal maka dia pun berhenti. Keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya dan napasnya agak terengah-engah. Biar pun dia seorang yang sakti, dia harus mengaku kalah oleh usianya. Usia tua telah membuat kekuatannya tak sehebat dulu lagi. Ketika Tung-hek-kwi berhenti di depannya, keadaan kakek raksasa ini sama saja, mandi peluh dan napasnya memburu.
"Setan Hitam, engkau nekat mengejarku?" tegur Pak-kwi-ong, kini membalikkan tubuh Bi Lian dan mengempit di bawah lengannya, membuat Bi Lian tidak mampu berkutik.
Kini anak itu tidak begitu tersiksa seperti ketika dijungkir balikkan tadi. Hanya bau ketiak penuh keringat yang berada di dekat hidungnya itu saja membuat dia ingin muntah. Akan tetapi untuk muntah pun dia sudah kehilangan kekuatan. Tubuhnya lemas dan setengah pingsan oleh penderitaannya semalam, dilarikan dalam keadaan tergantung jungkir balik.
"Lari ke neraka pun akan kukejar. Anak itu harus menjadi muridku," jawab Tung-hek-kwi, makin kagum kepada Bi Lian karena anak itu sama sekali tidak menangis atau kelihatan ketakutan atau berduka. Selama hidupnya belum pernah dia melihat anak seperti ini, apa lagi anak perempuan.
"Aku pun ingin menjadi gurunya," kata Pak-kwi-ong.
"Aku tetap akan merampasnya dari tanganmu," Tung-hek-kwi menjawab kukuh.
"Kalau aku melawan sambil membawa anak ini, tentu aku kalah. Akan tetapi jika anak ini berhasil kau rampas lantas aku menyerangmu, tentu engkau pun akan kalah. Perkelahian antara kita untuk memperebutkan anak ini hanya akan berakhir dengan tewasnya anak ini akibat terkena pukulan kita, Setan Hitam!"
"Tidak peduli, dia harus menjadi muridku atau mati!" kata Tung-hek-kwi.
"Aihh, kita berebutan seperti anak kecil. Anak ini luar biasa, sebaiknya kita tanyakan dia, siapa di antara kita yang dia pilih sebagai guru!" kata Pak-kwi-ong dan dia melepaskan Bi Lian dari kempitannya.
Anak itu berdiri agak terhuyung karena lemas dan pusing, akan tetapi dengan angkuh dia cepat mengangkat kepalanya dan berusaha untuk berdiri tegak dan tidak memperlihatkan kelemahannya. Sepasang matanya masih berkilat menyambar kepada dua orang kakek itu penuh kemarahan.
"Anak baik, kami berdua sama-sama ingin sekali mengambil engkau sebagai murid. Coba kau pilih, siapa di antara kami yang kau kehendaki untuk menjadi gurumu?" Pak-kwi-ong berkata dengan suara ramah dan muka penuh senyum.
Akan tetapi dengan alis berkerut Bi Lian memandang kedua orang kakek itu, lalu dengan penuh kebencian dia pun menjawab, suaranya amat ketus. "Memilih kalian untuk menjadi guru? Hemm, aku memilih kalian berdua untuk menjadi musuh besarku yang kelak harus kubunuh untuk membalas dendam atas kematian ayah dan ibuku dan orang-orang dusun kami!" Jawaban itu berapi-api, penuh perasaan dan bersungguh-sungguh.
"Wah, anak ini sangat berbahaya, sebaiknya dibunuh saja!" Tung-hek-kwi berseru sambil mengangkat tangan. Akan tetapi Pak-kwi-ong mencegahnya malah dia pun mengedipkan mata kepadanya.
"Bunuhlah! Aku tidak takut mati! Kelak kalian akan kubunuh!" Anak itu tetap membentak sambil matanya mencorong menatap wajah Tung-hek-kwi yang menyeramkan itu, sedikit pun tidak mengenal takut. Sikapnya ini tidak memarahkan hati Tung-hek-kwi, sebaliknya malah membuat dia kagum dan merasa semakin suka.
"Anak baik, engkau salah paham. Kami bukan pembunuh ayah ibumu. Bukan kami yang membunuh mereka..."
"Bohong! Aku melihat dengan mataku sendiri betapa engkau membunuh ayahku, kakek gendut dan engkau yang membunuh ibu, kakek hitam!" Bi Lian menudingkan telunjuknya bergantian kepada mereka. "Kelak aku akan menuntut balas!"
"Ah-ah, engkau tidak mengerti. Memang tangan kami... "
鈥淜aki kalian yang membunuh mereka!" teriak Bi Lian, teringat betapa dua orang kakek itu menendang mati ayah dan ibunya.
"Betul, memang kaki kami yang melakukan pembunuhan, akan tetapi itu hanya akibatnya saja. Kami sama sekali tidak bermusuhan dengan ayah ibumu, bahkan mengenal mereka pun tidak! Mereka tewas sebagai akibat perkelahian, ada pun yang menjadi biang keladi adalah dua pasang suami isteri. Merekalah yang sesungguhnya membunuh orang tuamu, menjadi sebab kematian ayah ibumu!"
"Benar, Pak-kwi-ong berkata benar dan dia bukan pembohong!" kata pula Tung-hek-kwi, mengangguk-angguk.
Bi Lian menjadi bingung dan mengerutkan sepasang alisnya. "Apa maksudmu? Jangan memutar-balik, kalian menendang mati ayah ibuku, bagaimana menyalahkan orang lain?"
"Tahu akibat juga harus tahu sebabnya!" kata pula Pak-kwi-ong. "Aku dan Tung-hek-kwi sedang berada di dusun itu, kemudian datang dua pasang suami isteri Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) bersama suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan. Mereka itu membawa dua puluh orang bahkan mengerahkan penduduk dusun itu untuk mengeroyok kami berdua. Terjadilah perkelahian sehingga banyak yang jatuh dan tewas, di antaranya ayah dan ibumu yang menjadi korban karena dihasut dan dipaksa oleh dua pasang suami isteri itu untuk memusuhi kami. Kami sama sekali tak mengenal ayah ibumu. Nah, kalau begitu bukankah yang bersalah itu dua pasang suami isteri tadi? Andai kata mereka tidak mengajak orang-orang dusun mengeroyok kami, perlu apa kami membunuhi orang-orang dusun termasuk ayah dan ibumu?"
Bi Lian adalah seorang gadis cilik yang amat cerdik. Sejak tadi dia sudah maklum bahwa dua orang kakek ini mempunyai kesaktian yang amat hebat, mungkin tak kalah oleh suhu dan subo-nya. Ketika mendengar keterangan dari Pak-kwi-ong itu, dia pun dapat melihat kebenarannya. Jelas, yang menyebabkan kematian ayah dan ibunya adalah dua pasang suami isteri itu!
"Jadi, kalau engkau hendak membalas dendam, balaslah kepada dua pasang suami isteri itu, dan hal itu pasti akan terlaksana kalau engkau menjadi murid seorang di antara kami," kata pula Tung-hek-kwi yang biasanya tidak banyak cakap.
Hati Bi Lian menjadi bimbang. Ia tidak tahu siapa di antara dua orang kakek ini yang lebih lihai dan tiba-tiba dia mendapatkan akal yang amat baik. "Aku hanya mau menjadi murid kalian berdua, bukan salah seorang di antara kalian. Jika kalian berdua mau mengajarku sehingga kelak aku dapat membalas dendam kepada dua pasang suami isteri itu, biarlah aku suka menjadi murid kalian," katanya.
Dua orang kakek itu saling pandang. Anak ini benar-benar mengagumkan hati mereka dan syarat itu pun dapat mereka terima.
"Kita kerja sama...? Ha-ha-ha!" Pak-kwi-ong tertawa dan Tung-hek-kwi mengangguk.
"Kita sudah tua, usia kita takkan lama lagi. Apa salahnya kita bekerja sama membentuk anak ini agar kelak dapat mengangkat nama kita?" kata Tung-hek-kwi.
Demikianlah, mulai saat itu Cu Bi Lian menjadi murid Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Dua orang dari Empat Setan ini amat sayang kepada Bi Lian karena anak itu memperlihatkan watak yang cocok dengan mereka. Keras, ganas dan berani, juga cerdik bukan main.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa murid mereka itu adalah keturunan dari datuk-datuk sesat yang namanya tak kalah besar dari pada mereka sendiri, yaitu cucu dari mendiang Siangkoan Lojin Si Iblis Buta, dan cucu luar dari Raja dan Ratu Iblis yang dahulu pernah mengguncangkan seluruh dunia kang-ouw!
Agaknya Bi Lian menuruni watak para kakek dan nenek moyangnya sehingga dia menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis, tapi juga ganas keras dan penuh keberanian. Dan karena dua orang kakek datuk sesat itu amat sayang kepadanya, mereka pun tanpa ragu-ragu dan sama sekali tidak pelit untuk menurunkan seluruh kepandaian yang mereka miliki kepada murid tunggal mereka. Mereka mengharapkan agar murid mereka itu, walau pun seorang wanita, kelak akan menjadi jagoan nomor satu atau setidaknya akan dapat mengangkat nama besar mereka yang menjadi gurunya.
Demikianlah riwayat Cu Bi Lian atau yang sesungguhnya she Siangkoan itu karena dia di luar tahunya adalah anak kandung suhu dan subo-nya yang pertama, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Selama kurang lebih sepuluh tahun dia digembleng oleh kedua orang gurunya sehingga Bi Lian menjadi seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa.
Tentu saja watak yang seperti iblis dari dua orang gurunya itu sedikit banyak berpengaruh dalam membentuk watak Bi Lian sehingga ketika dia meninggalkan kedua orang gurunya yang kini sudah amat tua itu, dia telah menjadi seorang gadis yang selain amat tinggi ilmu silatnya, juga memiliki watak yang aneh dan kadang-kadang ganas sekali.
Pertemuan tanpa sengaja antara dia dengan Hay Hay membuat hatinya terganggu. Pada mulanya dia merasa muak dan membenci pemuda itu yang dianggapnya mata keranjang. Akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan dan tidak mengganggu gadis-gadis itu, dia pun tak peduli lagi. Juga karena pemuda itu tidak melawannya ketika dia usir dari dalam ruangan kuil tua.
Dia pun lalu mencoba untuk melupakan pemuda tampan yang suka bergurau dan pandai merayu itu. Peduli setan, pikirnya dan Bi Lian tidak peduli lagi di mana pemuda itu akan melewatkan malam, asal tidak di dalam kuil tua. Malam ini dia harus beristirahat dengan enak dan tidak terganggu supaya besok seluruh tenaganya pulih kembali karena dia akan melanjutkan perjalanannya yang sukar, yakni mencari musuh-musuh besarnya. Mereka adalah dua pasang suami isteri yang namanya terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Lam-hai Siang-mo dan suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan.
********************
Sementara itu, Hay Hay sendiri juga merasa penasaran bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan agaknya mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, namun wataknya begitu galak dan ganas. Terpaksa dia menjauhi kuil tua itu dan akhirnya dia pun memilih tempat di dekat sungai kecil yang airnya jernih dan mengalir di luar dusun. Dia kembali ke tempat itu dan duduk di atas batu besar di mana dia bertemu dengan para gadis dusun pagi tadi.
Pada waktu dia mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun sebentar malam, tiba-tiba saja dia mendengar suara tawa tertahan. Cepat dia menoleh dan ternyata yang datang adalah gadis bertahi lalat di dagunya dan gadis hitam manis yang matanya indah.
"Aihhh..., kalian lagi gadis-gadis manis. Hendak ke manakah sore-sore begini, Nona-nona manis?" tegur Hay Hay dan dua orang gadis itu tersenyum gembira, akan tetapi mereka menoleh ke kanan kiri seperti orang merasa ketakutan kalau-kalau ada orang lain melihat pertemuan mereka dengan pemuda itu.
"Ssstttt...!" kata gadis bertahi lalat sambil menaruh telunjuk di depan mulut, lalu bersama temannya dia menghampiri Hay Hay. "Hay-ko (Kakak Hay), jangan keras-keras, takut ada yang mendengar. Engkau tadi... tidak apa-apakah?"
Hay Hay tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Tadi kami merasa khawatir sekali, Hay-ko," kata gadis manis bermata indah. "Kemudian kami mendengar bahwa sore ini engkau kembali lagi ke sini, agaknya hendak bermalam di tempat terbuka ini."
Hay Hay menggerakkan pundaknya. "Yah, begitulah. Habis bagaimana lagi kalau semua penduduk dusun tidak ada yang sudi menerima diriku untuk bermalam?"
"Kami mendengarnya dan merasa kasihan, Hay-ko. Nih, aku membawa selimut untukmu. Kau pakailah supaya malam ini engkau tak kedinginan dan tidak diganggu nyamuk," kata gadis bertahi lalat sambil mengeluarkan sehelai selimut tebal yang dilipat rapi dan tadinya disembunyikan di dalam keranjang sayurnya.
"Dan ini aku membawa daging panggang untukmu, Hay-ko. Ini untuk sekedar penambah makan malammu, Hay-ko," kata gadis hitam manis.
Hay Hay yang tadinya tersenyum gembira itu, kini memandang dengan mata mengandung keharuan. Ingin dia merangkul dan mencium dua orang gadis ini untuk menyatakan rasa syukur dan terima kasihnya. Akan tetapi tentu saja pemuda ini tidak berani melakukan hal itu karena takut akan akibatnya yang tentu tidak baik bagi mereka berdua.
"Ahh, kalian sungguh baik sekali!" serunya terharu. "Kenapa kalian harus bersusah payah untukku? Kalian tahu, jika sampai terlihat oleh kepala dusun atau penduduk dusun, tentu kalian akan mendapat marah."
"Biar saja mereka marah!" Gadis bertahi lalat berkata penasaran. "Si A-Iiong itu hanya iri hati dan cemburu. Huh, tak tahu malu!"
Hay Hay tersenyum. "A-liong siapakah yang kau maksudkan? Pemuda tinggi besar yang hendak menghajarku itu?"
Gadis hitam manis mengangguk. "Benar, dia mencinta Siauw Lan..."
"Akan tetapi aku tidak sudi padanya!" Siauw Lan gadis bertahi lalat di dagunya itu cepat memotong. "Lagi pula, apa salahnya kalau kami berkenalan denganmu, Hay-ko? Engkau seorang pemuda yang baik dan menyenangkan, tidak seperti mereka. Aku... kami... suka padamu..."
Hay Hay semakin terharu, lantas dipegangnya tangan dua orang gadis itu dengan kedua tangannya. Tangan-tangan hangat yang halus lembut. "Kalian memang adik-adikku yang cantik manis dan berhati baik. Aku berterima kasih kepadamu. Percayalah, aku pun suka sekali kepada kalian dan selamanya aku takkan melupakan gadis-gadis di dusun ini yang manis-manis. Akan tetapi, sekarang sebaiknya kalian pulang saja sebelum hari menjadi malam. Sungguh tidak enak bagi kalian apa bila sampai kelihatan orang lain bahwa kalian datang menjengukku, apa lagi membawakan selimut dan makanan."
Dua orang gadis itu pun merasa terharu sungguh pun mereka girang sekali dapat saling berpegang tangan dengan pemuda yang mereka kagumi itu. "Hay-ko, engkau tentu akan lama tinggal di sini, bukan?" tanya Si Gadis Bertahi Lalat.
"Betul, jangan tergesa-gesa pergi, Hay-ko, kami ingin menjadi sahabat-sahabatmu. Besok pagi-pagi kami akan datang lagi, mungkin dengan teman-teman lainnya. Setiap pagi kami mencuci pakaian dan mandi di sini, dan kami dapat menjengukmu...," kata gadis kedua.
Hay Hay menggeleng kepala dan sebagai gantinya mencium pipi atau bibir mereka, dia membungkuk dua kali dan mencium punggung tangan mereka, lalu melepaskan kembali tangan mereka. "Besok pagi sekali aku harus melanjutkan perjalanan. Nah, pulanglah dan selamat berpisah, Nona-nona manis."
Dua orang gadis itu pun tersipu dengan jantung berdebar ketika punggung tangan mereka tersentuh hidung dan bibir pemuda itu, dan biar pun mereka merasa ogah dan tidak tega meninggalkan pemuda itu, karena cuaca mulai gelap, terpaksa mereka lalu berpamit dan meninggalkan tempat itu dengan dua pasang mata yang basah.
Mereka merasa sedih sekali mengingat betapa pemuda ini besok sudah tak akan berada lagi di tempat itu. Mereka tahu bahwa ada sesuatu yang lenyap dari dalam hati mereka, meninggalkan kenangan indah yang hanya akan mendatangkan duka.
"Selamat tinggal, Hay-ko."
"Semoga kita bertemu kembali kelak, suatu waktu...!"
Hay Hay tersenyum dan melambaikan tangan, sengaja tidak mengeluarkan sepatah kata pun agar keharuan tidak semakin menenggelamkan mereka bertiga. Setelah kedua orang gadis itu pergi, Hay Hay lantas mempersiapkan tempat beristirahat di dekat batu besar itu. Hay Hay menyalakan api unggun dan sesudah hari menjadi gelap, dia pun duduk bersila, menyelimuti tubuhnya dengan selimut pemberian gadis manis bertahi lalat pada dagunya. Selimut yang tebal dan hangat.
Akan tetapi Hay Hay sudah cepat melupakan lagi dua orang gadis itu. Demikianlah watak pemuda ini, tak mau mengikatkan diri dengan segala sesuatu, bahkan dengan kenangan pun tidak! Segala peristiwa yang terjadi lewat saja tanpa bekas di hatinya, dan dengan cara hidup demikian itu, dia selalu bergembira.
Dan kini dia pun sudah duduk bersila dengan wajah tenang gembira, sedikit pun tidak ada bekas-bekas kejadian masa lampau yang mengganggu hatinya, baik yang menyenangkan sehingga menimbulkan keinginan untuk mengulanginya mau pun yang tak menyenangkan sehingga menimbulkan kegelisahan atau duka.
********************
Malam itu bulan bersinar dengan terang. Hawa amat sejuk dan sinar bulan menciptakan suasana yang sangat indah pada malam itu, indah dan kelihatan tenang tenteram penuh damai. Akan tetapi, agaknya tidak demikian keadaan di dusun kecil itu.
Ketika itu semua penduduk laki-laki berkumpul di rumah kepala dusun dan wajah mereka nampak tegang. Ada dua orang gadis yang hilang pada malam itu! Orang tuanya bingung mencari sebab mereka berdua, gadis bertahi lalat di dagu dan gadis hitam manis bermata cerah tidak pamit ketika pergi.
"Mereka berdua tentu pergi mengunjungi pemuda itu!" tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berkata. "Aku tadi melihat dia berada di batu besar dekat sungai!"
"Hemmm, orang asing kurang ajar itu berani kembali ke sana?" kata kepala dusun sambil mengerutkan alisnya.
"Mari kita cari dua gadis itu ke luar dusun sekalian mengusir pemuda itu. Aku yang akan menghajarnya!" kata A-liong, pemuda tinggi besar yang menaruh hati kepada Siauw Lan, gadis bertahi lalat.
Kepala dusun menyetujui, kemudian berangkatlah sekitar dua puluh orang laki-laki sambil membawa obor mencari keluar dusun. Sudah terlalu lama dua orang gadis itu pergi dan memang menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan. Berbondong-bondong mereka pergi menuju ke sungai kecil yang berada agak jauh di luar dusun.
Akan tetapi, ketika rombongan itu tiba di sebuah lapangan rumput di luar dusun, ada yang berteriak dan semua orang langsung menghampiri. Dan mereka melihat dua orang gadis yang mereka cari-cari itu menggeletak di atas lapangan rumput dalam keadaan telanjang bulat. Pakaian mereka berserakan di sekitar tempat itu.
Yang sangat mengerikan, ternyata gadis hitam manis itu telah tewas dengan leher terluka menganga lebar hingga hampir putus, sedangkan gadis bertahi lalat pada dagunya masih hidup, akan tetapi merintih-rintih bagaikan orang yang menderita ketakutan hebat. Begitu melihat banyak orang datang menghampirinya, gadis bertahi lalat itu merangkak menjauh, mulutnya merintih-rintih menyebut nama Hay Hay.
"Hay-ko... tolong... tolonglah aku...!"
Mudah saja bagi orang-orang ini untuk menduga apa yang sudah terjadi. Dua orang gadis ini telah diperkosa orang! Bahkan yang berkulit hitam manis dibunuh! Masih nampak jelas betapa mereka bertelanjang bulat.
Kepala dusun cepat menubruk keponakannya, gadis bertahi lalat, segera menyelimutinya dengan mantelnya. Gadis itu menangis terisak-isak, tidak takut lagi karena agaknya telah sadar.
"Keparat! Semua ini tentu perbuatannya! Mari kita kejar ke sana!" teriak kepala dusun dan semua orang lalu mengikutinya menuju ke sungai kecil dengan cepat.
Hanya pemuda tinggi besar itu yang tinggal di sana, merangkul gadis bertahi lalat sambil menghiburnya. Akan tetapi Siauw Lan, gadis itu, sekarang sudah mulai sadar dan dia pun menjadi histeris dalam rangkulan pemuda itu. Dia meronta-ronta minta supaya dilepaskan sambil menangis tersedu-sedu.
"Lepaskan aku...! Ahh, lepaskan aku, biarkan aku mati saja...!"
Akan tetapi A-Liong, demikian nama panggilan pemuda tinggi besar itu, malah merangkul semakin kuat mendengar ucapan ini. Dia sudah banyak mendengar mengenai gadis yang bunuh diri karena aib, dan gadis yang dicintanya ini bukan tidak mungkin akan bunuh diri karena diperkosa laki-laki keparat itu. Dia harus dapat menghiburnya. Diambilnya pakaian gadis itu yang bertebaran di mana-mana.
"Siauw Lan, kau pakailah dulu pakaianmu... jangan berduka, ada aku di sini. Dan maukah engkau bercerita apa yang telah terjadi?"
Gadis itu sadar bahwa dia masih telanjang bulat, bahwa tubuhnya hanya tertutup mantel milik pamannya, kepala daerah itu. Dia melirik ke kanan dan melihat tubuh telanjang dari temannya yang masih menggeletak mandi darah, maka dia pun menggigil, lalu menangis lagi, akan tetapi dipakainya pakaiannya.
"Apakah yang telah terjadi? Apakah dia telah menyerang kalian berdua?"
Siauw Lan mengangguk-angguk, masih terisak. "Kami berjalan berdua... dan tiba-tiba saja orang itu menyergap. Aku merasa pundakku dipukul lalu aku pun tidak mampu bergerak lagi. Dari jalan itu dia menyeret kami ke sini dan melemparku ke atas rumput. Aku tidak dapat menggerakkan kaki dan tanganku, hanya dapat melihat betapa dia... dia kemudian menanggalkan pakaian A-kiu dan mereka lalu bergumul. A-kiu menjerit-jerit dan meludahi mukanya, lalu... lalu... ahhh hu-hu-hu-huuuh...!"
Kembali A-liong merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya, "Tenanglah, semua sudah berlalu. Kini ada aku di sini menjaga dan melindungimu." Gadis itu merasa aman dalam rangkulan A-liong, dan dia menangis di pundak pemuda itu. Sesudah tangisnya mereda, barulah dia melanjutkan.
"Tiba-tiba orang itu marah dan menampar A-kiu, lalu... lalu pedangnya berkelebat dan... ahh, mengerikan...!" Dia menengok ke arah mayat kawannya dan menangis lagi.
"Keparat itu membunuhnya karena A-kiu menjerit dan meludahinya?"
Siauw Lan mengangguk. "Ya... lalu dia menghampiri aku yang tidak mampu bergerak dan pundakku ditepuknya sehingga mendadak aku dapat bergerak lagi. Dia lalu menunjuk ke arah tubuh A-kiu yang masih berkelojotan dengan darah menyembur keluar, dan berkata bahwa kalau aku melawan maka aku pun akan disembelih... hu-huuuuh! Dia... dia... lalu memaksaku, memperkosaku...u-hu-hu-huuuhhh...!"
A-liong mendekap mukanya di dada. "Tenanglah, engkau tidak bersalah ..."
"Aku mau mati saja! A-liong, biarkan aku mati saja! Untuk apa hidup dalam aib dan akan terhina selamanya?" Gadis itu meronta-ronta dan menangis.
"Tenanglah, Siauw Lan, ada aku di sini. Aku... aku cinta padamu, dan akulah yang akan menutupi aibmu itu. Aku akan mengawinimu..."
Gadis itu mengangkat muka, dan melalui air matanya dia memandang wajah pemuda itu, matanya terbelalak. "Kau...? Mau mengawini aku yang telah ternoda...?"
A-liong mengangguk penuh kepastian. "Aku bersumpah, aku akan mengawinimu dan aku tetap menganggap engkau seorang gadis yang suci dan paling baik di dunia ini. Mengenai perkosaan itu, hal itu bukanlah salahmu, lupakan saja. Sekarang pemuda bermulut manis dan perayu itu tentu sedang dikeroyok dan dihajar sampai mampus! Dan kelak kalau ada orang yang menghinamu karena peristiwa ini, akulah yang akan menghajarnya..."
Tiba-tiba Siauw Lan mencengkeram lengan A-liong. "A-liong, siapa yang kau maksudkan? Siapa yang dikeroyok dan dipukuli, yang kau maksudkan perayu bermanis mulut itu tadi?"
A-liong memandang wajah gadis itu dengan alis berkerut. "Siapa lagi kalau bukan pemuda asing yang pagi tadi mencoba untuk mengganggu kalian? Pemuda yang berada di batu besar dekat sungai itu?"
"Hay-ko...? Ahh...tidak, tidaaaakkk...!" teriaknya sambil meronta dan pemuda itu menjadi kaget.
"Siauw Lan, bukankah dia yang telah membunuh A-kiu dan... memperkosamu?"
"Tidak! Bukan dia! Ahhh, A-liong, kalau engkau benar cinta kepadaku, lepaskan aku, aku harus pergi ke sana, mencegah mereka mengeroyoknya. Dia sama sekali tidak berdosa!"
"Bukan dia...?" pemuda itu terkejut dan merasa heran.
"Bukan! Bukan dia. Penjahat itu jauh lebih tua dan ini... ini..." Siauw Lan meraba-raba ke kanan kiri di atas rumput hingga akhirnya menemukan apa yang dicarinya, sebuah benda kecil yang berkilauan. "Ini... dia meninggalkan ini untukku... katanya, jika kelak aku ingin mencari dia, inilah tandanya..."
A-liong mengambil benda itu dari tangan Siauw Lan dan mengamatinya di bawah cahaya bulan. Ternyata sebuah perhiasan berupa tawon merah yang terbuat dari emas dan batu merah.
"A-liong, kita harus cepat ke sana untuk mencegah mereka mengeroyok orang yang tidak bersalah!"
A-liong adalah seorang pemuda petani yang kasar tetapi jujur. Mendengar pengakuan ini, dia pun segera menggandeng tangan Siauw Lan lantas diajaknya melakukan pengejaran. Akan tetapi Siauw Lan merintih, tubuhnya terasa nyeri sehingga sukar baginya untuk jalan cepat.
"Biarlah engkau kupondong agar cepat!" kata A-Iiong.
Gadis itu tidak menolak, karena dia ingin agar mereka dapat cepat sampai di tempat itu, untuk mencegah orang-orang dusun mengeroyok pemuda yang sama sekali tak berdosa itu.
********************
Kembali kita menengok keadaan Hay Hay. Dia belum tidur pada saat orang-orang dusun datang berbondong-bondong ke tempat dia beristirahat. Dia sedang duduk bersila di atas tanah yang telah dia beri alas daun-daun kering, berkalung selimut pemberian Siauw Lan sampai ke lehernya untuk melindungi tubuhnya dari serangan nyamuk yang masih banyak berdatangan walau pun dia telah membuat api unggun.
Ketika dia mendengar suara banyak orang datang, ada yang membawa obor, dia bersikap tenang saja. Memang Hay Hay selalu bersikap tenang.
Ketenangan terdapat pada diri orang yang tidak pernah mengkhawatirkan sesuatu. Rasa khawatir timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang menyusahkan, hal-hal yang belum terjadi dan yang diperkirakan mungkin terjadi menimpa dirinya. Orang hanya dapat merasa takut dan khawatir akan hal-hal yang belum atau tidak ada.
Bukan berarti orang yang tidak membayangkan hal-hal yang belum ada itu lalu menjadi lengah dan acuh. Sama sekali bukan. Kewaspadaan akan saat ini membuat orang selalu dalam keadaan waspada, tanpa rasa takut dan khawatir.
Demikian pula keadaan Hay Hay. Dia merasa heran melihat banyak orang berdatangan membawa obor, akan tetapi karena tidak membayangkan sesuatu yang tidak enak maka dia pun tenang-tenang saja duduk bersila dan memandang ke arah mereka.
Kewaspadaannya membuat dia maklum bahwa mereka yang sekarang berdiri membentuk setengah lingkaran di depannya itu memiliki niat buruk. Kemarahan dan kebencian jelas terbayang dalam pandangan mata mereka.
Hay Hay merasa heran dan bersiap siaga, lalu bangkit berdiri melihat bahwa rombongan orang dusun itu dipimpin sendiri oleh kepala dusunnya yang tadi pagi juga sudah datang menegurnya. Kini, dua puluh orang lebih itu memandang kepadanya dengan kemarahan meluap-luap, seolah-olah mereka tidak sabar lagi dan ingin segera menghajarnya.
"Selamat malam, Chung-cu," kata Hay Hay. "Ada urusan apakah maka di malam-malam begini cuwi beramai-ramai datang ke sini?"
Orang-orang itu tidak segera menjawab, melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan, kebencian dan selidik.
"Lihat, itu selimut Siauw Lan!" seorang laki-laki, kakak Siauw Lan, tiba-tiba saja berteriak sambil menuding ke arah selimut yang masih mengalungi leher Hay Hay itu. Semua orang memandang dan kemarahan mereka semakin memuncak.
Hay Hay meraba selimut itu. "Benar, memang Nona Siauw Lan yang tadi datang bersama seorang temannya, memberi selimut serta makanan kepadaku. Mereka adalah dua orang nona yang amat baik hati dan aku berterima kasih sekali kepada mereka..."
"Berterima kasih dengan memperkosa dan membunuh!" bentak kakak Siauw Lan dan dia sudah menggerakkan toya kayu di tangannya untuk menghantam ke arah Hay Hay.
Pada saat itu pula, seorang lain maju juga untuk membacokkan parangnya ke arah dada pemuda itu dengan penuh kebencian. Semua orang teringat akan nasib dua orang gadis itu dan kini mereka serentak maju mengeroyok!
Dalam keadaan seperti itu Hay Hay tidak dapat menyembunyikan kepandaiannya lagi. Dia harus melindungi dirinya, akan tetapi dia pun maklum bahwa sekelompok orang dusun ini adalah orang-orang jujur yang tidak pandai ilmu silat dan mempunyai tenaga biasa saja. Mereka bukanlah lawannya dan dia tak ingin melukai orang-orang ini yang dia tahu tentu tidak berdosa dan yang kini sedang salah paham terhadap dirinya.
Maka dia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat tubuhnya kebal, menggerakkan kedua tangan hanya untuk menangkis senjata yang menuju ke kepala dan mukanya.
"Bak-bik-buk!" terdengar suara ketika belasan buah senjata keras dan tajam menghujani tubuh Hay Hay.
Hampir berbareng dengan suara itu, terdengar pula teriakan-teriakan kaget dan beberapa orang bahkan terpelanting karena tenaga mereka sendiri yang membalik. Pemuda yang mereka keroyok itu masih berdiri tegak, ada pun bekas serangan itu hanya nampak pada selimut dan baju yang robek-robek, namun kulit tubuh itu sedikit pun tidak lecet, bahkan semua senjata terpental dan tenaga mereka membalik sehingga telapak tangan mereka terasa nyeri.
"Dia lihai...!"
"Dia kebal...!"
"Punya ilmu setan...!"
"Saudara-saudara sekalian, apakah yang sudah terjadi? Aku tidak bersalah apa-apa dan sejak tadi aku berada di sini. Siauw Lan bersama temannya hanya berkunjung sebentar dan tidak terjadi apa-apa yang tak semestinya di sini. Apa kesalahanku maka cuwi (anda sekalian) marah-marah kepadaku?"
"Bohong! Dia memang lelaki mata keranjang. Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pantas dihajar!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan merdu.
Semua orang menengok, juga Hay Hay, dan dia terkejut melihat munculnya gadis cantik jelita yang sore tadi telah dijumpainya di kuil. Gadis itu memang Bi Lian.
Dari kuil di mana dia beristirahat, malam itu dia mendengar suara berisik. Dia lalu keluar dan dari depan kuil, tempat yang tinggi, dia dapat melihat banyak orang berlarian sambil membawa obor. Tentu saja dia tertarik sekali karena orang-orang itu keluar dari dusun di bawah itu.
Tentu telah terjadi hal yang hebat maka orang-orang itu keluar sambil membawa obor. Bi Lian lalu menggunakan kepandaiannya, dengan cepat seperti terbang dia menuruni bukit menuju padang rumput di mana orang-orang itu berkumpul dan nampak mereka sedang melihat sesuatu.
Karena menuruni bukit itu bagaikan terbang cepatnya, dia tiba di padang rumput itu pada saat orang-orang dusun itu baru saja meninggalkan tempat itu untuk menyerbu ke tempat peristirahatan Hay Hay. Sebagai orang yang berpengalaman, sekali pandang saja kepada Siauw Lan yang menangis dihibur A-liong, dan juga melihat keadaan A-kiu yang telanjang bulat dan hampir putus lehernya, Bi Lian tahu apa yang telah terjadi. Dua orang gadis itu sudah menjadi korban seorang jai-hwa-cat, penjahat pemetik bunga atau seorang tukang memperkosa wanita!
Kemarahannya timbul dan dia pun tahu bahwa jelas pelakunya tentulah pemuda tampan perayu wanita yang mata keranjang itu! Cepat dia pun lari dari situ tanpa diketahui Siauw Lan atau pun A-liong, dan ketika semua penduduk sedang terkejut melihat betapa senjata mereka tidak mempan terhadap Hay Hay, Bi Lian muncul dan memaki Hay Hay.
Hay Hay mengerutkan alisnya. Gadis galak ini begitu muncul lantas memakinya sebagai seorang penjahat pemetik bunga. Sungguh keterlaluan!
"Nanti dulu!" dia membantah. "Aku tak pernah melakukan perbuatan terkutuk seperti yang kalian tuduhkan itu!"
"Jangan percaya, laki-laki perayu bermulut manis mana bisa dipercaya omongannya? Biar aku yang akan menghajar dan sekalian menangkapnya untuk kalian!" berkata demikian, Bi Lian sudah menerjang maju.
Gadis ini tadi melihat betapa semua senjata mental dari tubuh Hay Hay. Tadi dia terkejut bukan main, juga terheran-heran, merasa kecele dan mukanya berubah merah. Ternyata pemuda ini memiliki kepandaian tinggi. Jadi sikapnya yang pura-pura tolol di kuil itu hanya main-main saja dan dia merasa dipermainkan.
Maka, begitu menerjang dia sudah mengirim tamparan dengan tangan kiri ke arah kepala Hay Hay, sebuah serangan pancingan saja karena tangan kanannya dengan cepat sekali mengirim serangan susulan menotok ke arah pundak pemuda itu untuk merobohkannya!
Melihat datangnya serangan gadis itu, walau pun hanya dengan tangan kosong, Hay Hay terkejut bukan main. Dia mengenal serangan ampuh, juga mengenal tangan ampuh yang memiliki tenaga sinkang yang amat hebat. Dan pukulan-pukulan itu sendiri sangat ganas.
Tamparan ke arah kepalanya itu mengandung hawa pukulan yang panas sehingga kalau mengenai sasaran tentu akan menewaskannya dan tangan kanan gadis itu membayangi gerakan tangan kiri, sukar diduga hendak menyerang ke mana sebagai susulan! Dia tahu bahwa tamparan tangan kiri itu hanya gertakan, namun gertakan yang berbahaya karena merupakan pukulan maut, dan yang lebih berbahaya lagi adalah tangan kanan gadis itu yang siap mengirim serangan susulan.
"Plakkk!"
Hay Hay mengangkat tangan kanan, menangkis tamparan sambil mengerahkan tenaga sinkang pula, sedangkan matanya dengan waspada mengikuti gerakan tangan kanan Bi Lian. Ketika tangan itu menotok ke arah pundaknya untuk merobohkannya, dia pun cepat meloncat ke belakang sambil menangkis dengan tangan kirinya.
"Dukkkk!"
Dua kali kedua tangan mereka saling bertemu dan keduanya diam-diam terkejut, maklum akan kekuatan masing-masing. Karena serangannya berhasil dihindarkan lawan, Bi Lian pun menjadi semakin penasaran.
"Jai-hwa-cat memiliki juga sedikit kepandaian!" katanya penuh ejekan.
Dan kini dia menyerang lagi, akan tetapi sekali ini dia tidak main-main maka serangannya begitu kuat dan cepatnya, bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh dan ganas bukan main sehingga Hay Hay terpaksa berloncatan mundur dan terdesak hebat! Ketika serangannya yang bertubi-tubi itu tidak pernah mengenai sasaran, Bi Lian menjadi semakin sengit.
Dia maklum bahwa lawannya ini benar-benar pandai maka berubahlah niatnya. Kalau tadi dia hanya ingin menangkapnya untuk kemudian diserahkan kepada para penduduk yang akan menghukumnya, kini melihat kelihaian lawan, dia bermaksud untuk merobohkannya, hidup atau mati!
Perubahan ini tentu saja mengubah pula gerakannya yang menjadi semakin kuat hingga setiap pukulan merupakan serangan maut! Ketika gadis itu menggosok kedua tangannya, saling menggosok telapak tangan, nampak asap mengepul dari kedua telapak tangannya, dan serangan-serangannya kini mengandung hawa yang panas sekali.
"Ehhh...!" Hay Hay berkali-kali berseru kaget.
Selain mengelak kini ia pun terpaksa melakukan tangkisan-tangkisan disertai pengerahan tenaga sinkang-nya. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, dia merasa betapa kulit lengan itu sangat kuat dan mengandung hawa panas! Kalau saja sinkang-nya tidak cukup kuat untuk melindungi kulitnya, tentu kulit tangannya akan terluka hangus saat bersentuhan dengan lengan gadis itu.
Melihat seorang gadis gagah perkasa muncul lantas menyerang pemuda mata keranjang itu secara kalang-kabut, para penduduk tidak tinggal diam. Mereka berbesar hati melihat ada seorang gadis yang agaknya lihai sekali dan mampu mengjmbangi kelihaian penjahat itu, maka mereka pun kini segera bergerak mengurung dan setiap kali ada kesempatan, mereka menggerakkan senjata mereka untuk menyerang.
Hay Hay menghadapi pengeroyokan! Baginya orang-orang dusun itu lebih berbahaya dari pada Si Gadis lihai! Soalnya, kalau gadis itu dapat dia hadapi dengan sinkang dan ilmu silat, sebaliknya dia harus berhati-hati sekali bila menangkis serangan orang-orang dusun, karena kalau dia kesalahan tangan dan terlampau kuat menggunakan sinkang, maka ada bahayanya dia akan benar-benar menjadi pembunuh!
Terpaksa Hay Hay lalu memainkan satu di antara ilmunya yang hebat, yaitu Jiauw-pouw Poan-soan, ilmu langkah kaki berputaran yang membuat tubuhnya dapat menghindarkan semua serangan, termasuk pula pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh gadis itu. Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu pemberian See-thian Lama.
Diam-diam Bi Lian kagum bukan main. Semenjak meninggalkan perguruan baru sekali ini dia bertemu dengan lawan yang bisa menghindarkan semua serangannya, padahal sudah lebih dari dua puluh jurus dia menyerang tanpa pemuda itu membalas sekali pun, bahkan di sampingnya masih ada orang-orang dusun yang turut mengeroyok, walau pun bantuan mereka itu sama sekali tidak menguntungkannya, bahkan mengganggu gerakannya saja.
Tiba-tiba saja terdengar jeritan wanita. "Berhenti...! Ahhhh, jangan keroyok dia! Dia tidak bersalah... jangan keroyok dia...!"
Semua orang terkejut, menghentikan serangan mereka, bahkan Bi Lian juga meloncat ke belakang lantas memutar tubuh memandang. Yang berteriak itu adalah Siauw Lan yang digandeng oleh A-liong.
"Apa maksudmu, Siauw Lan?" bentak kepala dusun kepada keponakannya.
"Paman, bukan dia yang memperkosa aku dan membunuh A-kiu! Dia tidak bersalah..."
Hay Hay membelalakkan mata memandang kepada Siauw Lan. "Nona, engkau diperkosa dan temanmu itu dibunuh orang...?"
Siauw Lan menangis, memandang kepada Hay Hay dan mengangguk-angguk. "Hay-ko... ahh... Hay-ko...!"
A-liong mengeluarkan benda yang diterimanya dari Siauw Lan tadi dan berkata lantang, "Kawan-kawan, kita memang sudah salah sangka. Penjahat itu adalah seorang yang lebih tua dan dia meninggalkan tanda ini!"
Tiba-tiba saja Bi Lian menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu benda yang dipegang oleh A-liong itu sudah pindah ke tangannya. A-liong terkejut dan terbelalak. Bi Lian mengamati benda itu dan mengangguk-angguk.
"Hemmm... Ang-hong-cu (Si Tawon Merah)...! Aku pernah mendengar namanya. Seorang jai-hwa-cat yang keji!"
Dia mengembalikan benda itu kepada A-liong, kemudian memandang kepada Hay Hay. Sejenak pandang mereka bertemu dan Bi Lian merasa kikuk sekali. Dia memutar tubuh menghadapi kepala dusun lalu berkata,
"Kita sudah salah sangka. Kini aku akan mencari penjahat itu!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat gadis itu sudah lenyap dari situ, membuat orang-orang dusun itu terkejut dan melongo. Hanya siluman saja yang dapat menghilang seperti itu, pikir mereka.
"Bagaimana sekarang? Apakah cuwi masih juga menuduh aku yang melakukan perbuatan terkutuk itu?" Hay Hay bertanya sambil tersenyum.
Dia tidak marah terhadap orang-orang dusun ini. Dia marah kepada si jai-hwa-cat. Gadis bertahi lalat ini diperkosanya! Dan gadis hitam manis itu malah dibunuhnya.
Si Kepala Dusun menjura ke arah Hay Hay. "Maafkan kami. Kami salah sangka terhadap Kongcu."
"Sudahlah, kalau aku boleh pergi, sekarang juga aku akan mencoba untuk mengejar dan mencari si keparat itu." Kemudian dia memandang kepada Siauw Lan dan berkata, "Adik manis, nasibmu memang buruk sekali. Akan tetapi peristiwa itu telah lalu dan aku melihat ada orang yang mencintamu dan tentu mau melindungimu. Jika aku berhasil menemukan penjahat Ang-hong-cu itu, tentu akan kuhajar dia, kubalaskan sakit hatimu."
Siauw Lan masih menangis, hanya mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan. "Terima kasih, Hay-ko..."
Hay Hay mengambil buntalan pakaiannya, membuang selimut serta bajunya yang sudah robek-robek, kemudian dia pun tak lagi menyembunyikan kepandaiannya sehingga sekali berkelebat, seperti yang dilakukan Bi Lian tadi, dia sudah lenyap pula dari situ.
Untuk kedua kalinya para penduduk dusun itu melongo dan menggeleng-geleng kepala, merasa malu akan kebodohan mereka sendiri. Mereka telah menuduh yang bukan-bukan terhadap pemuda itu, padahal pemuda itu demikian lihainya sehingga kalau dikehendaki, tentu pemuda itu berbalik akan mampu merobohkan mereka semua satu demi satu!
Mereka kemudian kembali ke dusun, mengambil dan mengurus jenazah A-kiu, sedangkan Siauw Lan terus diantar dan dihibur oleh A-liong sehingga dia pun merasa terhibur dan tidak lagi mempunyai niat untuk membunuh diri mencuci aib.
********************